MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 17/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH DAN AHLI DARI PEMOHON (III)
JAKARTA SELASA, 18 MEI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 17/PUU-VIII/2010 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON -
Muh. Burhanuddin dan Rachmat Jaya ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan Ahli dari Pemohon (III) Selasa, 18 Mei 2010, Pukul 10.22 – 11.58 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Moh. Mahfud MD Achmad Sodiki Hamdan Zoelva Muhammad Alim Ahmad Fadlil Sumadi Maria Farida Indrati M. Arsyad Sanusi Harjono M. Akil Mochtar
Ina Zuchriyah
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: - Muh. Burhanuddin Kuasa Hukum Pemohon: -
M. Farhat Abbas Rama (Advokat magang) Hamka (Advokat magang) Syarifah Hanum (Advokat magang)
Ahli dari Pemohon: - Mudzakir Pemerintah : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia - Mualimin Abdi - Budiono - Untung Winardi Kejaksaan Agung -
Fachmi Indra Gunawan Eva Rima S. Meliala Nani Wijayanti Nurintan Sirait Martalena Napitupulu
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.22 WIB.
1.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Pemerintah dan mendengar keterangan Ahli dari Pemohon dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 1X
Silakan Pemohon dihadirkan hari ini. 2.
untuk
memperkenalkan
yang
hadir
dan
KUASA HUKUM PEMOHON : M. FARHAT ABBAS
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb.
Yang Mulia Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kami perkenalkan saya Farhat Abbas dari Kantor Hukum Farhat Abbas & Rekan, di samping kiri saya adalah Pemohon Prinsipal adalah Bapak Advokat Muh. Burhanuddin, kemudian di kursi deretan belakang adalah para advokat magang dari kantor Hukum Farhat Abbas & Rekan. Terima kasih, Yang Mulia. 3.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Pemerintah.
4.
PEMERINTAH : FACHMI (KEJAKSAAN AGUNG) Terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
Yang mewakili Pemerintah dari Kementerian Depkumham adalah : 1. Saudara Mualimin Abdi 2. Budiono 3. Untung Winardi. Sedangkan dari Kejaksaan Agung, 1. Saya sendiri Dr. Fachmi, S.H. M.H. 2. Indra Gunawan, S.H., M.H., Kasubdit Yankum pada TUN Kejagung.
3
3. Eva Rima, SA, S. Meliala, S.H., Kasie Yankum Perdata Datun Kejagung 4. Nani Wijayanti, S.H., Jaksa Agung Fungsional di Sesjamdatun Kejagung. 5. Nurintan Sirait,S.H., M.H., Kasubdit PPH Datun Kejagung. 6. Martalena Napitupulu, S.H., Jaksa Fungsional pada Direktorat Perdata Kejagung. Terima kasih. 5.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Saudara Ahli.
6.
AHLI DARI PEMOHON : MUDZAKIR Saya Mudzakir dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Terima kasih.
7.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Saudara dihadirkan oleh Pemohon, ya?
8.
AHLI DARI PEMOHON : MUDZAKIR Dihadirkan oleh Pemohon.
9.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, sebelum mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi diambil sumpahnya dulu. Silakan maju, Pak Mudzakir.
10.
HAKIM ANGGOTA : M. AKIL MOCHTAR (MENGAMBIL SUMPAH) Saudara Ahli, beragama Islam, ya. Ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan. “Bismillahirrahmanirrahim, Demi Allah, saya bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”. Terima kasih.
11.
AHLI DARI PEMOHON : MUDZAKIR
“Bismillahirrahmanirrahim, Demi Allah, saya bersumpah, sebagai
Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”.
4
12.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, untuk 5 menit pertama saya berikan kepada Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan, terutama nanti tekankan pada petitumnya. Silakan.
13.
KUASA HUKUM PEMOHON : M. FARHAT ABBAS Terima kasih, Yang Mulia. Adapun permohonan uji materiil kami yaitu tentang pengujian Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Nomor 3209 yang berbunyi, “Terhadap putusan pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Mengenai kewenangan Mahkamah kami tidak uraikan kembali. Tentang kedudukan legal standing, intinya Yang Mulia, bahwa Pasal 56 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 dalam hal tersangka atau terdakwa, disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Bahwa dalam muatan pasal tersebut di atas kedudukan advokat dalam mendampingi dan/atau mewakili klien baik sebagai pihak tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai Pihak Pelapor Saksi Korban sebagai pencari keadilan dalam semua tingkatan pemeriksaan dan semua tingkat peradilan sangat mutlak dan tidak dapat dikesampingkan. Batu uji dalam permohonan ini yaitu terhadap Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut prinsip bebas perlakuan diskriminatif sehingga antara penuntut umum ataupun terdakwa punya hak yang sama untuk mengajukan kasasi yang mana di dalam petitum kami meminta: 1. Agar Majelis menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menyatakan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas, inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945” atau setidaknya menyatakan Pasal 244 tersebut berbunyi, “Terhadap putusan perkara yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung terdakwa atau penasihat umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas bahwa sepanjang mengenai frasa kecuali terhadap putusan bebas dinyatakan inkonstitusional dan
5
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan segala akibat hukumnya”. Menyatakan Pasal 244 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan segala akibat hukumnya. Itu adalah bunyi petitumnya tetapi kami ulas sedikit bahwa selama ini dalam praktek yang berlangsung Jaksa Umum selalu mengajukan kasasi terhadap putusan bebas dengan dasar Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 14 Tahun 1983 ini yang kami anggap harusnya selama ini para penasihat hukum selalu mengatakan bahwa tidak bisa tetapi pada kenyataannya dalam praktek sehari-harinya bahkan banyak dikabulkan. Oleh karena itu setidaknya apabila kami mewakili Para Korban apabila klien kami meninggal, tidak bebas dan rasa keadilan tidak tercapai setidaknya jaksa masih diberi kesempatan untuk mengajukan sebagai wakil dari negara untuk mengajukan kasasi tanpa terikat dengan pasal yang kami uji. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 14.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, berikutnya dipersilakan memberikan keterangan tanggapan.
15.
kepada
Pemerintah
untuk
PEMERINTAH : FACHMI (KEJAKSAAN AGUNG) Langsung kami bacakan. Opening statement Pemerintah atas permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehubungan dengan permohonan pengujian constitutional review Pasal 244 Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimohonkan oleh Saudara Burhanuddin, SH dan Saudara Rachmat Jaya, S.H., M.H., yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada M. Farhat Abbas, S.H., M.H. dan kawan-kawan beralamat di Plaza Basmar lantai 1 Jalan Mampang Prapatan Raya Nomor 106, Jakarta Selatan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 17/PUU-VIII/2010 tanggal 23 Maret 2010, perkenankan Pemerintah menyampaikan keterangan pembuka atau opening statement sebagai berikut: Pokok permohonan a. Bahwa menurut para Pemohon norma dalam ketentuan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP merupakan norma yang tidak memiliki kejelasan, ketelitian, dan konsistensi dalam proses kepastian hukum karena fakta hukum yang sangat
6
b.
c. d.
banyak ditemui di lapangan, proses kasasi yang telah dilakukan oleh pihak jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas hal ini menyalahi prinsip negara hukum yang hidup dalam doktrin hukum, bahwa prinsip negara hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka berdasarkan undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada mereka berdasarkan undang-undang dan perilaku apa yang mereka harapkan dari pejabat. Adanya kejelasan dan ketelitian dalam perundang-undangan itu sendiri menjadi dasar dari peradilan yang bersih dan bebas dari upaya-upaya konspiratif. Bahwa menurut para Pemohon, norma dalam ketentuan Pasal 244 undang-undang a quo selain tidak memberikan kepastian hukum juga tidak memenuhi asas-asas kepastian hukum. Hal ini menimbulkan konstitusional dictatorship sebagaimana dikatakan oleh Laurent dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Bahwa sesuai dengan doktrin negara hukum yang menekankan keharusan untuk memberikan dan menciptakan kepastian hukum. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan a quo harus diubah dengan memperbolehkan pengajukan permohonan kasasi terhadap putusan bebas. Singkatnya menurut para Pemohon norma yang terdapat dalam undang-undang a quo dianggap telah menegasikan adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi semua orang tanpa ada yang dikecualikan dalam bingkai negara hukum Indonesia. Karena itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan Hukum atau Legal Standing para Pemohon. Uraian tentang kedudukan hukum atau legal standing para Pemohon akan dijelaskan secara lebih rinci dalam keterangan pemerintah secara lengkap yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian Pemerintah melalui Yang Mulia Ketua atau Majelis Mahkamah Konstitusi memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstituisonalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atau berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Selanjutnya pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan
7
menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing atau tidak sebagaimana ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007. Yang Mulia Majelis atau Ketua Mahkamah Konstitusi, berkaitan dengan materi muatan norma yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan adanya penjelasan Menteri Kehakiman dalam lampiran keputusannya tanggal 10 Desember 1983 Nomor N.14PW.7.03 Tahun 1983 tersebut di atas yang antara lain telah mengatakan bahwa terhadap putusan bebas itu orang dapat mengajukan permintaan-permintaan kasasi. Para ahli hukum di Indonesia telah berusaha mencari dasar pembenaran bagi dapat diajukannya permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas, antara lain ada yang berpendapat bahwa terhadap putusan bebas murni orang tetap tidak dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung dan orang hanya dapat mengajukan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni saja. Perkataan putusan bebas tidak murni merupakan terjemahan dari kata niet zevere versprak {sic} yang oleh Prof. Van Bemellen telah digunakan untuk menyebut putusan bebas yang bukannya seharusnya dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri bagi seorang terdakwa. 2. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: A. Argumentasi para Pemohon tidak jelas dan kabur atau obscuur libel karena para Pemohon hanya menyatakan ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan beberapa pasal dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tapi tidak menjelaskan secara rinci pertentangan atau kontradiksi tersebut. B. Bahwa ketentuan yang menyatakan, “Terhadap putusan bebas tidak dapat mengajukan permintaan-permintaan kasasi” itu sebenarnya berasal dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 430 Wetboek van Strafvordering yang berlaku di negeri Belanda. Ketentuan tersebut berasal dari Pasal 347 Wetboek van Strafvordering yang lama. Sedangkan ketentuan Pasal 347 Wetboek van Strafvordering yang lama berasal dari Pasal 409 code instrument criminal yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Perancis. Berbeda dengan pembentukan KUHAP yang tidak menjelaskan tentang apa sebabnya terhadap putusan bebas tersebut orang tidak dapat mengajukan pemeriksaan kasasi
8
maka di negeri Belanda pembentuk Wetboek van Strafvordering telah memberikan penjelasan yakni agar putusan bebas itu dapat dirasakan sebagai satu hak yang diperoleh terdakwa maka ia tidak boleh diganggu gugat. C. Bahwa alasan yang telah dikemukakan pembentuk Wetboek van Strafvordering dalam memberi penjelasannya mengenai pembentukan Pasal 430 Wetboek van Strafvordering di dalam memberi penjelasannya pembentukan Pasal 430 Wetboek van Strafvordering yaitu tentang apa sebanyak orang tidak dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas ternyata berbeda dengan alasan tidak dapat diajukannya permintaan- permintaan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 409 code instrument criminal yang hanya berlaku bagi jenis-jenis tindak pidana tertentu yang peradilannya diserahkan kepada Yuri dengan sendirinya berwenang untuk menyatukan putusan bebas bagi pelakunya. Maka terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Yuri itu orang tidak dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Cour de Cassation yaitu Pengadilan Kasasi atau Mahkamah Agung Perancis. D. Bahwa justru dengan adanya ketentuan Pasal 244 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang pelaksanaanya dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M 14–PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman KUHAP justru dapat memberikan jaminan adanya perlindungan dan kepastian hukum karena apabila terdapat putusan yang salah masih bisa mengajukan upaya hukum kasasi seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Tanggal 15 Desember 1983 Register Nomor 275/PID/1983 terhadap putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Februari 1982 Nomor 33/1981 adalah pembebasan tidak murni. Putusan bebas yang dijatuhkan itu mengandung penafsiran yang keliru terhadap pengertian melawan hukum Mahkamah Agung berpendapat adalah tidak tepat jika sebutan melawan hukum hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi karena policy perkreditan adalah kebijaksanaan direksi yang tidak melanggar peraturan yang ada sanksi pidananya, padahal sesuai dengan pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat, menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam tindak pidana korupsi. Apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari orang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya secara menyimpang hal itu sudah merupakan perbuatan melanggar hukum dan menurut keputusan
9
perbuatan itu merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang dapat mengusik rasa keadilan masyarakat banyak. Dengan perkataan lain terdapat perbedaan pendapat antara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan pendapat Mahkamah Agung dalam menafsirkan arti ”Melawan Hukum” Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan di atas Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut : 1. 2. 3.
Menolak permohonan pengujian para Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Menyatakan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya. Atas perhatian Yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kami mengucapkan terima kasih. Jakarat, 18 Mei 2010, Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Patriatlis Akbar, Jaksa Agung RI Hendarman Supandji. Terima kasih 16.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, pertanyaan-pertanyaan dari Majelis Hakim supaya disimpan dulu kalau ada, kita dengarkan dulu dari Ahli Mudzakir. Silakan Ahli Mudzakir.
17.
AHLI DARI PEMOHON : MUDZAKIR Terima kasih, Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Saya ingin menyampaikan pandangan Ahli terkait dengan pengujian konstitusionalitas upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Saya ingin sampaikan beberapa hal yang dasar konstitusi saya
10
tidak bacakan, saya ingin sampaikan sambungan dari pemikiran saya terkait dengan keterangan saya pada sidang sebelumnya yang di ruang ini pula Ahli telah menyampaikan mengenai pemikiran tentang PK untuk kedua kali dan pada saat itu sudah saya sampaikan mengenai perkembangan pemikiran yang terjadi atau sebut saja sebagai pergeseran interpretasi tentang PK yang semula dia berorientasi pada nilai kepastian hukum dikembangankan melalui yurisprudensi Mahkamah Agung secara positif dan konstan, kemudian muncul yang disebut sebagai berorientasi pada nilai hukum dan keadilan, ini saya tangkap sebagai sebuah pemikiran kedua. Atas dasar pemikiran tersebut dan Ahli mengikuti perkembanganperkembangan yang terjadi sesuai dengan perkembangan praktek penegakan hukum maka di dalam kaitannya dengan pengujian norma hukum yang dimohonkan uji materiil sebagaimana dimuat di dalam Pasal 244 KUHAP yang bunyinya adalah “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan kepada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Ini fokus yang ingin kami ujikan di sini adalah terhadap putusan bebas. Majelis Hakim yang saya muliakan. Analisis konstitusionalitas norma hukum yang dimohonkan uji materiil, pengertian putusan yang berisi pembebasan terdakwa dari segala dakwaan dengan alasan adalah setelah pemeriksaan sidang pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, itulah bunyi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara sebagaimana dimuat di dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang lengkapnya saya ingin bacakan karena ini menyangkut penting dalam pokok pengujian ini. Ayat satunya, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Dalam kaitan ini perlu saya garis bawahi adalah tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga menyebabkan hakim memutus bebas. Dalam praktek yurisprudensi terdapat dua kategori putusan bebas yang tadi juga disebutkan dari wakil Pemerintah, ada kategori putusan bebas murni dan ada kategori putusan bebas tidak murni. Putusan bebas murni adalah suatu perbuatan didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, artinya tidak ada bukti-bukti mendukung terhadap dakwaan yang diajukan oleh jaksa. Sedangkan putusan tidak bebas murni kalau kami mengkaji dari putusan-putusan bebas tidak murni tersebut paling tidak kami menyimpulkan ada 3 indikasi. Yang pertama adalah terdapat perbedaan dalam melakukan interpretasi hukum, artinya karena perbedaan dalam melakukan interpretasi hukum tersebut lahirlah suatu putusan yang membebaskan seseorang dari dakwaan, yang apabila
11
perbedaan tersebut kemudian dikembalikan kepada interpretasi yang umum atau standar adalah putusan itu menjadi berbeda. Kedua, terdapat perbedaan penilaian mengenai bukti yang diajukan di persidangan, kadang-kadang apakah suatu alat bukti itu boleh, tidak boleh, atau sejauh mana kekuatan alat bukti tersebut akibat penilaian mengenai bukti yang diajukan di persidangan tersebut terutama yang dilakukan oleh hakim akibatnya putusan tersebut berbunyi pembebasan dari dakwaan. Yang ketiga ada kemungkinan terjadi adalah terdapat perbedaan penilaian mengenai interpretasi penerapan hukum terhadap bukti yang diajukan di persidangan. Ini sesungguhnya adalah gabungan dari nomor satu dan nomor dua. Tapi esensinya di dalam membangun struktur logic, dalam menginterpretasi antara norma ke dalam fakta hukum yang terbukti di persidangan itu ternyata ada satu proses, proses, dan proses itu yang menyebabkan kesimpulannya atau nilainya menjadi lain. Paling tidak Majelis Hakim yang saya muliakan, ada tiga hal inilah menurut pendapat ahli, putusan itu menjadi putusan bebas tidak murni. Bagaimana terhadap putusan bebas murni? Putusan bebas murni adalah perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena beberapa alasan, ada kemungkinan bukti tidak cukup atau masih kurang, itu artinya ada proses-proses yang sebelumnya sesungguhnya ini tidak layak untuk diajukan menjadi diajukan yang menyebabkan setelah dilakukan pemeriksaan yang mendalam ada satu bukti yang tidak cukup atau masih kurang. Yang kedua ada kemungkinan adalah bukti itu memang tidak ada atau setidak-tidaknya terhadap unsur-unsur itu tidak ada bukti yang bisa meyakinkan hakim atau yang bukti yang sah dan meyakinkan hakim, akibatnya adalah putusan itu menjadi bebas tidak murni. Sedangkan dalam putusan yang tidak…, putusan bebas yang tidak murni, maaf ini salah tulis, acap kali terjadi secara formal, putusan itu berisi pembebasan terdakwa dari dakwaan tetapi ditinjau dari kualitasnya menjadi tidak murni disebabkan adanya perbedaan interpretasi hukum. Jadi secara formal dia adalah diputus bebas, memang di dalam putusan bebas ini tidak pernah disebutkan ini bebas murni atau tidak bebas murni. Tapi yang dikenal di dalam KUHAP adalah hanya putusan bebas. Namun demikian, dari analisis putusan yang dilakukan, termasuk yang Ahli lakukan melakukan eksaminasi terhadap putusan bebas terhadap perkara-perkara tertentu yang tidak kami sebutkan namanya, kami dapat menemukan ternyata ada proses pembuktian, ada proses interpretasi hukum dan yang menyebabkan putusan itu menjadi lain daripada yang lain, setelah Ahli coba dengan menggunakan telaah melalui ilmu hukum pidana, menurut Ahli putusan itu seharusnya bisa dinyatakan dia terbukti. Oleh sebab itu maka putusan bebas tidak murni ini bisa bersumber dari interpretasi hukumnya, bisa bersumber dari penilaian mengenai bukti yang diajukan di persidangan dan bisa
12
bersumber dari penilaian mengenai interpretasi penerapan hukum terhadap bukti yang diajukan di persidangan. Sekarang bagaimana dengan upaya hukum terhadap putusan bebas tersebut. Ahli berpendapat bahwa putusan bebas murni yang beralaskan kepada tidak ada tidak cukup bukti atau masih kurang buktinya atau tidak ada bukti yang mendukung ke arah unsur-unsur tersebut setelah diperiksa di pengadilan, menurut Ahli itu tidak perlu ada lagi upaya hukum lagi. Saya ulangi lagi, terhadap putusan bebas murni yang memang kenyataannya dia tidak cukup atau masih kurang buktinya, atau tidak ada bukti yang mendukung pemenuhan unsur-unsur tersebut, ini saya sebut sebagai putusan bebas murni, maka Ahli berpendapat bahwa tidak perlu ada upaya hukum lagi dan itu harus diterima bahwa itu adalah bukan sebagai perbuatan pidana karena tidak ada bukti yang mendukungnya. Yang kedua adalah putusan tidak bebas murni. Perlu adanya upaya hukum kasasi menguji mengenai tiga hal yakni: intepretasi hukum. Yang kedua, penilaiaan mengenai bukti yang diajukan di persidangan, dan yang ketiga adalah penilaian mengenai intepretasi penerapan hukum terhadap bukti yang diajukan di persidangan. Saya ingin sampaikan bahwa putusan bebas tidak murni ini adalah perselisihan, atau perbedaan, atau terjadi perbedaan inteprertasi, terjadi perbedaan penilaian bukti, terjadi penerapan, atau perselisihan, atau perbedaan mengenai penerapan hukum terhadap bukti yang diajukan di pengadilan adalah wajar dan adalah layak jika perbedaan tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung. Dan oleh sebab itu, dengan adanya kasasi terhadap putusan bebas yang tidak murni ini, sehingga Mahkamah pun dapat memberikan pelurusan, atau sebut saja sikap terhadap interpetasi tersebut, sikap terhadap penilaian mengenai alat bukti tersebut dan sikap terhadap penerapan hukum terhadap bukti bukti di pengadilan tersebut. Maksud pemeriksaan kasasi, kami ingin kutipkan dari Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Kasasi, pemeriksaan kasasi secara umum adalah dipetikkan di dalam ayat (1), ”Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana yang dimaksud Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan…, dalam kaitannya dengan Pasal 244 ini tentu saja selain putusan bebas; a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mustinya? b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang? c. Apakah benar pengadilan telah melampai batas wewenangnya? Kalau kita lihat substansi dari Pasal 253 ayat (1) KUHAP tersebut, maka materi putusan bebas tidak murni. Alasan putusan bebas tidak murni sebagaimana teah diuraikan sebelumnya adalah memenuhi kualifikasi pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung sebagaimana yang
13
dimaksud Pasal 253 ayat (1) KUHAP sebagaimana yang telah kami kutipkan tadi. Sekarang pertanyaannya adalah atau kesimpulannya dalam konteks ini adalah jadi putusan bebas tidak murni adalah memenuhi kualifikasi sebagaimana diatur didalam atau ditentukan di dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan oleh sebab itu adalah wajar, dan layak, dan semestinya putusan bebas tidak murni bisa diperiksa di Mahkamah Agung. Siapa sekarang persoalannya, Yang melakukan upaya hukum kasasi? Maaf salah tulis, terhadap putusan bebas tentu saja yang pertama adalah terdakwa yang diputus bebas. Yakni alasan kepastian hukum dan keadilan meskipun hal ini jarang terjadi, bisa jadi terjadi suatu saat nanti karena dia ingin kepastian hukum bahwa ingin menyelesaikan persoalan yang dihadapi di dunia ini supaya selesai di pengadilan sampai pengadilan Mahkamah Agung. Seorang terdakwa yang taat pada peraturan hukum dan dia beriman kepada Tuhannya, maka dia akan mencari kepastian hukum di dunia. Supaya nanti di akhirat kelak dia tidak harus dipertanggungjawabkan, maka kemungkinan terjadi di kemudian hari adalah terdakwa yang diputus bebas akan mengajukan kasasi. Yang kedua adalah Jaksa Penuntut Umum, alasannya apa? Menurut Ahli adalah Jaksa Penuntut Umum bisa mengajukan kasasi didalam konteks ini dengan alasan “Demi kepastian hukum dan keadilan.” Argumen ini sudah kita sampaikan pada pemeriksaan peninjauan kembali kepada sidang Mahkamah Konstitusi yang lalu yang Insya Allah akan saya kirimkan keterangan yang lebih lengkap sebagaimana yang diminta oleh ketua Majelis Hakim. Yang kedua adalah mewakili aspirasi korban kejahatan. Yang dalam hal ini, dalam teori fiktifimologi yang berhubungan dengan aspirasi sebagai korban kejahatan ini, secara simbol hukum diwakili oleh negara dan negara telah menunjuk organisasinya yakni dalam konteks pengadilan adalah oleh jaksa penuntut umum. Jika sekiranya di dalam suatu proses peradilan ini, itu ternyata diputus bebas dan bebas itu ternyata adalah bebas tidak murni, maka sudah semestinya korban kejahatan yang paling menderita kerugian disebabkan oleh kejahatan tersebut, bisa memperoleh akses ke pengadilan. Namun KUHAP sampai sekarang belum mengaturnya adalah wajar jika Jaksa Penuntut Umum mewakili aspirasi korban kejahatan dalam perkara pidana ini bisa mengajukan upaya hukum, yakni upaya hukum dalam bentuk kasasi terhadap putusan bebas tidak murni. Yang kedua adalah mewakili aspirasi kepentingan umum dimana kejahatan-kejahatan tertentu sesungguhnya tidak ada korban langsung, direct victim. Oleh sebab itu, Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini bisa mewakili aspirasi kepentingan umum untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas.
14
Sekarang apa kira-kira faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu putusan-putusan yang menyebabkan putusan itu bebas tidak murni. Kalau tadi bebas murni, saya kira tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut. Terhadap putusan bebas yang tidak murni ada beberapa kemungkinankemungkinan terjadi. Ini berdasarkan analisis dalam praktik. Pertama adalah ada kemungkinan bersumber dari pihak jaksa penuntut umum, pertama mungkin jaksa penuntut umum, ketidakcermatan jaksa di dalam mengajukan bukti-bukti, atau membuat surat dakwaan, atau registor. Yang kedua ada kemungkinan kesengajaan jaksa untuk tidak memasukan bukti tertentu, atau menginterpretasi hukum, atau bukti serta penerapan hukum terhadap bukti di pesidangan. Jadi ada kemungkinan unsur kesengajaan yang menyebabkan dia adalah sebut saja itu, “terjadi penyalahgunaan dalam satu proses penegakan hukum secara terselubung walaupun dia hanya dengan menggunakan interpretasi hukum.” Interpretasi memang kewenangan aparat hukum tetapi interpretasi itu harus diterima secara logik, objektif, dan ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana. Terhadap hakim ada kemungkinan-kemungkinan terjadi ketidakcermatan hakim di dalam mempertimbangkan bukti-bukti atau membuat putusan pengadilan. Ada kemungkinan juga seperti halnya jaksa, kesengajaan hakim untuk tidak mempertimbangkan bukti-bukti tertentu, atau menginterpretasi hukum, atau bukti serta penerapan terhadap bukti di persidangan. Jadi ada kemungkinan juga hakim sengaja menginterpretasi suatu hukum dengan pertimbangan atau menginterpretasi terhadap bukti-bukti tertentu yang menyebabkan putusan itu menjadi bebas. Yang ketiga, ada kemungkinan juga adalah pihak penasihat hukum, berpraktik yang terpengaruh oleh pemberian atau janji sehingga nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili tidak sebagaiman mestinya. Hal ini tersirat di dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi mengenai pasal-pasal yang terkait dengan suap, maka ada kemungkinan tindak pidana suap inilah yang mempengaruhi aparat penegak hukum, termasuk penasehat hukum sebagai aparat penegak hukum adalah menyimpang dari satu proses, proses hukum di pengadilan yang menyebabkan umpan balik dan putusan itu menjadi bebas, tidak murni. Bagaimana konsekuensi hukumnya? Memang di dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, jaksa membuat surat dakwaan yang tidak memenuhi standard dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 143 ayat (2) huruf b, istilahnya adalah kabur dakwaannya maka dinyatakan batal demi hukum. Yang kedua, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, hakim membuat putusan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, dan seterusnya, putusannya dinyatakan batal demi hukum. Jadi dua-duanya adalah batal demi hukum.
15
Praktek hukum yang terjadi jarang digunakan terminologi batal demi hukum baik untuk dakwaan jasa penuntut umum maupun putusan pengadilan. Umumnya hakim dalam menghadapi gugatan terhadap dakwaan jaksa yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan di dalam KUHAP, umumnya tidak sampai pernyataan ujungnya adalah hakim menyatakan batal demi hukum dan juga putusan pengadilan hampir jarang sekali terjadi bahkan menurut Ahli adalah belum kami menemukan hakim pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi bagi Mahkamah Agung tersebut dinyatakan batal demi hukum karena proses pengambilan keputusan itu tidak sesuai dengan ketentuan yang ditentuakan di dalam KUHAP. Jika menghadapi dakwaan yang tidak memenuhi Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, hakim cenderung melanjutkan sidang pengadilan dan hampir tidak ada yang dinyatakan batal demi hukum dan ini beberapa eksaminasi yang kami lakukan sebagai Ahli, ternyata juga hal yang sama seperti itu jelas sesungguhnya kalau dianalisis, dakwaan itu adalah tidak jelas, tetap juga dilanjutkan. Pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung pun hampir tidak pernah menyatakan bahwa suatu putusan pengadilan dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi Pasal 197 ayat (2) KUHAP . Dalam praktik lebih memilih atau menggunakan alternatif putusan bebas. Bagaimana jika putusan bebas tersebut juga tidak memenuhi Pasal 197 ayat (2) KUHAP? Maksudnya adalah dalam mengambil keputusan bebas juga tidak mmenuhi syarat-syarat proses pengambilan putusan sebagaimana ditentukan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Bagaimana dampak negatifnya? Putusan bebas yang tidak murni yang tidak boleh dilakukan upaya hukum kasasi dapat disalahgunakan karena tidak ada lagi kontrol atau upaya hukum lagi. Ini yang saya khawatir Majelis Hakim Yang Saya Muliakan, jika ini tidak ada upaya hukum kontrol terhadap putusan yang bebas tidak murni ini berarti ada potensi yang sangat besar sekali untuk disalahgunakan. Yang kedua adalah putusan bebas yang tidak murni yang tidak boleh dilakukan upaya hukum kasasi dapat menyumbat aspirasi keadilan bagi korban kejahatan yang menderita karena tindak pidana kejahatan dan juga keadilan masyarakat. Jika aspirasi keadilan bagi korban dan masyarakat ini tersumbat karena proses pengadilan yang memutus bebas yang tidak murni...,bebas tidak murni yang tidak ada upaya hukum lagi, tentu saja akan terjadi korban akan mencari upaya hukum sendiri. Atau kalau tidak menemukan, berarti korban akan mencari jalan keadilan secara sendiri-sendiri. Atau masyarakat juga akan mencari keadilan melalui jalannya sendiri sesuai yang mereka inginkan. Hal ini akan membahayakan praktik penegakan hukum di masa yang akan datang. Khawatir juga masyarakat tidak akan masyarakat, terutama korban ini tidak akan lagi percaya kepada institusi penegakan hukum. Putusan bebas tidak murni yang tidak boleh dilakukan upaya
16
hukum kasasi tidak sesuai dengan spirit penegakan hukum, dan keadilan, dan kepastian hukum, dan hal ini sudah saya sampaikan, yang Ahli sampaikan pada penjelasan pada pengujian peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Kesimpulan, putusan bebas memuat 2 hal, yakni bebas murni dan bebas tidak murni. Terhadap putusan bebas murni tidak dapat ditempuh upaya hukum kasasi. Terhadap putusan bebas murni maaf…, terhadap putusan bebas tidak murni dapat ditempuh upaya hukum kasasi. Jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi untuk kepentingan kepastian hukum dan keadilan hukum bagi korban dan kepentingan umum atau masyarakat. Putusan bebas tidak murni telah memenuhi Pasal 253 ayat (1) KUHAP, maksud saya adalah Putusan Bebas tidak murni telah memenuhi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan layak untuk menjadi objek pemeriksaan oleh Mahkamah Agung sebagaimana putusan pengadilan lain yang boleh diajukan upaya hukum kasasi. Catatan dalam satu konteks ini mengenai Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi tadi adalah jika ini tidak boleh, berarti sebaiknya untuk yang akan datang korban bisa mengajukan sendiri untuk mengajukan upaya hukum dan bisa terlibat dalam suatu proses peradilan pidana. Konstitusionalitas. Norma hukum Pasal 284 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tersebut yang Pasal 254 yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana diberikan
pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.” Menurut Ahli adalah bertentangan dengan konstitusi, utamanya
Pasal 24 ayat (1) dan seterusnya. Terima kasih, sampai di sini penjelasan Ahli sampaikan dan Wassalamualaikum wr wb. 18.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, selanjutnya saya persilakan kepada Pemohon kalau mau mempertajam apa yang akan disampaikan oleh Ahli. Kepada Pemerintah kalau ingin menanggapi dan juga kepada Majelis Hakim. Untuk itu kepada Pemohon dulu kalau ada? Cukup?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON : M. FARHAT ABBAS Cukup.
20.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Pemerintah ada? Silakan.
17
21.
PEMERINTAH : FACHMI (KEJAKSAAN AGUNG) Saudara Ahli, tadi disebutkan bahwa putusan dari hakim itu adalah putusan, berupa putusan bebas saja. Padahal dalam Pasal 191 ayat (2) ada putusan yang dinyatakan lepas dari tuntutan hukum. Terhadap putusan bebas, Jaksa, atau penuntut umum tidak pernah mengajukan kasasi. Jaksa Penuntut Umum hanya mengajukan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni, satu itu. Kemudian, dalam mengajukan putusan kasasi bebas tidak murni tersebut, alasan Jaksa adalah…, di luar yang disebutkan oleh Ahli tadi, alasan Jaksa adalah adanya pertimbangan hakim yang mengarah kepada perbuatan perdata. Namun, seharusnya, putusan lepas kalau mengarah pada pertimbangan perdata harusnya putusannya lepas dari ketentuan hukum, tapi putusannya ternyata bebas murni. Nah itulah yang dikasasi oleh jaksa selama ini. Itu terhadap putusan Natalegawa, terhadap putusannya Tommy Suharto, dan lain sebagainya. Kemudian satu lagi, Pasal 197 KUHAP, yang menyatakan terhadap hakim yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) butir a, b, c sampai dan seterusnya itu, batal demi hukum dan Mahkamah Agung maupun hakim Pengadilan Tinggi, ada beberapa Yurisprudensi sudah ada yang menyatakan hal demikian. Jadi putusan dinyatakan batal demi hukum, namun sampai sekarang bagaimana proses pengajuan putusan batal demi hukum itu memang belum ada? Tapi sikap Mahkamah Agung bahkan sikap Pengadilan Tinggi pun sudah ada yang menyatakan putusan batal demi hukum tersebut, itu ada dalam kumpulan-kumpulan Putusan Mahkamah Agung Tahun 1983 sampai Tahun 2000. Ternyata di dalam permohonan Pemohon, sependapat bahwa yang diajukan kasasi adalah bebas tidak murni dan itulah yang dilakukan oleh Penuntut Umum sampai sekarang. Jadi Pemerintah menanyakan, untuk apa lagi ditanyakan sedangkan dalam praktik itu sudah dilakukan? Terima kasih.
22.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Hakim mulai dari kanan, Pak Harjono dulu boleh.
23.
HAKIM ANGGOTA : HARJONO Terima kasih Pak Ketua. Saya ingin tanya kepada saudara Ahli. Dalam Hukum Pidana itu sebetulnya banyak asas yang tidak hanya hukum pidananya saja, tapi dalam hukum acaranya juga. Asas yang semua asas tersebut pada pokoknya adalah melindungi. Melindungi siapa? Sebetulnya melindungi Terdakwa karena didakwa itu sesuatu hal yang sedikit banyak mengganggu kebebasannya. Asas-asas itu adalah indibio pro reo. Dalam suatu pemeriksaan bahwa itu meragukan, itu kredit itu diberikan kepada mereka yang
18
didakwa, ini satu. Kemudian ada juga asas praduga tak bersalah. Sebetulnya juga untuk melindungi bagi Terdakwa juga. Lalu juga ada asas bahwa lebih baik kita melepas seorang penjahat daripada menghukum orang yang tidak salah. Itu asas-asas itu ada di dalam Hukum Pidana maupun Perdata. Sekarang kalau kita lihat proses pidana itu, meskipun ada asas praduga tak bersalah, itu sebetulnya berhadapannya tidak seimbang antara terdakwa, tertuduh dengan negara. Itu tidak seimbang. Kalau kita lihat itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu memberikan kewenangan yang begitu banyak untuk menggeledah, menahan, itu tidak hanya di Polisi, tapi juga di jaksa. Itu dalam status bahwa dia sebetulnya praduga tak bersalah, tapi dia harus juga ikut dalam proses itu sudah kehilangan hak-haknya. Dalam kondisi seperti itu, maka posisi penuntut umum, posisi penegak hukum, sebetulnya dia bisa memanfaatkan waktu yang sebanyak itu untuk mengumpulkan bukti, untuk mengumpulkan saksisaksi yang lain. Jadi dia sudah diistimewakan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam mengistimewakan dia itu, menjadi penderitaan bagi Terdakwa. Harus masuk di situ, belum lagi nanti kalau hakim bisa memperpanjang penahanan. Itu semua dia diberi kewenangan itu, tapi kewenangan-kewenangan itu menyebabkan Terdakwa ini menderita terus. Kalau pada hari H-nya diadili, kemudian dalam posisi bahwa Jaksa itu tidak bisa membuktikan secara tepat, tidak bisa mengumpulkan bukti, itu apa masih kurang lagi yang harus diderita oleh Terdakwa? Kalau toh dia sampai dibebaskan dalam putusan hakim, masalahnya di situ. Kalau kemudian dia dibebaskan dengan kompensasi bahwa dia harus menderita untuk bisa ditahan dan lain sebagainya, apakah itu juga bukan persoalan keadilan? Kalaupun toh itu ada ketidakcermatan jaksa, mengapa dia yang harus menderita? Kenapa tidak dilimpahkan saja kepada jaksa, polisi? Itu persoalan jaksa dan polisi di dalam keimbangan antara terdakwa, jaksa dan polisi tadi. Kita berhadapan juga dengan hakim. Hakim itu meskipun pengadilan. Meskipun pengadilan itu adalah dalam arti dia bebas, tapi pengadilan itu adalah alat negara. Hakimnya itu dilatih, dididik, kemudian ditingkatkan pengetahuannya, tapi memberi putusan salah juga. Keputusan yang salah kenapa dibebankan kepada terdakwa juga? Jadi ini hal-hal yang kalau kita lihat imbangannya seperti itu. Dan di dalam peradilan itu ada satu asas yang disebut sebagai recht judicata pasitius, artinya apapun juga putusan itu, hakim harus dilihat sebagai itulah hukumnya. Ini asas-asas yang meliputi bagaimana proses peradilan. Kalau itu berkutat hanya pada kemungkinan-kemungkinan, maka imbangan antara dua pihak ini dilalaikan sama sekali. Seolah-olah itu di atas kertas bahwa kemudian itu harus untuk menegakkan keadilan di dalam ruang yang
19
kosong. Padahal dalam menegakkan keadilan itu, terdakwa dalam proses sudah hilang haknya, sudah menderita, tapi kemudian atas kesalahan dua, baik itu jaksa maupun pengadilan, masih harus dideritakan juga kepada dia. Ini dari segi keadilannya bagaimana persoalan ini? Ini yang menurut saya juga harus dipertimbangkan. Saya mohon pendapat saudara Ahli tentang hal-hal seperti ini. Terima kasih. 24.
HAKIM ANGGOTA : M. AKIL MOCHTAR Saya dua pertanyaan, yang pertama kepada Pemohon, ya. Dalam konteks pengajuan permohonan ini dalam sistem hukum pidana, kemudian advokat sebagai yang mewakili kepentingan kliennya dalam persidangan pidana itu, advokat selalu berada pada posisi terdakwa. Kalau kita melihat pasal yang diuji normanya itu terhadap putusan bebas yang tidak bisa dimintakan kasasi itu adalah satu sistem yang dianut dalam hukum pidana di mana pun di dunia, di peradilan pidana di mana pun di dunia maksudnya. Terhadap putusan bebas itu memang tidak bisa dimintakan upaya hukum. Itu perbandingan hukumnya, tapi dari konteks hak-hak si terdakwa di persidangan, dimana advokat adalah kliennya sementara pasal ini adalah suatu pasal yang memberikan kepastian hukum bagi seseorang yang sudah dinyatakan bebas oleh suatu putusan pengadilan yang terbuka untuk umum. Nah yang ingin saya tanyakan, dalam posisi apa kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal ini? Tidak akan pernah seorang advokat posisinya berubah menjadi penuntut umum, tidak akan pernah dalam sistem hukum kita. Tetap dia akan mewakili kepentingan terdakwa dalam proses pidana lho ya, dalam proses persidangan pidana di pengadilan. Kalau proses pidana mungkin saja, bisa saja mewakili si pelapor, tetapi dalam proses persidangan pidana selalu seorang advokat itu berada pada posisi terdakwa yang pasal ini justru memberikan perlindungan konstitusional kepada si terdakwa yang sudah dinyatakan bebas oleh sebuah putusan pengadilan. Nah, diminta bahwa pasal ini tidak konstitusional. Dalam konteks itu di mana kerugian Pemohon, dalam hal ini sebagai advokat, dalam konteks pasal ini terlebih lagi pasal yang digunakan Pasal 28D, kepastian hukum. Apakah pasal ini tidak memberikan kepastian hukum? Apalagi misalnya kalau mau dengan alasan mendapatkan kemudahan, Pasal 28H ayat (2) itu saya kira afirmatif itu. Kontek pasal itu, Undang-Undang dasar itu adalah untuk pemberian affirmative action. Kemudian Pasal 28I ayat (2) perlakuan yang diskriminatif apakah itu memberikan perlakuan yang diskriminatif dari konteks hukum pidana? Dalam konteks hukum maksud saya, tentu nanti Pemohon tolong jelaskan supaya kita juga bisa memahami konteks permohonan ini. Kemudian kepada Ahli, Saudara Ahli, kita mengetahui bahwa KUHAP itu menganut asas in gezamenlijkheid [Sic!] katanya. Yang mana mendudukkan posisi terdakwa dan penyidik, penuntut umum itu sejajar.
20
Artinya ketika dia diperiksa boleh didampingi oleh seorang penasihat hukum, dia diberikan hak-hak tertentu, tetapi dalam perspektif hukum pidana, tentu apa yang dimaksud dengan asas in gezamenlijkheid [Sic!] itu tidak sepenuhnya tejadi. Dalam persidangan, dia sejajar dengan JPU. Oleh sebab itu dalam konteks in gezamenlijkheid [Sic!] itu maka beban pembuktiannya ada pada penuntut umum. Kita kaitkan dengan asas praduga tidak bersalah, seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah kan begitu? Itu dalam konteks asas in gezamenlijkheid [Sic!] menurut KUHAP dimana seseorang wajib dianggap tidak bersalah dalam satu persidangan pidana, kemudian dia diputus bebas, dimana beban pembuktiannya ada pada hak penuntut umum. Karena yang didakwa tidak punya beban membuktikan Pak, dalam sistem hukum kita begitu? Nah, ternyata dia bebas. Satu putusan bebas yang secara imperatif menurut KUHAP tidak boleh. Ini undang-undang, imperatif tegas menyatakan tidak boleh, itu perintah. Oke secara doktrin, secara teoritik, dan secara penelitian, kita masuk pikiran bahwa dimungkinkan. Ada sarananya menurut KUHAP. Dalam hal tidak vesprak-onslag dia, artinya bebas tetapi tidak disertai dengan pemidanaan bahwa dia terbukti itu perbuatannya, tapi itu bisa bukan tindak pidana, bisa juga pasal yang didakwakan itu salah. Dia mencuri tetapi didakwakan penggelapan, itu onslag dan itu mungkin dimintakan untuk…, menurut sistem kita dimungkinkan untuk dimintakan banding atau kasasi, tetapi terhadap putusan bebas, itu adalah suatu pemberian…, pemberatan muatan kepada hak-hak si terdakwa dalam prinsip seseorang itu wajib dianggap tidak bersalah. Bagaimana seseorang yang sudah dinyatakan bebas oleh putusan pengadilan lalu oleh pengadilan lain, walaupun pengadilannya berjenjang dia dinyatakan bersalah? Dari asas kepastian hukum bagaimana itu? Bukankah permintaan banding, permintaan kasasi baik oleh…, banding ya dan kasasi itu juga adalah hak terdakwa dan jaksa itu adalah dalam rangka upaya hukum. Tetapi terhadap putusan bebas, saya kira saya belum mendapatkan landasan teoritik yang bisa memberikan satu keyakinan bahwa itu bisa dilakukan upaya hukum dan hanya kasasi. Kenapa tidak bisa banding? Kan harusnya uraian dari sana? Kenapa harus upaya hukum kasasi? Kenapa tidak banding? Kenapa tidak PK? Pertanyaannya harus balik ke situ Pak. Supaya kita bisa mamahami kenapa tidak boleh bebas ini kasasi? Kenapa tidak boleh banding? Itu harus ada satu pikiran. Sama dengan kenapa KUHP kita menganut hukuman kurungan penjara itu yang bisa dihitung itu 20 tahun, kenapa tidak 25 tahun? Kenapa tidak 30? Langsung seumur hidup, mati begitu, tapi hukuman kurungannya itu maksimum 20 tahun. Kenapa 20 tahun Pak? Saya baca juga tidak ada yang bisa saya temukan kenapa 20 tahun? Kenapa tidak dulu di bikin 30? Kan sama ini. Saya mohon penjelasan ahli. Terima kasih.
21
25.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Pak Arsyad. Pak Alim dulu.
26.
HAKIM ANGGOTA : MUHAMMAD ALIM Terima kasih Pak Ketua, ini saya tujukan kepada Ahli. Dua pertanyaan saya. Tadi Ahli mengatakan bahwa putusan bebas yang tidak murni itu di antaranya karena intepretasi hukum dan kedua itu penilaian mengenai bukti yang diajukan. Dan itu menurut Ahli, bisa dimohon kasasi kan begitu? Nah persoalannya dalam kasasi atau pembatalan itu, Mahkamah Agung itu ada judex juris sehingga dia tidak boleh menilai fakta dia bukan judex factie sehingga dia tidak memperoleh fakta, padahal yang kedua itu penilaian melalui bukti yang diajukan dipersidangan. Di sini pekerjaannya hakim pertama dan hakim banding. Kalau mengenai penilaian terhadap bukti-bukti yang diajukan, itu bagaimana persoalannya? Itu satu. Yang kedua, pada Ahli, tadi Ahli mengatakan bahwa yang bebas murni, niet zevere versprak [Sic!] barangkali bahasa Belandanya. Kemudian ada (suara tidak terdengar jelas) versprak [Sic!] pembebasan tidak murni. Yang bebas murni itu tidak bisa dikasasi menurut Ahli. Tapi yang bebas tidak murni itu yang boleh dimohonkan kasasi. Tetapi menurut saya, untuk mengetahui apa ini bebas murni atau ini tidak bebas murni, kan harus dilakukan pemeriksaan kembali, melihat? Dan pemeriksaan hanya bisa dilakukan kalau itu didaftarkan di Mahkamah Agung. Nah mungkin Mahkamah Agung melihat, ini bebas murni maka permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima ibaratnya. Ini bebas tidak murni mohon kasasi dikabulkan dan seterusnya. Jadi menurut saya, meskipun itu bebas murni atau tidak bebas murni kalau memang mau diperkenankan diuji, dikasasi, harus diregister dulu karena nanti di sana yang mengetahui oh ini bebas murni, ini tidak bebas murni. Terima kasih, Pak Ketua.
27.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Pak Fadlil.
28.
HAKIM ANGGOTA : AHMAD FADLIL SUMADI Pertanyaan juga ditujukan kepada Ahli. Agak mirip, yang pertama ini terkait dengan sistem peradilan di Indonesia. Peradilan di Indonesia ini tadi dikatakan judex factie-nya itu ada pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Oleh karena itu disebut sebagai original court.
22
Kemudian Mahkamah Agung itu merupakan judex juris karena kasasi itu sebenarnya implementasi dari fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi yang fungsinya mengawasi jalannya peradilan supaya berjalan dengan objektif atau yang bahasa UndangUndang Kekuasaan Kehakiman adalah secara seksama dan sewajarnya. Kalau terkait dengan penilaian bukti, memang itu soal fakta. Soalnya judex factie, tapi kalau interpretasi bisa jadi karena interpretasi itu terkait dengan penerapan hukum, sehingga permohonan kasasi yang substansinya sebenarnya bukan pengadilan tingkat ketiga, akan tetapi permohonan pembatalan terhadap putusan pengadilan oleh karena terdapat kesalahan dalam penerapan hukum maka interpretasi bisa jadi menjadi alasan, tapi yang satu ini, sekali lagi saya memperkuat pertanyaan oleh Pak Alim, bagaimana ini? Apakah penilaian terhadap bukti ini satu soal yang tepat untuk menjadi alasan kasasi? Selalu Mahkamah Agung berpendapat oleh karena mengenai keberatan ayat (1) merupakan penilaian terhadap satu bukti, maka Mahkamah Agung biasanya melepas. Tidak diberikan judgement oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan terhadap persoalan yang hampir sama dengan Pak Alim ini dan terutama terhadap bukti. Kalau intepretasi bisa jadi, saya memahami. Kemudian yang kedua, terkait dengan sistem Peradilan, di dalam peradilan di Indonesia ini tidak semua orang dapat bertindak sebagai Pemohon apakah itu sebagai Pemohon banding, atau Pemohon Kasasi, atau Pemohon pada Pengadilan tingkat pertama, atau penggugat. Ya kaitannya dengan putusan bebas ingin saya memperoleh penjelasan yang lebih pasti dari Ahli, ketika terdakwa itu diputus bebas, lalu kalau dia diberikan standing untuk mengajukan permohonan Kasasi, apa kepentingannya? Tadi Pak Haryono sudah bercerita bahwa kebebasan itu kebutuhan setiap orang. Penahanan dan menjadi terdakwa itu satu pemasungan terhdap kebebasan. Setelah pasungnya itu dilepas kok dia lalu diberi standing untuk bisa mengajukan permohonan kasasi? Apa lalu ini, belangnya itu apa? Katanya Heen belang, heen aksi. Oleh karena itu mohon Ahli dapat memberikan penjelasan yang lebih menyakinkan kepada saya karena sejak tadi saya belum bisa yakin terhadap penjelasan tadi. Terima kasih. 29.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Terakhir, Pak Hakim Arsyad.
30.
HAKIM ANGGOTA : M. ARSYAD SANUSI
Bismillahirrahmanirrahim.
Terima kasih, Pak Ketua. Ini pertanyaan ini dan juga sebenarnya ada juga sharing untuk Ahli. Pertama-tama di dunia peradilan umum
23
tentang putusan batal demi hukum 143 ayat (2) B, kemudian 197 ayat (2) itu bukan tidak ada Pak, ya sudah banyak sekali. Ratusan itu putusan dakwaan Jaksa batal demi hukum, tetapi tidak menghilangkan hak Jaksa untuk mengajukan kembali, itu. Ada yang jaksa banding ada yang notabene mengajukan kembali dakwaan. Jadi tidak benar kalau itu tidak terdapat putusan Mahkamah Agung, PT Putusan Pengadilan Negeri batal demi hukum terhadap dakwaan. Nah, kembali pada inti permasalahan pengujian konstitusionalitas ini yang diuji ini adalah masalah rechts meggelen, masalah upaya hukum, bukan bebasnya, bukan apanya, dan lain sebagainya. Ada kaitannya akan tetapi bicara upaya hukum sejauh mana hak terdakwa atau Penasehat hukumnya, dan jaksa bisa mengajukan kasasi atau PK itu, itu permasalahan pokok permohonannya. Oleh karena Pemohon menyatakan bahwa ada diskriminasi kok jaksa diperbolehkan mengajukan kasasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1983. Nah, sekarang ini kalau putusan bebas itu memang banding pun, kasasi pun menurut KUHAP tidak diperbolehkan. Lalu dengan doktrin itu memang dikenal (suara tidak terdengar jelas) bebas tidak murni tapi undang-undang tidak ada bilang bebas tidak murni. Semuanya adalah (suara tidak terdengar jelas) murni bebas, titik. Nah sekarang dipersoalkan mengenai judex factie dengan judex juris di Mahkamah Agung, sekarang ini sudah tidak ada marjinalnya, tidak ada batasnya, tidak ada limitasinya. Semua sudah, PK pun mengajukan berbicara tentang fakta, kasasi pun berbicara tentang fakta. Nah, alasan-alasan yang dikemukakan Ahli tadi bahwa itu 253 dan 249 KUHAP itu adalah alasan-alasan untuk kasasi, ya, dimana jaksa diperkenankan, tetapi Keputusan Menteri Kehakiman, jaksa boleh kasasi demi kepentingan hukum, keadilan dan kebenaran. Itu jaksa penuntut. Waktu itu adalah Almarhum Ali Said karena adanya putusan bebas di Jakarta Utara, penyelundupan itu. Keluarlah keputusan Menteri Kehakiman, demi kepentingan Hukum, kebenaran, dan keadilan. Jadi apa yang dikemukakan Pak Ahli tadi 253, 249 tentang alasanalasan kasasi ya, jaksa, kepastian hukum, dan keadilan mewakili aspirasi korban kejahatan, mewakili kepentingan umum. Itu memang bisa saja. Nah, sekarang ingin saya pertanyakan kepada Ahli ya, di mana letak substansi kerugian Konstitusionalnya? Ya Pasal 244 bagi penasihat hukum maupun advokat seperti yang dikemukakan oleh Hakim Akil. Di mana letak kerugian Konstitusional? Sedangkan di sana bahwa yang membolehkan terdakwa melakukan kasasi…, namun Keputusan Menteri Kehakiman, jaksa diperbolehkan melakukan kasasi. Satu-satunya upaya hukum, jaksa ini mengajukan kasasi karena itu Keputusan Menteri Kehakiman dan praktik peradilan selama ini dan diterima Mahkamag Agung. Tetapi kalau terdakwa dibebaskan, ya tentu ini positif bagi advokat kan begitu, positif bagi terdakwa, begitu.
24
Dia merasa ada diskriminasi kok jaksa diperbolehkan berdasarkan Menteri Kehakiman ini. Nah inilah yang ingin saya pertanyakan kepada Ahli, di mana letak substansi konstitusional, kerugian konstitusional daripada Pemohon terhadap 244 ini, Pasal 244. terima kasih Pak ketua. 31.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Silakan Ahli, maksimal 24 menit ya Pak, kita akan akhiri sidang ini jam 12.00 WIB.
32.
AHLI DARI PEMOHON : MUDZAKIR Terima kasih, ingin saya sampaikan pandangan Ahli yang terkait dengan beberapa pertanyaan yang disampaikan ke Ahli. Yang Pertama adalah tadi disampaikan oleh wakil dari Pemerintah bahwa pada umumnya, jaksa itu melakukan kasasi dalam putusan bebas itu karena latar belakang onslag atau lepas dari tuntutan pidana karena itu diintepretasi seolah-olah itu menjadi atau ada unsur keperdataannya. Tetapi hasil kajian saya ternyata juga ada yang alasan perkara bebas dalam konteks pidana persoalan yang berhubungan dengan pembuktian di Pengadilan. Maaf saya ambil contoh misalnya perkara Muchdi PR. Ini kebetulan saya melakukan eksaminasi terhadap perkara ini, sehingga saya temukan di situ bahwa Jaksa ketika melakukan kasasi, coba alasannya adalah terkait dengan proses pembuktian karena apa? Karena hakim dinilai dalam proses suatu pembuktian itu, hakim nampaknya tidak mempertimbangkan satu alat bukti yang disampaikan oleh jaksa atau bukti yang disampaikan oleh jaksa yang menyebabkan perkara itu menjadi berbeda. Memang alasannya sama tadi adalah onslag, memang benar. Biasanya alasan onslag itu disebabkan karena perbedaan interpretasi terhadap putusan…, terhadap interpretasi yang dilakukan oleh jaksa, yaitu mungkin karena itu cantolannya saja bahwa Jaksa telah memutus bebas ini onslag, maaf…, jaksa itu bebas, maaf hakim memutus bebas, jaksa mengintrepetasikan seharusnya adalah onslag. Baru kemudian boleh banding. Ya sesungguhnya itu argumen hukum yang intinya sama, jaksa…, maaf hakim memutus bebas, jaksa melakukan kasasi. Cuma starting point-nya dia adalah oh ini seharusnya bunyinya lepas, bukan bebas. Tetapi kalau saya sudut menilai…, kalau saya menilai bahwa ujungujungnya sama juga bahwa kalau hakim memutus bebas dia mengajukan kasasi dengan alasan mestinya lepas toh sama juga. Dalam arti, kata tetap juga bebas kasasi. Mungkin dilihat dari sudut kontennya memang berbeda, tapi secara tekstual dari putusan yang menyatakan bebas tidak boleh kasasi tadi, itu adalah sama.
25
Yang saya kira itu yang pokok ya mengenai batal demi hukum belum ada proses, saya kira kalau tadi ada penjelasan bahwa dari Pak Arsyad bahwa itu sudah banyak terjadi praktik, ya saya kira ini hal yang menarik juga bahwa ternyata praktik juga sudah mulai ada…, apa namanya…, terjadi ya. Mungkin di masa akan datang diatur secara tegas saya kira itu lebih bagus. Mengenai persoalan keseimbangan yang ternyata aparat penegak hukum itu memiliki keistimewaan dengan kelebihan dari penggunaan wewenang yang ada, sementara terdakwa ini dalam posisi yang rentan, dan terampas hak-haknya, dengan mengutip beberapa asas tadi, saya ingin mengomentari dulu bahwa saya tidak sependapat jika itu sebagai asas yang menyatakan bahwa lebih bagus membebaskan orang yang bersalah, satu orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Kalau saya, ya, saya bantah dalam suatu konteks ini, ini bukan karena suatu asas. Ini kalau ini dipakai itu proses peradilan itu bisa menggamangkan, memudahkan orang untuk melepaskan dari suatu proses hukum. Kalau saya, saya balik, hakim wajib membebaskan orang bersalah dan menghukum orang bersalah. Jadi tidak boleh ada tawar menawar dengan yang tidak bersalah dibebaskan…, yang bersalah bisa dibebasakan daripada menghukum yang tidak bersalah, ini komperasi yang tidak benar ini. Ini kami bantah dan kami sudah mendoktrin kepada mahasiswa bahwa seorang hakim itu harus tegas, tidak diam, harus jelas. Termasuk juga saya tidak setuju juga ketika jaksa itu adalah dari jaksa polisi itu adalah perspektif-subyektif terhadap obyektif. Sementara advokat dan terdakwa perspektif, subyektif atas obyektif. Hakim adalah obyektif dengan obyektif, kami membantah juga. Di masa depan Indonesia tidak boleh menggunakan asas itu, semua penegakkan hukum pidana di ruang pengadilan, entah itu dari Polisi, jaksa, advokat maupun hakim adalah semua berbasis pada fakta yang obyektif dengan interpretasi yang obyektif. Semua harus obyektif karena alat ukurnya adalah ilmu pengetahuan Hukum Pidana. Jadi ini saya ingin meyakinkan kepada semuanya termasuk juga anak didik kami bahwa menegakkan hukum itu harus obyektif dan tidak boleh diinterperatsi secara subyektif. Jadi agar supaya proses itu terukur dan masing-masing harus punya tanggung jawab. Sehingga tidak menutup kemungkinan, itu jaksa menuntut bebas itu boleh, sah. Jadi kalau itu ditegur misalnya itu yang negur itu yang salah. Karena semula itu adalah ya ternyata diuji, di-cross dengan terdakwa dengan penasehat hukumnya ternyata berubah, tidak salah kalau dia harus…, mohon kiranya bapak hakim untuk menuntut bebas, sah, karena itu berangkat dari prinsip obyektif di antara fakta yang obyektif juga. Sehingga dengan demikian, kalau atas dasar pandangan sebagaimana yang saya sampaikan tadi memang benar bahwa prinsipnya asas itu melindungi terdakwa. Benar, memang terdakwa dalam satu proses terperiksa harus
26
dilindungi. Saya setuju, maka KUHAP itu telah mengatur yang sedemikian rupa perlindungan terhadap terdakwa. Namun demikian di dalam penyelenggaraan pergerakan yang terakhir ini, ini sekarang mulai menggeser. sekitar Tahun 1985 ada deklarasi PBB yang menyatakan bahwa juctice itu juga bukan hanya untuk terdakwa saja, itu harus dilindungi, tetapi juga harus diberikan pintu ruang masuk dimana korban itu juga adalah pihak yang dirugikan di dalam suatu perkara pidana, dia juga harus diberi pintu masuk. Lahirlah deklarasi PBB yang sekarang itu ada akses juctice dimana korban punya akses untuk ke ruang pengadilan dan itu sudah diadopsi berbagai negara terutama Uni Eropa telah membuat deklarasi yang lebih tegas lagi dan mewajibkan semua anggotanya untuk memberi akses kepada korban ini. Belanda, yang kita kutip-kutip sekarang sudah mulai berubah. Belanda berubah sejak Tahun 1995 yang dia telah mengubah KUHAPnya dan juga mengubah hukum pidananya. Sehingga dengan demikian yang semula dia cenderung kepada protektif terhadap tersangka dan memang dia harus dilindungi. Tetapi juga sekarang menggeser juga bagaimana partisipasi korban di dalam proses peradilan, dan juga bagaimana korban itu memperoleh apa yang saya sebut sebagai keadilan di dalam proses pidana. Saya kira ini yang ingin saya sampaikan dalam satu proses ini yang tadi saya sebutkan sebagai basis argumen bahwa jaksa ini mewakili kepentingan siapa? Dan mungkin juga di masa depan dan di dalam KUHAP pun kami…, Rancangan Undang Undang KUHAP keluar berusaha untuk memasukkan bagaimana kepentingan korban dalam konteks ini. Saya sependapat jika ini jangan sampai semua proses itu selalu merugikan kepentingan terdakwa. Kalau tidak perlu ditahan, ya jangan ditahan. Kalaupun diselesaikan di pengadilan dengan korban, kira-kira perkara itu tidak begitu berat ya diselesaikanlah di luar pengadilan dengan partisipasi dengan pihak yang dirugikan. Sehingga dengan demikian, proses-proses hukum menurut saya adalah bisa memberikan ruang dimana keadilan itu bisa…, bagi korban itu bisa dipenuhi. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika hakim terutama Jaksa Penuntut Umum ini salah di dalam suatu proses dan demikian juga hakim itu salah dalam suatu proses? Mengapa itu yang harus menderita si terdakwa. Bukankah itu terdakwa memperoleh keuntungan itu? Memang pada mulanya pemikiran bahwa bebas itu adalah suatu anugerah bagi terdakwa, karena apa? Karena polisi dan jaksa sudah diberi ruang untuk mengumpulkan bukti, ternyata dia gagal, maka itu adalah anugerah bagi si terdakwa. Saya ingin sampaikan tadi adalah kalau itu hanya tidak terbukti 100% saya sependapat, bahwa kalau memang tidak terbukti harus bebas. Yang menjadi masalah tadi adalah ini tidak terbuktinya karena interpretasi yang dilakukan oleh hakim. Karena interpretasi terhadap
27
fakta yang ada terbukti di persidangan. Ini saya ambil contoh misalnya, alat buktinya itu adalah satu rekaman, hakim punya keyakinan pada saat itu, rekaman itu bukanlah alat bukti. Padahal kalau dijadikan alat bukti, dia masuk, tapi kalau tidak dijadikan alat bukti, dia tidak masuk. Akhirnya orang itu dinyatakan dibebaskan. Ini namanya interpretasi terhadap alat bukti. Kalau itu hanya persoalannya adalah intepretasi terhadap bukti di persidangan, saya kira ini perdebatan hukum yang bisa diujikan kepada lembaga yang lain, atau sebut saja itu dikasasi. Sedangkan kalau itu memang tidak ada bukti bahwa dia telah berbuat sesuatu, saya sependapat 100% terhadap ini. Sehingga dengan demikian, saya ingin berpendapat bahwa terdakwa juga harus memperoleh keadilan. Jangan sampai nanti beban hidupnya dia kalau tadi ditanya atas dasar apa sesungguhnya terdakwa ini bisa mengajukan kasasi? Ini saya katakan, saya menggambarkan kalau kita bisa mengutip zaman-zaman dimana orang ingin membersihkan diri dari kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan hanya gara-gara tekstual interpretatif itu menyebabkan dia harus bebas, tentu saja orang akan membersihkan diri agar dia suci di masa yang akan datang. Sekali lagi, mungkin sekarang tidak ada Majelis hakim Yang saya Muliakan. Mungkin pernyataan ini hanya mimpi. Tapi saya yakin seyakinyakinnya, jika hukum ditegakan secara baik dan benar, orang akan datang ke pengadilan minta untuk mensucikan diri. Jadi keterangan kelakukan baik itu bukan di Kepolisian. Kelakuan baik itu ada di pengadilan karena dia nanti akan meminta untuk disucikan, mohon diampuni, mohon di ini, harus ada pernyataan maaf ada di situ. Dan itu sekarang sudah mulai ada indikasi-indikasi yang demikian. Berikutnya adalah mengenai persoalan mengapa kok itu tidak melalui prosedur formal? Banding, kasasi, dan sebagainya? Jadi kalau misalnya itu terjadi, saya kira juga lebih bagus, tapi fakta yang ada saya sampaikan sekarang ini, KUHAP ini tidak memberi ruang begitu, dan KUHAP hanya memberi ruang tadi adalah pernyataannya adalah hanya kasasi. Memang di dalam KUHAP itu automatically dia tidak boleh banding terhadap putusan bebas. Cuma ini, tadi sudah saya sampaikan argumen yang saya sampaikan, kalau misalnya terjadi seperti itu, kalau memang harus prosedur formal mungkin lebih bagus, tapi menjamin tadi adalah persoalannya adalah menjamin bahwa kalau itu prosedur formal, berarti dia bukanlah suatu prosedur menghadapi situasi yang luar biasa dong? Jadi kalau begitu pasalnya diganti semua, tapi ini tadi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa putusan bebas ini menghadapi situasi dimana prinsipnya putusan bebas itu adalah lebih menguntungkan kepada pihak terdakwa, dan tentu saja Polisi, dan Jaksa yang telah berupaya membuktikan, gagal di dalamnya. Maka prosedurnya adalah upaya kasasi yang saya sebut sebagai konteks ini adalah kasasi yang luar biasa karena menghadapi situasi yang tertentu.
28
Ini kira-kira gambaran yang ingin saya sampaikan. Jadi terhadap putusan bebas, kalau onslag itu boleh atau lepas boleh, saya kira tidak jadi masalah kalau onslag itu karena sama juga terjadi interpretasi, tapi kalau putusan bebas tidak murni, mohon supaya ada tambahan dalam konteks ini, memang di dalam undang-undang tidak ada kata-kata bebas murni, tidak bebas murni, dan kalau kita baca dalam yuris prudensi saya kira kita sudah mulai menemukan tentang bebas murni dan tidak bebas murni. Yang saya maksud semuanya tadi adalah bebas tidak murni, yang bebas tidak murni ini kalau dilihat kontennya itu hampir mirip dengan onslag walaupun konteksnya berbeda. Tadi sudah terjawab bahwa apakah judex juris, judex factie. Memang asas utama di dalam undangundang yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung itu judex juris itu benar, tapi Mahkamah Agung sendiri dalam prakteknya juga judex factie. Ini yang menjadi pertanyaan kita adalah jadi kalau memang Mahkamah Agung sekarang prakteknya juga judex factie dan dibuat kadang-kadang Mahkamah Agung itu bahkan bisa mengubah pidana, bisa yang memberatkan kadang meringankan. Saya kira kalau dia hanya judex juris, dia tidak punya kompetensi untuk mengubah pidana berat atau ringan, tapi faktanya juga ada. Oleh sebab itu, saya dapat informasi dari Hakim Konstitusi Bapak Arsyad tadi, saya kira itu benar bahwa praktiknya memang demikian. Sekarang menjadi masalah adalah intepretasi bukti bisa tidak? Tadi sudah saya sampaikan, sangat mungkin sekali itu terjadi karena persoalan interpretasi terhadap bukti di pengadilan. Kalau terdakwa legal standing-nya bagaimana? Tadi sudah saya sampaikan. Mungkin hari ini kita belum menemukan, tapi di suatu saat Insya Allah akan menemukan. Sehingga dengan demikian bisa tidak terdakwa itu punya legal standing untuk kasasi? Kalau itu jaksa bisa memperoleh sebut saja itu secara juris prudensi, saya lebih cenderung kepada juris prudensi ketimbang mengutip keputusan Menteri Kehakiman, karena menurut saya yurisprudensi itu lebih sahih karena ini yang punya kewenangan adalah Mahkamah Agung. Atas dasar analogi tersebut terdakwa bisa juga untuk mengajukan kasasi. Cuma motifnya akan berbeda, kalau terdakwa justru dia ingin mencari keadilan dan kepastian hukum terhadap tindak pidana atau dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan karena ada dugaan tadi adalah mungkin begitu dia diputus bebas ada isu-isu yang menyebabkan image dia itu tidak baik. Misalnya menyuap, misalnya juga ya karena dia dari keluarga X, Y, Z yang menyebabkan dia diproteksi karena dan seterusnya, dan seterusnya maka hak dia juga untuk mengajukan kasasi agar dia diputus benar-benar oleh mahkamah tertinggi akan menghapuskan semua image-image yang terjadi itu. Sekali lagi sekarang mungjkin tidak muncul, saya yakin seyakin-yakinnya di masa depan orang itu akan mencari bersih dirinya di pengadilan.
29
Berikutnya adalah, yang terkait dengan…, saya kira sudah bebas murni, hukum di pengadilan. Saya terima kasih sebelumnya, adalah sudah informasi bahwa itu adalah batal demi hukum juga sudah banyak terjadi. Saya kira ini menjadi analisis yang bagus kebetulan Pak Fachmi adalah Doktor dalam bidang yang membahas mengenai hal itu. Baik saya kira begitu penjelasan saya yang terkait dengan pertanyaan Hakim Konstitusi Bapak Arsyad mengenai boleh tidak terdakwa itu kasasi, saya kira sudah menjawab semuanya. Mudahmudahan apa yang saya sampaikan ini bisa terjawab dari apa yang dipersoalkan kepada saya, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 33.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, saya kira pemeriksaan untuk perkara ini sudah selesai kecuali…, oh ya kepada Pemohon, tadi pertanyaan ada pertanyaan dari Pak Akil tadi.
34.
KUASA HUKUM PEMOHON : M. FARHAT ABBAS Terima kasih Yang Mulia, Kami akan jelaskan bahwa posisi kami sebagai advokat yang mana yang mana mewakili korban. Ini kami ambil satu contoh kasus Alda Risma yang memang pada saat itu kami tidak dalam persidangan, tetapi pada kenyataannya memang jaksa menuntut bahwa itu tidak pembunuhan berencana, hanya pembunuhan biasa. Dituntut 14 tahun oleh Majelis Hakim juga memvonis mereka terbukti pembunuhan berencana dan hukuman dinaikkan menjadi 15 tahun dan ada putusan-putusan yang divonis bebas itu posisi kita sebagai advokat. Adapun pengalaman-pengalaman kami sebagai pengacara yang mendapat kuasa dimana klien kami sudah terbukti bebas, tapi jaksa masih bisa kasasi, sehingga kami berpikir, berpikirnya daripada kami dipertanyakan pasal yang tidak jelas, tetapi ya sekalian saja supaya tidak membuat satu keraguan bahwa buat kami ya silakan saja jaksa juga bisa mengajukan kasasi atas putusan bebas kami juga supaya kepastian hukum tercapai di situ. Memang beberapa pengalaman tentang putusan bebas itu Majelis Hakim mempertanyakan, mengatakan kalau putusan bebas itu merupakan suatu anugerah, Tuhan saja Maha Pengampun, jadi kalau terdakwa sudah divonis bebas buat apa diajukan ke Mahkamah Agung? Jadi sampai di Mahkamah Agung, tinggal mungkin eksiminasi. Apabila hakimnya terbukti disogok, atau tidak benar, hakimnya saja yang dipecat karena Tuhan saja Maha Pengampun. Di sini sudut pandang filosofisnya di sini dari beberapa orang hakim, tapi pada kenyataannya, kejaksanaan mengajukan kasasi diterima oleh hakim, ya ini versinya agak berbeda. Kalau hakimnya versi tamanan SHD ataupun karir mungkin kasasi jaksa hampir ditolak, tapi kalau hakim agungnya mungkin Jaksa mantan jaksa,
30
ataupun mantan pengacara ya dikabulkan begitu, sehingga ada dua pandangan yang berbeda. Oleh karena itu kami berpikir dengan landasan legal standing di posisi baik sebagai korban maupun sebagai terdakwa. Demikian Yang Mulia, terima kasih. 35.
KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, cukup sidang ini bisa di anggap sebagai sidang terakhir untuk pemeriksaan sehingga sidang berikutnya vonis. Kecuali pemerintah apa perlu membuka sidang lagi untuk mengajukan ahli atau sudah cukup? Jadi Ahli tadi sudah bisa mewakili dua-duanya ya? Sehingga nanti hakim akan segera memutus ini dan kami beri waktu 14 hari dari sekarang. Ini tanggal 18 Mei, berarti tanggal 1 Juni sampai berakhirnya jam kerja ditunggu kalau ada kesimpulan dari Pemohon maupun Termohon. Kemudian bahan tertulis dari Ahli tadi mohon diserahkan ke Paniteraan. Jadi kalau tanggal 1 Juni itu tidak menyerahkan kesimpulan, dianggap sepenuhnya dipercayakan kepada Majelis Hakim, baik Termohon maupun Pemohon. Untuk itu sidang dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.58 WIB
Jakarta, 19 Mei 2010 Kepala Biro Adminstrasi Perkara dan Persidangan
Kasianur Sidauruk
31