MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 28, 65/PUU-VIII/2010
PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGN PEMERINTAH DAN AHLI DARI PEMOHON (III)
JAKARTA SELASA, 18 JANUARI 2011
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 28, 65/PUU-VIII/2010 PERIHAL Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 [Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3) dan (4)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON Perkara Nomor 28/PUU-VIII/2010 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Y.B. Purwaning M. Yanuar; Rico Panderoit; Gabriel Mahal; Petrus Bala Pattyona; Ferry Amahorseya; Teuku Nasrullah; Afrian Bondjol; Rachmawati; Th. Ratna Dewi K;
10. Dea Tunggaesti; 11. Eka Sumaryani; 12. Adinda Utami A.; 13. Rocky L. Kawilarang; 14. Vicencious Tobing; 15. M.Y. Ramli; 16. Aldila Chereta W. 17. Muhammad Heru M. 18. Nadya Helida
Perkara Nomor 65/PUU-VIII/2010 -
Yusril Ihza Mahendra
i
ACARA
Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan Ahli dari Pemohon (III) Selasa, 18 Januari 2011 Pukul 10.05 – 12.51 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Achmad Sodiki Ahmad Fadlil Sumadi Hamdan Zoelva Maria Farida Indrati Muhammad Alim M. Akil Mochtar M. Arsyad Sanusi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Fadzlun Budi S.N.
Panitera Pengganti
Mardian Wibowo
Panitera Pengganti
ii
Pihak yang Hadir: Pemohon Perkara Nomor 28/PUU-VIII/2010: -
Rino Pandairot Th. Ratna Dewi Dea Tunggaesti
-
Eka Sumaryani Rocky L. Kawilarang
Pemohon Perkara Nomor 65/PUU-VIII/2010: -
Yusril Ihza Mahendra
Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 28/PUU-VIII/2010: -
Prof. Dr. OC. Kaligis
Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 65/PUU-VIII/2010: -
Dr. Mudzakkir (Ahli Hukum Pidana, Staf Pengajar Fakultas Hukum pada Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta); Dr. Chairul Huda (Ahli Hukum Pidana dan Ahli Hukum Acara Pidana, Staf Pengajar, dan Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Iniversitas Muhammadiyah, Jakarta); Prof. Dr. Edy OS. Hiariej (Ahli Hukum Acara Pidana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta); Dr. Kurnia Toha (Ahli Hukum Acara Pidana, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok).
Pemerintah: -
Mualimin Abdi Suwarsono Rhein Sigal Maria Aliza Rahayu Febry Trianto Ema Lama Yanita Sari Anton Sudi Satria
(Dirjen Litigasi Kementerian Hukum dan HAM) (Direktur TUN) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara) (Kejaksaaan Agung-Jaksa Pengacara Negara)
iii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.05 WIB
1.
KETUA: ACHMAD SODIKI Sidang Perkara Nomor 28/PUU-VII/2010 dan 65/PUU-VII/2010, dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baiklah.
Assalamualaikum wr. wb.
Selamat pagi, salam sejahtera untuk mempersilakan pada Pemohon 20…, perkara 28. Siapa yang hadir? 2.
kita
semua.
Saya
PEMOHON I: TH. RATNA DEWI (PEMOHON PERKARA NOMOR 28/PUU-VIII/2010) Terimakasih, Yang Mulia. Kami Pemohon dari Perkara Nomor 28/PUU-VIII/2010. Perkenankan kami memperkenalkan diri kami yang hadir di sini, 1) Dr. Riko Pandairot, SH. LL.M., 2) Th. Ratna Dewi, SH. M.KN., 3) Dea Tunggaesti, SH. M.M., 4) Eka Sumaryani, SH. M.M., dan 5) Roky L. Kawilarang, S.H.
3.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Dari Perkara Nomor 65, saya persilakan.
4.
PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Terimakasih, Yang Mulia. Saya perkenalkan. Nama saya Yusril Ihza Mahendra, Pemohon dalam perkara ini, tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Saya hadir sendiri dan saya menghadirkan empat orang ahli pada kesempatan ini sesuai surat yang kami terima dari Mahkamah Konstitusi bahwa acara hari ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR dan mendengarkan keterangan ahli.
1
Empat orang ahli yang kami hadirkan pada kesempatan ini disinilah kami memperkenalkan beliau yang pertama adalah Dr. Mudzakkir. Beliau adalah ahli hukum pidana, staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam, Yogjakarta. Kemudian yang kedua adalah Dr. Chairul Huda. Beliau adalah ahli hukum pidana dan ahli hukum acara pidana, staf pengajar dan Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Jakarta. Yang ketiga adalah Prof. Dr. Edy OS Hiariej. Beliau adalah ahli hukum acara pidana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogjakarta, dan yang terakhir adalah Dr. Kurnia Toha. Beliau sadalah ahli hukum acara pidana, staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Demikian Yang Mulia. 5.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Dari DPR ada hadir? Ya, menurut surat ini tanggal 17 Januari, berhalangan untuk hadir. Saya persilahkan dari Pemerintah.
6.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terimakasih, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Dari Pemerintah hadir diwakili oleh kawan-kawan dari kejaksaan semuanya adalah jaksa pengacara negara. Saya sebutkan dari yang paling kanan ada Bapak Rhein, kemudian ada Ibu Ayu. Kemudian saya sendiri Mualimin Abdi, dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian di samping saya ada Ibu Maria, kemudian ada Pak Sumarsono, kemudian…ehm, beliau Direktur TUN, kemudian ada Ibu Aliza, ada Pak Febry Trianto. Kemudian di belakang ada Ibu Ema Lama dan Yunita Sari dan Anton Sudi Satria, Yang Mulia. Semuanya dari Kejaksaan Agung, Yang Mulia. Terima kasih. 7.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Sebelum mendengarkan keterangan ahli, kita ingin mendengarkan terlebih dahulu keterangan Pemerintah. Saya persilakan.
2
8.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terimakasih, Yang Mulia. Jika diizinkan, Pemerintah akan membacakan keterangannya duduk di sini, Yang Mulia, karena ada hal-hal yang mesti dilihat. Sesuai dengan undangan dari Mahkamah Konstitusi bahwa perkara ini antara register 28 dan register 65 digabung menjadi satu, walaupun di dalam permohonannya materi atau norma yang dimohonkan berbeda. Jadi kalau registrer 28 itu adalah khusus Pasal 65, kemudian kalau register 65 ada Pasal 1, ada Pasal 65, Pasal 116, kemudian Pasal 184. Oleh karena itu Yang Mulia, walaupun kajian atau pendalaman terhadap legal standing biasanya kita serahkan kepada Yang Mulia atau Majelis Hakim yang saya hormati tetapi ada hal yang berbeda antara register 28 dan 65 kaitannya dengan legal standing itu sendiri. Jadi secara ringkas dapat Pemerintah sampaikan bahwa kami atau Pemerintah pada dasarnya khusus untuk register 28 mempertanyakan kepentingan para Pemohon itu sendiri apakah betul sebagai pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena pada dasarnya para advokat itu, dapat atau tidak dalam posisi yang terganggu atau yang terkurangi hak-haknya untuk berpraktik sebagai kuasa hukum tersangka atau pun terdakwa. Jikalau pun di dalam penyelenggaraan atau pelaksanaan profesi advokatnya itu di dalam membela tersangka atau terdakwa maka Pemerintah berpandangan hal itu adalah kaitannya dengan praktik di lapangan atau praktik beracara di peradilan. Oleh karena itu adalah sangat berbeda posisi legal standing register 28 dengan 65. Dengan demikian menurut Pemerintah khusus untuk register 28 Pemerintah berpandangan bahwa para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun putusan-putusan yang telah dijadikan yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi adanya kerugian-kerugian atau kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional para Pemohon itu sendiri. Itu yang pertama. Kemudian kaitannya dengan Pasal 65 yang dimohonkan oleh register 28, walaupun nanti keterangan ini menjadi satu kesatuan menjadi keterangan juga di dalam menjawab register 65. Jadi tadi, Pemerintah sudah di…, menyampaikan bahwa ketentuan pasal 65 itu adalah di dalam kenyataannya seperti yang tadi disampaikan para Pemohon dalam register 28 telah salah menafsirkan ketentuan Pasal 65 itu sendiri. Karena dalam pelaksanaannya hak tersangka atau terdakwa di dalam nengajukan saksi dan atau, atau ahli, hanya pada tidak hanya
3
terbatas pada penyidikan saja, tetapi keterangan saksi atau ahli juga diberikan di dalam tingkat pemeriksaan persidangan artinya bahwa tersangka atau terdakwa dapat menghadirkan saksi dan ahli pada tingkat penyidikan maupun pada pemeriksaan persidangan. Itu yang, yang pertama. Kemudian yang kedua. Jika kita cermati Pasal 65 itu menurut Pemerintah karena pada kenyataannya pemohon atau tersangka atau terdakwa diberikan keleluasaan yang sedemikian luas untuk menghadirkan ahli mapun saksi maka hal ini menurut hemat kami atau menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 65 telah sesuai dengan amanat, cerminan, dan perwujudan pasal 28D ayat (1) undang-undang dasar 1945 yaitu dalam rangka memberikan pengakuan jaminan perlindungan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hal ini berlaku terhadap setiap orang termasuk para Pemohon itu sendiri. Kemudian yang kedua kaitan dengan register 65 yang pada intinya permohonannya mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 26 angka 27 Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) dianggap telah menegasikan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum serta dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum karena itu menurut Pemohon ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1). Yang Mulia, sebagaimana ditegaskan di awal bahwa terhadap standing dengan register 65 Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia, Majelis Hakim untuk menilainya apakah betul Pemohon telah dirugikan hak dan atau kewenangan konstitusionalnya atas berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
legal
Yang Mulia, bahwa dapat kami sampaikan pula sesungguhnya yang dialami seperti tadi yang sudah disampaikan di awal, sesungguhnya yang dialami oleh Pemohon register 65 juga sama dalam kaitan implementasi dari pada norma itu sendiri. Artinya apa yang diajukan oleh Pemohon itu tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas norma itu sendiri. Itu yang pertama. Yang kedua di sini juga mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 26, angka 27. Bahwa Yang Mulia, terhadap ketentuan Pasal 1 angka 26, angka 27 sebagaimana kita ketahui Pasal 1 itu letaknya ada di ketentuan umum, karena itu mahkamah juga pada beberapa putusan-putusan yang lalu telah memberikan satu penegasan bahwa ketentuan umum itu pada dasarnya adalah terkait dengan penjelasan materi norma itu sendiri yang menjadi guidance yang menjadi acuan
4
bahwa agar pasal-pasal berikutnya itu menjadi jelas menjadi tegas dengan acuan ketentuan umum itu sendiri. Walaupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 diundangkan lebih dahulu tahun 1981, tapi kemudian ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kita ketahui menjadi acuan di dalam pembentukan maupun pemberlakuan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Jadi sebagaimana Pemerintah sampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi telah…, pernah menjatuhkan atau memberikan satu putusan sebagaimana di register 56/PUU-VI/2008, yang mengatakan bahwa, “Ketentuan umum sebagaimana ditentukan didalam Pasal 1 itu merupakan.” Saya bacakan di sini Yang Mulia, “…adalah memuat tentang batasan, pengertian, definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan dan hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya.” Kemudian hal ketentuan umum juga dimaksudkan agar ada definisi yang pasti dan yang jelas untuk sebagai pijakan untuk memahami pasal-pasal di dalam Batang Tubuh Undang-Undang itu sendiri. Karena itu menurut mahkamah…, ehm…, menurut Pemerintah jikalau ketentuan Pasal 1 angka 27 dan angka 26 itu dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, menurut Pemerintah maka akan dapat menimbulkan kerancuan atau ambigu, dapat menimbulkan ketidakjelasan, dapat menimbulkan ketidakpasatian dalam memahami Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana itu sendiri. Kemudian hal lain yang dapat disampaikan oleh Pemerintah bahwa ketentuan-ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut pada dasarnya juga dalam rangka memberikan kesiambangan kepada setiap orang yang dijadikan tersangka atau terdakwa. Artinya bahwa di sisi lain tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk menghadirkan saksi atau ahli yang meringankan atau saksi a de charge , tapi di sisi lain juga Penyidik tidak akan semena-mena untuk menghadirkan saksi atau ahli yang sebaliknya. Oleh karena itu Yang Mulia, nanti tatanan praktik barangkali nanti ada pendalaman baik dari Yang Mulia Hakim Konstitusi maupun dari Pemohon untuk mendalami bagaimana yang terjadi di dalam praktik untuk menghadirkan saksi atau ahli, baik saksi atau ahli yang meringankan maupun saksi atau ahli yang sebagai lawannya saksi atau ahli yang memberatkan itu sendiri. Oleh karena itu menurut Pemerintah demi terwujudnya, demi terciptanya sistem Peradilan yang murah, sederhana, biaya ringan, oleh karena itu ketentuan-ketentuan sebagaimana dimohonkan untuk diuji
5
oleh Pemohon saya kira sudah sesuai dengan amanat konstitusi, sudah sesuai dengan nilai-nilai negara hukum, maupun sudah sesuai dengan hakikat perlindungan kepastian hukum, perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Demikian penjelasan singkat dari Pemerintah. Keterangan secara resmi dari Pemerintah akan disampaikan pada persidangan berikutnya maupun akan diserahkan kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Pemerintah meminta waktu dalam waktu 1 minggu kaitannya dengan proses administrasi Yang Mulia, untuk meminta tanda tangan kuasa hukum yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung, Yang Mulia. Terima Kasih, demikian keterangan singkat Pemerintah, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Wabillahitaufiq walhidayah. Wassalamualaikum wr. wb. 9.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Nanti jawaban tersebut diserahkan ke Panitera ya. Baiklah saya kira memang ada baiknya untuk memberi…, apa itu…, semacam penjelasan singkat dulu toh dari Saudara Pemohon dua-duanya ya. Tapi kalau sudah tidak diperlukan kita langsung saja pada ahlinya langsung. Silahkan Ahli untuk maju ke depan lebih dulu untuk disumpah. AHLI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA AHMAD FADLIL SUMADI
10. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Saudara Ahli untuk sumpahnya, silakan menirukan kata-kata saya.
Bismillahirrahmanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan menerangkan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Cukup, terima kasih.
6
11. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Yang Mulia, bolehkah menyampaikan sesuatu? 12. KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan. 13. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Mohon maaf saya agak kurang jelas tadi apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Ketua Majelis. Apakah beliau-beliau yang hadir ini memiliki kuasa dari Presiden dan untuk hadir di sini mewakili Presiden atau tidak? 14. KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan, Saudara Pemerintah. 15. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Untuk Perkara 28 dapat kami sampaikan bahwa Presiden..., sesuai dengan surat kuasa yang ditandatangani oleh Presiden tanggal 26 Mei 2010 memberikan kuasa kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung, kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung memberikan kuasa substitusi kepada jaksajaksa pengacara negara. Itu 28. Kemudian yang 65, yang Prof. Yusril Ihza Mahendra mohonkan, itu Presiden juga telah menunjuk atau memberikan kuasa kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung. Kemudian juga Jaksa Agung dan Menteri Hukum telah memberikan kuasa substitusi kepada jaksa..., para jaksa pengacara negara. Kemudian kalau Menteri Hukum memberikan kuasa kepada beberapa orang termasuk saya sendiri, Yang Mulia. Terima kasih.
7
16. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Baik, jelas. 17. KETUA: ACHMAD SODIKI Ya, terima kasih. Saya persilakan. Pemohon mau diajukan yang mana dulu? Saksi ahlinya yang mau diperiksa? 18. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum memeriksa ahli, bolehkah kami mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah? 19. KETUA: ACHMAD SODIKI Saya persilakan. 20. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Terima kasih, Yang Mulia. Setelah mendengar tanggapan Pemerintah atas permohonan yang kami ajukan dalam Perkara Nomor 65 dan mungkin kawan-kawan ini akan memberikan tanggapan atas Perkara Nomor 28, izinkan kami mengajukan 2 pertanyaan. Pertama, apakah Pemerintah tidak berpendapat bahwa definisi tentang saksi dan keterangan saksi di dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, kurang memenuhi apa yang dimaksud…, atau tidak mencakup saksi yang menguntungkan, saksi yang meringankan, saksi ahli atau saksi a de charge. seperti yang diatur di dalam Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan (4), dan keterangan saksi dalam pembuktian dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Apakah Pemerintah tidak dapat melihat bahwa definisi dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 itu
8
sebenarnya hanyalah definisi tentang saksi fakta atau saksi yang memberatkan saja? Kedua, kalau tadi Pemerintah memberikan jawaban kepada permohonan nomor 28 sehubungan dengan angka 65…, Pasal 65 KUHAP, yaitu menghadirkan ahli, menghadirkan saksi yang meringankan, saksi a de charge dapat dilakukan oleh semua tahapan pemeriksaan perkara, baik pada tahap penyidikan maupun tahap penuntutan di pengadilan. Tapi tidak pada ketentuan Pasal 116 ayat (3) dan (4). Bagaimanakah Pemerintah memahami ketentuan Pasal 116 ayat (3) dan (4) itu? Kalimatnya berbunyi, “Dalam pemeriksaan tersangka ditanya, apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya? Dan bilamana ada, maka hal itu dicatat dalam Berita Acara.” Pasal 116 ayat (4) mengatakan, “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.” Apakah Pemerintah tidak melihat ada nuansa yang berbeda antara norma yang diatur dalam Pasal 65 dan norma yang diatur di dalam Pasal 116? Kalau Pasal 100…, Pasal 65, menurut pemahaman saya, memberikan kemungkinan bahwa saksi ahli, saksi a de charge, dapat di…, yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa dapat diajukan kepada semua tahapan pemberitaan. Tapi ketentuan Pasal 116, apakah Pemerintah tidak berpendapat bahwa ketentuan Pasal 116 itu khusus pada tingkat pemeriksaan saja? Bukan pada tingkat penuntutan perkara di pengadilan, mengingat kalimatnya itu tegas mengatakan dalam pemeriksaan tersangka? Sepanjang pemahaman kami, kalau tersangka, perkara itu masih dalam tahap penyidikan bukan dalam tahap penuntutan. Mohon Pemerintah dapat menjelaskan hal ini. Terima kasih. 21. KETUA: ACHMAD SODIKI bisa dijawab sekarang, bisa Untuk Pemerintah kalau ndak dijawab nanti secara tertulis supaya pasti ya. 22. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Ya. Terima kasih Yang Mulia. Barangkali yang pertama dulu yang..., karena yang 116..., 65 yang dihubungkan dengan Pasal 116 kaitannya dengan hal-hal yang
9
terkait dengan..., sekali lagi nanti biar secara komprehensif dijawab di dalam tertulis tapi barangkali Pemerintah akan menanggapi yang pertama yang kaitannya dengan Pasal 1 angka 26 dan angka 27. Barangkali Pemohon juga mafhum. Undang-Undang ini sudah cukup lama diberlakukan dari tahun 1981 yang dahulu seringkali disebut sebagai karya agung anak bangsa. Kita menyadari, Yang Mulia, bahwa di dalam perjalanannya dimanapun atau..., undang-undang selalu..., manakala sudah diimplementasi atau berlaku setelah sekian lama pasti akan ada hal-hal nampak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, kita atau Pemerintah memang menyadari betul bahwa kekurangan-kekurangan itulah yang akan..., kemudian..., sebagaimana..., kalau di-launching di beberapa media massa bahwa KUHAP memang rencananya akan dilakukan perbaikan-perbaikan. Barangkali yang disampaikan Prof. Yusril Ihza Mahendra atau yang disampaikan oleh Pemohon menjadi catatan Pemerintah, apakah nanti di dalam perubahan Undang-undang Tahun 1981 itu akan dimasukan hal-hal yang sebagaimana Pemohon sampaikan. Barangkali jawaban sementara itu Yang Mulia. Nanti hal-hal lain akan disampaikan secara tertulis karena kita harus merapatkan rumusan jawabannya, Yang Mulia. Terima kasih. 23. KETUA: ACHMAD SODIKI Ya, saya kira cukup sekian dulu. Kita lanjutkan saja dengan keterangan Ahli karena sudah hadir dan waktunya juga bisa diefisiensikan atau bisa dimanfaatkan. Kami panggil Saudara Prof. Dr. Edy OS Hiariej, ahli hukum acara pidana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada untuk memberikan keterangan. Dipersilahkan. 24. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. EDY OS HIARIEJ
Assalamualaikum.wr.wb.
10
Salam sejahtera dan selamat pagi, Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, para hadirin yang kami hormati. Berikut ini kami akan sampaikan legal opinion pendapat hukum kami perihal permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Ahli tidak perlu menerangkan perihal kasus posisi. Bahwa yang dipermasalahkan adalah pasal-pasal a quo yang tadi telah disebutkan dan pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan antara satu dengan yang lain dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang ada dalam jaminan-jaminan prinsip-prinsip dasar yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Yang Mulia, kalau kita melihat dengan seksama ketentuan Pasal 1 angka 26 yang men–define atau mendefinisikan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Kemudian Pasal 1 angka 27 berbicara mengenai keterangan saksi dan Pasal 184 berbicara mengenai alat bukti keterangan saksi. Sementara dalam Pasal 65 yang berbunyi bahwa, ”Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus dan memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”. Sangat jelas bahwa ketentuan Pasal 65 ini bisa berlaku baik bagi tahap penyidikan, penuntutan maupun di sidang pengadilan karena menggunakan kata-kata tersangka atau terdakwa. Sementara yang ada dalam Pasal 116 ayat (3), junto Pasal 116 ayat (4) ini hanya digunakan untuk tahap penyidikan. Dengan adanya kata-kata dalam pemeriksaan tersangka kemudian dalam Pasal 116 ayat (4) dikatakan bahwa, ”Apa yang dimaksud dalam ayat 3 penyidik wajib memanggil”. Jadi jelas sekali ini ada dalam tahap penyidikan. Majelis Yang Mulia, berdasarkan substansi pasal yang dimohonkan untuk diuji kepada Majelis dalam Undang-Undang tentang hukum acara pidana atau KUHAP, izinkanlah Ahli memberikan beberapa argumentasi yang berdasarkan interpretasi yang ada dalam hukum pidana maupun hukum acara pidana.
11
Yang pertama adalah berdasarkan interpretasi historis. Bahwa penafsiran undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti terjadinya undang-undang tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum, yakni penentuan makna dan formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. Seperti yang tadi dikatakan oleh wakil dari Pemerintah bahwa betul kita akui bersama KUHAP adalah sebagai karya agung yang dibentuk untuk menggantikan Herzine Indische Reglement yang berwatak kolonial dan dalam konteks hukum acara pidana cenderung menerapkan prinsip-prinsip dalam Crime Control Model, yakni adanya efisiensi, mengutamakan kuantitas, dan menggunakan asas praduga bersalah. Jadi, sekaligus ingin ahli uraikan di sini bahwa ada efisiensi kemudian ada kuantitas dalam penyelesaian perkara itu cenderung sekali kelihatan kita masih mengandung prinsip Crime Control Model. Padahal yang dianut sekarang ini secara universal oleh bangsa-bangsa beradab di dunia, bukanlah prinsip Crime Control Model, melainkan Due Process of Law yang dalam teori…, dalam The Limit of Criminal Sanction, Packer menyebut dengan istilah Due Process Model. Oleh karena itu, KUHAP meskipun tidak seluruhnya meninggalkan Crime Control Model, tetapi sudah lebih mengarah kepada Due Process of Law, sebagai model beracara pada sistem peradilan pidana yang berlaku secara universal. Kedua, Majelis Yang Mulia yang ahli gunakan di sini adalah Interpretasi Doktriner, yaitu memperkuat argumentasi dengan merujuk pada suatu doktrin tertentu yang dalam hal ini adalah doktrin perihal pembuktian dalam Due Process of Law. Kata bukti atau evidence atau bewijs adalah informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Ada empat hal fundamental terkait konsep pembuktian itu sendiri. Pertama, suatu bukti harus relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang di proses. Artinya bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran dari suatu peristiwa. Kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang relevan, dengan sendirinya dapat diterima. Sebaliknya suatu bukti yang tidak relevan, tidak akan dapat diterima. Kendati pun demikian, dapat saja suatu bukti relevan, tetapi tidak dapat diterima. Ketiga, dalam konsep pembuktian apa yang disebut sebagai
exclusionary rules yang dalam bebrapa literatur dikenal dengan istilah exclusionary discretion. Secara harfiah, exclusionary rules berarti
peraturan yang mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal
12
tidak dapat diterima di pengadilan, terlebih dalam konteks hukum pidana. Kendati pun suatu bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang Penuntut Umum, namun bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan. Yang keempat, masih dalam konsep yang fundamental dalam pembuktian bahwa setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, kita memasuki kekuatan pembuktian atau bewijskracht. Di sini hakim akan menilai setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu dengan bukti yang lain dan kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. Alat bukti yang berlaku universal di dunia dalam sistem peradilan pidana yang kita kenal ada yang disebut dengan saksi, ahli, dokumen, dan real evidence, atau dalam beberapa literatur disebut dengan physical evidence, yang dalam konteks Hukum Acara Pidana di Indonesia ini dikenal dengan istilah barang bukti. Khusus mengenai saksi, yang dimaksud adalah baik saksi yang memberatkan maupun saksi yang meringankan. Persyaratan saksi bila dihubungkan dengan empat hal fundamental dalam hukum pembuktian sebagaimana yang diutarakan di atas, adalah bahwa saksi tersebut relevan dengan perkara yang sedang diproses. Pembuktian dalam hukum pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan dan atau penyidikan karena penyidik harus mengumpulkan bukti-bukti tersebut samapai pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena itu penyidik maupun penuntut umum dapat meminta keterangan saksi yang memberatkan, mulai dari tahap penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan. Begitu pula sebaliknya, sebagai penyeimbangan, tersangka dapat meminta keterangan saksi yang meringankan mulai dari tahap penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan. Pengajuan bukti oleh tersangka atau terdakwa sesuai dengan prinsip yang disebut dengan istilah exculpatory evidence, ini yang dikenal dalam Due Process of Law yang berarti tersangka atau terdakwa, berhak menunjukan bukti apapun termasuk keterangan saksi yang meringankan untuk menunjukan bahwa ia tidak bersalah. Mengapa hal ini harus dilakukan mulai dari penyidikan sampai dengan persidangan? Untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar terhadap tersangka.
13
Majelis Yang Mulia, ketiga, berdasarkan interpretasi gramatikal, yaitu makna ketentuan undang-undang ditafsirkan dengan cara menguraikan menurut bahasa umum sehari-hari. Ketentuan Pasal 1 angka (26) juncto pada Pasal 1 angka (27) juncto, Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, yang pada intinya mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri. Jika ini diterjemahkan secara a contrario, keterangan atas suatu peristiwa yang tidak dilihat, didengar, atau dialami sendiri bukanlah keterangan saksi. Padahal saksi alibi yang dibutuhkan sebagai keterangan yang meringankan bagi tersangka atau terdakwa, sudah barang tentu dia tidak melihat, mendengar, atau mengalami sendiri perkara yang sedang disangkakan atau didakwakan. Majelis Yang Mulia. Suatu ilustrasi misalnya, kalau si A ini disangkakan membunuh si B pada waktu, jam, hari, dan di tempat tertentu. Padahal, pada waktu, hari, dan tempat tertentu, si A itu sedang bersama dengan si C di tempat lain. Dengan menggunakan ketentuan pasal 1 angka 26, angka 27 juncto pasal 184 huruf a, si C ini tidak mungkin diminta sebagai saksi, karena dia tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak mengalami peristiwa disangkakan kepada si A, karena dia dengan si A sedang berada di tempat lain. Saya lanjutkan. Interprestasi secara gramatikal Pasal 65 KUHAP yang berbunyi seperti yang tadi kami katakan bahwa, tersangka atau terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi, atau seorang yang memiliki keahlian khusus, guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Selanjutnya, bila dikaitkan dengan Pasal 116 ayat (3) dan Pasal 116 ayat (4), memang terdapat ketidaksinkronan. Inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak ada jaminan, serta perlakuan yang sama terhadap setiap orang ketika dihadapkan pada tuntutan hukum. Bila dihubungkan dengan empat hal fundamental dalam pembuktian sebagaimana diuraikan diatas, arti penting saksi bukanlah terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan apakah kesaksian itu relevan atau tidak dengan perkara pidana yang sedang diproses. Apakah keterangan saksi tersebut admissible ataukah not admissible merupakan kewenangan hakim, untuk menentukannya dalam perangkap penilaian terhadap kekuatan pembuktian dari bukti-bukti yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa.
14
Majelis Yang Mulia. Yang keempat adalah berdasarkan interpretasi komparatif yaitu interpretasi dengan membandingkan ketentuan tersebut di negara lain, dalam hal ini yang ahli singgung adalah ketentuan Pasal 342 ayat (1) Strafvordering… eh di Wetboek van Strafvordering di Negeri Belanda, yang mendefenisikan saksi adalah bahwa, keterangan saksi adalah apa yang dinyatakan di penyidikan dan di depan sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang dia alami atau diketahuinya. Jadi, tidak ada kata-kata bahwa harus dilihat, didengar, atau dialami sendiri. Jadi, dialami atau diketahuinya. Definisi demikian bersifat universal dan dapat ditafsirkan baik saksi yang meringankan maupun saksi yang memberatkan. Kelima atau yang terakhir, terkait dengan interpretasi futuristik. Majelis Yang Mulia, Pemohon yang mengajukan permohonan uji materil terhadap sejumlah pasal dalam KUHAP ini adalah tersangka kasus korupsi. Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip due process of law. Ketentuan Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a, kalau di interpretasikan secara gramatikal dan sistematis, akan menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan, karena penyidik atau penuntut umum akan bersikukuh pada definisi saksi yang terdapat dalam pasal-pasal a quo. Kendatipun, ketentuan Pasal 65, juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) memberikan peluang untuk itu. Dengan demikian, kesimpulan yang akan diambil oleh ahli, bahwa berdasarkan keseluruhan uraian diatas, Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), Pasal 116 ayat (4), dan Pasal 184 ayat (1) huruf a, bertentangan antara satu dengan yang lain dan melanggar prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta persamaan di depan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3), dan pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kecuali itu bila ditafsirkan bahwa, Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 184 huruf a KUHAP bahwa yang memberikan ketera …, bahwa saksi adalah orang yang memberikan keterangan, guna kepentingan penyidikan, penuntutan, peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri, juga orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu menurut penilaian tersangka dan atau terdakwa, berhubungan dengan tindak pidana yang diduga dan atau didakwakan kepadanya akan bersifat menguntungkan dan atau meringankan dirinya.
15
Sekian, Majelis Yang Mulia. Wassalamualaikum wr. wb. 25. KETUA: ACHMAD SODIKI Baiklah. Untuk Ahli Prof. Edy nanti legal opinion-nya disampaikan ke Panitera atau Majelis. Terima kasih. Selanjutnya, kami panggil Saudara Dr. Mudzakkir, ahli Hukum Pidana, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 26. AHLI DARI PEMOHON: DR. MUDZAKKIR
Assalamualaikum. wr. wb.
Majelis Hakim yang saya muliakan, saya ingin menyampaikan keterangan ahli mengenai permohonan pengujian materil norma hukum yang dimuat dalam Pasal 1 ke 26 dan ke 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan norma-norma materi yang diujikan tidak perlu saya bacakan ulang lagi, saya akan sampaikan mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan pendapat saya. Yang pertama ingin saya sampaikan, tadi dikemukakan bahwa bidang saya adalah Hukum Pidana, maka saya ingin sampaikan terlebih dahulu tentang posisi pasal-pasal yang dimohonkan uji materil atau posisi norma Hukum Acara Pidana yang dimuat dalam pasal-pasal yang dimohonkan uji materil. Yang ingin saya sampaikan, dalam suatu proses hukum kita mengenal namanya adalah sistem peradilan pidana. Dan dalam sistem peradilan pidana itu tahapan yang paling menentukan yakni adalah tahapan penyidikan, yang menurut kaidah KUHAP itu dilakukan oleh pihak kepolisian atau polisi. Dan seterusnya adalah tahapan penuntutan, tahapan pemeriksaan pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam konteks ini menurut doktrin hukum berhubungan sistem peradilan pidana, itu di bedakan menjadi tiga hal atau tiga tahapan, yang saya sebut sebagai atau disebut sebagai tahapan pra judikasi, tahapan ajudikasi, dan tahapan post ajudikasi.
16
Pada tahapan pra ajudikasi, yakni tahapan pada, khususnya tahapan penyidikan, adalah sesuatu yang sangat urgen sekali dalam suatu konteks pemeriksaan perkara pidana, karena tahapan penyidikan ini adalah merupakan pintu gerbang masuknya suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pidana, dan sekaligus tahapan yang pertama untuk menentukan status seseorang, yang semula dia adalah dalam kondisi bebas, kemudian diubah statusnya menjadi tersangka. Maka di dalam kegiatan penyidikan, intinya adalah pengumpulan atau melakukan kegiatan pengumpulan alat bukti untuk memastikan beberapa hal, di antaranya, menentukan apakah perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana, menentukan siapa pelaku tindak pidana, seorang diri, bersama-sama dengan pelaku lain, menentukan apakah telah terpenuhinya unsurunsur tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka, menentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh tersangka adalah melawan hukum, dan sekaligus apakah ada alasan pembenar atau penghapusan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, dan yang kelima adalah menentukan apakah ada kesalahan, dan sekaligus menentukan apakah ada alasan pemaaf. Atas dasar prinsip di dalam suatu proses penyidikan dalam konteks sistem peradilan pidana tersebut, menurut ahli, maka tahapan pra ajudikasi, adalah, tahapan penyidikan ini penting untuk diperhatikan adalah, mengenai kewenangan dari penyidik dan sekaligus terkait dengan persoalan hak tersangka. Memang di dalam KUHAP selalu diatur mengenai saksi, pemeriksaan saksi menjadi tema besar dari pokok uji materil ini, dan dikatakan bahwa di situ ada saksi yang memberatkan saksi yang meringankan. Kalau kita tengok dalam suatu prinsip di dalam penyelenggaraan hukum pidana, berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang merupakan ubahan daripada Undang-Undang 1470, melalui proses perubahan undang-undang yang sebelumnya, menurut ahli, di dalam konteks penyelenggaraan dan kedudukan saksi, dan kewenangan yang dilakukan oleh penyidik, dan juga tersangka, menurut ahli itu dibedakan menjadi dua, yakni adalah penyidik, dia adalah akan memberikan saksi atau sebut saja alat bukti yang bersifat positif, sedangkan hak tersangka adalah bisa mengajukan saksi yang nilai, saksi atau alat bukti yang nilainya bersifat negatif, maksudnya positif adalah yang terkait dengan penggunaan unsur-unsur, dan yang negatif adalah, dia adalah menegasikan apakah unsur tersebut dipenuhi atau tidak dipenuhi. Atas dasar ini, menurut ahli, maka hak tersangka untuk menyampaikan saksi dan juga alat-alat bukti, wajib untuk
17
dipertimbangkan dalam suatu proses penyidikan atau dalam tahapan penyidikan, agar supaya proses penyidikan tersebut menghimpun semua alat bukti, saya ulangi lagi dalam konteks ini adalah menghimpun semua alat bukti, tak terkecuali dan dari manapun sumbernya untuk mempertimbangkan dalam suatu proses penentuan sebagaimana yang kami sebutkan tadi. Apakah itu perbuatan pidana atau bukan, dan seterusnya yang telah kami sebutkan sebelumnya. Oleh sebab itu kehadiran alat bukti dan juga saksi yang bersifat negatif ini penting untuk menyeimbangkan bukti-bukti yang bersifat positif dan sekaligus mencegah kemungkinan terjadi pelanggaran hak asasi manusia pada tahap penyidikan. Karena, dalam suatu proses, ini kalau hanya mempertimbangkan aspek yang postif saja itu bisa terjadi perampasan hak-hak tersangka yang dia tidak mendasarkan alat bukti yang objektif yakni, adanya saksi atau alat bukti yang bersifat negatif tadi. Sebagai contoh yang sudah dikemukakan oleh ahli yang lain, mungkin saya nambahkan juga bahwa misalnya saja mengenai persoalan melawan hukum kalau dari pihak penyidik tentu saja dia akan membuktikan bahwa itu adalah perbuatan melawan hukum, tentu saja itu juga mempertimbangkan apakah itu perbuatan melawan hukum atau tidak? Dan itu apakah ada penghapus perbuatan melawan hukum atau tidak? Kalau ini dipertimbangkan secara seimbang tentu saja proses pengambilan keputusan tersebut pada tahapan penyidikan itu bersifat objektif. Demikian juga dalam hal kesalahan, saya kira kalau itu diajukan oleh pihak dua-duanya maka akan melahirkan suatu proses peradilan pada tahapan pra ajudikasi tadi adalah bersifat objektif, terukur, dan itu bisa diuji oleh siapapun bahwa apa yang diputus oleh penyidik bukan diserahkan semata-mata kepada pengadilan, melainkan penyidik harus mengambil keputusan yang objektif yang tidak merampas hak-hak seseorang tersangka. Karena seorang tersangka kalau itu dinyatakan sebagai tersangka, akan membawa akibat-akibat hukum yang menurut ahli adalah sangat mencemaskan kepada yang bersangkutan. Saya ambil contoh disini adalah akibat hukum tersebut antara lain statusnya berubah dari seorang yang bebas merdeka menjadi tersangka yakni seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Kehilangan hak-hak dan hukumnya sebagaimana layaknya orang yang bebas dan merdeka. Bahkan ditetapkan sebagai tersangka ini menyakitkan dapat ditahan dan dirampas kemerdekaannya di dalam tahanan kehilangan hak hukum lain yang dimiliki seseorang yang menjdai tersangka atau terdakwa.
18
Bagian ini penting menurut pendapat ahli, bahwa proses pemeriksaan dan pengumpulan alat bukti yang bersifat..., yang lengkap dan sempurna dan diambil dari beberapa pihak baik itu pelapor, inisiatif, penyidik, maupun inisiatif dari pihak tersangka adalah sesuatu hal yang penting agar supaya proses pengambilan keputusan pada tahapan penyidikan ini bersifat objektif, dan terukur. Sehingga kalau, toh. Jika penggunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dan benar-benar objektif dan bisa terukur dan mempunyai landasanlandasan hukum dan moral yang kuat. Akibat sosial yang lain yang saya kira harus di perhitungkan juga bagi terdakwa adalah seorang yang ditetapkan menjadi tersangka sudah dianggap seolah-olah sebagai pelaku kejahatan dan terbukti melakukan kejahatan meskipun secara dilindungi dengan azas hukum praduga tak bersalah. Ini atau citra negatif dimata masyarakat umum reaksi sosial yang negatif kepada tersangka dan keluarganya sebagai bentuk sanksi sosial, ditinggalkan atau dijauhkan relasinya dalam menjalankan pekerjaannya atau bidang usaha bisnisnya yang menimbulkan kerugian materil dan immateril yang tidak terhingga. Urgensi tahapan pra ajudikasi. Bahwa sebagaimana yang sudah saya katakan bahwa tahapan pra ajudikasi adalah merupakan pintu gerbang masuknya suatu perkara ke pengadilan dan sekaligus menjadi penyaring perkara atau filter masuknya suatu perkara pidana ke dalam sistem peradilan pidana. Kalau filter -nya ini tidak baik, tentu saja aliran perkara yang masuk ke pengadilan juga tidak baik. Saya ambil contoh misalnya saja, filter –nya tidak baik tentu saja proses pemeriksaan di pengadilan juga tidak akan baik. Kalau itu tidak baik, berarti hakim yang atas nama “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Keadilan dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dia harus memutuskan bebas. Tetapi, Majelis Hakim Yang saya muliakan hak-hak tersangka telah dirampas terlebih dahulu meskipun putusan tersebut bebas atau lepas dari tuntutan pidana. Dampak yang dialami oleh si tersangka tadi jelas tidak mungkin pulih kembali dan hal inilah menurut ahli adalah penting untuk proses tahapan pra ajudikasi ini untuk mengumpulkan bukti yang lengkap. Dalam penggunaan wewenangnya dalam tindakan penyidikan, penyidik menggunakan harus objektif, cermat, dan hati-hati, asas kehati-hatian dan kecermatan. Dalam menggunakan wewenang penyidik agar tidak merugikan kepentingan hukum seseorang yang menjadi tersangka dan merugikan penegakan hukum pidana. Penggunaan wewenang penyidik yang umumnya di interpretasi yang secara subjektif artinya menurut sudut pandang penyidik sendiri
19
sangat potensial terjadinya pelanggaran hak-hak dasar tersangka atau hak asasi manusia. Mengingat urgensi dari pemeriksaan dan tahap pra ajudikasi tersebut maka proses pengumpulan alat bukti perlu dilakukan selengkap mungkin, baik yang berasal dari inisiatif pelapor, penyidik maupun inisiatif tersangka. Pengumpulan alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164 ayat (1) KUHAP tersebut dilakukan secara objektif artinya semua alat bukti relevan dengan dugaan terjadinya perbuatan pidana dikumpulkan. Kata relevan dalam konteks tersebut adalah semua alat bukti yang bisa menggambarkan keadaan sebenarnya mengenai perbuatan seseorang dan perbuatan lain yang menyertainya yang diduga sebagai perbuatan pidana. Oleh sebab itu menurut ahli penilaian terhadap alat bukti yang tidak dikategorikan berdasarkan alat bukti tersebut memberatkan tersangka atau terdakwa alat bukti yang diajukan oleh penyidik atau meringankan alat bukti yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa. Alat bukti dalam perkara pidana dinilai dari sudut objektif yakni nilai kekuatan pembuktian terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa. Nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti ditentukan berdasarkan kasus per kasus dan standar umum penilaian alat bukti dikualifikasikan sebagai berikut, nilai kekuatan pembuktian alat bukti sebagai mana yang dimuat di dalam Pasal 184 ayat (1). Yang pertama adalah keterangan saksi. Nilai kekuatan pembuktian transaksi dalam perkara pidana adalah keterangan saksi yang bersumber dari apa yang saksi alami, lihat, dan dengar sendiri, dan memang benar orang yang mengalami seperti ini adalah dilihat dari sudut tertentu adalah memiliki derajat kesaksian yang paling lengkap. Keterangan saksi yang bersumber dari apa yang.., saksi yang lihat dan Ia dengar sendiri, keterangan saksi yang bersumber dari apa yang ia lihat atau dengar sendiri, dan keterangan saksi lain yang bersumber dari apa yang saksi dengar atau saksi yang lain mengalami, melihat atau mendengar sendiri. Kedua, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli, keterangan ahli mengenai kualitas kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti. Misalnya adalah peluru yang disarang di kepala korban, itu apakah benar peluru yang berasal dari senjata yang digunakan oleh pelaku adalah bukti adalah merupakan suatu keterangan mengenai tentang kualitas pembuktian dari alat bukti. Keterangan ahli yang materinya keterangannya tidak terkait langsung dengan kualitas pembuktian dari suatu alat bukti, jadi ini agak..., keterangan ahli yang kedua. Nilai kekuatan pembuktian dari surat adalah surat yang digunakan untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan surat yang tidak terkait dengan suatu…, dengan perbuatan pidana, dan juga nilai kekuatan pembuktian
20
dari terdakwa. Jadi peragaan nilai kekuatan pembuktian terhadap perbuatan pidana tersebut, ahli peragakan sebagai berikut. Yang pertama ini menurut ahli adalah sesuatu yang wajib untuk dipertimbangkan oleh penyidik dari manapun dia sumbernya. Yang kedua dan yang ketiga. Keterangan, nomor satu adalah alat bukti kekuatan pembuktian nilainya tinggi yang sangat kuat yang terkait langsung dengan dugaan tindak pidana dan unsur-unsur delik, baik yang bersifat positif maupun yang negatif. Kata-kata positif negatif tadi sudah saya kemukakan. Nomor dua adalah alat bukti yang kekuatan pembuktian memperkuat alat bukti yang pertama, dan nomor tiga adalah alat bukti yang kekuatan pembuktiannya memperkuat alat bukti yang kedua dan nilai kekuatan pembuktiannya terhadap tindak pidana tidak ada dan bergantung kepada alat bukti yang kedua. Pengumpulan alat bukti dinilai secara objektif memiliki dua fungsi, fungsi positif, fungsi negatif yang tadi sudah saya uraikan, menggunakan permodelan sistem peradilan pidana yang diajukan oleh Herbert L. Packer The Limits of Criminal Sanction dalam buku yang ditulisnya mengenai pengklasifikasian atau permodelan Crime Control Model CCM dan Due Process Model dalam suatu sistem peradilan pidana berbasis pada Crime Control Model lebih menekankan kepada model pembuktian yang positif hanya dicari mengenai hal-hal yang kirakira cocok pemenuhan unsur-unsur delik saja. Sedangkan dalam suatu sistem peradilan yang berbasis kepada Due Process Model lebih menekankan pada proses pembuktian yang seimbang menggunakan model positif yang diajukan penuntut umum, umumnya dan model negatif yang diajukan terdakwa penasehat hukum pada umumnya. Bagaimana dengan model peradilan menurut KUHAP. Menurut ahli KUHAP telah mendesain penyelenggaraan peradilan pidana yang berbeda dengan keduanya karena proses peradilan pidana bertujuan untuk menemukan kebenaran materil atau ada yang mengatakan kebenaran hakiki dan menundukan peran hakim bersifat aktif dalam menemukan kebenaran materil tersebut untuk mencapai keadilan yang tertinggi yakni pencapaian demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 97 ayat (1) KUHAP huruf a KUHAP. Advokat sebagai penasihat hukum terdakwa kedudukannya juga sebagai penegak hukum Pasal 5 Undang-Undang Advokat 18 Tahun 2003, yang berarti posisi sederajat dengan penegak hukum lain, polisi dan jaksa. Oleh sebab itu semua aparat penegak hukum pada tahapan penyidikan memiliki kewajiban untuk menemukan alat bukti yang baik
21
bersifat positif maupun yang negatif terhadap dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka dan jika gagal pembuktiannya maka perkara dihentikan melalui surat penghentian penyidikan SP3, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 KUHAP, dugaan kemungkinan terjadi pelanggaran hak dasar tersangka atau hak asasi manusia. Potensi terjadinya pelanggaran terhadap hak dasar tersangka atau hak asasi manusia tersebut terkait erat dengan kedudukan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981. Dinilai sebagai undang-undang pembatasan terhadap hak dasar tersangka atau hak asasi seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi termasuk hak yang dimuat di dalam Pasal 28D ayat (1) dalam rangka penyelenggaraan negara hukum Indonesia Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengacu kepada norma hukum konstitusi sebagaimana dimuat di dalam pasal 28J Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, yang dikutip selengkapnya sebagai berikut, “Setiap orang wajib…,” maaf, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia…, hak manusia, orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil,” saya ulangi lagi “ untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Interpretasi norma hukum acara pidana ini dimohonkan uji materil. Jika norma hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP, yang memuat norma hukum yang dimohonkan uji materil bagaimana yang dimuat di dalam Pasal 1…, 26, 27, Pasal 65, 116, kemudian dihubungkan dengan Pasal 184 KUHAP, merupakan bentuk pengaturan mengenai pembatasan terhadap kebebasan seseorang melalui undang-undang maka, norma hukum tersebut harus memenuhi syarat dan diinterpretasikan berdasarkan hal-hal sebagai berikut, yakni untuk menjamin pengakuan, penghormatan hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Konstitusionalitas. Atas dasar ketentuan tersebut maka, penafsiran ketentuan norma hukum acara pidana ini dimuat di dalam pasal-pasal yang dimohonkan uji materil dalam perkara a quo yang esensinya merampas hak dan kebebasan atau kemerdekaan seseorang
22
yang dijadikan tersangka, harus diintrerpretasi kan sesuai dengan maksud dan tujuan sebagai mana dimuat di dalam pasal 28J UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut. Melalui cara interpretasi yang demikian, maksudnya menghubungkan dengan norma hukum konstitusi dalam pasal 28J, maka pembentukan dan penegakan norma hukum dalam undang-undang yang kedudukannya sebagai pengecualian yang memuat norma pembatasan terhadap penggunaan hak dan kebebasannya dapat dibenarkan menurut hukum dan konstitusi. Oleh sebab itu segala bentuk tindakan hukum dalam rangka penggunaan wewenang penyidik dalam satu proses penyidikan terhadap tersangka, terdakwa dalam perkara pidana antara lain, pengumpulan bukti, penetapan status seseorang menjadi tersangka, tindakan penahanan, serta tindakan hukum lain dalam proses penyidikan, tidak sesuai dengan maksud dan tujuan atau bertentangan dengan norma hukum konstitusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 28J, harus dinyatakan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan konstitusi. Atas dasar pertimbangan tersebut, hak tersangka dalam tahapan pra ajudikasi atau tahapan penyidikan wajib dihormati dan dipenuhi karena akibat hukum tidak dipenuhi, hak-hak hukum tersangka akan merugikan kepentingan hukum tersangka sendiri, misalnya jadikan tersangka terdakwa, ditahan, dan diajukan ke pengadilan serta dijatuhi pidana. Padahal kalau itu didengar, atau di penuhi hak-hak tersangka untuk dihadirkan saksi atau alat bukti yang diajukan kepadanya, dia bisa menjadi tidak dijadikan tersangka atau terdakwa. Sebaliknya jika hak tersangka dipenuhi, yang aparat penyidik telah mempertimbangkan secara objektif terhadap semua alat bukti yang telah dikumpulkan, baik bersumber dari pelapor, inisiatif penyidik sendiri, maupun atas permintaan tersangka penasehat hukumnya dan mempertimbangkan maksud dan tujuan pemberian wewenang kepadanya, kemudian menggunakan wewenangnya pada tahap penyidikan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, merampas hak, kemerdekaan dan kebebasan seseorang menjadi tersangka dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hak dasar tersangka yang dilindungi oleh hukum dan konstitusi dan terhindar dari kemungkinan melanggar konstitusi. Pemenuhan hak tersangka tersebut termasuk hak untuk mengusahakan diri, mengajukan saksi, atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Dalam hal mana hak tersangka tersebut telah menjadi kewajiban penyidik untuk memenuhinya, merupakan bagian bentuk
23
praktik negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945. Maaf ini Pasal 1, ya. Oleh sebab itu, alat bukti atau saksi dapat diajukan oleh pelapor, penyidik atau terlapor, tersangka, terdakwa dan penasehat hukumnya, prinsipnya keterangan saksi bersifat netral dan objektif. Saya ulangi lagi…, keterangan saksi bersifat netral dan objektif. Obyektifitas keterangan saksi diukur dari keterangan kesaksian yang diberikan hanya berdasarkan apa yang ia alami atau apa yang ia lihat, atau apa yang dia sendiri…, yang diberikan di bawah sumpah. Ini berdasarkan…, mengutip Pasal 1. Saksi yang demikian ini adalah saksi yang keterangan kesaksiannya memiliki nilai kekuatan bukti yang kuat dalam perkara pidana, karena langsung terkait dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan. Saksi atau alat bukti lain yang diajukan oleh tersangka penasehat hukumnya, memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat, sama dengan saksi yang lain, asalkan memenuhi kualitas keterangan saksi bersifat netral dan objektif. Keterangan diberikan berdasarkan apa yang ia alami, ia lihat dan…, atau yang ia dengar sendiri, yang diberikan di bawah sumpah. Perbedaannya terletak pada sifat pembuktiannya, yakni pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya keterangan kesaksian atau alat bukti diajukan tersebut membuktikan sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya. Sebagai contoh mengajukan saksi alat…, mengajukan saksi atau alat bukti bahwa suatu perbuatan dilakukan sesuai dengan hukum yang berarti bukan perbuatan pidana. Kemudian bukti perbuatan tersebut adalah tidak melawan hukum atau perbuatan melawan hukum tetapi dapat dibenarkan atau ada alasan pembenar, karena ada alasan penghapus sifat melawan hukumnya atau alasan pembenar. Jadi keterangan kesaksian memiliki kualitas sebagaimana diuraikan tersebut juga tergantung pada sifat tindak pidananya yakni perbuatan pidana yang terjadi dilakukan cukup dengan satu kali perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dari satu orang penyertaan. Ada kalanya perbuatan dilakukan melalui serangkaian proses yang panjang waktu yang relatif lama dan melibatkan banyak orang. Yang terakhir ini dapat ditemukan dalam satu tindak pidana yang terkait dengan penggunaan wewenang pejabat publik yang bersumber dari…, dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan seperti dugaan terjadinya tindak pidana yang melatarbelakangi permohonan uji materil dalam kasus Sisminbakum. Serangkaian perbuatan yang diduga melakukan tindak pidana tersebut kami gambarkan sebagai berikut. Jadi kebijakan Pemerintah
24
dalam konteks ini Sisminbakum di duga terjadi tindak pidana melibatkan serangkaian proses yang panjang. Ada perbuatan pertama, ada perbuatan kedua, perbuatan ketiga dan seterusnya dan pimpinannya juga silih berganti. Pimpinan A, pimpinan B, pimpinan C, dan seterusnya. Dan oleh sebab itu di dalam hal menghimpun suatu fakta atau menghimpun suatu alat bukti semestinya harus semuanya dilakukan secara lengkap, sehingga dapat menilai secara objektif. Maka dalam konteks ini, siapapun yang terlibat dalam satu proses pengambilan keputusan atau kebijakan Pemerintah yang terkait dengan Sisminbakum semestinya juga dijadikan saksi dalam suatu proses pemeriksaan ini agar supaya kesimpulan yang dibuat oleh penyidik tersebut benarbenar objektif dan dilakukan tidak merugikan tersangka atau terdakwa. Ini berbeda dengan tertangkap tangan, saya kira tidak perlu saya jelaskan. Kesimpulan. Bahwa kesimpulan yang dilakukan penyidik pada tahap penyidikan harus didasarkan pengumpulan alat bukti yang lengkap baik yang bersumber dari pelapor, inisiatif penyidik atau yang bersumber dari terlapor, tersangka. Saksi yang diajukan tersangka hukumnya wajib untuk didengar keterangannya dan keterangan kesaksian adalah bersifat netral objektif dan keterangan harus memenuhi syarat-syarat keterangan kesaksian agar memiliki kekuatan pembuktian dalam perkara pidana. Penyidik menyimpulkan hasil proses penyidikan tanpa mempertimbangkan keterangan kesaksian yang diajukan oleh tersangka dan diketahui bahwa keterangan kesaksian tersebut memiliki nilai pembuktian, maka kesimpulan tersebut berpotensi melanggar hakhak tersangka atau hak asasi manusia. Bahwa di dalam penyelenggaraan negara hukum Republik Indonesia, penyelenggaraan pengadilan mendasarkan pada demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan proses peradilan dilakukan dalam rangka untuk menemukan kebenaran materil atau kebenaran hakiki, menempatkan hakim yang aktif, menempatkan advokat sebagai penegak hukum selain polisi, jaksa, maka pemeriksaan terhadap tersangka beralaskan kepada asas praduga tak bersalah, penyidik wajib untuk menghormati dan memenuhi hak tersangka untuk mengajukan saksi sebagaimana diatur pasal 65, 113 ayat (3) dan ayat (4) UU 81 tentang KUHAP. Bahwa Undang-Undang Tahun 81 tentang KUHAP dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia, Negara Republik Indonesia Tahun 45, Pasal 1 ayat (3), yang dihubungkan dengan undang-undang…, yang dihubungkan dengan
25
jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil Pasal 22D ayat (1) adalah undang-undang yang mengatur norma hukum, pengecualian terhadap penggunaan hak dan kebebasan atau kemerdekaan setiap orang sebagaimana dimaksud pasal 28J. Intinya bahwa pasal-pasal yang mengatur wewenang yang diberikan kepada penyidik dalam proses penyidikan yang berakibat…, yang akibat dari penggunaan wewenang penyidik tersebut merampasnya hak kebebasan atau kemerdekaan seseorang yang dijadikan tersangka dinyatakan konstitusional apabila ditafsirkan sesuai dengan maksud dan tujuan dari norma hukum konstitusi, sebagaimana dimuat dalam pasal 22J UndangUndang Dasar Republik Indonesia. Sebaliknya penggunaan wewenang penyidik yang mengakibatkan terampasnya hak dan kebebasan atau kemerdekaan seseorang yang dijadikan tersangka dinyatakan tidak konstitusional, apabila ditafsirkan yang tidak sesuai yang bertentangan dengan maksud dan tujuan norma hukum konstitusi. Sebagaimana dimuat di dalam pasal 28J Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut ahli norma hukum acara pidana yang dimuat dalam Pasal 1 ke 26, Pasal 1 ke 27. KUHAP dihubungkan dengan Pasal 65 juncto Pasal 113 ayat (3) dan ayat (4), juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, sebagai norma hukum pengecualian yang berakibat terampasnya hak dan kebebasan atau kemerdekaan seseorang yang dijadikan tersangka, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, apabila ditafsirkan yang tidak sesuai dengan bertentangan…, tidak sesuai…, atau bertentangan dengan maksud dan tujuan daripada norma konstitusi sebagaimana yang dimuat dalam pasal 28J Undang-Undang Dasar tahun 1945, yang berakibat dilanggarnya hak tersangka yang dijamin oleh pasal 28D ayat (1) dalam rangka penyelenggaran Negara Hukum Republik Indonesia. Demikian Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati. Pandangan ahli…., keterangan ahli saya sampaikan, mudah-mudahan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam satu proses pengambilan keputusan.., yang dalam konteks ini adalah dalam perkara pidana yang dapat merampas hak seorang dan agar supaya.., seandainya hak-hak seorang dirampas haknya itu benar-benar atas dasar dan sesuai dengan dan tidak bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terima kasih.
Billahitaufiq walhidayah. Wasalamualaikum wr.wb.
26
KETUA: ACHMAD SODIKI
Wasalamualaikum wr.wb.
Untuk semua ahli nanti softcopy dan hardcopy- nya bisa diserahkan pada Majelis lewat Panitera. Saya panggil sekarang Saudara DR. Chairul Huda, ahli hukum pidana, staf pengajar dan Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Silakan. 27. AHLI DARI PEMOHON: DR. CHAIRUL HUDA
Assalamualaikum wr.wb.
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih, telah diberi kesempatan untuk menunjukan, menyampaikan keterangan ahli berkenaan dengan perkara yang dimohonkan. Persoalan pemanggilan dan pemeriksaan saksi yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa, menjadi masalah yang crucial dalam sistem peradilan pidana. Sekalipun KUHAP telah menyatakan hal itu sebagai hak tersangka atau terdakwa, tetapi pelaksanaannya masih sangat tergantung dari etikat baik para penegak hukum, penuntut umum, penyidik, maupun hakim mengingat undangundang tidak menentukan dengan jelas akibat hukum apabila hal ini diabaikan. Padahal dilihat dari tujuan dan manfaatnya tidak diragukan lagi hal ini merupakan amanat dari konstitusi sebagai bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 28…, undang-undang…, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam tingkat penyidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan saksi yang menguntungkan bagi tersangka merupakan kewajiban penyidik, sebagai kewajiban tentunya sifatnya imperatif sehingga pelaksanaan tugas ini dilakukan semata-mata dalam rangka menjamin bahwa hak tersangka dapat digunakan sebagaimana mestinya. Sebagai aparatur sistem peradilan pidana, penyidik mempunyai tugas menegakkan hukum dan keadilan, sehingga dilakukan atau tidak dilakukan kewajiban memanggil atau memeriksa saksi yang menguntungkan tersangka, tidak ditentukan oleh penilaian bahwa dengan keterangannya tersebut memang benar seseorang telah melakukan tindak pidana tetapi juga jika yang diperoleh adalah peristiwa atau keadaan sebaliknya. Ke semua itu menjadi bahan komprehensif untuk membuktikan pada tingkat penyidikan suatu peristiwa sebagai tindak pidana dan memastikan bahwa tersangka
27
adalah pelakunya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. Pengabaian pelaksanaan hak tersangka berkenaan dengan saksi yang menguntungkan akan mencederai due process dan fair procedure yang menjadi semangat konstitusi yang harus tercermin dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, yang desainnya digariskan dalam KUHAP. Hal ini setidaknya terkait dengan tiga alasan baik filosofis, yuridis, maupun teknis. Majelis Hakim yang saya muliakan. Sistem peradilan pidana yang diselenggarakan dengan asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini, sebelum pengadilan menyatakan seseorang bersalah karena tindak pidana yang dilakukannya, maka seluruh proses, sekali lagi, maka seluruh proses yang saya artikan sebagai pengurangan dan pembatasan kebebasan asasi, dan prosedur yang saya artikan sebagai pelindungan kebebasan asasi dalam hukum acara pidana didedikasikan untuk mengambil jarak sejauh mungkin dengan anggapan bahwa seseorang telah bersalah atau presumption of guilty kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dari sisi hak negara untuk melakukan penegakkan hukum, maka pelaksanaan acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, berangkat dari upaya menjamin bahwa proses hukum dapat berlangsung secara wajar due process of law dengan memberikan seluas-luasnya kemungkinan bagi seseorang untuk terhindar dari degradasi sosial sebagai pelaku kejahatan kecuali kemudian jika pengadilan menyatakan sebaliknya. Yang paling sederhana misalnya dengan memberikan predikat baginya sesuai dengan tingkat-tingkat pemeriksaan seperti menyebutnya sebagai terduga, tersangka, terdakwa, dari suatu tindak pidana. Yang ke semuanya diabdikan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak-hak individual dan kebebasannya. Sesuai dengan sejarahnya memang asas ini lahir di abad ke-11 yang mulanya menjadi prasyarat utama penyelenggaraan criminal justice system dalam lingkungan keluarga Common Law yang bersumber pada ideologi individualistic, liberalistic. Namun demikian konsep ini telah menjadi gagasan utama semua sistem hukum dari rumpun manapun sekarang ini. Sebagai implementasinya proses pidana yang dilakukan penegak hukum ditandai oleh sejumlah instrumen yang dibangun untuk memastikan subjek pemeriksaan tersebut dapat mengunakan hak-hak hukum tertentu yang demikian…, yang dimilikinya. Sehingga menjaga
28
yang bersangkutan tetap layaknya orang tidak bersalah sampai dengan pengadilan membuktikan sebaliknya. Hak-hak tersebut sebagian dirumuskan dalam aturan hukum, sedangkan sebagian yang lain hanya menjadi bagian dari pelaksanaan fair trial . Salah satu yang sangat penting adalah hak mengajukan saksi atau ahli yang menguntungkan tersangka…, terdakwa. Pasal 65 KUHAP menentukan tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya. Pelaksanaan asas tak bersalah juga mengharuskan pembuktian bahwa telah terjadi tindak pidana seseorang telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang tidak menimbulkan keraguan sedikit pun beyond the reasonable doubt yang di peroleh secara sah. Dengan prinsip ini bukan hanya digunakan dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan, tetapi dimulai sejak tahap penyidikan. Untuk mendapatkan prasyarat yang demikian itu hukum mewajibkan aparatur peradilan, penyidik, penuntut umum, dan hakim mengejar kebenaran materil yang bukan diperoleh dari saksi-saksi atau a charge yang didapat dari pelaksana kewenangannya sebagai penyelidik, penuntutan, pengerusakan di sidang pengadilan tetapi juga memanggil, memeriksa, dan mendengar saksi seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi diri tersangka, atau terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat 4, dan 160 ayat 1 huruf c KUHAP. Tidak dilaksanakan kewajiban hukum memanggil, memeriksa, dan mendengar saksi seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa, sebagaimana dimaksud tersebut dapat dipandang sebagai pengingkaran asas praduga tak bersalah dengan kata lain dalam hal penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak bersedia memanggil, memeriksa, dan mendengar saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus memberikan keterangan yang menguntungkan bagi tersangka, atau terdakwa maka pejabat tersebut telah menjalankan system peradilan yang didasarkan pada praduga bersalah. Penyidik, penuntut umum hakim berarti menduga tersangka telah bersalah sekalipun saksi, atau pun ahli dapat memberikan keterangan dari sisi lain belum dipanggil diperiksa atau didengar keterangannya. Praduga bersalah tidak menjadi konsep latar belakang pemikiran, gagasan yang dipertahankan ide, atau pun paradigma di belakang norma, atau norma didalam KUHAP dan ini dilarang untuk dipraktikkan sekalipun untuk tindak pidana extraordinary crime seperti korupsi yang menghalalkan crime control model. Paktik peradilan demikian itu termaksud ketika mengabaikan kehendak terdakwa atau tersangka
29
untuk memanggil, memeriksa, dan mendengar saksi yang menguntungkan saksi yang meringankan, atau saksi a de charge harus dilawan karena bertentangan dengan keinginan luhur bangsa Indonesia dan kehendak bangsa-bangsa beradab. Pasal 65 KUHAP menentukan tersangka dan terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi, atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Ketentuan ini merupakan hak dalam hal ini hak hukum dari tersangka atau terdakwa untuk mempertahankan diri atas sangkaan atau dakwaan karena diduga telah melakukan tindak pidana pelaksanaan hak ini dapat dibedakan ketika yang bersangkutan menjadi tersangka dan pada waktu yang bersangkutan telah menjadi terdakwa. Pertama, pada tahap penyidikan pelaksanaan hak ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 116 ayat (3), dan ayat (4) KUHAP yang menentukan pada pokoknya dalam hal tersangka menghendaki didengarnya saksi atau ahli yang dapat meringankan baginya, penyidik wajib memanggil dan memeriksa ahli tersebut. Dari ketentuan di atas hak tersangka sebagai sebagaimana dimaksud Pasal 65 KUHAP telah menjelma menjadi kewajiban penyidik dengan kata lain berkenaan dengan saksi atau ahli yang menguntungkan ada satu sisi memang itu benar menjadi hak hukum tersangka tetapi pada sisi lain hal tersebut menjadi kewajiban hukum dari penyidik. Perlu saya tegaskan disini hak hukum tersangka untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan pada dirinya berpasang-pasangan dengan kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa yang bersangkutan. Kewajiban tersebut melekat pada penyidik dan bukan dengan atau menjadi kewajiban pihak lain seperti pelapor atau korban. Berpasangannya antara hak dan kewajiban yang demikian itu dalam hukum pidana menjadi suatu keharusan seperti berpasangannya proses yaitu kewenangan dalam mengurangi hak seseorang dan prosedur yaitu kewajiban untuk melindungi hak asasi seseorang. Hal yang sama misalnya juga ditentukan berkenaan dengan hak hukum tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum pada satu sisi merupakan hak dan pada sisi yang lain merupakan kewajiban dari penyidik untuk menyediakannya sebagaimana dimaksud Pasal 54 dan Pasal 56 KUHAP. Kewajiban hukum penyidik tersebut secara garis besar meliputi kewajiban untuk memanggil, dan kewajiban untuk memeriksa.
30
Lengkapnya hak tersangka untuk mengusahakan dan mengajukan saksi, atau ahli yang menguntungkan bagi dirinya, dalam hal ini menjadi serangkaian kewajiban penyidik antara lain penyidik wajib dalam melakukan pemeriksaan tersangka menanyakan keinginan tersangka tentang didengarnya saksi, atau ahli yang menguntungkan baginya. Penyidik wajib memasukan dalam berita acara pemeriksaan tersangka tentang keinginan tersangka berkenaan dengan didengarnya saksi atau ahli yang menguntungkan baginya penyidik wajib memanggil layak saksi-saksi atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka. Penyidik wajib memeriksa saksi yang menguntungkan, atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka. Penyidik wajib menuangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi, atau pemeriksaan ahli hasil pemeriksaan saksi atau ahli yang menguntungkan bagi terdakwa…, tersangka maksud saya. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 224 KUHP yang menetapkan sebagai tindak pidana perbuatan saksi, ahli, dan juru bahasa, yang ketika dipanggil dengan sengaja, tidak memenuhi kewajiban menurut undang-undang yang dalam perkara pidana diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, maka kewajiban penyidik tersebut dilengkapi dengan alat pemaksa, supaya saksi yang menguntungkan bagi tersangka melaksanakan kewajiban hukum memenuhi panggilan memberikan keterangan yang diperlukan dalam suatu perkara pidana. Ke dua, pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan dihubungkan dengan Pasal 160 ayat (1) huruf c, hak hukum tersebut menjadi…, menjelma menjadi kewajiban hukum bagi hakim untuk mendengar. Saya ulangi, kewajiban hak tersangka tersebut…, hak terdakwa tersebut menjelma menjadi kewajiban hukum bagi hakim untuk mendengar saksi yang menguntungkan bagi terdakwa. Terdapat perbedaan mendasar dalam hal ini, jika penyidik wajib memanggil dan memeriksa, tetapi dalam tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan hakim hanya wajib mendengar. Tetapi, tidak ada satu pun aparatur yang wajib memanggil sehingga diabaikannya hal ini dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 224 KUHP. Dengan demikian, pelaksanaan hak hukum terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi, atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya, sangat tergantung dari itikad baik penuntut umum dan hakim dalam hal ini. Hakim wajib mendengar keterangan saksi, atau ahli sebagaimana dimaksud Pasal 160 ayat (1) huruf KUHAP, baik yang terdapat dalam surat pelimpahan perkara atau berkas perkara, atau pun diminta oleh terdakwa atau penasihat hukumnya. KUHAP tidak
31
menentukan kewajiban bagi hakim untuk memanggil saksi-saksi yang menguntungkan tersebut. Berbeda halnya dengan saksi yang menguntungkan yang diajukan tersangka di penyidikan. Menjadi kewaiban penyidik untuk memanggil dan mendengar keterangannya. Hal ini menimbulkan konsekuensi, bahwa saksi yang meringankan pada pemeriksaan di muka sidang pengadilan sangat tergantung dari kesukarelaan yang bersangkutan untuk hadir di muka persidangan. Baik yang ada di berkas perkara, maupun yang langsung diajukan terdakwa atau penasihat hukum di muka sidang pengadilan. Pasal 224 KUHP tidak dapat digunakan sebagai alat pemaksaan, dalam hal ini. Bagi saksi, ahli, atau juru bahasa, yang dipanggil tetapi tidak memenuhi kewajiban undang-undang, dengan sengaja mengingat kewajiban itu timbul karena adanya panggilan, sedangkan kewajiban memanggil di sini tidak ada. Berdasarkan uraian di atas, kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi, atau ahli yang menguntungkan tersangka, mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena jika dengannya tersangka tidak dapat dikualifikasi, memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dan bersalah karenanya, maka proses hukum terhadap yang bersangkutan tidak akan berlanjut ke pengadilan. Dapat dimaklumi, jika kewajiban terhadap penyidik memanggil, dan memeriksa tidak sekeras kewajiban terhadap hakim untuk mendengar saksi, atau ahli yang menguntungkan. Pengabaian hal ini bukan hanya bertentangan dengan asas keseimbangan dalam mewujudkan keadilan, tetapi juga membuat peradilan tidak berlangsung sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pasal 1 angka 26 KUHAP menentukan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Ketentuan tersebut adalah tentang subyek yang disebut sebagai saksi, dalam hal mana terhadap hasil proses hukum terhadap yang bersangkutan disebut dengan keterangan saksi. Dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP ditentukan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana, yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat, ia alami sendiri, dengan menyebutan…, menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Persoalan mendasar di sini adalah apakah secara teknis ketentuan Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP, merupakan ketentuan yang dapat dikaitkan dengan Pasal 116 ayat (3) dan (4), dan Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Dalam hal memang demikian, maka…, maka terjadi pembatasan pengertian hak tersangka, terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang
32
memiliki keahlian khusus, guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 KUHAP. Mengingat kata-kata peristiwa pidana, yang dihubungkan dengan kata-kata ia mendengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, menyebabkan pengertian ini semata-mata pada saksi yang memberatkan, atau a charge. Dalam pandangan akademik ahli, saksi yang menguntungkan bagi diri tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud Pasal 65 KUHAP merupakan pengertian lain dari saksi atau keterangan saksi sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Saksi yang menguntungkan adalah saksi yang pengertiannya di luar dari pengertian saksi yang memberatkan. Dengan demikian pula dengan ahli, sebagaimana dimaksud Pasal 65 KUHAP, tidak sama dengan pengertiannya ahli sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP juncto Pasal 120 ayat (1) KUHAP. Berdasar hal ini, tidak pada tempatnya jika penyidik menolak memanggil, memeriksa saksi yang dikehendaki oleh tersangka, dengan alasan berpendapat tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang disidiknya dengan asumsi karena tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Dengan menjadikan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP sebagai dasar, demikian pula dengan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara atau pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus dalam penyidikan tindak pidana. Tidak ada hubungannya dengan seseorang yang memiliki keahlian khusus menguntungkan bagi tersangka. Pemeriksaan saksi atau ahli menguntungkan dalam penyidikan semata-mata dilakukan untuk menjalankan hak hukum tersangka, tentu menjadi tidak logis jika tersangka mengajukan saksi atau keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 26 dengan angka 27 KUHAP. Dan ahli sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf h juncto Pasal 120 ayat (1) KUHAP. Saksi yang menguntungkan di sini adalah saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami peristiwa yang ada kaitannya dengan tersangka. Sedemikian rupa sehingga peristiwa yang disangkakan terlihat dari sisi lain. Termasuk dalam pengertian ini adalah saksi yang meringankan, saksi yang memberi alibi, saksi lain yang pada pokoknya dapat membuat tersangka tidak dapat disangka telah melakukan peristiwa pidana tersebut. Sebangun dengan hal ini, berkenaan dengan ahli sebagaimana dimaksud Pasal 65 KUHAP adalah orang yang karena keahliannya peristiwa yang disangkakan kepada tersangka menjadi lain, menjadi bukan peristiwa pidana, melainkan misalnya merupakan peristiwa perdata ataupun perbuatan pejabat Tata Usaha Negara. Tujuannya tidak lain, membuat posisi tersangka menjadi diuntungkan di mata hukum.
33
Penyidik sama sekali tidak dapat dibenarkan menilai keterangan saksi atau ahli yang menguntungkan, sebelum memanggil dan memeriksa yang bersangkutan. Prejudice yang demikian itu membuat penyidik playing judgement secara prematur tentunya. Penilaian hanya dapat dilakukan setelah memanggil dan memeriksa yang besangkutan sesuai dengan kehendak tersangka. Penyidik tidak boleh sekaligus mempunyai kekuasaan menegakkan hukum dan menilai atas pelaksanaan hal itu, yang tentunya bertentangan dengan demokrasi yang dijunjung tinggi konstitusi termasuk Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian keterangan saya. Assalamualaikum wr. wb. 28. KETUA: ACHMAD SODIKI Baiklah. Saya persilahkan selanjutnya Saudara Chairul Huda, Dr. Chairul Huda. Sudah ya? Dr. Kurnia Toha waktunya harap diperhatikan karena masih ada satu ahli Pak Dr. O.C. Kaligis…, Prof. Dr. O.C. Kaligis. Kita memperkirakan harus selesai jam 12.30 paling lambat, karena jam 13.00 ada sidang lagi. Saya persilakan. 29. AHLI DARI PEMOHON: DR. KURNIA TOHA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yang Mulia Majelis Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang terhormat wakil dari Pemerintah Republik Indonesia. Pertama-tama perkenakan saya untuk menyampaikan keterangan ahli sesuai dengan keahlian yang saya miliki, dalam perkara yang diajukan oleh Pemohon, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, mengenai permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Pada ayat (1), pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia
34
adalah negara hukum. Sebagai negara hukum maka hukumlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Dengan demikian bukan hanya rakyat yang harus mematuhi hukum akan tetapi negara pun harus tunduk pada hukum yang berlaku atau rechtssoevereiniteit. Selanjutnya sebagai negara hukum maka merupakan suatu keharusan untuk menghormati dan menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimilki manusia, semata-mata karena ia manusia, bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau oleh hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia, Jack Donelly, “Universal Human Rights in Theory and Practice”. Oleh karena itu, hal ini bersifat universal di samping itu hak-hak ini tidak dapat dicabut walaupun seseorang tersebut berperilaku buruk atau kejam atau didakwa melakukan suatu tindak pidana apapun. Selain daripada itu, terdapat beberapa prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal, seperti prinsip kesetaraan yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan, prinsip non dikriminasi yaitu berupa pelarangan adanya perbedaan perlakuan terhadap mereka yang seharusnya diperlakukan sama dan prinsip kewajiban negara untuk melindungi hak-hak asasi manusia tersebut yaitu bahwa suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk secara aktif melindungi dan memastikan terpenuhinya hak-hak asasi manusia tersebut. Dalam bukunya The Second Treatise of Civil Component and the Letter Concerning Toleration, John Locke menyatakan, “Semua orang dikarunia hak yang melekat atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan, life, liberty, and property yang tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.” Lebih lanjut Locke mengatakan bahwa melalui kontrak sosial, perlindungan terhadap hak ini diserahkan kepada negara. Namun, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat bebas menggantikan dan me…, dengan pemerintahan yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Dari apa yang telah dikemukakan oleh Locke tersebut, maka sangatlah penting negara menghormati hak asasi rakyatnya. Dalam sistem peradilan, apalagi dalam sistem peradilan pidana, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak tersangka, terdakwa, bahkan terpidana, tercermin dalam penghormatan terhadap prinsip due process of law, Mardjono Reksodiputro “Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana”. Penekanan keharusan menghormati due process of law dan peradilan pidana ini kiranya dimaklumi mengingat sifat dari hukum pidana yang mempunyai sanksi yang berat, bukan hanya bagi si pelaku tetapi juga bagi sanak
35
familinya. Seseorang yang disangka melakukan tindak pidana pada dasarnya telah mendapatkan hukuman, bahkan sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, maka tersangka haruslah dilindungi hak-haknya untuk melakukan pembelaan dan mengumpulkan bukti-bukti yang meringankannya. Bahkan dalam hukum pidana berlaku prinsip “lebih baik membebaskan seratus orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Prinsip-prinsip due process of law ini merupakan bagian yang pelaksanaan hak asasi manusia, dengan kata lain seperti juga prinsipprinsip hak asasi manusia yang melekat sebagai kodrati, maka prinsipprinsip due process of law juga secara sendirinya melekat pada setiap manusia, yang melindungi dia dari tindakan sewenang-wenang, arbitrary, menindas oppressive, dan tindakan pemerintah yang tidak adil, unjust government action. Jika suatu proses penegakkan hukum mengakibatkan pengingkaran terhadap prinsip fairness, maka telah terjadi pelanggaran terhadap due process of law, yang dapat mengakibatkan dihukumnya orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap due process of law akan mengakibatkan terjadinya proses peradilan yang sesat dan kerap hanya…, seyogyanya membatalkan tuntutan hukum serta membebaskan tersangka dari segala sangkaan. Due process of law menjamin lebih dari proses yang fair dan kebebasan atau liberty adalah perlindungan termasuk lebih dari tidak adanya kekangan terhadap fisik. Due process of law memberikan proteksi atau perlindungan yang sungguh-sungguh terhadap atau dari campur tangan pemerintah dalam hak-hak fundamental dan kebebasan dari setiap individu. Due process of law melindungi masyarakat dari ketidakadilan, unfairness’. Dalam pelaksanaan baik hukum materiil, substantive law, dan hukum formil, procedure law. Due process of law dalam hukum materil meliputi hukum yang menciptakan, mendefinisikan, mengatur hak-hak, dan menentukan hubungan hukum antara individu-individu dengan negara dan individu dengan individu. Sedangkan due process of law dalam hukum formil mengatur cara melaksanakan hak-hak rakyat atau anggota masyarakat. Dalam sistem peradilan pidana maka keadilan akan lebih tercapai, apabila prosedur yang benar dilaksanakan atau diikuti. Prosedur due process of law sangat memegang peranan penting dalam kasus pidana karena ia membatasi teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, membatasi tindakan dari penuntut umum, dan mengarahkan bagaimana peradilan pidana dilaksanakan.
36
Prosedur due process of law memberikan hak kepada terdakwa atau tersangka untuk diperlakukan adil. Proses hukum yang adil, termasuk di dalamnya hak untuk didengar, melakukan pembelaan diri, pengakuan atas kesamaan kedudukan di dalam hukum, dan penghormatan terhadap asas praduga tidak bersalah. Proses hukum yang adil ini akan menjamin kedua pihak dalam sistem hukum pidana, yaitu pihak penegak hukum di satu sisi dan tersangka pada sisi lainnya, mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti dan alasan-alasan sehingga proses peradilan akan berjalan dalam situasi yang fair, akurat, dan cara-cara yang masuk akal. Dengan demikian, pelaksanaan due process of law selain akan menciptakan keadilan, juga akan menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercipta apabila rumusan dari peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannnya. Suatu peraturan perundang-undangan yang multitafsir akan mengakibatkan terjadinya perbedaan perlakuan terhadap orang-orang yang berbeda yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu pula peraturan yang tidak jelas atau multitafsir dapat mengakibatkan timbulnya penafsiran yang sewenangwenang oleh aparat penegak hukum atau penafsiran menurut pendapatnya sendiri atau arbitrary’. Dalam disertasi saya, saya mendalihkan bahwa dengan adanya multitafsir atas peraturan perundang-undangan, telah mengakibatkan ketidakadilan kepada para pencari keadilan. Prinsip-prinsip penghormatan terhadap due process of law ini selain telah dimuat dalam Pasal 1 ayat (3) sebagaimana telah disebutkan dulu, juga termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang saya hormati, serta wakil pemerintah yang saya hormati. Jika sebelumnya saya menyampaikan keterangan terkait dengan due process of law dan pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 maka selanjutnya saya akan menyampaikan keterangan terkait dengan pengaturan prinsip due process of law dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, khususnya Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
37
Pasal 1 angka 26 KUHAP berbunyi, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.” Lebih lanjut Pasal 1 angka 27 KUHAP menyebutkan, “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut.” Berdasarkan ketentuan dari kedua pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keterangan saksi adalah alat bukti yang penting dalam proses penegakkan hukum pidana baik bagi penegak hukum untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa, maupun upaya bagi tersangka atau terdakwa dalam melakukan pembelaan diri. Merupakan kewenangan Penyidik atau Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi yang memberatkan…, memberikan keterangan memberatkan bagi tersangka atau terdakwa atau yang akan mendukung proses pembuktian yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, tetapi berdasarkan prinsip due process of law adalah suatu hak yang mendasar bagi tersangka untuk melakukan pembelaan diri dengan meminta didengarkannya keterangan saksi yang menguntungkan bagi dirinya. Sebagaimana hak Penyidik atau Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi-saksi yang mendukung dalil-dalilnya, maka hak yang sama juga melekat dan karenanya tidak dapat dicabut dari tersangka atau terdakwa untuk menghadirkan saksi-saksi yang mendukung dalil-dalil yang dikemukakan oleh tersangka atau saksisaksi yang dapat mendukung dalil tersangka atau…, bahwa dia tidak melakukan tindak pidana yang disangkakan, atau didakwakan, atau setidak-tidaknya meringankannya. Paham dasar inilah yang diatur dalam Pasal 65 KUHAP yang berbunyi, “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.” Selanjutnya dalam Pasal 116 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa pemeriksaan tersangka, ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara. Ketentuan Pasal 116 ayat (3) ini meletakkan kewajiban kepada penegak hukum, dalam hal ini penyidik, untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Apabila setelah ditanyakan kepada tersangka, tersangka…, beberapa saksi yang dapat menguntungkan apakah permintaan tersebut harus dipenuhi oleh penyidik? Pertanyaan ini dijawab oleh Pasal 116 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa hal sebagaimana
38
dimaksud pada Pasal 116 ayat (3), penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut. Kiranya perumusan pasal-pasal ini sudah sangat jelas. Kewajiban penyidik tersebut telah sesuai dan bukan bagian dari penghormatan terhadap due process of law yang dilindungi juga di dalam UndangUndang Dasar Republik Indonesia. Persoalannya adalah sejauh mana penyidik berkewajiban memanggil dan memeriksa saksi yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa. Yahya Harahap menggunakan pendekatan kuantitatif…, kuantitas dengan menyebutkan mungkin lebih dari 10 saksi yang menguntungkan masih relevan bagi kepentingan keuntungan tersangka. Menurut hemat saya, selain kuantitas saksi yang menguntungkan, maka lebih penting lagi menekankan bahwa sejauh mana saksi yang dihadirkan mempunyai keterkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan serta masuk akal untuk dikatakan menguntungkan tersangka dan dapat meringankan atau membebaskan tersangka atau…, dari tindak pidana yang disangkakan kepadanya, sekalipun saksi tersebut bukanlah saksi fakta yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu tindak pidana. Namun, apabila keterangan yang dia berikan dapat menyebabkan apa yang tersangkakan terhadap tersangka menjadi bukan merupakan tindak pidana atau setidak-tidaknya meringankan atau menguntungkannya, maka saksi-saksi tersebut harus dipanggil dan didengar kesaksiannya. Permasalahannya adalah apakah saksi didengarkan keterangannya, harus merupakan saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP juncto Pasal 1 angka 27 KUHAP? Seharusnya istilah yang sama pada satu peraturan yang sama mempunyai arti yang sama pula. Akan tetapi, arti saksi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP juncto Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah, “Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu proses pidana yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri” adalah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, karena saksi yang menguntungkan tidak selalu orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu tindak pidana. Dengan demikian, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 26 juncto Pasal 1 angka 27 KUHAP telah menimbulkan multitafsir dan meniadakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan diskriminasi
39
pelaksanaan Pasal 65 juncto pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP. Ketidakjelasan dan penafsiran yang sewenang-wenang atau menurut pendapatnya sendiri oleh penyidik terhadap pasal-pasal tersebut berakibat dilanggarnya hak-hak konstitusional tersangka yang dilindungi oleh Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 26D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945(…) 30. KETUA: ACHMAD SODIKI Kalau bisa dipersingkat, ya? 31. AHLI DARI PEMOHON: DR. KURNIA TOHA Ya. Tinggal sedikit lagi, Yang Mulia. Sebagai ilustrasi A menjadi tersangka melakukan pencurian laptop pada Hari Senin tanggal 17 Januari 2011 di Kampus UI Depok. A mendalilkan bahwa dia tidak melakukan pencurian karena laptop tersebut adalah kepunyaannya sendiri. Dalam rangka mendukung dalilnya tersebut maka A meminta kepada penyidik untuk menghadirkan temannya yang pada waktu kejadian tersebut sedang berada di Bandung, namun temannya tersebut mengetahui pasti bahwa laptop tersebut kepunyaan A. Karena teman tersebut mengetahui pasti bahwa laptop tersebut adalah kepunyaan A, maka walaupun dia tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri sewaktu A mengambil laptop tersebut dan keterangan teman ini akan menyebabkan A dibebaskan dari sangkaan pencurian, maka teman tersebut merupakan saksi yang menguntungkan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) , juncto Pasal 184 huruf a KUHAP. Dalam kasus lainnya. Seorang pejabat melaksanakan suatu kebijakan, dimana kebijakan tersebut diambil dalam suatu rapat pimpinan yang dihadiri oleh pejabat lainnya di lingkungan instansi tersebut. Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, pimpinan-pimpinan lain yang hadir dalam rapat tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri pelaksanaan kebijakan tersebut. Apabila di kemudian hari, pejabat yang melaksanakan kebijakan yang diputuskan dalam rapat pimpinan tersebut diperiksa oleh penyidik karena disangka merupakan suatu tindak pidana, meskipun para pejabat yang memutuskan kebijakan tersebut tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri tetapi keterangan para pejabat tersebut sangat diperlukan untuk membebaskan pejabat pelaksana kebijakan dari sangkaan melaksanakan suatu tindak pidana karena para pejabat tersebut
40
mengetahui apa isi dan bagaimana proses pengambilan kebijakan tersebut. Maka para pejabat tersebut merupakan saksi yang mengutungkan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 65 juncto Pasal116 ayat (3) dan ayat (4), juncto Pasal184 ayat (1) huruf a KUHAP. Oleh karena itu, Penyidik wajib memanggil dan memeriksa para pejabat sebagai saksi yang menguntungkan apabila diminta oleh Tersangka. Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, serta wakil Pemerintah yang saya hormati. Dari apa yang telah saya sampaikan, maka perkenankanlah saya menyimpulkan, bahwa pertama, prinsip hak asasi manusia dan due process of law telah mendapatkan perlindungan di dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Kedua, bahwa ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Ketiga, bahwa hak tersangka untuk didengarkan saksi yang menguntungkan baginya dan kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 65, juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP telah sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (I) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Keempat, bahwa perumusan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP telah menimbulkan penafsiran yang sewenangwenang oleh penyidik atau sesuai dengan keinginannya sendiri, arbitrary, sehingga melanggar prinsip-prinsip due process of law dan menyebabkan dilanggarnya hak-hak tersangka sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945. Demikianlah keterangan saya, semoga merupakan masukan yang bermanfaat bagi tegaknya hukum dan keadilan di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Wassalamualaikum wr.wb. Terima Kasih. 32. KETUA: ACHMAD SODIKI
Waalaikumsalam wr.wb.
Kini giliran Prof. Dr. O.C. Kaligis. Sebelumnya dimohon disumpah terlebih dahulu. Saya persilakan Bapak maju ke depan.
41
SAKSI AHLI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA MARIA FARIDA INDRATI 33. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Bapak mau bersumpah atau berjanji? Berjanji. Ya. Ikuti lafal janji yang saya ucapkan. Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya menurut keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya. Terima kasih. 34. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. O.C. KALIGIS Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya menurut keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya. 35. KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Dipersilakan langsung ke podium dan mohon supaya lebih pada pokok-pokoknya saja. Saya persilakan, Bapak. 36. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. OC. KALIGIS Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, sidang yang saya hormati. Pertama-tama, saya akan memberikan keahlian saya dan jalur pemikiran saya.
Ratio legis Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat (3) ada dua, Yang Mulia, rechtszekerheid dan rechtelijkheid. Nah, mengenai equality before law, khusus dihadapkan ke hukum acara, di mana hak-hak tersangka dihadapkan kepada, katakanlah, the integrated criminal justice system. Di situ, di Pasal 28D ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Sebenarnya kalau kita baca Pasal 65 itu cukup jelas. Cuma adanya interpretasi yang sesat dari penyidik menyebabkan ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi karena interpretatio cessat in claris. Jadi Pasal 65
42
kalau kita membaca alur pemikiran KUHAP itu kita ke Pasal 184, bukti. Bukti antara lain adalah keterangan saksi dan ahli. Kemudian kita baca lebih lanjut Pasal 185 ayat 6, persesuaian. Hakim tidaklah mengambil keputusan secara persesuaian. Bagaimana ada persesuaian, katakanlah alat bukti. Kalau hak tersangka sudah sejak semula dikebiri, ah, apa sih filosofinya Pasal 28 di dalam hukum acara? HAM? Negara otoriter tidak mungkin memakai filosofi HAM, Hak Asasi Manusia. Dari situ lahir equality before the law, untuk sampai kepada fair trial. Nah, middle range story-nya adalah due process of law. Kita enggak memakai pendekatan kekuasaan dan karena itu ada presumption of innocence, ini yang paling utama.
Nah, Pasal 185 ayat (6) itu persesuaian. Bagaimana mungkin ada persesuaian? Kalau sudah sejak semula equality before the law yang dipunyai oleh tersangka itu diambil oleh sang penyidik. Jangan lupa, bahwa penyidik suatu waktu jadi orang sipil juga, kita jadi orang sipil juga. Ini KUHAP adalah imperative, itu adalah payung perlindungan hukum kita. Nah, bahkan Belanda yang membuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 1906 di Bab 28, itu ada bab mengenai kejahatan jabatan. Salah satunya di Pasal 417, manakala katakanlah dari pertama penyidik…, katakanlah atau penuntut umum merampas hak daripada tersangka, itu bisa dikenakan kejahatan jabatan. Betapa banyak katakanlah dalam putusan-putusan. Dikatakanlah di KPK, di mana fakta-fakta yang terungkap di persidangan digelapkan begitu saja. Coba baca Pasal 417 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, “Barang siapa yang sengaja menggelapkan itu dikenakan hukuman.” Dan itu yang selalu diabaikan sekarang di dalam pertimbangan hukum. Dan kerenanya, kenapa Pasal 65 itu penting? Karena tidak mungkin ada persesuaian keterangan kalau tidak…, keterangan katakanlah apa yang dimajukan oleh tersangka yang merupakan hak asasi dia, itu diabaikan begitu saja. Barangkali itu jalan pemikiran saya yang singkat, kemudian mungkin saya akan bacakan bagian-bagian tertentu yang akan saya berikan kepada Yang Mulia.
Nah, di dalam equality before the law ada yang paling penting yang menjadi pembahasan utama sekarang, Yang Mulia. Yaitu judicial ethics, terutama bagi hakim dan jaksa, mendapat perhatian besar di dunia sekarang ini. Hal ini terjadi karena konsep judicial ethics, hanya mencangkup rules of conduct. Tapi…, tidak hanya mencangkup rules of conduct, tapi juga mencangkup rule of law and morality. Judicial ethics consist of the standard and norms that bear on judges and covers such matters as how to maintain independent impartiality and avoid improperty. Dengan Jaksa merampas hak daripada tersangka sejak 43
semula untuk mengajukan ahli, sudah tidak mungkin hakim di dalam memutus beragam Pasal 185 ayat (6) melihat persesuaian dan yang ada cuma pendapat daripada Jaksa. Yang telah direkayasa sedemikian rupa supaya tersangka dimasukkan karena pendekatan kita due proccess of law adalah presumption of innocence bukan presumption of guilt. Kita tidak mengejar pengakuan dari tersangka dan karenanya Pasal 185 ayat (1) mengatakan, “Bukti adalah apa yang dinyatakan di pengadilan.” Satu saksi bukan saksi.
Nah, bagaimana mungkin sekarang ada equality before the law sebagai ratio legis daripada Undang-undang Dasar Pasal 1 ayat (3)
dihubungkan dengan Pasal 28, kalau memang hak itu tidak diberikan. Jadi, dari pertama hak sudah dikebiri, padahal itu adalah hak yang paling asasi. Bahkan kalau kita lihat, mengapa misalnya KPK tidak menginginkan saksi itu didampingi pengacara? Padahal itu hak perdata dari seseorang. Pasal 1972 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Seorang saksi yang diperiksa di KPK tidak mati perdata. Supaya di situ dia ditekan, diintimidasi. Bagaimana ada pengawasan kalau begitu? Sebenarnya ini juga bentuk pengawasan, bentuk peradilan yang imbang.
Kemudian, mengenai equality before the law. Ada tiga masalah yang saya akan bahas di sini. Mengenai judicial ethics yang menjadi pembahasan di dunia, mengenai integritas, dan mengenai fair trial. Fair trail tidak mungkin dan tidak mungkin hakim dalam hal ini judex facti melakukan satu, katakanlah persesuaian antara keterangan saksi satu dan keterangan saksi lain kalau memang ahli a de charge sudah tidak dimajukan sejak semula. Dan jangan lupa, yang diperiksa oleh juris adalah berkas perkara. Kadang-kadang kalau kita majukan di pengadilan itu tidak menjadi catatan pengadilan. Makanya, ini mungkin menjadi penting untuk diperhatikan. Saya beberapa kali bela perkara di Belanda, tiap-tiap kata saya dimasukkan dalam legal reasoning oleh judex facti, diterima atau tidak. Kalau di sini dihilangkan begitu saja. Dan itu merupakan sebenarnya kalau kita baca dengan baik, katakanlah Bab 28 dari Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 417 itu menggelapkan fakta. Dan selama Hakim dan Jaksa adalah jabatan, maka dia bisa dikenakan dalam Bab 28. Dan itu yang tidak diperhatikan sampai hari ini. Dan karenanya secara singkat barangkali kalau Yang Mulia tidak keberatan, saya kasih…, jadi secara singkat saya katakana…, pengabaian hak daripada tersangka sejak semula itu adalah melanggar katakanlah Undang-Undang Dasar yang dia punya ratio legis adalah rechtszekerheid dan rechtelijkheid, equality before the law, dan itu tentu melanggar pasal juga, 28 huruf d ayat (1) yang berbunyi, “Setiap
44
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Jadi, munculnya masalah ini karena adanya…, katakanlah interpretasi yang sesat daripada penyidik. Karena kata-kata dari Pasal 65 itu sudah cukup jelas, Yang Mulia. Disini kata-katanya adalah tersangka, subjek hukumnya adalah tersangka, itu tidak bisa dirampas oleh siapapun juga. Terima kasih, Yang Mulia. 37. KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Kami ingatkan kembali nanti hard copy sama soft copy–nya diserahkan. Waktu kiranya sudah…, masih ada yang ingin ditanyakan? Saya persilakan, dari 2 pertanyaan, dari Kumda? Saya persilakan. 38. HAKIM ANGGOTA: M.ARSYAD SANUSI Para ahli yang saya hormati. Setelah mencermati posita maupun petitum Pemohon, khususnya 65, Perkara Nomor 65. Di dalam petitumnya itu butir 2 halaman 34, mungkin perbaikannya sudah berubah halaman. Saya ingin bertanya sebelum para ahli memberikan keterangan kepada Pemohon. Itu ada 5…, 6 pasal yang diuji kemudian batu ujinya. Nah, yang diminta pasal…, apakah kelima-lima pasal itu yang diminta sebagai pasal untuk conditional constitutional, itu satu. Oleh karena di situ secara general Pemohon memberikan gambaran demikian. Nah, barangkali…, nantinya oleh karena ini sudah lewat perbaikan. Saya ingin bertanya kepada para ahli. Tadi sudah dijelaskan ya, oleh Prof. Dr. Edy, Dr. Ali Mudzakkir, Saudara Dr. Chairul Huda, dan, Dr. Kurnia Toha, dan terakhir Prof. O.C. Kaligis. Saya tidak tahu kelima ahli ini, siapa yang mau menjawab. Dari sudut doktrin hukum pembuktian, syarat-syarat hukum untuk dikualifisir sebagai saksi a charge maupun a de charge itu, Pemohon nyatakan dan memohon di dalam petitumnya itu tidak selalu saksi itu mendengar, melihat, mengalami sendiri. Tidak selalu nah, itu. Seperti lilustrasi yang diberikan tadi oleh Prof. Dr. Kurnia Toha.
Nah, kira-kira apa? Apakah ada tambahan di situ berdasarkan pengalaman, kesimpulan daripada saksi? Oleh karena Saudara…, kita 45
lihat dalam praktik pemeriksaan atas saksi itu kadang kala dijadikan sebagai pemeriksaan sebagai terdakwa. Ya, itu juga apa yang dikemukakan tadi O.C. Kaligis terhadap saksi diperiksa seperti seolaholah dia jadi terdakwa. Ini praktik kelemahan-kelemahan hakim-hakim Indonesia.
Nah, sekarang antara saksi yang dilihat, didengar, dialami, Saksi
fakta ditambah saksi pengalamannya, kesimpulannya, terkadang itu tipis dengan…, seolah-olah saksi ini berpendapat. Seolah-olah ranah wilayah dari para ahli diambil sehingga kadang kala Majelis atau Hakim itu menyatakan, “Jangan Saudara berpendapat, kalau Saudara berpendapat itu ahli yang harus bicara”. Nah, ini satu. Yang ke dua, apakah Polisi, Jaksa Penuntut Umum, maupun Hakim, itu merupakan satu legal obligation yang sifatnya dwingen rechts yang sifatnya imperative tatkala Pemohon mengajukan saksi a de charge tanpa tedeng aling-aling. Kalau Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum supaya mendengar, menghadapkan a de charge yang diajukan oleh Pemohon atau diajukan oleh terdakwa, itu merupakan suatu kewajiban hukum yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, baik polisi maupun jaksa maupun hakim. Praktiknya, hakim itu memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menghadapkan saksi, baik a charge maupun a de charge kadangkala juga dalam praktik, terdakwa sendiri yang mengupayakan, mengusahakan lebih awal. Kalau tidak bisa…, katakan karena ini adalah pejabat yang akan dimintai keterangan sebagai saksi, maka dia mohon kepada hakim supaya meminta…, supaya saksi yang menguntungkan ini…, pejabat ini supaya dihadapkan di persidangan. Itu praktik yang berlaku. Jadi usaha dulu dari terdakwa. Sesudah itu kalau dia gagal, tidak bisa menghadapkan, dia mengajukan satu permohonan kepada Majelis, kepada hakim. Hakim memerintahkan jaksa supaya dipanggil Saksi A, B, C, dan lain sebagainya kalau dia pejabat.
Nah ini, ingin saya minta pandangan dari pada saksi…, para ahli semuanya ini, kelimanya ini. Nah, mencermati total permohonan Pemohon. Di dalam judicial review atas lima pasal. Satu, Pasal 1 (26),
Pasal 1 (27), Pasal 184, Pasal 65 dan Pasal 116 ini, saya ingin bertanya apakah ini bukan menyangkut masalah application matters atau constitutional matters, apakah ini bukan merupakan applicational law atau constitutional matters…, constitutional problem itu. Applicational law, ranahnya adalah peradilan umum, tapi constitutional problem larinya di ruangan ini. Nah, saya minta pandangan. Saya tidak tahu diantara lima saksi ini yang menjawab. Terima kasih Pak Ketua.
46
39. KETUA: ACHMAD SODIKI Kita lanjutkan. Singkat-singkat saja Pak. 40. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Ya, singkat Pak. Minjam istilahnya pemerintah tadi katanya KUHAP itu kan karya agung. Kalau kita lihat dari sisi pemberian legalisasi terhadap hak asasi, tentu kita dapat melihat Pasal 50 sampai dengan Pasal 68, dimana itu memberikan legalisasi kepada hak asasi terdakwa atau tersangka. Dengan konsep itu, seorang tersangka atau seorang terdakwa itu ditempatkan sebagai his entity and dignity as humanbeing, artinya tiada kompromi untuk itu. Tetapi ada orang juga yang pesimis gitu, yang mengatakan begini, “Sebenarnya keragu-raguan masyarakat terhadap hukum pidana itu karena praktik penyelenggaraan hukum pidana itu ya, yang terlalu normatif yuridis sehingga…, atau artinya hukum pidana itu sebagai sarana hukum dalam rangka pencegahan dan penanggulangan tindak pidana itu selalu dianggap sebagai hal yang bersifat legalistik otonom, sehingga…, jadi sejak adanya pemeriksaan di tingkat penyidik sampai dengan proses persidangan itu sampai diucapkan putusan hakim”. Nah ini…, ini keraguan masyarakat terhadap penegakan hukum pidana itu sendiri. Nah di dalam konteks…, itu tadi dalam sisi subtantif maksud saya, dari penerapan praktik hukum pidana. Kalau tadi cita-citanya…, ideologisnya bahwa hak asasi itu sudah dapat legalisasi di dalam Pasal 50 sampai 68 itu sudah jelas sekali lah gitu. Karena apa? karena memang tujuan negara itu kan untuk mencapai keadilan sosial, jadi welfarestaats itu termasuk juga kalau penyelenggaraan yang dikatakan sebagai The Enforcement of the Rule of Law itu juga mengikuti caracara yang sudah digariskan yang tadi banyak sekali disampaikan oleh para ahli. Kalau kemudian kita memperhatikan materi yang diuji Pasal 1 angka 26 dan angka 27, saya kira sangat mudah kita mengatakan bahwa itu adalah pengertian. Siapapun akan mengatakan itu adalah pengertian. Karena satu itu adalah pengertian mengenai saksi, yang angka 27 itu adalah pengertian tentang keterangan saksi. Sedangkan Pasal 65 itu adalah hak. Jelas sekali saya kira itu Pasal 65 itu. Kemudian Pasal 116-nya, baik ayat (3) dan ayat (4) itu adalah pelaksanaan atau penerapan dari hak itu yang menurut saya bersifat imperatif. Kalau melihat penafsiran, baik secara historis maupun gramatikal, maka kalimat-kalimat atau norma yang ada di dalam pasal tersebut, termasuk juga di dalam Pasal 184, maka itu adalah bersifat restrictive dan
47
limitative. Kalau dalam pengertian hukum pidana, kalau sudah restrictive,limitative, tidak ada tafsir lain. Kenapa? Saya memberi contoh misalnya, Pasal 116 ayat (4). Penyidik wajib memanggil, memeriksa saksi tersebut, ada kewajiban di sana. Kalau misalnya proses penyidikan, sampai dengan proses penuntutan, dan persidangan, yang menurut KUHAP juga di bagi secara restrictive dan limitative, ada yang tidak terpenuhi dari unsur-unsur itu, maka itu terjadi penyalahgunaan kewenangan dari mereka yang memangkul jabatan itu.
Ketika kita menguliti soal KUHAP ini, saya kira dari lima ahli, kita sepakat bahwa KUHAP ini kan menganut asas akusator lunak, beda dengan HIR. Asas akusator lunak itu posisi penuntut umum, terdakwa, penyidik, dan tersangka, itu equal, dipagari juga dengan ketentuanketentuan yang ada dalam KUHAP, tapi pelaksanaannya ini…, saya enggak tahu ini, mungkin karena apa namanya…, benar yang dikatakan oleh ahli tadi, pesimistis masyarakat terhadap hukum pidana itu karena terlalu otonom dia, sehingga dalam konteks pelaksanaannya egoistis sektoral dari subsistem pidana itu menimbulkan persoalan terhadap hukum yang secara normatif sudah jelas. Saya khawatir gitu loh, perdebatan atau apa namanya …, ilmu pengetahuan yang begitu banyak dan kaya tadi disumbangkan dalam konteks hukum pidana itu, hanya karena kita berbeda tafsir saja. Padahal, tidak ada yang perlu ditafsirkan. Oleh karena itu, tadi sebenarnya sudah ditanya oleh Pak Arsyad, nah kalau itu konteksnya, pertanyaan saya, di mana norma yang di uji ini yang secara konstitusional bertentangan dengan norma yang ada di dalam Undang-Undang Dasar, mulai dari Pasal 1 angka 26, 27, 65, Pasal 116 angka 3, 4. 184 ayat (1). Menurut ahli, di mana norma-norma di dalam ayat pasal-pasal yang disebutkan ini, yang secara konstitusional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, terutama yang berkaitan dengan hak-hak asasi terdakwa yang batu ujinya adalah satu negara hukum. Yang kedua adalah Pasal 28. Dari norma yang restrictive dan limitative ini yang mana gitu lho yang menurut ahli, supaya kita kan juga bisa berfikir, belajar untuk melihat itu. Saya kira itu Pak, terima kasih. 41. KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Nanti jawabannya sekaligus saja, Pak. Dua pertanyaan ini. Silakan, siapa ahli yang akan menjawab. Saya persilakan!
48
42. AHLI DARI PEMOHON: DR. ALI MUDZAKKIR Terima kasih, Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya ingin memberikan pandangan saya mengenai beberapa hal yang diajukan oleh Anggota Majelis Hakim, Yang Mulia. Yang pertama adalah…, sebelum saya masuk pada persoalanpersoalan norma, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan pendapat ahli yang sudah saya sampaikan tadi. Meskipun di dalam KUHAP, itu disebutkan tentang persoalan saksi yang memberatkan maupun meringankan, tapi kalau kita landasi dengan prinsip-prinsip hukum, sebagaimana dimuat di dalam konstitusi kita, terutama di dalam Pasal 24, dan juga yang di uraikan secara prinsipprinsip dalam rangka untuk penegakkan hukum, dan penggunaan kekuasaan kehakiman, semua ini dimuat di dalam Undang-undang 48/2009, atau…, kekuasaan kehakiman, saya menyimpulkan bahwa dalam satu sistem peradilan di Indonesia ini, mustinya setting-nya bukan pada menguntungkan atau merugikan. Itu penilaian menguntungkan atau merugikan itu sesungguhnya letaknya kepada hasil. Kalau itu penilaian kepada hasil, berarti kalau dia mengajukan yang menguntungkan, berarti pasti dia akan menyeleksi saksi yang menguntungkan, atau jaksa akan pasti menyeleksi saksi yang memberatkan. Itu menurut saya sudah terjadi bias dalam penegakan hukum, yang hendak ditegakkan adalah keadilan, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi di sini sudah dari awal sudah di ketahui bahwa dia adalah meringankan, dia adalah memberatkan. Mestinya dari awal memberatkan atau meringankan itu persoalan hasil. Jadi kalau sudah memberi keterangan kesaksian di Penyidik ataupun di Pengadilan, hasilnya, entah itu diajukan oleh penuntut umum, penyidik, atau dilakukan oleh tersangka, atau penasehat hukumnya, hasilnya ternyata dia bisa menguntungkan kepada persoalan, itulah penilaian hasil, bukan status orang saksi. Ini saya kira saya sampaikan suatu hal yang penting dalam konteks ini. Saksi memberi keterangan di bawah sumpah, ini mesti harus dilakukan secara objektif, sesuai dengan apa yang diberikan atau diterangkan oleh saksi di atas sumpah itu. Penilaian terhadap hasil keterangannya dia, itu tergantung kepada pihak-pihak dalam konteks ini, adalah hakim atau pihak-pihak yang dalam suatu proses pengadilan itu terlibat, jadi letaknya bukan pada status saksi itu. Oleh sebab itu, saya tadi sudah menyampaikan pendapat saya bahwa saksi itu mestinya dinilai dari yang terkait dengan pembuktian,
49
kalau dalam perkara pidana adalah, pembuktian terhadap dugaan terjadinya pelanggaran hukum pidana. Sejauh yang terkait dengan dugaan terjadinya perbuatan pidana, menurut ahli adalah bisa disampaikan oleh siapa saja, tidak harus ditempatkan dia, adalah, yang meringankan atau yang memberatkan, sehingga dengan demikian yang memungkinkan terjadi adalah, apakah dengan keterangan itu, relevan dengan pembuktian atau tidak. Di sini tadi yang saya persoalkan adalah, kekuatan atau nilai kekuatan pembuktian terhadap perkara yang didakwakan. Nah, kalau penilaian terhadap nilai kekuatan yang didakwakan dalam sistem hukum peradilan atau sistem peradilan yang saya pelajari dalam satu prinsip-prinsip di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang semestinya diimplementasikan dan dijadikan dasar interpretasi terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, adalah sesuatu yang tadi saya sebutkan, bisa positif bisa negatif, yang dua-duanya bisa dicari oleh penyidik dan jaksa. Jadi jaksa punya kewenangan juga untuk mengajukan saksi yang isinya adalah bersifat negatif tadi. Demikian juga penyidik juga bisa mengajukan saksi yang bersifat negatif tadi, demikian juga yang diajukan oleh tersangka, sehingga proses pengadilan menurut saya adalah yang bersifat objektif dan tanggung jawab. Jadi jangan sampai seperti tadi yang saya kemukakan, kalau itu tahap penyidikan, ada saksi yang diajukan oleh tersangka tidak dipertimbangkan, tidak didengar keterangannya oleh penyidik, padahal kalau itu misalnya didengar oleh penyidik, perkara itu menjadi bukan perkara pidana. Perkara itu adalah bisa menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau perkara itu bisa menghapuskan kesalahan seseorang, semestinya itu harus didengar, supaya tadi dalam suatu proses awal itu, seseorang tidak harus dijadikan tersangka, yang tadi sudah disebutkan juga sudah saya sampaikan. Jangan sampai mereka membebani mereka karena statusnya sudah sebagai tersangka, padahal kalau itu didengar dia tidak sampai itu statusnya menjadi tersangka. Sehingga dengan demikian, menurut ahli saya sudah sampaikan, maka mestinya penilaian menguntungkan merugikan tidak pada status saksinya, tetapi adalah hasil keterangan kesaksian. Jadi keterangan kesaksian diajukan oleh siapapun, bisa bermakna menguntungkan atau merugikan, dan seorang penyidik, seorang jaksa, dan demikian juga seorang hakim di dalam pemeriksaan di pengadilan, wajib dia mempertimbangkan dua-duanya ini, sehingga proses pengambilan keputusan itu bersifat objektif. Jadi ini saya jawab. Apakah hakim harus? Harus menurut saya, sehingga sehingga dengan demikian Perkara itu benar-benar diadili secara objektif.
50
Berikutnya adalah yang terkait dengan persoalan konstitusionalitas, yang, apakah ini level pelaksanaan atau level konstitusi. Majelis Hakim yang saya muliakan. Di dalam praktek sidang pengadilan, saya ingin sampaikan pengalaman saya pribadi. Pernah diminta oleh seorang penyidik, untuk memberi keterangan ahli dalam suatu perkara pidana. Kami sudah membuat keterangan yang begitu panjang dengan argumen-argumen yang sudah saya sampaikan atas fakta hukum yang disampaikan. Keterangan saya menyatakan, ini bukan perkara pidana. Ketika saya tagih sudah saya sampaikan semuanya, saya ingin tanda tangan keterangan saya itu, agar supaya keterangan saya ini, dipertimbangkan dalam proses pemberkasan suatu perkara. “Maaf Pak Mudzakkir, keterangan Pak Mudzakkir itu tidak menguntungkan kami sebagai penyidik, keterangan Pak Mudzakkir tidak saya pakai.” Saya juga…, ya, silakan itu haknya penyidik tetapi buat saya seharusnya tandan tangan, dan telah saya tanda tangan diberkas, dilampirkan di situ. Supaya jelas bahwa saya memberikan keterangan tidak ada kepentingan apapun dalam konteks itu, kecuali tadi saya sampaikan berdasarkan keilmuan saya jangan sampai nanti ada orang dihukum, disebabkan karena mengabaikan keterangan saya padahal kalau keterangan saya masih dipakai, orang itu tidak akan pernah jadi tersangka karena perkara itu bukan perkara pidana. Sehingga dengan demikian, ini ada 2 makna dalam konteks ini. Praktik dibenarkan yang sampai sekarang ini menurut ahli adalah beberapa putusan Mahkamah Agung, termasuk jadi perkara-perkara tindak pidana korupsi yang diadili oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, itu sudah sampai kepada Mahkamah Agung, dan itu menjadikan yurisprudensi tetap. Itu artinya sewaktu yurisprudensi tetap dalam praktik itu berarti interpretasi yang shohih dalam penerapan norma ini sehingga dia telah menjadi norma.
Nah, oleh sebab itu kalau itu telah menjadi praktik yang demikian, menginterpretasikan pasal-pasal yang ada di dalam terkait dengan persoalan pembuktian ini sudah naik tingkatannya sudah menjadi sebuah norma, berarti dia adalah sebagai norma baku dalam interpretasi terhadap pasal-pasal yang dimohonkan uji materil pada sidang hari ini. Oleh sebab itu, menurut saya itu sudah ranah konstitusional. Oleh sebab itu, mestinya itu juga dinilai dalam apa…, mestinya sesuai pandangan yang sudah saya sampaikan tadi, kalau itu KUHAP telah mengatur dengan demikian ternyata di interpretasikan berbeda. Ya,
51
seharusnya diujikan dalam konteks ini terkait dengan persoalan konstitusionalitas dari suatu norma yang ada di dalam pasal-pasal yang dimohonkan uji materil sekarang ini. Artinya apa, pasal-pasal yang diujikan materil tekstualnya demikian, tetapi di interpretasi yang sudah menjadi yurisprudensi berarti normanya setelah berubah dalam praktik. Dan ini saya kira Mahkamah atau Majelis, bisa mempertimbangkan pendapat saya dalam kaitannya persoalan uji konstitusionalitas. Demikian pendapat ahli saya sampaikan. Terima kasih. 43. KETUA: ACHMAD SODIKI Baik. Jadi ini sudah lebih dari apa yang sudah kita tentukan, ya? Karena nanti dibuka lagi sidang lagi saja, karena nanti jam 13.00 Pemohon yang harus dipenuhi hak asasinya juga, ya? Jadi ini tolong ditunda untuk sidang akan datang kalau perlu..., mungkin dari Pemerintah juga mengajukan hal ini? 44. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Nanti diinformasikan dengan surat resmi yang secara tertulis, Yang Mulia. 45. KETUA: ACHMAD SODIKI Baiklah, kalau masih ada ahli, saya beri waktu 5 menit. Silakan! 46. AHLI DARI PEMOHON: DR. CHAIRUL HUDA Tidak sampai 5 saya kira. Saya kira pengertian saksi pada orang yang mendengar, melihat, atau mengalaminya sendiri, tetapi bukan terhadap peristiwa pidananya saja, tapi juga setiap peristiwa yang terkait terhadap Tersangka, ataupun Terdakwa, sehingga saksi alibi akan masuk dalam pengertian ini. Saksi yang meringankan juga akan termasuk dalam pengertian ini. Jadi tetap tekanannya pada orang yang melihat, mendengar, dan mengalaminya sendiri suatu peristiwa, jadi tidak perlu kata…, pakai kata-kata pidana kalau suatu peristiwa pidana ini menyebabkan tafsir seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, misalnya.
52
Oleh karena itu, menurut saya tetap terhadap orang yang mengalami, melihat, dan mendengar sendiri suatu peristiwa yang terkait dengan suatu tindak pidana, atau yang terkait dengan tersangka, atau juga terdakwa. Begitu, pengertian saksi saya kira. Peristiwa..., pasal ini tetap inkonstitusional menurut pendapat saya apabila kata “saksi” dalam Pasal 65, dan Pasal 116 ayat (3), dan ayat (4), ditafsirkan sebagai pengertian saksi atau keterangan saksi sebagaimana sebagai berikut angka 1…, ang.., Pasal 1 angka 26, dan 27. Sepanjang kata “saksi” dalam Pasal 65, dan Pasal 116 tidak ditafsirkan menurut pengertian Pasal 1 angka 26, dan 27, ini konstitusional. Tapi, kalau ditafsirkan menurut pengertian Pasal 1 angka 26, dan angka 27, menjadi inkonstitusional karena dia akan menghalangi hak orang untuk mengajukan saksi yang menguntungkan. Yang kedua. Ini juga menjadi masalah konstitusional karena kewajiban, tadi ditanyakan soal kewajiban? Kewajiban penyidik, penuntut umum, dan kewajiban hakim ini tidak ada sanksinya. Sanksinya hanyalah pelanggaran Undang-Undang Dasar. Saya kira ini menjadi konstitusional karena hakim, penyidik, dan penuntut umum yang tidak melaksanakan hak tersangka atau terdakwa, untuk mendengar, memanggil, memeriksa saksi atau ahlinya yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa adalah pelanggaran Undang-Undang Dasar. Apakah kemudian Majelis Hakim Konstitusi, tidak berwenang dalam mengadili hal yang melanggar undang-Undang Dasar? Saya kira demikian. Terima kasih. 47. KETUA: ACHMAD SODIKI Cukup saya kira. Ada dari Pemohon? Ahlinya masih mau menjawab, Bapak? Silakan! 48. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. OC. KALIGIS Yang Mulia. Didalam hukum itu kita kenal customary. Sekarang ada memang di dalam kenyataannya the living procedure law, itu memang ditolak oleh penyidik untuk mengajukan ahli bahkan dengan satu surat. Di sini ada surat dari katakanlah KPK dengan jelas dia katakan bahwa, dengan demikian penyidik tidak mempunyai kewajiban untuk memanggil dan memeriksa ahli. Di situ. Jadi itu sudah merupakan the living procedure law. Di dalam hukum internasional kan kita kenal customary Law. Jadi ini, KUHAP ini
53
menabrak hukum acara, padahal hukum acara itu adalah mandatory, wajib dan ketiga-tiganya itu sudah melanggar konstitusi, Yang Mulia, dan itu sudah merupakan kebiasaan. Ketika seorang Hakim Agung, saudaranya diperiksa KPK dia akan mengeluh, kenapa haknya itu dirampas? Waktu dia berkuasa dia mengatakan, “Oh, itu kekuasaan saya.” Jadi pendekatan kekuasaan yang dia pakai. Padahal hukum acara jelas tersangka berhak. Jadi itu di tingkat penyidikan. Begitu kita panggil ahli, kita hadapkan, dia langsung tolak. Ini yang melanggar hak konstitusi dan ini sudah merupakan bahkan bukan cuma dalam praktik, secara tertulis sudah dikatakan. Jadi, itulah yang kami ajukan sekarang tentu di tempat ini sebagaimana dikatakan oleh rekan-rekan kami, ini melanggar hak konstitusi. Kalau kita katakan ratio legis kita setujui bahwa itu adalah rechtszekerheid dan katakanlah equality before law. Dan ketika itu dirampas, ke mana lagi kita mesti mengadu? Terima kasih, Yang Mulia. 49. KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan. 50. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Terima kasih, Yang Mulia. Ini karena sidang ini ditunda ada dua ahli kita ini tinggal di Yogya. Jadi saya mungkin susah untuk kembali, lebih baik saya tanyakan sekarang (...) 51. KETUA: ACHMAD SODIKI Ya tapi nanti ini kita sepakat harus diakhiri jam berapa ini? Jam 13:00? 52. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Jam 13:00.
54
53. KETUA: ACHMAD SODIKI Boleh, silakan. 54. PEMOHON II: YUSRIL IHZA MAHENDRA (PEMOHON PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010) Ada dua pertanyaan. Pertama, pertanyaan saya tujukan kepada Pak Mudzakkir. Apakah ada ketentuan di dalam hukum acara bahwa saksi yang menguntungkan yang diajukan oleh tersangka itu harus lebih dulu menyatakan, “Prof, saya bersedia untuk menjadi saksi,” baru kemudian penyidik memanggilnya? Karena sebelumnya dalam kasus saya ini, saya mengajukan empat saksi menguntungkan. Tapi PLT Jaksa Agung Darmono, Jampidsus Amari, kemudian Kampuspinkumba, Baabul Khair, itu seperti kur mengatakan ini tidak relevan. Tidak mau panggil mereka. Tapi ketika Basrief jadi Jaksa Agung, berubah pikiran. Jusuf Kalla dipanggil, Kwik dipanggil, tapi tidak mau panggil SBY, Megawati, dengan alasan kalau Pak Jusuf itu sudah menyatakan sudah siap dipanggil. Tapi Pak SBY, Bu Mega, belum pernah mengatakan bersedia, jadi kami tidak panggil. Apa memang ada kemestian bahwa saksi yang akan menguntungkan itu harus lebih dulu menyatakan sedia atau tidak? Yang kedua, tadi Pak Kaligis mengatakan, “Pak Yusril mengajukan permohonan ini karena statusnya sebagai tersangka.” Saya malah bertanya-tanya, status saya ini sebenarnya apa? Ini saya mau tanya kepada Pak Edy sebagai ahli hukum acara pidana. Dalam dakwaan Yohanes Waworuntu. Dikatakan mendakwa Yohanes Waworuntu bersama-sama Romli Atmasasmita a, b, c, serta Yusril Ihza Mahendra melakukan perbuatan korupsi sekian-sekian. Saya ini terdakwa atau tersangka? Dalam surat dakwaan saya sudah didakwa di pengadilan, tidak pernah saya dinyatakan tersangka, diperiksa sebagai tersangka, saya tidak pernah diadili. Tapi putusan pengadilan mengatakan yang terbukti melakukan perbuatan pidana adalah Yohanes bersama Romli, Yusril tidak. Saya ini apa? Tersangka atau terdakwa? Saya menganggap belakangan dinyatakan saya tersangka, ada surat penetapan tersangka 24 Juni. Tapi dakwaan kepada Yohanes tahun 2008. Saya dinyatakan tersangka 28 Juni 2010, surat dakwaan tahun 2008. Apakah dengan ada putusan Yohanes dan putusan Romli yang saya didakwa bersama di situ, yang dinyatakan saya tidak salah dan sekarang saya dinyatakan tersangka lagi. Apakah kalau besok saya
55
diajukan ke pengadilan tidak terjadi nebis in idem? Saya dituntut dua kali untuk satu perkara yang sama. Mohon Bapak menjelaskan soal ini, terima kasih. 55. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. EDY OS HIARIEJ Ya. saya boleh menjawab? Terima kasih Ketua Majelis Yang Mulia. Saya kira saya menambahkan ada beberapa hal yang..., pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Arsyad dan Hakim Akil Mochtar, bahwa yang pertama jelas bahwa ini adalah constitutional matters karena ketentuan Pasal 1 angka 26 dan ketentuan Pasal 1 angka 27 tidak mengakomodasi saksi alibi. Padahal saksi alibi itu adalah saksi yang menguntungkan, sebagaimana ada dalam Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) termasuk Pasal 65. Inilah yang kemudian penyidik biasanya bersikukuh bahwa oh, ini orang tidak melihat, tidak mendengar dan tidak mengalami sendiri sehingga tidak perlu dipanggil. Jadi karena ketentuan itu tidak mengakomodasi saksi alibi, maka terdapat kerancuan dalam penerapannya. Yang kedua, dengan tegas ahli menyatakan bahwa polisi, jaksa dan hakim harus menghadirkan saksi yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa. Ini yang tadi saya katakan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice, persangkaan yang tidak wajar. Majelis Yang Mulia saya hanya mau membuka wawasan kita, untuk betul-betul suatu peradilan itu berlangsung fair bagi mereka yang memberatkan maupun yang meringankan. Ada satu pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Jerman berbunyi begini, “Dalam rangka mencari kebenaran materil, jaksa penuntut umum harus mengumpulkan semua bukti, termasuk bukti yang menguntungkan bagi terdakwa dan apabila tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa harus dituntut bebas.” Itu terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Jerman. Betul-betul dia menjunjung tinggi due process of law, keseimbangan antara hak-hak tersangka dan di satu sisi kewenangan bagi polisi dan penuntut umum. Terkait apa yang ditanyakan oleh Profesor Yusril Ihza Mahendra sebagai Pemohon. Majelis Yang Mulia. Pada tanggal 19 Agustus 2009 dalam suatu acara seminar yang kebetulan waktu itu dihadiri oleh Hakim Konstitusi, tetapi sudah pensiun, Pak Maruarar Siahaan. Kita berbicara soal peninjauan kembali, salah satu di antara peserta…, pembicara itu, beliau Pak Maruarar,
56
kemudian Pak Marwan Effendi sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, dan saya ditambah dengan Otto Hasibuan sebagai Ketua Peradi. Di depan forum saya tanyakan kepada Profesor…, kepada Dr. Marwan Effendi. Saya katakan, “Dr. Marwan, Anda tidak fair.” Ketika menyatakan Yohanes Waworuntu dan Romli Atmasasmita sebagai tersangka, mengapa tidak menjadikan Yusril sebagai tersangka? Bukankah di situ bunyinya adalah, “Bersama-sama dan bersekutu”? Kalau bersama-sama dan bersekutu, itu pelajaran dasar semester 2 mengatakan penyertaan. Kalau penyertaan satu orang pelaku peserta sudah dibebaskan, atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum karena alasan pembenar, maka seluruh pelaku peserta juga harus dibebaskan karena alasan pembenar. Oleh karena itu, memang bisa melihat pada putusan yang melepaskan Romli Atmasasmita dari segala tuntutan hukum. Di situ pertimbangan Mahkamah Agung mengatakan bahwa, ada yang namanya wettelijk voorschrift atau setidak-tidaknya ambtelijk bevel. Jadi ada perintah undang-undang atau setidak-tidaknya adalah perintah jabatan. Jadi kalau satu pelaku peserta sudah dibebaskan atau dilepas karena alasan pembenar, maka semua pelaku peserta seharusnya juga dibebaskan karena alasan pembenar. Tetapi kalau mungkin dalam penilaian Kejaksaan Agung bahwa itu adalah perintah jabatan dan Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka demi peradilan yang fair, ya saya kira Menteri Kehakiman sebelum tahun 2009, itu pun harus dijadikan tersangka. Karena pendapat dari Kejaksaan Agung itu adalah…, yang seharusnya adalah PNBP tapi kemudian bukan PNBP untuk fair satu tersangak ya semua mantan Kehakiman…, Menteri Kehakiman pada saat itu harus juga dijadikan tersangka, sebagaimana yang dijadikan kepada Dirjen Administrasi Hukum Umum. Kan semua dirjen tersangka, ini kok menterinya hanya Yusril? Yang menteri-menteri yang lain ke mana? Terima kasih. 56. AHLI DARI PEMOHON: DR. ALI MUDZAKKIR Mohon izin, Ketua Majelis Hakim Yang Mulia. Saya ingin menjawab pertanyaan yang diajukan kepada saya tadi, terkait dengan saksi yang menguntungkan. Apakah ini wajib dipanggil? Sebagaimana yang tadi sudah saya sampaikan berdasarkan keterangan Ahli saya…, saya merujuk kepada ketentuan Pasal 116 ayat (4). Dikatakan…, saya ingin bacakan ulang, “dalam hal sebagaimana
57
dimaksud dalam ayat (3), penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.” Jadi dasar hukumnya menurut ahli adalah jelas. Dan yang ingin saya sampaikan sebagai tambahan dari keterangan saya tadi adalah, kalau dia adalah wajib untuk memanggil dan memeriksa saksi tersebut dan hasilnya dia adalah memberikan satu keterangan-keterangan kesaksian, berdasar…, keterangan-keterangan kesaksian yang kalau disimpulkan dia akan bisa menguntungkan kepada tersangka. Bahkan kalau misalnya dia dipanggil nanti adalah akan memberikan keterangan-keterangan yang bisa menetapkan suatu perbuatan. Itu adalah perbuatan pidana atau tidak dan saksi yang diajukan itu, adalah terlibat dalam satu proses pengambilan keputusan yang tadi saya contohkan dalam satu proses pengambilan keputusan itu ada melibatkan dari banyak pihak dan banyak pimpinan…, gitu ya. Sehingga kalau dia dimintai keterangan kesaksian itu, akan memberikan keterangan yang terang dan jelas terkait dengan serangkaian proses perbuatan yang terjadi tadi yang di duga terjadi tindak pidana. Dan kemudian bisa dipertimbangkan untuk disimpulkan bahwa proses-proses tadi yang diambil sehingga melahirkan kebijakan Sisminbakum. Adalah tidak melakukan…, bukanlah suatu pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran hukum dan bukan sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Tentu saja ini adalah merupakan suatu kewajiban menurut saya secara moral, yuridis, mereka harus dihadirkan di sidang, atau diperiksa oleh penyidik. Jika penyidik ini ternyata mengabaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 116, ayat (4) ini, berarti dia tidak menjalani proses penyidikan yang standar, yang dia adalah melanggar…, adalah hak mutlak bagi terdakwa yang harus diadili secara adil atau asas fair trial yang semestinya harus diterima oleh si terdakwa. Oleh sebab itu, menurut ahli ini penting, saya ingin sampaikan untuk yang kedua kalinya bahwa interpretasi dalam praktik itu, seperti itu. Dan interpretasi yang berlaku secara terus-menerus yang dikuatkan dalam satu putusan pengadilan adalah merupakan suatu norma. Maka, pasal yang terkait dengan Pasal 116, problemnya adalah dari praktik yang sudah menjadi norma, yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam praktik menginterpretasi dalam Pasal 116 ayat (3), berarti menurut saya adalah bagian daripada uji konstitusionalitas. Persoalan berikutnya adalah..., apakah tadi dikatakan, apakah harus bersedia atau tidak bersedia. Hukumnya adalah saksi yang dipanggil adalah wajib untuk hadir. Mereka nanti harus bertanggung jawab juga, harus dijelaskan juga, resiko-resiko kalau dia tidak hadir, ya. Resiko-resiko kalau dia tidak hadir di pengadilan atau diperiksa oleh
58
si pihak penyidik, yang menyebabkan seseorang itu menjadi tersangka, kemudian diadili di proses pengadilan. Padahal kalau dari awal sudah memberi keterangan dia, bisa akan memberikan keterangan yang menyebabkan suatu perkara itu diputus yang berbeda. Ini berarti dia juga harus bertanggung jawab. Oleh sebab itu, tidak harus ada katakata bersedia atau tidak. Tapi kalau, karena dia terlibat dalam suatu proses itu, menurut ahli adalah wajib untuk dihadirkan tanpa harus menunggu dia bersedia atau tidak bersedia. Persoalannya teknis bagaimana? Ini teknis saya kira, keterangan bisa diberikan dalam berbagai cara. Itu metode atau cara yang sebagaimana praktik yang selama ini terjadi. Kita pernah punya presiden yang diperiksa di ruang, tidak harus di kantor kepolisian atau kantor penyidik, atau kator kejaksaan, gitu. Saya kira atau beberapa menteri juga diperiksa seperti itu. Saya kira itu menjadi bentuk yang lain dalam rangka untuk menghormati. Kita ini adalah negara hukum, maka setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan ketika dia harus dihadirkan sebagai saksi mereka harus hadir di depan hukum sebagaimana layaknya warga negara lain. Entah itu menjabat atau tidak menjabat. Demikian keterangan ahli yang menjawab pertanyaan dari Pemohon. Terima kasih.
saya
sampaikan,
untuk
57. KETUA: ACHMAD SODIKI Ya, saya kira(…) 58. AHLI DARI PEMOHON: DR. KURNIA TOHA Yang Mulia Ketua, bisa saya menambahkan sedikit? 59. KETUA: ACHMAD SODIKI Waktunya tinggal 1 menit. 60. AHLI DARI PEMOHON: DR. KURNIA TOHA Ya.
59
61. KETUA: ACHMAD SODIKI Bisa, silakan. 62. AHLI DARI PEMOHON: DR. KURNIA TOHA Bisa. Terima kasih Yang Mulia. Saya ingin menekankan apa yang telah disampaikan oleh saksi ahli yang lainnya. Bahwa norma dalam Pasal 65, 116 ayat (3) dan ayat (4), adalah bahwa saksi yang menguntungkan, yang diajukan tersangka mewajibkan penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi tersebut. Nah, namun norma ini menjadi tidak ada artinya apabila kita melihat arti saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26, 27. Karenanya, ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Yang kedua, adalah saya ingin ikut menjawab pertanyaan dari Pemohon mengenai status beliau di dalam perkara ini. Sekali lagi kita melihat bahwa ini praktik peradilan yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana satu kasus sudah diperiksa pada tahun 2008 dan Pemohon adalah merupakan bersama-sama pada kasus itu. Namun Pemohon tidak pernah menjadi tersangka apalagi terdakwa dan perkara yang diadili pada tahun 2008, terhadap Saudara Yohannes ini sudah diputus.., oleh karena itu(…) 63. KETUA: ACHMAD SODIKI Ini waktunya habis, Saudara. Saudara, Saudara waktunya habis. Silakan. 64. AHLI DARI PEMOHON: DR. KURNIA TOHA Ya. Saya kesimpulan. Seyogyanya adalah perkara ini merupakan perkara yang nebis in idem. Terima kasih Yang Mulia. 65. KETUA: ACHMAD SODIKI Baik.
60
Jadi ini waktu sudah sangat panjang sekali, memberi waktu, ya. Jadi dengan demikian, maka sidang untuk perkara 28 dan 65 dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 12.51 WIB
Jakarta, 18 Januari 2011 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah,
t.t.d. Mula Pospos NIP. 19610310 199203 1 001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
61