Tren HAM KontraS No. 03 /V-VI/2010
Reformasi Sektor Keamanan: Belum Saatnya Memberi Hak Pilih TNI Maraknya Aksi Kekerasan Aparat Polisi
Internasional: Serangan Israel Terhadap Konvoi Kapal Bantuan Kemanusiaan di Gaza Kongres IV AFAD
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan The Commission for the Disappearances and Victims of Violence
03
Salam Redaksi Mei – Juni 2010 Perkembangan dinamika akuntabilitas sektor keamanan kembali mencolok dalam dua bulan terakhir. dalam catatan KontraS, pro dan kontra pemberian hak pilih TNI menjadi isu aktual, di tengah tuntutan masyarakat sipil untuk segera mereformasi TNI. Atmosefer kekerasan pun masih berlanjut di dalam tubuh kepolisian. Seiring lemahnya Polri untuk mampu menindak tegas kelompok-kelompok kekerasan, yang mulai menyerahkan masyarakat. Kondisi ini menandakan, akuntabilitas institusional baik di tubuh TNI dan Polri, masih dijalani separuh hati. Dalam Tren HAM ini, KontraS masih menyisipkan catatan penting perjuangan panjang korban pelanggaran HAM selama 12 tahun terakhir, melalui judul Melawan Amnesia Sejarah. Catatan ini juga diperkuat dengan perjuangan korban melalui forum regional AFAD yang menyelenggarakan Kongres ke 4-nya di Indonesia. AFAD adalah salah satu forum HAM regional yang giat mengkampanyekan isu penolakan impunitas dan pencarian orang hilang pada masa rezim-rezim otoritarianisme di Asia. Dan tak lupa, solidaritas KontraS untuk warga Palestina juga kami hadirkan di sini. Akhir kata, selamat membaca! Editor
Dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso. Selanjutnya ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI, PMII. Badan Pekerja: Abu Said Pelu, Adrian Budi Sentosa, Agus Suparman, Ali Nursyahid, Chrisbiantoro, Edwin Partogi, Guan Lie, Haris Azhar, Heri Mardiansyah, Heryati, Indria Fernida, M. Daud Bereuh, Muhammad Harits, M. Rohman, Nur’Ain, Papang Hidayat, Puri Kencana Putri, Putri Kanesia, Regina Astuti, Rintarma Asi, Sinung Karto, Sri Suparyati, Syamsul Alam Agus, Sugiarto, Usman Hamid, Vitor Da Costa, Yati Andriyani, Yuliana Erasmus. Federasi KontraS: Oslan Purba, Bustami, Neneng (Jakarta), Hendra Fadli (NAD), Diah Susilowati (Sumatera Utara), Andry Irfan Junaidi (Surabaya) Harry Maturbong (Papua), Andri Suaib (Sulawesi). Badan Pekerja KontraS dibantu oleh para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Redaksi KontraS menerima kritik, saran, dan tulisan untuk berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Redaktur Pelaksana Editor Bahasa Penanggung jawab ilustrator
: : : : :
Usman Hamid Puri Kencana Putri Hanny Sukmawati Indria Fernida Muhammad Harits
Sidang Redaksi: Sri Suparyati, Yati Andriyani, Papang Hidayat, Syamsul Alam Agus, Haris Azhar Distribusi: Rohman
Keuangan: Nur’ain
Tren HAM KontraS
Berita Utama
Reformasi Sektor Keamanan •
Belum Saatnya Memberi Hak Pilih TNI
Salah satu varian dari hak politik (asasi) universal adalah dengan menggunakan hak politik warga negara dalam ritual demokrasi prosedural, pemilu. Varian ini berlaku bagi siapa saja, tanpa batas. Namun pertanyaan lain yang muncul kemudian adalah bagaimana hak-hak ini bisa dianggap benar ataupun salah jika membentur satu pembatasan tertentu, khususnya merespon bergulirnya wacana hak pilih TNI yang nampaknya telah mendapat respon RI-1?
Hak berpolitik seseorang memiliki prasyarat dan kondisional tertentu, di mana standar universalitasnya “tidaklah sempurna”. Kita bisa merujuk pada Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil-Politik, yang menyatakan bahwa: Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: a) ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih.
Beranjak dari alur logika tersebut, kita bisa memahami bahwa hak dan kesempatan memilih dalam pemilu bisa dibatasi oleh suatu subjek pembatasan yang layak (reasonable restriction). Yang dimaksud dengan pembatasan yang layak antara lain: 1. Batasan usia (baik pemilih maupun kandidat terpilih), 2. Status kewarganegaraan, 3. Aspek teknis (baik sedang berada di luar negeri sehingga tidak terjangkau proses pemilu.
Tren HAM KontraS
3
Berita Utama
Hal-hal lainnya yang tidak boleh dibatasi atas dasar prinsip nir-diskriminasi antara lain: 1. Jenis kelamin 2. Kelas ekonomi 3. Status sosial 4. Orientasi/afiliasi politik 5. Ras 6. Warna kulit/etnisitas 7. Latar belakang pendidikan 8. Kondisi fisik Reasonable restriction pada personel TNI dapat diterapkan untuk beberapa hak-hak politik tertentu, seperti: 1. Menjadi anggota/pengurus partai politik 2. Dengan menggunakan seragam, terlibat dalam sebuah aksi demonstrasi 3. Bebas berpendapat di luar izin atasannya 4. Membentuk serikat buruh dan melakukan pemogokan 5. Pembatasan lainnya dibenarkan sejauh untuk menjaga profesionalisme integritas, disiplin, dan mencegah insubordinasi Pembatasan hak memilih dalam suatu pemilu bagi anggota militer, bisa diterima sejauh dikaitkan dengan kebutuhan mencegah terjadinya konflik kepentingan atau menjaga netralitas politik dan juga mempertimbangkan konteks sejarah politik militer dalam masyarakat bersangkutan, sebagaimana yang diakui secara implisit oleh Komite HAM, selaku badan otoritatif Kovenan Hak Sipol. Lihat Pasal 39 UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyatakan bahwa: Prajurit dilarang terlibat dalam: 1. Kegiatan menjadi anggota partai politik 2. Kegiatan politik praktis 3. Kegiatan bisnis 4. Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya
Konteks pembatasan bisa dilakukan untuk memisahkan antara ruang politik (political sphere) dari ruang militer (military sphere). Diharapkan dengan adanya pembatasan ini, institusi militer bisa tampil sebagai institusi profesional, tidak melibatkan diri dalam kontestasi politik, dan yang terpenting adalah institusi ini memiliki netralitas untuk tidak terbelah secara internal karena dijadikan cantelan politik parpol, militer juga tidak boleh terlibat menjadi regulator politik di segala lapis institusi negara, apalagi memiliki keinginan untuk mengintervensi parpol dengan motif kekuasaan. Mekanisme pembatasan ini diterapkan secara beragam di banyak negara. Tergantung pada konteks politik domestik yang sedang dilalui. KontraS mencatat setidaknya ada tiga model kebijakan yang acap digunakan untuk menjamin pemenuhan HAM dan prinsip-prinsip netralitas:
4
Tren HAM KontraS
Prinsip Pembatasan Kebijakan pembatasan yang sangat tinggi (highly restrictive policies)
Paparan Personel militer dipisahkan dari ruang politik untuk menjamin integritas dan netralitas institusional. Kebijakan ini diambil untuk menjamin dan memastikan tidak adanya pengulangan intervensi militer dalam dunia politik. Kebijakan ini umumnya diambil oleh negera-negera transisional yang baru bangkit dari rezim otoriter berbasis militer. Memisahkan militer dari dunia politik praktis diharapkan menjadi jembatan untuk memuluskan dan menstabilkan demokratisasi.
Kebijakan pembatasan moderat (moderately restrictive policies)
Kebijakan ini diterapkan untuk menghindari keberadaan performa personel militer jika memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam proyek politik tertentu. Kebijakan ini membolehkan seorang anggota militer menjadi anggota parpol, tetapi melarangnya menjadi pengurus parpol. Membolehkan seorang anggota militer berpartisipasi dalam suatu aktivitas politik tertentu sejauh mendapat izin dari institusinya dan dalam kapasitas tidak sedang berdinas (tidak berseragam). Umumnya model ini diterapkan pada konteks negara yang memiliki sistem demokrasi dan mekanisme akuntabilitas yang telah mapan. Personel militernya biasanya memainkan peran secara baik dan terpisah, yakni mampu memainkan peran sosialnya sebagai militer dan peran lainnya sebagai anggota warga negara.
Kebijakan pembatasan yang minim (least restrictive policies)
Kebijakan ini diterapkan untuk mendorong partisipasi politik personel militer sejauh tidak mengompromikan tugas militernya. Model ini—seperti yang berlaku di Belanda—bahkan membolehkan, berdasarkan kondisi tertentu, partisipasi personel militer berseragam dalam suatu kegiatan politik atau bahkan melakukan demonstrasi di suatu instalasi militer. Di Jerman, ada pendekatan ”warga negara dalam seragam (citizen in uniform)”. Model terakhir ini hanya dapat diterapkan pada sistem demokrasi sipil yang mapan, di mana prinsip HAM dan akuntabilitas dapat diwujudkan dalam berbagai mekanisme yang terinstitusionalisasikan secara berlapis.
Dokumentasi KontraS
Tren HAM KontraS
Pendapat Masyarakat:
Romahurmuzizy, Wakil Sekretaris Jenderal PPP: “Tentara harus tetap berada dalam posisi netral. TNI dibutuhkan sebagai pengawal ideologi Negara dan menjaga wawasan nusantara, sebab itu, TNI sebaiknya tetap dalam posisi netral. Keberpihakan TNI kepada partai tertentu, meskipun sekadar dalam pemberian suara, akan berpotensi menggiring tentara kepada ketidakutuhan. Kejadian pada masa Orde Lama dan Orde Baru sudah mengajarkan kita bahwa mempolitisasi TNI akan membahayakan negara.” Romahurmuzizy
Dalam konteks inilah kita harus benar-benar memahami atmosfer dan peta politik Indonesia untuk menempatkan hak-hak yang bisa dinikmati militer, berikut dengan batasan-batasan politik yang akan menyertainya. Kaburnya rekam jejak politik militer –baik dalam urusan politik maupun hak asasi manusia- dan absennya akuntabilitas atas rekam jejak tersebut menjadi catatan krusial yang harus diselesaikan. Apalagi jika kita menoleh ke belakang dan melihat ketidakmampuan pemerintah dalam menertibkan bisnisbisnis ilegal TNI, penolakan Mabes TNI atas revisi UU Peradilan Militer dan pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik. Bahkan hal yang amat disayangkan ketika pemerintah memberikan posisi-posisi strategis kepada perwira-perwira TNI yang diduga kuat terlibat dalam serangkaian pelanggaran HAM berat masa lalu, tanpa melalui proses kebijakan vetting yang amat dibutuhkan pada sebuah negara transisi. Hal yang tak boleh luput kita jangkau adalah sistem politik lokal. Kita ketahui bersama, TNI merupakan institusi yang masih menyandang sistem institusi vertikal unitaris, di mana ketiadaan institusi kontrol eksternal menjadi hal yang membedakan institusi ini dengan institusi lainnya. Pemberian hak politik TNI akan memiliki imbas politik yang besar pada konteks politik lokal, mengingat komandan militer teritorial menjadi aktor utama yang menentukan keterlibatan politik militer di tingkat lokal. Paparan fakta di atas adalah ukuran-ukuran yang bisa kita gunakan untuk menilai apakah hak berpolitik TNI bisa diterapkan sebagai agenda prioritas reformasi TNI atau tidak. Mengingat dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, pemerintah dan DPR mengalami kesulitan untuk memprioritaskan agenda reformasi TNI.
6
Tren HAM KontraS
•
Maraknya Aksi Kekerasan Aparat Polisi
Meski praktik penyimpangan kewenangan di tubuh kepolisian terjadi dalam bentuk-bentuk yang mulai mutakhir dan berskala besar, namun kekerasan sebagai bentuk praktik penyimpangan yang paling mendasar juga tidak pernah berhenti terjadi. Dari catatan KontraS selama bulan Mei hingga Juni terdapat beberapa tindak kekerasan yang terjadi di daerah-daerah:
Aksi Kekerasan – Kriminalisasi Aparat Polisi Mei – Juni 2010 No 1
Peristiwa
Kronologis Peristiwa
Bentuk Kekerasan
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah
PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) adalah perusahaan yang dimiliki konglomerat lokal Murad Husen. Perusahaan ini dikelola dengan cara melawan hokum dan merusak lingkungan. Tak jarang mereka merampas tanah petani, lahan transmigran, melakukan praktik intimidasi, memobilisasi preman dan aparat keamanan.
Pihak kepolisian setempat menangkap dan menahan semua tersangka dengan tuduhan terlibat aksi pengerusakan camp dan kantor PT KLS pada aksi tanggal 26 Mei 2010.
Penangkapan dan penahanan dilakukan kepada aktivis Eva Susanti (34) Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, bersama 2 pimpinan petani yaitu Nasrun Mbau (40) Ketua Persatuan Petani Singkoyo (PEPSI) dan anggotanya M. Arif (50), oleh Polres Banggai pada tanggal 27 Mei 2010. Selain 3 aktivis tersebut, polisi juga menangkap dan menahan 14 orang petani lainnya. Sejak tanggal 28 Mei 2010, Eva dan 2 petani dipindahkan penahanannya di Rumah Tahanan (Rutan) Banggai. PT KLS juga menggunakan aparat TNI dari KODIM 1308/Banggai untuk mengamankan areal HTI-nya.
Tren HAM KontraS
7
2
Penembakan petani di Kabupaten Kuala Sengingi (Kuansing) Riau
Dua orang petani kelapa sawit tewas setelah ditembus peluru aparat Kepolisian Polres Kuala Sengingi dan Brimob Polda Riau pada Selasa, 8 Juni 2010. Korban bernama Yusniar (45) dan Disman (43) warga Desa Koto Cengar Kecamatan Kuantan Mudik Lahan seluas 12.000.00 Ha merupakan milik 4000 KK telah diserahkan kepada PT. Tribakti Sari Mas tahun 1999 untuk dibangun menjadi kebun kelapa sawit. Dan yang telah dikelola seluas 9000 Ha, serta yang telah berhasil panen seluas 4500 Ha sejak tahun 2008. Perusahaan melakukan pemotongan hasil lahan yang akhirnya merugikan petani dan memicu kemarahan mereka terhadap perusahaan.
3
Penembakan di perkebunan karet PT Satya Agung, Kec. Simpang Keuramat, Aceh Utara
Aparat polisi menembak mati Raden (25), yang diduga mencuri getah milik perkebunan karet PT Satya Agung, Kec. Simpang Keuramat, Aceh Utara pada tanggal 10 Juni 2010
Dokumentasi KontraS
8
Tren HAM KontraS
Penggunaan kekerasan berlebihan dan penembakan di luar hukum (extra judicial killing) yang dilakukan aparat kepolisian mengakibatkan 2 petani tewas. Tindakan ini juga tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian
Penembakan sewenangwenang dan di luar prosedur tetap polisi menunjukkan tindakan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Harusnya polisi berpedoman pada Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian
Polri secara institusional memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan keseluruhan peraturan-peraturan internalnya. Peraturan-peraturan tersebut dibuat bertujuan untuk mengukur seberapa jauh efektivitas akuntabilitas internal berjalan maksimal. Keberadaan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri (Perkap) No 8/2009 tentang Implentasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai Perkap HAM hanyalah instrumen yang melengkapi arah kebijakan institusi kepolisian. Tanpa adanya perubahan kultur militerisme yang terlihat dalam metode penegakan hukum Polri masih mengutamakan pendekatan kekerasan dalam menanggulangi kejahatan, seperti penyiksaan, penggunaan kekerasan secara berlebihan, ketidakpercayaan publik akan tetap meningkat.
Kekerasan Vigilante • Tindak Tegas Kelompok-Kelompok Kekerasan
Aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dan kelompok antikomunis memicu sentimen negatif dari masyarakat luas. Sentimen ini memancing wacana lebih masif lagi agar negara mampu bersikap tegas, dengan membubarkan organisasi massa yang memiliki kekuatan untuk melakukan advokasi kekerasan dalam instrumen penegakan nilai-nilai yang mereka percayai.
Tren HAM KontraS
9
Seruan-seruan kekerasan tersebut bahkan telah berhasil menyerang dan membubarkan acara sosial yang dilakukan oleh dua legislator nasional di kota Banyuwangi (lihat: tren HAM edisi Maret-April). Praktik kekerasan yang telah beranak pinak ini menjadi corak khas dari organisasi-organisasi yang menggunakan atribut keagamaan tertentu. Buruknya kondisi jaminan atas hak kebebasan berekspresi, menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, bahkan menyatakan pendapat di muka umum tidak sebanding lurus dengan evolusi dan arah reformasi sistem ketatanegaraan kita yang telah memberikan jaminan atas nilai-nilai kewargaan, demokrasi, rule of law, dan hak asasi manusia. Tidak menutup kemungkinan eksistensi dari kelompok-kelompok kekerasan ini bisa mengakibatkan lahirnya bentuk-bentuk ancaman baru, bila negara terlambat meresponnya. Kontradiksi ini juga memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional. Upaya-upaya kolektif yang dibangun selama ini untuk menunjukkan kemampuan Indonesia bangkit dengan mengedepankan upaya perdamaian, prinsip-prinsip nir-kekerasan, dan jalur-jalur dialog-diplomasi yang selama 12 tahun ini dipilih. Fenomena kekerasan ini bisa dibaca dengan menggunakan pisau analisa atas tafsir instrumen-instrumen HAM internasional. Sudut pandang ini dapat dipakai sebagai alat uji evaluatif yang paling sering digunakan dan bisa diuji tingkat kevalidannya. Indonesia sebagai salah satu negara pihak yang telah meratifikasi sederet instrumen HAM pokok internasional, yang salahsatunya adalah Kovenan Hak-Hak Sipil-Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), memiliki tanggung jawab melekat untuk mengoperasionalisasikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam instrumen tersebut menjadi produk legislasi nasional. secara eksplisit ICCPR menerangkan bahwa terbuka kemungkinan untuk melakukan pembatasan atau pengurangan atas berbagai kategori hak asasi. Pembatasan atau pengurangan ini bisa dilakukan secara situasional dan bersyarat. Perspektif HAM ini membuka ruang kompromi kepada hal-hal yang ditengarai bisa memicu gangguan keamanan dalam skala besar. Pembatasan hak-hak asasi dalam Kovenan Sipol ini dan aplikasinya dalam kondisi darurat diatur khusus pada Pasal 4, diikuti dengan prinsip-prinsip umum yang menyertainya pada Pasal 5:
Pasal 4 Kovenan Sipol: 1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajibankewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul sosial. 2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (paragraf 1 dan 2), 11, 15, 16, dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini 3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukan kepada negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut.
10
Tren HAM KontraS
Pada Pasal 4 Kovenan Sipol tersebut menerangkan bahwa ada pengakuan atas pemisahan antara hakhak yang bisa dibatasi atau dikurangi pelaksanaannya dan pemenuhannya karena situasi darurat tertentu (derogable rights), dan sebaliknya, adanya hak-hak tertentu yang dalam kondisi apapun tetap tidak bisa dibatasi ataupun dikurangi fungsi pemenuhannya (non-derogable rights).
Non-Derogable Rights ICCPR
Persyaratan Pengurangan/Derogasi Hak-Hak Asasi sesuai ICCPR
1. Hak atas hidup (Pasal 6) 2. Bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi (Pasal 7) 3. Bebas dari perbudakan dan kerja paksa (Pasal 8 Paragraf 1 dan 2) 4. Bebas dari pemidanaan secara retroaktif (Pasal 15) 5. Hak atas pengakuan sebagai subjek hukum (Pasal 16) 6. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 18)
1. Mengancam keselamatan bangsa (life of nation) 2. Karakter ancaman sangat luar biasa (exceptional) 3. Diberlakukan sementara (temporary) 4. Kondisi genting yang bisa membahayakan tatanan masyarakat (bencana alam/krisis ekonomi) 5. kewajiban teknis negara pihak bila menerapkan status darurat di dalam negerinya, mereka harus bisa menjadi subjek supervisi dan monitoring internasional 6. meski terdapat 7 hak yang termaktub dalam prinsip-prinsip non-derogable rights, bukan berarti suatu situasi darurat, bisa digunakan untuk mengabaikan pemenuhan hak-hak asasi lainnya. Negara pihak tetap berkewajiban untuk mematuhi dan memenuhi HAM sesuai dengan prinsip-prinsip universal.
Dokumentasi KontraS Pembatasan/derogasi ini harus diterapkan secara proporsional, dengan mengedepankan prinsip-prinsip jaminan supremasi hukum dan mempromosikan kewajiban negara untuk melakukan effective remedy terhadap suatu pelanggaran HAM, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 (paragraf 3) Kovenan Sipol.
Tren HAM KontraS
11
Kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat (Pasal 19 ICCPR), serta hak untuk berorganisasi/berasosiasi (Pasal 21 ICCPR) bisa dijadikan subjek pengurangan hak/derogasi. Rumpun subjek derogasi di dalam ICCPR secara khusus diatur pada Pasal 20 dan 21 ICCPR. Kedua ranah ini bisa dijadikan pintu masuk untuk melihat fenomena kekerasan FPI dan perkembangan variannya ke depan.
Pembatasan Hak Bebas Mengekspresikan Kebencian Sosial dan Menyerukan Kekerasan di Muka Publik: Kategori hak ini dapat ditemui dalam salah satu dokumen HAM acuan tertua, salahsatunya adalah French Declaration of the Rights of Man and citizen of 1789 (art. 11). Meskipun hak kebebasan berekspresi merupakan salah satu kategori hak utama, namun derajatnya tidak sefundamental seperti hak-hak utama lainnya yaitu, hak atas hidup, hak beragama dan berkeyakinan, hak bebas dari penyiksaan. Sehingga hak ini dapat dimungkinkan untuk dikurangi, sebagai langkah penting dalam mengawal hak-hak utama lainnya.
Kebebasan berekspresi diatur secara khusus pada Pasal 19 ICCPR: 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan 2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya 3. Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 Pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak atau nama baik orang lain b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Khusus untuk hak atas kebebasan berekspresi, pembatasannya dijelaskan secara eksplisit oleh pasal berikutnya (Pasal 20 ICCPR): 1. Segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum 2. Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.” Ketentuan Pasal 20 ini juga menjadi pagar pembatas dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Juga dibenarkan untuk membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi yang mengkampanyekan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (yang dikenal sebagai hate speech).
12
Tren HAM KontraS
Pemantauan Impunitas
Pemantauan Impunitas • Melawan Amnesia Sejarah dua belas tahun sudah kita melewati fase reformasi. Namun belum cukup banyak upaya dan pembuktian dari pemerintah untuk mewujudkan 6 agenda reformasi 1998.
• 6 Agenda Reformasi: 1. Penegakan supremasi hukum; 2. Pemberantasan KKN; 3. Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; 4. Amandemen konstitusi; 5. Pencabutan dwifungsi TNI/Polri; 6. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menekankan pada penegakan supremasi hukum dan HAM juga masih belum menjadi agenda utama rezim-rezim pemerintahan. Padahal jika kita mengingat kembali kekerasan yang terjadi di masa lalu, erat kaitannya dengan latar belakang pilihan kebijakan politik pemerintah Orde Baru. Penguasa politik selalu menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Akibatnya tidak sedikit orang menjadi korban kekerasan antara rentang waktu 1965 – 1999.
Tren HAM KontraS
13
• Untuk mempercepat penyelesaian ini telah diterbitkan: 1. Ketetapan MPR (TAP MPR) No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. 2. Jaminan akan kepastian hukum, persamaan di bidang hukum, penegakan dan perlindungan hak Asasi manusia secara tegas telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) dan (5) 3. Implementasi dalam peraturan perundang-undangan Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM. 4. Pengabaian negara untuk menyelesaikan ketidakadilan HAM masa lalu bukan saja merendahkan para korban dan kelurga korban namun juga merendahkan nilai dan mekanisme hukum yang semestinya dijunjung tinggi di masa depan.
Presiden sebagai pengampu keputusan politik tertinggi harus mampu mengambil langkah-langkah politik kenegaraan terkait dengan terhambatnya proses penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
• Langkah-langkah yang harus segera ditempuh SBY – Boediono: 1. Segera memerintahkan Jaksa Agung untuk aktif melakukan proses hukum pelanggaran HAM masa lalu. Apabila Jaksa Agung tidak dapat melakukan penyidikan yang terhambat, maka Presiden berhak untuk menunjuk Jaksa Agung yang lebih baik 2. Segera merespon hasil rekomendasi DPR RI pada tanggal 30 September 2009 mengenai kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997/1998 3. Mengambil kebijakan efektif dan komprehensif untuk melakukan rehabilitasi atas hak-hak para korban pelanggaran HAM masa lalu. Khususnya kepada mereka yang masih mendapatkan stigma dan diskriminasi 4. Membuat kebijakan efektif dan komprehensif untuk memulihkan semua hak-hak korban, khususnya terkait dengan hak atas kebenaran, rasa keadilan, pemulihan sosial, ekonomi, kesehatan, psikologis, pendidikan yang selama ini tidak bisa mereka akses
Jika selama 12 tahun ini dan ke depannya negara tetap abai, maka tindakan ini bukan saja merendahkan martabat para korban dan keluarga korban, namun juga merendahkan nilai dan mekanisme hukum positif yang semestinya ditegakkan agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa depan.
14
Tren HAM KontraS
Internasional
• Serangan Israel Terhadap Konvoi Kapal Bantuan Kemanusiaan di Gaza Aksi penyerangan aparat keamanan Israel terhadap konvoi kapal bantuan kemanusiaan Flotilla menuju Gaza pada tanggal 31 Mei 2010 mendapat kecaman dari dunia. Serangan itu mengakibatkan terbunuh dan tercederainya banyak warga sipil yang tidak bersalah dari berbagai negara. Bahkan secara khusus Dewan HAM PBB pada tanggal 2 Juni 2010 telah mengeluarkan resolusi No A/HRC?RES?14/1 untuk menanggapi dan mengutuk penyerangan. Resolusi itu menyatakan dengan tegas bahwa Dewan HAM akan mengutus misi pencarian fakta untuk menyelidiki pelanggaran hukum HAM dan humaniter internasional terkait peristiwa Flotilla. Misi ini penting dilakukan agar fakta yang ada tidak hilang dan bisa terekam jelas dalam bingkai hukum HAM dan humaniter internasional. PBB berkewajiban untuk menunjuk anggota tim yang memiliki kredibilitas, kapasitas, profesional dan integritas tinggi. Israel harus mau bekerja sama dengan tim pencari fakta. Tidak ada pilihan lain. Meski pada misi sebelumnya pemerintah Israel menolak bekerja sama, namun temuan Goldstone dan rekan-rekannya berhasil menguak pelanggaran besar hukum humaniter yang dilakukan Israel pada peristiwa penyerangan Jalur Gaza Desember 2008 – Januari 2009 yang menelan banyak korban jiwa. Jika hasil temuan dan simpulan misi pencari fakta dalam serangan kapal Flotilla berhasil membongkar fakta lapangan, maka proses hukum internasional di Mahkamah Pidana Internasional akan terbuka lebar. Proses pencarian fakta harus bisa menyeret para pelaku kejahatan ke pengadilan internasional.
No Safe Haven Principle : Tidak Ada Persembunyian bagi Pelaku Kejahatan. KontraS menilai bahwa pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang ini. Berperan aktif dalam forum-forum internasional serta menggalang dukungan. Apalagi Dewan HAM PBB akan segera menyelenggarakan sidang tahunan ke-14 di Jenewa pada tanggal 14 Juni nanti. Sidang itu akan membahas laporan kerja dan diskusi dengan UN Special Rapporteur for Occupied Palestinean Territorries. Perwakilan masyarakat sipil Indonesia yang akan hadir juga menyampaikan beberapa pendapat terkait pelanggaran HAM Israel di Palestina.
Tren HAM KontraS
1
Kongres IV AFAD: •
Consolidate the Gains of More than A Decade of Struggle: Face Challenges of the Entry into Force of the Convention
Kongres IV The Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) kembali diselenggarakan pada 1-5 Juni 2010 di Kota Bogor Jawa Barat. Kongres regional tahunan mengambil tema “Consolidate the Gains of More than A Decade of Struggle: Face Challenges of the Entry into Force of the Convention, diikuti dari berbagai negara anggota AFAD: Belarus, Bolivia, Hong Kong, India, Indonesia, Nepal, Philippines, Timor Leste dan Thailand. Patut diketahui, AFAD sebagai sebuah organisasi federasi regional yang bergerak di bidang HAM, khususnya pada isu penghilangan orang secara paksa memiliki mandat untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas organisasi sesuai dengan isu HAM kolektif yang dihadapi para anggota AFAD. Dan kongres ini diselenggarakan untuk memantapkan tujuan tersebut. Khususnya untuk bisa menjawab tantangan penegakan HAM di masa depan. Isu praktik penghilangan orang secara paksa masih menjadi fenomena yang terus terjadi di dunia. Sebagaimana laporan yang disampaikan oleh UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances (UNWGEID) 2009 silam. Praktik ini masih kerap terjadi di 27 negara Asia, di mana negara-negara tersebut banyak melaporkan kasus penghilangan orang secara paksa kepada UNWGEID selama beberapa kurun waktu terakhir ini. Rezim pemerintahan di negara-negara seperti Timor Leste, Kashmir, Indonesia, Nepal, Pakistan, Filipina, dan Thailand masih kerap menerapkan kebijakan yang melindungi para pelaku pelanggaran HAM. Langgengnya praktik impunitas akan memberikan kerugian langsung kepada korban dan keluarga korban. Khususnya pada aspek pemenuhan rasa keadilan dan kebenaran atas kasus pelanggaran HAM yang mereka alami. Keengganan negara untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa juga menjadi salahsatu faktor yang mampu menghambat pemenuhan rasa keadilan kepada korban. Selain memantapkan mandat organisasi, kongres ini juga digunakan untuk mempererat ikatan solidaritas antar negara anggota. Apalagi dukungan terhadap advokasi AFAD juga semakin semakin meluas dengan hadirnya dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil Amerika Latin, Eropa, Eropa Mediterania, dan Afrika.
16
Tren HAM KontraS