MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR & PULAU-PULAU KECIL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA SELASA, 8 JUNI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-VIII/2010 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON -
Tiharom, Waun, WALHI, dkk.
ACARA Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon dan Pemerintah (IV) Selasa, 8 Juni April 2010, Pukul 10.48 – 13. WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Moh. Mahfud. MD. Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Harjono Maria Farida Indrati
Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: -
Ida Marsyad (Konsorsium Pembaharuan Agraria) Ade Kholik Mutaqien (Yayasan Bina Desa) Moh. Riza Alhada Khalik (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) Gunawan (IHCS) Beri Nahdian Furkan (Walhi)
Kuasa Hukum Pemohon: -
Ecoline Situmorang Taufiqul Mujib
Ahli dari Pemohon: -
I Nyoman Nurjaya
Saksi dari Pemohon: -
Bona Beding
Pemerintah: -
Mualimin Abdi (Kasubdit Menkumham untuk Penyiapan, Pembelaan dan Pendampingan dalam Persidangan MK) Cholilah (Direktur Litigasi Menkumham) Narwoko Prasmadji (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Eko Rudianto (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Supranawa Yusuf (Kepala Biro Hukum dan Organisasi) Irwandi Idris (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Sapta Ginting (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Sigit (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Haryani (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Hanung Cahyono (Kabag Hukum, Organisasi dan Humas, Ditjen KP3K) Aris Kabul (Kementerian Kelautan dan Perikanan) Titik (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
2
Ahli dari Pemerintah: -
Dietriech G. Bengen Abdon Nababan Budi Wiryawan
Saksi dari Pemerintah: -
Much Imran Amin
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.48 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah maupun oleh Pemohon, dalam Perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Saudara, minta maaf ini agak…,bukan agak, malah terlambat karena tadi ada RPH dulu dalam hal yang mendesak yaitu perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah yang harus diselesaikan. Nah, untuk itu mari kita teruskan sidang ini, kepada Pemohon dipersilakan untuk memperkenalkan siapa yang hadir dan dihadirkan pada hari ini. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. TAUFIQUL MUJIB Terima kasih, assalamualaikum, wr. wb Kami dari Pemohon, hari ini hadir ada 4 kuasa hukum dan ada beberapa Prinsipal serta ada satu orang ahli, serta satu orang Saksi dan sebagai perkenalan, saya M. Taufikul Mujib, Kuasa Hukum dari Pemohon.
3.
KUASA HUKUM PEMOHON: ECOLINE SITUMORANG Saya Ecoline Situmorang, Kuasa Hukum dari Pemohon.
4.
PEMOHON : IDA MARYSAD Saya Ida Marysad, Prinsipal dari Konsorsium Pembaharuan Agraria.
5.
PEMOHON : ADE KHOLIK MUTAQIEN Saya Ade Kholik Mutaqien, Prinsipal dari Yayasan Bina Desa.
6.
PEMOHON : MOH. RIZA ALHADA KHALIK Saya Moh. Riza Alhada Khalik, Prinsipal dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.
4
7.
PEMOHON : GUNAWAN Nama saya Gunawan, Prinsipal dari IHCS.
8.
PEMOHON : BERINAHDIAN Saya Berinahdian Frokan, dari Prinsipal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
9.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Cukup? Baik, Pemerintah.
10.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Terima kasih Yang Mulia. Assalamualaikum. wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, saya akan sebutkan dari yang sebelah kanan saya, Pak Supranawa Yusuf dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian sebelah kiri saya Pak Narmoko Prasmadji dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kemudian ada Ibu Cholilah juga dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, seterusnya ada Pak Eko Rudianto, dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kemudian ada Pak Irwandi Idris dari Kementerian kelautan dan Perikanan, kemudian ada Pak Sapta Ginting, sama dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemudian Yang Mulia, di belakang juga ada Pak Hanung Cahyono, Pak Sigit, Ibu Haryani, Pak Aris Kabul dan Ibu Titik, semuanya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Yang Mulia sesuai jadwal bahwa Pemerintah juga sudah hadir, Ahli dan Saksi yang sudah disumpah pada persidangan yang lalu, yaitu; 1 Prof. Dr. Ir. Dietriech, silakan berdiri dulu Pak, kemudian 2 Dr. Ir. Budi Wiliawan, silakan! Kemudian Saksi ada Ir. Abdun Nababan, kemudian yang kedua ada Muhammad Imran Amin. Terima kasih Yang Mulia.
11.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Baik, sudah diperkenalkan. Baik, Saksi dan Ahli dari Pemerintah itu sudah diambil sumpah, ya, pada sidang yang lalu. Yang Saksi dan Ahli dari Pemohon ini belum
5
diambil sumpah. Oleh sebab itu dimohon maju ke depan Bapak Prof. Nyoman Nurjaya. Bu Maria ini dalam agama Hindu. 12.
HAKIM ANGGOTA : MARIA FARIDA INDRATI Ya, ucapkan lafal yang saya ucapkan
Om atah Paramawisesa. Saya berjanji sebagai ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Terima kasih.
13.
AHLI DARI PEMOHON: I NYOMAN NURJAYA
Om atah Paramawisesa. Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya. Sesuai dengan keahlian saya. 14.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Silakan duduk Prof. Nyoman, kemudian Saudara Bona. Ibu dalam agama Kristen? Saksi dalam agama Kristen.
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. TAUFIQUL MUJIB Interupsi Majelis Hakim, Saksi kami ini beragama Katolik.
16.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD.
Oh, Katolik? Kristen Katolik, ya? 17.
HAKIM ANGGOTA : MARIA FARIDA INDRATI Ucapkan janji yang saya lafalkan. ”Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya. Terima kasih.
18.
SAKSI DARI PEMOHON: BONA BEDING Saya berjanji sebagai Saksi, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.
19.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, kita mulai dari Saksi, Saksi Fakta. Untuk itu Saudara Bona langsung ke podium.
6
20.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Yang Mulia, izin Yang Mulia.
21.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya.
22.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Kalau diizinkan Saksi dan Ahli dari Pemerintah sedianyakan minggu yang lalu diberikan…, memberikan penjelasan. Jika diizinkan dari Pemerintah dulu, Yang Mulia.
23.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Saksi dulu, ya?
24.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Ya, boleh.
25.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Dari Pemerintah dulu juga boleh, dari itu. Boleh, dari Pemerintah karena dulu, minggu lalu sudah disumpah. Baru nanti kepada Ahli. Jadi, urutannya begitu. Sehingga Ahli itu sudah tahu apa yang dikatakan oleh Saksi itu. Nah, untuk itu kepada Saudara Imran Amin, Saksi dari Pemerintah, silakan maju.
26.
SAKSI DARI PEMERINTAH: MUCH IMRAN AMIN Mohon izin, Yang Mulia. Kalau diperbolehkan, mungkin kesehatan saya kurang fit untuk berdiri.
27.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Mau duduk? Silakan, silakan duduk. Silakan, Pemerintah mau diminta menjelaskan apa ini?
7
28.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Langsung saja, Yang Mulia. Silakan Saudara Saksi, apa yang Saudara lihat, apa yang Saudara dengar, apa yang Saudara alami berkaitan dengan umumnya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji? Khususnya yang berkaitan dengan pasal-pasal yang diuji oleh Para Pemohon. Silakan, Saksi!
29.
SAKSI DARI PEMERINTAH: MUCH IMRAN AMIN Terima kasih, assalamu’alaikum wr.wb. Selamat siang, salam sejahtera om suwastiastu. Bapak, Ibu Majelis Hakim yang saya muliakan, Bapak Ibu perwakilan Kuasa Hukum dari Pemerintah, yang kami hormati Bapak Ibu Kuasa Hukum yang mewakili Pemohon yang saya hormati, hadirin sekalian yang saya hormati. Izinkan saya untuk memberikan kesaksian atas sidang uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Saya adalah pelaku pada saat undang-undang ini pertama kali diusulkan. Kami bekerja di…, saat itu bekerja sebagai pendamping masyarakat dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bernama Telapak Indonesia dan juga menjadi dinamisator Jaring Pela, sebuah jaringan pesisir dan laut untuk beberapa LSM yang terlibat dalam isu-isu pesisir laut di Indonesia. Sebagai seorang praktisi, saya banyak bekerja di lapangan bersama masyarakat, mendampingi masyarakat agar mampu mengelola wilayah pesisir dan sumber daya alamnya, agar bisa dikelola secara berkelanjutan dan lestari. Itu target lembaga kami bekerja bersama masyarakat. Dan kami bekerja di beberapa lokasi di Indonesia, hitungannya di beberapa provinsi di Indonesia dengan mengedepankan pendekatan, pengelolaan wilayah pesisir yang berbasis masyarakat. Dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berbasis masyarakat ini, kami melihat dalam proses kami mengembangkan program itu, kami melihat banyak sekali terjadi kasus-kasus tumpang tindih kebijakan di lapangan, khususnya dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, baik itu yang dilakukan oleh instansi-instansi Pemerintah sendiri maupun instansi-instansi swasta yang banyak bekerja atau melakukan eksplorasi eksploitasi di wilayah pesisir dan laut. Ini kesaksian kami yang pertama. Yang kedua adalah, dengan adanya tumpang tindih ini, pada periode-periode di…, sebelum terbentuknya pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Abudurrahman Wahid, almarhum saat itu masih banyak terjadi konflik-konflik antara…, baik antar sektor maupun konflik-konflik
8
dari komunitas dengan komunitas selaku stakeholder utama di lapangan dengan para-para pengusaha ataupun konflik-konflik kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah terhadap kepentingan masyarakat itu sendiri. Dalam kasus lain, masyarakat yang kami dampingi misalnya kami ambil contoh kasus di Pulau Serangan Bali, dimana pada tahun 1990 akhir itu terjadi reklamasi besar-besaran, salah satu indokasis yang kami angkat, dimana hampir 100% luas pulau yang ada itu telah bertambah. Nah, ini salah satu contoh kasus dimana kuatnya kepentingan modal dalam apa namanya…, melakukan penetrasi dalam wilayah-wilayah kehidupan masyarakat langsung, khususnya wilayah-wilayah kehidupan masyarakat nelayan dan pesisir. Dan contoh-contoh ini banyak terjadi juga dibeberapa daerah lain. Sama seperti kasus yang disebutkan oleh Saksi dari Pemohon kemarin, Pak Masnun, hal-hal itu juga banyak terjadi di daerah lain. Ini diakibatkan oleh konflik-konflik kepentingan dan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pengelola pesisir ini. Sehingga setiap sektor yang bermain di sektor, di wilayah pesisir dan laut menggunakan dan me-refer kepada undang-undang sektoral masing-masing. Nah, berangkat dari permasalahan dan kasus-kasus ini, kami selaku praktisi yang bekerja di lapangan, mencoba, melihat peluang-peluang yang ada. Kebetulan di awal tahun 1990-an, almarhum Presiden kita Abdurrahman Wahid membentuk sebuah Kementerian Perikanan yang saat itu masih bernama Departemen Eksplorasi Laut. kami berpikir itu adalah sebuah peluang, bagaimana wilayah pesisir dan laut ini bisa dikelola melalui satu pintu, artinya ada koordinasi, sehingga tumpang tindih antara sektor di pemerintahan sendiri yang bekerja di isu pesisir dan laut, itu bisa diminimalisir. Alhamdulillah, keinginan-keinginan kami direspons sangat baik oleh Kementerian Kelautan, Perikanan saat itu, dengan kita coba memikirkan sebuah kebijakan yang bisa mengakomodir kepentingan-kepentingan beberapa sektor, bisa dikeluarkan dalam satu pintu. Ini niat awal waktu kita memikirkan adanya undang-undang ini. Sehingga terbentuklah tim…, kami mohon maaf Yang Mulia, saat itu sudah dikeluarkan SK Menteri bagaimana kita mengembangkan kebijakan kelautan dan perikanan, khususnya tentang pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan. Dalam proses pembuatannya, Undang-Undang Nomor 27 ini, yang saat itu belum keluar nomornya, kami dari pihak civil society juga memfasilitasi beberapa pertemuan, baik konsultasi publik terbatas maupun diskusi-diskusi fokus terhadap kelompok-kelompok dampingan kami maupun teman-teman sejawat yang bekerja di isu-isu perikanan kelautan maupun di isu-isu nelayan dan masyarakat adat. Terhitung dari kami sendiri ada tiga kali konsultasi publik terbatas, dimana pada saat itu kami mengundang beberapa pihak, yang juga disaksikan oleh Pemerintah dengan harapan kasus-kasus di lapangan dan Isu-isu permasalahan yang terjadi, itu bisa kita akomodir dan bisa
9
kita cari peluang penyelesaiannya dan pengaturannya di dalam UndangUndang Wilayah Pesisir ini. Karena selama sebelum undang-undang itu lahir, konflik itu tidak akan pernah selesai dan harapannya adalah undang-undang yang kita upayakan saat ini kita upayakan ini bisa keluar saat itu, itu bisa menyelesaikan dan meminimalisir segala permasalahan yang terjadi di tingkat masyarakat. Bapak/Ibu Hakim yang saya muliakan, pada awalnya, pada saat konsultasi publik banyak pihak yang menentang undang-undang ini pertama kali, pada awalnya. Khususnya dari sektor-sektor terkait, karena banyak yang melihat dengan lahirnya undang-undang ini maka Kementerian ini akan, mohon maaf saya…, kami pakai bahasa kami dianggap mengambil sebagian wewenang dari Kementerian sektor Terkait. Salah satunya saat…, pada saat konsultasi…, beberapa konsultasi publik, Kementerian pada saat itu adalah Departemen Pertambangan adalah salah satu pihak yang sangat-sangat menolak adanya undang-undang ini. Artinya, kami menganggap bahwa penolakan itu bagian dari dukungan terhadap stasus quo dimana menetap…, masih ingin menetapkan…, pengelolaan wilayah pesisir ini tidak boleh berada di satu pintu. Bapak Hakim, Ibu Hakim yang kami muliakan. Terkait degan Pasal HP3, esensi dari HP3 adalah sebenarnya terlepas dari nama dari HP3 itu sendiri. Selama ini orang melakukan eksploitasi pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan seenaknya. Maksud kami sebelum Undang-Undang Nomor 27 ini lahir. Seperti yang kami sebutkan di awal tadi, tanpa ada tanggung jawab terhadap lingkungan, apalagi dengan masyarakat lokal. Kami mengambil contoh kasus program, bukan program namanya kegiatan eksploitasi terumbu karang untuk tujuan perdagangan itu tidak ada satu…, jarang sekali perusahaan diberi tanggung jawab setelah mereka mengambil karang di suatu wilayah, mereka akan melakukan rehabilitasi dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat lokal. Karena tidak ada aturan buat…, buat si pengusaha untuk melakukan hal tersebut, sehingga esensinya kami berpikir saat itu apa sih, alat yang bisa pakai agar para pengusaha itu, tidak seenaknya melakukan dan membuka atau melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam pesisir, sehingga wilayah pesisir yang ada itu bisa dipertanggungjawabkan. Esensi HP3 yang kami maksudkan, sehingga kami juga bisa memanfaatkan mekanisme atau alat ini sebagai penyaring, pelindung bagi masyarakat lokal agar segala sesuatu yang berasal dari pihak luar, dari luar masyarakat, misalnya pengusaha atau ada program-program pembangunan dari Pemerintah, dengan alat ini masyarakat bisa menolak. Dengan alat ini masyarakat punya hak, punya wewenang untuk mengatakan tidak terhadap pembangunan itu atau terhadap usaha-usaha yang masuk. Selama ini itu tidak pernah ada yang bisa dilakukan, masih untuk wilayah-wilayah yang punya hukum adat, karena mereka masih bisa menggunakan hukum adat untuk melakukan penolakan. Bagaimana
10
dengan wilayah-wilayah atau masyarakat yang tidak sama sekali tidak punya instrumen yang bisa dipakai. Nah, alat ini yang di Undang-Undang Nomr 27, disebutkan sebagai HP3 esensinya adalah melakukan penyaringan, sehingga kami berjuang bagaimana ada alat yang diakui secara perundang-undangan, yang bisa dipakai oleh masyarakat untuk menjadi alat untuk menolak atau pun mengatakan ya terhadap sebuah program pembangunan atau program eksploitasi yang ada di daerahnya. Masalah implementasinya bagaimana itu adalah bahan diskusi lain, dan itu perlu diturunkan dalam peraturan yang lebih rinci, sehingga hak-hak yang sudah melekat kepada masyarakat itu bisa dikuatkan lagi, tidak perlu ada tumpang tindih di dalamnya, itu terkait dengan HP3. Bapak, Ibu Hakim yang kami muliakan, dalam kasus lain undangundang ini juga, walaupun belum terimplementasikan dengan baik kami telah gunakan. Dalam kasus penggusuran nelayan dampingan kami di Pulau Serangan, seharusnya penggusuran itu sudah sukses besar sampai saat ini, setelah terjadi reklamasi undang-undang ini keluar, undang-undang ini kami pakai menjadi bargaining kepada pihak investor di sana dan alhamdulillah saat ini proses penggusuran itu terhenti. Ini salah satu bukti bahwa dengan adanya undang-undang ini, kita jadi kan alat untuk memperkuat posisi masyarakat bahwa masyarakat lah, sebagai stakeholder yang utama yang perlu dipertimbangkan dan perlu, di-apa namanya…, di akomodir kepentingannya. Itu beberapa contoh yang perlu kami…, yang bisa kami sampaikan. Kesimpulan dari kami, pertama adalah Undang-Undang Nomor 27 menurut pemahaman terbatas kami adalah merupakan (…) 30.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya, Saudara nggak usah, Saksi itu nggak usah memberi kesimpulan. Jadi cukup, ya? Jadi hanya menerangkan apa yang didengar, apa yang dilihat, dan dilakukan sendiri itu sudah cukup. Kesimpulannya biar nanti Pemohon atau Termohon yang menyimpulkan bersama, Pemohon dan kami Majelis Hakim. Berikutnya, Saksi dari Pemohon.
31.
SAKSI DARI PEMERINTAH : MUCH. IMRAN AMIN Baik, terima kasih Yang Mulia, assalamuallaikum, wr. wb.
32.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD.
Waalaikumsalam. 33.
SAKSI DARI PEMOHON: BONA BEDING
Assalamuallaikum, wr. wb., salam sejahtera untuk kita semua (...) 11
34.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Kurang dekat Pak., ini-nya Pak, mic-nya kurang dekat, Pak.
35.
SAKSI DARI PEMOHON: BONA BEDING Para Majelis Hakim Yang Mulia, para peserta sidang uji materi Undang-Undang Nomor 27 yang saya hormati,. Nama saya Bona Beding, saya adalah anak “Lamafa” juru tikam dan salah seorang pewaris peralatan penangkapan ikan, perahu, dan layar, tombak, semua peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan secara tradisional di Lamandara. Saya oleh para pemangku masyarakat adat di Lamandara, di Pulau Lambata, Nusa Tenggara Timur, dimandatkan untuk berbicara atas nama adat dan atas nama suku “Lamandara,” berkaitan dengan nasib kampung halaman kami yang sejak beberapa tahun terakhir diterpa oleh agenda konservasi paus yang didalangi oleh WWF dan pembombardiran perairan “Lamandara” dengan bom ikan atau potasium oleh rombongan besar nelayan dari daerah lain. Pemboman ini malah dilakukan secara brutal sejak pagi hingga tengah malam. Majelis Hakim Yang Mulia, saya hendak memperkenalkan kampung saya. Kampung saya ini dikenal oleh dunia sebagai kampung nelayan tradisional dengan tradisi penangkapan paus yang menggunakan peralatan serba tradisional. Kampung ini kira-kira dihuni oleh 3.000 jiwa, mata pencarian semuanya nelayan. Bagi masyarakat nelayan tradisional Lamandara, lingkungan mereka adalah laut. Laut adalah ladang tempat mereka mempertaruhkan nasib, maka ketika isu konservasi paus yang dicanangkan sejak tahun lalu, yang mau dideklarasikan di Manado, masyarakat nelayan kami sungguh sangat gelisah. Tradisi melaut dan tradisi menangkap ikan paus adalah bagian yang sangat integral dari tradisi dan kebudayaan masyarakat Lamalera. Hubungan horizontal, hubungan vertikal, hubungan darah, hubungan antara laut dan darat, semua kait-mengait. Sungguh sangat integral. Maka, bagi masyarakat Lamalera menghilangkan tradisi dengan segala macam cara adalah menghilangkan identitas kebudayaan orang Lamalera. Bagi orang Lamalera memang laut selalu identik dengan pola pikir dan kebudayaan. Kami beberapa tahun terakhir, menjadi sangat gelisah karena berbagai isu pengalihan hidup kami yang serba tradisional dialihkan dengan macam-macam cara, dialihkan ke mata pencaharian yang lain. Akan tetapi yang ingin kami tegaskan adalah bukan soal kami beralih dari tradisi penangkapan yang modern…, maaf. Beralih dari tradisi penangkapan yang ada sekarang tetapi kami justru mempertahankan ini, tradisi ini menjadi identitas kami, oleh karena
12
segala macam aspek pendidikan, moral, budi pekerti, tata nilai bahkan religiositas. Semua ada di dalam tradisi penangkapan paus ini. Bukan semata-mata aspek ekonomi, ini yang perlu dicamkan. Semuanya kami mulai dengan ritual adat, dari kami membuat perahu, sebelum kami membuat perahu, hingga mendapat ikan, semuanya dilakukan dalam ritus, tradisi dan setelah masuknya gereja Katolik semua melebur di dalam inkulturasi gereja Katolik. Dalam catatan kami, tradisi ini berlangsung sejak belasan abad yang lalu. Sedikit gambaran mengenai kelekatan adat istiadat kami di laut, terutama berkaitan dengan penangkapan paus. Ritus mengajak…, mengajarkan kepada kami bahwa kalau kami melakukan sesuatu harus jujur, harus bijaksana. Sebagai seorang Lamafa, ketika pada musim melaut, musim melaut dalam tradisi pena…, melautnya Lamalera itu dibagi…, berlangsung mulai tanggal 1 Mei dan berakhir hingga 31 Oktober. Semua dilakukan dalam ritual adat dan tradisi gereja Katolik. Masa-masa itu, kami melakukan penangkapan sejauh yang kami butuhkan dan tidak ngoyo kalau sudah berlayar jauh, kami pulang. Kalau kami tangkap ikan, ikannya berontak, kami lepas. Kami melakukan dengan tradisi, kami pamit dia baik-baik. Kalau hari ini, kamu tidak menyerahkan diri kami pulang. Yang disebut oleh juru tikamnya adalah dia mewakili semua Matrus dalam ikan yang kami tangkap bukan pertama-tama untuk keluarga kami tetapi untuk janda dan fakir miskin. Ini sudah berabad-abad. Hingga di darat pembagiannya pun harus jujur. Jika ada ketimpangan, kekeliruan sengaja atau tidak sengaja, akibat di laut akan diperoleh ini percaya atau tidak percaya mungkin dianggap mistis, tetapi sungguh sangat realistis yang kami alami. Seorang Lamafa untuk mempertaruhkan nyawanya itu, kalau dia sudah beristri maka selama musim penangkapan dia tidak diperkenankan oleh dirinya sendiri dan another untuk tidur bersama istrinya. Majelis Hakim Yang Mulia, para hadirin sidang yang saya muliakan. Terkait dengan konservasi dan isu HP-3, di kampung saya konservasi tahun lalu sudah digulirkan. Isu ini dan baru-baru ini dengan HP-3, bahkan kampung saya pada tanggal 6 Juni, minggu lalu didatangi oleh DPRD dan Pemda yang hendak mensosialisasikan Ranperda. Bunyi persisnya sama dengan HP-3 tata ruang wilayah dengan jarak tanggkap kurang lebih 6 Km dari pesisir pantai. Masyarakat nelayan kami sungguh sangat gelisah, sedih, kenapa Pemerintah malah tidak melindungi tetapi membuat aturan yang macam-macam begini. Tidak mengusir para pelaku bom potasium, tetapi malah membuat aturan yang macammacam. Daerah kami adalah daerah wisata internasional, tetapi Pemerintah sangat tidak memperhatikan. Kami melakukan konservasi dengan cara kami yang sudah berlangsung sekian lama, berabad-abad, kami melaut juga punya batas pergi pagi, pulang sore. Bahkan siang, kalau lautnya tidak bersahabat kami kembali ke darat. Ini adalah gambaran nyata yang kami hadapi pada tanggal 6 Juni barusan dengan
13
sikap tegas masyarakat kami, masyarakat hukum adat Lamalera sungguh sangat keberatan dengan aturan HP-3. Mungkin karena kami ini pengetahuannya sangat terbatas, tetapi kami sangat terbelenggu dengan aturan yang macam-macam ini. Kami bahkan menghendaki supaya tradisi ini dilestarikan, dikonservasi kebudayaan ini dan bukan konservasi ikannya. Manusia lebih penting dari itu. Saya mau mangakhiri gambaran ini dengan satu pesan yang kami hayati hingga hari ini terkait dengan warisan budaya ini. Orang tua kami berpesan begini “inatao amageno olakai kodekai.” Kira kira bunyinya begini. Ibunda telah menaruh, ayahanda sudah mewariskan, teruslah mewariskan tradisi ini sampai kapanpun. Jika HP-3, konsep HP-3 ini dilakukan dalam bacaan kami masyarakat nelayan tradisional Lamalera, kami merasa jika tidak hati-hati dilakukan, maka identitas kami akan hilang. Semua penjelasan yang kami tadi paparkan, tatanan adat istiadat, tradisi dan kebudayaan religiusitas yang terkandung di dalamnya lenyap sudah. Majelis Hakim Yang Mulia, sekian pemaparan kami. Terima kasih banyak. 36.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik terima kasih Saudara Saksi, berikutnya kita akan dengarkan keterangan Ahli Pemerintah(….)
37.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Izin Yang Mulia, Saksi dari Pemohon 1 lagi boleh? Oh dari Pemerintah mohon maaf.
38.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Masih ada lagi Saksinya?
39.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Ada, Ir. Abdon.
40.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Sebentar-sebentar dulu, ini seharusnya siapa Pak, Nababan?
14
41.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Ya.
42.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Saksi ya bukan Ahli?
43.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Saksi Yang Mulia.
44.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, silakan Pak Nababan, Abdon Nababan, silakan.
45.
SAKSI DARI PEMERINTAH : IR. ABDON NABABAN Baik, selamat pagi, salam sejahtera.
Assalamualaikum wr.wb.
Yang Mulia Ketua Majelis dan para Hakim Konstitusi, Pihak Pemohon yang saya hormati, Pemerintah yang saya hormati. Sesuai dengan permintaan Pemerintah untuk saya bisa bersaksi di dalam sidang Yang Mulia ini, terkait dengan Undang–Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil. Nah, pertanyaannya kenapa saya bisa menjadi Saksi Pemerintah? Ini tentu banyak pertanyaan karena saya dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, saya Sekretaris Jenderal “Aman” yang banyak kasus. Saya biasanya di sebelah Pemohon tapi kali ini memang ada di pihak Pemerintah, karena saya sejak Departemen Explorasi Laut dan Perikanan dibentuk, memang saya terlibat sejak awal. Ini bukan karena saya sengaja sesungguhnya tapi karena memang ada latar belakangnya kenapa saya terlibat. Jadi, memang ada diskusi panjang dulu tahun 1993 ketika saya menyelenggarakan pameran “bajaou” di Museum Nasional, di sebelah kanan gedung kita ini. Ya, pameran “bajaou” ilmu “bajaou” setinggi langit, sedalam samudra. Dalam satu diskusi malam hari yang kebetulan saya juga memoderatori diskusi itu, kami menggundang Alm. K.H. Abdulrahman Wahid (Gus Dur) sama Pak M.H Ainun Najib mendiskusikan satu isu yang besar pada waktu itu, tapi tidak banyak dibicarakan orang, yaitu bagaimana sesungguhnya Indonesia ini dikelola dalam konteks kebudayaan. Apakah kita mengelola Republik ini sebagai
15
berbasiskan pada kebudayaan bahari, sebagai negara kepulauan atau berbasiskan pada budaya pedalaman? Itu diskusinya waktu itu dan salah satu yang terbesit dari diskusi malam-malam itu adalah memang diperlukan ada istansi Pemerintah yang kuat. Ya, departemen yang kuat untuk memang mengurusi kelautan dan perikanan ini. Saya pikir gagasan dasarnya dari sana sehingga memang setelah diskusi itu kemudian, karena sudah sekian tahun ketika Alm. K.H. Abdurahman Wahid jadi Presiden, saya kemudian dihubungi oleh Pak Sarwono ketika departmen itu dibentuk dan dibilang, “bisakah gagasan-gagasan yang pernah di diskusikan itu kemudian di implementasikan?” Jadi keterlibatan saya begitu, Bapak Ibu Yang Mulia, Ketua Majelis. Jadi, kalau dilihat keterlibatan saya di Departemen Kelautan dan Perikanan, sebenarnya saya sudah menjadi tim teknis dalam penyusunan Keputusan Menteri tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil berkelanjutan dan berbasis masyarakat itu tahun 20002001 ya Pak Sapta, ya, terus karena kita kemudian hasilnya cukup baik dan kemudian Pak Menteri Pak Sarwono pada waktu itu minta lagi supaya saya terlibat lagi di tim teknis penyusunan RUU yang sekarang menjadi judicial review. Nah, sesuai dengan latar belakang saya. Jadi latar belakang saya memang menjadi praktisi dan apa ya…., pendamping dan juga peneliti hampir sudah 18 tahun berurusan dengan hak-hak masyarakat adat. Karena itu ketika merancang RUU ini saya minta ke teman-teman di tim teknis, supaya saya secara khusus terlibat dalam bab yang mengatur tentang hak-hak masyarakat dan pemberdayaan, kira-kira begitu. Kalau tidak salah. Jadi, saya akan membicarakan itu sesungguhnya. Nah, dalam konteks itu sebagai pelaku dan juga sebagai pengawal dari subtansi. Kalau ditanya, “kalau begitu bagaimanakah hak-hak masyarakat adat di undang-undang ini?” Yang waktu itu kami rumuskan. Maka saya dengan percaya diri mengatakan, “yang mengatur keberadaan hak-hak masyarakat adat di dalam Undang-Undang Nomor 27 itu adalah Pasal 61.” Jadi, kalau saya paparkan di sini, Pasal 61 ayat (1) dengan ayat (2) itu tidak ada keraguan bahwa di sini sangat tegas mengatakan Pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi hakhak masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun menurun. Ini sebenarnya sangat jelas, dan inilah sebenarnya misi saya ada ikut terlibat. Karena kita lihat sesungguhnya, ketika bicara tadi tentang kebudayaan bahari, kebudayaan komunitas-komunitas yang hidup di pesisir, intinya adalah ini. Kebudayaan adalah hak yang melekat di masyarakat itu untuk menyelenggarakan pengelolahan pesisir yang mereka turunkan dari leluhur mereka. Itu yang pertama. Jadi ini mutlak, ya, jadi ini pengakuan tanpa syarat. Ya, karena ini pengakuan tanpa syarat memang dia akan.., kemudian dalam perjalannya nanti ketika pembahasan dia memang banyak ditolak oleh undang-undang oleh
16
sektor lain. Karena undang-undang sektor lain, memang ketika mengakui hak-hak masyarakat adat itu syaratnya sederet, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Nah ini tidak. Nah, karena itu di ayat yang kedua juga ditegaskan bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan. Jadi bukan pertimbangan, tapi memang acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jadi kalau nanti kita bicara HP-3, bicara taman nasional laut, bicara apapun instrumen-instrumen pengelolahan, acuan sebenarnya harus ini. Jadi kalau ditanya, apakah ini lebih rendah dari HP-3? Tidak, ini pengakuan. Kontruksi hukumnya pengakuan, bukan pemberian, bukan izin. Jadi kontruksinya pengakuan, mengaku yang sudah ada sepanjang masyarakat itu menunjukkan dirinya sebagai masyarakat adat atau masih melakukan kearifan tradisional sebagai masyarkat tradisional. Nah, dan memang di undangundang ini karena memang kami menyadari ketika bicara memang hakhak masyarakat adat, kita sudah puluhan tahun memang ilmu ini tidak berkembang. Jadi soal hak-hak adat, hukum adat ini memang tidak berkembang, karena itu memang kami coba merumuskan siapa yang kita sebut masyarakat adat? Siapa yang kita sebut masyarakat lokal? Siapa yang kita sebut masyarakat tradisional? Karena inilah basisnya nanti untuk menentukan apa hak-haknya? Dan saya pikir di sinilah terobosan atau kemajuan dari undang-undang ini dibanding undangundang lain. Jadi keberaniannya untuk datang dengan suatu rumusan, yang bisa jadi rumusan ini nanti tidak sesuai dengan undang-undang sektor-sektor yang lain, ya itu. Jadi memang di sini dimulai dengan persoalan yang nyata, yang tadi sebenarnya, baik Saksi Pemohon maupun dari Saksi Pemerintah sudah menyampaikan bahwa kita mewarisi masalah besar terkait dengan pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena laut sejak lama dianggap sebagai tidak milik siapa-siapa. Karena tidak milik siapa-siapa, artinya siapapun bisa menaruh apapun di sana termasuk bahan beracun, termasuk sampah, termasuk apapun, karena dianggap open access. Jadi, masalah utama kita dalam pengelolahan pesisir laut, pulaupulau kecil adalah tragedy of open access. Jadi tragedi yang kita lihat sekarang di pesisir dan di lautan itu karena memang open acces, kita biarkan menjadi rezim yang mengatur laut. Nah, inilah yang sesungguhnya ingin di apa (…) di-address oleh undang-undang ini, ya? Salah satu caranya meng-address adalah memang mengakui hak-hak masyarakat adat, karena dengan demikian wilayah-wilayah itu menjadi jelas siapa yang akan mempertanggungjawabkan. Ini tidak hanya soal pendekatan hak di dalam pengelolaan wilayah tapi juga sebenarnya untuk memastikan bahwa Pemerintah itu punya kaki di bawah, karena kapal-kapal asing masuk seperti di masa lalu, tidak ada yang mengawasi. Siapa kalau bukan nelayan yang ada di tempat itu? Jadi pengakuan hak itu sebenarnya terkait langsung dengan efektifitas
17
pengelolahan pesisir dan pulau-pulau kecil. Jadi saya pikir begitu itu. Lanjut, Pak. Nah, memang ada bagian-bagian lain di dalam undang-undang itu, ya, itu sebenarnya hanya lebih pada penegasan-penegasan. 46.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Tampaknya Saudara sampaikan ini adalah keahlian bukan kesaksian. Oleh sebab itu Saudara, apakah ini mau dipindah menjadi Ahli atau menjadi Saksi. Ini keahlian yang luar biasa, ini bukan kesaksian.
47.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK)
Ehm, setelah mendengar paparan, Yang Mulia, kalau diizinkan ditukar menjadi Ahli Yang Mulia. 48.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Dia sumpah lagi. Maju-maju mau disumpah, sudah tahu Saksi bukan itu. Majulah, disumpah. Pak Harjono tolong disumpah Pak. Saudara beragam? Katolik. Silakan, Ibu Maria.
49.
HAKIM ANGGOTA : MARIA FARIDA INDRATI Ya, ulangi lafal janji yang saya ucapakan. “Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya. Terima kasih.
50.
AHLI DARI PEMERINTAH: ABDON NABABAN Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
51.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, Saudara akan dianggap sebagai Ahli karena mengikuti proses perumusan dan perdebatan-perdebatan serta persiapan pembuatan undang-undang ini, bukan karena misalnya sebagai akademisi yang lama menerangkan ini. Silakan diteruskan.
18
52.
AHLI DARI PEMERINTAH: ABDON NABABAN Jadi saya lanjutkan, tadi ya? Memang kalau kita lihat dari penjelasan saya tadi, memang sangat kuat sejak awal dalam merancang undang-undang ini termasuk bisa kita lihat di dalam tujuan dari undang-undang ini. Yaitu tujuan Pasal 4 yaitu c dan d, memang ada suatu maksud niatan secara sadar supaya undang-undang ini memang memulihkan posisi masyarakat dalam mengendalikan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Itu disebutkan dengan sangat jelas di dalam tujuan dari undang-undang ini. Dan karena itu, kalau kita bisa melihat lagi di Pasal 9 ayat (3) terkait dengan perencannaan zona wilayah pesisir pulau-pulau kecil. Memang di dalam proses perencanaan, maka ada kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat di dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Nah, menurut saya ini hanya tambahan-tambahan dalam konteks kasus masyarakat adat sebenarnya itu memperkuat dari yang Pasal 61 ayat (1) dan (2) tadi. Dan di Pasal 36 juga sama tentang peran serta itu menjadi satu yang menurut kita ditaruh sebagai hak yang dilindungi oleh undangundang ini. Nah, Pasal 60 ini juga menurut saya penegasan kembali tentang yang ada di Pasal 61 bahwa masyarakat dalam melakukan kegiatan pengelolan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, mereka bisa berdasarkan hukum adat yang berlaku di tempat itu. Nah, ini adalah kemajuan-kemajuan, terobosan-terobosan yang menurut kami membuat undang-undang ini sangat penting mendorong perubahan lebih lanjut. Jadi kalau sekarang misalnya di Prolegnas 2010-2014 akan ada agenda RUU tentang Pengakuan, Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, apa yang dihasilkan dari proses undang-undang pesisir pulau-pulau kecil ini sebenarnya satu pembelajaran yang menarik, karena ini tinggal diangkat pada konteks yang lintas sektor. Yang persoalan ini sebenarnya dihadapi berat di sektor kehutanan, terkait dengan pertanahan dan lainlain. Jadi dalam konteks itu memang kami melihat Undang-Undang Nomor 27 ini sangat berguna, sangat penting artinya di dalam mendudukan hak konstitusional masyarakat adat yang ada di Pasal 18 B. Pasal 18 B itu kan kebetulan menyangkut bab pemerintahan. Jadi hak masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, dan Pasal 28I yang menyangkut HAM. Jadi dalam konstitusi kita sebenarnya sangat progresif, soal hak-hak masyarakat adat. Dia ditaruh sebagai hak asasi manusia, hak yang melekat. Karena itu ketika kita berbicara tentang HP3. HP-3 tidak bisa mencabut atau mengurangi hak masyarakat adat sebagai hak asal-usul sebagai hak warisan dari leluhur yang melekat dalam diri mereka. Itu yang sudah pasti. Bahwa masyarakat adat punya kesempatan, kalau di dalam Pasal 18 disebut dapat buat masyarakat
19
adat sebenarnya bonus saja itu, jadi tapi itu bukan itu jadi bukan HP-3 instrumen pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, itu yang mau saya tegaskan. Tapi Pasal 61 ayat (1) dan (2), ya, itu bahwa dipersyaratan kalau lolos misalnya HP-3 ini, di wilayah adat, itupun si pemegang HP-3 dalam operasionalisasinya pun tidak boleh, tidak harus mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal di situ. Itu disebutkan secara jelas di situ. Jadi dalam pemberian izin, yang juga penting menurut saya, saya tekankan di sini untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil khusus untuk pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan masyarakat maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah kalau menerbitkan HP-3 harus melalui musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan, ini artinya apa? Ini artinya sebenarnya undangundang ini sudah menganut asas yang di dalam standar hukum internasional, standar HAM internasional disebut sebagai free trial and inform concern, artinya tidak ada kegiatan pembangunan kalau tidak melalui persetujuan dari masyarakat adat itu, lewat musyawarah. Jadi standar undang-undang ini sebenarnya kalau dilihat dari standarnya, memang standar pada level standar HAM internasional dia terpenuhi di beberapa bagian. Jadi saya tidak tahu, apakah misalnya ada ketakutan, kemudian nanti setelah dilaksanakan itu seperti apa? Menurut saya kalau kita patuhi seluruh norma, seluruh yang sudah di pasal-pasal ini di dalam merumuskan nanti Peraturan Pemerintah, Kepmen dan lain-lain, saya sangat yakin bahwa ini akan menjadi satu terobosan preseden yang baik dalam implementasi hak konstitusional masyarakat adat, yang di sektor lain justru dilalaikan atau bahkan secara terencana digusur, gitu ya? Tapi kalau di sini secara terencana dilindungi, diakui dan diberdayakan. Saya pikir, mudah-mudahan kesaksian saya tadi mungkin, jadi Saksi, mungkin keahlian saya bisa memberikan manfaat untuk sidang Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia Ini. Terima kasih. 53.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Kesaksian Saudara sudah direkam dan dicatat. Berikutnya Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA.
54.
KUASA HUKUM PEMOHON : M. TAUFIQUL MUJIB, S.H. Interupsi, Majelis Hakim. Dari Pemohon tadi ada permintaan dari ahli kami Prof. Nyoman, bahwa beliau siang ini harus terbang ke Jawa Tengah. Oleh karena itu jika diperkenankan, kami mohon beliau bisa memberikan keterangan terlebih dahulu. Terima kasih.
20
55.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, kalau begitu silakan Bapak. Mari kita berkompromi dengan waktu dan apa namanya.., kesempatan. Saya kira tidak ada yang keberatan, persilakan Pak Nyoman untuk menyampaikan keterangannya sebagai Ahli.
56.
AHLI DARI PEMOHON: I NYOMAN NURJAYA Terima kasih, selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua.
Assalamualaikum wr. wb., Om Swastiastu salom namo, budaya rahayu.
Majelis Yang Mulia, saya Nyoman Nurjaya, saya mengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Keahlian saya adalah Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam, dan juga Antropologi Hukum. Dalam hubungan dengan kapasitas saya sebagai Ahli untuk Pemohon, maka saya ingin menjelaskan dulu secara global mengenai prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam. Dan setelah itu nanti akan menukik pada tujuan Pemohon untuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kalau kita berbicara mengenai pengelolaan sumber daya alam, maka kita tidak bisa langsung merujuk pada undang-undangnya. Kita harus mulai berbicara mengenai ideologi. Yang saya maksudkan adalah ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan rujukan yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah konstitusi negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dimulai dengan pembukaan pada alinea keempat. Untuk apa tujuan, untuk apa negara ini didirikan. Di sana disebutkan bahwa melindungi segenap bangsa dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan itu korelasinya adalah teritori wilayah kedaulatan beserta segala isinya termasuk di dalamnya adalah sumber daya alam. Dan kemudian dikonkritkan dalam Pasal 33 ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ada 2 kata kunci di sini.
Dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini ideologi yang saya sebut sebagai ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Nah, dikuasai oleh negara, ini kata kunci yang pertama. Ada Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memaknai artinya mengajak untuk memaknai hak menguasai negara ini bukan berarti memiliki, tetapi sebagai atau dimaknai sebagai merumuskan kebijakan beli, pengaturan, regeling, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ...
21
Nah, bagaimana caranya? Melalui pembangunan nasional dan itu harus dilakukan, dan salah satu modal untuk pembangunan nasional adalah sumber daya alam. Tujuannya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Pertanyaannya kemudian, pembangunan yang bagaimana? Nah, kalau kita lihat dari paradigma pembangunan nasional yang tercermin di dalam kebijakan nasional pembangunan nasional, kalau sekarang disebut rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah, kalau dulu GBHN kemudian jadi Propenas dan sekarang RPJP dan RPJM. Nah, sumber daya alam salah satu modal pembangunan, tapi yang paling diandalkan. Kalau kita lihat dari dokumen kebijakan pembangunan nasional itu dalam RPJP, RPJM ada kecenderungan orientasinya adalah pembangunan yang digunakan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Sampai sekarang mulai dari GBHN sampai sekarang, di RPJP juga economic gradualment. Apakah itu salah? Menurut saya tidak salah. Tetapi harus diingat bahwa ada 2 dimensi penting dalam kebijakan pembangunan nasional itu, yang pertama dimensi proses bagaimana pembangunan itu dilakukan dan yang kedua adalah dimensi targetnya, bagaimana target itu dicapai? Artinya target pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan rakyat. Dua-duanya penting, proses dan target. Nah, ada kecenderungan bahwa pembangunan nasional lebih diorientasikan untuk mengejar target-target pertumbuhan ekonomi sehingga kemudian yang penting angka-angka pertumbuhannya. Bagaimana angka pertumbuhan itu dicapai, tapi apakah dengan proses ini nanti, proses yang baik membuat rakyat sejahtera atau rakyat menangis? Nah, oleh karena itu keseimbangan antara proses dan target menjadi penting dalam pembangunan nasional. Ini dalam kapasitas saya sebagai Ahli. Saya mungkin lebih akademis. Nah, apa implikasi yang dapat ditimbulkan kalau orientasi pembangunan itu ditujukan semata-mata untuk mengejar target pembangunan? Yang pertama untuk mengejar target, ya eksploitasi use oriented bukan resource, lebih pada pengelolaan. Yang kedua mau tidak mau dominasi atau keberpihakkan pada pelaku usaha, high capital oriented, dominasi pemodal besar. Yang ketiga, seperti tadi diungkapkan dalam manajemen pengelolaan ada nuansa sektoral, di Indonesia menganut ini. Ada Kementerian Kelautan Perikanan sendiri, karena konteksnya sumber daya alam. Lingkungan sendiri, energi sumber daya mineral sendiri, kehutanan sendiri, dan itu mencerminkan sektoral. Dan kemudian masing-masing bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan sektornya. conflict of interest-nya muncul. Ada kelembagaan sendiri yang diberikan kewenangan sendiri oleh undangundang yang berbeda-beda, itu yang saya sebutkan sebagai sektoral. Dan ada implikasi-implikasi hukumnya kemudian yang disebut dengan conflict of norms, ada konflik norma antara undang-undang yang sederajat, maaf yang…,yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, horizontal conflict. Belum nanti kita lihat yang vertikal, yang di atas dengan di bawah ada asas yang disebut dengan lex superior derogat 22
leggy inferiori dan seterusnya. Yang kemudian ada limitasi ruang akses
informasi, transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas publik, ini juga menjadi bagian dari implikasi. Kemudian dalam hubungan dengan keberadaan masyarakat adat, ada kecenderungan pengabaian hak dan akses masyarakat adat dan juga kemajemukan hukum di Indonesia, sebagai fakta kehidupan hukum, di satu sisi ada hukum negara, di sisi lain ada hukum adat, di sisi lain lagi ada hukum agama yang mencerminkan legal proalism {sic} Ada kecenderungan kemudian apa yang saya sebut sebagai political of ignores, politik pengabaian dalam hubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam itu. Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat, atas akses dan pemanfaatan sumber daya alam. Nah, oleh karena itulah kemudian saya ingin mengatakan bahwa konsekuensi dari pembangunan yang selalu diorientasikan untuk mengejar target pembangunan itu ongkosnya mahal sekali. Yang tidak pernah dihitung dalam hitungan-hitungan pembangunan nasional. Ongkosnya ada tiga yang mahal dibayar ini. Dan itu dapat kita cermati dengan kasat mata ecological degradation process, pembangunan mulai tahun 1967 dan seterusnya. Apa yang terjadi hutan kita secara kuantitas, kualitas sumber daya yang lain, mineral, minyak dan gas bumi, perikanan dan lain-lain ecological degradation yang tidak pernah dihitung dalam proses pembangunan. Yang kedua, economical lost, semakin punah dan atau semakin terbatasnya sumber-sumber kehidupan ekonomi masyarakat di daerah. Yang ketiga, ini juga penting yang menyangkut aspek kemanusiaan social and cultural distraction, kerusakan tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Khususnya masyarakat di daerah bersentuhan dengan masyarakat hukum adat. Tiga ongkos pembangunan ini yang tidak pernah dihitung di dalam proses pembangunan. Nah, tugas negara…, kewajiban negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dengan menggunakan instrumen hukum. Karena ini negara hukum. Apa wujudnya hukum negara state law? Kongkretnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Nah, sebenarnya fungsi hukum itu, kalau kita berbicara hukum kecenderungan orang orientasinya lebih pada penindakan. Padahal fungsi hukum itu sebenarnya untuk mencegah. Oleh karena itu lebih baik mencegah daripada menindak. Dan itu harus tercermin kemudian di dalam produk-produk hukumnya. Nah, untuk ini nanti ada rujukannya, bagaimana pembangunan hukum itu harus dilakukan? Rujukannya adalah prinsip-prinsip, pengelolaan sumber daya alam. Nah, instrumen hukum yang dibangun harus merespons dan mengakomodasi prinsipprinsip pengelolaan sumber daya alam. Prinsip-prinsip pentingnya saya bagi tiga, prinsip keadilan, demokrasi dan berkelanjutan. Dan itu kalau diakomodasi akan mencerminkan apa yang disebut oleh Billy Pononet {sic} dan Philip Selesnick sebagai responsive law, itu dalam bahasa almarhum Profesor Satjipto Raharjo disebut sebagai hukum progresif.
23
Dan itu seperti juga dituangkan dalam disertasi Ketua Majelis Yang Mulia dalam pemerintahan yang demokrasi, orientasi pembangunan hukumnya harus mencerminkan apa yang disebut dengan responsive law. Nah, dalam kaitan…, saya menyinggung sedikit. Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Ada pelajaran masa lalu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ada di dalam Bab V dalam hubungan dengan mengatur tentang pemanfaatan pemberian hak pengusahaan perairan pesisir. Kalau mau belajar dari masa lalu terminologi hukum ini ada implikasi-implikasi hukumnya. Dulu pernah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, kemudian ada Peraturan Pemerintahnya yang memberikan hak pengusahaan hutan HPH, ada lagi HPHH. Hak Pengusaha Hasil Hutan dan seterusnya dalam pengelolaan hutan khususnya waktu itu. Apa implikasi hukumnya? Secara kasat mata kita bisa lihat, karena kalau berbicara hukum itu ada di dua dunianya. Ada di dunia hukum normatifnya seperti apa yang bisa kita baca dalam peraturan perundang-undangan law asseritan in the book. Tapi juga ada dunia lainnya law as perform and human exact, dalam ranah hukum empirisnya. Nah, kan itu kemudian menimbulkan implikasi hukum yang wujudnya adalah pengabaian hak komunal masyarakat hukum adat. Dan ada yang penting kemudian dicermati di sini dalam hubungan dengan persoalan hak. Kalau kita baca dalam instrumen hukum negara, hak yang diatur itu adalah hak negara dan hak individu. Nah, hak komunal masyarakat hukum adat selama ini kalau kita cermati dari UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dalam undang-undang yang lain, hak komunal masyarakat hukum adat itu, belum diakui sebagai…, apa yang disebut legal NTT. Entitas hukum yang tersendiri, berdiri sendiri setara dengan hak negara dan hak individu. Ini dalam analisis akademik. Nah, pertanyaannya kemudian ada pilihan apakah sumber daya alam rusak dulu, baru instrumen hukumnya baik. Ini studi banding saya ini, ke Nepal misalnya ke Thailand, ke Filipina atau instrumen hukumnya baik sumber daya alam terjaga juga dengan baik dan termanfaatkan dengan baik. Nah, amanat kembali kepada amanat konstitusi yang intinya melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itulah kemudian ketika kita mencermati produk hukum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, rujukannya kemana? Rujukan untuk merumuskan norma di dalam satu produk hukum itu adalah kepada prinsip-prinsip. Dalam hal ini adalah prinsipprinsip pengelolaan sumber daya alam. Yang pertama, pengelolaan prinsip sumber daya alam itu adalah sumber daya alam harus diakui itu adalah sebagai sistem kehidupan. Sistem ekologi. Ekosistem yang satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu kemudian ada intregasi kepentingan di dalamnya ekologi, ekonomi, sosial dan budaya di dalamnya. Ekologi, ekonomi, sosial dan
24
budaya. Nah kalau sudah menyangkut persoalan sistem kehidupan, hati-hati Precausionary prinsiple itu menjadi prinsip penting di dalam pengelolaan sumber daya alam. Prinsip keberhati-hatian, prinsip pencegahan dini, dan ini kalau dalam pengelolaan lingkungan hidup sumber daya alam, dihubungkan dengan persoalan perizinan, pra syaratnya adalah analisis mengenai dampak lingkungan hati-hati kalau alam rusak, kehidupan manusia juga akan terganggu dan terancam. Satu prinsip lain yang berkaitan dengan persoalan keberadaan masyarakat hukum adat, yang menyangkut hak dan aksesnya atas sumber daya alam itu adalah apa yang disebut dengan prinsip free and prayer inform concern. Prinsip ini di dalam produk hukum kita khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam itu belum diakomodasi. Prinsip ini saya temukan didalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahaan Kovensi PBB tentang
bioday city
57.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Baik Pak, bisa agak dipercepat. Di sini jadwal sidang biasanya ditutup jam 12, tapi kita sepakati diperpanjang 30 menit sampai menunggu sambil menunggu pembicara yang lain. KETUK PALU 1X
58.
AHLI DARI PEMOHON: I NYOMAN NURYANA Nah, selain itu yang saya sebut prinsip keadilan, menyangkut atau dimensinya adalah inter antar generasi, keadilan, alokasi dan distribusi untuk kemakmuran rakyat. Yang kedua, prinsip demokrasi menyangkut kesetaraan hubungan antara Pemerintah dengan rakyat. Ada akses informasi, transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas publik, pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan akses masyarakat hukum adat, terhadap sember daya alam, kemajemukan hukum dan prinsip keberlanjutan. Ini harus berhati-hati ada sumber daya alam yang renewable dan non renewable. Kemudian keterbatasan daya dukung dan juga ada batas, ambang batas kemampuan lingkungan yang berkaitan dengan fungsi dan manfaat lingkungan dan sumber daya alam itu. Nah, prinsip-prinsip ini yang harus menjadi rujukan dalam pembuatan satu produk hukum, yang namanya undang-undang. Nah, apakah sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan kita?
25
Nah, ini dilihat sekarang, di dalam produk hukum khususnya undang-undang ini. Nah, kalau kita baca norma ada 2 hal penting memang di dalam Bab V dan di dalam Bab XI yang disoroti oleh Pemohon. Yang pertama, kaitan dengan pemberian hak pengusahan perairan pesisir, HP-3, tadi. Saya hanya mengingatkan saja ada pengalaman di masa lalu, hak pengusahan hutan, kemudian hak pengusahan ini juga menjadi pertanyaan. Hak pengusahaan perairan pesisir atau izin usaha. Ini menjadi penting dipertanyakan. Kemudian HP-3 dapat dialihkan, ditukar, dihibahkan, disertakan dalam modal perusahaan diagunkan sebagai objek hak tanggungan ini menjadi pertanyaan besar, karena apakah ini masuk dalam ranah publik atau ranah privat? Kemudian yang lain, hak pengusaha hutan tanpa diawali dengan prasyarat Amdal, prinsip keberhati-hatian karena ini usaha.., bedakan antara usaha dan kegiatan. Kalau usaha jelas orientasinya ke provit oriented, kalau kegiatan Pemerintah melakukan kegiatan pembangunan, program-program pembangunan untuk infrastruktur misalnya. Beda kan? Kalau usaha jelas. Nah, oleh karena itu kalau usaha, kalau menurut saya itu adalah izin bukan hak, apalagi ditambah dengan bisa dengan ditukar, dihibah, dialihkan, diwariskanlah, apa diagunkan itu, karena itu pertanyaan besarnya ranah hukum publik atau hukum privat. Kemudian ada di dalam Bab XI itu, ini kompensasi atau rekonisi dalam kaitan dengan keberadaan masyarakat adat. Hati-hati, kompensasi artinya haknya itu hilang setelah dibayar, tetapi kalau rekonisi pengakuan itu tetap ada dan prinsip partisipasi publik sebenarnya sudah masuk. Oleh karena itu, seperti apa yang dikatakan oleh Saudara Abdon tadi saya setuju. Nah, ini pertanyaan-pertanyaan besar yang…, yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan kepentingan Pemohon. Saya hanya ingin mengajari Ibu, Bapak sekalian Majelis Yang Mulia, ada satu kalimat bijak dari Mahatma Gandhi the earth producer enought for everybody’s need but never enought for anybody’s great . Terima kasih. 59.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Terima kasih, Bapak Prof. I Nyoman Nurjaya, berikutnya Prof. Dietriech G. Bengen, silakan, Pak.
60.
KUASA HUKUM PEMOHON : ECOLINE SITUMORANG, S.H. Interupsi sebentar Majelis.
26
61.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya.
62.
KUASA HUKUM PEMOHON : ECOLINE SITUMORANG, S.H. Ada hal yang ingin kami sampaikan.
63.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Apa, itu?
64.
KUASA HUKUM PEMOHON : ECOLINE SITUMORANG, S.H. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Kontitusi tentang Pedoman Beracara di mana Pasal 19 huruf c, di situ dikatakan bahwa keterangan Ahli di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya. Pada saat ini, kami keberatan dan mempertanyakan keahlian dari Saudari…, Saudara Dietriech G. Bengen ini sehubungan dengan apa yang disampaikan oleh Saudara Ahli ini adalah yang berhubungan dengan plagiat yang pernah dilakukan oleh Saudara Ahli, ini kami punya bukti berdasarkan Keputusan Rektor IPB Nomor 007/K13BP 2005, tanggal 7 Februari 2005 telah ditetapkan artikel berjudul “Perspektif Global Pengolahan Pulau-Pulau Kecil Indonesia,” dengan penulis Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, yang dibuat pada surat kabar harian “Kompas” terbitan tanggal 9 Juli 2003 dan artikel berjudul “Konsepsi Daya Dukung Pulau-Pulau Kecil dalam rubrik prespektif kala, Warta volume 1 nomor 1, Febuari, April 2004. Sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang dinyatakan terbukti mengandung unsur plagiarisme dan Keputusan Rektor IPB dimaksud telah membatalkan Surat Rektor IPB Nomor 217K13BP/2004, tanggal 7 September 2004, bahwa sesuai dengan penetapan sebagaimana disebut diktum ketiga, Keputusan Rektor IPB tanggal 7 Februari 2005, Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA telah dinyatakan terlibat dan bersalah melakukan plagiarisme terkait dengan artikel sebagaimana dimaksud pada huruf b dan ini kami mempertanyakan karena nanti yang disampaikan oleh Ahli menyangkut apa yang menjadi permasalahan di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Terima kasih, kalau kami bisa menyampaikan buktinya.
65.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Bagaimana Saudara Ahli, apakah keahlian Saudara bisa terhalangi oleh surat keahlian yang mau diberikan di dalam persidangan ini?
27
66.
SAKSI DARI PEMERINTAH :DIETRIECH. G. BANGEN Baik, Pak Ketua Majelis. Saya kira apa yang disampaikan itu sudah jelas bahwa IPB itu sudah terselesaikan dan tidak…, tidak ada halangan sampai saat ini pun saya tetap sebagai Guru Besar Pengolahan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di IPB. Dan kalau Bapak.Ketua Majelis ingin…, ingin mendapat klarifikasi juga kaitan dengan ini, saya punya kolega di samping Dr. Budi Wiryawan, akan bisa menjelaskan kaitan dengan itu.
67.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, kalau begitu kita akan dengarkan keahlian keterangan Saudara sebagai Ahli, apa yang Saudara sampaikan kita catat saja sebagai bahan pertimbangan. Silakan, Saudara Ahli, ini ada dua Ahli akan berbicara kalau bisa 10 menit, 10 menit, gitu ya?
68.
AHLI PEMERINTAH : IR. DIETRIECH G. BENGEN, Yang Mulia Majelis Hakim. Assalamualaikum wr. wb, selamat siang dan salam sejahtera buat kita semua. Jadi apa yang ingin saya sampaikan di sini, ini terkait dengan pengalaman saya selama ini. Tak ada waktu menyusun naskah akademik dari undang-undang ini, sehingga saya mencoba di sini menyarikan apa yang saya ketahui dan saya pahami sesuai dengan keahlian saya yaitu bagaimana Undang-Undang Nomor 27 ini menjadi penting dalam upaya kita mengerahkan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan. Teruskan, arti penting dari Undang-Undang Nomor 27 yang ingin saya sampaikan di sini terkait dengan 2 hal. Kita tahu bersama bahwa Undang-Undang Nomor 27 ini bisa dijadikan dasar bijak bagi pengembangan potensi sumber daya pesisir pulau-pulau kecil yang melimpah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, baik saat ini maupun yang akan datang. Ada beberapa hal yang ingin saya kemukakan terkait dengan ini. Pertama kita tahu bahwa Indonesia ini sebagai negara kepulauan, dimana dikenalnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan sebagian besar dari pulau-pulau yang ada itu merupakan pulau-pulau kecil dan di banyak tempat di pulau-pulau kecil ini, masyarakat yang hidup di dalamnya masih jauh dari apa yang kita katakan dengan sejahtera. Kemudian karena kita negara kepulauan, maka kita lihat bahwa Indonesia ini mempunyai garis pantai yang cukup panjang, yang
28
sepenuhnya belum termanfaatkan secara baik dengan potensi yang ada. Itulah sebabnya mengapa undang-undang ini bisa membantu untuk memanfaatkan potensi yang ada ini lebih jauh. Teruskan, kita lihat kekayaannya ini Indonesia dialiri oleh 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) salah satunya, katakanlah yang di Selat Makassar ini, ini menunjukan di kawasan itu sangat kaya akan sumber daya alam yang ada. Tapi mengapa masyarakat yang ada di sekitar situ, umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemudian…, lanjutkan Pak. Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut yang terbesar karena kita merupakan negara Kepulauan yang dikelilingi oleh berbagai ekosistem pesisir yang sangat-sangat produktif, yang ada di kawasan kita. Teruskan, itulah sebabnya salah satunya yang kita kenal bahwa Indonesia ini berada di jantung segitiga karang dunia yang dinisiasi oleh Indonesia dengan apa yang kita kenal dengan CTI (Corel Triangle Inisiative). Teruskan, kemudian hal yang kedua, mengapa penting undangundang ini, ini bisa jadikan pilar pembangunan wilayah pesisir pulaupulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan. Dasar untuk ini kita lihat bahwa kalau kita bilang wilayah pesisir, ini kita tidak hanya melihat perairannya saja tapi termasuk adalah wilayah daratannya dan di undang-undang ini secara tegas menegakkan wilayah ini bahwa lautnya kita batasi pada 12 mil. Kemudian daratnya pada kecamatan, ini suatu daerah yang luar biasa interaksi antara satu dengan yang lain, sehingga kalau ini tidak dikelola maka tidak akan memberikan suatu manfaat yang optimal di dalam upaya-upaya kita memanfaatkan itu. Apalagi kita lihat di pulau-pulau kecil kita. Teruskan, ini pulau-pulau kecil yang boleh dikatakan sumber daya di daratannya hampir tidak ada, air tawar tidak ada tapi luar biasa masyarakat yang ada di pulau-pulau ini dan sebagian besar ini hidup dari sumber daya pesisir dan laut yang ada di sekitarnya. Teruskan, nah, melihat kepada wilayah pesisir ini mau tidak mau kalau kita ingin mendapatkan hasil yang optimal maka kita harus lihat keterkaitan antara wilayah pesisir, daratannya dan lautnya yang kita kenal bahwa apapun yang kita lakukan di wilayah pesisir itu tetap harus mengacu pada daratnya dan juga mengacu pada lautnya. Kemudian yang kedua. Teruskan, Pak. Bahwa di wilayah pesisir pun ada keterkaitan yang sangat erat antar berbagai ekosistem yang ada dan ini menjadi basis. saat ini saya membantu Gresik terutama di Kecamatan Ujung Pangka, dimana pengembangan industri yang demikian pesat itu banyak mengganggu kepada daerah pertambakan yang ada sehingga kita upayakan bagaimana ekosistem yang ada ini terkait satu sama yang lain bisa memberikan manfaat yang optimal bagi semua kepentingan yang ada. Kenyataan ini menunjukan bahwa di wilayah pesisir…, teruskan Pak…, suka tidak suka, beragam aktivitas
29
pemanfaatan yang ada di sana baik itu pemanfaatan sumber daya alam maupun jasa-jasa lingkungan di wilayah pesisir ini ada perumahan, ada industri. Di perairannya ada perikanan, ada pariwisata dan sebagainya, semuanya saling terkait di dalam pemanfaatan ini. Nah, selama ini, ya? Keterkaitan antara pemanfaatan ini tidak dikelola secara baik. Sehingga munculah berbagai macam masalah yang ada. Teruskan, Pak. Jadi ini saya ringkaskan, ya? Berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, semua kita lihat bahwa terjadi degradasi ekosistem dan sumber daya alam di banyak tempat. Kita lihat terjadi konfik di dalam pemanfaatan ruang yang ada, baik itu aparat pertambangan dengan pariwisata, pertambangan dengan perikanan dan sebagainya. Kemudian masalah yang muncul karena adanya sifat common property dan rezim open access dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu. Sehingga tidak memungkinkan kita misalnya di situ mengkapling yang namanya wilayah pesisir atau laut yang ada. Dan masalah yang ada sampai saat ini juga kebijakan yang ada itu masih bersifat sektoral, kurangnya keperpaduan antara para pemangku kepentingan ini menimbulkan banyak sekali ketidakefektifan dalam upaya pemanfaatan wilayah pesisir. Teruskan, Nah, untuk mereduksi masalah-masalah ini mengoptimalkan sumber daya yang ada maka kita harus.., perlu adanya suatu pengelolaan. Kami mencarikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir itu harus terkait dengan karakteristik wilayah pesisir sehingga ada 4 hal di sini yang harus menjadi basis kita di dalam pengelolaan. Bahwa wilayahwilayah pesisir memiliki keterkaitan fungsional yang erat antara daratan dan lautnya, kemudian pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang beragam ini dapat menimbulkan berbagai macam konflik yang terjadi, suka tidak suka wilayah pesisir dihuni oleh bebagai kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda. Jadi, nelayan mempunyai preferensi yang berbeda juga dengan pembudidaya dalam banyak hal, di sini bisa terjadi juga konflik, kemudian adanya sifat common property dan rezim open access dari sumber daya pesisir dan laut. Nah, untuk kita melakukan pengelolaan ini maka telah diupayakan di dalam undang-undang ini bagaimana pengelolaan ini menjadi penting pada KUHAP 2 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 27 di sini disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir pulau-pulau kecil itu bertujuan adalah untuk melindungi, mengonversi, merehabilitasi memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Kemudian adanya harmonisasi dan sinergi dalam pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil sebagaimana kita tahu, bahwa banyak sekali pemanfaatan yang ada yang di sini ada disharmoni. Nah, undang-undang ini mencoba untuk mengharmonisasi, ya berbagai pemanfaatan yang ada. Kemudian menguatkan peran serta masyarakat dan lembaga Pemerintah dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini peran serta masyarakat,
30
tadi sudah banyak disebutkan ini sangat-sangat nyata di dalam undangundang ini ditekankan di situ. Kemudian untuk meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya dalam pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil. Nah, untuk melaksanakan ini pengelolaan pesisir ini suatu proses ya, di dalam Undang-Undang Nomor 27 proses ini tercakup dalam 4 bagian penting yaitu, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Di dalam perencanaan ini menjadi bagian yang sangat penting sebelum kita melakukan pemanfaatan yaitu ada rencana strategis yang harus disusun di situ, kemudian rencana jonasi {sic}, rencana pengelolaan dan rencana aksi teruskan, Pak. Jadi, di dalam proses pengelolaan ini, itu harus mencakup rencana pemanfaatan pengawasan pengendalian dan dalam perencanaan. Kita lihat…, teruskan saja, Pak. Ya, secara hierarki di sini kita lihat ada rencana pengelolaan yang paling bawah kemudian harus ada rencana jonasi harus ada rencana strategis, rencana pengelolaan dan rencana aksi. Masing-masing ini sangat terkait dengan apa yang tadi sudah di sebutkan harus mempertimbangkan sumber daya yang ada, harus mempertimbangkan masyarakat yang ada di sini terkait aspek sumber daya sosial, ekonomi dan budaya, teruskan. Kemudian di dalam pemanfaatan, ini yang ingin saya tekankan bahwa di dalam hak pengusaha perairan ini bahwa pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3, tapi yang perlu ditekankan di sini bahwa pengusahaan perairan itu hanya mencakup wilayah permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut, ini berbeda sekali dengan yang ada di daratan. Karena secara fungsional kalau kita bilang perairan itu terkait satu dengan yang lain karena rezim yang open access dan sumber daya yang sifatnya milik bersama maka kalau tidak di kelola ya, dengan memberikan katakanlah di sini kesempatan untuk adanya pengusahaan pada perairan maka di sini tidak akan bisa juga optimal, kalau terjadi sesuatu pada wilayah tersebut tidak juga ada yang merasa bertanggung jawab untuk itu. Jadi, saya tekankan di sini bahwa hak pengusaha perairan di sini menyangkut hanya kolom air. Jadi bukan di sini berbicara tentang lahannya, daratannya ini yang perlu ditekankan di sini. Kemudian pemberian HP-3 sebagai yang dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem, pulaupulau kecil masyarakat adat dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. Dari sini ingin saya tekankan bahwa hak pengusahaan perairan ini tidak bisa dengan tiba-tiba diberikan tapi harus ada perencanaan sebelumnya, dia tidak mungkin diberikan kalau belum ada rencana Jonasi yang ada di sana. Sehingga di dalam proses perencanaan ini, itu semua aspek tadi harus dipertimbangkan sebelum katakanlah, diberikan hak untuk pengusahaan perairan ini. Jadi, dalam pemanfaatan ini terkait dengan HP-3 itu terkait dengan perencanaan yang ada di dalamnya, kemudian ada masalah konservasi…, teruskan saja,
31
kerena waktunya yang singkat, teruskan? Ya, ada rehabilitasi, teruskan, Pak? Terus. Ya, ada pengawasan dan pengendalian. Ada program akreditasi yang ditemukan. Nah, ini yang saya ingin saringkan di sini bahwa ada 11 asas yang di sini masuk di dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, kami mencarikan bahwa untuk mencapai suatu pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan berbagai aspek tadi, maka di Undang-Undang Nomor 27 ini ada 3 komponen di sini yang ditonjolkan, dimana masing-masing ini mempunyai kepentingan yang sama. Pertama, bahwa di dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir pulau-pulau kecil itu harus ada pola berhasil, ada kerja sama antara lembaga penelitian, perguruan tinggi, swasta, NGO harus ada juga koordinasi baik secara horizontal maupun secara vertikal dan yang paling penting di sini dan ini banyak dilakukan sekarang ini yaitu konsultasi. Selama ini kita konsultasi hanya pada satu pihak saja tapi dalam undangundang ini dicakup bahwa konsultasi harus dilakukan terhadap pakar, terhadap publik dan suka tidak suka juga terhadap legislatif karena mereka juga yang ikut berperan di dalam penggelolaan ini. Banyak contoh di dalam penerapan 3K ini, contohnya adalah pada waktu kami menerapkan pengelolaan Teluk Balikpapan yang ada di Kota Balikpapan Kalimantan Timur. Nah, diharapkan dengan pendekatan mekanisme pengelolaan pesisir terpadu dan pulau-pulau kecil terpadu ini maka target daripada undang-undang ini bisa kita capai ke depan. Terakhir, bahwa targetnya ada peningkatan dalam pemberataan ekonomi yang selama ini tidak banyak di rasakan oleh masyarakat pesisir, terutama juga mereka yang mempunyai keterlibatan langsung dengan wilayah atau sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian, adanya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat ini sangat ditekankan di dalam undang-undang yang ada, kemudian yang paling penting juga bahwa keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan di pesisir pulau-pulau kecil ini bisa kita jamin. Dan, dengan adanya pengelolaan pulau-pulau kecil termasuk pulau-pulau kecil keluar maka kita harapkan bahwa Undang-Undang Nomor 27 ini dapat menyakinkan terjaganya intergritas negara kesatuan Republik Indonesia. Saya kira itu secara sepintas yang bisa di sampaikan, terima kasih kepada Majelis.
Wassallamuallaikum wr.wb.
69.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Baik, Prof. (…)
32
70.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIQUL MUJIB Interupsi Yang Majelis Hakim.
71.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Prof. Nyoman juga mohon tadi bahan print outnya atau filenya di titipkan kepada Panitera Pengganti.
72.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIQUL MUJIB Interupsi dari Pemohon Majelis. Ada 2 hal yang ingin kami sampaikan. Satu, adalah jika berkenan kami akan menyerahkan barang bukti terkait tadi sudah dipaparkan, itu satu. Terus, yang kedua, adalah kami dari Pemohon menyatakan keberatan apabila keterangan dari Ahli tadi dijadikan bahan pertimbangan dari Mahkamah karena kami menilai terlalu beresiko apabila kita mempertaruhkan nasib ratusan juta rakyat Indonesia terhadap orang yang pernah mengalami masalah plagiarisme intelektual. Terima kasih Majelis.
73.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya, ini tidak mengadili plagiarisme ya? Ini persoalan ini? Apa yang kita uji ini soal lain, soal plagiarisme ada soal sendiri. Oleh sebab itu adalah kewenangan Majelis untuk mendengarkan, mempertimbangkan, menggunakan dan tidak menggunakan semua keterangan yang diberikan di sini. Saya persilakan berikutnya, tolong nanti ya print out atau anu-nya ya Pak.
74.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIQUL MUJIB Interupsi, Majelis Hakim.
75.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya.
76.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIQUL MUJIB Untuk hal yang pertama tadi belum dijawab, apakah kami diperkenankan untuk menyerahkan barang bukti?
33
77.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Boleh silakan, tolong Pak.
78.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIQUL MUJIB Terima kasih Yang Mulia, Majelis.
79.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Silakan Pak (…)
80.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Interupsi juga Yang Mulia, Pemerintah Yang Mulia.
81.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Boleh-boleh.
82.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Sedikit saja Yang Mulia, kami juga ingin menanyakan kepada Pemohon, apakah barang bukti itu kalau memang betul diperoleh secara legal atau secara benar atau tidak begitu?
83.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya, itu kita tidak akan mengadili barang bukti (…)
84.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H.(KASUBDIT PENYAJIAN, PEMBELAAN, DAN PENDAMPINGAN PERSIDANGAN PADA SIDANG MK) Ya, terima kasih.
85.
KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Dan mempertimbangkan barangnya saja dan pendapatnya sebagai Ahli, soal itu soal lain. Saya persilakan Dr. Ir. Budi Wiryawan, bisa Bapak kalau bisa dipersingkat dalam 10 menit.
34
86.
AHLI DARI PEMERINTAH: BUDI WIRYAWAN
Assalamuallaikum wr.wb.
Selamat siang dan salam Sejahterah bagi kita semua, Yang Mulia Para Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Pihak dari Pemohon dan Termohon, izikanlah saya menyampaikan pandangan yang berkaitan dengan pembelajaran program penggelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mohon maaf, karena waktu kami nanti ada beberapa hal yang kami persingkat, saya persingkat dan untuk makalah lengkap saya mohon izin untuk bisa disampaikan kepada para Majelis Hakim yang telah kami siapkan. Sebagai garis besar menceritakan sedikit tentang pendahuluan, perkembangan, pengelolaan pesisir di dunia. Perkembangan, penggelolaan pesisir di Indonesia. Proyek-proyek pengelolaan pesisir di Indonesia, review singkat terhadap UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 sesuai dengan keahlian saya sebagai Ahli Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan sebagai penutup. Wilayah pesisir dan laut merupakan wilayah yang rawan terhadap kemungkinan pemanfaatan, pengeksploitasian yang berlebihan karena adanya anggapan bahwa wilayah tersebut adalah milik bersama dan bebas dimanfaatkan oleh semua pihak. Telah banyak contoh-contoh yang menunjukkan adanya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang di sebabkan aktivitas manusia yang tidak terkontrol terhadap lingkungan pesisir akibat anggapan tersebut di atas. Kita mengetahui bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah dengan berbagai aktivitas yang saling bertentangan, bersaing, memperebutkan sumber daya yang terbatas atau dikenal dengan konflik manfaat dan konflik kewenangan di wilayah pesisir. Seringkali manfaat dan keuntungan dari berbagai aktivitas tersebut hanya di manfaatkan oleh sekelompok stakeholder yang eksklusif dalam jumlah yang sangat kecil saja, sedangkan biaya dampak lingkungan harus dikeluarkan dan terpaksa di tanggung oleh sebagian masyarakat dan lingkungan setempat. Urgensi dari berbagai macam program pengelolaan biaya yang laut yang dikembangkan di dunia, khususnya di Indonesia. Pada intinya adalah untuk menjawab dua hal yang mendasar. Yaitu pertama, kebutuhan untuk menjaga mempertahankan sumber daya yang terancam seperti dekralasi lingkungan dan sumber daya alam yang penurunan jasa-jasa lingkungan seperti nilai estetika pesisir serta komponen-komponen alamiah dari perairan pesisir geo fisik Pantai, daerah ekstoria, pulau-pulau penghalang termasuk ekosistemnya. Yang kedua adalah kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumber daya pesisir secara rasional mencari solusi atas konflik manfaatan dan konflik kewenangan selaras tujuan dan pembangunan berkelanjutan yaitu
35
mencapai keseimbangan rasional antara pembangunan ekonomi, pelestarian sumber daya dan kesetaraan sosial. Sistim pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pengelolaan yang konprehensif dengan komponen yang saling berkaitan. Oleh karena itu, untuk pengelolaannya memerlukan tiga pendekaan. Yang pertama, pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh mengenai sumber daya alam yang unik di kawasan pesisir, optimalisasi pemanfaatan ekosistem di pulau-pulau kecil serta seluruh sumber daya alam di dalamnya dengan mengintergrasikan segenap informasi ekologis, ekonomi, dan sosial. Keterpaduan pendekatan antara disiplin, ilmu, dan koordinasi antara sektoral dalam mengatasi permasalah dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kompleks. Melalui pendekatan ini diharapakan dan dapat memberikan hasil yang di harapkan yaitu terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, membaiknya kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat pesisir sebagai pengguna sumber daya dan sasaran lingkungan diambil dari Dara Jati dari Bappenas. Dirumuskan oleh Sekjen Sentenknek Ahli Pesisir Tahun 1998 bahwa dimensi keterpaduan dalam pengelolaan pesisir meliputi lima aspek, yaitu pertama, sektoral, yang kedua adalah keterpaduan wilayah ekologis, yang ketiga adalah keterpaduan stakeholder tingkat pemerintahan, yang keempat, keterpaduan berbagai disiplin ilmu dan yang kelima, keterpaduan antar negara. Implementasi pengolahan pesisir dan laut secara terpadu di dunia baru di mulai pada tahun 1970-an, dimana konsep pengelolahan telah menekankan pada intergrasi dan koordinasi dan partisipasi pada masyarakat. Misalnya, costum management X, yang diterbitkan pada tahun 1972 oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat. Sementara perhatian pengolahan pemerintahan pesisir laut di Indonesia mulai secara intensif pada tahun 1990-an dengan munculnya berbagai kegiatan berbasis pesisir yang dibiayai oleh berbagai lembaga donor yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Bab II, tentang Perkembangan Pengelolaan Pesisir di Dunia. Berdasarkan pendekatan perencanaan pengolahan, konsep pengelolaan pesisir dan laut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu konsep pengelolaan secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu atau in credit costum management, pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya satu sumber daya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan sektoral tertentu, seperti perikanan, pariwisata, perindustri, dan sebagainya. Sedang pada pengelolaan semacam ini aspek cross sectoral dan cross regional (suara tidak jelas) seringkali diabaikan, akibatnya model pengelolaan seringkali menimbulkan berbagai dampak yang merusak lingkungan dan mematikan sektoral lain. Kemudian, hadir pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai satu pendekatan yang baru yang melalui penilainan yang secara
36
menyeluruh merencanakan tujuan dan sasaran dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara continue dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat sebagai stakeholder, serta daya dukung lingkungan pesisir dan konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada, sehingga keluhan atau sudah menjurus kepada konflik termajinalisasinya sebagian pengguna sumber daya seperti tambak yang digusur oleh industri dan nelayan yang digusur oleh kegiatan yang lain dapat dihindari. Konsep-konsep pengelolaan pesisir seperti yang diuraikan di atas tersebut sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh Velingga dan Riorden tahun 1993 yang secara dinamis mengalami perubahan-perubahan evolusinya. Kami mohon maaf tidak menayangkan karena waktunya. Namun demikian kalau kita lihat bahwa perkembangan ilmu pengelolaan pesisir ini kita bisa buka kembali proceding congress nasional atas pengelolaan pesisir tahun 2000 sampai pada makalah yang akan diseminarkan pada Kongres Nasional Pesisir ketujuh di Ambon pada bulan Agustus tahun 2010 yang akan datang, ini terlihat bahwa ada jelas perbedaan penekanan pada.., sesuai dengan evousi penggunaan pesisir tersebut. Gambaran yang jelas perkembangan pengelolaan pesisir di dunia akan dijadikan beberapa contoh pengalaman pengelolaan pesisir yang dianggap sukses di dunia. Jadi yaitu di Amerika Serikat dengan program Sikren dan implementasi costum management X, di sebagian besar negara bagian, Uni Eropa dengan peraturan yang sama dengan kualitas lingkungan pesisir antar negara, Australia dengan Ocean Policy dan pengelolaan taman nasional dengan sistem Jonasi yang melibatkan berbagai macam stakeholder pada pengembangan Taman Nasional Creed borowrif, {sic}Teluk Siamen di RRC dengan perencanaan Jonasi dan impementasinya dan yang semuanya banyak dijadikan contoh praktik baik atau best practice untuk pengelolaan wilayah pesisir di dunia. Bab III, pengembangan pesisir laut di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki pesisir laut yang cukup luas, namun perhatian Pemerintah terhadap wilayah pesisir baru berkembang tahun 1988, yaitu semanjak diselesaikannya studi yang berjudul Indonesia enviromental a sumarry of policy strategic action and issue kerjasama Bappenas dengan SIDA. Sejak itu sektor kelautan mulai mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah dan masyarakat Indonesia serta masyarakat internasional. Bahkan tahun 1993 sektor ini menjadi sektor tersendiri dari dala GBHN. Kami potong. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang waktu itu juga mewarnai perubahan kebijakan sumber daya pengelolaan pesisir dan laut kemudian undangundang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
37
Semangat otonomi yang dikandung dalam undang-undang tersebut melalui desentralisasi hubungan pengelolaan wilayah pesisir, pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 provinsi dan kabupaten memiliki otonomi dalam pengelolaan wilayah pesisir sejauh 12 mil dan sepertiganya merupakan kewenangan kabupaten dan kota dan sebagainya, ada diuraikan dalam Pasal 18 ayat (3). Implementasinya dari undang-undang tersebut, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 terhadap pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan dan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis apabila Pemerintah dan masyarakat wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Sehingga pemanfaatan sumber daya alam pesisir tersebut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan kaidah pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu perlu adanya undang-undang yang mengatur tentang pengolaan wilayah pesisir Republik Indonesia untuk mengelola sumber daya alam dan jasa lingkungan di wilayah pesisir. Secara kelembagaan tadi juga sudah disinggung oleh Ahli yang lain, terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut memberikan tonggak sejarah bagi pengelolaan sumber daya pesisir. Perkembangan terakhir dari kebijakan pengelolaan wilayah pesisir adalah upaya penyusunan undang-undang wilayah pesisir pada waktu itu tahun 2001, DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) menyusun naskah akademik perancangan Undang-Undang Pengelolaan Pesisir. Beberapa proses dilalui seperti konsultasi publik, saya mengikuti beberapa proses konsultasi publik waktu itu yang dilakukan selama menyusun Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Pesisir. Proyek-proyek pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia, ada berbagai macam proyek pengelolaan pesisir di Indonesia, mungkin saya bacakan judulnya saja proyek yang disebut Marrien resources evolution and planning project tahun 1993-1994, implementasinya meliputi 42 kabupaten dan 10 provinsi, kemudian Corarie Rehabilitation and Management Project atau Kormap, dengan waktu 15 tahun terbagi dalam 3 tahap pelaksanaan yang saat sekarang masih berjalan untuk pengelolaan sumber daya terumbu karang. Kemudian Coster Resources Managemant Project atau kita kenal dengan proyek pesisir dan lanjutannya dengan yang disebut dengan mitra pesisir berlangsung 7 tahun, tahun 1996-2003. Ini merupakan proyek hibah dari USID dan kerjasama Pemerintah RI dan Bappenas melewati Dirjen Bangda, Depdagri. Ini memberikan gambaran bagi kita bahwa pendekatan dengan dua arah atau two track approuch menjadi sangat penting, artinya bagi pengembangan kebijakan di bidang pengelolaan pesisir. Juga beberapa hasil-hasil seperti pengembangan konferensi nasional yang masih berlanjut sampai saat sekarang, pembelajaran
38
tentang pengolahan sumber daya pesisir di lokasi-lokasi percontohan masih bisa kita lihat. Kemudian program Marrien and Coster Reource Managemant Project, ini merupakan program perencanaan lanjutan yang di (tidak jelas) oleh Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2002-2007 merupakan program pengelolaan yang dibantu oleh Asian Development Bank, yang membuahkan hasil perencanaan hierarki dari mulai perencanaan srategis zonasi, perencanaan pengelolaan, perencanaan aksi di 15 provinsi dan 40 Kabupaten/Kota di Indonesia yang tadi salah satunya, prinsipnya dan metodenya sudah disampaikan oleh rekan kami dari Ahli Pemerintah. Program ini memantapkan proses pembuatan Undang-Undang 27 Tahun 2007. Aspek-aspek pengelolaan pesisir ditambah dengan aspek penanggulangan bencana dan mitigasi bencana yang telah dimasukkan dalam materi muatan Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan PulauPulau Kecil yang difasilitasi oleh program MCR tersebut. 87.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik dipercepat, Saudara.
88.
AHLI DARI PEMERINTAH : BUDI WIRYAWAN Terima kasih. Kata kunci dari kebijakan …, saya melihat review terhadap UndangUndang Nomor 27 yaitu pengelolaan, bagaimana mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan dilakukan dengan berasal pada berkelanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, prasta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntanbilitas dan keadilan. Ini, sedangkan ruang lingkup pengaturan wilayah pesisiran dan pulau-pulau kecil meliputi daerah ekosistem yang telah diatur dalam pasalnya salah satunya Pasal 2 dan Pasal 3. Saya sampaikan penutup, belajar dari pengalaman negara lain dalam pengelolaan pesisir dan laut, hal-hal yang perlu diatur dalam mekanisme hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme penyediaan bantuan teknis dan dana ke daerah dalam pengelolaan pesisir. Kriteria pemberian bantuan kepada Pemerintah Daerah insentif dan disinsentif, komitmen kedua belah pihak untuk mengelola sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Dalam era desensentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut perlu aturan dan tata cara untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul antara daerah seperti penanganan limbah, pencemaran laut, sumber daya lintas wilayah seperti perikanan dan pengusahaan perayaan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan memerlukan perencanaan yang matang, partisipatif, berbasis ilmiah karena diperlukan berbagai kebijakan dan strategi pengelolaan pesisir yang baik di pusat maupun di daerah.
39
Implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dapat berkelanjutan apabila memenuhi beberapa parameter seperti sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat baik kebijakan formal maupun informal. Yang kedua, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Yang ketiga, didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan, keterlibatan aktifitas dari stakeholder, memiliki rencana dan program yang jelas dan memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk budaya, sosial, ekonomi, masyarakat setempat. Oleh karena itu apabila parameter tersebut belum terpenuhi, maka salah satu komponen kegiatan proyek untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 27 harus memasukkan parameter tersebut untuk disiapkan. Seperti pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan, misalnya agar implementasi UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tersebut berdampak luas dan sejalan dengan tujuan pengelolaan sumber daya pesisir maka perlu didesain bagaimana mereplikasi proyek-proyek percontohan untuk Indonesia sebagai implementasi dari undang-undang tersebut. Oleh karena itu sejak awal perlu dirancang kelengkapan data informasi dokumentasi proses, evaluasi, relevansi projek dengan kondisi suatu wilayah, evaluasi dampak proyek terhadap lingkungan dan masyarakat, keterlibatan stakeholder komunitas dalam perencanaan dan strategi penyebarluaskan informasi tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Wabillahittaufiqwalhidayah,, Sekian dan terima kasih.
wassalamualaikum wr. wb.
89.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Ya, sidang berlangsung persis 2 jam. Saudara Pemohon, apakah Saudara masih mengusulkan ada sidang lagi? Atau cukup?
90.
KUASA HUKUM PEMOHON : TAUFIQUL MUJIB Terima kasih, Majelis. Kami dari Pemohon menyatakan cukup untuk mengajukan Ahli dan Saksi tapi jika diperkenankan kami dari Pemohon hendak mengajukan bukti tambahan adalah majalah resmi “SWAR. Ini adalah majalah resmi dari Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang dalam satu isinya menyatakan sangat jelas bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 melanggar hak asasi manusia. Terima kasih, Majelis.
91.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD
40
Ya, diterima, tolong. Jadi tambahan-tambahan alat bukti tadi kita sahkan ada 2 tambahan, ya. Satu tadi dokumen-dokumen, dan yang kedua jurnal. Ini kita nyatakan sah. KETUK PALU 1X
Baik. Jadi begini, Ahli ada pertanyaan tetapi tidak usah dijawab sekarang, melainkan dicatat nanti dijawab tertulis melalui kesimpulan, Pemerintah dan Pemohon. Kalau Ahli itu menyangkut Saksi ini. Untuk itu silahkan Pak Harjono. 92.
HAKIM ANGGOTA : HARJONO Terima kasih. Pertanyaan saya kepada Pemerintah, menyangkut pelaksanaan undang-undang ini. Karena saya tidak menemukan di dalam undangundang, di dalam aturan peralihan. Apakah HP-3 baru bisa keluar, kalau ketentuan Pasal 7 itu sudah dilakukan dulu? Itu pertama. Kemudian di dalam ketentuan bahwa masyarakat adat itu juga harus mendapatkan HP-3. dan HB-3 nya itu akan habis setelah 20 tahun. Karena yang bisa mendapatkan HP-3 masuk masyarakat hukum adat. Pertanyaannya adalah apakah di dalam penyusunan apa yang disebut oleh Pasal 7 tadi, tidak dipetakan dulu setiap daerah itu masyarakat hukum adat itu punya hak apa dulu, seperti itu. Karena kalau di apply, melamar, ya, itu bagaimana dengan pengakuan yang dia sebetulnya? Sudah ada hak sebelumnya. Jadi, ketentuan bahwa masyarakat adat itu bisa mendapatkan HP-3 tentu itu dengan permohonan walau permohonan berakhir 20 tahun. Saya ingin tahu posisi, bahwa masyarakat hukum adat itu sudah ada sebelum undang-undang ini ada. Oleh karena itu dia harus nyari recognisi. Kalau recognisi bagaimana dengan mekanisme itu? Mestinya tidak apply, recognition. Karena recognition mestinya harus ada peta dulu didalam satu daerah itu, bahwa ada masyarakat hukum ada ini, dan itu kemudian diakui sebelum yang lainnya apply. Itu yang ingin saya tanyakan. Kemudian apakah HP-3 ini izin yang sifatnya genus ataukah yang spesifik? Karena ada kelautan dan ada perikanan. Apa itu kelautan, apa itu perikanan belum dijelaskan. Lalu kemungkinan adanya duplikasi, ya katakan saja satu HP-3 menimbulkan hak untuk menangkap ikan. Itu tadi sebetulnya hubungannya dengan yang sudah dipunyai oleh masyarakat hukum adat. Kalau sebelumnya memang sudah ada penangkapan ikan di situ. Apakah dengan adanya kemungkinan bahwa daerah pesisir tidak hanya kelautan tapi juga perikanan, tapi juga pariwisata. Oleh karena itu saya tanya HP-3 ini genus apa spesies?
41
Artinya HP-3 untuk apa? HP3 untuk apa, ya? Karena, bisa saja peternakan tiram untuk mutiara. Ini gimana? Karena di tempat yang sama ada juga penangkapan ikan lewat situ. Itu baru hak masyarakat adat, belum kalau itu diberikan kepada yang lain. Coba itu diuraikan. Karena disini nggak ada semua itu ya? Terima kasih. 93.
KETUA : MOH. MAHFUD. MD Pak, Arsyad!
94.
HAKIM ANGGOTA : M. ARSYAD SANUSI Terima kasih. Pada Saudara Pemohon, tapi ini saya tujukan kepada 3 Ahli, satu sekaligus barangkali. Dalam konteks antara HP-3 dengan masyarakat adat, oleh karena tadi Saksi Pemohon ini menyatakan bahwa ini masyarakat adat di sana itu gelisah, terbelenggu, ya? Nah, dalam Pasal 21 ayat (1) yang dijadikan objectum litis ini pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis administrarif dan operasional. Lalu kemudian 21 ayat (2), 21 ayat (3), 21 ayat (4) dan 21 ayat (5). Ingin saya pertanyakan, apakah masyarakat adat ini, itu diharuskan juga mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat HP-3? Karena di sini dikatakan 21 ayat (5),
“penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan. Pertama ada ancaman yang serius terhadap kelestarian wilayah pesisir tidak didukung bukti ilmiah.” Bagaimana masyarakat adat itu ada,
ya, bukti ilmiahnya, ya? Ketiga kerusakan yang pernah terjadi tidak dapat dipulihkan. Nah, kalau melihat 21 ayat (5) ini masyarakat adat tradisional ini tidak mungkin bisa mendapatkan sertifikat HP-3, itu. Nah, itu bagaimana? Apakah itu memang inkonstitusional atau tidak? Pada 3 Ahli ini nanti barangkali, terutama Pak Nababan, ya? Tolong berikan input pada Pemerintah untuk kesimpulannya. Terima kasih Pak Ketua.
95.
KETUA : MOH. MAHFUD. MD Hakim Akil!
96.
HAKIM ANGGOTA : M. AKIL MOCHTAR Baik, pertanyaan ini kepada Ahli ya? Kalau kita melihat HP-3 maka 3 objek yang menjadi bagian dari HP-3 itu yang pertama adalah perairan pesisir, kemudian yang kedua adalah sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, kemudian yang ketiga adalah pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya.
42
Nah, memang dia berbeda dengan HPH, dia berbeda dengan izin pertambangan. Karena memang ketika kita bicara HP-3 itu, tidak jelas objeknya apa pemberian itu, walaupun di dalam Pasal 16 itu bicara tentang pemanfaatan. Tapi objek HP-3 nya sendiri itu apa? Nah, akibat yang tidak jelas ini tentu akan memberikan konsekuensi bagi pelaksanaan hak ini di lapangan. Misalnya Pasal 16-nya menyatakan pemanfaattan perairan pesisir yang diberikan dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir yang meliputi penguasaan atas permukaan laut dalam kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Ini sangat luas sekali. Nah, kemudian kalau kita bicara HP3 itu, tadi saya katakan 3 objeknya, yang di…,menjadi apa namanya…, hak yang bisa dikelola. Nah, ini tidak seperti misalnya hak atas tanah, jelas itu tanah, hak atas tambang tertentu itu disebutkan tambangnya apa? Emas, batubara, mineral, gas, itu. Kalau ini tidak. Nah, dari aspek itu saya melihat bahwa apakah undang-undang ini tidak berpotensi menimbulkan persoalan ketika dia diaplikasi. Yang kedua, saya ingin bertanya begini. Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita kan terutama yang empat menyatakan bahwa “perekonomian nasional kita itu diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi.” Nah, atas dasar itu maka disusunlah prinsip kebersamaan efisensi berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan dan seterusnya kemandirian. Karena dia berdasarkan demokrasi ekonomi, maka semua pihak diberikan kesempatan akses yang sama untuk mengelola sumber daya alam ini. Karena dia diberikan kesempatan yang sama maka dalam rangka menjalankan persaingan usaha tentu kapital yang besar dia akan dapat besar, yang kecil dia akan mengelola yang kecil, yang efisien tentu dia akan mengalahkan yang tidak efisien. Nah, dalam konteks itu masyarakat adat menurut undangundang ini apakah dia diberlakukan sama atas dasar Pasal 33 ayat (4) itu? Apakah tidak diberikan yang disebut dengan hak afirmatif yang disebut di dalam 28? Karena dalam waktu tertentu tentu dia tidak mempunyai kemampuan dan sumber daya yang sama. Contoh, misalnya kalau pertambangan itu kan ada kuasa pertambangan, untuk perusahaan besar. Kemudian, ada izin pertambangan untuk masyarakat kecil, untuk masyarakat lokal atau masyarakat tradisional. Dan demikian juga izin pemanfaatan hutan misalnya. HPH itu biasanya untuk koperasi atau masyarakat-masyarakat adat. Tapi HPH itu untuk perusahaan yang besar. Nah, dalam hal HP-3 di bidang apa namanya…, sumber daya kelautan ini masyarakat adat itu sama dengan prinsip itu. Apakah hanya memang mengacu kepada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar itu? Kita mohon penjelasan, terima kasih. 97.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD
43
Terakhir, Bapak Hakim Hamdan. 98.
HAKIM ANGGOTA : HAMDAN ZOELVA Ya, kepada Pemerintah dan Ahli dari Pemerintah. Saya tidak melihat kalau terjadi konflik setelah keluar HP-3 ada pengakuan di areal itu…, di wilayah itu ada hak masyarakat hukum adat atau hak-hak masyarakat tradisional atau hak-hak yang timbul dari kearifan lokal ini mana yang harus diutamakan? Ini tolong apa…, tolong…, ini, ini jadi pasti akan menimbulkan banyak persoalan ketika nanti keluar HP-3. Antara asas formal dengan kenyataan materil bahwa sejak dulu ada kearifan lokal, ada hak-hak masyarakat hukum adat dan lain-lain. Ini mana yang harus dimenangkan dalam kasus seperti itu? Ini perlu ada…, di bagian mana di undang-undang ini yang mengatur? Memang di Pasal 62 ayat (2) hanya dikatakan hak-hak itu menjadi acuan dalam pemberian HP-3. Tapi kalau pada saat keluarnya HP-3 mana yang terjadi dispute konflik kepentingan. Hak mana yang lebih tinggi? Terima kasih.
99.
KETUA : MOH. MAHFUD, MD Baik, jadi tidak usah dijawab sekarang. Tolong jawabannya diberikan dalam bentuk tertulis kepada masing-masing. Untuk Ahli yang dari Pemohon jawabannya sampaikan melalui Pemohon pun Pemohon nanti bisa meng-eksplore sendiri dari kesaksian itu sebagai bentuk kesimpulan dan kami beri waktu 14 hari kepada Pemerintah dan kepada Pemohon terhitung hari ini, hari Selasa tanggal 8. Jadi, tanggal 22 hari Selasa. Supaya sampaikan kesimpulan paling lambat jam 12 siang melalui Kepaniteraan. Ya, hari Selasa tanggal 22 jam 12, ya. Baik, dengan demikian sidang dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.00 WIB
44
Jakarta, 9 Juni 2010 Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan
Kasianur Sidauruk
45