Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 126&136/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (II)
JAKARTA SELASA, 8 DESEMBER 2009
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 126&136/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON Pemohon Perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 - Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia. - Komisi Pendidikan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KOMDIK, KWI) - Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK) - Dan yayasan lainnya Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-VII/2009 - Harry Syahrial - Heru Narsono - Tayasmen Kaka ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (II) Selasa, 8 Desember 2009, Pukul 10.00 – 14.30 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4)
Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Dr. M. Arsyad Sanusi Sanusi, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
Makhfud, S.H., M.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon Perkara Nomor 126/PUU-VII/2009: -
GPRI PGRI Komisi Pendidikan KWI Khairumanarnia (Sekretaris Jenderal Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta) Yayasan Pendidikan Tinggi Tarakanita Thomas Suyatno
dari
Asosiasi
Badan
Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 126/PUU-VII/2009: -
Dr. Luhut. M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M. Waskito Ariwibowo, S.H. Bachtiar Sitanggang Herla
Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 126/PUU-VII/2009: -
Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. Harry Tjan Silalahi. Prof. Dr. Sofian Effendi.
Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-VII/2009: -
Harry Syahrial. Heru Narsono. Tayasmen Kaka.
Pemerintah: -
Dr. Fasli Jalal, Ph.D. (Dirjen Dikti Depdiknas) Nainggolan (Bagian Hukum Depdiknas) Dadang Gandhi (Bagian Hukum Depdiknas) Dr. Mualimin Abdi (Kabag Penyajian pada Dephukham) Putut Pujo Giri (Depdiknas)
Sidang
MK
dari
Ahli dari Pemerintah: -
Prof. Dr. Johannes Gunawan, S.H., LL.M. Dr. Anggani Sudono, M.A. Dra. Nurdiana Dini, M.Si.
2
Saksi dari Pemerintah: -
Nurdin Rivai, S.E. Dr. Fathony Rudhi (Direktorat Pendidikan Usia Dini)
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa Perkara 136 dan 126/PUU-VII/2009 dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X Baik, sebelum dimulai, saya akan sampaikan dulu persidangan pagi hari ini adalah persidangan Panel Plus, seharusnya persidangan paripurna/sidang pleno, tapi karena beberapa hakim berhalangan secara sah sehingga tidak bisa memenuhi kuorum untuk sidang pleno, maka Rapat Permusyawaratan Hakim membentuk Sidang Panel Khusus dan itu sah menurut ketentuan persidangan Mahkamah Konstitusi. Panel Khusus tidak akan mengambil keputusan, tapi hanya menyelenggarakan persidangan dan keputusan nanti akan tetap diambil oleh 9 orang hakim. Itu untuk saya beritahukan sebelum persidangan ini dimulai. Baik, para Pemohon yang hadir, karena di sini ada 2 perkara, untuk pertama kali mohon diperkenalkan dulu siapa yang hadir di antara 2 perkara itu, silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Majelis Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Kami akan memperkenalkan yang hadir dari kami, baik Kuasa termasuk juga Prinsipal, yang hadir sebagai Kuasa hari ini di belakang ada Waskito Ariwibowo, S.H., advokat. Kemudian ada asisten Herla dan Saudara Bachtiar Sitanggang yang di sebelah kanan saya, dan saya sendiri Luhut Pangaribuan. Selanjutnya prinsipalnya mohon diperkenalkan Professor, silakan.
3.
PEMOHON PERKARA NOMOR 126: THOMAS SUYATNO Majelis Hakim yang kami hormati. Perkenalkan saya sebagai Prinsipal dari Asosiasi memperkenalkan, saya Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi, sebelah saya Dr. Khairumanarnia sebagai Sekjen dan saya mohon semua pengurus pusat berdiri. Berikutnya para penasihat yang hadir adalah yang pertama Bapak Prof. DR. J.E. Sahetapy, S.H., M.A., Prof. Sofian Effendi, Bapak Harry Tjan dan masih on the way beberapa penasihat, sekaligus juga daerah-
4
daerah yang hadir adalah dari Jawa Tengah Bapak...., mohon semua Jawa Tengah berdiri. Kemudian Bapak Sali, Jawa Barat, mohon berdiri, kemudian dari Yogya Bapak Sabaruddin, kemudian dari PGRI Bapak Jurnih, Bapak Tenang Tarigan dari Sumatera Utara. Pemohon juga Trisaksi mohon semua berdiri. Penasihat kami juga Bapak Dr. J. Kristiadi, mohon berdiri, Bapak Hartoyo, Jatim dengan semua pasukan Jawa Timur silakan berdiri. Pak Siregar dengan semua pasukan DKI, mohon berdiri. Dan semua pasukan Tarakanita, mohon berdiri, semuanya sebagai Pemohon. Kemudian dari Komdik KWI, Komdik semuanya mohon berdiri. Saya kira itu, Yang Mulia Majelis, dari kami, ada yang belum saya sampaikan, ya saya kira sementara itu, terima kasih Bapak Majelis. 4.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ini dari Perkara 136? 126. 136 silakan.
5.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136 : HARRY SYAHRIAL
Assalamualaikukm wr. wb. Saya mewakili dari para Pemohon
Perkara Nomor 136, perkenalkan saya Harry Syahrial, di sebelah saya Bapak Tayasmen kaka dan di sebelah kiri saya Bapak Heru Narsono. Sementara kami tidak bisa lagi mengajukan tambahan Saksi Ahli, cukup yang kami sampaikan pada sidang terdahulu. Terima kasih, Yang Mulia. 6.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, dari Pemerintah, kami persilakan.
7.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Dari Pemerintah saya sendiri Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, di samping kiri saya Bapak Prof. Fasli Jalal Dirjen Dikti Departemen Diknas, kemudian di belakang juga ada kawan-kawan dari Departemen Pendidikan Nasional, yaitu Bapak Putut Pujo Giri, kemudian ada Bapak Irianto Nainggolan, kemudian Bapak Dadang Gandhi semuanya dari Biro Hukum Departemen Pendidikan Nasional. Kemudian Yang Mulia, sesuai dengan surat yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi, bahwa Pemerintah juga sedianya akan menghadirkan beberapa orang ahli, yaitu 4 ahli, kemudian ada 5 saksi. Nah, kemudian yang baru hadir sekarang ada dihadapan kita adalah Prof. Dr. Johannes Gunawan, kemudian ada Dr. Anggani Sudono,
5
kemudian Dr. Sofi berhalangan karena beliau sedang di luar negeri, jadi diganti oleh Ibu Nur Diana Dini, sudah ada. Kemudian saksi dari Pemerintah juga sudah hadir, Bapak Dr. Fathony Rudhi, beliau dari Direktorat Pendidikan Usia Dini atau PAUD. Yang kedua, Bapak Nurdin Rivai, silakan Pak, berdiri. Prof. Arifin P. Soeria Atmadja dalam perjalanan, jika dimungkinkan akan didengarkan penjelasannya. Saya kira ini yang dapat kami sampaikan, Yang Mulia. Terima kasih. 8.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, dari DPR tidak hadir? Dari DPR kita agak prihatin ini, beberapa kali persidangan tidak hadir, oleh karena itu nanti kalau perlu Mahkamah akan memperingatkan agar supaya agak serius DPR, karena ini juga produk DPR yang dipersoalkan. Baiklah, Pihak Terkait tidak ada ya saya kira dalam kasus ini. Pada persidangan yang lalu kita sudah dengar beberapa Ahli dan Saksi yang disampaikan oleh Pemohon, dan masih adakah, sebentarsebentar, saya akan klarifikasi kepada Pemerintah dahulu. Di meja hakim ada nama-nama yang diajukan oleh pemerintah; 1. 2. 3. 4. 5.
9.
Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, yang masih dalam perjalanan. Prod. Dr. Johannes Gunawan, sudah hadir. Dr. Anggani Sudono, ini baru ya, belum pernah diajukan sebelumnya. Dr. Sofi, tidak bisa hadir. Prof. Dr. Malik Fadjar, diajukan tidak? Kesempatan berikut. Ini masih diperpanjang ini kalau kesempatan berikut ini persidangannya?
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Izin Yang Mulia, ya nanti terserah bagaimana keputusan Yang Mulia, yang penting Pemerintah mengajukan.
10.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ya, juga ada nama Dr. Suharyadi, S.E., betul dari Pemerintah mengajukan itu?
11.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Betul, Yang Mulia.
6
12.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Belum ada keterangan sudah hadir atau tidak? Ada Nurdin Rivai, S.E., saksi juga? Sudah hadir?
13.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Yang Mulia, sudah hadir.
14.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Sudah hadir? Ada Dr. Fathony Rodhi, sudah hadir? Di sini juga ada nama Dra. Opih Zaenal M.Pd. Betul?
15.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Betul. Belum hadir, Yang Mulia.
16.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Belum hadir. Ini yang saya cek dari Pemerintah dulu, sedangkan dari Pemohon yang satu sudah tidak menghadirkan Saksi atau Ahli, tapi ada dalam Perkara 126 itu tercatat di sini Bapak Harry Tjan Silalahi sebagai Ahli, betul? Hadir beliau? Saudara Prof. Dr. Sofian Effendy, kemudian juga ada satu saksi Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. Betul dihadirkan sebagai Saksi?
17.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126 : DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Bapak Ketua yang terhormat, Prof. Sahetapy kami hadirkan sebagai Ahli.
18.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Sebagai Ahli?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126 : DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Ya.
7
20.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Jadi, kalau begitu ada 3 Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon. Saksi tidak dihadirkan? Tidak ada? Hanya 3 Ahli?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126 : DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Sementara kami belum mengajukan Saksi tapi Ahli.
22.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Oke. Baik, karena ini juga ada Ahli saya kira yang sudah pernah memberikan keahlian di dalam persidangan untuk permohonan BHP ini, maka untuk beberapa Ahli, saya kira sudah tidak harus disumpah lagi, masih berlaku sumpahnya, sidang belum ditutup. Oleh karena itu, saya mohon untuk disumpah Ahli atau Saksi yang belum pernah bersumpah untuk kasus ini.
23.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Yang Mulia, izin yang Mulia, Pemerintah yang Mulia. Tadi Dr. Sofi dari Pemerintah tadi saya sudah sampaikan, belum disebut oleh Yang Mulia diganti oleh Dra. Nurdiana Dini M.Si., sudah hadir pula, Yang Mulia.
24.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Nur?
25.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Nurdiana Dini, sudah hadir. Silakan berdiri, Ibu.
26.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Nurdiana Dini juga sebagai Ahli. Kalau begitu akan kami mohon Ahli bersama-sama untuk bersumpah. Saya sebut saja Prof. Arifin sudah tidak perlu lagi, Prof. Johannes tidak perlu lagi, Dr. Anggani Sudono belum pernah kan disumpah? Belum? Belum mengambil sumpah. Agama apa? Islam, ya. Lalu, Nurdiana Dini belum, agama Islam. Kemudian, ini yang Ahli, Ahli dari Pemerintah. Sedangkan ahli dari Pemohon kebetulan ketiga-tiganya. Apa Pak Sofian Effendi juga Khatolik? Bukan. Ah, di sini ditulis Khatolik. Mohon maaf, ya. Oleh karena itu, Pak Sofian Effendi,
8
kemudian Dr. Anggani Sudono dan Dra. Nurdiana Dini yang beragama Islam, mohon untuk maju ke depan disumpah dulu sesuai dengan agamanya. 27.
HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. ACHMAD SODIKI, S.H. Ikuti lafal sumpah ya. Bismillahirrahmannirahim. “Demi Allah, saya
bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”. Terima kasih. 28.
yang
AHLI: PROF. DR. SOFIAN EFFENDI, DR. ANGGANI SUDONO, M.A., DAN DRA. NURDIANA DINI, M.SI.
Bismillahirrahmannirahim. “Demi Allah, saya bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”. 29.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Kemudian ahli yang lain, yang beragama Kristen, Khatolik, Protestan yang tercatat di sini. Pak Harry Tjan Silalahi dan Prof. Sahetapy. Oh, Khatolik. Mohon maaf. Khatolik. Sumpah bersama. Bisakan, Pak? Rohaniwan, supaya dibimbing tata cara bersumpahnya bagaimana ya.
30.
HAKIM ANGGOTA: PROF. DR. ACHMAD SODIKI, S.H. Berjaniji Pak ya. Ikuti lafal janji. “Saya berjanji, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”. Cukup.
31.
AHLI: HARI TJAN SILALAHI, S.H. DAN PROF. DR. J.E. SAHETAPY, S.H., M.A. “saya berjanji, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”.
32.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Berikutnya Saksi. Saksi ini datangnya dari Pemerintah semua kebetulan. Saya klarifikasi dulu. Saudara Nurdin Rivai, beragama apa? Islam. Kemudian Saudara Dr. Fathony Rodhi, Islam. Kalau Saudara Suharyadi belum ada? Sudah datang? Suharyadi, belum datang. Saudara
9
Opih Zaenal? Sehingga hanya 2 saksi yang hadir. Ya, silakan maju untuk bersumpah juga. 33.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Sebelum lanjut, Yang Mulia, Prof. Dr. Malik Fadjar apakah boleh nanti secara tertulis karena beliau juga berhalangan hadir, Yang Mulia, kesaksiannya secara tertulis?
34.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ya, silakan.
35.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia.
36.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Berdua? Oh, sudah pernah? Oke. Silakan mengambil sumpah. Dr. Fathony, silakan.
37.
HAKIM ANGGOTA: PROF. DR. ACHMAD SODIKI, S.H.
Bismillahirrahmannirahim, ikuti lafal sumpah. “Demi Allah, saya bersumpah, akan menerangkan sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.” Terima kasih. 38.
SAKSI DARI PEMERINTAH: DR. FATHONY RODHI DAN NURDIN RIVAI, S.E. “Demi Allah, saya bersumpah, akan sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
39.
yang
menerangkan
yang
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, kita mulai dengan acara mendengarkan keterangan. Nanti kita urut dulu dari Ahli dan pada kesempatan yang terakhir persidangan kita, kita banyak mendengarkan dari Pemohon. Oleh karena itu, pada pagi hari ini kita beri kesempatan pertama kepada Pemerintah, hanya ada catatan di sini, di sidang ini. Pak Arifin dan Prof. Johannes sudah panjang lebar dulu menyampaikan keahliannya, kita masih punya risalah yang disampaikan itu lengkap. Bahkan tidak hanya risalah, pun juga apa
10
itu yang bentuk tertulisnya kita juga sudah terima. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kita dengar dulu Ahli Pemerintah yang belum pernah didengar, yaitu dari Dr. Anggani Sudono dan kemudian nanti Dra. Nurdiana Dini. Sekarang Pemerintah ngatur dulu di antara 2 Ahli ini mana dulu yang dipanggil untuk memberikan keahliannya dan tolong diarahkan untuk apa Ahli ini dipanggil memberi keterangan tentang keahliannya. Silakan. 40.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Jika diizinkan Yang Mulia, seperti ahli Prof. Johannes Gunawan memang betul sudah memberikan penjelasannya di sidangan yang mulia ini. Tapi apakah dibolehkan kalau ada hal yang baru, barangkali yang kemarin ada yang belum tersampaikan, disampaikan secara tertulis atau saya mohon arahan Yang Mulia, apakah secara lisan, Yang Mulia?
41.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Boleh, nanti saja. Tapi ini dibalik dulu, yang belum pernah mendengar dan menyampaikan kesaksiannya tetap kita dengar, nanti masih ada kesempatan itu dengan harapan bahwa yang sudah pernah disampaikan tidak usah diulang lagi. Ini 2 Ahli, Prof. Dr. Arifin maupun Prof. Dr. Johannes. Karena kita banyak permohonan mengenai BHP, kita akan periksa bersama, dan nanti kalau kita usahakan putusannya bersama juga, tidak satu-satu, ya. Silakan.
42.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Untuk kesempatan yang pertama, kami persilakan Dr. Anggani Sudono. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada Ahli, apa yang akan ingin disampaikan. Silakan.
43.
AHLI DARI PEMERINTAH : DR. ANGGANI SUDONO, M.A.
Bismillahirrahmannirahim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Terhormat Bapak Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Hari ini saya akan menjelaskan sedikit mengenai bagaimana anak usia dini. Jadi langsung saja saya akan menjelaskan. Bahwa anak usia dini ini, mempunyai karakteristik. Karakteristiknya itu khusus, 0-6 tahun itu mempunyai karakteristik yang khusus yaitu bahwasanya anak ini belajarnya dengan bermain. Jadi dia tidak bisa belajar secara terstruktur, hanya diberikan dengan cara yang formal, tetapi anak usia dini ini belajarnya melalui bermain. Ketika anak itu 11
bermain, maka boleh dikatakan perkembangan otaknya itu bisa maksimal. Dia di dalam keadaan senang dan kalau bermain itu kita melihat karakteristiknya bahwa dia mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi, dia aktif, dia sangat bermain dengan bermakna. Jadi semua permainan-permainannya itu bermakna. Aktif, ada episodeepisodenya, ada permulaannya, ada tengahnya dan ada akhirnya. Jadi dia mempunyai keahlian, dia mempunyai keahlian mengatur dirinya sendiri bila dia diberi kesempatan bermain. Kalau kita lihat dari cara mereka belajar maka anak usia dini ini belajar dengan menggunakan semua panca inderanya. Dengan menggunakan semua panca inderanya dan dia berinteraksi dengan teman. Dia berinteraksi dengan orang dewasa kalau dia sudah merasa bahwa dia bisa menghubungkan diri dengan orang dewasa itu. Dia mempunyai konsep yang positif , senang kalau dirinya itu senang, maka positiflah dirinya, dia senang sekali merasa keberhasilan, kalau dia berhasil maka dirinya positif, maka dia akan senang sekali belajar dan menyenangi apa yang dikerjakan, dia tidak suka kegagalan. Kegagalan menyebabkan dia tidak bisa berkembang dengan semaksimalnya. Majelis yang kami muliakan. Masa usia dini adalah masa emas, dikatakan the golden age dan the golden age ini adalah masa dimana anak ini bisa mempergunakan semua potensinya, semua apa yang dia miliki itu berkembang pada saatsaat 0-6 tahun ini. Jadi 0-6 tahun ini sungguh-sugguh bagai suatu yang harus kita perhatikan. Tidak bisa dimasukkan sebagai pendidikan yang harus terstruktur. Jadi dia akan mendapatkan pengalaman belajar dengan melalui bermain dan dia mengembangkan diri dengan sebaikbaiknya. Untuk itu Pemerintah pada tahun ini sudah mengeluarkan suatu standar, standar pendidikan anak usia dini dan standar pendidikan anak usia dini ini dipergunakan untuk anak usia 0-6 tahun. Tidak terkecuali dimanapun anak itu berada, dalam institusi apa saja kalau dia 0-6 tahun maka standar itu diharapkan dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Jadi standar yang dibuat yang sudah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 58, ini menyatakan bahwa ini bisa dipakai oleh formal, informal dan non formal. Asal anak usia 0-6 tahun itu mempergunakan kesempatan belajar dengan sebaik-baiknya seperti apa yang kita lakukan yang kita berikan di dalam standar itu. Standar itu minimal, artinya, kalau sekolahan itu ingin lebih maju, dengan sendirinya sangat terbuka, mau jadi apa saja silakan, tetapi minimal standar itu harus diikuti dan standar ini mengenai empat komponen. Komponen pertama, adalah anaknya itu sendiri seperti apa, anak itu mempunyai tingkat pencapaian perkembangan sendiri dan tidak bisa dipaksa-paksakan, mempunyai tingkat pencapaian perkembangan sendiri sesuai dengan usia-usianya. Lalu kemudian komponen yang berikutnya kita memperhatikan pendidiknya, pendidiknya seperti apa, guru sebagai pengasuh, sebagai tutor, bisa diberi nama apa saja, bisa dipanggil “Mam”, bisa dipanggil
12
“Ibunda”, bisa dipanggil “Sister”, bisa dipanggil apa saja. Tetapi pendidik untuk anak usia dini ini mempunyai kualifikasi yang sudah ditentukan, mempunyai kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai. Jadi tidak sembarangan tetapi kalau misalnya ada orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi-kualifikasi itu maka dia perlu sekali mendapatkan latihan-latihan. Komponen yang ketiga dalam standar pendidikan anak usia dini itu adalah mengenai metode-metode. Metode apa saja yang kiranya ingin dicapai atau ingin dipergunakan oleh guru, silakan. Tidak ada pembatasan. Kalau akan mengajarkan apa saja, metode-metode, pendekatan pendekatan yang dicapai yang diinginkan oleh guru, yang dikuasai oleh guru, yang dikuasai oleh pendidik atau pengasuhnya silakan pakai, itu penting sekali. Program sekarang. Programnya itu adalah sesuai dengan usianya, sesuai dengan apa yang akan diberikan. Jadi ada hal-hal, ada pendidikan-pendidikan dasar yang dikuasai. Nah, itu harus diikuti. Jadi programnya ada yang menyebutkan di situ ada kurikulumnya. Program, kita menyebutkan untuk anak usia dini itu program. Programnya ini adalah program melalui bermain. Jadi suasana bermain perlu diciptakan, bukan suasana bermain yang terpimpin terus menerus tetapi suasana bermainnya adalah suasana bermain dimana anak itu mempunyai kebebasan memilih, menentukan, memutuskan sendiri apa yang dilakukan. Dan ini penting sekali sebagai dasar kemandirian-kemandirian dari anak sangat diharapkan terjadi pada waktu suasana bermain itu terjadi. Jadi kalau kita mengadakan institusi apa saja yang mengenai anak usia 0-6 tahun maka kita mesti harus melihat bahwa hal-hal suasana untuk bermain itu perlu diciptakan. Lingkungan-lingkungan pembelajaran, lingkungan-lingkungan bermain perlu ditingkatkan dan ini sangat dianjurkan dalam standar pendidikan anak usia dini. Komponen yang terakhir, dari komponen standar pendidikan anak usia dini, itu adalah komponen yang mengenai sarana, bagaimana sarananya, lalu evaluasinya, evaluasinya bagaimana, dan kemudian pembiayaan. Nah, pembiyaan itu banyak hal yang kita tidak tentukan, tidak ditentukan di dalam standar itu, melainkan bagaimana kekuatan pembiyaan dari daerah atau dari suatu lembaga yang mengadakan institusi tempat bermain anak itu. Saya rasa begitu, jadi satu hal yang juga sangat kita pentingkan, bahwasanya membaca dan menulis pada anak usia dini terjadi sebagai tumbuh kembang emergence reading and writing. Bukan sesuatu yang dipaksakan untuk bisa membaca dan menulis tetapi suasananya itu sedemikian rupa, diberikan bermain, bermain baca, bermain tulis, bermain hitung-hitungan. Sehingga kalau kita melihat suasana dari anakanak yang bermain baca dan bermain tulis dan itu, itu membuat anak itu tumbuh kembang sendiri, tumbuh kembang kemampuan dia membaca, dia mulai bisa melihat kalimat-kalimat, kata-kata, huruf-huruf, visualnya
13
menjadi sangat kuat, auditorinya terlatih. Jadi apa yang dimiliki anak, panca indera yang penting itu kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Jadi di dalam hal membaca dan menulis maka tidak bisa kita berikan secara paksa, tidak seperti di SD. Jadi harus sesuai dengan anak usia dini yaitu tumbuh kembang. Saya rasa sekian apa yang kami sampaikan. Terima kasih.
Wssalamualaikum wr. wb.
44.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Yang Mulia, izin Yang Mulia, Pemerintah. Biar tidak jadi bertanyatanya kawan-kawan dari Pemohon dan para Ahli yang lain bahwa sidang kali ini buat pemerintah kan ini merupakan gabungan antara UndangUndang BHP dan Undang-Undang Sisdiknas. Nah, itu Ahli yang Pemerintah sampaikan hari ini adalah berkaitan dengan Undang-Undang Sisdiknas. Kemudian yang kedua juga berkaitan dengan Undang-Undang Sisdiknas yaitu khususnya Pasal 28. Jadi Ibu Dini itu juga berkaitan dengan pendidikan yang akan disampaikan dengan PAUD di bidang TK, kemudian nanti juga akan disampaikan. Kemudian Saksi juga demikian, berkaitan dengan Pasal 28. Terima kasih, Yang Mulia.
45.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, jadi klarifikasi sudah diberikan oleh Pemerintah untuk keperluan apa ahli dipanggil. Kita akan buat suatu kesepakatan saja seluruh Ahli dan kemudian Saksi dari Pemerintah kita dengar seluruhnya dulu, setelah itu kalau ada pertanyaan baik dari Pemohon, mungkin juga dari Pemerintah sendiri bahkan mungkin dari Hakim nanti akan kita laksanakan setelah seluruhnya memberi keterangan. Baik, berikutnya saya harap untuk memberi keahliannya Dr. Nurdiana Dini, silakan.
46.
AHLI DARI PEMERINTAH: DR. NURDIANA DINI
Assalamualaikum wr. wb. Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Saya Nurdiana Dini, saya diminta sebagai Saksi Ahli oleh Pemerintah dan kebetulan saya di sini sebagai dari perguruan tinggi yang kebetulan menyelenggarakan pendidikan guru, pendidikan anak usia dini di Universitas Negeri Jakarta yang kami sudah menyelenggarakan dan menghasilkan guru PAUD ini selama 30 tahun lebih, dimana lulusan kami banyak bekerja di lembaga TK baik sebagai guru maupun sebagai pengelola di kelompok bermain, di satuan PAUD sejenis, serta sebagai guru SD kelas awal. Karena memang kami menyiapkan guru-guru PAUD ini dari untuk anak usia nol sampai usia delapan tahun. Sehingga kami menyiapkan guru-guru PAUD ini bisa di 14
lembaga PAUD, baik lembaga PAUD formal, non formal, maupun informal dimana mereka menyiapkan bagaimana mereka menjadi seorang guru maupun pengelola di masing-masing lembaga ini sehingga kami tidak terlalu mempersoalkan mengenai Pasal 28 karena memang di Pasal 28 di ayat pertama sudah dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan di jalur formal, non formal, maupun informal. Tetapi mungkin yang menjadi pertanyaan kami di perguruan tinggi adalah hanya penggolongan lembaga ini mungkin perlu dipertegas mengapa Lembaga PAUD tersebut dikategorikan formal, non formal, dan informal. Contoh misalkan di Taman Kanak-Kanak Raudlatul Anfal disebut dengan PAUD formal karena memiliki guru, administrasi, sarana dan prasarana seperti yang dimiliki di persekolahan. Bagaimana sementara dengan kelompok bermain atau TPA yang disebut dengan PAUD non formal apakah kedua lembaga ini tidak ada guru atau sarana prasarana serta administrasi seperti yang di formal. Banyak di kota-kota besar penyelenggaraan PAUD-PAUD Ini yang hampir mirip dengan TK. Bisa tidak mereka disebut dengan PAUD formal? Nah, ini yang mungkin menjadi perlu diluruskan mengenai istilah formal, non formal, dan informal. Jika lembaga PAUD tersebut memiliki persyaratan sebagai lembaga formal baik TK, kelompok bermain, taman penitipan anak, atau satuan PAUD sejenis dapat disebut dengan PAUD formal. Kemudian begitu juga sebaliknya jika PAUD tersebut tidak memiliki persyaratan sebagai lembaga formal maka disebut dengan PAUD non formal, sehingga pengkategorian Lembaga PAUD ini dapat dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional dan kebetulan pemerintah sudah membentuk Badan Akreditasi Nasional ini. Yang penting buat kami dari LPTK adalah bahwa anak usia dininya itu tidak dikotak-kotakkan ke dalam jalur-jalur tersebut, karena esensi pelayanan bagi anak usia dini harus disesuaikan dengan usia dan kebutuhan mereka dan agar pelaksanaan bagi anak usia dini sesuai dengan tahap perkembangannya maka pemerintah perlu memonitoring penyelenggaraannya. Saya pikir ini, dan juga tadi bahwa kami tidak mempersoalkan masalah formal, non formal, maupun informal yang penting adalah bagaimana pelaksanaan bagi anak usia dini ini tepat sesuai dengan usianya. Dan kami yakin bahwa setiap perundang-undangan yang dilahirkan di negeri ini tidak luput dari kekurangan, dan kekurangan tersebut disempurnakan dengan turunan-turunan perundang-undangan di bawahnya. Seperti kalau kita lihat di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ini ada kekurangan yang dilengkapi di Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Nasional dimana di sini ada standar-standar yang menentukan bagaimana penyelenggaraan PAUD ini dilaksanakan begitu di masyarakat. Kemudian juga dipertegas lagi oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dengan Nomor 58 dimana ada standar untuk PAUD dimana di dalam penyelenggaraannya
15
pun jugalah sudah diatur bagaimana untuk PAUD formal, non formal, maupun informal. Dan kami pikir ini adalah yang penting, bagaimana menyiapkan calon pendidiknya begitu. Karena jujur, yang terjadi permasalahan justru bukan karena jalur formal, non formal, dan informalnya bentuk lembaga tetapi justru di dalam pelayanan bagi anak usia dini itu yang mungkin menjadi masalah karena ketidakmengertian dari pendidik ini di dalam memberikan pelayanan bagi anak usia dini dimana karena tadi mungkin pendidikan PAUD ini adalah formal sehingga di dalam pemberian materinya pun seperti di persekolahan. Kami menginginkan bahwa baik tadi pendidikan PAUD formal, non formal, maupun informal yang penting bahwa misalkan contoh untuk di TK bahwa PAUD ini adalah PAUD penyelenggara bagi usia 4-6 tahun tentu bagaimana bisa menyelenggarakan untuk usia 4-6 tahun yang sesuai dengan usianya. Kemudian untuk PAUD-PAUD yang non formal, walaupun mungkin penyelenggaraannya non formal tetapi bagaimana bisa memberikan pelayanan bagi anak usia dini sesuai dengan usianya. Biasanya kalau untuk pendidikan non formal itu, itu untuk usia 2-6 tahun tentu disesuaikan penyelenggaraannya, usia dua tahun itu kebutuhannya apa, sedang berkembang di tahap mana, itu yang penting. Begitu juga di PAUD informal bahwa informal ini di dalam keluarga dan di dalam masyarakat, bagaimana keluarga dan masyarakat ini bisa memberikan pelayanan yang sesuai untuk mereka. Jadi buat kami tidak mempersoalkan masalah jalur formal, non formal, maupun informal tetapi bagaimana pelayanan yang baik dan benar bagi anak usia dini. Saya pikir itu Yang Mulia, terima kasih banyak. Wassalamualaikum
wr. wb.
47.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, ini agaknya 2 Ahli untuk Perkara 136, dua-duanya. Saya ingin tanya Pak Johannes dulu untuk perkara mana kira-kira keahliannya?
48.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Untuk yang BHP, Pak.
49.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Untuk yang BHP, jadi kita kelompokkan dulu untuk yang 136, sudah dua ahli. Saksi berdua untuk perkara yang mana?
16
50.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Saksi yang satu untuk 136.
51.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Kalau begitu saksi untuk yang 136 kita dengarkan kesaksiannya dulu sebelum 126, silakan.
52.
SAKSI DARI PEMERINTAH : DR. FATHONY RODHI
Assalamualaikum wr. wb. Alhamdulillahirabbilalamin, nama saya Achmad Fathoni Rodhi sebagai Tim Penilai Prestasi Tingkat Nasional Depdiknas, Tenaga Ahli Pendidikan 2000 sampai 2008, Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat, penyelenggara TK swasta dan ada beberapa saya akan bacakan secara tertulis. Pendidikan merupakan upaya sadar dalam mengembangkan potensi anak sejak dalam kandungan sampai keliang lahat melalui jalur pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan non formal. Undang-Undang Sisdiknas merupakan amanat reformasi pendidikan dengan memperhatikan aspek yuridis, historis, filosofis, akademis, sosiologis dan futuritis. Aspek yuridis berangkat dari UndangUndang Dasar 1945 dan amanat MPR serta perundang-undangan baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung termasuk konvensi yang hidup dan berkembang di Indonesia. Aspek historis merupakan landasan kesejarahan bangsa Indonesia yang pernah berkembang memberikan nilai kejuangan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini penting agar kita tidak menjadi bangsa yang ahistoris melecehkan segi kepahlawanan dan para pahlawan. Aspek filosofis merupakan nilai pandangan hidup dalam landasan kebenaran bagi kehidupan dan tujuan hidup masyarakat. Aspek akademis merupakan ontologi, estimologi dan aksiologi pendidikan termasuk pendidikan anak yakni paedagogi. Aspek sosiologis merupakan tatanan kemasyarakatan yang memilih nilai-nilai budaya tradisi yang hidup di masyarakat. Aspek futuristik merupakan kemanfaatan pada masa depan agar tidak ketinggalan zaman dan masa berlaku undangundang yang lebih panjang ke depan. Berdasarkan aspek-aspek di atas telah disusun naskah akademik dan RUU Sisdiknas dan disusun dalam bentuk daftar inventarisasi masalah. Pengajuan dan pengujian Undang-Undang Sisdiknas merupakan salah satu bentuk keraguan, multitafsir dalam implementasinya. Pembahasan RUU Sisdiknas waktu itu termasuk penuh dengan dinamika yang panjang dan melelahkan karena terdapat beberapa pasal mendapat respon dan reaksi keras dari masyarakat. Perdebatan, perundingan, lobi dan kompromi telah dilakukan dan bahkan
17
rencana voting dalam pengesahan Undang-Undang Sisdiknas telah terjadi. Dalam perjalanannya Undang-Undang Sisdiknas telah terjadi judicial review ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sampai 6 kali yang terkait dengan pasal tentang; 1. pencapaian anggaran 20% APBN secara bertahap (…) 53.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Saudara Saksi ya, jadi Saksi ini menerangkan apa yang Anda ketahui, apa yang Anda dengar dan apa yang Anda alami, oleh karena itu tekanannya pada situ, kalau itu sudah menjadi notoire feiten semua sudah tahu saya kira tidak usah diulangi, jadi khusus untuk perkara ini saja, terima kasih.
54.
SAKSI DARI PEMERINTAH: DR. FATHONY RODHI Terima kasih. Pemohon di dalam perkara ini Pemohon menjelaskan bahwa Undang-Undang Sisdiknas Pasal 28 ayat (2) menyebutkan, “pengelolaan pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal, non formal dan/atau informal”. Dalam kesempurnaan ada dua kesimpulan yang berbeda yakni; 1. PAUD merupakan bagian dari pendidikan non formal dan tidak dapat dimasukkan dalam jenjang pendidikan formal. 2. PAUD merupakan bagian dari pendidikan formal. Ilustrasi. Berkembang di masyarakat yakni pendidikan anak sejak dalam kandungan berbentuk pendidikan informal yakni tradisi pendidikan keluarga bagi seorang ibu yang mengandung 100 hari. Tradisi tersebut dikenal dengan neloni yakni 3 bulan pertama kandungan. Kegiatan neloni antara lain kajian-kajian mengaji berdoa secara khusus untuk calon bayi yang dikandung. Ajaran agama menyatakan usia kandungan 100 hari merupakan penentuan nasib dan pemberian nyawa kepada janin masih berupa rezeki, jodoh dan mati ditemukan masa itu. Tradisi mitoni atau ngrujak merupakan tradisi yang upacara kandungan ke tujuh bulanan dimana merupakan puncak keinginan bagi seorang calon ibu alias nyidam. Kegiatan ngrujak ini diwarnai dengan berbagai jenis rujak dan daftar keinginan calon ibu. Untuk antispasi nyidam maka keluarga mengarahkan dengan membaca Al-Quran Surat Yusuf dan Surat Mariam, artinya kalau kelak anak laki-laki akan berkembang seperti Nabi Yusuf yang tabah, penyabar, mempesona, berderajat tinggi dan mulia, jika lahir perempuan seperti Siti Mariam tokoh perempuan yang mulia dan selalu dalam lindungan Tuhan. Cuma itu merupakan pendidikan informal yaitu pendidikan keluarga dan masyarakat. Setelah lahir janin diupacarakan dengan aqiqah sambil memberi nama sebagai tanda dan mendoakan penyandang nama. Pada usia 7
18
bulan diupacarakan mudun lemah sebagai bentuk doa dan penyerahan si bayi kepada si penghuni bumi baik yang ghaib maupun yang kasat mata. Dalam kegiatan itu dicoba mengetahui indikator atau talenta awal melalui upacara, mengurung si anak bayi bersama berbagai jenis benda seperti pensil, mainan makanan kecil dan lain sebagainya yang merupakan perlambang kelak akan menjadi orang dewasa sebagai apa, contohnya si anak bayi yang memilih pensil dipercayai kelak akan menjadi intelektual atau tahu akademisi. Perkembangan usia anak 0 sampai usia menjelang masuk sekolah yang diupacarakan merupakan bentuk pendidikan informal di keluarga dan masyarakat, namun pendidikan informal seperti itu sekarang sudah memudar dan hilang di keluarga dan masyarakat, padahal nilai edukatifnya sangat baik. Tradisi dan kebudayaannya makin hilang seperti itu harus dikembangkan agar budaya bangsa Indonesia tetap eksis terutama melalui pendidikan. Taman Kanak-Kanak dalam kesejarahannya Taman Kanak-Kanak disingkat TK didirikan saat bangsa Indonesia mulai merdeka dan ingin mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain. Setelah merdeka banyak mengandung persoalan bangsa dan sekitar tahun 50an berdirilah banyak taman pendidikan baik yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan nasional, pesantren dan para pejuang antara lain taman siswa, taman pendidikan dan lain-lain. Taman kanak-kanak merupakan terjemahan dari Radhatul Atfal yang artinya taman anak namun istilah kanak-kanak muncul karena pengaruh bahasa daerah Jawa Timur pengaruh bahasa Madura anak diartikan kanak-kanak sehingga TK menjadi Taman Kanak-Kanak. Istilah kekanak-kanakan mengandung arti sikap seseorang yang masih seperti anak-anak. Dalam upaya percepatan penyelenggaraan pendidikan telah berkembang TK yang merupakan taman pendidikan bagi usia anak pra sekolah yang sebagian besar merasakan pentingnya penanganan pendidikan pra sekolah yang belakangan dikategorikan PAUD yang dahulu disebut PADU. Atas usul Panja RUU Sisdiknas istilah PADU dirasa kurang tepat karena PADU bahasa Indonesia berarti terpadu, sinergi, terkait, namun bahasa daerah PADU berarti berantem, konflik. Akhirnya disepakatilah dengan istilah PAUD. Pembahasan masalah TK sebagai jalur pendidikan formal dan/atau non formal memerlukan waktu cukup panjang karena argumentasi antara yang pro TK jalur formal dan TK jalur non formal seimbang, sama-sama logis dari aspek akademis, namun dari aspek historis sosiologis yang pro TK jalur formal mempunyai fakta sejarah dan fakta sosiologis yang lebih kuat. Dicontohkan banyak taman pendidikan yang berdiri dan dari membuat TK sebagai pendidikan yang terstruktur, terencana, memiliki rencana kegiatan mingguan, rencana kegiatan harian. Taman pendidikan sebelumnya hanya mengandalkan pembelajaran berbasis buku kitab yang ada. TK memiliki desain yang
19
resmi dari lembaga pendidikan. Sampai saat ini banyak penyelenggara masih menggunakan istilah taman pendidikan walaupun dulu dipaksa menambah kata yayasan sehingga menjadi yayasan taman pendidikan. Di Surabaya yang terkenal “TP Khodijah” yakni Taman Pendidikan Khodijah Surabaya yang alumninya banyak menjadi menteri, ada Menteri Agama, Menteri Peranan Wanita dan Mendiknas yang sekarang. Di Yogyakarta dikenal Taman Siswa yang lambangnya digunakan sebagai lambang pendidikan, lambang Departemen Pendidikan Nasional. Ketika sebagai PAUD formal saja jawabannya adalah perdebatan antara pro dan kontra TK sebagai PAUD jalur formal dikompromikan dengan tambahan kata dapat. Saya ulangi lagi perdebatan antara pro dan kontra TK sebagai paut jalur formal dikompromikan dengan tambahan kata dapat sehingga lengkapnya pasal tersebut adalah TK merupakan lembaga pendidikan anak usai dini yang dapat dilakukan secara formal. Artinya kepastian hukum TK sebagai PAUD formal dapat menjadi pendidikan formal tetapi dapat pula menjadi non formal. Para pelaksana pendidikan PAUD bisa memperlakukan TK berbentuk formal jika memungkinkan namun jika tidak memungkinkan bisa berbentuk non formal. Kepastian hukum tersebut memberikan konsekuensi bahwa alumni TK RA tidak menjadi prasyarat dalam penerimaan pendidikan selanjutnya yaitu di SD atau di MI. Namun faktanya ada tingkat kesulitan yang cukup bagi guru, bagi siswa yang tidak mengikuti TK disandingkan dengan siswa yang tamat TK. Penyesuaian homogenitas yang tamat TK dengan siswa yang tidak mengikuti TK cukup mengganggu kelancaran pembelajaran. Opsi penyelenggaraan pendidikan anak usia pra sekolah dikelola oleh Direktorat Pendidikan TK dan SD Ditjenmandidasmen dan ada juga Direktorat PAUD Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal Depdiknas. Di Depag ada pada direktorat pendidikan pada madrasah untuk Radhatul Atfal dan PAUD non formal di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di Depag. Opsi jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan non formal bagi PAUD berarti fleksibilitas. Penyesuaian dengan situasi dan kondisi masyarakat. Fleksibilitas bukan berarti terdapat ketidakpastian hukum. Bhinneka Tunggal Ika berbeda tetapi tetap satu merupakan roh dari fleksibilitas tersebut, pendidikan bukan kaku, bukan beton, namun penuh dengan kiat. Pembelajaran juga merupakan art, pengajaran adalah seni, teaching is art. Pendidik TK. Undang-Undang Guru dan Dosen lahir sejak UndangUndang Sisdiknas, pendidik yang diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen adalah pendidik jalur pendidikan formal, sehingga TK yang secara sosiologis sebagai pendidikan formal memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan guru formal di SD, MI, SMP, dan MTS, SMA, SMK dan MA. Jumlah guru TK dan RA sebanyak 246.385 orang, TK negerinya hanya 320.087 orang dan TK swasta sebanyak 140.940 orang, guru RA sebanyak 73.360 orang dan yang memperoleh tunjangan profesi guru
20
formal untuk RA sebanyak 2.821 orang di Depag dan guru TK sebanyak sekitar 6000 orang di Departemen Diknas. Tunjangan profesi sebesar Rp. 1.500.000 kalau dikalikan 12 dikalikan seluruh guru TK yang sudah menerima akan terdapat 54 milyar yang sudah diterima oleh guru TK dalam 3 tahun ini. Apabila nanti pendidikan formal TK ini dihapus menjadi pendidikan yang bukan formal maka akan menjadi temuan BPK. Karena apa? Karena jika tidak formal tidak ada payung hukum untuk itu (…) 55.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Saudara Saksi ya, tolong opininya jangan dulu, karena Anda diminta Saksi jadi yang Anda diketahui apa (...)
56.
SAKSI DARI PEMERINTAH: DR. FATHONY RODHI Ya, terima kasih. Bagi penyelenggara TK, kesejahteraan seperti itu memberi semangat bagi pendidik TK dan membantu beban penyelenggara dalam mensejahterakan gurunya walaupun belum semua guru TK memperolehnya. Di beberapa TK para penerima tunjangan profesi ini tidak sepenuhnya untuk dirinya sendiri tetapi dibagikan secara proporsional kepada guru yang belum mendapat tunjungan demi rasa saling memliki terhadap TK dan kecintaan kepada anak-anak TK. Bagaimana sikap penyelenggara TK? Para penyelenggara TK merasakan bahwa penyelenggaraan TK secara formal mendapat respon dan kepercayaan kepada masyarakat pada era 60 an sehingga banyak penyelenggara TK diminta mendirikan SD MI dan setelah mereka lulus SD MI diminta mendirikan SMP MTS dan setelah mereka lulus di SMP MTS diminta mendirikan SMA MA. Banyak penyelenggara swasta di era 60 an saat telah memiliki sekolah satu atap yakni mulai 1 TK, mulai TK kelas 1 sampai kelas 12 yang saat ini ditiru oleh sekolah madrasah negeri. Pengalaman mendirikan TK merupakan inspirasi pendidikan formal tingkat lanjutan bahkan konvensi atau aturan yang tak tertulis menyatakan jika lembaga pendidikan berhasil dalam pengelolaan TK hampir dapat dipastikan akan berhasil mengelola jenjang pendidikan l selanjutnya. Pada perkembangannya pendidikan TK telah menjadi wahana penelusuran talenta siswa yang dalam setiap perkembangan aspek fisik dan psikologis dideteksi sehingga potensi anak TK dapat diprediksi dan diarahkan pada jenis pendidikan dan profesi yang tepat bagi anak. Fakta akademis menunjukkan bahwa para pemenang Olimpiade Internasional dan para ilmuwan muda Indonesia di luar negeri yang relatif muda, bahkan menjadi doktor, professor di usia 26 tahun sudah terdeteksi potensinya di masa TK. Di beberapa TK memang menyediakan layanan khusus bagi siswa yang memiliki potensi jenius dengan percepatan pembelajaran termasuk di sekolah. Model
21
penyelenggaraan TK bagi siswa jenius sudah dikembangkan di beberapa daerah. Berikutnya, ada beberapa orang tua merasa keberatan bagi proses pembelajaran di TK, terkadang kepala dan guru TK terjebak dalam pendekatan yang bersifat pembelajaran terlalu formal, sehingga sebagian memberi mata pelajaran pada usia TK dan menyita masa bermainnya, termasuk upacara wisuda bagi TK merupakan kegiatan yang berlebihan, karena itu pengawas pendidikan TK perlu mengarahkan dan menertibkannya kegiatan pendidikannya sesuai dengan usianya. Pemerintah telah menata dengan dikeluarkannya Peraturan Mendiknas tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nomor 58 Tahun 2009 dengan mempertimbangkan perkembangan anak usia anak 0-6 tahun dengan berbagai jenis layanan yang ada, yang seperti tadi disampaikan dan saya akan singkat saja. Kesimpulan. Dari fakta historis, akademis dan sosiologis serta futuristik tersebut di atas maka kepastian hukum pada PAUD formal berbentuk TK memiliki rasa keadilan karena tidak ada pemaksaan sebagai prasyarat dalam penerimaan siswa SD MI dan bersifat fleksibel di seluruh Indonesia, bahkan pada saat ini harus ditingkatkan menjadi pendidikan yang mengembangkan potensi golden age. Pada usia emas percepatan dan perluasan jaringan otak pada masa perkembangan anak tergantung perlakuan yang diberikan padanya. Perlakuan dalam bentuk pendidikan yang terstruktur dan tertib terdeteksi setiap perkembangan fisik dan potensinya akan menjadikan pembiasaan bagi kehidupannya kelak. Artinya manfaatnya pendidikan TK jalur formal lebih besar dari pada mudharat-nya. Sekian, terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 57.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, Saudara Saksi. Saya harap apa yang dibacakan tadi sudah diserahkan ke panitera. Mestinya Pemerintah menentukan apa Saksi atau Ahli ini yang disampaikan tadi. Karena sudah saya peringatkan tetapi toh tetap juga dibacakan seluruhnya sehingga nanti Majelis akan menilai ini kesaksian ataukah masuk keahlian. Baik, jadi untuk Perkara 136 ahlinya sudah dan saksinya sudah, masih ada untuk perkara ini saksinya? Cukup? Kita lanjutkan saja untuk perkara yang lain yaitu ada 1 Ahli, Prof. Dr. Johannes. Tadi sudah sepakat hal-hal yang sudah disampaikan dulu tidak usah diulang, nanti sudah menjadi pengetahuan hakim apa yang sudah diberikan kesaksian dan keahlian pada masa yang lalu, pada persidangan yang lalu. Saya persilakan Prof. Johannes untuk memberikan keahliannya.
22
58.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Yang Mulia, izin Yang Mulia, saksi satu Pak Dr. Suharyadi juga sudah hadir, Yang Mulia.
59.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Untuk kasus mana ini?
60.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Untuk kasus yang Badan Hukum Pendidikan, Yang Mulia.
61.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Sudah pernah disumpah ini?
62.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Sudah, Yang Mulia.
63.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Sudah, ya. Silakan dulu Prof. Johannes. Sementara itu untuk perkara yang tadi ya 136 kalau ada pertanyaan disiapkan dulu, Pemohon, supaya tidak buang-buang waktu nanti masih mikir-mikir karena ahli dan saksinya sudah memberikan kesaksian dan keahlian, kalau ada yang ditanyakan disiapkan. Baik, Pak Johannes, silakan.
64.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Pimpinan Majelis yang saya muliakan, Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan, Ibu dan Bapak Hadirin yang saya muliakan, Assalamualaikum wr.wb. Bapak Pimpinan Majelis yang saya muliakan, saya akan menaati bahwa saya tidak akan menguraikan lagi yang sudah diuraikan, namun mohon izin Pimpinan Majelis yang saya muliakan bahwa yang saya uraikan pada waktu yang lalu itu adalah mengenai boleh dikatakan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah, sedangkan sekarang dalam perkara ini itu lebih banyak kita mendiskusikan mengenai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat atau dulu disebut sebagai PTS, tetapi ada beberapa hal yang
23
memang sama saya akan hindari saja, saya langsung pada hal-hal yang berkaitan dengan perkara ini. Nah, seperti ini saya kira saya sudah akan melewati saja. Baik, Ibu dan Bapak yang saya hormati, saya akan mulai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-IV/2006. Nah, ini adalah perkara atau permohonan yang disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan terhadap Pasal 53 Undang-Undang Sisdiknas, juga sebagian terbesar saya kira adalah juga Pemohon yang pada kali ini. Pada putusan tersebut ada satu hal penting, atau menurut hemat saya sangat penting, itu adalah pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa agar Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan yang diperintahkan oleh Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Sisdiknas itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu diperhatikan yang saya beri warna merah Bapak-bapak Majelis hakim yang saya hormati, yaitu bahwa perlu diperhatikan realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada, termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya. Nah, itulah yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Dan putusan ini, Bapak Pimpinan Majelis yang saya muliakan beserta anggota, ini yang menjadi pegangan pada waktu Rancangan Undang-Undang BHP itu disusun. Pegangan sungguhsungguh, sangat diperhatikan baik oleh pemerintah maupun oleh Komisi X DPR pada waktu itu. Intinya dari putusan ini adalah bahwa yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang sudah ada pada waktu itu yang menyelenggarakan pendidikan, itu tidak boleh dibubarkan, tidak boleh dinafikan, tidak boleh disingkirkan, itulah inti dari putusan ini. Dan itu sungguh-sungguh Bapak Pimpinan Majelis hakim serta anggota yang saya muliakan, diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah untuk membantu perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan pada waktu itu dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pertimbangan atau putusan mahkamah Konstitusi ini, saya akan sampaikan bagaimana Undang-Undang BHP mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi ini yaitu bahwa yayasan, perkumpulan, dan badan hukum sejenis yang menyelenggarakan pendidikan itu tidak dibubarkan atau tidak dinafikan. Saya akan lewat ini lagi Bapak Pimpinan. Ibu dan Bapak yang saya hormati. Jadi, perintah dari Pasal 53 Undang-Undang Sisdiknas itu menyatakan bahwa penyelenggara, dalam hal ini kalau dalam konteks PTS itu adalah yayasan, atau perkumpulan, atau badan hukum sejenis, itu yang menyelenggarakan pendidikan formal, itu berbentuk badan hukum pendidikan. Mengapa harus berbentuk dalam badan hukum pendidikan? Karena Undang-Undang Sisdiknas itu memerintahkan agar perguruan tinggi itu memiliki otonomi, dan pendidikan dasar dan menengah itu menggunakan manajemen
24
berbasis sekolah, atau MDS, atau otonomi di dalam manajemen dari penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Nah, supaya otonom, maka baik perguruan tinggi maupun pendidikan sekolah atau madrasah itu harus diberi otonomi. Supaya otonom, maka harus diberi status sebagai badan hukum yang terpisah dari penyelenggaranya. Nah, itu ditaati dari Undang-Undang Sisdiknas itu Pasal 53…, yang sebelah kiri, Bapak Pimpinan Majelis serta anggota yang saya muliakan, itu saya gambarkan adalah situasi PTN pada saat ini. Jadi situasi PTN pada saat ini, perguruan tinggi negerinya itu tidak berstatus sebagai badan hukum. Dia tidak otonom. Perguruan tinggi negeri tidak lain adalah unit pelaksana teknis dari Departemen Pendidikan Nasional. Jadi, dia tidak otonom. Demikian juga perguruan tinggi swasta, Bapak Pimpinan Majelis serta anggota yang saya muliakan, itu juga tidak otonom. Karena perguruan tinggi swasta itu merupakan aparat dari yayasan. Yang berbadan hukum itu adalah yayasannya atau perkumpulannya. Jadi, PTS-nya itu tidak berstatus badan hukum pada saat ini. Padahal, perintah dari Undang-Undang Sisdiknas bahwa perguruan tinggi itu harus otonom. Sekolah atau madrasah juga harus otonom dalam manajemennya yang disebut manajemen berbasis sekolah tadi. Kita lihat bagaimana Undang-Undang BHP pada akhirnya mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006. Kalau yang sebelah kiri itu saya kira sudah saya uraikan pada perkara yang lalu mengenai PTN, yaitu bahwa…, yang sebelah kiri…, mohon izin Bapak pimpinan dan anggota majeils yang saya muliakan, perguruan tinggi negeri yang tadi disebut sebagai UPT dari Depdiknas atau Unit Pelaksana Teknis dari Depdiknas, agar dia otonom maka dia dipisahkan dari badan hukum negara dan diberi status sebagai badan hukum pendidikan pemerintah. Nah, ini adalah kasus untuk PTN. Yang belum saya bahas pada waktu itu Bapak Pimpinan serta anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, adalah mengenai yang sebelah kanan, yaitu perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat. Seharusnya.., seharusnya ya, itu perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat atau PTS itu juga seharusnya disamakan dengan yang PTN, yaitu dipisahkan dari badan hukum yang menyelenggarakannya dan menjadi badan hukum yang berdiri sendiri atau yang otonom. Nah, tetapi satu, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 tadi yaitu yayasan, perkumpulan, dan badan hukum baik sejenis tidak boleh dibubarkan, tidak boleh dinafikan, tidak boleh disingkirkan, maka pemerintah dan Komisi X pada waktu itu, dan juga saya pribadi pada waktu itu banyak sekali berkonsultasi dengan asosiasi badan penyelenggara perguruan tinggi swasta, khususnya Prof. Thomas yang saya hormati, bahwa tidak bisa yang swasta ini diperlakukan seperti yang sebelah kiri, yaitu PTN.
25
Nah, akhirnya setelah melalui deadlock yang cukup panjang di Komisi X, Prof. Thomas. saya kira mengikuti persoalan ini, maka pada akhirnya, Bapak Pimpinan serta anggota majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, untuk perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat, atau untuk PTS, atau untuk yayasan-yayasan yang sudah ada, itu berbeda perlakuannya dari perguruan tinggi negeri. Yaitu, mohon barangkali izin untu melihat yang sebelah kanan yaitu bahwa Undang-Undang BHP mengatur bahwa badan hukum yayasan, perkumpulan, dan badan hukum sejenis yang sudah menyelenggarakan pendidikan sebelum Undang-Undang BHP ini, itu diakui. Sekali lagi, tidak sama dengan yang sebelah kiri, tetapi badan hukum yayasan, perkumpulan dan badan hukum lain sejenis, itu diakui sebagai badan hukum pendidikan penyelenggara. Nah, mengapa ini dilakukan? Karena memang dari ABPTS sendiri saya sering sekali berkonsultasi dengan Prof. Thomas bahwa kalau yayasan-yayasan, perkumpulan, dan sebagainya itu diperlakukan seperti yang sebelah kiri, maka akan timbul reaksi keras dari yayasan, dan dari perkumpulan, serta badan hukum lain sejenis yang sudah menyelenggarakan pendidikan yaitu: 1. Yayasan-yayasan tersebut harus memisahkan asetnya untuk mendirikan atau menjadikan PTS itu sebagai badan hukum yang otonom. Itu satu. Jadi, ada keberatan dari..., saya kira pada waktu itu lebih dari 400 yayasan yang berkumpul di Hotel Borobudur. Dan ini betul-betul kami pantau betul, Bapak Pimpinan serta Majelis Hakim yang saya muliakan. Jadi, satu keberatan dari kurang lebih 450 yayasan itu adalah bahwa tidak mau Mereka kehilangan asetnya. Juga ini menyangkut mengenai hak sejarah dari yayasan-yayasan tersebut. Jadi banyak yayasan-yayasan yang sudah menyelenggarakan pendidikan jauh sebelum kemerdekaan. Nah, itu tidak boleh dinafikkan. Tidak mau Mereka memisahkan asetnya. Yang kedua, adalah keberatannya kalau disamakan dengan yang sebelah kiri yaitu untuk PTN. Itu adalah bahwa yayasan perkumpulan dan badan hukum lain sejenis itu kehilangan kendali terhadap Perguruan Tinggi Swastanya. Nah, ini betul-betul diperhatikan, Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya hormati. Itulah akhirnya yang diatur di dalam Undang-Undang BHP bahwa yayasan, perkumpulan, badan hukum lain yang sejenis yang sudah menyelenggarakan pendidikan itu tidak dibubarkan, tidak dinafikkan, tidak di kesampingkan, tetapi diakui sebagai badan hukum pendidikan. Dan bahkan diberi nama sendiri yaitu badan hukum pendidikan penyelenggara. Jadi, kalau disebut badan hukum pendidikan penyelenggara itu adalah yayasan. Itu adalah perkumpulan. Sebagai bukti, saya bisa sampaikan kepada Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya hormati. Kita akan melihat Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP ini, saya kira kita semua bisa membacanya 26
kalau ada Undang-Undang BHP di hadapan kita, yaitu bahwa yayasan, perkumpulan dan badan hukum lain yang sejenis, itu diakui sebagai BHP penyelenggara. Kalau diakui sebagai BHP penyelenggara, maka aset yayasan adalah aset BHP penyelenggara. Kalau diakui sebagai sebagai BHP penyelenggara, maka tidak ada lepas kendali dari yayasan, perkumpulan, dan sebagainya terhadap perguruan tinggi swastanya. Yang berikutnya, Bapak pimpinan serta Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Penjelasan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP..., Penjelasan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP, itu makin meyakinkan kita bahwa yayasan itu boleh dibubarkan. Bunyi penjelasan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP itu menyatakan bahwa yang pertama, “Yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lainnya yang sejenis tidak perlu mengubah bentuknya.” Jadi, tetap bentuknya. Jadi tetap yayasan, jadi tetap perkumpulan. Kalau Muhammadiyah tetap perserikatan. Lalu menjadi pertanyaan, pengakuan, dan tidak perlu mengubah bentuknya ini sampai kapan? Sering kali di dalam masyarakat, Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya muliakan. Sering kali dikatakan bahwa pengakuan ini kan Cuma 6 tahun. Saya kira itu harus dibaca lebih teliti Undang-Undang BHP karena penjelasan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP itu menyatakan demikian, Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya hormati. Bahwa yayasan dan sebagainya itu tidak perlu mengubah bentuknya untuk jangka waktu sebagaimana ditetapkan di dalam akta pendirian yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lainnya yang sejenis. Artinya, pengakuan sebagai yayasan, pengakuan sebagai badan hukum pendidikan penyelenggara, dan tidak perlu mengubah bentuknya, itu adalah sampai seperti diatur di dalam anggaran dasar yayasan, perkumpulan, dan sebagainya. Nah, di dalam anggaran dasar yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, pasti ada 1 pasal yang menyatakan bahwa yayasan, perkumpulan, ini didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan. Artinya, pengakuan dan tidak perlu mengubah bentuknya itu adalah waktu yang tidak ditentukan. Atau dengan perkataan lain adalah untuk selama-lamanya, selama yayasan atau perkumpulan itu masih beroperasi. Itulah bentuk konkrit dari ketaatan pada putusan Mahkamah Konstitusi. Jadi, yayasan tetap diakui sebagai BHP penyelenggara. Tidak perlu mengubah bentuknya karena harus dilindungi, tidak perlu dibubarkan, bahkan Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya hormati. Karena tidak perlu mengubah bentuknya, maka nama-nama organ di dalam yayasan itu juga tidak boleh diubah. Karena kalau organ yayasannya diubah, berarti bahwa yayasan itu sebagai badan hukum juga berubah. Oleh karena itu, kita lihat nanti bagaimana pengaturan mengenai hal itu di dalam Undang-Undang BHP. Nah, kita lanjutkan, Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya hormati. agar yayasan tadi, perkumpulan tadi, yang tidak perlu mengubah bentuknya, yang diakui sebagai BHP penyelenggara untuk
27
selama-lamanya, itu dapat menjalankan bersama-sama dengan perguruan tinggi atau dengan badan hukum yang lainnya maka di dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang BHP, di sana dikemukakan bahwa yayasan, perkumpulan, dan badan hukum yang sejenis itu harus menyesuaikan tata kelolanya pada tata kelola BHP. Penyesuaian tata kelola tersebut, menurut Pasal 67 ayat (4), dengan mengubah tata kelola dari anggaran dasar yayasan, perkumpulan, dan lain-lain. Nah, saya kira ini perlu saya mengklarifikasi atau menjelaskan kepada Bapak pimpinan serta Anggota Majelis yang saya muliakan. Bahwa penyesuaian tata kelola dari yayasan..., tata kelola yayasan, pada tata kelola Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan itu dengan cara mengubah anggaran dasar dari yayasan. Ini kembali lagi, Bapak pimpinan serta Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Sering kali ditafsirkan dan banyak sekali yang menafsirkan bahwa dengan mengubah anggaran dasar dari yayasan, berarti membubarkan yayasan. Saya kira itu tidak tepat. Karena anggaran dasar yayasan itu sering kali berubah kalau pengurus, kalau anggota pembina itu berubah, maka biasanya pembina akan menghadap notaris, lalu menyatakan bahwa ada perubahan susunan pembina. Maka anggaran tersebut, anggaran dasar tersebut diubah. Hanya bagian tentang susunan pengurus atau susunan pembina. Nah, hal yang sama juga terjadi bahwa penyesuaian tata kelola ini hanya mengubah bagian dari tata kelola anggaran dasar yayasan tersebut. Jadi, tidak berarti bahwa yayasan tersebut atau anggaran dasar tersebut menjadi tidak berlaku dan akhirnya membubarkan yayasan. Tidak ada itu. Karena Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP, sudah memberikan jaminan bahwa yayasan diakui sebagai BHP penyelenggara, tidak perlu mengubah bentuknya untuk selama-lamanya. Nah, tentu yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana penyesuaian tata kelola ini? Bukankah yayasan itu sekarang mempunyai 3 organ? Yayasan yang sudah menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan. Memiliki 3 macam organ yaitu pembina, pengurus dan pengawas. Sedangkan, BHP itu memerintahkan adanya 4 organ, seperti saya kemukakan di sini. Organ pertama adalah organ representasi pemangku kepentingan. Organ ini, atau nama ini adalah nama generik, atau nama jenis, sedangkan nama dirinya itu diserahkan kepada BHP yang bersangkutan. Tugas dari organ representasi pemangku kepentingan yang utama, tugas utamanya adalah menentukan kebijakan umum. Yang kedua, dari Organ BHP adalah organ pengelola pendidikan. Nah, organ pengelola pendidikan ini kita temukan sekarang sebagai rektor kalau itu di universitas atau institut. Ketua kalau itu sekolah tinggi, direktur kalau itu akademi politeknik. Tugasnya adalah melaksanakan kebijakan umum itu mengeksekusi kebijakan umum tersebut. Lalu dalam rangka megeksekusi kebijakan umum tersebut maka dibentuk dua organ lainnya yaitu organ Audit bidang nonakademi yang melakukan
28
pengawasan nonakademik terhadap organ pengelola pendidikan. Kemudian organ representasi pendidik yang mungkin sekarang kita semuanya mengenal sebagai senat. Bisa senat di universitas, senat akademi, senat sekolah tinggi yang nantinya di dalam Undang-Undang BHP menjadi Senat Akademik. Nah, inilah empat organ, tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah bagaimana penyesuaian tata kelola yayasan yang terdiri dari tiga organ pada BHP yang memiliki empat organ. Nah, saya sebelum sampai menjelaskan bagaimana penyesuaian tata kelola tersebut, Pasal 16 Undang-Undang BHP itu menyatakan bahwa penamaan setiap organ Badan Hukum pendidikan ditetapkan dalam anggaran dasar BHP tersebut. Jadi, kalau yayasan itu diakui sebagai BHP penyelenggara maka nama-nama organnya seperti perintah dari Mahkamah Konstitusi tadi, itu tidak boleh diubah. Jadi tetap harus pembina, pengurus, dan pengawas. Dan ini diberikan jalan oleh Pasal 16 Undang-Undang BHP bahwa nama-nama organ ini adalah nama generik sehingga yayasan yang diakui sebagai BHP Penyelenggara itu bisa tetap menggunakan nama pembina, pengurus, dan pengawas. Karena organ representasi pemangku kepentingan sekarang BHMN namanya adalah majelis wali amanat. Tadi tidak harus majelis wali amanat kalau ada masyarakat yang mendirikan Badan Hukum Pendidikan masyarakat. Bisa nama lain. Nah, inilah jalan bagi yayasan untuk tidak mengubah nama organnya bahkan tugas dan wewenang organ-organnya. Bapak Pimpinan serta Anggota Majelis yang saya muliakan. Inilah tata cara atau penyesuaian tata kelola yayasan penyelenggara perguruan tinggi. Jadi ini adalah untuk perguruan tinggi, Bapak Pimpinan, Anggota Majelis yang saya muliakan. Untuk perguruan tinggi, penyesuaian tata kelola ini, ini sudah dibahas bersama antara Departemen Pendidikan Nasional dengan departemen Hukum dan HAM yang menangani yayasan serta ikatan notaris Indonesia mulai bulan Maret sampai dengan bulan Juli. Siang malam kami bekerja bersama-sama, akhirnya melahirkan Permen Diknas No.32 tentang bagaimana penyesuaian tata kelola (…) 65.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Mohon dibatasi, keahliannya saja. itu sejarah-sejarah, itu bukan bagian keahlian dari Saudara, keahliannya saja.
66.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Baik Pak, mohon Pak Pimpinan Majelis. Jadi bagaimana penyesuaian tata kelola ini? Prinsipnya, prinsipnya adalah bahwa tugas dan wewenang dari organ-organ menurut Badan Hukum Pendidikan yang empat tadi, itu ditambahkan pada tugas dan wewenang organorgan dari yayasan. Itu prinsip utamanya.
29
Nah, secara rinci saya tunjukkan pada Bapak Pimpinan serta Anggota Majelis yang saya muliakan, sebagai berikut, yaitu tugas dan wewenang organ representasi pemangku kepentingan. Itu tugas utamanya adalah menentukan kebijakan umum. Maka dicarilah organ di dalam yayasan yang juga menentukan kebijakan umum yaitu Pembina. Maka sesuai dengan prinsip tadi, tugas dan wewenang organ representasi pemangku kepentingan menurut BHP, menurut UndangUndang BHP, itu ditambahkan kepada tugas dan wewenang Pembina. Dengan demikian, tugas dan wewenang Pembina itu selain melaksanakan tugas dan wewenang menurut Undang-Undang Yayasan tetapi juga melaksanakan tugas tambahan yaitu tugas dan wewenang sebagai organ representasi pemangku kepentingan menurut UndangUndang BHP. Tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan, ini adalah rektor atau ketua atau direktur tadi, seperti kita ketahui tugas dan wewenang organ yang namanya pengelola pendidikan yaitu rektor, ketua, atau direktur itu adalah bersumber dari pengurus yayasan. Mereka diangkat, ditetapkan oleh pengurus yayasan. Oleh karena itu, organ pengelola pendidikan ini tugas dan wewenang untuk sementara ditambahkan pada tugas dan wewenang Pengurus. Demikian juga tugas dan wewenang organ pendidik. Senat disebuah perguruan swasta memang anggota anggotanya dipilih dari para dosen, tetapi agar dia memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya maka harus disahkan oleh pengurus yayasan. Maka, untuk sementara ini ditambahkan tugas dan wewenangnya kepada pengurus yayasan. Organ audit non akademik yang mengawasi bidang nonakademik. tugas dan wewenang adalah sama dengan tugas dan wewenang pengawas. Karena itu, tugas dan wewenang organ audit nonakademik itu ditambahkan pada organ pengawas yayasan. Nah, dengan demikian, sekali lagi bahwa organ-organ yayasan ini selain menjalankan tugas menurut Undang-Undang Yayasan, itu ditambahi tugasnya menurut Undang-Undang BHP. Maka inilah Tata Kelola Yayasan yang diakui sebagai BHP Penyelenggara. Tentu menjadi pertanyaan kita, di mana rektor dan di mana senat…, rektor ketua atau Direktur? Nah, setelah ini selesai, maka seperti biasa rektor itu dijaring, dipilih, diangkat, dan ditetapkan oleh pengurus yayasan dengan persetujuan dari Pembina. demikian juga senat akademiik dipilih oleh para dosen kemudian dimintakan pengesahan dari pengurus dan dengan persetujuan Pembina, maka bentuknya seperti ini. Maka selesailah Penyesuaian Tata Kelola Yayasan pada Tata Kelola BHP. Nah, inilah yang kemudian sudah dituangkan di dalam Permen Dinas Nomor 32 tahun 2009 lengkap dengan akta perubahan anggaran dasar yayasan yang sudah dirancang, ditetapkan oleh Ikatan Notaris Indonesia.
30
Dan Bapak Majelis yang saya muliakan bahwa penyesuaian Tata Kelola ini tidak perlu dimintakan persetujuan pada Departemen Hukum dan HAM. Karena Pasal 21 Undang-Undang Yayasan itu menyatakan bahwa kalau yayasan itu berubah namanya serta kegiatannya maka barulah dimintakan persetujuan dari Departemen Hukum dan HAM. Kalau tidak menyangkut mengenai perubahan nama dan kegiatan maka cukup diberitahukan kepada Deparatemen Hukum dan HAM. Dan semua ini sudah dikoordinasikan secara sangat rapi dengan Departemen Hukum dan HAM. Bahkan sekarang, Bapak Pimpinan serta Majelis Hakim yang saya hormati bahwa sosialisasi mengenai hal ini sudah dilakukan cukup intensif, sekarang sedang berlangsung di 12 (…) 67.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Tidak usah itu (…)
68.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Oke, baik.
69.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Itu suara Pemerintah, Anda (…)
70.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Nah, untuk pendidikan dasar dan menengah, Bapak Pimpinan Majelis yang saya muliakan, juga sama. Mungkin saya lanjutkan saja itu untuk..., untuk yang pendidikan dasar dan menengah itu ada dua organ di dalam Undang-Undang BHP yaitu organ representasi pemangku kepentingan dan organ pengelola pendidikan. Ini juga sama penyesuaiannya dilakukan dengan cara seperti ini, lalu sesudah selesai maka diangkatlah kepala sekolah atau madrasah. Saya lewati saja beberapa hal yang sudah saya kemukakan. Jadi pertama adalah mengenai beberapa persepsi yang kurang sesuai dengan Undang-Undang BHP. Ada persepsi bahwa UndangUndang Yayasan dan Undang-Undang BHP tidak sinkron. Mahkamah Konstitusi, menurut hemat saya sebagai ahli itu tidak melakukan pengujian terhadap konsistensi antara dua undang-undang. Tetapi, menguji konsistensi dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lalu, dikatakan pula ada pandangan yang mengatakan di dalam konsideran UndangUndang BHP tidak disebutkan antara lain Badan Hukum Yayasan. Undang-undang ini adalah undang-undang tentang BHP, bukan tentang yayasan. Menurut huruf B angka 3, angka 17 Undang-Undang Nomor 10
31
Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundangundangan, “Konsideran membuat uraian singkat mengenai pokok-pokok
pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan.” Dalam hal ini yang dibuat adalah undang-undang
tentang badan hukum pendidikan dan bukan tentang yayasan. Jika yayasan dan BHP berprinsip sama yaitu nirlaba maka tidak perlu ada BHP. Walaupun sama, nirlaba namun yayasan bergerak dalam bidang sosial kemanusiaan dan keagamaan. Sedangkan BHP khusus bergerak dalam bidang pendidikan formal. Lalu, ada juga ada pandangan yang menyatakan bahwa yayasan termasuk dalam BHP masyarakat. Di dalam Pasal 1 angka 4 UndangUndang BHP dinyatakan bahwa BHP masyarakat disebut BHPM adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat. Tidak ada disebut yayasan di dalamnya. BHPM dalam hal ini adalah nama diri atau spesies, bukan nama jenis atau nama generik badan hukum. Sehingga tidak tepat bila yayasan dimasukkan di dalam BHPM. Jika satuan pendidikan baru harus berbentuk BHPM berarti menutup peluang masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan. Ini ada persepsi begitu, masyarakat tetap berpeluang sama seperti sebelum Undang-Undang BHP, hanya sebelum Undang-Undang BHP menggunakan badan hukum yayasan. Setelah Undang-Undang BHP menggunakan BHP penyelenggara, bagi yang sudah ada sebelum Undang-Undang BHP dan BHPM bagi yang baru didirikan setelah Undang-Undang BHP. Pandangannya adalah yayasan dihilangkan oleh Undang-Undang BHP tapi tadi sudah saya kemukakan bahwa tidak benar. kekacauan internal Departemen Hukum dan Departemen Pendidikan Nasional. Saya tidak kemukakan nanti saya bukan dari pemerintah. Undang-Undang BHP dan hak asasi manusia. Pengakhiran badan hukum yayasan bertentangan dengan HAM. Tadi juga sudah saya uraikan bahwa yayasan tidak pernah diakhiri hidupnya oleh Undang-Undang BHP. Undang-Undang BHP mengkriminalisasi yayasan. Kriminalisasi adalah tindakan mengkualifikasi suatu perbuatan yang merupakan perbuatan perdata sebagai tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Tidak mungkin Undang-Undang BHP Pasal 8 ayat (3)-nya mengakui yayasan sebagai badan hukum pendidikan penyelenggara yang sudah ada sebelum Undang-Undang BHP sebagai BHP penyelenggara, kemudian menyatakan bahwa perbuatan mengakui yayasan tersebut adalah tindak pidana. Kalaupun ada anggota masyarakat yang mendirikan yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan sesudah Undang-Undang BHP, sanksinya bukan sanksi pidana tetapi tidak akan diberikan izin, bukan sanksi pidana. Sejak 16 Januari 2009, hak yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan dicabut. Hak yayasan yang sudah ada sebelum UndangUndang BHP menyelenggarakan pendidikan tetap dilindungi oleh Pasal 8 ayat (3) seperti yang tadi saya kemukakan.
32
Yang kedua, hak yayasan sesudah Undang-Undang BHP untuk menyelenggarakan pendidikan tetap dapat dijalankan. Karena yayasan sebagai badan hukum dapat mendirikan BHPM dan pengurus yayasan dapat duduk pada organ representasi pemangku kepentingan sebagai organ tertinggi di BHPM yang didirikan, bahkan memiliki hak suara mayoritas lihat Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang BHP. Bagaimana jika yayasan menyelenggarakan berpuluh satuan pendidikan? Seperti Muhammadiyah, ada 158 perguruan tinggi di bawah Muhammadiyah. Maka berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang BHP, “Penyelenggara dapat menyelenggarakan lebih dari satu satuan pendidikan.” BHP penyelenggara, contohnya Muhammadiyah dapat berbentuk sebagai BHP penyelenggara dan menyelenggarakan 158 perguruan tinggi serta mungkin belasan ribu pendidikan sekolah dan madrasah. 71.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Saudara Ahli ya, bagian ini kan mereaksi ahli yang sebelumnya. Oleh karena itu, biar bagian dari pemerintah sajalah itu karena itu akan menjawab apa yang disampaikan oleh saksi maupun ahli berikutnya. Fokuskan pada keahlian Anda mengenai persoalan ini. Kalau itu sudah tafsir menafsir pasal, itu nanti pemerintah akan ada kesempatan untuk mengajukan kesimpulan terakhirnya. Itu bukan bagian Anda sebagai ahli. Anda repot karena pernah menjadi bagian dari pemerintah untuk menelorkan ini dan sekarang menjadi ahli. Oleh karena itu, tolong dipisahkan secara betul, itu nanti bagian dari pemerintah untuk menjawab dari hal-hal yang disampaikan oleh sebelumnya.
72.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Baik Pak, kalau begitu terakhir saya ingin mengemukakan berdasarkan keahlian saya bahwa Undang-Undang BHP ini tidak menyeragamkan pengelolaan atau tata kelola. Apakah diizinkan Bapak Ketua Majelis?
73.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Saya kira disingkat saja. Karena tadi kesempatan banyak itu termasuk hal-hal yang mestinya bukan porsi Anda sekarang pusatkan saja pada porsi Anda. Karena sesuatu hal yang disampaikan tadi seluruhnya sebetulnya itu pasti akan muncul dari pihak pemerintah untuk menanggapi permohonan. Oleh karena itu, hal-hal seperti itu dihindarkan dulu.
33
74.
AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. JOHANNES GUNAWAN, S.H., LL.M. Baik, jadi saya akan singkat saja Bapak Ketua Majelis yang saya muliakan. Jadi di dalam Undang-Undang BHP itu kita menemukan paling tidak, ada tiga macam tata kelola. Satu adalah tata kelola BHPP, yaitu yang sekarang menggunakan majelis wali amanat, rektor, ketua direktur, senat akademik, dan dewan audit. Kemudian BHP penyelenggara, di dalam BHP penyelenggara kita menggunakan tata kelola. Ada pembina, pengurus, kemudian pengawas. Dan yang terakhir organ dari BHPM yang didirikan sesudah Undang-Undang BHP. Menurut keahlian saya, jadi saya melihat bahwa untuk dinyatakan bahwa diatur di dalam anggaran dasar masing-masing BHPM yang bersangkutan. Artinya, baik nama maupun tata kelolanya itu diatur sendiri oleh badan Hukum Pendidikan Masyarakat tersebut. Kemudian yang berikutnya adalah bahwa Undang-Undang BHP hanya mengatur tentang tata kelola sampai dengan wakil rektor, ketua, dan direktur. Tata kelola di bawahnya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing BHP yang bersangkutan. Dibandingkan dengan PP Nomor 60 Tahun 1999 yang sampai sekarang masih berlaku sebelum menjadi BHP. PP nomor 60 Tahun 1999 itu mengatur sangat rigid sampai dengan kepala seksi. Semua perguruan tinggi di Indonesia harus mengikuti PP Nomor 60 tersebut. Sehingga tidak ada kebebasan untuk menetapkan tata kelola. Sedangkan Undang-Undang BHP itu hanya mengatur sampai dengan wakil rektor, atau wakil ketua, atau wakil direktur. Sedangkan ke bawahnya, itu diserahkan pada anggaran dasar masing-masing BHP. Ini sangat berbeda dengan PP nomor 60 yang justru akan dihilangkan oleh Undang-Undang BHP. Selain itu Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang BHP mengatur bahwa anggaran dasar BHP dapat menambahkan fungsi tambahan selain fungsi pokok sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang BHP. Ini memberikan kebebasan pada BHP untuk menetapkan fungsi-fungsi lain atau organorgan lain di samping yang ditetapkan di Undang-Undang BHP. Saya kira itu, bapak Pimpinan serta Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati apa yang bisa sampaikan keahlian saya. Mohon maaf apabila ada tutur kata dan tadi ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan keinginan dari Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. mohon dibukakan pintu maaf. Assalamualaikum wr.wb.
75.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, Saudara Ahli. Nanti presentasi Anda itu supaya diserahkan kepada Majelis Hakim berupa internal supaya bisa juga diserahkan kepada Pemohon keseluruhannya dan kita masih mempunyai sisa dua saksi tapi waktu sudah menunjukkan jam 11.45 WIB. Saya harap
34
Saudara Saksi ini bisa menerangkan betul-betul kesaksiannya. Jangan mengenai opininya lagi karena kalau opininya lagi, satu saksi bisa satu jam. Nanti tidak selesai. Betul-betul kesaksiannya. Oleh karena itu, mohon supaya sisa ¼ jam ini untuk 2 saksi sekaligus. Karena setelah itu nanti akan kita pertimbangkan apakah sidang akan diskors dahulu karena dari Pemohon juga kita harus punya kewajiban untuk mendengarkan keahlian dan kesaksian. Saya kira itu ya? 76.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Izin, Yang Mulia. Dari Pemerintah. memang tadi kita sampaikan ada dua saksi, ternyata Pak Nurdin Rifai ada kepentingan mendadak. Jadi, nanti akan disampaikan secara tertulis. Jadi yang ada tinggal Pak Suharyadi. Terima kasih.
77.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Kalau begitu, Pak Suharyadi sudah disumpah pada pemeriksaan sebelumnya. Silakan langsung memberi kesaksiannya.
78.
SAKSI DARI PEMERINTAH: DR. SUHARYADI, S.E. Yang saya hormati, Ketua dan Anggota, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Hadirin yang saya hormati. Saya berdiri di sini diminta sebagai saksi dari Pemerintah dan saya sendiri memang kebetulan juga sebagai rektor salah satu universitas di Jakarta dan selama ini cukup mengikuti proses berjalanannya…, mulai dari rancangan Undang-Undang badan hukum pendidikan sampai dengan diundangkannya badan hukum pendidikan. Pada dasarnya saya melihat proses ini terjadi diawali sebenarnya dengan lahirnya Undang-Undang yayasan yang baru. Yang pada hemat saya, ada beberapa hal di pasal-pasal tersebut yang menyebabkan keharusan adanya satu badan hukum tersendiri di luar yayasan karena di berbagai pasal yang ada di yayasan dalam pemahaman saya, ini memang setelah adanya Undang-Undang yang baru, yayasan tidak boleh lagi secara langsung menyelenggarakan kegiatan. Termasuk di dalam bidang pendidikan sehingga yayasan di dalam menyelenggarakan segala kegiatannya sesuai dengan tujuannya harus membentuk satu badan usaha lain. Saya mohon izin untuk sedikit menyampaikan beberapa pasal di Undang-Undang yayasan, Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa yayasan dapat melakukan usaha untuk mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Dan penjelasannya jelas sekali bahwa yayasan tidak boleh bersifat operasional dan harus membentuk badan
35
usaha sendiri. Pemahaman itu menyebabkan bahwa yayasan sangat berbeda antara sebelum diundangkannya Undang-Undang Yayasan yang baru dengan sesudah adanya Undang-Undang Yayasan yang baru. Pasal 7 ayat (1) menyatakan yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. Penjelasan ayat ini juga jelas bahwa yayasan dalam mencapai tujuan juga harus mendirikan badan usaha. Cakupan badan usaha yang dapat digolongkan oleh yayasan melalui badan usahanya memang cukup luas menyangkut hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 sangat jelas bahwa pendidikan merupakan unit usaha dari yayasan. Yayasan tidak dapat menyelenggarakan pendidikan langsung namun untuk maksud dan tujuannya yayasan dapat membentuk unit usaha seperti satuan pendidikan. Mengapa ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001? Penjelasan umum Undang-Undang yayasan menyebutkan agar terjadi transparansi dan akuntabilitasi dalam pengelolaan kegiatan. Kalimat sepenuhnya dari penjelasan Undang-Undang Yayasan adalah fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud berlindung di balik status badan hukum yayasan yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga ada kalanya bertujuan memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas. Ini penjelasan dari Undang-Undang Tayasan tahun 2001. Dengan demikian, Undang-Undang Yayasan melarang langsung yayasan mengelola usaha. Oleh sebab itu, satuan pelaksanaan pendidikan harus berbentuk badan hukum BHP, menurut hemat kami adalah alternatif bentuk badan usaha karena BHP adalah badan hukum pendidikan yang bersifat nirlaba. Apabila Undang-Undang BHP ditolak dan Undang-Undang yayasan tidak membolehkan yayasan bersifat operasional maka bagiamana pengelolaan pendidikan ke depan? Pendidikan semakin tidak jelas. Oleh karena itu, harus ada sinkronisasi antara Undang-Undang Yayasan dan Undang-Undang BHP. Dan menurut hemat kami, dengan adanya beberapa penjelasan pada Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang BHP yang menyatakan bahwa yayasan perkumpulan atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP penyelenggara. Dengan demikian yayasan diakui menjadi BHP dan langkah selanjutnya adalah penyesuaian organ yayasan dengan organ BHP. Cara lain adalah satuan pendidikan di bawah yayasan diubah menjadi badan hukum penyelenggara. Ini yang menurut hemat kami menjadikan bahwa bagaimana ke depan, di dalam pengelolaan pendidikan terjadi suatu
36
proses transparansi, akuntabel, dan juga sekaligus otonom, sehingga organisasi dapat dijalankan sebaik-baiknya, kerjasama dan sebagainya bisa dijalankan dengan lebih leluasa. Demikian juga ada salah satu aspek akuntabilitasi kepada masyarakat yang menyatakan bahwa apabila aset yayasan atau BHP di atas 20 milyar harus disampaikan pertanggungjawabannya melalui media massa. Ini adalah yang dinamakan wujud transparansi dan akuntabilitas yang diharapkan. Apa yang sebenarnya harus dicermati ke depan? Pertama, tetap bagaimanapun tanggung jawab pemerintah di dalam pemilihan ke depan, di dalam memberikan akses yang luas terhadap pendidikan mulai dari dasar, menengah, dan perguruan tinggi harus terus menerus ditingkatkan dan upaya-upaya untuk memastikan peningkatan mutu lulusan harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, pendanaan dan bantuan bagi organisasi swasta harus dikelola dengan jelas dalam perangkat Undang-Undang, dalam bentuk peraturan pemerintah yang jelas tentang hal itu. Demikian juga pengawasan terhadap ulah badan hukum milik negara yang menerjemahkan status badan hukum menjadikan lembaga yang otonom dengan pengertian yang sebebas-bebasnya di dalam penerimaan mahasiswa baru dan menentukan biaya sendiri yang seringkali tidak terjangkau oleh masyarakat banyak harus diluruskan di masa-masa yang akan datang. Kemudian memastikan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Yayasan yang baru dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak memungkinkan lagi satuan pendidikan digunakan sebagai upaya memperkaya diri. Oleh sebab itu, satuan pendidikan harus bersifat transparan dan akuntabel. Yang Mulia Hakim Ketua dan Para Anggota yang saya hormati. Saya selaku…, juga sekaligus sebagai saksi di dalam proses pendidikan pendidikan tinggi swasta melihat bahwa pada dasarnya ada pandangan yang masih bisa antara pemerintah yang dalam hal ini menganggap bahwa seluruh yayasan, itu seharusnya adalah anggotaanggota masyarakat yang sudah berkelebihan dana dan dana itu kemudian disalurkan melalui yayasan untuk kegiatan-kegiatan sosial, termasuk kegiatan pendidikan. Namun, dalam kenyataannya pendirian yayasan selama ini, semua masyarakat itu justru banyak yang menggunakan dana-dana pribadi, sebagaimana diuraikan sebelumnya oleh beberapa teman, untuk kepentingan pendidikan yang dalam kaitan itu ada muncul satu keinginan untuk mengembalikan karena itu dianggap investasi, apa yang telah dikeluarkan sebelumnya. Persepsi semacam ini harus menjadi clear bagaimana antara pandangan pemerintah dengan pandangan dari teman-teman dari yayasan itu menjadi sama. Kalau memang Undang-Undang Yayasan maupun Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menyatakan bahwa kedua-duanya ada lembaga yang nirlaba maka sebenarnya menurut pandangan kami,
37
dengan sudah ada ketentuan di Pasal 8 ayat (3) yang sudah saya uraikan tadi, seharusnya tidak menjadi masalah bahwa yayasan diakui tetapi memang diberikan waktu 6 tahun untuk menyesuaikan tata kelolanya dengan Badan Hukum Pendidikan. Saya sangat memahami teman-teman di yayasan karena saya sendiri di samping sebagai Rektor juga mempunyai yayasan. Apalagi yang yayasan yang sudah berjuang sejak jaman sebelum kemerdekaan, ada perasaan yang sangat tidak senang yang seolah-olah yayasan (…) 79.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Itu opini, coba ceritakan di yayasan Anda saja. Kalau itu mengenai kesaksian.
80.
SAKSI DARI PEMERINTAH: DR. SUHARYADI, S.E. Baik, mohon maaf kadang-kadang agak muncul confused di dalam hal opini. Tetapi, dalam kenyataannya, saya beranggapan bahwa dengan adanya berbagai ketentuan di berbagai pasal-pasal yang ada di yayasan, maka dengan dengan Undang-Undang BHP yang juga sudah dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (3) tadi, maka saya sebagai saksi menyatakan bahwa ini adalah satu hal yang sudah sangat kompromistis antara keinginan yayasan dengan lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Hanya demikian kesaksian yang kami sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya, wassalamualaikum wr.wb.
81.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Jadi, kita sekarang masuk jam 12.00 WIB. Agaknya tidak bisa singkat ini untuk memberi keahlian dan kesaksian karena memang persoalannya menjadi persoalan yang tidak ringan. Oleh karena itu, juga kita saksikan bagaimana ahli dan saksi dari Pemerintah juga berusaha untuk…, semuanya berusaha untuk meyakinkan hakim, persoalannya di sana. Sedangkan, untuk Pemohon, kami mohon maaf belum bisa dilanjutkan persidangan ini tetapi menjadi sebuah kebiasaan di Mahkamah ini kalau jam 12.00 WIB memang harus stop dulu karena ada agenda spiritualnya, juga ada agenda perutnya. Jadi kedua-duanya harus dipenuhi. Jadi sidang ini kami tutup jam 12.00 WIB. Selalu kami tawarkan, apakah bisa jam 13.00 WIB dibuka kembali? Setuju, ya? Jadi dengan demikian, sidang kami skor dan akan saya buka jam 13.00 WIB atau jam satu. KETUK PALU 3X SIDANG DISKORS PADA PUKUL 11.58 WIB
38
SIDANG DIBUKA KEMBALI PADA PUKUL 13.05 WIB 82.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik skor saya cabut dan sidang terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baik, tadi kita sudah sepakat baik ahli, maupun saksi, juga Pemerintah sudah selesai untuk memberikan keahliannya dan keterangan ahli dan saksinya. Jadi, saya tawarkan sebelumnya kepada proses berikutnya adalah mungkin kalau Pemohon ada yang bertanya kepada kesaksian dan keahlian dari Pemerintah? Itu akan saya berikan kesempatan dulu sebelum nanti ahli dan saksi dari Pemohon kita dengarkan, kalau tidak ada, tidak usah dipaksakan bertanya–tanya, tapi saya tawarkan kalau ada di persiapkan pertanyaan. Kalau tidak ada, tidak apa-apa, silakan dari Pemohon ada yang ditanyakan kepada Ahli maupun saksi?
83.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Bapak Ketua, kami akan tangguhkan dulu pertanyaan yang kami ajukan sampai Ahli kami dulu menyampaikan keahliannya dan memberikan penjelasan.
84.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Pemohon, berikutnya?
85.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136: HARRY SYAHRIAL Yang terhormat Ketua Majelis, berhubung kami tidak ada saksi tambahan, jadi kami gunakan hak kami untuk bertanya kepada Saksi dan Ahli dari Pemerintah.
86.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Oke, silakan saja kepada siapa? Tetapi di sini yang hadir tidak lengkap ya? Ahlinya atau saksinya. Padahal, kasus Anda ahlinya bukan Pak Yohanes kan? Ada tinggal satu saksi yang di belakang. Apa memanfaatkan (…)
39
87.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136: HARRY SYAHRIAL Kapasitasnya sebagai saksi Pak, bukan Ahli kan?
88.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ya sebagai Saksi. Ya, akan bertanya kepada Saksi?
89.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136: HARRY SYAHRIAL Kepada Saksi, saya ingin mengajukan pertanyaan bahwa Saksi tadi mendalilkan bahwa Pasal 28 dengan menggunakan kata “dapat” bukan mengesamping segi kepastian hukum tapi merupakan fleksibilitas. Tapi, dengan pertimbangan Bapak sebelumnya bahwa pembentukan Undang-Undang Dasar ini memperhatikan aspek-aspek yuridis, historis, sosiologis, bagaimana Bapak bisa kesampingkan aspek yuridis yang menekankan kepada kepastian hukum dengan menguburnya dengan istilah fleksibilitas? Padahal Undang-Undang Dasar jelas memberi hak kepada kami adanya kepastian hukum. Jadi tolong jelaskan makna daripada fleksibilitas yang mengubur…, bagi kami mengubur makna daripada kepastian hukum. Terima kasih.
90.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ya saya bisa masuk ya? Inilah persoalannya antara Saksi dan Ahli. Saya minta tadi kepada Saksi, kesaksiannya. Sekarang yang diminta adalah pendapatnya. Kalau pendapat itu keahliannya mestinya bukan kesaksian. Jadi ini pendapat Anda lalu akan dikonfrontir dengan pendapat Saksi. Padahal saksi seharusnya tidak menyampaikan pendapatnya, namun menyampaikan kesaksiannya. Oleh karena itu, menurut saya tidak relevan untuk dijawab oleh Saksi persoalan pendapat ini. Jadi serahkan saja kepada Majelis Hakim untuk menilainya, ya. Oke? Kalau begitu tidak ada pertanyaan lagi? Ahlinya tidak ada. Saya kira kalau tidak ada, kita teruskan kepada Ahli Pemohon. Pemohon ada 3 ahli. Saya tidak tahu mana yang diprioritaskan pertama kali, saya serahkan kepada Pemohon, silakan.
91.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Bapak Ketua Yang Terhormat, kami mohon pertama kepada Prof.Dr. J. Sahetapy, nanti diikuti oleh Prof. Dr. Sofyan Effendi, dan yang terakhir Bapak Hary Tjan Silalahi. Profesor Sahetapy kami mohon untuk menyampaikan keterangan, silakan.
40
92.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 126: PROF. DR. J.E. SAHETAPY, S.H., M.A. Bapak Ketua Yang saya Muliakan, Para Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan juga. Perkenankan saya yang bertandatangan di bawah ini, J.E Sahetapy, Guru Besar Emiritus. Dengan ini menyampaikan dengan hormat, pendapat pribadi saya dan dari perspektif victimologi, ilmu tentang korban. Bertalian dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang saya singkatkan BHP. Sebagaimana sudah saya jelaskan beberapa kali, baik secara umum maupun secara khusus, tidak dengan maksud untuk menuduh, not to accuse, tetapi untuk menerangkan, to explain. Pada berbagai kesempatan bertalian dengan produk undang-undang dari badan legislatif, maka ungkapan yang paling tepat, kebetulan dalam bahasa Belanda mohon maaf yaitu produk undang-undang, cq Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan adalah suatu legislative misbaksel. Apa itu legislative misbaksel? Artinya, membikin telur mata sapi, ternyata jadi telur dadar. Untung kata subkultur dominan di Indonesia. Masih jadi telor dadar. Coba kalau hangus bagaimana? Bagaimana kalau tidak? Badan pembentuk undang-undang dengan gorengannya di Senayan, maaf kata ungkapan Belanda lagi yaitu, een wolf verliest zijn haaren maar niet zijn strijken. Artinya, seekor serigala bisa kehilangan bulunya tetapi perilakunya yang buruk tidak, itu di Senayan, termasuk para ahlinya, termasuk para saksi/ahlinya, termasuk mereka semua dalam satu keranjang itu. Saya belum tahu DPR yang baru ini tetapi kalau menyimak beritaberita mass media yaitu akan sami mawon saja. Sekali lagi kata sub kultur dominan untung masih ada Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi yang salah dan yang busuk. Kalau menyimak UndangUndang BHP ini saya teringat waktu saya di Sekolah Rakyat berbahasa Belanda di zaman kolonial yaitu Partikelire Saparua School, nun jauh dari timur Ambon. Kalau tadi saya tidak salah dengar ada yang mengatakan sebelum proklamasi tidak ada sekolah swasta. Saya kira itu isapan jempol belaka, kalau saya tidak salah dengar, mohon maaf. Di Pulau Saparua inilah ketika Ibu saya menyelenggarakan Sekolah Rakyat di zaman kolonial Belanda pada waktu itu tidak ada yang berani buka sekolah swasta nasional kecuali satu di pulau Ambon, terlepas di pulau Jawa cukup banyak Taman siswa yaitu oleh Almarhum Pubela dan Satu di pulau Saparua yang kecil yaitu oleh Ibu saya. Itulah sebabnya Undang-Undang BHP ini saya simak adalah sami mawon dengan Wilders Holland Ordonantie apa itu Wilders Holland Ordonantie? Yaitu Undang-Undang tentang Sekolah Liar. Lha ini kok PTS-PTS mau dianggap sekolah liar itu bagaimana? Ini rupanya otak para perencana ini yang tidak beres, yang bermakna dari Wilders Holland Ordonantie ini ingin melumpuhkan, mematikan sekolah-sekolah swasta nasionalis termasuk sekolah-sekolah
41
swasta sekarang ini. Ibarat cicak versus buaya dewasa ini. Dimana sang buaya adalah reptil jahat lagi rakus pemakan bangkai apa saja dan hidup di air kotor atau rawa-rawa. Berbeda cicak yang terdapat di gubuk orang-orang miskin maupun di istana Medan Merdeka Utara. Dia makan nyamuk yang mengkorupsi darah manusia untuk diketahui tidak ada air mata cicak, air mata buaya memang ada menurut kamus bahasa Indonesia. Sejak mulai memberi kuliah di tahun 1959, jadi 50 tahun silam PDK alias Depdikbud alias Depdiknas selalu tidak bermakna di mata masyarakat, apalagi masyarakat di akar rumput. Silakan supaya orang PDK ingat kalau mau lapor di polisi juga boleh-boleh saja. Menterimenterinya sami mawon kecuali Menteri Daud Yusuf yang memiliki visioner dan misi yang terarah bukan yang serba main hitung-hitung, accounting. Tidaklah mengherankan kalau produk-produknya juga amburadul dan serba koruptif, silakan Mahkamah Konstitusi Yang Mulia simak kasus guru-guru menangis di Medan beberapa waktu yang lalu. Melihat fenomena yang tidak sehat ini saya mengumpulkan beberapa kawan di Jakarta yang hadir juga pada hari ini kata orang Belanda Vogels van Diverse Pluimage alias burung-burung berwarna warni dan kemudian membidangi asosiasi badan penyelenggara perguruan tinggi swasta Indonesia yang kini menggugat pemerintah c.q DPR c.q Undang-Undang BHP ini. Apa sih sumbangan dan bimbingan pemerintah selama ini khusus untuk rakyat jelata? Saya ingin tahu, bukankah swasta yang beragam ini juga terus ikut mendidik anak-anak bangsa ini dengan segala keterbatasan mereka, mereka telah membantu dengan bahu membahu bekerja sama kini pemerintah seperti brutus atau ada memang Yudas Eskariot. Ibarat Dokter Jack and Mister Hide ingin berfungsi sebagai juru selamat dengan penjelasan-penjelasan mereka juga yang sidang pada hari ini. Tentu ada buah apel yang mungkin busuk tetapi apa tidak ada apel yang busuk di keranjang penguasa. Sebagai anak muda, saya 46 tahun melalui Surabaya ikut mendirikan Universitas Petra dengan jumlah beberapa puluh mahasiswa. Anggota-anggota yayasan mengabdi alias tidak dapat gaji honorarium. Jadi jangan disamaratakan bahwa orang bikin yayasan itu itu untuk cari untung atau dapat gaji, kecuali uang rapat yang tidak berarti. Ini Mahasiswa Universitas Petra menginjak lebih kurang 10.000 dengan beaasiswa untuk yang tidak mampu 2 milyar rupiah. Apa ada Pemerintah, DPR menyiapkan uang untuk rakyat kecil, uang beaasiswa 2 milyar rupiah. Lalu dimanakah raison d’etre-nya Berdasarkan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 bagi peranan pendidikan swasta? Apakah swasta ini dianggap orang-orang dari kumpulannya terbuang untuk meminjam ungkapan dari Chairil Anwar bahwa ada rektor nakal itu yang kup yayasan seperti di Jakarta ini, dan ada yayasan di daerah yang Senin, Kamis itu tidak boleh jadi alasan pemaaf atau pembenar untuk mengeneralisasi. Bukankah pemerintah juga sami mawon, bahkan dalam beberapa hal lebih buruk sehingga
42
kesan korupsi membudaya dengan kasus BLBI, konglomerat hitam dan abu-abu berselingkuh di Senayan, dimana dunia penegak hukum sudah amburadul dan dunia pendidikan tanpa ikut terkontaminasi, artinya dunia pemerintah juga. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak hidup dan berkembang bagi dunia pendidikan swasta. Saya kira ini pemerintah perlu belajar lagi dan buka lagi amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Sebab saya sendiri pun ikut di dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Saya ingin kutip tetapi rasanya over boden {sic} artinya tidak perlu sebab sudah dibahas oleh para penasihat hukum dengan bulat dan tuntas untuk memakai ungkapan dari almarhum Professor Hukum Adat yang saya sudah lupa namanya di Yogya itu Djoyodiguno. Aktor-aktor intelektualis dan saya kira saya tidak tahu apa juga hadir di sini, di belakang Undang-Undang BHP ini semoga diampuni oleh Yang Maha Kuasa, mental rekayasa meraka oleh Sang Pencipta. Perbuatan mereka menyulitkan begitu banyak usaha mereka yang kini sedang berkembang, kecuali kalau mereka tidak takut sama Tuhan seperti pejabat-pejabat di istana negera habis disumpah dengan kitab suci kemudian melakukan korupsi. Apa memang ada niat atau (suara tidak terdengar jelas) untuk menjadikan pendidikan swasta semacam (suara tidak terdengar jelas) BUMN-BUMN yang kemudian harus dijual kepada swasta-swasta asing di negeri jiran. Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 menjamin raison d’etre pendidikan atau perguruan tinggi swasta idem dito dengan Pasal 28C dan sebelum saya teruskan, interpretasi ya ini susahnya bahasa Indonesia kita mohon maaf Mahkamah Konstitusi Yang Mulia bukan etre sebab etre membutuhkan in lehg dan itu sering dilakukan oleh petugaspetugas pemerintah selagi bertugas sebab kalau mereka sudah pensiun atau tidak lagi bertugas mereka berkicau lain lagi. Pasal-pasal UUD 1945 harus melalui yang saya kutip dari buku-buku Belanda creative interpretatie atau antisiperende interpretatie mengingat perkembangan globalisasi yang begitu cepat, dimana hampir tidak dikenal batas-batas negara dewasa ini. Atau boleh saya kutip seperti kata Metser dalam bukunya Hazewingkel Zuringa yang diperbaiki kemudian die verbindung von gestern zu heute her zu stellen. Secara mutatis mutandis juga Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28I ayat (3), saya kuatir para aktor intelektualis melakukan fallacy dan/atau suvisme terhadap UU BHP ini. Tadi kok kalau tidak salah saya tangkap mengingat usia saya sudah 77 mungkin kurang dengar, rasanya pendapat saya keterangan-keterangan tadi itu juga kontradiksi alias kontradiksi in ajektum. Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, dalam segenggam saya ingin menyimpulkkan bahwa UU BHP ini; a. memperkosa dan saya pakai kata yang cukup keras secara terselubung Pancasila. Jadi pencak silat yang menjamin eksistensi dan raison d’etre-nya pluralisme atau dunia pendidikan terutama dunia pendidikan tinggi swasta.
43
b. tendensi menyeragamkan adalah fenomena Orde Baru, semua mau diseragamkan melalui UU BHP ini, semua diseragamkan supaya kelihatannya bagus, itu kan zaman Orde Baru yang akan mematikan gagasan dan inisiatif dinamika masyarakat di akar rumput. C. orde reformasi yang ingin menghidupkan kembali nafas kebebasan hak asasi manusia hendak menjadikan Undang-Undang BHP sebagai alat deformasi, bukan alat reformasi tapi alat deformasi untuk mematikaqn kembang-kembang harum yang beraneka ragam di Merauke atau di Jayapura sampai di Sabang. Jadi bukan Sabang sampai Merauke tetapi di Merauke atau Jayapura sampai di Sabang. Di dunia pendidikan menjadi semacam bunga bangkai melalui BHP ini. Yayasan-yayasan yang selama bertahun-tahun ini membanting tulang menyelenggarakan pendidikan untuk berbagai kelompok masyarakat di akar rumput kini dengan dalil dan argumentasi yang tidak jelas dalam BHP hendak memaksa dipakainya baju yang all size sehingga inisiatif-inisiatif yang luhur dan mulia bukan saja hendak dilumpuhkan tetapi juga hendak dimatikan secara bertahap dan terselubung. Terakhir Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, saya ingin mengakhiri catatan saya ini dengan mengutip Herman Bianchi seorang kriminolog yang terkenal dalam bukunya tahun 1985 saya baca, "Zij kunt
slecht rechts niet goed maaken duur het zoekenan de humaniesieren"
artinya hukum yang jelek dalam hal ini Undang-Undang BHP ini tidak dapat diperbaiki dengan cara apapun, dengan mendandaninya dengan hak asasi manusia, cuma ada satu solusi dan mohon maaf sidang Yang Mulia dibuang dalam keranjang sampah BHP itu. Terima kasih.
93.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, Prof. Sahetapy keahilannya pernyataan keahlian sudah didengar, mohon nanti apa yang dibacakan bisa juga diserahkan kepada Panitera untuk diperbanyak termasuk juga memberi kesempatan kepada pemerintah untuk bisa mempelajari ya, apa yang disampaikan tadi. Berikutnya silakan.
94.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Sofian Effendi, silakan.
95.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 126: PROF. DR. SOFIAN EFFENDI Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi. Pertama-tama saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Majelis Hakim Konstitusi atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan keterangan ahli dalam bidang saya, bidang
44
kebijakan publik, suatu disiplin ilmu yang telah saya tekuni selama lebih dari 30 tahun dan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang diajukan oleh Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPTSI). Kebijakan tentang badan hukum pendidikan sebagaimana yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 merupakan kebijakan publik karena menjadi pelaksanaan dari Pasal 31 UUD 1945 yang menetapkan tugas pemerintah untuk memenuhi hak setiap warga negara mendapat pendidikan, itu ayat (1), Pasal 31. Pasal 31 ayat (3) menetapkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pedidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Namun perlu juga diingat sebelum menyusun Pasal 31 tersebut, pada rapat besar BPUPKI pada 17 Juli 1955 telah dibahas garis-garis besar soal pendidikan dan pengajaran, pokok pikiran yang tercantum di dalam garis-garis besar tersebut terdiri atas 10 butir, butir 1 sampai butir 6 tentang pendidikan dan butir 7 samapai 10 tentang kebudayaan yang merupak kerangka pikiran dari UUD 1945 Bab XII tentang Pendidikan. Butir 4 sangat penting karena mengandung semangat kebhinekaan dari lembaga penyelenggara pendidikan. Butir tersebut bunyinya sebagai berikut; untuk dapat memperhatikan serta memelihara kepentingankepentingan khusus dengan sebaik-baiknya, teristimewa yang berdasarkan agama atau kebudayaan maka pihak rakyat diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah-sekolah partikelir yang penyelenggaraannya sebagaian atau sepenuhnya boleh dibiayai oleh pemerintah. Pengawasan dari pemerintah atas usaha sekolahsekolah partikelir itu hanya mengenai syarat-syarat untuk menjamin kebaikan dan ketentraman umum. Semangat yang mendasari penyususnan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 pada dasarnya adalah keinginan untuk menyeragamkan lembaga penyelenggara pendidikan yang mencakup lembaga penyelenggara pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi milik pemerintah, milik pemerintah daerah dan milik masyarakat. Tetapi pada kesempatan ini perkenankanlah saya hanya memusatkan keterangan saya pada lembaga penyelenggara pendidikan tinggi milik masyarakat khususnya yang menyangkut pengakuan atas yayasan, perkumpulan serta badan hukum lainnya sebagai badan hukum pendidikan dan tata kelolanya. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Dalam pandangan studi kebijakan publik ada tiga isu penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan publik seperti kebijakan badan hukum pendidikan yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009. Yang pertama, apakah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan merupakan kebijakan yang tepat untuk melaksanakan
45
ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat (3), yaitu dalam mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaan satu. Yang kedua, apakah pemenuhan hak setiap warga Negara akan pendidikan akan lebih terjamin dengan penyeragaman badan hukum pendidikan? Yang ketiga, apakah pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bila dilaksanakan akan menghalangi partisipasi masyarakat dalam memenuhi hak warga Negara akan pendidikan. Itulah 3 pokok, 3 pertanyaan yang selalu dipertanyakan di dalam perumusan kebijakan publik. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, salah satu faktor yang amat menentukan kualitas kebijakan publik adalah ketepatan di dalam merumuskan masalah dan tujuan suatu kebijakan publik. Dalam kasus kebijakan publik tentang badan hukum, lembaga penyelenggara pendidikan formal sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 masalah dan tujuan kebijakan tersebut sangatlah dipengaruhi oleh kepentingan nasional. Nilai-nilai dasar yang, dan landasan filosofis yang mendasari pendidikan nasional dan landasan teoritis tentang pengaturan badan hukum untuk lembaga pengelola pendidikan formal. Secara umum perumusan kebijakan publik seperti yang kita lihat di dalam penyusunan undang-undang oleh DPR dan Pemerintah, belum memenuhi standar mutu yang diharapkan. Ada satu langkah dalam proses penyusunan undang-undang atau proses penyusunan kebijakan publik di Indonesia yang hilang, yang merupakan missing link yaitu proses perumusan masalah kebijakan secara akurat dan tepat. Pembahasan di dalam, pembahasan penyusunan undang-undang di Indonesia hanya menggunakan daftar inventarisasi masalah atau DIM yang telah mendorong anggota DPR untuk lebih memusatkan perhatian pada pengaturan detail pada ranting dan daun, tetapi melupakan apa pokok masalah yang hendak diatasi. Penyusunan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan mengikuti proses prosedur yang sama. Pembahasan dilakukan berdasarkan DIM, akibatnya seperti undang-undang dan peraturan perundangan lain, undang-undang tersebut disusun tanpa didahului atas pemahaman yang benar terhadap masalah dan perumusan tujuan kebijakan yang jelas, seperti yang kita baca di dalam konsideran dari undang-undang tersebut. Konsideran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, ada 2, a menyatakan bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal, dengan menerapkan manajemen sekolah berbasis sekolah dan madrasah pada sekolah pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi.
46
Konsideran kedua, bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional. Sehubungan dengan rumusan, tujuan, kebijakan tersebut, maka timbul 3 pertanyaan tersebut, apakah tepat dan akurat rumusan masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Adalah tidak adanya otonomi dalam pengelolaan formal, sebagaimana dicantumkan di dalam konsideran a. Yang kedua, pertanyaan kedua apakah tepat dan akurat dirumuskan dalam menimbang dalam konsideran butir b, bahwa otonomi dan pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional. Dan derivatif dari a dan b adalah, kalau jawaban atas pertanyaan a dan b adalah ya, apakah tepat dan akurat apabila dirumuskan bahwa semua lembaga-lembaga milik pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang mengelola pendidikan formal tingkat dasar, menengah dan tingkat tinggi hanya dapat diwujudkan otonominya bila berbentuk badan hukum pendidikan. Saya kira semua badan penyelenggara pendidikan milik swasta sudah memiliki otonomi yang seluas-luasnya, yang tidak memiliki otonomi hanyalah PTN. Penolakan asosiasi badan penyelenggara perguruan tinggi swasta Indonesia serta stake holders utama pendidikan nasional terhadap Undangn-Undang BHP menunjukkan dan merupakan bukti nyata bahwa lembaga-lembaga tersebut masih mempersoalkan akurasi dari masalah rumusan masalah kebijakan dan tujuan kebijakan dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 2009. Secara pribadi, saya mengikuti pembahasan RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan RUU Badan Hukum Pendidikan, yang pada Januari 2009 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pada beberapa rapat dengar pendapat tentang RUU Sistem Pendidikan Nasional dengan Komisi X DPR RI pada November 2003, saya sudah menyampaikan pandangan saya baik sebagai Rektor Universitas Gajah Mada yang menjadi korban karena dijadikan BHMN maupun ahli sebagai kebijakan publik. Pada intinya, saya menyampaikan bahwa yang memerlukan kepastian badan hukum hanya perguruan tinggi BHMN, bukan PTS, apalagi sekolah menengah dan sekolah dasar milik pemerintah maupun milik masyarakat. Mungkin karena masukan dari para rektor PT BHMN pada masa itu, rapat paripurna DPR RI pada tahun 2003, mengadopsi
47
pandangan bahwa badan hukum pendidikan adalah nama jenis dari untuk semua badan hukum yang menyeleggarakan pelayanan pendidikan formal. Pandangan tersebut ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pada Pasal 53 ayat (1) yang berbunyi “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat, berbentuk badan hukum pendidikan dalam huruf kecil”. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 53 ayat (1) diuraikan badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain berbentuk badan hukum milik negara. Jadi ini menunjukkan bahwa badan hukum pendidikan menurut Undang-Undang Sisdiknas adalah nama jenis badan hukum yang bergerak dalam bidang pendidikan. Dari penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 53 ayat (1) tersebut, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menganut pandangan badan hukum pendidikan adalah nama jenis untuk semua badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Kemudian, dalam rapat dengar pendapat tentang RUU BHP kepada komisi X DPR RI pada 4 Juni 2007, kembali saya sebagai Ketua Forum Rektor Indonesia, menyampaikan pandangan bahwa RUU tentang Badan Hukum Pendidikan hanya untuk memperkuat status hukum PT. BHMN dan perguruan tinggi negeri yang oleh Undang-Undang Pembendaharaan Negara dan Peraturan Perundangan Keuangan Negara masih disamakan dengan dinas atau instansi pemerintah sehingga harus menggunakan tata cara pengelolaan pertanggungjawaban keuangan instansi pemerintah. Saya juga menyarankan agar BHP tidak diterapkan pada sekolah dan madrasah dasar, sekolah dan madrasah menengah pertama, sekolah dan madrasah menengah atas milik pemerintah maupun milik pemerintah daerah. Saya berpendapat bahwa penerapan BHP pada sekolah swasta dan perguruan tinggi swasta tidak diperlukan karena lembaga pendidikan-pendidikan formal milik masyarakat telah berbentuk badan hukum yaitu yayasan, perkumpulan dan badan hukum yang lain. Kembali kepada pertanyaan pertama tentang tujuan kebijakan publik yang tentang badan hukum pendidikan. Apakah benar, masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mewujudkan tujuan konstitusi, mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Fakta menunjukan kenyataan yang berbeda dari para penyusun Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009. Di seluruh Indonesia, terdapat lebih kurang 2.700 lembaga pendidikan tinggi dan dari jumlah tersebut sekitar 96 persen adalah milk masyarakat yang mempunyai otonomi
48
yang luas dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi yang kurang memiliki otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi hanyalah perguruan tinggi milik pemerintah yang jumlahnya hanya sekitar 4 persen. Seharusnya kita belajar dari negara lain sebelum menetapkan suatu undang-undang seperti Undang-Undang Tahun 2009 menjadi undang-undang. Ketika Pemerintah Jepang mengundangkan Undang-Undang Universitas dan Pusat antar Universitas, Korporasi atau semacam BHP pada 1 Oktober 2003 setelah ratusan tahun perguruan tinggi di Jepang berdiri, tujuannya sangat jelas yaitu merubah status universitas menjadi badan hukum korporasi. Dengan Undang-Undang Korporasi tersebut 99 universitas nasional dan 15 pusat antar universitas ditetapkan sebagai universitas korporasi dan pusat antar universitas korporasi. Di Indonesai jumlahnya kira-kira 110 perguruan tinggi negeri. Berbeda dengan strategi yang ditempuh negara Jepang, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Pasal 8 menetapkan, ayat (1) satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah didirikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dan telah memenuhi standar nasional pendidikan dan berakreditasi A berbentuk badan hukum pendidikan. Ayat (2) satuan pendidikan tinggi yang telah didirikan oleh pemerintah berbentuk badan hukum pendidikan, ayat (3) yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah dan/atau pendidikan tinggi diakui sebagai BHP penyelenggara. Tapi yang tadi tidak diterangkan oleh Pak Gunawan adalah ada syarat-syaratnya untuk diakui itu, dan ini yang tadi tidak diuraikan secara tuntas. Ketetapan Pasal 8 ayat (1) jelas tidak sejalan dengan ketetapan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah tersebut tidak akan terselenggara dengan baik apabila satuan pendidikan dasar dan menengah milik pemerintah dan pemerintah daerah diubah statusnya menjadi badan hukum publik yang bernama badan hukum pendidikan yang dibentuk dengan pemisahan asset milik pemerintah dan daerah yang ditempatkan pada satuan pendidikan dasar dan menengah kepada suatu badan hukum publik bernama badan hukum pendidikan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, Pasal 8 ayat (2) jelas dilandasi oleh satu semangat yaitu ingin menyeragamkan badan hukum dan perguruan tinggi negeri milik pemerintah yang pada saat ini menerapkan tiga bentuk badan hukum yaitu sebagai PTN, sebagai badan hukum milik negara, dan ada satu lagi yaitu badan layanan umum yang dipergunakan oleh perguruan-perguruan tinggi agama Islam yang bernaung di bawah Departemen Agama dan sekolah kedinasan yang berada di bawah beberapa kementerian. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (3) menetapkan yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain yang telah
49
melaksanakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah dan/atau pendidikan tinggi diakui sebagai BHP penyelenggara. Perkataan “diakui” menurut pandangan Saudara Fadjrul Falakh yang sudah meninggalkan kita adalah bersifat deklaratori yang ditafsirkan sama dengan ditetapkan. Saya sangat setuju dengan pandangan tersebut, apabila ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, Pasal 8 ayat (3) bersifat deklaratori, konsekuensinya Pasal 67 ayat (1) harus dihapus karena pasal tersebut dapat menimbulkan tafsiran bahwa penetapan yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sebagai badan hukum pendidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (3) hanya bersifat sementara yaitu 6 tahun tidak bersifat mutlak. Kalau ketentuan Pasal 8 ayat (3) tersebut bersifat deklaratori, ketentuan tersebut kontradiktif dengan Pasal 10 yang menetapkan setelah Undang-Undang BHP berlaku semua lembaga penyelenggara pendidikan formal dan satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan. Jadi ini bertentangan dengan semangat UndangUndang Dasar yang fluralistis. Selain kontradiktif, ketentuan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2009, Pasal (10) dapat menghambat partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan formal karena adanya ekonomi biaya tinggi di dalam perizinan lembaga pendidikan. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Semangat yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 adalah semangat kemerdekaan, semangat persatuan, semangat demokrasi, dan semangat kebhinekaan. Semangat demokrasi pada dasarnya mengakui bahwa semua golongan rakyat memiliki hak yang sama dalam menerima pelayanan dari pemerintah. Demokrasi juga bermakna, setiap warga negara dan kelompok masyarakat mempunyai hak untuk bersama Pemerintah Indonesia untuk ikut melaksanakan tugas konstitusional pemerintah. Salah satu tugas konstitusional pemerintah tesebut adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak warga negara mendapat pendidikan. Semangat kebhinekaan sangat menjiwai Undang-Undang Dasar 1945., karena pendahulu kita menyadari betul bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk yang terdiri dari 1726 kelompok etnis, 13 diantaranya lebih berjumlah satu juta jiwa, pemeluk lima agama besar dan yang berdiam di 300 pulau dari 17 ribu pulau di nusantara. Untuk memberikan pelayan pendidikan bagi bangsa yang sangat majemuk tersebut, masyarakat baik sebagai perorangan maupun lembaga sekitar 120 tahun sebelum Republik Indonesia ini berdiri telah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan seperti halnya Pondok Buntet yang di Cirebon yang telah berdiri tahun 1825, kemudian berdiri yayasan, perkumpulan serta badan hukum lain yang didirikan oleh gereja, Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama serta organisasi sosial lain yang berbasis agama islam yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan formal lama sebelum Republik Indonesia ini lahir.
50
Lebih dari 100 tahun lembaga penyelenggara pendidikan formal yang menggunakan bentuk badan hukum dan badan sosial yang bhineka telah berkiprah di Indonesia dan telah menjalan tugas dan fungsi pemerintah menyediakan pendidikan bagi warga negara. Tak terhitung jumlahnya warga negara yang terpenuhi haknya mendapatkan pendidikan karena partisipasi yayasan, perkumpulan dan badan hukum yang lain dan badan sosial yang lain. Apakah kebhinekaan badan hukum yang terbukti telah menunjukan dedikasi yang besar sebagai mitra pemerintah dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi pendidikan formal harus dihapus hanya karena kerangka pemikiran yang sempit dan salah bahwa pembangunan sistem pendidikan nasional dan otonomi pengelolaan pendidikan nasional sangat memerlukan penyeragaman bentuk badan hukum pendidikan. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Perkenankanlah saya menutup keterangan saya ini dengan mengingatkan kita semua pada keputusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam risalah sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007. Salah satu keputusan tersebut adalah agar Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 53 ayat (4) hendaknya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Peringatan Mahkamah Konstitusi tersebut nampaknya kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009. Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan jelas tidak sejalan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi karena; 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (1) sampai dengan Pasal ayat (3) telah menerapkan semangat penyeragaman badan hukum bukan kebhinekaan yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, Pasal 8 ayat (2) menghambat pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk membiayai wajib belajar 9 tahun sebagaimana ketentuan UndangUndang Dasar 1945, Pasal 31 ayat (2) dan 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 secara keseluruhan disusun tanpa tujuan yang tepat dan teliti kecuali semangat penyeragaman yakni semangat untuk mengokohkan kontrol pemerintah terhadap lembaga pendidikan formal melalui penyeragaman badan hukum, semua lembaga bagi semua lembaga penyelenggara pendidikan formal milik pemerintah, milik pemerintah daerah dan milik masyarakat menjadi badan hukum pendidikan.
51
Untuk melengkapi keterangan Ahli ini saya lampirkan pada tulisan saya ini uraian singkat Undang-Undang Korporasi, Universitas Nasional yang diterapkan di Jepang pada tahun 2003. Tujuannya jelas yaitu membadan hukumkan perguruan tinggi nasional. Ciri-ciri perguruan dideskripsikan dengan jelas, perbedaan dengan lembaga administratisi independen dan badan layanan umum juga diterangkan dengan jelas dan juga diterangkan bagaimana implementasi dari Undang-Undang Korporasi untuk perguruan tinggi negeri dan pusat antara universitas yang dilaksanakan oleh Pemerintah Jepang tanpa gejolak. Seandainya di dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, DPR dan Pemerintah lebih teliti di dalam merumuskan masalah dan tujuan kebijakaan publik tentang badan hukum pendidikan, dengan berbagai memperhatikan masukan masukan dari berbagai pihak pasti undangundang ini tidak ditentang masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan nasional. Dalam rapat kerja pembahasan Rancangan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional dengan Komisi X DPR Republik Indonesia pada November 2003 Forum Rektor Indonesia menyampaikan saran agar diadakan perubahan terhadap Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 54 ayat (4) dengan merubah bunyi ayat tersebut ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang sendiri diganti menjadi ketentuan tentang badan hukum pendidikan dan diatur sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Kalau itu dilakukan, maka tidak perlu pemerintah membuang buang biaya dan tenaga bertahun-tahun untuk menghasilkan sebuah undangundang yang sekarang menjadi Kontroversial. Kalau saran tersebut diperhatikan mungkin Mahkamah Konstitusi tidak perlu melakukan sidang untuk memutuskan perkara peninjauan terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tetapi saya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memberikan keterangan sebagai ahli kebijakan publik kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, bahwa banyak sekali undang-undang yang memiliki mutu seperti UndangUndang Nomor 9 Tahun 2009 di Indonesia gara-gara satu langkah di dalam penyusunan kebijakan publik tidak dilakukan secara benar. Bapak Ketua dan Majelis Hakim Yang Mulia, demikianlah keterangan saya sebagai Ahli Kebijakan publik, terima kasih atas perhatiannya. Billahitaufik walhidayah, assalamualaikum wr. wb. 96.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik, Ahli Pak SofIan sudah memberikan keterangan ahlinya. Apakah sudah diserahkan itu Pak yang tertulis? Sudah ada, nanti Kepaniteraan coba di cek apakah pemerintah sudah mendapatkan itu. Berikut, terakhir ini barangkali, silakan.
52
97.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Pak Harry Tjan Silalahi, silakan.
98.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 126: HARRY TJAN SILALAHI, S.H. Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi, para Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi dan sidang yang saya muliakan. Pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan bahwa Majelis ini sudi mendengarkan saya untuk kedua kalinya tentang masalah undang-undang yang sama. Meskipun pada saat itu kita sedang membicarakan embrio dari undang-undang yaitu Undang-Undang BHP, tetapi soal permasalahan timbul sejak saat itu hingga saat ini Yang Mulia tetap sama. Pada waktu itu memang Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan yang sangat melihat ke depan, orang Belanda bilang “ Vooruitzien, waskito, doronge wilarah {sic} ini saya gabung supaya tadi Pak Sahetapy lebih melihat dari masa kolonial bahasanya, saya dari otentik Yogya. Itu ya, ketemu di tengah. Meskipun gugatan pada waktu itu dinyatakan niet ontvankelijk verklaard tetapi oleh Mahkamah Konstitusi telah diberikan rambu-rambu, diberikan petunjuk-petunjuk kalau bayi undang-undang ini nanti terlahir hendaknya paling sedikit ada empat masalah yang harus diikuti dan diperhatikan. Berbeda dengan pembicara terdahulu dari pemerintah, menurut saya tidak ada satupun dari peringatan Mahkamah Konstitusi ini yang diikuti. Bahkan di beberapa tempat secara linia rekta ditentang atau diabaikan. Sehingga Yang Mulia seandainya empat itu dipenuhi barangkali Anda semua para Yang Mulia tidak perlu membuang waktu dan pikiran yang sangat berharga pada saat ini, dimana kehidupan konstitusi kita memang memerlukan pemikiran Anda semua untuk mengulang, menguji dan membicarakan apa yang kita hadapi sekarang ini. Semenjak waktu itu Yang Mulia, kami telah mengikuti pembicaraan Rancangan Undang-Undang ini yang mempunyai 36 kali draft. Dan untuk membuktikan bahwa kami mempunyai itikad baik, kami selalu mengikutinya. Di dalam dengar pendapat, di dalam seminarseminar yang diadakan oleh para pembuat undang-undang maupun seminar-seminar yang kami adakan sendiri dari asosiasi kami.
99.
KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Mohon di ingat bukan bertindak sebagai asosiasi ya? Bukan Pemohon ya, ahli.
53
100. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 126: HARRY TJAN SILALAHI, S.H. Oh ya saya ahli, tetapi yang diajukan oleh, ini memang topiknya banyak Yang Mulia . 101. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ya, silakan. 102. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 126: HARRY TJAN SILALAHI, S.H. Tetapi syukurlah, meskipun undang-undang ini telah tidak memuaskan atau bahkan ditolak tadi oleh Pak Sahetapy untuk dibuang saja ke keranjang sampah. Kita masih mempunyai Mahkamah Konstitusi ini yang Insya Allah akan meluruskan dengan memenuhi apa yang menjadi tuntutan dari asosiasi. Saya pribadi mendukung permohonan pengujian yang dilakukan oleh asosiasi yang secara tepat dirumuskan oleh para advokat, sehingga saya tidak akan memasuk di dalam masalah-masalah detail pasal-pasal maupun argumentasi dan kritik-kritiknya terhadap pasal-pasal yang kami tolak. Dan juga masalah pasal-pasal dan uraian ini telah dibicarakan dengan ahli-ahli yang diajukan oleh pengacara asosiasi seperti Pak Garuda Nusantara, Fadjroel Falaakh, notaris Joko Pranoto, dan notaris Camelia ini tadi ditambah dengan kesaksian yang bukan main hebatnya. Secara singkat, undang-undang ini sebenarnya meniadakan historis recht, hak sejarah dari para yayasan seperti yang diuraikan tadi yang jauh sebelum Indonesia ini ada telah mempersiapkan para kader bangsa dengan jalan pendidikan dan ini semua akan ditinggalkan, seolah-olah habis manis sepah dibuang. Perkumpulan-perkumpulan yang didirikan oleh kelompok agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan lainlainnya dan kita ingat Bapak-bapak pendidikan kita sebelum masa kemerdekaan kita yang telah mempersiapkan kader-kader bangsa yang kemudian mengejar kemerdekaan dan mengelola kemerdekaan kita hingga saat ini setidak-tidaknya yang sekarang ada ini adalah anak cucu mereka dalam pendidikan. Seperti Ki Hajar Dewantara, Kiai Ahmad Dahlan, Romo Van Lijk, dan para kiai-kiai di pesantren yang dikelola oleh Nahdlatul Ulama, pendeta Nomensen, dan lain sebagainya. Undang-undang ini sifatnya ingin mengendalikan semangat etatisme, meniadakan kemajemukan, kebhinekaan bangsa ini yang menjadi dasar filsafat dari kehidupan kita berbangsa seperti tadi diuraikan. Kerapkali persatuan, unity kita diterjemahkan dengan keseragaman, uniformity. Unity disamakan dengan uniformity dan inilah yang sebenarnya sampai saat ini menyesatkan alam kebebasan dan kemerdekaan untuk dapat menciptakan kader-kader bangsa yang lebih
54
kreatif dan bermakna seperti tadi dijelaskan dalam kesaksian yang dahulu tentang pendidikan bahwa dasar suatu pendidikan adalah kebebasan, sehingga dengan demikian dengan kebebasan inilah kita bisa menciptakan insan kamil, manusia yang paripurna. Bayangkan, kalau Anda pernah melihat suatu tayangan dan atau membaca buku Laskar Pelangi, seandainya Undang-Undang BHP ini sudah ada maka sekolahan seperti apa yang dijalankan di dalam cerita Laskar Pelangi meskipun ini sedikit didramatisir sudah ditutup tidak bisa, karena tidak bisa memenuhi syarat-syarat tata kelola maupun syaratsyarat dukungan finansial. Padahal sekolah-sekolah seperti itu ada di mana-mana, di pelosok-pelosok, jauh dari Jakarta dari ibukota dan kotakota besar. Laskar Pelangi saya jadikan contoh tidak karena saya menonton Kick Andy dimana salah satu hakim membicarakan Laskar Pelangi yang indah itu dengan sekolahannya. Sebenarnya Bapak yang terhormat, otonomi pendidikan tinggi dan pendidikan di Indonesia seperti yang dijelaskan juga oleh kawan saya tadi itu sudah ada. Yayasan sebagai yang sekarang ada dan sah telah melakukan tugas itu secara otonomi yang luas dengan berpedoman, dengan petunjuk pemerintah, misalnya dengan peraturan pemerintah yang selama ini ada juga. Dan justru dengan undang-undang ini apabila ini nanti diberlakukan sepenuhnya aspirasi masyarakat yang mempunyai tanggung jawab dan swadaya secara otonomis terhalang karenanya, sebab perlu penyatuan tata kelola kepengurusan dan lain sebagainya serta apabila ini dilanggar akan dikenakan sanksi-sanksi. Tadi disebut tindak kriminalisasi, karena ini istilah baru populer sekarang ini tapi semacam kriminalisasi sebab dicabut hak hidupnya, itu kriminal juga sebetulnya, artinya saya tidak mau berdebat tentang peristilahan ini. Bagi pendidikan dari swasta yang beritikad baik. Padahal hal yang dikhawatirkan bahwa swasta seringkali menyalahgunakan yayasan untuk keperluan-keperluan yang tidak pantas dengan diubahnya UndangUndang Yayasan soal-soal ini sebetulnya sudah dihalangi, sudah diatur lebih jelas. Sekarang ini jaksa dapat menuntut swasta yang menyelenggarakan suatu usaha termasuk pendidikan harus melaporkan usaha-usahanya kepada instansi yang terkait, dan swasta yang sekarang ini yang beroperasi di dalam bidang pendidikan sepertinya sudah menjadi badan hukum yang sah dan otonomis. Tetapi dengan adanya Undang-Undang BHP ini yayasan ini harus bubar atau menjadi baru atau mendirikan yang baru. Dengan demikian, setidaknya ada dua yayasan yang berbeda. Menurut keterangan beberapa orang saksi pemerintah tadi mengatakan bahwa Pasal 8 itu menyebut yayasan masih ada. Tapi yayasan yang masih ada tidak bisa menyelenggarakan pendidikan secara langsung itu adalah yayasan yang dikastrir, yang mandul, dia ada hanya untuk pajangan saja. Wakil dari pemerintah tadi setiap kali menjelaskan tapi ini bisa disiasati. Kalau disiasati berarti tidak ada kepastian hukum dan kalau tidak ada kepastian hukum itu selalu orang yang kuat yang
55
akan menang. Yang kuat itu di dalam sistem pemerintahan yang otoriter adalah pemerintah, penguasa. Di dalam suatu sistem yang kapitalistis adalah yang punya uang dan itu yang sekarang terjadi di dalam praktik pendidikan dimana komersialisasi pendidikan merajalela dimana-mana. Apakah ini yang hendak kita persiapkan? Sedangkan pemerintah sama sekali tidak ada controller, apalagi undang-undang ini juga menyediakan ruangan meskipun katanya nirlaba, kesempatan untuk usaha-usaha komersial dan kalau ini dikaitkan dengan perjanjian WTO tentang peranan swasta yang boleh langsung menanamkan modal di sini dan membagi hasilnya sekian persen dan lain sebagainya maka sebetulnya undang-undang ini adalah berisi penuh dengan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Begitu pula dengan undang-undang yang sudah sah ini menurut Pasal 20 sudah selesai, sekarang, sudah tidak bisa memperluas diri lagi. Pasal 10 sudah tidak bisa memperluas lagi. Muhammadiyah sudah tidak bisa memperluas lagi kecuali membentuk BHP baru dan lain sebagainya. Oleh karena itu pasal ini betul-betul antara pasal bleeding terhadap peranan yayasan yang sudah terbukti atau yang sejenis, yang terbukti telah berjasa terhadap nusa dan bangsa ini. Majelis yang terhormat, adalah merupakan suatu kesemrawutan dari tatanan legal formal maupun dikemudian hari juga akan mempersulit yayasan-yayasan yang sekarang telah berdiri dan diperbolehkan ada tetapi 6 tahun kemudian harus menyesuaikan tata kelolanya dengan akta, itu berarti yayasan baru dan dengan demikian harus menyelesaikan segala asetnya, itu akan menimbulkan kesemrawutan yang bukan main. Meskipun tentang masalah asset bagi kami para pendiri yayasan yang selama ini bergerak yang kami kenal itu adalah orang-orang yang dengan ikhlas dan bahkan membuka sekolahsekolah di tempat-tempat yang ribut, yang jauh di pedalaman. Tidak masalah harta benda yang utama, barangkali ada satu dua yang mempermasalahkan itu. Tapi bagi kami bukan masalah itu karena mendirikan gaya saja mengelola sekolah adalah suatu idealisme. Idealisme yang disertai dengan pengorbanan. Oleh karena itu seperti Pasal 10 ini pasti merupakan pasal yang bisa disebut killing softly with a legal system. Sebagai informasi kepada Anda para Yang Mulia waktu RUU mulai diterbitkan istilah dan nama yayasan itu tidak ada, sama sekali tidak ada. Jadi itikadnya memang pembuat undang-undang khususnya pemerintah memang mau menghapuskan yayasan. Baru setelah dalam perjuangan 36 draft 6 tahun lamanya kami mendesakkan yayasan disebut tapi ya cuma disebut so what? Inilah masalah yang kita hadapi. Jadi niatan untuk menghapus yayasan dan peranannya itu ada dari para pembuat undang-undang, mungkin karena ketidaktahuan dan sebetulnya tidak mampu. Sebab swasta ini jauh lebih besar daripada negeri di dalam daerah-daerah yang terpencil yang mendirikan sekolah-
56
sekolah itu semua swasta. Di Irian, Di Papua, dan di daerah-daerah seperti Indonesia bagian timur dan Kalimantan ini semua akan dirugikan. Yang Mulia seperti yang Anda catat di dalam surat kabar dan kita amati bersama, seperti juga apa yang Anda saksikan di sini undangundang ini ditolak oleh hampir banyak peserta pendidik. Undang-undang yang baik yang bisa diterima dan bisa dijalankan. Barangkali undang-undang yang tidak bisa diterima yang harus dibuat adalah yang spesial dibuat untuk social engineering. Tetapi undang-undang pengaturan tentang pendidikan dari suatu usaha yang sudah lama berjalan, maka undang-undang seharusnya hanya mengatur yang sudah ada dan menertibkan, memberikan pengarahan yang sudah ada. Seperti yang dikatakan Tuan Sahrir, tidak social engineering melulu. Dan kalau kita mengingat Undang-undang ini, Yang Mulia filsafat undang-undang yang kita anut yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan kita kalau kita masih mengakui itu Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang mengatakan Ing Ngarso Sing Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani. Tapi ini semua tidak dilaksanakan dalam undangundang. Tidak ada glagatnya Ing Ngarso, tidak mokso, tapi Ing Ngarso todak Tut Wuri Handayani tapi joyo indo. Ingin menghindar dari tanggung jawab kalau sudah sampai pembiayaan. Dan bahkan sudah mau turut menyetujui mengkomersialisasikan pendidikan, padahal pendidikan adalah tanggung jawab mencerdaskan bangsa adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945. Ing Madyo Hanggawiki Kisruh, karena undang-undang tumpang tindih seperti ini, tadi kalau kita mendengarkan penjelasan saya kira cukup mumet ada yang pendidikan ini, ada ini ada yang organ itu tatanannya begini dan lain-lainnya. Barang yang sebetulnya sederhana pendidikannya, didasarkan cinta kasih dan pengorbanan diatur begitu njlimet begitu kacau bikin risau. Dan Tut Wuri intervensi, ini yang terjadi rohnya ajaran pendidikan dari Bapak Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kita. Apakah kita sekarang ini dimana-mana dibilang kita harus mempunyai jati diri, kepribadian Indonesia tetapi sejak semula sudah tidak disiapkan. Seperti tadi dijelaskan karena filsafatnya rohnya tidak ditangkap. Ini para technician yang nambal sini, nambal sana. Jadi salah kedaden, mau bikin telur mata sapi, menjadi telur dadar, untung tidak belum gosong. Oleh karena itu, Yang Mulia, kami mohon agar apa yang diajukan oleh asosiasi, yang dirumuskan oleh para advokat kami dapat Anda kabulkan, tidak seperti Bapak Sahetapy membuang itu di keranjang sampah. Kami membutuhkan cuma beberapa pasal saja yang dinyatakan tidak berlaku, karena dari situ kami bisa jalan. Sedangkan undang-undang itu bisa berlaku bagi mereka yang belum mempunyai badan hukum. Monggo, dan kalau kami mohon ini Yang Mulia, sebenarnya tidak mohon terlalu banyak karena ini hanya merupakan tindak lanjut dan penjabaran detail dari rambu-rambu yang Anda telah tentukan. Terima kasih.
57
103. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik. Impas ini Ahli Pemerintah dan Ahli Pemohon. Impas ini. Sama-sama pihak ini. Jadi kita sudah mendengarkan ketiga ahli dari Pemohon. Untuk adilnya juga, Pemerintah diberi kesempatan untuk menanyakan apa yang telah menjadi keahlian, apakah dimanfaatkan tadi Pemohon ingin memanfaatkan, yang satu saya semprit karena itu bukan kesaksian, tapi minta opini sedangkan ahli yang lain yang mau ditanyai sudah tidak hadir. Sekarang, Pemerintah kalau ada yang mau ditanyakan kepada Ahli Pemohon, silakan. 104. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Saya kira cukup, Yang Mulia. Cuma, barangkali Pemerintah ada catatan sedikit. Tadi ada hal-hal yang sifatnya dalam tanda kutip, memojokkan Ahli dari Pemerintah, ya kiranya mohon dicatat agar itu menjadi catatan di persidangan. Terima kasih, Yang Mulia. 105. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Itu tadi yang saya katakan ya, ahlinya juga bertindak sebagai Pemohon juga agaknya. Baiklah, jadi ini tadi kesempatan dari Pemohon, Ahli, kemudian Pemerintah, sekarang kesempatan kepada Hakim kalau ada yang dipertanyakan baik kepada Pemohon maupun Pemerintah, saya persilakan. 106. HAKIM ANGGOTA: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Terima kasih, Pak Ketua. Jadi, semacam klarifikasi pada Ahli Prof. Dr. Sahetapy. Tadi oleh Ahli mengatakan bahwa di antara menterimenteri Pendidikan yang ada di Republik ini hanya Daud Yusuf yang Anda anggap punya satu jalan pikiran yang bagus. Saudara Ahli, saya tahu itu ketika Daud Yusuf ketika menjadi menteri, dia melarang libur sekolah di bulan Ramadhan. Saya tahu juga ketika beliau menjadi menteri, itu Dirjen Dikdasmen melarang anak-anak berjilbab masuk sekolah. Padahal jilbab itu hak asasi. Asal tidak menganggu orang lain. Siapapun kalau dia masih jujur punya hati nurani, berjilbab itu adalah hak asasi, sepanjang tidak mengganggu orang lain. Mau pakai topi, tidak pakai topi itu urusan sendiri. Mau pakai jilbab, mau pakai sarung terserah dia, itu hak asasi. Itu yang Anda…, Saudara Ahli katakan itu, apanya yang ahli? Kalau saya menilai, yang saya kenang dia punya jasa itu adalah Menteri Prof. Bardir Johan. Ketika belum menjadi menteri pendidikan pengajaran dan kebudayaan tahun 1951 kalau tidak salah, dia bersama-sama dengan Wahid Hasyim mengeluarkan SKB yang
58
menetapkan bahwa sekolah-sekolah agama harus mempelajari pelajaran umum dan sekolah-sekolah umum harus mempelajari pelajaran agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Itu yang patut saya kenang kalau saya. Daud Yusuf apa yang dia kerjakan untuk Republik ini? Dia melarang hak asasinya orang, kemudian dia melarang libur sekolah di bulan Ramadhan. Itu sangat melukai umat Islam. Terima kasih. 107. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Prof. Dr. Sahetapy punya hak untuk menjawab dan tidak, terserah pada Prof. Sahetapy, silakan. 108. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 126: PROF. DR. J.E. SAHETAPY, S.H., M.A. Terima kasih, Bapak Ketua dan Para Hakim yang saya muliakan. Perbedaan pendapat dalam dunia keilmuan itu wajar. Saya masih ingat pada waktu saya belum menjadi Dekan, ada satu kalimat, “If what the
scholar said, it’I not subject to criticism. It might as well be left unsaid.” Jadi, Bapak boleh saja mengkritik. Ada satu lagi, “Beauty is in the eye of the beholder.” Istri Bapak mungkin cantik untuk Bapak. Apakah cantik
untuk Para Hakim Agung yang lain? Itu saya tidak tahu. Itu mereka sendiri yang memutus. Ada yang senang seperti tweeky, seperti papan. Muka depan, belakang, sama saja. Ada yang juga senang seperti gunung Semeru itu masalah wajar. Kalau sekarang ini dibicarakan tentang jilbab, yaitu mungkin Daud Yusuf keliru. Tetapi mungkin pada waktu itu belum ada isu tentang jilbab. Jadi, yang saya lihat itu dalam kedudukan saya sebagai dekan pada waktu itu yang menyangkut masalah pendidikan. Saya tidak berbicara tentang masalah-masalah agama dan masalah-masalah yang lain. Terima kasih, Bapak Ketua. 109. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Cukup saya kira, ya. Ini, ada Hakim yang lain yang mau tanya? Tidak? Saya kira kita akan ambil satu keputusan tentang bagaimana persidangan kita selanjutnya. Apakah kira-kira Pemohon sudah menganggap cukup dengan persidangan ini. Demikian juga dengan Pemerintah karena tadi juga ada keinginan dari Pemerintah untuk menyampaikan kesaksian atau keahlian dalam bentuk tertulis. Apakah ada yang akan diharapkan hadir? Kalau demikian, saya minta pendapat dulu tentang jalannya persidangan ini.
59
110. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126 : DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Bapak Ketua yang terhormat. Kami telah memasukkan bersamasama dengan permohonan kami bukti tertulis dan juga sudah mengajukan Ahli yang hari ini, yang terakhir. Jadi, dari kami sudah cukup untuk memberikan informasi. Selanjutnya kami nanti akan menanggapi keterangan Ahli dari pihak Pemerintah. Nanti dalam kesimpulan. 111. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Kesimpulan nanti menjadi hak seluruhnya baik Pemohon atau Termohon, Pemerintah. Tapi, kita ingin lihat dulu bagaimana pandangan Pemohon tentang persidangan ini. Karena ada dua Pemohon, Pemohon yang satu lagi? 112. PEMOHON PERKARA NOMOR 136: HARRY SYAHRIAL Dari kami Pemohon 136 sama seperti yang Pemohon 126, kami cukupkan dan kami akan menanggapi pernyataan-pernyataan Ahli dari pihak Pemerintah dalam kesempatan lain, terima kasih. 113. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Ya. Kalau Pemerintah bagaimana? 114. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih Yang Mulia, kami sama dengan Pemohon bahwa nanti ada hal yang seperti apa yang sudah kami sampaikan, ada saksi dan ahli yang tidak hadir nanti akan kami upayakan secara tertulis. Kemudian, tentunya kami juga akan menanggapi Ahli dari Pemohon secara tertulis dalam kesimpulan akhir nanti. Terima kasih. 115. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Baik. Dari persidangan tersebut sebetulnya dua pihak punya hak untuk membaca kalau itu kesaksiannya dalam bentuk tertulis. Kalau Pemerintah membaca keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon, sebaliknya. Hanya saja ini teknisnya ada persoalan yang mestinya kalau itu ada dokumen-dokumen itu harus diserahkan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 12 rangkap itu agaknya belum berjalan secara baik. Oleh karena itu, baik Pemohon maupun Pemerintah kalau merasakan ada hal-hal yang perlu informasi dari baik itu Pemohon
60
maupun Pemerintah, masing-masing Ahli atau Saksinya nanti bisa minta kepada Panitera. Kita juga punya risalah, risalah itu mungkin bisa diselesaikan dalam waktu 5 hari dalam seluruh persidangan, baik Pemohon maupun Pemerintah bisa mendapatkan untuk melengkapi bahan-bahan sebelum menyampaikan kesimpulan terakhir. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan dan waktu yang dialokasikan untuk kesimpulan terakhir saya tawarkan kira-kira 2 minggu cukup atau (...) 116. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Kalau boleh, ini menjelang akhir tahun, jadi 2010 begitu? 117. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Asal jangan 2010, Januari Sampai Desember ya? Oke kita bersabar untuk persoalan itu (...) 118. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 126 : DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Kalau bisa minggu pertama atau (...) 119. KETUA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L. Minggu pertama boleh. Pemerintah siap ya untuk itu? Ada satu hal di dalam persidangan ini yang masih harus disahkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu alat bukti Pemohon Perkara 126, yang ada di daftar yang sudah kami terima alat bukti tersebut, P-1 sampai dengan P-17e, betul itu? Kalau begitu saya sahkan bukti tertulis itu sebagai bukti yang disahkan. KETUK PALU 1X
Baiklah, saya kira persidangan siang hari ini sudah cukup, baik Pemohon maupun Pemerintah menganggapnya cukup, oleh karena itu apa yang sudah kita bicarakan tadi mengenai time schedule mengenai kebutuhan untuk menulis kesimpulan harap dimanfaatkan yang sebaik mungkin dan Mahkamah tinggal menunggu kapan itu diserahkan kesimpulan setelah itu tugas Mahkamah untuk membacakan putusan dan akan disampaikan secara langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
61
Saya kira demikian, dan dengan demikian sidang sore hari ini bisa saya nyatakan ditutup .
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.30 WIB
62