KONGRE SPE J UANGHAM:
BE RSAMA ME RE T ASI MPUNI T AS Rp2000, -
Be r i t aKont I I I I / 2009 r aSNo:01/
Kontra S KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang
Salam Redaksi
dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak
Demokrasi telah menjadi kata yang memiliki banyak makna. Demokrasi tidak sekedar menjadi penanda dari sebuah bentuk pemerintahan, namun demokrasi telah dimaknai sedemikian rupa sebagai sebuah nilai kebajikan, sehingga patut diperjuangkan. Berangkat dari nilai inilah, KontraS bersama jaringan masyarakat sipil Indonesia lainnya menyadari pentingnya sebuah sikap politik bersama untuk merespon berbagai perkembangan situasi politik aktual di tanah air.
hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan
Kongres Pejuang HAM 2009: Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan Hak Asasi Manusia; diharapkan bisa menjadi medium alternatif untuk menyatukan langkah dan tujuan gerakan politik korban secara aktif untuk membangun sikap politik strategis dalam Pemilu 2009. Namun di sisi yang lain timbul kekecewaan yang begitu kuat ketika hakim memvonis bebas Muchdi Purwoprandjono atas dakwaan pembunuhan berencana terhadap Munir, di akhir tahun 2008 lalu.
Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi
Kekerasan pun menjadi kado pembuka peristiwa internasional di awal tahun 2009. Agresi Israel di jalur Gaza yang sudah dimulai di bulan Desember 2008, telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa dalam yang angka mencengangkan. Dunia mengutuk keras atas banalitas politik yang dilancarkan Israel dalam berbagai ekspresi dan reaksi.
dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI,
Berbagai kekerasan HAM di daerah pun mulai meningkat eskalasinya di awal tahun ini. Seperti yang terjadi pada penolakan warga desa Sukolilo, Pati Jawa Tengah terhadap upaya pembangunan pabrik semen PT. Gresik berakibat pada ditangkapnya 9 warga desa dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan penghasutan. Tidak hanya itu, meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian di Aceh, juga menjadi catatan khusus dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,
Membangun gerakan politik korban dengan demokrasi dan penegakan HAM, dilandasi dengan sikap berempati terhadap sesama adalah kata kunci untuk menemukan kembali esensi dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. ***
Ndrie, Abu, Victor, Sinung , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Puri, Putri, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras:
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Papang hidayat Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: , Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Puri Kencana Putri Design layout: BHOR_14 Production
Oslan P, Bustami dan Neneng. Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara), Harry Maturbong (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
2
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 021-3926983 atau
[email protected]
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
BERITA UTAMA Kongres Pejuang HAM 2009
Merebut Ruang Politik Bagi Pemajuan Hak Asasi Manusia Demokrasi bukan sekedar menyangkut soal pemilu. Lebih dari itu, demokrasi adalah ruang tempat keadilan ditegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), dan kesetaraan dijamin. Dan dengan demikian, Pemilihan Umum 2009 hanyalah ruang inisiasi pembaruan yang selayaknya dipandang sebagai arena strategis untuk melibatkan seluas-luasnya partisipasi publik. Sudah saatnya demokrasi dimaknai secara lebih substansial ketimbang sekedar ritual prosedural. Berangkat dari titik inilah, lebih kurang 100 orang korban dan pejuang hak asasi manusia dari seluruh Indonesia, ditambah mereka yang datang dari Timor Leste, berkumpul bersama dan menggelar sebuah Kongres Pejuang HAM dengan tema utama “Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan HAM”. Acara ini berlangsung di Wisma Makara Universitas Indonesia, Depok, mulai 17-20 Maret 2009. Kongres atau forum ini berangkat dari keprihatinan terhadap komunitas korban yang sampai saat ini masih berada di tepi pinggir arena politik. Karenanya, lewat kongres ini diharapkan seluruh komunitas korban yang hadir, akan mampu mengartikulasikan sikap politiknya. Ruang ini juga dimaksudkan untuk menggali persepsi perubahan untuk menjadikan pemilu 2009 sebagai suatu resolusi untuk memperbaiki keadaan yang selama ini masih mendiskriminasikan hak-hak korban pelanggaran HAM.
Demokrasi sesuai harapan Layaknya cermin diri yang buram, maka perjalanan demokrasi di Indonesia tak pula mengalami perubahan yang berarti. Padahal sudah sepuluh tahun silam, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto telah berakhir. Rezim ini berakhir akibat desakan perubahan yang diemban dalam gelombang reformasi. Sepuluh tahun yang lalu itulah, kita semua berharap agar kesempatan untuk melahirkan kembali demokrasi sesuai harapan yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat Indonesia mampu memberi satu kemajuan kehidupan berdemokrasi yang lebih baik di masa depan. Sayang, dalam rentang waktu selama reformasi bergulir, demokrasi yang digunakan sebagai elemen penting untuk menyusun desain kebijakan yang berhubungan dengan urusan-urusan publik, atas dasar kesetaraan politik tidak banyak mengalami perubahan. Meskipun demokrasi elit politik yang terkonsolidasi cenderung menguat, meski ada upaya perbaikan positif dalam struktur tata pemerintahan, dengan menerapkan
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
prinsip-prinsip rule of law, akuntabilitas dan pemberantasan korupsi yang dilakukan belakangan ini; namun, dasar keadilan yang didambakan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM banyak mendapatkan hambatan, akibat ketidakjelasan sistem mekanisme hukum yang berlaku, yang lebih banyak dijadikan dalih untuk berkelit dari proses pertanggungjawaban hukum. Bahkan, tidak hanya itu, menguatnya politik identitas dan globalisasi ekonomi ikut menjadi penanda dinamika perpolitikan nasional. Unsur militer secara bertahap mulai mundur dari aktivitas politik praktis, meski tidak dipungkiri dalam realita politik aktual, militer kembali mulai menunjukkan eksistensinya dengan keterlibatan aktif di panggung-panggung politik nasional dalam wujud kampanye partai politik dan forum-forum lainnya. Sementara itu, pemerintahan paska Soeharto (BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono) bisa dikatakan mampu meredam nafsu negara untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat dengan terwujudnya berbagai langkah inisiatif positif dalam beberapa kasus konflik berdimensi kekerasan. Namun disaat yang bersamaan, negara justru gagal untuk mengendalikan kekerasan sosial di tengah masyarakat. Konflik-konflik kekerasan aktual yang termodifikasi dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang melibatkan unsur aktor-aktor non-negara juga mulai marak terjadi. Sedangkan kebijakan nasional belum bisa memberikan jalan keluar atas permasalahan krisis ekonomi global, khususnya untuk menyelesaikan problematika sosial di tengah masyarakat, seperti upah ketenagakerjaan, politik agraria, dan jaminan sosial bagi orang miskin. Ketiadaan bentuk jaminan perlindungan atas pemenuhan hak-hak dasar sebagai bagian dari politik kewargaan menyebabkan rentannya situasi sosial di tengah masyarakat di masa depan. Berkaca dari problematika di atas, maka tantangan yang dihadapi pada tahun 2009 memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mengingat belum terselesaikannya berbagai agenda penuntasan berbagai kasus pelanggaran berat HAM masa lampau. Negara telah kehilangan basis legitimasinya ketika politik identitas kian menguat dan memenjarakan ruang-ruang kebebasan sipil dalam sekat-sekat normatif dalam struktur sosial masyarakat. Beratnya bobot politik tersebut tidak disertai
3
BERITA UTAMA pengelolaan informasi yang memadai bagi publik, khususnya pada akses informasi dan transfer pengetahuan seputar pelaksanaan pemilu 2009. Publik masih memandang minimnya ruang-ruang referensi pilihan politik yang progresif.
“ Dari ruang ini, memelihara harapan merupakan titik semangat yang kita miliki. Tentu saja kita percaya, bahwa membuka kebenaran dan mendapatkan keadilan tak mudah untuk diperoleh. Tapi kita harus mengabarkan pada generasi penerus bangsa bahwa penguasa bangsa kita pernah menyakiti dan membohongi rakyatnya. Namun kita juga harus tetap menuntut agar tidak ada lagi peristiwa kekerasan serupa. Tidak ada lagi korban pelanggaran HAM di masa yang akan datang, “ tegas Indria.
“ Untuk itulah acara ini kita laksanakan. Di mana dapat menjadi bagian dari partisipasi rakyat dalam memanfaatkan momentum pemilu 2009 untuk mengangkat isu hak asasi manusia. Momentum ini penting, dimana kita sebagai rakyat sebenarnya memiliki hak politik untuk turut serta mencari jalan keluar dari berbagai persoalan dan kemelut bangsa ini. Sayang, para partai politik pemain pemilu ini masih Berita sehari-hari terlihat belum memadai untuk sebuah perubahan yang radikal, “ ujar Indria Fernida, Wakil Koordinator Kontras Di hari pertama kongres digelar, acara diawali dengan orasi dalam kata sambutan pembukaan kongres. politik yang disampaikan oleh Asmara Nababan (dapat dibaca secara lebih lengkap dalam rubrik opini). Dalam Karenanya, tegas Indria, kongres kali ini dihadiri oleh para orasi politiknya, Asmara mengingatkan bahwa setelah pejuang HAM dari seluruh wilayah Indonesia. Para pejuang sepuluh tahun reformasi, Indonesia memang telah HAM yang tidak larut dalam penderitaan tak berkesudahan, mencatat berbagai kemajuan dalam bidang pemajuan namun tengah berjuang untuk merebut haknya sebagai HAM dalam penyusunan instrumen-instrumen hak asasi warga negara. Memperjuangkan hak asasinya yang paling manusia. universal. “Kita punya satu bab tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 (hasil amandemen ke dua tahun 2000). Ada Korban pihak yang terpinggirkan RANHAM yang disusun setiap lima tahun. Instrumen Lebih jauh Indria melihat bahwa selama ini kekerasan internasional berupa berbagai konvensi dan dua kovenan kepada rakyat tak pernah berhenti. Pemenuhan kewajiban utama HAM telah diratifikasi. Selain itu ada Komnas HAM. negara dalam hal pemajuan, perlindungan dan penegakan Ada Komnas Perempuan, ada KPAI bahkan ada menteri hak asasi manusia tak terwujud nyata. Mekanisme keadilan dengan portofolio hak asasi manusia, yakni menteri transisional sebagai wujud keberanian politik nasional HUKHAM. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari instrumendalam memutus mata rantai impunitas melewati dinamika instrumen tersebut belum juga bisa memberi penegakan momentum politik. Korban pelanggaran HAM tetap menjadi hak asasi manusia yang efektif. Pelanggaran atau tidak pihak yang terpinggirkan, yang tidak mampu menerobos dihormati hak asasi manusia menjadi berita sehari hari, “ ujar Asmara. ruang-ruang formal untuk membuka kebenarannya. Akan tetapi kita boleh berbangga. Karena, ungkap Indria, di berbagai pelosok negeri ini, berjuta suara yang selama ini terpinggirkan tak pernah diam. Berjuta suara terus menjadi momok bagi mereka yang melepas tanggung jawab individualnya sebagai pelaku. “Berbagai upaya untuk menggugat dan menuntut tak pernah berhenti dilakukan oleh para pejuang HAM. Kebenaran telah menjadi senjata juang mereka yang telah menjadi pejuang HAM. Lewat suara kebenaran yang tulus, para pejuang HAM menantang penyangkalan dan menuntut keadilan,” tambah Indria. Singkatnya, inisiatif perlawanan rakyat, di mana sebagian besarnya adalah korban pelanggaran HAM, tidak pernah habis dan padam. Ia selalu menyala sampai suatu hari menjadi obor penerang bangsa ini, “ ujar Indria. Pada akhirnya kongres digelar sebagai upaya bersama atas berbagai persoalan yang tak pernah berhenti hadir dalam menghadapi tantangan dan mengisi peluang dalam upaya penegakan HAM dan kemanusiaan. Termasuk untuk merumuskan sikap dan srategi gerakan pejuang HAM dan merebut ruang politik bagi pemenuhan keadilan dan menghadang politisi anti kemanusiaan dan perubahan.
4
Dan meski Indonesia juga telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan perlakuan dan hukuman yang merendahkan dan tidak manusiawi (1998). Tetapi setiap hari, menurut Asmara, media tetap memberitakan aparatur penegakan hukum khususnya polisi melakukan penyiksaan atau melakukan tidak manusiawi terhadap tersangka pelaku kriminal biasa. “Impunitas terus berlangsung. Para penjahat yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia hidup dengan tenang bahkan mereka yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kejahatan itu pingin jadi presiden. Hak- hak jutaan korban pelanggaran hak asasi manusia sampai saat ini tidak dipulihkan. Kenapa hal ini bisa terjadi?, “ tutur Asmara. Di bagian lain, hal menarik disampaikan oleh Prof.Dr.Azyumardi Azra, lewat orasi politik agamanya. Menurutnya, masalah HAM hendaknya tidak bisa dilihat sebelah mata oleh agama. Karena masalah agama sangatlah komplit. “Secara normatif agama mendukung perdamaian,dan agama melarang penyelesaian permasalahan melalui kekerasan. Agama berpihak pada
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
BERITA UTAMA korban yang terdzholimi, karena doa orang yang terdzholimi lebih didengarkan oleh Tuhan, “ ujar Azyumardi. Karenanya, Azyumardi berharap adanya kerja sama antara religion association dengan masyarakat, lembaga hukum, serta organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya untuk mewujudkan perdamaian. Selanjutnya acara bergulir pada prolog korban pelanggaran HAM. Di acara ini, Murtala salah seorang korban yang mewakili wilayah barat Indonesia (Nangroe Aceh Darussalam). Murtala adalah salah seorang korban kekerasan aparat pada peristiwa Simpang KKA, 1999. Tragedi kekerasan ini juga telah merenggut salah seorang abang sepupunya yang bernama Nasir. Sedangkan dari wilayah Tengah Indonesia, salah seorang korban yakni Aisyah dari Kontu- Muna, Sulawesi Tenggara menceritakan bagaimana kondisi alam di Sulawesi dan Kalimantan yang mengalami penghancuran sistematis. “ Hutan terus di babat, tanah digali, dan air yang diminum serta udara yang dihirup terus tercemar. Laut menjadi limbah beracun. Namun kami tidak diam karena kami menolak menjadi korban. Dan kami di Kalimantan berhasil merebut satu juta lahan gambut dari preman-preman berseragam hijau, coklat, “ ujar Aisyah. Sedangkan korban dari wilayah Timur Indonesia, yakni Hamzah mengungkapkan bahwa meski Wilayah timur Indonesia menyediakan kekayaan alam yang beragam dan menjadi salah satu sumber pemasukan kas negara terbesar. Nyatanya, persoalan HAM baik sipil, ekonomi, sosial, budaya masih besar dan memiliki efek yang lebih minim di wilayah Indonesia Timur.
Wajah Indonesia menjelang pemilu 2009 Selanjutnya pada acara seminar dengan tema Wajah Indonesia Menjelang Pemilu 2009, Don K.Marut (Direktur Eksekutif INFID), menyoroti tentang krisis ekonomi global, konstelasi daerah dan kecenderungan pelanggaran HAM. Pada awal pemaparannya Don melihat mengapa Indonesia terus dilanda krisis. Hal yang ironis, karena kekayaan alam Indonesia berlimpah ruah. “Contohnya kekayaan alam Lampung tidak bisa mensejahterakan rakyat Lampung. Palu sejak dahulu tidak pernah mengalami busung lapar, tapi pada bulan lalu mengalami busung lapar. Begitu pula Jawa timur, letaknya di tengah Indonesia kekayaannya terbesar kedua paska Papua. Samarinda, Kalimantan Timur orang-orangnya hidupnya dalam keterpurukan. Di Bali setiap orangnya selalu mengalami ketakutan dan kecemasan terorisme, “ ujar Don. Menurut penilaian Don, konflik yang ada di Indonesia adalah konflik antar agama dan konflik antar suku/ras. Di mana hal ini dilatarbelakangi pula oleh adanya pemahaman tentang era globalisasi yang berbeda di tengah masyarakat. Pada akhirnya konflik akan mempermudah para pemilik modal untuk mengambil alih hak kepemilikan atas tanah warga.
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
“Ada adigium “Konflik no, investasi yes”. Apa hubungannya? Tapi jika jeli sebab konflik akan berdampak pada memudahnya para pemilik pemodal untuk mengambil alih hak atas tanah warga. Lihat saja. Kondisi Papua mengalami konflik yang tidak berkesudahan, karena banyak pihak yang ingin mengambil alih kekayaan alam papua. Sehingga akibatnya di antara warga saling mencurigai. Satu hal yang perlu kita lakukan yaitu mempersiapkan generasi baru untuk menjadi pemimpin, “ tambah Don. Sementara Dr. Makmur Keliat (Pacivis), yang membahas Dinamika Sektor Keamanan dalam Politik Elektoral, melihat bahwa keamanan negara dan HAM saling bertolak belakang karena keamanan nasional mengedepankan negara, sementara HAM mengedepankan manusia. “Sehingga atas nama keamanan nasional, negara dapat membatasi HAM. Dan Indonesia sendiri masih dalam rezim restriktif, karena belum ada UU yang menciptakan keamanan nasional lebih baik, “ ujar Makmur. Sedang dalam sub bahasan mengenai Peran Politik Rakyat dalam Menentukan Perubahan, yang disampaikan oleh Anton Prajasto (Direktur Eksekutif Demos) mengungkapkan agar hendaknya HAM harus dijadikan kebutuhan politik.” Terdapat upaya-upaya perbaikan, yaitu ada rekayasa institusi, ada diaspora dan ada lembaga perwakilan secara langsung. Namun gerakan sosial masih banyak kekurangan. Di mana masih terfragmentasi. Secara sosiologis mengambang. Untuk itu sebagai pejuang HAM, kita harus mempunyai strategi mendorong HAM sebagai wacana politik, “ tegas Anton. Selanjutnya pembicara Rocky Gerung (pengajar Filsafat UI), yang mengambil tema Konstelasi Politik dan Ruang Pemajuan HAM, menilai bahwa kongres pejuang HAM yang diadakan kali ini merupakan satu langkah kesempatan yang baik untuk mengevaluasi dan meninjau ulang gerakan politik korban. Di mana yang terpenting para peserta kongres dapat bersama-sama menyamakan persepsi tentang HAM. “Ada desakan lebih konkret, memastikan hak ada di tangan kita. Kedua, mengejar ketertinggalan kita, dalam HAM, “ ujar Rocky. Lebih lanjut Rocky memaparkan bahwa pada saat reformasi tidak ada yang lebih penting daripada penegakan HAM, karena Orba berdiri di atas pelanggaran HAM. “Memperjuangkan HAM tidak sekedar gertak menggertak tapi perlu kecerdasan konsep. Ada 12 ribu caleg yang memperebutkan 500 kursi parlemen. Memperjuangkan HAM bukan menanti keajaiban. Kongres memiliki arti, berpikir keras untuk perubahan. Kita harus bertanya apakah para caleg dan yang di parlemen paham HAM dan apakah parpol paham HAM? “ tambah Rocky. Sedang pada tema Keadilan Transisi dan Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM, yang disampaikan oleh Galuh Wandita (Direktur ICTJ Indonesia), memaparkan bahwa sejak Soeharto lengser, perubahan yang ada masih sangat lambat. Karenanya, bila berharap pada pengadilan saja akan
5
BERITA UTAMA mengalami kebuntuan. “Reparasi adalah kewajiban negara saat korban mengalami pelanggaran HAM berat. Inti transformasi adalah pemulihan korban, tidak bisa merubah ruang lain jika tidak melakukan ini, “ ujar Galuh. Sementara paparan berikut tentang Perjuangan Korban Pelanggaran HAM dalam Upaya Pemenuhan Hak Korban, yang disampaikan oleh Edwin Partogi (badan pekerja KontraS) memaparkan bagaimana perjalanan transformasi dari berbagai perjuangan yang telah dilakukan oleh korban dan keluarga korban selama ini. Di mana dalam setiap perjalanannya korban sering dilupakan dan dikesampingkan. Korban dipaksa untuk melupakan peristiwa yang sudah berlalu. Ironisnya, saat ini para pelanggar HAM seolah-olah dapat menjadi pemimpin baru, dan DPR sungkan menyentuh aktor tersebut. “Korban terkotak-kotak berdasarkan isu dan peristiwa saja. Ada perkembangan yang cukup baik di mana korban memperluas dirinya dalam jaringan/komunitas yang kuat dan lebih luas. Mereka menyadari bahwa mereka akan menjadi kuat jika mereka bersatu dan ini harus menjadi sesuatu yang kita apresiasi dan kita kembangkan. Kita berhadapan dengan aktor kekuasaan yang tidak paham dengan HAM. Untuk memperjuangkan masalah ini tahap awal harus diselesaikan, ini adalah adalah tugas kita untuk menyampaikan pada sektor-sektor formal, “ tutur Edwin. Untuk itu, Edwin melihat bahwa kini korban tidak hanya bicara soal kasus yang dialaminya semata, namun mulai membangun kesadaran politik dengan memahami dan mulai berbicara peristiwa-peristiwa perlanggaran HAM yang terjadi di luar kasusnya, misal bicara soal BBM, pemilu, dll dan tidak dibatasi ruang lingkup pemahaman konteks pelanggaran HAM pada kasus domestiknya sendiri. “Ini menjadi sebuah langkah maju. Di mana kita juga menjadi aktor dan pejuang HAM. Di luar kita juga ada orang yang bersimpati pada korban pelanggaran HAM, hanya kadang kita tidak melihat itu, “ ucap Edwin.
Diskusi kelompok Barangkali, inilah yang paling menarik dari sebagian besar rangkaian acara yang ada dalam kongres tahun ini. Di hari kedua kongres, para korban dibagi menjadi beberapa kelompok untuk bersama menuangkan buah pikiran, masalah yang selama ini dihadapi pada sebuah diskusi bersama. Dalam setiap kelompok korban dibantu/difasilitasi oleh beberapa fasilitator. Pada bagian ini peserta dibagi menjadi empat kelompok, yakni Kelompok Pertama yang membahas masalah agraria, sumber daya alam dan perburuhan. Kelompok Kedua membahas penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Kelompok Ketiga membahas pelayanan publik; hak-hak pelayanan sosial. Dan Kelompok Keempat membahas peran politik perempuan; di dalam proses-
6
proses politik, perempuan selalu menjadi korban-korban pelanggaran HAM Di mana dalam tiap-tiap kelompok diskusi, para peserta diskusi melakukan analisis terhadap peta situasi politik lokal yang berhubungan dengan persoalan yang sedang yang dibahas. Peserta diharapkan mampu melihat aktoraktor yang paling berpengaruh terhadap persoalan yang dibahas. Peserta juga diharapkan bisa membahas kebijakan-kebijakan yang menjadi penyebab masalah persoalan. Peserta juga diajak untuk melakukan analisis situasi HAM sejak tahun 2004, analisis kecenderungan ke depan, khususnya yang berkaitan pada krisis global yang dibicarakan. Analisis pemilu 2009 dan analisis inisiatif perjuangan yang akan diambil sebagai intisari dari diskusi kelompok pada akhirnya.
Kisah inspiratif Selain diskusi kelompok, para peserta juga diajak untuk saling berbagi cerita tentang suka dan duka mereka satu sama lain selama ini dalam mengadvokasi kasus masingmasing. Dalam sesi kisah inspiratif, beberapa peserta diskusi menceritakan kisah yang mereka alami selama ini. Sebut saja bagaimana duka yang dialami oleh korban Mauciga (Timur Leste), Olga dan Silva yang harus mengalami berbagai penyiksaan, pemerkosaan, dan dipenjara selama tujuh bulan di Komarka (sebutan mereka), di Kota Anaro, Timor Leste karena keinginan mereka untuk membantu kemerdekaan. Kisah duka Suciwati, isteri dari almarhum Munir dalam memperjuangkan keadilan. Kasus Molo Tambang Marmer dan klaim tanah adat oleh pemerintah yang disampaikan oleh Julius Pai dari Nusa Tenggara Timur, di mana dirinya harus mengalami pemukulan, intimidasi baik oleh preman maupun polisi. Dan dalam harapan yang disampaikan oleh Suciwati, meminta agar ada gerakan politik melawan lupa, misalnya melalui aksi Kamisan perlu ditularkan ke tempat-tempat lain. Harus memiliki daya juang untuk melawan lupa. Sedang Olga berharap adanya solidaritas, jaringan korban yang kuat untuk keadilan, agar tidak terulang lagi kasus itu di masa depan. “Kita meminta dan berharap agar semua orang akan berpikir seperti kita saat ini, tidak digunakannya kekerasan lagi melainkan perdamaian, “ demikian harapan Julius. Pada akhirnya, setelah empat hari kongres digelar dengan jadwal acara yang cukup padat, meliputi seminar, diskusi kelompok, mendengarkan kisah-kisah insfiratif dari sebagian besar korban, pemutaran film yang juga diselingi dengan sajian seni, kongres ini berhasil melahirkan sebuah Ikrar Pejuang Hak Asasi Manusia. Di samping itu perlu pula dicatat poin-poin penting yang berhasil disepakati dari hasil kongres yang digelar. Sebagaimana terangkum dalam ringkasan hasil kongres selama empat hari itu.
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
BERITA UTAMA
Catatan Hasil Kongres Pejuang Hak Asasi Manusia 2009 Kondisi Objektif Persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia · · · · · ·
Proses reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 belum mampu membuka peluang bagi penuntasan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia Perubahan politik nasional dan daerah baru sebatas perubahan formal, belum menyentuh secara substansial, khususnya untuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang lama maupun yang baru Perubahan konfigurasi politik di daerah dalam wujud pemekaran dalam banyak kasus justru menambah beban persoalan pelanggaran hak asasi manusia semakin meningkat Pemerintah yang berkuasa setelah jatuhnya kekuasaan formal Soeharto tidak memiliki kehendak politik bagi pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia Kehadiran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan perangkat formal bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia belum berjalan efektif Berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis terkait erat dengan ekonomi politik global dan ekspansi modal ke berbagai daerah di Indonesia.
Sikap Korban terhadap Persoalan Hak Asasi Manusia dan Momentum Pemilihan Umum 2009 ·
· · ·
·
· · ·
Momentum Pemilihan Umum 2009 merupakan arena penghakiman terhadap para pemimpin politik dan berbagai unsur penyelenggara negara Republik Indonesia yang sudah terbukti tidak memiliki komitmen terhadap penegakan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia Dukungan politik hanya akan diberikan kepada calon legislatif, calon presiden dan wakil presiden yang terbukti tidak terlibat dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia Upaya pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia menuntut sebuah gerakan lintas suku, agama, ras, paham, keyakinan dan golongan Perjuangan pemajuan dan penegakan hak asasi manusia mensyaratkan adanya usaha penguatan dan konsolidasi gerakan rakyat/korban melalui pengorganisasian, aksi, diskusi-diskusi dan kampanye guna memperkuat daya kritis, daya tawar politik dan basis gerakan rakyat/korban lintas isu dan wilayah Membangun komunikasi efektif dengan caleg, parpol, capres/cawapres yang potensial Pro-HAM dan berkomitmen memperjuangkan kepentingan korban/rakyat dalam pemenuhan hak asasi serta penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia Memanfaatkan media massa maupun media alternatif lainnya untuk mensosialisasikan semua aktifitas dan sikap politik rakyat/korban Menolak keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) dalam arena politik dan bisnis Aktif memantau peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum dan setelah pemilu serta bersama-sama memberikan tekanan politik kepada negara agar menindak para pelaku pelanggar HAM
Merumuskan Agenda-agenda Strategis dan Taktik Perjuangan untuk Menanggapi Situasi Eksternal · ·
· ·
Kekuatan politik yang paling sejati dalam memperjuangkan kepentingan rakyat/korban adalah gerakan rakyat/ korban itu sendiri Sistem politik Indonesia merupakan warisan Orde Baru yang tidak berpihak pada penegakan dan pemajuan hak asasi manusia, sebagaimana terlihat dari minimnya para calon legislatif dan partai politik yang memiliki agenda hak asasi manusia yang jelas. Namun demikian. perlu menggunakan/memanfaatkan institusi negara atau orang-orang yang dipercaya dalam memperkuat gerakan korban Para korban dan rakyat seharusnya lebih berfokus pada strategi penguatan gerakan korban dengan mencari dukungan politik di luar dari aktor-aktor negara Pengungkapan kebenaran, mencabut undang-undang dan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UUD’45 dan hak asasi manusia
Merumuskan Agenda-agenda Strategis dan Taktik Perjuangan untuk Menanggapi Situasi Internal ·Membentuk wadah perjuangan/partai yang berdasarkan kehendak rakyat dari bawah melalui pendidikan hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi dan politik, penguatan sosial politik rakyat, membangun basis ekonomi kerakyatan, dan menciptakan budaya yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.***
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
7
BERITA UTAMA
IKRAR PEJUANG HAK ASASI MANUSIA Kami, para Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), berasal dari 24 provinsi di Indonesia dan Timor Leste, berlatar belakang sebagai korban pelanggaran HAM, baik hak Sipil Politik dan hak Ekonomi, Sosial, Budaya menyatakan: 1. Prihatin dengan tidak adanya kemauan politik negara menyelesaikan berbagai masalah pelanggaran berat HAM dan memenuhi hak-hak dasar rakyat 2. Prihatin dengan tidak adanya upaya-upaya negara untuk memberikan perlindungan hak-hak dasar rakyat dari krisis ekonomi, kerusakan lingkungan hidup dan rasa aman 3. Prihatin dengan penghilangan makna pemilu, yang hanya menjadi rutinitas lima tahunan, dan ajang bagi elit politik warisan Orde Baru, serta kelompok pro statusquo untuk melanggengkan kekuasaan 4. Prihatin dengan calon legislatif, bakal calon presiden dan wakil presiden yang tersedia dalam Pemilu 2009, umumnya memiliki latar belakang sebagai pelaku pelanggar HAM, pelindung pelanggar HAM, atau yang tidak punya agenda HAM. Berdasarkan keprihatinan di atas, kami para pejuang HAM Indonesia yang telah menggelar Kongres Pejuang HAM bertempat di Wisma MAKARA Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat pada tanggal 17-20 Maret 2009, menyatakan: 1. Menyepakati bahwa penguatan dan konsolidasi gerakan rakyat/korban sebagai jalan keluar untuk memperkuat daya kritis, daya kontrol dan daya tawar politik yang sejati 2. Menyerukan kepadamasyarakat khususnya pemilih, untuk tidak memilih caleg, parpol dan capres/cawapres pelaku pelanggar HAM, pelindung pelanggar HAM, atau yang tidak punya agenda HAM 3. Menyerukan kepada masyarakat khususnya pemilih, untuk memilih caleg, parpol, calon presiden dan calon wakil presiden yang pro HAM dan pro rakyat, serta tidak mudah percaya pada janji mereka yang tidak punya jejak rekam keberpihakan terhadap korban/rakyat 4. Mengajak kepada rakyat yang memilih golput, untuk menjadi golput yang kritis dan aktif dengan mengorganisir diri, serta melakukan pendidikan politik 5. Mendesak negara untuk memenuhi kewajibannya untuk menuntaskan berbagai masalah pelanggaran berat HAM dan memenuhi hak-hak dasar pada sisa waktu pemerintahannya. Atas nama kebenaran dan keadilan, Ikrar pejuang HAM ini kami peruntukan bagi perubahan Indonesia yang lebih beradab, berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Depok, 20 Maret 2009
Para Pejuang HAM (terdiri dari Korban danKeluarga Korban) membacakan Ikrar Pejuang HAM dalam Kongres Pejuang HAM Nasional 8
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
BERITA UTAMA
Mencari Caleg Pro HAM Terkait dengan ide kongres korban dan pejuang HAM yang diadakan pertengahan Maret lalu, dari awal KontraS sendiri telah melihat bahwa tahun politik 2009 ini akan menjadi tahun yang menentukan arah masa depan penegakan hak asasi manusia. “Pemilu merupakan keniscayaan sekalipun di tengah sikap apatisme politik masyarakat yang melihat buruknya kinerja para politisi dari eksekutif dan legislatif hasil pemilu 1999-2004, 2004-2009 maupun Pilkada. Pendidikan politik lewat proses pemilu ini setidaknya menyadarkan masyarakat bahwa sebagian orang yang mereka beri kekuasaan sesungguhnya hanyalah para aktor yang tak pernah setia dengan perannya dan hanya berorientasi pada uang dan kuasa, “ demikian poin penting yang ditegaskan oleh Edwin Partogi, Badan Pekerja KontraS dalam memandang situasi politik tanah air mendekati proses pemilu 2009. Dari fakta yang ada inilah, secara tidak langsung melahirkan persepsi publik terhadap politik yang sesungguhnya bermakna positif (segala upaya untuk kebaikan bersama), berubah menjadi sekedar upaya memperoleh kekuasaan untuk meraup keuntungan materil semata, termasuk korupsi. “Kenyataan itu membuat masyarakat cenderung sinis dan mengambil manfaat (transaksi materiil) instan dengan para politisi ketika mereka berusaha membujuk suaranya dalam pemilu. Lainnya memilih golput dan mendorong mekanisme alternatif di luar jalur partai, “ tambah Edwin. Untuk itu, dalam situasi ini, kemampuan partai politik membangun harapan masyarakat sangat dibutuhkan. Tidak hanya cukup dengan program yang dikemas baik dan menjawab kebutuhan masyarakat. Akan tetapi kehadiran calon politisi formal yang berkualitas dan memiliki keberpihakan dengan rakyat serta terbiasa melayani, masyarakat menjadi suatu keharusan. Tak ada agenda HAM Sayangnya, menurut KontraS, di tengah kontestasi pemilu ini, hampir tak terdengar agenda hak asasi manusia diusung partai politik. Kenyataan ini kian tidak memberikan harapan korban pelanggaran HAM. Penggantian konfigurasi dan rezim politik tidak memberi makna pada tuntutan keadilan. Dan kehadiran mereka yang menjadi lawan dari hak asasi manusia di panggung politik memperjelas situasi bahwa impunitas yang lama berlangsung, telah memberi jalan kepada mereka yang
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
tidak berkontribusi pada reformasi dan demokrasi tampil sebagai seolah solusi dan pembela kemanusiaan kaum miskin. Lengkap didampingi korban yang bermetamorfosis sebagai rekan bagi upaya membantah tudingan yang ditujukan padanya. Sebagaimana juga disinggung oleh peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, kala menjadi panelis Debat Politik Platform Parpol Bidang Keamanan Nasional, di Jakarta (17/3). Menurutnya, tidak ada satupun partai politik peserta pemilu 2009 yang memiliki rencana kerja dan strategi mendetail dalam bidang pertahanan keamanan, politik-hukum dan HAM, politik luar negeri dan hubungan internasional. Platform partai dalam persoalan tersebut masih sebatas daftar permasalahan tanpa penjelasan tentang cara mengatasi berbagai persoalan tersebut. Hal senada disampaikan Sumarsih, orang tua korban kasus Semanggi. “Isu HAM pada pemilu ini tak semarak isu korupsi. Perhatian partai politik dan caleg atas isu HAM dinilai tak cukup memadai, “ katanya. Sedang Mai, dari Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, saat ini masyarakat harus menjadi lebih cerdas. Menurutnya masyarakat jangan terlena oleh berbagai iklan politik yang ada. “Visi dan misi saja tak lagi cukup menjadi ukuran,” ujarnya. Berbagai jaringan telah mulai mengulas berbagai program partai. Dan, menurutnya, baik jika masyarakat pun melakukan hal yang sama. Sinar dalam kegelapan Lebih jauh KontraS melihat, di tengah situasi ini keberadaan caleg-caleg dari latar gerakan rakyat jadi sebersit sinar dalam kegelapan di antara sepinya orang-orang baik, berkompeten dan wawasan cukup bagi upaya menghadirkan kebaikan bersama pada kerja kenegaraan. “Mereka yang terbiasa mengabdi pada kepentingan masyarakat dan memperjuangkan gagasan-gagasan bagi kebaikan bersama tentu pantas menjadi harapan. Namun di tengah tantangan oligarki partai politik, keberadaan mereka bagai anak manis disarang penyamun, “ ujar Edwin. Berangkat dari hal tersebut, KontraS merasa perlu mengembangkan dialog dengan caleg yang berpotensi membawa pesan kemanusiaan dan perubahan. Sebagai awalan KontraS telah mengundang Bini Buchori (P Golkar), Arif Budimanta (PDIP), Yusuf Warsyim (PMB), Faisol Riza (PKB), Sarbini (PD) dan Ahmad Yani (PPP). Sebagian mereka adalah anak biologis dari gerakan masyarakat sipil. Mereka telah menjalani pengkaderan gerakan itu. “Harapan menjadikan mereka bagian masyarakat sipil yang akan terus memperjuang penegakan hak asasi manusia baik di dalam maupun di luar struktur negara patut untuk dijajaki. Sehinga terpelihara komitmennya menghadirkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM dan tidak berubah hanya menjadi mesin politik semata, “ tutur Edwin. ***
9
SUARA KORBAN
Berjuang untuk Tanah Moyang Oleh: Nurdin F (Nelayan Insan Kalimantan) Kisah berawal dari kasus Indocement yang melakukan pembuangan limbah batu di pantai yang berakibat pada buruknya nasib nelayan. Sejak itu, secara otomatis nelayan tidak bisa bekerja karena Indocement menggunakan tempat pembuangan yang sehari-hari digunakan nelayan sebagai tempat bekerja. Kondisi demikian juga berakibat terutama pada hasil tangkapan. “ Hingga hampir satu tahun mereka tidak mau mengakui bahwa limbah batu itu mereka yang buang. Dengan adanya batu-batu itu dan kalau tidak dikeruk, kapal-kapal nelayan jadi tidak bisa masuk karena airnya jadi dangkal, “ ujar Nurdin F, salah seorang nelayan Insan, Kalimantan Selatan, yang menceritakan kisah perjuangannya bersama teman-teman lainnya dalam melawan ketidakadilan yang mereka terima. Lebih lanjut Nurdin menuturkan bahwa di awal perjuangannya di tahun 2003, ada sekitar 105 orang yang berjuang dalam kasus ini dan terus bertambah hingga jumlahnya menjadi seribu orang, sampai sampai sekarang.
pernah letih dalam melakukan aksi tersebut. Pada hari ke8, akhirnya kita dipaksa untuk bubar oleh pihak perusahaan di bawah kapal Angkatan Laut. Kita diserbu dan dibubarkan. Kita memblokade dengan kapal-kapal, saat itu ada dua kapal Indonesia, kapal tongkang asing satu dan dan satu lagi kapal Filipina. Yang semuanya sudah penuh dan siap untuk berangkat tapi semua kapal tersebut tidak bisa keluar karena kita blokade, “ tambah Nurdin. Saat itu kita mendapat pendampingan dari WALHI. Meski begitu, Nurdin menceritakan pada saat pembubaran aksi tersebut, ada tiga orang dari WALHI yang ditahan dan tiga orang dari nelayan. Mereka ditahan selama satu malam. Dari hasil blokade, Indocement belum mau mengakui tindakan yang telah mereka lakukan. Massa pun kembali melakukan aksi di depan kantor Bupati. “Tiga bulan setelah aksi blokade kita diberikan sumbangan 300 juta oleh Bupati, ibaratnya uang ini untuk semangat. Kita terima saja sumbangan tersebut.” Imbuhnya. Meski demikian, sumbangan tersebut tidak mematahkan semangat warga untuk terus menuntut hak mereka. Nurdin menuturkan bahwa bagi ia dan teman-temannya lokasi harus dikembalikan seperti semula. Dan pada akhirnya Indocement mengaku, setelah ada tim peneliti yang menyelam serta melakukan penelitian, di mana hasil dari sampel yang diambil menunjukkan bukti.
Lalu bagaimana bentuk protes yang mereka lakukan? Pertama kali, kita mengajukan atau “Akhirnya mereka melaporkan kepada mengaku. Dan setelah perusahaan bahwa kita ingin mengaku kita melakukan pengangkatan batu mengadakan pertemuan kembali. Dan akhirnya kita dengan nelayan. Kita melaporkan pada pihak-pihak meminta lokasi tersebut atau aparat-aparat yang dikembalikan lagi/ terkait. “Kita juga melakukan dikeruk lagi, “ ujar Nurdin sedang menceritakan kisahnya demonstrasi tapi tidak Nurdin. mendapat tanggapan, hingga akhirnya kita diserahkan Mereka terus berjuang kembali oleh aparat untuk kita melawan sendiri ke untuk menuntut, agar pihak Indocement mau mengangkat perusahaan tersebut, karena alasannya kalau negara tidak batu-batu yang ada. “Saat itu mereka memberikan pilihan, sanggup melakukan perlawanan ini. Ini statement dari DPR, mau uang ganti rugi atau batu itu mau diangkat? Dan “ tutur Nurdin. nelayan menolak uang ganti rugi, dan tetap menuntut batu tersebut diangkat. Karena lokasi itu diperlukan, “ kata Ironis tentunya, karena ini seharusnya menjadi tanggung Nurdin. jawab mereka, tapi malah menyerahkan kembali ke masyarakat. “Iya, katanya mereka tidak sanggup dan Perjuangan Nurdin dan teman-teman akhirnya berhasil. menyerahkan sendiri kepada kita. Dan akhirnya, kita Sebuah perjuangan tak kenal lelah dan henti yang dilakukan melakukan blokade dan demonstrasi dengan 1500 kapal hampir selama empat tahun. Sebuah perjuangan yang bisa nelayan di pelabuhan selama 8 hari 8 malam. Pada saat itu, menjadi inspirasi bagi kita semua. Kita tidak pernah mengeluh kepanasan atau hujan. Ttidak
10
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
SUARA KORBAN
Berjuang Sampai Mati Oleh: Bashir Tutu (Petani Takalang) Bashir Tutu adalah salah seorang korban dari satuan Brimob Polisi yang sempat mengalami penembakan pada kasus penembakan sengketa lahan Tanjung Pura PTPN dengan masyarakat Takalang yang belum lama berlangsung. Masalahnya hingga terjadi penembakan, wilayah Tanjung Pura, Takalang dibebaskan pada tahun 1980 dengan perjanjian kontrak 25 tahun ke depan, sehingga masyarakat berpikir bahwa perjanjian itu sudah berjalan tiga tahun. Tapi anehnya pada proses pembebasan tidak disertai masyarakat sebagai pihak yang mempunyai lahan. Kemudian tiba-tiba keluar SK Bupati. Menurut Bahir Tutu hal tersebut adalah wujud pembodohan bagi rakyat oleh pemerintah sendiri. “Jadi masyarakat coba-coba untuk menemui DPR pada bulan Maret saat itu, tapi DPR tidak memihak masyarakat. Akhirnya masyarakat melakukan demo untuk memancing Pemda agar terjadi pertemuan. Sehingga, menurut saya biarpun kita mati, asalkan kita betul-betul
Bashir Tutu sedang bertutur tentang perjuangan dia mempertahankan tanahnya
mempertahankan hak maka mati tidak perlu, “ ujar Bashir. Selanjutnya mereka membentuk forum warga yang akan digunakan untuk mengadvokasi kasus tersebut .” Pertama, terlibat didalamnya, ada tim 15 meliputi 15 desa. Namun, dalam tiga kali pertemuan ternyata tidak ada hasilnya. Maka kami membentuk tim 9 meliputi sembilan desa.” Tambah Bashir yang mengampu posisi sebagai ketua dari forum warga tersebut. “Tim ini adalah untuk mempertahankan hak-hak masyarakat. Karena selama ini pemerintah tidak memihak masyarakat, seandainya memihak pun tidak ada penyelesaian. Yang dikuasai PT PN sebesar 4000 hektar. Tapi alhamdulilah, 75% sudah berhasil dikembalikan lahannya oleh PT PN. Dan kita sudah dapat menanam, Karena kita boikot setiap kali mereka melakukan kegiatan di lapangan. Masyarakat benar-benar matimatian mempertahankan haknya, “ tambah Bashir dengan nada semangat. Peristiwa yang terjadi di bulan Oktober tahun lalu patut menjadi catatan dalam proses perjuangan warga . Pihak PT PN bersikeras merebut lahan, namun saat itu masyarakat juga tidak gentar untuk mempertahankan haknya. Masyarakat melakukan blokade atau pendudukan sehingga dipanggil Brimob. “Kemudian terjadi bentrokan antara polisi dengan masyarakat. Saat itu, ada empat orang korban kekerasan aparat. Dua orang ditangkap. Yang parah namanya Dentika, sempat dioperasi. Saya ada masukan, bahwa setiap kali bila ada korban pada saat aksi seperti ini maka jangan dimasukkan ke rumah sakit instansi itu sendiri karena terjadi pembohongan. Isunya bisa diputarbalikkan, sehingga kasus hukumnya tidak selesai pelakunya bagaimana.” Tutur Bashir. Sementara itu, masalah tersebut sudah diproses hukum melalui LBH Makasar, kemungkinan besar sudah diproses di Jakarta. “Situasi terakhir, kami diam dulu karena setelah penembakan itu seluruh jajaran Kapolda dan Kapolresnya sudah diganti sekarang. Untuk sementara ini, pimpinan PT PN sudah diganti juga, bersamaan dengan penggantian Kapolres. Dan saat ini masyarakat sudah bisa beraktivitas kembali. Dan sekitar 75 persen lahan sudah dikembalikan ke masyarakat. Kami masih menunggu sisa dari lahan yang ada diproses secara hukum. Kami serahkan putusannya, tapi bila tidak tuntas maka masyarakat akan tetap bertahan di lapangan untuk memperjuangkan. Kita akan tetap konsisten, “ tambah Bashir. ***
“ Tidak satupun pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan iti tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya pada tingkat yang lebih rendah”.
Pasal 5 (ayat 2) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
11
OPINI
Lustrasi; Menolak Penjahat HAM Dalam Pemilu Papang Hidayat (Divisi Litbang KontraS) Salah satu masalah HAM yang masih belum terselesaikan pasca tumbangnya rezim Orde Baru adalah bagaimana rezim-rezim berikutnya merespon masalah pelanggaran berat HAM di masa lalu. Efek ini semakin terasa ketika di ajang ritual kompetisi politik rutin (pemilu), mereka yang bertanggung jawab atas suatu kejahatan serius ikut berpartisipasi di dalamnya. Dalam prinsip HAM universal, suatu rezim baru wajib untuk: melakukan pengungkapan kebenaran (right to know) mengapa suatu pelanggaran berat HAM terjadi; menuntut dan mengadili (right to justice) pelaku yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut; memberikan pemulihan efektif (right to reparation) bagi para korban yang dirugikan dari pelanggaran berat HAM tersebut; untuk mencegah berulangnya (guarantee of nonrepetition) peristiwa/pelanggaran berat HAM serupa di masa depan. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban tersebut merupakan suatu impunitas (impunity). Praktek impunitas tidak hanya menunjukan bagaimana secara moral negara gagal mewujudkan akuntabilitasnya, namun secara juga secara politik akan membahayakan suatu arah transisi demokrasi ke depan. Salah satu seruan dari Ikrar Pejuang HAM Indonesia 2009 adalah “Menyerukan kepada masyarakat khususnya pemilih, untuk tidak memilih calon legislatif, parpol dan calon presiden/calon wakil presiden pelaku pelanggar HAM, pelindung pelanggar HAM, atau yang tidak punya agenda HAM.” Hal ini lahir dari kecemasan mereka, khususnya para korban pelanggaran HAM terhadap dinamika politik Pemilu 2009. Dalam situasi di mana hakhak korban belum juga diakui oleh negara, justru mereka – para pelaku- yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM tersebut dengan percaya diri ikut berkompetisi dalam ritual politik pemilu. Tidak semua pihak tentu sepakat dengan sikap ini, mengingat hampir semua pemain politik di Indonesia merupakan mereka yang pernah menjadi pelaku atau pelindung (dengan tetap membiarkan pelanggaran HAM terus terjadi). Argumen lain menyatakan justru sikap ini merupakan suatu penghinaan karena justru menyerang hak politik seseorang. Tulisan ini mencoba menjelaskan maksud seruan korban dalam Ikrar Pejuang HAM tersebut. Problem bagaimana menyelesaikan suatu kejahatan HAM masa lalu tidak hanya dihadapi Indonesia pasca-Orde Baru, namun juga dihadapi negara-negara pasca-otoritarianisme dan pasca konflik internal. Berbagai upaya mereka lakukan, baik untuk memenuhi tuntutan dari pihak korban maupun menjaga supaya pelaku yang masih punya kekuasaan untuk tidak melakukan resistensi terhadap transisi demokrasi yang berlangsung. Secara prinsipil, negara harus melaksanakan kewajibannya untuk mencegah praktek impunitas terjadi, namun secara khusus ‘perang’ terhadap impunitas merupakan harga mati bagi seluruh kejahatan yang masuk kategori ‘seriuous crimes under international law’ yang mencakup pelanggaran serius terhadap hukum HAM dan
12
humaniter internasional, yang mencakup: genosida (genocide); kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); pelanggaran serius atas hukum yang berlaku pada saat perang, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1977. (Geneva Conventions of 12 August 1949 and of Additional Protocol I thereto of 1977); dan kejahatan lain di bawah hukum internasional yang mewajibkan negara untuk mempidanakan pelakunya seperti penyiksaan, penghilangan paksa, eksekusi ekstra-yudisial, dan perbudakan. Indonesia yang sudah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional penting seharusnya juga terikat pada komitmen untuk memerangi impunitas. Di antara berbagai inisiatif upaya menyelesaikan masalah pelanggaran berat HAM masa lalu adalah kebijkan ‘lustrasi’. 1 Mekanisme lustrasi adalah mekanisme pelarangan (banning and disqualifying) atau pembatasan terhadap mereka yang menjadi anggota institusi (negara) penting dari rezim sebelumnya dan dianggap bertanggung jawab atas suatu kejahatan serius dalam suatu partisipasi politik. Meski lustrasi bisa digunakan sebagai komplementer mekanisme yudisial, kebijakan ini justru sering digunakan sebagai alternatif pengadilan. Lustrasi sebagai alternatif pengadilan dianggap lebih mampu menjaga kestabilan demokrasi mengingat mereka yang bertanggung jawab atas masa lalu masih memiliki kekuatan dan pendukung politik di masa transisi tersebut. Kebijakan lustrasi ini banyak diterapkan misalnya di negara-negara Eropa Tengah dan Timur pasca rezim komunis, namun juga pernah dipraktekan di beberapa negara Amerika Latin. Pasca robohnya Tembok Berlin, di Jerman, Republik Ceko, Hungaria, Bulgaria, Latvia, Estonia Mereka yang pernah menjadi anggota penting partai komunis atau rezim komunis tidak diperbolehkan menjadi calon anggota parlemen atau eksekutif pada pemilihan umum yang baru untuk jangka waktu tertentu. Seringkali lustrasi diperluas untuk menyaring (screening) dan memurnikan (purging) institusi-institusi negara yang dianggap strategis (dan yang potensial membahayakan HAM), seperti: pengambil kebijakan politik di lembaga eksekutif, parlemen, yudikatif, aparat keamanan dan pertahanan (militer), dan sebagainya. Sementara itu lustrasi tidak bisa berlaku bagi jabatanjabatan non-publik (swasta). Ada dua model kebijakan lustrasi yang pernah dipraktekkan di berbagai negara: (1) berlaku bagi mereka yang pernah menjadi bagian dari mesin-mesin politik rezim masa lalu, baik itu anggota partai yang berkuasa maupun sebagai pejabat publik; (2) berlaku bagi mereka di posisi khusus (strategis) rezim represif sebelumnya dan untuk suatu tindakan (kejahatan) tertentu. Yang pertama penerapannya berlaku secara kolektif sementara jenis kedua berlaku hanya untuk suatu perilaku yang bersifat individual. Cekoslovakia misalnya menerapkan model lustrasi pertama yang
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
OPINI melarang keterlibatan eks anggota partai komunis sebelumnya sebagai pejabat publik. Model ini dianggap secara prosedural menyalahi prinsip-prinsip HAM lebih dimotivasi oleh politik balas dendam. Hal ini pernah terjadi bahkan secara brutal di Indonesia di masa Orde Baru, tidak hanya bagi mereka yang dituduh sebagai ‘antek-antek’ komunis, namun bagi para oposisi politik lainnya. Sementara itu model kedua dianggap lebih fair dan tidak menyalahi prinsip-prinsip HAM di tengah-tengah terjadinya ‘impunity gap´ dalam suatu masyarakat transisional. Dalam konteks ini lustrasi dianggap sebagai suatu proses vetting yang memiliki efek punitif (penghukuman), deterrent, dan preventif.2 Vetting sering diartikan sebagai suatu proses penilaian (assessment) integritas seseorang untuk menentukan kelayakan mereka (berdasarkan prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM) untuk melanjutkan jabatan atau mereka yang punya prospek dalam jabatan-jabatan publik.3 Vetting berdasarkan pada penilaian perilaku individual dan bukan atas atribut mereka dalam suatu partai politik atau kelompok tertentu (seperti pada model lustrasi pertama). Prinsip ideal kebijakan lustrasi (vetting) lainnya adalah mencegah terjadinya sabotase dalam transisi politik dan berulangnya kejahatan serupa. Ada prinsip universal yang menyatakan bahwa respon kita terhadap masa lalu akan mempengaruhi masa depan: melupakan horor di masa lalu akan membiarkan kejahatan serupa berulang; melupakan dan memaafkan jejak rekam para pejahat HAM akan memotivasi mereka mengulangi hal yang sama karena efek jera absen. Seringkali muncul argumen bahwa kebijakan lustrasi atau vetting ini merupakan bentuk pelanggaran hak politik (asasi) seseorang. Padahal dalam perspektif HAM, hak politik seseorang dianggap merupakan hak yang kondisional (bersyarat), yang kadar universalitasnya tidak sempurna. Hak politik ini dicantumkan dalam Pasal 25 dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang isinya: “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih; c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.” Kalimat pertama Pasal 25 ICCPR di atas disebutkan bahwa hak dan kesempatan (atas hak politik) bisa dibatasi oleh suatu pembatasan yang layak (reasonable restriction). Reasonable restriction tersebut misalnya adalah batasan usia
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
(baik pemilih maupun kandidat terpilih), status kewarganegaraan, aspek teknis (sedang di luar negeri sehingga tidak terjangkau proses pemilu), atau bagi terpidana suatu kejahatan tertentu.4 Pada konteks ini jejak rekam seseorang terhadap suatu kejahatan HAM serius bisa masuk dalam kategori pembatasan yang layak. Atas dasar argumen ini pula terdapat suatu preseden hukum yang dilakukan oleh the Inter-American Commission on Human Rights (Komisi HAM Regional Inter-Amerika) untuk menolak keluhan individual (individual complaint) yang diajukan oleh Jose Efrain Rios Montt, yang merasa hak politiknya dilanggar oleh Guatemala karena Konstitusinya menjegal upaya pencalonan dirinya sebagai presiden. Jose Efrain Rios Montt merupakan mantan pemimpin militer yang pernah melakukan kudeta dan menjadi pemimpin de facto Guatemala pada 1982-1983, di mana pelanggaran HAM yang sistemik terjadi. Menurut Komisi HAM Inter-Amerika pelarangan konstitusional tersebut merupakan reasonable restriction. Sementara itu yang dimaksud unreasonable restriction atas suatu hak politik seseorang adalah menyangkut dimensi gender (laki-laki dan perempuan harus setara), aspek sosial-budaya (semua kelompok etnis atau ras), aspek ekonomil/klas sosial (perbedaan status ekonomi tetap memiliki kesetaraan politik, atau aspek lainnya (seperti untuk orang difabel). Penting untuk diingat bahwa berhasilnya kebijakan lustrasi atau vetting di satu sisi bisa dimaknai sebagai suksesnya suatu masyarakat untuk memberi batas antara masa lalu dan masa depan, namun absennya aspek akuntabilitas keadilan di lain pihak bisa ditafsirkan bahwa penegakan hukum bersifat impoten. Situasi tentu saja lebih buruk bila institusi hukum tidak bisa menjangkau mereka yang bertanggung jawab atas masalah masa lalu namun di lain pihak mereka bisa leluasa untuk mengisi ruang transisi yang ada. Hal ini yang sedang terjadi di Indonesia dan implikasinya semakin dirasakan, khususnya oleh para korban yang masih berjuang merebut keadilan, di tengahtengah proses pemilu 2009. 1
Lustrasi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Inggris mana pun. Kata ini berasal dari kata Latin lustrum yang merupakan suatu ritual pemurnian orang Romawi yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Kata ini diadopsi ke dalam bahasa Polandia – salah satu negara yang pertama kali mempraktekan kebijakan lustrasi- lustro yang artinya cermin. Lustrasi dimaknai sebagai upaya memeriksa diri sendiri (self-examination). 2 Pablo de Greiff, Vetting and Transitional Justice , Hal. 524.http:// www.ictj.org/en/research/projects/vetting/thematic-studies/ 2143.html 3 Caspar Fithen, The Legacy of Four Vetting Programs: An Empirical Review, ICTJ, 2009, hal. 5. http://www.ictj.org/images/content/1/ 2/1276.pdf. 4
Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary“, 2nd revised edition, N.P. Engel, Publisher, 2005, hal. 574-582. Lihat juga Human Rights Committe, General Comment No. 25: Article 25 (Participation in public affairs and the right to vote), para. 15-20. UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.7. ICCPR juga memperkenankan suatu kebijakan affirmative action bagi perempuan atau suatu kelompok rentan lainnya sebagai reasonable restriction dan tidak dianggap sebagai suatu praktek diskriminatif sejauh dilakukan secara temporer.
13
JEJAK SANG PEJUANG
Kasasi untuk Muchdi!!! Dunia hukum atas kebenaran dan keadilan kembali terluka. Di penghujung tahun 2008, pada 31 Desember tepatnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Suharto dengan anggota, Ahmad Yusak dan Haswandi, menyatakan, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwopranjono tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam kasus pembunuhan Munir.
Kasum sendiri telah mencatat beberapa poin penting pada proses persidangan ini, di antaranya, sejak awal jaksa penuntut umum telah membuat dakwaan dan tuntutan yang lemah. JPU memasukkan motif pembunuhan dalam dakwaan dan sejak awal politik penuntutan telah cidera, dengan hanya 15 tahun.
Selanjutnya, fakta-fakta di persidangan membuktikan adanya operasi intelijen ilegal yang juga melibatkan Putusan ini jelas tidak memenuhi rasa keadilan publik. beberapa anggota BIN. Sebagai bagian dari operasi intelijen, Putusan ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah tentunya berbagai tindakan kejahatan dibuat secara dan aparat penegak hukum memutus mata tertutup sehingga bukti-bukti petunjuk rantai impunitas. yang ada seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk membuka “Saksi-saksi yang Mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kebenaran. berasal dari BIN semua Kasus Pembunuhan Munir, Asmara Nababan, menilai kegagalan hakim Poin penting lainnya, pembunuhan Munir mencabut kesaksian memutuskan dengan adil kasus itu juga merupakan kasus konspirasi. Namun mereka. Saya menduga dipengaruhi oleh sikap tidak kooperatif metode pembuktian yang dilakukan ini bukan sikap BIN. “Saksi-saksi yang berasal dari BIN oleh majelis hakim tidak dengan cermat individual, tetapi semua mencabut kesaksian mereka. Saya meneliti keterlibatan berbagai pihak insitusi. Selain itu, saksi menduga ini bukan sikap individual, tetapi tersebut untuk menarik jelas rangkaian insitusi. Selain itu, saksi kunci Budi Santoso konspirasi pembunuhan ini. kunci Budi Santoso juga juga tidak dihadirkan, “ ujar Asmara. Seharusnya pemeriksaan, pembuktian tidak dihadirkan, “ ujar dan pembuatan putusan didasarkan Asmara Hal itu, menurut dia, makin membuktikan pada fakta adanya konspirasi ini. Hakim bahwa proses penegakan hukum, terutama hanya menilai fakta-fakta yang hak asasi manusia, dalam pemerintahan terungkap di pengadilan secara konvensional dan menutup SBY hanya retorika. Namun, katanya lagi, polisi perlu mata terhadap jalinan rangkaian fakta yang menunjukan kembali mengembangkan penyidikan kasus ini. adanya konspirasi tersebut. Akibatnya seluruh peristiwa seakan merupakan peristiwa yang berdiri sendiri dan tidak Sedang Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris saling berkaitan. Jenderal Susno Duaji mengatakan, kasus yang menghadapkan Muchdi telah selesai. “Tidak mungkin Kemudian, dari pertimbangan putusan terbukti adanya menyidiknya lagi, “ ujarnya. keterlibatan BIN yang melakukan penyalahgunaan Terkait dengan putusan ini, Presiden SBY, menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, akan memanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri untuk meminta penjelasan Presiden. Presiden akan mempelajari kasusnya dan akan menentukan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengungkap pelaku pembunuhan Munir.
Sarat intervensi politik Sementara itu, Komite Solidaritas Aksi untuk Munir (Kasum), menengarai putusan ini sarat intervensi politik. Kasum mengkhawatirkan jaksa penuntut umum dan majelis hakim bekerja di bawah tekanan berbagai pihak yang berkuasa sehingga independensi dan objektivitas pengadilan dengan mudah digadaikan. Ironis, karena berdasarkan hasil pemantauan persidangan, telah terurai benang merah keterlibatan Muchdi PR selaku penggerak/ penganjur atas terbunuhnya Munir. Majelis hakim telah dengan sengaja bersikap parsial dengan memilih fakta-fakta yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
14
kekuasaan. Hal ini dapat menjadi titik tolak untuk mencari lebih lanjut akar penyelahgunaan kekuasaan untuk melakukan pembunuhan berencana kepada Munir. Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik merupakan pelanggaran hukum. Sehingga harus ada sanksi tegas bagi pelakunya. Majelis hakim juga membiarkan berlangsungnya suasana persidangan yang intimidatif. Penarikan kesaksian dari beberapa anggota BIN dengan alasan yang sama dan seragam semestinya menjadi pertimbangan hakim untuk menggali lebih lanjut penyebab penarikan kesaksian tersebut. Ditengarai intervensi dan ancaman kepada para saksi membuat para saksi menjadi menarik kesaksiannya. Untuk itu, Kasum meminta Jaksa Agung untuk memastikan kasasi dijalankan dengan kembali menggali fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan dengan memperhatikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan terdakwa lainnya, Pollycarpus dan Indra Setiawan. Hal ini terkait dengan penyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Abdul Hakim Ritonga yang menyatakan akan mengajukan kasasi.
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
JEJAK SANG PEJUANG Secara khusus Kasum juga meminta Presiden untuk memberikan perhatian penuh atas perkembangan kasus ini. Pemerintah SBY harus memanfaatkan waktu di akhir pemerintahannya untuk menepati janjinya ini. Masyarakat telah cukup dewasa untuk memahami carut marutnya dunia peradilan Indonesia. Dunia internasional juga mengawal proses ini sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam melindungi HAM. The test of our history akan menjadi sejarah gelap jika bangsa ini terus dikukung oleh kuasa yang tak terjamah hukum. Putusan PN Jakarta Selatan yang membebaskan Muchdi bukanlah akhir dari perjalanan pengungkapan kebenaran atas kasus pembunuhan Munir.
Penyataan Pemuda Al-Irsyad Kekecewaan publik atas rasa ketidakadilan atas putusan hakim yang membebaskan Muchdi, juga ditunjukkan oleh Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad lewat siaran persnya.
Allah nanti di akhirat.” Seperti yang dikutip dalam lembaran siaran pers PB Pemuda Al Irsyad. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal disebutkan, Allah Azza Wa Jalla berfirman (hadits Qudsi): “Dengan keperkasaan dan keagungan-Ku, Aku akan membalas orang zalim dengan segera atau dalam waktu yang akan datang. Aku akan membalas terhadap orang yang melihat seorang yang dizalimi sedang dia mampu menolongnya tetapi tidak menolongnya.” Kemudian, untuk terus memburu pembunuh Munir, PB Pemuda Al-Irsyad amat mendukung langkah keluarga Munir dan Kasum yang mengadukan kasus pembebasan Muchdi tersebut ke Komisi Yudisial dan ke lembagalembaga lain, termasuk lembaga internasional. Selain dikenal sebagai aktivis HAM, dan pendiri serta direktur KontraS dan Imparsial, Munir Thalib adalah juga aktivis AlIrsyad Al-Islamiyyah. Ia lahir dalam keluarga AlIrsyad di Batu ( Jawa Timur), dan salah seorang pendiri cabang Al-Irsyad Batu. Namanya tercatat sebagai sekretaris PC AlIrsyad Batu yang pertama.
PB Pemuda Al-Irsyad menilai keputusan tersebut sangat melukai keadilan dan bertentangan dengan Di akhir hayatnya, Munir akal sehat. Bagaimana juga tercatat sebagai salah mungkin Muchdi bisa satu anggota Dewan dianggap tidak Istisyariah Perhimpunan bersalah padahal Al-Irsyad Al-Islamiyyah Pollycarpus, pelaku (Al-Irsyad). Almarhum pembunuhan itu di banyak membantu PP Allapangan, sudah Irsyad dalam masalah Suciwati memberikan keterangan atas bebasnya Muchdi PR dijatuhi hukuman hukum ketika Pimpinan berat. Dan jaksa serta Pusat Al-Irsyad Alpara saksi di Islamiyyah menghadapi persidangan sudah memberi bukti-bukti adanya hubungan konflik internal yang berujung di pengadilan. antara Muchdi dan Pollycarpus dalam pembunuhan tersebut. Kasasi Rohainil Aini Mengingat keputusan majelis hakim tersebut, PB Pemuda Al-Irsyad meminta agar pemerintah, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI segera mengevaluasi keputusan tersebut, dan meneliti segala kejanggalan yang ada. Misalnya, apakah hakim dalam keadaan bebas atau tertekan saat membuat keputusan itu. Kepada keluarga almarhum Munir dan para penggiat hakhak asasi manusia (HAM), mereka meminta agar tidak putus asa dengan keputusan hakim itu. “Upayakan terus peluang bagi keadilan di dunia ini. Tapi, bila semua jalan bagi keadilan itu buntu, percayalah bahwa Pengadilan Allah adalah sebaik-baik pengadilan. Allah Tuhan yang Adil, dan tak ada saksi yang bisa berbohong di depan-Nya. Pembunuh Munir mungkin bisa lolos dari pengadilan manusia di bumi, tapi tak mungkin lolos dari Pengadilan
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
Sementara itu, menanggapi putusan kasasi Mahkamah Agung yang memvonis penjara satu tahun terhadap Rohainil Aini, Secretary Chief of Pilots Garuda Airways (20/1), Kasum menilai kian menguatkan pentingnya keberadaan kasasi untuk Muchdi PR. Kasasi Muchdi PR terutama sebagai upaya menggapai kebenaran materiil. Tanpa adanya Kasasi Muchdi PR sebagai perjuangan kebenaran materiil, putusan kasasi MA justru menghadirkan paradoks keadilan dalam penyelesaian hukum atas kasus Munir. Mengapa? Karena jika demikian, hukum gagal mengidentifikasi tentang siapa yang bertanggung jawab atas peran di luar Tempat Kejadian Perkara (TKP) peracunan (mistaken adjudicative decision). Saat ini, paradoks keadilan itu nampak demikian terang-benderang, di mana kapasitas peran Rohainil Aini, Secretary Chief of Pilots Garuda Airways
15
JEJAK SANG PEJUANG yang membuat perubahan jadwal mendapat hukuman satu tahun penjara, setara dengan peran Indra Setiawan, Direktur Utama Garuda yang membantu perencanaan pembunuhan Munir. Sementara, aktor intelektual yang menjadi dalang pembunuhan Munir justru dibebaskan. Untuk itu Kasum juga mengingatkan kepada MA agar tidak terjadi mis-identifikasi tentang siapa yang bertanggung jawab atas peran di luar TKP, yaitu tempat di mana peracunan dilakukan oleh Pollycarpus. Kita tentu ingat bahwa pembunuhan ini merupakan kejahatan konspirasi yang melibatkan banyak pihak. Termasuk pihak-pihak yang menjadi aktor intelektual yang paling bertanggungjawab atas pembunuhan ini. Semestinya putusan pengadilan terhadap pihak-pihak yang telah dihukum sebelumnya dapat menjadi rangkaian pertanggungjawaban bagi penghukuman pelaku lain yang terkait. Putusan bersalah Rochainil Aini harus dapat menjadi pertimbangan untuk membuka kembali keterlibatan Muchdi PR dalam konspirasi ini. Kasum mengingatkan jaksa agar menyiapkan memori kasasi yang meyakinkan, mengingat batas waktu yang akan segera berakhir. Secara khusus, Kasum meminta MA untuk bersikap adil. MA harus memeriksa permohonan kasasi jaksa secara cermat dan berani membuat terobosanterobosan hukum untuk memenuhi rasa keadilan korban. Di tempat terpisah, menanggapi kasus bebasnya Muchdi, jaksa memang akan secepatnya mengajukan memori kasasi ke MA. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga, jaksa berkeyakinan putusan hakim tidak bebas murni. Sesuai dengan ketentuan pengajuan kasasi, tuturnya, jaksa tidak perlu menyampaikan bukti materi baru. Lagipula, dalam kasus in, kata dia, tidak akan ada bukti materi. Ia menjelaskan, kasus Munir adalah pembunuhan intelektual sehingga sulit dicari bukti materinya. Sehingga dalam kasus ini harus menggunakan keterpautan antara satu bukti dan bukti lainnya. “Diurut sehingga terwujud satu kesatuan, “ katanya. Ritonga juga menambahkan, dalam memori ada tiga poin penting yang diuraikan, sebagaimana Pasal 253 KUHAP. Namun, dia menolak merinci hal yang dimaksud. “Kami kumpulkan fakta-fakta yang mendukung kasasi kami itu, “ujarnya.
16
Pasal 253 menyebutkan, pemeriksaan dalam tingkat kasasi di tingkat MA untuk menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya. Selain itu, pemeriksaan untuk menentukan apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang serta apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Pelanggaran KUHAP Sedangkan, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas menengarai adanya pelanggaran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam sidang Munir dengan terdakwa Muchdi PR. Hal itu tampak dalam ketidakseriusan hakim mencari kebenaran materiil dalam perkara itu. “Untuk perkara pidana yang spesifik, seperti pidana yang mengandung muatan pelanggaran hak asasi manusia, hakim harus komit pada asas pembuktian material. Hakim harus optimal dalam mengorek atau mengelaborasi fakta persidangan, “ ungkap Busyro.
Kasasi Harus Digelar
Munir Segera
PN Jakarta Selatan diharapkan dapat segera mengirimkan berkas memori kasasi dan kontra memori kasasi, serta berkas Perkara Muchdi PR ke Mahkamah Agung. Hal ini terkait kontra memori kasasi yang telah dilayangkan oleh kuasa hukum Muchdi PR pada Rabu tanggal 18 Februari 2009. Pada prinsipnya sesuai pasal 250 KUHAP Panitera wajib segera mengirimkan ke MA atau paling tidak sesuai dengan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, memiliki maksimal 30 hari. Pentingnya penyegeraan pengiriman berkas ini adalah upaya menjalankan prinsip pengadilan cepat, murah dan sederhana. Selain itu, juga segera memenuhi prinsip keadilan bagi korban untuk segera mendapatkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Di sisi lain Kasum meminta agar Presiden SBY tetap menunjukkan komitmennya untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Penyangkalan yang dilakukan oleh sejumlah saksi dari kalangan BIN dalam sidang perkara Muchdi PR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tentu tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan publik terhadap upaya
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
JEJAK SANG PEJUANG BIN untuk kembali menutup pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh sejumlah pejabat BIN dalam kasus ini. Di tengah hiruk pikuk kontestasi pemilu saat ini, di mana SBY-JK termasuk kompetitor di dalamnya yang pastinya tengah berkonsentrasi penuh bagi upaya pemenangan politik. Kita kembali mengingatkan pemerintah dan kalangan legislatif untuk tetap memberikan perhatian terhadap tuntutan keadilan bagi Munir. Penurunan perhatian pada kasus ini akan membuka ruang bagi upaya-upaya mempengaruhi peradilan dengan caracara kotor. Sementara penyidikan atas pembunuhan Munir ini sendiri belum menyentuh pada aktor utamanya.
“Menurut saya, langkah ini prematur karena proses hukum belum berakhir. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan bagi seseorang untuk dipidanakan karena berupaya mengungkap kejahatan ini. Upaya yang saya lakukan merupakan hak saya sebagai warga negara yang juga taat hukum, “ tambah Usman. Lebih jauh Usman Hamid mengatakan bahwa dirinya sangat menghormati proses hukum yang berjalan. Usman berharap para penegak hukum akan membela kewibawaan hukum, dengan tetap menyadari bahwa target utama keadilan adalah mengadili para dalang pembunuh Munir yang sampai hari ini masih bebas. “Saya juga berharap pemerintah tetap berpegang teguh pada komitmen membongkar konspirasi pembunuhan terhadap Munir. Karena keadilan masih belum tersentuh. Menjadikan saya sebagai target tidak membawa keadilan ke arah yang benar, sebaliknya malah menyesatkannya,” tambahnya lagi.
Di tengah situasi ini persidangan kasasi perkara ini akan segera digelar. Karena itu penting bagi Presiden, yang bertanggung jawab terhadap kinerja Kapolri dan Jaksa Agung, memerintahkan kinerja maksimal dari kedua Undangan Pelapor Khusus PBB untuk Suciwati institusi ini. Di mana dalam proses kasasi; prinsip independensi, imparsialitas dan profesionalisme dalam Suciwati akan menghadiri undangan khusus dari dari persidangan Kasus pembunuhan konspiratif terhadap Cak Pelapor Khusus PBB tentang Pembela HAM, Mrs. Margaret Munir dengan terdakwa Muchdi PR Sekaggya di Bangkok, 18-20 Januari 2008 untuk dapat terwujud. Sehingga keadilan bagi membahas perkembangan terkini penanganan Munir bukan hanya melahirkan keadilan kasus Munir. Undangan ini bersamaan dengan bagi Suciwati dan keluarganya, namun acara The 3rd Regional Human Rights “Itu manuver untuk juga melahirkan semangat reformasi Defenders Forum yang diadakan oleh Forum mengalihkan perhatian dalam penegakan hukum. Asia. masyarakat dari
Usman dilaporkan ke Polda
persoalan pokok, siap jadi dalang pembunuh Munir, “ kata usman menanggapi laporan Muchdi ke Polda terhadap dirinya.
Di sisi lain, Kuasa hukum Muchdi PR telah melaporkan Usman Hamid ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang dinilai telah mencemarkan nama baik, menghina dan memfitnah Muchdi PR. Menanggapi laporan tersebut, Koordinator Kontras ini menilai bahwa laporan tersebut hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam kasus pembunuhan Munir. “Itu manuver untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan pokok, siap jadi dalang pembunuh Munir, “ kata Usman.
Usman juga meminta masyarakat dan aparat penegak hukum tidak terkecoh dengan melupakan dalang pembunuh Munir. “Target utamanya itu mencari dalang kematian Munir. Dan sejak awal saya menegaskan memang meyakini bahwa Muchdi adalah pembunuh Munir. Dari hasil fakta yang terungkap selama proses penyelidikan tampak bahwa skema pembunuhan ini merupakan konspirasi besar. Muchdi adalah aktor yang ikut menentukan dalam persekongkolan jahat itu, “ ujar Usman. Usman juga membenarkan pula bahwa dirinya pernah mengatakan bahwa Muchdi PR dibebastugaskan dari jabatan Danjen Kopassus berkaitan dengan kasus penculikan aktivis 1997/1998.
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
Pertemuan ini adalah tindak lanjut dari pertemuan dengan Pelapor Khusus Pembela HAM periode sebelumnya, Mrs. Hina Jilani, di Bangkok dan Jakarta, pada 2006 dan 2007 lalu. Dalam kunjungan kerja resmi tersebut, Mrs. Hina Jilani menyatakan bahwa kasus Munir selalu menjadi perhatian khususnya. seperti yang bisa terlihat pada laporan resminya dalam mekanisme Dewan HAM PBB (A/HRC/7/28/Add.2) tertanggal 28 Januari 2008 lalu. Dalam kunjungan kerja resmi tersebut Mrs Hina Jilani juga bertemu secara langsung dengan Suciwati dan menyatakan bahwa kasus ini selalu menjadi perhatian khususnya. “Pertemuan tersebut bukan untuk mengintervensi kasus ini. Hal itu justru mendorong penyelesaian untuk menemukan siapa dalang pembunuh Munir yang kembali gelap paska dibebaskannya Muchdi. “Kita juga menolak intervensi pengadilan. Tapi, langkah ini untuk mendorong perbaikan pembuktian, kesaksian, dan jaminan independensi peradilan, “ ujar Choirul Anam.
Sorotan komunitas internasional Persoalan Munir sangat kontekstual dengan perhatian PBB tentang Pembela HAM di dunia. Praktik impunitas dalam kasus-kasus kekerasan terhadap para pembela HAM (human rights defender) selalu menjadi sorotan komunitas internasional. Saat ini isu human rights defender menjadi salah satu isu HAM yang dianggap paling penting. Pada
17
JEJAK SANG PEJUANG peringatan 10 tahun diadopsinya Deklarasi Pembela HAM, 9 Desember 2008 lalu, pernyataan itu diulang kembali oleh lima perwakilan mekanisme HAM PBB dan regional. Dalam momentum peringatan tersebut dinyatakan adanya 10 pesan/agenda prioritas terkait isu perlindungan para pembela HAM, salah satunya adalah seruan kepada para pemimpin negara untuk mengakhiri praktik impunitas atas kejahatan yang dilakukan terhadap para pembela HAM karena isu ini memiliki efek ganda bagi penegakan HAM lainnya. Dalam dokumen tersebut jelas dinyatakan bahwa kegagalan negara untuk menginvestigasi, menuntut, dan menghukum pelaku akan memperkuat opini publik bahwa setiap peristiwa pelanggaran HAM akan gagal diselesaikan. Menjadi penting dan fundamental untuk memutus rantai impunitas tersebut sebagai bukti nyata komitmen negara terhadap isu HAM secara luas.
Butir-butir pernyataan ini sesuai dengan persoalan penanganan kasus Munir yang baru saja memasuki tahap krusial, yaitu lolosnya tersangka Muchdi PR dari jeratan hukum. Hasil terakhir ini menjadikan kembali komitmen negara untuk penegakan HAM menjadi kelabu kembali. Padahal publik Indonesia tidak akan lupa pada komitmen negara seperti yang dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kasus Munir merupakan ujian penting bagai Indonesia dalam menghadapi masalah hak asasi manusia. Jelas perhatian komunitas internasional terhadap kasus Munir tidak pernah berkurang. Penanganan kasus Munir dianggap menjadi salah satu parameter bagaimana Indonesia memperlakukan para pembela HAM secara keseluruhan. Lebih lanjut, hal ini juga menjadi parameter bagaimana negara memenuhi tanggung jawabnya dalam mempromosikan pemajuan dan perlindungan HAM bagi warganya.***
Assegaf Melanggar Kode Etik banding di Jakarta (3/3). Putusan banding itu lebih berat dibanding putusan Dewan Kehormatan Advokat pada tingkat pertama.
Para hakim yang mengadili Assegaf Majelis Kehormatan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan terhadap pengacara M.Assegaf. Peradi juga memberikan peringatan keras kepada pengacara A.Wirawan Adnan. Peradi menyatakan, dua pengacara terpidana Pollycarpus BP dalam kasus pembunuhan Munir itu terbukti melanggar kode etik advokat Indoensia. “Keduanya telah terbukti melanggar Pasal 7 huruf (e) dan Pasal 4 huruf (j) Kode Etik Advokat Indonesia, “ kata Ketua Sidang Majelis Kehormatan, Sugeng Teguh Santoso, membacakan putusan
18
Sebelumnya, Kasum mengadukan Assegaf dan Wirawan ke Dewan kehormatan Daerah Peradi Jakarta. Kasum menilai keduanya “sebagai tim kuasa hukum terpidana Pollycarpus” saat proses hukum peninjauan kembali Pollycarpus berupaya mempengaruhi saksi dengan mengirim surat klarifikasi kepada BIN. Surat itu terkait dengan kesaksian BIN dan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan sebagai novum (bukti baru) dalam kasus Pollycarpus. Selain itu, Kasum menilai mundurnya dua pengacara senior tersebut sebagai tim pengacara Indra Setiawan juga dianggap melanggar kode etik. Pada tingkat pertama, pengaduan Kasum diterima, Assegaf dan Wirawan dikenai sanksi teguran keras. Tapi mereka mengajukan banding atas putusan itu. Dalam putusan banding ini, Sugeng mengatakan, kedua pengacara itu dinilai terbukti mempengaruhi saksi. “Kedua pengacara juga harus menanggung biaya perkara untuk tingkat pertama dan banding masing-masing Rp 3,5 juta, “ ujarnya. Perihal pelaksanaan putusan, Sugeng mengatakan akan dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Nasional Peradi. “Itu bukan kewenangan kami tapi dewan pimpinan nasional, “ ujarnya.***
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
BERITA DAERAH Kriminalitas Menurun Kekerasan Aktor Keamanan Meningkat
Perkembangan Keamanan, Hukum dan HAM Aceh Kapolda Aceh Irjen Pol Rismawan mengungkapkan, sepanjang tahun 2008 ini, kasus kriminalitas di Aceh mengalami penurunan 24 - 30 persen berdasarkan fakta di lapangan jika dibandingkan tahun 2007 lalu (Jumat, 12 Des 2008). Paling tidak, terjadi peningkatan jumlah kasus yang berhasil dituntaskan oleh jajaran Polda NAD jika dibandingkan dengan kriminalitas pada tahun lalu. Melihat kemajuan tersebut, kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam tentu layak dipuji, mengingat penegakan hukum sebagai domainnya kepolisian merupakan komponen terpenting dalam konteks pelanggengan perdamaian, demokratisasi, dan rekontruksi Aceh paska konflik. Akan tetapi keberhasilan yang dicapai kepolisian dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminalitas ternyata tidak diikuti dengan penurunan tindakan penyimpangan kewenangan/tindak kekerasan oleh jajaran penegak hukum. Sebaliknya, hasil monitoring dan investigasi KontraS Aceh sepanjang 2008 justru memperlihatkan peningkatan tindak kekerasan oleh jajaran kepolisian di Aceh jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun ini, sekurang-kurangnya telah terjadi sebanyak 27 kasus kekerasan oleh oknum kepolisian dan 12 kasus pada tahun 2007. Dan dari 27 kasus yang ditemukan sebanyak 15 kasus merupakan tindakan penyiksaan/penganiayaan.
Kontra-produktif KontraS menilai perkembangan ini kontraproduktif dengan policy pimpinan kepolisian Indonesia yang sedang menerapkan paradigma baru kepolisian yang humanis dan menghormati HAM yang dikenal dengan istilah POLMAS (Perpolisian Masyarakat). Mengingat ruh POLMAS adalah kemitraan dan problem solving yang tentu mensyaratkan adanya kepercayaan dan kerjasama yang erat antara kepolisian dan masyarakat. Kelemahan lain yang terlihat sejak Januari – Desember 2008 adalah, minimnya proses hukum oleh jajaran kepolisian terhadap anggotanya yang diketahui melakukan tindak kekerasan terhadap warga. Paling tidak pimpinan kepolisian terkesan belum transparan dalam menegakkan hukum terhadap anggotanya yang melakukan kekerasan. Di sisi lain, masyarakat telah terlanjur disuguhi dengan pemberitaan tentang aksi kekerasan oleh oknum kepolisian. Seperti “Brimob Serang Warga Tanjung Mesjid Samudra” (17 Desember 2008), dan kasus “Ketua Pemuda Kritis Dihajar Polisi” (2 November 2008). KontraS Aceh menilai perilaku kekerasan yang masih menjangkiti sebagian oknum kepolisian merupakan salah satu indikator masih lemahnya internalisasi paradigma baru kepolisian oleh seluruh jajaran kepolisian sampai ke
level yang paling bawah. Sejalan dengan itu, pimpinan kepolisian juga harus berani meninggalkan tren lama kepolisian yang cenderung melindungi oknum anggota yang melakukan penyimpangan kewenangan/kekerasan ’l’esprit de corpse’. Proses hukum yang adil dan transparan terhadap hamba hukum yang melakukan penyimpangan kewenangan/ kekerasan tidak hanya berdampak pada perubahan perilaku oknum pelaku, tetapi juga memberikan pembelajaran bagi seluruh jajaran kepolisian yang masih ‘gandrung’ kekerasan. Dan yang terpenting, tindakan tersebut signifikan dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap semua hamba hukum.
Pos militer di berbagai daerah Sepanjang tahun 2008, KontraS Aceh juga mencatat peningkatan tindak kekerasan oleh oknum TNI sebanyak 7 kasus. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sebanyak empat kasus. Di sisi lain, kecendrungan pimpinan TNI untuk mencampuri wilayah politik, hukum dan keamanan pada tahun 2008 tidak hanya sebatas pernyataan di berbagai media. Pada tahun 2008, TNI juga melakukan penangkapan ilegal terhadap beberapa warga yang dituduh bertanggung jawab atas kasus penculikan. Selain itu, TNI juga diketahui ikut menertibkan atribut partai politik yang dianggap menyimpang dari aturan. Dan yang cukup mengkhawatirkan pimpinan TNI di Aceh mulai meningkatkan aktivitas gelar pasukan dengan membuka sejumlah pos militer di berbagai daerah. Upaya meminimalisir keterlibatan kembali TNI dalam ranah politik, hukum, dan keamanan setelah damai terwujud adalah bagian terpenting dalam proses demokratisasi dan keberlanjutan perdamaian di Aceh. Selain itu, Pimpinan TNI di Aceh tentu tidak serta merta dapat berkiprah secara independen di luar tugas utamanya sebagai alat pertahanan. Kalaupun dibutuhkan, merujuk pada undang-undang, keterlibatan TNI harus berdasarkan kebijakan otoritas pemerintah.
Advokasi orang hilang Sementara itu, sehubungan dengan mandat lembaga dalam advokasi HAM, pada tahun 2008, KontraS menfokuskan kerja-kerja lembaga pada investigasi dan advokasi kasus orang hilang yang terjadi pada masa konflik bersenjata. Total kasus yang telah didokumentasikan oleh KontraS Aceh sampai dengan 31 Desember 2008 adalah sebanyak 124 kasus dengan jumlah korban sebanyak 134 orang. Dari 124 kasus tersebut sebanyak 101 kasus telah dilaporkan kepada Komnas HAM Kantor Perwakilan Aceh dan sebanyak 93 kasus telah diserahkan secara langsung kepada Ifdhal bersambung ke hal. 20
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
19
BERITA DAERAH
Upaya Pembungkaman pada Warga Yang Menolak Pendirian PT. Semen Gersik Penolakan pendirian PT. Semen Gresik di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah yang sudah disuarakan sejak akhir 2006, oleh warga Kabupaten Pati dan Kudus, mengakibatkan adanya penangkapan sembilan warga dari Kabupaten Pati dan Kudus. Penangkapan ini dilakukan oleh Kepolisian Resort Pati (22/01) pada pukul 20.00-21.00 WIB.
tersebut. Bahkan, kesembilan warga ini baru bisa ditemui pada hari keempat paska penahanan. Dan dari pertemuan ini baru diketahui mereka yang ditangkap tersebut mendapatkan kekerasan dan perlakukan yang tidak manusiawi hingga mengakibatkan korban lebam-lebam dan memar dibagian tubuhnya.
Mereka yang ditangkap adalah Sudarto - Kedumulyo Sukolilo (48), Kamsi - Kedumulyo Sukolilo(55), Sunarto Curug Kedumulyo - Sukolilo (52), Zainul - Kedumulyo (16), Mualim Sangrahan - Sukolilo (21), Sutikno Bowong - Sukolilo (26), Wanto Galiran - Sukolilo (23), Gunarto-Kalioso, Undaan - Kudus (27), Sukarman - Jimbaran Kec. Kayen(26). Kesembilan orang ini ditahan dan dijerat pasal 160, 170 dan 335 KUHP.
Adanya kejadian penangkapan tanpa prosedur dan tindak penganiayaan ini, maka pada (29/01), tim kuasa hukum di Pati telah memasukkan gugatan pra peradilan di Pengadilan Negeri Pati. Selain itu tim kuasa hukum juga telah memasukkan surat penangguhan penahanan dan permintaan visum ke Polres Pati untuk sembilan orang tersebut.
Kejadian ini berawal dari adanya keinginan warga untuk mendapatkan kejelasan berita bahwa akan ada pembebaskan tanah bengkok untuk pendirian PT. Semen Gresik. Setelah melalui berbagai cara, baik mengunjungi kantor desa maupun rumah Kepala Desa Kedumulyo, warga belum juga berhasil menemui Kepala Desa yang diduga telah melakukan penjualan terhadap tanah bengkok. Keinginan warga untuk mencari informasi didasarkan pada pertemuan antara warga Pati dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo (10/01), di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Dimana kesepakatannya adalah, Gubernur akan meninjau ulang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT. Semen Gresik. Dan selama menunggu pelaksanaan peninjauan ulang ini, baik warga maupun pemerintah tidak diperkenankan melakukan tindakan apapun yang berkaitan dengan PT. Semen Gresik. Sayang, hal ini diingkari oleh PT. Semen Gresik yang menurunkan beberapa orang timnya ke lapangan hingga memicu kemarahan warga.
Mendapatkan kekerasan Sementara itu, akses keluarga dan tim bantuan hukum sangat terbatas pada sembilan warga yang ditahan Sambungan dari hal. 19 Kasim, Ketua Komnas HAM Indonesia pada tanggal, 19 Agustus 2008, tepatnya pada saat pembukaan pekan kampanye orang hilang digelar. Terkait dengan kasus ini, KontraS Aceh telah menerima balasan surat dari Ketua Komnas HAM Indonesia dengan Nomor: 542/TUA/XII/2008, tertanggal 15 Desember 2008. Dalam Surat itu, Ketua Komnas HAM Menyatakan Komnas HAM telah membentuk tim yang bertugas untuk melakukan pengkajian terhadap kasus-kasus yang terjadi baik sebelum berlangsungnya Daerah Operasi Militer (DOM) maupun sesudah DOM. Berkas kasus orang hilang
20
Tak berhenti berjuang di titik ini, warga juga mengirimkan enam orang perempuan ke Jakarta, dan tiba di Jakarta pada Selasa (27/01). Mereka pun langsung melakukan roadshow ke beberapa instansi yakni Propam dan Kompolnas di Mabes Polri, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia, Komnas Perempuan, Komnas HAM, PBNU, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan terakhir melakukan aksi bentang poster di depan kantor PT. Semen Gresik di bilangan Kuningan, Jakarta.
Roadshow Jakarta Di Bagian Pelayanan dan Pengaduan Propam Mabes Polri, masyarakat mendatangi kantor Propam untuk membuat pelaporan. Dilanjutkan audensi dengan Kompolnas, yang didampingi oleh Pandu, Novel Ali, dan Bustara. Hasilnya antara lain, Kompolnas akan berkoordinasi dengan Propam, KOMNAS HAM dan Komnas Perempuan berkaitan dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada warga. Sementara di Ombudman masyarakat dan tim pendamping ditemui oleh Teten Masduki (Komisoner), Dominikus, dan Eko, hasilnya antara lain akan membentuk tim kecil (terdiri dari Aliansi Tolak Semen dan Ombudsman) untuk pengkajian tindak lanjut dan menghubungi Pemda Jateng. yang diterima dari KontraS Aceh selanjutnya dijadikan sebagai salah satu bahan oleh tim dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugasnya. Pada tahun 2009, peran Kepolisian sebagai leading actor dalam ranah keamanan akan terus diuji ditengah tingginya kriminalitas, teror dan intimidasi terkait Pemilu 2009. Penerapan POLMAS merupakan strategi yang tepat dalam mendorong partisipasi rakyat. Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk segera mengefektifkan keberadaan Panwaslu di Aceh, sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan berjalannya proses pemilu 2009.***
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
BERITA DAERAH Pengaduan di Komnas Perempuan diterima langsung oleh Komisioner Arimbi dan tim pengaduan, tindaklanjutnya Komnas Perempuan akan berkoordinasi dengan Komnas HAM dan akan menekan Polda Jateng tentang kekerasan dan tindak penganiayaan yang dilakukan. Komnas Perempuan juga akan membuat kajian khusus tentang peran penting sumber mata air yang berada di kawasan kars Sukolilo bagi masyarakat Sukolilo. Di PBNU, masyarakat ditemui Gus Dur sekitar pukul 16.00 WIB. Secara pribadi Gus Dur bersedia datang ke Sukolilo untuk memenuhi permintaan masyarakat. Gus Dur juga menyatakan bahwa persoalan Pati ini tidak akan bisa diselesaikan di level daerah, tapi harus nasional yang bertindak. Saat itu Gus Dur menyatakan “Jika dalam waktu setengah tahun ini pabrik semen belum bisa beroperasi, maka itu alamat gagal berdiri di Sukolilo”. Selain Gus Dur, perwakilan warga juga ditemui oleh Ibu Shinta Nuriyah. Langkah berikutnya ke Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), diawali membentangkan poster di depan KLH. Mereka lalu ditemui Sekretaris Menteri LH, Deputi I Hermieen Rosita, Deputi II Gempur, dan Deputi III Nelly. Dari hasil pembicaraan tersebut didapatkan bahwa tanggal 5 Januari 2009, KLH sudah melayangkan surat ke BLH Jawa
Tengah perihal peninjauan ulang AMDAL dan penegasan bahwa sampai dengan masalah AMDAL belum selesai tidak ada aktivitas apapun yang terkait dengan rencana pembangunan PT. Semen Gresik tersebut di lapangan. Disinilah terdapat kesimpangsiuran informasi. Karena meski di media gencar diberitakan AMDAL sudah disahkan, namun sampai saat ini KLH belum mendapatkan tembusan terkait dengan pengesahan AMDAL. Padahal sejak awal pula KLH sudah mengingatkan pihak provinsi untuk berhati-hati dalam melakukan kajian AMDAL, terutama soal Kajian Sosial - Budaya dan Ekonomi. Roadshow di Jakarta di tutup dengan melakukan aksi di depan Gedung Indorama, di mana di lantai 17 terdapat pusat perkantoran PT. Semen Gresik. Mereka dan komponen Jaringan Nasional Untuk Tolak Semen meneriakkan yel-yel “Tolak Semen Gresik” dan melakukan orasi tentang mengapa masyarakat menolak pembangunan PT. Semen Gresik di Sukolilo Pati, Jawa Tengah. Dan pada akhirnya semua sepakat bahwa perjuangan penolakan akan terus berlanjut, Jaringan Nasional Advokasi Penolakan PT. Semen Gresik akan mengawal tindak lanjut dari instansi yang didatangi. Sementara di basis, masyarakat akan terus melakukan konsolidasi.***
Selamat Tahun Baru 2009 “Semoga Tahun ini membawa pemajuan terhadap Hak Asasi Manusia”
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
21
REMPAH-REMPAH Peluncuran buku korban
“Saatnya Korban Bicara, Menatap Derap Merajut Langkah” Kebenaran, walaupun suaranya kecil, akan terus menjadi momok bagi mereka yang melepas tanggung jawab individualnya sebagai pelaku. Kebenaran, walaupun sulit dimengerti, selalu mampu menjadi pelajaran bagi generasi sekarang untuk melangkah ke masa depan. Kebenaran, walaupun pahit, selalu menjadi senjata juang mereka yang menjadi korban. Lewat suara kebenaran yang tulus, komunitas korban menantang penyangkalan dan menuntut keadilan. Kebenaran adalah pondasi martabat korban untuk merebut apa yang telah dirampas pelaku. Kebenaran adalah bilik pemisah antara mereka yang menjadi pelaku dengan mereka yang menjadi Korban.
penyangkalan mereka dan penuturan korban punya konsekuensi hukum dan politik yang sangat serius.
Sarana pengungkapan kebenaran Buku ini merupakan sarana pengungkapan kebenaran para korban yang selama ini masih diabaikan oleh negara dan merupakan tantangan bagi mereka yang berkuasa apakah mereka berani meletakkan kebenaran dalam konteks keadilan. Buku ini juga merupakan gugatan kepada negara, bagaimana mereka menempatkan para korban.
Sampai saat ini korban belum mendapatkan ruang untuk pengungkapan kebenaran. Sementara pelaku mempunyai banyak ruang untuk memutarbalikkan fakta sejarah, di antaranya lewat buku-buku sejarah yang menganggap seolah pelaku adalah pahlawan yang mempunyai kontribusi besar bagi bangsa ini. Sehingga suarasuara korban untuk meneriakkan keadilan Buku ini sendiri bagaikan mendobrak merupakan kompilasi dinding yang kokoh. Buku tulisan tentang ini jadi inisiatif dari korban p e n g u n g k a p a n untuk merebut ruang-ruang Pak Sas (korban tragedi 1965) memberikan buku “Saatnya kebenaran dari tersebut agar publik selalu Korban Bicara: menata Derap Merajut Langkah” kepada pengalaman individual punya referensi sejarah Rektor universitas Paramadina, Anis Bazwedan para korban pelanggaran alternatif. Bukan melalui HAM, baik mereka yang sudut pandang dari pusat dirampas hak-hak sipil-politiknya (kekerasan oleh negara), kekuasaan, namun dari sudut pinggiran pengalaman para atau mereka yang dinihilkan hak-hak ekonomi, sosial dan korban. budayanya (buruh dan korban penggusuran). Mereka yang kemudian menolak menyerah dan percaya akan perjuangan Buku “Saatnya Korban Bicara, Menata Derap Merajut Langkah” kemudian bergabung dalam suatu ikatan kolektif, Jaringan hanyalah salah satu medium perjuangan komunitas korban yang hingga saat ini masih belum lelah berjuang untuk Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). kebenaran dan keadilan. Buku ini merupakan komplementer Buku ini juga cermin dari inisiatif tulus korban dan dari metode perjuangan korban lainnya, seperti melalui Aksi berangkat dari luapan kekecewaan mereka terhadap negara Diam Kamisan di depan Istana Negara. mengemban kewajiban utama dalam proses penegakan HAM di negeri ini. Kekecawaan lantaran kasus-kasus Lewat Buku ini pula para korban berharap publik bisa pelanggaran HAM masa lalu hingga saat ini belum satu menengok ke belakang sebagai bekal pembelajaran untuk pun dituntaskan dan justru menjadikan korban sebagai kamajuan di masa depan. Para korban sangat berharap ke korban lagi. Korban tidak pernah mendapatkan ruang yang depannya jangan ada lagi orang yang mati karena politik efektif untuk mengungkapkan kebenaran versinya. kekerasan, jangan ada lagi orang yang dihilangkan secara Sementara kita menganggap lumrah jika elit politik saling paksa, jangan ada lagi praktik penyiksaan yang serang menurut sudut kepentingannya. Sedang bila korban merendahkan martabat manusia, tidak ada lagi PHK menuturkan kebenaran dari kaca matanya, mereka semena-mena, dan tidak ada penggusuran. Korban berharap seringkali dituduh subversif. Sementara bila elit yang Indonesia bisa menjadi bangsa yang beradab dan bertikai untuk menghindari tanggung jawabnya, itu bermartabat serta menjunjung tinggi nilai-nilai dianggap sekedar masalah ’beda tafsir ’. Padahal kemanusiaan tidak hanya karena meneladani para pahlawannya, namun juga belajar dari pengalaman mereka yang ditindas.*** Demikianlah. Dan lewat salah satu inisiatif korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), demi untuk merawat ingatan publik, melakukan siar kebenaran lewat buku “Saatnya Korban Bicara, Menata Derap Merajut Langkah.”
22
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
REMPAH-REMPAH
MIMBAR 1000 HARAPAN: Keprihatinan Bersama terhadap Jatuhnya Korban Warga Sipil di Jalur Gaza Palestina dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Kasus Pembunuhan Munir Agresi yang dilancarkan oleh pihak Israel kepada Hamas, telah membawa dampak yang begitu besar kepada rakyat Palestina dan menimbulkan keprihatinan meluas dari segenap penjuru dunia. Masyarakat internasional mengutuk agresi yang tidak saja ditujukan secara khusus kepada gerakan garis keras Hamas, namun juga telah membawa penderitaan bagi jutaan nyawa yang harus menjadi korban kebidaban perang sipil di abad 21 ini. Berbagai respon masyarakat dituangkan dalam berbagai bentuk ekspresi untuk mengungkapkan kekecewaan secara mendalam atas peristiwa tersebut, mulai dari pembacaan doa, aksi massa mengutuk tindakan Israel, mobilisasi massa untuk dijadikan milisi di medan tempur – berperang mendukung perjuangan rakyat Palestina. Aksi terakhir inilah yang sebenarnya mengundang keprihatinan publik, di tengah keinginan untuk menciptakan perdamaian dunia. Mimbar 1000 Harapan yang diinisiasi oleh jaringan masyarakat sipil Indonesia pada 11 Januari 2009 lalu di Jakarta, adalah wujud keprihatinan kolektif yang digagas bersama untuk merespon sikap Dewan Keamanan (DK) PBB yang didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutusekutunya. DK PBB sebagai institusi internasional belum mampu memberikan tekanan politik yang tegas terhadap agresi guna menghentikan perang yang telah menebarkan teror ketakutan bagi jutaan warga sipil di jalur Gaza.
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
Mimbar bebas ini juga digunakan oleh jaringan masyarakat sipil dan demokrasi untuk mengkritik pemerintah dalam putusan bebas yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terhadap terdakwa Muchdi Pr dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Lebih lanjut, sekumpulan masyarakat sipil yang hadir dalam mimbar menekankan pentingnya pemerintahan SBY untuk kembali memastikan pihak Kejaksaan Agung mampu menghadirkan upaya hukum kasasi dengan fakta, argumentasi dan saksi-saksi kunci yang kuat dan selama ini belum bisa dihadirkan dalam persidangan Muchdi Pr. Tidak hanya itu, mereka juga berharap Mahkamah Agung sebagai badan negara yang berhak untuk memproses upaya hukum kasasi juga harus mempersiapkan sedari dini majelis hakim yang kredibel, memiliki integritas tinggi dan berkompetensi unggul dalam memproses kasasi tersebut. Mimbar 1000 Harapan yang dihadiri oleh ratusan orang di Taman Menteng tersebut, juga diisi dengan orasi kebudayaan dan politik oleh Goenawan Mohamad, Suciwati, Rm. Frans Magnis Suseno, Kemala Chandra Kirana, Musdah Mulia, Rm. Benny Setiawan dll. Dalam pernyataan sikap yang diserukan, Mimbar 1000 Harapan mendesak agar PBB dan badan anggotanyamemberikan jaminan perlindungan kepada ratusan ribu warga sipil di jalur Gaza, sambil meminta semua pihak yang bersengketa (Israel, Palestina dan Hamas) untuk menahan diri dan mengutamakan perlindungan hak-hak warga sipil untuk mendapat proteksi maksimal semua bentuk ancaman perang. Lebih lanjut Mimbar 1000 Harapan juga menyerukan kepada masyarakat luas, pemimpin politik dan tokoh masyarakat di Indonesia agar menyikapi perang di Gaza secara kritis dan damai, dan Mimbar mengingatkan bahwa perang yang terjadi di Gaza tidak dijadikan kepentingan politik praktis guna menghadapi persaingan politik elektoral Pemilu 2009.***
23
REMPAH-REMPAH
Mencari Caleg Pro HAM: Agenda Penegakan HAM dalam Politik Elektoral KontraS memandang tahun politik 2009 ini menentukan arah masa depan penegakan hak asasi manusia. Pemilu merupakan keniscayaan sekalipun di tengah sikap apatisme politik masyarakat yang melihat buruknya kinerja para politisi dari eksekutif dan legislatif hasil pemilu 1999-2004, 2004-2009 maupun Pilkada. Pendidikan politik lewat proses pemilu ini setidaknya menyadarkan masyarakat bahwa sebagian orang yang mereka beri kekuasaan sesungguhnya hanyalah para aktor yang tak pernah setia dengan perannya dan hanya berorientasi pada uang dan kuasa.
manusia di panggung politik memperjelas situasi, bahwa impunitas yang lama berlangsung telah memberi jalan kepada mereka yang tidak berkontribusi pada reformasi dan demokrasi tampil sebagai seolah solusi dan pembela kemanusiaan kaum miskin. Lengkap didampingi korban y a n g bermetamorfosis bagai rekan, bagi upaya membantah tudingan yang ditujukan padanya.
Pada situasi ini kemampuan partai politik membangun harapan masyarakat sangat dibutuhkan. Tidak hanya cukup dengan program yang dikemas baik dan menjawab kebutuhan masyarakat. Akan tetapi kehadiran calon politisi formal yang berkualitas, yang memiliki keberpihakan dengan rakyat dan terbiasa melayani masyarakat menjadi suatu keharusan.
Berdasarkan situasi di atas, KontraS merasa perlu mengembangkan dialog dengan caleg yang berpotensi membawa pesan kemanusian dan perubahan. Sebagai awalan kami mengundang Bini Buchori (P Golkar), Arif Budimanta (PDIP), Yusuf Warsyim (PMB), Faisol Riza (PKB), Sarbini (PD) dan Ahmad Yani (PPP). Sebagian mereka adalah anak biologis dari gerakan masyarakat sipil. Mereka telah menjalani pengkaderan gerakan itu. Harapan menjadikan mereka bagian masyarakat sipil yang akan terus memperjuang penegakan hak asasi manusia baik di dalam maupun di luar struktur negara patut untuk dijajaki. Sehingga terpelihara komitmennya menghadirkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM dan tidak berubah hanya menjadi mesin politik semata.
Di tengah situasi ini, keberadaan calegcaleg dari latar gerakan rakyat jadi sebersit sinar dalam Fakta ini membuat persepsi kegelapan di antara publik terhadap politik yang sepinya orangsesungguhnya bermakna positif orang baik, (segala upaya untuk kebaikan berkompeten dan bersama) berubah menjadi wawasan cukup sekedar upaya memperoleh bagi upaya kekuasaan untuk meraup Dialog Publik dengan para Calon anggota Legislatif m e n g h a d i rkan keuntungan materil semata, kebaikan bersama termasuk korupsi. Kenyataan itu membuat masyarakat cenderung sinis dan mengambil pada kerja kenegaraan. Mereka yang terbisa mengabdi pada manfaat (transaksi materil) instan dengan para politisi kepentingan masyarakat dan memperjuangkan gagasanketika mereka berusaha membujuk suaranya dalam pemilu. gagasan bagi kebaikan bersama tentu pantas menjadi Lainnya memilih golput dan mendorong mekanisme harapan. Namun di tengah tantangan oligarki partai politik, keberadaan mereka bagai anak manis disarang penyamun. alternatif di luar jalur partai.
Sayangnya di tengah kontestasi pemilu ini, hampir tak terdengar agenda hak asasi manusia diusung partai politik. Kenyataan seolah tidak memberikan harapan korban pelanggaran HAM. Penggantian konfigurasi dan rezim politik tidak memberi makna pada tuntutan keadilan. Kehadiran mereka yang menjadi lawan dari hak asasi
“ Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia” Pasal 10 (ayat 1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
24
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
REMPAH-REMPAH
Tempatkan Menuntaskan Kasus Orang Hilang ‘98 Lewat buku kontroversial berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Hendro Subroto 2009), Sintong Panjaitan membeberkan banyak fakta dan pengakuan. Tapi, pengakuan ini ternyata hanya dimaknai sekedar debat kusir politik belaka. Padahal, jelas kontroversi buku ini bertepatan dengan peristiwa hilangnya beberapa aktivis prodemokrasi sebelas tahun yang lalu, yaitu Nezar Patria, Aan Rusdianto dan Mugianto.
yang relevan sebagai bagian dari agenda akuntabilitas atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Khusus terkait dengan peristiwa penghilangan paksa para aktivis ’98, pengakuan Sintong Panjaitan akan peranan Prabowo Subiakto cukup penting. “Sintong, sebagai mantan ’orang dalam’ TNI menegaskan kembali keterlibatan Prabowo dalam kasus ini. Sintong mempertanyakan tanggung jawab komando Prabowo yang mengaku tidak mengetahui operasi penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar. Padahal sebagai komandan, Prabowo semestinya harus mengetahui segala tindak tanduk pasukannya, “ tambah Indria.
Sebuah debat serupa juga pernah terjadi saat buku Kivlan Zein dan Wiranto terbit, di tahun 2004. saat itu, masing-masing pihak bersikukuh atas kebenaran versi dirinya dan memanfaatkan ruang politik yang tersedia. Dan, meski suara-suara para elit mulai bertentangan satu sama lain, sayangnya Ironisnya, saat ini tidak ada satu pun Prabowo berambisi solusi kebenaran formal menjadi calon yang diberikan oleh Presiden RI 2009negara. Terlihat jelas 2014. Menjadi tanda bagaimana kebenaran tanya besar bila versi korban tidak Prabowo di saat pernah diakui sebagai menjadi perwira bagian dari pelurusan tinggi militer terbukti sejarah bangsa. Bahkan tidak mampu Aksi menuntut penuntasan kasus Penculikan Aktivis 1997-1998 korban selalu dicap mengendalikan subversif dan tidak pasukan di jarang mendapat bawahnya, apalagi serangan balik jika berbicara tentang sejarah versi mereka. nantinya bila ia menjadi Presiden RI yang membawahi agensi negara yang jauh lebih kompleks. “Karenanya KontraS bersama para korban sangat prihatin atas politik penyangkalan –lewat kontroversi sikap berbagai eks petinggi militer yang masih didiamkan begitu saja, padahal hingga kini hak-hak korban akan kebenaran, keadilan, dan pemulihan masih juga diacuhkan oleh negara, “ujar Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida, menyoroti kontroversi buku yang mengupas sepak terjang Sintong yang mulai diperdebatkan.
Memberikan informasi baru Dalam buku yang mendapat kata pengantar dari sejarawan Prof. Taufik Abdullah, dicatat bahwa Sintong Panjaitan banyak memberikan informasi baru, yang tidak didapat dari mekanisme penyelidikan formal yang dijamin oleh UU No.26/2000. sebuah informasi tentang berbagai misteri peristiwa pelanggaran berat HAM. Mulai dari pembantaian massal Santa Cruz 1991 di Dili (Timor Leste), penghilangan paksa para aktivis 1998, dan kerusuhan Mei ’98. Pengakuan Sintong ini semestinya dimanfaatkan oleh institusi negara
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
Karena itu, KontraS meminta agar kontroversi dari buku ini tidak hanya dimaknai sebagai masalah perbedaan pendapat belaka antar mantan rival di tubuh TNI yang lama. Mengapa? Karena sebenarnya kontroversi ini akan produktif bila ditempatkan dalam kerangka penegakan HAM sesuai perundang-undangan yang berlaku. Dan sudah seharusnya para mantan petinggi militer tersebut berhenti berkelit dari upaya penuntasan kebenaran yang dilakukan bahkan oleh mekanisme formal yang dijamin oleh undangundang. Sikap ksatria para mantan perwira militer harus dibuktikan dengan tunduk pada proses hukum yang berlaku untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang belum selesai. Hal ini penting untuk mewujudkan harapan sederhana keluarga korban orang-orang hilang. Di mana keberadaan sanak keluarganya; mengapa mereka dihilangkan, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana negara bisa memberikan solusi yang berkeadilan. ***
25
REMPAH-REMPAH
MELAWAN TERORISME DENGAN KEADILAN Menyikapi pelantikan presiden terpilih Amerika Serikat, Barrack Husein Obama, maka pada tanggal 21 Januari 2009 silam, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Kaum Muda Indonesia untuk Martabat Kemanusiaan (The Indonesian Youth for Human Dignity) melakukan aksi kampanye simpatik untuk menolak praktik penyiksaan dan kekerasan di seluruh dunia. Dalam aksinya, mereka membagi kelompok menjadi dua kelompok massa, berkonsentrasi di titik Bunderan Hotel Indonesia (HI) dan perempatan Harmoni, Jakarta. Aksi mereka bisa dikatakan menarik perhatian publik ibukota, khususnya ketika beberapa dari mereka berdiri dan memutari Bunderan HI sambil membawa placard bertuliskan, “STOP PENYIKSAAN” dengan mengenakan jaket terusan warna oranye dan topeng putih, perlambang warna pakaian tahanan Penjara Guantanamo.
menutup salah satu fasilitas penyiksaan internasional tersebut, Amerika Serikat telah mengembalikan nilai moral selayaknya bangsa beradab yang menjunjung harkat dan martabat kemanusiaan.
“Menutup Guantanamo sebagai fasilitas penyiksaan adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh Barack Obama untuk mengungkap pelanggaran HAM serupa yang terjadi pada fasilitas tahanan rahasia AS di tempat lain, seperti di Afganistan, the British Indian Ocean territory of Diego Garcia, Yordania, Pakistan, Thailand, dan Eropa Timur,” ungkap koordinator aksi Adam Pantouw. Selain itu upaya penutupan penjara Guantanamo juga bisa menjadi teladan positif AS untuk Aksi yang dimulai tepat pada ikut berkontribusi pukul 09.00 WIB serentak dalam menghapuskan dimulai di dua titik utama: praktik penyiksaan di Bunderan HI dan perempatan dunia. Penyiksaan di Aksi di depan Bunderan HI oleh Asia Pasific Youth Network Harmoni. Rombongan inti satu pihak sudah yang bergerak dari depan dinyatakan sebagai kantor YLBHI, Jl. salah satu jenis Diponegoro bersama-sama dengan mobil komando menjemput massa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). aksi yang sudah menunggu di titik Bunderan HI. Mereka melakukan Ironis, karena penyiksaan di satu pihak sudah dinyatakan orasi singkat, kemudian dilanjutkan untuk menuju titik perempatan sebagai salah satu jenis kejahatan di bawah hukum Harmoni. Di titik itu massa aksi kembali melakukan orasi singkat internasional (jus cogens) yang juga diharamkan di masa untuk mengkonsolidasikan barisan. Dari sana, kumpulan massa aksi perang sekali pun, namun di lain sisi penyiksaan masih yang solid bergerak melakukan long march dari titik Patung Kuda dipraktikkan secara luas di dunia, termasuk di Indonesia, menuju titik Kedutaan Besar Amerika Serikat, sebagai titik terakhir khususnya terhadap para tersangka dan tahanan. aksi simpatik. Setelah sampai di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, beberapa Sepanjang long march, massa aksi meneriakkan yel-yel stop individu perwakilan lembaga yang tergabung dalam Indonesian Youth penyiksaan, tutup Guantanamo dll sambil membawa placard yang for Human Dignity, melakukan orasi yang menyerukan pentingnya berbunyi sama. Menurut mereka, penyiksaan bukanlah satu penutupan penjara tersebut sebagaimana yang dikampanyekan oleh adat politik kontemporer global, demikian juga dengan aksi Barrack Obama dalam kampanye politiknya. Dua orang perwakilan terorisme sebagai bentuk kejahatan yang tidak bisa massa aksi menyampaikan surat kepada perwakilan Kedutaan Besar dibenarkan oleh satu alasan apapun. Namun melawan Amerika Serikat, dan diterima meski awalnya sempat terjadi perang terorisme dengan tindakan kejahatan serupa justru urat syaraf dengan aparat kepolisian yang mengawal ketat aksi melahirkan bentuk kontra produktif lainnya. Maka dengan tersebut.***
“Tidak ada terdapat pengecualian apapaun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan darurat lainnya, yang digunakan sebagai pembenaran penyiksaan” Pasal 2 (ayat 2) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia 26
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
KABAR DARI SEBERANG
Harapan Cerah untuk Menolak Toleransi terhadap Kejahatan Berat HAM Pada setengah semester awal 2009 ini, terjadi beberapa momentum penting untuk mempersempit ruang gerak kejahatan serius HAM di tingkat internasional. Upaya ini merupakan evolusi progresif bagi perkembangan penegakan HAM dan bagi kemanusiaan itu sendiri. Prinsip ‘no safe heaven’ untuk para pejahat pelanggaran serius HAM (dan hukum humaniter internasional) semakin dihargai, meski mereka yang resisten juga masih banyak, khususnya para pemimpin pemerintahan sebagai kebijakan politik diplomasinya.
mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan Hariri tersebut. Terobosan dari tribunal pidana ini adalah untuk pertama kalinya suatu pengadilan pidana internasional terbentuk untuk merespon suatu kejahatan “terorisme” yang diarahkan terhadap seorang individu spesifik. Namun, ada dugaan mekanisme tribunalnya akan mengambil bentuk sistem campuran (seperti hybrid court) dengan juga menggunakan sistem pidana nasional Libanon. Perkembangan tersebut di atas merupakan suatu lompatan yang cukup jauh dalam evolusi instrumen dan mekanisme HAM internasional karena Pertama, seperti yang bahkan sesaat setelah PD sudah ditunggu-tunggu, II berakhir gagasan ini pelantikan Presiden masih dianggap Amerika Serikat Obama mustahil. akan bisa membawa Ketiga, pada 4 Maret 2009 perubahan bagi politik ICC (Mahkamah Pidana HAM negeri tersebut. Internasional) Hasilnya cukup maju, mengeluarkan surat khususnya dengan penangkapan terhadap melakukan perubahan Presiden Sudan, Omar cukup signifikan al-Bashir atas tuduhan terhadap praktek terlibat dalam kejahatan penyiksaan terhadap terhadap kemanusiaan para tersangka teroris. yang terjadi pada konflik Langkah maju tersebut internal di Darfur. Ini adalah dengan merupakan surat memerintahkan penangkapan pertama (executive order) terhadap suatu kepala penutupan seluruh negara aktif. Seruan untuk menutup Guantanamo kepada Obama fasilitas penahanan Sebelumnya ada 2 rahasia dari badan mantan kepala negara intelejen AS, CIA. Langkah ini juga diikuti dengan perintah yang diadili oleh suatu tribunal pidana untuk kejahatan pelarangan penggunaan metode penyiksaan dalam suatu serupa: Slobodan Milosevic, eks Presiden Yugoslavia dan proses interogasi, yang sebelumnya justru tertuang dalam Serbia, yang diadili oleh ICTY di Den Haag, Belanda, namun suatu manual tertulis. Namun, masih ada agenda yang sebelum divonis ia sudah meninggal dunia terlebih dahulu; belum terselesaikan, seperti: penutupan pusat tahanan Charles Taylor, eks Presiden Liberia, kini sedang diadili di militer, Guantanamo; pembebasan para tahanan yang Den Haag atas tuduhan terlibat dalam kejahatan perang menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan; melakukan dan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Pengadilan suatu investigasi independen atas dugaan pelanggaran Hybrid Sierra Leone (Special Court for Sierra Leone). Terobosan HAM yang terjadi; dan membawa pelaku yang bertanggung ini menjadi pelajaran bagi siapa pun, termasuk yang di Indonesia, bahwa jabatan kepala negara tidak bisa lagi jawab ke pengadilan. menjadi perisai impunitas atas apa yang pernah dilakukan Kedua, kali ini dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang mereka di masa lalu. mendesak agar agenda keadilan, apa pun bentuknya, dilaksanakan untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Keempat, perkembangan proyek keadilan terjadi di Kamboja, mantan Perdana Menteri Libanon, Rafik Hariri. Hariri tewas terhitung masih tetangga Indonesia. Pada Februari 2009 – terbunuh pada Februari 2005 di Beirut. Tim investigasi PBB setelah 5 tahun negosiasi alot antara Pemerintahan Kamboja kemudian menyimpulkan keterlibatan pejabat-pejabat di bawah PM Hun Sen dengan PBB- mulailah digelar suatu pemerintah Suriah yang saat itu terlibat dalam konflik pengadilan pidana khusus, yang dikenal sebagai the internal Lebanon. Investigasi PBB itu juga berujung pada Extraordinary Chambers of the Courts of Cambodia (ECCC). ECCC pembentukan the Special Tribunal for Lebanon [didasari oleh ini didirikan untuk mengadili mereka yang bertanggung Resolusi Dewan Keamanan PBB 1664 (2006), 29 Maret 2006 jawab atas terbunuhnya seperempat populasi rakyat dan 1757 (2007), 30 Mei 2007] yang tugasnya menuntut dan Kamboja (1,7 juta jiwa) pada 1975-1979 di bawah rezim
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
27
KABAR DARI SEBERANG
tahun, termasuk Nuon Chea –bapak ideolog Khmer Merah dan tangan kanan Pol Pot- dan Khieu Samphan, mantan kepala negara Kamboja pada 1976-1979. Meski para terdakwa berusia sangat tua (dan pemimpin utamanya Pol Pot sudah meninggal) dan rentang waktu kosongnya keadilan begitu lama, paling tidak tribunal ini menunjukan sikap non-kompromi terhadap kejahatan HAM yang paling keji. Perkembangan tersebut seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi Indonesia, namun sayangnya momentummomentum penting di atas tidak juga menggugah para petinggi negara ini. Nyaris tidak ada respon sedikit pun terhadap perkembangan masalah di atas.
Khmer Merah. Terdakwa pertama yang diadili oleh ECCC ini adalah Kang Kek Iew (66 tahun), alias Duch, yang merupakan petinggi rezim Khmer Merah. Duch didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena melakukan praktek penyiksaan dan eksekusi semena-mena secara sistematik terhadap 15.000 tahanan. Tribunal ini merupakan suatu mekanisme pengadilan campuran (hybrid court). Pengadilan model ini memiliki karakter campuran antara komponen internasional dan nasional; instrumen hukum yang digunakan campuran dan komposisi perangkat peradilannya pun campuran. Para terdakwa yang masih hidup (diperkirakan berjumlah 5 orang) dan yang akan diadili hampir semua telah berusia di atas 70
28
Meski terdapat kemajuan di mana-mana, di tingkat internasional pada medio awal 2009 ini sayangnya masih terjadi kemunduran di wilayah Timur Tengah. Gencatan senjata di Palestina yang berlangsung sekitar 6 bulan ternyata berakhir. Di mulai pada pertengahan Desember 2008 hingga Januari 2009, di Jalur Gaza korban tewas mencapai hampir seribu jiwa, yang merupakan rekor tertinggi untuk jatuh korban per hari selama konflik IsraelPalestina. Parahnya lagi, pemerintah Israel menutup akses bantuan kemanusiaan dari komunitas internasional. Mekanisme PBB, khususnya Dewan Keamanan gagal menjadi alat untuk menghentikan kekerasan yang masih berlangsung karena diveto oleh pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. Sekali lagi negara adidaya memberikan contoh buruk bagaimana penyelesaian multilateral yang legitimate menjadi impoten. Padahal pelapor khusus (special rapporteur) PBB untuk situasi HAM di wilayah Palestina, Prof. Richard Falk telah menyatakan bahwa serangan Israel adalah “serangan yang massif dan parah” dan melanggar hukum humaniter internasional sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Geneva. Hukuman kolektif berupa serangan membabi buta terhadap 1,5 juta penduduk di Jalur Gaza oleh Israel menyalahi prinsip proporsionalitas tidak membedakannya dengan kombatan.
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
SERBA-SERBI
Acara penutupan Kongres Pejuang HAM dengan simbol menyalakan lilin, menggambarkan titik-titik kecil akan bersatu dan membuat titik yang lebih besar
Pemotongan Tumpeng dilakukan oleh Dewan Pengurus Kontras, bertepatan dengan ulang tahun Kontras yang ke-11
Pertunjukan tari topeng yang dilakukan oleh Wangi Indria mewarnai proses penutupan Kongres Pejuang HAM Nasional
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
29
SERBA-SERBI
Aksi menuntut penutupan Guantanamo kepada Obama, bertepatan dengan hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika
Aksi meminta kepada Obama (presiden terpilih Amerika Serikat) untuk memenugi janjinya saat dia melakukan kampanye
30
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
SERBA-SERBI
Diskusi yang dihadiri oleh perwakilan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Guru sejarah dan Rektor Universitas Paramadina
Ibu Lestari, Korban ‘65 mempertanyakan penyelesaian kasusnya yang sudah 40 tahun lebih terjadi
Romo Sandyawan, memberikan sambutan pada saat peluncuran buku “Saatnya Korban Bicara : Menata Derap, Mengatur Langkah
Berita KontraS No. 01/I-III/2009
31