Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 126 &136/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI & AHLI DARI PEMOHON (II)
JAKARTA SELASA, 17 NOVEMBER 2009
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 126 & 136/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON - ABPPTSI, dkk., YPLP-PGRI, dkk., KOMDIK KWI, dkk., MPK, dkk. (Pemohon Perkara Nomor 126/PUU-VII/2009) - Harry Syahrial, dkk. (Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-VII/2009)
ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon (II) Selasa, 17 November 2009, Pukul 11.25-13.24 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Maruarar Siahaan, S.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Dr. Harjono, S.H., M.C.L.
Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum Makhfud, S.H., M.H
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon Perkara 126/PUU-VII/2009: -
Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M., Bakhtiar Sitanggang, S.H. Waskito Adiwibowo, S.H. Herlan (Asisten)
Pemohon Pemohon Perkara 126/PUU-VII/2009: -
Thomas Suyatno ( Ketua Umum BPPTSI ) Munsinyur Alusius Sudarso ( Ketua Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia ) Yuni Harijalil ( YPLP – PGRI ) H. Ramlan Siregar ( Ketua Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan )
Pemohon Pemohon Perkara 136/PUU-VII/2009: -
Harry Syahrial
Saksi/Ahli dari Pemohon Perkara 126/PUU-VII/2009: -
Muh. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.SC.( Dosen Fakultas Hukum UGM) (ahli) Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. (ahli) Milly Karmila Sareal, S.H., M.Kn. (Notaris dan PPAT) (ahli) Richardus Djokopranoto, S.E. (ahli) Pembina Yayasan Al Ghifari (saksi)
Saksi/Ahli dari Pemohon Perkara 136/PUU-VII/2009: -
The Yulia Bambang, S.Pd., M.Pd. (saksi) Dra. Rahmintha P. Soendjojo, P.Si.
Pemerintah: -
Dr. Fasli Jalal, Ph.D. (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi) Hanif Muhammad (Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas) Wukir (Depdiknas) Mualimin Abdi (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia)
2
Ahli/Saksi dari Pemerintah: -
Prof. Johanes Gunawan (ahli) Prof. Arifin T. Surya Atmaja (ahli) Suharyadi (Saksi)
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.25 WIB
1.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh Pemohon dan Pemerintah dalam Perkara Nomor 126 dan 136/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X Kepada Pemohon dipersilakan untuk memperkenalkan diri dan memperkenalkan siapa-siapa yang hadir dan dihadirkan pada hari ini untuk keperluan permohonan Saudara.
2.
KUASA PEMOHON PERKARA NOMOR 126/PUU-VII/2009: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Bapak Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Kami kuasa dari Pemohon dan Prinsipalnya juga hadir, saya Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M., advokat. Bakhtiar Sitanggang, advokat, dan Waskito Adiwibowo, advokat, dan seorang asisten Saudara Herlan. Prinsipalnya juga, saya mohon Prof. Thomas Suyatno untuk memperkenalkan prinsipal yang hadir pada persidangan hari ini.
3.
PEMOHON PERKARA THOMAS SUYATNO
NOMOR
126/PUU-VII/2009:
PROF.
Assalamualaikukm wr. wb. Bapak Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Saya Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Negara Perguruan Tinggi Swasta dan Indonesia. Di sebelah saya, Sekjen dan beberapa pengurus yang lain ada di belakang. Prinsipal yang lain biarlah memperkenalkan secara langsung. Munsinyur, kami persilakan memperkenalkan sebagai salah satu prinsipal. Demikian, Bapak Ketua Majelis. 4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 126/PUU-VII/2009: MUNSINYUR ALUSIUS SUDARSO Saya Munsinyur Alusius Sudarso. Ketua Komisi Pendidikan Konferensi Wali Gereja Indonesia, bersama juga dengan anggotaanggota yang hadir pada kesempatan ini. Demikian perkenalan saya, terima kasih.
4
5.
PEMOHON HARIJALIL
PERKARA
NOMOR
126/PUU-VII/2009:
YUNI
Yang Mulia yang saya hormati, nama saya Yuni Harijalil, saya dari YPLP PGRI, terima kasih. 6.
PEMOHON PERKARA NOMOR 126/PUU-VII/2009: H. RAMLAN SIREGAR
Assalamualaikum wr. wb. Saya H. Ramlan Siregar, Ketua Yayasan
Memajukan Ilmu dan Kebudayaan. 7.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Cukup, silakan ini yang kiri. Silakan.
8.
PEMOHON SYAHRIAL
PERKARA
NOMOR
136/PUU-VII/2009:
HARRY
Assalamualaikum wr. wb. Saya Harry Syahrial, dalam Perkara
Nomor 136, orang tua peserta didik dari SDN 02 Menteng. 9.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Masih ada lagi Pak Luhut? Cukup?
10.
KUASA PEMOHON : DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Cukup, Bapak Ketua yang terhormat.
11.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, ini dari Perkara Nomor 126, yang 136 silakan sekarang. Sudah tadi ya, oke. Baik, kalau begitu kita ke Pemerintah.
12.
PEMERINTAH: DR. FASLI JALAL, PH.D. Yang Mulia Ketua dan Majeils Hakim, kami dari Pemerintah hadir, pertama saya Dr. Fasli Jalal, Ph.D., Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
13.
PEMERINTAH: HANIF MUHAMMAD Yang Mulia yang saya hormati, saya Hanif Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas.
5
14.
PEMERINTAH : DR. WUKIR, S.H., M.ED. Yang Mulia dan Anggota Majelis Hakim, saya Wukir, dari Depdiknas.
15.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr.wb. Saya Mualimin Abdi, dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada kesempatan ini juga Pemerintah sudah menghadirkan dua orang ahli dan satu orang saksi yaitu Prof. Johanes dan Prof. Arifin, kemudian Saksi Bapak Suharyadi. Terima kasih, Yang Mulia.
16.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, kemudian sekarang sekaligus memperkenalkan diri ahli dari Pihak Pemohon, silakan.
17.
AHLI: FADJRUL FALAAKH, S.H., M.A., M.SC. Terima kasih, saya Muhammad Fajrul Falaakh, Dosen di Fakultas Hukum UGM, nanti pada khsususnya akan memberikan keterangan mengenai masalah sinkron tidak sinkronnya undang-undang yang diuji. Terima kasih.
18.
AHLI: ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M. Yang Mulia Majeils Hakim Konstitusi. Assalamualaikum wr. wb. Saya Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam kesempatan ini akan dimintakan untuk memberikan keterangan dari Hukum Hak Asasi Manusia. Terima kasih.
19.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Berikutnya?
20.
AHLI: MILLY KARMILA SAREAL, S.H., M.KN. Salam sejahtera Bapak-Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Saya Mily Karmila Sareal, S.H., M.Kn., Notaris dan PPAT yang diminta untuk memberikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum yayasan dan proses pengesahannya dibandingkan dengan Badan Hukum Pendidikan. Terima kasih.
6
21.
AHLI: RICHARDUS DJOKOPRANOTO, S.E. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, saya Djokopranoto, dalam hal ini saya diminta untuk menyampaikan pendapat mengenai tata kelola. Terima kasih.
22.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, berikutnya dari Saksi Pemohon Perkara 136, oh, masih ada, silakan.
23.
SAKSI: YAYASAN AL-GHIFARI Yang mulia, (suara tidak terdengar) Pembina Yayasan Al Ghifari di Bandung sebagai penyelenggara Universitas, Tk, SD, SMP, sampai SMK Al-Ghifari, pada kesempatan ini sebagai pengelola Yayasan akan memberikan beberapa kesaksian. Terima kasih.
24.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Saksi ya, Saudara saksi ya? Bukan? Ahli? Oke. Saksi, boleh. Silakan berikutnya Bu, Perkara 136.
25.
SAKSI: YULIA BAMBANG, S.PD., M.PD. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Saya The Yulia Bambang, dari Pengelola Pendidikan Anak Usia Dini Yarsih, yang dalam hal ini saya akan menjadi saksi bahwa pengelolaan anak usia dini tidak dibedakan antara formal dan nonformal.
26.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ahli ya, terus berikutnya, kalau di sini tertulis Ahli Bu Rahmita. Silakan.
27.
AHLI: DRA. RAHMITHA P. SOENDJOJO, PSI. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Saya Rahmitha, saya di sini berlaku sebagai psikolog perkembangan yang akan menyampaikan mengenai aspek perkembangan dalam kaitan pendidikan anak usia dini nonformal, terima kasih.
28.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Siapa Ibu namanya?
7
29.
AHLI: DRA. RAHMITHA P. SOENDJOJO, PSI. Rahmitha Pratama Soendjojo.
30.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Rahmitha ya baik. Kemudian Ahli dari Pemerintah, sekaligus tadi sudah diperkenalkan. Sudah hadir, silakan Pak. memperkenalkan diri lagi saja.
31.
AHLI: JOHANES GUNAWAN Saya Yohanes Gunawan.
32.
AHLI: Arifin T. SURYAATMAJA Saya Arifin T. Suryaatmaja.
33.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, masih ada lagi, cukup? Pak Suharyadi?
34.
SAKSI: SUHARYADI Saya saksi, Suharyadi, Pak.
35.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Saksi ya? Oke. Baik, kalau begitu kita ambil sumpah dulu yang saksi. Saksi supaya maju. Saksi, Pak Iskandar tadi saksinya. Pak Haryadi pernah disumpah kan di sini ya. Sudah, ya bawa duduk saja, tidak usah sumpah dua kali. Bapak beragama apa, Bapak? Islam, silakan. Pak Alim, Saksi ini, Pak Alim.
36.
HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H. M.HUM. Dengarkan
lafaz
sumpah yang saya tuntunkan. Bismillahirrahmanirrahim. “Demi Allah, Saya bersumpah sebagai saksi
akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya”.
37.
SAKSI:
“Saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya”.
8
38.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan duduk, Pak. Kemudian Para Ahli dari Pemohon maupun Pemerintah yang beragama islam dan yang belum pernah disumpah di sini dalam perkara ini. Kalau Pak Arifin rasanya sudah ya Pak ya? Pak Johanes juga sudah ya Pak? Baik. Silakan Pak Arsyad. Mana Pak Arsyad? Ini Ahli, Pak Arsyad.
39.
HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM. Ikut lafaz, “Bissmilahirahman hirahim, demi Allah saya bersumpah
sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, terima kasih.” 40.
AHLI:
“Bissmilahirahmanrirahim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya” 41.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Kembali ke tempat. Ahli yang beragama Kristen. Maju, Bapak. Yang Katolik sama Protestan satu kali karena lafalnya sama.
42.
HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. Ya, Ikuti lafal janji yang saya ucapkan, “Saya berjanji sebagai ahli
akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”. 43.
AHLI: “saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”.
44.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Kembali ke tempat. Baik Bapak, Ibu sekalian, ini jam 11.30 WIB mungkin kita akan sidang sampai jam 13.00 WIB itu, atau kalau bisa harus mundur dari situ paling lama 13.30 WIB karena kami punya ada sidang lagi jam 14.00 WIB sehingga kalau dari 8 orang yang hadir hari
9
ini sebagai ahli dan saksi, tidak selesai hari ini kita bisa jadwalkan untuk sidang berikutnya. Untuk itu, kepada Pemohon silakan diatur yang menyampaikan keahliannya, siapa dulu? Silakan. 45.
KUASA PEMOHON PERKARA NOMOR 126/PUU-VII/2009: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Terima kasih, Bapak Ketua. Sebelum ahli kami memberikan keterangan kami ingin menyampaikan sesuai dengan daftar yang kami sampaikan ada ahli yang sesungguhnya juga sedianya akan memberikan keterangan hari ini seperti Pak Harry Tjan Silalahi dan juga Prof. Sahetapi. Nah, apakah bisa diperkenankan pada kesempatan berikutnya nanti memberikan keterangan manakala masih diperlukan, Bapak Ketua?
46.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, baik. Di akhir sidang ini nanti Saudara bisa sampaikan bahwa dari keterangan ahli yang disampaikan masih diperlukan. Kalau sudah dicakup oleh ahli yang lain nggak cukup.
47.
KUASA PEMOHON PERKARA NOMOR 126/PUU-VII/2009: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Terima kasih, Bapak Ketua. Urutan-urutan yang pertama nanti Pak Fadjrul Falaakh akan memberikan keterangan disusul oleh Pak Abdul Hakim Garuda Nusantara setelah itu nanti Ibu Mili dan terakhir dengan nanti Pak Joko. Silakan Pak Fadjrul Falaakh.
48.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan Pak Fadjrul, maju ke podium Saja, Pak.
49.
AHLI: FADJRUL FALAAKH, S.H., M.A., M.SC.
Assalamuallaikum wr. wb, salam sejahtera. Dalam memberikan keterangan ahli ini saya akan menggunakan bantuan power point sambil
ditayangkan. Tetapi, naskahnya sudah disampaikan oleh Tim Kuasa Hukum sehingga dengan demikian power point dimaksudkan untuk memadatkan apa yang dalam naskah naratif mungkin menjadi terlalu panjang. Sebagaimana tadi saya sampaikan, Majelis Hakim Konstitusi bahwa secara khusus saya akan menyampaikan keterangan mengenai masalah sinkronisasi undang-undang yayasan dengan undang-undang Badan Hukum Pendidikan.
10
Ini menarik karena memang walaupun Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ini mengatur Badan Hukum tapi Konsiderannya sama sekali tidak menyebut apapun tentang badan hukum. Jadi dengan eksplisit berarti diabaikan keberadaan mengenai undang-undang..., apa ini badan hukum seperti misalnya yayasan. Baik, slide berikutnya ini, nah ini pada slide yang kedua, saya hanya mengutip saja pada dasarnya mengenai apa itu badan hukum yayasan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. Yang ingin saya garisbawahi di situ adalah bahwa yayasan ini dapat bergerak di bidang sosial, misalnya seperti pendidikan dan yang perlu digarisbawahi yang kedua adalah bahwa yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha, tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, melainkan harus melalui badan usaha yang didirikan sebuah legal entity yang terpisah atau melakukan penyertaan paling banyak 25%. Nah, jadi kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimasuki oleh yayasan sebagai bagian dari kegiatannya termasuk pendidikan tetapi masih harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang lain lagi. Nah, yayasan juga dilarang membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan pengawas karena Pembina, pengurus, dan pengawas harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap. Mereka, itu pembina, pengurus dan pengawas juga dilarang merangkap sebagai direksi atau pengurus and dewan komisaris atau pengawas dari badan usaha dimaksud yang didirikan oleh yayasan itu. Kekayaan yayasan juga dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung maupun tidak langsung kepada pembina, pengurus, pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan. Saya bukan ahli mengenai yayasan, tapi yang ingin saya garisbawahi adalah betapa undang-undang yayasan sudah memberikan penegasan bahwa yayasan itu adalah badan hukum nirlaba. Jadi, nanti ada relevansinya dengan tuntutan yang dimaui oleh Undang-Undang BHP bahwa Badan Hukum Pendidikan itu juga seharusnya nirlaba. Nah, kalau sudah sama-sama nirlaba, apalagi yang mau diatur oleh Undang-Undang BHP mengenai misalnya sebuah badan hukum yang dikategorikan yayasan, dalam hal yayasan itu bergerak di bidang pendidikan. Pindah slide berikutnya, lagi satu lagi. Nah, dari sini kita memasuki mengenai Undang-Undang BHP. Tanpa menjelaskan apapun tentang apa itu badan hukum, Undang-Undang BHP langsung saja menyebut BHP adalah penyelenggara pendidikan formal. Jadi, badan hukumnya tidak diterangkan. Lalu, juga langsung mengatur tentang jenis dan bentuk Badan Hukum Pendidikan. Jenis BHP menurut undangundang ini adalah BHP penyelenggara dan BHP satuan pendidikan. Jadi, ada BHPP dan BHPSP. Bentuknya menurut undang-undang ini adalah
11
BHP Pemerintah, BHP Pemerintah Daerah dan BHP Masyarakat. Yayasan termasuk kategori BHP masyarakat yang di sini saya singkat dengan BHPM. Maka menurut sudut pandangan ini jenis BHPMP maupun BHPMSP berlaku juga kepada yayasan penyelenggara pendidikan karena yayasan penyelenggara pendidikan diakui sebagai badan hukum pendidikan yang kategorinya dari masyarakat. Nah, Pasal 8 dari Undang-Undang BHP ini secara deklaratur menurut saya menegaskan bahwa yayasan yang telah diakui..., slide berikutnya, yayasan yang telah diakui, yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan atau pendidikan tinggi diakui sebagai BHP penyelenggara. Undang-Undang ini secara deklaratif menyatakan demikian karena itu masih konsisten dengan normanya yang menyatakan bahwa yayasan yang diakui sebagai BHP tidak perlu mengubah bentuknya selama waktu yang ditentukan dalam akta pendiriannya. Nanti ini menjadi relevan, kenapa? Dalam waktu 6 tahun harus mengubah, malah begitu karena dibagian awal mengubah macam-macam. Nah, Pasal 9 Undang-Undang ini juga mengatakan bahwa yayasan penyelenggara pendidikan atau badan hukum pendidikan masyarakat sebagai penyelenggara dapat menyelenggarakan lebih dari satu satuan pendidikan, tetapi kita mulai memasuki wilayah ketidaksingkronan internal incoherence di dalam undang-undang ini, penjelasan dari pasal ini justru mengatakan bahwa penambahan satuan pendidikan oleh BHP penyelenggara harus berbentuk BHP masyarakat. Jadi, kalau tadi yayasan penyelenggara pendidikan sudah diakui kenapa dia dilarang menambah satuan pendidikan di bawah yayasannya? Dan kenapa satuan pendidikan itu nanti di Pasal 10 dikatakan wajib berbentuk BHPN? Sebetulnya maunya bicara apa sih ini? Inilah inkonsistensi atau kontradiksi internal di dalam Undang-Undang badan hukum pendidikan. Ganti slede. Pasal 10 dari Undang-Undang ini menyatakan satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku wajib berbentuk BHP. Secara diplomatis bahasa dari undang-undang ini di dalam penjelasannya menyatakan tidak perlu berbentuk yayasan. Tidak usah pergi ke Jogja langsung saja ke Jakarta, ya berarti tidak usah pergi ke timur harus ke barat kan begitu? Nah, jadi dengan ketentuan Pasal 10 ini pertama penyelenggara pendidikan yang baru pada dasarnya dilarang berbentuk yayasan. Nah, ini artinya menutup peluang-peluang bagi inisiatif masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui atau dengan menggunakan badan hukum yayasan, Mengapa dilarang? Padahal Pasal 4 ayat (1) dari awal menegaskan pengelolaan dan secara mandiri oleh BHP didasarkan pada prinsip nirlaba. Kenapa inisiatif nirlaba dilarang? Lalu harus inisiatif yang bukan nirlaba? Apa sih maunya sesungguhnya undang-undang ini? Berarti dengan ketentuan ini pada alternatif pertama Undang-Undang BHP meniadakan Undang-Undang Yayasan karena Undang-Undang
12
yayasan membuka peluang bagi yayasan untuk bergerak di bidang sosial seperti misalnya pendidikan. Dengan kata lain, Undang-Undang BHP tidak sinkron dengan Undang-Undang Yayasan. Jadi betul dugaan saya tadi bahwa tidak dicantumkannya Undang-Undang Yayasan dalam konsideran UndangUndang BHP telah berimplikasi kepada bagaimana pengaturan mengenai badan hukum di dalam Undang-Undang BHP ini. Nah, konsekuensi kedua dari ketentuan Pasal 10 tadi berarti adalah bahwa YPP lama dilarang mendirikan satuan pendidikan baru. Nah, larangan pada Pasal 10 ini justru kontradiktif dengan pengakuan terhadap yayasan penyelenggara pendidikan yang dikategorikan sebagai badan hukum pendidikan dari masyarakat itu dan dengan demikian juga kontradiktif dengan dibolehkannya yayasan menyelenggarakan lebih dari satu satuan pendidikan sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 9. Singkat kata Majelis Yang Mulia, sinkronisasi internal dalam Undang-Undang BHP ini bermasalah, Undang-Undang BHP juga tidak sinkron dengan Undang-Undang Yayasan, ini berarti mengakibatkan ketidakpastian, kebingungan, dan pada akhirnya sulit dilaksanakan. Dalam bahasa sehari-hari karena atau diakibatkan oleh egosektoral yang yayasan kira-kira ini lebih banyak urusannya Depkumham yang UndangUndang BHP karena ada kata pendidikan diklaim sebagai ini urusan sektoral departemen pendidikan nasional. Padahal kedua-duanya samasama undang-undang yang semestinya satu sama lain menjadi sinkron. Nah, ketidakpastian dan kekacauan internal atau internal incoherence ini tampak nyata pada pengakuan terhadap eksistensi yayasan penyelenggara pendidikan sebagai badan hukum pendidikan dari masyarakat dengan hak-haknya sebagai badan hukum tetapi sebagaimana kita lihat jadi paling tidak misalnya di Pasal 10 lalu apa ini kebebasan yayasan sebagai rechts persoon menjadi apa ini dikurangi atau di kebiri. Demikian, yang dapat saya sampaikan. Terima kasih, wasalamualaikum wr.wb. 50.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, pertanyaan-pertanyaan kalau ada baik dari pemerintah maupun dari Majelis Hakim, dihimpun saja dulu sampai saksi/ahli dari Pemohon selesai semua. Silakan berikutnya, siapa Pak? Pak Hakim silakan.
51.
AHLI: ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, kepada saya diajukan 3 pertanyaan oleh Pemohon untuk kami sampaikan di sini. Yang pertama, apakah ketentuan-ketentuan pengakuan dan perlindungan hak azasi manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat
13
diperluas pemberlakuannya untuk badan-badan hukum, seperti antara lain yayasan, perkumpulan, atau bentuk-bentuk korporasi lainnya? Yang kedua, bila jawabannya positif apakah seluruh daftar hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu dapat diperluas berlakunya untuk badan-badan hukum atau hanya pasalpasal tertentu saja? Yang ketiga, apakah pasal-pasal a quo dalam undang-undang tentang Badan Hukum Pendididkan bila dilaksanakan akan mempersempit akses rakyat pada fasilitas pendidikan yang berarti mengurangi peluang rakyat untuk mewujudkan haknya atas pendidikan yang jelas dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945? Terhadap pertanyaan yang pertama, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, Badan-badan hukum seperti Yayasan atau bentuk-bentuk korporasi lainnya terang bukan ciptaan Allah Yang Maha Kuasa. Ia jelas suatu badan hukum yang diciptakan oleh manusia-manusia yang menjadi pendirinya untuk tujuan bersama. Yakni untuk melayani kebutuhan-kebutuhan manusia di bidang-bidang yang memerlukan pelayanan, seperti pendidikan, agama, kebudayaan, dan lain sebagainya. Badan hukum jelas ia merupakan entitas yang terpisah dari manusia-manusia yang mendirikannya, tapi ia adalah sebuah kendaraan yang vital bagi manusia-manusia yang menjalankannya, dan yang rakyat yang dilayaninya. Dengan kendaraan yang bernama badan hukum itu misalnya yayasan, kegiatan-kegiatan pelayanan masyakarat bisa dilaksanakan secara lebih efektif. Ia bisa menjadi kendaraan yang efektif untuk memenuhi hak-hak manusia yang bersifat dasar atau asasi. Misalnya hak untuk memperoleh pendidikan, hak atas pekerjaan, terutama ketika badan hukum itu melakukan kegiatan yang membuka lapangan kerja baru, hak atas kesehatan ketika badan hukum seperti yayasan itu bergerak dalam kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat, hak atas bantuan hukum ketika suatu badan hukum bergerak di bidang pelayanan hukum untuk masyarakat. Dengan mencermati dan menimbang badan hukum dalam perpektif efektivitas kegunaannya bagi fasilitasi hak asasi manusia sebagaimana tersebut di atas, kearifan yang senantiasa berada dalam cahaya akal sehat dan nurani kita mengarahkan kita pada suatu pemahaman bahwa badan-badan hukum sepeti yayasan dan bentuk bentuk korporasi atau asosiasi menpunyai hak-hak dasar yang wajib diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sebab bila hak-hak dasar badan hukum itu tidak diakui dan dilindungi, maka eksistensi badan-badan hukum itu akan menjadi rentan. Badan-badan hukum itu akan dengan mudah di kesampingkan, di diskriminasi, dan ditiadakan, dan akan menghadapi berbagai perlakuan yang tidak adil lainnya. Akibatnya, akan terlanggar pula hak-hak asasi rakyat yang selama ini dilayani atau dipenuhi oleh badan-badan hukum itu.
14
Dengan demikian, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 semestinya dapat diperluas berlakunya pada badan-badan hukum, seperti antara lain yayasan, dan perkumpulan, atau bentuk koorporasi lainnya. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi bahwa sistem pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang diperluas berlakunya bagi badanbadan hukum itu diakui pula oleh komite hak-hak sipil dan politik PBB yang dalam kasus Singer melawan Kanada, mengakui prinsip derivative entitlement. Dalam kasus itu pemerintah Kanada mengajukan keberatan kepada Komite atas adanya komunikasi yang diajukan oleh Alan Singer berkenaan dengan dakwaan bahwa pemerintah Canada telah melanggar Pasal 19 Covenant International hak-hak sipil dan politik. Keberatan ini ditolak oleh komite. Komite menyatakan bahwa pelanggaran atas kebebasan berpendapat dalam hal ini hak untuk mengirimkan informasi (suara tidak terdengar jelas) kita tidak saja oleh orang yang mengirim informasi tetapi juga yang berarti (suara tidak terdengar jelas). 52.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Bapak, supaya kertasnya tidak menutup ini..., biar suaranya tidak terganggu.
53.
AHLI: ABDUL HAKIM GARUDA NUSANTARA, S.H., LL.M. Dalam kasus Thompson News Paper Limited melawan Canada, pengadilan memutuskan bahwa ketentuan dalam piagam hak-hak dan Kebebasan berlaku untuk koorporasi atau badan hukum karena baik hakhak badan hukum maupun manusia dalam kasus tersebut dilanggar. Dua kasus tersebut di atas menunjukkan dianutnya teori-teori derivative entitlement yaitu bahwa pelanggaran hak anggota atau pengurus suatu badan hukum, berarti pula secara tidak lansung melanggar pula hak badan hukum tersebut atau bisa sebaliknya, pelanggaran badan hukum membawa akibat pelanggaran hak-hak manusia yang menjadi anggotanya atau yang dilayaninya. Majelis Hakim Konstitusi Yang Kami Muliakan, namun demikian penting pula untuk memahami bahwa hak-hak badan hukum sebagai entitas yang terpisah dan otonom memperoleh perlindungan langsung Konstitusi yang terpisah dari hak-hak para individu yang mengelolanya. Tidak seperti hak asasi manusia yang bersifat melekat, atau inheren, hak-hak dasar badan hukum itu diberikan oleh undang-undang. Di situ kemampuan hukum untuk mendefinisikan dan membatasi lingkup hakhak badan hukum adalah suatu konsekuensi yang pasti dari fakta bahwa badan itu adalah sebuah kreasi sementara manusia bukan. Karena itu, undang-undang menganugerahi hak-hak kepada badan-badan hukum yang sesuai dengan efektivitas tugas-tugasnya yang mana undangundang mengakui badan-badan hukum itu mampu menjalankannya.
15
Analisa teoritik ini tidak akan melemahkan klaim badan-badan hukum atas hak-hak dasarnya dan perlindungan konstitusional atas hak-hak dasar tersebut. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mengakui pula hak-hak badan hukum yang terpisah dari hak-hak para pengelolanya atau para pemegang sahamnya. Dalam kasus Agro Taxim melawan Yunani, Agro Taxim adalah sebuah perseroan terbatas yang merupakan pemegang saham utama perusahaan lain, Fricks Bruvery [sic!] pemerintah Yunani mengambil alih tanah milik Bruvery, Agro Taxim kemudian mengadukan kasus pengambilan alih tanah oleh pemerintah Yunani itu, di pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Pengadilan menolak pengaduan itu karena menurut pengadilan, yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia adalah Fricks Bruvery bukan Agro Taxim sebagai pemegang saham. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, sekarang ini sudah menjadi yurisprudensi yang bersifat tetap yang berlaku di berlaku di berbagai yurisdik hukum. Di Amerika, Kanada, dan Eropa, serta insya Allah nanti di Indonesia bahwa pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang tertuang dalam Konstitusi dan atau undang-undang Hak Asasi Manusia dapat diperluas kepada badan-badan hukum. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, bilamana Majelis Hakim Konstitusi dan kita semua dapat menerima teori perluasan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia kepada badan-badan hukum itu masih tersisa pertanyaan, apakah seluruh hak asasi manusia yang tertuang dalam daftar hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau sebagian? Saya berpendapat, hanya hak-hak asasi tertentu yang tertuang dalam daftar hak asasi manusia Undang-Undang Dasar 1945 yang pengakuan dan perlindungannya dapat diperluas kepada badan-badan hukum, yaitu Pasal 28A, “Setiap orang berhak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Walaupun hak hidup itu bersifat tidak melekat, sebagaimana manusia, itu tidak berarti hak hidup badan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang dapat dihilangkan atau dihapus secara sewenang-wenang. Pengakhiran hak hidup badan hukum ditentukan oleh alasan–alasan yang tertuang di dalam undangundang yang mengaturnya, tidak boleh. Pengakhiran hak hidup itu dilakukan secara terselubung dan sewenang-wenang. Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal ini penting dan vital untuk melindungi badan-badan hukum dari berbagai bentuk kesewenangan dan diskriminasi yang bisa saja dilakukan oleh otoritas publik. Pasal 28D ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.” 16
orang berhak status Pasal 28D ayat (4), “Setiap kewarganegaraan.” Seperti halnya manusia, badan-badan hukum untuk
kehidupan yang memerlukan selain jaminan kepastian hukum yang adil, juga pengakuan atas kewarganegaraannya. Hukum menyatakan badan hukum yang didirikan di Indonesia mempunyai kewarganegaraan Indonesia. Hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F berlaku pula untuk badan-badan hukum. Hal itu diperlukan terutama agar badan-badan hukum itu dapat menyatakan dan menyebarluaskan visi dan misinya kepada masyarakat luas. Pasal 28H ayat (2), “Setiap orang berhak mendapat kemudahan,
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Pasal ini penting dan
vital bagi badan-badan hukum yang kecil dan lemah dari segi sarana dan prasarana. Khususnya badan-badan hukum yang melayani hajat hidup orang banyak agar memperoleh perhatian khusus atau affirmative action dari pemerintah. Pasal 28H ayat (4), “Setiap orang mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Pasal ini sangat vital bagi badan-badan hukum.
Terutama bagi perlindungan hukum bagi atas hak miliknya dari kemungkinan diambil alih secara sewenang-wenang. Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Yang Mulia Majelis Konstitusi, sampailah saya kepada isu yang ketiga, sebagaimana dapat dibaca dalam surat permohonan yang diajukan oleh Pemohon bahwa Pasal 1 butir 5, sepanjang anak kalimat, “...dan diakui sebagai Badan Hukum Pendidikan,” Pasal 8 ayat ( 3 ), dan Pasal 10 serta Pasal 67 ayat (2), ayat (4), Pasal 62 ayat ( 1 ), sepanjang menyangkut Pasal 67 ayat (2) tentang Sanksi Administratif serta Bab 4 tentang Tata Kelola. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Undang Undang BHP, mengharuskan yayasan, perkumpulan, dan badan Hukum lain sejenis yang menyelenggarakan pendidikan formal harus menjadi Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara yang selanjutnya disebut BHP. Penyelenggara dan mendapat pengakuan sebagai Badan Hukum Pendidikan. Dalam hal mana yang belum menyesuaikan tata Kelola tetap dapat menyelenggarakan pendidikan. Vide Pasal 67 ayat (1) Undang Undang BHP akan tetapi wajib menyesuaikan tata Kelolanya dalam jangka waktu 6 tahun sejak undang undang ini diundangkan. Vide Pasal 67 ayat (1) Undang Undang BHP yang bagi yayasan yang tidak memenuhinya akan terkena sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 62 ayat (1) Undang Undang BHP. Lebih jauh Pemohon mengatakan bahwa diharuskannya yayasan menyesuaikan tata kelola sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang BHP maka Yayasan akan kehilangan eksistensinya dan rohnya.
17
Dan kemudian sekaligus juga kehilangan raganya karena penyesuaian tata kelolanya diharuskan dengan melakukan perubahan anggaran dasar yayasan. Vide Pasal 67 ayat (4) Undang Undang BHP dan yayasan tidak boleh lagi menyelenggarakan pendidikan karena satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang BHP berlaku wajib berbentuk Badan Hukum Pendidikan. Vide Pasal 10 ayat Undang Undang BHP. Yayasan tidak hanya kehilangan roh, tetapi akan kehilangan pula raganya itu berarti hilangnya hak Konstitusional yakni hak insan dan Badan Hukum lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Apa yang didalilkan oleh Pemohon, sesungguhnya menggambarkan bagaimana Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang BHP itu secara perlahan-lahan dan terselubung mendelegetimasi dan melegalisasi peran yayasan-yayasan dan badan badan hukum lainnya yang sudah membuktikan darma baktinya dalam menyediakan pelayanan di lapangan pendidikan kepada rakyat. Ini jelas bahwa tanpa disadari Pasal a quo dalam Undang Undang BHP bila dijalankan akan melahirkan suatu proses yang mempersempit akses rakyat pada fasilitas pelayanan pendidikan. Ini terang merupakan pelanggaran hak atas rakyat untuk pendidikan. Berkenaan dengan hak setiap orang atas pendidikan, Pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, mengatur sebagai berikut, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Lalu Pasal 28 C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.” Senapas dan semangat dan substansi yang terkandung di
dalam Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 tersebut, Pasal 13 ayat (1) konvenan internasional hak hak ekonomi, sosial dan budaya menyatakan sebagai berikut, “Negara
negara peserta konvensi ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan.” Mereka bersepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan sepenuhnya dari kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya dan memperkuat rasa hormat terhadap hak hak asasi manusia dan kebebasan kebebasan hakiki. Mereka selanjutnya bersepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk ambil bagian secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi, serta persahabatan di antara semua bangsa dan semua kelompok rasial, etnis, atau agama, dan memajukan kegiatan Perserikatan Bngsa-Bangsa demi memelihara perdamaian. Majelis Hakim Konstitusi Yang Kami Muliakan. Sebagaimana dapat kita baca dalam kutipan tersebut di atas, bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berperan serta secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas. Termasuk dalam pengertian itu adalah peran serta seluas-luasnya bagi pihak swasta atau masyarakat untuk
18
turut serta dalam penyelenggaraan pendidikan. Berkenaan dengan hak masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan, Pasal 2 protokol nomor 1 Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia menyatakan bahwa kebebasan mendirikan dan memimpin lembaga pendidikan merupakan hak setiap orang, baik individu maupun lembaga dari sekolah TK, SD, sampai Pendidikan Tinggi, serta lembaga lembaga pendidikan orang dewasa lainnya. Negara tentu saja mempunyai wewenang dan tugas untuk menetapkan standard-standard minimum pendidikan seperti izin mendirikan sekolah, kurikulum pengakuan sertifikat, akreditasi, sertifikasi, tetapi standard-standard minimum itu tidak bisa dikembangkan oleh negara justru untuk mempersulit prakarsa rakyat untuk menyelenggarakan pendidikan. Apalagi bila kebijakan negara justru akan membunuh yayasan-yayasan atau badan hukum lain yang sudah membuktikan darma baktinya dalam menyediakan pelayanan pendidikan kepada rakyat. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 1 butir 5 sepanjang anak kalimat, “...dan diakui sebagai badan hukum pendidikan.” Pasal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal 67 ayat (2), ayat (4), dan Pasal 62 ayat (1) sepanjang menyangkut Pasal 57 ayat (2) tentang Sanksi Administratif serta ketentuan bab 4 tentang Tata Kelola Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 tidak sesuai atau bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. Majelis Hakim Konstitusi yang Saya muliakan. Menutup keterangan saya ini perkenan saya menuturkan kembali suatu episode yang terjadi kira-kira 77 tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 1932, bulan September, saat itu pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan peraturan sekolah liar, wilde schoolen ordnance ini jelas dimaksudkan oleh governoorment untuk mendelegitimasi dan mendelegalisasi serta mengkriminalisasikan sekolah-sekolah pribumi yang banyak berperan dalam membangun kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Yang tentu saja, visi dan misi sekolah-sekolah pribumi itu membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda wilde schoolen ordnance itu mengundang protes nasional yang dipimpin oleh Kihajar Dewantara dan pemuka-pemuka pendidikan Islam. Sebagai akibat adanya protes nasional itu folksraat menolak anggaran belanja pendidikan pemerintah. Akhirnya, pada bulan Pebruari tahun 1933, Gubernur Jendral De Young menyerah dan mencabut ordonansi tersebut. Kita semua sungguh layak untuk prihatin, bila Undang-Undang BHP menjadi instrumen hukum yang secara terselubung mendelegitimasi dan mendelegalisasi serta mengkriminalisasikan yayasan-yayasan dan badan-badan hukum lainnya yang sudah berperan memberikan darma baktinya bagi pemenuhan hak hak rakyat atas pendidikan yang sekarang ini diwakili oleh Pemohon. Sebab bila demikian halnya, Undang-Undang BHP tampak menjadi serupa dengan
19
wilde schoolen ordnance serupa dengan Wilde Schoolen Ordonantie dengan tujuan dan misi yang berbeda.Wassalamualaikum wr. wb. 54.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih Bapak Abdul Hakim, silakan yang ketiga.
55.
KUASA PEMOHON PERKARA NOMOR 126/PUU-VII/2009: DR. LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H., LL.M. Ibu Milly, silakan.
56.
AHLI: MILLY KARMILA SAREAL, S.H., M.KN. Salam sejahtera bagi semua kita yang berbahagia, yang berada di ruangan ini. Saya hormati para Hakim Mahkamah Konstitusi. Saya sebagai praktisi notaris yang berulang-ulang memproses pengesahan yayasan, perubahan anggaran dasarnya melalu badan Departemen Hukum dan HAM, mengalami banyak sekali kendala yang akan kita hadapi dan sudah mulai kita hadapi untuk penyelenggaraan pendidikan di negara kita ini. Saya mulai dengan bagaimana proses pendirian yayasan. Sederhana saja, seorang yang mau mendirikan yayasan atau lebih dia harus memisahkan kekayaannya, yang disisihkan secara sengaja dan juga nanti tidak boleh diambil alih oleh dirinya ataupun pengurus dan pengawas dan pembina. Jadi mempunyai fungsi sebagai harta kekayaan badan hukum yang akan didirikan, yang telah terpisah. Dia akan memilih nama yayasan, dia akan meminta kepada departemen supaya nama itu single saja di seluruh Indonesia. Artinya, tak boleh ada nama yang sama dan departemen akan memberikan kepada yayasan tersebut nama yang tidak boleh ada duanya di seluruh Indonesia. Kemudian dia akan membuat akte notaris. Akte notaris akan dibuatkan oleh notaris, memang ada standar akte tapi boleh juga dia berbentuk lain sesuai kemauan dari para pendirinya. Pengajuan untuk mendapatkan pengesahan dilakukan oleh notaris dengan melampirkan misalnya, keterangan domisili, NPWP dari yayasan. Setelah itu anggaran dasar diperiksa, maka anggaran dasar itu akan mendapat pengesahan. Setelah mendapat pengesahan, maka anggaran dasar itu perlu diumumkan di berita negara sebagai bukti bahwa dia resmi menjadi badan hukum dan diakui pula oleh negara dan setiap mahluk dimana pun di Indonesia atau pun di dunia tentang eksistensinya badan hukum yayasan. Jadi pengumuman itu sangat penting, Inilah proses untuk mendirikan suatu yayasan. Yayasan bisa macam-macam kegiatannya termasuk sosial dan kemanusiaan dan keagamaan, Dalam kegiatan sosial itu termasuk pendidikan. Jadi dalam proses pendirian yayasan sudah
20
sekian lama sejak sebelum adanya Undang-Undang Yayasan, di negara kita diakui bahwa yayasan-yayasan itu mendirikan sekolah-sekolah di daerah-daerah, kota besar maupun daerah yang sangat terpencil. Sekarang dengan adanya Undng-Undang BHP. (suara tidak jelas) Januari 2009 Undang-Undang BHP lahir, walaupun penuh dengan pertentangan dari sekian banyak yang merasa sangat dirugikan. Caranya untuk mendirikan badan hukum pendidikan menurut Pasal 10 diharuskan setiap unit pendidikan, artinya setiap satuan pendidikan, misalnya satu SD atau satu SMP, atau satu akademi harus berbentuk satu BHP. Nanti Bapak/Ibu bisa bayangkan bagaimana ruwetnya pendirian kalau sekolah-sekolah dan pendidikan yang lainnya ini harus setiap satu unit, satu BHP. Selain dari pada itu, sebelum mendirikan, akte notarisnya harus berupa konsep yang diajukan terlebih dahulu didampingi dengan visibilitis studi kepada departemen, Dikti atau Diknas yang bersangkutan untuk dapat disetujui baru bisa membuat badan hukum pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009. Jadi dengan adanya Pasal 10 yang mengatakan “tiap pendirian baru unit harus berbentuk BHP”, maka yayasan tidak dapat lagi mendirikan kegiatan pendidikan formal, baik SD, SMP, SMU, akademi, perguruan tinggi, institut, universitas dan unit lainnya karena yang menurut Undang-Undang BHP termasuk dalam jenjang pendidikan formal. Sejak tahun 2009 ini, sebenarnya tepatnya 16 Januari hak hidup yayasan untuk menjalankan kegiatan pendidikan sudah tercabut. Karena apa? Kalau kami mendirikan akte yayasan maka tidak bisa lagi kita memasukan kegiatan pendidikan formal di dalamnya. Kalaupun kita masukan, maka akan dicoret oleh Departemen Hukum dan HAM. Begitu pula kalau merubah anggaran dasar yayasan di bidang kegiatan, tidak boleh lagi cantumkan pendidikan formal. Jadi itu terjadi semestinya sejak tanggal 16 Januari, tapi sekian berapa waktu lamanya Depkumham juga agak sedikit lengah, tapi tokh akhirnya menyadari, begitulah jadinya. Kemudian, kalau kita mendirikan suatu BHP, setelah tadi diajukan visibility study dan diajukan konsep anggaran dasar maka harus dipikirkan ada organ-organ yang lain daripada organ di dalam yayasan. Organ-organ yang dalam BHP ini akan sulit dipenuhi jumlahnya. Kalau di Indonesia, apalagi di daerah-daerah terpencil mencari anggota untuk yayasan saja yang misalnya ada pengurus, pembina dan pengawas itu sudah agak sulit mencari untuk satu yayasan yang mengelola sekian puluh unit satuan pendidikan. Bagaimana kalau di dalam BHP, maka andaikata satu yayasan mempunyai unit-unit pendidikan nanti dalam permohonan kami juga akan kelihatan mempunyai berpuluh-puluh unit, berpuluh-puluh lokasi, daerah-daerah, baik kota maupun kecamatan maupun yang lebih kecil lagi di desa-desa. Maka untuk melengkapi organ-organ di dalam BHP ini akan butuh banyak sekali manusia. Nanti saya akan uraikan sebagai ilustrasi. Nah, dalam Pasal 10 tadi dikatakan harus berbentuk suatu BHP. Selain daripada itu yayasan yang sudah berkegiatan pendidikan sampai
21
saat ini bahkan sejak zaman sebelum kemerdekaan katanya diakui sebagai BHP, tapi dalam waktu enam tahun sejak undang-undang ini berlaku harus ubah tata kelolanya menjadi badan hukum pendidikan. Tata kelola yang tadinya pembina, pengurus, pengawas, dengan ada pelaksana kegiatan kepala-kepala sekolah dan sebagainya, kita harus diubah menjadi kalau untuk dasar dan menengah ada yang disebut ORPK (Representasi Pemangku Kepentingan) dan OPP (Pengelola Pendidikan). Kalau yang pendidikan tinggi ada ORPK, ada OPP, ada OANA dan ORP, itu audit dan pendidik. Jadi di dalam BHP yang baru ini tidak ada lagi pengurus yayasan menjalankan haknya mengelola pendidikan, tidak ada tempat buat mereka. Jadi dieliminir, bahkan eksistensinya tidak ada. Jadi hak mengelola yayasan yang katanya tadi menurut Bapak Hakim Garuda merupakan juga hak asasi, tercabut dengan adanya kewajiban harus berbentuk tata kelola seperti BHP ini. Jadi tidak ada peran pengurus yayasan. Bahkan akibat-akibat banyak dari pada pengurusan diserahkan kepada OPP agak kontradiktif sekali, OPP ini nanti akan memimpin satu sekolah, satu unit dan dia juga bertindak ke luar mewakili unit pendidikannya. Jadi pengurus yang dahulu menjadi pengelola dan berhak mewakili yayasan ke luar, sekarang tidak lagi kalau di dalam BHP. Jadi hanya OPP. Walaupun mungkin dengan satu, dua persetujuan. Selain daripada itu, akibat perubahan tata kelola yang dimuat dalam Pasal 14 sampai dengan 36 Undang-Undang BHP maka akan muncul banyak masalah. Pertama, bagaimana yayasan-yayasan dulu dan sekarang mengelola sekolah-sekolah di pedalaman? Mereka dapat mengelola sekolah di pedalaman karena ada subsidi silang dengan sekolah-sekolah di kota. Jadi kalau unit SD, SMP, SMA di kota seperti Jakarta dia bisa surplus tapi kalau dalam suatu yayasan dia bisa mendirikan dan membantu sekolah misalnya di pedalaman Kalimantan, di pedalaman Jawa Barat juga yang desa. Bapak/Ibu mungkin juga ingat film Laskar Pelangi, bagaimana keadaan di pedalaman seperti itu dengan murid yang sedikit, yang minim, yang untuk pergi sekolah saja mungkin harus jalan kaki berkilometer-kilometer, bagaimana bisa mendapatkan sarana dan prasarana untuk sekolah maka yayasan yang mengelola itu mengadakan subsidi silang, artinya surplus dari hasil yang diperoleh di kota dia gunakan untuk karena terpanggil untuk menghidupi pendidikan di daerah pedalaman, memberikan bantuan kepada pendidikan untuk anakanak di sekolah pedalaman, di daerah-daerah. Misalnya saya beri contoh, kalau ini terjadi BHP semua harus diharuskan tidak bisa mencukupi lagi dana karena tidak ada subsidi silang, tidak bisa mencukupi lagi anggota organ. Kalau anggota organ yang sebenarnya minimum tiga kali tiga jadi sembilan orang satu BHP, minimum sekali. Dan juga akibatnya pendidikan di daerah pedalaman, daerah tertinggal tidak bisa dikembangkan dan juga pasti akan mati. Belum lagi nanti ada peraturan dalam BHP ini yaitu kekayaan badan
22
hukum pendidikan ini hanya boleh digunakan untuk badan hukum pendidikan di tempat itu saja, jadi itu tadi tidak bisa subsidi silang. Nah, contoh juga kesulitan SDM yaitu yayasan yang nanti mengelola sekian unit satuan pendidikan nanti kalau mendirikan satu unit baru misalnya sudah punya 50 sekolah, andaikata 10 TK, 10 SD, 10 SMP, 10 SMA, dan sekian akademi dan perguruan tinggi. Dia mau buka satu unit tambahan SMU, dia harus mendirikan BHP sejak 16 Januari 2009 ini, terpisah dari yayasannya. Kemudian sebagai ilustrasi karena juga tidak boleh merangkap anggota organ BHP yang satu dengan yang lain pasti akan kesulitan SDM. Suatu yayasan misalkan salah satu Pemohon kami di sini dari lembaga pendidikan pembina PGRI. Pada saat ini menurut daftar tercatat kurang lebih mengelola 75 satuan pendidikan berbagai jenjang. Artinya, di seluruh daerah di pelosok-pelosok di Indonesia, bila dia belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan dia akan terkena harus mendirikan BHP-BHP yang baru, setiap satu unit satu BHP. Jadi jangan dikira sedikit, banyak sekali yayasan yang memang kebetulan tidak sempat menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan sehingga tidak bisa diakui sebagai badan hukum yayasan yang sah. Mereka ini juga harus menempuh cara mendirikan BHP untuk setiap satu unit, untuk satu SD satu, untuk satu SMP satu, untuk satu SMA satu, dan seterusnya. Jadi bisa dibayangkan. Kemudian saya lanjutkan, kalau dia sudah menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan dia boleh nanti diakui sebagai badan hukum pendidikan penyelenggara, disingkatnya BHPP. Tetapi, dia dikasih batas waktu dalam enam tahun sejak 16 Januari 2009 jadi pada tahun 2015, 16 Januari dia harus sudah mengubah anggaran dasarnya menjadi BHP dan mesti disetujui lagi oleh dua badan anehnya, yaitu ke kiri ke Depkumham untuk pemberitahuan perubahan anggaran dasar, yang satu lagi untuk penyesuaian tata kelola ke Departemen Pendidikan. Jadi ada dua badan departemen, (suara tidak jelas) dapat mengesahkan. Contoh lain, di sini juga ada Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar menyelenggarakan 66 satuan pendidikan dan juga itu hanya baru dua contoh yayasan. Kami ini yang memohon ada kurang lebih sempat terkumpul oleh kami di sini ada sekitar 329 yayasan, dari 329 yayasan itu bila satu yayasan mempunyai seperti tadi 60 unit atau 70 unit maka dapat dibayangkan betapa proses perubahan tata kelola dan pendirian baru tiap unit satuan pendidikan menjadi sebuah BHP menjadi proses hukum yang panjang, proses hukum yang boros, dan juga baik tenaga, waktu, pikiran, dan biaya yang akan sebenarnya jauh lebih bermanfaat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang masih perlu dikembangkan, terutama di daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu diberi kesempatan sampai 2015, itu memang kelihatannya demikian tetapi apakah tunggu sampai saat itu mungkin harus lebih cepat, kenapa? Karena ada sekolah-sekolah itukan punya izin operasional, izin operasional itulah yang membuat mereka bisa
23
berkelihatan dan kalau izin operasional itu ada yang lima tahun sudah hampir habis maka pada saat izin operasionalnya habis siapa akan izinkan lagi beroperasi kalau enggak berubah jadi BHP? Jadi itu pasti syarat kalau tidak berbentuk BHP, izinnya akan tidak keluar dan otomatis tidak boleh beroperasi, tidak bisa lagi mengelola pendidikan bukankah itu berarti macet, mati bahkan bukan hanya yayasannya ini yang kita pikirkan adalah anak-anak didik kita, para peserta didik kita di seluruh Indonesia. Jadi proses pendirian BHP baru dalam Permendiknas itu yang mengharuskan ada studi kelayakan dan konsep akta, ini juga memperpanjang prosesnya. Disetujui dulu konsepnya, dikembalikan lagi, ditandatangani, dimajukan lagi, baru nanti mungkin disahkan. Berbeda dengan yayasan, kalau yayasan disahkan dan kemudian diumumkan dalam berita negara. Undang-Undang BHP tidak menyebut sama sekali tentang berita negara. Legalitasnya nanti bagaimana, kita belum jelas. Oleh karena itu sekarang dengan adanya Undang-Undang BHP ini maka kami merasa pasti, maka tidak ada lagi orang-orang yang berjiwa luhur yang bisa mengembangkan pendidikan di desa-desa terpencil, entah itu juga mau sekolah tinggi, di daerah-daerah yang jauh dari kota maka ini Undang-Undang BHP, mohon maaf saja, mungkin sama seperti barang hukum paksaan. Kalau kita dipaksa, akibatnya juga melanggar hak asasi. Jadi kalau dijadikan terus BHP ini saya singkat Badan Hukum Paksaan, mohon maaf Bapak. Kemudian, bagaimana jasa-jasa yayasan yang sudah sejak sebelum perang dunia kedua itu sudah mendirikan sekolah-sekolah, sudah berupaya sebelum kemerdekaan, masak dengan adanya UndangUndang BHP ini begitu saja diubah tatakelolanya, begitu saja dipaksa tidak lagi bisa menjalankan visi misinya dengan mengelola kegiatan persekolahan. Sudah sekian lama, berpuluh-puluh sekolah mereka kelola tidak ada masalah. Dengan Undang-Undang Yayasan mereka taati, berjalan dengan baik. Jadi itulah sebabnya kami merasakan bahaya sekali bagi pendidikan nasional yang sekarang semestinya pendidikan nasional itu di bela oleh Menteri dengan departemen dan jajarannya, tapi kalau dengan meneruskan Undang-Undang BHP ini maka apa yang terjadi justru pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Misalnya saya kasih contoh, mereka tidak mungkin lagi menyelanggarakan pendidikan, daerahdaerah terpencil misalnya di daerah ini saya sebutkan bila satu BHP di daerah terpencil seperti pulau-pulau pedalaman di Key di daerah pasang surut Sumatera selatan, di Muara Sungai Musi, dimana penduduknya terpisah-pisah laut dan sungai yang besar. Di Pulau Mentawai di daerahdaerah pedalaman itu, sekian lama ada satu dua yayasan yang mengelola dengan devisit untuk daerah-daerah itu. Tapi dia dapat berhasil membela mati-matian supaya jalan terus karena ada subsidi silang tadi dari yayasan juga yang sama. Sedangkan kalau dengan Undang-Undang BHP tidak bisa, hanya satu penghasilan untuk unit itu
24
saja. Ini Saya kira akan membuka wawasan kita semua supaya bisa memutuskan hal-hal yang sangat esensil bagi masa depan pembinaan generasi muda dan sekolah-sekolah. Dengan adanya Undang-Undang BHP ini tidak akan ada orang yang berani mendirikan badan hukum pendidikan baru, sebab memang dengan yayasan mereka sudah mengalami tapi karena ada cita-cita untuk bisa memmbuat rakyat kita mengenyam pendidikan yang baik, mereka bisa subsidi silang yang miskin ditolong dengan yang lebih kaya, tapi dengan adanya Undang-Undang BHP ini hal itu tidak mungkin. Jadi bagaimana jalan keluar, kami pasrahkan semua kepada Bpak-Bapak dan Ibu dari hakim konstitusi yang berwenang di sini. Jadi kalau pendirian yayasan ditiadakan sama sekali, tidak boleh maka itu kita perjuangkan tidak pernah diubah tata kelola, tidak pernah satu unit satu BHP, tidak pernah semua yang kita perjuangkan masih diakui dan sebagainya. Undang-Undang Yayasan sudah mengakui kita, mengapa pula harus diakui lagi dengan Undang-Undang BHP, sekian terima kasih. 57.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih Bu, berikutnya Bapak.
58.
AHLI: RICHARDUS DJOKOPRANOTO, S.E. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Saya diminta untuk menyampaikan pendapat tentang ketentuan tata kelola, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 14 sampai Pasal 36 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Oleh karena itu izinkanlah Saya menyampaikan terlebih dahulu secara singkat abstrak pendapat saya. Tata kelola pada dasarnya meliputi tiga tingkatan pengaturan. Pertama yang paling tinggi adalah prinsip tata kelola, kedua dalam tingkatan yang lebih rendah adalah struktur tata kelola, dan di bawahnya lagi adalah mekanisme tata kelola. Tingkatan kedua dan ketiga merupakan teknik pelaksanaan tata kelola, prinsip tata kelola yang umum dianut adalah akuntabilitas, tanggungjawab, transparansi, keadilan dan independen. Struktur tata kelola adalah pengaturan tentang organisasi dan mekanisme tata kelola adalah tata cara pelaksanaan. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP memuat fungsi dasar tata kelola. Namun Pasal 15 sampai 36 sudah menyangkut hal-hal mengenai struktur dan mekanisme tata kelola, yaitu teknis tata kelola. Sebaiknya suatu undang-undang membatasi diri pada prinsip tata kelola saja dan bukan mengatur lebih lanjut tentang struktur dan mekanisme pelaksanaan tata kelola. Dalam Pasal 14 sampai 36 tersebut justru sama sekali tidak disinggung prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang harus diikuti seperti
25
yang telah di sampaikan di atas. Memang di dalam Pasal 4 (2) di singgung mengenai prinsip-prinsip, namun prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah prinsip-prinsip pengelolaan bukan prinsip-prinsip tata kelola. Perlu dibedakan antara pengelolaan yaitu manajemen, dan tata kelola atau govarnance. Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian penggerakan dan pengawasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui orang lain dengan menggunakan sumber daya lain. Sedangkan tata kelola adalah sistem bagaimana suatu intensitas itu diarahkan dan diawasi dengan mengemukakan prinsip-prinsip transparansi, keadilan akunstabilitas dan sebagainya. Dengan demikian secara singkat dapat saya simpulkan bahwa pengaturan keseragaman tentang teknik pelaksanaan tata kelola penyelanggaraan pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP tersebut merupakan pelanggaran hak-hak asasi dan asas kebhinekaan yang di jamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Melanggar persyaratan utama dalam penyelenggaraan pendidikan, penghambat kemajuan penyelenggaraan pendidikan, bertentangan dengan otonomi dan tidak sesuai dengan best practice penyelenggaraan pendidikan. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Kini izinkanlah saya menjelaskan satu persatu mengenai hal tersebut secara singkat. Satu, dipandang dari hak asasi. Bagi yayasan perkumpulan atau badan sejenis yang menyelenggarakan pendidikan formal, pelaksanaan tata kelola adalah bagian dari pelaksanaan pengelolaan yang merupakan ciri khas, merupakan cara hidup, dan cara untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Cara hidup dan cara mempertahankan hidup ini sudah merupakan ragam yang dipilih, merupakan ciri khas dan merupakan pengalaman yang sudah dipraktikkan selama puluhan tahun, dan yang telah terbukti mampu mempertahankan yayasan, perkumpulan dan badan hukum sejenis sampai saat ini. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP adalah pelaksanaan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian nasional terkait dengan terdapatnya potensi-potensi bangsa yang telah terbukti mempunyai andil besar memajukan pendidikan bangsa ini, baik di masa yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Terhadap potensi ini negara perlu mendukung dan justru harus membuka ruang yang lebih luas. Pasal 15 sampai 36 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP tidak mengakui cara hidup dan cara mempertahankan hidup yayasan, perkumpulan dan badan hukum sejenisnya, dan justru memaksakan penyeragaman tentang cara bagaimana yayasan, perkumpulan atau badan hukum sejenis harus hidup dan mempertahankan hidupnya. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak hidup dan hak
26
mempertahankan hidup dan kehidupan serta mengembangkan diri secara bebas melalui pendidikan. Pasal-pasal tersebut juga telah melanggar asas kebhinekaan sebagaimana dimaknai dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945. Sementara itu tidak ada cukup alasan yang secara rasional mendesak compelling rational yang memberi hak kepada negara untuk melakukan penyeragaman tersebut. Kedua, dipandang dari makna dan maksud pendidikan. Makna dan maksud terdalam dari pendidikan adalah menyiapkan anak muda menjadi orang dewasa yang mandiri, bertanggung jawab dan bermartabat atau dengan perkataan lain menjadi manusia seutuhnya yang mempunyai kemampuan untuk mengelolah hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Mengelola hidup sendiri sesuai dengan nilai-nilai mensyaratkan suatu kebebasan yaitu kebebasan memilih maka dalam bidang pendidikan yang terarah pada perkembangan seluruh kepribadian manusia, kebebasan memilih merupakan prinsip sentral dan utama. Prinsip-prinsip hidup hanya akan berubah melalui menjadi nilainilai hidup jika dipilih secara sadar dan bebas. Untuk itu lembaga pendidikan yang melakukan pendidikan melalui pengajaran juga perlu diberikan ruang gerak yang lebih luas dan lebih bebas agar mampu pula menciptakan lingkungan yang luas dan bebas bagi anak didiknya. Bebas tidak berarti semau gue atau hidup tanpa kewajiban dan tanggung jawab. Kebebasan adalah keterampilan untuk menciptakan dan memilih cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipilihnya. Dengan kebebasan justru orang didorong untuk mentaati peraturan dengan keyakinan bukan dengan keterpaksaan. Oleh karena itu memaksa suatu lembaga atau penyelenggaraan pendidikan untuk melakukan hal-hal yang bersifat teknis secara seragam merupakan tindakan yang justru bertentangan dengan prinsip utama yang disyaratkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri dan akan memberikan hasil yang berlawanan dengan maksud sesungguhnya dari penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, dipandang dari manajemen pendidikan. Penyeragaman tata kelola penyelenggara pendidikan by defination menghambat perbaikan dan kemajuan mutu pendidikan. Penyeragaman tata kelola apalagi yang belum teruji akan dapat menimbulkan resiko yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Jika suatu teknik tata kelola yang seragam gagal dalam pelaksanaan atau terjadi kesulitan-kesulitan di kemudian hari maka seluruh sistem penyelenggaraan pendidikan nasional akan terganggu dan akan terjadi chaos. Jika suatu teknik tata kelola yang seragam mencapai hasil, maka hasil itu sudah maksimal dan tidak dapat ditingkatkan lagi karena tidak tersedia alternatif lain. Sebaliknya jika terdapat alternatif teknik tata kelola, pengguna teknik tata kelola yang merasa kurang berhasil dapat mengambil pelajaran atau mencontoh mereka yang lebih atau telah berhasil.
27
Di samping itu tetap tersedia alternatif, tersedia ruang untuk terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan teknik tata kelola sehingga cara penyelenggaraan pendidikan dan pada gilirannya mutu pendidikan akan terus menerus dapat ditingkatkan. Yang perlu diseragamkan adalah prinsip-prinsip tata kelola penyelenggaraan pendidikan, bukan teknik struktur dan mekanisme tata kelolanya. Yang keempat, dipandang dari segi otonomi. Pertimbangan utama pembuatan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP, sebagaimana tercantum dalam menimbang adalah mewujudkan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan tinggi agar penyelenggara pendidikan lebih dapat mandiri untuk memajukan pendidikan nasional. Di pandang dari maksud undang-undang ini, penyeragaman teknik tata kelola justru bertentangan secara diameteral dengan maksud dan pertimbangan utama undang-undang ini yaitu otonomi. Dengan penyeragaman tata kelola, penyelenggara pendidikan kehilangan kebebasan untuk mengatur cara hidup dan mempertahankan hidupnya yang berarti justru kehilangan otonominya. Yang kelima, dipandang dari best practice penyelenggaraan pendidikan. Mutu hasil pendidikan kita khususnya pendidikan tinggi selalu dibandingkan dengan hasil pendidikan di negara-negara yang sudah maju khususnya yang memiliki perguruan tinggi peringkat dunia seperti Amerika, Inggris, Australia dan sebagainya. Oleh karena itu kita perlu belajar dari cara mereka melakukan tata kelola penyelenggaraan pendidikannya yang merupakan best practice. Di perguruan tinggi Amerika Serikat misalnya, kebanyakan sistem struktur tata kelolanya adalah secara satu kamar atau unikameral. Namun ada juga dengan sistem dua kamar atau bikameral seperti Hardvard University, Brown Univesity dan sebagainya. Demikian juga susunan anggota organ tertinggi, paling tidak ada empat model yaitu original modelsl terdiri dari siapa saja yang dianggap mampu, stakeholder models terdiri dari wakil-wakil pemangku kepentingan, governance officiall models ada wakil-wakil pejabat pemerintah dan church officiall models ada wakil-wakil dari pimpinan gereja. Di United Kingdom, struktur tata kelola dalam perguruan tinggi free 1992 ada dua model yaitu dasar oxslip models {sic} yang dilakukan oleh Oxford dan Cambridge University, yang sudah berlangsung selama ratusan tahun dan non oxsplit model kurang lebih ada 30 universitas yang menyelenggarakan. Selanjutnya, struktur tata kelola yang dianut pendidikan Post 1992, ada dua model dasar yaitu foundation model dan company limited model. Demikian juga di negara-negara maju lainnya, baik yang menyangkut pendidikan dasar, menengah dan tinggi, tata kelola penyelenggaraan pendidikan tidak pernah diharuskan menggunakan bentuk yang seragam. Mereka selalu diberi kebebasan untuk mengembangkannya sesuai pengalaman, karakteristik dan kebutuhan masing-masing berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang diturunkan
28
dari the sevent principles of public life. The sevent principles of public life yang disiapkan oleh The Nollen Comity tahun 1994 yang dianggap sebagai cikal bakal prinsip-prinsip tata kelola yang baik atau good governance merupakan referensi untuk mengembangkan prinsip-prinsip tata kelola di seluruh dunia, yang mencakup tidak mementingkan diri sendiri, integritas (integrity), obyektifitas (objectifity), keterbukaan (transparancy), kejujuran (honesty), kepemimpinan (leadership) dan akuntabilitas (accountability). Perlu ditambahkan bahwa struktur tata kelola perguruan tinggi di RRC saja sudah mulai meninggalkan sistem seragam dan menuju pada sistem beragam. Dengan mengacu pada perguruan tinggi di Hongkong. Jika Negara komunis saja bertindak demikian, masak negara Pancasila kita justru meninggalkan sistem beragam dan set back kembali lagi ke sistem seragam. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Sebagai penutup izinkanlah saya menyampaikan bahwa akibat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, pada waktu ini masih terdapat ribuan, saya ulangi ribuan yayasan, kalau tidak dapat dikatakan puluhan ribu yang belum mampu memenuhi ketentuan perubahan akta pendiriannya sesuai dengan Undang-Undang Yayasan tersebut dalam batas waktu yang ditentukan karena berbagai alasan. Sehingga, ada puluhan ribu program studi per-sekolahan dan ijazah yang terancam dianggap tidak sah. Oleh karena itu, jika penyeragaman struktur dan mekanisme tata kelola seperti tercantum dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP tersebut dipaksakan diberlakukan, kehausan pendidikan kita pasti akan bertambah, dan maksud mencerdaskan kehidupan bangsa pasti akan terganggu pula. Demikian pendapat saya dan atas perhatian, saya ucapkan banyak terima kasih. 59.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, baik. Berikutnya sudah habis ya? Yang ini saksi sekarang, baik, silakan.
60.
SAKSI DARI PEMOHON: PENGELOLA YAYASAN ALGHIFARI
Assalamualaikum, wr, wb. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi.
Perkenankan kami menyampaikan beberapa hal, selama kami menjalankan yayasan. Pertama, selama ini yayasan baik badan wakaf maupun badan perkumpulan itu berjalan sebagaimana mestinya, tidak ada hambatan apapun. Kemudian juga, harus mengakomodir tentang sejarah keberanekaragaman pendirian yayasan, ada perorangan, ada perkumpulan, ada badan wakaf yang semuanya ini memerlukan gerak dan langkah yang berbeda, tetapi menuju satu tujuan yaitu
29
mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian juga, jasa para yayasan ini diakui atau tidak, telah melahirkan anak bangsa di seluruh Indonesia baik yang ada di kota, di daerah maupun terpencil. Ini semuanya sangat menyinggung dan mengiris-iris para pendiri yayasan itu sendiri. Andaikata kita dihadapkan pada beberapa persoalan. Sebetulnya yayasan itu sudah mulai tenang dengan lahirnya Undang-Undang Yayasan, baik Nomor 16 juga undang-undang yang lain. Karena sebagaimana dimaklumi selama kami coba berdialog dengan temanteman para ketua yayasan. Sangat tersentak sekarang ini, jangankan untuk memikirkan tentang BHP, memikirkan tentang perubahan akta notaris dari yang sebelumnya sampai batas waktu 20 Oktober 2008 itu betul, ribuan yayasan terutama yang ada di Depdiknas tingkat dasar menengah dan di Depag. Apalah jadinya kalau Madrasah MI/MTS yang dikelola oleh para Ustadz, kemudian sekarang harus menyesuaikan dengan undang-undang yang terbaru. Ini mohon kajian semua pihak. Oleh Karena itu, sebetulnya agak tenang awalnya dengan melihat Pasal 1 butir 5 bahwa yayasan, badan wakaf, badan perkumpulan yang sudah mendirikan pendidikan formal, diakui sebagai badan hukum pendidikan. Tidak diembel-embel ditambah dengan Pasal 67, harus menyesuaikan tata kelolanya, selambat-lambatnya 6 tahun. Tata kelola ini akan seperti apa bentuknya? Inilah yang menjadi bahan pemikiran bagi kami. Di samping itu, yang perlu mungkin dipikirkan menurut hemat kami bukan hanya soal undang-undangnya tetapi bagaimana kita meningkatkan kualitas pendidikan. Di dalam beberapa pasal, di dalam Undang-Undang BHP meskipun tidak ada dikotonomi antara negeri dan swasta khusus di pendidikan tinggi belum ada satu pasal pun yang mengatur tentang pendanaan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, kami mengusulkan mungkin sebaiknya BHP ini tidak diberlakukan untuk swasta. Mungkin lebih cocok untuk PTN dan sekolah negeri. Tetapi untuk swasta biarkanlah kami diberikan hak hidup sebagaimana pendirian yayasan yang beranekaragam bisa dibayangkan kalau yayasan itu didirikan perorangan, asalnya dari menjual sawah, tanah, kebun, kemudian tiba-tiba beralih, bagaimana? Untung masih yang berupa perkumpulan, apakah gereja, apakah orang-orang Islam? Kemudian juga tentang badan wakaf, bagaimana yang tadinya seseorang mau mewakafkan tanah untuk tujuan tertentu kemudian dialihkan juga. Ini mohon sekali lagi, mari kita pikirkan secara matang dengan hati nurani kita tidak berarti menentang tetapi kita secara nurani berbicara bahwa pendidikan ini adalah untuk kemajuan bangsa. Kenapa pemerintah ini tidak memikirkan terlebih dahulu bukan soal badan hukumnya tetapi pemerataan pendidikan yang selama ini kita inginkan seperti itu. Oleh karena itu, kami karena sudah dibahas oleh yang terdahulu, kami hanya menitipkan nurani ini kepada hadirin Yang Mulia pada kesempatan ini, coba kaji kembali tentang Undang-Undang BHP ini mumpung ada waktu 6 tahun untuk menyesuaikan sampai dengan tahun
30
2015. Mana manfaatnya, mana moderatnya. Kalau sekiranya bermanfaat kita bismillah, kalau tidak ada manfaatnya kita juga tidak usah malu, kita tarik sendiri karena ini kepentingan negara bukan kepentingan perorangan. Terima kasih, wassalammuailaikum wr.wb. 61.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Mengingat waktu sudah jam 13.00, saya kira hari ini begini saja, ini diberi kesempatan kepada pemerintah untuk kalau mau merespons pandangan ahli dan saksi tadi. Nanti sidang berikutnya baru yang dari pemerintah, silakan, kalau pemerintah ada menanyakan?
62.
PEMERINTAH: DEPDIKNAS)
DR.
FASLI
JALAJ,
PH.D.
(DIRJEN
DIKTI,
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang kami banggakan (…) 63.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Oh, ini saksi yang dari, ahli dari 136, ya. Oh, itu dulu ya, Pak. Silakan! Nanti, Bapak. Silakan Ibu!
64.
AHLI: THE YULIA BAMBANG, SP.D., M.PD Terima kasih, yang terhormat Majelis Konstitusi Yang saya hormati. Berawal dari Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 bahwa anak usia dini adalah anak usia 01 sampai 6 tahun. Lalu Pasal 28 menyebutkan bahwa bentuk pelayanannya taman kanak-kanak/raudatul athfal adalah formal, kelompok bermain/taman penitipan anak adalah non formal, pendidikan keluarga atau sederajat namanya informal. Namun, dalam pengelolaan Paud di Indonesia dibatasi dengan Paud formal dan non formal. Hal ini menyebabkan timbulnya konflik di masyarakat terutama para pengelola taman kanak-kanak dan guru taman kanak-kanak, yang menurut pendapatnya bahwa Paud non formal adalah anak usia 1,2,3 dan 4 tahun. Padahal menurut pengertian saya bahwa Paud adalah usia 0 sampai 6 tahun dan pengelolaannya harus berkesinambungan, tidak dibatasi oleh adanya formal dan non formal. Dengan demikian anak usia dini sifatnya non formal kalau. Kalau begitu apabila diformalkan berarti: 1. harus mengikuti kaidah-kaidah pendidikan formal yang apabila masuk ke lembaga formal berarti anak tersebut harus melalui tes, evaluasi dan hasil kelulusan; 2. formal, berarti masuk ke dalam kategori pendidikan dasar, sementara pendidikan dasar dimulai dari usia 7 tahun.
31
3. Paud diformalkan berarti anak tidak boleh masuk sekolah dasar bila tesnya tidak lulus. Menurut saya taman kanak-kanak adalah taman bermain anak. Taman bermain berarti non formal. Sebagai ahli dalam pengelolaan taman bermain sebaiknya taman kanak-kanak adalah Paud non formal sehinga mengelola anak usia nol sampai enam tahun adalah pendidikan non formal. Demikian, terima kasih assalamualaikum, wr. wb. . 65.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, silakan Ibu berikutnya, kalau bisa singkat seperti Ibu sebelumnya.
66.
AHLI: DRA. RAHMINTHA. P. SOENDJOJO., PSI.
Assalamualaikum, wr, wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, tadi sudah diuraikan bahwa mengenai Undang-Undang Nomor 20 dan 28 kita melihat adanya inkonsistensi dalam pendidikan usia dini yang non formal dan formal. Saya ingin mengajak kembali, kita melihat pada definisi pendidikan anak usia dini yang telah disepakati ditingkat internasional dikatakan bahwa pendidikan anak usai dini merupakan sebuah bentuk pendidikan dan pengasuhan bagi anak usia 0 hingga 8 tahun. Anak baru lahir hingga SD awal kelas dua atau tiga. Nah, pendidikan dan pengasuhan tersebut dapat berupa pengasuhan bagi bayi dalam bentuk child care atau tempat penitipan anak, kemudian pendidikan anak usia balita satu sampai tiga tahun kemudian disebut lagi playgrup atau kelompok bermain untuk usia empat lima, dan kemudian kindergarden atau atau taman kanak-kanak usia lima enam tahun, dan SD awal dimulai dengan tujuh tahun ke atas. Di sini jelas bahwa pendidikan anak usia dini mencakup mulai pelayanan bagi bayi hingga anak sekolah dasar dan pembagian bentuk pelayanan betul-betul hanya mengacu pada usia, tidak dibedakan atas jalur formal non formal ataupun in formal. Apabila kita memperhatikan karakteristik dari sasaran pendidikan anak usia ini sendiri baik dari aspek fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosional maka bentul stimulasi yang tepat harus bersifat sangat fleksibel, penuh dengan kegiatan bermain. Stimulasi seperti ini tentunya besifat terstruktur yang tidak terstruktur atau artinya memiliki perencanaan yang baik namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi anak pada saat itu, sehingga memungkinkan adanya perubahan-perubahan dari perencanaan semula. Nah, tentu saja kondisi seperti ini hanya dapat terjadi apabila pendidikan dan pengasuhan anak usia dini dilaksanakan secara non formal. Anak usia dini harus distimulasi secara tepat agar berkembang secara optimal, bukan untuk semata-mata dilatih mencapai kemampuan tertentu yang kemudian di tes untuk melihat sejauh mana anak tersebut 32
mencapai kemampuan tersebut. Cara-cara seperti ini merupakan bentukbentuk pendidikan yang bersifat formal. Dalam pendidikan formal kita melihat adanya perencanaan yang mangacu pada kurikulum yang sudah baku dilaksanakan dengan tata cara yang diatur dan dilakukan evaluasi dan penilaian yang umumnya berupa tes formal dan cara-cara seperti ini, karakteristik pendidikan seperti ini tentulah tidak cocok untuk anak usia 0 sampai 6 tahun. Sehingga kembali saya tegaskan bahwa pendidikan anak usia dini haruslah pendidikan yang bersifat non formal. Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat, demikian uraian yang dapat saya sampaikan berdasarkan kerangka berfikir dari psikologi perkembangan pendidikan anak usia dini. terima kasih wassalamualaikum, wr. wb. . 67.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan Bapak Dirjen.
68.
PEMERINTAH: DEPDIKNAS)
DR.
FASLI
JALAJ,
PH.D.
(DIRJEN
DIKTI,
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi, essensi dari pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memberikan otonomi yang lebih luas kepada satuan pendidikan, baik berbentuk manajemen berbasis sekolah di pendidikan dasar dan menengah dan otonomi di pendidikan tinggi. Nah, untuk mendorong otonomi tersebut maka kedudukan hukumnya harus jelas dan karena itu dalam Undang-Undang BHP ditegaskan bahwa satuan pendidikan harus badan hukum, dalam prosesnya kami menyadari sekali beberapa hal yang disampaikan oleh saksi ahli tadi bahwa yang kita amankan dalam Undang-Undang BHP adalah pertama mengakui langsung semua penyelenggara pendidikan yang sudah dilakukan oleh yayasan, apapun bentuk yayasannya, itu otomatis karena itu bentuk yang pertama itu adalah badan hukum penyelenggara pendidikan. Dan ini adalah jalan tol mentransformasikan atau memberikan koridor yang luas kepada yayasan dalam bentuk apapun untuk langsung diakui sebagai badan hukum penyelenggara. Kalau yayasan misalnya punya banyak satuan pendidikan dia boleh hanya punya satu yang disebut dengan organ representasi pemangku kepentingan sebagi unsur yang menggaet, yang mengontrol otonomi yang diberikan kepada satuan pendidikan sehingga tetap transparan dan tetap bertanggungjawab tetap akuntabel karena itu organ terpenting yang jadi pegangan dalam Undang-Undang BHP ini adalah organ represetasi pemangku kepentingan. Kalau organ yang lain itu biasanya sudah ada Senat Akademik sudah ada, organ pengelolaan pendidikan
33
sudah ada, dewan audit ini biasanya di yayasan juga sudah ada, badan pengawas. Jadi sebetulnya dengan memberikan BHP penyelenggara otomatis semua kepentingan yayasan sudah diakomodasikan. Mereka tidak perlu merubah governance apapun. Nah, sesudah enam tahun baru undangundang meminta, tolong pastikan keempat tugas itu. Siapa yang melaksanakan tugas sebagai representasi pemangku kepentingan? Siapa yang akan memerankan tugas sebagai dewan audit non akademik? Kalau untuk representasi pendidik dan pengelola pendidikan itu sudah biasa sudah ada. Jadi sebetulnya bagi yayasan dipersilakan, apakah akan membentuk satu saja organ representasi pemangku kepentingan, silakan. Itu dimungkinkan oleh undang-undang. Tapi kalau sekolahnya sangat banyak mungkin bervariasi antar pulau itu boleh juga dibuat berdasarkan pulau atau berdasarkan provinsi tergantung kebutuhan masing-masing yayasan. Dan dalam proses itu yayasan boleh juga membuat badan hukum baru sebagai badan pendiri, jadi tidak ada hambatan bagi siapa saja untuk mengusulkan dan membentuk badan hukum pendidikan. Yayasan masuk kepada badan pendiri, mereka yang mendirikan, mereka yang mengusulkan menyiapkan anggaran dasar segala macam, mengatur empat fungsi tadi untuk pendidikan tinggi dan dua fungsi untuk pendidikan dasar dan menengah. Jadi yayasan yang sudah menjadi BHP penyelenggara bisa tetap mengembankan satuan pendidikan dimanapun mereka memerlukan. Cuma memang undang-undang minta agar otonomi ini tegas, baik yang baru ini dengan yayasan sebagai pendiri silakan dibentuk dimana tetapi yayasan harus menjadi bahwa bentuk pengelolaannya menjadi murni BHP. Jadi yayasan boleh masuk dan menjadi tokoh sentral di dalam organ representasi pemangku kepentingan. Jadi saya melihat di dalam proses ini semua hak masyarakat diakomodir, malahan proses yang lebih dari tiga tahun ini adalah untuk mengakomodir agar sejarah yang panjang, kontribusi yang besar dari yayasan itu jangan sampai dihindarkan atau malahan dimentahkan oleh undang undang ini. Justru kita melihat otonomi perlu, akuntabelitas perlu tetapi sejarah panjang ini diamankan yang ke depan mari kita cari bentuk bagaimana yayasan tetap mendirikan tetapi BHPN sebagai modalitas yang diminta oleh undang-undang bisa kita berikan. Itu saja Pak Ketua, terima kasih. 69.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, masih ada lagi dari pemerintah, silakan.
70.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN DAN PENYIAPAN KETERANGAN PEMERINTAH PADA SIDANG MK) Ya, khususnya ini dengan Ibu Willy ini. Kaitannya tadi Ibu menyampaikan hal hal yang berkaitan dengan pelayanan publik di
34
Departemen Hukum dan HAM. Pertanyaan saya singkat saja, apakah itu memang di dalam pengurusan yayasan di Departemen Hukum ada kendala Ibu? Karena ini berkaitan dengan program kebijakan yang memang kita akan reformasi begitu? Terima kasih. 71.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ditampung dulu, ada lagi tidak? Cukup? Masih? Silakan Bapak ?
72.
PEMERINTAH: DR. WUKIR, S.H., M.ED. (STAF AHLI MENDIKNAS BIDANG HUKUM DAN SOSIAL) Terima kasih kepada Bapak Ketua yang kami muliakan. Pertanyaan kami kepada Pak Fadjrul, tadi beliau menyampaikan bahwa terjadi inskonstitensi antara pasal-pasal dalam Undang-Undang BHP. Pertanyaan kami adalah apakah ini adalah suatu alasan untuk dijadikan menjadi judicial review, karena judicial review itu adalah melihat apakah Undang Undang BHP dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar? Demikian, terima kasih.
73.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ada nanti kalau masuk, cukup ya dari Pemerintah? Baik, silakan siapa saja merasa perlu menjelaskan tadi dari (...)
74.
AHLI: MILLY KARMILA SAREAL, S.H., M.KN. Mohon waktu untuk menjawab.
75.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan.
76.
AHLI: MILLY KARMILA SAREAL, S.H., M.KN. Saya ingin menjawab tadi ditanyakan apakah saya sebagai notaris mengurus yayasan mengalami kendala? Sudah banyak yayasan yang saya urus, sudah lancar, baik, semua pelayanan baik. Jadi yang saya ungkapkan untuk mengurus yayasan malah sudah tidak ada kendala. Tetapi sejak 16 Januari 2009 Dephukham semestinya kan karena adanya Undang-Undang tentang BHP Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 ini, tidak bisa lagi mengesahkan yayasan yang ada kegiatan pendidikan formalnya. Betul kan Pak ? jelas kan itu? Dan juga banyak yayasan yang belum sempat menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan yang menyelenggarakan pendidikan yang katanya jumlahnya ribuan, saya tidak punya datanya, tetapi Dephukham mungkin sudah punya, yaitu
35
yang tidak sempat menyesuaikan karena terhambat dengan waktu dan sebagainya semacam halangan halangan. Mereka dengan adanya Undang-Undang BHP ini per 16 Januari 2009 tidak bisa lagi memperbaiki akte yayasannya, mencantumkan pendidikan dan misalnya kalau dia mau menjalankan terus kegiatan pendidikan, dia mestinya harusnya diarahkan mau menurut undang-undang ini mendirikan BHP. Setiap satu unit, satu BHP. begitu kan Pak ya? Dan itu bukan wewenang Dephukham lagi, itu wewenangnya di Depdiknas. Nah, inilah yang kita rasakan sebagai kendala yang sangat merugikan di dalam pendidikan. Untuk mendirikan satu BHP harus disediakan dananya cukup untuk sekurang-kurangnya sekian tahun yang tidak boleh kurang, kata Undang-Undang BHP. Siapa yang mendirikan BHP kalau begitu? Dananya tidak cukup tidak bisa menjamin, itulah yang saya maksudkan. Terima kasih. 77.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, untuk Pak Fadjrul ini ada pertanyaan Pak Fadjrul. Bapak tadi mengatakan bahwa Undang-Undang BHP itu memuat pasal-pasal yang inskonsisten satu sama lain. Apakah inskonsisten antara pasal itu bisa dijadikan alasan untuk meminta judicial review? Bukankah judicial review itu menurut penanya tadi dari pemerintah tadi bukankah judicial review itu hanya bisa dilakukan karena ada pertentangan kalau isi undangundang dengan Undang Undang Dasar bukan antar pasal satu Pasal di dalam undang undang, begitu saja Pak pertanyaannya,silakan.
78.
AHLI: FADJRUL FALAAKH, S.H., M.S., M.SC. Baik, pertanyaannya seperti bola sodok. Karena pada biaya, karena lalu apa ini, yang saya kemukakan adalah ketidaksinkronan internal kepada suatu undang-undang dan juga benturan juga dengan Undang-Undang Yayasan. Nah, padahal di dalam berprinsip untuk melahirkan atau membuat suatu Peraturan Perundang undangan sinkronisasi internal itu merupakan suatu unsur esensial. Kalau undang undang tidak dapat dilaksanakan, jadi secara umum tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh Undang Undang Dasar. Karena Undang-Undang Dasar menginginkan supaya undang-undang itu dapat melaksanakan ketentuan ketentuan yang diinginkan misalnya di dalam Undang-Undang Dasar, secara umum bisa begitu. Persoalannya adalah bahwa yang dimohonkan adalah oleh Pemohon, apa ini pertentangan undang-undang ini dengan berbagai atau sejumlah pasal yang ada yang dikemukakan oleh Pemohon. Saya menyorotinya dari segi legislasi akan menjadi bahan bagi Pemohon untuk membuat kesimpulannya, di mana pendapat saya akan mendukung permohonan Pemohon. Itu soal yang tadi katakan tadi seperti bola sodok, Pak. Terima kasih.
36
79.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, cukup ya? Untuk hari ini. Jadi begini sidang berikutnya akan diberitahukan kemudian. Jadi sidang hari ini dinyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.24 WIB
37