VOLUME 26 NOMOR 1, APRIL 2011
ISSN 0126 – 3188
AKREDITASI : SK 187/AU1/P2MBI/08/2009
Penanggung Jawab: Kapuslit Metalurgi – LIPI Dewan Redaksi : Ketua Merangkap Anggota: Ir. Ronald Nasoetion, MT Anggota: Dr. Ir. Rudi Subagja Dr. Ir. F. Firdiyono Dr. Agung Imadudin Dr. Ika Kartika, MT Ir. Yusuf Ir. Adil Jamali, M.Sc (UPT BPM – LIPI) Prof. Riset. Dr. Ir. Pramusanto (Puslitbang TEKMIRA) Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi, DEA (UI) Dr. Ir. Sunara, M.Sc (ITB) Sekretariat Redaksi: Pius Sebleku, ST Tri Arini, ST Arif Nurhakim, S.Sos Penerbit: Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470 Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 Alamat Sekretariat: Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470 Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 E-mail :
[email protected] Majalah ilmu dan teknologi terbit berkala setiap tahun, satu volume terdiri atas 3 nomor.
Pengantar Redaksi ………………. iii Abstrak …………………………….. v Metoda FZ pada Pembuatan Kristal Tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 Agung Imaduddin ………………………….
1
Kendala dan Kemungkinan Pengembangan Proses Caron untuk Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia
Arifin Arif dan Edi Herianto……….……..… 7
Konsentrasi Pasir Besi Titan dari Pengotornya dengan Cara Magnetik Deddy Sufiandi ……………….……….
5
Pengaruh Penambahan Serat Polyvinyl Alcohol dan Superplastisizer Polycarboxylate Ethers terhadap Sifat Mekanik Material ECC Harsisto, dkk……………………………...... 21
Percobaan Peningkatan Kadar Mangan Menggunakan Magnetic Separator Immanuel Ginting dan Deddy Sufiandi…27
Masih Terbukanya Peluang Penelitian Proses Caron untuk Mengolah Laterit Kadar Rendah di Indonesia Puguh Prasetiyo dan Ronald Nasoetion.... 35
Adsorpsi Nikel dan Kobalt pada Resin Penukar Ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam Beberapa Larutan Sulfat Frideni G.F……………………………….... 45
Indeks
ii | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
PENGANTAR REDAKSI Syukur Alhamdulillah Majalah Metalurgi Volume 26 Nomor 1, April 2011 kali ini menampilkan 6 buah tulisan. Tulisan pertama hasil penelitian disampaikan oleh Agung Imaduddin berjudul “Metoda FZ pada Pembuatan Kristal Tunggal La2-2xSr1+2xMn2O7.” Selanjutnya Arifin Arif dan Edi Herianto tentang ”Kendala dan Kemungkinan Pengembangan Proses Caron untuk Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia”. Harsisto dan Kawan-Kawan juga menulis tentang ”Pengaruh Penambahan Serat Polyvinyl Alcohol dan Superplastisizer Polycarboxylate Ethers Terhadap Sifat Mekanik Material ECC”. Immanuel Ginting dan Dedy Sufiandi menulis tentang ” Percobaan Peningkatan Kadar Mangan Menggunakan Magnetik Separator”. Berikutnya Puguh P dan Ronald Nasoetion MT menulis tentang ”Masih Terbuka Peluang Penelitian Proses Caron untuk Mengolah Laterit Kadar Rendah di Indonesia”. Pada bagian berikutnya ada 1 buah makalah terbaik pada Seminar Metalurgi 2009 yaitu “ Adsorpsi Nikel Dan Kobalt pada Resin Penukar Ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam Beberapa Larutan Sulfat“ yang disampaikan oleh Frideni GF dan Kawan-Kawan. Semoga penerbitan Majalah Metalurgi volume ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia penelitian di Indonesia.
REDAKSI
Pengantar Redaksi
| iii
iv | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 548 Agung Imaduddin (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Metoda FZ pada Pembuatan Kristal Tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011 La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) mempunyai CMR (Colossal Magnetoresistance) terbesar dibandingkan bahan Mn oxide lainnya[1]. Untuk menyelidiki sifat CMR ini, kita harus dapat membuat kristal tunggalnya. Untuk itu kami telah membuat kristal tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) atau disebut LSMO 327. Kristal tunggal kami buat dengan metoda FZ (Floating Zone). Sebelum pembuatan kristal tunggal dengan memakai metoda FZ, kami telah menganalisa hubungan suhu dan konsentrasi x dengan memakai thermocouple dan analisa EPMA (Electron Probe Microanalysis). Setelah penumbuhan dengan memakai metoda FZ, analisa struktur kristal dan sifat kristalisasinya pada hasil kristal tunggalnya dilakukan dengan memakai XRD dan rocking curve, kemudian kami juga memakai EPMA untuk mengetahui komposisi unsur yang terbentuk. Dari hasil metoda FZ ini diketahui bahwa permukaan cleave (permukaan kelupas) nya adalah bidang ab, dan memiliki nilai half full value width nya 0,115° , yang menunjukkan kualitas kristal tunggal yang tinggi. Dari EPMA diketahui bahwa nilai x pada La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 adalah 0,409. Kata kunci : CMR, Kristal tunggal, LSMO 327, Metoda floating zone La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0.4) has the most large CMR (Colossal Magnetoresistance)[1]. In order to research on CMR effect, we have to prepare high quality single crystals. We have grown La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 single crystal of x = 0.4 (or LSMO 327). We have grown single crystals with FZ (Floating Zone) method. Before growing single crystals using the FZ method, we have analyzed the relation of temperature and concentration x by using thermo-couple and analysis of EPMA (Electron Probe Microanalysis). After growing using the FZ method, analysis of crystal structure and its crystallization properties were carried out using XRD and Rocking curve, then we were also using EPMA to determine its elemental composition. From the results of the FZ method, we know that the cleaved surface is the ab plane, and has a half full value width of 0.115° , which indicates a high quality single crystal. From the EPMA result, we know that the value of x at the LA 2-2x Sr 1 +2 x Mn 2 O 7 is 0.409. Keywords : CMR, Single crystal, LSMO, Floating zone method
Abstrak
|v
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 546.6 Arifin Arif dan Edi Herianto (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Kendala dan Kemungkinan Pengembangan Proses Caron untuk Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011 Bagian terbesar dari bijih nikel laterit Indonesia yang cadangannya lebih dari 1 milyar ton termasuk pada klasifikasi bijih berkadar rendah. Komposisi bijih kadar rendah tersebut sangat bervariasi, dari bijih saprolit yang tinggi kandungan oksida magnesium dan silikatnya serta bijih limonit yang tinggi kandungan oksida besi dan aluminiumnya. Selain itu bijih limonit juga berpotensi mengandung silikat yang cukup tinggi. Oleh karena itu selalu ada kemungkinan dari suatu cebakan bijih, kandungan total magnesium dengan aluminium dan atau silikat dari bijih campuran tersebut masih melampaui dari batas kritis olahan proses HPAL. Oleh karena itu pengolahan optimal tidak dapat diharapkan hanya dari proses HPAL. Seperti diketahui walaupun kinerjanya tinggi tetapi proses HPAL cocok hanya untuk bijih yang kandungan magnesium dan atau silikatnya rendah seperti limonit murni. Untuk itu perlu disiapkan alternatif berupa proses yang komposisi bijih umpannya dapat lebih fleksibel. Kalau pilihannya adalah proses Caron tampaknya masih diperlukan langkah pendekatan terhadap beberapa kendala yang harus dihadapi oleh proses tersebut bila akan dikembangkan kedepan. Kata kunci : Bijih nikel, Laterit, Saprolit, Limonit, Proses HPAL, Proses Caron
The largest portion of more than 1 billion ton Indonesian nickel laterite ore deposits can be classified as low grade. It is informed that the compositions of the ores varies in wide range, with high magnesium oxide and silicates contents for saprolite and high iron and aluminium oxides for limonite. The limonit ores are also potential in containing high enough silicate. Due to it always possible that the total magnesium and aluminium and or silicates contents of the mixed ores deposits are higher than the ore feed compositions critical limits of HPAL, so it is predicted that the optimal treatment would not be achieved if based only on HPAL process. As have been known even HPAL is high in performance but just only suitable for certain ores with low magnesium and low silicates contents such likes pure limonite. For that it requires to provide alternative processes which are more flexible toward ore feed compositions. If the selected process is Caron, still it needs some steps of problems approach that have to be faced for the future process development. Keywords : Nickel ore, Laterite, Saprolite, Limonite, HPAL process, Caron process
vi | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 620.18 Deddy Sufiandi (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Konsentrasi Pasir Besi Titan dari Pengotornya dengan Cara Magnetik Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011 Pasir besi titan Indonesia cadangannya cukup besar terutama di daerah sekitar pantai Selatan Jawa. Salah satu potensi pasir besi titan yang akan di teliti adalah pasir besi dari daerah Tegal Buleud Pantai Selatan Sukabumi. Pemanfaatan pasir besi titan merupakan alternatif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri baja yang dalam perkembangan dan kebutuhannya semakin meningkat dengan terbatasnya cadangan bijih besi konvensional. Tujuan penelitian untuk mendapatkan kualitas pasir besi titan yang memenuhi persyaratan peleburan, perlu dilakukan konsentrasi untuk meningkatkan kadar besi dengan cara magnetik. Metode percobaan adalah melakukan identifikasi pasir besi titan dengan mengunakan analisa XRD. Kemudian dilakukan proses preparasi sampel dan pengayakan sebelum dimasukan kedalam peralatan pemisah magnetik dan dari pemisah magnet akan dihasilkan produk konsentrat, middling, dan tailing. Hasil percobaan menunjukkan produk konsentrat pasir besi titan mempunyai kandungan Fe 2 0 3 80 % dan TiO 2 20 %. Dan pemisahan pasir besi titan dengan kondisi optimum diperoleh pada kondisi arus 3,5 ampere dan fraksi - 100 mesh dengan perolehan konsentrat rata-rata 90 %. Kata kunci : Pasir besi titan, Magnetic separator, Tegal Buleud - Sukabumi Selatan, Industri baja
Titan iron sand has been found a lot in Indonesia especially around west coast of Java. One of titan iron sand used in this research is iron sand from Tegal Buleud area at Sukabumi west coast. The utilization of iron sand is an alternative to fill-up the rising demand of raw material for steel industry development due to limited amount of conventional iron ore. To obtain the quality of titan iron sand which is suitable with the requirement for smelting, it is needed to have concentration process by magnetic separator to increase iron content. The step of experiment were identification of titan iron sand composition, preparation of sample and sampling processes, and material separation using magnetic separator to get concentrate, middling, and tailing products. The result of experiment shown concentrate product of titan iron sand has Fe 2 O 3 and TiO2 with weight composition 80 % and 20 % respectively. And also The optimum condition in magnetic separator was 3.5 Ampere current and fraction -100 mesh got average concentrate yield about 90 %. Keywords : Titans iron sand, Magnetic separator, Tegal Buleud- South Sukabumi, Steel industry
Abstrak
| vii
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 620 Harsisto, Hartati, Yulinda Lestari, Ari Yustisia Akbar (Pusat Penelitian Metalurgi - LIPI) Pengaruh Penambahan Serat Polyvinil Alcohol dan Superplastisizer Polycarboxylate Ethers terhadap Sifat Mekanik Material ECC Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011 Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh penambahan serat PVA dan superplastisizer tipe polycarboxylate ethers (tipe P) terhadap sifat mekanik material ECC. Tujuan dari penggunaan PVA adalah untuk meningkatkan kekuatan beton sehingga apabila dikenai beban, tipe retakan yang terjadi adalah retak rambut (microcrack). Superplasticizer ditambahkan untuk meningkatkan kelecakan (workability) ECC sehingga mudah dipadatkan dan didapatkan mutu yang lebih baik. Pengujian material ECC dilakukan dengan mengukur kuat tekan dan kuat lentur menggunakan universal testing machine. Dari variasi komposisi sampel ECC yang dilakukan, komposisi paling efektif terdapat pada perbandingan semen : air : pasir : fly ash : SP : PVA = 1 : 0,68 : 0,94 : 1,6 : 0,01 : 0,02 dengan kuat tekan 196 kg/cm2 dan kuat lentur 145,3 kgf. Kata kunci : Self healing concrete, Engineered cement composite, Polyvinyl alcohol, Superplastisizer, Fly ash This research was conducted to study the effect of PVA fiber and polycarboxylate ethers typed superplastisizer (type P) to the mechanical properties of ECC materials. The purpose of the use of PVA is to increase the strength of the concrete so that when subjected to load, type of fracture is microcrack. Superplasticizer was added to enhance ECC workability so it was easily compressed and get better quality. ECC material testing was conducted by measuring the compressive and flexural strength using a universal testing machine. The most effective composition of ECC material on the ratio of cement: water: sand: fly ash: SP: PVA = 1 : 0.68 : 0.94 : 1.6 : 0.01 : 0.02 has compressive and flexural strength of 196 kg/cm2 and 145.3 kgf respectively. Keywords : Self healing concrete, Engineered cement composite, Polyvinyl alcohol, Superplastisizer, Fly ash
viii | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 620.1 Imanuel Ginting dan Deddy Sufiandi (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Percobaan Peningkatan Kadar Mangan Menggunakan Magnetic Separator Metalurgi, Volume 25 No.2 Agustus 2010 Percobaan pemisahan besi dari mangan dengan magnetik seperator telah dilakukan terhadap bijih mangan dari daerah Trenggalek Jawa Timur dengan variabel percobaan yaitu rapat arus 2,5 ampere dengan tegangan atau voltage yang disesuaikan dengan kondisi alat. Umpan percobaan yang digunakan dalam pemisahan ini adalah bijih mangan yang telah melalui proses roasting sebelumnya. Kondisi optimal proses pemisahan diperoleh pada kuat arus 2,5 ampere dengan kandungan 50,99 % Mn dan kandungan besi 0,27 %. Kata kunci : Mangan, Pemanggangan, Magnetik separator, Produk The separation tests of roasted manganese ore by magnetic separator have been carried out. The test variables were the current densities such like 2,5 ampere and the voltage which suitable to the tool condition. The optimal condition of 50.99 % content of Mn and 0.27 % Fe content achieved is current density 2.5 ampere. Keywords : Mangan, Roasting, Magnetic separator, Product
Abstrak
| ix
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 620.1 Puguh Prasetiyo dan Ronald NNasoetion (Pusat Penelitian Metalurgi - LIPI) Masih Terbuka Peluang Penelitian Proses Caron untuk Mengolah Laterit Kadar Rendah di Indonesia Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011 Indonesia memiliki cadangan nikel pada peringkat dua dunia. Cadangan tersebut berupa bijih nikel oksida yang lazim disebut laterit, berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) terutama di Sulawesi Tenggara dan Halmahera. Adapun laterit terdiri dari limonit berkadar Ni<1,5 % dan saprolit berkadar Ni > 1,5 %. Laterit kadar tinggi saprolit berkadar Ni > 1,8 % sudah diolah di Sulawesi Tenggara dengan jalur pyrometalurgi oleh PT Antam (Aneka Tambang) untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) di Pomalaa, dan PT INCO Canada untuk memproduksi nikel mattte (Ni-matte) di Soroako. Laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni < 1,8 %, belum diolah di dalam negeri. Secara komersial untuk mengolah laterit kadar rendah digunakan proses Caron yang pertama kali dibangun di Nicaro Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1942. Atau proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) juga pertama kali dibangun di Moa Bay Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1959. Kedua proses tersebut tergolong dalam jalur hydrometalurgi, dan pemilihan proses tergantung dari kondisi bijih terutama pada kandungan Mg (magnesium). Laterit kadar rendah dengan kandungan Mg (magnesium) rendah (Mg < 6 % atau MgO < 10 %) lebih sesuai untuk diolah dengan proses HPAL, dan magnesium tinggi (Mg > 6 % atau MgO > 10 %) diolah dengan proses Caron. Dalam perkembangannya setelah tahun 1990-an, proses Caron mulai ditinggalkan karena mengkonsumsi energi tinggi dengan perolehan yang rendah untuk nikel (Ni : 70 – 80 %) maupun kobal (Co maks 50 %). Selanjutnya beralih ke proses HPAL karena proses ini mengkonsumsi energi rendah dengan perolehan tinggi untuk nikel (Ni > 90 %) maupun kobal (Co > 90 %). Dengan melihat kenyataan kegagalan tiga HPAL plant generasi kedua di Australia (Bulong tutup 2003, Cawse tutup 2008, dan Murrin Murrin berpindah kepemilikan ke Minara pada 2003/2004 dan beralih ke heap leach tahun 2007). Serta masih berlangsungnya Caron plant di Cuba (Nicaro dan Punta Gorda), Queensland Nickel di Yabulu Australia, dan Tocantin Brasilia. Maka proses Caron masih punya peluang untuk mengolah laterit kadar rendah di Indonesia. Peluang tersebut semakin terbuka apabila perolehan metal (recovery Ni dan Co) pada proses Caron bisa ditingkatkan setara dengan perolehan metal (recovery Ni dan Co) pada proses HPAL, dan ekonomis konsumsi energinya. Kata kunci : Laterit kadar rendah, Limonit, Saprolit, Hidrometalurgi, Proses Caron, Proses HPAL, Magnesium (Mg) Indonesia had the resources of nickel at the second in the world. The resources are nickel oxide which said laterite. The abundant of laterite locate at Sulawesi Tenggara (South-East Sulawesi) and Halmahera. There are two main mineral in laterite, limonit contains Ni<1,5% and saprolit contains Ni>1,5%. The high grade nickel saprolit contains Ni>1,8% has been processed in Sulawesi Tenggara to produce FeNi (ferro nickel) in Pomalaa by PT Antam, and to produce Ni-matte (nickel matte) in Sorowako by PT INCO Canada. The low grade laterite (limonit and saprolit contains Ni<1,8%) not yet processed in Indonesia. To process the low grade laterite are used Caron’s process or HPAL’s process (High Pressure Acid Leaching). The condition of laterite’s ores are used to choice the process. The Caron’s process is remained after 1990’s because it consume high energy with low metal recovery (Ni : 70 – 80 % Co max 50 %). The choice to process low gradelaterite is HPAL because it consume low energy wiyh high recovery of metal (Ni > 90 % and Co > 90 %). The fact three HPAL plant in Australia unsuccessful (Bulong closed on 2003, Cawse closed on 2008, and Murrin Murrin taked over by Minara and change to heap leach on 2007) and the Caron plant still exist in Cuba (Nicaro and Punta Gorda), Queensland Nickel di Australia, and Tocantin Brasilia. Then Caron’s process still have opportunity to process the low grade laterite in Indonesia if the recovery of metal can be increase as same as HPAL and the consume of energy can be decreased. Keywords : Low grade of laterite, Ilmonite, Saprolite, Hydrometallurgy, Caron process, HPAL process, Magnesium (Mg)
x | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 669.7 Frideni G. F, A. Wisma, M.Z. Mubarok, S. Purwadaria (Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, FTTM-ITB) Adsorpsi Nikel dan Kobal pada Resin Penukar Ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam Beberapa Larutan Sulfat Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011 Resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL adalah salah satu resin untuk memisahkan logam dari larutan hasil pelindian bijih nikel laterit. Resin ini tahan terhadap abrasi, dapat digunakan pada suhu diatas suhu kamar, memiliki kelarutan yang rendah dalam larutan hasil leaching sehingga dapat digunakan berulang-ulang. Tulisan ini membahas kinetika proses adsorpsi nikel dan kobalt pada resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam beberapa larutan nikel dan kobalt sintetik dengan pH 3, 4, dan 5 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C. Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa dalam larutan nikel sulfat dan kobalt sulfat sintetik pH 5, persen adsorpsi nikel dan kobalt masing-masing dapat mencapai 92,19% dan 97,12% bila adsorpsinya dilakukan pada suhu 50 °C. Berdasarkan studi kinetika yang telah dilakukan, laju adsorpsi pada resin saat awal proses ≤( 2 j am) cenderung terkendali oleh laju difusi ion-ion melalui lapis difusi dalam fluida. Hasil percobaan menunjukkan pH dan suhu larutan berpengaruh pada persen adsorpsi nikel dan kobalt dan resin lebih sesuai untuk adsorpsi logam-logam ini secara bersamaan, karena tidak cukup selektif untuk memisahkan keduanya. Kemungkinan penggunaan resin ini untuk mengadsorpsi nikel dan kobalt dari beberapa larutan hasil pelindian nikel laterit kadar rendah yang telah dikurangi kandungan ion besinya juga disajikan dalam tulisan ini. Kata kunci : Resin, Lewatit Monoplus TP 207 XL, Laterit, Pelindian, Difusi Lewatit Monoplus TP 207 XL ion exchange resin has a function to separate metal from nickel ore laterite in leaching solution. This resin has good wear ability and low solubility inside of solution after leaching process, therefore can be used at elevated temperature frequently. This study concern on kinetic of nickel and cobalt absorption of Lewatit Monoplus TP 207 XL ion exchange resin in nickel solution and synthetic cobalt, with potential hydrogen various around 3,4 and 5 at room temperature of 40 °C and 50 °C. Result shows that nickel and cobalt adsorption percentage can be obtained approximately around 92.19% and 97.12%, respectively, in nickel sulfide solution and 5 potential hydrogen of synthetic cobalt at temperature 50 °C. Based on kinetic study which has been done, absorption rate of resin at the first process≤ ( 2 h) effected by ions diffusion rate through diffusion layer in the fluid. Result shows that potential hydrogen and solution temperature affect in nickel and cobalt absorption percentages, and also resin more appropriate to absorb these metals simultaneously, due to difficulty to separate of them. This study also shows possibility to using this resin for absorption nickel and cobalt in various solutions which is obtained from low nickel laterite with low ferrous ions after leaching process. Keywords : Resin, Lewatit Monoplus TP 207 XL, Laterit, Leaching, Diffusion
Abstrak
| xi
xii | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METODA FZ PADA PEMBUATAN KRISTAL TUNGGAL La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 Agung Imaduddin Puslit Metalurgi – LIPI Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314 E-mail:
[email protected]
Intisari La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) mempunyai CMR (Colossal Magnetoresistance) terbesar dibandingkan bahan Mn oxide lainnya[1]. Untuk menyelidiki sifat CMR ini, kita harus dapat membuat kristal tunggalnya. Untuk itu kami telah membuat kristal tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) atau disebut LSMO 327. Kristal tunggal kami buat dengan metoda FZ (Floating Zone). Sebelum pembuatan kristal tunggal dengan memakai metoda FZ, kami telah menganalisa hubungan suhu dan konsentrasi x dengan memakai thermocouple dan analisa EPMA (Electron Probe Microanalysis). Setelah penumbuhan dengan memakai metoda FZ, analisa struktur kristal dan sifat kristalisasinya pada hasil kristal tunggalnya dilakukan dengan memakai XRD dan rocking curve, kemudian kami juga memakai EPMA untuk mengetahui komposisi unsur yang terbentuk. Dari hasil metoda FZ ini diketahui bahwa permukaan cleave (permukaan kelupas) nya adalah bidang ab, dan memiliki nilai half full value width nya 0,115° , yang menunjukkan kualitas kristal tunggal yang tinggi. Dari EPMA diketahui bahwa nilai x pada La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 adalah 0,409. Kata kunci : CMR, Kristal tunggal, LSMO 327, Metoda floating zone
Abstract La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0.4) has the most large CMR (Colossal Magnetoresistance)[1]. In order to research on CMR effect, we have to prepare high quality single crystals. We have grown La 2Sr Mn 2 O 7 single crystal of x = 0.4 (or LSMO 327). We have grown single crystals with FZ (Floating 2x 1+2x Zone) method. Before growing single crystals using the FZ method, we have analyzed the relation of temperature and concentration x by using thermo-couple and analysis of EPMA (Electron Probe Microanalysis). After growing using the FZ method, analysis of crystal structure and its crystallization properties were carried out using XRD and Rocking curve, then we were also using EPMA to determine its elemental composition. From the results of the FZ method, we know that the cleaved surface is the ab plane, and has a half full value width of 0.115° , which indicates a high quality single crystal. From the EPMA result, we know that the value of x at the LA 2-2x Sr 1 +2 x Mn 2 O 7 is 0.409. Keywords : CMR, Single crystal, LSMO, Floating zone method
PENDAHULUAN Sejak penemuan bahan oksida Cu superkonduktor yang mempunyai suhu kritis T C yang tinggi, perhatian dunia terhadap struktur perovskite ini juga semakin meningkat. Bahan oksida Mn yang mempunyai struktur perovskite juga mendapat perhatian untuk dilakukan penelitiannya. Bahan oksida Mn memiliki rumus umum (La, Sr) 1+n Mn n O 3n+1 (n = 1,
2, ∞), dimana n adalah jumlah layer Mn-O pada tiap molekulnya. Layered Mn oxide yang memiliki n = 2 (atau disebut LSMO 327) mempunyai sifat MR (magnetoresistance) yang tertinggi dibanding bahan lainnya[2]. Selain memiliki sifat MR yang tinggi, LSMO 327 juga memiliki sifat insulator pada suhu di atas T C dan sifat logam pada suhu di bawah T C [3]. Sampai saat ini, pembuatan kristal tunggal LSMO 327 sangat sedikit
dibandingkan bahan lainnya, hal ini disebabkan pembuatan kristal tunggal yang relatif lebih sulit dibandingkan bahan lainnya [4]. Untuk dapat menyelidiki sifat fisika pada elektron Mn ini, diperlukan kristal tunggal yang memiliki kualitas yang tinggi. Sampel LSMO 327 mempunyai struktur tetragonal dimana elektron bergerak pada permukaan ab atau pada lapisan Mn-O nya dan pada permukaan ab ini kelupas (cleave) nya terjadi (Gambar 1).
Pembuatan Rod Material[4] Persiapan Metoda FZ (pembuatan grafik hubungan suhu dan konsentrasi x) Metoda FZ
Analisa XRD, Rocking curve
Analisa EPMA
Gambar 2. Alur pembuatan kristal tunggal dengan metoda FZ
Gambar 1. Struktur Kristal pada (La, Sr) 1+n Mn n O 3n+1 (n = 2) atau disebut LSMO 327, (a=b=3,87Å, c=20,14 Å)
Untuk itu pada tulisan ini, kami akan menyampaikan pembuatan kristal tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (dengan nilai x = 0,4), yang kami laksanakan di Universitas Iwate, Jepang. PROSEDUR PERCOBAAN Pembuatan kristal tunggal LSMO 327 dibuat berdasarkan alur seperti dibawah ini (Gambar 2).
Pembuatan rod material (batang pelet) pada sampel ini kami jelaskan pada tulisan kami yang lain[4]. Pemanasan dengan cahaya lampu halogen pada metoda FZ ini sangat efektif bagi pembuatan kristal tunggal pada bahan oksida. Pada salah satu titik pusat cermin elip, terletak lampu halogen dan pada titik pusat lainnya terletak rod material yang akan dipanaskan. Kelebihan metoda FZ ini antara lain ialah karena tidak memakai bejana sehingga dapat menghindari pencemaran sampel oleh bejana, dapat memakai lingkungan gas/ atmosphere apa saja. Kelemahannya ialah karena hanya mengandalkan daya adhesi cair sampel, apabila bagian cairnya panjang, akan mudah terputus. Gambar 3 memperlihatkan skema alat metoda FZ yang kami pergunakan.
2 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 1-6
berlebihan dan ketika suhunya turun jumlah Sr nya mengkristal mengikuti garis kondisi padat. Dari gambar tersebut kita dapat mengatur output lampu halogen, untuk mencapai konsentrasi x yang seharusnya.
Gambar 4. Grafik kondisi padat dan cair terhadap temperatur Gambar 3. Skema metoda FZ yang memakai halogen lampu untuk memanaskan
Kami memakai alat metoda FZ yang diproduksi perusahaan Crystal System, tipe FZ-T-10000-H. Alat FZ ini tidak dilengkapi sensor suhu. Untuk itu kami melakukan juga percobaan untuk mengetahui hubungan output lampu halogen dan suhu. Gambar 4 menunjukkan grafik kondisi konsentrasi x pada garis kondisi padat dan garis kondisi cair [5]. Pada sumbu vertikalnya untuk mengetahui hubungan output lampu dan suhu, kami mula-mula mengukur hubungan suhu dan output lampu dengan memakai thermal-couple. Untuk sumbu horizontalnya, kami mengukur dengan EPMA pada sampel. Untuk membuat garis kondisi padat (solid phase line), kami mengukur dengan EPMA pada bagian selain ujung atas sample. Sedangkan untuk membuat garis kondisi cair (liquid phase line), kami mendinginkan secara tiba-tiba di bagian ujung sampel, setelah itu kami ukur dengan EPMA. Dari hasil pengamatan terlihat ketika sampel tumbuh pada FZ, melt zone-nya terdiri atas jumlah Sr yang
Upper material (rod material) Melt-zone
Lower material (kristal Gambar 5. Kondisi kristal tunggal saat penumbuhan dengan metoda FZ (berdasarkan pengamatan dengan kamera)
Kondisi penumbuhan kristal tunggal dengan metoda FZ dapat dilihat di Gambar 5. Rod material digantung lurus kemudian diletakkan pada pusat panas sehingga mencair sebagian (melt-zone) yang kemudian diturunkan sedikit demi sedikit. Shaft (batang) atas dan bawah kami putar berlawanan, dengan masing-masing putaran 50 rpm dan 6 rpm. Kami turunkan melt-zone nya hingga mendingin perlahan lahan dengan kecepatan 1,0 mm/h dan kemudian mengkristal. Ketika melt-zone
Metoda FZ Pada Pembuatan…../ Agung Imaduddin |
3
nya sudah mencapai ujung atas, maka rod materialnya menjadi kristal tunggal. Untuk mempertahankan kondisi bentuk melt-zone ini, maka gaya adhesi, kerapatan, suhu, kecepatan pindah akan sangat mempengaruhi. Alat FZ ini menggunakan 4 cermin elip dengan 4 halogen lampu dengan kekuatan masing-masing 1 kW sehingga cahaya panas dapat dipusatkan ke melt-zone dari hampir semua arah sehingga dapat menghindari perbedaan suhu pada meltzone. Untuk melihat keadaan melt-zone nya, dipergunakan kamera monitor. Dari kamera langsung ke monitor televisi. Ketika pertumbuhan, dengan melihat meltzone nya, suhu (output lampu), kecepatan pengisian (kecepatan turun upper material) dan kecepatan penumbuhan (kecepatan turun lower material) dapat dicocokkan. Lingkungan gas (pada riset ini memakai gas O 2 ) dialirkan dari bawah ke atas. Ketika kristalisasi terjadi, kami mengamati kondisi melt-zone nya melalui monitor televisi. Apabila suhu terlalu tinggi, meltzone nya akan semakin panjang sehingga mudah putus. Apabila suhu terlalu rendah, melt zone nya akan mengecil dan akhirnya rod material atas dan bawah akan berbenturan. Setelah penumbuhan awal sekitar 5 mm, melt-zone akan stabil dan pengontrolan suhunya akan semakin tidak diperlukan. Kecepatan shaft atas dan bawah untuk turun masing-masing 1,5 mm/jam dan 1,0 mm/jam. Hal ini disebabkan kerapatan atom kristal tunggal (sampel dibagian bawah melt-zone) lebih tinggi dibandingkan rod material (sampel dibagian atas melt-zone).
Gambar 6. Foto kristal tunggal yang telah dibuat dengan metoda FZ (diameter sekitar 5 mm )
Gambar 6 memperlihatkan foto kristal tunggal yang telah ditumbuhkan dengan metoda FZ. Bagian kanan yang lebih pendek adalah sisa upper material (rod material), sedangkan bagian kiri yang lebih panjang adalah kristal tunggal yang telah ditumbuhkan (bagian kiri dari batang ini adalah rod material yang dipakai sebagai bibit kristal tunggal). HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah pengkritalisasi dengan FZ, sampel kristal tunggal yang diperoleh mempunyai panjang sekitar 30 mm. Kemudian kami potong dengan panjang sekitar 5 mm dengan diamond cutter. Pada bidang yang terpotong terlihat adanya grain yang banyak pada bagian bawah sampel. Grain ini semakin berkurang pada bagian atas sampel menandakan kristalisasi yang terjadi. Setelah kami kelupas permukaannya, kami analisa permukaan kelupasnya dengan XRD (Gambar 6 )[5-6]. Pada Gambar 7 itu terlihat bahwa peak untuk sumbu c terlihat semuanya. Disini kami melihat permukaan kelupasnya tegak lurus terhadap sumbu c. Pada peak (0 0 10), kami melihat rocking curve nya. Rocking curve pada XRD adalah metoda untuk mengetahui kualitas kristal tunggal suatu bahan, dimana pada peak tertinggi suatu permukaan kristal tunggal, sudut detektor sinar-X nya dibuat tetap, tapi sudut permukaan sampel discanning pada sekitar sudut peak tersebut. Semakin kecil lebar (derajat) pada setengah tinggi peak (full half value width), maka hal itu menandakan semakin tingginya kualitas kristal tunggalnya. Dari hasil rocking curve nya terlihat nilai full half value width nya, sebesar 0,115° (Gambar 7), yang merupakan angka yang kecil bagi bahan kristal tunggal oksida. Disini kami melihat bahwa sampel ini memiliki kualitas yang tinggi[5]. Setelah memastikan bahwa permukaan kelupasnya itu sumbu c, kami analisa dengan Back Reflection Laue Photograph untuk menentukan sumbu a dan b. Metoda
4 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 1-6
penentuan arah sumbu kristal dengan Back-Reflection Laue ini kami jelaskan di tulisan kami yang lain[7]. Setelah sumbu a dan b ditemukan, kami potong berdasarkan sumbu-sumbunya. Berdasarkan karakterisasi dengan EPMA, diketahui bahwa sampel La 2Sr Mn 2 O 7 ini memiliki perbandingan 2x 1+2x jumlah atom La : Sr : Mn : O = 1,4724 : 2,2668 : 2,0832 : 6,1764 , atau dengan nilai x = 0,409 .
setelah dianalisa dengan XRD permukaan kelupasnya adalah bidang ab. Dan dari hasil EPMA, diketahui bahwa nilai x pada La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 adalah 0,409. Dari grafik rocking curve nya, kami lihat nilai half full value width nya yaitu 0,115° yang menandakan bahwa sampel ini memiliki kualitas yang tinggi. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan kepada Prof.Yoshizawa anggota Yoshizawa lab. Iwate Jepang, yang membantu riset saya doctoral ini.
terima kasih dan seluruh di Universitas telah banyak pada program
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 7. kelupasnya
Hasil
XRD
pada
permukaan
Gambar 8. Rocking curve pada peak (0 0 10)
KESIMPULAN Kami telah mempergunakan metoda FZ untuk membuat kristal tunggal La 2(x=0,4). Ketika 2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 penumbuhan kristal dengan FZ, kami memakai lingkungan gas O 2 dan kecepatan tumbuhnya kami kontrol sangat lambat yaitu 1,0 mm/h. Sampel yang kami peroleh kami lihat permukaan kelupasnya, yang
[1] T. Kimura, Y. Tomioka, H. Kuwahara, A. Asamitsu, M. Tamura, Y. Tokura. 1996. Interplane Tunneling Magnetoresistance in a Layered Mangaite Crystal: 1698. Science, 274. [2] A. Urushibara, Y. Moritomo, T, Arima, A. Asamitsu, G. Kido, Y. Tokura. 1995. Insulator-metal transition and giant magnetoresistance in La 1-x Sr x MnO 3 ”, Physical Review B, vol 51, 20: 14103. [3] J.A.M. van Roosmalen, P. van Vlaanderen, E.H.P. Cordfunke. 1995. “Phase in the perovskite-Type LaMnO3+ Solid Solution and the La2O3-Mn2O3 Phase Diagram: 516523. Journal of Solid State Chemistry 114. [4] Imaduddin Agung. 2011. Pembuatan Batang Pelet La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 Sebagai Bahan Penumbuhan Kristal Tunggal. Preprint . [5] Imaduddin Agung. 2011. Pemakaian Metoda Back-Reflection Laue Untuk Menentukan Arah Sumbu Kristal Tunggal pada La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7. Preprint. [6] Imaduddin Agung. 2001. Growth and Physical Properties of La 2Single Crystals. 2x Sr 1+2x Mn 2 O 7
Metoda FZ Pada Pembuatan…../ Agung Imaduddin |
5
Doctoral Thesis: Iwate University. [7] Imaduddin Agung, H. Kanazawa, N. Yoshimoto, M. Yoshizawa. 2000. Crystal Growth and Physical Properties of La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 : 502504. Physica B, 281&282.
RIWAYAT PENULIS Agung Imaduddin lahir di Bandung pada 29 September 1971. Lulus S1, S2 dan S3 dari Iwate University Jepang dan bekerja sebagai staf peneliti di Puslit Metalurgi sejak 1989 sampai saat ini.
6 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 1-6
KENDALA DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN PROSES CARON UNTUK BIJIH NIKEL LATERIT KADAR RENDAH INDONESIA Arifin Arif dan Edi Herianto Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang 15314 E-mail :
[email protected]
Intisari Bagian terbesar dari bijih nikel laterit Indonesia yang cadangannya lebih dari 1 milyar ton termasuk pada klasifikasi bijih berkadar rendah. Komposisi bijih kadar rendah tersebut sangat bervariasi, dari bijih saprolit yang tinggi kandungan oksida magnesium dan silikatnya serta bijih limonit yang tinggi kandungan oksida besi dan aluminiumnya. Selain itu bijih limonit juga berpotensi mengandung silikat yang cukup tinggi. Oleh karena itu selalu ada kemungkinan dari suatu cebakan bijih, kandungan total magnesium dengan aluminium dan atau silikat dari bijih campuran tersebut masih melampaui dari batas kritis olahan proses HPAL. Oleh karena itu pengolahan optimal tidak dapat diharapkan hanya dari proses HPAL. Seperti diketahui walaupun kinerjanya tinggi tetapi proses HPAL cocok hanya untuk bijih yang kandungan magnesium dan atau silikatnya rendah seperti limonit murni. Untuk itu perlu disiapkan alternatif berupa proses yang komposisi bijih umpannya dapat lebih fleksibel. Kalau pilihannya adalah proses Caron tampaknya masih diperlukan langkah pendekatan terhadap beberapa kendala yang harus dihadapi oleh proses tersebut bila akan dikembangkan kedepan. Kata kunci : Bijih nikel, Laterit, Saprolit, Limonit, Proses HPAL, Proses Caron
Abstract The largest portion of more than 1 billion ton Indonesian nickel laterite ore deposits can be classified as low grade. It is informed that the compositions of the ores varies in wide range, with high magnesium oxide and silicates contents for saprolite and high iron and aluminium oxides for limonite. The limonit ores are also potential in containing high enough silicate. Due to it always possible that the total magnesium and aluminium and or silicates contents of the mixed ores deposits are higher than the ore feed compositions critical limits of HPAL, so it is predicted that the optimal treatment would not be achieved if based only on HPAL process. As have been known even HPAL is high in performance but just only suitable for certain ores with low magnesium and low silicates contents such likes pure limonite. For that it requires to provide alternative processes which are more flexible toward ore feed compositions. If the selected process is Caron, still it needs some steps of problems approach that have to be faced for the future process development. Keywords : Nickel ore, Laterite, Saprolite, Limonite, HPAL process, Caron process
PENDAHULUAN Bijih nikel laterit Indonesia yang depositnya mencapai lebih dari 1 milyar ton bagian terbesarnya adalah bijih yang berkadar rendah. Dalam pemanfaatannya sampai saat ini masih terbatas pada bijih saprolit kadar tinggi yang diolah untuk produk ferro nikel [Ni > 2%] di Pomala dan Nikel matte [ Ni > 1,85 %] di Soroako, keduanya di Sulawesi. Untuk bijih saprolit
dibawahnya (Ni < 1,85%) dan bijih limonit yang disebut sebagai bijih kadar rendah sampai saat ini belum ada yang diolah. Seperti diketahui untuk pengolahan bijih kadar rendah ada dua proses yang sudah dioperasikan secara komersial saat ini yaitu proses Caron dan HPAL. Keberhasilan proses HPAL di Moa Bay untuk mengolah bijih jenis limonit murni dengan perolehan nikel dan kobalnya yang tinggi serta kebutuhan energinya yang
relatif rendah, mendorong arah pengembangan beberapa proyek baru dengan berbasis proses ini. Hal ini didukung pula oleh perkembangan teknologi pada bagian hilir dari proses yang dapat dikatakan telah mencapai optimal. Tetapi setelah timbulnya permasalahan yang dihadapi dalam awal pengoperasiannya di tiga tempat di Australia pada awal 2000 an, dimana diketahui adanya keterbatasan proses terhadap kandungan silikat dari bijih pada skala komersial, maka perlu dikaji lagi pemanfaatannya untuk bijih campuran limonit dan saprolit yang juga masih tinggi silikatnya. Informasi dari hasil litbang terakir yang menyangkut masalah tersebut mengindikasikan masih belum diperolehnya jalan keluar terbaik untuk mengatasi permasalahan. Oleh karena itu tampaknya proses ini tidak akan dapat diandalkan untuk pengolahan bijih kadar rendah Indonesia yang berupa campuran saprolit dan limonit tersebut secara optimal[1]. Untuk alternatif dicoba kembali mencermati proses Caron, walaupun sejak terjadinya krisis minyak dunia para pengamat sudah kurang memperhatikannya. Dibandingkan dengan proses HPAL yang perolehan nikel dan kobalnya dapat mencapai 90 %, kinerjanya memang lebih rendah dengan capaian perolehan hanya 70 – 80 % untuk nikel dan 40 – 50 % untuk kobal. Selain itu kebutuhan energinya juga relatif lebih tinggi dari HPAL yang terutama diperlukan untuk pengeringan dan pemanggangan reduksi dari bijih. Tetapi proses ini juga mempunyai kelebihan, yaitu fleksibilitasnya terhadap komposisi bijih umpan serta dapat diperoleh kembalinya bagian komponen reagen larutan pelindian seperti ammonia dan CO2 yang keluar dari larutan pakai secara optimal. Saat ini proses ini di dunia dioperasikan di empat lokasi yaitu di Nicaro (Kuba), Greenvalle/Yabulu (Australia), Niquelandia (Brazil dan Punta Gorda
(Kuba). Kedepan tampaknya sudah tidak ada lagi rencana pengembangan baru dari proses yang berbasis Caron ini. Pada hal dengan lebih akomodatif terhadap komposisi bijih umpan diperkirakan proses ini lebih sesuai dengan kondisi bijih kadar rendah Indonesia yang variatif tersebut. Tulisan ini mencoba secara singkat melihat lebih jelas kendala yang dihadapi dan pendekatan yang mungkin dapat dilakukan bila ingin mengembangkan proses Caron untuk pengolahan bijih kadar rendah Indonesia ke depan. Keberadaan Proses Caron Proses Caron merupakan gabungan dari dua langkah utama yaitu pereduksian oksida logam nikel dan kobal dari bijih yang diharapkan secara selektif terhadap oksida besi, dilanjutkan dengan pelindian logam hasil reduksi dengan larutan Ammonia Ammonium Carbonate [AAC]. Selanjutnya logam berharga tersebut dapat diambil dari larutan dengan berbagai metoda tergantung pada produk yang diinginkan (Gambar1). Secara operasional setelah tahap penyiapan bijih untuk umpan maka ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui sampai mendapatkan masing masing produk seperti uraian berikut: 1. Pemanggangan reduksi Pada tahap ini terjadi reaksi reduksi sederhana terhadap oksida nikel dan kobal yang menghasilkan logam nikel (Ni) dan kobal (Co) oleh gas pereduktor seperti CO, H2 , atau campurannya dan dengan kandungan gas terbang (volatile matter) bila reduktannya berupa batubara. Oksida besi (Fe 2 O 3 ) akan tereduksi secara bertahap diawali dengan dengan terbentuknya Fe 3 O 4 , selanjutnya FeO dan terakir menjadi logam besi. 2. Pelindian dengan larutan AAC untuk memperoleh larutan kaya Logam nikel dan kobal akan terlarut menjadi senyawa amin komplek
8 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
Ni(NH3 ) 6 ++ dan Co(NH3 ) 6 ++. Demikian juga dengan logam besi (Fe) terlarut lebih dahulu yang juga membentuk senyawa amin komplek Fe(NH 4 ) 2 ++ dan selanjutnya akan teroksidasi menjadi yang berupa endapan Fe(OH) 3 berbentuk gel. 3. Pengambilan logam nikel dan kobal dari larutan kaya Rangkaian proses pengambilan logam dari larutan kaya akan tergantung pada produk yang dipilih. Pilihan terhadap produk yang akan dihasilkan pada dasarnya adalah tergantung pada pertimbangan ekonomis. Secara umum ada beberapa pilihan produk diantaranya seperti oksida dan katoda logam. Bisa juga produk tersebut masih sebagai produk antara (intermediate product) seperti suflida logam dan BNC (Basic Nickel Carbonate). 4. Perolehan kembali amonia dan CO 2 Amonia dan CO 2 yang keluar dari larutan dari setiap tangki pelindian, pemekatan (thickener) dan pencucian (washing) ditangkap kemudian dialirkan ke dalam sistem unit pengelolaan reagen. Di dalam sistem semua amonia dan CO 2 dilarutkan kembali untuk kemudian ditambahkan amonia dan CO 2 yang baru sehingga larutan telah kembali mencapai standar konsentrasi yang telah ditentukan sebelum dialirkan kedalam tanki pemekatan dari unit pencucian. Demikian juga halnya dengan amonia dan CO 2 yang dihasilkan dari alat stripper untuk pembuatan BNC dan lumpur hasil pencucian terakir sebelum lumpur dibuang ketempat penampungan. Kendala yang Dihadapi untuk Proyek Komersial Baru Ada pengamat yang berpendapat bahwa proses Caron sudah tidak ekonomis lagi untuk pembangunan projek baru dengan kadar umpan bijih dan kinerjanya
(perolehan nikel – kobalnya) serta harga nikel yang rendah, bila dikaitkan dengan tingginya biaya operasional untuk energi dan reagen reagen kimia yang dibutuhkan oleh proses. Selanjutnya disebutkan tidak terpikirkan akan ada lagi projek baru berbasis proses Caron[2]. Pendapat lainnya mengatakan dengan kinerjanya yang rendah serta tingginya biaya modal untuk membangun projek baru maka proses Caron sudah merupakan teknologi yang ketinggalan dan tidak lagi punya masa depan[3]. Caron dikembangkan sebelum krisis minyak dunia, dan sejak itu tidak ada lagi pengembangan baru dan sepertinya tidak juga dimasa depan[4]. Berdasarkan fakta operasional dari proses serta pendapat yang berkembang seperti disebutkan diatas tampak setidaknya ada tiga masalah yang menonjol yang dihadapi untuk pengembangan projek baru proses Caron seperti uraian berikut : 1. Kebutuhan serta biaya energi dari proses yang tinggi Kebutuhan energi proses relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh proses HPAL. Hal ini disebabkan terutama untuk keperluan pengeringan dan pemanggangan reduksi bijih yang diperkirakan menyita bagian proses terbesar dari energi total yang dibutuhkan. Kebutuhan energi yang yang tinggi ini akan terkait pada tingginya biaya untuk operasional, dan juga karena masih sangat tergantung pada sumber energi yang berasal dari bbm maka harus siap sewaktu waktu untuk menghadapi gejolak harga bahan bakar minyak. 2. Tingginya biaya modal Biaya modal/lb nikel yang dihasilkan untuk pembangunan pabrik pengolahan baru (greenfield project) yang berbasis proses Caron juga relatif lebih tinggi dari HPAL[3]. Disebutkan bagian terbesar dari biaya modal ini terserap
Kendala dan Kemungkinan…../ Arifin Arif |
9
untuk biaya fasilitas dari preparasi sampai pemanggangan reduksi bijih[5].
LATERITE ORE 30 – 40 % MOISTURE Ni – 1.2-2.0 % CO – 0.1-0.15 % Fe – 25-40 %
FUEL OIL OR COAL
DRYING AND GRINDING
ADDITIVE
REDUCTANT FUEL
AIR
-OIL -PRODUCER GAS -H2 -CO
REDUCTION ROAST 600 – 7500C
LEACHING 400C
COBALT SEPARATION
NH3–(NH4)2CO3 SOLUTION
MIXED SULPHIDES
NH3
CCD WASH STEAM
CARBONATE PRECIPITATION
NH3 CO2
BASIC Ni CARBONATE FUEL
CO2 MAKE UP
TAILING DISTILLATION
yang diperkirakan dapat melapisi partikel yang nikel dan kobalnya belum sempat terlarutkan sehingga menghambat pelarutan dari keduanya. Selain itu ada kemungkinan lain sebagaimana endapan dari oksida besi (FeO) aktif demikian pula Fe(OH) 3 juga dapat meng-adsorp ion nikel dan terutama kobal. Pentingnya selektifikasi reduksi terhadap oksida besi ini dan pengaruhnya terhadap perolehan nikel dan kobal dapat dilihat dari hasil percobaan reduksi dan pelindian sederhana pada Tabel 1 dan 2. Percobaan sederhana tersebut dilakukan terhadap bijih saprolit dari daerah Obi (Halmahera) dengan komposisi Ni 1,71 %, Co 0,07 %, Mg 15,97 % dan diperoleh hasil seperti berikut[6] :
STEAM
CALCINE RESIDUE
Tabel 1. Pengaruh penahanan waktu reduksi pada temperatur 850 °C terhadap pelet dengan batubara 12 %
NiO
REDUCTANT
REDUCTION
NICKEL SINTER-90 75-80% RECOVERY
COBALT REFINERY
NICKEL METAL
COBALT METAL 40 – 50%RECOVERY
Gambar 1. Proses Caron[5]
3. Kinerja proses yang rendah Perolehan nikel dan kobal dari proses sampai saat ini masih rendah 70 – 80 % untuk nikel 40 - 50 % untuk kobal. Pada dasarnya kinerja dari bagian proses pada tahap lanjutan dari proses pelindian sudah mencapai titik optimalnya. Perolehan yang rendah tersebut diperkirakan terkait erat dengan tingkat selektifikasi dari oksida nikel dan kobal terhadap oksida besi pada saat reduksi, yang berpengaruh langsung terhadap perolehan pada tahap pelindian. Oleh karena itu, selektifikasi masih harus dipertajam untuk lebih menekan logam besi dan endapan FeO aktif yang terbentuk agar diperoleh hasil pelindian yang optimal. Seperti telah diketahui logam besi hasil dari reduksi akan terlindi lebih dahulu pada saat pelindian dan akan membentuk endapan Fe(OH) 3
No 1 2 3 4 5 6
Waktu Tahan (menit) 0 15 30 45 60 75
Ni 29,45 32,67 31,43 32,87 32,6 33,85
Metalisasi (%) Co Fe 48,76 9,75 51,28 14,80 50 16,32 43,04 21,78 51,70 22,89 55,75 21,71
Tabel 2. Hasil pelindian dari setiap kondisi reduksi
No 1 2 3 4 5 6
Waktu Tahan (menit) 0 15 30 45 60 75
Metalisasi (%) Ni Co 44,24 30,35 48,79 24,44 25,62 18,35 21,74 16,53 25,67 14,84 28,65 12,45
Gambar 2. Difraksi sinar X dari pelet dengan penahanan 0 menit
10 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
Gambar 3. Difraksi sinar X dari pelet dengan penahanan 60 menit
Terlihat dari Gambar 2 pada temperatur reduksi 850 °C tanpa penahanan waktu seluruh Fe 2 O 3 telah tereduksi menjadi FeO. Dengan perpanjangan waktu reduksi menjadi 60 menit pada temperatur tersebut menyebabkan hampir seluruh FeO telah direduksi menjadi logam besi. Dari perhitungan perolehan total menunjukkan bahwa perolehan nikel yang 13,03 % dan kobal 14,80 % pada metalisasi besi 9,75%, turun menjadi 9,70 % untuk nikel dan hanya 6,94 % untuk kobal dengan kenaikan metalisasi besi menjadi 22,75%. Dari data ini tampak peningkatan metalisasi besi cukup berpengaruh pada hasil pelindian nikel dan terutama terhadap kobal. Beberapa Faktor Pendukung untuk Pengembangan 1…Kemampuan proses untuk mengoptimalkan pengambilan kembali ammonia dan CO 2. Kemampuan proses yang optimal untuk pengambilan kembali komponen ammonia dan CO 2 yang keluar dari larutan pakai pada sistem operasi, residu dan air buangan tentu saja dapat menekan biaya operasional dengan mengurangi kebutuhan pasokan reagen baru untuk larutan AAC dan meminimalkan masalah serta biaya lingkungan. Seperti diketahui masalah lingkungan merupakan salah satu faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam setiap pemilihan proses yang akan dikembangkan kedepan apalagi bagi Indonesia yang beriklim tropis.
2. Fleksibilitasnya terhadap komposisi umpan bijih Komposisi umpan bijihnya lebih bebas sehingga proses dapat lebih fleksibel untuk digunakan terhadap umpan yang berupa bijih campuran limonit dan saprolit yang variatif. 3. Adanya empat pabrik komersial yang terus beroperasi sebagaimana telah disebutkan di depan saat ini ada empat pabrik komersial berbasis Caron yang masih terus beroperasi meski keempatnya telah beberapa kali menghadapi gejolak harga minyak (bbm). 4. Kebutuhan (demand) akan nikel dan kobal kedepan Dari laporan beberapa pengamat disebutkan kebutuhan nikel dan kobal diprediksikan akan terus meningkat, untuk nikel dapat tergambarkan dari perkiraan produk baja tahan karat. Disebutkan baja tahan karat adalah konsumen terbesar dari logam nikel dan mencapai sekitar 65 % dari nikel yang diproduksi, sedangkan produksi baja tahan karat dunia cenderung terus meningkat dari 23 juta ton pada 2004 dan diperkirakan akan menjadi 30 juta ton pada 2010[7]. Kecenderungan kenaikan produksi yang diperkirakan Wang Y. tersebut ternyata benar dimana produksi dunia 2010 sudah mencapai 30.67 juta ton[8]. Selain itu patut juga diperhitungkan kebutuhan akan baterei yang berbasis nikel untuk mobil ataupun alat elektronik yang diperkirakan juga cenderung terus meningkat[9]. Sedangkan kebutuhan akan kobal diperkirakan akan meningkat menjadi 50.000 ton pada 2015 dari hanya 30.000 pada tahun 1998[10]. Seperti diketahui kebutuhan akan kobal juga telah bergeser dari awalnya didominasi hasil samping dari pengolahan bijih tembaga ke hasil pengolahan bijih laterit. Awalnya beban ini direncanakan akan dipenuhi oleh beberapa pabrik yang berbasis HPAL baik Murrin, Cawse maupun Kendala dan Kemungkinan…../ Arifin Arif |
9
Bulong serta beberapa lainnya yang direncanakan akan dibangun kemudian. Tetapi dengan adanya permasalahan yang menimpa ketiga pabrik diatas maka pabrik lainnya yang sudah masuk dalam rencana tersebut tampaknya harus dikaji ulang yang waktunya tidak dapat ditentukan. 5. Pendapat dari MTG (Metallurgical Technology Group) Metallurgical Technological Group yang merupakan gabungan dari Noranda dan Falconbridge Technology Centre menyebutkan ada beberapa kenyataan yang harus dipertimbangkan dalam pengolahan laterit yaitu[11]: - Sejak teknologi HPAL pertama dikembangkan sekitar 60 tahun yang lalu tidak ada lagi pabrik berbasis HPAL beroperasi secara menguntungkan, tiga di Australia telah gagal secara komersial. - Dua pabrik berbasis Caron masih beroperasi secara komersial dengan menguntungkan. Perlu juga dicatat pendapat dari pengamat Alan Taylor dalam suatu kajiannya bahwa semua proses yang telah komersial maupun yang masih tahap litbang mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan tempat dalam pengembangan bijih nikel kadar rendah kedepan[12]. Beberapa faktor tersebut diatas menunjukkan bahwa proses Caron juga masih punya peluang sebagai salah satu proses alternatif yang potensial. Langkah Pendekatan yang Diperlukan Perlu diperhatikan agar maksud tersebut diatas dapat dilaksanakan masih diperlukan beberapa langkah pendekatan untuk mengantisipasi beberapa permasalahan yang telah disebutkan yang diantaranya: 1. Masalah Energi Untuk masalah kebutuhan energi perlu dicermati kemungkinan penurunan temperatur pemanggangan reduksi untuk bijih saprolit agar sama atau
setidaknya harus mendekati temperatur reduksi untuk bijih limonit yang sekitar 700 °C. Juga perlu dicermati usaha untuk mendapatkan sumber energi yang lebih murah setidaknya sebagai substitusi sebagian dari kebutuhan energi yang saat ini masih sangat tergantung pada bahan bakar minyak (bbm). Salah satu kandidat untuk itu tampaknya adalah batubara seperti misalnya untuk pengeringan bijih, walaupun menurut O’kane pemakaian batubara ini akan memerlukan tambahan biaya modal lagi sehingga posisi dari langkah ini menjadi marginal. 2. Tingginya Biaya Modal Selama ini perhitungan biaya modal untuk proses Caron adalah berbasis pada pemanggangan reduksi yang menggunakan dapur Multi Hearth Furnace (MHF), jenis dapur yang digunakan oleh keempat pabrik berbasis Caron yang beroperasi saat ini. Ke depan tampaknya Selama ini perhitungan biaya modal untuk proses Caron adalah berbasis pada pemanggangan reduksi yang menggunakan dapur Multi Hearth Furnace (MHF), jenis dapur yang digunakan oleh keempat pabrik berbasis Caron yang beroperasi saat ini. Ke depan tampaknya sudah perlu dilakukan perubahan mendasar berupa penggantian dapur reduksi MHF tersebut dengan dapur alternatif lainnya seperti tanur putar (rotary kiln) atau bentuk tanur lainnya yang diperkirakan dapat menurunkan biaya modal. Sebagai contoh disebutkan penggunaan satu tanur putar dapat menggantikan 12 atau lebih tungku MHF yang dapat mengurangi biaya modal dan operasional untuk tahapan reduksi [13]. Seperti telah diungkapkan biaya modal dan operasional terbesar untuk pengembangan proses adalah untuk tahap preparasi bijih sampai tahap reduksi. Oleh karena itu penurunan biaya untuk fasilitas reduksi dan
12 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
penyederhanaan pengoperasian diperkirakan akan berdampak besar terhadap usaha menurunkan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan untuk pengembangan pabrik komersial baru. Penurunan biaya modal tersebut akan membuka kemungkinan lebih besar untuk pengembangan batubara sebagai subtitusi sebagian dari bbm seperti untuk pengeringan bijih, dengan menepis kekuatiran O’Kane akan terjadi peningkatan biaya modal apabila itu dilakukan seperti yang telah disebutkan diatas. Secara teknis hal ini sudah tidak lagi menjadi masalah karena pengeringan bijih menggunakan batubara telah dikembangkan di pabrik berbasis Caron di Yabulu Australia[14]. Diperkirakan langkah subtitusi sebagian bbm dengan batubara ini memberi dampak yang cukup berarti bagi ekonomi proses. 3. Peningkatan Peroleha Nikel dan Kobal Peningkatan perolehan nikel dan kobal juga merupakan hal yang sangat penting dan tampaknya juga sulit untuk ditawar dalam membicarakan pengembangan proses ini kedepan. Seperti telah dibicarakan kinerja pada bagian hilir proses setelah pelindian dapat dikatakan telah optimal, jadi inti permasalahan sebenarnya adalah terletak pada masih belum optimalnya kinerja total dari proses reduksi dan pelindian yang terkait erat dengan selektifikasi reduksi terhadap oksida besi. Kemampuan untuk menekan FeO dan logam besi hingga seminimal mungkin diperkirakan pada akhirnya akan dapat meningkatkan perolehan nikel dan terutama kobal saat pelindian. Tentu saja hal ini serta juga penurunan temperatur reduksi dari bijih saprolit dan usaha untuk menekan pemakaian reagen/aditif seperti yang disebutkan diatas masih memerlukan penelitian, yang pengembangannya sudah diarahkan untuk tidak lagi menggunakan dapur jenis MHF. Keberhasilan dari litbang ini
diperkirakan akan sangat bermanfaat dalam membantu menyangga akibat dari naiknya harga BBM ataupun turunnya harga nikel sewaktu waktu sehingga peluang pengembangan proses kedepan lebih terbuka. KESIMPULAN 1. Proses Caron dapat merupakan proses alternatif yang masih potensial untuk pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah Indonesia yang optimal. 2. Dalam mendukung hal tersebut masih diperlukan penelitian untuk lebih meningkatkan selektifikasi terhadap oksida besi saat proses reduksi, penurunan temperatur reduksi saprolit mendekati temperatur reduksi bijih limonit dan usaha meminimalkan pemakaian reagen/aditif. Selain itu pengembangannya sudah diarahkan untuk tidak lagi menggunakan dapur MHF tetapi dapur lainnya yang biaya modal dan pengoperasiannya diperkirakan dapat lebih murah. Hal ini memperbesar peluang penggunaan batubara sebagai subtitusi sebagian bahan bakar minyak setidaknya untuk pengeringan bijih, yang juga berarti memperbesar peluang pengembangan proses kedepan. DAFTAR PUSTAKA [1] Arif, A. 2007. Prospek Penggunaan Proses HPAL untuk Pengolahan Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia. Metalurgi Volum 22 Nomor 1 Juni. [2] Dalvi, A.D., dkk. 2004. The Past and the Future of Nickel Laterite. PDAC 2004 International Convention, Trade Show & Investors Exchange, March: Ontario Canada. [3] Robson, T. 1998. Caron Process Technical Description. Nickel Laterite Monitor, Prudential: Bache Securities.
Kendala dan Kemungkinan…../ Arifin Arif |
9
[4] Elias, M. 2002. Nickel laterite deposits- Geological Overview, Resources and Explotation. CODES Special Publication 4, Centre for Ore Deposit, Research: University of Tasmania. [5] O’Kane. 1979. Energy Consumption and Economic Trend in the Production of Laterites. International Laterite Symposium. [6] Prasetyo, P., dkk. 2002. Pengolahan Bijih Nikel Laterit dengan Cara Hidrometalurgi untuk Menghasilkan Logam Nikel (Ni) dan Produk Samping Kobal (Co). Laporan RUT VI. DRN. [7] Wang, Y. 2005. The status of Nickel Resources in the World and the Development of Mineral Resources in MCC. China Metallurgical Construction Group Corporation September. [8] International Stainless Steel Forum. 2011. Bisnis Indonesia Maret. [9] Kuck, H.P. 2002. Nickel. U. S. Geological Survey Minerals Year Book. [10] Matheson, P. 2000. Cobalt Is it the Key to the Profitability of the New Australian Nickel Producers?. Outlook 2000. Proceedings of the National Outlook Conference, Vol. Three: Canberra.
[11] Metallurgical Technology Group. 2004. Investors Presentation. Falconbridge Technology Centre: Canada. [12] Taylor, A. 2009. Trends in Nickel – Cobalt Processing. ALTA Metallurgical Services. [13] Francis, Boyd Ramon. dkk. 2004. Process for Nickel and Cobalt Extraction from Laterite Ores. WIPO Patent Application WO/2004/067787. [14] Reid, G., John. dkk. 2004. Yabulu 25 Years On. PDAC 2004 International Convention, Trade Show & Inventors Exchange, March: Ontario Canada. RIWAYAT PENULIS Arifin Arif lahir di Bandar Khalifah 19 April 1948. Pendidikan sarjana dari Teknik Pertambangan ITB. Bekerja sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian Metalurgi sejak 1984.
14 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
KONSENTRASI PASIR BESI TITAN DARI PENGOTORNYA DENGAN CARA MAGNETIK Deddy Sufiandi Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang 15314 E-mail :
[email protected]
Intisari Pasir besi titan Indonesia cadangannya cukup besar terutama di daerah sekitar pantai Selatan Jawa. Salah satu potensi pasir besi titan yang akan di teliti adalah pasir besi dari daerah Tegal Buleud Pantai Selatan Sukabumi. Pemanfaatan pasir besi titan merupakan alternatif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri baja yang dalam perkembangan dan kebutuhannya semakin meningkat dengan terbatasnya cadangan bijih besi konvensional. Tujuan penelitian untuk mendapatkan kualitas pasir besi titan yang memenuhi persyaratan peleburan, perlu dilakukan konsentrasi untuk meningkatkan kadar besi dengan cara magnetik. Metode percobaan adalah melakukan identifikasi pasir besi titan dengan mengunakan analisa XRD. Kemudian dilakukan proses preparasi sampel dan pengayakan sebelum dimasukan kedalam peralatan pemisah magnetik dan dari pemisah magnet akan dihasilkan produk konsentrat, middling, dan tailing. Hasil percobaan menunjukkan produk konsentrat pasir besi titan mempunyai kandungan Fe 2 0 3 80 % dan TiO 2 20 %. Dan pemisahan pasir besi titan dengan kondisi optimum diperoleh pada kondisi arus 3,5 ampere dan fraksi - 100 mesh dengan perolehan konsentrat rata-rata 90 %. Kata kunci : Pasir besi titan, Magnetic separator, Tegal Buleud - Sukabumi Selatan, Industri baja
Abstract Titan iron sand has been found a lot in Indonesia especially around west coast of Java. One of titan iron sand used in this research is iron sand from Tegal Buleud area at Sukabumi west coast. The utilization of iron sand is an alternative to fill-up the rising demand of raw material for steel industry development due to limited amount of conventional iron ore. To obtain the quality of titan iron sand which is suitable with the requirement for smelting, it is needed to have concentration process by magnetic separator to increase iron content. The step of experiment were identification of titan iron sand composition, preparation of sample and sampling processes, and material separation using magnetic separator to get concentrate, middling, and tailing products. The result of experiment shown concentrate product of titan iron sand has Fe 2 O 3 and TiO2 with weight composition 80 % and 20 % respectively. And also The optimum condition in magnetic separator was 3.5 Ampere current and fraction -100 mesh got average concentrate yield about 90 %. Keywords : Titans iron sand, Magnetic separator, Tegal Buleud- South Sukabumi, Steel industry
PENDAHULUAN Pasir besi titan merupakan sumber logam besi yang dapat menggantikan kedudukan bijih besi konvensional, karena di Indonesia cadangannya cukup besar dengan kandungan Fe sekitar 38 % dan mineral ikutan seperti Titan berkisar antara 10 - 20 %. Sampai saat ini, pasir besi titan
tersebut hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku tambahan dari pabrik-pabrik semen yang ada di Jawa dan Sumatra. Sementara untuk memproduksi besi baja, Indonesia harus mengimpor secara keseluruhan dari luar negeri. Perkembangan kebutuhan akan produk besi baja akan semakin besar dengan meningkatnya kemakmuran/kesejahteraan sehingga sudah
selayaknya untuk mempertimbangkan pemanfaatan pasir besi titan sebagai bahan baku alternatif untuk industri besi baja. Permasalahan yang timbul dari pengolahan pasir besi titan ialah adanya pengotor seperti unsur titanium yang cukup besar, sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai bahan baku industri yang memakai proses konvensional seperti Blast Furnace. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu dicarikan proses yang tepat dan teruji sehingga baik besi maupun titan dapat dimanfaatkan[1]. Pada penelitian ini dilakukan proses peningkatan konsentrasi dengan menggunakan magnetic separator untuk meningkatkan kadar besi hingga 55 - 65 % Fe, serta menurunkan logam ikutan titanium karena titanium mengganggu dalam proses peleburan , sehingga kadar besi dapat memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk proses peleburan. Dengan demikian kesulitan bahan baku industri baja secara bertahap dapat teratasi. Latar Belakang Teori Pemisahan secara magnetik terjadi karena adanya perbedaan sifat fisik antar mineral magnetik dan mineral nonmagnetik yang dipengaruhi oleh kuat arus, sehingga mineral yang magnetic dan bersifat non magnetik dapat terpisah. Sedangkan mineral semi magnetik akan berada diantara mineral magnetik dan nonmagnetik sebagai middling. Kedudukan magnet permanen yang tetap pada posisinya, menyebabkan medan magnet selama proses akan ikut tetap[2]. Sebaliknya, perbedaan arus dapat menyebabkan perubahan jarak medan magnet terhadap daerah aliran muatan sehingga akan terjadi perubahan pemisahan antara mineral magnetik (konsentrat), semi magnetik (middling) dan nonmagnetik (tailing). Mineral semi magnetik yang keluar akan diumpankan kembali sehingga diperoleh peningkatan konsentrat yang magnetik. Proses pemisahan pada magnetik separator terjadi
karena adanya perbedaan sifat magnetis dari mineral[3]. Dimana mineral yang bersifat ferromagnetik akan tertarik ke daerah medan magnetnya paling besar (produk C) untuk mineral magnetik, kemudian para magnetik (produk D) untuk mineral semi magnetik dan diamagnetik (produk E) untuk mineral non magnetik. Mekanisme pemisahannya seperti pada Gambar 1 berikut:
Keterangan: A. Hopper (wadah umpan) B. Magnit C. Produk : magnetik D. Produk : semi magnetik E. Produk non magnetic Gambar 1. Mekanisme proses pemisahan
Mekanisme pemisahan adalah bijih pasir besi yang sudah dipreparasi masuk pada cover A, dengan adanya pemisahan secara magnetik sedemikian mineral terbagi dalam mineral yang bersifat magnetik ( konsentrat C) pada posisi dekat medan magnet ( B), semi magnetik berada pada posisi diantara magnetik dan non magnetik ( D) sedang nonmagnetik ( E) jauh dari posisi magnet dan lepas sebagai tailling. PROSEDUR PERCOBAAN Percobaan yang dilakukan adalah pengujian pasir besi titan secara fisik dan kimia, dilanjutkan dengan konsentrasi dengan menggunakan magnetik separator untuk mendapatkan konsentrat, middling dan tailing. Variabel percobaan yang dilakukan adalah variabel ukuran dari -60+80 dan
16 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 15-20
-100 (mesh) dan rapat arus yaitu 2,5; 3,5; 4,5 dan 5,5 A, dengan voltase 50 - 60 volt . Dari variabel rapat arus dicari kondisi optimal untuk menghasilkan produk yang diharapkan. Adapun langkah pengerjaan terlihat pada diagram alir dalam Gambar 2. Contoh pasir besi titan
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Pasir Besi Titan Identifikasi pasir besi titan dilakukan dengan mengggunakan X-RD, yaitu difraksi sinar X untuk mengetahui mineralmineral yang ada di dalam pasir besi titan, seperti berikut:
Preparasi dan sampling Pemisah magnet
Tailing
Middling
Konsentrat
Gambar 2. Bagan alir proses konsentrasi pasir besi titan
Proses pengolahan awal dilakukan dengan mengidentifikasi komposisi pasir besi titan yang di ambil dari daerah Tegal Buleud sekitar pantai selatan Sukabumi Jawa Barat. Kemudian dilakukan preparasi dan sampling, yaitu pengadukan dan pengayakan sesuai ukuran mesh sebelum masuk pemisah magnet (magnetic separator). Dalam pemisah magnet dihasilkan 3 bagian produk yaitu konsentrat, middling, dan tailing. Mineral magnetik (konsentrat) ini merupakan hasil pengolahan bahan galian yang mempunyai kadar mineral berharga paling tinggi. Middling merupakan hasil pengolahan yang kadar mineral berharganya diantara konsentrat dan tailing. Sedangkan tailing merupakan hasil pengolahan yang kadar mineral berharganya paling rendah,atau sudah tidak mengandung mineral berharga. Pada Gambar 2 menunjukkan juga fraksi semi magnetik (middling) hasil proses pemisahan pertama diumpankan kembali ke pemisah magnit untuk mendapatkan konsentrat, kemudian hasil konsentratnya digabung dengan konsentrat pertama. Proses ini dilakukan terusmenerus sampai tidak dihasilkan lagi konsentrat dan dianggap sebagai final tailing.
Keterangan:Mg :Magnetik IL:Ilmenit Gambar 3. Analisa XRD pasir besi titan asal Sukabumi
Mineral-mineral dominan yang terdapat pada pasir besi Titan dari Tegal Buleud (Sukabumi Selatan) adalah magnetik, ilmenit dan hematit titano dan gangue mineral seperti SiO 2 , CaO, MgO, Cr 2 O 3 , Al 2 O 3 dan lain sebagainya. Data diperoleh dari interpretasi XRD dan mineralogi untuk pasir besi titan umumnya mengandung mineral-mineral tersebut pada basis batuan plagioklas, kwarsa, diopsid dalam hal ini penulis menginterpretasikan hanya pada mineral penting yaitu besi dan titan. Tabel 1. Hasil analisa komposisi kimia pasir besi titan Sukabumi Selatan % ZnO CuO NiO TiO 2 MgO BaO Fe 2 0 3 CaO MnO 2 Cr 2 0 3
SR 0,1496 0,1353 0,1409 19,8437 2,8422 0,6708 60,2377 2,4357 0,4777 0
DTB 0,1827 0,1655 0,1666 20,2903 3,0246 0,692 55,5166 2,4196 0,6091 0,0673
PTB 0,1701 0,1591 0,1896 18,1292 2,8556 0,6357 54,5803 2,5496 0,6105 0,3488
Konsentrasi Pasir Besi…../ Deddy Sufiandi |
17
Si0 2 Al 2 O 3 P2 05 Total LOI Total
10,0465 2,7099 0,3099
14,12 2,4074 0,3383
100 0 100
Hasil Analisis Ayak Pasir Besi Titan Tegal Buleud Sukabumi Selatan
16,2067 3,2457 0,319
100 0 100
Dari hasil analisis ayak pasir besi titan Tegal Buleud Sukabumi Selatan, didapatkan hasil seperti dijelaskan pada Gambar 4 di atas. Dari hasil analisa ayak diperoleh hasil distribusi ukuran yang paling dominan adalah pada fraksi mesh 60 + 80 (37,97 % berat) dan fraksi - 100 mesh (55,07 % berat). Dengan mempertimbangkan hasil analisa kimia unsur titan dan besi oksida dari fraksi ketiga jenis sample yaitu SR, PTB, DTB sehingga dapat ditentukan fraksi tersebut yang paling baik kandungan mineralnya, maka dipakai untuk penelitian pemisahan dengan cara magnetik untuk mendapatkan produk konsentrat yang diharapkan. Hasil seperti pada Tabel 2 dan Gambar 5 berikut:
100 0 100
Keterangan: SR = Lokasi Surade DTB = Lokasi darat PTB = Lokasi Pantai
Hasil analisa ayak sampel SR, PTB, DTB 70 TiO2 SR
60
Fe2O3 SR
% Ti/Fe oksida
50
Keterangan: Fraksi 1 : +30 mesh Fraksi 2 : -30+50 mesh Fraksi 3 : -50+60 mesh Fraksi 4 : -60+80 mesh Fraksi 5 : -80+100 mesh Fraksi 6 : -100 mesh
TiO2 PTB
40
Fe2O3 PTB TiO2 DTB
30
Fe2O3 DTB
20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
Fraksi
Gambar 4. Grafik hasil analisa ayak sample pada berbagi fraksi
Gambar 5. Grafik hubungan % Ti/Fe oksida terhadap fraksi
Tabel 2. Hasil analisa ayak sampel SR, PTB, DTB
SR Fraksi 1 2 3 4 5
TiO 2 (Mesh%) 1,84 14,23 27,54 21,86 27,86
Keterangan: 1:Fraksi -30+50,
PTB Fe 2 O 3 (Mesh%) 11,71 34,07 58,97 50,16 64,03
2:Fraksi
-50+60,
TiO 2 (Mesh %) 4,26 2,94 21,01 21,01 25,95 3:Fraksi
DTB
Fe 2 O 3 (Mesh %) 23,79 20,26 51,72 51,72 63,54
-60+80,
TiO 2 (Mesh %) 1,69 1,87 7,68 24,32 27,59
4:Fraksi-80+100,
18 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 15-20
5:Fraksi
Fe 2 O 3 (Mesh %) 12,85 14,82 52,3 50,85 59,79 -100
mesh
Proses Pengolahan dengan Pemisah Magnet
Hasil magnetik separator sampel SR,PTB, DTB fraksi -60+80 # 80 70 TiO2 SR
60 % TI/Fe Oksida
Seperti terlihat pada Gambar 5 bahwa fraksi 3(-60+80)dan fraksi 5(-100)mesh yang paling baik kandungan fraksi mineralnya(Fe 2 O 3 )dibandingkan lain.
Fe2O3 SR
50
TiO2 PTB
40
Fe2O3 PTB TiO2 DTB
30
Fe2O3 DTB 20 10
Percobaan pendahuluan dilakukan pada sample PTB, DTB, dan SR menggunakan pemisah magnet. Dari percobaan dengan magnetic separator yang dilakukan dapat diperoleh kondisi dan hasil percobaan seperti pada Gambar 6 dan Tabel 3.
0 0
1
SR
2,5 3,5 4,5 5,5
% Fe 2 O 3 71,2 71,78 71,62 70,31
PTB % % TiO 2 Fe 2 O 3 18,2 65,01 19,33 66,47 16,76 63,52 17,42 64,21
DTB % % TiO 2 Fe 2 O 3 15,48 66,42 16,19 64,12 12,75 60,81 13,22 63,69
Hasil magnetik separator sampel SR,PTB, DTB fraksi -60+80 # 80 70 TiO2 SR
% TI/Fe Oksida
60
Fe2O3 SR
50
TiO2 PTB
40
Fe2O3 PTB TiO2 DTB
30
Fe2O3 DTB 20 10 0 0
1
2
kuat arus 3 (A)
4
5
6
Gambar 6. Grafik hasil percobaan pasir besi titan dengan magnetik separator fraksi — 60 + 80 mesh
Kadar konsentrat dari ke tiga sampel yang dihasilkan kadar Fe 2 O 3 yang paling tinggi ialah pada sampel SR dengan kuat arus 3,5 ampere, pada fraksi -60+80 mesh. Selanjutnya percobaan magnetik separator yang dilakukan untuk fraksi -100 mesh,kondisi dan hasil percobaan seperti terlihat pada Gambar 7 dan Tabel 4.
4
5
6
Tabel 4. Hasil percobaan dengan magnetik separator sampel SR, PTB, DTB fraksi 100#
2,5
% TiO 2 15,72
SR % Fe 2 O 3 79,28
% TiO 2 18,36
% Fe 2 O 3 76,48
DTB % % TiO 2 Fe 2 O 3 14,72 80,62
3,5
15,89
79,52
21,98
72,42
15,49
4,5
15,89
79,62
15,01
73,5
17,22
77,33
5,5
16,49
78,71
21,31
71,92
18,13
76,42
Arus % TiO 2 17,7 19,31 18,69 16,87
kuat arus 3 (A)
Gambar 7. Hasil percobaan pasir besi titan dengan magnetik separator fraksi -100 mesh
Tabel 3. Hasil percobaan dengan magnetic separator sampel SR, PTB, DTB fraksi -60+80# Arus
2
PTB
79,76
Pada fraksi -100 mesh hasil percobaan sampel SR, DTB dan PTB hasil pemisahan menunjukkan bahwa sampel SR merupakan kondisi yang paling baik kandungan mineral besinya dibandingkan dengan sampel PTB dan DTB ,dengan penentuan besar ampere yang lebih tepat. Dari hasil percoban diperoleh fraksi magnetik dan nonmagnetik dari tiap percobaan kemudian ditimbang dan digerus -100 mesh untuk di analisa kadar besinya (Fe) serta titan dengan metoda analisa yang digunakan adalah memakai alat XRF. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisa fraksi menunjukkan bahwa fraksi ukuran yang dominan mengandung kadar Fe 2 O 3 maupun TiO 2 adalah pada -100 mesh. Pada percobaan awal konsentrasi dengan menggunakan magnetic separator dengan ukuran -60+80 mesh menghasilkan konsentrat pasir besi dengan kandungan Fe 2 O 3 sekitar 60 - 70 %, karena pada ukuran fraksi ini masih Konsentrasi Pasir Besi…../ Deddy Sufiandi |
19
dapat ditingkatkan kadar Fe 2 O 3. yang masih berikatan dengan mineral-mineral pengotor lainnnya. Pada percobaan optimasi fraksi -60 + 80 mesh produk middling dan tailing masih dianggap tinggi dibanding pada percobaan optimasi fraksi - 100 mesh yang semakin menurun atau sudah mencapai optimum untuk perolehan konsentrat. Pada percobaan optimasi dihasilkan produk konsentrat dengan kadar Fe 2 O 3 79,76% dan kadar TiO 2 mencapai< 20 %. Unsur titan merupakan sumber pengotor dari pasir besi. Unsur titan di usahakan untuk dipisahkan dari besi secara fisis dengan harapan pasir besi yang dihasilkan nantinya dapat diolah secara konvensional tetapi ternyata sulit dipisahkan secara fisis karena adanya ikatan interlock antara besi dengan titan yang diharapkan dapat dipisahkan dengan cara proses lain seperti proses pyrometalurgi dimana sebesar mungkin unsur titan masuk kedalam dan terpisah dari besi. Pada percobaan pemisahan secara magnetik, fraksi ukuran bijih -60+80 mesh untuk sampel SR menunjukkan perolehan konsentrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sampel DTB dan PTB dengan kuat arus yang sama. Sedangkan pada percobaan optimasi fraksi ukuran bijih 100 mesh baik sampel SR, DTB dan PTB menunjukkan perolehan konsentrat ratarata cukup tinggi sehingga dapat memenuhi kadar konsentrat yang diharapkan. Dari hasil percobaan dan pengamatan ketiga jenis contoh yaitu SR, DTB dan PTB diperoleh kondisi percobaan pada fraksi -100 mesh dengan arus 3,5 ampere diperoleh konsentrat yang cukup tinggi rata-rata 80 %. KESIMPULAN Diperoleh produk konsentrat pasir besi titan dengan kandungan Fe 2 O 3 sekitar 80% dan TiO 2 sekitar 20 %, dengan ukuran bijih yang digunakan adalah -60+80 dan100 mesh. Untuk ukuran fraksi yang makin halus diperlukan pengaturan kuat arus
sedemikian sehingga pemisahan menjadi efektif. Dari hasil percobaan pemisahan pasir besi titan dengan kondisi optimum diperoleh pada kondisi arus 3,5 ampere dan fraksi - 100 mesh dengan perolehan konsentrat rata-rata 80 %. Perlu penelitian lanjutan untuk mengatasi masalah TiO 2 yang ada dalam bijih sehingga sekecil mungkin masuk kedalam logam besi apabila dilakukan proses peleburan untuk mendapatkan logam besi. DAFTAR PUSTAKA [1] Katim Indarto. 1996. Pemanfaatan Pasir Besi Titan untuk Pembuatan Besi Cor, Titan Oksida dan Logam Titan. P3M – LIPI. [2] Gaudin A.M, dkk. 1943. Magnetic Seperation of Sulphide Mineral. Technical Publication No. 1549 A.I.M.E. New York Meeting. [3] Hess H.H. 1966. Notes on Operation of Frantz Isodynamic Magnetik Seperator. Princeton University. [4] Fait, W.I, Keyes, P.B and Clark, R.L. 1965. Industrial Chemical, John Wiley & Sons. Inc: USA. [5] Thomas S.Mackey.DR. Selective leaching of iron from Ilmenite produce a , Syntetic Rutile Structure. Texas City: Texas. [6] Xu Meng, dkk. 2006. Beneficiation of Titanium Oxides From Ilmenit by SelfReduction of Coal Bearing Pellets. Journal of Iron and Steel Research International. RIWAYAT PENULIS Deddy Sufiandi lahir di Bandung, 26 Juli 1951. Merupakan alumni Akademi Geologi dan Pertambangan Bandung, dan mendapat gelar kesarjanaan dari Teknik Metalurgi Unjani. Bekerja sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian Metalurgi Lipi mulai 1 Februari 1978 sampai sekarang.
20 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 15-20
PENGARUH PENAMBAHAN SERAT POLYVINYL ALCOHOL DAN SUPERPLASTISIZER POLYCARBOXYLATE ETHERS TERHADAP SIFAT MEKANIK MATERIAL ECC Harsisto, Hartati Soeroso, Yulinda Lestari, Ari Yustisia Akbar Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang 15314 E-mail :
[email protected]
Intisari Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh penambahan serat PVA dan superplastisizer tipe polycarboxylate ethers (tipe P) terhadap sifat mekanik material ECC. Tujuan dari penggunaan PVA adalah untuk meningkatkan kekuatan beton sehingga apabila dikenai beban, tipe retakan yang terjadi adalah retak rambut (microcrack). Superplasticizer ditambahkan untuk meningkatkan kelecakan (workability) ECC sehingga mudah dipadatkan dan didapatkan mutu yang lebih baik. Pengujian material ECC dilakukan dengan mengukur kuat tekan dan kuat lentur menggunakan universal testing machine. Dari variasi komposisi sampel ECC yang dilakukan, komposisi paling efektif terdapat pada perbandingan semen : air : pasir : fly ash : SP : PVA = 1 : 0,68 : 0,94 : 1,6 : 0,01 : 0,02 dengan kuat tekan 196 kg/cm2 dan kuat lentur 145,3 kgf. Kata kunci : Self healing concrete, Engineered cement composite, Polyvinyl alcohol, Superplastisizer, Fly ash
Abstract This research was conducted to study the effect of PVA fiber and polycarboxylate ethers typed superplastisizer (type P) to the mechanical properties of ECC materials. The purpose of the use of PVA is to increase the strength of the concrete so that when subjected to load, type of fracture is microcrack. Superplasticizer was added to enhance ECC workability so it was easily compressed and get better quality. ECC material testing was conducted by measuring the compressive and flexural strength using a universal testing machine. The most effective composition of ECC material on the ratio of cement : water : sand : fly ash : SP : PVA = 1 : 0.68 : 0.94 : 1.6 : 0.01 : 0.02 has compressive and flexural strength of 196 kg/cm2 and 145.3 kgf respectively. Keywords : Self healing concrete, Engineered cement composite, Polyvinyl alcohol, Superplastisizer, Fly ash
PENDAHULUAN Beton merupakan bahan komposit dengan penyusun utama semen, air dan agregat. Beton digunakan sebagai penyusun utama bangunan karena mempunyai kekuatan desak yang besar, mudah dibentuk dan awet. Meskipun demikian, beton bersifat getas sehingga mempunyai ketahanan yang rendah terhadap tegangan tarik. Untuk mengatasi kelemahan itu, banyak
penelitian telah dilakukan dengan penambahan zat aditif berupa serat ke dalam adukan beton. Beton konvensional untuk struktur statis dan dinamis memiliki umur layanan yang terbatas. Salah satu penentu umur layan beton adalah timbulnya keretakan akibat beban statis dan dinamis. Beton akan mengalami retak statis dan dinamis bila daya lentur dari beton terlewati. Akibat dari kegagalan kontruksi beton adalah
timbulnya kerugian tekno ekonomi dan juga membahayakan jiwa. Sehingga diperlukan suatu beton yang dapat mengakomodir perubahan bentuk tersebut. Self healing concrete merupakan beton yang dapat menutup retakan akibat beban statis dan dinamis secara alami melalui kontak dengan lingkungan tanpa adanya intervensi dari luar. Akibatnya terjadi recovery kekuatan mekanik melalui crack healing. Material penentu dari pembuatan self healing concrete ini adalah ECC (Engineered Cement Composite) yang dalam penelitian ini komposisinya akan divariasi agar didapatkan harga tensile strain maksimal. Peristiwa self healing pada beton dapat diamati apabila beton yang telah retak dibiarkan pada udara terbuka maka setelah beberapa bulan akan terjadi lapisan putih yang menutupi retakan tersebut. Lapisan putih tersebut merupakan endapan kalsium karbonat (CaCO3) yang terbentuk dari hasil reaksi antara CaO yang tidak terhidrat pada beton dengan CO2 dari atmosfer melalui mekanisme pembasahan dan pengeringan. Material penentu dari pembuatan self healing concrete ini adalah ECC (Engineered Cement Composite) yang bendable. ECC merupakan salah satu tipe bahan komposit semen dengan perkuatan serat yang unik dan memiliki performa tinggi[1]. ECC ini ditaburi oleh coated reinforcing fiber khusus yang dicampur merata. ECC mempunyai ductility tinggi pada kisaran 3-7%, lebar microcrack 60 μm dan kadar serat yang relatif rendah sebesar 2% [2]. Serat yang khas digunakan dalam ECC adalah serat polivinil alkohol (PVA). Serat PVA muncul sebagai jawaban atas pencarian serat yang murah namun memiliki kinerja tinggi untuk ECC. Sifat hidrofilik dari serat PVA merupakan tantangan besar dalam pembuatan komposit karena serat
cenderung putus bukannya tertarik keluar karena terikat kuat pada matriks semen[3]. Pada saat dilakukan uji tarik, serat PVA menunjukkan sifat sliphardening[4]. ECC telah dikembangkan selama 15 tahun oleh Li dan timnya. Para engineer ini menemukan bahwa keretakan yang terjadi harus dijaga dibawah 150 µm dan jika ingin beton dapat direcovery seluruhnya harus dibawah 50 µm. Berbeda dengan beton konvensional, ECC lebih mendekati sifat-sifat logam dibanding gelas yang artinya lebih fleksibel. Beton konvensional cenderung seperti keramik yang rapuh dan kaku. ECC ini dapat menanggulangi kerusakan akibat becana ketika terjadi regangan dalam gempa bumi atau akibat penggunaan rutin yang berlebihan. Ketika diberi tekanan, ECC cenderung melengkung dan tidak patah. ECC tetap utuh dan aman hingga tensile strain 5 %. Beton konvensional akan mengalami keretakan dan tidak dapat mengangkat muatan lagi pada tensile strain 0,01 %[5]. Rata-rata lebarnya keretakan pada self healing concrete milik Li ini adalah di bawah 60 µm, setara dengan setengah dari lebar rambut. Menurut Li, resep utamanya adalah mengekspos extra dry cement dalam beton pada permukaaan keretakan sehingga dapat bereaksi dengan air dan karbon dioksida untuk memulihkan dan membentuk lapisan tipis putih kalsium karbonat pada bekas retakan. Kalsium karbonat ini merupakan senyawa kuat yang dapat ditemukan secara alami di kulit kerang. Dalam laboratorium, material membutuhkan antara satu sampai lima siklus proses wetting dan drying untuk pemulihan.
22 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 21-26
Prosedur Penelitian
Gambar 1. Self healing mengatasi keretakan[5]
concrete
dalam
Secara umum penelitian ini bertujuan sebagai salah satu solusi dalam permasalahan konstruksi dan sarana transportasi di Indonesia, khususnya prasarana gedung dan jalan raya yaitu dengan membuat self healing concrete dari material ECC yang dapat diaplikasikan baik pada pondasi, jembatan atau jalan raya. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk penguasaan teknologi pembuatan self healing concrete dan memperoleh komposisi ECC yang sesuai sehingga dapat mengakomodir perubahan bentuk akibat beban statis dan dinamis. Penelitian ini merupakan kegiatan awal untuk penguasaan teknologi pembuatan dan pendeteksian self healing concrete yang akan dimulai dengan karakterisasi bahan penentu self heal crack yaitu ECC. Pengujian dilakukan dengan pemberian beban statis dan dinamis. PROSEDUR PERCOBAAN Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir, fly ash yang diambil dari PLTU Suralaya, semen Portland dengan merk Tiga Roda serta serat PVA produksi Hunan Xiangwei co., ltd dengan panjang 4-6 mm.
Metode yang digunakan adalah membuat berbagai komposisi campuran ECC dengan menggabungkan bahan utama yaitu semen Portland tipe 1, fly ash kelas F, aggregate (tanah dengan ukuran butir rata-rata 110 µm), air dan bahan tambahan serat polyvinyl alcohol dan HRWR (High Range Water Reducer) berbasis polycarboxylate. Adapun tahapan metode penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Penyiapan bahan baku yang diperlukan dengan menyamakan ukuran, penggerusan dan perlakuan yang lain. 2. Proses pencampuran yaitu mencampur bahan bahan yang diperlukan untuk dibentuk menjadi material ECC sesuai dengan variabel yang telah ditentukan seperti pada Tabel 1. 3. Proses pengujian yaitu melakukan kegiatan pengujian di laboratorium uji untuk mendapatkan performa yang diinginkan. Tabel 1. Variasi komposisi material ECC No 1 2 3 4 5
Komposisi Semen
Air
Pasir
Fly Ash
SP
PVA
1 1 1 1 1
0,53 0,59 0,68 0,78 0,90
1 0,80 0,94 1,10 1,26
1,2 1,6 2,0 2,4
0,01 0,01 0,01 0,01
0,02 0,02 0,02 0,02
Untuk uji tekan mengacu pada SNI 03-1974-1990 dengan dimensi benda uji yaitu 51x51x51 mm3. Sedangkan untuk uji fleksural, benda uji berupa balok dengan ukuran 51 x 51 x 300 mm3. Pengujian dilakukan di Lab. Uji B2TKSBPPT. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian fisik mekanik pada material ECC dengan variasi pada Tabel 1 disajikan pada Tabel 2. Pengaruh Penambahan Serat …../ Harsisto|
23
Tabel 2. Hasil pengujian fisik mekanik ECC No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kuat Tekan (Kg/cm2) 77,7 244,1 196 101,6 90,6
bidang patahan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Kuat Lentur (Kgf) 76,5 117,25 145,3 66,3 86,65
Dari hasil pengujian sampel blangko dan material ECC, dapat dilihat dan dibandingkan kekuatan mekaniknya meliputi kuat tekan dan kuat lenturnya. Pengaruh Fly ash Dalam umur beton 14 hari, keefektifan komposisi fly ash dalam material ECC adalah perbandingan fly ash : semen = 1,6 : 1. Fly ash merupakan bahan pensubstitusi matriks semen yang dalam umur beton tertentu (lebih dari 28 hari) sebenarnya justru bisa lebih memperkuat atau meningkatkan kuat tekan beton. Hanya fly ash tidak bisa mensubstitusi sepenuhnya hanya dalam kadar maksimum tertentu saja yaitu biasanya maksimum 20 %. Pengaruh Serat Polyvinyl Alcohol Tujuan dari penggunaan PVA adalah untuk meningkatkan kekuatan beton sehingga apabila dikenai beban, tipe retakan yang terjadi adalah retak rambut (microcrack), bukan makrocrack. Penambahan serat PVA dapat diartikan memberi tulangan pada beton yang tersebar merata ke dalam adukan beton dengan orientasi acak sehingga mencegah terjadinya retakan pada beton akibat pengaruh pembebanan, penyusutan dan panas hidrasi. Keberadaan serat dalam beton dapat meningkatkan daya lentur/kekuatan flexuralnya. Sehingga jika dilihat dengan adanya penambahan serat PVA dibandingkan dengan blangko, rata-rata memiliki daya lentur yang lebih tinggi. Serat PVA ini dapat terlihat jelas pada
Gambar 2. Penampang beton tanpa PVA dan HRWR (a) dan beton dengan PVA dan HRWR (b) setelah uji tekuk
Pengaruh Polycarboxylate
Superplasticizer
Super plasticizer dalam beton bisa mengurangi penggunaan air. Dengan berkurangnya penggunaan air, maka akan meningkatkan kekuatan beton baik tekan maupun lentur. Agar beton mempunyai sifat self healing, digunakan rasio semen terhadap air cukup besar sehingga terdapat kelebihan semen yang tidak mengalami hidrasi. Apabila terjadi retakan, maka CaO yang tidak terhidrat akan bereaksi dengan CO2 membentuk endapan putih CaCO3 dari atmosfer melalui mekanisme pembasahan dan pengeringan. Penggunaan sedikit air pada campuran beton membuat kelecakan beton menurun sehingga susah dicetak dan dipadatkan. Oleh karena itu ditambahkan superplastisizer, yang pada penelitian ini adalah berbasis polikarboksilat. Superplasticizer ditambahkan untuk meningkatkan kelecakan (workability) beton sehingga mudah dipadatkan dan didapatkan mutu yang lebih baik. Mekanisme disperse dari superplasticizer tipe P adalah dengan steric repulsion dimana terjadi
24 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 21-26
tolakan antar polycarboxylate.
cabang
polymer
KESIMPULAN Penambahan serat polyvinylalcohol dari hasil pengujian terlihat meningkatkan daya lentur beton sehingga elastisitasnya pun meningkat. Penggunaan superplasticizer sangatlah penting karena dapat mengurangi penggunaan air yang dengan berkurangnya kadar air dalam beton akan membantu proses self healing beton tersebut apabila terjadi keretakan. Dari variasi komposisi sampel ECC yang dilakukan, komposisi fly ash paling efektif yaitu sampel 3 dengan kadar 1,6. DAFTAR PUSTAKA [1]Ying zi, Yang., Lepech, Michael D., Li, Victor C. 2009. Autogenous Healing of Engineered Cementitious Cmposites under Wet-Dry Cycles. Cement and Concrete Research. [2]Weimann MB, Li VC. 2003. Hygral behavior of engineered cementitious composite (ECC). Int J Restor Build Monum 9(5):513–534.
[3]Wang, S. and V. C. Li, "Polyvinyl Alcohol Fiber Reinforced Engineered Cementitious Composites: Material Design and Performances", Proceedings of Int'l RILEM workshop on HPFRCC in structural applications, Published by RILEM SARL, pp. 65-73, 2006. [4]Yang EH, Wang S, Yang Y, Li VC (2008) Fiber-bridging constitutive law of engineered cementitious composites. J Adv Concr Tech 6(1):181–193. [5]Li, Victor C., Yang, En-hua., 2007. Self Healing in Concrete Materials. Self Healing Materials Book. Springer. RIWAYAT PENULIS Harsisto, lahir di Kertosono 13 juni 1959, lulus S1 jurusan Tambang Metalurgi ITB. S2 di Departemen Metalurgi Fakultas Teknik Universitas Tokyo. Saat ini sebagai sebagai peneliti di Puslit Metalurgi – LIPI sejak tahun 1984.
Pengaruh Penambahan Serat …../ Harsisto|
25
26 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 21-26
PERCOBAAN PENINGKATAN KADAR MANGAN MENGGUNAKAN MAGNETIC SEPARATOR Immanuel Ginting dan Deddy Sufiandi Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang 15314 E-mail :
[email protected]
Intisari Percobaan pemisahan besi dari mangan dengan magnetik separator telah dilakukan terhadap bijih mangan dari daerah Trenggalek Jawa Timur dengan variabel percobaan yaitu rapat arus 2,5 ampere dengan tegangan atau voltage yang disesuaikan dengan kondisi alat. Umpan percobaan yang digunakan dalam pemisahan ini adalah bijih mangan yang telah melalui proses roasting sebelumnya. Kondisi optimal proses pemisahan diperoleh pada kuat arus 2,5 ampere dengan kandungan 50,99 % Mn dan kandungan besi 0,27 %. Kata kunci : Mangan, Pemanggangan, Magnetik separator, Produk
Abstract The separation tests of roasted manganese ore by magnetic separator have been carried out. The test variables were the current densities such like 2.5 ampere and the voltage which suitable to the tool condition. The optimal condition of 50.99 % content of Mn and 0.27 % Fe content achieved is current density 2.5 ampere. Keywords : Mangan, Roasting, Magnetic separator, Product
PENDAHULUAN Mangan adalah salah satu produk mineral hasil pertambangan khususnya yang terdapat di Indonesia seperti : di daerah Trenggalek Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Bijih mangan dikenal sebagai bahan baku untuk industri baja, industri batere, industri kimia, pertanian dan lainnya. Pengolahan hasil tambang menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah terutama dari bijih mangan kadar rendah harus diproses terlebih dahulu untuk ditingkatkan kadarnya dengan pengolahan konsentrasi, salah satunya adalah dengan magnetic separator yaitu pemisahan mineral mangan dari mineral pengotor lainnya. Dengan metoda magnetic sedemikian rupa sehingga diperoleh produk konsentrat dengan kadar mangan yang lebih tinggi. Pada penelitian ini dilakukan peningkatan kadar mangan
dari bijih mangan hasil proses aktivasi dimaksudkan untuk mengeliminir kadar besi dalam mangan untuk memenuhi proses lanjut. Jadi peningkatan kadar dengan menggunakan magnetic separator merupakan cara efisien untuk mengurangi pengotor seperti besi. Hasil proses ini adalah konsentrat yang mengandung besi dan tailing yang mengandung produk mangan. LATAR BELAKANG Bijih mangan kadar rendah di Indonesia sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, salah satu langkah setelah penambangan adalah benefisiasi yaitu proses peningkatan kadar mangan sehingga memenuhi syarat dipakai menjadi bahan baku yang bernilai tambah. Unsur-unsur pengotor yang dapat mengganggu proses lanjut adalah kandungan besi. Salah satu proses untuk meningkatkan kadar
mangannya dengan melalui proses pemanggangan kemudian dilakukan proses pemisahan sehingga besi dapat dipisahkan dengan magnetic separator. Prinsip dari proses pemanggangan ialah, MnO 2 dalam bijih dirubah menjadi Mn 2 O 3 dengan proses pemanggangan pada temperatur 600 - 800 °C dengan reaksi : 2MnO 2 + CO ==== Mn 2 O 3 + CO 2 3Mn 2 O 3 + CO ==== 2Mn 3 O 4 + CO 2 Mn 3 O 4 + CO ==== 3MnO + CO 2 Kemudian hasil pemanggangan dapat dipisahkan secara fisik dengan cara magnetik untuk mengeliminir kandungan Fe (besi) dan diperoleh kadar MnO 2 yang cukup tinggi. Kondisi pemanggangan diusahakan agar reduksi oksida-oksida besi tidak menjadi Fe 2 O 3 supaya tidak larut dalam asam. PROSEDUR PERCOBAAN Bahan baku
yang dikembalikan sebagai umpan untuk dipisahkan kembali dan konsentrat merupakan kandungan besi yang diharapkan dapat dipisahkan dari bijih mangan. Bijih Mangan Gerus
Magnetic Separator Analisa Tailing
Middling
Konsentrat
Ayak Analisa produk
Roasting
Gambar 1. Diagram Alir Proses Konsentrasi Mangan
Percobaan Percobaan pemisahan besi dari mangan dengan menggunakan magnetic separator seperti pada gambar berikut : Prinsip kerja Magnetik Separator
Bahan baku yang dipakai sebagai umpan pada percobaan ini adalah bijih mangan berukuran – 100 mesh yang telah dilakukan proses pemanggangan sebelumnya dengan variabel temperatur 600, 700, 800 °C; waktu pemanggangan selama 1, 2, 3 jam dan jumlah karbon sebesar 5,10,15 dan 20 %. Alat Alat yang digunakan pada percobaan ini terdiri dari alat magnetic separator, dengan variabel percobaan kuat arus (A) 2,5 ampere dengan tegangan atau voltage yang disesuaikan dengan kondisi alat. Peralatan lain berupa alat untuk analisa XRD, SEM/ Jeol dan AAS. Dari diagram alir terlihat bahwa bahan baku percobaan adalah bijih mangan yang telah mengalami proses roasting. Hasil pemisahan dengan alat magnetic separator ada tiga produk. Tailing adalah produk nonmagnetik, middling adalah produk
a.
b.
Nonmagnetic material
Gambar 2. a. Magnetic separator b. Prinsip Kerja Magnetic separator
28 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 27-34
Prinsip Kerja Magnetik Separator Konsentrat mangan adalah mineral yang bersifat magnet lemah, kemudian keberhasilan yang sudah dilakukan dengan mesin sorting magnetic dengan kekuatan magnet yang kuat dapat mengambil bijih dengan kadar 4 – 10 % Mn, alat pemisah magnet ini praktis dan mudah dikontrol serta dapat dipakai untuk berbagai jenis bijih mangan terlebih untuk konsentrat, baik bijih kasar, medium dan halus telah dikembangkan dan berhasil. Secara umum saat ini magnetic separator digunakan untuk partikel kasar dan halus saja sedangkan untuk micro-fine particle masih sedang dalam penelitian [1, 2, 3]. Magnetic separator adalah alat untuk memisahkan material padat berdasarkan sifat kemagnetan suatu bahan. Hal ini dapat dilakukan karena bijih yang terdapat di alam mempunyai sifat kemagnetan yang berbeda antar satu dengan yang lain. Sifat kemagnetan yang tinggi (ferromagnetic), lemah (paramagnetic) dan nonmagnetic (diamagnetic). Alat ini terdiri dari pulley yang dilapisi dengan magnet yang berada disekitar arus listrik. Alat pemisah fase padat-padat ini memiliki prinsip kerja yaitu dengan melewatkan suatu bahan/material campuran padatan yang mengandung logam dan padatan yang tidak mengandung logam pada suatu bagian dari magnetic separator yang diberi medan magnet, maka padatan yang mengandung logam akan menempel (tertarik) pada medan magnit sedangkan yang tidak mengandung magnet akan jatuh secara grafitasi dengan demikian terjadi pemisahan secara fisik [1.2]. Pada alat magnetic separator roasted mangan yang telah menjadi 3MnO yang mempunyai sifat magnet lemah sehingga sewaktu melewati roll yang bermedan magnet tidak tertarik melainkan oleh putaran roll jatuh bebas dan terkumpul pada zona nonmagnet yang disebut tailing. Sedangkan kandungan besinya mempunyai kekuatan tarik magnet (tractive magnetic forces) sehingga sewaktu melalui medan
magnet besi tertarik dan menempel pada roll yang berputar dan oleh sekat pembersih, besi jatuh pada zona konsentrat dengan demikian terjadi pemisahan secara fisik dimana kandungan besinya dapat tereliminir sehingga meningkatkan kadar mangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui mineral-mineral yang terkandung dalam bijih mangan dilakukan analisa X-RD seperti pada gambar berikut, dimana mineral yang ditampilkan hanya yang dominan dan yang berhubungan dengan mineral yang mengandung mangan.
Py: Pyrolusit, Ca: Calsium Gambar 3. Identifikasi bijih Mn ditunjukkan pada hasil analisa difraksi X-RD
Selanjutnya dilakukan uji komposisi bijih mangan dengan menggunakan Atomic Adsorbtion Spectrometer (AAS) seperti tabel berikut. Tabel 1. Hasil analisa bijih ex Trenggalek Jawa Timur
No 1
Kode Sampel T.0
Unsur (%) Mn Fe 30,56 7,78
Disamping analisis dengan AAS, juga dilakukan analisa melalui citra SEM, untuk melihat peta sebaran mangan seperti Gambar 4.
Percobaan Peningkatan Kadar …../ Immanuel Ginting |
29
800 0 0.00
MnKa
CaKb 3.00
6.00
CuKa CuKb
1600
MnKb FeKa FeKb
2400
FeKesc
3200
CaKa
Counts
4000
KKa KKb
4800
CuLl NaKa
5600
OKa MnLl MnLa FeLlCKa FeLa MgKa AlKa SiKa
6400
12.00
9.00
15.00
18.00
21.00
keV
b. ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.4264 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound C K 0.277 44.54 0.18 60.92 O K 0.525 30.54 0.53 31.35 Na K* Mg K* 1.253 0.06 0.30 0.04 Al K* 1.486 0.28 0.26 0.17 Si K 1.739 0.80 0.23 0.47 K K* 3.312 0.04 0.25 0.02 Ca K* Mn K 5.894 20.84 0.67 6.23 Fe K* 6.398 1.58 0.69 0.46 Cu K 8.040 1.32 1.47 0.34 Total 100.00 100.00
c. Gambar 4. a,b,c Citra SEM bijih mangan sebelum di roasting
30 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 27-34
Mass%
Cation
K 30.4313 30.5653 0.0464 0.2907 1.0580 0.0812 33.0206 2.5426 1.9640
Melalui citra SEM seperti gambar di atas terlihat gambaran sebaran mangan beserta besi dan melalui ZAF Method Standard Quantitative Anaysis kandungan Mangan dan besi dapat dilihat. Analisa SEM juga dilakukan untuk dapat
membandingkan baik dari citra gambar dan dari informasi lainnya. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pengaruh kenaikan temperatur roasting 700 dan 800°C menurunkan kadar mangan tetapi untuk pengotor besi berpengaruh positif karena dapat menurunkan kadar besi
Tabel 2. Hasil analisa proses roasting sebagai umpan poses magnetic separator
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Code Sampel
% Carbon
Temp (°C)
Waktu (jam)
A A A B B B C C C
10 15 20 10 15 20 10 15 20
600 600 600 700 700 700 800 800 800
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Kadar (%) Fe 1,043 0,405 1,013 0,91 1,028 0,484 0,491 0,462 0,403
Mn 38,17 30,20 32,886 21,05 13,694 14,32 8,937 10,1163 9,35
a.
Percobaan Peningkatan Kadar …../ Immanuel Ginting |
31
4500
1000
CaKb CaKa
MnKb FeKa FeKb
1500
FeKesc
2000
KKa KKb
2500
MnLl MnLa FeLl FeLa OKa AlKa SiKa
Counts
3000
NaKa MgKa
3500
MnKa
4000
500 0 0.00
3.00
6.00
9.00
12.00
15.00
18.00
21.00
Mass%
Cation
keV
b. ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.4264 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound C K 0.277 44.54 0.18 60.92 O K 0.525 30.54 0.53 31.35 Na K* Mg K* 1.253 0.06 0.30 0.04 Al K* 1.486 0.28 0.26 0.17 Si K 1.739 0.80 0.23 0.47 K K* 3.312 0.04 0.25 0.02 Ca K* Mn K 5.894 20.84 0.67 6.23 Fe K* 6.398 1.58 0.69 0.46 Cu K 8.040 1.32 1.47 0.34 Total 100.00 100.00
K 30.4313 30.5653 0.0464 0.2907 1.0580 0.0812 33.0206 2.5426 1.9640
c. Gambar 5. a,b,c Citra SEM sesudah dilakukan proses pemisahan
Perolehan Mn sebelum dan sesudah proses Magnetik seperator 120 100
% perolehan
Pada Tabel 2, roasting pada temperatrur 600 °C dengan penambahan 5 % karbon kadar mangan maupun Fe cenderung meningkat dengan naiknya temperatur dan prosen karbon sehingga prediksi kadar mangan dapat dicapai pada kondisi tersebut. Pada kondisi penambahan temperatur tertentu dapat menaikkan kadar mangan tetapi pada temperatur yang lebih tinggi cenderung menaikkan kadar Fe, dengan adanya penambahan waktu proses cenderung kadar mangan ikut turun. Hubungan antara recovery proses roasting dan recovery proses pemisahan dapat dilihat pada Gambar 6.
80 Mn Mag Sep
60
Mn Roast
40 20 0 10/600/1
10/700/1
10/800/1
Kondisi percobaan
Gambar 6. Grafik perolehan Mn sebelum dan sesudah magnetic separator
32 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 27-34
Tabel 3. Data hasil konsentrasi dengan Magnetik separator
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kode Sampel DC6.1.10 DC6.2. 5 DC6.3.20 DT 6.1.10 DT 6.2.5 DT 6. 3.20 EC 7.1.10 EC 7.2.10 EC 7.3.20 ET 7.1.5 ET 7.2.10 ET 7.3.20 FC 8.1.10 FC 8.2.10 FC 8.3.15 FT 8.1.5 FT 8.2.10 FT 8.3.15
1: 1 jam,
analisa dengan SEM sebelum dan sesudah dilakukan proses pemisahan dengan magnetic separator. Pada citra SEM bahan baku pada Gambar 4, terlihat peta sebaran bijih mangan jelas dan berkelompok mengandung oksigen. Pada Citra SEM sesudah di-roasting dan dipisahkan pada Gambar 5, terlihat peta sebaran mangan merata dan jelas sedangkan untuk kandungan besi terlihat tipis dan kurang jelas kemungkinan karena telah terjadi konsentrasi sehingga melalui citra SEM terlihat adanya eleminir kadar besi dan kenaikan kadar mangan. Pada alat magnetic separator variabel percobaan yang dilakukan rapat arus (A) 2,5 ampere dengan tegangan atau voltage yang disesuaikan dengan kondisi alat. Melalui Gambar 6, terlihat bahwa sebelum dilakukan proses pemisahan dengan magnetic separator perlu dilakukan proses rosting untuk merubah menjadi mangan oksida sehingga memudahkan proses pemisahan.
2: 2 jam,
KESIMPULAN
% Fe
% Mn
1,9932 0,6874 1,7876 0,89 0,27 0,52 1,414 0,5845 1,750 1,008 0,28 0,76 0,453 0,496 1,063 0,39 0,32 0,33
50,99 37,07 47,90 40,17 32,32 40,07 41,97 39,39 41,83 42,99 29,61 34,07 33,88 32,90 35,91 30,19 30,35 32,49
Keterangan : C : konsentrat, T : Tailing, 6 : 600 °C, 5 : 5% karbon C : konsentrat, T : Tailing, 7 : 700 °C, 10 : 10% karbon C : konsentrat, T : Tailing, 8 : 800 °C, 20 : 20% karbon
3: 3 jam,
HASIL DAN PEMBAHASAN Dilihat dari analisa bahan baku pada Tabel 2 hasil proses roasting, pada kondisi temperatur 600 oC, % karbon 5, 10 dan 20% , waktu 1, 2, 3 jam, kandungan mangan 30 – 38,17 %. Setelah dilakukan proses pemisahan dengan magnetic separator pada Tabel 3 menghasilkan konsentrat mangan dengan perolehan 40 – 50,99% Mn, dan hasil optimum perolehan Mn pada proses pemisahan dengan magnetic separator adalah pada kondisi DC6.1.10 temperatur 600 °C, penambahan karbon 10% dan waktu 1 jam yaitu 50,99% Mn dengan recovery 79,81%. Dari hasil analisa X-RD terhadap bijih yang dilakukan adalah pyrolusit dengan kadar pengotor yang dominan kalsium. Disamping analisa X-RD juga dilakukan
1. Diperoleh produk konsentrat mangan dengan kadar 50,99 % Mn dengan recovery 79,81%. 2. Hasil percobaan pemisahan mangan dengan cara magnetik diperoleh pada kondisi rapat arus 2,5 ampere dengan fraksi -100 mesh. 3. Analisa citra SEM menunjukkan adanya perubahan material umpan sesudah proses aktivasi. 4. Sebelum dilakukan proses pemisahan bijih dengan magnetic separator perlu dilakukan proses roasting. 5. Untuk bisa memahami proses konsentrasi tersebut diatas diperlukan kajian mineralogi, analisa unsur total dari bijih mangan. DAFTAR PUSTAKA B.K. dkk. 2009. [1]P.P.Mishra Upgradation of low grade Siliceos Manganese ore from Bonai-Keonjhar,
Percobaan Peningkatan Kadar …../ Immanuel Ginting |
33
Orissa, India. Journal of mineral&materials characterization &Engineering, Vol.8.No.1,pp 47-r6, Jmmcc.org: Printed in the USA. [2]Manganese Processing,Manganese Concentrat.(http://www.angolacrushers. com/solution/metalic-mineralsprocessing/manganese-oreprocessing.html, diakses pada tanggal 25-10-2011). [3]Gaudin A.M.Member, and Rush Spidden H, junior Member A.I.M.E. 1943. Magnetic Sulphide Mineral. Ytechnical Publication No 1549, A.I.M.E: New York meeting, Seperation . [4]Hess.H.H. 1966. Notes on Operation of Frantz Isodynamic Magnetic Separator: Princeton Univesity November.
[5]Elder and E.Yan. 2003. Newest Generation of Electrostatic Separator for the Minerals Sands Industri. Heavy minerals, Johanesburg: South African Institute of Mining and Metallurgy. [6]N.Babu, dkk. 2009. Recovery of Ilmenite and Other Heavy Minerals from Teri Sand (Red Sands) of Tamil Nadu, India. Journal of Minerals & Materials Characterization & Enggineering. Vol.8.No.2, pp 149-159. RIWAYAT PENULIS Immanuel Ginting lahir di Pancur Batu, Medan, 20 Agustus 1952. Lulus Sarjana Muda Akademi Geologi dan Pertambangan Bandung 1977. Lulus S1 Teknik Metalurgi Unjani Bandung 1997. Bekerja di Puslit Metalurgi sejak 1979 hingga sekarang.
34 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 27-34
MASIH TERBUKANYA PELUANG PENELITIAN PROSES CARON UNTUK MENGOLAH LATERIT KADAR RENDAH DI INDONESIA Puguh Prasetiyo dan Ronald Nasoetion Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI Kawasan Puspiptek Gd.470, Serpong E-mail :
[email protected]
Intisari Indonesia memiliki cadangan nikel pada peringkat dua dunia. Cadangan tersebut berupa bijih nikel oksida yang lazim disebut laterit, berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) terutama di Sulawesi Tenggara dan Halmahera. Adapun laterit terdiri dari limonit berkadar Ni<1,5 % dan saprolit berkadar Ni>1,5 %. Laterit kadar tinggi saprolit berkadar Ni>1,8 % sudah diolah di Sulawesi Tenggara dengan jalur pyrometalurgi oleh PT Antam (Aneka Tambang) untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) di Pomalaa, dan PT INCO Canada untuk memproduksi nikel mattte (Ni-matte) di Soroako. Laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni<1,8 %, belum diolah di dalam negeri. Secara komersial untuk mengolah laterit kadar rendah digunakan proses Caron yang pertama kali dibangun di Nicaro Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1942. Atau proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) juga pertama kali dibangun di Moa Bay Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1959. Kedua proses tersebut tergolong dalam jalur hydrometalurgi, dan pemilihan proses tergantung dari kondisi bijih terutama pada kandungan Mg (magnesium). Laterit kadar rendah dengan kandungan Mg (magnesium) rendah (Mg < 6 % atau MgO < 10 %) lebih sesuai untuk diolah dengan proses HPAL, dan magnesium tinggi (Mg > 6 % atau MgO > 10 %) diolah dengan proses Caron. Dalam perkembangannya setelah tahun 1990-an, proses Caron mulai ditinggalkan karena mengkonsumsi energi tinggi dengan perolehan yang rendah untuk nikel (Ni : 70 – 80 %) maupun kobal (Co maks 50 %). Selanjutnya beralih ke proses HPAL karena proses ini mengkonsumsi energi rendah dengan perolehan tinggi untuk nikel (Ni > 90 %) maupun kobal (Co > 90 %). Dengan melihat kenyataan kegagalan tiga HPAL plant generasi kedua di Australia (Bulong tutup 2003, Cawse tutup 2008, dan Murrin Murrin berpindah kepemilikan ke Minara pada 2003/2004 dan beralih ke heap leach tahun 2007). Serta masih berlangsungnya Caron plant di Cuba (Nicaro dan Punta Gorda), Queensland Nickel di Yabulu Australia, dan Tocantin Brasilia. Maka proses Caron masih punya peluang untuk mengolah laterit kadar rendah di Indonesia. Peluang tersebut semakin terbuka apabila perolehan metal (recovery Ni dan Co) pada proses Caron bisa ditingkatkan setara dengan perolehan metal (recovery Ni dan Co) pada proses HPAL, dan ekonomis konsumsi energinya. Kata kunci : Laterit kadar rendah, Limonit, Saprolit, Hidrometalurgi, Proses Caron, Proses HPAL, Magnesium (Mg)
Abstract Indonesia had the resources of nickel at the second in the world. The resources are nickel oxide which said laterite. The abundant of laterite locate at Sulawesi Tenggara (South-East Sulawesi) and Halmahera. There are two main mineral in laterite, limonit contains Ni<1,5% and saprolit contains Ni>1,5%. The high grade nickel saprolit contains Ni>1,8% has been processed in Sulawesi Tenggara to produce FeNi (ferro nickel) in Pomalaa by PT Antam, and to produce Ni-matte (nickel matte) in Sorowako by PT INCO Canada. The low grade laterite (limonit and saprolit contains Ni<1,8%) not yet processed in Indonesia. To process the low grade laterite are used Caron’s process or HPAL’s process (High Pressure Acid Leaching). The condition of laterite’s ores are used to choice the process. The Caron’s process is remained after 1990’s because it consume high energy with low metal recovery (Ni : 70 – 80 % Co max 50 %). The choice to process low gradelaterite is HPAL because it consume low energy wiyh high recovery of metal (Ni > 90 % and Co > 90 %). The fact three HPAL plant in Australia unsuccessful (Bulong closed on 2003, Cawse closed on 2008, and Murrin Murrin taked over by Minara and change to heap leach on 2007) and the Caron plant still exist in Cuba (Nicaro and Punta Gorda), Queensland Nickel di Australia, and Tocantin Brasilia. Then Caron’s process still have opportunity to process the low grade laterite in Indonesia if the recovery of metal can be increase as same as HPAL and the consume of energy can be decreased. Keywords : Low grade of laterite, Ilmonite, Saprolite, Hydrometallurgy, Caron process, HPAL process, Magnesium (Mg)
PENDAHULUAN Bijih nikel digolongkan dalam dua jenis, yaitu nikel sulfida berada dibelahan bumi sub tropis seperti di Rusia, Canada, dan nikel oksida yang lazim disebut laterit berada dibelahan bumi khatulistiwa seperti di Indonesia, Philipina, Kaledonia Baru, dan Cuba. Dimana sekitar 70 % cadangan nikel dunia berupa laterit sedangkan pasokan nikel dunia yang berasal dari laterit sekitar 40 %. Sebagian besar pasokan berasal dari produk dari jalur proses pirometalurgi terutama dari FeNi (fero nikel). Cadangan bijih nikel laterit ditanah air mencapai lebih dari 1,5 milyar ton berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) terutama di Sulawesi Tenggara dan Halmahera. Bagian terbesar dari cadangan tersebut ádalah nikel kadar rendah dengan kandungan Ni<1,8%. Adapun laterit terdiri dari limonit berkadar Ni<1,5% dan saprolit berkadar Ni>1,5%. Laterit kadar tinggi saprolit dengan kandungan Ni>1,8% sudah diolah di Sulawesi Tenggara dengan jalur pirometalurgi (smelting) oleh PT. Antam untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) di Pomalaa, dan PT INCO Canada untuk memproduksi nikel mattte (Ni-matte) di Soroako. Laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit dengan kandungan Ni<1,8%, belum diolah didalam negeri. Untuk mengolahnya digunakan jalur hidrometalurgi menggunakan proses Caron atau proses HPAL (High Pressure Acid Leaching). Dimana laterit kadar rendah dengan kandungan Mg (magnesium) rendah (Mg<6% atau MgO<10 %) lebih sesuai untuk diolah dengan proses HPAL, sedangkan magnesium tinggi (Mg>6% atau MgO>10 %) diolah dengan proses Caron. Menurut Dalvi dkk dari INCO Canada dalam makalah Maret 2004, ke depan tidak ada proyek pengolahan laterit kadar rendah dengan proses Caron dan pengolahan laterit kadar rendah beralih ke proses HPAL. Karena selain butuh biaya mahal
untuk membangunnya, proses Caron mengkonsumsi banyak energi dengan perolehan yang rendah untuk nikel (Ni:70– 80%) dan kobal (maks Co ± 50 %). Sedangkan proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) walaupun mahal untuk membangunnya, mengkonsumsi energi rendah dengan perolehan yang tinggi untuk nikel (Ni>90%) maupun kobal (Co>90%). Masih menurut Dalvi, pasokan nikel dunia yang berasal dari laterit diperkirakan mencapai 51% pada tahun 2012. Tambahan pasokan tersebut sebagian besar berasal dari produk jalur hidrometalurgi dengan proses HPAL dari Indonesia (PT.Weda Bay Nickel di Halmahera dan PT BHP di pulau Gag Papua), Rio Tuba milik Sumitomo Jepang di Philipina, Goro milik INCO di New Caledonia, Australia (Bulong, Cawse, Murrin Murrin, dan Revensthorpe), dan tempat tempat lain diantaranya seperti Ramu di Papua Nugini[5]. Kenyataan yang ada tiga HPAL plant (generasi kedua) di Australia mengalami kegagalan saat mengolah smectite laterit kadar rendah Australia yang mengandung silikat tinggi. Tiga HPAL plant tersebut (Bulong, Cawse, dan Murrin Murrin) commisioning dalam waktu hampir bersamaan akhir tahun 1998. Bulong tutup tahun 2003, Cawse tutup tahun 2008, Murrin Murrin berpindah kepemilikan ke Minara pada tahun 2003/2004 dan beralih ke proses heap leach pada tahun 2007. Satu satunya HPAL plant (generasi ketiga) yang sukses hanya milik Sumitomo di Rio Tuba pulau Palawan Philipina yang commisioning akhir tahun 2004. Karena mengolah limonit mirip limonit yang diolah di HPAL plant generasi pertama yang dibangun oleh Freeport USA di Moa Bay Cuba. Sedangkan PT Weda Bay Nickel Canada beralih kepemilikan ke Eramet Perancis pada tahun 2006, PT BHP mengembalikan ijin pulau Gag Papua pada pemerintah Indonesia pada tahun 2008/2009, Revensthorpe Australia milik BHP beralih kepemilikan ke FQM (First Quantum Mining) Canada pada Desember
36 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 35-44
2009, dan Goro HPAL Demonstration plant milik INCO di Goro New Caledonia tidak ada kejelasan. Bahkan INCO Canada beralih kepemilikan ke CVRD Vale Brasilia pada tahun 2010. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa HPAL gagal pada skala industri apabila digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah dengan karakteristik yang tidak mirip dengan limonit Moa Bay. Walaupun proses HPAL untuk mengolah berbagai jenis laterit sudah teruji secara laboratorium maupun pilot plant. Untuk proses Caron sampai saat ini masih beroperasi Caron plant generasi pertama di Nicaro Cuba yang dibangun oleh Freeport pada tahun 1942, demikian juga Caron plant ditempat lain seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Caron Plant di beberapa tempat[10] Perusahaan
Lokasi
Tahun Establish 1945
Status
Cubaniquel
Nicaro, Holguin Cuba
QNI
Yabulu, Australia
1974
Aktif
Niquel Tocantins
Niquelandia, Brazil
1981
Aktif
Cubaniquel
Punta Gorda, Cuba
1986
Aktif
Ferromin
Sered, Slovakia
1958
Tak Aktif
International Nickel
Sudbury, Canada
1975
Tak Aktif
Nonoc
Philipina
1975
Aktif
Tak Aktif
Dimana Caron plant yang tidak aktif dikarenakan secara ekonomi tidak sanggup mengatasi masalah harga energi yang makin mahal setelah tahun 1973. Kenaikan harga energi secara dramatis tersebut terjadi setelah berakhirnya perang Arab vs Israel tahun 1973.
Dengan kegagalan proses HPAL maka proses Caron masih terbuka untuk mengolah laterit kadar rendah di Indonesia khususnya Halmahera, walaupun masih memiliki kelemahan jika dibandingkan denga proses HPAL. Karena laterit kadar rendah ditanah air pada umumnya mengandung magnesium (Mg) tinggi yang lebih sesuai untuk diolah dengan proses Caron. Proses Caron Proses Caron ditemukan oleh Prof Caron dari Universitas Delf Belanda pada tahun 1920-an. Beliau telah menghasilkan tiga paten tentang proses ini sampai saat dilakukan uji pilot plant di Hooskin’s Mound Texas USA menjelang tahun 1940. Pilot plant tersebut untuk persiapan pembangunan pabrik oleh Freeport USA di Nicaro Cuba pada tahun 1942. Pabrik mulai beroperasi tahun 1943, ditutup tahun 1947, dan dibuka lagi tahun 1952 untuk keperluan perang Korea. Sampai saat ini Nicaro plant masih beroperasi dibawah kendali pemerintah Cuba karena Freeport dinasionalisasi oleh rezim Fidel Castro pada tahun 1960. Perkembangan selanjutnya pemerintah Cuba juga telah berhasil membangun Punta Gorda plant pada tahun 1986. Adapun serpentin yang diolah oleh kedua pabrik tersebut, dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Kandungan Serpentin di Cuba [12]
Elemen
Nicaro % berat
Punta Gorda % berat
Ni Co Fe SiO 2 MgO
1,32 0,10 39,0 12,0 7,0
1,34 0,10 41,0 8,0 4,0
Masih Terbukanya Peluang …../ Puguh Prasetiyo |
37
Sedangkan diagram alir pabrik Nicaro, dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. CO NH3+ (NH4) 2CO 3
SERPENTINE
CO2
Reduction Cooling Air
NH4S
Leaching Filtration
Residue to waste and NH3 recovery
Precipitation Filtration
CoS+NiS for export
Air Purification Filtration NH3 + CO2 recovery
Amonia solution to recovery CO2
Cake containing Fe & Mn to waste
Boiling Filtration BNC (Basic Nickel Carbonate)
Calcination NiO Product
Gambar 1. Diagram alir pengolahan serpentine dengan proses caron di Nicaro[8]
Serpentine yang mengandung magnesium tinggi (7% MgO) terlebih dahulu dikeringkan sebelum dipanggang secara reduksi dengan menambahkan gas reduktor (CO + H2 ) didalam Multiple Heart Furnace (MHF) pada temperatur 750-800 °C. Ada 24 buah MHF pada Nicaro plant. Pemanggangan reduksi terutama dimaksudkan untuk mereduksi NiO menjadi ion metal Ni, selanjutnya hasil reduksi dileaching dengan pelarut AAC (Ammonia Ammonium Carbonate) pada temperatur kamar dan tekanan atmosfir. Kobal (Co) dan nikel (Ni) yang terkandung didalam larutan hasil leaching, diendapkan dengan ammonia sulfida (NH4 HS) untuk mendapatkan produk padatan NiS+CoS. Selanjutnya larutan dimurnikan dengan oksidasi untuk
menghilangkan pengotor besi (Fe) dan mangan (Mn). Larutan hasil pemurnian diuapkan untuk mendistilasi ammonia (NH3 ) untuk di recover kembali, dan padatan BNC (Basic Níkel Carbonate = BNC dikalsinasi untuk NiCO 3 ). mendapatkan produk NiO. Selanjutnya proses Caron di Nicaro (plant generasi pertama) Cuba digunakan ditempat lain seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 di atas. Dimana sampai saat ini teknologi ammonia leaching (proses Caron) terbukti mengkonsumsi banyak energi terutama untuk pengeringan dan pemanggangan reduksi. Disamping juga mendapatkan perolehan yang rendah untuk nikel (70–80 % Ni) maupun kobal (35– 50% Co). Perkembangan Proses Caron di Cuba dan Australia Harga energi masih murah saat Nicaro plant dibangun tahun 1942. Harga minyak dunia naik secara dramatis setelah tahun 1973, akibatnya proyek pengolahan laterit kadar rendah dengan proses Caron yang belum dimulai terpaksa ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Salah satu diantaranya adalah PT. Pasific Nickel USA yang berencana mengolah laterit pulau Gag Papua Indonesia. Sedangkan yang sudah berjalan dievaluasi agar tetap bisa berjalan dan tetap ekonomis dengan harga energi mahal. Karena dinilai tidak ekonomis maka Nonoc Philipina (dibangun oleh Freeport) terpaksa tutup pada tahun 1986, demikian juga dengan Ferromin Sered Slowakia dan International Nickel Canada. Sampai saat ini dua Caron plant di Cuba masih bisa berlangsung karena menggunakan crude oil dalam negeri (Cuban crude oil) sejak 1995. Crude oil tersebut harganya murah tetapi mengandung sulfur tinggi dan berfungsi untuk menggantikan fuel oil impor yang mahal. Sebelumnya (setelah tahun 1973) kebutuhan energi Cuba dipasok oleh Uni Soviet (USRR) dengan harga murah yang dibayar dengan gula. Setelah terjadi
38 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 35-44
disintregasi di Uni Soviet (USRR) pada tahun 1990 maka Cuba terpaksa harus membeli fuel oil dari pasar internasional. Pada tahun 1995, pemerintah Cuba memutuskan untuk menggunakan crude oil dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan energi. Akibat dari keputusan tersebut maka industri nikel di Cuba terpaksa menggunakan Cuban crude oil walaupun ada masalah dengan penggunaannya. Pemakaian Cuban crude oil berpengaruh terhadap proses pengeringan laterit dan menimbulkan masalah korosi. Sehingga sampai saat ini terus dicari jalan keluarnya untuk mengatasi masalah tersebut. QNY Caron plant diYabulu Australia juga masih beroperasi karena mengganti sebagian besar fuel oil dengan batubara, dan terus menerus melakukan litbang (penelitian dan pengembangan) untuk meningkatkan perolehan nikel. Laterit kadar rendah dari Greenvale Australia digunakan sebagai bahan baku sampai tahun 1993. Selanjutnya menggunakan laterit impor dari New Caledonia, Indonesia, dan Philipina. Dimana QNI mengimpor laterit dari New Caledonia (mulai tahun 1986) untuk dicampur dengan laterit Greenvale, selanjutnya dari Indonesia (pulau Gebe) mulai tahun 1988, dan terakhir dari Philipina. Penggantian fuel oil dengan batubara dilakukan pada oil fired rotary dryer dan power plant boiler. Dimana dua dari tiga (3) oil fired rotary dryer diganti dengan pulverized coal rotary dryer. Dari hasil litbang QNY berhasil meningkatkan perolehan nikel dari Ni ± 73 % pada awal operasi menjadi Ni : 80 – 83 % mulai tahun 1993 s/d saat ini. Proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) Proses HPAL awalnya dikembangkan oleh Sherrit Gordon Canada untuk mengolah limonit murni yang jumlahnya berlimpah di Pinares de Mayari Cuba. Adapun kandungan limonit tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Kandungan Limonit Murni Di Pinares de Mayari Cuba[12] Elemen Ni Co Fe SiO 2 MgO
% berat 1,24 0,12 44 8,0 4,0
Seluruh proyek Freeport di Cuba dinasionalisasi oleh pemerintah Cuba dibawah rezim Fidel Castro pada Oktober 1960. Pada saat dinasionalisasi pabrik Moa Bay yang mulai dibangun tahun 1959 belum selesai pembangunannya. Dengan bantuan Uni Soviet (Rusia) pembangunan pabrik Moa Bay bisa diselesaikan pada tahun 1961. Setelah mengalami berbagai macam kesulitan dalam kurun waktu 6 – 7 tahun maka Moa Bay plant bisa berjalan normal, dan sampai saat ini (2011) masih beroperasi. Limonit yang mengandung besi oksida (44% Fe) dan sedikit magnesium silikat dileaching (pelindian) dengan asam sulfat didalam autoclave pada (H2 SO 4 ) temperatur ± 250 °C dan tekanan ± 4000 kPa. Larutan NiSO 4 yang mengandung Ni (nikel) dan Co (kobal) hasil leaching, diendapkan dengan gas H2 S didalam autoclave pada temperatur ± 120 °C dan tekanan ± 1030 kPa untuk memproduksi NiS. Pada Moa Bay plant terdapat 16 buah autoclave yang digunakan untuk mengolah limonit menjadi NiS. Adapun flow sheet Moa Bay plant, dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini. Limonite Konsentrat H2SO4
Sea Shells “Coral”
H2S
Pressure Leaching Filtration
Residue to waste
Neutralization Filtration
Gypsum to waste disposal
Precipitation Filtration Acid to Waste
NiS + CoS to export
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Limonit Dengan Acid Leach Di Moa Bay[8]
Masih Terbukanya Peluang …../ Puguh Prasetiyo |
39
Karena harga energi (fuel oil) semakin mahal setelah tahun 1973, dan proses HPAL telah terbukti di Moa Bay mengkonsumsi energi rendah pada operasinya dengan perolehan tinggi untuk nikel (Ni) maupun kobal (Co). Maka aktivitas litbang (penelitian dan pengembangan) untuk mengolah berbagai jenis laterit dengan proses HPAL termasuk modifikasinya makin diintensifkan. Aktivitas litbang proses HPAL untuk mengolah berbagai jenis laterit terutama dilakukan oleh Sherrit Gordon Canada, AMAX USA, dan COFREMMI Perancis. AMAX melakukan kerja sama dengan COFREMMI untuk melakukan uji pilot plant dalam skala besar untuk mengolah laterit dari Kaledonia Baru dari 1975-1981. AMAX mengklaim bahwa proses yang dikembangannya mampu mengolah berbagai jenis laterit sampai pada kandungan 15% MgO, dan kebutuhan energi untuk memproduksi NiS sekitar 50% kebutuhan energi pada Moa Bay plant. Adapun flow sheet hasil pengembangan proses HPAL oleh AMAX, dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
dibangun dengan optimisme penuh untuk memenuhi kebutuhan nikel dunia, dan direncanakan untuk mengolah laterit kadar rendah di beberapa tempat (Negara) terutama di Indonesia. Pemerintah RI telah memberi ijin (awal tahun 1998) untuk mengolah laterit kadar rendah dengan HPAL untuk laterit pulau Gag Papua pada PT BHP Australia, dan PT Weda Bay Nickel (WBN) Canada untuk laterit di teluk Weda Halmahera. Kenyataan yang terjadi ternyata teknologi HPAL mengalami kegagalan pada saat digunakan untuk mengolah smectite (dry laterite Australia) yang mengandung silikat tinggi, walaupun telah sukses pada uji laboratorium dan pilot plant. Sehingga dua plant terpaksa ditutup, yaitu Bulong pada tahun 2003 dan Cawse tutup menjelang akhir tahun 2008. Sedangkan Murrin Murrin berpindah pemilik ke Minara pada tahun 2003/2004. HPAL plant yang sukses hanya milik Sumitomo Jepang di Rio Tuba pulau Palawan Philipina karena mengolah limonit mirip limonit Moa Bay. Adapun perbandingan kandungan smectite (dry laterite Australia) yang mengakibatkan kegagalan HPAL plant dengan HPAL plant yang sukses, dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Analisa kimia dry laterite Australia, Rio Tuba dan Moa Bay [1,16]
Gambar 3. Proses amax-cofremmi pengembangan proses HPAL[14]
Senyawa
Smectite Australia
Cawse
MurriaMurrin
Rio Tuba Philipina
Moa Bay Cuba
Ni Co Fe SiO 2 Al Mg Mn Cr Ca Moisture
1,1 0,08 20,8 42,9 2,8 4,6 0,4 0,6 0,03 > 35 %
1,0 0,07 18,0 42,5 1,71 1,58 0,17 0,92 0,03 >10 %
1,25 0,08 22 42,0 2,7 3,7 0,4 1,0 -
1,26 0,09 42,3 8,5 (Si) 1,83 2,21 0,70 1,89 -
1,3 0,12 45 8,3 4,8 0,55 0,8 2,0 > 20 %
hasil
Proses HPAL setelah 1990 Dengan sukses Moa Bay plant (setelah 1995) sebagai buah dari kerja sama pemerintah Cuba dengan Sherrit Gordon Canada, dan pilot plant skala besar oleh AMAX-COFREMMI maka peta pengolahan laterit kadar rendah beralih pada proses HPAL. Selanjutnya tiga (3) HPAL plant generasi kedua dibangun di Australia yang commissioning dalam waktu bersamaan menjelang akhir tahun 1998. HPAL plant
Smectite adalah mineral utama pada dry laterite di Australia.
40 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 35-44
Peluang Penelitian Proses Caron Menurut pengamatan para ahli terutama Dalvi dkk dari INCO Canada, ke depan tidak ada lagi proyek untuk pengolahan laterit kadar rendah dengan proses Caron. Hal ini tidak bisa dibantah karena berdasarkan pengalaman litbang Sherrit Gordon, AMAX, dan terutama COFREMMI yang selama 15 tahun mengolah berbagai jenis laterit terutama laterit kadar rendah pada skala laboratorium dengan HPAL beserta modifikasi proses HPAL. Kemudian dilanjutkan dengan demonstration integrated pilot plant selama dua (2) tahun. Ternyata proses HPAL terutama modifikasi proses HPAL oleh AMAXCofremmi lebih unggul dari proses pengolahan laterit yang lain, baik dari sisi perolehan (recovery) metal maupun kebutuhan energi. Adapun hasil kajian COFREMMI yang dipublikasikan pada tahun1986, dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Hasil kajian COFREMMI untuk proses proses pengolahan laterit[14] Alternatif Proses Matte smelting Ferronickel smelting Ammonia Leach Moa Bay Acid Leach COFREMMI Acid Leach
Kebutuhan Energi (MJ/Kg Nikel) 700 – 800 600 – 700 500 – 600 350 – 400 200 – 300
Perolehan Metal (Recovery) 65 – 80 60 – 70 65 – 75 80 – 90 92 – 94
Disamping hasil kajian COFREMMI diatas, berdasarkan pengalaman juga ditemukan faktor-faktor penghambat penggunaan proses Caron sbb : - Perolehan (recovery) yang rendah untuk metal, yaitu : 70 – 80% untuk Ni dan 35–50% untuk Co. - Konsumsi energi tinggi karena digunakan untuk penghaluskan bijih, pengeringan bijih, dan pemanggangan reduksi bijih pada temperatur 750 - 800 °C dengan menambahkan gas reduktor
CO + H2 didalam MHF (Multiple Hearth Furnace). - Butuh biaya modal besar untuk membangun. Sekitar 70 % dari biaya digunakan pada unit penghalusan bijih, pengeringan bijih, dan pemanggangan reduksi dengan MHF. Dimana biaya terbesar digunakan pada pembangunan unit MHF. Namun demikian dengan kondisi laterit kadar rendah yang ada di Indonesia terutama dari Halmahera, proses Caron tidak bisa diabaikan untuk mengolah laterit kadar rendah yang banyak mengandung magnesium tinggi (Mg > 6 % atau MgO > 10 %). Kenyataan ini bisa dilihat dari hasil eksplorasi di Halmahera oleh PT.Antam dan PT Weda Bay Nickel. Disamping itu seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 diatas, sampai saat ini proses Caron masih eksis karena keunggulan yang dimilikinya, yaitu : - Teknologi sudah proven (mapan) - Umpan bijih lebih fleksibel - Ammonia (NH 3 ) bisa diaur ulang. - Tidak ada masalah dengan bahan bahan pada peralatan untuk proses. Pada proses HPAL dibutuhkan bahan khusus untuk autoclave. - Tidak ada masalah dengan teknologi proses dari filtrat (larutan) hasil leaching (pelindian) dengan pelarut AAC (Ammonia Ammonium Carbonate) sampai mendapatkan produk yang diinginkan (lihat Gambar 1). Berdasarkan hasil eksplorasi laterit di Halmahera oleh PT Aneka Tambang dan PT Weda Bay Nickel seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6 s/d 8, ternyata laterit dari Halmahera dominan dengan laterit kadar rendah yang sesuai untuk diolah dengan jalur proses hydrometalurgi. Dimana laterit kadar rendah tersebut mengandung MgO bervariasi dari 0,8 – 4,72 % MgO untuk limonit dan 16,97 – 34,4 % MgO untuk saprolit.
Masih Terbukanya Peluang …../ Puguh Prasetiyo |
41
Tabel 6. Pengelompokan mineral dan komposisi kimia contoh bijih Sangaji[13]
Daerah
Mineral
Sangaji
Limonit Saprolit
Tebal lapisan (m) 12 7 Total
C. o..g (%) Ni>1
Ni
Co
Fe 2 O 3
Al 2 O 3
1,61 1,55 1,587
0,064 0,018 0,05
44,7 16,3 34,23
5,26 0,59 2,588
MgO
SiO 2
Densitas
4,72 16,97 9,23
30,04 41,46 34,32
1,01 1,03 1,017
(%)
Catatan : Limonit mengandung Fe 2 O 3 > 25 % dan MgO < 10 % Tabel 7. Detailed mineral resources – 2004 Weda drilling program [13] Class
Geological Horizon Lomg (limonite)
Indicated
Himg (saprolite) Sub Total Lomg (limonite)
Inferred
Indicated
Ni
Co
Al 2 O 3
Cr 2 O 3
Fe 2 O 3
MgO
SiO 2
Dry Bulk Density
4,2
0,81
0,17
6,05
2,80
52,31
1,71
22,68
0,92
14,6
1,26
0,15
5,15
2,95
53,35
3,03
20,74
0,86
16,9
1,59
0,03
0,81
0,88
15,51
26,52
44,15
1,12
35,7 1,1 3,5
1,36 0,73 1,3
0,09 0,22 0,12
3,20 8,66 5,12
1,95 2,94 2,16
35,31 59,16 44,42
14,00 2,71 6,55
32,06 10,07 27,18
0,99 1,04 0,92
Himg (saprolite) Sub Total
5,6
1,65
0,03
1,29
0,87
16,54
22,61
47,92
1,10
10,3
1,43
0,08
3,41
1,54
30,72
14,95
36,70
1,03
Lomg (limonite)
7,3
0,77
0,16
9,73
2,97
66,07
1,22
3,26
0,96
10,3
1,24
0,18
7,16
3,18
67,44
1,63
4,12
0,86
14,6
1,59
0,03
1,07
0,85
16,10
29,57
37,45
1,13
32,1
1,29
0,11
4,98
2,07
43,84
14,21
19,05
1,00
Himg (saprolite) Sub Total Lomg (limonite)
Inferred
Mdt
Himg (saprolite) Sub Total
12,5
0,80
0,17
9,04
2,94
67,49
1,09
2,51
0,94
9,7
1,24
0,20
6,93
2,94
66,07
2,03
5,14
0,84
24,3
1,85
0,03
0,99
0,88
16,04
28,44
37,74
1,07
46,5
1,44
0,10
4,39
1,86
40,27
15,60
21,49
0,99
2,8
0,82
0,15
9,73
2,86
67,69
0,80
2,35
1,06
8,9
1,24
0,15
7,22
2,89
66,40
2,05
4,90
1,05
8,8
1,61
0,02
0,85
0,72
14,47
30,31
38,41
1,02
20,4
1,34
0,10
4,82
1,95
44,13
14,05
18,99
1,04
Boki Mokot Lomg (Limonite) Inferred
Himg (Saprolite) Sub Total
Catatan : Limonit mengandung Fe 2 O 3 > 25 % dan MgO < 10 % Tabel 8. Pengelompokan mineral dan komposisi kimia bijih dari P.Pakal & Tjg. Buli [13] Daerah
Mineral
P. Pakal
Limonit Saprolit
Tjg. Buli
Limonit Saprolit
Tebal Lapisan (m) 4 6 Total 8 2 Total
c.o.g. (%) Ni>1
Ni>1
Ni
Co
Fe 2 O 3
1,75 1,493 1,59 1,457 1,36 1,376
0,21 0,023 0,09 0,14 0,025 0,11
34,7 11,37 20,70 46,1 7,35 38,67
Al 2 O 3
MgO
SiO 2
2,795 25,38 16,346 1,325 34,4 7,26
16,875 45 33,75 4,39 39,75 11,04
(%)
Catatan : Limonit mengandung Fe 2 O 3 > 25 % dan MgO < 10 %
42 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 35-44
-
Limonit dengan kandungan 0,8 - 4,72% MgO memang sesuai untuk diolah dengan proses HPAL, tetapi dengan kandungan silikat diatas 10% (16,875 - 30% SiO 2 ) maka penggunaan teknologi HPAL masih perlu dipertanyakan. Hal ini berdasarkan kenyataan dengan kegagalan HPAL karena mengolah laterit kadar rendah yang tidak mirip limonit Moa Bay. HPAL plant yang sukses hanya Moa Bay Cuba dan Rio Tuba Philipina. HPAL plant di Australia maupun Goro demonstration HPAL plant milik INCO di New Caledonia, boleh dikatakan gagal. Saprolit kadar rendah dengan kandungan 16,97 - 34,4 % MgO dan 37,45 - 47,92 % SiO 2 , tidak ada jalan lain hanya proses Caron yang bisa mengolahnya. Dengan melihat kenyataan laterit kadar rendah Halmahera dengan kandungan magnesium (Mg/MgO) dan silikat (SiO 2 ) yang bervariasi, dimana kedua unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap kesuksesan untuk diolah dengan HPAL. Maka berdasarkan penjelasan diatas, proses Caron tidak bisa diabaikan untuk mengolah laterit kadar rendah Halmahera. Pertanyaannya proses Caron yang bagaimana untuk bisa mengolah laterit kadar rendah tersebut? Jawabannya adalah penelitian modifikasi proses Caron yang sukses dan tepat yang bisa mengolah berbagai jenis laterit kadar rendah dengan perolehan (recovery) Ni maupun Co yang setara dengan perolehan (recovery) proses HPAL. Masalah pada proses Caron terutama pada pemanggangan reduksi sehingga menghasilkan perolehan (recovery) yang rendah, yaitu Ni : 70 - 80% dan Co : 3550%. Sedangkan dari tahap leaching (pelindian) terhadap hasil pemanggangan sampai produk akhir NiO sudah proven (mapan) teknologinya. Menurut pendapat penulis pada perbaikan teknologi pemanggangan reduksi untuk berbagai jenis laterit kadar rendah sehingga diperoleh hasil setara dengan proses HPAL, dan pemakaian energi lebih ekonomis. Merupakan peluang penelitian
untuk proses Caron yang sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh anak bangsa di lembaga riset maupun perguruan tinggi ditanah air. KESIMPULAN 1. Peluang penelitian untuk proses Caron masih terbuka terutama untuk mengolah laterit kadar rendah Halmahera. Karena sudah terbukti proses HPAL telah gagal digunakan untuk mengolah laterit kadar rendah yang tidak mirip dengan limonit Moa Bay. Walaupun secara laboratorium dan pilot plant tidak ada masalah dengan teknologi HPAL. 2. Peluang penelitian yang sangat mungkin dilakukan adalah memperbaiki teknologi pemangganagn reduksi dengan target mendapatkan perolehan (recovery) yang mendekati perolehan proses HPAL, yaitu dari 70 - 80% Ni dan 35 - 50% Co meningkat menjadi 80 - 90 % Ni dan 80 - 90 % Co. Juga pemakaian energi tetap ekonomis. Karena teknologi dari leaching (pelindian) terhadap hasil pemanggangan sampai produk akhir NiO sudah proven (mapan). DAFTAR PUSTAKA [1] Arif, Arifin. 2007. Prospek Penggunaan Proses HPAL Untuk Pengolahan Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia. Metalurgi Volume 22 Nomor 1 Juni 2007. [2] Baillie, M.G. 2002. An Update of The Weda Bay Nickel/Cobalt Laterite Projects. Weda Bay Minerals Inc. [3] Bhanushali, Tarang dkk. 2007. Nickel : Near-term bullish. Infoline, September 24, 2007: India. [4] Chalkley, M.E dkk. 1997. The acid pressure leach process for nickel and cobalt laterite. Part I : Review of operations at Moa. Proceding of the Nickel-Cobalt 97 International
Masih Terbukanya Peluang …../ Puguh Prasetiyo |
43
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Symposium-Volume I, August 1720, Sudbury, Ontario: Canada. Dalvi, Ashok D dkk. 2004. The Past and the Future of Nickel Laterites. PDAC 2004 International Coverence, Trade Show & Investors Exchange, March 7 – 10: Canada. Davidson, Vanessa. 2008. Nickel Market Overview-The Supply Response. INSG Meeting October 2008. Faris, M.D dkk. 1997. Pressure acid leaching of nickel laterite ores from New Caledonia. Proceding of the Nickel-Cobalt 97 International Symposium-Volume I, August 1720: Sudbury, Ontario, Canada. Habashi, Fathi. 1993. Nickel in Cuba. Proceeding of the Paul E. Queneau, International Symposium, Edyted by R.G Reddy and R.W Weizenbach: Department of Mining & Metallurgy, Laval University, Quebec Canada. Lynch, John. 2004. Mineral Resources Estimate Increase for The Weda Bay Nickel Cobalt Projects, Halmahera Island, Indonesia. Technical Report in Accord with National Instrument 43-101. Prado, Faustino L. 2004. Sixty Years of Caron: Current Assesment. International Laterite Nickel Symposium 2004. Edited by W.P Imrie and D.M. Lane. March 14 – 18. Reid, John G dkk. 2004. Yabulu 25 Years On. International Laterite Nickel Symposium 2004. Edited by W.P Imrie and D.M. Lane. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society), March 14 – 18. Rodriguez, R.I. 2004. Reduction in Energy Cost in Cuban Caron Process Plant. International Laterite Nickel Symposium 2004. Edited by W.P Imrie and D.M. Lane. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society). March 14 – 18.
[13] Rustiadi dkk. 2009. Identifikasi Mineralogi Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Halmahera Serta Kemungkinan Pengolahannya Kedepan. Laporan akhir kegiatan program insentif bagi peneliti dan teknisi LIPI. Departemen Pendidikan Nasional dan LIPI. [14] S.A., Cofremmi. The Cofremmi Acid Leach Process for Laterite Ores. Compagnie Francaise d’Entreprises Minieres Metallugiques et d’Investissements. [15] Taylor, Alan. 2009. Trends in Nickel-Cobalt Processing. ALTA Metallurgical Services, ALTA Ni-Co 2009 Conference. [16] Tsuchida, N dkk. 2004. Development Of Process Design For Coral Bay Nickel Project. International Laterite Nickel Symposium 2004. Edited by W.P Imrie and D.M. Lane. TMS (The Minerals, Metals & Materials Society). March 14 – 18. [17] Wedderburn, Bruce. 2007. Nickel Laterite A Shift Towards Heap Leaching. Malachite Process Consulting. RIWAYAT PENULIS Puguh Prasetiyo, dilahirkan di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1958, lulus S1 Teknik Pertambangan ITB pada tanggal 8 Maret 1986, dan bekerja sebagai staf peneliti di Puslit Metalurgi sejak 1986 sampai saat ini.
44 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 35-44
ADSORPSI NIKEL DAN KOBALT PADA RESIN PENUKAR ION LEWATIT MONOPLUS TP 207 XL DALAM BEBERAPA LARUTAN SULFAT Frideni G.F , G. A Wisma, M.Z. Mubarok, dan S. Purwadaria Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, FTTM-ITB, Jl. Ganesa 10 Bandung, 40312 E-mail :
[email protected] /
[email protected]
Intisari Resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL adalah salah satu resin untuk memisahkan logam dari larutan hasil pelindian bijih nikel laterit. Resin ini tahan terhadap abrasi, dapat digunakan pada suhu diatas suhu kamar, memiliki kelarutan yang rendah dalam larutan hasil leaching sehingga dapat digunakan berulang-ulang. Tulisan ini membahas kinetika proses adsorpsi nikel dan kobalt pada resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam beberapa larutan nikel dan kobalt sintetik dengan pH 3, 4, dan 5 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50°C. Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa dalam larutan nikel sulfat dan kobalt sulfat sintetik pH 5, persen adsorpsi nikel dan kobalt masing-masing dapat mencapai 92,19% dan 97,12% bila adsorpsinya dilakukan pada suhu 50 °C. Berdasarkan studi kinetika yang telah dilakukan, laju adsorpsi pada resin saat awal proses ( ≤ 2 jam) cenderung terkendali oleh laju difusi ion-ion melalui lapis difusi dalam fluida. Hasil percobaan menunjukkan pH dan suhu larutan berpengaruh pada persen adsorpsi nikel dan kobalt dan resin lebih sesuai untuk adsorpsi logam-logam ini secara bersamaan, karena tidak cukup selektif untuk memisahkan keduanya. Kemungkinan penggunaan resin ini untuk mengadsorpsi nikel dan kobalt dari beberapa larutan hasil pelindian nikel laterit kadar rendah yang telah dikurangi kandungan ion besinya juga disajikan dalam tulisan ini. Kata kunci : Resin, Lewatit Monoplus TP 207 XL, Laterit, Pelindian, Difusi
Abstract Lewatit Monoplus TP 207 XL ion exchange resin has a function to separate metal from nickel ore laterite in leaching solution. This resin has good wear ability and low solubility inside of solution after leaching process, therefore can be used at elevated temperature frequently. This study concern on kinetic of nickel and cobalt absorption of Lewatit Monoplus TP 207 XL ion exchange resin in nickel solution and synthetic cobalt, with potential hydrogen various around 3,4 and 5 at room temperature of 40 °C and 50 °C. Result shows that nickel and cobalt adsorption percentage can be obtained approximately around 92.19% and 97.12%, respectively, in nickel sulfide solution and 5 potential hydrogen of synthetic cobalt at temperature 50 °C. Based on kinetic study which has been done, absorption rate of resin at the first process ≤( 2 h) effected by ions diffusion rate through diffusion layer in the fluid. Result shows that potential hydrogen and solution temperature affect in nickel and cobalt absorption percentages, and also resin more appropriate to absorb these metals simultaneously, due to difficulty to separate of them. This study also shows possibility to using this resin for absorption nickel and cobalt in various solutions which is obtained from low nickel laterite with low ferrous ions after leaching process. Keywords : Resin, Lewatit Monoplus TP 207 XL, Laterit, Leaching, Diffusion
PENDAHULUAN Mengikuti Hellferich[1-2], proses adsorpsi nikel pada resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL secara hipotetik diawali dengan perpindahan massa ion-ion nikel dari ruah latutan
kepermukaan resin, adsorpsi nikel pada permukaan resin dan dilanjutkan dengan difusi nikel kebagian dalam resin. Proses adsorpsi ini ditunjukkan secara skematik seperti; Resin Permukaan Larutan K ks [Ni] r kr [Ni] l (1)
dengan l menyatakan larutan, r menyatakan resin, s menyatakan permukaan butiran resin, k s adalah koefisien perpindahan massa dalam larutan, k r adalah koefisien perpindahan massa dalam resin, dan K adalah konstanta kesetimbangan reaksi adsorpsi. Setelah kesetimbangan tercapai antara nikel yang teradsorpsi pada resin dengan nikel dalam larutan dimuka resin , akan diperoleh hubungan : = K (2) Laju pemuatan nikel pada resin sebelum kesetimbangan tercapai dapat dinyatakan oleh laju perpindahan massa nikel dari ruah larutan ke permukaan resin ; (3) dan laju perpindahan massa nikel pada resin yang dapat dinyatakan dengan persamaan, =
= (4) dengan A adalah luas antarmuka resinlarutan. Apabila laju pemuatan resin terkendali oleh laju perpindahan massa ion-ion Ni dari ruah larutan kepermukaan resin, maka pada keadaan tunak laju perpindahan massa dalam resin [ ] akan sama dengan laju perpindahan massa dalam larutan [ ] Kondisi ini biasanya terjadi dalam larutan dengan konsentrasi nikel yang rendah. Dengan menyelesaikan kedua persamaan tersebut (Persamaan 3 = Persamaan 4) dan dengan mensubstitusikannya ke Persamaan (2), akan diperoleh relasi ; =
(5)
Subtitusi persamaan ini ke dalam Persamaan (4) memberikan, = k’(K
-
)
dengan k’=k s k r A/(k s K+k s )
(6)
Bila konsentrasi nikel dalam larutan pada permukaan resin konstan, integrasi Persamaan 6 menghasilkan, = k’t (7) Dengan memperhatikan bahwa pada keadaan kesetimbangan berlaku = adalah pemuatan nikel resin dan pada t = 0 yang nilainya = 0, persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi,
ln
ln Persamaan
ini
= k’t menyatakan
hubungan ln linier.
(8) bahwa dengan t
PROSEDUR PERCOBAAN Untuk mempelajari kinetika adsorpsi nikel dan/atau kobalt pada(4) resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dari larutan nikel dan/atau kobalt sulfat, dilakukan serangkaian percobaan adsorpsi dibawah tekanan atmosfer pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C, dengan menggunakan larutan-larutan artifisial yang pH-nya 3, 4 dan 5. Keseluruhan percobaan dilakukan dengan menggunakan resin 4x atau 1x dari perkiraan kebutuhan teoritik. Percobaan adsorpsi nikel dan kobal juga dilakukan dengan menggunakan larutan hasil pelindian bijih nikel laterit yang ion besinya telah dikurangi. Pelindian dilakukan dalam larutan asam sulfat 1 M pada tekanan atmosfer dan percobaan adsorpsi ion-ion nikel dan kobalt dilakukan dalam larutan hasil pelindian pada temperatur 50 °C dan 60 °C, dengan menggunakan resin 4x teoritik. Nikel dan kobalt yang masih tertinggal dalam larutan, dianalisis dengan menggunakan flame AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) Shimadzu seri AA 6300.
46 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 45-52
HASIL DAN PEMBAHASAN Kinetika Adsorpsi Nikel pada Resin Penukar Ion Lewatit TP 207 XL dalam Larutan Sulfat Artifisial Dari data hasil pengujian adsorpsi nikel dalam larutan nikel sulfat dengan konsentrasi awal kurang lebih 280 ppm Ni, dialurkan hubungan antara % adsorpsi nikel dengan waktu sebagaimana disajikan pada Gambar-gambar 1, 2 dan 3 berturutturut dari hasil percobaan pada pH 3, pH 4 dan pH 5. Untuk perhitungan kinetika perlu diprediksi kondisi kesetimbangan (keadaan terminal proses adsorpsi), yaitu saat tidak lagi terjadi perubahan konsentrasi ion logam dalam resin. Oleh karena percobaan dilakukan selama 4 jam, kondisi kesetimbangan diasumsikan sebagai konsentrasi ion logam tertinggi dalam resin selama 4 jam pengamatan. Sedangkan data yang digunakan untuk perhitungan kinetika adalah data adsorpsi resin selama 2 jam, karena adsorpsi sudah tidak signifikan lagi setelah 2 jam proses adsorpsi.
Gambar 2. Persen adsorpsi Ni sebagai fungsi waktu dalam larutan nikel sulfat pH 4 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C
Gambar 3. Persen adsorpsi Ni sebagai fungsi waktu dalam larutan nikel sulfat pH 5 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C
Hubungan ln
dengan t untuk
hasil-hasil percobaan di atas ditunjukkan pada Gambar 4, 5 dan 6. Keseluruhannya menunjukkan hubungan yang linier dengan koefisien korelasi (R) mendekati 1. Energi aktivasi proses (Tabel 1) < 4,46 kkal/mol menekankan bahwa proses terkendali oleh difusi melalui lapis difusi dalam fluida [3]. Tabel 1. Energi aktifasi proses adsorpsi nikel
Gambar 1. Persen adsorpsi Ni sebagai fungsi waktu dalam larutan nikel sulfat pH 3 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C
pH
k’
3 4 5
-154,2 -2244 -646,4
/R -154,2 -2244 -646,4
(kalori/mol)
(kkalori/mol)
306,395 4458,825 1284,396
0,306 4,459 1,284
Adsorpsi Nikel dan …../ Frideni G.F |
47
Hubungan ln
Gambar 4. Kinetika proses adsorpsi nikel dalam larutan dengan pH 3
Gambar 5. Kinetika proses adsorpsi nikel dalam larutan dengan pH 4
Gambar 6. Kinetika proses adsorpsi nikel dalam larutan dengan pH 5
Kinetika Adsorpsi Kobalt pada Resin Penukar Ion Lewatit TP 207 XL dalam Larutan Sulfat Artifisial. Hubungan antara % adsorpsi kobal dengan waktu dari serangkaian percobaan yang dilakukan dalam larutan kobal sulfat 63,48 ppm Co, disajikan pada Gambar 7, 8 dan 9 berturut-turut dari hasil percobaan pada pH 3, pH 4 dan pH 5. Sama seperti perilaku adsorpsi nikel pada resin yang digunakan, laju adsorpsi pada resin menurun dengan peningkatan waktu adsorpsi.
dengan t untuk
hasil-hasil percobaan di atas ditunjukkan pada Gambar 10, 11 dan 12. Keseluruhannya menunjukkan hubungan yang linear meskipun tidak sebaik pengaluran yang dilakukan pada adsorpsi nikel. Energi aktivasi proses (Tabel 2) < 4,4 kkal/mol menyatakan kembali bahwa proses terkendali oleh difusi melalui lapis difusi dalam fluida.
Gambar 7. Persen adsorpsi Co sebagai fungsi waktu dalam larutan kobalt sulfat pH 3 pada suhu kamar, 40 °C dan 50 °C
Gambar 8. Persen adsorpsi Co sebagai fungsi waktu dalam larutan kobalt sulfat pH 4 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C
Gambar 9. Persen adsorpsi Co sebagai fungsi waktu dalam larutan kobalt sulfat pH 5 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C
48 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 45-52
Gambar 10. Kinetika proses adsorpsi kobalt dalam larutan dengan pH 3
Kinetika Adsorpsi Nikel dan Kobalt pada Resin Penukar Ion Lewatit TP 207 XL dalam Larutan Nikel-Kobalt Sulfat Artifisial Untuk menentukan % adsorpsi Ni+Co dari larutan nikel-kobalt artifisial, konsentrasi nikel dan kobalt dalam larutan diubah dalam unit mol/L. Oleh karena itu hubungan antara % adsorpsi dengan waktu yang ditunjukkan pada Gambar 13 dan 14 didasarkan pada % mol (Ni+Co) yang teradsorpsi pada resin. Konsentrasi total awal Ni+Co yang digunakan dalam percobaan adalah sebesar 0,024 mol/L.
Gambar 11. Kinetika proses adsorpsi kobalt dalam larutan dengan pH 4 Gambar 13. Persen adsorpsi Ni+Co sebagai fungsi waktu pada suhu kamar dengan resin 1x teoritik
Gambar 12. Kinetika proses adsorpsi kobalt dalam larutan dengan pH 5 Tabel 2. Energi aktifasi proses adsorpsi kobalt
pH 3 4 5
k’ -1560 -1892 -2196,
/ R -1560 -1892 -2196
(Kalori/mole) 3099,718 3759,402 4363,449
(kkalori/mole) 3,100 3,759 4,363
Gambar 14. Persen adsorpsi Ni+Co sebagai fungsi waktu pada suhu kamar dengan resin 4x teoritik
Dengan cara yang sama seperti yang dilakukan sebelumnya, laju adsorpsi Ni+Co dialurkan hubungan dengan t dari hasil-hasil ln percobaan di atas sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15 dan 16.
Adsorpsi Nikel dan …../ Frideni G.F |
49
Gambar 15. Kinetika adsorpsi Ni+Co dalam larutan yang mengandung resin 1 kali teoritik
Gambar 16. Kinetika adsorpsi Ni+Co dalam larutan yang mengandung resin 4 kali teoritik
Pengaruh Temperatur dan pH terhadap Kemampuan Adsorpsi Nikel dan Kobalt pada Resin Penukar Ion Lewatit TP 207 XL dari Larutan Artifisial Gambar 17 dan 18 berturut-turut menunjukkan pengaruh peningkatan pH terhadap persen adsorpsi nikel dan kobal pada pada temperatur kamar, 40 °C, dan 50 °C.
Gambar 17. Pengaruh pH dan temperature pada persen adsorpsi nikel dalam larutan nikel sulfat setelah selama 4 jam
Gambar 18. Pengaruh pH dan temperatur pada persen adsorpsi kobalt dalam larutan kobalt sulfat setelah selama 4 jam
Proses adsorpsi Ni+Co berlangsung dengan energi aktifasi yang rendah, karena cenderung terkendali oleh laju pepindahan massa ion-ion nikel dalam larutan. Proses ini tidak sensitif terhadap kenaikan suhu. Laju adsorpsi nikel secara keseluruhan lebih lambat dari laju adsorpsi kobal, meskipun dari larutan dengan konsentrasi kobalt jauh lebih rendah dari nikel. Peningkatan jumlah nikel dan kobal yang dapat diadsorpsi pada suhu yang lebih tinggi kemungkinan berkaitan dengan peningkatan konsentrasi kesetimbangan ion-ion nikel dan kobalt pada resin. Adsorpsi pada pH yang lebih tinggi dari DpH (DpH nikel 2,2 dan DpH kobal 2,7)[4] meningkatkan laju adsorpsi nikel dan kobal serta jumlah nikel dan kobal yang dapat teradsorpsi selama 4 jam. Selektifitas Resin Penukar Ion Lewatit TP 207 XL Terhadap Nikel dan Kobalt
Gambar 19. perbandingan persen adsorpsi nikel dan kobalt dalam larutan nikel-kobalt sulfat pada berbagai pH dengan suhu kamar selama 4 jam
50 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 45-52
Gambar 20. Perbandingan persen adsorpsi nikel dan kobalt dalam larutan nikel-kobalt sulfat pada berbagai pH dengan suhu kamar selama 4 jam
Nikel dan kobal memiliki DpH dengan rentang perbedaan yang kecil pada resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL. Bersamaan dengan itu laju adsorpsi nikel lebih lambat dari laju adsorpsi kobalt. Sebagai konsekuensinya selektifitas resin terhadap nikel dan kobalt dalam larutan sulfat sangat rendah. Sebagai kesimpulannya resin penukar ion Lewatit TP Monoplus 207 XL lebih sesuai untuk digunakan mengadsorpsi nikel dan kobalt secara bersamaan. Adsorpsi Nikel dan Kobalt pada Resin Lewatit TP 207 XL dari Larutan Hasil Pelindian Larutan hasil pelindian yang digunakan adalah hasil pelindian dibawah tekanan atmosfer pada 95°C dengan menggunakan reagen pelindi larutan asam sulfat 1 M. Larutan hasil pelindian mengandung pengotor besi yang tinggi, sehingga besi harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi ion Fe3+ dengan berbagai metoda, dan selanjutnya dilakukan presipitasi besi dengan menaikkan pH. Ion-ion nikel dan kobalt dari larutan yang telah dipisahkan besinya di adsorpsi dengan resin Lewatit Monoplus TP 207 XL pada pH 4-4,5. Gambar-gambar 21, 22 dan 23 menunjukkan persen adsorpsi nikel, kobalt, dan/atau besi dari larutan hasil pelindian yang telah dikurangi kadar besinya.
Gambar 21. Persen adsorpsi nikel, kobalt, dan besi dari larutan hasil pelindian (besi dioksidasi dengan H 2 O 2 ) pada pH 4 dengan suhu 50°C
Gambar 22. Persen adsorpsi nikel dan besi dari larutan hasil pelindian (besi dioksidasi dengan aerasi 2 tahap) pada pH 4,5 dengan temperatur 60°C
Gambar 23. Persen adsorpsi nikel dari larutan hasil pelindian (besi dioksidasi elektrokimia dengan beberapa variasi waktu) pada pH 4,5 dengan temperatur 60°C (adsorpsi besi sangat kecil dan diabaikan)
Besi yang tertinggal cenderung ikut teradsorpsi saat adsorpsi nikel pada pH 4 4,5. Oleh karena itu besi dari larutan hasil pelindian harus dipisahkan sebanyak mungkin, sebelum dilakukan recovery Adsorpsi Nikel dan …../ Frideni G.F |
51
nikel dengan Lewatit Monoplus TP 207 XL. KESIMPULAN Dari percobaan adsorpsi yang telah dilakukan diketahui bahwa resin penukar ion Lewatit TP Monoplus 207 XL dapat digunakan untuk mengadsorpsi nikel, kobalt, dan besi pada pH sekitar 4. Keasaman larutan sangat mempengaruhi laju dan jumlah ion-ion nikel dan kobalt yang dapat di adsorpsi. Resin ini tidak selektif untuk memisahkan nikel dan kobalt dari larutan nikel-kobalt sulfat karena DpH untuk pemisahan kedua ion tersebut sangat berdekatan. Laju adsorpsi nikel lebih lambat dari laju adsorpsi kobalt dari larutan sulfat artifisial. Proses adsorpsi terkendali oleh laju difusi ion-ion melalui lapis difusi dalam fluida. Adsorpsi nikel dan kobalt dari larutan hasil pelindian berlangsung dengan laju yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA [1] Kunin, R., Ion Exchange Resin, Second Edition, John Wiley and Son, Inc., New York. [2] Zaimawati, Z. 2005. Development of Resin in Pulp Process for Recovery Nickel and Cobalt from Laterite Leach Slurries, PhD Thesis, Murdoch Univ. WA. [3] Habashi, F.1970. Principle Of Extractive Metallurgy, Volume 2 (Hydrometallurgy), Gordon and Research, Science Publisher, Inc, New York. [4] Metal Winning by Hydrometallurgy, Lewatit, Bayer Chamicals.
52 | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 45-52
Indeks Penulis A
I
Agung Imaduddin Ari Yustisia Akbar Arifin Arif 7
1 21
Deddy Sufiandi
15, 27
45
P Puguh Prasetiyo
E Edi Herianto
7
27
M M.Z. Mubarok
D
35
R Ronald Nasoetion
F Frideni G.F
Immanuel Ginting
45
S S. Purwadaria
G G. A Wisma
45
45
Y
H Harsisto 21 Hartati Soeroso
3
Yulinda Lestari
21
21
Indeks
|
| Majalah Metalurgi, V 25.1.2011, ISSN 0126-3188
Indeks Lewatit Monoplus TP 207 XL
B Bijih nikel
7, 12, 13, 14, 35, 36, 43, 44, 45, 46
C Caron process CMR 1
7, 13, 35, 44
M
D Difusi
45, 47, 48, 52
E Engineered cement composit
21., 22
Floating zone method Fly ash 21, 23, 24
1
H Hidrometalurgi 14, 35, 36 HPAL process 7, 35 Hydrometallurgy 35, 52
I Ilmonite 35 Industri baja 15, 16, 27
K 1, 2 , 3, 4 , 5
L Laterit
Magnesium (Mg) 35, 37 Magnetic separator 15, 16, 17, 19, 27, 28, 29, 31, 32, 33 Mangan 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 38 Metoda floating zone 1
N
F
Kristal tunggal
45, 46, 51, 52 Limonit 7, 8, 11, 12, 13, 35, 36, 37, 41, 42, 43 Low grade of laterite 35 LSMO 1, 2 LSMO 327 12
7, 10, 11, 12, 13, 14, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 52 Laterite 7, 10, 13, 14, 35, 40, 43, 44, 52 Laterit kadar rendah 7, 13, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45 Leaching 10, 20, 35, 36, 38, 39, 51, 43, 44, 45
Nickel ore
7
P Pasir besi titan 15, 16, 17, 18, 19, 20 Polyvinyl alcohol 21, 23, 24 Product 9, 14, 15, 27, 38 Produk 3, 7, 8 , 9, 11, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 23, 27, 28, 33, 35, 36, 38, 40, 41, 43 Proses Caron 7, 8, 9, 10, 12, 13, 35, 36, 37, 38, 41, 43 Proses HPAL 7, 8, 9, 13, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 43
R Resin 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52 Roasting 27, 28, 30, 31, 32, 33
S Saprolite 7, 35, 42 Self healing concrete 21, 22, 23 Single crystal 1, 5 Steel industry 15 Superplastisize 21, 24 Indeks
|
T Tegal Buleud - Sukabumi Selatan 15 Tegal Buleud- South Sukabumi 15 Titans iron sand 15
| Majalah Metalurgi, V 25.1.2011, ISSN 0126-3188
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN METALURGI Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553
PANDUAN BAGI PENULIS 1. Penulis yang berminat menyumbangkan hasil karyanya untuk dimuat di dalam majalah Metalurgi, diharuskan mengirim naskah asli dalam bentuk final baik hardcopy atau softcopy (dalam file doc), disertai pernyataan bahwa naskah tersebut belum pernah diterbitkan atau tidak sedang menunggu penerbitannya dalam media tertulis manapun. 2. Penulis diminta mencantumkan nama tanpa gelar, afiliasi kedudukan dan alamat emailnya setelah judul karya tulisnya, dan ditulis dengan Times New Roman (TNR), jarak 1 spasi, font 12. 3. Naskah harus diketik dalam TNR font 12 dengan satu (1) spasi. Ditulis dalam bentuk hardcopy dengan kertas putih dengan ukuran A4 pada satu muka saja. Setiap halaman harus diberi nomor dan diusahakan tidak lebih dari 30 halaman 4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, harus disertai dengan judul yang cukup ringkas dan dapat melukiskan isi makalah secara jelas. Judul ditulis dengan huruf kapital menggunakan TNR font 14 dan ditebalkan. Untuk yang berbahasa Indonesia, usahakanlah untuk menghindari penggunaan bahasa asing. 5. Isi naskah terdiri dari Judul naskah, Nama Pengarang dan Institusi beserta email, Intisari/Abstract, Pendahuluan, Tata Kerja/Prosedur Percobaan, Hasil Percobaan, Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka, Ucapan Terimakasih dan Riwayat Hidup. Pakailah bahasa yang baik dan benar, singkat tapi cukup jelas, rapi, tepat dan informatif serta mudah dicerna/dimengerti. Sub judul ditulis dengan huruf kapital TNR font 12, ditebalkan tanpa penomoran urutan sub judul, misalnya : PENDAHULUAN PROSEDUR PERCOBAAN, dan seterusnya. 6. Naskah harus disertai intisari pendek dalam bahasa Indonesia dan abstract dalam bahasa Inggris ditulis TNR 10 jarak 1 spasi diikuti dengan kata kunci/keywords ditulis miring. Isi dari intisari/abstract merangkum secara singkat dan jelas tentang : • Tujuan dan Ruang Lingkup Litbang • Metoda yang Digunakan • Ringkasan Hasil • Kesimpulan 7. Isi pendahuluan menguraikan secara jelas tentang : • Masalah dan Ruang Lingkup • Status Ilmiah dewasa ini • Hipotesis • Cara Pendekatan yang Diharapkan • Hasil yang Diharapkan 8. Tata kerja/prosedur percobaan ditulis secara jelas sehingga dapat dipahami langkahlangkah percobaan yang dilakukan. 9. Hasil dan pembahasan disusun secara rinci sebagai berikut : • Data yang disajikan telah diolah, dituangkan dalam bentuk tabel atau gambar, serta diberi keterangan yang mudah dipahami. Penulisan keterangan tabel diletakkan di atas tabel, rata kiri dengan TNR 10 dengan spasi 1. Kata tabel ditulis tebal. Akhir ketrangan tidak diberi tanda titik .
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN METALURGI Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553
PANDUAN BAGI PENULIS Contoh : Tabel 1. Harga kekerasan baja SS 316L Penulisan keterangan gambar ditulis di bawah gambar, rata kiri dengan TNR 10 jarak 1 spasi, format “in line with text”. Kata gambar ditulis tebal. Akhir ketrangan tidak diberi tanda titik. Contoh : Gambar 1. Struktur mikro baja SS 316L • Pada bagian pembahasan terlihat adanya kaitan antara hasil yang diperoleh dengan konsep dasar dan atau hipotesis • Kesesuaian atau pertentangan dengan hasil litbang lainnya • Implikasi hasil litbang baik secara teoritis maupun penerapan 10. Kesimpulan berisi secara singkat dan jelas tentang : • Esensi hasil litbang Penalaran penulis secara logis dan jujur, fakta yang diperoleh 11. Penggunaan singkatan atau tanda-tanda diusahakan untu memakai aturan nasional atau internasional. Apabila digunakan sistem satuan maka harus diterapkan Sistem Internasional (SI) 12. Kutipan atau Sitasi • Penulisan kutipan ditunjukkan dengan membubuhkan angka (dalam format superscript) sesuai urutan. • Angka kutipan ditulis sebelum tanda titik akhir kalimat tanpa spasi, dengan tanda kurung siku dan tidak ditebalkan (bold). • Jika menyebut nama, maka angka kutipan langsung dibubuhkan setelah nama tersebut. • Tidak perlu memakai catatan kaki. • Urutan dalam Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan nomor urut kutipan dalam naskah. Contoh: Struktur mikro baja SS 316L[2]. 13. Penyitiran pustaka dilakukan dengan memberikan nomor di dalam tanda kurung. Daftar pustaka itu sendiri dicantumkan pada bagian akhir dari naskah. Susunan penulisan dari pustaka sebagai berikut : 1. Buku dengan satu pengarang atau dua pengarang (hanya nama pengarang yang dibalik) : [1] Peristiwady, Teguh. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia : Petunjuk Identifikasi. Jakarta : LIPI Press. [2] Bambang, Dwiloka dan Ratih Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta : Rineka Cipta. 2. Buku dengan tiga pengarang atau lebih [1] Suwahyono, Nurasih dkk. 2004. Pedoman Penampilan Majalah Ilmiah Indonesia. Jakarta : Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI. 3. Buku tanpa nama pengarang, tapi nama editor dicantumkan. [1] Brojonegoro, Arjuno dan Darwin (Ed.). 2005. Pemberdayaan UKM melalui Program Iptekda LIPI, Jakarta : LIPI Press. 4. Buku tanpa pengarang, tapi ditulis atas nama Lembaga. [1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Nasional. 2006. Kamus Besar bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka.
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN METALURGI Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553
PANDUAN BAGI PENULIS 5. Artikel dari Jurnal/majalah dan koran (bila tanpa pengarang) [1] Haris, Syamsudin. 2006.,,Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik.: 67-76 Jakarta. 6. Artikel dari bunga rampai [1] Oetama, Yacob. 2006.,, Tradisi Intelektualitas, Taufik Abdullah, Jurnalisme Makna”. Dalam A.B. Lapian dkk. (Ed.), Sejarah dan Dialog Peradaban. Jakarta : LIPI Press. 7. Bahan yang belum dipublikasikan atau tidak diterbikan [1] Wijana, I dewa Putu. 2007.,,Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja”. Tesis, Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 8. Bahan yang belum dipublikasikan atau tidak diterbikan [1] Wijana, I dewa Putu. 2007.,,Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja”. Tesis, Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 9. Tulisan Bersumber dari Internet [1] Rustandy, Tandean. 2006 “Tekan Korupsi Bangun Bangsa”. (http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1291, diakses 14 Januari 2007) 14. Ucapan terimakasih ditulis dengan huruf kapital TNR font 12 dan ditebalkan. Isi dari ucapan terimakasih ditulis dengan TNR 12 dan spasi 1. 15. Naskah yang dinilai kurang tepat untuk dimuat di dalam majalah akan dikirim kembali kepada penulis. Saran-saran akan diberikan apabila ketidak tepatan tersebut hanya disebabkan oleh format atau cara penyajian. 16. Penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran naskahnya. 17. Setiap penerbitan tidak ada dua kali atau lebih penulis utama yang sama. Apabila ada, salah satu naskahnya penulis utama tersebut ditempatkan pada penulis kedua.
Serpong, 8 Juni 2009 Redaksi Majalah Metalurgi