27
BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBATALKAN SERTIPIKAT HAK PAKAI NO. 765 MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 981K/PDT/2009
A. Hak Penguasaan Atas Tanah Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada penguasaan yuridis, walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak menggunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditur (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Ada penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana 27
Universitas Sumatera Utara
28
yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 194544 (selanjutnya disebut UUD 1945) dan Pasal 2 UUPA.45 Boedi Harsono menyatakan bahwa hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.46 Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:47 a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, 44 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 45 Pasal 2 UUPA, menyatakan: (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Lihat Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 75-76. 46 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 24. 47 Ibid, hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
29
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah sebagai objek dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, sebagai berikut:48 1) Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan; 2) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya; 3) Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya; dan 4) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret49 Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, sebagai berikut: 1) Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu; 2) Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain; 3) Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain; 4) Mengatur hal-hal mengenai hapusnya; dan 5) Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya. Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional adalah:50 1. Hak bangsa Indonesia atas tanah, 2. Hak menguasai negara atas tanah, 3. Hak ulayat masyarakat hukum adat, 4. Hak perseorangan atas tanah, meliputi: a. Hak-hak atas tanah. b. Wakaf tanah Hak Milik. c. Hak Tanggungan. d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Berkaitan dengan penelitian ini, maka akan dijabarkan tentang hak menguasai negara atas tanah dan hak perseorangan atas tanah khususnya tentang hak pakai.
48
Ibid. Ibid, hlm. 27. 50 Urip Santoso, 2012, Op.Cit, hlm. 77. 49
Universitas Sumatera Utara
30
1.
Hak Menguasai Negara Atas Tanah Hak menguasai negara atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas
tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).51 Isi wewenang hak menguasai negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah: a) membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan.52 b) mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya.53 c) mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah (pertanian) untuk mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.54 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah: a) menentukan hak-hak atas tanah yang bisa diberikan kepada warga negara Indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, atau kepada badan hukum. Demikian juga hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negara asing.55
51
Ibid, hlm. 79. Pasal 14 UUPA jo Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 53 Pasal 15 UUPA. 54 Pasal 10 UUPA. 55 Pasal 16 UUPA. 52
Universitas Sumatera Utara
31
b) menetapkan dan mengatur mengenai pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau badan hukum.56 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Termasuk dalam wewenang ini adalah: a) mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.57 b) mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah. c) mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik yang bersifat perdata maupun tata usaha negara, dengan mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan.58 Menurut Oloan Sitorus dan Nomadyawati, kewenangan negara dalam bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA di atas merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. Tegasnya, hak menguasai negara adalah pelimpahan kewenangan publik dari hak bangsa. Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik semata.59 Tujuan hak menguasai negara atas tanah dimuat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.60 Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah dapat dikuasakan atau dilimpahkan kepada daerah-daerah Swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat56
Pasal 7 jo. Pasal 17 UUPA. Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24/1997. 58 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan. 59 Oloan Sitorus dan Nomadyawati, Hak Atas Tanah dan Kondominium, (Jakarta: Dasamedia Utama, 1994), hlm. 7. 60 Pasal 2 ayat (3) UUPA. 57
Universitas Sumatera Utara
32
masyarakat Hukum Adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional
menurut
ketentuan-ketentuan
peraturan
pemerintah.61
Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga diberikan kepada badan otorita, perusahaan negara, dan perusahaan daerah, dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan Hak Pengelolaan (HPL). 2.
Hak Perseorangan Atas Tanah Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari tanah tertentu. Hak-hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah Hak Milik, Hak Tanggungan, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Dasar hukum pemberian hak atas tanah kepada perseorangan atau badan hukum dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai 61
Pasal 2 ayat (4) UUPA.
Universitas Sumatera Utara
33
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.62 Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 UUPA, Pasal 53 UUPA, dan dalam PP No. 40/1996.63 Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a.
Wewenang umum Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA). b. Wewenang khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.64
62
Pasal 4 ayat (1) UUPA. Urip Santoso, 2012, Op.Cit, hlm. 83-84. 64 Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, (Jakarta: Universitas Terbuka, Karunika, 1988), hlm. 455. 63
Universitas Sumatera Utara
34
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu:65 a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis-jenis hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan, dan Hak Memungut Hasil Hutan. b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undangundang. Hak atas tanah ini jenisnya belum ada. c. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Pada hak atas tanah yang bersifat tetap di atas, sebenarnya Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan bukanlah hak atas tanah dikarenakan keduanya
tidak
memberikan
wewenang
kepada
pemegang
haknya
untuk
menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Namun, sekedar menyesuaikan dengan sistematika Hukum Adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan juga ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya kedua hak tersebut merupakan “pengejawantahan” dari hak ulayat masyarakat Hukum Adat.66 Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif artinya di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam
65 66
Urip Santoso, 2012, Loc.Cit, hlm. 90. Ibid, hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
35
UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang.67 Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:68 a. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah Negara. b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
B. Hak Pakai Ketentuan mengenai Hak Pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d,69 dan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA,70
67
Ibid. Ibid. 69 Pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan: Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. 70 Pasal 50 ayat (2) UUPA menyebutkan: “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan”. 68
Universitas Sumatera Utara
36
ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan PP No. 40/1996, yang secara khusus diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58. 1.
Pengertian dan Subjek Hak Pakai Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi kewenangan dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.71 Perkataan “menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan
untuk
kepentingan
mendirikan
bangunan,
sedangkan
perkataan
“memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
1) 2) 3) 4)
Subjek hukum yang berhak memiliki Hak Pakai adalah:72 Warga negara Indonesia. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 39 PP No. 40/1996 lebih merinci subjek hukum yang dapat memiliki Hak Pakai, antara lain: 1) Warga negara Indonesia. 2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 71 72
Pasal 41 ayat (1) UUPA. Pasal 42 UUPA.
Universitas Sumatera Utara
37
3) 4) 5) 6) 7)
Departemen, lembaga pemerintah non-departemen, dan pemerintah daerah. Badan-badan keagamaan dan sosial. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. Bagi pemegang Hak Pakai yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
Hak Pakai, maka dalam waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Pakainya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka Hak Pakainya hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait dengan Hak Pakai tetap diperhatikan.73 Berdasarkan ketentuan pada Pasal 39 PP No. 40/1996, Pemko Medan berhak mendapatkan Hak Pakai (lihat point 3). Sehingga tidak beralasan bagi Perhimpunan menyatakan bahwa Pemko Medan sebagai pihak yang tidak berhak atas Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan sertipikat. 2.
Asal Tanah dan Terjadinya Hak Pakai Asal tanah Hak Pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain,74 sedangkan Pasal 41 PP No. 40/1996 lebih tegas menyebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik. Terjadinya Hak Pakai berdasarkan asal tanahnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
73 74
Pasal 40 PP No. 40/1996. Pasal 4l ayat (1) UUPA.
Universitas Sumatera Utara
38
a. Hak Pakai atas tanah negara Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala BPN RI, atau pejabat BPN RI yang diberikan pelimpahan kewenangan.75 Hak Pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.76 Hak Pakai Khusus right to use-nya adalah mempergunakan tanah untuk pelaksanaan tugasnya atas tanah dari Hak Menguasai Negara. Right of disposal-nya tidak dapat dialihkan dan juga tidak dapat sebagai objek hak tanggungan. Jangka waktunya tidak terbatas selama masih dipergunakan untuk pelaksanaan tugasnya tersebut. Subyek dari Hak Pakai Khusus ini adalah:77 1) Publiekrechtelijk, adalah departemen, direktorat jenderal, lembaga pemerintahan non departemen, pemerintah daerah, otorita dan sebagainya. 2) Publiekrechtelijk internasional, adalah perwakilan negara-negara asing, untuk kantor dan rumah. 3) Publiekrechtelijk agama dan sosial, maksudnya organisasi keagamaan dan sosial, tentunya dengan rekomendasi dari Departemen Agama dan Sosial. b. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan 75
Lihat Pasal 42 ayat (1) UUPA. Lihat Pasal 43 ayat (3) UUPA. Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 menetapkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berwenang menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai, sedangkan Pasal 10-nya memberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi untuk menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai, yang diubah oleh Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011. Prosedur penerbitan keputusan pemberian Hak Pakai diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 56 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999. 77 AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan VIII, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 212. 76
Universitas Sumatera Utara
39
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Hak Pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Pejabat BPN yang berwenang menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, yang dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2011. Prosedur penerbitan keputusan pemberian Hak Pakai diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999. c. Hak Pakai atas tanah Hak Milik Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Dalam penelitian ini, tanah yang menjadi objek sengketa berasal dari Surat Penyerahan Hak Tanah (Grant C78 1683) berdasarkan naskah jual beli tanggal 12
78
Grant C (Grant Controleur) diatur dalam Pasal VI dan VII Ketentuan Konversi. Grant berasal dari istilah Inggris yaitu: to grant artinya memberi. Istilah grant pertama di Indonesia dipergunakan oleh Sultan Sulaiman (1880) di daerah Lingga, Riau yang meniru sistem Torrens, grondboekhouding. Surat tanah tersebut diberikan kepada para pemilik tanah yang disebut dengan “grant”. Grant tersebut dicap dan ditandatangani Sultan dan pada surat tersebut dinyatakan suatu persil tanah diberikan kepadanya dengan ukuran dan batas-batasnya. A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
40
Februari 1957 nomor 29 yang dibuat dihadapan Oesman Aldjoeffry, Wakil Notaris di Medan, yang telah didaftarkan di Pejabat Urusan Tanah Kota Besar Medan pada tanggal 28 Maret 1957, sehingga dianggap belum mempunyai kekuatan kepastian hukum karena belum berbentuk sertipikat. Sedangkan tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Merbabu No. 28, Kelurahan Pusat Pasar, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan yang telah lama ditinggalkan oleh Perhimpunan sejak meletusnya gerakan G 30 S/PKI. Sehingga Komando Daerah Militer I Bukit Barisan (waktu itu bernama Kodam II/BB selaku Pepelrada), mengambil alihnya dan terakhir digunakan oleh Pemko Medan dengan alas hak Sertipikat Hak Pakai yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan tahun 1996, dengan dasar penerbitan Sertipikat Hak Pakai surat Gubernur Sumatera Utara No. 594.3/12989 tanggal 18 Mei 1991 yang bertalian dengan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. S-389/NK-03/1989 tanggal 12 April 1989. Menurut Amran Saragih:79 “Tanah dan bangunan yang sekarang ini kami tempati merupakan tanah dan bangunan yang diberikan oleh Panglima Daerah Militer Bukit Barisan, untuk digunakan sebagai pusat latihan karate di Provinsi Sumatera Utara. Di mana dahulunya tanah dan bangunan ini merupakan bekas tempat perkumpulan Partai Komunis Indonesia etnis China. Ketika terjadinya penumpasan terhadap anggota dan simpatisan PKI oleh TNI, mereka lari. Sehingga tanah ini dikuasai oleh TNI Komando Distrik Militer Seksi V”. Berdasarkan kondisi di atas, jelaslah bahwa Pemko Medan berhak memperoleh Hak Pakai atas tanah dan bangunan di Jalan Merbabu No. 28 tersebut
79
Hasil wawancara dengan Bapak Amran Saragih (bukan nama sebenarnya), pengurus Komite Karate Indonesia, di Kantor KKI Jalan Merbabu No. 28 Medan, pada tanggal 11 Maret 2013, pukul 17.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
41
yang berasal dari tanah negara. Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala BPN RI, atau pejabat BPN RI yang diberikan pelimpahan kewenangan. 3.
Jangka Waktu Hak Pakai Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka
waktu Hak Pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya digunakan untuk keperluan yang tertentu. Dalam PP No. 40/1996, jangka waktu Hak Pakai diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu Hak Pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu: a. Hak Pakai atas tanah negara Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Pakai (Khusus) yang dimiliki departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, pemerintah daerah (seperti halnya Pemko Medan), perwakilan negara asing, perwakilan badan internasional, badan-badan keagamaan dan sosial diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu. Berkaitan dengan subjek Hak Pakai (Khusus) atas tanah negara ini, A.P. Parlindungan menyatakan bahwa ada Hak Pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa right of dispossal (artinya yang tidak boleh dijual ataupun
Universitas Sumatera Utara
42
dijadikan jaminan utang), yaitu Hak Pakai yang diberikan untuk instansiinstansi Pemerintah seperti sekolah, perguruan tinggi negeri, kantor pemerintah, dan sebagainya, dan Hak Pakai yang diberikan untuk perwakilan asing, yaitu Hak Pakai yang diberikan untuk waktu yang tidak terbatas dan selama pelaksanaan tugasnya, ataupun Hak Pakai yang diberikan untuk usahausaha sosial dan keagamaan juga diberikan untuk waktu yang tidak tertentu dan selama melaksanakan tugasnya.80 Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Pakai untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai, yaitu: 1) Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; 2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan 3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.81 b. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan Keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
80
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 34. 81 Urip Santoso, 2012, Op.Cit, hlm. 122-123.
Universitas Sumatera Utara
43
pemegang hak pengelolaan.82 Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah dan sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertipikat Hak atas tanah.83 Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama. Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada: 1) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; 2) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; 3) Badan keagamaan dan badan sosial.84 c. Hak Pakai atas tanah Hak Milik Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru
82
Pasal 42 ayat (2) PP No. 40/1996. Pasal 43 ayat (2 dan 3) PP No. 40/1996. 84 Pasal 45 PP No. 40/1996. 83
Universitas Sumatera Utara
44
dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. 4.
Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Pakai Pemegang Hak Pakai berkewajiban: a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus; e. Menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat; dan f. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai.85
1) 2) 3) 4)
5.
Pemegang Hak Pakai berhak: Menguasai dan menggunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya; Memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain; Membebaninya dengan Hak Tanggungan; Menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu.86
Peralihan Hak Pakai Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara untuk jangka waktu tertentu dan
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila Hak Pakai tersebut
85 86
Lihat Pasal 50 dan Pasal 51 PP No. 40/1996. Lihat Pasal 52 PP No. 40/1996.
Universitas Sumatera Utara
45
dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Hak Pakai atas tanah negara yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama digunakan untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai yang dipunyai oleh departemen, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintah daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai yang dipunyai oleh badan hukum publik disebut Hak Pakai publik ada right to use, yaitu menggunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas, namun tidak ada right of dispossal, yaitu tidak dapat dialihkan dalam bentuk apa pun kepada pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.87 Demikian halnya Hak Pakai yang dimiliki oleh Pemko Medan tidak dapat dialihkan kepada pihak ketiga. Peralihan Hak Pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Pakai yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, Sertipikat Hak Pakai yang bersangkutan. Prosedur peralihan Hak Pakai karena pewarisan diatur dalam Pasal 54 PP No. 40/1996 jo. Pasal 42 PP No. 24/1997 jo. Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
87
A.P. Parlindungan, “Beberapa Konsep tentang Hak-hak Atas Tanah”, Majalah CSIS, Tahun XX No. 2, (Jakarta: Maret-April, 1991), hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
46
Peralihan Hak Pakai karena jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan wajib dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT kecuali yang harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang. Prosedur pemindahan Hak Pakai karena jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 54 PP No. 40/1996 jo. Pasal 37 hingga Pasal 40 PP No. 24/1997 jo. Pasal 97 hingga Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Sedangkan prosedur pemindahan Hak Pakai karena lelang diatur dalam Pasal 54 PP No. 40/1996 jo. Pasal 4l PP No. 24/1997 jo. Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam Sertipikat Hak Pakai dari pemegang Hak Pakai semula kepada pemegang Hak Pakai yang baru. Peralihan Hak Pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang. Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan, dan peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan. 6.
Hapus dan Akibat Hapusnya Hak Pakai Faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Pakai adalah:
Universitas Sumatera Utara
47
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya; b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir, karena: 1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Pakai; 2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau 3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. Hak Pakainya dicabut; e. Ditelantarkan; f. Tanahnya musnah; g. Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai. 88 Hapusnya Hak Pakai atas tanah negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemilik tanah.89 Konsekuensi hapusnya Hak Pakai bagi bekas pemegang Hak Pakai, yaitu:90 a. Jika Hak Pakai atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang dan diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak hapusnya Hak Pakai. b. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan kepada bekas pemegang Hak Pakai diberikan ganti rugi. c. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Pakai.
88
Lihat Pasal 55 PP No. 40/1996. Pasal 56 PP No. 40/1996. 90 Pasal 57 PP No. 40/1996. 89
Universitas Sumatera Utara
48
d. Jika bekas pemegang Hak Pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah Hak Pakai, maka bangunan dan benda-benda tersebut dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Pakai. Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Pakai tersebut wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik.91 Sedangkan untuk Hak Pakai Khusus, tidak ada batas waktunya dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas selama digunakan untuk peruntukan yang sudah ditetapkan sebelumnya, seperti Hak Pakai untuk perwakilan negara asing untuk Kedutaan Besar atau Konsulat Asing. 92 C. Pembatalan Hak Atas Tanah 1.
Pengertian dan Objek Pembatalan Hak Atas Tanah Pembatalan hak atas tanah berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Peraturan
Menteri Negara Agraria (PMNA)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN) No. 3 Tahun 1999, yaitu: “Pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah
91
Pasal 58 PP No. 40/1996. AP. Parlindungan, Serba Serbi Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 135. Subyek dari Hak Pakai Khusus menurut AP. Parlindungan adalah: 1) Publiekrechtelijk, adalah departemen, ditjen, lembaga pemerintahan non departemen, pemerintah daerah, otorita dan sebagainya. 2) Publiekrechtelijk internasional, adalah perwakilan negara-negara asing, untuk kantor dan rumah. 3) Publiekrechtelijk agama dan sosial, maksudnya organisasi keagamaan dan sosial, tentunya dengan rekomendasi dari Departemen Agama dan Sosial. Lihat AP. Parlindungan, Op.Cit, hlm. 212. 92
Universitas Sumatera Utara
49
karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.93 Rumusan pembatalan hak atas tanah dimaksud belum lengkap karena hanya menyangkut pemberian hak atas tanahnya saja, meskipun dengan dibatalkan surat keputusan pemberian hak atas tanah, tentunya juga akan mengakibatkan pendaftaran dan sertipikatnya batal karena sesuai dengan PP No. 24/1997, Surat Keputusan Pemberian Hak sebagai alat bukti pendaftaran hak dan penerbitan sertipikat. Syarat pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 104 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999), diterbitkan apabila terdapat: a. Cacat hukum administratif. b. Melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999, yang menjadi objek pembatalan hak atas tanah meliputi: a.
Surat keputusan pemberian hak atas tanah,
b.
Sertipikat hak atas tanah,
93 Rumusannya sama dengan pengertian pembatalan hak atas tanah yang terdapat pada Pasal 1 angka 14 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, yaitu: “Pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Universitas Sumatera Utara
50
c.
Surat keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.
2.
Prosedur Pembatalan Hak Atas Tanah Sesuai dengan ketentuan Pasal 105 PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999
pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Kepala BPN atau melimpahkan kepada Kantor Wilayah atau pejabat yang ditunjuk. Jadi pada prinsipnya hak atas tanah hanya dapat dibatalkan dengan surat keputusan pembatalan yang kewenangan penerbitannya sesuai dengan pelimpahan wewenang yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999. a.
Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif, diterbitkan
apabila terdapat:94 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kesalahan prosedur; Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; Kesalahan subyek hak; Kesalahan obyek hak; Kesalahan jenis hak; Kesalahan perhitungan luas; Terdapat tumpang tindih hak atas tanah; Terdapat ketidakbenaran pada data fisik dan/atau data yuridis; atau Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang atas dasar: 1. Permohonan pemohon Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi yang diterbitkan: 94
Pasal 107 PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
51
a. Pengajuan permohonan pembatalan diajukan secara tertulis, dapat diajukan langsung kepada Kepala BPN atau melalui Kepala Kantor Pertanahan yang memuat: 1) Keterangan mengenai diri pemohon. a)
Perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan disertai fotocopy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan.
b) Badan Hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya disertai fotocopynya. 2) Keterangan mengenai tanahnya meliputi data yuridis dan data fisik: a)
Memuat nomor dan jenis hak disertai fotocopy surat keputusan dan atau sertipikat.
b) Letak, batas dan luas tanah disertai fotocopy Surat Ukur atau Gambar Situasi. c)
Jenis penggunaan tanah (pertanian atau perumahan).
3) Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data pendukungnya. b.
Atas permohonan dimaksud, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembatalan hak atau penolakan pembatalan hak dan disampaikan kepada pemohon.
2. Tanpa permohonan pemohon
Universitas Sumatera Utara
52
Pembatalan hak atas tanah yang diterbitkan tanpa adanya permohonan pemohon: a.
Kepala Kantor Pertanahan mengadakan penelitian data yuridis dan data fisik.
b.
Hasil penelitian disertai pendapat dan pertimbangan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala BPN sesuai dengan kewenangannya.
c.
Kepala Kantor Wilayah meneliti data yuridis dan data fisik dan apabila telah
cukup
mengambil
keputusan,
menerbitkan
keputusan
pembatalannya dan disampaikan kepada pemohon. d.
Dalam hal kewenangan pembatalan ada pada Kepala BPN, hasil penelitian Kepala Kantor Wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya disampaikan kepada Kepala BPN.
e.
Kepala BPN meneliti data yuridis dan data fisik dan apabila telah cukup mengambil keputusan, menerbitkan keputusan pembatalannya dan disampaikan kepada pemohon.
b.. Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan Tidak seperti halnya pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif, pembatalan hak atas tanah melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap hanya dapat diterbitkan berdasarkan permohonan pemohon, hal ini ditegaskan dalam Pasal 124 ayat (1) PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, selanjutnya dalam ayat (2), Putusan Pengadilan dimaksud bunyi amarnya, meliputi dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau intinya sama dengan
Universitas Sumatera Utara
53
itu. Prosedur permohonan pembatalannya, yaitu: Pengajuan permohonan pembatalan diajukan secara tertulis, dapat diajukan langsung kepada Kepala BPN atau melalui Kepala Kantor Pertanahan yang memuat: a. Keterangan mengenai diri pemohon: 1) Perorangan: Nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan disertai fotocopy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan. 2) Badan
Hukum: nama, tempat
kedudukan,
akta
atau
peraturan
pendiriannya disertai fotocopynya. b. Keterangan mengenai tanahnya meliputi data yuridis dan data fisik: 1) Memuat nomor dan jenis hak disertai fotocopy surat keputusan dan atau sertipikat. 2) Letak, batas dan luas tanah disertai fotocopy Surat Ukur atau Gambar Situasi. 3) Jenis penggunaan tanah (pertanian atau perumahan). c. Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data pendukung, antara lain: 1) Fotocopy putusan pengadilan dari tingkat pertama dan tingkat terakhir. 2) Berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana. 3) Surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan. 4) Atas permohonan dimaksud, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembatalan hak atau penolakan pembatalan hak.
Universitas Sumatera Utara
54
Pembatalan terhadap Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar atas nama Pemko Medan, bukanlah pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif melainkan karena putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan belum mengeluarkan pembatalan sertipikat dimaksud karena Perhimpunan belum mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis kepada Kantor Pertanahan Kota Medan.95 D. Faktor-faktor yang Membatalkan Sertipikat Hak Pakai No. 765 Menurut Putusan Mahkamah Agung No. 981K/Pdt/2009 Menurut Pasal 1 angka 12 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999, Pembatalan hak atas tanah adalah: “Pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.96 Syarat pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 104 ayat (2) PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999, diterbitkan apabila terdapat: a. Cacat hukum administratif, atau b. Melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan hasil putusan Mahkamah Agung No. 981K/Pdt/2009 dengan menguatkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
456/Pdt.G/2007/PN.
95
Hasil wawancara dengan Hafni, SH pegawai Badan Pertanahan Kota Medan, pada tanggal 31 Oktober 2013, pukul 14.00 WIB. 96 Rumusannya sama dengan pengertian pembatalan hak atas tanah yang terdapat pada Pasal 1 angka 14 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, yaitu: “Pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Universitas Sumatera Utara
55
Mdn dan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 263/Pdt/2008/PT-Mdn, maka Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar tanggal 1 Juli 1996 terdaftar atas nama Pemerintah Kotamadya Tingkat II Medan (dulu dan sekarang Pemerintah Kota Medan) harus dibatalkan karena untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 124 ayat (2) PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999, yang menyatakan, Putusan Pengadilan dimaksud bunyi amarnya, meliputi dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau intinya sama dengan itu. Pembatalan Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar telah memiliki kekuatan hukum yang tetap hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 981K/Pdt/2009 yang isinya menolak permohonan kasasi Pemko Medan dan BPN Kota Medan dan menguatkan putusan sebelumnya yaitu Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 263/Pdt/2008/PT-Mdn
dan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
456/Pdt.G/2007/PN.Mdn yang menyatakan: Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar tanggal 1 Juli 1996 atas nama Pemerintah Kota Medan adalah tidak berkekuatan hukum, tidak mengikat dan batal demi hukum. Terbitnya putusan tentang pembatalan Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar tanggal 1 Juli 1996 tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang menurut pertimbangan Mahkamah Agung telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun faktor-faktor yang membatalkan Sertipikat Hak Pakai No. 765/Pusat Pasar menurut pertimbangan Mahkamah Agung, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
56
Pertama, Hak penguasaan dan penggunaan obyek sengketa di Jalan Merbabu No. 28 Kelurahan Pusat Pasar Kecamatan Medan Kota, Kota Medan ada pada Perhimpunan karena sudah sejak dahulu digunakan oleh Perhimpunan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Kedua, Sesuai ketentuan Pasal 1865 BW dan 283 Rbg, Perhimpunan membuktikan dalil-dalil gugatannya dengan mengajukan bukti-bukti surat dan 2 (dua) orang saksi yang telah memberi keterangan di bawah sumpah masing-masing saksi Nurdin Wijaya dan saksi Wijaya, bukti-bukti suratnya yaitu:97 1. Fotocopy Akta Pendirian Perhimpunan Hin An Hui Koan Nomor: 79 tanggal 29 Januari 1957 yang dibuat dihadapan Oesman Aldjoeffry, Wakil Notaris di Medan, dan Akta nomor 22 tanggal 14 Mei 2007, serta Akta nomor 1 tanggal 1 Oktober 2007 yang dibuat dihadapan Poeryanto Poedjiaty, SH Notaris di Medan; 2. Fotocopy Surat Penyerahan Hak Tanah (Grant C 1683) berdasarkan naskah Jual Beli tanggal 12 Februari 1957 Nomor 29 yang dibuat dihadapan Oesman Aldjoeffry, Wakil Notaris di Medan, yang telah didaftarkan di Pejabat Urusan Tanah Kota Besar Medan pada tanggal 28 Maret 1957; 3. Fotocopy gambar denah perbaikan bangunan dari bentuk rumah lama ke bentuk rumah yang digunakan sebagai Gedung Perhimpunan Hin An Hui Koan; 4. Fotocopy Surat Tanggal 28 Oktober 1965 yang ditujukan kepada Komando Distrik Militer seksi V Medan; 5. Fotocopy Surat Penggugat Nomor 001/YSHA/XII/04 tanggal 1 Desember 2004 minta ketegasan kepemilikan aset milik Penggugat; 6. Fotocopy Surat Tergugat nomor 593/3985 tanggal 16 Maret 2005 tentang penjelasan Tergugat atas penerbitan Sertipikat Hak Pakai Nomor 765/Pusat Pasar tanggal 1 Juli 1965 di atas tanah milik Penggugat; 7. Fotocopy Salinan Akta Pendirian Perhimpunan Hin An Hui Koan Nomor 79 tanggal 29 Januari 1957, yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Medan.
97
Bukti-bukti surat Penggugat 456/Pdt.G/2007/PN.Mdn, hlm 13 dan 17.
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
Universitas Sumatera Utara
57
Ketiga, Perhimpunan didirikan dengan maksud dan tujuan mempererat pertalian perhubungan persahabatan dan persaudaraan dari keturunan daerah Hin Hoa dan memajukan pergaulan, kesatuan dan semangat tolong menolong serta mengurus hal-hal mengenai usaha keamalan dan bersama-sama mengukuhkan cita-cita bangsa Tionghoa perantauan keturunan Hin Hoa. Keempat, Perhimpunan didirikan dengan suatu akta dengan anggaran dasar yang jelas, akta No. 79 tanggal 29 Januari 1957 bertalian dengan akta No. 22 tanggal 14 Mei 2007 jo akta No. 1 tanggal 1 Oktober 2007, maka keberadaan Perhimpunan ini adalah legal dan sah menurut hukum dan keberadaan Handoko Setiawan dan Yacup Lie selaku Ketua dan Sekretaris Perhimpunan yang bertindak untuk dan atas nama Perhimpunan dalam menuntut hak atas penguasaan dan penggunaan obyek sengketa tersebut adalah beralasan menurut hukum. Kelima, Surat penyerahan hak tanah (acte van afstand van erfpachtsrecht) ternyata bahwa Perhimpunan sudah menguasai dan menggunakan obyek sengketa berdasarkan jual beli tanggal 12 Februari 1957 dan didaftarkan di Pejabat Urusan Tanah Kota Besar Medan tanggal 28 Maret 1957 dalam daftar Grant C No. 1683, dan telah melakukan perbaikan-perbaikan (renovasi) dari bangunan lama menjadi bangunan baru. Keenam, Penggunaan tanah dan bangunan obyek sengketa oleh Perhimpunan saat itu atas dasar alas hak yang sah yaitu Hak Pakai yang dikeluarkan oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kota Pradja Medan tanggal 17 September 1960 dan diperpanjang selama 10 tahun hingga tahun 1970 yang telah dikonversi menjadi Hak
Universitas Sumatera Utara
58
Pakai pada tanggal 10 Juni 1963 yang dikukuhkan dengan surat Keterangan Walikota Kepala Daerah Medan, No. 645/SKT/1963. Ketujuh, Menurut keterangan saksi Nurdin Widjaya dan saksi Widjaya menerangkan bahwa selama saksi-saksi mengikuti kegiatan sebagai anggota Perhimpunan, semua kegiatan Perhimpunan tersebut dilakukan di dalam gedung obyek sengketa antara lain kegiatan-kegiatan pesta dan keamalan. Kedelapan, Tahun 1965 hak penguasaan dan penggunaan obyek sengketa oleh Perhimpunan secara paksa dicabut dan dihentikan karena situasi politik yang terjadi saat itu, dan dalil-dalil tersebut tidak dibantah oleh Pemko Medan dan harus dipandang telah terbukti kebenarannya. Kesembilan, bahwa menurut hukum, dalam keadaan darurat pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan dengan suatu surat keputusan Kepala BPN sambil menunggu Keppres yang diterbitkan kemudian. Sedangkan pencabutan Hak Pakai dari Perhimpunan pada tahun 1965 ternyata tidak dilakukan dengan Keppres sebagaimana prosedur yang ditentukan Pasal 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. Kesepuluh, Surat pengurus Perhimpunan tanggal 1 Desember 2004, kepada Walikota Medan tentang Aset (harta) Perhimpunan yang terletak di Jalan Merbabu No. 28 Medan dan surat Pengurus Hin An Hui Koan tanggal 28 Oktober 1965 kepada pimpinan Kodim Seksi V di Medan, yaitu tentang laporan kerusakan/hilang harta benda yang didasarkan pada pertemuan dengan Djaksa, Kodim dan pengurus Hin An
Universitas Sumatera Utara
59
Hui Koan. Dari bukti-bukti tersebut ternyata bahwa Penggugat sudah sejak lama berusaha untuk menguasai dan menggunakan kembali tanah dan bangunan tersebut. Kesebelas, Hak Pakai yang dimiliki oleh Perhimpunan telah dicabut secara tidak sah dengan pengambilalihan tanah dan bangunan oleh Pemerintah Kota Medan pada tahun 1966 sebelum masa berlaku Hak Pakai tersebut berakhir, maka tindakan tersebut bertentangan dengan hukum dan karenanya Perhimpunan secara yuridis formal masih mempunyai Hak Pakai terhadap tanah dan bangunan tersebut; terlebih bahwa berdasarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yaitu tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina antara lain dalam ketentuan kedua menyebutkan, bahwa dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, dinyatakan tidak berlaku. Kedua belas, Sertipikat Hak Pakai No. 765 diterbitkan dengan pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara berdasarkan Grant C No. 1683, yaitu obyek sengketa, di mana obyek sengketa secara formal Hak Pakainya masih berada pada pihak Perhimpunan dan penguasaan langsung oleh negara tersebut telah dinyatakan tidak berlaku, maka penerbitan Hak Pakai No. 765 atas nama Pemko Medan oleh BPN Kota Medan adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Ketiga belas, Bekas Grant C No. 1683 berakhir masa berlakunya pada tanggal 31 Desember 1960, terakhir terdaftar atas nama Perhimpunan. Expiratie (tempo pemakaian) Hak Pakai atas tanah Grant C No. 1683, diperpanjang sampai hari
Universitas Sumatera Utara
60
penghabisan bulan Desember 1970 oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kotapradja Medan dan Surat Keterangan Walikota Kepala Daerah Medan No. 645/SKT/1963 tanggal 10 Juni 1963. Berdasarkan fakta-fakta di lapangan dan ketentuan peraturan yang berlaku, maka faktor-faktor tersebut yang menjadi pertimbangan hakim dalam membatalkan Sertipikat Hak Pakai di atas terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku sebagai berikut: Pertama, Hak penguasaan dan penggunaan obyek sengketa di Jalan Merbabu No. 28 Kelurahan Pusat Pasar Kecamatan Medan Kota, Kota Medan ada pada Perhimpunan karena sudah sejak dahulu digunakan oleh Perhimpunan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Berdasarkan nama yang tercantum dalam Sertipikat Hak Pakai No. 765 menyebutkan nama Pemko Medan sebagai pemegang hak tersebut sehingga Pemko Medan dengan tegas membantah dalil Perhimpunan tersebut karena menurutnya, Pemko Medan yang paling berhak untuk menggunakan obyek sengketa tersebut dengan alas hak yang sah karena telah memiliki Sertipikat Hak Pakai No. 765. Kedua, Perhimpunan membuktikan dalil-dalil gugatannya dengan mengajukan bukti-bukti surat dan 2 (dua) orang saksi yang telah memberi keterangan di bawah sumpah. Bukti-bukti surat tersebut telah dilegalisir, diberi materai secukupnya dan telah disesuaikan dengan aslinya di persidangan kecuali Akta No. 79 tanggal 29 Januari 1957 aslinya tidak dapat diperlihatkan. Hal tersebut dapat dibenarkan oleh
Universitas Sumatera Utara
61
hakim karena sesuai dengan Pasal 1889 Burgerlijk Wetboek (BW),98 walaupun Pasal 1888 BW menyatakan bahwa: “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada aktanya asli. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya”. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari staf Bagian Tata Usaha Dinas Tata Kota, Kota Medan, menyatakan bahwa: “dokumen surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gedung Perhimpunan (bukti surat nomor 3) tidak ditemukan dengan alasan karena dokumen lama, dokumen-dokumen yang terdapat pada Dinas Tata Kota Kota Medan hanya dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2013, hal ini disebabkan karena berganti-gantinya nama kedinasan yang bertanggung jawab terhadap hal tersebut”.99
98
Pasal 1889 BW menyatakan: Apabila alas hak yang asli sudah tidak ada lagi, maka salinan-salinannya memberikan bukti, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang berikut: 1. Salinan-salinan pertama memberikan pembuktian yang sama dengan aktanya asli, demikianpun halnya dengan salinan-salinan yang diperbuat atas perintah hakim dengan dihadiri oleh kedua belah pihak, atau setelah para pihak ini dipanggil secara sah, sepertipun salinan-salinan yang diperbuat dengan dihadiri oleh kedua belah pihak dengan persetujuan mereka. 2. Salinan-salinan yang tanpa perantaraan hakim, atau di luar persetujuan para pihak, dan sesudahnya pengeluaran salinan-salinan pertama, dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh pegawai-pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akta-aktanya asli dan berkuasa memberikan salinan-salinan, dapat diterima oleh Hakim sebagai bukti sempurna, apabila aktanya asli telah hilang. 3. Apabila salinan-salinan itu, yang dibuat menurut aktanya asli, tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuatnya, atau oleh salah seorang penggantinya, atau oleh pegawaipegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta-aktanya asli, maka salinan-salinan itu tak sekali-kali dapat dipakai sebagai bukti selainnya sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan. 4. Salinan-salinan otentik dari salinan-salinan otentik atau dari akta-akta di bawah tangan, dapat menurut keadaan memberikan suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. 99 Hasil wawancara dengan Lila (nama samaran) staf Bagian Tata Usaha Dinas Tata Kota Kota Medan, pada hari Kamis, 22 Agustus 2013, pukul 10.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
62
Ketiga, Perhimpunan didirikan dengan suatu akta dengan anggaran dasar yang jelas, akta No. 79 tanggal 29 Januari 1957 bertalian dengan akta No. 22 tanggal 14 Mei 2007 jo akta No. 1 tanggal 1 Oktober 2007, maka keberadaan perhimpunan ini adalah legal dan sah menurut hukum dan keberadaan Handoko Setiawan dan Yacup Lie selaku Ketua dan Sekretaris Perhimpunan yang bertindak untuk dan atas nama Perhimpunan dalam menuntut hak atas penguasaan dan penggunaan obyek sengketa tersebut adalah beralasan menurut hukum. Handoko Setiawan dan Yacup Lie bertindak selaku Ketua dan Sekretaris Perhimpunan sejak tanggal 1 Oktober 2007, menggantikan ketua yang lama yang telah meninggal. Pasal 3 Akta Perhimpunan No. 79 tanggal 29 Tahun 1957, menyatakan bahwa: “Perhimpunan ini didirikan untuk dua puluh sembilan tahun lamanya dan dimulai pada hari disjahkan peraturan-peraturan anggaran dasar perhimpunan tersebut dan diakui sebagai Badan Hukum oleh yang berwadjib”. Berarti dengan kata lain bahwa tahun 1986 Perhimpunan Hin An Hui Koan telah berakhir. Akan tetapi, pada tanggal 1 Mei 2007, generasi penerus Perhimpunan mengadakan rapat dan notulen rapat tersebut telah dilegalisasi oleh Notaris Poeryanto Poedjiaty, SH pada tanggal 14 Mei 2007, yang salah satu isinya menyetujui perubahan Pasal 3 Akta Perhimpunan yang berbunyi: “Perhimpunan ini didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya”.
Universitas Sumatera Utara
63
Dengan kata lain, para generasi pengurus Perhimpunan berusaha untuk memperpanjang keberadaan dari Perhimpunan tersebut. Akan tetapi, dapatkah suatu perhimpunan diperpanjang kembali setelah 21 tahun berakhir. Keempat, Surat penyerahan hak tanah (acte van afstand van erfpachtsrecht) ternyata bahwa Perhimpunan sudah menguasai dan menggunakan obyek sengketa berdasarkan jual beli tanggal 12 Februari 1957 dan didaftarkan di Pejabat Urusan Tanah Kota Besar Medan tanggal 28 Maret 1957 dalam daftar Grant C No. 1683, dan telah melakukan perbaikan-perbaikan (renovasi) dari bangunan lama menjadi bangunan baru. Renovasi bangunan yang dilakukan oleh Perhimpunan dari bangunan lama menjadi bangunan baru tidak ada surat IMB nya dari dinas terkait, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya surat IMB yang diajukan ke Pengadilan. Kelima, Penggunaan tanah dan bangunan obyek sengketa oleh Perhimpunan saat itu atas dasar alas hak yang sah yaitu Hak Pakai yang dikeluarkan oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kota Pradja Medan tanggal 17 September 1960 dan diperpanjang selama 10 tahun hingga tahun 1970 yang telah dikonversi menjadi Hak Pakai pada tanggal 10 Juni 1963 yang dikukuhkan dengan surat Keterangan Walikota Kepala Daerah Medan, No. 645/SKT/1963. Hak Pakai yang dikeluarkan oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kota Pradja Medan tanggal 17 September 1960 tidak dapat dibuktikan oleh Perhimpunan di Persidangan. Ketentuan Hak Pakai yang dikeluarkan oleh Ketua Dewan
Universitas Sumatera Utara
64
Pemerintah Daerah Kota Pradja Medan merujuk kepada Bagian Kedua UUPA yaitu Ketentuan-ketentuan Konversi Pasal VI yang berbunyi: “Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (l) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu: hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lunggah, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-Undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Keenam, Menurut keterangan saksi Nurdin Widjaya dan saksi Widjaya menerangkan bahwa selama saksi-saksi mengikuti kegiatan sebagai anggota Perhimpunan, semua kegiatan Perhimpunan tersebut dilakukan di dalam gedung obyek sengketa antara lain kegiatan-kegiatan pesta dan keamalan. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, masih terdapat penduduk di sekitar objek sengketa yang membenarkan bahwa tanah dan bangunan di Jalan Merbabu No. 28 tersebut pada tahun 1960 merupakan tempat berkumpulnya anggota-anggota Gerakan 30 S-PKI etnis Cina.100 Sehingga tanah dan bangunan tersebut diambil alih oleh negara berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Ketujuh, Pencabutan Hak Pakai dari Perhimpunan pada tahun 1965 ternyata tidak dilakukan dengan Keputusan Presiden, maka hal itu jelas bertentangan dengan hukum. Karena pencabutan Hak Pakai tersebut bertentangan dengan hukum maka
100
Hasil wawancara dengan Bapak “X” mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), di Kantor KKI Jalan Merbabu No. 28 Medan, pada tanggal 11 Maret 2013, pukul 17.15 WIB.
Universitas Sumatera Utara
65
secara yuridis formal, Perhimpunan masih mempunyai Hak Pakai terhadap obyek sengketa. Pencabutan hak selain diatur dalam Keputusan Presiden juga diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Contohnya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, dalam Keppres No. 55/1993 ditetapkan Gubernur Kepala Daerah mengangkat Panitia Pengadaan Tanah di tiap Daerah Tingkat II dengan Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua dan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Wakil Ketua. Manakala dalam perundingan tentang pengadaan tanah tersebut tidak terdapat kata sepakat tentang uang ganti ruginya maka pihak-pihak naik banding kepada Gubernur
Kepala
Daerah,
dan
manakala
juga
Gubernur
tidak
dapat
menyelesaikannya, maka Gubernur Kepala Daerah dapat mengusulkan kepada Presiden RI, melalui Menteri Dalam Negeri dan akan meneruskan kepada Menteri Negara Agraria yang akan mengatur mekanismenya, untuk melakukan pencabutan hak (tentunya dengan mempergunakan ketentuan UU No. 20 Tahun 1961). Dan dengan berlakunya di sini UU No. 20 Tahun 1961 tersebut menurut AP. Parlindungan, pihak-pihak dapat naik banding kepada Pengadilan Tinggi atas ganti rugi yang ditawarkan.101 Dalam Pasal 5 Keppres No. 55/1993 disebutkan sejumlah ketentuan-ketentuan yang dianggap sebagai kepentingan umum, seperti jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, termasuk irigasi, rumah sakit umum, pelabuhan atau bandar udara, peribadatan, pendidikan/sekolah, pasar umum/inpres, tempat pemakaman umum, 101
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit, hlm. 117.
Universitas Sumatera Utara
66
fasilitas keselamatan umum, pos dan telekomunikasi, sarana olah raga, stasiun penyiaran radio, televisi, kantor pemerintah dan fasilitas angkatan bersenjata.102 Kedelapan, Sertipikat Hak Pakai No. 765 diterbitkan dengan pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara berdasarkan Grant C No. 1683, yaitu obyek sengketa, di mana obyek sengketa secara formal Hak Pakainya masih berada pada pihak Perhimpunan dan penguasaan langsung oleh negara tersebut telah dinyatakan tidak berlaku, maka penerbitan Hak Pakai No. 765 atas nama Pemko Medan oleh BPN Kota Medan adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan dibatalkannya Sertipikat Hak Pakai No. 765, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.103 Maka Hak Pakai tersebut telah hapus dan mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemilik tanah104 yang secara yuridis menurut pertimbangan Majelis Hakim yang mengadili perkara aquo di atas, kembali kepada Perhimpunan. Berakhirnya Hak Pakai Pemko Medan atas dibatalkannya Sertipikat Hak Pakai No. 765, memiliki konsekuensi sebagai berikut: a. Pemko Medan harus menyerahkan tanah dan bangunannya kepada Perhimpunan dalam keadaan kosong selambat-lambatnya satu tahun sejak berakhirnya Hak Pakai.
102
Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Bandingkan dengan Pasal 55 PP No. 40/1996. 104 Bandingkan dengan Pasal 56 PP No. 40/1996. 103
Universitas Sumatera Utara
67
b. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan kepada bekas pemegang Hak Pakai (Pemko Medan) diberikan ganti rugi terhadap bangunan yang dibangun. c. Jika bangunan yang dibangun oleh Pemko Medan akan dibongkar maka biaya oleh Pemko Medan sendiri. d. Jika bekas pemegang Hak Pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah Hak Pakai, maka bangunan dan benda-benda tersebut dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas Pemko Medan. Berakhirnya Hak Pakai Pemko Medan tersebut harus dilakukan pengajuan permohonan pembatalannya secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan, berdasarkan hasil di lapangan, sampai saat ini Perhimpunan belum mengajukan permohonan pembatalannya. Berarti dengan kata lain, sampai saat ini Pemko Medan masih berhak menggunakan tanah dan bangunan tersebut.
Universitas Sumatera Utara