Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI YANG DIHADIRKAN MK, AHLI DARI PEMOHON, AHLI DARI PEMERINTAH, DAN AHLI DARI PIHAK TERKAIT (XII)
JAKARTA RABU, 24 MARET 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial) dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli yang dihadirkan MK, Ahli dari Pemohon, Ahli dari Pemerintah, dan Ahli dari Pihak Terkait (XII) Rabu, 24 Maret 2010, Pukul 09.00 – 16.22 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Dr. Harjono, S.H., MCL. Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: -
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. Anton Pradjasto (DEMOS)
Kuasa Hukum Pemohon: -
Uli Parulian Sihombing, S.H., LL.M. M. Choirul Anam, S.H. Adam M. Pantauw, S.H. Febi Yonesta, S.H. Wahyu Wagiman, S.H. Zaenal Abidin, S.H. Muhammad Isnur, S.H. Vicky Silvanie, S.H. Asfinawati, S.H. Putri Kanesia, S.H. Indria Fernida, S.H. Judianto Simanjuntak, S.H. Siti Aminah, S.H. Sidik, S.H. Totok Yulianto, S.H.
Ahli dari Pemohon -
Prof. W. Cole Durham, Jr. Prof. Subur Budhisantoso
Pemerintah: -
Budi Setiawan (Dirjen Budha di Kementerian Agama) Prof. Dr. IBG. Yudha Triguna, MS. (Dirjen Bimas Hindu) H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Kementerian Agama) Muhammad Anang (Kementerian Agama) Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Kabag dari Menkumham untuk Penyajian pada Sidang MK)
Ahli dari Pemerintah -
Prof. Rony Nitibaskara
2
Ahli yang dihadirkan MK -
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H. Dr. Moeslim Abdurrahman. Dr. (HC) drh. Taufik Ismail. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Dr. Djohan Effendi. Pdt. Dr. SAE. Nababan, LLD. Garin Nugroho. Prof. Mardono Reksodiputro, S.H.
Pihak Terkait (Forum Umat Islam) -
Wirawan Adnan, S.H. (Kuasa Hukum)
Pihak Terkait (Dewan Dakwah Islamiyah): -
Azam Khan, S.H.
Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI): -
H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. Wirawan Adnan, S.H.
Pihak Terkait (BKOK): -
Ir. Engkus Ruswana, M.M. Arnold Panahal
Pihak Terkait (KWI): -
Rudy Pratikno
3
Pihak Terkait (HPK): -
Hadi Prajoko Sri Widadi
Ahli dari Pihak Terkait (HPK): -
K.P. Seno Adiningrat, S.H., M.A., M.H.
DPP PPP: -
Muhammad Naril Ilham (Kuasa Hukum)
Pihak Terkait (BASSRA) -
K.H. Nairul Rochman
Pihak Terkait (FPI) -
Munarman, S.H.
4
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.00 WIB
1.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.
Assalamualaikum wr. wb.
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan Ahli dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X Silakan para Pemohon memperkenalkan siapa yang hadir dan dihadirkan sebagai Ahli pada hari ini. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Terima kasih, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Selamat pagi hadirin sekalian, hari ini kami dari pihak Pemohon, Kuasanya, dan juga Pemohon Prinsipal dan Ahli hadir. Untuk lebih jelasnya saya akan memperkenalkan diri dari samping kiri sampai kanan dan belakang. Samping kiri paling kiri adalah Anto Judianto Simanjuntak (Kuasa Hukum Pemohon), kemudian Anton Pradjasto (Pemohon Prinsipal dari Demos), saya sendiri Uli Parulian Sihombing (Kuasa Hukum). Kemudian sebelah kanan saya adalah Muhammad Choirul Anam (Kuasa Hukum), kemudian (…)
3.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Saudara agak pelan karena ada penterjemah di sana.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Oke. Ya, terima kasih. Kemudian samping kanannya adalah Adam Pantauw juga Kuasa Hukum Pemohon, kemudian samping kanannya adalah Febi Yonesta (Kuasa Hukum Pemohon). Kemudian barisan belakang yang paling kanan Asfinawati (Kuasa Hukum Pemohon), kemudian selanjutnya adalah Putri Kanesia (Kuasa Hukum Pemohon), kemudian selanjutnya adalah Indria Fernida (Kuasa Hukum Pemohon) dan selanjutnya adalah Wahyu Wagiman (Kuasa Hukum Pemohon), selanjutnya adalah Zainal
5
Abidin (Kuasa Hukum Pemohon), kemudian selanjutnya adalah Muhammad Isnur (Kuasa Hukum Pemohon). Kemudian samping kiri selanjutnya adalah Siti Aminah sebagai Kuasa Hukum Pemohon, kemudian samping kirinya lagi adalah Vicky Silvanie (Kuasa Hukum Pemohon), kemudian samping kirinya lagi adalah Sidik (Kuasa Hukum Pemohon) dan yang paling ujung adalah Totok Yulianto (Kuasa Hukum Pemohon). Kami juga hari ini menghadirkan Ahli dan juga 2 orang orang Ahli yaitu Prof. Cole Durham, lewat teleconference sudah siap. Kemudian selanjutnya adalah Ahli Prof. Subur Budhisantoso (Antropologi dari Fakultas FISIP Universitas Indonesia), dia sedang dalam perjalanan. Kemudian untuk Pemohon Prinsipal yang lainnya adalah Hendardi dia juga masih dalam perjalanan, dan juga Saudari Agung Tri sebagai Pemohon Prinsipal juga masih dalam perjalanan. Itu saja Majelis Hakim,… Ibu Musdah Mulia juga sudah datang di hadapan kita semua sebagai Pemohon Prinsipal. Itu saja Majelis Hakim yang mulia. Terima Kasih. 5.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, selanjutnya Pemerintah.
6.
PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG DARI MENKUMHAM UNTUK PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima Kasih, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Pemerintah hadir, di kanan saya ada Pak Budi Setiawan (Dirjen Budha dari Kementerian Agama). Saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian di samping kiri saya ada Pak Prof. Dr. Yuda Triguna (Dirjen Hindhu dari Kementrian Agama), kemudian di sampingnya lagi ada Pak Mubarok dari Kementerian Agama selaku Kepala Biro Hukum, kemudian di belakang ada Pak Muhammad Anang juga dari Kementerian Agama. Kemudian Yang Mulia, Pemerintah hari ini menghadirkan seorang Ahli yaitu Prof. Dr. Rony Nitibaskara (Guru Besar dari Fakultas Hukum di Universitas Indonesia), kemudian pejabat yang lain yang akan hadir, Pak Sekjen yaitu Pak Bahrul Hayat juga dalam perjalanan. Yang lain-lain mungkin akan menyusul, Yang Mulia. Terima Kasih, Yang Mulia. 7.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Pihak Terkait Majelis Ulama.
6
8.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA & FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ANDAN, S.H.
Assalamualaikum wr. wb.
Yang Mulia, pada kesempatan sidang hari ini Majelis Ulama Indonesia hadir adalah saya sendiri Wirawan Adnan, dan dalam perjalanan adalah Muhammad Lutfi Hakim. Pada hari ini saya juga hadir mengatasnamakan Forum Umat Islam. Terima kasih, Yang Mulia. 9.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan BASSRA.
10.
PIHAK TERKAIT (BASSRA) : K.H. NAIRUL ROCHMAN
Assalamualaikum wr. wb.
Kami dari BASSRA, Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura, saya nama Nairul Rochman dan Insya Allah sebentar lagi Kuasa Hukum kami Dr. Eggi Sudjana akan datang, Insya Allah.
Assalamualaikum wr. wb.
11.
PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM KHAN, S.H. Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia hadir, saya sendiri Azam, S.H., dan Insya allah sebentar lagi rekan kami juga akan datang. Terima kasih, Yang Mulia.
12.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H Silakan berikutnya.
13.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (PPP) : M. NARIL ILHAM, S.H.
Assalamualaikum wr. wb.
Terima kasih, Yang Mulia. Nama saya Muhammad Hadrawi Ilham, Kuasa Hukum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan. Terima kasih. 14.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H Silakan.
7
15.
PIHAK TERKAIT (BKOK) : IR. ENGKUS RUSWANA, M.M. Selamat pagi, terima kasih Yang Mulia. Saya dari BKOK, Engkus Ruswana dan yang kedua dengan Pak Arnold Panahal. Terima kasih.
16.
PIHAK TERKAIT(HPK) : HADI PRAJOKO Selamat pagi, Yang Mulia. Saya Hadi Prajoko dari HPK bersama saudara saya Bapak Sri Widadi. Terima kasih.
17.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Masih ada lagi yang belum? Saya kira Pihak Terkait belum lengkap karena biasanya hadir sidang jam 10.00 WIB barangkali tidak baca undangan bahwa hari ini dimulai jam 09:00 WIB karena ini hari sidang yang terakhir dan ada 11 Ahli yang hadir hari ini, sehingga mungkin ini akan berlangsung sampai jam 16.00 WIB sore. Nah, hari ini, sesuai dengan yang dijadwalkan, kita selain sepuluh Ahli yang hadir, akan hadir hari ini di dalam sidang ini, juga kita akan mendengarkan keterangan Ahli dari Amerika, yaitu Mr. W. Cole Durham. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, sidang-sidang pengadilan di Indonesia ini diselenggarakan dalam Bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, di sini kita sudah menunjuk seorang atau dua orang penerjemah yang nanti akan menerjemahkan pemeriksaan di dalam sidang ini, baik dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris maupun dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Saya kira kita bisa mulai, saya akan say hello dulu kepada Pak Durham. Hallo Mr. Durham.
18.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Hallo. I can’t hear and having little trouble hearing the interpreter. It could be closer to the mic perhaps. 19.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H
Ok. 20.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Thank you.
8
21.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H
I am Mahfud, Chairman of Indonesian Constitutional Court. I am now accompanied by 8 judges else who are waiting for your witness connecting to human rights especially in a freedom of religion and belief. Are you ready? 22.
PENERJEMAH: Nama saya Mahfud, saya adalah satu hakim dari Mahkamah Konstitusi dan saya akan menunggu pernyataan Anda yang berkaitan dengan hak berekspresi yang dikaitkan dengan kebebasan agama. Apakah Anda siap Pak Cole?
23.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Yes. 24.
PENERJEMAH: Ya, saya siap.
25.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H
Ya. Let me inform you that based on the regulation here in Indonesian Court Session have to be held in Indonesian language. We know that you cannot speak Indonesian, so we have appointed 2 interpreters here who will interprete our disscuss in both in English and Indonesian. Are you ready? 26.
PENERJEMAH: Dan saya mengatakan (suara tidak terdengar jelas) maka sidang harus dilakukan dalam Bahasa Indonesia dan kita tahu bahwa Anda tidak tahu berbahasa Bahasa Indonesia dan karenanya kita sudah menunjuk dua orang penerjemah yang akan menerjemahkan diskusi kita baik ke dalam Bahasa Indonesia maupun ke dalam Bahasa Inggris, apakah Anda siap?
27.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Yes, I am.
9
28.
PENERJEMAH: Ya, saya siap.
29.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H Oke. Baik, mari kita mulai sekarang. Saya persilakan kepada Penerjemah untuk disumpah dulu, untuk maju ke depan Sidang ini. Yang beragama Islam dulu, maju kedua-duanya dulu. Namanya siapa? Beragama apa? Yang beragama Islam dulu silakan. Juru sumpah, Pak Alim? Ya disumpah Pak.
30.
HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. (MEMBERIKAN SUMPAH) Saudara Penerjemah, ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahhirrahmannirrahhim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Penerjemah akan menerjemahkan dari Bahasa Inggris Ke bahasa Indonesia dan dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, dengan sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” Terima kasih.
31.
PENERJEMAH BERAGAMA ISLAM (DISUMPAH) : “Bismillahhirrahmannirrahhim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Penerjemah akan menerjemahkan dari Bahasa Inggris Ke Bahasa Indonesia dan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, dengan sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
32.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H Silakan kembali ke tempat. Silakan yang satu. Mbak? Dengan Agama Katolik. Silakan juru rohaniwan Agama Katolik. Bu Maria.
33.
HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. (MEMBERIKAN SUMPAH) Ya. Tirukan Lafal janji yang saya ucapkan. “Saya berjanji sebagai penerjemah, akan menterjemahkan dari bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, dan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dengan sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya. Terima kasih.
10
34.
PENERJEMAH BERAGAMA KATOLIK (DISUMPAH) : “Saya berjanji sebagai penerjemah, akan menterjemahkan dari bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dengan sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
35.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik. Kembali ke tempat dan langsung bertugas, ya. Baik, Ahli ini diusulkan oleh Pemohon untuk didengar keterangannya di dalam persidangan ini. Oleh sebab itu saya persilakan (…)
36.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
I cannot hear the translator. Ok. That is better. Yes, much better. 37.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, saya persilakan kepada Pemohon untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau permintaan, Ahli kita ini disuruh bicara apa di dalam siding ini. Saya persilakan.
38.
KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Ya, terima kasih, Majelis Hakim yang mulia (...)
39.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.
Oh, ya, ya. Pertama, Ahli akan disumpah dahulu dari sini. Silakan Pak Sodiki mengambil sumpah. Silakan ya, disumpah dalam Bahasa Indonesia, lalu Anda terjemahkan ke yang bersangkutan untuk diikuti. 40.
HAKIM ANGGOTA : PROF. (MEMBERIKAN SUMPAH)
DR.
ACHMAD
SODIKI,
S.H.
Ikuti lafal sumpah. “Saya berjanji, sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.” Terima kasih. 41.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
I here by swear as expert, i will provide my testimony accurately according to my expertice. So help me God.
11
42.
PENERJEMAH: Saya bersama ini berjanji sebagai Ahli saya akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong.
43.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, untuk Ahli-Ahli yang lain, nanti akan disumpah sesudah yang satu ini selesai dahulu. Biar nanti kumpul karena nampaknya belum lengkap dari daftar yang diajukan di sini. Untuk itu saya persilakan kepada Pemohon, apa yang ingin digali dari Ahli kita ini.
44.
KUASA HUKUM PEMOHON : ADAM M. PANTAUW, S.H. Ya, terima kasih Majelis. Kebetulan, kami sudah menyampaikan beberapa pokok pemikiran kepada Ahli dan Ahli sudah menyiapkan makalah. Kalau boleh, Ahli tinggal langsung membacakan bagian dari makalah yang dipersiapkan yang kalau tidak salah sudah ada juga di meja Majelis Hakim. Terima kasih.
45.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, baik. Dipersilakan kalau begitu kepada Ahli untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam waktu paling lama 15 menit sesudah itu akan dilanjutkan dengan dialog. Silakan.
46.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Ok. Let me..., first say it is a great honor and privilege for me to be able to address this court as a key regional leader and the country with the largest number of moslem citizens on earth, Indonesia plays a pivotal role in the development of law and justice. Just two weeks ago, I attended the session of the U.N. at which the Special Rapporteur of the U.N on Freedom of religion or Belief submitted her annual report. Official representatives from all the countries of the world were there and I sensed the great attention was paid when Indonesian delegation informed all those developments here in Indonesia. Let me just read a few things from their statement: They said, “This year, I beleive the issue of religious freedom in Indonesia will once again be put to the test following calls by concerned parties to revoke law Number 1/PNPS/1965 on the prevention from abuse and/or defamation of religion.” 12
This again is the statement of the Indonesian delegation. They said, “The law that was adopted in 1969 during the Soekarno era, has long been criticized as discriminatory thats acceptance of only six religions in Indonesia. It has also been branded as intrusive in the religious life of private citizens. As Indonesia is democratic country, governed by the rule of law, this revocation request is now under consideration in the constitutional court. Over the past three months, experts, religious community leaders, and others have been called to provide opinions. The final verdict of the constitutional court on the issues is pending. So, as you can see the eyes of the world are litterary on this court as the addresses of the vital issues in this case. As part of my work as comparative law scholar I have had the opportunity of working on similar issues involving law and religion in literally dozens of countries. I have been particularly honored to travel to Indonesia and to work there with many Indonesians on these issues. Among other things, a deskbook on international religious freedom law, I have written this,... I hope this can be attached as an Exhibit to my testimony we have copies available for the court but this has been translated into Indonesian Bahasa. It will obviously give fuller, in our... I can give in the brief time I will get it here. I have been very impressed with Indonesia's experience as a home for Islam and many other religions and a state that has maintained important religious and moral values. Indonesia has played an extremely significant role in developing human rights and rule of law as a basis for a moderate, pluralistic and stable society, demonstrating the positive role that religious freedom can play in a state with strong commitment to religious values. In this regard, it cannot help but exert a leadership role throughout the Muslim world and far beyond. Both as a scholar and as a person of the Book myself, I have seen and am convinced of the importance of religious voices in shaping politics and establishing a moral society. At the outset, I want to emphasize that this is just part of a longer statement and we will,...this has been submitted now, if there are additional things that emerged part of this hearing will add that and get translation so this to you in few days. Now, in the brief time lately I have more time, but it sounds like there are more witnesses, I want to say few things briefly about international law in this area why the presidential decree is inconsistent with international law’s standard and then few things about the terms on the comparative law basis in many part of the world on these issues. Obviously Indonesia is taking very important step like many other countries over the past 20 years there has been research of democracy and concern with human right, the new provisions of the constitution, the Human Rights Act has been passed and among other things Indonesia has exeeded to the International Covenant on Civil and 13
Political Rights and it’s my understanding that under the Human Rights Act the international human right instrument become part of Indonesian law or that seems to be the intent of article 7 (2) of the Human Rights Act and this is in line with what happens in many other countries seems the importance of human rights these provisions are made directly applicable in the legal system. It is important to understand that freedom of religion or belief protects not only the dignity and identity of individual but the foundation of good governance and social order is a freedom that goes to the very core of human dignity, freedom of religion is historically foundational because so many other rights emerged as additional supports or expansions of legal protections originally provided in the name of religious freedom. In this philosophically foundational because it protects comprehensive belief systems and world views which our other ideas are rooted and from which they derive their meaning. It is institutionally foundational and it protects and fosters the institutions that engender the vision, the motivation and moral support that translate religious and moral ideals into personal and communal practice. One of the things that’s clear if you look the world globally as religious different emerges is sometimes leads to tension I think one of the very wise things of the European Court of Human Rights and this is a quotation that has often been slided. They say although is possible the tension is created in situation where religious or any other community becomes devided. This is one of the unavoidable consequences of pluralism and this is the important point. The role of the authorities in such circumstances is not to remove the cause of tension by eliminating pluralism, but to ensure that the competing groups tolerate each other. And I think part of what is stage in this litigation is really making sure that social rules are applied in wise to protect everyone. Let me just…, you’ll see this at more length in the written document, one of really interesting things that’s happening that there is a great deal of new empirical world that is emerging, other has been studies a large number of nations, there are multiple studies that have been integrated and compiled but there is an empirical study analizing this 143 countries that demonstrate that government afford to constrain religious freedom in ….conformity are in fact the single most significant factor living into religious violence. This is very surprising thing because very often the first instinct of those in command of government when they start seeing tension is the same we have to calm down, we have to exert control. But there is melting evidence that in fact what happen is that as those control or impose it further social tensions and actually compound the problem. We cannot leave that for that there is more information in the document will be submitting but this is very interesting and very new empirical finding. It is also clear and I think it is very important to note that the recognition of the stibilizing role of religious freedom in society is not merely a 14
modern or western or secular insight. The world's great religious traditions have all recognized this fundamental principle, this insight lies behind one of the most profound teachings from the Qur 'an: "there is to be no compulsion in religion. I think that there are many teachings within Islam, within every major traditions that teach the significant of giving people choice, of giving people opportunities, and building on that, and one of the powerful thing is that as religious choice and religious commitment is recognized. This strengthen the overall society. I have extended quotation from number of sources including the Qur 'an that underscore that point. Let me move on and look at the notion of international religious freedom and where the problem arise with what I will call the challange provision that is the article 1965 Presidential Enactment and the relevant provision of the Pino code. Two or three things are very important in line. First, the range of religion and belief system that is covered by the international instrument is very broad. UN human right committee which is the body charged with carrying out the implementing the International Covenant on Civil and Political Rights has stressed that the notion of religion is not limited to traditional religions or to beliefs with institutional characteristics or practices and now traditional religion that is the scope of religion is very broad and include the great world religion, Islam, Christianity, Judaism, Buddhism, Hinduism, Confucianism, and so forth but it also included there are sub-divisions, include new religious movement, include sinchritistic group, and include folk religion, the notion is very broad and intended to give protection to everyone. As to the substantive scope of the right to freedom of religion or belief, again it’s clear on the one hand that different countries implement these in different ways obviously the cultural situation in Indonesia is different than in Africa or Europe or other places and these differences need to be taken into account. On the other hand there is now tremendous story of human experiences with common problem that we all face and these help set minimum standard which is involved and covered what I call the normative core of freedom of religion or belief, and again this is gone into much greater detail there are things like the internal freedom or forum internum, external freedom, the right to manivest one of religion, the non coercion principle, non discrimination, rights of parents and guardian in raising their children, corporate freedom or religious autonomy or religious community, institution, limit on permissible restriction on external freedom, and the fact this is one of the non derogable rights, this is relatively few of the rights in the human rights corpus that are non derogable but relatively is one of them, means this principle apply even in condition of national emergency.
15
Now, I’m going to …due to the time, I can come back and talk to any of the others, there is few aspects of the core religious freedom, I think the most important thing to do is to stress the limitation clauses because of the matter of fact these are where many of the international issues are resolved and this would provide the bases for looking at the other principle. Essentially under the International Covenant on Civil and Political Rights, it is important to understand the right or not unlimited but the limits are very nearly confined when has to meet three basic principles. First, in order for a restriction or limit on freedom of religion to be permissible, it has to be prescribed by law and this can’t to be understood the meaning it has conform to the rule of law both in the sense there is formal law governing or accurasing the limitation and also there is…,the law is clear, these people do warning , it has the quality of characteristic to the rule of law and so an initial point about the challenge provision that were dealing with today is they are fake, they opened up possibilities of discretion, and so their problem with quality of dimension of the prescribed by law test. So that’s one of initial problem. The second thing that the rules need the restriction on religious freedom needs to do to be legitimate, it has to further one of the permissible goals and this is familiar but public health, safety, public order, morals, and the right third parties. But it is not enough for limitation to fit in one of those categories, it has to be truly necessary, and into that to be the case has to meet proportionally test that is the advance test to genuinely be more wighted than the very fundamental rights to religious freedom that have been potentially over written , there has to be …, well very quickly provision can be discriminatory, discrimination is not necessary, law has to be nearly tailored if narrower version of the law that impose the esser burden than that’s….that means the law is not really necessary, obviously contra protective measures or not really necessary and also limitation that appreciate…I think one of the things is one look at these challenge provisions, they have numerous problem with these vary characteristic. Again, in few of the time I think I should move quickly but let me just turn to one of other type of limitation, this is article 20 of the International on Civil and Political Covenant, article 20 authorizes some limitation on speech and expression but again under narrow circumstances whether as we can see of national, racial or religious hatred they constitute incitement to discrimination, hostility or violence. And I think one of the things that spent emerging internationally is the importance of racing this incitement test to high level in very concern to make sure that if expressive rights are going to be jeopardized that only happen when there is real …harm being threaten, again this will be look at in more detail, let me just said very quickly then I understand….
16
47.
PENERJEMAH: Pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa, merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan kesaksian di pengadilan ini. Dengan penduduk muslim yang terbesar di Indonesia, Indonesia memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangan hukum dan keadilan. Baru-baru lalu saya menghadiri sesi PBB, sesi Dewan HAM PBB di Jenewa dengan pelapor khusus PBB untuk kebebasan agama, keberagaman dan keyakinan dimana yang menyampaikan laporan tahunannya. Wakil-wakil resmi dari seluruh dunia hadir di situ. Dan di situ ada perhatian yang sangat besar yang diberikan ketika delegasi Indonesia menyampaikan kepada yang hadir mengenai perkembangan di Indonesia. Saya akan membacakan beberapa pernyataan. Tahun ini saya rasa persoalan kebebasan beragama Indonesia akan sekali lagi diuji bahwa ada permohonan dari beberapa pihak untuk mencabut Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 mengenai Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Sekali lagi itu adalah pernyataan dari delegasi Indonesia. Undang-Undang Tahun 1965 yang disahkan pada masa pemerintahan Soekarno telah lama dikritik sebagai bersifat diskriminatif karena hanya mengakui 6 agama di Indonesia. Juga dianggap sebagai mencampuri kehidupan pribadi keagamaan, warga negara karena Indonesia adalah negara demokratis yang diatur oleh rule of law atau supremasi hukum, pencabutan undang-undang ini yang sedang dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selama 3 bulan para ahli, penganut keagamaan dan saksi-saksi telah menyampaikan pendapat demi kemanusiaan terkait persoalan ini. Dan keputusan akan disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat. Dan Anda melihat bahwa perhatian dunia akan tertuju kepada Mahkamah ini, terkait persoalan ini. Sebagai profesor dan ahli di bidang hukum komparatif, saya telah terlibat dalam hubungan antara hukum dan agama di belasan negara. Dan saya khusus telah mendapatkan kehormatan untuk berkunjung ke Indonesia dan bekerja mengenai persoalan ini. Saya Harap ini dapat disampaikan sebagai somasi kedua dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dan ini mungkin akan memberikan analisis lebih lengkap dalam waktu yang secara singkat yang saya miliki sekarang ini. Saya terkesan oleh pengalaman Indonesia sebagai negara yang mayoritas Islam dan agama-agama lain juga di sini. Indonesia telah memainkan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan HAM dan rule of law atau supremasi hukum sebagai dasar bagi masyarakat yang moderat realisis dan stabil. Dan ini menunjukkan peran positif kebebasan beragama yang dapat dimainkan di dalam negara yang mempunyai komitmen kuat pada nilai-nilai keagamaan. Dan hal ini
17
Indonesia mau tidak mau memiliki peran yang memimpin di.., baik dunia Islam maupun di luar itu. Sebagai cendekiawan dan juga sebagai ahli kitab sendiri, saya telah melihat dan saya yakin mengenai pentingnya suara keagamaan dalam membentuk politik dan juga membentuk masyarakat yang moral. Sebelumnya saya mau mengatakan bahwa kesaksian saya ini adalah merupakan sebagian singkat saja yang sebelumnya akan saya sampaikan lebih lanjut. Dan nanti akan kita sampaikan kepada Mahkamah Mulia dan akan kita terjemahkan juga secara lengkap. Jadi waktu singkat yang saya miliki tentunya saya ingin supaya waktunya lebih lama namun sepertinya banyak saksi lain yang dihadirkan. Saya hanya akan mengupas, mengulas singkat mengenai, mengapa Penetapan Presiden tersebut tidak konsisten dengan standarstandar hukum internasional juga beberapa hal mengenai tren tentang hukum komparatif di bagian-bagian lain dunia tentang hal ini. Indonesia telah mengambil langkah-langkah penting seperti negara-negara lain dalam 20 tahun terakhir. Terjadi perkembangan yang baik terkait demokrasi dan HAM dan juga ada ketentuan-ketentuan baru dalam konstitusi, juga Undang-Undang HAM telah disahkan antara lain. Indonesia juga telah mengakses kovenan hak-hak sipil dan politik. Dan pemahaman saya sesuai dengan Undang-Undang HAM tersebut, instrumen-instrumen HAM internasional menjadi atau akan menjadi bagian dari hukum dan perundang-undang Indonesia dan nampaknya itu menjadi apa yang dimaksud Pasal 2 dalam undang-undang tersebut. Dan ini juga perkembangan yang banyak terjadi di banyak negara yang mengakui pentingnya HAM dan mulai memberlakukan yaitu secara langsung dalam sistem hukum negara-negara dimaksud. Penting untuk memahami bahwa kebebasan beragama dan keyakinan tidak hanya terkait dengan kehormatan atau martabat individu namun ini merupakan dasar bagi tata pemerintahan yang baik dan juga tatanan sosial. Ini adalah kebebasan yang betul-betul masuk ke sanubari atau ke inti dari martabat manusia. kebebasan beragama sifatnya sangat mendasar karena banyak sekali hak yang bersumber dari hak tersebut, yang juga perlindungan-perlindungan hukum yang pada awalnya diberikan atas nama kebebasan beragama. Secara filosofis pun sifatnya mendasar karena ia melindungi sistem keyakinan kepercayaan yang komprehensif dan juga gagasangagasan lain yang bersumber atau diturunkan dari kebebasan beragama tersebut. Dan juga bersifat dasar secara institusional atau kelembagaan karena ia melindungi institusi-institusi, yang menerjemahkan nilai-nilai keagamaan dan moral tersebut ke dalam praktik di masyarakat. Salah satu hal yang jelas, kalau Anda lihat secara global ketika mulai terjadi perbedaan dalam keagamaan, ini biasanya menghasilkan suatu ketegangan dalam masyarakat. Seperti dikutip oleh Mahkamah HAM Eropa yang sering dikutip, walaupun mungkin saja ketegangan muncul dalam situasi dimana masyarakat keagamaan mulai terpecah, ini
18
suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindari dari pluralisme itu sendiri dan ini poin yang pentingnya bahwa peran dalam otoritas keadaan seperti itu adalah untuk menghilangkan penyebab ketegangan itu dengan menghilangkan pluralisme, namun menjamin bahwa kelompokkelompok yang saling bersinggungan tersebut dijamin keamanannya. Jadi dipastikan bahwa aturan-aturan sosial diterapkan dengan cara yang melindungi semua pihak. Anda akan bisa melihat ini di dalam makalah tertulis saya. salah satu hal yang menarik, perkembangan terakhir dalam pekerjaan.., penelitian empiris di banyak negara di dunia, juga ada banyak studi yang dikompilasi. Ada satu studi empiris yang menganalisis persoalan-persoalan ini di 143 negara yang menunjukkan bahwa peran negara, ketika negara berusaha membatasi atau memaksakan konformitas, itu biasanya menjadi hal yang paling utama yang justru menimbulkan ketegangan beragama. Jadi memang secara insting, orang-orang diperintah ketika mulai ada ketegangan kita harus mengatasi, itu harus segera mengendalikan hal tersebut. Dan kita memutus hal-hal tersebut, namun ketika mulai terjadi kendali seperti itu, hal ini justru semakin memperparah masalah lainnya dan menimbulkan ketegangan lebih tinggi. Dan pemaparan hal ini lebih lanjut akan saya sampaikan dalam makalah saya, namun ini adalah satu temuan empiris yang dari studi belakangan ini yang dilakukan. Juga jelas dan saya rasa penting untuk dicatat bahwa pengakuan mengenai peran kebebasan yang justru sifatnya stabilisasi, ini sama sekali bukan suatu gagasan modern atau dari barat atau apa. Agama-agama di dunia sudah mengakui prinsip fundamental, dan ini juga sudah ditemukan di dalam ajaran quran, yakni tidak akan ada pemaksaan dalam agama. Saya rasa banyak ajaran-ajaran, baik dalam Islam dan juga tradisi-tradisi besar lainnya yang mengajarkan arti penting memberikan pilihan kepada orang dan atas dasar itu kita membangun kerukunan lebih lanjut dan ketika pilihan dan komitmen agama ini diakui hal ini justru akan memperkuat masyarakat secara umum. Saya juga telah mengutip berbagai sumber termasuk quran di sini yang menggarisbawahi poin tersebut. Saya melanjutkan dan membahas mengenai gagasan kebebasan beragama internasional dan melihat dimana masalah-masalah mulai muncul dengan apa yang disebut ketentuan-ketentuan, misalnya dalam Penetapan Presiden Tahun 1965 ini serta ketentuan-ketentuan terkait lainnya dan KUHP. Dua atau tiga hal penting di sini yang perlu kita garis bawahi di sini. Pertama, cakupan sistem keagamaan yang dicakup oleh instrumen HAM internasional sangat bias. Komite HAM PBB yakni lembaga yang ditugaskan untuk melaksanakan, menjalankan ICCPR atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik telah menekankan bahwa gagasan keagamaan ini tidak hanya dibatasi pada agama-agama
19
tradisional atau yang umum atau keyakinan yang memiliki karakteristik internasional yang mirip dengan agama-agama tradisional. Cakupan mengenai agama itu adalah lebih luas, sangat luas. Juga selainn mencakup agama-agama besar dunia Islam, Nasrani, Yahudi, Zudaisme, Hindu Budha dan Konfusianisme juga mencakup agama-agama yang termasuk sub divisi dari agama- agama tersebut. Termasuk gerakan keagamaan baru, gerakan keagamaan singkritesme, juga mencakup agama-agama tradisional folklore, agama adat dan cakupannya sangat luas dan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada semua orang. Dan sebagai.., sekali lagi jelas bahwa di satu sisi berbagai negara mendefinisikan hak-hak ini secara berbeda, tentunya situasi kebudayaan di Indonesia berbeda dengan misalnya di Afrika, Eropa atau tempattempat lain di dunia dan perbedaan-perbedaan itu juga perlu untuk dipertimbangkan. Sebaliknya, sekarang ada juga pengalamanpengalaman kemanusiaan dengan masalah-masalah umum yang kita hadapi sekarang dan pengalaman ini telah membantu standar minimum apa yang saya sebut sebagai inti normatif dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dan di sini saya bahas lebih detail lagi di dalam, forum internum, kebebasan internal, kebebasan luar atau hak untuk menyebarkan agama atau menjalankan agamanya, prinsip tidak adanya paksaan hak orang tua dan pengasuhan untuk mendidik anak, otonomi keagamaan, masyarakat keagamaan tertentu juga batasan-batasan mengenai limit dari pembatasan yang diizinkan, juga ini merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi atau non derogable. Atau sedikit hak dalam HAM yang sifatnya non derogable atau tidak bisa dikurangi dan hak untuk ber keyakinan juga ada salah satu dari haknya. Dan ini pun berlaku dalam keadaan darurat nasional. Saya akan segera mengakhiri kesaksian saya dan saya akan kembali mengenai ini di Mahkamah saya, saya akan mengulangi sekali lagi inti dari kesaksian saya. Hal yang paling penting adalah saya akan menekankan mengenai ketentuan-ketentuan pembatasan. Ini adalah tempat dimana persoalan internasional banyak diselesaikan dan ini akan menjadi dasar untuk melihat prinsip-prinsip yang lain. Dan pada intinya di bawah kovenan hak-hak sipil dan politik. Penting untuk memahami bahwa hak-hak tersebut tidak tak terbatas. namun batasan-batasannya sangat sempit dan harus mengikuti tiga prinsip dasar. Yakni pertama ada pembatasan terhadap hak beragama, untuk dapat didiskusikan itu harus diatur undang-undang namun itu harus sesuai dengan the rule of law baik dalam segi ada undang-undang formal yang resmi, yang mengizinkan pembatasan tersebut. Namun juga bahwa undang-undang tersebut juga harus jelas, harus memiliki suatu sifat yang mencerminkan rule of law tersebut atau supremasi hukum. Dan mengenai ketentuan-ketentuan yang sedang diajukan untuk dicabut sekarang adalah bahwa ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya tidak jelas, sifatnya.., jadi di situ dimensi kualitatif
20
tersebut tidak sesuai dengan rule of law. Jadi itu adalah suatu masalah awalnya. Masalah keduanya mengenai pembatasan kebebasan keagamaan tersebut supaya dapat sah sifatnya yakni harus dapat memajukan salah satu tujuan yang diizinkan misalnya kesehatan masyarakat, keamanan, namun tidak cukup bahwa salah satu pembatasan tersebut masuk dalam kategori tersebut harus benar-benar penting dan karena untuk itu harus dapat melewati uji proporsionalitas, yakni bahwa kepentingan yang dibela atau dimajukan harus lebih luas, juga harus..,. Secara singkat saja ketentuan tersebut tidak boleh bersifat diskriminatif. Undang-undang tersebut harus dirancang secara sangat, diatur secara sangat sempit, sehingga dalam hal ini undang-undang tersebut tidak sangat diperlukan, juga langkah-langkah kontra produktif juga tidak diperlukan. Satu hal, saya rasa dalam ketentuan-ketentuan yang dimohonkan sekaran untuk di.., ada banyak masalah dengan karakteristikkarakteristik undang-undang tersebut. Barangkali saya akan segera maju. Satu jenis pembatasan lain adalah Pasal 20 dari Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasional. Pasal 20 tersebut mengizinkan pembatasan-pembatasan tertentu atas kebebasan berpendapat, namun juga dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus yakni yang bersifat misalnya menyerukan kebencian, diskriminasi dan kekerasan misalnya. Dan satu hal yang penting untuk di tingkat internasional adalah, kita perlu menguji misalnya hak-hak kebebasan berpendapat tersebut hanya akan.., apabila ada ancaman nyata dari dan segera yang akan muncul, yang diakibatkan kebebasan berpendapat tersebut. 48.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Mr. Durham, bisa segera masuk ke…, bisa segera diakhiri untuk masuk ke closing statement ?
49.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Okay, let me just say that one of the thing striking is that if you hold this law, this challenge provision unconstitutional, giving the fact that there are other hate speech law that remain in place you will be inline with the fundamental direction that things are moving in the rest of the world that is what happening is that blasphemy heresy laws are increasingly in the past, in the west, around the world to extent such law remain very carefully restricted and the better practice seems to be to move toward narrow world better tailored laws that addressed the real problem here that sometimes there is hateful language or explosion or whatever in that real opportunity here is to move Indonesia forward well
21
in the same time protecting the central concern in sensibility of religious communities. Thank you, thank you very much and again there is much fuller exploration in this issues in the written testimony. 50.
PENERJEMAH: Satu hal yang penting untuk dicatat di sini apabila undangundang ini dianggap tidak konstitusional dengan menimbang bahwa masih ada kebencian lain yang tetap akan ada, maka sesungguhnya Anda masih akan berjalan dengan ketentuan-ketentuan lain di tingkat internasional. Kalau kita melihat bahwa Undang-Undang mengenai Penyimpangan atau Penodaan, undang-undang tersebut ada dipertahankan namun sangat khusus, sangat sempit. Jadi praktiknya adalah untuk lebih mempertajam hukum-hukum tersebut yang dimaksudkan untuk mencegah masalah-masalah real yang ada. Misalnya bahasa yang berisi kebencian atau ujaran yang menghasut. Ini menjadi suatu kesempatan yang baik bagi Indonesia untuk lebih maju, namun pada saat yang sama melindungi sensitifitas masyarakat keagamaan yang ada. Terima kasih banyak. Pembahasan lebih, detail, lebih lengkap bisa ditemukan dalam makalah yang akan saya presentasikan.
51.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Pak Durham. Penjelasan Anda cukup jelas kami tangkap tapi kami…, tetaplah di situ kami akan mengundang beberapa pihak kalau mungkin ada yang ingin bertanya kepada Anda. Ini nampaknya banyak yang ngacung, dari Pemerintah ada, kemudian dari Pihak Terkait, mungkin bisa dibatasi. Dari Pemerintah, kemudian dari Majelis Ulama, kemudian dari PBNU, dan dari FPI. Singkat saja ya, singkat saja. Silakan, Pemerintah.
52.
PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG DARI MENKUMHAM UNTUK PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Kepada Ahli barangkali ada yang lupa, singkat pertanyaannya, apakah Ahli sudah membaca secara seksama konstitusi atau UUD 1945? Hal ini kaitannya adalah ada hal-hal yang berkaitan dengan… hak-hak yang bersifat derogable rights atau non derogable rights. Apakah Ahli sudah membaca secara seksama juga bahwa setiap negara diberikan
22
atau patokannya adalah batu ujinya dalam setiap undang-undang itu dengan Undang-Undang Dasar? Saya minta Ahli membaca secara seksama juga di samping Pasal 28I ayat (1) juga Pasal 28J ayat (2). Bagaimana pendapat Ahli tentang hal ini kaitannya dengan pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965. Terima kasih, Yang Mulia. 53.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, dicatat dulu setiap pertanyaan. Biar semua bertanya dulu. Persilakan sekarang dari PBNU.
54.
PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Terima kasih, Yang Mulia. Apakah diperkenankan untuk bertanya langsung dalam Bahasa Inggris?
55.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Tentu diperkenankan. Silakan.
56.
PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Terima kasih. Good evening Prof. Durham. After hearing your
expert opinion I have some question as well as comments to your expert opinion. I have read three books of yours and from that books I have some questions. First, do you have any experience or research on religious freedom within countries or communities which is not based on Christianity culture or tradition ? Because as far as I know your expertise is from religious freedom research within countries and communities wich is influenced by the Christianity tradition or religion. My second is that is there actually any universal formula or interpretation on religious freedom ? Because if we see from the constitution for example if we compare to the constitution between the US Constitution and the Irish Republic Constitution we see totally different direction. Even in the US itself we think is liberal we do not see as liberal as we think. From the well-known case the employment division of the State of Oregon versus Alfred Smith we can see…. 57.
PENERJEMAH: Setelah mendengar pendapat Anda saya ada beberapa hal. Saya sudah membaca tiga buku Anda. Saya juga ada beberapa pertanyaan yang terkait itu.
23
Yang pertama, apakah Anda ada pengalaman mengenai kebebasan beragama di dalam negara atau masyarakat yang tidak didasarkan pada kultur Kristen atau tradisi Kristen. Karena setahu saya keahlian Anda adalah seluruhnya dari negara-negara dan masyarakat yang dipengaruhi oleh tradisi Nasrani atau agama Nasrani. Pertanyaan saya yang kedua, apakah ada formula universal mengenai kebebasan keagamaan. Karena kalau kita lihat dari konstitusi, misalnya kalau kita membandingkan dengan Konstitusi Amerika atau Republik Irlandia, saya melihat arah yang sama sekali berbeda bahkan di Amerika sendiri yang kita sangat liberal. Kita melihat ini tidak terlalu liberal sebenarnya, misalnya dalam kasus State vs.., 58.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Hallo, sorry, I am back. 59.
KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Mohon maaf Majelis, sepertinya tadi terputus.
60.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Diulangi, Pak. Tadi terputus. Pertanyaan yang kedua saya kira.
61.
PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI
Is there any universal formula or interpretation about religious freedom which can be applied for all countries in the world? If we compare the US from constitutional perspective, if we compare the US and the Irish Republic for example we can see that there is a different direction on the issue of religious freedom, even in the US itself from the case from the well known or landmark case employment division the state religion versus the Alfred Smith which I believe you also give your comment after the judgment from the US Supreme Court, the freedom of religion is not broad as we think. So that is the question. 62.
PENERJEMAH: Apakah ada formula universal tentang kebebasan keagamaan yang dapat diterapkan kepada seluruh negara di dunia. Kalau kita membandingkan Amerika dengan Irlandia, misalnya dalam konstitusi mereka kita bisa melihat bahwa ada arah yang berbeda terkait persoalan kebebasan keagamaan. Bahkan di Amerika sendiri kita lihat kasus Employment the State of Religion melawan Afred Smith yang saya rasa Anda pun mungkin sudah pernah baca sesuai dengan Keputusan
24
Mahkamah Agung Amerika, kebebasan keagamaan itu rupanya tidak sebebas yang kita kira. Itu pertanyaan saya, demikian pertanyaan saya. 63.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, berikutnya dari Majelis Ulama Indonesia.
64.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA & FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ANDAN, S.H. Terima kasih, Yang Mulia.
If it is pleased the court I would like to direct my question directly to Mister Cole. We spoke about the freedom religion, let me go into the record by saying that our existing blasphemy law have survive for nearly forty-five years. And under the law, the Christian minority and the Catholic minority in this country have enjoyed the liberty to worship and practice their religious duty. My question is, making reference to your constitution in the United States, would the Moslems in US can enjoyed same freedom as minority religion in Indonesia? I mean, can we, I am speaking about the freedom of religion in the workplace. Can Moslems as minority in the United States can worship and can practice our religious duty without the fear of being pirated or being prosecuted by the government or being harassed by the community? As you can see Moslem has the duty to perform Friday prayer, can we perform this sort of duty in the United States without being taking disadvantage to our career as an employee or how do we perform such duty in school? I am talking about the freedom of religion in workplace and in school. What about polygamy? Polygamy in your country is a felony, while for Islam is part of the teaching or at least is allowable by our religion. Now, how do the government address such a contradictory issue? How can we perform this teaching or can we practice polygamy in your country while in your country is a felony? May I remind you of the case between Renault in the United States of America, where your Supreme Court had concluded that performing religious duty is not a suitable defense to avoid indictment ? Now what is your take in this issue, sir? 65.
PENERJEMAH: Pertanyaan langsung dalam bahasa Inggris. Anda tahu tentang kebebasan keagamaan. Saya ingin supaya dicatat bahwa Undang-Undang Penodaan kita sudah bertahan selama 30 tahun. Dan sesuai dengan hukum tersebut minoritas Kristen dan minoritas Katolik di negara ini telah menikmati kebebasan untuk menjalankan agamanya.
25
Pertanyaan saya adalah, merujuk kepada konstitusi Anda di Amerika, apakah orang Islam di Amerika juga dapat menikmati kebebasan keagamaan seperti agama minoritas di Indonesia? Dan di sini saya berbicara mengenai kebebasan keagamaan tempat kerja, apakah seorang Islam di Amerika dapat menjalankan ibadah keagamaannya tanpa rasa takut untuk diganggu atau diadukan ke polisi? Sebagaimana Anda lihat, misalnya orang Islam menjalankan ibadah shalat Jumatnya. Bisakah kita melakukan kewajiban agama tersebut di Amerika Serikat tanpa dirugikan di tempat kerja kita dari segi karier misalnya. Atau bagaimana kita bisa menjalankan di sekolah, dan ini saya bicara mengenai kebebasan agama di tempat kerja dan di sekolah. Lalu bagaimana dengan poligami? Poligami adalah kejahatan di negara Anda sementara dalam agama Islam ini merupakan ajaran dari agama atau setidaknya diizinkan oleh agama Islam. Bagaimana negara akan menanggapi persoalan kontradiktif tersebut? Bagaimana kita bisa menjalankan ajaran ini atau bisakah kita menjalankan poligami di negara Anda dimana ini adalah kejahatan misalnya kasus Renault Vs United States, dimana Mahkamah Agung Anda memutuskan bahwa itu merupakan kejahatan, bahwa itu digunakan untuk membela. Anda juga mengatakan, saya tidak tahu bahwa Anda telah membaca mengenai Undang-Undang Penodaan yang kita miliki namun undang-undang kita tidak membatasi agama apapun, agama manapun. Kami mengakui adanya enam agama yang ada tapi memang tidak diakui, tidak dinyatakan dalam undang-undang tersebut yang membatasi agama itu sendiri. Kembali ke persoalan poligami, apakah hal ini akan merupakan pembatasan terhadap kebebasan agama Islam? 66.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Persingkat, Pak.
67.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA & FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN, S.H.
Okay, you spoke about the range of religion. You spoke and you stated it that the international terms provided better scope. I do not know if you have read the law, our existing blasphemy law or not, but our existing law, our blasphemy law does not restrict any religion or what so ever. We do recognize the existing six religions but there is nowhere in the law that restrict, put restriction on religion. Going back to that polygamy issue, my question to you sir, would it this be an infringement to the freedom of religion in perspective of Islam? Thank you, Your Honor. 26
68.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Oke, Pak Munarman. Oh, silakan.
69.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Terima kasih. Yang pertama tadi Anda menyebutkan bahwasanya delegasi dari Indonesia menyebutkan hanya mengakui 6 agama saja berdasarkan peraturan yang tengah kita bahas sekarang ini. Saya harus menyampaikan kepada Anda atau mungkin mempertanyakan kepada Anda apakah Anda sendiri sudah membaca PNPS Nomor 1 yang sedang di-judicial review-kan ini? Karena kalau Anda membaca dengan teliti sebetulnya bukan mengakui 6 agama saja tetapi hanya menyebutkan bahwa ada 6 agama yang pada umumnya dipeluk atau dianut, tidak berarti kemudian membatasi pada pengakuan terhadap 6 agama itu saja. Kemudian secara umum tadi Anda mengatakan tentang adanya standar minimum dari hak asasi manusia, kemudian dari situ Anda juga membicarakan tentang kebebasan beragama, tidak adanya pembatasanpembatasan terhadap orang untuk memeluk agamanya, dan seterusnya. Saya melihat, statement ini agak membingungkan, dalam konteks apa yang dituntut oleh Pemohon. Mengapa? Inti dari undang-undang ini sama sekali tidak membatasi persoalan-persoalan kebebasan beragama seperti yang Anda sampaikan tadi itu. Dia hanya membatasi pada satu perbuatan-perbuatan tertentu yang bisa justru melanggar orang untuk bebas beragama di Indonesia. Orang tidak boleh menodai agama orang lain. Orang tidak boleh menafsirkan tentang hal-hal yang menimbulkan suatu pelanggaran terhadap norma-norma pokok atau kaidah-kaidah pokok dari suatu agama. Itu sama sekali tidak berbicara tentang masalah menganut kebebasan beragama. Saya ingin Anda clear dalam persoalan ini, apa sebetulnya yang ingin Anda sampaikan? Apakah Anda tidak setuju adanya suatu pengaturannya, suatu pengaturan tentang blashpemy, sesuatu yang diatur di banyak negara-negara Barat juga ataukah Anda tidak setuju dengan cara pengaturannya? Yang mana yang Anda ingin katakan sebetulnya? Karena saya lihat satu sisi Anda menghormati berbagai bentuk keterlibatan Indonesia di dalam HAM dan keagamaan tapi sisi lain Anda mengkritisi seolah-olah Indonesia belum mencapai suatu taraf tertentu di dunia internasional dalam melakukan perlindungan HAM terhadap warga negaranya.
70.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, langsung pada pertanyaannya, Pak.
27
71.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Jadi inti yang paling utama yang ingin saya tanyakan pada Anda adalah apa sebetulnya yang Anda katakan? Anda setuju tidak adanya suatu pengaturan? Ataukah Anda ingin mengatakan pengaturannya yang ada sekarang ini belum sesuai dengan standar internasional? Terima kasih.
72.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, Pak Munarman jadi? Singkat Pak, ya?
73.
PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H. Ya. Terima kasih Majelis. I just have one question. I think you
already the..., PNPS, Mr. Durham, PNPS Number 1/1965. Could you like explain to us which of part of sentence in PNPS discriminate for religion or group on religion? I think thats all my question. Thank you. 74.
PENERJEMAH: Saya ada satu pertanyaan saja. Saya rasa Anda telah membaca Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965. Bisakah Anda menjelaskan kepada kami, bagian mana dari kalimat undang-undang tersebut yang mendiskriminasi agama tertentu atau kelompok agama tertentu? Itu pertanyaan saya.
75.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan (…)
76.
PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM KHAN, S.H. DDI, belum Pak. Dewan Dakwah. Sedikit saja.
77.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, to the point saja ya?
28
78.
PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM KHAN, S.H. Terima kasih, Yang Mulia. Mr. Durham, tadi Anda sedikit mengutip soal masalah apa yang ada di Al-Baqarah ya, cuma tidak dijelaskan ya, bahwa Islam tidak memaksa dalam beragama. Artinya begini Mr. Durham, bahwa HAM yang sudah ada itu banyak mengadopsi dari aturan yang ada di Al-Qur’an dan itu harus diakui oleh Anda. Nah, sekarang yang justru saya bingungkan di sini, Anda mengatakan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 adalah bentuk diskriminasi. Padahal dalam Undang-Undang HAM yang juga diadopsi, yaitu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, Pasal 70 itu sudah kelas sekali, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta kehormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil serta sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis” Di sini jelas, Undang-Undang Nomor 1 dari Pasal 1 sampai 4 ini sudah rasional. Nah, Anda mengatakan diskriminatif. Apakah seluruh pasal ini sudah Anda baca? Saya kira itu saja. Terima kasih, Yang Mulia.
79.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, terima kasih. Masih ada? Singkat saja Pak. Singkat saja.
80.
PIHAK TERKAIT (BASSRA) : K.H. NAIRUL ROCHMAN
Assalamualakum wr. wb.
Menurut Bassra, PNPS itu diadakan biar tidak ada ketegangan. Sedangkan Bapak Profesor tadi mengatakan, “ketegangan dalam masyarakat terpecah.” Justru dengan adanya PNPS ini Bapak, ketegangan tidak ada di Indonesia dan terbukti sudah. Saya ingin bertanya, kalau seumpamanya nanti, apakah menjamin kalau PNPS ini dicabut terus ketegangan tidak ada? Tambah qubro. Karena Islam sendiri kalau seumpamanya ada orang yang mencaci maki, menodai pokok-pokok agama Islam itu paling tidak pertama kali disuruh bertobat 3 hari. Kalau tidak mau, dibunuh itu. Tapi, dengan adanya PNPS ini umat Islam mayoritas sadar diri maka meredam diri untuk diserahkan pada yang berwajib. Sekian, Asallamualaikum wr.wb.
29
81.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. (…)
82.
Baik, saya anggap cukup. Pertanyaan saya kira sudah mewakili
KUASA HUKUM PEMOHON : ADAM M. PANTAUW, S.H. Maaf, Majelis. Dari Pemohon belum.
83.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dari Pemohon, silakan.
84.
KUASA HUKUM PEMOHON : ADAM M. PANTAUW, S.H. Ya, pertanyaan kami, tadi ada disebutkan tentang diskriminasi. Kami ingin Prof. Cole Durham menjabarkan lebih jauh tentang apa yang dimaksudkan dengan diskriminasi menurut Hukum HAM Internasional dan bagaimana Beliau melihat bahwa undang-undang ini memang diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip atau uraian tentang diskriminasi yang ditemukan di dalam Hukum HAM Internasional tersebut. Tadi dikatakan bahwa memang undang-undang tidak melarang adanya agama-agama di luar dari 6 yang disebutkan atau yang lain-lain. Namun, apakah pembedaan atau pengutamaan bisa dikatakan sebagai diskriminasi atau tidak? Yang kedua, Prof. Cole Durham juga adalah seorang ahli hukum selain ahli kebebasan beragama. Nah, menurut Prof. Cole Durham, apakah Prof. Cole Durham melihat bahwa dari kacamata hukum, dari perspektif hukum ini, hukum ini sudah ketat memberikan definisi dari apa yang disebutkan dengan penodaan atau dengan menyimpang, sehingga memberikan kepastian hukum? Dan apakah kepastian hukum juga merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam instrumen internasional? Terima kasih, Mejelis.
85.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik dianggap cukup semua (…) sekalian kalau Hakim ada, sekarang jangan ditunda nanti sekaligus menjawab, silakan sekarang, Bapak.
86.
HAKIM ANGGOTA : DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM. Dalam catatan saya kepada Prof. Cole, ada 4 pertanyaan; pertama bahwa ini selaku pendahuluan bahwa kita tahu bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang fundamental dijamin
30
konstitusi. Deklarasi HAM dan Kovenan Internasional Sipil dan Politik (ICCPR) bagaimanpun sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19 ICCPR “Kebebasan berekspresi juga kebebasan beragama merupakan sebuah hal yang mutlak dapat dibatasi dengan hukum dalam keadaan-keadaan tertentu yaitu untuk menghormati hak dan reputasi orang lain. B. untuk menyelamatkan keamanan negara dan ketertiban umum atau kesehatan masyarakat dan moral.” Yang Saudara kutip tadi, tentang Pasal 20 ICCPR yang merupakan inti kesimpulan Saudara bahwa itu memperbolehkan segala bentuk upaya hukum nasional terhadap bentuk-bentuk rasis atau kebencian agama yang membentuk gejala untuk diskriminasi, kekejaman, atau kejahatan. Pasal-pasal tersebut sebenarnya disimpulkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan beragama. Kebebasan ini dapat dibatasi oleh alasan yang dikemukakan oleh ICCPR untuk mencegah penodaan agama. Pertanyaannya adalah apakah pembatasan pengakuan atas agama untuk melindungi agama yang ada di Indonesia dari penodaan adalah juga diterima dalam hukum internasional? Dan kalau itu diterima, bagaimana praktik pembatasan ini berlaku di negara-negara lain di dunia? Apakah limitation ini, a these kind of limitation is a part of discrimination? Apakah pembatasan ini masuk dalam bagian diskiriminasi? Ini pertanyaan pertama. Yang kedua, Anda tentu setuju bahwa semua orang menghormati kebebasan beragama dalam hal keyakinan dan agama adalah sama pentingnya dengan menghormati hak dan reputasi orang lain. Lalu sebagai negara yang berdasarkan demokrasi dan negara hukum, Pemerintah Indonesia telah memiliki hak untuk melakukan intervensi dan pembatasan atas ekspresi kepercayaan jika terbukti menimbulkan kekacauan dalam masyarakat atau dengan tujuan untuk melindungi ketertiban umum. Ini pertanyaan yang kedua. Nah, pertanyaan yang ketiga, ini saya langsung saja saya catat dalam Bahasa Inggris ini, we all know the standard of defamation of
religion in many countries are different in application, but same in the substance. In Malaysia, India, United States even Europe, the standard of defamation is so related to the sociological, historical, and moral issue that live in every state. So, using the protection that article 19 and 20 of ICCPR, give under international law. Can those article 19 and 20 of ICCPR can be transformed and interpreted based on the local and national characteristic of state ? Itu pertanyaan yang ketiga. Pertanyaan yang keempat itu adalah how the defamation resolution applied in many country in the world? In how Blasphemy Act can be protected this kind of defamation? Bagaimana defamation resolution berlaku di negara-negara di dunia? Dan bagaimana Undang-
Undang Anti Penodaan Agama dapat mencegah penodaan tersebut? Ini
31
keempat pertanyaan ini, itu yang notabene penting sekali di dalam kesimpulan, statement Saudara di dalam keahlian Saudara ini. Terima kasih, Pak. 87.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, sudah mewakili semua pihak, dari Pemohon sudah, Pemerintah sudah, Pihak Terkait sudah, Hakim sudah. Kepada Pak Durham diberi waktu 10 sampai 15 menit untuk menjawab semua pertanyaan itu tadi dan tidak harus menjawab hal-hal yang tidak relevan dengan pokok perkara. Silakan.
88.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Perhaps I can start with the question from the judge because they embrace many of the other question and then I will proceed to the other. I hope that I understood the question properly, first question as I understood that we know that there are limits in some ways this one through many of the question, one of the things I think that is important to understand and sometimes forgotten as important as freedom religion is there are limits and that’s what being refered to here and we now have, almost two century of experiences wrestling with how to applied this limit. This is part of why there are differences in the way cultures apply this, but what I can tell you is, well there are certain things that allowed lots of flexibility, and different, adjustment in the individual circumstances. There are some core principles that seem to apply across the world. As I understood that there were references to article 20 in fact that blasphemy norms in other parts of the world, again as I stated briefly and my testimony and this is dealt with much greater details in the written submission. It is true that there are where have been historically laws in many parts of the world dealing with this issue but what’s happening is that very few of this blasphemy or heresy laws are being applied anymore because it recognizes that this interfere with freedom of religion, after all one person belief maybe another person heresy. And so part of having freedom of religion is the fact that one can have differences of belief. Now, one of the point was made and this was the second point is that the state has authority when this limitation provision arise to deal with problems but then the point was made, well if there are tension or public order problems then the state can interfere. This is the real issue. What count the public order as public order violation for purposes of dealing with these questions. Is the fact that certain order religious groups offense more dominant groups in creates some tension because is that a basis for public order constrain.
32
Now this is the problem added in sense that it could means,… if this is enforce inappropriately what happen is that dominant group uses the public order rational to treat another group unfairly. It seems to me for example, this is preciously what happened with the European court of human rights in the head scarf’s cases, both in Turkey and France. The claim was the head scarf was public order problems. I take it that some people in France or also Turkey were offended by people wearing the head scarf. Now who is causing the public order problems? Was the person of wearing head scarf or the person who didn’t like the head scarf ? And I think the quotation sight it early in my testimony from very famous European court case is the correct answer here. It is true that there will be tension, but tension are often part of pluralism and what really necessary is not to abolish the differences by insisting that people can form to similar kind of doctrines, what is important we find ways to live together. Now of course there are situation that are so explosive where you have immanent threat actual disturbance, a riot, where of course you need to have intervention police protection and so forth. But it’s very important that we not over authorized police intervention. With respect what’s happening to standard of defamation, one of the interesting is that even,… well two points need to be made here. First, there’s been a lot of talk globally about defamation of religion. I think there is a growing view that this is misapplication of defamation doctrine. It sound rhetorically good to say that we should defame religion and of course I think it’s holly morally inappropriate to insult another religious group, I think we need learn tolerant, we need to be respectful, on other hand we need to be careful about laws in this area because they can get in the way of discussion or learning about other religion, thinking about them, developing the argument in favor of our own religion, there are a lot of reasons why one needs to have openess and if you have a law to tightly looks at blasphemy, heresy, and so forth this restrict the amount of freedom that we have. And remind me of the famous statement by Voltaire about British, he said if there were if British had one religion it would be tyranny, if they had two it would be civil war, if they had thirty everything would be peaceful. In some there is some truth of that, is a little bit encounter and intuitive sometimes for people who are living in a whether is a dominant culture but the real threat to social peace and social harmony is coercion the price to force people to be what they don’t believe in, and for this reasons that state after state is abolishing the blasphemy laws, heresy laws, there have been left behind because there are not helpful what is finding more resonance is the idea of addressing hate speech of having a more merely targeted kind of set of rules to deal with the really inflammatory situation where people say really terrible and unjustified things and really inflame in cost genuine public disorder. 33
Let me go back to some of the other question, first of all there was a question about Article 28J. I take one of the question there, is the question about how the limitation are to be understood. In one of the interesting things about Article 28J is that refers to the fact that every person should have the duty to accept restriction for the sole purposes of, there are number of things, one of them is satisfying demand upon the consideration of morality, religious value, security, and public order. Now on its phase, 28J, looks slightly different than the typical international legitimating ground for limitation because there is the reference to religious value. But my senses, that inappropriate understanding of religious values here, lines up with moral values that is you need, that it is permissible to have limitation that based on morality and religious values understood in broad sense. Is very clear that UN human rights committee stated with respect the morality, legitimating ground in Article 18 (3) that the moral principle involve can nearly be reflection of one particular religious tradition. And it seems to me that probably the same understanding has to be the case here after all, first of all we know that there are religious values that is shared by many religious tradition and I think is the golden rules of moral reciprocity, the duty to care the stranger in our myths and so forth, and this rule can mean that everyone can limit everyone else’s right by their own religion because that of course would be self contradictory, would lead to discrimination. On the other hand, one can prefer one religion because that would of course be discriminatory. So if you just think about the very logic of this provision, one sees why it is, that you need to have religious moral values understood broadly. There were several questions from the Ulama Council. I am very honored that you read three of my books. I am worried that I might not adapt all of your question because of the interruption of the broadcast. You asked the question is there any universal formula that can be implied every where and you refer to decision in Smith case, the Peote’s case in our tradition which I think is a terrible decision. I guess on of the thing we have to remember, I hope this is not universal but a lot of,… we often make mistakes. I think the head scarf decision in Europe was the mistake. I think the Smith decision in our country was a mistake. One of the interesting things that happen is that over the long hall people come to understand that tolerance and respect for other people is a better approach than being restrictive. I think that is one of the thing that I sense when I’ve been in Indonesia as kind of hallmark of Indonesian hospitality, awareness of difference, tolerance, and I have a great sense that this court is going to be sensitive to those kind of deep Indonesian values as part of wrestling this cases. I think the reason I see discriminatory provision as I read the presidential decree of various provision, it talked about problems like if one group, those thing that resemble the religious activity of another, well it is hard to know what resembling means, that they can be applied 34
in discriminatory ways. There is several provision talk about that, the criminal code provision talk about that, again this things are there hard to apply but I think at deep level what we need to find is ways of having respect for each other in differences, we can gain from this differences and what really leads to stability and to elimination of tension is not trying to make people (…) 89.
PENERJEMAH: Barangkali saya bisa memulai jawaban dari hakim, daripada hakim karena mencakup banyak pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Mudah-mudahan saya memahami pertanyaan dengan benar. Jadi pertama sebagaimana saya pahami bahwa kita tahu atau menyadari bahwa memang ada batasan-batasan, dan tadi banyak sekali pertanyaan yang menyebutkan hal ini, saya rasa penting untuk dipahami dan sering sekali, bahwa bagaimanapun penting kebebasan beragama, memang ada batasan. Dan ini apa yang dimaksud di sini. Kita sudah ada pengalaman mungkin sekitar dua abad bagaimana menerapkan batasan-batasan ini. Itu mengapa, memang ada perbedaanperbedaan bagaimana budaya yang berbeda menerapkan hal ini. Saya bisa mengatakan kepada Anda, ada fleksibilitas atau penyesuaian untuk menyesuaikan dengan situasi tertentu. Namun tetap ada prinsip-prinsip inti yang berlaku di seluruh dunia. Prinsip-prinsip pokok yang berlaku di seluruh dunia. Kalau saya tidak salah memahami ada beberapa pertanyaan atau rujukan pada Pasal 20 dan juga rujukan bahwa mengenai Undangundang Penodaan di negara lain, di dunia. Seperti yang saya sampaikan dalam kesaksian saya. Di dalam makalah yang saya sampaikan secara tertulis dibahas lebih detail dan memang benar bahwa secara historis banyak undang-undang di banyak negara di dunia yang membahas mengenai persoalan ini, namun yang terjadi adalah sangat sedikit dari Undang-Undang Penodaan atau Undang-Undang Penyimpangan ini yang sesuai dengan hukum internasional karena itu dikatakan bahwa keyakinan satu pihak merupakan penyimpangan oleh pihak lain. Jadi intinya di sini adalah perbedaan keyakinan. Salah satu poin yang disampaikan. Poin yang kedua adalah negara memiliki otoritas ketika ketentuan-ketentuan pembatasan ini digunakan untuk mengatasi permasalahan yang timbul, yang muncul. Ketika ada masalah ketegangan atau ketertiban umum, di situlah negara bisa mulai turun tangan dan ini persoalan. Yang penting di sini adalah ketertiban umumnya, pelanggaran ketertiban umumnya. Dan itu relevan dan terkait dengan persoalan-persoalan ini. Yang relevan adalah bahwa kelompok-kelompok keagamaan, misalnya ada kelompok agama yang menyinggung kelompok yang lebih dominan dan itu menimbulkan ketegangan, apakah itu dapat dianggap
35
sebagai dasar untuk menerapkan aturan tentang ketertiban umum. Ini bisa menjadi masalah, yakni dalam hal bahwa, kalau ini ditegakkan atau dijalankan secara tidak tepat yang terjadi adalah kelompok yang dominan akan menggunakan dasar atau alasan ketertiban umum tersebut untuk memperlakukan kelompok minoritas secara tidak adil, dan ini persis apa yang terjadi di dalam Mahkamah HAM Eropa dalam kasus kerudung atau jilbab di Perancis dan di Turki. Apakah itu merupakan masalah ketertiban umum? Pertanyaannya saya rasa beberapa orang di Prancis juga di Turki mungkin ada yang tersinggung karena ada orang yang menggunakan itu. Jadi siapa yang menyebabkan gangguan ketertiban umum, apakah mengenakan jilbab tersebut atau orang yang tersinggungnya? Jadi ini saya mengutip dalam salah satu kasus yang paling terkenal di Eropa. Jawabannya yang benar adalah memang akan muncul ketegangan tapi ketegangan tersebut memang sering menjadi bagian dari pluralisme tapi yang penting adalah untuk tidak menghapus perbedaan dengan memaksakan orang-orang untuk menyesuaikan diri atau conform dengan doktrin-doktrin tertentu. Tentunya ada situasi yang begitu eksplosif, begitu berbahaya dimana ada ancaman segera akan adanya suatu gangguan yang memang sudah muncul atau kerusuhan dan di situ memang harus ada intervensi perlindungan dari kepolisian dan seterusnya. Namun penting bahwa kita tidak memberikan kewenangan yang berlebihan kepada intervensi atau campur tangan kepolisian di sini. Terkait dengan apa yang terjadi tentang standar-standar penodaan. Hal yang menarik di sini adalah bahkan ada dua poin yang perlu disampaikan di sini. Pertama ada banyak sekali pembicaraan di tingkat global mengenai penodaan agama. Saya rasa ada satu pandangan yang sedang tumbuh bahwa ini adalah miss aplikasi atau kesalahan penerapan doktrin defamasi tersebut. Memang benar kita tidak boleh menghina agama, kita sebaiknya tidak menghina agama. Secara moral tidak tepat atau tidak baik untuk secara sembarangan menghina suatu agama. Kita harus saling menghormati. Namun di sisi lain kita hati-hati dengan undang-undang atau hukum di bidang ini karena, ini bisa menghambatupaya kita untuk mempelajari suatu agama atau mengembangkan suatu agama, argumen untuk mendukung agama kita. Ada banyak alasan mengapa kita harus memiliki keterbukaan untuk bisa berdiskusi? Apabila ada undangundang yang terlalu ketat mengatur penodaan atau penghinaan, hal ini akan membatasi kebebasan untuk berdiskusi seperti itu. Dan ada satu pernyataan yang terkenal dari Voltaire tentang orang Inggris memang. Dia mengatakan bahwa, kalau orang Inggris akan punya agama dan tirani dan kalau ada dua maka, agama kedua adalah perang Saudara dan kalau tiga pilihan akan perdamaian. Memang akan bertentangan dengan konstitusi kita, bagi orang-orang yang hidup di budaya dominan. Namun ancaman sesungguhnya bagi harmoni dan kedamaian sosial adalah
36
pemaksaan yang berusaha untuk memaksakan orang untuk menjadi sesuatu yang mereka tidak ingin menjadi. Dan kita dilihat di sini bahwa banyak negara yang kemudian membatalkan banyak undang-undang mengenai penodaan atau pemurtadan atau penyimpangan. Karena undang-undang tersebut tidak membantu, yang gaungnya cukup disambut adalah undang-undang yang lebih menyasar kepada syiar kebencian, yang lebih mengatasi atau tertuju kepada hal-hal yang tidak dapat dijustifikasi atau yang menghina atau menghasut, menimbulkan kekacauan pada ketertiban umum. Saya juga ingin melihat beberapa pertanyaan lain tentang misalnya. Tadi ada pertanyaan tentang Pasal 28J. Saya melihat bahwa salah satu pertanyaan di situ adalah, pertanyaan tentang bagaimana pembatasan-pembatasan tersebut harus dipahami. Hal yang menarik mengenai Pasal 28J tersebut adalah bahwa pasal tersebut merujuk bahwa semua orang mempunyai kewajiban untuk menerima pembatasan tersebut. Setiap orang wajib tunduk kepada penetapan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Dalam salah satu dasar bagi legitimasi untuk melakukan pembatasan tersebut, di situ ada perujukan pada nilai-nilai keagamaan. Namun saya rasa mengenai pemahaman nilai-nilai keagamaan tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilai moral yakni bahwa memang dapat diizinkan adanya pembatasan-pembatasan yang didasarkan pada moralitas, nilai-nilai keagamaan yang dipahami secara luas. Jelas bahwa Komite HAM PBB menyatakan bahwa terkait moralitas tersebut dasar yang sah bagi Pasal 18 ayat (3) tersebut. Bahwa prinsip moral yang dipertimbangkan tidak bisa hanya mencerminkan tradisi keagamaan saja. Sepertinya bagi saya, menurut saya pemahaman tersebut juga berlaku dengan kasus ini. Kita tahu bahwa banyaknya nilai-nilai keagamaan yang juga dimiliki semua agama seperti moral, timbal balik moral, memperlakukan orang asing, orang lain dengan baik. Jadi bisa dikatakan di sini bahwa setiap orang dapat membatasi hak orang lain oleh agamanya sendiri karena itu bisa bersifat mengkontradiksi diri, terkait diskriminasi tersbut. Namun di sisi lain, kita tidak bisa berpihak kepada satu agama, tentu saja itu akan bersifat diskriminatif. Jadi kalau kita melihat logika dari ketentuan-ketentuan tersebut, kita bisa melihat bahwa mengapa kita perlu memahami nilai-nilai moral dan keagamaan tersebut. Ada beberapa pertanyaan tadi dari Majelis Ulama. Saya sangat tersanjung Anda telah membaca buku saya. Saya takut bahwa saya tidak sempat memahami seluruh pertanyaan saya, tapi kalau tidak salah pertanyaannya adalah formula universal yang dapat diberlakukan dimana-mana. Anda tadi merujuk kasus Smith. Pemirsa itu adalah
37
keputusan yang tidak begitu bagus. Satu hal yang perlu kita ingat adalah dan saya harap ini tidak universal namun banyak, kita sering melakukan kesalahan. Saya rasa keputusan mengenai kerudung di Eropa itu adalah hal yang salah. Saya rasa keputusan Smith di negara saya adalah hal-hal yang salah. Satu hal yang terjadi adalah dalam waktu lama orang-orang mulai memahami bahwa toleransi dan kehormatan kepada orang lain itu adalah pendekatan yang lebih baik daripada bersikap membatasi. Dan satu hal yang saya rasakan ketika saya berkunjung ke Indonesia adalah yang sudah menjadi ciri keramahtamahan Indonesia. Kesadaran akan toleransi akan perbedaan dan saya melihat bahwa Mahkamah ini akan peka terhadap nilai-nilai yang sifatnya asli Indonesia tersebut dalam kasus ini. Saya rasa mengapa ada ketentuan-ketentuan yang bersifat diskriminatif, ketika saya membaca Penetapan Presiden tersebut, di situ dibicarakan masalah seperti misalnya kalau ada satu kelompok melakukan hal-hal yang mirip dengan dilakukan kelompok lain sulit mendefinisikan apa yang menyerupai, apakah itu bisa kemudian diterapkan secara diskriminatif. Ada beberapa ketentuan di situ dalam KUHP mengenai penyalahgunaan, sulit untuk diterapkan. Saya rasa pada tataran yang lebih dalam yang harus kita temukan adalah sesuatu yang menunjukkan penghormatan kepada sesama dan mengakui bahwa walaupun ada perbedaan kita dapat mengambil nilai positif dari perbedaan tersebut. Dan untuk mengurangi (....) 90.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, interupsi, interupsi. Agar supaya dipercepat Saudara Durham supaya dipercepat kita akan mendengarkan 10 Ahli yang lainnya.
91.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Sure, sure. Okay, well I think the main point I was trying to make is that in the long run what really creates safety, what really creates stability in the society is the fact that people safe in their beliefs. If they feel like there are going threatened, if their beliefs somehow different than everyone feels nervous. If they know even if they have ideas or beliefs that are different they will be safe, they will be loyal to the regime, they will learn to respect to other people, and you will have much more stable society. There are many other things, I’d be happy if any of those who had questions I didn’t have the opportunity fully answer, I will be happy to try answer those offline you can talk to the council and I will be happy to do what I can. Thank you, it’s been an honor to be part of this and to witness what I viewed as a truly historic proceeding and I am honored and I hope I can play a very small part in this proceeding. Thank you. 38
92.
PENERJEMAH: Jadi inti utama yang ingin saya katakan adalah pada jangka panjang apa yang menciptakan keamanan atau stabilitas dalam sebuah masyarakat adalah pada saat orang-orang merasa nyaman dengan kepercayaan mereka atau merasa aman. Kalau mereka merasa terancam, seandaikata kepercayaan mereka atau agama mereka berbeda maka mereka harus tahu bahwa walaupun kepercayaan atau agama mereka berbeda, mereka akan aman dan mereka akan loyal terhadap negara yang ada dan juga masyarakat yang ada, dan juga menjaga ketentraman masyarakat. Ada juga beberapa hal-hal lain yang bisa dibicarakan dan saya akan sangat berbahagia untuk memberikan jawaban mengenai hal.., pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak terjawab di sini, mungkin saya bisa memberikan bantuan lebih lanjut seandaikata diberikan waktu. Merupakan kehormatan bagi saya untuk menjadi bagian di sini dan dianggap sebagai salah satu saksi dalam sebuah sidang yang akan memainkan peran sangat penting terhadap sejarah Indonesia. Jadi sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada Majelis dan juga kepada sidang. Terima kasih.
93.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, terima kasih kembali Pak Durham. Dan Anda sudah kami beri waktu 1 jam lebih lama dibandingkan dengan sidang-sidang sebelumnya. Minta maaf karena kami masih harus mendengarkan 10 Ahli lagi pada hari ini yang harus diselesaikan pada hari ini juga. Terima kasih, sampai ketemu lagi. Baik (…)
94.
KUASA HUKUM PEMOHON : ADAM M. PANTAUW, S.H. Majelis, mohon izin. Kami menyiapkan beberapa buah buku seperti yang sudah dikatakan oleh Ahli Prof. Cole Durham. Beliau bermaksud menyiapkan atau menyerahkan kepada Majelis Hakim buku “Kebebasan beragama seberapa jauh” yang Beliau juga menjadi salah satu penyuntingnya. Kalau boleh kami serahkan sekarang ke Panitera.
95.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, boleh, nanti lewat Kepaniteraan ya. Boleh, terima kasih. Dengan senang hati. Baik, sekarang kita lanjutkan,... terima kasih kepada Penterjemah. Saya kira tugas Anda sudah selesai. Sekarang, kita akan kembali ke Indonesia.
39
96.
AHLI DARI PEMOHON : PROF. W. COLE DURHAM, JR.
Thank you. 97.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Menurut catatan yang ada di Majelis, pada hari ini yang akan tampil sebagai ahli pertama, Bapak Prof. Subur Budhisantoso sudah hadir. Kemudian, Prof. Rony Nitibaskara sudah hadir. Ini Ahli Prof. Subur itu diajukan oleh Pemohon seperti Durham tadi. Kemudian yang Prof. Rony Nitibaskara diajukan oleh Pemerintah. Lalu ada beberapa Ahli yang hari ini sengaja diundang oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Bapak Djohan Effendi, Bapak SAE. Nababan, Bapak Garin Nigroho, kemudian, Prof. Mardjono memberi kesaksian tertulis karena tidak bisa hadir. Kemudian, Dr. Moeslim Abdurrahman juga sudah hadir. Kemudian, Yusril Ihza Mahendra nanti akan hadir agak siang sesudah sholat dzuhur. Kemudian, Dr. Taufik Ismail dan Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Dari Penghayat Kepercayaan ada Ahli juga yang dihadirkan hari ini, Bapak KP. Seno Adiningrat, S.H., M.A., M.H. Baik kita ambil sumpah dulu untuk Ahli yang beragama Islam mulai dari Bapak Dr. Moeslim Abdurraman supaya maju. Masih Islam kan Pak Moeslim? Kemudian, Bapak Taufik Ismail, Bapak Komarudin Hidayat, Bapak Djohan Efendi, Bapak Garin, kemudian Bapak Rono Nitibaskara, kemudian.., itu saja saya kira ahli yang hari ini sudah hadir yang beragama Islam. Untuk itu..., oh Pak Subur yang baru rawuh. Silakan Pak Subur, Prof. Subur Budhisantoso. Silakan Pak Fadlil.
98.
HAKIM ANGGOTA : DRS. AHMAD FADLIL SUMADI, S.H., M.HUM. (MEMBERIKAN SUMPAH) Untuk pengucapan sumpah silakan tirukan apa yang saya katakan. “Bismilahirohmanirohim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” Cukup, terima kasih.
99.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM DISUMPAH (7 ORANG )
“Bismilahirohmanirohim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli
akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
40
100. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan kembali, Bapak ke tempat duduk. Kemudian Bapak Nababan akan diambil sumpah. Agama Katolik? Kristen Protestan. Silakan, Ibu Maria. 101. HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. ( MEMBERIKAN SUMPAH) Ucapkan lafal janji yang saya ucapkan. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberi keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya semoga Tuhan menolong saya.“ Terima kasih. 102. AHLI YANG BERAGAMA KRISTEN PROTESTAN DISUMPAH (1 ORANG) “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberi keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya semoga Tuhan menolong saya.“ 103. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Kemudian dari Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Bapak Seno? Bapak Seno Adiningrat silakan maju. Bapak mau berjanji apa bersumpah? Kalau bersumpah itu pakai agama kalau berjanji itu yang tidak, berjanji? Berjanji atau mau bersumpah menurut agama tertentu? Menurut agama Kristen ya. Silakan Bu Maria. 104. HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. ( MEMBERIKAN SUMPAH) Ucapkan lafal janji yang saya ucapkan, “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberi keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya semoga Tuhan menolong saya.“ 105. AHLI (PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YME): “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberi keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya semoga Tuhan menolong saya.“ 106. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, mari kita mulai dari Bapak Roni Nitibaskara. Bapak diberi waktu 15 menit ya, Bapak boleh berdiri, Bapak.
41
107. AHLI DARI PEMERINTAH : PROF. RONY NITIBASKARA saja.
Izin, kalau diperkenankan Ketua Majelis Hakim, saya bisa duduk
108. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan, lima belas menit Bapak, ya. 109. AHLI DARI PEMERINTAH : PROF. RONY NITIBASKARA
Assalamualaikum wr.wb.
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, para Hadirin yang saya hormati. Selayaknya kita semua memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dianugerahkan kepada kita. Secara pribadi, saya ingin menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan untuk menyampaikan pemikiran dan tinjauan secara kriminologis atas permasalahan yang demikian penting bagi bangsa kita. Sedikit barangkali kalau boleh saya uraikan, pada awalnya kriminologi itu didefinisikan sebagai kumpulan dari berbagai ilmu, perihal kejahatan sebagai masalah manusia. Ilmu ini didukung oleh berbagai disiplin ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, kedokteran, psikiatri, psikologi, dan sebagainya. Ini adalah pengertian ilmu kriminologi gaya lama. Dalam perkembangannya, pendidikan kriminologi di UI lebih berfokus pada pendekatan sosiologi khususnya sosiologi perilaku menyimpang, sociology of deviant behaviour. Jauh sebelum itu, objek kriminologi menurut Torstein pada tahun 1936 adalah kejahatan, crime dan penyimpangan dari norma-norma tingkah laku, deviation of conduct norm, maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi itu tidak saja mempunyai objeknya tingkah laku yang oleh negara maupun hukum dinyatakan terlarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai dan menggoncangkan sekalipun belum atau tidak diatur dalam hukum pidana. Saya ingin sedikit memberi gambaran di luar negeri, misalnya banyak sekali yang menggoncangkan kasus-kasus deviant religion, misalnya saja kasus tragedi Kuil Rakyat Jim Jones di Indiana yang melakukan bunuh diri masal tidak kurang dari 900 orang kehilangan nyawa, termasuk 300 anak-anak dengan cara menelan racun sianida. Belum lagi kasus-kasus yang menggoncangkan seperti Children of God, Family of Love, dan banyak-banyak lagi. Yang Mulia Majelis Hakim, agama adalah persoalan asasi yang menyangkut kebutuhan manusia dan untuk mencapai kebenaran absolut. Manusia sebagaimana di seluruh ciptaan, sifatnya terbatas. Dalam keterbatasannya tersebut berusaha mengapai kebenaran dari Yang Maha Besar, dari Yang Maha Benar.
42
Kebenaran ini sifatnya mutlak sedangkan kemampuan kita terbatas oleh ruang dan waktu. Sikap mencari, menemukan, merekonstruksi, mendekontruksi, mempertanyakan, dan kritis yang menjadi ciri dari kehidupan ilmuwan pada prinsipnya timbul dari kesadaran bahwa segala upaya manusia dan seluruh pencapaiannya bersifat relatif. Yang mutlak adalah Yang Maha Mutlak, yaitu Tuhan YME karena itu semua pemikiran dan penafsiran dapat dikritisi, meskipun hal itu menyangkut keyakinan agama yang sedang menjadi kepercayaan harus utama atau mainstream. Dalam konteks pengujian yang dimohon oleh Para Pemohon terhadap Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada dasarnya seputar permasalahan pembatasan penafsiran terhadap suatu agama atau menyangkut agama itu sendiri, undang-undang ini dianggap sebagai instrumen pembatasan penafsiran yang dapat dilaksanakan secara memaksa (cursive) dan tidak memberikan perlindungan kepada individu-individu yang menyampaikan penafsiran melainkan hanya melindungi agama-agama yang diakui. Pada prinsipnya, para Pemohon berpendirian bahwa penafsiran keyakinan atas suatu ajaran keagamaan merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum terlepas penafsiran tersebut berkesesuaian atau berbeda dari penafsiran atau pokok-pokok ajaran agama harus utama. Kebebasan melakukan penafsiran keagamaan dipandang bersifat mutlak, absolut, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Yang Mulia Majelis Hakim, pemikiran yang diajukan oleh para Pemohon tersebut pada prinsipnya adalah sama dengan apa yang menjadi sikap dari ilmuwan dari semua disiplin. Akan tetapi, pada tataran praksis pemikiran tersebut tidak jatuh pada ruang yang kosong. Dalam konteks ini bertaut dengan peran negara. Jadi saya ulangi, pada tataran praksis, pemikiran tersebut tidak jatuh pada ruang yang kosong. Dalam konteks ini bertaut dengan peran negara. Dalam kehidupan bernegara, stabilitas merupakan unsur yang hampir tidak dapat ditawar. Tanpa stabilitas, organisasi negara sewaktuwaktu dapat terancam bubar. Dalam konteks penafsiran agama, dihubungkan dengan kehidupan negara adalah bukan masalah kebebasan absolut, tetapi kebebasan yang dibatasi. Pembatasan ini secara singkat adalah untuk menumbuhkan kondisi stabil tersebut. Untuk itu diperlukan instrumen hukum positif yang berupa perundangundangan. Penafsiran yang benar, tetapi ketika sampai di masyarakat kemudian menimbulkan kegoncangan karena belum dapat diterima ketika itu, merupakan sesuatu yang lazim dalam sejarah kemanusiaan kita. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh kasus Galilieo Galilei dan Copernicus yang mendapat tantangan dari Gereja Roma dimana
43
pada beberapa abad kemudian pemikiran tersebut diakui sebagian mengandung kebenaran yang tak perlu dipertanyakan. Berdasarkan hal ini, tidak tertutup kemungkinan adanya penafsiran yang keliru, sekalipun dari otoritas keagamaan tertinggi. Dalam sejarah Nusantara, pada abad 17, di Aceh pernah dilakukan perburuan dan sekaligus pembakaran kitab-kitab dari Pengikut Syekh Hamzah Fansuri oleh kelompok Syekh Nurudin ar-Raniri yang pada waktu itu pemikirannya merupakan paham resmi keagamaan negara. Tragisnya, pihak yang diburu untuk dienyahkan tersebut sebelumnya juga menduduki tempat yang sama, yakni sebagai paham resmi negara dan sekaligus faham arus utama. Belajar dari sejarah tersebut, dimana penafsiran dari waktu ke waktu dapat berubah, maka penafsiran agama harus dilindungi. Yang dengan demikian pintu ijtihad tidak tertutup. Tetapi, penafsiran yang dapat menimbulkan gejolak sosial dan dapat melahirkan kerawanan yang mengancam stabilitas negara juga harus dibatasi. Di sini kriminologi sangat berkepentingan. Seperti yang saya katakan tadi kriminologi itu tidak saja mempunyai seobyek-obyeknya. Tingkah laku yang dinyatakan oleh negara dan hukum terlarang, tapi tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai sekalipun tidak diatur dalam hukum pidana. Sebagai bahan ilustrasi, saya sebagai salah seorang Tim penyusun RUU KUHP bersama-sama dengan guru besar yang lain, saya berhasil memasukkan katakanlah pidana santet ke dalam RUU KUHP, tetapi belum sampai di DPR. Nah kita tahu kalau kita ingin mentranformer suatu perbuatan sebelumnya yang belum diatur menjadi diatur dalam hukum pidana dalam KUHP, menurut hukum pidana ada beberapa syarat. Saya tidak menyebutkan semua, misalnya satu frekuensinya harus sering terjadi. Yang kedua, cukup bermanfaat dijatuhkan sanksi bagi si Pelaku. Yang ketiga bukti mengenai kejahatan. Tetapi dalam kriminologi lebih luas lagi. Kalau kita ingin mengkriminalisasi harus dilihat satu waktu, tempat, aturan yang dilanggar, siapa yang melakukan, siapa yang merasakan, dan yang paling penting adalah reaksi sosial. Reaksi sosial dapat diukur dengan pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan sebagainya. Dengan melakukan pendekatan participant of service and message, dengan menggunakan pendekatan depth interview, dengan case studies yang akhirnya menunjukkan bahwa kalau satu kasusakan mengguncangkan, maka solusinya adalah harus dikriminalisasi. Jadi di situlah kriminologi itu masuknya. Nah memang di lain pihak sebagai kriminolog, pembatasan tersebut ketika disertai sanksi, maka dapat dilihat sebagai perbuatan kriminalisasi terhadap suatu penafsiran ajaran agama.
44
Implikasi hal ini cukup luas karena dapat menimbulkan pemahaman bahwa negara yang paling mengetahui kebenaran agama. Negara menjadi penafsir tunggal, padahal negara kita disepakati bukan sebagai negara agama. Di sini persoalannya adalah apa dasar negara melakukan pembatasan dan sekaligus pelarangan terhadap suatu tindakan penafsiran ajaran suatu agama yang diklasifikasikan atau disebut sebagai penodaan atau penistaan agama? Majelis Hakim Yang Mulia. Pertanyaan tersebut mendorong kita kembali surut ke belakang untuk meninjau kembali, bagaimana hubungan negara dan agama? Perlindungan yang diberikan oleh negara apakah hanya kepada agama? Atau juga meliputi para pemeluknya? Sejauh mana perlindungan negara terhadap para pemeluk agama tersebut dalam melakukan penafsiran? Siapa yang boleh melakukan penafsiran? Apa batasan suatu penafsiran dianggap menyimpang, dan karenanya dipandang sebagai suatu penistaan Agama? Dalam kriminologi, suatu perilaku dianggap menyimpang apabila dipertimbangkan telah menyimpang dari apa yang disebut universal behaviour traits. Tetapi standar perilaku universal ini juga dipersoalkan, mengingat adanya beraneka budaya yang akhirnya menimbulkan apa yang disebut relativitas budaya. Dalam konteks relativitas ini kebenaran turut menjadi relatif. Apa yang disebut menyimpang oleh suatu budaya boleh jadi tidak menyimpang bagi budaya lain. Pada konteks ini, suatu dianggap benar adalah menurut waktu, tempat, siapa yang melakukan, dan aturan yang disepakati. Semua unsur atau parameter tersebut senantiasa dalam perubahan. Tetapi dari semua unsur itu yang penting adalah reaksi sosial. Kita bisa melihat keadaan sekarang ini juga. Kalau reaksi sosial ada kegoncangan maka itu harus ada solusinya. Disinilah kriminologi berkepentingan melakukan, mendukung perundang-undangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut wacana pemikiran tidak boleh dibatasi. Tetapi agama adalah dogma yang bersifat deduktif, yang didalamnya terdapat hal-hal yang hampir tidak boleh dipertanyakan. Setiap pemikiran kritis terhadap dogma yang dianut arus utama akan cenderung menggoncangkan. Menghadapi paradoks ini pembatasan penafsiran-penafsiran tetap diperlukan dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan dalam hubungannya dengan upaya pencarian kebenaran yang senantiasa masih dapat diperdebatkan. Pembatasan tidak dimaksudkan menutup pintu Ijtihad. Karena itu, pembatasan bukan terhadap pemikiran tetapi pada dampak pemikiran tersebut yang menjadi kewenangan Negara untuk menciptakan kehidupan bernegara yang stabil. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 masih diperlukan. Adanya ekses dalam tingkat pelaksanaan, merupakan persoalan lain, karena hal itu menyangkut mengenai penegakan hukum, bukan materi hukum sebagaimana diuji dalam Persidangan yang terhormat ini.
45
Demikian, mohon maaf atas segala kekurangan berasal dari kami, sedangkan semua kebaikan adalah karena kemurahan-Nya. Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
110. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Bapak Prof. Dr. Rony Nitibaskara. Berikutnya Bapak Doktor Moeslim Abdulrahman, Maju saja Pak, dipodium. Berdiri ajah Pak Moeslim Ah yang abu-abu, dipencet yang abu-abu itu 111. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. MOESLIM ABDURRAHMAN Terima kasih Bapak Ketua Majelis Hakim Konstitusi yang sama muliakan, para ulama dan tokoh-tokoh agama yang saya hormati. Saya mungkin agak reflektif, karena saya akan menanggapi soal Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 ini, karena tahun 1965 itu saya masih menjadi santri di pesantren dan saya kira saya ingin memberikan sedikit ilustrasi konteks dari munculnya undang-undang seperti ini. Tahun 1965 siapapun kita semuanya mengetahui bahwa tahun-tahun itu adalah tahun-tahun dari puncak pergulatan, pertikaian politik antara kelompok agama dalam hal ini islam dengan partai komunis dan saya kira dalam keadaan yang seperti itu saya melihat mungkin betapa relevansinya undang-undang ini dilahirkan, sehingga memungkinkan melalui undang-undang ini dapat dicegah terjadinya betul-betul tingkah laku atau tindak penodaan agama. Nah saya merasakan hal itu karena pada waktu itu saya menjadi seorang santri di sebuah pesantren di Jawa Timur, yang ibu-ibu dan Bapak ketahui betapa konflik politik antara kelompok islam dan kelompok-kelompok agama dengan kelompok-kelompok komunis ini sangat runcing. Ibu-Ibu dan Bapak sekalian, kebetulan setelah saya lulus S-I dari Institut Agama Islam Muhammadiyah, kemudian saya bekerja di Badan Penelitian dan pengembangan agama bersama Pak Djohan yang masih ada disini, pada waktu itu saya tahu persis betapa tumbuhnya setelah orde baru muncul berbagai macam aliran-aliran agama dan kepercayaan dan dalam hal ini ada kalau saya tidak salah ada badan kerjasama pengawas aliran-aliran kepercayaan ini antara lain departemen agama menjadi anggotanya, jadi saya kira berdasarkan undang-undang inilah maka waktu itu pemerintah dalam hal ini termasuk Departemen Agama melakukan pengawasan terhadap aliran-aliran yang menyimpang atau sesat dari doktrin atau prinsip-prinsip yang dianut oleh agama yang mainstream. Nah, kita tahu betapa ini juga muncul ke percikan politik, sehingga tahun 1977 kalau tidak salah, 1978 itu ada isu munculnya adanya perlawanan terhadap aliran–aliran kepercayaan. Oleh sebab itu saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa secara historis, memang
46
undang-undang ini muncul di dalam situasi politik seperti itu. Nah, saya ingin mengatakan bahwa kita sekarang menghadapi suatu era yang sangat berubah yaitu yang disebut era reformasi untuk menegakkan hak-hak asasi, demokrasi dan juga multi culturalism. Itulah sisi politik yang ingin saya kemukakan di sini, sehingga saya ingin mengatakan sebenarnya dari kaitan itu, kaitan bahwa undang-udang ini dalam tempo sangat lama digunakan untuk mengontrol suatu keyakinan yang dianggap sesat atau tidak sesat, itu telah berlangsung lama sejak saya kira undang-udang ini dikeluarkan. Yang kedua, saya ingin melihat dari sisi antropologis, kebetulan saya juga seorang antropolog. Ada dua hal yang ingin saya soroti, pertama politik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap berbagai agama dan aliran-aliran lokal. Seperti kita ketahui secara antropologis di Indonesia ini lebih dari dua ratusan, kelompok masyarakat yang berbeda agama dan aliran-aliran yang dianutnya, aliran-aliran kepercayaan yang dianutnya. Selama ini politik keagamaan kita. Tadi dikatakan bahwa memang agama yang diketahui itu jelas ada 5 atau 6, kemudian yang lainnya juga sebenarnya selama ini harus di bawah bimbingan yang dianggap diakui itu, misalnya Kaharingan itu selama ini dibimbing oleh agama Hindu. Jadi saya melihat di sini, seolah-olah memang negara juga ingin mencampuri persoalan mana yang dianggap agama dan mana yang dianggap sebuah keyakinan lokal yang tidak oleh negara dianggap agama. Nah, ini adalah sebuah realitas saya kira, secara antropologis yang mesti kita pertimbangkan tentang relevansi atau tidaknya UndangUdang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini untuk kita teruskan atau tidak. Nah yang kedua, saya kira, terutama Islam, perjumpaan Islam secara antropologis dengan budaya-budaya dan kepercayaan lokal itu memang belum pernah selesai, jadi ada tingkat Islamisasi yang masing-masing tempat itu berbeda satu sama lain dan tidak sama dan itu saya kira tidak hanya Islam tetapi juga agama-agama yang lain. Islam di Jawa, Islam di NTB bahkan sekarang ada kelompok masyarakat yang masih menganut Watu Telu, dan semuanya ini adalah warga negara yang sah. Oleh karena itu menurut saya hal-hal seperti ini harus kita pertimbangkan sehingga nantinya kita harus jelas mana sebenarnya yang menjadi wilayah negara dan mana yang sebenarnya menjadi wilayah dakwah. Saya setuju bahwa negara harus membantu warga negaranya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing, tetapi negara tidak boleh untuk mengatakan apa keyakinan dan keimanan seseorang sah atau tidak menurut negara. Salah satu contoh bahwa negara boleh bikin Undang-Undang mengenai Haji, tetapi negara tidak boleh mengatakan bahwa orang yang mengambil miqat waktu naik haji itu di tanah air ataukah di Jeddah ataukah baru di Bir’ali nanti mana yang mabrur, negara tidak boleh mencampuri mabrur tidak mabrur-nya seorang yang mau naik haji. Bahwa di antara kelompok-kelompok Islam misalnya, kemudian mereka
47
berdebat sesuai dengan teks yang dimiliki dan tafsirannya masingmasing bahwa haji yang mabrur adalah dengan cara seperti ini, haji yang mabrur jika mengikuti sunnah seperti ini maka itu adalah hak dari masing-masing komunitas agama. Sama halnya menurut saya bahwa kalau MUI membuat fatwa bahwa Ahmadiyah itu adalah sesat itu adalah hak para ulama di MUI. Tetapi MUI tidak bisa untuk mengusir orang ini, orang-orang yang mengikuti Ahmadiyah itu sebagai warga negara Republik Indonesia. Sama halnya misalnya saya sebagai orang Muhammadiyah pasti saya akan mengatakan bahwa kalau ada orang bersahadat Ashaduallah Ilahha
Illallah Wa asshaduanna Muhammadarasulullah Wa Syeh Abdul Qodir Jaelani wa ya Allah pasti saya anggap itu adalah bid’ah dan Qullubit’attindholalah. Setiap yang dolalah adalah bid’ah.
Saya boleh untuk menyerang dan mengatakan hal-hal seperti itu termasuk juga di publik selama saya tidak menggangu keamanan dan keselamatan orang lain, tetapi saya tidak bisa meminta negara supaya orang yang bersahadat kaum torikat seperti itu harus dihapus dan dihilangkan hak kewarganegaraannya. Jadi menurut saya, kenapa saya bersikap seperti itu, pertama bahwa di depan negara setiap orang adalah warganegara. Itu adalah prinsip yang azasi. Apapun keyakinan, apapun ekspresi tentang keyakinan, dan keimanannya. Dan di depan Tuhan masing-masing orang dibolehkan untuk memilih apakah dia beriman atau tidak beriman. Famanssaa falyu’min famanssaa falyakfud. Setiap orang diberi hak dia apakah mau beriman atau tidak beriman kepada Tuhannya atau kepada Allah SWT dan hak itu dijamin oleh Allah sendiri di dalam Kitab Suci. Oleh sebab itu, berdasarkan hal-hal seperti ini saya merasa demi mendudukan antara wilayah yang sifatnya negara dan wilayah yang sifatnya dakwah itu tadi dan saya memilih dakwah dibanding restriksi untuk mendekati masalah-masalah seperti ini karena begitulah Al-Qur’an mengatakan supaya kita mengajak mereka berdasarkan hikmah dan mauidtho khasanah. Menurut saya, dilihat ke depan untuk membangun bangsa ini dan Indonesia dipertahankan sebagai rumah kebangsaan, maka UndangUndang Nomor 1/PNPS/1965 ini dari segi mudharatnya kita membangun kebersamaan dan meneruskan Indonesia sebagai rumah kebangsaan itu saya minta supaya dicabut. Terima kasih, wabillahi taufik wal hidayah.
Wasallamualaikum wr.wb.
112. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih Pak Moeslim. 15 menit berikutnya Prof. Komarudin Hidayat.
48
113. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PROF. DR. KOMARUDIN HIDAYAT
Asalamualaikum wr. wb.
Majelis Hakim yang saya hormati dan juga hadirin sekalian. Satu kehormatan bagi saya tampil di sini, meskipun saya musti mengatakan bahwa sesungguhnya saya tidak ahli dalam bidang ini. Saya ingin menyampaikan beberapa hal yang menjadi satu catatan saya. Pertama, dalam hal keyakinan, maka sesungguhnya tiap orang punya hak azasi dan kita tidak bisa untuk memaksa keyakinan itu. Contoh yang sederhana, apakah seorang muslim, bukan Muslim Abdurohman ya, ketika dia ke masjid, betulkah dia mau shalat Jumat atau ganti sandal yang baru? Kita tidak tahu, begitu kan? Karena itu betul-betul wilayah private. Jadi walaupun orang itu ke gereja, ke masjid, kita tidak tahu. Secara lahiriahnya saja dia ke masjid, tapi betulkah dia mau shalat? Kita tidak tahu. Karena masalah keyakinan agama itu betul-betul masalah pribadi. Dan apakah seseorang itu muslim atau tidak di depan Tuhan? Kita juga tidak tahu. Inilah yang sangat prinsipal sehingga kita tidak bisa menghakimi iman seseorang. Nah, yang kedua, kita ini terlahir merdeka. Misalnya saya punya mobil. Apakah saya mau supir di sebelah kanan atau kiri, maju atau mundur itu hak saya. Dengan catatan selama saya supir di jalan raya sendiri, di halaman saya sendiri, di kebun saya sendiri. Tapi, menjadi persoalan ketika saya membawa mobil di jalan raya ke wilayah publik. Begitu pun ketika di ruang ini saya akan bicara keras, lama, atau tidak, saya terkena atauran publik, tapi ketika saya membatin duduk sendiri, saya mau ngomong apa saja, mau mikir apa saja itu hak saya. Nah, di sinilah kemudian muncul persoalan bahwa soal keyakinan agama itu mutlak hak individu, tapi ekspresi beragama ketika dia masuk wilayah ranah sosial, wilayah publik, di sinilah kemudian kita berbenturan dengan wilayah yang lain. Nah, makanya yang menjadi concern bagi saya adalah bagaimana negara mengatur warga negara, bukan agamanya. Jadi, ketika seseorang itu berekspresi di dalam beragama, kemudian berhubungan dengan yang lain di sinilah kemudian yang diatur oleh negara adalah efek atau perilaku sosial sebagai warga negaranya. Dalam konteks ini, saya sendiri membayangkan suatu saat andaikan warga negara kita sudah educated, bisa menghargai hukum moral, bukan hukum positif, saling menghargai, betapa indahnya sesungguhnya ketika perbaikan undang-undang itu tidak ada begitu. Karena di situlah kemurnian, keikhlasan beragama akan diuji tapi ketika kita beragama karena takut undang-undang maka sesungguhnya kualitasnya dipertanyakan. Hanya saja, apakah situasi sosial saat ini sudah memungkinkan untuk seperti itu?
49
Yang kedua, saya sendiri juga masih tanda tanya, apakah ketika tidak ada aturan, aturannya bisa saja dimodifikasi? Tapi, andaikan itu diserahkan kepada komunitas beragama, saya ragu apakah masingmasing kelompok umat beragama apapun agamanya itu juga betul-betul bisa menjaga diri, menghargai? Saya khawatir bahwa akan terjadi suatu tindakan anarkis untuk saat ini. Jangankan agama, untuk sepak bola saja itu mereka sudah saling menyerang begitu kan? Nah, lebih-lebih ketika itu menyangkut keyakinan agama. Oleh karena itu, prinsipnya sesungguhnya saya ingin bahwa negara itu tidak usah mencampuri agama karena itu pribadi, tapi sisi lain ketika warga negara berperilaku, salah satunya unsur agama, itu kemudian dikhawatirkan bisa menimbulkan berbagai benturan karena tingkat pendidikannya, kesadaran hukum itu belum mapan maka perlu diberikan modus bagaimana format pengaturannya. Saya sendiri belum tahu persis, tapi saya rasa bahwa perlu ada satu format yang mengatur sebagaimana saya juga tidak setuju bahwa orang yang berbeda agama kemudian diusir sebagaimana Saudara Muslim katakana. Siapapun orang berkeyakinan. Secara antropologis, Indonesia itu agamanya luar biasa banyak sekali. Secara antropologis dan kalau toh sekarang yang dominan itu adalah Islam, ya karena historis saja tapi, sebelum Islam datang yang dominan adalah Hindu, Budha dan entah abad keberapa yang dominan apa saya juga tidak tahu begitu karena kan kita berbicara sejarah, bicara warga negara. Jadi sekali lagi saya tidak tahu persis bagaimana formulanya tapi bahwa dalam konteks sosial dalam masa plural ini untuk saat ini perlu ada satu format pengaturan. Demikian terima kasih, Assalamualaikum wr. wb. 114. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.
Waalaikumsalam wr. wb.
Terima kasih. Benar Pak Komarudin ada acara lain? Tidak? Ya, nanti menunggu pertanyaan-pertanyaan bisa sampai jam 12.00 WIB? Bisa? Baik. Kemudian Bapak Taufik Ismail, 15 menit Bapak ya? 115. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. (HC) DRH. TAUFIK ISMAIL
Assalamualaikum wr. wb.
Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Saya mengucapkan terima kasih kepada Mahkamah untuk panggilan menghadiri sidang ini. Perkenalkan saya menyampaikan pendapat saya melalui puisi ini. Tebing betapa curam. Jurang betapa dalam tak tampak keduaduanya. Desa kami terletak di kaki gunung yang sangat indahnya. Berpagar perbukitan dengan deretan pohon cemara. Sawah luas
50
terhampar, hijau muda dalam warna. ladang Palawija sangat subur pula keadaannya. Dari jauh tampak ternak kerbau, sapi, ayam dan domba. Kemudian kawanan burung terbang udara tampak menembus awan tanpa suara. Walaupun alam desa kami indah keadaannya, tapi kami belum makmur sesuai dengan cita-cita. Kemiskinan tidak teratasi seperti semustinya. Berbagai penyakit datang dan pergi bergantian saja. Beriberi, diare, cacar, busung lapar, juga penyakit mata. Anehnya, banyak warga desa sakit katarak dan radang glaukoma, sehingga banyak yang rabun bahkan sampai buta, sehingga dokter Puskesmas kami sibuk mengobati warga desa. Di Barat desa ada sebuah tebing yang curam dibatasi setengah lingkaran oleh jurang yang dalam. Di atas tebing itu terhampar datar lapangan lumayan luasnya. Di sana anak-anak kecil berkejar-kejaran dengan leluasa bermain-main, melompat-lompat ke sini dan ke sana. Berteriak-teriak, menjerit, dan tertawa-tawa karena penduduk desa cinta pada anak-anak mereka. Masih waras dan tak mau anak-anak celaka termasuk juga untuk orang-orang dewasa, maka di tepi tebing dipikirkan, dibikinkan pagar sudah lama terbuat dari kayu, kini sudah tua terbatas kekuatannya agar tidak ada yang terpeleset terjatuh ke jurang sana. Tebing itu 50 meter tingginya, batu-batu besar bertabur di dasarnya, semak dan belukar di tepi-tepinya, hewan buas dan ular penghuni lembahnya. Kalau orang terjatuh ke dalamnya akan patah, cedera, cacat, dan gegar otaknya. Nah, pada suat hari, ada sebagian kecil penduduk desa berdemonstrasi menuntut yang menurut mereka sesuatu yang azasi dengan nada yang melengking dan tinggi, tangan pun teracung, terayun ke kanan dan ke kiri dalam paduan suara yang diusahakan harmoni. “Kami menolak pagar tebing itu apa pun bentuknya. Pagar itu kan untuk anak-anak di bawah usia, itu tidak perlu untuk kami orang dewasa bahkan juga untuk anak-anak, biarkan saja-biarkan saja, kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya tidak perduli alasan lama kalian dari zaman kuno. Pagar ini kan produk pikiran masa dahulu sudah lama. Cabut pagar itu buang ke keranjang sampah saja. Pagar tebing itu adalah bentuk diskriminasi yang kuno. Kini waktunya orang menghargai kebebasan sebebas-bebasnya. Seperti negeri luar yang sangat maju keadaannya. Kita harus meniru negeri luar agar maju pula. Apa itu pagar? Kenapa pelataran ini dibatas-batasi? Tubuh ini kan hak kami. Kami menggunakannya semau hati sendiri. Apa itu pembatasan? Konsep kuno melawan kebebasan. Ini melawan kebebasan. Cabut itu pagar. Semuanya robohkan.” Kemudian, demo berlangsung terus, hiruk-pikuklah terdengar suara. Heboh seantero kampung dan desa, orang-orang bertanya, “lho, lho,lho, ini ada apa? Kok jadi tegang ini suasana?” Tetap ada yang bersikeras mau mencabut pagar semua, tapi yang bertahan tidak sudi membiarkan mereka. Di tepi tebing meregang-reganglah mereka. “Hei,
51
hati-hati, hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana. Hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana.” Mendadak mereka berhenti bersama. Ketika itu muncul seorang laki-laki dengan pengiringnya. Dia kelihatan agak tua dan agak berwibawa, dikenalkan. “Para hadirin, ini nabi kami.” Orang-orang desa terkejut. Mulut mereka terkunci. Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati, kemudian muncul pula seorang perempuan dengan ajudannya, bergaun panjang, berhias macam-macam di kepalanya, dikenalkan, “Para hadirin, inilah malaikat kami.” Orang-orang desa terkejut , mulut mereka terkunci. Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati, muncul pula seorang laki-laki dengan pengawalnya, dia kelihatan tua, tapi tidak berwibawa, dikenalkan.” Para hadirin, ini Tuhan kami.” Dengan kedatangan tiga orang dari luar desa ini, penduduk desa jadi sibuk mengamati. Mereka tercengang. Kemudian ada warga yang mengajukan interogasi. “Loh Pak Nabi, ente kan dari desa Gedung Bunder. Tidak jauh dari sini.” Kemudian ada yang berkata, “Wah, Bu Malaikat, rumahnya kan di Betawi dekat Gang Arimbi.” Seorang lagi berkata, “Pak Tuhan, antum dari Kecamatan Mundu. Namanya Ahmad Tantowi.” Tidak ada jawaban sama sekali. Menyaksikan hadirnya Tuhan, nabi dan malaikat. Lalu seseorang berkata dengan cermat, “Kita bingung ini. Harus mendapat solusi. Mari kita hubungi orang yang ahli. Yang ahli itu pastilah orang luar negeri. Yang jago dalam retori dan kita kagumi. Dengan retorika penuh erodisi, yang penting liberal, walaupun kolonial. Kita tidak perduli, sehingga mata kita jadi silau sama sekali.” “Eh, tunggu-tunggu. Tidak ada hubungan ini dengan mental orang bekas jajahan koloni. Tidak ada hubungan ini dengan warna kulit karena pigmentasi. Tidak ada hubungan ini dengan imperialisme ideologi. Tidak ada hubungan ini dengan mental rasa rendah diri. Ini semata-mata, ya karena ini.” Setelah selesai ucapan yang kacau seperti begini, hadirin yang tadinya tenang menjadi ribut kembali. Kemudian kembali meregangregang, tarik-tarikan ke sana-kemari. Tiba-tiba di ujung keributan ini munculah dokter Puskesmas, penuh wibawa bersama seorang anak muda di sampingnya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Kemudian ketika penduduk desa itu sudah tenang semua dia angkat bicara, “Saya telah lihat demonstrasi kalian, saya kecewa dan geleng-geleng kepala, kalian ini semua pasien saya, lebih dari separuh kalian itu kena kelainan pada mata, kalau tidak rabun ya buta, kenapa kalian menghabiskan waktu berdemo juga, padahal mata tidak bisa melihat dengan sempurna kasusnya katarak dan glaukoma, gawat ini situasinya penyakit instrumen mata, virus ini datang dari negeri lain rupanya, bukan cuma dari luar desa” Nah, begini-begini-begini kita sembuhkan dulu sumber etiologinya, e gawat lho ini situasi kesehatannya.
52
“Dengan hormat”, orang desa mendenganya. Kemudian itu anak muda di samping dokter itu kemudian berbicara, dia santun, cerdas, dan logis cara berpikirnya. “Bapak-bapak, Paman-Paman, Ibu-Ibu semua, saya minta maaf urun berkata-kata, saya heran kenapa dipandang enteng tebing curam kita ini tingginya 50 meter sangat tinggi, di bawah itu batu-batu kali besar-besar di dalam kali, kalau terjatuh bakal patahpatah, gegar otak kanan dan kiri”. Nah, sudah jatuh beberapa kali. Jadi kalau tidak dipagar berbahaya sekali. “Maaf ya maaf ya, kalian yang mau mencabut pagar ini kalau tidak rabun, atau buta ya gila”. Tebing betapa curam, jurang betapa dalam kok tidak tampak kedua-duanya. Konsep tebing dan jurang tak masuk akal rupanya, garagara katarak dan rabun glaukoma menuju buta. Nah, tentang pagar ini yang memang sudah tua keadaannya, mari kita gotong-royong menggantinya. Kita bikin yang kukuh untuk semua sehingga anak-anak dan remaja juga orang-orang dewasa bisa bermain-main, berlari-lari kesini dan kesana, dengan aman dan gembira. Kepala desa akhirnya muncul paling belakang, lalu bicara “Sedulur-Sedulur, Saudara-Saudara masih seabrek-abrek urusan kita di desa, kebodohan dan kemiskinan kita kapan akan selesainya?” Kebodohan dan kemiskinan kita mari kita lebih dahulu selesaikan.
Assalamualaikum wr. wb.
116. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Pak Taufik Ismail. Pak, karena Putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak mungkin berbentuk puisi, saya mau tanya sekarang penegasannya, apa yang Bapak maksud dengan “pagar yang diperlukan itu PNPS Nomor 1 Tahun 1965? Baik, terima kasih Bapak.
[hadirin tertawa]
117. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. (HC) DRH. TAUFIK ISMAIL Pak Mahfud masih bertanya juga, terima kasih. 118. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Karena nanti kalau ditulis begini di putusan kan lucu Pak, hakimnya tidak bisa (…..)[hadirin tertawa] Sekarang Bapak Nababan, silakan Pak. Sesudah ini Pak Garin Nugroho. 119. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PDT. DR. SAE.NABABAN, LLD. Bapak Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, hadirin yang terhormat selamat siang. Terlebih dahulu saya Soritua
53
Nababan mengucapkan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang telah mengundang saya sebagai Ahli untuk memberikan keterangan mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Saya akan mulai dengan mencatat bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 2008 “tafsir” berarti keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat kitab suci agar maksudnya lebih mudah dipahami. Menafsirkan berarti menerangkan maksud ayat-ayat kitab suci atau menangkap perkataan atau kalimat tersebut dan sebagainya, tidak menurut apa adanya saja, melainkan diterapkan juga apa yang tersirat dengan mengutamakan pendapatnya sendiri. Penafsiran berarti proses cara perbuatan menafsirkan, upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas. Tafsiran berarti penjelasan atau pendapat. Dalam setiap agama ada kebutuhan penafsiran agar pesan agama itu mudah dipahami dan diterapkan atau dihayati. Dalam agama Kristen penafsiran dianggap sangat mendasar karena 3 hal. Pertama, karena kita hidup dalam zaman yang terus-menerus berubah dan berkembang bahkan makin lama makin cepat berubah dan berkembang dibanding setiap zaman sebelumnya, sekalipun belum ada pemerataan. Perubahan dan perkembangan itu melahirkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh agama agar pesan agama itu dapat lebih mudah dipahami dan hal-hal yang sulit dapat diperjelas. Kedua, dengan kegiatan itu dibantu ilmu-ilmu pengetahuan yang lain diharapkan akan dapat diketahui dan dipahami apa yang dimaksud semula aslinya dan apa maknanya di zaman ini. Ketiga, kegiatan ini juga membantu untuk membedakan apa firman Tuhan dan apa kebiasaan atau adat istiadat. Patokannya adalah bahwa firman Tuhan itu abadi, di dalam Yesaya 40 ayat 8B dikatakan firman Allah, “kita tetap untuk selama-lamanya”. Sedang kebiasaan dan adat istiadat berubah-ubah, dan tujuan utama dari penafsiran adalah untuk memahami pesan Allah untuk umat manusia dan untuk menjelaskan supaya mudah dan dapat dipahami semua orang. Oleh sebab itu penafsiran adalah bagian integral dari agama dan hanya dapat dilakukan oleh penganut agama itu sendiri. Sebab agama bukan hanya soal pengetahuan dan ilmu, melainkan pertama-tama soal keyakinan dan kepercayaan. Begitu berat, penting, dan menentukan kegiatan ini sehingga biasanya penafsiran itu dilakukan oleh para ahli. Untuk memperoleh pemberlakuan hasil satu-satu penafsiran bagi semua biasanya diputuskan dalam lembaga perwakilan tertinggi dalam gereja yang biasa disebut sidang sinode. Sidang sinode inilah yang menentukan apa yang menjadi ajaran atau doktrin. Namun demikian terutama di zaman yang sangat cepat berkembang belakangan ini tafsiran-tafsiran individual atau satu-satu kelompok terus juga berkembang, ada yang diterima, ada yang tidak diterima oleh perorangan orang percaya. Hal ini
54
lumrah karena sejak awal kekristenan sudah memperolah bentuk dalam berbagai aneka aliran. Memang dahulu mereka saling bermusuhan, akan tetapi sekarang ini sudah saling toleran bahkan makin banyak gereja mengadakan penafsiran bersama terutama menyangkut kehidupan dan tugas-tugas tanggung jawab dalam dunia seperti masalah keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Demikian juga mengenai kesadaran hidup dalam kemajemukan serta keterbukaan bersama semua penganut agama-agama lain untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan untuk semua orang. Yang penting dipahami adalah bahwa kegiatan penafisran adalah kegiatan intern agama yang termasuk asasi dalam pemahaman kebebasan beragama. Sebab dalam penafsiran berfungsi 3 hal, kebebasan berfikir termasuk kebebasan mengadakan penelitian, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan hati nurani. Saya memahami bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 29 ayat (2) menjamin kebebasan berfikir, menjamin kebebasan berkeyakinan dan menjamin kebebasan hati nurani. Negara tidak perlu mengatur masalah penafsiran. Menjamin kemerdekaan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar tidak bisa diartikan sama dengan mengatur penafsiran dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan, apalagi tidak boleh sama sekali mencampuri. Apa yang disebut penyimpangan akibat sesuatu penafisran yang dianggap salah hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang menganut agama itu, dan oleh sebab itu adalah masalah intern agama yang dapat diatasi dengan dialog dan mufakat. Negara atau pemerintah tidak mempunyai bahan apalagi tolak ukur untuk menentukan apa penyimpangan dari pokok-pokok ajaran dalam satu-satu agama. Pada saat ada akses keluar komunitas agama itu dari suatu penafisran yang dianggap menyimpang yang mengganggu ketertiban dan keamanan umum, maka akses itulah yang harus ditangani sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Selanjutnya judul Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan isi Pasal 1 agak sulit dipahami karena dapat memberi kesan seolah-olah yang dimaksud dengan penodaan agama adalah saya kutip, “Melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu. Penafsiran dan kekuatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Padahal penafsiran agama tidak sama dengan penodaan agama. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama bisa saja mengetahui pokok-pokok ajaran agama satu-satu agama, tetapi Departemen Agama tidak mempunyai kemampuan dan wewenang untuk menyelidiki dan menilai pokok-pokok ajaran agama tersebut. Bagi gereja-gereja di Indonesia sekalipun jumlahnya lebih sedikit dari penganut agama lain, agaknya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini
55
lebih membuka kemungkinan campur tangan negara atau orang luar ke dalam kehidupan agama. Menurut pengalaman dan pengamatan saya, Undang-Undang tersebut telah membuka kesempatan bagi penguasa untuk intervensi ke dalam agama. Keuntungan kita di Indonesia dibanding negara-negara dan bangsa-bangsa lain di Asia ialah bahwa kita memiliki filsafah dan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas dengan segala praduga dan kekhawatirannya. Perbedaan-perbedaan pendapat dapat kita selesaikan dengan musyawarah dan mufakat tanpa memakai tekanan atau kekerasan yang pada hakikatnya bertentangan dengan pesan semua agama kita. Secara khusus kita syukuri bahwa negara menjamin kemerdekaan beragama juga untuk masa depan kita yang lebih baik. Terima kasih, Yang Mulia. 120. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih Bapak Nababan, berikutnya Bapak Garin Nugroho. 121. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : GARIN NUGROHO Majelis Hakim yang saya muliakan, sahabat-sahabat dan rekanrekan sebangsa dan setanah air. Salah satu tugas yang terpenting dalam kebangsaan adalah menyelesaikan tugas-tugas kebangsaan yang tidak akan pernah selesai dan menjadi kodrat bangsa ini dan yang tidak pernah selesai dan menjadi kodrat bangsa ini adalah pluralisme. Seperti juga ada Bhinneka Tunggal Ika di depan saya ini. Oleh karena itu, pertanyaan dasar dari apa yang kita bicarakan hari ini apakah PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini sebetulnya menjadi agenda strategi budaya bagi pluralisme atau merosotkan pluralisme itu sendiri? Karena seluruh apa yang kita wujudkan di dalam UndangUndang bukanlah melindungi salah satu agama. Oleh karena itu, pertanyaan dasar kita apakah Undang-Undang ini sebetulnya memiskinkan dan memundurkan pluralisme atau memajukan dalam kerangka apa yang disebut dengan ke Bhinnekaan Tunggal Ika? Kenapa saya mempertanyakan hal ini? Nama saya itu Garin, Garin itu kalau di Sumatera artinya penjaga masjid, tapi kalau di Jawa, Gareng jadi pasti ada hubungannya dengan Jawa, tapi lahir pada waktu Yuri Gargarin jadi ada komunisnya. Repotnya lagi lahir pada waktu Soekarno. Jadi ada nasionalismenya. Jadi pada diri saya itu nama saja sudah betul-betul pluralisme kata ayah saya. Jadi semua orang akan seperti ini juga pasti nantinya. Oleh karena itu, saya ingin menguraikan satu hal yang penting bahwa setiap undang-undang juga harus dilihat dari 3 hal setelah pertanyaan
56
tentang pluralisme. Hal berlakunya secara filosofis, hal berlakunya secara yuridis, dan hal berlakunya secara sosiologis. Kenapa saya ingin menyampaikan ini? Saya memang lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan kebetulan saya lulus juga dari Institut Kesenian Jakarta, dan saya sekarang Direktur Yayasan Science Estetika Teknologi yang berfokus pada misalkan Undang-Undang tentang Informasi Rahasia Negara, dan sebagainya. Tiga ini harus menjadi ujian dari Undang-Undang ini. Hal berlakunya filosofis, yuridis, dan hal berlakunya tentang sosiologis. Hal berikutnya, filosofis. Pertanyaan dasar, apakah undang-undang ini memajukan pluralisme yang menjadi tiang dari kehidupan berbangsa kita ke depan yang tidak pernah akan selesai untuk kita diskusikan dan kita tafsir dan kemudian kita beri muatan baru? Kemudian hal berlakunya yuridis, banyak Saksi Ahli yang sudah membicarakan misalkan tentang berlakunya, tentu saja cara menafsirkan undang-undang ada tentang sejarah berlakunya undang-undang itu yang tadi disebutkan oleh Pak Muslim bahwa itu berlaku pada suatu keadaan darurat sebetulnya. Keadaan tertentu misalkan. Tentang sistematika hukum tentu saja dia pada wilayah Nomor 5 dari Undang-Undang Dasar. Ketetapan presiden hanya nomor 5 saja dan sebagainya. Itu hal berlakunya yuridis. Yang lebih penting lagi, seringkali kita lupa tentang hal berlakunya sosiologis. Hal berlakunya sosiologis hal berlakunya masyarakat apakah Undang-Undang ini mampu mengedepankan tentang apa yang disebut debat paling panjang dari negeri ini tentang apa yang disebut wewenang negara dan agama dalam hubungan dengan bermasyarakat? Apakah peraturan ini justru menimbulkan kebingungan hubungan-hubungan negara dengan agama, agama dengan masyarakat? Pernyataan ini menjadi sangat penting untuk kita lihat jika tidak, maka kita kemudian akan justru memundurkan hal paling penting, yaitu filosofis yaitu tentang ke Bhinnekaan dan pluralisme itu sendiri. Mari lihat kalau kita lihat tentang apa yang disebut dengan sosiologis dan yuridis itu sendiri. Kalau kita lihat pasal-pasalnya ada sekitar 6 kata yang betul-betul tidak masuk dalam istilah hukum yang mampu punya kepastian dan panduan hukum. Contohnya 6 kata ini adalah misalkan ‘menceritakan’, kemudian ‘mengajurkan’, ‘mengusahakan dukungan’, ‘menafsir,’ ‘menyerupai’, ‘menyimpang’. 5 kata ini sebagai suatu bahasa hukum dia telah kehilangan apa yang disebut kepastian dan panduan hukum. Oleh karena itu, justru di wilayah sosiologis akan menimbulkan apa yang disebut korban hukum yang nanti bisa kita tidak prediksi kalau ini tetap berlaku di dalamnya. Jadi kalau kita lihat, maka ada 3 secara filosofis menurut saya, ini memundurkan pluralisme. Secara yuridis, munculnya Undang-Undang itu baik perbandingan hukumnya, sejarahnya itu hanya berlaku pada saat itu saja tepat pada saat itu, tapi tidak lagi pada era sekarang ini.
57
Secara sosiologis betul-betul menimbulkan apa yang disebut kebingungan yang menyangkut kepastian, wewenang, dan apa yang disebut dengan panduan hukum terhadap wilayah-wilayah hubungan negara, masyarakat, dan agama. Itu 3 itu yang saya pentingkan dan ujian yang terakhir dari sebuah produk hukum adalah tentu saja apakah memenuhi syarat sebagai bagian dari negara hukum yaitu bahwa setiap warga negara tunduk kepada hukum, menghormati hak individu, dan peradilan yang akan bebas dan tidak memihak? Kalau peraturan ini dimasukkan ke pengadilan, dia akan menjadi sesuatu yang bisa di permainkan karena pasal-pasal dan kata-kata “karet: ini. Dia bisa memihak, khususnya memihak pada mayoritas dan akan mengorbankan pada wilayah-wilayah minoritas. Oleh karena itu, sebagai suatu bagian negara hukum dia kehilangan peran yang ketiganya yaitu memunculkan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dan peran kedua yang lebih penting adalah apa yang disebut menghormati hak-hak individu. Yang paling celaka dari Negara Indonesia sebagai negara yang katanya negara yang menghormati nilai-nilai agama adalah kekhawatiran bicara tentang agama. Itu adalah kemunduran terbesar dari sebuah sejarah bangsa. Coba lihat, mau bikin film agama Islam minta kyai-kyai. Kalau tidak ada kyainya takut. Mau bikin film Katolik, nanti minta lagi siapa. Kalau tidak ada kyainya takut. Sudah lolos sensor dalam sensor ada orang-orang dari kelompok agama karena dalam badan sensor ada dari kelompok agama. Nanti ada kelompok agama yang marah produsernya minta maaf. Padahal prosedur bernegara lewat sensor sudah dijalani. Mari kita lihat apakah sebuah peraturan menghidupkan suatu warga negara sebagai individu yang punya nilai-nilai peradaban ke depan? Ataukah hanya menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan dan ketakutanketakutan? Banyak asumsi seperti ini. Yang penting adalah reaksi sosial yang harus kita lihat tadi misalkan. Yang penting dampak sosial yang harus kita cegah. Bukankah negara ini sudah punya sistem untuk menanggulangi segala-galanya kalau ada suatu kelompok misalkan mengganggu ketertiban umum dengan atas nama agama? Kalau dia nempeleng depan umum tahan saja. Ada peraturannya, peraturan pidana melakukan kekerasan di depan umum ataupun di mana saja. Itu gampang sekali. Tahan saja video yang di TV-TV itu banyak kekerasan terhadap agama lain. Masuk ke rumah orang lain tanpa izin. Banyak sekali. Lihat videonya, tahan semua orang itu, selesai. Oleh karena itu reaksi sosial dan dampak tidak boleh atas ketakutan terhadap agama, tapi atas kegembiran kita beragama. Apakah kita sebagai bangsa yang kita sebut bangsa atas dasar agama-agama ini, kita punya kegembiraan beragama? Menurut saya tidak. Kita punya ketakutan beragama.
58
Oleh karena itu tafsir hanya menjadi kelompok elit tertentu saja dan selama ini terjadi menurut saya sesungguhnya apa yang terjadi dengan undang-undang ini dia tidak mempunyai daya hidup pada aspek apa yang disebut filosofisnya, aspek pada lingkup yuridisnya dan bahkan pada aspek pada tingkat sosiologisnya. Karena para Saksi Ahli lainnya yang kita baca dari kemarin, misalkanlah tentang pokok-pokok ajaran agama, tentang sekte dan tentang kelompok-kelompok yang saling berbeda dalam satu agama pun begitu banyak sekali. Bahkan kita juga melihat penderitaan teman-teman Penghayat dalam kasus di Indonesia, itu juga terjadi. Oleh karena itu saya hanya ingin mengatakan bahwa saya dengan ini memohon agar Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 dicabut dengan suatu dasar bahwa kita harus punya strategi kebudayaan ke depan. Kebudayaan adalah cara berpikir, bertindak dan bereaksi terhadap persoalan-persoalan bangsa ini ke depan. Cara berpikir, bertindak dan bereaksi termasuk dalam cara berpikir terhadap hubungan-hubungan antar agama dan keyakinan termasuk Kaum Penghayat. Selama kita tidak punya strategi yaitu keputusan politik dengan manajemen dan dengan bangunan etika pluralisme yang dibangun bersama-sama maka sebetulnya negara ini hanya penuh kekhawatiran dan kekerasan. Oleh karena itu, sekali lagi saya mohon untuk dicabut karena undang-undang tidak sekedar hukum tertulis. Undang-undang adalah agenda strategi kebudayan, di dalamnya ada penterjemahan dan upaya untuk terus mengembangkan falsafah kita yaitu Pancasila. Sekian dan terima kasih. 122. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Pak Garin. Jadi ada dua seniman dan budayawan ini, Pak Taufik Ismail dan Pak Garin tetapi beda pendapatnya, yang satu ingin dipertahankan dan yang satu ingin dicabut. Tapi menarik. Mari kita sekarang akan undang dulu tanggapan atau kalau minta penjelasan terhadap keenam Ahli tadi, dan…., Pemohon, saya catat dulu. Pemohon, kemudian Pihak Terkait KWI, KWI Pak ya? Kemudian Majelis Ulama Indonesia, kemudian Nahdlatul Ulama, kemudian Bapak dari…? BKOK. Kemudian,…. Bapak mau interupsi? 123. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PROF. DR. KOMARUDIN HIDAYAT Ya. Mohon diri kami mau meninggalkan ruang.
59
124. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, silakan Pak Komarudin. Lima saja dulu. Kita akan berhenti pada jam 12:00 WIB. Dibatasi masing-masing 3 menit, kalau 3 menit nanti saya ketuk. Oleh sebab itu pilih pertanyaan yang to the point dan yang paling pokok untuk perlu dijawab. Silakan dari Pemohon. 125. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H. Oke. Langsung saja ke Pak Rony Nitibaskara, yang tadi juga menjelaskan bahwa, apa namanya, tafsir memang harus dilindungi walaupun dikasih background bisa dibatasi tapi hati-hati dengan pembatasan itu bisa jadi kriminalisasi terhadap kebebasan beragama. Terima kasih untuk warning-nya itu. Tapi pertanyaan saya, tadi juga mengatakan bahwa pikiran harus bebas tapi dampaknya bisa dilihat, bisa dibatasi. Saya kasih pertanyaan dengan contoh. Kalau ada seorang muslim misalkan melakukan terorisme, pengeboman di mana-mana, dia boleh dihukum karena muslimnya atau karena terorismenya? Pertanyaan berikutnya adalah kalau dia meyakini, misalkan saja jihad diartikan secara sempit adalah kekerasan, angkat senjata, ngebom di mana-mana, terus dia di penjara, apakah penjara bagi dia itu merubah pikirannya? Ataukah semakin mengkristalisasi kekerasan yang memang menyeruak? Ataukah ada strategi lain untuk merubah pikiran atau mendialogkan keyakinan dengan cara dialog yang damai sehingga memang treatment dalam PNPS ini memenjarakan orang karena pikirannya itu sudah tidak tepat. Sehingga pertanyaan, menguji statement Anda tadi bahwa ini penting untuk tetap dipertahankan karena pikiran ngomong dampak. Nah, dalam konteks teori kayak jihad seperti itu, ketika dia memang dipenjara, apakah memang merubah pikirannya? Kalau tidak merubah pikirannya berarti memang Pasal 1 harus dicabut, logikanya seperti itu. Pasal 1 konsekuensinya adalah menghukum orang karena pikiran, karena tafsir, 5 tahun penjara. Apakah 5 tahun penjara bisa merubah pikiran orang? Semoga kalau misalkan jawabannya adalah tidak bisa merubah, statement Anda bisa dikoreksi. Yang berikutnya adalah Pak Taufik Ismail. Tafsir saya terhadap puisi Anda, pagar memang tadi dipertegas oleh Pak Mahfud soal pembatasan PNPS 1965. Tapi ada satu bait, kami tidak dapat puisinya, di sini hanya Pemerintah dan Pihak Terkait, sayang sekali. Dikatakan bahwa, ya kalau memang pagarnya usang ayo kita perbaiki bersamasama. Nah, semangat berbagi bersama-sama kami ingin minta penjelasannya kayak apa? Dan ukuran usangnya seperti apa? Sehingga memang dimensinya adalah menjawab tentang zaman, bukan menjawab ego sentral mayoritas, gitu.Satu itu.
60
Yang kedua, apakah juga Anda mengingatkan bahwa, “Sudahlah, negara ini jangan terlalu sibuk mewakili Tuhan, sudah pasti tidak bisa kok mewakili Tuhan, pikirkan rakyat, hak kesehatan, hak pendidikan, laksanakan dong. Soal keimanan, soal keyakinan, pasrahkan pada yang ahlinya. Jangan diurusi oleh negara”. Apakah juga puisi Anda tadi nyasar itu, mengingatkan kepada kita semua ada sesuatu hal yang lebih mulia, hubungan negara dan warga negara, salah satunya adalah kesehatan, pendidikan, bukan soal campur tangan keyakinan karena negara sekali lagi tidak bisa mewakili Tuhan. Atau Anda punya pendapat yang lain? 126. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, sudah 3 menit. Berikutnya Komisi Wali Gereja (…) 127. KUASA HUKUM PEMOHON : ADAM M. PANTAUW, S.H. Yang Mulia, saya ada satu lagi (..,) 128. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Tidak, tidak usah. Ini bukan menjadi kesepakatan. Jadi boleh berbeda. Jadi sidang ini bukan menjadi kesepakatan antar pihak. Jadi kalau minta klarifikasi boleh, tetapi tidak harus sama. Nanti di sini nanti yang akan mengambil keputusan akhir sebagai kesepakatan hukum. Silakan, KWI. 129. PIHAK TERKAIT (KWI) : RUDY PRATIKNO Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan kami ditujukan kepada Ahli Prof. Dr Rony Nitibaskara. Tadi Bapak sudah utarakan di dalam penjelasan Bapak, sampai sejauh mana perlindungan negara terhadap warganegara dan juga mengenai pembatasan yang sebaiknya bukan ditujukan terhadap pemikiran, tapi ditujukan pada dampak daripada pemikiran tersebut? Kemudian di dalam kesimpulan, Bapak menjelaskan bahwa undang-undang ini masih diperlukan dengan catatan pelanggaran pelaksanaan dengan undangundang ini merupakan suatu persoalan yang lain. Pertanyaan kami adalah pelanggaran daripada pelaksanaan undang-undang ini, apakah itu dimaksudkan dengan pemimpinpemimpin umat beragamanya yang dapat mencegah pelanggaranpelanggaran terhadap pelaksana itu? Dan sampai sejauh mana peran daripada pemimpin-pemimpin umat beragama itu di dalam mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi? Terima kasih, Yang Mulia.
61
130. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Bapak. Satu menit yang dipakai. Majelis Ulama Indonesia. 131. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Terima kasih, Yang Mulia. Sedikit saja, yang pertama kepada Bapak Moeslim Abdurrahman, pada kalimat terakhir tadi Saudara menyebutkan bahwa Anda lebih memilih untuk dakwah daripada sesuatu yang bersifat restriksi. Saya kurang memahami mengapa Anda musti mempertentangkan antara dakwah dan restriksi karena memang pada posisi Anda. Tentu saja restriksi bukan wilayah Anda karena restiksi itu wilayah negara dan dakwah adalah wilayah yang bisa Anda lakukan. Kemudian pada satu hal yang sama antara Pak SAE. Nababan dan Pak Garin Nugroho yaitu yang penting adalah menangani reaksi atau efeknya. Kalau pada Pak SAE. Nababan mengunakan kata ‘akses’ ya, ‘akses; yang harus ditangani, sedangkan kalau pada PaK Garin itu adalah reaksi atau dampak sosialnya. Menurut hemat saya bahwa menangani kekerasan yang merupakan efek ataupun akses itu penting, tetapi menangani orang-orang yang melakukan perusakan terhadap ketentraman beragama, merusak nama baik suatu agama, simbol-simbol agama, itu juga sesuatu yang harus ditangani, tidak cukup reaksi saja yang ditangani. Mereka yang telah menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam beragama, mereka yang telah menodai agama, itu juga harus ditangani. Jangan hanya melihat kerusakan dalam artian kerusakan secara fisik, materiil semata, tapi agama itu sendiri sesuatu yang perlu dilindungi, perlu diberikan suatu pagar-pagar untuk tidak bisa begitu saja dilanggar, dilabrak oleh orang, ini juga harus dipikirkan oleh seorang yang berkecimpung sebagai budayawan. Kita harus memahami ada yang namanya atau nomenklaturnya itu sensitifitas agama. Kita tidak bisa mengabaikan begitu saja dan kemudian justru blame the victim, kita menyalahkan korban, orang-orang yang telah merasa sensitifitas keagamanya dirusak, dilanggar, kemudian dia bereaksi, reaksinya ini yang dipersalahkan semata. Tidak bisa seperti itu. Kita harus adil, memperhatikan kedua-duanya. Memperhatikan keselamatan ketentraman beragama sama pentingnya dengan memperhatikan keselamatan orang yang merasa tergangu secara sosiologis. Demikian Yang Mulia, terima kasih. 132. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima Kasih. Kemudian dari Nahdlatul Ulama.
62
133. PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Terima kasih, Yang Mulia. Kepada Pak Moeslim Abdurrahman dan Bapak Garin Nugroho. Kalau Anda mengusulkan agar undang-undang ini dicabut, saya ingin penegasan saja. Apakah dengan dicabut itu berarti yang ingin Anda sampaikan adalah tidak perlu ada peraturan perundang-undangan yang seperti itu sama sekali? Atau dicabut dalam pengertian kita mempersiapkan terlebih dahulu penggantinya yang lebih baik, yang lebih humanis, yang lebih menghormati hak asasi manusia, dan sebagainya? Sebab kalau pengertiannya yang pertama adalah…, kemudian pertanyaan saya adalah bagaimana Anda akan menangani kasus-kasus seperti Children of God dan lain sebagainya, yang masalahnya tidak hanya sekedar penodaan agama, tetapi juga ada pelanggaran nilai-nilai sosial dan budaya? Terima kasih, Yang Mulia. 134. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terakhir, BKOK. 135. PIHAK TERKAIT (BKOK) : IR. ENGKUS RUSWANA, M.M. Terima kasih, Yang Mulia. Adanya pengaturan berupa undangundang di dalam kehidupan bernegara termasuk beragama, saya kira itu clear ya. Cuma kan sebagai sebuah undang-undang tentunya ini harus memenuhi asas keadilan dan juga tidak ditujukan untuk kelompok tertentu saja, dalam arti berlaku umum. Namun kalau kita lihat di Undang-Undang 175 kita lihat saja penjelasannya, di situ disebutkan bahwa ada kata-kata yang menyebutkan bahwa dewasa ini telah berkembang aliran-aliran dan organisasi kebatinan kepercayaan yang diantaranya melanggar hukum, memecah persatuan dan kesatuan negara, kemudian menodai agama, dari sini saja sudah kelihatan dari sisi historis, kelihatan sudah mengarahkan atau diarahkan pada suatu kelompok tertentu saja. Kemudian kita lihat di dalam pengaruh utamanya, juga disebutkan hanya 6 agama yang mendapat perlindungan dan dalam arti mendapat bantuan tetapi untuk agama lainnya seperti sik dan sebagainya yang disebutkan dibiarkan apa adanya selama tidak melanggar ketentuan itu, itu disebutkan begitu. Di sini jelas ada pemberlakuan diskriminasi, ada perlakuan perbedaan. Dan yang lebih ironis adalah bagi kami sebagai Penghayat Kepercayaan di situ juga sama sekali tidak disinggung dan justru menjadikan diskriminasikan atau didiskreditkan di dalam tadi awal dari penjelasannya. Harusnya kan berlaku juga adil, bagaimana kalau misalnya penodaan terhadap agama-agama tradisi. Selama ini kan kami
63
juga selalu dipojokkan, selalu ada upaya-upaya pembunuhan karakter dengan melambangkan orang Penghayat itu sebagai orang yang penghasut santet, semua baju-baju yang berbau tradisi selalu dilambangkan sebagai tokoh jahat. Kemana, selama ini kami tidak bisa melaporkan atau payung hukum apa yang dapat kita pergunakan untuk membela diri untuk itu? Dan yang jelas dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 begitu itu diundangkan banyak sekali tokoh-tokoh Penghayat, banyak sekali organisasi-organisasi Penghayat yang dibubarkan, itu kenyataan. Atas dasar tersebut saya kira memang undang-undang ini tadi saya sepakat dari pihak, dari sisi historis juga sudah tidak selaras lagi, kemudian dari sisi keadilan ini menurut kami tidak memenuhi asas keadilan. Itu saja dari saya. Terima kasih. 136. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Lima penanya masing-masing 3 menit, ada yang kurang dari 3 menit bagus. Nah, untuk yang menjawab ini yang tadi disebut langsung beberapa, Pak Rony, Pak Taufik, Pak Moeslim, Pak Garin dan Pak Nababan disinggung sedikit-sedikit tadi. Saya persilakan masing-masing rata-rata 3 menit juga Bapak, tidak harus (…) Bagaimana Bapak? 137. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PDT. DR. SAE.NABABAN, LLD. Ya, kalau boleh diizinkan jam 12.00 saya boleh meninggalkan sidang. 138. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya jam 12.00 mau ditutup, Bapak, jadwalnya jam 12.00 ditutup. Silakan, Pak Roni. 139. AHLI DARI PEMERINTAH : PROF. RONY NITIBASKARA Terima kasih. Ada 2 pertanyaan dari saya, dari Pemohon dan satu lagi kawan dari yang di belakang. Saya menjawab singkat saja, apakah terorismenya atau muslimnya yang menyebabkan dia dipenjara? Yang menyebabkan dia dipenjara adalah terorismenya. Memang dia muslim tetapi keliru menafsirkan jihad, jihad itu banyak sekali pengertiannya. Apakah setelah dimasukkan penjara tetap begitu atau berobah? Saya ingin sampaikan kepada Bapak bahwa contoh-contoh dengan melakukan upaya-upaya dari aparat melakukan radikalisasi banyak beberapa yang kemudian kembali ke jalan yang benar. Oleh karena itu saya tetap bertahan bahwa ini Undang-udang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 harus tetap dipertahankan. Pertanyaan yang
64
kedua, sebagaimana yang saya jelaskan tadi, saya melihat dari sudut padang kriminologi. Kriminologi itu tidak saja melihat obyeknya, tingkah laku yang oleh hukum maupun negara dinyatakan terlarang tetapi tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sehingga timbul kegoncangan, ketegangan dan sebagainya dan menimbulkan chaos dan sebagainya, di situ menjadi ambisi para ahli kriminologi untuk kemudian paling tidak menelitinya, meneliti dari 4 parameter yang saya sebutkan tadi, bukan dengan penelitian berdasarkan pendekatan hukum pidana, yaitu dengan waktu, tempat, aturan yang dilanggar dan terakhir yang paling besar posisinya adalah reaksi sosial. Kalau reaksi sosial begitu besar maka itu harus dilakukan kriminalisasi. Sama dengan halnya apa yang dilakukan oleh saya pribadi, saya melakukan penelitian terhadap santet, kemudian berhasil, kebetulan saya juga adalah anggota Tim Penyusun RUU KUHP, jadi sudah menjadi undang-undang tersendiri, pasal tertentu, meskipun deliknya bukan delik materiil, delik formil, itu berhasil karena santet itu sangat merugikan , sangat menista agama dan bahkan Al-Qur’an itu dibaca dibolak-balik , dan juga barangkali menimbulkan banyak fitnah. Ingat peristiwa Banyuwangi. Dengan demikian bagaimanapun juga wajib hukumnya bagi seorang kriminolog untuk mengkriminalisasi santet dan ternyata berhasil. Dari 12 Guru Besar di Tim penyusun RUU KUHP semua aklamasi setuju dengan pendapat saya. Jadi sekali lagi, kalau itu mengoncangkan, tidak bisa tidak. Dari segi metodologi harus diteliti adalah metode dalam metodologi yang ujung-ujungnya kalau memungkinkan sangat dianjurkan untuk kriminalisasi. Sekian, terima kasih. 140. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, 3 menit berikutnya, atau kurang barangkali Pak Taufik Ismail. 141. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. (HC) DRH. TAUFIK ISMAIL Terima kasih, Yang Mulia. Saya mengucapkan terima kasih perhatian Anda pada puisi saya, ini ada satu copy bisa diambil nanti. Saya mengunakan metafora “pagar” yang akan dapat terbaca, akan dapat dipahami, akan dapat dihayati oleh siapa saja. Dan sebenarnya yang saya maksudkan kebebasan yang berlebihan, ini yang dalam 10 tahun yang akhir-akhir ini, euphoria dari reformasi masih juga melanda negeri kita dan keinginan untuk kebebasan yang berlebih-lebihan ini untuk di seluruh strata kehidupan ini, saya luar biasa khawatir. Saya pada kesempatan dua tahun yang lalu juga sudah diundang, terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi untuk tampil di sini. pada waktu itu mengenai masalah sensor film. Nah, inti dari apa yang saya inginkan dari puisi saya sekarang ini, seperti yang ditanyakan oleh Yang Mulia Ketua Mahkamah, yaitu peraturan yang ada sekarang ini saya
65
ibaratkan ini sebagai kayu-kayu dari pagar dari tebing begini tinggi yang sudah lama sudah beberapa dasawarsa umurnya, sudah mulai lapuk. Ini kita perbaiki, kita ganti, bukan dicabut, pagarnya bukan dicabut. Akan tetapi, diperbaiki dan kemudian diganti dan bagaimana…, Anda tadi bertanya apa-apa saja yang diperlukan dalam hal ini? Saya tidak tahu dengan tepat. Kalau ada Undang-Undang ditulis dalam puisi undanglah saya dengan beberapa kawan-kawan. Dalam hal ini Ekspertis dari Bapak-bapak dan Ibu di sini dipercayakan oleh bangsa. Terima kasih. 142. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya Pak. Jadi agar jangan dicabut tapi diganti, tapi biasanya kalau diganti, dicabut dulu. Ini guyon saja. Pak Muslim? 143. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. MOESLIM ABDURRAHMAN Ada dua pertanyaan dari Saudara saya dari MUI dan NU. Dalam semua pembicaraan kita sekarang ini tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 itu, bagi saya sangat jelas bedanya antara penodaan agama dan hak berkeyakinan. Dan menurut saya penodaan agama itu juga jelas delik dan ininya. Dan kalau ada orang menodai agama itu pasti bisa ditindak melalui KUHP atau Undang-Undang yang lainnya. Nah, oleh karena itu menurut saya harus dibedakan antara penodaan agama dan hak berkeyakinan itu. Oleh sebab itu kalau kawan saya dari MUI tadi mempersoalkan kalau terjadi keresahan, saya pernah merasakan keresahan yang luar biasa tatkala saya masih menjadi santri di Pesantren Wahabi. Begitu saya pulang, keluarga saya seluruhnya yang masih tahlilan, yang masih memakai beduk begitu, saya anggap mereka orang sesat dan saya khawatir kalau mereka nanti meninggal masuk neraka. Saya berdebat terus-menerus dan mereka tidak mau percaya dengan apa namanya…, ajaran yang saya bawa dari Pesantren Wahabi itu. Sampai ketikanya saya saking jengkel maka beduknya saya robekrobek dan saya ditangkap dan ditahan polisi. Saya kira benar bahwa polisi sebagai aparat negara menahan saya karena saya telah melakukan tindak pidana. Tetapi persoalan tahlil itu tidak bisa diselesaikan di kantor polisi. Nah oleh karena itu menurut saya, harus dibedakan betul antara wilayah agama dan wilayah negara itu. Di depan negara kita semua itu adalah warganegara dan di depan Tuhan, kita ada yang punya agama dan ada yang tidak menganut agama. Itu adalah hak azasi karena kita hidup di dunia ini. Nah, Bapak-Bapak dan Saudara-Saudara sekalian, saya walaupun antropolog, tapi sampai sekarang saya kadang-kadang masih jadi da’i dan ustad karena itu adalah tugas dan panggilan agama saya. Oleh sebab itu, saya percaya dakwah daripada hukum. Apalagi dalam hal
66
misalnya meluruskan ajaran-ajaran yang saya anggap sesat. Nah, wilayah dakwah itu menurut saya terganggu kalau kita kemudian represif menggunakan undang-undang ini. Yang kedua pertanyaan dari sahabat saya dari NU, seandainya atau sebuah sekte yang ada sekte seperti Children of God menganjurkan “Mari kita bunuh diri masal.” Nah, menurut saya itu sudah menyangkut keselamatan orang. Oleh karena itu negara boleh campur tangan dalam hal untuk menyelamatkan manusia dan warga negaranya. Jadi kalau ada orang punya keyakinan bahwa pandangan jihadnya seperti ini atau seperti itu adalah hak mereka, tapi begitu orang yang punya keyakinan jihad itu kemudian menyambung ayat-ayat jihad dengan tafsirannya melalui kabel ke detonator dan kemudian diledakkan dan menghilangkan nyawa banyak orang yang tidak bersalah maka dia menjadi wewenang negara untuk menyelamatkan orang lain. Nah, itu menurut saya harus dibedakan betul supaya kita tidak tumpang tindih antara hubungan warga negara dan hubungan kita dengan keyakinan dan keimanan kita masing-masing. Begitulah jawaban saya dan terima kasih atas pertanyaan ini. 144. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, berikutnya Pak Garin, baru nanti terakhir Pak Nababan, ya. Silakan Pak Garin. Pak Garin dulu, Pak. 145. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : GARIN NUGROHO Terima kasih atas pertanyaan siapa-siapa saja, ya. Menurut saya, yang paling menarik adalah suasana sidang hari ini adalah momentum kebangsaan yang paling luar biasa. Saya justru bermimpi negara menjadi fasilitator untuk dialog semacam ini, untuk persoalan-persoalan hubungan antara agama dan kepercayaan, dan dialog semacam ini maka saya bilang bahwa undang-undang dicabut karena masalah-masalah di catatan oleh Bung Moeslim tadi bisa dilakukan dengan Hukum Pidana dan sebagainya sangat jelas sekali tadi uraiannya dan pemecahanpemecahan masalah ini bisa negara menjadi fasilitator adalah lembaga khusus tentang pluralisme yang membangun etika pluralisme. Etika pluralisme di berbagai negara dibangun untuk menciptakan produktivitas dan juga mencegah kontra produktivitas itu sendiri. Nah, oleh karena itu menurut saya yang ingin saya katakan, mari kita bangun kembali atau kita ganti dengan negara sebagai fasilitator untuk mengolah hubunganhubungan antar agama menjadi sebuah etika pluralisme yang butuh waktu panjang dan tidak akan pernah mati, hanya itu usul saya. Tentang kebebasan yang berlebihan saya hanya menjawab selama ini kebebasan berlebihan itu terjadi karena status dan wewenang tidak jelas dan kemudian karena kepastian dan ketegasan hukum tidak terjadi. Kekerasan yang diciptakan oleh Bung Moeslim,
67
kalau saya masuk rumah orang lain, mukul-mukul untuk mengeledah sesuatu, saya meskipun itu dia berbeda agama dan saya boleh ditahan karena saya telah melakukan perusakan umum dan itu ada peraturan di pidana yang sangat jelas. Karena itu tidak terjadi ketegasan dan kepastian hukum, status dan wewenang, maka kebebasan yang melanggar hukum terjadi dimana-mana, itu adalah jawaban, dan itu sesungguhnya jauh dan berbeda dengan kasus yang ada di dalam masalah yang kita bicarakan pada hari ini. Jadi menurut saya tidak perlu ada undang-undang khusus tentang ini, jadikan negara sebagai fasilitator membangun agenda pluralisme ke depan sepanjang…, di dalam berbagai negara timbul fasilitator untuk membangun misalkan kumpulan orang-orang yang mengolah etika pluralisme itu sendiri, sebagai contoh menyebut warna kulit hitam karena suatu kejahatan harus setelah pengadilan mengeluarkan keputusan, tapi menyebut warna kulit hitam karena dia menang golf itu boleh karena memang produktif kan orang kulit hitam, itu contoh etika yang terjadi misalkan. Oleh karena itu, mari kita lihat sidang ini sebagai ruang fasilitator yang luar biasa dan saya terus terang memuji cara-cara Majelis Hakim melakukan dialog semacam ini. Ruang dialog ini bisa menjadi pengganti dari undang-undang itu. Terima kasih. 146. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terakhir, Bapak Nababan. 147. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PDT. DR. SAE.NABABAN, LLD. Terima kasih, Yang Mulia. Saya hanya mau katakan sama seperti Dr. Muis bahwa saya yakin KUHP sekarang sudah cukup menghadapi (…) 148. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Kurang dekat mic-nya, Pak. 149. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PDT. DR. SAE.NABABAN, LLD. KUHP sekarang sudah cukup menghadapi ekses-ekses yang timbul karena masalah intern atau antar agama. Yang kedua, kalau kita mau mencegah atau negara mau mencegah mengurangi keteganganketegangan itu cukup jalan yang alin umpamanya lebih bersengaja mengusahakan pemerataan di antara penduduk kita. Keadilan yang kita sebut jangan hanya keadilan dalam arti kata saja tetapi pemerataan secara ekonomis atau dengan meningkatkan pendidikan. Dengan pendidikan yang lebih baik dan merata saya rasa akan berkurang
68
ketegangan-ketegangan hidup. Yang ketiga, dan ini barangkali yang terpenting yang saya mau katakan, undang-undang ini menurut pengalaman saya sudah menjadi pintu yang baik bagi penguasa untuk intervensi. Waktu saya melayani sebagai Ephorus HKBP pernah ada ketegangan karena perbedaan tafsiran justru dipakai untuk mempertentangkan yang di dalam. Jadi itu saya rasa dengan tidak adanya lagi undang-undang ini maka kemungkinan itu dikurangi. Terima kasih, Yang Mulia. 150. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, terima kasih Bapak-bapak, para pihak, Pihak Pemohon, Pihak Pemerintah, Pihak Terkait, dan para Ahli, terima kasih atas kehadirannya. Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib di Mahkamah Konstitusi sidang diakhiri jam 12.00 dan akan dibuka kembali nanti jam 14.00. Nah, kepada para Ahli yang sempat hadir lagi nanti kami berterima kasih tapi kalau tidak juga saya kira pagi hari ini sudah cukup sehingga Ahli yang lain yang masih ada 4 di sini nanti akan didengar keterangannya sesudah jam 14.00 dan dengan demikian sidang dinyatakan selesai dan ditutup KETUK PALU 3X
SIDANG DISKORS PUKUL 12.05 WIB
SIDANG DIBUKA KEMBALI PUKUL 14.00 WIB
151. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dengan mencabut skors, Sidang Pleno Perkara Nomor 140/PUUVII/2009 dinyatakan dilanjutkan. KETUK PALU 3X Selamat datang Pak Yusril. Bapak ditunggu untuk memberi keterangan sebagai Ahli di sini, tapi Bapak satu-satunya yang belum mengambil sumpah. Untuk itu dimohon maju ke depan mengambil sumpah dahulu. Yang akan mengambil sumpah Bapak Hamdan.
69
152. HAKIM ANGGOTA : HAMDAN ZOELVA, S.H., M.H. (MEMBERIKAN SUMPAH) Baik, Saudara Ahli disumpah menurut agama Islam. Ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan Bismillahirrahmanirrahim. “Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 153. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA (DISUMPAH)
Bismillahirrahmanirrahim.”Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 154. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan duduk kembali. Kita undang pertama Prof. Budhisantoso, sesudah itu Bapak Johan Effendi, sesudah itu Bapak Seno, baru nanti Bapak Yusril. Seperti yang sudah-sudah Prof., keterangan diberikan kirakira 15 menit. 155. AHLI DARI PEMOHON : PROF. SUBUR BUDHISANTOSO Bapak Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati dan saya muliakan. Pertama-tama ingin saya sampaikan terima kasih dan penghargaan atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara di depan sidang yang terhormat. Assalamualaikum wr. wb. Dalam kesempatan ini saya akan berbicara sebagai seorang antropolog. Oleh karena itu saya akan berbicara agama sebagai sistem budaya. Keberhasilan manusia mempertahankan hidup di dunia ini berkat kemampuannya beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya secara aktif. Kemampuan beradaptasi manusia itu ditopang oleh kebudayaan mereka sebagai hasil abstraksi pengalaman membina hubungan timbal balik dengan lingkungannya secara menguntungkan. Kebudayaan sebagai abstraksi. pengalaman beradaptasi itu kemudian dilembagakan dan berfungsi sebagai kerangka acuan dalam kehidupan mereka sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial yang tertinggi derajatnya, manusia tidak hanya mengandalkan pada kebudayaan sebagai kerangka acuan dalam memberikan makna dan tujuan hidup serta pencapaiannya, melainkan juga untuk menata kehidupan bersama sebagai mahluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. Karena itulah maka kebudayaan menjadi society, atau group identities, atau identitas kelompok dari pada pendukungnya.
70
Kebudayaan yang semula dikembangkan manusia itu melalui pendidikan atau sosialisasi, akhirnya membentuk sikap atau mental attitude dan pola tingkah laku para pendukungnya. Boleh dikatakan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan manusia- manusia normal tidak bebas dari pengaruh kebudayaan yang membesarkan dan mengantarkan mereka ke arah kemapanan hidup. Sehingga apa yang diangap reality (kenyataan) oleh manusia itu ada dua macam kenyataan yaitu culture reality dan scientific reality. Sebagai contoh orang Jawa, mengenal lebih 200 setan, setan Jawa menurut penelitian seorang ahli Belanda. Keblag, wewe, glundung, pringis, tetean, bagaspati, dan sebagainya. Walaupun seumur hidupnya belum pernah ketemu dengan setan-setan itu. Kecuali sekarang ada setan desa dan setan kota, ini adalah cultural reality. Dan karena apa? karena kebudayaan itulah nanti yang mempengaruhi kita, apa yang kita lihat, kita dengar dan apa yang kita pikirkan. Agama pada hakikatnya merupakan sistem budaya yang mengandung nilai-nilai inti, core value, pranata sosial dan teknologi yang diperkuat dengan kepercayaan akan kekuatan gaib yang berkuasa memberikan hukuman ataupun ganjaran, the core value inilah yang sebenarnya menjadi inti daripada agama yang kita yakini. Saya di sini tidak akan bicara soal asal-usul agama akan tetapi saya melihatnya dalam fungsinya. Karena itu agama dan kebudayaan yang berkembang dalam satu masyarakat biasanya saling memperkuat dan mempengaruhi dalam perkembangan dan implementasi kehidupan bermasyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui kebudayaan sebagai abstraksi pengalaman manusia terhadap lingkungan itu tidak statis, hanya kecepatan perkembangannya yang berbeda tergantung dari banyak faktor internal maupun eksternal. Pergantian generasi, perubahan lingkungan alam dan intensitas kontak-kontak dengan kebudayaan lain serta peluang munculnya local genius sebagai culture hero dapat mempercepat perkembangan suatu kebudayaan. Sebaliknya keterpencilan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang relatif solid dan stabil dapat menghambat pembaharuan karena lemahnya tantangan yang mereka hadapi. Karena itulah kita mengenal keanekaragaman kebudayaan di Nusantara yang mencerminkan pola-pola adaptasi dan dinamika masyarakatnya. Mengingat kenyataan tersebut kita tidak dapat memaksakan suatu kebudayaan kepada masyarakat lain yang merupakan pendukung kebudayaan yang berlainan sebagai kerancuan kerangka acuan yang ditanamkan dan diperkokoh atau strengthen dalam kehidupan mereka sehari-hari. Demikian pula kita tidak dapat melarang mereka mengacu pada satu sistem budaya yang selama ini dihayati sebagai kerangka acuan yang memberikan makna, memberikan arah dan cara penyelenggaraan berkehidupan. Apa yang dapat kita lakukan adalah menawarkan secara persuasif dan keteladanan edukatif tanpa paksaan apalagi disertai
71
kekerasan. Betapa sulitnya memperkenalkan dan menawarkan pembaharuan kebudayaan dalam suatu masyarakat tercermin betapa nasib malang para Napi di masa lampau. Sejalan dengan perjalanan waktu dan perubahan lingkungan hidup dalam arti luas yang ditopang dengan penerapan teknologi maju di bidang transportasi dan komunikasi, masyarakat dunia kini akan terlibat dalam kontak-kontak budaya secara intensif. Mereka yang tidak siap akan semakin tertinggal dan kalau tidak terlindas karena alkulturasi. Karena itu pendidikan dalam arti luas untuk membekali kemampuan masyarakat menanggapi tantangan dengan mempercepat pengembangan kebudayaan masingmasing dalam masyarakat majemuk yang multikultur seperti Indonesia ini lebih penting daripada menyisihkan kebudayaan-kebudayaan yang masih berfungsi. Cepat atau lambat kebudayaan-kebudayaan yang tidak efektif lagi sebagai kerangka acuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang mengalami perubahan dengan cepat akan hilang tanpa paksaan, sebaliknya paksaan untuk menerima kebudayaan asing hanya akan membangkitkan perlawanan yang justru cenderung mengaktifkan simbol-simbol ikatan primordial untuk memperkuat kesetiakawanan dalam kelompok kecil masing-masing dan inilah yang menjadi potensi konflik dalam masyarakat majemuk. Sebagaimana kita ketahui pengaturan pendidikan kebudayaan ini sangat penting untuk mempersiapkan masyarakat agar mereka mampu bersaing menghadapi era globalisasi yang diwarnai dengan percepatan perkembangan sosial. Kita tidak mungkin membuat peraturan-peraturan terlalu ketat di dalam membina kebudayaan ini oleh karena sangat tergantung pada potensi masyarakat yang berangkutan melainkan kita harus dengan melakukan pendidikan dalam arti luas. Kegagalan pendidikan menanamkan pendidikan ini akan cenderung mengakibatkan masyarakat kita tidak siap dan karenanya cenderung kita melakukan resistensi dengan mengaktifkan simbol-simbol ikatan primordial itu, sehingga akhirnya kebudayaan atau agama sebagai sistem budaya itu ditinggalkan dan yang diambil adalah agama sebagai politik, dan agama sebagai politik ini tercermin pada akhir-akhir ini perjuangan orang untuk mengaktifkan simbol-simbol agama untuk memenangkan persaingan yang tidak fair. Sebagai contoh kita lihat Undang-Undang Pornografi semua orang ada yang suka lihat pornografi ada yang tidak, ada yang biasa melihat itu tetapi karena kebudayaannya tetapi Undang-Undang Pornografi itu lebih cenderung untuk mengembangkan simbol-simbol kelompok tertentu. Demikian juga akhir-akhir ini ada klub poligami, bukan anggotanya tidak harus berpoligami dan tidak harus ingin berpoligami tapi yang penting adalah poligami itu sendiri menjadi simbol kelompok tertentu. Dan terakhir kita mendengar ada orang berusaha untuk melarang kawin siri dan sebagainya. Semuanya itu tujuannya tidak lain
72
adalah karena kecenderungan kita terseret dalam arus agama menjadi politik. Karena itu Bapak Ibu sekalian kita tentunya Bapak Ibu dan Majelis Hakim yang mulia, kita tidak ingin menambah kerancuan hidup ini karena semakin banyak peraturan dibuat semakin banyak pelanggaran dilakukan dan biarkan masyarakat, jangan dianggap masyarakat itu bodoh dan tidak tahu apa yang harus dilakukan di dalam berkomunikasi selama masyarakat itu beragama karena agama itu mengatur interaksi sosial antar sesama manusia. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 156. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih Prof. Subur Budhisantoso. Berikutnya, Bapak Dr. Djohan Effendi. 157. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. DJOHAN EFFENDI
Assalamualaikum wr. wb.
Sebelum saya membacakan saya ingin menyampaikan ini. 158. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Diambil! Pak mic-nya kurang dekat Pak Djohan, di-anu saja, ditekuk agak ke bawah. 159. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. DJOHAN EFFENDI Saya mempunyai hubungan emosional dengan PNPS ini. Pada tahun 1965 saya pernah dipanggil karena dituduh menistakan atau menodai agama orang lain, ketika ini baru lahir. Karena pada waktu itu saya sedang semangat berdakwah membela agama sebagai seorang yang dipengaruhi oleh cara berpikir apologi, kalau ingin membuktikan kebenaran agama sendiri kita harus menjelaskan kejelekan agama orang lain. Saya dipanggil oleh Prof. (alm). Farid Ma’ruf Kepala Kantor Urusan Agama berdebat saya dengan beliau. “Kalau soal mengaggap agama lain lebih jelek segala macam kenapa tidak Al-Quran tidak dilarang saja?”, saya bilang begitu. Kenapa? Itu dikatakan kafirlah orang-orang yang menganggap Yesus, Isa itu Tuhan, nah ini pada waktu itu, masih semangat muda. Tapi kemudian pada tahun 70-an saya terlibat lagi dengan undang-undang ini, ketika saya membela banyak beberapa orang yang dilarang, yang ditangkap, yang dihukum karena dianggap menganut agama yang di luar agama yang 5. Salah seorang yang saya bela itu adalah Pak Kurdi namanya, seorang penganut agama Baha’i di Banyuwangi. Ketika datang dia menemui, mengunjungi temannya yang dihukum di sana dia tidak boleh pulang karena dia ternyata agama
73
Baha’i. Kemudian dia diadili dan dihukum 5 tahun. Setelah keluar dia pindah bertransmigrasi ke Lampung. Di Lampung dia menerima bukubuku doa dari teman-temannya di Sumatera Barat dan itu ketangkap oleh polisi. “Kok ini ada doa-doa agama Baha’i?” “Itu dilarang!” Dihukum 5 tahun lagi. Tadi saya tanya kepada teman saya, “Dimana beliau sekarang?” Sudah uzur sekali, sudah pindah di Sulawesi Tengah. Pada waktu saya selalu mempertahankan ini saya membela PNPS, saya menggunakan PNPS sebagai ini ini dan ini sebagai alasan tidak bisa melarang agama Baha’i karena tidak ada pelarangan di situ, pembatasan. Nah, saya juga tadi melihat bersyukur banyak teman-teman saya sekarang yang dulu bersikukuh bahwa agama itu hanya 5 yang diakui dan selalu menolak argumentasi dengan undang-undang itu. Jadi teman-teman saya dulu di Departemen Agama dimana-mana itu selalu menolak agama Konghucu waktu itu, sekarang mereka malah menggunakan itu juga untuk membuktikan bahwa ini tidak membatasi kebebasan beragama. Jadi undang-undang ini bisa dibagi digunakan 2 arah, ini pengalaman saya tapi itu terlepas, saya tidak akan berbicara soal itu. Ketua dan para Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Terima kasih saya sampaikan atas penunjukan saya sebagai salah seorang yang diminta oleh MK untuk berdiri di mimbar ini dan diposisikan sebagai Saksi Ahli, yang saya sendiri tidak berani dan malu terhadap diri sendiri untuk menyebut diri sebagai seorang Ahli. Lidah saya lebih ringan untuk mengakui diri saya tidak lebih dari seorang Thalib, kalau jamaknya jadi Thaliban, yang ilmunya masih jauh dari sampai. Semoga saja apa yang saya kemukakan ini sebagai seorang Thalib dapat membantu Mahkamah Konstitusi memberikan jawaban yang melegakan semua pihak. Pertama-tama saya ingin tekankan bahwa tindakan penodaan agama tidak ada perbedaan di antara kita. Tindak penindakan penodaan terhadap agama, keyakinan, atau terhadap apapun, lebih-lebih yang dihormati, dimuliakan dan dipandang suci oleh kelompok apapun tidak bisa dibenarkan. Namun apa yang bisa dikatagorikan sebagai tindak penodaan agama orang bisa berbeda persepsi dan pendapat. Ketua dan para Hakim Anggota yang saya muliakan. Berkenaan dengan sidang ini saya ingin mengemukakan beberapa catatan. Pertama, Persidangan Mahkamah Konstitusi kali ini saya anggap sangat-sangat penting karena menyangkut masalah yang sangat fundamental berkenaan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang dianugrahi Tuhan akal, yang menyangkut penggunaan akal yang berulang kali ditekankan di dalam Al-Quran, bukankah keberagaman berkaitan langsung dengan penggunaan akal kita? Bahkan sering kita mendengarkan kutipan sabda Nabi aldinuhu wal aklu ladina liman wal aklalahum, agama itu adalah terkait dengan akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.
74
Boleh jadi kita bisa mempersoalkan kevalidan hadist ini, namun ketika kecil saya pernah membaca kitab kerukunan melayu yang mengatakan syarat seorang mukallaf antara lain adalah akil dan baligh artinya orang yang berakal dan orang yang dewasa. Makhluk yang tak berakal, bahkan manusia yang absen akalnya, orang gila, orang tidur, orang lupa, terbebas dari taklit beban syariah. Nah, kalau demikian halnya, bukankah terdapat kaitan antara beragama dan memfungsikan akal, dan tidakkah penggunan akal itu terkait dengan kebebasan berpikir, kebebasan hati nurani? Ini juga berarti kebebasan memilih keyakinan. Bukankah ini menyangkut keberimanan kita sebagai makhluk berakal? Saya teringat pada apa yang dimaksud beriman itu. Ketika saya dilanggar katanya iman itu adalah tasdiqun bil qolbi, wa ikrarun bilisani, wa amalun bilarkani, dan pembenaran di dalam hati yang diikrarkan dengan lidah dan dibuktikan dengan amal. Saya teringat akan pengajian dilanggar itu bahwa pembenaran dengan hati mestilah berdasarkan yakinan zaziman keyakinan yang mantab. Mungkin kah seseorang yang memperoleh yakinan zaziman kalau keberagamaan dan keberyakinannya tidak berada dalam ruang bebas, dimana dia bisa bersikap sebaliknya? Subhanallah maha suci allah menganugrahi kebebasan beragama laikraha fi diin, dan kebebasan memilih untuk beriman atau kufur terhadapnya, fa’man saafal yu’min faman saafal ya’kur, sungguh saya yakin kebesaran Allah tidak berkurang sedikit pun walau seluruh umat manusia kufur padanya. Saya rasa MPR di masa orde baru tidaklah keliru ketika merumuskan bahwa kebebasan beragama itu adalah hak manusia yang paling asasi berasal dari Tuhan sendiri, bukan pemberian negara dan juga bukan pemberian satu kelompok. Pengunaan akal sangat ditekankan di dalam Al-Quran. Ungkapan yang dipakai selalu dalam bentuk kata kerja, bahkan orang yang tidak menggunakan akalnya dianggap sama bahkan lebih rendah dari hewan, lahum kulubun layaf
fahuna biha walahum a’yunun layusiruna biha walahum uzunun la yasmaun na biha ula ika kal an’am wal hum asrofun. Penggunaan fungsi
akal atau berfikir yang hasilnya bisa benar dan bisa salah tetapi kegiatan berfikir itu sendiri tidak bisa disalahkan bahkan karena menggunakan akal itu sangat ditekankan oleh agama dan terkait dengan keberagamaan kita maka penggunaan akal dengan niat baik saya rasa termaksud dengan apa yang disabdakan Nabi proses berijtihad yang kalau salah masih dapat satu pahala dan kalau benar dapat dua pahala. Nah, kalau tidak berfikir sama sekali tidak dapat apa-apa. Sehubungan dengan hal ini saya kemukakan bahwa pikiran atau keyakinan seseorang bisa benar dan dalam hal agama dikatakan sesat. Terhadap pikiran atau keyakinan yang dianggap oleh satu golongan sesat, tidak bisa kita campuri atau kita larang. Saya ingin mengambil contoh, kalau ada seorang merasa mendapat wangsit bahwa di depan Mahkamah Konstitusi ada harta karun berlimpah ruah misalnya, kita tidak bisa menyalahkan dia dan bawa dia ke polisi misalnya. Atau kalau
75
ada orang percaya sama omongannya juga tidak bisa kita salahkan. Tapi kalau dia datang membawa buldozer masuk ke halaman MK ini, membuldozer halaman MK, baru dia diserahkan ke polisi. Jadi selama dia hanya ngomong begitu mengaku mendapat wangsit, paling-paling kita bawa saja ke psikiater. Kedua, kehadiran agama saya percaya melengkapi anugerah yang dikaruniai Tuhan kepada manusia yaitu akal tadi. Sebagai penganut agama wahyu, saya percaya wahyu itu adalah sumber agama. Masingmasing agama wahyu mempunyai konsepnya sendiri tentang apa yang dimaksud dengan wahyu itu. Sebagai seorang Muslim, maka Al-Qur’an lah yang saya imani sebagai wahyu. Di sini wahyu hadir dalam teks, ia harus dipahami. Dan memahami, merenungkan dalam proses adalah proses penggunaan akal, proses berfikir, dan di sini terkait masalah pamahaman dan penafsiran. Oleh karena kemampuan manusia berbedabeda, baik kecerdasannya, latar belakang pendidikan maupun pemahamannya maka pemahaman dan penafsiran pun selalu berbeda. Bukan hanya perbedaan antar satu orang dengan lain orang tapi juga berbeda dalam diri kita sendiri. Apa yang saya anggap benar sekarang, apa yang saya anggap kemarin benar misalnya. Mungkin saya dapat informasi baru, masukan baru, saya koreksi sekarang. Dan mungkin nanti, besok atau lusa akan saya koreksi lagi. Nah, maka itulah di dalam ini ada suatu mekanisme atau sikap yang disebut Arruju Ilhak, kembali kepada yang benar, dan itu terbuka sampai kapanpun, dan tidak akan pernah final. Dan karena itulah saya menghayati kalau saya mengucapkan Ihdinassirathal mustaqiim. Karena petunjuk itu tidak akan pernah final dan selesai. Selalu harus dimohon. Oleh karena itu juga sikap terhadap orang yang kita anggap sesat segala macam, dia terbuka untuk lepas dari apa yang kita anggap sesat. Bukankah dia masih terbuka kalau dia di dalam kalangan Islam dikatakan man ahanakalimuhu akhirukalimuhu lailahailallah antaharrah waljannah. Jadi orang, saya memahami hadist ini untuk menunjukkan kita harus toleran kepada orang yang paling sesat sekalipun, karena surga masih terbuka untuk dia, nanti ketika dia akan berhadapan dengan
sakratul maut.
Perbedaan pendapat adalah fenomena manusia sebagai makhluk berakal, yang tidak mengenal perbedaan pendapat, pikiran dan penafsiran hanya makhluk yang tidak berakal. Oleh karena itu pula kita mengenal qaul (pendapat), madzhab ( aliran atau sekte), firqah dalam semua agama. Dan hal ini terjadi dalam konteks agama Islam misalnya perbedaan dalam bidang aqidah, dalam bidang syari’ah, dalam bidang tasawuf, bahkan banyak madzhab-madzhab dalam bidang ussuluddin , dalam bidang fiqih, atau dalam bidang tarekat dan sebagainya. Dalam kaitannya ini muncul usaha untuk memperkecil perbedaan di kalangan ulama-ulama dengan membuat katagori kat’ih, ajaran yang tidak bisa diinterpretasikan lain, pasti dan yang dzhanni (yang masih dalam bentuk dugaan-dugaan). Sayangnya, menurut Imam Syafi’i,
76
sebagaimana dikutib oleh Ustad Quraish Shihab, saya kutip, “Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada satu teks keagamaan pun baik Al-Qur’an maupun Hadits yang secara berdiri sendiri dapat dipahami dalam bentuk penafsiran tunggal. Jadi tidak ada yang absolut. Ini menurut Imam Syafi’i. Dalam kaitan ini saya kira kita bisa belajar dari perkataan sementara ulama yang mengatakan, “Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan keliru dan pendapat Anda salah, tapi masih memperoleh kemungkinan benar”. Dan saya kira juga perlu menghayati sikap rendah hati dan tahu diri dari para ulama dahulu yang selalu mengakhiri pendapat dan fatwa mereka dengan ucapan Wallahu’alam bishawwaf (Hanya Tuhan yang lebih tahu tentang kebenaran) yang saya kira ungkapan ini hampir-hampir tidak pernah terdengar lagi dalam wacana keagamaan kita. Hampir tidak ada fatwa yang mengakhiri dengan kalimat ini Ketiga, Hakim Ketua dan Anggota yang saya muliakan, yang ingin saya sampaikan adalah masalah kodrat keberagaman. Keberagamaan pada dasarnya penghayatan, pengamalan keyakinan hidup yang kita yakini menyangkut keselamatan kita di dunia dan di akherat nanti, menyangkut nilai yang paling tinggi. Dan untuk itu kita sanggup menderita bahkan mengorbankan nyawa sekalipun untuk keyakinan yang kita yakini sebagai yang menyelamatkan kita. Saya rasa ada baiknya kalau kita membayangkan bagaimana perih dan pedihnya hati kita kalau kita dipaksa meninggalkan keyakinan yang kita yakini menyangkut keselamatan kita sekarang dan nanti atau diperlakukan tidak sewajarnya hanya karena keyakinan kita itu berbeda dengan keyakinan orang yang berkuasa dalam bidang politik maupun agama. Baru-baru ini saya membaca dalam majalah “Hidayatullah”, pengalaman seorang namanya Aminah Sil, tanggal 6 Maret yang lalu dia meninggal karena korban kecelakaan lalu lintas di Colorado di Amerika. Dia memeluk agama Islam pada tahun 1975. Bagaimana penderitaannya pada saat itu? Ketika dia harus memilih mengasuh anak atau mempertahankan imannya? Dia memilih berpisah dengan anaknya demi imannya. Dan alhamdulillah kemudian neneknya, orang tuanya ayah yang ingin menembak dia, ibunya, saudaranya dan suami yang bercerai setelah itu kemudian mengikuti dia. Dan juga nampaknya pada hukum di Colorado yang pada waktu itu mengatakan orang yang berbeda agama tidak boleh mengasuh, kalau dia pindah agama seorang ibu tidak boleh mengasuh anaknya, kemudian hukum itu berubah dalam Kasus Aminah, semoga dia memperoleh rahmat. Namun keteguhan hati dan imannya membuat kemudian seluruh keluarganya mengikuti dia. Begitu juga saudara kita yang lain yang berbeda dengan kita keyakinannya. Tentu mereka jauh akan perih hatinya, pedih hatinya kalau kita memaksa dia untuk meninggalkan agama yang dia yakini atau keyakinan yang dia yakini menyelamatkan dirinya. Mereka juga akan merasakan kepedihan dan keperihan, keprihatinan batin yang sama kalau kebebasan mereka untuk mengikuti
77
keyakinan dibatasi, dihalangi. Maka itu tidak semestinya kalau kita menuntut kebebasan diri kita sendiri untuk memegang keyakinan hidup kita kalau kita tidak menghormati kebebasan orang lain untuk seperti kita. Maka di sini kita menyimak norma, perlu menyimak norma universal yang diajarkan oleh semua agama dan keyakinan yang disebut golden rule. Jangan perlakukan orang lain jika kita sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu. Hampir semua agama mencantumkan ini. Dan saya baca ungkapan ini di dalam khotbah Isa Almasih di Bukit dan khotbah wada’ Nabi Muhammad SAW di Padang Arafah, sama bunyinya, hanya sedikit. Di dalam khotbah di Bukit dikatakan “Jangan perlakukan orang lain, kalau kamu sendiri tidak ingin di perlakukan seperti itu” dan dalam kho di arafah dikatakan “ jangan sakiti orang lain, nanti kamu akan disakiti juga “. Ungkapan ini bisa dibaca dari Konghucu, dari Budha dan dari semua agama. Nah, oleh karena keberagaman itu didasarkan pada keyakinan bahwa jadinya akan menyelamatkan dia di dunia dan di alam yang akan datang, maka adalah naluri manusia bahwa dia ingin orang lain selamat seperti dia. Seorang penganut agama tentu ingin berbagi keselamatan. Dia ingin isterinya, anaknya, dan teman-temanya, lingkungannya juga selamat seperti dia. Jadi prespektif ini saya menganggap misi menyebarkan agama itu adalah niat baik. Misalnya, Bang Nursidad datang ke saya, “Hai, Bung Johan saya tidak rela, dan itu artinya tidak puas hati, tidak legowo, kalau Anda itu masuk neraka maka ikutilah saya”. Saya tidak akan marah. Terima kasih Bang Nursinah, Anda empati kepada saya, ingin menyelamatkan saya, tapi mohon harap juga, saya juga tidak rela kalau Anda masuk neraka, maka masuklah ke agama saya. Jadi sebetulnya saya memahami ayat Al-Qur’an, lawan tarbaitu puas hati, legowo, tidak seperti yang kita pahami seperti sekarang ini. Jadi saya tidak ingin puas kalau Bang Nursono memiliki agamanya, dia memilih, memilih agama saya juga dia sebaliknya. Inilah yang saya kira harus kita perhatikan, Jadi memahami itu sebagai niat baik. Tetapi sebaliknya adalah juga naluri manusia kalau saya atau siapapun mempertahankan, saya tidak ingin saya masuk agama orang lain dan juga saya tidak ingin saudara saya, teman saya masuk ke orang lain, nanti dia terjerumus ke dalam neraka, misalnya. Jadi di sini saya kira ada masalah dalam mengatur bagaimana kedua niat baik ini tidak menjadi sarana bermusuhan. Terakhir, Hakim Ketua dan Anggota yang saya muliakan. Hal yang ingin saya kemukakan adalah nisbah hubungan negara dengan warga negara dibandingkan hubungan dengan Al- Khaliq dengan manusia sebagai makhluk. Manusia mempunyai martabat yang mulia sebagai anak cucu Adam tanpa kecuali, apapun asal-usulnya, apapun agama dan keyakinannya dimuliakan oleh Al-Khaliq sang pencipta. Walakad kardaamna bani adam “ sungguh kami muliakan anak cucu Adam
78
siapapun apakah beragama atau tidak”. Karena itu tidak ada orang atau lembaga apapun yang berhak melecehkan, memperlakukan manusia secara tidak bermartabat, lepas dari apakah dia yang benar atau orang sesat. Wal aji khalaqakuma fil ardhi jami’ah. Kepada anak cucu Adam dikatakan di sini di dalam surat Al-Baqarah ayat 29 disediakan apa yang ada di bumi ini matahari, bumi, air dan segalanya dan ayat ini justru mendahului ayat Al Baqarah 30 ketika menceritakan inni jail fill ardhi khalifah aku ingin menjadikan khalifah di muka bumi. Jadi bumi ini disiapkan diperuntukan Tuhan kepada seluruh anak cucu Adam. Karena itu saya kira, tidak ada manusia apapun, golongan apapun dan juga negara manapun yang bisa membatasi, boleh membatasi hak setiap anak cucu Adam, manusia, untuk menikmati karunia Tuhan yang diberikan kepada kita. Hanya ini yang saya ingin kemukakan dengan harapan bisa dipertimbangkan oleh para Hakim yang terhormat dalam mengambil keputusan tentang persoalan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini sehingga negara dan aparatnya tidak bertindak melebihi Tuhan sendiri. Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 160. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.
Waalaikumsalam wr. wb. Saudara Seno, silakan.
161. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (HPK) : K.P. SENO ADININGRAT, S.H., M.A., M.H.
Rahayu.
Bapak-Bapak Majelis Hakim yang mulia. Yang pertama saya jelaskan posisi saya, saya menganut salah satu agama besar dunia dan saya secara formal bukan seorang Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi saya diminta oleh HPK dan BKOK untuk membicarakan eksistensi Penghayat Ketuhanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dan sebagai seorang yang merasa agama saya ini tamu di negeri ini, dan mereka adalah para Ibu dan kakak-kakak saya yang mendalami Tuhan menurut kearifan lokal mereka maka saya mesti membela eksistensi saudara-saudara saya dari Penghayat Kepercayaan ini karena saya memandang bahwa undangundang ini masih mendiskriminasi Aliran Kepercayaan. Salah satu dari apa yang saya sampaikan adalah penjelasan undang-undang ini yang ini jelas-jelas merendahkan eksistensi Aliran Kepercayaan karena eksplisit dikatakan, “Terhadap badan atau aliran kebatinn Pemerintah berusaha menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para Penghayat seolah-olah mereka yang menjadi objek binaan pemerintah oleh karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah pada Ketuhanan Yang
79
Maha Esa. Bahkan dalam penjelasan umum angka 2 disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada akhir-akhir ini di hampir seluruh Indonesia timbul aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di sini terkesan bahwa tolok ukur ajaran dan hukum agama yang dimaksud adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara, penjelasan Pasal 1. Dan aliran-aliran tidak resmi sekalipun itu termasuk dan muncul dalam salah satu agama harus tunduk pada definisi agama-agama resmi. Inilah yang menurut saya perlu dikritisi bersama. Kemudian kalau kita kembali pada eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, penjelasan Pasal 2 juga menyebutkan, “Di antara ajaran-ajaran, peraturan-peraturan para pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama”. Saya harus berkata bahwa sejarah panjang perjalanan bangsa ini justru ekstrimisme agama yang membahayakan persatuan nasional justru tumbuh subur di lingkungan agama-agama resmi dan bukan pada agama lokal atau agama tradisional, ini kita bisa buktikan. Yang pertama bahwa sebenarnya menurut hasil penelitian dari para ahli saya mencoba mengacu pada Pr. Dr. Purbocaroko dan Prof. Mr. Muhammad Yamin. Prof. Purbocaroko mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha, bangsa kita sudah memiliki keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa dan menyembahnya menurut tata caranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dalam bahasa pra Hindu yang jelas itu berakar dari bahasa rumpun Nusantara adalah kata “ziang”. Dari kata ini muncul kata sembahyang yaitu menyembah “ziang” yaitu menyembah Tuhan. Dan salah satu prasasti dari Kedukan Bukit abad ketujuh di Sriwijaya itu jelas-jelas mengatakan Dapunta Hyang pendiri Kerajaan Sriwijaya itu dikatakan bahwa mereka melakukan ngalap berkah atau Widyasra yang jelas-jelas itu menunjukkan bahwa sebelum kedatangan agama-agama India, Arab, Barat itu sudah ada kearifan lokal yang percaya pada eksistensi Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian sejumlah kata-kata lain dari, apa itu…, bahasa-bahasa rumpun Austronesia seperti dikutip oleh Van Vollenhoven yang akhirnya dikutip oleh Pak Yamin, pada mulanya adalah kesaktian, ungkapan tentang yang maha gaib, yang maha sakti dalam berbagai bahasa Nusantara ini menunjukkan bahwa kata “tuah” yang akhirnya menjadi kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia kita sekarang. Kemudian juga ada ungkapan yang universal dipakai hampir seluruh suku-suku di Indonesia sebelum kedatangan Hindu dan Budha adalah kata “Sanghyang Taya” “Sanghyang Tunggal”. s“Sanghyang Tunggal” adalah Tuhan Yang Maha Esa, “Sanghyang Taya” yang dalam bahasa Jawa Kuno “terpelihara” yang dalam bahasa Sunda sekarang “te aya” yang berarti “tiada”, maksudnya dia yang tiada, kasat mata namun ada. Ini adalah kearifan
80
lokal yang membuktikan bahwa sebelum ada tradisi agama besar bangsa kita sudah bertuhan menurut keyakinannya dan ini adalah satu kearifan lokal yang seharusnya kita, apa itu…, hormati. Kemudian JN. Sing seorang sarjana Belanda mendukung kesimpulan Peaguot sarjana Perancis sebelumnya yang mencatat bahwa salah satu ciri dari pada spritualis asli bangsa ini adalah klasifikasi yang monodualistis yang serba dua seperti yang diungkapkan oleh ungkapan
bapak angkasa ibu pertiwi ninia mongka kia mongka kanan kiri kaji kelep
dalam Bahasa Bali yang itu nanti tercermin dalam filsafat harmoni dimana dikatakan kami Budha, kami Syiwa kemudian kaleh samika bhinneka tunggal ika, loro-lorone atim dan sebagainya itu menunjukkan bahwa ada klasifikasi alam serba dua yang saling berdamping tetapi berbeda dan itu merupakan penyangga tradisional nasionalisme kita selama ini. Memang secara literatur sejarah kita itu baru dimulai abad ke 4 karena kita terpengaruh dalam penulisan sejarah yang terimajeri India. Padahal kalau tidak ada data-data yang lengkap dari sejarah nasional sendiri sebetulnya ada catatan-catatan dari sejarah manca negara yang membuktikan bahwa kearifan lokal itu ada. Saya ingin mengutip salah satu syair dari Ramayana, Sri Matuwalmiki Ramayana, yang ditulis tahun 150 Masehi, yang sudah mengagungkan Nusantara ini sebagai negeri yang besar. Di sana dikatakan Jatna wanto jawa dwipang, Swarna dwipa rupia kamanditam dan seterusnya. Yang artinya, jelajahilah negeri Jawa, negeri Nusantara. Dan di dalam akhir dari seloka itu dikatakan Jawa dwipa matikammea, sisi runa maparwatah, di ujung Nusantara itu berdiri Gunung Sisira Parwata yang puncaknya bersalju menyaput langit diunjungi para dewa dan danawa. Ungkapan dewa tentu ungkapan khas India, tapi menujukkan bahwa kearifan lokal tentang pemujaan kepada yang maha tinggi yang dilambangkan gunung atau Parwata ternyata itu dalam sepanjang sejarah selanjutnya agama lokal ini menyambut Sugeng Rawuh, selamat datang, welcome pada agama-agama pendatang tanpa ada kekerasan apapun bahkan mengadaptasi dalam sistem filsafatnya yang harmoni. Saya ingin bisa membuktikan beberapa fakta selanjutnya selain Kerajaan Sriwijaya. Dalam zaman Kerajaan Sunda, ada satu naskah yang namanya Sang Hyang Siska Kanda Inkarsiang, yang di situ dikatakan hormati pendatang Hindu dan Budha, maka dikatakan sembah in gulung di Sang Hyang Panca Tatagata, yang artinya merupakan penghormatan kepada Sang Panca Tatagata agama Budha, tapi juga Hongkarana Musiwa, selamatlah dengan nama Siwa. Tetapi di situ ada kearifan lokal yang menunjukkan bahwa agama-agama pendatang diterima tetapi direfleksikan kembali dalam filsafat asli bagsa Indonesia ketika ada ungkapan mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Yang. Yang artinya mangkubumi berbakti kepada raja, raja berbakti
81
kepada dewa-dewa dan dewa-dewa berbakti kepada Ziang. Yang artinya prinsip ketuhanan universal, yang beyond religion. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singosari dan Majapahit, refleksi kearifan lokal ini sangat maju, bahkan puncak dari refleksi itu terbukti dari seloka Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangruwa, yang sekarang dipinjam sebagai seloka di dalam lambang negara kita yang aslinya itu adalah ungkapan tentang adanya kesadaran universal bahwa apapun simbol-simbol keagaman kita tetapi sebenarnya ada kesadaran tentang Tuhan Yang Maha Esa yang mengatasi bentukbentuk simbolis dari agama-agama itu sehingga dikatakan Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangruwa, berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran agama yang mendua. Menurut penelitian S. Santoso dalam bukunya, Kakawin of Arjuna Wijaya, ternyata Tantular dan Prapanca adalah seorang yang sangat paham tentang ideologi negara Bhinneka Tunggal Ika, karena dia ternyata memuja kepada Sri Parwata Raja yang bukan Syiwa bukan Budha, tetapi Tuhan yang Maha Esa yang mengatasi agama-agama pendatang. Maka disana di katakan sebagai Sang Pelindung mutlak, nataning anata, patining jagat pati, dan yangning yang inisti. Yang artinya pelindungmu telah raja segala raja di dunia, Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam agama-agama. Ternyata ungkapan Parwata Raja mengingatkan pada catatan Ramayana tahun 150 Masehi yang mengatakan sisiro parwata gunung parwata yang menjadi simbol tentang ketuhanan yang maha tinggi. Inilah yang menyebabkan salah satunya kenapa Bung Karno, pendiri republik ini berkata bahwa kita hanya pernah memiliki dua kali national state, dua kali negara nasional, yang pertama Sriwijaya dan yang kedua Majapahit. Tanpa mengurangi penghormatan Bung karno kepada Demak, pada Pajang. Demak dan Pajang adalah negara merdeka, negara berdaulat, tapi bukan negara nasional. Saya mengamati karena baik Sriwijaya dan Majapahit sekalipun mayorits Hindu tetapi tidak melaksanakan hukum Hindu tetapi mengkontekstualisasikan dalam kondisi dan situasi sosial dan budaya Indonesia sehingga kita melihat Bhinneka Tunggal Ika menjadi perekat tradisional dari zaman Majapahit sampai hari ini. Begitu masuk Kerajaan Demak, Bhinneka Tunggal Ika menjadi Agama Ageming Aji yang tidak lain adalah teokrasi dimana ada agama resmi, maka terjadilah kasus Syekh Siti Jenar, pengadilan atas formula iman yang berbeda atas mana kebenaran salah satu agama. Pada masa kerajaan Pajang terjadi kisah Kebo Kenongo yang juga diadili karena agama yang berbeda. Selama kita menjadi negara nasional di zaman Majapahit tidak pernah ada terdengar pembakaran rumahrumah ibadah, perbedaan-perbedaan karena formula iman yang berbeda, inilah sebabnya sebagai salah satu refleksi kita, kenapa para pendiri ini menjadikan Majapahit menjadi salah satu ikon dari negara nasional kita.
82
Kedua, mengkritisi unsur-unsur tindak pidana penodaan agama. Jelas bahwa pembatasan terhadap 6 agama yang diakui pemerintah ditinjau dari sudut ilmu agama-agama jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, tadi Pak Djohan berbicara tentang agama wahyu. Agama wahyu itu biasanya dikaitkan dengan Yahudi, Kristen, Islam. Itu kan bagi yang percaya. Bagi yang tidak percaya ya tidak ada wahyu, yang ada wangsit atau apa istilahnya. Artinya bahwa definisi wahyu ini tidak bisa kita jadikan alasan atau tolak ukur untuk menilai yang lain yang bukan wahyu tapi bagi teman saya Hindu juga mengatakan Weda itu adalah wahyu, tentu wahyu menurut definisi Hindu, bukan dalam definisi Islam dan Kristen. Sementara salah satu agama dari satu rumpun saja Yahudi, Kristen, Islam yang semua nabinya diakui oleh Islam, itu saja terjadi perbedaan tafsir. Bagi seorang Yahudi tidak ada wahyu yang turun dari langit, wahyu berbicara dalam bahasa manusia. Dilihat dari sudut pandang Islam, masak Kitab Thaurat ditulis oleh orang. Begitu juga dari sudut pandang Kristen, wahyu tidak menjadi buku, tapi menjadi manusia Kristus dan buku teks yang kedua setelah inkarnasi Kristus. Ini salah satu dari satu agama semitik saja, bisa berbeda-beda. Dalam agama Islam sendiri antara Suni dan Syiah, dalam agama Kristen sendiri antara Protestan dan Katolik sudah berbeda. Nah, kalau kemudian undang-undang ini memakai ungkapan menafsirkan agama yang berlaku di Indonesia apa standarisasi tafsir itu persoalannya? Ini yang pertama. Kemudian bukti-bukti sejarah, apakah standarisasi tafsir ini mendukung studi akademis ilmu agama-agama? Kalau di STT dikembangkan misalnya kajian ilmu agama-agama, kemudian seorang Profesor katakanlah Karel Steenbrink memiliki pandangan berbeda dengan pandangan MUI atau pandangan teologteolog muslim apakah itu merupakan tindak pidana penodaan agama karena menafsirkan ayat-ayat Qur’an berdasarkan sudut pandang yang tidak disetujui oleh mainstream? Begitu juga dari pandangan lain misalnya, Yohanes Damascus adalah seorang Bapak Gereja yang dalam bukunya the heresy buss dalam bukunya mengutip ayat Qur’an tapi, ayat ini ditafsirkan untuk memperkuat argumentasi Kristiani dia, ini penodaan agama menurut Pasal 1. Jadi Bapak Gereja yang kita agungkan itu adalah penoda agama Islam. Sebaliknya ada salah satu buku yang ditulis oleh ulama Islam yang dikaitkan dengan nama besar Imam Al Ghazali yaitu kitab roadul jamil, li’ilihiyati isabisarhil injil. Di sana full penafsiran ayat-ayat injil perjanjian baru untuk menolak Ketuhanan Yesus. Apakah ini bukan penodaan agama? Kalau kita menuruti rumus itu, jadi ini tidak ilmiah, menurut saya. Kemudian juga Ibnu Ta’imiah dia menulis buku jawabusakih limen badalladin nilmasih “jawaban yang sahih bagi orangorang yang mengubah agama Al-masih. Ini juga merupakan tuduhan dari prespektif Islam tentang agama Kristen, tentu ini adalah penodaan agama.
83
Kalau begitu studi akademis tidak boleh ada dong ! Kemudian yang kedua, dalam sepanjang sejarah agama saling meminjam istilah itu adalah hal yang tidak bisa dilacak lagi, misalnya konsep Sabath dalam agama Yahudi, itu berasal dari sabbathtu dari agama Babel yang lebih kuno. Konsep jilbab selain ada dalam Talmut Yahudi atau ditekankan dalam Islam juga ada dalam Kristen Timur tapi jauh sebelum itu sudah ada Kode Hamurabi (Undang-Undang Maesopotamia ). Kalau bicara tentang mengatakan “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai, bisa-bisa orang-orang dari gereja di Rusia yang memakai kerudung itu dianggap menodai agama Islam “. Ini yang perlu dipikirkan lebih lanjut. Kemudian lebih-lebih lagi dalam sepanjang sejarah dikenal yang namanya kontektualisasi, inkullturasi, pribumisasi Islam, itu ditunjukkan dalam sejarah bangsa kita, misalnya apakah penulis Babat Cirebon dapat dikenai Pasal 1, karena dia menafsirkan kalimah Kalimosodo menjadi kalimah syahadat? Sehingga Prabu Yudistiro tidak bisa meninggal tanpa membaca syahadat yang dituntun oleh Sunan Kalijogo. Padahal kata Kalimosodo itu secara etimologi berasal dari bahasa Jawa Kuno “ kalimah husadah “, dan ini tercatat dalam Kakawin Bharathayuda karya Empu Sedah pada syair ke 16-5 yang di sana dikatakan pustaka kalimah husadah rinekepira. Pustaka kalimah husadah dipegangnya teguh mantra-mantranya, sampun sidah sini diparadadi tumparakkarap. Kemudian senjata itu memiliki kekuatan gaib yang mnjelma menjadi tombak sakti yang berkobar-korbar. Dan ini bisa ditanyakan kepada teman-teman Hindu ini adalah kakawin yang dibaca dalam setiap pekanpekan suci. Lebih lanjut lagi, para Wali mengunakan wayang sebagai media dakwah dan menafsirkan cerita-cerita wayang yang jelas Hindu dipahami secara Islam, misalnya para Dewa Hindu dipahami sebagai anak cucu dari Nabi Adam dan Hawa. Satu contoh misalnya Serat Kondo dan Serat Manik Oyo Sangya Betara Shiwa atau Dewa Guru dipahami sebagai iblis yang mengaku diri Tuhan. Apakah ini bukan pelecehan terhadap agama Hindu? Ini masih bisa dikembangkan lebih banyak lagi secara ilmu agama-agama. Rumusan ini bagi saya tidak masuk akal. Lebih-lebih UNESCO baru-baru ini mengakui bahwa wayang adalah seni bangsa Indonesia asli, seni Nusantara asli. Di sana-sana jelas-jelas dikatakan wayang itu menurut HCU adalah seni budaya bangsa. Kemudian Hindu datang, kemudian diisi dengan Wiracarita India. Prasasti Balitung tahun 905 memuat kata-kata dalam Bahasa Jawa Kuno, “sigaligi mawayang buat hyang” sigaligi memainkan wayang untuk menyembah Tuhan. Jadi bagi orang Kristen, bagi orang Islam, mungkin wayang itu bukan ibadah, tetapi bagi orang Nusantara jaman dulu dan diteruskan oleh para Penghayat sekarang, wayang itu salah satu ekspresi peribadatan kita pada Tuhan. Tetapi kemudian diisi dengan cerita India, “macarita Bima ya Kumara”, yang bercerita tentang Bima ketika masih muda. Jadi zaman Hindu wayang di Hindukan, zaman Islam wayang diIslamkan. Nah apalagi? Artinya bahwa di situ terjadi penafsiran-
84
penafsiran yang terus-menerus berlaku dalam sejarah. Dan itu kalau kita konsisten dengan pasal itu tentu merupakan sebuah penodaan agama. Masih banyak lagi misalnya, membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai agama yang berlaku di Indonesia. Kalau Bapak Ibu dan para Hakim Majelis Konstitusi menghadiri perayaan Natal di Bethlehem, dimana setiap tahunnya saudara-saudara Muslim termasuk Presiden Palestina selalu hadir. Di sana liturgi nya dalam bahasa Arab, dan membaca kitab dengan tartil itu sudah ada sebelum zaman Islam. Kalau misalnya suatu saat ada orang Kristen koptik dari Mesir, membaca Injil dengan dilagukan, apakah ini penodaan agama karena membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai agama itu? Jadi rumusan ini menurut saya tidak ilmiah, dan harus dihilangkan. Dengan demikian dari beberapa konsep ini, misalnya konsep pembakuan Tuhan Nabi, siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, siapa kitabmu. Inikan definisi agama-agama sematik. Budha saja tidak mengenal konsep Tuhan secara personal, jadi Tuhan itu bukan personally god tapi impersonally god, bukan ateisme tapi nonteisme menurut Religioun Wissenschaft atau ilmu agama-agama. Tetapi terpaksa harus dikatakan, oh Tuhan saya adalah Ida Sang apa itu…Tuhan saya adalah Sang Hyang Adi Budha misalnya, itu terserah teman-teman Budha. Tetapi dari sudut pandang ilmu agama-agama ada pemaksaan-pemaksaan yang secara tidak langsung dilakukan oleh negara untuk menyeragamkan tafsir agama. Sudah saatnya ini semua kita kritisi, misalnya ketika seorang teman saya dari Pengahayat Kasunyatan Jawi. Saya tanya siapa Nabimu? Siapa Rosulmu? Utusan Tuhan di dunia adalah Ibu yang melahirkan saya. Makanya tanah air dinamakan tumpah darah yang artinya darah saya tertumpah pertama kali, itu kota suci saya. Ini mungkin Anda tidak setuju, mungkin kita tidak setuju, tetapi inilah kenyataan keyakinan orang yang tidak bisa diadili oleh negara. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan, dan memang sudah selesai. Terima kasih, Rahayu, merdeka. 162. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Demikian Saudara sekalian tadi dari Saudara Rahayu, eh Saudara Seno. Berikutnya dari Pak atau Saudara Yusril Ihza Mahendra. Prof. Yusril Ihza Mahendra, silakan. 163. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA, S.H. Ketua Majelis, para Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, Hadirin Hadirat Peserta Sidang yang saya hormati. Izinkanlah saya untuk pertama-pertama menyampaikan ucapan terima kasih
85
kepada Ketua dan seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi yang pada hari ini memberikan kesempatan kepada saya untuk memberikan keterangan sebagai orang yang dianggap Ahli walaupun mungkin tidak mengenai masalah yang sedang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi ini yaitu pengujian secara materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Saya akan menerangkan hal-hal yang terkait dengan uji materiil ini dari tiga sudut pandang, yaitu dari sudut Filsafat Hukum, Sejarah Hukum Tata Negara, dan Hukum Tata Negara itu sendiri yang menjadi tiga bidang akademik yang saya dalami selama ini. Beberapa waktu menjelang kemerdekaan kita tanggal 17 Agustus 1945 dalam sebuah badan yang bernama Badan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia, para founding fathers kita mendiskusikan, memperdebatkan apakah yang menjadi filosofi bernegara kita yang akan dibentuk sebentar lagi pada waktu itu? Dari banyak pembicara itu, Prof. Soepomo menyimpulkan, “bahwa di sini” kata beliau, ada dua golongan besar, pertama adalah golongan ahli-ahli agama yang menghendaki Indonesia merdeka sebagai sebuah Negara Islam. Kedua adalah golongan-golongan pemimpin kebangsaan yang kata Prof. Soepomo, yang mengkehendaki Negara Indonesia merdeka adalah negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Mungkin kita menyangka yang dimaksud Soepomo, pemimpin-pemimpin kebangsaan yang mengkehendaki negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan itu adalah orang-orang yang berpikir dalam konteks sekularisme yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan secara ketat. Namun dalam pidato-pidato Soepomo ternyata tidaklah demikian karena Soepomo menegaskan bahwa agama-agama menjadi landasan spiritual, landasan etik, untuk membangun bangsa dan negara menuju kejayaannya. Dan lebih tegas lagi ketika dua hari sesudah kita merdeka dalam rapat-rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945 ketika PPKI menyusun kabinet dan Prof. Soepomo yang pada waktu itu akan ditunjuk menjadi Menteri Kehakiman pertama Republik Indonesia, Soepomo menyebutkan tugas-tugas Departemen atau Kementerian Kehakiman antara lain di samping urusan peradilan, urusan penjara tetapi juga adalah urusan nikah, talak, rujuk, wakaf, infaq dan zakat yang ternyata hal-hal ini terkait dengan masalah keagamaan, khususnya agama Islam. Jadi Soepomo sendiri tidak pernah terpikir bahwa ada pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara dan tidak pernah terpikir bahwa urusan yang menjadi tugas-tugas keagamaan tidak dapat dilaksanakan oleh negara. Bagaimanakah filosofi bernegara kita? Jelas bahwa Indonesia tidak merdeka sebagai sebuah Negara Islam, tidak juga merdeka sebagai sebuah Negara Sekuler tetapi mengambil suatu jalan tengah yang pada awalnya dinyatakan dalam suatu rumusan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
86
Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Walaupun kalimat kompromi ini dihapuskan tanggal 18 Agustus namun jiwa dan semangat konteks keagamaan dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat, sebangsa dan Negara Republik Indonesia tidak pernah lenyap untuk selama-lamanya. Bagaimanakah posisi negara berhadapan dengan agama-agama? Secara formal tidak pernah ada suatu peraturan perundang-undangan tertulis yang menegaskan bahwa agama…, negara mengakui satu agama tertentu atau sejumlah agama tertentu dan tidak mengakui agamaagama lainnya, walaupun dalam teks Penpres Nomor 1 Tahun 1965 ini ada kata-kata dengan penetapan ini…, Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggu gugat hak hidup agamaagama yang sudah diakui oleh pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan. Kalimat ini tidak jelas karena dalam sejarah Republik Indonesia tidak pernah pemerintah menyatakan satu agama diakui atau agama yang lain tidak diakui keberadaan atau keabsahannya. Apa yang ditegaskan di dalam Penpres Nomor 1 Tahun 1965 ini adalah menkonstatir, menyebutkan suatu fakta sosiologis bahwa Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu adalah agamaagama yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia, tetapi sama sekali bukan penegasan agama ini diakui dan agama yang lain tidak diakui. Satu agama adakalanya memerlukan campur tangan negara baik dalam bentuk bantuan, perlindungan, maupun pelayanan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama itu, sepanjang tidak mungkin dilakukan secara individual oleh penganut-penganutnya atau mungkin tidak dapat dilakukan secara kelompok oleh penganut-penganutnya tanpa ada keterlibatan negara di dalamnya. Katakanlah agama Islam mewajibkan umatnya bagi barang siapa yang mampu untuk menunaikan ibadah haji ke Kota Suci Mekkah, tetapi tidak mungkin orang pergi haji sendiri-sendiri, tidak juga sanggup pergi haji berkelompok, demi ketertiban penyelenggaraan haji itu pemerintah terlibat, maka itu di Departemen Agama ada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji. Pemerintah tidak dapat menilai apakah haji itu wajib atau sunnat muakat atau lain sebagainya, pemerintah juga tidak menawar hukumnya, tetapi kalau agama itu mengatakan wajib, pemerintah berkewajiban untuk memberikan fasilitas, kemudahan dan pembantuan. Andaikata Gereja Katolik memutuskan bahwa setiap orang Kristen wajib berziarah ke Betlehem sekurangkurangnya sekali dalam seumur hidupnya, maka pemerintah wajib mengubah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik menjadi Dirjen Bimas Katolik dan Urusan Sejarah Ziarah ke Betlehem itu adalah keharusan negara. Persoalannya yang kita hadapi sekarang adalah agama-agama itu kadang-kadang dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Kalau semua urusan agama itu diserahkan kepada umatnya maka anarki kemungkinan akan terjadi. Saya pernah diundang oleh Majelis Agama-Agama dan
87
diminta pendapat sebagai seorang akademesi hukum. Pada waktu itu seorang tokoh mengatakan, “Negara jangan ikut campur dalam urusan agama”. Katanya, “Semua urusan agama serahkan kepada pemeluk agama yang bersangkutan”. Maka seorang peserta diskusi mengatakan, “Kalau nanti malam ada orang mencuri di rumah saya, saya tangkap orang itu dan saya ambil golok, saya potong tangannya, apakah itu menyalahi hukum apa tidak?” “Bukankah Anda mengatakan serahkan pelaksanaan agama itu kepada penganut agamanya sendiri.” “Saya berkeyakinan ini melaksanakan ajaran agama saya”. Justru hal-hal semacam inilah yang harus dicegah, orang tidak boleh main hakim sendiri, ada hal-hal yang memang harus diserahkan kepada negara. Dalam konteks inilah filosofi kita seperti termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, “Negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indoenesia”. Dan karena itu agama-agama ada di Indonesia pemeluk-pemeluknya adalah penduduk dan warga negara Indonesia, maka negara berkewajiban untuk melindungi agama-agama itu, jangan sampai terjadi konflik sosial, keresahan, permusuhan di antara sesama mereka. Ini sama sekali bukan berarti bahwa negara mencampuri kebebasan individu untuk menganut suatu agama, menganut suatu keyakinan, membuat tafsiran sendiri terhadap ajaran agamanya, sepanjang hal itu menjadi keyakinan pribadi dan tidak seperti diatur di dalam Pasal 1 PNPS ini, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum….” dan seterusnya, sepanjang dia tidak disebarluaskan dan berpotensi menimbulkan keresahan maka konteks kebebasan individu yang pasal-pasal HAM hasil amandemen UUD 45 ini berlaku sepenuhnya. Tetapi jika suatu kegiatan, suatu tafsiran yang kemudian disebarluaskan, yang kemudian menimbulkan keresahan, konflik dan ketegangan maka tidak ada alasan bagi pemerintah dimanapun di dunia ini untuk bertindak demi untuk menjaga harmoni, kedamaian, dan ketertiban umum warga negara dan penduduknya. Bahwa ada tulisan-tulisan akademik, katakanlah di fakultas yang mengajarkan Ilmu Perbandingan Agama, atau di Jurusan Filsafat yang membahas masalah-masalah agama itu secara akademik, sah saja dia menulis itu seperti diatur di dalam Penpres Nomor 1 Tahun 1965 ini tentu dengan bijaksana menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan penghinaan terhadap agama-agama yang lain. Bisa saja orang Islam mengutip ayat-ayat Kitab Thaurat, mengutip ayat-ayat Kitab Injil, yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad telah dimuatkan di dalam kedua kitab itu. Bisa juga seperti Pendeta Rifai Burhanudin mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung ajaran Trinitas di dalam agama Kristen sepanjang itu merupakan suatu tulisan akademik sah saja, dan tidak akan ada orang yang mempersoalkannya, tidak juga dilarang oleh Penpres ini, tetapi dengan bijak menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan penghinaan dan penodaan terhadap agama-agama lain.
88
Pada hemat saya persoalannya bukan lagi persoalan hak asasi manusia, bukan lagi persoalan kebebasan beragama, tetapi Penpres ini keluar dalam konteks historis pada waktu itu untuk mencegah terjadinya disharmoni, konflik dan ketegangan sosial antara kelompok-kelompok masyarakat dan karena itu pemerintah pada waktu itu mersa perlu mengeluarkan peraturan ini, walaupun kalau kita kritisi dari sudut proses pembentukan peraturan perundang-udangan memang tidak lazim karena situasi pada waktu itu tidak lama 5 tahun setelah dekrit presiden lahir banyak Penpres-Penpres yang belakangan memang meresahkan memorandum DPRGR sebagian dari Penpres-Penpres itu tetap dipertahankan dan disahkan menjadi undang-undang. Saya berpendapat bahwa secara formil Undang-Udang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini adalah undang-udang yang sah, berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Bagaimanakah secara materiil? Saya berpendapat bahwa secara materiil substansi dari apa yang dimuat di dalam Undang-Udang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini adalah relevan, sejalan, tidak bertentangan dengan konstitusi, namun dari segi bentuk pengaturan, rumusan kaidah-kaiadah hukumnya memang perlu penyempurnaan. Kita melihat misalnya dahulu mengacu kepada AB, kemudian belakangan saya mendraft rancangan undang-undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Undang-Undang tentang Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sekarang. Kalau kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebenarnya norma hukum hanya di dalam pasal, penjelasan hanyalah menjelaskan saja, tapi penjelasan tidak boleh mengandung sebuah norma. Kalau kita melihat di dalam Penpres Nomor 1 Tahun 1965 ini kekacauan itu terjadi walaupun tentu ada maksud persuasif seperti penjelasan atas Pasal 1, Pasal 2 yang mengatakan bahwa apabila ada orang yang kemudian juga telah di muka umum ia dengan sengaja menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, memberikan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama toh dijelaskan dalam penjelasan sesuai kepribadian Indonesia orang itu cukup diberikan peringatan seperlunya. Jadi langkah-langkah persuasif sebenarnya dilakukan sampai akhirnya kalau telah terjadi suatu keresahan yang umum di masyarakat apalagi konflik di tengah-tengah masyarakat barulah sebenarnya aparat penegak hukum bertindak berdasarkan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini. Bahwa sejumlah kasus, sejumlah contoh ditunjukkan terhadap ketidakidealan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 ini. Hal semacam itu terjadi pada semua ketentuan-ketentuan pidana yang ada di Republik Indonesia ini. Hal yang secara normatif ada di dalam teks bisa berbeda ketika dia diterapkan dalam kenyataan, tapi penerapan yang salah tidak berarti harus menggugurkan norma di dalam teks. Karena itu kalau ditanya pendapat saya, haruskah Undang-Undang
89
Nomor 1/PNPS/1965 ini dipertahankan? Saya mengatakan, untuk sementara waktu berdasarkan ketentuan ayat (1) Pasal Peralihan Aturan Peralihan UUD 45 dapat terus dipertahankan dan Mahkamah tidak perlu mencabut atau membatalkan ini dan menganggapnya bertentangan dengan UUD 45 tapi untuk selanjutnya Badan Legislator, Anggota DPR dan Presiden Republik Indonesia atau kementerian-kementerian negara di dalam kabinet dapat mengambil inisiatif dengan tetap mempertahankan substansi dari pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 ini dan kemudian menyempurnakannya dalam bentuk suatu undang-undang dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan sehingga hal-hal yang dirasakan kurang sempurna dapat disempurnakan bersama. Demikian pendapat dan pandangan saya, Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, Hadirin-Hadirat yang saya hormati, mudah-mudahan ada manfaatnya, Wallahu’alam bishawab Allah-lah yang maha tahu atas segalanya, yang benar dari Tuhan dan yang salah dari saya sendiri. Terima kasih. 164. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Pak Yusril. Baik Saudara, kita masih punya waktu untuk minta penjelasan atau minta dialoglah, tanya, tetapi sekali lagi bukan untuk mencari kesepakatan ya kita tetap saja kalau memang harus berbeda ya berbeda, tapi kalau ada yang belum jelas mau ditanyakan kepada keempat pakar kita ini yaitu Prof. Subur Budhisantoso, Prof. Dr. Djohan Effendi, Bapak Seno, S.H., M.H., kemudian Bapak Prof. Yusril Ihza Mahendra. Saya persilakan, dari Pemohon ada? Ya. 165. PIHAK TERKAIT (HPK) : HADI PRAJOKO Dari HPK. 166. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. HPK, ya? HPK, KWI dari FUI, MUI…. 167. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) Forum Umat Islam. 168. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.
90
Forum Umat Islam. MUI, sudah kan? Ya, sudah. 169. PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM KHAN, S.H. Dewan Dakwah. 170. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dewan Dakwah. 171. PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H. FPI, Pak.
172. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. ……….Bassra. Oke, tujuh. 173. PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H. FPI, Pak. 174. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Tadi FPI. FPI, ya? Oke. FPI dan FUI kan? Ya? Pak Munarman kan mewakili keduanya? 175. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) Forum Umat Islam 176. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ada sendiri? FUI sendiri? Baik. Baik, seperti tadi paling banyak 3 menit-3 menit begitu agar waktunya cukup untuk menjawab. Silakan Saudara Choirul Anam. 177. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H. Ya, terima kasih, Yang Mulia.
91
Yang pertama ditujukan kepada Prof. Budhisantoso. Tadi Anda mengatakan bahwa resistensi pada perubahan dinamika kebudayaan pada akhirnya menyeret agama dalam konteks simbol-simbol begitu, dan pada akhirnya menjebakkan agama dalam konteks politik sehingga merampas nilai-nilai agama yang baik itu untuk masyarakat akhirnya hilang. Nah, pertanyaan saya ketika kondisi seperti itu, apakah juga dalam konteks Anda membaca PNPS ini dalam konteks seperti itu? Kehadiran negara itu menjadikan agama dalam konteks simbol dan kepentingan politik tertentu dan sesaat? Kami mau mempertegas itu. Kalau memang statement-nya seperti itu, bagaimana sikap Anda terhadap PNPS ini? Apakah memang layak untuk dicabut ataukah direvisi? Yang berikutnya adalah untuk Pak Djohan Effendi. Yang pertama, saya terima kasih sekali Anda mengingatkan kita semua bahwa beriman itu harus menggunakan akal. Karena beragama memang hubungannya dengan keyakinan, dengan akal pikiran, kebebasan berpikir dan sebagainya. Yang pertama ingin mempertegas saja bahwa memang tafsir…, Anda tadi dengan begitu baiknya mengatakan bahwa orang yang dianggap sesat pun masih punya potensi untuk masuk surga. Orang yang benar pun punya potensi untuk masuk neraka. Dalam konteks itu Anda mengatakan bahwa memang harus dihormati, satu tafsir. Kami ingin mempertegas itu. Yang kedua adalah Anda tadi mengatakan bahwa keyakinan itu dalam konteks yang jauh lebih besar adalah mengajak keselamatan. Artinya, kalau dia mengajak keselamatan, dia boleh disuarakan. Artinya dia juga boleh mengajak orang lain. Kami juga ingin mempertegas bahwa keyakinan, tafsir, keimanan seseorang walaupun itu dianggap berbeda, bahkan dianggap sesat oleh kelompok tertentu, itu punya hak untuk mengajak. Tentunya dengan cara-cara yang damai, yang toleran. Kami ingin mempertegas itu. Yang ketiga adalah baik sekali tadi Anda mencontohkan Qurdi orang yang menganut Baha’i. Tadi Anda mengingatkan pada kita semua memberikan satu contoh lagi bahwa PNPS ini ternyata memang dalam konstruksinya tidak hanya implementasi parsial, tapi secara sistematis memang konstruksinya adalah pengutamaan 6 agama, sehingga di situlah timbul diskriminasi. Sehingga tadi Anda mengatakan Qurdi bisa dihukum 5 tahun gara-gara PNPS ini. Kami ingin mempertegas contoh yang dia kena 5 tahun karena tidak masuk dalam kategori 6 agama, plus juga apakah juga Anda membaca bahwa pengutamaan 6 agama tersebut itu dalam konteks diskriminasi? Karena pengutamaan berarti yang lain tidak diutamakan dan di situlah diskriminasi yang itu bertentangan dengan spirit konstitusi kita. Terima kasih.
92
178. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Berikutnya dari HPK. 179. PIHAK TERKAIT (HPK) : HADI PRAJOKO
Rahayu.
Terima kasih, Majelis Hakim. Saya mau bertanya kepada Saudara Prof. Yusril yang tadi menggambarkan bahwa eksistensi undang-undang ini perlu dipertahankan karena alasan utamanya adalah agar penganut agama itu tidak mengekspresikan keimanannya yang brutal. Katakan ada orang mencuri, terus dia bunuh hari itu juga di rumahnya. Saya menggambarkan di Amerika dan di Eropa, di masyarakat Kristen juga tidak pernah membunuh orang yang mencuri walaupun dia beriman Kristen atau melaksanakan keimanan agamanya. Saya bertanya, kalau ada yang membunuh dengan ekspresi keimanan di dalam negara yang nasional seperti ini, tentu hukum negara tidak perlu ada. Apakah mereka yang tidak patuh pada hukum negara masih bisa diakui sebagai bagian dari warga negara? Barangkali itu yang saya pertanyakan. Terima kasih. 180. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, dari Komisi Wali Gereja Indonesia (KWI). 181. PIHAK TERKAIT (KWI) : RUDY PRATIKNO Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaannya kepada Ahli, Prof. Budhisantoso dan juga kepada Dr. Djohan Effendi. Kepada Ahli, Prof. Budhisantoso, tadi Bapak telah menjelaskan bahwa tidak dapat dipaksakan kepercayaan kepada orang lain, ataupun melarang orang lain menjalankan budaya atau agamanya yang dipandang sebagai jalan kehidupannya. Kemudian dari Dr. Djohan Effendi. Ahli Dr. Djohan Effendi menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin umat beragama perlu rendah hati dan tahu diri dalam membimbing umatnya. Dan juga Saudara Ahli mengatakan bahwa kepedihan dan perihan hatinya bila ada umat yang satu mencegah kebebasan umat yang lain beribadah. Pertanyaan kami kepada kedua Ahli adalah apakah sebenarnya yang ingin kedua Ahli jelaskan dan dapatkah dijelaskan dalam hal-hal yang konkret yang apa yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini dalam konteks pembahasan Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini yang berhubungan dengan yang tadi yang telah kedua Ahli jelaskan? Terima kash.
93
182. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Majelis Ulama. 183. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Terima kasih, Yang Mulia. Pertama kepada Dr. Djohan Effendi, saya sepakat dengan Anda ketika Anda menyebutkan penodaan agama tidak ada perbedaan di antara kita karena itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Dan saya pikir kita masuk ke suatu yang clear, tidak perlu diperdebatkan kembali soal penodaan tersebut. Tetapi ada wilayah yang menurut hemat saya masih abu-abu apa yang telah Bapak sampaikan tadi itu, yaitu akal tentang kebebasan berpikir dan tidak agama tanpa akal dan seterusnya. Ya memang agama terutama agama Islam sangat menekankan peran akal dalam memahami ajaran agama Islam. Kita tahu banyak ayat-ayat yang menantang umat Islam atau pemeluk agama Islam untuk berpikir afala taqiilun, afala ta’ lamun dan seterusnya. Dan tentunya misalnya ayat tentang Ulul Albab. alladzina yaskurumallahu qiyamaa wahuda wallajunubihi, al ayah dan seterusnya yang menantang betul orang untuk berpikir terhadap apa yang disepakati oleh Allah ini. Persoalannya adalah apakah dengan kita memiliki akal, menafsirkan ajaran agama islam bisa melakukannya dengan sebebasbebasnya? Setujukah Pak Johan dengan adanya ketentuan tentang zooniyah, qootiyah seperti yang disampaikan oleh ahli Jalaluddin Rakhmat ataupun Habib Rizieq bahwa akal sepintar apapun dia juga terkait dengan ketentuan dalam menafsirkan suatu agama, tidak bisa sewenang-wenang begitu saja. Yang karena itulah terjamin ketentuan dan ketenteraman beragama. Kemudian kepada Bapak Seno, satu hal yang harus saya kritisi yang disampaikan tadi yaitu apakah ini merupakan suatu penafsiran yang merupakan penodaan agama? Tadi Anda mencoba menyampaikan retorika seperti itu. Ada hal yang keliru secara mendasar dari apa yang telah Anda pahami terhadap PNPS ini bahwa penafsiran itu adanya di Pasal 1, sedangkan penodaan adanya di Pasal 4 itu clear betul secara peraturan, secara normatif itu jelas sekali. Sehingga kalau Anda mempertanyakan suatu penafsiran apakah itu sebagai suatu penodaan jelas, jelaslah terjadi suatu kekeliruan yang mendasar dalam pemahaman Anda terhadap pasal-pasal yang ada dalam PNPS ini. Kemudian Anda juga memberikan beberapa contoh sebagian adalah contoh-contoh yang serupa dengan apa yang telah ada dalam permohonan dari Pemohon. Seperti misalnya tentang kemiripan antara beberapa ajaran dalam Yahudi, Kristen, Islam yang kemudian secara retrorika mempertanyakan apakah itu sebagai penodaan atau bukan? Atau sebagai penafsiran yang menyimpang atau bukan? Apa yang Anda
94
contohkan itu sesuatu yang bersifat ilusif, mengada-ngada. Tidak pernah dalam 40 tahun lebih sejarah PNPS hal-hal yang seperti Anda contohkan menjadi suatu delik, tidak ada seperti itu. Tetapi kalau Anda misalnya memimpin orang ke Monas melakukan tawaf kemudian ada Tahmid, Takbir di situ menggunakan ideom-ideom yang menyerupai agama Islam tentu Anda akan menjadi bermasalah secara delik, itu sesuatu yang wajar suatu, yang jelas-jelas saja begitu. Sehingga tidak perlu Anda secara ilusif, secara jauh-jauh menggambarkan membayangkan sebagai ajaran-ajaran yang ada seperti agama-agama yang lain sebagai sesuatu yang potensial menjadi delik dalam PNPS ini. Terima kasih, Yang Mulia. 184. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Front Pembela Islam. 185. PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H. Terima kasih, Yang Mulia. Saya berandai-andai jadinya kalau warga negara Indonesia ini semua yang ada di ruangan ini ya kita tidak perlu hukum, sebetulnya, karena semua sudah sadar. Sudah bisa berdialog dengan baik sebetulnya, cuma di luar yang ada di sini itu banyak jenisnya manusia Indonesia ini ada 220 juta lebih dan tingkat pendidikannya itu berbedabeda. Nah, untuk mengatur ini tentu saja perlu digunakan hukum. Kalau posisinya seperti kita semua, tingkat pendidikan, tingkat kesadaran, saya kira tidak perlu undang-undang ini. Itu perlu dipahami menurut saya, satu hal. Jadi ini penting untuk membangunkan kita semua dari alam mimpi. Karena begini, tadi dengan contoh, dengan argumen yang kemana-mana, misalnya contoh yang dikemukakan oleh Saudara Seno tadi soal Kristen Koptik membaca ayat-ayat itu merupakan bentuk penodaan , kemudian Kristen Ortodoks di Rusia menggunakan jilbab penodaan terhadap Islam ya itu di luar jangkauan wilayah yurisdiksi, jadi di luar Indonesia yang dicontohkan. Jadi tidak usah mengada-ngada lah menurut saya, yang konkret-konkret saja kita ini. Yang nyata saja yang ada di depan kita seperti apa begitu, jadi kita bisa memahami bahwa kita hidup di alam yang realitas begitu dan bukan khayalan. Kemudian tadi saya lihat pernyataan dari Prof. Budhi bahwa pada akhirnya agama itu adalah sebagai simbol politik. Pada kenyataannya agama itu politik tersendiri, menjauhkan agama dari politik atau memisahkan agama dari politik itu merupakan bentuk dari politik tersendiri juga sebetulnya. Jadi kita bisa melihat dari sudut yang berbeda seperti itu, menjauhkan agama dari kehidupan publik, itu bentuk politik tersendiri, bentuk politik sekulerisme. Jadi tidak bisa
95
dengan satu ukuran seakan-akan itu ukuran yang benar. Tidak ada ukuran yang lain juga. Justru ada ukuran yang lain juga yang menyatakan bahwa agama harus disatukan dengan politik, agama disatukan dengan negara, itu pendapat lain juga, begitu lho. Jadi dalam soal ini menurut saya kita harus berbeda memang dan itu silakan saja, karena ini adalah sekali lagi dalam pandangan yang demikian agama dipandang sebagai produk budaya atau dalam segi kebudayaan maka dia memang adalah sebuah yang berlanjut terus menerus. Kita bisa saksikan Sriwijaya punah kemudian diganti oleh Majapahit kemudian sampai sekarang. Sekarang pun kalau kita berpikir dalam produk budaya, kenapa kita harus menyatakan harus Idiel, harus Pancasila, harus UndangUndang Dasar 1945 dalam kebebasan berpikir tidak penting itu? Ini negara akan bubar dan tidak lama lagi bubar ini negara. Kebebasan berpikir, kenapa kita harus jadikan patokan? Kenapa harus diukur dengan Undang-Undang Dasar 1945? Ini kebebasan berpikir ini, kita harus ukur dengan alat ukur yang lain juga, boleh dong, kan boleh saja. Nah, tapi kita faktanya, kita realitanya kita hidup dalam suatu entitas. Entitas itu yang menjadi ukuran-ukuran. Nah, ukuran-ukuran itu tadi sudah dijelaskan tadi adalah misalnya ukuran yang dikatakan oleh Prof. Yusril secara yuridis formil seperti apa, secara substansinya seperti apa. Jadi tidak mengkhayal kemana-mana, kita mengukurnya menjadi pasti, menjadi jelas ukurannya. Yang ketiga, saya ingin komentar sedikit tentang penggunaan akal, sepakat bahwa semua agama dan agama itu memang diperuntukkan bagi orang yang berakal, cuma akan terjadi perbedaan ketika bagaimana menggunakan akal dan memfungsikan akal dalam konteks beragama. Itu jadi perdebatan lagi sebetulnya. Bagaimana fungsi akal dan penggunaan akal? Apakah menggunakan akal untuk misalnya menyatakan sebagaimana hal-hal yang dilakukan seperti yang sudah terjadi dalam berbagai peristiwa penodaan agama itu juga disebut dengan penggunaan akal? Dan itu disahkan. Nah, ini juga pertanyaan penting menurut saya, pertanyaan-pertanyaan abstraklah sifatnya, jadi dalam konteks pengujian ini saya kira alat ukurnya harus dipastikan, alat ukurnya adalah ukuran konstitusi, apakah betul secara norma yang ada dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 itu membatasi agama yang lain atau ini diperuntukkan undang-undang ini bagi salah satu agama tertentu saja. Itu pertanyaan-pertanyaan penting menurut saya yang harus dijawab dalam forum ini. Demikian menurut saya, terima kasih. 186. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Dewan Dakwah.
96
187. PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM KHAN, S.H. Terima kasih, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Saya cuma sedikit saja kepada 2 Profesor yaitu, Prof. Subur Budhi dan Prof. Djohan. Jadi begini, Anda sejak tadi menjelaskan persoalan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini itu abu-abu. Jadi tidak jelas pada sudut pandang apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Justru di sini Anda yang Prof. Subur dikaitkan dengan culture sedang yang Dr. Djohan dikaitkan dengan faktor emosional. Prosesnya ini kan tidak nyambung Pak, artinya ketidaknyambungan di sini apakah Anda mengatakan bahwa UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini inkonstitusional atau konstitusional? Kalau memang Anda menganggap inkonstitusional tentu seluruh pasal dan ayat tersebut harus dicabut. Nah, kalau memang itu harus dicabut tentu Anda punya formasi, solusi, dan ini tidak dijelaskan dengan pandangan-pandangan yang rasional, itu tadi yang saya ulang bahasa awal yaitu abu-abu , membuat bingung semua di sini, saya kira itu saja. Kepada Saudara Seno, ini memang ada kesan yang unik dan lucu. Kenapa saya katakan begitu? Yang pertama Anda waktu tadi disumpah menggunakan sumpah Kristen atau mungkin Katolik, ya. Tapi begitu Anda menjelaskan tentang Penghayat atau keyakinan Anda, lebih banyak menuangkan pandangan-pandangan Anda itu pada Hindu dan Budha. Kenapa tidak Anda pilih saja salah satu agama atau Hindu atau Budha, Kristen atau apa? Inikan membingungkan kita. Jangan-jangan Anda datang ke sini ini hanya mau menjelaskan tentang fakta sejarah, nah di sini kan ada dosen begitu loh. Itu yang saya jadi bingung, artinya sebenarnya bingung saya itu bukan karena sayanya tapi Anda sendiri datang dalam keadaan gelap begitu loh, bingung. Mungkin itu saja Majelis, terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
188. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan, Bassra. 189. PIHAK TERKAIT (BASSRA) : KH. NAIRUL ROCHMAN Terima kasih, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Saya perlu menjawab atau bertanya kepada tiga Profesor atau tiga Ahli. Satu Budhi Santoso dan Pak Djohan dan Pak Seno. Pertama kali kepada Pak Budhi Santoso, saya pernah buka Kamus Besar
97
Indonesia antara kebudayaan dengan agama. Kebudayaan di situ jelas adalah hasil pemikiran, hasil kegiatan dan ciptaan budi atau akal budi manusia. Jadi kebudayaan itu suatu hasil pemikiran, suatu hasil kegiatan, suatu hasil ciptaan manusia. Sedangkan agama jelas, kalau menurut Islam jelas beda. Agama itu adalah suatu kepercayaan kepada Allah SWT yang Allah sendiri menurunkan ajarannya melalui Nabi Muhammad SAW yang berbentuk Al-Qur’an. Kemudian Rasulullah SAW menjabarkan Al-Qur’an itu dengan perkataan dengan perbuatanperbuatan selama hidup selama menjadi Nabi, dengan pernyataanpernyataannya yang disebut As-Sunnah. Itulah hakekat daripada agama. Maka di dalam Al-Qur’an, saya kembalikan kepada yang tadi kembali kepada sejarah seperti Pak Seno, inni wai ayyu Al-Qur’an sendiri dalam surat Al-Baqarah mengatakan
robbukalilmalaikati inni jailun fil ardhi khalifah. Qollu watajalufiha mayufsidufiha wa yasfikudima wa nahnunusabdihubihamdika wa nukaddisolak qola inni a’lamuma la ta’lamun.” Suatu cerita dalam AlQur’an , sebelum ada Nabi Adam. Jadi sewaktu Allah mengatakan kepada malaikat, “Saya menciptakan khalifah yakni Adam.” Terus, malaikat menjawab hanya menjawab saja begitu, “Qolu ataj’alu fiha
mayufsidu fiha wa yasfikuddima wa nahnuusabihu bihamdika wanukad disholat ya Allah.” Spakah Engkau akan menjadikan orang yang merusak
bumi, mengalirkan darah, sedangkan kami di sini bertasbih kepada-Mu Ya Allah? Mustajab kepada-Mu ya Allah? Apa jawab Allah, “Qola inni a’lamuma lata’lamun.” “Saya yang lebih tahu apa yang engkau tidak tahu.” Maka dengan prosesi ini kalau kembali kepada proses sebenarnya, maka dengan Nabi Adam sebagainya Islamlah sebetulnya, yang lain-lain sempalan-sempalan akibat pemikiran manusia yang sangat sempit, sangat terbatas. Jadi manusia akalnya itu terbatas. Allah sendiri mengatakan kepada orang-orang di waktu itu tentang roh (...) 190. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, agak fokus ke materi yang disampaikan oleh Ahli. 191. PIHAK TERKAIT (BASSRA) : KH. NAIRUL ROCHMAN
Ya jadi kalau..., sebentar saya tambah sedikit “Qulli ruhiminrobbi wa ma tu’titum illa kolila.” Jadi siapapun tidak akan bisa mengetahui roh. Akal siapapun tidak bisa. Kapan mati tidak akan bisa. Sebab kata Allah, “Kamu diberi ilmu sedikit, maka akal bukan jadi patokan.” Patokan bagi kami adalah Allah SWT, Tuhan kita Yang Maha-Maha segala-galanya yang layak untuk Tuhan. Ini PNPS ini adalah hanya mengatur pada penodaan agama, bukan pada kepercayaan. Nanti kalau ada kepercayaan, nanti adat istiadat akan dimasukkan ke sini. Karena kebudayaan itu adat istiadat dan kepercayaan. Karena itu semuanya adalah hasil pemikiran dan
98
ciptaan manusia, maka ini khusus penodaan agama dan agama adalah sangat mendasar bagi manusia. Tidak ada hubungan dengan kebudayaan. Dan ini mungkin yang bisa saya sampaikan dan mengenai ada sedikit-sedikit yang menyelempeng pada ajaran-ajaran agama Islam seperti Bapak tadi, Djohan mengatakan “Walaqod kana bani adam,” Itu diambil sedikit-sedikit. Betul Allah memuliakan Bani Adam, Bani Adam yang mana? “Inna akramakun indallhi atqokum. Jelas bahwa yang paling mulia di sisi Allah itu orang yang lebih takwa. Jadi Bani Adam tidak ada yang takwa dan ada yang tidak takwa sebab yang takwalah yang maha mulia di sisi Allah SWT. Ini saja.
Wassalamuualaikum wr.wb.
192. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Forum Umat Islam. 193. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM)
Assalamualaikum wr. wb.
Terima kasih, Yang Mulia. Saya tujukan kepada Saudara Ahli Dr. Djohan Effendi dan Saudara Ahli Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Yang pertama kepada Saudara Djohan Effendi. Anda mengingatkan kita bahwa agama adalah untuk orang yang punya akal. Tentu saja dalam hal ini posisi akal di dalam agama tentunya adalah untuk memahami agama karena kalau menurut Al-Qur’an, ada orang yang menggunakan akal, tapi untuk menyelewengkan agama. Itu yang disebut dengan orang Yahudi. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, “Ba’dama aqolu wa
yahanaripuna an mawadih.”
Nah, oleh karena itu karena Anda tadi banyak mengutip ayat Qur’an maupun pendapat Imam Syafi’i, saya yakin Anda juga menggunakan akal Anda adalah dalam rangka yang konstruktif untuk membina keimanan Anda. Nah, oleh karena itu ketika Anda mengatakan bahwa semua tafsir itu ya bisa-bisa saja, tidak perlu dihukumi. Anda mengutip ucapan Imam Syafi’i tentang pendapat kami benar, tapi mengandung hal yang salah. Tetapi Anda tidak mengutip pendapat Imam Syafi’i yang lain yang mengatakan, “Man istahsana faqod saro’a wa man saro’a faqod kafaro.” Siapa yang menganggap baik sesuatu padahal tidak ada dalil sara’nya, lalu dia jadikan sebagai hukum maka dia dikatakan oleh Imam Syafi’ih faqod saro’a. Dia telah membuat Syariat baru dan siapa yang membuat syariat baru maka berarti dia telah kafir. Ini adalah pendapat Imam syafi’i yang lain. Saya kira sebagai orang berakal Anda bisa menggunakan untuk hal-hal sesuai dengan ketentuannya. Nah, Saudara Djohan, saya ingin bertanya kepada Anda. Kalau kita membaca firman Allah di dalam surat Al-Baqarah, “wa mayartadid
minkum anzili fayamut wa huwa kafir faula habithot a’maluhum fiddun 99
ya war akhiroh wa ula ika ashabunnar hum fiha kholidun.” Bagaimana
akal kita, kita gunakan di dalam memahami ayat tersebut? Demikian juga operasionalisasi dari ayat tersebut yaitu hadits Nabi Muhammad yang menyatakan, “Man baddala dinnahu faktulu.” Siapa yang mengubah agama Islamnya dengan yang lain maka bunuhlah dia. Nah, itu bagaimana akal kita di dalam memahami hadist yang sudah sedemikian jelas ini, apakah menurut kita, hadist ini tidak masuk akal sehingga perlu kita coret? Demikian juga dengan ayat tadi dalam AlBaqarah ayat 217 itu tidak masuk akal perlu kita coret? Demikian juga Firman Allah dalam Surat An-nisa, “Innalazina amanu tsumma kaffaru
tsumma amanu tsumma kafaru tsummasdadu kufron lam yakunilahhu liyagfiralahum wala liyahliyahum sabila.” Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, lalu kafir, lalu beriman lagi, lalu kafir, lalu bertambahtambah kekufurannya, Allah tidak akan mengampuni dia dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada dia.” Apakah menurut akal kita, ayat Allah ini tidak masuk akal? Atau sebenarnya bagaimana? Saya ingin tambahkan satu pertanyaan untuk Saudara Johan, satu kelompok yang menyatakan dirinya Islam yakni dalam hal ini adalah Ahmadiyah di Indonesia, sesuai dengan AD-ART-nya menyatakan Islam, tapi dia mengeluarkan kitab Tazkiroh yang mengobrak-abrik Al-Quran, membolak-balik ayat Al-Quran dan ditambah-tambah kata Mirza, apakah menurut akal Anda ini adalah sesuatu yang diperbolehkan atau tidak? Dan di dalam salah satu butir Tazkiroh itu adalah berbunyi, “Kazzaba alayya alkhobis wa kazzaba alyya alkhinzir.” Siapa yang mendustakan aku adalah orang yang kotor, siapa yang mendustakan aku adalah babi. Bagaimana akal kita menilai klaim dari Mirza Gulam Ahmad dalam kita Tazkiroh tersebut? Untuk Ahli Prof. Dr. Yusril, saya ingin bertanya kepada Anda, di dalam sebuah hadits itu dikatakan…, kalau tidak salah ini hadits mutawatir, “Man fasarol qur’ana bil ghoiri ilmin fal yatabawa makdahum minannar.” Siapa yang menafsirkan Al-Quran tanpa ilmu, maka hendaklah dia menyediakan tempatnya di dalam api neraka. Setahu saya, di dalam Undang-Undang PNPS itu kalimatnya kan menafsirkan. Kata menafsirkan ini secara bahasa berasal dari kata tafsir. Kata tafsir berasal dari kata fasaro. Artinya kata ini sebenarnya senafas dengan apa yang ada dalam hadits Nabi tadi. Artinya, kalau kita merujuk hadis ini, menafsirkan tentu tidak boleh sembarangan. Sepanjang saya mendengar di ruangan ini dari Pemohon atau dari Ahli-Ahli atau Pihak Terkait tertentu, kecuali mereka ingin menjaga aqidah Islam agar tetap murni, itu mengatakan bahwa menafsirkan itu ya apa namanya…, tidak boleh dihukumi, tidak ada tafsir yang salah, tidak ada tafsir yang dianggap sesat. Oleh karena itu saya ingin bertanya kepada Prof. Yusril dalam kerangka undang-undang ini, sebenarnya apakah undang-undang ini hanya untuk melindungi agama Islam? Atau semua agama? Atau memang undang-undang ini yang bisa digunakan oleh umat Islam untuk
100
menjaga agamanya dari berbagai upaya untuk menafsirkan ulang yang isinya justru adalah merusak agama? Mohon penjelasan.Terima kasih, Yang mulia. Wassalamualaikum wr. wb. 194. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, kepada empat ahli diberi waktu masing-masing sekitar 5 menit, dimulai dari Prof. Budhisantoso. 195. AHLI DARI PEMOHON : PROF. SUBUR BUDHISANTOSO Terima kasih, Yang Mulia. Perkenankan saya untuk menjawab atau merespon pertanyaan maupun komentar. Pertama-tama…, atau mungkin saya akan bicara secara lebih leluasa tidak satu persatu. Misalnya agama sebagai culture system atau sistem budaya. Ini jelas sekali nampak sebagaimana pembicara Saksi Ahli tadi pagi semuanya, gejala meningkatnya tekanan pada pada agama sebagai politik itu berawal sejak tahun 1965, yaitu dengan mengaktifkan simbol-simbol keagamaan. Ini tidak berarti bahwa agamanya ditinggalkan sama sekali, akan tetapi menanggapi penanya Saudara dari FPI tadi, ini adalah over emphasize, agama sebagai politik. Sehingga kita lebih banyak mengembangkan atau memperhatikan simbol-simbol dari pada ajaranajaran. Oleh karena itu, walaupun di Indonesia ini sekarang pembangunan tempat-tempat ibadah, jumlah orang beragama terus meningkat, kegiatan agama sangat banyak. Akan tetapi, korupsi, Kriminal, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya juga tidak berkurang. Ini menandakan gejala lebih banyak perhatian pada politik. Bahkan Yang Mulia pernah menyatakan bahwa kita sekarang sedang menghadapi jahiliyah di bidang hukum. Ini yang saya maksud. Jadi bukan sama sekali atau apriori bahwa agama ditinggalkan begitu saja. Juga saya tidak menolak bahwa beragama itu…, agama itu tidak berpolitik. Orang hidup suami-isteri pun berpolitik, bagaimana mengendalikan isteri secara baik. Kepada Bapak yang dari HPK, tidak dapat dipaksakan agama karena memerlukan..., ya agama atau sebagai sistem budaya itu tidak bisa dipaksakan oleh karena dia memerlukan waktu untuk internalisasi, penghayatan yaitu melalui proses pendidikan, tapi bukan pengajaran di sekolah-sekolah, sedangkan sekolah-sekolah sekarang ini diadakan pendidikan agama sebagai akidah yang seharusnya diberikan untuk memperluas perspektif tentang keagamaan. Jadi sedangkan akidah harus dilakukan di dalam lingkungan masing-masing. Oleh karena itu saya katakan bahwa ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk
101
memindahkan orang atau mengalihkan penghayatan keagamaan seseorang kepada agama yang lain. Apa yang harus kita lakukan adalah biarkan dulu maing-masing berjalan karena apa yang mereka hayati yang selama ini sejak dia dibesarkan dan dia menghantar mereka kepada kemapanan itu selalu mengacu kepada kebudayaan ataupun culture system ataupun agama yang dia peroleh sejak kecil. Jadi apa yang baik dan yang buruk, apa yang layak dan tidak layak, apa yang berharga dan tidak berharga itu tidak bebas dari pengaruh kebudayaan. Karena itulah maka biarkan mereka berkembang dan pada akhirnya di era globalisasi ini saya optimistik bahwa akan terjadi keseragaman atau universalism pada umumnya, jadi tidak usah kita kejar-kejar. Bapak Munarman kan tidak tanya sama saya ya? Saudara dari FPI saya tadi sudah sebutkan bahwa kita sekarang ada kecenderungan over emphasize on agama sebagai politik rather than agama sebagai cultural system sehingga kita mengabaikan penghayatan, penghayatan nilai-nilai agama. Dari Bapak Dewan Dakwah, saya memang kebingungan, memang saya bicara dari sudut perspektif kebudayaan, jadi saya tidak persoalkan mengenai asal-usul agama tapi apa isi agama dan fungsinya bagi masyarakat dan pemeluknya itu. Jadi saya juga percaya seperti kepada Bapak Kiai tadi, ya silakan Bapak percaya ya, saya juga percaya Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi saya sebagai Saksi Ahli di sini harus menjelaskan bukan apa yang saya percaya tetapi apa yang saya ketahui, inilah apa yang disebut mengapa saya harus datang kemari, bukan untuk bicara tentang apa yang dipercaya akan tetapi apa yang diketahui. Sekian, terima kasih Bapak Yang Mulia. 196. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, sangat menarik. Jadi yang diterangkan itu apa yang diketahui bukan yang dipercaya. Silakan Pak Djohan. 197. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : DR. DJOHAN EFFENDI Yang menjadi concern saya itu adalah bagaimana negara tidak ditempatkan sejajar atau di atas Tuhan itu yang menjadi concern saya. Ini pertama. Bagaimanapun negara ini adalah bikinan manusia, dia mahkluk dan jangan sampai diabsolutkan, begitu. Yang kedua adalah pengalaman saya selama ini, saya selalu bergaul dan didatangi, curhat oleh orang-orang yang merasa keyakinannya ter apa..., tidak bisa dia lakukan. Tadi saya mengambil contoh Pak Qurdi, itu bukan 5 tahun, 10 tahun dia, dua kali, satu di Banyuwangi dan satu lagi di Lampung. Ada anak tidak bisa sekolah di Indonesia akhirnya pindah ke Malaysia karena dia di sekolah gurunya tidak mau mengasih angka agama. Walaupun dia ingin sekolah di
102
Indonesia, di Pati, dan ikut pelajaran agama Islam tetapi guru agama Islamnya tidak mau, “Karena kamu bukan Islam, tidak bisa.” Dan angka di Indonesia kalau tidak ada angka agama 5 tidak bisa naik biar pintar, dia akhirnya pindah ke Serawak. Sebetulnya banyak. Ada Ibu Saksi Yehova hamil-hamil dipukuli. Itu menjadi beban untuk saya. Ini mereka juga umat. Hewan saja harus saya bela, kenapa mereka tidak. Ini jadi saya tidak bicara soal….. Lalu kemudian, tadi disinggung soal ajaran Ahmadiyah. Saya ke teman-teman Ahmadiyah juga mengatakan “Ajaran Anda saya tentang sehabis-habisnya, tapi hak hidup Anda sebagai manusia dan sebagai warga negara saya bela juga sehabis-habisnya”. Jadi saya membedakan itu sebetulnya. Saya tidak percaya sama aqidah mereka tapi saya tidak bisa membiarkan mereka hak hidupnya, hak warga negaranya, seperti sekarang masih ada di Matraman yang sudah 3 tahun diusir dari rumahnya. Padahal tadi saya katakan padahal bumi ini disiapkan Tuhan. Hak apa negara atau orang lain mengusir dia di buminya Tuhan. Saya hanya dari segi-segi itu yang ingin saya…, Nah, kemudian tadi ada masalah saya kira masalah penggunaan akal segala macam itu saya kira umumlah. Saya baca dari buku-buku yang sederhana, buku-buku melayu setiap syarat akil baligh itu selalu menjadi syarat untuk orang anu. Jadi fungsi akal itu sangat penting saya kira. Bahwa bagaimana menggunakannya tentu ada cara-cara masing-masing. Saya tidak bisa membayangkan, membatasi pikiran orang itu saya tidak …….., bagaimana saya harus membatasi pikiran saya sendiri saya tidak bisa. Selalu berproses, selalu berpikir, begitu bangun sudah berpikir, dan saya tidak bisa …, bagaimana ini saya mengendalikan pikiran. Di sinilah saya kira masalah hati nurani kita itu yang menjadi…, dan di situlah agama berfungsi bagaimana mengatur akal pikiran itu adalah pengahayatan kita masing-masing. Jadi semua itu tidak bisa didiskusikan secara ilmiah mungkin. Jadi pengendalian akal itu adalah iman kita dan itu adalah sangat individu. Bisa didiskusikan secara lebih baik. Tadi ada pengertian yang mungkin ingin juga saya berbagi pikiran, perkataan mad man maddalina din faktulu. Din itu kemana artinya, apakah pindah dari Islam, bila pindah Islam harus dibunuh? Apakah juga itu umum? Sehingga kalau ada orang agama lain masuk ke Islam mengganti agamanya apa juga harus kita bunuh? Kayaknya tidak. Jadi kalau ada orang mengganti agamanya kita terima dengan lapang dada dengan pesta pora tapi ini ada masalah, maka saya melihat kalau kita pelajari di sini bukan soal pindah agama. Desersi. Jadi orang yang desersi, pindah agama terkait dengan situasi sejarah nabi berperang dengan para orang-orang Quraish, nah kalau dia pindah agama itu dia memihak musuh. Bukan pindah agamanya yang jadi masalah. Tapi lagilagi ini masalah penafsiran. Tadi ayat yang disinggung menarik sekali, Islam, kafir, Islam, kafir. Jadi begitu dia pindah dari kafir lalu langsung dibunuh. Ada
103
beberapa masih disebut Islam, Kafir, Islam, Kafir dan tidak disebut juga hukum bunuh itu. Allah yang akan menghukum dia nanti. Nah, ini saya kira ayat itu sendiri membuktikan tidak membatasi makna hadist tadi itu. Saya kira ini yang perlu kita dalami, inilah saya kira soal mannis sakhsanna itu saya kira masalah di pembicaraan di ushul fiqih saya kira tidak ingin mendalami itu lebih jauh. Nah, demikianlah saya kira yang ingin saya….., yang terakhir yang pertama tadi saya kira memang saya menghargai soal dakwah. Ketika dulu pembicaraan di Indonesia tahun 1950-an kita harus membatasi, yang saya menjadi problem bagi hati saya, kita hanya harus meyebarkan berdakwah kepada orang yang belum beragama. Saya susah menerima konsep itu, karena saya bagaimana dengan hadist balighul anni wallau ayyah? Sebarkanlah itu. Oleh karena itu saya melihat praktek penyebaran agama dari manapun itu dengan niat baik, bukan niat buruk, karena dia sayang kepada kita juga seperti saya sayang kepada dia. Nah, ini titik tolak sikap itu saya kira harus kita kembangkan dulu, bukan dengan sikap bermusuhan. Nah, ini yang selalu menjadi concern saya dan terakhir saya kira yang menjadi kegelisahan saya juga ialah saya kok melihat wajah agama sebagai wajah orang-orang marah saja. Padahal Nabi mengatakan bersedekahlah kamu, kalau tidak bisa bersedekah apaapa tersenyumlah, senyum itu sedekah. Saya rindu kepada kehidupan beragama yang senyum, bukan marah. Oleh karena itu apakah sumbangan saya ini bisa…, mungkin saya tidak terkait dengan apa yang dibicarakan, tapi ini hanya sumbangan saya kepada Mahkamah Konstitusi mungkin bisa dipertimbangkan bagaimana negara kita itu adalah menjadi mencerminkan sifat rahman rahim Tuhan kepada bangsanya dan rakyatnya. Jadi bagi saya diajari dulu waktu di ngaji, kalau Al-Qur’an itu 30 juz itu adalah disingkat menjadi Alfatihah, kalau Alfatihah disingkat menjadi Bismillah katanya, kalau Al-Qur’an kita baca mungkin setahun sekali, bulan puasa, kalau fatihah 17 kali, kalau bismillah itu tiap perbuatan itu harus dimulai dengan baca bismillah. Karena itu hidup kita harusnya mencerminkan rahman dan rahim Tuhan, kasih sayang, yang itu yang saya kira dalam kehidupan kita sekarang kok jauh, seperti orang saling melaknat, bukan saling kasih sayang. Itu saja, terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
198. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, terima kasih Pak Djohan. Selanjutnya Bapak Seno, silakan Pak Seno. 199. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (HPK) : K.P. SENO ADININGRAT, S.H., M.A., M.H.
104
Terima kasih. Saya juga akan menyampaikan jawaban yang umum saja. Yang pertama, kasus-kasus yang tadi saya sampaikan itu seolah-olah tidak nyata tapi di luar Indonesia, tapi saya berpikir bahwa undang-undang itu kan harus mengantisipasi bukan hanya apa yang sudah terjadi, tapi yang akan terjadi karena era baru ini adalah era yang sangat-sangat bergerak dan cepat. Sekarang persoalannya misalnya gereja ortodok sendiri, Gereja Ortodok Yunani sudah ada di Indonesia. Pernah satu kasus beberapa tahun yang lalu mereka membangun gereja sesuai dengan patronnya yang ada di Yunani itu memakai kubah karena kubah itu asalnya dari Bizantium. Kemudian ketika menyiapkan kubah beberapa tetangga itu mengatakan, “Loh, ini kok kubah ada salibnya?“ Lah ini kan kegiatan yang membuat kegiatan yang mirip dengan agama di Indonesia. Akhirnya mereka ketakutan, lalu diganti lancip seperti arsitektur rumah Katolik. Terus kemudian orang mengatakan, “Ini kan Gereja Katolik.” “Bukan, ini Gereja Ortodok Yunani.” Ini satu contoh saja, banyak orang yang terpaksa ketakutan karena itu menyesuaikan diri dengan apa yang lazim berlaku di Indonesia karena agama yang dianut itu agama yang tidak populer, gitu loh kira-kira seperti itu. Kemudian, selama ini tidak pernah menjadi delik, nanti bisa-bisa juga menjadi delik. Karena apa? karena kan perkembangan masyarakat kita kan sangat cepat. Kemudian juga tentang penodaan agama dan Pasal 1. Memang Pasal 3 ini kan sebetulnya rumusan deliknya ada di Pasal 1. Apabila Pasal 3 dikatakan, “...apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan oleh Presiden RI, menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi, atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1...,” Jadi ini deliknya rumusannya di Pasal 1. Apa menafsirkan dan membuat kegiatan keagamaan tadi maka orang, penganut, anggota, dan anggota pengurus organisasi yang bersangkutan aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Saya kira ini berhubungan. Pasal 3 ini bicara rumusannya deliknya di pasal yang pertama. Kemudian dikatakan apakah saya bingung? Saya berterima kasih pada para keluarga dan nenek moyang saya karena saya lahir sebagai keluarga yang sangat pluralistik sehingga saya biasa melakukan passing over. Saya memang bukan seorang penghayat makanya saya disumpah bukan sumpah penghayat, tapi sumpah agama karena itu keyakinan saya. Saya cocok dengan Prof. Budhi bahwa di sini saya tidak berbicara apa yang saya yakini. Apa yang saya yakini itu kan urusan dapur saya, tapi yang saya mau sampaikan di sini sesuai dengan permintaan HPK. Kebetulan saya sedang mengadakan penelitian tentang rekonstruksi voke religion dari masa ke masa. Yang saya ketahui itu yang saya sampaikan dan ternyata bahwa aliran kepercayaan itu tidak seperti yang dituduh orang. Hanya bakar kemenyan kemudian nyantet. Tidak seperti
105
itu. Itu budaya adi luhur bangsa yang justru menyambut agama-agama pendatang dengan ramah. Masak yang begini kita klenik-klenik kan? Jadi ini bagian dari tanggung jawab saya dan agama mengajarkan seperti itu. Kemudian, soal tadi dikatakan definisi kebudayaan, definisi agama yang Bapak sampaikan itu kan barang instan yang sudah jadi di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seumpama kita tahu ini masakan enak, kalau saya bertanya seorang peneliti tidak tahu Indomie itu instannya bagaimana? Bagaimana cara masaknya Indomie kok enak? Lah saya lacak dari awal karena tugas sejarawan kan begitu? Agama itu dari bahasa Sanskerta. ‘A’, tidak. ‘Gama,’ bergerak. Sesuatu yang tidak bergerak, makanya agama bisa berarti hukum. Hukum dalam Majapahit namanya Sang Hyang Adhi Gama, Sang Hyang Agama. Di sini agama dalam pengertian aturan hukum, tapi di tempat lain agama juga bisa berarti religion. Agama juga bisa berarti tradisi. Nah, tergantung kita melihat definisi yang mana? Seperti juga kata-kata dalam bahasa Arab, Ibrani, Yunani. Misalnya, ini kata ini secara lugowi atau secara syar’i. Arti syariah dengan arti lugowi kan umum, itu bisa ada di agama lain juga, begitu loh. Saya pikir itu Yang Mulia, kemudian kalau saya dikatakan aneh, saya disumpah menurut agama, tapi kok bela kepercayaan. Sekali lagi mungkin Bapak, Ibu akan lebih aneh kalau lihat Bung Karno dan Pak Yamin. Pak Yamin itu sangat hafal Upanisat, Begawat Kita. Cobalah buku empat Beliau yang berjudul Sapta Parwa dibaca. Itulah para founding father kita. Makanya negeri ini Bhinneka Tunggal Ika. Kalau sekarang kita semua berangkat dari agama kita, betapa langit kebangsaan kita semakin menyempit karena kita hanya tahu agama kita. Bagi saya pribadi, kalau saya fanatik dengan agama saya, membela agama saya karena saya hanya tahu itu. Apa kelebihan saya? Wong tahunya cuma itu. Kan lebih baik kita harus ketahui semua supaya kita toleran. Passing Over terhadap semua agama, tapi saya juga coming back pada agama saya. Saya rasa itu. Terima kasih, Yang Mulia. 200. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terakhir, Prof. Yusril. 201. AHLI YANG DIHADIRKAN MK : PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA, S.H. Terima kasih, Ketua Yang Mulia. Saya hanya ingin meluruskan mungkin salah paham yang saya sampaikan tadi. Konteks saya mengatakan bahwa mungkin orang mengatakan kalau bahwasanya agama itu diserahkan kepada pemeluknya masing-masing itu dalam konteks secularism. Ada pikiran-pikiran seperti hidup di sini. Agama jangan dibawabawa ke negara. Negara jangan ikut campur. Serahkanlah agama itu
106
kepada penganutnya masing-masing. Terus dia bilang, “Kalau begitu, saya merasa ini ajaran agama saya. Kalau negara jangan laksanakan, saya laksanakan sendiri dan akan menimbulkan anarkis. Di situ konteksnya. Tapi kalau misalnya ditanya bagaimanakah hukum agama dengan hukum negara? Politik hukum kita ini memang melihat ini dari segi paling tidak itu dibedakan dalam beberapa kategori. Kalau hukum itu menyangkut peribadatan, negara itu tidak bisa ikut campur, dia harus menerima apa adanya, bahwa orang Islam itu wajib puasa bulan Ramadlan misalnya, itu pemerintah tidak bisa menawar, bagaimana ya kurangin sedikitlah jadi sunnat muakad saja. Itu otoritasnya penuh. Tapi menyangkut hukum privat kita akui adanya keragaman, pluralisme dan dimana perlu dia diformalkan menjadi undang-undang dia ditransform karena negara tidak mungkin akan mengabaikan hukum yang hidup the living law di tengah-tengah masyarakat, dimanapun di dunia ini hukum, apa itu hukum agama, hukum adat yang mayoritas dianut oleh rakyatnya akan mempengaruhi corak dari hukum nasional itu. Di Filipina sampai hari ini orang tidak bisa cerai, Undang-Undang Perkawinan Filipina. Siapa yang tidak mengatakan itu pengaruh dari dari hukum gereja Katolik terhadap hukum Filipina yang tegas mengatakan Filipina negara sekuler. Jadi tetap saja ada pengaruh begitu. Kalau di sini Undang-Undang Perkawinan meng-adopt hukum perkawinan Islam bagi orang Islam, silakan bagi orang Hindu, hukum Hindu ya silakan itu saja. Tapi terhadap hal-hal yang menyangkut public law ya kaidah-kaidah dari semua agama sepanjang dia mengandung hukum, dia dapat di transform menjadi kaidah-kaidah hukum positif. Saya ini bukan hanya teori, pengalaman saya waktu men-drafr Rancangan Undang-Undang Terorisme mengunakan kaidah-kaidah hukum berbagai agama termasuk kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Bahkan ketika men-draft Rancangan Undang-Undang Hukum Kepailitan untuk menggantikan kepailitan Belanda dan Perppu Nomor 1 Tahun 1999 itu mengunakan kaidahkaidah hukum perdata Islam tanpa orang tahu, jadi dia undang-undang. Ketika menjadi undang-undang sumber hukum itu sudah tidak menjadi masalah lagi darimana pun datanganya, bisa saja dari Islam, bisa saja dari Hindu, bisa dari konvensi manapun, ya segalanya itu bisa dijadikan sumber hukum, kita gali dan kita anggap sesuai, kita jadikan sebagai kaidah hukum nasional kita. Kemudian kalau mengenai penafsiran-penafsiran ini, tadi kaitan dengan Ahmadiyah misalnya. Kalau orang-orang itu berkeyakinan bahwa Mirza Gulam Ahmad itu Nabi sesudah Nabi Muhammad begitu dan kemudian punya wahyu dalam kita tazkirah dan sebagainya. Negara tidak bisa melarang, dia punya keyakinan begitu itu hak dia. Cuma dia tidak bisa mengatakan ini agama Islam juga. Kalau dia mengatakan begitu orang Islam yang lainnya marah sama orang ini. Nah, jadi saya berpendapat Ahmadiyah itu kalau dia mengatakan kami bukan Islam kami agama sendiri namanya Ahmadiyah dan itu dijamin oleh konstitusi
107
kita hak hidup dari kelompok itu. Nah, cuma masalahnyakan kelompok itu mengatakan agama Islam juga, nah lalu ribut sama yang lain, negara di situ dapat mengambil satu langkah tindakan bukan berarti negara terus mengistimewakan yang lain, yang bukan Ahmadiyah terus mengdiskriminasi yang Ahmadiyah. Nah, jadi barangkali kalau Ahmadiyah itu terus ada bikin lagi kelompok di dalamnya itu kami Ahmadiyah juga, mungkin yang Ahmadiyah itu pun marah lagi sama yang kelompok ini. Jadi tidak ada selesai-selesainya begitu. Jadi saya pikir negara hanya kepentingannya bukan menilai tapi negara harus menjaga ketertiban umum, harmoni dalam kehidupan masyarakat, itu saja kepentingan negara bukan menilai agama ini benar atau tidak benar itu bukan urusan negara untuk menilai hal itu. Kemudian tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini, saya ingin menjelaskan begini. Kita ini dipengaruhi sangat oleh hukum Eropa kontinental. Nah, di dalam sistem Eropa Kontinental itu apa yang menjadi heading, apa yang menjadi kepala bab, judul itu memberikan pengaruh terhadap penafsiran pasal, beda dengan hukum Anglo Saxon itu tidak ada gunanya. Jadi kalau undang-undang ini bunyi pencegahan, penyalahan dan penodaan agama, ya seluruh yang dimaksud itu agama begitu. Makanya, jadi timbul pertanyaan lho ini kok mendiskriminasi kepercayaan, kok menjadi terdakwa, kepercayaan kok menjadi disudutkan agama yang dikepentingkan di sini. Bahwa aliran-aliran kepercayaan itu mau hidup sendiri, tidak ada yang gangu, silahkan saja. Cuma kadang-kadang aliran kepercayaan itu kemudian mengidentifikasi dengan agama-agama tertentu yang menimbulkan kemarahan penganut agama itu lagi. Inilah konteksnya, jadi negara kemudian mengatur ini bahwa itu tidak boleh dilakukan, kalau dia mau bikin sendiri aliran dia sepanjang tidak menganggu-ganggu agama lain, tidak sebut-sebut dia kelompok agama itu tidak ada yang melarang mereka. Nah, itulah intinya dan kemudian juga apakah ini hanya berlaku bagi agama Islam? Tidak. Ini berlaku bagi semua, melindungi semua agama dan apakah bahwa orang Islam kemudian merasa berkepentingan dengan ini, kalau kita lihat sih sebenarnya semua agama juga pada hemat saya berkepentingan dengan ketentuanketentuan ini. Jadi sama sekali tidak ada tujuan diskriminasi. Jadi menurut saya di sini agama China, agama Six segala macam tidak ada yang ganggu. Ada six tempel di pasar baru di Tanjung Priok tidak ada yang gangguganggu karena sudah dianggap Six merupakan suatu agama sendiri, walaupun asal usulnya dia meng-combine Islam dengan Hindu pada zaman Sultan Akbar zaman dahulu. Tapi kalau sudah menjadi kelompok sendiri, agama sendiri tidak ada. Sepanjang yang saya lihat tidak ada protes, komplain terhadap Six, di sini sebagaimana komplain umat Islam terhadap Ahmadiyah. Jadi, Komplain orang Hindu kepada Six juga tidak, komplain orang Islam kepada Six juga tidak. Jadi persoalan Ahmadiyah
108
itu akan selesai kalau jemaat Ahmadiyah tegas mengatakan kami ini Ahmadiyah kami bukan Islam, Ahmadiyah, selesai persoalannya. Terima kasih. 202. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Saudara sekalian. Sidang hari ini sudah selesai dan keseluruhan sidang yang melelahkan selama dua bulan berakhir hari ini untuk acara pemeriksaan. Sidang berikutnya adalah pengucapan vonis oleh Mahkamah Konstitusi yang dijadwalkan kira-kira pertengahan April dan untuk itu, selambat-lambatnya tanggal 31 Maret hari Rabu yang akan datang jam 12.00 siang, pihak-pihak Pemohon, Pemerintah, DPR kalau sempat kemudian Pihak Terkait itu bisa menyampaikan kesimpulan akhir dari keseluruhan persidangan ini. Sehingga mulai tanggal 2 Mahkamah Konstitusi sudah mengolah semuanya dan bilamana tidak sempat membuat juga ya tidak apa-apa. Artinya sepenuhnya kesimpulan itu diserahkan kepada Majelis Hakim tanpa sumbangan kesimpulan dari Saudara tentang misalnya sudah yakin sudah bisa disimpulkan sendiri misalnya. Saya mengucapkan terima kasih semuanya, sidang-sidang ini Alhamdulillah berjalan dengan lancar. Kita banyak saling belajar, banyak berdialog di sini, juga sidang tidak pernah terjadi sesuatu kekacauan. Pak Munarman yang kadangkala saya sering suka melotot di dalam sidang-sidang ini sangat manis dan pikirannya ternyata bagus. Jadi kita bisa saling banyak, ada yang mau tanya? 203. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H. Yang Mulia, Terima kasih. Apakah, bukan bermaksud untuk menawar tapi realitasnya adalah saksinya begitu banyak yang menghadiri forum ini, kalau tanggal 31 kayaknya apa tidak terlalu mepet dengan jumlah saksi yang lebih hampir 40 orang. Ya kalau sampai Jumat mungkin kita kerjakan lagi, kami sebagai Pemohon berkepentingan untuk memasukan kesimpulan. 204. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baiklah, sebenarnya dalam pikiran kami itu saksi yang begitu banyak itu kan tidak harus diresume. Kalau Saudara resume semua itu lama sekali. Saya pikirkan minta kesimpulan dan kesimpulan itu tentu tidak sama dengan permohonan atau jawaban permohonan. Kesimpulan dari semua yang mungkin bisa diringkas menjadi dua atau 3 lembar. Meskipun begitu kita menyetujuilah sampai hari Jumatlah ya, hari Jumat libur tidak bisa. Hari Kamis saja tambah satu hari saja, hari Kamis
109
tanggal 1, jam 17.00 sore di tunggu di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Mohon kepada para ahli saya lihat ada bawa paper dan sangat menarik tadi. Bapak Djohan sudah disini papernya, Bapak Yusril belum, Bapak Seno belum, Bapak Budhi Santoso juga belum, mohon kalau bisa ditinggal disini papernya, sehingga nanti bisa bahan-bahan untuk pengambilan keputusan kami. Terima kasih sekali lagi, sidang dinyatakan ditutup. Sampai ketemu lagi pada sidang pengucapan putusan.
KETUK PALU 3 X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.22 WIB
110