Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI YANG DIHADIRKAN MK DAN AHLI DARI PEMERINTAH (X)
JAKARTA RABU, 17 MARET 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial) dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli yang dihadirkan MK dan Ahli dari Pemerintah (X) Rabu, 17 Maret 2010, Pukul 10.05 – 12.10 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Dr. Harjono, S.H., MCL. Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: -
Shirley Doornik (Demos) Ingwuri (Yayasan Desantara) Nurul Huda (Yayasan Desantara)
Kuasa Hukum Pemohon: -
Uli Parulian Sihombing, S.H. M. Choirul Anam, S.H. Febi Yonesta, S.H. Nurkholis Hidayat, S.H. Muhammad Isnur, S.H. Totok Yulianto, S.H. Vicky Silvanie, S.H. Judianto Simanjuntak, S.H. Adam. M. Pantauw, S.H. Siti Aminah, S.H.
Pemerintah: -
Bahrul Hayat, Ph. D. (Sekjen Kementerian Agama) H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Kementerian Agama) Drs. Stef Agus (Dirjen Bimas Katolik) Cholilah, S.H., M.H. (Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) Mualimin Abdi (Kabag dari Menkumham untuk Penyajian pada Sidang MK)
Ahli yang dihadirkan Pemerintah -
Dr. Sudarsono
Ahli yang dihadirkan MK -
Dr. Siti Zuhro
Pihak Terkait (Forum Kerukunan Umat Beragama) -
H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA. Drs. Rudy Pratikno, S.H.
2
Pihak Terkait (Forum Umat Islam) -
Wirawan Adnan, S.H. (Kuasa Hukum) K.H. Muhammad Al Khaththath (Sekjen FUI)
Pihak Terkait (PBNU): -
Asrul Sani (LBH NU)
Pihak Terkait (Dewan Dakwah Islamiyah): -
Abdul Rahman Tardjo, S.H. Azam, S.H.
Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI): -
H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. (Anggota) Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A. (Sekretaris)
Pihak Terkait (BKOK): -
Arnold Panahal
Pihak Terkait (KWI): -
Rudy Pratikno R. Astuti Sitanggang Gito
DPP PPP: -
Muhammad Naril Ilham (Kuasa Hukum)
Pihak Terkait (Front Pembela Islam) -
Munarman, S.H.
Pihak Terkait (BASSRA) -
Nairul Rochman K.H. Luthfi
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.05 WIB
1.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.
Assalamualaikum wr. wb.
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Ahli dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X Silakan, Pemohon perkenalkan dulu. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H. Terima kasih, Yang Mulia. Selamat pagi hadirin sekalian dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kami dari Pemohon yang hadir hari ini adalah Kuasa Hukum Pemohon dan juga para Pemohon. Untuk para Pemohon yang paling kiri adalah Ibu Shirley Doornik dia dari Demos, kemudian Bapak Ingwuri dia adalah dari Yayasan Desantara. Kemudian selanjutnya, Kuasa Hukum Pemohon ada Adam M. Pantauw di sebelah kiri, dan saya sendiri adalah Uli Parulian Sihombing, kemudian di sebelah kanan saya adalah Febi Yonesta, dan kemudian sebelah kanannya ada Muhammad Choirul Anam, dan paling ujung Judianto Simanjuntak. Kemudian, yang barisan belakang yang paling ujung sebelah kiri adalah Siti Aminah Tardi, kemudian selanjutnya adalah Nurkholis Hidayat, kemudian Vicky Silvanie, kemudian selanjutnya Muhammad Isnur, kemudian selanjutnya adalah Totok Yulianto dan Nurul Huda dari Yayasan Desantara, sebagai Pemohon. Itu saja, terima kasih.
3.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Pemerintah?
4.
PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG DARI MENKUMHAM UNTUK PENYAJIAN PADA SIDANG MK)
Assalamualaikum wr. wb.
Pemerintah hadir saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM. Di sebelah kiri, Bapak Bahrul Hayat, Sekjen Kementerian Agama. Kemudian sebelah kanan, Bapak Mubarok, Kepala
4
Biro Hukum Kementerian Agama. Kemudian ada Ibu Cholilah, Direktur Litigasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian paling kanan ada Bapak Stef Agus, Dirjen Bimas Katolik. Kemudian hari ini, Yang Mulia, sedianya Pemerintah akan menghadirkan Ahli, dua, yaitu Ibu Khofifah dan Bapak Sudarsono. Kemudian Ibu Khofifah hari ini berhalangan, kemudian jika diperkenankan kita alihkan untuk hari Jumat, Yang Mulia. Terima kasih. Assalamualaikum wr.wb. 5.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik. Pihak Terkait.
6.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Dari MUI, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Hadir saya sendiri anggota, Moh. Lutfi Hakim. Di kanan saya ada Amirsyah, Sekretaris Tim. Kemudian, di belakang saya ada Wirawan Adnan yang juga mewakili MUI. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 7.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, selanjutnya?
8.
PIHAK TERKAIT (BASSRA) : K.H. NAIRUL ROCHMAN
Assalamualaikum wr. wb.
Kami dari BASSRA, Nairul Rochman. Di sebelah kanan saya, K.H. Luthfi. Sekian, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. 9.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dewan Dakwah, silakan?
10.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH): ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H.
Assalamualaikum wr.wb.
Pihak Terkait Dewan Dakwah, hadir Kuasa Hukum, saya sendiri Abdul Rahman Tardjo dan Bapak Azam Han.
5
Terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
11.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. FPI, silakan.
12.
PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H.
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb.
Saya Munarman, mewakili FPI, terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb. 13.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terus, berikutnya?
14.
PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ANDAN, S.H.
Assalamualaikum wr.wb.
Saya Wirawan Adnan mewakili Forum Umat Islam dan juga hadir pada kesempatan ini adalah Sekjen FUI, KH. Muhammad Al Khaththath yang juga pada hari ini…, ikut sidang pada hari ini. Terima kasih, Yang Mulia. 15.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terus, berikutnya.
16.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (PPP) : M. NARIL ILHAM
Assalamualaikum wr.wb.
Saya Muhammad Naril Ilham, Kuasa Hukum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan. Terima kasih, Yang Mulia. 17.
PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) : H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A. Yang Mulia, saya Ahmad Syafi’i Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta, bersama Bapak Rudy Pratikno dari FKUB DKI Jakarta. Terima kasih. Assalamualaikum wr.wb.
6
18.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Yang mana Pak Rudinya Pak? Oh ya, oke baik. Silakan, PBNU.
19.
PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Terima kasih, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.
Selamat pagi. Saya Asrul Sani mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. 20.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan.
21.
PIHAK TERKAIT (KWI) : RUDY PRATIKNO Saya dari KWI, jadi sekaligus mewakili juga dari…, saya bersama dengan Ibu R. Astuti Sitanggang dan juga Gito… yang duduk di belakang, terima kasih.
22.
PIHAK TERKAIT (BKOK) : ARNOLD PANAHAL Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua, selamat pagi, Rahayu, saya Arnold Panahal dari BKOK, terima kasih.
23.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Masih ada lagi, Pihak Terkait? Sudah lengkap, ya? Baik, hari ini ada 2 Ahli yang dihadirkan, pertama Ahli yang diajukan oleh Pemerintah yaitu Prof. Dr. Sudarsono dan Ahli yang diundang khusus oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Dr. Siti Zuhro. Nah, untuk itu menurut catatan di sini kedua Ahli ini beragama Islam, betul? Beragama Islam semua? Baik, kalau begitu maju semua untuk mengambil sumpah dulu. Pak Alim.
24.
HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Bapak Ibu Ahli ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirahmanirahiim, Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”.
7
25.
AHLI (SELURUHNNYA DISUMPAH) : DR. SUDARSONO & DR. SITI ZUHRO
“Bismillahirohmanirohiim, Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli
akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”. 26.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik kembali ke tempat. Baik, kita mulai saja dipersilakan Prof. Dr. Sudarsono.
27.
AHLI DARI PEMERINTAH : DR. SUDARSONO
Bismillahirahmanirahiim,
Selamat pagi, salam sejahtera,
Assalamualaikum wr. wb.
Yang Mulia Ibu Bapak Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi serta yang saya hormati Ibu Bapak hadirin sekalian. Pertama perkenankan saya menghaturkan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah memberikan kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk menyampaikan pendapat ahli berkenaan dengan perkara permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, dalam sidang yang mulia ini. Pendapat saya ini didasarkan oleh 2 pertimbangan utama yakni lintas disiplin keilmuan yang saya pahami dan keragaman penugasan pada pejabatan fungsional dan terutama jabatan struktural yang pada periode tertentu harus memahami operasionalisasi Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965. Dari segi lintas disiplin keilmuan, saya yang semula seorang insinyur kemudian menyelesaikan program magister dan Ph.D dengan peminatan ekonomi politik, pembangunan dan pedesaan Asia Timur di University of Tokyo. Dan 10 tahun kemudian baru menyelesaikan program strata 1 Sarjana Hukum, dimana salah seorang dosen favorit saya adalah Ibu Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Anggota Majelis Hakim Yang Mulia. Dari segi keragaman penugasan sejak lebih dari 25 tahun yang lalu saya sebagai tenaga fungsional pada Departemen Sosiologi Fisip Universitas Indonesia, mohon maaf Bapak Ketua Yang Mulia bahwa saya baru calon profesor belum profesor dan di tengah-tengahnya selama 8 tahun sampai 2008 ditunjuk sebagai pejabat eselon 1 pada Kementerian Dalam Negeri. Dalam masa penugasan inilah pemerintah menerbitkan dua produk hukum yang langsung terkait dengan Undang-Undang Nomor 1
8
PNPS 1965, dimana saya terlibat aktif secara penuh sejak penyusunan naskah pokok-pokok pikiran, penyusunan rancangan penyelesaian sosialisasi dan implementasinya. Saya mohon maaf kepada Yang Mulia Majelis Hakim dan para hadirin dan agak panjang dalam menguraikan dasar pertimbangannya pendapat saya dalam persidangan kali ini. Saya hanya ingin membatasi pada 3 sub pokok saja dalam persidangan Yang Mulia ini. Pertama, tentang apakah keberadaan Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 mengandung arti tidak dihormatinya kebebasan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945? Kedua, tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Ketiga, tentang Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. Kedua, peraturan perundang-undangan ini dapat dikategorikan merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 khususnya dalam era reformasi pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi dan yang saya hormati, para hadirin sekalian. Saya ingin menyampaikan pendapat saya terkait isu pokok pertama yaitu apakah keberadaan Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 mengandung arti tidak dihormatinya kebebasan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945? Izinkan saya memahami pokok pikiran sejawat Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB) yang tertuang dalam naskah permohonan materiil Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965, paragraf 52 bahwa suatu penafsiran dan keyakinan atas keagamaan merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum ini adalah kebebasan yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Paragraf 180 bahwa dalam perspektif hak asasi manusia, pembatasan dapat dilakukan terhadap kebebasan menjalankan agama atau keyakinan forum externum, hal ini sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UndangUndang Dasar 1945. Pemahaman saya adalah bahwa sejauh terkait dengan kebebasan yang berada pada ranah forum internum maka Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 juga sepenuhnya menghormati, menghargai, memberikan bahkan menjamin kebebasan keagamaan dalam ranah forum internum tersebut. Dengan kata lain Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 bersifat taat asas dengan prinsip penghormatan terhadap kebebasan pada ranah forum internum itu yang juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian berkaitan dengan kebebasan dalam ranah forum
9
internum tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Undang-Undang 1/PNPS/
1965 bersifat taat asas dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Maka sebagai warga negara Republik Indonesia, saya merasa berhutang budi dan hormat kepada para pendahulu yang sudah menyusun dan menetapkan landasan bermasyarakat yang bersifat mulia dan visioner tersebut. Sementara itu berkenaan dengan pembatasan terhadap kebebasan menjalankan agama atau keyakinan dalam ranah forum externum, sudah sangat tepat bila sejawati AKB mengkaitkannya dengan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Jelas bahwa yang mengatur tentang syarat pembatasan kebebasan beragama dalam ranah forum eksternum bukanlah Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 semata tetapi justru Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Saya memperhatikan ada perbedaan fundamental dalam memandang dan merumuskan syarat pembatasan terhadap manivestasi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam ranah forum eksterum tersebut antara sejawat TAKB dan Undang-Undang Dasar 1945. Kategori pertama, syarat pembatasan menurut sejawat TAKB sebagaimana tertuang dalam paragraf 183 naskah halaman 63 dan 64 yakni; 1. Ditetapkan dengan undang-undang formal legislation; 2. Diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk melindungi; a. Keselamatan masyarakat b. Ketertiban masyarakat c. Kesehatan masyarakat d. Moral masyarakat dan; e. Hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Sementara kategori kedua yaitu syarat pembatasan menurut Pasal 18J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yakni; 1. Ditetapkan dengan undang-undang; 2. Untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain; 3. Untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat demokratis sesuai dengan pertimbangan; a. Moral; b. Nilai-nilai agama; c. Keamanan dan ketertiban umum. Saya menegaskan dalam tanda bold nilai-nilai keagamaan sebagaimana juga ditayangkan.
10
Saya percaya bahwa para penyusun amandemen Undang Undang Dasar 1945 yang terhormat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat termasuk beberapa pakar hukum yang saat ini menjadi Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia telah mempertimbangkan masak-masak paradigma kebebasan yang seperti apa yang dibentuk dalam negara bangsa Indonesia. Pilihannya adalah kebebasan yang berakar kepada moral, nilai-nilai, agama, keamanan dan ketertiban umum masyarakat demokratis. Dengan ditetapkannya nilai-nilai agama sebagai salah satu syarat pembatasan kebebasan dalam ranah forum externum oleh MPR justru keberadaan Undang-undang Nomor 1 1965 tepat, cocok, dan taat asas dengan kontruksi kebebasan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Tentu persoalan menjadi lain bila ternyata kita sedang mencitacitakan kebebasan yang tidak menggunakan syarat pembatasan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis seperti yang tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Patut diduga bahwa dengan mengemukakan syarat pembatasan tanpa nilai-nilai agama seperti tertuang pada paragraf 183 halaman 63 dan 64 naskah secara keseluruhan argumen sejawat Tim Advokasi Kebebasan Beragama memang terkait dengan cita-cita seperti itu. Memasukkan nilai-nilai agama sebagai salah satu syarat pembatasan kebebasan dalam ranah forum externum adalah ketetapan politik MPR, sementara meniadakan nilai-nilai agama sebagai syarat pembatasan kebebasan dalam ranah forum externum adalah kehendak dan cita-cita sejawat TAKB. Kalau saya tidak salah paham, mohon maaf nampaknya sejawat TAKB sedang menggugat kontruksi Undang-Undang Dasar 1945. Saya tidak ingin mengatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 itu salah alamat, justru saya menghormati kehendak dan cita-cita seperti itu. Seandainya sejawati TAKB berjuang di MPR mungkin, sekali lagi mungkin saya pertimbangkan untuk bergabung. Tetapi dalam forum ini saya tetap percaya bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, sangatlah cermat dan teliti bahwa forum pengujian kehendak dan citacita untuk membongkar kontruksi Undang-Undang Dasar 1945 seperti itu bukanlah pada persidangan Mahkamah Konstitusi melainkan pada persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh sebab itu izinkan saya menegaskan pemahaman saya bahwa pengaturan larangan dalam Undang-Undang 1 PNPS Tahun 1965 justru sejalan dan bahkan merupakan wujud konkret atas penghormatan terhadap kebebasan sebagai dimaksud Undang-Undang Dasar 1945. Justru saya memahami bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ 1965 bersifat antisipatif, futuristik dan visioner karena dibentuk jauh sebelum rumusan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan penghormatan atas kebebasan yang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu
11
masyarakat yang demokratis dengan Nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain pengaturan yang sifatnya pelarangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 menurut pemahaman saya justru merupakan titik temu yang sangat indah dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tidak berlebihan kalau saya selalu merasa berhutang budi dan hormat kepada pendahulu kita yang merancang dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang bersifat antisipatif, futuristik dan visioner tersebut. Singkatnya sebagai akademisi yang tidak dikenal dan sebagai sarjana hukum pinggiran dan sebagai warga negara Indonesia, saya berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 sepenuhnya sejalan dan taat asas dengan konstruksi kebebasan beragama berdasarkan UUD 1945. Yang Mulia Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan yang saya hormati para hadirin sekalian. Saya ingin mengemukakan pendapat tentang isu pokok kedua yaitu tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanan Tugas Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah ibadah. PBM tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu dari dua peraturan pelaksanan UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 pada era reformasi pasca amandemen UUD 1945. Sulit dibayangkan akan dapat diterbitkan PBM tersebut bila tanpa Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang antisimpatik dan futuristik. PBM tersebut menjadi pedoman kerja sama seluruh kepala daerah dan warga masyarakat dalam memelihara kerukunan umat beragama dan dalam menyelesaikan persoalan pendirian umat ibadat. Dengan penuh segala hormat saya informasikan bahwa salah seorang perancang aktif PBM tersebut adalah Ibu Prof. Dr. Maria Farida Indriati, S.H. M. H.,yang saat ini menjadi Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Sebagai pakar hukum yang mewakili Konferensi Wali Gereja Indonesia waktu itu, beliau bersama dengan wakil-wakil Majelis Agama dan wakil Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, selama lebih 4 bulan menyelesaikan PBM tersebut. Rujukan utama PBM tersebut tentu saja UUD 1945, UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perudang-undangan lainnya. Harus diakui bahwa berkat diterbitkannya PBM tersebut, kepala daerah dan warga masyarakat memiliki panduan yang konkret dalam
12
memelihara kerukunan umat beragama dan menyelesaikan persoalan pendirian umat ibadat. Gejolak masyarakat terkait pendirian rumah ibadah sangat berkurang tajam. Kalau pun masih ada persolan bukanlah persolan PBM atau Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 melainkan persoalan justru terletak pemahaman yang masih terus perlu dimatangkan baik kepada anggota masyarakat, pada pemuka masyarakat maupun kepada pimpinan daerah yang melaksanakan peraturan perundang-undangan. Bahkan sejauh yang pahami, setelah PBM diterbitkan tidak ada lagi agenda bagi majelis-majelis agama tertentu untuk membawa persoalan domestik, dinamika pendirian rumah ibadat terhadap forum internasional, seperti Konferensi Dewan Gereja Dunia maupun otoritas tertinggi umat Katolik di Vakitan. Persoalan kerukunan umat beragama dan dinamika pendirian rumah ibadah di Indonesia justru telah difasilitasi dengan sangat baik oleh PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 dan oleh Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dalam payung Konstitusi UUD 1945. Penyusunan PBM yang sangat rumit dan menguras energi para pihak waktu itu juga telah mengantisipasi adanya upaya penggunaan hak uji materiil atas Peraturan Menteri tersebut. Betul bahwa segera setelah PBM tersebut diterbitkan, masyarakat seperti yang dilaporkan oleh Bapak Saor Siagian, S.H. dan kawan-kawan yang tergabung dalam Tim Pembela Kebebasan Beragama yang beralamat di Gedung Perkantoran Pulo Mas, Jl. Jenderal Achmad Yani Nomor 2 Jakarta Timur, telah mengajukan permohonan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung. Bahwa Mahkamah Agung melalui putusan atas Perkara Nomor Registrasi 112/PHU/2006, yang diputuskan dalam permusyawaratan Mahkamah Agung tangal 28 Februari 2008 menolak pemohonan Pemohon dengan salah satu butir menimbang bahwa PBM tersebut materiil substansif tidak mengandung makna membatasi kebebasan beragama. Demikianlah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Suatu peraturan perundang-undangan yang diturunkan dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Saya tidak ingin memperpanjang informasi terkait PBM ini, karena yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi adalah Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. adalah narasumber primer dan terpenting terkait dengan betapa harmonis dan indahnya PBM tentang kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Dikaitkan dengan UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dan dan tentu saja bila dikaitkan dengan UUD 1945.
13
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan saya hormati hadirin sekalian. Saya ingin menyampaikan pendapat saya berkaitan dengan yaitu yang ketiga, yang terakhir, yakni surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008. Nomor Kep 033/ACA/6/2008 dan 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. SKB tersebut merupakan salah satu aturan pelaksana UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dalam era reformasi pasca amandemen UUD 1945. Terkait dengan bentuk hukum kenapa dipilih SKB dan bukan PBM, saya sampaikan informasi jauh yang saya pahami. Betul bahwa dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan telah dipertegas jenis dan hierarki peraturan perundang–undangan yang bersifat regeling, dimana sebelumnya beschikking maupun regeling keduanya menyatu dalam bentuk keputusan. Pasal 7 ayat (4) Undang– Undang 10 Tahun 2004 menegaskan bahwa jenis peraturan perundangundangan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi. Sesuai dengan penjelasan pasal tersebut yang termasuk kategori perundang–undangan ini antara lain; Peraturan Menteri. Persoalan teknis muncul ketika akan dipilih bentuk hukum apakah SKB atau PBM? Yang dipilih pada akhirnya adalah bentuk hukum SKB dengan dua pertimbangan. Pertama, mengingat adanya perintah dari Pasal 2 Undang–Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, dan ini berarti mendudukan secara proposional SKB tersebut dikaitkan dengan perintah Pasal 7 ayat (4) Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana saya kutip di muka. Kedua, kendati pun bentuk hukumnya SKB, tapi secara subtantif SKB tersebut bersifat regeling, sebagaimana dimaksud dalam Undang– Undang 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Persoalan teknis seperti ini sesungguhnya juga dijumpai ketika PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 disusun. Permasalahannya juga terkait dengan amanat Pasal 7 ayat (4) Undang–Undang 10 Tahun 2004 tersebut. Bahwa suatu aturan menteri diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi. Tidak sedikit sejawat ahli hukum waktu itu yang meragukan dan merasa kesulitan menemukan dasar perintah diterbitkannya PBM Kerukunan Umat Beragama dari suatu perundang–undangannya yang lebih tinggi. Saya mengusulkan antara lain, digunakan Pasal 22 huruf A dan Pasal 27 huruf C Undang–Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masing–masing berbunyi, “Dalam melaksanakan
otonomi,
daerah
berkewajiban
melindungi
masyarakat,
menjaga 14
persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.“ Dan Pasal 27 huruf C Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.”
Pada akhirnya, pengaturan dalam Pasal 22 huruf A dan Pasal 27 huruf C Undang–Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, digunakan sebagai salah satu materi konsideran menimbang dari PBM dimaksud. Sebagaimana telah saya sampaikan di muka bahwa sesuai dengan putusan MA, PBM tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai landasan pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Inilah Peraturan Bersama Menteri yang lahir berkat adanya Undang–Undang 1 PNPS 1965 dan Undang–Undang 32 Tahun 2004. Izinkan saya, menyampaikan informasi dalam Persidangan Yang Mulia ini bahwa pengaturan dalam Pasal 22 huruf A dan Pasal 27 huruf C Undang–Undang 32 Tahun 2004 yang digunakan sebagai konsideran menimbang PBM tersebut merupakan sesuatu buah karya dari Hakim Yang Mulia Bapak Hamdan Zoelva, S.H., M.H., Sebagai anggota Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah waktu itu, beliaulah yang menyusun, merumuskan, dan mengesahkan pasal–pasal penting tersebut. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila saya kemukakan bahwa terkait dengan betapa indah dan harmonisnya Undang–Undang 1 PNPS Tahun 1965, bukan hanya terhadap Undang–Undang Dasar 1945, tetapi juga dengan Undang–Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, Bapak Hamdan Zoelva, S.H., M.H., merupakan narasumber primer, terpenting. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstiitusi dan yang saya hormati hadirn sekalian. Sementara itu dikaitkan dengan kehormatan terhadap kebebasan dalam kerangka Undang–Undang Dasar 1945, SKB tersebut bersifat sangat adil dan bijaksana. Pertama, bahwa perintah yang tercantum dalam SKB tersebut, selain ditujukan kepada penganut anggota, dan anggota pengurus JAI, juga kepada seluruh anggota masyarakat. Kedua, bahwa SKB tesebut menjamin sepenuhnya kebebasan absolute non derogable yang berada dalam ranah forum internum. Ketiga, pengaturan yang sifatnya larangan tertuang dalam SKB dan dengan demikian pula Undang–Undang 1/PNPS/1965, justru bersifat taat azas dan bahkan merupakan wujud nyata dari pelaksanaan Pasal 28J ayat (2) Undang–Undang Dasar 1945. Kecuali kita berpikir tentang paradigma kebebasan yang di luar kerangka Undang–Undang Dasar 1945. Dengan cara antara lain, mengabaikan ketentuan syarat pembatasan kebebasan forum eksternum sebagaimana tertuang dalam pasal 28J ayat (2) Undang–Undang Dasar 1945 dan dengan menyodorkan syarat forum externum tanpa nilai-nilai agama. Maka saya
15
berpendapat bahwa tidak ada celah untuk menyatakan bahwa Undang– Undang PNPS 1965 bertentangan dengan Undang– Undang Dasar 1965. Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi dan yang saya hormati para hadirin sekalian. Izinkan saya menyampaikan 5 butir catatan penutup. Satu, Undang–Undang PNPS 1965 sepenuhnya menghormati, menghargai, memberikan, dan menjamin kebebasan penafsiran keagamaaan pada ranah forum internum. Dua, pelarangan yang terkandung dalam Undang–Undang 1 PNPS 1965, cocok. Sesuai dan taat asas dengan syarat pembatasan terhadap maninvestasi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam ranah forum eksternum sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) Undang–Undang Dasar 1945. D, dengan kata lain Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 baik terkait dengan kebebasan dalam ranah forum internum maupun kebebasan dalam ranah forum externum sepenuhnya sesuai, cocok, dan taat asas dengan konstruksi kebebasan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Empat, kehendak untuk membongkar konstruksi kebebasan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan cara menyodorkan syarat pembatasan kebebasan beragama dalam ranah forum eksternum tanpa nilai-nilai agama seperti yang dikemukakan oleh sejawat Tim Advokasi Kebebasan Beragama yang berbeda dengan amanat Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, menurut hemat saya tidak terkait langsung dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965, tetapi justru terkait langsung dengan konstruksi kebebasan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Saya menghormati kehendak untuk membongkar paradigma kebebasan yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 seperti itu, tetapi saya juga percaya bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, sangat cermat dan teliti bahwa forum pengujian kehendak pembongkaran paradigma kebebasan beragama yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti itu bukanlah pada persidangan Mahkamah Konstitusi melainkan pada persidangan Majelis Pemusyawaratan Rakyat. Demikianlah pokok-pokok pendapat saya, semoga dapat digunakan sebagai pertimbangan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, dalam menetapkan putusan yang sangat penting bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akhirul kata, Wassalamualaikum wr. wb. Jakarta, 17 Maret 2010, Dr. Ir Sudarsono, M.H., S.H. Terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
16
28.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, kita teruskan dulu baru nanti kita bisa mengajukan pertanyaan atau meminta penjelasan lebih jauh kepada Pak Sudarsono dan sebelum itu kita undang dulu Ibu Dr. Siti Zuhro, silakan.
29.
AHLI (YANG DIHADIRKAN MK) : DR. SITI ZUHRO
Bismillahhirohmannirohim, Assalamualaikum wr. wb.,
Yang Mulia Ketua Majelis, saya sangat berterima kasih dan menghormati undangan yang sangat bagus dan mulia ini, dipagi ini, untuk ikut membahas tentang Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Saya coba memahami berhari-hari, hasil dari persidangan selama ini tentang uji materiil atau judicial review terhadap undang-undang ini dan saya berusaha, berkontemplasi karena agama bukan ranah saya. Saya Sarjana Politik dari S1 dari Universitas Jember, Jawa Timur. Saya orang desa jauh dari pelosok sana, dan S2 saya dari Australia, dari Flinders University, dan S3 saya dari Perth Curtain University, dan saya sangat berbahagia waktu itu bisa ketemu Bapak Yang Mulia Ketua Majelis waktu itu, tetapi sebelum menjadi Ketua MK. Background saya sebagai Sarjana Politik dan melakukan penelitian di LIPI untuk 23 tahun. Jadi saya termasuk sudah agak tua. 23 tahun meneliti dengan fokus pada demokrasi, birokrasi, dan otonomi daerah. Saya juga akan menyampaikan pokok-pokok pikiran saya berkaitan dengan undang-undang ini karena pernah menjadi tim perumus, salah satu anggota tim perumus untuk revisi Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemda, dan juga pernah dua kali menjadi tim judicial review DPD-RI untuk Undang-Undang Politik, waktu itu. Yang Mulia Majelis Hakim, bulan Agustus 2010, usia Republik Indonesia akan genap 65 tahun dan untuk ukuran umur, usia itu tidaklah muda karena telah tergolong usia pascasenja. Namun, apa yang dicapai tidaklah final dan Indonesia terus berjuang mewujudkan cita-citanya. Dalam hal berdemokrasi, bangsa Indonesia sedang melakukan proses learning by doing yang acap kali terkesan tertatih-tatih meniti jalan terjal dan panjang dalam demokratisasi. Dalam konteks demokrasi, saya ingin menyampaikan dan relevan dengan undang-undang ini yaitu bahwa ketika kita berbicara demokrasi, saya mencoba dua hal, yaitu apa yang berkaitan dengan variable demokrasi? Dalam konteks ini yaitu demokrasi mengenai HAM yang indikatornya adalah pengakuan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang tanpa membedakan kelas, ras, dan agama, dan juga pengakuan untuk memeluk agama lain yang dianut mayoritas masyarakat. Adapun variable lain yang tak kalah penting dari demokrasi adalah kekeluargaan yang setara yang mensyaratkan adanya perlindungan dari
17
kekerasan politik, jaminan atas masyarakat yang plural, etnisitas , agama, ras, gender, kelas, status sosial, dan pengakuan status kelompok-kelompok minoritas atau yang sering kita sebut dengan termarjinalisasi. Adapun indikator dari kewargaan yang setara tersebut adalah terbentuknya institusi yang relevan untuk menangani permasalahan kelompok minoritas atau yang termarjinalisasi dalam masyarakat yang plural. Terbentuknya mekanisme untuk menyelesaikan konflik komunal dan ini yang sering kita tidak menyaksikan bahwa ketika terjadi konflik, kepada siapa masyarakat harus mengadu? Kita menyaksikan berkali-kali konflik tidak hanya masalah suku, juga masalah agama tapi tidak mendapatkan suatu penyelesaian yang tuntas dan sangat menarik kalau saya ingin mengilustrasikan bahwa kekerasan yang timbul dengan cukup intensif sejak 1998 sampai 2010 saat ini, seolah-olah menggelegar di bumi pertiwi ini, sebetulnya memang kita harus mulai merenung kembali, bagaimana budaya kita, perilaku para elit, aktor kita, dan juga kelembagaan yang kita miliki? Ketika itu semua tersumbat, nilai-nilai tidak juga cukup kokoh untuk menciptakan suatu harmoni, itulah yang terjadi adalah kekerasan. Padahal demokrasi tidak memberikan peluang yang bagus sebetulnya untuk kekerasan. Violance itu absen ketika demokrasi kita promosikan. Dan sejauh ini, kita melihat juga bahwa bagaimana konflik-konflik komunal dan diselesaikan terjadi dan diselesaikan. Itulah yang mungkin menjadi beban dari pemerintah, tugas, PR/pekerjaan rumah dari pemerintah dan sejauh mana diskriminasi terjadi atas keluarga dan minoritas? Itu semua yang menjadi indikator yang kita sebut kewargaan yang setara. Berbicara demokrasi adalah berbicara nilai. Tidak mungkin nilainilai seperti dua variabel yang saya sebutkan baik HAM/ Hak Asasi Manusia, maupun kewargaan yang setara diabaikan begitu saja. Ini artinya bahwa pemberdayaan masyarakat dalam sistem demokrasi, hakhak politik, dan HAM menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam realisasi demokrasi. Kekerasan dalam agama tidak perlu bila masyarakat Indonesia commited dengan demokrasi dan rule of law dan law
enforcement.
Saya mencatat juga bahwa sejak 2009, kita berontak kepada lemahnya law enforcement ketidakadilan ini, dan lembaga Yang Mulia ini, Mahkamah Konstitusi di bawah pimpinan Yang Mulia Bapak Mahfud, MD. luar biasa. Oleh karena itu, mungkin ini pula yang akan lebih mencerahkan dan promising ke depan bahwa Indonesia bisa akan…, sedikit demi sedikit, meskipun tidak sangat radikal akan melampaui masa-masa yang kritis. Isu SARA dan primordialisme yang cukup topikal tahun 1980-an tampaknya menguat kembali dengan realisasi kebijakan disentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan sejak Januari 2001. Hal ini antara
18
lain ditunjukan dengan menonjolnya isu pentingnya putra daerah dalam Pilkada, isu etnisitas atau agama dalam pemekaran daerah dan lain-lain, termasuk kendala dalam melakukan tour of duty dalam penempatan pegawai di daerah. Ini menurut saya isu yang sangat serius karena keragaman kita, kebhinnekaan kita harus terancam oleh suatu kebijakan yang tadinya, nawaitu-nya adalah untuk memberikan keluasan kepada daerah untuk memajukan daerah masing-masing. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang intinya, negara melindungi dan melayani rakyat, Pancasila sebagai way of life dan Bhinneka Tunggal Ika yang sangat menjunjung tinggi keragaman, pluralisme, ketiganya belum menjadi pedoman sulit dalam kehidupan bernegara dan berbangsa selama ini dan cenderung dijadikan sebagai suatu gincu. Ini yang harus kita tentunya perbaiki. Keragaman, pluralisme mustinya menjadi kekuatan pemersatu. Jadi tidak hanya partai politik sebagai uniting force, tapi dalam konteks ini keragaman, pluralisme harus juga menjadi uniting force. Namun di dataran praksis antara asa dan realita tampaknya masih panjang. Pro dan kontra yang muncul dalam masyarakat menanggapi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini antara lain menunjukan bahwa bangsa ini sedang dalam proses menjadi. Oleh karena itu, wajar kalau saat ini ada tuntutan untuk meninjau kembali undang-undang produk lama yang telah berlaku menurut Yang Mulia Ketua MK, selama 45 tahun untuk disesuaikan mestinya, kami mengusulkan, dengan kondisi terkini. Mengingat konteksnya juga sudah berubah, maka relevan dan urgent bila teks dalam Undang-Undang tersebut direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan dan perubahan sosial yang ada. Dan terakhir revisi atasnya, jadi revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini diperlukan agar harmoni terwujud. Kerukunan dan toleransi yang hakiki eksis dan diskriminasi bisa dieliminasi sehingga trust dalam masyarakat bisa terbangun di era demokrasi sekarang ini karena saya melihat trust itu menjadi sangat penting menjadi core dari demokrasi. Ketika trust tidak ada lagi, apa yang terjadi dengan bumi Nanggroe Aceh Darussalam? Waktu itu kami mengadakan penelitian bertahun dan kami membantu Lemhanas, di situ saya sampai pada kesimpulan bahwa trust sangat penting diciptakan di bumi Nanggroe Aceh dan ternyata tidak hanya Nad, tetapi juga daerah-daerah yang lain dan termasuk di Jakarta. Trust menurun ketika kita gagal melakukan realisasi demokratisasi dan trust ini pula yang menurut saya yang mungkin mendukung, mendorong teman-teman dari Pemohon untuk melakukan satu pencabutan, tapi saya dalam posisi tidak ingin mengusulkan pencabutan. Saya lebih pada pengalaman saya sebagai peneliti dan sebagai salah satu tim dalam revisi undang-undang dan memahami bagaimana sejarah politik Indonesia, bagaimana budaya kita, bagaimana perilaku aktor kita,
19
dan sebagainya, dan termasuk kelembagaan kita, sampai pada satu kesimpulan bahwa kita perlu merevisi ini dengan menyesuaikan, tidak mencabut, tapi merevisi karena ketika kita mencabut Undang-Undang 22 Tahun 1999 dalam konteks pemerintahan daerah, apa yang terjadi? Ada semacam bandul jam yang ke kanan-ke kiri luar biasa ekstremnya dan kita harus membayar dengan mahal cost atas kebijakan yang ekstrem itu. Indonesia bukanlah negara agama, tapi Indonesia bukanlah negara yang sekuler. Indonesia masyarakatnya adalah masyarakat komunal yang masalah ideologi sangat sensitif. Oleh karena itu, tidak bisa ada pengabaian hanya memilih ekstrem kanan, ekstrem kiri tanpa mempertimbangkan implikasi yang luar biasa terhadap masyarakat. Kita percaya demokrasi. Kalau demokrasi kita bangun tanpa ada distrust, Insya Allah kita akan baik-baik saja. Kayak seperti lagunya Wali gitu ya, baik-baik saja kita ke depan bahwa kalau distrust kita munculkan, belum apa-apa sudah tidak setuju Obama datang, satu contohnya, saya pikir kita juga tidak ingin menjadi satu bangsa yang berperilaku tanpa bisa dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu dalam konteks revisi tadi, saya ingin mengconcise argumen saya bahwa sebetulnya revisi atas undang-undang itu diperlukan agar harmoni terwujud, kerukunankan dan toleransi yang hakiki eksis dan diskriminasi bisa di eliminasi sehingga trust dalam masyarakat bisa terbangun. Masalahnya bagaimana sekarang merevisi undang-undang yang hasilnya tidak bertentangan dengan Konstitusi, dengan HAM, dan kebebasan beragama? Yaitu peraturan yang menjamin harmonisasi hubungan antarsuku, antarpemeluk agama, dan antarbudaya. Dengan kata lain, perlu dibangun konsep livable communities. Maksud saya adalah a place that is livable in is suitable to live in. Dimana revisi harus dilandaskan pada konsep ini. Jadi kita merasakan free sebagai warga negara untuk hidup di bumi pertiwi ini. Tanpa ada perbedaan, tanpa ada diskriminasi, tanpa harus ada yang merasakan adanya political ordering terhadap kelompok yang lain. Ini merupakan jalan keluar yang paling realiable dan tangible untuk Indonesia, di satu sisi negara menjamin kebebasan beragama, di sisi lain rakyat committed melakukan peraturan yang ada, sehingga mereka merasa nyaman sebagai warga negara. Relasi negara dan agama meskipun polanya cenderung saling menguntungkan menurut sejarahnya, tapi bukan memanfaatkan sebagaimana yang terjadi di era sebelumnya yang menjadikan agama semata-mata sebagai alat. Kita inginkan agama sebagai sesuatu yang kita lakukan dengan peaceful, tidak saling masing-masing menuhankan dirinya bahwa yang lain salah. Kita inginkan ada nuansa seperti itu kembali dan blunder buat Indonesia ketika mempromosikan dan committed terhadap demokrasi kita pada saat yang sama seiring sejalan menafikkan semua nilai-nilai itu.
20
Oleh karena itu saya ingin mengusulkan agar undang-undang ini ditinjau kembali dan direvisi. Tanpa…, tentunya maksud saya bagaimana memberikan satu payung hukum supaya warga negara tidak ada lagi merasakan adanya political othering tadi, diskriminasi tadi. Ini sangat krusial karena kenyamanan kita sebagai warga negara tidak boleh terusik. Dan negara berkepentingan menurut preambul konstitusi kita untuk menjamin itu. Dan kecurigaan siapa pun, itu juga tidak perlu ada. Kalau pun kita adakan polling/survey, apa yang dilakukan dengan survei ketika Obama mau datang. Ternyata yang pro Obama mau datang itu besar sekali, untuk welcome Obama datang, kita sebagai host. Tapi kalau pun masalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini disurveikan, dilakukan polling, saya yakin bahwa bangsa ini butuh harmoni, tidak ada lagi pro kontra yang terus clash seperti ini, tidak ada manfaatnya. Kita sudah membuang-buang energi dan manfaatnya siapa yang beruntung dalam hal ini. Mungkin itu saja yang bisa saya lakukan.
Wa billahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb.
30.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Demikianlah dua ahli yang sudah memberikan keterangan berdasarkan keahliannya, yang sebelumnya sudah didahului dengan sumpah menurut agama Islam yang dianut oleh kedua ahli ini. Untuk selanjutnya, saya persilakan yang mau bertanya? Pertama, Pemohon ya? Kedua, Majelis Ulama Indonesia. Yang ketiga, Pak Munarman itu mewakili Hisbuttahir atau mewakili FPI, atau mewakili kedua-duanya? Empat, Basra. Basra jadi tanya ikut? PBNU, KWI, Dean Dakwah, dan FUI. Ada 8, oke ini waktunya cukup longgar karena hanya 2 dari 4 yang dijadwalkan hadir sehingga bisa kita selesaikan ini jam 12.00 WIB. Meskipun begitu, saya kira tidak usah terlalu panjang mungkin bisa disampaikan masing-masing dengan 2 sampai 3 menit. Untuk itu saya persilakan Pemohon?
31.
KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H. Terima, Yang Mulia. Yang pertama untuk Pak Sudarsono. Kami butuh klarifikasi soal menyandingkan Pasal 18 Siski Ardan, Pasal 28J Undang-Undang Dasar kita. Yang pertama, saya tidak yakin Ahli membaca dengan cermat bahwa di situ jelas soal perbedaan. Yang pertama soal tujuan, di Pasal 28J itu ada dua tujuan yang mendasar yang berbeda memang tujuannya dengan Pasal 18 ayat (3) tolong di cek. Pertama, pengakuan dan penghormatan hak kebebasan orang lain, yang kedua tuntutan yang adil dalam masyarakat demokratis yang sumbernya untuk mengatur masyarakat yang demokratis itu sumber salah satunya adalah nilai agama. Jadi bukan tujuannya.
21
Kalau dalam Pasal 18, itu tujuannya salah satunya adalah moral, kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya. Jadi antara majalah sama koran memang tidak bisa disamakan, sejak lahir dia memang berbeda. Sehingga yang ingin saya tanyakan adalah apakah Anda mengetahui bahwa dalam pelaksanaan Pasal 18 ayat (3) ini, nilai-nilai agama juga menjadi sumber? Seperti komentar umum Komite Hak Asasi Manusia Nomor 22, itu yang pertama. Yang di dalam komentator dikatakan memang nilai agama bisa menjadi salah satu sumber. Tidak nilai agama, budaya, dan sebagainya bisa jadi sumber dalam konteks pengambilan keputusan untuk batasan ini. Cuma…, itu satu. Yang kedua, pertanyaan saya soal nilai agama sendiri. Pertama, nilai agama yang bagaimana? Apakah harus dirumuskan oleh mayoritas atau bersumber pada agama tertentu? Ataukah memang nilai agama yang bisa diterima secara universal, nilainya dalam konteks sosial? Toleransi, solidaritas, tidak diskriminasi, penghormatan terhadap keyakinan orang lain, seperti dalam komentar umum nomor 22 atau bagaimana? Sehingga kalau konteksnya sama, saya berharap Ahli lebih cermat untuk membaca Pasal 28J dan Pasal 18 ICCPR ayat (3) terutama tentang komentar umumnya. Untuk Ibu Siti Zuhro terima kasih sekali, telah mendambakan Indonesia yang harmoni yang di situ ada toleran dan sebagainya. Pertanyaan konkret saja saya tertarik dengan tadi dikatakan bahwa tidak mungkin terjadi suatu masyarakat yang harmoni kalau tidak ada terjadi trust di situ. Pertanyaannya adalah apa yang dibutuhkan untuk membangun trust? Apakah menerima perbedaan tanpa memaksa persamaan dan negara tidak hadir untuk mengamini salah satu pandangan tertentu di situ, sehingga perbedaan antarmasyarakat, sudut pandang pikiran antara masyarakat menjadi khasanah yang kaya, dan negara wajib melindungi sebagai bentuk dari fasilitasi membangun harmoni tersebut? Berikutnya adalah apakah membangun trust ini juga harus disemangati oleh semangat toleransi dengan perilaku yang etik, dan dialogis, tanpa kekerasan dan kebencian atau ada konsep yang lain? Pertanyaan yang berikutnya adalah tadi Anda menawarkan bahwa ini revisi, yang revisinya Anda menawarkan bahwa kita memerlukan undang-undang yang isinya kurang lebih soal keharmonisan dan kehidupan keagamaan dan lain sebagainya bahkan Anda mengatakan suku, agama, dan kebebasan beragama itu sendiri. Pertanyaan saya adalah apa prinsip utama dalam bayangan undang-undang tersebut? Tadi sudah disebut berapa soal peaceful tidak menganggap yang lain salah. Apakah ini juga mengedepankan dialektika tanpa mengedepankan hukuman? Apalagi oleh masyarakat yang anarkis misalnya. Apakah posisi negara wajib melindungi dialektika itu dalam konteks peaceful? Jadi yang dianggap perbedaan tanpa harus ada penghukuman? Yang berikutnya adalah dalam kontek keharmonian ini, apakah memang negara perlu untuk mengakui atau mengutamakan agama
22
tertentu? Apakah memang mengakui semua agama, dan semua keyakinan, semua aliran keyakinan, ataukah memang dia harus hadir mengutamakan sebagian yang lain yang tidak? Apakah itu bayangannya kalau itu bayangannya? Bagaimana mnembayangkan toleransi? Saya berharap bukan itu bayangannya, tetapi peaceful juga meletakkan negara tidak mengutamakan salah satu atau sebagian agama tertentu, terima kasih. 32.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Majelis Ulama Indonesia?
33.
PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama kepada Prof. Sudarsono, satu hal saja saya membaca tadi Saudara menyebutkan, “…saya
menghormati kehendak untuk membongkar paradigma kebebasan yang diatur dalam UUD 1945 seperti itu, saya juga percaya…,” dan seterusnya. Saya mencatat Prof. menggunakan kata, “Saya menghormati,” bukan “saya menyetujui.” Jadi saya memahami memang
tidak bisa diartikan dari kata ‘menghormati’ berarti ‘menyetujui’, tetapi saya memerlukan satu kepastian tentang penggunaan kata “Menghormati” di situ. Apakah memang tidak berarti Profesor menyetujui adanya upaya membongkar paradigma tersebut? Ataukah satu sisi menghormati dan juga menyetujuinya? Saya memerlukan kepastian tentang penggunaan kata menghormati di situ. Kemudian untuk Dr. Siti Zuhro ada beberapa hal. Yang pertama tadi Doktor mengatakan bahwa sampai pada kesimpulan merevisi tetapi tidak mencabut. Kalau dicabut catatan yang tidak lengkap saya tulis di sini, “…ada semacam bandul jam ke kanan dan ke kiri yang luar biasa ekstrimnya…,” saya memahami terjadi keributan atau huru hara yang luas atau yang besar. Saya memahami dari bandul jam tersebut, yang menjadi hal yang perlu saya tanyakan berkaitan antara dengan merevisi dan Anda tadi mengatakan tidak dicabut adalah apakah pada dasarnya secara substansial suatu aturan tentang penodaan agama, tentang penyalahgunaan agama di negeri kita dari hasil penelitian Saudara, diperlukan? Itu dulu yang ingin saya pertanyakan sebelum kita masuk kepada satu pertanyaan tentang yang sekarang ini eksis yaitu Undang-Undang PNPS. Apabila Anda menganggap itu diperlukan, kemudian kita melihat peraturan yang eksisting sekarang ini, apanya yang akan direvisi? Bagian apa dari PNPS tersebut yang akan di revisi? Apakah misalnya karena Anda tadi menyatukan menjelaskan tentang bandul jam tadi, yang ekstrim ke kanan dan ke kiri, apakah peraturan ini kurang menukik tajam? Membatasi, melarang orang, untuk tidak melakukan penodaan
23
misalnya? Untuk tidak serampangan mengeluarkan penafsiran yang menyimpang misalnya atau apanya begitu? Dari undang-undang tersebut yang Anda sarankan direvisi? Yang kedua, tentang revisi itu sendiri. Saudara menyebutkan revisi itu berkaitan dengan teks dan konteks mengikuti konteks dan ini berkaitan dengan ideologi masyarakat pada suatu masa. Ya, saya sepakat bahwa teks itu tentu harus melihat konteks begitu, ya. Yang menjadi pertanyaan kita saya kira ya, dari MUI itu adalah apakah sensitifitas ideologi pada waktu konteks PNPS itu dilahirkan tahun 65-an, dengan situasi sensitifitas ideologi pada masa kini terjadi suatu gap yang sudah berbeda jauh sekali ataukah pada dasarnya, pada hakekatnya sensitifitas itu masih tetap sama, hanya manifestasinya yang berbeda? Sehingga apapun apabila sudah menyangkut penodaan agama, tentang penyimpangan agama, penafsiran yang menyimpang dan seterusnya tetap saja orang akan memiliki getaran emosi yang sama, perlawanan yang sama dan akan menimbulkan suatu reaksi keras yang sama pula. Kemudian Anda tadi menyinggung yang ketiga tentang polling, saya kurang begitu mengerti kemana poin yang ingin Anda sampaikan. Tapi pertanyaan saya sederhana saja, berkaitan dengan dinamika masyarakat sekarang ini. Apabila dilakukan polling menyangkut apakah PNPS ini perlu dicabut atau tidak dicabut, pendapat Saudara apa? Apakah akan lebih banyak yang menyetujui dicabut atau tidak dicabut? Yang terakhir, ini menyangkut keahlian Saudara. Terus terang saya menangkap nuansa yang bagi saya memprihatinkan, adanya suasana yang menghendaki atau mendorong suatu kehendak, mempromosikan suatu kehendak. Penyeragaman masyarakat global dalam suatu bingkai berbagai Kovenan HAM internasional sepertinya seolah-olah kita akan digiring untuk secara apriori menganggap nilai-nilai yang ada di dalam Kovenan HAM itu sesuatu yang otomatis harus kita terima, tidak perlu dipertanyakan dan pasti cocok untuk setiap negara, setiap bangsa. Saya terus terang khawatir, prihatin dengan suasana seperti itu. Nah, padahal kita tahu setiap produk buatan manusia senantiasa melekat di situ tentang keterbatasan waktu dan keterbatasan maza (makan dan zaman). Karena itu saya ingin bertanya kepada Ahli berkaitan dengan itu, mungkinkah suatu masyarakat global diatur oleh suatu aturan hukum yang dibuat oleh manusia secara saklek, limitatif dan tidak peduli dia berada dimana di permukaan planet ini? Ataukah itu suatu yang sifatnya ilusi? Terima kasih, Yang Mulia.
Wassalamualaikum wr. wb.
34.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Saudara Munarman.
24
35.
PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H. Baik, terima kasih Yang Mulia dan Majelis Hakim yang terhormat. Pertanyaan saya ajukan kepada Ahli Dr. Siti Zuhro. Jadi memang bicara soal variabel politik, dan politik ini sangat luas, bisa kemanamana, termasuk apa yang sudah disampaikan oleh Dr. Siti Zuhro. Saya melihat pertama ada…, apa boleh dikatakan kekacauan dalam melihat masalah norma dan perilaku dari apa yang disampaikan oleh Ahli, Dr. Siti Zuhro. Saya melihat begini, seakan-akan yang dikemukakan tadi itu terkesan, ini kesan saya tentu saja, bahwa Peraturan PNPS Nomor 1/1965 ini, ini adalah salah satu penyebab dari perilaku yang cautik katakanlah atau saling ketidakpercayaan. Nah, saya tidak melihat sebetulnya persisnya argumentasi yang mendukung ini dari uraian yang panjang lebar tadi. Saya mau ambil contoh misalnya begini, saya mau ajukan juga pertanyaan kepada Dr. Siti Zuhro. Apakah dengan diakuinya hak asasi tentang kepemilikan senjata dalam Konstitusi Amerika itu menunjukkan bahwa masyarakat Amerika sebetulnya tidak saling percaya, sehingga tidak ada jaminan keamanan dari negara, sehingga setiap warga negara Amerika itu diberi hak untuk memegang senjata? Apakah demikian tafsiran dari Konstitusi Amerika itu? Ini menurut saya perlu didudukkan antara norma dengan perilaku, sebab pada kenyataannya di Amerika justru yang terjadi dengan hak memegang senjata dari setiap orang itu kita lihat misalnya terjadi penembakan di sekolah-sekolah di Amerika. Ini menurut saya ada perbedaan-perbedaan yang prinsip. Yang kedua, saya ingin mengomentari juga mengenai apa yang dianggap sebagai pemaksaan, penyeragaman. Nah, bukankah dengan argumen-argumen yang mengambil komentar umum dari PBB, kemudian argumen atau paradigma tentang kebebasan yang dipahami oleh kaum liberal, itu bukankah itu merupakan bentuk pemaksaan yang lain terhadap keberagaman dari paradigma yang ada di negara kita atau dimasyarakat kita? Bukankah itu intervensi yang luar biasa melalui berbagai forum supaya ada penyeragaman tentang paradigma kebebasan, paradigma konstitusi dan paradigma hak asasi manusia? Itu juga pertanyaannya. Yang ketiga, saya ingin sampaikan catatan ya, bahwa perdebatanperdebatan di PBB, khususnya pada perdebatan tentang kebebasan beragama yang ada bisa dilihat dalam UN.doc./CN.4/SR/116/SR.117 ini Risalah Sidang Umum PBB tentang Kebebasan Beragama itu sebetulnya lebih banyak perdebatannya itu pada yang disebut atau mengandung atau adu gagasan itu lebih banyak pada kebebasan beragama yang dimaksud dengan, apakah orang bebas untuk berpindah agama? Sebetulnya itu yang banyak dicatat di dalam Risalah Sidang Umum PBB ya, itu bisa diceklah di UN.doc yang saya sebutkan tadi.
25
Itu artinya bahwa negara-negara, jadi soal komentar itu komentar dari siapa itu bisa komentar dari kelompok tertentu. Tapi ini perdebatan antar anggota, itu yang terkait dengan soal-soal kebebasan beragama yang ada dalam Kovenan Internasional maupun dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Jadi tidak seluruhnya bahwa apa yang dimaksud tentang kebebasan beragama itu adalah dari satu sudut pandang. Yang ketiga soal konflik, menurut saya menghilangkan konflik harus ada kembali dari ahli Siti Zuhro menurut saya soal konflik itu, itu sebuah keniscayaan dalam sebuah kehidupan di dunia, tidak ada masyarakat yang tanpa konflik. Itulah gunanya hukum, itulah gunanya pengadilan menyelesaikan itu. Jadi kalau dianggap bahwa ini merupakan perwujudan konflik sehingga yang tidak perlu menurut saya justru di sini perlunya, kita uji di forum-forum hukum, forum pengadilan konflik-konflik itu. Itu menurut saya yang terpenting itu adalah itu. Jadi bukan meniadakan konflik, justru meniadakan konflik menurut saya itu adalah absurd, harmoni seperti apa violence. Kalau violence saya setuju. Violence pun sebetulnya itu tidak mungkin bisa dihilangkan, pada kenyataannya itu tidak ada yang bisa dihilangkan violence itu. Meminimalisir dan menyelesaikan apabila terjadinya violence. Nah, menurut saya dalam konteks agama ini, ya kekerasan selalu dituduhkan ini seakan-akan saya melihat ada salah pengertian, satu seakan-akan agama minoritas ini ditindas di Indonesia oleh agama mayoritas itu menurut saya pemahaman yang harus diluruskan, itu tidak benar. Ini bisa kita buktikan misalnya kemarin hari libur dari temanteman agama Hindu dan itu diberlakukan berdasarkan territory ya, territory ya apa? Territory di Pulau Bali sehingga pesawat pun dilarang untuk berisik, karena itu hari raya nyepi. Artinya apa? Itu dibiarkan ya tidak ada penindasan terhadap agama minoritas di Indonesia. Tidak ada penindasan terhadap keyakinan minoritas di Indonesia, itu fakta ya? Dan normanya juga di dalam PNPS 1 Tahun 1965 ini, menurut saya tidak mendiskriminasi itu. Saya minta disebutkan sekali lagi sebagaimana yang sudah-sudah saya minta disebutkan dimana norma yang mendiskriminasi salah satu agama atau kelompok agama intra agama yang ada di Indonesia. Nah, yang terakhir saya mau ajukan pertanyaan. Pada faktanya sebetulnya di dunia ini ada empat jenis kategori sebetulnya ya kalau kita lihat secara empiris itu apa bisa kita lihat di masyarakat di dunia ini hubungan negara dengan komunitas-komunitas agama. Yang pertama, negara-negara yang komunitas sipil atau komunitas agamanya itu serupa dan hukum itu didasarkan pada agama yang ada itu, itu satu. Itu tipe yang pertama. Tipe yang kedua adalah dimana negara yang komunitas sipil dan komunitas keagamaan secara formal terpisah penduduknya juga terdiri dari beragam agama dan nilai-nilai agama dan nilai-nilai agama menjadi dasar pembentukan hukum ya, itu yang kedua.
26
Yang ketiga negara yang penduduknya merupakan umat lebih dari satu agama bahkan ada yang tidak beragama, kebebasan beragama diakui tetapi secara tegas negara dipisah dari agama, itu yang berlaku di Amerika maupun di Prancis dan negara-negara Eropa yang sekuler. Tadi yang keempat adalaha tipe negara yang secara resmi ateis tapi dia mentolerir keberadaan agama dalam batas tertentu. Nah, dengan empat tipe seperti ini yang ingin saya sampaikan adalah apakah pilihan-pilihan kita, ada pada empat tipe hubungan negara dengan komunitas agama ini atau memang kita mau membuat sesuatu yang baru? Sebab kalau dikatakan harus dipisah negara tidak ikut campur, tidak berdasarkan satu nilai-nilai agama yang hidup di masyarakat artinya kita memilih salah satu juga yang ada di sini itu berarti pilihan kita adalah negara-negara sekuler sebagaimana yang ada di Eropa maupun Amerika. Jadi pilihan-pilihan itu ada terserah di kita dan yang paling terakhir ini saya mau katakan, di sini forumnya bukan tempat merevisi sebuah peraturan perundang-undangan. Jadi Mahkamah Konstitusi ini adalah negatif legislator dia hanya akan memenuhi permintaan dari Pemohon saja, artinya revisi kalimat tidak di forum ini tempatnya dan ini menurut saya menjadi pengetahuan kita bersama. Demikian, terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
36.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dari BASSRA.
37.
PIHAK TERKAIT (BASSRA) : K.H. NAIRUL ROCHMAN
Assalamualaikum, wr. wb.
Terima kasih Bapak Ketua Hakim yang saya muliakan. Kami dari BASSRA jauh nun di sana Madura, seorang kiai kampung, mengikuti sidang ini tiga kali dan kami yang berangkat, apa yang diminta oleh Pemohon ialah uji coba tentang PNPS ini. Sedangkan kami baca pasal per pasal, nampaknya di situ tidak ada yang perlu dipersoalkan, karena jelas menurut kami yang sebagai orang yang bodoh (…) 38.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Saudara, ini bukan mempersoalkan permohonan lagi tetapi ini minta penjelasan kepada Ahli, kalau Pemohon memang ini, apa namanya (…)
27
39.
PIHAK TERKAIT (BASSRA) : K.H. NAIRUL ROCHMAN Ya, terima kasih. Nggak nanti kaitannya dengan revisi tadi lho, Pak, gitu. Dalam pasal pertama, sudah jelas kan poinnya itu pasal pertama, itu bunyinya “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran suatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran atau kegiatan mana yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”Jelas, gamblang, siapapun, kelompok manapun, suatu agama apapun kalau sudah menyimpang dari pokok agama, maka biar terjadi di situ keharmonisan, maka terjadilah harus ada undang-undang yang melindungi rakyat begini. Jadi perlu saya tanyakan, apa yang direvisi dari pasal ini? Sedangkan Pasal yang kedua berkenaan dengan yang ngotot yang melanggar. Dan menurut saya pasal yang kedua itu logis sekali, pertama kali kalau seumpama ada yang melanggar, diperingati, jangan, kalau nggak, masih ngotot, langsung dibubarkan. Apanya lagi yang perlu direvisi? Sebagai orang desa, logis sekali. Maka dengan ini, kalau seumpamannya nanti ini dicabut atau direvisi, apanya yang perlu direvisi? Karena ini sudah betul-betul menjadi jaminan, lindungan bagi kami terutama bagi umat Islam yang mayoritas untuk betul-betul melaksanakan ajarannya dengan murni. Apalagi berkenaan dengan pokok-pokok ajaran agama. Tapi ini sangat mendasar sekali, kalau Islam itu kalau sudah berbicara tentang agama, memang sudah dianjurkan, jangankan hartanya, jiwapun, seperti itu. Maka dengan ini kami mohon saya pertanyakan tadi kaitannya dengan itu bukan kami pertanyakan lagi pada Pemohon, nggak. Kepada Ibu Siti Zahro, kira-kira dengan Pasal 1 itu kira-kira mana yang direvisi dan Pasal 2 dan selanjutnya itu akibat Pasal 1. Sekian saja, wassalamualaikum wr. wb.
40.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. PBNU.
41.
PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Terima kasih, Yang Mulia. Pertama kami ingin menyampaikan pertanyaan kepada Ahli Dr. Sudarsono yang kami hormati. Dalam sidang-sidang MK sebelumnya, beberapa Pihak Terkait merasakan adanya diskriminasi yang timbul dari peraturan pelaksanaan yang bersumber atau merujuk dari undangundang ini, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Seperti soal
28
pencantuman agama dalam KTP yang harus memilih satu diantara enam, kemudian ada penolakan pencatatan perkawinan bagi Saudara-Saudara kita penganut kepercayaan dan sebagainya. Nah, dalam konteks realitas tadi, yang ingin saya tanyakan kepada ahli adalah ahli tadi kan intinya, ingin Mahkamah Konstitusi mempertahankan undang-undang ini. Namun yang ingin saya tanyakan kepada ahli adalah apakah Ahli setuju apabila Mahkamah Konstitusi ini memberikan pemaknaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965? Seperti yang telah Mahkamah Konstitsi lakukan dalam beberapa uji materi undang-undang yang lain, seperti pasal-pasal undang-undang Pemilu. Sehingga diskriminasi-diskriminasi tadi tanpa menghapus atau meniadakan atau tidak memberlakukan undang-undang ini tetapi diskriminasinya itu bisa dihilangkan atau makin diminimalisir. Kemudian untuk Ibu Dr. Siti Zuhro. Oleh karena disiplin Ibu adalah ilmu politik, saya tentu juga akan bertanya dalam konteks sosiologi politik. Bagi saya memang ada prinsip HAM universal, tetapi saya tidak melihat atau menemukan, saya bukan orang dengan latar belakang ilmu poltik. Saya tidak menemukan adanya prinsip-prinsip kebebasan beragama yang universal. Kalau saya lihat produk politik atau kontrak politik, katakanlah konstitusi di berbagai negara maka itu sifatnya jadi, sangat lokal, artinya tergantung apa kesepakatan yang merupakan kontrak politik atau kontrak sosial dari bangsa dan masyarakat di negara itu. Ambil contoh, misalnya Republik Irlandia yang sejak sebelum perang dunia kedua, dalam konstitusinya tahun 1937 itu tetap mempertahankan pasal-pasal yang memberikan perlindungan kepada agama, khususnya dalam konteks agama Katolik. Keputusan politik ini masih dipertahankan, bahkan pada mulai tahun 2010 ini melalui undang–undang yang disahkan pada tahun.., pada pertengahan tahun 2009 Dáil (Parlemen Irlandia) menelorkan undangundang baru tentang Irish Pemilu. Kemudian, kalau kita lihat di Amerika Serikat sendiri, yang sering kita rujuk sebagai mbahnya kebebasan atau demokrasi. Kita lihat, memang di dalam amandemen pertama Konstitusi Amerika itu di sana ditetapkan ketentuan tentang kebebasan beragama. Namun dalam pelaksanaanya tidak sebebas seperti yang kita bayangkan. Saya ingin mengutip sebuah kasus yang menjadi legal presedence sebuah “wellknown” case yang disebut dengan the State of Oregon, Department of Human Resources versus Alfred Smith. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung Amerika Serikat sebagai pengadilan tertinggi meletakkan status staired deceases, suatu asas hukum yang mengatakan antara lain bahwa, natural law of general
aplicapability do not fail it, the free exercise close of the first amanament. Maksudnya free exercise di sini adalah free exercise dalam soal pelaksanaan ajaran agama. The free exercise closed permit the state to prohibit sacramental “peyote” use. Dalam kasus ini seorang
Indian Amerika penganut agama asli bangsa Indian, yang di dalam
29
upacara keagamaannya menggunakan “peyote” sejenis marijuana telah dipecat sebagai pegawai bagian dari negara bagian Oregon. Dan kemudian, dia menggugat ke pengadilan di Oregon. Pengadilan di sana membenarkan sikap pemerintah yang memecat dia karena, menggunakan “peyote” dalam acara keagamaan. Penggunaan “peyote” karena “peyote” adalah melanggar hukum karena “peyote” termasuk jenis psikotropika yang dilarang setidaknya di negara bagian Oregon. Nah, tenyata Mahkamah Agung Amerika Serikat itu membenarkan pertimbangan dan pendapat hukum dari Mahkamah Negara bagian Oregon yang memecat Alfred Smith tadi. Yang ingin saya tarik dari kasus ini bahwa, kalau satu pelaksanaan ajaran agama juga melanggar satu hukum positif di satu negara, ya maka di situlah kebebasan itu artinya harus juga berhenti. Nah, jadi ini yang saya mohon tanggapan bahwa tidak ada prinsip universal mengenai kebebasan beragama. 42.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Oke.
43.
PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Ya, terima kasih.
44.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, kemudian dari KWI dipersingkat saja Bapak semuanya. Silakan.
45.
PIHAK TERKAIT (KWI) : RUDY PRATIKNO Ya, terima kasih, Yang Mulia. Jadi, tadi kami telah mendengarkan penjelasan dari Bapak Sudarsono mengenai dukungan dan juga apresiasi dari Bapak Sudarsono terhadap Undang- Undang Nomor 1 PNPS 1965 dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Nomor 8 Tahun 2006. Yang ingin kami dengarkan dari Pak Sudarsono itu, bagaimana pendapat atau saran dari Bapak kepada kami dan atau juga mungkin pendapat dari pihak–pihak terkait yang hadir juga di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi ini, tentang adanya sebagian komunitas yang telah melakukan penafsiran yang tidak tepat terhadap Undang-Undang Nomor 1 tersebut atau juga penafsiran yang tidak tepat tehadap Peraturan Bersama dua Menteri, yaitu dengan meminta kepada komunitas yang lain untuk menurunkan atribut-atribut keagamaan yang dipasang di tempat sendiri atau juga bisa juga meminta dan menghalangi komunitas lain yang telah memenuhi persyaratan didalam Peraturan Bersama dua
30
Menteri tersebut di dalam mendirikan rumah ibadah baru atau pada saat merenovasi rumah ibadahnya yang baru. Nah, kami ingin membenarkan pendapat dari saran dari Pak Sudarsono terhadap kami. Terima kasih. 46.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, berikutnya dari Dewan Dakwah Islamiyah
47.
PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM, S.H. Terima kasih, Yang Mulia.
Assalamualaikim wr. wb.
Saya khususkan kepada Prof. Soemarsono. Khusus saya ini, artinya undang–undang.., Saudara, maaf, Soedarsono berarti undangundang ini konstitusional dan sepakat, begitu saja ya? Saya pikir, itu saja. Dan, khusus untuk Saksi undangan dari MK yaitu Dr. Siti Zuhro, Saksi Ahli mengatakan tadi Siti Zuhro itu adalah Ahli Politik di LIPI sudah 23 tahun dan fokus pada demokrasi. Ini saya melihat, demokrasi yang dikatakan tadi dan dijelaskan oleh Siti Zuhro ini justru kembali kepada apa yang dia katakan sendiri sama dengan “bandul jam” ke kanan dan ke kiri. Ini saya melihat seolah-olah HAM adalah segala-galanya. Artinya Ibu Zuhro sendiri itu tidak melihat HAM yang sudah dibuat oleh negara asing, kita akan mengadopsi dari negara asing, apa yang terjadi, satu contoh yang saya berikan penyerangan Amerika terhadap Irak, terhadap Afghanistan dan terhadap Palestina, dan sampai sekarang Ibu Zuhro melihat, bagaimana itu HAM, PBB diam, duduk manis. Tidak ada yang menyalahkan penyerangan tersebut dengan dalih yang macammacam dan tidak bisa dibuktikan dengan fakta dan hukum di internasional. Apakah ini yang dimaksud dengan HAM, HAM dan HAM tersebut, bahkan kalau saya sedikit korek mungkin keliru, HAM itu ada sebagian bahasa Arab yang mengatakan bau artinya. Jadi saya melihat Ibu sendiri tadi mengatakan bahwa ada dua variabel dalam konteks demokrasi, yaitu demokrasi tentang HAM artinya kebebasan beragama dan berkeyakinan dan seterusnya, yang kedua adalah variabel kesataraan ras, gender pengakuan status sosial dan lain sebagainya. Dan menurut Ibu bahkan sempat tadi disinggung pada siapa masyarakat harus mengadu kalau terjadi sesuatu? Padahal rasionalnya itu di sini jelas Bu, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini adalah rambu yang mengatur tentang proses-proses masalah. Jadi kalau Ibu kaitkan kepada HAM ini, malah justru saya melihat Ibu ini tidak.., sama dengan dikatakan Ibu, “bandul jam” yang ke kanan ke kiri yang tidak jelas. Apa lagi Ibu tidak memberi sebuah solusi, hanya mengatakan ini perlu direvisi, rasionalnya Bu. Ibu tidak menyebutkan ada 4 pasal di Undang-
31
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Apakah seluruh pasal tersebut harus direvisi atau satu persatu? 48.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Oke cukup?
49.
PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : AZAM, S.H. Mungkin ditambahkan sedikit saja dari Pak Abdul Rahman.
50.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya sudah cukup-cukup, sekarang berikutnya dari FUI.
51.
PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : KH. MUHAMMAD AL KHATHTHATH Terima kasih, Yang Mulia. Kepada Bapak Sudarsono. Bapak mengatakan bahwa salah satu syarat pembatasan kebebasan adalah pertimbangan nilai agama. Saya pernah membaca AD/ART dari Jamaat Ahmadiyah yang mengatakan bahwa tujuannya adalah menyebarkan Islam menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Padahal ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini menurut ulama sedunia adalah telah melakukan pelanggaran dan penodaan terhadap ajaran Islam baik Al-quran dan As-sunnah, juga ada kitab selain menggunakan Al-Quran dan Sunnah , Ahmadiyah juga menggunakan kitab Tazkirah yang isinya mengacak-ngacak Al-Quran. Menurut Bapak Sudarsono ini termasuk dalam pengabaian pertimbangan nilai-nilai agama? Yang kedua untuk Ibu Siti Zuhro, Ibu tadi mempromosikan betul tentang masyarakat setara, demokrasi dan HAM. Saya mau bertanya kepada Ibu, bahwa di dalam kitab Tazkirah Ahmadiyah, ya kitab sucinya Ahmadiyah halaman 63 baris kedua itu disebut satu ayat yang diklaim oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai dia terima wahyu dari Allah yang bunyinya adalah kadzaba alayal khobis, wa kadzaba alayal khinzir yang mendustakan aku adalah manusia kotor dan yang mendustakaan aku adalah babi. Menurut Ibu apakah ini sesuatu yang dibolehkan karena tidak violence, tidak kekerasan hanya kekerasan kata-kata. Apakah menurut Ibu itu boleh begitu, ya? Misalnya seseorang di Jawa mengatakan pada seseorang namun dengan cara halus ya, Mbak, panjenengan puniko segawon, apakah boleh seperti itu menurut Ibu, kalau dihadapkan kepada Ibu karena Ibu anti kekerasan. Kalau ada seorang preman menampar Ibu, memarlah, berdarahlah, satu. Yang kedua ada tetangga Ibu yang dengan halus mengatakan “Mbak Zuhro
32
panjenengan puniko segawon”, lha itu lebih sakit mana, kata-kata tadi
atau tamparan tadi? Nah, kemudian kepada Ibu Zuhro, apakah Ahmadiyah yang sangat agresif di dalam kalimat-kalimat seperti yang Anda dengar tadi, itu termasuk HAM yang harus dilindungi atau pelanggaran HAM? Itu termasuk kondusif untuk mewujudkan masyarakat setara atau sebaliknya? Apakah itu merupakan provokasi terhadap munculnya anarkisme? Yang kedua untuk Mbak Siti Zuhro, Anda mengatakan bahwa negara kita bukanlah negara agama. Saya ingin tahu dasarnya Anda mengatakan demikian itu apa? Kemudian saya ingin tahu, bagaimana yang Anda pikirkan tentang dasar negara kita, Pembukaan UndangUndang Dasar yang menyebut dalam alinea ketiga menyatakan, atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan juga disebut dalam Alinea berikutnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu dalam batang tubuh, Bab IX, Bab Agama, Pasal 29 disebut negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Nah, apakah ini berarti bukankan ini negara kita ini sangat-sangat mendasari pada ketuhanan, sangat mendasari kepada agama? Apa yang bisa Anda katakan tentang ini? Ataukah Anda malah setuju dengan kelompok liberal yang berasal dari Amerika, yang memiliki pemahaman bahwa kita boleh membuat agama kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, boleh melahirkan nabi baru, Jibril baru dan Tuhan baru dan boleh tidak beragama sama sekali seperti yang diajukan oleh Pemohon maupun kuasa hukumnya? Terima kasih.
Wallahu minkum, wassalamualaikum. wr. wb.
52.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik kita akan tutup sidang ini Jam 12.00 sesuai dengan peraturan tata tertib di sini. Oleh sebab itu kepada Pak Sudarsono, kepada Ibu Zuhro diberi waktu masing-masing 10 menit untuk dirangkum semua subtansi-subtansinya. Silakan.
53.
AHLI DARI PEMERINTAH : DR. SUDARSONO Terima kasih Yang Mulia Bapak Pimpinan. Mengomentari, merespons pendapat Kuasa Pemohon dengan tamsil majalah dan koran tadi. Sangat berbeda dan kalau memang Bapak tidak mau dibandingkan antara majalah dan koran. Majalahnya adalah Undang-Undang Dasar 1945, korannya bukan Undang-Undang Dasar 1945. Kita sedang mengajukan permohonan uji materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi mari kita gunakan saja majalah bukan koran atau yang lain.
33
Bapak Ibu Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, adalah the guardian of the constitution, the guardian of the majalah bukan Koran. Jadi kita menggugat undang-undang terhadap UndangUndang Dasarnya kita pereteli dulu. Sebaiknya tentu saja jalurnya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, baru nanti kita menguji secara proporsional. Terhadap dalil MUI mengenai menghormati atau menyetujui. Tentu saya berprasangka baik kepada siapapun terhadap termasuk sejawat-sejawat Pemohon ataupun Kuasa Pemohon. Ini hanya masalah peran saja, pada waktu saya menjadi pejabat eselon I duduknya selalu di sini waktu menghadapi gugatan. Sekarang sebagai tenaga ahli seharusnya di situ. Tetapi saya sekarang membawa anak saya yang baru lulus sarjana hukum UGM, saya bilang, mungkin suatu saat kita ada di situ sebagai Kuasa Pemohon, kan gitu. Kita semua ini sebagai manusia Indonesia Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, jadi saya berprasangka baik. Tetapi jalurnya harus tepat, kalau memang kita mempersoalkan Undang-Undang Dasar, apalagi mengurangi nilai-nilai agama dalam satu pasal atau ayat, jalurnya bukan di Mahkamah Konstitusi, jalurnya ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebagai Sarjana Hukum saya walaupun ecek-ecek mempelajari prinsip supra constitutionalited. Ada pasal-pasal tertentu yang sama sekali tidak boleh diubah dalam Undang-Undang Dasar. Tetapi masih ada yang bisa kita persoalkan, apalagi beberapa hal yang terkait dengan persoalan yang lain seringkali membingungkan. Tetapi forumnya sekali lagi, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian mengenai dari PBNU, kasus-kasus diskriminasi KTP dan perkawinan, sepanjang yang saya pahami tidak ada kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. KTP urusannya dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, perkawinan dengan Undang-Undang Perkawinan. Nah, jadi kasus-kasus di lapangan itu campur aduk, begitu antara satu undang-undang dengan undangundang yang lain. Bahkan di dalam praktik administrasi pemerintahan daerah, mungkin juga sejawat kita di pemerintahan daerah, di kabupaten kecamatan dan desa masih belum paham betul untuk membedakan itu. Jadi kita harus proporsional, bahwa kasus-kasus di lapangan itu tidak harus terkait dengan Undang-Undang PNPS Tahun 1965. Tetapi kaitannya dengan undang-undang yang lain, jadi tidak perlu dicampuradukan. Persoalan yang sangat mendasar dari pertanyaan dari PBNU, apakah saya menyetujui seandainya MK membuat pemaknaan baru? Tentu tidak baik mengajari Majelis Hakim Yang Mulia, beliau-beliau lah yang memiliki tugas yang sangat penting. Tetapi sepanjang yang saya pahami, MK akan lebih pas kalau duduk sebagai negative legislation, tidak harus positive legislation. Positive legislation ada di DPR, walaupun ada kasus-kasus tertentu saya agak tercengang juga kadang-kadang melebihi dari negative legislation. Tetapi itu terserah, kami serahkan
34
sepenuhnya kepada Majelis Hakim Yang Mulia, karena lebih arif dan bijaksana apakah akan tetap konsisten sebagai negative legislation atau mau masuk kepada positive legislation. Walaupun ada beberapa yang mulia dulu mitra-mitra kerja di DPR yang memang aktif, tetapi tentunya sudah melupakan tugas di positive legislation dan sekarang porsinya adalah negative legislation, demikian respon kami, Pak. Kemudian dari KWI, terkait dengan persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan, implementasi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, khususnya mengenai PBM tadi. Sangat jelas sebenarnya yang sudah diatur dalam PBM ini kalau terjadi perselisihan. Pasal 21 sangat jelas, perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat, ini juga rumusannya Yang Mulia Ibu Maria Farida dulu. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Bupati, Walikota, dibantu oleh kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, melalui musyawarah yang dilakukan secara adil, dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota. Jadi sudah sangat lengkap. Memang sepanjang pada waktu kami masih bertugas mengenai persoalan ini ada kasus-kasus tertentu yang sepertinya tidak segera diselesaikan di daerah, yang kami deteksi itu bukan karena kesalahan undang-undang atau peraturan kesalahan Peraturan Bersama Menteri. Bupati dan wakilnya saja seringkali tidak akur, bagaimana dia ngurusin rakyatnya? Nah, jadi persoalannya bukan ada di peraturan, peraturannya sudah sangat bagus, sudah sangat komprehensif, dan data, saya kira juga menunjukkan sangat berkurang. Nah ada persoalan-persoalan di tingkat masyarakat, di tingkat pemuka masyarakat, di tingkat pejabat daerah, itu persoalan lain yang memang harus kita pecahkan bersama, jadi tadi respon kami. Kemudian berkaitan dengan dari FUI, mengenai nilai-nilai agama bukan pendapat saya, itu jelas sekali tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J ayat (2), dan apapun juga tentu tolak ukurnya harus dari antara lain pasal dan ayat ini, bukan rujukan yang lain. Kemudian mengenai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga JAI sudah sangat jelas. Mohon urusan JAI sudah ada SKB-nya, tolak ukurnya adalah SKB dan juga Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Kalau pun ada masyarakat yang tidak berkenan terhadap SKB seperti juga terhadap PBM ini, jalurnya sudah ada, judicial review atau PTUN, tetapi sejauh yang kami dengar tidak ada proses PTUN, tetapi kalau PBM sudah ada. Uji materi di MA dan memang ditolak gugatan Pemohon sebagaimana saya sebutkan tadi. Demikian, Yang Mulia Bapak Ketua. Terima kasih.
35
54.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Bapak Dr. Sudarsono. Kemudian Ibu Dr. Siti Zuhro, silakan.
55.
AHLI (YANG DIHADIRKAN MK) : DR. SITI ZUHRO Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin merangkum semua komentar dan pertanyaan. Bahwa ketika kita menyatakan demokrasi atau kita berbicara tentang hak-hak asasi manusia, itu selalunya standarnya universal. Oleh karena itu saya sangat risau dan melakukan secara intensif penelitian, saya tinggalkan reformasi birokrasi, penelitian tentang demokrasi sejak 2007, 2008, 2009, sampai sekarang terakhir ingin memodelkan semacam apa demokrasi, khususnya lokal di Indonesia? Karena kerisauan tadi itu muncul seolah-olah kita tercabut dari akar kita, ketika demokrasi sepakat kita lakukan sejak 1998. Kesepakatan itu ternyata diuji dari waktu ke waktu apakah kita mampu memperjuangkan itu dengan kenyataan bahwa index misery kita masih tinggi. Kemiskinan, pengangguran masih tinggi, masyarakat yang memiliki edukasi cukup juga tidak merata. Oleh karena itu ketika berbicara demokrasi mau tidak mau, saya mencoba untuk menyesuaikan bagaimana sebetulnya empirik yang ada di masing-masing daerah, lalu mencoba bukan mencocokkan, ada istilah yang mungkin tidak sama dengan standar internasional tapi ternyata daerah itu melakukan praktek demokratisasi, itu. Oleh karena itu kalau bisa ditanyakan tentang harmoni trust, tentang norma, tentang perilaku, itu semua menjadi variabel dari demokrasi. Saya sebutkan hanya dua tadi itu, karena saya tidak mampu menyebutkan terlalu banyak variabel dan indikator dalam konteks untuk melihat bagaimana Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 ini, saya hanya menyebutkan dua tadi. Dalam konteks Indonesia, studi kasus Indonesia ini masyarakat sangat plural, kebhinnekaan kita ini memang harus dikelola sangat serius dan hati-hati, tidak hanya tampil beda, kita tentunya. Apa yang saya sebutkan dengan kekerasan tadi itu bukan konflik, beda. Dalam Pilkada itu konflik banyak, tapi yang konflik violence, kerusuhan, amuk massa itu tidak banyak. Oleh karena itu saya melihat bahwa semakin tinggi violence, kekerasan, penggunaan cara-cara kekerasan sebetulnya demokrasi kita dalam satu pertanyaan besar, ternyata kita memang masih di taraf prosedural, belum substansial, karena untuk menuju substansial itu memang nilai-nilai tadi. Norma yang disebutkan oleh dari FPI tadi, bahwa norma dan perilaku memang tidak bisa dikacaukan. Apakah budaya yang kita miliki itu dicerminkan dari oleh perilaku para ktornya, aktor itu kita semua, terutama elit. Kalau dalam Pilkada, dalam politik itu adalah aktor itu bisa para politisi, bisa birokratnya, bisa LSMnya, mass media termasuk aktor, CSO. Dalam konteks mungkin agama,
36
saya tidak ahli agama, saya tidak masuk ke ranah agama meskipun saya sangat muslim, nama saya Siti Zuhro. Tapi saya tidak tahu sisik-melik tentang agama yang bisa saya argumentasikan. Oleh karena itu kalau saya percaya demokrasi, ternyata bagaimana sebetulnya bagaimana mengawinkan budaya kita yang compatible tadi dengan nilai-nilai yang namanya demokrasi universal. Tidak mungkin kita mengatakan negara Indonesia demokrasi yang khas Indonesia banget begitu. Ternyata tidak compatible, tidak matching dengan nilai-nilai yang universal. Oleh karena itu memang mau tidak mau ketika kita mengatakan HAM itu rujukanrujukan, indikatornya harus merujuk ke yang universal. Kalau tidak aneh banget gitu. Meskipun kita tidak boleh dipaksakan oleh siapapun di dunia ini untuk mengekor atau.., lalu tunduk patuh bahwa kalau kita tidak melakukan itu menjadi hancur lebur, tidak. Jadi kita punya satu keputusan tersendiri dengan cara saya melhat bagaimana demokrasi lokal itu, kalau saya modelkan dengan mengambil pilar nilai-nilai budaya, perilaku aktor, peran aktor, dalam hal ini mendukung atau menghambat, lalu bagaimana kelembagaan itu sendiri, kelembagaan politik? Dari tiga varian tadi, tiga sub pilar tadi itu, apakah memang demokrasi itu eksis atau sekurang-kurangnya seperti itu? Jadi mungkin apa yang kita miliki, undang-undang yang lama seperti ini tidak tertutup kemungkinan harus memang diubah, ada begitu ya? Seperti ketika melihat pasal dalam Undang-Undang Tahun 1999 kenapa diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan demikian juga kita masuk revisi sekarang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 karena harus mengeluarkan peraturan Pilkada. Pak Darsono sebagai Dirjen Kesbangpolitik waktu itu tahu persis bagaimana mengubah beberapa peraturan dan mengeluarkan undang-undang peraturan yang Pilkada tadi menjadi independen Pilkada. Jadi tidak masuk dalam ranahnya pemerintahan daerah, seperti itu dan desa juga. Oleh karena itu mungkin memang harus ada satu perbaikan terhadap undang-undang ini yang memberikan satu rasa aman, rasa nyaman warga negara untuk melakukan dan tidak ada lagi distrust seperti yang Pemohon lakukan. Saya cuma peneliti, saya berusaha merenungkan ini dalam-dalam karena mohon maaf, ini bukan bidang saya agama, cuma saya berusaha memahami bahwa mungkin harus ada win-win solution dari Pemerintah dalam konteks ini, lalu tidak mencabut sama sekali, tidak benar juga mungkin karena ada argumen yang sangat bisa dipertanggungjawabkan kenapa tidak boleh dicabut sama sekali, tapi kalau direvisi? Mana yang perlu direvisi, itu pertanyaan dari FPI tadi. Jadi tentunya kalau kami merevisi, itu dalam sejarah revisi itu kita list dulu apa yang memang digugat oleh masyarakat. Oh iya, Pilkada itu bukan rezimnya Pemda. Oke,kita keluarkan kalau begitu. Terus isu-isu apa lagi, oh penguatan gubernur, suatu contoh. Jadi itu nanti harus ada konsultasi publik, bukan forum ini yang menempatkan poin-poin apa saja yang direvisi. Tapi
37
harus ada konsultasi publik. Inilah perjalanan bangsa, kita tidak bisa menafikan bahwa kelompok kita saja yang benar. Tidak benar juga itu. Jadi memang harus ada pelurusan, kalau memang ini tidak out of context mungkin ada ini menimbulkan implikasi yang tidak positif terhadap satu kelompok tertentu, mananya yang terimplikasikan? Itu yang perlu mungkin diperbaiki dan itu tidak cukup dalam sejarah revisi itu tidak cukup satu tahun, dua tahun ternyata, sangat sulit. Kalau pun naskah akademik dibuat, lalu masuk kepada pasal-pasal, lalu pasal-pasal itu harus dikonsultasipublikan, tidak hanya di Jakarta, tapi ke daerah-daerah, ini eranya desentralisasi otonomi daerah. Mungkin itu yang paling bisa saya berikan untuk menambahkan, bahwa sebetulnya Indonesia kalau kembali ke sistem lama, mengapa kita pernah dikagumi gitu ya, dengan berbagai agama, suku dan bahasa kita mampu untuk hidup harmoni gitu, dan saling percaya. Tetapi lalu kenapa ke sininya, ke 2010 ini, nampak tampak sekali bahwa harmoni tadi terancam dan distrust meninggi. Saya melihat adanya politisasi di hampir semua bidang terjadi, politisasi. Ada salah urus yang akut dinegara ini, rezim sebelumnya sudah melakukan itu, penyeragaman dilakukan hanya untuk pro status quo, untuk kekuasaan, atas nama kekuasaan kebijakan apapun meskipun itu ternyata merugikan rakyat dilakukan dan sekarang kita memetik buahnya, dan sekarang pula kita ingin meluruskan kembali bahwa memang saatnya kita menegakkan keadilan law enforcement, rule of law, kita harus promosikan dan bersamaan itu kita pula demokratisasi akan mendapatkan basisnya, pondasinya, sehingga memang harmoni, trust, norma-norma, gitu ya, saya masih sangat setuju dengan kita tidak akan pernah menjadi seperti Amerika, dengan berbagai karakteristik yang kita miliki, kualitas lokal kita dan sebagainya, yang menjadikan Indonesia negara unik, menjadikan suatu negara yang unik gitu. Dengan kebhinnekaan kita Bhinneka Tunggal Ika kita dan tentunya dengan kita tetap mempromosikan bahwa saya beragama bukan negara Ateis di sini. Saya percaya itu, bahwa kalau dibilang bukan negara Islam ya, ini bukan secara formal maksud saya. Karena ketika kita membicarakan Indonesia adalah negara Islam semua harus merujuk ke Islam. Itu mungkin praktik kecil yang dilakukan di Nanggroe Aceh Darusslam dimana orang harus dipukul, dicambuk bahkan kalau perlu orang melakukan kongko-kongko di pantai pun harus diciduk oleh ini, bukan polisi, tapi saya lupa namanya itu dan itu yang merupakan praktik kecil tentang bagaimana syariah dilakukan. Nah, di Indonesia bukan seperti itu. Mungkin itu Yang Mulia, yang bisa saya tambahkan. 56.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, Majelis Hakim Muhammad Alim, singkat Bapak, waktu kita.
38
57.
HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Terima kasih, Pak Ketua. Pertanyaan saya, saya tujukan kepada Ibu Zuhro. Tadi Ibu, ada, Ahli menyebut ada demokrasi yang dua hal diutamakan yaitu HAM dan kesataraan. Apakah HAM dan kesetaraan merupakan suatu bagian yang sama, HAM juga memerlukan kesataraan, satu. Bagaimana ahli memandang karena di sini, dunia internasional sering digembor-gemborkan sebagai pendekar HAM dan demokrasi. Tetapi didalam Charter of the United Nation, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa itu, the big five, lima besar dari Security Council /Dewan Keamanan itu mempunyai hak veto. Apakah hak veto itu ada kesataraan dengan negara lain? Ini dalam tataran hukum internasional. Ketiga, saya mohon maaf di sini ada guru saya Bapak Prof. Dr. Muhammad Mahfud, saya katakan guru saya karena memang guru saya di S-2 dan di S-3. Kalau atasan saya itu tidak dibicarakan karena di sini kami sederajat karena sama-sama hakim sama-sama punya kebebasan. Beliau mengatakan bahwa demokrasi itu, demokrasi namanya tapi macam-macam maknanya. Di negara-negara komunis yang sebenarnya kediktaktoran protariat dia juga menyebut dirinya demokrasi, Demokrasi Korea Utara, Republik Demokrasi Korea Utara, Republik Demokrasi Jerman dulu waktu ada Jerman Timur dan Republik Demokrasi Vietnam, yang ada itu, dia menyebutkan dirinya demokrasi. Di sisi lain ada juga demokrasi liberal yang dikenal yang seperti yang mengumandangkan semboyan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara dewa atau suara Tuhan). Kita di Indonesia mengenal istilahnya demokrasi Pancasila, yang itu tercantum dalam Pembukan UUD 1945 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Nah, dari berbagai tipe demokrasi yang menurut guru saya itu, dan saya yakini kebenarannya. Itu demokrasi yang mana yang dianut di Indonesia? Jadi kita menganut demokrasi Vox Populi Vox Dei, bisa terjadi bermacam-macam kediktatoran, merupakan kedikatatoran mayoritas. Tetapi kalau juga tidak di bagian itu, bisa juga tirani minoritas. Itu juga berbahaya. Sebab sama berbahyanya. Nah, kalau kita kaitkan dengan lahirnya Pancasila, pada waktu lahirnya Pancasila yang terakhir disebut oleh Alm. Bung Karno itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi, ketika UUD 1945 disusun, baik di dalam, mohon maaf, Piagam Jakarta dahulu maupun UUD 1945 itu yang teratas Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti dianggap sebagai suatu hal yang saling prinsip di dalam Pancasila. Jikalau pun itu dianggap sebagai hal yang prinsip, yang jelas Pancasila itu merupakan satu kesatuan. Nah, jikalau kita menganut asas demokrasi liberal, Vox Populi Vox Dei mayoritas umat Islam di Indonesia mengatakan tidak usah direvisi
39
ini karena dia suara terbesar. Apa kaitannya dengan hikmah kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan? Terima kasih, Pak Ketua. 58.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan, Ibu Zuhro.
59.
AHLI (YANG DIHADIRKAN MK) : DR. SITI ZUHRO Terima kasih. Kita sudah menurut sejarah politik, pernah mengalami demokrasi yang dari periode ke periode, rezim ke rezim berbeda, Jadi ada demokrasi guidance, demokrasi terpimpin ada demokrasi Pancasila, di bawah rezim orde baru dan demokrasi yang tidak pakai label 1998 sampai 2010 ini, tidak ada labelnya. Apa yang tadi disampaikan oleh Majelis Hakim Yang Mulia, itu mengenai bahwa demokrasi bisa macammacam saya melihat lebih pada (…..)
60.
HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Kesetaraan yang itu dulu.
61.
AHLI (YANG DIHADIRKAN MK) : DR. SITI ZUHRO Oh yang variabel. Yang variabel, saya ambil di sini salah satu variabel tentang HAM dan satunya tentang kewarganegaraan yang setara. Hak asasi manusia yang indikator, kita melihat indikatornya variabelnya HAM, indikatornya saya ambil adalah meliputi pengakuan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang tanpa membedakan kelas, ras dan agama dan pengakuan untuk memeluk agama yang lain dari agama yang dianut mayoritas masyarakat, itu indikator. Sedangkan variabel kewargaan yang setara itu indikatornya adalah terbentuknya institusi yang relevan untuk menangani permasalahan kelompok minoritas, termarginalisasi dalam masyarakat yang plural. Terbentuknya mekanisme untuk menyelesaikan konflik komunal. Sejauhmana konflik-konflik komunal dan kekerasan terjadi dan diselesaikan dan sejauhmana pula diskriminasi terjadi atas keluarga dan minoritas? Itu indikator. Jadi tentunya ketika kami melakukan penelitian, kalau ini indikatornya tidak seluruhnya akan ditemui persis seperti indikator ideal seperti ini Yang Mulia. Tapi paling tidak kita punya patokan, demokrasi yang kita pelajari bukan demokrasi yang mengecam bahwa satu negara adalah tidak demokratis atau satu negara sangat demokratis tidak
40
seperti itu, Tapi lebih encouraging, dalam arti lebih memberikan dorongan bahwa paling tidak satu negara itu menuju nilai-nilai ke sana. Masalahnya kita sudha sepakat. 1998 kita sepakat mengadopsi, melakukan demokrasi sehingga mau tidak mau kalau kita yakini bahwa demokrasi tidak boleh henti, itu nilai-nilai ini yang harus dicapai dan mengapa pula kita juga membolehkan sistem multipartai berlangsung di Indonesia? Karena ini menjadi pilar itu salah satunya. Kalau kita tidak pakai model yang universal demokrasi, mungkin tidak perlu lagi partai, kita klaim saja kita demokrasi, itu yang dilakukan oleh orde baru dan periode sebelumnya yang memakai istilah guidance demokrasi yang artinya tidak demokrasi sama sekali. Tapi kalau pun saya diizinkan mengatakan bahwa 1998 sampai 2010 kita sebetulnya lebih melakukan apa yang tadi sudah dijelaskan oleh Yang Mulia adalah sebetulnya demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Pemerintahan yang lebih sistemnya itu disamdarkan pada sistem yang demokratis, yang transparan, yang ada public accountability, tidak hanya orang diberikan kewenangan untuk berkuasa sewenang-wenang tapi dia harus mampu mempertanggungjawabkan kewenangan itu. Itu yang sedang kami pikirkan agak serius di Depdagri untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kalau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mungkin kewenangan yang menonjol, authority, politik yang menonjol. Tapi ketika kita harus merevisi bahwa Pemda itu sebetulnya pelayan rakyat. Jadi diberikan keleluasaan, kewenangan tapi ada public accountability. Ini yang sedang Indonesia pelajari, dalam arti bangsa kita sekarang sedang belajar bagaimana melakukan jabatannya, melaksanakan satu mandatnya begitu dengan penuh tanggung jawab tadi. Menurut saya itu yang dalam konteks demokrasi, memang tentunya ini proses yang tidak semudah membalikan telapak tangan, ini adalah proses panjang yang memang tidak boleh henti kalau kita ingin dan sudah sepakat. Baca bissmilah bahwa Indonesia memang patut untuk terus melakukan demokrasi. Dengan demokrasi ini banyak yang diuntungkan, semuanya menjadi transparan dan kita menyaksikan gedung ini dalam sejarah, bisa membuka keadilan penegakkan hukum yang luar biasa menjelang akhir tahun. Itu menurut saya sudah luar biasa dan itu tidak akan terjadi kalau kita sistem pemerintahan kita represif, tidak demokratis. Jadi semuanya perjuangan panjang. Tapi memang harus dipahami bahwa dalam saat yang sama masyarakat ini tidak betah lagi, ingin menyaksikan satu perubahan yang seolah-olah harus drastis, harus cepat. Ini bagaimana sekarang pemerintahan dalam sistem yang demokratis mampu mengkomunikasikan secara memadai kepada konstituen, kepada publik, kepada masyarakat, kepada warga negara bahwa ini yang dihadapi negara, sepatutnya itu, karena tidak ada hal yang tidak mungkin, kita harus mencapai sampai di sana dengan penuh perjuangan dan untuk perjuangan sampai perlu ada memang diskusi, jadi ada semacam diskusi yang intensif supaya tidak ada gap antar kelompok itu, antar kelompok atau antar kekuatan elemen dalam
41
masyarakat, ini yang kita perlukan, supaya terjadi chanelling, ada kanalisasi terhadap aspirasi kepentingan masyarakat, tidak ditutup. Dan lembaga ini pula yang memberikan peluang itu besar. Tapi bagaimana memberikan koridor supaya apa yang disampaikan kepada tentunya para penguasa, para suprastuktur politik ya, kami di infrastuktur politik, itu bisa memang matching gitu, bisa sampai. Jadi kalau infrastruktur politik kita, infrastruktur politik itu ya CSO, ya partai politik gitu ya, ya kampus, intelektual dan sebagainya, mass media, itu kalau kuat itu ikut mengawal sebetulnya. Parlemen pun sebetulnya bisa paralyze kalau tidak dikawal oleh CSO, oleh kekuatan di luar parlemen ini sebetulnya. Dan suprastuktur butuh satu legitimasi dari infrastuktur tadi. Jadi ada saling ketergantungan yang kuat. 62.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Oke, cukup?
63.
AHLI (YANG DIHADIRKAN MK) : DR. SITI ZUHRO Ya, terima kasih.
64.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, jadi sidang ini akan segera berakhir sidang-sidang ini, jadi kita tinggal 2 kali sidang, hari Jumat besok itu Pak Komarudin Hidayat, Ahmad Fedyani Saifuddin, Jalaluddin Rakhmat, ditambah Khofifah Indar Parawansa, dan sidang hanya akan berlangsung satu sesi, akan mulai jam 9 dan ditutup jam 11. Baru sesudah itu sidang yang terakhir kali itu hari Rabu tanggal 24 yang menyisakan 4 Ahli yang akan diundang oleh MK, Pak Garin Nugroho, Yusril Ihza Mahendra, Taufik Ismail dan Mardjono Reksodiputro, ditambah Saksi dari Pemohon, Durham yang akan teleconference dari sini dengan New York, ya. Baik, sidang hari ini dinyatakan ditutup.
KETUK PALU 3 X SIDANG DIBUKA PUKUL 12.10 WIB
42