Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON, PEMERINTAH, DAN PIHAK TERKAIT (V)
JAKARTA RABU, 17 FEBRUARI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON -
Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Berkeadilan (Imparsial) dkk.
Partisipatif
untuk
Transisi
ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait (V) Rabu, 17 Februari 2010, Pukul 10.00 -17.20 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Dr. Harjono, S.H., MCL.
Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon: -
Uli Parulian Sihombing, S.H., LL.M. Febi Yonesta, S.H. M. Choirul Anam, S.H. Siti Aminah, S.H. Judianto Simanjuntak, S.H. Zainal Abidin, S.H. Vicky Silvanie, S.H.
Ahli dari Pemohon: -
Luthfi Assyaukanie, Ph.D.
Pemerintah: -
Bahrul Hayat, Ph. D. (Sekjen Kementerian Agama) Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar (Dirjen Bimas Islam) H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Departemen Agama) Qomaruddin (Direktur Litigasi Dephukham) Dr. Mualimin Abdi (Kasubdit Dephukham untuk Penyiapan dan Pendampingan Sidang MK) Budi Setiawan (Dirjen Bimas Buddha) Bimas Katolik
Ahli dari Pemerintah: -
Prof. Dr. HM. Atho Mudzar (Kabalitbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama) Dr. Mudzakkir, S.H. Buya Bagindo Letter
Pihak Terkait (PBNU): -
Soleh Amin (Ketua LPBNU) Asrul Sani
Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI): -
Drs. H. Amidhan (Koordinator) H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. (Anggota) Hj. Aisyah Amini, S.H., M.H. (Anggota) Adnan Wirawan (Anggota) Sudjito (Anggota)
2
Dewan Dakwah Islamiyah: -
Abd. Rahman Tardjo, S.H. Herman Kadir, S.H., M.Hum. Azham, S.H. Indra Cahaya, S.E., S.H., M.H. Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah
Parisada Hindu Dharma: -
Yanto Jaya (Sabawalaka)
Komnas HAM: -
Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM)
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.
Bissmilahirahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Saksi dan Ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh Pemerintah dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X Dipersilakan Pemohon untuk memperkenalkan diri dan siapa yang bisa dihadirkan pada hari ini. Silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Terima kasih, Yang Mulia. Selamat pagi. Di sini kami hadir dari Kuasa Hukum Pemohon dan juga Ahli Bapak Luthfi Assyaukanie, Ph.D. Mengenai Pemohon belum bisa hadir hari ini, dan juga untuk ahli Prof. Sahetapy hari ini tidak bisa hadir karena masih mengajar di Surabaya, kemudian dia minta minggu depan untuk hadir. Kemudian untuk Saksi Fakta juga saat ini belum bisa hadir hari ini. Nah, untuk Kuasa Hukum Pemohon, saya Uli Parulian Sihombing. Selanjutnya silakan rekan saya.
3.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H. Saya Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Pemohon.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: SITI AMINAH, S.H. Saya Siti Aminah, Kuasa Hukum Pemohon.
5.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEBI YONESTA, S.H. Saya Febi Yonesta, Kuasa Hukum Pemohon.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H. Saya Muhammad Choirul Anam, Kuasa Hukum Pemohon.
4
7.
KUASA HUKUM PEMOHON: ZAINAL ABIDIN , S.H. Saya Zainal Abidin, Kuasa Hukum Pemohon, Yang Mulia.
8.
AHLI DARI PEMOHON: LUTHFI ASSYAUKANIE, PH.D. Saya Luthfi Assaukanie, Ahli.
9.
KUASA HUKUM PEMOHON: VICKY SILVANIE Saya Vicky Silvanie, Kuasa Hukum Pemohon.
10.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pemerintah.
11.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Assalamuallaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah yang hadir, Pak Bahrul Hayat dari Sekjen Departemen Agama, kemudian ada Prof. Nasaruddin dari Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, kemudian ada Pak Budi Setiawan, Dirjen Bimas Buddha. Katolik ya? Ya. Kemudian ada juga Dirjen dari Bimas Katolik, kemudian ada Pak Mubarok dari Kepala Biro Hukum Departemen Agama, kemudian saya sendiri Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian Pemerintah juga menghadirkan Ahli yang sudah hadir di samping kiri saya, yaitu pertama Pak Mudzakkir, kemudian ada Prof. Dr. Ato Mudzhar, kemudian ada Pak Buya Bagindo Letter. Hal lain seperti Ahli dan Saksi nanti Pemerintah akan susulkan kembali sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan persidangan yang akan datang, Yang Mulia. Terima kasih.
12.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Berikutnya, Pihak Terkait.
13.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HERMAN KADIR, S.H., M.HUM. (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH)
Bismillahirrohmanirrahim. Asssalamualaikum wr. wb. Kami dari
Pihak Terkait mewakili Dewan Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 052A Dewan
5
Dakwah/2/1431 Hijriyah 2010. Adapun Kuasa Hukum yang hadir pada hari ini, adalah: 1. Saya sendiri, Herman Kadir, S.H.,M.Hum. 2. Azham, S.H 3. Abdul Rahman Tardjo, S.H., M.H 4. Indra Cahaya, S.M., M.H Kebetulan Pinsipalnya juga hadir, Ketua dan Sekjennya. Terima kasih, Yang Mulia. 14.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, berikutnya..., Pihak Terkait berikutnya Komnas HAM. Siapa lagi sebelum Komnas HAM? Sebelah sini sudah? Ya, Komnas HAM, silakan.
15.
PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KETUA KOMNAS HAM) Yang Mulia Hakim Konstitusi, saya perkenalkan nama saya Ifdhal Kasim, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terima kasih.
16.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, dari NU?
17.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: M. SOLEH AMIN (PBNU)
Assalamuallaikum wr. wb. Nama saya M. Soleh Amin, dan sebelah saya Asrul Sani, Kuasa dari Pengurus Besar Nadhatul Ulama. Terima kasih. 18.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, maaf ini tadi terlewat, Dari Hindu, Bapak silakan, Pak.
19.
PIHAK TERKAIT: YANTO JAYA (PARISADA HINDU DHARMA) Terima kasih, Majelis Hakim. Saya Yanto Jaya, mewakili Parisada Hindu Darma Indonesia Pusat. Terima kasih.
20.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Yang sebelah sini, sama? Satu rombongan? Itu rombongan, oke. Baik Majelis Ulama, silakan.
6
21.
PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. (MAJELIS ULAMA INDONESIA) Terima kasih, Yang Mulia. Assalamuallaikum wr. wb. Dari Majelis Ulama Indonesia, koordinator Bapak Amidhan, hadir. Kemudian anggota, saya Luthfi Hakim, kemudian Adnan Wirawan atau Wirawan Adnan, kemudian Ibu Aisyah Amini dan Bapak Sudjito, terima kasih.
Assalamualaikum wr.wb. 22.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Masih ada lagi? Cukup, ya? Baik, sekarang kita akan mendengarkan lebih dulu keterangan atau tanggapan dari Pihak Terkait yang hari ini ada Dewan Dakwah Islamiyah, lalu ada Komnas HAM dan Parisada Hindu Darma, ditambah dengan beberapa Ahli yang tadi dihadirkan tapi karena mungkin ada Ahli yang masih belum di ruangan ini, sebelum diambil sumpah para Ahli ini lebih baik kita dengarkan dulu dari Pihak Terkait Dewan Dakwah Islamiyah. Maju, Bapak.
23.
KETUA UMUM DEWAN (SYUHADA BAHRI)
DA’WAH
ISLAMIYAH
INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamuallaikum wr. wb. Inalhamdalillah,walaahaula walakuwatailla billah, radhitubillahirabba, wabil islaamidiina wabimuhammadin salallahualllaihi wassalam.
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rosullullah keluarga dan sahabatnya serta umat-umatnya yang taat dan patuh kepada-Nya. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Dalam waktu yang singkat, perkenankan kami dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menyampaikan pandangan dan jawaban kami terhadap adanya permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang diajukan oleh beberapa orang dan beberapa lembaga yang diwakili oleh "Tim Advokasi Kebangsaan Beragama". Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Kami sudah mempelajari dengan teliti dan menyimak dengan cermat berbagai pandangan yang telah dikemukakan dalam sidang-sidang sebelumnya berkait dengan usulan uji meteriil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965. Kami dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berketetapan hati bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 harus tetap dipertahankan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 itu telah membawa bangsa ini kepada kehidupan yang aman dan damai, toleran dan saling menghargai. Kalaupun belakangan ini ada riak yang nampak, itu karena
7
adanya dan munculnya gerakan melecehkan dan menodai agama. Khususnya terhadap agama Islam. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Semua orang yang beragama dengan baik, tidak akan rela jika agamanya disalahgunakan dan dinodai. Orang yang beragama dengan baik, dia akan bergerak cepat untuk membela agamanya ketika agamanya disalahgunakan dan dinodai orang lain. Itu sikap dasar yang melekat pada setiap orang yang beraagama dengan baik. Bagi kami umat Islam, agama Islam adalah agama yang baik dan benar dan dianut oleh seluruh nabi dan rasul. Nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang menyempurnakan seluruh rangkaian ajaran Islam. Muhammad sebagai nabi dan rasul telah memberikan contoh dan teladan kepada kita tentang segala sesuatu yang menyangkut hajat manusia sejak urusan pribadi, keluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. Rasululllah juga memberikan contoh tentang cara mendakwahkan Islam, membela Islam dan cara menghadapi orang yang menyalahgunakan dan/atau menodai agama Islam. Kepada kita diberikan dua petunjuk, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Rasulullah pun sudah memberikan contoh tentang cara memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bahkan Rasulullah memberikan garansi, jika mengatur hidup dan kehidupan kita dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang difahami oleh Rasulullah, maka kita tidak akan sesat untuk selamanya. Karena itu, jika ada orang yang mengaku dirinya "Islam", bernama Ahmad Tantowi di Desa Pamengkang, Kecamatan Mundu, Cirebon, tibatiba dia mengaku dirinya Tuhan selain Allah dan dia tinggal di sebuah kamar yang dia beri nama Surga eden, jamaah wanitanya dijuluki mujahidah dan kalau masuk ke kamar Tantowi mereka harus melepaskan seluruh bajunya dengan alasan di surga tidak ada yang pakai baju, apakah kita akan biarkan demi kebebasan? Ada pula seorang yang mengaku dirinya "Islam" bernama Ahmad Musaddeq, dari Gunung Bunder, Bogor, mengaku dirinya menjadi nabi dan rasul, apa kita biarkan, demi kebebasan? Demikian pula ada seorang yang mengaku dirinya "Islam", tapi dia meragukan keotentikan Al-Qur'an dan memahami Al-Qur'an semaunya, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman yang menyimpang, apa kita biarkan hanya demi kebebasan ? Ketua dan Majlis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Dari contoh kecil yang kami sebutkan tadi, bisa lebih mempertegas pentingnya mempertahankan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, agar Indonesia tidak menjadi arena tinju dengan gaya bebas tanpa wasit dan baru berhenti jika sudah ada yang mati. Berkait dengan kebebasan, saya ingin mengutip tulisan Saudara Surahman Hidayat, Anggota DPR RI Fraksi PKS yang dimuat Harian Republika, Senin 15 Februari 2010, halaman 4 dengan judul “Melindungi Agama”. Setelah menyampaikan alasan yuridis, saudara Surahman Hidayat menuliskan, "Sikap menghormati dan
8
melindungi agama itu dilakukan oleh Orde Lama dengan ditandatanganinya Penetapan Presiden RI Nomor 1/PNPS/1965 oleh Soekarno pada 27 Januari 1965. Kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru dengan menambah poin keputusan politik, yaitu melarang ajaran atheisme di Indonesia. Orde Reformasi tentu sepenuhnya mendukung. Sebab, hakikat reformasi adalah menegakkan komitmen dengan nilai-nilai kebenaran dan mengoreksi hal-hal yang menyimpang dengan kembali ke jalan yang benar. Setiap kebebasan yang menyimpang dari semangat Berketuhanan Yang Maha Esa dan mensyukuri nikmat Allah Yang Maha Kuasa adalah kebebasan yang anarkis. Kebebasan untuk menentang ajaran Tuhan dalam agama adalah kebebasan syaithoni/iblisi yang punya watak membangkang. Sedangkan, kebebasan yang dilakukan tidak selaras dengan kesyukuran atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa adalah kebebasan syahwati yang hedonistik. Dengan demikian, upaya segelintir orang melalui LSM untuk menolak perlindungan bagi ajaran agama di Indonesia adalah lebih buruk dari keburukan Orde Lama dan lebih sesat dari penyimpangan Orde Baru serta di luar koridor Orde Reformasi". Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Untuk selanjutnya saya persilakan Saudara Abdul Rahman Tardjo untuk membacakan dari sisi yang lainnya. 24.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H.
Bismillahirrahmanirrahim. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang mulia. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berpendapat bahwa pendapat para Pemohon adalah tidak tepat, karena itu: 1. Bahwa alasan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan prinsip negara hukum adalah tidak benar, untuk itu harus ditolak karena justru sebagai negara hukum harus memiliki UU yang pasti dan untuk itu UndangUndang Nomor 1 /PNPS/1965 adalah sangat tepat dan merupakan pengejawantahan dan atau merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E dan Pasal 29. 2. Bahwa alasan para Pemohon yang menyatakan bahwa UndangUndang Nomor 1/PNPS/1965 dikeluarkan ketika negara dalam keadaan darurat sungguh merupakan alasan yang sangat tidak relevan. Dan untuk itu harus ditolak karena bahwa benar undangundang tersebut bermula dari Penetapan Presiden Nomor 1/1965, namun telah dibahas dan disyahkan oleh DPR-RI menjadi undangundang. Selain itu sejak tahun diundangkan hingga sekarang DPR-RI dan pemerintah tidak pernah menyatakan negara dalam keadaan darurat yang menyebabkan lahirnya undang-undang tersebut.
9
3. Mahkamah Konstitusi tidak wewenang untuk mencabut undangundang, tapi kewenangan yang diberikan dalam Pasal 24C Nomor 1 Undang-Undang Dasar 1945 adalah menguji pasal yang didalamnya suatu undang-undang apabila ada yang bertentangan dengan pasalpasal dalam UUD 1945. Oleh karena itu bila para Pemohon minta agar Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dicabut, adalah sangat tidak logis dan akan menjerumuskan Mahkamah Konstitusi untuk melanggar UUD. Bila Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dicabut dan belum ada undang-undang baru sebagai pengganti maka akan terjadi kekosongan hukum, dan bisa terjadi chaos. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 substansi dan konteks hukumnya sangat tepat karena Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi UndangUndang Dasar 1945. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sila pertama dan utamanya, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menjadi landasan hukum dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia berkewajiban melindungi warga negaranya agar dapat menjalankan hukum agamanya yang Berketuhanan Yang Maha Esa, Dalam Sistem kenegaraan Pancasila adalah makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan merupakan Negara Islam, bukan pula Negara Gereja, dan bukan pula Negara Hindu, bukan Negara Buddha, bukan Negara Konghucu, atau bukan Negara Agama apa pun, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan suatu negara Theokrasi dan bukan pula suatu negara Sekularistis tetapi negara beragama dan negara yang harus melindungi umat yang beragama. Negara Indonesia sebagai negara hukum, dipertegas lagi dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa Negara Berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa. Jadi, Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa. Pasal 29 ayat (2) merupakan rangkaian ayat yang tidak dapat diceraipisahkan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan kewajibannya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) juncto Pasal 29 ayat (1) juncto Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
10
kepercayaannya itu, tentu memerlukan perangkat hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/1965. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak melarang setiap orang melakukan berserikat, berkumpul, berapat, dan mengeluarkan pendapat untuk maksud-maksud damai, asal bukan untuk maksud-maksud: (1). Melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama-agama; (2) Melakukan Penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia. Karena, jika terjadi kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama-agama, dan/atau jika terjadi penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agamaagama, maka akan terjadi penodaan terhadap pokok-pokok ajaran agama-agama di Indonesia. Oleh karena itulah, pokok-pokok ajaran agama-agama wajib dilindungi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, demi stabilitas nasional negara tercinta ini. Ancaman hukuman pidana terhadap pelaku kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama-agama, dan/atau pelaku penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia, ancaman hukuman pidana adalah merupakan hal yang dibutuhkan dalam rangka negara melaksanakan tugasnya untuk menjamin agama-agama yang berlaku di Indonesia dan menjamin kehidupan beragama di Indonesia. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berpendapat bahwa Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Demikian pula Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang memuat Pasal 156A KUHP yang diperbaharui adalah sangat tepat. Sebagai refleksi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bukan Negara Theokratis dan bukan pula Negara Sekularitis, tetapi Negara Hukum berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara yang beragama, tentu memerlukan perangkat hukum untuk melindungi setiap penduduk dalam memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945 yakni : (1). Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2). Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
11
Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Berdasarkan uraian tersebut, perkenankanlah kami, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing)
2. Menyatakan permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya ditolak atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima; 3. Menyatakan menerima jawaban atas pandangan-pandangan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; 4. Menyatakan ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Demikianlah jawaban dan pandangan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wabillahitaufik
walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.
25.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Selanjutnya dari Parisada Hindu Darma, silakan Bapak.
26.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HERMAN KADIR, S.H., M.HUM. Yang Mulia, kami ada informasi sedikit Yang Mulia, dari Dewan Dakwah tadi resumenya saja, Yang Mulia, tapi yang jawaban lengkapnya sudah kami serahkan kepada Panitera.
27.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, baik.
28.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HERMAN KADIR, S.H., M.HUM. Terima kasih, Yang Mulia.
12
29.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Silakan, Parisada Hindu.
30.
PIHAK TERKAIT: YANTO JAYA (SABAWALAKA PARISADA HINDU DHARMA) Terima kasih, Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Kami dari Parisada Hindu Darma Indonesia ingin menyampaikan tanggapan sebagai Pihak Terkait atas permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasaan Beragama yang terdaftar di bawah Register Nomor 140/PUU-VII/2009. Majelis Hakim yang kami muliakan, Pasal 156 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: a. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dilakukan di Indonesia. b. Dengan menghasut supaya tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perlu dijelaskan bahwa pasal tersebut tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht melainkan dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, dimana diatur dalam Pasal 1 nya “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan di depan umum untuk melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu. Penafsiran itu justru malah menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Bahwa Pasal 156A ini dimaksudkan dalam KUHP bab 5 tentang Kejahatan terhadap kepentingan umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau pengkhianatan terhadap orang atau golongan lain di depan umum, juga terhadap orang atau golongan berlain suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasalpasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kesewenang-wenangan kelompok mayoritas. Kedua, timbulnya berbagai aliran agama atau organisasi kebatinan dan dianggap bertentangan dengan ajaran hukum agama. Hal tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional berbagai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan memperlakukan undang-undang ini.
13
Ketiga, karena aturan yang dimaksud untuk menghadapi yang terjadi pada ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok para pandita agama atau pemimpin agama dari agama yang bersangkutan. Aturan ini melindungi agama dari penodaan, penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut nama agama yang diakui Pemerintah, undang-undang ini sedemikian rupa agar aliran agama di luar agama tersebut di batasi kehadirannya. Semua agama mengklaim atau diklaim oleh umat agama sebagai agama universal dan memang ajaran yang sifatnya universal terhadap ajaran agama. Perbedaan akan semakin mendalam bila tidak ada ajaran atau aliran masing-masing tetapi bila dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, itu akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama tercipta dan pengaruh masing-masing agama dituntut mengamalkannya dengan sebaik-baiknya maka kerukunan umat beragama, kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama akan dapat diwujudkan, untuk dapat memahami semua agama yang tercipta diperlukan studi pada masingmasing agama. Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan berbeda, sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam pernyataan jumlah agama dan sebanyak informasi yang ada di dunia ini. Dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memeluk agama yang lain, mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain demikian pula halnya yang hanya didasarkan pada solidaritas dari suatu komunitas atas suatu yang sangat diyakini pembuktian yang memadai baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apabila ditunjang melalui dogma-dogma yang kaku yang disengaja diciptakan untuk kepentingan yang akan membatasi setiap gerak dan cenderung mudah sekali memicu desakan dan benturan kepentingan kecil, di satu pihak dan di pihak lainnya. Dalam kejamakan kepentingan dalam suatu dunia sedang dilanda kebingungan mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapa pun, hanya kehancuran yang akan menimpanya. Bahwa atas dasar pandangan hidup toleransi antar umat beragama kemanusiaan dan kerukunan maka keberadaan UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 mengenai Pencegahan Penodaan Agama patut untuk dipertahankan keberadaannya sebagai bagian dari undang-undang atau peraturan yang berlaku di negara Indonesia. Undang-undang ini dibuat dengan keberadaanya untuk memberikan perlindungan bagi agama yang diakui di Indonesia serta bagi seluruh umat beragama di negara Indonesia. Dengan tetap mempertahankan
14
undang-undang ini dapat dianggap (suara tidak terdengar jelas) dengan langkah awal kita sebagai umat beragama untuk mencegah dilakukannya penodaan agama oleh orang atau badan dengan alasannya masingmasing. Dengan adanya undang-undang ini maka kita sebagai umat beragama akan merasa bahwa agama yang kita anut terlindungi dari segala bentuk penodaan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan tetap mempertahankan undang-undang ini dapat pula sebagai bukti, adanya tindakan tegas dan konkrit yang dilakukan pemerintah untuk benar-benar memberikan jaminan perlindungan atau perlindungan hukum bagi agama serta bagi seluruh warga Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Dengan adanya penerapan undang-undang ini di Indonesia akan memberikan dampak positif di masyarakat kita sebagai umat beragama, sebagai warga negara Indonesia tidak perlu berandai-andai lagi akan adanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan beragama dan bernegara. Kesimpulan, bahwa undang-undang Nomor 1 PNPS tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, tetap masih berlaku sepanjang belum ada penggantinya karena telah diadopsi ke dalam Pasal 156 KUHP dimana pembatalannya akan berdampak pada hilangnya roh Pasal 156 KUHP. Bahwa keberadaan Peraturan Perundang-undangan mengenai Penistaan Agama dan atau Penodaan Agama harus dipertahankan, tanpa adanya peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarkis. Keberadaan peraturan perundang-undangan mengenai penistaan dan atau penodaan agama harus dipertahankan karena itu permintaan akan undang-undang itu dicabut, atas nama demokrasi sangat tidak tepat. Bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS Nomor 5 tentang penyalahgunaan atau penodaan agama perlu dilakukan revisi mengingat bahwa ada bagian yang masih relevan dan ada bagian yang sudah tidak relevan lagi. Empat, bahwa pemerintah berkewajiban menjaga ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat. Dan oleh karena itu, pemerintah tidak mengatur agama melainkan mengatur lalu lintas sosial umat beragama. Bahwa penyusunan undang-undang yang baru hendaknya lebih mengedepankan hal-hal sebagaimana di atur dalam Pasal 28 dan 29 perubahan terakhir Undang-Undang Dasar 1945. Demikian tanggapan kami dari pihak terkait, Parisada Hindu Darma Indonesia, Jakarta, 17 Februari 2010, Parisada Hindu Darma Indonesia Pusat. Terima kasih, Majelis. 31.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, terima kasih. Mohon naskahnya nanti diserahkan ke panitera. Diambil dahulu.
15
Berikutnya Komnas HAM. 32.
PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KEYUA KOMNAS HAM) Ketua dan Majelis Hakim yang saya hormati, Asslamualaikum Wr. Wb. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga negara yang diberikan mandat oleh undang-undang, untuk melakukan pengawasan terhadap upaya-upaya negara dalam memajukan, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Dalam konteks tanggung jawab inilah Komnas HAM memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam perkara uji materi yang diajukan ke hadapan Mahkamah ini. Pertama, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, hak atas kebebasan beragama yang menjadi tanggung jawab negara. Hak atas kebebasan beragama dengan tegas dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E dan Pasal 29. Pasal 28E menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya.” Kemudian juga ditambahkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.” Sedangkan Pasal 29 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selain dijamin di dalam konstitusi, juga dijamin di berbagai peraturan perundangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan kembali jaminan konstitusional ini. Kemudian, kita pada tahun 2005, meratifikasi konvensi internasional hak-hak sipil dan politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Artinya secara yuridis, jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat kuat di dalam rezim hukum di Indonesia. Bahkan, kalau kita memperhatikan ketentuan di dalam konstitusi kita, hak atas kebebasan beragama ini diberikan dengan kualitas non derogable rights atau hak yang tidak boleh dicabut dalam situasi apapun. Jadi, kualitas dari hak kebebasan beragama ini memiliki kedudukan atau status yang sangat tinggi di dalam heirarki hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia memiliki kewajiban konsitusional untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini. Apa saja komponen dari hak-hak kebebasan beragama ini? Kalau kita membaca dengan hati-hati ketentuan yang saya bacakan tadi, maka kita bisa menyimpulkan ada dua aspek kebebasan yang terkandung di dalam hak atas kebebasan beragama itu. Yang pertama adalah, aspek kebebasan internal atau disebut dengan forum internum, dan yang kedua adalah aspek kebebasan eksternal atau disebut forum eksternum. Apa yang dimaksud kebebasan internum? Itu adalah kebebasan individual yang dimiliki oleh setiap orang untuk meyakini, atau berpikir, atau memilih agama yang diyakininya, meyakini doktrin-doktrin keagamaan yang menurut dia
16
benar. Dan forum internum tidak bisa diintervensi oleh negara. Sedangkan forum eksternal atau kebebasan eksternal, yang dimaksud dengan itu adalah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan atau memanifestasikan agama yang diyakininya itu melalui dakwah, melalui pendidikan, dan melalui sarana-sarana yang lain. Dan kebebasan ini juga harus dijamin untuk setiap orang pemeluk agama bebas menyampaikan misi agamanya, mendakwahkannya, mewariskannya kepada anakcucunya, dan sebagainya. Itu harus dijamin oleh setiap negara. Kebebasan yang saya sebut tadi, juga dikenakan pembatasan. Walaupun tadi saya katakan kualitas dari hak ini berstatus sangat tinggi karena bersifat non derogable, tetapi terhadap kebebasan ini juga diterapkan pembatasan-pembatasan. Tetapi, pembatasannya ditujukan terutama kepada kebebasan yang bersifat eksternal, yaitu dalam konteks menyebarluaskan ajaran agama itu, mewariskannya, mendakwahkannya, dan seterusnya seperti itu. Apa pembatasan yang diperkenankan untuk kebebasan ini? Yang pertama adalah pembatasan dari sudut keamanan masyarakat. Yang kedua adalah ketertiban masyarakat atau public order. Yang ketiga adalah kesehatan atau moralitas masyarakat. Dan yang terakhir adalah hak dan kebebasan orang lain. Inilah alat ukur untuk membatasi kebebasan beragama itu, khususnya kebebasan dalam lingkup kebebasan eksternal. Tetapi pembatasan-pembatasan yang saya sebutkan tadi, harus dinyatakan oleh hukum, bukan didasarkan oleh kesepakatan atau apa pun, tetapi harus dinyatakan melalui hukum. Nah seperti uraian yang saya sebut tadi, maka apa kemudian tanggung jawab negara dalam memenuhi kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut? Secara umum ada tiga tanggung jawab negara yang dimiliki oleh negara. Yang pertama adalah kewajiban untuk memajukan hak asasi manusia, obligation to promote, seperti menyebarluaskan hak asasi manusia ke seluruh masyarakat. Itu merupakan kewajiban yang bersifat promosi, dan itu harus dilakukan oleh negara. Yang kedua adalah kewajiban untuk melindungi obligation to protect. Oligation to protect ini bisa kita lihat dalam bentuk negara melahirkan undang-undang atau hakim memutuskan perkara terkait dengan kebebasan. Kemudian yang terakhir adalah, tanggung jawab dalam bentuk pemenuhan, yang ini lebih banyak hak-hak dalam kategori hak-hak ekonomi dan sosial budaya. Nah tiga bentuk macam tanggung jawab negara ini dalam konteks kebebasan beragama harus dapat ditampakkan oleh negara dalam konteks ini. Nah dalam konteks memproteksi, perlindungan terhadap warga negara khususnya kebebasan warga negara dalam beragama dan berkeyakinan, maka kepada negara dituntut untuk dua hal sekaligus.
17
Yang pertama adalah kewajiban negara untuk bersikap pasif dalam arti negara tidak bisa menentukan agama mana yang harus dipeluk oleh warga negara. Tidak bisa negara menentukan apa agama yang harus dipeluk oleh setiap orang. Nah ini, negara dalam konteks ini harus pasif. Tetapi di sisi lain negara juga dituntut untuk aktif, aktif dalam konteks ini adalah tadi memproteksi empat hal yang saya sebutkan tadi itu. Karena itu negara harus mengeluarkan berbagai aturan terkait dengan…, dalam rangka menjaga ketertiban umum, moralitas masyarakat, hak dan kebebasan orang lain. Di sini negara diperkenankan untuk aktif tidak boleh absen. Nah, dalam konteks yang kita diskusi…, yang diajukan dalam perkara hari ini terkait dengan PNPS, Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1966 ini…, oh maaf agak tidak terbaca…, 1965 maka, kami ingin memberikan beberapa pendapat terkait dengan isi dari PNPS ini dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan atas hak setiap warga negara beragama dan berkeyakinan. Menurut kami, Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 ini, memiliki beberapa masalah terkait dengan, penghormatan negara terhadap kebebasan setiap warga negara untuk meyakini satu agama atau memilih satu agama, dan menjalankan satu agama. Masalahnya bagaimana? Karena PNPS ini memasuki ruang yang tidak boleh dimasuki oleh negara yaitu forum internum, kata Pasal 1 dari PNPS ini melarang penafsiran yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama. Ini rumusan pasal ini memiliki masalah terkait dengan bagaimana negara harus melaksanakan kewajibannya ini. Kewajiban constitutionalnya dalam memberikan setiap warga negara untuk bebas meyakini apa yang mereka rasakan benar. Dan ini adalah satu ruang yang berada dalam alam pikiran, hati nurani dan alam subyektif setiap orang, yang tidak bisa dimasuki oleh negara. Karena itu kita perlu melihat kembali Pasal 1 ini berkaitan dengan kewajiban negara dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Diajukannya Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 ini ke Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kesempatan untuk mendefinisikan kembali sejauhmana kebebasan beragama ini kita letakkan dalam struktur baru hukum yang berkembang setelah reformasi ini, di mana jaminan-jaminan hak asasi manusia sudah sangat kuat dijamin di dalam konstitusi. Yang kedua, terkait dengan pasal-pasal yang lain dari PNPS ini khususnya Pasal 4 yang memerintahkan dipindahkannya ke dalam KUHP Pasal 156A satu delik berkenaan dengan penodaan agama ini. Menurut saya Pasal 4 ini juga perlu dirumus ulang rumusan deliknya, kenapa? Dalam rangka menjaga hak dan kebebasan orang lain, di sini negara boleh melakukan intervensi terhadap orang lain atau kelompok lain yang melakukan hattrick, atau penghinaan, atau memberikan, menanamkan perasaan permusuhan kepada satu agama atau kelompok tertentu. Yang ini bisa diintervensi oleh negara dalam bentuk memasukkan di dalam
18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tetapi rumusan pasal di sini masih sangat luas karena itu perlu dirumuskan secara benar sehingga tidak mengganggu kebebasan beragama orang lain. Tetapi, kami setuju ada pengaturan atau larangan terhadap usaha-usaha untuk menanamkan, menyebarkan kebencian terhadap agama atau melakukan penghinaan atau masih dalam kategori tersebut untuk diintervensi oleh negara dalam bentuk kriminalisasi perbuatan itu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena itu menurut saya, PNPS atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun PNPS 1965 ini tidak bisa kita pertahankan sepenuhnya karena ada bagian-bagian atau rumusan-rumusan di dalam ketentuan undangundang ini yang tidak sejalan dengan tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tetapi hubungannya dengan…, kaitannya dengan religion defamation atau melakukan kebencian atau penghinaan dan sebagainya kepada suatu agama, itu masih dibenarkan untuk diintervensi oleh negara dalam rangka melindungi hak dan kebebasan orang lain. Oleh karena itu, sebagai kesimpulan dari apa yang saya sampaikan. Yang pertama adalah hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan ini merupakan hak konstitusional setiap negara dan karena itu dia menjadi kewajiban konstitusional negara untuk melindungi hakhak ini. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini, perlu dilakukan revisi yang menyeluruh terhadap PNPS ini, khususnya kalau kita lihat yang Pasal 1 karena Pasal 1 tidak sejalan dengan tanggung jawab negara untuk melindungi hak atas kebebasan beragama karena beberapa elemen dari rumusan pasal ini memasuki wilayah forum internum yang tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang ketiga, sebagai kesimpulan yang ketiga. Aturan tetap atau intervensi negara dalam konteks melindungi hal kebebasan orang lain tetap diperlukan. Oleh karena itu pemidanaan terhadap usaha-usaha dalam bentuk hattrick, dalam bentuk menanamkan kebencian, permusuhan, atau penghinaan atas agama atau kelompok masih tetap dibenarkan atas nama hak asasi manusia. Terima kasih atas perhatian Majelis dan Ketua. Wabillahitaufiq
walhidayah, wassalamualaikum wr.wb.
33.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, demikian. Jadi tiga Pihak Terkait yang merupakan institusiinstitusi resmi, baik institusi negara atau organisasi keagaman atau mewakili pemeluk agama. Nah, sekarang sebelum ke ahli kami akan mempersilakan untuk memberi tanggapan atau menanyakan bisa dari Pemohon terhadap Pihak Terkait, bisa dari pemerintah terhadap Pihak Terkait, bisa antar Pihak Terkait sendiri, silakan saja biar clear semuanya.
19
Namun, sebelum itu kalau bisa kepada Pemohon, kami berharap kepada Pemohon-Pemohon Prinsipal ini bisa hadir dalam sidang berikutnya untuk ya berbicara sendiri apa yang sebenarnya merugikan dia dari undang-undang ini kalau Saudara sebagai kuasa hukum kan lebih pada teknis yuridisnya, konstitusionalitasnya. Tapi kalau prinsipal, itu kan dia akan menceritakan dirinya mengugat ini atau memohon ini karena punya kerugian yang sudah dirasakan atau mengancam hak asasinya. Ini akan bagus kalau misalnya pada sidang-sidang yang berikutnya, yang bersangkutan Pemohon prinsipal datang, lalu berbicara di dalam Majelis ini. Biar kita lebih paham semuanya terhadap persoalan yang dihadapi. Baik, dipersilakan dari Majelis Ulama. 34.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK) Pemerintah, Yang Mulia.
35.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Dari Pemerintah, Majelis Ulama ada lagi, Pemohon, kemudian dari Dewan Dakwah, ya? Oke. Baik, silakan dari Majelis Ulama dulu.
36.
PIHAK TERKAIT: H.M. LUTHFI HAKIM, S.H., M.H. (ANGGOTA MUI) Terima kasih Yang Mulia. Saya akan sampaikan beberapa tanggapan terhadap Komnas HAM. Yang pertama, sejujurnya saya tidak begitu memahami apa yang hendak Anda katakan. Dan saya mengkhawatirkan, apa yang Anda sampaikan belumlah dalam satu kesiapan yang matang. Yang kedua, tadi Anda menyebutkan pembatasan-pembatasan itu diperkenankan oleh negara, yaitu antara lain keselamatan atau keamanan masyarakat, ketertiban masyarakat, kesehatan masyarakat, moral masyarakat, dan hak-hak dari orang lain, ya? Kebebasan orang lain. Apa yang Anda sebutkan tadi itu, mirip dengan apa yang pernah disampaikan oleh Pihak Pemohon, dan tercantum pada halaman 64 dari permohonan. Saya tidak mengerti apakah ini suatu kebetulan atau apa. Tetapi, yang saya heran, bagaimana Anda bisa lalai bahwa di dalam pembatasan yang diatur dalam Pasal 28C, di situ juga disebutkan tentang pembatasan berdasarkan nilai-nilai agama. Sesuatu yang sudah kami juga protes pada Pihak Pemohon, apakah ini suatu kelalaian semata, ataukah apa? Kami tidak memahami hal itu.
20
Kemudian yang kedua, Anda tadi menyebutkan bahwa negara tidak boleh memasuki forum internum seperti yang diatur pada Pasal 1. Saya tidak mengerti, apakah Anda sudah membaca dengan benar Pasal tersebut, ataukah belum. Mengapa? Pada awal dari Pasal tersebut sudah menyebutkan dengan jelas. “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum, menceritakan, menganjurkan, dan seterusnya...” Jelas, pengertian “di muka umum”, bukan forum internum seperti yang Anda tadi tuduhkan bahwa negara memasuki forum internum, ini sesuatu kekeliruan yang semestinya tidak boleh terjadi dalam satu persidangan seperti ini. Kemudian yang ketiga, Anda menyebutkan Pasal 4 perlu dirumus ulang. Kemudian…, tapi, di sisi lain Anda menyetujui adanya pengaturan tentang penghinaan dan penodaan. Dari kalimat-kalimat yang Anda sampaikan, menurut hemat saya, lebih tepat kalimat-kalimat tersebut disampaikan dalam forum pembahasan tentang suatu draft undangundang daripada suatu forum persidangan di Mahkamah Konstitusi. Mengapa? Concern dari suatu persidangan di Mahkamah Konstitusi tentu kita sudah tahu, apakah ada suatu pertentangan antara suatu undangundang dengan suatu Undang-Undang Dasar. Penjelasan yang tadi Anda sampaikan itu, tidak satupun yang saya dengar adanya suatu uraian, ulasan, yang menyebutkan adanya kalimat kata yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian sebetulnya, suatu forum ini tidak pas untuk mendengarkan apa yang telah Anda sampaikan. Dengan kata lain juga, bisa dikatakan berarti Anda juga tidak membuktikan ataupun membenarkan adanya pertentangan antara undang-undang ini dengan Undang-Undang Dasar, sebagaimana telah didalilkan oleh Pemohon. Terima kasih, Yang Mulia. Asalamualiakum wr.
Wb.
37.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pemerintah.
38.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Barangkali yang pertama, karena ini persidangan resmi, dan Komnas HAM juga diundang resmi oleh Mahkamah Konstitusi. Yang pertama perlu diklarifikasi, barang kali mau dicatat juga. Tadi Ketua Komnas HAM selalu menyebutkan, “Menurut saya”, “Pendapat saya”. Mestinya Pak Ifdhal Kasim ini didudukan sebagai ahli, Yang Mulia. Karena kita ketahui, persidangan sudah berjalan hampir tiga kali. Semua Pihak Terkait membacakan apa yang sudah dirapatkan bersama. Karena saya yakin di dalam Komnas HAM itu bukan hanya Pak Ifdhal Kasim. Jadi ada komisioner yang lain.
21
Jadi, tadi selalu mengatakan bahwa “Menurut saya”, “Menurut Saya”, dan selalu interprentatif sifatnya. Karena kalau dari Pihak Terkait lainnya, selalu membacakan teks yang sudah dirapatkan. Jangan-jangan ini Komnas HAM tidak dirapatkan dahulu. Artinya berangkat dari mohon maaf, Komnas Ifdhal Kasim, jangan-jangan bukan Komnas HAM. Nah ini yang perlu dicatat. Karena ini arahnya kalau menurut saya sebagaimana tadi dari MUI sampaikan bahwa Komnas HAM kelihatannya persis sekali dengan apa yang ditulis di dalam permohonan Para Pemohon. Nah itu perlu dicatat. Kemudian yang kedua, sekali lagi saya menegaskan juga mengulang dari apa yang sudah disampaikan dari Pak Lutfi Hakim dari MUI, ini kelihatannya Komnas HAM juga yang tadi dikatakan “saya” itu kelihatannya juga kurang memahami ketentuan dari Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini. Pertanyaannya adalah menurut Ifdhal Kasim karena tadi sudah dikatakan selalu “saya,” itu ya? Saya tidak mengatakan itu Komnas HAM. Apakah yang diatur di dalam Pasal 1 itu pemahamannya menurut “saya” itu tadi, apakah sebagai pengaturan yang berkaitan dengan forum internal atau forum eksternal? Saya mohon dibaca, kemudian secara gambling, kemudian nanti tolong diuraikan secara tegas. Barangkali ini yang pemerintah sampaikan. Barangkali Pak..., Cukup Yang Mulia. Terima kasih. 39.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pemohon.
40.
KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Terima kasih Yang Mulia. Pertanyaan kami ditujukan kepada Komnas HAM, terutama mengenai tanggung jawab negara khususnya dalam konteks penghormatan to respect. Nah, di dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang PNPS Tahun 1965 dijelaskan bahwa Depag yang mempunyai otoritas untuk menentukan pokok-pokok ajaran agama. Nah dalam konteks itu, apakah ini merupakan bentuk pelanggaran negara? Tanggung jawab…, khususnya dalam arti penghormatan? Kita tahu dalam Konstitusi kita, dalam Pasal 28I ayat (3) itu dijelaskan tanggung jawab negara. Nah kemudian, selanjutnya mengenai penafsiran tadi sudah disebutkan juga di dalam Pasal 1, kalau penafsiran, terlepas dari apakah itu bertentangan dengan mindstream agama atau tidak itu masuk dalam wilayah forum internum atau tidak? Nah kemudian yang lain, Komnas HAM pernah mengadakan yang saya dapat dokumennya tentang konsultasi publik RUU KUHP itu tahun 2007, tepatnya tanggal 3-4 Juli 2007. Di sini disebutkan bahwa…, dijelaskan di beberapa negara itu penodaan agama hukumnya sudah
22
dihapus. Nah, di sini khususnya Pak Ifdhal dalam mengutip di Inggris, mengutip pendapat dari Agnes Callamat, kemudian dari Amerika Serikat juga Mahkamah Agungnya sudah menghapuskan beberapa (suara tidak jelas) di beberapa negara. Saya mohon klarifikasinya tentang hal ini. Untuk sementara itu saja. Selanjutnya rekan saya. 41.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, tiga saja dulu Bapak. Nanti kita buka sesi berikutnya. Jadi pertanyaannya untuk Komnas HAM banyak dan karena pertanyaan dari Majelis Ulama dan pemerintah itu hampir sama, saya ingin menekankan pertanyaan itu. Apakah PNPS yang Saudara maksud itu konstitusional atau inkonstitusional? Sebab Saudara tadi menyatakan perlu direvisi. Nah, perlu itu kalau dalam Hukum Mahkamah Konstitusi itu artinya konstitusional, hanya perlu. Nah, kalau perlu itu bukan urusan Mahkamah Konstitusi tapi urusan DPR dan pemerintah. Mahkamah tidak boleh memutuskan sesuatu yang dianggap perlu tetapi konstitusional. Seperti misalnya, penetapan untuk jadi tentara, tingginya harus 160cm, misalnya itu berapapun konstitusional ditetapkan 170, konstitusional tapi mungkin perlu diperbaiki karena orang Indonesia pendek-pendek gitu, tetapi tetap konstitusional. Nah, saya ingin penekanan apakah Saudara ingin mengatakan bahwa PNPS yang Saudara katakan perlu direvisi itu harus karena inkonstitusional atau karena hanya pertimbangan lebih baik, itu. Silakan Saudara.
42.
PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KETUA KOMNAS HAM) Ketua dan Majelis yang saya hormati dan pihak-pihak terkait lainnya yang saya hormati. Tadi sudah…, pertanyaan sudah dibulatkan oleh Ketua, tapi saya ingin juga menjawab beberapa yang di luar yang dibulatkan oleh Ketua tadi. Yang pertama dari pemerintah soal klarifikasi, apakah saya atas nama pribadi atau atas nama Komnas HAM? Dan apakah ini…, apa yang saya presentasikan ini merupakan hasil suatu rapat atau tidak? Jelas itu tidak mungkin kita penuhi karena undangan untuk hadir dalam sidang ini sangat terbatas karena itu saya mendasari apa yang saya sampaikan tadi dari hasil-hasil kajian yang dilakukan oleh Komnas HAM terkait dengan PNPS itu, terkait dengan masalah penodaan agama. Kami memiliki hasil kajian yang terkait dengan masalah ini dan hasil kajian itu sudah kita bahas di forum paripurna kami. Adapun saya menyampaikan kadang-kadang “saya”, “kami” itu adalah mungkin itu memudahkan saya untuk menyampaikan pikiran saya di sini. Tetapi apa yang saya sampaikan itu basisnya dari dokumendokumen yang pernah kami rumuskan di Komnas HAM terkait dengan kebebasan beragama ini dan penodaan agama karena itu saya bisa
23
sebut merepresentasikan pandangan Komnas HAM terhadap isu kebebasan beragama, itu yang pertama. Yang kedua, terkait dengan apakah Pasal 1 itu memang masuk ke wilayah forum internum atau bukan karena rumusan pasalnya dimulai dengan setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang satu agama yang dianut di Indonesia, atau untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran itu. Apakah ini sesuatu yang bukan forum internum? Atau ini sesuatu yang forum eksternal? Saya kira kita berbeda dalam menafsirkan apa yang dimaksud dengan forum internum itu. Forum internum yang saya maksud adalah satu keyakinan setiap orang yang diyakini oleh orang tersebut tentang agama yang dia pahami. Itu yang saya maksud dengan forum internum itu. Pasal ini punya potensi untuk mengganggu forum internum itu. Kenapa saya sebut begitu? Karena banyak kasus yang menuju ke situ. Kami di Komnas Ham banyak sekali mendapatkan laporan-laporan dari berbagai pemeluk agama, khususnya pemeluk agama yang…, kita sering menyebut istilah resmi dan tidak resmi. Yaitu pemeluk agama-agama yang kita anggap sebagai tidak resmi itu yang mengeluhkan atau mengatakan bahwa mereka tidak bisa bebas melaksanakan apa yang mereka yakini. Kami melihat salah satu dari…, kenapa kelompok-kelompok agama ini seperti kelompok-kelompok agama nonwahyu, berbagai kepercayaan itu tidak bisa bebas menjalankan ibadahnya karena antara lain adalah adanya PNPS ini. Dan khususnya selalu dirujuk Pasal 1 ini. Jadi tidak selalu…, misalnya seperti dalam kasus Lia Eden yang memang dia menyatakan di depan umum menyebarluaskan selebaranselebaran, tidak selalu seperti itu, kasus-kasus dalam konteks intervensi terhadap forum internum ini. Itu yang ingin saya klarifikasi dari pertanyaan yang tadi diajukan. Yang kedua, apakah yang saya katakan tadi itu merupakan satu…, ada kaitannya atau tidak sejalan dengan konstitusi? Saya dari awal sudah menyatakan bahwa PNPS ini mengandung masalah terkait dengan kewajiban negara dalam melindungi dan memajukan hak azasi manusia. Karena itulah saya mengatakan…, karena dia mengandung masalah yang menyebabkan negara tidak bisa sepenuhnya menjalankan kewajibannya, memenuhi kewajiban konstitusional, maupun kewajiban perlindungan hak azasi manusia karena itu PNPS ini melanggar atau tidak sejalan dengan amanat konstitusi, khususnya terkait dengan pasal yang terkait dengan jaminan terhadap kebebasan beragama dan pasal yang berkaitan dengan persamaan di depan hukum. Karena kalau kita lanjutkan lebih jauh PNPS ini, meskipun di dalam penjelasannya disebutkan bahwa, bukan berarti negara tidak mengakui agama yang disebutkan di awal, tetapi agama-agama seperti Taoisme, Zoroaster dan lain sebagainya tetap diakui dan hak-haknya juga dipenuhi oleh negara.
24
Tapi dalam kenyataannya ada diskriminasi terhadap warga negara yang tidak secara eksplisit disebut di dalam penjelasan pasal ini, sehingga inilah yang saya maksud dengan kemudian dia tidak sejalan dengan amanat konstitusi, khususnya pasal yang berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama bagi pemeluknya itu dan persamaan di depan umum. Misalnya kasus yang disampaikan di Komnas HAM yang sampai sekarang masih ditangani adalah pemeluk agama Bahai yang tidak bisa menjalankan secara bebas apa yang diyakininya itu. Saya kira pemeluk agama Bahai ini adalah warga negara dan mereka punya kesempatan dan punya hak yang sama di depan hukum. Oleh karena itu penjelasan pasal ini seperti mendiskriminasi mereka oleh karena itu dia tidak sejalan dengan konstitusi kita yang mengamanatkan setiap orang sama di depan umum. Yang berikutnya terkait dengan keinginan saya untuk menyatakan Pasal 4 untuk perlu direvisi. Saya setuju dengan pendapat Ketua ini bukan urusan Mahkamah Konstitusi, tetapi saya ingin menyampaikan rumusan pasal ini masih bermasalah tetapi saya setuju dengan semangatnya yang demi untuk menjaga hak dan kepentingan orang lain, hak dan kebebasan orang lain maka diperlukan intervensi negara dalam kaitannya dengan adanya seruan-seruan untuk membenci satu kelompok agama tertentu, menghina atau dan lain sebagainya yang mengganggu perasaan keagamaan, individu atau kelompok. Demi menjaga itu diperlukan intervensi negara. Itulah 4 pembatasan yang saya sebut tadi salah satunya adalah pembatasan yang terkait dengan bagaimana pembatasan menyangkut tentang hak dan kebebasan orang lain, yaitu bagaimana hak warga negara boleh intervensi ketika ada perasaan keagamaan orang lain diganggu karena hasutan, karena penanaman kebencian dan sebagainya. Nah, pasal ini menurut saya tidak cukup untuk melindungi itu, karena itu dia tidak bertentangan dengan konstitusi tapi karena ini sejalan dengan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan tersebut. Kemudian klarifikasi dari pihak atau kuasa hukum dari Pemohon yang meminta klarifikasi saya terkait dengan konsultasi publik yang diadakan oleh Komnas HAM dalam konteks kebebasan beragama ini. Konteks saya bicara waktu itu adalah konteks saya bicara berkenan dengan delik penghinaan agama atau penodaan agama. Nah di dalam kesempatan tersebut saya mengambil referensi di beberapa negara yang sudah menghapus delik bless famy {sic} di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka, karena itu pada saat itu saya mengajukan satu argumentasi untuk melihat pengalaman berbagai negara dalam pengaturan berkenaan dengan bless famy {sic{ itu klarifikasi saja saya kira. Demikian, terima kasih.
25
43.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, ini banyak yang mau tanya. Jadi begini tiga lagi saja, tiga dari sana lalu tiga dari hakim. PBNU, ini dari mana? Dewan Dakwah, kemudian Pemohon. Silakan PBNU.
44.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ASRUL SANI (PBNU) Baik, terima kasih Yang Mulia. Saya menangkap apa yang disampaikan oleh Komnas HAM ini juga tidak jelas. Dalam pengertian begini, satu pihak mengatakan kebebasan itu adalah ada batasnya, tetapi di pihak lain, Pasal 1 itu seakan-akan mengadung unsur-unsur yang mengarah kepada statement inkonstitusional. Padahal kalau kita kaji sebenarnya saya tidak melihat tafsir mana dari teks yang bisa melanggar baik Pasal 29 maupun Pasal 28E, Pasal 28D termasuk Deklarasi Human Rights, tidak ada satupun teks yang mengarah kepada unsur inkonstitusional terhadap teks yang ada sekarang ini. Lha, yang ingin saya tanyakan adalah kalau keberatan dari Komnas HAM terkait dengan ketidaksetujuan ada kalimat atau ada teks penafsiran, ini saya ingin kejelasan. Begini jika ada ajaran di dalam agama, itu dalam Kristen dikenal misalnya Trinitas, lalu umatnya salah satu kelompok diantara mereka mengatakan free lima ajaran teologi misalnya bukan tiga. Apakah ini bukan merupakan penyimpangan yang harus diakomodir di dalam undang-undang. Dalam konteks agama Islam misalnya ada yang mengatakan ternyata setelah nabi itu ada nabi yang lain setelah rasulullah, Nabi Muhammad misalnya. Saya kira ini diakomodir didalam Pasal 1 PNPS ini. Oleh karena itu saya tidak melihat dimana letak inkonstitusionalnya kalau seandainya kita melihat teks yang ada di dalam Pasal 1 ini. Mungkin itu yang kami sampaikan dan kami ingin kejelasan. Akan dilanjutkan oleh rekan kami.
45.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Dewan Dakwah silakan.
46.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (PBNU) Tambahan dari PBNU Yang Mulia, boleh?
47.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.
Oh, silakan.
26
48.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (PBNU) Ya, tadi dari Komnas HAM menyebutkan tentang bless family law di Inggris yang sudah dihapuskan. Tetapi sesungguhnya di Inggris memang dihapuskan pada tahun 2008 tetapi di Republik Irlandia justru diberlakukan pada bulan Juli Tahun 2009, yang efektif mulai berlaku sejak Januari 2010 ini. Kemudian kalau kita lihat, Majelis Umum PBB setidaknya dalam 3 tahun terakhir ini telah meloloskan tentang resolusi tentang definition of religion dan itu yang terakhir didukung oleh paling tidak 80 negara antara lain negara-negara besar kalau kita lihat seperti Rusia dan China. Jadi bahwa penghapusan bless family law dalam rangka kebebasan beragama itu hanya merupakan bagian dari fenomena di beberapa negara, tetapi bukan sesuatu yang sifatnya internasional karena disebagian besar yang lain setidaknya yang tercermin dari 80 negara yang mendukung resolusi ini, maka keinginan untuk mengatur tentang definition of religion itu masih ada. Demikian Yang Mulia.
49.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Dewan Dakwah, silakan.
50.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : DEWAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA Terima kasih kepada Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi,
assalamualaikum wr.wb.
Saya cuma sedikit sekali yang perlu saya sampaikan kepada Komnas HAM. Tadi mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 menurut Anda mengandung masalah. Apakah seluruh pasal itu mengandung masalah? Ini cuma perlu saya tegaskan dan perlu detail tapi jangan pecah kemana-mana cara menjelaskannya supaya gampang, jelas dan bisa ditangkap. Saya kira itu saja Majelis, terima kasih.
51.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, Pemohon.
52.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H. Ya, terima kasih. Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Parisada Hindu, Pihak Terkait yang mengingatkan kita bahwa problem PNPS ini tidak hanya soal kebebasan beragama tapi bisa disebutkan juga anti diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas. Dan juga kami mengingatkan apa yang dikatakan oleh ahli, Prof. Magnis Suseno di sidang yang lalu. Dengan menggunakan kata “menyimpang” dan
27
“berbeda.” Kata menyimpang, membawa makna sendiri dia, ada stigma yang kira-kira the other side. Ada bagian yang lain yang rasanya adalah negatif, ada makna yang terpendam di sana kalau misalnya dikatakan menyimpang terus ada mayoritas, terus dikatakan oh ini bukan kelompok saya, oh ini bisa dihukum dan sebagainya itu masuk anti diskriminasi sebenarnya. Di situ masuk perlakuan diskriminasi, Pasal 1 oleh Prof. Magnes diingatkan tidak hanya konteks kebebasan (...) 53.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK) Izin yang Mulia, ini mau bertanya atau mau apa, tolong diingatkan Yang Mulia.
54.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H. Saya mau menguji statement dari Pihak Terkait, Komnas HAM. Apakah PNPS ini tidak terkait dengan konstitusi atau tidak? Diskriminasi problem konstitusional, tolong dihormati.
55.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Jadi pertanyaannya diskriminatif. Jadi benar diskriminatif apa tidak PNPS itu atau bagian-bagiannya itu begitu.
56.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H. Ya tapi saya ingin mengingatkan bahwa di sidang yang kemarin Prof. Magnes mengingatkan kata-kata “penyimpangan” membawa dimensi diskriminasi di situ.
57.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Oke, kalau itu menimbulkan pertanyaan bisa ditanyakan itu yang Prof. Magnes. Tapi kalau hanya kesimpulan Saudara ditulis saja nanti di dalam kesimpulan di akhir persidangan.
58.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H. Bukan (...)
59.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya.
28
60.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H. Yang ingin saya katakan kepada Pak Ifdal Kasim, dengan statement bahwa oh ini, apakah ini ranah konstitusional atau tidak Undang-Undang PNPS ini Ya, nyambung dengan Pihak Terkait yang lain, soal diskriminasi ini soal konstitusional. Apakah tidak dilihat ini, sehingga pertanyaannya apakah soal problem diskriminasi dalam konteks PNPS bukan problem konstitusional? Sehingga tidak hanya dilihat dalam konteks kebebasan beragama saja, itu. Apalagi Prof Rahmat juga mengatakan refer Pasal 1 bahwa pokok-pokok agama adalah hasil kesepakatan. Bagaimana kalau misalkan ada orang tidak bersepakat dengan pokok-pokok agama yang disepakati itu? Itu kan juga problem diskriminasi dan problem perlindungan bagaimana perlindungan minoritas terhadap kebebasan berpikir? Apalagi tadi Saudara Ifdal Kasim mengatakan forum internum juga merupakan bagian dari kebebasan berpikir dan meyakini.
61.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H. (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) Mohon maaf Ketua, ini bukan pidato. Jadi fokuskan sajalah kepada pertanyaan.
62.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, ya.
63.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H. Ya, pertanyaan saya memahami apakah Saudara Ifdal Kasim juga tidak melihat adanya semangat diskriminasi di sini? Dan apakah itu konstitusional?
64.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, ya. Pokoknya itu diskriminatif atau tidak, Itu kan disinggung dari tadi. Oke, sebelum di jawab, ini Majelis Hakim ada juga pertanyaan dimulai dari Hakim Akil.
65.
HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. AKIL MOCHTAR, .S.H., M.H Saya ingin mencari satu pemahaman tentang apa yang sudah diungkapkan oleh Komnas HAM tadi. Tentang forum internum itu adalah satu forum yang absolut, yang tidak bisa di.., apa namanya? diintervensi oleh siapapun termasuk
29
negara. Dalam konteks itu tadi ada satu penggalan kalimat yang menyatakan bahwa Pasal 1 PNPS ini tidak sejalan dengan tanggung jawab negara, kan kira-kira seperti itu. Karena melanggar forum internum. Lalu munculah perdebatan ini tadi dengan menkonstantir, apa yang disebut dengan di muka umum itu? Sehingga ada dua pikiran yang berbeda bahwa dengan mengambil pengertian di muka umum yang kemudian di dalam penjelasan pasalnya dirujuk pengertian di muka umum di dalam KUHP, maka tentu itu tidak termasuk dalam forum internum, Kalau pengertiannya ke sana. Tapi Saudara tadi mengatakan tidak sejalan dengan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, karena kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Forum internum tadi Saudara juga menyatakan itu adalah suatu forum di mana kebebasan orang untuk meyakini, sedangkan forum eksternum itu adalah suatu forum di mana mengekspresikan, kan gitu? Itulah yang saya tangkap dari perbedaan dua forum itu. Internum itu adalah kebebasan untuk meyakini sedangkan forum eksternum itu adalah kebebasan berekspresi terhadap keyakinan yang diyakini itu. Nah dalam konteks itu, saya kira mungkin Komnas perlu memberi penjelasan yang lebih luas lagi, tanggung jawab negara dalam hal pemenuhan hak-hak warga negara, terutama dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Sehingga, Pasal 1 itu dianggap sebagai satu pasal yang bisa menegasikan prinsip-prinsip yang menjadi kewajiban negara itu secara konkret. Sehingga apakah yang dimaksud di dalam Pasal 1 itu sebagai suatu forum eksternum, forum yang dapat mengurangi kebebasan forum internum itu kepada penafsiran tentang suatu agama. Karena, dia banyak juga di situ. Apakah itu suatu agama yang dianut di Indonesia tentunya? Apakah suatu kegiatan yang menyimpang atau suatu hal tindakan yang menyampaikan pokok-pokok ajaran agama yang diyakini itu? Sehingga dengan demikian, dengan satu penjelasan yang konkret, dapat satu, dapat diambil satu kesimpulan bahwa Pasal 1 itu tadi, itu yang sebagaimana yang dikatakan sudah tidak sejalan lagi dengan tanggung jawab pemerintah karena melanggar forum internum. Forum internumnya sendiri penjelasannya juga sini. Oleh karenanya, saya kira itu bisa memberikan hal-hal yang mengaburkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam PNPS ini khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, itu karena dapat ditafsirkan adanya campur tangan negara terhadap kebebasan untuk meyakini sebagai suatu forum, sebagai suatu hal yang di pahami sebagai forum internum itu, kan dia Pasal 1 ayat (2) dan (3) itu kan, berhubungan itu. Kenapa kalau pada ahli yang lalu mengatakan negara tidak bisa mengubah tafsir, tapi ada yang memberi akomodir bahwa menyimpang itu dalam pengertian sebagai suatu kebebasaan meyakini, boleh, ini kan ahli nih. Kita hanya ingin kejelasaan saja supaya kita dapat menarik suatu pemahaman yang
30
berbeda-beda dari masing-masing ahli ini untuk menarik keyakinan kita itu. Saya kira itu itu, terima Kasih. 66.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Silakan Hakim Arsyad Sanusi.
67.
HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM.
Bismillah. Saudara Kuasa Pemohon, Pihak Terkait, Pemerintah dan DPR. Inti pokok permohonan Pemohon adalah bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 itu adalah inkonsistusional mulai Pasal1,2,3, dan 4. Di dalam Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini melahirkan norma baru, melahirkan delik baru, itulah 156A. Sehingga di sini undangundang ini tidak mempersoalkan, tidak menyatakan bahwa kebebasaan beragama itu inkonsistusional, tidak! Justru Undang-Undang PNPS ini itu menghidupkan, menjunjung tinggi kebebasaan beragama. Tetapi yang dilarang, yang dimohonkan oleh Pemohon ini, penistaan blestfermi, deformation (penghinaan), penodaan, penghujatan agama. Undangundang ini tetap melindungi di luar 6 agama ini, tetap menjunjung tinggi bahkan menjamin. Bapak bisa teliti Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Mari kita lihat, sekarang ini memang beberapa pertanyaan-pertanyaan Pihak Terkait maupun Pemohon sendiri, bahkan Pemerintah bahwa Komnas HAM ini seolah ambigu, tidak jelas apakah Undang-Undang PNPS sebagaimana pertanyaan Pak Ketua tadi constitusional or not? Atau inkonstitusional. Nah, ini karena di satu pihak Saudara katakan negara boleh intervensi terhadap penghinaan agama. Nah, kalau kebebasaan beragama mengapa timbul undangundang ini? mari kita lihat sejarahnya dalam penjelasan, jelas-jelas di sebutkan bahwa ada timbul aliran-aliran kepercayaan kebatinan yang notabenenya merusak negara, merusak masyarakat, nah itu. Karenanya Komnas HAM, apakah permohonan Pemohon ini betul-betul Pasal 156A itu misalnya itu, Pemerintah mengkriminalisasikan agama? Nah itu, kita ada pemahaman daripada memperdebat kebebasaan beragama dan lain sebagainya, nah itu. Untuk itu saya sangat setuju dengan pandangan Pak Ketua tadi menyatakan, ini Pemohon ini mana sebenarnya letak injury-nya? Kerugian konstitusionalmu itu di mana? Kalau terjadi satu penodaan agama, 6 agama ini juga sudah mengakui bahwa itu menista, apalagi tadi Bapak dari dakwah islamiyah itu mengatakan, gurunya perempuan masuk telanjang. Ini kalau telanjang luar biasa ini ya? Menimbulkan ini, siapapun juga, barang kali bisa-bisa juga malaikat lari-lari ini kalau telanjang itu.
31
Nah, penodaan agama semacam ini, itulah yang di persoalkan oleh Pemohon, ya itu. Apakah itu inkonstitusional atau tidak? Barangkali itu sedikit saja tambahan Pak Ketua. Namun, saya tertarik dengan pandangan Komnas HAM sebagaimana diulas oleh rekan kami Hakim Akil. Forum internum itu berbicara jiwa, roh, semangat, perasaan. Nah, kalau perasaan permusuhan itu satu agama, apakah itu masuk di forum internum atau tidak? Saudara katakan itu masuk ke dalam ranah kebatinan ? Nah, itu yang ingin saya pertanyakan (suara tidak terdengar jelas) Komnas HAM, menggarisbawahi penjelasan pertanyaan daripada Pak Akil. Terima kasih, Pak Ketua. 68.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik. Silakan, Hakim Achmad Sodiki.
69.
HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. H. ACHMAD SODIKI, .S.H. Terima kasih. Saya tertarik pada masalah forum internum, yang menurut Komnas HAM tidak bisa diintervensi. Tangkapan saya begitu, ya. Menyambung pertanyaan pada sidang yang lalu, di Amerika mengajarkan agama di sekolah negeri, itu inkonstitusional. Itu artinya anak-anak tidak boleh dipengaruhi untuk percaya pada agama. Statement saya ini tadinya mengambil dari informasi Prof. Oemar Seno Adji, ya. Jadi anak-anak tidak boleh dipengaruhi untuk percaya atau tidak percaya pada agama. Di Indonesia karena dasar negara kita juga Pancasila, mengajarkan agama di sekolah negeri itu wajib. Sekarang kalau forum internum, perspektif Barat memang tidak boleh memperngaruhi seseorang untuk percaya pada agama, di Indonesia negara intervensi, pada forum internum untuk percaya pada agama apakah dengan demikian forum internum itu imun terhadap pengaruh agama? Sangat bertentangan. Jadi saya mohon perspektif keIndonesiaan, bukan perspektif sekuler yang tidak boleh orang di dalam sekolah negeri dipengaruhi. Kalau kemudian kita sudah mempunyai dasar Pancasila dan kemudian mengakui agama dan mengajarkan, itu berarti anak-anak dipengaruhi, diajarkan supaya percaya pada agama dan agama adalah kepercayaan. Dan oleh sebab itu forum internum saya kira, menurut pendapat saya tidak imun terhadap intervensi negara. Saya mohon tanggapannya. Terima kasih.
70.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Hakim Muhammad Alim.
32
71.
HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM,S.H., M.HUM. Terima kasih, Pak Ketua. Pertanyaan saya juga kepada Ketua Komnas HAM. Menyambung sedikit yang dikemukakan oleh Bapak Wakil Ketua Prof. Ahmad Sodiki, di alenia keempat Pembukaan UUD 1945 itu kan kita sudah tahu ada Pancasila di situ sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara teoritis, pembukaan itu tidak bisa diubah karena dia merupakan staat fundamental norm, tetapi secara normatif juga pembuat UUD yang sekarang tidak mau mengubah pembukaan undangundang itu. Hal itu bisa dibaca di Pasal 37 ayat (1), (2), (3) dan (4) saya baca, “Usul perubahan pasal-pasal”, jadi hanya pasal-pasal, ayat (2), “Setiap usul perubahan pasal-pasal”, hanya batang tubuh atau pasalpasal, ayat (3), “Untuk mengubah pasal-pasal”, dan ayat (4), “Putusan untuk mengubah pasal-pasal”. Jadi dari 4 ayat di Pasal 7 jelas secara normatif pembuat Undang-Undang Dasar tidak menghendaki perubahan UUD 1945. Berarti tidak menghendaki juga mengubah Pancasila dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa di alenia keempat. Kemudian di Pasal 29 ayat (1), “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tadi dikemukakan oleh Bapak Wakil Ketua, bahwa di Barat itu ada buku yang kami diberi, dikirimi, selain bahasa Inggrisnya ada juga terjemahannya, karena saya tidak tahu bahasa Inggris saya baca terjemahannya. Itu dia kebebasan beragama itu juga kebebasan untuk tidak beragama. Di sini kelihatan bahwa ada 2, apakah kita menganut asas Teosentrik, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan atau Antroposentrik, dimana segala sesuatu ukurannya tergantung kepada manusia. Tanpa menggurui, pada Tahun 1800 di Eropa lahir suatu istilah, man is the measure of all things, manusia adalah ukuran segala-galanya, jadi yang baik menurut manusia itulah yang baik, pokoknya biar Tuhan mengatakan ini baik, kalau manusia itu tidak baik, itu man is the measure of all things katanya dia. Nah, sekarang Komnas HAM menganut apakah kebebasan beragama itu juga sekaligus sebagai kebebasan untuk tidak beragama? Sebagaimana yang dikatakan Prof. Sodiki tadi di Amerika Serikat, sekolah-sekolah negeri tidak boleh mengajarkan agama. Kedua, apakah kita menganut asas Teosentrik, segala sesuatu berpusat kepada Illahi atau berpusat pada manusia? Terima kasih, Pak Ketua.
72.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, semua pertanyaan ke Komnas HAM tetapi ada 2 masalah pokok, di samping tentu masalah-masalah lain. Pertama, bahwa kita itu menguji PNPS ini berdasar konstitusi kita, konstitusi kita itu sebenarnya bagaimana mengaturnya, sebab kalau negara itu jadi berbeda-beda, Inggris beda, Amerika beda, lalu di tempat lain beda lagi, sehingga saya
33
pernah mengatakan itu ketika membahas Undang-Undang Mahkamah Agung dulu, ini orang Mahkamah Agung ini enak aja, kalau urusan gaji dia memberi contoh Singapura, tapi kalau urusan jam kerja memberi contoh Pakistan, lalu mau ambil yang enak-enak saja [hadirin tertawa]. Nah, sekarang yang Indonesia saja Bapak, karena Konstitusi itu adalah resultan kita sendiri sebagai bangsa. Nah ini, Komnas HAM, ini penting. Yang kedua, tadi Pak Arsyad, bagaimana kalau penodaan seperti orang membentuk agama lalu ngajak orang-orang telanjang, apa ndak bikin orang marah? Apalagi Pak Arsyad tidak diundang ke situ, sehingga dia marah tadi [hadirin tertawa]. Silakan, Pak. 73.
PIHAK TERKAIT: IFDHAL KASIM (KETUA KOMNAS HAM) Terima kasih, Ketua dan Majelis Hakim yang saya hormati. Kembali saya ingin merespon beberapa pertanyaan. Pertama, saya memang bisa memahami kebingungan atau menyatakan Komnas HAM itu ambigu atau tidak jelas dalam konteks menerangkan tentang kebebasan beragama ini. Karena memang rumusan pasal berkenaan dengan kebebasan beragama ini, memang mengandung dua sisi yang saling kontradiktif di dalamnya. Nah, bahwa kemudian itu membuat Kuasa dari PBNU melihat ketidakjelasan, yaitu lahir dari produk, lahir dari rumusan yang ada di dalam hak atas kebebasan beragama ini, baik yang tertulis di dalam undang-undang kita maupun yang ditulis dalam konvensi-konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Nah, dimana kebingungan atau ketidakjelasan itu karena lahir di satu sisi…, di satu sisi hak atas kebebasan beragama ini memberikan jaminan atas kebebasan, tetapi di sisi lain dia memberikan pembatasan. Nah, karena itulah timbul pernyataan ketidakjelasan seperti itu. Justru di sinilah kita harus hati-hati. Sebab kebebasan beragama itu di satu sisi memang ada wilayah yang kita sebut tadi, yang juga diperjelas, yang hendak ditanyakan juga oleh Hakim Akil Mochtar, yaitu forum internum itu, atau kebebasan internal itu. Tetapi di sisi lain juga ada kebebasan yang bersifat eksternal, yang itu bisa diatur menjadi objek pengaturan, yang ini yang bisa dilarang, kebebasan-kebebasan yang berada dalam lingkup, apa namanya…, lingkup eksternal ini. Jadi memang ada kontradiksi kalau kita lihat. Di satu sisi kebebasan beragama ini diletakkan statusnya dalam hak yang bersifat non-derogable rights, hak yang tidak boleh dikurangi, dicabut, dalam situasi apapun, apakah negara diumumkan dalam keadaan perang, diumumkan dalam keadaan darurat sipil, darurat militer, hak ini tetap melekat kewajiban negara untuk melindunginya. Tetapi di sisi lain, dia memberikan hak kepada negara untuk melakukan intervensi pada beberapa aspek itu, yaitu berkaitan dengan atas keperluan dalam menjaga ketertiban umum, untuk menjaga kesehatan dan moralitas
34
masyarakat, dan untuk menjaga hak dan kebebasan orang lain, dan keselamatan umum. Secara seporadis saja saya jawab, apa yang ditanyakan Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi Pak Arsyad, dalam kaitan dengan apakah bisa doktrin atau agama yang dalam doktrinnya atau dalam ajarannya atau dalam ritualnya itu boleh misalnya menyuruh umatnya meminum racun, bertelanjang, dan sebagainya? Dalam konteks ini, itu sudah.., itu bisa dilarang oleh negara karena itu sudah memasuki wilayah kebebasan eksternal. Nah karena itu intervensi negara untuk melarang ajaran agama yang menyuruh dalam ritualnya itu melakukan, apa namanya…, seks bebas, atau melakukan minum racun bersama-sama dan sebagainya, itu di situ sudah menyangkut ada hak dan kebebasan orang lain, menyangkut tentang moralitas publik, pada saat itu negara boleh melarang ritual-ritual agama seperti itu. Tetapi di dalam kaitannya dengan forum externum itu, itu yang tidak bisa di intervensi oleh negara. Tetapi ketika dia dimanifestasikan, ya, dalam bentuk pengajaran atau dalam bentuk menyebarkannya ke orang lain, nah di situ baru bisa pengaturannya, baru bisa ada larangan kalau memang itu…, kalau dia beresiko pada mengganggu hak dan kebebasan orang lain, itu negara boleh melarangnya ekspresi itu tadi. Tapi selagi dia masih dalam wilayah alam pikiran atau masih dalam diyakini secara individual oleh orang tersebut atau oleh penganut agama tersebut itu tidak bisa diintervensi. Nah, kemudian terkait dengan…, juga yang ditanyakan oleh Kuasa Hukum dari PBNU terkait dengan semangat internas..., apa…, kenyataan di Irlandia dan juga dari resolusi terakhir Majelis Umum PBB meng-adopt defamation of religion itu betul sekali dan karena itulah saya menyatakan Pasal 4 itu masih bisa kita gunakan tetapi dengan revisi, ya. Karena itu saya tidak mengatakan Pasal 4 itu bertentangan dengan konstitusi sebab Pasal 4 itu menyangkut defamation of religion. Nah, resolusi PBB terkait dengan ini sudah menyerukan kepada setiap negara untuk melakukan combating defamation of religion dan di dalam resolusi ini disebutkan agar setiap negara melakukan langkah-langkah untuk menerapkan dalam hukum nasionalnya untuk melawan setiap bentuk defamation of religion ini. Nah, karena itu menurut saya yang…, kembali lagi mana yang inkonstitusional dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1966 ini? Enam sorry…, 65 ini, adalah lebih pada Pasal 1 dan ikutannya itu karena Pasal 1 dan ikutannya itu.., karena Pasal 2 dan Pasal 3 tergantung pada Pasal 1 terkait dengan tanggungjawab Negara dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Nah, kita tahu tanggung jawab negara dalam perlindungan hak asasi manusia ini ditegaskan di dalam Pasal 28I, disebutkan “Perlindungan kemajuan penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.” Nah, pasal ini kalau PNPS ini di…, khususnya Pasal 1, 2, dan 3 nya tidak sejalan dengan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya dalam hal memeluk agama. Selain itu juga
35
Pasal 1 ini juga memiliki dimensi adanya diskriminasi terhadap minoritas. Saya sudah mengajukan argumentasi dari adanya diskriminasi tersebut kalau kita membaca pada penjelasannya dan sebagainya. Nah, kemudian pertanyaan dari Pak Hakim Akil Mochtar berkenaan dengan bagaimana kita memahami forum internum ini sehingga bisa dilahirkan suatu prinsip-prinsip yang menegaskan tanggung jawab negara untuk menjamin adanya forum internum ini dan meminta satu penjelasan yang konkrit yang terkait dengan forum internum ini. Saya kembali menegaskan, dan tadi juga sudah disampaikan oleh Hakim Akil Mochtar bahwa forum internum ini adalah suatu yang bersifat absolut, karena itu bentuk intervensi negara terhadap forum ini tidak bisa dilakukan, kalau itu dilakukan maka akan bertentangan dengan Pasal 28I yang saya sebut tadi, berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam perlindungan hak asasi manusia. Kenapa? Karena forum internum ini masih dalam alam kesadaran orang yang sangat sulit dimasuki oleh setiap orang. Dia baru bisa dilarang apabila ekspresinya dalam bentuk menanamkan atau menyebarkan kebencian atau melakukan penghinaan atau membuat orang tidak mempercayai, itu bisa.., ekspresi-ekspresi itu yang kemudian bisa diintervensi oleh negara dalam bentuk memberikan aturan ke dalam hukum pidana negara yang bersangkutan. Nah, karena itu menurut saya Pasal 4 itu yang ada dalam PNPS ini kita perlukan, cuma saya melihat rumusannya masih sangat lemah karena itu perlu di…, tapi ini di luar tanggung jawab dari Mahkamah Konstitusi. Kemudian selanjutnya saya ingin menjawab kepada Pak Muhammad Alim, ya. Kebebasan beragama apa yang dipahami oleh Komnas HAM? Dan apakah tercakup juga di dalamnya kebebasan tidak beragama? Saya kira Komnas HAM tidak bisa membuat opini terhadap ini, Komnas HAM mendasari pekerjaannya berbasis pada undang-undang yang diproduksi oleh negara ini. Pegangan utamanya adalah konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, pasal-pasal berkenaan dengan hak asasi manusia, kemudian Undang-Undang 39 dan undang-undang yang lain yang meratifikasi konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Itu yang menjadi rujukan Komnas HAM dalam menilai atau menegaskan eksistensi dari hak asasi manusia dalam konteks perlindungannya, dalam konteks kemajuannya dan dalam konteks pemenuhannya. Karena itu opini yang bersifat penilaian, kami tidak bisa sampaikan. Kemudian terkait dengan forum internum itu bukan berarti tidak melarang pewarisan atau pengajaran agama di sekolah, tidak seperti itu. Forum internum itu ada di wilayah personal setiap orang dan dia tidak berbicara berkenaan dengan larangan untuk sekolah ada pelajaran agama dan sebagainya karena itu aspek yang lain saya kira, kalau misalnya di Amerika dicontohkan tadi oleh Pak Arsyad ada larangan pengajaran agama di sekolah itu tidak terkait dengan forum internum saya kira, mungkin itu aspek yang lain ya, kenapa beberapa negara melarang pelajaran agama diajarkan di sekolah. Dan saya kira kalau ada
36
itu saya kira negara tersebut melanggar konvensi-konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Karena ada kebebasan eksternal dari agama itu adalah juga menjamin setiap pemeluk agama itu mewariskan ajaran agamanya, mengajarkan, mendakwahkan termasuk mengajarkannya di sekolah-sekolah. Nah, kalau ada negara yang melarang hal itu saya kira dia tidak sejalan dengan amanat atau instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Saya kira demikian yang bisa saya rangkum dari seluruh pertanyaan yang sampai kepada saya. Terima kasih. Wabilahitaufik walhidayah, wassalamualaikum wr.
wb.
74.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, terima kasih Saudara Ifdhal Kasim. Cukup ya untuk Komnas HAM? Ya, kalau masih ada nanti saja (…)
75.
PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN (KOORDINATOR MUI) Saya interupsi.
76.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya?
77.
PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN (KOORDINATOR MUI) Dari tadi Komnas HAM ini apa tidak menguasai atau sengaja menggelapkan pasal dari konstitusi kita? Yaitu dari awal menyebutkan tentang hak-hak non derogable right yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, dengan menunjuk Pasal 28I, tetapi kok tidak pernah menyebutkan Pasal 28J, pasal yang membatasi (suara tidak terdengar jelas) tapi hanya menyebutkan dengan frase-frase yang dikemukakan sendiri.
78.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, baik Bapak.
79.
PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN (KOORDINATOR MUI) Masih (...)
37
80.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Jadi nanti disimpulkan saja itu. Disimpulkan di dalam,.. pada akhir persidangan, semua kita buat kesimpulan, Hakim juga akan buat kesimpulan, lalu akan buat putusan nantinya berdasarkan kesimpulankesimpulan dari jalannya sidang ini. Baik, sidang ditutup dan akan dibuka kembali tepat pada Pukul 14.00 WIB. KETUK PALU 3X SIDANG DISKORS PUKUL 12.05 WIB
SKORS DICABUT PUKUL 14.05 WIB 81.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Sidang pleno untuk Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dengan mencabut skors, dinyatakan dibuka kembali dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Berikutnya, kita akan mendengar keterangan ahli. Dimohon untuk maju mengambil sumpah. Pertama Bapak Luthfi Assyaukanie, silakan maju. Kemudian yang kedua Bapak Mudzakir, yang ketiga Bapak Buya Bagindo Letter, yang keempat Bapak Atho Mudzhar. Semuanya beragama Islam, silakan Bapak Alim.
82.
HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM,S.H., M.HUM. Dengarkan dan ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrahmanirohim, demi Allah saya bersumpah, sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
83.
AHLI:
Bismillahirrahmanirahim, demi Allah saya bersumpah, sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
38
84.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Duduk kembali. Kami undang Pak Assyaukanie, silakan. Silakan Pemohon ini disuruh menerangkan apa atau langsung saja atau bagaimana, silakan.
85.
KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Langsung dibacakan saja oleh (...)
86.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Silakan, Pak Assyaukanie.
87.
AHLI DARI PEMOHON: LUTHFI ASSYAUKANIE, PH.D.
Assalammualaikum wr. wb. Selamat sore, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Pertama-tama izinkan saya menjelaskan posisi saya dan mengapa saya bersedia menjadi salah seorang ahli di dalam persidangan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini. Saya seorang dosen yang menekuni kajian filsafat dan pemikiran keagamaan. Seluruh karir akademi saya fokuskan untuk mengkaji dan mengajar tentang studi agama-agama khusunya Islam. Ketika diminta menjadi salah satu ahli dalam persidangan ini, saya menyanggupinya karena seperti pandangan banyak orang saya meyakini bahwa undang-undang ini bermasalah. Ada beberapa persoalan yang dimunculkan dari undang-undang ini yang berdampak bagi kehidupan sosial dan politik di negara kita. Kita semua tahu bahwa setiap aturan pada dasarnya dibuat untuk kebaikan bersama, namun jika peraturan itu melukai rasa keadilan, bersifat diskriminatif, dan berpotensi memicu ketegangan di dalam masyarakat maka sudah selayaknya aturan semacam itu ditinjau ulang. Memelihara sebuah undang-undang yang diskriminatif dan berpotensi memicu ketegangan di tengah masyarakat hanya akan menyulitkan ikhtiar kita untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Saya memandang bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 melukai rasa keadilan sebagian orang. Menangkap dan memenjarakan seseorang karena alasan orang itu menganut agama tertentu dan meyakini keyakinan tertentu yang dianggap menyimpang adalah tindakan yang keji dan bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang jelas-jelas melindungi keyakinan setiap orang. Negara kita bukanlah negara teokratis atau negara agama yang sibuk menilai iman dan keyakinan seseorang. Iman dan keyakinan adalah urusan individu setiap orang di mana negara tidak dibenarkan 39
untuk ikut campur. Konstitusi kita jelas-jelas melindungi semua agama tanpa terkecuali, tidak ada pembatasan jumlah agama atau jumlah aliran dan sekte. Setiap agama dan sekte dilindungi untuk tumbuh dan berkembang, baik agama-agama pendatang, seperti Islam dan Kristen maupun agama–agama yang tumbuh dari dalam negeri sendiri seperti kebatinan, kejawen, dan lain-lain. Setiap upaya untuk membatasi jumlah agama atau untuk melarang suatu agama berkembang adalah suatu bentuk penodaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Bagi saya penodaan teerhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak kalah seriusnya dibanding penodaan agama. Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 menyebutkan enam agama utama dan empat agama lainnya yang tadi sudah disebutkan beberapa kali. Kesepuluh agama ini dianggap sebagai benchmark atau standar untuk mengukur apakah suatu agama bisa diterima untuk hidup di negeri ini atau tidak. Jika sebuah agama dinilai tidak sejalan dari kesepuluh agama yang disebutkan itu maka pemeluknya dapat ditangkap atau dipenjara. Aturan semacam ini jelasjelas diskriminatif dan menodai rasa keadilan kita. Majelis Hakim Yang Mulia. Saya berpendapat setiap agama berhak memiliki pandangan tertentu tentang agama lain. Saya tidak keberatan jika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap agama lain atau KWI misalnya menyatakan ada penyimpangan dalam sebuah denominasi kekristenan. Sudah menjadi karakter agama sejak lama bahwa mereka saling menganggap sesat satu sama lain. Kristen memandang Islam atau memandang agama Islam sesat, Islam memandang agama Yahudi sesat, orang-orang Syi’ah memandang orang-orang pengikut Sunni sesat dan orang-orang Sunni memandang Khawaritz sesat. Begitu yang terjadi sepanjang sejarah. Ketika agama Kristen muncul di Palestina pada paruh pertama abad pertama masehi, orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai aliran sesat. Ketika Islam muncul di Arabia pada abad ke VI Masehi, Gereja Timur atau biasa disebut Gereja Arab mengeluarkan dekrit bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad itu sebagai sekte sesat. Pola muncul dan berkembangnya agama hampir selalu sama. Setiap pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang terjadi pada Bilal bin Rhabah sang muadzin dan keluarga Amar bin Yasar. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku sebagai nabi dan mengakui sebagai jibril. Orang menganggapnya telah gila dan sebagian mendesak pemerintah untk menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan
40
kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya. Saya tidak terlalu peduli kalau ada satu lembaga agama mengeluarkan fatwa sesat tentang suatu agama atau suatu aliran tertentu, itu hak mereka untuk melakukannya. Yang menjadi persoalan buat saya adalah jika negara atau pemerintah ikut campur dan memihak dalam persoalan yang rumit ini. Atas dasar apa negara melindungi agama tertentu dan mengabaikan agama lainnya? Atas dasar apa negara memenjarakan pemeluk agama tertentu dan membebaskan pemeluk agama lain menjalankan keyakinannya? Atas dasar apa negara mengkriminalisasi sebuah agama atau sebuah aliran? Saya jadi teringat kata-kata filusuf Inggris Karl Popper yang mengatakan bahwa negara adalah suatu kejahatan yang tak terhindarkan. Kekuasaannya tidak boleh dilipatgandakan melebihi apa yang diperlukan. Terlalu banyak yang harus diurus oleh negara, lebih baik negara berkonsentrasi mengurusi kesejahteraan rakyat, memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, ketimbang ikut campur mengurusi iman dan keyakinan setiap orang. Negara akan menumpuk daftar kejahatannya jika dia memenjarakan seorang warga hanya karena keyakinannya. Majelis Hakim yang mulia. Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Tapi karena alasan sejarah negara kita terlanjur memiliki hubungan yang kompleks dalam persoalan ini. Bahwa negara mengakomodasi agama adalah bagian dari realitas politik yang kita miliki, tapi bila negara ikut campur menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang salah saya kira negara telah masuk ke dalam urusan yang bukan wilayahnya. Bahwa negara bertanggung jawab menjaga stabilitas dan kedamaian masyarakat, itu sudah menjadi kewajibannya dan kita tahu semua. Tapi jangan atas nama ketertiban dan menjaga stabilitas negara secara semena-mena memenjarakan orang. Saya menganggap bahwa memenjarakan seseorang karena alasan keyakinan berbeda sebagai sebuah tindakan semena-mena dan zhalim. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 melarang setiap orang menceritakan, menganjurkan dan menafsirkan sesuatu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Saya tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran para pembuat undangundang ini. Seluruh sejarah agama adalah sejarah penafsiran. Islam bermula dari sebuah ajaran yang sederhana, penafsiran-penafsiranlah yang membuatnya menjadi kaya dan kompleks seperti sekarang ini. Penafsiran-penafsiranlah yang mendorong munculnya ratusan sekte dan mazhab di dalam Islam. Sebagian dari sekte dan mazhab itu dianggap sesuai dengan mainstream, sebagian lagi dianggap menyimpang. Tapi penilaian cocok dan tidak cocok, menyimpang dan tidak menyimpang
41
sangat subjektif, tergantung siapa yang mengatakanya dalam posisi apa dia mengatakan. Jika yang mengatakannya adalah kelompok agama yang dekat dengan kekuasaan, maka sudah pasti sekte atau mazhab yang dianggap sesat akan bernasib sial. Mereka akan dikucilkan dan tidak jarang dimusuhi dan dikejar-kejar. Sejarah Islam memiliki contoh yang sangat kaya tentang masalah ini. Ketika kaum Mu’tazilah berkuasa pada abad IX Masehi, seluruh mazhab dan sekte yang tak sejalan dianggap sesat dan dimusuhi. Majelis Ulama Mu’tazilah, semacam Majelis Ulama Indonesia sekarang membangun suatu lembaga inkuisisi yang disebut Mihna, di mana orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan yang disahkan negara ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Para pengikut aliran sunny paling banyak yang menjadi korban di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mahzab hambali yang sangat dihormati, salah satu dari 4 mahzab yang kita miliki. Ibnu Hambali ditangkap tangan dan kakinya dirantai dan dipenjara karena meyakini sesuatu yang tidak diyakini Majelis Ulama Mutazilah. Begitu juga ketika kaum sunny berhasil mempengaruhi Khalifah Al Mutawakil yang berkuasa antara 847–861 untuk menjadikan ahli sunah sebagai mahzab resmi. semua sekte dan mahzab di luar sunny yang keyakinananya tak sejalan dengan pokok-pokok ajaran agama yang diakui negara ditangkapi, diinterogasi dan dimintai bertobat. Jika mereka taka mau bertobat penjara menanti mereka. Mutazilah artinya adalah kelompok pertama yang menjadi korban balas dendam kompetisi antar sekte ini. Dendam karena agama selalu berdampak sangat buruk, tidak hanya memusuhi dan menangkapi kaum mutazilah, kaum sunny di bawah Khalifah al Mutawakil juga memperluas permusuhannya kepada orang-orang non muslim selama pemerintahannya kaum Yahudi dan Kristen tak diperbolehkan mendirikan Sinagog dan Gereja. Mereka diharuskan mengenakan pakaian yang berbeda dari kaum muslimin umumnya persis seperti kebijakan Nazi pada era Hitler. Kaum Yahudi dan Kristen juga dilarang menggunakan hewan apapun untuk kendaraan mereka kecuali menggunakan keledai. Sayang sekali pada masa itu belum ada mekanisme judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tentu saja saat itu belum ada Mahkamah Konstitusi dan belum ada demokrasi yang seperti yang kita miliki sekarang. Siapa yang berkuasa dialah yang menentukan hitam putihnya suatu aliran. Sesat dan tidak sesat sangat bergantung kepada penguasa, menyimpang dan tidak menyimpang tergantung bagaimana pemerintah bisa dipengaruhi oleh ulama yang bernafsu menerapkan satu kebenaran yang mereka anut. Majelis Hakim Yang Mulia, kita hidup di zaman modern, di zaman dimana kebebasan dan demokrasi memungkinkan kita untuk mengadu jika kita merasakan suatu ketidakadilan dalam suatu aturan atau
42
undang-undang. Tujuan kita mendirikan lembaga semacam Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengoreksi kalau-kalau suatu produk hukum yang dibuat di masa silam tidak lagi sesuai dengan semangat zaman, tidak lagi cocok dengan rasa keadilan dimana kita hidup sekarang ini. Tampaknya kita harus menyimak lagi apa yang dikatakan J. J Rousseau dalam makalahnya yang terkenal The Social Contract menegaskan bahwa manusia harus diperlakukan sebagaimana dia, sementara hukum harus diperlakukan sebagaimana baiknya. Bukan manusia yang mengikuti hukum tapi hukumlah yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika manusia. Ketika tokoh-tokoh terhormat yang selama ini dikenal sebagai pejuang demokrasi dan hak asasi manusia seperti K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dawam Raharjo, Prof. Dr. Musdah Mulia dan sejumlah sarjana dan intelektual lainnya mengusulkan agar Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau ulang, saya kira niat mereka sangat baik bukan untuk kepentingan mereka sendiri tapi untuk kepentingan bangsa ini ke depan. Jika mereka melihat bahwa undang-undang ini tidak bermasalah untuk apa dipersoalkan, untuk apa mereka dan kita semua menghabiskan waktu dan energi berminggu-minggu untuk membahas sesuatu yang tidak bermasalah. Jelas ada masalah serius dengan undang-undang ini dan karena itu semua kita berada di sini mendiskusikannya dan mengujinya untuk kebaikan bangsa ini dan untuk kebaikan kita semua. Saya tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa absennya undang-undang semacam ini akan memunculkan kerisauan atau kekacauan. Sebaliknya saya berpandangan bahwa undang-undang inilah yang selama ini mendorong kekacauan dan ketegangan di tengah umat Islam. Kita bisa melihat misalnya banyak sekali kasus-kasus yang ditengarai sebagai kasus penodaan agama, kita lihatlah di sana, siapa yang membuat kerusuhan, siapa yang membuat onar dan siapa yang membuat kekacauan. Kekacauan dan onar selalu dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa absah melakukan tindakan brutal karena didukung oleh undang-undang ini. Saya juga tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa keberadaan undang-undang ini telah menciptakan kerukunan umat beragama di negara kita. Siapa bilang kita negara yang bebas dari persekusi agama, siapa bilang kita negeri yang toleran dan menghormati kebebasan beragama setiap orang? Simaklah laporan-laporan, indeks kebebasan beragama yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung di bidang ini seperti freedom house institute, dalam daftar mereka Indonesia selalu menempati urusan teratas dalam hal pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Selama kelompok mayoritas merasa memiliki landasan hukum untuk membubarkan atau menutup suatu sekte atau mazhab yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka, selama itu pula kita kesulitan memperbaiki indek kebebasan beragama yang kita miliki.
43
Kita disorot dunia dan diberi rapor merah setiap tahun. Kita hidup di zaman modern. Negara-negara yang maju tidak lagi mengurusi soal iman seseorang. Negara harus memberi kebebasan bagi setiap orang menyembah atau memeluk keyakinan apapun. Satu-satunya alasan bagi negara untuk menangkap dan mengadili penganut agama adalah jika sang penganut itu melakukan tindak kekerasan atau jelas-jelas membuat onar di tengah masyarakat. Jika seseorang menganut keyakinan tertentu menafsirkannya dan menyebarluaskannya sesuai dengan selera mereka, negara harus menghormati dan melindunginya. Tidak boleh ada penangkapan atas nama iman dan keyakinan seseorang. Majelis Hakim Yang Mulia, akhirnya saya mengajak kita semua untuk berendah hati dan berprasangka baik. Kita hadir di sini bukan untuk mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan tapi mencari solusi buat kehidupan yang lebih baik ke depan. Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid dan beberapa tokoh terhormat lainnya telah bersusah payah mengusulkan agar undangundang ini ditinjau ulang. Sekali lagi bukan untuk kepentingan mereka tapi untuk kepentingan kita semua, untuk kepentingan bangsa ini. Saya pribadi tidak terlalu perduli apa Keputusan Majelis Hakim nanti, saya hanya ingin mengutip sabda Nabi Muhammad “Allahuma inni qood balagh tu fassad”. Ya Allah saya sudah menyampaikannya, saksikanlah. Wassalamualaikum wr.wb. 88.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, apakah ada yang akan bertanya untuk minta penjelasan? Majelis Ulama, NU, dan Dewan Dakwah, silakan Majelis Ulama.
89.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK) Pemerintah Yang Mulia.
90.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pemerintah juga, oke.
91.
PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama tadi saya mencatat Saudara Ahli tadi menyebutkan tentang kesalahan Lia Aminudin sepadan atau sama dengan kesalahan Nabi Muhammad. Dari statement itu tadi saya meragukan, apakah ahli ini masih layak bersumpah dengan agama Islam ataukah tidak?
44
Mengapa saya pertanyakan hal itu? Penyamaan kedua kejadian tersebut, yang pertama menunjukkan satu simplifikasi yang parah, menyamakan tingkah laku Lia Aminudin yang sangat sumir itu tanpa ada suatu kitab, tanpa ada suatu penjelasan-penjelasan yang masuk akal atas tingkah lakunya, bukan hanya tidak masuk akal yang terjadi pada zaman rasullulah, kemudian menyamakan seperti apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad, yang menantang orang untuk melakukan debat terhadap kandungan Al-qur’an secara terbuka misalnya, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Lia Aminudin dipersamakan seperti itu menurut saya merupakan perbuatan yang sangat ceroboh, mengurangi kadar inteletualitas kita yang ada di sini, dan menodai perasaan keberagamaan kita. Kemudian yang kedua, saya sejujurnya tidak paham ahli ini kualifikasinya ahli apa? Apakah dia ini seorang ahli agama atau ahli hukum atau apa? Saya tidak jelas sejujurnya saya tidak bisa memahami. Kalau dia ahli agama, dia memasuki terlalu jauh penilaiannya terhadap unsur-unsur tentang pasal yang ada dalam PNPS, yang bukan merupakan wilayahnya. Kita ambil contoh misalnya seperti Prof. Magnes Suseno, walaupun saya berseberangan dengan dia tapi satu hal saya menghormati sikap dia tidak memasuki wilayah pasal-pasal PNPS. Karena dia mengakui dia bukan ahli hukum. Dalam konteks inilah mesti ahli membatasi diri, mengapa? Ketika dia memasuki wilayah itu tanpa suatu kualifikasi yang memadai maka jelas menabrak suatu rambu-rambu dalam cara menilai suatu undangundang secara kacau. Seperti contoh misalnya tadi ahli mengatakan bahwa keonaran yang terjadi, itu akibat adanya undang-undang ini. Sehingga dia tidak sependapat apabila undang-undang ini dicabut maka akan terjadi keonaran. Patut dipertanyakan kepada ahli terhadap statement-nya itu, bagian mana dari PNPS yang mendukung tindakan onar, tindakan brutal? Apakah ada relevansinya antara tindakan onar dan brutal dengan PNPS ini? Bukankah justru dengan PNPS ini memberikan suatu kesempatan pada negara untuk menegakkan hukum dan menyingkirkan orang-orang yang bermaksud menegakkan hukum sendiri atau eigenrechting? Apakah ahli sudah membaca betul-betul undang-undang ini dan tidak menafsirkan undang-undang itu secara to the force. Kemudian, kepentingan bangsa kedepan yang dikemukakan oleh ahli, kepentingan bangsa siapa yang dimaksud bangsa di sini? Kalau kita memperhatikan dari wakil-wakil organisasi keagamaan yang sudah tampil di sini, mayoritas mengatakan masih mementingkan atau memerlukan adanya PNPS ini termasuk dari Mattakin, termasuk dari Buddha bukan dari Islam saja yang masih menghendakinya. Jadi karena itu, kepentingan bangsa siapa yang dimaksudkan oleh Ahli? Apakah Ahli seorang Ahli Sosiologis? Sehingga memiliki kualifikasi menilai sampai sejauh itu. Kemudian yang terakhir pernyataannya menggelitik saya, bahwa dia tidak perduli apapun Keputusan MK. Ini
45
menggelitik saya begitu, kalau dia memiliki concern terhadap berbagai persoalan yang timbul dari PNPS ini mengapa tidak perduli? Apakah itu bukan suatu keangkuhan intelektual yang tidak pantas untuk disampaikan? Yang Mulia, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 92.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. PBNU.
93.
PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (PBNU) Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Ahli, Dr. Luthfi Assyaukanie yang saya hormati, kita ini tidak hidup dalam alam filsafat, tapi kita hidup dalam sebuah realitas sosial. Realitas sosial kita ini diwadahi oleh suatu kontrak sosial dan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia tertuang baik dalam dasar negara kita maupun dalam konstitusi kita. Setelah mendengarkan tadi pandangan–pandangan Anda, saya ingin bertanya, dimana Anda menempatkan kontrak sosial dalam konteks negara kita ini dalam persoalan ini? Kesan saya, Anda menyampaikan pandangan dengan melepaskan sama sekali kontrak sosial yang kita sepakati sebagai sebuah bangsa dan negara, itu yang pertama. Yang kedua, tadi Anda menjelaskan bahwa latar belakang Anda adalah seorang dosen yang mengkaji masalahmasalah filsafat dan studi perbandingan agama. Sejauh yang saya pahami misalnya, di bidang filsafat sendiri, di bidang filsafat Utilitarianisme misalnya yang disampaikan oleh Jeremy Bentham, itu sah-sah saja ketika sebuah tindakan dianggap mewakili kepentingan umum selama ia dapat menguntungkan sebagian besar masyarakat. Itulah yang kita kenal sebagai prinsip “the greatest happiness for the greatest number of people”. Jadi dari sisi dasar filosofinya, bagi saya undang-undang ini sepanjang memang mayoritas membutuhkan setidak-tidaknya ada dasar filsafatnya. Nah, karena itu saya ingin tahu cantolan filasafat apa yang Anda gunakan yang mendasari pemikiran-pemikiran Anda itu tadi? Yang ketiga, tadi telah sama-sama kita dengar dalam tataran internasional setidaknya PBB sendiri telah meloloskan selama 3 tahun berturut-turut ini resolusi tentang defamation of religion dan yang terakhir telah didukung oleh 80 negara. Dengan pandangan Anda itu, apakah Anda ingin mengatakan bahwa 80 wakil-wakil atau masyarakat dari 80 negara ini adalah orang-orang yang katakanlah tidak demokratis, tidak menghormati HAM dan lain sebagainya? Karena 80 negara ini membentuk mayoritas masyarakat dunia karena Rusia dan Cina juga menjadi dua diantara sekian negara yang menyetujui resolusi itu. Terima kasih.
46
94.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Dewan Dakwah Islamiyah.
95.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : AZAM KHAN, S.H.
Bismillahirrahmanirrahim. Terima kasih, Yang Mulia. Kepada saksi
Ahli Luthfi Assyaukanie, Anda memang latar belakangnya adalah dosen, tetapi ada beberapa hal yang menjadi catatan saya di sini Dewan Dakwah khususnya, kami juga bingung apa tadi yang sudah dijelaskan oleh Saudara Terkait MUI, Lutfi juga kebetulan, Saksi ini Ahli apa? Apakah tadi itu disebut Ahli Hukum, Ahli Sosiologi, atau Ahli Kunci? Kita tidak tahu ini. Dan ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan, yang pertama adalah Anda mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS itu ’65 menurut kajian Anda, pandangan Anda dianggap bermasalah dan Anda mengatakan bahwa mengandung diskriminatif, melukai perasaan setiap orang, itu di Pasal 1 menurut Anda. Berarti Pasal 2, 3, 4 Anda sepakati. Nah, ini kan kontra dengan Pemohon, yang awalnya juga mungkin mencabut Pasal tersebut, Undang-Undang tersebut, sorry. Ini saya perlu tegaskan kepada Saksi Ahli, masalah apa yang Anda katakan tadi soal Lia Aminudin, tolong Anda jangan memancing amarah umat Islam bahwa Lia Aminudin itu kasusnya sama dengan Rasulullah SAW. Ini penting sekali, saya mengingatkan, itu saja. Jadi kalau Anda samakan kasusnya Lia Aminudin atau Lia Eden itu sama dengan Rasulullah, Anda sudah melempar api dan ini bermasalah. Sekali lagi ini bermasalah. Tolong cabut itu biar tidak ada amarah lagi bagi umat Islam menyamakan seorang Rasulullah yang menerima wahyu langsung dari Allah dan Lia Aminuddin itu tidak memiliki apa-apa bahwa saya katakan Lia Aminudin itu orang gendeng, begitu. Terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
96.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pemerintah.
97.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Ya, barangkali catatan kami adalah mestinya seorang Ahli itu di dalam memberikan keahliannya adalah karena ini adalah uji konstitusional seharusnya seorang Ahli itu menggali lebih dalam apakah norma yang ada di dalam Undang-Undang 1 PNPS ’65 itu bertentangan dengan konstitusi, jadi jangan ujug-ujug bercerita ngalor-ngidul tahu-tahu mengatakan ini diskriminatif. Barangkali Ahli juga harus, mohon maaf, harus membaca lebih jauh apa sih pengertian
47
diskriminatif itu. Ada banyak referensi yang mengatakan diskriminasi itu apa, barangkali Putusan Mahkamah Konstitusi sudah ratusan yang memberikan uger-uger memberikan pagar bahwa diskriminasi itu apa. Kemudian tiba-tiba juga setelah cerita ngalor-ngidul lagi tiba-tiba mengatakan Ahli, ini melukai rasa keadilan, nah keadilan sendiri juga Mahkamah Konstitusi tolong kalau bisa Ahli itu membaca dengan cermat apa sih itu keadilan itu. Nah, ini yang barangkali Pemohon tidak berkoordinasi secara baik dengan Ahli, jadi Pemerintah beranggapan bahwa Ahli pada posisi yang hanya bercerita saja kalau menurut hemat kami, jadi tidak masuk kepada substansi apakah norma atau materi muatan di dalam Undang-Undang 1 PNPS ‘65 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak. Yang kedua, barangkali Ahli juga secara serampangan mengatakan bahwa undang-undang ini yang dibuat pada masa yang lalu itu anggapannya kalau misalnya sekarang sudah tidak cocok saja. Nah, kalau begini caranya, berarti produk-produk hukum masa lalu yang dibuat pada masa lalu, ya dianggap saja inkonstitusional secara keseluruhan. Kalau begini caranya maka KUHP sendiri juga mungkin secara keseluruhan bisa inkonstitusional kalau cara pandangnya bahwa memandang bahwa para pembuat undang-undang masa lampau itu dianggap bahwa serampangan. Jadi saya kira perlu diklarifikasi hal-hal demikian agar kami ini yang mewakili Pemerintah yang sudah hampir 296 perkara bahwa yang kita tangani baru kali ini melihat Ahli tiba-tiba cara berpikirnya melompat-lompat. Kami sudah hampir 300, Bapak, di sini menangani perkara konstitusi. Terima kasih, Yang Mulia. 98.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Hakim Achmad Sodiki.
99.
HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. ACHMAD SODIKI, S.H. Terima kasih. Bismillah. Saudara Ahli, yang agak…, artinya minta klarifikasi dari Saudara Ahli adalah sewaktu pernyataan yang saya simpulkan, mudah-mudahan tidak salah, bahwa negara itu tidak mempunyai wewenang di dalam campur tangan masalah agama, kepercayaan, yang dalam bahasa Saudara Ifdhal Kasim itu adalah forum internal, internal forum. Nah, ini saya kira bertolak dari filosofi yang memisahkan persoalan agama ini dengan negara. Bahkan di dunia Barat, agama adalah racun bagi masyarakat. Tetapi kalau kita melihat ke Indonesia, sudah sejak awal negara ini memang diberi wewenang untuk ikut campur. Karena apa? Karena kita sudah sepakat bahwa negara kita itu dasarnya Pancasila, dan Pancasila itu mengandung unsur Ketuhanan. Ketika kita ingin menebalkan iman kita di dalam mengisi Unsur Ketuhanan itu direfleksikan antara lain dalam bentuk mengajarkan agama di sekolah-sekolah.
48
Mengajarkan agama di sekolah berarti mempertebal keyakinan in casu dalam hal ini juga mencampuri urusan tentang kepercayaan agama
itu sendiri. Mengajarkan agama di sekolah berarti mengajarkan pokokpokok agama juga sesuai dengan sila itu sendiri yang itu legal, yang itu sah. Negara ikut campur mengurusi masalah keimanan seseorang. Nah, ini ada perbedaan ini, apalagi kalau kemudian yang diajarkan itu pokokpokoknya dan kemudian di dalam pasal (suara tidak terdengar jelas) ternyata menyimpang dari pokok-pokok itu, sudah barang tentu menurut logikanya negara juga boleh ikut campur di dalam hal-hal yang berkenaan dengan apa yang telah diberikan didalam fungsi pengajaran agama di sekolah itu dengan apa yang terjadi yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi di.., yang diajaran itu di dalam masyarakat. Apalagi ketika mengajarkan diluar itu menimbulkan keonaran. Jelas, ini suatu hal yang logis. Jadi kita sesungguhnya sudah memberikan wewenang kepada negara yang menjadi kesepakatan kita menjadi dasar negara kita Pancasila, yang membolehkan negara intervensi dalam hal-hal yang demikian itu. Nah ini filosofinya berlainan dengan apa yang sudah Anda kemukakan ini, saya minta tanggapan. Terima kasih. 100. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Hakim Hamdan Zoelva. 101. HAKIM KONSTITUSI: HAMDAN ZOELVA, S.H., M.H.
Ya, terima kasih Saudara Ahli. Karena Saudara Ahli memasuki, menilai suatu Undang-Undang/PNPS Nomor 1/1960. Saya ingin Saudara Ahli, PNPS Nomor 1/1965 memberikan suatu gambaran yang utuh tentang latar belakang lahirnya undang-undang ini agar penilaiannya pas. Jangan sampai kita dibingungkan oleh penilaian yang hanya sifatnya apologis tapi penilaian yang pas latar belakang lahirnya undang-undang ini kenapa? Karena tadi menilai suatu undangundang. Kemudian yang kedua, tadi penjelasan Saudara Ahli bahwa hanya sepuluh agama-agama yang sepuluh itu yang diakui di Indonesia. Saya ingin Saudara Ahli membaca penjelasan lebih utuh dari undang-undang itu, apakah makna, saya ingin tanya kepada Saudara, apakah makna Penjelasan Undang-undang Dasar, undang-undang ini yang menyatakan bahwa ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya, ini baru misalnya. Yahudi, secara Sustrian, Sinto, Taosim dilarang di Indonesia. Artinya di luar yang itupun, itu diakui. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2). Jadi, bagaimana sebenarnya pemahaman Saudara terhadap penjelasan undang-undang ini terkait dengan pernyataan Saudara Ahli bahwa tidak boleh ada agama lain di Indonesia selain sepuluh itu? Dan negara, yang Saudara katakan bertindak tidak terhadap penganut agama-agama yang bukan sepuluh
49
ini. Ini bagaimana Saudara bisa memberikan penyataan seperti ini sementara penjelasan undang-undang demikian. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, Undang-Undang Dasar sebagai puncak kontrak sosial rakyat Indonesia, tegas sekali adalah memberikan jaminan kebebasan beragama dan kebebasan setiap orang untuk bebas berkeyakinan, memiliki suatu keyakinan. Itu tidak ada perdebatan diantara kita. Namun dalam prinsip-prinsip hukum internasional, HAM internasional, juga ada pembatasan terhadap kebebasan agama. Antara lain yakni prinsip secara internasional adalah kebebasan karena alasan keamanan, ketertiban umum, alasan-alasan moral, alasan-alasan kesehatan, dan alasan-alasan untuk tidak menggangu hak dan kebebasan orang lain. Bahkan menurut kontrak sosial dari rakyat Indonesia, Undang-Undang Dasar Pasal 28J, ditambahkan lagi satu pembatasan yang bisa dilakukan karena nilai-nilai agama. Artinya apa? Kalau kita membaca Undang-Undang Dasar sebagai kontrak sosial, bahwa dalam hal-hal terjadi pelanggaran terhadap keamanan umum, ketertiban umum, nilai-nilai moral, hak asasi dan kebebasan orang lain, dan kesehatan. Negara boleh mengintervensi dan membatasi bahkan dalam aturan internasional bahwa negara bisa memenjarakan dalam kasus-kasus yang demikian. Nah saya ingin dari sisi pandang ahli, bagaimana dengan aturanaturan ini dan kontrak sosial dari rakyat Indonesia tentang UndangUndang Dasar ini terkait dengan pernyataan-pernyataan Saudara yang memberikan sepenuhnya kebebasan dalam beragama? Terima kasih. 102. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Hakim Akil Mochtar. 103. HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Terima kasih, Saudara Ahli. Kemerdekaan kita itu disusun atas dasar kedaulatan rakyat. Yang kemudian disusunlah kemerdekaan itu atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya kira itu dari teori apapun, kalau teori kontrak sosial maka kita mengatakan bahwa kedaulatan rakyat merupakan forum tertinggi dari proses kontrak sosial itu. Dalam konteks konstitusi Indonesia dalam rangka mencapai persatuan nasional itu, saya kira negara menjamin bahwa kita negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks itu direfleksikan dalam Pasal 29 UUD 1945 “Negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaanya masingmasing dan menjalankan agama dan keyakinannya itu. Kemudian di ayat (2)-nya itu adalah bentuk perlindungan dan kemudian juga direfleksikan lagi ke dalam kebebasaan warga negara yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) maupun dalam Pasal 28E ayat (2).
50
Nah, dalam konteks itu, saya ingin mengkrucutkan lagi karena kita sedang membicarakana PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini, tesis tadi yang Saudara katakan adalah: 1. Undang-Undang ini adalah diskriminatif 2. Undang-Undang ini memunculkan ketegangan sosial di tengah masyarakat, 3. Undang-Undang ini melukai rasa keadailan masyarakat. Saya kira, itulah inti tesis yang Saudara angkat sebagai ahli pada siang ini. Nah dalam konteks itu Saya menghubungkan 3 elemen yang dikatakan tadi. Sehingga di kesimpulan akhir kita ingin mengatakan bahwa undang-undang ini bertentangan dengan UUD 1945 yang tadi saya mulai statement saya dengan mengutip pembukaan UUD sebagai fundamental norm, sebagai asas yang paling mendasar bagi kontrak sosial di Indonesia ini. Oleh karena itu saya ingin melihat Pasal 1. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 ini, tentang PNPS ini maksud saya, yang dilarang itu adalah yang kita katakan itulah, bahwa Pasal 1 ini bisa memberikan penyalahgunaan penguasa atau negara dalam mereduksi hak-hak warga negara dalam menjalankan kebebasaan beragama dan berkeyakinannya itu. Karena memang kalau Pasal 4 itu adalah satu tindakan kriminal bagi mereka yang melanggar tetapi Pasal 1 sampai Pasal 3 ini banyak dianggap oleh sebagaian besar kalangan termasuk Pemohon adalah pasal dimana negara memberikan campur tangan terhadap proses beragama termasuk menjalankan keyakinanya itu. Pasal 1 itu menyatakan, yang dilarang itu adalah setiap orang yang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran. Kemudian Saudara Ahli menafsirkan kata penafsiran itu merujuk pada sejarah agama-agama sampai pada zaman rasul tentang suatu agama yang dianut di Indonesia. Jadi agama yang dianut di Indonesia, di dalam konstitusi saya kira tidak ada batasannya, kenapa? Karena negara menjamin, betul itu. Atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu, tidak disebutkan secara spesifik agama apa dalam pasal ini. Artinya agama yang ada di Indonesia, yang mempunyai equality itu tetap mendapat perlindungan atau penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajarannya, ajaran agama itu. Contohlah misalnya kalau Ahmadiyah itu dianggap sebagai agama atau sebuah keyakinan, kemudian nanti lahir lagi satu keyakinan yang mirip Muhammadiyah eh...Achmadiyah yang tafsirnya berbeda, apakah mungkin juga itu diberikan perlindungan oleh negara? Karena misalnya Ahmadiyah kalau dia agama dan persoalannya, persoalan yang menjadi soal itu adalah agama yang dianut itu menyerupai agamaagama yang sudah ada tetapi menyimpang dari ajaran-ajaran yang sudah ada.
51
Nah, itu persoalan. Dalam konteks itu apakah diberikan satu rumusan yang bersifat limitatif di dalam undang-undang ini hanya agama-agama tertentu yang mendapat privilege. Kalau penjelasan pasalnya jelas menyatakan menyebutkan agama-agama terbesar antara lain dan bukan berarti agama-agama lain diantaranya, artinya masih banyak agama-agama lain untuk mendapat perlindungan atau mendapat kebebasaan untuk melaksanakan. Tapi persoalannya adalah jangan kita tafsirkan mungkin juga saat ini, mungkin agama Islam, kemudian menyerupai, tapi bisa saja yang kecilpun ada yang menyerupai seperti itu. Nah, setiap agama-agama itu tentu punya ajaran-ajaran pokok, yang karena itulah melahirkan orang yakin untuk meyakini sesuatu yang dibawa itu. Kalau tidak, akan tentu kita tidak yakin. Nah, oleh karena itu menurut saya, dalam tesis yang diskriminatif itu, dalam tesis yang memicu ketegangan sosial di tengah masyarakat itu, dalam tesis yang melukai rasa keadilan masyarakat itu, saya kira ini harus dielaborasi lagi, supaya jelas bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS ini memang berdasarkan tesis Saudara tadi demikian adanya. Saya hanya ingin menafsirkan Pasal 1 ini berdasarkan pandangan saya, karena memang dari Pasal 1 ini masalahnya. Nah, kalau misalnya berdasarkan tafsir dan analisis itu bisa meyakinkan semua kita, tentu kan ini boleh saja berpendapat tho? Sana berpendapat lain, sana berpendapat lain, nanti kita akan melihat itu semua. Jadi tidak ada satu yang mendominasi kebenaran. Cuman kalau soal mencontoh-mencontoh itu, ya itu soal seni dan itu tanggung jawab pribadi untuk berhati-hati, kan begitu. Tetapi saya hanya mencatat tiga hal itu tadi. Terima kasih. 104. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Hakim Arsyad. 105. HAKIM KONSTITUSI: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM.
Bismillahirrahmanirrahim. Saudara, pertanyaan ini saya tujukan
kepada Saudara Ahli. Ini dalam dunia akademisi ini, dan juga bahkan berlaku di dunia peradilan, termasuk Mahkamah. Kita mengenal solphe omne preferentia. Saya menghargai pandangan Ahli, tapi tolong juga hargai pandangan sahabat, kawan, saudara-saudara kita semuanya. Kita tentu perjalanan, dan penciptaan Allah SWT, sampai kepada kita ini. Itu ada orang mengatakan mensenleven pogen regels (manusia hidup, dia mempunyai aturan). Kemudian ketertiban, keselamatan, manfaat, kegunaan, itu adalah nodig / penting/ perlu, dan de orde is nodig. Karenanya saya ingin tadi melihat cacatan saya, apa yang Saudara kemukakan seolah-olah Ahli ini berpendapat bahwa UndangUndang PNPS 1 Tahun ‘65 ini adalah inconstitutional itu pendek kata, singkat kata, pokok kata bahwa Undang-Undang ini inconstitutional, dan
52
Saudara menitikberatkan kepada undang-undang ini bahwa negara ini terlalu campur tangan memasuki wilayah-wilayah, relung-relung pribadi, iman dan keyakinan. Tapi di satu pihak, catatan saya, apa yang Saudara kemukakan secara parsial, bahwa “saya tidak peduli dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, apakah inconstitusional atau constitusional.” Tetapi saya heran juga, mengapa kalau Saudara tidak peduli, kenapa hadir di dalam memberi keterangan ini? Sehingga kita juga ini, “Wah, untuk apa kita duduk di atas sini?” “Untuk apa Pemerintah, DPR dan Para Ulama, duduk?” Itu satu. Nah, di satu pihak, Saudara, ini terpaksa saya bicara apa yang saya catat ini. Wah ini, perlu diluruskan ini. Di satu pihak lagi Saudara katakan undang-undang ini serius. This, the law is very seriously. Serius betul. Tetapi kontras dia bilang, “Saya tidak peduli itu, mau dikabulkan atau tidak, Pak Mahfud dengan kawan-kawan terserah.” Jadi ini barangkali apakah pandangan Saudara ini hanya parsial semata, nah untuk itulah saya katakan tadi, tetap saya hargai apapun pandangan Mahkamah memandang bahwa apapun pandangan Saudara, itu benar. Nah sekarang, lalu Saudara pertanyakan, yang penting di sini apa solusi ke depan? What is way out? Kalau ternyata Saudara katakan putusannya dikabulkan atau tidak dikabulkan, katakanlah ini dikabulkan, berarti terjadi rechts vacuum, terjadi kekosongan hukum di dalam mewadahi adanya penghinaan, penodaan agama. Lalu apa solusinya? Saudara kemukakan, nah itu. Jadi, saya tadi mau bilang Pak Ketua kita ini turun aja Pak Ketua, karena ini.., tidak peduli, nah itu. Diskriminasi, kriminalisasi, ini undang-undang ini. Undang-undang ini kalau saya cermati dan nanti itu diluruskan nanti Ahli Pak Marsuki, saya melihat Pasal 1 itu ada lima perbuatan ya, ada lima act, ada lima tindakan, lima perbuatan pidana di situ, di dalam Pasal 1, yang dikualifisir menodai agama. Dan ini undang-undang ini sangat edukatif, tidak langsung begitu anu…, dinasihati dulu. Setelah dinasihati, rapatlah pemertintah ini bahwa apakah itu sesat, apakah itu telanjang atau tidak ya, dan lain sebagainya. Saya suka bicara telanjang karena Pak Ketua tadi saya…, kau coba-coba masuk telanjang juga [hadirin tertawa]. Lha ini. Tolong dicermati perbuatannya adalah menceritakan ya, menganjurkan, Antasari menganjurkan ya, dukungan umum, melakukan penafsiran kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Nah, tatkala ini menghina, menodai agama ya, ini apakah perlu didiamkan begitu saja oleh masyarakat, oleh tetangga, oleh negara, dan lain sebagainya? Kemudian ini harus memenuhi tiga unsur, ada obsetelijk nya dengan sengaja, kemudian itu dilakukan di muka umum, menceritakan lima perbuatan tadi. Nah 156 juga dikatakan, “Sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan, sifat perbuatan, kemudian penyalahgunaan, penodaaan agama”. Nah untuk itu, barang kali kita ingin Mahkamah mendengar kepada Saudara kalau itu serius, mengapa undang-undang
53
ini serius? Kalau itu perlu ada solusi ke depan, apa solusi ke depan? Barangkali Ahli bisa memberikan solusi kepada kita. Terima kasih. 106. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Hakim Maria. 107. HAKIM KONSTITUSI: PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. Terima kasih, Pak Ketua. Saya agak mundur lagi, dari awal tadi sudah mulai mengerucut apa yang mau ditanyakan kepada Ahli, tetapi saya akan melihat di sini dari segi alat bukti. Di sini saya mendapatkan 3 alat bukti dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait, dimana yang akan kita uji ini kok berbeda ya, jadi di sini ada 3, dan kita melalui Pasal 1. Karena Pasal 1 itu kemudian nanti dihubungkan dengan Pasal 2, Pasal 3, dan selanjutnya. Dari 3 yang diajukan ini, tidak ada satupun yang resmi, dalam arti bukan copy dari yang resmi Undang-Undang 1 PNPS 1965 ini, dan juga bukan yang dalam lembaran negara. Jadi di sini yang ada hanya lembaran negara untuk Penetapan Peraturan Presiden dan peraturan menjadi undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tapi 2 alat bukti yang ada itu satunya tidak ada kop di atas, duaduanya, dan satunya bahkan ada tulisan “Departemen Agama” di sini. Tapi di sini agak berbeda. Yang 2 ini menyatakan, Pasal 1, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Dua alat bukti seperti ini. Tapi alat bukti yang di sini ada tulisan “Departemen Agama”, selain kata-kata itu ditambahkan “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Jadi kalau ada dua ini, dan ini duaduanya bukan yang resmi, saya rasa mohon Pemohon atau Pihak terkait memberikan alat bukti yang resmi, dalam arti yang ada kop kepresidenan di sini atau yang dalam lembaran negara, sehingga pengujian ini bisa berjalan dengan baik, karena justru Pasal 1 itu kemudian berhubungan dengan pasal-pasal selanjutnya. Yang satunya, itu ada kata-kata “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran agama itu,” yang satunya tidak ada. Jadi mohon ini dilengkapi nanti. Terima kasih. 108. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pak Alim, mau tanya juga? Silakan.
54
109. HAKIM KONSTITUSI: DR MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Terima kasih, Pak Ketua. Saya tujukan kepada Ahli, karena tadi Ahli mengatakan berkecimpung dalam dunia filsafat, terutama mengkaji soal-soal keagamaan. Kalau menurut yang saya tahu, lahirnya sekulerisme dari kata “sei kulum” yang artinya dunia kalau bahasa arab dan kalau bahasa Indonesia. Itu berasal dari ajaran dalam al-kitab yang menurut Prof. H.M. Rasyidi itu berasal dari suatu ketentuan dalam Al kitab bahwa apa yang untuk kaisar berikanlah kepada kaisar dan apa yang untuk Paus berikanlah kepada Paus. Itulah yang katanya menurut Residive menjadi penyebab awal terjadinya pemisahan kekuasaan antara urusan negara dengan urusan agama. Menjadilah sekuler dari kata “sei kulum artinya dunia. Di dalam kesejarahan, pernah suatu waktu gereja mengatakan ekstra eklisium nulum salus,{sic} di luar gereja tidak ada keselamatan. Dan ketika kaum ilmuan bertentangan dengan kaum gereja akhirnya dimenangkan oleh kaum ilmuan. Kaum ilmuan juga mengemukakan suatu semboyan ekstra scientum nulum salus, di luar keilmuan tidak ada keselamatan, ini di situ benih perpecahannya. Kalau kita melihat pada Konstitusi kita, itu salah suatu ketentuan katakan “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Itu berarti dia mengakui hanya berkat rahmat Allah kita bisa merdeka. Kemudian di alenia keenam tercantum Pancasila yang seperti saya katakana tadi menurut kajian filosofis bahwa itu tidak akan diubah karena ini merupakan staat fundamental norm, sedangkan kalau pasal-pasalnya atau istilahnya Mohammad Yamin the body of constitution, batang tubuh konstitusi itu bisa berubah ternyata kita telah melakukan satu kali dalam empat tahap tahun 1999 sampai 2002. Kalau falsafah negara kita mengatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, apakah menurut ahli itu berarti soal kebebasan beragama mutlak terserah orang dan bisa juga tidak beragama? Karena itu ranah yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah, sementara negara dikatakan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti mengakui adanya Tuhan sehingga, tidak boleh orang tidak ber-Tuhan kalau menurut kebalikannya itu. Bagaimana pendapat Saudara Ahli mengenai hal itu? Terima kasih, Pak Ketua. 110. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Silakan, Saudara Luthfi Assyaukanie. Pertanyaannya banyak kalau bisa yang hampir-hampir sama dijawab dalam satu paket. 111. AHLI DARI PEMOHON: LUTHFI ASSYAUKANIE, PH.D. Terima kasih Yang Mulia Pak Ketua Hakim.
55
Ini saya kira lebih susah dari ujian disertasi ini Pak. Banyak sekali persoalan ada beberapa yang saya bisa jawab, ada beberapa yang saya kira di luar disiplin saya yang menyangkut detail-detail hukum. Saya ingin…, ada dua pertanyaan yang sama tadi dari wakil MUI dan juga dari Pak Hakim Arsyad kalau tidak salah yang mengomentari tentang pernyataan saya pada bagian akhir kesaksian saya bahwa saya tidak peduli. Saya ingin menjelaskan hal itu dulu. Sebetulnya, sebelum saya diminta untuk memberikan kesaksian di sidang ini saya bilang kepada teman-teman bahwa saya sangat peduli dengan prosesnya, dalam artian kita sudah melakukan proses demokratisasi dan bahwa dengan proses ini mudah-mudahan kita akan menghasilkan hasil yang baik nantinya. Bukan maksud saya adalah tidak peduli dengan apapun hasilnya tapi kita sudah berusaha sebaik-baik mungkin dan saya puji para tim kuasa yang usianya masih muda-muda, yang berusaha mengangkat isu yang sangat sensitif ini. Dan terus terang saja Yang Mulia, bahwa masalah agama memang jadi masalah yang sangat sensitif. Saya sebagai dosen, sebagai pengajar, sebagai orang yang giat dalam organisasi keagamaan, sudah cukup lama mengalami apa namanya…, soal sensitifitas ini apakah kita harus mengatakannya atau harus menyembunyikannya? Saya biasa mengatakannya di kelas-kelas saya yang terbatas. Saya mengajar filsafat agama, saya mengajar pengantar agama. Jadi kadang-kadang saya mengatakannya dapat mengatakannya secara terbatas. Tapi, kita tidak bisa mengatakannya di muka umum. Karena itu sebelum sidang kemarin saya tanya, apakah saya boleh mengatakan sesuatu yang sangat sensitif misalnya kepada teman-teman? Kata mereka, ”ya nggak apa-apa mas, go a head”, katakan saja. Ruang ini adalah ruang yang bebas dan kita hidup di negara yang bebas. Terus terang saja dengan mempertimbangkan beberapa apa namanya..., sensitifitas yang lain, saya berusaha mengoreksi draft apa namanya..., makalah yang saya bacakan tadi dan ini sudah merupakan revisi beberapa kali. Karena itu saya sadar betul ketika wakil MUI misalnya mempertanyakan ungkapan saya yang kelihatannya kontroversial. Sebetulnya saya tidak memaksudkan itu. Selalu kontroversial itu terjadi sebagai konsekuensi dari pernyataan kita, dari keinginan kita mengatakan satu kebenaran atau satu contoh yang agak mungkin dianggap agak ekstrim. Misalnya, ketika saya mengatakan kesalahan, sebetulnya itu kan kesalahan dalam perspektif luar. Misalnya, Nabi Muhammad SAW itu dibilang salah oleh orang-orang Quraish, oleh orang-orang Mekah. Coba kita tempatkan, kita posisikan diri kita di sana sebagai orang-orang mayoritas pada saat itu. Nabi waktu itu minoritas hanya memiliki pengikut satu, dua orang, dan dikejar-kejar oleh orangorang mayoritas yang sudah punya sistem keyakinan yang established. Sama seperti kita menyikapi sekarang kelompok-kelompok yang muncul, mereka mengaku nabi dan kemudian kita menganggapnya gila.
56
Jadi, saya membuat analogi semacam itu, saya minta maaf kalau itu menyakitkan. Tetapi saya ingin mengambil contoh yang ekstrim dan itu apa namanya..., harus kita pertimbangkan. Pertanyaan dari wakil MUI juga soal apa namanya..., soal keonaran bahwa tadi ada satu pernyataan saya bahwa PNPS ini punya potensi memunculkan keonaran. Dalam bayangan saya adalah banyak sekali kasus-kasus ketegangan agama. Ada kelompok-kelompok kecil kita sebut saja contoh Ahmadiyah, berkalikali rumah-rumah Ahmadiyah itu diserang, di Lombok, di Parung, dan sebagainya. Yang melakukan keonaran atau yang melakukan serangan itu saya kira itu yang bermasalah, bukan Ahmadiyahnya. Ahmadiyahnya adalah kelompok yang mencoba menyatakan keyakinan mereka. Adapun kita setuju atau tidak itu urusan mereka. Adapun mereka mau masuk neraka atau tidak itu bukan urusan kita. Tetapi, kita harus menghormati keyakinan mereka. Nah, jadi ketika saya mengatakan bahwa..., apa namanya, ada sekelompok yang merasa dibenarkan tindakan mereka karena mereka merasa..., apa namanya, karena mereka memiliki satu kekuatan hukum dan saya kira itu adalah salah satunya PNPS. Kemudian dari wakil NU, ini bertanya pertanyaannya agak filosofis, mengomentari tentang..., apa namanya, asas utilitarianisme. Betul bahwa utilitarianisme itu seperti demokrasi, bahwa yang memiliki asas manfaat yang banyak itu yang harus dipertimbangkan. Tetapi dalam kehidupan berdemokrasi, selain basisnya majoritarianisme sebagai basisnya kelompok mayoritas kita juga harus mempertimbangkan hakhak individu. Kita harus juga mempertimbangkan hak-hak yang dijamin oleh konstitusi kita, karena itu seringkali di negara-negara maju disebut sebagai konstitusional demokrasi, demokrasi yang bukan hanya berjalan atas dasar kelompok mayoritas tetapi juga atas dasar konstitusionalisme atas dasar kontrak yang disepakati bersama. Saya kira apa yang saya maksudkan dengan..., apa namanya, sesuatu yang konstitusional adalah itu. Nah, ini soal defamation of religion, saya tidak tahu pasti berapa jumlah negara yang sudah meratifikasi soal ini. Tetapi saya ingin mengatakan begini, bahwa isu tentang agama dan kebebasan agama sampai sekarang masih terus diperdebatkan. Bahkan di Eropa sendiri yang dianggap sebagai negara yang sangat sekular. Tahun lalu saya diundang ke Swiss misalnya, di sana kita bicara tentang kasus-kasus..., apa namanya, bagaimana orang-orang Eropa menyikapi imigran muslim misalnya yang begitu banyak dan kemudian mereka seolah-olah mendatangkan suatu masalah. Nah, ini ada konflik antara kebebasan beragama dengan kebebasan berekspresi. Pada satu sisi orang Eropa ingin membela kebebasan berekspresi, pada sisi lain kelompok imigran muslim berusaha memanfaatkan hak kebebasan beragama untuk mengekspresikan agama mereka. Jadi, kasus-kasus semacam ini masih terus diperdebatkan dan saya kira kita tidak boleh tinggal atau kita tidak boleh mengabaikan
57
perkembangan ini. Jadi mungkin masyarakat kita masih belum bisa menerima keputusan-keputusan yang dikeluarkan sekarang ini tapi dalam sepuluh dua puluh tahun ke depan saya kira kita harus terus mengikuti perdebatan tentang masalah ini. Dari Yang Mulia Pak Hakim Achmad Sodiki, ini hubungan antara agama dan negara memang sesuatu yang sangat kompleks, Pak. Sampai sekarang saya kira masalah ini belum pernah selesai. Kebetulan disertasi saya juga mengungkap masalah ini dan ada banyak sekali studi-studi lain yang berbicara tentang ini. Khusus tentang Indonesia, saya kira kita memang punya hubungan yang unik karena sejarah, dan kita tahu berkali-kali kita memperdebatkan soal Piagam Jakarta dan lain-lainnya. Tetapi saya ingin membuat satu garis yang tegas saja, bahwa negara, negara kita khususnya, kita concern terhadap persoalan agama itu iya, tetapi ada persoalan-persoalan yang menjadi sangat tricky jika negara ikut campur. Misalnya seperti apa yang saya sebutkan tadi adalah menentukan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang sesat dan mana yang tidak. Karena dalam bayangan saya begini, kalau jumlahnya itu kecil, itu kelompok mayoritas dengan semena-mena bisa menaklukkan itu. Kalau kelompoknya cuma jumlahnya 20 sampai 100 orang mungkin bisa dicountain, bisa diatasi. Tetapi bayangkan kalau yang kita sesatkan itu jumlahnya jutaan, seperti kelompok syi’ah atau kelompok yang lainnya kelompok-kelompok dalam Islam. Ahmadiyah sekarang di Indonesia belum terlalu banyak dan karena itu selalu mendapat tekanan. Bayangkan kalau Ahmadiyah tibatiba berkuasa di negeri ini, apa yang terjadi? Saya kira itu yang harus kita pertimbangkan. Nah, maksud saya bahwa negara tidak boleh ikut campur pada hal-hal yang sangat tricky adalah untuk mengantisipasi halhal yang semacam itu. Kemudian dari Pak Hakim Hamdan Zoelva, beliau menanyakan tentang latar belakang lahirnya UU PNPS ini. Terus terang saja saya tidak terlalu tahu detail, tetapi undang-undang ini kita tahu lahir pada Tahun 1965, ada yang mengatakan bahwa sebetulnya undang-undang ini untuk menekan kelompok komunisme pada awalnya, tetapi kemudian diperluas, dan sekarang kita tahu itu sudah di luar konteks dan ini dipakai untuk menekan kelompok-kelompok yang lainnya. Tetapi jelas sekali kalau kita lihat mukadimahnya bahwa muncul kelompok-kelompok atau aliran-aliran yang dianggap sesat, dan saya kira ini bukan masalah baru, sejak zaman dulu. Kenapa tadi saya menyebutkan kelompok-kelompok Islam dalam sepanjang sejarah? Karena memang ini sesuatu yang tidak bisa di stop, tidak bisa dihentikan. Ini adalah masalah iman. Saya sering sekali membedakan masalah iman dan agama. Iman itu terus survive sampai sekarang, terus hidup, terus ada dalam setiap diri orang. Tetapi agama bisa muncul dan mati, misalnya agama-agama yang muncul ribuan tahun lalu, Agama
58
Mesir misalnya, hidup 3.000 tahun lalu dan kemudian mati. Ada ratusan agama yang muncul dan mati, tetapi iman selalu ada sampai sekarang. Nah, saya kira ketika UU PNPS menyatakan bahwa ada sektesekte, ada aliran-aliran yang muncul, ini adalah suatu yang buat saya tidak mengejutkan. Karena itu selalu ada sepanjang sejarah dan bahkan sampai sekarang. Kalau Bapak-Bapak Hakim menyimak misalnya, perkembangan dinominasi dan sekte-sekte di Amerika itu luar biasa banyaknya dan itu diberikan kebebasan yang luas selama mereka tidak melanggar aturan hukum yang sudah ditetapkan. Kemudian dari Yang Mulia Pak Hakim Akil Mochtar, saya kira Pak Akil sangat bagus sekali menyimpulkan apa yang saya katakan tadi bahwa ada 3 poin sebetulnya yang ingin saya katakan. Bahwa undangundang ini diskriminatif, yang kedua adalah memunculkan ketegangan di tengah masyarakat, dan ketiga adalah menodai rasa keadilan kita. Soal yang diskriminatif tadi sudah dijelaskan cukup panjang lebar oleh wakil dari Komnas HAM. Dan soal memunculkan ketegangan, saya juga tadi sudah menyebutkan bahwa dengan adanya undang-undang ini memberikan semacam legitimasi bagi kelompok tertentu untuk melakukan tidak kekerasan. Kemudian mengatasi rasa keadilan, tentu saja adalah orang-orang yang diperlakukan bersalah, orang-orang yang dipersalahkan itu tentu saja merasa tidak adil. Kemudian yang terakhir, saya kira ada beberapa pertanyaan yang sudah saya jawab, saya skip saja. Pertanyaan yang terakhir adalah dari Yang Mulia Pak Hakim Alim, ini soal sekularisasi. Ini persoalan yang panjang sekali. Saya hanya mau meralat saja Pak, bahwa istilah sekularisasi itu lebih dulu muncul dari istilah sekularisme dan itu tidak ada di dalam kitab suci. Di dalam Injil itu disebutkan, saya hafal bahasa Arabnya, “li’atiliqoisor malikaisor walillah malillah.” Berikan apa yang berhak untuk kaisar kepada kaisar dan apa yang untuk Tuhan kepada Tuhan. Ini adalah ayat di dalam Injil, tetapi ini kemudian ada justifikasi postpartum dari gerakan sekularisasi yang muncul abad ke-17, abad ke-18. sekularisasi adalah buah dari konflik panjang perang saudara di Eropa, perang agama yang luar biasa berdarah-darahnya selama hampir 100 tahun. Kemudian mereka membuat suatu perjanjian tahun 1652 atau tahun 1657, saya lupa, itu kemudian mereka menganut sebuah prinsip yang disebut sekularisasi, pemisahan agama dan negara karena ketika agama ditarik dalam suatu wilayah agama, di sanalah muncul konflikkonflik yang luar biasa. Nah, karena itu istilah sekularisasi lebih dulu muncul dan kemudian beberapa..., pada awalnya sekularisasi adalah istilah yang normal, istilah yang netral, yang tidak dimaksudkan untuk memojokkan agama, tetapi hanya untuk pemisahan dua otoritas yang selalu bersitegang. Tetapi kemudian satu abad kemudian ada yang namanya
59
David Holyoke dan kawan-kawannya memperkenalkan istilah Sekularisme. Nah, kebetulan pada masa ini adalah masa pencerahan dimana gerakan pemikiran yang agak-agak sedikit berbau atheistik terutama di Perancis, dan Inggris, dan Jacob Holyoke ini kemudian pengikutpengikutnya terutama, itu diidentifikasikan dengan atheisme. Dan kemudian sekularisme identik dengan gerakan atheisme. Karena itu almarhum Nurcholis Majid beberapa dekade lalu berusaha mati-matian membedakan antara sekularisasi dengan sekularisme melihat sejarah kedua konsep atau istilah itu yang agak berbeda. Saya kira itu jawaban dari saya, Pak Hakim Ketua.
Assalammualaikum Wr . wb.
112. KUASA HUKUM PEMOHON : Yang Mulia mohon interupsi, Yang Mulia persidangan ini adalah persidangan Yang Mulia. Jadi tidak selayaknya kata-kata kotor keluar dari persidangan ini khususnya dari pengunjung. Mohon Yang Mulia menindak secara tegas, terima kasih. 113. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, baik. Sudah saya umumkan sejak awal supaya tidak ada teriakan-teriakan di dalam sidang ini karena siapapun bebas mengemukakan apapun di sini dan dilindungi oleh hukum, justru kita ingin mendengar sesuatu yang berani. Biar kita nanti komprehensif mempertimbangkannya itu. Soal benar salah nanti di majelis Hakim ada sembilan akan mempertimbangkan. Tidak harus sesuatu yang dikatakan itu harus dianggap benar, sehingga tidak perlu teriakan-teriakan itu. Ada lagi di sana? 114. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Yang Mulia? 115. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Silakan. 116. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Terima kasih Yang Mulia. Atas jawaban dari Saudara ahli, ada beberapa hal yang saya tanggapi berkaitan apa yang telah dijawab oleh Saudara Ahli. Yang pertama, soal kerusuhan yang dikatakan tadi itu disumberkan dari…, atau disebabkan dari undang-undang. Menurut saya Saudara Ahli telah menggunakan logika yang terbalik.
60
117. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baiklah Saudara, saya kira kita catat saja. Kita mendengarlah bahwa menurut Ahli (…) 118. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Kemudian yang kedua Yang Mulia, berkaitan dengan pembandingan antara kesalahan Nabi Muhammad dan Lia Eden, apakah boleh saya lanjutkan Yang Mulia? 119. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Bagaimana? 120. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Tentang perbandingan antara kesalahan Nabi Muhammad dan Lia Eden, apakah boleh saya teruskan tentang hal ini? 121. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Saya kira tidak usah, nanti kalau Saudara punya pendapat disampaikan saja dalam pendapat akhir di persidangan ini. Kita semua tadi sudah mendengar tanggapannya, mendengar jawabannya, kita bisa menyimpulkan. 122. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Bukan kesimpulan. Satu menit saja supaya ahli juga mengerti dari aspek yang kita inginkan. 123. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, boleh. Silakan, satu menit. 124. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H. (ANGGOTA MUI) Terima kasih Yang Mulia. Ada kesalahan besar dalam ahli memahami hal itu, MUI melihat perbandingan antara Lia Eden dan Nabi Muhammad, kita tidak hanya menolak secara eksistensial atas Lia Eden ataupun yang sejenis itu, tetapi juga secara substansial kita mengkaji, melakukan pengkajian-pengkajian atas alasan-alasan mereka mengemukakan keyakinan mereka.
61
Sedangkan pada Nabi Muhammad, mereka pada zaman itu, seperti Abu Lahab dan yang lain, mereka hanya mampu menolak secara esktensial tapi tidak secara substansial. Mereka ketika ditanya apakah engkau meragukan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad? Oh, tidak. Jadi ada perbedaan yang mendasar di sini antara satu secara ekstensial dan substansial yang satunya lagi semata-mata hanya substansial. Satu menit saya gunakan Yang Mulia, terima kasih. 125. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Oke, baik. Saya kira dari ahli Luthfi Assyaukanie cukup, berikutnya kita akan dengarkan dari tiga ahli yang diajukan oleh Pemerintah. Saya kira bergiliran tiga sekaligus karena ini satu kotak, satu kamar, satu kubu sehingga nanti sesudah tiga menyampaikan semuanya baru kita…, apa nanti ada tanya jawab. Untuk itu silakan Dr. Mudzakkir. 126. AHLI DARI PEMERINTAH: DR MUDZAKKIR, S.H.
Assalammualaikum . wr. wb.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Saya ingin menyampaikan pendapat saya sebagai keterangan ahli dalam proses pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Pertama, saya ingin sampaikan lebih dulu mengenai pandangan saya yang terkait dengan persoalan pokok dari undang-undang yang diujikan. Saya tulis undang-undangnya saja yakni Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Pertama yang ingin saya sampaikan landasan doktrin yang saya ikuti dalam rangka untuk menjelaskan hubungan antra agama dengan negara yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Sebelumnya ahli sampaikan bahwa ahli adalah seorang dosen, keahliannya dalam bidang hukum pidana dan membantu dalam perumusan Tim RUU KUPH. Dan beberapa waktu yang lalu bersinergi dengan teman-teman yang membahas mengenai persoalan delik agama dan kan itelah menyampaikan pandangan-pandangan saya mengenai delik agama di dalam RUU KUHP yang saya hubungkan juga dengan KUHP dan juga saya hubungkan dengan Undang-Undagn Nomor 1 Tahun 1965. Tentu saja ini teman-teman sekalian yang pernah berbicara mengenai persoalan yang mengajukan keberatan terhadap tindak pidana agama dan saya telah memberi argumen yang cukup panjang, maka sebagian argumen itu akan saya sampaikan lagi karena ini wilayah yang hendak diuji dalam undang-undang ini. Dan oleh sebab itu nanti akan saya lanjutkan juga bagaimana pengaturan delik agama supaya kita
62
menjelaskan eksistensi atau kedudukan Pasal 156A itu dimana dan juga bagaimana dengan RUU KUHP. Doktrin yang saya ajarkan, yang saya ikuti, yang saya perdalami dalam rangka untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan negara, terutama adalah wilayah pengaturan. Maka saya mengklasifikasi ada tiga kelompok. Wilayah internal agama, ini yang saya tulis sebagai domain pengaturan agama yang bersangkutan. Yang kedua adalah wilayah eksternal agama, yang pertama adalah menjadi wilayah agama. Jadi eksternal agama yang menjadi wilayah agama dan eksternal agama yang wilayah negara atau wilayah publik. Dan yang ketiga adalah wilayah publik, wilayah negara. Saya ingin menjelaskan bahwa dari tiga domain ini, maka ada bagian yang di tengah di sini ada bagian eksternal agama yang bisa wilayah pengaturannya adalah agama yang bersangkutan dan negara bisa masuk di dalamnya. Hanya sepintas saya ingin jelaskan seperti ini nanti akan saya jelaskan lebih lanjut. Majelis Hakim. Bahwa negara sebenarnya tidak boleh campur tangan dalam wilayah internal agama. Karena batas domainnya adalah milik agama dan itu tidak boleh dicampuri oleh negara. Saya ingin jelaskan satu persatu. Wilayah internal agama yakni bidang yang berkaitan dengan nilai isi ajaran utama atau pokok agama menjadi otoritas dari agama yang bersangkutan, sumber utamanya adalah kitab suci agama yang bersangkutan. Jadi saya ulangi, sumbernya adalah kitab suci agama yang bersangkutan dan wilayah in itidak boleh diganggu oleh siapa pun kecuali oleh agama itu sendiri atau dengan kata lain orang atau oleh agama itu sendiri adalah yang berhak dan memiliki domain untuk melakukan interpretasinya terhadap kitab suci adalah oleh agama yang bersangkutan. Yang kedua adalah wilayah eksternal agama. Yakni hubungan antar ajaran agama dengan umatnya, orang yang mengimani atau beriman dan mengikuti ajaran agama, sering disebut sebagai pemeluk agama. Maka pemeluk agama berkewajiban melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan melalui kitab suci. Bagaimana pemeluk agama melaksanakan ajaran agama yang merupakan wilayah eksternal agama karena ajaran agama yang berada dalam dunia yang abstrak atau batin, iman, firman, teks kitab suci tersebut dilaksanakan oleh umatnya dalam bentuk perbuatan atau aktivitas yang konkret atau lahiriah. Dalam melaksanakan ajaran agama tersebut akan terjadi hubungan antara pemeluk agama, baik dalam seiman seagama atau beda iman beda agama. Dan yang terakhir adalah wilayah publik negara yakni wilayah publik atau umum yang menjadi domain negara dan pengaturannya menjadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Jad penjelasan
63
yang saya kemukakan ini Majelis hakim yang saya muliakan, alasan apa bagi negara untuk mengatur agama? Wilayah publik agama merupakan wilayah eksternal agama dan bersinggungan dengan wilayah publik masyarakat umum. Maka gangguan terhadap kepentingan publik masyarakat umum menjadi kewajiban negara untuk mengaturnya. Tujuan pengaturan wilayah publik agama oleh negara adalah untuk menjaga ketertiban, ketentraman dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat beragama agar dapat melaksanakan ajaran dengan khusuk dan tenang. Maksudnya adalah ini sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi di dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Mencegah terjadinya perselisihan, persengketaan atau konflik antar pemeluk agama, baik sesama pemeluk agama yang seiman yang berbeda aliran (mazhab) maupun antar pemeluk agma yang berbeda agama dalam wilayah publik. Mencegah terhadap pemeluk agama yang melaksanakan agama atau beribadah menjalankan kewajiban agama. Pencegahan itu dilakukan adalah bentuk pelarangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya adalah menghina ajaran agama, menyalahgunakan agama, merusak simbol-simbol agama, kitab suci, merusak sarana ibadah tempat ibadah secara fisik, mengganngu orang beribadah di tempat ibadah, menghina kelompok orang yang beragama. Nah untuk menjelaskan mengenai ini, saya telah membuat satu peragaan untuk menggambarkan bagaimana hubungan relational antara pengaturan kompetensi agama dan negara dalam mengatur wilayah eksternal agama. Saya gambarkan di sini Majelis Hakim nomor 1 ini adalah wilayah internal agama, ini saya tuliskan di situ adalah domain agama yang bersangkutan yang tidak bisa dicampuri oleh wilayah siapapun kecuali agama yang bersangkutan. Sedangkan nomor 4 adalah domain publik yaitu wilayah 100% sebut saja demikian adalah wilayah negara yang mengatur bagian wilayah publik tersebut. Maka terjadilah dalam wilayah tengah, kalau dilihat dari perspektif pengaturan agama saya tuliskan di sini adalah sebagai wilayah eksternal agama. Yang nomor 2 ini adalah wilayah eksternal agama yang menjadi domain agama bersangkutan. Sedangkan yang nomor 3 itu adalah wilayah eksternal agama yang menjadi berhubungan dengan domain negara. Di sinilah mulai tarik menarik antara agama dengan negara. Maka batas garis miring tersebut menunjukkan titik kompromi, batas kompromi sampai di mana sesungguhnya Negara memasuki wilayah domain eksternal agama dan itu juga batas sampai di mana sesungguhnya domain eksternal agama untuk masuk dalam wilayah publik. Sifat atau karakter pimpinan negara atau rezim waktu yang berkuasa adalah bisa menggeser, mendesak masuk batas itu sehingga mempersempit ruang agama dan sebaliknya juga kalau agama diberi ruang yang luas dia akan menggesek masuk pada ruang publik yang dia
64
akan menggeser batas-batas tersebut. Kalau boleh saya menilai UndangUndang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 adalah dalam wilayah equilibrium. Domain agama menjadi agama, ekstral agama itu menjadi bagian daripada agama namun bagian-bagian eksternal agama dapat masuklah wilayah negara apabila itu bersinggungan dengan kepentingan publik negara, itulah gambaran yang ingin saya sampaikan mengenai pengaturan seperti ini. Hal yang sama bukan hanya agama Majelis Hakim menurut pendapat saya, ini juga termasuk wilayah partai politik, ini juga masuk dalam organisasi apapun yang dia diakui eksistensinya sebagai sebuah organisasi sejauh mengenai internal organisasi adalah domain organisasi yang bersangkutan. Jadi doktrin yang saya gambarkan, yang saya sampaikan ini adalah bisa untuk menjelaskan atau bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan urusan agama dan juga urusan yang lain. Sekarang persoalannya adalah bagaimana kompetensi agama dalam mengatur ini? Saya ingin sampaikan dalam hal konteks wilayah publik adalah domain negara tapi ada bagian tertentu dimana negara mengatur aspek administrasi daripada agama yang bersangkutan, saya ulangi di sini lagi aspek administrasi negara yang bersangkutan. Atas dasar penjelasan tersebut ketika ada bagian tertentu yang muncul di situ ada ketentuan hukum pidananya maka harus dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun PNPS 1965 itu ada 2 hal yang perlu kami jelaskan di sini. Ada aspek hukum administratifnya dan juga ada aspek hukum pidananya. Dan hukum pidana dalam konteks hukum aspek administrasi maka peran hukum pidana sebagai ultimum remedium bukan primum remedium. Kalau primum remedim nanti adalah tempatnya nomor 4, nanti akan saya jelaskan, yang primum remedium itu adanya di mana? Itulah di dalam KUHP, sedangkan di undang-undang muncul tambahan yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 wilayah yang nomor 3 di sini, artinya dia adalah penggunaan nomor 3 ini sangat tergantung pada proses penyelesaian secara administratif. Jadi nomor 1, jika dengan pendekatan persuasif secara adminitratif persoalanpersoalan aspek eksternal agama tadi, saya ulangi “aspek eksternal agama tadi” bisa diselesaikan secara administratif tanpa harus ada sanksi apapun maka itu bisa digunakan dengan menggunakan yang kolom nomor 1, sedangkan yang kedua adalah apabila penggunaan administrasi tidak cukup dan memerlukan adanya sanksi administrasi, maka digunakanlah ruang nomor 2 dan dikenakan sanksi administrasi. Oleh sebab itu pula apabila sanksi administrasi ini adalah ternyata yang bersangkutan bisa mengulangi lagi, dia mengganggu aspek eksternal agama yang menjadi gesekan-gesekan antar pemeluk agama maka lahirlah sanksi pidana dan sanksi pidana di situ ditempatkanlah Pasal 156A yang kemudian masuk di dalam KUHP. Tetapi kalau ada orang karena sesuatu dan lain hal dia membakar tempat ibadah,
65
tempatnya adalah di ruang nomor 4. Dia adalah pure criminal dan dia disebut sebagai generic crime. Majelis Hakim yang saya hormati, Sekarang bagaimana dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965? Tadi sudah berbagai disebut dan Ibu Hakim telah juga menyebutkan sejauh yang saya peroleh dan saya terima, saya download dari Departemen Hukum dan HAM di legalitas kami memperoleh gambaran bahwa Pasal 1 itu ada ketentuan yang tadi disebutkan adalah penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Dan tadi saya juga mencoba membuka buku-buku ternyata di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang melakukan judicial review terhadap Undang-Undang PNPS ini juga di dalamnya ditemukan ada ketentuan menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Majelis Hakim, kalau begitu rumusan seperti Pasal 1 ini lantas bagaimana? Saya berpendapat, negara melalui Undang-Undang Nomor 1 ini sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan Pasal 1 tidak bermaksud untuk mencampuri urusan internal ajaran agama yang menjadi domain agama yang bersangkutan. Oleh sebab itu, parameter menyimpang atau tidak menyimpang berdasarkan ajaran yang bersumber dari kitab adalah bersumber dari kitab suci masing-masing agama. Jadi kalau tadi ada rumusan kata-kata menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama, penyimpangan itu tentu saja dari kitab suci agama yang bersangkutan. Pengakuan negara terhadap agama yang dimuat di dalam penjelasan Pasal 1 tidak dimaksudkan untuk dilakukan semata-mata membatasi kebebasan orang untuk meyakini suatu agama tetapi lebih kepada persoalan, saya ulangi lagi ini, lebih pada persoalan administrasi yakni memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh negara sebagai suatu agama atau dengan kata lain bisa diakui oleh negara. Pembatasan yang demikian ini berlaku juga terhadap penggunaan hak lain yang dimiliki oleh warga negara, misalnya partai politik tunduk kepada Undang-Undang Partai Politik dan pengakuannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, tentu saja dia harus memenuhi syarat-syarat administratif tertentu. Demikian juga organisasi kemasyarakatan dia akan diakui sebagai hak berkumpul untuk menyampaikan pendapat, namun demikian secara administratif juga harus didaftarkan di Departemen Hukum dan HAM. Sekarang bagaimana dengan Pasal 2 ayat (1)? Dikatakan barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Saya ingin sampaikan pendapat Ahli, Pasal 2 ayat (1) terkait dengan ketentuan Pasal 1 dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada agama yang secara administratif memenuhi syarat dan diakui oleh negara. Eksistensi agama yang sudah diakui oleh negara menjadi kewajiban bagi negara untuk melindunginya dari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan agama.
66
Pemerintah, Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertindak untuk memberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikannya dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi agama yang sah diakui dalam konteks hubungan dengan aspek luar agama/ranah publik agama dan aspek luar eksternal agama menjadi domain negara atau pemerintah. Sekarang persoalannya mungkin ada pertanyaan terselubung di dalamnya, lantas bagaimana kalau yang tidak diakui? Kalau yang tidak diakui sebagaimana yang saya jelaskan tadi tentu saja dia akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain yang itu juga sama-sama harus diperoleh perlindungan. Sekarang Pasal 2 ayat (2), apabila pelanggaran tersebut dan seterusnya dikatakan di sini, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut sebagai organisasi yang terlarang. Sekali lagi ini interpretasi saya sebagai Ahli dalam bidang konteks hubungannya dengan tindak pidana agama ini, Pasal 2 ayat (2) mengenai organisasi dan aliran kepercayaan dipahami dalam kontektual. Terkait dengan ajaran suatu agama yang diakui secara sah oleh negara dan tidak terkait dengan ajaran suatu agama yang diakui oleh negara. Terhadap yang diakui secara sah parameternya diukur dari ajaran agama dan hukum administrasi negara, terhadap yang tidak ada hubungannya dengan agama yang diakui diukur dari hukum administrasi negara karena keduanya sebagai ormas atau organisasi kemasyarakatan yang harus dilindungi oleh negara. Jadi kesimpulannya adalah baik yang diakui maupun yang tidak diakui semuanya adalah memperoleh perlindungan dari negara. Pasal 3 di sini dikatakan, konsekuensi dari Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 maka itu dipidana dengan penjara selama-lamanya 5 tahun. Dan Pasal 3 ini menurut pendapat saya adalah ancaman 5 tahun dalam Pasal 3 sebagai ultimum remidium dari sanksi administrasi sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (2). Ketentuan yang demikian sudah lazim dalam hukum pidana administrasi. Adanya sanksi pidana selalu dihubungkan dengan ketentuan administrasi dan pengenaan sanksi administrasi dinilai tidak lagi efektif, barulah sanksi pidana dikenakan. Pasal 3 in tidak dilepaskan dari hubungan Pasal 4. Berarti pengujian Pasal 3 harus bersamaan pengujian Pasal 4, dalam hubungannya Pasal 156 huruf a. Sekarang bagaimana dengan Pasal 4? Di dalam Pasal 4 ini adalah yang dikenal sebagai amandemen terhadap KUHP dimasukkan Pasal 156 dan 157, diselipkanlah Pasal 156A. Saya ingin jelaskan Majelis Hakim yang saya muliakan, pandangan ahli bahwa ketentuan Pasal 4 adalah bentuk amandemen KUHP yakni menambah Pasal 156A. Norma hukum pidana dalam Pasal 156A pada huruf a adalah norma hukum yang bersifat jahat yang sifat jahatnya melekat pada perbuatan yang dilarang, ini bahasa hukum pidana namanya sifat kriminalisasinya muncul karena memang perbuatan itu
67
adalah jahat. Adpun sifat jahatnya itu adalah permusuhan, penyalahgunaan agama dan penodaan terhadap agama. Permusuhan karena agama adalah tidak dibenarkan, penyalahgunaan agama juga tidak dibenarkan, demikian juga penodaan terhadap agama adalah tidak dibenarkan. Jangankan agama, terhadap bendera pun juga tidak boleh, terhadap lagu Indonesia Raya juga tidak boleh. Maka pasal ini menurut hemat saya adalah pasal yang terkait dengan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 menjadi kata kunci sebagai ultimum remedium dalam satu proses penyelesaian-penyelesaian yang apabila melalui prosedur administratif tidak bisa dihentikan. Sekarang gilirannya saya ingin menyampaikan pandangan saya tentang konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Saya ingin sampaikan pokok dasar sebagai doktrin saya ingin menguji norma di dalam pasal atau undang-undang ini. Saya berpendapat sebagai ahli hukum Indonesia, dalam rangka untuk menguji materi. Hukum pidana dan undang-undang Indonesia pengujiannya harus dasarnya Undang-Undang Dasar RepublikIndonesia, tidak dengan undang-undang yang lain dan tidak dengan yang lainnya. Tapi harus dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar Republilk Indonesia itu terdiri dari dua bagian, pembukaan dan batang tubuh yang dua-duanya adalah merupakan satu kesatuan. Dan oleh sebab itu karena yang tahu persis Undang-Undang Dasar 1945 adalah orang Indonesia, pada gilirannyalah kita harus belajar tentang konstitusi kita dan yang tahu persis tentunya orang Indonesia, oleh sebab itu ahli tidak sependapat jika untuk memahami konstitusi Indonesia sebaiknya tidak perlu menggunakan tenaga asing. Dan bagaimana dengan undang-undang tentang Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, hal yang sama juga demikian. Maka terhadap UndangUndang Nomor 1/PNPS/1965 harus diuji dengan Batang Tubuh UndangUndang Dasar 1945 yang di dalamnya harus dijiwai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Saya ulangi lagi batang tubuh UndangUndang Dasar 1945 harus dijiwai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Seandainya batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah Pasal 28, baik dari huruf a sampai dengan huruf j, ini semuanya harus dalam satu konteks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tidak dalam satu konteks yang lain dan juga tidak dalam satu konteks Undang Undang Dasar negara lain. Baik, Majelis Hakim yang saya muliakan, giliran saya ingin menguji konstitusionalitasnya. Sekarang Pasal 1, sesungguhnya yang dilarang di dalam Pasal 1 ini esensinya adalah dia melakukan penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran agama. sebagai seorang hukum pidana saya akan melihat di sini sifat dasar pelarangan, di dalam Pasal 1 ini adalah menyimpang dari pokok ajaran agamanya. Tentu saja Majelis Hakim, setiap perbuatan yagn menyimpang dari pokok ajaran agama itulah yang tentu saja harus dilarang. Menjadi masalah adalah kata-kata
68
menyimpang ini bagaimana, siapa yagn melakukan interpretasi tadi sudah saya kemukakan dasar tolak pangkalnya adalah kitab suci. Maka penyimpangan dari pokok ajaran agama itu ukurannya adalah kitab suci. Saya kira sama juga, menyimpang konstitusi adalah dilarang dan juga setiap ajaran apapun yang di dalamnya itu mengandung unsur penyimpangan adalah dilarang karena ini agama, apalagi ini persoalan agama maka menurut pendapat ahli kata-kata di dalam Pasal 1 esensinya yang dilarang adalah melakukan dan seterusnya dan seterusnya, yang esensinya semua kegiatan itu adalah menyimpang dari pokok ajaran agama dan yang dilarang sesungguhnya adalah penyimpangan tersebut. Kalau misalnya sengaja di muka umum menceritakan agama yang itu benar tentu saja tidak dilarang. Yang dilarang yang disebarkan adalah ajaran itu menyimpang dari pokok ajaran agama. Oleh sebab itu saya kira ini sesuatu hal yang wajar dan bisa dipahami dalam satu konteks hukum bahwa sesuatu yang menyimpang tidak boleh disebarkan. Menyimpang konstitusi tidak boleh harus dinyatakan dia adalah inkonstitusional dan menyimpang dari hukum pidana dia harus masuk penjara. Dan dia menyimpang hukum administrasi dia harus dibatalkan. Pendek kata, kata menyimpang adalah sifat dari perbuatan yang tidak boleh dilakukan. oleh sebab itu menurut menurut Ahli karena sifat pokok esensi perbuatan di sini adalah penyimpangan, yang dilarang adalah penyimpangannya, maka larangan terhadap menyimpang tentu saja ini tidak bertentangan dengan Pasal 28D yang dikatakan di situ adalah “berhak atas pengakuan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum”, tentu saja ini tidak menurut pendapat saya. Demikian juga Pasal 28E “bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”, justru pasal inilah untuk mendorong mereka orang yang beragama adalah mengikuti Pasal 28E agar dia bebas memeluk agama tetapi tidak dikatakan bebas menyimpang dari ajaran agama. Justru di dalam Pasal 28E ini kalau dihubungkan dengan Pasal 29 ini sungguh sangat tepat sehingga adanya larangan menyimpang ajaran agama inilah yang menurut pendapat Ahli adalah justru itulah yang konstitusional dan yang kalau dihubungkan dengan Pasal 28E ayat (2) dikatakan, “kebebasan menyakini kepercayaan menyatakan pikiran sikap sesuai dengan hati nuraninya”, itupun juga harus batas-batas sejauh sikap dan hati nurani terkait dengan persoalan agama maka dia tidak boleh melakukan sesuatu yang menyimpang. Demikian juga Pasal 28I, “kemerdekaan pikiran dan hati nurani hak beragama” dan seterusnya, demikian juga dalam konteks ini bukanlah tidak bersifat diskriminatif karena tadi sudah saya katakan negara bisa mengakui secara resmi agama tertentu tapi tidak untuk melarang agama yang lain, itu hanya prosedural administratif bisa jadi suatu saat negara juga akan mengakui agama-agama yang lain kalau itu pengikutnya adalah sudah besar, maka negara boleh mengatur kapan negara mengakui yang dia adalah sebagai
69
agama yang bisa diakui sama artinya negara juga mengakui partai politik tetapi tidak semua partai politik bisa diakui. Baik, sekarang bagaimana dengan Pasal 2 ayat (1)? Di dalam Pasal 2 ayat (1) ini tadi sudah saya sebutkan esensi di sini adalah perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya, ini tiada lain dan tidak bukan dalam konteks hukum administrasi itu dibenarkan di dalam sanksi yang demikian ini. Jadi peringatan keras untuk menghentikan adalah bentuk sanksi administrasi, tindakan sanksi administratif menurut pendapat saya adalah wajar dan bisa dikenakan karena memang itulah kedudukan sanksi administratif dan oleh sebab itu saya berpendapat sebagai Ahli, Pasal 28D ini tidak..., atau Pasal 2 ayat (1) tidak bertentangan dengan Pasal 28D. Demikian juga Pasal 1 negara hukum karena konteks ini adalah bagian daripada suatu proses pencegahan kemungkinan terjadinya yang lebih besar daripada akibatakibat yang terjadi maka tindakan administratif dikenakan adalah sebagai tindakan preventif dalam rangka mencegah terjadinya tindakantindakan yang lebih besar. Bagaimana dengan Pasal 2 ayat (2)? Jadi kalau itu tindakan administratif itu tidak bisa dilakukan barulah kemudian sanksi yang lebih besar adalah sesungguhnya di dalam hukum administrasi disebut sebagai sanksi yang terberat yakni adalah menyatakan suatu organisasi aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, intisarinya adalah pembubaran daripada organisasi yang bersangkutan. Dalam hukum administrasi pembubaran organisasi adalah sanksi yang terberat di dalam hukum administrasi. Saya kira ini hal yang wajar kalau negara tidak lagi diperhatikan peringatan-peringatannya dan ternyata pelanggaran dilakukan secara terus menerus maka gilirannya adalah sanksi administratif berupa pembubaran atau pelarangan organisasi tersebut seperti organisasi yang bersangkutan persis seperti halnya adalah perseroan terbatas yang melakukan tindak pidana karena sudah dilakukan sedemikian rupa maka jadilah namanya pembubaran perseroan. Pembubaran perseroan itu sama artinya adalah larangan perseroan tersebut berdiri dan dia harus membubarkan diri atau dibubarkan. Karena apa? Karena melakukan tindak pidana. Sekarang, Pasal ayat (3) tadi saya sudah katakan bahwa Pasal 3 ini kalau diuji harus berhubungan dengan Pasal 5 karena Pasal 3 ini hanya memberi antara pada Pasal 4. Sekarang saya ingin sampaikan mengenai Pasal 4. Di dalam Pasal 4 yang dimuatkan yang diuji adalah yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jelas Majelis Hakim yang saya muliakan, pasal-pasal yang rumusannya mengenai permusuhan, penyalahgunaan, pernodaan ini cukup banyak kalau kurang lebih ada 5 sampai 7 pasal yang menggunakan bahasa-bahasa seperti ini namun ini sesungguhnya maka Pasal 156 diselipkan di dalam Pasal 156A tiada lain tujuannya adalah untuk melindungi agama yang bersangkutan.
70
Kalau ini dinyatakan inkonstitusional pasal-pasal yang lain yang sebelumnya yang menggunakan rumusan yang sama karena pasal ini berurutan terhadap penghinaan misalnya, penyalahgunaan atau penodaan terhadap yang lainnya itu juga harus batal demi hukum karena atau harus dinyatakan batal juga karena normanya adalah sama. Cuma di dalam Pasal 156 ini yang dilindungi adalah agama sedangkan yang lain nanti adalah berbeda-beda. Oleh sebab itu, Majelis Hakim yang saya muliakan, saya tidak satu persatu menyatakan demikian, dengan pernyataan yang saya sampaikan ini menurut ahli saya menyatakan bahwa bahwa Pasal 156 huruf a menurut ahli adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2), pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2), bahkan malah justru sesuai dengan perintah Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 29 ayat (2). Sekarang sepintas ingin saya sampaikan supaya penggambaran tentang tindak pidana agama itu seperti apa? Jadi di dalam tindak pidana terkait dengan agama dalam KUHP itu paling tidak ada 14 bentuk perbuatan yang sebagian diantara langsung mengenai persoalan agama, ini Pasal 156, ini juga bentuknya mirip sama 156A dan seterusnya.. Iya, ini 156 huruf a, 156 huruf b, mempertunjukkan metodenya untuk disampaikan dan seterusnya menurut pendapat saya pasal-pasal KUHP ternyata mengatur yang sama, yang content-nya mirip dengan Pasal 156 a. Demikian juga pasal-pasal yang lain, intisari dari larangan itu kami singkatkan, Majelis Hakim, pertama yang di larang adalah menyangkut content daripada ajaran agama, menyangkut perlengkapan agama, menyangkut fisik untuk sarana ibadah, bangunan masjid dan seterusnya, menyangkut penghalangan terhadap orang yang melakukan ibadah, dan menyangkut gangguan terhadap orang yang menjalani ibadah agama dan melakukan pelecehan terhadap petugas agama. Demikian juga buku ketiga mengatur hal yang sama dengan total 14 ketentuan, bagaimana dengan RUU KUHP? Majelis Hakim, kami dari tim RUU KUHP, sejauh yang saya pantau pada proses pembentukannya di sini ternyata dari RUU KUHP tetap juga mempertahankan prinsip-prinsip di dalam rangka untuk melindungi agama yang dianut di Indonesia. Larangan-larangan disistematisir sedemikian rupa sehingga munculah beberapa ketentuan larangan yang kemudian di eksplisitkan antara lain, contohnya adalah: Penyebarluasan penghinaan terhadap keagamaan Tuhan, firman, dan sifat-sifatnya Nabi, kitab suci, ajaran agama, ibadah keagamaan dan sebagainya. Total larangan itu ada 8 bentuk tapi di sistematisir dan kemudian tindak pidana lain yang berhubungan dengan persoalan agama. Saya kira ini bisa dibaca beberapa ketentuan. Genosida ini juga ada hubungan motif agama termasuk saya masukkan kedalamnya di sini. Majelis Hakim yang saya muliakan, oleh sebab itu dalam rangka untuk menjaga agar keutuhan Negara RI, RUU KUHP ini sepertinya
71
berusaha untuk sedemikian rupa karena diketahui bahwa persoalan agama adalah persoalan yang sensitif dan oleh sebab itu pengaturannya harus secara baik dan bijaksana. Oleh sebab itu, Pasal-pasal hukum pidana yang termasuk delikdelik terhadap agama dan kehidupan umat beragama tersebut diatur dalam rangka untuk menjamin hak warga negara yang diatur dalam UUD 1945 di muat Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 29 dan Pasal 31. …Itulah Majelis Hakim yang saya muliakan, pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan dari uji konstitusional atas Undang-Undang PNPS tahun 1965, dan pada kesimpulannya saya menyatakan bahwa Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, norma hukum yang sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang PNPS Tahun 1965 adalah sesuai dengan doktrin dan doktrin interpretasi hukum menurut ilmu pengetahuan yang ahli kuasa, secara yuridis formil dan yuridis materiil, materi norma hukum yang dimuat dalam pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Argumen konstitusionalitas telah ahli, telah yang di sampaikan sebelumnya, yang tak terpisahkan dari kesimpulan yang saya buat ini wabilahitaufik walhidayah, wassalamualaikum, Terima kasih,
wr,wb.
127. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Terima kasih Pak Mudzakkir, berikutnya Prof. Atho 128. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. ATHO MUDZAR
Bismillah. assalamualaikum, wr,wb.
Yang kami muliakan Ketua, para anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Para hadirin sekalian yang kami hormati. Dalam kesempatan ini izinkanlah saya menyampaikan beberapa pokok pikiran atau pendapat saya sebagai ahli dalam sidang perkara uji materiil Undang-Undang PNPS 1 Tahun 1965. Izinkan saya memperkenalkan diri, saya adalah guru pada Fakultas Hukum Syariah dan Hukum UIN Jakarta merangkap sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Ada 7 butir yang ingin saya sampaikan yaitu; Tentang Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 dan keadaan darurat. Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama semula adalah penetapan presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965, kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.
72
Dengan demikian, apa yang kemudian disebut sebagai UndangUndang Nomor 1 PNPS tahun 1965 itu sesunguhnya diundangkan pada tahun 1969 pada saat mana negara tidak dalam keadaan darurat. Oleh karena itu undang-undang tersebut dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sah secara hukum serta mengikat bagi setiap warga negara. Kedua, tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 dan masalah intervensi negara terhadap agama. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama menyatakan sebagai berikut; “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum, menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Secara sepintas rumusan pasal ini memberi kesan seolah-olah undang-undang ini mengatur tentang kebolehan intervensi pemerintah atau negara terhadap agama atau terhadap keyakinan warga masyarakat sehingga memasuki forum internum, kebebasan beragama. Sesungguhnya apabila kita perhatikan penjelasan undang-undang itu yang merupakan suatu kesatuan dengan batang tubuh undangundangnya itu sendiri, maka kita akan memahami bahwa UndangUndang Nomor 1 PNPS 1965 hanya mengatur forum eksternum kebebasan beragama karena tujuan undang-undang ini bukanlah untuk intervensi pemerintah atau negara terhadap agama atau aspek-aspek doktrin agama atau penafsiran agama, melainkan bertujuan untuk memupuk dan melindungi ketentraman beragama, sebagaimana disebut pada butir 4 penjelasan umum undang-undang tersebut. Dengan kata lain undang-undang ini adalah bagian dari upaya negara atau pemerintah untuk mencegah terjadinya benturan umat beragama dan memelihara ketentraman serta ketertiban masyarakat yang dapat terganggu karena adanya polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat, yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan yang menyimpang. Bahkan pada butir 2 dan 3 penjelasan umum undangundang tersebut dikatakan, bahwa undang-undang diperlukan untuk memelihara persatuan nasional dan persatuan bangsa. Tentu saja tugas pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta pemeliharaan persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan kewajiban negara yang sah dan legal. Hal itulah yang sebenarnya dilakukan pemerintah ketika menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat tanggal 9 Juni 2008.
73
SKB itu pada intinya memperingatkan dan memerintahkan kepada penganut anggota dan atau anggota pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran paham atau penafsiran agama yang nyata-nyata telah menimbulkan polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat, sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. SKB itu juga memperingatkan dan memerintahkan warga masyarakat pada umumnya untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut anggota dan atau anggota pengurus jamaah Ahmadiyah Indonesia. Bagi pemerintah pada waktu itu nampaknya masalah jamaah Ahmadiyah itu ketika itu mempunyai dua aspek pertimbangan. Pada satu sisi jamaah Ahmadiyah Indonesia dilihat sebagai penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada sisi lain warga jamaah Ahmadiyah Indonesia ketika itu adalah korban tindakan kekerasan sebagian warga masyarakat yang karenanya harus dilindungi. Untuk menangani kedua sisi masalah itu secara simultan, maka Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SKB tersebut pada tanggal 9 Juni 2008. Perlu dicatat, bahwa dasar kebijakan untuk memelihara ketentraman masyarakat dan melindungi kelompok masyarakat jamaah Ahmadiyah Indonesia itu adalah UndangUndang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini. Dengan pertimbangan tersebut diatas, maka Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan secara yuridis serta sosiologis masih relevan dengan tugas-tugas kenegaraan kita dewasa ini. Butir ketiga tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 sebagai penyelamat Konghucu di Indonesia. Seperti diketahui meskipun Konghucu adalah salah satu dari 6 agama yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tetapi umat Konghucu Indonesia pada suatu masa telah dibatasi ruang geraknya oleh Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 sehingga mereka tidak dapat menyelenggarakan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat mereka di muka umum. Sebagai akibatnya sebagian mereka kemudian bergabung dengan salah satu dari lima agama lainnya, baik dalam kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat, maupun dalam pencantuman identitas agama dalam kartu tanda penduduk dan sebagainya. Meskipun mungkin mereka masih memeluk agama Konghucu. Hal ini berlangsung selama 33 tahun, yaitu sejak tahun 1967 hingga 2000. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang pada intinya menetapkan pencabutan larangan sebagaimana diatur oleh Inpres Nomor 14 Tahun
74
i.
ii. iii.
1967 tersebut. Dengan pencabutan ini maka secara legal pembatasan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat China di Indonesia tidak berlaku lagi. Pada tahun 2002 dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, tahun baru Imlek dinyatakan sebagai hari nasional. Kemudian pada tahun itu juga, 2002, Menteri Agama RI mengeluarkan Surat Nomor 331 Tahun 2002 menyatakan bahwa hari raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Tetapi dengan penetapan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional itu pun masih belum serta merta umat Konghucu memperoleh kebebasan beragama dan hak-hak sipil mereka. Karena masih ada pendapat dalam masyarakat bahwa hari raya Imlek bukanlah milik umat Konghucu semata tetapi adalah milik seluruh masyarakat keturunan Tionghoa. Kemudian perlu dicatat bahwa hak beragama kaum Konghucu dan hak-hak sipil mereka itu baru terpenuhi secara faktual setelah Menteri Agama RI mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional dengan Nomor 12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006, perihal Mengenai Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Konghucu dan Pendidikan Agama Konghucu yang menyatakan, sebagai berikut: bahwa berdasarkan Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965, Pasal 1 penjelasan, dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebagaimana diketahui undang-undang tersebut sampai saat ini masih berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani umat Konghucu sebagai umat penganut agama Konghucu. Selanjutnya berkaitan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Maka Deparartemen Agama memperlakukan perkawinan para umat Konghucu yang dipimpin pendeta Konghucu adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut. berkaitan dengan butir 1 di atas, maka pencatatan perkawinan bagi para penganut agama Konghucu dapat dilakukan sesuai peraturan perundangan yang ada. Demikian pula hak-hak sipil lainnya. berkaitan dengan butir 1 di atas, kami, maksudnya Menteri Agama, berpendapat bahwa pendidikan agama Konghucu sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan akan memfasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan agama Konghucu di sekolah-sekolah dan seterusnya. Sejak keluarnya Surat Menteri Agama Nomor 12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006 itulah kaum Konghucu secara faktual memperoleh kebebasan menjalankan agama dan ha-hak sipilnya. Perlu dicatat bahwa dasar hukum ynag dijadikan pijakan oleh Menteri Agama dalam menerbitkan surat tanggal 24 Januari 2006 itu adalah Undang-Undang
75
iv.
Nomor 1/PNPS/1965 yang menurut Surat Mahkamah Konstitusi Nomor 356/PAN.MK/XII/2005 tanggal 26 Desember 2005 yang ditujukan kepada Saudara. WS. Budi Estan Wibowo, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2727, masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah penyelamat hak beragama dan hak-hak sipil umat Konghucu di Indonesia. Dan karenanya undang-undang ini tidak bertentangan UUD 1945. Undang-Undang 1/PNPS/Tahun 1965 sebagai pijakan pemeliharan kerukuan umat beragama. Sebagaimana disebutkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 pada butir iii dan iv, salah satu tujuan penerbitan undang-undang itu adalah agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia. Dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodan/penghinaan. Dengan kata lain, undang-undang ini diterbitkan dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antar umat beragama. Sebagai aturan hukum, undang-undang ini telah dijadikan dasar oleh para hakim di pengadilan-pengadilan dalam memutus perkara-perkara yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Keputusan-keputusan hakim itu telah menjadi kekuatan hukum tetap dan telah secara efektif telah berfungsi memelihara kerukunan umat beragama, bukan saja umat Islam tapi juga umat beragama lainnya. Sejumlah keputusan pengadilan yang telah diterbitkan tersebut dalam kaitan ini antara lain, putusan hakim pengadilan dalam kasus Arswendo Atmowiloto, kasus Saleh di Situbondo ‘96 dikenai Pasal 156A, kasus Mas’ut Simanungkalit 2003 dikenai Pasal 156A, kasus Mangapin Sibuea Pimpinan Sekte Pondok Nabi Bandung 2004 dikenai Pasal 156A, kasus Yusman Roy 2005 dikenai Pasal 335 dan 157 KUHP. Putusan Hakim Pengadilan Agama Negeri Jakarta Pusat Nomor 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST.29 uni 2006 dalam Perkara Lia Eden, kasus Abdurachman yang menganggap Imam Mahdi, kasus penistaan kitab suci di Malang 2006 dikenai Pasal 156A dan puluhan keputusan pengadilan tentang perkara penyalahgunaan dan atau penodaan agama di Nusa Tenggara Timur yakni terkait perkara-perkara penodaan roti suci postia di lingkungan umat beragama Katolik. Khusus putusan-putusan pengadilan yang disebut terakhir ini mungkin luput dari pengamatan Konferensi Wali Gereja Indonesia atau dipandang tidak berhubungan dengan peran Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 telah terbukti berhasil memelihara kerukunan antar umat beragama dan
76
juga kerukunan internal umat beragama, baik Islam, Kristen, maupun Katolik. Karena itu Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang kelima, Undang-Undang 1 PNPS 65 dan masalah diskriminasi. Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa UndangUndang Nomor 1 PNPS Tahun 65 adalah diskriminatif karena membatasi agama hanya pada 6 agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu adalah pendapat yang tidak benar. Memang pada Penjelasan Pasal 1 Paragraf pertama undang-undang itu dikatakan sebagai berikut, “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia“. Tetapi kemudian paragraf ketiga, Penjelasan Pasal 1 itu juga secara eksplisit disebutkan sebagai berikut, “ini tidak berarti bahwa agamaagama lain misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan seterusnya” kutipan maksudnya Undang-Undang Dasar 45. Perlu dicermati di sini, bahwa baik ketika menyebutkan 6 agama tersebut di atas maupun ketika menyebutkan agama-agama lainnya Penjelasan Pasal 1 itu menyebutkan bahwa kedua jenis kelompok agama itu mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945. Bahkan ketika menyebut agama-agama lainnya selain yang enam, penjelasan itu secara eksplisit menyatakan bahwa jaminan itu bersifat penuh. Karena itu Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Prinsip kebebasan beragama seperti dianut undang-undang ini seringkali tidak dipahami oleh masyarakat baik nasional maupun internasional. Sebagai contoh, terjadi dalam suatu dialog bilateral hak asasi manusia antara Indonesia dan Norwegia di Oslo tanggal 26 sampai dengan 29 April 2009 pada Komisi Interfaith Dialog and Religious Tolerance. Pada awal sidang-sidangnya dalam komisi itu dilaporkan hasil sidang serupa pada tahun sebelumnya 2008 yang menyatakan antara lain, bahwa Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65 perlu dicabut karena undang-undang itu dinilai membatasi hanya pada 6 agama. Mendengar hal itu Ahli kebetulan ketika itu menjadi salah seorang anggota delegasi Republik Indonesia dalam forum itu mengajak peserta dialog HAM bilateral itu untuk membaca dengan seksama Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS 65. Setelah diskusi secara seksama komisi itu menyimpulkan bahwa agama-agama diluar agama yang 6 juga boleh hidup dan mendapat dukungan konstitusional yang sama di Indonesia. Akhirnya komisi itu merekomendasikan perlunya sosialisasi kesadaran bahwa agama-agama di luar yang 6 itu boleh dan mempunyai hak hidup di Indonesia. Tepatnya hasil rumusan working group itu dimuat pada butir empat, yang berbunyi saya kutipkan sebagai berikut, “ Socialization/rezim public
77
awarness of existence of more than one…, of more than six religions and all that religions are acknowledge. All religions and believes are equally guaranteed by the Indonesian Constitution.”
Butir keenam, kebebasan hak asasi manusia dibatasi oleh undangundang. Saya singkatkan saja, saya kira kita sudah membahas sejak sidang-sidang yang lalu mengenai Pasal 29 ayat (1) dan (2) juga Pasal 28E, Pasal 28I yang saya mohonkan ialah bahwa membaca undangundang dasar ini sebaiknya membaca secara keseluruhan. Jangan membaca Pasal 28E dan 28I, dan meninggalkan Pasal 28J. Saya ingin kutipan yang 28J karena akan saya buktikan dengan instrumeninstrumen internasional, 1. setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2. dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; Perlu digarisbawahi di sini, bahwa pembacaan pasal-pasal itu hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Orang tidak boleh hanya membaca Pasal 29, Pasal 28I..., dan berhenti pada Pasal 28I saja, melainkan juga harus membaca Pasal 28J, sebagai kesatuan dengan pasal-pasal sebelumnya. Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak perlu mengecilkan hati kita, seolah-olah kita adalah bangsa yang tidak memiliki kebebasan beragama. Hal itu dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Sesungguhnya, dalam instrumen-instrumen internasional pun hal serupa memang diatur. Dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang diadopsi PBB pada tahun 1948. Perlu dicatat bahwa Undang-Undang Dasar kita 1945, kita tiga tahun lebih awal daripada deklarasi itu. Pasal 29 kita lebih awal tiga tahun. Pasal 29 ayat (2) dikatakan sebagai berikut, dalam deklarasi PBB itu, saya bacakan terjemahannya, “Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undangundang semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.” Dalam Konvenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik, yang kemudian kita ratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, juga ada pasal 18 ayat (3), mohon di baca, “Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat
78
dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan Tahun 1981 Pasal 1 ayat (3), juga dinyatakan sebagai berikut, saya bacakan terjemahannya, “Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum dan nilai-nilai moral, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.” Demikian juga dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989. Pasal 14 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut, saya bacakan terjemahannya, “Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan dan nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.” Dengan demikian, Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai instrumen internasional yang telah diadopsi dan ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini, maka apabila Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 itu dipandang sebagai salah satu pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang. Maka hal itu sebenarnya adalah tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945. Karena adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 itu yang harus dibaca sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya. Yang terakhir, penodaan agama sebagai isu internasional. Masyarakat internasional memang terbelah, sedikitnya menjadi dua kelompok terkait isu penodaan agama. Sebagian kelompok masyarakat mengatakan bahwa pernyataan penodaan, penistaan terhadap agama, adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Mereka berpendapat bahwa yang seharusnya dilarang bukanlah penodaan, penistaan agama, melainkan penistaan terhadap manusia. Kelompok ini berpendapat bahwa menodai agama adalah hanyalah menodai sesuatu benda di luar manusia, karenanya tidak perlu berpengaruh terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Adapun kelompok kedua berpendapat bahwa penodaan agama adalah bagian dari penodaan/ penistaan terhadap manusia. Karena penodaan/ penistaan agama tidak dapat dilepaskan dari penodaan/ penistaan terhadap manusia pemeluk agama itu sendiri. Di sini lah letak perbedaannya. Sesungguhnya kita Bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang religius cenderung memilih pendapat kelompok kedua. Dalam hubungan ini, kita ingin mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kelompok pertama seperti, apakah kalau seseorang menghina milik orang lain itu tidak
79
berarti menghina si pemiliknya? Apakah bila seseorang menghina rumah tempat tinggal seseorang, tidakkah dengan sendirinya ia sedang menghina pemilik atau orang yang menempati rumah itu? Apabila seseorang menista suatu ras atau suatu suku, apakah orang itu tidak sedang dengan sendirinya menista pemilik ras atau suku tersebut? Demikianlah seterusnya. Apalagi agama, sesuatu yang bukan hanya dimiliki manusia, tapi juga dimuliakan dan disucikan. Oleh karena itu, penodaan, penistaan agama, adalah dengan sendirinya menjadi penodaan/ penistaan terhadap manusia pemeluk agama itu sendiri. Karena itu pula maka masalah penodaan, penistaan agama, secara langsung menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Sehingga negara perlu turun tangan dan memberikan rambu-rambunya. Dalam kaitan ini, menarik dicermati butir ke-13 dari hasil kesepakatan Durban Review Conference, sebuah forum seminar resmi Persatuan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan April 2009, yang menyatakan sebagai berikut, “Re affirms that any
advocacy of national racial or religious hattrick that constitute insidement to descrimination hostility or violent shall be prohibitted by law.” Artinya,
menegaskan bahwa setiap anjuran kebencian karena rasa kebangsaan, ras, atau agama yang mendorong kepada diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang dengan undang-undang, dan seterusnya. (kutipan) Dokumen Durban Review Conference ini, sesungguhnya merupakan perkembangan yang baru dan merupakan pemahaman dalam kehidupan masyarakat internasional. Karena dokumen itu sesungguhnya secara substantif telah mengakomodasi ide tentang perlunya menghindari penodaan atau penistaan agama, yang tadi disebut religious blasfemia atau religious defamation. Hanya saja istilah yang digunakan adalah lain, yaitu insidement of hattrick atau pengobaran kebencian berdasarkan agama. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 1 PNPS 65 Pasal 4, atau Pasal 156 KUHP, digunakan istilah permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama. Tadi pagi juga telah disebutkan bahwa sidang Majelis Umum PBB mengajak masyarakat internasional untuk memerangi penodaan agama atau religious defamation. Jadi saya kira telah terjadi perkembangan di dalam pemikiran dunia internasional. Bergeser dari mengatakan bahwa religious defamation itu tidak perlu diatur, menjadi sekarang masyarakat internasional memahami kehati-hatiannya, karena sekarang mengganggu keamanan dan ketertiban. Saya kira perlu dicermati perkembangan ini. Demikianlah Bapak Hakim Ketua dan Para Hakim Anggota yang saya muliakan, beberapa pendapat yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini.
80
Atas perhatian Ketua dan Para Anggota Majelis Hakim, kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
129. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Terima kasih, Prof. Atho Mudzhar. Berikutnya, Ahli yang diajukan juga oleh Pemerintah, Bapak Buya Bagindo Letter. Silakan. 130. AHLI DARI PEMERINTAH: BUYA BAGINDO LETTER
Assalamualaikum wr. wb.
Bapak Ketua, para Anggota Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, para hadirin. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah Bangsa Indonesia, lahir karena rakyat dan Bangsa Indonesia telah menganut agama dan berbudaya. Karena itu Pancasila mulai berakar dari ajaran agama dan budaya bangsa, atau rakyat Indonesia yang terwujud dalam kelima sila Pancasila. Makanya Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 wajib dipertahankan dan dikokohkan. Sehingga Undang-Undang tahun 1965 semakin solid dan berperan serta berfungsi dalam menyusun dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Kita menyadari yang menjadi daya tahan bagi setiap individu dan masyarakat, atau bangsa, terdiri dari dua hal. Yang pertama, agama. Yang menjadi anutan, tuntunan, serta petunjuk, sebagai keyakinan dan kepercayaan dalam membangun dan menata hidup, dan kehidupan yang seimbang antara rohani dan jasmani, antara spiritual dan material, antara duniawi dan ukhrawi, antara individu dan masyarakat. Yang kedua, adalah budaya atau kultur. Istilah sehari-hari disebut adat. Budaya berfungsi mengarahkan serta mewujudkan di bidang kemasyarakatan, perpolitikan, perekonomian, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian, falsafah hidup, cara-cara ritual keagamaan. Setiap membangun dan menciptakan kebudayaan harus di atas landasan iman dan takwa, yang melahirkan akhlak yang mulia yang berakar pada ajaran agama. Dengan demikian, yang menjadi sumber aturan hidup dan kehidupan manusia bertolak dari tiga sumber. Yang pertama, adalah agama yang sifatnya objektif. Yang kedua, hukum alam atau sunatullah yang bersifat objektif, orang minang mengatakan, “Alam terkembang jadi guru.” Hukum-hukum alam ini adalah sangat objektif di mana saja dia akan sama. Yang ketiga hukum akal, hukum akal bersifat subjektif dan conditioning tergantung kepada kepentingan. Dengan pepatah mengatakan, ”Kepala sama berbulu atau rambutnya sama tetapi
81
pendapatan berbeda-beda kalau akal yang diadu tidak akan bertempur terus sampai hari dunia kiamat.” Karena itu keberhasilan pendidikan
harus seimbang antara spiritual, intelektual, dan profesional. Di dalam istilah-istilah dzikir, fikir, dan mahir. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Bab 5 Pasal 12 dan Bab 6 bagian ke 9 Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan. Beserta pada Bab 10 Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (1) dan (2), makanya penyalahgunaan agama dan/atau penodaan agama sangat berlawanan dan bertentangan prinsip dasar pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, jikalau ada usaha untuk ikhtiar perorangan atau kelompok yang menolak Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 dengan dalih apapun, berarti mereka bukan saja akan mengundang anarkis dan melanggar pancasila Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus melanggar kerukunan hidup beragama yang selama ini telah berjalan dengan baik, aman, damai, dan tenteram. Perubahan TAP MPR dan Amandemen Undang-Undang 1945. Dengan adanya TAP MPR Nomor III MPR 2000, Pasal 1 ayat (3) berbunyi, ”Sumber hukum dan dasar-dasar nasional adalah pancasila
yang tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan.” Pada ketetapan MPR Nomor V MPR Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dijelaskan pada Pasal1 Bab 3 Poin 1 berbunyi, ”Terwujudnya nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya, budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum dasar Hak Asasi Manusia.”Nilai-nilai agama
dan nilai-nilai budaya bangsa selalu berpihak kepada kebenaran dan menganjurkan untuk memberi maaf kepada orang yang telah bertobat dari kesalahannya.” Dan pada Poin 4 berbunyi, “Tegaknya sistem hukum
yang berdasarkan pada nilai filosofi yang berorientasi pada kebenaran, keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban hukum. Hal ini disertai dengan kemauan dan kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran tentang keadilan lampau.” Jadi kalau undang-undang yang dahulu masih bermanfaat untuk masa yang akan datang tetap dipakai tidak perlu dibatalkan. Sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan pengakuan terhadap kesalahan yang telah dilakukan serta pengembangan sikap dan perilaku memaafkan dalam rangka rekonsiliasi nasional.
82
Pada Bab 5 tentang kaidah pelaksanaan pada Poin 2 Bagian a berbunyi, ”Memfasilitasi diselenggarakannya dialog dan kerjasama pada tingkat nasional maupun daerah yang melibatkan seluruh unsur bangsa, baik formal maupun informal yang mewakili kemajemukan agama, suku, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk menampung berbagai sudut pandangan guna menyamakan persepsi dan mencari solusi. Pada TAP MPR Nomor VII/MPR/Tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan pada Pasal 2 Bab 4 tentang Visi Indonesia sampai Tahun 2020 berbunyi Poin 1 mengenai religius. Jadi masalah agama. a. Tujuannya terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berahlak mulia, sehingga ajaran agama khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya terutama kejujuran dihayati dan diamalkan dalam perilaku kesehariannya. b. Terwujudnya toleransi antar dan antar umat beragama. c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sampai sekarang telah terjadi 4 kali perubahan amandemen. Pada perubahan dalam Bab X ditambah dengan Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Pasal 28E ayat (1) dan (2), berbunyi: ayat (1) : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” ayat (2) : “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani.” Pasal 28I ayat (1), berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” ayat (2) berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” ayat 3 berbunyi : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” ayat 4 berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” ayat (5) berbunyi : “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang dihormati yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Kemudian, pembatasan dan pengendalian HAM. Perwujudan hak asasi manusia yang telah dituangkan dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 pada Bab XA Pasal 1 dan Pasal 2 diatur dan dikendalikan
83
a. b. c. d.
atau diberi sanksi pelanggaran pada Pasal 28J Bab XA Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2), berbunyi : ayat (1) : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Cuma sekarang banyak demokrasi ini sudah salah guna. Umpamanya sekarang ini, sepuluh orang berjalan, delapan orang, orang maling, pembunuh, yang dua orang doang elok. Jadi kalo sistem suara terbanyak saja, pasti si maling yang elok, yang dua tadi akan buruk. Kalau tidak ada aturan demokrasi itu sendiri. Kebebasan berpikir atau kemerdekaan berpikir dan berpendapat tanpa aturan, pengendalian dan sanksi akan mengakibatkan: pelanggaran etika, moral yang berakar pada agama dan budaya; hilangnya keseimbangan hidup antara rohani dan dan jasmani, spiritual dan material, lahir dan batin, serta ukhrawi dan duniawi; timbulnya anarkis, terganggunya keamanan, kedamaian, dan stabilitas yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara; terjadinya pelanggaran sistematis terhadap Pancasila dan Undangundang Dasar 1945 karena diintervensi oleh ideologis sekuler yang provanis, dan materialis atheis;
131. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Saudara Ahli, kalo bisa dipersingkat, ndak usah dibaca semua. 132. AHLI DARI PEMERINTAH : BUYA BAGINDO LETTER Ya, baik. HAM tanpa berakar pada agama dan budaya bangsa,
nah ini perlu barangkali kami sampaikan. HAM tanpa berakar, mohon
pahami ini jadi masalah betul sekarang ini. HAM tanpa berakar pada agama dan budaya bangsa dan negara akan menurunkan derajat dan harkat serta hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebagai contoh, di negara-negara sekuler seperti Amerika, Australia, Rusia, dan lain-lain dimana undang-undangnya membolehkan kawin sejenis (homoseks), dan lesbian antara sesama laki-laki dan lakilaki, atau homoseks sesama perempuan dan perempuan atau lesbian. Sedangkan binatang atau hewan saja tidak pernah melakukan kawin sejenis. b. seseorang boleh menentukan untuk mengakhiri hidup dengan caranya sendiri, artinya membunuh diri melalui medis, atau euthanasia, tindakan untuk mematikan seseorang untuk meringankan
84
penderitaan hidup. Jadi kalau sudah membosankan manusia, keluarganya bisa datang ke rumah sakit untuk membunuhnya. ... Kebebasan berpikir dan berpendapat tanpa dikendalikan agama dan budaya, yang bertolak kepada kecerdasan akal saja, pikiran-pikiran bebas tadi akan menyesatkan. Pendapat yang menyesatkan itu cukup banyak melalui paham, teori dan ideologi. Semuanya itu tidak menghasilkan kebenaran yang jelas dan terang batas-batasnya karena tidak mempunyai logika yang padu dan falsafah yang sempurna dengan menghitung aspek jasmani dan rohani, akal dan perasaan, duniawi dan ukhrawi, serta aspek hubungan manusia dengan Tuhan, agama dan moral hanya memperhitungkan aspek jasmani akal dan duniawi saja serta memutus hubungan dengan Tuhan dengan agama dan moral. Padahal manusia mempunyai aspek jasmani dan rohani, akal dan perasaan, punya kehidupan duniawi dan ukhrawi serta punya hubungan dengan Tuhan dengan agama dan moral apalagi dasar negara kita sudah jelas. Diantara pendapat yang menyesatkan itu ialah pendapat yang menyatakan Tuhan itu tidak ada, seperti pendapat Comte bahwa percaya kepada Tuhan adalah budi yang ketinggalan dan bahwa Tuhan itu sudah mati Ini dikatakan oleh Niche, karena akal saja yang dikemukakan. Pendapat yang menolak moral, Engels mengatakan, kami menolak tiap-tiap dogma moral dan dalam hasil kongres kaum bebas berpikir atau fredenker di Munchen tahun 1912 mengambil keputusan bahwa kesopanan yang berdasarkan agama adalah tidak sopan. Yang ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa agama tidak diperlukan seperti kata Engel bahwa agama adalah salah satu aspek tekanan jiwa seperti Karl Marx mengatakan agama candu rakyat. Yang keempat, manusia sama saja dengan hewan seperti pendapat Darwin, manusia adalah sejajar dengan hewan. Jadi kalau diberi kebebasan berpikir saja, nah ini yang akan terjadi, yang HAM tadi. Yang kelima, pendapat yang mengatakan bahwa kesehatan akal rohani terletak pada kesehatan jasmani. Yang sering orang Yunani sebut men sana in corpore sano, pada tubuhyang sehat terdapat jiwa yang sehat. Padahal semua orang maling, penipu, koruptor badannya sehat, tapi jiwanya sakit dan kotor. Kalau jiwa tidak dibina dengan agama. Yang keenam, pendapat yang mengatakan bahwa kebutuhan pokok manusia adalah pangan atau materi seperti dikatakan oleh orangorang materialisme, manusia sebagai materi maka sebagai satu-satunya yang diperlukan adalah materi. Kalau kita ikuti pendapat-pendapat manusia tanpa agama yang mengutuk moral dan etika akan berakibat: 1. Manusia akan selalu hidup gelisah, Williams Jens mengatakan satusatunya obat bagi kegelisahan hidup adalah percaya kepada Allah, kepada Tuhan.
85
2. manusia tidak dapat mengerti tentang dirinya tanpa agama, Dr. Aleksis Karel mengatakan ilmu pengetahuan manusia sangat bodoh akan hakikat manusia bahkan tidak mengerti atau suasana tubuh (...) 133. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Saudara Ahli, bisa diarahkan pada soal konstitusionalitas saja. 134. AHLI DARI PEMERINTAH: BUYA BAGINDO LETTER Baiklah, ini contoh ini karena terlalu kebebasan berpikir. Soal kebebasan itu ada batas, sama saja demokrasi tanpa batas seperti tadi, bisa orang maling yang menang, karena suara terbanyak menentukan tanpa adanya undang-undang. Begitu juga kemanusiaan tadi, seperti tadi adanya kaum sejenis, ayam saja sama ayam jantan tidak pernah kawin. Oleh sebab itu berdasarkan uraian di atas, konstitusi makanya Undang-Undang Nomor 1/PNPS perlu dipertahankan bahkan kalau perlu diperkokoh. Untuk menyamakan negara dan bangsa ini kalau ingin kita menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai dasar dan batang tubuh. Barangkali inilah sebagai kesimpulan kami, mudah-mudahan mempunyai arti dan makna untuk masa depan kejayaan bangsa kita ini. Demikianlah, wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum wr.
wb.
135. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Terima kasih, Bapak Buya. Baik, Saudara kita punya waktu 10 menit, saya prioritaskan untuk Pemohon saja kalau memang ada pertanyaan, biar nanti tidak menggerutu kok tidak diberi waktu katanya. Silakan, 3 orang ini ditanya untuk Saudara. Kecuali kalau di sini waktu tidak terpakai. 136. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBI YONESTA, S.H. Terima kasih Yang Mulia atas prioritasnya. Menyikapi yang terakhir saja, kita juga ingin tahu apakah kapasitas ahli, apakah dia sebagai Ketua MUI Sumbar begitu, apakah sebagai Ahli agama ataukah sebagai Ahli filsafat, ataukah sebagai Ahli HAM, ataukah sebagai Ahli Konstitusi? Sehingga jelas arah pikirannya kemana. Karena saya melihat, kami melihat tidak ada konsistensi. Konsistensi ini penting untuk pertanyaan kami, tolong dijelaskan bagaimana kita.., ahli bisa menjelaskan HAM yang diatur dalam konteks konstitusi kita, Pasal 28A, B, C, Indonesia, Pasal 29 dan banyak pasal-pasal yang lain, itu bertentangan? Jadi kami minta penjelasan informasi bahwa…, apa
86
namanya…,mengatakan bahwa HAM tidak sesuai dengan kebudayaan dan sebagainya. Nah, kalau kita konsisten terhadap pikiran itu menurut kami misalnya dalam konteks diskriminasi, diskriminasi jelas ada 4 kategorinya tidak boleh ada pengecualian, dan tidak boleh pengutamaan, tidak boleh ada pembedaan dan tidak boleh, ada pembatasan. Pasal 1 disitu ada pengecualian, penyimpangan, belum lagi kepastian soal apakah pokok-pokok agama boleh berbeda dan apakah pokok-pokok agama bukan lahir dari kesepakatan, yang artinya juga bisa berbeda bisa ada orang yang tidak mensepakatinya. Itu satu, untuk Pak Ato. Yang kedua, untuk Pak Dr. Mudzakkir. Yang pertama ini kesejarahan, kenapa ini hanya Pasal 4 yang dimasukkan dalam KUHP? Kalau ngomong ada tindak pidana yang harus dihukum Pasal 1 juga dihukum, penghukumannya ada di Pasal 3, apa rasionalisasinya? Itu yang pertama. Yang kedua, di Pasal 1 ini soal kepastian hukum karena perkara PNPS ini sekali lagi oleh Pemohon diajukan tidak hanya soal kebebasan beragama saja tapi juga soal kepastian hukum. Bagaimana kita bisa mengukur kepastian hukum seperti Pasal 28D bahwa kalau pokok-pokok ajaran agama itu adalah kesepakatan dan dimungkinkan juga dalam prinsip HAM yang lain yang juga diatur dalam pasal yang lain boleh berbeda dimana kepastiaannya kalau seandainya dikatakan bahwa ini menyimpang dan tidak menyimpang padahal pidana harus ada kepastian, dimana letak kepastian hukumnya? Pasal 4 mengeluarkan perasaan saya bacakan Pasal 4 nya Pak, merujuk pada Pasal 56A “dipidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barang siapa saja dimuka umum mengeluarkan atau mengeluarkan perbuatan bagaimana kita mengeluarkan perasaan bagaimana kita mengukur ini dalam kerangka kepastian hak konstitusional setiap warga negara, yang pada pokoknya bersifat permusuhan. Bagaimana kita mengatur dan mengindikasikan tentang sifat ini bagaimana, karena contoh kasus Arswendo misalkan tadi juga disebutkan oleh saksi Ad Hoc mencontohkan tentang Arswendo. Apakah yang yang dilakukan sifat Aswendo sifat bermusuhan? Yang dia menggunakan poling terbuka, yang faktual polingnya memang mengatakan bahwa Nabi Allah Muhammad urutan ke-11 misalnya seperti itu, apakah sifat seperti itu sifat permusuhan sejak itu tetapi dia kena, bagaimana menjamin kepastian hukum yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Saya minta penjelasan Pasal 4 ini penilaian dari Saudara ahli, apakah ini memang sesuai dengan semangat kepastian hukum yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Jangan sampai orang yang tidak salah misalkan atau tidak memiliki niatan, bukan motivasi tetapi niatan untuk tidak melakukan permusuhan, atau tidak melakukan penodaan dia kena pasal ini. Kalau sampai dia kena pasal ini yang indikatornya tidak jelas yakni melanggar Konstitusi karena
87
Konstitusi mengatur kepastian yakni pelanggaran konstitusional. Terima kasih. 137. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H., LL.M. Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan saya untuk ahli Profesor Mudzhar, berkaitan dengan pokok-pokok ajaran agama. Di dalam Pasal 1 penjelasannya khususnya dijelaskan bahwa Departemen Agama yang mengetahui pokok-pokok ajaran agama. Yang ingin saya tanyakan adalah proses penentuan kebijakan tentang pokok-pokok ajaran agama. Bagaimana menilai presentase, siapa saja yang diundang oleh Depag dalam menentukan ajaran pokok-pokok ajaran agama, kemudian mengenai referensi atau rujukan, referensi apa saja apa saja yang diambil oleh Depag kita harus jujur di dalam agama kita banyak Mazab atau aliran. Dan yang terakhir adalah mengenai tim pakem dan saya mendapatkan SK tentang tim Pakem ini dari website Depag disini disebutkan bahwa dalam SK. KEP.004/DA/01/1994 disebutkan bahwa Depag adalah anggota tim Pakem. Tim Pakem ini adalah tim koordinasi pengawasan aliran kepercayaan masyarakat itu ada di Jaksa Agung tetapi disini Depag sebagai anggota. Mohon kami dikoreksi kalau kami salah khususnya disini kami yang mewakili Depag adalah Kepala badan Penelitian dan Pengembangan. Saudara Ahli, yang saya ingin tanyakan seberapa jauh kontribusi Depag dan Tim Pakem itu? Kemudian yang kedua, mengenai status rekomendasi tim pakem, seberapa jauh rekomendasi tim pakem ini ditindaklanjuti oleh instansi terkait kita tahu. Di dalam Pasal 2 Undang-Undang PNPS ini dijelaskan bahwa ada SKB yang bisa dikeluarkan oleh 3 Menteri, Yang pertama ada Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Depag. Yang ingin saya tanyakan apakah rekomendasi tim pakem ini selalu diikuti oleh 3 instansi tersebut? Terima kasih. 138. KUASA HUKUM PEMOHON: SITI AMINAH, S.H. Terima kasih pertanyaan saya ajukan kepada Pak Atho, terkait ketika kita mengajukan judicial review disini seluruh argumen mengatakan bahwa Undang-Undang 1 PNPS 1965 ini adalah menjaga kerukunan umat beragama kita selalu mempertanyakan apa sih indikator kerukunan umat beragama dan ternyata departemen agama sudah mengeluarkan indikator pembangunan agama pada tahun 2008. Nah di dalam indikator pembangunan agama disini salah satu instrumen yang diukur adalah instrumen kerukunan umat beragama baik ditingkat individu maupun kelompok. Dan untuk mengukur indikator kerukunan umat beragama ditingkat kelompok ini Depag mengeluarkan tingkatan
88
indikator disini ada 8 indikator diantaranya mungkin saya bacakan beberapa, berapa banyak terjadi kerusakan rumah ibadah oleh pemeluk atau paham atau agama lain kemudian misalnya, berapa banyak peristiwa aksi, demonstrasi, pawai, sweeping karena menentang kehadiran pemeluk agama lain atau satu dari aliran agama tertentu. Saya rasa pedoman pembangunan atau indikator pembangunan agama ini seharusnya Depag bisa mengukur indeks kerukunan umat beragama di Indonesia berdasarkan indeks yang disusun oleh Depag. Nah, mungkin disini kita ingin mengetahui indikator kerukunan umat beragama yang berdasarkan indikator oleh Depag itu sendiri mengingat sejauh ini pengerusakan-pengerusakan rumah ibadah itu tetap terjadi kemudian sweeping-sweeping atau pengancamanpengancaman atas nama agama itu tetap terjadi, itu pertanyaan pertama. Kemudian yang kedua, disamping yang disampaikan oleh Bapak Ato dipersidangan ini, kurang lebih Bapak Ato juga mengeluarkan tulisan yang berjudul Instrumen Internasional dan Peraturan Perundangundangan Indonesia tentang Kebebasan dan Perlindungan Beragama isinya hampir sama dengan yang disampaikan, hanya pada poin terakhir Bapak mengatakan bahwa disini terkait dengan 6 agama yang diakui atau tanda kutip itu tidak ada di dalam Undang-Undang 1 PNPS 1965 tapi itu ada didalam Undang-Undang Adminduk. Nah, itu juga terkait dengan argumen bahwa undang-undang ini menjadi penyelamat Konghucu. Pertanyaan saya, kalau ini tidak didasarkan kepada UndangUndang Nomor 1 PNPS 1965, mengapa untuk teman-teman atau penganut agama Loka harus menunggu 41 tahun untuk bisa mencantumkan keyakinannya atau mengosongkan keyakinannya, itu pertama. Kemudian untuk konghucu kalau misalnya undang-undang ini dinilai sebagai penyelamat pada tahun 2006 dengan dicabutnya Inpres itu bagaimana sebelumnya apakah tidak bisa kita katakan bahwa umat Konghucu pun menjadi korban, karena mereka harus masuk kedalam pengelompokan agama yang dibangun saya mohon penjelasan kalau Bapak mengatakan tidak ada pengelompokan agama menjadi 6 atau sebelumnya menjadi 5 mengapa itu terjadi sampai 41 tahun? Terima kasih. 139. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H. Yang Mulia, satu lagi dari Pemohon. 140. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Apa tidak cukup saja nanti sama saja diulang-ulang, ini tadi substansinya hampir sama saja.
89
141. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H. Ini berbeda Majelis, yang ini saya ajukan kepada Dr. Mudzakkir sebagai ahli dalam konteks. 142. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Singkat saja tidak usah banyak ilustrasi. 143. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H. Bapak menyebutkan bahwa yang dilindungi oleh undang-undang ini adalah agama kalau ya, lantas siapa pihak yang secara sah mewakili agama, padahal setiap kelompok mengklaim sebagai penganut yang paling benar dari suatu agama meskipun dalam faktanya masing-masing kelompok bisa berbeda. Penjelasan umum undang-undang ini diangka 4 nya menerangkan bahwa ulama yang menetapkan pokok-pokok ajaran. Apakah pendapat atau fatwa misalnya fatwa sesat dari ulama satu kelompok dapat dijadikan dasar bahwa kelompok yang bersangkutan telah melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang atau penodaan agama, oleh karena itu melanggar pasal 1 dan pasal 4 undang-undang ini. Nah, terus apakah dapat dibenarkan apabila negara mendasarkan hanya pada satu kelompok keagamaan dalam menerapkan undang-undang ini. Selanjutnya bagaimana menentukan mans free {sic} nya atau niat delik Pasal 1 atau Pasal 4. Terus apa bentuk-bentuk tindakan yang dapat dijerat Pasal 1 atau Pasal 4 dan kemudian tadi ahli menyatakan bahwa ajaran agama adalah wilayah internal agama yang tidak boleh dicampuri. Dalam hal ada penyerangan atau kekerasan terhadap suatu kelompok yang menganut ajaran yang dinilai sesat atau menyimpang, pihak manakah yang semestinya dikenakan pidana? Pihak yang melakukan penyerangan atau yang menganut ajaran yang dinilai sesat atau menyimpang? Kemudian kepada ahli Bapak Atho, tadi ahli menjelaskan bagaimana penerapan Pasal 1 undang-undang ini. Ahli mengambil contoh dalam kasus Ahmadiyah, di mana pemerintah mengeluarkan SKB karena didasarkan pada adanya ajaran atau keyakinan Ahmadiyah yang menimbulkan pertentangan di masyarakat, contoh ini menunjukan bahwa Pasal 1 undang-undang ini bukan hanya melarang tindakan menceritakan dan seterusnya, tapi memang ditujukan untuk membatasi ajaran atau keyakinan yang menimbulkan pertentangan. Bagaimana menurut pendapat Ahli? Terima kasih.
90
144. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Baik, ini kita Maghrib itu nanti jam 6.20 WIB. Oleh sebab itu, sekurang-kurangnya jam 5.20 kita sudah harus berhenti untuk menyisakan waktu bagi sholat Ashar 1 jam. Silakan Pak Mudzakkir, jadi mungkin 5 menit 5 menit saja kalau tidak nanti bisa disampaikan oleh Pemerintah sebagai kesimpulan atau pandangan terhadap pertanyaanpertanyaan tadi. Silakan. 145. AHLI DARI PEMERINTAH: DR. MUDZAKKIR, S.H. Terima kasih, Ketua Majelis Hakim yang saya hormati. Yang pertama ingin saya sampaikan mengenai persoalan kepastian hukum yang terkait dengan ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, terutama yang terkait juga dengan Pasal 4. saya ingin sampaikan di sini bahwa yang pertama tadi dipersoalkan adalah mengenai kata-kata menyimpang dalam konteks dari pokok ajaran agama jadi Pasal 1 yang saya kutip itu ada yang memuat dari kata-kata menyimpang dari pokokpokok ajaran agama. Kalau yang tadi ada dokumen yang lain yang tidak memuat mungkin nanti di check lagi bahwa mana yang benar. Kalau saya berasumsi yang pertama adalah karena saya download dari situsnya Departemen Hukum dan Ham mudah-mudahan yang benar. Jadi menurut pendapat saya dari Pasal 1 itu tadi sudah saya kemukakan secara panjang lebar bahwa sifat dilarangnya perbuatan di dalam Pasal 1 adalah menyimpangi dari pokok ajaran agama. Dimana letak pokok ajaran agama adalah sesuatu yang pokok dari ajaran agama, maka di dalam ajaran agama itu ada yang ajaran pokok, ada ajaran yang cabang. Kewajiban Sholat adalah ajaran pokok, bagaimana cara sholat mengangkat tangan atau tidak, pakai Qunut atau tidak, itu adalah cabangnya. Jadi kalau sudah ada orang memerintahkan tidak perlu sholat dan seterusnya berarti dia bertentangan dengan ajaran pokok. Bagi orangorang yang memahami, mengikuti, mendalami agama saya kira hal-hal yang seperti ini sangat terang benderang. Jadi, kapan itu menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama, maka pembuat undang-undang ini atau pembuat PNPS ini menurut saya bijaksana juga. Mengapa dia memasukkan kata-kata ”pokok ajaran agama” bukan semata-mata ajaran agama. Kalau ajaran agama nanti bisa sangat banyak sekali perbedaanya tapi ini yang pokok. Berarti kalau pokok dalam konteks yang saya ketahui dalam ajaran agama Islam mengenai sesuatu yang pokok ajaran agama. Kata kunci pokok di sini adalah aqidah. Kalau sudah mengenai aqidah, berarti itu menyangkut sesuatu yang pokok mengenai penafsiran seperti ini, siapa yang menafsirkan tentu saja adalah orang yang mewakili. Saya ulangi lagi adalah orang yang ditunjuk atau yang mewakili tentang agama ini agama Islam. Kalau organisasi ya Majelis Ulama Indonesia. Andaikata Majelis Ulama Indonesia sekalipun
91
ketika ingin memberi fatwa tentang sesuatu mengundang juga Ahli-Ahli yang lain, tokoh-tokoh yang lain untuk dibicarakan mengenai hal itu. Biasanya kalau fatwanya sangat fundamental pasti dia akan berdiskusi, berdialog dan seterusnya, Barulah keluar fatwa. jadi menurut pendapat saya sejauh yang saya ketahui karena saya lebih banyak bersinergi dengan ajaran agama Islam sehingga akan jelas dimana letak pokok, dimana letak tidak pokok. Mungkin bagi orang lain yang tidak pernah pelajari agama mungkin agak bingung ya, kapan itu yang pokok, kapan itu tidak. Sejauh yang pokok siapapun orangnya yang menyimpang dari ajaran pokok aqidah, itulah yang saya sebut sebagai Pasal 1 tadi agak jelas ukurannya. Pertanyaannya adalah siapa yang melakukan interpretasi sudah saya sampaikan tadi Majelis Ulama, dialah yang punya kompeten, tentu saja sebelum buat fatwa, dia riset, yang saya ketahui dia harus riset dan kemudian seminar dan seterusnya barulah kemudian memberikan fatwa tentang itu. Nah kalau itu fatwa, itu adalah hubungannya adalah bersifat internal adalah sangat mengikat terhadap orang lain tentu saja ikatan hukumnya agak lebih rendah, tetapi konteks inilah kemudian Pemerintah kalau mereka sudah diberi fatwa tersebut toh masih berlaku melakukan sesuatu barulah biasanya kemudian mulailah turun yang disebut sebagai campur tangan atau sebut saja keterlibatan pemerintah dalam satu konteks ini. Jadi menurut saya susunan ini akan jelas dari wilayah internal agama begitu dia sudah tidak bisa diselesaikan dan ternyata masih memiliki ini masuk dalam ranah publiknya. Setelah masuk ranah publik barulah kemudian masuklah negara. Jadi kalau sudah negara sudah dipandang dia sebagai sesuatu yang menyimpang dari pokok ajaran agama kemudian menegur dan seterusnya melarang, mengancam sanksi pidana. Jadi ada tahapan-tahapannya tadi sudah saya katakan, kalau toh sampai seperti itu demi keamanan, ketertiban tadi mulailah muncul namanya sanksi Pidana. Organisasinya bisa dinyatakan organisasi yang dilarang. Kemudian persoalan berikutnya adalah mengenai kepastian hukum dalam konteks bagaimana rumusan Pasal 4 atau Pasal 156 yang di dalamnya memuat tentang kalimat dikatakan mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan. Jadi Majelis Hakim yang saya muliakan, bahwa kata-kata permusuhan, saya kira terminologi yang jelas. Musuh itu berarti menganggap orang lain sebagai sesuatu yang diserang, itu namanya musuh. Jadi kalau kita membuat pernyataan bahwa membuat orang lain musuh, itulah yang saya sebut sebagai melakukan, yang disebut sebagai pernyataan, atau mengemukakan, atau mengeluarkan perasaan, atau melakukan perbuatan, yang bersifat permusuhan. Dan musuh biasanya harus diserang atau dilawan. Menyalahgunaan saya kira jelas, ya. Istilah menyalahgunaan adalah menggunakan sesuatu yang tidak pada sesuai dengan maksud
92
dan tujuannya. Ini namanya menyalahgunaan wewenang atau menyalahgunaan agama. Jadi agama disalahgunakan berarti, adalah agama itu tidak digunakan sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh agama yang bersangkutan. Dan penodaan ini juga menurut saya penodaan ini agak lebih jelas, yang membuat agama ini ternoda. Siapa yang ternoda? Orang yang menganut agama merasakan itu bahwa tindakan penodaan. Seperti halnya bendera, menodai terhadap Bendera Republik Indonesia, membuat orang yang punya bendera itu merasa ternoda dengan adanya simbol negara tersebut. Biasanya kalau kami menafsirkan di dalam konteks hukum pidana, jelas, jadi dalam melakukan interpretasi dan seterusnya. Sebab pasal yang sejenis ini cukup banyak. Tadi sudah saya sebutkan, ada mungkin tiga atau lima pasal yang berhubungan dengan pengeluaran perasaan permusuhan. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana kalau orang itu tidak melakukan permusuhan, tidak melakukan penodaan, ya harus dibebaskan, kalau dia tidak melakukan penodaan. Maka di sini lah yang ingin saya sampaikan bahwa dalam suatu konteks hukum, penegakkan hukum pidana itu interpretasinya harus dengan hukum pidana. Jadi orang bisa mengetahui kapan dia orang menodai, kapan orang mengeluarkan perasaan permusuhan, kapan dia akan menyalahgunakan agama. Kalau kita masuk dalam ranah hukum pidana, maka kita akan tahu kapan itu masih dalam kompetensi hukum administrasi, atau bahkan kapan itu kompetensi internal agama yang bersangkutan, dimusyawarahkan saja, kapan dia masuk kompetensi administrasi negara, dan kapan itu masuk dalam konteks hukum pidana. Saya kira akan jelas proses-proses seperti yang biasanya diatur dalam hukum pidana. 146. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Baik, Bapak Ahli. Mungkin nanti sisanya ditulis saja. Berikutnya, mungkin silakan Pak Atho. 147. AHLI DARI PEMERINTAH: DR. MUDZAKKIR, S.H. Ya, terima kasih. 148. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. H.M. ATHO MUDZHAR Bapak Ketua dan para Hakim Majelis yang kami muliakan, hadirin sekalian yang kami hormati. Pertama, ingin saya singgung persoalan bahwa agama menurut Undang-Undang PNPS 1 Tahun 1965, agama itu justru tidak dibatasi pada enam. Saya kira kita tidak bisa mencari undang-undang yang lebih
93
baik daripada ini. Dia tidak dibatasi pada enam, termasuk masyarakat barat pun kalah sebetulnya, beberapa negara kalah. Kita itu tidak membatasi pada enam. Saya kira ini lebih baik kita mengacu pada undang-undang, memahami undang-undang ini. Yang terbaik adalah membaca penjelasannya itu, jangan mengutip teori sana-sini, siapasiapa, filosof ini-ini, tidak relevan. Yang relevan adalah, pertama-tama harus dibaca penjelasan undang-undang itu. Nah, dalam kaitan ini. Pertama, saya ingin mengatakan bahwa sebetulnya Undang-Undang Ad Induk memang tidak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Karena undang-undang Ad Induk berbicara mengenai agama yang diakui. Menurut pendapat saya, tidak ada negara tidak mengakui sesuatu agama itu agama atau tidak agama. Yang mengakui itu adalah penganutnya sendiri. Yang jadi soal ialah negara melayani umat itu. Jadi oleh karena itu, maka sebenarnya tidak ada agama yang diakui itu dan tidak perlu ada. Itulah luasnya Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Boleh semuanya mendapat jaminan UUD 1945. Yang kedua, mengenai pengukuran itu kepastian hukum, itulah tadi yang saya tunjukkan. Kalau kita membaca penjelasan, jelas kepastian hukumnya itu, yaitu apa..., penyimpangan itu tadi terkait dengan ketertiban masyarakat, gangguan keamanan masyarakat, persatuan nasional, persatuan bangsa. Karena itu, kasus Ahmadiyah misalnya. Ahmadiyah itu sekarang ini tidak dilarang untuk percaya apa pun juga, dan tidak dilarang beribadah juga. Yang dilarang ialah memobilisasi umum, menganjurkan suatu paham tertentu saja. Karena paham itulah yang menimbulkan pertentangan dalam masyarakat, menganggu keamanan. Jadi, tentu di situ ada persoalan di mana negara bisa masuk. Orang Ahmadiyah sekarang boleh beribadah sebagaimana yang dia menggunakan masjid-masjidnya, tidak diganggu, keyakinan dia. Tetapi jangan mengajarkan suatu paham yang menimbulkan pertentangn dalam masyarakat, Karena itu mengganggu kemanan dan ketertiban. Ketika terjadi ganggu baik yang menyerang maupun yang diserang, saya kira tidak perlu ditanyakan. Siapa yang bersalah bisa diproses secara hukum. Jadi karena itulah SKB Ahmadiyyah itu imbang sebetulnya kalau kita perhatikan. Dia melarang Ahmadiyah menyebarkan paham yang menimbulkan pertentangan dengan masyarakat. Sebetulnya bukan hanya paham agama yang dilarang kalau menimbulkan pertentangan masyarakat. Paham-paham lain pun itu tidak ditolerir mestinya, kalau menggangu persatuan nasional, persatuan bangsa. Tapi di sini dikhususkan tentang agama, jadi…,yang kedua, penganut Ahmadiyah dilindungi oleh SKB itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi itu saja saya kira Bapak Hakim Ketua, yang lainnya saya tidak merasa perlu diberi tanggapan karena tidak relevan dengan persoalan konstitusionalitas. Terima kasih.
94
149. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Apakah Buya, saya kira tidak ada pertanyaan tadi untuk Buya. Baik, Saudara-Saudara sekalian.., silakan. 150. HAKIM KONSTITUSI: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Terima kasih Bapak Ketua. Saya punya pertanyaan kepada Bapak Buya. Tadi Buya mengatakan karena bertumpu kepada pikiran adalah negara tertentu yang memperkenankan kawin lesbian atau kawin homoseks. Yang Buya katakan, hewanpun tidak ada yang kawin homoseks atau lesbian. Apakah itu Buya bisa mengaitkannya dengan AlQur’an, “Summaradatna Radatna pawa ashasabiliin.” Kemudian jatuh kepada tingkat yang lebih rendah daripada binatang. Terima kasih Bapak Buya. Terima kasih, Bapak Ketua. 151. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Mau di jawab atau mau dikatakan iya begitu saja kan? Iya kan jawabannya. Ya sudah cukup. Baik dengan demikian sidang dinyatakan ditutup. Meskipun begitu kepada Pemohon kalau pertanyaan-pertanyaan tadi belum..., merasa belum terjawab dengan baik, saudara bisa ubah pertanyaan itu dalam bentuk pernyataan. Nanti di dalam kesimpulan atau ditanyakan lagi kepada ahli-ahli berikutnya. Dengan demikian sidang dinyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 17.20 WIB
95