VOLUME 26 NOMOR 3, DESEMBER 2011 ISSN 0126 – 3188
AKREDITASI : SK 187/AU1/P2MBI/08/2009
Penanggung Jawab: Kapuslit Metalurgi – LIPI Dewan Redaksi : Ketua Merangkap Anggota: Ir. Ronald Nasoetion, MT Anggota: Dr. Ir. Rudi Subagja Dr. Ir. F. Firdiyono Dr. Agung Imadudin Dr. Ika Kartika, MT Ir. Yusuf Ir. Adil Jamali, M.Sc (UPT BPM – LIPI) Prof. Riset. Dr. Ir. Pramusanto (Puslitbang TEKMIRA) Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi, DEA (UI) Dr. Ir. Sunara, M.Sc (ITB) Sekretariat Redaksi: Pius Sebleku, ST Tri Arini, ST Arif Nurhakim, S.Sos Penerbit: Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470 Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 Alamat Sekretariat: Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470 Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 E-mail :
[email protected] Majalah ilmu dan teknologi terbit berkala setiap tahun, satu volume terdiri atas 3 nomor.
Pengantar Redaksi……………….xxvii Abstrak ……………………………….xxix Metoda Foto Back-Reflection Laue untuk Menentukan Arah Sumbu Kristal Tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) Agung Imaduddin …………..………… … 117
Peningkatan Kadar Nikel (Ni) dan Besi (Fe) dari Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Jenis Saprolit untuk Bahan Baku Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI) Agus Budi P dan Puguh P…………….…...123
Preliminary Study of Elasticity on Binary Alloy Andika Widya P dan Anton S….……….. 131
Percobaan Pembuatan Fasa Intermetalik Nb 3 Sn dengan Proses Sintering Logam Niobium (Nb) dan Timah (Sn) F.Firdiyono dan Kawan-Kawan……..……137
Penguatan Tembaga Murni dengan Teknik Equal Channel Angular Pressing Solihin, Efendi M, I Nyoman GPA…........149
Pengaruh Komposisi Larutan terhadap Kandungan Mo dalam Lapisan Ni-Mo secara Elektroplating Sri Mulyaningsih dan Budi Priyono.. …..153
Pembuatan Komposit AC8A/SiCp dengan Metode Hot Press Metalurgi Serbuk T. Mustika, B. Soegiyono, I.N. Jujur…….161
Indeks
xxvi | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
PENGANTAR REDAKSI Syukur Alhamdulillah Majalah Metalurgi Volume 26 Nomor 3, Desember 2011 kali ini menampilkan tujuh buah tulisan. Tulisan pertama hasil penelitian disampaikan oleh Agung Imaduddin berjudul ” Metoda Foto Back-Reflection Laue pada Penentuan Arah Sumbu Kristal Tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4)”. Selanjutnya Agus Budi Prasetiyo dan Puguh Prasetiyo menulis tentang ” Peningkatan Kadar Nikel (Ni) Dan Besi (Fe) dari Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Jenis Saprolit untuk Bahan Baku Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI)”. Andika Widya Pramono dan Anton Suryantoro menulis tentang ”Preliminary Study of Elasticity on Binary Alloy”. Sedangkan F. Firdiyono dan Kawan-Kawan menulis tentang ” Percobaan Pembuatan Fasa Intermetalik Nb 3 Sn dengan Proses Sintering Logam Niobium (Nb) dan Timah (Sn)”. Selanjutnya, Solihin, Efendi Mabruri, dan I Nyoman Gede PA menyampaikan tulisan tentang ”Penguatan Tembaga Murni dengan Teknik Equal Channel Angular Pressing”. Tulisan berikutnya disajikan oleh Sri Mulyaningsih dan Budi Priyono dengan tulisan “Pengaruh Komposisi Larutan terhadap Kandungan Mo dalam Lapisan Ni-Mo secara Elektroplating“. Tulisan terakhir oleh Tika Mustika, B. Soegiyono, dan I.N Jujur yang berjudul “Pembuatan Komposit AC8A/SiCp dengan Metode Hot Press Metalurgi Serbuk”. Semoga penerbitan Majalah Metalurgi volume ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia penelitian di Indonesia.
REDAKSI
Pengantar Redaksi |
xxvii
xxviii | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 669.7 Agung Imaduddin (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI ) Metoda Foto Back-Reflection Laue pada Penentuan Arah Sumbu Kristal Tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (atau disebut LSMO 327) mempunyai sifat magnetoresistance terbesar dibandingkan grup lainnya, ( seperti LSMO 113 ). Dalam pembuatan kristal tunggal diperlukan metoda yang praktis untuk menentukan arah sumbu kristal tunggalnya. Pada tulisan ini akan dipaparkan metoda penentuan arah sumbu kristal tunggal tersebut dengan memakai foto back-reflection Laue untuk mengetahui arah sumbu a, b dan c terhadap arah penumbuhan kristalnya. Dalam penelitian ini digunakan 2 sampel kristal tunggal LSMO 327 dengan konsentrasi Sr pada x=0,4. Dari metoda back reflection Laue tersebut, diketahui bahwa kristal tunggal LSMO 327 memiliki sudut arah sumbu c dengan sudut 80° terhadap arah pertumbuhan kristalnya. Sedangkan arah sumbu a dan b tidak terlihat sama pada kedua sample. Kata kunci : LSMO 327, Foto back-reflection Laue, Kristal tunggal Mn oxide materials have long been known to have a large magnetoresistance properties. LA 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (or called LSMO 327) has the largest magnetoresistance properties compared to other groups (such as LSMO 113). The preparation of single crystals required a practical method to determine the direction of the axis of single crystals. In this paper, we reported a method of determining the direction of the axis of single crystals by using back-reflection Laue photographs to determine the direction of the axis a, b and c to the direction of crystal growth. We used two samples of single crystal LSMO 327 x = 0.4. By the back-reflection Laue method, we know that c-axis of LSMO 327 single crystals have an angle of 80° to the direction of crystal growth. While the direction of the a-axis and b-axis does not look the same in both samples. Keywords : LSMO 327, Back-reflection Laue photographs, Single crystals
Abstrak
| xxix
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 670.1 Agus Budi Prasetiyo dan Puguh Prasetiyo (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI ) Peningkatan Kadar Nikel (Ni) dari Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Jenis Saprolit untuk Bahan Baku Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI) Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 Telah dilakukan percobaan pemanggangan reduksi terhadap bijih nikel laterit kadar rendah jenis saprolit dari Sangaji Halmahera untuk bahan baku pembuatan Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI). Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana terjadi peningkatan kadar Ni dan Fe dari saprolit kadar rendah dengan kadar 1,27 % Ni dan 9,44 % Fe. Pemanggangan reduksi terhadap pellet saprolit dilakukan dalam muffle furnace. Selanjutnya kalsin hasil reduksi dikonsentrasi menggunakan magnetik separator dengan cara basah untuk mendapatkan konsentrat dan tailing. Kemudian konsentrat dan tailing dianalisa dengan AAS untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kadar Ni dan Fe. Untuk percobaan digunakan variabel temperatur, waktu dan persen reduktor. Diperoleh hasil percobaan optimal pada T ± 1100 °C, bentonit 2 %, waktu pemanggangan 1 jam. dan 12,5 % batubara. Pada konsentrat terjadi peningkatan kadar Ni menjadi 1,97 % dan kadar Fe menjadi 19,10 %. Sedangkan pada tailing terjadi penurunan kadar Ni menjadi 1,02 % dan kadar Fe naik menjadi 11,20 %. Apabila konsentrat dilebur menjadi NCPI/NPI sesuai untuk menjadi SS 300 (stainless steel 300) sedangkan tailing apabila dilebur menjadi NCPI/NPI sesuai untuk menjadi SS 200. Kata kunci : Laterit kadar rendah, Saprolit, Nikel mengandung bijih besi (NCPI/NPI), Reduksi , Konsentrat,Tailing, Magnetik separator Reduction experiments have been conducted on the ore roasting of low grade nickel laterite saprolite type of Halmahera Sangaji feedstock for the manufacture of Pig Iron Containing Nickel (NCPI / NPI). These experiments are intended to determine the extent of an increase in levels of Ni and Fe from low grade saprolite grading 1.27% Ni and 9.44% Fe. Reduction roasting of pellets made in a Muffle Furnace saprolite. Further reduction results calcine concentrated using a magnetic separator with a wet method to get the concentrate and tailings. Then the concentrate and tailings were analyzed by Atomic Adsorption Spectrophotometry (AAS) to determine how much increased levels of Ni and Fe. For the experiments used a variable temperature, time and percent reducing agent. Optimal experimental results obtained at T ± 1100 °C, 2% bentonite, 1 hour roasting time. and 12.5% coal. At concentrations increased levels to 1.97% Ni and Fe levels to 19.10%. While the levels of Ni tailings decreased to 1.02% and Fe levels rose to 11. 20%. If the concentrate is melted into NCPI / NPI according to the SS 300 (stainless steel 300) while the tailings when merged into NCPI / NPI according to the SS 200. Keywords : Low grade nickel laterite, Saprolite, Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI), Reduction, Concentrate , Tailing, Magnetic separator
xxx | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 669.1 Andika Widya Pramono dan Anton Suryantoro (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Preliminary Study of Elasticity on Binary Alloy Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 Apabila setiap komponen dari suatu campuran logam memiliki modulus elastisitas atau struktur kisi (lattice structures) yang berbeda, efek elastis akan berpengaruh pada laju coarsening serta morfologi fasa yang terbentuk. Dalam hal ini efek mekanis yang ditimbulkan oleh fenomena elastisitas ini lebih dominan dibandingkan dengan laju difusi dari proses coarsening. Efek elastis mekanis ini kemudian dapat berpengaruh kepada sifat mekanis dari campuran logam tersebut. Makalah ini menyajikan gambaran awal bagaimana efek elastisitas tersebut dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan elemen hingga (finite element) melalui penggunaan persamaan Cahn-Hilliard yang dilanjutkan dengan Persamaan Parabola Orde Keempat. Model Cahn–Hilliard dengan efek elastisitas dikembangkan berdasarkan persamaan energi bebas Ginzburg–Landau yang merupakan fungsi dari perbedaan konsentrasi. Kata kunci : Elastisitas, Struktur kisi, Pendekatan Cahn-Hilliard, Energi bebas Ginzburg Landau If the components of the mixture have different elastic moduli or different lattice structures, elastic effects might influence the rate of coarsening and the morphology of the particles. In this case the aspect of quasi-static equilibrium for the mechanical part is more predominant than the diffusion mechanism. The resulting elastic effects have a pronounced impact on the evolving coarsening morphology and hence on the material properties. This paper tries to give preliminary consideration on how this elastic behavior is analyzed through finite element approximation using Cahn Hiliard Approach followed by Fourth Order Nonlinear Degenerate Parabolic Equation. Cahn–Hilliard model with elastic contributions is based on a Ginzburg–Landau free energy which is a functional in terms of the concentration difference. Keywords : Elasticity, Lattice structures, Cahn-Hilliard approach, Ginzburg-Landau free energy
Abstrak
| xxxi
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 621.319 F. Firdiyono dan Kawan-Kawan (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Percobaan Pembuatan Fasa Intermetalik Nb 3 Sn dengan Proses Sintering Logam Niobium (Nb) dan Timah (Sn) Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 Penentuan kondisi optimum meliputi waktu milling Nb dan Sn dengan HEM (High Energy Milling), perbandingan jumlah Nb dan Sn, waktu dan temperatur pemanasan campuran Nb dan Sn. Pengamatan karakterisasi Nb 3 Sn yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan DTA (Differential Thermal Analyzer), XRD ( X-Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDS (Enegy Dispersive x-ray Spectros opy). Analisis dengan menggunakan SEM dan XRD menunjukkan waktu minimum yang diperlukan untuk milling campuran Nb dan Sn adalah 3 jam, sedangkan hasil dari analisis DTA menunjukkan pembentukan Nb 3 Sn terjadi pada temperatur sekitar 700 °C. Analisis XRD terhadap campuran Nb dan Sn menunjukkan bahwa makin lama waktu pemanasan maka fasa intermetalik Nb 3 Sn yang terbentuk akan semakin banyak. Kata kunci : MRI, NMR, Maglev, Superkonduktor Cu-Nb-Sn, Nano dalam tabung, Superkonduktor temperatur rendah , Nb3Sn Determination of optimum conditions include milling time of Nb and Sn with HEM, ratio of Nb and Sn, heating time and heating temperature of mixed Nb and Sn. Characterization of Nb3Sn produced from the process was performed using DTA, XRD, SEM and EDS. The results of SEM and XRD analysis showed the minimum time needed for milling Nb and Sn are 3 hours, and the result of DTA analysis showed the intermetalic phase of Nb3Sn was occured at the temparetuir around 700 °C. The result of XRD analysis for mixed Nb and Sn showed that by the increasing of heating time will produced more intermetalic phase of Nb3Sn. Keywords : MRI, NMR, Maglev, Superkonduktor Cu-Nb-Sn, Nano-powder-in-tube, Low temperature superconductor, Nb3Sn
xxxii | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 620.112 Solihin, Efendi Mabruri, I Nyoman Gede PA (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI ) Penguatan Tembaga Murni dengan Teknik Equal Channel Angular Pressing Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 Penguatan tembaga murni dengan metode Equal Angular Channel Pressing telah dilakukan terhadap tembaga murni. Hasil pengerjaan ECAP dengan jalur ekstrusi ECAP rute Bc, dimana benda kerja diputar 90° setiap pass, menghasilkan pembelahan grain menjadi sub-grain yang memiliki ukuran yang menurun drastis dengan sudut butir yang lebih kecil. Seiring dengan penurunan besar butir, kekerasan tembaga tersebut meningkat drastis. Kata kunci : Equal Angular Channel Pressing, Severe Plastic Deformation, Sub-Grain, Tembaga The hardness of high purity copper has been increased through Equal Angular Channel Pressing method. The application of ECAP method with extrution rute Bc , in which the sample was rotated 90° for each pass, result in the generation of sub-grain within the grain. The size of new grain (sub –grain) is drastically smaller than initial grain and also has low angle. With the decreasing of grain size, the hardness drastically increases. Keywords : Equal Angular Channel Pressing, Severe Plastic Deformation, Sub-Grain, Copper
Abstrak
| xxxiii
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 621.34 Sri Mulyaningsih dan Budi Priyono (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI ) Pengaruh Komposisi Larutan terhadap Kandungan Mo dalam Lapisan Paduan Ni-Mo secara Elektroplating Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan lapisan paduan Ni-Mo yang akan digunakan sebagai lapisan bond coat untuk lapisan tahan temperatur tinggi (TBC). Penelitian dilakukan dengan menggunakan bahan dasar plat nikel 99% yang diroll dan dibentuk sampel berukuran 25 x 50 x 2 mm. Sampel kemudian diberi lapisan dengan cara elektroplating menggunakan larutan yang terdiri dari NiSO4, Na2MoO4, C8H8O7. Komposisi larutan divarisikan menjadi 5 jenis larutan dengan perbandingan; I. 0,1 : 0,1: 0,1 mol, II. 0,075 : 0,125 : 0,1 mol, III. 0,050 : 0,100 , 0,1 mol, IV. 0,025 : 0,125: 0,1 moll dan V. 0,001 : 0,2 : 0,1 mol. Proses dilakukan pada suhu ruang dengan rapt arus 0,1 A/dm2. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa larutan III menghasilkan lapisan dengan kadar Mo terbaik yaitu 21,19%. Kata kunci : Elektroplating, Paduan Ni-Mo, Lapisan tahan temperatur tinggi There has been done the experiment about electro deposition Ni-Mo alloy as a bond coat layer for high temperature resistance coating, known as Thermal barrier coating (TBC). The sample is made from Nickel 99%. Roll process was done to thinning the samples and then cut the material into 25 x 50 x 2 mm shape. Electroplating process was done on the surface of materials by mixed NiSO4, Na2MoO4 and C8H8O7 for the solution. Electroplating process was carried out at 0,1-0,6 A/dm2 at room temperature. Composition of the solution was varied within I. 0,1 : 0,1: 0,1 mol, II. 0,075 : 0,125 : 0,1 mol, III. 0,050 : 0,100 , 0,1 mol, IV. 0,025 : 0,125: 0,1 moll and V. 0,001 : 0,2 : 0,1 mol. The best Mo content from the experiment is NiMo coating from solution III, it was 21,19 %. Keywords : Electroplating, Ni-Mo alloy, Thermal barrier coating
xxxiv | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy) ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 3 Desember 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya. UDC (OXDCF) 620 T. Mustika, B. Soegiyono dan I.N. Jujur (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI ) Pembuatan Komposit AC8a/SiCp dengan Metode Hot Press Metalurgi Serbuk Metalurgi, Volume 26 No.3 Desember 2011 Perencanaan suatu proses produksi sederhana yang mudah diaplikasikan pada industri menengah merupakan latar belakang dari riset ini. Pada riset ini dipelajari sejauh mana mekanisme pembentukan bahan dengan proses hot press metalurgi serbuk di lingkungan udara yang tidak dikondisikan, akan berpengaruh terhadap karakteristik dari Aluminium Matrix Composites (AMCs). Komposit terbuat dari serpihan AC8A cor yang di haluskan sebagai matrik dan ditambah kan partikel keramik SiC sebanyak 20% volume sebagai penguat. Proses hotpress dilakukan pada temperatur 380 ºC dengan tekanan sebesar 425 MPa selama 5 menit dalam lingkungan udara yang tidak dikondisikan. Dilakukan perbandingan karakteristik dari material yang dibuat dengan cara hot press serbuk Aluminium paduan AC8A dengan dan tanpa partikel penguat SiC, serta material AC8A hasil cor. Hasil pengamatan terhadap komposit AC8A/SiCp memperlihatkan mikrostruktur yang padat. Pada beberapa tempat terdapat bagian partikel SiC yang retak dan terlepas dari SiC lainnya di permukaan AC8A. Hasil Uji tekan serta SEM dari retakan hasil uji tekan yang terjadi menunjukkan bahwa tercapai ikatan permukaan yang baik antara aluminium paduan dengan SiC. Hasil XRD menunjukkan fase dominan yang terbentuk sebelum dan setelah proses hotpres AC8A/SiCp adalah Al, Si dan SiC. Hasil uji mekanis menunjukkan bahwa kekerasan serta kuat tekan (compression strength) dari AC8A hasil hot press metalurgi serbuk lebih tinggi dibandingkan ingot AC8A hasil cor, namun kuat luluh (yield strength) AC8A hasil hot press metalurgi serbuk jauh lebih rendah dibandingkan ingot AC8A hasil cor. Kata kunci : Komposit matrik aluminium, Hot press tanpa pengkondisian udara Formulated a simple process to become easier in application in medium scale industries was the main background of this research. In this research, we investigate how far hot forming mechanism in an unconditional air is affecting to the microstructure and properties of Aluminium Matrix Composites (AMCs). Composites made using AC8A flakes that have been reduced into particle size as a matrix, which added 20% volume SiC particles as reinforcement, hot pressed at 380 ºC with pressure of 425 MPa for 5 minutes under unconditional air. The comparation between the characteristics of material made by hot pressing of AC8A powder with and without reinforching SiC particles, and cast ingots AC8A have been done.The observation of AC8A/SiCp composite showed a dense microstructure. In some places there is SiC particles which are fragmented and separated from other SiC particles on AC8A surface. The results of compression test and SEM observation of fractography occurred and indicates that a good interface diffusion bonding between AC8A with SiC have been reached. XRD results indicate that the dominant phase formed in AC8A/SiCp before and after hotpress was Al, Si and SiC. The results of mechanical tests showed hardness and compression strength of hot pressed AC8A had a higher results than the cast AC8A, but the yield strength of hot pressed AC8A is much lower than cast AC8A. Keywords : Aluminium metal composites, Unconditioned air hot press
Abstrak
| xxxv
xxxvi | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
METODA FOTO BACK-REFLECTION LAUE UNTUK MENENTUKAN ARAH SUMBU KRISTAL TUNGGAL La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) Agung Imaduddin Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314 E-mail :
[email protected]
Intisari La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (atau disebut LSMO 327) mempunyai sifat magnetoresistance terbesar dibandingkan grup lainnya, ( seperti LSMO 113 ). Dalam pembuatan kristal tunggal diperlukan metoda yang praktis untuk menentukan arah sumbu kristal tunggalnya. Pada tulisan ini akan dipaparkan metoda penentuan arah sumbu kristal tunggal tersebut dengan memakai foto back-reflection Laue untuk mengetahui arah sumbu a, b dan c terhadap arah penumbuhan kristalnya. Dalam penelitian ini digunakan 2 sampel kristal tunggal LSMO 327 dengan konsentrasi Sr pada x=0,4. Dari metoda back reflection Laue tersebut, diketahui bahwa kristal tunggal LSMO 327 memiliki sudut arah sumbu c dengan sudut 80° terhadap arah pertumbuhan kristalnya. Sedangkan arah sumbu a dan b tidak terlihat sama pada kedua sample. Kata kunci : LSMO 327, Foto back-reflection Laue, Kristal tunggal
Abstract Mn oxide materials have long been known to have a large magnetoresistance properties. LA 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (or called LSMO 327) has the largest magnetoresistance properties compared to other groups (such as LSMO 113). The preparation of single crystals required a practical method to determine the direction of the axis of single crystals. In this paper, we reported a method of determining the direction of the axis of single crystals by using back-reflection Laue photographs to determine the direction of the axis a, b and c to the direction of crystal growth. We used two samples of single crystal LSMO 327 x = 0.4. By the back-reflection Laue method, we know that c-axis of LSMO 327 single crystals have an angle of 80° to the direction of crystal growth. While the direction of the a-axis and b-axis does not look the same in both samples. Keywords : LSMO 327, Back-reflection Laue photographs, Single crystals
PENDAHULUAN Sejak penemuan superkonduktor oksida Cu oleh Bernorz-Muller tahun 1986 penelitian terhadap struktur perovskite semakin tertuju. Hal ini juga berlaku pada bahan oksida Mn yang telah lama diketahui mempunyai sifat tahanan magnet yang sangat tinggi (giant magnetoresistance). Oksida Mn mempunyai struktur dasar perovskite, dimana atom Mn terletak di tengah dan dikelilingi 6 atom oksigen, pada tiap-tiap sudut struktur perovskite itu, terletak atom La dan Sr. Bahan oksida Mn mempunyai rumus umum (La, Sr) 1+n Mn n O 3n+1 (n = 1, ∞), 2, dimana n
adalah jumlah lapisan (layer) Mn-O yang berdekatan. Sifat listrik dan magnetnya berasal dari orbit 3d pada ion Mn dan elektron mengalir pada lapisan Mn-O dari bahan oksida tersebut. Pada n=2, bahan ini memiliki sifat tahanan magnet terbesar, dan konsentrasi Sr yang dinyatakan dengan x pada La 22x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (atau disebut juga LSMO 327) memiliki sifat tahanan magnet terbesar pada x=0,4 yaitu sekitar 100%. Pada suhu dibawah temperatur Curie (T C ), bahan ini bersifat logam dan ferromagnetik, sedangkan pada suhu diatas T C , bahan ini bersifat isolator dan paramagnetik. Untuk meneliti sifat tahanan magnet pada bahan ini diperlukan kristal
tunggal yang berkualitas tinggi. Tahap pembuatan batang pellet dan Kristal tunggal La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 x=0,4 telah kami paparkan dalam tulisan kami sebelumnya [1,3]. Pada studi penelitian ini, karakterisasi sampel dengan memakai foto back reflection Laue untuk mengetahui arah sumbu kristal a, b dan c terhadap arah penumbuhan kristalnya akan dipelajari. Gambar 1 menunjukkan struktur kristal LSMO 327.
Gambar 2. Box tempat meletakkan film yang akan menangkap pantulan sinar X dari sampel
(a=b=3,87Å, c= 20,14 Å) Gambar 1. Struktur Kristal tetragonal LSMO 327, permukaan kelupasnya terdapat pada bidang ab
Gambar 3. Gambaran katakterisasi sampel dengan memakai back reflection Laue
METODA PENELITIAN Metoda Back Reflection Laue Metoda foto back reflction Laue merupakan metoda yang praktis dan murah, karena dapat memanfaatkan peralatan XRD yang telah ada. Dengan adanya peralatan XRD, kita hanya kemudian menyiapakan box untuk menyimpan film yang akan kita cuci cetak seperti Gambar 2. Gambaran karakterisasi sampel dengan menggunakan metoda ini ditunjukkan pada Gambar 3, sedangkan metoda back reflection Laue diilustrasikan dalam Gambar 4. Gambar 4. Skema metoda foto back reflection Laue
118 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 117-122
Pada karakterisasi back reflection Laue dipakai tabung sinar-X Cu Kα, dengan daya 40kV × 30A dan lama pancaran sinar-X selama 2 jam. Jarak antara film dan sampel adalah 3 cm. Sebanyak 2 sampel LSMO 327 dengan menggunakan konsentrasi Sr pada x=0,4 (Sampel #1 dan Sampel #2) dan kondisi pembuatan sampelnya sama. Bidang yang difoto adalah bidang yang dihasilkan setelah sampel dikelupas di permukaan depan dan belakangnya. Perhitungan yang dipakai dalam menentukan arah sudut θ dan jarak bidang d yang terjadi adalah: tan(180-2θ) = r 2 /D ……(1) nλ=2d sinθ ………......(2)
Pada gambar tersebut, terlihat bahwa pada penembakan sinar X di bidang ab (0 0 1), maka arah sumbu a (1 0 0) adalah berdasarkan pola yang terlihat lurus ke atas. Demikian juga pada arah sumbu b (0 1 0), bentuk deretan spotnya membentuk sudut 90 ° dengan (1 0 0) dan memiliki bentuk deretan spot yang sama dengan (1 0 0). Arah (1 0 0) dan (1 1 1) memiliki bentuk deretan spot yang lurus dan hampir sama, sehingga untuk membedakannya kita melihat deretan spot yang ada diantara kedua deretan (1 0 0) dan (1 1 1). HASIL DAN PEMBAHASAN
dimana : r 2 =jari-jari Debye ring D=jarak antara sampel dan film Untuk mendapatkan pola simulasi back reflection Laue, dapat dipakai software Clip. Gambar 5 dibawah ini adalah gambar software Clip [8] yang dipakai untuk melakukan pola simulasi back reflection Laue pada bentuk kristal tetragonal a=b=3,87Å dan c=20,14 Å pada bidang (0 0 1) dengan jarak film dan sampel 3 mm. Dari perhitungan simulasi yang dilakukan software Clip didapatkan hasil berupa bentuk pola seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Hasil simulasi perhitungan pola back reflection Laue pada bidang ab, atau (0 0 1), dimana jarak sampel dan film adalah 30 mm [7]
Gambar 6. Hasil analisa foto back reflection Laue pada sample #1 (ke arah depan sampel). Pada penambakan sinar X ke arah belakang sampel juga memperlihatkan pola yang sama dengan arah depan
Gambar 7. Hasil analisa foto back reflection Laue pada sample #2 (ke arah depan sampel). Pada penembakan sinar X ke arah belakang sampel juga memperlihatkan pola yang sama dengan arah depan
Menentukan Arah Sumbu …../Agung Imaduddin |
119
Berdasarkan hasil foto dengan metoda back reflection Laue, permukaan depan dan belakang dari permukaan kelupasnya memperlihatkan bidang kristal yang sama. Selain itu, spot pada foto Laue memperlihatkan spot yang tidak melebar maupun terpecah, hal ini menunjukkan sampel memiliki kualitas yang tinggi (Gambar 6 dan 7). Dari bidang kelupas yang dapat dilakukan, maka diketahui bahwa bidang kelupas pada sample #1 dan #2 tersebut adalah memiliki arah sumbu c (0 0 1) dan memiliki kemiringan 80° dengan arah pertumbuhan kristal. Dimana sudut arah penumbuhan kristal dengan bidang ab adalah 10° seperti ditunjukkan dalam Gambar 8a, 8b, 8d dan 8e. Gambar 8b dan 8e berturut-turut memperlihatkan arah sumbu c pada penampang memanjang dari sampel #1 dan #2. Dengan membandingkan gambar pola simulasi memakai software Clip dan hasil foto back reflection Laue ini, maka bisa diketahui arah sumbu a dan b (Gbr 8c dan 8f). Perbedaan pada sampel #1 dan #2 adalah terletak pada arah sumbu a dan b. Pada Sampel #1, sumbu a dan b memiliki sudut sekitar 32° terhadap masing-masing garis AB dan CD (Gambar 8a dan 8c), sedangkan pada sampel #2, sumbu a dan b memiliki sudut 0° terhadap masing masing garis AB dan CD (Gambar 8d dan 8f). Hal ini menunjukkan pada bahan ini, bidang ab (arah sumbu c) (0 0 1) membentuk sudut 80° dengan arah pertumbuhan kristal, tapi arah sumbu a dan b tidak tergantung pada arah pertumbuhan kristal. Hal ini dapat dijelaskan karena panjang a dan b adalah sama (a=b=3,87 Å) sehingga sumbu a dan b dapat terbentuk dengan arah yang tidak tetap terhadap arah penumbuhan kristalnya.
Gambar 8. Gambar arah sumbu kristal tunggal pada sampel (LSMO 327 dengan konsentrasi Sr pada x=0,4) yang ditentukan dengan metoda foto back-reflection Laue
KESIMPULAN Metoda foto back reflection Laue untuk menentukan arah pertumbuhan Kristal pada La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 (x=0,4) telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisa foto Laue tersebut, pada bidang ab (arah sumbu c) (0 0 1) terbentuk sudut 80° dengan arah pertumbuhan kristal, tapi arah sumbu a dan b tidak tergantung pada arah pertumbuhan kristal. Hal ini dapat dijelaskan karena panjang a dan b adalah sama (a=b=3,87 Å) sehingga sumbu a dan b dapat terbentuk dengan arah yang tidak tetap terhadap arah pertumbuhan kristalnya.
120 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 117-122
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Prof.Yoshizawa dan seluruh anggota Yoshizawa lab. di Universitas Iwate, Jepang yang telah banyak membantu riset saya ini. DAFTAR PUSTAKA [1]Agung Imaduddin, (2001) “Growth and physical properties of La 2single crystals”, Iwate Sr Mn O 2x 1+2x 2 7 University. [2]A.Imaduddin, H. Kanazawa, N. Yoshimoto, M. Yoshizawa., (2000), “Crystal growth and physical properties of La 2-2x Sr 1+2x Mn 2 O 7 ”, Physica B, 281&282, hal. 502-504. [3]T. Kimura, Y. Tomioka, H. Kuwahara, A. Asamitsu, M. Tamura, Y. Tokura, “Interplane Tunneling Magnetoresistance in a Layered Mangaite Crystal”, (1996), Science, 274, hal. 1698. [4]Y. Tomioka, A. Asamitsu, H. Kuwahara, Y. Moritomo, Y. Tokura, (1996), “Magnetic-field-induced metalinsulator phenomena in Pr 1-x Cr x MnO 3 with controlled charge-ordering instability”, Physical Review B, vol 53, 4, hal. R1689.
[5]A. Urushibara, Y. Moritomo, T, Arima, A. Asamitsu, G. Kido, Y. Tokura, (1995), “Insulator-metal transition and giant magnetoresistance in La 1x Sr x MnO 3 ”, Physical Review B, vol 51, 20, hal.14103. [6]J.A.M. van Roosmalen, P. van Vlaanderen, E.H.P. Cordfunke, (1995) “Phase in the perovskite-Type LaMnO3+ Solid Solution and the La2O3-Mn2O3 Phase Diagram”, Journal of Solid State Chemistry 114, hal. 516-523. [7]Accessed on Nov 2011, http://www.fisica.unlp.edu.ar/magnet/jl aue.html [8]Accessed on Nov 2011, http://clip.berlios.de/ RIWAYAT PENULIS Agung Imaduddin, lahir pada tanggal Bandung, 29 September 1971. Menyelsaikan S1, S2 dan S3 di iwate university. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Metalurgi LIPI.
Menentukan Arah Sumbu …../Agung Imaduddin |
121
122 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 117-122
PENINGKATAN KADAR NIKEL (Ni) DAN BESI (Fe) DARI BIJIH NIKEL LATERIT KADAR RENDAH JENIS SAPROLIT UNTUK BAHAN BAKU NICKEL CONTAINING PIG IRON (NCPI/NPI) Agus Budi Prasetyo dan Puguh Prasetiyo Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Gedung 470 Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang E-mail :
[email protected],
[email protected]
Intisari Telah dilakukan percobaan pemanggangan reduksi terhadap bijih nikel laterit kadar rendah jenis saprolit dari Sangaji Halmahera untuk bahan baku pembuatan Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI). Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana terjadi peningkatan kadar Ni dan Fe dari saprolit kadar rendah dengan kadar 1,27 % Ni dan 9,44 % Fe. Pemanggangan reduksi terhadap pellet saprolit dilakukan dalam muffle furnace. Selanjutnya kalsin hasil reduksi dikonsentrasi menggunakan magnetik separator dengan cara basah untuk mendapatkan konsentrat dan tailing. Kemudian konsentrat dan tailing dianalisa dengan AAS untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kadar Ni dan Fe. Untuk percobaan digunakan variabel temperatur, waktu dan persen reduktor. Diperoleh hasil percobaan optimal pada T ± 1100 °C, bentonit 2 %, waktu pemanggangan 1 jam. dan 12,5 % batubara. Pada konsentrat terjadi peningkatan kadar Ni menjadi 1,97 % dan kadar Fe menjadi 19,10 %. Sedangkan pada tailing terjadi penurunan kadar Ni menjadi 1,02 % dan kadar Fe naik menjadi 11,20 %. Apabila konsentrat dilebur menjadi NCPI/NPI sesuai untuk menjadi SS 300 (stainless steel 300) sedangkan tailing apabila dilebur menjadi NCPI/NPI sesuai untuk menjadi SS 200. Kata kunci : Laterit kadar rendah, Saprolit, Nikel mengandung bijih besi (NCPI/NPI), Reduksi , Konsentrat, Tailing, Magnetik separator
Abstract Reduction experiments have been conducted on the ore roasting of low grade nickel laterite saprolite type of Halmahera Sangaji feedstock for the manufacture of Pig Iron Containing Nickel (NCPI / NPI). These experiments are intended to determine the extent of an increase in levels of Ni and Fe from low grade saprolite grading 1,27% Ni and 9,44% Fe. Reduction roasting of pellets made in a Muffle Furnace saprolite. Further reduction results calcine concentrated using a magnetic separator with a wet method to get the concentrate and tailings. Then the concentrate and tailings were analyzed by Atomic Adsorption Spectrophotometry (AAS) to determine how much increased levels of Ni and Fe. For the experiments used a variable temperature, time and percent reducing agent. Optimal experimental results obtained at T ± 1100 °C, 2% bentonite, 1 hour roasting time. and 12,5% coal. At concentrations increased levels to 1.97% Ni and Fe levels to 19.10%. While the levels of Ni tailings decreased to 1.02% and Fe levels rose to 11.20%. If the concentrate is melted into NCPI / NPI according to the SS 300 (stainless steel 300) while the tailings when merged into NCPI / NPI according to the SS 200. Keywords : Low grade nickel laterite, Saprolite, Nickel Containing Pig Iron (NCPI/NPI), Reduction, Concentrate , Tailing, Magnetic separator
PENDAHULUAN NCPI/NPI (Nickel Containing Pig Iron/Nickel Pig Iron) adalah ferro nikel (FeNi) yang mengandung 1,5 – 25 % Ni (nikel) sedangkan ferro nikel (FeNi) pada umumnya mengandung 20 – 40 % Ni.
NCPI/NPI pertama kali diproduksi di China dari bijih nikel laterit kadar rendah menggunakan blast furnace atau electric arc furnace. Dari blast furnace dihasilkan NCPI/NPI dengan kandungan 1,5 – 8 % Ni
sedangkan dari electric arc furnace dihasilkan NCPI/NPI dengan kandungan 10 - 25 Ni %. Selanjutnya NCPI/NPI digunakan sendiri oleh China untuk membuat stainless steel (SS) terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan gambaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Pada umumnya untuk membuat stainless steel (SS) digunakan ferro nikel (FeNi) tetapi China membuat terobosan teknologi membuat stainless steel (SS) dari NCPI/NPI. Pabrik - pabrik stainless steel di China pada umumnya menggunakan NCPI/NPI untuk memproduksi SS 300, dan gambaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini.
Gambar 1. Produksi Stainless Steel (SS) di China dan negara negara lainnya
Gambar 2. Produksi Stainless Steel (SS) di China menurut China Stainless Steel Counsil (CSSC)
124 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 123-130
Untuk membuat stainless steel (SS) 200 digunakan NCPI/NPI dengan kandungan 1,6 – 1,7 % Ni sedangkan NCPI/NPI dengan kandungan 4 – 5 % Ni digunakan untuk membuat SS 300. Selain SS 200 dan SS 300, China juga memproduksi SS 400. Dimana untuk membuat satu 1 ton NCPI/NPI dengan kandungan 1,6 – 1,7 % Ni untuk SS 200, dibutuhkan tiga 3 ton laterit kadar rendah basah (wet ore) dengan kadar rata - rata 1 % Ni dan 1,2 – 1,3 ton kokas. Untuk membuat NCPI/NPI dengan kandungan 4 % Ni untuk SS 300, dibutuhkan lima 5 ton laterit kadar rendah basah (wet ore) dengan kadar rata - rata 1,5 % Ni dan kokas rata - rata 1,8 ton. Sedangkan untuk membuat NCPI/NPI dengan kandungan 7 % Ni, dibutuhkan tujuh 7 ton laterit kadar rendah basah (wet ore) dengan kadar rata - rata 1,9 % Ni dan kokas rata - rata 2 ton. Prinsip pembuatan NCPI/NPI sama seperti pembuatan ferro nikel (FeNi), yaitu
pemanggangan reduksi terhadap laterit kadar rendah dengan menggunakan reduktor kokas (di China) selanjutnya hasil pemanggangan reduksi dilebur untuk menghasilkan NCPI/NPI dan slag. Apabila menggunakan teknologi tanur tiup (blast furnace) proses pemanggangan reduksi dan peleburan dilakukan dalam satu tanur tiup (blast furnace). Apabila menggunakan teknologi electric arc furnace, pemanggangan reduksi dilakukan dalam tanur putar (rotary kiln) sedangkan untuk peleburan terhadap hasil pemanggangan reduksi dilakukan dalam electric arc furnace. Laterit kadar rendah untuk bahan baku pabrik NCPI/NPI di China diimpor dari Indonesia, Philipina, dan New Caledonia. Banyaknya impor laterit kadar rendah tersebut, dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Impor laterit kadar rendah China dari Philipina, Indonesia, dan New Caledonia
Peningkatan Kadar Nikel …../Agus Budi P |
125
Pada percobaan peningkatan kadar nikel (Ni) dan besi (Fe) terhadap saprolit kadar rendah untuk bahan baku NCPI/NPI, dilakukan pemanggangan reduksi menggunakan reduktor batubara didalam muffle furnace. Selanjutnya terhadap hasil pemanggangan reduksi dipisahkan dengan magnetic separator cara basah untuk mendapatkan konsentrat dan tailing. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana kandungan nikel (Ni) maupun besi (Fe) (didalam konsentrat dan tailing) sebelum dilebur untuk menghasilkan NCPI/NPI. Apabila memungkinkan untuk menghasilkan NCPI/NPI dilakukan peleburan masing - masing terhadap konsentrat dan tailing. PROSEDUR PERCOBAAN Diagram alir percobaan peningkatan kadar Ni (nikel) dan Fe (besi) dari bijih nikel laterit kadar rendah jenis saprolit dan hasil analisa awal saprolit dengan menggunakan Atomic Adsorption Spectrophotometry (AAS), dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 1 di bawah ini. Sedangkan untuk reduktor digunakan batubara dari daerah Dong Dang Kalimantan Timur, hasil analisa proximat dan ultimat dari batubara tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk percobaan pemanggangan reduksi dilakukan dengan memanggang ± 100 gram pellet didalam muffle furnace. Dimana pellet tersebut adalah saprolit kadar rendah yang telah dicampur dengan batubara. Sedangkan untuk variabel percobaan digunakan perbedaan temperatur, waktu dan jumlah reduktor (% batubara). Pada variabel temperatur digunakan temperatur 900 °C, 950 °C, 1000 °C dan 1100 °C. Untuk variabel waktu reduksi, divariasikan waktu dari 1 jam hingga 3 jam.
Bijih Besi Laterit (Saprolite) Analisa AAS Penggerusan sampai – 100 #
Bentonit Batubara Pelletasi
Reduksi
Analisa Proximat dan Ultimat
Hasil Reduksi
Pemisahan Cara Magnit
Konsentrat
Tailing
Analisa AAS
Gambar 4. Diagram alir percobaan
Sedangkan variabel jumlah reduktor menggunakan 7,5%, 10%, 12,5%, dan 15% batubara. Selanjutnya terhadap pelet hasil reduksi (± 85 gram) dilakukan proses pemisahan konsentrasi dengan magnetic separator (pemisah magnet) dengan cara basah pada kondisi arus listrik ± 4 A (ampere) dan voltage 59 – 60 volt. Sebelum dilakukan proses pemisahan dengan magnet cara basah, terlebih dahulu dilakukan penghalusan terhadap pelet hasil reduksi (± 85 gram) sampai ± 45 mesh kemudian dilarutkan dalam dua liter (2 l) air. Setelah diperoleh larutan selanjutnya dilakukan pemisahan magnetik untuk mendapatkan konsentrat dan tailing. Kemudian masing - masing terhadap konsentrat (85 – 90 % berat pellet hasil reduksi) dan tailing (10 – 15 % berat pellet hasil reduksi) dilakukan analisa dengan menggunakan AAS untuk mengetahui kenaikan kadar nikel (Ni) dan besi (Fe).
126 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 123-130
Tabel 1. Hasil analisa AAS bijih laterit kadar rendah jenis saprolit
Parameter (%)
Fe
Ni
Co
Cr
Mg
Ca
Saprolit
9,44
1,27
0,017
0,022
17,45
0,024
Tabel 2. Hasil analisa proximat dan ultimat batubara dari daerah Dong Dang, Kaltim
Fixed Carbon
Volatile Matter
Ash
Moisture
Nilai Kalori
33,39%
43,31%
13,46%
9,85%
5555,14
HASIL PERCOBAAN Pengaruh Temperatur Reduksi Pada percobaan dengan variabel pengaruh temperatur reduksi dilakukan dari 900 °C hingga 1100 °C dengan menggunakan variabel tetap jumlah reduktor batubara sebesar 10%, jumlah binder bentonit sebanyak 2%, dan waktu pemanggangan selama 1 jam. Konsentrat dan tailing hasil proses konsentrasi kemudian dianalisa dengan menggunakan AAS untuk mengetahui kadar Ni dan Fe. Hasil analisa terhadap konsentrat dan tailing dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Dari hasil analisa terhadap hasil hasil percobaan diperoleh nikel (Ni) dan kadar besi (Fe) paling tinggi pada konsentrat hasil proses reduksi pada temperatur 1000 0 C, yaitu 2,22% Ni dan 17,46 % Fe. Pengaruh Waktu Reduksi Pada percobaan dengan variabel pengaruh waktu reduksi mulai dari 1 jam hingga 3 jam digunakan variabel tetap jumlah reduktor batubara sebesar 10%, jumlah binder bentonit sebanyak 2%, dan temperatur 1100 °C. Konsentrat dan tailing hasil proses konsentrasi kemudian
dianalisa dengan menggunakan AAS untuk mengetahui kadar Ni dan Fe-nya. Hasil analisa terhadap konsentrat dan tailing dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini. Dari hasil analisa terhadap hasil percobaan diperoleh kadar nikel (Ni) paling tinggi pada konsentrat hasil dengan waktu 1 jam, yaitu 2,68 % Ni. Pengaruh Jumlah Reduktor Pada percobaan dengan variabel pengaruh jumlah reduktor batubara dari 7,5 % hingga 15 % berat digunakan variabel tetap jumlah binder sebanyak 2%, waktu reduksi 1 jam, dan temperatur 1100 °C. Konsentrat dan tailing hasil proses konsentrasi kemudian dianalisa dengan menggunakan AAS untuk mengetahui kadar Ni dan Fe-nya. Hasil analisa terhadap konsentrat dan tailing dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. Dari hasil percobaan sesuai dengan yang tertera pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar tertinggi Ni dan Fe terjadi pada penggunaan % reduktor sebesar 12,5 % yaitu 1,97 % Ni dan 19,1 % Fe.
Peningkatan Kadar Nikel …../Agus Budi P |
127
Tabel 3. Perbandingan % kadar Ni dan Fe dari konsentrat dan tailing
Temperatur (0C) 900 950 1000 1100
% Kadar Dalam Konsentrat Fe Ni Fe : Ni 17,3 2,16 8,01 15,86 2,04 7,77 17,46 2,22 7,86 13,84 1,89 7,32
% Kadar Dalam Tailing Fe Ni 15,69 1,86 16,71 1,95 13,19 1,44 19,05 1,70
Tabel 4. Perbandingan % kadar Ni dan Fe dari konsentrat dan tailing
Jam 1 2 3
% Kadar Dalam Konsentrat Fe Ni Fe : Ni 13,84 2,68 5,16 13,94 2,59 5,38 14,58 2,59 5,63
% Kadar Dalam Tailing Fe Ni 19,05 1,7 22,27 1,76 19,26 1,52
Tabel 5. Perbandingan % kadar Ni dan Fe dari konsentrat dan tailing
Reduktor (%) 7.5 10 12.5 15
% Kadar Dalam Konsentrat Fe Ni Fe : Ni 16,75 1,55 10,81 14,44 0,98 14,73 19,10 1,97 9,70 15,78 1,10 14,34
PEMBAHASAN NCPI/NPI adalah ferro nikel (FeNi) yang mengandung nikel rendah 1,5 – 25 % Ni sedangkan ferro nikel (FeNi) pada umumnya mengandung 20 – 40 % Ni. Dimana untuk membuat ferro nikel (FeNi) agar ekonomis prinsip utama yang perlu diperhatikan adalah perbandingan antara besi (Fe) dengan nikel (Ni). Semakin rendah perbandingan antara Fe dengan Ni maka semakin murah biaya untuk memproses menjadi ferro nikel (FeNi). Atas dasar penjelasan diatas maka pada percobaan dengan variabel perbedaan temperatur dipilih T ± 1100 °C untuk tahap pemangggangan reduksi pada variabel selanjutnya. Karena pada T ± 1100 °C seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 diatas pada konsentrat diperoleh perbandingan Fe dengan Ni terendah, yaitu Fe/Ni ± 7,32. Walaupun pada T ± 1100 °C diperoleh kadar nikel lebih rendah (1,89 % Ni) bila dibandingkan pada T ± 1000 °C
% Kadar Dalam Tailing Fe Ni 13,32 0,65 13,77 0,56 11,2 1,02 13,28 0,88
(2,22% Ni). Demikian juga hal ini berlaku untuk pemanggangan reduksi dengan variabel waktu dan jumlah reduktor batubara. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dan Tabel 5 diatas diperoleh perbandingan Fe dengan Ni terendah (Fe/Ni ± 5,16) pada waktu pemanggangan 1 jam, dan diperoleh perbandingan Fe dengan Ni terendah (Fe/Ni ± 9,70) pada penambahan reduktor12,5 % batubara. Apabila konsentrat maupun tailing dari hasil percobaan yang optimal (T ± 1100 °C, t ± 1 jam, batubara ± 12,5 %, dan bentonit ± 2 %) dilanjutkan dengan peleburan terhadap konsentrat diperkirakan akan dihasilkan NCPI/NPI yang sesuai untuk membuat SS 300, dan SS 200 untuk tailing. Karena didalam konsentrat mengandung 1,97 % Ni dan tailing mengandung 1,02 % Ni. Dengan peleburan terhadap tailing yang mengandung 1,02 % Ni, diperkirakan bisa diperoleh hasil akhir NCPI/NPI dengan kandungan 1,6 – 1,7 % Ni. Demikian juga dengan peleburan
128 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 123-130
terhadap konsentrat yang mengandung 1,97 % Ni, diperkirakan bisa diperoleh hasil akhir NCPI/NPI dengan kandungan Ni ≥ 4 % Ni. Dimana perkiraan ini sesuai dengan persyaratan bahwa untuk membuat SS 200 dibutuhkan NCPI/NPI dengan kandungan 1,6 – 1,7 % Ni. Sedangkan untuk membuat SS 300 dibutuhkan NCPI/NPI dengan kandungan Ni ≥ 4 % Ni. KESIMPULAN 1. Pada pemanggangan reduksi terhadap saprolit kadar rendah diperoleh hasil optimal pada T ± 1100 0C, t ± 1 jam, batubara ± 12,5 %, dan bentonit ± 2 %. Pada kondisi tersebut untuk konsentrat terjadi peningkatan kadar dari 1,27 % Ni dan 9,44 % Fe menjadi 1,97 % Ni dan 19,1 % Fe. Sedangkan untuk tailing terjadi penurunan kadar Ni menjadi 1,02 % Ni dan peningkatan kadar Fe menjadi 11,2 % Fe. 2. Apabila dilakukan peleburan terhadap konsentrat diperkirakan akan dihasilkan NCPI/NPI yang sesuai untuk membuat SS 300. Karena dengan peleburan terhadap konsentrat yang mengandung 1.97 % Ni, diperkirakan bisa diperoleh hasil akhir NCPI/NPI dengan kandungan Ni ≥ 4 % Ni. 3. Apabila dilakukan peleburan terhadap tailing diperkirakan akan dihasilkan NCPI/NPI yang sesuai untuk membuat SS 200. Karena dengan peleburan terhadap tailing yang mengandung 1.02 % Ni, diperkirakan bisa diperoleh hasil akhir NCPI/NPI dengan kandungan 1,6 – 1,7 % Ni.
[2] Diaz et al. 1993. Low Temperature Thermal Upgrading Of Lateritic Ores. U.S : Patent Document, Patent number : 5.178.666. [3] Firdiyono, Florentinus. 1996. Studi perilaku nikel laterit dalam larutan asam. Prosiding Seminar Material, Tangerang : Puslit Metalurgi - LIPI. [4] Firdiyono, Florentinus. Desember 2006. Penelitian ekstraksi nikel, besi dan magnesium dari larutan dengan larutan asam pada tekanan atmosfir. Majalah Metalurgi, Vol. 21 No. 2. Tangerang : Puslit Metalurgi – LIPI. [5] Lennon, Jim. May 11, 2007. The Chinese Nickel Outlook And The Role of Nickel Pig Iron. Presentation to International Nickel Study Group. Macquarie Research Commodities. [6] “Melt Test Using Nuggets Produced by a Pilot Plant”. April 2007. Skilling’s Mining Review, Vol.96 No.4. [7] Rahardjo, Binudi dan Herianto ,Edi. 2008. Penelitian Pendahuluan Pembuatan Nickel Containing Pig Iron (NCPI). Prosiding Seminar Material Metalurgi, Tangerang : Puslit Metalurgi – LIPI. [8] R.A. Bergman. June/July 2003. Nickel production from low-iron laterite ores : Process descriptions. CIM Bulletin Vol 96, No 1072. [9] Y. Wiryokusumo, dkk. 1997. Pomalaa Ferronickel Smelting Plant of PT Aneka Tambang. South - East Sulawesi Indonesia, Proceedings of The NickelCobalt 97 International Symposium. Volume III, August 17 – 20, Sudbury, Ontario, Canada.
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT PENULIS
[1] Prasetyo, Agus Budi dkk. 2009. Pengaruh temperature reduksi dalam proses peningkatan kadar nikel (Ni) dan Besi (Fe) pada bijih nikel laterit jenis limonit. Prosiding Seminar Materian Metalurgi, Tangerang : Puslit Metalurgi - LIPI.
Agus Budi Prasetyo, lahir di Klaten 23 Oktober 1982. Lulus S1 dari UPN “Veteran” Yogyakarta tahun 2005. Bekerja sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI dari tahun 2006 sampai sekarang.
Laterit Kadar Rendah…../Agus Budi P |
129
130 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 123-130
PRELIMINARY STUDY OF ELASTICITY ON BINARY ALLOY Andika Widya Pramono dan Anton Suryantoro Research Center for Metallurgy-Indonesian Institute of Sciences Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314 E-mail :
[email protected]
Intisari Apabila setiap komponen dari suatu campuran logam memiliki modulus elastisitas atau struktur kisi (lattice structures) yang berbeda, efek elastis akan berpengaruh pada laju coarsening serta morfologi fasa yang terbentuk. Dalam hal ini efek mekanis yang ditimbulkan oleh fenomena elastisitas ini lebih dominan dibandingkan dengan laju difusi dari proses coarsening. Efek elastis mekanis ini kemudian dapat berpengaruh kepada sifat mekanis dari campuran logam tersebut. Makalah ini menyajikan gambaran awal bagaimana efek elastisitas tersebut dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan elemen hingga (finite element) melalui penggunaan persamaan Cahn-Hilliard yang dilanjutkan dengan Persamaan Parabola Orde Keempat. Model Cahn–Hilliard dengan efek elastisitas dikembangkan berdasarkan persamaan energi bebas Ginzburg–Landau yang merupakan fungsi dari perbedaan konsentrasi. Kata kunci : Elastisitas, struktur kisi, pendekatan Cahn-Hilliard, energi bebas Ginzburg Landau
Abstract If the components of the mixture have different elastic moduli or different lattice structures, elastic effects might influence the rate of coarsening and the morphology of the particles. In this case the aspect of quasi-static equilibrium for the mechanical part is more predominant than the diffusion mechanism. The resulting elastic effects have a pronounced impact on the evolving coarsening morphology and hence on the material properties. This paper tries to give preliminary consideration on how this elastic behavior is analyzed through finite element approximation using Cahn Hiliard Approach followed by Fourth Order Nonlinear Degenerate Parabolic Equation. Cahn–Hilliard model with elastic contributions is based on a Ginzburg–Landau free energy which is a functional in terms of the concentration difference. Keywords: Elasticity, lattice structures, Cahn-Hilliard approach, Ginzburg-Landau free energy
INTRODUCTION We consider the Cahn–Hilliard equation - a fourth-order, nonlinear parabolic diffusion equation describing phase separation of a binary alloy which is quenched below a critical temperature. The occurrence of two phases is due to a nonconvex double well free energy. The resulting phases might have different elastic properties caused by a different lattice spacing. This effect is not reflected by the standard Cahn–Hilliard model. Here, we discuss an approach which contains anisotropic elastic stresses by coupling the expanded diffusion equation
with a corresponding quasistationary linear elasticity problem for the displacements on the microstructure [1]. The Cahn-Hilliard Model with Elasticity If the components of the mixture have different elastic moduli or different lattice structures, elastic effects might influence the rate of coarsening and the morphology of the particles. Elastic effect can result for example from different lattice spacing’s of the alloy components. The evolution of the system is governed by diffusion equations for the concentrations of the individual components and quasi-static equilibrium
for the mechanical part. The latter condition is reasonable since the mechanical equilibrium is obtained on a much faster time scale than diffusion take place. The overall systems consists of a system of fourth order parabolic difussion equation coupled to an elliptic system describing mechanical equilibrium. In the two-component-case with no elastic interactions the elliptic-parabolic system reduces to the standard scalar CahnHilliard equation. Assume the alloy consists of N components. We denote by c k (k = 1, ..., N) the concentration of component k and therefore, the vector c = (c k ) k=1,...,N has to fulfil constraint ∑ kN=1 c k = 1, i.e c lies in the affine hyperplane according to the equation:
{
N
∑ := c ' = (c k ) k =1,... N ∈ ℜ N | ∑ c ' k = 1 '
Ginzburg-Landau free energy. Energies consisting of two terms of this form go back to van der Waal’s. In the theory of phase separation in alloys they have been introduced by Cahn and Hilliard [2]. Finite Element Approximation Cahn-Hilliard System Let Ω be a bounded domain in ℜ d , d ≤ 3, with a Lipschitz boundary ∂Ω . We consider the Cahn-Hilliard system with varying mobility and logarithmic free energy: (Ρθ ) Find {uθ ( x, t ), vθ ( x, t ), wθ ( x, t ), zθ ( x, t )} such that
}
k =1
Notation : ℜ Nxn space of linear mappings from ℜ n into ℜ N we usually identify the space of linear mappings with the N x n-matrices To describe elastic effects we define the displacement field u(x), i.e. a materia point x in the undeformed body will be at the point x + u(x) after deformation. Since in phase separation processes the displacement gradient usually is small, we consider an approximative theory based on the linearised strain tensor. 1 ε (u ) = (∇u + (∇u ) t ) 2 A generalized Ginzburg-Landau free energy taking elastic effects into account is of the form
where v is normal to ∂Ω and ρ , γ , θ , α and β are given positive constants. Throughout this subsection we assume that the assumption ( Aθ ) hold. We introduce the following “semidiscrete finite element approximation” of ( Pθ (,ε ) ) :
1 E (c, u ) = ∫ ∇c : Γ∇c + Ψ (c) + W (c, ε ) + W * (ε ) 2 Ω
where Ω ⊂ ℜ n , n ∈ Ν , is a bounded domain with Lipschitz boundary. These first summands in the total free energy E are classical contributions to a 132 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 131-136
} [ ]
{
Pθh(,ε ) Find uθh(,ε ) (⋅, t ), vθh(,ε ) (⋅, t ), wθh(,ε ) (⋅, t ), zθh(,ε ) (⋅, t ) ∈ S h
4
such that
uθh(,ε ) (⋅,0) = Qγh u 0 (⋅), vθh(,ε ) (⋅,0) = Qγh v 0 (⋅) and for a.e. t ∈(0,T) h
∂uθh(,ε ) , χ + b(uθ (,ε ) , vθ (,ε ) )∇wθh(,ε ) , ∇χ = 0 ∂t
(
h
)
∂v h ρ θ (,ε ) , χ + b(uθ ,ε , vθ ,ε ) zθh(,ε ) , χ = 0 ∂t
(
)
∀χ ∈ S h ,
∀χ ∈ S h ,
γ (∇(uθh(,ε ) ± vθh(,ε ) ), ∇χ ) + (2θφ(ε ) (uθh(,ε ) ± uθh(,ε ) ) ) − (αuθh(,ε ) ± βvθh(,ε ) ), χ h
(
= wθh(,ε ) ± zθh(,ε ) , χ
)
h
∀χ ∈ S h .
Similarly to
γ (∇(uθh(,ε ) ± vθh(,ε ) ), ∇χ ) h ∂uθh(,ε ) ∂vθh(,ε ) h h ˆ ,χ + ςˆuθ (,ε ),vθ (,ε ) − λθ (,ε ) ± ρΜ uθ (,ε ),vθ (,ε ) ∂ t ∂ t
(
+ 2θφ(ε ) (uθh(,ε ) ± vθh(,ε ) ) − (αuθh(,ε ) ± βvθh(,ε ) ), χ and wθ (,ε ) ≡ −ςˆ h
h uθ (,ε ),vθ (,ε )
∂uθh(,ε ) ∂t
+ λθ (,ε ) , h
h
zθ (,ε )
)
h
=0
h
∀χ ∈ S h
ˆ uhθ (,ε ),vθ (,ε ) ≡ − ρΜ
∂vθh(,ε ) ∂t
the corresponding “semidiscrete finite element approximation” of (P) can be rewritten
{
( )
}
as : Ρ h Find u h , v h , λh ∈ S mh xS h xR such that u h (⋅,0) = Qγh u 0 (⋅), v h (⋅,0) = Qγh v 0 (⋅) and for a.e. t ∈ (0,T), u h (⋅, t ) ± v h (⋅, t ) ∈ K h and h h ∂u h h ∂v ˆ ˆ γ ∇(u ± v ), ∇( χ − (u ± v )) + ς u ,v ± ρΜ u ,v , χ − (u h ± v h ) ∂t ∂t
(
h
h
h
(
h
)
≥ λh + αu h ± βv h , χ − (u h ± v h ) with w h ≡ −ςˆuh,v
∂u h + λh , ∂t
)
h
h
∀χ ∈ K h
ˆ z h ≡ − ρΜ
h ∂v h u , v ∂t
[3]
Preliminary Study of…../ Andika Widya Pramono |
133
Fourth Order Nonlinear Degenerate Parabolic Equation We consider a fully practical finite element approximation of the fourth order nonlinear degenerate parabolic equation ut + ∇.(b(u )∇∆u ) = 0 where generically b(u ) := u
p
for any
given ρ ∈ (0, ∞) . An iterative scheme for solving the resulting nonlinear discrete system is analysed. In addition to showing well-posedness of our approximation, we prove convergence in one space dimension. We consider the finite element approximation of (P) under the following assumption on the mesh : Let Ω be a polyhedral domain. Let Τ h be a quasiuniform partitioning of Ω into disjoint open simplices κ with hκ := diam (κ ) and h := max κ∈Τh hk ,
so
Ω = ∪κ∈Τhκ .
that
Associated with Τ is the finite element space S h := χ ∈ C ( Ω ) : χ κ is linear h
{
}
∀κ ∈ Τ ⊂ Η1 (Ω) . We introduce also Κ h := χ ∈ S h : χ ≥ 0 in Ω} . Let J be the set of nodes of Τ h and {x j }j∈J the coordinate of these nodes. Let h
{
{x }
j j∈J
be the standard basis function for
S h ; that is χ j ∈ K h and χ j ( xi ) = δ ij for i, j ∈ J .
all
We the
π : C ( Ω) → S , h
h
introduce interpolation
operator, such that π hη ( x j ) = η ( x j ) for all j∈J A discrete inner product on C (Ω ) is then defined by (η1 ,η 2 )h := ∫ π h (η1 ( x)η 2 ( x))dx ≡ ∑ β jη1 ( x j )η 2 ( x j ), Ω
j∈J
where β j := (1, χ j ). We introduce the L2 projections Q h : L2 (Ω) → S h defined Qˆ h : L2 (Ω) → S h (Q η , χ ) = (Qˆ η , χ ) = (η , χ ) h
h
h
Given N, a positive integer, let ∆t := T / N denote the time step and t n := n∆t , n = 1 → N . We consider the following fully practical finite element approximation of (P):
and by
∀χ ∈ S . h
Evolution with Elasticity The Cahn–Hilliard model was introduced to describe phase separation and coarsening in binary alloys. Phase separation occurs when a uniform mixture of the alloy is quenched below a certain critical temperature underneath which the uniform mixture becomes unstable. As a result a very fine microstructure of two spatially separated phases with different concentrations develops. In later stages of the evolution on a much longer time scale than the initial phase separation the structures become coarser: either by merging of particles or by the growth of bigger particles at the cost of smaller ones. In many systems the elastic behaviour of the two components making up the alloy are different. Hence, the two phases might have different elastic properties as for example due to different lattice spacing. The resulting elastic effects have a pronounced impact on the evolving coarsening morphology and hence on the material properties. Cahn–Hilliard model with elastic contributions is based on a Ginzburg– Landau free energy which is a functional in terms of the concentration difference ρ = ρA − ρB( ρA, ρB ∈ [0,1] with ρA + ρB = 1 being the concentrations of the two components) and the displacement field u.
134 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 131-136
Both functions shall be defined on a with a bounded domain Ω ⊂ ℜ d sufficiently smooth boundary. Now the Ginzburg–Landau free energy E is defined to be
Since the deformations that appear in applications are usually small, the theory is based on linear elasticity and therefore the strain tensor is given by 1 ε (u ) := ∇u + (∇u )t . In the case of 2 homogeneous elasticity, i.e. in the case that the elastic constants in the two phases are the same, the elastic energy is W ( ρ , u ) = (ε (u ) − ε ( ρ ) ) : C (ε (u ) − ε ( ρ ) )
(
)
Here, C is the possibly anisotropic elasticity tensor which we assume to be positive definite and complying with the usual symmetry conditions of linear elasticity. The term ε ( ρ ) is the stress free strain at a concentration ρ . This is the value the strain tensor would take if the material is uniform with concentration ρ . We will assume hat Vegard’s law is satisfied, i.e. the stress free strain is isotropic and varies linearly with the concentration [5]. We will introduce a semi–discrete finite element approximation for the Cahn–Hilliard equation with elasticity. The discretization is based on an ansatz with continuous, piecewise linear finite elements for ρ , ω and u. A major part of the paper is devoted to the presentation of numerical simulations showing several qualitative properties of solutions of the Cahn–Hilliard equation with elasticity. First we show a splitting phenomenon demonstrating that inverse coarsening can happen locally for some time already in the case of the Cahn– Hilliard equation without elasticity. We then demonstrate that a cubic anisotropy in the elastic energy has a pronounced effect on the particle shape. With no elastic contribution to the energy the phase boundaries tend to be round, whereas with
elasticity a tendency towards a rectangular (or cubic) shape can be observed which is stronger for larger particles. Finally, we made computations setting the gradient energy coefficient γ to zero. If also the elastic energy part is zero the resulting evolution equation would be a second order forward backward parabolic equation which consequently would be ill–posed. We now observe that in the numerical experiments with γ = 0 and elastic effects present the elastic part has a regularizing effect. The numerical simulations show that rectangular phase regions appear which are separated by sharp interfaces. This regularizing effect is remarkable and deserves further study. Error Estimates In these works the analysis is restricted to solutions, which are bounded uniformly in time, so that one may essentially assume that the nonlinearity φ satisfies a global Lipschitz condition. Due to the lack of a maximum principle this means that one has to prove (or assume) that the solution is sufficiently smooth depending on the number of space dimensions. Moreover, error bounds for solutions with nonsmooth initial data have interesting applications in the study of the longtime behavior of discrete solutions. As an example of this we prove a result concerning the convergence of the attractor of the corresponding approximate nonlinear semigroup. More precisely, we demonstrate that the discrete attractor is upper semicontinuous with respect to the discretization parameters. With initial data in H 1 (Ω) the solution is not bounded uniformly in time (except in the case of one space dimension). Instead we base our analysis on uniform bounds in the H 1 norm for the exact and discrete solutions and local Lipschitz conditions for the nonlinearity φ .
Preliminary Study of…../ Andika Widya Pramono |
135
These are typically of the form φ (u ) − φ (v) x ≤ C u H 1 , v H 1 u − v Y
(
where ⋅ x , ⋅
y
)
are appropriate Sobolev
norms. Nonsmooth data error estimates for finite element methods have been proved earlier in the context of a semilinear parabolic problem of second order with globally Lipschitz continuous nonlinearity. Similar results were obtained by Heywod and Ranacher for related results in the context of the Navier - Stokes equations [5]. CONCLUSION In many systems the elastic behaviour of the two components making up the alloy are different. Hence, the two phases might have different elastic properties as for example due to different lattice spacing. The resulting elastic effects have a pronounced impact on the evolving coarsening morphology and hence on the material properties. In these works the analysis is restricted to solutions, which are bounded uniformly in time, so that one may essentially assume that the nonlinearity φ satisfies a global Lipschitz condition. ACKNOWLEDGEMENT This paper is part of the outcomes resulted from research activity on the topic of “Cahn-Hilliard Modeling on the Formation of Nb 3 Sn Superconductive Compound” in the year 2010 at Research Centre for Metallurgy – Indonesian Institute of Sciences, through the funding scheme of “Insentif Peneliti dan Perekayasa” managed by Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia.
MATERIALIA, 51 : 2003. [2] Peter Fratzl , Oliver Penrose , Joel L. Lebowitz. 1999. Modelling of Phase Separation in Alloys with Coherent Elastic Misfit. J. Stat. Physics, 95 : 1429 – 1503. [3] John W. Barrett , James , F. Blowey. 1999. Finite element approximation of the Cahn-Hilliard equation with degenerate mobility. Math. Comp, 68 : 286 – 318. [4] Jan Bouwe van den Berg , Josephus Hulshof , Robertus Van Der Vorst. 2000. Travelling Waves for Fourth Order Parabolic Equations. SIAM J. Math. Anal, 32 : 137 – 140. [5] Xiaobing Feng , Andreas Prohl. 2001. Numerical analysis of the CahnHilliard equation and approximation for the Hele-Shaw problem, Part II: error analysis and convergence of the interface. SIAM J. Numer. Anal. RIWAYAT PENULIS Andika Widya Pramono, lahir di Jakarta 13 Maret 1970. Menamatkan pendidikan bachelor dan master di bidang material scince and engineering di Wyne State University, Detroit – USA pada tahun 1992 dan 1993. Mendapat gelar doktor der ingenieurwissenschaften (Dr.-ing) di bidang Werkstoffkundeund Materialwissenschaften dari Institut fuer Metallkunde und Metallphysik – RWT Aachen – Jerman pada tahun 2000. Saat ini aktif bekerja sebagai Kepala Satuan Kerja Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI, Puspiptek Serpong.
REFERENCES [1] Harald Garcke , Barbara Niethammer , Martin Rumpf , Ulrich Weikard. 2003. Transient Coarsening Behaviour In The Cahn-Hilliard Model. ACTA 136 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 131-136
PERCOBAAN PEMBUATAN FASA INTERMETALIK Nb3Sn DENGAN PROSES SINTERING LOGAM NIOBIUM (Nb) DAN TIMAH (Sn) F. Firdiyono, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku, Nurhayati Indah Ciptasari, Anton Suryantoro Pusat Penelitian Metalurgi LIPI Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Intisari Penentuan kondisi optimum meliputi waktu milling Nb dan Sn dengan HEM (High Energy Milling), perbandingan jumlah Nb dan Sn, waktu dan temperatur pemanasan campuran Nb dan Sn. Pengamatan karakterisasi Nb3Sn yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan DTA (Differential Thermal Analyzer), XRD ( X-Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDS (Enegy Dispersive x-ray Spectroscopy). Analisis dengan menggunakan SEM dan XRD menunjukkan waktu minimum yang diperlukan untuk milling campuran Nb dan Sn adalah 3 jam, sedangkan hasil dari analisis DTA menunjukkan pembentukan Nb3Sn terjadi pada temperatur sekitar 700 °C. Analisis XRD terhadap campuran Nb dan Sn menunjukkan bahwa makin lama waktu pemanasan maka fasa intermetalik Nb3Sn yang terbentuk akan semakin banyak. Kata kunci : MRI, NMR, Maglev, Superkonduktor Cu-Nb-Sn, Nano dalam tabung, Superkonduktor temperatur rendah , Nb3Sn
Abstract Determination of optimum conditions include milling time of Nb and Sn with HEM, ratio of Nb and Sn, heating time and heating temperature of mixed Nb and Sn. Characterization of Nb3Sn produced from the process was performed using DTA, XRD, SEM and EDS. The results of SEM and XRD analysis showed the minimum time needed for milling Nb and Sn are 3 hours, and the result of DTA analysis showed the intermetalic phase of Nb3Sn was occured at the temparetuir around 700 °C. The result of XRD analysis for mixed Nb and Sn showed that by the increasing of heating time will produced more intermetalic phase of Nb3Sn. Keywords : MRI, NMR, Maglev, Superkonduktor Cu-Nb-Sn, Nano-powder-in-tube, Low temperature superconductor, Nb3Sn
PENDAHULUAN Nb3Sn merupakan bahan paduan utama dalam pembuatan kawat superkonduktor jenis Cu-Nb-Sn. Kawat superkonduktor jenis Cu-Nb-Sn ini dikategorikan sebagai superkonduktor suhu rendah. Aplikasi superkonduktor ini banyak digunakan dalam pembuatan alat MRI (magnetic resonance imaging), NMR (nuclear Magnetic resonance) dan Mag-lev (magnetic levitation) [1-3]. Alat-alat tersebut sangat berguna bagi kehidupan manusia. Pemakaian MRI sangat membantu di bidang kesehatan karena alat ini dapat memindai dan mengobservasi otak, tulang belakang, daerah pelvis, bahkan pembuluh darah. NMR sangat membantu dalam
pengembangan ilmu pengetahuan karena NMR dapat menentukan struktur molekul, sedangkan Mag-lev sangat membantu dalam bidang transportasi. LATAR BELAKANG MRI, NMR dan Mag-lev adalah beberapa alat yang komponen utamanya adalah kawat superkonduktor. Salah satu bahan superkonduktor yang cocok untuk aplikasi alat-alat tersebut adalah paduan Cu-Nb-Sn, yang dikategorikan sebagai superkonduktor suhu rendah (low temperature superconductor = LTS) [1]. LTS adalah tipe superkonduktor yang suhu kritisnya (Tc) berada di bawah -196 °C (77 K) atau setara dengan titik didih nitrogen
cair. Tc adalah suhu transisi, di mana pada kondisi lebih rendah dari suhu tersebut suatu material akan kehilangan tahanan listriknya, atau dengan kata lain menjadi superkonduktor [2]. Karena duktilitas yang rendah serta harganya yang cukup tinggi, Cu-Nb-Sn lebih tidak populer dibandingkan dengan Cu-Nb-Ti (Ti = titanium). Akan tetapi Cu-Nb-Sn memiliki kepadatan arus listrik kritis tertinggi, yang merupakan aspek penting dalam implementasi superkonduktor. Jepang merupakan satu-satunya negara Asia yang mengembangkan superkonduktor Cu-Nb-Sn dan secara komersil memproduksinya. Nb3Sn merupakan bahan paduan kunci dalam kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn. Bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi salah satu produsen timah besar dunia melalui cadangan timah di Pulau Bangka. Tidak seperti tembaga dari Papua, timah Bangka belum sepenuhnya diimplementasikan menjadi berbagai produk komoditas. Sejauh ini, bijih timah dari Pulau Bangka utamanya diproses menjadi balok-balok timah sebelum dijual dan diekspor. Dengan datangnya era pasar bebas, sangat penting untuk memberi nilai tambah kepada sumber daya timah ini dengan cara mengembangkan produk berbasis timah yang terdiversifikasi. Kegiatan ini mendukung aspek tersebut dengan mengembangkan superkonduktor Cu-Nb-Sn berbasis cadangan timah yang melimpah di Pulau Bangka. Penelitian dan pengembangan kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn, yang merupakan infrastruktur utama dari alatalat maju diatas, dengan biaya rendah tetapi tetap memiliki fitur superkonduktifitas yang baik dan optimal akan dapat menurunkan harga peralatanperalatan tersebut. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kadar dan kemurnian timah serta menurunkan kadar niobium di dalam kawat superkonduktor tersebut. Timah yang dipakai adalah hasil olahan dari Pulau Bangka sehingga dapat
memberi nilai tambah sekaligus diversifikasi komoditas timah Indonesia. Fenomena superkonduktivitas pertama kali diamati pada tahun 1912 di Laboratorium Heike Kamerlingh Onnes, Universitas Leiden – Belanda [3,5]. Saat itu beberapa jenis material secara tiba-tiba kehilangan ketahanan mereka terhadap aliran listrik saat didinginkan (pada suhu yang sangat rendah). Fenomena tersebut tetap menjadi kuriositas sampai tahun 1954, ketika G. B. Yntema dari Universitas Illinois, Chicago – USA dengan sukses membuat magnet superkonduktor pertama di dunia, di mana pada saat itu sifat-sifat magnet biasa masih berada jauh dari sifatsifat superkonduktor yang diinginkan. Kemajuan riset dan pengembangan superkonduktor setelah itu cukup lambat akibat: a. Kesulitan dalam menyediakan kebutuhan suhu yang sangat rendah (cryogenic condition) b. Kurangnya pengetahuan perihal bagaimana membuat kabel yang stabil dari bahan superkonduktor. Bahan-bahan superkonduktor awal seperti timbal (Pb), indium (In), dan merkuri (Hg) dikategorikan sebagai superkonduktor tipe I [3-5]. Pada superkonduktor tipe I ini: a. Fluks magnet (magnetic flux) tidak dapat mempenetrasi bulk material. b. Kepadatan arus listrik kritis (critical curent density) terbatas hanya berada pada permukaan material dengan -7 kedalaman sekitar 1/10 mikron (10 meter). c. Medan magnet maksimum (maximum magnetic field) yang dapat beroperasi pada jenis superkonduktor ini biasanya kurang dari 0,1 T (0,1 tesla), yang setara dengan kepadatan fluks antara dua kutub dari magnet permanen tapal kuda yang kita kenal. Superkonduktor yang siap difabrikasi menjadi kawat, kumparan dan kabel untuk aplikasi arus listrik tinggi disebut superkonduktor tipe II [3-5].
138 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 137-148
Pada superkonduktor tipe II, fluks magnet dapat mempenetrasi material. Contoh superkonduktor tipe II yang populer: 1. Nb-Ti (niobium – titanium) − Medan magnet maksimum: 13 T (tesla) − Kepadatan arus listrik maksimum: 2 > 1000 Ampere/mm − Suhu kritis (critical temperature): 10 K (-263°C) 2. Nb3Sn (niobium – timah) − Medan magnet maksimum: 27 T (tesla) − Kepadatan arus listrik maksimum: 2 > 1000 Ampere/mm − Suhu kritis (critical temperature): 18 K (-255 °C) Pada superkonduktor, kendala utama dari fenomena superkonduktivitas tidak hanya pada suhu yang sangat rendah, tetapi juga pada kepadatan arus listrik dan medan magnet yang terbatas. Di sini, nilai maksimum dari suhu (T), kepadatan arus listrik (J), dan kuat medan magnet (B) saling ber-ketergantungan satu sama lain apabila mereka diplot pada sumbu 3-dimensi, seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 2 menunjukkan interdependensi antara kepadatan arus listrik kritis dan medan magnet.
dari timah di perunggu ke lapisan tembaga di sisi paling luar. Lapisan tembaga (Cu) paling luar berfungsi untuk menghantar panas dan listrik, sehingga harus murni dan tidak boleh terkontaminasi timah dari perunggu di bagian dalam. Material kemudian di-heat treatment pada suhu 650 – 700 °C agar terjadi interdifusi antara Nb dengan Sn (di perunggu) untuk membentuk Nb3Sn (superkonduktor). Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 3
Gambar 1. Interdependensi dari suhu (T), medan [3-5] magnet (B), dan kepadatan arus listrik (J)
BEBERAPA TEKNIK PEMBUATAN KAWAT SUPERKONDUKTOR Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Perunggu (Bronze Process) Niobium (Nb) rod pertama dicladding ke dalam paduan perunggu (Cu-Sn) murni untuk membentuk sub-element assembly. Beberapa sub-element assembly kemudian disusun kembali dalam tabung perunggu (Cu-Sn). Kumpulan sub-element assembly dalam perunggu ini kemudian dicladding dengan Nb atau Ta (tantalum), yang berfungsi sebagai penahan proses difusi
Gambar 2. Perbandingan kepadatan arus listrik kritis pada suhu 4,2 K (-268,8 °C) dari berbagai jenis Nb-Ti dan Nb3Sn dalam bentuk helaian (strands) dan tapes [4]
Percobaan Pembuatan Fasa …../F.Firdiyono |
139
Gambar 3. Skema proses perunggu
Gambar 4. Skema proses internal Sn
Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Timah Internal (Internal Sn)
dipanaskan, kemudian dicladding ke dalam tabung Cu. Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Prinsip dari proses ini yaitu meningkatkan kepadatan arus listrik kritis, dengan meningkatkan kandungan Sn dan membuat Sn terpisah dari Cu selama fabrikasi helaian. Rod Sn dibungkus dengan lembaran selang-seling antara Cu dan Nb (seperti sosis di dalam dadar gulung) untuk membentuk sub-element assembly. Sub-element assembly ini kemudian dicladding dengan Nb atau Ta sebagai penahan proses difusi (diffusion barrier). Kumpulan sub-element assembly yang telah dicladding Nb atau Ta ini kemudian disusun dan dicladding ke dalam tabung Cu murni. Material kemudian diheat treatment pada suhu 650 - 700°C agar terjadi interdifusi antara Nb dengan Sn (di perunggu) untuk membentuk Nb3Sn (superkonduktor). Karena kandungan Sn meningkat dan Sn mudah mengalami pengerasan kerja, maka material harus secukupnya dianil. Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 4. Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Serbuk dalam Tabung (Powder in Tube) Serbuk intermetalik Nb6Sn5 atau NbSn2 yang memiliki kadar Sn lebih tinggi dimasukkan ke dalam tabung Nb dan dipanaskan pada 650 °C sampai 700 °C untuk membentuk Nb3Sn. Setelah
Gambar 5. Skema proses serbuk dalam tabung
PERMASALAHAN Percobaan pembuatan paduan Nb3Sn akan dilakukan dengan menggunakan campuran serbuk logam niobium dan timah. Metoda ini dipilih karena dengan menggunakan bubuk Sn dan Nb maka luas permukaan unsur-unsur tersebut menjadi sangat luas sehingga luas permukaan kontak antara Nb dan Sn juga sangat besar yang mengakibatkan kesempatan pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn menjadi besar pula. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn antara lain : temperatur pemanasan, waktu pemanasan dan besar butir unsur. Keseluruhan faktor tersebut akan menambah kecepatan reaksi penetrasi unsur Sn ke dalam unsur Nb dan sebaliknya. Metoda-metoda ini perlu dilakukan karena tantangan dalam pembuatan kawat superkonduktor ini
140 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 137-148
adalah mendapatkan fasa intermetalik Nb3Sn yang merupakan bahan yang sangat rapuh dan mudah hancur. Kegiatan penelitian akan memfokuskan pada karakterisasi material campuran serbuk Nb-Sn untuk melihat optimalisasi temperatur dan waktu pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn yang menjadi dasar utama pembuatan kawat superkonduktor. Semua cara tersebut diatas dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh fasa intermetalik Nb3Sn dengan cara yang efisien, yaitu paling mudah, paling banyak diperoleh fasa intermetalik Nb3Sn dan paling cepat prosesnya. Sehingga dari proses tersebut dapat diperoleh kawat superkonduktor Nb3Sn yang murah tetapi tetap berkualitas tinggi. PROSEDUR DAN METODOLOGI Persiapan bahan yang utama adalah bubuk logam niobium (Nb) murni dengan ukuran butir -325 mesh. Bahan ini harus diimpor karena Indonesia tidak memproduksi logam niobium ini. Untuk keperluan percobaan bahan bubuk niobium ini telah diimpor dari China dengan kondisi sebagai berikut: Ukuran bijih -325 mesh, tingkat kemurnian : 99.9% dengan kandungan unsur pengotor seperti terlihat pada Tabel 1. Bubuk logam timah (Sn) yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari dalam negeri yaitu produksi PT. Timah dengan kemurnian 99,92 % Sn. Bubuk logam Sn yang digunakan dalam percobaan ini dibuat dari balok timah dengan cara 2 tahap, yaitu pembuatan bubuk Sn dengan ukuran masih kasar dan selanjutnya bubuk hasil pengerjaan pada tahap pertama dilanjutkan ketahap pengecilan ukuran hingga -325 mesh dengan menggunakan alat planetary grinding. Selanjutnya bubuk Sn dan bubuk Nb dengan komposisi tertentu digerus dalam HEM untuk waktu tertentu yang disesuaikan dengan kondisi/variabel percobaan.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan temperatur optimum pembentukan Nb3Sn yang merupakan bahan utama pembuatan kawat superkonduktor melalui karakterisasi material campuran serbuk Nb-Sn. Pada penelitian ini, yang dilakukan adalah pembuatan komposisi campuran bahan baku Nb dan Sn, selanjutnya karakterisasi sampel hasil pencampuran dengan menggunakan XRD. Pengamatan temperatur pembentukan fasa intermetalik terhadap serbuk hasil pencampuran dilakukan dengan menggunakan DTA dan karakterisasi serbuk hasil pemanasan dengan menggunakan XRD. Pengamatan tekstur dan morfologi material Nb3Sn dilakukan dengan SEM dan EDS. Penelitian yang dilakukan dapat dilihat dalam diagram alir penelitian pada Gambar 6. Tabel 1. Komposisi kimia bubuk logam niobium
Preparasi sampel bubuk Nb dan Sn, proses pencampuran bubuk Nb dan Sn dengan perbandingan tertentu dilakukan dengan HEM dengan variabel waktu pencampuran tertentu. Pengerjaan karakterisasi serbuk hasil milling tersebut dilakukan dengan menggunakan XRD dan DTA untuk melihat temperatur terjadinya perubahan fasa intermetalik campuran Nb dan Sn. Campuran serbuk hasil pemanasan pada temperatur perubahan fasa intermetalik selanjutnya akan dikarakterisasi dengan menggunakan XRD untuk melihat fasa-fasa yang terbentuk akibat pemanasan tersebut. Selain itu akan dilakukan kegiatan pengamatan tekstur dan morfologi fasa-fasa intermetalik yang terbentuk dengan menggunakan SEM dan EDS. Percobaan Pembuatan Fasa …../F.Firdiyono |
141
Gambar 6. Diagram alir kegiatan penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan SEM dan XRD terhadap hasil milling paduan Nb dan Sn dapat dilihat masing-masing pada Gambar 7 dan Gambar 8. Dari hasil pengamatan dengan SEM dan XRD terhadap hasil proses milling dapat dilihat bahwa proses milling tersebut selain mengakibatkan pengecilan ukuran juga membuat permukaan Sn akan terselimuti oleh Nb, hal ini terjadi karena Nb mempunyai struktur BCC dan lebih getas daripada Sn, sehingga selama milling, Nb yang getas ini akan lebih mudah hancur daripada Sn, dan akan melapisi permukaan Sn yang lebih lunak [7]. Kondisi ini akan membantu pembentukan paduan Nb-Sn sehingga akan mempermudah terjadinya proses substitusi antara Nb dan Sn untuk membentuk fasa intermetalik Nb3Sn. Gambar 7a memperlihatkan sampel hasil milling pada perbesaran 500 kali,
Gambar 7b memperlihatkan besaran ratarata ukuran butir sampel hasil milling, sedangkan Gambar 7c memperlihatkan posisi sampel yang dianalisis dengan EDS. Gambar 7d memperlihatkan grafik hasil analisis EDS dan tabel di bawahnya memperlihatkan besarnya persentase unsur Nb dan Sn, yaitu sebesar 97,63 % untuk Nb dan 2,37% untuk Sn. Hal ini menunjukkan bahwa unsur Nb secara sempurna dapat melapisi seluruh permukaan unsur Sn. Keadaan ini diperkuat dengan hasil analisis XRD yang dilakukan terhadap sampel hasil milling dengan variabel waktu dari 1 hingga 5 jam. Gambar XRD memperlihatkan bahwa makin lama waktu milling maka grafik unsur Sn makin tidak terlihat. Dari hasil kedua pengamatan tersebut terlihat bahwa waktu milling yang diperlukan minimal 3 jam.
142 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 137-148
Gambar 7. Analisis dengan SEM terhadap sampel hasil milling selama 3 jam
Gambar 8. Analisis dengan XRD terhadap sampel hasil milling selama 1 hingga 5 jam
Percobaan Pembuatan Fasa …../F.Firdiyono |
143
Gambar 9. Kurva DTA terhadap sampel hasil milling selama 3 jam
Analisis DTA dilakukan terhadap sampel hasil milling dengan variabel persen atom Sn sebesar 18%, 22% dan 26% dan waktu yang digunakan untuk milling masing-masing selama 3 jam. Hasil pengamatan DTA dapat dilihat pada Gambar 9. Dari hasil pengamatan ini diketahui bahwa logam Sn akan melebur pada temperatur 237 °C sedangkan pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn akan terjadi pada temperatur sekitar 700 °C. Kondisi di atas diperkuat oleh hasil pengamatan XRD yang dilakukan terhadap sampel hasil pemanasan dengan variabel proses yaitu: temperatur pemanasan, waktu pemanasan, dan komposisi jumlah Nb dan Sn. Gambar 10 merupakan foto campuran logam Nb dan Sn dengan komposisi 22% atom Sn sebelum dipanaskan dan telah dikompaksi dengan tekanan sebesar 625 kg/cm2. Campuran logam hasil kompaksi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung kuarsa dan divakum. Sampel dalam tabung vakum selanjutnya dipanaskan pada temperatur dan waktu tertentu. Selanjutnya sampel dianalisis dengan XRD, SEM dan EDS. Tabel 2 menunjukkan pengaruh temperatur terhadap pembentukan fasa intermetalik NbxSny yang dilakukan terhadap sampel dengan komposisi 22%
Sn, pemanasan 400 °C; 18% Sn, pemanasan 500 °C dan 18% Sn, pemanasan 700 °C dengan waktu pemanasan masing-masing selama 72 jam. Dari tabel terlihat pemanasan pada temperatur 400 °C tidak menunjukkan adanya pembentukan fasa intermetalik NbxSny dan pada pemanasan 500 °C terlihat mulai adanya pembentukan fasa intermetalik NbSn2 dengan unsur Nb dan Sn masih terlihat. Pada pemanasan 700 °C terlihat mulai adanya pembentukkan fasa intermetalik Nb3Sn selain NbSn2 [6]. Disini terlihat bahwa temperatur proses pemanggangan memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukkan fasa intermetalik Nb3Sn.
Gambar 10. Foto pellet campuran logam Nb dan Sn sebelum proses pemanggangan
144 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 137-148
Tabel 2. Hasil analisis XRD pada pembentukan fasa intermetalik NbxSny dengan variabel persen jumlah Sn dan temperatur heat treatment
Tabel 3 menunjukkan pengaruh waktu pemanasan terhadap pembentukan fasa intermetalik NbxSny yang dilakukan terhadap sampel dengan komposisi 24% Sn, pemanasan 700 °C dengan waktu pemanasan masing-masing selama 48 jam, 72 jam dan 96 jam. Dari tabel tersebut terlihat bahwa dengan waktu pemanasan selama 48 jam fasa intermetalik yang terbentuk adalah NbSn2 sedangkan Nb3Sn belum terlihat sama sekali. Fasa intermetalik Nb3Sn mulai terlihat bersamasama dengan NbSn2 pada waktu pemanasan diatas 72 jam. Hasil XRD pada proses pemanasan selama 96 jam menunjukkan bahwa selain terbentuk fasa intermetalik Nb3Sn dan NbSn2, ternyata puncak unsur Nb masih terlihat dalam chart XRD yang ada, hal ini menunjukkan bahwa waktu pemanasan selama 96 jam masih belum cukup untuk mereaksikan seluruh unsur Nb dan Sn. Hal yang serupa terjadi pula pada proses pemanasan dengan menggunakan campuran Sn yang lebih tinggi yaitu 26% dengan waktu dan temperatur pemanasan yang sama dengan di atas seperti diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 3. Hasil analisis XRD pada pembentukan fasa intermetalik NbxSny dengan variabel waktu heat treatment pada komposisi 24% Sn
Tabel 4. Hasil analisis XRD pada pembentukan fasa intermetalik NbxSny dengan variabel waktu heat treatment pada komposisi Sn 26%
Gambar 11 merupakan foto hasil proses pemanggangan terhadap sampel dengan komposisi Sn sebesar 24 % dan 26 %, temperatur pemanasan 700 °C selama 96 jam. Dari Gambar 11 terlihat bahwa setelah proses pemanggangan maka di permukaan sampel akan terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang mengkilat logam dan bagian yang tidak mengkilat. Gambar 12 menunjukkan titik-titik posisi dilakukannya analisis EDS. Analisis EDS dilakukan terhadap terhadap bagian yang mengkilat (putih) dan tidak mengkilat (abu-abu). Analisis dilakukan mulai dari bagian yang tidak mengkilat yaitu pada titik LG1, terus bergerak ke bagian yang mengkilat melalui 7 titik analisis. Titik ke-4 merupakan daerah perbatasan antara bagian mengkilat dan bagian yang tidak mengkilat. Dari analisis tersebut diketahui perbandingan persen atom, komposisi Nb dan Sn pada titik LG1 adalah 64,09 berbanding 18,67 atau sekitar 3 : 1, yang berarti merupakan senyawa intermetalik Nb3Sn. Pada titik ke-2 dan 3, perbandingan persen atom Nb dan Sn masih lebih besar nilai persen atom Nb sedangkan pada titik 4 atau titik peralihan dari bagian yang tidak mengkilat ke bagian mengkilat, perbandingan persen atomnya 22,95 dengan 17,03 atau sekitar 1 : 1. Memasuki daerah mengkilat maka perbandingan persen atom Nb dan Sn mulai terbalik dengan di atas yaitu persen Nb lebih kecil dari pada persen Sn. Pada titik 6 dan 7 (di bagian mengkilat) perbandingan persen atom Nb dan Sn Percobaan Pembuatan Fasa …../F.Firdiyono |
145
adalah 24,00 berbanding 55,80 dan 26,14 berbanding 42,46 atau sekitar 1 : 2 yang berarti merupakan senyawa intermetalik NbSn2. Hasil diatas memperkuat hasil analisa XRD yang telah dilakukan
sebelumnya, yaitu terbentuknya fasa intermetalik NbSn2 dan Nb3Sn. Hasil analisis EDS untuk tiap-tiap titiknya dirangkum dalam Tabel 5 berikut ini.
Gambar 11. Foto pellet campuran logam Nb dan Sn setelah proses pemanggangan
Gambar 12. Hasil analisis EDS dengan komposisi 24%Sn, 700 °C, 96 jam Tabel 5. Rangkuman hasil analisis EDS dengan komposisi 24%Sn, 700 °C, 96 jam
146 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 137-148
Gambar 13. Hasil mapping dengan komposisi 24%Sn, 700 °C, 96 jam
Analisa mapping seperti terlihat pada Gambar 13 menunjukkan semakin jelas pembentukan fasa intermetalik tersebut yaitu pada bagian tidak mengkilat akan lebih didominasi oleh Nb yang membentuk fasa intermetalik Nb3Sn, sedangkan pada bagian yang mengkilat akan didominasi oleh Sn yang membentuk fasa intermetalik NbSn2 KESIMPULAN 1. Analisis dengan menggunakan SEM dan XRD terhadap sampel hasil proses milling campuran bubuk Nb dan Sn dengan alat HEM menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk milling minimum 3 jam. 2. Hasil analisis dengan DTA, XRD, SEM dan EDS menunjukkan bahwa temperatur pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn terjadi pada temperatur sekitar 700 °C.
3. Dari proses yang dilakukan terlihat bahwa temperatur dan waktu pemanasan memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn. 4. Pemanasan campuran bubuk Nb dan Sn pada temperatur 400 °C selama 72 jam tidak menghasilkan fasa intermetalik NbxSny sedangkan pada temperatur 500 °C selama 72 jam menghasilkan fasa intermetalik NbSn2, dan pada temperatur 700 °C selama 72 jam menunjukkan mulai terbentuknya fasa intermetalik Nb3Sn. 5. Pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn akan makin banyak bila waktu dan temperatur proses pemanggangan diperpanjang. Waktu proses yang dilakukan selama 96 jam belum memberikan hasil yang optimum terhadap pembentukan fasa intermetalik Nb3Sn. Percobaan Pembuatan Fasa …../F.Firdiyono |
147
UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dengan judul: Pembuatan Kawat Superkonduktor Nb3Sn dengan Metoda Nano-Powder-In-Tube untuk Aplikasi Kumparan Magnet, yang dibiayai melalui Program Kompetitif LIPI tahun anggaran 2010 dengan Sub Program Advenced Materials dan Nanoteknologi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andika W. Pramono, Anton Suryantoro dan Ibu Nurhayati Indah Ciptasari atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis baik dalam melakukan percobaan maupun dalam penulisan naskah ini. DAFTAR PUSTAKA [1]Brochure “Superconductivity: Present and future Applications” by Coalation for the Commercial Application of Superconductors (CCAS) and IEEE council on Superconductivity, 2008. [2]Smith, W.F., Principles of Materials Science and Engineering, 3nd Edition, McGraw-Hill, 1996, p. 855. [3]Larbalesteir, D., Superconductors for superconducting magnets, Applied superconductivity Center, National High Magnetic Field Laboratory, Florida State University, May 20, 2010. [4]Lee, P. J. : “Superconductor: WIRES AND CABLES: MATERIALS AND PROCESSES”, The Applied Superconductivity Center, University of Wisconsin, Madison, USA.
[5]Hopkins, S. C., Optimisation, Characterisation and Synthesis of Low Temperaturs Supercoductors by Current-Voltage Techniques, PhD Thesis, Sidney Sussex College, Department of Materials Science and Metalurgy, 2007.Fischer, C. M., Investigation of the Relationships Between Superconducting Properties and Nb3Sn Reaction Conditions in Powder-In-Tube Nb3Sn Conductors, Master of Science Thesis, University of Wisconsin-Madison, 2002. [6]Patankar, S. N and Froes, F. H. Using Formation of Nb3Sn Mechanically Alloyed Nb-Sn Powder. Institute for Materials and Advanced Processes, University of Idaho, Moscow. RIWAYAT PENULIS F. Firdiyono, lahir di Jakarta, 14 Februari 1956. Sarjana Tambang Metalurgi ITB, lulus tahun 1981. S2 Pengolahan Mineral, Universitas Kyoto Jepang, lulus tahun 1987. S3 Pengolahan Mineral, Universitas Kyoto Jepang, lulus tahun 1992. Sejak tahun 2001 sampai 2006 menjabat sebagai Kepala Bidang Metalurgi Ekstraksi, Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI.
148 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 137-148
PENGUATAN TEMBAGA MURNI DENGAN TEKNIK EQUAL CHANNEL ANGULAR PRESSING Solihin, Efendi Mabruri, I Nyoman Gede PA Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Metalurgi Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan E-mail :
[email protected]
Intisari Penguatan tembaga murni dengan metode Equal Angular Channel Pressing telah dilakukan terhadap tembaga murni. Hasil pengerjaan ECAP dengan jalur ekstrusi ECAP rute Bc, dimana benda kerja diputar 90 ° setiap pass, menghasilkan pembelahan grain menjadi sub-grain yang memiliki ukuran yang menurun drastis dengan sudut butir yang lebih kecil. Seiring dengan penurunan besar butir, kekerasan tembaga tersebut meningkat drastis. Kata kunci: Equal Angular Channel Pressing, Severe Plastic Deformation, Sub-Grain, Tembaga
Abstract The hardness of high purity copper has been increased through Equal Angular Channel Pressing method. The application of ECAP method with extrution rute Bc , in which the sample was rotated 90° for each pass, result in the generation of sub-grain within the grain. The size of new grain (sub –grain) is drastically smaller than initial grain and also has low angle. With the decreasing of grain size, the hardness drastically increases. Keywords : Equal Angular Channel Pressing, Severe Plastic Deformation, Sub-Grain, Copper
PENDAHULUAN Proses penguatan umumnya dilakukan dengan metode solid solution strengthening dimana terhadap struktur logam yang akan dikuatkan ditambahkan atom-atom lain, baik dalam posisi sebagai selipan (interstition) ataupun pengganti (substitution). Penambahan atom-atom lain ke dalam struktur level atom dari logam induknya tersebut dalam level struktur mikro akan terlihat sebagai fasa-fasa paduan yang akan meningkatkan kekuatan logam [1]. Alternatif lain penguatan logam adalah dengan merubah ukuran butiran dari logam bersangkutan. Proses-proses reduksi dalam skala makro seperti rolling pada slab akan berpengaruh secara mikro, yakni terjadi perubahan mikrostruktur berupa pengecilan ukuran butiran. Penghalusan butiran dengan memecah butiran menjadi ukuran yang lebih kecil umumnya
diklasifikasikan sebagai cara top-down [2-4], sebagai lawan dari cara bottom-up dimana pembentukan butir dilakukan melalui pembentukan atom per atom [5-7]. Model pembentukan sub-grain diperlihatkan dalam Gambar 1. Tegangan per satuan luas yang sangat tinggi akan menyebabkan disklinasi yang akhirnya akan menghasilkan sub-sub grain yang bisa dianggap sebagai butir baru [8].
Gambar 1. Ilustrasi transformasi cacat struktur yang diakibatkan oleh transmisi energi yang besar
Gambar 2. Ilustrasi dies yang digunakan dalam teknik ECAP
Ukuran dan bentuk butiran dari material yang dikenai pengerjaan ECAP tergantung dari variabel-variabel proses seperti jenis rute pass, jumlah pass, sudut belokan, dan komposisi material. Semua variabel proses tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap sifat mekanis material bersangkutan, sehingga dengan demikian sifat mekanis material dapat dikontrol dengan cara mengendalikan variabelvariabel tersebut. Terdapat 4 (empat) jenis pass yang umum digunakan, yakni: 1. Rute A : Benda kerja tidak diputar setiap pergantian pass (θ = 0°) 2. Rute B A : Benda kerja diputar 90° setiap pergantian pass kemudian dikembalikan lagi pada posisi semula (θ, θ’ = 9°) 3. Rute B C : Benda kerja diputar 90° setiap pergantian pass (θ = 90°) 4. Rute C : Benda kerja diputar 180° setiap pergantian pass (θ = 180°) Jenis rute-rute ECAP tersebut berpengaruh dalam pembentukan geometri butiran. Rute A akan menghasilkan geomertri butiran yang eliptik sehingga kekuatan material akan terkonsentrasi pada satu sisi, sedangkan rute Bc akan menghasilkan geometri butiran yang relatif bulat dan kekuatannya bersifat equiaxial. Jumlah pass berpengaruh terhadap kemajuan pembentukan sub grain. Secara umum, semakin banyak jumlah pass akan semakin aktif pembentukan sub grain, tetapi karena karena pembentukan sub grain dipengaruhi juga dengan gaya tegangan dari butiran sekitarnya maka akan terdapat jumlah pass maximum
dimana di atas jumlah tersebut tidak terdapat lagi pembentukan sub grain. Sudut belokan berpengaruh dalam distribusi tekanan untuk menghasilkan efek severe plastic deformation. Sudut belokan 90° akan memberikan distribusi tekanan yang lebih terkonsentrasi pada area belokan dibanding sudut belokan120°. Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk mempelajari prilaku proses ECAP terhadap material. Diharapkan akan dihasilkan material yang memiliki ukuran butir dalam skala ultra fine grain yang memiliki kekuatan lebih tinggi dari material awal. PERCOBAAN Bahan untuk pembuatan dies adalah tool steel (ASSAB) yang telah mengalami proses heat treatment dan nitriding. Proses heat treatment dan nitriding dilakukan untuk memperbaiki ketahanan material dies terhadap gesekan selama ekstrusi benda kerja selama pengerjaan ECAP. Dies yang digunakan dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 3. Sudut belokan dies ditentukan sebesar 120°. Penentuan sudut ini mempertimbangkan optimasi kualitatif antara kelancaran gerak dies dan distribusi tekanan untuk menghasilkan efek severe plastic deformation. Benda kerja yang digunakan adalah tembaga murni. Hasil analisa dengan SEM-EDS-X telah menunjukan tidak adanya unsur-unsur lain selain tembaga. Sebelum pengerjaan dengan ECAP, tembaga murni tersebut dipotong dan dimachining sampai memiliki bentuk dan ukuran yang sesuai dengan ukuran lubang jalur ekstrusi pada dies. Pengerjaan ECAP dilakukan dengan menggunakan peralatan press dengan kecepatan penekanan yang relatif lambat. Karakterisasi benda kerja sebelum dan sesudah pengerjaan ECAP dilakukan melalui SEM-EDS-X untuk menentukan morfologi, struktur mikro serta komposisi kasar; dan uji kekerasan dalam skala vicker untuk menentukan nilai kekerasan. Dalam
150 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 149-152
hal ini, dengan mempertimbangkan keterbatasan tertentu, nilai kekerasan mewakili kekuatan.
Gambar 3. Dies yang digunakan dalam pengerjaan ECAP
HASIL PERCOBAAN DAN DISKUSI Struktur mikro dari sampel bisa memberikan gambaran kekuatan material bersangkutan. Pada percobaan akan diselidiki pengaruh jumlah pass terhadap struktur mikro. Pada Gambar 4 diperlihatkan struktur mikro dari benda kerja mulai dari as received sampai yang telah mengalami ekstruksi ECAP 8 pass. Dari struktur mikro sample yang telah dikenai proses ECAP, terlihat perubahan struktur mikro dengan jelas. Ukuran butiran terlihat lebih kecil dan orientasi butiran pun berubah. Sesuai dengan penelusuran literatur terlihat bahwa selama proses ECAP terjadi pemecahan butiran menjadi sub-sub butir karena efek severe plastic deformation. Terbentuknya sub butir yang bisa dianggap butir baru ini terjadi melalui tahapan slip dislokasi menuju batas butir, perpindahan batas butir, twin deformation, sliding batas butir [8] . Pergerakan dan penumpukan dislokasi pada batas butir akan membentuk dinding dislokasi yang kemudian bergeser menyebabkan terbentuknya sub-grain. Sub-sub grain ini karena memiiki orientasi yang berbeda dengan butir induknya maka bisa dipandang sebagai butiran baru yang lebih kecil. Dan umumnya sub grain yang terbentuk memiliki sudut butir yang kecil [9] .
Terbentuknya sub grain ini akan membuat permukaan spesifik total butiran menjadi besar sehingga mampu menahan beban lebih berat. Selain itu, dengan mengecilnya ukuran butiran, pergerakan dislokasi selanjutnya menjadi lebih tidak bebas sehingga memberi efek menambah kekuatan. Itulah sebabnya benda kerja yang dikenai proses ECAP ini akan naik kekuatannya, dan hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya menggunakan [10] material lain . Sifat mekanis benda kerja dapat diwakili oleh nilai kekerasan, walaupun memerlukan faktor konversi jika dikaitkan dengan kekuatan sesungguhnya. Dari pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa perubahan struktur mikro berupa pengecilan ukuran butiran akibat pembentukan sub grain akan menaikkan kekuatan benda bersangkutan, sesuai dengan persamaan Hall-Petch:
dimana, σ y = yield stress setelah penguatan σ o = yield stress awal ky = konstanta d = ukuran butiran Pengujian kekerasan terhadap benda kerja menunjukan kesesuaian antara perubahan struktur mikro tersebut dengan penambahan kekuatan, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5. Sampai dengan proses ECAP 2 pass tidak terjadi perubahan nilai kekerasan yang signifikan. Hal ini karena baru dalam tahap awal pembelahan (masih dalam skala mikron), tetapi pada proses ECAP 4 dan 8 pass terlihat kenaikan kekerasan yang cukup signifikan. Hal ini sesuai dengan perubahan pada struktur mikro dimana jumlah dislokasi semakin banyak kemudian bermigrasi dan terkonsentrasi yang diakhiri dengan pembentukan subbutir, yang secara otomatis berpengaruh dalam menaikkan kekuatan (dalam hal ini diwakili kekerasan) secara drastis. Penguatan Tembaga Murni …../Solihin |
151
5. Berubahnya ukuran butiran menaikkan kekuatan benda kerja. Kenaikan kekuatan secara drastis terjadi pada proses ECAP pass 4 dan 8. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 5. Pengaruh proses ECAP (jumlah pass) terhadap kekerasan benda kerja
[1] Callister Jr WD, Fundamentals of Materials Science and Engineering, Jon Wiley and Son, 2001. [2] Langdon, TG, Rev. Adv. Matter.Sci. 13 (2006) 15. [3] Zrinc J, Dobatkin SV, Mamuzic I, Metalurgija 47 (2008) 3. [4] V. M. Segal, V. I. Rezhnikov, A. E. Dobryshevsky, V. I.Kopylov, Russ. Metall. (Engl. Transl.) 1 (1981) 99. [5] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 5 (2003) 91. [6] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 42 (2007) 1403. [7] Koch, CC, Ovidko IA, Seal S, Structural Nanocrystalline Materials: Fundamentals and Applications, Cambridge U. Press, 2007. [8] Bobylev SV, Ovidko IA, Rev. Adv. Mater. Sci. 17 (2008) 76-79. [9] Rodak K, Pawlicki, Arch. Mat. Sci. Eng. 28 (2007) 7. [10] Molodova X, Berghammer R, Gottstein G, Hellmig RJ, Int. J. Mat. Res. 98 (2007) 3.
KESIMPULAN
RIWAYAT PENULIS
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan: 1. Proses ECAP terbukti mampu mengadakan efek severe plastic deformation pada logam. 2. Rute B c dimana setiap pass benda kerja diputar 90° merupakan rute yang memberikan grain geometry yang equiaxial. 3. Sudur belokan 120° memiliki kemoderatan dalam hal kemudahan pergerakan benda kerja dan derajat efek severe plastic deformation. 4. Proses ECAP berpengaruh dalam memperkecil ukuran butiran melalui pembentukan sub-grain.
Solihin, alumni program studi Metalurgi jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung dan program studi ecomaterial Graduate School of Environmental Studies Tohoku University. Pernah melakukan penelitian berdurasi pendek di Advanced Industrial Science and Technology (AIST), Miyagi, Jepang (2000-2001), dan juga pernah terlibat dalam kerjasama penelitian antara JFE Mineral Company dengan Institute of Multidisciplinary Research for Advanced Materials, Jepang (2004-2006). Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Metalurgi LIPI.
Gambar 4. Struktur Mikro dari tembaga yang telah mengalami proses ECAP pada jumlah pass yang berbeda 135 Copper, ECAP, Rute 0-90-180-360-
130
Hardness (Vicker)
125 120 115 110 105 100 0
2
4
6
8
10
Jumlah Pass (kali)
152 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 149-152
PENGARUH KOMPOSISI LARUTAN TERHADAP KANDUNGAN Mo DALAM LAPISAN PADUAN Ni-Mo SECARA ELEKTROPLATING Sri Mulyaningsih dan Budi Priyono Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI E-mail :
[email protected]
Intisari Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan lapisan paduan Ni-Mo yang akan digunakan sebagai lapisan bond coat untuk lapisan tahan temperatur tinggi (TBC). Penelitian dilakukan dengan menggunakan bahan dasar plat nikel 99% yang diroll dan dibentuk sampel berukuran 25 x 50 x 2 mm. Sampel kemudian diberi lapisan dengan cara elektroplating menggunakan larutan yang terdiri dari NiSO 4 , Na 2 MoO 4 , C 8 H 8 O 7 . Komposisi larutan divarisikan menjadi 5 jenis larutan dengan perbandingan; I. 0,1 : 0,1: 0,1 mol, II. 0,075 : 0,125 : 0,1 mol, III. 0,050 : 0,100 , 0,1 mol, IV. 0,025 : 0,125: 0,1 moll dan V. 0,001 : 0,2 : 0,1 mol. Proses dilakukan pada suhu ruang dengan rapt arus 0,1 A/dm2. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa larutan III menghasilkan lapisan dengan kadar Mo terbaik yaitu 21,19%. Kata kunci: Elektroplating, Paduan Ni-Mo, Lapisan tahan temperatur tinggi
Abstract There has been done the experiment about electro deposition Ni-Mo alloy as a bond coat layer for high temperature resistance coating, known as Thermal barrier coating (TBC). The sample is made from Nickel 99%. Roll process was done to thinning the samples and then cut the material into 25 x 50 x 2 mm shape. Electroplating process was done on the surface of materials by mixed NiSO 4 , Na 2 MoO 4 and C 8 H 8 O 7 for the solution. Electroplating process was carried out at 0,1-0,6 A/dm2 at room temperature. Composition of the solution was varied within I. 0.1 : 0.1: 0.1 mol, II. 0.075 : 0.125 : 0.1 mol, III. 0.050 : 0.100 , 0.1 mol, IV. 0.025 : 0.125: 0.1 moll and V. 0.001 : 0.2 : 0.1 mol. The best Mo content from the experiment is NiMo coating from solution III, it was 21.19 %. Keywords : Electroplating, Ni-Mo alloy, Thermal barrier coating
PENDAHULUAN Penelitian ini merupakan awal dari rangkaian proses penelitian tentang lapisan Tahan Temperatur Tinggi atau lebih sering disebut sebagai Thermal Barrier Coating (TBC). Karakter dari lapisan TBC biasanya adalah lapisan duplex system yang terdiri dari dua lapisan yaitu ceramic top coat dan lapisan metalic bond coat. Lapisan paling luar adalah lapisan top coat yang bersifat tahan panas dan lapisan berikutnya adalah lapisan bond coat yang bertujuan untuk melindungi material dari bahaya oksidasi dan korosi. Lapisan ini juga sekaligus berfungsi sebagai perekat lapisan keramik diatasnya. Skema dari model lapisan ini dapat dilihat pada Gambar 1 [1].
Penelitian ini lebih menitik beratkan pada pembuatan lapisan bond coat. Dimana lapisan bond coat ini sekaligus berfungsi sebagai sumber pembentuk lapisan oksida (thermal grown oxide) Al 2 O 3 . Lapisan Al 2 O 3 ini akibat siklus termal akan terus berdifusi kedalam benda kerja sehingga dapat merubah sifat mekanik benda kerja. Untuk mengatasi hal tersebut telah banyak dilakukan penelitian tentang lapisan oxigen diffusion barrier yaitu lapisan yang dapat menahan difusi Al 2 O 3 ke dalam benda benda kerja misalnya dengan memberikan lapisan ALN, TiN, W, Ni3Hf dan juga Re.
Gambar 1. Skema model lapisan thermal barrier coating
DASAR TEORI Lapisan tahan temperatur tinggi biasanya digunakan untuk baling-baling dan blade pada turbin. Dimana, pada komponen tersebut biasanya mengalir udara sangat panas sehingga dibutuhkan material yang tahan temperatur tinggi. Permasalahan terjadi ketika udara panas yang mengalir melebihi ketahanan panas dari material blade, maka blade akan rusak atau gagal sehingga diperlukan blade yang mempunyai permukaan tahan temperatur tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu lapisan lebih tahan panas dari material untuk blade atau superalloy. Disamping itu, karena aliran udara sangat panas tersebut juga membawa sisa-sisa hasil pembakaran sehingga rawan terhadap terjadinya bahaya korosi. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diperlukan lapisan yang tahan terhadap temperatur tinggi sekaligus juga tahan terhadap oksidasi dan korosi. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan untuk membuat lapisan TBC masih mempunyai kekurangan pada lapisan bond coat. Dimana lapisan ini bersifat kurang stabil karena lapisan ini juga sekaligus sebagai sumber thermal ground oxide yang biasanya berbentuk Al 2 O 3. Senyawa Al 2 O 3 ini sangat halus sehingga dengan siklus termal akan berdifusi ke dalam material dasar yang akhirnya dapat merubah sifat material itu sendiri. Untuk itu diperlukan unsur/senyawa dalam lapisan yang dapat menghambat laju difusi Al 2 O 3 atau barrier coating. Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mengatasi laju difusi lapisan Al 2 O 3 antara lain menggunakan lapisan ALN, TiN, W, Ni 3 Hf, namun hasil yang dicapai belum memuaskan [2]. Tahun 2003 Narita dkk, telah menemukan bahwa Re dapat berfungsi sebagai barrier yang dapat menghambat laju difusi Al 2 O 3. Re dilapiskan secara elektroplating diatas material dasar nikel superalloy kemudian dilanjutkan dengan memberikan lapisan berikutnya [3]. Pada penelitian ini digunakan Mo sebagai barrier karena Mo mempunyai sifat yang paling mirip dengan Re dan garam Mo lebih murah dan mudah ditemukan dipasaran. Akan tetapi Mo tidak dapat dilapiskan dalam bentuk lapisan Mo, dan hanya bisa terdeposisi sebagai paduan bersama dengan logam grup besi untuk itu dilakukan elektrodeposisi dengan memadukan Ni dengan Mo mengingat material dasar yang digunakan adalah Nikel [4]. Larutan yang digunakan mengacu pada percobaan yang dilakukan Narita dkk yaitu dengan mengganti Re dengan Mo sehingga digunakan NiSO 4 , Na 2 MoO 4 and C 8 H8 O 7 sebagai penyusun larutan. PERCOBAAN Kerangka Analitik Proses percobaan pada penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur proses seperti terlihat pada Gambar 3 dibawah ini. Benda kerja yang digunakan sebagai bahan dasar terbuat dari Nikel 99% dari INCO yang terlebih dahulu diroll dan dianneal untuk mendapatkan benda kerja dengan ukuran 50 x 25 x 2 mm. Bahan kimia untuk pembuatan larutan diperoleh dari Merck. Percobaan dilakukan dengan memvariasikan komposisi larutan dan menggunakan rapat arus dari 0,1 A/dm2.
154 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 153-160
HASIL DAN PEMBAHASAN
Start
Percobaan dilakukan dengan menggunakan komposisi larutan pada Tabel 1. Hasil percobaan menghasilkan lapisan paduan Ni-Mo pada permukaan sampel. Gambar 3 adalah gambar sampel sebelum dilakukan pelapisan (tengah) dan yang sudah dilapisi Ni-Mo alloy (kanan).
Plat Nikel
Roll dan potong ukuran sampel
25 x 50 x 2 mm
Pickling
Degrasing Mild acid
Electroplating paduan NiMo Gambar 3. Sampel sebelum dan sesudah diberi lapisan Ni-Mo
Lapisan paduan Ni Mo
Percobaan menghasilkan lapisan Ni-Mo alloy yang merata diseluruh permukaan dan berwarna seperti pelangi cenderung agak kemerahan dan kelabu. Adapun hasil lapisan dilihat secara visual dapat dilihat pada Tabel 2.
Finish
Gambar 2. Diagram Alir Percobaan Tabel 1. Komposisi bahan larutan yang digunakan untuk percobaan
Bahan Larutan NiSO 4 Na 2 MoO 4 C 8 H 8 O7
Larutan I 0,1 0,1 0,1
Larutan II 0,075 0,125 0,1
Komposisi mol/L Larutan III Larutan IV 0,050 0,025 0,150 0,175 0,1 0,1
LarutanV 0,001 0,2 0,1
Pengaruh Komposisi Larutan …../ Sri Mulyaningsih |
155
Tabel 2. Hasil percobaan menggunakan larutan I dilihat secara visual
No Sampel I II III IV V
Ampere 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Temperatur Temperatur ruang Temperatur ruang Temperatur ruang Temperatur ruang Temperatur ruang
Waktu 10 detik 10 detik 10 detik 10 detik 10 detik
Hasil lapisan (visual) Rata, warna pelangi kemerahan Rata, warna pelangi kemerahan Rata, warna pelangi kemerahan Rata, warna pelangi kelabu Rata, warna pelangi kelabu
Komposisi Mo pada Lapisan 25
Kadar Mo
20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
Larutan
Gambar 4. Grafik kadar Mo yang dihasilkan terhadap larutan yang digunakan
Sampel hasil pelapisan kemudian dianalisa menggunakan SEM EDS untuk mengetahui morfologi dan komposisi lapisan secara semi kuantitatif. SEM EDS hanya dapat memberikan data komposisi secara semi kuantitatif, karena hanya dengan memperbandingkan unsur yang terdapat dalam lapisan. Hasil analisa SEM EDS dapat dilihat pada Tabel 3-7. Dari tabel hasil analisa SEM EDS dapat dilihat kandungan Mo dari masing-masing sampel, kandungan Mo pada lapisan dari larutan I sebesar 6,17%, semakin naik pada lapisan dari larutan II sebesar 7,83% dan kandungan Mo terbesar dihasilkan dari lapisan dari larutan III yaitu sebesar 21,19%.
Larutan IV menghasilkan lapisan dengan kandungan Mo yang turun drastis ke 1,72% dan larutan V juga menghasilkan kadar Mo yang hampir sama yaitu 1,36% Mo. Dari komposisi larutan yang digunakan larutan dengan kandungan NiSO 4 0,50 mol/L, Na 2 MoO 4 0,150 mol/L dan C 8 H8 O 7 mol/L merupakan larutan dengan komposisi yang paling optimal. Sehingga, pada larutan IV dan V yang mengalami penurunan sekalipun kandungan Na 2 MoO 4 semakin banyak. Adapun hasil SEM EDS terhadap sampel dapat dilihat pada Tabel 3-7. Sedangkan Gambar 4 menjelaskan tentang pengaruh komposisi larutan terhadap kadar Mo yang terdapat dalam lapisan.
156 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 153-160
Tabel 3. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan I ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2398 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound O K 0.525 13.17 0.10 36.43 Al K 1.486 1.23 0.13 2.01 Fe K 6.398 0.76 0.16 0.60 Ni K 7.471 60.59 0.30 45.66 Cu K 8.040 11.10 0.40 7.73 Zn K 8.630 6.98 0.54 4.73 Mo L 2.293 6.17 0.21 2.85 Total 100.00 100.00
Mass%
Cation
K 13.2053 0.4759 0.9229 63.6169 11.0023 6.4913 4.2854
Tabel 4. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan II ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2326 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound C K 0.277 7.67 0.13 23.15 O K 0.525 13.08 0.11 29.65 Al K 1.486 2.73 0.11 3.67 Fe K 6.398 0.98 0.16 0.64 Ni K 7.471 56.90 0.27 35.15 Zn K 8.630 7.60 0.50 4.22 Mo L 2.293 7.83 0.29 2.96 Tl M 2.267 3.22 0.41 0.57 Total 100.00 100.00
Mass%
Cation
K 1.4093 12.0369 1.2893 1.2831 66.7271 7.9114 6.3430 3.0000
Tabel 5. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan III ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2574 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound O K 0.525 15.76 0.12 43.09 Al K 1.486 1.29 0.11 2.10 Fe K 6.398 1.34 0.17 1.05 Ni K 7.471 47.24 0.29 35.21 Cu K 8.040 3.27 0.38 2.25 Zn K 8.630 9.91 0.52 6.63 Mo L 2.293 21.19 0.19 9.67 Total 100.00 100.00
Mass%
Cation
K 12.9045 0.6105 1.6422 54.1046 3.5228 10.1887 17.0267
Tabel 6. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan IV ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2597 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound O K 0.525 10.99 0.12 30.20 Al K 1.486 3.64 0.17 5.93 Si K 1.739 0.75 0.15 1.17 Fe K 6.398 2.47 0.21 1.95 Ni K 7.471 76.39 0.40 57.18 Cu K 8.040 4.03 0.53 2.79 Mo L 2.293 1.72 0.29 0.79 Total 100.00 100.00
Mass%
Cation
K 11.9942 1.4002 0.3807 3.0635 78.0756 3.9288 1.1570
Tabel 7. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan V ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2401 Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound O K 0.525 13.45 0.12 34.65 Al K 1.486 5.14 0.15 7.85 Si K 1.739 0.93 0.13 1.36 Cr K 5.411 0.48 0.18 0.38 Fe K 6.398 3.06 0.20 2.25 Ni K 7.471 73.31 0.38 51.45 Cu K 8.040 2.27 0.50 1.47 Mo L 2.293 1.36 0.27 0.58 Total 100.00 100.00
Mass%
Cation
K 14.9791 2.0316 0.4794 0.5156 3.7521 75.0993 2.2173 0.9256
Pengaruh Komposisi Larutan …../ Sri Mulyaningsih |
157
Mo
Ni
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 5. Morfologi permukaan hasil pelapisan menggunakan larutan I - V
Sedangkan gambar struktur mikro permukaan lapisan hasil elektroplating menggunakan larutan I sampai dengan V dapat dilihat pada Gambar 5a - 5d diatas.
Dari Gambar 5a - 5e dapat dilihat bahwa morfologi hasil lapisan untuk lapisan dari larutan I dan II (Gambar 5a dan 5b) masih terdapat pengelompokan Ni beberapa daerah (warna putih). Untuk
158 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 153-160
Gambar 5d - 5e yang merupakan hasil pelapisan dari larutan IV dan V, terlihat bahwa warna lapisan cenderung lebih terang, hal ini menunjukan pada lapisan ini kandungan Mo semakin menurun. Sedang pada Gambar 5c lapisan dari larutan III, lapisan terlihat lebih merata antara warna hitam dan putih dan tidak ada pengelompokan Nikel pada daerah tertentu. Lapisan ini merupakan laisan dengan kandungan Mo tertinggi. Hal ini seperti yang ditunjukan hasil analisa EDS pada Tabel 3 – 7. Grafik pengaruh komposisi larutan terhadap kandungan Mo pada lapisan paduan Ni-Mo dapat dilihat pada Gambar 4. KESIMPULAN Dari hasil analisa terhadap lapisan didapatkan bahwa lapisan yang terjadi adalah merupakan lapisan paduan Ni-Mo. Kandungan Mo untuk masing-masing larutan berbeda dan larutan dengan komposisi terbaik yang menghasilkan kandungan Mo paling tinggi adalah larutan III yaitu sebesar 21,19%. Pada lapisan dari hasil larutan I dan II kecenderungannya naik dari 6,17% menjadi 7,83%. Sedang pada larutan IV dan V kandungan Mo menurun drastis ke 1,72% dan 1,36%. Dari data kandungan Mo tersebut dapat diketahui bahwa larutan yang
menghasilkan lapisan dengan kandungan Mo tertinggi adalah larutan III. DAFTAR PUSTAKA [1]Karin Carlsson, 2007. A study of Failure Development in Thick Thermal Barrier Coatings, theses master Linkőpings Universitet. [2]Pedro de Lima-Neto dkk, 2010. Morphological, structural, microhardness and corrosion characterisation of electrodeposited NiMo and Cr coating, Journal of the Brazilian Chemical Sosiety vol.21 No.10. [3]T. Narita dkk, 2005. The roll of Bond coat in advance thermal Barrier coating, Material Science Forum vol. 502. [4]S. Franz, Marlot dkk, 2003. Pulse plating of Ni-M alloys, The Electrochemical Sosiety, 204th Meeting. RIWAYAT PENULIS Sri Mulyaningsih, menyelesaikan pendidikan Strata 1 Jurusan Teknik Metalurgi di Jenderal Akhmad Yani pada tahun 1997. Lulus pendidikan Strata 2 Program Studi Ilmu Bahan Universitas Indonesia pada tahun 2006. Sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang bekerja di Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI.
Pengaruh Komposisi Larutan …../ Sri Mulyaningsih |
159
160 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 153-160
PEMBUATAN KOMPOSIT AC8A/SICP DENGAN METODE HOT PRESS METALURGI SERBUK T. Mustika1, B. Soegiyono2 Dan I.N. Jujur3 1 Material Science Program, Physics Departement, UI, Indonesia, 2 Material Science Program, Physics Departement, UI, Indonesia, 3 The Agency for the Assessment and Application Technology, Indonesia,
Intisari Perencanaan suatu proses produksi sederhana yang mudah diaplikasikan pada industri menengah merupakan latar belakang dari riset ini. Pada riset ini dipelajari sejauh mana mekanisme pembentukan bahan dengan proses hot press metalurgi serbuk di lingkungan udara yang tidak dikondisikan, akan berpengaruh terhadap karakteristik dari Aluminium Matrix Composites (AMCs). Komposit terbuat dari serpihan AC8A cor yang di haluskan sebagai matrik dan ditambah kan partikel keramik SiC sebanyak 20% volume sebagai penguat. Proses hotpress dilakukan pada temperatur 380ºC dengan tekanan sebesar 425 MPa selama 5 menit dalam lingkungan udara yang tidak dikondisikan. Dilakukan perbandingan karakteristik dari material yang dibuat dengan cara hot press serbuk Aluminium paduan AC8A dengan dan tanpa partikel penguat SiC, serta material AC8A hasil cor. Hasil pengamatan terhadap komposit AC8A/SiCp memperlihatkan mikrostruktur yang padat. Pada beberapa tempat terdapat bagian partikel SiC yang retak dan terlepas dari SiC lainnya di permukaan AC8A. Hasil Uji tekan serta SEM dari retakan hasil uji tekan yang terjadi menunjukkan bahwa tercapai ikatan permukaan yang baik antara aluminium paduan dengan SiC. Hasil XRD menunjukkan fase dominan yang terbentuk sebelum dan setelah proses hotpres AC8A/SiCp adalah Al, Si dan SiC. Hasil uji mekanis menunjukkan bahwa kekerasan serta kuat tekan (compression strength) dari AC8A hasil hot press metalurgi serbuk lebih tinggi dibandingkan ingot AC8A hasil cor, namun kuat luluh (yield strength) AC8A hasil hot press metalurgi serbuk jauh lebih rendah dibandingkan ingot AC8A hasil cor. Kata kunci : Komposit matrik aluminium, Hot press tanpa pengkondisian udara
Abstract Formulated a simple process to become easier in application in medium scale industries was the main background of this research. In this research, we investigate how far hot forming mechanism in an unconditional air is affecting to the microstructure and properties of Aluminium Matrix Composites (AMCs). Composites made using AC8A flakes that have been reduced into particle size as a matrix, which added 20% volume SiC particles as reinforcement, hot pressed at 380ºC with pressure of 425 MPa for 5 minutes under unconditional air. The comparation between the characteristics of material made by hot pressing of AC8A powder with and without reinforching SiC particles, and cast ingots AC8A have been done.The observation of AC8A/SiCp composite showed a dense microstructure. In some places there is SiC particles which are fragmented and separated from other SiC particles on AC8A surface. The results of compression test and SEM observation of fractography occurred and indicates that a good interface diffusion bonding between AC8A with SiC have been reached. XRD results indicate that the dominant phase formed in AC8A/SiCp before and after hotpress was Al, Si and SiC. The results of mechanical tests showed hardness and compression strength of hot pressed AC8A had a higher results than the cast AC8A, but the yield strength of hot pressed AC8A is much lower than cast AC8A. Keywords: Aluminium metal composites, Unconditioned air hot press
PENDAHULUAN Komposit Matrik Logam (Metal Matrix Composites -MMCs) telah banyak digunakan pada berbagai macam bidang
kehidupan. Kemampuan menggabungkan berbagai bahan (logam-keramik-bukan logam) memberikan kesempatan untuk membuat variasi yang tak terbatas. Hal ini menjadikan MMCs menarik diaplikasikan
dalam bidang konstruksi maupun fungsional manakala spesifikasi material dari bahan konvensional tidak dapat memenuhi tuntutan spesifikasi tertentu. Keunggulan dari material komposit hanya dapat dirasakan apabila hubungan antara biaya produksi dengan kinerja material adalah sesuai. Komposit Matrik Aluminium (Aluminium Matrix Composites-AMCs) adalah jenis komposit yang paling banyak diminati karena Aluminium memiliki kelebihan antara lain berat jenis yang rendah, kemampuan penguatan melalui presipitasi, ketahanan korosi, konduktivitas termal dan elektrik yang tinggi , serta kapasitas redaman tinggi[1]. Material MMCs dapat diproduksi menggunakan berbagai macam teknik. Dengan mengubah metoda manufaktur, seperti pemprosesan dan finishing begitupula dari bentuk komponen penguat, memungkinkan diperolehnya karakteristik yang berbeda meskipun berasal komposisi dan jumlah komponen pembentuk yang sama. Permasalahan utama pada pembuatan material komposit berbasis serbuk metalurgi yang diperkuat keramik adalah tingkat kebasahan (wettability) yang rendah antar bahan penyusun. Riset perlakuan pelapisan permukaan partikel SiC dengan oksida metal Al2O3, CuO, MgO, MgAl2O4, SiO2 menunjukkan bahwa pelapisan oksida metal dapat meningkatkan tingkat kebasahan permukaan penguat dan berpengaruh terhadap ikatan permukaan penguat dan matrik pada proses pembuatan pada kondisi padat dengan teknik sintering convensional[2-4]. Riset perlakuan pelapisan permukaan partikel penguat SiC pada pembuatan komposit AC8A/SiCp menggunakan teknik hot press tanpa pengkondisian lingkungan udara menunjukkan bahwa tanpa ataupun dengan memberikan material pelapis jenis MgAl2O4 dan Sn, diperoleh ikatan permukaan yang baik antara matrik dan penguat, dan komposit dengan SiC tanpa material pelapis menghasilkan kekerasan
dan kuat tekan yang paling tinggi [5]. Pada metoda pressureless infiltration, ukuran partikel dan kandungan Mg berpengaruh sangat besar terhadap derajat infiltrasi pembuatan komposit Al-Si-Mg/SiCp [6]. MMCs Isotropik yang diproduksi dengan proses metalurgi serbuk, menggunakan prinsip deformasi yang diperkuat oleh komponen partikel penguat. Metode produksi komposit ini semakin berkembang, sejalan dengan keuntungan dari proses metalurgi serbuk, seperti tingkat presisi yang tinggi terhadap dimensi produk. Proses ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu penekanan dingin (cold pressing) dan dilanjutkan dengan proses sintering. Pada proses sintering dapat dilakukan secara simultan dengan kompaksi (hot pressing or hot isostatic pressing). Hot Isostatic Pressing (HIP) dapat meningkatkan hasil cor, meningkatkan densitas komponen pra-sinter, serta meningkatkan ikatan (bonding) permukaan. HIP menggabungkan tekanan tinggi dan suhu tinggi secara simultan di dalam wadah yang khusus. Di bawah panas dan tekanan, internal pori ataupun cacat didalam material padat akan berdifusi berikatan [7]. Beberapa riset yang menggunakan mekanisme pembentukkan dibawah temperatur dan tekanan tinggi seperti Hot Forging, Hot Press serta teknik Ekstrusi memberikan hasil komposit dengan kepadatan serta kekuatan mekanis yang lebih tinggi dibandingkan conventional sintering, dimana terjadi penurunan porositas dan kenaikkan densitas serta kekuatan ikatan permukaan [8-10] . Parameter proses yang perlu diperhatikan pada hot press metalurgi serbuk antara lain temperatur, ukuran partikel dan fraksi volume material penguat. Temperatur hotpress yang rendah dapat menghindari terjadinya agglomerasi dari partikel SiC serta reaksi antara Aluminium dengan SiC [11]. Peningkatan temperatur hot press akan menghasilkan kekerasan yang semakin tinggi dan keausan yang semakin rendah [12-13].
162 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 161-168
Densitas relatif komposit meningkat cepat seiring dengan peningkatan temperatur hot press. Pada temperatur 620 °C MgAl2O4 dan Al4C3 terbentuk di permukaan SiCp/2009Al dan retakan terjadi di sepanjang MgAl2O4 dan Al4C3. Mekanisme fraktur pada komposit adalah fraktur karena sifat ductile dari matrik, fraktur pada permukaan dan fraktur partikel [14]. Pengaruh temperatur dan gaya geser yang tinggi pada proses ekstrusi dapat mengakibatkan terjadinya pengecilan butir SiC akibat keretakan dari partikel serta sifat tidak mampu berdeformasi dari keramik [15]. Pengaturan ukuran partikel SiC dan Al dapat meningkatkan ultimate tensile dan yield strenghts dari komposit [16] . Peningkatan fraksi volume dari partikel SiC dapat meningkatkan kekuatan namun menurunkan sifat plastis dari komposit [ 9, 17]. Manufaktur komponen dari material MMCs dengan kualitas serta spesifikasi teknis yang sesuai permintaan, serta biaya produksi rendah adalah hal penting yang sangat diperhatikan pada sektor industri. Banyak riset penghematan energi, pemilihan bahan baku, serta penyederhanaan proses dan peralatan yang dilakukan dalam upaya penekanan biaya produksi. Upaya penekan biaya produksi pada produksi komposit aluminium paduan menggunakan metoda hot press metalurgi serbuk, dapat dilakukan melalui penyederhanaan peralatan seperti eliminasi peralatan vakum ataupun pengkondisian udara, mekanisme proses dengan temperatur yang rendah serta waktu proses yang pendek. Pada riset ini dipelajari seberapa jauh mekanisme pembentukan bahan dengan proses hot press metalurgi serbuk pada lingkungan udara yang tidak dikondisikan berpengaruh terhadap karakteristik dari Komposit Matrik Aluminium (Aluminium Matrix Composites- AMC). Telah difahami bahwa oksida yang terbentuk pada permukaan Aluminium akan menurunkan energi permukaan dan dapat menghalangi terjadinya mekanisme
transportasi permukaan yang hingga saat ini terus menjadi tantangan untuk diteliti [1] . Di lain pihak proses Hot Press dapat meningkatkan hasil cor dengan meningkatkan densitas serta meningkatkan ikatan permukaan bahan pembentuk [7-10]. Menjadi pertanyaan sejauh mana kedua fenomena ini akan berpengaruh terhadap komposit aluminium paduan hasil proses hot press metalurgi serbuk tanpa pengkondisian udara. Dilakukan observasi mikrostruktur, analisa fasa terbentuk, analisa sifat mekanis serta observasi fraktografi setelah uji tekan pada komposit. PROSEDUR PERCOBAAN Komposit dibuat menggunakan bahan baku serbuk AC8A cor yang di haluskan sebagai matrik dan partikel keramik SiC sebanyak 20% volume sebagai penguat. Hasil pencampuran kedua partikel ini dipadatkan di dalam cetakan logam dengan diberi tekanan satu arah (single compaction) sebesar 85 MPa pada suhu kamar. Cetakan logam berisi bahan komposit dipanaskan didalam furnace terbuka hingga suhu cetakan logam mencapai 380 °C, selanjutnya dilakukan penekanan sebesar 425 MPa selama 5 menit. pada lingkungan udara yang tidak dikondisikan. dan dilanjutkan pemanasan 5 menit berikutnya tanpa diberikan tekanan. Proses serupa dilakukan pula terhadap serbuk AC8A tanpa tambahan penguat SiC. Dilakukan uji kekerasan vicker (HV), uji tekan , pengamatan struktur mikro, SEM dan XRD. Skema sistem peralatan hot press diperlihatkan pada Gambar 1 dan skema tahapan riset diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 1. Skema sistem peralatan hot press
Pembuatan komposit AC8A…../ Tika Mustika |
163
Hasil hot press metalurgi serbuk dari bahan baku serbuk AC8A ditambahkan 20% volume partikel SiC membentuk komposit AC8A/SiCp. Struktur mikro setelah proses hot press diperlihatkan pada Gambar 3, dan data hasil X-Ray Difraction sebelum dan setelah proses hot press diperlihatkan pada Gambar 4.
Preparasi Bahan Serbuk AC8A dan Partikel SiC
Pencampuran Bahan AC8A + SiCp 20 % fraksi volume
Kompaksi Bahan
Penekanan Suhu Panas ( Hot Press ) Suhu Cetakan Logam 380 °C,425 MPa,5 Lubang yang ditinggalkan
Pemanasan Tanpa Tekanan ( Heat Treatment )
Analisis Fasa XRD
Analisis Mikrostruktur MO dan SEM
Uji Mekanik Uji kekerasan dan Uji Tekan
Gambar hotpress
3.
Mikrostruktur
AC8A/SiCp
hasil
Analisa dan Kesimpulan
Gambar 2. Skema diagram alir pembuatan komposit AC8A/SiCp
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposit AC8A/SiCp Bahan baku serbuk AC8A hasil penghalusan gram dari ingot AC8A menggunakan planetary ballmill memiliki ukuran diameter ataupun gugus partikel AC8A berkisar 0,2 µm sampai dengan 100 µm dengan rata-rata diameter partikel 5,5 µm. Komposisi kimia dari ingot AC8A diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ingot AC8A Al 84,93
Si 10,96
Cu 1,19
Mg 0,80
Ni 0,90
Fe 0,46
Ti 0,04
Mn 0,07
Gambar 4. Grafik data hasil XRD komposit AC8A/SiCp
Dari foto struktur mikro dapat dilihat bahwa terbentuk struktur yang padat dari komposit AC8A/SiCp, dengan penyebaran partikel SiC yang kurang merata membentuk kelompok mengelilingi area yang besar dan kecil. Formasi dari partikel SiC diduga terbentuk berkeliling sesuai besar butir serbuk AC8A yang memiliki ukuran partikel bervariasi. Proses pencampuran yang kurang optimal juga dapat menyebabkan penyebaran partikel SiC yang kurang merata. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa partikel yang lepas
164 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 161-168
sifat kekerasan AC8A sebesar 92 MPa menjadi 105 Mpa pada AC8A/SiCp, kuat tekan AC8A sebesar 309 MPa menjadi 427 MPa pada AC8A/SiCp, dan kuat luluh AC8A 244 Mpa menjadi 324 pada AC8A/SiCp. Peningkatan sifat kekerasan ini disebabkan adanya SiC yang memiliki kekerasan dan kuat tekan yang tinggi dan disertai ikatan permukaan yang baik antar partikel pembentuk di dalam komposit AC8A/SiCp. Grafik Uji Tekan 16000
AC8A/SiCp p/m hot press
14000 12000
AC8A p/m hot press
10000
Kgf
adalah bagian dari partikel SiC yang retak dan terlepas dari bagian SiC lainnya diatas permukaan AC8A. Retak dapat terjadi akibat beban tekanan sebesar 85 Mpa pada suhu kamar sebelum proses hot press, ataupun tekanan sebesar 425 Mpa pada suhu 380 °C pada proses hot press. Hal ini memungkinkan partikel SiC yang bersifat britel mengalami retak. Temperatur serta gaya geser yang tinggi juga dapat mengakibatkan keretakan partikel keramik karena sifatnya yang tidak mampu untuk berdeformasi [14]. Hasil difraksi sinar X menunjukkan fasa-fasa yang terdapat pada komposit. Pada jumlah kandungan yang terdeteksi oleh difraksi sinar-X diketahui bahwa fasa dominan yang terdapat sebelum maupun setelah proses hotpress adalah Al , Si dan SiC. Dapat dilihat terdapat penurunan yang signifikan dari intensitas fasa SiC setelah proses hot press. Penurunan intensitas SiC mungkin terjadi apabila SiC terdisosiasi dan bereaksi dengan unsur lain membentuk fasa baru. Namun karena pada data hasil XRD tidak terdapat fasa baru dari SiC, maka diduga perbedaan intensitas fasa SiC sebelum dan setelah proses hotpress disebabkan kandungan SiC yang berbeda pada area pengambilan data XRD akibat tidak meratanya penyebaran partikel SiC pada komposit.
8000
AC8A Cor
6000 4000 2000 0 0
2
4
6
8
10
mm
Gambar 5. Hasil Uji Tekan Spesimen
Sifat Mekanik komposit AC8A/SiCp Tabel 2 memperlihatkan nilai hasil uji tekan dan uji kekerasan spesimen komposit AC8A/SiCp dan AC8A hasil hot press metalurgi serbuk, serta AC8A hasil cor. Grafik uji tekan dari ketiga spesimen diperlihatkan pada Gambar 5 dan bentuk fisik spesimen setelah uji tekan diperlihatkan pada Gambar 6. Dari data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan sifat kekerasan, kuat tekan (Compression Strength) dan kuat luluh (Yield Strength) dari material AC8A hot press metalurgi serbuk apabila dikuatkan dengan 20% volume SiCp menjadi komposit AC8A/SiCp. Dimana
Gambar 6. Spesimen setelah Uji Tekan (a) AC8A hot press (b) AC8A/SiCp hot press Tabel 2. Sifat mekanik komposit AC8A/SICP
Jenis Material
AC8A Ingot Serbuk AC8A hasil Hot Press Komposit AC8A/SiCp hasil Hot Press
Kuat Luluh (Yield Strength) (MPa)
Kuat Tekan (Compression Strength ) (MPa)
Kekerasan (Hardness)
383
230
73
244
309
92
324
427
105
(HV)
Pembuatan komposit AC8A…../ Tika Mustika |
165
Sifat mekanik material komposit mengikuti Rule of Mixture dimana sifat mekanik komposit merupakan gabungan dari sifat mekanik matrik dan penguatnya sesuai perbandingan fraksi volume keduanya [18]. Adanya sifat kuat luluh yang lebih tinggi pada komposit AC8A/SiC dibandingkan AC8A hot press metalurgi serbuk, dapat terlihat pula dari bentuk fisik spesimen setelah uji tekan dimana komposit AC8A/SiCp pada Gambar 6.b memiliki bagian retak yang relatif jauh lebih sedikit dari AC8A pada Gambar 6.a , bahkan retakan yang terjadi masih sulit untuk dipisahkan tanpa dilakukannya penekanan lebih lanjut. Terbentuknya sifat mekanis demikian diduga merupakan pengaruh dari deformation strengthening yang terjadi pada partikel AC8A dan SiC pada proses hot press yang berpengaruh terhadap berkurangnya sifat britel AC8A sehingga meningkatkan sifat kuat luluh komposit AC8A/SiCp. Berdasarkan grafik hasil uji tekan pada Gambar 5 terlihat regangan antara AC8A dan komposit AC8A/SiCp tidak ada perbedaan, berarti selain terjadi peningkatan kekuatan juga terjadi peningkatan ketangguhan matrik setelah menjadi komposit AC8A/SiCp. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh proses hot press terhadap peningkatan ketangguhan pada material komposit tersebut. Perbandingan sifat mekanis AC8A hasil hot press metalurgi serbuk dengan AC8A hasil cor menunjukkan bahwa baik kekerasan maupun kuat tekan AC8A hasil hot press metalurgi serbuk sebesar 92 HV dan 309 MPa adalah lebih tinggi dibandingkan AC8A hasil cor sebesar 73 HV dan 230 MPa, namun kuat luluh AC8A hot press metalurgi serbuk sebesar 244 MPa jauh lebih rendah dibandingkan AC8A cor sebesar 383 MPa. Sifat material demikian mengikuti sifat material pada umumnya dimana material dengan sifat kekuatan yang tinggi cenderung memiliki sifat keuletan yang rendah, demikian pula sebaliknya.
Hasil perbandingan diatas menunjukkan bahwa struktur material hasil dari mekanisme sinter partikel pada proses metalurgi serbuk memberikan kekerasan dan kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan struktur material dengan mekanisme pertumbuhan butir pada proses cor. Fraktografi menggunakan SEM dari retakan setelah dilakukan uji tekan terhadap komposit AC8A/SiCp diperlihatkan pada Gambar 7 dan 8. Pada Gambar 7 dapat dilihat penjalaran retakan terdapat pada bagian aluminium serta pada jalur yang melintasi bagian partikel SiC yang retak. Pada Gambar 8 terlihat bahwa retakan-retakan yang terjadi tidak melewati sisi permukaan ikatan aluminium dengan keramik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi ikatan permukaan yang baik antara logam aluminium dengan keramik SiC. Ikatan permukaan tersebut mempunyai peran dalam meningkatkan kekuatan komposit AC8A/SiCp. Secara umum metoda hot press metalurgi serbuk tanpa pengkondisian udara dengan bahan baku AC8A hasil penghalusan gram dari ingot AC8A cor, dapat menghasilkan komposit AC8A/SiCp dengan ikatan permukaan matrik dengan penguat yang baik, serta menghasilkan material yang lebih tangguh dimana memiliki kekerasan dan kuat tekan dan kuat luluh yang lebih tinggi dibandingkan material AC8A tanpa penguat SiC dari hasil hot press metalurgi serbuk.
Gambar 7. AC8A/SiCp
Alur
166 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 161-168
retakan pada
komposit
2. Sifat mekanis komposit AC8A/SiCp adalah : Kuat Tekan (Compression Strength) 427 MPa, Kuat Luluh (Yield Strength) 324 MPa dan Kekerasan Vickers 105 HV. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 8. AC8A/SiCp
Alur
retakan
pada
komposit
Pada Gambar 7 dapat dilihat penjalaran retakan terdapat pada bagian aluminium serta pada jalur yang melintasi bagian partikel SiC yang retak. Pada Gambar 8 terlihat bahwa retakan-retakan yang terjadi tidak melewati sisi permukaan ikatan aluminium dengan keramik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi ikatan permukaan yang baik antara logam aluminium dengan keramik SiC. Ikatan permukaan tersebut mempunyai peran dalam meningkatkan kekuatan komposit AC8A/SiCp. Secara umum metoda hot press metalurgi serbuk tanpa pengkondisian udara dengan bahan baku AC8A hasil penghalusan gram dari ingot AC8A cor, dapat menghasilkan komposit AC8A/SiCp dengan ikatan permukaan matrik dengan penguat yang baik, serta menghasilkan material yang lebih tangguh dimana memiliki kekerasan dan kuat tekan dan kuat luluh yang lebih tinggi dibandingkan material AC8A tanpa penguat SiC dari hasil hot press metalurgi serbuk. KESIMPULAN 1. Proses hot press metalurgi serbuk pada lingkungan udara yang tidak dikondisikan, menggunakan bahan baku serbuk dari penghalusan gram ingot AC8A diperkuat 20% volume partikel SiC, mampu menghasilkan komposit AC8A/SiCp yang mempunyai struktur mikro yang padat.
[1] K.U. Kainer. 2006. Basic Of Metal Matrix Composites: Metal matrix composites custom-mate materials for automotive and aerospace engineering. Weinhelm : WILEY VCH & CO. KgaA. [2] M. Zainuri, Eddy S. Siradj, dkk. 2008. Pengaruh Pelapisan Permukaan SiC dengan oksida Metal terhadap Modulus Elastisitas Komposit Al/SiC. Makara Sains Volume 12. Indonesia : UI. [3] M. Zainuri. 2009. Pengaruh Pelapisan Tipis Metal oksida pada Permukaan Partikel SiC terhadap Interaksi Interfacial Komposit Al-SiCp dengan proses pembuatan Cold Compacting. Disertasi Ph.D. Dept. Metalurgy and Material University of Indonesia. [4] M. Saleh, M. Zainuri. 2009. Pengaruh Pelapisan Oksida SiO2 pada permukaan partikel SiC terhadap kualitas ikatan antar muka komposit Al-SiC. Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS. Surabaya. [5] T. Mustika, B. Soegiyono dkk. 2011. Investigation of Mechanical Properties of Hot pressed Aluminium Alloy Composites (AC8A/SiCp) Affected by Reinforcement Coating. International Seminar on Applied Technology, Science, and Art. (3rd APTECS 2011). Surabaya. [6] J.A. Aguilar-Martinez, M.B. Hernandez, dkk. 2007. Effect of particle size and Mg content on the processing parameters of Al-SiMg/SiCp composites processed by pressureless infiltration. Revista Mexicana De Fisica 53 (3). Mexico. [7] H.V.Atkinson, S.Davies. 2000. Fundamental Aspects of Hot Isotatic
Pembuatan komposit AC8A…../ Tika Mustika |
167
Pressing : An Overview, Metalurgical and Material Transactions A. 31A. [8] Sayed Moustafa, Walid Daoush dkk. 2011. Hot forging and Hot Pressing of lSi Powder Compared to Conventional Powder Metallurgy Route. Materials Science and Application. Egypt : SciRes. [9] Hasan Callioglu, Ismail Ozdemir dkk. 2011. Effects of cold pressing and extrussion on the microstructures and mechanical properties of SiC and B4C reinforced Alumix-231 alloys. Scientific Research and Essays Vol 6(6). Turkey : Academic Journals. [10] Min Song, Yue-hui He. 2010. Effects of Di-pressing pressure andextrusion on the microstructures and mechanical properties of SiC reinforced pure aluminium composites. Materials and Design 31. Elsevier Ltd. [11] Gu Wan Li. 2006. Bulk Al/SiC nanocomposite prepared by ball milling and hot pressing method. Transaction of Nonferrous Metals Society of China. China: Science Press. [12] Toto Rusianto. 2009. Hot Pressing Metalurgi Serbuk Aluminium dengan Variasi Suhu Pemanasan. Jurnal Teknologi Volume 2 No.1. [13] T. Mustika, B. Soegiyono dkk.. 2011. Microstructure and Properties of Open Air Hot Pressed Al/SiCp Composites. Proceeding of the 1st International Conference on Materials Engineering (ICME and 3rd AUN/SEED-Net Regional Conference on Materials (RCM). Yogyakarta.
[14] Jin Peng, Xiao Bolu dkk. 2011. Efeect of Hot Pressing Temperature on Microstructure and Mechanical Properties of SiC Particle Reinforced Aluminium Matrix Composites. China: Acta Metallurgica Sinica. [15] Amir Pakdel, R. Rahmanifard dkk. 2007. Effect of Hot Extrusion Temperature on Particle Breakage and Fractography of Silicon Carbide Reinforced Al-6061 Alloy Composite Materials. Proceedings of 8th International Fracture Conference. Turkey. [16] Jonathan E. Spowart, Benji maruyama dkk. 2005. Methode for Improving Tensile Properties ocl/SiC Composites. USA. [17] Song Min. 2009. Effects of volume fraction of SiC particles on Mechanical properties of SiC/Al composites. China : Trans. Nonferrous met. Soc. [18] Hyoung Seop Kim, Sun Ig Hong dkk. 2001. On the rule of mixtures for predicting the mechanical properties of composites with homogeneously distributed soft and hard particles. Journal of Material Processing Technology 112. RIWAYAT PENULIS Tika Mustika, lahir pada tanggal 15 Januari 1968. Sarjana S1 Teknik Mesin, Waseda University, Jepang dan melanjutkan S2 Manajemen Industri , Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Badan Pengkajian Pusat Teknologi Material BPPT
168 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188/ hal 161-168
Indeks Penulis A
I
Agung Imaduddin 117 Agus Budi Prasetyo 123 Andika Widya Pramono 131,137 Anton Suryantoro 131,137
I N. Jujur 161 I Nyoman Gede PA 149
B
Nurhayati Indah Ciptasari
B. Soegiyono 161 Budi Priyono 153
P
137
Pius Sebleku 137 Puguh Prasetiyo 123
E Efendi Mabruri
149
S Solihin 149 Sri Mulyaningsih
F F. Firdiyono
N
137
153
T T. Mustika
161
Indeks
|
| Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
Indeks B Back-reflection Laue
117, 120
E Elastisitas 131, 172 Elektroplating 153, 154, 158 Energi bebas Ginzburg Landau 131 Equal Angular Channel Pressing 149
N Nano dalam tabung 137 Nano-powder-in-tube 137, 148 Nb3Sn 137 Nikel mengandung bijih besi (NCPI/NPI) 137 NMR 137
P
H Hot press tanpa pengkondisian udara 161
Paduan Ni-Mo 153, 155, 159 Pendekatan Cahn-Hilliard 131
K
R
Komposit Matrik Aluminium 161, 162, 163 Konsentrat 123, 126, 127, 128, 129 Kristal tunggal 117, 118, 120
Reduksi
L Lapisan tahan temperatur tinggi 57, 153 Laterit kadar rendah 123, 124, 125, 126,127, 129 Low temperature superconductor 137 LSMO 327 117, 118, 119, 120
Sub-Grain 149, 151, 152 Saprolit 123, 126, 127, 129 Severe Plastic Deformation 149, 150, 151, 152 Struktur kisi 131 Superkonduktor Cu-Nb-Sn 137, 138 Superkonduktor temperatur rendah 137
M
T
Maglev 137 Magnetik separator MRI 137
123, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 149
S
Tailing
123, 126, 127, 128, 129
123
Indeks
|
| Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN METALURGI Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553
PANDUAN BAGI PENULIS 1. Penulis yang berminat menyumbangkan hasil karyanya untuk dimuat di dalam majalah Metalurgi, diharuskan mengirim naskah asli dalam bentuk final baik hardcopy atau softcopy (dalam file doc), disertai pernyataan bahwa naskah tersebut belum pernah diterbitkan atau tidak sedang menunggu penerbitannya dalam media tertulis manapun. 2. Penulis diminta mencantumkan nama tanpa gelar, afiliasi kedudukan dan alamat emailnya setelah judul karya tulisnya, dan ditulis dengan Times New Roman (TNR), jarak 1 spasi, font 12. 3. Naskah harus diketik dalam TNR font 12 dengan satu (1) spasi. Ditulis dalam bentuk hardcopy dengan kertas putih dengan ukuran A4 pada satu muka saja. Setiap halaman harus diberi nomor dan diusahakan tidak lebih dari 30 halaman 4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, harus disertai dengan judul yang cukup ringkas dan dapat melukiskan isi makalah secara jelas. Judul ditulis dengan huruf kapital menggunakan TNR font 14 dan ditebalkan. Untuk yang berbahasa Indonesia, usahakanlah untuk menghindari penggunaan bahasa asing. 5. Isi naskah terdiri dari Judul naskah, Nama Pengarang dan Institusi beserta email, Intisari/Abstract, Pendahuluan, Tata Kerja/Prosedur Percobaan, Hasil Percobaan, Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka, Ucapan Terimakasih dan Riwayat Hidup. Pakailah bahasa yang baik dan benar, singkat tapi cukup jelas, rapi, tepat dan informatif serta mudah dicerna/dimengerti. Sub judul ditulis dengan huruf kapital TNR font 12, ditebalkan tanpa penomoran urutan sub judul, misalnya : PENDAHULUAN PROSEDUR PERCOBAAN, dan seterusnya. 6. Naskah harus disertai intisari pendek dalam bahasa Indonesia dan abstract dalam bahasa Inggris ditulis TNR 10 jarak 1 spasi diikuti dengan kata kunci/keywords ditulis miring. Isi dari intisari/abstract merangkum secara singkat dan jelas tentang : • Tujuan dan Ruang Lingkup Litbang • Metoda yang Digunakan • Ringkasan Hasil • Kesimpulan 7. Isi pendahuluan menguraikan secara jelas tentang : • Masalah dan Ruang Lingkup • Status Ilmiah dewasa ini • Hipotesis • Cara Pendekatan yang Diharapkan • Hasil yang Diharapkan 8. Tata kerja/prosedur percobaan ditulis secara jelas sehingga dapat dipahami langkahlangkah percobaan yang dilakukan. 9. Hasil dan pembahasan disusun secara rinci sebagai berikut : • Data yang disajikan telah diolah, dituangkan dalam bentuk tabel atau gambar, serta diberi keterangan yang mudah dipahami. Penulisan keterangan tabel diletakkan di atas tabel, rata kiri dengan TNR 10 dengan spasi 1. Kata tabel ditulis tebal. Akhir ketrangan tidak diberi tanda titik .
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN METALURGI Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553
PANDUAN BAGI PENULIS Contoh : Tabel 1. Harga kekerasan baja SS 316L Penulisan keterangan gambar ditulis di bawah gambar, rata kiri dengan TNR 10 jarak 1 spasi, format “in line with text”. Kata gambar ditulis tebal. Akhir ketrangan tidak diberi tanda titik. Contoh : Gambar 1. Struktur mikro baja SS 316L • Pada bagian pembahasan terlihat adanya kaitan antara hasil yang diperoleh dengan konsep dasar dan atau hipotesis • Kesesuaian atau pertentangan dengan hasil litbang lainnya • Implikasi hasil litbang baik secara teoritis maupun penerapan 10. Kesimpulan berisi secara singkat dan jelas tentang : • Esensi hasil litbang Penalaran penulis secara logis dan jujur, fakta yang diperoleh 11. Penggunaan singkatan atau tanda-tanda diusahakan untu memakai aturan nasional atau internasional. Apabila digunakan sistem satuan maka harus diterapkan Sistem Internasional (SI) 12. Kutipan atau Sitasi • Penulisan kutipan ditunjukkan dengan membubuhkan angka (dalam format superscript) sesuai urutan. • Angka kutipan ditulis sebelum tanda titik akhir kalimat tanpa spasi, dengan tanda kurung siku dan tidak ditebalkan (bold). • Jika menyebut nama, maka angka kutipan langsung dibubuhkan setelah nama tersebut. • Tidak perlu memakai catatan kaki. • Urutan dalam Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan nomor urut kutipan dalam naskah. Contoh: Struktur mikro baja SS 316L[2]. 13. Penyitiran pustaka dilakukan dengan memberikan nomor di dalam tanda kurung. Daftar pustaka itu sendiri dicantumkan pada bagian akhir dari naskah. Susunan penulisan dari pustaka sebagai berikut : 1. Buku dengan satu pengarang atau dua pengarang (hanya nama pengarang yang dibalik) : [1] Peristiwady, Teguh. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia : Petunjuk Identifikasi. Jakarta : LIPI Press. [2] Bambang, Dwiloka dan Ratih Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta : Rineka Cipta. 2. Buku dengan tiga pengarang atau lebih [1] Suwahyono, Nurasih dkk. 2004. Pedoman Penampilan Majalah Ilmiah Indonesia. Jakarta : Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI. 3. Buku tanpa nama pengarang, tapi nama editor dicantumkan. [1] Brojonegoro, Arjuno dan Darwin (Ed.). 2005. Pemberdayaan UKM melalui Program Iptekda LIPI, Jakarta : LIPI Press. 4. Buku tanpa pengarang, tapi ditulis atas nama Lembaga. [1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Nasional. 2006. Kamus Besar bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka.
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN METALURGI Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553
PANDUAN BAGI PENULIS 5. Artikel dari Jurnal/majalah dan koran (bila tanpa pengarang) [1] Haris, Syamsudin. 2006.,,Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik.: 67-76 Jakarta. 6. Artikel dari bunga rampai [1] Oetama, Yacob. 2006.,, Tradisi Intelektualitas, Taufik Abdullah, Jurnalisme Makna”. Dalam A.B. Lapian dkk. (Ed.), Sejarah dan Dialog Peradaban. Jakarta : LIPI Press. 7. Bahan yang belum dipublikasikan atau tidak diterbikan [1] Wijana, I dewa Putu. 2007.,,Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja”. Tesis, Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 8. Bahan yang belum dipublikasikan atau tidak diterbikan [1] Wijana, I dewa Putu. 2007.,,Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja”. Tesis, Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 9. Tulisan Bersumber dari Internet [1] Rustandy, Tandean. 2006 “Tekan Korupsi Bangun Bangsa”. (http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1291, diakses 14 Januari 2007) 14. Ucapan terimakasih ditulis dengan huruf kapital TNR font 12 dan ditebalkan. Isi dari ucapan terimakasih ditulis dengan TNR 12 dan spasi 1. 15. Naskah yang dinilai kurang tepat untuk dimuat di dalam majalah akan dikirim kembali kepada penulis. Saran-saran akan diberikan apabila ketidak tepatan tersebut hanya disebabkan oleh format atau cara penyajian. 16. Penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran naskahnya. 17. Setiap penerbitan tidak ada dua kali atau lebih penulis utama yang sama. Apabila ada, salah satu naskahnya penulis utama tersebut ditempatkan pada penulis kedua.
Serpong, 8 Juni 2009 Redaksi Majalah Metalurgi