MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 115/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH & DPR (III)
JAKARTA KAMIS, 14 JANUARI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 115/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON
-
Ronald Ebenhard Pattiasina (SPI BCA Bersatu)
ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah & DPR (III) Kamis, 14 Januari 2010, Pukul 14.07– 15.18 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Dr. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum.
Sunardi, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti 1
Pihak yang Hadir: Pemohon : -
Dian Prasetyo (Anggota Bidang Humas DPP SP BCA Bersatu) Ronald E. Pattiasina (Ketua Umum DPP SP BCA Bersatu) Hari Setiawan (Anggota Bidang Advokasi, DPP SP BCA Bersatu) Ricki Achmad Ribel (Ketua DPW atau Dewan Pengurus Wilayah Kantor Pusat) Puji Rahmat (Sekretaris Umum SPI BCA Bersatu)
Pemerintah: -
Tanti (Setditjen Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja) Sunarno (Kepala Biro Hukum Depnakertrans) Ibu Myra M. Hanartani, S.H., M.A. (Dirjen Pembinaan Hubungan Industri dan jamsostek) Qomaruddin (Direktur Litigasi Perundang-undangan) Dr. Mualimin Abdi (Kabag. Penyajian dan Penyiapan Keterangan Pemerintah pada sidang MK)
DPR-RI: -
H. Chaeruman Harahap, S.H., M.H. (Anggota DPR) Jhonson Rajagukguk (Kepala Biro Hukum DPR) Rudi Rochmansyah (Kabag. Hukum Setjen DPR)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.07 WIB 1.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Pemerintah, mendengar keterangan DPR, dan Saksi atau Ahli dalam Perkara Nomor 115/PUU-VII/2009, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon dipersilakan untuk memperkenalkan diri.
2.
PEMOHON: BERSATU)
PUJI
RAHMAT
(SEKRETARIS
UMUM
SPI
BCA
Terima kasih, Bapak Hakim yang kami hormati. Kami dari Pemohon memperkenalkan diri dari yang paling kanan adalah Saudara Dian Prasetyo, anggota Bidang Humas DPP SP BCA Bersatu. Kemudian, kedua dari kanan adalah Bapak Ronald E. Pattiasina, Ketua Umum DPP SP BCA Bersatu, dan saya sendiri Puji Rahmat, selaku Sekretaris Umum DPP SP BCA Bersatu. Kemudian, sebelah kiri saya Bapak Hari Setiawan, anggota Bidang Advokasi, DPP SP BCA Bersatu, dan yang terakhir adalah Bapak Ricki Achmad Ribel, Ketua DPW atau Dewan Pengurus Wilayah Kantor Pusat. 3.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan Pemerintah?
4.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG. PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah, dalam hal ini yang hadir tim dari Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kami akan perkenalkan dari sebelah kiri, Ibu Tanti adalah Setditjen Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kemudian di sebelah kananya ada Bapak Sunarno, Kepala Biro Hukum Depnakertrans, kemudian ada Ibu Myra M. Hanartani, Dirjen Pembinaan Hubungan Industri dan jamsostek, kemudian ada Pak Qomaruddin, Direktur Litigasi Perundang-undangan, saya sendiri Mualimin Abdi, kemudian di belakang juga ada kawan-kawan dari
3
Departemen Hukum dan HAM dan Depnakertrans, terima kasih Yang Mulia. 5.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dari DPR, Bapak?
6.
DPR: H. CHAERUMAN HARAHAP, S.H., M.H. Terima kasih, Yang Mulia. Dari DPR sebetulnya timnya cukup banyak, akan tetapi yang bisa hadir, saya Chaeruman Harahap. Kemudian, didampingi dengan dari Biro Hukum DPR-RI yaitu Saudara Jhonson Rajagukguk dan Saudara Rudi Rochmansyah. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih.
7.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, jadi Saksi atau Ahli yang dihadirkan sekarang belum siap ya? Baik, sekarang langsung saja keterangan dari Pemerintah dan DPR, saya kira Pemerintah dulu, silakan.
8.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK)
Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera bagi
kita sekalian. Bapak Ketua dan anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang Mulia Bapak Ketua dan anggota, kami akan membacakan keterangan Pemerintah atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan kami mohon izin tidak membacakan seluruhnya, kami akan langsung membuka dengan…, mengenai tentang kedudukan hukum atau legal standing dari Para Pemohon. Menurut Pemerintah, anggapan Para Pemohon yang menyatakan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut telah membatasi, menghambat, menghilangkan, dan mendiskriminasikan hak-hak Para Pemohon adalah tidak tepat, karena pada kenyataannya Para Pemhon tidak dalam posisi atau situasi yang terganggu, terkurangi, maupun terhalang-halangi untuk bebas berkumpul, berserikat, maupun mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Selain itu, menurut Pemerintah, anggapan Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut di atas telah bersifat dan berlaku diskriminatif juga tidak tepat karena untuk menilai apakah suatu norma hukum dalam suatu undang-undang tersebut bersifat diskriminatif atau tidak, maka sebagai acuan atau
4
landasan pijakannya adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia maupun Pasal 2, International Covenant On Civil and Political Rights. Atas hal-hal tersebut Pemerintah meminta kepada Para Pemohon melalui Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu, apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat hak atau kewenangan Konstitusional Para pemohon yang dirugikan atas berlakunya undang-undang yang domohonkan untuk diuji. Karena itu Para pemohon dalam kedudukan hukum atau legal standing permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan–putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Karena itu menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk Verklaard. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut disampaikan penjelasan Pemerintah atas permohonan a quo sebagai berikut: Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelaskan lebih lanjut atas permohonan pengujian ketentuan a quo, terlebih dahulu disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa terhadap permohonan pengujian atau constitutional review materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut telah di periksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2003 atas permohonan yang diajukan oleh Syaiful Tafip dan kawan-kawan, register Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 dengan putusan menyatakan permohonan Para Pemohon mengabulkan sebagian dan menolak selebihnya. 2. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final sehingga terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. 3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dalam undangundang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
5
4. Pemerintah berpendapat bahwa permohonan pengujian ketentuan a quo yang diajukan oleh Ronald Ebenhard Pattiasina dan kawankawan register Perkara Nomor 115/PUU-VII/2009 walaupun tidak dinyatakan secara tegas tentang adanya kesamaan kerugian konstitusionalitas yang terjadi, namun pada dasarnya permohonan a quo memiliki kesamaan prasyarat konstitusionalitas yang dijadikan alasan Para Pemohon dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo seperti yang diajukan oleh Para Pemohon terdahulu vider register Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, sehingga sepatutnyalah permohonan tersebut secara mutatis mutandis dinyatakan ditolak vide Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang 5. Pemerintah berpendapat bahwa alasan kerugian hak dan atau kewenangan konstitusionaltas yang berbeda dan yang di alami oleh Para Pemohon saat ini dan permohonan Para pemohon terdahulu, menurut Pemerintah ternyata tidak terjadi dan tidak terbukti. 6. Karena itu, Pemerintah melalui Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kiranya Para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Para Pemohon telah dirugikan hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dan atau kerugian dimaksud berbeda dengan kerugian Para pemohon terdahulu. Atas hal-hal tersebut di atas Pemerintah berpendapat permohonan pengujian undang-undang a quo tidak dapat diajukan kembali atau nebis in idem. Namun, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain kami akan menyampaikan beberapa tanggapan kami. Terhadap anggapan bahwa Para pemohon tersebut sebagaimana yang disampaikan dalam permohonannya, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: 1. Bahwa menurut Pemerintah, rumusan Undang-Undang Nomor 119 dan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul tetapi berkaitan dengan pengaturan tentang Keterwakilan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dalam pembuatan kerja bersama karena undang-undang a quo menganut prinsip bahwa di dalam satu perusahaan hanya berlaku satu perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di dalam perusahaan tersebut. 2. Apabila di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/ serikat buruh dan tiap-tiap serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan tersebut akan terdapat lebih dari satu perjanjian kerja, sehingga dengan demikian kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal ini bertentangan dengan prinsip antidiskriminasi sebagaimana dianut dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
6
3. Karena itu, menurut pemerintah ketentuan Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur sistem keterwakilan yang mayoritas yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama telah sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan terhadap masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang tidak mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama dapat atau dimungkinkan untuk duduk dalam tim perundingan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. bahwa menurut Pemerintah rumusan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu tanda anggota bagi pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui kartu tanda anggota merupakan hal yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa yang bersangkutan adalah anggotanya. Pembuktian keanggotaan ini merupakan cara yang akurat untuk menetukan siapa yang berhak mewakili organisasi. Berdasarkan uraian tersebut di atas menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji telah sejalan dengan amanat konstitusi. Ketentuan a quo telah memberikan jaminan pada setiap orang (buruh dan pekerja) untuk bebas berserikat, dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat guna menyuarakan organisasinya maupun para anggotanya. Ketentuan a quo juga telah memberikan jaminan kepastian hukum, legal standing bagi buruh/pengusaha maupun serikat pekerja/serikat buruh untuk menempatkan wakil-wakilnya guna melakukan perundingan-perundingan dengan perusahaan tempatnya bekerja. Lebih lanjut, Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut di atas telah memberikan perlakuan dan pembatasan yang bersifat diskriminatif terhadap Para Pemohon karena pembatasan yang demikian telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesauai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Juga menurut Pemerintah bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memberikan perlakuan yang diskriminatif
7
terhadap pemohon kecuali jika ketentuan a quo memberikan pembatasan dan pembedaan yang didasarkan atas agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Pasal 2, International Covenant on Civil and Political Rights. Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. 2. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk Verklaard. 3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 4. Menyatakan ketentuan bahwa Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya. Atas perhatian Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, 14 januari 2010. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Patrialis Akbar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, H.A Muhaimin Iskandar. Terima kasih. Wassalamualaikum wr.wb. 9.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Berikutnya dari DPR, silakan Pak.
10.
DPR: H. CHAERUMAN HARAHAP, S.H., M.H. Yang Kami Muliakan Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan kami mengucapkan selamat atas pelantikan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Bapak Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi yang baru dilantik. Assalamualaikum wr. wb. Kami akan membacakan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan
8
pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 115/PUU-VII/2009. Berdasarkan surat kuasa khusus pimpinan DPR-RI Nomor HK 000239/DPR-RI/2010 tanggal 13 Januari 2010 telah memberikan kuasa kepada anggota Komisi III DPR-RI yaitu Dr. Benny K. Harman, S.H., Dr. Azis Syamsuddin, Fachri Hamzah, Ir. Tjatur Sapto Edi, M.T., Ruhut Sitompul, Chaeruman Harahap, Trimedya Panjaitan, Adang Dorojatun, dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR-RI. Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Ronald Ebenhard Pattiasina dan kawan-kawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja BCA Bersatu dengan ini DPR-RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut dengan..., sebagai berikut: Terhadap dalil-dalil Pemohon DPR menyampaikan pandangan sebagai keterangan yang menguraikan soal kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan mengenai pokok perkara pengujian materiil ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut. A. Kedudukan hukum (legal standing), ini perlu kami sampaikan mengingat perkara ini sudah pernah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa untuk memenuhi persyaratan kedudukan hukum Pemohon sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, juga harus memenuhi batasan kerugian konstitusional yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 yang mana putusan ini menjadi rujukan Mahkamah Konstitusi untuk menilai ada tidaknya kerugian konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa walaupun Pemohon sudah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan penjelasannya, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, namun berdasarkan batasan-batasan kerugian konstitusional yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut DPR berpendapat bahwa kenyataannya tidak terdapat kerugian konstitusional ataupun berpotensi menimbulkan kerugian terhadap Pemohon oleh berlakunya ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan adanya kerugian konstitusional yang nyata-nyata telah terjadi ataupun kerugian potensial yang dialami oleh Pemohon, oleh karena justru pada kenyataannya Pemohon masih tetap memperoleh kebebasan berserikat dan berorganisasi dalam serikat pekerja, serikat
9
buruh yang diwakilinya sesuai dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, sehingga ketentuan Pasal 120 ayat (1) undang-undang a quo tidak menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon dalam memperoleh kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengeluarkan pendapat. 2. Bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) undang-undang a quo sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, menurut DPR tidak mencerminkan pengaturan yang bersifat diskriminatif karena ketentuan a quo berlaku untuk semua serikat pekerja, serikat buruh yang terdapat pada semua perusahaan. Hal ini justru sesuai dengan maksud dan tujuan untuk melakukan prinsip antidiskriminasi sesuai dengan ketentuan Pasal 6 undang-undang a quo yang berbunyi, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Dan penjelasannya menyatakan, pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. 3. Bahwa ketentuan Pasal 6 dan penjelasannya undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan batasan diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau pengguanan hak dasar Hak Azasi Manusia dan kebebasan dasar dalam kehiduipan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 dan Penjelasan UndangUndang Ketenagakerjaan juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang HAM, DPR berpendapat, berpandangan bahwa Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo bukanlah pengaturan yang diskriminatif karena tidak memenuhi unsur-unsur diskriminasi yang dibatasi dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang HAM. 5. Bahwa pengujian Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebelumnya pernah dilakukan pengujian dalam Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 dengan alasan konstitusional yang pada pokoknya membatasi kebebasan berserikat para pekerja/buruh. Bahwa menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengajuan pengujian kembali.
10
6. Bahwa walaupun alasan konstitusionalnya berbeda sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 yang menjadi dalil Pemohon a quo untuk mengajukan permohonan kembali terhadap Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 undang-undang a quo, namun DPR berpandangan bahwa sesungguhnya tidak terdapat perbedaan alasan konstitusional dengan Perkara Nomor 12/PUUI/2003 karena pada pokoknya alasan konstitusional yang dijadikan dalil Pemohon adalah sama dengan alasan konstitusional dalam Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 yaitu bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan telah membatasi kebebasan berserikat para buruh dan pekerja. 7. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, sudah sepatutnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia menyatkan permohonan Pemohon a quo tidak diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum dan mengingat ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 undangundang a quo sudah pernah diuji dalam Perkara Nomor 12/PUUI/2003. Maka sesuai Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah sepatutnya permohonan Pemohon a quo ditolak atau setidaktidaknya tidak dapat diterima. Kemudian kami melihat pengujian materiil ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan. 1. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang hanya memberikan hak berunding kepada hanya satu serikat pekerja dengan jumlah anggota lebih dari 50% dalam perundingan perjanjian kerja bersama di dalam perusahaan telah secara nyata mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan, dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan tujuan dibentuknya serikat pekerja di dalam perusahaan. Sehingga dianggapnya bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 2. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo tidak membatasi, menghalangi, menghambat, mengurangi, dan berdiskriminasi hak konstitusional Pemohon dalam kebebasan berorganisasi, dan berserikat, serta menyampaikan pendapat karena pada pokoknya ketentuan Pasal 120 ayat (1) undang-undang a quo adalah mengatur sistem keterwakilan dari serikat pekerja/serikat buruh, bagaimana mengatur keterwakilan tersebut tentu kita menentukan system salah satunya yaitu dengan memperhatikan jumlah. Dalam undang-undang a quo diatur berdasarkan sistem mayoritas untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama yang mengsyaratkan yang memiliki jumlah keanggotaan lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh pada perusahaan tersebut.
11
Oleh karena itu, sistem keterwakilan ini merupakan hal yang lazim dan wajar dalam negara demokratis. 3. Berdasarkan argumentasi sengeketa keterwakilan mayoritas tersebut dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 120 ayat (1) undang-undang a quo tidak bertentangan DPR berpendapat bahwa justru dengan memiliki jumlah keanggotaan atau memperoleh dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh pada suatu perusahaan akan mencerminkan sifat representatif dan memberikan legitimasi bagi serikat pekerja atau serikat buruh itu sendiri dalam melakukan perundingan dengan perusahaan. 4. Bahwa serikat pekerja/buruh memiliki hak-hak sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, tetapi perlu diperhatikan ketentuan dengan Pasal 25 ayat (2) undang-undang serikat pekerja/buruh yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak-hak serikat pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitan ini maka pelaksanaan hak serikat pekerja/buruh tentu harus berpedoman pada Undang-Undang Ketenagakerjaan hal ini sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 5. Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam berorganisasi selain dijamin dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga dilindungi oleh undang-undang oleh serikat pekerja/buruh dalam Pasal 28 yang menyatakan, “Siapapun dilarang menghalang-
halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk, atau tidak membentuk menjadi pengurus, atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota, atau tidak menjadi anggota, dan atau menjalankan, atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh dengan cara: a. melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi, b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh, c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun, d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/buruh.” Pada kenyataanya, Pemohon a quo sampai dengan sekarang tidak
terhalangi atau terkurangi dalam menjalankan aktivitasnya baik sebagai buruh pekerja maupun sebagai pengurus atau anggota serikat pekerja atau serikat buruh serta hak-hak perdatanya pun tidak terhalangi ataupun tidak terkurangi seperti tidak dikenai PHK, Tidak dikurangi atau tetap dibayar upahnya, tidak mengalami intimidasi, tidak diturunkan jabatannya, serta tidak dimutasi. Oleh karena hak berorganisasi para Pekerja/Buruh dilindungi oleh Undang-Undang Serikat Pekerja/Buruh. 6. Bahwa terkait dengan konstitusionalitas Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan, DPR merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 pada pertimbangan hukumnya mengemukakan pendapatnya bahwa Pasal
12
119, Pasal 120, dan Pasal 121 Undang-Undang Ketenagakerjaan pengaturan yang mensyarat satu serikat pekerja/buruh di perusahaan memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersangkutan dan jika jumlah 50% tidak tercapai untuk dapat berunding, serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan memerlukan dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja atau buruh yang akan dicapai oleh serikat pekerja/serikat buruh melalui musyawarah dan mufakat di antara pekerja buruh. Sedang jika serikat pekerja/serikat buruh lebih dari satu dan tidak mencapai jumlah lebih dari 50% dapat dilakukan koalisi di antara serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan jika hal ini pun tidak tercapai tim perunding ditentukan secara proposional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh, aturan tersebut dipandang cukup wajar dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Khususnya Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja atau serikat buruh adalah merupakan hal yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyertakan klaim mewakili anggota dan sama sekali tidak cukup berdasar untuk dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Para Pemohon a quo tidak memilki kedudukan hukum atau legal standing sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima, niet ontvankelijk Verklaard. 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima. 3. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia berpendapat lain kami mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikianlah keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ini disampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan. Demikian kami sampaikan, terima kasih. Wasalamualaikum wr.wb.
13
11.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih Bapak, mohon bahan yang tertulis tadi dari Pemerintah maupun dari DPR nanti diserahkan kepada Panitera Pengganti ada yang mau tanya? Silakan Hakim Harjono.
12.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Terima kasih Pak Ketua. Saya akan bertanya kepada pemerintah khususnya dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Yang saya tanyakan adalah bagaimana memaknai Pasal 120 ayat (3) dari undang-undang itu? Kalau dibaca dari ayat (1), (2) maka di situ semangatnya adalah hanya ada satu wakil dari serikat itu. Untuk terutama mewakili buruh ini dalam hal membuat kesepakatan kerja bersama tentunya. Namun kalau kita baca dari 120 ayat (3) itu bunyinya begini, dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) ayat (2) tidak terpenuhi, artinya tidak ada 50% lebih yang punya anggota tidak bisa ada koalisi yang mempunyai 50% maka para serikat pekerja, serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing, serikat buruh atau serikat pekerja. Dengan melihat proporsionalitas keanggotaan daripada tim perunding maka ini beda dengan ayat (1) dan (2). Kalau ayat (1), ayat (2) itu hanya satu yang 50% itu mewakili atau koalisi yang kemudian 50%, tapi ayat (3)-nya memungkinkan lebih dari satu karena keanggotaannya proporsional. Saya tanya ini bunyinya (Pasal) 120 seperti itu lalu pelaksanaannya bagaimana? Ini yang saya tanyakan. Mohon dijawab.
13.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Pak Akil?
14.
HAKIM ANGGOTA: DR. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Ya, kalau kita melihat ketentuan Pasal 120 dan Pasal 121 yang dilakukan pengujian dengan alasan batu uji yang berbeda, dari perspektif Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 maka sesungguhnya kebebasan berserikat dan berkumpul itu direduksi dengan terjadinya pengaturan di dalam Pasal 120 itu. Misalnya tadi yang sudah diungkapkan oleh Hakim Pak Harjono yang sejatinya kan tujuan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan ini adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Sebab kalau misalnya dia tidak mencapai 50% plus satu akan terjadi koalisi-koalisi, kemudian kalau dia
14
terjadi 50% plus satu maka yang berhak untuk mewakili itu adalah yang 50% plus satu itu. Kaitannya dengan Pasal 120 ayat (1) dimana untuk bisa membuktikan 50% plus satu itu, itu dibuktikan dengan kartu tanda anggota. Dalam konteks yang demikian apakah kartu tanda anggota itu menjadi satu-satunya bahwa serikat pekerja itu dapat menyampaikan aspirasi anggotanya dalam melakukan perundingan kepada pengusaha sebagai pemberi pekerja. Dalam konteks hubungan buruh dan pengusaha, pekerja dan pengusaha maksud saya yang masing-masing mempunyai hubungan kerja ini dalam konteks pelaksanaan itukan harus seimbang, equal. Ketika buruh yang secara fakta dia lebih lemah dari kedudukan si pemberi kerja, dibatasi dengan aturan-aturan yang seperti itu maka akan ada hak-hak daripada buruh itu yang aspiratifnya tidak terwakili. Dalam konteks itu saya ingin pandangan pemerintah bukankah itu suatu tindakan mereduksi dari hak-hak buruh dalam melakukan kebebasan berserikat dan berkumpul. Cukup. 15.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan Pak.
16.
HAKIM ANGGOTA: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Terima kasih, Pak Ketua. Menyambung tadi pertanyaan Pak Hakim Akil Mochtar, ini saya bacakan dulu Pasal 28E ayat (3) menjadi salah satu batu uji biar kita barangkali bisa sepakat. “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Tetapi ketika dia berserikat dan dia merupakan anggota minoritas dari serikat kerja yang ada, dia tidak bisa mewakili khusus untuk membicarakan dia punya perjanjian kerja bersama, kesepakatan kerja bersama sehingga kalau melihat kepada kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat sudah tidak karena sudah diwakili oleh orang lain. Ini yang 50% plus dia punya keanggotaan. Bagaimana merespons masalah ini? Terima kasih Pak Ketua.
17.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, silakan kepada pemerintah. Ini tadi pertanyaannya tertuju kepada pemerintah semua.
18.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK)
Bismillahirrahmaanirrahim.
15
Pertanyaan, untuk Yang Mulia Bapak Hakim, Pak Harjono itu mengenai pertanyaan Pasal 120 ayat (3). Sebetulnya itu tetap perundingnya satu, tim perundingnya tetap satu tetapi itu dia diwakili oleh berbagai serikat pekerja yang secara proporsionalitas. Jadi kalau ayat (1)-nya mengatakan satu yang mayoritas, yang kedua itu kalau tidak ada mayoritas maka berkoalisi sampai mendapatkan mayoritas. Kemudian kalau tidak tercapai itu bisa membentuk tim yang wakilnya semua dari serikat pekerja yang ada disitu. 19.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Ya, jadi ini kan berarti namanya tim, kalau satu itu bukan tim. tim itu pasti anggota lebih dari satu, disebutkan di situ. Pembentuk tim perunding yang keanggotaannya yang ditujukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing masing serikat pekerja tersebut. Jadi kalau tidak ada 50%, tidak tercapai 50% lalu di situ ada lima serikat buruh yang masing masing punya 20%. Berarti paling tidak akan ada lima perwakilan. Kalau 20% diwakili satu, karena timnya itu terdiri dari lima orang. Tim inilah tim perunding iya kan? Tetapi kalau kita baca Pasal 20 ayat (1) itu langsung yang serikat buruh punya anggota 50% plus diserahkan kepada dia saja, berarti satu saja, yang keduapun satu saja iya kan? Ini bunyi pasal. Lalu pertanyaan saya, di dalam praktik pernahkan ada Departemen Tenaga Kerja ini, kemudian menyatakan bahwa itu salah. Kalau hanya disebut satu saja, itu kalau sampai ada orang minta berhak bahwa atas dasar Pasal 120 ayat (3) saya berhak, kemudian menyatakan itu hanya satu saja yang berhak. Ini saya tanya praktik ataukah pernah ada Juklak apakah PP atau Peraturan Menteri mengenai pelaksanaan Pasal 120 ayat ( 3 )? Itu pertanyaan saya.
20.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Mengenai, memang betul, tim perunding memang satu dari serikat pekerja itu, tetapi mengenai Pasal 120 ayat (3) tim perundingnya satu tetapi itu yang terwakili dari serikat pekerja, serikat pekerja yang lain. Seperti itu pak memang, Jadi proporsional itu dari yang lainnya. Jadi serikat pekerja bukan satu tetapi timnya satu tetapi terdiri dari serikat pekerja, serikat pekerja yang lain sebetulnya. Kalau Pasal 120 ayat (1) sebetulnya memang mayoritas ketika dia menjadi mayoritas dia kemudian dia mewakili yang lain lainnya.
21.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Tidak ada tim berarti (...)
16
22.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Kalau di perundingan di PKB Pak, itu namanya tim, Pak walaupun jadi tim….
23.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Tim karena sudah ada (…)
24.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Tim perunding, namanya Pak.
25.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Ya sudah ada dari wakil pengusaha, tetapi khusus buruh ini lho?
26.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Dan buruh itu namanya tim perunding tetapi namanya hanya diwakili oleh satu yang mayoritas di situ Pak.
27.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Berarti kan beda dengan yang ayat (3) tadi kan?
28.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Ya, ayat (3) beda. yang tadi dimasukkan.
29.
Timnya satu juga tetapi terdiri dari SP-SP
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Di dalam hal masalah mewakili aspirasi itu beda tidak yang satu dengan yang tiga itu?
30.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Begini Pak Hakim. Kalau menyampaikan aspirasi tetapi saja mereka menyampaikan aspirasi tetapi biasanya kami tidak memberikan Juklak apa apa mengenai masalah pelaksanaan ini, tetapi kadang kadang
17
mereka dan biasanya yang mayoritas itu kadang-kadang menanyakan aspirasi dari teman teman yang tidak terwakili. 31.
juga
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Ya, jangan kadang kadang, ini hukumnya ya? Dalam arti begini, kalau tim itu lima ya? Ini bisa saya contohkan pada 120. Kalau lima meskipun katanya itu satu tim anggotanya lima itu akan memutuskan A atau B. Itu yang lima paling tidak berunding dulu, kalau sampai ada yang tiga setuju dua tidak barangkali prosesnya tigalah yang menjadi suara tim. Tetapi yang 120 ayat (1) itu tidak ada proses seperti itu. Hanya satu satunya dia. Dia mau berunding dengan siapa lagi iya kan? Kalau toh berunding ya intern ya yang 50% itu ya, bukankah seperti itu?
32.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Ya, Memang untuk yang Pasal 120 ayat (1) memang itu mutlak mayoritas itu, Pak Hakim.
33.
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL. Ya, oke terima kasih.
34.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, terus ini jawab dua pertanyaan dari Pak Akil.
35.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Untuk masalah Pasal 121 pertanyaan berikutnya mengenai Pasal 120, Bapak Yang Mulia Bapak Akil mengenai KTA. Itu memang KTA dianggap menjadi salah satu, satu satunya yang menunjukkan bahwa dia itu mewakili organisasi yang mana begitu.
36.
HAKIM ANGGOTA: DR. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Jadi begini maksud pertanyannya itu bukan KTA un sich. Bahwa proses 50% plus satu kemudian kurang dari 50%, kemudian koalisi lalu ditambah lagi syarat dengan KTA, itu secara prinsip dalam hubungan kerja itu mereduksi tidak hak-hak buruh untuk berserikat dan berkumpul itu? Jadi kata konkretnya beginilah, ketika kita menilai Pasal 20 ayat (1) maka ada tirani mayoritas di situ, sehingga yang minoritas tidak bisa terwakili. Karena dia menjadi mayoritas tunggal sudah mencapai 50%.
18
Dalam konteks Pasal 28D, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul apakah itu dari konteks undang-undang ini mereduksi tidak hak-hak buruh di sana, itu saja pertanyaannya. Jadi itu kalau Pasal 20 ayat (1), kalau Pasal 20 ayat (2) kan ada syarat lagi, 20 ayat (3) ada syarat lagi, itu pun harus dibuktikan lagi dengan Pasal 121 dengan KTA. Nah itu betapa beratnya, padahal buruh itu dalam konteks perundingan dengan pengusaha pada posisi yang lemah. Tidak mungkin buruh kuat kalau melihat struktur ini. Dalam konteks itu berdasarkan Pasal 28D itu mereduksi tidak menurut pendapat pemerintah begitu? 37.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Menurut pendapat pemerintah itu tidak mereduksi hak-hak untuk berserikat sebetulnya kalau (….)
38.
HAKIM ANGGOTA: DR. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Alasannya?
39.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Kalau soal masalah berserikat organisasi itu tidak ada pembatasan Pak Hakim di sini. Jadi memang tidak terkait dengan mereduksi, tidak bisa dianggap mereduksi hak-hak berserikat Pak ini. Supaya begini Pak, ketika pihak mereka berunding itu jelas pihaknya siapa begitu. Tetapi untuk kebebasan berserikat sebenarnya sama sekali tidak di reduksi dengan itu.
40.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Terus berikutnya yang Pak Alim tadi Pasal 28E ayat (3).
41.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Boleh diwakili Pak?
42.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Boleh-boleh, silakan.
19
43.
PEMERINTAH: SUNARNO DEPNAKERTRANS)
(KEPALA
BIRO
HUKUM
Terima kasih Yang Mulia Majelis Hakim. Jadi terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Bapak Ketua Majelis yang kaitannya Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, kaitannya dengan pembuatan PKB di sini Pak. Bahwa intinya UndangUndang Ketenagakerjaan itu mensyaratkan bahwa dalam suatu perusahaan, satu PKB. Dengan keadaan sepeti itu karena di dalamnya mengatur syarat-syarat kerja, sehingga jangan sampai ada lebih dari satu PKB yang nantinya syarat-syarat kerja berbeda. Ini yang esensial terhadap ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang prinsip anti diskriminasi sebenarnya seperti itu, demikian terima kasih. 44.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Masih ada, boleh kalau pendapat itu biar (….)
45.
HAKIM ANGGOTA: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM Jadi, begini yang saya katakan ingat bahwa yang diuji sekarang hanya Pasal 120 ayat (1). Dan kalau yang dulu itu ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) ditambah dengan Pasal 121. Tetapi yang saya tekankan di sini adalah Pasal 120 ayat (1), di situ yang seperti ditanyakan oleh Bapak Akil Mochtar jikalau sudah ada satu organisasi serikat pekerja, atau serikat buruh yang 50 plus dia punya anggota 50% plus barangkali ½% atau pokoknya lebih dari 50% itu kan dia menjadi tunggal mewakili. Nah saya katakan tadi kan dia Pasal 28 mengatakan berhak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dimana lagi mau mengeluarkan pendapat di dalam perjanjian kerja ini jikalau dia sudah diwakili dan tidak lagi dirundingkan dengan.., itu lho maksud saya pertanyaanya, terima kasih Pak.
46.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Mau dijawab atau mau diserahkan nanti pada kesimpulan hakim?
47.
PEMERINTAH: MYRA M. HANARTANI, S.H., M.A. (DIRJEN. PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRI & JAMSOSTEK) Kami serahkan kepada Bapak Hakim. Mohon maaf Bapak Hakim sedikit kami mau menjelaskan tadi Pak Harjono mengatakan apakah pemerintah mengeluarkan peraturan lebih lanjut? Betul Pak kami pemerintah ada Keputusan Menteri Tenaga Kerja sebetulnya tentang tata cara pembentukan PKB. Tetapi mengenai prinsipnya tetap sama mengacu ke undang-undangnya, itu menangani
20
administrasinya saja, perunding seperti itu. 48.
pen catatan dan bagaimana membentuk
HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.CL Oke, kalau bisa diserahkan ke Majelis.
49.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Nanti dilampirkan sebagai tambahan. Lalu silakan Pak Arsyad.
50.
HAKIM ANGGOTA: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM Saudara Kuasa Pemohon. Ini isunya ini Pasal 121 ayat (1) dan 120. Itu kemudian dua pasal ini yang diuji oleh Saudara Memang di dalam posita Saudara di dalam permohonan Saudara menyinggung putusan yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi, saya bependapat bahwa semua Putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah yurisprudensi konstan itu karena tidak ada upaya hukum lagi, itulah yang dikatakan yurisprudensi. Tadi juga dalam keterangan pemerintah maupun keterangan DPR menyatakan bahwa perkara ini adalah nebis in idem kan begitu? Namun oleh Mahkamah Konstitusi membuka peluang di dalam peraturannya, Peraturan MK tidak berlaku nebis in idem itu kecuali kalau Saudara bisa mengemukakan alasan-alasan lain. Nah sekarang supaya lebih jelas di hadapan Mahkamah ini coba Saudara Pemohon menjelaskan di hadapan Mahkamah itu apa perbedaan putusan Mahkamah yang notabene sudah diputus subtansinya bukan formalnya. Kalau kita baca yurispudensi perkara 120 tahun 2003 itu ditolak. Berati materi sudah diperiksa ya, Bukan formal. Nah, saya melihat disini dihalaman 30,31 dan alasan Saudara adalah alasan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang dahulu itu tidak memberikan satu muatan materi yang berkaitan dengan asas keterwakilan ya? Itu halaman 8 di butir 28 dan asas legal equility. Nah, juga oleh pemerintah mau pun DPR menyatakan bahwa nebis in idem, tidak bisa diajukan lagi. Nah, coba gambarkan di hadapan Mahkamah bahwa putusan yang dahulu itu alasannya lain yang kami ajukan ini, itu satu. Kemudian bagaimana penafsiran daripada pemerintah maupun DPR sepanjang bahwa 120 itu Saudara tafsirkan bagaimana? Ini esensial sekali ini untuk dijawab itu
51.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Silakan.
21
52.
PEMOHON : PUJI RAHMAT Terima kasih Yang Mulia. Kami di sini sebagai serikat pekerja minoritas Pak, jadi posisi kami di perusahaan adalah sebagai pekerja anggotanya kurang daripada 50%. Jadi jika di dalam pengajuan uji materi yang sebelumnya di tahun 2003 bahwa setiap serikat pekerja jika diajak berunding dengan pengusaha nantinya akan banyak PKB-PKB. Sedangkan di sini waktu itu menggunakan Pasal 28, artinya mengeluarkan pikiran. Memang kami sebagai serikat pekerja pasti bisa menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja, tetapi dalam konteks kali ini kami menggunakan kesamaan hukum dalam artian kami sebagai serikat pekerja minoritas juga diperlakukan sama dengan serikat pekerja mayoritas. Kami menganggap bahwasannya PKB atau perjanjian kerja bersama adalah undang-undang Pak, tidak di negara ini. Kalau di DPR itu yang duduk hanya partai mayoritas apa jadinya? Demikian juga di dalam perusahaan di dalam merumuskan undang-undang kami berharap adanya sebuah koalisi bersama. Memang tim perunding satu tetapi terdiri dari beberapa serikat pekerja, sehingga aspirasi anggota kami dapat kami sampaikan di dalam forum tersebut. Nah, ini berbeda jadi kalau di pengujian sebelumnya hanya bicara bahwa mereka ingin berunding, berunding kemudian tanggapan pemerintah bahwa kalau semuanya dikasih kesempatan berunding akan banyak PKB. Kalau kami berbeda Pak, walaupun ada yang mayoritas yang minoritas tetap diberikan kesempatan untuk duduk di dalam tim perunding secara bersama-sama sehingga aspirasi kami dapat kami salurkan melalui PKB tersebut. Begitu Pak. Sehingga kami menggunakan Pasal 28D ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Kalau kami sebagai serikat pekerja minoritas diberikan hak untuk duduk dalam tim perunding kami merasa diperlakukan tidak adil, aspirasi kami kemana kami menyampaikan? Ibaratnya serikat pekerja ini ibarat partai politik kurang lebih sama. Mereka punya fungsi untuk mengadvokasi memberikan perlindungan, membuat regulasi aturan di dalam perusahaan melalui PKB. Mungkin itu yang bisa kami sampaikan.
53.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Di partai politik juga ada threshold ya, artinya ada batas minimal tertentu yang harus dipenuhi, sebab nanti kalau tim perunding misalnya harus mewakili semuanya tetapi ketika jumlah tim perundingnya tiga padahal serikat pekerjanya sepuluh kan tadi tidak sama juga, misalnya ya. Itulah perlunya adanya pembatasan menurut Pasal 28J itu. Tapi nantilah soal itu. Pemerintah ya tadi, bagaimana?
22
54.
PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG PENYAJIAN DAN PENYIAPAN KETERANGAN PEMERINTAH PADA SIDANG MK) Yang Mulia, kalau pemerintah boleh bertanya kepada Pemohon?
55.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Tidak usah ditanya ini dijawab saja.
56.
PEMERINTAH: SUNARNO DEPNAKERTRANS)
(KEPALA
BIRO
HUKUM
Baik Yang Mulia. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Pemohon, izinkan kami menyampaikan satu tanggapan. Secara subtanstif sebenarnya kata Yang Mulia, Bapak Harjono. Bahwa subtansi ini sebenarnya kan sudah disampaikan pada waktu pengujian tahun 2003 bukan formalnya. Nah, spirit mengenai menjaring aspirasi dari kalangan minoritas sebenarnya ini terwadahi kalau kita melihat dari aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dibuktikan dengan adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 48 Tahun 2004 ini sebuah aturan pelaksanaan dalam rangka mempertegas apa yang ada di dalam undang-undang itu. Jadi intinya prinsip menggunakan syarat mayoritas, mengapa? Karena prinsipnya bahwa satu perusahaan adalah satu PKB. Di dalam PKB diantaranya memuat syarat-syarat kerja. Akan terjadi apa nanti kalau dalam satu perusahaan ada syarat-syarat kerja yang berbeda, orang yang sama bekerja dalam perusahaan nanti nasibnya menjadi beda. Ini pemerintah yang menghindari diskriminasi. Lalu menterjemahkan makna dari itu ada mekanisme yang diatur di dalam Peraturan Menteri Nomor 48 Tahun 2004 2004 karena (...) 57.
HAKIM ANGGOTA: DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM Saudara Pemerintah ini sudah miskomunikasi ini, miss understanding. Saya hanya menyatakan apa penafsiran Saudara Putusan
Nomor 12 Tahun 2003 yang berkaitan dengan Pasal 120 ayat (1) dan 121 yang notabene 2003 itu oleh Mahkamah Konstitusi sudah dinyatakan ditolak, bukan niet ontvankelijk verklaard, nah itu. 58.
PEMERINTAH: SUNARNO DEPNAKERTRANS)
(KEPALA
BIRO
HUKUM
Baik, kami mencermati dari pertimbangan Majelis waktu itu yang memeriksa perkara ini, Perkara Nomor 12. Rasanya cakupan dari apa yang dicermati oleh Majelis sudah sangat tepat sehingga pada waktu itu
23
memang menolak atas pengujian ketentuan pasal itu. Karena prinsip keterwakilan nampaknya memang sangat dipahami oleh Majelis sebagai suatu ekspresi bahwa di situ mayoritas untuk menyampaikan pendapat karena di sini kan dengan pihak pengusaha sehingga suara itu tertampung di dalamnya. Jadi pemahaman kami mencermati apa yang diputus oleh Mahkamah yang terdahulu, pemahaman kami sudah mencakup kepada ketentuan dari Pasal 120 ayat (1). Demikian, terima kasih. 59.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Baik, cukup saya kira. Jadi kalau demikian pemeriksaan ini sudah selesai sehingga, DPR mau menjawab?
60.
DPR-RI : H. CHAERUMAN HARAHAP, S.H., M.H. Pak Arsyad barangkali menunjuk-nunjuk juga DPR, Pak Arsyad? Iya Pak, saya kira itu saja Pak untuk memberi pendapat karena kami melihat bahwa Pasal 120 ayat (1) itu adalah dilihat dari sistem keterwakilan. Jadi keterwakilan itu kalau sudah 50% lebih maka yang mewakili untuk perundingan itu adalah yang mempunyai organisasi yang anggotanya mempunyai 50% lebih. Kalau memang kurang dari 50% maka tentu ada forum untuk bisa mewakili 50% lebih. Jadi berapa serikat buruh atau anggota yang bukan serikat buruh mungkin bergabung untuk bisa menjadi suatu lebih daripada 50% sehingga perusahaan dan buruh berhadapan masing-masing dengan keterwakilannya, sehingga perundingan itu bisa lebih barangkali bisa lebih lancar dan yang terpenting sebetulnya PKB-nya bagaimana, perjanjian kerja bersama itu. apakah gaji buruh, lembur, dan lain sebagainya merupakan hak-hak dari buruh itu terpenuhi apa tidak, barangkali di situ. Jadi ini masalah saya kira masalah keterwakilan karena memang kalau tidak ada keterwakilan nanti bisa masing-masing buruh harus ikut, saya bikin satu serikat buruh, satu orang dua, tiga orang bikin akhirnya semuanya hadir ini menjadi suatu masalah. Oleh karena itu kalau memang ini organisasi buruhnya banyak harus ada forum untuk menyatukan suatu pendapat sehingga mayoritas dia untuk berunding dengan perusahaan. Saya kira masalah keterwakilan saja Pak, terima kasih. Jadi, ini merupakan suatu sistem demokrasi kita juga karena keterwakilan, terima kasih.
61.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD. MD., S.H. Baik, pemeriksaan sudah cukup saya kira. Tidak perlu lagi sidang pemeriksaan lanjutan dan kepada pihak Pemohon dipersilakan membuat
24
kesimpulan. Kami tunggu sampai dengan tanggal 28 jam 12.00 siang di Kepaniteraan tidak usah melalui sidang, pun kepada pemerintah maupun DPR dipersilakan kalau merasa perlu membuat kesimpulan untuk penekanan-penekanan yang akan disampaikan kepada Majelis Hakim. Sidang berikutnya adalah pengucapan putusan yang akan ditentukan kemudian. Dengan demikian sidang dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 1X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.18 WIB
25