Volume 4 No. 2 Septeember 2009 Akreditasi No. 222/AU1/P2MBI/08/2009
ISSN : 1907 – 4352
JURNAL PERMUKIMAN Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan Oleh : Tito Murbaintoro, M. Syamsul Ma’arif, Surjono H. Sutjahjo, Iskandar Saleh Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan Permukiman Di Perdesaan Oleh : Aris Prihandono Pembangunan Rumah Susun Dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan (Studi Kasus Kota Bandung) Oleh : Heni Suhaeni Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Pariwisata yang Aksesibel Oleh : Inge Komardjaja Komparasi Nilai Partial –OTTV pada East-Wall Berbasis U-Value = 2,6 dengan UValue = 1,6 Oleh : Wied Wiwoho Winaktoe Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman Oleh : Yulinda Rosa Keefektifan Pengolahan Antara Abu Terbang dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air Lindi Sampah Oleh : Tibin R. Prayudi
Jurnal Permukiman
Vol. 4
No. 2
Hal. 72-154
Bandung September 2009
ISSN : 19074352
JURNAL PERMUKIMAN Volume 4 No. 2 September 2009
PELINDUNG PEMIMPIN REDAKSI DEWAN PENELAAH NASKAH Ketua Anggota
MITRA BESTARI
ISSN : 1907 – 4352
Kepala Pusat Litbang Permukiman Kepala Bidang Standar dan Diseminasi Prof. R. Dr. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Fisika dan Keselamatan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) 1. Lasino, ST. APU. (Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) 2. Andriati Amir Husin, MSi. (Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman 3. Ir. Nurhasanah S., MM. (Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) 4. Dr. Anita Firmanti, MT. (Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman 5. Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman 6. Dra. Inge Komardjaja, Ph. D. (Permukiman dan Aksesibilitas, Pusat Litbang Permukiman) 7. Ir. Lya Meilany S., MT. (Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman 8. Ir. Silvia F. Herina, MT. (Rekayasa Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman) 9. Dra. Sri Astuti, MSA. (Bangunan dan Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman 10. Ir. Maryoko Hadi, MT. (Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman 1. 2. 3. 4.
REDAKSI PELAKSANA
Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Rekayasa Struktur, Institut Teknologi Bandung) Dr. Ir. Tri Padmi (Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung) Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc. Ph. D. (Perumahan dan Permukiman, Institut Teknologi Bandung)
Drs. Duddy D. Kusumo, MBA., Dra. Roosdharmawati, Adang Triana
Jurnal Permukiman Telah diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman. Tahun 2006 berubah nama menjadi Jurnal Permukiman dengan jumlah terbitan 3 (kali) dalam setahun yaitu pada bulan Mei, September, dan November
JURNAL PERMUKIMAN Volume 4 No. 2 September 2009
ISSN : 1907 – 4352
Daftar Isi
Hal.
Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan ……….. Oleh : Tito Murbaintoro, M. Syamsul Ma’arif, Surjono H. Sutjahjo, Iskandar Saleh
72 - 87
Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan Permukiman Di Perdesaan ….. Oleh : Aris Prihandono
88 - 101
Pembangunan Rumah Susun Dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan (Studi Kasus Kota Bandung) ………………………………………………………………………………………………………………………… Oleh : Heni Suhaeni
102 - 109
Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Pariwisata yang Aksesibel ………………….. Oleh : Inge Komardjaja
110 - 120
Komparasi Nilai Partial –OTTV pada East-Wall Berbasis U-Value = 2,6 dengan U-Value = 1,6 … Oleh : Wied Wiwoho Winaktoe
121 - 127
Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman ………………………………………………………………… Oleh : Yulinda Rosa
128 - 140
Keefektifan Pengolahan Antara Abu Terbang dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air Lindi Sampah ………………………………………………………. Oleh : Tibin R. Prayudi
141 - 148
JURNAL PERMUKIMAN Volume 4 No.2 September 2009
ISSN : 1907 – 4352
Pengantar Redaksi Sebagai pembuka kami menyajikan tulisan mengenai pembangunan model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tulisan ini disampaikan oleh Tito Murbaintoro, M. Syamsul Maarif, Surjono H. Sutjahjo, dan Iskandar Saleh dengan judul “Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan”. Upaya pembangunan perumahan dan permukiman yang melibatkan kapasitas dan kapabilitas lembaga-lembaga formal harus disertai langkah seleksi karena terkait dengan internalisasi muatan baru. Beberapa kriteria dapat dijadikan referensi dalam pemilihan lembaga yaitu : tingkat kemapanan, kondisi unsur-unsur kelembagaan, dan efektivitas organisasi. Tulisan ini berjudul “Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan Permukiman Di Perdesaan” yang ditulis oleh Aris Prihandono. Heni Suhaeni memaparkan hasil penelitiannya dalam tulisan yang berjudul “Pembangunan Rumah Susun Dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan dengan konsep dasarnya adalah penataan ruang yang menghasilkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat dengan penggunaan lahan yang efisien. “Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Prinsip Pariwisata yang Aksesibel” menjadi bahan tulisan Inge Komardjaja dimana pecinan mempunyai potensi besar menjadi kawasan pariwisata, serta berpegang pula pada prinsip pariwisata yang aksesibel maka wisatawan lokal dan mancanegara yang menyandang cacat akan tertarik mengunjungi pecinan. Wied Wiwoho Winaktoe menyajikan hasil penelitian mengenai “Komparasi Nilai Partial_OTTV pada East-Wall Berbasis U-Value = 2,6 dengan U-value = 1,6. OTTV sebagai prosedur standar konservasi energi yang dikukuhkan sebagai prosedur vital dalam praktik rancang bangun. Guna mendapatkan pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan diperlukan analisa sosial dengan menggunakan dua metode analisa : deskriptif dan induktif. Yulinda Rosa membahas masalah tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Metode Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman”. Tulisan penutup dalam edisi ini, Tibin R. Prayudi membahas tentang “Keefektifan Pengolahan Antara Abu Terbang dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air Lindi Sampah”. Penggunaan abu terbang dan karbon aktif dalam dosis tertentu dapat menurunkan kandungan KOK, warna dan logam berat air buangan rumah tangga.
Alamat Redaksi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Dep. Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kab. Bandung 40393 PO Box 812 Bandung 40008, Indonesia Telp. 022-7798393 (4 saluran), Fax. 022-7798392, Email :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : TERAKREDITASI C Nomor : No. 222/AU1/P2MBI/08/2009 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 816/D/2009 Tanggal 28 Agustus 2009 (Masa berlaku hingga Agusrus 2010)
Abstrak UDC 69.058.4 Mur Murbaintoro, Tito M Model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan/Tito Murbaintoro et.al. --Jurnal Permukiman. --Vol. 4 No. 2 September 2009.--Hal. 72-87. -- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : hlm. 72 ISSN : 1907-4352 I. SETTLEMENT II. BUILDING 1. Maarif, M. Syamsul 2. H. Sutjahjo, Sujono 3. Saleh, Iskandar 4. Judul Pengembangan hunian vertikal merupakan salah satu alternatif strategi memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mengurangi backlog, dan mengoptimalkan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berkaitan hal tersebut dilakukan kajian model pengembangan hunian vertikal di Kota Depok. Penelitian bertujuan untuk membangun model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Kata kunci : Hunian vertikal, RTH, MBR, backlog, berkelanjutan UDC 69.032.2 Suh Suhaeni, Heni p Pembangunan rumah susun dalam mendukung aktivitas ekonomi perkotaan studi kasus kota Ban dung/Heni Suhaeni.-- Jurnal Permukiman. --Vol. 4 No. 2 September 2009.--Hal. 102-109.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : hlm. 102 ISSN : 1907-4352 I. MULTISTOREY BUILDINGS 1. Judul Pembangunan rumah susun dalam mendukung aktivitas ekonomi perkotaan dapat dijalankan dengan cara pembangunannya harus mampu mewadahi kebutuhan ruang bagi semua kelompok penduduk perkotaan yang selama ini tinggal, bekerja, membentuk dan membangun aktivitas ekonomi di kota tersebut. Kata kunci : Penataan ruang, aktivitas ekonomi, perkotaan
UDC 69.721 Win Winaktoe, Wied Wiwoho k Komparasi nilai partial ottv pada east wall berbasis u-value=2,6 dengan u-value=1,6/Wied Wiwoho Winaktoe.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Hal. 121-127.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm
UDC 69.058.4 Pri Prihandono, Aris p Peningkatan peran lembaga lokal dalam rangka pembangunan permukiman di perdesaan/Aris Prihandono.--Jurnal Permukiman.--Vol. 4 No. 2 September 2009.--Hal. 88-101.--Bandung : Pusat Pelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : hlm. 88 ISSN : 1907-4352 I. SETTLEMENT II. ECONOMIC 1. Judul Pelibatan kelembagaan lokal dalam pembangunan permukiman sangat relevan, namun perlu seleksi. Lembaga harus memenuhi kriteria : tingkat kemapanan, kondisi unsur kelembagaan, efektivitas organisasi. Internalisasi peran baru dilakukan melalui pemberdayaan namun harus memperhatikan tipe kelembagaan dan kinerjanya. Bentuk pemberdayaan dapat berupa asistensi, fasilitasi, atau promosi. Sedangkan materi pemberdayaan meliputi materi umum, inti dan penunjang. Kata kunci : Tipe lembaga, seleksi, pemberdayaan
UDC 338.48 Kom Komardjaja, Inge i Infrastruktur pecinan yang mudah diakses mendukung prinsip pariwisata yang aksesibel/Inge Komar djaja.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Hal. 110-120.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : hlm. 110 ISSN : 1907-4352 I. TOURIST II. DISABLED PEOPLE 1. Judul Pecinan perlu ditata berdasarkan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang cermat. Dengan berprinsip pada pariwisata yang aksesibel, wisatawan lokal dan mancanegara yang menyandang cacat tertarik untuk mengunjungi pecinan. PBB mengatakan para penyandang cacat mempunyai hak yang sama dengan mereka yang tidak cacat untuk berwisata. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk dapat mengidentifikasi problem penyandang cacat. Pecinan yang ramah cacat mendukung prinsip accessible tourism. Kata kunci : Penyandang cacat, keterbatasan mobilitas, pecinan, pariwisata, aksesibilitas UDC 613.87 Ros Rosa, Yulinda m Metode analisa data variabel sosial bidang permu kiman/Yulinda Rosa.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Hal. 128 -140.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm
Abstrak : hlm. 121 ISSN : 1907-4352 I. BUILDINGS II. ARCHITECTURE 1. Judul Dinding-timur pada iklim tropika-lembab dipersyaratkan untuk memiliki nilai u-value=2,0 yang sebenarnya sulit tercapai karena struktur dinding yang popular (plesterbata-plester) cenderung memiliki u-value=2,6. Prosedur riset menghasilkan temuan : model dinding u-value=2,6 (partial OTTV=21,28 W/m²), u-value=1,6 (partial OTTV=12,95 W/m²). Konklusi u-value < 2 menghasilkan partial OTTV lebih kecil ketimbang u-value > 2. Kata kunci : Termal, transmitansi, u-value, dinding, OTTV UDC 54.188 Pra Prayudi, Tibin R k Keefektifan pengolahan antara abu terbang dengan karbon aktif terhadap kebutuhan oksigen kimia (KOK) warna dan logam berat air lindi sampah/Tibin R. Prayudi.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Hal. 141- 148.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 76 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : hlm. 141 ISSN : 1907-4352 I. CHEMISTRY II. OXYGEN 1. Judul Penelitian eksperimental dilakukan di laboratorium, dengan pengadukan abu terbang dan karbon aktif dengan air lindi sampah pada kecepatan 100 rpm selama satu jam, pada dosis 15, 25, 35, 50, 100 dan 150 mg/liter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemakaian abu terbang akan lebih efektif dalam menurunkan KOK, warna, Zn, dan CU air lindi, sedangkan karbon aktif lebih efektif dalam menurubkan Fe air lindi. Kata kunci : Abu terbang, karbon aktif, air lindi, kebutuhan oksigen kimia (KOK)
Abstrak : hlm. 128 ISSN : 1907-4352 I. SOCIAL II. DESCRIPTIVE ANALYSIS 1. Judul Data variabel sosial bidang permukiman merupakan data kualitatif. Analisa deskriptif dilakukan dengan terlebih dahulu membuat distribusi frekuensi. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam pembuatan frekuensi variabel sosial, diantaranya adalah dengan menggunakan nilai skor kumulatif dari seluruh item yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut dan metode srtrugle’s. Kata kunci : Variabel sosial, data kualitatif, kuesioner, analisa deskriptif, skor, kumulatif
Abstract UDC 69.058.4 Mur Murbaintoro, Tito M Model of the development of vertical residential for the sustainable of housing development /Tito Murbaintoro et.al. --Jurnal Permukiman. --Vol. 4 No. 2 September 2009.--Page. 72-87.-- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 72 ISSN : 1907-4352 I. SETTLEMENT II. BUILDING 1. Maarif, M. Syamsul 2. H. Sutjahjo, Sujono 3. Saleh, Iskandar 4. Title Vertical residential development is one of the alternative strategies to meet the need of housing for people, especially low income people, decrease the backlog and optimizing the need of open green space. Relating to that reason, the study on model of the development of vertical residential was carried out in Depok city. The research was purposed to create a model of the development of vertical residential for the sustainable of housing development and its impact to the housing development policy for the low income people.
UDC 69.058.4 Pri Prihandono, Aris p Improving the role of local institution in term of settlement development in rural area/Aris Prihandono --Jurnal Permukiman.--Vol. 4 No. 2 September 2009. --Page. 88-101.--Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 88 ISSN : 1907-4352 I. SETTLEMENT II. ECONOMIC 1. Title Involvement the local institution in developing settlements is relevant very much to current sitation. However, it requires stick selection. The criteria of selection include : level of establishment, condition of organization components, effectiveness of organization. Internalization of the new roles can be carried out through empowerment of the local level institution. Nevertheless, it must take types of the institution and its performance into consideration. Nature of the empowerment can be assistance, facilitation, and promotion. While substances of empowerment consist of general, major, and minor one.
Keywords : Vertical residential, open green space, low income people, backlog, model, sustainable UDC 69.032.2 Suh Suhaeni, Heni p Development of multistorey to support urban eco nomy activity case study of Bandung/Heni Suhaeni. -Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-Page 102-109.--Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 102 ISSN : 1907-4352 I. MULTISTOREY BUILDINGS 1. Title Multistorey development can support the activities of urban economy if development of multi-storey is able to accommodate all different groups of people with multi levels of socio-economy and live, work, shape and develop economy activities in such urban area.
Keywords : Institution types, selection, empowerment
Keywords : Spatial planning, economy activity, urban
UDC 69.721 Win Winaktoe, Wied Wiwoho k Comparasion between the east-wall’s partialOTTV at u-value of 2.6 and u-value of 1.6/Wied Wiwoho Winaktoe.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Page 121-127.-- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 121
UDC 338.48 Kom Komardjaja, Inge i The easily accessed infrastructure of Chinatown espouses the principle of accessible tourism/Inge Komardjaja.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Page 110-120.-- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 110 ISSN : 1907-4352 I. TOURIST II. DISABLED PEOPLE 1. Title Revitalizing Chinatown has to be done from a wellprepared planning and accurate implementation. Carrying out the principle of accessible tourism may attract local and foreign disabled tourists. The UN declares that disabled people have the same right as the non-disabled people to visit tourist sites. This study has employed the qualitative method to identify the real problems of disabled people. Chinatown that is disabled-friendly espouses the principle of accessible tourism. Keywords : Disabled people, limited mobility, Chinatown, tourism, accessibility UDC 613.87 Ros Rosa, Yulinda m Method analysis variable data of the structured social settlement/Yulinda Rosa.-- Jurnal Permukiman. -- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Page 128 -140.-Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 128
ISSN : 1907-4352 I. BUILDINGS II. ARCHITECTURE 1. Title East wall at hot-humid climate is required to have u-value of 2.0 which is actually difficult to achieve considering the popular wall’s structure (plaster-brick-plaster) tends to have u-value of 2.6. The finding of this research : wall with u-value of 2.6 produces partial OTTV of 21.28 W/m² and u-value of 1.6 produces partial OTTV of 12.95 W/ m². The conclusion is that the lower the u-value is then the smaller partial OTTV would be. Keywords : Thermal, transmittance, u-value, wall, OTTV UDC 54.188 Pra Prayudi, Tibin R k Leachate treatment effectively between fly ash and activated carbon on chemical oxygen demand, colour and heavy metal from leachate/Tibin R. Prayudi.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Page 141- 148.-- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 76 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 141 ISSN : 1907-4352 I. CHEMISTRY II. OXYGEN 1. Title The batch experiments were run in different glass flask of 500 ml capacity using the string speed on 100 rpm. A known volume of sample was treated with different doses of fly ash or activated carbon 15, 25, 35, 50, 100, and 150 mg/litre. The result could be concluded that fly ash is more effective adsorbent for decreasing COD, colour, Zn and Cu concentration in leachate but activated carbon is more effective for decreasing Fe concentration in leachate. Keywords : Fly ash, activated carbon, leachate, chemical oxygen demand (COD)
ISSN : 1907-4352 I. SOCIAL II. DESCRIPTIVE ANALYSIS 1. Title Variable data of the structured social settlement is qualitative data. Descriptive analysis is done by first making a frequency distribution. Some methods use in creating the frequency distribution of social variables such as using the value of the cumulative score of all items used the measure these variables, and the struggle’s method. Keywords : Social variable, qualitative data, questionnaire, descriptive analysis, cumulative score
A Abu terbang = 141, 142, 143, 144, 147, 148 Accessibility = 110 Activated carbon = 141 Air lindi = 141, 142, 144, 145, 147, 148 Aksesibilitas = 110, 111, 113 Aktivitas ekonomi = 102, 104, 105, 107, 108, 109 Analisa deskriptif = 128, 130, 131, 137
Indeks Subyek (Subject Index)
B Backlog = 72, 76, 77, 82 Berkelanjutan = 72 C Chemical oxygen demand (COD) = 141, 142 Chinatown = 110, 114 Cumulative score = 128 D Data kualitatif = 128 Descriptive analysis = 128 Dinding = 121, 122, 123 Disabled people = 110 E Economy activity = 102 Empowerment = 88 F Fly ash = 141, 143, 144 H Hunian vertikal = 72, 74, 76, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 85 I Institution types = 88 K Karbon aktif = 141, 142, 143, 147, 148 Keterbatasan mobilitas = 110 Kebutuhan oksigen kimia (KOK) = 141, 144, 147, 148 Kuesioner = 128, 129, 130 L Leachate = 141 Limited mobility = 110 Low income people = 73 M MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) = 72 Model = 72
O OTTV = 121, 122, 123, 124, 125, 126 Open green space = 73 P Pariwisata = 110, 111, 114, 118 Pecinan = 110, 111, 112, 113, 115, 116 Pemberdayaan = 88, 91, 92, 94, 96 Penataan ruang = 102, 103 Penyandang cacat = 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119 Perkotaan = 102, 103, 104, 108, 109 Q Qualitative data = 128 Questionnaire = 128 R RTH (Ruang Terbuka Hijau) = 72, 73, 74, 75, 76, 77, 82, 84, 85, 86 S Seleksi = 88 Selection = 88 Skor kumulatif = 128, 133, 137 Social variable =128 Spatial planning = 102, Sustainable = 73, 82, 85 T Termal = 121, 122 Thermal = 121, Tipe lembaga = 88 Tourism = 110 Transmitansi = 121, 122 Transmittance = 121 U Urban = 102 U-value = 121, 124, 125, 126 V Variabel sosial = 128, 129, 130 Vertical residential = 73 W Wall = 121
PEDOMAN UNTUK PENULIS UMUM
Redaksi menerima naskah karya ilmiah IPTEK bidang Permukiman, baik dari dalam maupun di luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman Naskah belum pernah diterbitkan di media cetak lainnya Penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap isi tulisan Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dan akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali ke redaksi beserta file-nya dengan program MS-Word paling lambat satu minggu setelah tanggal persetujuan Naskah yang dimuat menjadi milik Pusat Litbang Permukiman Naskah yang tidak dapat dimuat akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis
NASKAH Bahasa : Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dilengkapi dengan abstrak dan kata kunci dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Format : Jumlah halaman naskah maksimum 10 halaman tercetak dalam kertas putih ukuran B5 pada satu permukaan dengan satu spasi. Naskah yang ditulis terbagi atas 2 kolom yang terpisah oleh jarak tengah 1 cm. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 2 cm. Jenis huruf yang digunakan Tahoma. Judul (14 pt, Capital, bold) dan Sub Judul (12 pt, bold) : Judul dibuat tidak lebih dari dua baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama, instansi dan alamat (instansi dan e-mail) penulis dicantumkan di bawah judul. Abstrak (9 pt, Italic) : Abstrak dibuat tidak lebih dari 200 kata yang memuat metodologi yang digunakan, temuan-temuan pokok hasil penelitian, serta mengungkapkan konklusi dan rekomendasi pokok. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci. Isi Naskah (9 pt) : Susunan isi naskah meliputi : Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metoda Penelitian, Hasil, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka. Tabel : Judul tabel dan keterangan ditulis dengan jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Nomor dan judul tabel diletakkan pada posisi center. Tabel harus diberi nomor. Antara judul tabel dan kalimat sebelumnya dan juga antara tabel dan judul tabel diberi jarak satu spasi Gambar dan Foto : Gambar dan foto harus diberi nomor, judul atau keterangan dengan jelas. Ukuran gambar dan foto disesuaikan dengan besar kolom. Nomor, judul atau keterangan gambar dan foto diletakkan pada posisi center. Gambar dan foto harus mempunyai ketajaman yang baik, ukurannya dapat diperbesar dan diletakkan ditengah kertas, memotong kolom. Antara gambar/foto dan judul atau keterangan gambar/foto diberi jarak satu spasi. Daftar Pustaka : Daftar pustaka ditulis sesuai dengan urutan menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun penerbitan, judul terbitan, penerbit, dan kota terbit. Pustaka berupa judul buku : Sukandarrumidi, 2006, Batubara dan Pemanfaatannya, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Pustaka berupa majalah/jurnal ilmiah/prosiding : Saayman, H.M. and J.A. Oatley, 1976, Wood Adhesive from Wattle Bark Extract, For Prod, J.26 : 27-33
MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJU PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERKELANJUTAN Tito Murbaintoro1, M. Syamsul Ma’arif2, Surjono H. Sutjahjo2, Iskandar Saleh1 E-mail :
[email protected] 1) Kementrian Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jl. Raden Patah I/1 Kebayoran Baru-Jakarta Selatan 2) Guru Besar Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor, Jl. Darmaga, Bogor 16680 Tanggal masuk naskah: 21 Januari 2009, Tanggal disetujui: 09 Agustus 2009
Abstrak
Pengembangan hunian vertikal di Kota Depok merupakan salah satu alternatif strategi memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mengurangi backlog, dan mengoptimalkan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Metode analisis data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, analisis statistika, analisis finansial, analisis input-output (I-O), dan analisis sistem dinamik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kota Depok memiliki potensi minat yang besar terhadap hunian vertikal namun tingkat keterjangkauan terutama MBR masih sangat rendah. Untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki hunian, maka peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam pemberian bantuan dan insentif kepemilikan hunian. Pembangunan perumahan juga memberikan dampak ganda (multiplier effect) terhadap pembangunan di Kota Depok dan daerah sekitarnya. Dampak tersebut antara lain tingginya pembangunan perumahan, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan tingginya tingkat penyerapan tenaga kerja akibat pembangunan perumahan. Peningkatan kebutuhan jumlah hunian, serta backlog perumahan di Kota Depok menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2001 sampai tahun 2025. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di Kota Depok khususnya MBR dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan mempertahankan ketersediaan lahan RTH pada tingkat tertentu, skenario yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan RTH sampai pada luasan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000.
Kata kunci : Hunian vertikal, RTH, MBR, backlog, model, dan berkelanjutan
Abstract
Vertical residential development in Depok city is one of the alternative strategies to meet the need of housing for people, especially low income people, decrease the backlog and optimizing the need of open green space. The research was purposed to create a model of the development of vertical residential for the sustainable of housing development and its impact to the housing development policy for the low income people. The methods used to analyze the data were descriptive analysis, statistical analysis, financial analysis, input-output (I-O) analysis and dynamic system analysis. The result of the research showed that people in Depok city had great interest in having vertical residential, however the affordability of low income people, were still low. To increase the people’s purchasing power, participation of the government is greatly necessary especially in form of incentive and housing subsidy. Housing development also resulted in multiplier effects for the development of Depok city and its surrounding area, such as the high supply of housing, increasing of people income, and the higher absorption level of manpower related the housing development. The increasing number of shelters
72
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
need as well as housing backlog in Depok city tended to grow similarly with the exponential curve in the simulation years of 2001-2025. To meet the need of housing in Depok city, especially for the low income people, with consideration to their ability and maintaining the open green space at certain level, the scenario that could be done is utilization of the open green space up to 5000 ha, with support to the vertical residential growth through subsidizing the interest of 8% as well as down payment in the range of Rp 10,000,000 to Rp 13,000,000.
Keywords : Vertical residential, open green space, low income people, backlog, model, sustainable
PENDAHULUAN Pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) sudah menjadi agenda global yang harus diwujudkan oleh setiap negara. Persoalan lain yang sangat mendasar adalah pemenuhan kebutuhan rumah yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal ini juga menjadi perhatian berbagai pemangku kepentingan di dunia sebagaimana dicanangkan pada The 12th Session of the Commission on Sustainable Development (CSD 12) tanggal 14-30 April 2004 di New York, yakni ”to achieve significant improvements in the living conditions of the poorest population groups, in particular slum inhabitants, by the year 2020” (Butters, 2003). Perwujudan pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan, tidak dapat dilepaskan dari pembangunan perkotaan secara keseluruhan, apalagi bila dikaitkan dengan ketersediaan lahan yang merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan. Salah satu indikator pembangunan berkelanjutan yang dimotori oleh United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS) adalah memberikan rekomendasi tentang bagaimana menetapkan indikator lingkungan untuk pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka (km2)/% (Junaidi, 2000). Ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu indikator utama penelitian dalam melakukan analisis pembangunan perumahan berkelanjutan. Indikator lain adalah tingkat keterjangkauan
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
masyarakat untuk menyewa atau membeli hunian serta pendapat masyarakat tentang hunian yang diminati. Hal ini terkait dengan tiga pilar konsep pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan yang telah mempertimbangkan secara seimbang tiga dimensi berkelanjutan yaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial (Munasinghe, 1993). Sejalan dengan upaya pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan berkelanjutan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) bekerjasama dengan UNDP (United Nations Development Programme) telah menerbitkan Agenda 21 Sektoral (nasional), yaitu agenda permukiman untuk pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan yang salah satunya mengamanatkan perlu upaya melindungi masyarakat dari praktek-praktek spekulasi dan monopoli penguasaan tanah (Meneg LH, 2000). Ini menunjukkan komitmen pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan berkelanjutan. Beberapa pemikiran tersebut diatas sudah barang tentu memberikan konsekuensi logis pada pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan agar dapat memenuhi persyaratan kota yang termasuk kategori kota berwawasan lingkungan (sustainable city) antara lain : tetap terjaga ketersediaan ruang terbuka hijau yang cukup di kawasan perkotaan (sustainable land use planning and management serta sustainable housing and urban development), terpenuhinya kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh masyarakat (affordable low cost housing) dan terwujudnya kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis dan efisien
73
(compact city) melalui pengembangan hunian vertikal. Pengembangan hunian vertikal di kota besar dan metro sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, problem ketersediaan lahan merupakan faktor pendorong bagi berbagai pemangku kepentingan untuk segera memikirkan pola pengembangan perumahan dan permukiman yang selama ini masih didominasi oleh pengembangan hunian tapak (landed). Sudah banyak terjadi perubahan fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan perumahan yang pada gilirannya akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Untuk menjawab persoalan tersebut penelitian tentang pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan telah dilakukan di Kota Depok, Jawa Barat, Indonesia sejak 2004 yang lalu. Pemilihan Kota Depok sebagai lokus penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain : merupakan salah satu dari 15 kota besar di Indonesia yang pertumbuhannya sangat pesat antara tahun 1990-2000 (Silas, 2001), sebagai salah satu kota penyangga ibukota yang sangat strategis, tingkat penduduk komuter termasuk kategori tinggi, kondisi RTH dan kerusakan lahan pertanian masih belum terlalu parah, yaitu terdapat 49 % RTH (Wihana, 2008), merupakan wilayah yang menjadi incaran pengembangan perumahan karena berada di selatan Jakarta,
dan termasuk salah satu wilayah penanganan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Kerangka penelitian ini dirancang dalam kerangka teori pembangunan berkelanjutan, yang menyatakan bahwa konsep pembangunan yang seimbang adalah pembangunan yang telah mempertimbangkan tiga dimensi berkelanjutan yaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial. Tujuan utama penelitian ini adalah mengembangkan model hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Dalam menyusun model tersebut, ada beberapa tujuan antara yang mendukung terwujudnya tujuan utama penelitian ini yaitu : menganalisis tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH, menganalisis tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, menganalisis tingkat kelayakan finansial pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR, menganalisis dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok, mendisain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan. Secara diagramatis kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan
74
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Hasil penelitian telah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana pembangunan perumahan di kota besar dan metro harus ditangani secara komprehensif. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah sumbangan pemikiran tentang arah kebijakan pembangunan perumahan yang harus di tetapkan oleh regulator di tingkat kota serta implikasinya kepada pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan.
Pengembangan Hunian Vertikal pada Suatu Wilayah Kota Dikaitkan dengan Ketersediaan RTH
Pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH sangat terkait erat dengan indikator pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. Oleh karena itu untuk menilai suatu kota diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu kota, antara lain mengukur kinerja; mengkaji tren; memberi informasi; menetapkan target; membandingkan kondisi atau tempat; peringatan dini; dan menyusun pilihan strategis dalam pembangunan kota (Banerjeen, 1996 dalam Junaidi, 2000). Kajian indikator pembangunan perkotaan di beberapa negara menunjukkan bahwa salah satu indikator yang terkait dengan aspek lingkungan adalah ketersediaan RTH yang memadai bagi penduduk kota. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka dalam km2 (Junaidi, 2000). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini, fungsi hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain : suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung (Zoer’aini, 2005). Belum ada standar baku yang mengatur tentang kebutuhan RTH di suatu kota, tetapi data empiris di beberapa kota dunia menunjukkan bahwa kebutuhan RTH di suatu kota antara 6-10 m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005)., Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
Penataan Ruang telah mengamanatkan untuk menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 % dari luas kota. Secara umum kondisi RTH kota-kota di Indonesia menunjukkan tingkat ketersediaan yang belum optimal. Kurang optimalnya pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) dapat dilihat dari luas RTH di beberapa kota di Indonesia yang mengalami penurunan secara signifikan dalam 30 tahun terakhir, dari 35 % pada awal tahun 1970-an menjadi kurang dari 10 % terhadap luas kota secara keseluruhan (Kirmanto, 2005). Apabila ditinjau dari kondisi kuantitas RTH di beberapa negara, rasio RTH kota-kota metro di Indonesia sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan kotakota di Jepang (5 m2 / penduduk), Inggris (711.5 m2 / penduduk) dan Malaysia (2 m2 / penduduk). Fakta lain yang terkait dengan ketersediaan RTH adalah cukup tingginya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan permukiman serta industri. Data empiris juga menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian terbesar adalah wilayah Jawa Barat yang merupakan salah satu lumbung padi nasional (Hatmoko, 2004). Kondisi tersebut di atas merupakan konsekuensi dari lebih tingginya nilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri, perumahan dan permukiman dibandingkan untuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986). Disamping itu, pengembangan properti selama ini menggunakan konsep highest and best use (Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitu pemanfaatan lahan didasarkan pada kegunaan yang paling menguntungkan secara ekonomi dan memiliki tingkat pengembalian usaha (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi lain. Teori lain menyatakan bahwa dalam konteks land economics, land value sangat dipengaruhi oleh hubungan komplementer antara land rent dengan transportation cost (Alonso, 1964). Kondisi tersebut dapat dilihat juga dari tren kenaikan harga tanah di Perum Perumnas Depok pada tahun 1990 an, dalam waktu dua tahun mencapai 75 % (Gandi, 1994 dalam Winarso, 2001). Berdasarkan penelitian
75
yang dilakukan selama 40 tahun terakhir pendapatan bersih tanah per m2 untuk real estate, 200 kali lipat dibandingkan untuk pertanian (Agroindonesia, 2004). Disamping indikator sustainabilitas lingkungan perkotaan yang bersifat komprehensif, UNCHS juga telah mengembangkan indikator untuk lingkungan perumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000). Indikator lingkungan perumahan antara lain : luas lantai per orang dan portofolio kredit perumahan. Dalam konteks luas lantai per orang dan ketersediaan RTH di suatu kota, maka pengembangan hunian vertikal akan dapat menjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan.
Kecenderungan berkurangnya RTH dan alih fungsi lahan pertanian produktif juga terjadi di Kota Depok, tetapi menurut data yang diperoleh dari pemerintah Kota Depok ketersediaan RTH di Kota Depok sampai saat ini masih cukup baik yakni sekitar 49% dari seluruh wilayah Kota Depok. Kalau tidak dikendalikan secara dini, maka Kota Depok akan mengalami degradasi lingkungan seperti halnya kota metro lain di Indonesia. Tren ketersediaan RTH Kota Depok selama kurun waktu lima tahun (2000-2005) menunjukkan penurunan yang cukup signifikan terutama untuk lahan pertanian sebagaimana dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penurunan Lahan Pertanian Kota Depok Tahun 2000-2005 Tahun Lahan Pertanian (Ha) 2000 2001 2002 2003 2004
2005
Sawah Teknis
926,58
931,00
931,00
907,00
907,00
785,00
Sawah Non Teknis
401,68
401,00
401,00
380,00
380,00
187,50
1.527,35
1.501,05
1.420,30
1.357,65
1.285,12
1.272,80
Perkebunan
Sumber : Pemerintah Kota Depok, 2006 diolah
Penurunan ketersedian RTH untuk lahan pertanian yang terdiri dari sawah teknis, sawah non teknis dan perkebunan terus terjadi, walaupun pada awalnya cenderung mengalami peningkatan seperti sawah teknis pada tahun 2000 seluas 926,58 Ha meningkat menjadi 931,00 Ha pada tahun 2001 dan bertahan sampai tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 luas sawah teknis tersebut mengalami penurunan. Untuk sawah non teknis dan perkebunan sejak tahun 2000 cenderung mengalami penurunan. Tren penurunan luas RTH ini menunjukkan bahwa semakin lama luas RTH di Kota Depok akan semakin menurun yang disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pengembangan perumahan dan kebutuhan lainnya seiring dengan tren pertambahan ijin lokasi dan ijin mendirikan bangunan di Kota Depok. Beruntung Kota Depok masih memiliki kebijakan penambahan taman kota yang setiap tahunnya meningkat sebagaimana dilihat pada tabel 2.
76
Tabel 2. Ketersediaan RTH untuk Taman Kota Tahun 2000-2005 Tahun
Taman Kota (Ha)
2000
12,05
2001
12,36
2002
18,35
2003
22,16
2004
26,57
2005
61,75
Sumber : Pemerintah Kota Depok, 2006 diolah
Dilain pihak kebutuhan akan rumah di Kota Depok menunjukkan angka yang cukup besar. Pemenuhan kebutuhan rumah di suatu kota dapat dilihat dari backlog dan pertumbuhan kebutuhan rumah akibat bertambahnya keluarga baru di suatu kota. Disamping itu, perlu dianalisis juga jumlah rumah tangga yang termasuk kategori komuter. Kota Depok
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
termasuk kota yang tingkat pertumbuhan penduduknya relatif tinggi, yaitu 3,7% per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kebutuhan rumah di Kota Depok cukup tinggi. Data BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 234.733 rumah tangga, dengan tingkat pertumbuhan penduduk 3,7 % per tahun maka angka kebutuhan rumah per tahun kurang lebih 10.375 unit rumah, disamping itu backlog rumah menunjukkan angka cukup tinggi. Pertumbuhan jumlah penduduk yang mengakibatkan bertambahnya keluarga baru setiap tahunnya sebagaimana dilihat pada tabel 3.
Dengan tetap berupaya memenuhi kebutuhan rumah untuk seluruh keluarga disatu pihak dan menjaga kualitas lingkungan terutama ketersediaan ruang terbuka hijau sebagai salah satu indikator lingkungan perkotaan yang berkelanjutan di lain pihak, maka model pengembangan hunian vertikal perlu segera diterapkan untuk kota-kota yang masih memiliki ruang terbuka hijau yang cukup dan tingkat pertumbuhan kebutuhan rumah yang cukup signifikan setiap tahunnya. Dengan pembangunan perumahan secara vertikal maka akan membantu mengurangi laju pengurangan lahan RTH. Pembangunan hunian vertikal dengan satuan luas lahan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan hunian tapak memberi peluang untuk menyediakan rumah lebih banyak sehingga backlog dapat ditekan. Secara simulatif dengan memasukkan hunian vertikal dalam pembangunan perumahan di Kota Depok dapat menurunkan backlog hingga mencapai 8.207 unit rumah pada tahun 2025. Pada kondisi tersebut ketersediaan RTH dapat ditekan yaitu sebesar 4.174 ha (20.83%). Hasil simulasi model pengembangan hunian vertikal di Kota Depok sebagaimana dilihat pada tabel 4.
Tabel 3. Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk Kota Depok No.
Jumlah Pertumbuhan Sub Pusat Penduduk Penduduk Pengembangan (Jiwa) (%/Tahun)
1.
Cimanggis
435.477
3,36
2.
Sawangan
214.601
5,29
3.
Limo
190.359
4,88
4.
Pancoran Mas
278.943
3,04
5.
Beji
201.363
6,45
6. Sukmajaya 345.500 Sumber: RTRW Kota Depok, 2000-2010
2,70
Tabel 4. Tabel Simulasi Pembangunan Hunian Vertikal dalam Perencanaan Pembangunan Perumahan di Kota Depok Backlog Tahun
Tanpa rumah vertikal (Unit)
RTH
Dengan rumah vertikal (Unit)
Persen Tanpa rumah terhadap luas vertikal kota (Ha) (%)
Dengan rumah vertikal (Ha)
Persen terhadap luas kota (%)
2001
100.753
100.753
9.833
49.07
9.833
49.07
2005
111.759
104.806
9.215
45.99
9.278
46.30
2010
120.766
101.162
8.272
41.28
8.445
42.14
2015
124.686
87.238
7.103
35.45
7.426
37.06
2020
118.645
57.498
5.671
28.30
6.191
30.90
2025
102.410
8.207
4.061
20.27
4.174
20.83
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
77
Tingkat Minat Masyarakat Tinggal di Hunian Vertikal
untuk
Minat menghuni rumah bagi setiap individu dan keluarga tidak hanya dilihat bahwa mereka tinggal secara fisik di rumah, tetapi merupakan proses pembentukan jatidiri manusia secara utuh dan merupakan tempat persemaian keluarga dan budaya masyarakat. Oleh karena itu menghuni rumah sangat terkait dengan proses pembentukan ruang (Crowe, 1997), sehingga menghuni rumah merupakan fungsi dari tempat/ lokasi, waktu dan temporal (secara fungsional dapat dirumuskan sebagai berikut : pembentukan ruang = f (place, locality, time, temporal)). Jadi sangat tergantung dari persepsi dan makna yang dirasakan oleh manusia (Crowe, 1997 dalam Mas Santosa, 2001). Proses pembentukan ruang juga akan menemukan konflik antara tradisi dan modernitas sehingga pada gilirannya akan memudarkan identitas kota yang sangat terkait dengan aspek lokalitas (Correa, 2000 dalam Mas Santosa, 2001). Jadi identitas kota sangat dipengaruhi oleh bentuk kota (urbanform), kultur dan kepadatan kota. Pada beberapa pendapat terdahulu fenomena sosio kultural dan fisikal merupakan kekuatan yang membentuk arsitektur tradisional (Oliver, 1987) dan pada kenyataannya arsitektur tradisional merupakan proses yang mampu menunjukkan interaksi antara manusia dan lingkungannya, dan bentuk interaksi tersebut secara gradual berubah karena terkait dengan konteksnya (Rapoport, 1994). Bertolak dari beberapa pemikiran tersebut, aspek sosial sebagai salah satu pilar pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu unsur yang penting didalam meneliti pengembangan hunian vertikal di kawasan perkotaan. Penelitian ini mengungkap seberapa besar minat masyarakat Kota Depok tinggal di hunian vertikal. Memperhatikan beberapa hal penting sebagaimana diuraikan diatas, penelitian tentang minat masyarakat Kota Depok untuk tinggal di hunian vertikal dititik beratkan pada tiga aspek yaitu persepsi, motivasi, dan lokasi. Hasil penelitian tentang persepsi masyarakat atas hunian vertikal menunjukkan bahwa
78
mayoritas responden masyarakat Kota Depok masih berpendapat bahwa rumah susun dan apartemen merupakan bangunan yang sangat berbeda/ berbeda (>70%), rumah susun akan menimbulkan kekumuhan baru (70,5%). Dilain pihak persepsi masyarakat bahwa tinggal di rumah susun dapat memberikan kepuasan (42%) dan sudah merasa memiliki/ menghuni rumah (40%), memberikan peluang untuk dapat ditingkatkan persepsi masyarakat atas keberadaan rumah susun. Hasil penelitian tentang motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal menunjukkan bahwa mayoritas responden masyarakat Kota Depok memiliki motivasi yang sangat besar untuk tinggal di hunian vertikal bila dibandingkan dengan tinggal di rumah tapak dengan kondisi rumah tapak yang kumuh (>70%), atau jauh dari tempat kerja/ sekolah, atau harga sewa rumah susun yang lebih murah daripada tinggal di rumah tapak sewa (>60%). Hasil penelitian tentang lokasi hunian vertikal yang diminati masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas responden masyarakat Kota Depok memiliki keinginan untuk tinggal di rumah susun yang berada dekat dengan tempat kerja / sekolah (>70%), atau rumah susun ditengah kota (>60%), atau memiliki akses kereta api/ jalan tol (>50%), dan dikawasan yang tenang (76,3%) dibandingkan dengan tinggal di hunian tapak yang memiliki karakteristik sebaliknya. Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa potensi masyarakat Kota Depok tinggal di hunian vertikal sangat besar apabila pengembangan hunian vertikal dilakukan secara terencana dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi, motivasi masyarakat dan pemilihan lokasi hunian vertikal. Aspek lain yang masih harus menjadi pertimbangan adalah kemiripan proses pembentukan ruang hunian vertikal bagi MBR dan proses pembentukan ruang kampung yang memiliki ciri hampir sama yaitu didaerah yang berkepadatan tinggi, di lingkungan urban/ perkotaan, mayoritas tumbuh secara informal khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Kampung merupakan wujud yang
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
menunjukkan suatu proses terbentuknya ruang di daerah berkepadatan tinggi yang tumbuh secara informal di lingkungan urban tropis, sehingga lokasi penetapan tatanan lingkungan pembentukan ruang mengikuti kepercayaan / kebiasaan yang sifatnya turun temurun (Mas Santosa, 2001). Pada hunian tradisional, ruang utama yang berfungsi sebagai ruang keluarga sangat mendominasi aktifitas anggota keluarga (Mas Santosa, 2001). Oleh karena itu konsep kampung susun menjadi sesuatu ide yang harus dikembangkan terutama untuk memfasilitasi hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Tingkat Kelayakan dan Keterjangkauan Pengembangan Hunian Vertikal Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kebutuhan akan hunian harus disesuaikan dengan kemampuan untuk memiliki atau menyewa hunian yang ditunjukkan oleh tingkat Indeks keterjangkauan (IK) = Dimana :
IK IK IK IK
< 3,0 3,1 - 4,0 4,1 - 5,0 > 5,1
= = = =
Hunian Hunian Hunian Hunian
keterjangkauan masyarakat untuk memiliki rumah melalui kredit/ pembiayaan pemilikan rumah (KPR) atau membayar sewa. Aspek ini sangat penting, tinjauan aspek ekonomi sebagai salah satu pilar pembangunan berkelanjutan mejadi sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif. Oleh karena itu indeks keterjangkauan yang selama ini telah dikembangkan oleh beberapa lembaga di beberapa negara menjadi salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan. Indeks keterjangkauan (median multiple) yang merupakan perbandingan antara median harga rumah (median house price) dan median pendapatan keluarga setahun (median household income multiple) telah mengalami kenaikan secara tajam di beberapa negara (Wendell Cox and Hugh Pavletich, 2007). Idealnya median harga rumah 3 (tiga) kali atau kurang dari median pendapatan keluarga selama setahun. Secara umum indeks keterjangkauan dapat di bagi kedalam empat kategori, yakni : Median harga rumah
Median penghasilan masyarakat pertahun terjangkau oleh masyarakat agak terjangkau oleh masyarakat tidak terjangkau oleh masyarakat sangat tidak terjangkau oleh masyarakat
(Sumber : Brash, 2008 dan Sirmans, 1989)
Kondisi tersebut menjadi menarik apabila dikaitkan dengan perkiraan perhitungan indeks keterjangkauan di negara kita. Untuk menghitung indeks keterjangkaun secara nasional membutuhkan analisis data secara nasional. Median penghasilan masyarakat secara nasional yang pernah diolah pada tahun 2002 adalah sebesar Rp 950.000 (HOMI, 2002) dan pada saat tersebut harga rumah yang berhak disubsidi adalah Rp. 42 juta,-. Apabila diasumsikan median harga rumah sebesar harga rumah yang dapat disubsidi, maka perkiraan angka indeks keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah secara nasional adalah 3,6 yang menunjukkan bahwa pemilikan rumah
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus mendapat intervensi dari pemerintah dalam bentuk subsidi perumahan atau subsidi silang dengan kompensasi harga kawasan komersial atau hunian komersial. Dengan data median income tahun 2004 (dengan asumsi kenaikan pendapatan sebesar 10%) sebesar Rp. 1.045.000 dan harga rumah bersubsidi saat itu sebesar Rp. 49 juta,- maka perkiraan angka indeks keterjangkauan meningkat menjadi 3,9. Bila dikaitkan kondisi saat ini dengan harga rumah bersubsidi sebesar Rp. 55 juta,-, angka indeks keterjangkauan diperkirakan meningkat menjadi > 4. Hal ini menunjukkan perkembangan indeks keterjangkauan di
79
Indonesia juga mengalami peningkatan secara nasional sebagaimana terjadi di beberapa negara yang berarti kemampuan masyarakat untuk akses KPR semakin menurun. Selain melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah, pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga dapat dilakukan melalui program hunian sewa. Untuk mengembangkan hunian vertikal sewa bagi masyarakat berpenghasilan rendah/rumah susun sederhana sewa (rusunawa) perlu mempertimbangkan tingkat kelayakan investasi rusunawa yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Ukuran tingkat kelayakan investasi secara finansial dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain net present value (NPV) yang merupakan nilai netto investasi saat ini, internal rate of return (IRR) yang merupakan tingkat pengembalian yang diinginkan dan payback period (PBP) yang merupakan periode pengembalian investasi. Hasil simulasi investasi menunjukkan bahwa pembangunan rumah susun sewa sederhana (rusunawa) untuk MBR yang diasumsikan mampu membayar sewa < Rp. 300.000,-/bulan menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 9%, 6% dan 4% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 13 tahun. Investasi rusunawa baru menunjukkan angka yang cukup menarik apabila tarif sewa menjadi > Rp. 2.500.000,-/bulan yang menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang menarik bagi investor, yakni IRR 32%, 32% dan 29% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 4
tahun. Kondisi ini tidak mungkin diterapkan kepada MBR, oleh karena itu investasi rusunawa masih harus membutuhkan intervensi pemerintah. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kota Depok, bahwa tren harga rumah dan pendapatan masyarakat Kota Depok masih menunjukkan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah Kota Depok masih membutuhkan intervensi dari pemerintah daerah melalui kebijakan subsidi atau insentif di tingkat kota.
Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Perekonomian Daerah Kota Depok
Lingkungan perkotaan secara geografis, sosialbudaya, dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang sangat kompleks. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di Kota Depok menuntut penyediaan perumahan yang layak huni yang tinggi pula. Dalam pembangunan perumahan ini, diharapkan memberikan dampak ganda (Multiplier Effect) terhadap perekonomian daerah terutama dari segi output, income, dan employment. Dampak pembangunan perumahan terhadap struktur ekonomi di Kota Depok dianalisis dari 36 sektor yang didasarkan pada transaksi domestik atas dasar harga produsen (juta rupiah) pada tahun 2006 yang diturunkan dari Tabel IO Nasional. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut : Nilai pengganda output, income dan employment tipe I dan II sebagaimana dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Struktur Pembangunan Ekonomi Total Output, Income, Employment, dan Value Added di Kota Depok Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Kode Nama Sektor Output Income Employment Sektor Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II Perumahan Dibangun 18 1.302 1.368 1.367 1.438 1.543 1.641 Pengembangan Perumahan Permanen 19 1.297 1.363 1.361 1.431 1.542 1.640 Swadaya 20 Perumahan Tidak Permanen 1.299 1.365 1.364 1.434 1.543 1.641 31 Real Estate 1.220 1.276 1.295 1.362 1.473 1.639
80
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Dampak output untuk empat sektor terbesar perumahan yaitu perumahan yang dibangun oleh pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, dan real estate memiliki nilai output yang relatif sama baik pada pengganda tipe I maupun tipe II dengan nilai output rata-rata lebih besar dari satu. Sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang memiliki nilai output yang lebih besar kemudian diikuti oleh bentuk perumahan lainnya. Hal ini berarti bahwa dampak pembangunan perumahan terhadap output telah memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi wilayah termasuk penciptaan lapangan kerja bagi Kota Depok. Tenaga kerja dalam analisis I-O pada prinsipnya sama dengan definisi yang digunakan dalam sensus penduduk sejak tahun 1990, yaitu penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan, sekurangkurangnya satu jam secara tidak terputus dalam seminggu yang lalu (BPS, 2005). Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki peran yang sangat penting. Tenaga kerja memiliki hubungan linier dengan output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi, sehingga naik turunnya output disuatu sektor akan berpengaruh terhadap naik turunnya jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Tabel 5 menunjukkan nilai pengganda tenaga kerja rata-rata lebih besar dari nilai satu baik dampak pengganda tipe I maupun tipe II dengan nilai masing-masing 1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk perumahan yang dibangun pengembang, 1,542 (tipe I) dan 1,640 (tipe II) untuk perumahan permanen swadaya, dan 1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk perumahan tidak permanen, serta 1,473 (tipe I) dan 1,639 (tipe II) untuk real estate. Hal ini berarti bahwa kebutuhan tenaga kerja di sektor perumahan sangat besar, baik tenaga kerja yang berasal dari dalam wilayah Kota Depok maupun yang berasal dari luar wilayah Kota Depok.
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
Model Pengembangan Hunian Vertikal secara Berkelanjutan
Sistem merupakan agregasi obyek yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Pengertian lain sistem adalah suatu entitas yang terkait dengan suatu tujuan tertentu yang terdiri atas sub-sub sistem yang saling terkait (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Pendekatan sistem sangat bermanfaat untuk suatu pengambilan keputusan. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno, 2003). Model dapat diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual, yang memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Sebagai suatu abstraksi dari suatu realitas, maka wujud model dapat lebih kompleks atau kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Lengkap tidaknya suatu model bergantung pada apakah model tersebut dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri. Dalam hal ini semakin dapat mewakili realitas, maka suatu model dapat dikatakan semakin lengkap. Dasar utama pengembangan model adalah untuk menemukan peubahpeubah yang penting dan tepat dalam membangun model. Untuk menirukan perilaku suatu gejala atau proses dibuat simulasi model. Simulasi ini bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan meramalkan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Salah satu situasi aktual yang dapat diabstraksikan melalui suatu pemodelan adalah pengembangan hunian vertikal di lingkungan perkotaan yang secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang sangat kompleks untuk diramalkan gejala-gejala atau proses yang akan terjadi dimasa yang akan datang khususnya di Kota Depok. Dalam model pengembangan hunian vertikal tersebut, beberapa peubah-peubah yang saling
81
berhubungan antara satu dengan lain baik langsung maupun tidak langsung meliputi pertumbuhan penduduk, ketersediaan lahan, kebutuhan rumah yaitu rumah tapak dan rumah vertikal (rusun dan apartemen), ketersediaan rumah, backlog, MBR, masyarakat berpenghasilan menengah (MBM), masyarakat berpenghasilan atas (MBA), subsidi rusun, dan harga rumah, serta minat untuk memiliki rumah. Model pengembangan hunian vertikal di Kota Depok dibangun dalam tiga (3) sub model yaitu sub model pertumbuhan penduduk dan RTH, dan sub model kebutuhan perumahan, dan sub model kebutuhan lahan hunian di Kota Depok. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penduduk Kota Depok akan meningkat terus dari 1.204.687 jiwa menjadi 2.487.515 jiwa pada tahun 2025 dengan asumsi rata-rata tingkat kelahiran penduduk sebesar 4 % pertahun dan tingkat kematian rata-rata 1 % pertahun. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok yang semakin meningkat setiap tahun akan berimplikasi terhadap kebutuhan penggunaan lahan dan kebutuhan rumah. Ketersediaan lahan di Kota Depok yang semakin terbatas akan menyebabkan ketersediaan lahan tersebut menjadi faktor pembatas terhadap tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok. Dalam model dibatasi daya dukung lahan sebesar 5000 jiwa/ha dan apabila melebihi dari kapasitas tersebut maka perlu dilakukan tindakan untuk mengatasi laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Sementara itu dilihat dari tingkat kebutuhan rumah menunjukkan ketidakseimbangan antara total rumah yang tersedia dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001 berjumlah 1.204.687 jiwa (BPS Kota Depok, 2007) sedangkan total rumah yang tersedia belum mencapai jumlah KK yang membutuhkan unit rumah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya backlog unit rumah dan ini akan terjadi peningkatan secara terus-menerus sampai pada tahun 2025. Pertumbuhan kebutuhan rumah yang sangat signifikan adalah rumah sederhana sehat (RSH) yang diikuti dengan rumah menengah (RTM), selanjutnya
82
rumah mewah (RTA). Pada kondisi eksisting, Kota Depok belum secara spesifik mengembangkan hunian vertikal. Oleh karena itu pada simulasi kondisi eksisting jumlah rusun dan apartemen tidak ada. Pada tahun 2001 belum terlihat pembangunan rumah tersebut di atas dan baru terlihat pada tahun 2002 yang terus mengalami peningkatan sampai pada tahun simulasi 2025, masingmasing RSH sebesar 134.369 unit, RTM sebesar 123.883 unit, dan RTA sebesar 24.776 unit. Semakin meningkatnya kebutuhan rumah tersebut akan berdampak terhadap perluasan kawasan terbangun dan semakin menurunnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk mengantisipasi semakin menurunnya RTH maka pengembangan perumahan diarahkan pada pengembangan hunian vertikal. Dalam pengembangan hunian vertikal ini dipengaruhi oleh minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Sedangkan minat ini sangat dipengaruhi oleh motivasi, persepsi, dan lokasi hunian. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di Kota Depok khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah dan mempertahankan ketersediaan lahan RTH, maka skenario terbaik yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan RTH sampai pada luasan 40005000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga minimal sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000.
IMPLIKASI KEBIJAKAN Seluruh proses analisis dan simulasi komprehensif pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan yang berkelanjutan membawa implikasi dan konsekuensi logis kepada penentuan arah kebijakan pembangunan perumahan secara menyeluruh di Kota Depok. Secara filosofis kerangka implikasi kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan pemikiran tentang spatial arrangement and sustainable development
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
(Haryadi, 1997). Kebijakan dan strategi merupakan intervensi dari pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/ kota) dalam sistem aktivitas di masyarakat agar dapat berjalan seimbang. Sebagaimana dipahami bersama bahwa sistem aktifitas dimasyarakat sangat dipengaruhi oleh gaya hidup yang bersumber pada kultur masyarakat. Dan semuanya itu tidak terlepas dari daya dukung lahan (land capacity). Ada beberapa pendekatan tentang analisis implikasi kebijakan ini terutama yang berkaitan dengan pengembangan hunian vertikal, antara lain : generic policies dan compact cities. Salah satu pendekatan analisis kebijakan yang digunakan pada penelitian ini adalah konsep kebijakan generik. Menurut Weimer dan Vining (1999), kebijakan generik (generic policies) adalah berbagai macam tindakan pemerintah yang dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan biasanya berupa suatu strategi umum. Karena masalah kebijakan
biasanya bersifat kompleks dan kontekstual, maka kebijakan generik seharusnya berfikir secara menyeluruh dan mendorong terwujudnya suatu perspektif yang luas dan pada gilirannya akan membantu mencari solusi yang berujung pada suatu keadaan yang spesifik untuk menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Ada lima hal penting yang termasuk dalam kebijakan generik, yakni : i) peraturan perundangan; ii) pembebasan, fasilitasi dan simulasi pasar; iii) pajak dan subsidi; iv) penyediaan barang melalui mekanisme nonpasar; v) asuransi dan jaring pengaman. Dengan menggunakan pendekatan kebijakan generik sebagaimana diuraikan diatas, maka penerapan kebijakan generik dalam pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini:
Tabel 6. Kebijakan Generik Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan Kelompok Kebijakan Generik
Karakteristik Kebijakan
Jenis Kebijakan
Penerapan Kebijakan
Peraturan Perundangan
Kebijakan Konstitusi (constitutive policies) berisi pengaturan umum bagi masyarakat luas, semua mendapat keuntungan bersama, yang melanggar akan menanggung resiko
Konstitusi dan Regulasi Umum
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pengaturan arah kebijakan pembangunan kota Pembangunan hunian vertikal Ijin lokasi Ijin Mendirikan Bangunan Ijin Penghunian Bangunan Fee dampak pembangunan
Pembebasan, Fasilitasi dan Simulasi Pasar (Freeing, Facilitating Markets)
Kebijakan Distribusi (distributive policies), berisi keputusan yang bersifat tidak memaksa (noncoercive decisions), dalam kondisi dan situasi yang stabil
Deregulasi Legalisasi Privatisasi Alokasi Existing Goods Penciptaan Barang Baru yang dapat dipasarkan Simulasi Pasar
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : Pengaturan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan perumahan Pengaturan pemanfaatan komponen dan tenaga kerja lokal Pengaturan regionalisasi dan klasifikasi jenis pekerjaan di bidang perumahan Pengaturan pendataan dan pencatatan hak property
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
83
Lanjutan Tabel 6 Kelompok Kebijakan Karakteristik Kebijakan Generik
Jenis Kebijakan
Penerapan Kebijakan
Subsidi dan Pajak Kebijakan Regulasi (iregulatory policies), berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang kurang stabil
Regulasi khusus
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : Subsidi bunga/ uang muka Subsidi infrastruktur Insentif retribusi dan pajak daerah
Penyediaan Barang melalui Mekanisme Nonpasar
Kebijakan Redistribusi (redistributive policies), berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang tidak stabil
Redistribusi
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : Subsidi silang pembangunan perumahan Pengaturan pemanfaatan lahan untuk perumahan
Asuransi dan Kebijakan Redistribusi Jaring Pengaman (redistributive policies), berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang tidak stabil
Redistribusi
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : Subsidi premi asuransi KPR Pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersubsidi Pembangunan rumah sosial (panti jompo, panti sosial dll)
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian telah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana pembangunan perumahan di kota besar dan metro harus ditangani secara sistemik dan holistik dalam rangka mewujudkan pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pembangunan perumahan yang didominasi oleh hunian tapak di suatu wilayah perkotaan, sangat berpengaruh pada ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan pada gilirannya akan mengabaikan konsep pembangunan berkelanjutan. Ada kecenderungan penurunan jumlah RTH yang sangat signifikan terutama untuk lahan pertanian. Secara simulatif, pembangunan hunian vertikal menjadi solusi alternatif untuk dapat mempertahankan ketersediaan RTH disatu pihak dan pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat dilain pihak.
84
2. Minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal merupakan proses pembentukan jatidiri manusia secara utuh dan sangat terkait dengan proses pembentukan ruang yang terkadang akan menimbulkan konflik antara tradisi dan modernisasi. Secara teoritis dan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa minat menghuni rumah dalam konteks pembentukan ruang sangat tergantung dari persepsi dan motivasi masyarakat serta lokasi hunian. Masih ada peluang cukup tinggi minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, tetapi dibutuhkan perencanaan yang matang dan terpadu. Konsep kampung susun menjadi penting, karena diharapkan menjadi model kombinasi pengembangan hunian vertikal secara fisik dan proses pembentukan jatidiri melalui pembentukan ruang secara sosial. 3. Pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat, sangat dipengaruhi oleh tingkat keterjangkauan masyarakat untuk menyewa
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
atau mimiliki rumah. Secara simulatif, kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahnya membutuhkan intervensi pemerintah melalui bantuan /subsidi perumahan atau subsidi silang pengembangan kawasan perumahan dan permukiman. 4. Pembangunan perumahan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian kota. Dampak tersebut dilihat dari tingginya angka permintaan dan penawaran terhadap perumahan, meningkatnya pendapatan masyarakat dan terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat kota. 5. Pertumbuhan populasi penduduk kota menunjukkan kecenderungan mengikuti kurva eksponensial yang konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan akan rumah bagi masyarakat, dilain pihak dengan meningkatnya kawasan terbangun melalui pembangunan perumahan akan mengurangi RTH. Secara simulatif melalui model pengembangan hunian vertikal, maka pembangunan dapat dikendalikan sesuai dengan skenario kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kota setempat dan pada gilirannya akan menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) yang tejangkau (affordable) di satu sisi dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) di sisi lain. Dalam konteks pembangunan perumahan di perkotaan, pengembangan hunian vertikal diharapkan dapat mewujudkan kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis dan efisien (konsep compact city). Memperhatikan hasil penelitian dan kebutuhan pemenuhan kebutuhan rumah di lokus penelitian yakni di Kota Depok, beberapa saran dapat disampaikan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pembangunan perumahan di perkotaan. Saran ini akan dapat memberikan inspirasi juga bagi kota-kota yang memiliki karakteristik hampir sama untuk
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
melakukan kajian dan perumusan kebijakan pembangunan perumahan di wilayahnya. 1. Arah kebijakan pembangunan perkotaan perlu dipikirkan secara komprehensif, baik yang bersifat konstitusi dan regulasi maupun substantif antara lain dengan mulai mengembangkan konsep pembangunan kota yang kompak (compact city) 2. Penerapan ketentuan yang tegas atas peraturan perundang-undangan (law enforcement) untuk menjamin kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan di bidang perumahan, baik yang berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota maupun ketentuan teknis lainnya yang berimplikasi pada perijinan. 3. Pengaturan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat harus dikembangkan secara berkelanjutan agar minat investor dan masyarakat akan hunian vertikal meningkat secara berkelanjutan. Hal ini dibutuhkan karena investasi di bidang perumahan sangat membutuhkan peran berbagai pihak terutama investasi dari sektor swasta termasuk pengembangan konsep subsidi silang. 4. Pengembangan hunian vertikal di suatu kota masih membutuhkan peran dari pemerintah (pusat, propinsi dan kota) secara sinergis untuk dapat membantu masyarakat yang berpenghasilan menengah bawah dan berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan /subsidi perumahan 5. Minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal masih perlu ditingkatkan seiring dengan upaya pemenuhan kebutuhan rumah secara vertikal melalui proses pemberdayaaan dan peningkatan kapasitas pengelola hunian vertikal agar lebih profesional sehingga meningkatkan persepsi masyarakat terhadap hunian vertikal. 6. Perlu penelitian lebih lanjut tentang : a. ukuran indeks keterjangkauan dengan pendekatan fraksi pendapatan dan harga rumah, serta faktor pengeluaran rumah tangga atas biaya transport b. rumusan kebijakan operasional setiap tingkatan jajaran birokrasi di
85
pemerintah kota selaku regulator dan kebijakan pengembangan kerjasama dengan mitra kerja pemerintah kota c. posisi kontribusi sektor/bidang perumahan terhadap perekonomian suatu kota d. pengembangan sumber pembiayaan perumahan di suatu kota dengan memperhatikan potensi lokal e. rencana rinci kawasan perumahan yang memperhatikan optimalisasi ketersediaan RTH sesuai dengan standar yang disepakati dan daya dukung lingkungan dimasing masing bagian wilayah kota
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2003. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input – Output. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Butters, C. 2003. Sustainable Human Settlements – Challenges for CSD, working paper in the 12th Session of the Commission on Sustainable Development (CSD 12). NABU. New York. Ditjen Penataan Ruang. 2005. Kajian Konsepsi Ruang Terbuka Hijau. Jakarta Djunaedi, A. 2000. Indikator Indikator Lingkungan Perkotaan : Belajar dari Pengalaman Negara-negara Lain. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid Satu. Edisi Ketiga. IPB Press. Bogor. Eryatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. 79 hal. Hatmoko, W. 2004. Indonesia Bisa Kelaparan : Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jabar Tertinggi. Pikiran Rakyat. 30 September. Jakarta. HOMI Project. 2002. Laporan Studi Pasar Perumahan di Indonesia, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman. Jakarta.
86
Kantor Meneg Lingkungan Hidup. 2000. Agenda 21 Sektoral Permukiman, untuk Pengembangan Kualitas Hidup secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral. Jakarta. Kirmanto, D. 2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan, disampaikan dalam Seminar Peduli Banjir “FOREST” Jakarta 25 Maret 2002. Kirmanto, D. 2005. Peran Ruang Publik Dalam Pengembangan Sektor Properti dan Kota. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta Ma’arif, M.S. 2003. Bahan Kuliah Analisis Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan, Program Studi PSL – IPB. Ma’arif, M.S. dan H. Tanjung. 2003. Teknikteknik Kuantitatif untuk Manajemen. Hal. 164-168. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Pemerintah Kota Depok. 2004. Identifikasi Pemanfaatan Ruang Kota Depok. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Depok. Peraturan Daerah Kota Depok. 2001. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok 20002010. Depok. Peraturan Menteri Kehutanan, No. P-03/MenhutV/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Peraturan Pemerintah Nomor 80. 1999. Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok. 20002010. Santosa, M. 2001. Lingkungan Tropis Berkepadatan Tinggi : Lokalitas, Tradisi, dan Modernitas. Pusat Penelitian Ligkungan Hidup, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Silas, J. 2001. Toll Road and the Development of New Settlements, the Case of Surabaya
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Compared to Jakarta. J Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. KITLV. Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup Undang-Undang R.I. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Undang-Undang R.I. Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah United Nation for Environment Programme, 2000. Agenda 21-Promoting Sustainable
Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro)
Human Settlement Development. Chapter 7. Winarso, H. 2001. Access to Main Roads or Low Cost Land Residential Land Developers’ Behaviour in Indonesia. J Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. KITLV. Winarso, H. dan B. Kombaitan. 2001. The Large Scale Residential Land Development Process in Indonesia, The Case of Jabotabek. Paper prepared for World Planning Schools Congress. Shanghai. www. Agroindonesia.com. Tanggal 21/12/2004 Zoer’aini, D.I. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Bumi Akasara. Jakarta.
87
PENINGKATAN PERAN LEMBAGA LOKAL DALAM RANGKA PEMBANGUNAN PERMUKIMAN DI PERDESAAN Oleh : Aris Prihandono
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar Jl. Urip Sumohardjo No. 32 (Komplek PDAM), Panaikang – Makassar E-mail :
[email protected] Tanggal masuk naskah: 20 Oktober 2008, Tanggal disetujui: 02 Juni 2009
Abstrak
Pelibatan kelembagaan lokal tingkat desa dalam pembangunan perumahan dan permukiman sangat relevan dengan situasi saat ini karena kapasitas dan kapabilitas lembaga-lembaga formal yang ada sangat terbatas. Sekalipun demikian upaya tersebut harus disertai langkah seleksi yang hati-hati karena terkait dengan internalisasi muatan baru. Hasil kajian adalah bahwa sejumlah kriteria dapat dijadikan referensi dalam pemilihan lembaga, yakni: tingkat kemapanan, kondisi unsur-unsur kelembagaan, serta efektivitas organisasi. Selanjutnya dilakukan penyusunan substansi dan metode pemberdayaan setelah tipe-tipe kelembagaan dan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja lembaga diketahui. Bentuk pemberdayaan dapat berupa asistensi, fasilitasi, atau promosi. Sedangkan materi pemberdayaan meliputi tiga hal, yaitu materi umum, yakni materi yang diperlukan dalam proses peningkatan wawasan pengelola lembaga tanpa membedakan tipologi lembaga; materi inti adalah materi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peningkatan kapasitas dan sinergi lintas program; materi penunjang adalah materi dasar yang secara normatif harus sudah dikuasai oleh calon peserta. Kata Kunci : Tipe lembaga, seleksi, pemberdayaan
Abstract
The involvement of the local institutions for housing development in rural areas is relevant to the current situation because of limitation of authorized housing institution’s capacity and capability in serving ordinary people. However, the involvement must be followed by strict selection due to it concern with accommodation of new areas. The selection can refer to a number of criteria such as the level of establishment, condition of organization components, and effectiveness of the organization. Then, empowerment material must be formulated after the identification of the traditional types and factors that influence the performance of the organization. The empowerment can be materialized in the three aspects, namely assistance, facilities, and promotion. The substance of empowerment includes the general, main course, and supportive materials. The first one is the substance needed in promoting participants view without distinguishing the traditional institution type. The second one is the substance required to improve the capacity of the organization and synergy of programs. The last one is the basic material that normatively must be mastered by participants. Keywords : Institution types, selection, empowerment
PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi yang memprioritaskan pertumbuhan sektor jasa dan industri manufaktur secara cepat ternyata membawa dampak yang tidak diinginkan antara lain percepatan urbanisasi (punctuated urbanization). Percepatan urbanisasi ini secara
88
tidak terasa banyak menyerap sumber daya yang dimiliki perdesaan oleh kawasan perkotaan, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia (Sunarno, 2003). Proses urbanisasi yang tidak terkontrol berakibat pada terdesaknya lahan pertanian khususnya pada kawasan perdesaan yang berbatasan
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
langsung dengan kawasan perkotaan. Tingginya angka urbanisasi menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1998 telah mencapai 40 %, padahal pada tahun 1995 baru mencapai 37,5 %. Konversi kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan lagi, dimana tingkat konversi ini di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) mencapai 20% per tahun. Akibat yang cukup memprihatinkan dari kondisi di atas adalah Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun itu juga Indonesia ternyata juga harus mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buahbuahan senilai US$ 65 juta. Menurut Sunarno (2003) kondisi tersebut harus segera diubah, paradigma pembangunan yang memprioritaskan perkotaan sebagai satusatunya mesin pembangunan yang handal harus direvisi. Pembangunan perdesaan harus mulai didorong guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang seimbang, sekaligus mengeliminasi dampak ”urban bias” yang telah terjadi selama ini. Jumlah desa yang secara administratif mencapai 61.690 buah pada REPELITA VI saat ini sudah waktunya untuk diberikan perhatian yang proporsional. Secara konseptual sebenarnya sudah cukup banyak teori yang dikembangkan untuk tujuan pembangunan perdesaan, antara lain: Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT); Program Pengembangan Kawasan Sentra Produksi/ Kawasan Andalan (PPKSP/KA); Program Pengembangan Kawasan Tertinggal (PPKT); Program Pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (PPKAPET); Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah (PPEMD), serta Poverty Alleviation through Rural Urban Linkage (PARUL); Desa Pusat Pertumbuhan (DPP); serta Pembangunan Agropolitan.
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
Secara keseluruhan program-program di atas lebih berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi regional, khususnya pada kawasan perdesaan. Dari aspek ke PU-an, Departemen Pekerjaan Umum telah mendukung program tersebut melalui penyediaan prasarana dasar, antara lain pembangunan prasarana jalan, irigasi, serta air bersih. Namun dari aspek perumahan secara spesifik nampaknya belum diprogramkan. Pada pihak lain, jika suatu kawasan meningkat pertumbuhan ekonominya, maka secara alamiah permintaan akan rumah juga meningkat. Permintaan tersebut tentu bervariasi dari wilayah satu ke wilayah yang lain, baik jumlah permintaan, dimensi, bahan baku, disain, maupun harga rumahnya. Hingga saat ini masyarakat memenuhi sendiri keperluan tersebut dan tidak ditemukan terjadinya konflik yang berarti karena lahan, dan kebutuhan lain cukup tersedia. Dengan semakin berkembangnya jumlah penduduk dan semakin terbatasnya sumber-sumber yang diperlukan maka suatu saat pasti akan terjadi konflik. Namun sampai sejauh ini kemampuan lembaga perumahan formal dalam mengendalikan perumahan di perdesaan sangat minim. Jika demikian, maka pertanyaan penelitian yang muncul adalah : lembaga apa yang dapat mengatur perumahan dan permukiman di kawasan perdesaan selain lembaga formal tersebut ?
PERUMUSAN MASALAH Penerapan berbagai program pembangunan di kawasan perdesaan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara keseluruhan. Kesejahteraan ini pada gilirannya akan berimbas pada peningkatan kebutuhan rumah pada kawasan yang bersangkutan. Dari aspek kelembagaan, lembaga perumahan daerah khususnya pemerintah daerah mempunyai kemampuan yang tidak memadai untuk menyediakan perumahan maupun mengendalikannya. Bahkan menurut hasil penelitian Pusat Litbang Permukiman (2004) masih ada lembaga perumahan yang tidak mempunyai
89
bagian/bidang yang menangani perumahan, khususnya untuk berpenghasilan rendah.
penyediaan masyarakat
Secara umum pelaksanaan program-program pembangunan ekonomi di perdesaan selalu memanfaatkan pengaruh yang kuat dari tokohtokoh masyarakat atau lembaga lokal yang sudah diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Jika dikaitkan dengan issu kebutuhan rumah sebagaimana di bahas pada alinea di atas, maka masalah yang dihadapai adalah bahwa lembaga-lembaga lokal yang ada masih berkiprah pada domain ekonomi dan sosial, dan bukan berkiprah pada penyelenggaraan perumahan di wilayah perdesaan. Sehingga muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut : Seberapa besar keberadaan lembaga perumahan mampu mengantisipasi permintaan ? Seberapa besar potensi dan resiko pemanfaatan lembaga ?
TUJUAN PENELITIAN Mengetahui karakteristik lembaga-lembaga lokal dan nilai-nilai budaya yang mendukung pengendalian pembangunan perumahan di kawasan perdesaan
Mendapatkan rumusan konsep pemberdayaan lembaga lokal di perdesaan dalam pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman di wilayahnya.
TINJAUAN PUSTAKA Dalam pandangan ahli komunikasi, Rogers dan Shoemaker (1981), proses pemberdayaan masyarakat dikenal sebagai ”difusi inovasi” yang menurutnya terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu: Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi; Persuasi dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi; Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi; Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin terjadi seseorang merubah keputusannya jika ia memperoleh informasi yang bertentangan. Secara diagramatis tahap-tahap tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Terus mengadopsi Adopsi Diskontinuansi
Sumber Komunikasi Variabel Penerima: 1. Sifat-sifat pribadi 2. Sifat sosial 3. Kebutuhan inovasi 4. dan lain-lain Sistem Sosial: 1. Norma/nilai budaya 2. Toleransi 3. Kesatuan komunikasi
Pengenalan I
Persuasi II
Keputusan III
Konfirmasi IV
Mengadopsi terlambat Menolak Ciri-ciri Inovasi dlm pengamatan penerima 1. Keuntungan 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. Observabilitas
Tetap menolak
Diagram 1. Proses Keputusan Inovasi (Rogers dan Shoemaker: 1981)
90
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Pemberdayaan yang ideal sebenarnya akan terjadi seperti proses difusi tersebut. Namun pada masyarakat yang miskin khususnya akses terhadap inovasi maupun sumber-sumber untuk mengadopsi inovasi sangat terbatas. Oleh karena itu difusi inovasi harus diiringi oleh langkah lain yakni “pemberdayaan” individu dari tahap yang paling esensial, seperti penyadaran akan kebutuhan hidupnya, menghimpun diri agar mempunyai kekuatan moral dan hukum, menggali sumberdaya modal internal dan eksternal yang ada, dan sebagainya. Proses pendampingan dalam pemberdayaan ini menjadi “icon” yang sangat penting, karena pembelajaran untuk mengadopsi inovasi secara kolektif maupun individu akan lebih mudah diterima dengan cara pendampingan ini.
Lingkup substansi dan prioritas pembangunan
Identifikasi struktur masalah perkim perdesaan
Identifikasi karakteristik fisik perdesaan
Indikasi program fisik perumahan
Pola pengembangan kelembagaan
Indikasi pola pengembangan lembaga dengan lingkup perumahan permukiman
Pola pengembangan program pembiayaan / mobilisasi modal /efisiensi
Identifikasi modal sumber daya
Identifikasi lembaga pembangunan di perdesaan dan nilai budaya yang dianut
Dalam konteks diskusi ini, maka yang dianggap sebagai penerima inovasi (adopter) adalah lembaga lokal yang dapat berupa lembaga formal di tingkat desa/kelurahan atau lembaga adat yang sudah mendapatkan legitimasi masyarakat, sehingga pengaruhnya terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat yang bersangkutan tidak diragukan lagi. Secara lebih spesifik, lembaga termaksud terlibat di dalam kegiatan program-program pembangunan perdesaan, baik yang bersifat ekonomis, sosial, maupun keagamaan. Dengan demikian maka akan lebih mudah jika lembaga yang menjadi sasaran penelitian ini adalah lembaga yang terlibat dalam program yang dikategorikan berhasil.
Konsep pengembangan pembiayaan
Reorientasi kegiatan lembaga
Gambar 2. Model Alur Penyusunan Konsep Pemberdayaan Lembaga Perumahan di Perdesaan
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
91
Tahap-tahap adopsi inovasi sebagaimana telah diuraikan di atas akan lebih efektif jika diiringi dengan tindakan pemberdayaan lembaga, karenanya perlu dirumuskan pedoman pemberdayaan yang mengacu pada akar permasalahan serta kondisi sosial-ekonomi yang melingkupi lembaga atau individu yang menerima inovasi. Perumusan konsep pemberdayaan berangkat dari titik yang sama yakni keberadaan lembaga-lembaga yang akan menerima inovasi bersama dengan kondisi ekonomi dan sistem sosial yang menopang berdirinya lembaga-lembaga penerima inovasi. Dalam konteks ini inovasi dari luar yang dianggap perlu didifusikan adalah kebijakan, peraturan-peraturan, NSPM yang berlaku saat ini di bidang perumahan dan permukiman, termasuk teknologi RISHA yang dihasilkan Pusat Litbang Permukiman baru-baru ini. Tentu saja sebelum diputuskan menjadi inovasi utama dalam difusi, maka substansi inovasi tersebut perlu dikaji ciri-ciri inovasinya, yaitu: apakah menguntungkan bagi adopter, sepadan dengan sistem yang ada, tidak terlalu rumit, bisa diujicobakan, serta dapat diamati prosesnya.
METODE PENELITIAN Secara umum penelitian ini akan menerapkan metode ”Non probability sampling”, yaitu penelitian yang tidak didasarkan pada teori kemungkinan (probability sampling). Alasan penerapan metode ini adalah bahwa populasi penelitian yaitu jumlah desa/kecamatan yang telah menerapkan konsep pembangunan perdesaan sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan relatif kecil dibandingkan dengan jumlah desa di Indonesia secara keseluruhan, serta cukup terbatas informasi yang tersedia tentang kondisi sampel. Dua metode sampling digunakan untuk menentukan lokasi studi, yaitu ”expert sampling” dan ”snowball sampling”. Ekspert sampling dilakukan dalam rangka menelusuri dan menelaah konsep-konsep pembangunan pedesaan serta lokasi aplikasi konsep tersebut. Sedangkan snowball sampling dilakukan dalam rangka menentukan lokasi lain
92
serta sumber-sumber data lain yang dianggap relevan untuk dikaji. Berkaitan dengan sampel lokasi di atas, untuk tujuan penelitian ini diambil sampel lokasi yang mewakili daerah yang pernah menerapkan konsep-konsep pembangunan perdesaan yakni: pengembangan ekonomi melalui peran pondok pesantren; pengembangan ekonomi berbasis kekerabatan; pengembangan ekonomi berbasis unit koperasi pemerintah dan adat; pengembangan perumahan berdasarkan proyek/program pemerintah; pengembangan ekonomi berbasis koperasi masyarakat, pengembangan ekonomi kemitraan masyarakatperusahaan swasta nasional. Daerah tersebut tersebar di berbagai propinsi di Indonesia, antara lain:
Jawa Barat Jawa Timur Nusa Tenggara Timur Riau Sumatera Utara
: : : : :
2 1 1 1 2
desa desa desa desa desa
Metode pengumpulan data dalam pendekatan kualitatif menurut Maxwell 1996 (dalam Soehartono, DR. Irawan. 2002) banyak menggunakan apa yang disebut metode ”trianggulasi”, yakni pengumpulan data yang berasal dari berbagai sumber dan menggunakan berbagai metode, seperti wawancara, observasi dan dokumentasi. Hal ini dimaksudkan untuk saling mengeliminasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam setiap metode pengumpulan data. Merinci lebih lanjut metode pengambilan data di atas, maka pengumpulan data pada studi ini akan menerapkan beberapa metode yang lazim digunakan pada riset sosial, yakni (Arikunto, 1998: 92-93). a. Analisis dokumen (dokumentasi), atau disebut juga ”content analysis” yakni analisis yang menekankan pada pemahaman isi dokumen, peraturan-peraturan, hukum, dan keputusan. Pada umumnya teknik ini dibantu dengan pedomen dokumentasi dan ”check list”. b. Wawancara bebas terpimpin, yakni wawancara dengan pejabat, ahli, dan pemuka
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
c.
d.
masyarakat/adat yang berkompeten dengan topik studi, menggunakan panduan daftar pertanyaan terbuka. Peneliti dapat mengembangkan topik-topik pertanyaan sesuai dengan kondisi lapangan. Observasi sistematis, yaitu pengamatan suatu kejadian/obyek dengan menggunakan pedomen sebagai instrumen pengamatan. Pedomen observasi berisi sebuah daftar obyek atau kejadian yang akan diamati. Lebih jauh daftar tersebut dapat berupa ”check list” suatu obyek dimana pengamat tinggal memberi tanda pada obyek yang muncul, atau dapat pula peneliti menulis kejadian secara cermat pada kolom/ space yang sudah disediakan. Panel (focuss group discussion), yaitu diskusi terpandu yang melibatkan individu yang mempunyai otoritas atas informasi yang diperlukan dalam studi ini. Dalam bahasa lain cara ini disebut juga ”sarasehan”, yang pada prinsipnya melakukan diskusi dengan gaya yang tidak terlalu formal (misalnya bentuk forum duduk bersama melingkar/ lesehan) namun mempunyai arah dan sasaran yang jelas (Maxwell, 1996). Secara teknis metode analisa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu memo, kategorisasi, dan kontektualisasi. Memo merupakan catatancatatan kecil diluar masalah data, namun dapat membantu proses berpikir secara analitis, seperti catatan tentang metode, teori, konsep, yang sekiranya terkait dengan data.
Kategorisasi dalam kajian ini sebenarnya adalah pemberian kode (coding), namun berbeda tujuannya dengan penelitian kuantitatif, yaitu memisahkan atau memecah (fracture) data dan mengaturnya data ke dalam kategori-kategori tertentu yang memudahkan perbandingan di dalam atau antar kategori, dan bertujuan untuk mengembangkan konsep teoritis. Bentuk lain dari kategorisasi adalah pemilahan data (sorting) berdasarkan tema atau isue-isue tertentu. Hal yang penting dalam kategorisasi ini adalah bahwa data harus dijaga ”original
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
context”nya, dengan mengkaitkan memo dan kategori lainnya. Kontektualisasi merupakan upaya memahami atau mencari makna data pada konteksnya, menggunakan berbagai metode identifikasi hubungan antar elemen teks (data) yang berbeda. Beberapa contoh metode identifikasi tersebut antara lain: beberapa tipe studi kasus; analisa diskursus (wacana); analisa narasi; analisa mikro etnografi. Kondisi umum dari keseluruhan analisa di atas antara lain bahwa metode-metode tersebut tidak hanya memfokuskan pada relasi kesamaan data yang dapat mengelompokkan data ke dalam kategorikategori tertentu, tetapi juga hubungan antar pernyataan (statement) dalam konteks keseluruhan. Tampilan data hasil pengumpulan data dapat berupa matrik, tabel, dan jaringan kerja (network).
HASIL SURVEI DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kajian lapangan, baik menyangkut berbagai program yang sudah dan sedang dikembangkan di beberapa wilayah perdesaan, serta pengamatan implementasi programprogram tersebut di lokasi-lokasi kajian, terdapat beberapa hal pokok yang terkait dengan substansi penelitian ini, antara lain menyangkut fenomena umum perumahan dan permukiman di wilayah perdesaan, bagaimana program-program dijalankan, dan bagaimana kelembagaan lokal yang berperan dalam implementasi tersebut (Lihat lampiran). Atas dasar pokok-pokok pembahasan tersebut, maka hasil kajian lapangan studi ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe sebagai berikut : Kelompok Kelembagaan Berbasis Ekonomi Mewakili kelompok ini adalah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Koperasi Tani Margaluyu yang berada di Dusun Sukahurip, Desa Batulawang Kecamatan Pataruman Kota Administratif Banjar Kabupaten Ciamis. Awal berdirinya Koperasi tersebut adalah adanya kebutuhan dan permasalahan yang
93
sama, yang secara kebetulan terjadi pada satu area geografis yang sama.
memadai penjalankan program-program yang sifatnya swadaya dan “lestari”. Entry point inovasi dapat melalui proses pendampingan itu sendiri jika sedang berlangsung kegiatan pemberdayaan, atau melalui KSM yang sudah mapan jika memang KSM sudah ada.
Kelompok yang sudah “established“ demikian (didirikan sejak tahun 1972) mempunyai pengaruh dan kredibilitas yang sangat tinggi ditengah kerabat-kerabatnya, oleh karena itu menyisipkan pesan-pesan kebijakan perumahan permukiman dengan cara yang mudah dipahami oleh kelompok ini akan sangat efektif mencapai sasaran.
Melalui uji coba pemberdayaan kelembagaan yang diwakili oleh lokasi Pondok Pesantren Al-Itifaq, Kecamatan Rancabali menunjukkan bahwa hubungan sosial yang berkembang di masyarakat telah mampu mendudukkan posisi pondok pesantren ini menjadi ‘motor’ bagi lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya. Lebih lanjut, meskipun masih dalam proses pengembangan, lembaga ini akan juga berperan dalam mengembangkan program-program penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Karena sistem organisasi dan sistem suksesi yang sudah mapan, maka mempelajari sistem yang ada dan segenap prestasi yang telah diraih merupakan pencarian entry point yang perlu diperhatikan secara hati-hati. Walaupun data lapangan maupun hasil lokakarya antar-pelaku menunjukkan bahwa fenomena yang ada belum mengarah sepenuhnya pada penyelenggaraan perumahan dan permukiman, namun melalui fasilitas-fasilitas yang ada seperti dibentuknya banyak koperasi, bantuan fasilitas pada masyarakat, maka sebenarnya kebijakan koperasi yang telah dibentuk dan kebijakan kesejahteraan koperasi dapat diarahkan menuju kepentingan pembangunan perumahan permukiman.
Kelompok Kelembagaan Berbasis Sosial Kelompok ini saat sekarang menjadi tipe yang paling dominan karena angin otonomi dan sustainable development yang berkembang di negara-negara sedang berkembang di seluruh belahan dunia. Mewakili kelompok ini adalah pembangunan rumah swadaya di Desa Karangsong, Indramayu; pelaksanaan KIP progresif di Surabaya; dan masih banyak lagi kegiatan lain terutama program yang berkaitan dengan Gerakan Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah (GNSP). Karakteristik dari Kelompok ini adalah adanya kelompok pendamping yang memberdayakan atau bahkan membentuk satu KSM di tengah-tengah masyarakat, hingga mempunyai kemampuan yang
94
Kelompok Kelembagaan Berbasis Birokrasi Dalam studi lapangan tipe organisasi seperti ini ditemukan di daerah Sumatera Utara, yakni pilot project Pemberdayaan Masyarakat bidang perumahan dan permukiman melalui program Desa Binaan, dengan lokasi terpilih Desa Hinai Kanan, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatra Utara dan pilot project Desa Pagar Batu sebagai Desa Binaan oleh pemda setempat dengan menjalankan program pembangunan berbagai sektor secara terpadu melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Kedua pilot project tersebut dapat dikatakan merupakan pendekatan konvensional yang telah dilakukan di berbagai tempat, khususnya di Jawa pada dasa warsa 80-an. Karakterisitik programnya adalah menggunakanan jalur birokrasi yang ada untuk pelaksanaan program seperti dinas terkait, aparat kecamatan dan kelurahan, yang dananya sudah dialokasikan dari pusat. Entry point inovasi kebijakan maupun peraturan-peraturan dapat melewati birokrasi. Titik kritisnya adalah apakah birokrasi yang ada mampu membina
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
masyarakat secara kontinyu sampai tingkat akar rumput. Kopulasi lembaga tradisional dengan birokrasi pemerintah dapat terjadi pada kasus ini. Fenomena tersebut diwakili oleh menyatunya lembaga adat dan lembaga pemerintahan seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Melalui kredibilitas kepala adat yang sekaligus menjadi camat, maka program pembangunan ekonomi dapat berjalan, termasuk penggerakan koperasi desa.
Kelompok Kelembagaan Berbasis Nilai Lokal Dalam kasus lain, Desa Selaawi di Kabupaten Garut mampu survive membangun daerahnya dengan modal pengembangan nilai lokal ‘gotong-royong’ secara spontan yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. Pada pengembangan dan penguatan kelembagaan lokal yang ada sebaiknya memang tetap mengakomodasi nilai-nilai lokal yang masih berkembang ini, sehingga langkah penting dalam menyusun kelembagaan lokal ini adalah bagaimna mensinergikan kepentingan untuk mempertahankan nilai-nilai lokal yang ada dengan kepentingan kelembagaan formal yang ada (pemerintah daerah). Keberadaan lembaga lokal dengan segala nilai yang mendasari kinerjanya tetap harus dipertahankan dan aktualisasikan dengan permasalahan yang ada saat ini. Jika masalah permukiman dapat dikedepankan sebagai salah satu masalah utama, maka intersepsi muatan baru lembaga tradisional berupa perbaikan aspek permukiman dapat dijalankan, sebagaimana terjadi pada kasus di Garut.
Kelompok Kelembagaan Berbasis Kesehatan Kelompok Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu) yang berkembang secara baik di Lumajang merupakan fenomena yang mewakili kelompok ini. Karakteristik dari kelompok ini adalah bahwa KSM sudah sangat mapan dan mempunyai kredibilitas yang tinggi di tengah masyarakat. Namun
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
demikian, dari aspek pendanaan sangat tergantung pada pemerintah. Hingga saat ini, aspek perumahan yang ditangani KSM ini adalah aspek sanitasi dan air bersih, dan penyuluhan aspek kesehatan lingkungan. Dengan model pendekatan Gerbang Mas, maka peranan KSM ini dapat ditingkatkan lebih jauh untuk tujuan pembangunan perumahan. Salah satu program yang dikembangkan melalui fungsi dan peran lembaga kesehatan adalah kasus di Posyandu Kelurahan Ledeng, dimana keberadaan lembaga ini mampu untuk mendorong masyarakat sekitarnya untuk menyelenggarakan lingkungan permukiman dengan baik. Dengan demikian, pengembangan kelembagaan yang sekiranya dapat mengakomodasi kepentingan perumahan dan permukiman dapat bermula dari keberadaan lembaga kesehatan ini, yang selanjutnya perlu disinergikan dengan kepentingan kelembagaan pemerintah daerah setempat. Atas dasar pembahasan di atas, maka disimpulkan bahwa diperlukan pemberdayaan kelembagaan untuk menambahkan muatanmuatan bari di bidang perumahan dan permukiman. Substansi pemberdayaan termaksud disusun dalam bentuk konsep modul sebagai berikut : Tujuan Menyiapkan tenaga penanggung jawab, pelaksana, fasilitator dan pendamping peningkatan kapasitas kelembagaan perumahan dan permukiman di tingkat desa, sesuai dengan kebutuhan daerah. Diharapkan setelah mengikuti kegiatan ini peserta mampu menyusun rencana tindak di tingkat kabupaten/kota karena telah mengetahui tahapan kegiatan, kemampuan dan pola pembagian tanggung jawab diantara pelaku ditingkat kota/kabupaten untuk menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan ditingkat desa/kelurahan apabila diperlukan.
95
Kelompok Sasaran Peserta kegiatan ini adalah tenaga teknis dari lingkungan pemerintah daerah, profesional, pendamping masyarakat, akademisi dan praktisi bidang perumahan dan permukiman di tingkat kota/kabupaten, yang karena tugas atau profesinya bertanggung jawab terhadap kinerja layanan bidang perumahan dan permukiman. Kerangka Umum Pelatihan Kegiatan pelatihan untuk pelatih akan membahas tiga kelompok materi yaitu materi umum, materi inti dan materi penunjang. Materi Umum Materi umum adalah materi yang diperlukan dalam proses peningkatan kapasitas kelembagaan perumahan dan permukiman tanpa membedakan tIpologi pemberdayaan yang akan dipakai. Termasuk dalam katagori materi umum adalah pemahaman tentang kemasyarakatan, kelembagaan, perumahan dan Permukiman serta penyiapan program. Dengan bekal ini diharapkan pelatih akan mengetahui tata cara dan proses untuk : 1. Mengenali, membangun jejaring dan kelompok masyarakat 2. Identifikasi kondisi kelembagaan perumahan dan permukiman di tingkat Desa secara mandiri 3. Pembangunan perumahan dan permukiman di tingkat desa 4. Sinergi perencanaan dan kerjasama lintas program
Materi Inti Materi inti adalah materi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peningkatan sinergi lintas program sesuai dengan tipologi pemberdayaan kelembagaan perumahan dan permukiman ditingkat desa. Oleh karenanya ada empat jenis materi inti yang diberikan yaitu 1. Materi peningkatan kelembagaan berbasis pembinaan / pemberdayaan ekonomi 2. Materi peningkatan kelembagaan berbasis pembinaan / pemberdayaan sosial 3. Materi peningkatan kelembagaan berbasis pembinaan / pemberdayaan nilai lokal / kekerabatan 4. Materi peningkatan kelembagaan berbasis pembinaan / pemberdayaan kesehatan Materi Penunjang Materi penunjang adalah materi dasar yang secara normatif harus sudah dikuasai oleh calon peserta dari dinas/ instansi teknis tingkat kabupaten/kota, akan tetapi dirancang menjadi bagian pelatihan sebagai materi pelengkap yang disampaikan untuk penyegaran. 1. Perencanaan kegiatan pembangunan fisik 2. Perencanaan keuangan masyarakat 3. Perencanaan peningkatan kapasitas sosial 4. Monitoring, evaluasi dan pengendalian kegiatan
Tahapan, Metode Pelatihan, dan Alat Bantu Tahapan Metoda Alat Bantu Global Kuesioner Form kuesioner Persiapan Kesepakatan & penugasan Form kesepakatan dan penugasan dari kepala daerah Profil daerah, kasus kegiatan pembangunan perumahan Diskusi dan curah Umum dan permukiman, hasil olahan kuesioner pendapat Kerangka diskusi kelompok dalam bentuk power point Diskusi interaktif + Inti Makalah, referensi, profil lapangan, games. kunjungan lapangan Diskusi kelompok, Penunjang presentasi dan pembahasan
96
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Peserta Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan maka kegiatan pelatihan dibatasi pada kelas kecil dengan jumlah peserta tidak lebih dari 25 orang dengan proporsi asal peserta yang seimbang serta mewakili empat tipologi kelembagaan yang ada. Peserta adalah : 1. Berasal dari daerah yang diwakilinya 2. Bertugas secara langsung menangani bidang perumahan dan permukiman baik pada lingkup perencanaan, pemrograman, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan.
Rancangan Kegiatan Kegiatan ini dirancang sebagai bagian dari proses penyiapan tenaga / institusi pendamping bagi penggabungan kegiatan pengelolaan perumahan dan permukiman ditingkat desa kepada kegiatan yang ada dan lembaga ditingkat desa yang dianggap mempunyai potensi yang cukup. Dengan demikian kegiatan akan berisi pengenalan permasalahan permukiman dan peningkatan kapasitas serta efektivitas kelembagaan. Secara rinci kegiatan yang akan dilakukan meliputi :
Tahapan
Modul
Substansi
1. Umum
Kesepakatan kegiatan dan pengenalan peserta
Sesi ini dirancang sebagai pembuka dan dasar untuk terbangunnya jejaring pendamping dan sekaligus memberikan bekal kemampuan kepada peserta untuk melaksanakan: Proses untuk membangun jejaring dan kelompok masyarakat Identifikasi kondisi kelembagaan perumahan dan permukiman di tingkat desa secara mandiri
Dasar pembangunan perumahan dan permukiman
Sesi ini dimaksudkan untuk memberikan dasar teknis sistem perumahan dan permukiman pada tingkat desa; mencakup aspek lahan dan tata ruang, sosial dan kelembagaan, ekonomi dan pembiayaan, serta teknis teknologis dan pengembangan bahan bangunan lokal. Diharapkan peserta dapat menambah wawasan/ dan pemahaman tentang: Pembangunan perumahan dan permukiman di tingkat desa Sinergi perencanaan dan kerjasama lintas program
Karakteristik tipologi desa + kunjungan ke salah satu desa
Sesi ini merupakan inti dari pelatihan, yang menjelaskan temuan penelitian dan analisa lapangan, sebagai dasar kerja pendamping di lapangan kelak.
Pemahaman struktur dan proses pendukung berdasarkan masing masing tipologi
Sesi ini merupakan pendalaman dari sesi sebelumnya yang berisi tentang karakteristik perumahan dan permukiman perdesaan serta keterkaitannya dengan sektor/ kondisi yang akan di padukan.
2. Inti
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
97
Lanjutan Tahapan
3. Aplikasi
Modul
Substansi
Analisa kesesuaian dan identifikasi peluang sinergi
Sebagai penutup dari bagian inti, sesi ini disampaikan dengan harapan peserta mampu mendampingi pemangku kepentingan tingkat desa untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman melalui proses sinergi dengan modal yang dimilikinya.
Penyusunan strategi
Sesi ini merupakan penunjang aplikasi berupa teknis, proses dan tahapan sehingga peserta mampu mendampingi pemangku kepentingan lokal menyusun strategi pembangunan perumahan dan permukimannya Sesi ini merupakan penunjang aplikasi berupa teknis, proses dan tahapan sehingga peserta mampu mendampingi pemangku kepentingan lokal menyusun rencana tindak peningkatan kualitas perumahan dan permukimannya sebagai program terpadu dengan sektor/ kegiatan/ modal yang menjadi unggulannya. Sesi ini merupakan penunjang aplikasi berupa teknis, proses dan tahapan sehingga peserta mampu mendampingi pemangku kepentingan lokal menyusun proses penyepakatan diantara pemangku kepentingan lokal sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
Penyusunan rencana tindak
Penyepakatan kerjasama
KESIMPULAN Berbagai tipe kelembagaan sebenarnya telah eksis diperdesaan, antara lain kelompok kelembagaan berbasis ekonomi, berbasis sosial, berbasis birokrasi, berbasis nilai lokal, serta berbasis kesehatan. Beberapa lembaga telah dari awal berkecimpung dalam masalah perumahan, namun pada umumnya mempunyai bidang kegiatan sosial, ekonomi, dan kesehatan. Usaha mengkaitkan penanganan masalah perumahan terhadap lembaga yang mempunyai bidang kegiatan non perumahan memang belum pernah dilakukan di lokasi studi, namun upaya ke arah tersebut sebenarnya akan sangat bermanfaat mengingat hingga saat ini pelayanan masalah perumahan oleh lembaga formal masih terbatas di kawasan perkotaan. Berdasarkan hasil penelaahan studi, penambahan muatan pelayanan masalah perumahan terhadap lembaga-lembaga perdesaan yang sudah mapan sangat dimungkinkan. Namun perlu pemberdayaan
98
terhadap manajemen personilnya.
dan
kemampuan
Penyiapan modul pemberdayaan harus mengacu kepada tipologi kelembagaan di atas dan kebutuhan yang diperlukan, karena orientasi kegiatan dan nilai-nilai yang menjadi landasan kerja tiap tipe lembaga berbeda. Substansi modul meliputi substansi umum, inti, dan aplikasi. Substansi umum membahas kesepakatan-kesepakatan, introduksi dan dasardasar pembangunan perumahan. Substansi inti berisikan karakteristik/ tipologi desa dan kunjungan ke salah satu desa, pemahaman struktur dan proses pendukung berdasarkan masing masing tipe, analisa kesesuaian dan identifikasi peluang sinergi. Substansi aplikasi terdiri atas penyusunan strategi, penyusunan rencana tindak, penyepakatan kerjasama. Konsep pemberdayaan di atas masih harus dijabarkan lagi dalam bentuk modul dengan metode penyusunan yang tepat disertai pengkayaan materi sesuai dengan keperluan.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Akhirnya, agar substansi modul relevan dan aktual dengan permasalahan yang dihadapi, maka modul perlu di ujicobakan dengan melibatkan pelaku-pelaku yang berkompeten. Jadi lembaga-lembaga lokal yang ada di perdesaan sebenarnya bisa menjadi agen pembangunan perumahan diperdesaan jika dilakukan seleksi dengan ketat kemapanannya, serta dilakukan pemberdayaan dengan mengacu pada modul-modul pemberdayaan yang telah disusun, mengadaptasikan modul dan metode pemberdayaan dengan tipe lembaga yang ada, serta melibatkan pihak-pihak yang berkompeten secara kontinyu dan serius. Konsistensi dan keseriusan pemberdayaan lembaga inilah yang menjadi tulang punggung penepisan resiko kegagalan peningkatan peran lembaga perdesaan dalam mengurusi pembangunan perumahan.
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Monografi Desa Putrajawa, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut. Pusat Litbang Permukiman. 2005. Pembangunan Model Permukiman Perdesaan Melalui Peran Kelembagaan dan Potensi Budaya Setempat (Laporan Penelitian). Bandung. Pusat Litbang Permukiman. 2004. Pengkajian Sistem Pembiayaan dan Pengelolaan Perumahan (Laporan Penelitian). Bandung. Riyadi, Dedi M. Masykur. Et.al. 2000. Prosiding Diseminasi dan Diskusi: Program-program Pengembangan Wilayah dan Ekonomi Masyarakat di Daerah. Jakarta: Bappenas Soehartono, DR. Irawan. 2002. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Kumpulan Artikel Pembangunan Ekonomi Lokal
99
LAMPIRAN
Tabel 1. Identifikasi Kondisi Perumahan Permukiman Desa Lingkungan/ Fisik
Individu/KK/rumah
Kelompok/Lingkungan
No 1
2
100
Ekonomi/ Usaha
kualitas rumah substandar ( 40 % semi-permanen) sebagian desa memiliki potensi bahan bangunan lokal yang bisa diterapkan nilai rumah sebagai aset di perdesaan lebih kecil dibanding di perkotaan status legal rumah informal (adat, girik, tanpa IMB)
jaringan prasarana sarana terbatas sarana/ sumber air tidak terkelola sarana infrastruktur banyak yang kurang sesuai dengan pola/ struktur perdesaan kegiatan hunian belum memperhatikan persyaratan lingkungan (limbah, ternak, pupuk) batas kavling individual lebih fleksibel dan masih bisa dimanfaatkan untuk sarana/ prasarana lingkungan/ bersama
Sosial/ Kemasyarakatan
basis agro informal, margin kecil, potensi usaha kecil untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga peluang transfer modal dari tenaga kerja produktif yang bermigrasi ke kota
panjangnya rantai birokrasi modal sampai ke tingkat desa, mengecilkan/ melambatkan penyediaan modal yang dibutuhkan diperlukan penguatan lembaga lokal untuk memobilisasi dana-dana pembangunan desa
water borne disease tinggi karena rendahnya water and sanitation service kesadaran terhadap kesehatan dan kebersihan terbatas transisi pola kehidupan urbanrural keterbatasan persepsi, keterampilan dan akses kepada penciptaan lapangan kerja alternatif kesadaran yang mengelola water and sanitation bersama terbatas paternalistik dan nilai lokal potensial kebersamaan dengan gotong royong tinggi
Tabel 2. Pengembangan Program Perumahan Permukiman Perdesaan Di Lokasi Studi Lokasi Kelembagaan Program Lingkup Stakeholder Hasil Studi Lokal Jawa Rumah Perbaikan/ KSM/ BKM/ Supplier Perbaikan/ Barat Swadaya, pengembangan Pesantren/ Bahan pengembangan PKL, perumahan Paguyuban/ Pimpro perumahan Pesantren permukiman Koperasi Pusat Penguatan (Lingkungan Pengembangan Dinas2 lembaga lokal Bermartabat) masyarakat terkait Sistem perguliran Jawa Gerbang Mas Advokasi Organisasi Dinas2 Membangun Timur Pengembangan masyarakat terkait kemitraan masyarakat (yang ada) Fasilitasi program posyandu Pengembangan program PKL
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Lanjutan Tabel 2 Lokasi No Program Studi 3 Sumatera Desa Binaan Utara
Lingkup
4
Riau
PKPS-BBM (iP) Rumah Swadaya PKL, PPD, UED-SP
5
NTT
IDT, PIP, PPK, Pengembangan wilayah perdesaan
Perbaikan/ pengembangan perumahan permukiman Pengembangan masyarakat Perbaikan/ pengembangan perumahan permukiman Pengembangan masyarakat Pengembangan ekonomi desa
Perbaikan/ pengembangan perumahan permukiman Perbaikan infrastruktur Pengembangan masyarakat Pengembangan ekonomi desa
Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono)
Kelembagaan Stakeholder Lokal KSM/ BKM/ Dinas2 TPM/ LPD terkait
Hasil
KSM/ BKM/ LKMD/ UDP/ KKPA/ PNM
Lembaga Perkreditan Desa, KUD,
Tim Koordinasi (Pusat, Propinsi, Kabupaten/ Kota) Satker (Propinsi, Kabupaten/ Kota) Dinas2 Terkait Camat/ Lurah/ Dinas2 terkait
Perbaikan/ pengembangan perumahan Penguatan lembaga lokal Perbaikan/ pengembangan perumahan Penguatan lembaga lokal & Kemitraan Penguatan ekonomi desa
Perbaikan/ pengembangan perumahan Penguatan lembaga lokal & kemitraan Penguatan ekonomi desa Perbaikan infrastruktur
101
PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN DALAM MENDUKUNG AKTIVITAS EKONOMI PERKOTAAN (Studi Kasus Kota Bandung) Oleh : Heni Suhaeni
Pusat Litbang Permukiman, Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan Kab. Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Tanggal masuk naskah: 01 Desember 2008, Tanggal disetujui: 04 September 2009
Abstrak
Konsep dasar pembangunan rumah susun perkotaan adalah penataan ruang yang menghasilkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat dengan penggunaan lahan yang efisien. Masalahnya adalah pembangunan rumah susun tidak pernah memperhitungkan kelompok-kelompok sasaran secara jelas. Padahal aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan di kota-kota besar Indonesia pada umumnya didukung dan digerakkan oleh berbagai kelompok dan strata sosial ekonomi masyarakat yang beragam. Kajian ini mengidentifikasi struktur aktivitas ekonomi penduduk mayoritas dan kecenderungannya dalam membentuk & membangun pola-pola aktivitas ekonomi perkotaan, serta pembangunan rumah susun yang seperti apa yang dapat mendukung aktivitas ekonomi perkotaan tersebut. Kajian ini menggunakan data statitistik, dan metoda yang digunakan adalah metoda penelitian induktif. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa ternyata aktivitas yang dominan penduduk Kota Bandung bergerak di sektor perdagangan dan industri pengolahan, terutama industri pengolahan skala rumah tangga sektor non formal. Oleh sebab itu pembangunan rumah susun sebaiknya diarahkan secara terintegrasi untuk mendukung dan mengakomodasi kebutuhan ruang sebagai unit hunian dan sebagai ruang ekonomi produktif perkotaan di Kota Bandung. Kata kunci : Penataan ruang, aktivitas ekonomi, perkotaan
Abstract
The basic concept of multistorey development in urban area is the proper spatial order that result in the quality of healthy environment and the land used efficiency in urban area. Unfortunately, the multistorey development has never considered the target groups clearly. Meanwhile urban areas in Indonesia mostly are supported and propelled by different groups of people with multi levels of socio-economic status and activities. This paper identifies the structure of urban economy activities, the pattern of the majority of inhabitants that shape and develop economy activities of urban area, and the development of multistorey that can support economy activities of the urban life’s. This reseach uses statistic data and inductive method. The result of the research indicates that the major economy activities of the people in Bandung are engaged in trading sector and industrial manufatories, especially small industries or home industries. Therefore, the multistorey development should be led to support and accommodate the spatial need for dweling units and economic pruductive in Bandung city. Keywords : Spatial planning, economy activity, urban
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pembangunan rumah susun di Indonesia dapat ditelusuri melalui Undang-undang nomor 16
102
tahun 1985 tentang Rumah Susun, Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun, Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang Berada di atas Tanah Negara, dan
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Keputusan Presiden (Kepres) nomor 22 tahun 2006 mengenai Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun. Kepres nomor 22 tahun 2006 intinya adalah membentuk tim koordinasi pembangunan dengan prioritas pembangunan adalah : kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk diatas 1,5 juta jiwa, memiliki lahan di lokasi strategis untuk membangun rumah susun peruntukan lahannya untuk permukiman dan memiliki nilai ekonomi tinggi disetujui oleh walikota atau bupati sebagai lokasi rusun, dan Pemda juga mempunyai komitmen membangun dengan memberikan aneka insentif, terlayani oleh infrastruktur dan suprastruktur perkotaan. Seluruh Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Inpres ataupun Kepres terkait dengan pembangunan rumah susun intinya merupakan ketentuan – ketentuan pokok dan peraturan pelaksanaan yang bertujuan untuk mempercepat dalam memenuhi kebutuhan perumahan melalui pembangunan rumah susun. Penggunaan lahan pun bisa lebih efisien, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana pendukungnya. Kelompok sasaran penghuni rumah susun lebih ditujukkan kepada kelompok-kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah. Akan tetapi, sejauh ini ketentuan-ketentuan pokok dan peraturan pelaksanaan yang telah diterbitkan tidak menjelaskan secara rinci batasan kelompok-kelompok sasaran untuk pembangunan rumah susun tersebut. Padahal aktivitas ekonomi perkotaan di kota-kota Indonesia umumnya didukung dan digerakkan oleh berbagai kelompok dan strata sosial ekonomi masyarakat yang beragam sebagai sebuah ciri khas kehidupan perkotaan di Indonesia.
Identifikasi Masalah
Dalam perspektif pembangunan ekonomi perkotaan di Indonesia, kehadiran rumah susun dapat dijadikan sebagai faktor pendukung bergeraknya aktivitas ekonomi perkotaan,
Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni)
karena pemilihan dan penempatan lokasi rumahrumah susun yang tepat diantara berbagai pusat–pusat kegiatan ekonomi perkotaan dapat meningkatkan nilai-nilai efisiensi terhadap nilai lahan, jaringan transportasi dan infrastruktur perkotaan, juga terhadap biaya pembangunan ekonomi dan sosial. Selain itu, sifat rumah susun yang mampu mewadahi dan mengakomodasi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal masyarakat perkotaan secara lebih terkendali, terencanakan, padat dan terkonsentrasi pada lokasi-lokasi yang tepat. Kondisi seperti tersebut di atas dengan penataan ruang yang tepat dapat menciptakan kualitas lingkungan perkotaan lebih sehat. Oleh sebab itu kajian ini lebih difokuskan pada: 1. identifikasi struktur aktivitas-aktivitas ekonomi perkotaan yang dominan yang dilakukan oleh mayoritas penduduk perkotaan Kota Bandung dan kecenderungan penduduknya dalam membentuk dan membangun pola-pola aktivitas ekonomi dan ruang perkotaan, 2. pembangunan rumah susun seperti apa yang dapat mendukung aktivitas ekonomi perkotaan Kota Bandung.
Metodologi
Kajian ini menggunakan metoda induktif, yaitu metoda yang digunakan bertitik tolak dari data yang sifatnya spesifik untuk ditarik suatu kesimpulan yang sifatnya umum dengan menggunakan data statitik Kota Bandung tahun 2005. Kota Bandung dipilih sebagai studi kasus, karena Bandung merupakan salah satu kota yang diusulkan dapat membangun rumah susun di wilayahnya berkaitan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat.
Tujuan
Menyusun konsep pembangunan rumah susun yang dapat mendukung aktivitas ekonomi penduduk mayoritas perkotaan.
103
TINJAUAN PUSTAKA Aktivitas Penduduk Perkotaan
Pacione (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ekonomi perkotaan di negara yang sedang berkembang umumnya berlangsung dalam dua katagori, yaitu : Pertama, sektor formal yang merupakan aktivitas ekonomi perkotaan yang memerlukan modal tinggi untuk dapat berproduksi, dimana setiap kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi atas barang-barang dan jasa dilaksanakan dalam skala yang besar yang merupakan aktivitas sektor formal. Contohnya aktivitas perbankan, perdagangan ekspor-impor, industri modern perkotaan dan transportasi. Aktivitas ekonomi seperti ini sering disebut dengan aktivitas sektor formal (Macharia, 2007). Aktivitas-aktivitas ekonomi seperti ini terwujud karena menguasai dan memanfaatkan kemajuan teknologi oleh para pelaku industri dan mampu menyelenggarakan akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara sebagian lainnya tidak dapat memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut karena berbagai keterbatasan. Menurut Macharia (2007) aktivitas pada sektor formal ini sudah sejak lama dikenal oleh pemerintah dan terus berlangsung menjadi pilihan, karena dianggap lebih menguntungkan dan nyata. Kedua, sektor informal, yaitu aktivitas ekonomi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, tidak menggunakan pelayanan jasa yang modern. Secara umum berada pada level retail dalam skala perdagangan kecil serta merupakan aktivitas-aktivitas sektor informal. Aktivitas sektor informal ini mempunyai karakteristik antara lain aktivitasnya dalam skala kecil dilakukan di rumah, menggunakan anggota keluarga, kerabat atau tetangga sekitarnya sebagai tenaga kerja. Objek yang dipasarkan jumlahnya terbatas, bekerja sendiri dan atas inisiatif naluri sendiri. Aktivitas sektor informal pada umumnya tumbuh subur di negara yang sedang berkembang.
104
Aktivitas sektor informal ini menurut Macharia (2007) masih harus terus diperjuangkan agar memperoleh pengakuan dan perhatian dari pemerintah atas keberadaannya. Dalam banyak hal, aktivitas ekonomi sektor informal dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB kota, dapat menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas, serta dapat memberikan income bagi keluarga (Macharia, 2007). Sektor informal ini pun dapat menjadi inspirasi dalam menjalani kehidupan kawasan perkotaan dengan kemampuan yang terbatas. Bahkan menurut Rukmana (2004), perencana perkotaan seharusnya dapat mengakomodasi aktivitas sektor informal ini sebagai bagian dari ekonomi perkotaan, karena sebesar 64% dari total ketenagakerjaan di Indonesia bergerak dalam sektor informal perkotaan.
Pembangunan Rumah Susun Indonesia
Di Indonesia, kehadiran rumah susun sudah sejak lama ada, tetapi hanya terbatas di kotakota besar dengan jumlah satuan rumah susun yang terbatas, sehingga belum dikenal secara merata oleh seluruh masyarakat. Sementara itu, masyarakat selama ini sudah sejak lama terbiasa membangun unit hunian secara individual dan mandiri. Hampir 70% penduduk membangun sendiri rumah yang ditempatinya dengan pola hunian 80% merupakan rumah tunggal tidak bertingkat (Statistik Perumahan dan Permukiman, 2004). Tahun 1990, ketika pembangunan rumah susun untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dikenalkan melalui program urban renewal, hasilnya menunjukkan bahwa pembangunan rumah susun menghadapi banyak kendala. Kendala-kendala tersebut mulai dari proses sosialisasi, land re-adjustment, pematangan lahan, biaya konstruksi sampai pengelolaan dan pemeliharaan bangunan rumah susun paska konstruksi serta cara penghuniannya menghadapi kesulitan dan hambatan (Pusat Litbang Permukiman, 1999). Status kepemilikan unit hunian pun yang merupakan
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
komponen paling penting untuk dapat memberikan kepastian hukum masih merupakan hal yang sulit teratasi, karena waktu itu belum memiliki ketentuan-ketentuan dasar hukum, sehingga seringkali hal tersebut tidak dapat dirumuskan dan diantisipasi sejak awal perencanaan, sehingga menjadi masalah dikemudian hari. Pada sisi calon penghuni, secara finansial unit hunian rumah susun memerlukan biaya lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumah yang selama ini biasa dibangun oleh penduduk secara individual karena perbedaan standar yang dipakai. Selain itu, biaya konstruksi, operasional dan pemeliharaan rumah susun pada dasarnya lebih tinggi daripada rumah biasa. Padahal ratarata upah pekerja wilayah perkotaan yang penghasilannya mencapai Rp 2 juta atau lebih hanya 4,3% (Pusdata, 2008) Hambatan lainnya dalam pembangunan rumah susun adalah masalah kebiasaan, budaya, atau gaya hidup masyarakat untuk beradaptasi dengan ruang vertikal yang ruang geraknya serba terbatas. Akan tetapi sejak kebijakan percepatan pembangunan perumahan seribu tower yang dituangkan dalam Kepres nomor 22 tahun 2006 mengenai Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun dan disertai dengan lahirnya model konsolidasi lahan perkotaan horizontal menjadi vertikal berserifikat, maka pembangunan rumah susun perkotaan dapat diharapkan bukan hanya mampu menciptakan penataan ruang yang menghasilkan kualitas lingkungan yang aman dan sehat, tetapi juga mampu mendukung aktivitas-aktivitas ekonomi perkotaan secara optimal dan terutama menguntungkan bagi semua pihak.
Housing Adjustment Factors
Hartshorn (1992) dan Pacione (2001) menyebutkan 3 (tiga) faktor yang dapat mempengaruhi seseorang mampu beradaptasi dengan unit huniannya, yaitu faktor pertama yang didasarkan pada karakteristik unit hunian
Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni)
yang mampu memenuhi kebutuhan akan fungsi ruang bagi yang bersangkutan. Contohnya, sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak (anak-anak) memilih unit hunian 2 (dua) kamar tidur agar dapat mewadahi dan menjalankan aktivitas sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Faktor kedua adalah status kepemilikan, terutama dari status unit hunian sewa atau hak milik, karena secara psikologis dan legalitas dapat memberikan rasa aman dan kepastian hukum untuk menempatinya. Faktor ketiga, lokasi unit hunian yang memiliki nilai aksesibilitas tinggi terhadap pusat kegiatan, seperti akses terhadap tempat kerja, sekolah, pasar atau pusat kegiatan lainnya yang membantu mempermudah beradaptasi dengan tempat hunian. Hartshorn (1992) dan Pacione (2001) menjelaskan bahwa perubahan siklus kehidupan dan alasan pekerjaan juga dapat mempengaruhi seseorang untuk pindah dan memilih tempat tinggal baru. Contohnya kaum muda yang masih lajang pada umumnya merupakan kelompok yang memiliki mobilisasi tinggi yang bersedia untuk memilih unit hunian rumah sewa dengan single bed room, atau pasangan suami istri yang belum memiliki anak. Akan tetapi berbeda dengan pasangan suami istri yang mempunyai anak (anak-anak), dimana apabila anak-anaknya masih berusia balita akan berbeda dengan orang tua yang mempunyai anak-anak berusia remaja, karena anak-anak yang beranjak remaja membutuhkan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan anak-anak balita. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap keputusan orang tua dalam memilih unit hunian yang akan ditempatinya. Di Jakarta pembangunan rumah susun sudah menjadi kebutuhan, karena ketersediaan lahan perkotaan yang semakin sulit dan mahal. Pembangunan rumah susun atau apartemen sudah dilakukan sejalan dengan perkembangan Kota Jakarta sebagai mega city. Aktivitas ekonomi pada sektor jasa sudah menjadi faktor dominan bagi Jakarta. Segala bentuk sistem
105
pelayanan jasa dituntut untuk berjalan lebih cepat dan efisien. Pembangunan rumah susun atau apartemen dapat menjadikan beberapa kawasan di Kota Jakarta sebagai compact city, dimana struktur dan pola ruang kota pada beberapa kawasan dapat mengalir lebih optimal, sistemik dan membantu penduduk bergerak lebih cepat. Compact city adalah kawasan inti yang padat yang mampu mewadahi lebih banyak penduduk, sehingga penduduk lebih berdaya dalam menjalankan aktivitas aktivitasnya karena sistem jaringan yang tercipta adalah sistem jaringan yang aksesibel (Jenks, et. al. 2002). Akan tetapi, belum semua kawasan perkotaan di wilayah DKI Jakarta dapat berkembang seperti yang diharapkan. Hal tersebut bergantung pada profil kotanya masing-masing, karena faktorfaktor seperti keragaman budaya, strata sosial masyarakat yang sangat lebar dan struktur aktivitas ekonomi yang variatif sangat berpengaruh dalam membentuk struktur dan pola ruang kota.
Data dan Pembahasan
Bandung sebagai ibu kota propinsi Jawa Barat beriklim sejuk, dan berlokasi pada ketinggian 791 – 1050 m di atas permukaan laut, berjarak sekitar 180 Km dari Kota Jakarta (Badan Pusat Statistik, 2005). Kemudahan akses menuju Kota Bandung, serta daya tarik yang dimiliki Kota Bandung telah mampu mendorong meningkatkan kunjungan wisata domestik ataupun manca negara ke Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata fashion dan kuliner. Hal tersebut dapat dilihat dari data kunjungan wisata yang meningkat tajam setelah dibukanya jalan tol Cipularang (Badan Pusat Statistik, 2005). Disisi lain, sejalan dengan perkembangan kota, aktivitas ekonomi yang dominan dan berkembang di Kota Bandung adalah sektor perdagangan 33,85%, sektor industri pengolahan 25,34%, dan pelayanan jasa 19,75% (lihat Tabel 1).
106
Tabel 1. Lapangan Usaha Penduduk Kota Bandung 2005 Lapangan Usaha Orang Penduduk Pertanian 22.645 Industri Pengolahan Listrik, Gas dan air Konstruksi Perdagangan
% 2.5
229.038
25.34
2.588
0.28
50.466
5.58
306.031
33.85
Transportasi & Komunikasi
58.230
6.44
Keuangan
49.819
5.51
Pelayanan Jasa 185.042 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005
19.75
Kondisi-kondisi tersebut saling mendukung dan memperkuat berkembangnya aktivitas ekonomi perkotaan Kota Bandung pada sektor-sektor tersebut di atas. Sektor industri pengolahan sendiri menunjukkan bahwa 98% dari sektor industri pengolahan merupakan kegiatan industri kecil non formal atau sebesar 24,16% dari lapangan usaha penduduk Kota Bandung (lihat Tabel 2). Kegiatan industri kecil non formal ini merupakan kegiatan industri rumah tangga (home industry) yang memberikan penghasilan bagi keluarga, kerabat atau tetangga terhadap 24,16% penduduk yang berusaha di Kota Bandung. Tabel 2. Sektor Industri Pengolahan Kota Bandung Sektor Industri Unit Pengolahan Industri besar 15
0.17
Industri menengah
15
0.17
Industri kecil formal
138
1.56
Industri kecil non formal 8832 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005
98.09
%
PDRB terbesar Kota Bandung pun dihasilkan dari sektor perdagangan yang cenderung terus meningkat, serta sektor industri pengolahan dan sektor pelayanan jasa (lihat Grafik 1).
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
2003
2004
Jasa-jasa
Keuangan & jasa perusahaan
Transportasi & komunikasi
Perdagangan
Bangunan & konstruksi
Listrik & air minum
Industri pengolahan
Pertanian
40 35 30 25 20 15 10 5 0
2005
Grafik 1 PDRB Kota Bandung Per Sektor Perode 2003-2005 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005
Jenis-jenis industri yang menyerap ribuan tenaga kerja kota Bandung dari data statistik dapat terlihat penyebarannya yang menyebar di beberapa kecamatan yang berada di wilayah Bandung timur, seperti Cicadas, Ujung Berung, Arcamanik, dan Kiaracondong. Sedangkan industri pengolahan makanan tersebar di 18 kecamatan lainnya dalam skala besar dan kecil, serta pusat kegiatan perdagangan yang tersebar di 16 kecamatan di Kota Bandung.
HASIL ANALISIS Berdasarkan pada data yang telah diolah dan dianalisis secara statistik, maka hasil kajian menunjukkan hasil-hasil sebagai berikut : 1. Aktivitas ekonomi Kota Bandung yang dominan dan mendasar adalah sektor industri pengolahan sebesar 25,34%. Sektor industri pengolahan ini ternyata menghasilkan aktivitas ekonomi yang spesifik kota atau
Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni)
negara yang sedang berkembang. Hal ini ditandai dengan 98% dari industri pengolahan merupakan aktivitas industri kecil non formal atau jenis industri pengolahan skala rumah tangga yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja keluarga, kerabat dan tetangga sekitarnya dengan kebutuhan dan biaya modal yang murah (atau sebesar 24,16% penduduk Kota Bandung). Sedangkan 2% dari sektor industri pengolahan adalah aktivitas-aktivitas industri pengolahan skala besar dan menengah. Walaupun angka prosentasenya hanya 2% saja, tetapi ternyata menyerap ratusan ribu tenaga kerja setingkat buruh juga. Sektor perdagangan sebesar 33,85% merupakan turunan dari sektor industri pengolahan dan telah melahirkan aktivitas ekonomi lainnya yang bersifat formal maupun non formal. Sektor pelayanan jasa sekitar 20% yang berkembang di Kota Bandung merupakan aktivitas-aktivitas penunjang sektor perdagangan dan industri pengolahan. Di negara-negara maju, sektor pelayanan jasa umumnya merupakan aktivitas utama ekonomi perkotaan, karena bentuk pelayanan jasa yang berlangsung lebih banyak memanfaatkan penguasaan teknologi dan keahlian, sedangkan di negara sedang berkembang aktivitas pelayanan jasa lebih banyak memanfaatkan tenaga kerja (fisik) dan keterampilan manusia untuk menunjang berlangsungnya aktivitas ekonomi yang sedang berjalan, sehingga kebutuhan ruang ekonomi produktifnya pun berbeda. Implikasi dari aktivitas-aktivitas sektor tersebut di atas terhadap struktur dan pola ruang perkotaan Kota Bandung adalah : - munculnya kebutuhan ruang sebagai ruang produksi sektor non formal yang juga dapat merangkap sebagai ruang hunian keluarga dalam jumlah yang besar. - munculnya kebutuhan ruang sebagai kawasan perdagangan non formal yang
107
jumlahnya bisa lebih perdagangan formal.
besar
daripada
- dimungkinkannya terjadi pergerakan manusia dari tempat tinggal (kawasan perumahan) ke tempat kerja kawasan industri dan perdagangan dalam jumlah besar. Hal ini dimungkinkan, karena adanya penyebaran aktivitas ekonomi pada beberapa sektor di beberapa kecamatan, akan tetapi pembangunan kawasan perumahan malah menyebar terlepas secara horizontal ke pinggiran kota. Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa secara teoritis compact city adalah kawasan inti yang padat dan mampu mewadahi lebih banyak penduduk, agar penduduk lebih berdaya dalam menjalankan aktivitas-aktivitasnya, karena didukung oleh sistem jaringan yang aksesibel. Struktur dan pola ruang kota yang dibangun dalam compact city adalah sistem jaringan dimana setiap titik mampu akses terhadap titiktitik lainnya, dan pada setiap titik yang dibangun adalah merupakan kawasan atau bangunan-bangunan vertikal yang mempunyai nilai efisiensi dan fungsi ruang tinggi terhadap penggunaaan lahan dan aktivitas ekonomi perkotaan. Aktivitas sektor formal dan non formal pada sektor perdagangan, industri pengolahan dan pelayanan jasa memiliki jumlah yang besar dan memiliki signifikansi yang positif dalam menyerap atau menyediakan kesempatan kerja serta dapat dinyatakan sebagai penggerak ekonomi Kota Bandung. Keterkaitan aktivitas ekonomi perkotaan dengan pembangunan perumahan susun adalah dalam hal penataan ruang untuk skala bangunan dan kawasan sepantasnya dirancang untuk dapat mengakomodasi kebutuhan unit hunian dan unit ekonomi produktif pada simpul-simpul yang melahirkan sistem pergerakan yang lebih efisien dalam skala kawasan. Hal tersebut sangat penting untuk dijadikan pertimbangan, karena selama ini pembangunan
108
perumahan susun yang terbangun lebih terfokus hanya untuk merumahkan orang pada satu titik lokasi yang tersedia tanpa mempertimbangkan kaitannya dengan aktivitas ekonomi sehari-hari yang dijalankannya, sehingga kurang mendukung aktivitas ekonomi bagi penduduk yang selama ini bergerak dan tinggal di kawasan perkotaan. 2. Pembangunan rumah susun sebagai faktor pendukung aktivitas ekonomi perkotaan sangat signifikan apabila pembangunannya memperhatikan penduduk mayoritas seperti tersebut diatas, karena dominasi penduduk Kota Bandung kebanyakan bekerja pada sektorsektor tersebut di atas, dan selayaknya tempat tinggal dan tempat ekonomi produktif bagi penduduk mayoritas diakomodasi oleh kota dengan mempertimbangkan sistem pergerakan ekonomi perkotaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pergerakan yang tidak efisien, tidak optimal dalam jumlah yang besar setiap harinya, serta untuk mengurangi biaya ekonomi tinggi. Rumah susun yang dibangun sepantasnya dirancang dengan mempertimbangkan faktorfaktor adjustment yaitu disesuaikan dengan kebutuhan ruang penduduk, sehingga rumah susun yang dibangun tidak terbatas hanya rumah susun dengan hanya satu kamar saja. Hal ini penting dipertimbangkan, karena visi dasar pembangunan rumah susun seharusnya ditujukan untuk seluruh penduduk kota yang jumlahnya terus meningkat. Selain itu, efisiensi penggunaan lahan dan penciptaan tata ruang yang aman dan sehat dapat terwujudkan bila didukung oleh seluruh penduduk kota. Penduduk pun akan dapat merasakan arti dari city for all, karena perlakuan kesetaraan ataupun hak-hak sebagai warga negara untuk dapat tetap tinggal di kawasan perkotaan. Lebih dari itu, pembangunan rumah susun untuk wilayah Kota Bandung perlu memperhitungkan karakteristik aktivitas-aktivitas ekonomi penduduk perkotaan khas kota yang sedang berkembang, agar proses pembangunan rumah susun tidak menghilangkan, ataupun meminggirkan secara
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
sistematis penduduk yang selama ini ikut berperan serta dalam aktivitas pembangunan ekonomi perkotaan.
calon penghuni, contohnya satu, dua, atau tiga kamar tidur. Hal ini dimaksudkan agar unit hunian rumah susun mampu mewadahi kebutuhan seluruh masyarakat kota (city for all).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan dan fakta bahwa : 1. Struktur aktivitas ekonomi penduduk perkotaan Kota Bandung lebih didominasi oleh sektor-sektor perdagangan, industri pengolahan, terutama industri pengolahan skala rumah tangga atau sektor informal serta sektor pelayanan jasa. Aktivitas-aktivitas ekonomi tersebut melahirkan ribuan tenaga kerja formal dan informal yang perlu diwadahi atau diakomodasi kebutuhan ruangnya dalam skala bangunan dan kawasan, agar kelangsungan aktivitas ekonomi masyarakat dan kota berjalan optimal. 2. Pembangunan rumah susun sebagai faktor pendukung aktivitas ekonomi perkotaan sangat signifikan apabila pembangunan rumah susun tersebut disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan ruang untuk unit hunian ataupun ruang sebagai ruang produktif masyarakat perkotaan dalam skala bangunan ataupun kawasan.
Saran
Konsep dasar pembangunan rumah susun perkotaan adalah penataan ruang kota yang menghasilkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat dengan penggunaan lahan yang efisien. Oleh sebab itu, pembangunan rumah susun adalah satu-satunya pilihan, dan dalam pembangunannya sangat perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Rumah susun yang dibangun dapat memberikan beberapa pilihan ruang kepada semua keluarga / masyarakat perkotaan
Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni)
Perlu kajian lebih lanjut pada skala kecamatan pada lokasi yang strategis dan padat penduduk dikaitkan dengan tingkat keswadayaan, keterjangkauan, atau kepemilikan modal ekonomi dan sosial masyarakat, agar dapat diprediksi dan diperhitungkan bahwa penduduk awal masih tetap dapat dipertahankan dan tidak terpinggirkan.
DAFTAR PUSTAKA ________, (2005), Bandung Dalam Angka 2005, Badan Pusat Statistik Bandung. ________,(2004), Statistik Perumahan dan Permukiman 2004, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________, (2008), Buku Induk Statistik Pekerjaan Umum (BIS PU), Sekretariat Jenderal Pusat Pengolahan Data (Pusdata). Jenks, M., Burton,. E., dan Williams, K. (2002), The Compact City, A Sustainable Urban Form, Spon Press, London. Keputusan Presiden (Kepres) nomor 22 tahun 2006 mengenai Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun. Macharia, K. (2007). Tension Created by the Formal and Informal Use of Urban Space. The Case Of Nairobi, Kenya, Journal of Third World Studies. http://findarticle s.com Pacione, M. (2001), Urban Geography a Global Perspective, Routledge, London Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun, Pusat Litbang Permukiman (1999), Laporan Akhir: Kemitraan Dalam Peremajaan Kawasan Kumuh Perkotaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Bandung.
109
INFRASTRUKTUR PECINAN YANG MUDAH DIAKSES MENDUKUNG PRINSIP PARIWISATA YANG AKSESIBEL Oleh: Inge Komardjaja
Pusat Litbang Permukiman, Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 09 Februari 2009, Tanggal disetujui: 29 Mei 2009
Abstrak
Pecinan mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan pariwisata yang menarik. Secara ekonomi, kawasan wisata yang direncana dan dikelola dengan baik memberikan keuntungan yang berarti bagi pemerintah setempat. Demikian pula halnya dengan pecinan yang perlu ditata berdasarkan perencanaan matang dan pelaksanaan yang cermat. Dengan berpegang pada prinsip pariwisata yang aksesibel, wisatawan lokal dan mancanegara yang menyandang cacat akan tertarik untuk mengunjungi pecinan. PBB mengatakan para penyandang cacat mempunyai hak yang sama dengan mereka yang tidak cacat untuk berwisata. Penyandang cacat mempunyai keterbatasan mobilitas fisik, sehingga membutuhkan infrastruktur fisik yang mudah dan aman diakses. Dalam kenyataan, penyandang cacat tidak diberikan kesempatan yang setara untuk mengunjungi pecinan serta menikmati fasilitas dan suasana yang ditawarkan. Mereka mengalami kesulitan untuk bergerak secara mandiri, karena infrastruktur fisik kawasan pecinan tidak bebas hambatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk dapat mengidentifikasi problem penyandang cacat. Hasil analisis data menunjukkan mereka masih mengalami marjinalisasi karena tidak dapat menggunakan atau kesulitan mengakses infrastruktur disitu. Desain universal menciptakan infrastruktur yang aksesibel yang memberikan kemudahan bagi semua golongan masyarakat, tanpa kecuali, seperti orang jompo, orang yang baru sembuh dari penyakit berat, anak kecil yang belajar jalan atau pendorong gerobak. Pecinan yang ramah-cacat (disabled-friendly) mendukung prinsip accessible tourism. Kata Kunci : Penyandang cacat, keterbatasan mobilitas, pecinan, pariwisata, aksesibilitas
Abstract
Chinatown has the potential to become an attractive tourist site. From the point of economy, tourist sites that are well-planned and well-managed provide significant benefits for the local government. Revitalizing Chinatown has to be done from a well-prepared planning and accurate implementation. Carrying out the principle of accessible tourism may attract local and foreign tourists who are disabled. The UN emphasizes that disabled people have the same right as the non-disabled people to visit tourist sites. Disabled people have limited physical mobility and thus, are in need of accessible and safe physical infrastructures. In reality, disabled people are marginalized against the non-disabled, because the former does not get the opportunity to come to Chinatown and be able to enjoy the facilities and ambience of the site. They experience difficulties to move around independently, because the infrastructures are not barrier-free. This study has employed the qualitative method to identify the real problems of disabled people. The result of the data analysis points out that they are still marginalized against the non-disabled in the use of Chinatown’s infrastructures. The universal design creates accessible infrastructures which will also facilitate other groups of the society, such as elderly people, persons recovering from a serious illness, toddlers who learn to walk, or cart pushers. Chinatown that is disabled-friendly upholds the principle of accessible tourism. Keywords : Disabled people, limited mobility, Chinatown, tourism, accessibility
110
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
PENDAHULUAN Latar Belakang
Karena Indonesia adalah anggota PBB, tulisan ini diawali dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tentang pariwisata. CRPD mengungkapkan secara khusus pentingnya isu aksesibilitas fisik dan program aksesibilitas dalam hal pariwisata untuk orang yang menyandang cacat (travel, disability, law, United Nations 2008). Artikel 30 dari konvensi ini menyebutkan partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu senggang dan olahraga dan menyatakan, antara lain, bahwa negara yang menjadi anggota PBB perlu mendukung hak penyandang cacat untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya atas dasar kesetaraan dengan orang yang non-cacat. Untuk itu perlu disediakan fasilitas supaya penyandang cacat dapat: mengakses dan menikmati hal-hal yang bersifat budaya mengakses program televisi, film, teater dan aktivitas budaya lainnya mengakses tempat penyelenggaraan kesenian dan pelayanan terkait budaya, seperti teater, museum, bioskop, perpustakaan dan pariwisata, serta mengakses monumen dan tempat peninggalan sejarah. CRPD juga mengatakan penyandang cacat mempunyai hak setara dengan orang yang tidak cacat untuk mengakses tempat olahraga, rekreasi dan wisata. Pada tahun 2000-an beberapa pemerhati penyandang cacat dan pariwisata merumuskan prinsip pariwisata yang aksesibel (accessible tourism). Pariwisata yang aksesibel merupakan upaya untuk meyakinkan bahwa tempat pariwisata, produk dan pelayanan pariwisata dapat diakses oleh semua orang dengan memerhatikan keterbatasan fisik, tingkat kecacatan dan usia (Wikipedia. Accessible Tourism). Salah satu destinasi pariwisata yang banyak mendapat kunjungan adalah pecinan yang ada
Infrastruktur Pecinan …(Inge K.)
di kota-kota besar. Di Australia, Kota Broome, memiliki pecinan yang dikenal karena mutiara, galeri dan warung kopi. Pecinan ini dikunjungi banyak wisatawan yang ditemukan di restoran, warung kopi dan toko. Contoh lain adalah New York, dimana pecinannya menarik banyak orang ketika diadakan festival Bulan Musim Gugur. Pecinan ini merupakan komunitas Cina terbesar di belahan Barat dan terletak di kawasan paling tua di Manhattan. Pecinan ini didirikan pada tahun 1870an oleh imigran Cina dan menawarkan pengalaman historis dan kultural yang sangat unik (diambil dari Lower Manhattan Development Corporation). Menurut Greed (1999) perencanaan sosial kota perlu memerhatikan kebutuhan kelompok minoritas dalam masyarakat, sehingga tulisan ini mefokuskan pada penyandang cacat. Alasannya, karena sekarang semakin banyak penyandang cacat “berani” keluar rumah. Keberadaan mereka di ruang publik cukup signifikan untuk dimasukkan kedalam perencanaan kota. Dari semua kelompok minoritas, penyandang cacatlah yang paling memerlukan perubahan lingkungan fisik menjadi bebas hambatan (Davies 1999: 77). Para penyandang cacat ini mempunyai mobilitas fisik terbatas, sehingga membutuhkan infrastruktur yang mudah diakses. Sehubungan dengan lingkungan binaan, yang diperlukan adalah solusi yang inklusif yang mengintegrasikan mereka kedalam masyarakat (ibid.). Kelompok minoritas etnis yang berperan dalam perencanaan sosial kota adalah warga keturunan Cina. Mereka berkelompok di berbagai kawasan kota, sehingga terbentuklah kawasan khusus yang disebut pecinan. Di Indonesia, sebelum Perang Dunia II, mereka bermukim dan bekerja di kawasan ini. Umumnya orang Cina suka berdagang dan usaha yang sering ditekuni adalah membuka toko. (Istijanto Oei, 2008: vii). Karena di banyak negara pecinan dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, pecinan di Indonesia juga mempunyai potensi pariwisata. Di Jakarta salah satu pecinan adalah Glodok yang dijadikan kawasan pariwisata. Direktorat Jenderal
111
Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, mendukung rencana untuk menata kembali pecinan Glodok. Untuk maksud ini, penyediaan infrastruktur yang baik akan menambah daya tarik pecinan untuk dikunjungi. Wisatawan cacat pun bisa menikmati hal-hal yang ditawarkan oleh pecinan. Dalam tulisan ini, pecinan menjadi contoh kasus kawasan pariwisata yang kerap didatangi wisatawan. Pecinan yang aksesibel dimaksudkan supaya orang dengan mobilitas terbatas, seperti penyandang cacat, dapat mengunjungi kawasan ini dengan mudah dan aman. Suatu studi di Inggris menunjukkan bahwa isu penyandang cacat dapat dikaitkan dengan perencanaan untuk pariwisata dan aktivitas budaya (Davies 1999: 82). Atas dasar ini, tulisan ini mengulas pecinan sebagai kawasan wisata dimana penyediaan infrastruktur perlu memerhatikan mobilitas terbatas dari penyandang cacat.
Permasalahan
Bagi orang yang tinggal diluar pecinan, kawasan ini bisa menjadi magnet karena mungkin ada bangunan bersejarah, kelenteng, toko obat Cina serta tersedianya sumberdaya sosial-budaya seperti festival dan kuliner (Davidson & Maitland 1999: 209). Karena penyandang cacat mempunyai hak mendatangi pecinan, lingkungan fisik harus mudah diakses. Pada kenyataan, infrastruktur yang ada tidak aksesibel karena, misalnya, trotoarnya tinggi dan sempit. Atau ada satu anak tangga didepan pintu masuk toko, ram yang dibangun curam, atau tidak tersedia toilet duduk di tempat makan.
Maksud
Mendapatkan strategi untuk menata kembali kawasan pecinan, sehingga bisa menjadi tempat pariwisata yang aksesibel bagi penyandang cacat. Tujuan Mengembangkan gagasan agar infrastruktur pecinan, sebagai kawasan pariwisata, di kotakota besar di Indonesia mudah diakses serta
112
disediakan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan penyandang cacat. Infrastruktur yang aksesibel juga mudah digunakan oleh kuli untuk menurunkan barang dagangan dari kendaraan, penjual makanan dengan gerobak, orang yang mendorong troli, orang yang memanggul pikulan, anak kecil dan orang yang sudah jompo.
METODE PENELITIAN Pertanyaan penelitian (research question) dalam tulisan ini adalah: Mengapa pecinan merupakan kawasan yang penting dalam perkembangan kota? Bagaimana penyandang cacat dapat dengan mudah mengakses pecinan yang juga merupakan kawasan pariwisata? Untuk mengulas pertanyaan-pertanyaan ini dipakai metode kualitatif. Alasannya, penelitian ini belum dilakukan, sehingga pada tahap ini masalah yang sebenarnya belum teridentifikasi dengan tepat. Penelitian sosial ini berupaya menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” agar dapat mendeskripsikan dan mengerti kelompok penyandang cacat dan kebutuhannya.
Penelitian Kualitatif
Menurut Strauss & Corbin (1990: 17– 20) penelitian kualitatif dipakai untuk semua jenis penelitian yang hasilnya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau cara kuantitatif lainnya. Penelitian kualitatif bisa merujuk kepada riwayat hidup, pengalaman dan perilaku orang. Juga bisa membahas secara mendalam tentang fungsi organisasi, pergerakan sosial atau hubungan interaktif. Pengumpulan data bisa dilaksanakan melalui wawancara dan observasi. Walaupun data kualitatif bisa diolah secara statistik, tetapi pembahasan dalam tulisan ini merupakan prosedur analisis yang nonmatematik. Selain observasi dan interview, studi ini juga mempelajari dokumen dan buku yang relevan dengan pecinan dan mobilitas penyandang cacat.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Ada banyak alasan yang valid untuk melakukan penelitian kualitatif. Salah satu alasan untuk meneliti fenomena sosial secara kualitatif adalah dengan mempelajari sifat dari problem penelitian. Penelitian tentang pengalaman seseorang, misalnya pengalaman merawat orang jompo, sebaiknya dilakukan secara kualitatif agar emosi dan pikirannya dapat diekspresikan dengan bebas. Untuk masalah pecinan dan penyandang cacat, penelitian ini mengungkapkan pengalaman penyandang cacat yang mempunyai mobilitas terbatas ketika mengunjungi dan ketika berada di kawasan pecinan yang penuh hambatan fisik. Sejauh mana kebutuhannya akan kepariwisataan pecinan yang bebas hambatan ? Metode ini dipakai untuk menggali dan mengerti hal-hal yang ada dibelakang suatu fenomena. Kelebihan metode kualitatif adalah potensinya untuk menggali hal-hal kecil dari suatu fenomena yang sulit ditelusuri melalui metode kuantitatif. Tiga komponen dasar dalam penelitian kualitatif adalah : data, yang dapat diperoleh dari berbagai sumber. Wawancara dan observasi adalah sumber yang paling sering dipakai prosedur analitis atau interpretatif. Dalam prosedur ini data diberi makna melalui peng-kode-an dan sampel yang diperlukan bersifat non-statistik laporan tertulis dan penyampaian hasil secara lisan.
Metode Kualitatif untuk Penelitian Pecinan dan Penyandang Cacat
Metode kualitatif tidak bersifat menggeneralisasi, tapi bertujuan menggali informasi melalui “obrolan informal” antara pewawancara dan responden. Untuk itu perlu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai pegangan wawancara supaya “obrolan” tadi tidak menyimpang dari pertanyaan penelitian. Karena metode kualitatif tidak memakai sistem sampling seperti yang berlaku dalam metode kuantitatif, maka jumlah orang yang diwawancara untuk in-depth interview tergantung dari kejenuhan informasi yang diperoleh (saturated information).
Infrastruktur Pecinan …(Inge K.)
Diperkirakan jumlah orang yang diwawancara kurang dari sepuluh. Data yang terkumpul akan dianalisis dengan cara peng-kode-an (coding), yaitu mencari makna dari hasil wawancara. Kode-kode ini bisa memberikan masukan tentang pengalaman dan harapan kelompok penyandang cacat tentang aksesibilitas pecinan sebagai kawasan pariwisata.
Metode di Lapangan
Studi tentang pecinan dan penyandang cacat merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan. Tahap awal dari studi ini difokuskan pada identifikasi permasalahan untuk memberi pengarahan pada penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan : mengunjungi instansi pemerintah di Jakarta dan Bandung untuk memperoleh informasi apakah ada rencana untuk menjadikan pecinan sebagai kawasan pariwisata. Juga ditanyakan apakah peraturan pemerintah mengenai penataan ruang sudah dirumuskan, serta wilayah mana saja di Jakarta dan Bandung yang lazim disebut sebagai pecinan. Apakah “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan” (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 2006) diikuti dalam menyusun perencanaan dan diterapkan dalam pelaksanaan di lapangan ? mengobservasi beberapa wilayah di Jakarta dan Bandung, dimana mayoritas penghuninya adalah warga keturunan Cina. Sebagai pegangan menentukan kawasan pecinan, dipakai karakteristik berupa tokotoko dan tempat makan Cina. Juga menilai kondisi aksesibilitas ke dan didalam pecinan serta mengamati keberadaan penyandang cacat di kawasan ini. mendatangi orang pribadi yang mempunyai perhatian khusus pada isu pecinan dan orang dengan mobilitas fisik terbatas. Disamping itu, menghubungi orang pribadi yang menghuni kawasan pecinan.
113
KAJIAN PUSTAKA Kepariwisataan
Ciri-ciri sebuah kota ditandai oleh kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, karena penduduknya terdiri dari berbagai golongan ekonomi, kelompok etnis dan gender. Dimanamana orang Cina mendominasi suatu kawasan untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat melakukan kegiatan ekonomi. Kawasan ini dikenal sebagai pecinan atau Chinatown. Sejarah pecinan bisa dikaitkan dengan kolonialisme perdagangan (mercantile colonialism). Pada zaman dahulu bangsa Eropa pergi ke negara-negara di Asia Tenggara mencari komoditas yang mempunyai nilai dagang tinggi. Umumnya, komoditas yang dipilih merupakan produk alam di negara asal, seperti rempah-rempah, sutera dan gula. Komoditas ini sering didapatkan bukan melalui perdagangan, tetapi dengan merampas. Karena komoditas ini dikuasai oleh masyarakat Cina, maka bangsa Eropa harus mendekati mereka. (Drakakis-Smith 2000: 35). Pariwisata juga merupakan komoditas ekonomi yang menguntungkan karena nilai eksotis, kebutuhan orang akan rekreasi serta kepentingan politik negara yang menjadi tujuan pariwisata. Eksotisme membawa orang kedalam aktivitas penjelajahan, petualangan dan penemuan baru. Tidaklah mengherankan kalau eksotisme kawasan pariwisata ditampilkan dalam bentuk asli (Spillane 1994: 13-15). Jelaslah, pecinan terbentuk karena warga keturunan Cina meraih kesuksesan dalam perdagangan mereka. Hampir di tiap negara di semua benua terdapat kelompok masyarakat Cina yang menghuni dan bekerja di suatu kawasan tertentu. Ciri khas pecinan ditandai dengan banyaknya penduduk yang membuka toko. Mereka menggantungkan hidup dari usaha toko dan berhasil dengan sukses dalam perdagangan (Istijanto Oei, 2008).
Perencanaan Pariwisata
Sebuah kota bisa berkembang menjadi tempat pariwisata melalui berbagai cara. Kebanyakan
114
perencana memang dengan sengaja mengembangkan kota menjadi tempat pariwisata karena terdorong untuk menciptakan lapangan kerja yang baru dan meningkatkan kesejahteraan kota. Para usahawan dan pengembang kadang dapat melihat adanya potensi pariwisata di bagian kota tertentu demi meraih keuntungan bagi mereka sendiri. Hotel, tempat seminar, toko, restoran, pusat rekreasi dan tempat hiburan pun dibangun. Pada kenyataannya, fasilitas-fasilitas ini lebih banyak dipakai oleh penduduk setempat daripada wisatawan. Akhir-akhir ini muncul isu-isu global tentang lingkungan hidup (environmentalism) dan isu berkelanjutan (sustainability). Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) memperlihatkan sejajar dengan pembangunan berkelanjutan (Davidson dan Maitland 1999: 208 & 210). Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan masih diperdebatkan tentang pengertian dan apa yang perlu dilakukan (Goodall dan Stabler 1997 dalam Davidson dan Maitland 1999: 211). Supaya pecinan berkelanjutan, hal-hal berikut ini perlu diperhatikan: potensi pariwisata untuk pembaharuan kondisi populasi pecinan dan keterlibatan mereka dalam perencanaan dan manajemen pengembangan kemitraan untuk perencanaan dan manajemen pariwisata pecinan. Perencanaan pariwisata melibatkan banyak aktor dan pelaksanaannya memerlukan beragam peraturan. Perencanaan ini memerlukan karakteristik sebagai berikut: visi supaya pelaksanaannya tidak menyimpang; kemitraan: pemerintah-pemerintah, pemerintahswasta dan swasta-swasta; cakupan strategi yang luas dan yang bersifat lintas departemen; strategi yang action-oriented, non-statutory dan jangka waktu yang pendek; penekanan diberikan pada kemitraan dan project-based organizations. (Davidson dan Maitland 1999: 220).
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Hierarki Kebutuhan Menurut Maslow
(terkait dengan kebutuhan penyandang cacat) Maslow (1943 dalam Ross 1998: 28) mengemukakan lima tingkat dalam hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan dan perwujudan jatidiri (self-actualization). Terkait dengan penyandang cacat, mereka pun mempunyai kebutuhan untuk menyatakan diri melalui kepuasan diri dan perwujudan jatidiri; dalam hal ini melalui kegiatan pariwisata. Mengapa penyandang cacat ingin melakukan perjalanan wisata ? Menurut Dann (1977 dalam Ross 1998: 31-32) ada dua faktor yang membuat mereka melakukan perjalanan, ialah faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong membuat penyandang cacat ingin bepergian, sedangkan faktor penarik adalah faktor yang memengaruhi kemana penyandang cacat akan pergi. Dann berpendapat ada dua alasan pokok yang membuat orang ingin bepergian, yaitu anomi dan peningkatan ego (ego enhancement). Karena orang hidup dalam masyarakat anomi, ada kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial yang tidak ditemui di tempat tinggalnya. Itu sebabnya ada kebutuhan untuk pergi jauh dari lingkungan rumah. Peningkatan ego berasal dari kebutuhan untuk diakui. Kalau di rumah, seseorang telah mempunyai posisi tertentu, di tempat pariwisata ia dapat menjadi orang lain. Ia dapat “melarikan diri” ke alam fantasi pada saat ia berlibur serta memuaskan diri dengan berbagai jenis perilaku yang mungkin sulit dilakukan di rumah. Suatu negara yang mengembangkan industri pariwisata akan berhadapan dengan beragam wisatawan. Sumberdaya ekonomi dan kondisi alam harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan bermacam orang yang akan berdarmawisata. Karena tiap negara mempunyai situasi yang unik, maka kondisi tertentu di suatu negara tidak serupa dengan kondisi negara lain (Spillane 1994: 33-34). Biasanya wisatawan tertarik untuk datang ke suatu lokasi karena ciriciri berikut ini: keindahan alam, iklim yang nyaman, kebudayaan, sejarah, suku bangsa tertentu serta aksesibilitas, yaitu kemudahan
Infrastruktur Pecinan …(Inge K.)
untuk mengakses lokasi tadi (Spillane 1994: 64). Bagi penyandang cacat pencapaian yang mudah ke lokasi wisata dan fasilitas yang aksesibel didalam lokasi wisata menjadi alasan paling pokok untuk mau mengunjungi suatu lokasi.
Pecinan Cacat
dan
Masalah
Penyandang
Di banyak negara, termasuk Indonesia, pecinan mempunyai daya tarik untuk dikunjungi karena bermacam alasan, tergantung dari kebutuhan pengunjung, antara lain: kuliner Cina, rempah dan obat Cina, tempat peribadatan kelenteng dan festival sehubungan dengan suatu peringatan atau perayaan. Pertanyaannya adalah “Apakah infrastruktur kawasan pecinan memberi kemudahan mobilitas sehingga dapat dikunjungi oleh penyandang cacat ? Apakah kawasannya bebas hambatan (barrier-free) sehingga pemakai kursi roda dapat berkeliling sendiri tanpa bantuan orang (independent)?” Disabled World (2008) menyebutkan kota Vancouver di Kanada sebagai salah satu kota yang paling aksesibel di dunia bagi wisatawan yang mempunyai keterbatasan mobilitas. Vancouver juga menjadi salah satu kota di dunia yang paling culturally-diverse, karena terjadi pembauran antara berbagai bangsa dan kebudayaan. Kota ini memiliki Chinatown nomor dua terbesar di Amerika Utara. Bagi orang yang memakai kursi roda, yang berjalan dengan tongkat putih (untuk orang tuna netra), yang berjalan dituntun anjing atau yang memakai hearing aids, maka pecinan di Vancouver adalah tempat yang nyaman dan aman. Tempat-tempat wisata dan transportasi umum mudah diakses. Bus kota berlantai rendah dan dilengkapi ram yang secara mekanis bisa diturunkan supaya pemakai kursi roda bisa masuk tanpa kesulitan. Pada tahun 2008 bus terakhir yang tidak dapat diakses oleh pemakai troli tidak difungsikan lagi. Jumlah parkir khusus ditambah dan izin parkir yang dimiliki wisatawan asing berlaku juga di Vancouver. Infrastruktur yang tidak mendiskriminasi pemakai, memberikan kebebasan penuh kepada wisatawan cacat untuk jalan-jalan sendiri dan menikmati
115
Vancouver. Karena kota ini sangat ramah-cacat, pecinannya mendukung prinsip pariwisata yang aksesibel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pecinan di Jakarta dan Bandung
Survei telah dilaksanakan di Jakarta dan Bandung. Berdasarkan kajian pustaka dan kompilasi data, isu pecinan tidak hanya menyangkut soal pelestarian kebudayaan Cina, tapi juga merupakan bagian dari perencanaan dan pengembangan kota. Sejauh mana peran pecinan di sebuah kota, tergantung dari sejarah terbentuknya kawasan ini dan kontribusi yang diberikan kepada perekonomian dan pengembangan kota itu. Karena yang diutamakan adalah perekonomian kota, sejak awal pecinan memang tidak direncanakan menjadi kawasan yang mudah diakses oleh penyandang cacat. Di Jakarta, Glodok-Pancoran menjadi bagian dari Kota Tua DKI Jakarta yang telah ditata kembali menjadi kawasan yang banyak dikunjungi orang. Bagi orang yang tidak menyandang cacat badan, pencapaian ke Jalan Pancoran mudah. Dengan berdirinya puluhan toko obat tradisional Cina, jalan ini menjadi wisata pengobatan atau wisata belanja obat Cina. Banyak toko obat dimiliki secara turun temurun, bahkan ada yang memiliki toko obat lebih dari empat generasi. Ditambah lagi dengan sejumlah tempat makan khas Cina, Glodok-Pancoran dapat menyebutkan diri sebagai kawasan wisata. Faktor yang mendukung pembentukan pecinan adalah bahwa kota yang letaknya dekat laut berpotensi besar mempunyai pecinan yang terus berkembang. Demikian pula dengan DKI Jakarta yang mengembangkan pecinan menjadi kawasan wisata belanja obat Cina dan kuliner. Saat ini pecinan ini tidak dapat atau sulit diakses oleh orang yang mempunyai keterbatasan dalam mobilitas. Di Bandung, kurang ada faktor-faktor pendukung yang mengembangkan pecinan menjadi industri pariwisata. Walaupun terdapat beberapa kawasan yang mayoritas penghuni
116
adalah masyarakat keturunan Cina yang menjalankan bisnis dengan sukses, namun tidak sampai menarik wisatawan untuk sengaja mengunjungi pecinan. Berbeda dengan pecinan Glodok-Pancoran yang pada tahun 1980an didatangi sejumlah artis Hong Kong yang menjadi pelanggan pelbagai restoran. Daya tarik seperti ini belum kelihatan di pecinan Bandung. Orang mendatangi pecinan karena suatu keperluan, bukan karena ingin menikmati hal-hal yang ditawarkan oleh pecinan. Potensi Bandung kearah pariwisata ada, sekurangnya kuliner, mengingat bahwa makanan dan kudapan khas Cina selalu diminati orang. Di kawasan dengan mayoritas Cina juga terdapat beberapa toko obat tradisional Cina, walaupun tidak sebanyak seperti di Glodok-Pancoran. Pemerintah kota perlu membuat perencanaan untuk merevitalisasi pecinan menjadi aksesibel. Penelitian yang in-depth perlu dilakukan agar dapat memberikan masukan dan umpan balik kepada pengambil keputusan dan pembangun untuk menginklusikan lingkungan yang bebas hambatan kedalam perencanaan.
Penyandang Cacat dan Desain Bebas Hambatan
Bagian ini menerangkan mengapa penyandang cacat memerlukan desain bebas hambatan. Dari semua jenis kecacatan, penyandang cacat tunadaksa (cacat pada kaki dan/ atau lengan) yang paling serius mengalami hambatan mobilitas. Kelompok tunadaksa dibagi dua subkelompok, yaitu: (lihat UNESCAP 1995: 10-11) (i) penyandang cacat ambulan. Mereka bisa jalan tanpa atau dengan alat bantu, seperti tongkat, penyangga badan, brace atau walking frame. Kadang mereka memerlukan bantuan orang untuk mobilitas. (ii) pemakai kursi roda. Mereka tidak bisa jalan dan kadang memerlukan bantuan orang. Untuk mobilitas, mereka tergantung pada kursi roda. Karena itu, mereka membutuhkan lingkungan binaan yang dilengkapi ram; lif; pegangan tangan; ruang toilet yang lebih luas; petunjuk yang jelas; jalan setapak, pintu dan selasar yang lebar. Fitur-fitur ini membuat pemakai kursi roda
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
mudah memasuki bangunan dan lingkungan eksternal. Dalam hal sirkulasi, pergerakan kursi roda dipandang paling kritis. Penyandang cacat ambulan, orang tunagrahita, orang tunanetra dan orang tunarungu tidak memerlukan ruang seluas seperti yang dibutuhkan orang untuk memanuver kursi roda (UNESCAP 1995: 11). Gedung, jalan, trotoar, transpor publik dan sistem komunikasi merupakan komponen dari lingkungan binaan. Barrier yang terdapat dalam komponen ini menghambat mobilitas penyandang cacat (UNESCAP 1999: 3). Proses perencanaan, pembangunan dan perancangan jarang dianalisis sebagai dasar pengembangan strategi yang baru. Biasanya proses dilakukan semata-mata sebagai masalah teknis. Bila perencanaan dan perancangan fisik serta penyediaan infrastruktur dan transpor umum dipahami sebagai kegiatan politis, besar kemungkinan untuk mencapai inti permasalahan. Sesungguhnya, hasil perencanaan lingkungan yang positif merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang menciptakan masyarakat yang mempunyai perhatian pada kebutuhan orang (a caring society). Masyarakat yang demikian mengakui adanya: hak asasi manusia, proses administratif yang kompleks yang melibatkan banyak orang dan organisasi, dan kesadaran untuk memelihara fasilitas setiap hari. Dalam hal ini sikap terhadap penyandang cacat dan orang jompo serta integrasi sosial merupakan faktor-faktor penting (UNESCAP 1995: 1). Lingkungan binaan merupakan suatu kontinuitas dari ruang. Desain bebas hambatan berarti memberikan kepada pemakai kemungkinan untuk menggunakan ruang dalam proses kontinuitas, yaitu mampu berjalan atau bergerak tanpa hambatan. Akan tetapi, hak untuk menggunakan ruang, atau disebut juga aksesibilitas, dihambat bukan saja oleh barrier fisik, tapi juga oleh aturan budaya, sosial dan ekonomi yang kompleks (ibid.). Misalnya, tangga yang tidak dilengkapi pegangan tangan
Infrastruktur Pecinan …(Inge K.)
pada kedua sisi membuat orang tunadaksa tidak bisa masuk sebuah gedung.
Sikap Masyarakat Harus Berubah
Karena penyandang cacat dan orang jompo membentuk sektor populasi yang cukup besar, pembangun jangan membuat perencanaan yang memisahkan antara orang yang menyandang cacat dan orang yang tidak menyandang cacat. Pendekatan seperti “merencanakan lingkungan untuk penyandang cacat” harus ditinggalkan, karena pendekatan seperti ini akan menghasilkan ram yang tidak direncanakan sejak awal tapi kemudian “terpaksa” dibangun dekat sebuah tangga. Bisa jadi menghasilkan ram yang tidak landai. Penyandang cacat menghendaki solusi desain yang inklusif yang mengintegrasilan kebutuhan fisik mereka ketika pembangun sedang dalam tahap perancangan. Perlakuan seperti ini menghasilkan lingkungan binaan yang lebih baik, tidak saja bagi para penyandang cacat tapi untuk semua kelompok masyarakat tanpa kecuali (Davies 1999:74-75). Penyandang cacat tidak bisa lagi dinilai sebagai model dengan masalah penyakit atau model “mengasihani mereka”. Kira-kira satu dekade yang lalu, berkembang prinsip “model sosial dari kecacatan” (social model of disability). Dengan model sosial ini, sikap masyarakat harus berubah dari yang tadinya memandang penyandang cacat sebagai orang sakit dan patut dikasihani menjadi orang yang mempunyai hak asasi manusia. Dengan pergeseran nilai seperti ini, maka faktor yang membuat mereka tidak bisa mengakses lingkungan binaan bukan disebabkan kecacatannya melainkan barrier fisik yang telah dibangun. Seorang penyandang cacat dapat mengatakan “Saya tidak bisa kuliah di perguruan tinggi ini, karena ada tangga yang mencegah saya masuk gedung ini”. Jadi, para profesional mempunyai peran besar dalam membangun lingkungan binaan yang aksesibel. Semua orang harus dapat mengakses bangunan tanpa kesulitan dan tanpa bantuan, seperti orang “normal” mengakses bangunan. “Sebuah ram harus dengan sendirinya disediakan dan bukan sesuatu yang harus dimohon supaya
117
dibangun” (Imrie 1996 dalam Davies 1999: 76, terjemahan bebas) (Davies 1999:75-76).
Pecinan yang Aksesibel
Davies (1999:82) menyatakan dengan jelas bahwa “kecacatan” dapat dikaitkan dengan pariwisata dan aktivitas seni. Para pembangun Kota Swindon, Inggris, berhasil menata kembali sebuah museum kereta api sehingga sangat mudah diakses oleh siapa pun, didalam gedung maupun di lingkungan luarnya. Hal ini pun bisa dilaksanakan di pecinan yang menjadi kawasan pariwisata. Dalam proses penataan kembali dan pembangunan, diselenggarakan banyak pertemuan antara kelompok penyandang cacat dan para pembangun setempat. Kelompok penyandang cacat bertahan pada prinsip aksesibilitas dan menolak proposal yang tidak mendukung akses dan integrasi mereka di masyarakat. Sejak awal perencanaan, mereka berperan sebagai penasehat bagi pembangun. Hasilnya, tidak saja museum mudah diakses, tapi juga gedung-gedung lain yang akan dibangun menginklusikan syarat-syarat aksesibilitas. Tempat parkir penyandang cacat ditempatkan dekat pintu masuk yang ada ram; pintu masuk dibuat ekstra lebar dan bisa dibuka otomatis bila pemakai kursi roda menekan suatu tombol. Sebagai hasil kerjasama antara pemakai dan para profesional, opini dan usulan pemakai dipertimbangkan untuk kemudian dilaksanakan. Kerjasama seperti ini sangat penting, karena ada desain tertentu yang hanya disadari pemakai sebagai hambatan, tapi tidak terpikirkan tingkat kesulitannya oleh pembangun (Davies 1999: 82-84). Proses seperti ini patut diikuti dan disesuaikan untuk mengubah lingkungan fisik pecinan menjadi aksesibel.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Survei yang telah dilakukan di Jakarta dan Bandung menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap keberadaan pecinan sebagai kawasan pariwisata. Memang, pecinan
118
di kota pantai lebih cepat berkembang dan mudah diidentifikasi, karena lokasinya merupakan tempat yang mula-mula ditempati oleh masyarakat Cina yang datang dari negara asalnya. Dengan jiwa berdagang yang melekat pada warga Cina, lokasi awal yang ditempati tentunya akan mengalami perkembangan. Lama kelamaan terbentuklah suatu pecinan yang secara fisik mudah dikenal. Tidak demikian dengan Kota Bandung yang terletak di pegunungan. Apa pun latar belakang terbentuknya pecinan, infrastruktur kawasan ini dinilai tidak dapat diakses oleh penyandang cacat. Definisi tentang “pecinan” tidak dirumuskan dengan suatu kepastian. Namun, dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa suatu kawasan disebut pecinan apabila kawasan itu mempunyai karakteristik sebagai berikut: kawasan didominasi oleh warga keturunan Cina adanya aktivitas bisnis adanya perayaan dan upacara tradisional Cina. Secara umum, pecinan adalah kawasan perdagangan dan tempat makan yang mempunyai daya tarik bagi penduduk lokal dan para wisatawan untuk memenuhi berbagai keperluan, dari kebutuhan sehari-hari hingga sekedar melihat-lihat dan makan-makan. Karena atraktif, pecinan perlu menghapuskan diskriminasi fisik terhadap semua pengunjung, lebih-lebih karena pecinan adalah kawasan pariwisata. Tidak hanya orang non-cacat yang diperkenankan datang, tetapi juga mereka yang mengalami hambatan mobilitas berhak datang. Secara tidak langsung, lingkungan yang penuh barrier menolak kedatangan penyandang cacat. Menjadi cacat fisik atau cacat mental bukan pilihan seseorang. Orang yang sehat dan lincah, tiba-tiba bisa jatuh dari tangga dan mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya. Akibatnya, ia harus memakai kursi roda seumur hidup. Itu sebabnya, penyediaan infrastruktur yang aman dan mudah dipakai harus secara otomatis diimplementasikan ketika membangun lingkungan binaan.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Saran
Untuk mengembangkan pecinan menjadi kawasan pariwisata, ada empat hal yang perlu dilakukan, yaitu menyusun masterplan, mengadakan sosialisasi, menyediakan infrastruktur dan mengembangkan pecinan (Kompas, 2008). Masterplan diperlukan supaya arah revitalisasi dan aksesibilitas pecinan jelas. Sosialisasi diberikan kepada masyarakat supaya memahami dan menyadari pentingnya penataan kembali pecinan. Penting pula membangkitkan kesadaran publik bahwa penyandang cacat harus diperlakukan setara dengan warga lain. Kalau tidak ada sosialisasi, masyarakat tidak bisa mendukung dan membantu kesuksesan revitalisasi dan aksesibilitas. Misalnya, penghuni sebuah rumah mengambil inisiatif menjaga rumahnya, yang merupakan bangunan tua, dengan memperbaiki rumahnya setiap tahun. Atas kesadaran sendiri, ia menyediakan biaya perbaikan rumah. Infrastruktur perlu difasilitasi oleh pemerintah dengan membangun jalan, jaringan listrik, telepon, saluran air bersih. Karena penyandang cacat mempunyai kebutuhan khusus, perlu disediakan fasilitas ram, pegangan tangan pada kedua sisi tangga dan toilet umum yang luas agar bisa digunakan oleh pemakai kursi roda dan orang yang berjalan dengan tongkat penyangga (kruk). Bila pembangun mengabaikan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 2006 tentang “Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan”, maka perlu ada sanksi berat. Untuk mengembangkan pecinan menjadi menarik, perlu ada aktivitas masa kini, seperti membuka jasa penginapan, tempat makan, kafe dan pertokoan. Pengembangan berbagai faktor pecinan secara serentak, termasuk sosial dan budaya, merupakan kunci untuk menghidupkan pecinan sebagai tempat wisata.
Infrastruktur Pecinan …(Inge K.)
-
Pemangku kepentingan (stakeholders) diajak berdialog merumuskan konsep.
Penerapan desain universal sangat tepat diimplementasikan di pecinan. Desain ini bukan merupakan desain untuk penyandang cacat saja, melainkan semua orang, tanpa kecuali. Orang harus dapat menggunakannya tanpa ia merasa dirinya “aneh” dimasyarakat umum. Peniadaan barrier menguntungkan bermacam kelompok sosial supaya mereka mempunyai kebebasan bergerak di lingkungan fisik dengan aman. Ram yang landai didepan pintu masuk hotel tidak saja digunakan wisatawan yang memakai kursi roda, tapi juga tamu yang membawa koper. Pecinan yang mudah diakses tentunya mendukung prinsip pariwisata yang aksesibel.
DAFTAR PUSTAKA Accessible Tourism. Wikipedia, the Free Encyclopedia. Internet dibuka 24 Maret 2009 Davidson, R. dan R. Maitland. 1999. “Planning for Tourism in Town and Cities”. Dalam Greed, C. H. (Ed) Social Town Planning, London and New York: Routledge, hal. 208220 Davies, L. 1999. “Planning for Disability: BarrierFree Living”. Di Greed, C. H. (Ed) Social Town Planning, London and New York: Routledge, hal. 74-89 Disabled World. 2008, December 12. A Disability and Seniors Information Community. Internet dibuka 29 Januari 2009 Drakakis-Smith, D. 2000. Third World Cities – second edition, London and New York: Routledge Greed, C. H. (Ed). 1999. Social Town Planning, London and New York: Routledge Istijanto Oei. 2008. Rahasia Sukses Toko Tionghoa, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas. 2008, 16 September. Sejarah Kota – Menanti Senyum Ratu dari Timur …, hal. 14 Puslitbang Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, Kab. Bandung. Laporan Akhir
119
Kegiatan Inovasi 2008 Pecinan di Bandung sebagai Potensi untuk Industri Pariwisata Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006, 1 Desember 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, Jakarta: Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Ross, G. F.; penerjemah Marianto Samosir. 1998. Psikologi Pariwisata, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
120
Travel, disability, law, United Nations. 2008, 21 Maret. Sumbernya : http://blogs.bootsnall. com/Scott+Rains/tourism-in-the-unitednations-convention-on-the-rights-ofpersons-with-disabilities-crpd.html. Internet dibuka 26 Mei 2009 UNESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific). 1999. Promotion of Non-Handicapping Physical Environments for Disabled Persons: pilot projects in three cities, New York: United Nations
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
KOMPARASI NILAI PARTIAL-OTTV PADA EAST-WALL BERBASIS U-VALUE= 2,6 DENGAN U-VALUE= 1,6 Oleh: Wied Wiwoho Winaktoe
Departemen Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia Depok 16424, E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 09 Februari 2009, Tanggal disetujui: 07 April 2009
Abstrak
Secara teoritik, dinding-Timur (obyek simulasi) iklim tropika-lembab dipersyaratkan untuk memiliki nilai u-value = 2,0 yang sebenarnya sulit tercapai karena struktur dinding yang popular (plester-bata-plester) cenderung memiliki u-value = 2,6. Peningkatan kuantitas u-value tersebut terkait dengan penurunan kuantitas resistance value (R) melalui hubungan 1/R = u-value; hal ini berarti bahwa nilai-resistensi dinding akan (selalu) sulit menahan laju transfer-panas (OTTV-partial). Riset ini ditujukan untuk mendefinisikan dampak u-value > 2,0 (yakni 2,6) atau u-value < 2,0 (yakni 1,6) terhadap OTTV-partial, kasus dinding-Timur bangunan gedung. Prosedur riset mencakup sejumlah tahapan, yakni: (a) model dinding-Timur yang bernilai u-value >2 (yakni 2,6) dan WWR = 0,40 diformulasi lalu divisualisasikan menggunakan Ecotect v5.50; (b) model dinding-Timur yang bernilai u-value < 2 (yakni 1,6) dan WWR = 0,40 diformulasi lalu divisualisasikan menggunakan Ecotect v5.50, (c) dinding-Timur dengan uvalue=2,6 menjadi input dalam OTTV ver 1; kalkulasi partial OTTV menghasilkan nilai 21,28 W/m 2, (d) dinding-Timur dengan u-value=1,6 menjadi input dalam OTTV ver 1; kalkulasi partial OTTV menghasilkan nilai 12,95 W/m2. Konklusi: U-value < 2 menghasilkan partial OTTV lebih kecil ketimbang u-value > 2; oleh karena itu struktur ber-u-value < 2 menerima transfer-panas parsial jauh lebih kecil karena memiliki resistensi panas yang jauh lebih besar Kata-kunci : Termal, transmitansi, u-value, dinding, OTTV
Abstract
Theoretically, East-wall (object of simulation) in hot-humid climate was required to had u-value of 2,0 which was difficult to obtain since the structure of popular wall (plaster-brick-plaster) would reach uvalue of 2,6. The increasing quantity of u-value denoted the decreasing quantity of resistance value (R) since 1/R = u-value meanwhile the consequence of the increasing u-value towards heat-transmittance value is interesting to find because u-value contributes to overall thermal transmittance value (OTTV). It was therefore this research was directed to find the impact of either u-value > 2,0 (i.e. 2,6) or u-value < 2,0 (i.e. 1,6) towards the OTTV at East-wall. Procedures involved certain steps: (a) modelling East-wall with u-value of 2,6; (b) modelling East-wall with u-value of 1,6; (c) put u-value of 2,6 into partial OTTV calculation using software of OTTV v1; (d) put u-value of 1,6 into partial OTTV calculation using software of OTTV v1. Results are (1) u-value of 2,6 produces partial OTTV of 21,28 W/m 2 and (2) u-value of 1,6 produced partial OTTV of 12,95 W/m2. These come up with the conclusions that (1) u-value < 2,0 tends to produce smaller partial OTTV compared to u-value > 2,0 and (2) the smaller u-value being created then the smaller heat-transmittance will be at the partial OTTV of East-wall. Keywords : Thermal, transmittance, u-value, wall, OTTV
Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.)
121
INTRODUKSI Iklim Tropika-Lembab
Indonesia terdeskripsi sebagai region beriklim tropika lembab yang bercirikan radiasi tinggi (>900 W/m2) (Olgyay 1963:175) namun velositas angin yang tak stabil di pusat kota ( 0 m/det atau >30 m/det) (Satwiko, et al, 2000). Tropika lembab merupakan iklim yang tersulit untuk ditangani dari sudut desain termal; variasi diurnal sering mencapai 5-7 deg C, bahkan kurang dari nilai tersebut. Hal terbaik yang dapat dicapai oleh desainer ialah memastikan bahwa kondisi indoor tak lebih buruk daripada kondisi outdoor yang menerima peneduhan (Szokolay 1980:334). Pada tropika lembab 68% beban termal berada di atas ambang thermal comfort; overheated period terjadi pada 9.0015.00 saat global irradiance mencapai 800 wh/m2 (Santosa, 2000). Partial OTTV OTTV merupakan prosedur standar mengenai konservasi energi yang menetapkan bahwa panas yang memasuki suatu selubung bangunan harus bernilai ≤ 45 W/m2. Perihal konservasi energi maka tema ini merupakan standar yang mesti dipenuhi dalam praktik jasa-konstruksi dan desain bangunan gedung (Anonim 1998); ketentuan yang sama sebenarnya telah ditunjukkan oleh sejumlah referensi dalam dunia praktik profesi Arsitek Amerika, misal referensi tentang analisis ekonomi energi(Anonim 1982a), HVAC, teknik evaluasi energi bangunan, energi dan rekayasa tapak(Anonim 1982d), atau analisis energi (Watson, 1993). Ketetapan mengenai OTTV telah wajib diterapkan sejak 1993 (Anonim 1993); selanjutnya standar ini disempurnakan pada tahun 2000 (Anonim 2000) yang kian mengukuhkan peran vital prosedur ini dalam praktik rancang-bangun. Ekuasi OTTV yang paling mutakhir memuat sejumlah variabel yang nilai-nilainya dapat diperoleh melalui tetapan tertentu (default) maupun kalkulasi sesuai kondisi tertentu (customize).
122
Partial OTTV (OTTVi) merupakan kalkulasi OTTV pada façade tertentu yang menjadi input lanjutan dalam total OTTV (kalkulasi OTTV pada seluruh selubung). Rumus partial OTTV yakni: OTTVi
=
[(Uw x (1-WWR)] x TDek + (SC x WWR x SF) + (Uf x WWR x T)
Nomenklatur = absorbtansi radiasi matahari Uw
= transmitansi termal dinding tak tembus cahaya (Watt/m2.K). Nilai Uw didapatkan dari rumus Uw=1/Rtotal (resistivitas). Nilai Rtotal didapatkan dari jumlah R, R=t/k. Dimana t adalah tebal bahan dan k adalah konduktivitas. Nilai t dan k berdasarkan jenis lapisan luar dinding yang dipakai. WWR = perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding luar pada orientasi yang ditentukan. WWR=luas jendela/luas dinding tak tembus cahaya. TDEk SC
= beda temperatur ekuivalen (K). = koefisien fenetrasi.
peneduh
dari
sistem
Mempunyai nilai tetap SC=0,5. SF
= faktor radiasi matahari (W/m2)
Uf
= transmitansi (W/m2.K).
termal
fenestrasi
Nilainya didapatkan dengan metode perhitungan yang sama dengan Uw. T
= beda temperatur perencanaan antara bagian luar dan bagian dalam. T = 5 deg C.
U-value merupakan salah satu input yang paling membutuhkan rutinitas dalam kalkulasi OTTVi; memahami kecenderungan implikatif dari uvalue terhadap OTTVi pada fase pra-kalkulasi maupun pada fase penentuan strategi
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
pengendalian nilai OTTV akan sangat membantu desainer agar sejak awal merancang komponen dinding yang mampu mereduksi nilai perpindahan panas. Software OTTV ver1 Prosedur kalkulasi partial OTTV maupun total OTTV sangat menguras energi dan waktu; pada sisi lain, pengabaian terhadapnya takkan membawa manfaat apapun karena OTTV merupakan sarana konservasi energi pada bangunan gedung, bahkan di sejumlah negara ASEAN, OTTV menjadi persyaratan wajib untuk memperoleh Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Berdasar hal tersebut software OTTV ver 1 (Winaktoe, 2008) diformulasi guna meningkatkan kapabilitas desainer perihal pemetaan nilai perpindahan-panas dan menemukan lokus serta variabel yang berpotensi sebagai solusi problem OTTV.
TEORI Keseluruhan bangunan sebaiknya berbobot ringan guna mempermudah pendinginan saat malam, yakni pada waktu suhu-tinggi sangat sulit ditoleransi ketimbang pada waktu siang hari. Dinding Timur dan Barat sebaiknya (a) tak memuat jendela guna mempersulit penetrasi radiasi dari altitude-rendah matahari, (b) memiliki permukaan reflektif, (c) insulasi resistif (Szokolay 1980:334). Pada iklim yang memiliki rentang suhu-tinggi, dinding eksternal sebaiknya menyertakan kalkulasi time lag guna memoderasi suhu internal (Evans 1980:101). Demi respon yang cepat serta kapasitas penyimpanan-panas yang rendah maka ketebalan dinding homogen sebaiknya < 100mm (lebih diprioritaskan bila bernilai < 75mm meski terdapat kesulitan penerapannya). (Evans 1980:101) Pada tropika-lembab, konstruksi dinding yang ringan pula tipis akan sangat ideal bila dipergunakan pada ruang tidur karena pendinginan secara cepat dibutuhkan saat malam (Givoni, 1998:397). Pada ruang yang dimanfaatkan siang hari maka kemampuan
Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.)
penyimpanan-panas yang tinggi akan menjadi faktor yang menguntungkan karena ia akan meredukasi peningkatan suhu udara internal. Pada ruang yang dimanfaatkan saat siang, sore, dan malam (misal: ruang keluarga, dapur, serba guna) maka dinding internal yang ringan sangatlah diprioritaskan sebagai pilihan. (Evans 1980:102) Tabel 1 . Properti Termal Dinding di Iklim Tropika Lembab Element, Climate and Condition
‘U’ Value
q/l
Time lag
West wall
2.0
3.0
0-5
East, south and north walls
2.0
4.0
0-5
Walls shaded from direct solar radiation
2.8
-
0-14
(Sumber: EVANS 1980: 98)
ARAH DAN TUJUAN RISET Tabel 1 menunjukkan bahwa East wall (obyek simulasi; Lihat sub bab Obyek Riset) dipersyaratkan untuk memiliki u-value = 2,0; nilai tersebut sulit dipenuhi secara konvensional karena struktur-dinding yang populer (plesterbata-plester) cenderung memiliki u-value= 2,6 (Gbr 2). Informasi dari peningkatan nilai u-value hanya mendeskripsikan bahwa nilai resistensi panas (R) kian mengecil (1/R = u-value) sedangkan konsekuensi dari peningkatan uvalue terhadap perpindahan panas belumlah diketahui. Oleh karena itu riset ini diarahkan untuk mengetahui konsekuensi u-value > 2 (yakni 2,6) dan u-value < 2 (yakni 1,6) terhadap perpindahan panas pada dinding tersebut, yakni partial OTTV.
METODE RISET Obyek Riset
Model simulasi merupakan East-wall yang berada pada sembarang ruang (dummy) dalam konteks latitude 7 LS; posisi matahari pada jam 10.00 W.I.B., Maret. (Gbr 1)
123
Alat Simulasi
Deskripsi mengenai struktur material East-wall divisualisasikan menggunakan software Ecotect v.5.50; sedangkan untuk menghitung U-value East-wall serta partial OTTV maka dipergunakanlah software OTTV ver 1 (2008).
Prosedur
(a). Model East-wall yang bernilai U-value >2 (yakni 2,6) diformulasi lalu divisualisasikan menggunakan Ecotect v5.50. (Gbr 2); nilai WWR = 0,40 (b). Model East-wall yang bernilai Uvalue < 2 (yakni 1,6) diformulasi lalu divisualisasikan menggunakan Ecotect v5.50. (Gbr 4); nilai WWR = 0,40 (c). East-Wall dengan u-value=2,6 menjadi input dalam OTTV ver 1; kalkulasi partial OTTV menghasilkan nilai 21,28 W/m2. (Gbr 3) (d). East-Wall dengan u-value=1,6 menjadi input dalam OTTV ver 1; kalkulasi partial OTTV menghasilkan nilai 12,95 W/m2. (Gbr 6)
Gbr 1. Konteks Klimatik East-Wall (Sumber: Ecotect v.5.50)
Gbr 2. Struktur East-Wall, U-Value= 2,6 (Sumber: Penulis menggunakan Ecotect v.5.50, 2008)
124
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Gbr 3. Kalkulasi U-Value= 2,6 untuk Partial OTTV (Sumber: Penulis menggunakan OTTV v.1, 2008)
Gbr 6. Kalkulasi U-Value= 1,6 untuk Partial OTTV (Sumber: Penulis menggunakan OTTV v.1, 2008)
HASIL DAN DISKUSI Simulasi menggunakan OTTV ver 1 menunjukkan bahwa u-value 2,6 Watt/m2K menghasilkan partial OTTV pada facade East sebesar 21,28 W/m2; pada sisi lain u-value 1,6 Watt/m2K menghasilkan partial OTTV pada facade East sebesar 12,95 W/m2 .
Gbr 4. Struktur East-Wall, U-Value= 1,6 (Sumber: Penulis menggunakan Ecotect v.5.50, 2008)
Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.)
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada u-value < 2 (standar u-value untuk East-wall; lihat Tabel 1), yakni 1,6 maka transfer-panas parsial lebih kecil daripada transfer-panas parsial pada uvalue > 2, yakni u-value = 2,6. Oleh karena itu penggunakan struktur pada gambar 4 yang menyertakan insulasi fibre pra-cetak (Gbr 4) dapat dikatakan menerima panas lebih kecil ketimbang struktur konvensional tanpa insulasi (Gbr 2).
125
Hasil-hasil ini selaras dengan hubungan kasualistik yang diperlihatkan oleh ekuasi OTTVi, yakni bahwa u-value berbanding lurus dengan partial OTTV. Berdasar algoritma yang dibangun dalam kalkulasi u-value dapat dinalar bahwa semakin besar nilai u-value maka semakin kecil nilai resistensi panas suatu komponen (R); pada kasus nilai u-value 1,6 (R = 0,60) – 2,6 (R = 0,39) maka dapat dinyatakan bahwa struktur pada gambar 4 yang menyertakan insulasi fibre pra-cetak (Gbr 4) lebih mampu menahan panas ketimbang struktur konvensional tanpa insulasi (Gbr 2).
KONKLUSI U-value < 2 menghasilkan partial OTTV lebih kecil ketimbang u-value > 2; oleh karena itu struktur ber-u-value < 2 menerima transferpanas parsial jauh lebih kecil karena memiliki resistensi panas yang jauh lebih besar.
Gbr 7. U-Value= 2,6 OTTV Partial = 21,28 W/m2 (Sumber: Penulis menggunakan OTTV v.1, 2008)
Gbr 8. U-Value= 1,6 OTTV Partial = 12,95 W/m2 (Sumber: Penulis menggunakan OTTV v.1, 2008)
126
PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terimakasih kepada (1) Euis Marlina yang telah membantu mengembangkan proposal OTTV, (2) Raditya Jati, S. Si., M. Si. yang menularkan ide tentang Decision Support System, (3) Abdul Aziz, S. T. yang berbagi informasi tentang genetic algorithm, dan (4) Agus Haryadi, S.T. yang telah berkenan berbagi informasi tentang software teknologi bangunan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1992. Pedoman Tata Cara Perancangan Konservasi Energi pada Bangunan Gedung. Bandung: Departemen Pekerjaan Umum, Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Anonim. 1993. SK SNI T-14-1993-03 tentang Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung. Bandung: Yayasan LPMB, Departemen Pekerjaan Umum. Anonim. 1998. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Nomor: 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Jakarta: Penerbit PU. Anonim. 2000. SNI 03-6389-2000 tentang Konservasi Energi pada Bangunan Gedung. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Baruch Givoni. 1998. Climate Considerations In Building and Urban Design. New York: Van Nostrand Reinhold. Donald Watson. 1993. The Energy Design Handbook. Washington: The American Institute of Architects Press. Martin Evans. 1980. Housing, Climate, and Comfort. London: The Architectural Press Limited. Mas Santosa, 18 November 2000. Arsitektur Surya, Sebuah Fenomena Spesifik untuk Daerah Tropis Lembab. Surabaya: U.K. Petra. Prasasto Satwiko, Soesilo Budi Leksono, O.Th. Kristantoro. 2000/2001. Proposal Collaborative Research Grant Program: Pengembangan Sistem Ventilasi Atap Tenaga Angin dan Surya (SIVATAS). Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
S.V. Szokolay. 1980. Environmental Science Handbook for Architects and Builders. England: The Construction Press Ltd. Victor Olgyay. 1963. Design with Climate. USA: Princeton University Press.
Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.)
Wied Wiwoho Winaktoe. 2008. Laporan Akhir Penelitian Regular: Model Komputasional Overall Thermal Transmittance Value (OTTV). Surakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, UMS.
127
METODE ANALISA DATA VARIABEL SOSIAL BIDANG PERMUKIMAN Oleh: Yulinda Rosa
Pusat Litbang Permukiman, Jl. Panyawungan Cileunyi Wetan - Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 03 Maret 2009, Tanggal disetujui : 19 Juni 2009
Abstrak
Pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan adalah suatu konsep pembangunan dengan mempertimbangkan tiga pilar yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Analisa sosial merupakan hal yang penting dilakukan untuk mendapatkan pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan. Terdapat dua metode analisa data secara statistik yaitu deskriptif dan induktif. Metode analisa deskriptif merupakan tahap awal untuk melakukan analisa induktif. Hasil analisa deskriptif memberikan gambaran untuk sejumlah objek yang diteliti, tidak dapat digeneralisasi untuk kelompok yang lebih besar. Data variabel sosial bidang permukiman merupakan data kualitatif. Untuk data variabel sosial bidang permukiman yang diukur melalui kuesioner tertutup terstruktur, analisa deskriptif dilakukan dengan terlebih dahulu membuat distribusi frekwensi. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam pembuatan distribusi frekwensi variabel sosial, diantaranya adalah dengan menggunakan nilai skor kumulatif dari seluruh item yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut, dan metode strugle’s. Ukuran letak dan ukuran penyebaran yang digunakan dalam analisa deskriptif data kualitatif variabel sosial bidang permukiman adalah rata-rata, modus, persentase, proporsi sebagai ukuran letak, sedangkan ukuran penyebaran diukur melalui nilai range (selisih nilai terbesar dan terkecil). Ukuran rata-rata dalam analisa data kualitatif variabel sosial bidang permukiman diwakili melalui ukuran modus. Metode analisa deskriptif yang digunakan dalam pembahasan ini adalah melalui pembuatan distribusi frekwensi dengan menggunakan nilai skor kumulatif seluruh item yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut. Kata kunci : Variabel sosial, data kualitatif, kuesioner, analisa deskriptif, skor kumulatif
ِ◌Abstract
Housing and residential sustainable development is a concept of development by considering the three pillars, economic, social and environmental. Social analysis is important to make sustainable development of housing and settlement. There are two methods of statistical analysis of data that is descriptive and inductive. Descriptive method of analysis is to conduct the initial phase of inductive analysis. Descriptive analysis results provide a number of objects examined, that can not be generalized for larger groups. Variable data of the structured social settlement is qualitative data. Data for the residential areas of social variables measured through the closed questionnaire, descriptive analysis is done by first making a frequency distribution. Some methods use in creating the frequency distribution of social variables such as using the value of the cumulative score of all items used to measure these variables, and the strugle’s method. Location and dispertion measurement used in descriptive analysis of qualitative data field of variable data social settlement is the average, mode, proportion, percentage, as the location measurement, while the dispersion measurement is value range (difference between largest and smallest values). Average measurement in qualitative data analysis of the social variable of the settlement is represented by mode. Descriptive method of analysis used in this discussion is through the making of the frequency distribution, using the value of the cumulative score of all items used to measure these variables. Keywords : Social variable, qualitative data, questionnaire, descriptive analysis, cumulative score
128
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
PENDAHULUAN Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan adalah pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan dengan mempertimbangkan tiga pilar yaitu: ekonomi, lingkungan hidup dan sosial (Deklarasi Johanesburg) secara holistik. Dalam pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan, lingkungan hidup adalah sumber daya yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dalam pemanfaatan ini sumber daya akan mengalami perubahan. Namun perubahan sumber daya harus disertai dengan usaha agar fungsi ekologinya dapat berlanjut (Soemarwoto, 2006). Faktor sosial merupakan satu dari tiga pilar yang perlu dipertimbangkan secara holistik, untuk mencapai suatu pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi manusia (masyarakat) saat ini, dengan tetap menjaga kualitas lingkungan. Pembangunan tersebut tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penelitian bidang sosial merupakan suatu hal penting yang perlu dilakukan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan sosial yang terkait dengan pembangunan perumahan dan permukiman. Pengukuran, pengolahan dan analisa data merupakan tahapan yang umumnya dilakukan dalam penelitian sosial. Tingkat akurasi dan objektivitas hasil pengukuran variabel sosial, sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam memilih alat (instrumen) yang digunakan dan cara menggunakan instrumen tersebut ketika melakukan pengukuran. Alat ukur variabel sosial pada umumnya belum distandarkan, oleh karena itu ketika akan melakukan pengukuran terlebih dahulu dibuat alat ukurnya. Langkah selanjutnya dilakukan pengolahan data. Saat ini berbagai program komputer yang dapat digunakan untuk membantu pengolahan data, sehingga dapat dilakukan dengan cepat
Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa)
diantaranya adalah Exel, SPSS, Systat, dan Microstat. Dalam tulisan ini akan dibahas Metode Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman, yang merupakan langkah lanjutan (setelah pengukuran dan pengolahan data) yang perlu dilakukan, untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian. Permukiman di bangun untuk memenuhi kebutuhan manusia akan tempat tinggal. Adanya kelompok manusia (masyarakat), maka tidak akan terlepas dengan adanya permasalahan sosial. Keamanan lingkungan merupakan salah satu persyaratan yang harus di penuhi dan menjadi tuntutan sekelompok manusia yang tinggal di lingkungan permukiman. Persyaratan keamanan berkaitan dengan aman dari segala bencana yang mungkin terjadi, seperti aman terhadap bencana kebakaran, aman terhadap bencana banjir, aman terhadap bencana longsor dan bencana lainnya. Dalam mencapai keamanan lingkungan terhadap bahaya bencana kebakaran di lingkungan permukiman, khususnya untuk permukiman padat, adanya keterlibatan masyarakat merupakan salah satu langkah penting yang perlu dipertimbangkan. Ditambah lagi dengan adanya keterbatasan sarana dan prasarana lingkungan yang ada di permukiman padat, dan terbatasnya kemampuan pemerintah (SDM dan peralatan terbatas) untuk menangani bencana tersebut, maka keterlibatan masyarakat menjadi lebih penting lagi.
Maksud
Melakukan analisa data variabel sosial bidang permukiman (studi kasus persepsi masyarakat terhadap keterlibatan mereka dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman) yang diukur melalui alat ukur kuesioner. Kuesioner tersebut terdiri dari itemitem pertanyaan dengan pilihan jawaban dari setiap item pertanyaan telah ditentukan (instrumen kuesioner tertutup terstruktur).
129
Tujuan
Mendapatkan informasi dari data yang telah dikumpulkan, sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan dalam penelitian .
TINJAUAN PUSTAKA Fase Analisa Data secara Statistik
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian sosial, tergantung dari informasi yang dikehendaki dari penelitian tersebut. Menurut Sudjana (1982), terdapat dua fase metoda analisa data secara statistik yaitu analisa deskriptif dan induktif. Penentuan metode analisa data yang akan digunakan tergantung dari tujuan penelitian, metode tersebut yaitu: 1) Analisa data deskriptif adalah suatu teknik analisa yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap obyek yang diteliti (berupa data dari sampel atau populasi) apa adanya, tanpa memberikan atau membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Analisa pada tahap ini sering digunakan sebagai tahap awal dalam melakukan analisa data secara induktif. 2) Analisa data induktif adalah suatu metode yang digunakan dalam rangka melakukan penarikan kesimpulan dari jumlah objek penelitian terbatas (sampel) ke dalam suatu objek penelitian yang lebih besar (populasi). Analisa data induktif merupakan tahap lanjutan dari analisa data deskriptif. Penarikan kesimpulan secara umum ini dapat dilakukan bila data yang diteliti (data sampel) memenuhi persyaratan dalam pengambilan objek penelitian yang representatif (data sampel harus dapat menggambarkan data populasi) dari seluruh objek penelitian yang ada (populasi).
Variabel Sosial
Objek telaahan penelitian sosial adalah gejalagejala sosial (social phenomena) atau kenyataan-kenyataan sosial (social fact) seperti: kemiskinan, kegotong-royongan,
130
konflik, motivasi, kepatuhan, kesetiaan, kedisiplinan, persepsi dan lain sebagainya (Faisal, 2005). Permasalahan sosial merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengadaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat. Pengukuran permasalahan sosial dilakukan melalui variabel-variabel yang yang membentuknya. Variabel adalah karakteristik unit amatan yang menjadi perhatian yang nilainya dimungkinkan bervariasi antara satu unit amatan dengan unit amatan yang lain (Sitinjak & Sugiarto, 2006). Karakteristik unit amatan yang dijadikan pengamatan dalam penelitian permasalahan sosial adalah karakteristik yang terkait dengan permasalahan sosial yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Sedangkan permasalahan sosial menurut Korotayev (2006), dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yaitu: 1) faktor ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain; 2) faktor budaya seperti perceraian, kenakalan remaja, dan lain-lain; 3) faktor biologis seperti penyakit menular, keracunan makanan, dan lain-lain; 4) faktor psikologis seperti penyakit saraf, stres, persepsi, partisipasi, dan lain-lain. Permasalahan sosial dapat diukur melalui variabel-variabel yang membentuk faktor permasalahan sosial. Variabel yang membentuk faktor permasalahan sosial diturunkan melalui teori atau pendapat para ahli (Rosa, 2008).
METODOLOGI Metode analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Metode analisa data kualitatif. Dalam tulisan ini akan dibahas metode analisa data statistik pada fase deskriptif untuk data kualitatif dengan menggunakan frekuensi kumulatif, diukur melalui alat ukur (instrumen) kuesioner, yang umumnya digunakan dalam penelitian sosial. Alat ukur (instrumen) faktor sosial yang umumnya digunakan adalah: angket (kuesioner), pedoman wawancara, panduan observasi, form pencatatan dokumen, dan
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
soal-soal dalam tes (Faisal, 2005). Pengukuran dilakukan terhadap objek penelitian setelah alat ukur (instrumen) yang tepat dibuat. Penelitian dilakukan terhadap sampel dipilih secara studi kasus, berdasarkan masukan para ahli (Dinas Pemadam Kebakaran dan kelurahan). Beberapa hal yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan adalah sampel terletak di lokasi padat, dan pernah diberikan program pemerintah terkait dengan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman melalui pembentukan organisasi SATLAKAR (Satuan Relawan Kebakaran). Terdapat dua program yang pernah diberikan oleh pemerintah, yaitu dalam bentuk peningkatan pengetahuan yang dilakukan melalui penyuluhan dan bantuan peralatan (pompa jinjing ringan, alat pemadam api ringan (APAR). Sejumlah sampel yang diambil dari lokasi pemilihan dilakukan secara acak. Untuk mempermudah dalam pembahasan, di bawah ini akan diuraikan analisa terhadap salah satu faktor permasalahan sosial di lingkungan permukiman yaitu persepsi masyarakat terhadap keterlibatan mereka dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. Permasalahan ini muncul karena tingginya kejadian kebakaran di lingkungan permukiman padat penduduk, khususnya di DKI Jakarta. Kejadian kebakaran di permukiman padat DKI Jakarta rata-rata dua sampai tiga kali sehari (Dinas Pemadam Kebakaran, 2006) dan terbatasnya kemampuan pemerintah khususnya Dinas Pemadam Kebakaran dalam menanggulangi kejadian kebakaran sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat. Perilaku masyarakat bersedia untuk terlibat dalam kegiatan penanggulangan kebakaran di lingkungannya sangat tergantung pada pembentukan persepsi positif di masyarakat terhadap kegiatan tersebut. Persepsi yang baik dan benar diperlukan, sebab persepsi merupakan dasar pembentukan sikap yang akan berlanjut pada perilaku. Thorndike (1968) dikutip oleh Harihanto (2004).
Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa)
METODE ANALISA PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KETERLIBATAN MEREKA DALAM PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN Penyediaan lahan merupakan unsur utama yang dibutuhkan dalam pengadaan perumahan dan permukiman. Dengan adanya pembangunan terjadi perubahan fungsi lahan menjadi lahan perumahan. Dalam pemanfaatan lahan untuk perumahan dan permukiman harus dipertimbangkan tiga pilar yaitu: ekonomi, lingkungan hidup dan sosial. Lahan beserta unsur-unsur yang ada di dalam dan di atas lahan merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumber daya alam termasuk lahan, jumlahnya terbatas. Keterbatasan ini semakin terasa bila pembangunan dilakukan di perkotaan, sehingga menimbulkan banyak permasalahan. Berbagai program pemerintah diciptakan untuk mencapai pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan. Salah satunya melalui program pemeliharaan keamanan lingkungan dengan penyertaan masyarakat, yaitu penyertaan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. Program partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman, diawali dengan pelaksanaan sosialisasi untuk menyamakan persepsi antara pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan sosialisasi diadakan untuk membentuk persepsi positif di masyarakat terkait dengan program ini. Untuk mengetahui gambaran persepsi masyarakat terhadap keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman, dilakukan penyebaran kuesioner terhadap 40 (sampel awal) responden yang tinggal di RW-02, Kelurahan Kampung Rawa yang berjumlah 2.407 orang. Kelurahan Kampung Rawa merupakan salah satu dari tujuh kelurahan yang digolongkan rawan bencana yang berada di wilayah Jakarta Pusat. Kelurahan Kampung Rawa dipilih sebagai lokasi penelitian atas saran
131
dari Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta. Karena kelurahan ini sudah diberikan seluruh program pemerintah terkait dengan pembinaan masyarakat, untuk terlibat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungannya melalui pembentukan organisasi SATLAKAR (Satuan Relawan Kebakaran), serta bantuan dalam bentuk peralatan sederhana untuk pemadaman kebakaran tahap awal berupa pompa jinjing ringan, alat pemadam api ringan (APAR). Tujuan dari pembinaan masyarakat tersebut adalah untuk membentuk persepsi yang baik dan benar (persepsi positif), terkait dengan pelibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungannya. Untuk mengetahui hasil dari sosialisasi yang telah dilakukan, perlu dievaluasi, salah satunya dengan mengetahui persepsi masyarakat terhadap pelibatannya dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan tempat tinggalnya. Sedangkan pemilihan RW 02, karena RW ini terletak di lokasi padat penduduk. Penentuan 40 orang (KK) responden dilakukan berdasarkan pertimbangan keterbatasan dana, tenaga dan waktu, serta sampel awal tersebut cukup untuk memberikan informasi awal kondisi Kelurahan Kampung Rawa (masukan dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Lurah Kampung Rawa). Terhadap data yang terkumpul, dilakukan analisa secara deskriptif, sedangkan analisa selanjutnya yaitu analisa induktif berada di luar pembahasan tulisan ini.
ANALISA DESKRIPTIF PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KETERLIBATAN MEREKA DALAM PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN Beberapa metode analisa data deskriptif yang umumnya digunakan adalah : ukuran letak dilihat melalui besaran modus, median, mean, desil, persentil. Sedangkan untuk ukuran variasi kelompok dilihat melalui besaran simpangan baku, varians, dan rentang. Hasil analisa data deskriptif memberikan informasi untuk memberikan gambaran dari sejumlah sampel yang diambil, tanpa melakukan generalisir untuk
132
kelompok yang lebih besar. Berdasarkan data dari 40 responden yang diambil sebagai sampel awal, didapatkan hasil analisa deskriptif akan diuraikan di bawah ini. Untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman terlebih dahulu perlu dibuat alat ukur. Alat ukur yang akan digunakan adalah kuesioner dengan itemitem pertanyaan dan alternatif jawaban yang telah ditentukan. Pembuatan item-item pertanyaan dilakukan berdasarkan tahapan sebagai berikut: 1) Penentuan kawasan indikator ukur persepsi masyarakat terhadap keterlibatannya dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. Penentuan kawasan indikator ini dilakukan berdasarkan teori. Persepsi masyarakat terhadap lingkungan terbentuk melalui proses kognisi, afeksi dan konasi (Haryadi & B. Setiawan, 1995); 2) Penyusunan item-item pertanyaan dalam kuesioner diturunkan dari indikatorindikator kognisi, afeksi dan konasi dalam keterlibatan masyarakat terhadap penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman dan keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. 3) Tingginya kejadian kebakaran di lingkungan permukiman (DKI Jakarta 746 kali pada tahun 2004), dan lebih dari 90% terjadi di lingkungan permukiman yang padat. Ciri-ciri umum untuk lokasi permukiman padat adalah terbatasnya sarana dan prasarana (jalan, air dan saluran drainase) permukiman. Kondisi lingkungan seperti ini menyebabkan sulitnya bantuan pemadam kebakaran (mobil pemadam) tiba di lokasi kebakaran. Disamping itu terbatasnya sarana dan prasarana serta personal pemadam kebakaran membuat bantuan barisan pemadam kebakaran datang terlambat ke lokasi bencana, sehingga kejadian bencana kebakaran besar tidak dapat dihindari. Melihat kondisi ini, maka perlu dicari solusi untuk menurunkan frekwensi kejadian kebakaran, salah
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
4)
satunya melalui pelibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungannya. Masyarakat di sekitar lokasi bencana kebakaran lebih dekat dan dapat lebih cepat melakukan pemadaman kebakaran di lingku-ngannya. Oleh karena itu melalui Dinas Pemadam Kebakaran dengan dibantu oleh pejabat/personil kelurahan dan kecamatan, serta Departemen Pekerjaan Umum dibuat program pelibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran dilingkungan tempat tinggalnya, melalui pembentukan organisasi SATLAKAR (Satuan Relawan Kebakaran). Salah satu dari program ini adalah membentuk persepsi positif di masyarakat kaitan dengan organisasi SATLAKAR. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungannya terhadap bahaya bencana kebakaran, dan memberikan pengetahuan pada masyarakat kaitan dengan pemadaman awal ketika terjadi kebakaran. Untuk mencegah terjadinya kebakaran besar, yang dilakukan melalui kegiatan sosialisasi. Berdasarkan informasi tersebut, disusun 26 item pertanyaan untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman, dengan lima alternatif jawaban yang telah ditentukan untuk setiap item (kuesioner terstruktur dan tertutup).
Penentuan besar nilai ukuran-ukuran variabel, untuk mempermudah dalam mendapatkan nilai yang tepat, terlebih dahulu data dikelompokkan dalam tabel distribusi frekuensi. Beberapa cara yang biasa digunakan untuk membuat tabel distribusi frekwensi, diantaranya adalah metode strugle’s, dan aturan nilai skoring kumulatif. Dalam tulisan ini akan dibahas penentuan distribusi frekwensi dengan menggunakan nilai skoring kumulatif. Pengukuran persepsi masyarakat terhadap keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman, dilakukan melalui 26
Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa)
item pertanyaan yang telah disebarluaskan pada 40 orang responden. Dengan alternatif jawaban untuk masing-masing item adalah : 1) Benar sekali, ketika responden menyatakan sangat mendukung terhadap pernyataan yang diberikan. 2) Benar, ketika responden menyatakan mendukung terhadap pernyataan yang diberikan. 3) Ragu-ragu, ketika responden menyatakan menerima saja pernyataan yang diberikan. 4) Salah, ketika responden menyatakan menolak pernyataan yang diberikan 5) Salah sekali, ketika responden menyatakan sangat menolak terhadap pernyataan yang diberikan. Dengan nilai skor untuk masing-masing alternatif jawaban untuk kalimat positif (pernyataan benar) adalah sebagai berikut : No. 1 2 3 4 5
Alternatif Jawaban Salah sekali Salah Ragu-ragu Benar Benar sekali
Skoring 1 2 3 4 5
Dan untuk kalimat negatif (pernyataan salah) adalah sebagai berikut : No. 1 2 3 4 5
Alternatif Jawaban Salah sekali Salah Ragu-ragu Benar Benar sekali
Skoring 5 4 3 2 1
Dengan menggunakan garis bilangan dapat digambarkan sebagai berikut : Nilai skor dalam skala pengukuran ordinal Untuk kalimat pernyataan positif 1 2 3 4 5 Salah Sekali
Salah
Raguragu
Benar
Benar Sekali
133
Untuk kalimat pernyataan negatif 1 2 3 4 Benar Sekali
Benar
Raguragu
hanya berlaku untuk responden tersebut, tidak dapat ditarik untuk kelompok yang lebih besar (deskriptif). Interpretasi hasil analisa deskriptif berdasarkan total skor adalah sebagai berikut :
5
Salah
Salah Sekali
Tabel 1. Interpretasi Analisa Deskriptif Persepsi Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan Total Skor (Kelas Interval) Kelas Interpretasi Analisa Interval Deskriptif terhadap Persepsi Total Skor Masyarakat 26 – 38 Sangat Salah 39 – 64 Salah 65 – 92 Cukup 93 – 116 Baik 117 – 130 Sangat Baik
Skor kumulatif nilai dari ke-26-item tersebut adalah : Skoring/ Item 1 2 3 4 5
No. 1 2 3 4 5
26
39*
52
Skoring Kumulatif Untuk 26 Item 26 52 78 104 130
65*
Kalimat positif : Salah Salah Sekali
78
93*
Raguragu
Kalimat negatif : Benar Benar RaguSekali ragu
104
117*
130
Benar
Benar Sekali
Salah
Salah Sekali
Nilai skor minimal 26, di dapatkan bila seorang responden mendapatkan nilai skor 1 untuk setiap item pernyataan. Nilai maksimal 130, didapatkan bila responden mendapatkan nilai skor 5 untuk setiap item pernyataan. Namun dalam kenyataannya nilai minimal (persepsi rendah sekali/persepsi salah sekali) dan maksimal (persepsi tinggi sekali/persepsi benar sekali) ini jarang sekali terjadi. Umumnya nilai total skor responden, yang menyatakan nilai skor kumulatif setiap responden untuk ke-26 item pernyataan, berada diantara nilai minimal dan maksimal. Total nilai skor setiap responden menggambarkan persepsi responden tersebut terhadap partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman.
Keterengan : * Nilai tengah kumulatif antara dua skor, sebagai contoh 39 merupakan nilai skor kumulatif tengah-tengah antara skor 26 dan 52. Garis bilangan ini dapat digunakan untuk menganalisa setiap responden. Hasil analisa
Tabel 2. Hasil Kodifikasi Data Lapangan Uji Coba Kuesioner Pengukuran Persepsi Masyarakat terhadap Penanggulangan Kebakaran di Permukiman dari 40 orang Responden di Jakarta Variabel Presepsi
No Res
Nomor Item 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
2
3
4
5
2
2
2
2
2
3
2
1
2
3
4
5
1
3
5
5
3
2
1
1
2
69
2
3
3
3
2
3
2
4
3
2
3
4
3
3
3
3
4
3
3
2
2
3
3
3
3
3
2
75
3
3
3
3
3
3
3
4
3
2
3
2
2
2
4
3
4
3
4
2
2
1
5
4
2
4
2
76
4
1
3
3
1
3
2
3
1
1
2
2
2
4
3
3
2
4
4
1
1
3
3
3
2
3
4
64
5
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
1
4
3
3
3
1
4
4
1
3
3
4
4
4
3
4
88
134
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Total
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Lanjutan Tabel 2 Variabel Presepsi
No Res
Nomor Item 1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
2
3
3
3
2
4
2
2
2
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Total 2
1
3
4
3
3
2
3
2
2
1
3
3
3
2
3
2
65
7
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
4
3
2
3
4
1
3
3
1
1
3
3
3
3
2
3
71
8
3
4
2
1
3
2
3
2
2
2
1
2
4
3
4
1
3
2
1
2
3
4
3
3
2
3
65
9
2
3
3
1
3
1
1
2
1
2
1
3
3
3
4
1
4
3
1
4
2
3
3
1
3
3
61
10
4
4
4
4
4
5
5
5
5
4
1
4
4
4
4
1
4
4
1
3
4
4
4
4
3
3
96
11
1
4
4
3
3
4
3
4
3
4
1
4
4
4
4
2
4
4
1
2
4
4
3
4
4
2
84
12
1
4
3
3
2
4
4
4
2
3
4
4
3
1
1
3
1
4
1
2
3
3
4
2
3
2
71
13
2
3
3
1
4
1
1
4
1
1
2
4
4
1
2
1
3
4
1
1
3
3
1
3
2
2
58
14
2
3
3
2
2
1
3
2
1
3
1
4
4
3
3
1
3
3
1
1
1
3
3
1
3
2
59
15
1
3
3
2
3
1
3
4
1
2
2
3
3
1
3
1
3
3
2
1
1
3
3
2
3
3
60
16
4
3
4
2
2
2
4
3
1
4
3
2
1
4
2
2
3
2
2
1
3
3
2
3
2
2
66
17
4
3
3
4
3
4
5
3
4
3
4
3
3
4
3
4
3
3
4
2
4
3
3
1
3
2
85
18
3
3
3
3
3
3
4
3
3
2
2
3
2
3
3
2
3
2
3
2
3
3
3
3
3
2
72
19
1
3
3
2
4
1
3
4
1
3
2
3
3
2
1
1
3
4
1
2
1
3
3
1
3
2
60
20
2
3
3
3
3
2
3
3
2
2
2
2
5
4
3
1
2
4
1
1
1
3
3
2
3
3
66
21
2
3
4
1
3
2
1
4
2
3
1
3
2
1
1
2
3
3
1
4
3
3
3
1
2
4
62
22
4
4
4
4
4
4
5
4
1
5
1
4
4
4
4
1
4
4
1
3
4
4
4
4
3
4
92
23
3
4
4
4
4
4
4
3
1
4
1
3
3
4
3
1
3
3
1
3
3
4
3
3
2
3
78
24
5
3
3
3
3
3
3
3
1
4
1
2
2
1
3
1
1
3
1
2
1
4
3
1
2
4
63
25
1
3
1
1
3
3
1
4
1
4
1
1
3
4
3
1
3
4
2
3
1
3
3
1
2
3
60
26
4
3
3
1
2
4
1
3
1
5
4
1
4
4
3
1
4
3
1
4
1
4
4
1
2
1
69
27
1
4
3
3
3
5
4
4
4
4
1
3
3
3
4
1
3
3
1
1
2
1
3
1
3
1
69
28
3
3
3
4
3
3
5
3
2
2
4
3
5
2
4
1
3
3
2
1
3
3
3
3
2
3
76
29
4
4
3
3
3
3
4
3
1
3
2
3
4
4
4
2
3
3
2
2
3
3
3
3
3
2
77
30
2
3
3
1
3
3
3
4
1
3
2
3
3
3
3
1
3
2
3
1
2
3
3
1
4
3
66
31
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
3
3
3
3
4
3
3
1
1
3
3
3
3
3
2
77
32
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
2
3
3
4
1
2
4
3
1
2
3
3
3
1
3
2
64
33
4
3
4
3
4
5
4
4
1
4
1
3
4
4
4
1
3
3
1
3
4
4
3
3
3
3
83
34
2
3
3
3
3
4
4
3
3
4
1
2
3
3
3
2
3
2
2
1
3
3
3
3
2
3
71
35
1
3
2
1
3
3
1
2
1
5
1
1
4
3
4
3
1
2
1
4
2
1
1
3
1
4
58
36
4
3
3
4
3
4
3
4
4
5
1
4
4
4
4
1
3
4
2
3
4
4
3
4
3
3
88
37
2
3
5
3
3
4
1
3
2
4
1
2
4
3
3
3
2
2
2
1
2
3
3
2
3
2
68
38
4
4
3
3
4
3
4
4
1
3
2
3
4
4
4
1
3
3
2
1
4
3
3
4
3
2
79
39
3
4
4
4
3
1
4
4
4
4
2
4
4
4
4
1
4
4
1
1
4
4
4
4
4
3
87
40
4
3
4
3
3
3
4
4
3
3
2
3
1
3
4
3
3
1
4
1
4
4
3
3
4
2
79
Sumber: Data Lapangan Tahun 2006
Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa)
135
Tabel 3. Interpretasi Analisa Deskriptif Persepsi Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan Total Skor untuk 40 Orang Responden No. Res
Total Skor
Kesimpulan
No. Res
Total Skor
1
69
Cukup
21
62
Salah
2
75
Cukup
22
92
Cukup
3
76
Cukup
23
78
Cukup
4
64
Salah
24
63
Salah
5
88
Cukup
25
60
Salah
6
65
Cukup
26
69
Cukup
7
71
Cukup
27
69
Cukup
8
65
Cukup
28
76
Cukup
9
61
Salah
29
77
Cukup
10
96
Baik
30
66
Cukup
11
84
Cukup
31
77
Cukup
12
71
Cukup
32
64
Salah
13
58
Salah
33
83
Cukup
14
59
Salah
34
71
Cukup
15
60
Salah
35
58
Salah
16
66
Cukup
36
88
Cukup
17
85
Cukup
37
68
Cukup
18
72
Cukup
38
79
Cukup
19
60
Salah
39
87
Cukup
20
66
Salah
40
79
Cukup
Kesimpulan
Untuk melihat ukuran letak dapat dicari dengan terlebih dahulu membuat distribusi frekwensi, dengan menggunakan distribusi frekwensi berdasarkan kelas interval yang telah ditentukan pada tabel 1. Tabel 4. Distribusi Frekwensi Persepsi Masyarakat terhadap Penanggulangan Kebakaran di Lingkungan Permukiman untuk 40 Responden Kelas Analisis Persen Interval Total f Deskriptif (%) Skor Persepsi 26 - 38
0
0
39 - 64
11
27,5
Sangat Salah Salah
65 – 92
28
70
Cukup Baik
93 – 116
1
2,5
Baik
117 - 130
0
0
Sangat Baik
Analisa deskriptif berdasarkan 40 responden, hanya dapat menggambarkan untuk 40
136
responden, tidak dapat digeneralisir untuk kelompok yang lebih besar. Dari hasil analisa deskriptif berdasarkan tabel diatas adalah : 70% responden mempunyai persepsi cukup baik berkaitan dengan persepsi terhadap partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman; Sedangkan 27,5% responden mempunyai persepsi yang masih salah. Kepada 27,5% responden tersebut masih perlu diberikan informasi untuk memperbaiki persepsi saat ini; dan 2,5% mempunyai persepsi yang baik terhadap penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. Jadi untuk 40 responden di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar sudah mempunyai persepsi cukup baik terhadap penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. Data yang dikumpulkan merupakan data berbentuk kategori dengan skala pengukuran ordinal. Ukuran letak yang yang biasa digunakan untuk data kualitatif adalah nilai modus. Nilai modus merupakan nilai dengan frekwensi data tertinggi. Nilai modus dalam data kualitatif sekaligus memberikan informasi nilai rata-rata. Jadi rata-rata persepsi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman adalah cukup baik, ditentukan berdasarkan nilai frekwensi modus (frekwensi terbanyak). Penentuan nilai rata-rata dan modus dengan menggunakan rumus distribusi frewensi tidak memberikan informasi yang cukup berarti untuk data yang berbentuk data kualitatif, jadi hal ini tidak perlu dilakukan. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran penyebaran data cukup didapatkan melalui nilai range, yaitu selisih antara nilai terbesar dan terkecil. Informasi penyebaran data yang diberikan melalui ukuran varians atau simpangan baku tidak memberikan informasi yang cukup berarti. Tiga tahapan proses yang membentuk persepsi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman yaitu: kognisi, afeksi dan konasi. Analisa deskriptif untuk ketiga faktor tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Analisa Deskriptif Faktor Kognisi, Afeksi dan Konasi terhadap Persepsi Masyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran di Lingkungan Permukiman
Item-item proses kognisi, meliputi item-item yang digunakan untuk mengukur pemahaman/ pengetahuan masyarakat; Proses afeksi, meliputi item-item yang digunakan untuk mengukur keinginan/ nilai-nilai yang ada dalam diri masyarakat; Sedangkan item-item proses konasi, meliputi item-item yang digunakan untuk mengukur tindakan yang diambil oleh masyarakat. Terdapat 12 item pernyataan yang digunakan untuk mengukur proses kognisi, yaitu item 1, 2, 5, 8, 9, 10, 12, 13, 18, 21, 22, 24; 8 item pertanyaan untuk mengukur proses afeksi; dan 6 pertanyaan untuk mengukur proses konasi (Rosa, 2008). Skor kumulatif untuk ketiga proses: kognisi (diukur oleh 12 item); afeksi (diukur oleh 8 item); konasi (diukur oleh 6 item) adalah sebagai berikut : NO
Skoring/ Item
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Skoring Kumulatif Kognisi Afeksi Konasi 12 24 36 48 60
8 16 24 32 40
6 12 18 24 30
Garis bilangan untuk proses kognisi 12
18*
24
30*
Kalimat positif : Salah Salah Sekali Kalimat negatif : Benar Benar Sekali
36
42*
48
54*
60
Raguragu
Benar
Benar Sekali
Ragu-
Salah
Salah Sekali
Garis bilangan untuk proses afeksi 8 16 24 32 40 12* 20* 28* 36*
Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa)
Kalimat positif : Salah Salah Sekali
Raguragu
Benar
Benar Sekali
Kalimat negatif : Benar Benar Sekali
Raguragu
Salah
Salah Sekali
Garis bilangan untuk proses konasi 6 12 18 24 30 9* 15* 21* 27* Kalimat positif : Salah Salah Sekali
Raguragu
Benar
Benar Sekali
Kalimat negatif : Benar Benar RaguSalah Salah Sekali ragu Sekali Keterangan : * Nilai tengah kumulatif antara dua skor. Interpretasi hasil analisa deskriptif berdasarkan total skor adalah sebagai berikut: Tabel 5. Interpretasi Analisa Deskriptif Proses Kognisi, Afeksi, Konasi Persepsi Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan Total Skor (Kelas Interval) Kelas Interval Total Skor untuk Interpretasi Ketiga Proses Persepsi Kognisi Afeksi Konasi 12 – 17 8 - 11 6-8 Sangat Salah 18 – 29 12 - 19 9 - 14 Salah 30 – 41 20 - 27 15 - 20 Cukup 42 – 53 28 - 35 21 – 26 Baik 54 – 60 36 - 40 27 - 30 Sangat Baik
Nilai skor kumulatif untuk setiap kelas interval dari ketiga proses pembentukan persepsi yaitu kognisi, afeksi dan konasi berbeda-beda. Nilai skor kelas total (kumulatif) ditentukan oleh jumlah item pernyataan yang digunakan untuk mengukur proses tersebut, oleh karena itu skor kelas interval untuk setiap proses berbeda. Interpretasi nilai skor untuk masing-masing proses berbeda-beda, harus berdasarkan skor kelas interval. Lebih lengkap, kriteria nilai skor kelas interval untuk masing-masing proses dapat dilihat pada tabel 5 di atas, beserta interpretasi untuk masing-masing kelas.
137
Interpretasi setiap proses persepsi untuk setiap responden dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.
ketiga proses tersebut, dapat dicari dengan terlebih dahulu membuat tabel distribusi dengan kelas interval seperti pada tabel 5.
Tabel 6. Interpretasi Analisa Deskriptif Untuk Ke-tiga Proses Persepsi Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan Total Skor 40 Orang Responden Proses Persepsi No. Kognisi Afeksi Konasi Res Inter Inter Inter Skor Skor Skor pretasi pretasi pretasi 1 28 Salah 20 Cukup 21 Baik 2 35 Cukup 24 Cukup 16 Cukup 3 33 Cukup 26 Cukup 17 Cukup 4 29 Salah 19 Salah 16 Cukup 5 46 Baik 21 Cukup 21 Baik 6 30 Cukup 21 Cukup 14 Salah 7 34 Cukup 20 Cukup 17 Cukup 8 34 Cukup 15 Salah 16 Cukup 9 28 Salah 16 Salah 17 Cukup 10 50 Baik 23 Cukup 23 Baik 11 43 Baik 23 Cukup 18 Cukup 12 35 Cukup 23 Cukup 13 Salah 13 36 Cukup 12 Sangat Salah 10 Salah 14 29 Salah 16 Sangat Salah 14 Salah 14 29 Salah 16 Sangat Salah 14 Salah 15 29 Salah 16 Sangat Salah 15 Cukup 16 31 Cukup 21 Cukup 14 Salah 17 37 Cukup 29 Baik 19 Cukup 18 33 Cukup 22 Cukup 17 Cukup 19 31 Cukup 16 Sangat Salah 13 Salah 20 32 Cukup 19 Salah 15 Cukup 21 32 Cukup 16 Sangat Salah 14 Salah 22 46 Baik 22 Cukup 24 Baik 23 38 Cukup 20 Cukup 20 Cukup 24 32 Cukup 15 Sangat Salah 16 Cukup 25 29 Salah 17 Sangat Salah 14 Salah 26 32 Cukup 23 Cukup 14 Salah 27 33 Cukup 20 Cukup 16 Cukup 28 36 Cukup 20 Cukup 20 Cukup 29 37 Cukup 22 Cukup 18 Cukup 30 30 Cukup 22 Cukup 14 Salah 31 38 Cukup 24 Cukup 15 Cukup 32 30 Cukup 21 Cukup 13 Salah 33 41 Cukup 22 Cukup 20 Cukup 34 34 Cukup 20 Cukup 17 Cukup 35 28 Salah 15 Sangat Salah 15 Cukup 36 47 Baik 21 Cukup 20 Cukup 37 32 Cukup 24 Cukup 12 Salah 38 41 Cukup 21 Cukup 17 Cukup 39 46 Baik 21 Cukup 20 Cukup 40 36 Cukup 26 Cukup 17 Cukup
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dari 40 responden yang diambil, untuk proses kognisi dapat digambarkan bahwa 10% responden masih mempunyai pemahaman yang tidak sesuai dengan pemahaman yang telah dirumuskan dalam sasaran program pelaksanaan sosialisasi; sedangkan 75% masyarakat memiliki pemahaman yang cukup; dan sisanya 15% responden sudah mempunyai persepsi yang baik (mempunyai pemahaman sesuai dengan sasaran yang diharapkan).
Gambaran secara keseluruhan untuk ketiga proses persepsi dari ke-40 responden, dapat dilihat melalui ukuran letak. Ukuran letak untuk
Harihanto (2004 mengutip Thorndike 1968) responden yang mempunyai pemahaman yang cukup memenuhi untuk terlibat dalam program
138
Untuk proses afeksi, yaitu nilai-nilai yang semestinya dimiliki oleh masyarakat, dari ke 40 responden dapat digambarkan bahwa 30% responden masih mempunyai pemahaman yang tidak sesuai dengan sasaran; sisanya 67,5% responden mempunyai nilai-nilai yang cukup memenuhi harapan sesuai sasaran program, dan 2,5% sudah mempunyai nilai-nilai sesuai sasaran. Tabel 6. Distribusi Frekwensi Proses Kognisi, Afeksi dan Konasi dalam Persepsi Masyarakat terhadap Penanggulangan Kebakaran di Lingkungan Permukiman Kelas Analisis f % Interval Deskriptif Proses Kognisi P 12 – 17 0 0 Sangat Salah r 18 – 29 7 10 Salah o 30 - 41 24 75 Cukup s 42 – 53 6 15 Baik e 54 - 60 0 0 Sangat Baik s Proses Afeksi 8 – 11 0 0 Sangat Salah 12 – 19 12 30 Salah P 20 – 27 27 67,5 Cukup e 28 – 35 1 2,5 Baik r 36 - 40 0 0 Sangat Baik s Proses Konasi e 6–8 0 0 Sangat Salah p 9 – 14 12 30 Salah s 15 – 20 24 60 Cukup i 21 – 26 4 10 Baik 27 - 30 0 0 Sangat Baik
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman, kondisi tersebut diharapkan dapat membentuk nilai-nilai yang sesuai sasaran program. Dengan memiliki nilai-nilai tersebut, diharapkan dapat mendorong responden agar mempunyai keinginan untuk terlibat dalam kegiatan partisipasi. Persentase responden yang mempunyai keinginan untuk berpartisipasi berjumlah 70%. Apakah nilai tersebut dihasilkan melalui proses sesuai dengan teori, atau bukan ? Artinya, apakah dari 90% responden yang telah mempunyai pemahaman cukup sesuai dengan sasaran program, ternyata 70% dapat diserap oleh responden untuk selanjutnya dapat membentuk nilai-nilai sesuai sasaran yang diharapkan, dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki dapat mendorong responden tersebut untuk berkeinginan turut berpartisipasi yaitu sejumlah 70%. Untuk mendapatkan jawaban tersebut tidak dapat dilakukan melalui analisa deskriptif. Penelitian harus dilanjutkan, dengan menggunakan metode analisa induktif, yaitu melalui pengujian rumusan hipotesis. Dalam tulisan ini tidak dilakukan pembahasan untuk analisa induktif, jadi materi tersebut di luar dari pembahasan tulisan ini.
KESIMPULAN DAN SARAN 1)
2)
Berdasarkan hasil analisa deskriptif dari 40 responden, dapat disimpulkan bahwa 27,5% responden masih mempunyai persepsi yang tidak sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam sosialisasi terhadap partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman; sedangkan sisanya 72,5% responden sudah mempunyai pemahaman yang cukup sesuai (baik) dan sesuai dengan pemahaman yang telah dirumuskan program. Persepsi responden terhadap partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kebakaran dibentuk melalui tiga tahapan (proses) yaitu: proses kognisi, afeksi dan konasi.
Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa)
3)
4)
5)
Gambaran ketiga proses dalam persepsi, berdasarkan data lapangan dari 40 responden adalah 90% responden sudah mempunyai pemahaman (proses kognisi) yang cukup dan telah sesuai dengan yang dirumuskan dalam sosialisasi; 70% responden cukup dan telah mempunyai nilai-nilai (afeksi) sesuai dengan sasaran; dan 70% responden cukup dan telah mempunyai keinginan untuk turut berpartisipasi dalam penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman. Interpretasi yang dihasilkan dari analisa deskriptif tidak dapat digeneralisir untuk kelompok yang lebih besar, karena rumus yang digunakan dalam tahap ini bukan merupakan rumus taksiran untuk populasi, jadi hanya berlaku untuk sejumlah responden yang diambil. Untuk mengetahui gambaran yang dapat digeneralisir untuk kelompok yang lebih besar, perlu dilanjutkan dalam fase analisa data (secara statistik) tahap selanjutnya yaitu fase induktif.
DAFTAR PUSTAKA Harihanto. 2004. “Persepsi Masyarakat terhadap Air Sungai” Lingkungan & Pembangunan 24 (3): 171 – 186. Dinas Pemadam Kebakaran. 2002. Kegiatan Kampanye Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran. Jakarta. Faisal, S. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Korotayev dkk. 2006. Introduction to Social Macrodynamics. Moscow: URSS. Rosa. 2008. “Validitas Instrumen Ukur Variabel Sosial Bidang Permukiman” Jurnal Permukiman 3(4):263 – 279. Sitinjak Tumpal JR dan Sugiarto. 2006. Lisrel. Yogyakarta: Graha Ilmu. Soemarwoto. 2006. Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Universitas Padjadjaran. Sudjana. 1982. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabet.
139
KEEFEKTIFAN PENGOLAHAN ANTARA ABU TERBANG DENGAN KARBON AKTIF TERHADAP KEBUTUHAN OKSIGEN KIMIA (KOK), WARNA DAN LOGAM BERAT AIR LINDI SAMPAH Oleh : Tibin R Prayudi
Pusat Libang Permukiman Jl.Panyaungan Cileunyi Wetan-Kab.Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Tanggal masuk naskah: 20 Januari 2009, Tanggal disetujui: 21 Agustus 2009
Abstrak
Penelitian pengolahan air lindi sampah dengan menggunakan abu terbang dan karbon aktif pada dosis tertentu dilatarbelakangi oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mott dan Weber (1992), Viraraghavan dan Alfaro (1994), Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil .(2005), yang menghasilkan bahwa abu terbang dapat menurunkan kandungan KOK, warna dan logam berat air buangan rumah tangga. Penelitian eksperimental di laboratorium dilakukan dengan pengadukan abu terbang dan karbon aktif dengan air lindi sampah pada kecepatan 100 rpm selama satu jam, pada dosis 15, 25, 35, 50, 100 dan 150 mg/liter. Hasil pengadukan didiamkan selama 30 menit lalu diperiksa Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Beratnya. Efektifitas abu terbang dan karbon aktif ditentukan pada perbandingan persentase perubahan parameter air baku dengan air hasil pengadukan air lindi sampah dengan abu terbang dan karbon aktif. Dari analisis data atau pembahasan ternyata dengan pemakaian abu terbang dapat menurunkan kandungan KOK sampai 100 %, dapat menurunkan kandungan warna sampai 99,72 %, menambah kandungan Fe sebesar 27,39%, menurunkan kandungan Zn sampai 91,57 %, dan menurunkan kandungan Cu sebesar 94,02 %, sedangkan dengan pemakaian karbon aktif penurunan KOK hanya 4,62 %, memperbesar kandungan warna, sebesar 14,47 %, menurunkan kandungan Fe sampai 27,65 %, menurunkan kandungan Zn hanya 40,76 %, menurunkan kandungan Cu hanya 21,31%. Jadi pemakaian abu terbang akan lebih efektif dalam menurunkan KOK, warna, Zn,dan Cu air lindi, sedangkan karbon aktif lebih efektif dalam menurunkan Fe air lindi.
Kata Kunci : Abu terbang, karbon aktif, air lindi, kebutuhan oksigen kimia (KOK)
Abstract
Several investigations (Mott and Weber, 1992; Viraraghavan and Alfaro, 1994, Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil .2005) explored the use of fly ash and activated carbon as an adsorbent for the treatment of wastewater to remove a variety of organic compounds, colour, and heavy metal. However, a review of the literature showed that very little investigation has been conducted to find out the suitability of fly ash or activated carbon for the removal of COD, colour and heavy metal from the leachate. The batch experiments were run in different glass flask of 500 ml capacity using the stirring speed on 100 rpm. A known volume of sample was treated with different doses of fly ash or activated carbon 15, 25, 35, 50, 100 and 150 mg/litre. By using fly ash as an adsorbent, the COD removal was up to 100 %, Colour removal was 99,72 %, , Zn removal was 91,57 %, Cu removal was 94,02 %, and increased the Fe content to 27,39 %. Compared to utilization the activated carbon as adsorbent, the results obtained were : COD removal was 4,62 %, Fe removal was 27,65 %, Zn removal was 40,76 %, Cu removal was 21,31%, but colour was increase to 14,47 %. It could be concluded that fly ash is more effective adsorbent for decreasing COD, Colour, Zn and Cu concentration in leachate but activated carbon is more effective for decreasing Fe concentration in leachate.
Keywords: Fly ash, activated carbon, leachate, chemical oxygen demand (COD)
140
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kandungan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) atau Chemical Oxygen Demand (COD) dan warna pada air lindi sampah ditimbulkan oleh adanya zat organik, sehingga pengukuran parameter KOK dan warna pada air lindi sampah merupakan salah satu indikator yang diuji dalam mengukur karakteristik air lindi sampah. Bila kandungan KOK, warna, logam berat ini mencemari sumber air yang dikonsumsi oleh masyarakat maka akan menim bulkan penurunan kondisi kesehatan masyarakat. Penelitian sebelumnya mengenai penggunaan abu terbang untuk mengolah air buangan rumah tangga telah dilakukan oleh Mott dan Weber (1992), Viraraghavan dan Alfaro (1994), Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil .(2005), yang menghasilkan bahwa abu terbang dapat menurunkan kandungan KOK, warna dan logam berat air buangan rumah tangga. K.Vasanth Kumar dan kawan-kawan (2004), serta Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil .(2005), telah melakukan penelitian, yang menghasilkan bahwa karbon aktif dapat menurunkan KOK air buangan rumah tangga dengan metoda pengujian secara adsorpsi. Dengan latar belakang penelitian yang sudah dilaksanakan tersebut, maka dilakukan penelitian untuk melihat efektifitas abu terbang dan karbon aktif dalam mengolah air lindi sampah. Penerapan abu terbang dan karbon aktif untuk mengolah air lindi sampah melalui proses adsorpsi dilakukan dengan cara menbubuhkan abu terbang atau karbon aktif ke dalam air lindi sampah lalu diaduk pada waktu dan kecepatan tertentu merupakan suatu inovasi teknologi yang diperkirakan dapat mengurangi zat organik yang diukur sebagai KOK, warna, dan logam berat air lindi sampah. Karbon aktif dipakai sebagai pembanding untuk abu terbang, karena karbon aktif sudah umum dipakai sebagai bahan pengolahan air buangan.
Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.)
Rumusan Masalah
Membandingkan efektifitas antara abu terbang dan karbon aktif yang digunakan sebagai bahan pengolahan air lindi sampah dalam mengurangi kandungan KOK , warna, dan logam berat yang terkandung pada air lindi sampah.
Tujuan dan Sasaran Penelitian
Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi tentang : - perubahan kandungan zat organik - perubahan warna - perubahan logam berat, pada air lindi sampah setelah dicampur dengan abu terbang dan karbon aktif
Sasaran Penelitian
Memanfaatkan abu terbang sebagai bahan pengolahan zat organik, warna, dan logam berat pada air lindi sampah.
KAJIAN PUSTAKA Karakteristik Air Lindi Sampah
Air lindi banyak mengandung beban polutan dibandingkan dengan air kotor rumah tangga atau buangan cair dari industri. Karakteristik air lindi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tipe dan ketinggian sampah ditimbun, umur sampah, kecepatan pengaliran air, desain dan operasi pengolahan di Tempat Pembuangan Akhir sampah, dan keterkaitan air lindi dengan lingkungannya. Kandungan organik air lindi secara umum diukur melalui parameter Kebutuhan Oksigen Biologi (KOB), atau Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK). Komposisi air lindi dengan umur penimbunan sampah satu, lima dan 16 tahun tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Air Lindi Sampah Umur Landfill Parameter BOD COD pH
1 Tahun 7,50028,000 10,00040,000
5 Tahun 4,000
16 Tahun 80
8,000
400
6,3
-
141
Lanjutan Tabel 1 Umur Landfill Parameter TDS TSS Alkalinity (CaCO3)
1 Tahun 5,2-6,4 10,00014,000 100-700
Total P
800-4,000
NH4-N
25-35
Nitrate
5-482
Calcium
0.2-0.8
Chloride
900-1,700
Sodium
600-800
Potassium
450-500
Sulfate
295-310
Mangan
400-650
Magnesium
75-125
Besi
160-250
Seng
210-325
Tembaga Cadmium Timah
5 Tahun 6,794
16 Tahun 1,200
-
-
5,810
2,250
12
8
-
-
0.5
1.6
308
109
1,330
70
810
34
610
39
2
2
0.06
0.06
450
90
6.3
0.6
0.4
0.1
<0.5
<0.5
<0.05
<0.05
0.5
1.0
-
-
Sumber : Syed R Qasim, Walter Chiang, Sanitary Landfill Leachate, hal 140 Catatan : satuan dalam mg/l, kecuali pH
Bahan Adsorpsi
Karbon aktif adalah material yang berbentuk butiran (granular) atau bubuk yang berasal dari material yang mengandung karbon misalnya batu-bara, kulit kelapa. Dengan pengolahan tertentu (tekanan tinggi),dapat diperoleh karbon aktif yang memiiliki permukaan dalam yang luas (proses aktivasi). Berdasarkan informasi di situs O-Fish:Filter Kimia dinyatakan bahwa secara umum karbon/arang aktif biasanya dibuat dari arang tempurung kelapa dengan pemanasan pada suhu 600-2000°C pada tekanan tinggi. Pada kondisi ini akan terbentuk rekahan-rekahan (rongga) sangat halus dengan jumlah yang sangat banyak,
142
sehingga luas permukaan arang tersebut menjadi besar, sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus berukuran 0.01-0.0000001 mm. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang kontak dengan karbon tersebut, baik di air maupun di udara. Pemakaian karbon aktif untuk bahan adsorpsi masih mempunyai kelemahan, harganya mahal dan tidak tahan lama karena sekitar 10-15 % akan hancur pada saat regenerasi. (K Vasanth Kumar, 2004). Adsorben khusus seperti abu terbang, batu bara muda, serpihan kayu atau saw dust juga telah dimanfaatkan dalam pengujian pada kandungan bahan-bahan yang sukar dihilangkan. (Pandey,et al, 1985). Beberapa penelitian dalam penggunaan abu terbang sebagai adsorben dalam mengolah air buangan rumah tangga untuk menghilangkan materi organik, warna dan logam berat telah dilakukan oleh oleh Mott dan Weber, (1992); Viraraghavan dan Alfaro, (1994).
Hasil Pengunaan Bahan Adsorpsi Abu Terbang
Dari penelitian yang sudah dilakukan dalam mengolahan air buangan rumah tangga dengan menggunakan abu terbang, yang telah dilakukan oleh Banerjee (1995), dinyatakan bahwa kandungan karbon dalam abu terbang berperan penting selama proses adsorpsi kandungan organik air buangan rumah tangga. Kapasitas adsorpsi akan meningkat sesuai dengan peningkatan kandungan karbon dalam abu terbang.
Volume Abu terbang
Menurut data Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2004, di Laporan Studi Pengelolaan Limbah Fly Ash (Abu Terbang) dan Bottom Ash Sisa Pembakaran Batubara, bahwa kebutuhan batubara dalam negeri adalah sebesar 36,1 juta metrik ton dan apabila dari total kebutuhan tersebut menghasilkan limbah abu terbang (fly ash)
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
sebesar 1% - 5%, maka akan ada sekitar 360.000 – 1.800.000 metrik ton abu terbang yang harus dikelola dan masih berpotensi untuk dimanfaatkan. Angka itu belum ditambah dengan limbah abu dasar (bottom ash) yang juga dihasilkan pada saat pembakaran batubara yaitu berkisar antara 5% - 10% sehingga total volume abu terbang (fly ash) dan bottom ash menjadi sekitar 720.000-3.600.000 metrik ton.(Sukandarrumidi,2006). Sebagian besar dari abu terbang tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tanah penimbun, sehingga menimbulkan masalah lingkungan antara lain pelepasan unsur-unsur beracun ke dalam air tanah, penurunan aktivitas mikroba dan peningkatan pH tanah.
Sifat-sifat Fisik, Kimia dan Mineral Abu Terbang Sifat-sifat fisika, kimia dan mineralogi abu terbang tergantung pada komposisi batubara awal, kondisi pembakaran, kinerja dan efisiensi alat pengontrol emisi, penanganan dan penyimpanan serta iklim. Abu terbang terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran antara 0,01 – 100 um, berat jenis bervariasi antara 2,1-2,6 g/cm3 dan luas permukaan antara 0,17 – 1,00 m2/kg. Warna abu terbang abu-abu hingga hitam tergantung pada jumlah karbon yang tidak terbakar dalam abunya. Semakin cerah warnanya semakin rendah kandungan karbonnya. Sebagian besar partikel penyusun abu terbang berbentuk bola, sebagian berongga dan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristalkristal yang lebih kecil. Komposisi kimia unsur utama abu terbang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : Oksida logam seperti SiO2, Al2O3, TiO2 Oksida logam basa seperti Fe2O3,CaO, MgO, K2O, Na2O Oksida unsur lainnya seperti P2O5, SO3. Sisa karbon dan lain-lain. (Sukandarrumidi,2006). Secara kimia, unsur utama penyusun abu terbang Si, Al, Fe, serta CA, K, Na dan Ti dalam prosentase yang cukup berarti, selain komponen utama tersebut, abu terbang (fly ash) juga
Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.)
mengandung unsur lain dalam jumlah sedikit, yaitu As, Be, Se.(Studi Pengelolaan Limbah Fly Ash (Abu Terbang) dan Bottom Ash Sisa Pembakaran Batubara, Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,2004)
METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian
Penelitian eksperimental di laboratorium dilakukan melalui pengamatan terhadap beberapa gelas kimia volume 500 ml yang diisi air lindi dan ditambah abu terbang atau karbon aktif dengan dosis 15, 25, 35, 50, 100 dan 150 mg/liter. Campuran tersebut akan diaduk dengan kecepatan 100 rpm dan lama pengadukan 60 menit. Setelah diaduk, campuran didiamkan sekitar 30 menit, kemudian dilakukan pengukuran kandungan KOK dengan metode refluks terbuka yang dilanjutkan dengan titrasi dengan ferro alumunium sulfat, warna diukur dengan spektrometer, dan logam berat dengan Atomic Absorption Spectrometer (AAS) pada setiap dosis pemakaian abu terbang atau karbon aktif. Pada penelitian ini, tidak diperiksa karakteristik abu terbang dan karbon aktif.
Data yang Dikumpulkan Parameter Karakteristik Air Lindi Sampah Parameter karakteristik air lindi sampah yang diperiksa adalah KOK, warna, logam berat Fe, Zn dan Cu.
Metode Analisis
Secara deskriptif, yaitu suatu data yang akan disajikan dalam bentuk tabel berdasarkan hasil pengadukan air lindi sampah ditambah abu terbang atau karbon aktif, sedangkan perhitungan efisiensi proses penurunan kandungan KOK, warna, Fe, Zn, dan Cu, adalah nilai yang menunjukkan perbandingan antara besarnya nilai parameter yang masuk ke suatu proses dengan nilai yang keluar dari proses tersebut. Besarnya efisiensi dinyatakan dalam bentuk prosentase (%), dengan rumusan :
143
DATA HASIL PEMERIKSAAN
Co – Ci Ef =-------------- X 100 %, Co dimana : Ef = efisiensi proses penurunan parameter (%) Co= konsentrasi parameter saat masuk ke proses Ci = konsentrasi parameter saat keluar dari proses
Pemeriksaan Pengadukan
Kualitas
Air
Hasil
Data hasil pemeriksaan karakteristik air lindi, tercantum seperti pada tabel 2, dan 4. Tabel 3 dan 5 menyajikan persentase perubahan parameter karakteristik air lindi sampah yang diperiksa.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan dan Pengamatan Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Abu Terbang terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu Parameter
Sumber/hasil pengadukan 100 rpm, t = 1 jam Baku Air Lindi
KOK (mg/l)
Warna (PtCo)
Fe (mg/l)
Zn (mg/l)
Cu (mg/l)
446,2
4630
3,183
0,368
0,502
Dosis Abu terbang = 15 mg/l + Air Lindi
278,16
370
3,092
0,315
0,386
Dosis Abu terbang = 25 mg/l + Air Lindi
273,6
321
3,237
0,232
0,322
Dosis Abu terbang = 35 mg/l + Air Lindi
220,16
280
3,214
0,175
0,282
Dosis Abu terbang = 50 mg/l + Air Lindi
147,44
183
3,703
0.146
0,173
Dosis Abu terbang = 100 mg/l + Air Lindi
115,52
79
3,97
0,077
0,064
Dosis Abu terbang = 150 mg/l + Air Lindi
tt
13
4,055
0,031
0,03
Sumber : Hasil pemeriksaan kualitas air kotor di Lab. Balai LP, 2008 Catatan : tt = tidak terdeteksi Tabel 3. Persentase Perubahan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu pada Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Abu Terbang Hasil pengadukan 100 rpm, t = 1 jam
Parameter (%) KOK
Warna
Fe
Zn
Cu
Dosis Abu terbang = 15 mg/l
37,56
92
2,86
1,44
23,11
Dosis Abu terbang = 25 mg/l
38,68
93,31
-1,69
36,95
35,86
Dosis Abu terbang = 35 mg/l
50,66
93,95
-0,97
52,44
43,82
Dosis Abu terbang = 50 mg/l
66,96
96,05
-16,33
60,32
65,54
Dosis Abu terbang= 100 mg/l
74,11
98,89
-24,72
79,26
87,25
Dosis Abu terbang= 150 mg/l
100
99,72
-27,39
91,57
94,02
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 2, 2008 Catatan : (-) terjadi penambahan kandungan parameter
144
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan dan Pengamatan Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu Parameter Sumber/hasil pengadukan 100 rpm, t = 1 jam KOK Warna Fe Zn Cu (mg/l) (PtCo) (mg/l) (mg/l) (mg/l) Baku Air Lindi
446,2
4630
Dosis Karbon Aktif = 15 mg/l + Air Lindi
324,1
5200
Dosis Karbon Aktif = 25 mg/l + Air Lindi
368,7
Dosis Karbon Aktif = 35 mg/l + Air Lindi
357,5
Dosis karbon Aktif = 50 mg/l + Air Lindi
3,183
0,368
0,502
2,976
0.342
0,473
5480
2,99
0,341
0,484
4800
2,983
0,345
0,491
434,9
5010
2,99
0,266
0,483
Dosis Karbon Aktif = 100 mg/l + Air Lindi
423,8
5330
2,491
0,256
0,423
Dosis Karbon Aktif = 150 mg/l + Air Lindi
425,6
5300
2,303
0,218
0,395
Sumber : Hasil pemeriksaan kualitas air kotor di Lab. Balai LP, 2008 Tabel 5. Persentase Perubahan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu pada Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Karbon Aktif Parameter (%) Hasil pengadukan 100 rpm, t = 1 jam KOK Warna Fe Zn
Cu
Dosis Karbon Aktif = 15 mg/l
27,36
-12,31
6,5
7,06
5,78
Dosis Karbon Aktif = 25 mg/l
17,37
-18,36
6,06
7,34
1,59
Dosis Karbon Aktif = 35 mg/l
19,88
-3,67
6,28
0,01
2,19
Dosis Karbon Aktif = 50 mg/l
2,53
-8,21
6,06
27,71
3,78
Dosis Karbon Aktif = 100 mg/l
5,02
-15,12
21,74
30,43
15,73
Dosis Karbon Aktif = 150 mg/l
4,616
-14,47
27,65
40,76
21,31
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 4, 2008 Catatan : (-) terjadi penambahan kandungan parameter
Dosis (mg/l)
Tabel 6. Persentase Perubahan Kandungan KOK, Warna, Fe, Zn, dan Cu Air Lindi Sampah Kebutuhan Warna Fe Zn Cu Oksigen Kimia (%) (%) (%) (%) (KOK) (%) Abu Karbon Abu Karbon Abu Karbon Abu Karbon Abu Karbon Terbang Aktif Terbang Aktif Terbang Aktif Terbang Aktif Terbang Aktif
15
37,56
27,36
92,00
(12,31)
2,86
6,50
1,44
7,06
23,11
5,78
25
38,68
17,37
93,31
(18,36)
(1,69)
6,06
36,95
7,34
35,86
1,59
35
50,66
19,88
93,95
(3,67)
(0,97)
6,28
52,44
0,01
43,82
2,19
50
66,96
2,53
96,05
(8,21)
(16,33)
6,06
60,32
27,71
65,54
3,78
100
74,40
5,02
98,89
(15,12)
(24,72)
21,74
79,26
30,43
87,25
15,73
150
100,00
4,62
99,72
(14,47)
(27,39)
27,65
91,57
40,76
94,02
21,31
Sumber : Tabel 3 dan Tabel 5, 2008
Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.)
145
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis dan pembahasan didasarkan pada tabel 6. a) Persentase Perubahan Kandungan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) Air Lindi Sampah Pada pemakaian abu terbang dengan dosis 15 mg/liter, kandungan KOK turun 37,56 % sedangkan pemakaian karbon aktif dengan dosis 15 mg/liter kandungan KOK turun 27,36 %. Dengan pemakaian abu terbang, kandungan KOK terus menurun hampir 100 % pada dosis 150 mg/liter sebaliknya dengan pemakaian karbon aktif 150 mg/liter, penurunan kandungan KOK makin kecil hanya 4,62 %. Jadi makin besar dosis abu terbang yang digunakan makin besar pula persentase penurunan kandungan KOK air lindi sampah, sebaliknya, makin besar dosis karbon aktif yang digunakan, makin kecil pula persentase penurunan kandungan KOK air lindi sampah. Keadaan ini perlu dikaji lebih mendalam, faktor apa yang terdapat dalam karbon aktif yang dapat memperkecil penurunan kandungan KOK bila terus ditambah dosis. b) Persentase Perubahan Warna Air Lindi Sampah Pemakaian abu terbang dengan dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, warna turun dari 92 % sampai 99,72 %. Sedangkan pemakaian karbon aktif dengan dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, warna air lindi sampah menjadi bertambah persentasenya, yaitu sebesar 12,31 % sampai 14,47 %. Jadi dengan pemakaian abu terbang, makin besar dosis yang digunakan makin besar pula persentase penurunan warna air lindi sampah dan terbalik dengan karbon aktif, semakin besar dosis yang digunakan makin memperbesar persentase penambahan warna. c)
146
Persentase Perubahan Fe di Air Lindi Sampah Pemakaian abu terbang dengan dosis 15 mg/liter dapat menurunkan kandungan Fe sekitar 2,86 %, tetapi dengan
bertambahnya dosis sampai 150 mg/liter, kandungan Fe menjadi bertambah dengan persentase kenaikannya sebesar 27,39 %. Penambahan kandungan Fe air lindi sampah mungkin akibat kandungan Fe di abu terbang. Kandungan Fe pada abu terbang sekitar 13,12 sampai 45,38 % sebagai Fe2O3. Sedangkan pemakaian karbon aktif pada dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, Fe air lindi sampah, persentase penurunannya semakin besar yaitu dari 6,50 % menjadi 27,65 %. Jadi dengan pemakaian abu terbang, makin besar dosis abu terbang yang digunakan akan memperbesar kandungan Fe air lindi sampah, terbalik dengan karbon aktif, makin besar dosis karbon aktif yang digunakan maka akan memperkecil kandungan Fe. d) Persentase Perubahan Zn di Air Lindi Sampah Pemakaian abu terbang dengan dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Zn turun 1,44 % sampai 91,57 %, sedangkan pemakaian karbon aktif dengan dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Zn turun 7,06 % sampai 40,76 %. Dari data tersebut menunjukkan, bahwa pemakaian abu terbang lebih besar menurunkan kandungan Zn air lindi sampah dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif. e) Persentase Perubahan Cu di Air Lindi Sampah Pemakaian abu terbang dengan dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Cu turun 23,11 % sampai 94,02 %, dengan dosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Cu turun 5,78 % sampai 21,31 %. Dari data tersebut menunjukkan, bahwa dengan pemakaian abu terbang, kandungan Cu air lindi sampah akan lebih besar penurunannya dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
a.
Banerjee K., Cheremisinoff P. N. and Cheng S.L. 1995. Sorption of Organic Contaminants by Fly Ash in a Single Solute System. Environmental Science Technology. 29. K. Vasantth Kumar, K. Subanandam, V. Ramamuthi and S. Sivanesan. 2004. Solid Liquid Adsorpation for Wastewaster Treatment Principle Design and Operation. Departemen of Chemical Engineering, Anna University. Chennai, India. Mott H.V. and Weber W.J. 1992. Sorption of Low Molecular Weight Organic Contaminants by Fly Ash: Consideration of Enhancement of Cut of Barrier Performance. Environmental Science Technology. 26. R. Qasim, Syed. Walter Chiang. 1994. Sanitary Landfill Leachate, Generation, Control and Treatment. Technomic Publishing Company, Inc. Switzerland. Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Viraragharan T. and Dronamraju M.M. 1992. Utilization of Coal Ash. Water Pollution Control. Journal Environmental Studies. 40. Vijender Sahu, R.P. Dahiya, K. Gadgil. 2005. Fly Ash Based Low Cost Method for COD Removal from Domestic Waste Water. Centre for Energy Studies, Indian Institute of Technology, New Delhi. --------, 2004. Studi Pengelolaan Limbah Fly Ash (Abu Terbang) dan Bottom Ash Sisa Pembakaran Batubara. Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. --------, 2009. O-FISH: Filter Kimia, http://OFish.Com/Filter/filter_kimia.php.
b.
c.
d.
e.
Dalam menurunkan KOK air lindi sampah, pemakaian abu terbang lebih efektif dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif, misalnya pada pemakaian dosis 50 mg/lt, kemampuan abu terbang dapat menurunkan KOK adalah 26,46 kali lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif. Dalam menurunkan warna air lindi sampah, pemakaian abu terbang lebih efektif dibandingkan dengan karbon aktif, misalnya pada pemakaian dosis 50 mg/lt, kemampuan abu terbang dapat menurunkan warna adalah 12,7 kali lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif. Dalam menurunkan Zn air lindi sampah, pemakaian abu terbang lebih efektif dibandingkan dengan karbon aktif, misalnya pada pemakaian dosis 50 mg/lt, kemampuan abu terbang dapat menurunkan Zn adalah 2,2 kali lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian karbon akfif. Dalam menurunkan Cu air lindi sampah, pemakaian abu terbang lebih efektif dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif, misalnya pada pemakaian dosis 50 mg/lt, kemampuan abu terbang dapat menurunkan Cu adalah 17,3 kali lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian karbon aktif. Dalam menurunkan Fe air lindi sampah, pemakaian karbon aktif lebih efektif dibandingkan dnegan pemakaian abu terbang, misalnya pada pemakaian sosis 50 mg/lt, kemampuan karbon aktif dapat menurunkan Fe adalah 3,7 kali lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian abu terbang.
Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.)
147