II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,
DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian secara alami mengalirkannya melalui sungai utama yang selanjutnya bermuara ke danau atau ke laut, yang batas di darat berupa pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Menurut Manan (1979) dalam Nilda (2014) menyatakan bahwa, DAS merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut. Asdak (2010) menyatakan bahwa, ekosistem DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15% bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Salah satu utama fungsi DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik terutama di daerah hilir. Alih guna lahan hutan menjadi
5
6
lahan pertanian akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata air pada DAS yang akan lebih dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir. Persepsi umum yang berkembang saat ini, konversi hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan penurunan fungsi hutan dalam mengatur tata air, mencegah banjir, longsor dan erosi pada DAS tersebut. Hutan selalu dikaitkan dengan fungsi positif terhadap tata air dalam ekosistem DAS (Noordwijk & Farida, 2004 dalam Surya Utami, 2012). Soewarno (1991) dalam Devianto (2008) mengatakan bagian hulu dari suatu DAS merupakan daerah yang mengendalikan aliran sungai dan menjadi suatu kesatuan dengan bagian hilir yang menerima aliran tersebut. Pengetahuan karakteristik DAS dan alur sungai dapat dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengetahuan tersebut sangat membantu dalam melaksanakan pekerjaan hidrometri, antara lain : (1) Merencanakan pos duga air, (2) Melaksanakan survei lokasi pos duga air dan (3) Analisa debit. Aliran sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik curah hujan dan kondisi biofisik DAS. Karakteristik biofisik mencakup geometri (ukuran, bentuk, kemiringan DAS), morfometri (ordo sungai, kerapatan jaringan sungai, rasio percabangan, rasio panjang), geologi, serta penutupan lahan (Liamas, 1993 dalam Nilda., 2014). Diantara keempat penciri kondisi biofisik, tipe penutupan lahan merupakan satu-satunya parameter yang dapat mengalami perubahan secara cepat dan memberikan pengaruhnya secara signifikan terhadap karakteristik debit (Kartiwa et al., 2005 dalam Nilda, 2014).
7
2.2
Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan
kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan memiliki definisi yang berbeda walaupun menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi yang sama. Lillesand dan Kiefer (1993) dalam Poppy (2011) mendefinisikan penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Sebagai contoh pada penggunaan lahan untuk pemukiman yang terdiri atas pemukiman, rerumputan, dan pepohonan. Menurut Muiz (2009) dalam Poppy (2011), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial 4 ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan (landuse change) meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda (conversion) atau diversifikasi pada penggunaan lahan yang sudah ada.
8
Secara umum perubahan lahan akan mengubah: (a) karakteristik aliran sungai, (b) jumlah aliran permukaan, (c) sifat hidrologis daerah yang bersangkutan (Mayer dan Tuner, 1994 dalam Nilda, 2014). Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan (Sitorus, dkk, 2006 dalam Julia Rahmi, 2009). Pengelompokan penggunaan lahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tujuh kategori, terdiri dari hutan, semak/belukar, kebun/perkebunan campuran, pemukiman, sawah irigasi, tegalan/ladang dan lahan terbuka. 2.3
Curah Hujan Siklus hidrologi adalah suatu rangkaian proses yang terjadi dengan air
yang terdiri dari penguapan, presipitasi, infiltrasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut. Penguapan dari daratan terdiri dari evaporasi dan transpirasi. Uap yang dihasilkan mengalami kondensasi dan dipadatkan membentuk awan-awan yang nantinya dapat kembali menjadi air dan turun sebagai presipitasi (Machairiyah, 2007). Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) akan dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater). Ada beberapa sifat hujan yang penting untuk diperhatikan dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran, antara lain adalah intensitas curah
9
hujan, lama waktu hujan, kedalaman hujan, frekuensi dan luas daerah pengaruh hujan. Komponen hujan dengan sifat-sifatnya ini dapat dianalisis berupa hujan titik maupun hujan rata-rata yang meliputi luas daerah tangkapan (chactment area) yang kecil sampai yang besar (Novie, 2005). Analisis
frekuensi
adalah
suatu
analisis
data
hidrologi
dengan
menggunakan statistika yang bertujuan memprediksi suatu besaran hujan atau debit dengan masa ulang tertentu (Sri Harto, 1993 dalam Febrina Girsang, 2008). Perhitungan data hujan maksimum harian rata-rata DAS harus dilakukan secara benar untuk analisis data hujan. Dalam praktek sering dijumpai perhitungan yang kurang tepat, yaitu dengan cara mencari hujan maksimum harian setiap pos hujan dalam satu tahun, kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan hujan DAS. Cara tersebut tidak logis karena rata-rata hujan dilakukan atas hujan masing-masing pos hujan yang terjadi pada hari yang berlainan. Hasilnya akan jauh menyimpang dengan yang seharusnya (Suripin, 2004 dalam Febrina Girsang, 2008). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993) dalam Febrina Girsang (2004) mengatakan bahwa curah hujan daerah harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut : 1. Cara Rata-Rata Aljabar Jika titik pengamatan banyak dan tersebar merata di seluruh daerah dapat digunakan cara ini. Hasil yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang didapat dengan cara lain. 2. Cara Polygon Thiessen
10
Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka perhitungan curah hujan harian rata-rata itu dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan. 3. Cara Isohiet Cara ini adalah cara rasionil yang paling baik jika garis-garis isohiet dapat digambar dengan teliti. Akan tetapi jika titik-titik pengamatan itu banyak dan variasi curah hujan di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta isohiet ini akan terdapat kesalahan pribadi pembuat peta. 2.4
Debit Air Sungai Debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt). Dalam laporan teknis, debit aliran biasanya ditunjukkan dalam bentuk hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan atau adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim lokal (Asdak, 1995). Menurut NCSRI (2003) dalam Nilda (2014) debit adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu titik atau melalui suatu saluran per satuan waktu yang diformulasikan sebagai berikut : Q=AxV Dimana: Q= debit air (m3/detik) A= luas penampang
11
V = kecepatan aliran (m/detik) Dalam suatu sistem DAS, curah hujan berubah menjadi debit air, dimana volume debit tergantung pada beberapa faktor, diantaranya: jenis tanah, iklim, topografi, dan tata guna lahan. Penggunaan lahan adalah salah satu faktor-faktor dinamis yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Hal ini terus berubah seiring dengan kebutuhan manusia akan pemukiman, pertanian, transportasi dan lain-lain. Selama hujan berlangsung, debit air sungai akan meningkat seiring dengan meningkatnya volume air hujan yang masuk ke dalam sungai. Discharge dapat digunakan untuk memantau kualitas DAS, jika debit sangat tinggi di musim hujan dan sangat rendah pada musim kemarau menunjukkan terjadinya kerusakan pada DAS. Kondisi DAS yang baik adalah ketika debit di distribusikan dengan baik sepanjang tahun dan musim (Nilda, 2014). Analisis hidrograf aliran merupakan suatu metode yang cukup relevan untuk menarik kesimpulan mengenai kondisi suatu DAS, karena output DAS yang diharapkan harus menjamin distribusi air yang merata sepanjang tahun dengan hasil (water yeild) yang cukup tinggi (Asdak, 2002). 2.5
Monitoring dan Evaluasi Kinerja DAS Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.61 /Menhut-II /2014
mengenai Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS, yang meliputi komponen biofisik, hidrologis, sosial ekonomi, investasi bangunan dan pemanfaatan ruang wilayah DAS merupakan upaya mengumpulkan dan menghimpun data serta informasi yang dibutuhkan untuk tujuan evaluasi kinerja pengelolaan DAS. Penggunaan lahan dapat ditentukan melalui tiga indikator yaitu presentase lahan kritis, penutupan vegetasi dan indeks erosi. Kriteria tata air terdiri lima
12
indikator yaitu koefisien regim aliran, koefisien aliran tahunan, muatan sedimen, banjir dan indeks penggunaan air. Kriteria social dan ekonomi terdiri tiga indikator yaitu tekanan penduduk, tingkat kesehjateraan penduduk dan keberadaan dan penegakan peraturan. Kriteria nilai investasi bangun terdiri dari dua indikator klasifikasi kota dan nilai investasi bangunan air serta kriteria pemanfaatan ruang wilayah yang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Monitoring dan evaluasi kinerja DAS ini sangat penting untuk mengetahui apakah tujuan pengelolaan DAS telah tercapai melalui kegiatan pengelolaan DAS yang telah dilakukan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai umpan balik perbaikan perencanaan pengelolaan DAS ke depan. Hasil evaluasi kinerja pengelolaan DAS merupakan gambaran kondisi daya dukung DAS. Monitoring dan evaluasi kinerja pada penelitian ini hanya dinilai dari aspek penggunaan lahan dan tata air yang terdiri dari beberapa indikator, meliputi: A.
Penutupan Vegetasi Monitoring dan evaluasi penutupan vegetasi dilakukan untuk mengetahui presentase luas lahan berpenutupan vegetasi permanen di DAS yang merupakan perbandingan luas lahan bervegetasi permanen dengan luas DAS. Data penutupan lahan dengan vegetasi permanen diperoleh dari data sekunder hasil identifikasi citra resolusi tinggi/liputan lahan yang dilaksanakan oleh Kementrian Kehutanan/Badan Informasi Geospasial/ LAPAN/ pihak lain sesuai kewenangannya. Vegetasi permanen yang dianalisis adalah tanaman tahunan yang berupa hutan, semak belukar dan kebun. Klasifikasi nilai PPV disajikan pada Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1. Klasifikasi Nilai PPV No. 1 2 3 4 5
B.
Nilai PPV PPV > 80 60< PPV ≤ 80 40 < PPV ≤ 60 20 < PPV ≤ 40 PPV≤ 20
Kelas Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
Skor 0,5 0,75 1 1,25 1,5
Koefisien Regim Aliran (KRA) Koefisien regim aliran (KRA) adalah perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Dimana (1) Qmaks (m3/det) = debit harian rata-rata tahunan tertinggi dan (2) Qmin (m3/det) = debit harian rata-rata tahunan terendah. Nilai KRA yang tinggi menunjukkan bahwa kisaran nilai limpasan pada musim penghujan (air banjir) yang terjadi besar, sedang pada musim kemarau aliran air yang terjadi sangat kecil atau menunjukkan kekeringan. Secara tidak langsung kondisi ini menunjukkan bahwa daya resap lahan di DAS kurang mampu menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh dan air limpasannya banyak yang masuk ke sungai dan terbuang ke laut sehingga ketersediaan air di DAS saat musim kemarau sedikit. Klasifikasi nilai KRA disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Klasifikasi Nilai KRA No 1
Nilai KRA KRA ≤ 20
Kelas Sangat Rendah
Skor 0,5
2 3 4 5
20< KRA ≤ 50 50 < KRA ≤ 80 80 < KRA ≤110 KRA >110
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
0,75 1 1,25 1,5