13 Alasan Untuk Merevisi PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009
18 Februari 2009
PENDAHULUAN Sekitar 3 tahun lalu industri mobile content tercemari oleh beberapa penyedia konten (content provider) nakal. Karena ide self regulated yang diajukan IMOCA (Indonesia Mobile & Online Content Provider Association) ditolak oleh BRTI dan tidak semua penyedia konten menjadi anggota IMOCA (sehingga tidak bisa ditindak IMOCA jika melakukan pelanggaran), maka dari pertengahan tahun 2006 sampai akhir tahun 2008 IMOCA mendukung BRTI dan Direktorat Jendral Postel membahas rancangan PerMenKominfo (awalnya berupa KepDirjen Postel) yang intinya mengawasi industri konten mobile agar memberikan nilai tambah kepada masyarakat penggunanya bukan justru sebaliknya. Tetapi, yang mengejutkan adalah pada 8 Januari 2009 Menkominfo menandatangani PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 yang mana di dalamnya disebutkan bahwa para penyedia konten harus meminta izin dari BRTI (Pasal 2) dan para penyedia konten adalah penyelenggara jasa telekomunikasi dan diharuskan membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Jasa Telekomunikasi (Pasal 6). IMOCA mendukung PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009, karena memang industri mobile content harus dibina dan ditumbuhkembangkan bersama agar industri kreatif ini memberikan nilai tambah di dalam kehidupan masyarakat, bukan justru merugikan kehidupan masyarakat. IMOCA tidak menentang pasal-pasal di PerMenKominfo yang mengatur industri penyedia konten, karena IMOCA setuju bahwa agar industri ini tidak hancur haruslah diatur sedemikian rupa agar jangan dicemari oleh penyedia konten yang hit-and-run dan tidak bertanggung jawab. Bahkan IMOCA sangat berterima kasih karena PerMenKominfo tersebut banyak mengakomodir kode etik IMOCA yang jauh lebih ketat mengatur industri ini. Akan tetapi, setidak-tidaknya ada 13 (tiga belas) alasan mengapa Menteri Komunikasi Dan Informatika perlu merevisi PerMenKominfo tersebut, khususnya yang terkait dengan Pasal 2 (Persyaratan) dan Pasal 6 (Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi), agar PerMenKominfo tersebut dapat diterima dan didukung oleh semua pihak.
13 ALASAN UNTUK MEREVISI PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009
1)
Selama lebih dari 2 tahun IMOCA sebagai satu-satunya asosiasi penyedia konten yang diakui pemerintah menjadi mitra diskusi penyusunan draft PerMenKominfo (awalnya berupa KepDirJenPostel) tersebut. Kepada umum BRTI dan DitJen Postel menyatakan bahwa pembahasan draft PerMenKominfo tersebut sudah dilakukan dengan konsultasi publik yang melibatkan IMOCA. Benar bahwa IMOCA dilibatkan, tapi selama lebih dari 2 tahun itu tidak ada pembahasan tentang BHP. Jika memang BHP ingin dikenakan kepada para penyedia konten, mengapa tidak dibahas sejak awal pada konsultasi publik tersebut? Bukankah konsultasi publik seharusnya transparan?
2)
Pada diskusi dengan DitJen Postel dan BRTI pada 28 Januari 2009 yang difasilitasi KADIN, IMOCA memaparkan bahwa penyedia konten bukanlah penyelenggara jasa telekomunikasi melainkan hanyalah penyedia konten kepada para operator telekomunikasi (penyelenggara jasa telekomunikasi). Operator telekomunikasi sudah membayar BHP mereka (yang mana di dalamnya sudah termasuk atas pendapatan kotor operator dari penjualan konten). Penarikan BHP dari para penyedia konten hanyalah akan menimbulkan penarikan BHP ganda atas pendapatan kotor yang sama.
3)
Dengan memakai analogi jasa penyiaran, hubungan penyedia konten dengan operator telekomunikasi adalah sama halnya dengan hubungan rumah produksi (production house) dengan stasiun televisi. Rumah produksi hanya menyediakan konten berupa sinetron, variety show, dll kepada stasiun televisi. Stasiun televisi lah yang melakukan jasa penyiaran dan wajib menbayar BHP Jasa Penyiaran, sedangkan rumah produksi bukanlah penyelenggara jasa penyiaran dan tidak dikenakan BHP. Bisnis rumah produksi sudah lebih tua dari bisnis penyedia konten mobile, dan penarikan BHP kepada para penyedia konten mobile karena omzetnya sudah milyaran (seperti yang diutarakan oleh BRTI) bukanlah alasan mendasar untuk mengenakan BHP kepada para penyedia konten mobile (karena bisnis rumah produksi juga milyaran omzetnya).
4)
Di beberapa kesempatan BRTI dan DitJen Postel menyatakan bahwa penolakan BHP oleh IMOCA sama saja ingin menghindari pajak. BHP bukanlah pajak, BHP tepatnya adalah PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).
5)
Pengaturan pengenaan BHP (yang pada hakekatnya adalah sebuah pungutan) kepada para penyedia konten melalui PerMenKominfo bertentangan dengan UUD'45 Pasal 23A: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang undang".
6)
Kementrian yang sebelumnya sebenarnya sudah memberikan contoh yang baik. Ketika UU No.3/1989 tidak bisa mengakomodir perkembangan teknologi komunikasi, maka UU No. 36/1999 dikeluarkan sebagai gantinya. BHP kepada para operator telekomunikasi yang tidak diatur oleh UU No.3/1989 lalu diatur oleh UU No. 36/1999. Bukannya oleh sebuah PerMen.
7)
Jika para penyedia konten tetap ingin dipaksakan untuk membayar BHP sedangkan itu tidak diatur oleh UU No. 36/1999, maka UU No. 36/1999 yang tidak bisa lagi mengakomodir perkembangan bisnis teknologi komunikasi dewasa ini haruslah direvisi atau diganti dengan UU yang baru, bukan oleh sebuah PerMen.
8)
UU No. 36/1999 yang juga mengatur BHP Frekwensi Radio lebih lanjut ditindaklanjuti oleh PP No. 53/2000 tentang formula BHP Frekwensi Radio tersebut. Ini sebuah tatanan legislasi yang benar: UU ditindaklanjuti oleh PP yang tingkatnya lebih rendah dari UU.
9)
PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 yang mengatur BHP atas penyedia konten akan ditindaklanjuti oleh sebuah PP (yang sekarang ini belum ada) untuk formulasi penghitungannya. Ini sebuah tatanan legislasi yang tidak tepat. PerMen ditindaklanjuti oleh PP yang tingkatnya lebih tinggi dari PerMen itu sendiri.
10) Di masa krisis seperti ini semua lini industri mendapatkan beberapa kemudahan dan insentif dari pemerintah. Hal yang sebaliknya dan sangat ironis justru terjadi di Industri penyedia konten mobile. Ini bisa menjadi langkah kontraproduktif yang akan mematikan industri penyedia konten mobile yang sebenarnya juga sedang terpuruk. 11) Jika pada PerMenKominfo No. 11 (Tentang Kampanye) Penyedia Konten didefinisikan dengan jelas, maka pada PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/ 01/2009 Penyedia Konten yang ingin dikenakan BHP tidak didefinisikan. Yang didefinisikan akan dikenakan BHP adalah Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium (Pasal 1 Ayat 11) yang jika dibaca dengan teliti mengacu/mendefinisikan operator telekomunikasi, bukan ke Penyedia Konten.
Pada PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009, Pasal 1 Ayat 9, Penyelenggaraan Jasa Pesan Singkat (sms) jelas mendefinisikan operator telekomunikasi. Begitu juga dengan Pasal 1 Ayat 10, Penyelenggaraan Jasa Pesan Multimedia (mms) yang jelas mendefinisikan operator telekomunikasi. Pasal 1 Ayat 11, Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium didefinisikan sbb: penyelenggaraan jasa sms dan atau mms yang diselenggarakan melalui mekanisme berlangganan dan atau tidak berlangganan dengan tarif yang lebih tinggi daripada tarif penyelenggaraan jasa sms dan atau mms. Ini sekali lagi jelas mendefinisikan operator telekomunikasi, bukan penyedia konten. Tujuan dari Pasal 6 dari PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 sebenarnya ingin mengenakan BHP kepada para penyedia konten, tapi dengan definisi yang salah seperti ini maka itu berarti BHP tetap ditujukan kepada para operator telekomunikasi. 12) Pada diskusi dengan DitJen Postel dan BRTI pada 28 Januari 2009 yang difasilitasi KADIN, BRTI menyatakan bahwa penggunaan nomor/kode akses 4 digit yang selama ini dipakai oleh para penyedia konten adalah ilegal. BRTI menyatakan bahwa semua nomor/kode akses diatur dan dikuasai oleh negara. Karena diatur dan dikuasai oleh negara, maka pemakaiannya harus dikenakan BHP. Penyataan ini jelas menyiratkan bahwa BRTI belum mengerti 100% tentang industri yang akan diaturnya. Nomor/kode akses diatur di dalam fundamental technical plan (FTP). FTP yang pertama dituangkan dalam KepMenParpostel No. KM 70/UM.001/MPPT-94 (FTP 1994), yang lalu diubah dalam KepMenParpostel No. KM 106/UM.001/MPPT-96 (FTP 1996). KepMenPerhubungan No. KM 4 Th 2001 (FTP 2000) lalu menggantikan FTP 1994 dan FTP 1996 yang dinyatakan tidak berlaku lagi. FTP 2000 ini akhirnya juga harus mengalami 4 perubahan. Perubahan pertama ditetapkan melalui KepMenPerhubungan No. KM 28 Th 2004, perubahan kedua ditetapkan melalui PerMenKominfo No. 06/P/M.KOMINFO/5/2005, perubahan ketiga ditetapkan melalui PerMenKominfo No. 13/P/M.KOMINFO/03/2006, dan perubahan keempat ditetapkan melalui PerMenKominfo No. 43/P/M.KOMINFO/12/2007. Pada KepMenPerhubungan No. KM 28 Th 2004 Bab V butir 4.2.3 jelas bahwa nomor/kode akses 4 digit seperti yang sekarang ini digunakan oleh para penyedia konten adalah ruting internal jaringan lokal operator telekomunikasi yang penomorannya tidak diatur oleh negara seperti pada lampiran 2 (Iktisar Peruntukan Nomor) KepMen itu sendiri. Sampai pada perubahan FTP 2000 yang keempat, hal-hal yang diatur oleh Bab V butir 4.2.3 dan lampiran 2 tetap tidak berubah.
Jadi selama ini para penyedia konten tidak menggunakan nomor/kode akses yang diatur negara, melainkan nomor ruting internal jaringan lokal operator telekomunikasi yang tidak dikuasai dan diatur oleh negara. Nomor/kode akses yang dikuasai dan diatur negara adalah natural resource terbatas berupa kode akses yang unik seperti 0811-123456, misalnya. Semua nomor/kode akses dengan prefix 0811 diatur negara untuk diberikan ke sebuah operator telekomunikasi tertentu. Nomor/kode akses dengan prefix 0811 itu bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja. Nomor/kode akses 1212, misalnya, hanya bisa diakses oleh pelanggan Telkomsel yang ingin mengaktivasi Nada Sambung Pribadinya. Begitu juga nomor/kode akses 808 yang hanya bisa diakses oleh pelanggan Indosat dan 1818 yang hanya bisa diakses oleh pelanggan XL, karena nomor-nomor tersebut hanyalah nomor ruting internal operator telekomunikasi tersebut. Dengan demikian pernyataan BRTI bahwa pemakaian nomor/kode akses untuk konten mobile itu ilegal dan pengenaan BHP kepada para penyedia konten karena memakai nomor/kode akses yang dikuasai negara adalah tidak tepat dan perlu dikoreksi. 13) Penempatan BRTI sebagai pemberi izin bagi para penyedia konten (Pasal 2) hanya akan menempatkan BRTI sebagai lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif sekaligus (Pasal 20 & 21) di dalam industri kreatif ini. BRTI nantinya bertindak sebagai pemberi izin, jaksa, hakim dan polisi sekaligus. Ini sangat bertentangan dengan semangat UUD'45. Dengan 13 (tiga belas) alasan tersebut di atas, maka kami para pengurus IMOCA yang diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya asosiasi yang menaungi para penyedia konten memohon kebijaksanaan Bapak Menteri Komunikasi Dan Informatika untuk meninjau kembali dan merevisi PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009, khususnya Pasal 2 (Persyaratan) dan Pasal 6 (Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi). Besar harapan kami bahwa permohonan kami ini dikabulkan sehingga kami dapat mendukung penuh PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009.
Hormat Kami,
A.Haryawirasma Ketua Umum
Sapto Anggoro Sekretaris Jendral