HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Tiga pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan menjadi lokasi pengambilan sampel daging ayam, yaitu Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang. Ketiga pasar memiliki karakteristik tempat penjualan dan pedagang daging ayam (responden) yang berbeda-beda.
Secara umum diperoleh hasil
bahwa lebih dari separuh pedagang daging ayam berjenis kelamin laki-laki (66.7%).
Jenis daging ayam yang dijual adalah karkas utuh (100%), karkas
potongan (95%) tetapi tidak ada yang menjual jeroan ayam. Karkas ayam yang dijual oleh pedagang sebagian berasal dari hasil pemotongan sendiri (66.7%), dari tempat pemotongan unggas atau rumah potong unggas (29.1%), serta berasal dari TPU/RPU dan pemotongan sendiri (4.2%).
Secara rinci karakteristik tempat
penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8
Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan Pasar Modern (n=10)
Pasar Bukit (n=11)
Pasar Jombang (n=3)
Total (n=24)
Laki-laki
8 (80.0%)
5 (45.4%)
3 (100%)
16 (66.7%)
Perempuan
2 (20.0%)
6 (54.5)
0
8 (33.3%)
Karkas utuh
10 (100%)
11 (100%)
3 (100%)
24 (100%)
Karkas potongan
10 (100%)
10 (90.9%)
3 (100%)
23 (95.8%)
0
0
0
0
Potong sendiri
3 (30.0%)
11 (100%)
2 (66.7%)
16 (66.7%)
Tempat pemotongan unggas/rumah potong unggas
6 (60.0%)
0
1 (33.3%)
Potong sendiri dan tempat pemotongan unggas/rumah potong unggas
1 (10.0%)
Karakteristik tempat penjualan daging ayam Jenis kelamin pedagang
Produk yang dijual
Jeroan Asal karkas
Pedagang perantara
7 (29.1%) 0
0 1 (4.2%)
0
0
0
0
26
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerja sama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Berbagai produk yang berasal dari berbagai sumber dan produsen dijajakan serta karakteristik pedagang dan konsumen yang beragam, menjadikan pasar tradisional sebagai salah satu sumber infeksi penyakit pada manusia, baik infeksi yang terjadi secara langsung maupun melalui perantara barang dagangan. Dalam pidato Menteri Kesehatan yang dibacakan oleh Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, pada kegiatan Hari Pasar Bersih Nasional ke-3, disampaikan bahwa status kesehatan suatu populasi sangat ditentukan oleh kondisi kebersihan tempat-tempat orang banyak beraktivitas setiap harinya. Pasar adalah salah satu tempat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, dapat menjadi alur utama penyebaran berbagai penyakit bila tidak dikelola dengan baik (Kemenkes 2010).
Oleh karena itu, pasar sehat perlu terus diupayakan dan
dikembangkan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/ VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat, pasar sehat adalah kondisi pasar yang bersih, aman, nyaman, dan sehat yang terwujud melalui kerja sama seluruh stakeholder terkait dalam menyediakan bahan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Unggas dan produknya merupakan komoditi yang sangat diminati oleh konsumen dan banyak dijajakan. Daging ayam sebagai salah satu bahan pangan yang bersifat basah, memerlukan perlakuan khusus dalam penjualan, baik dari segi tempat penjualan, maupun sarana dan fasilitas yang melengkapi. Berdasarkan Pedoman Umum Teknis Program Penataan Kios Daging Unggas di Pasar Tradisional, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen
27
Pertanian Tahun 2010, secara umum persyaratan minimal sarana prasarana fisik dan bangunan utama yang diperlukan dalam pengembangan kios daging yang memenuhi persyaratan higiene-sanitasi antara lain: Bangunan harus bersifat permanen, terbuat dari bahan yang kuat dan mudah perawatannya; Konstruksi bangunan harus didesain sesuai fungsi dan alur proses/kerja; Saluran pembuangan limbah cair harus didesain sedemikian rupa sehingga aliran lancar, mudah pembersihan, dan pengawasannya; Ruang kerja yang cukup dan leluasa untuk bergerak; Dinding dalam berwarna terang, terbuat dari bahan yang kedap air minimal setinggi 2 meter, tidak mudah korosif, tidak toksik, tidak mudah mengelupas, mudah dibersihkan, dan mudah didisinfeksi; Lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tidak licin, mudah dibersihkan, dan mudah didisinfeksi; Sudut pertemuan dinding dan lantai harus berbentuk lengkung atau mudah dibersihkan; Permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak bercelah atau pun berlubang; Langit-langit terbuat dari bahan yang kedap air minimal setinggi 2 meter, tidak mudah korosif, tidak toksik, tidak mudah mengelupas, tidak berlubang atau celah; Terbuka, mudah dibersihkan, dan mudah didisinfeksi; Sirkulasi udara harus terjamin baik, sebaiknya dilengkapi dengan penyejuk ruangan; Sumber air bersih (memenuhi persyaratan air bersih) yang cukup dan tersedia secara kontinyu; Sumber listrik yang cukup dan tersedia secara kontinyu; Lampu
harus
memiliki
pelindung
dan
mudah
dibersihkan,
intensitasnya memadai untuk pemeriksaan; Sarana penyimpanan beku dengan temperatur maksimum -18 °C, sarana penyimpanan dingin dengan temperatur -1 °C sampai dengan
28
maksimum 4 °C, tempat penjajaan (show case) yang dilengkapi alat pendingin dengan temperatur maksimum 4 °C; Toilet yang selalu terjaga kebersihannya dan pintu toilet tidak berhadapan langsung dengan ruang pengelolaan daging; Bangunan, fasilitas, dan peralatan untuk pengelolaan daging harus secara khusus peruntukannya, terpisah dengan daging babi dan ikan. Secara umum, kondisi ketiga pasar belum memenuhi seluruh persayaratan minimal sarana prasarana fisik dan bangunan utama kios daging yang dipersyaratkan Kementerian Pertanian. Jika dilihat dari aspek konstruksi kios dan bangunan serta kios penjualan khusus yang terpisah dari komoditi lain, Pasar Modern memenuhi kriteria dan lebih baik dibandingkan dengan kedua pasar lainnya (Pasar Bukit dan Pasar Jombang).
Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam Dilihat dari aspek tempat penjualan daging ayam dari ketiga pasar, umumnya (95.8%) tempat penjualan daging ayam berupa kios permanen yang memiliki atap sehingga dapat terlindung dari panas dan hujan. Hanya beberapa (4.2%) tempat penjualan berupa kios tidak permanen. Sebagian (58.3%) tempat penjualan ini bercampur dengan komoditi lain, tidak berada pada area khusus penjualan daging.
Semua tempat penjualan daging ayam pada ketiga pasar
memiliki penerangan yang mencukupi. Dari segi fasilitas atau sarana, sebagian besar pedagang (79.2%) menggunakan tempat penjajaan dengan permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah berkarat, dan mudah dibersihkan. Seluruh pedagang (100%) menggunakan alas potong (talenan) berbahan kayu dan sebagian (58.3%) menggunakan pisau yang tidak terbuat dari bahan yang antikarat. Fasilitas pembeku (freezer), fasilitas pendingin (refrigerator/chiller), dan fasilitas tempat cuci tangan tidak tersedia pada semua kios (100%).
Di
samping itu, fasilitas pencuci peralatan (bak, air, wastafel, atau yang lain) juga tidak dimiliki oleh sebagian kios (45.8%). Dilihat dari aspek penjualan produk dan kebersihan, seluruh kios menjual karkas yang terpisah dengan jeroan, namun seluruh kios (100%) menjajakan
29
karkas yang tidak terlindung (dapat disentuh oleh pembeli) dan terdapat beberapa kios (16.7%) yang menjual karkas ayam bersamaan dengan ayam hidup. Sebagian besar (79.2%) pedagang menjual karkas ayam tidak terbebas dari serangga, rodentia, dan hewan lain, serta lebih dari separuh pedagang (58.3%) kebersihan tempat penjualan tidak terjaga (ada genangan air dan sampah bertebaran). Di samping itu, sebanyak 62.5% pedagang tidak melengkapi kiosnya dengan tempat sampah basah dan kering. Dari aspek higiene personal, para pedagang ayam di tempat penjualan daging ayam tidak menerapkan higiene personal dengan baik. Sebagian besar (75%) pedagang tidak menggunakan apron, serta seluruh pedagang (100%) tidak menggunakan penutup kepala, masker, dan sarung tangan.
Kondisi higiene
sanitasi tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden terdapat pada Tabel 9. Pada setiap tahapan proses penyediaan daging ayam mulai dari pemeliharaan unggas, pemotongan, eviserasi, hingga karkas didistribusikan dan dijual sangat mudah tercemar oleh mikroorganisme. Unggas hidup mengandung mikroflora normal dan dapat terinfeksi bakteri patogen seperti Salmonella yang berasal dari lingkungan kandang atau kontak dengan hewan sakit kemudian menjadi hewan pembawa. Pada proses transportasi, unggas hidup dapat terinfeksi bakteri Salmonella yang berasal dari keranjang pembawa yang tercemar feses atau dapat terjadi pencemaran silang antar unggas akibat stres saat transportasi (Barbut 2002). Proses pemotongan dan eviserasi dapat menjadi sumber pencemaran bakteri pada karkas. Salmonella Typhimurium dan Salmonella Enteritidis berada dalam saluran cerna hewan. Bakteri patogen ini disebarkan ke lingkungan dan makanan melalui feses (Buncic 2006). Pencemaran karkas ayam oleh Salmonella dapat dengan mudah terjadi dari satu karkas ke karkas lain melalui tangan pekerja yang tercemar Salmonella selama proses eviserasi, sarung tangan, dan alat pengolahan (Marriott 1997).
30
Tabel 9
Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan
Karakteristik Higiene Sanitasi
Kondisi umum Kios permanen Tempat memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas Tempat penjualan bercampur dengan komoditi lain Penerangan mencukupi (dapat mengetahui perubahan warna pada daging) Sarana/fasilitas Permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan Talenan berbahan kayu Pisau yang digunakan terbuat dari bahan yang anti-karat Jumlah pisau lebih dari satu Mempunyai fasilitas pembeku (freezer) Mempunyai fasilitas pendingin (refrigerator/chiller) Tersedia fasilitas pencuci peralatan (bak air, westafel, atau yang lain) Tersedia fasilitas cuci tangan Penjualan produk Karkas tidak terlindung (dapat disentuh pembeli) Karkas terpisah dari jeroan Ayam hidup bersamaan dengan karkas Kebersihan Bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain Kebersihan tempat penjualan/kios terjaga (tidak ada genangan air dan sampah yang bertebaran) Tersedia tempat sampah basah atau kering Higiene Personal Memakai apron Memakai penutup kepala Memakai masker Memakai sarung tangan
Pasar Modern (n=10) Ya Tidak
Persentase Pasar Bukit Pasar Jombang (n=11) (n=3) Ya Tidak Ya Tidak
Total (n=24) Ya
Tidak
100% 100%
0% 0%
90.9% 100%
9.1% 0%
100% 100%
0% 0%
95.8 100
4.2 0
0%
100%
100 %
0%
100%
0%
58.3
41.7
100%
0%
100%
0%
100%
0%
100
0
100%
0%
72.7%
27.3%
33.3%
66.7%
79.2
20.8
100% 100%
0% 0%
100% 0%
0% 100%
100% 0
0% 100%
100 41.7
0 58.3
50%
50%
18.2%
81.8%
33.3%
66.7%
33.3
66.7
0%
100%
0%
100%
0%
100%
0
100
0%
100%
0%
100%
0%
100%
0
100
100%
0%
9.1%
90.9%
0%
100%
45.8
54.2
0%
100%
0%
100%
0%
100%
0
100
100%
0%
100%
0%
100%
0%
100
0
100%
0%
100%
0%
100%
0%
100
0
0%
100%
27.3%
72.7%
33.3%
66.7%
16.7
83.3
50%
50%
0%
100%
0%
100%
20.8
79.2
90%
10%
9.1%
90.9%
0%
100%
41.7
58.3
80%
20%
9.1%
90.9%
0%
100%
37.5
62.5
50% 0% 0% 0%
50% 100% 100% 100%
9.1% 0% 0% 0%
90.9% 100% 100% 100%
0% 0% 0% 0%
100% 100% 100% 100%
25 0 0 0
75.0 100 100 100
31
Sanitasi merupakan bagian penting dalam proses pengolahan pangan yang harus dilaksanakan dengan baik.
Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha
pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut (Purnawijayanti 2001). Berkaitan dengan pengolahan pangan, sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia (Chandra 2005). Menurut Marriot (1997) apabila sanitasi diterapkan, makanan atau bahan pangan serta peralatan dapat terbebas dari kotoran dan cemaran mikroorganisme atau bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit atau keracunan makanan. Di samping itu, higiene personal harus diterapkan oleh para individu yang terkait dalam setiap proses penyediaan daging ayam, sejak awal pemotongan unggas hingga daging ayam siap dikonsumsi oleh konsumen sehingga kualitas daging ayam tetap terjaga. Berdasarkan Pedoman Umum Teknis Program Penataan Kios Daging Unggas di Pasar Tradisional, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen Pertanian Tahun 2010, secara umum persyaratan minimal fasilitas peralatan harus dapat mencegah terjadinya pencemaran silang. Prioritas peralatan yang diperlukan adalah: Tempat penjajaan (show case) dan peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik, harus terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari stainles steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah dibersihkan, dan mudah didisinfeksi; Fasilitas
pencucian
peralatan
yang
senantiasa
terpelihara
kebersihannya; Fasilitas pencucian tangan dan perlengkapannya; Tempat sampah yang berpenutup; Peralatan daging yang tidak mudah patah atau pecah, tidak bersifat toksik, mudah dibersihkan, dan didisinfeksi.
32
Secara umum, kondisi ketiga pasar belum memenuhi seluruh persyaratan minimal fasilitas peralatan kios daging yang dipersyaratkan Kementerian Pertanian. Jika dilihat dari aspek tempat penjajaan, fasilitas pencuci peralatan, dan ketersediaan tempat sampah, Pasar Modern cukup memenuhi kriteria dan lebih baik dibandingkan dengan kedua pasar lainnya (Pasar Bukit dan Pasar Jombang). Upaya yang maksimal harus terus dilakukan agar persyaratan minimal sarana prasarana fisik dan bangunan kios daging di pasar tradisional dapat terpenuhi sehingga daging yang dihasilkan dapat memenuhi kriteria ASUH. Keberadaan Salmonella pada Daging Ayam Berdasarkan pengujian sampel daging ayam di laboratorium, diperoleh hasil bahwa 4 sampel dari 24 sampel yang diambil dari tiga pasar di Kota Tangerang Selatan positif mengandung bakteri Salmonella. Keempat sampel yang bernilai positif, dua sampel berasal dari Pasar Bukit dan dua sampel lainnya berasal dari Pasar Modern dan Pasar Jombang. Sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, sampel daging ayam segar haruslah negatif terhadap bakteri Salmonella. Hasil pengujian Salmonella dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan terdapat pada Tabel 10. Tabel 10
Hasil pengujian Salmonella dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan Hasil pengujian Salmonella
Pasar
Persentase hasil sampel yang melebihi BMCM
Jumlah sampel positif
Jumlah sampel negatif
Pasar Modern (n=10)
1
9
10%
Pasar Bukit (n=11)
2
9
18.2%
Pasar Jombang (n=3)
1
2
33.3%
Total (n=24)
4
20
16.7%
BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan BMCM Salmonella pada daging ayam segar = negatif/25 gram
33
Keberadaan Salmonella pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran pada karkas daging ayam tersebut. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa persentase tertinggi jumlah sampel positif Salmonella ditemukan pada sampel daging ayam dari Pasar Jombang. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu terjadinya pencemaran silang saat pemotongan ayam dan proses pengeluaran jeroan (eviserasi), pencemaran silang dari peralatan yang digunakan, tidak diterapkannya rantai dingin selama proses pemasaran, ayam hidup yang dijual bersamaan dengan produk daging ayam, serta tidak diterapkannya higiene personal oleh para pedagang atau pelaku pasar. Menurut Purnawijayanti (2001) pencemaran silang adalah pencemaran pada bahan makanan melalui perantara. Bahan cemaran dapat berada dalam bahan pangan melalui berbagai pembawa seperti peralatan, serangga, atau manusia yang menangani bahan pangan tersebut, yang biasanya merupakan perantara utama. Eviserasi merupakan tahapan dengan tingkat pencemaran silang yang tinggi pada karkas. Proses eviserasi ini dapat dilakukan secara manual maupun secara otomatis dengan menggunakan mesin.
Kedua cara tersebut berpotensi
menimbulkan pencemaran pada karkas. Penyebab pencemaran selama proses eviserasi dapat berasal dari pekerja, peralatan, maupun kondisi unggas seperti saluran cerna yang masih terisi penuh dengan cairan pakan atau hewan dalam kondisi sakit, misal diare. Sebanyak 1 ml isi saluran cerna unggas mengandung 109 cfu mikroorganisme, menunjukkan bahwa volume sedikit saja dapat menimbulkan tingkat pencemaran yang tinggi (Barbut 2002). Bakteri patogen penyebab utama infeksi pada manusia yang paling sering teridentifikasi pada karkas yang tercemar oleh isi saluran cerna adalah Salmonella dan Campylobacter (Bolder 1998; Mead 2005). Sebagian besar pedagang di Pasar Jombang menjual daging ayam yang diperoleh melalui proses pemotongan sendiri secara manual. Metode pemotongan sendiri secara manual meningkatkan risiko karkas tercemar oleh isi saluran cerna akibat tidak adanya prosedur baku yang diterapkan sehingga karkas berpotensi mengandung bakteri patogen berbahaya seperti Salmonella.
Berbeda halnya
dengan pemotongan manual, proses pemotongan unggas pada RPU dilakukan
34
dengan menerapkan standard operating procedure (SOP) dalam setiap proses pemotongannya sehingga dapat memperkecil risiko karkas tercemar oleh bakteri patogen dalam saluran cerna. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan daging harus memenuhi tiga kriteria, yaitu sesuai menurut spesifikasinya, aman digunakan, dan higienis selama proses pengerjaan. Peralatan dianggap bersifat higienis ketika peralatan mudah dibersihkan dan didisinfeksi serta tidak memberikan dampak negatif pada produk (Bolder 1998).
Pencemaran silang dapat bersumber dari penggunaan
pisau yang sama saat proses pemotongan ayam dan penanganan daging ayam mentah. Penggunaan alas potong berbahan kayu yang sukar dibersihkan pun dapat menjadi sumber cemaran. Menurut hasil penelitian Narasimha Rao (1982) yang dikutip dalam Narasimha Rao et al. (1998) mikroba yang mencemari karkas ayam pada beberapa toko daging berasal dari pisau pemotong (3.8-4.3 log cfu/cm2) dan yang tertinggi berasal dari alas potong berbahan kayu (5.5-7.5 log cfu/cm2). Hasil observasi di ketiga pasar menunjukkan bahwa seluruh pedagang menggunakan alas potong berbahan kayu, serta hanya sedikit yang memiliki pisau ganda. Kondisi ini mendukung terjadinya pencemaran silang pada karkas yang bersih dari karkas yang tercemar. Di samping itu, fasilitas pencuci peralatan juga tidak tersedia pada Pasar Bukit dan Pasar Jombang. Menurut Mead (2005) proses pemotongan dan eviserasi pada ayam umumnya dilakukan pada temperatur sekitar 40 °C, dengan water activity yang sesuai sehingga sangat kondusif bagi pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri pembusuk.
Oleh karena itu, pada tahapan selanjutnya dilakukan proses
pendinginan dengan tujuan untuk mengurangi dan mempertahankan temperatur pada daging demi keamanan dan kualitas produk daging ayam. Pendinginan atau penerapan rantai dingin dari proses pemotongan sampai tujuan akhir konsumsi didesain sedemikian rupa untuk menurunkan temperatur karkas. Tidak hanya pada saat proses chilling atau freezing di rumah pemotongan, tetapi juga pada saat transportasi daging, penjualan, dan penyimpanan oleh konsumen. Rangkaian proses pendinginan dilakukan untuk menjaga temperatur karkas agar tetap stabil dan tidak berubah karena sebagian besar bakteri patogen
35
penting dalam makanan tidak mampu tumbuh pada temperatur lemari es, misalnya Salmonella. Bakteri Salmonella (sebagian besar serovar) tidak mampu tumbuh pada temperatur di bawah 7 °C (ICMSF 1996 yang dikutip oleh Mead 2005). Dari ketiga pasar, tidak ada satu pun pedagang yang memiliki fasilitas pendingin atau fasilitas pembeku.
Daging ayam dijual pada lingkungan
bertemperatur ruang. Karkas yang disimpan pada temperatur ruang dengan waktu yang cukup panjang selama proses penjualan memungkinkan pertumbuhan pesat bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk sehingga daging ayam menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Pengambilan sampel daging ayam pada Pasar Jombang dan Pasar Bukit ditemukan beberapa pedagang yang menjual daging ayam bersamaan dengan ayam hidup. Hal ini merupakan salah satu sumber penyebab pencemaran silang bakteri Salmonella pada daging ayam yang dijual. Ayam hidup dapat terinfeksi Salmonella namun tidak menunjukkan gejala klinis, dalam saluran cernanya mengandung bakteri Salmonella (Barbut 2002).
Bakteri ini kemudian
diekskresikan bersama dengan feses dan dapat mencemari daging ayam yang dijual melalui peralatan, tangan pedagang atau pekerja, dan lingkungan penjualan. Menurut Buncic (2006) pekerja yang berinteraksi langsung dengan makanan dapat menjadi sumber bakteri patogen.
Pekerja tersebut mungkin terinfeksi
namun tidak menunjukkan gejala klinis (asimptomatis) atau tangannya tercemar dari sumber lain. Pencemaran makanan oleh pekerja melalui feses, muntahan, lesio kulit, atau mukus adalah sumber bakteri patogen dalam makanan. Dalam suatu penelitian, tangan pekerja yang menangani daging ayam ditemukan tercemar bakteri Salmonella (500-2000 organisme) yang kemudian mencemari sampel daging ayam (Pether and Gilbert 1971 yang dikutip oleh Mead 2005). Dari ketiga pasar, penerapan higiene personal sangat memprihatinkan, hanya sebagian pedagang yang memakai apron dan semua pedagang tidak menggunakan penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Kondisi ini sangat memudahkan terjadinya pencemaran daging ayam oleh bakteri Salmonella yang bersifat patogen.
36
Daging ayam yang tercemar bakteri Salmonella jika dikonsumsi oleh manusia dapat menimbulkan gastroenteritis. Gejala yang timbul adalah mual dan muntah, kemudian diikuti dengan nyeri abdomen, diare, dan demam. Pada kasus yang berat dapat muncul diare berdarah. Adanya Salmonella di dalam darah merupakan risiko
tinggi
terjadinya
penyebaran
infeksi
sehingga
dapat
menimbulkan kematian. Semua individu yang terinfeksi oleh Salmonella bersifat carrier sehingga dapat menjadi sumber penularan dengan mengeksresikan bakteri tersebut dalam tinja dalam jangka waktu yang bervariasi (Karsinah et al. 1994). Oleh karena itu, selama proses pengolahan ayam menjadi daging hingga proses distribusi dan penjualan ke konsumen tingkat pencemaran harus dapat dikendalikan.
Tingkat pencemaran dapat dikendalikan dengan menerapkan
higiene, berdasarkan prinsip HACCP, untuk menghindari pencemaran silang, baik di antara produk maupun antara peralatan dan produk (Bolder 1998).
Peran Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) dalam Keamanan Pangan Asal Hewan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan adalah hal yang sangat penting. Konsumen harus mendapatkan makanan yang dibeli dalam kondisi baik dan tidak tercemar oleh bahan pencemar apa pun yang berbahaya. Oleh karena itu, terdapat suatu lembaga yang bertanggung jawab secara umum dalam hal regulasi produksi makanan (Lawley et al. 2008). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
Salah satu peran kesmavet ialah melindungi kesehatan masyarakat
melalui keamanan pangan, khususnya pangan yang berasal dari hewan.
37
Food and Agricultures Organization of the United Nations (FAO), World Health Organization (WHO), dan Office International des Epizooties (OIE) mendefinisikan kesmavet sebagai kontribusi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial manusia melalui pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan. Kesmavet
memberikan
kontribusi
bagi
kesehatan
masyarakat
melalui
pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya ilmu kedokteran hewan. Kesmavet menggunakan ilmu pengetahuan dan segala informasi dari berbagai disiplin ilmu sebagai dasar. Tidak hanya satu profesi saja yang dibutuhkan dalam kompetensi ini, tetapi juga sebuah kerja sama antara multidisiplin keilmuan. Namun, posisi paling utama sebagai pemimpin dalam multidisiplin keilmuan ini tetap dipegang oleh dokter hewan yang berpendidikan medis dan sangat dekat dengan hewan dan produksi pangan (Buncic 2006; FAO 2008). Umumnya kegiatan kesmavet terkait dengan rantai produksi makanan. Kompetensi dokter hewan mulai dari pengobatan hewan hingga produksi dan teknologi pangan dibutuhkan dalam melaksanakan keamanan pangan. Hal ini merupakan sebuah proses yang luas dan panjang dimulai dari peternakan, kemudian melewati tahap yang berurutan dari rumah potong hewan, transportasi, penjualan makanan, hingga sampai ke tangan konsumen.
Semua tahap ini
memerlukan pengawasan, standar teknis, undang-undang, inspeksi, komunikasi massa, dan kegiatan lainnya dengan partisipasi langsung kesehatan masyarakat veteriner (FAO 2008). Pada setiap bagian rantai makanan, penyakit dapat mempengaruhi hewan serta orang-orang yang mengonsumsi produk hewani, misalnya salmonelosis. Zoonosis lainnya (penyakit menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya) merupakan ancaman kesehatan yang lebih umum yang langsung terkait dengan rantai produksi pangan, contohnya adalah antraks, flu burung, rabies, yang ditularkan oleh berbagai macam hewan domestik dan satwa liar, serta penyakit lainnya yang terkait erat dengan lingkungan, seperti virus West Nile (PAHO 2010). Memastikan pangan yang aman sangat penting untuk melindungi kesehatan manusia dan untuk peningkatan kualitas hidup. Makanan yang aman berperan penting untuk dikonsumsi, bahkan diimpor atau diekspor. Selain itu, produksi
38
makanan yang aman merupakan kesempatan bagi masuknya pendapatan dan akses pasar. Selama dekade terakhir, pendekatan rantai makanan telah diakui sebagai langkah maju yang penting untuk memastikan keamanan pangan dari produksi hingga konsumsi. Pendekatan ini memerlukan komitmen dari semua pihak yang terkait dalam rantai makanan, yang melibatkan produsen, pedagang, pengolah, distributor, pejabat yang berwenang serta konsumen (FAO 2008).