1
Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.012/PUU-I/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja karena Kesalahan Berat Roosmaya Abubakar Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H.
ABSTRAK Sejak adanya krisis moneter dan ketidakstabilan politik nasional Indonesia, pekerja sangat memerlukan perlindungan hukum, mengingat Indonesia adalah negara hukum. Dampak krisis moneter diantaranya adalah adanya penutupan perusahaan, adanya pemutusan hubungan kerja secara besar- besaran atau adanya efisiensi tenaga kerja. Salah satu bentuk perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja adalah kepastian hukum tentang adanya hakhak normatif bagi pekerja yang diputus hubungan kerjanya karena pekerja melakukan kesalahan berat.Pekerja yang melakukan kesalahan berat tidak dapat langsung diputus hubungan kerjanya apabila ia tertangkap tangan, adanya pengakuan pekerja yang bersangkutan atau ada bukti lain. Sejak ditetapkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 khususnya tentang kesalahan berat pada pasal 158 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat apabila adanya putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 Undang – Undang No. 13 Tahun 2003. Pekerja yang mengalami PHK karena melakukan kesalahan berat berhak mendapat uang penggantian hak . Apabila hak itu tidak diperoleh maka dapat dilakukan upaya hukum secara administrasi atau secara perdata berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial Kata kunci : Perlindungan hukum; pekerja; PHK; kesalahan berat
ABSTRACT Since the financial crisis, political instability Indonesian national and considering Indonesia is a country who complies with the law; the workers are in need of legal employment protection. The impact of the financial crisis such as the closing of the company or efficiency of labor caused large scale of employment termination. One form of legal employment protection required is legal certainty about the existence of basic rights for workers whose employment is terminated due to serious/major misconduct. Workers who committed a serious/major misconduct cannot directly terminate by the employer if the employee is caught in the action, witnessed by other fellow workers or support by other evidence. Since the establishment of Constitutional Court No.012/PUU-I/2003 particularly concerning serious/major misconduct as stipulated in Article 158 of Labour Law 13 Year 2003, the employment termination can be executed once the court issue a final and binding verdict OR if the worker remains detained by the authority and failed to carry out his/her duty as stipulated in Article 160 of Labour Law No. 13 Year 2003. Workers who were terminated due to serious/major misconduct are entitled for compensation. Should the workers failed to obtain his/her compensation; the workers can appeal administratively as comply with Law No. 2 Year 2004 on Industrial Relations Disputes Settlement. Keywords: Legal protection; workers; termination; serious or major misconduct.
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
2
Pendahuluan Sesuai Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka segala aspek kehidupan bangsa Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia Tenaga Kerja1. Hukum ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo2 diartikan sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Hukum ketenagakerjaan dalam arti luas tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan pengusaha, tetapi juga pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Dalam era globalisasi ekonomi yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat, transparansi, dan demokratis, diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan terutama yang menyangkut ketenagakerjaan sehingga dapat memberikan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, agar pengusaha dapat mengembangkan usahanya dan bagi pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Di Indonesia pengaturan tentang ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan3 adalah himpunan peraturan mengenai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Ini berarti bahwa Undang Undang Ketenagakerjaan Indonesia mengacu pada pengertian hukum ketenagakerjaan yang lebih luas. Tujuan dari hukum ketenagakerjaan4 adalah : a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja, dan d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Guna mencapai hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, prinsip-prinsip tersebut dimasukan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003, namun ternyata masih ada yang belum dapat menerima perubahannya terhadap undang-undang tersebut dengan alasan penyusunan Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah Undangundang yang patut seperti; tidak melalui naskah akademis serta substansinya, bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, dan Pasal 33 serta bertentangan dengan standar perburuhan International, khususnya Konvensi ILO. Dalam Pasal 27 ayat (1) mengatur “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan ayat (2) mengatur bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”, demi menjamin terlaksananya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan memberikan perlindungan kepada Pekerja/buruh.
1
“Perlindungan HAM Terhadap Tenaga Kerja ditinjau dari Kovensi ILO tentang Buruh “
https:www.google.com/search hak asasi manusia tenaga kerja, diunduh 11 April 2013. Pukul 18.40 WIB. 2
Iman Soepomo, S.H., Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.3.
3
Hardijan Rusli, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.12
4
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 7 Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
3
Ketidaksetujuan terhadap Undang - Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, diwujudkan dengan mengajukan permohonan pengujian terhadap UUD 1945 melalui Mahkamah Konstitusi RI. Kontroversi tentang pemberlakuan Undang - Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi RI. No. 012/PUU-I/2003. Adanya Kontroversi sebenarnya dapat dipahami, oleh karena ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Ketenagakerjaan pada hakekatnya adalah mengatur 2 (dua) keinginan yang selalu tidak selaras, yaitu keinginan pekerja di satu sisi dan keinginan pengusaha pada sisi lain. Perbedaan keinginan tersebut tidak terlepas dari perkembangan industrialisasi yang mengakibatkan timbulnya revolusi sosial ekonomi. Salah satu dari sekian substansi yang dimohonkan pengujian terhadap UUD 1945 adalah ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 19455 sehingga ketentuan Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah bersifat diskriminatif secara hukum, melakukan kesalahan berat masuk kualifikasi tindak pidana yang menurut Pasal 170 Undang-undang Ketenagakerjaan prosedurnya tidak perlu mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu dapat melakukan pemutusan hubungan kerja langsung tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan telah melanggar prinsip pembuktian, terutama asas praduga tidak bersalah dan kesamaan didepan hukum sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, mengatur tentang pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat seperti, mencuri, penggelapan barang, mabuk, perbuatan asusila, membocorkan rahasia perusahaan dan sebagainya. Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti tertangkap tangan, ada pengakuan atau bukti lain dari pihak yang berwenang di perusahaan dengan didukung 2 orang saksi. Terhadap dalil yang disampaikan pemohon bahwa pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (1), karena Pasal 158 memberikan kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat tanpa due proces of law melalui putusan pengadilan yang independen6 dan imparsial7, melainkan cukup hanya dengan putusan pengusaha yang didukung oleh alat bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yakni kesalahan berat.
5
Indonesia. Undang – Undanng Dasar 1945.
6
Independen adalah keadaan dimana tidak terikat dengan pihak lainnya dan bersifat mandiri
7
Imparsial adalah kesetaraan hak setiap individu Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
4
Tinjauan Teoritis Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian Deskriptif Analitis dengan mendeskripsikan keadaan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dilihat dari sudut bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian preskriptif dengan memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi perselisihan hubungan industrial antara perusahaan/pengusaha dengan pekerja/buruh. Dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian problem-solution dengan memberi saran dampak dari penerapan Putusan Makamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003 terhadap pelaksanaan pumutusan hubungan kerja (PHK) khususnya Pasal 158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 karena kesalahan berat. Apabila dilihat dari sudut ilmu yang dipergunakan, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian mono disipliner karena didasarkan pada satu jenis ilmu pengetahuan yaitu ilmu hukum dan menerapkan metodelogi yang lazim dilakukan oleh ilmu tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu memahami data dengan cara mengumpulkan, menyaring, menganalisa, dan menyimpulkan data-data yang diperoleh selama penelitian secara sistematis. Penulis pilih pendekatan ini dengan melihat bahwa penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif sehingga pendekatan secara kualitatif lebih memudahkan penulis dalam mengkonstruksi, menganalisa, serta menyimpulkan data yang diperoleh. Terdapat tiga macam bahan hukum yang dipergunakan yaitu8: 1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, khususnya berlaku di Indonesia yang terdiri dari: a. Undang-Undang No. No. 13 Tahun 2003 b. Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 c. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata d. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana e. Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Bahan Hukum Sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku, artikel ilmiah, majalah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. 3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedia dan seterusnya. Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah bentuk penelitian preskriptif dan penelitian deskriptif yang didasarkan pada satu disiplin ilmu atau mono disipliner dengan pendekatan kualitatif. Maka bentuk hasil penelitian ini adalah preskriptif-deskriptif-analitis.
8
Ibid., hal. 52. Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
5
Pembahasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)9 merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dapat menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Pasal 1 ayat 25 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “pemutusan hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Hal ini bisa disebabkan karena telah berakhirnya perjanjian waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara buruh dan majikan, meninggalnya buruh atau karena faktor lainnya yang bersifat internal maupun eksternal. Dalam praktiknya, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena faktor internal : a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)
Telah berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (Pengusaha maupun Pekerja) karena pihak-pihak yang bersangkutan samasama telah menyadari saat berakhirnya hubungan kerja tersebut. Pemutusan Hubungan Kerja karena adanya perselisihan kedua belah yang mengakibatkan dampak terhadap kedua belah pihak. Pelanggaran displin Pekerja melanggar hukum atau merugikan perusahaan seperti penggelapan, pencurian dan melalaikan kewajibannya Adanya itikad tidak baik dari pekerja seperti mempengaruhi pekerja/buruh lainnya untuk tidak masuk kerja atau memboikot untuk tidak melakukan pekerjaan. Adanya itikad kurang baik dari pengusaha seperti menggantikan pekerja baru dengan gaji yang lebih murah. Keinginan pekerja untuk pindah ke tempat kerja lain yang kondisi kerjanya lebih baik Keinginan pekerja untuk memperoleh uang pesangon dan atau uang kompensasi dengan cara membuat ulah agar hubungan kerjanya diputus oleh pengusaha Hubungan kerja putus dengan sendirinya dalam perjanjian kerja waktu tertentu atau selesainya pekerjaan yang telah diperjanjikan. Hubungan kerja putus atas dasar batas usia (pensiun) yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau peraturan lainnya.
Pemutusan hubungan kerja karena faktor eksternal yaitu keadaan atau kejadian diluar kemampuan perusahaan/pengusaha atau pekerja yang menyebabkan perusahaan ditutup sebagian atau seluruhnya sehingga terjadi Pemutusan Hubungan Kerja misalnya : 1) Pengaruh resesi ekonomi dunia 2) Kebijaksanaan pemerintah seperti kebijaksanaan dalam bidang eksport 3) Bencana alam seperti banjir, kebakaran dan lain-lain. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja A.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas Pengusaha
Keberhasilan pengusaha dalam mengelola perusahaan tidak lain karena telah terjalin kerjasama yang baik antara pengusaha selaku pimpinan dengan para pekerja/buruh dimana pekerja/buruh dalam melaksanakan pekerjaan selalu
9 Soedarjadi, S.H. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Pustaka Yustitisia. Jogjakarta 2008. Hlm. 103. Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
6
bertanggungjawab pada hasil produksi yang telah distandarkan oleh Pengusaha. Kondisi demikian tidak mudah terlaksanakan secara terus menerus oleh kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja/buruh karena adanya faktor-faktor tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pelanggaran Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama Pekerja menolak bekerja karena perubahan status Perusahaan Perubahan Status Perusahaan Perusahaan Merugi Efisiensi Perusahaan Pailit Pensiun Pekerja Mangkir Kesalahan Berat PHK karena Pekerja melakukan Kesalahan Berat. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003. a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Namun demikian, ketentuan Pasal 158 tersebut diatas oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana yang tercantum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 tentang Hak Uji Materiil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh berdasarkan Pasal 158 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 karena kesalahan berat. Hal ini dikarenakan pelanggaran – pelanggaran yang tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 termaksud antara lain penipuan, pencurian, penggelapan, perbuatan asusila atau perjudian, menganiaya, mengancam merupakan perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang –undang Hukum Pidana dan oleh karenanya harus dibuktikan terlebih dulu kesalahannya melalui mekanisme peradilan pidana dan adanya putusan Hakim Pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi SE No. 13/MEN/SJ-HK/2005 bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya putusan Hakim Pidana mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai bukti hukum yang dapat dijadikan bukti dalam perselisihan hubungan industrial yang akan diajukan pada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang – undang Hukum Pidana dan asas Nulum delictum sine praevia lege poenali, maka setiap pekerja yang belum memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Perbuatan pidana atau delik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Selain Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
7
itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diacam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu. Menurut Van Hamel10, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Prof. Simons11, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak senganja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum. 10. Pekerja ditahan Pekerja ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana baik karena baik atas pengaduan pengusaha atau bukan, maka pengusaha tidak wajib membayar upah (karena asas tidak bekerja tidak dibayarkan), tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagaimana dalam Pasal 160 UU No.13 Tahun 2003 : 11. Keadaan Mendesak (Force Majeur) PHK karena keadaan Mendesak - berdasarkan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh inisiatif perusahaan, harus mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003. Force majeure12 biasanya merupakan alasan yang dipakai oleh perusahaan (Pasal 164 ayat 1) untuk mengadakan PHK. Force majeure adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perusahaan dan pekerja/buruh. Istilah yang digunakan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, force majeur adalah keadaan memaksa. Namun Undang – Undang Ketenagakerjaan tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian keadaan memaksa. Sepanjang yang kami ketahui, force majeure biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya. 12. Kebijakan Pemerintah Tindakan pemerintah, termasuk juga perubahan regulasi, yang pada dasarnya diluar kuasa para pihak, yang menjadi anggapan umum merupakan bagian dari resiko berusaha. Hal itu seharusnya diatur secara tegas oleh para pihak (pihak perusahaan dan Pekerja/Buruh) dalam perjanjian kerja, termasuk mekanisme penggantian kerugian atau tambahan beban kewajiban yang timbul. Dasar pengaturan termaksud tunduk pada kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUH Perdata).
B. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pekerja Dalam teori hukum perjanjian salah satu pihak dibolehkan untuk memutuskan mperjanjian dengan persetujuan pihak lainnya. Demikian hubungan kerja, menurut Iman Soepomo pihak pekerja/buruh dapat saja memutuskan hubungan kerjanya dengan persetujuan pihak pengusaha pada setiap saat yang dikehendakinya, bahkan pekerja/buruh juga berhak memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa persetujuan pengusaha, tetapi tindakan pekerja/buruh yang berbuat demikian tersebut telah bertindak berlawanan dengan hukum. Abdul Khakim berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh disebabkan oleh dua hal: a.
b.
Karena permintaan pengunduran diri (Pasal 162 UU No. 13 Tahun 2003). Pekerja mengundurkan diri karena berbagai hal diantaranya pindah kerja ke tempat lain, berhenti karena alasan pribadi, dll. Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan tanpa paksaan/intimidasi tapi pada prakteknya, pengunduran diri kadang diminta paksa oleh pihak perusahaan meskipun Undang-Undang melarangnya; Karena permohonan PHK kepada pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 169 UU No. 13 Tahun 2003).
10
Moeljatno, Azas – azas Hukum Pidana, ( Jogjakarta : Gajahmada University Press, 1982), hal. 42- 50
11
Ibid. http:// www.hukumonline.com/klinik/detial/cl2572/keadaan memaksa-force-majeur, diakses pada 11 April 2013, Pukul 20.28 WIB 12
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
8
PHK oleh pekerja/buruh dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan hubungan industrial, bila pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: 1) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; 2) Membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga kali berturut-turut atau lebih; 4) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; 5) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; 6) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja Teknisnya pekerja/buruh menempuh prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, melalui upaya penyelesaian perundingan bipartit, konsiliasi atau arbitrase, atau mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan hubungan industrial. Jadi secara hukum dan dalam praktek PHK tidak hanya dominan dilakukan oleh pengusaha, tetapi juga dapat dilakukan oleh pekerja/buruh. Dalam hal pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh atas permintaan pengunduran diri yaitu PHK tersebut timbul karena kehendak pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain. C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengadilan PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim dan dapat dibuktikan, maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan antara lain : a) Pelanggaran Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama Pekerja telah melakukan pelanggaran ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja. Pasal 161 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003; b) Pekerja menolak bekerja karena perubahan status Perusahaan Pekerja tidak mau bekerja pada perusahaan oleh karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Pasal 163 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003; c) Perubahan Status Perusahaan Perusahaan tidak bersedia menerima pekerja sebagai karyawan di perusahaan oleh karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan. Pasal 163, ayat (2) UU No.13 Tahun 2003; d) Perusahaan Merugi Perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus menerus selama dua dua (2 tahun). Pasal 164, ayat 1 UU No.13 Tahun 2003; e) Efisiensi Perusahaan melakukan efisiensi. Ini merupakan alasan PHK yang sering digunakan. Pasal 164, ayat (3) UU No.13 Tahun 2003; f) Perusahaan Pailit Perusahaan pailit. Pasal 165 UU No.13 Tahun 2003. D. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas Kesepakatan Terjadinya pemutusan hubungan kerja atas dasar kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja yang tertuang dalam suatu Kesepakatan Bersama (KB) atau Perjanjian Bersama (PB) dimana kedua belah pihak mengatur kesepakatan mereka dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang menjadi hak dan kewajiban masing – masing pihak. Permasalahan diajukan yudisial review
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
9
Pada awal diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan salah satu alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah karena “kesalahan berat” yang diatur dalam ketentuan Pasal 158. Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi. Apabila hal tersebut terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja. Undang-undang Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga dalam praktik kualifikasi kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat. Padahal umumnya setiap sektor industri memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1) yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Berat ringannya putusan suatu perkara pidana tidak diatur di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, karena yang diatur adalah jenis tindak pidananya (seperti penggelapan, pencurian, dan sebagainya). Artinya, apabila seorang pekerja dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana oleh putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UUK tersebut, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar PHK terhadap pekerja tersebut, dengan catatan putusan atas perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya Putusan MK RI No. 012/PUU-I/2003 maka pengusaha tidak boleh melakukan PHK sebelum pekerja yang bersangkutan terbukti dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Namun, apabila terdapat pekerja yang diduga melakukan kesalahan berat, maka pengusaha dapat menempuh upaya hukum pidana dengan melaporkan perbuatan pekerja tersebut ke pihak berwajib dan mengikuti mekanisme peradilan pidana. Dari Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 tersebut, ada 2 persoalan yang menjadi inti Putusan, yakni: 1.
Proses Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158, dinilai sebagai perlakuan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD’45 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Mahkamah Konstitusi dalam Rekap Putusan). Sebagai akibat dari hal itu, maka ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang Kesalahan Berat, seperti: Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan Putusan MK tersebut, apabila pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana diperinci di dalam Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan dan Pengusaha hendak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja atas dasar kesalahan berat tersebut, maka harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidananya berdasarkan Putusan Pengadilan.
2.
Selama proses perkara pidana tersebut, maka berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003
Bila PHK dilakukan dengan Alasan Mendesak Pada kasus-kasus PHK dengan posisi yang sama maupun dari berbagai anjuran serta putusan pengadilan, besarnya pesangon untuk kesalahan berat dengan alasan mendesak, sering mengacu pada kebiasaan hukum dengan mewajibkan Pengusaha membayar 2 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 ditambah hakhak lain yang memenuhi syarat, akan tetapi tidak sedikit pula putusan yang menetapkan 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) berikut hak-hak lain sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003. Bila PHK didasarkan pada putusan pidana berkekuatan tetap
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
10
Bila telah ada putusan pengadilan pidana berkekuatan hukum tetap, atau apabila setelah waktu 6 (enam) bulan Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya sesuai Pasal 160 UU No. 13 Tahun 200313, Pengusaha dapat mem-PHK Pekerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Akan tetapi selama proses penahanan, Pengusaha tetap berkewajiban memberikan bantuan keuagan (bukan upah) untuk jangka waktu maksimum 6 (enam) yang besarnya disesuaikan dengan jumlah tanggungan keluarga Pekerja. Apabila PHK dijatuhkan, Pengusaha juga berkewajiban memberikan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penggantian hak sesuai pasal 156 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dampak dari Putusan MK khususnya Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 termaksud telah membebani pihak Pengusaha dikarenakan selama proses pemutusan hubungan kerja karena alasan kesalahan berat maka sesuai Pasal 155 UU No.13 Tahun 2003, pengusaha dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak normatif lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh sampai tercapai putusan Hakim berkekuatan hukum tetap. 4.3.
Surat Edaran Menakertrans
Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI No. 012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (“Menakertrans”) mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJHKI/I/2005 yang pada intinya mengatur bahwa pengusaha dapat melakukan PHK kepada pekerja karena alasan kesalahan berat harus terlebih dahulu diproses secara pidana baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya. Berdasarkan hal tersebut dalam disimpulkan bahwa dalam hal pekerja diduga melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai kesalahan berat, pengusaha tidak boleh melakukan PHK sebelum pekerja yang bersangkutan terbukti dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap. (inkracht van gewisjde). Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar asas praduga tidak bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan. Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Merujuk pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.13/MEN/SJHK/I/2005 yang isi pokoknya adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal : 1) PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan. 2) Dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam SE Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini menimbulkan permasalahan baru karena memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas. Berdasarkan penelusuran pustaka, “alasan mendesak” ternyata ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pasal 1603o “Bagi si majikan dianggap sebagai alasan-alasan yang mendesak dalam arti pasal yang lalu, perbuatan-perbuatan, sifat-sifat atau tingkah laku si buruh yang demikian hingga karenanya dari pihaknya si majikan tidak sepatutnya dapat diminta untuk meneruskan hubungan kerjanya”. Keadaan memaksa atau force majeur 14adalah keadaan yang mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan atau haknya tanpa memberi alas an sah kepada pihak lian untuk mengajukan klaim atau tuntutan terhadap pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajiban (dan atau haknya), melaksanakan kewajiban itu. Keadaan memaksa dapat dibagi dua macam yaitu: 1.
Keadaan memaksa absolut, dan
13
Indonesia, Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan https://www.google.com/search?q teori hubungan industrial, fh unpad.ac.id.. Diakses pada 27 Mei 2013 , Pukul 21:11 WIB. 14
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
11
2.
Keadaan memaksa yang relatif
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan dimana debitur samasekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur oleh karenanya adanya gempa bumi, banjir dan adanya bahaya lahar. Keadaan memaksa yang relative adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakannya prestasinya. Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa yaitu : 1. Teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid,) dan 2. Teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld) Ada tiga akibat keadaan memaksa yaitu: 1. Pekerja/buruh tidak perlu membayar ganti rugi; 2. Beban resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara; 3. Pengusaha tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi. Perbedaan penafsiran dan pandangan mengenai pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat pasca putusan MK dan SE Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi oleh pengusaha, mediator dan hakim ditafsirkan secara berbeda dengan argumentasi hukum masing-masing. Dari data pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama delapan tahun terakhir, dapat diidentifikasi bagaimana penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat sebagai berikut:
Pengusaha
Mediator
1) Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum adanya putusan MK, yakni melakukan PHK sepihak tanpa membayarkan pesangon dan penghargaan masa kerja.
1) Menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana.
2) Hanya melaporkan tindak pidana yang dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan proses ketenagakerjaanya di biarkan atau menunggu putusan pidana.
2) Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran, apabila dalam proses mediasi pengusaha menyatakan bersedia memberikan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
Pengadilan Hubungan Industrial 1) Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. 2) Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat membuktikanya dalam persidangan.
Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan kompensasi sebesar 1 x ketentuan Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
12
pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja. 3) Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke polisi dan apabila di lakukan penahanan setelah 6 (enam) bulan tidak dapat menjalankan pekerjaan atau belum 6 (enam) bulan tetapi telah ada putusan bersalah dari pengadilan pidana maka pengusaha menerbitkan Surat Keputusan PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
3) Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran untuk mempekerjakan pekerja pada posisi semula atau melakukan pemutusan hubungan kerja dengan memberikan kompensasi pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), penghargaan masa kerja sesuai pasal 156 ayat (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
3) Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi sebagaimana diatur dalam pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila pengusaha dinilai telah kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
4) Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (bipartite, mediasi, PHI) 5) Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi asalkan pekerja bersedia mengundurkan diri atau diakhiri hubungan kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja. 6) Membuat pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu dengan pekerja Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
13
setelah itu melakukan proses pidana dengan melaporkan kesalahan berat pekerja.
PENUTUP Kesimpulan : 1. Bahwa semua pemutusan hubungan kerja (PHK) terkait pelanggaran yang mengandung unsur pidana hanya dapat dilakukan setelah mendapat putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh berdasarkan Pasal 158 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 karena kesalahan berat. Hal ini dikarenakan pelanggaran – pelanggaran yang tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 termaksud antara lain penipuan, pencurian, penggelapan, perbuatan asusila atau perjudian, menganiaya, mengancam merupakan perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang –undang Hukum Pidana. Sedangkan menurut Hukum Ketenagakerjaan, secara teoritis merupakan hak pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Hal ini dapat dilakukan karena alasan mendesak yang dimana perbuatannya pekerja/buruh adalah perbuatan pidana dimana harus dibuktikan terlebih dulu kesalahannya melalui mekanisme peradilan pidana dan adanya putusan Hakim Pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi SE No. 13/MEN/SJ-HK/2005 bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya putusan Hakim Pidana mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai bukti hukum yang dapat dijadikan bukti dalam perselisihan hubungan industrial yang akan diajukan pada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang – undang Hukum Pidana dan asas Nulum delictum sine praevia lege poenali, maka setiap pekerja yang belum memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). 2.
Dampak Putusan Makamah Konstitusi RI No. 012 /PUU-I/2003 terhadap pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja karena kesalahan berat berakibat: Pengusaha : a. Tidak dapat secara langsung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena kesalahan berat berdasarkan Pasal 158 ayat (1) Undang – undang No. 13 Tahun tanpa melalui melalui proses hukum pidana. Pengusaha hanya dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh setelah adanya putusan Hakim Pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde) berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang – undang Hukum Pidana dan asas Nulum delictum sine praevia lege poenali; b.
Proses pemutusan kerja terhadap pekerja menjadi lebih panjang dan memakan waktu sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum;
c.
Selama proses peradilan pidana, pengusaha diwajibkan tetap membayar upah dan hak- hak normatif lainnya kepada pekerja/buruh sampai dengan adanya putusan Hakim Pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).
d.
Apabila pekerja/buruh diputus hubungan kerjanya karena terbukti melakukan perbuatan pidana, maka pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh sejak putusan hakim tersebut ikracht van gewisjde : Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
14
• •
Uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang – undang No. 13 Tahun 2003, dan Uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) Undang – undang No. 13 Tahun 200
Pekerja : a.
Diwajibkan mengikuti proses hukum pidana berkaitan dengan dugaan tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan akan memakan waktu yang lama sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum;
b.
Pekerja/buruh akan sungkan untuk mendapatkan pekerjaan lagi ditempat lain.
Saran : 1.
Membuat Surat Edaran Petunjuk Teknis, sebagai akibat terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003;
2.
Pemerintah melakukan sosialisasi mengenai payung hukum ketenagakerjaan kepada masyarakat dan Pegawai Tehnis, Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan pengusaha tentang Pelaksanaan Surat Edaran Petunjuk Teknis sebagaimana pada butir 1 diatas agar supaya masyarakat sebagai pengusaha ataupun pekerja memahami peran, hak serta kewajibannya dalam dunia kerja;
3.
Pengusaha wajib menempuh proses hukum pidana dengan melaporkan perbuatan pekerja tersebut kepada pihak berwajib terhadap pekerja yang diduga melakukan kesalahan berat yang dikategorikan termasuk perbuatan pidana sesuai dengan mekanisme peradilan pidana berdasarkan putusan MK No.012/PUU-I/2003 khususnya pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 agar mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu;
4.
Selama belum didapatkan Putusan yang berkuatan hukum tetap, Pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing terhadap pekerja dengan tetap membayarkan upah dan hakhak normatif lainnya sesuai Pasal 155 dan atau, Pasal 160 Undang – undang No. 13 Tahun 2003;
5.
Pekerja yang telah di putus hubungan kerja karena kesalahan berat dan telah mendapat putasan Hakim yang berkuatan hukum tetap, maka pekerja berhak atas Uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang – undang No. 13 Tahun 2003, dan Uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) Undang – undang No. 13 Tahun 2003. Apabila hak – hak tersebut tidak diperoleh, maka pekerja dapat melakukan upaya hukum melalui upaya bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau kepada pengadilan hubungan industrial.
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
15
DAFTAR REFERENSI
I.
BUKU
Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakartat : Badan Penerbit Universitas Indonesia, 2010. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor : Politea, 1996. Tim Pengajar Mata Kuliah Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Pemutusan Hubungan Kerja Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Pemutusan Hubungan Kerja (P3PHK). Depok 2001. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawai, Perselisihan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja. Jakarta 2002. Tim Pengajar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Hukum Perburuhan. Depok 2012. Soedjono, Wiwoho. Hukum Perjanjian Kerja. Jakarta : PT Bina Aksara, 1997. Djumialdji, FX. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perburuhan Bidang Pemutusan Hubungan Kerja. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993. J. Simanjuntak, Payaman. Undang-Undang yang Baru Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Jakarta : Publikasi Kantor Perburuhan Internasional, 2002. Soepomo, Iman. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta : Djambatan, 2003. Asikin, Zainal., Wahab, Agustian., Husni, Lalu. dan Zaeni Asyhadie. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993. Asyahadie, Zaeni. Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993. Rusli, Hardijan. Hukum Ketenagakerjaan 2003. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004. Widodo, Hartono dan Judiantoro. Segi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Jakarta : Rajawali Pers, 1992. Djumialdji, FX. Perjanjian Kerja Edisi Revisi. Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Jogjakarta, 1982. Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : Storia Grafika, 2002. Batubara, Cosmas. Hubungan Industrial. Jakarta : PPM 2008 Fabrianto dan Darmanto. Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasasn Hukum Jilid 1. Jakarta : Rajawali Press, 2010. Suparman, Supomo. Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial Tata Cara Penyelesain Sengketa Perburuhan. Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT Intermasa, 1985. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT Intermasa, 2002. Suryamenggolo, Jafar. Dinamika Perumusan UU Ketenagakerjaan dan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : Apa, Siapa dan Bagaimana. Jakarta : TURC, 2007 Hakim, Abdul. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003. Soerdarjadi. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jogjakarta : Pustaka Yustisia, 2008. Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika, 2009. Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
16
II.
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 ________, Undang-Undang Tentang Ketenagkerjaan. Nomor 13 Tahun 2003 ________, Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004 ________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ________, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) ________, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.Nomor 39 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara No. 3886
III.
INTERNET
Perlindungan HAM Terhadap Tenaga Kerja ditinjau dari Kovensi ILO tentang Buruh. https:www.google.com/search hak asasi manusia tenaga kerja. Diunduh pada Tanggal 11 April 2013, Pukul 18:40 WIB. Sauri Sofyan, Pengertian Demokratisasi, diunduh pada Tanggal 11 April 2013. Pukul 19:11 WIB. http://hukumonline. Diunduh pada Tanggal 05 Agustus 2012, pukul 23.27 WIB. http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/05/15/hubungan-kerja-dan-perjanjian-kerja-dalam-perspektif-hubunganindustrial//. Diunduh pada Tanggal 19 Desember 2012, Pukul 20:13 WIB Https://mdiorentino.blogspot.com/2013/04/teori-hubungan industrial.html. Diunduh pada Tanggal 30 Mei 2013, Pukul 19.55 WIB http:// www.hukumonline.com/klinik/detial/cl2572/keadaan memaksa-force-majeur, diunduh pada Tanggal 11 April 2013, Pukul 20:28 WIB http://pekerjasdm.blogspot.com/2008/11/pemutusan-hubungan-kerja.html. Diunduh pada Tanggal pada 19 September 2012, Pukul 19:22 WIB http://agussalamnasutionmandailing.blogspot.com/2012/04/makalah-hukum-pemutusan-hubungan-kerja.html. Diunduh pada Tanggal 13 September 2012, Pukul 18:32 WIB http://spbankmandiri.wordpress.com/tag/mirisnu-viddiana/.Diunduh, pada Tanggal 18 September 2012, Pukul 19:15 WIB https://www.google.com/search?q teori hubungan industrial, fh unpad.ac.id.. Diakses pada Tanggal 27 Mei 2013 , Pukul 21:11 WIB.
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
17
SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : SE. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS HAK UJI MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember 2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakat, dipandang perlu menerbitkan Surat Edaran sebagai berikut : 1.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat bukan atas pengaduan pengusaha; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat Pasal 158 ayat (1). Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat Pasal 158 ayat (1) Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1); tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2.
Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.
3.
Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a.
pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
b.
apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
c.
Dalam hal terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 07 Januari 2005 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013
18
FAHMI IDRIS
Dampak Putusan ..., Roosmaya Abubakar, FH UI, 2013