9
BAB II KERANGKA TEORI
2.1. Keuangan Negara Lahirnya Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, bagi Indonesia adalah titik awal dimulainya perombakan menyeluruh sistem pengelolaan keuangan negara; baik menyangkut aspek yuridico politis, yang mengatur hubungan hukum antara eksekutif dan legislatif, maupun aspek administratif yang mengatur hubungan hukum antar lembaga intra eksekutif. Sebagai legal basis, UU Keuangan Negara akan diikuti oleh UU Perbendaharaan Negara yang mengatur aspek adminstratif, maupun UU Pemeriksaan Tanggungjawab Keuangan Negara. Secara ringkas, dari sudut konsepsi, nilai-nilai baru yang dibawa oleh UU Keuangan Negara berkaitan dengan aspek pengelolaan keuangan negara antara lain: di bidang penyusunan anggaran berupa penerapan kinerja (performance based), perencanaan jangka menengah (medium term expenditures framework) dan unified budget; di bidang pelaksanaan anggaran berupa penerapan prinsip “lets manager manage” yang lebih memberikan fleksibilitas kepada pimpinan kementerian/ lembaga untuk mengatur anggaran kementeriannya masing-masing, tidak lagi seperti saat ini yang kesemuanya harus diatur dan diawasi oleh Menteri Keuangan beserta jajarannya; di bidang pengelolaan perbendaharaan diantaranya berupa pengelolaan kas yang lebih aktif; sedangkan di bidang pertanggungjawaban keuangan negara, pemerintah akan menyajikan laporan yang komprehensif, akurat, dan dalam waktu relatif singkat. Selain itu, pemerintah telah menyiapkan infrastrukturnya berupa
10
standar dan sistem akuntansi khususnya untuk pemerintah yang disusun atas dasar international best practice. (ris) Dengan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka berakhirlah masa berlakunya Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang setelah sekian lama sejak penjajahan Belanda diterapkan di Indonesia. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara ICW dengan Undangundang Republik Indonesia yang baru, yang merupakan paradigma baru dalam keuangan negara. Selain itu juga tidak kalah pentingnya adanya perubahan akuntansi yang semula diselenggarakan berdasarkan single entry berubah menjadi double entry; hal ini juga merupakan masalah yang perlu dipelajari dengan terbitnya peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang standar akuntansi pemerintah. Dana BOS merupakan salah satu bagian dari Keuangan Negara (APBN), sehingga dengan demikian maka pengelolaan keuangan dana BOS harus juga berpedoman kepada aturan keuangan yang berlaku seperti Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan aturan keuangan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.
Disamping itu, Depdiknas melalui Direktorat Jenderal
Manajemen Dikdasmen juga telah mengeluarkan Juklak tentang Panduan BOS yang didalamnya juga menyangkut pengelolaan dana BOS untuk sekolah yang menerima dana BOS tersebut. Aturan pengelolaan dana BOS bagi para pengelola dana BOS di sekolah (Kepala Sekolah dan bendaharawan BOS) seperti perlunya membayar pajak untuk pembelian barang/jasa di atas Rp. 1 juta, penggunaan dana harus disesuaikan
11
dengan item-item (kegiatan)
yang telah ditetapkan dalam Juklak dan perlunya
membuat Buku Kas Umum dan Buku Pembantu lainnya sehingga penerimaan dan pengeluaran dapat dicatat dengan tertib.
2.2. Sruktur Pengendalian Intern 1) Menurut AICPA Di Amerika Serikat penerapan pengendalian intern dalam organisasi merupakan keharusan karena dinyatakan dalam undang-undang, yaitu yang disebut dengan the Foreign corrupt Practices Act tahun 1977. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam Statement on Auditing Standard No.1, mendefenisikan pengendalian intern menjadi dengan mendasarkan pada undang-undang tersebut sebagai berikut : Pengendalian intern terdiri dari rencana organisasi serta seluruh metode koordinasi dan pengukuran yang diterapkan oleh perusahaan untuk menjaga aktivanya, menguji keakuratan dan keandalan data akuntansinya, mendukung efisiensi operasional serta mendorong dipatuhinya kebijakan-kebijakan manajerial yang telah ditetapkan.(Statements on Auditing Standards No.1,para.320.08.) Definisi dari AICPA tersebut menjelaskan pengertian pengendalian intern sebagai suatu kerangka kerja tertentu untuk mencapai tujuan tertentu pula. Kerangka kerja tersebut terdiri dari rencana organisasi serta metode dan alat-alat pengukuran lainnya yang digunakan oleh organisasi untuk : 1. Menjaga aktiva organisasi yang bersangkutan. 2. Menguji keakuratan dan keandalan data akuntansinya. 3. Mendukung efisiensi operasional.
12
4. Mendorong dipatuhinya kebijakan-kebijakan manajerial yang telah ditetapkan. Dari rencana organisasi, metode dan alat-alat pengukuran lainnya tersebut, pengendalian intern yang utama meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Adanya pemisahan tugas yang memadai. 2. Adanya dokumentasi dan catatan yang memadai. 3. Adanya otorisasi yang memadai dari manajemen. 4. Adanya pengendalian yang memadai atas aktiva dan catatan. 5. Adanya penilaian yang independen terhadap kinerja para pegawai. 6. Adanya pegawai yang kompeten. 7. Adanya uraian tugas. 8. Adanya struktur organisasi yang baik dengan garis wewenang dan tanggungjawab yang jelas. 9. Adanya pengelolaan (manajemen) yang baik dengan tingkat integritas yang tinggi.( Vallabhaneni,1991:26 ) Sementara itu struktur pengendalian intern adalah seluruh kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen untuk memperoleh kepastian bahwa tujuan organisasi yang telah ditetapkan oleh manajemen tersebut akan tercapai. Dalam konsep ini, AICPA memperkenalkan 3 tiga komponen struktur pengendalian manajemen, yaitu : 1) Lingkungan Pengendalian 2) Sistem Akuntansi 3) Prosedur Pengendalian.
13
2. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia a. Lingkungan Pengendalian Lingkungan pengendalian menunjukkan pengaruh gabungan dari beberapa faktor dalam menentukan, memperkuat atau memperlemah efektivitas kebijakan dan prosedur-prosedur tertentu sebagai gambaran dari sikap, kepedulian dan tindakantindakan dari dewan komisaris, manajemen, pemilik, pegawai dan pihak lain mengenai pentingnya pengendalian. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1).Falsafah dan gaya kepemimpinan (gaya bekerja) dari manajemen. 2). Struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan. 3). Funsi dewan komisaris dan komite-komite lainnya, khususnya komite audit. 4). Metode pendelegasian wewenang dan tanggungjawab. 5). Kebijakan dan praktek yang berkaitan dengan fungsi kepegawaian. 6).Metode pengendalian manajemen untuk memantau dan menindaklanjuti kinerja, termasuk audit intern. 7). Hal-hal di luar organisasi yang mempengaruhi operasi dan praktek organisasi, seperti misalnya audit oleh BI untuk bisnis perbankan.
b. Sistem Akuntansi Sistem akuntansi mencakup seluruh metode dan pencatatan yang dibuat oleh manajemen
untuk
“mengidentifikasikan,
menghimpun,
menganalisis,
14
mengelompokkan, mencatat dan melaporkan transaksi satuan usaha dan untuk menyelenggarakan pertanggungjawaban aktiva dan kewajiban yang bersangkutan dengan transaksi tersebut” sehingga manajemen dapat memperoleh keyakinan bahwa : 1). Transaksi-transaksi yang ada telah dicatat secara lengkap. 2). Transaksi-transaksi yang ada tersebut telah dinilai dengan benar. 3). Transaksi-transaksi yang dicatat tersebut sah (valid). 4). Transaksi-transaksi telah dicatat secara tepat waktu. 5). Transaksi-transaksi tersebut telah diotorisasikan dengan benar. 6). Transaksi-transaksi tersebut telah diklasifikasikan dengan benar. 7). Transaksi-transaksi tersebut telah dimasukan ke dalam buku besar dan diikhtisarkan dengan benar sehingga disajikan dan diungkapkan di dalam laporan keuangan secara memadai. Salah satu manfaat terbesar dari adanya sistem akuntansi adalah bahwa apabila terdapat sistem akuntansi yang memadai maka manajemen sewaktu-waktu dapat menjelaskan transaksi yang terjadi di dalam organisasinya secara cukup rinci, dapat menetapkan waktu yang sesuai dengan periode akuntansinya (cut off), serta dapat membuat laporan keuangan kapan saja laporan tersebut dibutuhkan.
c. Prosedur Pengendalian Prosedur pengendalian meliputi kebijakan-kebijakan dan prosedur tambahan atas lingkungan pengendalian dan sistem akuntansi yang dibuat oleh manajemen
15
untuk memberikan jaminan yang memadai bahwa tujuan organisasi yang bersangkutan akan dapat dicapai. Pada umumnya prosedur pengendalian ini dapat berbentuk apa saja karena merupakan prosedur tambahan, akan tetapi biasanya prosedur-prosedur tersebut berkaitan dengan salah satu dari lima kategori sebagai berikut : 1). Bahwa semua transaksi harus ada otorisasinya secara memadai bila pengendalian ingin baik di dalam satuan usaha yang bersangkutan. 2). Adanya pemisahan tugas yang dapat mengurangi kemungkinan bagi seseorang untuk dapat melakukan dan sekaligus menutupi kekeliruan dan/atau ketidakberesan pelaksanaan tugasnya sehari-hari. 3). Bahwa dokumen dan catatan yang memadai sudah digunakan untuk menginformasikan mengenai transaksi dan peristiwa yang terjadi di dalam organisasi. 4). Bahwa akses dan penggunaan aktiva perusahaan dan catatan harus dikendalikan sedemikian rupa, termasuk akses ke dalam program dan file data komputer. 5). Bahwa keempat kategori diatas secara hati-hati dan terus-menerus harus di cek oleh orang atau orang-orang yang independen. Selain itu, penggiliran pekerjaan juga perlu dilaksanakan agar dapat menambah pemahaman atau pengetahuan pegawai terhadap sistem dan hal-hal lain yang mungkin sebelumnya tidak pernah diketahuinya serta dapat membantu manajemen untuk menemukan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sepanjang
16
personil yang menggantikannya tidak bekerjasama dengan personil yang digantikan yang melakukan penyimpangan. 3. Menurut COSO Menurut Comitte of Sponsorring Organization (COSO) pengendalian manejemen terdiri dari 5 komponen utama yang saling berkaitan, yaitu : 1) Lingkungan Pengendalian 2) Penilaian resiko 3) Aktivitas pengendalian 4) Informasi dan komunikasi 5) Pemantauan 4. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, menerangkan bahwa Undang-Undang di bidang keuangan negara membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap
17
peraturan perundang-undangan. Sistem ini dikenal sebagai Sistem Pengendalian Intern yang dalam penerapannya harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah tersebut. Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memerintahkan pengaturan lebih lanjut ketentuan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah secara menyeluruh dengan Peraturan Pemerintah. Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak. Berdasarkan pemikiran tersebut, dikembangkan unsur Sistem Pengendalian Intern yang berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan dan tolok ukur pengujian efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern. Pengembangan unsur Sistem Pengendalian intern perlu mempertimbangkan aspek biaya- manfaat (cost and benefit), sumber daya manusia, kejelasan criteria pengukuran efektivitas, dan perkembangan teknologi informasi serta dilakukan secara komprehensif. Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian
18
Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah. SPIP bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi: a. Lingkungan pengendalian Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat. Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan
19
Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya. Sub unsur dari lingkungan pengendalian melalui: a. penegakan integritas dan nilai etika; b. komitmen terhadap kompetensi; c. kepemimpinan yang kondusif; d. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; e. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; f. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; g. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. b. Penilaian risiko Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam. c. Kegiatan pengendalian Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi
d. Informasi dan komunikasi Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana
20
tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya. e. Pemantauan Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan revió lainnya dapat segera ditindaklanjuti.
2.2.2. Klasifikasi Pengendalian Intern 1. Pengendalian Menurut Waktunya a. Pengendalian sebelum terjadinya suatu kegiatan b. Pengendalian selama berlangsungnya kegiatan c. Pengendalian setelah berlangsungnya kegiatan 2. Pengendalian Menurut Sifatnya a. Pengendalian akuntansi Pengendalian akuntansi meliputi rencana organisasi serta prosedur-prosedur dan pencatatan yang berkaitan dengan penjagaan aktiva serta keandalan catatan finansial. b.Pengendalian administrasif Pengendalian administratif antara lain mencakup rencana organisasi serta prosedur-prosedur
dan
pencatatan
yang
berkaitan
dengan
proses
pengambilan keputusan yang mengarah pada otorisasi transaksi dan merupakan titik awal dari pembuatan pengendalian akuntansi.
21
2.2.3. Pengendalian Menurut Tujuannya 1. Pengendalian preventif Pengendalian ini bertujuan sama dengan pengendalian pra tindak, yaitu untuk mencegah terjadinya kerugian atau penyimpangan, disamping untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan agar sesuai dengan yang direncanakan. 2. Pengendalian detektif Pengendalian
detektif
dimaksudkan
untuk
menentukan
dan
mengidentifikasikan adanya kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan aktivitas tertentu, disamping untuk mengurangi frekuensi terjadinya kesalahan itu. 3. Pengendalian korektif Tujuan dari pengendalian korektif adalah untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh personil-personil yang terlibat dalam penyelidikan dan perbaikan kesalahan yang telah terdeteksi oleh pengendalian detektif.
2.3. Motivasi Kerja Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kegiatan pendayagunaan sumber daya manusianya. Untuk itu pimpinan dalam suatu organisasi sangat perlu memahami dan sekaligus mampu melaksanakan teknik-teknik untuk memelihara dan meningkatkan prestasi kerja pegawainya. Salah satu teknik memelihara dan meningkatkan prestasi kerja adalah memberikan motivasi kepada pegawai, sehingga pegawai tersebut dapat terdorong untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan prestasi kerjanya dapat memuaskan (Gitosudarmo dan Mulyono; 1999).
22
Sebelum memahami pengertian mengenai motivasi, maka terlebih dahulu dikemukakan perbedaan motif dan motivasi. Menurut pendapat Haynes yang dikutip Martoyo (2004) bahwa “Motive is something within individual which incites him to action”, sedangkan Abraham Sperling yang dikutip Mangkunegara (2000) mengemukakan bahwa “Motive is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an adjustment. The adjustment is said to satisfy the motive.” Dari dua pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa motif dapat diartikan sebagai suatu dorongan (drive) yang berasal dari dalam diri individu yang menyebabkan individu melakukan tindakan atau aktivitas untuk memperoleh kepuasan. Ada berbagai pendapat
para ahli yang berusaha menjelaskan arti dari
motivasi. Menurut Luthan (2002), motivasi tidak harus dipikirkan hanya sebagai penjelasan terhadap perilaku, karena saling berhubungan dengan tindakan bersama dengan proses lain yang menengahi dan dengan lingkungan. Luthan menekankan bahwa, seperti halnya teori proses kognitif lainnya, motivasi tidak bisa dilihat. Semuanya terlihat dalam bentuk perilaku, dan ini tidak harus disamakan dengan penyebab perilaku. Lebih lanjut Luthans menyatakan bahwa motivasi itu adalah proses yang membangunkan, memberi tenaga, langsung, dan mendukung tujuan dan perilaku. Martoyo (2004) memberikan pengertian motivasi adalah pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Dorongan dapat
23
berupa positif dan negatif, dorongan positif akan menghasilkan kemampuan yang bermanfaat bagi organisasi, akan tetapi dorongan yang negatif akan berdampak terhadap kerugian organisasi. Menurut Rodio (2002), motivasi didefinisikan sebagai suatu pemikiran atau emosi yang merangsang dan mengarahkan energi dan perhatian seseorang terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi. Pemikiran motivasi atau emosi dapat dimengerti untuk tindakan sebagai suatu tanda, membantu individu fokus pada tujuan dan pengalaman dari kemungkinankemungkinan yang tak terhitung. Pendapat itu diperjelas oleh Sarwoto (2001) bahwa ”Motivasi sebagai proses pemberian motif (penggerak) bekerja pada bawahan sedemikiaj rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien”. Menurut Robbins (2001), motivasi adalah “kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual.” Kebutuhan individual sangat esensial terhadap motivasi seseorang untuk bekerja lebih keras dalam mencapai tujuan organisasi, konsep hirarki kebutuhan sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Maslow memberikan batasan kebutuhan seseorang pada tingkatan tertentu. Apabila seseorang masih dalam tahap hirarki kebutuhan fisiologis, maka seseorang masih terdorong menuntut kebutuhannya untuk dipenuhi. Selanjutnya
Gibson,
Ivancevich,
Donnelly,
and
Konopaske
(2003),
mengartikan motivasi sebagai “konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri seseorang yang memulai dan mengarahkan perilaku.”
24
Dari beberapa pendapat tentang motivasi yang dikemukakan para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motif merupakan dorongan kebutuhan dalam diri individu yang perlu dipenuhi agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan individu agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Cormick (1995) memberikan pengertian “Work motivation is defined as conditions which influence the arousal, direction, and maintenance of behaviours relevant in work setting.” Berdasarkan pendapat tersebut, motivasi pegawai untuk bekerja (motivasi kerja) dapat didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa motivasi dapat mendorong timbulnya perilaku dan mempengaruhi serta mengubah perilaku.
Pendapat ini
mengarah kepada apa yang disebut Hamalik (2003) sebagai fungsi motivasi, yaitu: mendorong timbulnya kelakuan atau perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul sesuatu
perbuatan/tindakan.
Motivasi
berfungsi
seperti
pengarah,
artinya
mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi berfungsi sebagai penggerak. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan. Berdasarkan berbagai pendapat para ahli tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi merupakan faktor yang mendorong, menggerakkan, mengarahkan serta memelihara orang untuk bertindak dengan cara tertentu untuk mencapai tujuan dari motifnya, sedangkan motivasi kerja merupakan dorongan seseorang baik secara
25
individu maupun kelompok untuk melakukan suatu pekerjaan dengan harapanharapan tertentu yang ingin dicapai. Dalam melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, maka ada berbagai faktor yang mendorong pegawai tersebut untuk dapat bekerja lebih baik. Banyak teori-teori dan konsep-konsep motivasi yang menganjurkan setiap manajer untuk mengusahakan agar para karyawan atau individu dapat bertingkah laku secara positif dalam organisasi. Salah satunya adalah pandangan sistem motivasi yang dikemukakan oleh Porter dan Miles yang dikutip Gitosudarmo dan Mulyono (1999) bahwa “unsur rangkaian, atau sistem, kekuatan yang diberkaitan dengan para karyawan harus dipertimbangkan sebelum diberikan motivasi untuk memperbaiki perilaku karyawan.” Selanjutnya menurut mereka “ada tiga variabel yang mempengaruhi motivasi dalam organisasi, yaitu karakteristik individu, karakteristik pekerjaan dan karakteristik situasi kerja.” Menurut Bernard yang dikutip Stoner (2002), setidaknya ada empat strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi pegawai. Pertama yaitu dengan memberikan gaji, upah dan kondisi pelayanan. Untuk menjadikan gaji sebagai alat motivasi yang efektif, manajer personalia harus mempertimbangkan komponen dari struktur penggajian. Kedua adalah uang.
Menurut Akintoye yang dikutip Tella
(2007), uang merupakan strategi motovasional yang paling signifikan. Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian Taylor yang menjelaskan bahwa uang merupakan faktor penting dalam proses motivasi pekerja industri untuk meraih produktivitas yang lebih tinggi. Ketiga, pelatihan staf. Pelatihan karyawan adalah suatu strategi yang sangat dibutuhkan untuk memotivasi para pekerja. Organisasi harus mempunyai program
26
pelatihan yang baik. Ini akan memberi informasi mengenai peluang-peluang profesional untuk pengembangan dan peningkatan diri untuk menghadapi tantangan dan persyaratan dari perlengkapan baru dan teknik yang baru untuk melakukan suatu tugas. Keempat, ketersediaan informasi dan komunikasi. Ketersediaan informasi membawa pada suatu tekanan panutan yang kuat, di mana dua orang atau lebih bergerak bersama-sama dengan orang-orang akan berlari lebih cepat daripada menjalankan sendirian atau berlari tanpa kesadaran dari langkah pelari yang lain. Dengan berbagi informasi, para bawahan bersaing dengan satu sama lain. Dari sudut pandangan sistem, motivasi terdiri dari faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan secara memadai sebelum diberikan motivasi untuk memperbaiki perilaku karyawan. ”Tiga faktor yang perlu dipertimbangkan yakni karakteristik individu, karakteristik pekerjaan, dan karakteristik situasi kerja/lingkungan kerja (Husnan;2003). Karakteristik individu sangat menentukan teknik untuk memotivasi mereka bekerja lebih baik. Oleh karena itu dalam sistem rekruitmen karyawan pada perusahaan perlu dilakukan uji kelayakan psikologis untuk mendapat data tentang pribadi karyawannya.
Hellreigel dan Slocum yang dikutip Sujak (2000),
mengklarifikasi tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi, meliputi perbedaan karakteristik
individu,
karakteristik
pekerjaan
dan
karakteristik
lingkungan
kerja/organisasi. Peran motivasi dalam menentukan kinerja seseorang sangat besar, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mempelajari lebih jauh tentang motivasi. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya penelitian-penelitian tentang motivasi, sehingga banyak melahirkan teori-teori motivasi. Jika ditelaah secara mendalam cukup banyak
27
teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli, misalnya: Abraham H. Maslow, David McClelland, Frederick Winslow Taylor, Frederick Herzberg, Dauglas McGregor, V. H. Room, Garry Desler, dan lain sebagainya. Tetapi, secara umum, teori-teori motivasi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua katagori, yaitu; teori kepuasan (contents theory) dan teori proses (process theory). Pertama adalah Teori Kepuasan. Pendekatan teori kepuasan adalah kebutuhan dan kepuasan
individu yang menyebabkan individu bertindak dan berperilaku
dengan cara-cara tertentu. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan: kebutuhan apa yang memuaskan seseorang dan apa yang mendorong semangat kerja seseorang. Teori motivasi yang termasuk dalam teori kepuasan adalah teori motivasi dari Frederick Winslow Taylor, Maslow, Frederick Herzberg, Dauglas Mc. Gregor, dan David McClelland. Teori motivasi Taylor tergolong teori motivasi klasik atau teori motivasi kebutuhan tunggal. Konsep teori Taylor didasari oleh hubungan positif antara pemberian imbalan materi dengan hasil yang dicapai karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Semakin banyak karyawan melaksanakan pekerjaannya, semakin besar penghasilan yang diterima karyawan. Becker (2000). Teori motivasi Abraham Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia secara hirarkhis terdiri dan terbangun dalam lima hirarki kebutuhan dasar (basic needs), yaitu: (1) Kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, tempat tinggal, seks), (2) Kebutuhan rasa aman (bebas dari bahaya, memperoleh perlindungan), (3) Kebutuhan kasih sayang (perhatian, cinta), (4) Kebutuan dihargai dan dihormati (kuasa), dan (5) Kebutuhan aktualisasi diri (pengakuan diri).
28
Teori Motivasi Douglas McGregor menghasilkan teori X dan teori Y. Dalam teori ini dibedakan asumsi otokratik tradisional mengenai manusia (teori X) dan asumsi dasar tingkah laku manusia (teori Y). Teori X mengasumsikan bahwa kebanyakan orang tidak menyukai pekerjaan (belajar), malas, tidak bertanggung jawab, serta tidak cerdas. Motivasi untuk bekerja (belajar) baginya hanyalah paksaan. Sedangkan teori Y mengasumsikan bahwa kebanyakan orang suka bekerja, belajar, menerima tanggung jawab, kreatif dan cerdas, dapat mengatur dan memimpin dirinya sendiri serta senang dihargai. Menurut McGregor, asumsi tradisional menengenai perilaku manusia adalah tidak tepat; yang benar adalah seperti asumsi yang terkandung dalam teori Y (Good and Brophy;2000) Teori motivasi David McClelland mengemukakan tiga motivasi dasar seseorang, yaitu: (1) kebutuhan berprestasi (need for achievement). Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Karena kebutuhan akan prestasi akan mendorong seseorang mengembangkan kreativitas dan mengaktualkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi yang maksimal. Orang akan antusias untuk berprestasi tinggi, asalkan kemungkinan untuk hal itu diberikan kesempatan. Seseorang menyadari bahwa dengan mencapai prestasi yang tinggi akan dapat memperoleh reward yang besar; (2) kebutuhan akan afiliasi (need for afiliation). Kebutuhan akan afiliasi ini menjadi daya penggerak yang akan memotivasi semangat seseorang, karena kebutuhan afiliasi merangsang gairah seseorang untuk berkembang dengan motif bahwa orang akan cenderung mempunyai keinginan diterima, dihormati, dan merasa dirinya penting di hadapan orang lain. Lebih dari itu, orang juga mempunyai dorongan ikut serta dalam
29
tugas bersama dengan motif pencapaian keinginan-keinginan tersebut; (3) kebutuhan akan kekuasaan (need for power). Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang, karena manusia umumnya cenderung ingin lebih berkuasa dibandingkan manusia yang lain. Keinginan ini dalam praktek kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan persaingan, sehingga mendorong para individu untuk berkompetisi. Kedua, Teori Proses. Teori ini pada dasarnya ditujukan untuk pertanyaan: bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara dan menghentikan perilaku individu, agar setiap individu bekerja sesuai dengan keinginan organisasi. Bila diperhatikan secara mendalam, teori ini merupakan proses sebab akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya; jika bekerja dengan baik saat ini, maka hasilnya akan diperoleh baik untuk hari esok. Jadi hasil yang akan dicapai tercermin dalam bagaimana proses kegiatan yang dilakukan. Yang termasuk ke dalam teori motivasi proses adalah: teori harapan V. H. Vroom, Teori Keadilan dan Teori Pengukuhan Gary Dessler. Teori harapan (Expectancy theory) V. H. Vroom yang dikemukakan Vroom pada dasarnya adalah motivasi dalam diri manusia yang ditentukan oleh adanya tiga faktor. Pertama, pencapaian tujuan dan penghargaan atas pencapaian tujuan tersebut haruslah bersifat individual. Inilah yang diistilahkan Vroom sebagai valency of the outcome. Kedua, harus terdapat jaminan bahwa setiap peristiwa yang dilalui oleh seorang individu dalam organisasi diwadahi ke dalam suatu instrumen untuk mencapai valency of the outcome. Di sini, kata Vroom, dibutuhkan apa yang disebut “instrumentalitas”. Ketiga, adanya keyakinan setiap individu bahwa upaya partikular
30
macam apapun memperoleh perhatian yang seksama dari instrumentalitas itu. Kenyataan inilah yang oleh Vroom diistilahkan sebagai expectancy. Teori Keadilan. Teori keadilan merinci kondisi-kondisi seorang pekerja akan mengangap fair dan masuk akal insentif dan keuntungan dalam pekerjaannya. Teori tersebut telah dikembangkan oleh Adam dan teori ini merupakan variasi dari teori proses perbandingan sosial. Komponen utama dari teori ini adalah “input”, “hasil”, “orang bandingan” dan “keadilan dan ketidakadilan”. Menurut teori ini, seseorang menilai fair hasilnya dengan cara membandingkan hasilnya, yaitu rasio input dengan hasil: rasio input dari seorang/sejumlah orang bandingan. Orang bandingan mungkin saja dari orang-orang dalam organisasi ataupun organisasi lain dan bahkan dengan dirinya sendiri dengan pekerjaan/pekerjaannya terdahulunya. Teori ini tidak merinci bagaimana seseorang memilih orang bandingan atau berapa banyak orang bandingan yang akan digunakan. Jika rasio hasil: input seorang pekerja adalah sama atau sebanding dengan rasio orang bandingannnya, maka suatu keadaan adil dianggap ada oleh para pekerja. Jika para pekerja menganggap perbandingan tersebut tidak adil, maka keadaan ketidakadilan dianggap tidak ada (Wexley dan Yukl;1997). Teori Pengukuhan Gary Dessler mengemukakan teori motivasi pengukuhan atau reinforcement theory. Teori ini didasarkan atas hubungan sebab akibat dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Teori pengukuhan terdiri dua jenis, yaitu: (1) pengukuhan positif (positive reinforment), yakni bertambahnya frekuensi perilaku terjadi apabila pengukuhan positif diterapkan secara bersyarat, dan (2) pengukuhan negatif (negative reinforcement), yaitu bertambah frekuensi perilaku terjadi apabila pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
31
Berbagai studi membuktikan bahwa motivasi kerja merupakan faktor yang berrpengaruh terhadap kinerja. Penelitian yang menguji hubungan antara motivasi dengan kinerja antara lain dilakukan oleh Allen dkk yang menemukan bahwa individu dengan skor motivasi berprestasi tinggi memiliki kinerja yang tinggi (Allen, Blanton, Greene, Farmer, & Gross;2002). Dari uraian di atas, maka dapat disintesiskan bahwa motivasi kerja adalah faktor yang mendorong, menggerakkan, mengarahkan serta memelihara orang untuk bertindak dengan cara tertentu untuk mencapai tujuan dari motifnya. Motivasi kerja mempunyai dua dimensi: (1) insentif dengan indikator: intrinsik dan prasarana, (2) penghargaan dengan indikator: obyektivitas dan jabatan.
2.4 Budaya Organisasi. Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Robbins (2001) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Hal ini selaras dengan pendapat Schein yang dikutip Moeljono (2005) mendefinisikan budaya sebagai : Pola asumsi dasar yang dimiliki bersama oleh kelompok ketika memecahkan masalah penyesuaian eksternal dan integrasi internal. Artinya, bahwa budaya organisasi merupakan perekat sosial yang mengikat angota-anggota organisasi secara bersama-sama melalui nilai-nilai bersama, norma-norma standar yang jelas dan hal tersebut menjadi landasan gerak organisasi.
32
Schein dalam Darma (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat diartikan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan, diteliti atau dikembangkan oleh berbagai kelompok yang ada dalam organisasi. Definisi Schein ini mengilustrasikan bahwa budaya mencakup asumsi dasar yang dipelajari oleh anggota organisasi yang kemudian dikembangkan di dalam organisasi tersebut. Sementara itu, Wheelen & Hunger (2002) mendefinisikan : Budaya Organisasi sebagai “ the collection of beliefs, expectations and values shared by the corporation’s members and values shared by the corporation’s and transmitted from the one generation of employees to another.”, Budaya perusahaan adalah himpunan dari kepercayan, harapan, dan nilai-nilai yang dianut bersama oleh anggota perusahaan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan adanya kesatuan nilai-nilai ini, maka anggota organisasi atau karyawan akan membuat perimbangan antara budaya sendiri yang disesuaikan dengan budaya organisasi, dan menjadi kesatuan budaya yang berlaku secara umum di dalam organisasi perusahaan. Sedangkan Martin dan Powers (1993) menjelaskan budaya organisasi berdasarkan pendekatan fungsional : 1. Budaya memberikan interpretasi tentang sejarah lembaga yang dapat digunakan oleh anggota untuk menguraikan bagaimana mereka diharapkan untuk berperilaku di masa depan. 2. Budaya dapat menciptakan kepatuhan terhadap nilai-nilai organisasi atau falsafah manjemen sehingga karyawan merasa mereka bekerja untuk sesuatu yang mereka yakini.
33
3. Budaya dapat memberikan mekanisme pengendalian organisasional, yang secara informal menyetujui atau melarang beberapa pola perilaku. 4. Ada kemungkinan bahwa beberapa macam budaya organisasi dikaitkan dengan produktivitas dan profitabilitas yang lebih besar. Moeljono (2005) budaya organisasi adalah : Sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Pengertiannya, bahwa budaya perusahaan adalah nilai yang menentukan arah perilaku dari anggota di dalam organisasi. Jika value tadi menjadi shared value, maka terbentuk sebuah kesamaan persepsi akan perilaku yang sesuai dengan karakter organisasi. Dengan demikian, budaya organisasi memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Pendapat Wagner dan Hollenbeck dalam Tampubolon (2004) menyatakan budaya organisasi adalah : ”Suatu pola dari dasar asumsi untuk bertindak, menentukan, atau mengembangkan anggota organisasi dalam mengatasi persoalan dengan mengadaptasinya dari luar dan mengintegrasikan ke dalam organisasi, dimana karyawan dapat bekerja dengan teliti, serta juga bermanfaat bagi karyawan baru sebagai dasar koreksi atas persepsi mereka, pikiran, dan perasaan dalam hubungan mengatasi persoalan. Teori ini menyatakan budaya organisasi dapat memberi gambaran fungsi dasar sebagai berikut: memberi identitas bagi anggota organisasi melalui pemberian norma, dan nilai-nilai, serta persepsi dari setiap orang agar sensitif terhadap kebersamaan”.
34
Dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi budaya organisasi merupakan nilai-nilai dasar yang dibentuk, dikembangkan dan menjadi pedoman bertindak bagi anggota organisasi, yang menjadi identitas dari organisasi tersebut dan membedakan dari organisasi yang lain. Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robbins (2001) sebagai berikut: 1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lainnya. 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasi. 3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu. Nilai-nilai yang sudah disepakati bersama, akan dijadikan tolak ukur tindakan dari setiap individu, dan akan mengesampingkan kepentingannya sendiri. 4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi organisasi relatif stabil. Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi, sehingga nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu.
35
Budaya organisasi tidak terbentuk dengan sendirinya. Budaya organisasi ada di dalam suatu organisasi karena adanya campur tangan manusia yang ada di dalamnya. Budaya merupakan fenomena yang melingkupi kehidupan manusia sepanjang waktu karena secara konstan diperankan dan dibentuk oleh manusia. Pemimpin organisasi memiliki peran besar dalam pembentukan budaya organisasi. Hal ini karena pemimpin adalah orang yang paling berpengaruh untuk menentukan aktifitas dan kebijakan yang harus dijalankan oleh anggota atau karyawan. Keberadaan seorang pemimpin di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor yang sangat menentukan bagi maju mundurnya organisasi.
2.5. Kepemimpinan Kepemimpinan adalah salah satu kunci perbaikan kinerja organisasi, termasuk kinerja SDM. Pemimpin adalah pengambil keputusan kunci, menentukan akuisisi, pengembangan, dan penerapan sumber daya organisasi, konversi dari sumber daya kedalam produk dan jasa yang bernilai, dan memberikan nilai bagi stakeholders. Dengan demikian keunggulan kompetitif dapat berkesinambungan (Zhu, Chew, & Spangler; 2003). Beberapa peneliti menjelaskan bahwa terdapat empat masalah spesifik sehubungan dengan kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan terkait dengan ide perubahan. Kedua, kepemimpinan melibatkan diri dalam masalah memengaruhi orang lain. Ketiga, kepemimpinan muncul dalam konteks kelompok juga dalam
36
hubungan diadik. Keempat, kepemimpinan terkait dengan pencapaian tujuan (Kan & Parry;2004). Terkait dengan masalah-masalah tersebut, maka kepemimpinan dapat dilihat sebagai suatu interaksi yang kompleks antara pemimpin dan lingkungan sosial serta organisasi (Suarez;2005). Pada dasarnya, pemimpin mewakili suatu bentuk kompleks dari pemecahan masalah sosial. Dalam rangka memecahkan masalah, pemimpin harus mengembangkan keterampilan tertentu, dan efektivitas aplikasi dari keterampilan ini bergantung kepada pengetahuan. Untuk memecahkan masalah kepemimpinan, pengetahuan dibutuhkan menurut: (1) tugas-tugas yang ada, (2) organisasi, dan (3) dengan siapa seseorang bekerja. Proses penciptaan pengetahuan muncul melalui jaringan kerja informal, intra dan inter organisasi, juga dengan melibatkan interaksi sosial dalam proses stratejik formal (Suarez;2005). Sejalan dengan hal itu, maka banyak pengertian kepemimpinan yang telah diungkapkan para ahli. Pengertian-pengertian yang diberikan pada intinya memiliki muara yang sama, yaitu pada usaha mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Hunt bahwa kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari konsep pengaruh. Proses munculnya pengaruh secara alami terjadi dalam sistem sosial, dimana pemimpin memengaruhi pilihan-pilihan tujuan dan strategis untuk dicapai, memotivasi anggota organisasi untuk meraih tujuan, belajar dan berbagi pengetahuan di antara pengikut, dan menggalang dukungan dan kerjasama dari pihak luar (Cogliser & Brigham;2004).
37
Dengan demikian terlihat bahwa kepemimpinan pada intinya merupakan proses mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian ini menekankan pada kalimat mempengaruhi orang lain, yang di dalamnya terkandung unsur hubungan, proses, dan kegiatan. Untuk mencapai tujuan bersama, seorang pemimpin perlu menggunakan berbagai cara. Cara-cara tersebut biasanya diwujudkan dengan memberi petunjuk, mengarahkan, dan membina untuk melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Gupta (2004), paling tidak ada tiga perspektif yang bersifat universal dan lintas budaya terkait dengan kepemimpinan, yaitu: 1. Kepemimpinan neo karismatik/transformasional. Teori ini fokus pada bagaimana pemimpin menciptakan kinerja yang baik dari pengikutnya melalui transendensi perilaku kepentingan pribadi dengan jalan menunjukkan kebutuhan akan aktualisasi diri yang tinggi, memegang erat nilai-nilai personal, dan motivasi implisit para pengikut. Singkatnya perspektif ini adalah ikatan bersama antara pemimpin dan pengikut dalam satu tujuan yang saling menguntungkan. 2. Kepemimpinan berorientasi regu (team-oriented leadership). Teori ini fokus pada interaksi antara pimpinan dan anggota kelompok, secara spesifik menekankan kemampuan pemimpin untuk meningkatkan tingkat partisipasi kelompok dan keterlibatannya. Perspektif ini dapat dikatakan sebagai leader-member exchange theory, yang menguji kepemimpinan dari teori peran.
38
3. Kepemimpinan berbasis nilai (value-based leadership). Perspektif ini dikembangkan oleh House & Aditya yang menyatakan bahwa pemimpin mengartikulasikan visi dan misi dalam bentuk ideologis, menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi akan keyakinan-keyakinan diri, dan seperangkat contoh keterlibatan dan komitmen terhadap misi organisasi. Sejalan
dengan
tiga
orientasi
itu,
maka
berkembang
aneka
gaya
kepemimpinan. Beberapa di antaranya yang popular adalah: 1. Gaya kepemimpinan otokratis Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya. Sebagai pemimpin, ia hanya menunjukkan dan memberi perintah dan kewajiban bawahan untuk mengikuti dan menjalankannya, tidak boleh membantah ataupun mengajukan saran. Ciri-ciri kepemimpinan otokratis di antaranya adalah: a) Semua keputusan kebijaksanaan dihasilkan oleh pemimpin b) Setiap langkah aktivitas dan teknik diperintahkan oleh pemimpin satu persatu, sehingga langkah di masa depan selalu tidak menentu. c) Pemimpin biasanya mendiktekan tugas dan kerja lainnya untuk setiap anggota. d) Pemegang peran dalam memuji dan mengkritik adalah pribadi, tetapi tetap tidak aktif dalam kelompok kecuali hendak memperagakan sesuatu. Ia bisa ramah atau tidak manusiawi, tetapi tidak bersikap bermusuhan secara terbuka (Jewell & Siegel;1998).
39
2. Gaya kepemimpinan laissez-faire Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Pimpinan sama sekali tidak memberikan kontrol atau koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan pada anggota-anggota kelompok, tanpa petunjuk dari pimpinan atau berupa saran-saran dari pimpinan. Ciri-ciri kepemimpinan model ini adalah kebebasan seluas-luasnya untuk keputusan kelompok atau individu, tanpa ikut sertanya pemimpin. a) Berbagai bahan dipasok oleh pemimpin, yang dengan jelas menyatakan akan memberikan informasi bila ditanya. Ia tidak ikut dalam diskusi yang lain. b) Pemimpin sama sekali tidak ikut serta. c) Jarang berkomentar mengenai aktivitas anggota, kecuali ditanya, dan tidak berusaha ikut serta atau mencampuri jalannya aktivitas.
3. Gaya kepemimpinan demokratis Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompok. Pemimpin selalu berusaha menstimulasi anggotaanggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usahanya, selalu berpangkal pada
40
kepentingan
dan
kebutuhan
kelompok-kelompok
dan
mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Ciriciri gaya kepemimpinan demokratis adalah: semua kebijaksanaan merupakan pembicaraan dan keputusan kelompok, didorong dan dibantu pemimpin. a) Perspektif aktivitas diperoleh selama periode diskusi yang pertama. Langkah-langkah
umum
untuk
mencapai
tujuan
kelompok
digariskan, dan bila nasehat diperlukan, pemimpin memberikan dua atau tiga prosedur alternatif untuk dipilih. b) Para anggota bebas memilih rekan kerja, dan pembagian kerja diserahkan kepada keputusan kelompok. c) Pemimpin obyektif atau berdasarkan fakta dalam memuji dan mengkritik dan berusaha menjadi pemberi semangat pada kelompok secara teratur tanpa terlalu banyak ikut bekerja. 4. Gaya kepemimpinan karismatik Kepemimpinan karismatik diidentifikasikan sebagai kepemimpinan penting dalam hubungannya dengan kepuasan. Weber pertama kali memperkenalkan istilah “charisma” dan menjelaskannya sebagai some what superhuman attribute atau suatu pemberian dari yang maha kuasa. Menurutnya, pemimpin karismatik dipandang sebagai mistis, narsistik, dan memiliki kemampuan personal yang magnetis. (Wang, Chou, & Jiang ;2005).
41
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah penilaian pimpinan dalam mempengaruhi bawahan sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang direfleksikan dengan indikator: memberikan pengarahan kepada bawahan, memberikan dukungan kepada bawahan, mengikutsertakan bawahan dalam mengambil kebijaksanaan, bersifat empati kepada bawahan, dan memberikan penghargaan kepada bawahan.
2.6.Komitmen Selain kompetensi pegawai juga dibutuhkan apa yang disebut komitmen, karena di dalam menyelesaikan pekerjaan diperlukan loyalitas, disiplin, dan konsistensi, dan semua ini akan memberikan kontibusi pada realisasi tujuan organisasi/perusahaan. Faktor komitmen ini dipandang penting karena karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi akan cenderung memiliki sikap yang profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disepakati. Komitmen
mencerminkan
kerelaan
untuk
bekerja
keras
dan
memberikan energi serta waktu untuk sebuah pekerjaan atau aktivitas (hornby, 2000 : 242). Dengan kata lain komitmen merupakan suatu sikap kerja atau keyakinan yang mencerminkan kekuatan relatif dari keberpihakan dan keterlibatan individu pada organisasi secara khusus (Burr & Girardi, 2000:80). Sedangkan menurut Newstrom & Davis (2000:211) komitmen merupakan tingkat dimana individu memihak dan ingin secara kontinyu berpartisipasi aktif dalam
42
organisasi, yang tercermin melalui karakteristik : (a) adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas nilai dan tujuan organisasi, (b) kesediaan untuk mengusahakan yang terbaik bagi organisasi, (c) adanya keinginan yang pasti untuk bertahan dalam organisasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Robbins (2001:69) bahwa komitmen merupakan tingkat dimana seseorang karyawan memihak pada organisasi tertentu dan tujuan-tujuan, dan berniat untuk mempertahakan keanggotaan dalam organisasi. Sedangkan menurut Barney & riffin (1992: 531-532) mengarahkan komitmen organisasional pada tiga bentuk, yaitu: (1) komitmen terhadap karir yang menekankan pada perkembangan karir individu dalam organisasi atau sejumlah kegiatan yang dilakukan individu yang berorientasi pada karir, (2) komitmen terhadap pekerjaan yang menekankan pada aspek pekerjaan yang menekankan pada aspek pekerjaan, dan (3) komitmen pada organisasi menekankan pada organisasi secara keseluruhan. Dari beberapa pakar di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen adalah konsistensi dari para pekerja dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan target yang diharapkan oleh organisasi.
Menurut Spenser & Spenser (1993 : 86) ada empat indikator perilaku umum dari komitmen, yaitu: (1) ada kerelaan untuk membantu kolega menyelesaikan tugas-tugas mereka, (2) menyatukan aktivitas dan prioritas yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan organisasi, (3) memahami kebutuhan kerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang lebih besar, dan (4) memilih
43
kebutuhan-kebutuhan organisasi yang pantas dari pada mengikuti beberapa minat profesional. Fink (1992:56) mengelompokkan ciri-ciri komitmen organisasi menjadi sepuluh, yaitu: (1) selalu berupaya untuk mensukseskan organisasi, (2) selalu mencari informasi tentang organisasi, (3) selalu mencari keseimbangan antara organisasi dengan sasaran pribadi, (4) selalu berupaya memaksimumkan kontribusi kerjanya sebagai bagian organisasi secara keseluruhan, (5) menaruh perhatian pada hubungan kerja antar unit organisasi, (6) berpikir positif terhadap kritik dari teman sekerja, (7) menempatkan prioritas organisasi di atas departemennya, (8) tidak melihat organisasi lain sebagai unit yang lebih menarik, (9) memiliki keyakinan bahwa organisasi akan berkembang, dan (10) berpikir positif pada pimpinan organisasi. Chang (1999:1259), Eby et.al (1999:464), Bur & Girardi (2002:80) dan Somers & Birnbaum (2000:354) mengemukakan bahwa komitmen organisasi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) Komitmen afektif adalah bagian dari komitmen organisasi yang lebih menekankan pada pentingnya organisasi antara nilai dan tujuan karyawan dengan
nilai
dan
tujuan
organisasi.
Makin
mampu
organisasi
menimbulkan keyakinan dalam diri karyawan yang menjadi nilai dan tujuan pribadinya memiliki kesamaan dengan nilai dan tujuan organisasi, maka makin tinggi komitmen karyawan pada organisasi tempat bekerja. (2) Komitmen kontinyu adalah bagian dari komitmen organisasi dimana karyawan akan bertahan atau meninggalkan organisasi karena melihat adanya pertimbangan rasional dari segi untung dan ruginya. Burr &
44
Girardi (2002:80) mempertegas bahwa komitmen kontinyu merupakan perasaan cinta pada organisasi karena karyawan menghargai besarnya biaya yang dikorbankan seandainya ia meninggalkan organisasi. (3) Komitmen normatif adalah salah satu bagian dari komitmen organisasi dimana karyawan bertahan dalam organisasi karena ia merasakan adanya suatu kewajiban. Burr & Girardi (2002:80) mempertegas bahwa komitmen normatif merupakan refleksi dari perasaan wajib pekerja untuk tinggal dengan organisasi.
2.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Secara teoretik komitmen organisasi paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor/variabel, yakni: budaya organisasi dan kecerdasan emosional. Mengenai budaya organisasi, penelitian Ingersoll dkk (2000: 11) menunjukkan bahwa budaya organisasi adalah prediktor kuat dalam menciptakan komitmen karyawan terhadap organisasi. Sementara itu studi yang dilakukan oleh Chatman (1988), Denison (1990), Smith & Rupp (2002), dan Chin dkk (2002) sebagaimana dikutip Canessa dan Riolo (2003: 151) juga menunjukkan bahwa budaya organisasi yang baik akan menciptakan komitmen di antara anggota organisasi, dan membantu mengarahkan tujuan individual kepada tujuan organisasi dan mewadahi ruang bersama di antara pekerja. Sedangkan studi mengenai keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi diungkapkan oleh Cooper (dalam Rothmann et al., 2002: 2) bahwa jika emosi dikelola dengan benar salah satunya akan mendorong komitmen terhadap organisasi. Druskat dan Wolff
(dalam Warren Bennis, 2005: 15) juga
45
mengemukakan bahwa dengan memiliki kecerdasan emosional seseorang atau tim akan menunjukkan tingkat kerjasama, kreativitas dan komitmen yang selanjutnya akan dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Warren Bennis (2005: 19) juga mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional akan memengaruhi efektivitas organisasi melalui sejumlah area, yang diantaranya adalah pengembangan talenta, kerjasama, komitmen pegawai, moralitas, inovasi, produktivitas, efisiensi, penjualan, pendapatan, kualitas pelayanan, dan loyalitas pelanggan. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan positif dengan dengan komitmen organisasi. Komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry (1981) menunjukkan bahwa salah satu prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi. 2. Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut. 3. Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individuindividu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi.
46
4. Akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang. Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, diantaranya adalah: 1. Usia dan masa kerja. Usia dan masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen (Mowday, et,ai,1982). 2. Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya semakin rendah. (Mowday, et,ai,1982). 3. Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi. 4. Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman (1981) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen terhadap organisasi. Peran yang tidak jelas muncul akibat adanya tujuan yang tidak jelas pula atas suatu pekerjaan (John, 1983). Ciri-cirinya antara lain ketidakjelasan evaluasi terhadap pekerjaan, cara untuk mencapai unjuk kerja yang baik dan batas wewenang serta tanggung jawab individu.. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya ketidakjelasan peran, yakni : (1) faktor organisasi-
keberadaan
individu
tidak
jelas
fungsinya
sehingga
peranannyapun tidak jelas; (2) faktor pemberi peran – ketidakjelasan muncul karena atasan tidak mengkomunikasikan dengan jelas harapannya terhadap bawahan ; (3) faktor penerima peran – ketidakjelasan peran
47
karena bawahan tidak mengerti peran yang harus ia lakukan sesuai harapan atasan (dalam Temaluru, 2001). 5. Faktor Lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi. Menurut Porter, Mowday dan Steers (1982), lingkungan dan pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi
komitmen
terhadap
organisasi.
Beberapa
faktor
lingkungan yang berkaitan dengan komitmen adalah: (1) keterandalan organisasiyakni sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia bekerja memperhatikan anggotannya, baik dalam hal minat maupun kesejahteraan; (2) perasaan dianggap penting oleh organisasi- yakni sejauh mana individu merasa diperlukan dalam mencapai misi organisasi. Menurut Lavering (1988), tempat kerja yang baik adalah tempat yang membuat karyawan dihargai keberadaannya dan merasa bangga menjadi anggota organisasi tersebut. Ketidakberartian akan membuat komitmen organisasi menjadi rendah; (3) realisasi terhadap harapan individu-yakni sejauh mana harapan individu dapat direalisasikan melalui organisasi dimana ia bekerja. (4) persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja-sejauh mana individu merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang positif terhadap organisasi. (5) persepsi terhadap gaji-sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya seimbang dengan gaji individu lain. Perasaan diperlakukan fair atau tidak akan mempenagruhi komitmennya. (6) persepsi terhadap perilaku atasan-sejauh mana individu merasa dihargai dan dipercayai oleh atasan. Jika persepsi
48
sikap atasan negatif, maka akan cenderung mengakibatkan sikap negatif pula yang diaktualkan dalam bentuk perilaku negatif seperti mangkir dan keinginan berpindah kerja (dalam Temaluru, 2001) Sebagai aspek yang penting dimiliki oleh setiap organisasi, sedapat mungkin komitmen ditumbuhkan. Komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu: identifikasi,
keterlibatan
dan
loyalitas
pegawai
terhadap
organisasi
atau
organisasinya, sehingga ketiga hal ini perlu menjadi perhatian untuk dikembangkan (Kuntjoro, 2002). Untuk aspek pertama, yaitu identifikasi, yang terwujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Menurut Pareek, hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula. Kedua adalah unsur keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitasaktivitas kerja organisasi. Hal ini penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan karyawan akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat
49
menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, menurut Sutarto (1993) dengan melakukan hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. Hasil riset yang dilakukan oleh Steer (dalam Kuntjoro, 2002) menunjukkan bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang keterlibatannya lebih rendah. Ahli lain, Beynon mengatakan bahwa partisipasi akan meningkat apabila mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka diskusikan bersama, dan salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama tersebut adalah kebutuhan serta kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh pegawai dalam organisasi. Apabila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi hingga pegawai memperoleh kepuasan kerja, maka pegawaipun akan menyadari pentingnya memiliki kesediaan untuk menyumbangkan usaha dan kontribusi bagi kepentingan organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan organisasilah, kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan. Unsur terakhir yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan komitmen adalah loyalitas pegawai terhadap organisasi. Menurut Soebroto (dalam Kuntjoro, 2002) loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan
50
mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. Dengan
demikian
komitmen
individu
terhadap
organisasi
bukanlah
merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam hal ini organisasi dan pegawai (individu) harus secara bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. Sebagai contoh: seorang pegawai yang semula kurang memiliki komitmen, namun setelah bekerja ternyata selain ia mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ternyata didapati adanya hal-hal yang menarik dan memberinya kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk berkembangnya komitmen individu tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia faktor-faktor yang dapat memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan, misalnya ada koperasi, ada fasilitas transportasi, ada fasilitas yang mendukung kegiatan kerja maka dapat dipastikan ia dapat bekerja dengan penuh semangat, lebih produktif, dan efisien dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya jika iklim organisasi kerja dalam organisasi tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan kerja kurang harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka secara otomatis komitmen individu terhadap organisasi menjadi makin luntur atau bahkan mungkin ia cenderung menjelek-jelekkan tempat kerjanya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai gejolak seperti mogok kerja, unjuk rasa, pengunduran diri, terlibat tindakan kriminal dan sebagainya.
51
2.7. Model Teoretik Model teoretik yang menggambarkan pengaruh motivasi kerja, budaya organisasi dan kepemimpinan terhadap komitmen Kepala Sekolah dalam pengelolaan keuangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat digambarkan sebagai berikut:
Motivasi kerja (X1) Budaya Organisasi (X2) Kepemimpinan (X3)
Komitmn Kepala Sekolah terhadap pengelolaan keuangan dna BOS (Y)
Dari 8 jenis lingkungan pengendalian dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), kami hanya membatasi pada 3 jenis yaitu : penegakan integritas dan nilai etika yang menciptakan motivasi kerja dan budaya organisasi, komitmen terhadap kompetensi, dan kepemimpinan yang kondusif.
52
2.8. Hipotesis Dalam penelitian ini, hipotesis yang akan diuji adalah yang berkaitan H0 merupakan hipotesis atas penelitian yang dilakukan. Adapun perumusan hipotesis atas pengujian yang dilakukan di sini adalah sebagai berikut: H01: β = 0
“Tidak terdapat pengaruh pengaruh Motivasi kerja, budaya organisasi dan kepemimpinan secara parsial terhadap komitmen kepala sekolah pada pelaksanaan dana operasional BOS di Kabupaten Tangerang. “
HA1:
β ≠ 0 “Terdapat pengaruh pengaruh Motivasi kerja, budaya organisasi dan kepemimpinan secara parsial terhadap komitmen kepala sekolah pada pelaksanaan dana operasional BOS di Kabupaten Tangerang. “
H02: β = 0
“Tidak terdapat pengaruh pengaruh Motivasi kerja, budaya organisasi dan kepemimpinan secara simultan terhadap komitmen kepala sekolah pada pelaksanaan dana operasional BOS di Kabupaten Tangerang. “
HA2:
β ≠ 0 “Terdapat pengaruh pengaruh Motivasi kerja, budaya organisasi dan kepemimpinan secara simultan terhadap komitmen kepala sekolah pada pelaksanaan dana operasional BOS di Kabupaten Tangerang. “