1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat dipisahkan dengan komunikasi
baik komunikasi verbal maupun non verbal. Komunikasi bukan hanya sekedar sebuah kegiatan namun sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan proses pernyataan manusia yang dinyatakan dalam bentuk pikiran atau perasaan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Komunikasi juga merupakan sebuah proses dimana ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih dengan maksud mengubah tingkah laku mereka.1 Di dalam komunikasi ada beberapa unsur yakni sumber pesan ((surce), pesan message), saluran (channel), dan penerima pesan (receiver), serta efek ((effect).2 (message), Menurut Harold D. Laswell guna memahami komunikasi, kita harus mengerti unsurunsur yang diformulasikan olehnya dalam bentuk pernyataan, Who Says What in Which Chanel to Whom and With What Effect? Yang bisa diartikan siapa berbicara apa dengan saluran apa dan mendapat efek apa.3 Konon, dalam dunia sepak bola tidak dikenal latar belakang sosial. Di dalam sepak bola hanya ada satu agama, budaya, suku, dan ras. Akan tetapi, tidak selamanya sepak bola berhasil menyatukan para penggemarnya. Fanatisme berlebihan 1
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2001. Hal.70 Wiryanto. Teori Komunikasi Massa. Grasindo Widiasarana Indonesia: Jakarta. 2004. Hal 3 3 Ibid 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
yang ditunjukkan para suporternya membuat wajah sepak bola menjadi garang dan sangat mengerikan. Dari fanatisme kemudian lahir bibit-bibit hooligan, yaitu manusia-manusia agresif dan brutal bila tim kesayangan yang digadang-gadang untuk menang menjadi pecundang. Bagi penggila sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus, terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian karena tidak menunjukkan perilaku sportif yang berujung anarkistis. Jika melihat tampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Polisi pun tidak segan dilabrak. Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini selain mendorong anarkisme di dalam stadion, juga menyulut banalisme di luar stadion. Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita4
4
https://solitudemind.wordpress.com (diakses pada tanggal 05 November 2015 pukul 21.00)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
Hooliganisme adalah perilaku merusak dan senang akan kultur kekerasan yang terlebih dilakukan oleh anak muda. Ini konon berawal dari pemberitaan di London Newspaper pada April - Mei 1894 yang mereportase penangkapan seorang anak muda berusia 19, Charles Clarken, oleh pihak keamanan London. Koran tersebut menuliskan pemuda tersebut sebagai ketua geng anak muda yang dikenal sebagai “Hooligans Boys”, anak muda itu sendiri merupakan anggota “Hooley’s Gang” yang terkenal sebagai geng anak muda dari London Selatan. Sumber lain mengklaim kata hooligan berasal dari kriminal bernama Patrick Hoolihan. Dia adalah seorang tukang pukul dan seorang pencuri di wilayah Southwark kota London. Hooliganisme dalam sepakbola tidak memiliki definisi yang sah dan spesifik, kosakatanya sendiri diciptakan oleh media massa sejak pertengahan tahun 60-an, dan sejak itu mereka menggunakan istilah “Hooligan” dalam berbagai insiden yang berbeda dalam ranah sepakbola, yang tentu saja dikaitkan dengan perilaku menyimpang dan kekerasan yang melibatkan suporter sepakbola. Ada 2 tipikal spesifik dari penyimpangan yang diidentifikasikan sebagai aksi “Hooliganisme”. Yang pertama adalah penyimpangan spontan dengan level rendah yang dilakukan para suporter seputar pertandingan sepakbola (biasanya terjadi pada laga tandang di liga Inggris). Dan yang terakhir adalah kekerasan yang disengaja yang melibatkan ‘komunitas suporter’ (firms) yang mengidentikan diri mereka dengan salah satu klub sepakbola dan berkelahi dengan firms dari klub sepakbola yang berbeda. Terkadang perkelahian tersebut terjadi pada ruang dan waktu yang jauh dari pertandingan sepakbola itu sendiri.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina, hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini selain mendorong anarkisme di dalam stadion, juga menyulut banalisme di luar stadion. Puncak aksi hooliganisme terjadi pada 29 Mei 1985 ketika suporter Liverpool menyerang suporter Juventus dalam final Champions Cup di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari pendukung masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian, para pendukung Juventus mulai melemparkan kembang api ke arah pendukung Liverpool. Huru-hara pun meledak. Akibat peristiwa itu, 39 orang tewas mengenaskan. Kisah-kisah kekerasan hooligan terus mewarnai dunia sepak bola, termasuk dalam pertandingan derby. Di Skotlandia, yang paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Celtic adalah klub yang dianggap mewakili agama Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan. Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua klub ini selalu panas. Pendukung kedua klub pun sering terlibat bentrok sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan suporter saling menyerang identitas agama kedua pihak. Di Italia, pertandingan derby Inter Milan versus AC Milan disebut-sebut sebagai perang kaum miskin (Milan) melawan kaum kaya (Inter). Konteks yang sama terjadi pula di Turki. “Derby Istanbul” yang memertemukan Fenerbahce versus
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
Galatasaray adalah pertandingan yang dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat (Galatasaray). Sebagian besar dari para hooligan ini merupakan para backpacker yang sangat berpengalaman dalam bepergian. Mereka sering menonton pertandingan yang sangat beresiko besar. Banyak dari mereka sering keluar masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik dengan supporter musuh maupun dengan pihak keamanan sebuah wilayah. Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan dengan sangat matang untuk sebuah perkelahian. Mereka sangat jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim idolanya, dan memilih berpakaian asal-asalan agar tidak terdeksi oleh pihak keamanan dan pendukung musuh. Para hooligan ini biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama, tetapi berpencar-pencar. Dan satu yang pasti tujuan utama para Hooligan ini hadir dalam sebuah pertandingan yaitu ingin membuat sebuah keributan, dan menonton sebuah pertandingan menjadi tujuan mereka selanjutnya. Sulit untuk berspekulasi tentang apa yang membuat seseorang terlibat dalam kekerasan yang berhubungan dengan sepak bola karena ada begitu banyak faktor penyebabnya. Tidak mungkin untuk mengklaim bahwa semua hooligan sepak bola adalah dari usia tertentu atau kelas sosial tertentu. Penanganan yang tidak tepat terhadap turis Inggris oleh pihak keamanan pada beberapa perhelatan sepakbola di Eropa dapat menjadikan seseorang sebagai hooligan, ditambah dengan pengaruh alkohol, xenophobia (saat ini dipraktikan oleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
EDL dan BNP, partai sayap kanan di Inggris terhadap imigran Pakistan dengan menggalang kekuatan dari Casuals United, komunitas yang dibentuk dari gabungan supporter sepakbola di Inggris), dan karena perasaan satu bangsa.5 Film Nick Love, The Football Factory mempresentasikan fan Chealsea yaitu Headhunter yang difiksikan kedalam sebuah film, film ini berfokus terutama pada persaingan kekerasan perusahaan itu dengan Millwall Bushwackers Jason Marriner adalah subyek dari rilis DVD' Jason Marriner Football Hooligan' disutradarai oleh Liam Galvin (Gangster Video) Film ini menarik untuk diteliti karean film ini merupakan film yang bercerita tentang hooliganisme di Tanah London yang merupakan film yang laris dipasaran dengan bergandengan dengan novel dengan judul yang sama, film ini dibuat setelah sebelumnya film Green Street Hooligan yang sebelumnya sudah sukses dipasaran, karena itulah peneliti memilih film ini untuk diteliti karena jarangnya film ini diangkat sebagai objek penelitian, film ini juga merupakan kisah nyata dari novel yang dibuat oleh Nick Love namun dalam filmnya sedikit difiksikan. Film ini laris dipasaran dalam pembukaan akhir pekan di Inggris dengan pemasukan kurang lebih £ 207,683 pada 16 Mei 2004 dilebih 159 Layar lebar yang menayangkannya, film ini juga sukses dalam Dinard British Film Festival 2004 dimana memenangkan Kodak Award untuk Best Cinematography dan novelnya masuk
5
dalam
nominasi
Emas
Hitchcock
karya
Nick
http://www.kompasiana.com/ (diakses pada tanggal 05 November 2015 pukul : 22.00)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Love.
7
1.2
Fokus Penelitian Agar penelitian ini lebih terarah, penulis membatasi masalah yang dibahas,
adapun rumusan masalah adalah bagaimana simbol – simbol fanatisme di representasikan dalam film The Football Factory
1.3
Identifikasi Masalah Suporter dan sepakbola adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, dimana ada
sepakbola disitu juga ada suporter, tidak memandang tua, muda, maupun anak-anak. Tanpa supporter, atmosfer pertandingan sepak bola terasa hambar, fanatisme suporter yang sering kebablasan yang pada akhirnya selalu membuat kerusuhan membuat penulis
ingin
meneliti
makna
fanatisme
yang
terkandung
dalam
film
The Football Factory
1.4
Tujuan Penelitian 1. Untuk menemukan makna – makna fanatisme yang disampaikan pada film The Football Factory 2. Mendefinisikan
realitas
fanatisme
supporter
The Football Factory
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dalam
film
8
1.5
Manfaat Penelitian Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan manfaat, yaitu:
1.5.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa yang
mencoba
mengkaji
fanatisme
supporter
dalam
film
The Football Factory 1.5.2 Aspek Praktis Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menjelaskan kepada masyarakat bahwa film dapat dikaji dalam berbagai ilmu, salah satunya adalah semiotika yang dapat digunakan dalam membaca tanda-tanda yang digunakan
sepenuhnya
atas
dasar
kekuasaan
sutradara
dan
diinterpretasikan penuh atas dasar kekuasaan penonton. Selain itu lebih lanjut masyarakat dapat mengetahui dan memahami bagaimana film The Football Factory sebagai salah satu media komunikasi massa mengonstruksikan realitas fanatisme supporter saat ini sehingga lebih jauh diharapkan dapat menggugah kesadaran kritis masyarakat khususnya para supporter Indonesia untuk mencari penyebab sekaligus solusi masalah-masalah sosial yang kerap dialami oleh para supporter di Indonesia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Penelitian ini juga sebagai salah satu syarat meraih gelar kesarjanaan pada jurusan broadcasting, fakultas ilmu komunikasi Universitas Mercu Buana.
http://digilib.mercubuana.ac.id/