2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Konflik Teori konflik berpandangan bahwa sistem sosial terbentuk sebagai respon atas konflik yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Raho (2007) bahwa teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Kemunculan teori konflik merupakan reaksi atas berbagai kritik terhadap teori struktural fungsional. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), bahwa Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik terhadap fungsionalisme struktural. Oleh karena itu teori konflik dapat dikatakan sebagai antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Selanjutnya
Ritzer
dan
Goodman
(2004)
mengemukakan
bahwa
fungsionalisme struktural melihat harmoni dari norma-norma dan nilai-nilai, teori konflik melihat paksaan, dominasi, dan kekuasaan. Menanggapi kedua teori tersebut, Dahrendorf melihat kedua teori sebagai teori yang menangani situasi yang berbeda, tergantung pada fokus penelitian. Menurut Dahrendorf, fungsionalisme berguna untuk memahami konsensus sementara teori konflik tepat untuk memahami konflik dan pemaksaan. Teori konflik berasal dari berbagai sumber, seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori ini tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Seperti fungsionalis, ahli teori
15
konflik berorientasi ke studi struktur dan institusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori konflik yang berlawanan secara langsung dengan fungsionalis. Antitesis terbaik dari teori konflik ditunjukkan oleh karya Dahrendorf (1958, 1959). Melalui karya Dahrendorf, pendirian teori konflik sejajar dengan teori fungsionalis. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik yang dibedakan dari teori fungsionalis, sebagai berikut: 1. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang, tetapi menurut teori konflik (khususnya Dahrendorf), masyarakat setiap saat tunduk pada perubahan. 2. Fungsionalis menekankan pada keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. 3. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. 4. Fungsionalisme cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Dengan kata lain, teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. 5. Fungsionalisme memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Menurut
Turner
(1998)
Dahrendorf
adalah
orang
pertama
yang
mengemukakan teori konflik modern yang mendapatkan sambutan dari khalayak luas. Pada akhir 1950-an, Ralf Dahrendorf terus-menerus menyatakan bahwa skema Parsonian, dan fungsionalisme pada umumnya, menyajikan sebuah visi masyarakat yang terlalu konsensual, terpadu, dan statis, dengan istilahnya "utopia". Untuk meninggalkan utopia, Dahrendorf menawarkan saran berikut: Berkonsentrasi pada masa depan tidak hanya pada masalah kongkrit tetapi pada masalah yang melibatkan penjelasan dalam hal kendala, konflik dan perubahan” (Concentrate in the future not only on concrete problems but on such problems as
16
involve explanations in term of constraint, conflict and change. This second face of society may aesthetically be rather less pleasing than the social system-but, if all sociology had to offer were an easy escape to utopian tranquility, it would hardly be worth our efforts). Untuk menghindari utopia, selanjutnya Dahrendorf (dalam Turner, 1998) menjelskan “To escape utopia, therefore, requires that a one-sided conflict model be substituted for the one-sided functional model. Although this conflict perspective was not considered by Dahrendorf to be the only face of society, it was seen as a necessary supplement that will make amends for the past inadequacies of functional theory”. Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah-satu konsensus, yang lain adalah konflik, tergantung waktu (lihat Turner, 1998; Ritzer dan Goodman, 2004). Oleh karena itu teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan kohesi yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa menurut fungsionalisme sistem sosial dipersatukan oleh kerjasama sukarela, atau oleh konsensus bersama, atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor penentu konflik sosial sitematis (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Lebih lanjut Ritzer dan Goodman (2004:154) mengemukakan bahwa Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih besar yang jadi inti tesisnya adalah bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu. Menurut Turner (1998), model yang muncul dari teori Dahrendorf ini disebut sebagai perspektif konflik dialektis, yang masih merupakan salah satu upaya terbaik untuk menggabungkan wawasan dari Marx dan (sampai batas
17
tertentu) Weber dan Simmel menjadi seperangkat proposisi teoritis. Dahrendorf percaya
bahwa proses
pelembagaan melibatkan penciptaan
"Imperative
Coordinated Association”/ asosiasi imperatif terkoordinasi" (disingkat ICA) dengan kriteria tidak ditentukan, mewakili peran organisasi yang berbeda. Organisasi ini (ICA) ditandai oleh hubungan kekuasaan, dengan beberapa kelompok peran yang memiliki kekuatan untuk mengekstrak konformitas dari orang lain. Menurut Turner (1998) Dahrendorf agak samar pada titik ini, tapi tampaknya bahwa setiap unit dari kelompok sosial kecil atau organisasi formal untuk sebuah komunitas atau seluruh masyarakat bisa dianggap sebagai ICA untuk tujuan analisis jika sebuah organisasi peran menampilkan perbedaan kekuasaan. Selanjutnya menurut Turner (1998), pada saat yang sama, bagaimanapun, kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang langka dimana sub kelompok dalam ICA menunjukkan persaingan dan bertempur. Mereka dengan demikian merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan. Meskipun peran dalam ICA memiliki berbagai tingkat kekuasaan, setiap ICA tertentu dapat ditandai sebagai dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa (superordinate) dan yang dikuasai (subordinat). Kelompok (cluster) peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa ICA terpolarisasi ke dalam dua kelompok konflik, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas di ICA, sehingga membuat konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam kondisi tertentu. Polarisasi yang terus menerus ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas ini menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas yang tak berujung. Sebagaimana Merton memandang fungsi laten dan manifest, Dahrendorf mengidentifikasi kepentingan laten dan manifest, atau kepentingan yang disadari dan tidak disadari (unconscious and conscious interests). Menurut Dahrendorf
18
kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan laten maka dalam setiap sistem sosial yang terkoordinasi itu terkandung kepentingan laten yang sama, yang disebut kelompok kuasi yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Menurut Ritzer and Goodman (2004), hubungan antara kedua konsep itu merupakan masalah utama bagi teori konflik dalam mengemukakan adanya tiga jenis kelompok: kelompok kuasi, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik. Lebih lanjut Turner (1998) menyebutkan bahwa model Dahrendorf memiliki kesamaan dengan model Marx, dalam mengungkapkan rantai sebabakibat dari peristiwa-peristiwa yang menyebabkan konflik dan reorganisasi struktur sosial. Hubungan dominasi dan penaklukan menciptakan suatu oposisi kepentingan "obyektif". Kesadaran atau kesadaran (awareness or consciousness) melalui penundukkan dari kepentingan oposisi terjadi dalam kondisi specifiable tertentu. Dalam kondisi lain kesadaran baru ditemukan mengarah kepada organisasi politik dan kemudian, kelompok tertindas yang terpolarisasi tersebut bergabung dalam menghadapi konflik dengan kelompok dominan, hasil dari konflik akan mengantarkan pada terbentuknya pola baru dari organisasi sosial. Pola baru organisasi sosial ini akan memiliki di dalamnya hubungan dominasi dan penaklukan yang berangkat dari urutan peristiwa yang menyebabkan konflik dan kemudian mengubah pola organisasi sosial. Hubungan dialektik menurut Marx dan Dahrendorf, dapat digambarkan dalam gambar 1.
19
Marxian analytical categories
Social organization
Relations of domination and subjugation
Objectives opposition of interest
Consciousness of objective opposition of interests by the Subjugated
Polarization into dominant and subjugated populations
Violent conflict
Social reorganization
Marxian empirical categories
Ownership of property
Domination of propertied social classes over other classes
Opposition of social classes over distribution of propertiy and power
Growing class consciousness or nonpropertied class
Politicization of subjugated class and polatization of society into two classes
Revoluti onary class conflict
Redistribution or property and power
Considered nonproblematic
Dahrendo rf’s empirical categories
Legitimatized role relationship in ICAs
Dichotomous authority relations of dominant and subordinate roles
Considered nonproblematic
Intervening empirical conditions
Opposed quasi groups
Growing awareness of opposed threats
Intervening empirical conditions
Gambar 1. The Dialectical Causal Imagery (Sumber Turner, 1998:168)
20
Creations of a conflict group
conflict
Redistribution of authority in ICAs
Berdasarkan gambar 1 (lihat Turner, 1998: 167-168) menguraikan gambaran kausal Marx dan Dahrendorf. Baris atas pada gambar berisi kategori-katagori analisis Marx, dinyatakan dalam bentuk yang paling abstrak. Dua baris lainnya masing-masing menentukan kategori empiris dari Marx dan Dahrendorf. Menurut Turner (1998) bahwa “ The empirical categories of the Dahrendorf scheme differ greatly from those of Marx, but the form of analysis is much the same because each considers as nonproblematic and not
in need of causal analysis the
empirical conditions of social organization, the transformation of this organization into relations of domination and subjugation, and the creation of opposed interests. Analisis kausal untuk kedua model empiris tersebut (Marx dan Dahrendorf) dimulai dengan mengelaborasi kondisi-kondisi yang menyebabkan tumbuhnya kesadaran kelas (Marx) atau kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara kelompok kuasi (Dahrendorf), kemudian analisis bergeser ke penciptaan kelas politik "for itself" (Marx) atau "kelompok konflik" yang sesungguhnya (Dahrendorf). Akhirnya, penekanan berfokus pada munculnya konflik diantara kelas yang terpolarisasi dan dipolitisasi (Marx) atau kelompok-kelompok konflik (Dahrendorf). Dahrendrof mendasarkan teorinya pada perspektif Marx modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konskuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Teori konflik Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori Marx. Marx berpendapat bahwa kepemilikan dan kontrol saranasarana berada dalam satu individu-individu yang sama. Namun menurut Dahrendorf bahwa tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol. Dahrendrof berpendapat (lihat Kinseng, 2013) bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor penting, dan bukanya kepemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, maka mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaanya, tetapi ini tak berarti ada hubungan intristik antara kepimilikan dan pengontrolanya Selanjutnya dengan menyitir pendapat beberapa ahli, Kinseng (2013) menjelaskan bahwa berbeda dengan Marx, Dahrendorf berpendapat bahwa
21
kepemilikan alat produksi hanya merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber konflik. Menurut Dahrendorf, sumber konflik yang sesungguhnya adalah kekuasaan atau otoritas. Kepemilikan alat produksi merupakan salah satu bentuk dari faktor determinan kelas dan konflik yang lebih umum, yakni otoritas. “Authority is the more general social relation”, kata Dahrendorf (1963:137). Selanjutnya dikatakan bahwa “The authority structure of entire societies as well as particular institutional orders within societies (such as industry)...is the structural determinant of class formation and class conflict” (Dahrendorf, 1963:136). Dahrendorf berpandangan bahwa ada kecenderungan yang melekat pada masyarakat untuk berkonflik; karena mereka yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Oleh sebab itu, bagi Dahrendorf “Power is a lasting source of friction” (Wallace and Wolf, 2006:122). Bagi Dahrendorf pembagian kewenangan (otoritas) adalah kunci untuk memahami konflik sosial. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas diciptakan oleh harapan beberapa jenis tindakan yang terkait dengan posisi tertentu, termasuk subordinasi orang lain dan subordinasi kepada orang lain. Berbagai posisi kekuasaan ada dalam asosiasi. Garis kesalahan yang bermunculan di sekitar lokus adalah persaingan wewenang menghasilkan kelompok yang saling bertentangan. Konflik antara kelompok-kelompok ini meliputi interaksi mereka, dengan hasil bahwa otoritas sering ditantang dan menjadi renggang (lihat Ritzer and Goodman , 2004). Selanjutnya Turner (1998) membuat abstraksi dari teori konflik Dahrendorf ini dalam bentuk proposisi, sebagai berikut: I.
Konflik kemungkinan besar terjadi jika anggota ‘kuasi grup’ dalam ICA menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan: A. Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada 1. Pembentukan kepemimpinan di dalam ‘kuasi grup’ 2. Kodifikasi sistem ide
22
B. Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya C. Kondisi sosial, yang tergantung pada 1. Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi 2. Kesempatan untuk merekrut anggota II.
Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin intens konflik yang terjadi.
III.
Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain (superimposed), semakin intens konflik yang terjadi.
IV.
Semakin rendah mobilitas antara kelompok superordinat dan subordinat, semakin intens konflik yang terjadi.
V.
Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal konflik yang terjadi.
VI.
Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi.
VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi. VIII. Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. IX.
Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi abstrak model Dahrendorf tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan organisasi sosial. Semakin intens atau keras konflik, maka semakin besar perubahan organisasi yang terjadi. Semakin sulit dipertemukannya kondisi-kondisi teknis, politik dan sosial dari kelompok-kelompok konflik maka semakin sulit pula konflik tersebut diselesaikan. Lebih lanjut Turner (1998) menjelaskan bahwa secara formal Dahrendorf menguraikan tiga tipe intervensi kondisi-kondisi empiris: a. Pertama, kondisi organisasi yang mempengaruhi transformasi dari kelompok-kelompok kuasi laten kedalam kelompok konflik yang manifest (nyata);
23
b. Kedua, kondisi konflik yang menentukan bentuk dan intensitas konflik; c. Ketiga, kondisi perubahan struktural yang mempengaruhi kecepatan dan kedalaman perubahan dalam struktur sosial. Dengan demikian, variabel-variabel dalam skema teoritis Dahrendorf (Turner, 1998) dapat dikemukakan, sebagai berikut: 1. Tingkat formasi kelompok konflik; 2. Tingkat intensitas konflik; 3. Tingkat kebrutalan dari konflik; 4. Tingkat perubahan struktur sosial, dan 5. Laju perubahan tersebut. Selanjutnya Turner (1998) menyimpulkan bahwa teori konflik Dahrendorf sebenarnya bukanlah teori konflik pertama yang lahir pada pertengahan abad 20, tetapi teori konflik Dahrendorf menjadi teori yang paling berpengaruh. Pendekatan Dahrendorf yang abstrak dan analitis mengkritik Maxists Ortodoks, substansi Dahrendorf telah keluar dari analisis Marx. Teori konflik Dahrendorf telah membebaskan diri dari parokialisme Marxian, sehingga menarik perhatian luas dari khalayak sosiologis. Namun Rodgers (2003) masih melihat adanya tantangan yang dihadapi oleh Pandangan teori konflik modern Dahrendorf yaitu bagaimana masyarakat terus maju secara ekonomi dan masih mempertahankan kewarganegaraan dan kebebasan. Peningkatan kesejahteraan ekonomi menciptakan kekayaan dan kekuasaan untuk beberapa orang, tetapi meningkatkan kemiskinan dan keputusasaan bagi banyak orang lain. Perjuangan untuk lembaga sosial modern adalah untuk dapat memoderasi konflik yang mungkin timbul dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
2.2. Konflik Pemaknaan Ketidak sepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan “Kawasan Hutan” merupakan sumber dari berbagai ketegangan dan konflik sumberdaya hutan. Asal-usul kekacauan dan konflik ini sebagian besar terletak pada perbedaan pemaknaan atas hutan dan perbedaan penafsiran atas definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Departemen Kehutanan.
24
Tafsir-tafsir yang berbeda tersebut menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumber daya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai ‘Kawasan Hutan’ pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai ‘hutan’ ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata-guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pasca kolonial (Dove 1983; Lynch 1992). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemaknaan atas kawasan hutan termasuk tata kelola hutan oleh berbagai pihak (aktor), khususnya aktor negara dan masyarakat adat. Pemaknaan terhadap hutan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang membentuk rasionalitas dan mempengaruhi tindakan sosial aktor terhadap sumberdaya hutan. Setiap aktor memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan, begitupun masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal sendiri. Pengetahuan lokal tersebut merupakan pengetahuan yang unik dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi masyarakat dalam menentukan pengolahan pertanian, kesehatan, penyiapan makanan, pendidikan, konservasi lingkungan, dan sejumlah kegiatan lainnya. Sebagian besar pengetahuan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, melalui media dari mulut ke mulut. Masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang bagaimana hidup selaras dengan ekosistem dan cara-cara untuk memastikan bahwa sumberdaya alam dipergunakan secara lestari. Oleh karena itu, pengetahuan lokal yang telah terakumulasi selama berabad-abad memiliki nilai potensial untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga dapat membantu orang lain belajar bagaimana untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan lingkungan secara berkelanjutan. (diadaptasi dari Indigenous Knowledge and Sustainable Development, Sri Lanka Centre for Indigenous Knowledge, University of Sri Jayewardenapura, 1996, p. vii-vii).
25
Pengetahuan lokal masyarakat tradisional (adat) tersebut disebut juga pengetahuan tradisional (adat). Anna Hunter (2010) mendefinisikan pengetahuan tradisional (adat) sebagai pengetahuan terpadu yang berasal dari dan merupakan karakteristik dari masyarakat tertentu dan budayanya. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan lokal, yang dibangun oleh kelompok masyarakat melalui generasi ke generasi yang hidup dalam berhubungan dengan alam. Sebagaimana Aggie Brockman menjelaskan, pengetahuan tradisional dibangun berdasarkan sejarah, pengalaman dari orang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, spiritual dan politik (Brockman, 1997: 1). Pengetahuan tradisional digunakan di tingkat lokal sebagai dasar untuk membuat keputusan keputusan penting tentang kegiatan kesehatan keselamatan, lingkungan dan regulasi. Pengetahuan tradisional termasuk persediaan mental lokal tempat, rute, sumber daya hayati, keturunan hewan, dan tanaman lokal, tanaman dan jenis pohon. Pengetahuan tradisional juga mencakup sistem kepercayaan yang memainkan peranan penting dalam mata pencaharian masyarakat, menjaga kesehatan mereka, melindungi dan pengisian lingkungan (Hansen dan VanFleet, 2003: 3). Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat tradisional (adat) memiliki pengetahuan lokal yang dikembangkan dari pengalaman dan sejarah hidup masyarakatnya secara turun temurun baik mengenai alam, tumbuhan, hewan maupun hubungan manusia dengan manusia lainnya. Indonesia memiliki banyak masyarakat adat. Setiap masyarakat memiliki tradisi sendiri, budaya, bahasa, agama, berbeda dalam etnis, ras dan anatomi, termasuk pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan. Namun dalam kerangka pembangunan, adakalanya negara mengintroduksi pengetahuan baru yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan terjadinya pelumpuhan kelembagaan adat dengan pengetahuan adatnya, tergantikan oleh pengetahuan dan kelembagaan modern. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault dapat digunakan untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Dalam memahami konsep pengetahuan dan kekuasaan, ada dua ide di inti metodologi Foucault “arkeologi ilmu pengetahuan” (Foucault, 1966) dan
26
“genealogi kekuasaan” (Foucault, 1969). Meski ada petunjuk dalam karyanya bahwa ide yang disebut belakangan mendahului yang disebut pertama, Mitchell Dean (1994) memberikan kasus yang meyakinkan bahwa keduanya berdampingan dan saling mendukung. Alan Sheridan (1980) juga berpendapat bahwa arkeologi pengetahuan karya Foucault meliputi upaya penelitian untuk menemukan “seperangkat aturan yang menentukan kondisi (kemungkinan keseluruhan) yang dapat dikaitkan dalam diskursus khusus pada waktu tertentu”, sebagaimana diungkapkan Foucault (1980:48). Dengan kata lain arkeologi adalah pencarian “sistem umum dari formasi dan transformasi pernyataan (ke dalam formasi diskursif)” (Dean, 1994: 16). Menurut Foucault, sistem tidak sadar karena sistem mendahulukan makna lantaran makna terletak dalam sistem-sistem yang menjadikan suatu makna efektif. Dengan demikian konsep fungsi menunjukkan bagaimana struktur organis dari hidup dapat diinterpretasi kembali kendati struktur organis itu sifatnya tidak sadar. Selanjutnya Foucault (1976) menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh arkeologi tidak lebih dari sekedar berperan sebagai satu instrumen yang memungkinkannya mengartikulasikan analisa tentang formasi sosial dan deskripsi-deskripsi epistemologis dengan cara yang lebih mengesankan ketimbang cara-cara
yang
ditempuh
orang
di
masa
lalu;
atau
instrumen
yang
memungkinkannya mengaitkan analisa tentang posisi satu subyek dengan satu teori sejarah sains; atau instrumen yang dapat menentukan tempat terjadinya persinggungan antara teori umum tentang produksi dengan analisa generatif tentang pernyataan-pernyataan. Dalam menjelaskan arkeologi pengetahuan, Foucault menyebutkan tentang diskursus bahasa. Foucault (1976) mengatakan bahwa: “saya berandai-andai, banyak orang yang melabuhkan hasrat yang sama agar bisa bebas dari desakan untuk mengawali, hasrat yang sama untuk menemukan diri mereka sendiri dari luar, dari sisi lain diskursus, tanpa harus melangkah keluar darinya, untuk menimbang-nimbang segi-segi diskursus yang partikular, mengerikan dan jahat. Dalam menanggapi perasaan-perasaan ini, institusi memberikan jawaban-jawaban ironis, karena institusi sangat mengagungkan permulaan-permulaan, mengelilinginya dengan perhatian kosong; agar permulaan-permulaan ini bisa dibedakan dari kelanjutan, maka institusi memberi bentuk-bentuk ritual terhadap permulan tersebut”.
27
Dalam
pernyataannya
tersebut,
Foucault
berusaha
menerangkan
bahwa
adakalanya diskursus institusi berusaha memberikan warna atas diskursus individu. Selanjutnya Foucault menyebutkan bahwa ada juga individu yang berusaha menghindari diskursus karena menganggap diskursus sudah pasti dan final, dan satu persatu muncul dengan membawa kebenaran. Sementara institusi menawarkan diskursus yang sudah established. Menurut Foucault, jika diskursus menyimpan kekuatan tertentu, maka manusia itu sendirilah yang akan memberikan kekuatan itu padanya. Selanjutnya menurut Foucault (1976), “dalam masyarakat manapun, proses penciptaan diskursus pasti diatur, diseleksi, disusun dan disebarkan berdasarkan prosedur-prosedur tertentu yang perannya untuk menghindari kekuatan dan bahaya diskursus, untuk menangani peristiwaperistiwa, menghindari segi materialnya yang menjemukan”. Lebih lanjut Foucault menyebutkan bahwa dalam suatu masyarakat mengenal aturan-aturan pengecualian, termasuk apa-apa yang dilarang. Individu tidak bebas bicara tentang apa saja, tidak bisa berbicara sembarangan, kapan atau dimana kita suka; akirnya, tidak ada orang yang bisa membicarakan apa saja sekehendak perutnya. Ada tiga tipe larangan: obyek yang ditutupi, ritualritualbeserta keadaan yang menyertainya, hak bicara istimewa dan eklusif yang dimiliki subyek-subyek tertentu, larangan ini saling berelasi satu sama lain; saling menguatkan dan saling melengkapi satu sama lain, membentuk jaringan yang sangat kompleks dan sbyek yang tetap untuk merubahnya. Menurut Foucault, kawasan dimana jaringan ini tersebar dengan titik bahaya yang sangat banyak adalah politik dan seksualitas. Selanjutnya menurut Foucault bahwa dalam penampakannya, ucapan barangkali memang tidak ada apa-apa, tapi tiba-tiba larangan-larangan yang mengelilinginya memperlihatkan adanya mata rantai yang menghubungkan ucapan dengan hasrat dan kekuasaan. Dari apa yang disampaikan oleh Foucault tersebut menyuratkan bahwa ada relasi antara diskursus dan kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut bersumber dari aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatya yang berupa larangan. Namun dalam masyarakatpun masih mengenal adanya penyisihan lain, bukan hanya larangan, tetapi ada pembagian dan penolakan. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Selanjutnya menurut Ritzer dan Goodman (2004)
28
bahwa perhatian untuk mengatakan kebenaran berhubungan langsung dengan geneologi kekuasaan, karena seperti dilihat Foucault, pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Kekuasaan dan pengetahuan saling menyiratkan secara langsung satu sama lain (Foucault, 1979: 27). Menurut Malik (2010), hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan. Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitasmodalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005).
Dengan demikian maka pengetahuan dan
kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Selanjutnya Malik (2010) menjelaskan bahwa kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku atau tindakan sosial aktor. Kekuasaan dapat menentukan suatu kebenaran atas tindakan sosial aktor. Seperti dikatakan Foucault (1980:131) bahwa "Kebenaran tidak ada di luar
29
kekuasaan.
Setiap
masyarakat
memiliki
rezim
kebenarannya,
politik
kebenarannya". Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemaknaan terhadap tata kelola hutan dipengaruhi oleh pengetahauan aktor. Pengetahuan adalah kekuasaan, kekuasaan menentukan kebenaran, mempengaruhi tindakan sosial aktor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan sosial aktor dipengaruhi pemaknaan aktor tersebut terhadap hutan.
2.3. Konflik Sumberdaya Hutan Ada banyak definisi mengenai konflik, namun dalam konteks ini, konflik akan didefinisikan sebagaimana dikemukakan oleh Coser dan Larsen (1976) dalam Harskamp (1996), yaitu sebagai salah satu stimulus utama dalam penajaman dan pengembangan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan tindakan sosial. Mengingat konflik yang dimaksud dalam disertasi ini melibatkan antara masyarakat adat dan negara, maka konflik yang dimaksud adalah konflik sosial yaitu sebuah
perjuangan atas nilai-nilai
dan klaim-klaim atas status
kekuasaan dan sumberdaya yang dapat memenuhi fungsi positif. Konflik dapat meningkatkan adaptasi penyesuaian hubungan sosial atau kelompok-kelompok (lihat Coser, 1964 dan Stefen, 1994 dalam Harskamp, 1996). Berdasarkan definisi konflik tersebut, maka konflik dapat dikatakan sebagai perjuangan atas nilai dan klaim atas kekuasaan (otoritas). Dalam konteks perebutan sumberdaya hutan, konflik dapat didefinisikan sebagai perjuangan atas kontrol terhadap sumberdaya hutan dan klaim atas kepemilikan atau hak penguasaan lahan kawasan hutan. Dalam setiap konflik sosial yang diakibatkan karena perebutan sumberdaya, selalu melibatkan adanya peran aturan kelembagaan sebagai sumberdaya strategis, khususnya terjadi dalam konflik distribusi (lihat Knight, 1992). Dalam konteks ini, dimungkinkan untuk melihat efek dari mekanisme penegakan kelembagaan yang mendasari terjadinya perubahan desain kelembagaan sebagai respon terjadinya konflik. Perubahan kelembagaan tersebut terjadi karena beberapa aktor sosial bergantung pada aturan informal, namun bisa jadi aktor-aktor tersebut berpaling kepada kelembagaan negara untuk memperkuat kepentingan mereka.
30
Penyebab konflik sumberdaya antara masyarakat dan negara bisa berasal dari berbagai faktor, salah satunya adalah adanya perubahan kelembagaan yang dibuat negara yang secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan kelembagaan adat. Knight (1992) lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah negara menjadi titik fokus untuk konflik atas perubahan kelembagaan, lembaga-lembaga negara menjadi sumber konflik baru. Hal tersebut terjadi karena lembaga-lembaga negara tersebut terlibat dalam persaingan otoritas dalam membuat kelembagaan/ aturan negara, dimana aturan negara disusun berdasarkan atas persaingan politik yang mempengaruhi distribusi otoritas dalam pengambilan keputusan negara. Sumber konflik baru ini secara signifikan dapat menyulitkan tawar menawar yang mendasari atas perubahan kelembagaan. Selanjutnya Knight (1992) menjelaskan bahwa konflik atas perubahan kelembagaan formal sebagian bergantung pada konflik atas lembaga-lembaga politik. Hal tersebut akan menjadi masalah diantara aktor-aktor yang berkonflik karena adanya ketidak-pastian tentang masa depan kelembagaan, yang secara signifikan dapat mempengaruhi keuntungan kelembagaan di arena politik. Jika ketidak-pastian politik tinggi, maka aktor-aktor strategis akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu disatu sisi dituntut untuk merancang pengaturan kelembagaan yang meminimalkan efek distribusi harapan, sementara disisi lain harus dapat merancang kelembagaan yang dapat dengan mudah dirubah. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai definisi konflik dan penyebab konflik dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya benturan kelembagaan hutan yang dirancang oleh negara dengan kelembagaan masyarakat yang sudah ada sejak lama. Benturan terjadi karena kelembagaan negara tidak murni mencerminkan kepentingan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya, melainkan ada kepentingan-kepentingan lain (ekonomi global dan politik), dimana kelembagaan negara merupakan hasil dari perebutan otoritas antara aktor negara dan lembaga-lembaga politik. Dalam pengaturan kelembagaan atas sumberdaya hutan, bukan hanya mencerminkan tarik menarik kepentingan antara berbagai lembaga negara, kepentingan sosial, ekonomi maupun kepentingan politik, tidak jarang juga melibatkan adanya perebutan kepentingan negara dan aktor ekonomi. Analisis
31
North (1981) mengenai konflik antara negara dan pemilik sumberdaya ekonomi, menunjukkan bahwa keduanya memiliki kepentingan yang sama terhadap hak milik masyarakat. aktor-aktor ekonomi ingin menetapkan hak-hak yang memberikan keuntungan distribusi dalam interaksi ekonomi. aktor negara ingin menetapkan hak-hak yang memantapkan kepentingan negara, yaitu kepentingan pendapatan ekonomi dan kepentingan politik dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan agregat untuk memuaskan para aktor sosial dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Analisis North lebih lanjut menjelaskan bahwa kepentingan negara dapat meningkatkan inefisiensi lembaga sosial. Pada kenyataannya, ada banyak situasi di mana kepentingan negara akan menciptakan aturan kelembagaan yang lebih efisien dibandingkan yang diinginkan oleh pelaku swasta. Menurut Knight (1992) bahwa ada dua kasus di mana negara dapat memilih sebuah lembaga yang lebih efisien secara sosial. Pertama, aktor negara secara langsung dipengaruhi oleh konsekuensi dari aturan tersebut dan akan mendapatkan keuntungan material dari aturan sosial yang lebih efisien. Kedua, negara dapat memilih sebuah lembaga sosial yang lebih efisien jika aktor negara secara tidak langsung dipengaruhi oleh aturan tersebut yang memberikan efek pada mereka untuk tetap berkuasa dan mereka akan mendapatkan keuntungan politis dari aturan yang lebih menguntungkan secara sosial. Penjelasan Knight tersebut menunjukkan bahwa konflik yang melibatkan negara dan masyarakat setidaknya disebabkan karena adanya perubahan kelembagaan yang secara langsung mempengaruhi distribusi akses sumberdaya masyarakat atau berbenturan dengan kelembagaan masyarakat. Keputusan untuk memilih kelembagaan seperti apa yang akan diputuskan oleh aktor-aktor negara sangat terkait dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik dari aktor-aktor yang berkuasa atau kepentingan ekonomi bagi masuknya pendapatan negara atau aktor-aktor negara. Kentalnya kepentingan politik dan ekonomi global dalam kelembagaan pengaturan hutan telah menyebabkan hutan menjadi sumber konflik. Meskipun pengelolaan hutan selalu mengandung prinsip-prinsip peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, namun fakta sepanjang sejarah pengurusan dan pengelolaannya menunjukkan bahwa hutan hanya meningkatkan kesejahteraan
32
sekelompok kecil masyarakat melalui mekanisme politik kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan segelintir elit politik dan komunitas pemilik modal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha (2004) bahwa sistem pengelolaan hutan yang hanya bertumpu pada kepentingan politik yang berorientasi pada kekuasaan justru telah menyengsarakan sebagian besar masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan yang sarat praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sekaligus mengabaikan terhadap prinsip kelestarian hutan, sehingga menimbulkan terjadinya berbagai bencana, antara lain: bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan maupun bencana kekeringan di musim kemarau. Apa yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha (2004) tersebut juga menunjukkan bahwa konflik sumberdaya hutan membawa dampak pada kerusakan hutan dan terjadinya berbagai bencana. Di beberapa kawasan hutan ditemukan hutan yang mengalami tingkat kerusakan yang sangat tinggi dimana adanya dominasi yang dilakukan oleh penguasa (baik negara maupun pengusaha) yang melibatkan masyarakat lokal (adat) dalam kegiatan ekploitasi hutan. Woodhouse (1972) sudah memperingatkan bahwa ketika manusia mulai menggunakan segala cara untuk mencapai kesejahteraan, dengan alasan untuk kepentingan pembangunan, manusia mulai mengekploitasi sumberdaya alam. Berbagai kekayaan yang terkandung di darat dan di laut diekploitasi sebesarbesarnya untuk kepentingan manusia mencapai kehidupan yang lebih baik sebagai tujuan dari pembangunan. Ketika hutan menjadi sebuah komoditas dimana pengusaha dan negara menjadi aktor utama dalam mengekploitasi hutan, masyarakat lokal yang sebelumnya bekerja untuk menjaga kelestarian hutan melalui kelembagaan adatnya, mulai berubah dan turut berpartisipasi dalam kerusakan hutan tersebut, dengan menjadi pekerja dari para pengusaha. Seperti yang ditemukan dalam studinya McCarthy bahwa dalam kegiatan pengrusakan hutan tersebut terutama kasus pembalakan liar melibatkan keberadaan masyarakat lokal (indigineous people). Masyarakat lokal terlibat dalam pembalakan liar biasanya dibayar untuk kontribusi kerja mereka dan bukan sebagai fungsi dari nilai pasar kayu (McCarthy, 2000a dalam Yonariza dan Webb, 2007). Berdaasarkan penjelasan
33
tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan kelembagaan dalam pengaturan hutan dapat menimbulkan dua sebab, yaitu kerusakan hutan disatu sisi dan perubahan kelembagaan dan organisasi sosial disisi yang lain.
2.4. Perebutan Hak dan Akses Dalam Konflik Sumberdaya Hutan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (lihat Fuad dan Maskanah, 2000), diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik sumberdaya hutan adalah adanya kepentingan atas klaim lahan kawasan hutan dari masing-masing pihak yang berkonflik. Selanjutnya menurut barber (1998), baik di kawasan konsesi ataupun konservasi, sejumlah masyarakat lokal mempertahankan hak atas tanah, namun, hak-hak ini jarang ditegakkan dan masyarakat adat sendiri yang harus menegosiasikan lebih konkrit tentang perlindungan atas tanah mereka. Klaim tanah oleh masyarakat adat tanpa bukti surat kepemilikan tidak bisa dibenarkan. Bahkan, masyarakat adat bisa diusir dari tanahnya sendiri yang telah diklaimnya selama puluhan tahun dan menjadi sumber penghidupan mereka apabila negara mengeluarkan kebijakan peruntukkan lain atas tanah tersebut. Oleh karena itu, mengacu kepada hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan juga dapat dikatakan sebagai konflik tenurial. Tenurial atau tanah merupakan sumber dari pertentangan antara konsep dan realita diantara persoalan hak penguasaan atas tenurial. Pertentangan konsep tenurial antara masyarakat dan negara menjadi sebuah konflik tenurial ketika pertentangan tersebut telah menghilangkan hak akses atas tenurial tersebut. Iskandar dan nugraha (2004) melihat pertentangan tenurial sebagai konflik laten karena persoalan ini tidak pernah dituntaskan dan menemukan momentumnya meledak menjadi konflik tenurial. Menurut Iskandar dan Nugraha (2004), konflik tenurial adalah muara dari
pertentangan antara konsep dan realita diantara
persoalan tenurial yang selama ini tidak pernah dituntaskan, dan hanya dianggap sebagai sekedar "potensi konflik yang hersifat laten" justru menemukan momentumnya. Pertentangan konsep tenurial masyarakat dengan pemerintah meledak menjadi konflik tenurial. Persoalan tenurial ini selalu mengemuka sebagai salah satu faktor penyebab utama timbulnya konflik kehutanan dibanding faktor-faktor lainnya. Salah satunya
34
adalah aspek historis kultural dimana keberadaan sumberdaya hutan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi masyarakat beserta seluruh sistem dan tata nilai sosial budayanya. Masyarakat secara turun temurun dan lintas generasi telah tinggal dan menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sumberdaya hutan. Ketika negara sebagai pemilik hak (property) atas sumberdaya hutan secara formal menerbitkan kelembagaan pengaturan atas akses terhadap pengelolaan dan pemanfaaatan hutan, adakalanya kelembagaan baru tersebut menegasikan kelembagaan yang sudah ada dan tumbuh dari dan dalam kehidupan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Berkenaan dengan hak akses tersebut, Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu termasuk objek material, orang, institusi ataupun simbol-simbol. Akses berbeda dari property. Sekalipun bukan pemilik property tapi jika memiliki akses maka dapat mengambil keuntungan/ manfaat dari sumberdaya tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Peluso dan Ribot tersebut seakan-akan mengisyaratkan bahwa akses jauh lebih penting dari right (property). Sekalipun tanpa right tapi kalau memiliki akses, maka masyarakat atau pihak-pihak tertentu dapat memanfaatkan hutan untuk kepentingan mereka para pemilik akses. Dalam menjelaskan mengenai akses ini, Peluso memberikan contoh kasus tentang sejarah Dayak di Sanggau (lihat Peluso, 2005), bahwa masyarakat adat Dayak Sanggau telah menduduki situs Sanggau sejak sekitar 1920. Mereka telah "membeli" hak untuk itu dari penghuni sebelumnya. Persyaratan dalam pengalihan hak hunian dan penggunaan telah dinegosiasikan oleh dua pemimpin adat dari masing-masing kelompok. Para pemukim asli setuju untuk mengalihkan hak untuk menempati situs - suatu wilayah - termasuk hak akses terhadap ladang tempat mereka dulu bertani, dan hak untuk memiliki dua tembawang, hutan dan kebun yang penuh dengan pohon buah-buahan, termasuk pohon durian (Durio zibethinus) yang ditanam oleh beberapa generasi nenek moyang mereka. Selanjutnya Peluso (2005) menjelaskan bahwa melalui warisan pohon oleh generasi-generasi keturunan para penanam pohon tersebut seluruh kelompok komunitas dapat mengklaim teritorial dengan tempat-tempat di luar batas-batas pemukiman desa mereka saat ini, karena setiap tembawai memiliki cerita
35
tersendiri. Tembawai tersebut merupakan situs hidup bekas dan tanda keluar teritorialitas daerah yang tidak sesuai dengan batas desa. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Peluso (2005) tersebut bahwa masyarakat menandai hak akses mereka atas suatu kawasan berdasarkan adanya pohon yang pernah ditanam oleh nenek moyang mereka atau dalam kasus Masyarakat Dayak Iban ditandai oleh tembawai (bekas rumah panjang). Keberadaan pohon atau tembawai tersebut menandai adanya teritori masyarakat tersebut dan menjadi penanda bahwa kepemilikan akses atas kawasan tersebut. Apa yang terjadi dalam kasus yang diungkapkan Peluso tersebut adalah menunjukkan adanya suatu klaim atas suatu wilayah dimana right dari wilayah tersebut tetap dimiliki oleh orang terdahulu (nenek moyang) yang pertama kali membuka lahan tersebut dan menanam pohon durian sebagai penanda kepemilikan. Transaksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sama sekali tidak ada dalam ajaran hukum tanah kolonial ataupun kontemporer, dan mengingat perubahan besar politik yang terjadi sejak generasi sebelumnya mentransfer hak atas lokasi tersebut kepada generasi berikutnya. Mungkin hak atas tegakan dipindahkan kepada penghuni baru namun bukan hak untuk memotong pohonpohon bermakna. Apa yang diklaim oleh masyarakat tersebut tidak ada bukti tertulis yang diakui dan ditanda-tangani secara resmi oleh agen pemerintah, tapi mereka membawa cerita perjanjian tersebut dari generasi ke generasi melalui sejarah lisan. Dengan mengikuti pedoman "adat", teritorialisasi ala adat atau bagaimana cara adat melihat property dalam sebuah kawasan dapat mengacaukan rasionalitas yang dimaksudkan oleh pemerintahan dan praktek property formal (Peluso, 2005). Apa yang dimaksud hak akses dan hak property secara formal berbeda dengan hak property dan hak akses yang dimaknai oleh adat. Menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Dalam mempelajari rezim milik umum (common property regimes). Schlager dan Ostrom (1992) menunjukkan bahwa dalam kasus kepemilikan kolektif atau kontrol atas sumberdaya ada dua hak dasar: akses (you can enter)
36
dan penarikan (you can take resources). Ada juga tiga tingkat keputusan yang dapat dibuat secara kolektif: manajemen adalah hak untuk mengatur penggunaan dan mengubah properti, pengecualian adalah hak untuk memutuskan siapa yang mungkin memiliki akses dan bagaimana hal itu dapat ditransfer, dan alienasi adalah hak untuk menyewakan atau menjual dari pilihan atas hak kolektif. Mengingat perbedaan-perbedaan tersebut, Schlager dan Ostrom (1992) kemudian mengidentifikasi empat jenis bundel hak milik (bundles of property rights). Mereka berhipotesis bahwa bundel hak seseorang (the bundle of rights) dapat menentukan berapa banyak mereka bersedia untuk berinvestasi di properti tersebut Mereka menyimpulkan bahwa pembentukan rezim manajemen yang efektif harus memperhitungkan insentif yang memadai (lihat Schlager and Ostrom, 1992). Lebih jelasnya konsep mengenai properti right dengan mengacu pada pendapat Schlager dan Ostrom (1992), dapat dibedakan dalam beberapa tipe hak kepemilikan (property rights), sebagai berikut: 1. Access rights: the right to enter the territory of resources that have clear boundaries and to enjoy the benefits of non extractive 2. Withdrawal right: the right to utilize the resources or the right to produce 3. Management right: the right to determine the operational rules of resource use. 4. Exclusion right: the right to determine who should have the right to access and how access rights are transferred to other parties 5. Alienation right: the right to sell or lease part or all of the collective rights mentioned above. Dalam kontek sumberdaya hutan, hak akses dapat dikatakan sebagai hak untuk memasuki wilayah sumberdaya hutan dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif yaitu manfaat yang tidak bisa dinikmati secara langsung, namun dengan keberadaannya dapat memberikan nilai kepuasan bagi setiap orang. Misalnya manfaat langsung non ekstraktif ini hanya digunakan untuk kegiatan wisata atau upacara ritual budaya didalam kawasan hutan. Sedangkan hak untuk memanfaatkan hutan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan secara langsung dari keberadaan hutan baik kayu maupun non kayu. Hak manajemen (management right) adalah hak untuk mengelola hutan sesuai dengan tata kelola/
37
kelembagaan pengaturan hutan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang memegang hak manajemen. Hak exclusion yaitu hak untuk mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh mendapatkan hak akses terhadap kawasan-kawasan tertentu di dalam hutan. Adapun hak alienasi adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif yang disebutkan di atas. Sebagaimana dikemukakan oleh Ribot dan Peluso (2003), bahwa akses seringkali lebih penting daripada hak formal. Oleh karena itu perlunya mengembangkan definisi "akses", mengingat kecenderungan masa lalu untuk menggabungkan akses dengan properti. Mereka berpendapat bahwa akses lebih seperti seikat kekuasaan (bundle of powers) dan properti lebih seperti seikat hak (bundle of rights). Lebih lanjut Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa akses adalah "kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari hal-hal", maknanya adalah
bahwa akses dapat didefinisikan sebagai hubungan dan proses yang
memungkinkan berbagai aktor untuk mendapatkan keuntungan dari sumberdaya, termasuk benda material, orang, lembaga, dan simbol. Dengan berfokus pada kemampuan daripada hak memungkinkan untuk analisis hubungan sosial yang mengizinkan atau membatasi seseorang mengambil manfaat dari sumberdaya. Tujuannya adalah untuk melihat dengan jelas siapa yang diuntungkan dari hal-hal tersebut, dan siapa yang tidak. Ini membantu orang memahami "mengapa beberapa orang atau lembaga memperoleh keuntungan dari sumberdaya, apakah mereka memiliki atau tidak memiliki hak." (lihat Ribot dan Peluso, 2003: 154). Lebih lanjut
Ribot dan Peluso (2003:173) mengemukakan bahwa
mekanisme properti hanya salah satu cara orang-orang untuk mendapatkan akses, dan mungkin bukan yang paling penting. Kerangka pemikiran mereka tentang akses tersebut dapat digunakan untuk "menganalisis konflik sumberdaya yang spesifik untuk memahami bagaimana konflik menjadi sangat berarti beberapa aktor memperoleh manfaat atau beberapa aktor lain kehilangan manfaat dari sumberdaya yang berwujud dan tidak berwujud (tangible and intangible resources). Dalam memahami keberadaan sumberdaya kolektif (dalam rezim properti umum) tersebut, McKean membedakannya dari sumberdaya milik umum yang
38
memiliki open akses. Sebagaimana yang dikemukakan oleh McKean (2002:2930), sebagai berikut: “these regimes are often incorrectly conflated with common-pool resources, which she defines as “open-access resources available to anyone – very difficult to protect and very easy to deplete.” (p. 29) In contrast, a common property regime “is a property-rights arrangement in which a group of resource users share rights and duties toward a resource.” (p. 30) McKean notes that “when a group of individuals and the property rights they share are well defined, common property should be classified as shared private property – a form of ownership; that should be of great interest to anyone who believes that private property rights promote long time horizons and responsible stewardship of resources.” (p. 30). Menurut McKean, bahwa sumberdaya yang termasuk dalam kepemilikan umum dengan open akses memungkinkan setiap orang untuk mengaksesnya, sehingga sangat sulit dijaga dan mudah sekali untuk dikuras. Sebaliknya, rezim milik umum adalah pengaturan hak properti di mana sekelompok pengguna sumberdaya berbagi hak dan kewajiban terhadap sumberdaya tersebut. Selanjutnya McKean mengemukakan bahwa "ketika sekelompok individu dan hak properti bersama tersebut didefinisikan dengan baik, maka milik bersama tersebut harus diklasifikasikan sebagai milik pribadi bersama – yaitu suatu bentuk kepemilikan, yang harus menjadi perhatian besar bagi siapa saja yang percaya bahwa hak milik pribadi lebih bertahan lama dan bertanggung-jawab dalam pengelolaan sumberdaya.
2.5. Penyelesaian Konflik Sumberdaya Alam Konflik adalah sesuatu yang normal terjadi dalam interaksi antar manusia. Konflik terjadi karena ada ketidak sepakatann antara dua pihak atau lebih dalam mencapai tujuan, memperjuangkan kepentingan maupun karena ada perbedaan nilai dan persepsi atas sumberdaya tersebut. Menurut De Roo dan Klaver (2013), konflik sumberdaya dapat diselesaikan melalui: konflik manajemen; konflik resolusi dan konflik transformasi. Selanjutnya De Roo dan Klaver (2013) menerangkan bahwa: “Conflict manajement is variety of ways by which people handle clashes of right and wrong, example: ridicule, lynching, terrorism, warfare, feuding, genocide, law, mediation and avoidance. Which is these forms of conflict management is used depends on the social structure or social geometry- of 39
the case. Conflict resolution is developing and offering a range of alternative approaches for handling disputes non violently and effectively.The methods might include customary or traditional methods, join problem solving, negotiation, mediation, arbitration. Conflict transformation is Achieving positive peace: ending violence and change negative relationships between conflicting parties, changing the political, social or economic structures that cause such negative relationships, and empowering people to become involved in non violent change processes themselves, to help build sustainable conditions for peace and justice”. Berdasarkan pendapat De Roo dan Klaver (2013) tersebut bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui berbagai cara. Konflik manajemen digunakan untuk menangani konflik tentang benar dan salah. Dalam penyelesaian konflik ini tidak harus selalu mencapai win-win solution, tetapi bagaimana mengendalikan konflik. Jika bisa dimediasi maka dilakukan mediasi tetapi jika tidak bisa maka dilakukan penghindaran agar konflik tidak menjadi brutal. Jika konflik yang terjadi tersebut mencirikan konflik non violent, maka bisa diselesaikan dengan cara resolusi konflik, yaitu melalui jalan mediasi, negosiasi, penyelesaian maslah secara bersama-sama oleh para pihak yang berkonflik. Namun jika konflik tersebut mencirikan adanya kekerasan, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara mengubah hubungan negatif menjadi perdamaian positif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah struktur politik, sosial atau ekonomi yang menyebabkan terjadinya hubungan negatif dan memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam perubahan tanpa kekerasan, membantu membangun kondisi perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan.
2.6. Dinamika Kelembagaan Dalam Sistem Sosio Ekologi Hutan Kelembagaan adalah suatu kumpulan aturan yang membentuk interaksi sosial dengan cara tertentu, sebagaimana Knight (1992) kemukakan bahwa “an institution is a set of rules that structure social interactions in particular ways”. Agar seperangkat aturan tersebut menjadi kelembagaan, maka pengetahuan mengenai aturan tersebut harus dibagi diantara anggota komunitas atau masyarakat (for a set of rules to be an institution, knowledge of these rules must be shared by the members of the relevant community or society). Kelembagaan dapat dikatakan sebagai sekumpulan aturan yang mengatur hidup manusia mulai
40
dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, sebagaimana dikemukakan oleh Knight (1992) bahwa “social institutions are prevalent wherever individuals attempt to live and work together. From the simplest to the most complex, we produce them while conducting all aspects of our social life. From political decision making to economic production and exchange to the rules governing personal relationships, institutional arrangements establish the framework in which these social interactions take place. To be a member of a community or society is to live within a set of social institutions”. Selanjutnya Knight (1992) menjelaskan bahwa kelembagaan itu bervariasi. Pada tingkat paling dasar dari masyarakat, kelembagaan disebut sebagai sekumpulan konvensi sosial, aturan, dan norma yang mempengaruhi cara bertindak dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pengaruh kelembagaan terhadap kehidupan sosial sangat besar. Kelembagaan membangun hubungan antara jenis kelamin dan urusan yang sedang berlangsung dalam kehidupan keluarga, menetapkan standar perilaku di antara para anggota suatu lingkungan atau masyarakat dan merupakan sumber penting untuk transmisi pengetahuan sosial dan informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan kelembagaan informal bisa menjadi landasan dalam membentuk kelembagaan formal yang mengatur kehidupan ekonomi dan politik. Organisasi ekonomi, dari perusahaan kecil hingga perusahaan multinasional, diatur oleh kerangka kelembagaan. Lebih umum, pasar ekonomi sendiri dibangun oleh kelembagaan-kelembagaan yang mencakup sistem hak milik yang mendefinisikan pertukaran ekonomi. Pembuatan keputusan politik, juga dibingkai oleh aturan kelembagaan dan prosedur. Dalam prakteknya, kelembagaan ekonomi dan politik tersebut ditopang oleh kekuatan hukum. Kelembagaan bukan hanya melibatkan adanya rules, ideologi, norma, dan aktor, tetapi juga perlunya teritori. Teritori atau bisa juga dimaknai sebagai kontrol wilayah merupakan upaya langsung untuk mengatur hubungan antara masyarakat dan sumberdaya, misalnya dengan menggambar batas-batas dan mencoba untuk mengontrol akses ke sumberdaya alam dalam batas-batas yang dibuat oleh kelembagaan tersebut. Namun ada juga kelembagaan adat yang dianggap tidak memiliki teritori. Seperti yang dikemukakan oleh Vandergeest dan
41
Peluso (1995), dalam melihat Masyarakat Adat Sama Dua, bahwa tradisi sistem politik precolonial tidak terikat melakukan strategi dari jenis teritorial. Meskipun demikian, jelas kelompok lokal tidak memiliki konsep adat tingkat wilayah mereka. Secara historis orang-orang Sama Dua menggunakan wilayah jangkauan yang luas melintasi pegunungan di belakang pantai untuk melakukan pengumpulan hasil hutan, memancing di sungai, dan berburu mangsa. Para petani juga membuka plot dalam area ini, dan menanam tanaman pada wilayah tanah yang cocok. Seiring waktu, semua praktek ini menandai keberadaan hutan di belakang Sama Dua dalam arti lokal tempat. Teritori terikat geografis, seperti daerah aliran sungai dan pegunungan, dan keberadaan komunitas tetangga semua membantu mengkonsolidasikan gagasan teritorialitas lokal (lihat, McCarthy, 2005). Dalam konteks kelembagaan pengaturan hutan, sistem pengaturan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelembagaan pengaturan pemerintah dan kelembagaan adat yang dianut oleh masyarakat yang hidup disekitar hutan sejak lama, jauh sebelum hutan tersebut diklaim sebagai hutan negara. Negara dalam konteks ini adalah sekumpulan organisasi yang melalui pembuatan peraturan dan pemaksaan hendak menguasai dan mengontrol wilayah tertentu (Hall dan Ickenberry, 1989). Berbagai organisasi negara saling bersaing dan bertentangan dalam memenuhi kepentingan masingmasing. Masyarakat dalam konteks ini adalah sekumpulan manusia yang mengelompok berdasarkan kesamaan identitas dan norma (Migdal, 1994). Seperti halnya negara, unsur-unsur masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan. negara dan masyarakat senantiasa saling membentuk melalui upaya penguasaan dan penolakan di berbagai arena (Migdal dkk., 1994). Arena yang berkaitan dengan hutan mencakup hak kepemilikan, pembagian manfaat dari hutan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, peluang kerja, jaminan politik, infrastruktur, pengetahuan, dan akses terhadap informasi. Negara dan masyarakat memiliki jalur pengaruh yang berbeda (lihat, Moeliono, Wollenberg dan Limberg (2009). Negara dan masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan dalam memperebutkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Dalam perkembangannya
42
kelembagaan masyarakat tersebut bisa berubah sejalan dengan adanya perubahan dari kelembagaan lain, misalnya kelembagaan negara atau Internasional. Kemampuan masyarakat untuk
menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai
aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001). Negara dalam konteks Indonesia (dalam hal ini pemerintah pusat) mengelola sumberdaya wilayah dengan menggunakan berbagai jenis mekanisme hukum. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengelola ruangudara, tanah, dan air untuk mencapai kesejahteraan umum dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Ini adalah dasar hukum untuk semua kegiatan dan perencanaan tata ruang di tingkat yurisdiksi yang berbeda. Menurut hukum ini, ada dua jenis lahan dibedakan menurut fungsi mereka, Kawasan lindung (zona lindung) dan Kawasan budi daya (zona pemanfaatan untuk pertanian atau bidang produksi lainnya). Tujuan utama dari Kawasan lindung adalah untuk menjamin keberlangsungan lingkungan, termasuk sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan Kawasan budi daya memiliki
tujuan
utama
yang
memungkinkan
pemanfaatan
berdasarkan
ketersediaan dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan lindung mencakup taman nasional, taman alam, taman ekowisata, hutan lindung, hutan lindung gambut, hutan lindung mangrove, dan cadangan kelautan. Kawasan budi daya meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan yang memenuhi syarat untuk konversi ke penggunaan lain, dan daerah non-hutan. Moeliono, Wollenberg dan Limberg (2009) mengemukakan bahwa pengaruh negara terhadap hutan biasanya berdasarkan penguasaan atas kebijakan, kegiatan kehutanan, atau kepemilikan hutan dan lahan hutan (Finger-Stich dan Finger, 2003). Di negara yang kaya dengan sumberdaya hutan seperti indonesia, penguasaan oleh negara seringkali terpusat pada Departemen Kehutanan di tingkat nasional. Unsur masyarakat dapat mempengaruhi melalui jejaring informal, gerakan sosial, atau pun organisasi-organisasi resmi seperti perusahaan, lembaga keagamaan, kelompok donor dan advokasi.
43
Masyarakat yang sebenarnya mempunyai kepentingan langsung dan dampak langsung yang mempengaruhi kehidupan mereka atas keberadaan hutan ini adalah masyarakat lokal (adat). Namun dalam praktiknya masyarakat lokal kurang memiliki pengaruh resmi terhadap sumberdaya hutan yang bernilai tinggi. Moeliono, Wollenberg dan Limberg (2009) menyebutkan bahwa ketika pemerintah dan pihak yang berwenang lemah, kelompok masyarakat menerapkan prinsip, norma, aturan dan praktik mereka sendiri dan secara selektif mematuhi atau mengesampingkan hukum negara. Kelompok demikian bertindak sebagai ‘bidang sosial yang semi-otonom’ (Moore, 1973). Di Chaggaland, Tanzania, warga desa tidak mengindahkan upaya reformasi untuk mengubah lahan milik perorangan menjadi hak guna milik pemerintah dan tetap membagikan hak atas lahan berdasarkan adat setempat (Moore, 1973). Di Taman Nasional Bosawas, Nikaragua (Kaimowitz dkk., 2003), Sumatra bagian utara (McCarthy, 2000b) dan Kalimantan Timur (Obidzinski, 2004), para pimpinan politik setempat secara terbuka mengatur pembalakan yang dianggap illegal. Meskipun membuka peluang bagi masyarakat hutan untuk mempengaruhi lingkungannya, otonomi demikian tidak memberi peluang keterlibatan masyarakat dalam kerangka politik yang lebih luas. Ketika kehadiran negara dan yang berwenang kuat, masyarakat lokal berupaya mempengaruhi pejabat setempat melalui senjata kaum lemah (Scott, 1998), yaitu mengkooptasi pejabat (Lipsky, 1980) membangun jejaring patronklien pribadi dengan pejabat (Shue, 1994); mengabaikan, melawan, atau melaksanakan kebijakan secara buruk (Manor, 1999). Pada kasus ekstrim, yang digunakan adalah protes dengan membakar, merusak, mengambil, mencabut bibit, dan menyita peralatan (Peluso, 1992). Di Indonesia, semangat reformasi dan munculnya peraturan perundangundangan yang mengatur desentralisasi, telah memicu kebangkitan kelembagaan lokal.
Beberapa
letusan
mengenai
perebutan
sumberdaya
lokal
mulai
bermunculan. McCarthy (2005) menyebutkan bahwa reformasi dan desentralisasi baru, menumbuhkan minat baru peran pengaturan kelembagaan adat dalam pemerintahan desa, kepemilikan tanah, dan pengelolaan hutan.
44
Dalam perkembangannya kelembagaan masyarakat tersebut bisa berubah sejalan dengan adanya perubahan dari kelembagaan lain, misalnya kelembagaan negara atau internasional. Bagaimana kelembagaan tersebut berkembang? atau berubah, kapan dan bagaimana kelembagaan itu berubah? Knight (1992) mengemukakan bahwa banyak jawaban yang bertentangan dari berbagai sumber intelektual telah ditawarkan untuk pertanyaan ini. Implikasi dari bagaimana jawaban tersebut sangat banyak. Dari perspektif explanatory, penjelasan sosial pengembangan kelembagaan dan perubahan membantu kita memahami sejarah masyarakat dan peristiwa kontemporer. Dari perspektif kritis, pemahaman tentang perubahan kelembagaan memungkinkan untuk menentukan apakah kelembagaan yang ada lebih jauh menjadi justifikasi bagi pencapaian tujuan. Dari perspektif normatif,
pemahaman
tentang
bagaimana
kelembagaan
berkembang
mempengaruhi kemampuan untuk mereformasi kelembagaan yang ada. Mengingat karakteristik pluralisme kelembagaan daerah ini, studinya McCarthy (2005) menyimpulkan bahwa, negara dan kelembagaan adat sering bersaing untuk mengontrol arah perubahan sosial, mereka juga selalu membuat akomodasi, tetapi dalam beberapa hal perlu dianggap
sebagai
saling
menyesuaikan. Kelembagaan pengaturan pengelolaan sumberdaya hutan maupun dalam mengontrol perubahan sosial, bukan hanya terbatas pada kelembagaan negara dan kelembagaan adat, namun jauh kompleks dari itu. Negara bisa bermakna berbagai macam organisasi, misalnya pemerintahan tingkat pusat (dalam hal ini Departemen Kehutanan), bisa juga pemerintah daerah (akibat semangat desentralisasi/ otonomi daerah) mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan sampai pada tingkat desa.
2.7. Otonomi Daerah Dalam Pengaturan Sumberdaya Hutan Dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi pemain kunci dalam proses devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat tetapi mereka sendiri mungkin tidak memiliki kekuatan untuk melaksanakan tindakan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaannya bisa melalui mekanisme kontrol pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Pemerintah daerah melalui kewenangan otonominya bertugas
45
menegosiasikan dengan berbagai pihak (pemerintah pusat dan masyarakat) untuk membuat keputusan tentang mekanisme pembagian imbalan. Sebenarnya, dalam sejarah tata pemerintahan di Indonesia otonomi yang asli sesungguhnya berada dan sudah berlangsung sejak lama di aras lokalitas dan bukan di aras kabupaten dan kota karena
pengaturan dan pengorganisasian
kehidupan sosial kemasyarakatan telah berlangsung di aras lokalitas sejak “jauh hari” sebelum perangkat organisasi pemerintahan “supra lokal” dibentuk oleh pusat kekuasaan pemerintah (Anonimous dalam Dharmawan, 2006). Dalam kerangka pengaturan kehidupan sosial yang otonom itu, komunitas lokal membentuk masyarakat hukum adat dengan setting budaya masing-masing. Namun sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh studi terdahulu, kesatuan masyarakat hukum adat telah mengalami peminggiran (marjinalisasi) dan penghancuran kelembagaan yang sistematis sejak diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyeragamkan konsep pemerintahan lokal di seluruh Indonesia dengan konsep desa ala Jawa (Syafaat dalam Dharmawan, 2006). Keberadaan undang-undang otonomi daerah yang memberikan kewenangan desentralisasi kepada daerah telah menimbulkan masalah baru dalam konflik sumberdaya hutan. Desentralisasi cenderung menjadi kendaraan bagi elit politik dan aparat keamanan setempat, yang semuanya bergabung untuk mengeksploitasi hutan secepat mereka mampu (Down to Earth, 2002). Banyak kelompok masyarakat menyaksikan sendiri pelenyapan sumberdaya dengan laju yang luar biasa cepat di wilayah mereka, dan tidak memiliki pilihan selain bergabung dalam lomba menghabiskan sumberdaya yang ada sebelum habis dikuras pelaku-pelaku besar (tragedy of the common). Mengenai desentralisasi yang berakibat pada pembaharuan penguasaan atas hutan dan dampaknya bagi masyarakat dikemukakan oleh Contreras-Hermosilla dan Fay (2006), yang menyebutkan bahwa: “Secara keseluruhan, proses desentralisasi yang tengah berlangsung memiliki sejumlah implikasi terhadap pembaruan penguasaan hutan yang meliputi: a. Ketiadaan aturan main yang jelas dan ketidak-mampuan pemerintah pusat untuk memantau dan menegakkan undang-undang yang telah 46
b.
c.
d.
e.
f.
g.
diterjemahkan menjadi prakarsa pemerintah daerah yang ternyata melampaui rentang tanggung jawab yang diberikan oleh undangundang dan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat, sehingga menyebabkan hilangnya kesatuan nasional pada administrasi kebijakan publik dari sektor bersangkutan. Proses desentralisasi telah menciptakan sebuah gelombang harapan dan meningkatkan tekanan untuk perubahan di tingkat kabupaten hingga mencapai titik dimana pemerintah pusat kehilangan kendalinya terhadap proses tersebut. Ketidakpastian ini telah meningkatkan pertikaian antar tingkatan di dalam tubuh pemerintah seiring dengan proses desentralisasi de facto yang dilakukan pemerintah daerah secara cepat mendahului kerangka pelaksanaan formal yang ditetapkan pemerintah pusat. Pada tingkat kabupaten perwujudan peluang untuk menetapkan klaim atas sumberdaya menciptakan sejumlah tuntutan yang kuat untuk penyelesaian konflik dimana pemerintah kabupaten tidak siap menghadapinya. Pemerintah pusat seringkali memberikan tugas kepada kabupaten dan Provinsi tetapi tidak menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan secara memadai untuk mengelola tanggungjawab yang baru tersebut. Pada situasi ini bahaya yang timbul akibat meningkatnya ketidak teraturan dengan persaingan di antara pemangku kepentingan untuk mengamankan ‘hakhak’ mereka masing-masing – baik yang secara hukum diakui maupun yang tidak – khususnya atas sumberdaya hutan yang paling berharga. Pemerintah kabupaten berkewenangan untuk menerbitkan perizinan bagi eksploitasi sumberdaya hutan skala kecil sehingga mereka memperoleh insentif untuk mempercepat eksploitasi guna meningkatkan pendapatan daerahnya. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dan keuntungan langsung dari eksploitasi yang dipercepat, tetapi dengan biaya kerusakan sumberdaya hutan. Mereka pun berada dalam posisi tawar yang rendah dalam bernegosiasi, dan sering dipermainkan oleh elit lokal, sehingga keuntungannya jauh lebih sedikit dari yang seharusnya”.
Apa yang dikemukakan oleh Contreras-Hermosilla dan Fay (2006) di atas telah menunjukkan bahwa ada perebutan kekuasaan penguasaan hutan bukan hanya antara negara dan masyarakat, melainkan antara negara tingkat atas (pemerintah pusat) dan pemerintahan daerah. Selanjutnya keberhasilan perjuangan otonomi daerah dalam urusan penguasaan dan pemanfaatan hutan akan sangat tergantung dari kemampuan daerah dalam mengatasi berbagai macam kendala desentralisasi. Menurut Subadi (2010) ada beberapa kendala desentralisasi yaitu adanya ketidak pastian hukum, sikap ragu-ragu, minimnya sumberdaya manusia kehutanan di daerah, sengketa perbatasan tanah kawasan hutan. Implikasi dari
47
ketidak jelasan dan ketidak pastian hukum dalam menjalankan otonomi daerah terhadap penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan melahirkan konflik. Konflik tersebut dilandasi adanya perebutan otoritas yang ada dan dijalankan oleh berbagai pihak, sampai munculnya konflik kewenangan pusat dan daerah.
2.8. Adaptasi dan Resiliense Keberadaan kelembagaan pengaturan sumberdaya hutan yang dikeluarkan negara telah secara nyata-nyata melumpuhkan kelembagaan adat, yang sebelumnya mempunyai kekuasaan dalam mengatur sumberdaya di kawasan adat mereka. Oleh karena itu, ketika negara selaku pemilik sumberdaya secara yuridis mengeluarkan kebijakan pengaturan hutan, maka konflik antara negara dan masyarakat adat-pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda. Negara berkepentingan atas sumberdaya hutan untuk pengawetan dan pemanfaatan hutan, sedangkan masyarakat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai sumber nafkah (livelihood) bagi anggota keluarga. Adakalanya kelembagaan yang dikeluarkan oleh negara dalam pengaturan
hutan tersebut menghilangkan hak akses masyarakat lokal (adat)
terhadap hutan, yang menyebabkan masyarakat kehilangan sumber livelihood mereka. Untuk mengatasi tekanan dari shock yang diperoleh masyarakat karena hilangnya akses, maka perlunya kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi sulit untuk keberlangsungan kehidupan mereka. Menurut Widiyanto, Dharmawan dan Prasodjo (2010), kemampuan melakukan adaptasi tersebut sebagai upaya untuk menciptakan sustainable livelihood yang harus mampu: (1) beradaptasi dengan shock dan tekanan, (2) memelihara kapabilitas dan aset-aset yang dimiliki, (3) menjamin kehidupan untuk generasi berikutnya (Chamber dan Conway, 1992). Makna berkelanjutan tidak sekedar secara ekonomi tetapi juga secara ekologi dan sosial. Adaptasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh Gerungan (1991:55) bahwa adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan
48
lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi. Berdasarkan pendapat Gerungan (1991) tersebut dapat dikatakan bahwa penyesuaian tersebut bisa berarti individu menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah atau individu merubah lingkungan. Pada dasarnya penyesuaian tersebut ditujukan untuk mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, menyalurkan ketegangan sosial, mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial dan/atau bertahan hidup (lihat Aminuddin, 2000: 38). Lingkungan yang dimaksud bisa berupa keadaan konflik, adanya berbagai tekanan yang mengancam pada kehidupan dan livelihoodnya. Bagaimana seorang individu atau komunitas dapat mengatasi berbagai tekanan dan tantangan lingkungan tersebut sangat tergantung dari kemampuan adaptasinya. Dalam konteks konflik sumberdaya hutan, maka kemampuan menyesuaian diri tersebut adalah kemampuan untuk tetap bertahan hidup dalam situasi konflik dan mengatasi berbagai rintangan sebagai akibat dari konflik tersebut. Oleh karena itu, adaptasi yang dimaksud adalah adaptasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekanto (2000: 10-11), bahwa adaptasi sosial dimaknai sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan; proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah; mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan; memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem; dan/atau penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dalam konteks konflik sumberdaya hutan, maka adaptasi merupakan suatu proses untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi konflik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suparlan (1993), bahwa adapatasi pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Selanjutnya Suparlan (1993:20) mengemukakan syarat-syarat dasar tersebut mencakup: 1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).
49
2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah). 3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Dengan demikian bahwa dalam situasi konflik sumberdaya hutan, seorang individu atau kelompok dapat dikatakan bahwa proses adaptasinya dianggap berhasil ketika individu atau kelompok tersebut dapat memenuhi syarat alamiahbiologi untuk bertahan hidup, artinya bisa memenuhi kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan dengan kata lain, sumber livelihoodnya tidak terganggu, atau jikapun terganggu, mereka mempunyai cara untuk mengatasi kesulitan livelihood tersebut. Syarat yang kedua menunjukkan bahwa proses adaptasi dianggap berhasil ketika dapat memenuhi syarat dasar kejiwaan, yaitu terlepas dari perasaan takut, gelisah, cemas dan ketidak-amanan terhadap situasi
konflik yang dapat
menyebabkan terancamnya kehidupan mereka, hilangnya akses dan hak atas sumberdaya yang mereka kuasai sebelumnya. Syarat yang ketiga yang dikemukakan oleh Suparlan adalah syarat dasar sosial. Dalam konteks konflik sumberdaya hutan, syarat dasar sosial tersebut dapat dimaknai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan-hubungan sosial, dan melalui hubungan-hubungan tersebut individu atau komunitas memperoleh dukungan untuk mempertahankan diri dan tetap bertahan dalam kondisi konflik atau dapat menyelesaikan masalah konflik tersebut. Salah satu cara beradaptasi dengan kondisi konflik dan terjadinya perubahan kelembagaan pengaturan sumberdaya hutan adalah dengan cara menegosiasi ulang kelembagaan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh McCarthy (2005) menemukan bahwa sebagai petani, masyarakat lokal
menyesuaikan dengan
dinamika perubahan ekonomi, politik dan kelangkaan nilai sumberdaya yang berbeda, sehingga pengaturan adat terus-menerus dinegosiasi ulang. Konflik sumberdaya hutan bukan hanya menempatkan para pihak dalam kondisi konflik, tetapi bisa jadi membuat salah satu pihak (subordinat)
50
ternegasikan oleh pihak lain (superordinat) dan kehilangan hak-hak mereka atas sumberdaya hutan tersebut dan atau kehilangan sumber kehidupan (livelihood) mereka. Dalam keadaan seperti ini, maka yang dibutuhkan oleh individu atau kelompok tersebut bukan hanya sekedar kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tetapi membutuhkan kemampuan untuk keluar dari situasi tersebut dan kembali mengatasi keadaan hidupnya yang sempat terpuruk, dengan kata lain disebut kelentingan. Kelentingan (resiliensi) merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian traumatis (lihat O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Kelentingan (resilience) didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (oxford dictionary). Kelentingan (resilience) bisa juga dimaknai sebagai suatu kemampuan untuk mengakomodasi terhadap tekanantekanan atau gangguan-gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa
(Gibson and
Bromley dalam Darusman, 2001). Definisi lain mengenai kelentingan ini disampaikan oleh beberapa ahli, sebagai berikut: 1. Menurut Reivich K. and Shatte A. (2002) resiliensi diartikan sebagai the ability to cope and to adapt of the severe events or problems that occured in life. Surviving in distress, and even dealing with adversity or experienced trauma in their lives (kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya). 2. Grotberg (1999) dalam Masten & Gewirtz (2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah the human capacity to face, to overcome, and to be strong for the difficulties experienced. Grotberg said that resilience is not magic and not only found in certain people only and not a gift from an unknown source. Jadi resilience adalah a positive adaptation pattern or it shows progress in difficult situations. Selanjutnya Grotberg mengatakan bahwa resiliensi
51
bukanlah hal magic dan tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui. 3. Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memiliki makna yang luas dan beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (lihat Masten & Gewirtz, 2006). 4. Siebert (2005) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelentingan atau resiliensi tersebut maka dalam konteks konflik sumberdaya hutan, kelentingan/ resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan (ability) to face, to cope, to adapt, to overcome, to recover and to be strong of the severe events or problems that occured in life; kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis atau kemampuan untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Selanjutnya berdasarkan definisi tersebut maka seorang individu atau kelompok dikatakan memiliki kelentingan (resiliensi) ketika individu atau komunitas tersebut memiliki kemampuan, sebagai berikut: a. Overcoming (kemampuan untuk menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan). b. Steering through (kemampuan untuk mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya, melalui self-efficacy
52
yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul) c. Bouncing back (kemampuan untuk menyembuhkan diri dari trauma dengan cara task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan, keyakinan diri utuk mengontrol hasil dari kehidupan mereka, kemampuan penyembuhan diri dari trauma, kemampuan berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan). d. Reaching out yaitu kemampuan untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, dengan cara mengejar pembelajaran dan pengalaman baru, mampu memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka (lihat dalam Reivich & Shatte, 2002). Selanjutnya Grotberg (1999) menyebutkan beberapa sumber dari resiliensi tersebut, yaitu berasal dari dukungan pihak lain (I Have atau sumber dukungan eksternal atau dukungan yang diperoleh dari sekitar individu); kemampuan dari dalam diri individu tersebut (I Am atau kemampuan individu); atau kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan pihak lain (I Can atau kemampuan sosial dan interpersonal atau kemampuan untuk mencari dukungan luar).
53