2. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TERINTEGRASI DAN BERKELANJUTAN 2.1 Integrasi industri Integrasi industri masuk dalam obyek kajian organisasi industri terkait dengan cara kerja pasar dan industri khususnya bagaimana cara perusahaan bersaing satu dengan lainnya yang merupakan ranah mikroekonomi (Shy, 1995). Pemahaman tentang prilaku organisasi industri ini dianggap sebagai salah satu sumber fundamental keunggulan bersaing dalam konteks manajemen strategis (Njuguna, 2009; Shiferaw et al., 2011).
Suatu organisasi modern, apapun
ukurannya, membutuhkan kerjasama integratif yang menjamin keefektifan aliran data dan informasi seperti juga aliran barang. Pada skala UKM, tekanan ini terasa lebih kuat untuk membangun sebuah solusi teknologi murah untuk pertukaran data dan informasi (Auinger dan Nedbal, 2008). Integrasi industri adalah “pengelompokan cabang-cabang industri yang berbeda dalam sebuah perusahaan yang dapat menggambarkan urutan tahap pengolahan bahan baku atau pelengkap bagi satu sama lainnya”.
Integrasi
industri terbentuk dengan tiga cara: (1) kombinasi urutan tahapan pengolahan produk, (2) penggunaan bahan mentah secara komprehensif, (3) penggunaan produk samping pengolahan oleh perusahaan lain. Integrasi dalam industri secara langsung terkait dengan pemusatan, spesialisasi dan kerjasama dalam produksi dan mendorong peningkatan efisiensi, alokasi rasional tenaga kerja produktif dan pengembangan kompleks industri teritorial (Denisenko, 2000). Integrasi juga bisa terjadi dalam bentuk penyatuan unit-unit usaha kecil dan terpisah guna mencapai skala operasional secara kolektif (Shiferaw et al., 2011). Meningkatnya tekanan ekonomi memaksa perusahaan untuk menemukan level baru kinerja operasional (Sarkar, 2011). Tekanan ekonomi bisa bersumber dari luar seperti para pemangku kepentingan, mitra kerja (pemasok), tuntutan mutu, ketepatan waktu dan ketersediaan dari pelanggan, lingkungan bisnis, regulasi, pesaing, maupun dari internal perusahaan sendiri terkait inefisiensi, manajemen inventori, keterbatasan teknologi dan tenaga kerja serta dis-integrasi proses seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Tekanan ekonomi terhadap perusahaan (Sarkar, 2011) Peningkatan biaya dan friksi transaksi pada rantai pasok dapat ditekan melalui integrasi aliran informasi yang cost-effective (Shavazi et al., 2009; Joshi, 2010).
Integrasi permintaan ditunjukkan oleh efisiensi dalam pengiriman, dan
integrasi pasokan ditunjukkan oleh pemasok yang dapat diandalkan (Frohlich dan Westbrook, 2002). Menurut Djamhari (2004) terintegrasi artinya ada keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (integrasi vertikal) secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan antar wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas. Integrasi vertikal merupakan strategi untuk menjamin kelangsungan pasokan input vital yang menunjukkan derajat integrasi antara rantai nilai perusahaan terhadap pemasok dan distributornya, meski sulit diukur secara kuantitatif (Riordan, 2005; Clinton et al., 2008). Strategi integrasi vertikal digunakan untuk menjamin kelangsungan pasokan input vital. Integrasi vertikal menunjukkan derajat integrasi antara rantai nilai perusahaan terhadap pemasok dan distributornya, meski sulit diukur secara kuantitatif. Pada beberapa kasus, teori ekonomi biaya transaksi diterapkan pada integrasi hulu maupun integrasi hilir untuk menekan biaya total, meningkatkan posisi tawar perusahaan, dan memperoleh margin dari hulu dan hilir (Chen dan Chen, 2003; Altman et al., 2007; Clinton et al., 2008). Dengan demikian integrasi 8
dapat digunakan dalam pengelolaan rantai nilai dari hulu hingga hilir sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatan yang dapat diperoleh. Di bidang pertanian, bentuk integrasi vertikal yang paling umum adalah sistem tani kontrak atau contract farming (Rehber, 1999; Kirsten dan Sartorius, 2002).
Tani kontrak
merupakan lembaga untuk mengintegrasikan petani kecil dengan pasar (Costales and Catelo, 2008). Teori ekonomi biaya transaksi sering diterapkan pada integrasi hulu maupun integrasi hilir untuk menekan biaya total, meningkatkan posisi tawar perusahaan, sekaligus memperoleh profit margin dari hulu maupun hilir. Teori ini memberikan titik awal yang baik untuk analisis penjelasan mengapa tugas tertentu ditangani oleh perusahaan dan tugas lainnya oleh pasar. Biaya transaksi dibagi menjadi biaya koordinasi dan risiko transaksi. Biaya koordinasi adalah biaya langsung keputusan integrasi di antara aktivitas ekonomi, sementara risiko transaksi terkait dengan paparan yang dieksploitasi dalam suatu hubungan. Ketidakpastian dan asset spesifik adalah dua faktor yang meningkatkan biaya koordinasi dan risiko transaksi
(Whinston, 2003; John dan Reve, 2010;
Williamson, 2010; Yigitbasioglu, 2010).
Meski meningkatkan efisiensi dan
dayasaing secara signifikan, strategi integrasi vertikal memunculkan perdebatan terkait kebijakan anti monopoli dan regulasi industri di era 1960an – 1970an (Church, 2006; Hovenkamp, 2009; Shapiro, 2010; Owen, 2011). Pengalaman beberapa tahun di Indonesia, integrasi vertikal pada industri sawit dan kertas justru terperangkap pada praktek konglomerasi. Di Indonesia ada UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Integrasi industri dalam konteks lokasi atau distrik industri telah berkembang sejak abad ke-19 dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Alfred
Marshall
memperkenalkan
dalam konsep
buku
Principles
agglomerasi
of
ekonomi
Economics guna
tahun
1890
menghemat
biaya
transportasi karena kedekatan pada pemasok maupun konsumen, menyatukan pasar pekerja, serta memanfaatkan keunggulan komparatif (Bekele dan Jackson, 2006).
Aglomerasi memainkan peran penting dalam integrasi vertikal ketika
dikombinasikan dengan teknologi, dan pilihan integrasi vertikal dipengaruhi oleh kekuatan aglomerasi (Cainelli dan Iacobucci, 2009; Acemoglu et al., 2010).
9
Kedekatan
industri-industri
secara
geografis merupakan alternatif integrasi
vertikal (Vial dan Suescun, 2010). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa integrasi industri dapat terjadi secara vertikal dan horizontal.
Integrasi vertikal umumnya terjadi pada integrasi
rantai pasok, dimana di sini terdapat integrasi internal dan eksternal. Integrasi horizontal terjadi antar perusahaan pada level kegiatan yang sama meski tidak sebanyak integrasi vertikal.
Integrasi dapat berbentuk aglomerasi dimana dua
atau lebih perusahaan dari industri sejenis saling berdekatan
pada kawasan
tertentu. Integrasi juga terjadi pada pelaku sepanjang rantai nilai dalam bentuk kemitraan dan aksi kolektif untuk mencapai skala operasional ekonomis yang semuanya
bertujuan
meningkatkan
efisiensi,
memenangkan
persaingan,
penghematan dan peningkatan keuntungan. 2.2 Integrasi manajemen rantai pasok Rantai pasok adalah rangkaian tiga entitas atau lebih yang terlibat langsung dari hulu hingga hilir dalam aliran produk, jasa, dana dan/atau informasi dari sumber hingga mencapai konsumen (Mentzer et al., 2001). Integrasi rantai pasok merupakan salah satu alat persaingan yang kuat dalam ekonomi bisnis global. Untuk produk pertanian, rantai pasok yang sukses bukan hanya mereduksi biaya transaksi bahkan melepaskan kendala institusi untuk saluran distribusi tradisional (Roekel et al., 2002). Ada tiga kekuatan penggerak pasar yang mendorong mitra rantai pasok untuk bekerja sama yaitu segmentasi pasar, permintaan konsumen dan strategi biaya rendah (Roekel et al., 2002a). Integrasi merupakan tema kunci dalam kajian SCM, dan integrasi eksternal rantai pasok menjadi kunci untuk memperoleh keunggulan bersaing di lingkungan global saat ini (Quesada et al., 2008). Beberapa peneliti (Jahre dan Costes, 2005; Smart, 2008; Breite
dan Maenpaa, 2009) menggunakan istilah SCM dalam
pengertian integrasi rantai pasok dan logistik, diantaranya menggunakan definisi “SCM adalah integrasi simultan kebutuhan pelanggan, proses internal dan kinerja pemasok sektor hulu” (Smart, 2008). Tiga elemen utama integrasi rantai pasok adalah sistem informasi (manajemen aliran informasi dan dana), manajemen inventori (aliran produk dan bahan), kemitraan rantai pasok (manajemen kemitraan di antara mitra dagang). 10
Dengan demikian, basis integrasi dicirikan oleh ko-operasi, kolaborasi, berbagi informasi, kepercayaan, kemitraan, penyebaran teknologi, pergeseran dari proses individual ke proses rantai terintegrasi (Power, 2005; Rahman et al., 2008; Thoo et al., 2011). SCM adalah pengelolaan jaringan fasilitas yang memproduksi bahan baku, mengubahnya menjadi produk antara hingga produk akhir, dan menyampaikannya kepada konsumen melalui sistem distribusi untuk memenuhi kepuasan konsumen dan memenangkan persaingan (Awad dan Nasar, 2010; Cuthbertson, 2011; Habib, 2010; Jain et al., 2010; Shukla et al., 2011). SCM juga meliputi koordinasi dan kolaborasi dengan saluran mitra baik pemasok, perantara, pihak ketiga penyedia jasa dan pelanggan (Mentzer et al., 2001; Mentzer dan Gundlach, 2009). Ilustrasi rantai pasok sederhana disajikan pada Gambar 2.2. Bahan baku
Penanganan pascapanen
Pengolahan
Distribusi & logistik
Konsumsi
: aliran barang : aliran informasi dan dana Gambar 2.2. Rantai pasok sederhana (Vorst et al., 2007). Meski populer dan penting, menurut Naslund dan Williamson (2010) SCM tidak memiliki definisi yang diterima secara universal.
Terdapat beberapa
perbedaan dan persaingan kerangka kerja untuk SCM, isu-isu terkait terminologi dan relatif kurangnya bukti yang mendukung manfaat SCM. Stock dan Boyer (2009) yang me-review 173 definisi SCM dari berbagai buku dan jurnal menyatakan, “bukan hanya terlalu banyak definisi, ketiadaan definisi yang disepakati berdampak negatif bagi praktisi maupun peneliti. Dari perspektif teoritis tidak mungkin mengembangkan teori SCM yang kuat hingga konstruksi yang sahih dan definisi yang diterima telah dikembangkan”. Dari kajian ini didapat tiga tema utama yang digunakan untuk mendefinisikan SCM, yaitu aktivitas, manfaat dan komponen yang mencakup: material/fisik, jasa, aliran dana dan informasi, jaringan kerjasama (internal maupun eksternal), penciptaan nilai, peningkatan efisiensi serta kepuasan konsumen.
11
SCM merupakan cara baru dan menjanjikan untuk meraih keunggulan bersaing.
Pemahaman mendalam
terhadap rantai pasok memungkinkan
perusahaan menggali sumber sukses untuk bersaing di pasar global
(Min dan
Zhao, 2002; Li et al., 2008; Joshi, 2010) dan implementasi integrasi rantai pasok merupakan sumber keunggulan bersaing (Power, 2005; Rahman et al., 2008; Breite dan Maenpaa, 2009). Dari sisi pelaku, Behesthi et al. (2009) dan Smart (2008) membagi level strategi integrasi menjadi empat, yaitu: terintegrasi secara internal, terintegrasi dengan pemasok (backward), terintegrasi dengan pelanggan (forward), dan terintegrasi penuh (Gambar 2.3).
2. Terintegrasi dengan pemasok Pemasok
Perusahaan
Pelanggan
1. Terintegrasi secara internal Pemasok
Perusahaan
Pelanggan
4. Terintegrasi penuh Pemasok
Perusahaan
Pelanggan
3.Terintegrasi dengan pelanggan Pemasok
Perusahaan
Pelanggan
Gambar 2.3. Level strategi integrasi rantai pasok (Behesthi et al., 2009). Menurut Flynn et al. (2008) integrasi dengan pelanggan dan pemasok termasuk integrasi eksternal. Integrasi dengan pelanggan melibatkan kompetensi inti yang diperoleh dari koordinasi dengan pelanggan inti, dan integrasi dengan pemasok melibatkan kompetensi inti terkait dengan pemasok penting. Sementara integrasi internal fokus pada aktivitas internal perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan dan berinteraksi secara efisien dengan pemasok. Integrasi internal dan integrasi dengan pelanggan memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap kinerja rantai pasok daripada integrasi dengan pemasok. Hal ini bisa difahami karena integrasi dengan pelanggan atau konsumen merupakan integrasi hilir, dimana nilai tambah terbesar dalam aliran rantai pasok memang terletak di bagian hilir yakni pengolahan, distribusi dan pemasaran. Tujuan dasar SCM adalah mengoptimalkan kinerja rantai dan memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dengan biaya serendah mungkin, atau mengaitkan semua agen rantai pasok untuk bekerja sama untuk memaksimalkan produktivitas 12
dan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat. Untuk sukses dan mampu bersaing perusahaan harus mampu mengintegrasikan bisnis, teknologi, tenaga kerja dan proses bukan hanya dalam perusahaan tapi juga lintas perusahaan (Awad dan Nasar, 2010; Katunzi, 2011; Shukla et al., 2011). Menurut Vorst et al. (2007), integrasi tidak harus dilakukan pada seluruh proses, tapi bisa dipilih sesuai kondisi dan kebutuhan dengan tetap konsisten pada tujuan untuk memenuhi tuntutan konsumen dan memenangkan persaingan (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Proses bisnis yang dapat diintegrasikan dalam rantai pasok Proses bisnis Manajemen hubungan pelanggan
Keterangan Membatasi kesepakatan level pelayanan dengan pelanggan kunci
Manajemen pelayanan pelanggan
Menyediakan informasi real-time untuk pelanggan tentang jadwal pengiriman dan ketersediaan produk melalui antarmuka produksi dan operasi distribusi perusahaan
Manajemen permintaan
Menyeimbangkan keinginan pelanggan dengan kapabilitas pasokan perusahaan
Pemenuhan pesanan
Mengirim produk sesuai waktu dan mutu yang diinginkan pelanggan
Manajemen aliran manufakturing
Menarik produk melalui basis pabrik sesuai kebutuhan pelanggan
Penyediaan
Mengembangkan rencana stratejik dengan pemasok untuk mendukung proses manajemen aliran manufakturing dan pengembangan produk baru
Pengembangan dan komersialisasi produk
Pelanggan dan pemasok harus diintegrasikan ke proses pengembangan produk guna mereduksi waktu mencapai pasar
Proses putaran
Menata proses untuk mewujudkan putaran yang efisien untuk barang-barang yang bisa digunakan lagi
Sumber: Vorst et al. (2007) Syarat sukses penerapan SCM adalah perilaku terintegrasi, saling berbagi informasi, saling berbagi risiko dan manfaat, kerjasama, kesamaan tujuan dan fokus dalam melayani pelanggan, integrasi proses, dan kemitraan untuk membina dan memelihara hubungan jangka panjang (Mentzer et al., 2001; Ren et al., 2010). Pada kasus industri pangan, prakarsa multi-stakeholder yang melibatkan petani, akademisi, peneliti, pemerintah dan LSM menjadi penting untuk meningkatkan standar bagi komoditas lokal dan rantai pasok komoditas pangan termasuk pangan olahan (Smith, 2008). Penelitian Bhuyan (2005) menunjukkan bahwa integrasi kepemilikan secara vertikal (merger) tidak menunjukkan peningkatan kekuatan
13
pasar pabrik pengolahan pangan di pasar produk akhir. Justru struktur pasar dan koordinasi yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan pasar industri pangan. Efeknya akan berbeda jika yang diterapkan adalah hubungan vertikal semisal kontrak atau kemitraan. Kendala penerapan SCM adalah masalah kemitraan dengan pemasok, kurang pengalaman, kurang komitmen manajemen, kurang pemahaman tentang SCM, dukungan teknologi dan kepuasan konsumen. Di level UKM, kendala penerapan SCM adalah kurangnya ketrampilan, pengetahuan, posisi tawar, infrastruktur dan kepercayaan
(Rahman et al., 2008).
Fawcet et al. (2008)
menyatakan faktor manusiawi merupakan faktor kunci keberhasilan kolaborasi dalam SCM.
Isu-isu seperti budaya, kurangnya kepercayaan, keengganan
berubah, dan kurangnya kemauan bekerja sama justru lebih krusial sebagai kendala penerapan dan perlu mendapat perhatian lebih ketimbang sekedar fokus pada masalah teknologi, informasi dan sistem pengukuran kinerja. 2.3 Aspek keberlanjutan Dalam sejumlah literatur, kajian keberlanjutan meliputi pembangunan, manusia, sosial, ekologis, lingkungan, dan perusahaan yang dikaitkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) (Maloni dan Brown, 2006; Stubbs dan Cocklin, 2008). Dahlsrud (2006) meneliti setidaknya ada 37 definisi CSR yang mencakup lima dimensi: lingkungan, sosial, ekonomi, stakeholder dan sukarela (voluntariness). Rahman (2011) mengkaji 10 dimensi dari sejumlah definisi CSR sejak 1953 – 2009 menyimpulkan bahwa dimensi CSR meliputi: kewajiban terhadap masyarakat, keterlibatan stakeholder, peningkatan kualitas hidup, praktek bisnis etis, taat hukum, sukarela, hak asasi manusia, perlindungan lingkungan serta transparansi dan akuntabilitas. Namun secara umum indikator keberlanjutan yang dipakai adalah dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang dikenal dengan istilah triple bottom line (Fauzi et al., 2010). Viabilitas dan dayasaing jangka panjang perusahaan tidak semata-mata diukur dari aspek finansial, melainkan juga evaluasi aspek keberlanjutan terkait isu lingkungan, sosial dan kinerja ekonomi (Croom et al., 2009; Yakovleva et al., 2010; Cetinkaya, 2011; Cuthbertson, 2011; Marrone et al., 2011). Stubbs dan Cocklin (2008) dalam kajian konseptualiasi “Sustainability Business Model” 14
(SBM)
menyatakan
bahwa
perusahaan
yang
mengadopsi
SBM
harus
mengembangkan kapabilitas struktur dan kultur internal untuk mencapai firmlevel sustainability dan berkolaborasi dengan stakeholder kunci guna mencapai system sustainability dimana perusahaan merupakan bagian dari sistem tersebut. Pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang agro-industrialisasi ditentukan oleh pasar yang kuat dan peluang ekonomi yang terletak berdekatan dengan pasokan bahan baku yang melimpah. Faktor-faktor ini lebih penting daripada ketersediaan tenaga kerja murah, dan merupakan basis utama pengembangan agroindustri di suatu wilayah.
Sejumlah negara industri baru di Asia Timur
memindahkan lokasi industrinya ke Asia Tenggara bukan hanya karena tenaga kerja yang lebih murah, namun lebih karena keterbatasan bahan baku yang dimiliki (Hicks, 2007). World Commission on Environment and Development (WCED) 1987
tahun
mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah “development that
meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (Plummer, 2005).
Konsep sustainable
development menggabungkan dua tujuan penting: 1) memastikan hidup yang layak, aman dan sejahtera bagi semua manusia sebagai tujuan pembangunan, dan 2) untuk hidup dan bekerja dengan kesesuaian batas bio-fisik lingkungan, sebagai tujuan dari kelestarian (Ciegis dan Štreimikien, 2005; Ciegis et al., 2009). Menurut Plumer (2005) pemberdayaan masyarakat merupakan ide sentral pembangunan berkelanjutan. Pemberdayaan berkontribusi terhadap keberhasilan sumber daya alam atau program manajemen ekosistem karena melibatkan prinsipprinsip good government, pembuatan keputusan kolektif dan partisipasi masyarakat. Jadi poin penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah 1) sesuai untuk kebutuhan sekarang, 2) tidak mengganggu kebutuhan generasi mendatang, 3) jangka panjang, 4) tidak menganggu keseimbangan lingkungan dan 5) berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan juga harus mempertimbangkan, pengetahuan dan nilai-nilai lokal yang berlaku. Kebijakan pembangunan yang mengabaikan aspek lokal telah memunculkan masalah sosial, budaya dan lingkungan. Pertumbuhan populasi yang tidak seimbang, pemanfaatan sumberdaya alam yang
15
tidak efisien, distribusi sumberdaya, barang dan jasa yang tidak merata membuat resah dan konflik sosial (Abedi dan Baragheh, 2011). Pengetahuan lokal yang bersifat aksesibel, berguna, murah, holistik dan verbal.
selain selaras
juga
memiliki fitur yang melengkapi pengetahuan formal. (Arjmandi et al., 2011). Dalam Convention of Biological Diversity disebutkan bahwa pengelolaan keragaman hayati tertentu harus memastikan pembagian manfaat yang adil dan patut dengan melibatkan komunitas asli dan lokal (Holopainen and Wit, 2008). Maraknya kerusakan lingkungan dan hutan akibat ekspoitasi hutan dan ekstensifikasi pertanian mendorong lahirnya konsep agroforestry system (Nair, 1989) atau sistem wanatani yang sudah berkembang selama 25 tahun (Ellis et al., 2010).
Sistem ini banyak dianjurkan untuk pengelolaan hutan dan tanaman
perkebunan berkelanjutan dengan input rendah (Nair, 2007; Tata et al., 2008; Jose 2009), serta berbagai fungsi baik untuk agrowisata (Barbieri dan Valdivia, 2010), serta penyediaan karbon (Nair et al., 2009). Istilah agroforestry secara umum terkait konsep multifungsi (pada level pohon, lahan, pertanian dan/atau landscape), termasuk zona transisi menuju pertanian berbasis tanaman pangan, sistem produksi tanaman keras intensif, serta pengelolaan tanaman keras dan hutan alam secara ekstensif (van Noordwijk et al., 2003), namun agroforestry lebih dekat kepada pertanian ketimbang kehutanan (Torquebiau, 2000). Agroforestry merupakan konsep penggunaan lahan terintegrasi yang memadukan elemen pertanian dan kehutanan dalam suatu sistem produksi berkelanjutan dengan mendorong fungsi keragaman hayati yang seimbang antara produktivitas dan perlindungan lingkungan (Smith , 2010). Salah satu bentuknya adalah rubber agroforestry system atau sistem wanatani karet.
Sistem ini
dipandang lebih sesuai di Indonesia karena umumnya kebun karet rakyat lebih menyerupai “hutan karet”.
Keuntungan bentuk hutan karet ini adalah
penghematan biaya dan tenaga kerja pemeliharaan sebelum sadap, diversifikasi pendapatan melalui rotan, buah-buahan, kayu serta produk bukan kayu dalam sistem agroforestri (Penot, 2004). Hutan karet memiliki fungsi ganda seperti sumber pendapatan utama petani karet, menjaga keragaman hayati hutan, penyediaan karbon serta konservasi tanah dan air (Wibawa et al., 2006).
16
Terdapat tiga sistem wanatani karet atau rubber agroforestry system (RAS) yang dapat diterapkan pada kondisi petani dan lahan yang berbeda (Budi et al., 2008), yaitu: 1. RAS-1, sistem wanatani karet ekstensif yang pengelolaannya setara dengan hutan karet rakyat, dimana karet asalan diganti dengan karet klonal yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang menyerupai hutan sekunder seperti pada sistem wanatani. 2. RAS-2, sistem wanatani kompleks dengan pengelolaan cenderung intensif, dimana karet klonal ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan, buah-buahan dan tanaman penghasil kayu, rotan atau resin. 3. RAS-3, sistem wanatani kompleks yang dibangun untuk merehabilitasi lahan alang-alang dengan penanaman karet bersama dengan jenis tanaman lain yang cepat tumbuh dan mampu menghambat pertumbuhan alang-alang.
2.4 Aspek lokasi dalam integrasi industri Integrasi lokasi industri telah berkembang sejak abad ke-19 dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Alfred Marshall dalam buku Principles of Economics tahun 1890 memperkenalkan konsep aglomerasi ekonomi guna menghemat biaya transportasi karena kedekatan pada pemasok maupun konsumen,
menyatukan
pasar
pekerja,
serta
memanfaatkan
keunggulan
komparatif. (Porter, 2000; Bekele dan Jackson, 2006; Ellison et al., 2007; Clinton et al., 2008). Ekonomi aglomerasi adalah ekonomi skala yang dihasilkan ketika dua atau lebih perusahaan dari industri sejenis saling berdekatan pada kawasan tertentu. Aglomerasi juga akan menarik perusahaan lain berinvestasi di lokasi tersebut (Akundi, 2000). Sebelumnya, ahli ekonomi Inggris Sir William Petty (16231687) telah memperkenalkan teori Growth Pole dan dilanjutkan oleh ekonom Perancis Francois Perroux (1903-1987) pada pertengahan tahun 1950an yang mengacu pada pengelompokan industri pada suatu kawasan sebagai pusat pertumbuhan sekaligus sebagai katalis bagi daerah sekitarnya agar terjadi trickle down effect (Adell, 1999; Parr, 1999; Krimi et al., 2010).
Meski tidak
17
memasukkan konsentrasi geografis sebagai kriteria, namun teori
ini telah
diterapkan sebagai kebijakan regional di Britania sejak tahun 1960an. Multiplier effects memainkan peranan penting dalam teori growth pole yang mendasari gagasannya bahwa dinamika aktivitas ekonomi berdampak pada kemajuan ekonomi lokal maupun regional, dan multiplier effects merupakan basis mekanisme dimana kutub pertumbuhan mempengaruhi kemajuan di sekelilingnya (Domański dan Gwosdz, 2010).
Keuntungan aglomerasi diperoleh dari tiga
komponen ekonomi lokalisasi: 1) penggabungan bursa tenaga kerja dengan ketrampilan spesifik, 2) ketersediaan input dan pelayanan spesial, 3) penyebaran teknologi yang merupakan inti diskusi tentang industry clustering dan aglomerasi (Audretsch et al., 2007). Porter (1990) kemudian mengembangkan konsep integrasi klaster vertikal dan horizontal dalam bentuk model berlian dengan dua elemen kunci; 1) adanya keterkaitan antar perusahaan dan 2) kedekatan lokasi (Schmitz dan Nadvi. 1999; van Hofe dan Chen, 2006). Porter (1990; 1993; 1994; 1998) mendefinisikan klaster sebagai “Konsentrasi geografis perusahaan, pemasok spesialis, penyedia jasa, usaha industri terkait, dan kumpulan lembaga seperti perguruan tinggi, lembaga standarisasi, asosiasi pengusaha yang saling terkait pada bidang tertentu, dimana selain berkompetisi mereka juga bekerja sama”. Windsperger (2006) memadukan konsep resource-based view dengan model berlian Porter untuk menganalisis keunggulan bersaing lokasi dan efek interaksi antara perusahaan dengan sumberdaya spesifik lokasi. Keunggulan kompetitif regional sebagai hasil klaster industri dan interdependensi antar perusahaan dalam klaster merupakan interaksi dari empat element: 1). Strategi, struktur dan persaingan perusahaan; 2). Syarat-syarat permintaan; 3). Industri pendukung terkait; dan 4). Syarat-syarat faktor (input). Porter berpendapat faktor “kunci” produksi (specialized factors) bisa diciptakan, bukan diwariskan. Specialiazed factors produksi ini adalah tenaga kerja terampil, kapital dan infrastruktur yang melibatkan investasi berkelanjutan yang susah ditiru.
Hal inilah yang akan menciptakan keunggulan kompetitif.
Interlink
keempat faktor ini dikenal dengan istilah Porter’s Diamond Model (Gambar 2.4).
18
Pemerintah
Strategi, struktur & persaingan perusahaan
Syarat-syarat faktor
Syarat-syarat permintaan
Industri pendukung & terkait
Gambar 2.4. Model Berlian (Porter, 1998)
Keberhasilan mengembangkan klaster Silicon Valley telah membentuk imajinasi dunia sebagai model pengelolaan ekonomi wilayah yang inovatif. Beberapa klaster industri yang dianggap sukses sebagai replika Silicon Valley antara lain Boston Route 128 di Amerika, Cambridge Science Park di Inggris, Silicon Plateau Bangalore (Rawat, 2005) dan industri petrokimia di Singapura (Pillai, 2006) dimana terdapat interaksi antara universitas-industri-kewirausahaan serta konvergensi berbagai sumberdaya pengetahuan di lokasi tersebut. Teori klaster Porter telah menarik perhatian pada rentang luas bidang akademik: urban planning, geografi, dan ekonomi bukan sebatas konsep analitis, bahkan sebagai key policy tool (Martin dan Sunley, 2003; Motoyama, 2008; Reid et al., 2008). Meski konsep klaster telah diterima secara luas oleh lembaga-lembaga internasional, pendekatan ini juga tidak sepi dari berbagai kritik.
Gibbs dan
Bernat (1997) menyatakan, “a cluster-based industrial strategy is not the industrial development sollution for all rural communities”. Davies dan Ellis (2000) mengecam keras teori competitive advantage of nation dan menyebutkan bahwa teori klaster Porter telah tamat riwayatnya dengan istilah “final judgement”. Beberapa kritik terhadap teori klaster Porter antara lain: 1) Analisis pengembangan ekonomi Porter pada level negara kurang mengena karena beranjak dari pendekatan mikro-ekonomi, meski pada level perusahaan
19
Porter berhasil memadukan pendekatan Schumpeterian dan pendekatan resource-based untuk memperoleh keunggulan bersaing (Grant, 1991). 2) Porter mengabaikan beberapa determinan penting keunggulan bersaing seperti peran sejarah, politik dan budaya. masalah keunggulan bersaing
Hal ini mendorong keyakinan bahwa
dapat diatasi secara eksklusif melalui
pengukuran kebijakan ekonomi (O’Shaughnessy, 1996). 3) Pengembangan klaster tidak selalu menjadi ambisi yang realistik dan tepat bagi para pembuat kebijakan di semua wilayah bahkan cenderung menjadi mitos. Tidak semua tempat bisa menjadi replika Silicon Valey. Klaster bisa diadopsi sebagai strategi pengembangan ekonomi lokal setelah dianalisis dengan teliti keunikan dan keistimewaan lokasi itu (Palazuelos, 2005; Cortright, 2006). 4) Klaster industri memiliki definisi yang luas. Meski terdapat batasan geografis dan bidang industri, namun tidak ada aturan yang jelas seberapa kuat keterkaitan antar industri, konsentrasi geografis yang diperlukan oleh klaster atau level spesialisasi industri yang dibutuhkan. spesifik,
Hubungan teoritis kurang
data empiris telah dipilih secara selektif dan ditafsirkan secara
subyektif (Grant, 1991; Martin dan Sunley, 2003). 5) Daerah mengalami kesulitan untuk menentukan industri apa yang paling tepat untuk pengklasteran.
Pengembangan industri klaster membutuhkan
identifikasi keunggulan kompetitif suatu daerah berdasarkan tenaga kerja, keunikan karakteristik daerah, ketersediaan dan kualitas infrastruktur serta kedekatan pasar (Barkley and Henry, 2001). 6) Meski kerangka kerja Porter telah didiskusikan secara luas dalam literatur manajemen, kontribusi aktualnya terhadap badan ilmu pengetahuan dalam literatur ekonomi dan manajemen tidak pernah diklarifikasi (Smit, 2010). Pada waktu hampir bersamaan dengan Porter (1990), trio Fujita (1988), Krugman (1991) dan Venables (1996) memperkenalkan istilah “new economic geography”.
Suatu
negara
secara
endogenus
terdiferensiasi
menjadi
“industrialized core” dan “agricultural periphery” dengan memanfaatkan keunggulan lokasi, biaya transportasi minimal dengan permintaan lebih besar, namun lokasi permintaan itu sendiri tergantung pada distribusi pabrik pengolahan 20
(Krugman, 1991; Fujita and Thisse 1996; 2008). Bekele dan Jackson (2006) meringkas berbagai pendekatan teoritis integrasi lokasi industri seperti disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Pendekatan teoritis dan kunci pendekan integrasi lokasi industri Pendekatan Teoritis Classical Aglomeration Theory
Kunci pendekatan
Rujukan utama
•
Marshall (1890), Weber (1929), Ohlin (1933), Hoover (1937)
• Geographical • Economics or New • Economic • Geography • •
Flexible Specialization School
•
Regional Innovation Systems
• • •
Competitiveness
•
Dynamic Externalities
• • •
Ekonomi skala eksternal o Urbanisasi vs. ekonomi lokalisasi Penyatuan pasar pekerja Pembagian input Penyebaran teknologi Keragaman Kaitan antar-industri dan interdependensi o Analisis industri kompleks o Growth pole/kebijakan pusat Eksternalitas ekonomi Ekonomi dan disekonomi aglomerasi Aglomerasi dan distribusi regional pendapatan dan kesejahteraan Peningkatan return dan persaingan tidak sempurna Dari ekonomi skala ke bentuk organisasi industri yang fleksibel Interdependensi yang tidak diperdagangkan o Pengikatan ekonomi ke dalam sosial, budaya dan struktur kelembagaan Organisasi industri dan budaya bisnis Ekonomi ilmu pengetahuan baru Ilmu pengetahuan dan pembelajaran kolektif o Pengetahuan tersembunyi vs terkodikifikasi o Pola penciptaan, pembagian, pembelajaran, dan inovasi pengetahuan, terlokalisasi Klaster dan keunggulan kompetitif wilayah o Kerjasama dan persaingan o Kemitraan dengan kelembagaan o Sumberdaya wilayah dan infrastruktur Penyebaran pengetahuan dan teori pertumbuhan endogenus Gagasan, pendidikan, riset dan kelembagaan Spesialisasi vs keragaman, monopoli vs kompetisi dan kedekatan geografis
Krugman (1991), Venables (1996), Fujita and Thisse (2002)
Brusco (1982), Piore and Sable (1984), Scott (1988), Storper (1995) Lundval (1992), Cooke and Morgan (1998), Malmberg and Maskell (2002) Porter (1990)
Romer (1986), Lucas (1988), Glaeser et al. (1992), Henderson et al. (1995)
Sumber: Bekele dan Jackson (2006). New geographical economists menyatakan bahwa konfigurasi spasial aktivitas ekonomi merupakan hasil dari dua kekuatan berlawanan; yakni kekuatan aglomerasi (sentripetal) dan kekuatan dispersi (sentrifugal). Kekuatan sentrifugal cenderung membuat pengklasteran aktivitas ekonomi termasuk penyatuan bursa 21
pekerja, penyebaran teknologi, pasokan barang antara, dan ukuran pasar. Kekuatan sentrifugal mencakup immobility of labor, peningkatan sewa lahan dan dis-ekonomi eksternal seperti masalah kemacetan dan lingkungan akibat peningkatan konsentrasi massa.
Fokus kajian ini terhadap aglomerasi adalah
pasar, teknologi dan eksternalitas lainnya yang muncul melalui proses aglomerasi lokal atau regional. Biaya transportasi, immobilitas buruh dan ukuran relatif pasar merupakan determinan kunci pada distribusi pendapatan dan kesejahteraan regional (Krugman dan Venables 1996). Kajian Najib et al. (2011) tentang dayasaing klaster UKM industri pengolahan pangan di Indonesia menyimpulkan beberapa kelebihan klaster industri ini, yaitu: 1) Memiliki kinerja bisnis lebih baik karena UKM terklaster menerima dukungan dari pemerintah dan kedekatan geografis di antara UKM menciptakan banyak peluang untuk meningkatkan kinerja. 2) Penjualan, pangsa pasar dan profit UKM terklaster secara signifikan lebih tinggi. 3) Meski UKM pengolahan pangan di Indonesia menghadapi banyak masalah seperti kurangnya modal dan akses pasar, namun bergabung dalam satu kawasan membuat mereka mampu meningkatkan kinerja bisnis. 4) Klaster memiliki dampak positif dan saling melengkapi. 5) Terdapat kesenjangan dalam orientasi pasar dan inovasi. Friedmann dan Douglass (1978) mengembangkan strategi agropolitan untuk pengembangan
agroindustri
di
negara-negara
Asia
sebagai
pendekatan
komprehensif yang mengaitkan perkotaan dengan pengembangan perdesaan. Douglass (1998) merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di Indonesia.
Konsep agropolitan dituangkan dalam UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang meski sudah diintroduksi pada tahun 2002. Salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwa/km2 sebagai distrik agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua (Nugroho, 2008).
22
Di Malaysia,
menurut Shaffril et al. (2010) dan Buang et al. (2011)
agropolitan merupakan pendekatan perencanaan dari bawah yang menjanjikan ekonomi riil dan pemberdayaan sosio-psikologis untuk warga miskin perdesaan. Pendekatan ini beranjak dari model konvensional growth pole yang bersipat topdown yang hasilnya justru pemberdayaan agensi organisasi ketimbang warga miskin perdesaan yang jadi target. Model agropolitan memberikan pemberdayaan ekonomi bagi warga miskin perdesaan sebagai target tapi tidak memberdayakan untuk membuat keputusan. Proyek agropolitan potensial berperan sebagai sebagai katalis utama untuk mengatasi masalah kemiskinan absolut. 2.5 Model kelembagaan agroindustri Kolaborasi dan interaksi dengan stakeholder merupakan salah satu unsur keberlanjutan bisnis (Stubs dan Cocklin, 2008; D’Amato et al., 2009). Dayasaing rantai pasok merupakan resultan dari integrasi semua pelaku yang ada sepanjang rantai pasok khususnya pemasok, pabrik dan distributor. Perusahaan akan mampu bersaing ketika mampu menciptakan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan seluruh pelakunya (Naslund dan Williamson, 2010; Verma dan Seth, 2010). Perdagangan yang adil harus menjadi kontrak sosial dengan prinsip: penciptaan kesempatan ekonomi bagi produsen marjinal, transparansi dan akuntabilitas, pembangunan dan pemberdayaan kapasitas, pembayaran harga yang adil, pengelolaan lingkungan yang lebih baik, dan kemitraan dagang yang pantas dan berkelanjutan (WFTO, 2009). Ghandi et al., (2001), Ghandi dan Jain (2011) telah menguji kinerja beberapa model pengembangan agroindustri perdesaan dan petani gurem di India yaitu: 1) Model Koperasi (Cooperative Organization) 2) Model BUMN (Government Organization) 3) Model Kemitraan Swasta Multinasional (Private Multinational Partnering) 4) Model Perusahaan Lokal-Multinasional dengan Perusahaan Agribisnis (Multinational-Local Firm Partnership with Corporate Farming) 5) Model Pusat Nilai Tambah (Value Addition Center). Kesimpulan hasil kajian ini adalah:
23
1) Aspek manajerial merupakan tantangan utama dalam mengorganisasikan produksi dan penyediaan berkelanjutan dari perusahaan besar ke petani kecil. 2) Pola kemitraan masih merupakan pendekatan yang paling menjanjikan untuk mengatasi berbagai kendala pengembangan. Pola ini dapat diterapkan baik melalui koperasi maupun hubungan bisnis yang saling menguntungkan antara pihak swasta dan petani. 3) Pada kedua kasus di atas, pemerintah harus memainkan peran fasilitasi melalui kebijakan, regulasi, opsi finansial serta riset dan pengembangan. Ghandi et al. (2001) menyimpulkan perlunya “indigenous model” untuk membangkitkan organisasi agroindustri.
Apapun sifat modelnya, ada beberapa
faktor kunci sukses yang harus diperhatikan: 1) Menciptakan insentif bagi petani untuk memproduk bahan baku sesuai kualitas dan kuantitas
yang dibutuhkan, dan memasok produk sesuai
ketetapan kontrak. 2) Menyediakan input dan teknologi pertanian yang dibutuhkan dan memastikan siapa yang menanggung biaya dan risiko. 3) Mampu mengakses teknologi pengolahan berkualitas tinggi 4) Memperhatikan perubahan permintaan pelanggan melalui pasar cerdas yang efektif. 5) Menarik modal investasi. 6) Memperhatikan isu-isu pemilikan, organisasi, manajemen dan kendali mutu. Contract farming (CF) di India dianggap lembaga yang paling baik dan sukses meningkatkan efisiensi dan kinerja rantai pasok guna mendapatkan bahan baku yang bermutu untuk kebutuhan pengolahan dan pemasaran produk segar bernilai tinggi (Singh, 2007). CF juga berdampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam CF adalah pendidikan, usia, ukuran usaha, akses terhadap lembaga dana, sumber pendapatan off-farm dan keanggotaan dalam koperasi (Sharma, 2008). CF juga mampu menciptakan lapangan kerja lebih tinggi ketimbang pertanian nonkontrak (Kumar dan Kumar, 2008). Contract Farming adalah kesepakatan petani dan perusahaan agribisnis untuk menghasilkan dan memasok produk pertanian berdasarkan kesepakatan
24
waktu, mutu dan harga yang telah ditentukan (Eaton dan Shepherd, 2001; Bijman, 2008). CF memiliki keunggulan seperti efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, harga relatif stabil, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra (Saptana et al., 2009). CF merupakan lembaga yang mengintegrasikan petani kecil perdesaan dengan pasar di negara-negara berkembang (Costales dan Catelo, 2009). Demikian pula untuk pemasaran hasil kebun karet di India dan Thailand (Viswanathan, 2006).
Pengalaman di Thailand dan China menunjukkan bahwa
berbagai bentuk kemitraan CF memberikan keuntungan pada kedua belah pihak dan sangat menjanjikan bagi pengembangan agroindustri.
CF dapat menjadi
mekanisme kelembagaan yang efektif untuk mereduksi biaya transaksi yang dihadapi oleh para petani kecil, termasuk petani padi, meningkatkan keuntungan yang signifikan dibandingkan petani non-kontrak serta mereduksi kemiskinan perdesaan (Setboonsarng et al. 2006; Miyata et al., 2008; Sriboonchitta dan Wiboonpoongse, 2008). Kajian Stessens et al. (2004) di sejumlah negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin dan Asia yang melibatkan lebih dari 70 koperasi menunjukkan bahwa kemitraan CF dalam agroindustri dan agribisnis lebih efisien dan mampu menciptakan perdagangan yang adil jika dilakukan melalui koperasi petani
yang
kuat
didukung
oleh
advokasi,
inovasi,
pelatihan
dan
pengorganisasian, dimana koperasi dapat berperan sebagai kontraktor dan penyedia jasa.
Menurut Eaton and Sheperd (2001) kontrak tani tidak bisa
dibentuk kecuali jika telah terpenuhi beberapa prasyarat terkait (1) profitabilitas pasar, (2) dukungan lingkungan fisik dan sosial, dan (3) dukungan pemerintah. Menurut Bijman (2008) pemerintah dapat memainkan peran penting ketika CF macet dengan beberapa aksi: (1) regulasi pasar untuk mencegah kontraktor menyalahgunakan kekuatan pasar yang dimiliki; (2) memfasilitasi proses kontrak dengan mendorong perusahaan memulai kontrak baru dan pengkondisian kepada para petani agar siap memasuki kontrak, memberikan informasi yang jelas tentang untung-rugi serta konsekuensi skema CF; (3) menyediakan informasi pasar dan harga komoditas; (4) subsidi langsung kepada petani.
25
Di Bangladesh, praktek CF langsung antara petani dengan industri agribisnis membuat petani memiliki akses teknologi, bantuan teknis, kredit dan jaminan pasar.
Namun dengan daya tawar tidak seimbang, sering terjadi
eksploitasi oleh perusahaan. Aksi kolektif melalui kelompok tani meningkatkan posisi tawar petani, dapat mengorganisir anggota untuk keperluan pelatihan, jasa tambahan, akuisisi teknologi, koordinasi panen dan jadwal pengiriman. Perusahaan dapat bernegosiasi dengan organisasi petani, ini lebih murah dan mudah ketimbang harus bernegosiasi dengan banyak petani
(Bijman, 2008;
Esham, 2009). Alternatif lain adalah membentuk perusahaan patungan antara kelompok petani, perusahaan agribisnis dan pemerintah seperti diilustrasikan pada Gambar 2.5.
Saham 28%
Perusahaan patungan (Perusahaan pengolahan ekspor)
Pemerintah
Saham 51%
Desa produksi ekspor
Saham 100 %
Saham 21%
Industri agribisnis
Kelompok Tani
Gambar 2.5. Model kelembagaan agroindustri dengan intervensi pemerintah (Esham, 2009). Di Indonesia sampai sekarang pola pembiayaan usaha kecil (PPUK) masih menggunakan mekanisme proyek kemitraan terpadu (PKT) yang melibatkan perusahaan besar/eksportir (inti/avalis), kelompok petani/usaha kecil (plasma) dan perbankan. Pola ini umumnya digunakan untuk pembiayaan UMKM termasuk usaha kayu olahan. Mekanisme PKT disajikan pada Gambar 2.6.
26
Gambar 2.6. Mekanisme proyek kemitraan terpadu (Bank Indonesia, 2003) Hubungan kemitraan adalah berbagai cara kolaborasi dan integrasi di antara pihak-pihak yang terlibat berikut elemen kuncinya. Hampir seluruh kerangka kerja SCM dipengaruhi oleh isu terkait kepercayaan dalam rantai pasok. Saling pengertian di antara mitra dagang dan berbagi informasi merupakan komponen terpenting untuk menjamin kesuksesan integrasi rantai pasok dan kolaborasi. Komitmen terhadap relasi dan kepercayaan pemasok berdampak positif terhadap stabilitas hubungan kemitraan rantai pasok yang pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap kinerja kemitraan (Rahman et al., 2008; Yang et al., 2008; Naslund dan Williamson, 2010; Ren et al., 2010). Lahirnya konsep lembaga kemitraan didasari beberapa alasan, antara lain: (1) adanya perbedaan penguasaan sumberdaya lahan dan kapital, (2) adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha (Saptana et al., 2006). Haris (2006) menawarkan model aliansi strategis untuk mengatasi keterpisahan spasial dan fungsional pengembangan agroindustri crumb rubber. Model ini secara kelembagaan menempatkan pengusaha agroindustri dan petani sebagai pelaku utama. Kapasitas aliansi adalah skala medium dengan lokasi agroindustri mendekat ke sentra produksi bahan baku. Prediksi kinerja model berdasarkan lima parameter; transparansi, kepercayaan, saling ketergantungan, biaya transaksi, serta pembagian manfaat dan resiko. 27
Aliansi strategis adalah kesepakatan formal antara dua atau lebih perusahaan yang terpisah dimana terdapat kerjasama strategis yang relevan terkait beberapa tugas, kontribusi sumberdaya, berbagi resiko dan kendali (Dordevic, 2009). Cante el al. (2003) menyebutkan lima kelebihan utama dalam praktek aliansi ini adalah: hemat
biaya,
meningkatkan
kualitas/konsistensi,
peningkatan
pelayanan,
peningkatan revenue, dan peningkatan profitabilitas. Sementara lima kelemahan utamanya adalah: komunikasi, kontrol lemah, masalah waktu, kurang ketulusan, dan issu menetapan harga/profit. Dari sejumlah model kelembagaan agroindustri yang ada dapat dibangun sebuah model hipotetik bahwa model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi harus mampu mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan dan pelaku kunci agroindustri. Asumsi pelaku kunci dalam kegiatan ini adalah 1) industri karet, 2) petani, 3) pemerintah dan 4) lembaga dana yang berkolaborasi dan menjalin kemitraan dalam membangun agroindustri karet alam terintegrasi. Industri karet dan petani secara kolektif terlibat langsung dalam kegiatan rantai pasok karet alam baik berbasis karet dan kayu karet dari hulu hingga hilir. Pemerintah, di samping penetapan kebijakan, subsidi dan regulasi yang pro-poor dan pro-growth, memfasilitasi proses kemitraan serta menciptakan insentif bagi pelaku agroindustri dapat pula menyertakan modalnya dalam kegiatan pengembangan. Keterlibatan dan intervensi pemerintah ini dipandang dapat menjamin bahwa kolaborasi kemitraan akan berjalan sesuai aturan main juga menjadi perekat dalam kemitraan.
Lembaga dana mendukung dari sisi
pendanaan dengan memberikan insentif pinjaman dengan bunga ringan (di bawah 10%) dan subsidi suku bunga selama masa konstruksi. Model integrasi secara vertikal dapat dilakukan pada agroindustri karet baik berbasis karet maupun kayu karet. Dengan ketersediaan teknologi dan daya serap pasar dalam negeri untuk barang jadi karet yang hanya mencapai 15%, maka integrasi berbasis karet pada tahap awal hanya layak sampai produk antara dalam bentuk karet remah. Sementara untuk agroindustri berbasis kayu karet sesuai ketersediaan teknologi dan serapan pasar masih sangat memungkinkan diintegrasikan dari penyediaan bahan baku hingga industri hilir berupa industri furnitur.
28
Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan dapat menjamin terciptanya efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Untuk mendukung upaya ini diperlukan konsolidasi kelembagaan di tingkat petani, dukungan universitas, pihak swasta (industri) dan pemerintah (Gunasekara, 2006; Saptana dan Ashari, 2007; Gorman dan Garnet, 2009). Relasi akademisi-industri-pemerintah ini dikenal dengan model “triple helix” (Etzkowitz and Leydesdorff, 1998; 2000; Leydesdorff and Meyer, 2003) yang telah berkembang di China, Polandia dan Republik Korea dan banyak disarankan sebagai model pengembangan wilayah (Martin, 2011). Universitas, industri dan pemerintah memainkan peran yang sama dan membentuk triple-helix guna merangsang inovasi ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based business) (Etzkowitz, 2010). Regulasi yang stabil memang perlu, tapi tidak cukup. Transformasi universitas dari transfer pengetahuan dan riset menjadi institusi kewirausahaan merupakan kebutuhan vital. Pemerintah harus mendukung inovasi baru melalui kebijakan lingkungan, insentif pajak serta penyediaan modal ventura.
Industri dapat berperan sebagaimana universitas
dalam pelatihan dan riset pengembangan dengan level yang sama. Jika terjadi kesenjangan industri berbasis pengetahuan, maka interaksi universitas-pemerintah dapat membantu memicu kreasi dan mendorong pertumbuhan (Etzkowitz et al., 2007; Etzkowitz dan Ranga, 2010). Sukses kemitraan agroindustri harus didukung oleh (ADB, 2010): 1) Riset yang kuat di sektor pertanian dan dukungan teknologi untuk agroindustri. 2) Mendorong investasi oleh sektor swasta 3) Dukungan dan fasilitasi terhadap pengembangan agroindustri 4) Peningkatan kemitraan 5) Pengembangan institusi agroindustri, dan 6) Kebijakan pemerintah yang kondusif. Di Indonesia, pola kemitraan untuk pola pembiayaan usaha kecil (PPUK) yang melibatkan lembaga dana dan pemerintah masih menganut pola kemitraan terpadu (PKT) seperti yang ditunjukkan dalam PPUK kayu olahan (BI, 2003) dan PPUK furnitur kayu (BI, 2008).
29
2.6 Rantai nilai agroindustri Istilah rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai (value chain) menurut Vorst et al. (2007) sering digunakan secara interchangeable. Sturgeon (2000) mendefinisikan rantai nilai adalah serangkaian kegiatan produktif (seperti pemberian nilai tambah) hingga penggunaan akhir. Istilah lain untuk rantai nilai adalah rantai pasok, rantai komoditas, rantai produksi, rantai kegiatan atau pipeline. Ide rantai nilai (value chain) yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Michael Porter (1985) mendapatkan perhatian serius di sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir sebagai respon terhadap sejumlah faktor ekonomi dan trend konsumen yang mempengaruhi usaha di bidang pangan. Menurut Feller et al. (2006) perbedaan pokoknya antara rantai pasok dan rantai nilai adalah jika rantai pasok fokus pada aliran dari pemasok ke konsumen, sebaliknya rantai nilai fokus pada sektor hilir pada penciptaan nilai di mata konsumen seperti diilustrasikan pada Gambar 2.7.
Produk Komponen2 strategis
Permintaan produk
RANTAI NILAI Manufaktur
RANTAI PASOK
Permintaan konsumen Produk Final
Konsumen
Konsumen
Gambar 2.7. Ilustrasi rantai nilai dan rantai pasok (Feller et al., 2006) Porter (1985) mendefinisikan nilai sebagai jumlah yang bersedia dibayarkan oleh pembeli untuk apa yang diberikan oleh penjual, dan mengartikan rantai nilai sebagai kombinasi dari seluruh aktivitas penambahan nilai yang bekerja sama untuk memberikan nilai kepada pelanggan. Sejumlah peneliti, organisasi dan perusahaan memberikan definisi yang berbeda tentang rantai nilai.
Menurut
Devanney (2006), definisi-definisi ini mengarah pada istilah-istilah seperti “kemitraan”, “aliansi” dan “kolaborasi” yang fokus pada nilai tambah, peningkatan pangsa pasar, dan kepuasan atau melampaui permintaan konsumen. Rantai nilai adalah kemitraan saling menguntungkan antara semua pelaku yang terlibat dalam produksi suatu produk dimana masing-masing mitra berkontribusi dan berbagi pengetahuan, informasi serta menyumbangkan keahlian guna
30
meningkatkan (mendiferensiasi) produk akhir untuk meningkatkan kepuasan konsumen terkait dengan para pesaing. Kaplinsky and Moris (2001) mendefinisikan rantai nilai adalah gambaran seluruh rentang aktivitas yang dibutuhkan untuk membawa produk atau jasa dari konsepsi, melalui berbagai fase (value chain) produksi (melibatkan kombinasi transformasi fisik dan input berbagai jasa produsen), mengirimkan ke konsumen akhir, dan pembuangan akhir. Definisi ini juga digunakan oleh Miller dan da Silva (2007) yang menekankan adanya link antar proses. Perbedaan definisi ini juga berimplikasi pada perbedaan prioritas. Jika definisi pertama (Devanney, 2006) menekankan kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak yang terlibat, maka definisi kedua (Kaplinsky and Morris, 2000; Miller and da Silva, 2007) lebih menekankan perlunya link antara proses atau fase. Namun kedua pendekatan ini memiliki titik temu, dimana tujuan akhirnya adalah memenuhi tuntutan konsumen dan memenangkan persaingan. Menurut Reidel et al. (2009) analisis dayasaing sayuran segar dapat dilakukan dengan kombinasi pendekatan klaster dan rantai nilai melalui penciptaan nilai dengan melibatkan aktor lokal. Keterlibatan aktor lokal (petani) dalam hal ini sangat penting guna meningkatkan pendapatan para petani, kesempatan kerja serta keamanan pangan. Dalam analisis rantai nilai terdapat kaitan vertikal dan horisontal. Kaitan vertikal adalah kaitan antara pelaku-pelaku yang berbeda sepanjang rantai nilai seperti pemasok dan pengolah, atau antara distributor dan konsumen akhir. Kaitan horizontal adalah kaitan antara sejumlah pelaku pada level rantai yang sama seperti kaitan antara sesama pabrik pengolah, atau antara pelaku rantai nilai dengan lembaga pendukung lain di antara pabrik pengolahan dan penyelenggara jasa yang ada dalam rantai nilai seperti lembaga penelitian pasar, universitas dan penyelenggara jasa iklan (Kaplinsky and Morris, 2000). Menurut Bamman (2007), konsep rantai nilai ini mencakup: 1) Melacak aliran produk, menunjukkan penambahan nilai pada tiap tahapan, mengidentifikasi aktor-aktor kunci dan hubungannya dalam rantai tersebut. 2) Mengidentifikasi
perusahaan-perusahaan
yang
berkontribusi
terhadap
produksi, jasa, dan dukungan institusi yang dibutuhkan.
31
3) Mengindentifikasi “bottlenecks” yang menghalangi proses 4) Menyediakan kerangka kerja untuk aksi sektor spesifik 5) Mengindentifikasi strategi untuk membantu perusahaan lokal untuk bersaing dan meningkatkan penghasilan. 6) Mengidentifikasi stakeholder yang relevan untuk perencanaan program (termasuk ekspansi pasar). Rantai nilai sektor agri-food termasuk kompleks dan perlu dianalis dengan mendekatan holistik yang meliputi pra-produksi pasokan input, produksi, pascaproduksi, proses industri dan pemasaran. Termasuk dalam hal ini adalah aspek lingkungan bisnis yang meliputi iklim makro ekonomi, kebijakan dan regulasi sektoral, lembaga fasilitasi seperti kebijakan, hukum komersial, pendanaan, informasi pasar, standar, pasar, teknologi, keamanan pangan, riset dan pengembangan, inovasi, hak cipta, penyediaan jasa seperti transportasi, penyimpangan, pengolahan, pengemasan, impor, ekspor, dealer, komunikasi dan lain-lain (FAO, 2008). Mekanisme utama untuk meningkatkan kinerja rantai nilai produk pertanian menurut ADB (2010) adalah: 1) Reduksi biaya pada tiap titik sepanjang rantai nilai, 2) diferensiasi produk yang terlihat unik dan menarik bagi konsumen, 3) pengenalan teknologi tepat guna pada setiap titik sistem rantai nilai, dan 4) peningkatan kinerja dan kerjasama di antara lembaga-lembaga yang terlibat dalam rantai nilai. Contoh rantai nilai produk pertanian disajikan pada Gambar 2.8.
32
Gambar 2.8. Rantai nilai produk pertanian (ADB, 2010)
Pendekatan rantai nilai fokus pada empat faktor yang mempengaruhi dayasaing (Ardjosoediro dan Goetz, 2007): 1) Kerjasama dan koordinasi antar perusahaan; kerjasama ini menghasilkan peluang untuk input yang efisien, aliran barang dan informasi di antara perusahaan, memungkinkan bereaksi terhadap persaingan dari negara lain. 2) Hubungan di antara perusahaan: sama-sama memperoleh manfaat (win-win). hubungan antara perusahaan dalam rantai nilai menciptakan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pergerakan produk dan informasi, mengembangan strategi di level industri untuk bersaing di pasar global. 3) Distribusi manfaat menciptakan insentif atau dis-insentif kinerja. Manfaat dalam rantai nilai bervariasi, namun dapat diterjemahkan ke dalam peningkatan pendapatan, mereduksi risiko pasar (pendapatan lebih stabil), dan meningkatkan nilai asset. 4) Pembelajaran dan inovasi penting untuk menciptakan dan mempertahankan daya saing. Perlu pembelajaran yang cepat tentang preferensi konsumen dan akses terhadap ketrampilan dan teknologi dibutuhkan untuk memberikan respon, khususnya bagi perusahaan kecil agar tetap kompetitif dan terus meningkatkan respon terhadap peluang pasar.
33
Hasil penelitian Nga (2008) di Vietnam menunjukkan strategi “upgrading” rantai nilai yang melibatkan: (1) penyedia input, (2) petani karet, (3) pedagang perantara, (4) pabrik pengolah, dan (5) industri karet mampu meningkatkan nilai tambah dan surplus keuntungan pihak-pihak terkait dalam kegiatan. Petani karet mendapatkan nilai tambah 47,6% untuk lateks pekat, dan 61,9% untuk lateks cair. Pedagang perantara memperoleh nilai tambah 33,3% dan 30% untuk lateks pekat dan lateks cair, sementara pihak pabrik pengolah memperoleh masing-masing 5,29% dan 12,8% untuk lateks pekat dan lateks cair. Di Indonesia, analisis rantai nilai oleh Peramune dan Budiman (2007) menunjukkan para petani karet hanya menerima Rp. 3.000 – 4.000 per kg karet kareng kering atau 30% - 50% dari nilai FOB SIR 20. Industri barang jadi karet karet di Indonesia umumnya dikuasai
pihak asing, sementara industri lokal
memainkan peran yang sangat kecil dalam rantai nilai. Gambaran umum rantai nilai karet alam di Indonesia disajikan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Rantai nilai karet alam Indonesia (Peramune dan Budiman, 2007)
34
2.7 Kendala Pengembangan Agroindustri Kebijakan
pengembangan
agroindustri
memiliki
sasaran
menarik
pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapanangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan (Suryati dan Suryani, 2006). Namun dalam pencapaian sasaran di atas, pengembangan agroindustri dihadapkan pada berbagai kendala yang sifatnya multidimensi dari hulu hingga hilir.
Mulai dari bahan baku,
penanganan pasca panen, kelembagaan, akses dana, modal kerja, teknologi pengolahan, kesenjangan informasi, lingkungan, infrastruktur, faktor sosialbudaya, hingga kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada sektor ini. Mayoritas peneliti menyebutkan bahwa kendala utama adalah kekurangan modal, khususnya modal kerja dan kesulitan mengakses kredit atau sumber dana (Kachru, 2006; Shehrawat, 2006; Fatah, 2007; Reardon et al., 2009). Lembagalembaga dana lebih suka memberikan pinjaman untuk modal tetap, sementara sektor agroindustri lebih membutuhkan modal kerja. Bank memberikan modal kerja dengan bunga yang lebih besar untuk modal kerja ketimbang pinjaman modal lainnya (Ghandi dan Jain, 2011). Kendala pertama adalah jumlah dan mutu bahan baku yang tidak memadai, diikuti oleh teknologi yang sudah usang, dan daya serap pasar yang kecil diikuti oleh kesulitan mengakses kredit. Teknologi usang yang digunakan dalam pengolahan berakibat pada rendahnya efisiensi dan mutu output (Ghandi et al., 2001; Ghandi dan Jain, 2011). Ukuran unit pengolahan hasil pertanian terlalu kecil dan lokasinya terpisah merupakan kendala untuk mencapai skala operasi yang memadai.
Kendala ini bisa diatasi melalui aksi kolektif dan contract
farming (Kirsten dan Sartorius, 2002; Viswanathan, 2008; dan Narrod et al., 2009), pendekatan agropolitan (Shaffril et al., 2010; Buang et al, 2011) atau klaster (Burger et al., 2001; Reidel, 2009; Manno dan Suzuki, 2010). Kendala berikutnya adalah kebijakan pemerintah dan regulasi yang tidak berpihak pada pengembangan agroindustri sehingga menciptakan dis-insentif investasi agroindustri (Shehrawat, 2006; Ghandi dan Jain, 2011). Menurut FAO (2008), faktor sukses untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan agribisnis dan agroindustri mencakup: stabilitas makro-ekonomi
35
dan politik, sistem penggunaan lahan yang efisien, kebijakan perdagangan terbuka yang konsisten, kemitraan publik-swasta berfungsi, pemerintahan yang bersih, dan ketersediaan teknologi inovatif. Tidak efisiennya manajemen rantai pasok berdampak pada biaya transaksi yang tinggi akibat hubungan kelembagaan yang tidak berjalan dengan baik. Kendala biaya transaksi dan informasi, institusi mempengaruhi efisiensi dan distribusi alokasi sumber daya. Biaya transaksi yang tinggi akan menjadi kendala kaitan kelembagaan dan inovasi organisasi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan interdependesi ekonomi perdesaan yang diusung oleh proses agroindustrialisasi (Kirsten dan Sartorius, 2002; Cook dan Chaddad, 2000; Wilkinson dan Rocha, 2009). Harus ada kejujuran, niat baik, saling percaya dan komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam hubungan rantai pasok. Hal ini bisa dijembatani melalui pengembangan teknologi informasi di sepanjang rantai pasok (Ryssel et al., 2004). Kajian Shehrawat (2006) lebih jauh menunjukkan kendala pengembangan agroindustri adalah karena lemah dan kurangnya: fasilitas fisik, kecukupan stok bahan baku, kompetensi manajerial, perhatian terhadap publikasi produk, kinerja lembaga/dinas pengembangan (pemerintah), kesenjangan teknologi, kecukupan modal kerja, masalah dalam memperoleh fasilitas kredit, informasi ekspor, pasokan tenaga (listrik), ketidakpastian dan kemahalan, penyiapan, identifikasi dan implementasi proyek, lisensi dan registrasi, lemahnya hubungan dengan infrastruktur pasar, kurang dukungan dan insentif dari pemerintah merupakan masalah sangat serius yang dihadapi para pengusaha untuk dapat bertahan. Berdasarkan tinjauan terhadap literatur di atas dapat disimpulkan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri secara umum adalah: 1) Jumlah dan mutu bahan baku yang tidak stabil serta tidak pasti. 2) Kekurangan modal kerja karena umumnya para pelaku (pemasok) bahan baku adalah para petani kecil di samping kelemahan manajerial. 3) Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada petani maupun pengusaha agroindustri yang menciptakan dis-insentif investasi agroindustri. Kurangnya dukungan dan insentif dari pemerintah juga merupakan masalah serius bagi para pengusaha agroindustri.
36
4) Kebijakan lembaga pendanaan yang tidak berpihak pada petani sehingg para petani kesulitan mengakses kredit. 5) Teknologi pengolahan yang sudah ketinggalan yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan mutu hasil olahan yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya daya saing. 6) Tidak efisiennya manajemen rantai pasok akibat hubungan kemitraan yang tidak berjalan dengan baik dan harmonis sehingga berdampak pada tingginya biaya transaksi dan koordinasi.
Terkadang masalah ini muncul akibat
kurangnya kepercayaan, komitmen serta pemahaman tentang makna dan pentingnya kemitraan yang saling menguntungkan dan saling ketergantungan. 7) Unit pengolahan hasil yang terlalu kecil dan lokasi yang terpisah yang berakibat penurunan mutu bahan baku sebelum mencapai lokasi pengolahan dan tidak tercapai skala operasional ekonomis.
Karena itu, strategi pengembangan harus mampu mengatasi berbagai kendala pengembangan agroindustri yang dimulai dengan kemudahan akses dana, menurunkan biaya transaksi bagi pihak swasta untuk memasuki sektor agroindustri, mendorong kooperasi dan koordinasi di antara pemerintah, sektor swasta dan LSM dan peningkatan kualitas SDM. Kendala-kendala bagi petani gurem untuk mengakses kredit, input usaha tani, ekstensi dan pengadaan output harus dihilangkan.
37
38