5
2 PENGARUH LANGSUNG, TIDAK LANGSUNG, DAN MODERASI PERAN MOTIVASI DAN KEMAMPUAN TERHADAP KINERJA PNS
Pendahuluan Suksesnya tujuan suatu organisasi tidak terlepas dari peran dan dukungan sumberdaya manusia, dalam hal ini adalah pegawai yang memiliki kinerja, motivasi, dan kemampuan kerja yang baik hingga diharapkan suatu hasil yang baik dan memuaskan. Pimpinan organisasi harus bisa memadukan kepentingan pegawai dengan kepentingan organisasi agar kebutuhan pegawai dapat terpenuhi bersamaan dengan tercapainya sasaran organisasi yaitu kinerja yang optimal. Kinerja yang terus meningkat akan memengaruhi prestasi organisasi sehingga tujuan organisasi yang telah ditetapkan akan tercapai (Gibson 1995). Kinerja pegawai tergantung pada kemampuan, usaha kerja dan kesempatan kerja yang dapat dinilai dari output (Russell and Bernard 2000). Menurut Sedarmayanti (2009), kinerja merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Pendapat ini diperkuat oleh Stoner dan Freeman (1992) yang mengemukakan bahwa kinerja adalah kunci yang harus berfungsi secara efektif agar organisasi secara keseluruhan dapat berhasil. Sutermeister (1969) berpendapat bahwa kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja seseorang, maka diperlukan pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi. Menurut Sedarmayanti (2009), kemampuan tanpa motivasi atau motivasi tanpa kemampuan, keduanya tidak dapat menghasilkan keluaran yang tinggi. French yang diacu Irawan (1997) menyatakan bahwa motivasi sebagai hasrat atau keinginan seseorang meningkatkan upaya untuk mencapai target atau hasil. Menurut Nawawi dan Hadari (1990), kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motive yang berarti dorongan sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan yang berlangsung secara sadar. Sedangkan Gitosudarmo dan Sudita (2000) mengartikan motivasi sebagai faktor-faktor yang ada di dalam diri seseorang yang menggerakkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Irawan (1997), mengasumsikan motivasi sebagai motivasi kerja yang merupakan dorongan dari dalam diri yang kuat untuk bekerja menghasilkan output yang sesuai dengan harapan. Dengan demikian, pegawai pada organisasi yang mempunyai motivasi dan berprestasi dalam meningkatkan kinerja, dapat dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan mengarah pada motivasi yang dimiliki untuk bekerja sebaik-baiknya dan mengarah kepada standar kerja atau hasil yang telah ditetapkan. Gray dan Starke (1984) yang disitas oleh Baidoeri (2003) berpendapat bahwa motivasi yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Di sisi lain, kemampuan pegawai juga dapat mempengaruhi kinerja. Robbins (2001) mengemukakan bahwa kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Peningkatan kemampuan
6
merupakan strategi yang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan sikap tanggap dalam rangka peningkatan kinerja organisasi (Sutrisno 2009). Berdasarkan beberapa teori tersebut, maka dibuatlah model penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh motivasi dan kemampuan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui indikator apa saja yang dominan mencerminkan motivasi, kemampuan, dan kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Metode Penelitian Kerangka Pemikiran Penelitian Model kerangka pemikiran penelitian dikembangkan untuk mengetahui faktor-faktor baik secara langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi kinerja PNS yang terdiri dari motivasi dan kemampuan, serta untuk mengetahui apakah motivasi dapat memoderasi pengaruh kemampuan terhadap kinerja PNS. Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diungkapkan sebelumnya, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PEMBANGUNAN KAWASAN TRANSMIGRASI VISI & MISI ORGANISASI SUMBER DAYA MANUSIA
MOTIVASI
KEMAMPUAN
- Faktor Motivator: prestasi, pengakuan, karakteristik pekerjaan, tanggung jawab, kemajuan. - Faktor Hygiene: kebijakan dan administrasi organisasi, pengawasan teknis, gaji, hubungan antar pegawai dengan pimpinan, kondisi kerja.
- Faktor Pengetahuan (knowledge): pendidikan (education), pengalaman (experience), pelatihan (training), dan minat (interest). - Faktor Keterampilan (skill): sikap (attitude) dan kepribadian (personality).
KINERJA PNS -
Kualitas Kerja Kuantitas Kerja Ketepatan Waktu Efektivitas Kerja Kemandirian Komitmen
KINERJA ORGANISASI
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran penelitian
7
Kerangka pemikiran ini dikembangkan berdasarkan beberapa teori, yaitu untuk indikator motivasi didasarkan pada teori Herzberg, untuk indikator dari kemampuan didasarkan pada teori yang diungkapkan oleh Sutermeister (1969), sedangkan untuk indikator dari kinerja PNS didasarkan pada teori yang diungkapkan oleh Bernardin (1993). Berdasarkan beberapa teori tersebut, maka dibuatlah model penelitian yaitu model pengaruh langsung (model 1) dan model pengaruh tidak langsung (model 2), serta model pengaruh moderasi (model 3) seperti yang tersaji pada Gambar 2.2. Model 1 menggambarkan motivasi dan kemampuan berpengaruh langsung terhadap kinerja PNS. Model 2 menggambarkan kemampuan tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja PNS melainkan berpengaruh langsung terhadap motivasi. Model 3 menggambarkan motivasi memoderasi pengaruh kemampuan terhadap kinerja PNS.
Kemampuan
H1
Kinerja PNS Motivasi
H2
Gambar 2.2a Model penelitian 1 pengaruh langsung (direct effect) H1 H2
Kemampuan H2
Kinerja PNS H3
Motivasi
Gambar 2.2b Model penelitian 2 pengaruh tidak langsung (indirect effect) H2 H3
H1
Kemampuan
Kinerja PNS H2
Motivasi
Gambar 2.2c Model penelitian 3 pengaruh moderasi (moderating effect)
8
Hipotesis Penelitian Menurut Martono (2010), hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara yang kebenarannya harus diuji atau rangkuman kesimpulan secara teoritis yang diperoleh melalui tinjauan pustaka. Berikut hipotesis penelitian berdasarkan model penelitian di atas, yaitu: 1 Hipotesis Model 1: Model Pengaruh Langsung (Direct Effect) H1: Kemampuan berpengaruh signifikan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. H2: Motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. 2 Hipotesis Model 2: Model Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect) H1: Kemampuan berpengaruh signifikan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. H2: Kemampuan berpengaruh signifikan terhadap motivasi di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. H3: Motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. 3 Hipotesis Model 3: Model Pengaruh Moderasi (Moderating Effect) H1: Kemampuan berpengaruh signifikan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. H2: Motivasi memoderasi kemampuan dan kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini bertempat di Kantor Pusat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, yang berlokasi di Jl. Taman Makam Pahlawan Kalibata No. 17, Jakarta Selatan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden (pegawai) dengan pengisian kuesioner dan metode wawancara. Data primer tersebut antara lain mengenai persepsi pegawai terhadap peran motivasi dan kemampuan terhadap kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumen, data instansi yang terkait, buku, skripsi, dan artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Populasi, Jumlah Sampel dan Metode Penarikan Sampel Populasi menurut Umar (2003) adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, populasinya adalah pegawai di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, yang dianggap bisa mewakili populasi. Dalam penentuan jumlah sampel untuk penentuan jumlah responden, mengacu dari pendapat Gay dalam Umar (2003) bahwa ukuran minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan metode penelitian yang digunakan, sebagai berikut:
9
1 Metode deskriptif, minimal 10% populasi. Untuk populasi relatif kecil minimal 20%. 2 Metode deskriptif korelasi, minimal 30 subjek. 3 Metode expost facto, minimal 15 subjek per kelompok. 4 Metode eksperimental, minimal 15 subjek per kelompok.
Eselon I II III IV Fungsional Staf Total a
Tabel 2.1 Data pegawai berdasarkan Eselon Jumlah pegawai 1 orang 6 orang 24 orang 52 orang 2 orang 285 orang 370 orang
Sumber: Sub Bagian Kepegawaian Ditjen P2KTrans Kemenakertrans, 2013
Populasi yang diambil yaitu pegawai yang bekerja di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans sebesar 370 orang, per 30 Juni 2013. Dalam penelitian ini penulis menyebar 200 kuesioner, namun yang kembali hanya sebanyak 143 kuesioner. Spesifikasi responden dalam penelitian ini yaitu pegawai yang sudah menjadi PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Hal ini dikarenakan responden yang terpilih benar-benar mengetahui keadaan yang sebenarnya sehingga data yang dikumpulkan akurat. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling). Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa instrumen, yaitu kuesioner dan wawancara. Kuesioner adalah seperangkat pertanyaan yang disusun untuk diajukan kepada responden. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden berkaitan dengan tujuan penelitian. Untuk memperoleh data, kuesioner dibagikan kepada responden dalam sampel yang telah ditentukan untuk dipilih. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner dibuat berdasarkan skala Likert. Sedangkan wawancara adalah suatu proses memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden maupun pihak yang terkait. Analisis kualititatif dapat dikuantifikasikan dengan menggunakan skala pengukuran Likert Scale (Skala Likert). Pada skala Likert ini, responden diberi empat pilihan jawaban dengan stratifikasi dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Hal ini sesuai pendapat Malhotra (2005) bahwa untuk menghindari kecenderungan responden menjawab netral yang menyebabkan bias tanggapan, maka skala dengan jumlah genap dapat digunakan. Alasan menggunakan empat kategori (tidak lima atau ganjil) pilihan dalam penelitian ini adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pengumpulan pilihan jawaban di daerah tengah (3, yang berarti normal/sedang/cukup). Kategori pernyataan jawaban
10
disimbolkan dengan pilihan ganda dengan abjad, sebagaimana terlihat dalam Tabel 2.2.
A B C D
Tabel 2.2 Skor skala Likert 1 Sangat Tidak Setuju (STS) 2 Tidak Setuju (TS) 3 Setuju (S) 4 Sangat Setuju (SS) Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya diolah agar memiliki makna yang berguna untuk memecahkan masalah yang diteliti. Untuk data-data kualitatif dilakukan analisis deskriptif, sedangkan pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan kode (coding) untuk menyeragamkan data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik SEM dengan pendekatan PLS dengan bantuan Software SmartPLS versi 2.0. Adapun untuk keperluan penolakan atau penerimaan hipotesis, penulis menggunakan taraf signifikansi 5 persen (α = 0.05). Analisis Deskriptif Menurut Travers yang diacu Umar (2003), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Menurut Gay yang disitasi Umar (2003), metode ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut sesuatu pada waktu sedang berlangsungnya proses penelitian. Analisis ini digunakan untuk mengetahui karakteristik dari responden. Analisis ini digunakan pada saat mengolah data kuesioner pada bagian pertama yang meliputi jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan terakhir, masa kerja, jenjang kepangkatan, dan jabatan. Analisis Uji Tabulasi Silang (Cross Tabulation) Menurut Cooper and Schindler (2006), tabulasi silang adalah teknik untuk membandingkan data dari dua atau lebih variabel kategori. Tabulasi silang digunakan dengan variabel demografis dan variabel target dari studi bersangkutan. Tabulasi silang adalah langkah pertama untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel-variabel, ketika tabel disusun untuk pengujian statistika, disebut dengan tabel kemungkinan, dan pengujian tersebut menentukan apakah variabel-variabel klasifikasi tidak bergantung satu dengan yang lainnya. Pada penelitian ini, analisis ini dilakukan pada data karakteristik responden pendidikan terakhir dengan masa kerja, jenjang kepangkatan, dan jabatan. Analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan Pendekatan Partial Least Square (PLS) SEM adalah alat analisis yang memiliki kemampuan untuk melakukan analisis jalur (path) dengan variabel laten (Fonell yang diacu Ghozali 2008). SEM dengan pendekatan PLS dikembangkan oleh Herman Wold dimana PLS
11
merupakan metode analisis yang powerfull karena tidak didasarkan banyak asumsi. Data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala kategori, ordinal, interval, sampai rasio dapat digunakan pada model yang sama), sampel tidak harus besar. Selain itu, PLS juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori dan menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antar variabel laten (Ghozali 2008). Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan, yaitu: 1. Inner Model (Structural Model) Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan teori. Model persamaannya dapat ditulis seperti di bawah ini. η = β0 + βη + Γξ + ζ ........................................................................................ (1) dimana η menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ adalah vektor variabel laten eksogen, dan ζ adalah vektor variabel residual. 2. Outer Model (Measurement Model) Outer model mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Blok dengan indikator reflektif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut: x = Ʌxξ + εx y = Ʌyη + εy ..................................................................................................... (2) Dimana x dan y adalah indikator untuk variabel laten eksogen dan endogen. Sedangkan Ʌx dan Ʌy merupakan matrik loading yang menggambarkan koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan εx dan εy dapat diinterpretasikan sebagai kesalahan pengukuran. Blok dengan indikator formatif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut: ξ = п ξx + δξ η = пηy + δη ..................................................................................................... (3) Dimana ξ, η, x, dan y sama dengan yang digunakan pada persamaan (2). пξ dan пη adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten dan blok indikator, dimana δξ dan δη adalah residual regresi. 3. Weight Relation Inner dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS. Nilai kasus untuk setiap variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut: ξb = Σkb Wkb Xkb ηi = Σki Wki yki ................................................................................................. (4) Dimana Wkb dan Wki adalah k weight yang digunakan untuk membentuk estimasi variabel laten ξb dan ηi. Estimasi variabel laten adalah linear agregat dari indikator yang nilai weight-nya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasikan oleh inner dan outer model dimana η adalah vektor variabel laten endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel laten eksogen (independen). Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah Analisis SEM dengan pendekatan PLS yang digunakan untuk melihat pengaruh langsung antara motivasi dan kemampuan terhadap kinerja PNS dan pengaruh tidak langsung antara kemampuan terhadap kinerja PNS melalui motivasi, serta untuk melihat motivasi memoderasi pengaruh kemampuan terhadap kinerja PNS. Dimana
12
variabel kinerja PNS sebagai variabel laten endogen dan variabel motivasi dan kemampuan sebagai variabel eksogen. Selain itu, analisis ini juga dapat digunakan untuk memperoleh berbagai indikator-indikator yang kuat dalam menggambarkan masing-masing variabel latennya. Operasionalisasi Variabel Definisi dari operasional adalah sebuah definisi yang dibuat dengan kriteria spesifik sesuai dengan kriteria pengukuran dan pengujian (Cooper and Schindler 2006). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini dioperasionalisasikan ke dalam dua variabel utama, yaitu eksogen (variabel independen) dan endogen (variabel dependen). Secara lebih rinci operasionalisasi masing-masing variabel dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2.3. berikut. Tabel 2.3 Operasionalisasi variabel Variabel Endogen: Kinerja PNS
Sub variabel Definisi Indikator Hasil kerja pegawai selama kurun waktu tertentu yang diukur dari kualitas dan kuantitas output yang dihasilkan (Bernardin 1993). Kualitas kerja
Kuantitas kerja
Ketepatan waktu
Kegiatan yang diberikan oleh suatu organisasi kepada para pegawai dengan memerhatikan mutu, pekerjaan itu diselesaikan sesuai dengan data yang akurat, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Y.01 =
Proses untuk menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan akan dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu.
Y.03 =
Waktu penyelesaian tugas (pekerjaan) sesuai dengan waktu yang diberikan.
Y.05 =
Y.02 =
Y.04 =
Y.06 =
Efektivitas kerja
Kemandirian
Tingkat dimana penggunaan sumber daya organisasi yang di dalamnya menyangkut penggunaan fasilitas kantor berupa manusia, teknologi, dan keuangan untuk mendapatkan hasil yang tertinggi. Tingkatan dimana seorang pegawai dapat melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta pertolongan atau bimbingan dari atasannya.
Y.07 =
Y.08 =
Y.09 =
Bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi. Diberi pengetahuan untuk menjalankan pekerjaan. Banyak program kerja dikerjakan sesuai jadwal. Sering mengerjakan tugas tambahan di samping tugas rutin. Menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Memanfaatkan waktu dengan baik. Merencanakan pekerjaan dengan baik. Melakukan pekerjaan secara efektif. Bekerja mandiri, sehingga tidak bergantung pada orang lain.
13 Lanjutan Tabel 2.3 Variabel
Sub variabel
Definisi
Indikator Mampu menemukan solusi tanpa petunjuk atasan. Komitmen Dimana seorang pegawai merasa Y.11 = Berupaya percaya diri, punya keinginan yang menyelesaikan baik dan bekerja sama dengan tugas penuh rekan kerja. tanggung jawab. Y.12 = Mampu bekerja sama dalam tim kerja. Ada dua teori faktor menurut Herzberg, yaitu faktor motivator dan hygiene. Faktor motivator yaitu karakteristik pekerjaan berkaitan dengan kepuasan pekerjaan yang dipengaruhi oleh prestasi, pengakuan, karakteristik pekerjaan, tanggung jawab, dan kemajuan. Sedangkan faktor hygiene yaitu karakteristik pekerjaan berkaitan dengan ketidakpuasan yang dipengaruhi oleh kebijakan dan administrasi organisasi, pengawasan teknis, gaji, hubungan antar pegawai dengan pimpinan, dan kondisi kerja. 1. Faktor motivator: Prestasi Besar kecilnya pegawai mencapai X1.01= Pekerjaan saat ini prestasi kerja yang tinggi. memberikan kesempatan untuk mencapai suatu prestasi terbaik. X1.02= Promosi karena prestasi. Pengakuan Besar kecilnya pengakuan yang X1.03= Pengakuan diberikan kepada pegawai atas pimpinan atau kinerjanya. rekan kerja atas hasil kerja dan prestasi. X1.04= Penghargaan atas prestasi kerja. Karakteristik Besar kecilnya tantangan yang X1.05= Pemberian pekerjaan merangsang bagi pegawai dari wewenang pekerjaannya. tambahan dan kebebasan kerja. X1.06= Pemberian beberapa tugas baru yang lebih sulit yang belum pernah ditangani sebelumnya. Tanggung Besar kecilnya yang dirasakan dan X1.07= Kesesuaian tugas jawab diberikan pada pegawai. dan tanggung jawab dengan kemampuan pegawai. X1.08= Bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri. Kemajuan Besar kecilnya kemungkinan X1.09= Kesempatan pegawai dapat maju dalam untuk maju. pekerjaannya. X1.10= Kesempatan yang diberikan untuk mengikuti diklat. Y.10 =
Eksogen: Motivasi
14 Lanjutan Tabel 2.3 Variabel
Sub variabel
Definisi X1.11=
2. Hygiene factor: Kebijakan Derajat kesesuaian yang dirasakan dan pegawai dari semua kebijakan dan administrasi peraturan yang berlaku di organisasi organisasi.
X1.12=
X1.13=
X1.14=
Pengawasan teknis
Derajat kewajaran pengawasan teknis selama bekerja.
X1.15=
X1.16=
Gaji
Derajat kewajaran gaji sebagai suatu imbalan atas hasil kerjanya.
X1.17= X1.18= X1.19=
X1.20=
Hubungan antar pegawai dengan pimpinan
Derajat kewajaran hubungan antar pegawai dengan pimpinan yang dirasakan pegawai.
Kondisi kerja
Derajat kesesuaian kondisi kerja yang berlaku di organisasi yang dirasakan pegawai.
X1.21=
X1.22= X1.23= X1.24= X1.25= X1.26=
Indikator Meningkatnya keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan. Kepuasan terhadap pengaturan jam kerja yang berlaku. Kedisiplinan organisasi dalam menerapkan peraturan. Pemberian sanksi atau hukuman bagi pegawai yang tidak menaati peraturan. Frekuensi pimpinan dalam melaksanakan pengawasan kepada pegawai. Frekuensi pimpinan dalam melaksanakan bimbingan pekerjaan kepada pegawai. Gaji yang diterima. Tunjangan yang diberikan. Perasaan puas atas gaji yang diberikan. Perasaan puas atas tunjangan yang diberikan. Frekuensi diskusi dalam memecahkan masalah. Keluhan diperhatikan. Ide diperhatikan. Suasana tempat kerja kondusif. Tempat bekerja yang aman. Penyediaan fasilitas.
15 Lanjutan Tabel 2.3 Variabel Eksogen: Kemamp uan
Sub variabel Definisi Indikator Kemampuan (ability) merupakan hasil dari pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, pelatihan, dan minat. Sedangkan keterampilan dipengaruhi oleh sikap dan kepribadian (Sutermeister 1969). 1. Faktor pengetahuan (knowledge): Yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Pendidikan Yaitu kegiatan untuk memperbaiki X2.01= Tingkat (education) kemampuan pegawai dengan cara pendidikan meningkatkan pengetahuan dan mempercepat pengertian. memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. X2.02= Latar belakang pendidikan sesuai bidang pekerjaan. Pengalaman Yaitu pelajaran berharga dan X2.03= Dengan (experience) membuka wawasan baru yang pengalaman kerja memungkinkan dijadikan pedoman yang dimiliki, untuk mengambil tindakan memiliki selanjutnya. tanggung jawab dalam melaksanakan tugas pekerjaan. X2.04= Kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman kerja. Pelatihan Yaitu suatu proses dimana pegawai X2.05= Bimbingan Teknis (training) mencapai kemampuan tertentu bertujuan untuk mendukung mencapai tujuan meningkatkan organisasi. kemampuan penyelesaian pekerjaan. X2.06= Kesesuaian program pelatihan dengan kebutuhan pegawai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Minat Yaitu kecenderungan seseorang X2.07= Berminat terhadap (interest) untuk melakukan suatu perbuatan. pekerjaan sekarang. X2.08= Bekerja dengan baik dalam melaksanakan pekerjaan. 2. Faktor keterampilan (skill): Yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sikap Yaitu perasaan (senang-tidak X2.09= Bekerja keras (attitude) senang, suka-tidak suka) atau reaksi dalam terhadap suatu rangsangan yang melaksanakan datang dari luar dirinya. tanggung jawab.
16 Lanjutan Tabel 2.3 Variabel
Sub variabel
Definisi
Indikator Menerima dengan baik dan senang bila ada masukkan, kritikan, atau teguran baik dari rekan kerja maupun pimpinan. X2.11= Bersedia membantu orang lain jika ada waktu. X2.12= Bersedia membantu orang lain untuk kepentingan organisasi. X2.10=
Kepribadian (personality)
a
Yaitu sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannya yang membedakan dirinya dari yang lain.
Sumber : Dikembangkan untuk penelitian ini, 2013
Hasil dan Pembahasan Sejarah Kemenakertrans Pada awal pemerintahan Republik Indonesia, waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan jumlah kementerian pada tanggal 19 Agustus 1945, kementerian yang bertugas mengurus masalah ketenagakerjaan belum ada, sehingga penanganan masalah-masalah perburuhan diletakkan pada Kementerian Sosial. Baru mulai tanggal 3 Juli 1947 ditetapkan adanya Kementerian Perburuhan, dan melalui Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1947 tanggal 25 Juli 1947 ditetapkan tugas pokok Kementerian Perburuhan. Sejak awal periode Demokrasi Terpimpin, terdapat organisasi buruh dan gabungan serikat buruh baik yang berafiliasi dengan partai politik maupun yang bebas, pertentangan-pertentangan mulai muncul dimana-mana. Pada saat itu, kegiatan Kementerian Perburuhan dipusatkan pada usaha penyelesaian perselisihan perburuhan. Sementara itu, masalah pengangguran terabaikan, sehingga melalui PMP No. 12 Tahun 1959 dibentuk kantor Panitia Perselisihan Perburuhan Tingkat Pusat (P4P) dan Tingkat Daerah (P4D). Struktur Organisasi Kementerian Perburuhan sejak Kabinet Kerja I sampai dengan Kabinet Kerja IV tidak mengalami perubahan. Struktur Organisasi mulai berubah melalui Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 Tahun 1964 yaitu dengan ditetapkannya empat jabatan. Pembantu menteri untuk urusan-urusan administrasi, penelitian, perencanaan, dan penilaian hubungan dan pengawasan perburuhan dan tenaga kerja. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi Kementerian Perburuhan yang berdasarkan peraturan tersebut disempurnakan dengan Peraturan Menteri Perburuhan No. 13 Tahun 1964 tanggal 27 November 1964, yang pada pokoknya menambah satu jabatan Pembantu Menteri Urusan Khusus. Dalam periode Orde Baru (masa transisi 1966-1969), Kementerian Perburuhan berubah nama menjadi Departemen Tenaga Kerja (Depnaker). Berdasarkan keputusan tersebut, jabatan Pembantu Menteri di lingkungan Depnaker dihapuskan dan sebagai penggantinya dibentuk satu jabatan Sekretaris
17
Jenderal. Masa transisi berakhir tahun 1969 yang ditandai dengan dimulainya tahap pembangunan Repelita I, serta merupakan awal pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I). Pada pembentukan Kabinet Pembangunan II, Depnaker diperluas menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, sehingga ruang lingkup tugas dan fungsinya tidak hanya mencakup permasalahan ketenagakerjaan tetapi juga mencakup permasalahan ketransmigrasian dan pengkoperasian. Dalam Kabinet Pembangunan III, unsur koperasi dipisahkan dari Departemen Tenaga kerja, Transmigrasi dan Koperasi, sehingga menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Dalam masa bakti Kabinet Pembangunan IV, dibentuk Departemen Transmigrasi, sehingga unsur transmigrasi dipisah dari Depnaker. Pada masa reformasi, Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Transmigrasi digabung kembali pada tanggal 22 Februari 2001. Berikut visi Kemenakertrans: "Terwujudnya Tenaga Kerja dan Masyarakat Transmigrasi yang Produktif, Kompetitif dan Sejahtera". Sedangkan misi Kemenakertrans adalah: 1. perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pelayanan penempatan tenaga kerja serta penguatan informasi pasar kerja dan bursa kerja, 2. peningkatan kompetensi keterampilan dan produktivitas tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi, 3. peningkatan pembinaan hubungan industrial serta perlindungan sosial tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi, 4. peningkatan pengawasan ketenagakerjaan, 5. percepatan dan pemerataan pembangunan wilayah, dan 6. penerapan organisasi yang efisien, tatalaksana yang efektif dan terpadu dengan prinsip kepemerintahan yang baik (good govermance), yang didukung oleh penelitian, pengembangan, dan pengelolaan informasi yang efektif. Tugas dan Fungsi Ditjen P2KTrans Kemenakertrans Tugas Ditjen P2KTrans Kemenakertrans menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER. 12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan pembangunan kawasan transmigrasi. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, Ditjen P2KTrans Kemenakertrans menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: 1. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan pembangunan kawasan transmigrasi; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pembangunan kawasan transmigrasi; 3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan pembangunan kawasan transmigrasi; 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan pembangunan kawasan transmigrasi; dan 5. Pelaksanaan administrasi Ditjen P2KTrans Kemenakertrans;
18
Analisis Deskriptif Responden dalam penelitian ini berjumlah 143 orang pegawai di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Analisis karakteristik responden penting dilakukan karena karakteristik tersebut dapat mempermudah pihak manajemen dalam mengelola sumberdaya manusia dalam lingkungan organisasi. Karakteristik responden dalam penelitian ini ditinjau dari segi jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan terakhir, masa kerja, jenjang kepangkatan, dan jabatan. Karakteristik responden di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Karakteristik responden Ditjen P2KTrans Kemenakertrans Jumlah responden Keterangan Persentase (%) (orang) 1. Jenis kelamin Laki-laki 78 54.5 Perempuan 65 45.5 2. Kelompok usia 20 – 30 tahun 23 16.1 31 – 40 tahun 19 13.3 41 – 50 tahun 51 35.7 51 – 60 tahun 50 35.0 3. Pendidikan terakhir SMA 36 25.2 S1 72 50.3 S2 35 24.5 4. Masa kerja 2 – 9 tahun 21 14.7 10 – 19 tahun 19 13.3 20 – 29 tahun 53 37.1 30 – 39 tahun 50 35.0 5. Jenjang kepangkatan Golongan II 7 4.9 Golongan III 119 83.2 Golongan IV 17 11.9 6. Jabatan Kasubdit/Kabag 4 2.8 Kasi/Kasubag 26 18.2 Staf 113 79 Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa responden laki-laki sebanyak 78 orang (54.5%) sedangkan responden perempuan sebanyak 65 orang (45.5%). Hal ini menunjukkan pegawai di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Pada saat pengadaan pegawai, disesuaikan dengan jenis pekerjaan, tugas pokok, dan fungsi organisasi, yang lebih didominasi pekerjaan fisik di lapangan, di daerah yang belum terbuka berupa hutan atau daerah yang masih terisolasi dari fasilitas kehidupan. Hal ini dikarenakan pegawai laki-laki lebih cocok daripada pegawai perempuan untuk dapat menjalani tugas hingga
19
tuntas selama berhari-hari dalam keadaan daerah kerja sebagaimana tersebut di atas. Tingkat pendidikan pegawai merupakan salah satu hal yang memengaruhi organisasi dalam menentukan penempatan pegawai. Saat organisasi melakukan penilaian, tingkat pendidikan pegawai menjadi salah satu pertimbangan organisasi karena pengetahuan yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Tabel 2.4 menunjukkan bahwa responden didominasi oleh pendidikan S1 yaitu 72 orang (50.3%). Pegawai dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat sebanyak 36 orang (25.2%), dan pegawai dengan tingkat pendidikan S2 sebanyak 35 orang (24.5%) Pada penerimaan CPNS tahun 2010, Kemenakertrans menerima pegawai dengan tingkat pendidikan terakhir S1 dari beberapa jurusan yang memang sedang dibutuhkan. Pada Tabel 2.4 dapat dilihat karakteristik responden berdasarkan kelompok usia. Usia merupakan salah satu faktor internal dalam diri pegawai, sehingga mempengaruhi persepsi mereka terhadap peran motivasi dan kemampuan terhadap kinerja PNS. Usia yang berbeda juga menunjukkan kebutuhan yang berbeda. Untuk itu, unit kerja kepegawaian harus mampu membaca kebutuhan pegawai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 16.1 persen (23 orang) pegawai berusia 20 sampai dengan 30 tahun, 13.3 persen (19 orang) berusia 31 sampai dengan 40 tahun, 35.7 persen (51 orang) berusia 41 sampai dengan 50 tahun, dan 35 persen (50 orang) berusia 51 sampai dengan 60 tahun. Hal ini menunjukkan pegawai mayoritas berada di kelompok usia antara 41 sampai dengan 50 tahun dan antara 51 sampai dengan 60 tahun. Menurut Robbins (2001), lama kerja turut menentukan kinerja seseorang dalam menjalankan tugas. Semakin lama seseorang bekerja, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga mutu dan kemampuan kerja seseorang tumbuh dan berkembang melalui lama kerja/masa kerja yang telah dilewati dan akan mendewasakan seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa kerja pegawai terbanyak berada antara 20 sampai dengan 29 tahun sebanyak 53 orang (37.1%) dan terbanyak kedua berada di antara 30 sampai dengan 39 tahun sebanyak 50 orang (35.0%). Sedangkan untuk masa kerja 2 sampai dengan 9 tahun dan masa kerja 10 sampai dengan 19 tahun masing-masing sebanyak 21 orang (14.7%) dan 19 orang (13.3%). Pada saat negara bertumbuh secara ekonomi, dan Kementerian Transmigrasi sebagai kementerian yang baru dibentuk pada Tahun 1983 dan seterusnya, membutuhkan pegawai yang banyak dan secara bertahap dilakukan pengadaan pegawai dalam jumlah yang lebih dari cukup. Kemudian pada masa resesi, pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan pegawai baru dalam waktu yang relatif lama. Baru pada Tahun 2010, dilakukan pengadaan pegawai baru dalam jumlah yang sedikit. Pegawai lama sudah memiliki usia rata-rata di atas 40 tahun dengan masa kerja rata-rata di atas 20 tahun, dibandingkan dengan pegawai baru yang jumlahnya hanya sedikit dan baru mulai belajar kerja. Pada Tabel 2.4 dapat dilihat karakteristik responden berdasarkan jenjang kepangkatan dibagi menjadi empat golongan. Responden yang berada pada Golongan II sebanyak 7 orang (4.9%), Golongan III sebanyak 119 orang (83.2%), dan Golongan IV sebanyak 17 orang (11.9%). Persentase Golongan III yang paling besar, hal ini dikarenakan sebagian besar pegawai telah memiliki masa kerja di atas 20 tahun, sehingga pegawai yang awalnya masuk di posisi Golongan
20
II, secara bertahap telah naik golongan menjadi Golongan III. Sedangkan pada karakteristik responden berdasarkan jabatan dapat dilihat bahwa pegawai yang menjadi responden pada penelitian ini adalah kasubdit/kabag sebesar 2.8 persen (4 orang), kasi/kabag sebesar 18.2 persen (26 orang), dan staf sebesar 79 persen (113 orang). Analisis Tabulasi Silang (Cross Tabulation) Tabulasi silang merupakan metode analisis kategori data yang menggunakan data nominal, ordinal, interval, serta kombinasi diantaranya. Prosedur tabulasi silang digunakan untuk menghitung banyaknya kasus yang mempunyai kombinasi nilai-nilai yang berbeda dari dua variabel dan menghitung harga-harga statistik beserta ujinya (Indriatno dan Irwinsyah 1998). Analisis tabulasi silang (cross tabulation) pada penelitian ini dilakukan pada data karakteristik responden pendidikan terakhir dengan masa kerja, jenjang kepangkatan, dan jabatan. Tabel 2.5 Sebaran responden berdasarkan pendidikan Pendidikan (orang)
Keterangan 1. Masa kerja 2 – 9 tahun 10 – 19 tahun 20 – 29 tahun 30 – 39 tahun 2. Jenjang kepangkatan Golongan II Golongan III Golongan IV 3. Jabatan Kasubdit/Kabag Kasi/Kasubag Staf Jumlah
Total (orang)
SMA
S1
S2
2 4 15 15
18 13 17 24
1 2 21 11
21 19 53 50
3 33 0
4 68 0
0 18 17
7 119 17
0 0 36 108
0 7 65 216
4 19 12 105
4 26 113 429
Pada Tabel 2.5 menunjukkan tingkat pendidikan terakhir S1 dengan lamanya masa kerja 30 sampai dengan 39 tahun memiliki jumlah responden yang paling besar yaitu 24 orang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Handoko (1998) bahwa pendidikan dan masa kerja merupakan langkah awal untuk melihat kemampuan seseorang. Menurut Hasibuan (2003), pendidikan merupakan indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Sedangkan menurut Siagian (2000), masa kerja menunjukkan berapa lama pegawai dapat bekerja dengan baik. Hasil pengujian crosstab berdasarkan pendidikan terakhir dengan jenjang kepangkatan menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan terakhir S1 dengan jenjang kepangkatan Golongan III memiliki jumlah responden terbanyak yaitu 68 orang. Sedangkan hasil pengujian crosstab berdasarkan pendidikan terakhir
21
dengan jabatan menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan S1 dengan jabatan staf memiliki jumlah responden yang paling banyak yaitu 65 orang. Hal ini dikarenakan banyak pegawai yang semula berpendidikan SMA/sederajat dan sarjana muda, mengikuti program pendidikan S1 di luar jam kerja dengan biaya sendiri dengan meminta izin pendidikan kepada pimpinan. Analisis SEM-PLS Peran Motivasi dan Kemampuan terhadap Kinerja PNS di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans Setelah semua data dikumpulkan menurut rancangan model penelitian yang disusun, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis data dimana perhitungan statistiknya dilakukan dengan menggunakan software SmartPLS versi 2.0. Hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh antara variabel laten bebas dengan variabel laten tidak bebas. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel laten, yaitu motivasi, kemampuan, dan kinerja PNS. Setiap variabel laten memiliki masing-masing variabel manifest (indikator) sesuai dengan yang telah dijabarkan sebelumnya pada operasionalisasi variabel. Kode angka pada indikator menunjukkan nomor pertanyaan pada kuesioner (misal: X1.01 artinya variabel X1 atau motivasi, pertanyaan nomor 1). Variabel motivasi dilambangkan dengan X1, variabel kemampuan dilambangkan dengan X2, dan variabel kinerja PNS dilambangkan dengan Y. Gambar model penelitian awal dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3a Model penelitian awal 1 pengaruh langsung (direct effect)
22
Gambar 2.3b Model penelitian awal 2 pengaruh tidak langsung (indirect effect)
Gambar 2.3c Model penelitian awal 3 pengaruh moderasi (moderating effect) Selanjutnya dilakukan dua analisis model, yaitu outer model analysis dan iner model analysis. Outer model mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Ukuran reflektif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0.7 dengan konstruk yang ingin diukur (Chin disitas Ghozali 2008). Dalam penelitian ini, indikator yang memiliki loading factor kurang dari 0.7 akan dieliminasi atau dihapus. Aktivitas eliminasi dilakukan secara berurutan, dimulai dari indikator-indikator pada variabel eksogen (motivasi dan kemampuan), kemudian dilanjutkan pada variabel endogen (kinerja PNS). Tahapan eliminasi dilakukan secara satu per satu, pada nilai loading factor yang paling kecil. Untuk mendapatkan model terbaik, proses eliminasi dilakukan
23
berulang hingga semua indikator pada variabel laten memiliki nilai loading factor minimal 0.7. Sedangkan Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan teori, yaitu variabel motivasi dan kemampuan terhadap kinerja PNS. Inner model analysis akan menjawab hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Teknik bootstrapping dilakukan untuk mendapatkan inner model. Teknik ini merupakan teknik rekalkulasi data sampel secara acak untuk memperoleh nilai T-statistik, yang kemudian akan diketahui hubungan antar variabel yang diukur. Besarnya pengaruh antar variabel dapat dilihat dari kriteria estimasi koefisien jalur untuk masing-masing path yang ada. Outer Model Analysis Indikator-indikator dari variabel motivasi dan kemampuan yang memiliki nilai koefisien dengan nilai negatif atau paling kecil dalam mendukung kinerja PNS dihilangkan sampai semua indikator dari ketiga variabel memiliki nilai loading factor lebih dari 0.7. Outer model analysis termasuk pada model reflektif, hal ini dapat dilihat dari semua indikator dalam model berbentuk reflektif. Pengujian model reflektif terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan lima kriteria, yaitu Loading Factor, Composite Reliability, Average Variance Extracted (AVE), akar kuadrat AVE, dan Cross Loading (Ghozali 2008). Convergent validity merupakan besarnya loading factor untuk masing-masing konstruk. Convergent validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score/component score dengan construct score yang dihitung dengan PLS. Ukuran reflektif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0.7 dengan konstruk yang ingin diukur. Discriminant validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator dinilai berdasarkan crossloading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya. Metode lain discriminant validity adalah membandingkan nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Jika nilai akar kuadrat AVE setiap konstruk lebih besar daripada nilai korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model, maka dikatakan memiliki nilai discriminant validity yang baik. Untuk menilai Average Variance Extracted (AVE), validitas konstruk harus dengan standar nilai lebih besar dari 0.5. Composite reliability menunjukkan konsistensi internal dengan standar nilai di atas 0.6. Berdasarkan hasil analisis nilai loading factor, composite reliability masingmasing konstruk dan nilai AVE melebihi standar yang ditetapkan baik pada model pengaruh langsung (model 1), model pengaruh tidak langsung (model 2), dan model pengaruh moderasi (model 3). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa outer model reflektif pada penelitian ini telah memenuhi nilai standar baik dalam kriteria reliabilitas maupun validitasnya (Tabel 2.6).
24
Tabel 2.6 Hasil penelitian kriteria dan standar nilai pada outer model Hasil penilaian Kriteria
Standar
Model 1 (direct effect)
Model 2 (indirect effect)
1. Loading factor
≥ 0.7
2. Composite reliability
≥ 0.6
Semua indikator memiliki loading factor ≥ 0.7 Motivasi = 1.00 Kemampuan = 0.876 Kinerja PNS = 0.868
Semua indikator memiliki loading factor ≥ 0.7 Motivasi = 1.00 Kemampuan = 0.877 Kinerja PNS = 0.868
3. Average variance extracted (AVE)
≥ 0.5
Motivasi = 1.00 Kemampuan = 0.703 Kinerja PNS = 0.768
Motivasi = 1.00 Kemampuan = 0.705 Kinerja PNS = 0.768
Semua nilai akar kuadrat AVE dari peubah laten, lebih besar dari korelasi peubah laten lainnya (Lampiran 2. Laten variable correlation) Semua indikator memiliki korelasi yang lebih besar pada laten sendiri daripada korelasi ke laten lainnya (Lampiran 2. Cross loading)
Semua nilai akar kuadrat AVE dari peubah laten, lebih besar dari korelasi peubah laten lainnya (Lampiran 3. Laten variable correlation) Semua indikator memiliki korelasi yang lebih besar pada laten sendiri daripada korelasi ke laten lainnya (Lampiran 3. Cross loading)
4. Akar kuadrat AVE
Lebih besar dari nilai korelasi antar variabel laten
5. Cross loading
Setiap indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap laten yang diukur, dibandingkan dengan indikator untuk laten variabel lainnya
Model 3 (moderating effect) Semua indikator memiliki loading factor ≥ 0.7 Motivasi = 1.00 Kemampuan = 0.876 Kinerja PNS = 0.868 Kemampuan*mot ivasi = 0.910 Motivasi = 1.00 Kemampuan = 0.703 Kinerja PNS = 0.768 Kemampuan*mot ivasi = 0.771 Semua nilai akar kuadrat AVE dari peubah laten, lebih besar dari korelasi peubah laten lainnya (Lampiran 4. Laten variable correlation) Semua indikator memiliki korelasi yang lebih besar pada laten sendiri daripada korelasi ke laten lainnya (Lampiran 4. Cross loading)
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa indikator yang dicerminkan oleh setiap variabel pada model pengaruh langsung tidak ada perbedaan dengan model pengaruh tidak langsung dan pada model moderasi. Gambar model akhir pengaruh langsung, tidak langsung, dan moderasi antara variabel motivasi, kemampuan, dan kinerja PNS dapat dilihat pada Gambar 2.4.
25
Gambar 2.4a Model penelitian akhir 1 pengaruh langsung (direct effect)
Gambar 2.4b Model penelitian akhir 2 pengaruh tidak langsung (indirect effect)
26
Gambar 2.4c Model penelitian akhir 3 pengaruh moderasi (moderating effect) Pada variabel laten motivasi, untuk model pengaruh langsung (model 1), model pengaruh tidak langsung (model 2), dan model pengaruh moderasi (model 3), memiliki satu indikator yang sama (X1.07) yaitu tanggung jawab (kesesuaian tugas dan tanggung jawab dengan kemampuan pegawai) dengan nilai loading factor yang sama sebesar 1.000. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Desiana (2007) yang menunjukkan adanya hubungan antara tanggung jawab terhadap motivasi pegawai. Artinya semakin baik tanggung jawab yang diberikan maka akan merubah tingkat motivasi pegawai. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Giauque et al. (2013) yang menyatakan bahwa pegawai publik lebih cenderung memiliki motivasi intrinsik daripada ekstrinsik, dimana pada penelitian ini indikator tanggung jawab merupakan salah satu indikator dari sub variabel motivasi intrinsik. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa adanya kesesuaian tugas dan tanggung jawab dengan kemampuan pegawai dapat memengaruhi motivasi pegawai dalam bekerja, sehingga dapat mencapai kinerja yang optimal di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans. Pada model pengaruh langsung (model 1), model pengaruh tidak langsung (model 2), dan model pengaruh moderasi (model 3), variabel laten kemampuan dicerminkan oleh tiga indikator, yaitu minat/interest (X2.07, X2.08) dan sikap/attitude (X2.09). Pada model pengaruh langsung (model 1) dan model pengaruh moderasi (model 3), indikator X2.08 yaitu minat/interest (bekerja dengan baik dalam melaksanakan pekerjaan) merefleksikan interelasi terbesar dalam menggambarkan kemampuan dengan nilai loading factor yang sama sebesar 0.879. Hal ini sejalan dengan pendapat Kae Chung dan Maginson (1981) yang diacu oleh Soehartono (2004) yang menyatakan bahwa kemampuan pegawai pemerintah sebagai pelaksana yang dihubungkan dengan pekerjaannya adalah suatu keadaan pada diri seseorang yang secara penuh bersungguh-sungguh bekerja, berdayaguna untuk melaksanakan pekerjaan sehingga memungkinkan
27
sesuatu yang akan dicapai. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa pegawai yang bekerja dengan baik dan penuh kesungguhan (minat/interest) akan dapat mempengaruhi peningkatan kemampuan pegawai dalam bekerja, sehingga kinerja dapat dicapai secara optimal. Pada model pengaruh tidak langsung (model 2), indikator X2.09 yaitu sikap/attitude (bekerja keras dalam melaksanakan tanggung jawab) merefleksikan interelasi terbesar dalam menggambarkan kemampuan dengan nilai loading factor 0.874. Menurut Gibson et al. (1996), kemampuan dan keterampilan memainkan peranan utama dalam perilaku dan kinerja individu. Keterampilan dinyatakan sebagai kecakapan yang berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan dipergunakan dalam tugas. Jika setiap pegawai menyadari tingkat kemampuan yang dimilikinya, maka akan berpengaruh besar terhadap kinerjanya. Dalam penelitian ini, sikap/attitude merupakan salah satu indikator dari sub variabel keterampilan. Pendapat ini sejalan dengan Abeng disitas Gayatri (2011), bahwa seorang profesional mempunyai ciri-ciri penguasaan ilmu yang memadai. Kemampuan dalam menguasai ilmu tersebut harus diimbangi dengan mempraktekkannya, mempunyai sikap mental yang positif sehingga dapat memotivasi diri, wawasan yang luas, mampu mensenyawakan sudut pandang (visi), nilai (value), dan keberanian secara konsisten. Selanjutnya pada variabel laten kinerja PNS, untuk model pengaruh langsung (model 1), model pengaruh tidak langsung (model 2), dan model pengaruh moderasi (model 3), memiliki dua indikator yang sama, yaitu ketepatan waktu (Y.06) dan efektivitas kerja (Y.07). Indikator Y.06 yaitu ketepatan waktu (memanfaatkan waktu dengan baik dalam bekerja) merefleksikan interelasi terbesar dalam menggambarkan kinerja PNS dengan masing-masing nilai loading factor sebesar 0.928 (model 1), 0.929 (model 2), dan 0.928 (model 3). Hal ini sejalan dengan pendapat Gomes (2003) yang memberikan batasan mengenai kinerja (performance) sebagai the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period. Artinya kinerja adalah catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama periode waktu tertentu. Selain itu, Bernardin dan Russel yang diacu Ruky (2002) juga memiliki pendapat yang sama, bahwa definisi performance adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Inner Model Analysis Pada inner model analysis, pengujian dilakukan terhadap dua kriteria, yaitu R2 dari peubah laten endogen dan estimasi koefisien jalur (Ghozali 2008). R2 dari peubah laten endogen merupakan variabilitas konstruk endogen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk eksogen. Estimasi koefisien jalur adalah evaluasi terhadap nilai koefisien, meliputi pengaruh nyata melalui bootstrapping dan besarnya nilai koefisien. Selain itu, diduga bahwa kinerja PNS dipengaruhi secara langsung oleh kemampuan dan motivasi, dan dipengaruhi secara tidak langsung oleh kemampuan melalui motivasi, serta motivasi memoderasi pengaruh kemampuan terhadap kinerja PNS. Dengan demikian, pada model pengaruh langsung (model 1) dan model pengaruh moderasi (model 3) terdapat satu peubah endogenous yaitu kinerja PNS, sedangkan pada model pengaruh tidak langsung (model 2) terdapat dua peubah endogenous yaitu motivasi dan kinerja PNS.
28
Tabel 2.7 Hasil penilaian kriteria dan standar nilai pada inner model Kriteria
Standar
1. R2 untuk variabel laten endogen
Hasil R2 sebesar 0.67; 0.33; & 0.19 mengindikasika n bahwa model “baik”, “moderat”, dan “lemah” Nilai estimasi yang signifikan dapat diperoleh dengan prosedur bootstrapping. Pengaruh nyata jika, T-statistik > T-tabel. Pada alpha 5 persen, nilai T-tabel adalah 1.96
2. Estimasi koefisien jalur
Model 1 (direct effect) R2 untuk kinerja PNS = 0.462
Nilai T-statistik: Kemampuan -> kinerja PNS = 9.434 Motivasi -> kinerja PNS = 0.049
Nilai koefisien: Kemampuan -> kinerja PNS = 0.682 Motivasi -> kinerja PNS = -0.005
Hasil penilaian Model 2 (indirect effect) R2 untuk motivasi = 0.198 kinerja PNS = 0.453
Nilai T-statistik: Kemampuan -> kinerja PNS = 8.263 Kemampuan -> motivasi = 3.455 Motivasi -> kinerja PNS = 0.06 Nilai koefisien: Kemampuan -> kinerja PNS = 0.676 Kemampuan -> motivasi =0.445 Motivasi -> kinerja PNS= -0.008
Model 3 (moderating effect) R2 untuk kinerja PNS = 0.463
Nilai T-statistik: Kemampuan -> kinerja PNS = 6.637 Kemampuan*motiv asi -> kinerja PNS = 0.245
Nilai koefisien: Kemampuan -> kinerja PNS = 0.699 Kemampuan*motiv asi -> kinerja PNS = -0.046
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada model pengaruh langsung (model 1), kemampuan dan motivasi terhadap kinerja PNS memberikan nilai R2 sebesar 0.462. Nilai R2 dapat diinterpretasikan bahwa variabilitas laten kinerja PNS dapat dijelaskan oleh variabilitas laten kemampuan dan motivasi sebesar 46.2 persen, sedangkan 53.8 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti. Sedangkan hasil analisis pada model pengaruh tidak langsung (model 2), menunjukkan bahwa model pengaruh kemampuan terhadap motivasi menghasilkan R2 sebesar 0.198 yang berarti variabilitas laten motivasi dapat dijelaskan oleh variabilitas laten kemampuan sebesar 19.8 persen. Model pengaruh tidak langsung kemampuan terhadap kinerja PNS melalui motivasi memiliki nilai R2 sebesar 0.453 atau variabilitas laten kinerja PNS dapat dijelaskan oleh variabilitas laten kemampuan dan motivasi sebesar 45.3 persen. Terakhir, hasil analisis pada model pengaruh moderasi (model 3), yaitu motivasi memoderasi pengaruh kemampuan terhadap kinerja PNS memiliki nilai R2 sebesar 0.463 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa variabilitas laten kinerja PNS dapat dijelaskan oleh variabilitas laten kemampuan dan motivasi sebesar 46.3 persen, sedangkan 53.7 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti. Hasil penilaian kriteria dan standar inner model pada model pengaruh langsung, tidak langsung, dan moderasi dapat dilihat pada Tabel 2.7. Untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian dilakukan teknik bootstrapping dengan SmartPLS. Teknik bootstrapping adalah teknik rekalkulasi data sampel secara random untuk memperoleh nilai T-statistik. Berdasarkan nilai T-statistik yang diperoleh, maka dapat diketahui hubungan antar variabel yang
29
diukur. Selanjutnya, besarnya pengaruh antar variabel dapat dilihat dari kriteria estimasi koefisien jalur untuk masing-masing path yang ada. Gambar analisis data dengan bootstrapping dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5a Hasil metode bootstrapping model 1 pengaruh langsung (direct effect)
Gambar 2.5b Hasil metode bootstrapping model 2 pengaruh tidak langsung (indirect effect)
30
Gambar 2.5c Hasil metode bootstrapping model 3 pengaruh moderasi (moderating effect) Pengujian Hipotesis Model 1 (Direct Effect) Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk model pengaruh langsung (model 1) pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05), kemampuan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja PNS dengan nilai koefisien jalur sebesar 0.682 dan nilai T-statistik sebesar 9.434 (lebih besar dari T-tabel). Dengan demikian hipotesis 1 (H1) pada penelitian ini diterima. Steer (1985) yang diacu oleh Soehartono (2004) mengemukakan bahwa bila seorang pegawai tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan bagi pekerjaan tertentu atau bila pekerja itu tidak berminat pada pekerjaan tersebut maka sulit dipercaya bahwa kinerjanya akan tinggi. Hasil analisis ini bermakna bahwa peningkatan kemampuan pegawai terutama dalam hal peningkatan minat/interest akan berpengaruh pada peningkatan kinerjanya. Hipotesis tentang adanya pengaruh kemampuan pada kinerja menjadi terbukti. Pegawai Ditjen P2KTrans Kemenakertrans yang memiliki kemampuan bekerja adalah mereka yang memiliki minat/interest untuk menambah pengetahuan lebih banyak, yaitu mereka yang berpendidikan lebih tinggi seperti S1 dan S2. Pada pengujian hipotesis 2 (H2), motivasi tidak berpengaruh terhadap kinerja PNS, dimana nilai koefisien jalur sebesar -0.005 dengan nilai T-statistik sebesar 0.049 (lebih kecil dari nilai T-tabel). Koefisien ini menunjukkan ada tidaknya motivasi tidak mempengaruhi kinerja, sehingga hipotesis 2 (H2) ditolak. Penelitian ini tidak mendukung pernyataan Yuki disitas As’ad (2004) yang memberi batasan mengenai motivasi sebagai pemberian, yakni motivasi yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Kuat lemahnya motivasi kerja seorang pegawai ikut menentukan besar kecilnya kinerja. Menurut Dessler (1998), pemberian motivasi kepada pegawai dimaksudkan untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau mendorong peningkatan kinerja. Pada penelitian ini,
31
pemberian tanggung jawab kepada pegawai (sebagai pemberian motivasi) tidak dapat meningkatkan kinerja pegawai. Pada mulanya untuk mendukung peningkatan kinerja, pimpinan selalu memberikan kesempatan kepada anak buah yang mau berubah untuk mengikuti bimbingan teknis, baik yang bersifat teknis seperti penelitian calon lokasi transmigrasi, maupun bimbingan teknis yang bersifat administratif, seperti sistem akuntansi keuangan (SAK) dan sistem informasi manajemen dan akuntansi barang milik negara (SIMAKBMN). Namun ternyata pemberian tanggung jawab (sebagai pemberian motivasi) oleh pimpinan tersebut tidak berpengaruh terhadap kinerja PNS. Motivasi kerja tidak mendukung terhadap kinerja pegawai di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans, ada beberapa penyebab, antara lain 1) adanya perubahan paradigma dimana pemerintah pusat hanya melakukan pekerjaan yang bersifat steering, banyak pegawai yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri karena pengalaman dan pendidikannya tidak mendukung pelaksanaan tugas baru tersebut, 2) adapula pegawai yang melakukan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu (rutinitas), sehingga tidak muncul inovasi dan motivasi, sedangkan untuk tingkat staf sangat jarang diadakan mutasi. Pengujian Hipotesis Model 2 (Indirect Effect) Pada model pengaruh tidak langsung (model 2), kemampuan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja PNS dengan nilai T-statistik sebesar 8.26 (lebih besar dari T-tabel) dan nilai koefisien jalur sebesar 0.676, sehingga hipotesis 1 (H1) diterima. Soeprihantono diacu Nadapdap (2012) menyatakan bahwa penilaian kinerja pegawai tidak hanya dilihat dari penilaian hasil secara fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan kerja, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan tingkatan pekerjaan. Hal ini berarti bahwa kemampuan dapat mempengaruhi kinerja pegawai. Jika pegawai mempunyai kemampuan yang tinggi akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan dalam bekerja, lebih cepat mengembangkan kemampuan diri, dan akhirnya akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, sebaliknya jika kemampuan kerja rendah maka kinerja juga akan menurun. Hipotesis 2 (H2) pada model penelitian pengaruh tidak langsung (model 2), kemampuan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap motivasi, dimana nilai koefisien jalur sebesar 0.445 dan nilai T-statistik sebesar 3.455 (lebih besar dari nilai T-tabel), sehingga hipotesis 2 pada penelitian ini diterima. Gitosudarmo dan Sudita (2000) mengartikan motivasi sebagai faktor-faktor yang ada di dalam diri seseorang yang menggerakkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Adapun tahapan proses timbulnya motivasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) muncul kebutuhan yang belum terpenuhi menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam diri seseorang dan berusaha untuk menguranginya dengan berperilaku tertentu. (2) Seseorang itu kemudian mencari cara bagaimana memenuhi keinginannya tersebut. (3) Seseorang itu mengarahkan perilakunya ke arah pencapaian tujuan atau prestasi dengan cara yang dipilihnya dengan didukung oleh kemampuan, keterampilan, maupun pengalamannya. (4) Penilaian prestasi dilakukan oleh dirinya sendiri atau orang lain. (5) Imbalan atau hukuman yang diterima atau dirasakan tergantung kepada hasil evaluasi atas prestasi yang dilakukan. (6) Akhirnya seseorang menilai sejauh mana perilaku dan imbalan
32
telah memuaskan kebutuhannya. Terkait dengan hal tersebut, Kepala Bagian Kepegawaian dan Umum menjelaskan bahwa di lingkungan Ditjen P2KTrans Kemenakertrans, diperoleh fakta adanya korelasi antara pendidikan, pola pikir, kemampuan kerja, dan motivasi. Pegawai yang memiliki pendidikan tinggi, memiliki pola pikir lebih rasional dan tajam, lebih mudah meningkatkan kemampuan dengan menyelesaikan berbagai jenis pekerjaan dengan baik dan lancar. Pegawai yang mumpuni dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan dilandasi pola pikir yang benar sadar akan tanggung jawabnya, ia akan termotivasi menjadi seorang pekerja yang baik. Pada hipotesis 3 (H3), motivasi tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja PNS. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar -0.008 dan nilai T-statistik sebesar 0.06 (lebih kecil dari nilai T-tabel). Koefisien ini menunjukkan bahwa ada tidaknya motivasi tidak berpengaruh terhadap kinerja, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis 3 (H3) ditolak. Dalam penelitian ini, peran terbesar dalam membangun motivasi adalah indikator tanggung jawab. Hasil ini bermakna bahwa jika motivasi pegawai ditingkatkan tidak akan berpengaruh pada kinerjanya. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Vroom bahwa motivasi merupakan faktor utama membangun kinerja, untuk itu penerapan upah/gaji yang dikaitkan dengan kinerja individu akan dapat lebih meningkatkan motivasi, sekaligus mengisi faktor kesempatan untuk meningkatkan kinerja. Pengujian Hipotesis Model 3 (Moderating Effect) Pada model pengaruh moderasi (model 3), kemampuan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja PNS dengan nilai koefisien jalur sebesar 0.699 dan nilai T-statistik sebesar 6.637 (lebih besar dari T-tabel). Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 (H1) diterima. PNS pada Ditjen P2KTrans Kemenakertrans yang memiliki kemampuan adalah mereka yang memiliki minat/interest dalam mengerjakan pekerjaan mereka. Mereka suka berinovasi dan berani mengambil inisiatif dengan segala pertimbangannya, walaupun ada resikonya tetapi dipilih resiko yang paling kecil. Pegawai yang demikian kebanyakan berpendidikan minimal S1. Oleh karena itu, banyak pegawai Ditjen P2KTrans Kemenakertrans yang melanjutkan pendidikannya, yang SMA/sederajat melanjutkan pendidikan S1, dan yang S1 melanjutkan pendidikan S2. Bahkan salah satu ruang rapat di Ditjen P2KTrans Kemenakertrans dijadikan ruang kuliah program S2 dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Menurut Moenir (1987), yang dimaksud kemampuan dalam hubungan dengan pekerjaan adalah suatu keadaan pada seseorang yang secara penuh kesungguhan, berdayaguna dan berhasilguna melaksanakan pekerjaan sehingga menghasilkan kinerja yang optimal. Pada hipotesis 2 (H2), motivasi tidak memoderasi pengaruh kemampuan terhadap kinerja PNS dengan nilai koefisien jalur sebesar -0.046 dan nilai Tstatistik sebesar 0.245 (lebih kecil dari nilai T-tabel), sehingga hipotesis 2 (H2) ditolak. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat menurut Simanjuntak (2005) bahwa manusia memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja. Hal ini dikarenakan arah produksi dan teknologi pada hakekatnya merupakan hasil kerja manusia. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pengembangan pegawai akan mendorong organisasi untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk itu, pimpinan organisasi
33
harus dapat memberikan dorongan pada pegawainya (motivasi) untuk mengembangkan kemampuannya yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja pegawai. Sehubungan dengan itu, maka pimpinan Ditjen P2Ktrans Kemenakertrans dengan mudah memberi izin salah satu ruangan rapatnya dipergunakan untuk kuliah program S2 dari salah satu perguruan tinggi. Hal ini sudah berlangsung cukup lama, selesai satu angkatan diganti angkatan berikutnya. Bahkan tidak hanya satu perguruan tinggi saja yang telah melaksanakan program S2 tersebut di Ditjen P2Ktrans Kemenakertrans.