BAB II Landasan Teori
2
BAB II
LANDASAN TEORI 2.1
Umum
Jembatan merupakan suatu struktur konstruksi yang berfungsi menghubungkan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang dipisahkan oleh sungai, danau, jalan raya, jalan kereta api dan lain-lain. Jembatan juga berfungsi sebagai penghubung antara wilayah yang terputus akibat adanya perbedaan geologi alam, misalnya adanya lembah yang dalam dan semacamnya. Jembatan terbagi menjadi 2 bagian utama struktur, yaitu struktur atas (Superstruktur) dan struktur bawah (Subsktruktur). Kedua bagian tersebut saling menunjang satu sama lainnya dalam menahan beban dan meneruskannya ke tanah dasar. Bagian-bagian Superstruktur terdiri dari perletakan sampai kebagian atas jembatan seperti rangka, girder, lantai, sandaran.
Gambar 2.1 Bagian – bagian jembatan. (sumber : Andi Indianto, 2005)
II - 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Superstruktur adalah bagian dari jembatan yang langsung berhubungan langsung dengan beban yang bekerja terutama dari kendaraan yang melewatinya. Sedangkan bagianbagian dari Substruktur adalah mulai dari perletakan ke bagian bawah jembatan seperti kepala jembatan, pilar dan pondasi. Bagian-bagian tersebut adalah bagian-bagian yang langsung berhubungan dengan tanah dasar sebagai penerus gaya-gaya yang bekerja pada jembatan.
2.2
Jembatan Rangka Baja
Jembatan rangka baja merupakan jembatan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kekuatan dari struktur rangka dan ilmu mengenai kekuatan dari bahan penyusun utama pada struktur rangka tersebut berupa material baja.
Gambar 2.2. Komponen jembatan rangka baja. (Sumber : Parke dan Harding, 2008)
II - 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
2.3
Struktur Rangka Batang
Rangka batang adalah susunan elemen-elemen linier yang membentuk konfigurasi segitiga, sehingga menjadi bentuk rangka yang tidak dapat erubah bentuk bila diberi beban eksternal tanpa adanya perubahan bentuk pada satu atau lebih batangnya. Setiap elemen tergabung pada titik hubung dengan sambungan sendi. Penggunaan struktur rangka batang pada struktur jembatan memiliki keunggulan dalam efisiensi bahan.
2.3.1 Gaya Batang Gaya-gaya batang yang bekerja pada titik hubung rangka batang pada semua bagian struktur harus berada dalam keseimbangan,. Prinsip ini merupakan kunci utama dari analisis rangka batang. Gaya batang merupakan gaya perlawanan yang diberikan oleh batang akibat gaya-gaya luar yang diterima oleh batang tersebut. Gaya batang bekerja pada sumbu batangnya, dengan kata lain gaya yang bekerja pada batang adalah gaya normal (gaya yang sejajar dengan sumbu batang). Gaya batang dapat berupa gaya tarik (positif) dan gaya tekan (negatif). Gaya tarik adalah gaya batang yang menjauhi titik simpul dan gaya tekan adalah gaya batang yang menuju titik simpul.
Gambar 2.3. Gaya-gaya batang pada titik hubung. (sumber : Schodek, 1999)
II - 3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
2.3.2 Desain Rangka Batang Tujuan yang menjadi kriteria dalam desain rangka batang antara lain yaitu : 1) Efisiensi Struktural Tujuan efisiensi struktural biasa digunakan dan diwujudkan dalam suatu prosedur desain, yaitu untuk meminimumkan jumlah bahan yang digunakan dalam rangka batang untuk memikul pembebanan pada bentang yang ditentukan. Tinggi rangka batang merupakan variabel penting dalam meminimumkan persyaratan volume material,dan mempengaruhi desain elemennya. 2) Efisiensi Pelaksanaan Konstruksi Alternatif lain, kriteria desain dapat didasarkan atas tinjauan efisiensi pelaksanaan (konstruksi) sehubungan dengan fabrikasi dan pembuatan rangka batang. Untuk mencapai tujuan ini, hasil yang diperoleh seringkali berupa rangka batang dengan konfigurasi eksternal sederhana, sehingga diperoleh bentuk triangulasi yang sederhana pula. Dengan membuat semua batang identik, maka pembuatan titik hubung menjadi lebih mudah dibandingkan bila batang-batang yang digunakan berbeda.
a. Konfigurasi Beberapa bentuk konfigurasi eksternal rangka batang mempunyai tujuan yang berbeda. Beberapa hal yang mempengaruhi konfigurasi rangka batang adalah : 1) Faktor Eksternal
II - 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Faktor-faktor eksternal memang bukanlah hal yang utama dalam menentukan konfigurasi rangka batang. Namun faktor eksternal juga dapat mempengaruhi bentuk-bentuk yang terjadi. 2) Bentuk – Bentuk Dasar Ditinjau dari segi struktural maupun konstruksi, bentuk–bentuk dasar yang digunakan dalam rangka batang merupakan respon terhadap pembebanan yang ada. Gaya-gaya internal akan timbul sebagai respon terhadap momen dan gaya geser eksternal. Momen lentur terbesar pada umumnya terjadi di tengah rangka batang yang ditumpu sederhana yang dibebani merata, dan semakin mengecil ke ujung. Gaya geser eksternal terbesar terjadi di kedua ujung, dan semakin mengecil ke tengah. 3) Rangka Batang Sejajar Pada rangka batang dengan batang tepi sejajar, momen eksternal ditahan terutama oleh batang-batang tepi atas dan bawah. Gaya geser eksternal akan dipikul oleh batang diagonal karena batang-batang tepi berarah horisontal dan tidak mempunyai kontribusi dalam menahan gaya arah vertikal. Gaya-gaya pada diagonal umumnya bervariasi mengikuti variasi gaya geser dan pada akhirnya menentukan desain batang. 4) Rangka Batang Funicular Rangka batang yang dibentuk secara funicular menunjukan bahwa secara konsep, batang nol dapat dihilangkan hingga terbentuk konfigurasi bukan segitiga, namun tanpa mengubah kemampuan struktur dalam memikul beban rencana. Batangbatang tertentu yang tersusun di sepanjang garis bentuk funicular untuk pembebanan yang ada merupakan transfer beban eksternal ke tumpuan. BatangII - 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
batang lain adalah batang nol yang terutama berfungsi sebagai bracing. Tinggi relatif pada struktur ini merupakan fungsi beban dan lokasinya.
Gambar 2.4. Desain konfigurasi rangka batang (sumber : Schodek, 1999)
b. Tinggi Rangka Batang Penentuan tinggi optimum yang meminimumkan volume total rangka batang umumnya dilakukan dengan proses optimasi. Proses optimasi ini membuktikan bahwa rangka batang yang relatif tinggi terhadap bentangannya merupakan bentuk yang efisien II - 6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
dibandingkan dengan rangka batang yang relatif tidak tinggi. Sudut-sudut yang dibentuk oleh batang diagonal dengan garis horisontal pada umumnya berkisar antara 30o dimana sudut 45o biasanya merupakan sudut ideal. Tabel 2.1. Penentuan Tinggi Optimum Rangka Batang
Jenis Rangka Batang Rangka batang dengan beban relative ringan dan berjarak dekat. Rangka batang kolektor sekunder yang memikul reaksi yang dihasilkan oleh rangka batang lain Rangka batang kolektor primer yang memikul beban sangat besar, misalnya : rangka batang yang memikul beban kolom dari gedung bertingkat banyak
Tinggi 1/20 dari bentangan 1/10 dari bentangan 1/4 atau 1/5 dari bentangan
Sumber : Teknik Struktur Bangunan 2, 2008
c. Desain Elemen Beberapa hal yang menjadi permasalahan pada desain elemen struktur rangka batang, diantaranya : 1) Beban Kritis Pada rangka batang, setiap batang harus mampu memikul gaya maksimum (kritis) yang mungkin terjadi. Dengan demikian, dapat saja terjadi setiap batang dirancang terhadap kondisi pembebanan yang berbeda-beda. 2) Desain Batang Tarik dan Tekan Pada batang tarik luas penampang yang dibutuhkan untuk menahan gaya Tarik merupakan hasil perbandingan dari gaya tarik yang terjadi dengan tegangan izin. Untuk batang tekan, harus diperhitungkan adanya kemungkinan keruntuhan tekuk (buckling) yang dapat terjadi pada batang panjang yang mengalami gaya tekan. Untuk batang tekan panjang, kapasitas pikul-beban berbanding terbalik dengan kuadrat panjang batang. Untuk batang tekan yang relatif pendek, maka tekuk II - 7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
bukan merupakan masalah sehingga luas penampang melintang hanya bergantung langsung pada besar gaya yang terlibat dan teganagan ijin material, dan juga tidak bergantung pada panjang batang tersebut. 3) Luas Penampang Bila batang tepi atas dirancang sebagai batang yang menerus dan berpenampang melintang konstan, maka harus dirancang terhadap gaya maksimum yang ada pada seluruh batang tepi atas, sehingga penampang tersebut akan berlebihan dan tidak efisien. Agar efisien, maka penampang konstan yang dipakai dikombinasikan dengan bagian-bagian kecil sebagai tambahan luas penampang yang hanya dipakai pada segmen-segmen yang memerlukan. 4) Pengaruh Tekuk Ketergantungan kapasitas pikul beban suatu batang tekan pada panjangnya serta tujuan desain agar batang tekan tersebut relatif lebih pendek seringkali mempengaruhi pola segitiga yang digunanakan.
Gambar 2.5. Tekuk batang, hubungan dengan konfigarasi. (sumber : Schodek, 1999)
II - 8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
2.4
Struktur Pelat Lantai Ortotropik
Kata orthotropic berasal dari kata anisotropik orthogonal yang berarti sifat elastic yang berbeda dalam arah tegak lurus. Sedangkan pelat baja orthotropic adalah pelat yang memiliki sifat kekakuan yang tidak sama dalam 2 arah yang saling tegak lurus, hal ini disebabkan karena penempatan suatu struktur pengakuyaitu “rib” hanya pada satu arah. Struktur pengaku tersebut dapat berupa balok dalam berbagai macam profil berupa pelat tegak, pelat T terbalik atau pelat berbentuk U, atau V. Secara garis besar konstruksi pelat orthotropik baja dapat dibuat melalui pengelasan di pabrik menjadi : Sistem lantai dengan pengaku terbuka. Sistem lantai dengan pengaku tertutup.
Gambar 2.6. Tipe konstruksi pelat ortotropik. (sumber : FHWA,2012)
II - 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
2.4.1 Komponen Struktur Pelat Ortotropoik a. Pelat Dalam semua tipe jembatan orthotropic decknya adalah sama dengan konstruksi lainnya, terdiri dari pelat baja kontinu yang diperkuat oleh sistem longitudinal ribs dan transverse floor beams. Ketebalan dari pelat deck bervariasi tergantung daripada jarak ribs, pembebanan diperlukan, dan defleksi lokal yang diijinkan.
b. Ribs Ada dua sistem deck baja ortotropik yang digunakan saat ini, dengan karakter torsionally soft atau open rib dan torsionally stiff atau box-shaped ribs.
Gambar 2.7. Tipe Ribs dari pelat ortotropik. (sumber : FHWA,2012)
II - 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
c. Floor Beam Floor beam biasanya mempunyai spasi dari 4ft sampai 15ft, tetapi dalam kasus tertentu spasi ini bisa bertambah. Umumnya, spasi dari floor beam dapat besar jika spasi diantara girder utama adalah besar dan kecil jika bentang floor beam adalah pendek.
2.5
Material Baja
Material baja sebagai bahan konstruksi telah dikenal sejak lama mengingat beberapa keunggulannya dibandingkan material yang lain. Beberapa keunggulan baja sebagai material konstruksi, antara lain : 1) Mempunyai kekuatan yang tinggi, sehingga berat dan ukuran struktur bisa dikurangi sesuai dengan perhitungan sehingga mendapatkan efisiensi bahan yang maksimal. 2) Keseragaman dan keawetan yang tinggi, tidak seperti material beton bertulang material baja lebih seragam / homogeny serta memiliki tingkat keawetan yang jauh lebih tinggi jika prosedur perawatan dilakukan dengan semestinya. 3) Sifat elastis, baja dapat berperilaku elastis hingga tegangan yang cukup tinggi. Momen inerisa dari suatu profil baja juga dapat dihitung denan pasti sehingga memudahkan dalam melakukan proses analisa struktur. 4) Daktilitas cukup tinggi, karena suatu batang baja yang menerima tegangan tarik yang tinggi akan mengalami regangan tarik cukup besar sebelun terjadi keruntuhan. 5) Kemudahan penyambungan antar elemen dengan menggunakan alat sambung baut atau las. Sehingga waktu pengerjaan proses konstruksi dinilai lebih cepat.
II - 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Selain keuntungan tersebut baja juga dinilai memiliki beberapa kekurangan, terutama dari sisi pemeliharaan. Konstruksi baja yang langsung berhubungan dengan udara atau air harus dilapis (dicat). Perlindungan terhadao bahaya api juga harus diperhitungkan, karena baja akan mengalami penurunan kekuatan akibat kenaikan temperatur yang cukup tinggi, dan juga material baja merupakan konduktor panas yang baik, sehingga apabila terjadi kebakaran akan terjadi kerusakan yang besar pada struktur baja. Baja juga memiliki kelemahan lain berupa faktor tekuk yang merupakan fungsi dari kelangsingan suatu penampang.
2.5.1 Sifat Mekanis Material Baja Menurut peraturan RSNI T-03-2005, sifat mekanis baja yang digunakan dalam perencanaan sebagai bahan baku pembuatan struktur utama jembatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Jenis Baja
BJ 34 BJ 37 BJ 41 BJ 50 BJ 55
Tabel 2.2. Sifat-sifat mekanis baja struktural
Tegangan Putus
Tegangan Leleh
Peregangan
Minimum, Fu
Minimum, Fy
Minimum [%]
[Mpa]
[Mpa]
340 370 410 500 550
210 240 250 290 410
22 20 18 16 13
Sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
Sifat-sifat mekanis baja struktural lainnya untuk maksud perencanaan ditetapkan sebagai berikut: Modulus Elastisitas
E = 200000 Mpa
Modulus Geser
G = 80000 Mpa II - 12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Angka Poisson
𝜇 = 0.25
Koeffisien Pemuaian
∝= 12 × 10−6 𝑝𝑒𝑟oC
2.5.2 Alat Sambung a. Baut, Mur dan Ring Alat sambung yang umum digunakan untuk struktur baja adalah baut, mur dan ring. b. Alat Sambung Mutu Tinggi Alat sambung mutu tinggi boleh digunakan bila memenuhi ketentuan seperti berikut : 1) Komposisi kimiawniya dan sifat mekanisnya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2) Diameter luabgn, luas tumpu kepala baut, dan mur atau penggantinya, harus lebih besar dari nilai nominal yang ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku. Ukuran lainnya boleh berbeda; 3) Persyaratann minimum alat sambung ditentukan pada tabel di bawah ini : Tabel 2.3. Gaya tarik baut minimum
Diameter nominal Baut
Gaya tarik minimum
[mm]
[Mpa]
16 20 24 30 36
95 145 210 335 490
Sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
c. Las Material pengelasan dan logam las harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
II - 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
2.5.3 Faktor Reduksi Kekuatan Faktor reduksi kekuatan, diambil dari nilai-nilai yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.4. Faktor reduksi kekuatan untuk keadaan batas ultimit.
Situasi rencana
Faktor Reduksi kekuatan
a. b. c. d.
Lentur Geser Aksial tekan Aksial tarik Kuat tarik leleh Kuat tarik fraktur e. Penghubung geser f. Sambungan baut g. Sambungan Las Las tumpul penetrasi penuh Las sudut dan las tumpul penetrasi sebagian
0,90 0,90 0,85 0,90 0,75 0,75 0,75 0,90 0,75
Sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
2.5.4 Desain LRFD Struktur baja Desain LRFD struktur baja yang digunakan pada perancangan jembatan baja menggunakan desain AISC - LRFD yang disesuaikan dengan peraturan RSNI T-03-2005.
a. Batang Tarik Menurut RSNI T-03-2005, pasal 5.1 dinyatakan bahwa komponen struktur yang menerima gaya tarik aksial terfaktor, Nu , harus memenuhi : Nu Nn .......................................................................................................... (2.1)
Dengan Nn adalah kuat tarik nominal yang besarnya diambil sebagai nilai terendah dari beberapa persamaan dibawah ini II - 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
1) Kondisi leleh dari luas penampang bruto Nn 0,9. Ag. fy .......................................................................................... (2.2)
Dengan Ag fy
= Luas penampang bruto, mm2 = Kuat leleh material, Mpa
2) Kondisi fraktur dari luas penampang efektif pada sambungan Nn 0,75. Ae. fu ...................................................................................... (2.3)
Dengan Ae
= Luas penampang efektif, = U . An
An
= Luas penampang netto, mm2
U
= Koefisien reduksi = 1
x
= eksentrisitas sambungan,
L
= panjang sambungan dalam arah gaya tarik
fu
x 0,9 L
= Kuat tarik putus, Mpa
Gambar 2.8. Nilai x untuk penampang siku. (sumber : Agus Setiawan, 2002)
II - 15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.9. Nilai x untuk penampang IWF (sumber : Agus Setiawan, 2002)
Bila gaya tarik hanya disalurkan oleh kekautan baut,
An Ant Luas netto harus dihitung berdasarkan luas penampang terkecil antara potongan 1-3 dan potongan 1-2-3.
Gambar 2.10. Keruntuhan potongan. (sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005)
Potongan 1-3
An Ag n.d .t
Potongan 1-2-3
An Ag n.d .t
s 2t 4u II - 16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Dengan
Ag
= Luas penampang bruto, mm2
n
= jumlah lubang dalam satu garis potongan
d
= diameter lubang baut, mm
t
= tebal penampang, mm
u
= jarak antara sumbu lubang tegak lurus profil baja
s
= jarak antara sumbu lubang sejajar lurus profil baja
Apabila gaya tarik disalurkan oleh sambungan las, maka aka nada 3 macam kondisi yang dijumpai : a) Bila gaya tarik hanya disalurkan oleh las memanjang ke elemen bukan pelat, atau oleh kombinasi las memanjang dan melintang, maka : Ae Ag b) Bila gaya tarik disalurkan oleh las melintang saja.
Ae luas penampang yang disambung las, (U 1) c) Bila gaya tarik disalurkan oleh elemen pelat oleh las memanjang sepanjang kedua sisi bagian ujung elemen : Ae U . Ag Dengan :
U 1, 00 untuk 2w l U 0,87 untuk 1,5w l 2w U 0, 75 untuk 1w l 1,5w
l = Panjang las, w = lebar pelat
II - 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.11. Sambungan Las (sumber : Agus Setiawan, 2002)
3) Geser Blok (Block Shear) Kombinasi geser - tarik Geser leleh – tarik fraktur ( fu. Ant 0,6. fu. Anv) Nn 0,75(0,6Agv .fy Ant .fu) .................................................................. (2.4)
Geser fraktur – tarik leleh ( fu. Ant 0,6. fu. Anv) Nn 0,75(0,6Anv .fu Agt .fy) .................................................................. (2.5)
Dengan
Agv = Luas bruto akibat geser Agt = Luas bruto akibat tarik
Anv = Luas netto akibat geser Anv = Luas netto akibat tarik fu = Kuat Tarik
fy = Kuat leleh
II - 18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
4) Kelangsingan Struktur Tarik Komponen struktur tarik harus memenuhi syarat kekakuan. Syarat ini berdasarkan dengan rasio kelangsingan, .
L .....................................................................................................(2.6) r
= angka kelangsingan
Dengan
L = panjang komponen struktur r = Jari –jari girasi, r
1 A
Nilai , diambil maksmimum 240 untuk batang tarik utama , dan 300 untuk batang tarik sekunder.
d. Batang Tekan Menurut RSNI T-03-2005, pasal 6.1 dinyatakan bahwa komponen struktur yang menerima gaya tekan konsentris akibat beban terfaktor, Nu , harus memenuhi : Nu Nn .......................................................................................................... (2.7)
Dengan adalah faktor reduksi sesuai dengan Tabel 2.4 dan Nn adalah kuat tekan nominal komponen struktur. 1) Perbandingan kelangsingan a) Perbandingan kelangsingan elemen penampang, Lihat Tabel 2.5 < r . b) Kelangsingan komponen struktur tekan,
Lk 140 r
II - 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Komponen struktur tekan yang elemen penampangnya mempunya perbandingan lebar terhadap tebal lebih besar dari r yang ditentukan dalam [] harus direncanakan dengan analisis rasional yang dapat diterima. Tabel 2.5. Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal untuk elemen tertekan.
Elemen Tanpa Pengaku
Jenis Elemen
Pelat sayap balok-I dan kanal dalam lentur Pelat sayap balok-I hibrida atau balok tersusun yang dilas dalam lentur Pelat sayap dari komponen – komponen stuktur tersusun dalam tekan. Sayap bebas dari profil siku kembar ayng menyatu pada sayap lainnya, pelat sayap dari komponen struktur kanal dalam aksial tekan, profil siku dan plat yang menyatu dengan balok atau komponen struktur tekan. Sayap dari profil siku tunggal pada penyokong, sayap dari profil siku ganda dengan pelat kopel pada penyokong, elemen yang tidak diperkaku, yaitu yang ditumpu pada salah satu sisinya. Pelat badan dari profil T
b b
b
b
b
d
t t
Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal p (kompak) r (kompak) 170 370 [c] [e] fy fr fy 170 fyf
t
t
t
t
370 ( fyf fr )
[e][f] ke
290 [f] fy ke 250 fy
200 fy
335 fy
II - 20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Elemen dengan pengaku
Pelat sayap dari b 500 625 t penampang persegi fyf fyf panjang dan bujur sangkar berongga dengan ketebalan seragam yang dibebani lentur atau tekan, pelat penutup dari pelat sayap dan pelat diafragma yang terletak diantara baut-baut atau las Bagian lebar yang b 830 t tak terkekang dari fyf pelat penutup berlubang [b] 1680 2550 Bagian bagian pelat h [c] [g] t w badan dalam tekan fyf fyf akibat lentur [a] Bagian bagian pelat h 2550 0, 74.Nu tw badan dalam 2,33 b.Ny fy kombinasi tekan [g] dan lentur Untuk: Nu 1680 2, 75.Nu 0,125 [c] 1 b.Ny b.Ny fy Untuk : 500 Nu 665 Nu 2,33 0,125 [c] b.Ny f y fy b.Ny 665 Elemen elemen b t lainnya yang fyf diperkaku dalam h tw tekan murni; yaitu diperkaku sepanjang kedua sisinya Penampang bulat D [d] t berongga 22000 fy Pada tekan aksial 14800 fy 62000 fy Pada lentur [a] untuk balok hibrida gunakan fyf sebagai fy [b] ambil luas netto pelat pada lubang besar [c] dianggap kapasitas rotasi inelastis adalah 3 . Untuk struktur pada zona tinggi diperlukan kapasitas rotasi yang besar. [d] untuk perencanaan plastis gunakan 9000 . fy II - 21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
[e] fr = tegangan tekan residual pada pelat sayap. = 70 Mpa untuk penampang dirol. = 115 Mpa untuk penampang dilas. 4 [f] ke ; 0,35 ke 0,763 h / tw [g] fy = tegangan leleh minimum , Mpa sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
2) Tekuk Lentur Tekuk lentur mengakibatkan defleksi pada sumbu lemah (sumbu dengan rasio kelangsingan terbesar). Setiap komponen struktur tekan akan dapat mengalami kegagalan akibat tekuk lentur. Kuat tekan nominal tekuk lentur Nn , dengan rasio kelangsingan r lebih dari yang ditentukan pada Tabel 2.5, maka ditentukan sebagai berikut : 2
Nn (0,66c ) Ag. fy untuk c 1,5 ....................................................... (2.8)
Nn (
c
0,88
c2
Lk r.
) Ag. fy untuk c 1,5 ........................................................... (2.9)
fy ........................................................................................ (2.10) E
Lk kc.L ............................................................................................... (2.11) Dengan
Ag
= Luas bruto penampang, mm2
fy
= Tegangan leleh, Mpa
c
= Parameter kelangsingan
kc
= faktor panjang tekuk
E
= modulus elastisitas baja, Mpa
II - 22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori Tabel 2.6. Faktor Panjang Efektif
Kolom Tak Bergoyang
Kolom Bergoyang
Bentuk tekuk
Faktor panjang efektif [k]
0,70
0,85
1,00
1,20
2,20
2,20
Simbol untuk keadaan penahan ujung sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
3) Tekuk Lentur – Puntir Tekuk puntir terjadi akibat adanya punter dalam sumbu memanjan struktur tekan. Tekuk punter hanya terjadi pada elemen-elemen yang langsing dengan sumbu simetri ganda. Tekuk lentur – puntir terjadi akibat kombinasi dari tekuk lentur dan tekuk torsi. Batang akan terlentur dan terpuntir secara bersamaan. Tekuk lentur torsi dapat terjadi pada penampang – penampang dengan satu sumbu simetri saja seperti profil kanal, T, siku ganda, dan siku tunggal sama kaki. Selain itu dapat juga terjadi pada penapmpang – penampang tanpa sumbu simetri seperti profil siku tunggal tidak sama kaki dan profil Z.
II - 23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.12. Macam model tekuk struktur tekan. (sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005)
Kuat tekan rencana akibat tekuk lentur-puntir, Nnlt ,dari komponen struktur tekan yang terdiri dari siku ganda atau profil berbentuk T, dengan elemen – elemen penampangnya memiliki rasio kelangsingan r , lebih kecil dari yang ditentukan oleh Tabel 2.5, harus memenuhi : Nu nNnlt ........................................................................................... (2.12) Nnlt Ag. fclt .......................................................................................... (2.13)
4. fcry. fcrz.H fcry fcrz ...............................................(2.14) fclt 1 1 2 2.H fcry fcrz fcrz
G.J ............................................................................................ (2.15) A.r0 2
II - 24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
r0 2
Ix I y A
x0 2 y0 2 .........................................................................(2.16)
x0 2 y0 2 H 1 ...............................................................................(2.17) 2 r0 Dengan
Ag
= Luas penampang bruto, mm2
r0
= jari-jari girasi
x0 , y0 = koordinat pusat geser terhadap titik berat, x0 = 0, untuk siku ganda dan profil T (sumbu y simetris)
fcry
= fy
, untuk tekuk lentur dengan sumbu lemah y-y
Dengan c
Lky ry.
fy E
e. Batang Lentur 1) Kapasitas Lentur Rencana Mu .Mn ............................................................................................. (2.18)
Dengan
Mu
=Momen lentur terfaktor, Nmm
= factor reduksi (=0,9)
Mn
= kuat lentur nominal penampang, Nmm
2) Kuat Lentur Nominal Akibat Tekuk Lokal My fy.S .............................................................................................. (2.19) Mp fy.Z .............................................................................................. (2.20)
Mp 1,5.My .......................................................................................... (2.21) Mr S.( fy fr ) ..................................................................................... (2.22)
II - 25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Dengan
My
= momen leleh
S
= modulus penampang elastis
Mp
= momen lentur plastis
Z
= modulus penampang plastis
Mr
= momen batas tekuk
fr
= tegangan sisa
Kelangsingan penampang, nilai , p, r ditentukan oleh Tabel 2.5 a) Penampang Kompak ( p ) Mn Mp ................................................................................... (2.23)
Dengan
= momen lentur plastis
Mp
b) Penampang Tidak Kompak ( p r )
Mn Mp ( Mp Mr ) Dengan
p ..................................................... (2.24) r p
Mp
= momen lentur plastis
Mr
= momen batas tekuk, Mcr jika r
c) Penampang Langsing ( r )
........................................................................(2.25)
Mn Mr. r
2
3) Kuat Lentur Nominal Penampang Akibat Tekuk Lateral Momen kritis, Mcr ditentukan sebagai berikut : Untuk ptrofil-I dank anal ganda
2
.E Mcr Cb. . EIy.G.J .Iy.Iw ........................................ (2.26) L L
II - 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Untuk profil kotak pejal atau berongga Mcr 2.Cb.E
Dengan
J .A ...................................................................(2.27) L ry
E
= modulus elastisitas baja, Mpa
Iy
= momen inersia sumbu-y, mm4
G
= modulus geser baja, Mpa
L
= panjang bentang diantara dua pengekang lateral, mm
Iw
= konstanta warping, mm6
J
= konstanta torsi, mm4
ry
= jari-jari girasi sumbu-y, mm
Cb
= faktor pengali momen,
Cb
12,5.M max .................(2.28) 2,5.M max 3.MA 4.MB 3.MC
M max = momen maksimum pada bentang MA
= momen pada ¼ bentang
MB
= momen pada ½ bentang
MC
= momen pada ¾ bentang
a) Bentang Pendek ( L Lp ) Mn Mp ................................................................................... (2.29)
b) Bentang Menengah ( Lp L Lr )
II - 27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Lr L .............................................(2.30) Mn Cb Mr Mp Mr Lr Lp
c) Bentang Panjang ( Lr L ) Mn Mcr Mp .......................................................................... (2.31)
d) Pengekang Lateral Kuat komponen struktur dalam memikul momen lentur tergantung dari panjang bentang antara kedua pengekang lateral. Batas-batas bentang pengekang lateral ditentukan dalam tabel berikut : Tabel 2.7. Panjang bentang untuk pengekangan lateral
Lp Profil Profil – I dan kanal E ganda 1, 76.ry fy
X 1 ry 1 1 X 2 fL2 fL Dengan
Dengan ry
Lr
fL fy fr
Iy A
X1
S
EGJA 2 2
S Iw X 2 4 GJ Iy
Profil kotak pejal atau berongga
0,13Ery
JA Mp
2 Ery
JA Mr
sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
II - 28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
f. Perencanaan Sambungan Elemen sambungan terdiri dari komponen sambungan (pelat penyambung, pelat buhul, pelat pendukung, pelat isi) dan penghubung (baut, pen, dan las). Sambungan harus mampu menyalurkan gaya dalam rencana. Sambungan kaku, sambungan dianggap memiliki kekakuan yang cukup untuk mempertehankan sudut-sudut diantara komponen-komponen struktur yang disambung. Sambungan tidak kaku, pada kedua ujung komponen struktur dianggap bebas momen. Sambungan sendi harus dapat berubah bentuk agar memberikan rotasi yang diperlukan pada sambungan. Sambungan tidak boleh mengakibatkan momen lentur terhadap komponen struktur yang dihubung. 1) Sambungan Baut Kekuatan sambungan baut harus ditentukan dengan cara keadaan batas ultimit a) Keadaan batas ultimit baut Baut dalam geser Vf * Vf ................................................................................... (2.32)
Baut dalam tarik Ntf * Ntf ................................................................................ (2.33)
Baut dalam kombinasi geser-tarik 2 2 Vf * Ntf * 1, 0 ........................................................... (2.34) Vf Ntf
Pelat lapis dalam tumpuan Vb* Vb ................................................................................... (2.35)
II - 29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Dengan
= 0,75
Vf
= kekuatan geser nominal baut
Ntf
= kekuatan tarik nominal baut
Vb
= kekuatan tumpuan pelat lapis
b) Luas dan Gaya tarik baut Diameter Baut, df M16 M20 M24 M30 M36
Tabel 2.8. Luas Baut dan gaya tarik minimum
Ae 144 225 324 519 759
Luas Baut, mm2 A0 As 157 201 245 314 353 452 561 706 817 1016
sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
Catatan
Gaya tarik minimum [kN] 95 145 210 335 490
Ae
= Luas inti baut
As
= Luas untuk menghitung kekuatan tarik
A0
= Luas bagian polos nominal baut
c) Kekuatan geser nominal baut Vf 0,62. fuf .kr.(nn. Ae nx. A0) ................................................... (2.36)
Dengan
fuf
= kekuata tarik minimum baut
kr
= faktor reduksi untuk panjang sambungan
nn
= jumlah bidang geser melalui bagian baut
Ae
= luas diameter lebih kecil pada baut
nx
= jumlah bidang geser melalui baut
A0
= luas batang polos nominal baut II - 30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori Tabel 2.9. Faktor reduksi untuk sambungan yang dibaut
Panjang, Lj Lj 300 300 Lj 1300 Lj 1300
Faktor Reduksi, Kr 1,0 1,075 - Lj 4000 0,75
sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
d) Kekuatan tarik nominal baut Ntf As.Fuf ............................................................................... (2.37)
e) Kekuatan tumpuan nominal pelat lapis Vb 3, 2.df .tp. fup ........................................................................ (2.38)
Atau Vb ae.tp. fup ............................................................................... (2.39)
Dengan syarat bahwa untuk pelat lapis yang memikul komponen gaya yang bekerja menuju suatu sisi, kekuatan tumpuan nominal pelat lapis diambil nilai terkecil dari nilai Vb . f) Kekuatan geser nominal baut dalam sambungan gesek Vsf .nei.Nti.kh ......................................................................... (2.40)
Dengan
= faktor gelincir
nei
= jumlah permukaan antara efektif
Nti
= tarikan baut minimum
kh
= faktor untuk berbagai jenis baut = 1,00 untuk lubang standar = 0,85 untuk lulbang sela pendek dan kebesaran = 0,70 untuk lubang sela panjang
g) Pendekatan kekuatan kelompok baut. II - 31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Dalam hal kelompok bau tmemikul gaya geser dalam bidan gyan bekerja dengan memperhitungkan titik berat kelompok, pusat langsung untuk perputaran berada di tak terhingga dan gaya geser rencana dibagi rata pada kelompok baut. Gaya geser rencana dalam tiap baut dianggap bekerja tegak lurus pada jarijari baur ke pusat langsung, dan harus diambil berbanding lurus dengan jari-jari tersebut. h) Detil perencanaan baut Jarak minimum antara pusat lubang pengencang tidak boleh lebih kurang dari 2,5 diameter nominal pengencang. Jarak minimum dari pusat pengencang ke tepi pelat penampang harus sesuai dengan tabel berikut : Tabel 2.10. Jarak tepi minimum
Pemotongan tepi dengan gesr atau tangan dan api 1,75 d f
Pelat giling, pemotongan mesin dengan api, gergaji atau tepi diratakan 1,50 d f
Tepi hasi giling dari penampang giling 1,25 d f
Catatan : d f = diameter pengencang nominal sumber : RSNI3 Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan, 2005
Jarak maksimum antara pusat pengencang harus nilai terkecil dari 15 t p (dimana t p adalah tebal pelat tertipis dalam sambungan) atau 200 mm
Jarak tepi maksimum dari pusat tiap pengencang ke tepi terdekat dari bagian yang saling bersambung harus sebesar 12 kali tebal pelat lapis tertipis dalam hubungan, tetapi tidak boleh melebihi 150 mm.
II - 32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Diameter lubang yang selesai harus 2 mm lebih besar dari diameter nominal baut untuk baut dengan diameter kurang dari 24 mm, dan tidak lebih dari 3 mm untuk baut yang berdiameter lebih besar dari 24 mm. Jumlah baut minimum pada sambungan baut adalah 2 baut. Ukuran baut yang digunakan tidak boleh kurang dari diameter nominal 16 mm, dan tidak bolh lebih dari 2 kali ketebalan bagian tertipis dalam sambungan.
b. Analisa Pelat Lantai Ortotropik Dalam jembatan ortotropik, elemen-elemen strukturnya yaitu pelat lantai, gelagar memanjang (rib), gelagar melintang (floor beam) dan gelagar utama (main girder), bekerja sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dimana plat lantai berfungsi sebagai sayap atas (upper flange) dari gelagar memanjang (rib) dan gelagar melintang (floor beam), demikian pula sistem pelat lantai (pelat lantai dan rib) berfungsi sebagai bagian dari gelagar induk (main girder) Analisa ini terbagi atas 3 sistem komponen struktur, yaitu : Sistem I . Analisa pelat lantai, diamana pelat lantai bekerja secara local sebagai suatu pelat menerus yang langsung menerima beban roda dan meneruskan reaksinya pada rib. Sistem II. Analisa pelat yang diperkaku. Terdiri dari rib memanjang, gelagar melintang dengan pelat lantai sebagai flens atasnya bekerja sebagai sistem lantai dari jembatan.
II - 33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Sistem III. Analisa sistem gelagar utama, dengan sistem lantai sebagai gelagar utama, dimana sistem lantai yang terdiri dari pelat lantai dan rib memanjang berfungsi sebagai flens atas (upper flange) dari gelagar utama.
1) Sistem I (Analisa Pelat) Fungsi utama dari pelat baja adalah untuk menahan beban lalu lintas dan untuk menyalurkan reaksi ke longitudinal ribs. Ukuran minimum dari tebal pelat baja,
tp dapat ditentukan berdasarkan batas lendutan izin dari pelat yang menerima beban roda terpusat, yakni sebesar 1/300 dari jarak antar ribs. 4
1 5 p.a a 6 384 E.Ip 300 ............................................................... (2.41) Tebal pelat ditentukan dengan menggunakan rumus Kloppel’s : tp (0, 007a)
Dimana
p ...............................................................................(2.42) 3
a
= jarak antar ribs
p
= beban terpusat roda kendaraan
Ip
= inersia pelat
E
= modulus elastisitas pelat baja
2) Sistem II (Analisa Pelat yang Diperkaku) Dalam menganalisa pelat yang digunakan adalah analisa dengan metode Pelikan Esslinger yang didasarkan atas aplikasi persamaan Huber.
II - 34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Metode ini mengasumsikan bahwa sistem deck adalah pelat ortotropik yang menerus yang tertumpu oleh main girder yang kaku dan ditumpu secara elastis oleh floor beam. Tahap 1,
momen momen lentur maksimum pada rib dan floor beam dihitung dengan anggapan bahwa gelagar melintang (floor beam) adalah sangat kaku (rigid).
Tahap 2,
efek dari elastic-fleksibilitas gelagar melintang (floor beam) dihitung dan disesuaikan dengan harga-harga momen lentur hasil perhitungan pada tahap 1.
II - 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.13. Metode Pelikan Esslinger (sumber : Design manual for orthotropic steel deck, AISC)
Pelat Deck dengan Tipe Open Ribs Dengan asumsi Dx 0 , dan H 0 persamaan diferensial dari plat ortotropik tipe open ribs menjadi seperti berikut : Dy
4 p y 4 ........................................................................................... (2.43)
II - 36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Seperti yang telah dijabarkan bahwa metode Pelikan –Esslinger terdiri dari 2 tahap, Yaitu : Tahap 1 – Deck dengan penyokong kaku a) Panjang efketif rib s1 0, 7 s ............................................................................................... (2.44)
Gambar 2.14. Efektif span rib. (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
b) Spasi ideal rib Spasi ideal untuk rib dapat diasumsikan sama seperti spasi actual dari rib itu sendiri a0 *
2 R0 a R0 R1 ........................................................................................ (2.45)
Dimana
a
= spasi actual rib
a*
= spasi ideal rib
R0 , R1 = beban pada rib
II - 37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.15. Spasi ideal ribs berdasarkan pembebanan yang berbeda pada ribs. (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
c) Lebar efektif pelat baja
a0 ' a0 *
a0 a * .............................................................................(2.46)
Gambar 2.16. Lebar efektif plat berdasarkan pembebanan sama pada ribs. (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
d) Garis pengaruh
II - 38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Momen lentur dari reaksi rib ditentukan dengan menggunakan garis pengaruh pada balok menerus. Bentuk persamaan umum dari momen lentur pada tipe open ribs adalah :
M
s
sP
.................................................................................(2.47)
Dimana
s
s
= merupakan garis pengaruh ordinat dari unit satuan panjang,
merupakan fungsi dari perbandingan
y . s
Sedangkan momen lentur yang bekerja pada sebuah rib memiliki persamaan sebagai berikut : R Mr Mtotal P ......................................................................... (2.48)
Dimana
R = rasio beban pada rib terhadap beban total roda. P
II - 39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.17. Garis pengaruh dari balok menerus pada perletakan kaku (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
e) Koefisien reduksi Pada analisa untuk mencari momen lentur pelat ortotropik tipe open rib, sebuah Ribs diasumsikan sebagai balok menerus diatas banyak perletakan dengan span yang sama. Pada balok menerus berkurangnya momen lentur tergantung kepada jaraknya terhadap beban. Besarnya pengurangan ditentukan oleh koefisien reduksi, k . Jika M 0 merupakan momen lentur pada perletakan m 0 , maka:
II - 40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
M 1 k .M 0 M 2 k .M 1 k 2 .M 0 dst Mm k m .M 0 .............................................................................. (2.49)
Dengan persamaan 3momen, pada balok yang tidak dibebani diberikan persamaan:
M 0 4M 1 M 2 0 ...................................................................(2.50) Dengan hasil subtitusi didapatkan M 0(1 4k k 2) 0 ................................................................... (2.51) k 2 3 0.2679 ............................................................. (2.52)
Gambar 2.18. Momen lentur balok menerus pada perletakan kaku terhadap beban terpusat (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
f) Momen pada perletakan Beban terpusat pada span 0-1
Ms y y 0,5 s 0,8660 s sP 01
2
s .............(2.53) 3
0,3660 y
Beban terpusat pada span1-2, 2-3, 3-4…(m)-(m+1)
Ms y y 0,5 s 0,8660 s sP m
2
s (0.268) (2.54)
0,3660 y
3
m
II - 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Beban merata pada jarak y d dari perletakan Ms sP
d d 0,5 s 0,8660 s 2 d c 0, 2887 0,3660 s s
2
s
0,3660 d
3
.................(2.55)
Gambar 2.19. Pembebanan yang digunakan untuk perhitungan momendan reaksi pada perletakanrib menerus. (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
g) Momen pada tengah bentang Beban terpusat pada span 0-0
...................................(2.56)
Ms y y 0,1830 s 0,3170 s sP 00
Dimana
y s
2
2
II - 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Beban terpusat pada span 1-2, 2-3, 3-4,…, (m)-(m+1)
Ms y y 0,1830 s 0,3170 s sP m (0, 2679) m
2
s
0,1340 y
3
.......(2.57)
Beban merata ditengah span 0-0
Mc c c 0,1708 0, 2500 s 0,1057 s sP
2
......................... (2.58)
Gambar 2.20. Pembebanan yang digunakan untuk perhitungan momen padatengah bentang rib memanjang. (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
II - 43
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
h) Mencari reaksi Reaksi Floor Beam pada Ribs Reaksi pada F0 pada perletakan, untuk beban pada span 0-1
F0 1 2,1962 y s P
2
s ......................................(2.59)
1,1962 y
3
Reaksi pada span 1-2, 2-3, 3-4,…, (m)-(m+1)
F0 0,8038 y 1,3923 y s s P
2
s (0, 268)
0,5885 y
3
m 1
(2.60)
Reaksi ketika seluruh span terbebani penuh oleh beban merata
F0 1, 000 P ................................................................................(2.61)
Gambar 2.21. Pembebanan yang diggunakan untuk menghitung reaksi pada rib. (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
II - 44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Reaksi Rib pada Deck Plat Reaksi beban pada panel 0-1 pada sembarang posisi 2 2 3 f d d 1 2,1962 a 1,1962 a a R0 P d 0,1830 0, 2990. a ................... (2.62)
Reaksi beban pada panel 0-1 pada perletakan 0
R0 P 1 0, 7321 f a
2
a .............................(2.63) 3
0, 2990 f
Reaksi beban pada panel, (m) (m 1) sembarang posisi
0,8038 d 1,3923 d 2 0,5880 d 3 a a a (0, 2679) m1 R0 P 2 f 0,1160 0,1471. d a a
..................................................................................................(2.64) Reaksi beban pada panel, (m) (m 1) pada perletakan m 0
(0, 2679)
f f 0, 4019 a 0, 4641 a R0 P 3 f 0,1471 a
2
m 1
............(2.65)
i) Distribusi Beban Aktual Pada Rib Deck Distribusi beban actual roda pada deck jembatan mengindikasikan bahwa tiap-tiap rib menerima beban yang berbeda, dinyatakan dalam persamaan
Ro Ro sebagai fungsi dari distribusi beban terhadap spasi rib. Hubungan P P
II - 45
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
sebagai fungsi dari distribusi beban selanjutnya dapat dilihat pada Diagram Distribusi Pembebanan pada AISC 1963.
j) Panjang dan Lebar Efektif Floor Beam Panjang bentang efektif dari floor beam yang disokong oleh main girder diasumsikan mendekati sama dengan spasi main girder
l* l Jarak efektif floor beam untuk penentuan gaya-gaya dalam adalah :
s* s Jarak efeketif floor beam untuk penentuan tegangan dinyatakan sebagai hubungan antara spasi actual dan pembebanan seperti yang dinyatakan dalam persamaan berikut : s*
2 F0 s F0 Ft ............................................................................ (2.66)
Lebar efektif floor beam dimana pada kasus seluruh floor beam menerima beban yang sama spasi ideal s * adalah sama dengan spasi actual s . Dengan nilai s * dan b dapat ditentukan
.s * / b ...............................................................................(2.67) Dari diagram dapat ditentukan panjang efektif floor beam dari hubungan
l */l sebagai fungsi dari .
II - 46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Tahap 2 – Deck dengan penyokong elastis a) Fleksibilitas floor beam Pada langkah pertama metode Pelikan-Eslinger, deck pelat baja diasumsi rigid atau tidak melelehnya floor beam. Dalam kenyataan sistem jembatan, sebuah beban yang terletak pada deck akan menyebabkan defleksi pada floor beam. Defleksi floor beam akan mempengaruhi ribs, menambah momen lentur positif pada tengah bentang ribs, dan akan mengurangi momen lentur negative dimana ribs ditopang oleh floor beam. Efek dari fleksibilitas floor beam pada momen lentur dalam ribs akan membesar pada tengah bentang deck jembatan diantara main girder. Untuk analisa praktis, pelat orthotropic terdiri dari sistem longitudinal strip atau T ribs terbentang pararel sisi dengan sisi dan ditopang oleh floor beam elastis. Untuk evaluasi efek fleksibilitas floor beam pada momen dalam deck orthotropic, beban roda actual harus tersubtitusi dengan persamaan komponen beban sinusoidal diteruskan sepanjang lebar deck jembatan. Untuk membuat subtitusi ini, aksi beban roda pada jembatan harus dikembangkan dalam deret fourier. Oleh karena itu, analisa evaluasi fleksible floor beam terbagi dalam dua bagian : Menempatkan beban hidup actual dengan sistem equivalent distribusi pembebanan sepanjang lebar jembatan, dengan II - 47
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
mempertimbangkan bahwa defleksi pada tiap bagian adalah sebanding pada distribusi pembebanan equivalent. Menentukan momen lentur gaya geser, dan mengevaluasi garis pengaruh
untuk
T-beams
pada
elastis
support
dengan
menggunakan equivalent distribusi pembebanan
b) Distribusi beban pada fleksibel floor beam Beban terbagi rata, P Qo ( x2 x1 ) , pada balok lantai dengan bentang b dan pemberian pembebanan dapat dipresentasikan dengan equivalen sinusoidal deret fourier : Qnx cos n x1 cos n x2 cos n x 2 n Qo b b b ......................... (2.68)
Dimana
Qnx = beban per unit lebar pada lokasi x dari deret fourier
Qo = beban actual pada deck jembatan per unit lebar,
Qo P
2g
b = panjang bentang = lebar deck jembatan.
Gambar 2.22 (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
II - 48
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
c) Koefisien fourier untuk perhitungan momen fleksibilitas balok lantai. Untuk desain dengan simple supported floor beam cukup dengan menggunakan deret pertama fourier komponen beban. Dalam persamaan berikut ini koefisien fourier diperlukan untuk komputasi dari efek flesibilitas floor beam dengan simple supported dan akan dievaluasi dalam dua kasus : Koefisien fourier untuk perhitungan momen lentur positif maskimum yang bertambah besar dalam rib. Koefisien fourier yntuk perhitungan relief momen lentur pada floor beam.
d) Koefisien fourier untuk perhitungan momen lentur ribs dan floor beam. Satu jalur beban truk Q1x 8 cos e sin g sin d sin x . . . . 1 Qo b b b b ................................ (2.69)
Gambar 2.23 (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
Dua jalur beban truck
II - 49
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Q1x 8 cos e sin g sin d1 sin d 2 sin x . . . . 1 Qo b b b b ........... (2.70) b
Gambar 2.24 (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
Banyak jalur beban truck
Q1x 8 sin d n cos e sin g sin d1 sin d 2 . . . ... 1 Qo b b b b b
sin x . b
..................................................................................................(2.71)
Gambar 2.25 (sumber : AISC-Design manual for orthotropic steel plate, 1963)
e) Tambahan momen lentur pada Ribs Untuk mengevaluasi penambahan momen untuk lokasi yang berubah sepanjang balok akibat pengaruh beban, dapat ditulis : II - 50
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
M r P. Fm .m ............................................................... (2.72)
Untuk tipe open ribs digunakan persamaan : M R A0 sa
Q1x Q0
Fm im s ....................................................... (2.73)
P
f) Tambahan momen lentur pada Floor Beam Penambahan momen lentur pada floor beam akibat fleksibilitas beam didapat dengan menggunakan persamaan.
. QQ
M f Qo l
2
1x 0
Fm F0 P P 0 m ................................ (2.74)
g) Koefisien fleksibilitas Floor Beam
l4IR 3 4 as I F .............................................................................(2.75) h) Perhitungan Penampang Bentang efektif dan lebar ribs Bentang efektif adalah lebih besar dari spasi floor beam, sehingga dituliskan dengan persamaan : l1
Semua rib dipertimbangkan terbebani akibat fleksibilitas balok lantai. Oleh karena itu, efektif ideal spasi rib diasumsikan sama dengan spasi aktual rib
a* a
II - 51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Lebar efektif a0 dihitung dengan menggunakan persamaan .l * /b , yang dikorelasikan dengan persamaan
a0 / a* 1,10 Bentang efektif dan lebar floor beam Bentang efektif dari balok lantai digunakan pendekatan sebagai berikut :
b* b Oleh karena itu bentang efketif floor beam, adalah sebanding dengan jarak antara dua main girder. Lebar efektif floor beam digunakan pendekatan sebegai berikut :
l* l 2 Fo l* l Fo F1 .........................................................................(2.76) Jika diketahui b dan l * , maka dapat ditentukan lebar efektif dari floor beam dengan menggunakan persamaan .l * /b yang dikorelasikan dengan persamaan :
l */l
3) Sistem III (Analisa Sistem Lantai dan Balok Utama yang Bekerja Bersama) a) Lebar efektif deck Lebar efektif deck disesuaikan dengan lebar efektif perencanaan. b) Superposisi komponen-komponen tegangan
II - 52
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Tegangan tegangan yang terjadi dari plat deck akibat beban kerja dievaluasi dengan melakukan superposisi komponen tegangan yang didapatkan dari sistem I dan II. Superposisi mengasumsikan hubungan linier antara beban dan tegangan pada semua sistem. Tegangan pada sistem I didefinisikan sebagai tegangan lentur pada deck yang disokong oleh rib karena pengaruh beban langsung yang bekerja pada deck. Tegangan local ini bekerja antara rib pada arah melintang. Tegangan pada sistem II sebagai tegangan lentur pada longitudinal rib dan floor beam yang bekerja sama dimana plat deck sebagai flange akibat local action dari beben yang bekerja pada deck. Pada sistem ini tegangan dievaluasi pada rib dan floor beam sebagai berikut : Tegangan lentur pada rib Tegangan pada rib dievaluasi secara terpisah untuk kasus-kasus sebagai berikut Beban mati Tegangan lentur pada rib akibat beban mati harus menggunakan rumus untuk balok menerus diatas perletakan rigid. Beban hidup Devaluasi berdasarkan rib yang disokong oleh rigid floor beam. Dievaluasi berdasarkan rib yang disokong elastis floor beam. Tegangan geser pada rib
II - 53
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Tegangan geser maksimum rib pada sistem II dievaluasi dengan menempatkan beban roda diatas rib yang dekat dengan floor beam dan diasumsikan seluruh beban disalurkan ke floor beam oleh rib. Tegangan pada floor beam Beban mati Tegangan lentur pada floor beam akibat beban mati harus menggunakan rumus untuk balok menerus diatas perletakan rigid. Beban hidup Dievaluasi berdasarkan rigid floor beam Dievaluasi berdasarkan elastis floor beam. c) Stabilitas sistem deck Stabilitas dari penampang gelagar utama dihitung berdasarkan kaidahkaidah yang terdapat pada RSNI T-03-2005 Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan
2.6
Pilar
Ketentuan perencanaan pilar jembatan didasarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat pada RSNI T-04-2005 Perencanaan Struktur Beton Untuk Jembatan pasal 7.2.3 mengenai ketentuan perencanaan pilar untuk jembatan. a. Jenis Pilar Ada beberapa jenis pilar, antara lain pilar balok cap tiang sederhana, berdinding padat, pilar berdinding ganda, pilar membelok dan pilar kolom tunggal ataupun pilar berongga (tubular pier).
II - 54
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
b. Beban Tumbukan Beban tumbukan dapat terjadi akibat tabrakan yang berasal dari lalu lintas kendaraan, lau lintas sungai atau hanyutan. Analisis resiko yang pantas perlu dilakukan untuk menentukan derajat ketahanan tumbukan yang harus disediakan dan/atau untuk menentukan sistem proteksi yang cocok. Pilar mendukung jembatan harus diperiksan terhadap pengaruh tumbukan dari kendaraan agar menjamin bahwa struktur tidak akan runtuh oleh berat sendiri jika satu penunjang / perletakan berpindah. c. Perlindungan Pilar Sambungan antara batang-batang structural perlu direncanakan untuk menahan atau mengakomodasi pergerakan relative tanpa harus runtuh. Jikalau tumbukan kendaraan terjadi maka harus disediakan penghalang kaku atau pilar jembatan di cek terhadap beban-beban tabrakan yang diisyaratkan pada Standar Perencanaan Pembebanan untuk Jembatan Jalan Raya. d. Gerusan Perubahan morfologi sungai seperti gerusan setempat, penurunan badan sungai akibat penggalian dan degredasi dasar sungai yang diperkirakan akan terjadi harus ditentukan dan dalam perencanaan harus dikembangkan untuk meminimalisasi keruntuhan akibat kondisi ini. e. Muka Pilar Bagian ujung depan pilar perlu didesain untuk memecah angkutan.
II - 55
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
f. Pilar berbentuk Tabung Karena kelemahannya terhadap beban lateral, maka pilar jenis ini mempunyai ketebalan dinding yang cukup untuk melawan gaya dan momen dari segala situasi pembebanan. Konfigurasi prismatic dapat berupa pracetak atau pratekan sewaktu pelaksanaan.
g. Kapasitas Keamanan dan Struktural Pilar Jembatan Pilar jembatan harus direncanakan untuk mempunyai kapasitas structural yang memadai, dengan pergerakan yang dapat diterima sebagai akibat dari kombinasi beban-beban, serta kapasitas dukungan pondasi yang aman dan penurunan yang dapat diterima. Perencanaan struktur pilar jembatan dan pondasinya harus mengikuti standar perencanaan struktur beton bertulang, berdasarkan cara Perencanan berdasarkan Beban dan Kekuatan Terfaktor untuk penampang beton bertulang, termasuk pembatasan luas tulangannya. h. Penurunan Penurunan dapat diperkirakan dari prosedur analisis geoteknik yang lazim i. Pergerakan yang diijinkan Kriteria pergerakan yang diizinkan untuk pilar jembatan harus dihitung berdasarkan jenis dan kepentingan jembatan, umur layan yang diantisipasi, dan konsekuensi dari pergerakan yang tidak dapat diterima secara structural. j. Sambungan Harus disediakan sambungan kontraksi vertical pada interval yang tidak lebih daru 8 meter pada pilar yang tinggi dan harus disediakan tulangan yang cukup untuk mencegah retak dan susut. II - 56
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
k. Penulangan susut akibat suhu Semua muka/bagian yang terbuka dari pilar jembatan beton bertulang harus diberi tulangan akibat pengaruh penyusutan dari suhu.
l. Perencanaan struktur beton bertulang pilar jembatan Perencanaan Struktur Kolom Pilar 1) Momen lentur minimum Momen lentur rencana terhadap sumbu-sumbu utama harus diambil tidak kurang dari Nu 0,5h (tebal total dari kolom pada bidang lentur). 2) Momen Inersia Momen inersia untuk berbagai komponen struktur tekan Balok
:
0,35 I g
Kolom
:
0,70 I g
Pelat dan lantai
:
0,25 I g
Dinding
:
0,70 I g
3) Perencanaan kolom langsing Kolom langsing dikelompokkan menjadi bergoyang dan tidak bergoyang. Suatu tingkat pada struktur boleh dianggap tak bergoyang bila nilai
Q
P u
Vu lc
o
0, 05
.......................................................................................... (2.77)
4) Beban tekuk Pc
2 EI
klu
2
.......................................................................................................(2.78) II - 57
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
5) Syarat kelangsingan Radius girasi r , untuk komponen struktur trkan persegi diambil sama dengan 0,3 kali dimensi total arah stabilitas yang ditinjau, dan sama dengan 0,25 kali diameter komponen struktur tekan lingkaran. Untuk bentuk penampang lainnya, r dapat dihitung dari penampang bruto beton Panjang bebas, lu , dari komponen struktur tekan diambil sebesar jarak bersih antara pelat lantai, balok , atau komponen struktur lainnya yang mampu memberikan dukungan lateral terhadap struktur trkan tersebut. Bila terdapat kepala kolom atau perbesaran balok, maka panjang bebsa dihitung terhadap posisis terbawah dari kepala kolom atau perbesaran balok dalam bidang yang ditinjau. Faktor panjang efektif, k , harus diambil sama dengan 1,0. Kecuali bila dalam analisis menunjukkan bahwa suatu nilai yang lebih kecil dapat digunakan. Untuk komponen struktur tekan bergoyang, nilai k
harus ditentukan dengan
mempertimbangkan pengaruh dari keretakan dan tulangan terhadap kekauakn relative, dan harus lebih besar dari 1,0. Nilai k dapat dilihat pada Tabel 2.6 Pengaruh kelangsingan, dapat diabaikan untuk komponen struktur tekan tak bergoyang apabila dipenuhi:
M klu 34 12 1 r M2
.......................................................................................... (2.79)
Untuk komponen struktur tekan bergoyang, pengaruh kelangsingan dapat diabaikan apabila:
klu 22 r ............................................................................................................(2.80) II - 58
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
6) Persyaratan tulangan kolom a) Tulangan memanjang Luas tulangan memanjang , As 0,01Ag As 0,08 Ag
....................................................................(2.81)
Rasio tulangan spiral , s tidak boleh kurang dari
Ag f c ' 1 A c f y ..................................................................(2.82)
s 0, 45
f y adalah kuat leleh tulangan, tetapi tidak boleh melebihi 400 Mpa.
b) Ukuran dan jarak antara sengkang dan spiral Ukuran tulangan sengkang atau spiral jangan kurang dari ukuran yang diberikan dalam tabel berikut. Tabel 2.11. Ukuran tulangan untuk sengkang dan spiral
Ukuran Tulangan Arah memanjang [mm] Tulangan tunggal sampai dengan 20 Tulangan tunggal 24 – 28 Tulangan tunggal 32 – 36 Tulangan tunggal 40 Tulangan kelompok
Ukuran minimum tulangan sengkang dan spiral [mm] 6 10 12 16 12
Sumber : RSNI T-04-2005 Perencanaan Struktur Beton Untuk jembatan
Jarak antara sengkang atau spiral tidak melebihi harga terkecil dari :
hc atau 15db untuk tulangan tunggal
0,5hc atau 7,5db untuk tulangan kelompok
300 mm Satu sengkang atau putaran pertama dari spiral harus ditempatkan tidak lebih dari 100 mm arah vertical di atas pincak perletakan atau puncak pelat lantai. c) Penyambungan tulang memanjang II - 59
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Pada setiap sambungan dalam kolom, kekuatan tarik tulangan masing-masing muka kolom tidak boleh kurang dari 0, 25 f y As . Perencanaan Struktur Pier Head 1) Kekuatan Balok Terhadap Lentur a) Asumsi perencanaan Perhitungan
kekuatan
suatu
penampang
yang
terlentur
harus
memperhitungkan keseimbangan dari tegangan dan kompabilitas regangan. Hubungan distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat dianggap dipenuhi oleh distribusi tegangan beton persegi yang diasumsikan 0,85 f c ' , terdistribusi merata pada daerah tekan yang dibatasi oleh tepi tertekan terluar dari penampang dan suatu garis yang sejajar dengan sumbu netral sejarak
1c dari tepi terluar sumbu tersebut.
Gambar 2.26. Tegangan dan Regangan pada penampang beton bertulang. Sumber : RSNI T-04-2005 Perencanaan Struktur Beton Untuk jembatan
Nilai 1 harus diambil sebesar:
1 0,85 untuk fc ' 30Mpa ......................................................(2.83) 1 0,85 0,008( fc ' 30) untuk fc ' 30Mpa ............................. (2.84) b) Syarat tulangan minimum II - 60
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Syarat tulangan minimum tidak boleh kurang dari As min
fc ' 4 fy
bw d ............................................................................ (2.85)
Dan tidak lebih kecil dari :
As min
1, 4 bw d ..............................................................................(2.86) fy
c) Syarat tulangan maksimum Untuk komponen struktur lentur dan kombinasi lentur dan aksial tekan, rasio tulangan tidak boleh melampau 0,75. d) Jarak Tulangan Jarak bersih minimum tulangan sejajar, seikta tulangan dan sejenisnya tidak boleh kurang dari 40mm. Jarak bersih antara tulangan yang sejajar dalam lapusan tidak boleh kurang dari 1,5 kali diameter tulangan atau 1,5 kali diameter seikat tulangan. e) Detail Tulangan Lentur Tulangan tarik harus disebarkan merata pada daerah tegangan tarik beton maksimum. Bagian ujung dan pengangkuran dari tulangan lentur harus didsarkan pada momen lentur hipotesis yang dibentuk oleh pemindahan secara merata dari meomen lentur positif dan negative, berjarak h pada balok terhadap tiap sisi potongan momen maksimum aygn releva. Tidak kurang dari 1/3 tulangan tarik akibat momen negative total yang diperlukan pada tumpuan harus diperpanjang sejarak h melewati titik balik lentur.
II - 61
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Pada perletakan sederhana, tulangan angkur harus dapat menyalurkan gaya tarik sebesar 1,5Vu pada bagian muka perletakan. Bila tulangan tarik diperlukan pada tengah bentang, tidak boleh kurang dari setengahnya harus diperpanjang sejarak 12db melalui muka perletakan, atau sepertiganya harus diperpanjang 8db ditambah h/2 melalui muka perletakan.
2) Kekuatan Balok Terhadap Geser a) Kekuatan geser rencana pada balok
Vu Vn .................................................................................... (2.87) Vn Vc Vs ...............................................................................(2.88) Dimana
Vn
= kuat geser terfaktor
Vc
= kuat gesr yang disumbangkan beton.
Vs
= kuat geser yang disumbangkan tulangan geser
b) Gaya geser maksimum tumpuan Gaya geser terfaktor maksimum Vu dekat tumpuan harus diambil sebagai gaya geser pada : Jarak d muka tumpuan, atau Muka tumpuan, jika mungkin terjadi retak diagonal adalam daerah tumpuan. c) Kuat geser yang disumbangkan beton Untuk struktur yamg dibebani geser dan lentur saja
II - 62
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
f ' Vc c bw d ........................................................... (2.89) 6
Atau dihitung dengan perhitungan yang lebih rinci V d b d Vc f c ' 120 w u w ....................................... (2.90) Mu 7
Vc tidak boleh besar daripada 0,3 fc 'bw d dan
Vu d tidak boleh Mu
diambil melebihi 1,0 dimana M u adalah momen terfaktor yang terjadi bersamaan dengan Vu penampang yang ditinjau. Untuk struktur yang dibebani tekan aksial N Vc 1 u 14 A g
fc ' bw d ......................................... (2.91) 6
Atau dapat dihitung dengan perhitungan yang lebih rinci. 0,3Nu Vc 1 Ag
fc ' bw d ........................................ (2.92) 6
d) Kuat geser yang disumbangkan tulangan geser
Vs
Av f y d s
...............................................................................(2.93)
e) Tulangan geser minimum
Av (min)
1 bw s ...........................................................................(2.94) 3 fy
f) Tulangan geser terhadap friksi
Vn Av f f y ..............................................................................(2.95) g) Jarak tulangan geser II - 63
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Jarak antar tulangan minimum tidak boleh melebihi
d atau 600mm 2
3) Perencanaan kekuatan balok terhadap lentur dan aksial
Pn (max) 0,80 0,85 fc ' Ag Ast f y Ast .........................................(2.96) 2.7
Pembebanan
a. Beban Permanen Massa setiap bagian bangunan harus dihitung berdasarkan dimensi yang tertera dalam gambar dan berat jenis bahan yang digunakan. Tabel 2.12. Berat isi untuk beban mati.
No
Bahan
1 2 3 4 5 6
Lapisan permukaan beraspal Besi tuang Timbunan tanah dipadatkan Kerikil dipadatkan Beton aspal Beton ringan Beton f 'c 35Mpa
7 8 9 10
35 f 'c 105Mpa Baja Kayu Kayu Keras
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Berat isi (kN / m3 ) 22,0 71,0 17,2 18,8 – 22,7 22,0 12,25 – 19,6
Kerapatan massa (kg/ m3 ) 2245 7240 1755 1920 – 2315 2245 1250 – 2000
22,0 – 25,0 22+0,222 f’c
2250 + 2,29 f’c
78,5 7,8 11,0
7850 800 1125
1) Berat sendiri (MS) Berat sendiri adalah berat bagian tersebut dan elemen-elemen structural lain yang dipikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen structural, ditambah dengan elemen
nonstructural yang
dianggap tetap.
II - 64
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori Tabel 2.13. Faktor beban untuk berat sendiri.
Tipe Beban
Tetap
Bahan
Baja Alumunium Beton pracetak Beton cor ditempat Kayu
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Faktor beban ( MS ) Keadaan batas Keadaan batas ultimit layan U MS S MS Biasa Terkurangi 1,00 1,10 0,90 1,00 1,10 0,90 1,00 1,20 0,85 1,00 1,30 0,75 1,00 1,40 0,7
2) Beban mati tambahan (MA) Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non structural, dan besarnya dapat berubah selama umur jembatan. Tabel 2.14. Faktor beban untuk beban mati tambahan.
Tipe Beban
Tetap
Keadaan
Umum Khusus
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Faktor beban ( MA ) Keadaan batas Keadaan batas ultimit layan U MA S MA Biasa Terkurangi 1,00 2,00 0,70 1,00 1,40 0,80
b. Beban Lalu Lintas 1) Lalu lintas rencana Secara umum, jumlah lajur lalu lintas maksimum dapat ditentukan berdasarkan tabel berikut: Tabel 2.15. Jumlah lajur lalu lintas rencana.
Tipe Jembatan
Lebar Bersih Jembatan
Satu Lajur
3000 w 5250
Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana 1 II - 65
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
5250 w 7500 7500 w 10000 10000 w 12500 12500 w 15250 w 15250 5500 w 8000 8250 w 10750 11000 w 13500 13750 w 16250 w 16250
Dua Arah, Tanpa Median
Dua Arah, dengan Median
2 3 4 5 6 2 3 4 5 6
Catatan : Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instalasi yang berwenang. Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerbatau rintangan untuk satu arah atau jarak antara antara kerb/rintangan/median dan median untuk banyak arah.
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
2) Beban lanjur “D” (TD) Beban lajur “D” terdiri atas beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT). Adapun faktor beban yang digunakan untuk beban lajur “D” ditentukan pada tabel berikut. Tabel 2.16. Faktor beban untuk beban lajur "D"
Tipe Beban Transien
Jembatan Beton Box Girder Baja
Faktor beban ( TD ) Keadaan batas Keadaan batas layan ultimit S U TD TD 1,00 1,80 1,00 2,00
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
a) Intensitas beban “D” BTR mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu seperti berikut : Jika L 30 m : q 9,0 kPa ................................................. (2.97)
II - 66
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
15 Jika L 30 m : q 9, 0 0,5 kPa ............................... (2.98) L
Dengan
q
= intensitas BTR
L
= panjan total jembatan yang dibebani
BGT dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Biasanya intensitas p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi arah melintang jembatan pada ben tang lainnya.
Gambar 2.27. Beban Lajur "D" (Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.)
b) Distribusi beban Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen BTR dan BGT dari beban “D” secara umum dapat diliha pada gambar Gambar 2.27 kemudian untuk arah memanjang dapat dilihat pada Gambar 2.28.
II - 67
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.28. Alternatif penempatan beban "D" dalam arah arah memanjang. Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
c) Respon terhadap beban lajur Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar II - 68
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
jembatan. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebap dapa seluruh lebar balok (tidak termasuk parapet, kerb, dan trotoar) dengan intensitas 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.
3) Beban Truck “T” (TT) Beban truck tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Beban truck digunakan untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor beban truck dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.17. Faktor beban untuk beban "T"
Tipe Beban Transien
Jembatan Beton Box Girder Baja
Faktor beban ( TT ) Keadaan batas Keadaan batas layan ultimit S U TT TT 1,00 1,80 1,00 2,00
a) Besarnya beban “T”
Gambar 2.29. Pembebanan Truck Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
II - 69
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Jarak antar 2 gandar dapat diubah dari 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan b) Posisi penyebaran beban “T” Terlepas dari panjang jembatan, umunya hanya ada satu kendaraan truck “T” yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Untuk jembatan sangat panjang dapat ditempatkan lebih dari satu truck pada satu lajur lalu lintas rencana. c) Bidang kontak kendaraan Bidang kontak kendaraan terdiri atas satu atau dua roda diasumsikan mempunyai bentuk persegi panjang dengan panjang 750 mm dan lebar 250 mm. tekanan ban diasumsiakn terdistribusi merata pada permukaan bidang kontak.
4) Klasifikasi Pembebanan Lalu Lintas Faktor beban dinamis (FBD) Besarnya BGT dari pembebanan “D” dan beban roda dari pembebanan “T” harus cukup memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan dengan penggunaan FBD.
II - 70
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.30. Faktor beban dinamis untuk beban T dan D. Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
5) Gaya Rem (TB) Gaya rem harus diambil dari 5% berat truck rencana ditambah BTR Gaya rem ditempatkan di semua lajur rencana, bekerja secara horizontal pada jarak 1800 mm diatas permukaan jalan pada masing masing arah longitudinal.
Gambar 2.31. Gaya rem pada jembatan
6) Beban Pejalan Kali (TP) Semua komponen trotoar yang lebih lebar dari 600 mm harus direncanakan untuk memikul beban pejalan kaki dengan intensitas 5 kPa, dianggap bekerja secara bersamaan dengan beban kendaraan pada masing-masing lajur kendaraan.
c. Aksi Lingkungan 1) Beban Tumbukan Benda Hanyutan (EF) II - 71
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gaya seret nominal ultimit dan daya layan pada pilar akibat aliran air ditentukan dengan persamaan : TEF 0,5CDVS 2 Ad ............................................................................................. (2.99)
Dimana
VS
= kecepatan air berdasarkan pengukuran di lapangan
CD
= koefisien seret
Ad
= luas proyeksi pilar tegak lurus aliran.
Tabel 2.18. Koefisien sere dan angkat untuk berbagai bentuk pilar.
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan. Tabel 2.19. Periode ulang banjir untuk kecepatan rencana air
Kondisi
Periode ulang banjir 20 tahun
Faktor beban
Daya layan – untuk semua jembatan 1,0 Ultimit : Jembatan besar dan penting 100 tahun 2,0 Jembatan permanen 50 tahun 1,5 Gorong-gorong 50 tahun 1,0 Jembatan sementara 20 tahun 1,0 Catatan : Jembatan besar dan penting harus ditentukan oleh instansi yang berwenang. Gorong-gorong tidak mencakup bangunan drainase
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
II - 72
BAB II Landasan Teori
Faktor beban ( TT ) Keadaan batas layan Keadaan batas ultimit S U EF EF 1,00 Tabel 2.19. Periode ulang banjir untuk kecepatan rencana air
Tipe Beban Transien
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Gaya akibat tumbukan batang kayu dihitung dengan anggapan bahwa batang kayu dengan massa 2 ton hanyut pada kecepatan aliran rencana harus bisa ditahan dengan gaya maksimum berdasarkan rumus berikut :
TEF
MVa 2 ....................................................................................................(2.100) dev
Dengan
M
= massa kayu
Va
= kecepatan air permukaan, bisa diambil 1,4 VS
d ev
= lendutan elastis ekuivalen
Tabel 2.20. Lendutan ekuivalen tumbukan batang kayu
Tipe pilar Pilar beton massif Tiang beton perancah Tiang kayu perancah
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
d ev 0,075 0,150 0,300
2) Beban Angin Tekanan angin diasumsikan deisebabkan oleh angin rencana dengan kecepatan dasar VB sebesar 90 - 126 km/jam. Beban angin diasumsikan terdistribusi merata pada permukaan yang terekspos oleh angin. Luas area yang diperhitungkan adalah luas area dari seluruh komponen, termasuk sistem lantai dan railing yang didambil tegak lurus terhadap arah angin. II - 73
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Beban angin pada struktur Perencanaan dapat menggunakan kecepatan angin rencana dasar yang berbeda untuk kombinasi pembebanan yang tidak melibatkan kondisi angin yang bekerja pada kendaraan. 2
V PD PB DZ ............................................................................................... (2.101) VB
Dimana
PB
= tekanan angin dasar Tabel 2.21. Tekanan angin dasar.
Komponen bagunan atas Rangka, kolom, dan pelengkung Balok Permukaan datar
Angin tekan [Mpa]
Angin hisap [Mpa]
0,0024
0,0012
0,0024 0,0019
N/A N/A
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Gaya total beban angin tidak boleh diambil kurang dari 4,4 kN/mm pada bidang tekan dan 2,2, kN/mm pada bidang hisap struktur rangka dan pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar. a) Beban angin pada struktur atas Tabel 2.22. Tekangan angin dasar untuk berbagai sudut serang.
Sudut Serang
Derajat 0 15 30 45 60
Rangka, kolom, dan pelengkung Beban Beban lateral longitudinal MPa MPa 0,0036 0,0000 0,0034 0,0006 0,0031 0,0013 0,0023 0,0020 0,0011 0,0024
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Gelagar Beban lateral MPa 0,0024 0,0021 0,0020 0,0016 0,0008
Beban longitudinal MPa 0,0000 0,0003 0,0006 0,0008 0,0009
II - 74
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Arah sudut serang ditentukan tegak lurus terhadap arah longitudinal. Arah angin perencanaan harus yang menghasilkan pengaruh yang terburuk pada komponen jembatan yang ditinjau.
b) Gaya angin yang bekerja langsung pada struktur bawah Gaya melintang longitudinal yang bekerja secara langsung pada bangunan bawah harus dihitung berdasarkan tekanan angin dasar sebesar 0,0019 MPa.
c) Gaya angin pada kendaraan Jembatan harus direncanakan memikul gaya akibat tekanan angin pada kendaraan, dimana tekanan tersebut harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus bekerja 1800 mm diatas permukaan jalan. Maka komponen yang bekerja tegak lurus maupun parallel terhadap kendaraan untuk berbagai sudut serang dapat diambil seperti yang ditentukan dalam tabel berikut : Tabel 2.23. Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan.
Sudut derajat 0 15 30 45 90
Komponen tegak lurus N/mm 1,46 1,28 1,20 0,96 0,50
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
Komponen sejajar N/mm 0,00 0,18 0,35 0,47 0,55
3) Beban Gempa
II - 75
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Perhitungan pengaruh gempa terhadap jembatan mengacu pada SNI 2833:2008 Standar perencanaan ketahanan gempa untuk jembatan.
2.8
Perencanaan Ketahanan Gempa Jembatan
Ketahanan gempa untuk jembatan direncanakan berdasarkan SNI 2833:2008 mengenai Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan. Standar ini digunakan untuk merencanakan struktur jembatan tahan gempa sehingga kerusakan terjadi setempat dan mudah diperbaiki, setruktur tidak runtuh dan dapat dimanfaatkan kembali. a. Cara Analisis Tahan Gempa Pilihan prosedur perencnaan gempa tergantung dari pada tipe jembatan, besarnya koefisien dan akselerasi gempa dan tingkat kecermatan. Pada penelitian tugas akhir ini prosedur yang digunakan adalah prosedur 3. Prosedur 3 diterapkan pada jembatan yang ridak beraturan yang bergetar dalam beberapa moda sehingga diperlukan program analisis rangka ruang dengan kemampuan dinamis.
Gambar 2.32. Prosedur analisis tahan gempa. (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
II - 76
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori Tabel 2.24. Kategori kinerja seismik
Koefisien percepatan puncak di batuan dasar ( A/ g )
Klasifikasi kepentingan I (jembatan utama dnegan faktor keutamaan 1,25)
0,30
D C B A
0,20 – 0,29 0,11 – 0,19 0,10
Klasifikasi kepentingan II (Jembatan biasa dengan faktor keutamaan 1) C B B A
(sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
Tabel 2.25. Prosedur analisis berdsarkan kategori kinerja seismik (A-D)
Jumlah bentang Tunggal sederhana 2 atau lebih menerus 2 atau lebih dengan 1 sendi 2 atau lebih dengan 2 atau lebih sendi Struktur rumit
D 1 2 3 3
C 1 1 2 3
B 1 1 1 1
A -
4
3
2
1
(sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
Tabel 2.26. Faktor modifikasi respon ( Rd ) untuk kolom dan hubungan dengan bangunan bawah.
Kolom atau pilar Pilar tipe dinding (a)
2 (sumbu kuat) 3 (sumbu lemah)
Penghubung bangunan atas pada Kepala Kolom, pilar Sambungan jembatan (b) atau tiang (c) dilatasi
Kolom 3–4 0,8 1,0 0,8 Tunggal Kolom 5–6 Majemuk Pilecap beton 2–3 Catatan : a. Pilar tipe dinding dapat direncanakan sebagai kolom tunggal dalam arah sumbu lemah pilar. b. Untuk jembatan bentang tunggal digunakan faktor Rd =2,5 untuk hubungan pada kepala jembatan c. Sebagai alternative hubungan kolom dapat direncanakan untuk gaya maksimum yang ikembangkan oleh sendi plastis kolom. (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan) Tabel 2.27. Kriteria panjang perletakan minimum ( N )
Panjang perletakan minimum, N [mm]
Kategori kinerja seismik II - 77
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
N (203 1,67 L 6,66H )(1 0,00125.S2 )
A dan B
C dan D N (305 2,5L 10H )(1 0,00125.S2 ) Catatan : L = panjang lantai jembatan [m] H = tinggi rata-rata kolom [m], sama dengan nol untuk bentang tunggal sederhana S = sudut kemiringan perletakan [derajat] (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
Gambar 2.33. Dimensi panjang dudukan perletakan minimum (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
b. Koefisien Geser Dasar Koefisien geser dasar elastis dan plastis ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Celastis A.R .S
Cplastis
............................................................................................... (2.102)
A.R.S Z ................................................................................................ (2.103)
Dengan
II - 78
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Celastis = koefisien geser dasar tanpa faktor daktilitas dan resiko
Cplastis = koefisien geser dasar dengan faktor daktilitas dan resiko
A
= percepatan puncak PGA di batuan dasar.
R
= respon batuan dasar
S
= amplifikasi di permukaan sesuai tipe tanah
Z
= faktor reduksi sehubungan daktilitas dan resiko
Gambar 2.34. Faktor reduksi pengaruh daktilitas dan resiko ( Z ) (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
Koefisien geser dasar Celastis juga dapat ditentukan dengan rumus berikut : Celastis
Dengan
1, 2. A.S T
2
3
dengan syarat Celastis 2,5 A
T
= perioda alami struktur
S
= koefisien tanah
..............................................(2.104)
II - 79
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori Tabel 2.28. Koefisien tanah ( S )
S (tanah teguh) S1 1, 0
S (tanah sedang) S2 1, 2
S (tanah lembek) S3 1,5
(sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan) Tabel 2.29. Akselerasi puncak PGA di batuan dasar sesuai periode ulang.
PGA (g) Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3 Wilayah 4 Wilayah 5 Wilayah 6
50 tahun 0,34-0,38 0,29-0,32 0,23-0,26 0,17-0,19 0,10-0,13 0,03-0,06
100 tahun 0,40-0,46 0,35-0,38 0,27-0,30 0,20-0,23 0,11-0,15 0,04-0,08
200 tahun 0,47-0,53 0,40-0,44 0,32-0,35 0,23-0,26 0,13-0,18 0,04-0,09
500 tahun 0,53-0,60 0,46-0,50 0,36-0,40 0,26-0,30 0,15-0,20 0,05-0,10
(sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
1000 tahun 0,59-0,67 0,52-0,56 0,40-0,45 0,29-0,34 0,17-0,22 0,06-0,11
II - 80
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.35. Koefisien geser dasar (C) elastis untuk analisis dinamis, periode ulang 500 tahun. (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
II - 81
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.36. Koefisien geser dasar (C) plastis untuk analisis statis, dperiode ulang 500 tahun (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
II - 82
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.37. Wilayah gempa Indonesia untuk periode ulang 500 tahun. (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
c. Prinsip Analisis Riwayat Waktu Analisis dinamis Untuk analisis riwayat waktu diperlukan data gempa besar tipikal yang umumnya terjadi di luar lokasi jembatan. Gerakan gempa masukan berupa gelombang akselerasi dengan amplitude yang dimodifikasi berdasarkan wilayah frekuensi sehingga sesuai dengan akselerasi standar respon spectra. Gempa masukan di permukaan tanah anggapan dimodifikasi dengan rumus berikut : S C D So .......................................................................................................... (2.105)
Dengan
S
= akselerasi gempa masukan
CD
= faktor modifikasi nilai redaman terhadap standar 5%
So
= akselerasi wilayah gempa dari respon spectra II - 83
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
CD
Dengan
1,5 0,5 40hi 1 .......................................................................................... (2.106) hi
= adalah konstanta redaman moda
d. Pengaruh Gaya Inersia Gaya inersia diperhitungkan pada setiap unit gelagar rencana yang sesuai dengan anggapan struktur untuk periode alami ( T ) . Perencanaan tahan gempa secara plastis (dengan koefisien gempa horizontal rencana) dan secara elasto-plastis (dengan daktilitas pilihan) menggunakan gaya inersia dalam dua arah horizontal yang saling tegak lurus. Untuk perencanaan tumpuan juga ditinjau gaya inersia dalam arah vertical. Gaya inersia dalam dua arah horizontal bekerja umunya dalam sumbu jembatan dan arah tegak lurus jembatan. Tetapi bila arah komponen horizontal tekanan arah berlainan dengan arah sumbu jembatan dalam perencanaan bangunan bawah, gaya inersia harus mengikuti arah koponen horizontal tekanan tanah dan arah yang tegak lurus padanya.
Gambar 2.38. Arah gerakan gaya inersia. (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
II - 84
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gaya gempa dalam arah orthogonal dikombinasikan sebagai berikut : Kombinasi beban 1 : 100% gaya gerakan memanjang ditambah 30% gaya gerakan melingtang. Kombinasi beban 2 : 100% gaya gerakan arah melintang ditambah 30% gerakan arah memanjang. e. Perumusan Periode Alami Jembatan Rumus periode alami ditentukan berdasarkan sistem dinamis dengan satu derajat kebebasan tunggal sebagai berikut :
T 2 Dengan
W 2 gK
po g
.............................................................................(2.107)
W
= bebran bangunan bawah jembatan dan bagian atas yang dipikul
K
= konstanta kekakuan
g
= gravitasi (9,8 m/s2)
Bila gaya W bekerjadalam arah horizontal, deformasi simpangan horizontal pada bangunan atas menjadi seperti berikut :
W K .............................................................................................................(2.108)
T 2
g
2, 01
..................................................................................... (2.109)
Spektra mode majemuk Bila unit getar rencana terdiir dari beberapa bangunan bawah dan bangunan atas yang didukung olehnya, periode alami dihitung sebagai berikut : T 2, 01 .................................................................................................... (2.110)
II - 85
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
w s u s ds w s u s ds ........................................................................................(2.111) 2
Dengan
T
= adalah periode alami dari unit getar rencana
w s
= berat bangunan atas dan bawah dalam kedudukan s
u s
= adalah simpangan pada kedudukan s dalam arah kerja gaya inersia
Gambar 2.39. Model perhitungan periode alami (moda majemuk). (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
II - 86
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Gambar 2.40. Bagan alir perhitungan periode alami (mode majemuk). (sumber : SNI 2833-2008 Perencanan Ketahanan Gempa untuk Jembatan)
II - 87
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II Landasan Teori
Pembebanan statis ekuivalen seismic dan geser elastis seismic dinyatakan sebagai berikut :
Pe ( x)
Cs w( x)vs ( x) wCs pc .................................................................(2.112)
V pc L wLCs WCs .................................................................................. (2.113)
2.9
Kombinasi Beban Tabel 2.30. Kombinasi Pembebanan
Sumber : SNI 1725-2016 Pembebanan untuk jembatan.
II - 88
http://digilib.mercubuana.ac.id/