LAMPIRAN 1 DAFTAR PERTANYAAN
Prolog Bagi para terpidana, lembaga pemasyarakatan sebagai institusi reintegrasi sosial seharusnya menjadi tempat untuk memperbaiki diri agar di kemudian hari dapat kembali bersosialisasi di tengah masyarakat seperti sediakala sebelum mereka melakukan kesalahan yang menyebabkannya masuk penjara. Ini selaras dengan apa yang termaktub dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995; “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”. Begitu jugda dalam 10 Prinsip Pemasyarakatan yang menyebutkan kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya efek derita bagi narapidana. Selebihnya mereka memiliki hak-hak yang sama sebagai warganegara, termasuk menjadi manusia produktif. Kehidupan para napi di lembaga pemasyarakatan tidak boleh lebih buruk dibanding ketika sebelum mereka masuk bui. Namun apa yang digariskan dalam undang-undang tersebut terkait dengan fungsi-fungsi sebuah lembaga pemasyarakatan, baru sebatas harapan ideal belaka. Berbagai fakta menunjukkan bahwa yang terjadi di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia justru gambaran sebaliknya. Buruknya manajemen lembaga pemasyarakatan di Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Berbagai masalah yang muncul terus berlangsung tanpa pernah ditemukan solusi yang tepat meski pada saat bersamaan selalu mendapat kritikan dari berbagai elemen masyarakat. Persoalan laten dan paling pelik di dalam lembaga pemasyarakatan yang selalu menjadi sorotan dan masih sulit diatasi adalah masalah overcrowding atau kelebihan kapasitas lantaran rendahnya daya tampung. Overcrowding membawa dampak ikutan seperti tingginya angka kekerasan, berpotensi terjadi kerusuhan, angka pelarian tinggi, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Di beberapa negara seperti Amerika, Ingris dan Australia sudah lama berhasil menjalankan lembaga koreksi (LP) yang dikelola swasta. Selain lebih efisien, sistem pembinaannya lebih bervariasi, inovatif dan berdaya guna. Oleh karenanya, privatisasi penjara pun berkembang pesat di negara-negara tersebut dan diikuti beberapa negara lainnya. Privatisasi lembaga pemasyarakatan sebagai alternatif, tentu sangat layak dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia.
130
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
Daftar Pertanyaan:
1. Apakah setuju konsep privatisasi diksanakan pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia? 2. Apakah privatisasi LP tidak bertentangan dengan Undang-Undang? 3. Kalau tidak bertentangan dengan Undang-Undang, apakah berarti tidak perlu ada payung hukum untuk melaksanakan privatisasi LP? 4. Seberapa urgen atau mendesak pelaksanaan privatisasi LP di Indonesia? 5. Model privatisasi LP seperti apa yang paling tepat diterapkan di Indonesia? 6. Apakah pemerintah memiliki political will untuk mendukung privatisasi LP? 7. Hambatan apa saja yang akan mungkin menghambat pelaksanaan privatisasi LP di Indonesia? 8. Bagaimana dengan kesiapan birokrasi dan SDM? 9. Bagaimana Anda melihat pelaksanaan lembaga pemasyarakatan di Indonesia? 10. Bagaimana sistem pembinaan yang diterapkan di dalam LP? 11. Apakah pembinaan yang dilakukan sudah memadai atau belum? 12. Bagaimana narapidana seharusnya diperlakukan? 13. Apakah setuju dengan konsep pemberdayaan narapidana oleh pihak swasta? 14. Melaksanakan privatisasi dengan mempekerjakan napi secara layak dan memperlakukan napi dengan sangat manusiawi dikhawatirkan membuat orang tidak takut masuk LP. Bagaimana pendapat Anda? 15. Jika privatisasi LP sukses seperti dijalankan di luar negeri, apakah penghukuman yang berfungsi sebagai alat penggentarjeraan masih berfungsi efektif?
131
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
16. Apakah Anda yakin privatisasi bisa menjadi solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi lembaga pemasyarakatan di Indonesia selama ini? 17. Selama ini anggaran yang minim selalu dijadikan alasan atas buruknya pelayanan LP terhadap napi. Berapa besar dana APBN yang dialokasikan ke Ditjen Lapas dan seberapa besar yang didistribusikan ke lembaga pemasyarakatan? 18. Adakah sumber pendanaan lain selain dari APBN, atau katakanlah bantuan dari lembaga internasional? 19. Apakah pernah dipikirkan untuk mencari sumber pendanaan lain, seperti mempekerjakan napi atau menggandeng pihak pengusaha, misalnya? 20. Sejauh ini, bentuk-bentuk kerjasama apa yang sudah pernah dilakukan dengan pihak ketiga dalam hal pembinaan maupun pemberdayaan napi?
Catatan: 1. Daftar pertanyaan ini disiapkan hanya sebagai pedoman. 2. Pertanyaan dikembangkan pada saat tatap muka dengan nara sumber. 3. Tidak seluruh pertanyaan diajukan kepada nara sumber tetapi disesuaikan dengan latar belakang masing-masing.
132
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
LAMPIRAN 2 PETIKAN LENGKAP WAWANCARA DENGAN NARASUMBER
1.
Drs. Agun Gunandjar M.Si., DPR-RI, Senayan (23/10-08)
diwawancarai di Gedung Nusantara
Saya sangat setuju dengan privatisasi Lembaga Pemasyarakatan meski dengan beberapa syarat, misalnya dengan terlebih dahulu memperbaiki kendala sarana dan prasarana, peningkatan kualitas SDM, dan kesejahteraan petugas. Dalam kaitan ini juga perlu ada perubahan politik pemidanaan, dimana tidak mutlak setiap kejahatan disebut pidana yang berujung pada Lembaga Pemasyarakatan. Pemidanaan bisa berupa denda atau kerja sosial. Hal ini merupakan salah satu solusi untuk mengurangi overcrowded di dalam penjara yang menjadi masalah laten. Untuk itu, keinginan tersebut harus didukung payung hukum, yakni dengan merevisi KUHP yang belum mengakomodir privatisasi lembaga pemasyarakatan. Namun demikian, guna merealisasikan privatisasi LP tidak perlu harus menunggu payung hukum. Sebab political will pemerintah juga kerap terbentur dengan masalah anggaran. Kalau menunggu RUU KUHP, rencana itu tidak akan pernah terwujud. Kalaupun RUU KUPH sudah dijadikan UU, belum tentu langsung menyentuh akar masalah. Buktinya, pasal tentang fakir miskin dan orang terlantar yang dijamin UU pun hingga kini belum bisa diatasi pemerintah karena kendala anggaran dan skala prioritas masalah-masalah yang dihadapi. Pemerintah masih lebih fokus menghadapi persoalan lain seperti krisis ekonomi dan masalah lainnya. Problem Negara yang berperekonomian nasional masih miskin atau berkembang atau dalam kategori yang belum sejahtera, prioritasnya adalah menangani orang-orang yang tidak bermasalah, bukan orang bermasalah seperti para terpidana. Dengan adanya privatisasi lapas, filosofi pemidanaan juga tidak lagi sekadar bermuatan represif, tetapi juga harus mengambil langkah-langkah preventif. Masyarakat juga akan belajar berpartisipasi terhadap pencegahan kejahatan. Pemahaman kejahatan tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan secara individu tapi harus oleh masyarakat secara keseluruhan. Di Jepang dikenal dengan Social Responsibility Tax, semacam pajak untuk tanggungjawab sosial karena industri memberi kontribusi yang signifikan terhadap perusakan lingkungan maupun terjadinya tindak kriminalitas. Oleh karena itu, di Jepang perusahaan seperti Honda diwajibkan ikut bertanggungjawab menyisihkan dana untuk menanggulangi ekses-ekses semacam itu. Ada dana pembinaan dari perusahaan-perusahaan besar untuk pembinaan masalah-masalah sosial, termasuk memberikan vocational training. Pertanyaannya, jika privatisasi dilaksanakan dengan pelayanan yang baik dan hak-hak yang terjamin, kesejahteraan dan keamanan yang baik di dalam penjara membuat masyarakat tidak takut lagi dipenjara, karena unsur deritanya nyaris tidak ada lagi. Saya kira itu tidak akan terjadi tidak. Pertama, orang akan tetap takut dipenjara karena esensinya orang masuk penjara akan kehilangan kemerdekaan bergerak dan bermasyarakat. Kedua,
133
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
kehilangan hak melayani dan dilayani. Ketiga, kehilangan hubungan seksualitas dengan lawan jenis. Ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Manusia sebagai mahluk individu adalah juga mahluk sosial. Manusia tidak akan merasa berharga tanpa adanya orang lain. Pada tataran ini membawa implikasi dampak psikologis yang berat dan bisa berujung pada frustrasi sekaligus memicu penyimpangan bahkan pemberontakan. Dampak psikisnya, sangat terpidana dalam penjara bisa juga mengalami gangguan jiwa dan bisa pula berakibat terjadinya peristiwa bunuh diri. Memang, ada orang yang mengatakan di penjara itu enak karena makan tersedia. Tetapi ingat, makanan di penjara itu tidak ada pilihan. Semua ditentukan oleh petugas. Kalau pun ya, yang terpenuhi itu hanya kebutuhan fisik manusia. Namun bagaimana dengan kebutuhan psikologis dan biologis? Sebagai ilustrasi, cobalah kita hidup sendiri, di rumah mewah, atau katakan di sebuah istana, tanpa ada orang lain kecuali pembantu yang melayani kita selama satu bulan. Mungkin baru dalam satu minggu sudah terasa jenuh. Jadi, tidak benar kalau ada yang mengatakan penjara sebaik apapun pengelolaannya pasti membawa dampak ketersiksaan bagi penghuninya. Belum pernah ada penjara yang terpidananya tidak pernah mencoba melarikan diri. Kenapa? Karena di penjara itu pasti menderita. Aspek deritanya tetap ada. Kesimpulannya, saya mendukung privatisasi penjara karena hal itu akan melibatkan banyak pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah dan perusahaan swasta. Dan gagasan ini perlu segera dilaksanakan pemerintah sebagai solusi altenatif dalam perbaikan pemidanaan.
2.
Drs. Haviluddin, Bc.IP, MH, diwawancarai di ruang kerjanya (23/1008)
Pada dasarnya saya setuju dengan privatisasi Lapas dengan catatan, bentuk privatisasi tersebut merupakan kerjasama dengan beberapa pihak dalam arti mengikutsertakan masyarakat dalam pembinaan terpidana. Sebab, pada prinsipnya, pembinaan itu harus melibatkan tiga unsur, yakni narapidana, petugas lapas dan masyarakat. Napi jangan sampai diasingkan dari masyarakat. Kehadiran masyarakat di dalam lapas justru sangat diharapkan untuk bersama-sama membina terpidana melalui berbagai kegiatan usaha dan pendidikan. Apalagi, sesungguhnya gagasan privatisasi tersebut sudah ada sejak jaman Belanda. Misalnya, pada masa lalu penjara Kelas 1 Sukamiskin, Bandung, pernah memiliki percetakan dimana hasil cetakannya menjamin kebutuhan kertas untuk penjara di seluruh Indonesia. Penjara Cirebon pernah menjadi sentra tekstil untuk pakaian terpidana, dimana pencelupannya dilakukan di Kuningan. Sementara Lapas Nuasa Kambangan pernah dijadikan sebagai lahan perkebunan penghasil karet. Namun semua itu kini tinggal kenangan karena fasilitasnya sudah hancur dan tidak ada perawatan dan perbaikan. Selain itu, sekarang sudah terkendala sarana dan prasarana. Di Lapas Cipinang misalnya, dulu memiliki lahan 12 hektar. Tapi sekarang, lahan itu sudah
134
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
terbagi 4 peruntukan, yakni untuk lapas narkoba, rumah tahanan, rumah sakit dan lapas sendiri sehingga tidak ada lagi lahan yang bisa digunakan untuk bengkel kerja. Seandainya kita punya lahan, pengusaha tidak perlu punya pabrik. Jika pemerintah punya perhatian serius, pengusaha tinggal bawa mesin dan bahan baku ke penjara, maka keluarnya sudah produk jadi.Tidak adanya lahan kosong membuat pemberdayaan tenaga kerja yang menganggur di dalam lapas menjadi terkendala. Sejauh ini, kita melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam pengadaan makanan misalnya, yakni dengan membeli bahan mentah dari masyarakat kemudian, bahan-bahan itu dimasak oleh napi dengan menu yang sudah diatur, dan dengan menggunakan shift secara bergantian. Besarnya biaya per napi untuk makan setiap hari adalah Rp8.800 per orang untuk lauk pauk ditambah 450 gram beras per orang setiap hari. Jika ditotal biaya makan napi per hari adalah Rp13.000 per orang. Apakah itu cukup? Di sinilah pentingnya kehadiran atau keterlibatan masyarakat khususnya pengusaha swasta untuk ikut mengatasi berbagai masalah di dalam lapas, termasuk membedayakan narapidana dalam bentuk privatisasi.
3.
Adi Sujatno, Bc.IP, SH, MH, diwawancarai di ruang kerjanya di kantor Lemhanas (6/11-08)
Prinsipnya saya setuju dengan privatisasi lembaga pemasyarakatan tapi dalam bentuk kemitraan atau kerjasama dengan pihak ketiga. Sebab, setahu saya hingga kini belum ada privatisasi lapas yang dilakukan murni diserahkan kepada swasta. Jadi yang ada adalah semi swasta dengan mengikutsertakan mereka dalam pembinaan terpidana meliputi pendidikan, keterampilan, pembinaan mental dan kerohanian, maupun pemberian pekerjaan kepada terpidana. Sesungguhnya pembinaan terhadap narapidana itu adalah tugas pemerintah dan bangsa yang beradab adalah bangsa yang bisa memperlakukan terpidana dengan baik dan manusiawi. Ini juga selaras dengan impian negara tanpa penjara. Tapi saat ini sarana dan prasarana lapas jauh di bawah standar karena keterbatasan keuangan negara. Untuk itulah perlunya memperluas kemandirian penjara, baik secara institusi maupun personil napi. Pada saat ekonomi sulit, narapidana bisa bekerja di luar untuk memenuhi kebutuhan di penjara sesuai dengan kondisi yang ada. Idealnya sistem pidana itu adalah deinstitusionalisasi prisons atau konsep negara tanpa penjara. Soal kemudahan yang dinikmati oleh terpidana dengan adanya privatisasi lapas, bukan berarti orang menjadi tidak takut ke penjara. Unsur derita dan penjeraannya tetap ada. Seperti kata Prof Hazairin, SH, Guru Besar Hukum UI, “Betapun modernnya sebuah penjara, tetap ada unsur derita dan penjeraannya. Dengan model penjara semewah apapun, derita tetap ada, karena kalau berada di dalam penjara, sehari serasa setahun.” Pada dasarnya terpidana bukan penjahat, Cuma mereka lagi tersesat dan terlambat bertobat. Sistem penghukuman yang baik adalah sistem yang menggiring terpidana agar bertobat karena Alkitab dab Alquran mengajarkan
135
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
seperti itu. Menurut kitab suci manapun, manusia tidak ada yang luput dari kesalahan dan dosa sehingga tidak ada pula negara yang tanpa penjahat. Negara tidak boleh memperburuk kondisi terpidana di penjara. Hal ini sesuai dengan 10 prinsip pemasyarakatan yang digagas mantan Menteri Kehakiman Dr Sahardjo, SH. Idealnya, ada kerjasama antara pihak ketiga dengan pemerintah dalam hal pembinaan narapidana. Kekurangan yang ada di dalam lapas bisa disubstitusi dengan yang dimiliki masyarakat dari luar. Di Jepang, pengentasan terpidana sangat baik karena ada program yang sangat jelas mulai dari pembinaan, wisma antara, yang membuat terpidana dituntun menuju kembali ke masyarakat untuk bersosialisasi. Pekerjaan mereka di dalam penjara tidak boleh bertentangan dengan pekerjaan mereka di luar. Dengan kata lain harus ada kesinambungan antara pekerjaan yang dipelajari di dalam penjara dengan pekerjaan yang kelak dilakoni setelah keluar dari penjara. Kalau tidak, percuma saja. Prinsip pemidanaan adalah untuk membangun manusia mandiri. Perlu pula ada kesatuan antarinstitusi, petugas dan terpidana. Dengan kata lain, jika ingin melaksanakan privatisasi lapas harus ada perubahan mindset para petugas lapas yang masih konvensional. Mereka harus dididik sebagaimana SDM yang dibutuhkan untuk menuju privatisasi lapas. Jadi SDM lapas pun sudah harus SDM yang terprivatisasi. Selain keahliannya, ya juga kesejahteraannya. Sesungguhnya sistem kepenjaraan sudah lama terkubur yakni sejak Sahardjo selaku Menteri Kehakiman pada tahun 1964 mengumandangkan pengalihan konsep kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Tapi nyatanya hinga kini sistem penjara masih berlaku. Padahal salah satu esensi dari pemasyarakatan adalah bahwa terpidana itu bukan obyek melainkan subyek. Mereka dilahirkan sama dengan masyarakat yang lain, mereka bukan sampah masyarakat melainkan mereka sedang tersesat dan perlu dituntun ke arah yang benar.
4.
Brigjen Pol (Purn) Soeripto, (7/11-08)
diwawancarai di Hotel Le Meridian
Saya sangat setuju dengan privatisasi lapas karena dengan privatisasi tenaga-tenaga terpidana yang idle di penjara dapat diberdayakan. Selain itu, privatisasi lapas sekaligus merombak birokrasi. Birokrasi yang panjang harus diperpendek karena birokrasi identik dengan kekuasaan sementara dalam kekuasaan sering terjadi abuse of power. Dengan adanya privatisasi lapas, maka para napi akan bisa dipekerjakan layaknya apa yang dilakukan Cina dengan mempekerjakan terpidananya di drilling gas di Qatar atau di pabrik pertekstilan. Tetapi kita harus lebih baik dari Cina dengan memperbaiki birokrasi dan harus lebih memanusiakan terpidana yang dipekerjakan. Jangan sampai ada kesan terjadi eksploitasi atas narapidana. Kita harus menghormati HAM dengan membuat penjara tidak lagi dengan tembok-tembok tinggi yang menyeramkan melainkan dengan suasana yang lebih manusiawai. Para terpidana juga harus selalu didampingi sosiolog, psikolog dan
136
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
para rohaniawan serta instruktur yang mengajari mereka keterampilan atau pakar yang mampu menggali potensi yang dimiliki narapidana. Untuk tujuan privatisasi, kita harus berani melakukan perubahan. Dan keberanian itu selalu ada risikonya, misalnya soal keselamatan. Dalam ilmu intelijen, kalau kita ingin melakukan perubahan yang revolusioner atau katakan yang reformis, keselamatan kita justru bisa terancam. Tapi kalau sekarang tidak dimulai, kapan lagi? Kita harus menjadi trend setter kalau ingin melakukan perubahan. Ini kalau bicara soal ilmu anatomi trend. DPR siap menjadi juru bicara. Namun demikian, studi literatur tentang privatisasi lapas harus diperdalam sekaligus belajar banyak dari apa yang sudah dilakukan di berbagai negara terutama di Australia yang kabarnya berani melakukan privatisasi penjara murni seratus persen. Dalam kaitan ini harus kita garisbawahi bahwa privatisasi hanya berlaku bagi terpidana umum bukan terpidana korupsi. Itu pun terbatas pada mereka yang dihukum maksimal 10 tahun karena kalau seumur masih hidup perlu dikaji lebih jauh. Karena pada prinsipnya setiap orang pasti bisa diperbaiki, tergantung bagaimana menanganinya. Mereka itu misalnya, yang sudah dapat remisi karena berkelakuan baik, kemudian dievaluasi untuk dapat dipekerjakan di dalam maupun di luar penjara. Dalam hal kerjasama dengan pihak ketiga saya lebih melihat tidak dalam bentuk kerjasama atas dasar bismis murni melainkan atas dasar kemanusiaan sehingga sangat cocok bekerjasama dengan kelompok humanitarian dan filantropis. Sekali lagi dasarnya tidak profit center, meski tetap boleh ambil untung dari kerjasama tersebut. Misalnya, perusahaan-perusahaan besar yang memiliki dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau Community Development (Comdev), bisa mengalihkan sebagian dananya untuk pembinaan terpidana. Atau bisa juga pemerintah menetapkan sekian persen dari dana CSR untuk pembinaan terpidana dalam rangka privatisasi. Ini ide yang perlu kita pelajari. Soal yakin atau tidak gagasan ini akan menjadi sukses, itu nomor dua. Yang penting gagasan privatisasi lapas harus diujicoba di Indonesia karena di berbagai negara sudah banyak yang berhasil. Privatisasi harus dilakukan bertahap dan sangat tergantung pula kepada SDM yang tersedia. Dan keberhasilan SDM tersebut sangat tergantung pada pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi. Pengaturan SDM selalu ada dalam regulasi tapi nol dalam realitas. Birokrasi kita masih sarat dengan feodalisme. Jangan bicara muluk sebelum birokrasi dibenahi total. Banyak orang pintar yang masih bermental abdi dalem tapi sebaliknya ada pula yang sok bergaya juragan. Keinginan untuk memprivatisasi lapas tentu tidak bisa dilakukan sekaligus, melainkan harus bertahap. Jadikan dulu satu LP menjadi model, kemudian kalau sudah sukses, tularkan ke LP lain. Begitu seterusnya, tidak usah ditargetkan sekaligus atau pukul rata. Apalagi anggaran yang ada selama ini sudah ecil, itupun masih dizalimi (dikorupsi) pejabat atau petugas. Ini salah satu kelemahan DPR dalam pengawasan anggaran. Saya tidak punya bukti tapi saya pikir perlu dilakukan audit investigasi di penjara. Kembali ke soal pidana umum, kalau terpidana kasus korupsi harus dihukum lebih berat dan lebih spesial. Dalam realitas, hukuman terhadap terpidana korupsi biasa-biasa saja. Apakah dia korban atau bukan harus kita teliti, perlu sistem baru untuk hal ini.
137
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
5.
Tan Kok Liong alais Anton Medan, diwawancarai di Ponpes AtTaibin, Cibinong (17/11-08)
Kalau bicara privatisasi dalam bentuk kemitraan dan kerjasama dengan pihak ketiga sebetulnya sudah pernah dilakukan di berbagai lapas. Namun tidak berkembang dengan baik karena tidak dilakukan secara serius dan hanya sebagai sampingan semata. Akibatnya, banyak di antara yang sudah melakukan kerjasama seperti itu akhirnya berakhir begitu saja tanpa kesinambungan. Misalnya, Penjara Porong pernah membuat mebel dan Lapas Cirebon terkenal dengan tenunannya. Jadi menurut saya, mempekerjakan narapidana di dalam penjara secara professional masih belum bisa dengan berbagai pertimbangan. Misal, dari sisi lokasi jarang penjara yang memiliki areal luas yang layak untuk dijadikan bengkel kerja. Kedua dari sisi pihak ketiga, tidak semua bisa memahami untuk bekerjasama dengan terpidana di penjara. Ketiga, dari sisi anggaran, pihak mana yang tertartik karena semua orang tahu Departemen Hukum dan HAM itu paling miskin. Bangun penjara 5 tahun saja tidak selesai-selesai. Begitu juga dari sisi SDM, petugas penjara itu gaji dan tunjangannya kecil dan birokrasinya juga njelimet. Saya pernah di 14 penjara, semua sama saja. Bagaimana petugas ingin membina terpidana dengan baik sementara membina keluarganya agar hidup sejahtera masih sangat susah? Belum lagi kalau kita bicara sumpeknya di penjara, bagaimana mau bekerja dengan baik. Sebagai contoh Lapas Peledang Bogor yang punya kapasitas 480 napi dijejali dengan 2.200 napi. Dan asal tahu saja, 200-an di antara napi tersebut kena TBC. Bagaimana mau sehat? Tapi oke, saya setuju harus ada perubahan sistem pemasyarakatan apapun itu namanya. Apakah itu privatisasi atau apapun. Saya setuju saja, tapi melihat kenyataan hal itu masih butuh waktu panjang untuk membenahinya secara menyeluruh. Terlalu banyak persoalan di dalam penjara. Kalau ditanya apakah saya setuju atau tidak, saya setuju saja dengan privatisasi. Kalau kita lihat di Singapura dan Hongkong, begitu narapidana masuk penjara, mereka langsung ganti baju dan tak lama kemudian mereka sudah mendapatkan pekerjaan. Apakah kita sudah siap seperti itu? Kalau bisa, itu bagus. Tapi saya tidak yakin itu bisa terjadi dalam waktu dekat. Menurut saya, salah satu kerjasama yang bisa dilakukan justru antar sesama napi. Misalnya, napi yang dari pidana umum seperti perampokan dan pembunuhan diberi pekerjaan begitu juga setelah mereka kembali ke masyarakat. Bagaimana caranya? Ya, kita minta modal dari para terpidana korupsi. Berapa persen sih yang harus dikeluarkan dari hasil korupsi seorang korupotor kakap? Pasti tidak sulit. Saya sudah pernah melakukan itu di Tangerang. Sang koruptor membeli dum truck 3 unit untuk dioperasikan, kemudian membuat lahan pencucian kendaraan, sementara sang koruptor bisa sedikit lebih ‘enak’. Dan ternyata ini berhasil. Tetapi itu kan bukan sistem, hanya bisa-bisanya Anton Medan. Jadi kalau koruptor ditahan, suruh mereka di luar saja, bikin kantor kecil untuk mempekerjakan napi dan eks napi. Ini juga merupakan bagian dari pembinaan. Selain itu, saya sebagai eks napi sudah melakukan pembinaan terhadap para mantan terpidana di bengkel kerja saya di kawasan Kampung Sawah, Pondok
138
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
Rajeg, Cibinong, Bogor. Di sini kami mendirikan pesantren modern dan bengkel kerja bertajuk Rumah Karya, semacam Balai Latihan Kerja di bawah Yayasan AtTaibin. Di sini ada beragam bentuk pelatihan dan usaha. Mulai dari bengkel las, latihan menyetir dan membuat spanduk. Spanduk menjadi usaha terbesar dari komunitas eks napi binaan kami. Lebih dari 50 orang eks napi setiap hari bergiat di Rumah Karya ini mulai jam 10 pagi hingga terbenam matahari. Pendapatan mereka bervariasi dari 600 ribu rupiah hingga satu juta rupiah per bulan. Sudah ribuah alumnus binaan Anton Medan yang kini hidup mandiri dan kembali diterima dan berkarya di tengah masyarakat. Tak heran banyak eks napi yang ingin bergabung. Cuma saja, saya memiliki kriteria untuk menerima eks napi yang akan dibina. Mereka minimal sudah dihukum 5 tahun ke atas, artinya, mereka itu biasanya terpidana karena perampokan atau pembunuhan. Kenapa? Dengan masa tahanan seperti itu, mereka sudah lebih matang dibina di penjara sehinga lebih mudah digembleng.
6.
Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan, M.Sc, diwawancarai di ruang kerjanya (21/11-08)
Sebagai orang yang pernah mendekam di LP Cipinang, tentu sja saya setuju dengan privatisasi lembaga pemasyarakatan karena esensinya sistem pemasyarakatan sudah dirancang untuk konsep reintegratasi sosial. Cuma saja ada kesenjangan karena ketika diproklamirkan pada tahun 1964, UU-nya baru dilahirkan pada 1995, yakni UU No 12 tentang pemasyarakatan. Berdasarkan konsep pemasyarakatan, penjara itu bukan sekadar building yang menakutkan melainkan sebuah sistem dengan budaya, pembinaan dan bagaimana menciptakan manusia mandiri. Berbagai perundang-undangan yang ada tentang kejahatan, kalau melanggar menjadi terpidana. Tapi kalau UU Korupsi, atau kejahatan ekonomi, ini masih bisa diperdebatkan apakah dia melakukan karena niat ingin jahat atau hanya karena kesalahan menjalankan peraturan atau karena ada agenda politik di belakangnya. Terlepas dari itu, kejahatan ekonomi dan white collar crime lainnya seharusnya tidak dipidana seperti terpidana biasa. Mereka harusnya punya penjara sendiri, seperti kategori penjara anak, wanita atau narkoba. Lapas saat ini justru campur aduk dengan berbagai tingkat pendidikan mulai dari tidak tamat SD sampai guru besar, dari kelas pencopet sampai koruptor, dan berbagai macam profesi yang berbeda serta usia yang berbeda-beda pula. Skopnya sangat luas, sehingga menyulitkan lapas dalam pembinaan. Untuk konsep reintegrasi sosial, mau disiapkan apa buat mereka. Kan tidak mungkin dengan pembinaan yang sama karena latar belakang yang sangat berbeda-beda. Dan kalau sipirnya cuma tamatan AKIP, bagaimana mereka mau membina direktur bank, kan pengetahuannya jomplang. Bisa-bisa napinya malah yang membina pegawai penjara. Yang saya masksud dengan kekhususan misalnya, Lapas Sukamiskin Bandung, sejak jaman Belanda disiapkan untuk penjara kaum intelektual dan itu
139
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
masih berlaku sampai sekarang. Isinya tidak pernah over kapasitas dari sekitar 500 orang dan satu kamar untuk satu orang pula. Nah, di lapas sekarang ini agak kacau. Hampir separuh dan bahkan kadang lebih, isinya adalah para tahanan. Mereka itu bukan terpidana yang harus dibina, hanya titipan kepolisian, jaksa, pengadilan dan imigrasi. Mereka juga tidak diperlakukan sama dengan terpidana. Tapi nyatanya, para tahanan inilah yang membuat kondisi lapas menjadi sangat overcrowded. Sistem peradilan kita memang kacau, karena orang yang tidak bersalah pun bisa masuk penjara. Begitu juga dengan terpidana korupsi, karena susah membedakan mereka makan duit APBN atau tidak. Oke, kalau pemerintah memang tidak mampu untuk melakukan pembinaan seharusnya napi yang berkemampuan ekonomi memadai bisa melakukannya. Kategori napi with colar crime, biasanya ingin agar kehidupannya di dalam penjara mendekati apa yang dia nikmati di luar. Mereka akan berusaha dengan berbagai macam cara untuk mencapai keinginan itu. Di sinilah banyak terjadi penyimpangan. Waktu di Cipinang, pernah saya coba punya dapur sendiri. Tetapi cost-nya mahal karena harus membayar ijin dan lain-lain. Siapa yang menikmati cost yang saya keluarkan? Ya, petugas. Ketika tamu berkunjung ke penjara, semua orang “dipajaki” dari pintu ke pintu dan masih banyak lagi pungutan lain. Siapa yang menikmati? Preman bertindak sebagai mediator untuk praktik seperti itu. Ada kepala suku, kepala geng dan lain-lain. Ini tidak bisa dihindari. Belum lagi sindikat. Ini sangat kuat. Mereka bisa punya dapur sendiri dan makanan sendiri dengan membayar ongkos tertentu. Dan siapa yang diuntungkan? Lagi-lagi petugas. Di Lapas itu ada Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), mereka narik duit dari napi dan diorganisir oleh pejabat lapas. Ini organize crime. Nah, dari pada seperti itu, terus-terusan nyogok petugas, sebaiknya dibikin resmi saja. Dilegalkan. Tetapi, ini sudah terlalu enak sehingga pejabat penjara tidak ingin hal itu terjadi. Ada kalapas yang seharusnya sudah jadi kanwil tetap bertahan karena punya target pendapatan tertentu. Semua ini membuat living cost sangat tinggi. Kalau seperti ini, bagaimana pembinaan bisa jalan, bengkel kerja tidak berubah dari pekerja kasar seperti tukang kayu, Harusnya napi yang mampu ikut membina napi lainnya. Misalnya, kami sudah menggagas fakultas hukum khusus bagi terpidana dengan menghadirkan Universitas Bung Karno di dalam lapas Cipinang. Saya berpikir agar dipenjara tidak hanya untuk tukang kayu, tukang besi atau tukang jahit saja. Tapi bisa dengan keterampilan lain yang pasarnya sangat terbuka setelah keluar penjara seperti hair stylist misalnya, melukis, bengkel motor, komputer dan software serta keahlian lain. Mereka ini bisa ditempatkan bekerja setelah keluar dari penjara. Saya merasa aneh ketika lapas membuat program kejar paket C. Untuk apa ijasah SMA? Yang penting adalah skill. Kalau Cuma SMA tamat di penjara, untuk apa, karena sarjana yang bukan narapidana saja banyak yang nganggur. Mereka juga akan sulit mendapatkan surat kelakuan baik dari polisi setelah keluar dari penjara. Para terpidana kasus white collar crime harusnya dibina dengan cara lain. Yakni mereka diminta untuk membina dan membiayai berbagai kebutuhan lapas
140
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
secara resmi, bukan terselubung. Cara seperti ini bisa membuat para napi yang tidak memiliki kemampuan ekonomis bekerja di dalam penjara dan memiliki penghasilan untuk dirinya dan keluarganya. Sekarang yang terjadi, orang luar yang mengirim uang ke dalam penjara. Seharusnya bisa dibalik, orang dari dalam penjara bisa memberi nafkah keluarganya. Bagaimana caranya, napi yang mampu mempekerjakan yang tidak mampu di dalam penjara menjadi tamping (tahanan pendamping). Ini meringankan beban orang di luar (keluarga) Saya baru dari Singapura, mereka di sana punya call center suatu perusahaan, mereka punya penghasilan yang memadai. Kenapa di sini tidak dilakukan? Saya juga penah menyewa tenaga 15 napi dari penjara Singapura untuk pekerjaan tertentu. They can do it! Dengan konsep privatisasi, penjara bisa jadi hotel berkelas. Mulai dari bintang lima sampai kelas melati. Mau pilih mana, orang berduit pasti memilih bayar asalkan bisa hidup layak mendekati kehidupan di luar penjara. Ini bisa jalan dengan bekerjasama dengan para koruptor yang berstatus napi. They make business and make profit. Kalau sudah sukses dengan satu pilot project, swast pasti berlomba-lomba untuk ikut mengelola penjara seperti di luar negeri. Penjara lama direnovasi, bangunan lama kan konsep Belanda. Bisa pula dibangun penjara baru berbentuk hotel seperti konsep saya tadi. Soal paguyuban napi dan mantan napi, pendekatannya lebih intelektual. Bukan kayak preman, kita lebih banyak melihat masalah kebijakan. Depkumham tidak mau mengakui organisasi kita secara resmi. Ini hanya net working dan forum komunikasi. Kalau temen-teman di daerah mau bikin silakan saja, dan bentuknya seperti apa tidak ada masalah. Baik tidaknya sebuah lapas sangat tergantung pada penilaian napi sebagai manusia yang ingin dibina dan dididik menjadi manusia mandiri. Penjara masih dipakai orang departemen sebagai sapi perah, ATM. Mereka tetap menyenangi keadaan seperti ini sehingga tidak mau berubah. Seorang dirjen biasanya pernah menjadi kalapas. Lapas tidak perlu dipimpin oleh lulusan AKIP karena mereka sangat otoriter dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Istri saya dokter, waktu kerja di Jerman tidak ada rumah sakit yang dipimpin dokter tetapi oleh orang yang memiliki kemampaun manajemen yang baik. Rektor di masa BHMN juga tidak mutlak seorang guru besar. Nah, lapas juga tidak harus dipimpin lulusan AKIP. Kembali ke 10 prinsip pemasyarakatan, tidak ada lagi di sana unsur derita dan penjeraan, yang ada adalah pembinaan untuk bertobat dan menjadi manusia mandiri. Kekebasan itu tetap mahal harganya. Buat seorang napi, dapat remisi satu hari saja luar biasa senangnya, seperti dapat anugrah sangat besar dari yang kuasa. Kalau tidak dapat remisi mereka bisa protes dan marah, atau bahkan nyogok pun mereka mau untuk mendapat remisi. Jadi, soal kemerdekaan jangan dikecilkan artinya. Harganya sangat mahal. Kalau dibilang unsur deritanya tidak ada, pemidanaan adalah bukan untuk pribadi tetapi haul of family, istri, anak dan keluarga besar lebih menanggung deritanya. Kalau arisan ditanya, bapak kemana, ini lebih sakit. Ada istri terpidana yang terus berkurung di rumah dan anak-anaknya tidak mau sekolah atau keluar rumah. Ini lebih menderita. Lalu siapa bilang di penjara bisa makan enak dan tidak ada unsur derita? Ini penderitaan yang lebih dari terpidana sendiri. Kehilangan kemerdekaan adalah penderitaan paling besar. Kalau di dalam makan
141
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
pasti dapat walaupun seadanya. Tapi bagaimana keluarga yang ditinggalkan di luar tembok lapas? Siapa yang memberi makan? Soal privatisasi saya sangat setuju terutama contoh terdekat Singapura. Memang tidak ada keahlian yang sama di dalam penjara tetapi itu bisa dilakukan jika bekerja sama dengan pihak luar, yakni pengusaha swasta. Tetapi perlu digarisbawahi perlu dijaga kontinuitas. Ini bisa dijaga jika core business nya ada di luar.
7.
Drs. Mardjaman, Bc.IP, diwawancarai di kediamannya di Tangerang (23/11-08)
Menjadi pegawai penjara adalah pekerjaan yang tidak paforit dan berisiko tinggi. Karena itu, pada jaman Belanda, semua pekerjaan yang tidak popular dan berisiko mendapat perhatian khusus, termasuk pegawai penjara. Pada jaman kolonial, pegawai penjara mendapat kesejahteraan yang sangat baik. Misalnya, mereka bisa menabung dan membeli sepeda reli, yang pada waktu itu sudah sangat keren. Di Tangerang, ada ledeng juga erat kaitannya dengan keberadaan penjara, karena di sini ada tiga penjara, untuk kebutuhan air mereka. PDAM Tangerang ada karena penjara. Pada masa itu, hanya bupati dan administrator penjara yang memiliki fasilitas air ledeng. Administratur penjara juga sudah menikmati closet duduk seperti sekatang yang pada masa itu sangat langka dan hanya dimiliki orang-orang tertentu. Bahkan mereka juga diberi kesempatan untuk plesiran, misalnya berburu burung di bawah pohon kenari di bilangan Tangerang. Tapi pada saat terjadi krisis yang memaksa pemerintah melakukan sanering pada tahun 60-an, anggaran untuk setiap departemen termasuk penjara dipangkas habis. Dan pemangkasan itu tidak pernah normal kembali ke situasi semula. Pelatihan calon pegawai penjara pun sudah tidak ada anggarannya. Dulu ada KRK, KMK dan KP, sekarang tidak ada lagi. Tapi tahukah Anda, untuk pekerjaan yang berisiko tinggi, di Amerika anggarannya tidak dipangkas pada saat krisis. Pun tidak pernah dilakukan rasionalisasi di penjara meski penghuni penjara berkurang. Misalnya pegawai penjara untuk 200 atau 500 orang napi tidak boleh dikurangi. Masih menyangkut anggaran, sekarang masak satu stel seragam untuk satu tahun, apakah itu masuk akal? Tetapi itulah yang terjadi di lembaga pemasyarakan kita. Padahal ini merupakan salah satu yang sangat vital. Lain lagi di Departemen, misalnya beberapa unit utama sesama eselon I harus menerima tunjangan yang sama, padahal beban kerjanya berbeda. Itu untuk kebutuhan pegawai dan petugas. Nah, untuk makan narapidana yang nota bene tangungjawab negara, masih tetap saja kurang dan sering harus berutang ke pihak ketiga. Seharusnya, berapa yang dibutuhkan harus dikucurkan karena itu kebutuhan mendasar. Soal penggunannaya kan bisa diawasi secara ketat. Tetapi itu tidak penah dilakukan pemerintah. Sebagai swasta yang memasok bahan makanan kan orang yang profit motive, jadi kalau dananya kurang dan sering berutang, yang terjadi adalah pengurangan kualitas makanan para napi. Begitu juga anggaran untuk melakukan
142
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
sosialisasi ke daerah mengenai suatu program, anggarannya tidak ada seperti layaknya di departemen lain. Soal kerjasama dengan pihak ketiga terkait minimnya dana pemerintah, saya setuju dengan privatisasi. Karena sesungguhnya kerjasama dengan pihak ketiga sudah pernah dilakukan di Surabaya dan Malang, Karena swasta merasa diuntungkan, misalnya di sini kerajinan rotan dan mebel, yang diekspor dengan penghasilan dolar, pengusahanya untung besar. Dan sebagai rasa terimakasih, swasta itu membangun lantai kerja seluas 1.000 meter persegi di Lapas Porong. Tetapi dengan catatan kerjasama harus dilakukan dengan tangan kita tidak boleh di bawah. Di lapas Sulawesi sudah dilakukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang dipelopori Taiwan. Di sini ada pendidikan life skill. Di Lampung ada perusahaan swasta dengan produk tapis yang bekerjasama dengan lapas. Bahkan di Surabaya, napi sudah punya tabungan meski jumlahnya kecil. Tabungan hanya boleh dikeluarkan untuk hal-hal penting seperti untuk uang lebaran atau uang sekolah anak. Di Hongkong misalnya, untuk rambu-rambu lalulintas dibuat oleh para napi. Di Indonesia, napi diberi upah yang dulu namanya premi. Jika napi diberikan target mengerjakan 10 unit pekerjaan dan dia bisa mengerjakan 12, maka ia mendapat 2 premi. Sebagai berupa premi. Itu pun nilainya sangat kecil. Ini warisan dari Belanda dengan sistem Indische Comtabiliteit Wet (ICW) dimana hasil kerja napi di lapas diserahkan kepada pemerintah. Selain itu, anggaran yang turun setiap tahun untuk penjara berapapun besarnya disebut sebagai regularisasi anggaran. Ini membuat pimpinan lapas tidak pernah memiliki jiwa interpreneurship. Situasi ini tidak penah berubah. Terkait dengan unsur derita yang tidak lagi ada di lapas, menurut saya tidak benar. Kemerdekaan itu harganya mahal. Misalnya, kita penataran satu bulan saja sudah tidak kuat. Belum mulai kita sudah berpikir siapa teman sekamar, apakah ia merokok atau tidak, dan sebagainya. Apalagi di dalam penjara. Meski makan teratur, bisa bekerja dan punya penghasilan, unsur deritanya tetap kental dan tidak akan membuat orang berlomba-lomba ke penjara untuk mendapatkan pekerjaan. Di luar tetap lebih enak dan nyaman. Di penjara kita kehilangan kemerdekaan, otonomi, security, good and services serta hubungan heteroseksual. Orang yang kaya lebih menderita dari pada orang miskin di penjara. Nah banyak juga petugas yang tadinya tidak mau menerima pemberian napi akhirnya tidak berkutik ketika keluarganya sakit atau butuh uang sekolah yang ternyata sudah dibayar oleh utusan napi itu di luar sana. Sekarang serba canggih bisa transfer atau antar ke rumah. Begitu pula, preman yang ada di dalam bisa melindungi orang kaya, dan uangnya bisa dikasih ke keluarganya di luar. Nah, ini kan bisa diluar pengetahuan petugas. Tetapi selama ini yang disalahkan pasti petugas. Sekali lagi saya sangat setuju dengan privatisasi karena sesungguhnya kita sudah melakukannya meski belum terarah. Tetapi jika ingin sukses, privatiasi harus memberikan hak monopoli bagi penjara seperti di Singapura. Misalnya untuk mengerjakan sesuatu atau menjadi pemasok kebutuhan tertentu dengan syarat kualitasnya harus standar.
143
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
8.
Brigjen Pol (Purn) Dr. Taufiq Effendi, kerjanya (02-12-08)
diwawancarai di ruang
Saya sangat setuju dan mendukung sepenuhnya pelaksanaan privatisasi LP terutama dalam bentuk pemberdayaan tenaga narapidana yang menjadi terbengkalai selama berada di dalam lembaga pemasyarakatan. Ini sangat penting karena privatisasi sekaligus mengubah paradigma budaya bangsa kita yang senang menghukum. Budaya senang menghukun itu sudah diajarkan sejak kita masih kecil. Misalnya, jika ada anak yang sedang belajar berjalan kemudian tersandung kursi, lantas orangtuanya memukul kursi dan berkata sambil memukul kursi, “Nakal ini kursi.” Dengan kata lain, di benak si anak akan tertancap kesan bahwa yang salah itu harus segera dihukum. Sejak dini kita diajari untuk menghukum sehingga budaya kita senang menghukum. Padahal paradigma baru dalam pemidanaan sudah bergerak maju, yakni mengarah pada restorative justice system yang erat kaitannya dengan community policing, dimana sedapat mungkin penegak hukum harus berperan untuk mencegah kejahatan dan berusaha agar seseorang jangan sampai masuk ke dalam penjara. Tetapi yang terjadi adalah penegak hukum justru bangga jika berhasil menghukum sebanyak-banyaknya orang yang bersalah. Lebih celaka lagi, semakin banyak orang yang melanggar hukum semakin disenangi penegak hukum karena bisa menjadi mata pencaharian oknum tertentu. Paradigma seperti ini masih tertancap pada benak sebagian besar aparat penegak hukum dan hal ini harus segera diluruskan. Mengenai tidak jalannya sistem pemasyarakatan dan masih tetap kental dengan konsep kepenjaraan, lebih disebabkan kurangnya political will pemerintah serta pemahaman terhadap substansi UU No 12 Tahun 1995 oleh petinggi-petinggi negara. Dalam kaitannya dengan privatisasi yang belum dijadikan sebagai salah satu alternatif pemasyarakatan, disebabkan belum adanya payung hukum sebagai pijakan. Dalam kaitan itu, sebagai analogi Kementerian Negara PAN sudah mengajukan RUU Pelayanan Publik. Di samping itu, belum ada political will pemernah untuk menjadikan masalah pemasyarakatan sebagai agenda prioritas. Padahal, tenaga-tenaga yang menganggur di dalam penjara seyogyanya dimanfaatkan seperti sudah dipraktikkan di berbagai negara. Dalam kaitannya dengan paradigma lama, para aparatur Dirjen Lapas dan jajarannya hingga ke Unit Pelaksana Teknis harus melakukan reformasi baik secara institusional maupun personal. Ini juga pelu payung hukum seperti yang juga sudah kita ajukan yakni UU Administrasi Negara yang akan mengatur standar minimal pelayanan terhadap masyarakat. Misalnya, kalau masyarakat berurusan dengan instansi tertentu, instansi bersangkutan harus memberitahu secara transparan mengenai syarat-syarat yang diperlukan, biaya pengurusan dan berapa lama proses penyelesaiannya. Kalau seluruh instansi melakukan hal yang sama, pasti yang namanya pungli bisa diminimalisasi. Begitu juga dengan lembaga pemasyarakatan yang harus memiliki standar baku yang menjelaskan hak-hak para narapidana dan tentu harus dijalankan sebagaimana mestinya. Jika hak-hak narapidana tidak dipenuhi, mereka bisa menuntut karena memiliki landasan hukum yang jelas pula.
144
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
9.
Drs. Djimanto, diwawancarai via telepon (03-12-08)
Terkait pemanfaatan tenaga napi sebagai alternative solusi di masa krisis, menurut saya saat ini sangat mustahil. “Bagaimana mau memanfaatkan tenaga napi sementara krisis global yang dampak negatifnya terus meluas mengancam gelombang PHK besar-besaran. Tenaga kerja yang ada saja sudah mau PHK bagaimana mau merekrut tenaga napi? Yang di luar penjara pun sulit memperoleh pekerjaan, apalagi yang di dalam penjara?” Namun demikian, dalam kondisi ekonomi normal, saya sepakat dan mendukung sepenuhnya pelaksanaan privatisasi lapas dalam katannya dengan pembinaan dan pemberian pekerjaan kepada para napi. Sebab, pelaksanaan privatisasi lapas sangat sejalan dengan apa yang diinginkan UU No 12 Tahun 1995 yang menggariskan bahwa filosofi penghukuman sudah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Privatisasi lapas bisa disebut sebagai pengejawantahan UU Pemasyarakatan. Dalam kaitan itu, privatisasi lapas yang dilakukan di berbagai negara seperti Hongkong, Singapura, Amerika dan Australia bisa menjadi contoh. Di negara tersebut, napi bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan benar-benar dimanusiakan sebagai manusia. Berkaca pada sukses privatisasi penjara di beberapa negara, saya mengharapkan meminta pemerintah merancang konsep dan aturan yang jelas sebagai implementasi dari UU No 12 Tahun 1995 agar napi bisa dipekerjakan secara layak dengan upah yang wajar. Dengan kata lain, upah napi yan dipekerjakan harus menaati UU Ketenagakerjaan dan perlakuannya harus sama dengan pekerja di luar penjara. Pemberdayaan tenaga napi sebagai wujud dari privatisasi lapas, bukan saja bisa dilakukan dan tidak lagi sebatas dianjurkan ,melainkan harus dilaksanakan sesegera mungkin. Sebab salah satu prinsip penghukuman bukan lagi dalam bentuk balas dendam oleh negara kepada orang yang bersalah tapi sudah berubah menjadi bentuk-bentuk pembinaan. Konsep privatisasi lapas selaras keterbatasan anggaran pemerintah sehingga pemberdayaan tenaga napi oleh pihak swasta bisa menjadi sumber pendapatan bagi lapas maupun terpidana itu sendiri, yang pada gilirannya dapat menekan beban APBN. Namun demikian, pelaksanaannya harus manusiawi dengan tetap melindungi hak-hak narapidana mulai dari hak mendapatkan upah yang wajar, jaminan kesehatan, bahkan kalau memungkinkan jaminan hari tua.
10.
Drs. Yohannes Sutoyo, MA, diwawancarai di Kampus UI, Salemba (04-12-08)
Saya setuju dengan privatisasi lembaga pemasyarakatan karena memang harus ada perubahan mendasar di dalam sistem pemasyarakatan kita yang cenderung masih menganut sistem kepenjaraan. Namun demikian, kita harus mendudukkan dulu persoalannya karena ada dua model privatisasi. Pertama, for profit privatization dan kedua, for non profit
145
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
privatization. For profit privatization adalah keterlibatan pihak luar atau swasta ke dalam lapas dalam bentuk kejasama atau kemitraan dengan berbasis bisnis. Misalnya, keterlibatan swasta dalam menyediakan katering napi. Pihak lapas melakukan tender agar mendapatkan pemasok yang paling murah dengan kualitas yang sudah ditentukan. Ini digunakan untuk mencapai efisiensi anggaran. Katering hanya salah satu contoh, bisa juga dengan pemeliharaan kesehatan, model-model pembinaan, dll. Model for profit privatization juga bisa berarti pemberdayaan tenaga idle napi oleh pihak swasta dalam kerangka pembinaan dan pemberian pekerjaan kepada para napi. Sedangkan for non profit privatization adalah keterlibatan pihak luar atau swasta dalam pembinaan napi di dalam lapas, namun pihak ketiga tersebut melakukannya dengan sukarela atau tanpa mengharapkan profit alias keuntungan materil. Misalnya, pembinaan mental dan rohani atau pemberian keterampilan bagi napi yang dilakukan para sukarelawan baik secara pribadi maupun institusional. Baik for profit privatization maupun for non profit privatization, keduanya hanya besifat kemitraan dengan kata lain tidak menyerahkan seluruh pengelolaan lapas kepada pihak swasta. Pengelolaan lapas tetap ditangani pemerintah namun beberapa bidang aspek tertentu diserahkan kepada swasta. Terkait pemberdayaan napi oleh pihak swasta, saya sangat setuju karena hal itu menjadi salah satu solusi agar para napi tidak menganggur. Privatisasi juga bisa menjadi jalan keluar yang dapat mengurangi tingkat kekerasan di dalam lapas karena biasanya terjadi akibat para napi tidak memiliki kesibukan. Namun demikian, penggunaan tenaga napi oleh pihak swasta harus dilakukan secara manusiawi yang jauh dari unsur-unsur eksploitasi. Napi harus dipekerjakan secara wajar dengan imbalan upah yang layak sehinga bisa membantu biaya keluarga. Dalam hal mempekerjakan napi, perlu digarisbawahi bahwa mereka tidak boleh menerima uang tunai karena di dalam lapas dilarang adanya uang beredar. Seperti hi penjara Hongkong, para napi yang bekerja memiliki account atau rekening sendiri yang penghasilannya dihitung berdasarkan poin-poin. Napi hanya diberi kesempatan untuk membeli kebutuhan dasar di toko yang ada di dalam penjara tanpa menggunakan uang tunai, sehingga sisanya bisa mereka tabung sebagai bekal ketika lekak mereka bebas. Landasan hukum privatisasi lapas sebenarnya sudah cukup mendukung sehingga tidak perlu menunggu undang-undang baru kecuali merevisi beberapa pasal dalam UU No 12 Tahun 1995. Terpenting adalah bagaimana implementasi dari UU yang sudah ada. Soal tidak adanya keinginan instansi terkait melakukan privatisasi, karena perhatian pemerintah yang memang sangat kurang terhadap pengelolaan lapas secara professional. Pemerintah belum menjadikan pembenahan lapas sebagai skala prioritas. Hal lain adalah adanya kecenderungan pejabat terkait mulai dari dirjen sampai petugas lapas yang ingin mempertahankan status quo pengelolaan lapas. Mereka tidak ingin ada perubahan dan untuk itu, hukum harus ditegakkan agar lapas benar-benar melalukan fungsi-fungsi pemasyarakatan secara benar. Bisa jadi melalui privatisasi impian itu bisa terlaksana.
146
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
11.
Dr. Rudi Satrio Mukantardjo, SH, MH, diwawancarai via telepon (04-12-08)
Saya sangat mendukung pelaksanaan privatisasi lembaga pemasyarakatan karena hal itu selaras dengan pelaksanaan amanat UU No 12 Tahun 1995 yang menggariskan bahwa konsep penghukuman di Indonesia sudah bukan lagi dalam bentuk pemenjaraan melainkan sudah berubah menjadi pemasyarakatan. Privatisasi lapas juga dapat mengurangi beban pemerintah yang selalu kekurangan anggaran untuk mengelola lembaga pemasyarakatan dengan segala tuntutan prinsip-prinsip pembinaan yang manusiawi. Selain itu, privatisasi lapas dapat mengurangi tingkat kerusuhan di dalam lapas karena napi memiliki kesibukan. Berbagai kerusuhan di dalam penjara terjadi karena napi banyak mengangur. Pertimbangan lain, privatisasi menjadi solusi agar napi bisa menjadi manusia produktif dan berperan serta dalam pembangunan bangsa sebgaimana amanat UU. Salah satu ganjalan pelaksanaan privatisasi lapas adalah karena privatisasi dianggap tabu oleh masyarakat meskipun model-model privatisasi seperti di Australia, Amerika, Inggris, Hongkong dan Singapura sudah menunjukkan hasil yang bagus. Para napi di penjara yang diprivatisasi bisa memperoleh pembinaan, pekerjaan dan penghasilan yang layak. Padahal, privatisasi lapas seharusnya merupakan impelementasi dari UU No 12 Tahun 1995 yang mengharuskan lembaga pemasyarakatan lebih mandiri, produktif dan bahkan profit oriented. Menurut saya, salah satu yang perlu menjadi prioritas untuk diprivatisasi adalah Lapas Narkoba, karena inilah yang paling memungkinkan untuk dijadikan sebagai pilot project dari keinginan untuk melakukan privatisasi. Dalam kaitan ini, lapas bisa bekerjasama dengan para pemilik panti-panti rehabilitasi agar over kapasitas di dalam lapas bisa dikurangi. Para terpidana narkoba bisa ditahan dip anti-panti rehabilitasi namun tetap berada di bawah pengawasan Ditjen Lapas. Untuk merealisasikan ini setidaknya perlu dibuatkan landasan hokum. Melalui privatisasi, image tentang penjara yang kerap menyisakan stigmatisasi dan prisonisasi terhadap napi bisa berubah karena privatisasi dapat melahirkan nilai-nilai baru yang berbeda yang akan mengubah pandangan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan. Namun demikian, saya melihat bahwa hambatan utama dari privatisasi lapas justru akan datang dari pejabat yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan. Sebab, aparatur lembaga pemasyarakatan cenderung mempertahankan status quo karena mereka dapat mengambil keuntungan pribadi dari sistem pemasyarakatan yang masih sarat dengan unsur-unsur pemenjaraan. Bukan rahasia lagi bahwa banyak oknum LP yang menyalahgunakan wewenang demi mendapatkan keuntungan pribadi. Oleh karena itu, jika ada keinginan pemerintah untuk melakukan privatisasi, jajaran aparatur lembaga pemasyarakatan tidak akan bersedia karena alasan-alasan seperti tadi. Mengenai tidak adanya lagi ketakutan orang untuk masuk lapas karena kehilangan kemerdekaan menjadi satu-satunya efek derita, saya pikir tidak benar. Sebab, efek derita sudah terjadi ketika proses hukum berlangsung, mulai dari pemberitaan di media massa sampai pada hilangnya kemerdekaan yang harganya sangat mahal. Pendeknya, privatisasi lapas diharapkan akan menjadikan lembaga pemasyarakatan yang memberikan pembinaan yang konstruktif, tidak lagi negatif
147
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
seperti banyak diberitakan di media massa. Misalnya, pemerasan terhadap napi.
12. 08)
penganiayaan dan
Drs. Hasanuddin, Bc.IP, SH, MM, diwawancarai via telepon (04-12-
Prinsip pemasyarakatan adalah memberi pembinaan dan bahkan pelayanan terhadap para narapidana. Dalam hal ini ada dua bentuk pelayanan. Pertama, pelayanan publik yakni merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan ini tidak bisa tergantikan. Sedangkan yang kedua, pelayanan sipil, dimana setiap individu memilik hak untuk mendapat pelayanan. Dalam kaitannya dengan pemasyarakatan, pelayanan yang berlaku adalah kedua-duanya. Pemerintah behak memberikan pelayanan kepada napi dan para napi memiliki hak untuk dilayani. Dan ini sifatnya mutlak. Sesuai dengan prinsip pemasyarakatan, kehidupan narapidana harus sama dengan kehidupan sebelum mereka masuk lembaga pemasyarakatan. Makannya tidak boleh kurang, bajunya tidak boleh lain dari masyarakat luar, dan sebagainya, agar mereka tidak merasa asing dan mengurangi efek prisonisasi. Pendeknya, kehidupan narapiana tidak boleh lebih buruk ketika mereka berada di dalam lapas. Jika ini belum dipenuhi, dan ketika hak sipil para napi masih dilanggar, maka ini sama halnya dengan melanggar HAM, bahkan UU No 12 Tahun 1995 dan UUD 45. Di Indonesia hal itu masih jauh dari layak sehingga privatisasi menjadi pilihan yang sangat patut untuk segera dijalankan. Saya sangat mendukung privatisasi karena dasar-dasar privatisasi untuk dijalankan di Indonesia sebenarnya sangat kuat, antara lain menyangkut hak-hak para narapidana seperti saya sebutkan tadi. Intinya, semua hak-hak itu wajib dipenuhi sepanjang tidak menyinggung rasa keadilan masyarakat dan keamanan masyarakat tidak terganggu. Penjara pada dasarnya memiliki tempat, sarana dan prasarana kerja, serta tenaga kerja. Artinya, dengan analisis SWAT, penjara itu memiliki beberapa kekuatan seperti saya sebukan tadi. Tapi ada juga kelemahannya. Kekuatannya adalah lapas punya sarana kerja, tenaga kerja, listrik, air dan sebagainya. Namun kelemahannya adalah, tenaga kerja di lapas tidak memiliki skill, modal, manajemen dan marketing. Jika kelemahan itu bisa ditutup oleh pihak swasta atau pengusaha. Jika kedua kekuatan itu dipadukan, ini bisa membentuk sinergi yang yang kuat. Kekuatan adalah peluang, dan kekuatan yang dimiliki lapas bisa ‘dijual’ kepada pengusaha. Dengan modal, peningkatan skill tenaga napi, manajemen dan marketing dari swasta, para napi bisa mendapat pekerjaan. Namun para napi itu harus digaji sesuai dengan standar upah yang berlaku. Begitu juga dengan sarana dan prasarana yang dimiliki lapas harus pula ada kompensasi dari pengusaha. Tempat harus disewa meski dengan harga murah, listrik dan air serta telepon harus dibayar. Namun, ini akan lebih murah ketimbang pengusaha membangun sarana dan prasarana kerja sendiri.
148
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
Sejauh ini, kerjasama dengan pihak ketiga sudah penah dilakukan misalnya pengadaan bahan baku makanan para napi. Namun hendaknya ini bisa diserahkan sepenuhnya kepada swasta melalui sistem tender. Bentuk lain dari privatisasi adalah community based correction, dalam hal ini para napi yang dianggap tidak berbahaya bisa ditransmigrasikan ke daerah. Misalnya mereka yang melakukan tindak kejahatan karena faktor ekonomi semata. Dengan transmigrasi, usai menjalani masa tahanan para napi itu sudah memiliki tanah untuk perumahan, sawah atau ladang sebagai bekal hidup mereka ke depan. Tentu hal ini ditawarkan kepada mereka yang memang tidak memiliki sumber penghidupan. Pentingnya keterlibatan swasta dalam pembinaan napi antara lain adalah protes dari masyarakat yang rasa keadilannya terusik ketika bentuk pembinaan hanya menghilangkan kebebasan bergerak saja sementara mereka harus dikasih makan dan dilayani secara layak. Banyak orang protes kenapa uang pajak yang mereka bayar justru dialokasikan untuk memberi makan napi yang nota bene “musuh” masyarakat. Melalui privatisasi, uang pajak yang dibayarkan masyarakat bisa dialihkan kepada kepentingan lain, sementara lembaga pemasyarakatan diharapkan menjadi lembaga yang mandiri dengan mencari sumber-sumber pendanaan sendiri. Dengan demikian, beban negara bisa dikurangi dan uang pajak masyarakat tidak sepenuhnya dialokasikan untuk membei makan dan melayani para napi. Dengan dasar-dasar privatisasi yang sangat kuat yakni UU No 12 Tahun 19995 tentu kita bertanya, kenapa privatisasi tidak jalan? Pertama, tingkat pendidikan masyarakat masih rendah sehingga banyak program lapas yang ditolak karena dianggap tidak lagi menghukum orang yang bersalah tetapi justru melayani mereka yang dulu dianggap sebagai “sampah masyarakat”. Kedua, setiap pejabat memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap filosofi pemasyarakatan sehingga membuat kebijakan sendiri-sendiri. Setiap pergantian menteri, menterinya biasanya sok tahu dan tidak mau betanya. Padahal, dia tidak memahami filosofi UU No 12 Tahun 1995. Misalnya, tidak boleh ada hukuman tambahan lain setelah vonis seperti para koruptor yang diusulkan pakai baju tertentu, harus diborgol dan sebagainya. Nah, kalau memang mau seperti itu, UU nya harus diubah. Soalnya, rasa keadilan masyarakat sudah dibayar pada saat hakim menjatuhkan vonis. Apalagi, tujuan pemidanaan bukan lagi menghukum melainkan membina. Polisi dan jaksa sendiri kurang paham tentang pilosofi pemasyarakatan. Ini juga sangat memprihatinkan. Ketiga, di seluruh dunia pembinaan terhadap napi menjadi the last priority sehingga perbaikan sistem pembinaan di pemasyarakatan tidak maju-maju. Keempat, dibanding departemen lain, anggaran pemasyarakatan paling rendah. Padahal, lapas lah yang pada akhirnya ketumpuan mengurusi napi, yakni memberi makan dan pembinaan sebagai komponen terakhir dari SPP. Nah bagaimana kita mau menghasilkan out put maksimal dengan in put yang minimal? Masyarakat sering keliru, bahwa ketika masuk lapas dianggap sebagai akhir dari SPP. Padahal,masuk lapas itu baru awal dari sebuah pembinaan terhadap napi. Jadi mindset-nya harus diubah. Barangkali, ini pula yang membuat polisi, jaksa dan hakim memiliki pandangan yang berbeda sehingga memiliki tolok ukur yang berbeda pula. Polisi dianggap berhasil kalau menangkap banyak penjahat. Jaksa dinilai sukses kalau menuntut setinggi-tingginya sementara hakim
149
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
merasa hebat kalau menjatuhkan vonis yang tinggi. Kalau masih begini cara perfikirnya, overcrowding di penjara tidak akan pernah selesai. Untuk itu, di PTIK atau pendidikan kejaksaan harus ada mata kuliah tentang pemasyarakatan. Kelima, UU Pemasyarakatan lahir tahun 1995 sementara KUHP-nya sebagai fondasi masih buatan Belanda. Perbaiki dulu KUHP baru pemasyarakatan bisa berjalan dengan baik. RUU KUHP dianggap bisa berjalan seiring dengan UU No 12 Tahun 19955 karena RUU KUHP telah mengakomodir apa yang diharapkan dalam prinsip pemasyarakatan. Misalnya, pembebasan bersyarat harus menjalani 2/3 dari masa tahanan sudah harus diubah, misalnya cukup setengah masa tahanan. Kemudian, orang yang sudah berusia lanjut atau pikun serta orang berpenyakit akut seperti stroke, apa masih perlu dipenjara? Ini semua harus diubah dalam RUU KUHP. Masalah privatisasi sebenarnya tidak rumit jika anggaran untuk lapas diberikan sama dengan lembaga penegak hukum yang lain dalam sub SPP.
150
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
LAMPIRAN 3 FOTO PELAKSANAAN FOCUSED GROUP DISCUSSION
151
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
LAMPIRAN 4 PETIKAN LENGKAP HASIL FGD
Focused Group Discussion diselenggarakan 10 November 2008 di Ruang Sahardjo Gedung Ditjen Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM di Jln Veteran No 11. Peserta, pejabat Ditjen Lapas, Asia Foundation dan Institute for Criminal Justice Reform Peserta FGD terdiri dari: 1. Drs. Didin Sudirman, M.Si, Sesditjen Pemasyarakatan sebagai pemandu 2. Dra Engkuy Kurniasih, BC.IP, Direktur Bina Perawatan 3. Amalia Abidin Bc.IP, SH, MH, Direktur Bina Latihan Kerja dan Produksi 4. Drs. Nugroho, Bc.IP, MSi, Kasubdit Pembimbingan Ditbina Bimkemasy 5. Aman Riyadi, S.IP, SH. MSi, Kabag Penyusunan Program dan Laporan 6. Suherman, Bc.IP, SH, MH, Kasubdit Registrasi 7. Sudarto, Bc.IP, SH, MH, Kasubdit Pengawasan dan Pengendalian Ditbina Kamtib 8. Leopold Sudaryono, SH, LL.M, The Asia Foundation 9. Syahrial Martanto W, SH, The Asia Foundation 10. Iqrak Sulhin, S.Sos, MSi, The Asia Foundation 11. Marwansyah Lubis, SH, The Asia Foundation 12. Lollong Manting, S.S, Institute for Criminal Justice Reform 13. M. Ali Aranoval, SH, The Asia Foundation 14. Gatot, SH, The Asia Foundation 15. Benyamin, Bc.IP, SH, MH, Kasubdit Pengembangan Tenaga Perancang
Berikut ini adalah petikan pendapat secara lengkap dari peserta FGD: Didin Sudirman Saya sangat mendukung privatisasi lapas dalam konteks kemitraan masyarakat dalam membantu pembinaan terpidana. Bukan pula dalam rangka kedermawanan tapi win-win solution. Kenapa? Dalam konsep pertanggungjawaban, pidana memang harus dibebankan kepada pelaku. Tapi ingat, semua tidak lepas dari unsur lingkungan. Masyarakat, bahkan pemerintah atau negara juga berkontribusi atas terjadinya tindak kejahatan. Oleh karena itu, dalam upaya penyembuhan penjahat pun masyarakat dan negara harus turut bertanggungjawab. Di sinilah privatisasi lapas itu sesungguhnya berlangsung. Artinya, pihak ketiga dalam hal ini masyarakat ikut serta dalam pembinaan terpidana. Inti dari privatisai lapas itu sendiri terdiri dari tiga hal pokok yakni; social support, social participation dan social control. Social support (software) ini dalam bentuk pembinaan mental dan spiritual yang melibatkan masyarakat, sedangkan social participation (hardware) adalah pembinaan berupa pemberian keterampilan sekaligus pekerjaan kepada para terpidana sejak di dalam maupun
152
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
setelah keluar dari penjara. Soal kerjasama seperti ini sudah ada beberapa penjara yang melakukannya, seperti kerajinan mebel di Surabaya dan Malang, percetakan di Sukamiskin, dll. Yang tidak kelah penting adalah social control yang dalam hal ini melibatkan LSM terutama kalangan pers dan masyarakat luar. Sebab jika privatisasi tidak dikontrol sangat rentan untuk disalahgunakanan. Kerap ada pembinaan di luar atas nama kemanusiaan namun hal itu sesungguhnya hasil kongkalikong antara petugas dan terpidana yang berduit. Begitu juga dengan UU Anti Kekerasan yang maksudnya agar masyarakat diberi ruang untuk melakukan kontrol. Namun terus terang, hal ini masih sangat asing di Veteran 11 (maksudnya kantor Ditjen Pemasyarakatan). Dulu kalau ada pers, semua ditutup-tutupi. Sekarang tiak bisa begitu, pers harus digandeng agar tercipta kontrol sosial yang sehat. Inilah salah satu wujud dari privatisasi lapas dari sisi keterbukaan pembinaan. Agar privatisasi menjadi mudah, ada 4 variabel penting yang harus dipersiapkan; 1. Sejauh mana sosialisasi kebijakan privatisasi lapas dilakukan. Hal ini harus bisa dikomunikasikan dengan baik agar bisa dipahami tidak hanya oleh petugas dan napi tetapi juga masyarakat. 2. Sources atau sumber daya, yakni SDM, anggaran dan sumber daya lainnya. 3. Kecenderungan atau trend.Budaya organisasi yang harus tecipta yakni antara hubungana pekerjaan yang melibatkan terpidana memerlukan regulasi yang keras. 4. Sturktur organisasi yang terencana sesuai tuntutan privatisasi. Pemenjaraan itu sesungguhnya bisa juga dilihat dari kaca mata ekonomi yakni adanya hubungan supply and demand. Maksudnya ketika kebebabasan itu terbatas, maka kebebasan itu bisa diperjualbelikan. Mental petugas harus dibenahi. Begitu juga dengan kebutuhan biologis yang bisa mengakibatkan perilaku menyimpang yakni praktik homoseksual di dalam penjara. Ini juga bisa menjadi ruang bagi petugas untuk komersialisasi seks di penjara. Reward and punishment sebenarnya sudah bagus dilakukan namun regulasi tidak berjalan dengan baik sehingga uang-lah yang berkuasa di penjara. Bicara soal untung-rugi, privatisasi lapas pasti lebih banyak untungnya karena napi bisa dijadikan sebagai alat produksi sepanjang tidak terjadi eksploitasi. Privatisasi ini juga mengarah pada swadana penjara. Nah, ini juga agak aneh, swadana artinya makan itu merupakan tanggungjawab negara. Nah, waktu menjatuhkan vonis, hakim seharusnya sudah berfikir bahwa dia tengah memberikan beban kepada negara untuk membiayai terpidana di dalam penjara. Tapi karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka pendidikan dan pembinaan diarahkan agar terpidana bisa tetap produktif yang pada gilirannya demi pembinaan dan pendidikan terpidana itu sendiri juga. Privatisasi dari sisi kebijakan, kalau murni dilaksanakan oleh swasta tidak mungkin karena harus behadapan dengan HAM. Kalau privatisasi dalam bentuk kerjasama kemitraan, itu hukumnya wajib. Ini mengingat kemampuan anggaran
153
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
negara yang sangat terbatas sehingga masyarakat harus ikut bertanggungjawab. Di dunia belum ada yang bisa murni privaitsasi kecuali di Australia. Di sana perusahaan-perusahaan harus mengikuti tender untuk memperebutkan pengelolaan penjara yang murni dikelola swasta. Namun unsur alat produksi dikhawatirkan menjadi kontraproduktif terhadap sisi kemanusiaan. Kalau tidak diawasi dan dievaluasi secara ketat, bisa-bisa yang terjadi adalah kerja rodi. Namun demikian Australia cukup suskes dengan privatisasi penjaranya. Misalnya, handset, taplak kursi dan bebagai macam kebutuhan pesawat Qantas, adalah buatan para napi di penjara Australia. Di Indonesia, sebagai contoh LP Cipinang yang dirancang tidak dengan pemikiran pemasyarakatan, dipaksa keadaan karena situasi mendesak. Pendekatan maximum security yang diterapkan sebagai fasilitas pemantauan menjadi bertentangan karena fasilitas yang ada menjadi minimum untuk manfaat keterampilan. Ini mengurangi fungsi dari LP itu sendiri yang seharusnya mengembalikan terpidana ke masyarakat dengan dukungan life skill yang memadai tapi lahannya malah dipakai bukan untuk tujuan itu. Secara teoritis, orang melakukan kejahatan sebenarnya karena retaknya hubungan dengan Tuhan, dengan kehidupan (sesama) dan dengan penghidupan (lingkungan). Di sinilah fungsi LP untuk memulihkan ketiga hubungan yang retak tersebut. Mengenai akan hilangnya efek deterrence dengan adanya privatisasi lapas, apakah akan membuat orang menjadi tidak takut ke penjara? Menurut saya itu tidak benar. Coba Anda rasakan sendiri bagaimana di penjara. Kebebasan itu adalah barang paling mahal. Jadi kalau ada orang yang mengatakan enak betul di penjara, di kasih makan, dikasih pekerjaan, dikembalikan ke masyarakat dengan baik-baik, itu pendapat yang keliru. Kebebasan itu harganya sangat mahal. Kalau tidak, mana mungkin dikomersilkan oleh petugas penjara. Oleh karena itu, kita harus berempati dengan menempatkan seandainya kita berada dalam posisi terpidana. Penghukuman itu diberikan oleh negara namun cenderung disalahgunakan. Oleh karena itu di dalam UU Pemasyarakatan hak-hak terpidana pun dijamin. Kita boleh membenci perbuatan seseorang tapi kita jangan membenci orangnya karena perbuatan yang salah atau keliru masih bisa diperbaiki.
Sudarto Privatisasi lembaga pemasyarakatan secara murni dan menyeluruh pasti tidak menarik bagi investor karena memang tidak banyak yang bisa dilakukan pengusaha untuk mengambil keuntungan. Sebab, menarik investor untuk terlibat penuh dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan tentu harus dengan harapan memperoleh keuntungan yang menggiurkan. Hal ini menjadi agak mustahil karena minimnya pendanaan dari pemerintah sehingga pengusahan swasta menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lapas. Namun dari sisi kemitraan lainnya, pihak ketiga atau mitra, masih banyak sisi yang dapat dimanfaatkan oleh investor, misalnya memanfaatkan tenaga terpidana untuk kegiatan produksi mereka dengan upah yang sangat bersaing.
154
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
Suherman Privatisasi lapas bisa saja dilakukan baik 100 persen maupun misalnya hanya 75 persen diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Pemerintah tetap membiayai karena pemasyarakatan terpidana merupakan tanggungjawab pemerintah. Privatisasi lapas ini diharapkan dapat menekan biaya pemerintah karena lewat privatisasi ada biaya yang bisa dihemat bahkan ada pula penghasilan yang bisa diperoleh, baik oleh terpidana maupun pemerintah yang dalam hal ini adalah Pendapatan Pemerintah Bukan Pajak (PNBP) dari hasil mempekerjaan napi. Privatisasi oke saja.
Aman Riyadi Privatisasi seratus persen atau seluruhnya dikelola oleh swasta, menurut saya, tidak akan berhasil. Tetapi privatisasi menjadi sangat mungkin dilakukan dalam rangka pembinaan terpidana, misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan bengkel kerja. Dalam bentuk seperti ini, saya setuju sekali dengan privatisasi lapas. Sebab, pembinaan terpidana tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga masyarakat. Oleh karena itu, jika ingin melakukan privatisasi harus dibuat aturan yang jelas, siapa mengerjakan apa, dan lain sebagainya. Ini juga tidak terbatas pada masalah PNBP yang meningkat tetapi juga bicara soal pemberian keahlian yang mumpuni kepada para narapidana. Nah, hal ini juga harus berkesinambungan. Jangan di lapas napi dididik menjadi ahli tertentu tapi setelah keluar, keahlian itu tidak bisa dimanfaatkan untuk apa-apa karena setelah keluar dari penjara terpidana tidak mendapatkan lapangan pekerjaan. Kalau kejadiannya seperti itu, percuma saja. Jadi idealnya ada perusahaan swasta yang membekali napi dengan keterampilan sejak di dalam lapas dan kemudian memberikan lapangan pekerjaan setelah mereka ke luar dari lapas. Ini baru bisa disebut berhasil. Saya setuju dengan bentuk-bentuk kerjasama seperti itu. Tapi soal istilah privatisasi lapas, buat saya rasanya kurang pas.
Iqrak Sulhin Private prison pada dasarnya oke. Perlu dibikin aturan besaran upah sesuai dengan skill dan pendidikan napi yang dipekerjakan. Privat prison dengan konsep prison industry bisa mengurangi persoalan anggaran lapas dan sekaligus membantu para napi mendapat pekerjaan maupun penghasilan. Kenapa tidak mencontoh luar negeri, kan ini sangat membantu kekurangan yang ada selama ini. Namun kalau struktur organisasinya masih seperti sekarang, tidak akan bisa. Saat ini, ada dua komando di Ditjen Pemasyarakatan, dirjen untuk teknis fungsional sementara Sekjen berperan dalam masalah fasilitatif dan dalam hal ini biro lah yang paling berperan. Pengangguran yang ada di dalam penjara menjadi salah satu pemicu masalah-masalah yang ada di balik tembok penjara, mulai dari perkelahian, keributan dan penyimpangan lainnya. Tetapi saat ini, untuk pembinaan saja, saya mengambil contoh Nusakambangan. Di sana memang ada kerjasama, tapi yang
155
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
bisa ikut kerja hanya 10 orang dari sekian banyak napi. Bahan baku tidak ada, fasilitas minim, spare part mesin tidak ada anggaran. Ini kan kacau. Di Palembang misalnya, hanya tersedia 10 liter air sehari untuk mandi, kemudian dibuat usulan agar diberikan satu unit mobil tanki. Tapi usulan itu sudah 4 tahun, tidak pernah dipenuhi. Bagaimana mau bicara yang lain? Prison Industry itu berbasis kegiatan industri dan investasi yang pada ujungnya adalah mengejar profit. Soal 10 prinsip kemasyarakatan memang ada kesenjangan antara konsep dan UU-nya yakni 1964 ke 1995. Dilihat dari aspek pembinaan belum ada perubahan. Sistem integrated seperti ini dimulai sejak 1982, dulu system holding. Integrated strukturnya mulai dari menteri, dirjen, kanwil lalu UPT. Bosnya kanwil, ini banyak masalah karena tidak sinkron dengan menteri. Apakah ada perubahan otoritas di sana dengan revisi UU No 12/1995. Di Indonesia paling cocok adalah mempekerjakan napi, sementara untuk model industri penjara yang murni dikelola swasta mungkin 10 tahun lagi baru bisa dilakukan. Pembayar pajak tidak perlu lagi protes karena uang mereka di alokasikan untuk memberi makan para napi yang nota bene orang-orang bermasalah. Pendapatn pajak bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin, sementara para napi harus bekerja dengan pihak ketiga agar memperoleh penghasilan dan membuat mereka lebih mandiri.
Benyamin Sebenarnya dari dulu sudah ada beberapa perusahaan yang mencoba menggunakan tenaga napi di dalam penjara tetapi akhirnya banyak yang tidak jalan. Kenapa? Karena dulu banyak yang sudah besar namun kemudian berantakan karena beberapa hal, termasuk masalah keputusan dari Depkeh yang menentukan PNBP. Menurut saya PNBP itu tidak rasional dan harus dihapus jika ingin meningkatkan kerjasama degan pihak swasta dalam hal pembinaan napi. Alasan lain kenapa kerjasama pemanfaatan tenaga napi oleh swasta kurang berkembang, karena tenaga yang ada di dalam lapas bukanlah tenaga professional namun gaji yang diharapkan tetap sekurang-kurangnya berdasarkan UMP (upah minimum propinsi). Jika memang gaji yang ditentukan bisa bersaing tentu banyak pihak swasta yang bersedia melakukan kerjasama LP. Terkait dengan napi yang dibina, jangan ada kesan mereka menjadi obyek eksploitasi. Mereka harus dapat penghasilan berupa upah yang layak dan bisa menabung dari penghasilan itu sehingga membuat mereka lebih produktif dan bersemangat. Kendalanya, sama dengan pendapat terdahulu, bagaimana caranya agar supaya upah premium dalam PNBP dihapus saja. Contoh; misalnya ada perusahaan yang berani bayar napi 5000, upah bagi yang mengawasi 1000. Dari situ diatur sebagian untuk kas dan petugas lapas. Ini tenu bisa menjadi sumber pendapatan bagi lapas. Harus pula diingat, memang ada yang mengatakan bahwa napi itu bukan tenaga profesional, tapi jangan lupa bahwa banyak di antara mereka yang memiliki potensi dan bakat terpendam. Napi sebagai SDM yang relatif lebih murah sesungguhnya tetap menarik namun swasta masih enggan untuk memanfaatkannya. Premi yang ada di PNBP harus dihapus.
156
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
Amalia Abidin Privatisasi lapas belum bisa dilaksanakan di Indonesia karena kemitraan yang sudah berjalan selama ini, satu per satu mundur teratur karena hambatan birokrasi dan berbagai peraturan yang tidak mendukung program kemitraan tersebut. Bengkel kerja yang sudah tersedia juga banyak yang tidak jalan. Lalu dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita melaksanakan privatisasi lembaga pemasyarakatan?
Engkuy Kurniasih Sangat setuju dengan privatisasi karena napi di lapas sangat banyak yang menganggur. Nah ketika mereka menganggur, ini akan mengundang banyak persoalan. Bisa terjadi keributan, perkelahian dan hal-hal negatif lainnya. Tapi kalau mereka memiliki kesibukan, hal-hal seperti itu bisa diminimalisasi. Persoalan-persoalan yang terjadi di lapas biasanya karena terpidana banyak yang nganggur. Kalau mereka sibuk, pasti capek dan malam harinya akan tidur nyenak. Kita punya potensi tenaga kerja yang sangat besar di penjara dan ini harus dimanfaatkan dan disalurkan. Persoalannya bagaimana kita bisa menggiring pengusaha swasta ke lapas untuk memberdayakan para napi tersebut. Kalau mengandalkan kemampuan anggaran pemerintah, jelas itu tidak mungkin dan tidak akan maju-maju. Salah satu hambatan yang selama ini menjadi ganjalan adalah PNBP yang masuk ke kas Negara. Ini harus dihapus. Napi yang bekerja berhak dapat upah yang layak, jadi penghasilan mereka jangan dipotong. Prinsip pemberlakuan pemberian upah kepada napi yang dipekerjakan hukumnya wajib, dan jangan terkesan ada eksploitasi sehingga tidak sedikit pun bertentangan dengan HAM. Menurut saya, privatisasi lapas ini merupakan masalah yang sangat mendesak. Ini butuh dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah harus mengambil inisiatif agar wacana ini tersosialisasi dengan baik sehingga pengusaha swasta berlomba-lomba melakukannya. Ini “PR” buat pemerintah.
Nugroho Privatisasi lapas dalam bentuk kemitraan selama ini sebenarnya sudah berjalan. Tapi kenapa banyak yang mundur dan berakhir begitu saja? Ini tidak terlepas dari masalah-masalah yang tidak dipikirkan di depan. Misalnya, MoUnya soal kerajinan rotan dan napi sudah dilatih, tetapi pasar justru menginginkan mebeler yang lain. Tetapi semua ini terjadi karena kurangnya perencanaan yang terarah, baik dari pihak swasta yang menjadi mitra maupun dari pejabat lapas sendiri. Kalau napi kan tinggal ikut saja. Terkait dengan privatisasi lapas, saya ingin memberi contoh seperti Penjara Changi di Singapura. Di sana ada dua perusahaan yang membuat roti dan laundry yang berstandar internasional. Catat, standarnya bukan nasional lagi lho, tapi internasional. Nah, mereka ini mempekerjakan napi dimana hasil produksinya digunakan di bandara, hotel dan rumah sakit. Memang di sini ada sedikit unsur monopoli yang dilakukan lewat otoritas Departemen Dalam Negeri setempat. Tetapi saya pikir itu bukan masalah karena persoalan-persoalan dalam lapas
157
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
banyak yang bisa diatasi dengan cara itu mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah. Singapura terbukti mampu memberdayakan tenaga potensial di dalam lapas untuk membuat produk yang berstandar internasional. Lalu kenapa kita tidak bisa? Untuk privatisasi lapas dalam bentuk seperti ini saya sangat setuju sekali dan harus segera dilaksanakan.
158
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Tempat/Tanggal Lahir Alamat Istri Anak Telepon
: Diapari Sibatangkayu : Padangsidimpuan, 8 Mei 1963 : Jl. Raya Condet, Gang Awi No. 28 RT 015/RW 03 Kel. Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur. : Hj. Karyaningtyas : 1. Humala Parlaungan 2. Mustikasari Amalia : 0816-117-2415
Pendidikan Formal : 1. 2. 3. 4. 5.
SD Negeri 5 Padangsidimpuan, lulus 1976 SMP Negeri 1 Padangsidimpun, lulus 1979 SMA Negeri 45 Jakarta, lulus 1982/83 Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Sudirman (Unsoed), Purwokerto, lulus 1987 Program Pascasarjana Kriminologi Universitas Indonesia, lulus 2008
Pengalaman Organisasi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Humas Pengurus Pusat (PP) Persatuan Tinju Nasional Amatir (Pertina), 2007-sekarang Ketua DPP Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), 2006-sekarang Wakil Sekjen Forum Komunikasi Lintas Parsadaan Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan, 2007- sekarang Ketua Seksi Ekonomi, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, 2004sekarang Sekretaris Departemen OKK, DPP Partai Demokrat, 2004 Ketua Klub Jurnalis Asuransi Indonesia, 1998-sekarang Ketua Bidang Komunikasi Koalisi Rakyat Demokrat , 2004-sekarang Ketua Yayasan Anak Bangsa Indonesia (YABI), 2002-sekarang Wakil Ketua Koordinatoriat Wartawan Pasar Modal, 1991-1993 Ketua Koordinatoriat Wartawan Asuransi, 1993-1998 Ketua Bidang Olahraga dan Kesenian, Senat Mahasiswa FE Unsoed, 19831984 Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FE Unsoed, 1984-1986 Pj Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa FE Unsoed, 1986-1987 Ketua Komisariat Ekonomi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Cabang Purwokerto 1983-1985 Ketua Bidang Ekstern, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwokerto 1985-1987 Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Tengah, 1987
159
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.
Pengalaman Kerja : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Redaktur Koran Jakarta, 2007-sekarang Redaktur Pelaksana Harian Terbit, 2002-2007 Redaktur Majalah Uang dan Efek, 1994-1995 Direktur Utama CV. Karya Mustika Garmen, 2004-sekarang Komisaris PT. Paralel Inti Aksara, 1994-1998 Head of Division PR, International Testing Institute, 2006-sekarang Komisaris Utama PT Grafindo Wahana Prima, 2005-2007 Konsultan Media Relation PowerPR, 2002-2004 Direktur PT Kobo Media Spirit, 2007-sekarang
Kegiatan Lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Ketua Panitia Rapimnas Front Komonitas Indonesia Satu (FKI -1) di Pekan Raya Jakarta Kemayoran, 2008 Dewan Juri Jamsostek Journalist Award tahun 2007 dan tahun 2008 Ketua Panitia Temu Karya Instruktur HMI se- Indonesia di Purwokerto, 1985 Anggota Tim Road Show Pasar Modal Indonesia di Singapura dan Hongkong, 1993 Ketua Panitia Seminar Nasional Bancassurance, 1998 Ketua Panitia Seminar Unit Link sebagai Alternatif Investasi, 1998 Ketua Panitia Seminar Nasional Mengurai Benang Kusut Bisnis Transportasi, 2005 Ketua Panitia Seminar Demonopolisasi Jamsostek, 1996 Tim Penulis Buku Demonopolisasi Jamsostek, 1996 Ketua Panitia HUT Harian Terbit ke 33, 2005 Ketua Panitia Lomba Karaoke Executive, 2001 Peserta Seminar Inteletual Mahasiswa se-Jawa, diselenggarakan Universitas Krisna Dwipayana Jakarta, 1985 Menjadi narasumber mengenai masalah asuransi dalam acara interaktif “Dua Jam Saja” di TVRI bekerja sama dengan PT. Jasa Raharja, 2001 Anggota Delegasi “Insurance Summit 2005” ke Istana Wapres.
160
Universitas Indonesia
Privatisasi lembaga..., Diapari Sibatangkayu, FISIP UI, 2008.