Mengenal suatu bangsa, salah satunya lewat cermin bahasanya, merupakan pepatah yang tidak pernah terbantahkan. Mengenal bangsa Indonesia melalui bahasa Indonesia merupakan kewajiban yang patut diwariskan secara turun temurun. Jika bukan generasi muda dan generasi emas Indonesia yang mencintai bahasa Indonesia, lantas siapa lagi? Sebagai milik nasional, bahasa Indonesia merupakan unsur kebudayaan yang paling meresap dalam hati setiap manusia Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus dijaga, dilindungi, dan dibina serta dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Berbahasa adalah salah satu wujud kepribadian dan intelektualitas. Di dalam banyak kesempatan, penanaman dan pengembangan sikap positif terhadap bahasa Indonesia wajib dilanjutkan. Pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai kaidah dengan segala situasinya adalah salah satu cermin sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Pengguna bahasa Indonesia yang keliru, baik dalam berkomunikasi secara lisan dan tulisan tidak serta merta dianggap tidak memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap acuh tak acuh terhadap bahasa Indonesia itu terbentuk jika seseorang yang sudah mengetahui bahwa dirinya salah, tetapi enggan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Untuk menumbuhkan kecintaan dan peduli berbahasa Indonesia yang baik dan benar, hal pertama yang harus dipahami setiap orang adalah mengenai sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan varian bahasa Melayu, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara. Pada tahun 1901, Indonesia sebagai Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) Van Ophuijsen. Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Hindia-Belanda (VOC) mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat). Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur "Komisi Bacaan Rakyat" pada tahun 1908, yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Balai inilah yang menerbitkan buku-buku kenamaan seperti novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, bukubuku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "Bahasa Persatuan Bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.
Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Mohammad Yamin menyatakan "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan." Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia berlangsung secara bertahap. Namun, penggunaan bahasa Indonesia yang berlaku saat ini tidak lagi sama dengan bahasa Melayu yang dipergunakan pada zaman Tun Muhammad Sri Lanang dan zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, juga tidak sama dengan bahasa Melayu pada zaman Balai Pustaka. Perkembangan bahasa Indonesia begitu pesat menjadi suatu bahasa yang baru. 1.1.1 Peristiwa Penting dalam Perkembangan Bahasa Indonesia Beberapa peristiwa penting yang terjadi seiring perkembangan bahasa Indonesia dikukuhkan menjadi bahasa nasional dan bahasa persatuan, yaitu: a. Pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Commissie voor de Volkslectuur tanggal 14 September 1908 yang bertugas mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat,
serta
menerbitkannya
dalam
bahasa
Melayu
setelah
diubah
dan
disempurnakan. Kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. b. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia. c. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. d. Tahun 1933 terbit majalah Pujangga Baru yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Pengasuh majalah ini adalah sastrawan yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Pada masa Pujangga Baru ini bahasa yang digunakan untuk menulis karya sastra adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat dan tidak lagi dengan batasan-batasan yang pernah dilakukan oleh Balai Pustaka. e. Tahun 1938, dalam rangka memperingati sepuluh tahun Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Kongres ini
dihadiri oleh bahasawan dan budayawan terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Prof. Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara. Dalam kongres tersebut dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut, antara lain: mengganti Ejaan van Ophuysen, mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan. f. Tahun 1942-1945 (masa pendudukan Jepang), Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda yang dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa Jepang terpaksa menggunakan
bahasa
Indonesia
sebagai
bahasa
resmi
untuk
kepentingan
penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan, sebab bahasa Jepang belum banyak dimengerti oleh bangsa Indonesia. Hal yang demikian menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting. g. Pada tahun 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dan bahasa Indonesia memperoleh kedudukan yang lebih pasti, menjadi bahasa nasional, bahasa kesatuan, bahasa resmi, dan bahasa negara di Negara Republik Indonesia. 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia dinyatakan secara resmi sebagai bahasa negara sesuai dengan bunyi UUD 1945, Bab XV pasal 36: Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
1.1.2 Mengapa Bahasa Melayu Dipilih Menjadi Bahasa Persatuan?
Bahasa Indonesia bukan lahir begitu saja sebagai bahasa persatuan. Ada latar sejarah yang menggiring pembentukan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan hingga akhirnya menciptakan sebuah bahasa yang baru, yaitu bahasa Indonesia. Sebagai alat komunikasi yang dipakai dalam berbagai keperluan, bahasa Melayu tentu tidak seragam, tetapi berbeda-beda disesuaikan dengan situasi dan kondisi .Alasan mengapa bahasa melayu diangkat menjadi bahasa melayu dikarenakan berdasarkan dari waktu penggunaannya. Ciri ragam bahasa Indonesia lama masih dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia. Bahasa melayu mempunyai peranan yang sangat penting di berbagai bidang atau kegiatan di Indonesia pada masa lalu. Bahasa ini tidak hanya sekadar sebagai alat komunikasi dibidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga dibidang visual (alat komunikasi massa), dan politik (perjanjian antar kerajaan). Sejak itulah penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok kepulauan Indonesia.
Perkembangan bahasa Melayu tersebut dinamakan perkembangan konseptual yang memiliki tiga bentuk. Pertama, perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh interaksi antar daerah, perkembangan bahasa daerah yang lain, dan yang terakhir perkembangan bahasa yang di akibatkan oleh pertemuan bahasa Melayu dalam konteks yang lebih luas. Bahasa Melayu berkembang berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosial yang bersinggungan antar ruang dan waktu, yang mana terjadi suatu hal yang sedang memengaruhi penggunaan bahasa. Historis tersebut dapat dilihat dari asal usul bahasa yang merupakan awal komunikasi antar orang yang menggunakan bahasa isyarat ke kata-kata yang semakin komunikatif. Perkembangan itu juga berlangsung dalam satu ruang sosial. Perubahanperubahan ruang yang terjadi telah menyebabkan satu bahasa bertemu dengan bahasa lain. Daerah perbatasan, misalnya mempertemukan suatu tempat dengan tempat lain, saling memberi pengaruh antar bahasa yang terjadi dengan intensitas yang melebihi daerah-daerah lain. Pertemuan itu menyebabkan saling memengaruhi
dan
memperkaya khasanah bahasa masing-masing, sehingga dapat memperkaya perbendaharaan kata baru. Perkembangan bahasa dalam konteks tersebut di atas memiliki tiga bentuk: pertama perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh interaksi antar daerah; kedua perkembangan yang bahasa disebabkan oleh interaksi antara satu bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain; dan yang terakhir, perkembangan bahasa yang diakibatkan oleh pertemuan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas (Irwan Abdullah, 2007). Pada Zaman Kerajaan Majapahit atau diperkirakan sebelum abad XV, bahasa Melayu itu telah menjadi lingua franca – bahasa perdagangan bagi para saudagar di pelabuhan-pelabuhan di Asia, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Bahasa Melayu mempunyai peranan yang sangat penting di berbagai bidang atau kegiatan di Indonesia pada masa lalu. Ini tidak hanya sekadar sebagai alat komunikasi di bidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang sosial (alat komunikasi massa), politik (perjanjian antar kerajaan), dan sastra-budaya (penyebaran agama Islam dan Kristen) (Suryomihardjo, 1979, hal. 63). Di Indonesia banyak karya sastra berbahasa Melayu, di antaranya seperti Hikayat Raja Pasai,Sejarah Melayu, Hikayat Hasanudin, dan linlain.
Sejak itu penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok kepuluan Indonesia (tidak hanya di daerah pantai atau pelabuhan tetapi juga di pedalaman) dan memberikan wilayah yang heterogen itu suatu kesan kebersatuan kepada pihak luar. Tetapi ada juga kesatuan yang lebih mendalam yang mengikat bersama sebagian besar suku bangsa dan orang Indonesia. Keastuan ini muncul dari unsur-unsur dasar yang umum dari peradaban mereka. Kemudian muncullah sebuah pertanyaan, bagaimana bahasa Melayu tersebut dapat diadopsi menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, di wilayah Republik Indonesia? Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak lama telah menjadi pembicaraan luas. Seperti telah diceriterakan di atas bahwa bahasa Melayu yang aslinya merupakan salah satu bahasa daerah dari kurang lebih 512 bahasa daerah di wilayah Indonesia (Irwan Abdullah, 2008), telah lama memiliki peranan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, dan sastra-budaya. Selanjutnya, pada awal abad XX di Indonesia berkembang suatu situasi yang mendorong munculnya suatu pemikiran akan perbaikan nasib terhadap rakyat pribumi dari pemerintaah kolonial Belanda melalui kebijakan Politik Etis (Kahin, 1952), yang meliputi program edukasi, transmigrasi, dan irigasi. Melalui program edukasi itulah, sekolah-sekolah bumi putra bermunculan dengan pengantar bahasa daerah, di mana sekolahan itu berada. Pada perkembangan berikutnya, pemerintah menuntut agar setiap sekolah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.Tetapi sejak awal abad XX kepentingan daerah jajahan memerlukan tenaga-tenaga rendahan yang mengerti bahasa Belanda, kemudian muncul sekolah-sekolah dengan pengantar bahasa Belanda. Di kota-kota, sekolah lebih banyak mengajarkan bahasa Belanda. Dengan sistem pendidikan itu, kemudian munculah kelompok elit baru yang amat peka terhadap perubahan zaman (Pringgodigdo, 1970; Savitri, 1985). Tandatanda kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya organisasi yang bercorak politik yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Sangat menarik untuk dicatat ialah mengenai bahasa yang dipakai di dalam konggres-konggres oleh organisasi pergerakan Indonesia pada waktu itu adalah kebanyakan bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda. Salah seorang pelajar yang tergabung dalam Indonesische Verbond van studeerenden di Wageningen, Belanda, pada tahun 1918 telah mengusulkan agar bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (A.
Suryomihardjo, 1979). Kemudian bermunculan mingguan dan surat khabar berbahasa Melayu, Jawa, dan Belanda, seperti Medan Priyai (1907-1912), Sarotama (1914), Indonesia
Merdeka
(1923),
Bataviaasch
Genootschap,
dan
lain-lain
(A.
Surjamihardjo, 1979). Dengan munculnya majalah dan surat kabar-surat kabar berbahasa daerah itu, pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir. Banyak kasus persdelict di Indonesia pada waktu itu, yaitu larangan terbit bagi brosur dan pers yang berbahasa daerah. Suatu contoh terbitnya artikel yang berjudul Als ik eens Nederlander was, dan dalam bahasa Melayu, Jikalau saya sorang Belanda, pada tahun 1913 dilarang untuk diterbitkan. Artikel ini menceritrakan pengecaman terhadap perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda yang akan di selenggarakan di Indonesia. Melalui perkembangan pendidikan dan pengajaran yang semakin maju di Indonesia, bahasa Melayu menjadi semakin populer, sehingga sidang-sidang atau kongres-kongres dari organisasi pergerakan nasional Indonesia menggunakan Bahasa Melayu. Ini ternyata menjadikan bekal untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam berjuang melawan pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, para pemuda Indonesia dalam konggresnya yang ke 2 bersatu pada tanggal 28 Oktober 1928 bertekat bulat untuk menggalang persatuan dan kesatuan dengan Sumpah Pemuda Indonesia Raya. Konggres itu menghasilkan keputusan: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak itulah bahasa Melayu disepakati untuk diangkat sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia (Pringgodigdo, 1970).