11.
SITUASI SISTEM PENETAPAN HJD SAAT IN1
A. Terdapat Economic Loss
Bagi manajemen sebuah perusahaan, penetapan harga merupakan salah satu keputusan yang penting, tidak terkecuali bagi PT. Perhutani. Hal ini berkaitan dengan kayu jati yang hingga saat ini masih merupakan produk andalan PT. Perhutani. Menurut Gittinger (1 986) semua analisa-analisa keuangan dan ekonomi menggunakan suatu asumsi bahwa harga merupakan gambaran dari nilai, sehingga bisa dikatakan bahwa harga dari sesuatu barang atau jasa merupakan nilai barang atau jasa tersebut pada suatu tempat dan waktu tertentu. Demikian juga dalam dunia usaha kehutanan, harga tegakan merupakan nilai dari tegakan tersebut pada suatu tempat dan waktu tertentu. Dengan kata lain, harga dasar suatu komoditas hasil hutan kayu adalah nilai tegakannya. Nilai tegakan (stumpage value), rnenurut Davis (1954) di masing-masing lokasi produsenlpengelola sebenarnya tidak sarna. Perbedaan tersebut antara lain terlelak pada beberapa parameter dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu : (I) dalnr ekonomi, (2) keadaan hutan, (3) geografis hutan dan ( 4 )komponen biaya pembentuknya.
Parameter tersebut sesuai dengan tanaman jati
PT. Perhutani, yaitu tersebar di seluruh Jawa, dengan kondisi tempat yang berbeda, situasi sosial yang tidak sama serta daur antara 40 hingga 80 tahun. Namun penetapan HJD kayu bundar jati di PT. Perhutani, ditetapkan melalui suatu kebijakan harga yang seragam (one price policy) pada semua lokasi
produsen (KPH) tanpa mempertimbangkan parameter yang telah dikemukakan oleh Davis dan asumsi dari Gittinger tersebut. Kebijakan ini, menurut Andayani (1998) hanya sesuai untuk diterapkan pada daur ekonomi 40 tahun apabila analisis finansial menggunakan tingkat bunga riil 9% per tahun.
Oleh sebab itu,
penetapan HJD kayu bundar jati oleh PT. Perhutani untuk daur di atas 40 tahun ternyata masih berada di bawah biaya produksinya, sehingga dianggap tidak rasional karena harga tersebut sebenarnya masih disubsidi surnberdaya alam. Implikasi lainnya dari kebijakan tersebut adalah terdapat economic loss yang sangat besar, seperti tertera pada tabel berikut : Tabel 1. Volume Yang Dipasar -kan ')
Economic Loss Sebagai Akibat One Price Policy Kayu Bundar Jati di PT Perhutani. Harga Yang Diberlakukan 3,
Harga Seharusnya 4, (x 1.000)
Income 1 (2 x 3) (x 1000)
( ~ ~ / m ~( ~) ~ / m ~ )( Rp) (m3) 4 2 5 3 59.747.482 12.650 111.976 533.574 105.975.570 782.795 12.650 135.381 1999 95.876 1.053.525 101.007.763 12.650 677.025 12.650 80.983 54.827.516 Sumbar : Statistik Perum Perhutani Tahun 1996 - 2000 Keterangan :
Income 2 (2 X 4) (x 1000)
Opportunity Loss (x 1000) (6 - 5)
(Rp) 6 1.416.496.400 1.712.569.650 1.212.831.400 1.024.434.950
(Rp) 7 1.356.748.918 1.606.594.080 1.111.823.637 969.607.434
Economic Loss (7 : 2)
(~~/rn~) 8 12.116.42 11.867.20 11.596.47 11.972.97
1) Data Tahun 1997 tersedia tidak lengkap. 2) Jumlah realisasi volume penjualan sortimen Kayu Bundar Kecil, Kayu Bundar Sedang, dan Kayu Bundar Besar, melalui sistem penjualan dengan perjanjian, penjualan langsung dan penjualan lain-lain. 3) Harga rata-rata sortimen Kayu Bundar Kecil, Kayu Bundar Sedang dan Kayu Bundar Besar, melalui sistem penjualan dengan perjanjian, penjualan langsung dan penjualan lain-lain.. 4) Berdasarkan hasil perhitungan Andayani (1998) pada tingkat suku bunga 9 % (Lampiran 2).
Dari tabel economic loss tersebut dapat diketahui, bahwa sebenarnya pendapatan PT. Perhutani dari penjualan kayu bundar jati bisa ditingkatkan.
B. Kinerja Perusahaan Dalam Laporan Keuangan Bias Kayu bundar jati yang diperdagangkan berasal dari kayu pohon berdiri (stumpage) di hutan. Menurut Gregory (1974) dalam Andayani, (1998), proses terjadinya tegakan (stumpage) di hutan adalah merupakan proses produksi. Berbeda dengan perusahaan pada umumnya, asset' perusahaan hutan mempunyai pengertian tersendiri, karena kayu di hutan berfungsi ganda yaitu dapat sebagai aset tetap (fixed asset) pada saat pohon masih berdiri dan dapat sebagai produk saat pohon sudah ditebang. Oleh karena itu dalam penilaian aset perusahaan hutan sebenarnya yang dinilai adalah tegakan yang sedang mengalami pertumbuhan (growing stock) (Openshaw, 1980). Dalam perusahaan pada umumnya, terdapat perputaran yang cepat dari produk. Sedangkan stock hanya merupakan bagian kecil dari produksi tanaman. Dalam perusahaan hutan terjadi sebaliknya.
Pada waktu tertentu terdapat
perbandingan yang tinggi antara stock dan produksi tahunan, dengan besaran yang berviiriasi antara
5 : 1 pada hutan tanaman jenis kayu cepat tumbuh, sampai 50 :
1 pada hutan alam atau hutan tanaman jenis lambat tumbuh (Openshaw, 1980). Dengan demikian pengamanan dan pengadaan stock dalam perusahaan hutan sangat penting. Seperti telah diketahui, sistem akuntansi kehutanan di Indonesia mengacu pada Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomer 32. Pada Bab
1.
Asset, menurut Livingstone (1994), merupakan sumber-sumber, dimiliki atau dikuasai oleh perusahaan, memiliki manfaat di masa yang akan datang. Manfaat-manfaat ini harus dapat dlukur dalam ukuran moneter.
7 Penciahuluan butir 02 PSAK tersebut dinyatakan bahwa "pengertian hasil dalam pengusahaan hutan meliputi : (1) hasil tebangan, (2) hasil olahan, dan (3) hasil lzutan lainnya. Dari pernyataan tersebut, PSAK 32 menganggap growing stock bukan sebagai hasil (output produksi). Serrlentara itu pada Bab Aktiva, dinyatakan bahwa "hasil hutan yang telah berada di TPN dan lokasi peng~mpulan/penimbunanhasil hutan harus dibukukan sebagai persediaan". Dari pernyataan tersebut potensi yang ada di hutan tidak diperhitungkan sebagai persediaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa PSAK 32 menganggap potensi sebagai bahan baku (bukan sebagai output produksi) yang dipel-oleh tanpa pengorbanan biaya, atau dengan pernyataan lain bahwa pada PSAK 32 stock sumberdaya hutan ditempatkan diluar sistem akuntansi, sehingga gambaran persediaan tegakan tidak nampak pada neraca keuangan dalam satu periode akuntansi. Menurut Kamarudin (2000), dengan tidak diperhitungkannya grouting stock ini sebagai aset perusahaan dalarn laporan keuangan, maka kinerja perusahaan yang nampak dalam laporan keuangan adalah bias.
Kebiasan ini
dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Apabila dalam satu siklus akuntansi terjadi perusakan tegakan yang besar, nlaka kinerja perusahaan &an tetap baik, sungguhpun tegakannya mengalami kerusakan. 2. Apabila perusahaan melakukan overcutting, maka kinerja perusahaan akan nleningkat, yang sebenarnya peningkatan ini bukan disebabkan karena makin e fektifnya perusahaan, tetapi karena eksploitasi yang berlebihan.
8 3. Iknetapa11 harga pokok kayu akan bias, karena nilai tegakan yang dipungut dan mengalami kerusakan, tidak diperhitungkan sebagai beban produksi. Sebagai pengelola hutan sudah selayaknya KPH mempunyai perhitungan biaya produksi dan neraca perusahaan berdasarkan RPKH yang telah disusun. Perhitungan ini sebagai dasar penetapan harga jual dasar kayu bundar jati. Disiliilah pentingnya KPH mengetahui nilai tegakan yang dimiliki, yang salah satu komponen penghitungannya adalah daur dan kondisi dimana tegakan tersebut tumhuh.