cover_cessie_v4_arsip_dpn.pdf
1
12/15/10
5:34 PM
Penjelasan Hukum tentang C
M
Y
CM
MY
CY
CMY
K
Rachmad Setiawan J. Satrio
PENJELASAN HUKUM TENTANG CESSIE
isi1-ok.indd 1
12/13/2010 11:49:26 PM
Penjelasan Hukum tentang Cessie Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010
Penulis: Rachmad Setiawan, J. Satrio Pengulas: Elijana Tanzah Ahli Internasional: Prof. Dr. Henk Joseph Snijders Pelaksana Penelitian: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Peneliti: A Patra M Zen Tabrani Abby Carolina S Martha HP Panggabean Yanti Fristikawati
Editor: Sebastian Pompe Gregory Churchill Mardjono Reksodiputro Binziad Kadafi Fritz Edward Siregar Harjo Winoto Fisella Mutiara A.L.Tobing
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit. Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (1)
(2)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
isi1-ok.indd 2
12/13/2010 11:49:26 PM
DAFTAR ISI Kata Pengantar ...............................................................................................................
v
Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................
1
Dokumen Penjelas .......................................................................................................
3 3 4 6 9 9 10 14 19 20 24 24
A. B. C. D. E. F. G. H.
Pengantar ......................................................................................................................... Permasalahan .................................................................................................................. Perumusan Cessie . ......................................................................................................... Figur-Figur yang Terlibat di dalam Cessie .............................................................. Peralihan Hak Milik ........................................................................................................ Unsur-Unsur Penyerahan ............................................................................................ Hubungan antara Peristiwa Perdata dan Penyerahan . .................................... Beralihnya Tagihan yang Di-Cedeer .........................................................................
I. Hubungan antara Cessionaris dan Cessus ............................................................. J. Kesimpulan ...................................................................................................................... K. Usul Perbaikan ................................................................................................................
Perspektif Internasional ......................................................................................... A. B. C. D.
General .............................................................................................................................. Precise Description and Extent of the Property Assigned (“Het Gecedeerde”) .................................................................................... Instrument of Assignment (“Cessie-Akte”) ........................................................... Notification as a Constitutive Requirement for Public Assignment ............
27 27 28 29 30
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 3
iii
12/13/2010 11:49:26 PM
Public Assignment of Debt against Unknown Debtors ................................... Right to Documentation and Payment Obligation of the Debitor Cessus ................................................................................................... Legal Status of the Debtor of an Assigned Debt ................................................ Comparable Legal Concepts . ....................................................................................
32
Laporan Penelitian . .....................................................................................................
39
E. F. G. H.
I.
Cessie Menurut Literatur dan Peraturan Perundang-Undangan ..............................................................................................
A. B. C. D. E.
Latar Belakang Cassie ................................................................................................... Pengertian dan Tinjauan Umum tentang Cessie ................................................ Pembahasan tentang Konsep Cessie ...................................................................... Beberapa Ketentuan yang Mengatur Cessie ........................................................ Konsep Hukum Cessie . .................................................................................................
33 34 34
39 39 39 45 48 52
B. Analisis Putusan Pengadilan Terkait Cessie ..........................................................
61 61 63
Daftar Putusan ................................................................................................................
75
Daftar Pustaka .................................................................................................................
87
II. Cessie Menurut Putusan Pengadilan................................................................... A. Hasil Penelusuran . .........................................................................................................
iv isi1-ok.indd 4
Dokumen Daftar Isi Penjelas
12/13/2010 11:49:26 PM
KATA PENGANTAR PENJELASAN HUKUM TENTANG CESSIE
Ketiadaan kepastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman modern ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, social dan ekonomi yang stabil dan adil. Singkat kata, jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subjek tertentu, sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti, apalagi bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian ini banyak yang bersumber dari hukum tertulisnya yang umumnya tidak jelas dan kontradiktif satu sama lain. Selain dari itu, adalah ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian hukum adalah lemahnya lembaga dan profesi hukum. Itu dapat kita lihat di lingkungan peradilan, di mana hakim terus menerus tidak menjaga konsistensi dalam putusan mereka. Advokasi pun tidak berhasil untuk betul-betul jaga standar profesi mereka. Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik yang ternyata kurang berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah terpadu dalam analisis peraturan perundangan dan putusan pengadilan. Lemahnya ‘legal method’ di dunia akademik adalah alasan pokok kenapa akuntabilitas pengadilan dan lembaga negara tetap lemah. Proyek Restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu ketidakpastian hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mewujudkan suatu gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’, yaitu sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya Restatement ini tidak dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang dibahas di dalamnya. Namun, Restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan pengadilan dan literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka. Ahli hukum, hakim, dan advokat jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam Restatement ini, namun kami berharap supaya Restatement ini bisa mencapai suatu kepastian hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam struktur
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 5
v
12/13/2010 11:49:26 PM
analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi. Alasan kami memilih topik cessie sebagai salah satu pokok bahasan Restate ment karena lembaga hukum Cessie dalam beberapa tahun terakhir banyak dipermasalahkan di dalam keputusan-keputusan pengadilan, dan karenanya kita perlu sekali mempunyai pengertian yang sama mengenai apa itu cessie, bagaimana cara penyerahannya, kapan cessie selesai, bagaimana akibat hukumnya terhadap cessus, bagaimana hubungannya dengan titel penyerahannya, kesemuanya agar pene rapannya bisa lebih diterima oleh para pencari keadilan. Akhir kata, kami berharap “mimpi” kami untuk mewujudkan koherensi, konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat terakomodasi dengan baik dalam program Restatement ini sehingga mempunyai faedah bagi para stakeholders.
vi isi1-ok.indd 6
Hormat kami,
Sebastiaan Pompe Program Manager
Dokumen Kata Pengantar Penjelas
12/13/2010 11:49:26 PM
RINGKASAN EKSEKUTIF
Lembaga hukum cessie dalam beberapa tahun terakhir banyak dipermasalahkan di dalam keputusan-keputusan pengadilan. Oleh karena itu, kita perlu sekali mempunyai pengertian yang sama mengenai apa itu cessie, bagaimana cara penyerahannya, kapan cessie selesai, bagaimana akibat hukumnya terhadap cessus, bagaimana hubungannya dengan titel penyerahannya, dan semua hal tentang cessie agar penerapannya bisa lebih diterima oleh para pencari keadilan. Cessie merupakan istilah yang diciptakan oleh doktrin, untuk menunjuk kepada tindakan penyerahan tagihan atas nama, sebagai yang diatur oleh Pasal 613 BW Penyerahannya dilakukan dengan membuat akta. Akta penyerahan tagihan atas nama disebut akta cessie. Namun, karena Pasal 613 BW sekaligus mengatur tentang “penyerahan tagihan atas nama“ dan “benda-benda tak bertubuh lainnya”, maka orang sering tidak jeli untuk membedakan penggunaan istilah cessie untuk penyerahan tagihan atas nama dengan akta yang memindahkan “benda tak bertubuh lainnya”. Penyerahan “benda-benda tak bertubuh lainnya” memang—sama dengan penyerahan tagihan atas nama—dilakukan dengan membuat akta, tetapi dalam doktrin tidak disebut sebagai akta cessie. Ini perlu dibedakan, sebab kalau tidak dibedakan, maka kita tidak bisa lagi mengatakan, bahwa cessie selesai— dalam arti objek cessie telah beralih ke dalam pemilikan cessionaries—dengan ditandatanganinya akta cessie, sebab penyerahan saham—sebagai benda tak bertubuh—melalui akta penyerahan, dengan ditandatangani akta penyerahan saham, belum mengalihkan hak milik atas saham ybs. kepada pembelinya, karena untuk itu masih diperlukan balik nama dalam daftar saham.
Perlu pula disepakati beberapa istilah teknis hukum yang berkaitan dengan cessie
yaitu, orang yang menyerahkan tagihan atas nama (kreditur-asal) disebut cedent, yang menerima penyerahan (kreditur baru) adalah cessionaris, sedangkan cessus adalah debitur, yang punya utang. Pasal 613 BW ada di dalam Bagian Kedua, Buku Kedua BW di bawah judul Tentang Cara Memperoleh Hak Milik, dari letak di mana bisa disimpulkan bahwa cessie merupakan salah satu cara memperoleh hak milik. Bab Kedua Buku III BW dimulai dengan Pasal 584 BW yang merinci cara-cara memperoleh hak milik dan salah satu caranya, yang ada hubungan langsung dengan masalah cessie adalah “… penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat bebas (maksudnya: mengambil tindakan pemilikan/beschikking) terhadap benda tersebut.” Dari situ bisa disimpulkan, bahwa agar suatu benda melalui penyerahan menjadi milik dari
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 1
1
12/13/2010 11:49:26 PM
si penerima penyerahan, maka harus dipenuhi dua syarat pokok, yaitu: (1) penyerahan itu didasarkan atas suatu peristiwa perdata (titel atau rechtstitel), dan (2) diserahkan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda yang diserahkan.
Peristiwa perdata—dalam peristiwa penyerahan—merupakan dasar dilakukannya
penyerahan, yang bisa timbul dari undang-undang ataupun perjanjian. Ini membawa kita pada persoalan, bagaimana hubungan antara “peristiwa perdatanya” dengan “penyerahannya”. Persoalan tersebut menimbulkan pelbagai teori, yang dalam garis besar bisa dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu teori kausal dan teori abstrak.
Perbedaan antara teori kausal dan teori abstrak tidaklah sebesar seperti yang kita
bayangkan. Perbedaan kedua teori itu baru nampak nyata jika ada pembatalan oleh hakim atas titel penyerahannya, dan sementara itu cessionaris telah menyerahkan lagi tagihan atas nama, yang ia terima dari cedent, kepada pihak ketiga. Dalam hal titelnya batal atau dibatalkan, maka para pihak dikembalikan ke dalam keadaan sebelum ada perjanjian (Ps. 1265 BW). Namun, berdasarkan teori abstrak penyerahan itu tetap telah menjadikan cessionaris menjadi pemilik. Hak cessionaris terhadap cedent merupakan hak atas dasar pembayaran yang tidak terutang (Ps. 1359), yang bersifat relatif. Sebaliknya, berdasarkan teori kausal, jika titelnya batal, maka penyerahannya juga batal, dengan konsekuensinya semua prestasi yang telah dibayarkan kembali menjadi milik cedent, yang merupakan hak kebendaan dan karenanya mempunyai droit de suit.
Yang juga penting untuk disepakati adalah bahwa berdasarkan redaksi Pasal 613 ayat
1 BW, cessie bisa dilaksanakan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari debitur-cessus. Cessie cukup dilaksanakan oleh cedent dan cessus, dan cessie sudah selesai dengan ditandatanganinya akta cessie. Artinya hak milik atas tagihan atas nama diserahkan sudah pindah kepemilikannya dari cedent kepada cessionaris. Kata-kata dalam Pasal 613 ayat 2 BW harus ditafsirkan, bahwa karena cessie bisa dilak-
sanakan di luar sepengetahuan debitur-cessus, maka sebelum ada pemberitahuan cessie, debitur-cessus, dengan itikad baik, masih bisa membayar secara sah kepada cedent.
Sehubungan dengan perkembangan zaman, kiranya bisa disetujui, bahwa pemberi-
tahuan telah terjadinya cessie kepada debitur-cessus cukup dberikan secara tertulis saja, asal pemberitahuan itu sampai pada debitur-cessus. Sejauh ini nampaknya baik dalam doktrin maupun dalam Keputusan Pengadilan masih ada perbedaan pandangan mengenai segi-segi hukum cessie yang disebutkan di atas. Kalau saja pengertian dan penafsiran atas ketentuan-ketentuan tentang cessie sebagai tersebut bisa diseragamkan, baik melalui doktrin maupun Keputusan Pengadilan, kiranya bisa diharapkan nantinya akan menghasilkan penerapan hukum yang lebih baik dan memberikan kepastian hukum yang lebih besar.
2
Dokumen Penjelas Ringakasan Eksekutif
isi1-ok.indd 2
12/13/2010 11:49:27 PM
DOKUMEN PENJELAS
BEBERAPA SEGI HUKUM CESSIE A. PENGANTAR Pembicaraan kita tentang cessie adalah pembicaraan atas Pasal 613 BW, sekalipun dalam pasal tersebut tidak digunakan istilah cessie. Untuk lebih jelas, kita kutip Pasal 613 ayat 1 BW yang berbunyi sebagai berikut ini. “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.”
Di dalam pasal tersebut diatur dua pokok, yaitu penyerahan “tagihan atas nama” dan penyerahan “benda tak bertubuh lainnya”. Adapun yang dimaksud dengan “benda tak bertubuh lainnya” adalah benda tak bertubuh yang bukan berupa tagihan atas nama dan bahkan yang bukan berupa tagihan. Sebab penyerahan tagihan atas tunjuk (aan toonder) dan tagihan kepada order mempunyai caranya sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 613 ayat 3 BW Untuk jelasnya, ada baiknya kita sepakati dulu arti istilah “tagihan atas nama.” Tagihan tertentu disebut “tagihan atas nama”, berdasarkan ciri, krediturnya tertentu dan diketahui dengan baik oleh debitur.1 Tagihan kepada order adalah tagihantagihan yang menunjuk orang tertentu kepada siapa tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan hak untuk memindahkannya kepada orang lain melalui endosemen,2 sedangkan tagihan atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihan-tagihan 1 2
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetudjuan2 Tertentu, Bandung: Vorkink-Van Hoeve, 1959, hlm. 37, menyebutkan: …. Piutang yang disebutkan atas nama seorang tertentu. J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 106.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 3
3
12/13/2010 11:49:27 PM
yang krediturnya (sengaja dibuat, demi untuk memudahkan pengalihannya) tidak tertentu. Untuk mudahnya orang menyebut tagihan atas nama sebagai semua tagihan yang bukan tagihan kepada order dan juga bukan tagihan atas tunjuk atau aan toonder.3 Perlu diingat, bahwa benda tak bertubuh di luar tagihan atas nama, seperti yang disebutkan dalam Pasal 613 BW, tentunya bukan berupa tagihan, contohnya adalah saham perseroan.
B. PERMASALAHAN Karena benda tak bertubuh—baik yang berupa tagihan atas nama, maupun benda tak bertubuh lainnya—tidak ada wujudnya, maka patut untuk dipertanyakan, bagaimana orang bisa menyerahkan suatu benda yang tidak ada wujudnya? Selanjutnya karena Pasal 613 BW berada dalam Bagian Kedua Buku II BW di bawah judul “Tentang Cara Memperoleh Hak Milik”, maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyerahan dalam Pasal 613 BW adalah penyerahan ke dalam kepemilikan dari orang yang menerima penyerahan itu. Jadi, permasalahan pada penyerahan tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh lainnya adalah bagaimana orang menyerahkan benda tak bertubuh ke dalam kepemilikan orang yang menerima penyerahan? Tindakan penyerahan tidak pernah berdiri sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan konsekuensi lebih lanjut dari suatu peristiwa hukum, yang mewajibkan orang untuk menyerahkan sesuatu, yang di sini—sehubungan dengan pembicaraan kita tentang Pasal 613 BW—berupa tagihan atas nama atau suatu benda tidak bertubuh lain. Hubungan hukum yang mewajibkan adanya penyerahan disebut hubungan hukum obligatoir, yang bisa timbul dari perjanjian ataupun undangundang. Sangatlah logis jika, sehubungan dengan hal itu, orang bertanya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang menimbulkan kewajiban penyerahan dengan penyerahan itu sendiri? Peristiwa yang menjadi dasar penyerahan yang disebut peristiwa perdata atau rechtstitel—adalah peristiwa yang menimbulkan perikatan-perikatan di antara dua pihak, di mana yang satu berkedudukan sebagai kreditur dan pihak lain berkedudukan sebagai debitur. Seperti yang telah disebutkan di atas, orang menyebut peristiwa perdata atau rechtstitel sebagai hubungan obligatoir yang menjadi dasar cessie. Hartono Soerjopratiknjo, Utang Piutang, Perjanjian-Perjanjian Pembayaran dan Jaminan Hypotik, Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1984, hlm. 62; J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novasi, Kompensasi dan Percampuran Utang, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 4.
3
4
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 4
12/13/2010 11:49:27 PM
Apabila benda yang diserahkan berupa tagihan atas nama, tentunya si penerima penyerahan perlu kepastian bahwa debitur tagihan tersebut—yang semula terikat untuk membayar kepada kreditur—sekarang terikat untuk membayar tagihan tersebut kepadanya, dan sebaliknya kepada debiturnya—yang dalam hubungan hukum asal terikat untuk membayar kepada krediturnya—perlu diberikan perlindungan bahwa sesudah cessie, ia membayar kepada kreditur yang benar sehingga utangnya lunas. Karena, nanti akan dijelaskan lebih lanjut, cessie bisa terjadi di luar sepengetahuan debitur, maka ada dasar baginya untuk tahu, kepada siapa ia selanjutnya harus membayar agar utangnya menjadi lunas?
Jadi permasalahan dalam cessie adalah sebagai berikut. (1) Bagaimana suatu tagihan atas nama, yang berupa benda yang tidak ada wujudnya, bisa dialihkan agar menjadi milik orang lain? (2) Bagaimana hubungan antara peristiwa perdata dengan penyerahannya? (3) Bagaimana cessionaris bisa dengan sah menagih cessus? (4) Bagaimana cessus mendapat kepastian, bahwa ia membayar kepada kreditur yang benar?
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, atas peristiwa cessie, kita akan coba jelaskan dengan peristiwa konkret fiktif seperti berikut ini. Seorang kreditur, kita sebut saja A, mempunyai tagihan (atas nama) terhadap seorang debitur, yang kita sebut saja, B. A, karena terdesak kebutuhan uang, telah menjual tagihannya terhadap B, kepada C. Perjanjian jual-belinya telah ditutup, namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana A menyerahkan tagihannya agar menjadi milik C? Demikianlah secara umum gambaran peristiwa cessie. Hubungan hukum antara A dengan B kita sebut hubungan hukum awal. Dalam hubungan hukum awal ada A (kreditur) dan B (debitur). Pada waktu A menjual tagihannya terhadap B kepada C, maka dalam hubungan hukum antara A dan C, B berkedudukan sebagai pihak ketiga. Karena cessie—dari A kepada C—bisa terjadi di luar kerja sama B, maka C perlu mendapat jaminan bahwa sesudah cessie, B tidak lagi membayar utangnya secara sah kepada A (kreditur-asal), tetapi hanya kepada dirinya (C). Untuk itu harus ada mekanisme yang bisa mengikat B, agar selanjutnya tidak bisa lagi membayar secara sah kepada A. Sebaliknya, B perlu ada pegangan kepada siapa ia selanjutnya—sesudah cessie—harus membayar, agar utangnya lunas. Itulah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan lembaga cessie. Dalam rangka pembicaraan kita, harus diingat, bahwa ada tagihan-tagihan tertentu yang oleh undang-undang dinyatakan tidak bisa dipindahkan (Pasal 1602g Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 5
5
12/13/2010 11:49:27 PM
BW), yang karena sifatnya tidak bisa dialihkan (hak alimentasi dan hak pensiun) dan tagihan yang bersifat sangat pribadi, sangat melekat pada pribadi debiturnya. Tagihan-tagihan seperti itu tidak bisa di-cedeer.
C. PERUMUSAN CESSIE Jika hubungan obligatoirnya yang menjadi dasar cessie berupa perjanjian, maka di sana baru ada saling janji, a.l. janji untuk menyerahkan tagihan atas nama tertentu, sedangkan cessie-nya merupakan tindakan nyata yang mengikutinya, berupa penyerahan suatu tagihan atas nama dari debitur kepada krediturnya. Jadi cessie adalah penyerahan tagihan atas nama.4 Melihat kepada isi ketentuan Pasal 613 ayat 1 BW, maka dapat kita katakan, di sana diatur dua pokok, yaitu 1. penyerahan tagihan atas nama, dan 2. penyerahan benda-benda bertubuh lainnya yang bukan berupa tagihan atas nama. Berpegang kepada perumusan cessie tersebut di atas, maka “penyerahan bendabenda tak bertubuh lainnya” bukan merupakan cessie (tidak disebut cessie), sekalipun cara penyerahannya adalah sama, yaitu dengan membuat akta, baik otentik maupun di bawah tangan. Jadi, jangan kacau, baik tagihan atas nama maupun benda-benda tak bertubuh lainnya, cara penyerahannya sama, yaitu dengan membuat akta, baik otentik maupun di bawah tangan, tetapi yang disebut cessie adalah yang berupa penyerahan tagihan atas nama. Perlu diperhatikan, bahwa yang namanya tagihan, tidak selalu harus berupa tagihan atas sejumlah uang. Yang dimaksud dengan tagihan di sini adalah tagihan atas prestasi, yang merupakan benda tak berwujud.5 Jadi, apabila dikatakan cessie merupakan penyerahan tagihan atas nama, tidak berarti harus berupa tagihan sejumlah uang, sekalipun biasanya memang mengenai sejumlah uang.6 Tagihan atas nama adalah tagihan atas prestasi perikatan, di mana krediturnya adalah tertentu (diketahui oleh debiturnya). Pembeli, dalam perjanjian jual-beli, mempunyai tagihan Sri Soedewi M.S., Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm. 67; Hartono Soerjopratiknjo, op.cit., hlm. 63; J. Satrio, op.cit., hlm. 23. Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual-beli, Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1982, hlm. 46. Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai & Fidusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 66.
4 5 6
6
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 6
12/13/2010 11:49:27 PM
terhadap penjual, yang berupa penyerahan objek jual-beli dan, karena debiturnya— penjual—diketahui betul oleh krediturnya (pembeli), maka disebut tagihan atas nama. Tagihan seperti itu—sekalipun bukan tagihan atas sejumlah uang—pada asasnya bisa dialihkan, dan kalau dialihkan, maka penyerahannya dilakukan dengan membuat akta cessie.
1. Doktrin Di dalam doktrin di Indonesia istilah cessie sudah umum dipakai. Namun, ciri “atas nama” pada cessie (atas tagihan atas nama) ada kalanya—penulis menduga kepada penulis-penulis yang lebih muda—tidak tampak diperhatikan sebagai ciri esensiil dari cessie dan beberapa di antara para sarjana hanya berpegang pada ciri “tagihan/ piutang” saja, sehingga menimbulkan kesan cessie adalah penyerahan tagihan/ piutang (tanpa embel-embel “atas nama”),7 dan hal seperti itu juga tampak dari judul makalah: “Cessie sebagai Pengalihan Hak dan Jaminan Utang”, dalam makalah yang selanjutnya dirumuskan cessie: “Cessie adalah istilah yang lazim dipakai untuk penyerahan piutang”, tanpa ciri “atas nama”.8 Piutang itu ada bermacam-macam jenisnya dan—seperti yang telah disebutkan di atas—untuk setiap jenis piutang ada cara penyerahannya sendiri-sendiri. Ada yang mengatakan, bahwa “Cessie merupakan pengalihan …, yang biasanya berupa piutang atas nama …”. Jadi, cessie ada kalanya bisa berupa penyerahan benda lain.9 Ada yang terang-terangan merumuskan cessie sebagai “cara untuk melakukan penyerahan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh/berwujud lainnya”.10 Jadi, penyerahan benda bertubuh yang bukan tagihan atas nama disebut cessie juga. 7
8
9 10
Indrawati Soewarso, sebagai disitir oleh Yanti Fristikawati, dalam Laporan Penelitian Bidang Literatur, Doktrin dan Peraturan Perundang-Undangan, untuk penyusunan restatement tentang Cessie, hlm. 109, merumuskan cessie sebagai penyerahan atau pengalihan hak tagih atau piutang, tetapi ia sendiri dalam hlm. 115 mengatakan, bahwa dalam doktrin dan yurisprudensi, cessie dipahami sebagai penyerahan tagihan atas nama. Rachmad Setiawan, dalam Pendapat Penulis Restatement Cessie, “Cessie Sebagai Peralihan Hak dan Jaminan Utang”, untuk membenarkan perumusannya, telah mensitir penulis tertentu, padahal penulis yang disitir dengan jelas menyebutkan “Leveringen van schuldvoderingan op naaam (cessie). Pada halaman 7 dikatakan, bahwa” Cessie juga lazim untuk menyebutkan perjanjian penyerahan piutang atas nama”. Perhatikan kata “juga”. Jadi istilah cessie juga digunakan untuk penyerahan benda-benda yang lain daripada tagihan atas nama? Namun, dihalaman 8 dikatakan: “Penyerahan piutang atas nama atau cessie bertujuan bahwa penerima penyerahan menjadi pemilik piutang. Yanti Frisikawati, op.cit., hlm. 105, tetapi selanjutnya dalam hlm. 106, mengakui cessie tidak meliputi “benda tak bertubuh lainnya” sebagai yang disebutkan dalam Pasal 613 ayat 1 BW, karena bukan merupakan tagihan atas nama. Indra Ario Nasution, “Cessie sebagai salah satu bentuk penggantian kreditur ditinjau dari segi hukum”, Media Notariat No. 2 TH.1 – Oktober 1999, hlm. 29.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 7
7
12/13/2010 11:49:27 PM
Ada pula yang mengemukakan tentang meng-cessie-kan hak sewa. Hak sewa memang dialihkan melalui akta sebagai yang disebutkan dalam Pasal 613 BW, tetapi mestinya tidak disebut cessie. Ini perlu dibedakan dengan “tagihan sewa”, yang memang merupakan tagihan atas nama. Meskipun demikian, pada umumnya para penulis memberikan arti yang sama atas istilah “cessie”, hanya penggunaannya saja yang terkadang tidak memperhatikan ciri “atas nama” sebagai ciri khas cessie dan sebagai pengecualian masih ada yang memberikan arti yang lain.
2. Penerapannya dalam Praktik Perkara Istilah cessie sudah diterima oleh pengadilan. Hanya saja ciri “atas nama” pada tagihan atas nama, kurang ditonjolkan. Pada umumnya hanya menyebutkan cessie sebagai penyerahan tagihan saja. Kesannya cessie adalah penyebutan untuk penyerahan semua macam tagihan. Pengertian cessie dalam keputusan pengadilan juga belum seragam. Ada yang menyatakan akta cessie batal, karena penjualan tanah dan bangunan berada jauh di bawah harga pasar.11 Tidak dijelaskan apa kaitannya antara jual-beli tanah dengan cessie. Pernah terjadi, bahwa seorang kreditur (A) yang mempunyai tagihan terhadap pembelinya (B), dan telah meng-Cedeer tagihannya kepada Bank (X), telah ditafsirkan sebagai suatu penyerahan suatu “utang”.12 Pengertian cessie menjadi tidak jelas, kalau hakim dalam pertimbangannya mengatakan tentang: “Penyerahan surat kapling tanah sengketa dari debitur kepada bank dengan “Akta Cessie” ....13 Apakah yang dimaksud di sini adalah penyerahan hak untuk menuntut penyerahan (hak tagih) atas surat kapling? Ada kalanya juga digunakan istilah cessie untuk menyerahkan dan memindahkan (cederen) semua hak atas tanah.14 Bukankah hak atas tanah diserahkan melalui akta PPAT?
3. Kesimpulan Pada umumnya istilah cessie sudah diterima, tetapi pemberian arti dan penggunaannya belum seragam. Masih ada yang menggunakan istilah tersebut untuk penyerahan benda yang bukan tagihan atas nama, dan karena hal tersebut 11
Putusan MA No. 1726/Pdt/1986, ttgl. 31 Mei 1980, sebagai disitir oleh PN Cibinong No. 148/Pdt.Bth/ 2003/PN Cbn, ttgl. 1 April 2004. Putusan MA No. 2511 K/Sip/1981, ttgl. 20 Oktober 1986, dimuat dalam H.P. Panggabean, Himpunan Keputusan Mahkamah Agung RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan, jilid 2, hlm. 15. Putusan PN Jakarta Barat No. 021/1981/G, ttgl. 3 Maret 1982, dan Putusan PT DKI Jakarta No. 300/1982/PT DKI Jakarta, ttgl. 15 Desember 1982, ibid., hlm. 27 dan hlm. 29. Putusan MA No. 1726 K/Pdt/1986, ttgl. 31 Mei 1990, ibid., hlm. 43.
12 13 14
8
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 8
12/13/2010 11:49:27 PM
nanti akan membawa dampak pada waktu kita mau menentukan, kapan objek yang di-Cedeer beralih kepada cessionaries—sebagaimana akan dibahas di bagian selanjutnya nanti—maka kiranya pengertian dan penggunaan istilah cessie masih perlu disepakati bersama untuk diseragamkan.
D. FIGUR-FIGUR YANG TERLIBAT DI DALAM CESSIE Dari perumusan cessie seperti yang sduah dijelaskan sebelumnya, kita tahu, bahwa dalam peristiwa cessie ada seorang kreditur, yang mengoperkan/menyerahkan tagihan atas nama miliknya—terhadap debiturnya—kepada pihak lain, sehingga dalam peristiwa cessie ada pergantian figur kreditur. Kreditur yang mengoperkan tagihannya, dalam doktrin disebut dengan istilah teknis-hukum cedent, sedangkan pihak yang menerima penyerahan—yang dalam hal itu menjadi kreditur-baru— disebut cessionaris, sedangkan dalam peristiwa cessie debiturnya tetap sama, hanya sekarang disebut dengan istilah teknis hukum cessus. Dengan demikian, figur-figur yang terlibat dalam peristiwa cessie adalah 1. cedent, 2. cessionaries, dan 3. cessus.
E. PERALIHAN HAK MILIK Di bagian atas telah dijelaskan, bahwa penyerahan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 613 BW adalah penyerahan ke dalam pemilikan orang yang menerima penyerahan. Karena dalam pasal tersebut, objek penyerahan yang diatur adalah tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh lainnya (yang bukan tagihan atas nama), maka pasal tersebut sebenarnya mau memberikan petunjuk, bagaimana kepemilikan suatu tagihan atas nama dan benda tak bertubuh lainnya, bisa beralih dari pemilik yang satu—yang kita sebut cedent/pemilik asal—beralih kepada cessionaris/pemilik yang baru. Dalam Pasal 584 BW diatur bagaimana caranya memperoleh hak milik, untuk lebih jelasnya akan kita kutip sebagai berikut: “Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena kedaluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 9
9
12/13/2010 11:49:27 PM
Dari sekian banyak cara untuk memperoleh hak milik, yang disebut dalam Pasal 584 BW, yang—sehubungan dengan pembicaraan tentang cessie—relevan untuk kita perhatikan adalah cara memperoleh hak milik melalui kutipan berikut ini. “... penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”
Unsur-unsur yang perlu mendapat perhatian kita adalah a. ada penyerahan; b. didasarkan atas suatu peristiwa perdata; c. penyerahan itu untuk memindahkan hak milik; d. dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu.
F. UNSUR-UNSUR PENYERAHAN Di bagian ini, kita akan meninjau unsur-unsur penyerahan satu per satu.
1. Penyerahan Kepemilikan Yang dimaksud dengan penyerahan di sini—sesuai dengan judul Bab II Buku II BW: Tentang Cara Memperoleh Hak Milik, di dalam Pasal 584 BW termasuk—adalah penyerahan ke dalam kepemilikan si penerima penyerahan. Ini perlu ditegaskan, karena di dalam doktrin kita mengenal bermacam-macam penyerahan, seperti 1. penyerahan untuk dipegang sebagai jaminan; 2. penyerahan untuk dinikmati (contohnya penyerahan kepada penyewa); 3. penyerahan untuk dimiliki (contohnya penyerahan dari tangan ke tangan dan cessie).
2. Berdasarkan Suatu Peristiwa Perdata Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tindakan “menyerahkan” tidak pernah berdiri sendiri. Tindakan itu selalu merupakan buntut dari suatu peristiwa perdata, yang biasa disebut rechstitel. Peristiwa perdata/rechstitel adalah dasar dari tindakan “menyerahkan”. Rechtstitel bisa timbul dari undang-undang, seperti kewajiban mengganti rugi atas dasar tindakan melawan hukum (Pasal 1365 BW) atau kewajiban pengembalian atas dasar adanya pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359 dan 1360 BW). Kewajiban penyerahan juga bisa timbul berdasarkan perjanjian, yaitu pada perjanjian obligatoir.15 Juga hibah wasiat/legaat diakui sebagai titel penyerahan 15
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 58.
10
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 10
12/13/2010 11:49:27 PM
dan bahkan juga fidusia.16 Pada dasarnya semua perjanjian menurut BW bersifat obligatoir, kecuali beberapa perjanjian yang bersifat riil. Perjanjian obligatoir tidak pernah mengalihkan hak milik. Dari perjanjian-perjanjian obligatoir, yang menjadi dasar penyerahan, yang terbanyak muncul dalam praktik adalah perjanjian jualbeli. Dalam hubungannya dengan pembicaraan kita, yang terbanyak muncul dalam praktik adalah penyerahan berdasarkan perjanjian jual-beli tagihan. Dalam perjanjian obligatoir—dengan ditutupnya perjanjian ybs.—maka yang muncul baru hak dan kewajiban bagi para pihak. Biasanya perjanjian menimbulkan banyak perikatan.17 Misalnya telah ditutup perjanjian jual-beli, maka dengan disepakatinya perjanjian jual-beli itu, lahirlah perikatan-perikatan (hubungan hukum) yang a.l. berupa a. penjual berhak atas uang harga jual-beli; b. penjual berhak untuk menuntut agar pembeli membayar dulu harga pembelian, sebelum ia menyerahkan objek jual-beli (Pasal 1478 BW); c. pembeli berhak atas penyerahan objek jual-beli (Pasal 1474; Pasal 1475 BW); d. hak penjual maupun pembeli untuk menuntut pembatalan perjanjian, kalau lawan janjinya wanprestasi (Pasal 1266 jo Pasal 1267 BW); e. pembeli berhak atas jaminan (vrijwaring) dari penjual terhadap cacat tersembunyi (Pasal 1474 jo Pasal 1491 B.W); f. pembeli berhak atas jaminan (vrijwaring) dari penjual untuk penguasaan objek jual-beli secara aman dan tenteram (Pasal 1491 BW).18 Kesimpulannya adalah jika ada cessie—penyerahan tagihan atas nama, dalam contoh peristiwa di atas, berupa hak tagih atas prestasi dari debitur—dari penjual, sebagai cedent, kepada cessionaris, maka yang beralih adalah tagihan atas prestasi (yang timbul dari jual-beli) dari cedent kepada cessionaris. Jadi, bukan seluruh “perjanjian” diserahkan, tetapi hanya benda yang berupa “tagihan atas nama” saja yang dioper oleh cessionaris. Namanya saja “penyerahan tagihan atas nama”, bukan “penyerahan perjanjian” yang melahirkan tagihan atas nama. Ada ketentuan tentang penjualan piutang yang perlu mendapat perhatian kita, yaitu Pasal 1533 BW, yang mengatakan, bahwa
16 17 18
Sri Soedewi M.S., loc.cit. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, hlm. 6. Catatan: terhadap semua “hak“ yang ada dalam suatu hubungan hukum, selalu ada kewajiban pada pihak yang lain. Jadi dalam perikatan selalu ada “hak“ di satu pihak dan “kewajiban“ di pihak lain.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 11
11
12/13/2010 11:49:27 PM
“Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya, seperti penanggungan-penanggungan (borgtochten), hak istimewa dan hipotek-hipotek.”
Jadi, penyerahan suatu tagihan meliputi semua accessoir-nya.19 Ini sesuai dengan prinsip orang mengoper suatu benda dalam keadaan seperti adanya pada saat penyerahan. Hak untuk menuntut pemenuhan tagihan—termasuk untuk melaksanakan hak tuntut itu—sudah tentu turut beralih kepada cessionaris, demikian pula hak untuk menuntut penggantian ongkos, kerugian dan serta bunga. Namun, karena yang diserahkan “hak tagihnya” saja, bukan seluruh hak (dan kewajiban) yang timbul dari hubungan hukum yang menjadi dasar penyerahan, maka tidak termasuk di dalamnya hak untuk—kalau cessus wanprestasi—menuntut pembatalan perjanjian, yang ditutup antara cedent dan cessus. Sudah tentu keadaan bisa menjadi lain, kalau—misalnya—cedent meng-cedeer semua hak yang dimilikinya berdasarkan perjanjian jual-beli yang ia tutup. Dalam perjanjian jual-beli, terhadap “uang pembayaran” ada hak pada penjual untuk menagih, dan karenanya ia berkedudukan sebagai kreditur. Sebaliknya terhadap “benda” objek perjanjian, pembeli mempunyai hak tuntut penyerahan dan karenanya berkedudukan sebagai kreditur. Objek perjanjiannya sendiri masih menjadi milik tiap-tiap pihak. Agar objek perjanjian—dalam perjanjian obligatoir— beralih kepada tiap-tiap kreditur, maka perjanjian obligatoir itu perlu diikuti dengan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu suatu perjanjian yang melahirkan, mengubah, memindahkan atau menghapuskan hak kebendaan, dan hak milik merupakan hak kebendaan. Wujud dari perjanjian kebendaan a.l. adalah penyerahan, a.l. cessie.20 Penting untuk diingat adalah “jual-beli” tagihan atas nama tidak disebut cessie, cessie adalah penyerahannya, bukan jual-belinya. Karena cessie merupakan perjanjian (perjanjian kebendaan), maka—sesuai dengan ciri “perjanjian”—terhadap penyerahan oleh cedent harus ada penerimaan oleh cessionaris. Dengan adanya penyerahan dan penerimaan, maka cessie telah terlaksana dengan baik.
19 20
Kartono, Hak-Hak Jaminan Kredit, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977, hlm. 40. Subekti, Soal Pemindahan Hak Milik, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 1980, hlm. 5.
12
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 12
12/13/2010 11:49:28 PM
3. Kewenangan untuk Berbuat Bebas Kata-kata “kewenangan untuk berbuat bebas” merupakan terjemahan dari “gerechtigd om te beschikken.” Jadi, yang dimaksud dengan “yang berhak berbuat bebas terhadap bendanya” adalah yang mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan (beschikking) atas benda yang diserahkan. Pada dasarnya, orang yang memiliki kewenangan beschikking atas suatu benda adalah pemilik benda ybs., sekalipun ada perkecualiannya. Berdasarkan Pasal 584 BW, pada dasarnya, yang—melalui suatu penyerahan— bisa menjadikan orang lain sebagai pemilik benda yang diserahkan adalah mereka yang mempunyai kewenangan tindakan pemilikan, yang pada umumnya adalah si pemilik benda. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa hak milik atas suatu tagihan atas nama, berdasarkan penyerahan, beralih kepada cessionaris, jika penyerahan itu 1. didasarkan atas suatu peristiwa perdata (rechtstitel); 2. dituangkan dalam suatu akta; 3. diserahkan oleh pemilik benda ybs. Atas syarat yang terakhir “diserahkan oleh pemilik benda ybs.”, terhadap bendabenda bergerak tidak atas nama, ada perkecualiannya dalam Pasal 1977 ayat 1 BW Untuk jelasnya kita kutip Pasal 1977 ayat 1 BW yang merumuskan “Terhadap benda-benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada orang yang menunjukkannya, maka penguasaan atasnya berlaku sebagai titel yang sempurna”.21
Ketentuan tersebut di atas menerobos syarat Pasal 584 BW, yaitu bahwa penyerahan itu harus dilakukan oleh orang yang mempunyai kewenangan mengambil tindakan pemilikan atas benda yang diserahkan. Namun, ketentuan Pasal 1977 ayat 1 BW hanya berlaku untuk penyerahan benda-benda bergerak tidak atas nama, sehingga tidak berlaku bagi penyerahan tagihan atas nama, dengan konsekuensinya, untuk tagihan atas nama syarat “penyerahan oleh pemilik” (Pasal 584 BW) tetap berlaku. Karenanya tidak membahas lebih lanjut Pasal 1977 ayat 1 BW
21
“Met betrekking tot roerende goederen, die noch in renten bestaan, noch in inschulden welke niet aan toonder betaalbaar zijn, geldt het bezit als volkomen titel“.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 13
13
12/13/2010 11:49:28 PM
G. HUBUNGAN ANTARA PERISTIWA PERDATA DAN PENYERAHAN Pertanyaan yang timbul di sini adalah bagaimana hubungan antara peristiwa perdata, yang menjadi dasar penyerahan, dengan penyerahannya itu sendiri. Lebih konkret lagi, bagaimana akibatnya terhadap tindakan “penyerahan” (yang didasarkan peristiwa perdata/rechtstitel), kalau ternyata peristiwa perdata/rechtstitel itu batal atau kemudian dibatalkan oleh hakim? Untuk menjawab masalah seperti itu, timbullah bermacam-macam teori yang dalam garis besar, bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu 1. Teori Kausal, dan 2. Teori Abstrak. Yang perlu dicatat di sini adalah baik Teori Kausal maupun Teori Abstrak hendak menetapkan hubungan antara peristiwa perdatanya (rechtstitel) dengan penyerahannya.
1. Teori Kausal Inti permasalahan di sini adalah apakah—dalam hubungannya dengan pembicaraan kita—penyerahan melalui akta cessie sah, kalau peristiwa perdata—yang menjadi dasar penyerahannya—batal atau dibatalkan? D.p.l. apakah peristiwa perdata/ rechtstitel itu harus sah, agar penyerahan itu sah, dalam arti, mengalihkan hak milik objek cessie (tagihan atas nama) kepada cessionaris? Menurut Teori Kausal, sesuai dengan sebutannya, hubungan antara peristiwa perdata dengan penyerahannya, yang didasarkan atasnya, adalah hubungan sebab akibat. Karena merupakan hubungan sebab akibat, maka keabsahan tindakan penyerahan (cessie), bergantung dari keabsahan peristiwa perdata yang mendasari penyerahan itu.22 Bukankah sangat logis, bahwa kalau dasarnya tidak sah, maka tindakan yang didasarkan atasnya juga tidak sah? Konsekuensinya, kalau peristiwa perdatanya batal, maka penyerahannya juga batal, dengan akibat, si penerima penyerahan tidak menjadi pemilik dari tagihan yang diserahkan. Konsekuensi dari cara berpikir Teori Kausal adalah, kalau perjanjian obligatoirnya, yang menjadi dasar penyerahan, mengandung cacat dalam kehendak—misalnya ada kesesatan, paksaan, penipuan atau kesepakatannya diperoleh dengan cara
22
Sri Soedewi M.S., Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1974, hlm. 74; J. Satrio, Cessie, hlm. 12.
14
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 14
12/13/2010 11:49:28 PM
menyalahgunakan keadaan23—maka dengan pembatalan perjanjian obligatoir ybs., penyerahan yang didasarkan atasnya juga batal. Konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa si penerima penyerahan tidak menjadi pemilik atas tagihan atas nama yang di-cedeer kepadanya. Kesimpulannya adalah bahwa keabsahan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar penyerahan menentukan beralih tidaknya tagihan yang di-cedeer, d.p.l. menentukan keabsahan perjanjian kebendaannya Sekarang kita akan meneliti apa akibat lebih lanjut dari kebatalan perjanjian kebendaannya. Dengan kebatalan dari perjanjian obligatoirnya, yang berdampak pada kebatalan perjanjian kebendaannya, maka semua prestasi yang telah diserahkan oleh para pihak ternyata tidak terutang (Pasal 1265 BW), dan karenanya, berdasarkan Pasal 1359 jo Pasal 1361 BW bisa dituntut kembali. Tuntutan berdasarkan kedua pasal tersebut didasarkan hak tuntut pribadi, yang bersifat relatif, artinya hanya bisa ditujukan kepada orang dengan siapa yang telah mengadakan hubungan hukum.24 Menjadi pertanyaan, kalau tagihan atas nama yang diserahkan sudah dialihkan lagi oleh si penerima kepada orang lain, bagaimana penyelesaiannya? Karena atas dasar kebatalan, semua prestasi kembali kepada mereka yang telah menyerahkan, maka semua prestasi kembali menjadi milik dari pemilik yang semula menyerahkan, atau d.p.l. hak yang kembali adalah hak milik. Karena hak milik merupakan hak kebendaan, maka si empunya hak milik mempunyai hak tuntut revindikasi, yang—sebagai hak kebendaan—mempunyai droit de suite, sehingga bisa ditujukan kepada siapa dalam tangan siapa ia menemukan benda miliknya (Pasal 574 BW). Dasar dari Teori Kausal adalah ketentuan Pasal 928, Pasal 929, Pasal 1004, Pasal 1169, Pasal 1524, Pasal 1532, dan Pasal 1689 BW Dari ketentuan-ketentuan tersebut, para pendukung Teori Kausal menyimpulkan bahwa BW menganut Teori Kausal.
2. Teori Abstrak Menurut Teori Abstrak, tindakan penyerahan harus didasarkan atas adanya kehendak untuk menyerahkan. Kehendak untuk menyerahkan tampak dalam peristiwa perdatanya, atas dasar mana dilaksanakan penyerahan. Kalau peristiwa perdatanya berupa perjanjian, maka kehendak itu tampak dalam perjanjian obligatoirnya, di mana para pihak saling menjanjikan prestasinya. Menurut Teori Abstrak, hubungan obligatoir yang menjadi dasar penyerahan, hanyalah untuk menentukan adanya 23 24
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, hlm. 268. Pada asasnya semua perikatan yang diatur dalam Buku III BW bersifat relatif, yang hanya bisa ditujukan pada orang tertentu saja, dan disebut juga ius in personam atau hak pribadi. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 5.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 15
15
12/13/2010 11:49:28 PM
kehendak untuk menyerahkan.25 Jadi, Teori Abstrak—sesuai dengan ketentuan Pasal 584 BW—memang mensyaratkan titel, tetapi titel itu hanya untuk menetapkan, bahwa memang ada kehendak untuk menyerahkan. Dengan cara berpikir seperti itu, maka penyerahan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri terlepas dari hubungan obligatoirnya dan karenanya dikatakan, bahwa di dalam Teori Abstrak penyerahan di-abstraheer (dilepaskan) dari peristiwa perdatanya. Keabsahan penyerahan tidak bergantung dari keabsahan hubungan obligatoir—di mana terkandung kehendak untuk menyerahkan26—karena bukankah dalam tindakan menyerahkan sudah tersimpul adanya kehendak untuk menyerahkan? Hal yang penting—sebagai disyaratkan oleh Pasal 584 BW—adalah adanya titel, dan ingat, pasal tersebut tidak mensyaratkan titel yang sah, jadi cukup kalau ada titel saja. Konsekuensinya, sekalipun titelnya batal, penyerahan bisa tetap sah. Namun harus diingat, bahwa syarat yang kedua (untuk sahnya penyerahan sebagai disebutkan dalam Pasal 584 BW), yaitu penyerahan harus dilakukan oleh pemilik benda ybs., di sini—untuk cessie—tetap berlaku.
Untuk jelasnya kita gambarkan peristiwanya sebagai berikut. A mempunyai tagihan terhadap B. Jadi, ada hubungan hukum A – B. A telah menjual tagihan itu dan telah menyerahkannya kepada C, jadi ada hubungan hukum antara A dengan C (A – C). C menjual lagi tagihan itu dan telah menyerahkan tagihan itu kepada D, sehingga ada hubungan hukum C – D. Jadi, sesuai dengan yang dikatakan di atas, kalau hubungan obligatoirnya (A - C) karena suatu sebab dibatalkan, maka penyerahan yang didasarkan atas hubungan obligatoir itu tetap saja berhasil menjadikan penerima penyerahan (C) sebagai pemilik atas benda yang diserahkan. Atas dasar pembatalan perjanjian obligatoirnya, maka para pihak harus dikembalikan dalam keadaan sebelum perjanjian ditutup (Pasal 1265 BW), dan semua pembayaran ternyata merupakan pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359 jo Pasal 1361 BW), dengan akibat semua pembayaran bisa dituntut kembali. Sampai di sini akibat pembatalan, berdasarkan Teori Kausal dan Teori Abstrak sama. Namun akibat itu menjadi lain, kalau sementara itu, objek prestasi, oleh pihak yang menerima penyerahan, telah dialihkan lagi kepemilikannya kepada pihak ketiga (D), karena—berdasarkan Teori Abstrak—hak pihak yang menyerahkan (A) tidak bisa menjangkau benda objek penyerahan, yang sementara itu telah menjadi milik orang lain (D), karena haknya—berdasarkan Pasal 1359 jo Pasal 1361 BW—bersifat pribadi dan karenanya hanya bisa ditujukan kepada lawan janjinya (C). Harap diingat, pihak pertama
25 26
J. Satrio, Cessie, hlm. 14. Subekti, op.cit, hlm. 2.
16
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 16
12/13/2010 11:49:28 PM
yang menerima penyerahan (C)—berdasarkan Teori Abstrak—telah menjadi pemilik benda yang diserahkan kepadanya. Konsekuensinya—berdasarkan Teori Abstrak—pihak ketiga (D) telah mendapatkan benda itu dari seorang pemilik (C).
Teori Abstrak berdasarkan kepada Pasal 1359 dan Pasal 1341 ayat 2 BW Teori ini tetap berpegang kepada redaksi Pasal 584 BW yang hanya mensyaratkan adanya titel dan sama sekali tidak mensyaratkan titel yang sah.
Yang penting untuk kita simak lebih lanjut adalah apa pengaruhnya untuk
pembicaraan kita tentang Pasal 613 BW Teori Abstrak tidak melaksanakan pendapatnya secara konsekuen. Teori Abstrak juga mengakui, kalau hubungan obligatoirnya dibatalkan karena kausanya terlarang, tidak telah dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan undang-undang, atau karena adanya unsur kesesatan, paksaan, penipuan dan adanya penyalahgunaan keadaan, maka penyerahannya juga batal. Jadi perbedaan antara kedua teori itu baru tampak nyata, kalau sementara itu objek yang diserahkan telah dialihkan lagi kepada pihak ketiga.
3. Pendirian Pengadilan Yang dimaksud di sini adalah, teori mana yang dianut oleh pengadilan? Karena perbedaan antara Teori Kausal dan Teori Abstrak tidaklah seperti yang semula tampak, maka kita juga tidak mudah untuk meneliti, teori mana yang dianut oleh pihak pengadilan, kecuali kalau sementara itu tagihan atas nama yang dicessiekan itu, sudah di-cedeer lagi kepada pihak ketiga.27 Pengadilan ada kalanya tidak secara jelas membedakan antara titel (perjanjian jual-beli tagihan) dari cessie-nya, sehingga—dalam salah satu keputusannya— ada pertimbangan yang pada pokoknya berbunyi bahwa dalam jual-beli piutang tidak ada keharusan untuk memberitahukan.28 Bukankah masalah pemberitahuan berkaitan dengan adanya cessie? Pembedaan antara titel dan penyerahan menjadi tidak jelas, kalau ada pertimbangan pengadilan, di mana hakim mengatakan tentang “pembeli hak tagih melalui cessie”.29 Orang membeli hak tagih tidak melalui cessie. Menjadi pertanyaan, kata-kata itu tertuju kepada jual-beli tagihannya atau tertuju kepada cessie-nya? Mungkin yang dimaksud mendapat hak miliknya melalui cessie.
27 28 29
J. Satrio, Cessie, hlm. 15. Putusan MA No. 48 K/Pdt/2000, ttgl. 8 Oktober 2002. Putusan MA No. 013 PK/Pdt.Sus/2007, ttgl. 17 Desember 2007.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 17
17
12/13/2010 11:49:28 PM
Yang tampak, dalam banyak keputusan pengadilan adalah, segi keabsahan titel jarang dipermasalahkan dan diteliti.30 Tidak semua memang, ada keputusan MA yang dengan tegas menggantungkan keabsahan cessie pada adanya suatu titel yang sah.31 Juga PN Semarang dengan tegas menyimpulkan, bahwa karena titelnya tidak sah, maka cessie juga tidak sah.32 Lain lagi adalah peristiwa pembatalan cessie, yang ternyata pembatalannya dinilai, bukan karena titelnya tidak sah atau penyerahan itu dilakukan oleh orang yang tidak wenang, tetapi dengan mendasarkan kepada SK Ketua BPPN.33 Ada kalanya oleh pengadilan tidak dijelaskan, bagaimana dengan titelnya, kalau cessie-nya dibatalkan? Kalau titelnya masih hidup, maka hak dan kewajibannya masih hidup. Juga tidak dijelaskan mengapa yang dibatalkan bukan perjanjian obligatoirnya?34 Dalam peristiwa lain kita juga melihat tidak dibedakan antara titel dan penyerahannya, dengan dikemukakannya statement “penjualan hak tagih dan/ atau pengalihan hak tagih”. Adanya kata “atau” menjadikan tidak jelas dibedakannya antara jual-beli dan cessie-nya. Dan ketika menilai keabsahan cessie, yang dinilai bukan syarat-syarat sahnya perjanjian pengalihannya berdasarkan ketentuan BW, tetapi dipakai ukuran “telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1998 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional berikut seluruh perubahannya.” Dalam peristiwa cessie yang dialihkan adalah hak tagih atas tagihan atas nama, jadi yang beralih adalah “hak”, bukan kewajiban, sehingga adalah aneh kalau dipermasalahkan, bahwa tergugat (cessionaris) tidak melaksanakan penagihan.35 Ada kalanya tampak sekali cara pandang yang prinsipiil sangat berbeda antara PN dan PT—yang melihat ada masalah penyerahan tagihan—sedangkan MA melihat di sana ada penyerahan utang.36 Ada juga pertimbangan pengadilan tidak jelas, apakah sedang berbicara tentang cessie atau novasi.37
30
34 35 36 37
Seperti dalam Putusan MA No. 18 K/N/2003, ttgl. 3 Juli 2003; Kaidah Hukum Keputusan MA No. 011 PK/N/2005, ttgl. 29 Agustus 2005. Putusan MA No. 294 PK/Pdt/2008, ttgl. 11 Februari 2009. Putusan PN Semarang No. 80/Pdt/G/2005/PN Smg., ttgl. 20 Maret 2006. Putusan PN Jakarta Selatan No. 448/PdtG/1999/PN Jaksel, ttgl. 18 April 2000; Putusan MA No. 3025 K/Pdt/2001, ttgl. 8 Maret 2004. Putusan MA No. 447 K/TUN/2000, ttgl. 4 Maret 2002. Putusan MA No. 364 K/Pdt/2002, ttgl. 13 Maret 2007. Putusan MA No. 2511 K/Sip/1981, ttgl. 18 September 1986. Putusan PN Semarang No. 80/Pdt/G/2005/PN Smg., ttgl. 20 Maret 2006.
18
Dokumen Penjelas
31 32 33
isi1-ok.indd 18
12/13/2010 11:49:28 PM
H. BERALIHNYA TAGIHAN YANG DI-CEDEER 1. Saat Beralihnya Tagihan
Suatu perikatan lunas—maksudnya, kewajiban perikatannya menjadi hapus— dengan pembayaran (Pasal 1381 BW), dan kita katakan lunas, kalau pembayaran itu sudah diterima dan apa yang dibayarkan telah menjadi milik kreditur. Kalau kita hubungkan dengan cessie, maka timbul pertanyaan, kapan cessie selesai? Perlu dicermati, kalau kita bicara tentang kapan cessie selesai, maka pembicaraan itu adalah mengenai hubungan antara cedent dan cessionaris. Kalau kita membaca Pasal 613 BW, di sana terdapat pernyataan “dengan membuat akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”, maka dari redaksi seperti itu ada dasar untuk menyimpulkan bahwa dengan selesainya akta cessie, maka hak milik sudah berpindah dari cedent kepada cessionaris.38 Ini berlaku terhadap semua, termasuk terhadap cessus. Jadi tidak benar kalau dikatakan terhadap debitur, cessie baru berlaku setelah kepada debitur dikirim surat juru sita.39 Karena hak milik sudah beralih dengan ditandatanganinya akta cessie, maka perumusan “cessie” tidak mungkin meliputi penyerahan “benda tak bertubuh lainnya”, karena tidak semua penyerahan benda tak bertubuh lainnya—misalnya saham— sudah menjadikan si penerima menjadi pemilik dari saham yang diserahkan, karena bukankah untuk itu masih diperlukan adanya balik nama dalam daftar pemegang saham dalam PT ybs. (Pasal 48, Pasal 50 sub 1, 3, Pasal 51 jo Pasal 56 UUPT).
2. Penerapannya dalam Praktik Mengenai hal ini bisa dikemukakan bahwa pengadilan—paling tidak kalau disimpulkan dari beberapa keputusannya—berpendapat bahwa dengan telah selesai ditandatanganinya akta cessie, maka hak tagih yang dialihkan sudah menjadi milik cessionaris.40 Pengadilan juga berpendapat bahwa dengan ditandatanganinya akta cessie oleh cedent dan cessionaris, maka hak milik atas tagihan telah beralih kepada cessionaris.41 Jadi agak janggal kalau ada yang mengaitkan masalah pemberitahuan dengan jual-beli piutang.42 38 39 40 41 42
J. Satrio, Cessie, hlm. 31; Kartono, op.cit., hlm. 41; Putusan MA No. 018 K/N/2003 ttgl. 3 Juli 2003. Indra Ario Nasution, op.cit., hlm. 35. Putusan MA No. 364 K/Pdt/2002, ttgl. 13 Maret 2007; PT Bandung No. 39/Pdt/2004/PT Bdg., ttgl. 22 Desember 2004. Putusan MA No. 364 K/Pdt/2006, ttgl. 13 Maret 2007. Putusan MA No. 48 K/Pdt/2000, ttgl. 8 Oktober 2002, dimuat dalam Varia Peradilan, Tahun XVIII No. 216, September 2003, hlm. 30.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 19
19
12/13/2010 11:49:28 PM
I. HUBUNGAN ANTARA CESSIONARIS DAN CESSUS 1. Masalah Pemberitahuan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam peristiwa cessie, ada kemungkinan bahwa debitur-cessus tidak tahu adanya peralihan hak, dari cedent kepada cessionaris, karena cessie bisa dilaksanakan tanpa turut sertanya debitur-cessus,43 maka debiturcessus perlu diberikan perlindungan agar ia nantinya membayar kepada kreditur yang benar atau paling tidak kepada orang yang bisa dianggap sebagai krediturnya. Sebaliknya cessionaris juga butuh perlindungan, agar nanti sesudah ia menjadi pemilik tagihan bisa mengikat debitur-cessus dan ia hanya bisa membayar kewajiban pelunasan utangnya secara sah kepada dirinya. Atas dasar itu, maka pembuat undang-undang dalam Pasal 613 ayat 2 BW merumuskan pernyataan berikut ini. “Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu secara resmi diberitahukan kepadanya (betekend) atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.”
Sebelum membahas arti ketentuan tersebut di atas, kiranya perlu sekali untuk diketahui, bahwa dalam bahasa aslinya disebutkan “disetujui atau diakuinya” (heeft aangenomen of erkend) sedang dalam terjemahan R. Subekti Tjitrosudibio tertulis “disetujui dan diakuinya”. Jadi yang benar alternatif, bukan kumulatif. Pertanyaannya di sini adalah, apa yang dimaksud dengan kata-kata “bagi si berutang tiada akibatnya”?
2. Fungsi Pemberitahuan Pertama-tama, yang dimaksud dengan “si berutang” adalah “debitur”, yang dalam peristiwa cessie adalah debitur-cessus. Selanjutnya dari kata-kata “tiada akibatnya” bisa ditafsirkan bahwa cessie yang telah terjadi antara cedent dan cessionaris, tidak mempunyai akibat hukum terhadap debitur-cessus, sebelum ada pemberitahuan kepadanya atau cessie secara tertulis diakui atau disetujui olehnya. “Tiada akibat hukum”di sini artinya bahwa bagi debitur-cessus krediturnya masih tetap kreditur-asal, yang dalam peristiwa cessie adalah cedent, dengan konsekuensinya—sebelum ada pemberitahuan (dan di luar persetujuan atau pengakuan secara tertulis)—debiturcessus masih dibenarkan untuk membayar kepada cedent sebagai pembayaran yang sah, dengan akibat utangnya lunas. Jadi, unsur “pemberitahuan” dalam cessie tidak ada pengaruhnya terhadap beralihnya tagihan atas nama yang di-cedeer. 43
Kartono, loc.cit.
20
Dokumen Penjelas
isi1-ok.indd 20
12/13/2010 11:49:28 PM
Penafsiran seperti itu, dihubungkan dengan Pasal 613 ayat 1 BW, mengajarkan kepada kita bahwa terhadap cessionaris, cessie sudah menjadikan dirinya pemilik yang sah atas tagihan yang diserahkan, tetapi debitur cessus, selama ia belum tahu adanya cessie—atau belum mengakui atau menyetujui cessie—ia boleh beranggapan bahwa krediturnya adalah masih tetap cedent. Yang namanya anggapan tidak selalu benar, karena melalui cessie sebenarnya krediturnya telah beralih dari cedent kepada cessionaris. Konsekuen dengan prinsip tersebut, maka kalau debitur-cessus dengan cara lain telah mengetahui bahwa krediturnya—melalui cessie—telah beralih dari cedent kepada cessionaris, maka kalau cessus tetap membayar kepada cedent, ia beritikad tidak baik dan oleh karena itu tidak perlu mendapat perlindungan, dengan akibat pembayaran kepada kreditur-asal/cedent, bagi cessionaris tidak sah, dalam peristiwa seperti itu, cessionaris tetap berhak untuk menagih cessus.
3. Penerapannya dalam Praktik Pengadilan Jakarta Selatan juga mempunyai pendapat seperti itu. Adanya katakata “atau secara tertulis disetujui atau diakui” memberikan petunjuk kepada kita, bahwa yang penting, agar cessie mengikat cessus adalah cessus tahu adanya cessie.44 Sejak saat itu, cessus tidak bisa lagi mengatakan bahwa ia dengan itikad baik telah membayar kepada cedent. Berlainan dengan pendapat dari PT Bandung yang menganggap pemberitahuan menentukan sahnya cessie. Namun, di lain pihak mengakui bahwa dengan adanya Akta Pengalihan Utang yang sah, maka piutang telah beralih kepada cessionaris.45 Di samping itu, ternyata ada Pengadilan yang tidak hanya mempermasalahkan keabsahan cessie dengan mengaitkannya dengan masalah pemberitahuan, tetapi lebih dari itu bahkan mempertimbangkan, bahwa cessie itu tidak disetujui oleh cessus.46 Bukanlah sudah dikatakan, cessie bisa terjadi di luar sepengetahuannya cessus?
4. Pihak yang Diberitahukan Dari redaksi Pasal 613 ayat 2 BW dapat kita simpulkan bahwa yang perlu diberitahukan adalah “penyerahan”-nya, cessie-nya. Kalau begitu, tidak perlu diberitahukan titelnya. Apakah memang benar begitu? Kita akan tinjau di bagian lain dalam buku ini nanti.
44 45 46
Disimpulkan dari Putusan PN Jakarta Selatan No. 638/Pdt.G/2002/PN Jaksel, ttgl. 28 Mei 2003, sebagai disitir oleh PN Cibinong No. 148/Pdt.Bth/2003/PN.Cbn, ttgl. 1 April 2004. P.T. Bandung No. 339/Pdt/2204 PT Bdg. 22 Desember 2004. PN Medan No. 586/Perd/1975/PN MDN, ttgl. 8 Mei 1976.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 21
21
12/13/2010 11:49:28 PM
5. Pihak yang Memberitahukan Pembuat undang-undang dalam pasal di atas hanya mengatakan perlunya pemberitahuan kepada cessus, namun tidak mengatakan, siapa yang harus memberitahukan. Permasalahan di sini yang perlu mendapat perhatian kita adalah pemberitahuan adanya cessie oleh siapa, supaya dengan begitu mengikat cessus untuk membayar kepada cessionaries. Untuk sementara tidak dipersoalkan dulu, apakah pemberitahuan itu mutlak harus dengan exploit juru sita atau tidak? Kita coba telusuri, karena tidak ada keterangan tentang siapa yang harus “memberitahukan” cessie kepada cessus, maka bisa disimpulkan, bahwa pemberitahuan itu bisa datang dari cedent dan/ataupun cessionaris, jadi bisa oleh salah satu, atau keduanya atau malahan bisa oleh pihak ketiga. Kalau pemberitahuan terjadinya cessie, dilakukan oleh cedent atau cedent bersama-sama cessionaris, maka cessus mestinya boleh percaya kebenaran dari pemberitahuan itu, bukankah secara umum, kreditur tidak mau kehilangan haknya jika tidak ada dasar yang membenarkan kehilangan itu? Dengan demikian, pemberitahuan oleh cedent mengikat cessus. Bagaimana kalau cessionaris yang memberitahukan adanya cessie kepada cessus, apakah cessus terikat? Apakah dengan pemberitahuan itu, cessus sudah pasti dibenarkan membayar secara sah kepada cessionaris? Harap diingat, cessus juga perlu dan patut untuk mendapatkan perlindungan. Permasalahan di sini muncul, kalau cessus tidak tahu adanya peristiwa cessie. Jika demikian, mestinya pada waktu ada pemberitahuan cessie oleh cessionaris, cessus tidak tahu, bahwa telah terjadi peristiwa cessie dan mungkin sekali ia tidak mengenal orang yang memberitahukan cessie kepadanya. Dalam hal demikian, bagi cessus, orang yang menyatakan dirinya adalah “cessionaris” adalah sama dengan seorang pihak ketiga. Apakah bisa dibenarkan, kalau sembarang orang yang datang kepada cessus dan mengatakan, bahwa ia adalah krediturnya yang baru, harus diterima begitu saja? Bukankah ia tidak tahu, bahwa yang memberitahukan kepadanya adalah orang yang benar-benar telah mengoper tagihan dari krediturnya (kreditur dari cessus)? Kalau begitu bukankah, untuk amannya, ia perlu mengetahui akta cessienya? Lebih dari itu ia mestinya perlu tahu, bahwa orang yang memberitahukan cessie kepadanya memang krediturnya yang sah, dan untuk itu, maka cessus perlu melihat dasar penyerahannya, yang kalau berupa perjanjian, perjanjian obligatoirnya. Bukankah kalau titelnya tidak sah dan kemudian dibatalkan, ia ternyata telah membayar kepada orang yang bukan krediturnya? Kesimpulannya, kalau yang memberitahukan terjadinya cessie adalah cessionaris (atau orang lain di luar cedent), maka—demi untuk memberikan perlindungan yang layak kepada cessus—cessus
22 isi1-ok.indd 22
Dokumen Penjelas
12/13/2010 11:49:29 PM
berhak untuk minta ditunjukkan akta cessie dan titel penyerahannya. Keabsahan titel menjadi lebih penting lagi, kalau sementara itu objek cessie telah diserahkan lagi kepada pihak ketiga (ingat Teori Kausal).
6. Cara Pemberitahuan Dalam redaksi aslinya, pemberitahuan itu harus dilakukan melalui betekening (aan hem is betekend geworden). Pemberitahuan melalui betekening maksudnya adalah pemberitahuan resmi melalui exploit juru sita.47 Akta juru sita merupakan akta otentik48 dan sebagai akta otentik, akta itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna (Pasal 1870 BW). Dengan pemberitahuan secara resmi (betekening) orang tidak ragu lagi bahwa secara hukum cessus telah—atau dianggap telah—menerima pemberitahuan itu. Namun, dalam praktik di masa sekarang, dari laporan para lawyer yang sampai pada penulis, syarat seperti itu membawa banyak kesulitan dalam praktik, karena sekarang—di samping masalah biaya—para juru sita sudah sangat sibuk dengan tugas-tugasnya sehingga tidak mudah untuk minta agar juru sita menyempatkan waktu untuk memberitahukan telah terjadinya cessie kepada cessus. Kalau kita menyimak, maka dalam peristiwa cessie, yang penting adalah bahwa pemberitahuan terjadinya cessie sampai pada cessus. Bahkan pemberitahuan itu bukan esensial untuk cessie, karena cessie sudah mengikat cessus tanpa adanya pemberitahuan, kalau terjadinya cessie telah diakui atau disetujui cessus secara tertulis atau dengan cara lain telah diketahui oleh cessus. Berangkat dari jalan pikiran seperti itu, kiranya sekarang bisa kita terima, bahwa pemberitahuan terjadinya cessie cukup dibuat dengan pemberitahuan secara tertulis. Apalagi, untuk penggadaian benda bergerak tak bertubuh—jadi termasuk tagihan atas nama—sudah cukup dengan kennisgeving/diberitahukan saja kepada orang, terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan (Pasal 1153 BW), di sini tidak digunakan istilah “betekening”—seperti di Pasal 613 ayat 2 BW—sehingga tidak perlu pakai exploit juru sita. Yang penting adalah adanya bukti bahwa pemberitahuan itu telah sampai pada cessus. Ali Boediarto dalam rangkuman (inti) perkara yang dituangkan dalam Masalah Lembaga Hukum Cessie, juga hanya berbicara tentang cessie telah diberitahukan kepada debitur, tanpa embel-embel dengan exploit juru sita.49
47 48 49
Hartono Soerjopratiknjo, Utang Piutang, hlm. 63; J. Satrio, Cessie, hlm. 31; Indra Ario Nasution, loc. cit.; Pasal 1 Rv, Pasal 388 H.I.R. Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 124. H.P. Panggabean, op.cit., hlm. 14.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 23
23
12/13/2010 11:49:29 PM
Karena—sebagaimana telah disebutkan di atas—cessie merupakan suatu perjanjian kebendaan, maka penyerahan (dalam akta) oleh cedent itu harus diterima oleh cessionaris secara tertulis, yang karena tidak disyaratkan harus diberikan dalam akta penyerahan, maka penerimaan itu bisa diberikan dalam akta tersendiri.
7. Pendirian Pengadilan Dalam contoh keputusan-keputusan yang penulis miliki, dapat dikatakan, bahwa masalah cara pemberitahuan tidak dipersoalkan. Kiranya boleh disimpulkan, bahwa pengadilan menerima tentang pemberitahuan telah terjadinya cessie cukup dilakukan secara tertulis. Ada kemungkinan cara pemberitahuan tidak dipermasalahkan karena dalam KUH Perdata terjemahan Subekti-Tjitrosudibijo kata “betekening” diterjemahkan menjadi ”pemberitahuan” saja.
J. KESIMPULAN Beberapa segi lembaga hukum cessie perlu mendapat perhatian, yaitu 1. pengertian tentang cessie perlu diseragamkan agar dalam pelaksanaannya bisa menghasilkan keputusan yang baik; 2. bahwa penyerahan benda-benda tak bertubuh yang bukan berupa tagihan, juga dilakukan dengan membuat akta sebagai dimaksud Ps. 613 BW, tetapi tidak disebut cessie; 3. bahwa cessie selesai dengan ditandatanganinya akta cessie oleh cedent dan cessionaris, tanpa perlu ikut sertanya cessus; 4. bahwa pemberitahuan telah terjadinya cessie kepada cessus dimaksudkan agar untuk selanjutnya cessus tidak bisa lagi membayar secara sah kepada cedent; 5. pemberitahuan itu cukup diberikan secara tertulis.
K. USUL PERBAIKAN Perbaikan jangka pendek hendaknya dilakukan melalui doktrin dan terutama melalui keputusan pengadilan. Kita melihat contohnya sekalipun dalam Pasal 1320 BW dengan tegas dikatakan “Untuk adanya (voor de bestaanbaarheid) perjanjian diperlukan empat syarat, tetapi tanpa perubahan undang-undang pasal tersebut sudah umum ditafsirkan “Untuk sahnya perjanjian“. Demikian pula kata “batal” dalam Pasal 1322, 1323, 1325 BW tidak perlu diubah, tetapi cukup ditafsirkan, bahwa kata tersebut seharusnya dibaca “dapat dibatalkan”. Dalam praktiknya, keputusankeputusan pengadilan—melalui penafsiran pasal-pasal undang-undang—bisa
24 isi1-ok.indd 24
Dokumen Penjelas
12/13/2010 11:49:29 PM
mengisi kekosongan hukum50 yang pengaruhnya sama dengan suatu perubahan perundang-undangan, dengan biaya yang murah dan proses yang cepat. Dengan keputusan yang menafsirkan luas kata “onrechtmatig” dalam perkara LindenbaumCohen (HR 31 Januari 1919, NJ. 1919, 161), ada yang mengatakan, seakan-akan ada perubahan perundang-undangan51 dan dengan itu HR telah melakukan apa yang hendak dilakukan oleh pembuat undang-undang. Perbaikan dilakukan dengan mengusulkan agar MA dan pengadilan-pengadilan di bawahnya secara konsisten memutuskan beberapa hal berikut: 1. bahwa cessie adalah penyerahan tagihan atas nama melalui suatu akta; 2. bahwa dengan selesainya penandatanganan akta cessie oleh cedent dan cessionaris, maka peralihan hak atas tagihan atas nama, yang diserahkan oleh cedent kepada cessionaris telah selesai dan hak milik atas tagihan itu telah beralih dari cedent ke cessionaris; 3. kecuali cessie itu secara tertulis telah disetujui atau diakui oleh cessus, maka pemberitahuan terjadinya cessie oleh cedent kepada cessus, mengikat cessus untuk tidak lagi membayar utang itu kepada cedent; 4. dalam hal pemberitahuan peristiwa cessie dilakukan oleh cessionaris atau pihak ketiga, maka cessus berhak untuk minta ditunjukkan akta cessie-nya dan peristiwa perdata yang menjadi dasar cessie. Karena terbatasnya waktu dan dibatasinya jumlah halaman, maka tulisan ini tidak membahas tentang cessie sebagai jaminan. Tidak lain harapan penulis adalah, semoga tulisan ini bermanfaat.
50 51
Loudu-Riwu-Loupatty, Ajaran Umum Perikatan dan Persetujuan, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Surabaya: Kasnendra Suminar, 1983, hlm. 1. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Vorkink-Van Hoeve, 1953, hlm. 15.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi1-ok.indd 25
25
12/13/2010 11:49:29 PM
26 isi1-ok.indd 26
Dokumen Penjelas
12/13/2010 11:49:29 PM
PERSPEKTIF INTERNASIONAL
ASSIGNMENT OF DEBTS UNDER NETHERLANDS LAW Oleh: Prof. Dr Henricus (Henk) Joseph Snijders1
A. General The term “cessie” (assignment) under Netherlands law refers to the delivery of personal rights to payment not to order or bearer, i.e. rights other than rights to order and rights to bearer (these rights are also called “debts”, looking at the concept from the passive side). The term “cessie” does not only refer to the delivery of personal rights to payment not to order or bearer, but also to the transfer of such rights. The context in which the term is used will point the way in this respect. The first requirement for the transfer of a personal right to payment not to order or bearer is that it should fulfill the general requirements of transfer as referred to in article 3:84 Burgerlijk Wetboek (BW; Dutch Civil Code). This means that there must be a delivery pursuant to a valid title by a person having the power to dispose of the property. The Burgerlijk Wetboek mentions exceptions only to the requirement of that power to dispose of property, in order to protect third parties from the absence of the said power (arts. 3:86-88 BW). The alienator of the debt is also known as the assignor (“cedent”), the acquirer of a debt as the assignee (“cessionaries”) whiles the debtor of the debt is known as “debitor cessus”. Since 1 October 2004 our BW has not only known the public assignment (art. 3:94 par. 1 BW; see also art. 3:94 paras. 2 and 4 BW), but also the so-called “stille cessie” (undisclosed assignment) (art. 3:94 para. 3 BW). The act of delivery required by law for the public assignment is an instrument of assignment (the “cessie-akte”) and notice thereof to the debitor cessus (art. 3:94 par. 1 BW). For the undisclosed
1
Professor of Civil Law and Civil Procedure at Leiden University,
[email protected].
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi2-ok.indd 27
27
12/12/2010 2:46:43 PM
assignment there is no requirement of notification, but only an instrument of assignment is needed, which must be an authentic or registered private instrument (art. 3:94 par. 3 BW).
B. Precise Description and Extent of the Property Assigned (“Het Gecedeerde”) In the instrument of assignment the rights to be transferred must be described in a sufficiently precise manner. This is an application of the requirement of individualisation, which applies to proprietary mutations (for example, the owner of a large oil tank can sell two litres of oil out of that tank, without separating them from the other oil inside that tank, but he cannot deliver those two litres without separating them from the other oil). Nevertheless, the precise description of personal rights to payment not to order or bearer in instruments of assignment is not subjected to strict requirements by the Supreme Council (Hoge Raad). For instance, the names of the debtors of the rights transferred may also be stated on a computer list, to which the instrument of assignment refers. The flexibility and practicability employed by the Supreme Council for the requirement of individualisation for proprietary disposition of personal rights to payment not to order or bearer has become clear in the practice concerning the undisclosed pledge: “It is sufficient for the instrument to contain such particulars that it can be established, later if necessary, on the basis thereof which debts are involved”, as judged by the Supreme Council in the Rivierenlandarrest.1 This doctrine was subsequently applied also to the requirement of precise description for the assignment.2 For the interpretation of the instrument of assignment the so-called Haveltex criterion applies nowadays:3 to determine the contents of an assignment, the text of the instrument is not the only relevant component, but it comes down to “the meaning that the parties could mutually, in the given circumstances, reasonably attach to each other’s statements and conduct, and to what they could in that respect reasonably expect from each other”. For the undisclosed assignment an extra requirement applies, stating that this applies only to debts which already exist at the time of the delivery or which are acquired directly from a legal relationship which already exists at that time (art. 3:94, par. 3 BW). Thus, rent due in the future arising from an already existing tenancy agreement can be transferred by way of undisclosed assignment, but future
1 2 3
HR 14 October 1994, NJ 1995, 447 (WMK). See e.g. HR 16 May 2003, NJ 2004, 183 (WMK) and HR 4 March 2005, NJ 2005, 326. HR 13 March 1981, NJ 1981, 635 (CJHB).
28
Perspektif Internasional
isi2-ok.indd 28
12/12/2010 2:46:43 PM
rent claimed pursuant to a tenancy agreement yet to be concluded cannot. In the former case there is mention of so- called single or relatively future debts, in the latter of so-called dual or absolutely future debts. Those dual future debts can be assigned publicly, however. The assignment of a debt ipse iure includes, in general, the accessory rights thereto such as rights of pledge and mortgage, rights arising under surety, priority rights and the right to enforce executory judgments and deeds relating to the debt. Other examples are the right of the previous obligee to contractual interest, to a penalty or to a forfeited penalty sum for non-compliance, except to the extent that the interest was already due or the penalty or penalty forfeited for non-compliance was already forfeit at the time of transmission. See further article 6:142 BW. The transmission of accessory rights may be excluded contractually insofar as they are not inevitably connected to the debt. A right cannot be a right accessory to a debt if it is so much connected with the whole legal relationship of which the debt forms part, that it “exceeds” that debt, such as the right to dissolution of a purchase agreement for breach of contract, the right of revendication or the right to cancel a tenancy agreement vis-à-vis the right of payment of the purchase price respectively the rent. Valid also is the assignment of a specific part of a divisible debt, such as a monetary debt. Also valid is the assignment of an undivided share in a debt and up to a certain extent (with due regard for the requirement of individualisation) the assignment of a part of a portfolio of debts. An assignment cannot be undone by a mere agreement. As is true for other delivery, the re-establishment of the older proprietary condition will require the retransfer (“retro- cessie”), except in case of delivery subject to resolutive conditions.
C. Instrument of Assignment (“Cessie-Akte”) An instrument of assignment must contain the proprietary agreement of transfer (under Netherlands law the requirement of delivery is divided into the requirement of a so- called proprietary agreement (“zakelijke overeenkomst”) and a delivery act; a proprietary agreement, in contrast to the agreement that can constitute the title of a transfer, is understood to mean the multilateral juridical act whereby the parties intend to transfer a certain property to each other, so that the other party can be regarded thereafter as the titleholder). The signing by both parties is not a constitutive requirement: the signing by the alienator, followed by the acceptance by the acquirer requiring no prescribed form, Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi2-ok.indd 29
29
12/12/2010 2:46:43 PM
is sufficient.4 The signing by both parties is obvious, of course, and can be practical for evidentiary reasons. The instrument of assignment can be a simple private instrument (art. 3:94 par. 1 BW). For the undisclosed assignment the law prescribes an authentic or registered private instrument, to compensate for the lack of publicity of this form of delivery, for want of the requirement of notification to the debitor cessus. Hereby the law links up with the requirements for the establishment of an undisclosed pledge (art. 3:239 BW). For the public assignment it can, for reasons of evidence of the date of the instrument, also be useful for the parties yet to opt for an authentic instrument or for registration of a private instrument. The term “instrument” under the BW is understood to mean a signed document intended to serve as evidence, as described in article 156 para. 1 BRv (Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering). The evidentiary status of the various types of instruments is different (art. 157 BRv). Thus, the date of a deed as stated by the civil-law notary in a notarial, i.e. authentic, deed yields compulsory evidence (i.e. mandatory evidence subject to proof to the contrary) vis-à-vis anyone. The private instrument has such probative force only between the parties and their successors. The registered private instrument is also interesting from the evidential point of view. Registration must take place with the inspectorate, notably with the Registration and Succession Duties Inspectorate. By means of that registration it can be shown that the instrument was established no later than on the date of its registration. In the Netherlands it is customary for the undisclosed assignment—and for the undisclosed pledge, for that matter—to opt for the registered instrument instead of a notarial deed, because the registered instrument simply is much cheaper.
D. Notification as a Constitutive Requirement for Public Assignment Under the old law, the notification did not form a constitutive requirement for assignment. The instrument established the assignment, albeit that the debitor cessus who did not nor could know of the assignment could discharge his obligations to the assignor pursuant to art. 1422 (old BW). By in principle now regarding the notification as a constitutive requirement for the delivery, the legislator more adequately fleshes out the publicity requirement for proprietary rights. At the same time he is promoting—which is also the function of that publicity requirement—
4
Parlementaire Geschiedenis (PG) Book 3, p. 395.
30
Perspektif Internasional
isi2-ok.indd 30
12/12/2010 2:46:43 PM
the need for legal certainty: at present it is clear to third parties earlier than in the past whether an assignment has actually been established or not. This does not affect the fact that the legislator has since 2004 accommodated logistic, financial and commercial objections that may be connected to effecting notification to large numbers of debtors, by (as has been noted above) also allowing undisclosed assignment under stringent conditions. In the event that an instrument is drawn up for a public assignment and the assignor subsequently goes bankrupt, neither the assignor nor the assignee can yet complete the public assignment (arts. 23 and 35 par. 1 Faillissementswet (Fw); compare also arts. 212a-b Fw). Even the trustee in bankruptcy of the assignor does not have this possibility pursuant to the judgment in Lagero II.5 He will usually have no need for that, by the way, considering the interests of the joint creditors of the bankrupt to be promoted by him. If an instrument of assignment is drawn up relating to a debt that is subsequently attached, the notification can still complete the public assignment, but then the assignment does not concern the person levying the attachment (arts. 475 h and 720 BRv). The collection of the debt attached serves first for the benefit of the person levying attachment for payment of his debt: any subsequent balance accrues to the assignee. If a debt is assigned twice, then only one of the assignor’s other parties can be the assignee. This is not per se the party that can rely on the oldest instrument of assignment. If there are two undisclosed assignments involved or an undisclosed assignment followed by a public one, then this does apply; if there are two public assignments involved, then it is the party with respect to whom both requirements— notably the instrument of assignment and notification—have first been fulfilled, who will become the assignee. If an instrument for a public assignment is concerned, which is followed by an undisclosed assignment, whereafter subsequently notification of the public assignment is effected to the debitor cessus, then the notification comes too late: the undisclosed assignment has then already been completed. Behold an important legal effect of the notification as a constitutive requirement for public assignment. The contents of the required notification to the debitor cessus have not been precisely indicated by the legislator. Article 3:94 par. 1 BW refers to “rights delivered by means of an appropriate instrument” and “notice thereof”.
5
HR 14 July 2000, NJ 2001, 685 (S.C.J.J. Kortmann).
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi2-ok.indd 31
31
12/12/2010 2:46:43 PM
The notification cannot concern the delivery itself, as the delivery is only completed by the notification. Neither does the notification need to represent the contents of the instrument accurately.6 Nor does the notification need to refer to the having been prepared of an instrument of assignment, now that it must be possible that the notification is effected prior to the preparation of such an instrument. It can be assumed that the notification must comprise the information that the right against the relevant debtor is assigned and by whom this is done. The notification may be effected both by the assignor and by the assignee, as is evidenced by art. 3:94 par. 1 BW. In many cases the assignor will affect the notification. If the assignee does so, there may be reason sooner for the debitor cessus to use his right to documentation to be discussed later, as referred to in art. 3:94 par. 4 BW. The manner of notification to the debitor cessus requires no prescribed form (art.3:37 para. 1 BW). The fact that the notification can take place before as well as after the preparation of the instrument of assignment, does not have to lead to any problems (art. 3:94 par. 4 BW; see also art. 6:34 et seq. BW). Recognition or acceptance of the assignment by the debitor cessus is not sufficient to substitute the notification. Indeed, he must not be the person who can independently bring about an assignment which may not yet be desired by the assignor and the assignee. It is another matter that the conduct of an assignor or assignee in response to a recognition or acceptance, if any, by the debitor cessus, can under certain circumstances be deemed to be a notification.7 If, for instance, the debitor cessus writes to the assignor that he has taken cognisance of the instrument of assignment and will pay to the assignee, whereupon the assignor confirms the receipt of the letter while expressing thanks and not giving any further comment, a notification as referred to in art. 3:94 par. 1 BW can be established.
E. Public Assignment of Debt against Unknown Debtors The debtor of the debt to be assigned of the assignor does not need to be known at the time of the instrument, provided notification is made to him without delay once the debtor is known; such later notification will then have retroactive effect to the day of the instrument of assignment (art. 3:94 par. 2 BW). In this way it is intended for the assignee, as long as he cannot reasonably effect notification, to be protected 6 7
PG Book 3, p. 395. PG Book 3, pp. 394 and 396.
32
Perspektif Internasional
isi2-ok.indd 32
12/12/2010 2:46:43 PM
against the adverse consequences for him if the notification fails to materialise. Suppose that A finds his car back seriously damaged in a parking lot. Perpetrator X is nowhere to be found. His insurer B pays the costs of repair but only against transfer by A of his right against perpetrator X. The instrument of assignment is drawn up. Subsequently A goes bankrupt. Then X suddenly emerges. B promptly informs X of the proprietary instrument of assignment. If article 3:94 para. 2 BW were absent, then B would nevertheless miss out (see art. 35 par. 1 Fw). Pursuant to art. 3:94 par. 2 BW, B can nonetheless invoke a legally valid assignment: the notification is retroactive to the day of the instrument of assignment, which had been prepared before the bankruptcy. The provision of art. 3:94 par. 2 BW applies only to debts already existing at the time of the instrument. Anyone who wishes to rely on this provision will be wise, even more so than otherwise, to have the assignment recorded in an authentic or registered private instrument of assignment. Indeed, in this context the day of the instrument is of paramount importance.
F. Right to Documentation and Payment Obligation of the Debitor Cessus Article 3:94 par. 4 BW provides the debitor cessus with a right to documentation. He can demand that he be given an extract, certified by the alienator, of the instrument of assignment and the title upon which it is based (art. 3:94 par. 4, first sentence BW). Stipulations which are of no importance to him need not be included in the extract (art. 3:94 par. 4, second sentence BW). If no instrument of the title has been prepared, the contents of the title must, if he so desires, be notified to him in writing to the extent that it is of importance to him (art. 3:94 par. 4, third sentence BW). All of this looks like a facility for the benefit of the debitor cessus. However, the debitor cessus who unthinkingly pays to just any person who conjures up a proprietary instrument of assignment, whereby the debt was allegedly transferred to that person, and who notifies that assignment to the debitor cessus, is erring. He will not be protected by the legislator in the event that such an instrument, and thereby the transfer, should be lacking. Anyone who pays to an alleged assignee can only successfully invoke the payment as a discharge against the alleged assignor (who continues to lay claim to payment, of course), if he had reasonable grounds to assume that the recipient was the assignee (art. 6:34 BW; see also arts. 6:35 and 36 BW). If he had no such grounds, then there is nothing else left for him than to pay twice, and he will just have to find a way to reclaim the amount paid to the alleged assignee as payment not due (art. 6:203 BW). Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi2-ok.indd 33
33
12/12/2010 2:46:43 PM
G. Legal Status of the Debtor of an Assigned Debt As has just become evident, the debtor of a publicly assigned debt can no longer discharge his payment to the assignor, but must make payment to the assignee. This does not hold for the undisclosed assignment. Only after this has also been notified to the debitor cessus can the assignee claim payment of the assigned debt against the debitor cessus. Before that moment the debitor cessus can discharge his payment to the assignor. See art. 3:94 par. 3, second sentence BW. If he pays the assignee nonetheless before the notification of the assignment, such payment does not discharge him. The legal status of the debitor cessus is not affected by the assignment. The transfer of a debt does not prejudice the defences of the debitor cessus, such as the contractual right to arbitration in the event of a dispute or invocation of the prescription of the debt. See art. 6:145 BW. Article 3:36 BW also calls for attention, however, which protects the assignee against defences which he did not need to expect, having regard to the contents of the agreement suggested vis-à-vis him. See also art. 6:149 BW, in which it is assumed that the debitor cessus can assert claims against the assignor for the nullification or setting aside of the agreement between him and the assignee (the agreement which provided the transferred debt) after the assignment. In principle, the debitor cessus is also authorised to set off a counterclaim, if any, against the assignor. See art. 6:130 par. 1 BW, which does set some limitations for the possibility of setoff.
H. Comparable Legal Concepts In practice a legal concept is used which is called assignment “for collection” (“cessie ter incasso”). For instance, A “assigns” his trade debtors to his bank B with the sole intention that B should collect the claims against those debtors. The question then arises whether the right assigned for collection actually passes to B or whether it continues to be regarded as A’s patrimony. This is a matter of interpretation of the relevant agreement in the light of the fidusia prohibition of art. 3:84 par. 3 BW. The criterion then is whether it was (also) intended to actually make rights pass into B’s patrimony. What has just been said about the assignment for collection also applies to factoring, notably to the extent that it is framed as an assignment for collection. As has just been indicated, fidusia is not a valid title anymore for assignment (art.3:84 para. 3 BW). If a real transfer is intended rather than one that is purely a fidusiary transfer, then such a transfer is respected.
34 isi2-ok.indd 34
Perspektif Internasional
12/12/2010 2:46:44 PM
BIBLIOGRAFI
Adil, St Malikul. 1962. Hak-Hak Kebendaan. Bandung: PT Pembangunan. Asser-Mijnssen. 1986. Mr. C. Asser’s Handleiding tot de Beoefe ning v an het Nederlands Burgerlijk Recht-Zakenrecht-Zekerheidsrechten Elfde Druk. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink. Asser-Mijnssen-De Haan-van Daam. 2006. Mr. C. Asser’s Handleiding tot de Beoefe ning van het Nederlands Burgerlijk Recht-Goederenrecht-Algemene Goederenrecht, Vijftiende druk. Deventer: Kluwer. Boender, A.A.Th. 1987. Gids Burgerlijk Recht-Arresten. Alphen aan den Rijn: Samsom HD. Tjeenk Willink. Brahn, O.K. 1991. Stille Verpanding en eigendomsvoorbehoud volgens het nieuwe
Burgerlijk Wetboek Zevende, geheel herschreven druk. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink.
Brahn, O.K. 1992. Monografieën Nieuw BW-Levering, Beschikkingsonbevoegheid 2e druk. Deventer: Kluwer. Budiono, Herlien. 2007. Cessie, Subrogasi, Novasi dan Beberapa Permasalahannya, Majalah Renvoi No 7.55.V Desember 2007. C.C.van Dam-A.J. Verheij. Privaatrecht als opdracht. Nijmegen: Ars Aequi Libri. Cooksey, Ray W. 1996. Decision making, Department of Marketing and Management, University of New England Armidale, NSW 2351. Daruz, Mariam. 1984. Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia. Bandung: Ikapi Bandung. Engelbrecht, W.A. -E.M.L Engelbrecht. 1956. Kitab Undang-undang, Undang-undang dan Peraturan-peraturan serta Undang-Undang Dasar Sementara RI. Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmij N.V. Friedman, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori Hukum (Susunan I). Jakarta: Rajawali Pers. Fristikawati, Yanti. 2010. Hasil Penelitian Cessie. German Law in original version 2009 (Civil Code, Commercial Code and Company Law) compiled by Rachmad Setiawan. G.J. Scholten-Y. Scholten-M.H. Bregstein. 1951. Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink. H.J.N. Boskamp-J.L.P. Cahen. 1991. 318 arresten over burgerlijk recht en handelsrecht derde druk. Arnhem: Gouda Quint bv.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi2-ok.indd 35
35
12/12/2010 2:46:44 PM
Kaligis, Otto C. 1989. Masalah-Masalah Praktis dalam Eksekusi Jaminan-Jaminan atas Perjanjian Utang dan atau Sejenisnya dalam “Konferesi Kredit dan Hukum Jaminan di Indonesia”. Jakarta: Mandarin Oriental. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cetakan Pertama. Jakarta: LP3ES. Lewis, Anthoni. 1973. Peranan MA di Amerika Serikat, Terjemahan naskah asli The Supreme Court and How It Work. Jakarta: Pradnya Paramita. Lotulung, Paulus. 1993. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup oleh Hakim Perdata. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Pemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia, Edisi Pertama Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum [Suatu Pengantar]. Liberty: Yogyakarta. Nieskens, BWM. -Isphording-A.E.M. van der Putt-Lauwers. 1993. Derdenbescherming. Deventer: Kluwer. Nugroho, Advent Hari. 2005. Penulisan Hukum berjudul Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Cessie (studi kasus PT Bank Bali, Tbk). Panggabean, H.P. 1993. Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (Berikut Tanggapan) Jilid 2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Panggabean, H.P. 2010. Laporan Penelitian tentang Putusan Mahkamah Agung tentang Cessie. . Disertasi: Peranan Mahkamah Agung dalam Pembangunan Hukum Melalui Putusan-putusannya di Bidang Hukum Perikatan (1966-2000). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Rechtsbronnen, Noorduijn. 2004. Deel 1 Burgerlijk Recht-Handelsrecht. Deventer: Kluwer. Reehuis, W.H.M. 2004. Monografieën Nieuw BW-Levering, Derde geheel herschreven druk. Kluwer: Deventer. Reehuis, W.H.M -A.H.T. Heisterkamp-G.E.van Maanen-G.T. de Jong. 2001. Pitlo, Het Nederlands Burgerlijk recht Deel 3, Goederenrecht, Elfde-herzeine en aangevulde druk. Gouda Quint: Deventer. Satrio, J.. 1991. Cessie, Subrogratie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Utang. Bandung. ______. 2003. L ’éditio n du Bicente naire Co de Civ il 2 00 4. Litec: Paris. Satrio, J. 1999. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni. Snijders, Henk. 2010. Assignment of debts under Netherlands law. Leiden.
36 isi2-ok.indd 36
Perspektif Internasional Bibliografi
12/12/2010 2:46:44 PM
Soekanto, Soerjono. 2003. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni. Soewarso, Indrawati. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Institut Bankir Indonesia. Subekti. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet . X, hlm. 73. Jakarta: Intermasa. Sudewi, Sri. Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. BPHN Departemen Kehakiman. Suharnoko. 2005. Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, cet. I. Jakarta: Kencana Prenada. Tan Thong Kie. 2000. Studi Notariat-Serba Serbi Notaris. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. T.R. Hidma-G.R. Rutgers. 2004. Pitlo Het Nederlands burgerlijk recht Deel 7 BewijsAchste druk. Deventer: Kluwer. Widyadharma, Ignatius I. 1982. Tentang Hukum Jaminan di Indonesia. Semarang: Tanjung Mas. Zwalve, W.J. 2000. C.Ǽ.Uniken Venem a’s Common Law & Civil Law-Inleiding tot het Anglo-Amerikaanse vermogensrecht. W.E.J. Tjeenk Willink: Deventer. . 1986. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni. . 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. . 1999. Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Utang. Bandung: Alumni. .1999. Hukum Suatu Pengantar, Edisi Keempat, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty. . 2000. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Edisi Kedua Cetakan Pertama. Yogyakarta. . 2001. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku 2. Citra Aditya Bakti. . 2001. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama. Citra Aditya Bakti. . 2002. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Citra Aditya Bakti. . 2008. Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi. Bandung: Alumni.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi2-ok.indd 37
37
12/12/2010 2:46:44 PM
38 isi2-ok.indd 38
Perspektif Internasional
12/12/2010 2:46:44 PM
LAPORAN PENELITIAN Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
I. CESSIE MENURUT LITERATUR DAN PERATURAN PERUndang-UndangAN A. Latar Belakang Cessie Cessie merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods), yang biasanya berupa piutang atas nama kepada pihak ketiga, di mana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain. Dalam sistem cessie, dikenal pihak-pihak yang disebut sebagai cedent dan cessionaries. Cedent adalah kreditur yang mengalihkan hak dan tagihannya (kreditur lama), sedangkan cessionaris adalah orang yang menerima pengalihan tagihan (kreditur baru). Cessie merupakan suatu bentuk pengalihan piutang bukan pengalihan utang karena konsekuensi dari cessie adalah pergantian kreditur, sedangkan pengalihan utang yang terjadi adalah pengalihan debitur. Penggantian debitur tidak masuk dalam cessie tapi termasuk dalam bentuk novasi, yakni novasi subjektif pasif atau yang disebut juga dengan subrogasi (delegasi). Cessie mulai banyak digunakan pada akhir abad ke-19, karena munculnya kebutuhan akan suatu lembaga pengalihan piutang yang tidak bisa menggunakan sistem gadai atau fidusia, tetapi dalam praktik saat ini, tidak banyak lagi yang menggunakannya di Indonesia. Sedikitnya buku atau bacaan yang membahas tentang cessie, dan ketidaktahuan orang tentang sistem ini, semakin membuat cessie jarang digunakan.
B. Pengertian dan Tinjauan Umum tentang Cessie 1. Pengertian Cessie Menurut KUH Perdata KUH Perdata tidak mengenal istilah cessie, tetapi di dalam Pasal 613 ayat 1 KUH Perdata disebutkan bahwa “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.” Dari hal tersebut dapat dipelajari bahwa yang diatur dalam Pasal 613 ayat 1 adalah penyerahan tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh lainnya. Adapun yang yang dimaksud dengan benda-benda tak bertubuh
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 39
39
12/13/2010 11:55:53 PM
lainnya. Dapat disimpulkan pasti bukan tagihan, karena semua penyerahan tagihan sudah mendapat pengaturannya dalam Pasal 613 KUH Perdata. Oleh karena itu, yang disebut cessie tak meliputi “benda tak bertubuh lainnya“ karena bukan merupakan tagihan atas nama. Cessie juga dapat sebagai sarana untuk memperoleh hak milik. Hal ini diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata terletak pada Bagian Kedua Bab Ketiga buku II KUH Perdata yang mengatur tentang cara memperoleh hak milik, hal ini dikaitkan dengan ketentuan umum tentang cara memperoleh hak milik dalam Pasal 584 KUH Perdata salah satunya melalui penyerahan. Agar peralihan hak milik melalui penyerahan sah, maka harus dipenuhi syarat (Pasal 584 KUH Perdata) antara lain harus didasarkan atas suatu peristiwa perdata dan pihak yang menyerahkan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan/tindakan hukum pemilikan atas benda yang diserahkan atas tagihan atas nama yang bersangkutan. Pada umumnya, yang mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan adalah pemilik, perkecualiannya: orang yang berada dalam keadaan pailit atau orang yang hartanya disita, sekalipun tetap pemilik, tetapi tidak berwenang untuk melakukan tindakan pemilikan hartanya yang berada dalam kepailitan atau tersita. Dari Pasal 584 KUH Perdata tersebut bisa disimpulkan bahwa suatu penyerahan baru dapat dikatakan mengalihkan suatu benda kepada pihak lain jika penyerahan itu didasarkan atas suatu hubungan obligatoir dan diserahkan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk menyerahkan benda itu. Apabila syarat kewenangan beschikking tidak dipenuhi, maka penyerahan itu tidak sah dan karenanya benda yang diserahkan tidak beralih kepada yang menerima penyerahan. Dalam kenyataannya, benda yang telah diserahkan masih tetap menjadi milik pihak yang menyerahkan, dan pihak yang menyerahkan berhak untuk menuntut penyerahan kembali benda yang telah diserahkan, baik atas dasar pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359 KUH Perdata) maupun atas dasar hak revindikasi (Pasal 574 KUH Perdata).
2. Pengertian Cessie Menurut Black Law Dalam Black Law Dictionary, cessie atau istilah bahasa Inggris yang digunakan adalah cession memiliki tiga arti, yaitu a. the act of relinquishing property rights, b. the relinquishing or transfer of land from one state to another, esp. when a state defeated in war gives up the land as part of the price of piece, dan c. the land so relinquished or transferred. Dengan demikian, cessie dalam definisi ini memiliki hubungan antara penyerahan hak-hak properti yang disempitkan dalam bidang pertanahan.
40 isi3-ok.indd 40
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:53 PM
Seorang yang melakukan penyerahan tanah tersebut dalam istilah bahasa Inggris disebut cesser, yang didefinisikan dalam sejarahnya sebagai, “a tenant whose failure to pay rent or perform prescribed services gives the landowner the right to recover possession of the land”. Definisi kedua yang menjelaskan tentang cesser ini adalah “a termination of a right or interest”. Istilah cesser ini juga dikenal dengan istilah cesssor atau cessure.
3. Pengertian Cessie Menurut Dictionary of Law (4th Edition) Cessie adalah penyerahan utang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan peyerahan surat itu. Penyerahan tiap-tap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
4. Pengertian Cessie Menurut Dictionary of law (4th edition) Cessie adalah pelepasan, pengalihan suatu utang atau tagihan; penggantian seorang kreditur oleh kreditur lainnya, kebalikan dari delegatie. Cessie tidak dianggap sebagai suatu bentuk pembaharuan utang. Orang yang mengalihkan disebut cedent, yang menerima disebut cessionaries. Debitur dari tagihan disebut debitur/cessus. Cessie dari tagihan atas unjuk terjadi dengan penyerahan suratnya dengan tagihan atas nama dengan akta cessie dan dari tagihan atas pemberitahuan order dengan endosemen.
5. Pengertian Cessie Menurut Land Computerization Adalah pengalihan hak atas kebendaan tak bertubuh (intangible goods) kepada pihak ketiga. Kebendaan tak bertubuh di sini biasa berbentuk piutang atas nama.1 Cessie adalah suatu perbuatan hukum mengalihkan piutang orang atau krediturkreditur pemegang hak tanggungan kepada pihak lain. Cessie adalah penyerahan piutang atas nama yang dilakukan dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah tangan, kemudian dilakukan pemberitahuan mengenai adanya penyerahan itu oleh juru sita kepada debitur dari piutang tersebut. 1
Lihat Hukum Benda, http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 41
41
12/13/2010 11:55:53 PM
6. St. Malikul Adil2 Tuntutan piutang atas nama merupakan hak dari orang yang (namanya) disebutkan dalam surat utang sebagai yang berpiutang. (Hak) Milik ini dapat dipindahkan ke tangan orang lain. Pemindahan ini dinamakan cessie; yang memindahkan dinamakan cedent; dan orang yang menerima pemindahan hak itu (disebut) cessionaris. Dengan demikian, dalam kenyataannya hak miliknya tidak berpindah. Cessie berlaku hanya terhadap tangan ketiga, yakni orang yang berutang, sesudah hal itu diberitahukan kepadanya, atau telah diakuinya adanya.
7. Prof. Subekti3 Cessie adalah pemindahan hak piutang, yang sebetulnya merupakan penggantian orang berpiutang lama, yang dalam hal ini dinamakan cedent, dengan seseorang berpiutang baru, yang dalam hubungan ini dinamakan cessionaris. Pemindahan itu harus dikakukan dengan suatu akta otentik atau di bawah tangan; jadi tak boleh dengan lisan atau dengan penyerahan piutangnya saja. Agar pemindahan berlaku terhadap si berutang, akta cessie tersebut harus diberitahukan padanya secara resmi (betekend). Hak piutang dianggap telah berpindah pada waktu akta cessie itu dibuat; jadi tidak pada waktu akta itu diberitahukan pada si berutang.
8. Prof. Mariam Daruz Badrulzaman4 Cessie adalah suatu perjanjian di mana kreditur mengalihkan piutangnya (atas nama) kepada pihak lain. Cessie merupakan perjanjian kebendaan yang didahului suatu “titel” yang merupakan perjanjian obligatoir. Ada hal menarik, sementara dalam Pasal 613 ayat 2 KUH Perdata mewajibkan adanya pemberitahuan pada debitur/ cessus, tetapi Prof. Mariam Daruz menyebutkan tidak perlu pemberitahuan pada debitur/cessus.
2 3 4
Malikul Adil, Hak-Hak Kebendaan, Bandung: PT Pembangunan, 1962, hlm. 99–100. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XX, Jakarta: Intermasa,1985, hlm. 73–74. Mariam Daruz Badrulzaman, Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Bandung: Ikapi, 1984, hlm. 105–106.
42
Laporan Penelitian
isi3-ok.indd 42
12/13/2010 11:55:53 PM
9. Prof. Dr. Sri Sudewi Massjchoen Sofwan5 Cessie ialah penyerahan piutang atas nama yang dilakukan dengan cara membuatkan akta otentik atau akta di bawah tangan, kemudian dilakukan pemberitahuan mengenai adanya penyerahan itu oleh juru sita kepada debitur dari piutang tersebut. Peralihan piutang atas nama demikian dipakai sebagai jaminan (tambahan jaminan) utang., dalam praktik perbankan. Menurut sejarahnya cessie sebagai jaminan, dalam praktik perbankan dan notariil, sudah dikenal sejak 1974, jadi jauh sebelum timbulnya lembaga Fidusia.
10. Suharnoko6 Cessie adalah cara pengalihan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata. Pengalihan tersebut terjadi atas dasar suatu peristiwa perdata, misalnya jual-beli antara kreditur lama dengan calom kreditur baru. Dalam cessie utang piutang yang lama tidak hapus, hanya beralih kepada pihak ketiga sebagai kreditur baru. Dalam cessie debitur selamanya pasif, dia hanya diberitahukan tentang adanya penggantian kreditur, sehingga dia harus membayar kepada kreditur baru.
11. Otto C. Kaligis7 Accounts Receivable (identik cessie) adalah seluruh dan setiap hak dan kepentingan assignor, sehubungan dengan tagihan-tagihan yang sekarang atau di kemudian hari akan diterima assignor atas (i) Penjualan-penjualan terutama atas barang-barang assignor atau jasa-jasa assignor; (ii) Klaim-klaim assignor atas asuransi barang-barang assignor, baik bergerak maupun tidak bergerak yang akan diperoleh assignor di kemudian hari. Dalam praktik peradilan, kreditur yang menerima pengalihan piutang sebagai jaminan hanyalah mempunyai kedudukan sebagai kreditur konkuren dan bukan preferen.
12. Ignatius I. Widyadharma8 Cessie adalah suatu peralihan piutang atas nama, yaitu suatu kewajiban dari cessus guna membayar kepada cedent (kreditur lama), telah dialihkan atau dilimpahkan 5 6 7 8
Sri Sudewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, BPHN, Departemen Kehakiman. uharnoko, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Cet. ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, hlm. 101. Otto & L1. EEiJiM, “Masalah-Masalah Praktis dalam Eksekusi Jaminan-Jaminan atas Perjanjian Utang dan atau Sejenisnya”, disampaikan dalam Seminar Konferensi Kredit dan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Mandarin Oriental, 1989. Ignatius I. Widyadharma, Sedikit tentang Hukum Jaminan di Indonesia, Semarang: Tanjung Mas, 1982, hlm. 29.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 43
43
12/13/2010 11:55:53 PM
oleh cedent kepada cessionaris (kreditur baru). Atas peralihan/pelimpahan tersebut diperlukan (a) Pelimpahan peralihan dalam suatu cessie harus dilakukan dalam suatu akta otentik atau akta di bawah tangan. (b) Pihak debitur, yaitu disebut cessus, layak diberi tahu dan pemberitahuannya harus dilakukan secara resmi yakni lewat juru sita (HGH 29 Oktober 1931. T 35 hlm. 80). Atau dapat pula diketahuinya dengan cara si cessus secara tertulis telah menerima atau mengakui/613 ayat 2 BW.
13. Indrawati Soewarso9 Cessie, dalam kepustakaan hukum, diartikan sebagai penyerahan atau pengalihan hak tagih atau piutang. Hak tagih itu timbul dari suatu hubungan hukum antara dua pihak yang melakukan transaksi, pihak yang satu punya kewajiban melakukan pembayaran atau penyerahan barang (debitur), dan pihak lainnya berhak atas pembayaran atau penerimaan barang-barang yang diserahkan (kreditur). Hak tagih itu dapat berupa dan tertuang dalam suatu akta (tagihan biasa), dapat pula diwujudkan dalam penerbitan surat berharga seperti wesel atau aksep. Pengalihan piutang atas nama/cessie tersebut dilakukan dengan membuat akta baik otentik maupun di bawah tangan. Pengalihan ini mengikat para pihak. Tetapi barulah mengikat debitur apabila cessie tersebut diberitahukan kepadanya secara resmi melalui juru sita pengadilan atau secara tertulis diakui dan disetujui oleh debitur. Dengan demikian, dalam cessie terdapat 2 hubungan hukum: (i) hubungan hukum antara kreditur lama (pertama) yang disebut cedent, dan kreditur baru (cessionaris), yaitu pengalihan hak tagih dari cedent ke cessionaris dan dapat terlaksana tanpa bantuan debitur/cessus; (ii) hubungan hukum antara cessionaris dan cessus yang timbul sebagai akibat hukum tersebut pada (i) akan tetapi baru berkekuatan mengikat cessus apabila kepadanya telah diberitahukan secara tertulis atau disetujui atau diakuinya secara tertulis.
14. Herlien Budiono Cessie merupakan pengalihan atau pengoperan hak tagih yang dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) digunakan istilah Penyerahan Piutang Atas Nama mempunyai sifat dualistis. Cessie diatur dalam Buku II KUH Perdata pada bagian yang mengatur Kebendaan, selain merupakan salah satu bentuk penyerahan (levering) seperti halnya penyerahan pada benda bergerak karena memperoleh hak milik; tetapi cessie juga dari segi hukum perikatan dapat dikategorikan sama dengan lembaga dan sarana hukum di mana muncul penggantian kreditur seperti halnya 9
Indrawati Soewarso, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, 2002, hlm. 97–98.
44
Laporan Penelitian
isi3-ok.indd 44
12/13/2010 11:55:53 PM
pada subrogasi dan novasi subjektif aktif (penggantian kreditur). Dalam cessie diperlukan dua formalitas: (i) dibuatnya akta dalam bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan, (ii) diberitahukan cessie tersebut kepada debitur/cessus yang dapat pula dilakukan dengan penerimaan atau pengakuan tertulis dari debitur/cessus. Sedangkan isi akta cessie harus memuat: (i) hak tagih yang dialihkan, (ii) nama-nama dari cedent, cessionaris dan debitur/cessus, (iii) keterangan pernyataan dari pihak cedent dan cessionaris atas pengalihan hak tagih, (iv) tanda-tangan dari cedent dan cessionaris. Biasanya dalam akta cessie diatur pula beding-beding tertentu, hak dan kewajiban masing-masing cedent dan cessionaris. Ditentukan pula siapa yang harus melakukan pemberitahuan (betekening) kepada debitur/cessus. Dalam hal tidak ditentukan siapanya, maka masing-masing pihak berhak memberitahukan pada debitur/cessus.
15. Menurut Beberapa Doktrin dan Yurisprudensi “Cessie“ adalah penyerahan tagihan atas nama. Yang dimaksud tagihan atas nama adalah tagihan yang bukan tagihan atas tunjuk dan tagihan bukan kepada order. Dalam tagihan atas nama krediturnya tertentu, serta debitur mengetahui betul siapa krediturnya. Salah satu ciri khas tagihan atas nama adalah, bahwa tagihan atas nama tidak ada wujudnya. Jikalau pun dibuat surat utang, surat itu hanya berlaku sebagai alat bukti, karena surat bukan ciri esensiil tagihan atas nama. Apabila tagihan atas nama itu dituangkan dalam bentuk surat utang, maka harus ada penyerahan secara fisik surat utang tersebut. Belum mengalihkan hak tagih yang dibuktikan dengan surat ybs. Cara penyerahan tagihan atas nama diatur dalam Pasal 613 ayat 1 dan 2, yang harus dilakukan dengan membuat akta, baik akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Akta penyerahan tagihan atas nama dalam doktrin dan yurisprudensi disebut sebagai Akta Cessie.
C. Pembahasan tentang Konsep Cessie Cessie merupakan penggantian orang yang berpiutang lama (disebut cedent) dengan seseorang berpiutang baru (disebut cessionaries). Misalnya A berpiutang kepada B, tetapi A menyerahkan piutang kepada C, maka C-lah yang berhak atas piutang yang ada pada B.
1. Pokok-Pokok Cessie a. Cessie dalam praktik perbankan digunakan sebagai salah satu lembaga jaminan sebagai “agunan tambahan”, di mana cessie piutang atas nama dikonstruksikan secara hukum sebagai jaminan hak gadai semu (oneigelijke
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 45
45
12/13/2010 11:55:53 PM
pandrecht), posisinya sama dengan penyerahan dengan constitutum possessorium, tetapi pada cessie tagihan sebagai jaminan tidak ada constitutum possessorium. Tujuannya juga berbeda dan mempunyai dua sisi. Cessie sebagai cara penyerahan tagihan atas nama mempunyai droit de suite tanpa pemberitahuan, dalam arti hak milik atas tagihan yang di-cedeer sudah beralih kepada cessionaris, walaupun belum ada pemberitahuan kepada cessus. Hal ini dikarenakan, dalam praktik pada umumnya orang tidak menghendaki diketahui bahwa ia mempunyai utang, dan karenanya atas dasar itu dan di samping itu juga atas dasar adanya ongkos-ongkos yang perlu dikeluarkan, biasanya tidak dilaksanakan pemberitahuan penjaminan tagihan kepada cessus, sampai ada muncul kepailitan atau wanprestasi pada debitur (cedent). Pemberitahuan (betekening) kepada si berutang (cessus) dapat dilakukan kemudian bila telah dianggap perlu oleh bank sebagai kreditur dan cessionaris. b. Penggunaan cessie sebagai jaminan tidak bertentangan dengan asas-asas Hukum Jaminan, sebagaimana ternyata bahwa cessie piutang atas nama memiliki ciri-ciri sebagai gadai piutang atas nama, tetapi dikarenakan piutang atas nama tersebut telah memiliki nilai atau harga tertentu, maka penerima cessie (cessionaris) dapat langsung menguasai piutang atas nama tersebut (tidak bertentangan dengan Pasal 1154 BW) dan karenanya kreditur (cessionaris) tidak harus melakukan penjualan atas piutang atas nama itu secara di muka umum atau lelang, di pasar atau bursa dan cara lain yang lazim dilakukan (sebagaimana dimaksud Pasal 1155 BW), melainkan cessionaris dapat langsung mengeksekusi piutang atas nama tersebut dari cessus.
2. Syarat Cessie Cessie dapat dilakukan melalui akta otentik atau akta bawah tangan. Syarat utama keabsahan cessie adalah pemberitahuan cessie tersebut kepada pihak terutang untuk disetujui dan diakuinya. Pihak terutang di sini adalah pihak terhadap mana si berpiutang memiliki tagihan.
3. Teori tentang Cessie Dalam hal ini ada dua teori yang relevan dikaitkan dengan cessie, yaitu Teori Kausal dan Terori abstraksi.
46 isi3-ok.indd 46
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:53 PM
Teori Kausal. Menurut teori kausal hubungan antara titel dengan penyerahan adalah hubungan sebab akibat, di mana penyerahan baru sah, kalau didasarkan atas titel yang sah (hofs den bosch 19-06-1928, nj. 1929, 176; hgh batavia 5 April 1934, t. 139 : 620; hgh batavia 12 Desember 1935, t. 144 : 392; hr 09-021939, nj. 1939, 865). Sebagai akibatnya apabila titelnya batal, maka penyerahan yang didasarkan atasnya juga tidak sah. Dengan adanya syarat titel yang sah, maka bila titelnya batal, hak atas tagihan yang diserahkan tidak beralih kepada cessionaris, dengan demikian hak milik atas tagihan yang bersangkutan masih ada pada cedent. Teori Abstrak. Menurut teori ini titel dan penyerahan merupakan dua peristiwa hukum yang berdiri sendiri-sendiri, sekalipun berhubungan erat satu sama lain. Titel hanya untuk menetapkan adanya kehendak untuk menyerahkan, adanya titel merupakan syarat, tetapi tidak menambahkan syarat “sah “ (hof arnhem 23 Oktober 1928, nj. 1929, 542). Apabila ada titel yang putatif di dalam tindakan penyerahan, maka dianggap sudah cukup, karena sudah tersimpul adanya kehendak untuk menyerahkan sehingga sekalipun titelnya batal, asalkan penyerahannya sah, maka hak milik tetap berpindah dari cedent kepada cessionaris (hgh batavia 9 September 1926, t. 125 : 272 ; hof arnhem 23 Oktober 1928, nj. 1929, 542). Teori abstrak tidak dilaksanakan secara konsekuen dan ada perkecualian-perkecualiannya, dalam hal ada cacat dalam kehendak, penyerahan juga tidak menjadikan penerima penyerahan sebagai pemilik benda yang diserahkan.
Penyerahan utang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Oleh karena itu, cessie harus tertulis. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya (hgh batavia 26 - 04 - 1928, t. 128:161). Cessionaris bisa menyatakan menerima cessie dalam suatu akta/surat tersendiri dan secara tertulis. Perlindungan diberikan oleh Pasal 613 ayat 2, dengan menetapkan, bahwa cessie baru menghalang-halangi cessus untuk membayar secara sah kepada cedent, kalau peristiwa cessie itu telah diberitahukan kepada cessus atau cessie itu secara tertulis telah disetujui atau diakui. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 47
47
12/13/2010 11:55:53 PM
4. Cessie dalam Konteks Jaminan Utang Dalam konteks perjanjian utang piutang, baik untuk tujuan perdagangan maupun pinjaman (kredit), biasanya pengalihan hak kebendaan (tak bertubuh) tersebut dilakukan untuk tujuan pemberian jaminan atas pelunasan utang. Dalam konteks ini, isi akta cessie yang bersangkutan sedikit berbeda dengan isi akta cessie biasa. Akta cessie yang bersifat khusus ini dibuat dengan pengaturan adanya syarat batal. Artinya, akta cessie akan berakhir dengan lunasnya utang/pinjaman si berutang. Sementara akta cessie biasa dibuat untuk tujuan pengalihan secara jual putus (outright) tanpa adanya syarat batal. Akta cessie yang bersifat khusus tersebut dilaksanakan dalam praktik sebagai respon dari tidak adanya bentuk hukum pemberian jaminan tertentu yang memungkinkan si pemberi jaminan untuk tetap menggunakan barang jaminan yang diberikan sebagai jaminan. Sebagai contoh, apabila stok barang dagangan diberikan oleh si berutang kepada krediturnya sebagai jaminan, maka tentu si berutang tidak dapat menggunakan stok barang tersebut. Sementara stok barang tersebut sangat penting bagi si berutang untuk kelangsungan usahanya, tanpanya tentu usahanya tidak dapat berjalan. Untuk itu, diciptakanlah skema pengalihan hak si berutang atas barang dagangan tersebut kepada kreditur. Sementara itu stok barang tersebut tetap berada pada si berutang. Perlu dicatat bahwa yang dialihkan hanyalah “hak atas barang dagangan”, sementara penguasaan (hak untuk menggunakan stok barang tersebut) tetap ada pada si berutang. Untuk menjamin bahwa nilai stok barang yang dijaminkan senantiasa dalam jumlah yang sama, dalam akta cessie disebutkan bahwa yang dijaminkan adalah hak atas stok barang yang “dari waktu ke waktu” merupakan milik si berutang. Untuk tujuan pengawasan oleh kreditur, si berutang wajib senantiasa menunjukkan daftar stok barang miliknya agar kreditur dapat memastikan bahwa jumlah minimal yang dijaminkan selalu sama guna meng-cover jumlah ‘hak atas stok barang’ tersebut yang dijaminkan kepada kreditur.
D. Beberapa Ketentuan yang Mengatur Cessie Istilah cessie biasanya muncul, dan akan terkait dengan masalah jaminan. Secara yuridis yang dimaksud cessie adalah “Pengalihan piutang (atas nama) terhadap debitur (cessus), dari kreditur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris), dengan cara yang diatur
48 isi3-ok.indd 48
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:53 PM
dalam Undang-Undang yaitu dengan akta cessie, baik akta oktentik maupun akta di bawah tangan dan dengan kewajiban pemberitahuan (betekening, notice) kepada debitur atau secara tertulis disetujui dan diakui oleh debitur.”10
Dengan demikian dapat dikatakan cessie merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods), yang biasanya berupa piutang atas nama, kepada pihak ketiga, di mana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain. Contoh: A, yang memiliki piutang pada B, menyerahkan piutangnya itu kepada C, sehingga C menjadi orang yang berhak atas piutang A. Adapun dalam konsep cessie ini tidaklah dikenal hak preference,11 di mana kreditur memiliki hak untuk didahulukan pembayarannya daripada kreditur lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam konsep jaminan kebendaan, seperti gadai, fidusia, hipotek, dan hak tanggungan atas tanah. Aturan hukum yang mengatur tentang cessie terdapat dalam: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 613 ayat (1) dan ayat (2). Dari ketentuan tersebut dapat dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian cessie adalah pengalihan hak tagih terhadap piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya, dari seorang kreditur kepada orang lain untuk menjadi kreditur baru, yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan; penyerahan secara lisan tidaklah dapat dianggap sah. Adapun suatu cessie dapat dikatakan sah dan memiliki daya berlaku terhadap debitur, bilamana cessie tersebut diberitahukan secara nyata oleh kreditur lama kepada debitur, untuk kemudian disetujui dan diakuinya secara tertulis; jika pemberitahuan itu tidak dilakukan, debitur dapat melakukan pembayaran terhadap kreditur lama, asalkan ia masih menggangap kreditur itu sebagai kreditur yang jujur. Pada ayat pertama Pasal 613 KUH Perdata dijelaskan tentang penyerahan atau levering, sedangkan pada ayat kedua diatur mengenai hubungan antara kreditur baru dengan debitur. Selanjutnya pada Pasal 613 ayat 3 disebutkan bahwa penyerahan atas tagihan-tagihan atas tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat tagihan yang bersangkutan, sedangkan penyerahan atas order dilakukan dengan penyerahan surat tagihannya disertai dengan endosement. 10 11
Advent Hari Nugroho, Penulisan Hukum berjudul Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Cessie (Studi Kasus PT Bank Bali, Tbk), 2005. Diberikan kepada yang seseorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 49
49
12/13/2010 11:55:53 PM
Jika ketentuan Pasal 613 KUH Perdata mengenai cessie ini disandingkan dengan ketentuan Pasal 1153 KUH Perdata yang mengatur mengenai gadai, akan tampak bahwa ketentuan Pasal 613 KUH Perdata mirip dengan ketentuan Pasal 1153 KUH Perdata. Perbedaannya terdapat dalam penekanan mengenai saatnya pemberitahuan akan peralihan hak itu (betekening) kepada si berutang (cessus), di mana dalam gadai pemberitahuan itu merupakan syarat sahnya gadai sedangkan dalam cessie, pemberitahuan itu bukanlah merupakan suatu syarat sahnya cessie. Sahnya cessie adalah sejak penandatanganan akta cessie, sedangkan pemberitahuan (betekening) mengakibatkan saat mulai timbulnya akibat hukum kepada si berutang atas pengalihan piutang itu.12 Saat mulainya cessie dan kapan saat mulainya gadai yang berlaku antara para pihak dan pihak ketiga itu berlainan. Cessie mulai berlaku pada saat selesai dibuatnya akta, sedangkan gadai mulai berlaku pada saat pemberitahuan. Perbedaan demikian mempunyai arti penting dalam hal terjadi kepailitan. Misalnya terjadi kepailitan pada cedent, setelah dibuatnya akta cessie, cessionaris akan aman, karena apabila terjadi kepailitan cedent tidak akan mengganggu cessionaris meskipun tidak ada pemberitahuan kepada debitur, karena pemberitahuan kepada debitur bukan syarat untuk adanya cessie. Berlainan halnya dengan gadai, di mana jika terjadi kepailitan pada kreditur lama setelah dibuatnya akta, namun belum ada pemberitahuan pada debitur, maka hak gadai belum beralih pada kreditur baru, sehingga akan menimbulkan kesulitan kepada kreditur baru. Keharusan adanya pemberitahuan yang merupakan syarat untuk adanya hak gadai atas piutang atas nama, menyebabkan orang lebih menyukai fidusia dan cessie sebagai jaminan dibandingkan gadai. Dengan adanya syarat yang lebih berat pada pelaksanaan gadai, maka lembaga cessie sebagai jaminan lebih berkembang dalam praktik perbankan (Loesiana: 2004). Pada dasarnya cessie bukanlah merupakan suatu lembaga jaminan seperti halnya hipotek/creditverband, gadai atau fidusia. Namun, dalam praktik pemberi an kredit perbankan selama ini, cessie banyak dipergunakan untuk menjanjikan pengalihan suatu piutang/tagihan yang dijadikan jaminan suatu kredit. Dalam Pasal 19 UU No 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia disebutkan bahwa: pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia akan mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Beralihnya jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), harus didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Pengalihan hak atas piutang dalam ketentuan ini dikenal dengan istilah cessie, 12
Andrika Satriya Nugraha, 2006.
50
Laporan Penelitian
isi3-ok.indd 50
12/13/2010 11:55:53 PM
yakni pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau di bawah tangan. Dengan adanya cessie ini, maka segala hak dan kewajiban penerima kuasa lama beralih kepada penerima fidusia baru. Jaminan fidusia tetap mengikuti bendanya yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas persediaan yang menjadi objek fidusia. Ketentuan ini mengakui adanya droit de suite yang telah menjadi bagian dari peraturan perUndang-Undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak kebendaan. Pengalihan jaminan fidusia ini diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 613 KUH Perdata disebutkan bahwa cessie harus dilakukan dengan membuat suatu akta cessie. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa untuk cessie ditentukan suatu bentuk tertulis, walaupun untuk hubungan obligatoir yang menjadi dasar cessie tidak disyaratkan suatu bentuk tertentu, jadi bisa lisan maupun tertulis. Cessie dapat dituangkan dalam suatu akta di bawah tangan maupun akta otentik, asal di dalamnya tegas-tegas disebutkan bahwa kreditur lama dengan itu telah menyerahkan hak tagihnya kepada kreditur baru. Namun dalam perkembangannya, cessie masuk ke dalam lembaga jaminan fidusia, sehingga merupakan suatu keharusan untuk menuangkan cessie dalam suatu akta otentik. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Dari aturan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa cessie yang dilakukan secara lisan tidaklah sah, oleh karena itu tidak ada penyerahan hak tagih dari kreditur lama ke kreditur baru. Namun dari apa yang telah dibahas bahwa cessie tanpa pernyataan penerimaan pihak lain jangan sudah dianggap ada, karena itu berarti bahwa pernyataan sepihak saja tanpa pernyataan penerimaan tidak dapat menimbulkan cessie. Dengan penandatanganan akta cessie, maka cessie dianggap telah sah dan selesai pengoperan hak tagih dari cedent kepada cessionaris. Penggunaan cessie sebagai lembaga jaminan tidaklah bertentangan bila disandingkan dengan gadai, hipotek/creditverband atau fidusia, hal ini dapat dilihat dari pemaparan berikut ini (Andrika Satriya Nugraha: 2006). a. Cessie memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang (piutang atas nama) tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya (hakpreferensi). b. Objek cessie serupa dengan gadai yaitu benda bergerak yakni piutang atas nama sebagaimana tersurat dari ketentuan Pasal 1153 KUH Perdata. Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 51
51
12/13/2010 11:55:54 PM
c. Hak yang lahir dari cessie adalah hak kebendaan (Pasal 613 KUH Perdata jo Pasal 584 KUH Perdata). d. Dalam cessie ada pola “inbezitstelling”, sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata jo Pasal 584 KUH Perdata, yang artinya piutang atas nama harus ditarik dari kekuasaan nyata pihak debitur untuk kemudian diletakkan dalam kekuasaan nyata pihak kreditur atau pihak ketiga yang disepakati, yang merupakan syarat keabsahaan cessie di mana perjanjian cessie adalah perjanjian riil. e. Memenuhi asas openbaarheid atau publisitas yang merupakan syarat dari hak kebendaan, dengan adanya pemberitahuan (betekening). f. Yang berwenang menyerahkan adalah pemilik dari piutang atas nama. Jika yang meng-cessie-kan itu tidak berwenang berbuat, kreditur tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 584 KUH Perdata). g. Perjanjian cessie merupakan perjanjian accesoir di mana perjanjian pokoknya yakni utang piutang atau perjanjian kredit dapat digunakan sebagai bukti keharusan adanya perjanjian cessie. h. Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur tidak boleh sendiri memiliki benda jaminan itu (Pasal 1154 KUH Perdata). Namun dikarenakan nilai piutang atas nama sudah pasti, ketentuan ini sesungguhnya tidak diperlukan lagi. i. Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur diberi wewenang untuk menjual sendiri piutang atas nama tersebut (para eksekusi) berdasarkan Pasal 584 KUH Perdata jo Pasal 1155 KUH Perdata. j. Cessionaris punya hak rentensi sebagaimana diatur dalam Pasal 1159 KUH Perdata. k. Hak cessie tidak dapat dibagi-bagi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1160 KUH Perdata. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa cessie dalam praktiknya dapat ditujukan untuk maksud sebagai agunan tambahan sehingga kepentingan para pihak dapat terlindungi.
E. Konsep Hukum Cessie 1. Pengaturan Umum Dalam konsep pemahaman pada doktrin dan yurisprudensi, cessie dipahami sebagai penyerahan tagihan atas nama. Pada konsep tagihan atas nama ada beberapa ciri khas pada tagihan tersebut, yaitu
52 isi3-ok.indd 52
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:54 PM
a. b. c. d.
bukan tagihan atas tunjuk, krediturnya tertentu dan debitur mengetahui betul siapa debiturnya, tagihan itu tidak ada wujudnya, dan surat utang hanya berfungsi sebagai alat bukti saja dan belum berarti terjadinya pengalihan hak tagih.
Dengan demikian, cessie merupakan tagihan atas nama dalam bentuk kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods), yang biasanya berupa piutang atas nama, kepada pihak ketiga, di mana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain. Cessie dilakukan dalam bentuk tertulis atau akta, pada akta cessie yang dibuat haruslah dinyatakan secara tegas mengenai tindakan cedent menyerahkan tagihan atas nama ke dalam kepemilikan cessionaris yang diikuti oleh tindakan penerimaan oleh cessionaris (HgH 26.04.1928, T 128: 161). Tindakan penerimaan itu merupakan tindakan yang menyatakan menerima penyerahan cessie dari cedent, akibatnya jika cedent menyerahkan secara sepihak kepada cessionaris dan hanya memberitahukan kepada cessus, maka hal ini belum mengakibatkan terjadinya pengalihan atas tagihan dari cedent kepada cessionaris (HgH Batavia 26.04.1928, T. 128: 161). Proses penerimaan oleh cessionaris itu haruslah dilakukan dalam bentuk tertulis, sebab sesuai dengan Pasal 613 KUH Perdata yang mewajibkan untuk membuat akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Oleh karena itu, yang menjadi inti dalam proses penerimaan itu adalah cessionaris harus menyatakan secara tegas dengan tertulis akan penerimaan penyerahan cessie dari cedent. Ketentuan Pasal 613 KUH Perdata menyimpulkan, bahwa dengan selesai ditandatanganinya akta cessie dan penerimaannya, maka hak tagih sudah beralih dari cedent kepada cessionaris (HR 24.02.1911, W.9145 HR 8 Juni 1973 NJ 1974, 180). Oleh karena itu, cessie yang disertai dengan kuasa dari cedent untuk menagih cessus adalah bertentangan dengan konsep bahwa dengan cessie hak tagih telah beralih kepada cessionaris (Hof Arnhem, 23 Oktober 1928, NJ 1929, 542: HR 9 Februari 1939, NJ 1939, 865). Demikian juga jika cedent menjaminkan cessie setelah dilakukannya pengalihan, maka proses penjaminan tersebut juga menjadi batal. Tindakan yang bisa dilakukan oleh cedent untuk membatalkan cessie itu harus dilakukan dengan retro cessie.
2. Pengalihan/Penyerahan Tagihan atas Nama Seperti halnya telah disampaikan sebelumnya, bahwa istilah cessie tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi proses pengalihan ataupun penyerahan dari cessie itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 53
53
12/13/2010 11:55:54 PM
613 ayat (1) KUH Perdata sendiri tidak menggunakan istilah cessie, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal tersebut yang menyatakan: “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.“
Yang diatur pada ketentuan Pasal 613 ayat (1) itu lebih kepada penegasan
akan adanya bentuk tagihan atas nama dan juga terkait dengan konsep mengenai benda-benda tidak bertubuh lainnya, sedangkan yang dimaksud benda-benda tidak bertubuh lainnya adalah bukan dalam bentuk tagihan. Oleh karena itu, penyerahan benda-benda tak bertubuh yang bukan merupakan tagihan bukanlah merupakan cessie. Selain daripada itu, ketentuan dalam pasal itu juga mempertegas bahwa penyerahan tagihan atas nama haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik maupun di bawah tangan, sehingga proses penyerahan yang hanya dilakukan dengan cara lisan tidaklah dapat dikatakan telah terjadi pengalihan ataupun penyerahan tagihan atas nama tersebut.
Proses pengalihan dari tagihan atas nama dari pemilik kepada orang lain
pada umumnya sama dengan proses peralihan kebendaan lainnya, seperti diatur pada Pasal 584 KUH Perdata: “Hak Milik atas suatu kebendaan tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan karena perlekatan, karena kedaluarsa, karena pewarisan baik menurut Undang-Undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan atas penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Dari ketentuan itu, proses peralihan kepemilikan tagihan atas nama harus
memenuhi setidaknya 2 (dua) syarat, yaitu peralihan itu dilakukan dengan dasar suatu peristiwa perdata yang melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak untuk menyerahkan benda dan kewajiban itu sendiri dapat lahir dari suatu proses perjanjian, Undang-Undang maupun dalam pewarisan.
Hal lain yang dapat mensyaratkan peralihan itu adalah pihak yang meng
alihkan merupakan pihak yang berwenang atau sebagai pemilik dari benda
54 isi3-ok.indd 54
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:54 PM
yang dialihkan itu. Artinya secara umum yang mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan adalah pemilik, kecuali bila orang itu dalam keadaan pailit atau hartanya disita, sehingga walau berkedudukan sebagai pemilik tapi sudah tidak berwenang melakukan tindakan pemilikan atas harta atau benda yang berada dalam harta budel pailit atau sebagai harta yang sudah disita.
Dari konsep peralihan tagihan atas nama seperti halnya telah dijelaskan di
atas, yang cukup berperan adalah cedent dan cessionaris, selanjutnya untuk peran cessus dapat dilihat dalam aturan Pasal 613 ayat (2) KUH Perdata: “Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.”
Dari isi ketentuan tersebut, makna yang terkandung bahwa proses cessie
itu tidak mempunyai akibat hukum apapun bagi cessus, jika cessie itu tidak diberitahukan atau tidak disetujui oleh cessus. Namun ternyata dalam beberapa yurisprudensi penafsiran yang diterima adalah bahwa cessie sudah berlaku bagi cessus setelah cessie ditandatangani oleh cedent (HgH 21 September 1933, T 138 (2) : 883 ; HgH 22 Juli 1937, T 146 : 564). Ketentuan Pasal 613 ayat (2) itu lebih pada maksud untuk melindungi cessus yang telah beritikad baik melakukan pembayaran kepada cedent, dengan menafsirkan sebaliknya bahwa proses cessie baru akan menghalang-halangi cessus untuk membayar kepada cedent apabila proses cessie itu sudah diberitahukan secara tertulis, diakui atau disetujui oleh cessus. Dengan demikian cessus menjadi terikat untuk tidak membayar lagi kepada cedent, jika cessus telah secara tertulis mengakui atau menyetujui cessie.
Pemberitahuan atas adanya cessie, haruslah dalam bentuk tertulis baik
berupa surat atau dokumen tertulis lainnya, tidak harus dalam bentuk atau melalui suatu putusan pengadilan, karena prinsipnya cessus mengetahui adanya cessie kepada cessionaris.
3. Cessie sebagai Perjanjian Kebendaan Cessie termasuk bagian dari hukum kebendaan karena cessie merupakan tagihan dan merupakan benda yang disamakan dengan benda yang tidak berwujud yang merupakan tagihan, selain itu cessie juga memiliki keterkaitan dengan hukum perjanjian, sebab keberadaan cessie didasari oleh adanya perjanjian antara kreditur dengan debitur dan demikian juga antara kreditur dengan penerima cessie. Oleh
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 55
55
12/13/2010 11:55:54 PM
karena cessie merupakan benda maka proses peralihan atas cessie dilaksanakan dalam bentuk perjanjian kebendaan yang mana dalam perjanjian kebendaan memberikan konsekuensi akan melahirkan, mengalihkan maupun menghapus hakhak kebendaan. Terkait dengan hak-hak kebendaan pada cessie, maka kepemilikan terhadap cessie bersifat absolut yang memberikan hak kepada cessionaris untuk melaksanakan cessie itu kepada cessus.
Cessie hanya dapat dilakukan sepanjang utang yang di-cessie-kan tersebut
berasal dari suatu kontrak atau dari perikatan lainnya berdasarkan Undang-Undang yang bukan perbuatan melawan hukum. Dengan adanya cessie, akibat hukum yang terpenting adalah sebagai berikut. a. Piutang beralih dari cedent ke cessionaries. b. Setelah terjadinya cessie, kedudukan cessionaries menggantikan kedudukan cedent, yang berarti segala hak yang dimiliki oleh cedent terhadap cessus dapat digunakan oleh cessionaries sepenuhnya.
4. Konsep Hukum Cessie sebagai Jaminan Penggunaan cessie sebagai lembaga jaminan tidaklah bertentangan bila disandingkan dengan gadai, hipotek/creditverband atau fidusia, hal ini dapat dilihat dari pemaparan berikut (Andrika Satriya Nugraha: 2006). a.
Cessie memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang (piutang atas nama) tersebut secara didahulukan daripada krediturkreditur lainnya (hak preferensi).
b. Objek cessie serupa dengan gadai, yaitu benda bergerak yakni piutang atas nama sebagaimana tersurat dari ketentuan Pasal 1153 KUH Perdata. c.
Hak yang lahir dari cessie adalah hak kebendaan (Pasal 613 KUH Perdata jo Pasal 584 KUH Perdata).
d. Dalam cessie ada pola “inbezitstelling”, sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata jo Pasal 584 KUH Perdata, yang artinya piutang atas nama harus ditarik dari kekuasaan nyata pihak debitur untuk kemudian diletakkan dalam kekuasaan nyata pihak kreditur atau pihak ketiga yang disepakati, yang merupakan syarat keabsahaan cessie di mana perjanjian cessie adalah perjanjian riil. e. Memenuhi asas openbaarheid atau publisitas yang merupakan syarat dari hak kebendaan, dengan adanya pemberitahuan (betekening). f.
Yang berwenang menyerahkan adalah pemilik dari piutang atas nama. Jika yang meng-cessie-kan itu tidak berwenang berbuat, maka kreditur tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 584 KUH Perdata).
56 isi3-ok.indd 56
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:54 PM
g. Perjanjian cessie merupakan perjanjian accesoir di mana perjanjian pokoknya, yakni utang piutang atau perjanjian kredit dapat digunakan sebagai bukti keharusan adanya perjanjian cessie. h. Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur tidak boleh sendiri memiliki benda jaminan itu (Pasal 1154 KUH Perdata). Namun dikarenakan nilai piutang atas nama sudah pasti, ketentuan ini sesungguhnya tidak diperlukan lagi. i.
Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur diberi wewenang untuk menjual sendiri piutang atas nama tersebut (para eksekusi) berdasarkan Pasal 584 KUH Perdata jo Pasal 1155 KUH Perdata.
j.
Cessionaris punya hak rentensi sebagai mana diatur dalam Pasal 1159 KUH Perdata.
k. Hak cessie tidak dapat dibagi-bagi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1160 KUH Perdata.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa cessie dalam
praktiknya dapat ditujukan untuk maksud sebagai agunan tambahan, sehingga kepentingan para pihak dapat terlindungi.
5. Beberapa Permasalahan dalam Cessie a. Apakah akan menafsirkan cessie secara luas sehingga meliputi benda-benda tidak bertubuh yang bukan tagihan? b. Apakah orang dapat mempermasalahkan keabsahan cessie tanpa mengemukakan titelnya? c.
Apakah suatu pernyataan kepada pihak ketiga dari mana dapat disimpulkan adanya penerimaan oleh cessionaris bisa diterima sebagai penerimaan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 613 KUH Perdata?
d. Apakah tindakan penerimaan oleh cessionaris harus diberikan dalam akta yang sama dengan akta penyerahan kredit? e. Apakah dari dilancarkannya gugatan oleh cessionaris terhadap cedent bisa diterima sebagai penerimaan cessie oleh cessionaris? Bukankah gugatan disampaikan oleh juru sita? f.
Apakah agar cessus terikat untuk tidak membayar kepada cedent mutlak harus ada pemberitahuan melalui exploit juru sita?
Adapun dalam konsep cessie ini tidaklah dikenal hak preference, di mana
kreditur memilik hak untuk didahulukan pembayarannya daripada kreditur lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam konsep jaminan kebendaan,
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 57
57
12/13/2010 11:55:54 PM
seperti gadai, fidusia, hipotek, dan hak tanggungan atas tanah. Dari pengertian tersebut, unsur persetujuan dari debitur (pemilik utang) merupakan faktor penentu dari terlaksananya pengalihan cessie tersebut. Kondisi ini dapat dipahami, sebab yang terlibat pada awal perjanjian hanyalah dua pihak artinya hubungan kontraktual hanya terjadi antara dua pihak yang terkait secara langsung, misalnya dalam hubungan jual-beli maka yang terkait langsung adalah pihak pembeli dan penjual. Hadirnya atau keberadaan pihak ketiga dalam perjanjian jual-beli tersebut adalah sebagai penerima pengalihan cessie dari pihak penjual, sehingga dapat dimungkinkan antara pihak pembeli dengan pihak ketiga tidak atau belum saling mengetahui. Untuk itu konsep persetujuan ataupun pengakuan secara tertulis dari pihak pembeli. Cessie hanya dapat dilakukan sepanjang utang yang di-cessie-kan tersebut berasal dari suatu kontrak atau dari perikatan lainnya berdasarkan Undang-Undang yang bukan perbuatan melawan hukum. Dengan adanya cessie, akibat hukum yang terpenting adalah sebagai berikut. a. Piutang beralih dari cedent ke cessionaries. b. Setelah terjadinya cessie, kedudukan cessionaries menggantikan kedudukan cedent, yang berarti segala hak yang dimiliki oleh cedent terhadap cessus dapat digunakan oleh cessionaries sepenuhnya. Selain itu jika cessie tersebut dimaksudkan sebagai jaminan, maka kewajiban untuk memberitahukan kepada debitur merupakan suatu yang harus, agar debitur mengetahuinya dan memperoleh akibat-akibat hukum sebagaimana lembaga-lembaga jaminan lainnya. Seperti halnya, jika utang pokok sudah dibayar oleh kreditur, maka cessie sebagai jaminan juga akan menjadi hapus dan benda jaminan itu otomatis akan kembali menjadi milik debitur. Konsekuensi dari pengalihan piutang dalam cessie itu, memberikan hak bagi penerima cessie (cessionaris) sebagai kreditur baru bagi debitur (cessus), sehingga hubungan selanjutnya antara kreditur baru dengan debitur dan segala akibat dari peralihan piutang itu memberikan hak bagi kreditur baru untuk mengajukan gugatan kepada debitur. Selain pemahaman dalam konsep pengalihan piutang, cessie juga dipakai dalam konsep jaminan, yaitu dalam bentuk cessie piutang atas nama dengan maksud sebagai jaminan (zekerheidcessie), artinya hak tagih yang dimiliki oleh cedent terhadap cessus dapat dipakai sebagai jaminan.
58 isi3-ok.indd 58
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:54 PM
PENUTUP
Cessie pada hakikatnya bisa dipandang dari dua segi, yaitu dari Hukum Kebendaan (Buku II KUH Perdata) dan dari Hukum Perikatan (Buku III KUH Perdata). Dari segi Hukum Kebendaan Cessie pada hakikatnya merupakan pengalihan utang/tagihan dari kreditur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris). Pada proses tersebut ada peralihan/ penyerahan hak milik tagihan, dari cedent kepada cessionaris. Karena tagihan merupakan kebendaan tak berwujud, maka sebenarnya dalam cessie telah terjadi alih kepemilikan kebendaan (hak tagih) dari pihak yang bermaksud mengalihkan, kepada pihak yang dimaksudkan menerima peralihan. Dalam proses cessie telah terjadi penyerahan hak tagih dari cedent kepada cessionaris, yang dengan demikian hak milik atas tagihan termaksud telah beralih dari cedent kepada cessionaris. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa cessie merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Hubungan hukum yang dimaksudkan untuk memperoleh, menghapus ataupun menimbulkan hak milik merupakan perjanjian kebendaan. Mengingat cessie merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik, sehingga dengan demikian tepatlah dimasukkan dalam Buku II tentang Kebendaan. Dalam Pasal 584 KUH Perdata antara lain disebutkan bahwa: “Hak milik atas suatu kebendaan tidak dapat diperoleh dengan cara lain, terkecuali karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik.”
Dalam kenyataannya cessie adalah penyerahan kepemilikan atas hak tagih/piutang
dari kreditur lama/cedent kepada kreditur baru/cessionaris. Sementara cessie dipandang dari segi Hukum Perikatan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Cessie sebagai mana yang telah dijelaskan, merupakan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh dua subjek hukum. Pihak pertama ialah yang mengalihkan hak tagih atas piutang, sedangkan pihak kedua ialah yang menerima peralihan atas piutang termaksud. Dua subjek hukum saling mengadakan hubungan hukum, satu pihak mengalihkan atau menyerahkan hak kebendaan, sedangkan pihak lain menerima peralihan termaksud. Hubungan hukum yang demikian ini tiada lain adalah perjanjian, yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Dan dalam praktik notaris di Indonesia, akta pengalihan hak tagih tersebut dinamai secara beragam; antara lain Akta Pengalihan Utang, Perjanjian Pengalihan Hak Atas Tagihan, Perjanjian Pengalihan Piutang (Cessie). Akan tetapi, kalau diperhatikan isinya merupakan perjanjian antara pihak yang mengalihkan dengan pihak yang menerima peralihan, atas suatu kebendaan (tidak berwujud), yaitu hak tagih atas piutang.
Menunjuk pada Pasal 584 KUH Perdata, bahwa hak milik dapat diperoleh antara
lain karena penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik. Terkait dengan cessie maka untuk itu diperlukan adanya peristiwa hukum yang mendahului dilakukannya cessie. Peristiwa hukum ini yang secara umum lebih dikenal sebagai alas hak/rechts titel, umumnya merupakan perjanjian yang menimbulkan
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi3-ok.indd 59
59
12/13/2010 11:55:54 PM
kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan. Perjanjian yang demikian ini disebut perjanjian obligatoir, karenaa hanya menimbulkan kewajiban saja. Untuk menyempurnakannya diperlukan adanya penyerahan (transfer of ownership). Dengan demikian pada cessie akan didahului perjanjian obligatoir terlebih dahulu, yang pada umumnya adalah jual-beli. Dalam praktik biasanya akta yang dibuat adalah Perjanjian Jual-Beli Piutang. Perjanjian ini baru menimbulkan kewajiban bagi masingmasing pihak. Perjanjian Obligatoir ini harus ditindaklanjuti dengan penyerahan (transfer of ownership) sehingga piutang yang semula milik kreditur lama sekarang menjadi milik kreditur baru. Terkait dengan hubungan sebab akibat (Teori Kausalitas), keabsahan peristiwa hukum yang kemudian tergantung pada sah tidaknya peristiwa hukum yang mendahuluinya. Dengan demikian keabsahan cessie sangat bergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir yang mendahuluinya, yakni perjanjian jual-beli piutang. Apabila perjanjian jual-beli piutangnya sah maka perjanjian cessie yang dibuat juga sah, sebaliknya bila perjanjian jual-beli piutang yang dibuat tidak sah maka perjanjian cessie-nya juga tidak sah. Akan tetapi, ada juga ajaran yang memisahkan kedua peristiwa hukum tersebut. Ajaran ini dikenal sebagai Teori Abstraksi. Menurut teori ini maka sah tidaknya cessie tidak bergantung pada sah tidaknya perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya. Dengan kata lain, meskipun perjanjian jual-beli piutang yang mendahuluinya tidak sah, perjanjian cessie-nya tetap dianggap sah; yang dengan demikian tetap dianggap telah terjadi alih kepemilikan hak tagih atas piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru. Ada lagi yang perlu diperhatikan dalam cessie, yaitu pemberitahuan kepada debitur (cessus). Pemberitahuan ini pantas diperhatikan karena memang disebut dalam Pasal 613 KUH Perdata. Disebutkan dalam Pasal 613 KUH Perdata bahwa Penyerahan yang demikian bagi si-berutang/debitur/cessus tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah apakah pemberitahuan tersebut merupakan keharusan atau hanyalah untuk sekadar bukti formalitas kelengkapan prosedur belaka. Pemberitahuan merupakan keharusan, berarti merupakan syarat keabsahan cessie; artinya cessie tidak sah dan tidak mengikat tanpa adanya pemberitahuan kepada debitur/ cessus. Hal ini bertitik tolak dari Pasal 613 itu sendiri, yaitu cessie tidak mempunyai akibat hukum kecuali telah diberitahukan pada cessus atau secara tertulis cessus mengakuinya. Jadi, dengan adanya pemberitahuan tersebut cessie menjadi sah dan mengikat secara sempurna para pihak (cedent dan cessionaris) maupun pihak ketiga (cessus). Di sisi lain, cessie itu merupakan hubungan hukum langsung antara cedent dengan cessionaris, jadi sejauh hubungan hukum yang mereka buat memenuhi formalitas persyaratan yang ditentukan; dengan akta tertulis; maka hubungan itu tetap sah. Dengan demikian pemberitahuan pada cessus hanyalah sekedar formalitas kelengkapan prosedur belaka, dan tidak berpengaruh terhadap sah tidaknya cessie. Dengan dibuatnya akta pengalihan secara tertulis, maka perbuatan hukum tersebut telah selesai, dan secara yuridis mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya.
60 isi3-ok.indd 60
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:55:54 PM
II. CESSIE MENURUT PUTUSAN PENGADILAN A. Hasil Penelusuran Dalam objek bahasan ini telah dikumpulkan sebanyak 40 putusan Mahkamah Agung. Analisis terhadap 40 putusan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Menyusun seluruh objek bahasan dalam bentuk modul tabulasi sehingga dapat diperoleh data-data yang akan dirinci dalam kesimpulan penelitian. Sistematika tersebut telah dikelompokkan berdasarkan objek gugatan dalam perkara yang dibagi dalam 5 kategori, yakni a. Aspek Hukum Acara yang dibagi dalam 6 bagian
1) Legal standing, diperoleh 11 kasus
2) Bukti betekening, diperoleh 7 kasus
3) Jumlah tagihan, diperoleh 7 kasus
4) Sah atau tidaknya cessie, diperoleh 7 kasus
5) Kewenangan absolut, diperoleh 2 kasus
6) Proses eksekusi, diperoleh 4 kasus
b. Sahnya Perjanjian, diperoleh 5 kasus c. Kewenangan Pihak ke-3, diperoleh 6 kasus d. Ganti Rugi, diperoleh 2 kasus e. Hukum Jaminan, diperoleh 6 kasus 2. Dengan dilakukannya analisis terhadap objek bahasan dalam bentuk tabulasi tersebut diperoleh data perkara yang dibagi dalam klasifikasi, sebagai berikut: a. Proses beracara; b. Kaidah hukum; c. Unsur pertimbangan intuitif; d. Kualifikasi dasar gugatan. Hasil analisis serta komentar atas putusan Mahkamah Agung tersebut telah dibuat dalam bentuk bagan dan dijadikan lampiran dalam Laporan Penelitian ini. Lanjutan analisis dari objek bahasan dapat digambarkan adanya periodisasi putusan Mahkamah Agung dalam 2 kategori, yakni
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 61
61
12/13/2010 11:52:14 PM
1) Bagan Periodisasi Putusan Mahkamah Agung tentang Cessie No.
Periodisasi Kualifikasi Putusan MA
Jumlah Kasus
a.
1970–1980
1 kasus
b.
1981–1990
1 kasus
c.
1991–2000
10 kasus
d.
2001–2002
5 kasus
e.
2003–2004
7 kasus
f.
2005–2006
6 kasus
g.
2007–2008
9 kasus
2) Jangka Waktu Proses Penanganan Putusan di Mahkamah Agung No.
Lamanya Proses di Mahkamah Agung
Jumlah Kasus
a.
0–1 Tahun
22 kasus
b.
1–2 Tahun
5 kasus
c.
1–3 Tahun
4 kasus
d.
1–4 Tahun
3 kasus
e.
1–5 Tahun
4 kasus
f.
1–6 Tahun
nihil
g.
1–7 Tahun
1 kasus
62 isi4-ok.indd 62
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:52:14 PM
B. Analisis Putusan Pengadilan Terkait Cessie Bagan Kronologis Perkembangan Aliran Pemikiran/Mahzab dalam Lingkup Putusan MARI No. 1.
Isu Hukum Legal Standing
Tahun
No. Perkara
Kaidah Hukum
1981
MA No. 2511 K/ Sip./1981 tanggal 18 September 1986
Bahwa lembaga cessie yang diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata adalah mengatur mengenai penyerahan piutang bukan penyerahan utang sehingga kreditur lama tidak perlu dan tidak harus digugat oleh kreditur baru.
2004
MA No. 3976 K/ Pdt/2000 tanggal 25 Februari 2004
Dalam hal debitur meninggal dunia, maka tanggung jawab istri/suami akan timbul bila ia ditetapkan sebagai ahli waris dari debitur.
2005
MA No. 1912 K/ Pdt/2004 tanggal 19 Desember 2005
Dengan diserahkannya pinjaman dalam bentuk mata uang dolar secara a contrario terhadap penyerahan uang dalam mata yang dolar, maka pembayarannya haruslah dikembalikan lagi dengan mata uang dolar juga (sesuai dengan yang diperjanjikan).
2006
MA No. 2541 K/ Pdt/2004 tanggal 10 Oktober 2006
Hasil keputusan RUPS diputuskan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah/ lalai menjalankan tugasnya termasuk untuk membayar utang perusahaan berdasarkan perjanjian jual-beli.
2007
MA No. 364 K/ Pdt/2002 tanggal 13 Maret 2007
Berdasarkan Pasal 2 Cessie No. 7 tanggal 29 Agustus 1992, menetapkan bahwa peneguran, penagihan dan penuntutan terhadap pihak ke-3 menjadi kewajiban tergugat. Akta cessie memberikan hak tagih bagi tergugat dengan adanya sejumlah hutang penggugat maka hak tagih tergugat telah dikonversikan dengan hak tagih tersebut.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 63
63
12/13/2010 11:52:14 PM
No.
64 isi4-ok.indd 64
Isu Hukum
Legal Standing (cont’d)
Tahun
No. Perkara
Kaidah Hukum
2007
MA No. 2403 K/ Pdt/2000 tanggal 13 Juli 2007
Penanggungan (Bortocht) tidak memerlukan bentuk tertentu, hanya dipersyaratkan pernyataan yang tegas. Legalitas penanggungan cukup dubuktikan dengan adanya pernyataan tegas dari penanggung. Tanggung jawab cessus (debitur) untuk membayar hutang kepada cessionaris yang terbaru
2008
MA No. 1809 K/ Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008
Utang debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang secara cessie kepada pihak lain.
2008
MA No. 2037 K/ Pdt/2007 tanggal 16 April 2008
Bahwa penggugat sama sekali tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap perbuatan tergugat III yang telah mengalihkan piutang (cessie) kepada tergugat II.
2008
MA No. 1496 K/ Pdt/2008 tanggal 18 Desember 2008
Penggugat telah mengundurkan diri dari jabatan direktur oleh karenanya tidak berhak mewakili penggugat II dan III mengajukan gugatan terhadap pengalihan piutang yang dilakukan para tergugat.
2008
Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008 tanggal 11 September 2008
Gugatan dinyatakan tidak dapat di terima (NO) karena pemberi cessie tidak menjadi pihak dalam perkara dan tentang pengalihan atas nama dari para tergugat belum beralih secara cessie kepada penggugat.
2009
MA No. 294 PK/ Pdt/2008 tanggal 11 Februari 2009
BPPN sebagai cessionaries yang tidak didukung persyaratan cessie. Dalam proses pengalihan piutang dari BPPN kepada Terbantah tidak memenuhi persyaratan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh BPPN pada
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:52:14 PM
No.
Isu Hukum
Tahun
No. Perkara
Kaidah Hukum butir c. Tahap pendaftaran sebagai peserta lelang karena dalam program penjualan asset tersebut hanya digunakan untuk investor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pihak debitur dan pihak terafiliasinya.
2.
Bukti Beteken-
2002
ing
MA No. 48 K/Pdt/
Dalam jual-beli piutang tidak ada
2000 tanggal 18 Ok-
aturan yang mengatur atau meng
tober 2002
haruskan para pihak yang terlibat jualbeli piutang untuk memberitahukan kepada debitur bahwa utangnya telah dialihkan/dijual.
2003
MA No. 3763 K/
Perjanjian yang ada pembebanan
Pdt/2001 tanggal 14
bunga tetapi tidak ada ketentuan
November 2003
mengenai besarnya bunga, maka MA akan mengadili sendiri berdasarkan depisto resmi dari Bank Pemerintah.
2005
1313
MA dapat menilai kembali bunga pin-
K/N/2000 tanggal 5
jaman yang pantas dibayar oleh de
Desember 2005
bitur. Kewenangan diskrisioner Hakim
MA
No.
untuk menentukan bunga pinjaman sesuai asas kepatutan. 2006
2007
MA No. 1724 K/
Bantahan terhadap suatu perbuatan
Pdt/2005 tanggal 7
haruslah disertai dengan bukti-bukti
April 2006
yang akurat.
MA No. 1510 K/
Berdasarkan Pasal 283 RBg jo. 1865
Pdt/2006 tanggal 10
KUH Perdata. Penggugat diberi kewa-
Januari 2007
jiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Penggugat tidak memiliki bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap tergugat, yaitu mengenai jumlah hutang dari penjamin piutang.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 65
65
12/13/2010 11:52:14 PM
No.
3.
66 isi4-ok.indd 66
Isu Hukum
Jumlah Tagihan
Tahun
No. Perkara
Kaidah Hukum
2008
MA No. 1809 K/ Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008
Utang debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang secara cessie kepada pihak lain.
1991
MA No. 2024 K/ Pdt/1989 tanggal 14 Desember 1991
Belum dibayarnya utang membuktikan adanya ingkar janji.
2003
MA No. 3994 K/ Pdt/2000 tanggal 29 September 2003
Bunga kredit dinyatakan dibayar sejak perkara didaftarkan sampai dengan dibayar lunas.
2004
MA No. 1137 K/ Pdt/1999 tanggal 25 Februari 2004
Perbedaan jumlah utang karena perhitungan jumlah utang didasari perjanjian anjak piutang.
2004
MA No. 2934 K/ Pdt/2002, tanggal 27 Oktober 2004
Para tergugat tidak lagi bertanggung jawab atas pembayaran sisa proyek karena telah diambil alih oleh Pemda Tingkat II Kabupaten Lahat selaku cessionaries.
2008
MA No. 1810 K/ Pdt/2007 tanggal 11 Desember 2008
Pengalihan kembali piutang kepada pihak lain oleh kreditur tidak serta merta menghapus utang debitur kepada kreditur awal, oleh karenanya kreditur baru memiliki hak tagih se penuhnya dan berhak mengeksekusi jaminan yang telah diberikan debitur.
2008
MA No. 1897 K/ Pdt/2007 tanggal 13 Maret 2008
Pembayaran utang penggugat adalah pembayaran yang tidak sesuai dengan penjadwalan ulang pembayaran hutang, sehingga pembayaran tersebut tidak mempunyai landasan hukum untuk dikatakan sebagai pelunasan pembayaran penggugat kepada tergugat III.
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:52:14 PM
No.
Isu Hukum
Tahun
No. Perkara
Kaidah Hukum
4.
Kewenangan Absolut
2004
MA No. 027 K/N/2004 tanggal 14 April 2004
Penyelesaian masalah harus ditempuh proses acara perdata biasa karena pembuktian yang sifatnya tidak sederhana / tidak sumir.
2005
MK No. 071/PUUII/2004 tanggal 17 Mei 2005
Pertama, kewenangan Menteri Ke uangan dalam Pasal 2 ayat (5) yang diberikan oleh pembentuk UU hanya menyangkut kedudukan hukum (legal standing), Menteri Keuangan sebagai pemohon dalam perkara kepailitan karena fungsinya sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan dan sama sekali tidak memberikan keputusan yudisial yang merupakan kewe nangan hakim. Kedua, apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan kepailitan suatu perusahaan asuransi, maka hal tersebut dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan.
1997
MA No. 3548 K/N/ Pdt/1994 tanggal 23 Oktober 1997
Akta persetujuan kredit dengan jaminan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 224 HIR sehingga dapat dilaksanakan eksekusi tanpa melalui proses gugatan.
2008
MA No. 631 K/ Pdt/2008 tanggal 24 September 2008
Perbuatan tergugat yang sengaja mengulur waktu mengeksekusi gadai saham penggugat merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi penggugat.
2007
MA PK No. 59 PK/ Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007
Perjanjian pengalihan/cessie telah dibatalkan oleh BPPN dalam rangka melaksanakan program penyehatan.
5.
6.
Proses Eksekusi
Syarat Sahnya Perjanjian
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 67
67
12/13/2010 11:52:15 PM
No.
7
68 isi4-ok.indd 68
Isu Hukum
Kewenangan Pihak ke-3
Tahun
No. Perkara
Kaidah Hukum
2007
MA No. 148 K/ Pdt/2003 tanggal 19 Mei 2007
Perjanjian pengalihan barang jaminan telah memenuhi ketentuan tentang sahnya perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian jual-beli kredit sehingga perjanjian pengalihan dalam kasus ini adalah sah.
2006
MA No. 3156 K/ Pdt/2002 tanggal 31 Mei 2006
Tanggung jawab cedent tidak beralih karena perjanjian cessie didasarkan pada itikad buruk dari kreditur. Perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan kepatutan akan batal terbukti adanya rekayasa dalam pembuatan perjanjian kredit dan perjanjian jualbeli piutang.
2007
MA No. 1779 K/ Pdt/2004 tanggal 31 Januari 2007
Menurut Pasal 1337 KUH Perdata; suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum, sedangkan in casu Memo Bank Indonesia jelas bukan undang-undang dan juga perjanjian inbreng tidak berlawanan dengan kesusilaan baik.
2005
MA No. 010 K/N/2005 tanggal 18 Mei 2005
Kreditur pemegang hak separatis harus melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sehingga setelah lewat jangka waktu tersebut maka menjadi kewenangan curator.
2005
MA No. 04 K/N/2005 tanggal 15 Maret 2005
Penetapan mengenai pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit ditetapkan oleh pengadilan dalam tingkat terakhir kecuali undangundang menentukan lain.
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:52:15 PM
1. Legal Standing Terkait dengan masalah legal standing, kami menelusuri beberapa putusan MA RI. Salah satu isu yang mencuat adalah apakah cessie merupakan lembaga penyerahan piutang atau utang. Dalam Putusan MA No. 2511 K/Sip./1981 tanggal 18 September 1986, dinyatakan bahwa lembaga cessie yang diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata adalah mengatur mengenai penyerahan piutang bukan penyerahan utang sehingga kreditur baru/lama tidak perlu dan tidak harus digugat oleh kreditur baru. Pertanyaan berikutnya adalah apakah pemberi cessie harus menjadi pihak dalam suatu perkara tentang cessie? Dalam Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008 tanggal 11 September 2008, MA RI menyatakan bahwa adalah suatu kaidah hukum bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO) karena pemberi cessie tidak menjadi pihak dalam perkara dan tentang pengalihan atas nama dari para tergugat belum beralih secara cessie kepada penggugat. Apakah cessie hanya perlu diberitahukan kepada cessus (debitur) dengan bentuk pemberitahuan tertentu atau juga memerlukan persetujuan dari cessus? Dalam Putusan MA No. 2403 K/Pdt/2000 tanggal 13 Juli 2007, MA RI menyatakan bahwa penanggungan (Bortocht) tidak memerlukan bentuk tertentu, hanya dipersyaratkan pernyataan yang tegas. Legalitas penanggungan cukup dibuktikan dengan adanya pernyataan tegas dari penanggung. Tanggung jawab cessus (debitur) untuk membayar utang kepada cessionaries yang terbaru. Posisi bahwa cessie tidak memerlukan persetujuan, namun hanya perlu diberitahukan kepada cessus (debitur) juga diperkuat oleh Putusan MA No. 364 K/Pdt/2002 tanggal 13 Maret 2007. Selanjutnya dalam Putusan MA No. 2037 K/Pdt/2007 tanggal 16 April 2008, MA RI menyatakan bahwa pembuktian adanya pengalihan piutang (cessie) merupakan syarat hukum terjadinya cessie: penggugat sama sekali tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap perbuatan tergugat III yang telah mengalihkan piutang (cessie) kepada tergugat II. Hal ini bertentangan dengan bunyi Pasal 613 KUH Perdata yang mempersyaratkan adanya persetujuan dari pihak cessus (debitur) atas pengalihan piutang dari kreditur yang satu kepada kreditur yang lain. CATATAN Putusan MA No. 2403 K/Pdt/2000 tanggal 13 Juli 2007 dan Putusan MA No. 364 K/ Pdt/2002 tanggal 13 Maret 2007 merupakan putusan yang sesuai dengan bunyi Pasal 613 KUH Perdata secara leksikal yang menyatakan bahwa “penyerahan piutang-
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 69
69
12/13/2010 11:52:15 PM
piutang atas nama dan barang-barang lain yang tak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Kata “atau” mempunyai implikasi bahwa suatu penyerahan akan berakibat hukum ketika penyerahan tersebut sudah diberitahukan tanpa perlu disetujui. Salah satu Putusan MA RI yang memuat syarat baru selain pemberitahuan kepada cessus (debitur) dan akta penyerahan untuk penyerahan piutang terdapat dalam Putusan MA No. 294 PK/Pdt/20008 tanggal 11 Februari 2009. Dalam Putusan MA RI tersebut, dinyatakan bahwa dalam proses pengalihan piutang dari BPPN kepada Terbantah tidak memenuhi persyaratan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh BPPN. Tahap pendaftaran sebagai peserta lelang, karena dalam program penjualan aset tersebut hanya digunakan untuk investor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pihak debitur dan pihak terafiliasinya. Terkait dengan mata uang pembayaran, Putusan MA No. 1912 K/Pdt/2004 tanggal 19 Desember 2005 menyatakan dengan diserahkannya pinjaman dalam bentuk mata uang dollar secara a contrario terhadap penyerahan uang dalam mata yang dolar, maka pembayarannya haruslah dikembalikan lagi dengan mata uang dolar juga (sesuai dengan yang diperjanjikan). Dalam Putusan MA No. 3976 K/Pdt/2000 tanggal 25 Februari 2004, MA RI menyatakan bahwa dalam hal debitur meninggal dunia, maka tanggung jawab istri/ suami akan timbul bila ia ditetapkan sebagai ahli waris dari debitur. Dengan kata lain, cessie bisa dialihkan kepada ahli waris. Dalam Putusan MA No. 1809 K/Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008, MA RI menyatakan bahwa utang debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang secara cessie kepada pihak lain.
2. Bukti Betekening a. Dalam Putusan MA No. 1808 K/Pdt/1999 tanggal 13 Maret 2000, MA RI menyatakan bahwa nilai jaminan yang terbukti melebihi nilai pinjaman dapat dijadikan alasan menolak gugatan dengan alasan wanprestasi. b. Dalam Putusan MA No. 48 K/Pdt/2000 tanggal 18 Oktober 2002, MA RI menyatakan bahwa dalam jual-beli piutang tidak ada aturan yang mengatur atau mengharuskan para pihak yang terlibat jual-beli piutang untuk memberitahukan kepada debitur bahwa utangnya telah dialihkan/dijual.
70 isi4-ok.indd 70
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:52:15 PM
c.
Dalam Putusan MA No. 3763 K/Pdt/2001 tanggal 14 November 2003, MA RI menyatakan bahwa perjanjian yang ada pembebanan bunga tetapi tidak ada ketentuan mengenai besarnya bunga, maka MA akan mengadili sendiri berdasarkan depisto resmi dari Bank Pemerintah. Selanjutnya, dalam Putusan MA No. 1313 K/N/2000 tanggal 5 Desember 2005, MA RI menyatakan bahwa MA dapat menilai kembali bunga pinjaman yang pantas dibayar oleh debitur. Kewenangan diskrisioner hakim untuk menentukan bunga pinjaman sesuai asas kepatutan.
d. Dalam Putusan MA No. 1724 K/Pdt/2005 tanggal 7 April 2006, MA RI menyatakan bahwa bantahan terhadap suatu perbuatan haruslah disertai dengan buktibukti yang akurat. e. Dalam Putusan MA No. 1510 K/Pdt/2006 tanggal 10 Januari 2007, MA RI menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 283 RBg jo Pasal 1865 KUH Perdata. Penggugat diberi kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Penggugat tidak memiliki bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap tergugat, yaitu mengenai jumlah utang dari penjamin piutang. f.
Dalam Putusan MA No. 1809 K/Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008, MA RI menyatakan bahwa utang debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang secara cessie kepada pihak lain.
3. Jumlah Tagihan a. Terkait bunga kredit, dalam Putusan MA No. 3994 K/Pdt/2000 tanggal 29 September 2003, MA RI menyatakan bahwa bunga kredit dinyatakan dibayar sejak perkara didaftarkan sampai dengan dibayar lunas. b. Terkait perbedaan jumlah utang, MA No. 1137 K/Pdt/1999 tanggal 25 Februari 2004 menyatakan bahwa perbedaan jumlah utang karena perhitungan jumlah utang didasari perjanjian anjak piutang. c.
Terkait tanggung jawab atas suatu piutang, dalam Putusan MA No. 2934 K/ Pdt/2002, tanggal 27 Oktober 2004, MA RI menyatakan bahwa para tergugat tidak lagi bertanggung jawab atas pembayaran sisa proyek karena telah diambil alih oleh cessionaries. Dengan kata lain, setelah piutang diserahkan/ dialihkan maka seluruh hak dan kewajiban dalam piutang beralih ke kreditur baru. Selanjutnya, hak kreditur baru yang juga mempunyai hak kreditur lama dalam hal eksekusi jaminan ditegaskan dalam Putusan MA No. 1810 K/Pdt/2007 tanggal 11 Desember 2008, di mana MA RI menyatakan bahwa pengalihan
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 71
71
12/13/2010 11:52:15 PM
kembali piutang kepada pihak lain oleh kreditur tidak serta merta mengghapus utang debitur kepada kreditur awal, oleh karenanya kreditur baru memiliki hak tagih sepenuhnya dan berhak mengeksekusi jaminan yang telah diberikan debitur. d. Dalam Putusan MA No. 1897 K/Pdt/2007 tanggal 13 Maret 2008, MA RI menyatakan bahwa pembayaran utang penggugat adalah pembayaran yang tidak sesuai dengan penjadwalan ulang pembayaran utang, sehingga pembayaran tersebut tidak mempunyai landasan hukum untuk dikatakan sebagai pelunasan pembayaran penggugat kepada tergugat.
4. Kewenangan Absolut a. Terkait tata cara pemeriksaan kasus cessie, MA RI menyatakan dalam Putusan MA No. 027 K/N/2004 tanggal 14 April 2004 bahwa penyelesaian masalah harus ditempuh proses acara perdata biasa karena pembuktian yang sifatnya tidak sederhana/tidak sumir. b. Terkait apakah otoritas/institusi lain bisa menentukan sah/tidaknya suatu perjanjian atau pengalihan piutang, MA RI menyatakan dalam Putusan MA No. 071/PUU-II/2004 tanggal 17 Mei 2005 bahwa Kewenangan Menteri Keuangan yang diberikan oleh pembentuk UU hanya menyangkut kedudukan hukum (legal standing). Menteri Keuangan sebagai pemohon dalam perkara kepailitan karena fungsinya sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan dan sama sekali tidak memberikan keputusan yudisial yang merupakan kewenangan hakim. Selanjutnya, apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan kepailitan suatu perusahaan asuransi, maka hal tersebut dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan.
5. Proses Eksekusi a. Terkait eksekusi, dalam Putusan MA No. 3548 K/N/Pdt/1994 tanggal 23 Oktober 1997, MA RI menyatakan bahwa akta persetujuan kredit dengan jaminan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 224 HIR sehingga dapat dilaksanakan eksekusi tanpa melalui proses gugatan. b. Dalam Putusan MA No. 631 K/Pdt/2008 tanggal 24 September 2008, MA RI menyatakan bahwa perbuatan tergugat yang sengaja mengulur waktu mengeksekusi gadai saham penggugat merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi penggugat.
72 isi4-ok.indd 72
Laporan Penelitian
12/13/2010 11:52:15 PM
6. Syarat Sahnya perjanjian a. Pertanyaan penting adalah apakah suatu sahnya penyerahan/pengalihan utang tergantung pada sahnya pengalihan barang jaminan? Dalam Putusan MA No. 148 K/Pdt/2003 tanggal 19 Mei 2007, MA RI menyatakan bahwa perjanjian pengalihan barang jaminan telah memenuhi ketentuan tentang sahnya perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian jual-beli kredit sehingga perjanjian pengalihan dalam kasus ini adalah sah. Dengan kata lain, jika perjanjian pengalihan barang jaminan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka penyerahan piutangnya melalui lembaga cesssie juga tidak sah. b. Dalam Putusan MA No. 3156 K/Pdt/2002 tanggal 31 Mei 2006, MA RI menyatakan bahwa tanggung jawab cedent tidak beralih karena perjanjian cessie didasarkan pada itikad buruk dari kreditur. Perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan kepatutan akan batal terbukti adanya rekayasa dalam pembuatan perjanjian kredit dan perjanjian jual-beli piutang. c.
Dalam Putusan MA No. 1779 K/Pdt/2004 tanggal 31 Januari 2007, MA RI menyatakan bahwa menurut Pasal 1337 KUH Perdata; suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum, sedangkan in casu Memo Bank Indonesia jelas bukan undang-undang dan juga perjanjian inbreng tidak berlawanan dengan kesusilaan baik.
d. Dalam Putusan MA PK No. 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007, MA RI menyatakan bahwa perjanjian pengalihan/cessie telah dibatalkan oleh BPPN dalam rangka melaksanakan program penyehatan.
7. Kewenangan Pihak ke-3 a. Terkait kewenangan pihak ke-3, dalam Putusan MA No. 010 K/N/2005 tanggal 18 Mei 2005, MA RI menyatakan bahwa kreditur pemegang hak separatis harus melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sehingga setelah lewat jangka waktu tersebut maka menjadi kewenangan curator. b. Dalam Putusan MA No. 04 K/N/2005 tanggal 15 Maret 2005, MA RI menyatakan bahwa penetapan mengenai pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit ditetapkan oleh pengadilan dalam tingkat terakhir kecuali undang-undang menentukan lain.
Penjelasan Hukum Tentang Cessie
isi4-ok.indd 73
73
12/13/2010 11:52:15 PM
isi4-ok.indd 74
12/13/2010 11:52:15 PM
DAFTAR PUTUSAN KLASIFIKASI PUTUSAN MARI Dari 39 Putusan Mahkamah Agung RI berkenaan dengan perkara cessie yang menjadi bahan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat Mahkamah Agung secara umum telah menerapkan lembaga cessie sesuai dengan ketentuan Pasal 613 KUH Perdata. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan dengan klasifikasi seperti yang tertera berikut ini.
1. Klasifikasi Hukum Acara Bahwa dari 39 Putusan Mahkamah Agung yang menjadi objek penelitian ini, ditemukan 6 Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO), dengan uraian sebagai berikut. a. Ditemukan tiga putusan tentang legal standing 1. Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008 tanggal 11 September 2008, dengan kaidah hukum: gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO) karena pemberi cessie tidak menjadi pihak dalam perkara dan tentang pengalihan atas nama dari para tergugat belum beralih secara cessie kepada penggugat. 2. Putusan MA No. 2037 K/Pdt/2007 tanggal 16 April 2008, dengan kaidah hukum: penggugat sama sekali tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap perbuatan tergugat III yang telah mengalihkan piutang (cessie) kepada tergugat II. 3. Putusan MA No. 294 PK/Pdt/20008 tanggal 11 Februari 2009, dengan kaidah hukum: dalam proses pengalihan piutang dari BPPN kepada terbantah tidak
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 75
75
12/12/2010 4:21:26 PM
memenuhi persyaratan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh BPPN. Tahap pendaftaran sebagai peserta lelang, karena dalam program penjualan asset tersebut hanya digunakan untuk investor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pihak debitur dan pihak terafiliasinya. b. Ditemukan tiga putusan tentang bukti Betekening 1. Putusan MA No. 1510 K/Pdt/2006, tanggal 10 Januari 2007, dengan kaidah hukum: penggugat tidak memiliki bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap tergugat. 2. Putusan MA No. 1724 K/Pdt/2005 tanggal 7 April 2006, dengan kaidah hukum: bantahan terhadap suatu perbuatan haruslah disertai dengan bukti-bukti yang akurat. 3. Putusan MA No. 1808 K/Pdt/1999 tanggal 13 Maret 2000, dengan kaidah hukum: terbukti bilai jaminan telah melebihi nilai jaminannya maka gugatan ditolak
2. Klasifikasi Jumlah Tagihan Bahwa tujuh Putusan Mahkamah Agung memutus masalah gugatan perbuatan melanggar hukum tentang jumlah tagihan. a. Empat putusan menerapkan unsur intuitif adil dan patut 1. Putusan MA No. 3994 K/Pdt/2000 tanggal 29 September 2003, dengan kaidah hukum: bunga kredit dinyatakan dibayar sejak perkara didaftarkan sampai dengan dibayar lunas. 2. Putusan MA No. 1137 K /Pdt/1999 tanggal 25 Februari 2004, dengan kaidah hukum: perbedaan jumlah utang karena perhitungan jumlah utang didasari perjanjian anak piutang. 3. Putusan MA No. 1810 K/Pdt/2007 tanggal 11 Desember 2008, dengan kaidah hukum: pengalihan cessie oleh turut tergugat (BPPN) kepada tergugat I (PT Mandiri Sekurities) dan dialihkan kembali kepada tergugat II (PT Asta Makmur) bukan berarti menghapus utang tergugat 3 kepada turut tergugat, oleh karenanya tergugat II memiliki hak tagih sepenuhnya dan berhak mengeksekusi jaminan yang diberikan oleh tergugat III. 4. Putusan MA No. 2024 K/Pdt/1989 tanggal 14 Desember 1991, dengan kaidah hukum: belum dibayarnya utang membuktikan adanya ingkar janji, sehingga para tergugat dihukum menyerahkan tanah dan bangunan di atasnya, yang saat ini berada dalam penguasaan tergugat III sebagai jaminan atas pinjaman tersebut.
76 isi5-ok.indd 76
Daftar Putusan Pustaka
12/12/2010 4:21:26 PM
b. Dua putusan menerapkan unsur intuitif kepastian hukum 1. Putusan MA No. 1510 K/Pdt/2006 tanggal 10 Januari 2007, dengan kaidah hukum: penggugat tidak memiliki bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap tergugat. 2. Putusan MA No. 1724 K/Pdt/2005 tanggal 7 April 2006, dengan kaidah hukum: bantahan terhadap suatu perbuatan haruslah disertai dengan buktibukti yang akurat.
3. Klasifikasi Legal Standing Bahwa dalam penelitian ini ditemukan 11 Putusan Mahkamah Agung yang memutus masalah legal standing penggugat, karena tidak memenuhi kriteria pasal 613.
KUH Perdata: a. Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008, tanggal 11 September 2008, dengan kaidah hukum: gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO) karena pemberi cessie tidak menjadi pihak dalam perkara dan tentang pengalihan atas nama dari para tergugat belum beralih secara cessie kepada penggugat. b. Putusan MA No. 1496 K /Pdt/2008 tanggal 18 Desember 2008, dengan kaidah hukum: penggugat telah mengundurkan diri dari jabatan direktur oleh karenanya tidak berhak mewakili penggugat II dan III mengajukan gugatan terhadap pengalihan piutang yang dilakukan para tergugat. c.
Putusan MA No. 294 PK/Pdt/2008 tanggal 11 Februari 2009, dengan kaidah hukum: dalam proses pengalihan piutang dari BPPN kepada terbantah tidak memenuhi persyaratan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh BPPN. Tahap pendaftaran sebagai peserta lelang karena dalam program penjualan asset tersebut hanya digunakan untuk investor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pihak debitur dan pihak terafiliasinya.
d. Putusan MA No. 2403 K/Pdt/2000 tanggal 13 Juli 2007, dengan kaidah hukum: penanggungan (bortocht) tidak memerlukan bentuk tertentu, hanya dipersyaratkan pernyataan yang tegas. e. Putusan MA No. 364 K/Pdt/2002 tanggal 13 Maret 2007, dengan kaidah hukum: berdasarkan Pasal 2 Cessie No. 7 tanggal 29 Agustus 1992,
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 77
77
12/12/2010 4:21:26 PM
menetapkan bahwa peneguran, penagihan dan penuntutan terhadap pihak ke-3 menjadi kewajiban tergugat. f. Putusan MA No. 3976 K/Pdt/2000 tanggal 25 Februari 2004, dengan kaidah hukum: tanggung jawab tergugat II (yang adalah istri tergugat I) akan timbul bila ia ditetapkan sebagai ahli waris dari tergugat I. g. Putusan MA No. 2934 K/Pdt/2002, tanggal 27 Oktober 2004, dengan kaidah hukum: para tergugat tidak lagi bertanggung jawab atas pembayaran sisa proyek karena telah diambil alih oleh Pemda tingkat II Kabupaten Lahat. h. Putusan MA No. 1809 K /Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008, dengan kaidah hukum: utang debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang secara cessie kepada pihak lain. i.
Putusan MA No. 2037 K/Pdt/2007 tanggal 16 April 2008, dengan kaidah hukum: bahwa penggugat sama sekali tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap perbuatan tergugat III yang telah mengalihkan piutang (cessie) kepada tergugat II.
j.
Putusan MA No. 2541 K/Pdt/2004 tanggal 10 Oktober 2006, dengan kaidah hukum: hasil keputusan RUPS diputuskan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
k. Putusan MA No. 1912 K/Pdt/2004 tanggal 19 Desember 2005, dengan kaidah hukum: dengan diserahkannya pinjaman dalam bentuk mata uang dolar secara a contrario terhadap penyerahan uang dalam mata uang dolar, maka pembayarannya haruslah dikembalikan lagi dengan mata uang yang sama.
78 isi5-ok.indd 78
Daftar Putusan Pustaka
12/12/2010 4:21:26 PM
LAMPIRAN JAWABAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN
1. Summary singkat dari seluruh putusan Mahkamah Agung atau putusan pengadilan yang berkaitan dengan cessie?
Jawaban:
Summary singkat putusan MA RI dapat dilihat di Bagan Tabulasi Keputusan Pengadilan MA RI tentang Cessie.
2. Apakah putusan tersebut sudah menerapkan konsep hukum cessie secara benar, serta penjelasan mengenai argumentasi atas penerapan hukum dalam putusan tersebut?
Jawaban:
Karakteristik cessie berdasarkan ketentuan Pasal 613 KUH Perdata sebagai berikut. a. Adanya penyerahan piutang.
b. Dilakukan secara tertulis dengan akta otentik atau akta bawah tangan. c. Harus ada pemberitahuan peralihan/pelimpahan hak (betekening).
1). Klasifikasi Hukum Acara Bahwa dari 39 Putusan Mahkamah Agung yang menjadi objek penelitian ini, ditemukan enam Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO), dengan uraian sebagai berikut.
a). Ditemukan tiga putusan tentang legal standing, yaitu: 1. Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008 tanggal 11 September 2008, dengan kaidah hukum: gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO) karena pemberi cessie tidak menjadi pihak dalam perkara dan tentang pengalihan atas nama dari para tergugat belum beralih secara cessie kepada penggugat.
Karakteristik cessie sebagaimana diuraikan di atas, jika dikaitkan dengan 39 putusan yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa Pendapat Mahkamah Agung secara umum telah menerapkan lembaga cessie sesuai dengan ketentuan Pasal 613 KUH Perdata, dengan alasan sebagai berikut:
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 79
79
12/12/2010 4:21:26 PM
2. Putusan MA No. 2037 K/Pdt/2007 tanggal 16 April 2008, dengan kaidah hukum: penggugat sama sekali tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap perbuatan tergugat III yang telah mengalihkan piutang (cessie) kepada tergugat II. 3. Putusan MA No. 294 PK/Pdt/2008 tanggal 11 Februari 2009, dengan kaidah hukum: dalam proses pengalihan piutang dari BPPN kepada terbantah tidak memenuhi persyaratan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh BPPN. Tahap pendaftaran sebagai peserta lelang, karena dalam program penjualan aset tersebut hanya digunakan untuk investor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pihak debitur dan pihak ter afiliasinya. b). Ditemukan tiga putusan tentang bukti Betekening, yaitu: 1. Putusan MA No. 1510 K/Pdt/2006, tanggal 10 Januari 2007, dengan kaidah hukum: penggugat tidak memiliki bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap tergugat. 2. Putusan MA No. 1724 K/Pdt/2005 tanggal 7 April 2006, dengan kaidah hukum: bantahan terhadap suatu perbuatan haruslah disertai dengan bukti-bukti yang akurat. 3. Putusan MA No. 1808 K/Pdt/1999 tanggal 13 Maret 2000, dengan kaidah hukum: terbukti bila jaminan telah melebihi nilai jaminannya maka gugatan ditolak.
2). Klasifikasi Jumlah Tagihan Bahwa tujuh Putusan Mahkamah Agung memutus masalah gugatan perbuatan melanggar hukum tentang jumlah tagihan:
a. Empat Putusan menerapkan unsur intuitif adil dan patut, yaitu: 1. Putusan MA No. 3994 K/Pdt/2000 tanggal 29 September 2003, dengan kaidah hukum: bunga kredit dinyatakan dibayar sejak perkara didaftarkan sampai dengan dibayar lunas. 2. Putusan MA No. 1137 K/Pdt/1999 tanggal 25 Februari 2004, dengan kaidah hukum: perbedaan jumlah utang karena perhitungan jumlah utang didasari perjanjian anjak piutang. 3. Putusan MA No. 1810 K/Pdt/2007 tanggal 11 Desember 2008, dengan kaidah hukum: pengalihan cessie oleh turut tergugat (BPPN) kepada tergugat I (PT Mandiri Sekurities) dan dialihkan kembali kepada tergugat II (PT Asta Makmur) bukan berarti menghapus utang tergugat 3 kepada turut
80 isi5-ok.indd 80
Daftar Pustaka Lampiran
12/12/2010 4:21:26 PM
tergugat, oleh karenanya tergugat II memiliki hak tagih sepenuhnya dan berhak mengeksekusi jaminan yang diberikan oleh tergugat III. 4. Putusan MA No. 2024 K/Pdt/1989 tanggal 14 Desember 1991, dengan kaidah hukum: belum dibayarnya hutang membuktikan adanya ingkar janji, sehingga para tergugat dihukum menyerahkan tanah dan bangunan di atasnya, yang saat ini berada dalam pengusaan tergugat III sebagai jaminan atas pinjaman tersebut. b.) Dua putusan menerapkan unsur intuitif kepastian hukum, yaitu: 1. Putusan MA No. 1510 K/Pdt/2006 tanggal 10 Januari 2007, dengan kaidah hukum: penggugat tidak memiliki bukti untuk membuktikan dalil gugat annya terhadap tergugat. 2. Putusan MA No. 1724 K/Pdt/2005 tanggal 7 April 2006, dengan kaidah hukum: bantahan terhadap suatu perbuatan haruslah disertai dengan bukti-bukti yang akurat. 3). Klasifikasi Legal Standing Bahwa dalam penelitian ini ditemukan 11 Putusan Mahkamah Agung yang memutus masalah legal standing penggugat, karena tidak memenuhi kriteria pasal 613 KUH Perdata: a. Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008, tanggal 11 September 2008, dengan kaidah hukum: gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO) karena pemberi cessie tidak menjadi pihak dalam perkara dan tentang pengalihan atas nama dari para tergugat belum beralih secara cessie kepada penggugat. b. Putusan MA No. 1496 K/Pdt/2008 tanggal 18 Desember 2008, dengan kaidah hukum: penggugat telah mengundurkan diri dari jabatan direktur oleh karenanya tidak berhak mewakili penggugat II dan III mengajukan gugatan terhadap pengalihan piutang yang dilakukan para tergugat. c. Putusan MA No. 294 PK/Pdt.2008 tanggal 11 Februari 2009, dengan kaidah hukum: dalam proses pengalihan piutang dari BPPN kepada terbantah tidak memenuhi persyaratan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh BPPN. Tahap pendaftaran sebagai peserta lelang karena dalam program penjualan aset tersebut hanya digunakan untuk investor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pihak debitur dan pihak terafiliasinya. d. Putusan MA No. 2403 K/Pdt/2000 tanggal 13 Juli 2007, dengan kaidah hukum: penanggungan (bortocht) tidak memerlukan bentuk tertentu, hanya dipersyaratkan pernyataan yang tegas. Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 81
81
12/12/2010 4:21:26 PM
e. Putusan MA No. 364 K/Pdt/2002 tanggal 13 Maret 2007, dengan kaidah hukum: berdasarkan Pasal 2 Cessie No. 7 tanggal 29 Agustus 1992, menetapkan bahwa peneguran, penagihan dan penuntutan terhadap pihak ke-3 menjadi kewajiban tergugat. f. Putusan MA No. 3976 K/Pdt/2000 tanggal 25 Februari 2004, dengan kaidah hukum: tanggung jawab tergugat II (yang adalah istri tergugat I) akan timbul bila ia ditetapkan sebagai ahli waris dari tergugat I. g. Putusan MA No. 2934 K/Pdt/2002, tanggal 27 Oktober 2004, dengan kaidah hukum: para tergugat tidak lagi bertanggung jawab atas pembayaran sisa proyek karena telah diambil alih oleh Pemda Tingkat II Kabupaten Lahat. h. Putusan MA No. 1809 K/Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008, dengan kaidah hukum: utang debitur akan tetap ada meskipun kreditur telah mengalihkan kembali piutang secara cessie kepada pihak lain. i. Putusan MA No. 2037 K/Pdt/2007 tanggal 16 April 2008, dengan kaidah hukum: bahwa penggugat sama sekali tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya terhadap perbuatan tergugat III yang telah mengalihkan piutang (cessie) kepada tergugat II. j. Putusan MA No. 2541 K/Pdt/2004 tanggal 10 Oktober 2006, dengan kaidah hukum: hasil keputusan RUPS diputuskan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah/ lalai menjalankan tugasnya. k. Putusan MA No. 1912 K/Pdt/2004 tanggal 19 Desember 2005, dengan kaidah hukum: dengan diserahkannya pinjaman dalam bentuk mata uang dolar secara a contrario terhadap penyerahan uang dalam mata yang dolar, maka pembayarannya haruslah dikembalikan lagi dengan mata uang dolar juga.
3. Apakah metodologi yang digunakan oleh (majelis) hakim dalam menerapkan konsep hukum cessie dapat diterima?
Jawaban:
Hakim dalam memutus perkara, menerapkan metodologi penerapan hukum cessie melalui tiga unsur pertimbangan intuitif pengadilan: a. Kepastian Hukum; b. Kemanfaatan; c. Adil dan Patut.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dari 39 Putusan Mahkamah Agung yang diteliti, 26 Putusan Mahkamah Agung menerapkan unsur intuitif adil dan
82 isi5-ok.indd 82
Daftar Pustaka Lampiran
12/12/2010 4:21:26 PM
patut (66,67 %), dan sisanya (13) Putusan Mahkamah Agung menerapkan unsur intuitif kepastian hukum (33,33 %).
a. Putusan MA yang menerapkan unsur Adil dan Patut 1. Putusan MA No. 294 PK/Pdt/2008 tanggal 11 Februari 2009 2. Putusan MA No. 2403 K/Pdt/2000 tanggal 13 Juli 2007
3. Putusan MA No. 364 K/Pdt/2002 tanggal 13 Maret 2007 4. Putusan MA No. 3976 K/Pdt/2000 tanggal 25 Februari 2004 5. Putusan MA No. 2934 K/Pdt/2002, tanggal 27 Oktober 2004 6. Putusan MA No. 1809 K /Pdt/2007 tanggal 28 Januari 2008 7. Putusan MA No. 2541 K/Pdt/2004 tanggal 10 Oktober 2006 8. Putusan MA No. 1912 K/Pdt/2004 tanggal 19 Desember 2005 9. Putusan MA No. 1808 K/Pdt/1999 tanggal 13 Maret 2000 10. Putusan MA No. 1313 K/N/2000 tanggal 5 Desember 2005 11. Putusan MA No. 3763 K/Pdt/2001 tanggal 14 November 2003 12. Putusan MA No. 48 K/Pdt/2000 tanggal 18 Oktober 2002 13. Putusan MA No. 1897 K/Pdt/2007 tanggal 13 Maret 2008 14. Putusan MA No. 3994 K/Pdt/2000 tanggal 29 September 2003 15. Putusan MA No. 1137 K/Pdt/1999 tanggal 25 Februari 2004 16. Putusan MA No. 1810 K/Pdt/2007 tanggal 11 Desember 2008 17. Putusan MA No. 2024 K/Pdt/1989 tanggal 14 Desember 1991 18. Putusan MA No. 967 K/Pdt/2007 tanggal 21 November 2007 19. Putusan MA No. 2233 K/Pdt/1999 tanggal 31 Oktober 2002 20. Putusan MA No. 631 K/Pdt/2008 tanggal 24 September 2008 21. Putusan MA No. 3156 K/Pdt/2002 tanggal 31 Mei 2006 22. Putusan MA PK No. 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007 23. Putusan MA No. 010 K/N/2005 tanggal 18 Mei 2005 24. Putusan MA No. 2642 K/Pdt/2001 tanggal 30 November 2006 25. Putusan MA No. 26 K/N/2005 tanggal 16 Desember 2005 26. Putusan MA No. 372 K/Sip/1970 tanggal 1971
b. Putusan MA yang menerapkan unsur intuitif Kepastian Hukum 1. Putusan MA No. 859 K/Pdt/2008, tanggal 11 September 2008 2. Putusan MA No. 1496 K/Pdt/2008 tanggal 18 Desember 2008 3. Putusan MA No. 2037 K/Pdt/2007 tanggal 16 April 2008 4. Putusan MA No. 1510 K/Pdt/2006 tanggal 10 Januari 2007 5. Putusan MA No. 1724 K/Pdt/2005 tanggal 7 April 2006
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 83
83
12/12/2010 4:21:27 PM
6. Putusan MA No. 148 K/Pdt/2003 tanggal 19 Mei 2007
7. Putusan MA No. 3548 K/N/Pdt/1994 tanggal 23 Oktober 1997
8. Putusan MA No. 08 PK/N/2006 tanggal 16 Oktober 2006
9. Putusan MA No. 1965 K /Pdt/1999 tanggal 28 Juni 2000
10. Putusan MA No. 1779 K /Pdt/2004 tanggal 31 Januari 2007
11. Putusan MA No. 04 K/N/2005 tanggal 15 Maret 2005
12. Putusan MA No. 26 K/N/2005 tanggal 16 Desember 2005
13. Putusan MA No. 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung lebih mene rapkan intuitif adil dan patut, kemudian kepastian hukum, sedangkan unsur intuitif kemanfaatan hukum belum ditemukan dalam putusan-putusan hakim yang dijadikan objek penelitian ini.
4. Apakah ada periode di mana pendapat (majelis) hakim mengenai konsep hukum cessie mengalami perubahan, apabila ada mohon menjelaskan apa penyebab perubahan tersebut?
Jawaban:
Berdasarkan Bagan Periodisasi dari 39 Putusan Mahkamah Agung yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa sejak tahun 1971 hingga saat ini majelis hakim tidak memberi indikasi perubahan dalam penerapan Pasal 613 KUH Perdata sesuai praktik peradilan. Dengan kemajuan kegiatan bisnis, terutama sejak orde reformasi, telah tumbuh lembaga bisnis yang berkaitan dengan lembaga cessie, yakni lembaga anjak piutang (factoring). Lembaga anjak piutang adalah salah satu upaya pembiayaan jangka pendek untuk transaksi perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Pengertian lembaga pembiayaan factoring/anjak piutang adalah lembaga pembiayaan yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri (Sumber: Richard Burton Simatupang, S.H., 2007, Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet. Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 119). Dengan munculnya lembaga factoring atau anjak piutang ini, maka diperoleh dua aspek perkembangan yang berkaitan dengan karakteristik cessie
84 isi5-ok.indd 84
Daftar Pustaka Lampiran
12/12/2010 4:21:27 PM
sesuai dengan Pasal 613 KUH Perdata. Bahwa dalam lembaga factoring, per alihan hutang, (dalam arti cessie) hanya merupakan bagian kecil dari pengertian lembaga factoring sebagai telah diuraikan di atas.
5. Aliran/mapping mazhab yang berkembang di lingkungan peradilan berkenaan dengan cessie?
Jawaban:
Dari penelitian terhadap 39 Putusan Mahkamah Agung yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa hakim-hakim lebih merupakan mazhab konvensional yang hanya menerapkan arti cessie menurut BW (KUH Perdata). Namun dengan telah berkembangnya Hukum Bisnis yang timbul dari perjanjian, saat ini telah timbul mazhab transisi yang telah mampu mengaitkan
lembaga cessie sebagaimana dinyatakan dalam KUH Perdata dengan berbagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk factoring/anjak piutang. Bahwa di masa depan, penerapan lembaga cessie akan tetap eksis apabila kasus tersebut hanya menyangkut pengurusan utang perdagangan dalam dan luar negeri. Ulasan mengenai penerapan konsep cessie dan metode pengambilan putusan dalam 39 putusan yang menjadi objek penelitian ini, akan dapat berkembang dengan penerapan doktrin hukum perikatan yang saat ini sudah cenderung tidak lagi terikat pada unsur kesalahan, tetapi sudah mengarah pada unsur tanggung jawab para pihak pebisnis, yakni unsur tanggung jawab yang diikuti unsur risiko, artinya seseorang memiliki kewajiban memikul kerugian yang timbul, disebabkan oleh kejadian di luar kesalahan kedua belah pihak.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 85
85
12/12/2010 4:21:27 PM
isi5-ok.indd 86
12/12/2010 4:21:27 PM
DAFTAR PUSTAKA Adil, St. Malikul. 1962. Hak-Hak Kebendaan. Bandung: PT Pembangunan. Budiono, Herlien. 2007. Cessie, Subrogasi, Novasi dan Beberapa Permasalahannya, Majalah Renvoi No 7.55.V Desember 2007, hlm. 66–68. Cooksey, Ray W. 1996. Decision Making. Department of Marketing and Management, University of New England Armidale, NSW 2351. Daruz, Mariam. 1984. Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia. Bandung: Ikapi Bandung. Friedman, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori Hukum (Susunan I), Jakarta: Rajawali Pers. Kaligis, Otto C. 1989. Masalah-Masalah Praktis dalam Eksekusi Jaminan-Jaminan Atas Perjanjian Hutang dan atau Sejenisnya, dalam “Konferensi Kredit dan Hukum Jaminan di Indonesia”. Jakarta: Mandarin Oriental. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cetakan Pertama. Jakarta: LP3ES. Lewis, Anthoni. 1973. Peranan MA di Amerika Serikat, Terjemahan Naskah Asli The Supreme Court and How It Work. Jakarta: Pradnya Paramita. Lotulung, Paulus. 1993. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup oleh Hakim Perdata. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan Apakah Pemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia, Edisi Pertama Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty. Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum [Suatu Pengantar]. Yogyakarta: Liberty.
Penjelasan Hukum tentang Cessie
isi5-ok.indd 87
87
12/12/2010 4:21:27 PM
Nugroho, Advent Hari. 2005. Penulisan Hukum Berjudul Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Cessie (Studi Kasus PT Bank Bali, Tbk). Panggabean, H.P. Disertasi: Peranan Mahkamah Agung dalam Pembangunan Hukum Melalui Putusan-putusannya di Bidang Hukum Perikatan (1966–2000). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Satrio, J. 1999. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni. ______________. 1999. Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang. Bandung: Alumni. Soekanto, Soerjono. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni. Soewarso, Indrawati. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Institut Bankir Indonesia. ______________. 2008. Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi. Bandung: Alumni. Subekti. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XX hlm. 73–74. Jakarta: Intermasa. Sudewi, Sri. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. BPHN, Departemen Kehakiman. Suharnoko. 2005. Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Cet ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media. Widyadharma, Ignatius I. 1982. Tentang Hukum Jaminan di Indonesia. Semarang: Tanjung Mas. 1986. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. 1999. Hukum Suatu Pengantar, Edisi Keempat Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty. 2000. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Edisi Kedua Cetakan Pertama. Yogyakarta. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama. Citra Aditya Bakti. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku 2. Citra Aditya Bakti. 2002. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Citra Aditya Bakti.
88 isi5-ok.indd 88
Daftar Pustaka
12/12/2010 4:21:27 PM
cover_cessie_v4_arsip_blk.pdf
1
12/15/10
5:37 PM
Penjelasan Hukum tentang
CESSIE
Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Di samping itu, ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi yang stabil serta adil. Ketidakpastian ini umumnya bersumber dari hukum tertulis yang tidak jelas dan kontradiktif satu sama lain. Selain itu, juga karena ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah ataupun pengadilan.
C
M
Y
CM
MY
CY
CMY
K
Cessie, sebagai salah satu pokok bahasan Restatement, dalam beberapa tahun terakhir banyak dipermasalahkan di dalam keputusan-keputusan pengadilan. Oleh karena itu, kita perlu mempunyai pengertian yang sama mengenai apa itu cessie, bagaimana cara penyerahannya, kapan cessie selesai, bagaimana akibat hukum terhadap cessus, dan bagaimana hubungannya dengan titel penyerahannya. Semua ini agar penerapannya bisa lebih diterima oleh para pencari keadilan. Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab isu ketidakpastian hukum tersebut. Tujuan utama dari buku ini adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif.
National Legal Reform Program (NLRP) Gedung Setiabudi 2 Lantai 2 Suite 207D Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62 Jakarta 12920 - INDONESIA Phone : +62 21 52906813 Fax : +62 21 52906824
34608100143