BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam suku bangsa atau kelompok etnis. Keberagaman suku bangsa atau etnis ini di suatu sisi membawa pengaruh positif untuk kekayaan kebudayaan, seni, serta dinamika sosial kehidupan masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain keberagaman etnis menjadi bumerang bilamana di dalam masyarakat masih terdapat individu yang mengagung - agungkan sikap primordialisme dan etnosentrisme. Primordialisme adalah rasa kesukuan yang berlebihan, yang diikuti dengan sikap ,memegang teguh hal - hal yang dibawa sejak kecil, seperti tradisi, adat - istiadat, kepercayaan, dan segala sesuatu yang ada di lingkungan pertamanya. Etnosentrisme ialah suatu kecenderungan yang menganggap nilai - nilai dan norma - norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakan sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakan dengan kebudayaan lain. 1 Setiap
individu
memiliki
kecenderungan
untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan etnis tertentu. Sementara itu individu lain memiliki self concept atas etnisnya dan etnis diluar etnisnya, seringkali juga 1
Soewaryo Wangsanegara. “Ilmu Sosial Dasar”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta 1986, hal. 47
1
menilai perilaku orang lain terkait dengan latar belakang etnis dan kesukubangsaannya. Ketika individu telah memiliki pandangan bahwa etnisnya merupakan etnis yang lebih baik daripada suatu etnis tertentu, maka ia akan memandang lebih rendah terhadap etnis yang menjadi lawan perbandingannya. Dalam hubungannya dengan etnis - etnis lain seringkali berkembang sejumlah stereotype. Stereotype antar etnis sesekali dapat muncul dalam suatu interaksi yang sedang terjadi. Seringkali, timbul prasangka rasial yang menyebabkan keterbatasan interaksi terhadap suatu etnis tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan jarak sosial dan akan menghambat terjadinya proses integrasi sosial dalam masyarakat yang multi etnis. Prasangka diartikan sebagai sikap negatif terhadap sesuatu.2 Prasangka etnis erat kaitannya dengan diskriminasi rasial dan stereotype etnis. Dalam kehidupan sehari - hari, interaksi antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa seringkali menjadi terbatas karena adanya stereotype. Etnis Jawa memiliki stereotype tersendiri atas Etnis Tionghoa. Begitu juga sebaliknya, Etnis Tionghoa pun memiliki stereotype tersendiri atas Etnis Jawa. Pengaruh stereotype pada individu yang memiliki prasangka sangat besar dalam interaksi sosialnya. Karena dapat mengubah perilaku atau attitude individu tersebut terhadap individu lain yang dikenai suatu stereotype. Stereotype adalah pemberian atribut, label, atau stigma tertentu kepada sekelompok atau golongan tertentu. Stereotype ini pada awalnya muncul 2
Ibid, hal. 43
2
karena adanya prototype. Prototype yaitu pengetahuan mengenai orang orang atau kelompok tertentu dan kaitannya dengan atribut tertentu. Stereotype yang menjustifikasi suatu etnis tertentu perlu diselidiki kebenarannya, apakah stereotype tersebut memang benar, sehingga perlu dipikirkan bagaimana cara berinteraksi yang baik dan sesuai dengan karakter mereka, atau justru stereotype tersebut salah sehingga setiap orang yang berasal dari luar etnisnya tidak perlu was was, resah, dan membatasi diri bilamana ingin berhubungan dengan mereka. Prasangka dan diskriminasi tidak dapat dipisahkan. Perbedaan diskriminasi dengan prasangka, diskriminasi lebih merujuk pada suatu tindakan nyata. Seseorang yang memiliki prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, bisa saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. Demikian juga sebaiknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berperilaku tidak diskriminatif.3 Faktor - faktor yang berkaitan dengan timbulnya prasangka yaitu kepribadian, tingkat intelegensi, dan faktor lingkungan. Semakin tinggi tingkat intelegensi seseorang maka ia akan bersifat dan bersikap lebih kritis sehingga lebih sukar untuk berprasangka. Sedangkan semakin rendah tingkat intelegensi seseorang maka memiliki kecenderungan lebih mudah untuk berprasangka. Faktor kondisi lingkungan yang tidak mapan juga berpeluang 3
Ibid, hal. 44
3
untuk menimbulkan prasangka. Yang disebut dengan kondisi lingkungan yang tidak mapan disini ialah kondisi lingkungan dimana terdapat persaingan untuk mencapai akumulasi materiil tertentu (persaingan ekonomi), persaingan untuk meraih status sosial tertentu (persaingan sosial), serta pada suatu lingkungan atau wilayah dimana norma - norma dan tata hukum dalam kondisi goyah.4 Latar belakang sejarah, perkembangan sosio - kultural dan situasional, serta faktor kepribadian juga dapat menjadi sebab - sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi.5 Latar belakang sejarah misalnya, pada masa lampau orang - orang Cina datang ke Indonesia untuk berdagang. Mereka menawarkan barang dagangannya ke Indonesia, dan melakukan ekspansi pasar di Indonesia. Ketika usahanya berhasil dan menjadi besar di Indonesia mereka tidak jarang mengambil orang Indonesia asli atau pribumi untuk menjadi tenaga kerjanya. Pendatang Cinapun menjadi pemimpin, dan orang pribumi menjadi pekerja di negerinya sendiri. Pada akhirnya orang - orang pribumi memiliki prasangka negatif terhadap orang Cina bahwa orang Cina memiliki keinginan untuk menguasai perekonomian di Indonesia. Kegiatan perdagangan yang sejak dahulu digeluti oleh orang - orang Cina sebagai mata pencahariannya telah membuat orang - orang Cina distereotipkan sebagai orang memiliki sifat - sifat pelit, tidak mau merugi, dan mengambil untung sebanyak - banyaknya. Walaupun tidak semua orang Cina memiliki sifat 4
Ibid
5
Ibid
4
sifat tersebut. Begitu juga sebaliknya dengan orang Cina yang sejak zaman dahulu kala menjadikan indonesia sebagai pasar yang strategis untuk menawarkan barang dagangannya, pada akhirnya menjadikan orang Cina memiliki prasangka bahwa orang - orang Indonesia (pribumi) adalah orang yang konsumtif dan boros. Kenyataan bahwa sedikit sekali orang Indonesia yang mampu mengembangkan usahanya hingga besar, memimpin usahanya sendiri, dan lebih memilih untuk menjadi pekerja di perusahaan milik orang orang Cina daripada mencoba membangun usahanya sendiri membuat orang Cina memiliki prasangka bahwa orang pribumi tidak ulet berusaha, berdaya juang rendah, malas, dan miskin. Stereotype - stereotype tersebut belum sirna sampai dengan generasi saat ini. Faktor kepribadian dan keadaan frustasi dari beberapa orang atau kelompok sosial tertentu merupakan kondisi yang cukup berpeluang untuk menimbulkan tingkah laku agresif. Faktor ini juga dapat berpontensi menjadi pemicu timbulnya prasangka dan diskriminasi. Para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih dominan disebabkan oleh tipe kepribadian orang - orang tertentu. Tipe authoritarian personality atau kepribadian authoritarian adalah sebagai ciri kepribadian seseorang yang penuh dengan prasangka, dengan ciri - ciri bersifat konservatif dan tertutup. Perbedaan latar belakang keyakinan, kepercayaan, agama, perbedaan pandangan politik, ekonomi dan ideologi juga turut menjadi faktor pemicu timbulnya prasangka dan diskriminasi.6
6
Ibid, hal. 46
5
Di Indonesia keturunan Cina sebagai kelompok minoritas sering menjadi sasaran prasangka rasial, walaupun secara yuridis telah menjadi Warga Negara Indonesia.7 Begitu juga sebaliknya, keturunan Cinapun juga seringkali memiliki prasangka rasial terhadap kaum pribumi. Sikap berprasangka jelas tidak adil, karena sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Lebih - lebih lagi bila sikap berprasangka itu muncul dari jalan pikiran sepintas, untuk kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai sifat dari seluruh anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap suatu suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan - pertentangan sosial yang lebih luas. Suatu contoh, beberapa peristiwa yang semula menyangkut beberapa orang saja seringkali menjadi luas, melibatkan sejumlah orang. Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga melibatkan orang - orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tindakan tindakan kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil.8 Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam kehidupan sehari - hari bertingkah laku sejalan dengan norma - norma, nilai - nilai yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut. 7
Ibid, hal.44
8
Ibid, hal.45
6
Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka sebagai sesuatu yang prima, riil logis, sesuai dengan kodrat alam dan sebagainya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan dengan kodrat alam, dan sebagainya.9 Cara pandang individu terhadap etnis lain dan etnis tertentu akan menentukan bagaimana ia bersikap terhadap individu atau kelompok yang berasal dari etnis tersebut. Yang selanjutnya cara pandang tersebut biasanya akan diturunkan kepada anak - anaknya. Sehingga anak - anaknya memiliki pola pikir dan cara pandang yang secara nyata cenderung sama dengan orang tuanya. Apabila cara pandang negatif yang ditransfer oleh orang tua kepada anak - anaknya, maka pemikiran - pemikiran dan pandangan negatif pula yang akan diadopsi oleh anak - anaknya. Dalam ranah pergaulan sosial yang lebih luas hal itu berpotensi menghancurkan kesatuan dan memperburuk hubungan sosial diantara kedua etnis yang berbeda. Ada tiga macam sikap individu ketika berhadapan dengan individu atau kelompok yang berasal dari etnis lain, yaitu meliputi sikap antipati, sikap setengah terbuka, dan sikap terbuka. Sikap antipati yaitu sikap ketidaksukaan terhadap individu atau kelompok yang berasal dari etnis lain atau etnis tertentu. Yang selanjutnya sikap ini akan bermuara dan memproduksi perilaku sosial yang berupa 9
Ibid, hal.47
7
serentetan penolakan terhadap kehadiran etnis lain atau etnis tertentu. Individu yang memiliki sikap antipati terhadap etnis lain atau etnis tertentu biasanya memiliki kecenderungan mengeksklusifkan diri dengan etnisnya sendiri. Bentuk perilaku nyata dari sikap antipati terhadap etnis lain ini biasanya ditunjukkan dengan perilaku menjauhkan diri dari segala hal yang berhubungan dengan etnis lain. Baik dalam pergaulan sosial, kesenian, pendidikan, budaya, maupun interaksi - interaksi lainnya yang bersifat multidimensional. Disini pembauran tidak akan terjadi. Sikap setengah terbuka menunjukkan adanya penerimaan dalam derajat tertentu terhadap kehadiran individu atau kelompok dari etnis lain maupun etnis tertentu. Orang yang memiliki sikap setengah terbuka mau berinteraksi dan berhubungan dengan individu atau kelompok dari etnis lain maupun etnis tertentu, untuk hal - hal tertentu. Bentuk perilaku nyata dari sikap setengah terbuka misalnya kerjasama dalam bidang edukasi, bisnis, seni, dan ekonomi. Sikap terbuka ialah sikap menerima secara penuh terhadap kehadiran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan individu atau kelompok dari etnis lain maupun etnis tertentu. Orang yang memiliki sikap terbuka mau berinteraksi dan berhubungan dengan individu atau kelompok dari etnis lain maupun etnis tertentu untuk berbagai macam hal, tidak dibatasi untuk hal hal tertentu saja. Bentuk perilaku nyata dari sikap terbuka misalnya mengadopsi anak dari keturunan etnis yang berbeda, membentuk keluarga dengan pasangan yang berasal dari etnis yang berbeda, dalam bentuk 8
pernikahan atau perkawinan. Disini pembauran akan terjadi, dengan tingkat derajat pembauran yang tinggi. Masalah pembauran etnis merupakan masalah yang kerap ditemui dalam interaksi - interaksi sosial yang luas dan kompleks. Dalam suatu kasus, masih terdapat kelompok masyarakat etnis tertentu di suatu daerah yang menutup diri terhadap kehadiran etnis lain. Dan di banyak kasus anggota kelompok dari suatu etnis mengizinkan untuk terjadinya interaksi dan pertukaran sosial maupun ekonomis antar etnis yang sifatnya saling menguntungkan kedua belah pihak. Namun menolak dengan tegas dan keras adanya pernikahan antara dua etnis yang berbeda dengan pertimbangan dan pemikiran subjektif bahwa individu dan orang - orang dari kelompok etnisnya sendiri memiliki kualitas diri yang lebih baik, budaya yang lebih mulia, serta derajat yang lebih tinggi daripada etnis lain atau etnis tertentu. Padahal, dalam pengkajian ilmu sosial dinyatakan bahwa perbedaan etnis merupakan salah satu bentuk diferensiasi sosial, bukan merupakan bentuk dari stratifikasi sosial. Yang mana tentunya tidak akan terdapat segmentasi etnis ke dalam tingkatan - tingkatan yang menyatakan bahwa satu etnis lebih tinggi maupun lebih rendah dibanding etnis lain. Di Indonesia semua etnis adalah satu kesatuan, yang memiliki derajat yang sama, dengan keunikan kekurangan dan keunikan kelebihannya masing - masing. Pernikahan antar etnis membutuhkan kemampuan adaptasi yang lebih baik antar sesama pasangannya dibanding dengan pernikahan inter etnis. Hal ini terjadi karena setiap etnis memiliki adab, tata susila, tata krama, 9
kesopanan, dan nilai tingkah laku yang berbeda - beda. Suatu perilaku yang dianggap baik di suatu kelompok etnis belum tentu dapat dibilang baik di satu etnis lainnya. Dan mungkin bisa jadi perilaku yang dianggap baik tersebut justru merupakan perilaku yang buruk dalam kacamata etnis yang berbeda. Sehingga pemahaman akan adab, tata susila, tata krama, kesopanan, nilai tingkah laku, dan budaya menjadi sangat urgent dalam hal ini. Etnis Jawa misalnya, yang distereotipkan sebagai etnis yang memiliki tutur kata yang halus, unggah - ungguh yang kental, pribadi yang dianggap kurang memiliki daya juang. Dan Etnis Tionghoa misalnya, yang distereotipkan sebagai etnis yang memiliki daya kerja tinggi, oportunis, dan bersifat material. Padahal, semua sifat - sifat itu tidak bergantung dari etnisnya, tapi bergantung watak dan kepribadian yang melekat pada diri masing - masing individu. Banyak individu dari Etnis Jawa yang tidak berbicara dengan unggah - ungguh yang semestinya dan tutur kata yang halus, terutama pada generasi muda yang sudah “ilang jawane” dan banyak juga individu dari Etnis Jawa yang pekerja keras, sehingga ia mampu memperoleh kesuksesannya. Begitu pula sebaliknya, banyak individu dari Etnis Tionghoa yang memiliki budi yang baik, tidak hanya mengejar satu tujuan materi semata dalam setiap hubungan sosialnya, disisi lain juga membangun hubungan dan interaksi yang hangat dan berkualitas. Mereka pun punya rasa kemanusiaan yang sama di dalam nuraninya. Yang perlu diketahui disini, bahwa sikap kerja keras dan materiil yang seringkali ditampakkan orang - orang dari etnis Tionghoa merupakan “caranya” ketika ia berhadapan dan menekuni apa yang disebut dengan dunia 10
kerja. Pemahaman - pemahaman dan pengertian yang mendalam inilah yang perlu dimengerti oleh semua individu sebagai anggota masyarakat yang memiliki kultur multi etnis. Pernikahan antar etnis sendiri masih merupakan suatu bentuk abstinasi atau pantangan untuk beberapa etnis yang masih sangat kental memegang tradisi budayanya. Pernikahan antar etnis seringkali merupakan suatu bentuk pengorbanan diri. Biasanya orang yang menikah antar etnis seringkali mendapat celaan dari keluarganya. Dan dalam tingkatan yang lebih ekstrim lagi sanksi sosial biasanya berupa pengucilan dan bahkan tidak diakui keberadaannya dalam lingkup keluarga yang diperluas (extended family), maupun dalam lingkup pergaulan etnis. Karena pernikahan antar etnis seringkali masih dianggap suatu abnormalitas atau penyimpangan dari kebiasaan adat. Adanya pernikahan campur antar etnis seharusnya tidak membuat hubungan antara si pelaku pernikahan campur dengan keluarganya menjadi retak. Seringkali terjadi bahwa suku - suku bangsa yang ada di Indonesia ini telah mengaku sebagai satu bangsa. Karena itu perbedaan perbedaan yang ada seharusnya tidak dipandang sebagai pembenaran untuk melabeli, memisah - misahkan, atau menonjolkan jurang pemisah antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi justru dengan mengetahui adanya perbedaan - perbedaan tersebut dapat dicari jembatan - jembatan yang dapat lebih mempersatukan. Bila dipandang dan disikapi secara positif, dalam pernikahan campur justru akan terjadi peleburan yang baik. Biasanya, dalam suatu pernikahan 11
yang telah berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama, watak dan perilaku antara suami dan istri akan saling pengaruh - mempengaruhi. Yang mana bila keunggulan dan sifat - sifat yang baik dari kedua individu dari etnis yang berbeda tersebut digabungkan, maka akan menghasilkan perilaku campuran baru yang bercorak dinamis dan saling melengkapi. Keluarga pernikahan campur merupakan suatu arena sosialisasi yang berpengaruh terhadap pewarisan sejumlah nilai kepada anak - anaknya. Di satu pihak anak - anak diajarkan nilai - nilai yang berasal dari etnis ayahnya, di lain pihak diajarkan nilai - nilai yang berasal dari etnis ibunya.10 Anak - anak yang terlahir dari keturunan pernikahan multi etnis akan memiliki cara pandang yang lebih global dan baru. Ia akan bersikap terbuka dan open minded
terhadap
perbedaan - perbedaan etnis dan budaya yang ada di sekelilingnya. Oleh karena banyaknya suku bangsa atau etnis yang ada di Indonesia pada umumnya serta di Yogyakarta pada khususnya, mengingat bahwa etnis Jawa, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik adalah etnis yang paling besar jumlahnya, serta mengingat pula bahwa suku bangsa atau Etnis Tionghoa meskipun jumlahnya tidak sebanyak etnis Jawa namun cukup besar partisipasinya dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam hal perdagangan serta perekonomian, yang mana hal ini mau tidak mau menimbulkan terjadinya lebih luas lagi interaksi yang dibangun dan dijaga antara kedua etnis tersebut, yaitu Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa, maka penelitian ini 10
Saadah Soepono dan F.X Tito Adonis, “Dampak Perkawinan Campuran terhadap Tatakrama Daerah : Studi Kasus pada Komuniti Perkotaan Yogyakarta”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1989, hal.5
12
dikhususkan terhadap Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa dengan cakupan wilayah Kotamadya Yogyakarta. Jumlah
penduduk
Yogyakarta
menurut
latar
belakang
etnis
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Tahun 2000, adalah sebagai berikut:11
Daftar Tabel 1 : Jumlah Penduduk Yogyakarta Berdasarkan Etnis Tahun 2000 NO
S U K U
J U M L A H
1
Jawa
3.020.157
2
Sunda
17.539
3
Melayu
10.706
4
Tionghoa
9.942
5
Batak
7.890
6
Minang
3.504
7
Bali
3.076
8
Madura
2.709
9
Banjar
2.639
10
Bugis
2.208
11
Betawi
2.018
12
Banten
156
13
Lain - lain
36.789
Sumber : Badan Pusat Statistik Yogyakarta tahun 2000
11
Badan Pusat Statistik Yogyakarta, Data Statistik Tahun 2000
13
Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta dengan alasan objektif bahwasanya masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang heterogen, serta di Yogyakarta pembauran masyarakat Tionghoa cukup baik. Hal ini ditandai dengan adanya kampung pecinan, namun tidak membuat masyarakat Tionghoa mengasingkan diri dan tertutup. Mereka membaur dan berinteraksi dengan baik. Wilayah yang dijadikan objek penelitian ialah wilayah dengan pembauran Tionghoa - Jawa yang cukup baik karena kondisi tersebut memungkinkan terjadinya pernikahan campur. Bila pembaurannya buruk, maka cenderung tidak terjadi pernikahan campur. Sedangkan alasan subjektif penelitian ini dilakukan di Yogyakarta karena peneliti berdomisili di Yogyakarta, sehingga hal ini mempermudah proses penelitian.
14
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah maka permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana Pandangan Orang Jawa dan Orang Tionghoa terhadap pernikahan campur antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa dengan adanya stereotype yang ada pada masing - masing etnis?” Yang dimaksud dengan pernikahan campur dalam tulisan ini adalah penikahan antar etnis, khususnya pernikahan antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut : 1. Memahami pandangan Orang Jawa dan Orang Tionghoa terhadap pernikahan campur antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa dengan adanya stereotype yang melekat pada masing - masing etnis. Dimana kedua etnis tersebut merupakan etnis yang telah lama tinggal di Kota Yogyakarta dan memiliki stereotype yang berbeda. Penelitian ini juga bertujuan untuk inventarisasi informasi tentang pernikahan campur antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa.
15
2. Mengetahui stereotype Etnis Jawa terhadap Etnis Jawa 3. Mengetahui stereotype Etnis Jawa terhadap Etnis Tionghoa 4. Mengetahui stereotype Etnis Tionghoa terhadap Etnis Jawa 5. Mengetahui stereotype Etnis Tionghoa terhadap Etnis Tionghoa
D. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Dapat memberikan gambaran awal bagi para peneliti yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai stereotype antar etnis dalam memaknai pernikahan campur antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa.
2.
Dapat memberikan tambahan wawasan bagi semua pihak yang mempunyai perhatian terhadap permasalahan - permasalahan etnis, khusunya mengenai stereotype antar etnis dalam memaknai pernikahan campur antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa.
3.
Memberikan informasi tentang stereotype masing - masing etnis, dan pernikahan campur. Yang nantinya tulisan ini diharapkan dapat dijadikan salah satu literatur.
16
E. Kerangka Teori Indonesia
adalah
negara
multietnis,
yaitu
negara
yang
masyarakatnya terdiri dari beragam suku bangsa. Beberapa diantaranya ialah Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa. Dalam interaksi antar etnis ini, timbul stereotype tentang masing - masing etnis. Stereotype dapat mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu terhadap yang dikenai stereotype. Stereotype merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Ini akan dilihat melalui teori konstruksi sosial. Inti dari Teori konstruksi sosial ialah masyarakat sebagai kenyataan objektif dan kenyataan subyektif. Yang mana proses konstruksi sosial di dalam masyarakat berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen yang simultan, yaitu eksternalisasi, internalisasi, dan objektivikasi.12 Margaret M. Poloma, dalam “Sosiologi Kontemporer”, menyatakan konstruksi sosial adalah proses sosial melalui tindakan dan interaksi yang mana individu menciptakan secara kontinyu suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama para pelaku sosial secara subjektif.13 Peter L. Berger dalam “Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan" menyatakan bahwa “social reality is constructed”, yaitu realitas sosial merupakan hasil ciptaan manusia buatan interaksi
12
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. “Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan", Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta, 1990, hal.xx 13
Margaret M. Poloma. “Sosiologi Kontemporer”, Rajawali. Jakarta, 1984
17
intersubyektif
melalui
konstruksi
sosial
terhadap
dunia
sosial
di
sekelilingnya.14 Realitas sosial (lebenswelt) mengandung pengertian “dunia” atau “semesta” yang kecil, rumit, dan lengkap yang terdiri atas lingkungan fisik, lingkungan sosial, interaksi antar manusia (intersubyektifitas) dan nilai - nilai yang dihayati. Lebenswelt (terjemahan Inggris “life world” sedang terjemahan Indonesia “dunia kehidupan”) merupakan realitas sosial orang - orang biasa (orang awam, “the man in the street”). Dalam lebenswelt terdapat gejala – gejala sosial yang musti dideskripsikan.15 Kenyataan didefinisikan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena - fenomena yang kita akui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak
tergantung
kepada
kehendak
kita
sendiri
(Kita
tidak
dapat
meniadakannya dengan angan - angan). Kenyataan ini dibangun secara sosial.16 Kenyataan sosial adalah kenyataan ganda dari pada suatu kenyataan tunggal. Kenyataan sehari - hari memiliki dimensi - dimensi objektif dan subjektif. Kenyataan hidup sehari - hari merupakan kenyataan yang tertib dan tertata. Kenyataan hidup sehari - hari ini sudah diobjektifikasi. Artinya, sudah dibentuk oleh suatu tatanan objek - objek.17 14
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Op.Cit, hal.xxi
15
Ibid, hal.xiv
16
Ibid, hal.1
17
Ibid, hal. 32
18
Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subyektif). Masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk dari masyarakat. Kenyataan objektif dibangun untuk mengatur pengalaman pengalaman individu yang berubah - ubah, sehingga masyarakat terhindar dari kekacauan dan dari situasi tanpa makna.18 Struktur - struktur objektif masyarakat dalam pandangan sosiologi pengetahuan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tidak pernah menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses - proses eksternalisasi yang baru lagi.19 Kenyataan sosial selain menampilkan dimensi objektif (tradisi Durkeimian) juga sekaligus memiliki dimensi subyektif. Karena apa yang dinamakan masyarakat itu adalah buatan kultural dari masyarakat dari masyarakat itu sendiri. Manusia sekaligus pencipta dari dunianya sendiri (lingkungan fisik, organisasi sosial, serta sistem nilainya). Kenyataan sosial tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial, melalui tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, bekerja sama lewat bentuk - bentuk organisasi sosial, dan sebagainya. Kenyataan sosial ini ditemukan dalam pengalaman intersubyektif. Melalui intersubyektifitas itu dijelaskan 18
Ibid, hal. xxi
19
Ibid, hal. xxii
19
bagaimana kehidupan masyarakat dibentuk secara terus menerus. Konsep intersubyektifitas merujuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individu dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Kenyataan sosial yang paling penting ditemukan saat berkomunikasi atau berinteraksi tatap muka, yang mana hal itu merupakan proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial tingkat mikro, dalam kehidupan sehari - hari. Sedangkan kenyataan sosial lainnya merupakan terjemahan atau perluasan dari kenyataan tatap muka itu.20 Dunia kehidupan sehari - hari tidak hanya diterima begitu saja sebagai kenyataan oleh anggota masyarakat biasa dalam perilaku yang mempunyai makna subyektif dalam kehidupan mereka. Ia merupakan satu dunia yang berasal dari pikiran - pikiran dan tindakan mereka, dan dipelihara sebagai yang “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu.21 Stereotype yang ada dan tercipta antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa dilihat sebagai suatu realitas sosial hasil ciptaan manusia subyektif melalui konstruksi sosial di sekelilingnya, yang mana kebenarannya bersifat nisbi, dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para pelaku sosialnya. Dengan adanya stereotype - stereotype yang ada dan berkembang di kedua etnis tersebut, akan diungkapkan seperti apa pandangan - pandangan
20
Ibid, hal. xv ‐ xvi
21
Ibid, hal.29
20
individu - individu Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa tentang pernikahan silang antar etnis. Hubungan antara teori ini dengan permasalahan yang sedang kita bahas yaitu bahwa teori ini memberikan penjelasan mengenai konstruksi sosial masyarakat dalam bentuk stereotype, yang mana stereotype tersebut pada awalnya merupakan hasil ciptaan manusia yang sifatnya subjektif, kemudian dieksternalisasi
di
dalam
masyarakat.
Kemudian
set el ah
mengalami
objektifikasi, diinternalisasi oleh individu - individu yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Stereotype ini menjadi faktor yang disorot dalam mencari tahu bagaimana pandangan dan pendapat informan mengenai pernikahan antar etnis. Asumsi dasar Teori Konstruksi Sosial yaitu : (1) Realitas sosial merupakan hasil ciptaan kreatif manusia melalui konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya (2) Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan, (3) Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus (4) Membedakan antara realitas dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui memiliki kebenaran atau being yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara
21
pengetahuan diartikan sebagai kepastian bahwa realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik.22 Proses konstruksi sosial di dalam masyarakat berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen yang simultan, yaitu eksternalisasi, internalisasi, dan objektivikasi.23. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia. Eksternalisasi terjadi di mana semua individu yang mengalami mengalami sosialisasi secara tidak sempurna, bersama - sama membentuk kenyataan sosial yang baru.24 Internalisasi ialah proses dimana individu mengidentifikasi diri dengan lembaga - lembaga atau organisasi - organisasi sosial - kultural tempat individu menjadi anggotanya Internalisasi terjadi dalam proses sosialisasi di kehidupan masyarakat. Individu - individu di dalam perjalanannya di dunia sosial mengalami proses sosialisasi untuk menjadi anggota organisasi sosial. Proses sosialisasi manusia berlangsung dalam dua tahapan, yaitu tahap sosialisasi primer dan tahap sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer dialami individu pada masa kecil (masa pra sekolah dan masa sekolah). Sosialisasi
22
Ibid
23
Ibid, hal.xx
24
Ibid, hal.xxiii
22
sekunder dialami individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik dan dunia pekerjaan dalam linigkungan sosialisasi yang lebih luas.25 Pada umumnya proses sosialisasi pada tahap primer dan tahap sekunder berlangsung tidak sempurna. Karena kenyataan sosial yang komples tidak dapat diserap dengan sempurna oleh setiap individu. Setiap individu menyerap satu bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia objektif. Ada hubungan simitris antara kenyataan sosial objektif dan kenyataan sosial subjektif, namun keduanya tidak sama, tidak identik. Dalam proses internalisasi, setiap individu mengalami proses yang berbeda - beda dalam dimensi penyerapan. Ada yang lebih menyerap aspek ekstern, dan ada yang lebih meyerap bagian intern. Tidak semua individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan di mana dimensi objektif dan dimensi subjektif dalam kenyataan sosial itu.26 Objektifikasi ialah proses interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Peter L. Berger menerima adanya dunia institusi sosial obyektif. Usaha setiap masyarakat untuk melembagakan pandangan atau pengetahuan mereka tentang masyarakat mencapai tingkat generalitas yang paling tinggi, di mana dibangun suatu dunia dalam arti simbolik yang universal, yang dinamakan pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum ini dibentuk untuk menata dan 25
Ibid, hal.xxvi
26
Ibid, hal. xxii ‐ xxiii
23
memberi legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada, serta memberikan makna pada berbagai bidang pengalaman mereka sehari - hari. Berpartisipasi dalam pandangan hidup tertentu adalah salah satu bentuk objektivasi dari individu, yang menerima kenyataan objektif yang mempengaruhi hidupnya.27 Kenyataan hidup sehari - hari adalah kenyataan yang tertib dan tertata. Artinya, sudah diobjektifikasi dan dibentuk oleh suatu tatanan objek - objek.28 Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan objektivasi (objectivation). Artinya ia memanifestasikan diri dalam produk - produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen - produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur - unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu merupakan isyarat - isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses proses subjektif para produsennya, sehingga memungkinkan objektivasi itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.29 Satu kasus yang khusus tetapi sangat penting dari obyektivasi adalah signifikasi, yakni pembuatan tanda - tanda oleh manusia. Sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi - objektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi makna - makna
27
Ibid, hal.xxiii ‐ xxiv
28
Ibid, hal.32
29
Ibid, hal.49
24
subyektif. Semua obyektivasi dapat digunakan sebagai tanda, meskipun mereka semula tidak dibuat untuk maksud itu.30 Tanda - tanda dikelompokkan dalam sejumlah sistem. Maka ada sistem tanda tangan, sistem gerak gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak material, dan sebagainya. Tanda - tanda dan sistem - sistem tanda merupakan objektivasi dalam arti dapat digunakan melampaui batas ekspresi maksud - maksud subyektif “di sini dan sekarang”.31 Adanya stereotype yang berkembang tentang suatu etnis adakalanya menjadi berperan, meskipun stereotype tersebut belum tentu benar adanya. Dalam bukunya Social, Cultural, and Cognitive Factors in Stereotype Formation Craig Mc Garty et all menjelaskan bahwa stereotype adalah pikiran tertentu mengenai individu tertentu atau cara - cara tertentu dalam melakukan
sesuatu.32
Dalam
lingkup
antar
kelompok,
stereotype
mencerminkan keyakinan tentang karakteristik anggota kelompok yang dianggap berbeda dari karakteristik anggota kelompoknya. Stereotype menyebabkan prasangka rasial ketika orang bereaksi emosional terhadap suatu kelompok. Stereotype pada umumnya negatif.33
30
Ibid, hal.50
31
Ibid, hal.51
32
Craig Mc Garty, Vincent Y Yzerbyt, Russel Spears, “Social, Cultural, and cognitive factor in stereotype formation”, Cambridge University Press, 2002, hal.1 33
Don Operario, Susan T. Fiske, “Stereotypes: Content, Structures, Processes, and Context”, Malden MA : Blackwell, 2002, hal. 22‐44
25
Jadi stereotype pada dasarnya merupakan konsepsi mengenai sifat atas suatu golongan yang berdasarkan prasangka subjektif dan sifatnya tidak selalu tepat. Apabila suatu etnis memiliki citra dan stereotype yang lebih banyak baiknya, maka kita cenderung memiliki perasaan dan pikiran yang positif terhadap individu dari etnis tersebut. Yang selanjutnya pikiran dan perasaan tersebut akan menentukan bagaimana kita akan bersikap dengan individu tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu etnis memiliki citra dan stereotype yang lebih banyak kurang baiknya, maka kita cenderung memiliki perasaan dan pikiran yang negatif terhadap individu dari etnis tersebut. Yang selanjutnya pikiran dan perasaan tersebut akan megarahkan bagaimana kita akan bersikap dengan individu tersebut. Ketika dihadapkan dengan fenomena pernikahan campur atau pernikahan silang dengan etnis tersebut, kita akan cenderung merespon secara negatif pula. Respon negatif itu bisa berupa respon penolakan atau tidak menyetujui terhadap terjadinya pernikan silang antar etnis. Meskipun pada kenyataannya apa yang terdapat pada seorang individu termasuk sifat, karakter, watak, kepribadian, dan hal hal lain yang melekat dan ada pada dirinya tidak selalu sesuai dengan apa yang di stereotypekan orang - orang berdasarkan asal etnis individu tersebut.
Berdasarkan hasil interview dengan responden - responden dalam penelitian ini, individu - individu dari etnis Tionghoa sebagian besar dipandang dan di stereotypekan sebagai Individu dengan penghargaan yang tinggi terhadap kekayaan material, sehingga banyak diantara mereka yang meraih kesuksesan finansial. Kesuksesan finansial tersebut tidak terlepas dari 26
karakter - karakter mereka yang hemat, perhitungan, dan teliti dalam memegang, mengatur, dan mengembangkan uang. Yang mana tidak jarang disalahartikan menjadi “pelit” oleh orang Jawa.
Individu - individu dari etnis Jawa memiliki penghargaan yang besar terhadap kekuasaan dan kedudukan di dalam masyarakat. Yang mana kekuasaan dan kedudukan tersebut menjadi suatu harga diri atau prestise untuk mereka. Karena dengan kedudukan yang baik, di dalam kehidupan bermasyarakat orang Jawa akan merasa bangga, meskipun secara finansial dapat dikatakan pas - pasan.
27
DAFTAR
GAMBAR
1
:
BAGAN
TEORI
KONSTRUKSI
SOSIAL
Etnis Jawa Eksternalisasi
Pikiran, pandangan, perasaan
Setuju atau tidak setuju terhadap
Proses Sosial, Interaksi
Konstruksi Sosial
menjadi landasan
dan perbuatan terhadap
pernikahan campur antara
Bergaul, Berbaur
Stereotype
dan mempengaruhi
etnis sendiri dan etnis lain
Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa
Internalisasi Etnis Tionghoa
Sumber : Pemikiran Peneliti, 2013
28
F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini dipilih menggunakan metode dan model penelitian kualitatif karena data atau informasi yang ingin dicari dan ditemukan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah sifatnya unik, kompleks, merupakan gejala sosial dalam arti bukan merupakan gejala fisis, tidak berbentuk angka, namun berupa sikap, pendapat, dan pandangan. Gejala sosial ini tidak dapat dianalisis dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta, dalam pengertian ini adalah metode dan model penelitian kuantitatif. Hal ini sesuai dengan tulisan Soeprapto, S.U (2011) dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan kualitas dan biasanya tidak berbentuk angka seperti sikap, tingkah laku, pendapat, dan sebagainya. Jadi penelitiaan kualitatif memiliki arti sebagai jalan atau cara untuk mencari kembali sesuatu yang bukan berupa angka, atau sesuatu yang tidak diangkakan.34 Dengan menggunakan metode dan model kualitatif dirasa juga akan memudahkan penulis dalam mengeksplorasi konsep - konsep yang ada, menggali data lebih dalam, memperkecil resiko tingkat kesalahan, lebih fleksibel terhadap waktu, serta dapat dilakukan pengecekan ulang apabila masih meragukan data yang diperoleh.35 34
Soeprapto, “Metode Penelitian Kualitatif”, Universitas Terbuka, Yogyakarta, 1986, hal.1.3
35
Ibid, hal.1.11
29
a. Lokasi Penelitian Pemilihan wilayah penelitian dikhususkan dan dipilih di Kotamadya Yogyakarta dengan pertimbangan objektif bahwa masyarakat di Yogyakarta merupakan masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, yang tidak hanya dipadati orang Jawa dan orang Yogyakarta asli saja. Yogyakarta sebagai daerah tujuan pelajar telah menyebabkan Yogyakarta banyak didatangi oleh orang - orang dari luar daerah untuk tinggal baik untuk sementara waktu maupun dalam jangka waktu yang lama. Adanya heterogenitas ini diharapkan mampu memberikan jawaban yang beragam dan memuaskan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Alasan yang kedua dipilihnya Kotamadya Yogyakarta sebagai daerah penelitian adalah karena pembauran masyarakat Tionghoa di Kotamadya Yogyakarta yang cukup baik. Di sini memang ada kampung pecinan di daerah Pajeksan dan sekitaran Jalan Ahmad Yani Mallioboro Yogyakarta, namun dengan adanya kampung pecinan itu tidak lantas membuat masyarakat Tionghoa mengasingkan diri dan tertutup untuk interaksi - interaksinya dengan masyarakat Yogyakarta pada umumnya dan masyarakat setempat pada khususnya. Mereka berbaur dan menjalin hubungan dengan baik dengan warga - warga lainnya. Wilayah yang dijadikan objek penelitian ialah wilayah dengan pembauran Tionghoa Jawa yang cukup baik karena kondisi tersebut memungkinkan terjadinya
30
pernikahan campur. Bila pembaurannya buruk, maka cenderung tidak terjadi pernikahan campur Sedangkan alasan terakhir atau alasan subjektif dipilihnya Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah penelitian adalah karena peneliti telah lama tinggal di Yogyakarta, dan bersekolah di daerah yang terletak di tengah - tengah kampung pecinan, sehingga sedikit banyak telah memiliki gambaran awal bagaimana pola interaksi yang terjadi antara individu dari suku Tionghoa dengan individu dari suku Tionghoa, serta interaksi yang terjadi antara individu dari suku Tionghoa dengan individu dari suku Jawa. Adanya teman atau relasi dari penulis dari kedua suku ini di Kota Yogyakarta, diharapkan dapat membantu mempermudah jalannya proses penelitian dalam mengumpulkan dan mencari informan, walaupun jumlah teman atau relasi peneliti untuk kalangan suku Tionghoa belum sebanyak jumlah teman atau relasi peneliti untuk kalangan suku Jawa.
b. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini ialah orang - orang dari etnis Jawa dan etnis Tionghoa yang sudah menikah dan belum menikah, yang bekerja atau tinggal di Kotamadya Yogyakarta. Jumlah informan yang diwawancarai 16 orang, dengan rincian 8 orang informan dari etnis Jawa, 6 orang sudah menikah dan 2 orang belum menikah. Serta 8 orang dari
31
etnis Tionghoa, dengan rincian 6 orang sudah menikah, 1 orang sudah menikah tetapi saat ini sedang bercerai, dan 1 orang tidak menikah. Informan diteliti dengan cara setelah peneliti melakukan pengamatan langsung dan wawancara tatap muka.
c. Cara Menentukan Informan Pengambilan informan terhadap informan kunci (key informan) dilakukan secara purposif. Informan kunci sudah ditentukan terlebih dahulu siapa yang dapat diambil sebagai informan kunci berdasarkan tujuan penelitian. Pemilihan terhadap informan kunci dari Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa dilakukan dengan melihat frekuensi tingkat interaksi informan dengan individu atau kelompok di luar etnisnya. Informan kunci dipilih yang memiliki tingkat interaksi yang tinggi dengan individu atau kelompok di luar etnisnya, dengan tujuan agar informan yang diwawancarai memiliki kekayaan wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai etnis lawan, serta memiliki pengalaman bergaul yang memadai dengan etnis di luar etnisnya. Selanjutnya, informan diambil secara snowball.
32
Adapun kriteria wajib untuk informan adalah sebagai berikut : Untuk etnis Jawa : 1. Informan berasal dari etnis Jawa. Yang dimaksud dengan etnis Jawa disini merujuk pada pengertian : a. Individu yang lahir di wilayah Pulau Jawa, yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa daerahnya. Etnis Jawa mencakup sebagian besar wilayah Pulau Jawa bagian Tengah dan Pulau Jawa bagian Timur. b. Individu yang memiliki garis keturunan / ayah dan ibu yang berasal dari etnis Jawa. 2. Informan berumur minimal 17 Tahun, serta tidak terdapat batasan untuk usia maksimal. Usia terbawah ditetapkan usia 17 tahun dengan pertimbangan bahwa usia bahwa usia 17 Tahun merupakan usia dimana seorang individu telah menuju kedewasaan dan telah diperbolehkan untuk menikah, sebagaimana yang terdapat dalam Undang Undang Pernikahan Indonesia. Dengan begitu, pada usia ini seorang individu dinilai telah memiliki pandangan tentang pernikahan. Untuk etnis Tionghoa : 1. Informan berasal dari etnis Tionghoa, yang meliputi Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan. Yang dimaksud dengan etnis Tionghoa tersebut disini merujuk pada pengertian : 33
a. Individu yang lahir di wilayah negara Cina, yang masih menggunakan bahasa mandarin / bahasa Cina sebagai bahasa sehari hari di dalam berinteraksi dengan keluarganya (Tionghoa totok) b. Individu yang lahir di Jawa, namun memiliki garis keturunan (ayah, dan atau ibu) yang berasal dari etnis Tionghoa, atau memiliki asal usul dari Tionghoa. (Tionghoa peranakan) 2. Informan telah berumur sekurang-kurangnya 17 Tahun, serta tidak terdapat batasan untuk usia maksimal. Usia terbawah ditetapkan usia 17 tahun dengan pertimbangan bahwa usia bahwa usia 17 Tahun merupakan usia dimana seorang individu telah menuju kedewasaan dan telah diperbolehkan untuk menikah, sebagaimana yang terdapat dalam Undang Undang Pernikahan Indonesia. Dengan begitu, pada usia ini seorang individu dinilai telah memiliki pandangan tentang pernikahan.
d. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung (first hand) melalui wawancara dengan informan dan observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dari literatur literatur yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 34
e. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan alat pedoman wawancara penelitian yang berupa interview guide yang telah disusun rapi sebelum terjun ke lapangan. Peneliti melakukan sendiri proses penelitian lapangan dan observasi terhadap kondisi dan situasi obyek secara langsung. Obyek yang diteliti didudukkan sebagai manusia yang sejajar, bukan sebagai obyek yang lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya Pengumpulan data dilakukan dengan cara deskriptif dan dalam kondisi yang alamiah (natural setting). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara terhadap subjek penelitian, selain itu juga menggunakan data sekunder yang didapat dari studi literatur dan juga dilakukan observasi. Peneliti mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar, sebagaimana adanya. Untuk melakukan wawancara, disusun daftar pertanyaan (interview guide) yang dititikberatkan untuk menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian. Hal ini untuk memperlihatkan adanya konsekuensi bahwa penelitian yang dilakukan bersifat kasus yang datanya diperoleh dari informan, dan bukan responden. Dengan demikian tidak digunakan sejumlah kuesioner dan tidak diambil sejumlah sampel untuk memperoleh datanya sebagaimana penelitian survey. 35
Wawancara dilakukan secara bebas terstruktur. Yang mana proses wawancara dikarakterkan tidak ketat dan dapat dikembangkan sesuai dengan situasi yang dihadapi di lapangan, namun tetap berpedoman pada inti - inti pertanyaan penting yang terdapat pada interview guide yang telah dirancang sebelumnya. Karena apabila dikarakterkan terlalu saklek dikhawatirkan akan sulit digunakan untuk merumuskan gejala sosial yang bervariasi dan sulit untuk diprediksi. Guna mendapatkan informasi lebih mengenai stereotype dan pernikahan silang antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa, ditempuh dengan melakukan studi literatur. Literatur berasal buku - buku serta skripsi milik alumnus Universitas Gadjah Mada yang memiliki keterkaitan tema dengan penelitian ini. Buku - buku tersebut digunakan untuk memperoleh data teori, menilik keadaan geografis maupun keadaan penduduk Kota Yogyakarta, kondisi budaya, kebiasaan kebiasaan dan prinsip hidup Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa, serta tinjauan historis dan kondisi hubungan antara kedua etnis tersebut. Selain wawancara dan studi literatur, observasi terhadap informan juga dilakukan untuk menggali data atau informasi yang tersembunyi dan jawaban yang sulit diungkapkan oleh informan. Karena seringkali sebuah pernyataan diikuti dengan ungkapan dan bahasa tubuh yang menimbulkan makna berbeda dengan apa yang dicatat di dalam lembar jawaban daftar pertanyaan. Yang diobservasi mencakup mimik wajah, bahasa tubuh, perilaku, ungkapan atau ucapan dari informan. 36
Soeprapto, S.U (2011) dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif menyatakan bahwa kenyataan sosial dapat diamati melalui bahasa tubuh, perilaku, ungkapan, atau ucapan informan sendiri.36
f. Analisis Data Setelah memperoleh data, dilakukan analisa data dari data yang telah didapatkan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Metode analisa digunakan untuk menguraikan masalah yang ditarik dari bermacam - macam fakta. Metode yang digunakan bersifat kualitatif yaitu secara deskriptif analitis. Prinsip metode ini adalah peneliti berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian dengan menganalisa dari hubungan sebab akibat dan faktor - faktor tertentu yang berhubungan dengan apa yang sedang diteliti, yaitu untuk mengetahui bagaimana cara pandang Orang Jawa dan Orang Tionghoa yang memiliki stereotype tertentu atas dirinya sendiri dan stereotype tertentu atas masing - masing etnis dalam memaknai pernikahan silang antara Etnis Jawa dan Etnis Tionghoa. Dalam penelitian ini untuk melakukan analisa data digunakan cara induktif, yang berarti data - data yang didapat tidak digunakan untuk membuktikan hipotesa, tetapi lebih pada pembentukan abstraksi. 36
Ibid, hal.1.7
37
Data - data yang telah diperoleh dikumpulkian dan dilakukan pengelompokkan untuk memudahkan proses analisa data. Proses analisa data dilakukan pada saat mulainya pengumpulan data di lapangan dan terus berkelanjutan hingga penulisan laporan (on going proses). Tahapan - tahapan dalam analisis dan interpretasi data yaitu tahap pertama mengumpulkan data - data lapangan yang berupa hasil observasi dan hasil wawancara. Selanjutnya tahapan kedua dilakukan pengolahan data berupa reduksi data dan kategorisasi data terhadap data - data lapangan yang berupa hasil observasi dan hasil wawancara tersebut. Reduksi data ialah mengurangi atau menyeleksi terhadap data yang telah diperoleh peneliti, yang mana merujuk pada proses penyempurnaan data.37 Miles dan Huberman (1994) sebagaimana yang ditulis oleh Soeprapto,S.U dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif menyatakan bahwa reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan - catatan tertulis selama di lapangan.38
37
Ibid, hal.7.4
38
Ibid
38
Setelah dilakukan reduksi data, tahapan ketiga yaitu melakukan kategorisasi data setelah data direduksi. Data yang ada dikelompokkan menurut kategori - kategori tertentu. Setelah dilakukan pengolahan data berupa reduksi data dan kategorisasi data, tahapan keempat yaitu dilakukan penyajian data yang mana menyajikan data setelah diolah. Data disajikan dalam bentuk tabel, kemudian diberi penjelasan teks naratif. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soeprapto, S.U dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasanya tersaji dalam bentuk teks naratif, dan tidak jarang pula berbentuk tabel, sejauh yang ditabulasikan adalah pernyataan naratif informan, yang mana sajiannya tidak dilakukan dalam bentuk - angka. Tabulasi merupakan langkah yang dilakukan peneliti dengan cara menyatukan data atau informasi yang diperoleh dari masing - masing subyek penelitian ke dalam suatu daftar atau tabel, sehingga menjadi lebih mudah dibaca. Dalam bentuk yang sederhana penyajian data merupakan uraian deskriptif yang merupakan kumpulan dari sejumlah data yang diperoleh peneliti dan siap untuk dianalisis serta diinterpretasi untuk menuju pada kesimpulan - kesimpulan.39 Setelah melakukan penyajian data dalam bentuk tabel yang dilengkapi teks narasi, tahap kelima ialah melakukan analisis data. 39
Ibid, hal.7.6
39
Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu data yang telah didapat dan diolah tidak digunakan untuk membuktikan hipotesa, tetapi lebih kepada pembentukan abstraksi. Analisis data dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu data yang telah didapat dan diolah dianalisis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian dengan menganalisa hubungan sebab - akibat dan factor - factor tertentu yang berhubungan dengan apa yang diteliti. Setelah melakukan analisis data, tahap keenam ialah melakukan interpretasi data, yaitu mencari makna atas data - data yang terlihat, setelah data tersebut dianalis. Setelah melakukan interpretasi data, tahap ketujuh atau tahap terakhir ialah melakukan penarikan kesimpulan dan verifikasi dari data - data yang telah diinterpretasi. Penarikan kesimpulan atau verifikasi ini merupakan tahap akhir dari serangkaian tahap analisis dan interpretasi data yang ada. Penarikan kesimpulan merupakan langkah untuk menangkap makna dari serangkaian sajian data, yang dituangkan dalam bentuk kalimat yang ringkas, singkat, dan padat. Sementara verifikasi meunjuk pada upaya meninjau kembali hasil penelitian.40 Skema analisis dan interpretasi data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
40
Ibid, hal. 7.12
40
G A M B A R
2
:
A N A L I S I S
Pengolahan data Hasil pengamatan
Hasil wawancara
Data
Reduksi
lapangan
data
Kategorisasi data
Penyajian data dalam bentuk tabel dan teks
D A N
I N T E R P R E T A S I
Induktif - Data tidak digunakan untuk membuktikan hipotesis, tetapi lebih kepada pembentukan abstraksi. Analisis -Data dikumpulkan dan dikelompokkan.
data
Interpretasi data
Deskriptif Analitis - Menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian dengan menganalisa hubungan sebab akibat dan faktor - faktor tertentu yang berhubungan dengan apa yang diteliti.
Sumber : Pemikiran Penulis, 2013
41
D A T A
Kesimpulan dan verifikasi