ABSTRAKSI Onyong Umanailo, 08.100152.81, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian keagenan antara Prinsipal dengan Agen Tunggal yang Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persangan Usaha Tidak Sehat. Dibawah bimbingan Deny Slamet Pribadi, S.H., M.H. dan Erna Susanti, S.H., M.H. Perkembangan dunia Bisnis di Indonesia saat ini menunjukan peningkatan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pelaku usaha sekarang pun tidak lagi dimonopoli pelaku usaha domestik, tetapi sudah melibatkan pihak asing yang untuk mengdisribusikan produknya kedalam negeri. Setuasi ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup besar dengan jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia. Lahirnya lembaga keagenan di Indonesia dapat dilihat dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah tersebut memuat ketentuan bahwa perusahaan asing dapat menunjuk perusahaan nasional sebagai perwakilan, pembagi, dan penyalur (agen, distributor, dan dealer). Terjadinya hubungan Bisnis keagenan ini disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya (produknya) secara langsung, baik ekspor atau impor ke Indonesia. Untuk itu pihak asing disebut dengan nama prinsipal harus menunjuk agen-agennya atau perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan produknya. Disamping itu, setiap pelaku usaha diwajibkan untuk mematuhi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persangan Usaha Tidak Sehat yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar tidak setiap pelaku usaha baik distributor tunggal,Agen Tunggal maupun Prinsipal dalam menghadapi Persangan Usaha tidak menghalalkan segala cara untuk untuk mendapatkan kentungan dan tidak diberi peluang bagi pelaku pesangnya sehingga persanigan usaha dapat berjalan dengan secara sehat, dan tidak merugikan antara satu dengan yang lainnya.
A.
Latar Belakang Lahirnya lembaga keagenan di Indonesia dapat dilihat dalam rangka
pelaksaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksananaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan. Latar belakang lahirnya terjadinya hubungan bisnis keagenan ini disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya (produknya) secara langsung, baik ekspor/impor ke Indonesia. Untuk itu pihak asing yang bisa disebut dengan nama prinsipal harus menunjuk agen-agennya atau perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan produknya. Dalam perjanjian bisnis yang dilakukan antara agen dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut,
asal saja tidak
bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai Pasal 1388 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
a.
Pergertian Perjanjian Anggapan bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis tidaklah benar,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang telah diatur oleh Undang-Undang. Kebanyakan perjanjian dibuat secara lisan, sebagian orang sangat memerlukan perjanjian itu dibuat secara tertulis untuk jangka waktu tertentu atau jangka waktu lama, tetapi ini untuk tujuan praktis mengenai pembuktian. Suatu perjanjian adalah “sematamata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum, yang merupakan kepentingan pokok dalam dunia usaha”.1
Suatu perjanjian adalah “merupakan suatu peristiwa, dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu’’.2
1 2
R. Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Halaman, 2 R. Subekti,Ibid, Halaman 7
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih’’. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. ”Perjanjian” adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.3
b. Asas-Asas Hukum Perjanjian Asas-asas hukum perjanjian sebagai landasan pemikiran dalam hukum perjanjian terhadap, baik dalam sistem hukum Indonesia (civil law) ataupun sistem
camman law. Dalam hukum perjanjian Indonesia (civil law) dikenal beberapa asas hukum yaitu : a. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas yang mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu dan perikatan yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus atau kesepakatan. Dengan perkatan lain, tidak diperlukan suatu formalitas.4 b. Asas Kekuatan Mengikat Pasal 1374 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) “ semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. c. Asas Kebebasan Berkontrak Prinsip bahwa orang terikat pada persetujuan-persetujuan mengasumsikan adanya suatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat turut serta di
3
Pasal 1 angka 7 undang-undang Nomor 5 tahun 1999, Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 4
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2007, Hukum Bisnis (Dalam Persepsi Manusia modern), Penerbit Oleh PT Refika Aditama, Halaman 95
dalam lalu-lintas yuridis dan hal ini mengimplikasikan pula prinsip kebebasan berkontrak. d. Asas Kepribadian (privity contract) Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyatakan: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihakpihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya”.
c. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) suatu perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (persetujuan kehendak); b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (kecakapan bertindak); c. Suatu hal tertentu (objek tertentu); d. Suatu sebab yang halal.
1. Hukum Persaingan Usaha Anderson mengatakan bahwa persaingan di bidang ekonomi “merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama di antara sekian banyak persaingan antar manusia, kelompok masyarakat, atau bahkan bangsa”. Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persainggan usaha (business
competition) yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam “merebut” pembeli dan pangsa pasar.5 Mainers (dalam Arie Siswanto) memberikan definisikan monopoli sebagai a
market structure in which the output of an industry is controlled by a single or a group of seller making joint decisions regarding production and price. Dari pendapat Mainers, monopoli adalah “pun bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual (a group of sellers) yang membuat keputusan bersama tentang produksi atau harga.6 5
H.R Daeng Naja, 2009, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Penerbit Oleh Pustaka Yustisia, Halaman 162 6 H.R Daeng Naja, Ibid, Halaman 162
Monopoli sendiri berasal dari kata Yunani yaitu terdiri dari dua kata “Monos dan polein” monos yang berarti sendiri dan polein yang berarti penjual. Jadi dari akar kata tersebut, secara sederhana monopoli sebagai suatu kondisi di mana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.7 Menurut
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di maksud persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha
2. Pengertian Monopoli Monopoli adalah sebuah bentuk organisasi pasar di mana hanya ada satu perusahaan yang menjual sebuah produk yang tidak memiliki substitusi dekat.8 Perusahaan baru sulit atau bahkan tidak mungkin masuk ke dalam industri ini (terbukti dengan fakta bahwa dalam industri tersebut terdapat perusahaan tunggal). Definisi monopoli dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah “penguasaan atas suatu produk dan atau
pemasaran barang dan atau
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha”.
3. Perjanjian yang dilarang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat. Perjanjian-perjanjian yang dilarang adalah perjanjian-perjanjian dalam bentuk berikut ini : a. Perjanjian Oligopoli Menurut Pasal 4 ayat (1) “bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama 7
H.R.Daeng Naja, Ibid, Halaman 162 Arus Akbar Silondae, Wirawan B.Ilyas, 2011, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, cetakan ke 1, penerbit, PT. Salemba Empat, Jakarta, halaman 169 8
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.9 b. Perjanjian Penetapan Harga Pasal 5 UU Monopoli “melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atau suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.10 c. Diskriminasi Harga dan Diskon Pasal 6 “bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli
yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar dari pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama”. d. Perjanjian Pembagian Wilayah Pasal 9 “melarang pelaku usaha mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market allocation) baik yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal”. e. Pemboikotan Pasal 10 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain, sehingga perbuatan tersebut merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.11 f. Perjanjian Kartel Pasal 11 “bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang termaksud mempengaruhi harga dengan mengatur dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
9 Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tantang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 10 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 11 Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.12 g. Perjanjian Trust Pasal 11 “dinyatakan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga
mempertahankan
kelangsungan
hidup
masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau jasa pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”.13 h. Perjanjian Oligopoli Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan : (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk
secara
bersama-sama
menguasai
pembelian
atau
penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. i. Perjanjian Integrasi Vertikal Dalam Pasal 14 “bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”. j. Perjanjian tertutup (Exlusive Dealing) Dalam Pasal 15 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
12
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 13 Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang membuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok. a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.14
4. Kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat a. Kegiatan Monopoli dalam Pasal 17 “Monopoli adalah suatu struktur pasar di mana hanya terdapat satu supplier atau suatu produsen. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”. Kegiatan Monopoli adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai bangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal, sementara itu, pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak. Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan, bahkan mengendalikan tingkat harga yang diinginkan.15 b. Pasal 18 Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang 14
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 15 Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. c. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, juga melarang kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha. Baik sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lain. d. Dalam pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yaitu : 1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, atau 2. Menghalangi konsumen atau pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, atau 3. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan, atau 4. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. e. Kegiatan Dumping Pasal 20 “pelaku usaha dilarang melakukan jual rugi atau menetapkan
harga
yang
sangat
rendah
dengan
maksud
untuk
meneyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya dipasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik moonopoli dan persaingan usaha tidak sehat”.16 f.
Kegiatan Manipulasi biaya produksi Pasal 21 “pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan manipulasi biaya produksi dan biaya lain yang nantinya akan diperhitungkan sebagai salah satu komponen harga barang, jasa atau barang dan atau jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen, sehingga
16
Lihat Pasal 20 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat”.17 g. Persekongkolan Pasal 22 mengatakan “Pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan persekongkolan dengan pihak lain untuk megatur dan/atau menentukan penentang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.18
5. Pengertian keagenan (Agency) Agen atau agent (dalam bahasa Inggris) adalah perusahaan nasional yang menjalankan keagenan, sedangkan keagenan adalah hubungan hukum antara pemegang merek (prinsipal) dan suatu perusahaan dalam penunjukan untuk melakukan perakitan, pembuatan, manufaktur serta penjualan, distribusi barang modal atau produk industri tertentu.19 Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan atau jasa yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal yang seutuhnya.20
6. Pengertian Prinsipal 1. Prinsipal adalah Perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau badan hukum luar Negeri atau di dalam Negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang atau jasa yang dimiliki atau dikuasai.21
2. Prinsipal produsen adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, berstatus sebagai produsen
17
Lihat Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 18 Lihat Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 19 Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, 2008, Hukuum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,, cetakan ke 4, Penerbit, Prenada Media Grup, halaman 68 20 Eka An Aqimudin, Marya Agung Kusmasi,Heru Widodo, 2010, Op.cit, halaman 242 21 Lihat Pasal 1 angka 1,2,3 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 11/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentun dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan atau Jasa
yang menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal untuk melakukan penjualan atas barang hasil produksi dan atau jasa yang dimiliki atau dikuasai.
7. Pengertian Agen a. Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak
sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan atau jasa yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya. b. Agen tunggal berbeda dengan agen biasa, agen tunggal adalah perusahaan perdagangan nasional yang memiliki hak eksklusif atas pemasaran suatu produk atau jasa di suatu wilayah tertentu.22
8. Perjanjian Keagenan Antara Prinsipal Dengan Agen Tunggal Praktik bisnis perjanjian keagenan, antara prinsipal dengan agen tunggal maupun distributor tunggal di negara Indinesia telah melangar UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. Seperti Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatakan: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.23 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatakan: (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
22 23
Marsh and j. Soulsby, 2006, Hukum perjanjian, Op.cit, Halaman 278 Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usah. Pasal 18 tentang kegiatan monopsoni dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatakan: (1)Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
“memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut pelaku usaha, pemerintah untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembangan secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena perlu disusun Undang-undang tentang Agen dan Distributor yang dimaksudkan untuk meningkatkan aturan hukum dan memberikan perlindungan hukum yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong mempercepat pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahterakan umum, serta sebagai implementasi dari semangat jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. A. Kesimpulan Setelah melalui pembahasan dari beberapa uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka sebagai akhir dari penulisan skripsi ini penulis akan memberikan suatu kesimpulan dari masalah yang telah dibahas untuk dapat memberikan gambaran yang ringkas. Adapun kesimpulan yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut ini :
1. Bahwa perjanjian keagenan antara prinsipal dengan agen tunggal maupun distributor tunggal telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Di mana dalam klausula perjanjian atau isi perjanjian mengatakan, Agen tunggal maupun distributor memiliki hak eksklusif untuk memasarkan produk dan jasa di wilayah tertentu yang telah dinyatakan dalam perjanjian. Prinsipal tidak boleh menunjuk agen tunggal lebih dari satu atas produk dan jasa sejenis dalam wilayah yang sama. Maka perjanjian itu sudah bertentangan pada Pasal 1 (satu), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 huruf (a). 2. Perjanjian keagenaan yang dilakukan antara prinsipal dengan agen tunggal penulis mengatakan tidak di penuhinya syarat objektif, perjanjian tersebut batal demi hukum karena melanggar undangundang, ketertiban umum. Artinya, dari semulah perjanjian keagenan antara prinsipal dengan agen tunggal
tidak pernah ada suatu
perjanjian. Tujuan para pihak Dalam hal ini perjanjian yang dilakukan antara prinsipal dengan agen tunggal maupun distributor tunggal, mengingat banyaknya akibat negatif yang ditimbulkan dari adanya perjanjian Innominaat (Perjanjian tidak bernama) yang tidak diatur secara khusus dalam Undang- Undang yang berlaku di Indonesia. Penulis
melihat
harus
Pemerintah
Indonesia
segeralah
mengamendemenkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Seha.
Saran 1. untuk mekahirkan suatu perjanjian adalah gagal. Perjanjian keagenan antara prinsipal dengan agen tunggal harus di tiadakan karena dalam perjanjian tersebut telah menghanbat persaingan usaha yang sehat dan menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 2. Disini ini penulis menyarankan bahwa perjanjian yang baik dalam menjalankan praktik bisnis persaingan yang sehat tidak membatasi pelaku usaha lain untuk masuk perkompetisi dalam pasar tersebut dan para pelaku bisnis harus memiliki moral dan perilaku yamg baik untuk menciptakan ekonomi yang berdaya saing.
DAPTAR PUSTAKA A. BUKU
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,, cetakan ke 4, Penerbit, Prenada Media Grup, 2002 Aqimudin Eka An , Agung Kusmasi Marya , Widodo Heru, Solusi bila terjadi bisnis, Penerbit, Raih Asa, Jakarta, 2010
kasus
Basri Faisal, Perekonomian Indonesia (Tantangan dan Harapan Bagi kebangkitan Indonesia), Penerbit Oleh PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 2002 Burton Richard sima Akbar Silondae Arus, B. Ilyas Wirawan, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, cetakan ke 1, Penerbit, PT. Salemba Empat, Jakarta, 2011 Dhaniswara K. Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha, Penerbit oleh PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Daeng H.R. Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Jogjakarta, 2009 Ibrahim Johnny, Hukum Persaingan Usaha,(Filosofi,Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia), Penerbit Oleh Bayyumedia Publishing, Malang, 2007 _________, Penelitian Hukum Normatif (edisi Revisi), Penerbit Bayu Media Publishing, Malang, 2008 Soulsby Marsh and j., Hukum perjanjian, cetakan ke 3, penerbit, P.T. Alumni Indonesia), Jakarta, 2006
Tupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Penerbit Oleh PT Rinekka Cipta, Jakarta, 2003 Tomy M Saragi, Status Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Hukum Tata Negara, Cetakan pertama, Penerbit oleh, Tita Surga, Jokjakarta, 2011
Usman Rachmabi, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
B. Perundang Undang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Pratek Monopoli dan Persainga Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/ 1982 tentang Keagenan tunggal Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/3/2006 merupakan salah satu untuk Perjanjian Distributor (Distributorship Agreement).