1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam persoalan hukum di Indonesia saat ini, sangat dirasakan adanya ketidakpercayaan
akan
keadilan.
Hal
ini
disebabkan
keberpihakan
ketidakbebasan lembaga pengadilan. Rasa keadilan masyarakat
dan
pada umumnya
sudah mengandung unsur saling menghargai berbagai kepentingan masing-masing sehingga sudah selayaknya jika diantara rasa keadilan dari berbagai anggota masyarakat ada persamaan irama yang memungkinkan persamaan wujud dari hasil rasa keadilan tersebut. Secara filosofis tujuan hukum ialah mencapai kedamaian, yang berarti keserasian antara nilai ketertiban yang bertitik tolak pada keterikatan dengan ketenteraman yang betitik tolak pada kebebasan1, yang mengejawantah pada tugas hukum yakni kepastian hukum dan kebebasan yang serasi atau kesebandingan hukum2. Dengan demikian apabila dihubungkan dengan hukum pidana, maka tujuannya juga untuk memenuhi rasa keadilan3. Agar rasa keadilan itu dapat terlaksana, di dalam hukum pidana dikemukakan dua sokoguru dari hukum pidana yaitu perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana4. Saat ini masalah pertanggung jawaban pidana hanya menyinggung masalah kapan seseorang dipandang mampu bertanggung jawab dan kapan seseorang dipandang tidak mampu bertanggung jawab, tanpa menyinggung apakah yang dimaksud dengan pertanggungan jawab pidana itu sebenarnya. Pengadilan dimana merupakan salah satu tempat dalam proses penegakan hukum serta untuk mencari keadilan pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang dipunyai hakim yang
1
Soeryono Soekanto (1), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Ed. 1, Cet 6 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 6. 2 Soerjono Soekanto (2) dan Purnadi Purbacaraka, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Cet. 2, (Jakarta : CV.Rajawali, 1991), hal. 5. Soeryono Soekanto (1), Op.cit. hal. 6. 3 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi kedua, (Bandung,: PT. Eresco, 1989), hal 17-18. 4 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, cet. 2, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. ii.
1 Wibisono, FHUI, 2009 Patokan pemidanaan, Mulyo
Universitas Indonesia
2
tidak diatur secara ketat oleh undang-undang5, sehingga sampai saat ini masih belum mencapai harapan semua pihak dan disamping itu karena dalam sistem peradilan pidana (criminal justice systems) banyak pihak yang terlibat yaitu: Polisi, Jaksa dan Hakim serta yang tak kalah pentingnya Pengacara, serta Lembaga Pemasyarakatan. Perlu kita perhatikan bahwa posisi paling dominan ialah peranan hakim, karena hakimlah yang memutuskan terdakwa terbukti bersalah atau tidak serta mengenai masalah pertanggung jawaban pidananya yang harus diterima yaitu berapa lama yang bersangkutan akan mendapat hukuman akibat perbuatannya itu. Polisi, Jaksa dan Pengacara mewakili kepentingan rakyat dan Negara. Polisi melakukan penyidikan guna mendapatkan bukti-bukti sedangkan jaksa mempersiapkan berkas guna penuntutan perkara. Pengacara membantu kepentingan terdakwa agar tidak ada pemaksaan atau penyimpangan selama pemeriksaan sampai selesainya kasus. Dan yang sangat penting, Hakim seolah-olah mewakili Tuhan dalam menegakkan keadilan dalam memutuskan suatu perkara. Sesuai yang ditulis dalam Keputusan Pengadilan yang tertuang dalam ira-ira dan sesuai Pasal 197 ayat (1) KUHAP sebagai kepala
putusan
yang
berbunyi:
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA. Sesungguhnya masyarakat sangat mendambakan institusi peradilan menjadi tempat yang tepat guna mencari keadilan. Namun hingga sekarang semua ini masih merupakan harapan belaka bahkan faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan si Pelaku tidak menyangkut keadaan-keadaan obyektif mengenai perbuatan terdakwa, melainkan lebih dikaitkan pada sikap-sikap terdakwa selama persidangan berlangsung6. Hakim dalam mengambil keputusan sangatlah “bebas”, dan ini merupakan kekuasaan hakim sesuai dengan yang tertera dalam aturan, bahkan secara ekstrim peraturan perundang-undangan yang menjadi sandaran prinsip penerapan sistem peradilan pidana yang terpadu justru menjadi faktor kriminogen dari timbulnya kejahatan terhadap prinsip dan nilai keadilan yang terkandung dalam hukum pidana formil. Tentu saja ini dapat menjadikan suatu hal yang rawan ,dan 5
Soeryono Soekanto. 1, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Op.cit, hal. 7 Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Cet. 3, (Bandung : PT.Alumni, 2005) hal. 117-125. 6
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
3
sekarang sudah mencapai titik nadir sehingga timbul kejahatan terhadap prinsip dan nilai keadilan yang terkandung dalam hukum pidana formil atau disebut “judicial crime” sehingga menjadikan aturan perundangan tidak mampu mengendalikan perilaku jahat dan terjadi kulminasi ketiadaan keadilan (the absence of justice) dan keadaan demikian itu telah dipersepsi masyarakat 7. Sesuai dengan penjelasan Samuel Hattington, “Power tends to corrupts”. Kata-kata ini aslinya “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” yang dikatakan oleh Lord Acton (1834-1902)8 seorang ahli sejarah Inggris yang sudah diucapkan lebih dari satu abad masih sangat valid dan dapat menjadikan suatu bahaya bagi siapapun yang berkuasa, termasuk Hakim yang mempunyai kekuasaan tak terbatas akan menjadi sangat potensial melakukan hal ini. Untuk itu perlu adanya perangkat lunak guna mencegahnya serta dapat dijadikan tolok ukur bagi setiap hakim didalam pengambilan keputusan pada suatu persidangan kasus pidana dan untuk mencegah hal-hal yang menyimpang atau kemungkinan terjadinya penyimpangan, dengan harapan agar kualitas hakim dapat dijaga. Untuk itu diperlukan rambu-rambu bagi hakim agar kekuasaan yang luar biasa ini dapat betulbetul dijalankan dengan benar dan adil bagi penegakkan hukum di Indonesia. Charles Hermawan menulis dengan judul “Hakim tak pernah dianggap penting di Negara ini“, dalam arti bermutu dan berakhlak, dan menghimbau Ketua Mahkamah Agung beserta jajaranya tidak hanya bicara tapi juga bertindak nyata dalam melakukan penilaian terhadap hakim meskipun dimulai dengan jumlah hal yang sedikit dan bagaimana menilai hakim bermutu kalau tidak dilihat kualitas pengambilan keputusannya9. Dengan sendirinya diperlukan suatu perangkat lunak agar dapat dipakai sebagai alat untuk menilai kualitas keputusan hakim, dengan cara setiap putusan hakim dapat diuji kembali kebenarannya.
7
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. 1, (Jakarta : UMM Press, 2004), hal. 217-218. 8 Sri Sultan Hamengku Buwono X, ”Sabda Sultan”, Kedaulatan Rakyat ( 12 Februari 2005 ) : 1 ,Syafrudin azhar, ”Absolute Power, Corrupt Absolutely”, PARLE (11 Pebruari 2008) : 18. 9 Charles Hermawan, ”Hakim Tak Pernah Dianggap Penting di Negara ini”, Kompas (28 Desember 2002 ) : 8.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
4
Dengan maraknya kasus penyuapan yang
terdengar di kalangan hakim
bahkan disinyalir di lingkungan Mahkamah Agung10, makin menjadikan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses peradilan di Indonesia, sebab institusi hukum tertinggipun di Indonesia telah melakukan penyimpangan yang luar biasa dan sangat menyakiti hati masyarakat pencari keadilan. Ini makin jelas dengan ditangkapnya Harini Wiyoso seorang mantan hakim tinggi yang bertindak sebagai pengacaranya Probosutejo yang dituduh melakukan penyuapan bersama Sudi Achmad, Sriyadi, Suhartoyo, dan Pono Waluyo dalam jabatannya sebagai pegawai MA dalam kasus perkara kasasi Probosutejo yang saat ini sudah mulai disidangkan11. Selain itu maraknya kasus penyuapan Artalyta alias Ayin kepada jaksa agung muda Urip Trigunawan dalam persoalan BLBI atas nama Samsul Nursalim telah meluas bahkan ketua pengadilan Jakarta Barat Khaidir sejak tanggal 10 Juli 2008 MA telah menjatuhkan pembebasan atas jabatanya, karena telah menilpun Ayin untuk memberangkatkan dua hakim agung untuk bermain golf di Cina12. Saat ini tidak hanya di Jakarta saja terjadi penyimpangan tingkah laku hakim ,Komisi Yudisial telah memeriksa sedikitnya lima hakim di Jawa Timur atas pelanggaran kode etik 13 . Kondisi inilah yang perlu mendapat perhatian yang serius karena dalam melaksanakan tugasnya hakim tidak hanya perlu menegakkan Undang-Undang saja, tetapi perlu juga pertimbangan untuk tetap menjaga tegaknya hukum. Dan didalam penegakkan hukum harus ada tiga unsur yang senantiasa harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtsicherheit), kemanfaatan (Zweck massigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit)14. Disamping itu dengan adanya pendapat Roscou Pound, Wayne Lavre mengatakan diskresi yang dipengaruhi unsur penilaian pribadi hakim maka
10
Kompas “Uang 5000.000 dollar` AS Diplot Buat Bagir Manan”, Kompas ( l7 Oktober
2006 ) : 1.
11
12
1, 31. 4, 5.
13
Kompas, “Mafia Hancurkan Peradilan”, Kompas (29 April 2006) : 1. Kedaulatan Rakyat, “ Artalyta Makan Korban Lagi”, kedaulatan Rakyat (12 Juli 2008 ) : Radar Solo, ”Komisi Yudisial periksa lima hakim Jawa Timur”, Radar Solo (13 Juli 2008) :
14
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
5
gangguan terhadap penegakan hukum akibat ketidak serasian antara: nilai ,kaidah dan pola perilaku15. Dalam harapan setiap orang menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, (Fiat justitia et pereat modus) meskipun dunia ini runtuh16, namun seringkali
dalam memutuskan suatu peradilan pidana yang dilakukan hakim
hanyalah berkaitan dengan pembuktian perbuatan pidananya dengan melihat unsurunsur tindak pidana terjadi sesuai dengan pasal-pasal yang ada menggunakan KUHP dalam arti hanya mengedepankan penegakan Undang-Undang dalam arti kepastian hukum saja sehingga kemanfaatan, maupun keadilannya kurang dipertimbangkan. Karena sangat besarnya kekuasaan Hakim dan tidak adanya atau kurangnya perangkat kontrol terhadap hakim membuat seolah–olah tindakan Hakim selama ini sudah dianggap benar, tetapi yang dirasakan mayoritas masyarakat ialah adanya kejanggalan atau keanehan yang dialami yaitu tidak ditemukannya rasa keadilan dalam peradilan pidana selama ini. Keadaan ini dirasakan pula oleh ahli hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo, dalam orasinya saat upacara pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum Pidana17 : “Persoalan yang melanda Indonesia dimulai dari adanya ketidak percayaan akan keadilan (fairness), ketidak berpihakan (impartiality) dan kebebasan (independency) lembaga peradilan. Satu hal yang menjadi titik perhatian adalah perbedaan penjatuhan pidana yang mencolok antara suatu tindak pidana dengan tindak pidana lainnya… Situasi yang dikenal sebagai disparity sentencing ini merupakan… Dari perspektif sosiologis sangat dipahami jika fenomena ini dilihat sebagai suatu ketidak adilan atau legal injustice, yang mengganggu rasa keadilan masyarakat ( societal justice)”.
15
Soeryono Soekanto. 1, Op.cit. hal. 7. Sudikno. Mertokusumo, Op.cit. hal. 1. 17 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legasi Dan Pemidanaan Di Indonesia, (Orasi Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Hukum Pidana, FHUI Depok, 2003), hal. 17. 16
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
6
Di samping itu, dalam praktek sehari-hari, tugas hakim ialah menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Namun demikian dalam konteks dan sistem penegakan hukum saat ini hakim masih belum mampu menegakkan keadilan sebab masih berfungsi sebagai corong undang-undang (speaker oflaw) dan bukan sebagai corong keadilan (speaker of justice)18. Manusia punya kelemahan. Demikian pula hakim. Tetapi mereka menempati posisi sentral dalam penegakkan hukum dan keadilan. Apalagi dipersonifikasikan sebagai wakil Tuhan di dunia, pemagaran hakim ( yang punya segudang hak kekebalan terhadap hukum apapun ), menyebabkan di dunia ini tidak ada hukum yang dapat mengadili hakim, meskipun ada kejanggalan dalam memutuskan suatu perkara sebab keyakinan hakim yang sangat subyektif dan sepihak, meskipun dalam menjatuhkan pidana hakim sudah sesuai dalam Pasal 183 KUHAP19. Masalah yang berkaitan dengan peringanan pidana, maka hukuman yang seharusnya dijatuhkan ialah pidana maksimum minus sepertiga (1/3). Tetapi dalam praktek mungkin terjadi seorang “medeplictige” (pembantu) dijatuhi pidana lebih berat daripada pidana bagi “dader“ nya sendiri20. Hal ini tentu saja akan menjadi persoalan bila ditinjau satu persatu. Sehingga mengenai penegakan hukum di Indonesia dalam menghadapi kompleksitas masalah pidana dihadapkan dengan keterbatasan undang-undang yang ada sehingga perlu adanya pemikiran tersendiri untuk dapat menyelesaikan masalah disparitas dalam pemberian sanksi hukum. Terpidana yang kemudian memperbandingkan, akan merasa menjadi “the judicial caprice” dan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum. Padahal penghargaan terhadap hukum
tersebut merupakan salah satu target dalam tujuan hukum itu
sendiri21, sehingga secara langsung maupun tidak langsung merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan 18
28.
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: UMM Press, 2004), hal.
19
.Sidik Sunaryo, Ibid. hal. 29-30. . Mustafa Abdullah dan Achmad Ruben, Intisari Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. l 67. 21 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , cet. 3, (Bandung : PT Alumni, 2005), hal. 54. 20
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
7
keadilan dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana yang berlaku saat ini22. Dalam konteks bidang sistem peradilan pidana, persoalan penekanan moral dan etika merupakan pedoman aspek perilaku dari pelaksana sistem peradilan dalam melaksanakan segala ketentuan hukum prosedural yang mengatur sistem peradilan yang sangat penting, dimana dalam kenyataan dituangkan dan diwujudkan dalam kode etiknya profesi masing-masing dan tidak mempunyai sifat eksekutorialnya dilihat dari segi materi pasal-pasalnya maupun terhadap segi penegakkannya23. Kesalahan profesi seberat apapun oleh aparat penegak hukum akan dilokalisir dan disederhanakan menjadi sekedar persoalan administrasi belaka, sehingga kode etik tersebut menjadi hukum yang semu (law quacy )dan hanya dimaksudkan sebagai tirai dan dinding agar tidak ada pihak atau institusi lain berhak dan mempunyai kewenangan melakukan intervensi terhadap kesalahan mereka, pemaknaan benar, adil dan tertib, menjadi hak prerogative dari Dewan Kehormatan yang tidak pernah mengerti makna dan arti kehormatan profesi yang harus menjunjung tinggi sikap dan prinsip profesional. Kehormatan dan kebijakan perilaku, hanya dimaknai dan ditentukan oleh selembar kertas
surat keputusan yang merupakan symbol
kewibawaan dan kehormatan profesi dan asosiasi yang mereka buat 24. 1.2 Pokok Permasalahan Adanya kebebasan hakim yang tidak terbatas dalam pengambilan keputusan, karena didalam perkiranya perlu diadakan penelitian yang lebih memusatkan pembahasan pada topik yang akan ditinjau. Permasalahan dalam penelitian yang akan disampaikan adalah sebagai berikut : a. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme bagi hakim dalam hal menjatuhkan lamanya sanksi pidana kepada terdakwa sudah memenuhi rasa keadilan ? 22
Ibid. Sidik Sunaryo, Op.cit. hal. 4. 24 Sidik Sunaryo, Ibid. hal. 3-5. 23
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
8
b. Bagaimana mekanisme pengontrolan kualitas dari keputusan hakim dalam menentukan besaran hukuman pada penjatuhan sanksi pada suatu pengadilan? c. Apakah dampak bagi terdakwa dan apa dampak bagi hakim terhadap ketidakadilan dari putusan Hakim tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk memahami pelaksanaan penelitian ini, terlebih dahulu akan disampaikan tujuan penelitian supaya hasil yang dicapai bersifat utuh dan padu. Adapun tujuan penelitian ini ialah : a. Untuk mengetahui apakah KUHAP mengatur mekanisme bagi hakim dalam hal menjatuhkan lamanya sanksi pidana kepada terdakwa. b. Untuk mengetahui dampak bagi terdakwa dan apa dampak bagi hakim terhadap ketidakadilan dari putusan Hakim tersebut. c. untuk mengetahui mekanisme pengontrolan kualitas dari keputusan hakim dalam menentukan besaran hukuman pada penjatuhan sanksi pada suatu pengadilan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Dari penelitian ini secara teoritis akan didapatkan hal-hal baru sebagai berikut: a.
Secara kuantitatif diperlukan suatu patokan perhitungan pemidanaan sebagai alat bantu bagi hakim guna pengambilan keputusan agar diperoleh kesebandingan dalam penjatuhan sanksi demi keadilan.
b.
Dengan adanya model secara kuantitatif, maka ada cara baru bagi Hakim sebagai bahan penentuan sanksi dalam putusannya.
c.
Pengembangan selanjutnya untuk menilai kualitas hakim melalui pengambilan keputusannya dapat dengan mudah dilakukan pengontrolan terhadap
ada
atau tidaknya
penyimpangan–penyimpangan
yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum bersangkutan.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
9
1.4.2 a.
Manfaat Praktis Proses peradilan akan sangat memungkinkan untuk dilaksanakan secara cepat dan murah, memungkinkan pula diadakan pengontrolan, dapat mengurangi praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dalam proses peradilan serta dapat menimbulkan kepercayaan kembali masyarakat terhadap sistem peradilan sebagai tempat mencari keadilan.
b.
Dengan adanya model secara kuantitatif, maka ada cara baru bagi hakim sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan untuk menentukan lamanya sanksi pemidanaan.
c.
Sebagai
awal
pembenahan
aparat
memungkinkan adanya peradilan yang
penegak
hukum
sehingga
betul-betul tempat mencari
keadilan. d.
Meningkatkan kualitas hakim dalam suatu proses peradilan dengan harapan putusan yang dihasilkan dapat lebih dipertanggungjawabkan sehingga keadilan betul-betul dapat dilaksanakan
1.5 Kerangka Teoritis dan Konsepsional 1.5.1 Kerangka Teoritis Tema tulisan ini dibahas berdasarkan pemikiran neopositivisme25 yang tidak hanya berbicara tentang ide-ide, dimana ide yang tidak berdasarkan pemikiran impiris dianggap sebagai khayalan belaka serta menghindari semua yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
26
. Hart membedakan
lima arti “positivisme” diantaranya ialah Undang-Undang adalah perintahperintah
manusia dan analisa
layak
dilanjutkan27.
Sebelumnya akan
disampaikan suatu rangkaian definisi secara analitis dan memberikan kejelasan secara menyeluruh mengenai proses pengambilan keputusan oleh hakim. Hal ini
25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. 8. (Yogyakarta : Kanisius ,1995) hal. 174-178. 26 Ibid. hal. 174 -178. 27 Friedman .W, Teori & Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum Susunan I, (Jakarta : Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 147.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
10
dimulai dengan pembuktian terhadap dakwaan, serta pertanggung jawaban pidana dan yang diuraikan dalam KUHAP. Semua perbuatan harus dipertanggung jawabkan, termasuk perbuatan hakim dalam pengambilan keputusan. Masalah tersebut akan disampaikan dengan menggunakan dua cara analisis yaitu, analisis Hukum dengan menggunakan dasar-dasar yang tertera dalam literatur-literatur hukum serta yang tertuang dalam KUHP maupun dalam KUHAP, yaitu dengan membahas mengenai pembuktian terhadap dakwaan dan pertanggung jawaban pidana serta proses penciptaan/penemuan hukum oleh hakim dalam pembuatan keputusan dengan dibantu analisa kuantitatif, yang dapat dikembangkan lewat model yang akan digunakan sebagai alat bantu dalam
menentukan
disparitas
dari
pertanggungjawaban
pidana
guna
mendapatkan standar dalam pertanggung jawaban pidana. Selama ini pembuktian yang ada dalam praktek pengadilan terkesan baru pada masalah pidananya saja, yaitu pelanggaran pidana dengan hanya melihat unsur-unsur yang dilanggar saja, tetapi belum memperhatikan masalah pertanggung jawaban pidananya yang sangat menentukan nasib seseorang setelah sidang diputuskan sehingga keadilan bagi terdakwa masih belum dapat dijamin sebab masalah disparitas yang terjadi dalam putusan pengadilan dirasakan oleh masyarakat belum ada petunjuk yang mengatur. Pemecahan masalah ini akan terlihat jelas bila diungkapkan secara kuantitatif, sebab secara matematis dan statistik dapat diuraikan, dan menurut Pythagoras (451-497 SM) menyatakan bahwa dunia telah dibentuk oleh angka dan penyelesaianya melalui matematika28, apalagi bila penentuan perhitungannya dibantu oleh mesin seperti computer, yang menurut Dias, bahwa dia dapat membantu dan meningkatkan keadilan yang ditegakkan dengan cara-cara manusiawi dan membebaskan orang dari pekerjaan yang membosankan karena rutinitas serta dapat lebih efisien29. Demikian pula Julius Stonetentang “Man and Machine in the Search for Justice,or Why Appelate Judge Should Stay Human” yang mengatakan bahwa 28
Lili Rasyidi, Wiyasa Putra. B, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung : Mandar Maju.,2003) hal.27. 29 Sucipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti ,2000 ), hal 202
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
11
hukum harus terbuka terhadap teknik-teknik baru, apabila kehidupan sistem hukum modern kita berikut institusinya tidak ingin ambruk………….dan berikan kepada manusia apa yang manusia perlu lakukan dan kepada mesin apa yang mesin dapat lakukan30. 1.5.2 Kerangka Konsepsional Dalam konsep ini pertama kita kelompokkan delik yang sejenis dengan bobot yang sama. Misalnya delik pencurian KUHP pasal 362. Kemudian dicari rata-rata sanksinya dari kesalahan dengan menggunakan dasar perhitungan nilai uang atau
monetary value yang dicuri dan di konversi menggunakan net
present value (NPV) dan menghitung penyimpanganya atau standard deviasinya kemudian dari dasar itu maka didapat nilai kesebandingan sehingga dapat mengurangi terjadinya disparitas pidana yang disebabkan adanya diskresi, sehingga kemudian dapat menghasilkan keadilan serta dapat digunakan sebagai standar atau tolok ukur untuk memudahkan hakim menjatuhkan sanksi, serta guna pengontrolan putusan hakim. 1.6 Metode Penelitian Suatu penelitian di bidang hukum merupakan suatu aksioma pengembangan ilmu hukum. Metodologi yang diterapkan harus disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya31. Penelitian ini akan diarahkan pada Hukum Acara Pidana, sehingga metode penelitiannya mempunyai ciri-ciri tertentu yang menjadi identitasnya. Hukum acara pidana dimaksud ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai bagaimana beracara dalam peradilan pidana. Suatu metodologi dimaksudkan sebagai suatu proses, prinsip, dan prosedur untuk mendekati suatu permasalahanya dan menjawabnya, oleh sebab itu penelitian mengemukakan permasalahan yang melingkupi proses pembuktian, serta keputusan hakim dalam masalah pertanggung jawaban pidana dengan menguraikan pembahasan jawabannya. Berdasarkan permasalahan yang ada dalam tema ini, di uraikan dengan 30
Ibid. hal. 202, 203. Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : Rajawali Pers, 1985), hal. 1. 31
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
12
melakukan pembahasan melalui sejumlah perencanaan penelitian secara case studi design32, dengan menggunakan cara simulasi. Tipe yang menjadi pilihan dalam perencanaan penelitian dasarnya ialah tipe yang dapat diterapkan dalam penelitian hukum normatif. Dalam mencari sumber data dan rujukannya, dipergunakan alat pengumpulan data yaitu literatur hukum yang berkaitan dengan pengambilan keputusan hakim serta bahan sekunder seperti buku, surat kabar dan media massa lainnya yang membahas masalah kemelut di lingkungan peradilan. Dokumen atau bahan pustaka yang digunakan meliputi data sekunder sebagai data yang diperoleh dari bahan lainnya
33
. Kemudian seluruh data yang
diperoleh dilakukan pengolahan, analisis, dan konstruksi data yang digabungkan dengan maksud memberikan deskripsi atau proses pengambilan keputusan hakim dan untuk melanjutkan hasil penelitian akan disampaikan dalam bentuk yang bersifat deskriftif analitis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian kepustakaan. Alat pengumpulan datanya melalui studi dokumen dan penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran tentang apa yang terjadi beserta permasalahan yang dihadapi ditambah data yang ada. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang terdiri atas : a. Bahan hukum Primer berbentuk peraturan perundang – undangan dan penelitian pada pengadilan khususnya di Jakarta. b. Bahan hukum Sekunder berbentuk buku-buku, artikel hukum. c. Bahan hukum Tertier berbentuk kamus dan ensiklopedia. Jenis penelitian ini ialah penelitian kepustakaan dan metode analisa yang digunakan ialah metode kuantitatif dan kualitatif dengan penyajian laporan deskriftif– analitis. 1.7 Sistematika Penulisan
hal.55.
32
Soerjono Soekanto (3), Pengantar Penelitian Hukum , Cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986),
33
Soerjono Soekanto (1), op.cit. hal. 12.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
13
Penulisan dilakukan dengan pendekatan yuridis formal sehingga dihasilkan rumusan suatu penelitian yang merupakan hasil analisis terhadap sistematika hukum, yaitu khusus terhadap bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder 34. Adapun uraian tentang permasalahan dalam pembahasan tema, akan disampaikan sebagai berikut: BAB I : Bab ini membahas latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teoritis dan konsepsional, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Semua ini merupakan penjelasan singkat dari isi tulisan secara keseluruhan. BAB II : Bab ini membahas masalah pertanggung jawaban pidana dalam penegakan hukum yang masing-masing babnya terdiri atas penegakan hukum yang mana sub bab nya terdiri dari kepastian, kemanfaatan, keadilan. Bab selanjutnya akan membahas tentang tujuan, sifat, dan tugas hukuman yang masing-masing sub babnya terdiri atas hukuman, tujuan hukuman, sifat hukuman dan tugas hukuman. Dalam bab selanjutnya akan dibahas tentang pertanggung jawaban pidana dan dalam bab terahir akan dibahas mengenai pikiran-pikiran pertanggungan jawab pidana yang masingmasing sub babnya terdiri atas aliran dalam delik, tanggung jawab dan kemampuan bertanggung jawab, melawan hukum dan sifat melawan hukum. BAB III : Bab ini membahas ruang lingkup pengambilan keputusan hakim yang bab-bab nya terdiri atas tugas hakim dalam penegakan hukum yang di dalamnya menjelaskan tentang hakim dan kekuasaan hakim, putusan hakim dan penemuan hukum. Dalam bab selanjutnya akan dibahas mengenai perkembangan penemuan hukum oleh hakim yang masing-masing sub babnya menjelaskan tentang keputusan hakim di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam pengambilan keputusan, doktrin serta pribadi hakim. Dan dalam bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai resiko dalam pengambilan keputusan yang masing-masing sub bab nya akan menjelaskan tentang pengambilan keputusan dalam manajemen, di dalam pengadilan, bias yang menjadi faktor penyimpangan. BAB IV : Bab ini membahas analisa tentang keadilan dalam peradilan bagi masyarakat dengan menggunakan perhitungan simulasi hitungan, disamping itu juga 34
Soerjono Soekanto (2), op. cit., hal. 70.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
14
akan menerangkan mengenai peradilan pidana dalam prespektif, sistem peradilan pidana di Indonesia, sehinnga didapatkan teknik “Patokan Besaran Hukuman Sebagai Alternatif ” serta menganalisa permasalahan dalam pembahasan skripsi ini. BAB V : Berisi kesimpulan dan saran yang merupakan hasil analisis atas sistem pengadilan, yaitu tentang penegakkan keadilan. Selain itu, cara pengambilan keputusan hakim yang dapat mewakili penegakkan keadilan dalam suatu penegakkan hukum
dan dapat dikatakan merupakan pelaksanaan suatu
“Criminal Justice
Systems”, dan saran-saran penggunaan cara yang diusulkan.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia