perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumberdaya hutan sebagai sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan nikmat Tuhan yang harus dimanfaatkan sebagai sumber penunjang hidup bagi bangsa yang berkualitas dan mandiri. Dalam hal ini merupakan tanggungjawab negara untuk dapat mengelola sumberdaya
hutan
tersebut
agar
dapat
dimanfaatkan
sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sebagaimana dikemukakan pada pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat”. Guna memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka penyelenggaran kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan berkeadilan dan berkelanjutan sebagaimana bunyi Sila 5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan 1, serta bertujuan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. 2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. 3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. 4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. 1
Pasal 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan 2. Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan. 3 Sampai dengan tahun 2005, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap yaitu seluas 126,8 juta hektar, yang terbagi ke dalam beberapa fungsi seperti konservasi seluas 23,2 juta hektar, lindung seluas 32,4 juta hektar, produksi terbatas seluas 21,6 juta hektar, produksi terbatas seluas 21,6 juta hektar, produksi seluas 35,6 juta hektar dan produksi yang dapat dikonversi seluas 14,0 juta hektar.4 Dari fungsi konservasi secara keseluruhan seluas 23,2 juta hektar, seluas 83.149,34 hektar diantaranya berada di Provinsi Jawa Barat dengan rincian sebagai berikut: Cagar Alam seluas 50.333,64 hektar, Suaka Margasatwa seluas 13.617,5 hektar, Taman Wisata Alam seluas 4.774,39 hektar dan Taman Buru seluas 12.420,7 hektar5. Namun kawasan-kawasan hutan konservasi tersebut saat ini tengah berada dalam ancaman kerusakan, penurunan mutu dan upaya-upaya eksploitasi. Ancaman terhadap kawasan kawasan hutan konservasi, di samping muncul dari sebab-sebab alam, juga diakibatkan aktivitas manusia. Kerusakan atau punahnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh beberapa penyebab yaitu perusakan langsung, konservasi lahan, eksploitasi berlebihan, populasi, pemungutan secara langsung populasi spesies secara berlebihan dan pengenalan spesies eksotik. Di samping itu tekanan-tekanan
2
Pasal 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 4 Andri Santosa dkk. Pokja Kebijakan Konservasi. Cetakan I Jakarta 2008 hal. 21 5 , 2011. Hal 33-34 3
2
.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang muncul, baik secara langsung ataupun tidak langsung atas aktivitas manusia dapat menyebabkan musnahnya keragaman hayati 6. Kerusakan berbagai keanekaragaman hayati antara lain muncul akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tambang, pengusaha perkebunan maupun pengusaha hak pengusahaan hutan yang berusaha
menerobos kawasan-kawasan
konservasi yang di duga memiliki sumber daya alam hutan ataupun tambang yang terdapat di dalam kawasan konservasi yang ada. Ancaman lain yang tidak kalah besar dampaknya terhadap keberadaan kawasan konservasi muncul dari masyarakat sekitar hutan. Ancaman tersebut berupa pengambilan kayu, pembukaan/perambahan lahan, pertambangan ataupun perburuan liar. Salah satu kawasan hutan konservasi di Provinsi Jawa Barat yang mengalami kerusakan adalah Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang dan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Guntur sebagai akibat dari kegiatan pertambangan pasir secara
. CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung
Guntur semula Kompleks Hutan Gunung Guntur merupakan kawasan hutan yang ditetapkan berdasarkan GB. Tgl. 7-7-1927 No.27 dan No.28, kemudian pada tahun 1979 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 170/Kpts-UM/9/1979, Kompleks Hutan Gunung Guntur ditunjuk sebagai Cagar Alam seluas 7.500 Ha dan sebagai Hutan Wisata seluas 500 Ha 7. Selanjutnya terjadi perubahan luas kawasan CA. dan TWA. Kawah Kamojang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 110/Kpts-II/1990 tanggal 14 Maret 1990 menjadi CA. seluas 7.805 Ha dan TWA. seluas 481 Ha. Kemudian pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.274/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 terjadi perubahan luas dan status fungsi CA. Kawah Kamojang dari CA. seluas 8.286 Ha menjadi TWA. seluas 250 Ha, Hutan Lindung (HL) 500 Ha, dan CA. Seluas 7.536 Ha. Secara administratif pemerintahan kawasan CA. Kawah Kamojang dan TWA.
6
Mas Ahmad Santosa,
, Jakarta, 1998, hlm.3 7 Berdasarkan surat keputusan ini sekaligus terjadi perubahan nama semula Kompleks Hutan Gunung Guntur menjadi Cagar Alam Kawah Kamojang.
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gunung Guntur berada di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pertambangan pasir di CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur yang terjadi saat ini, pada awalnya merupakan program Pemerintah Daerah Jawa Barat dalam rangka penanggulangan bahaya longsoran lahar dingin Gunung Guntur, yang dimulai pada bulan Mei 1996. Sebagai langkah awal
Pemerintah
Daerah
Jawa
Barat
mengajukan
permohonan izin penanggulangan bahaya longsoran lahar dingin Gunung Guntur kepada Menteri Kehutanan dan hasilnya Menteri Kehutanan memberikan dukungan kepada kegiatan penanggulangan bahaya longsoran lahar dingin. Adanya dukungan dari Menteri Kehutanan ini, kemudian Januari 1997 Gubernur Jawa Barat memberikan izin pertambangan daerah eksploitasi bahan galian golongan C atas nama PT. Panca Satria Karya Utama di lokasi kantong-kantong lahar Gunung Guntur yang berada dalam kawasan hutan konservasi. Adanya ijin usaha pertambangan ini membuat masyarakat merasa tidak puas dan pada Agustus 1997 perwakilan masyarakat melakukan protes kepada DPR RI, Presiden dan Wakil Presiden, Menhut, Mendagri, Menpan, Jaksa Agung, Menhankam dan Menteri KLH, namun disisi lain ada kelompok masyarakat yang memanfaatkan program pengerukan kantong lahar dingin untuk kepentingan pribadi, masyarakat beramai-ramai ikut melakukan penambangan pasir tanpa izin. Melihat kondisi dan situasi penambangan pasir di CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur semakin tidak terkendali dan berdampak negatif terhadap kawasan hutan, akhirnya Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.06/Menhut-VII/2005 perihal pertambangan di dalam kawasan hutan tanggal 19 Juli 2005, isinya antara lain: tidak menerbitkan kuasa pertambangan di dalam kawasan konservasi dan di dalam kawasan hutan lindung yang kegiatannya penambangan dilakukan dengan pola penambangan terbuka. Sebagai tindak lanjut, Bupati Garut menerbitkan surat nomor 522.81/132/Dishut tentang pengamanan kawasan hutan gunung guntur tanggal 01 Februari 2006 antara lain : menghentikan kegiatan penambangan
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pasir (bahan galian golong C) di hutan lindung Gunung Guntur. Dengan adanya surat Bupati Garut tersebut aktivitas pertambangan pasir oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki izin langsung berhenti dan tidak lagi melakukan aktivitas penambangan. Namun yang menjadi permasalahan kemudian adalah pertambangan tanpa izin yang dilakukan oleh masyarakat masih terus berlangsung. Pertambangan pasir secara
ini telah menimbulkan keresahan
warga masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur, sebagaimana pemberitaan Koran Kompas pada Edisi 8 Oktober 2011 memuat berita dengan Tajuk “Pak SBY, Tolong Lihat Langsung Gunung Guntur!” yang memberitakan tentang keresahan warga masyarakat
terhadap
adanya
aktivitas
pertambangan
pasir
illegal,
8
selengkapnya sebagai berikut : "Kepada Presiden SBY, dengan tulus hati saya memohon untuk melihat langsung kondisi Gunung Guntur yang telah sedemikian (rusak) parah akibat penggalian pasir tersebut. Gunung kok digali terus? Bisa berabe kalau masih dibiarkan. Pasir sangat berbeda dengan pepohonan. Kalau sudah habis digali, kondisi tanah akan berada dititik nadir mengkhawatirkan," katanya. Sukron menyebutkan, penggalian besar-besaran akan sangat membahayakan kehidupan warga di sekitar. Dengan laju kerusakan hutan yang sangat tinggi di Indonesia ini, ia menyarankan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Lingkungan Hidup (KPK-LH) yang tugasnya memonitor pemerintah daerah yang telah mengizinkan eksploitasi hutan tanpa visi pembangunan berkelanjutan. "Di dalam praktik usaha eksplorasi alam juga terdapat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme," katanya. Pembalakan bahan material berupa pasir, menurut Sukron, akan mengakibatkan kondisi tanah terdegradasi, bahkan mengakibatkan gunung tersebut tidak akan sekokoh dulu menahan bencana alam. Apabila masih terjadi penggalian pasir di Gunung Guntur, katanya, mereka yang membiarkan penggalian pasir di sekitar kaki gunung telah berbuat jahat, termasuk pemerintah dan para pengusaha.” Di samping itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi melalui surat nomor 1348/45.03/BGV/2007 tanggal 10 September 2007 perihal Laporan Singkat Gerakan Tanah di Lereng Gunung Guntur, Kec. Tarogong, Kab. Garut, Prop. Jawa Barat, memberikan peringatan bahwa 8 Kompas.com, “ ”, Edisi 8 Oktober 2011, terdapat dalam http://regional.kompas.com/read/2011/10/08/17103263, diakses tanggal 19 Desember 2012, pukul 10.30 WIB.
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penambangan pasir di kawasan CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur sangat berbahaya mengingat kondisi topografi berada pada ketinggian di atas 1.500 mdpl. Aktivitas penambangan pasir tersebut, di samping menimbulkan keresahan dan membahayakan pemukiman penduduk, juga jelas menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar di samping kerugian secara ekologi. Kerugian secara ekologi menjadi tak ternilai harganya, mengingat fungsi hutan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, dan bahkan nampak jelas di hadapan kita sekarang ini sering munculnya bencana alam yang terjadi, baik itu kekeringan di musim kemarau, longsor dan banjir di musim hujan. Menurut Pers Briefing yang disampaikan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan tanggal 10 April 2004, yang dikutib oleh Unu Nitibaskara9, menyebutkan; “Fakta di lapangan menunjukkan pertambangan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan. Di lokasi-lokasi pertambangan terlihat jelas bagaimana wajah hutan Indonesia yang hancur karena penggalian, pembuangan limbah batuan ( ) dan limbah tailing serta aktivitas penunjang operasi tambang lainnya. Beberapa perusahaan yang akan menghentikan kegiatan tambangnya menyatakan tidak mampu menghutankan kembali belas-bekas lubang tambang dan kolam limbah mereka. Lubanglubang dibiarkan terus menganga dan menjadi danau asam beracun pasca penambangan. Begitu pula kolam limbah tailing akan menjadi hamparan pasir yang mengandung logam berat dalam kurun waktu sangat panjang.” Selanjutnya
Unu
Nitibaskara
mengutip
pendapat
Mirza,
bahwa
pertambangan di kawasan hutan lindung Indonesia merugikan negara US$32,8 miliar pertahun. Itu belum termasuk berbagai potensi kerugian yang harus dibayar masyarakat sebagai biaya sosial yang harus dikeluarkan sebagai dampak hilangnya fungsi-fungsi jasa ekosistem dari kawasan hutan lindung 10. Syofiarti dan Titin Fatimah menyatakan; “Kerusakan lingkungan terjadi sebagai akibat dari sistem penambangan yang tidak mengikuti kaidah yang benar, seperti rusaknya tanah pucuk ( ), 9 Unu Nitibaskara, Universitas Nusa Bangsa, Bogor, 2005, hlm. 3 10 , hlm. 5
, Pusat Studi Lingkungan
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjadi lubang-lubang bukaan yang besar, batas kemiringan tebing galian sangat curam, dan tinggi dinding galian sangat dalam. Akibat dari kerusakan lingkungan tersebut juga mempengaruhi lingkungan lain, seperti terjadinya perubahan bentuk lahan, berubahnya fungsi lahan, tidak berfungsi tatanan air, terjadinya pencemaran debu, bekas lahan tambang menjadi gersang karena tidak ada vegetasi, sehingga terjadi perubahan suhu di sekitar lokasi11. Menurut Jazaul Ikhsan, Masaharu Fujita dan Hiroshi Takebayashi 12, menyatakan: “
”. (Penambangan pasir yang tidak terkendali telah menyebabkan masalah serius di Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti tidak berfungsinya fasilitas pengendalian sedimen, jembatan, dan irigasi akibat penggalian, saluran, dan ketidakstabilan sungai akibat degradasi dasar sungai di hilir, dan perusakan habitat perairan dan riparian karena alam dan sedimen buatan). Lebih lanjut M. Naveen Saviour13 yang menyatakan:
(Pertambangan yang dilakukan dengan tidak mengikuti kaidah pertambangan telah menyebabkan degradasi lahan, kebakaran tambang dan penurunan kualitas air yang mengarah ke gangguan topografi, ketidakseimbangan ekologi dan kerusakan lahan di dalam dan sekitar wilayah pertambangan). Hal senada juga dinyatakan oleh Jafaru Adam Musah14:
11
Syofiarti dan Titin Fatimah,
terdapat dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1708924_1907-5820.pdf, diakses tanggal 31Oktober 2012 pukul. 19.55 WIB. 12 Jazaul Ikhsan, Masaharu Fujita dan Hiroshi Takebayashi, “Sustainable Sand Mining Management in Merapi Area Using Groundsills”, dalam jurnal Annuals of Disas. Prev. Rest. Inst. Kyoto Univ., No. 52B, 2009, hlm. 648 13 M. Naveen Saviour, “Environmental Impact of Soil and Sand Mining: A Review”, dalam International Journal of Science, Environment and Technology, Vol. 1, No 3, 2012, hlm 125. 14 Jafaru Adam Musah, “Assesment of Sociological and Ecological Impacts of Sand and Gravel Mining – A Case Study of East Gonja District (Ghana) and Gunnarsholt (Iceland)”, dalam Land Restoration Training Programme Keldnaholt, 112 Reykjavík, Iceland, Final Project 2009, hlm. 100
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Pertambangan pasir dan kerikil menyebabkan dampak sosial dan ekologi yang serius, masalah ini termasuk degradasi lahan, kerusakan air, hilangnya lahan pertanian produktif, kerusakan bentang alam dan keindahan tanah, penyebaran penyakit, membahayakan satwa liar dan keanekaragaman hayati, dan konflik atau konfrontasi). Mengingat fungsi kawasan hutan sebagai hutan konservasi dan memperhatikan dampak negatif adanya aktivitas penambangan pasir secara tersebut, maka pada tahun 2008 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (selanjutnya disingkat BBKSDA Jabar) melakukan operasi penertiban kepada para pelaku tindak pidana penambangan pasir dengan mengerahkan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Elang, dalam operasi ini diketahui bahwa aktivitas penambangan pasir mencapai luas ± 100 hektar, dengan jumlah masyarakat yang melakukan penambangan pasir sekitar 150 orang dan alat angkut pasir berupa truk terhitung sekitar 50 mobil per hari. Sehingga diperkirakan laju kerusakan/ penggalian pasir sejauh 1 s/d 2 meter per hari dengan panjang galian lebih kurang 300 m dan kedalaman lebih kurang 2 s/d 3 meter. Akan tetapi operasi penertiban ini menjadi tidak efektif untuk menghentikan penambangan pasir, dikarenakan pada operasi ini tidak diikuti dengan proses fungsionalisasi hukum pidana kepada para pelaku, tetapi hanya dilakukan pengusiran pelaku penambangan keluar dari batas kawasan hutan, sehingga kegiatan penambangan pasir hanya berhenti sementara. Pada tahun 2010 penambangan pasir marak terjadi lagi, sehingga pada bulan Maret 2011 dilakukan operasi penertiban kembali oleh BBKSDA Jabar bekerjasama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat, dalam operasi ini ditangkap seorang pelaku penambangan pasir yang menggunakan alat berat, dan melalui Pengadilan Negeri Bandung pelaku divonis 5 bulan pidana penjara, sedangkan terhadap pelaku tindak pidana
penambangan pasir
yang
menggunakan alat manual tidak dilakukan penangkapan tetapi hanya pengusiran keluar batas kawasan hutan. Adanya penjatuhan vonis sanksi pidana penjara ini tidak memberikan efek jera kepada masyarakat pelaku tindak pidana penambangan pasir untuk menghentikan aktifitasnya.
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pemberitaan dari SindoNews edisi 16 September 2012 dengan Tajuk “Marak penambang liar, Gunung Guntur berpotensi longsor15, bahwa penambangan pasir masih marak terjadi, dan juga berdasarkan laporan dari Seksi KSDA Wilayah V Garut bahwa pasca operasi penertiban bulan Maret 2011 dan sampai dengan sekarang ini tindak pidana penambangan pasir masih terus terjadi dan bahkan terdapat kecenderungan kegiatan penambangan pasir
ini
telah
sistematis
dengan
melibatkan
banyak
pihak
yang
berkepentingan. Akan tetapi upaya fungsionalisasi hukum pidana kehutanan oleh BBKSDA Jabar (Polhut/PPNS Kehutanan) belum berfungsi secara maksimal, sehingga ketentuan hukum pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun dalam Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, sebagai sarana untuk mengatasi permasalahan tindak pidana kehutanan belum dapat diwujudkan secara nyata. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “FUNGSIONALISASI
HUKUM
PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENAMBANGAN PASIR DI CAGAR ALAM KAWAH KAMOJANG DAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG GUNTUR”
Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
15 SindoNews “ ”, Edisi 16 September 2012, terdapat di http://daerah.sindonews.com/read/2012/09/16/21/672823, diakses 19 Desember 2012 pukul 09.35 WIB.
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan belum berfungsinya hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana penambangan pasir di CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur? 2. Langkah-langkah
apa
saja
yang
dapat
dilakukan
dalam
upaya
penanggulangan tindak pidana penambangan pasir di CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan belum berfungsinya hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana penambangan pasir di CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur. 2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana penambangan pasir di CA. Kawah Kamojang dan TWA. Gunung Guntur.
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian perkara tindak pidana penambangan pasir di kawasan hutan konservasi. b. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah. b. Memberikan kontribusi terhadap
berbagai pemecahan masalah
khususnya tentang fungsionalisasi hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana penambangan pasir di kawasan hutan konservasi CA. Kamojang dan TWA. Gunung Guntur.
10