1
1.1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Imunisasi merupakan cara meningkatkan kekebalan tubuh secara aktif
terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar penyakit tersebut dan terbukti sebagai upaya kesehatan masyarakat yang paling cost effective (Depkes RI, 2004, Nelson et al, 2004). Imunisasi telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956 diawali dengan imunisasi cacar, disusul imunisasi BCG untuk tuberkulosis tahun 1973, imunisasi TT pada ibu hamil pada tahun 1974, imunisasi DPT pada bayi tahun 1976, imunisasi polio pada tahun 1981, imunisasi campak
pada
tahun
1982,
dan
imunisasi
hepatitis
pada
tahun
1997
(Muchlastriningsih, 2005a). Ali (2003) dalam Cayawati (2009) menyatakan sejak WHO menetapkan EPI (Expanded Program on Immunization) pada tahun 1977, imunisasi menjadi upaya global dengan cakupan imunisasi dasar anak meningkat dari 5% menjadi 80% di seluruh dunia. Di Indonesia upaya imunisasi pun diperluas menjadi program pengembangan imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi atau PD3I (Depkes RI, 2004). Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang disebabkan oleh virus measles dan sangat mudah menular melalui droplet bersin atau batuk dari penderita (Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005). Menurut Muchlastriningsih (2005b), pada sidang CDC/PAHO/WHO 1996 dinyatakan penyakit campak dapat dieradikasi karena manusia adalah satu-satunya penjamu/host penyakit campak. Pada sidang WHA tahun 1998 telah ditetapkan kesepakatan Reduksi Campak (RECAM) yaitu 1
2
penurunan
jumlah
kasus
dan
kematian
akibat
campak.
Berdasarkan
Muchlastriningsih (2005a), selain RECAM, di Indonesia juga dilakukan upaya Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE), dan reduksi Hepatitis B yang sejalan dengan kebijakan dan komitmen global. Komitmen RECAM di Indonesia terutama diarahkan untuk mencegah KLB campak pada anak sekolah, memutus rantai penularan dari anak sekolah ke balita, serta mencegah KLB pada balita. Imunisasi merupakan salah satu upaya terbaik untuk menurunkan angka insiden campak. Pemberian satu dosis vaksin campak diharapkan dapat memberikan perlindungan paling sedikit 16 tahun. Sebuah studi di komunitas terbuka dengan booster virus campak liar menunjukkan 6 – 8 tahun setelah imunisasi campak, 85% sampel masih memiliki antibodi. Meskipun titer antibodi campak setelah imunisasi lebih rendah dibandingkan setelah paparan virus campak liar, imunitasnya masih dapat terdeteksi sampai usia 23 tahun, bahkan seumur hidup (Handayani, 2005). Sebelum imunisasi campak dipergunakan secara luas di dunia, banyak kasus campak yang menginfeksi anak-anak. Kasus dengan gizi buruk meningkatkan angka kematian karena campak. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia saat itu memiliki angka kesakitan campak 1.000.000 per tahun dengan 30.000 kematian. Hal ini menyebabkan Indonesia diidentifikasikan sebagai salah satu dari 47 negara prioritas untuk melakukan akselerasi dan menjaga kesinambungan reduksi campak oleh WHO dan UNICEF (Ditjen PP dan PL Depkes RI, 2009). Program imunisasi campak di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1982 dan pada tahun 1991 Indonesia dinyatakan telah mencapai imunisasi dasar lengkap (Unniversal Child Immunization atau UCI) secara nasional (Muchlastriningsih,
3
2005b). Berdasarkan data SKRT tahun 1996, insiden campak pada balita tercatat 528 per 10.000, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 1982 sebelum program imunisasi campak dimulai yaitu sebesar 8000 per 10.000 (Handayani, 2005). Di Bali sendiri insiden campak tahun 2004 masih tergolong tinggi yaitu 41,48 per 100.000 penduduk, pada tahun 2005 menurun menjadi 34,18 per 100.000 penduduk, pada tahun 2006 kembali meningkat menjadi 49,9 per 100.000 penduduk, dan tahun 2007 menurun 33,46 per 100.000 penduduk. Sejak diadakannya Kampanye Imunisasi Campak di Provinsi Bali pada akhir tahun 2007, insiden campak pada tahun 2008 mengalami penurunan drastis menjadi 2,38 per 100.000 penduduk, namun kembali meningkat pada tahun 2009 yaitu 6,6 per 100.000 penduduk, dan tahun 2010 4,1 per 100.000 penduduk (secara rinci dapat dilihat pada lampiran 4). Dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Bali, pada tahun 2010 angka insiden campak tertinggi terdapat di Kabupaten Karangasem (2,47 per 100.000 penduduk) dan Kabupaten Badung memiliki angka insiden yang tergolong 5 terendah (0,40 per 100.000 penduduk) (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2011). Ironisnya, ketika pencapaian imunisasi di Provinsi Bali tercatat telah mencapai target, demikian pula dengan pencapaian imunisasi campak pada seluruh kabupaten di Bali yang tertuang dalam Laporan Tahunan Kegiatan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2010 (data dapat dilihat pada lampiran 5), justru masih ditemukan kasus-kasus KLB Campak pada beberapa kabupaten seperti Kabupaten Karangasem 3 KLB (96 kasus) dengan 2 kematian, Gianyar 1 KLB (2 kasus), dan Buleleng 7 KLB (45 kasus) (secara rinci dapat dilihat pada lampiran 6). Sampai dengan Bulan Oktober 2011, KLB campak (konfirmasi) kembali terjadi di Kabupaten Karangasem sebanyak 2 kali.
4
Menurut Handayani (2005), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi respon imun seseorang terhadap imunisasi campak, salah satunya adalah faktor vaksin yang meliputi potensi vaksin, strain yang digunakan, dosis, cara penyimpanan, dan rute pemberian vaksin. Penyimpanan vaksin yang buruk berdampak pada efikasi vaksin. Meskipun dibuat dalam bentuk beku kering, vaksin campak yang telah dilarutkan masih sensitif terhadap panas dan sinar matahari. Menurut Kristini dkk (2006), kualitas vaksin tidak hanya ditentukan dengan tes laboratorium (uji potensi vaksin), namun juga sangat tergantung pada kualitas pengelolaannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gazmararian et al pada tahun 2002 disebutkan wabah campak lokal di Amerika pada tahun 1970-an berkaitan dengan penyimpanan vaksin sebelum digunakan. Di klinik yang melayani imunisasi, vaksin disimpan pada rak yang terdapat di pintu pendingin, bukannya di bagian tengah pendingin. Sepanjang tahun 1989 sampai 1990, campak juga mewabah di Amerika Serikat dan lebih dari setengah kasus campak terjadi pada anak usia 5 – 19 tahun yang sudah mendapat imunisasi campak. Menjangkitnya campak pada kelompok umur tersebut diperkirakan disebabkan kegagalan imunisasi dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kesuskesan program imunisasi tidak hanya tergantung pada tingginya pencapaian imunisasi namun juga harus didukung keefektifan vaksin yang digunakan sehingga benar-benar mampu menurunkan kasus dan KLB PD3I. Kegagalan pengelolaan dan penyimpanan vaksin akan mengurangi bahkan merusak efektivitas vaksin untuk mencegah terjangkitnya penyakit. Menurut Dirjen PP & PL Depkes RI (2005), kerusakan vaksin yang disebabkan kegagalan dalam pengelolaannya dapat menyebabkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) apabila tetap diberikan kepada sasaran. Kerusakan vaksin akan mengakibatkan
5
kerugian yang tidak sedikit, baik biaya vaksin maupun biaya-biaya lain yang terpaksa dikeluarkan untuk menanggulangi masalah KIPI atau KLB. Sebagai rantai terakhir penyimpanan vaksin sebelum dikonsumsi masyarakat, puskesmas sangat berperan penting dalam pengelolaan dan penyimpanan vaksin yang adekuat. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin mengetahui pengelolaan vaksin tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut : 1. Apakah pengelolaan vaksin tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung tahun 2012 sesuai standar? 2. Apakah terdapat perbedaan pengelolaan vaksin tingkat puskesmas antara Kabupaten Karangasem dengan Kabupaten Badung?
1.3 1.3.1
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan vaksin
tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung Tahun 2012 dibandingkan dengan standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan RI dan untuk mengetahui perbedaan pengelolaan vaksin tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Badung.
6
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui suhu tempat penyimpanan vaksin tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung 2. Untuk mengetahui cara penyimpanan vaksin tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung 3. Untuk mengetahui informasi pendukung lainnya seperti fungsi khusus tempat penyimpanan
vaksin,
pelatihan
staf
pemegang
program
imunisasi,
penggunaan pedoman penyimpanan vaksin, dan manajemen stok vaksin tingkat puskesmas di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung.
1.4
Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi puskesmas dan dinas kesehatan di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Badung dalam perbaikan program imunisasi, khususnya penyimpanan vaksin, sehingga vaksin yang diberikan kepada masyarakat benar-benar dalam keadaan baik dan mampu memberikan kekebalan yang optimal 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat tentang cara penyimpanan vaksin yang sesuai standar.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini menyangkut bidang pencegahan penyakit
menular (P2M) khususnya pada program imunisasi yang menyangkut pengelolaan vaksin di tingkat puskesmas.