rsBlr 918-602-11432-1-0
PnllslDlilG
0e[
l(ota Banilunu
Iahun 2014 Uolume 2 : Transrunasi - Geotelnilr tlatefia! - Sum[er llaya
lit
ipil da lam Pembangunan I nftastuktur Pe rkoha n Be rke la njuta n Unfirk Mendukung Percepahn dan Perluasan Pembangunan Ekonomi lndonesia
Pe ra n Re
kayasa
S
Diselenggarakan oleh:
g*am@'u#ffi9
$6nilt 5a
-(. Sigit
A'"1
ntl-/ q
ffiffiffiffiffiffiffiffiffi = ,ffi
!.1,,:
=
lr,,
1,,,:
ilillll1,,
===mr__-
$fl
,,tftr'l:1
rym
Peran Rekayasa Sipildalam Pembangunan Infrastruktur Perkotaan Berkelanjutan Untuk Mendukung Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi lndonesia
Uolunne 2 :WansEortasi - Geolefillilr
Material - $umber llaya Air
Eandung Iahun 2014
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
PERENCANAAN MODEL FISIK PERISTIWA GERUSAN DI BAHU JALAN RAYA Sanidhya Nika Purnomo1, dan Wahyu Widiyanto2
1
Program Studi Teknik Sipil, UniversitasJenderal Soedirman, Jl. Mayjen Sungkono KM 05 Purbalingga Email:
[email protected] 2 Program Studi Teknik Sipil, UniversitasJenderal Soedirman, Jl. Mayjen Sungkono KM 05 Purbalingga Email:
[email protected]
ABSTRAK Bahu jalan adalah salah satu bagian penting dari struktur jalan raya yang terletak di kanan dan kiri badan jalan. Salah satu masalah yang sering dijumpai pada bahu jalan adalah terjadinya gerusan oleh air hujan. Gerusan ini menyebabkan cekungan yang cukup dalam yang tidak jarang membahayakan pengendara yang melintas jalan raya. Walaupun demikian, masalah ini belum mendapat perhatian serius, khususnya belum ada penelitian yang mengkaji tentang gerusan di bahu jalan raya secara terperinci. Fenomena gerusan berkaitan dengan kondisi hidraulis, maka salah satu cara untuk mempelajarinya adalah dengan membuat model hidraulik fisik. Model dapat dibuat di laboratorium untuk menirukan kerja serta perilaku suatu penggal jalan yang sedang tertimpa hujan di atasnya, perhatian penelitian ditujukan terhadap gerusan yang terjadi di bahu jalan. Untuk mendapatkan model yang dapat menirukan fenomena secara lebih baik, maka perlu didahului perencanaan model. Oleh karena itu artikel ini membahas tentang perencanaan model fisik peristiwa gerusan di bahu jalan. Model fisik gerusan di bahu jalan direncanakan dengan membuat suatu bentuk yang menyerupai potongan melintang jalan dan bahu jalan. Hujan buatan akan dicurahkan di atas model hingga menyerupai kejadian hujan sesungguhnya dan akan diamati pengaruhnya terhadap gejala erosi di bagian bahu jalan. Model dibuat dengan skala 1 : 1 atau sama dengan ukuran sesungguhnya (prototip). Karena jalan merupakan struktur yang panjang maka untuk keperluan pemodelan hanya akan diambil 1 meter panjang jalan. Dengan skala 1:1 maka cukup memungkinkan untuk menghindari adanya efek-efek akibat penyekalaan (scale effect) sehingga lebih memungkinkan untuk dicapai sifat-sifat kesebangunan yang lebih sempurna antara model dan prototip. Kata kunci: gerusan, bahu jalan, model fisik, hujan
1.
PENDAHULUAN
Jalan adalah prasarana transportasi yang mampu menghubungkan suatu daerah ke daerah yang lain, baik antar desa, antar kota, desa ke kota, bahkan antar pulau. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau, dimana masing-masing musim terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan setiap tahunnya. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012, tercatat bahwa Indonesia memiliki 17.504 pulau, dengan jumlah desa sebanyak 78.609 desa. Untuk itu, Indonesia diharapkan memiliki sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Bahu jalan merupakan bagian yang penting dari struktur jalan, dan biasanya terletak di bagian kanan dan kiri jalan. Konstruksi bahu jalan tidak hanya terbuat dari perkerasan aspal maupun beton, namun juga dapat berupa tanah asli. Permasalahan yang sering terjadi di bahu jalan yang terbuat dari tanah asli adalah gerusan akibat hujan dan limpasan air permukaan dari badan jalan. Pada tahun 2012, panjang jalan di Indonesia adalah 501.969 km, dimana panjang jalan yang telah diperkeras dengan aspal adalah sepanjang 285.252 km, dan sepanjang 216.717 km merupakan jalan yang bukan beraspal. Melihat panjangnya jalan beraspal serta tinggi lamanya musim penghujan di Indonesia, maka kemungkinan kerusakan di bahu jalan raya juga semakin besar. Gerusan di bahu jalan umumnya mengakibatkan ketidaknyamanan pada pengguna jalan, khususnya pengendara mobil maupun sepeda motor. Ketidaknyamanan tersebut terjadi karena gerusan di bahu jalan raya umumnya
TR - 163
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
mengakibatkan cekungan yang cukup dalam, bahkan tak jarang mengakibatkan alur sehingga menyerupai alur saluran drainase, seperti tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Gerusan di bahu jalan, lokasi kampus unsoed purwokerto Cekungan yang terjadi di bahu jalan raya juga dapat mengakibatkan kecelakaan, khususnya untuk pengendara sepeda motor. Kecelakaan di bahu jalan terjadi karena roda kendaraan menjadi mudah tergelincir pada saat kendaraan berada di tepi jalan. Akan tetapi fenomena gerusan di bahu jalan ini kurang mendapat perhatian serius. Penelitian dan publikasi mengenai gerusan, selama ini masih sebatas gerusan di pilar jembatan, gerusan di hilir bendung, gerusan di hilir gorong-gorong dan terjunan, gerusan akibat perubahan tampang saluran, gerusan di sekitar tanggul, dan lain-lain. Untuk itu perlu dibuat penelitian mengenai fenomena terjadinya gerusan di bahu jalan.
2.
GERUSAN
Variabel gerusan lokal Oleh karena studi mengenai gerusan lokal di bahu jalan belum banyak dilakukan, maka pendekatan variabelvariabel yang mengakibatkan gerusan didekati dengan gerusan lokal di pilar jembatan. Menurut Agung (2006), variabel-variabel yang berpengaruh pada gerusan lokal (ys) di pilar jembatan meliputi kondisi fluida,kondisi dasar sungai, dan faktor geometrik pilar. Untuk kondisi fluida, faktor yang berpengaruh adalah Rapat massa air (), kekentalan/viskositas kinematik (), gravitasi (g), kecepatan (U), kedalaman aliran (y0). Untuk kondisi dasar sungai yang berpengaruh adalah diameter butiran sedimen (d50), rapat massa dasar sungai (s), distribusi butiran, bentuk butran. Sedangkan pada geometrik pilar, faktor yang berpengaruh adalah tebal pilar (b), panjang pilar (L), bentuk muka pilar, sudut arah aliran (), jarak antar pilar ().
Hujan Veriabel fluida pada variabel gerusan lokal di bahu jalan dapat ditinjau dari parameter hujan. Gerusan adalah sebuah fenomena terlepasnya material butiran tanah (erosivitas) akibat pelepasan energi, sehingga partikel material tersebut berpindah ke tempat lain. Untuk daerah yang memiliki curah hujan seperti Indonesia, maka penyebab utama dari erosi adalah hujan, sedangkan untuk daerah panas dan kering seperti di gurun pasir, maka penyebab utama erosi adalah angin. Proses erosi mengalami tiga tahapan, tahapan pertama adalah proses terlepasnya bongkahan material menjadi bentuk yang lebih kecil, tahap kedua adalah perpindahan material kecil, dan tahap ketiga adalah pengendapan material di tempat yang lebih rendah atau lebih tenang. Pada tahap pertama dan kedua, terdapat dua penyebab utama terjadinya erosi, yaitu tetesan butir-butir air hujan dan aliran permukaan. Tetesan hujan yang jatuh ke permukaan lahan dapat menyebabkan erosi karena adanya energi kinetik yang cukup besar. Intensitas hujan yang lebih tinggi akan membentuk butir tetesan hujan yang semakin besar, sehingga akan mengakibatkan energi kinetik yang lebih besar. Intensitas dan durasi hujan yang semakin besar, akan mengakibatkan limpasan permukaan yang semakin besar pula. Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi besarnya laju erosi, yaitu iklim, tanah, topografi, atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia (Suripin, 2004).
TR - 164
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Hossein Hamidifar (2011), menyatakan bahwa beberapa studi eksperimen telah dilakukan untuk meneliti mengenai gerusan lokal, yang diakibatkan aliran terendam (submerged) dan aliran tidak terendam (unsubmerged), baik 2D maupun 3D. Hasil dari eksperimen tersebut mengindikasikan bahwa gerusan maksimum tidak hanya dipengaruhi oleh kecepatan aliran dan karakteristik material dasar, tapi juga panjang dan kekasaran landasan bagian depannya (apron).
Kemiringan melintang jalan Kemiringan melintang jalur lalu lintas di jalan lurus diperuntukkan terutama untuk kebutuhan drainase jalan. Air yang jatuh di atas permukaan jalan diharapkan sesegera mungkin dialirkan ke saluran-saluran pembuangan. Kemiringan melintang bervariasi antara 2% - 4%, untuk jenis lapisan permukaan dengan mempergunakan bahan pengikat seperti aspal atau semen. Semakin kedap air lapisan tersebut, semakin kecil pula kemiringan melintang yang dapat dipergunakan. Untuk jalan dengan lapisan permukaan yang belum mempergunakan bahan pengikat seperti jalan berkerikil, kemiringan melintang dibuat sebesar 5%. Kemiringan melintang jalur lalu lintas di tikungan dibuat untuk kebutuhan keseimbangan gaya sentrifugal yang bekerja, di samping kebutuhan akan drainase sehingga umumnya lebih besar daripada kemiringan pada jalan yang lurus. Pada bahu jalan (terutama yang terbuat dari tanah asli), dibuat kemiringan melintang yang lebih besar dari pada kemiringan melintang perkerasan jalan. Menurut Sukirman (1994), kemiringan melintang bahu yang tidak baik ditambah pula dengan bahu dari jenis tidak diperkeras akan menyebabkan air hujan merembes masuk ke lapisan perkerasan jalan. Hal ini dapat mengakibatkan turunnya daya dukung lapisan perkerasan, lepasnya ikatan antara agregat dan aspal, yang akhirnya dapat memperpendek umur pelayanan jalan. Kemiringan melintang bahu dapat bervariasi sampai dengan 6%, tergantung dari jenis permukaan bahu, intensitas hujan, dan kemungkinan penggunaan bahu jalan.
Awal gerak butiran Awal gerak butiran sedimen sangat penting dalam kaitannya dengan studi tentang angkutan sedimen, degradasi dasar sungai / saluran, desain saluran stabil, gerusan lokal, dan lain-lain. Akibat adanya aliran air, timbul gaya-gaya aliran yang bekerja pada material sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan/ menyeret butiran material sedimen. Untuk material sedimen kasar (pasir dan batuan), gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut tergantung dari berat butiran sedimen. Sedangkan untuk material sedimen halus yang mengandung fraksi lanau (silt) atau lempung (clay) yang cenderung bersifat kohesif, gaya untuk melawan gaya-gaya aliran lebih disebabkan oleh kohesi daripada berat material (butiran) sedimen. Gaya-gaya yang bekerja pada suatu butiran sedimen non-kohesif dalam aliran air terdiri dari gaya berat (gravity force), gaya apung (buoyancy force), gaya angkat (hydrodynamic lift force), gaya seret (hydrodynamic drag force). Gaya – gaya yang bekerja pada butiran sedimen diperlihatkan pada Gambar 2 (Vanoni, 1975).
Gambar 2. Gaya-gaya yang bekerja pada butiran sedimen Dimana FD = gaya seret, Fg = gaya berat di dalam air, = sudut kemiringan dasar, = sudut gesek (longsor) alam (the angle of repose), a1 = jarak antara pusat berat (CG) sampai titik guling (point of support), a2 = jarak antara pusat gaya seret (drag) sampai titik guling.
TR - 165
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Sebuah grafik yang sudah sangat dikenal untuk menetukan awal gerak butir-butir sedimen adalah Grafik Shields seperti digambarkan pada Gambar 3 (Miedema, 2012).
Gambar 3. Grafik Shields Grafik Shields diperoleh dari percobaan / eksperimental untuk butiran seragam dengan s= 2650 dan t = 12C. Diagram Shields dapat juga dipakai untuk s dan t yang lain.
Variabel gerusan di bahu jalan Pada perencanaan model fisik hidraulik gerusan di bahu jalan, parameter yang akan dicari adalah kedalaman gerusan, dan dilambangkan sebagai ys. Variabel-variabel yang nantinya akan mempengaruhi gerusan lokal di bahu jalan merupakan fungsi dari beberapa parameter, dan dapat dituliskan dalam persamaan: ys = f ( I, t, , s, d50,, U, yo, g ) (1) Dengan I = intensitas hujan, t = durasi hujan, = rapat massa air, s = rapat massa sedimen / tanah, = kekentalan kinematik air, U = kecepatan aliran rata-rata, yo = kedalaman run-off, d50 = diameter butiran sedimen. Secara skematis, parameter-parameter dari gerusan lokal di bahu jalan dapat digambarkan dengan sketsa, seperti tampak pada Gambar 4.
I t
Hujan
U
yo ys &
Badan jalan
Saluran drainase
s & d50
Bahu jalan
Gambar 4. Ilustrasi parameter yang berpengaruh terhadap gerusan di bahu jalan
3.
PERENCANAAN MODEL FISIK
Pada pemodelan fisik, faktor efek dari skala merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan. Heller (2011) mengatakan bahwa efek skala terjadi karena adanya pemaksaan perbandingan (ratio) yang tidak identik antara model dan prototip di dunia nyata, sehingga mengakibatkan penyimpangan hasil antara pengamatan model dan prototip. Lebih lanjut Heller (2012) menyebutkan bahwa pemodelan fisik haruslah memiliki similaritas mekanik dengan kondisi sebenarnya, sehingga tidak akan menyebabkan efek skala. Similaritas mekanik memiliki tiga TR - 166
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
kriteria, yaitu similaritas geometri yang merupakan similaritas terhadap bentuknya, misal panjang dimensi model lebih pendek l kali dari pada prototip, similaritas kinetik berupa similaritas geometrik dan similaritas partikel gerakan antara model dan prototip, serta similaritas dinamik yang membutuhkan similaritas geometrik dan kinetik, dalam rangka keidentikan rasio pada kedua sistem. Efek skala terjadi ketika sebuah proses hidraulika dari prototip disimulasikan secara skalatis di laboratorium, oleh karena ketidakpuasan akan hukum kesamaan (similarity). Oleh karena adanya kompleksitas dari proses gerusan, pemodelan fisik masih sangat dibutuhkan dalam memprediksi gerusan maksimum untuk keperluan perancangan. Untuk itu, efek skala akan bertambah ketika hukum similaritas tidak terpenuhi di laboratorium. Hal tersebut akan membuat penyimpangan ketika kedalaman gerusan maksimum diekstrapolasi dari model ke prototip (Yu-Hai Wang, 2013). Efek skala menjadi serius saat pembuatan model digunakan untuk perancangan bangunan pelindung terhadap gerusan. Jika efek skala terlalu besar, maka bangunan yang dibuat akan terlalu mahal, namun jika efek skala dibuat terlalu kecil akan mengakibatkan bangunan yang harus dilindungi terhadap gerusan menjadi mudah rusak. Oleh karena adanya efek skala, maka diperlukan analisis dimensi pada pembuatan sebuah model fisik hidraulik. Untuk meminimalkan efek skala tersebut, maka pada pembuatan model fisik hidraulik gerusan di bahu jalan dibuat skala 1 : 1, sehingga diharapkan penelitian mengenai gerusan di bahu jalan tidak mengalami efek skala.
4.
RENCANA MODEL
Untuk mempelajari fenomena keterkaitan antar variabel pada Persamaan 1, maka dibuat model fisik yang menirukan perilaku hujan yang jatuh di jalan raya. Pemodelan fisik hidraulik gerusan lokal di bahu jalan dibuat untuk 2 variasi model. Model pertama dibuat untuk variasi gerusan dalam arah melintang jalan, sedangkan model kedua dibuat untuk variasi gerusan dalam arah memanjang jalan. Gambar 5 berikut ini adalah sketsa rencana model yang akan dibuat di laboratorium untuk variasi model 1. Pipa berlubang
Debit masuk
Hujan buatan
Run-off dari perkerasan jalan
α
Akrilik Rangka besi
Miring 2-4% Pasir miring 3-6%
Gambar 5. Tampak samping gerusan di bahu jalan variasi model 1 Badan jalan dibuat sesuai ukuran prototip untuk jalan arteri yaitu panjang 3,5 meter dengan kemiringan 2 – 4 %. Sedangkan bahu jalan dibuat dengan lebar 1 meter dan kemiringan 3 – 6%. Adapun potongan melintang model ditunjukkan oleh gambar di bawah ini
TR - 167
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Pipa berlubang
Akrilik
Lapis perkerasan aspal
Hujan buatan
Lapis batu pecah 1m
Gambar 6. Potongan melintang di bahu jalan variasi model 1 Pemodelan variasi 2 dibuat untuk memodelkan gerusan arah memanjang jalan. Sketsa rencana model yang akan dibuat di laboratorium untuk variasi model 2 ditampilkan pada Gambar 7. Debit masuk
Pipa berlubang/shower
Hujan buatan
Run-off dari perkerasan jalan
Akrilik Rangka besi
Miring menyesuaikan kemiringan memanjang jalan Bak penampung air
Gambar 7. Tampak samping model gerusan di bahu jalan variasi model 2 Pada variasi model 2, potongan memanjang jalan dibuat sepanjang 3,5 meter dengan variasi kemiringan menyesuaikan daerah lokasi penelitian. Bak penampung air digunakan untuk menampung air dari limpasan dari permukaan jalan. Adapun potongan melintang model ditunjukkan oleh Gambar 8. Pipa berlubang/Shower Lapis perkerasan aspal
Hujan buatan
Akrilik Run-off dari perkerasan aspal
Aspal Miring 2 – 4%
Pasir miring 3 – 6%
1m
Gambar 8. Potongan melintang gerusan di bahu jalan variasi model 2 TR - 168
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Untuk potongan melintang model 2 dibuat selebar 1 meter, dan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama dibuat selebar 0,5 m dan berupa lapisan perkerasan aspal dengan kemiringan 2 – 4%, sedangkan bagian kedua juga dibuat selebar 0,5 m dan berupa pasir yang menjadi bahu jalan dengan kemiringan 4 – 6%.
5.
BAHAN DAN ALAT
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Hidraulika Teknik Sipil Universitas Jenderal Soedirman. Bahanbahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah pasir yang digunakan sebagai bahan utama untuk pengujian erosi, air yang digunakan sebagai bahan untuk membuat hujan tiruan dengan menggunakan rainfall simulator, dan sspal digunakan sebagai lapis permukaan untuk menirukan perkerasan jalan raya. Alat-alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rainfall simulator, saluran uji, bak penampung air, ayakan, pipa PVC, gelas ukur, stop watch, point gauge, mistar/penggaris, oven, timbangan, alat-alat untuk menguji sifat fisik tanah. Rainfall simulator adalah sebuah alat yang dapat mensimulasikan hujan tiruan. Dalam penelitian ini digunakan rainfall simulator sederhana yang merupakan alat yang dirancang dan dirakit sendiri. Prinsip kerja rainfall simulator adalah melepaskan butiran air dari spray head sehingga butiran-butiran air yang jatuh dapat turun ke bawah dengan gaya gravitasi bukan jatuh karena tekanan dari pompa sehingga diperoleh daya impak yang sama terhadap model yang diuji. Tekanan akibat pengaruh pompa dihilangkan dengan menampung air pada bak penampung.
6.
PROSEDUR PENELITIAN
Secara umum prosedur percobaan yang akan dilakukan dibagi dalam tiga tahap yaitu persiapan, pengujian dan running model.
Persiapan Persiapan penelitian meliputi persiapan alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa alat dan bahan yang digunakan dalam kondisi baik. Persiapan juga perlu dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan pada alat atau adanya kesulitan dalam penyediaan bahan sehingga dapat dilakukan antisipasi adanya kemungkinan kesulitan yang dapat terjadi. Bahan utama yang harus dipersiapkan dengan baik adalah tanah. Tanah yang digunakan adalah pasir yang berasal dari lokasi yang akan diuji gerusan lokal di bahu jalannya. Pasir dikeringkan sampai diperoleh kondisi kering udara. Selanjutnya pasir yang sudah kering ini diayak dengan saringan ukuran 2 mm, agar didapatkan pasir yang homogen dan memudahkan dalam pengaturannya di dalam kotak. Pasir yang diseleksi melalui proses pengayakan selanjutnya dilakukan uji analisis distribusi butiran serta pengukuran diameter-diameter signifikan dan spesific weight (s). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rainfall simulator, saluran uji, dan kotak. Rainfall simulator dalam penelitian ini merupakan alat yang dirancang dan dirakit sendiri sehingga kinerjanya harus lebih ketat diawasi agar diperoleh kondisi hujan buatan yang memenuhi syarat. Rainfall simulator dibuat dari pipa PVC berlubanglubang (perforasi) atau shower. Debit dari bak penampung dialirkan masuk pipa sehingga akan memancar melalui lubang-lubang hingga tercipta hujan buatan. Saluran uji adalah saluran yang di dalamnya dibuat lapis perkerasan aspal dan pasir, kemudian dijatuhi hujan buatan. Saluran ini akan dibuat dengan akrilik sebagai dinding supaya dapat terlihat aliran limpasannya. Kotak digunakan untuk menampung air limpasan dari hujan buatan. Kotak ini harus kuat dan tidak mudah tertembus air agar air dapat mengalir ke tempat yang telah diharapkan tanpa ada pengurangan karena kebocoran. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan kotak ini adalah akrilik dan rangka besi. Kotak yang digunakan berukuran panjang 120 cm, lebar 100 cm dan tinggi 23 cm. Agar diperoleh hasil yang baik, penempatan saluran uji dan kotak pada saat pengujian harus diperhatikan dengan seksama. Saluran uji dan kotak harus ditempatkan pada bagian dimana hujan yang dihasilkan spray head mampu menjangkau bagian tersebut. Karena kemampuan spray head dalam menghasilkan hujan buatan sangat terbatas. TR - 169
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Setelah didapatkan posisi yang baik dilakukan pengukuran kemiringan saluran uji dan kotak tersebut. Kemiringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menyesuaikan varias model. Penentuan kemiringan pada penelitian ini dilakukan dengan prinsip waterpass dan sifat segitiga siku-siku (Phytagoras). Sebuah selang yang panjang diisi air. Salah satu ujung selang, digunakan sebagai acuan. Ujung selang yang lain diletakkan pada jarak satu meter dari ujung selang pertama. Beda tinggi yang dibuat antara ujung selang pertama diatur sehingga diperoleh kemiringan yang diinginkan. Sebelum dilakukan penghamparan, tanah ditimbang terlebih dahulu, kemudian dilakukan penghamparan pada kotak yang telah disediakan. Tanah yang telah dihampar, dipadatkan dengan ketinggian tertentu agar diperoleh volume tertentu, sehingga diperoleh kepadatan yang seragam.
Pengujian Pengujian yang dilakukan dalam penelitian adalah pengukuran intensitas hujan, pengujian sifat fisik tanah uji, dan penentuan jumlah material erosi. Intensitas hujan yang digunakan pada penelitian ada tiga macam, menyesuaikan intensitas hujan yang terjadi di Indonesia, yaitu 1, 10, 15 mm/jam, dengan durasi 0,5, 1, dan 1,5 jam untuk masingmasing intensitas hujan, sehingga pengukuran intensitas hujan harus dilakukan. Pengukuran intensitas hujan dilakukan secara berkala untuk mendapatkan intensitas hujan buatan yang sesuai dengan yang diharapkan. Cara pengukurannya adalah dengan menempatkan empat buah tabung tembaga pada tempat yang bisa mewakili. Volume air yang berada dalam tabung dapat diketahui dan selanjutnya dihitung intensitas hujan dengan rumus:
I
V At
(2)
Dengan I = intensitas hujan, V = volume air dalam tabung tembaga, t = waktu, A = luas total permukaan tabung tembaga. Jika intensitas hujan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka pengujian dapat diulangi dengan merubah bukaan kran yang mengatur jumlah air yang dialirkan ke pipa berlubang. Pengujian sifat-sifat fisik perlu dilakukan untuk mengatahui jenis dan komposisi material penyusun tanah serta sifatsifat fisik lainnya, sehingga bisa diklasifikan. Penentuan jumlah material yang terlarut dilakukan dengan mengeringkan sampel air limpasan yang diperoleh. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven sampai diperoleh keadaan kering tungku. Jumlah material erosi total yang terlarut dalam limpasan selama 15 menit diperoleh dengan mengalikan konsentrasi material terlarut dengan jumlah limpasan yang diperoleh selama 15 menit tersebut.
Running model Tahap running merupakan tahap dimana mulai melakukan simulasi hujan dengan beberapa variasi waktu hujan dan juga kemiringan memanjang jalan. Kemudian mengukur dan menganalisa gerusan yang terjadi akibat aliran hujan tersebut. Secara singkat running model dijalankan dengan cara mengatur model dan material dasar pada kotak, serta menyalakan hujan, ukur intensitas dan amati pola gerusan yang terjadi. Dicatat kedalaman gerusan (ys), posisi gerusan maksimum (X) dan panjang gerusan (Ls). Setelah dilakukan running selama waktu yang direncanakan selanjutnya pompa dihentikan, model dikeringkan dan diatur kembali hingga keadaan sama seperti mula-mula dan kemudian dilakukan running berikutnya
7.
KESIMPULAN
Pada perencanaan model fisik peristiwa gerusan di bahu jalan raya, model diamati terhadap variabel-variabel yang berpengaruh terhadap gerusan lokal di bahu jalan dengan 2 variasi pemodelan, yaitu pemodelan arah melintang badan jalan dan pemodelan arah memanjang jalan. Pemodelan peristiwa gerusan di bahu jalan raya dibuat dengan menggunakan skala 1 : 1 untuk menghindari efek skala pada pemodelan hidraulis. Variasi pemodelan peristiwa gerusan di bahu jalan arah melintang badan jalan disimulasikan dengan membuat variasi kemiringan melintang jalan sebesar 2 – 4%, intensitas hujan 1, 10, 15 mm/jam, dengan durasi 0,5, 1, dan 1,5 jam untuk masing-masing intensitas hujan, serta sampel tanah menyesuaikan daerah yang akan diteliti. Variasi pemodelan peristiwa gerusan di bahu jalan arah memanjang badan jalan disimulasikan dengan membuat variasi kemiringan memanjang jalan sesuai daerah yang akan diuji, intensitas hujan
TR - 170
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
1, 10, 15 mm/jam, dengan durasi 0,5, 1, dan 1,5 jam untuk masing-masing intensitas hujan, serta sampel tanah menyesuaikan daerah yang akan diteliti. Bahan utama dalam penelitian ini adalah aspal, pasir yang berasal dari lokasi yang akan diteliti gerusan di bahu jalannya, dan air. Sedangkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah rainfall simulator, saluran uji akrilik, dan kotak akrilik.
DAFTAR PUSTAKA Agung Wiyono, Indratmo Soekarno, Andi Egon (2006), “Perbandingan Beberapa Formula Perhitungan Gerusan di Sekitar Pilar (Kajian Laboratorium)”, Jurnal Teknik Sipil, Volume 13, Hal. 1 – 10 Hamidifar, Hossein (2011), “Interrelationships Between Characteristic Length of Local Scour Hole”, International Transaction Journal of Engineering, Management, & Applied Sciences & Technologies, Volume 2, Hal. 355 – 364 Heller, V. (2011),”Scale Effect in Physical Hydraulic Engineering Models”, Journal of Hydraulic Research, Volume 49, Hal. 293 – 306 Heller, V. (2012), Model-Prototype Similarity, Imperial College, London Miedema, S.A. (2012), “Constructing the Shields Curve Part A: Fundamentals of The Sliding, Rolling and Lifting Mechanism for the Entrainment of Particles, Journal of Dredging Engineering, Volume 12, Hal 1 – 49 Sukirman, S. (1994), Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Nova, Bandung Suripin (2004), Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Andi, Yogyakarta Vanoni, V.A. (1975), Sedimentation Engineering: American Society of Civil Engineers, Manuals and Reports on Engineering Practice. No. 54. P.745 Yu-Hai Wang, Wei-Guo Jiang, Yan-Hong Wang (2013), “Scale Effects in Scour Physical-Model Test: Cause and Allevation), Journal of Marine Science and Technology, Volume 21, Hal. 532 – 537
TR - 171
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
PERMASALAHAN HIDRAULIK TEMPAT WUDHU PADA MASJID-MASJID DI KOTA PURWOKERTO Wahyu Widiyanto1, Sanidhya Nika Purnomo2 1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Jenderal Soedirman, Jl. Mayjen Sungkono Km 05 Purbalingga Email:
[email protected] 2 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Jenderal Soedirman, Jl. Mayjen Sungkono Km 05 Purbalingga Email:
[email protected]
ABSTRAK Tempat wudhu merupakan fasilitas yang harus tersedia pada sebuah masjid. Kegiatan ibadah sholat didahului oleh aktivitas wudhu. Agar wudhu dapat dilakukan dengan sempurna maka dibutuhkan kondisi yang mendukung kegiatan wudhu di antaranya jumlah air yang cukup, aliran yang tidak terlampau deras, cipratan yang minimal dan aliran keluar kran yang tidak menyebar. Saat ini belum ada pedoman desain hidraulik untuk tempat wudhu. Oleh karena itu perlu dimulai sebuah diskusi tentang desain hidraulik tempat wudhu. Untuk maksud itu maka artikel ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan tempat wudhu khususnya yang berkaitan dengan aspek hidraulik. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui kinerja tempat wudhu maka dikumpulkan data kondisi tempat wudhu dari 50 masjid di Kota Purwokerto. Data teknis yang dikumpulkan meliputi debit dan kecepatan pancaran air yang keluar kran, kebocoran kran, cipratan yang terjadi dan bentuk pancaran air yang keluar dari kran. Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa ada 3 tipe bagian atas kran wudhu yang dipakai yaitu tipe sambungan langsung PDAM, tipe bak tinggi dan tipe bak rendah. Juga ada 3 tipe bagian bawah kran wudhu yaitu tipe lantai datar, tipe saluran bawah dan tipe penghalang air. Kecepatan pancaran air kran berkisar 2,3 s.d. 9,2 m/d dan debit pancaran air kran berkisar 0,18 s.d 0,71 liter/detik . Kebocoran dialami oleh 5% dari kran wudhu yang diamati dengan debit bocoran 14,7 liter/hari s.d. 162 liter/hari. Hasil pengamatan menunjukkan ada 3 tipe pancaran air dari kran yaitu tipe pancaran lurus, pancaran tidak teratur dan pancaran menyebar. Tinggi tenaga menjadi faktor yang sangat penting agar tempat wudhu nyaman digunakan. Untuk itu kebutuhan tinggi tenaga untuk tempat wudhu menjadi hal yang sangat penting untuk diteliti lebih lanjut. Kata kunci: wudhu, masjid, hidraulik, keran, debit, tinggi tenaga, cipratan.
1.
PENDAHULUAN
Bagi seorang muslim, wudhu merupakan ritual yang tidak dapat ditinggalkan mengingat wudhu merupakan rangkaian dari ibadah sholat. Salah satu syarat agar sholat sah adalah bersuci atau wudhu. Dinyatakan dalam hadist riwayat Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sholat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia berwudhu” (Az-Zabidi, 2002). Wudhu yang sempurna tentu saja tidak hanya membutuhkan niat yang benar, namun juga dibarengi dengan pelaksanaan rukun wudhu yang tertib. Selain itu, kesucian akan lebih terjaga jika tempat wudhu memiliki kualitas yang baik. Untuk mendapatkan kondisi yang baik dari sebuah tempat wudhu maka perlu dirancang tempat wudhu yang bersih, dan nyaman. Beberapa peneliti telah melakukan studi tempat wudhu sebelumnya. Di antaranya Qurtubi (2013) merancang tempat wudhu posisi duduk yang ergonomis dan memberikan rekomendasi optimalisasi penggunaan hasil rancangan tempat wudhu duduk. Hardian (2011) melakukan penelitian terkait dengan kajian secara ergonomi tempat wudhu umum dalam lingkungan virtual dengan tujuan mengevaluasi desain aktual tempat wudhu umum dan menentukan desain dengan konfigurasi paling ergonomis ditinjau dari sisi gerakan saat berwudhu. Suparwoko (2010) dalam Qurtubi (2013) menekankan pada aspek tata ruang sedangkan ukuran yang digunakan memakai analogi berdasarkan rancangan yang telah ada. Saktiwan (2010) melakukan perancangan ulang tempat wudhu lansia meliputi penambahan tempat duduk wudhu, penambahan pijakan kaki, merancang ketinggian kran sesuai posisi duduk, mengganti kran yang mudah dibuka dengan pegangan kran yang panjang dan penambahan hand rail, perancangan komponen ini berdasarkan pendekatan antropometri lansia pengguna tempat wudhu. Selain itu juga diusulkan lantai tempat wudhu dibuat rata dengan jalan dan dilakukan perancangan pencahayaan tempat wudhu sesuai rekomendasi UNEP (United Nations Environment Programme). SDA - 68
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Dari studi terdahulu dapat diketahui bahwa kebanyakan membahas aspek ergonomi. Belum ditemukan diskusi yang luas terkait perancangan tempat wudhu dari tinjauan hidraulik padahal material yang digunakan untuk berwudhu adalah air. Oleh karena itu makalah ini bermaksud memulai diskusi dengan khalayak agar diperoleh sebuah pedoman yang baik dalam merancang tempat wudhu. Praktek yang telah berjalan di tengah masyarakat adalah bahwa tempat wudhu dibuat sedemikian sesuai kebiasaan yang telah dilakukan. Dari pengamatan diperoleh bahwa terdapat masalah-masalah yang perlu dibahas terkait aspek hidraulik. Walaupun masalah-masalah tempat wudhu tidak sampai membatalkan syarat sahnya sholat namun demi kesempurnaan yang ingin dicapai seorang muslim maka perlu dilakukan hal terbaik mengenai tempat wudhu. Untuk maksud itu maka makalah ini membahas permasalahan hidraulik dengan mengambil tempat pengamatan pada masjid-masjid di Kota Purwokerto, Jawa Tengah.
2.
TINJAUAN MEKANIKA FLUIDA
Komponen utama bangunan tempat wudhu biasanya berupa bak air, saluran pipa, kran, dan saluran pembuangan. Untuk meninjau keadaan hidraulik tempat wudhu dapat dimulai dari persamaan tenaga dimana untuk zat cair yang bergerak biasa diekspresikan dengan persamaan Bernoulli yang berbentuk: 𝐻=𝑧+
𝑃 𝜌𝑔
+
𝑉2
(1)
2𝑔
Dengan H adalah tinggi tenaga, z adalah elevasi, p/ρg adalah tinggi tekanan dan V2/2g adalah tinggi kecepatan. Gambaran mengenai tenaga dari suatu zat cair dapat dilihat pada Gambar 1 (Hunt, 1995). EGL
V2/(2g)
HGL
EGL
H HGL
p/(ρg)
Kran L2, A2
L1, A1
Aliran pancaran bebas
z Datum
Gambar 1. Prinsip tinggi tenaga dari suatu sistem yang terdiri dari bak, pipa dan kran air Garis tenaga (EGL = Energy Grade Line) menggambarkan tinggi tenaga dari setiap posisi dalam pipa. Di bawah garis tenaga terdapat garis tekanan (HGL = Head Grade Line) yang menggambarkan tinggi tekanan pada setiap lokasi dalam pipa. Selisih tinggi tenaga dan tinggi tekanan adalah tinggi kecepatan. Jika air mengalir dari bak melewati pipa hingga keluar dari kran maka tenaga akan berkurang yang ditunjukkan dengan arah garis yang menurun. Istilah kehilangan tenaga (head loss) merupakan istilah yang penting dalam aliran zat cair riil. Dalam perjalanan dari bak dan keluar lewat kran, akan terjadi kehilangan tenaga akibat perubahan penampang yaitu dari bak masuk ke pipa dan dari pipa 1 ke pipa 2. Selain akibat perubahan penampang, kehilangan tenaga juga diakibatkan gesekan dengan dinding pipa. Perubahan akibat gesekan dikenal dengan istilah kehilangan tenaga primer atau mayor. Sedangkan kehilangan tenaga akibat perubahan penampang dikenal sebagai kehilangan tenaga sekunder atau minor. Kehilangan tenaga primer dirumuskan: 𝐻𝐿 = 𝑓
𝐿 𝑉2
(2)
𝐷 2𝑔
Sedangkan kehilangan tenaga sekunder dirumuskan: 𝐻𝐿 = 𝐾𝑏
𝑉1 2
(3)
2𝑔
Pada Gambar 1, dua pipa yang berhubungan secara seri mengalirkan air dari bak melewati pipa 1 dan 2 kemudian keluar dari kran. Koefisien kehilangan tenaga pada kran sama dengan nol karena tidak ada gesekan di sebelah hilir dari kran. Pada kran, air memancar ke udara bebas. Jika persamaan Bernoulli diterapkan pada titik A dan B dimana keduanya, muka air bak dan pancaran kran, memiliki tekanan atmosfer maka tinggi tenaga dapat dirumuskan:
SDA - 69
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
2
𝐻=
(𝑄/𝐴𝑗 ) 2𝑔
+ 𝑓1
𝐿1 (𝑄/𝐴1 )2 𝐷1
2𝑔
+ 𝑓2
𝐿2 (𝑄/𝐴2 )2 𝐷2
2𝑔
+ 𝐾1
(𝑄/𝐴1 )2 2𝑔
+ 𝐾2
(𝑄/𝐴2 )2
(4)
2𝑔
Dengan persamaan 4 memungkinkan untuk menemukan nilai debit pada sistem bak air, pipa dan kran. Apabila kran tempat wudhu dibuka akan terjadi pancaran air ke arah lantai. Dalam mekanika fluida peristiwa ini dapat dijelaskan dengan konsep pancaran zat cair yang mengenai plat datar. Gambar 2 menunjukkan arah pancaran air yang terjadi ketika suatu pancaran air menumbuk bidang datar. V1 B1
B3
B2
(a)
(b) Gambar 2. Pancaran zat cair menumbuk plat
Pada Gambar 2.a, pancaran air menumbuk dalam arah tegak lurus plat (Sleigh, 2001) sedangkan Gambar 2.b pancaran berarah menyudut terhadap plat. Suatu pancaran dua dimensi kecepatan tinggi yang datang dengan kecepatan V1, dimensi B1 dan sudut θ akan dibelokkan mengikuti arah permukaan plat dengan kedalaman B 2 dan B3. Gaya per satuan lebar yang terjadi dirumuskan (Hunt, 1995): 𝑅 = 𝜌𝑉1 2 𝐵1 𝑠𝑖𝑛𝜃
(5)
Sedangkan kedalaman B2 dan B3 berturut-turut: 𝐵2 = (1 − 𝑐𝑜𝑠𝜃)
𝐵1 2
dan
𝐵3 = (1 + 𝑐𝑜𝑠𝜃)
𝐵1 2
(6)
Dengan B1 = B2 + B3. Untuk pancaran air yang menumbuk arah tegak lurus plat, sudut θ pada Persamaan 5 dan. Persamaan 6 bernilai 90°.
3.
SURVEI KONDISI TEMPAT WUDHU
Jumlah masjid di kota Purwokerto yang diamati sebanyak 50 buah dengan lokasi seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.
Gambar 3. Titik-titik yang menunjukkan 50 lokasi masjid yang dilakukan survei di Kota Purwokerto
SDA - 70
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah masjid yang dipakai untuk sholat jumat. Adapun pengamatan yang berkaitan dengan tempat wudhu dititikberatkan pada bagian atas kran air dan bagian bawah kran air. Bagian atas kran diartikan sebagai bagian dimana air berada sebelum keluar kran. Sedangkan bagian bawah kran mengandung maksud bagian setelah air memancar dari kran. Ditinjau dari posisi air sebelum keluar kran, dalam studi ini ditemukan tiga macam tipe yaitu: (1) air langsung mengalir dari jaringan air bersih, (2) air ditampung di bak tinggi, dan (3) air berada di bak rendah. Pada tipe pertama (Gambar 4a), air yang keluar kran merupakan keluaran langsung dari jaringan pipa air bersih dan tidak melalui bak tandon lebih dulu. Jaringan air bersih yang dipakai oleh masjid-masjid di Kota Purwokerto semuanya berasal dari jaringan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sedangkan tipe kedua (Gambar 4b), sistem memakai bak tinggi dimana yang dimaksud bak tinggi adalah bak air yang dipasang pada posisi relatif lebih tinggi di atas kran. Antara bak dan kran dihubungkan dengan pipa. Air untuk mengisi bak tinggi/bak tandon dapat berasal dari sumur maupun jaringan PDAM. Untuk tipe ketiga (Gambar 4c), menggunakan bak dengan posisi rendah dengan volume yang tidak sebesar bak tinggi. Air dalam bak rendah dapat berasal dari air sumur atau jaringan PDAM yang dapat mengalir langsung maupun ditampung lebih dulu di bak tinggi. Antara bak dan kran tidak dihubungkan dengan pipa dan alirannya mengikuti prinsip aliran melalui lubang (orifice).
Bak tinggi
Bak tinggi Pipa
Pipa
Pipa
Pipa
Pipa
Kran
Kran Dari sumur atau jaringan air bersih
Dari sumur atau jaringan air bersih
Dari sumur atau jaringan air bersih
Tipe sambungan langsung
Kran
Pipa
Tipe bak tinggi
Bak rendah
Tipe bak rendah
Gambar 4. Tipe posisi air sebelum keluar kran Setelah keluar dari kran, air wudhu akan jatuh di lantai. Dari survei yang dilakukan dapat dikelompokkan 3 tipe pembuangan air yaitu: (1) tipe lantai datar (Gambar 5a), (2) tipe dengan saluran bawah dan (3) tipe dengan penghalang air.
Kran
Kran
Kran
Penghalang air
Saluran kecil
Tipe lantai datar
Saluran bawah
Tipe saluran bawah
Tipe penghalang
Gambar 5. Tipe pembuangan air Pada tipe lantai datar, air yang keluar dari kran jatuh di lantai kemudian mengalir menuju saluran berukuran kecil. Kebanyakan saluran kecil, misalnya lebar 5 cm dan dalam 3 cm, berada di depan orang yang sedang berwudhu, namun ada sebagian kecil tempat wudhu yang miring ke arah belakang dari posisi orang yang berwudhu. Pada tipe saluran bawah, air dari kran jatuh tepat di dalam saluran. Saluran ini langsung berfungsi sebagai saluran pembuangan. Pada tipe penghalang air, dinding kecil dibuat sebagai pembatas saluran. Penghalang ini juga berguna untuk pijakan kaki dan pengurang cipratan. Dari ketiga tipe di atas, cipratan lebih terasa terjadi pada tipe lantai datar. Sedangkan pada kedua tipe lainnya cipratan relatif dapat teredam dengan adanya kedalaman saluran yang besar atau dinding penghalang yang cukup tinggi. SDA - 71
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Tabel 1. Tipe bagian atas kran tempat wudhu 50 masjid Kota Purwokerto No.
Bagian atas kran wudhu
Tipe
Jumlah (buah)
Persentase (%)
1.
Sambungan langsung PDAM
18
36
2.
Bak tinggi
22
44
3.
Bak rendah
10
20
Tabel 2. Tipe bagian bawah kran tempat wudhu 50 masjid Kota Purwokerto No.
Bagian bawah kran wudhu
Tipe
Jumlah (buah)
Persentase (%)
1.
Lantai datar
8
16
2.
Saluran bawah
19
38
3.
Penghalang air
23
46
Tabel 1 dan Tabel 2 menyajikan data tipe bagian atas dan bawah tempat wudhu. Bagian atas memakai bak tinggi sebagai tandon dan bagian bawah menggunakan penghalang air tampak lebih banyak diaplikasikan dalam praktek oleh masjid-masjid di Purwokerto.
4.
KECEPATAN PANCARAN DAN DEBIT KRAN
Kecepatan pancaran air yang keluar dari kran dipengaruhi oleh tinggi tenaga. Dalam kasus tempat wudhu, tinggi tenaga adalah selisih elevasi antara muka air dalam tampungan air dengan lubang kran. Untuk kran tempat wudhu yang langsung berasal dari jaringan pipa PDAM, tinggi tenaga dapat diketahui dengan memasang alat ukur tekanan (pressure gauge) pada pipa yang menuju tempat wudhu. Semakin besar tinggi tenaga maka semakin besar kecepatan pancaran air yang keluar dari kran. Hal ini dapat diekspresikan dengan rumus kecepatan aliran melalui lubang: 𝑉 = √2𝑔𝐻
(7)
Dengan V adalah kecepatan pancaran air, g adalah percepatan gravitasi dan H melambangkan tinggi tenaga. Dari pengamatan 50 masjid, untuk tempat wudhu yang memakai tipe bak tinggi, rentang selisih elevasi antara muka air dalam bak tinggi dengan lubang kran adalah 2,5 s.d. 5 meter. Dengan tinggi tenaga sebesar ini maka menghasilkan kecepatan pancaran kran secara teoritis antara 7,0 s.d. 9,9 m/d. Jika dipakai koefisien koreksi kecepatan (Cv) sebesar 0,97 maka kecepatan menjadi 6,8 s.d 9,6 m/d. Jika diterapkan Persamaan (2) dengan menganggap panjang pipa dari bak atas sampai dengan ujung kran L = 10 m, diameter pipa D = 1 inch = 2,54 cm, koefisien gesek f = 0,025 dan koefisien belokan K = 0,98 maka kehilangan tenaga didapat 0,65 m dan diperoleh kecepatan berkisar 6,0 s.d. 9,2 m/d. Dalam hal ini, nilai koefisien gesek dapat dicari dengan menggunakan Grafik Moody dengan mencari kekasaran pipa dan diameter pipa terlebih dulu (Brater, 1996). Dalam hitungan tersebut, koefisien gesek dianggap konstan untuk menyederhanakan masalah.
5m Bak rendah 0,4 m
SDA - 72
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
Gambar 6. Tinggi tenaga pada bak tinggi dan bak rendah Untuk tempat wudhu yang memakai bak rendah maka tidak ada kehilangan tenaga primer dan sekunder antara bak dan ujung kran karena tidak melewati suatu pipa yang panjang. Kehilangan tenaga terjadi pada lubang yang langsung dibuat pada dinding bak air. Dengan demikian, Persamaan 7 dapat langsung dipakai dan dengan mengambil koefisien kecepatan akibat ada vena kontrakta sebesar 0,97 maka kecepatan aliran dapat dihitung. Dari tempat wudhu yang diamati, tinggi muka air dalam bak rendah dari ujung kran berkisar 0,3 s.d. 0,6 sehingga menghasilkan kecepatan 2,3 s.d. 3,3 m/d. Untuk menghitung debit secara teoritis maka kecepatan aliran dikalikan dengan luas tampang kran air. Dari berbagai bentuk kran air dari masjid-masjid yang disurvei, sebagian besar memakai ukuran kran ½ inch, sehingga luas tampang kran 1,25 cm2. Apabila dikalikan dengan kecepatan yang telah diperoleh maka debit berkisar 0,46 s.d. 0,71 liter/detik untuk kran dengan bak tinggi dan 0,18 s.d. 0,25 liter/detik untuk kran dengan bak rendah. Dari hitungan di atas, jika dibandingkan antara kran tempat wudhu yang mengambil air langsung dari bak tinggi (Gambar 2 b) dan mengambil air dari bak rendah (Gambar 2 c) maka kecepatan pancaran air kran lebih rendah pada kran dengan bak bawah. Hal ini terlihat jelas karena tinggi tenaga pada kran dengan bak rendah lebih kecil daripada bak tinggi. Kecepatan 2,3 s.d. 3,3 m/d pada kran dengan bak rendah seringkali terasa oleh pengguna tempat wudhu masih terlalu deras apalagi jika memakai bak tinggi langsung dimana kecepatan mencapai 6 s.d. 9 m/d. Untuk itu perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang tinggi energi kran wudhu agar diperoleh kenyamanan yang maksimal.
5.
KEBOCORAN
Kebocoran dapat terjadi pada pipa maupun kran. Kebocoran pada pipa saluran air disebabkan oleh pipa yang pecah atau sambungan yang sudah tidak rapat. Sedangkan kebocoran pada kran air dapat terjadi karena kran aus (misal Gambar 7a) atau kran patah (misal Gambar 7b). Jika hal ini terjadi, maka air bersih pun akan banyak terbuang. Untuk menghindari adanya kebocoran yang terus-menerus terjadi, sebaiknya dilakukan pengecekan pada saluran pipa air dan untuk mendeteksi adanya kebocoran.
Gambar 7. Kebocoran pada kran tempat wudhu Pada studi ini, hanya diamati kebocoran pada kran tempat wudhu sedangkan pada pipa tidak diamati mengingat banyak saluran pipa yang tidak terbuka posisinya. Dari limapuluh masjid yang disurvei, kurang dari 5% kran mengalami kebocoran. Tingkat paling kecil dari kebocoran adalah berupa tetesan. Dari beberapa kran, teramati kebocoran rata-rata adalah 0,17 ml/d. Setiap tetesan mengandung volume air 0,3 ml. Kebocoran yang lebih besar berupa aliran kecil yang kontinyu, tidak terputus-putus, tidak berupa tetesan-tetesan. Pada salah satu masjid tercatat memiliki bocoran kontinyu 15 ml dalam 8 detik atau 1,875 ml/d. Untuk kebocoran tetes, dengan mengambil angka di atas maka dalam sehari akan terjadi volume air terbuang sebanyak 0,17 ml/d dikalikan 86.400 detik sama dengan 14,7 liter. Sedangkan kebocoran kontinyu jika dikonversi maka diperoleh debit bocoran mencapai 162 liter/hari atau 4.860 liter dalam sebulan. Ini sebuah angka yang relatif besar. Dalam usaha untuk menghemat dan tidak menyinyiakan air sebagaimana peringatan ini banyak tertulis pada banyak tempat wudhu maka jika ada kebocoran air walaupun berupa tetesan harus segera diatasi.
6.
CIPRATAN
Cipratan adalah peristiwa yang selalu terjadi ketika kran air dibuka. Cipratan akan lebih jauh dan besar jika air yang keluar kran sedang dipakai berwudhu. Hal ini terjadi karena pancaran dari kran mengenai anggota tubuh yang SDA - 73
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
dibasuh. Hal-hal yang mempengaruhi jarak cipratan adalah tipe pembuangan air, debit pancaran, kecepatan pancaran, dan cara orang berwudhu.
1,5 m
Gambar 8. Peristiwa cipratan air oleh pancaran kran yang jatuh di lantai Gambar 8 memperlihatkan suatu kran yang ditutup dengan kondisi lantai kering, kemudian kran dibuka hingga terjadi pancaran yang menumbuk lantai. Cipratan tampak membasahi daerah setengah lingkaran dengan jari-jari 1,5 meter. Foto ini diambil di Masjid Agung Baitussalam, alun-alun Kota Purwokerto.
7.
ALIRAN MENYEBAR
Sekitar 20% dari kran-kran tempat wudhu pada 50 masjid yang disurvei di Kota Purwokerto menunjukkan peristiwa pancaran air yang menyebar. Pancaran yang menyebar dalam hal ini diartikan pancaran yang keluar dari kran tidak mengikuti lintasan yang teratur untuk membentuk tabung arus (Gambar 9). Dalam makalah ini, bentuk pancaran air yang keluar dari kran dibedakan menjadi tiga tipe (Gambar 10) yaitu tipe pancaran lurus, tipe pancaran tidak teratur dan tipe pancaran menyebar.
Gambar 9. Aliran menyebar dari kran Tipe pancaran halus mempunyai garis-garis arus yang lurus membentuk tabung arus yang lurus pula. Pancaran tidak teratur memiliki garis-garis arus yang berbelok-belok dengan tabung arus yang tidak tidak teratur. Sedangkan aliran menyebar diartikan sebagai aliran yang tabung arusnya terlihat pecah, menyebar dan membentuk percikan-percikan (splash) atau tetesan-tetesan (drop) yang cenderung ke arah menyebar dari ujung kran.
Pancaran lurus, tabung arus lurus
Pancaran tidak teratur, tabung arus berbelok-belok
Gambar 10. Tipe aliran keluar kran
Pancaran menyebar, tabung arus terpecah
Pancaran air atau aliran jet, dimana salah kasus sederhana adalah air yang keluar dari kran air, termasuk masalah aliran yang terus dipelajari dan menarik perhatian beberapa peneliti dalam topik hidrodinamika semprotan (hydrodynamics of sprays). Emekwuru (2012) sebagai contoh, telah meneliti aplikasi distribusi Gamma untuk SDA - 74
Konferensi Nasional Teknik Sipil 8 (KoNTekS8) Institut Teknologi Nasional - Bandung, 16 - 18 Oktober 2014
menggambarkan distribusi semburan/semprotan/percikan dari suatu model semprotan. Ada kemungkinan percikan air dari kran wudhu dapat dianalisis dengan pendekatan distribusi probabilitas.
8.
KESIMPULAN
Sebanyak 50 tempat wudhu masjid-masjid di Kota Purwokerto telah diamati. Terdapat tiga tipe bagian atas kran wudhu yaitu memakai aliran langsung dari jaringan pipa PDAM, memakai bak tinggi dan menggunakan bak rendah. Kran yang mengambil air langsung dari jaringan PDAM menghadapi masalah fluktuasi tekanan dan debit terhadap waktu. Sedangkan kran yang mengambil air langsung dari bak tinggi (2,5 s.d. 5 m) menghadapi masalah tinggi tenaga yang terlampau besar sehingga menghasilkan kecepatan (6 s.d. 9,2 m/d) dan debit (0,46 s.d. 0,71 liter/detik) yang besar pula. Untuk tempat wudhu yang memakai bak rendah (0,3 s.d. 0,6 m) maka tekanan, kecepatan (2,3 s.d. 3,3 m/d) dan debit (0,18 s.d. 0,25 liter/detik) cenderung kecil sehingga lebih nyaman dipakai untuk berwudhu. Ditinjau dari tipe pembuangan air dari kran, dalam makalah ini dibedakan menjadi tiga tipe pembuangan air dari kran yaitu lantai datar, saluran bawah dan penghalang air. Permasalahan hidraulik yang dibahas dalam makalah ini meliputi kecepatan dan debit pancaran air dari kran, kebocoran, cipratan dan aliran menyebar. Tinggi tenaga yang besar menyebabkan kecepatan dan debit pancaran kran besar. Kebocoran dan cipratan juga besar pada tempat wudhu dengan tinggi tenaga besar. Kebocoran dialami 5% dari kran air yang berupa tetesan dan aliran kecil kontinyu masing-masing sebesar 14,7 liter/hari dan 162 liter/hari. Selain itu juga menyebabkan bentuk pancaran air kran yang cenderung menyebar. Hasil pengamatan, dibedakan tiga tipe pancaran air dari kran yaitu tipe pancaran lurus, pancaran tidak teratur dan pancaran menyebar. Rekomendasi penelitian selanjutnya adalah mencari tinggi tenaga yang paling optimal untuk kenyamanan berwudhu, bentuk pembuangan yang paling baik untuk mengurangi cipratan serta jenis kran yang dapat mengurangi pancaran menyebar.
DAFTAR PUSTAKA Az-Zabidi, I., (2002). Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari (Terjemahan oleh Achmad Zaidun). Pustaka Amani, Jakarta. Brater, E.F., (1996). Handbook of Hydraulics for the Solution of Hydraulic Engineering Problems. McGraw Hill, Boston. Emekwuru, N.G., and Zheng, J., (2012). Using the Gamma Distribution to Represent the Droplet Size Distribution in a Spray Model, Hydrodynamics – Theory and Model. 79-94. Rijeka, Croatia. Hardian, R. (2011). Perancangan Tempat Wudhu Umum yang Ergonomis dengan Metode Posture Evaluation Index (PEI) dalam Virtual Environment. Skripsi, Program Teknik Industri UI, Depok. Hunt, B., (1995). Fluid Mechanics for Civil Engineers. Department of Civil Engineering, University of Canterbury, Christcurch. Qurtubi, dan Purnomo, H. (2006). “Rancangan Tempat Wudhu Duduk Ergonomis”. Prosiding Industrial Engineering National Conference (IENACO-15), tanggal 28 Maret 2013, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saktiwan, P. (2010). Perancangan Ulang Tempat Wudhu Untuk Lanjut Usia (Lansia) (Studi Kasus Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta). Diakses tanggal 7 September 2014, tersedia di http://digilib.uns.ac.id. Sleigh, A., (2001). Notes For the First Year Lecture Course: An Introduction to Fluid Mechanics. School of Civil Engineering, University of Leeds, Leeds.
SDA - 75