BAB III MAKNA TAKWA DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT 177
A. Penjelasan Surat Al-Baqarah Ayat 177 1. Teks ayat dan terjemahnya
ﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﻣ ﻦ ﺀَﺍ ﻣ ﺮ ﻦ ﺍﹾﻟِﺒ ﻟ ِﻜﺏ ﻭ ِ ﻐ ِﺮ ﻤ ﺍﹾﻟﻕ ﻭ ِ ﺸ ِﺮ ﻤ ﺒ ﹶﻞ ﺍﹾﻟﻢ ِﻗ ﻫ ﹸﻜ ﻮﻭﺟ ﻮﻟﱡﻮﺍ ﺗ ﺮ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺲ ﺍﹾﻟِﺒ ﻴﹶﻟ ﻴﻨِﺒﺍﻟﺏ ﻭ ِ ﺎﺍﹾﻟ ِﻜﺘﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ﻭ ﺍﹾﻟﻮ ِﻡ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ِﺮ ﻭ ﻴﺍﹾﻟﻭ ﰉﺒ ِﻪ ﹶﺫﻭِﻱ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮﻠﻰ ﺣﺎ ﹶﻝ ﻋﻰ ﺍﹾﻟﻤﻭﺀَﺍﺗ ﲔﺝ ﻭﺀَﺍﺗﻰ ﻠﻮ ﹶﺓﻡ ﺍﻟﺼ ﻭﹶﺃﻗﹶﺎ ﺏﺝ ِ ﺮﻗﹶﺎ ﻭﻓِﻲ ﺍﻟ ﲔ ﺎِﺋِﻠﺍﻟﺴﺴﺒِﻴ ِﻞ ﻭ ﻦ ﺍﻟ ﺑﺍﲔ ﻭ ﺎ ِﻛﻤﺴ ﺍﹾﻟﺎﻣﻰ ﻭﻴﺘﺍﹾﻟﻭ ﲔ ﻭ ِﺣ ﺍ ِﺀﻀﺮ ﺍﻟﺎ ِﺀ ﻭﺒ ﹾﺄﺳﻦ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ﺎِﺑﺮِﻳﺍﻟﺼﻭﺍﺝﻭﻫﺪ ﺎﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﻋ ﻬ ِﺪ ِﻫ ﻌ ﻮﻓﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑﺍﹾﻟﻤﺰﻛﹶﻮ ﹶﺓﺝﻭ ﺍﻟ ( 177 :ﺘﻘﹸﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺍﻩﻤ ﻢ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻚ ﻭﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ﺪﻗﹸﻮﺍﻁ ﺻ ﻦ ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺱﻁﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ِ ﺒ ﹾﺄﺍﹾﻟ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang minta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menetapi janjinya apabila ia berjanji, dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. Al Baqarah: 177). 2. Arti Kata-kata (Mufradat) Al-birr: secara bahasa berarti memperbanyak kebaikan. Asal katanya adalah al-barr (daratan), dan lawan katanya adalah al-bahr (laut). Menurut istilah syari’at adalah setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah; yakni iman , amal saleh dan akhlak mulia.
ﺏ ِ ﻐ ِﺮ ﻭﹾﺍ ﹶﳌ ﻕ ِ ﺸ ِﺮ ﺒ ﹶﻞ ﹾﺍ ﹶﳌ ﹶﻗ: mengarah kepada dua arah tersebut. ﺎ ﹶﻝﻰ ﺍﹾﻟﻤﻭﺀَﺍﺗ : memberikan harta benda. ﻦ ﻴﺎ ِﻛﻤﺴ ﹶﺍﹾﻟ: tetap diam, sebab kebutuhan telah menjeratnya. ﺴﺒِﻴ ِﻞ ﻦ ﺍﻟ ﺑﺍﻭ: orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh. 28
29
ﺎِﺋ ﹸﻞ َﺍﻟﺴ:
orang yang meminta-minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup.
ﺏ ﺮﻗﹶﺎ ﺍﻟ: membebaskan budak (hamba sahaya). ﻠﻮ ﹶﺓﻡ ﺍﻟﺼ َﹶﺃﻗﹶﺎ: mendirikan shalat sebaik mungkin. ﺪ ﻬ ﻌ ﹶﺍﹾﻟ: janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh seseorang terhadap orang lain.
ﺎ ُﺀﺒ ﹾﺄﺳ ﺍﹾﻟ: fakir atau sangat miskin. ُﺍﺀﻀﺮ ﺍﹶﻟ: setiap sesuatu yang membahayakan manusia. ﺍﺪﹸﻗﻮ ﺻ : benar-benar mengaku beriman. ﻯﺘ ﹾﻘﻮ ﺍﹶﻟ: mencegah agar jangan sampai Allah murka
kepadanya
dengan cara menjauhi perbuatan dosa dan laranganlarangan-Nya.1 3. Pengertian Secara Umum Secara umum dapat dijelaskan bahwa ketika Allah memerintahkan untuk berpindah kiblat dalam sembahyang dari Baitul-Maqdis di Palestina ke ka’bah di Mekah Al Mukarramah, maka terjadilah pertengkaran dan perdebatan terus menerus antara Ahli Kitab dan orang–orang Islam. Pertengkaran itu semakin sengit dan memuncak, sampai-sampai orangorang Ahli Kitab mengatakan bahwa orang yang sembahyang dengan tidak menghadap ke baitul Maqdis tidak sah sembahyangnya dan tidak akan diterima Allah; dan orang itu tidak termasuk pengikut para nabi-nabi. Sedang dari pihak orang Islam mengatakan pula, bahwa sembahyang yang akan diterima Allah ialah dengan menghadap ke Masjidil Haram, Kiblat Nabi Ibrahim as bapak dari segala nabi. Maka ayat ini menegaskan bahwa yang pokok bukanlah menghadapkan muka ke kiblat dan menghadapkan muka itu bukanlah suatu kebaktian yang dimaksud dalam agama. Akan tetapi yang terpenting adalah mengabdikan diri kepada Allah SWT.2
1 2
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 98 Ibid
30
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa menghadapkan wajah ke arah barat dan timur bukanlah tujuan sebenarnya, yang terpenting adalah ketaqwaan, kebajikan dan keimanan kepada Allah SWT. 4. Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 177 Asbabun Nuzul Surat al-Baqarah ayat 177 ini, Menurut Ahmad Musthafa al Maraghi ialah orang-orang Yahudi sembahyang menghadap ke arah barat, sedang orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Masing-masing golongan mengatakan golongannyalah yang benar dan oleh karenanya golongannyalah yang berbakti
dan berbuat kebajikan.
Sedangkan golongan lain adalah salah dan tidak dianggapnya berbakti atau berbuat kebajikan, maka turunlah ayat ini untuk membantah pendapat mereka .3 Menurut riwayat ar-Robi dan Qatadah, sebab turunnya ayat ini karena terjadi percekcokan antara orang Nasrani yang sembahyangnya menghadap ke timur dan orang-orang Yahudi yang ke barat. Masingmasing mereka menganggap, bahwa merekalah yang benar sedang yang lainnya salah dan ibadahnya tidak diterima.4 Maka turunlah ayat ini untuk membantah pendapat dan persangkaan mereka. Diketengahkan pula oleh Ibnu Abi Hatim dari Abul Aliyah, mengatakan bahwa kewajiban itu bukan hanya memalingkan muka ke arah timur dan barat, tetapi berbakti pada hakekatnya ialah beriman kepada Allah dengan hati, dan membenarkan bahwa Allah SWT Maha Esa dan Maha Kuasa. Konkrit ceritanya dapat dilihat pada tafsir Ibnu katsir misalnya, di situ dapat diceritakan bahwa “sesungguhnya Nabi saw. ditanya, “Apakah iman itu ?” Maka beliau membaca ayat ini, “kebajikan itu bukanlah dengan mengahadap wajahmu ke arah timur dan barat”. Kemudian Rasulallah ditanya lagi. Maka beliau membaca ayat ini juga. Kemudian beliau ditanya lagi. Maka beliau bersabda iman ialah jika kamu 3
Ibid., hlm. 54. Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, Jilid I, Terj. Bahrun Abu bakar, (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 1997), hlm. 193. 4
31
melakukan kebaikan yang disukai oleh hatimu dan jika kamu melakukan keburukan yang dibenci oleh hatimu.5 Maksud ayat ini adalah setelah Allah menyuruh kaum mukmin menghadap ke Baitul Maqdis, Allah mengalihkan kiblat mereka ke ka’bah, maka hal itu membuat ragu segolongan ahli kitab, dan sebagian kaum muslim. Lalu Allah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang hikmah pengalihan itu. Tujuan pengalihan itu ialah untuk melihat siapa yang taat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya, menghadap ke mana pun mereka disuruh, dan mengikuti apa yang di syariatkan-Nya. Hal ini merupakan kebajikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna. Kemudian dilihat dari urutan rentetan ayat di dalam mushaf yakni ayat-ayat sebelumnya, lalu ayat ayat 174, 175 dan 176, maka yang paling sesuai ialah bahwa ayat ini diturunkan mula-mula terhadap Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), karena pembicaraan masih berkisar disekitar mencerca dan membantah perbuatan dan tingkah laku mereka yang tidak baik dan tidak wajar. Ayat ini bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup juga semua umat yang menganut agama-agama yang diturunkan dari langit, termasuk umat Islam.6 5. Munasabah Surat Al-Baqarah Ayat 177 1) Munasabah Surat Al-Baqarah dengan Surat sebelum dan sesudahnya. a. Dengan Surat sebelumnya (Surat Al-Fatihah) Surat Al-Fatihah merupakan titik-titik pembahasan yang akan diperinci dalam Surat al-Baqarah dan Surat-surat yang sesudahnya. Dan di bagian akhir Surat al-Fatihah disebutkan permohonan hamba, supaya diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus, sedang surat al-Baqarah dimulai dengan ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang menunjukan jalan yang dimaksudkan itu. 5
Al-Imam al-Fida’i Ismail al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Damasqyy, op.cit, hlm. 275. Dewan Redaksi/Penyusun, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid 1, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Depag RI, 1983/1984), hlm. 309 6
32
Jadi, jelaslah dilihat dari isi dan kandungan kedua surat tersebut memiliki korelasi yang erat dan jelas. b. Dengan Surat sesudahnya (Surat Ali Imran) Dalam surat Al-Baqarah disebutkan nabi Adam as langsung diciptakan Allah SWT, sedang dalam surat Ali Imran disebutkan tentang kelahiran Nabi Isa as yang kedua-duanya menyimpang dari kebiasaan. Di samping itu di dalam surat Ali Imran menyebutkan tentang orang-orang yang suka menakwilkan ayat-ayat yang mutasyabihat dengan takwil yang salah untuk memfitnah orang-orang mukmin.7 Jadi, jelaslah bahwa surat AlBaqarah dengan surat Ali Imran ada hubungan yang jelas. Dari uraian di atas tampaklah ada munasabah antara surat sebelumnya (surat Al-Fatihah) dan sesudahnya (surat Ali Imran) dengan surat Al-Baqarah. Kalau surat Al-Fatihah menerangkan tentang agar diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus. Sedangkan dalam surat Ali Imran menerangkan orang yang tidak mau mengikuti perintah Allah ke jalan yang lurus, malah menyimpang dari ajaran-Nya dan memusuhi orang-orang mukmin. Dan surat al-Baqarah memerintahkan untuk menuju jalan yang lurus, yaitu berpegang teguh pada al-Qur’an. Dengan demikian dapat dilihat antara kedua surat tersebut terdapat korelasi. 6. Munasabah Ayat Surat Al-Baqarah Ayat 177 Al-Baqarah ayat 177 mempunyai kesesuaian atau hubungan dengan surat al-Baqarah ayat 189, keduanya menerangkan tentang kebajikan dan ketaqwaan. Pada ayat 177 ini Allah menegaskan bahwa kebajikan bukanlah pada persoalan menghadapkan wajah ke arah barat atau timur, melainkan kebajikan itu pada ketaatan menjalankan perintahNya. Dan pada ayat 189 Allah menegaskan bahwa kebajikan itu bukanlah
7
M. Sonhadji, dkk., Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990), hlm. 49
33
pada langkah masuk rumah lewat pintu belakang, melainkan bahwa kebajikan terwujud dalam ketaqwaan.8 Dari uraian di atas nampaklah bahwa kedua ayat tersebut memiliki kaitan yang jelas, yaitu menerangkan kebajikan dengan taqwa 7. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 177 Dalam
menafsirkan
terhadap
ayat
di
atas
penulis
akan
menggunakan beberapa pendapat dari para mufasir, sebagaimana diuraikan berikut ini: 1. Hamka Hamka dalam Tafsir al-Azhar
9
menjelaskan bahwa kebaktian
itu bukanlah sekedar menghadapkan muka kepada sesuatu arah yang tertentu, baik ke arah timur maupun ke arah barat, tetapi kebaktian yang sebenarnya ialah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, beriman kepada hari akhir, beriman kepada malaikat, dan beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan Allah. Kemudian menurut Hamka, keimanan tersebut harus disertai dengan amal perbuatan yang nyata yaitu dengan memberikan harta yang dicintai kepada anak-anak yatim, orang-orang musafir yang membutuhkan, orang-orang yang terpaksa meminta-minta, dan memberikan harta untuk memerdekakan hamba sahaya. Di samping itu juga harus mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar baik dalam taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maupun ketika dalam peperangan. Dari tafsiran ayat ini dapat penulis pahami bahwa kebajikan itu bukanlah semata-mata telah mengerjakan shalat, zakat dan sebagainya. Tetapi kebajikan adalah apa yang telah berurat berakar di dalam hatimu, dari rasa taat kepada Allah.
8 Tafsir, dkk., Moralitas Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 42 9 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz II, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 66-67.
34
2. Sayyid Qutb Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Dzilalil Qur’an10 menjabarkan bahwa kebajikan yang dimaksud dalam ayat ini pada hakekatnya adalah iman yang disertai dengan amal shaleh. Menurutnya iman yang dimaksud adalah tanda kebajikan yang menyangkut dengan sikap batiniah, akan tetapi kebajikan itu tidak hanya dengan sikap batin saja, melainkan harus dilahirkan dengan tindakan nyata yang dapat dilihat yaitu dengan memberikan bantuan harta yang dicintai baik pada keluarga dan kerabat, anak yatim, fakir miskin, para musafir, dan memberikan harta untuk memerdekakan hamba sahaya. Di samping itu perlu disempurnakan lagi dengan amal shaleh, diantaranya adalah mendirikan shalat, mengeluarekan zakat, menepati janji, dan sabar dalam penderitaan, kesulitan serta ketika di medan jihad. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasannya kebajikan dalam aqidah itu tidak cukup, akan tetapi harus diaplikasikan dalam kehidupan serta perilaku sehari-hari. 3. Ahmad Mustafa al-Maraghi Ahmad
Mustafa
al-Maraghi
dalam
Tafsir
al-Maraghi
mengungkapkan bahwa menghadap ke timur atau barat itu tidak mengandung unsur kebajikan. Pekerjaan itu pada hakekatnya tidak merupakan suatu kebajikan. Tetapi yang dinamakan kebajikan yang sesungguhnya ialah iman, yang dibuktikan dengan amal perbuatan dan tingkah laku yang mencerminkan keimanan tersebut. Amal perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah mengeluarkan harta kepada orang-orang yang membutuhkan yaitu: sanak famili yang membutuhkan, anak-anak yatim, kaum fakir, ibnu sabil, orang-orang yang minta-minta, hamba sahaya, termasuk di dalamnya menebus tawanan perang, sehingga ia mendapatkan kemerdekaan dirinya. 10
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dziilalil Qur’an., (Beirut: Ihya’i At-Thiraan Al-Araby, 1391), hlm. 283-287.
35
Kemudian di samping amal perbuatan tersebut di atas disempurnakan lagi dengan amal saleh yaitu mendirikan shalat dengan melihat segala syarat dan rukunnya, menunaikan zakat, menepati janji jika mengadakan perjanjian mengenai sesuatu, bersikap sabar ketika tertimpa kesengsaraan, ketika miskin, ketika tertimpa musibah dan ketika berada di medan perang. Jadi, pada dasarnya kebajikan tidak dapat dicapai semata-mata karena menghadap ke timur atau ke barat. Namun kebajikan tidak dapat diraih kecuali dengan beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan para nabi yang disertai dengan amal shaleh.11 4. Ibnu Katsir Ibnu Katsir menafsirkan bahwa kebajikan itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, namun kebajikan itu beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat-malaikat, Nabi-nabi, dan Kitab-kitab-Nya. Di samping itu kebajikan yang lain adalah dengan memberikan harta yang dicintainya yaitu kepada karib kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, memenuhi janji, dan bersabar dalam kondisi sulit, menderita, dan dalam peperangan.12 Jadi, kebajikan itu tak sekedar diucapakan. Iman yang kuat harus diwujudkan dalam amal yang nyata. Harus meliputi pandangan berfikir, amal yang nyata dan penerapan di dalamnya maupun di luar kehidupanya sendiri. 5. Muhammad Husain At-Thabathaba’i Husain
At-Thabathaba’i
menjelaskan
bahwa
bukanlah
persoalan kiblat yang diperselisihkan, karena tujuan yang sebenarnya dengan mengarahkan muka ke timur dan ke barat ialah meningkatkan dalam aqidah, amal perbuatan dan akhlak. Ketiga aspek inilah yang 11 12
Ahmad Mustafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 99-108. Al-Imam al-Fida’i Ismail al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Damasqyy, op.cit., hlm. 209.
36
menjadi tujuan yang sesungguhnya dalam ayat ini yang disebut dengan al-bir atau kebajikan. 1. Al-Bir dalam aqidah (beriman kepada Allah, hari akhir, para Malaikat, Nabi-nabi, dan kitab-kitab Allah). 2. Al-Bir dalam amal perbuatan (mendirikan shalat, menunaikan zakat, memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabatnya yang masih dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan hamba sahaya). 3. Al-Bir dalam akhlak (menepati janji apabila ada akad janji dan sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan)13 Dari tafsir di atas dapat penulis pahami bahwa aspek aqidah, amal perbuatan dan akhlak merupakan unsur-unsur dari kebajikan. Dalam hal ini kebajikan berarti mengintegrasikan antara aspek aqidah, amal perbuatan dan akhlak atau lebih spesifik lagi yaitu perpaduan antara iman, Islam dan ihsan yang merupakan bagian integral dari takwa. 6. Muhammad al-Razi Muhammad al-Razi dalam kitab Tafsir Al Kabir menyebutkan beberapa hal tentang kebajikan yaitu: 1. “Kebajikan itu bukanlah engkau menghadapkan wajahmu ke arah barat dan timur, melainkan kebajikan itu adalah engkau mengumpulkan segala aspek yang diuraikan dalam ayat ini. 2. Kesempurnaan kebajikan adalah engkau menggunakan pekerti yang terpuji, salah satunya menghadap kiblat. 3. Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah barat dan timur, tetapi kebajikan itu adalah menghindari perbuatan dosa dan perbuatan tercela. 4. Menghadap kiblat bukanlah suatu kebajikan jikalau engkau tidak mengenal Allah, namun kebajikan itu adalah iman kepada Allah. 13
Muh. Husain At-Thabathaba’i, Mizan fi Tafsiri Al-Qur’an, (Beirut: Muasasah AlA’lami lil Matbuah, 1369), hlm. 428-430.
37
Dari penjelasan di atas penulis dapat memahami bahwa kebajikan yang dimaksud adalah iman dan amal shaleh, yaitu mewujudkan iman dan amal perbuatan yang sebenar-benarnya. Dengan kata lain, dapat menerapkan segala aspek yang disebutkan dalam ayat ini baik dalam segi aqidah, ibadah, sosial, maupun akhlak.14 Dari beberapa uraian tafsir di atas dapat dipahami bahwa antara tokoh tafsir klasik dengan tokoh tafsir modern tidak ada perbedaan yang lebih prinsip. Artinya, banyak kesamaan pandangan dalam memahami surat al-Baqarah ayat 177 ini, yang berbeda hanyalah dalam segi redaksi dan segi klasifikasi atau penggolongan aspek / bidang yang tertera dalam ayat ini. Lebih lanjut, dilihat dari semantika terhadap kata al-birr dalam al-Qur’an ayat 177 surat Al-Baqarah ini adalah ungkapan etika keagamaan dalam al-Qur’an. Konsep etika keagamaan dalam alQur’an selain terekspresi melalui kata al-birr juga terekspresi melalui kata-kata seperti : al-khair, al-ma’ruf, at-tayyib, as-shalihat, al-adl, alhasan, al-qist, dan at-taqwa. Semua kata ini mengandung makna baik.15 Sekalipun memiliki makna yang hampir sama, namun semuanya mempunyai kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sisi semantik ataupun konteks kalimat penggunaan kata-kata tersebut. Diantara contoh yang dimaksudkan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Al-birr dan as-salihat Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa kata al-birr sangat mirip dengan kata as-salihat, tetapi memiliki kekhasan pada dua unsur, yakni berbuat baik dan adil kepada semua manusia dan ketaatan kepada Tuhan. Dari ayat 177 surat al-Baqarah ini dapat
14
Muhammad al-Rozi, Tafsir Al-Kabir, Juz.5, (Bairut: Darul Fikr, 445-406 H), hlm. 37. Majid Fahri, Ethika Dalam Islam, Terj. Zakiyyudin Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. XV. 15
38
mengidentifikasi kekhasan makna al-birr, yaitu beriman dan beramal saleh.16 b. Al-birr dan at-taqwa Kekhasan kata al-birr yang lain adalah adanya koneksi (hubungan) yang sangat eksplisit dengan kata taqwa. Dalam ayat 177 surat al-Baqarah ini hubungan al-birr dan at-taqwa sangatlah jelas dan keduanya tidak dapat dipisahkan karena jika dicermati albirr merupakan wujud konkret taqwa. Al-birr menjadi simbol orang-orang yang benar imannya dan muttaqin.17 Dari uraian di atas dapat penulis pahami bahwa kata al-birr sangat beragam. Makna ini tergantung pada konteks ayat tempat kata al-birr tercantum. Akan tetapi secara umum makna kata al-birr adalah keseluruhan perbuatan yang merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan merupakan ekspresi dari hakekat kebaikan dalam al-Qur’an. 8. Pengelompokan isi Surat al-Baqarah ayat 177 Surat al-Baqarah ayat 177 ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bidang/aspek sebagaimana yang sudah di bahas di atas di antaranya: aspek iman dan amal shaleh, yang kemudian dapat dijabarkan menjadi aspek aqidah, ibadah, akhlak, sosial bahkan aspek sosial politik. Dari beberapa pembagian aspek tersebut di atas, Muhammad Husain At-Thabathaba’i18 dalam Tafsir Mizan didukung oleh Mahmud Syaltut19 menyimpulkan kandungan ayat ini menjadi tiga kelompok besar, yaitu: a. Aspek aqidah Yang meliputi beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, dengan keyakinan bahwa dia yang memberi manfaat dan menimpakan mudharat kepada seseorang. Beriman kepada kepada Hari Akhir yaitu hari pembalasan dan perhitungan segala isi, hari kesenangan atau kecelakaan 16
Tosihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 250. 17 Ibid. 18 Muhammad Husain al-Thabathaba’i, op.cit., hlm. 409. 19 Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur’anul Karim, Terj. Hossein Bahreisj, (Bandung: CV Diponegoro, 1989), hlm. 163.
39
abadi. Beriman kepada Malaikat yang masing-masing memiliki tugas dari Allah. Beriman kepada Nabi, tanpa membedakan diantara mereka. Beriman kepada Kitab-kitab dengan meyakini semuanya. b. Aspek amal perbuatan Yang
meliputi
mendirikan
shalat
sebaik
mungkin
dengan
memperhatikan segala syarat dan rukunnya. Menunaikan zakat sebagai perintah membersihkan hartanya kepada yang berhak menerimanya. Memberikan harta yang dicintainya, maksudnya memberikan harta yang ia cintai dan memberikan harta karena cinta kepada Allah. Harta yang dimaksudkan diberikan kepada karib kerabatnya yang masih dekat, anak-anak yatim yang ditinggal mati ayahnya pada saat masih kecil, orang-orang miskin yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, orang peminta-minta yang tidak mampu lagi mencari kehidupan hidupnya dan sangat terpaksa, ibnu sabil yang jauh dari keluarga dan harta yang meliputi penuntut ilmu, penemu untuk kemanfaatan masyarakat, mubaligh dan ahli silaturrahmi, hamba sahaya yang tidak mampu membebaskan dirinya. c. Aspek akhlak Yang meliputi menepati janji apabila ada akad janji, baik janji kepada Allah maupun kepada manusia dan sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Sedangkan A. Hasymi
merincinya menjadi 5 masalah pokok,
yaitu: aspek iman (iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, Al Kitab dan para nabi), aspek sosial ekonomi (mendermakan harta kesayangan dan membayar zakat), aspek ibadah (mendirikan shalat), aspek akhlak (menepati janji), dan aspek sosial politik (tabah menghadapi penderitaan terutama diwaktu perang).20 Lain halnya dengan mayoritas mufassir menyebutkan hanya mengkategorikan menjadi dua masalah pokok, yaitu: aspek aqidah/iman disertai dengan aspek amal shaleh. 20
A. Hasjmy, op. cit., hlm. 60.
40
Kalau dicermati ketiga pendapat di atas, penulis melihat bahwa Hasymi menjelaskan kandungan surat al-Baqarah ayat 177 ini secara rinci. Sedangkan Muhammad Husain At-Thabathaba’i dan Mahmud Syaltut dalam mengkategorikannya masih menggunakan kategori ganda atau tumpang tindih, lebih-lebih pendapat mayoritas mufassir yang jauh dari spesifikasi, bahkan bersifat umum.
B. Makna Takwa dalam Surat al-Baqarah Ayat 177 Dari ayat 177 surat al-Baqarah ini jelas sekali bahwa masalah arah menghadap dalam beribadah bukanlah hal yang sedemikian prinsipilnya sehingga harus dipandang sebagai kebajikan itu sendiri. Ia hanyalah segi lahiriah keagamaan, yang berfungsi sebagai lambang sesuatu yang hakiki, yaitu ketaatan kepada Allah dan kesatuan pandangan hidup kaum beriman. Dengan demikian jelaslah ayat ini mengajarkan bahwa hakikat harus dicari, dan ditemukan, dibalik lambang-lambang dan bentuk-bentuk lahiriah. Dari akhir ayat ini menjelaskan tentang ketaqwaan yang menyeluruh. Ketaqwaan itu bukan saja masalah keduniaan tetapi juga, masalah keakhiratan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengertian tentang esensi taqwa itu sendiri dari para mufasir. Di dalam Tafsir Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa Al-Maraghy menjelaskan bahwa takwa adalah mencegah agar supaya Allah jangan sampai murka terhadap-Nya dengan jalan menjauhi perbuatan dosa dan laranganlarangan-Nya.21 Di dalam Tafsir Mizan dijelaskan bahwa takwa adalah berbakti kepada Allah dan takut akan siksaan-Nya, dengan cara meninggalkan segala laranganNya dan menjauhkan diri dari segala perbuatan yang menimbulkan dosa terhadap-Nya.22
21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, op. cit., hlm. 107. Muh. Husain At-Thabathaba’i, Mizan Fi Tafsiri Al-Qur’an, (Beirut : Muasasah Al‘Alami lil Matbuah, 1369), hlm. 430. 22
41
Sedangkan menurut
Tafsir Al Azhar dikemukakan bahwa takwa
adalah pemeliharaan. Orang yang bertakwa berarti orang yang selalu memelihara hubungannya dengan Allah.23 Kemudian di dalam surat al-Baqarah ayat 177 ini, tidak dijelaskan secara eksplisit tentang nilai-nilai takwa seperti yang telah dikemukakan di atas, tetapi secara implisit dapat dipahami petunjuk-petunjuknya tentang hal ini. Sebelum mengetahui nilai-nilai takwa dalam ayat ini, ada beberapa pendapat tentang nilai-nilai takwa secara umum. 1. Sayyid Quthb mengklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu nilai keimanan, nilai kemanusiaan, dan nilai ibadah. 24 2. Al-Razi mengklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai aqidah, dan nilai muamalah.25 3. Ibnu Katsir mengelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu nilai keimanan, nilai amal shaleh, dan nilai akhlak mulia.26 4. Hamka menjelaskan tentang penggolongan nilai-nilai taqwa, yaitu nilai keimanan, nilai sosial, nilai akhlak, nilai kekeluargaan, dan nilai individu.27 Sedangkan menurut Nurcholis Madjid berkisar sekitar empat hal, yaitu: (1) Iman harus benar dan ikhlas, (2) Orang yang beriman harus menunjukan perbuatan baik dan kedermawanan kepada manusia, (3) Orang yang beriman harus menjadi warga masyarakat yang baik dan berpartisifasi terhadap kegiatan lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan atau organisasi sosial, (4) Dan harus tetap tabah dan tidak goyah dalam keadaan bagaimana pun
23
Hamka, Tafsir al-AzharJuz II,(Jakarta : PT. Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 78. Sayyid Quthb, op. cit., hlm. 284-285. 25 Ar-Razi, op. cit., hlm. 37-38. 26 Ibnu Katsir, op. cit., hlm. 20. 27 Hamka, op. cit., hlm. 66-67. 24
42
juga.28 Dalam hal ini Muhaimin menambahkan selain ke empat nilai-nilai di atas, yaitu harus menegakkan dan menjalankan ritus-ritus.29 Dari beberapa pendapat tersebut penulis dapat mengambil pemahaman bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ini sekurang-kurangnya dapat digolongkan kedalam empat kategori yaitu; nilai keimanan, nilai ibadah, nilai sosial, dan nilai akhlak. 1. Nilai keimanan Iman berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar Amana –Yu’minu – Imanan, artinya beriman atau percaya. Percaya dalam bahasa Indonesia artinya mengakui atau yakin bahwa sesuatu (yang dipercayai) itu memang benar atau nyata adanya.30 Sementara itu, Hasbi ash-Shidieqy memberikan pengertian bahwa iman itu at tasdiqu bil qalbi, membenarkan dengan hati.31 Adapun pengertian menurut istilah ialah: pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang dibawa oleh Nabi Muhamad SAW. yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.32 Iman tidak cukup hanya di simpan dalam hati. Iman harus dilahirkan atau diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal saleh atau perilaku yang baik. Kalau sudah demikian, barulah dapat dikatakan iman itu sempurna.33 Oleh karena itu, berkaitan dengan definisi iman di atas ada yang mengatakan bahwa di samping membenarkan dalam hati, iman juga mengikrarkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota badan.34
28 Thoyib I. M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 47. 29 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2003), hlm. 160. 30 Kaylani. HD, Islam, Iman dan Amal Saleh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 58. 31 M. Hasbi As-Shidieqy, Al-Islam I, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 17. 32 Ahmad Daudi, Kuliah Ibadah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 21. 33 Abdurahman Wahid, dkk, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta Selatan: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hlm. 469. 34 M. Hasbi As-Shidieqy, op.cit., hlm. 17.
43
Kemudian, sebagian ulama menyebutkan pula bahwa iman adalah membenarkan Rasul serta apa yang disampaikan dari Tuhan-nya.35 Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa iman ternyata tidak sekedar percaya kepada Allah, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita harus bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia.36 Untuk itu, keimanan ini perlu ditumbuhkan sejak kecil agar anak nantinya dapat merasakan kebahagian hidup, menghasilkan ketenangan dan ketentraman jiwa. 2. Nilai ibadah Ibadah diartikan perhambaan, yaitu memperhambakan diri kepada Allah sesuai dengan tuntunan-Nya.37 Ibadah ada yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan Allah yang biasa disebut dengan istilah ibadah mahdhah atau ibadah ritual. Adapula ibadah yang dilakukan melalui hubungan antar manusia yang sering disebut ibadah ghairu mahdhah atau ibadah sosial.38 Dapat dijelaskan bahwa ibadah mahdhah berkaitan dengan bentukbentuk ritual yang khas, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang berhubungan dengan masalah muamalah seperti dalam hal ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya.39 Dari pengertian di atas dapat di pahami, bahwa ibadah itu tidak terbatas pada ibadah mahdhah, tetapi lebih dari itu. Dalam hal ini Fatah Jalal menjelaskan, bahwa sebagian orang mengira, ibadah itu hanya terbatas pada menunaikan shalat, puasa, zakat, dan haji serta mengucapkan syahadat. Di luar itu tidak dipandangnya ibadah. Sebenarnya ibadah itu 35
Tafsir, dkk, op. cit, hlm. 31. Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), cet. IV, hlm. 75. 37 Herry Noor Aly, op. cit., hlm. 60. 38 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit., hlm. 71. 39 M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi al-Qur'an. Al-hadis. Fikih dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah I), (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001), hlm. 109. 36
44
mencakup segala amal, pikiran atau perasaan manusia, selama semua itu dihadapkan kepada Allah SWT.40 Ibadah kepada Allah dalam arti luas mempunyai dampak edukatif yang sangat signifikan dalam membentuk insan yang bertakwa (muttaqin). Dampak edukatif dari ibadah diantaranya: (1) Ibadah mendidik diri untuk selalu berkesadaran berpikir. (2) Ibadah menanamkan hubungan dengan jamaah muslim. (3) Menanamkan kemuliaan diri. (4) Mendidik keutuhan selaku umat Islam yang berserah diri kepada Allah. (5) Mendidik keutamaan. (6) Membekali manusia dengan kekuataan rohaniah. (7) Memperbaharui dengan taubat.41 3. Nilai sosial-kemasyarakatan Pada dasarnya konsep tentang sosial adalah sebuah kelompok yang saling melengkapi dengan dua karakter yang menonjol, (1) Sebuah kelompok di mana masing-masing individu bisa secara leluasa melakukan berbagai kegiatan dan mencari pengalaman yang amat penting lainnya, (2) Kelompok itu terjalin menjadi satu dalam perasaan saling memiliki dan perasaan semua. Sedangkan menurut pemahaman historis, sosialkemasyarakatan adalah gerakan dari masyarakat yang mempunyai hubungan intim, mendalam dan kaitan moral ke arah yang impersonal (bukan individual yang berperan) dan hubungan masyarakat banyak yang secara formal yang memberi faedah.42 Dasar-dasar prinsip Islam dalam kesosialan dirancang berdasarkan kehendak Allah, ketaatan terhadap hukum-Nya dan keterikatan pada takdir-Nya. Pendeknya, suatu masyarakat itu disebut masyarakat Islam jika semua sistem hidupnya berkembang menurut ajaran Islam.43 Atas dasar itu, berarti manusia dinilai terutama dalam kehidupan sosial; baik oleh Allah maupun oleh manusia. Adalah tugas setiap manusia
40
Abdul Fatah Jalal, op. cit., hlm. 123. Abdurrahman Mas’ud, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 198-199. 42 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit., hlm. 53. 43 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 246. 41
45
untuk senantiasa memberikan dan mewujudkan rahmatan lil alamin. Dengan demikian manusia telah didorong untuk selalu fastabiqul khairot agar dapt menjadi individu yang paling bermanfaat bagi masyarakat dengan dasar ketakwaan kepada Allah SWT.44 Pendidikan dimensi sosial-kemasyarakatan ini penting untuk membentuk manusia muslim yang bertumbuh secara sosial dan menjadikan hamba yang saleh dengan menanamkan keutamaan sosial di dalam dirinya dan melatihnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui: 1) Mementingkan keluarga dan ibu merupakan wadah pertama dalam pendidikan 2) Memperhatikan pendidikan anak dan remaja 3) Pembentukan manusia yang berprestasi dan ekonomis di dalam hidup 4) Menumbuhkan kesadaran pada manusia 5) Membentuk manusia yang luas dan merasakan bahwa ia anggota di dalam masyarakat dunia.45 Dari situ dapat dipahami bahwa dengan adanya perbuatan yang baik atau tindakan yang terpuji baik berupa materi ataupun imaterial yang ditujukan
untuk
manusia,
itu
berarti
memiliki
fungsi
sosial-
kemasyarakatan. Dengan kata lain segala sesuatu dapat dikatakan memiliki fungsi sosial jika di situ terdapat hubungan antar manusia dari segala aspek kehidupan.46 4. Nilai akhlak Ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian akhlak dikalangan para ahli. Akan tetapi keperbedaannya itu tidak begitu prinsip. Dalam arti lain keperbedaannya tidak berpaling dari subtansi akhlak. Contohnya Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumudin memberi
44
Amin Husni dan Satoto, Pandangan Islam Dalam Kajian Khusus Tentang Kesehatan, (Semarang: UNDIP, 1996), hlm. 1. 45 Zakiyah Daradjat, op.cit., hlm. 18-19. 46 Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 158.
46
pengertian bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, dari padanya timbul perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.47 Sementara itu, Imam Al Qusyairy al-Naisabury memaknai akhlak yaitu memandang rendah apapun yang datang darimu, dan mengagungkan yang datang dari Allah swt.48 Dalam agama Islam, akhlak manusia dibagi atas dua kategori, yaitu akhlak hasanah (akhlak yang baik) dan akhlak sayyiah (akhlak yang buruk).49 Untuk selanjutnya yang menjadi permasalahan ini adalah apakah akhlak perlu ada pembinaan atau tidak. Menurut Abuddin Nata bahwa akhlak memang perlu dibina. Alasan dia itu melihat kenyataan dilapangan, bahwa usaha-usaha pembinaan akhlak melalui lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan.50 Herry Noer Aly menambahkan bahwa akhlak itu perlu dibentuk dan dibina yang dapat dilakukan melalui pendidikan, bimbingan dan latihan serta dengan menanamkan dan membiasakan kepada anak sifat-sifat terpuji dan menghindarkan dari sifat-sifat tercela.51 Atas dasar itu, berarti pendidikan akhlak itu sangatlah penting. Menurut M.Arifin, semata-mata disebabkan karena akhlak adalah sumber segala-galanya dan kehidupan adalah tergantung pada akhlak (tidak ada kehidupan tanpa akhlak).52 Maka manusia yang memiliki akhlak itu dianggap sebagai manusia yang terbaik, sebagaimana hadits Nabi:
ﺱ ﺎﻦ ﺍﻟﻨ ﺴ ﺣ ﻢ ﹶﺍ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﻰ ﺍ ﻠﷲ ﺻ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭﺳ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻨﻪﻋ ﷲ ُ ﻰ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺲ ٍ ﻧﻦ ﹶﺍ ﻋ ﻭ (ﺧﹸﻠﻘﹰﺎ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ “Dan dari Anas ra. dia berkata: sebaik-baik manusia adalah akhlaknya”.53 47
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, Juz. III, (Beirut: Dar Al Qutub, t.th), hlm. 52. Imam Al-Qusyairy An-Naisyabury, op.cit., hlm. 291. 49 Thoyib. I.M. dan Sugiyanto, op.cit., hlm. 62. 50 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 155. 51 Hery Noer Aly, op.cit., hlm. 91. 52 Ali Jumbulati Dan Abdul Fatah At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. M. Arifin, Dirosatun Muqaranatun Fit-Tarbiyah Islamiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 121. 53 Syeikh Al-Islami Muhyiddin, Riyadhush Shalihin, (Bandung: Al-Ma’arif, t.th), hlm. 303. 48
47