Judul Tesis
: Dimensi Kepentingan Dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal : Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Nama
: Siti Masithoh
NRP
: A 152050071
Program Studi
: Sosiologi Pedesaan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Ketua
Dr. Ir. Tri Pranadji, MS. APU Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr.Nurmala K.Pandjaitan, MS.DEA.
Tanggal Ujian : 20 Februari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul "Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal (Studi Kasus Program Aksi Desa Mandiri Pangan desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah) adalah karya Saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini.
Bogor, Maret 2009
Siti Masithoh Ai52050071
@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RINGKASAN SITI MASITHOH. Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal : Studi Kasus Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan TRI PRANADJI Masalah ketahanan pangan dan kemiskinan merupakan masalah mendasar pembangunan masyarakat pedesaan. Desa Jambakan adalah salah satu desa rawan pangan di Kabupaten Klaten yang memperoleh bantuan Program Mapan pada tahun 2005 dengan jumlah KK miskin mencapai 74,7 persen. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani berstatus sebagai buruh tani atau penggarap dengan rata-rata kepemilikan lahan sangat sempit (kurang dari 0,5 ha). Jenis tanah tandus dan tidak ada sistem irigasi sehingga pertaniannya tadah hujan (padi setahun sekali dan selalu gagal panen). Oleh karena itu pertanian tidak bisa diandalkan dan mulai beralih pada off farm. Terdapat beberapa kelembagaan ketahanan pangan lokal yang secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi penjamin keberlangsungan masyarakat setempat, diantaranya arisan, lumbung pengajian, warung, dan kelompok usaha tenun. Dalam perkembangannya, walaupun telah seringkali mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun persoalan kemiskinan di desa ini yang terkait juga dengan masalah ketahanan pangan, belum juga terselesaikan. Hal ini disebabkan dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal telah meminggirkan kepentingan rumah tangga petani miskin. Bagaimana keberpihakan terhadap kepentingan rumahtangga petani miskin dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan merupakan pertanyaan utama tesis ini. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2008 dengan pendekatan kualitatif dan strategi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan multi metode, yaitu menggabungkan metode wawancara mendalam, FGD, studi riwayat hidup dan pengamatan berperanserta. Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal di desa Jambakan yang dilakukan pada tingkat komunitas menunjukkan bahwa kepentingan rumah tangga petani miskin dapat terakomodir dalam hal jaminan pangan (basis pada produksi dan konsumsi). Sedangkan dalam pelaksanaan program Mapan sebagai salah satu bentuk intervensi dari pemerintah dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokaldi desa Jambakan terganggu dengan benturan kepentingan dari berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga menyebabkan terpinggirkannya kepentingan rumah tangga petani miskin. Pengelolaan program dikuasai oleh orang-orang tertentu pemilik faktor produksi dan akses. Kondisi demikian untuk program bergulir seperti mapan berdampak pada potensi macet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal diatas terjadi juga dikarenakan kelembagaan baru yang dibentuk program kurang menngakar dengan kelembagaan lokal yang sudah ada, misalnya dengan membentuk Lembaga Keuangan Desa, program tidak melihat pada ketersesuainnya dengan kebutuhan lokal, dan pada akhirnya program Mapan di desa Jambakan baru pada level meningkatkan pendapatan, walaupun hanya pada rentang waktu sesaat, dan belum pada peningkatan kesejahteraan.
ABSTRACT
SITI MASITHOH. The interest dimension in the development of local food security institution. Case study of the action program of food self-supporting village, in Jambakan Village, Bayat Sub-district, Klaten-District, Central JavaProvince. Thesis supervised by TITIK SUMARTI and TRI PRANADJI.
The issues of food security and poverty are basically the problems that exist in rural community development. The aim of this research are to find the small peasant households ways to build their local institution of food security, its interaction to intervention institution (especially programs directly related and support the village food-security program), how long the peasant interest had been include on the food-security development and
to identify the current food-
security conditon of peasant’s household. The research was done in Jambakan Village-Bayat subdistrict-Central Java provinci, which represented the poor food security. The design and methods in this research was the approach of comunity study (through survey and qualitative approaches) and case study. The result research indicate that are : the implementation of food self reliant village program at Jambakan Village is not succes and the peasants interest on the food security development are not harmonized with the governance necessity. The succesfull keys are facilitasy process and the role of community organizator, and the appearance of community trust to local leader, whereas community are driven to develop their ability to manage the local institution.
Key words; food security, peasant, interest, local insitution
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Siti Masithoh dilahirkan di Desa Karangrejo, kabupaten Magetan, Jawa Timur pada tanggal 08 Oktober 1978 dari orang tua Ibu Samiati dan Bapak Saribun. Riwayat pendidikan dari TK sampai SMA ditempuh di Magetan. Pada tahun 1997 penulis diterima melalui jalur UMPTN melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) pada Program Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
Selama masa kuliah memperoleh kesempatan menjadi asisten
dosen di Fakultas Peternakan IPB pada matakuliah : Tataniaga, Sosiologi Pedesaan, Bank dan Perkreditan dan Kewirausahaan. Penulis menamatkan studi S1 pada tahun 2002 dengan menyusun skripsi yang berjudul "Analisis Preferensi dan Pola Konsumsi Daging Kerbau pada Rumah Tangga di Dati II Kabupaten Pandeglang, Banten". Pada tahun 2002-2003 bekerja sebagai asisten lapang di Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Memiliki aktivitas sehari-hari sebagai pengajar privat matematika dan terdaftar sebagai asisten dosen di Direktorat Diploma IPB dari tahun 2005 hingga sekarang pada Program Keahlian Managemen Agribisnis. Hingga kemudian pada tahun 2005, penulis
mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan S2 pada Program Stusi Sosiologi Pedesaan (SPD), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillahirabbil'alamin penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmatNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal untuk Rumah Tangga Petani Miskin Pedesaan.
(Studi kasus Program Aksi Mandiri Pangan di desa Jambakan,
Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah)". Tesis ini dapat diselesaikan atas dukungan dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS dan Bapak Dr. Ir. Tri Pranadji, MS, APU selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar dan penuh kasih sayang membimbing dan memberi masukan yang sangat berarti sejak penyusunan proposal penelitian hingga tesis ini selesai 2. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku penguji luar komisi yang telah memberi banyak masukan selama ujian berlangsung demi perbaikan tesis ini. 3. Bapak Dr.
Ir.
Basita Ginting Sugihen atas dorongan semangat dan
dukungannya untuk optimis bisa menempuh studi pascasarjana walaupun sambil bekerja meskipun belum juga mendapatkan kesempatan beasiswa 4. Masyarakat Desa Jambakan atas kesediannya menerima penulis di tebgahtengah kehidupan mereka, mengamati dan mengikuti kegiatan mereka serta menjawab seluruh pertanyaan penulis selama penelitian berlangsung 5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen di Program Studi Sosiologi Pedesaan yang telah menyampaikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna 6. Gama Tri Utami dan keluarga di Solo yang telah berkenan meminjamkan sepeda motor "gagak rimang" nya selama penelitian ini berlangsung 7. Ibu Ir. Anisa Wijayanti, MS, Ibu Ir. Anna Fajriah, MS, Ery Karyanto, SE, Risalina, SP, Tata Rahmanta, SE, Harjanto, SE, penanggungjawab dan pendamping program Mapan atas bantuan data dan informasinya yang sangat berguna
8. Beta Dwi Utami, MS dan Laela Nur Anisa, MS, atas persahabatan dan semua kebaikan dan bantuan yang diberikan selama ini 9. Teman-teman seperjuangan di SPD, Pak Awal, Bang Rinto, Mas Rais, Mas Husein, Mas Septri, Pak Witra juga Mba Ulfa, Kak Rosganda, Mba Hana, Mas Siwi, Qori, Mba Anggra, Mba Dharma 10. Dona Puspita, Pui Rahayu, Nani Rahayu, Nely Yulianawati atas doa dan kebersamaannya selama ini yang indah 11. Didit dan Mami di Ciganjur, atas persudaraan dan tawa canda selama ini, atas ijin ALLAH SWT yang telah mencukupkan rezkiNYA untuk yang mau bekerja keras.... 12. Teman-teman di kos, Mumtazer tercinta, Mety, Himme, Nanda, Ida-daut, Dwi-bojong, Leni, Andri, Tutik, Mila, Endah, juga Ary, Bleke-nik, Nia 13. Adik-adik tercinta Inggrit, Alia, Rasyid, Patriavi, Bima, Adam, Nadhira, Fatimah, Fathin, Inara, Edo, Ryninta, Rana, Fahry, Desy, Wildan, Gita, Dila, Nadia, Andre, Putri CK, Nuran, Vismaya, Hanny, NurNabillah 14. Teman-teman di Klaten, Mba Cahaya, Iin, Indri, Nana, juga warung angkringan ompong di alun-alun 15. Teman-temanku Wawan Widya, Santo, Bambang, Basit, Fajar, Hakim, Didik, Supri dan Mas Pur Tri Mulya 16. Sahabat-sahabat di Bimbel, Wahyu, Tutik, Elin, Iis, Mba Ahyuni, Engkus, mas Ifni, mas Har, Mas Mul, Mas Dadang 17. Keluarga penulis, Ibu Samiati dan Bapak Saribun untuk doa dan kasih sayang yang tiada henti, Mas Mahmud sekeluarga, Mas Khudori sekeluarga, Mas Hamid sekeluarga, dan adeku tersayang Imam sekeluarga dan Muslikatin, Semoga ALLAH SWT mengumpulkan kita semua di surgaNYA Dengan semangat untuk terus belajar, semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Februari 2009
Siti Masithoh
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................... Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................................
1 4 7
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pembangunan Perekonomian Pedesaan ………………………………… Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan) .................................................. Komunitas Petani dan Kemiskinan ........................................................... Kelembagaan Lokal Masyarakat Pedesaan ……………………………... Dimensi Kepentingan .............................................................................. Kerangka Pemikiran .................................................................................... Hipotesa Pengarah Penelitian......................................................................
9 16 24 32 38 41 44
METODE PENELITIAN Metode .......................................................................................................
45
Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................
45
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data.....................................................
45
Teknik Pengumpulan Data....................................................................
46
Analisis Data .............................................................................................
48
i
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemetaan Sosial Kemiskinan Pedesaan Lokasi dan Keadaan Alam ...........................................................................
49
Penduduk, Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi Lokal .......................
50
Pola Pemukiman dan Aktivitas Sosial Budaya.............................................
56
Pengembangan Ketahanan Pangan Lokal Melalui Program Aksi Mandiri Pangan Potensi dan Isu Strategis Ketahanan Pangan Lokal.....................................
61
Deskripsi Program Aksi Mandiri Pangan.....................................................
68
Implementasi Program Aksi Mandiri Pangan .............................................
75
Dinamika Kepentingan Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal...................
94
Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal, Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan Karakteristik Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal dan Interaksinya dengan Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan ................................
105
Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan..................................................................... 111 Relasi
Aktor
dan
Dimensi
Kepentingan
dalam
Implementasi
Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan........................................... 116
Dimensi Kepentingan Rumah Tangga Miskin Dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal ...................................................................................
128
Kesimpulan dan Saran ........................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
135
LAMPIRAN .........................................................................................................
138
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Prosedur Pengumpulan data.......................................................................
47
2.
Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan di
51
Desa Jambakan Tahun 2006...................................................................... 3.
Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di Desa Jambakan Tahun 2006......................................................................
4.
Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Jambakan Tahun 2006......................................................................
5.
71
Kegiatan Program Aksi Mandiri Pangan pada Tahap Pertumbuhan di Desa Jambakan Tahun 2007......................................……………………
9.
69
Tahun Persiapan Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan tahun 2006..................................................................................………
8.
68
Jumlah dan Persentase Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten Tahun 2006..........................................................................................................
7.
53
Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Desa Jambakan..................................................................................................
6.
52
74
Perkembangan Usaha Kelompok Afinitas Program Aksi Mandiri Pangan Desa Jambakan..............................................................................
93
10.
Karakteristik Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambakan ..................
102
11.
Kondisi dan Dinamika Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Desa Jambakan.................................................................................................... 103
12.
Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Fungsi Yang Dijalankan di Desa Jambakan.................................................................................................... 106
13.
Identifikasi Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal.................................
14
Aktor
yang
Terlibat
dalam
Program
Mapan
dan
111
Tingkat
Keterlibatannya dalam Memberdayaan Kelompok Afinitas.....................
115
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Alur Pemikiran Penelitian..........................................................................
2.
Kepentingan Aktor Dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Di
43
Desa Jambakan........................................................................................... 116 3.
Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Program Aksi Mandiri Pangan.................................................................................
117
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Contoh Surat Kesepakatan Kelompok Afinitas dalam Program Mapan..
138
2.
Model Pemberdayaan program Mandiri Pangan ......................................
141
3.
Karakteristik Data Responden...................................................................
142
iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan.
Jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta (17, 75 %). Sebagian besar penduduk miskin, sekitar 63,41 persen berada di pedesaan, umumnya bergantung pada sektor pertanian. Selama periode tahun 1993-2003 terjadi kecenderungan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dan jumlah petani gurem di pedesaan Jawa dan luar Jawa. Sebagian besar petani gurem (75 %), berada di pedesaan Jawa dan seluruhnya tergolong miskin. Kemiskinan petani gurem di pedesaan yang sepertinya tidak kunjung terselesaikan.
Salah satu
penyebabnya bahwa kebijakan pertanian pemerintah yang tidak tepat. Baik dalam pendekatan yang dilakukan maupun pemilihan bentuk program seringkali tidak mengakomodir secara langsung kepentingan rumah tangga miskin. Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan melalui program pengentasan kemiskinan seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT
secara empiris
terbukti tidak efektif dan banyak kasus menemui kegagalan. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima program dalam pelaksanaan program-program tersebut. Penyelewengan tersebut terjadi antara lain disebabkan karena kesengajaan para pelakunya dan kebijakan yang terlalu berorientasi pada proyek. Menjadi hal yang sulit dalam keadaan seperti ini lalu kepentingan rumah tangga miskin berharap dapat terakomodir.
Hal inilah yang pada akhirnya
menyebabkan implementasi program tidak partisipatif dan mengabaikan modal sosial atau energi sosial lokal (sumberdaya manusia, jaringan sosial, kelembagaan). Kondisi ini menyebabkan proses perencanaan dan implementasi program/proyek tersebut mengabaikan partisipasi keluarga miskin sebagai subyek utama. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, program-program pembangunan hanya dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang secara sosial-ekonomi relatif mampu.
1
Kondisi ini selaras dengan apa yang dikemukakan Chambers (1987) bahwa jaringan kekerabatan dan koneksi kelompok lapisan elit pedesaan kerapkali menjadi “jaring penangkap” bagi bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi keluarga-keluarga miskin. Pendekatan politik pembangunan di pedesaan masih bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit yang menguasai faktor-faktor produksi di pedesaan.
Kebijakan dan implementasi pembangunan
pertanian di pedesaan pada masa pemerintahan Orde Baru lebih banyak ditekankan pada upaya peningkatan produksi pangan (terutama beras) yang dilakukan secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Sebagaimana halnya program revolusi hijau yang didasarkan pada penyebaran “teknologi baru” berupa bibit unggul dan penambahan pemakaian pupuk dan bahan kimia, meskipun berhasil meningkatkan produksi pangan (beras) nasional, namun karena tanpa didukung dengan pembangunan kapasitas diri manusia dan kapasitas kelembagaan lokal yang kuat, pada akhirnya
memberikan gambaran tidak mampu
mempertahankan keberlanjutan swasembada beras. Meskipun pemerintah di masa lalu telah berupaya membangun kelembagaan di tingkat desa (seperti kelompok tani, pemerintahan desa dan KUD), namun karena dibentuk dan dijalankan secara terpusat, maka kelembagaan-kelembagaan tersebut cenderung berorientasi pada kepentingan supra-desa dan memarginalkan kepentingan masyarakat strata bawah. Kondisi seperti ini, digambarkan oleh Sayogyo (1982) sebagai proses modernisasi yang tidak diiringi dengan proses pembangunan (modernization without development). Pendekatan pembangunan pertanian di masa lalu juga cenderung menekankan pada pembangunan “perangkat keras” dan input teknologi yang relatif tinggi. Fokus utama pembangunan sumberdaya manusia dan pengembangan kelembagaan lokal, adalah manusia atau masyarakat.
Mengacu pada Hayami
(1985), jika kondisi lingkungan sosial dimana inovasi teknologi akan diterapkan ditandai dengan adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan yang timpang (masalah struktural), maka perbaikan kelembagaan menjadi penting dan sangat dibutuhkan. Agar pencapaian penyebaran menjadi lebih luas, sehingga inovasi teknologi bukan saja memberi sumbangan, pada pertumbuhan melainkan juga pemerataan hasilnya.
2
Kemiskinan merupakan isu dan masalah sangat strategis dalam pembangunan masyarakat pedesaan di Indonesia, dalam hal ini berkorelasi positif atau erat kaitannya dengan masalah pangan. Masalah ketahanan pangan yang dihadapi masyarakat pedesaan ini, tidak hanya terbatas pada sistem produksi (ketersediaan), melainkan juga pada sistem distribusi dan sistem konsumsi (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Hal pokok yang dihadapi pada sistem ketersedian pangan di Indonesia adalah laju peningkatan produksi (penyediaan) pangan nasional belum mampu mengejar laju peningkatan kebutuhan pangan penduduk. Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya ketergantungan negara kita terhadap impor pangan pada beberapa komoditas pangan tertentu (seperti beras, gandum dan kedelai) yang masih relatif tinggi. Dalam sistem distribusi pangan, kita masih dihadapkan pada masalah terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan yang dapat menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil. Sistem distribusi pangan untuk mengatasi kerawanan pangan disamping masih belum tertata dengan baik, juga belum bekerja secara efektif. Harga pangan yang sampai ke tingkat rumah tangga tidak menunjukan harga yang sebenarnya karena prasarana dan kelembagaan pasar belum mampu menjamin terciptanya sistem distribusi yang adil, merata dan terjangkau. Pada akhirnya hal ini berakibat pada semakin lemahnya kemampuan rumah tangga (terutama rumah tangga petani miskin) untuk dapat mengakses pangan secara cukup dan terjangkau. Daya beli serta penguasaan atau pemilikan lahan juga menjadi penyebab serius terjadinya kerawanan pangan di pedesaan. Pola konsumsi masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum mampu mendukung ketahanan pangan.
Secara umum hal ini ditunjukkan dengan
ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap beras. Kebijakan pemerintah masa lalu yang berusaha mempertahankan harga beras relatif rendah ikut mendorong terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat pada beras. Program diversifikasi pangan selain tidak optimal juga menunjukan gejala salah arah, yaitu ditunjukkan adanya pergeseran pola konsumsi kearah diversifikasi pangan berbasis gandum.
3
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2006, salah satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Program mapan
berpontensi menjadi kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah tangga miskin dengan pihak supradesa. Oleh karena itu dalam permasalahan penelitian yang ingin diketahui adalah; bagaimana keberpihakan terhadap kepentingan rumahtangga petani miskin dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
untuk
mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan ?
Perumusan Masalah Dari berbagai penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan pengentasan kemiskinan hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kepentingan rumah tangga petani masih terabaikan, baik dalam kegiatan perumusan konsep kebijakan maupun dalam implementasinya di lapangan. Pada masa pemerintahan orde baru, program-program pertanian cenderung dirancang secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Selain itu orientasi pembangunan pertanian didominasi dan bertumpu pada kegiatan fisik dan bantuan modal melalui kredit. Dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan petani termarginalkan. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya titik temu atau harmonisasi antara kepentingan negara/pemerintah dengan kepentingan petani. Bahwasanya
upaya penanggulangan kemiskinan rumah tangga petani
gurem tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan terpusat, searah (top-down)
dan
seragam
untuk
seluruh
wilayah,
melainkan
harus
terdesentralisasi, partisipatif, spesifik dan beragam sesuai dengan tipe sosialbudaya, ekonomi masyarakat dan ekologi setempat.
4
Selain itu, kebijakan-kebijakan pembangunan di bidang ketahanan pangan seyogyanya dapat mempertemukan dan mengharmoniskan antara aparat kepentingan pemerintah dengan kepentingan rumah tangga petani. Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis, maka harus ada kelembagaan yang menyediakan ruang yang luas untuk mendialogkan dua kepentingan tersebut. Dalam pengertian, baik mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan hingga tahap evaluasi, seluruh pihak yang terlibat, terutama kepentingan petani gurem di akomodir secara aktif dan intensif di dalamnya. Program aksi mandiri pangan (Mapan) sebagai salah satu program pengentasan kemiskinan rumah tangga petani dan kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru. Program Mapan adalah suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian dimana rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program.
Secara aturan, langkah-langkah
pelaksanaan program ini bisa dikatakan sudah bercirikan memberdayakan rumah tangga petani miskin di pedesaan. Berdasarkan konsepnya, melalui program aksi mandiri pangan diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produkstif dari hari kehari, secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatife peluang dan pemecahan masalah serta melatih untuk mampu mengambil keputusan
dalam
memanfaatkan
sumberdaya
alam
secara
efisien
dan
berkelanjutan sehingga mencapai kemandirian. Lokasi penelitian ini adalah Desa rawan pangan di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, yaitu Desa Jambakan Kecamatan Bayat.
Desa rawan Pangan adalah kondisi suatu daerah dimana
masyarakat atau rumah tangga dengan tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya.
5
Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan pihak luar desa. Bahwasanya, secara sosiologis suatu kondisi desa miskin terjadi bukan karena mentalitas penduduk yang malas bekerja sehingga menjadi miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya, tetapi terjadi karena masalah struktural yaitu kelembagaan yang dapat memfasilitasi proses kemandirian tidak pernah dibangun keberadaannya. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan telah memainkan peranannya dalam ikut menggiatkan aktivitas perekonomian dengan menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya dengan semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Kaitannya dengan pola-pola hubungan yang berpusat pada aktivitas masyarakat dalam
mengentaskan
kemiskinan
dan
pemenuhan
kebutuhan
pangan,
kelembagaan lokal mampu mengoptimalkan kekuatan-kekuatan sosiologis berupa modal-modal
sosial,
kekuatan
tindakan-tindakan
kolektif,
kepemimpinan
ekonomi, juga kemampuan membangun jaringan dengan pihak-pihak luar sehingga terjadi kolaborasi yang menguntungkan antara kekuatan-kekuatan lokal dengan institusi-institusi lainnya. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengkaji, bagaimana program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan? Hal menarik adalah ketika dalam suatu masyarakat sudah terbangun kelembagaan ketahanan pangan, kemudian terjadi interaksi dengan masuknya intervensi dari pemerintah dalam upaya pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal, maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengaruh kepentingan berbagai aktor dalam program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal ? Kepentingan rumah tangga miskin adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam berbagai program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal. kepentingan
Sehingga sangat penting untuk mengkaji sejauh mana rumah
tangga
petani
miskin
dijadikan
dasar
untuk
mengevaluasi pencapaian program ketahanan pangan lokal ?
6
Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan konsep bagaimana melihat dimensi
kepentingan
dalam pengelolaan kelembagaan
ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan) pada suatu komunitas yang mengembangkan partisipasi masyarakat pedesaan melalui kelembagaan lokal setempat. Dalam konteks pembangunan, membangun sebuah kemandirian masyarakat pedesaan harus didasarkan dan berbasis pada kelembagaan lokal yang terdapat dalam suatu wilayah tersebut.
Belum
berhasilnya program penanggulangan rawan pangan yang telah dilakukan selama ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan yang ada.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan pokok penelitian adalah menganalisis kelembagaan ketahanan pangan lokal dan interaksinya dengan program Mapan dalam upaya pengentasan kemiskinan dan sejauh mana program tersebut mampu menjadi ruang untuk mendialogkan berbagai kepentingan yang berbeda. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : 1. Mengkaji pelaksanaan program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan 2. Menganalisis pengaruh berbagai kepentingan (ekonomi, sosial, politik) aktor dalam program pengembangan Kelembagaan ketahanan pangan lokal 3. Mengkaji sejauh mana kepentingan rumah tangga petani miskin dijadikan dasar untuk mengevaluasi pencapaian program ketahanan pangan lokal
7
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini terutama bagi penulis adalah memperkaya pengalaman penelitian dan kegiatan keilmuan, disamping dapat mengetahui lebih banyak tentang konsep dimensi kepentingan dalam emberdayaan masyarakat di desa rawan pangan. Pengetahuan tentang dimensi kepentingan ini dapat dijadikan sebagai informasi tambahan bagi peneliti lain yang berminat mengkaji tema ini lebih dalam. Kegunaan hasil penelitian juga untuk masukan kepada pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap program mandiri pangan yang sekarang masih berjalan.
Terdapat lebih dari 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia yang
didalamnya terdapat kelembagan lokal pengelolaan ketahanan pangan yang barangkali berkondisi sama secara politik maupu ekonomi dengan lokasi penelitian ini, namun masing-masing masyarakat mempunyai respon sendirisendiri.
Salah satunya adalah daerah penelitian ini, yaitu desa Jambakan,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hal ini tentunya akan menjadi pengalaman dan pengetahuan tersendiri bagi peneliti baik secara kuantitas maupun secara kualitas, khususnya yang terkait dengan tema pokok yang diangkat dalam penelitian ini.
8
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pembangunan Perekonomian Pedesaan Menurut Suhardjo (1998), dalam menentukan program pembangunan dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu : Program pembangunan ditentukan oleh pihak luar (pemerintah), oleh masyarakat sendiri dan ditentukan bersama oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Program pembangunan yang ditentukan oleh pihak luar (pemerintah) didasarkan atas perhitungan bahwa program tersebut diperlukan oleh masyarakat, tanpa melalui konsultasi atau pertemuan formal terlebih dahulu dengan masyarakat setempat, baik dengan seluruh anggota masyarakat ataupun melalui pemimpin/wakil mereka. Kegiatan
pembangunan
semacam
ini
bercirikan
instruktif
dan
dimaksudkan untuk kecepatan bertindak, efisien dari segi waktu dan energi, menyelesaikan masalah dengan segera, dan menghasilkan manfaat yang besar. Resiko dari cara ini adalah bahwa masyarakat tidak dipersiapkan dari awal untuk berpartisipasi
terhadap
program
pembangunan
tersebut,
sehingga
ada
kemungkinan akan sulit diajak berpartisipasi dalam tahap pelaksanaannya, bahkan pada pemanfaatannya, padahal partisipasi masyarakat merupakan factor yang esensial dalam pembangunan. Program pembangunan yang
ditetapkan
oleh
masyarakat
sendiri
bertitiktolak dari pandangan bahwa jika penentuan program diserahkan kepada masyarakat sendiri, maka mereka akan mempunyai motivasi yang kuat untuk melaksanakan program tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan hal-hal yang dicapai dalam program tersebut adalah yang mereka rasakan sebagai kebutuhan dan pengalaman mereka. Program yang ditetapkan bersama merupakan gabungan antara kedua pendekatan, hal ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan pada kedua pendekatan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya pihak luar mengadakan konsultasi dengan masyarakat mendiskusikan pendapat-pendapat tentang situasi lingkungan serta perikehidupan masyarakat setempat, kemudian memutuskan bersama program yang menjadi kesepakatan.
9
Pembangunan selalu membawa dimensi kepentingan politik, perebutan sumberdaya ekonomi, konflik sosial, dan membawa masalah dalam menentukan pilihan-pilihan penyelesaian. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah juga mencakup proses pembentukan institusi-institusi baru, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan
ekonomi daerah, mempunyai tujuan utama utnuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerahnya. Pembangunan yang juga merupakan pemberdayaan masyarakat pedesaan adalah upaya menuju kemandirian masyarakat pedesaan, yang dapat berdiri dengan kaki sendiri dengan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki. Pembangunan pedesaan dipahami sebagai serangkaian aktivitas dan aksi dari beragam pelaku individu, organisasi, kelompok yang bahu-membahu melakukan pembaharuan demi kemajuan (progress) berbagai sektor di wilayah pedesaan (Dharmawan, 2002). Mengacu pada Unicef dalam Sumarti dan Syaukat (2002), terdapat tujuh komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk mendorong
aktivitas-aktivitas
ekonomi
anggotanya
melalui
pembentukan
kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, yaitu : Community Leader, Community Technology, Community Fund, Community Material, Community Knowledge,
Community
Penyelenggaraan
Decision
pembangunan
Making, daerah
Community
tidak
Organization.
semata-mata
menjadi
tanggungjawab Pemerintah Daerah, tetapi juga berada pada pundak masyarakat secara keseluruhan.
10
Salah satu wujud rasa tanggungjawab yang dimaksud adalah sikap mendukung
dari
warga
masyarakat
daerah
terhadap
penyelenggaraan
pembangunan daerah yang ditujukkan dengan keterlibatan (partisipasi) aktif warga masyarakat (Tony, 2003). Pendekatan pembangunan di negara-negara berkembang dan termasuk di Indonesia (terutama di masa Orde Baru) pada kenyataannya cenderung menggunakan pendekatan modernisasi dengan indikator keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten dan Syahrir (1988), walaupun tujuan dasarnya untuk mensejahterakan rakyat, namun karena strategi, metodologi dan implementasinya berpusat pada produksi, maka pada akhirnya kurang memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Hal ini terjadi karena tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak secara otomatis menjamin tercapainya pemerataan hasil atau manfaatnya secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Hal ini mulai disadari oleh para pengambil
keputusan kebijaksanaan pembangunan di era reformasi dan otonomi daerah ini, dimana pendekatan pembangunan nasional mulai bergeser pada “ekonomi kerakyatan”. Proses modernisasi meliputi proses transformasi model struktur, kultur, pengetahuan, modal dan juga teknologi dari luar (negara maju) ke dalam sebuah masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Proses transformasi ini dapat berjalan dengan baik, jika individu-individu di dalam
masyarakat juga mengalami
transformasi kepribadian. Untuk kasus proses modernisasi di Indonesia, transformasi kepribadian ini tidak terjadi, karena upaya-upaya pembangunan (modernisasi) lebih ditekankan pada aspek-aspek fisik (perangkat keras) seperti fasilitas transportasi, fasilitas komunikasi, gedung sekolah, dll. Sebagaimana dikemukakan oleh Ogburn dalam Strasser (1981), bahwa proses laju perubahan dalam kebudayaan material lebih cepat dibandingkan dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan non-material (kultural), seperti kelembagaan (adat, kepercayaan, filsafat, hukum dan pemerintahan).
11
Menurut
Israel
(1990),
timbulnya
kecenderungan
penekanan
pembangunan terhadap aspek-aspek fisik disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu ; pertama, teori pembangunan dan praktek telah begitu lama berada di tangan para ahli ekonomi, mengikuti tradisi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang berdasarkan pada efisiensi, bukan pada cara-cara yang paling efektif dalam
menggunakan
sumberdaya
yang
sudah
dialokasikan.
Strategi
pembangunan penekanannya masih pada perencanaan dan penaksiran bukan pada pelaksaanaan, lebih kepada investasi serta kebijakan bukannya pada operasi. Selain itu kecondongan kuantitatif dalam ilmu ekonomi dan pembangunan ekonomi selama dekade belakangan ini lebih menguntungkan masalah analisa lokasi sumberdaya, seperti perencanaan dan prakiraan dibandingkan dengan masalah pelaksanaan, yang memang kurang dapat dikuantifikasi. Kedua, terabaikannya masalah-masalah kelembagaan karena hal ini merupakan bidang yang rumit.
Bidang-bidang seperti ilmu manajemen dan
administrasi pembangunan belum cukup berhasil dalam mengatasi masalah di negara-negara sedang berkembang. Tujuan utama ilmu manajemen telah terlanjur mengarah pada masalah-masalah sektor swasta di negara maju, dan telah menemui kesulitan dalam mengadaptasikannya ke dalam kegiatan publik atau campuran dari lingkungan yang lebih buruk dan lebih politis. Ketika teori dan praktek pembangunan adalah ahli ekonomi, maka secara otomatis perencanaan pembangunan cenderung menggunakan pendekatan ekonomi makro. Padahal, menurut Uphoff (1997), rekomendasi makro ekonomi biasanya tergabung (incorporated) dalam paket “penyesuaian struktural” (structural adjustment) hanya memberi dampak yang sangat kecil terhadap masyarakat miskin di pedesaan, dan sedikit (bahkan tidak sama sekali) membangun kemampuan organisasi lokal dan menengah untuk merencanakan, memonitor dan mengelola berbagai perbaikan-perbaikan taraf hidup masyarakat dan mata pencahariannya. masyarakat lokal diberi
Berbagai studi kasus menunjukan bahwa ketika kapasitas (kesempatan) yang sangat besar untuk
mengelola (sumberdaya) yang ada disekitar mereka, ternyata mereka mampu untuk memasukan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan mempertinggi kualitas hidupnya.
12
Ketika pihak luar memberikan banyak investasi terhadap kapasitas kelembagaan (organizational capability), maka hal itu akan memberikan keuntungan yang berlipat. Pendekatan-pendekatan ekonomi makro, nyata-nyata kurang mampu menjangkau dan menyelesaikan masalah masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan. Ketika kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di pedesaan, maka dapat dikatakan secara umum kebijakan pembangunan tersebut telah gagal. Aktivitas
pembangunan
yang
diwujudkan
dalam
bentuk-bentuk
modernisasi maka indikator keberhasilannya dilihat melalui ukuran-ukuran kuantitatif seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan negara (GDP) atau tingkat produktivitas.
Model-model indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi seperti itu tidak dapat menggambarkan realitas (kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat) yang sebenarnya. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara, tidak serta merta berarti pula telah tercapai upaya-upaya pemerataan bagi masyarakat dalam menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi secara adil. Jika sarana atau modal produksi tidak dimiliki secara “merata” dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat, maka bisa jadi
angka-angka tersebut bersifat semu karena manfaat atau
keuntungan dari surplus produksi sebagian besar terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat. Sedangkan sebagian besar dari masyarakat hanya menikmati sedikit dari hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan ada diantaranya yang tidak menikmati sama sekali.
Kebijaksanaan pembangunan (modernisasi) pedesaan di negara-
negara berkembang yang cenderung bertumpu pada pertumbuhan ekonomi terbukti belum berhasil mengurangi kemiskinan di negara berkembang (Kasryno dan Stepanek, 1985). Demikian pula halnya dengan pembangunan pertanian di pedesaan Indonesia, meskipun berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, namun tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas diri petani (terutama petani gurem) untuk menolong dirinya sendiri.
13
Sebagaimana dikemukakan Sajogjo (1982), petani kecil masih dihadapkan pada resiko-resiko seperti lemahnya akses mereka pada kredit murah yang disediakan pemerintah dan mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari ketergantungan dan lilitan hutang dari petani kaya dan tengkulak. Meskipun modernisasi pertanian di pedesaan telah memulai membimbing petani untuk mengorganisasikan dirinya agar dapat menolong dirinya sendiri, seperti melalui penyuluhan dan pembentukan koperasi petani (KUD), namun terbukti upaya tersebut belum memberi hasil yang memuaskan. Kondisi masyarakat miskin di pedesaan Indonesia tidak mengalami banyak perubahan dan bahkan kondisinya semakin memburuk sebagai dampak krisis ekonomi di tahun 1997. Kondisi perekonomian masyarakat pedesaan di negara berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Boeke (1953) masih dicirikan dengan adanya dualisme ekonomi. Masyarakat pedesaan di Indonesia (terutama Jawa) memang tidak sepenuhnya persis sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Geertz (1974) tentang involusi pertanian, karena pada dasarnya petani itu selain pekerja keras juga kreatif dalam mensiasati kerasnya kehidupan. Breman dan Gunardi (2004) menunjukkan bahwa keterbatasan sektor pertanian dipedesaan untuk menutupi kebutuhan hidup telah mendorong masyarakat desa untuk mencari mata pencaharian ganda. Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, kecenderungan ini meluas dan melintasi batas-batas geografis desa, yaitu hingga ke perkotaan, dan bahkan hingga ke manca negara untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Satu hal yang menjadi ciri dasar, bahwa posisi petani sebagai strata bawah juga terbawa pada jenis-jenis pekerjaan di perkotaan dan di manca negara, dimana karakteristik pekerjaan mereka didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan kelas bawah dan rentan terhadap pengusiran, eksploitasi, penindasan dan bahkan perkosaan. Kondisi ini membuktikan bahwa posisi petani kecil dan keluarganya masih termarginalkan baik dalam tataran lokal, nasional, maupun global.
Kondisi
keterpurukan mayoritas petani kecil di pedesaan ini membutuhkan perhatian serius dari semua kalangan terutama pemerintah.
14
Sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro dalam kata pengantarnya untuk buku karya Breman dan Wiradi (2004), pasar tenaga kerja untuk petani kecil dan keluarga miskin di pedesaan tidak mempunyai kelenturan. Dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, sulit bagi mereka untuk melakukan mobilitas horisontal apalagi vertikal, pun untuk jenis-jenis pekerjaan di sektor informal. Posisi terdesak dari mayoritas petani
ini sangat membahayakan bagi
keamanan dan ketahanan nasional. Dalam tataran lokal dan daerah, kondisi ini akan mendorong maraknya tindak
kejahatan. Namun jika kondisi ini terus
berlangsung, hingga melampaui batas-batas kesabaran dan kesadaran, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan pembangkangan dan bahkan hingga pemberontakan, yang cakupannya tidak hanya meliputi geografis lokal kedaerahan, bahkan nasional. Tentunya kondisi tersebut tidaklah kita harapkan terjadi, oleh karena itu bagi
pemerintahan sekarang, sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro
tantangan yang terberat adalah masalah kemiskinan di pedesaan sebagai akibat pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung. Sehingga dibutuhkan model pembangunan baru, yang mampu memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan struktural dalam kurun waktu yang sependek mungkin. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses aksi sosial yang berkesinambungan dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan, merumuskan masalah dan kebutuhankebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama, membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan non-pemerintah di luar masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat
bertujuan
untuk
meningkatkan
potensi
masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Memberdayakan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri.
15
Karenanya pola pemberdayaan masyarakat apapun yang dipilih, maka pola tersebut harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan hakikat dari pemberdayaan masyarakat yakni terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah kegiatan pembangunan masyarakat dimana masyarakat berada. Pemberdayaan
masyarakat
dengan
segala
kegiatannya
dalam
pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need .
Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan) Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan programprogram yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan ini terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80 persen kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Munculnya kasus rawan pangan dan gizi menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pangan dan akses terhadap pangan serta konsumsi pangan yang bergizi dan seimbang masih menjadi masalah bagi masyarakat.
16
Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu kerawanan pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan sementara terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup pada suatu waktu karena sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak seperti bencana alam. Kerawanan pangan khronis terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup dalam jangka waktu yang lama. Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada terjadinya kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 persen dari kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan pangan. Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dikenal luas di dalam forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi yang penting dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami banyak perubahan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik. Pada tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian utama, Tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu dan Tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai memasukan aspek kelestarian lingkungan (Handewi dan Ariani, 2002). Badan Bimas Ketahanan Pangan (2004), merumuskan konsepsi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut : a. terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan luas, pangan yang mencakup pangan yang yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia
17
b. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama c. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air d. terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau
Pembangunan subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesibilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategisl. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah, mutu, gizi/nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Pendekatan yang ditempuh dalam membangun ketiga subsistemtersebut adalah koordinasi dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif . Pendekatan ini berbasis pada system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis. Keberhasilan pembangunan ketiga subsitem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana,prasarana dan kelembagaan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, juga didukung oleh faktorfaktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan. Di samping itu perlu adanya jaringan informasi yang mencakup dimensi yang luas seperti produksi ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar waktu dan wilayah. Informasi ini berguna sebagai basis perencanaan, prakiraan dan evaluasi serta intervensi program. Ketahanan pangan diselenggarakan oleh banyak pelaku, seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen, yang dibina oleh berbgai institusi sektoral, subsektoral, serta dipengaruhi oleh interaksi lintas wilayah.
Keluaran yang
diharapkan dari pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
18
Selanjutnya menurut Handewi dan Ariani, (2002), dimensi ketahanan pangan sangat luas, mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran, dimensi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Pada tingkat global, nasional, regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusakan tanaman/ternak/perikanan, rasio ketersediaan (stock) dengan konsumsi, skor PPH, keadaan keamanan pangan, kelembagaan pangan, dana pemerintah dan harga pangan. Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, proporsi pengeluaran pangan terhadap tingkat pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi.
Berdasarkan luasnya dimensi ketahanan pangan
tersebut di atas, maka pilihan kebijakan dan program juga sangat kompleks, tergantung seberapa besar ancaman ketahanan pangan, misalnya kronis atau sementara. Ditinjau dari aspek pendekatan yang terkait dengan strategi untuk mencapai ketahanan pangan, secara umum digunakan dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan ketersediaan pangan, dan (2) pendekatan kepemilikan (entitlement).
1
Pendekatan atau paradigmma terbaru mengacu pada konsep ketahanan pangan yang berkelanjutan, yang mendasarkan pada empat aspek yaitu : pertama, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia ;
kedua, ketahanan pangan harus
diperlakukan sebagai sistem hirarki dari tingkat global, nasional, daerah hingga rumah tangga ; dan ketiga, perlunya peranan pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan keempat, ketahanan pangan mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif.
1
Konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen (1981). Konsep tersebut menggambarkan manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia memiliki akses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya.
19
Salah satu program pemerinthah untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah Program Desa Mandiri Pangan (Proksi Mapan). Program ini dimulai pada tahun 2005 merupakan suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian. Tujuan dari program adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran program adalah desa rawan pangan yang pada tahun 2006 Pemerintah melalui departemen pertanian mengeluarkan daftar 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia. Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan kegiatan berkenaan dengan ketahanan pangan di pedesaan yaitu bahwa masih adanya masyarakat yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya alam, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi, terbatasnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran serta belum optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan kelompok tani sehingga kurang mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian maupun non-pertanian. Selain itu di pedesaan masih banyak adanya kemiskinan structural, sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Serta yang tidak kalah penting adalah masih minimnya sarana dan prasarana seperti pengairan, jalan desa, sarana usaha tani, air bersih, listrik dan pasar yang dimiliki di pedesaan. Salah satu upaya pemerintah adalah melalui program aksi desa mandiri pangan. Melalui kegiatan pengembangan desa mandiri pangan sebagai salah satu program untuk peningkatan kesejahteraan petan, diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah dengan menempatkan tenaga pendamping di setiap desa pelaksana.
20
Kegiatan ini merupakan kegiatan lintas pemerintah yang ditangani berjenjang antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan : 1) pelatihan untuk petugas penyusun data awal desa (data base desa) dan pelatih untuk aparat, dilaksanakan oleh pusat, selanjutnya provinsi melakukan pelatihan untuk kabupaten, sedangkan kabupaten melakukan pengumpulan data desa, dan menyusun profil desa dalam data base desa; 2) apresiasi, advokasi dan sosialisasi dilaksanakan berjenjang; 3) pendampingan merupakan suatu kegiatan dilakukan oleh pendamping yang menguasai pemberdayaan masyarakat untuk bersama-sama masyarakat menumbuhkan kelompok mandiri, mengajarkan cara mengenali potensi, masalah dan peluang yang ada serta menyusun rencana kelompok untuk membangun dan mengembangkan usahanya; 4) pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh kabupaten melalui pertemuan kelompok yang efektif dan efisien yang difasilitasi oleh pendamping sedapat mungkin tidak mengganggu aktifitas usaha yang selama ini dilakukan. Melalui program ini diharapkan masyarakat
mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produkstif dari hari kehari, secara berkelanjutan. Beberapa kondisi yang diperlukan untuk pengembangan program mapan diantaranya keterlibatan masyarakat secara efektif, terbangunnya skenario berbasis pemberdayaan masyarakat, adanya dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh dan memihak kepada kepentingan orang banyak, serta adanya fasilitator yang bervisi jauh kedepan dan terampil mengelola program tersebut. Pengembangan desa mandiri dilakukan pada wilayah desa rawan pangan yang merupakan titik-titik potensi penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia melalui proses pemberdayaan masyarakat, penguatan kelembagaan, serta pengembangan sarana dan prasarana pedesaan yang memadai. Masyarakat diharapkan mampu mengembangkan sistem ketahanan pangan yang meliputi subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, menuju terwujudnya desa mandiri pangan yang masyarakatnya ; (1) mempunyai kemampuan
untuk
meningkatkan
ketahanan
pangan
dan
gizi
dengan
memanfaatkan potensi sumberdaya setempat; (2) mampu memperkecil resiko kemumgkinan terjadinya penurunan ketahanan pangan karena sebab ekonomi atau alam; dan (3) mampu memberikan manfaat bagi desa-desa lain disekitarnya.
21
Basis pembangunaan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga.
Melalui Program Aksi Desa
Mandiri Pangan diharapkan desa mampu memproduksi dan memenuhi produk – produk pangan yang dibutuhkan masyarakat dengan dukungan unsur – unsur pendukungnya yang selanjutnya dapat mengurangi kerawanan pangan, upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif pemecahan masalah serta memanfaatkan sumber daya alam secara efisien sehingga tercapai kemandirian. Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui : a) pengembangan system produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya keseimbangan dan budaya local ; b) pengembangan efisiensi system usaha pangan; c) pengembangan teknologi pangan; d) pengembangan sarana dan prasarana produk pangan ; dan e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Operasionalisasi pelaksanaan PP tersebut pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan kelembagaan social ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan focus utamanya adalah rumah tangga pedesaan. Kabupaten Klaten dalam program ini juga berkesempatan untuk mengelola dan menerapkan program ini karena dari 401 Desa/Kelurahan ada beberapa desa yang termasuk kriteria rawan pangan. Dengan adanya program Aksi Desa Mandiri Pangan tersebut, kriteria rawan pangan yang melekat didesa sasaran program akan hilang dan menjadi desa yang mampu mewujudkan ketahanan pangan di tingkat terendah yaitu di tingkat rumah tangga sehingga secara perlahan bisa mewujudkan ketahanan tingkat desa.
22
Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian masyarakat. Tujuan Program adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi. Dalam pelaksanaannya, program akan difasilitasi dengan masukan antara lain: instruktur, pendamping dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi. Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun penanggulangan kerawanan pangan.
Melalui berbagai kegiatan tersebut,
diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan dalam mengelola aspek ketersediaan dan distribusi pangan dengan gizi seimbang dan aman, dan mampu mengatasi masalah pangan serta mampu membentuk aliansi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melawan kelaparan dan kemiskinan, sehingga diharapkan dapat menurunkan kerawanan pangan dan gizi. Strategi yang digunakan dalam pelaksanaannya antara lain melalui : (a) penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta antisipasi situasi darurat; (c). optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa.
23
Komunitas Petani dan Kemiskinan Teori mengenai ekonomi rumah tangga petani telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Chayanov (1966), Vink (1984), Geertz (1983), Scott (1976), dan Popkin (1979). Melalui konsepsinya tentang peasant family farms, Chayanov mengatakan bahwa variabel penggunaan tenaga kerja keluarga (operated with hired workers) yang membedakannya dengan perusahaan (capitalistic enterprises). Pada usaha tani keluarga, semua tenaga kerjanya adalah anggota keluarga sehingga tidak diberi upah. Sedangkan pada perusahaan, tenaga kerjanya adalah orang lain yang diberi upah agar dapat mendatangkan keuntungannya. Variabel itulah yang oleh Chayanov dipandang dominan, disamping variable lainnya yaitu ada-tidaknya kepentingan untuk pembentukan modal (interest on capital), sewa lahan (rent for land), dan keuntungan dalam peruasahaan (profits of enterprises). Akhirnya Chayanov menyimpulkan bahwa terdapat dua karakteristik yang dimiliki usahatani keluarga, yaitu eksistensinya sebagai unit ekonomi yang sekaligus juga sebagai unit social. Sebagai unit ekonomi, usahatani keluarga akan mengalokasikan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada tingkat yang paling ekstrim, alokasi sumber daya tersebut sampai sedemikian rupa sehingga merusak fisik dan mentalnya hanya sekedar upah yang tidak seberapa (self-exploitation). Di sisi lain, usahatani keluarga juga sebagai unit social karena tempat mensosialisasikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Konsepsi keluarga oleh Chayanov dipergunakan secara meluas, karena disamakan dengan konsepsi rumahtangga. Menurut Chayanov, rumahtangga terdiri dari keluarga dan termasuk juga sejumlah orang yang secara tetap makan dari satu dapur. Berbeda dengan Chayanov, G.J. Vink (1984) justru melihat adanya kesamaan antara usahatani keluarga dengan suatu perusahaan. Menurut Vink, usahatani keluarga dapat dijelaskan sebagai ilmu perusahaan. Sebagai suatu ilmu, maka usahatani mempelajari bagaimana seorang petani mengelola usaha pertaniannya untuk mencukupi kesejahterannya. Kesejahteraan paling sederhana bagi seorang petani adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, perlindungan terhadap pengaruh iklim, dimilikinya beberapa sarana kenikmatan dan terjalinnya hubungan yang baik dengan lingkungannya.
24
Oleh karena itu menurut Vink, terdapat beberapa keterikatan dalam melakukan usahatani. Masing-masing adalah keterikatan dengan masyarakat, keadaan alam, hubungan kerja, permodalan dan kondisi lahan pertanian. Dengan kata lain menurut Vink, usahatani khususnya di Indonesia lebih merupakan perusahaan kolektif daripada perusahaan perseorangan. Kesimpulan sedemikian ini ditarik oleh Vnk dari hasil penelitiannya di beberapa pedesaan di Indonesia pada tahun 1940-an dan tampaknya saat ini masih relevan dengan keadaan petani di pedesaan Indonesia. Kesimpulan Vink, senada dengan temuan Clifford Geertz (1983) di daerah pedesaan Jawa. Melalui pendekatan ekologi budayanya Julian Steward, Geertz melihat bahwa sawah bagi masyarakat pedesaan Jawa sangat erat sangkut pautnya dengan cara organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan proses pelapisan masyarakat. Inti budaya Jawa lah yang meliputi pola-pola social, politik dan agama yang secara empiris mempengaruhi penyelenggaraan kehidupan dan kegiatan perekonomian masyarakat. Dalam usaha tani sawah misalnya, tidak hanya merupakan kegiatan yang akan menghasilkan keluaran ekonomik saja, akan tetapi akan berkaitan juga dengan kemampuan menyerap atau mempekerjakan tenaga kerja manusia. Sehingga menurut Geertz, meskipun sebenarnya sebidang usahatani sawah telah cukup dikerjakan olej sekelompok tenaga kerja, akan tetapi terpaksa menerima tambahan tenaga kerja. Akibatnya memang dapat meningkatkan hasil produksi secara keseluruhan per unit usahatani sawah, akan tetapi perolehan per tenaga kerja justru menurun.
Fenomena demikian inilah yang diformulasikan oleh
Geertz sebagai “Involusi Pertanian”. Konsepsi Involusi kemudian diperluas oleh Geertz, tidak hanya diberlakukan di sector pertanian sawah saja, akan tetapi juga dalam sector-sektor lainnya. Seperti misalnya, sector perdagangan atau industri rumah tangga. Dengan membandingkan antara usaha tani sawah di pedesaan Jawa dan usahatani ladang di luar Jawa, Geertz memandang variabel kepadatan penduduklah yang menjadi determinannya. Kepadatan penduduk yang kontras antara Jawa dengan luar Jawa akan menyebabkan pula perbedaan dalam pola usahataninya.
25
Involusi
pertanian
menjadi
semacam
penyakit
menular
yang
menghinggapi masyarakat pedesaan di Jawa. Dibawah tekanan penduduk yang semakin meningkat di satu sisi, dan keterbatasan sumberdaya lahan disisi yang lain, masyarakat pedesaan di Jawa masih tetap mempertahankan homogenitas ekonominya, dengan cara membagi rejeki yang ada secara merata. Oleh karena rejeki semakin lama semakin menipis, maka pembagian kemiskinanpun tidak dapat dielakkan lagi.
Proses itulah yang disebut kemiskinan berbagi (shared
poverty). Lepas dari berbagai kritik yang dilontarkan pada hasil temuan Geertz kurang lebih 30 tahun (1963-1994) yang lalu, ternyata relevansinya masih cukup tinggi dengan fenomena yang berkembang di pedesaan Jawa saat ini. Sepanjang perjalanan waktu tersebut, masyarakat di pedesaan jawa juga semakin berubah. Kemiskinan memang masih menjadi penyakit yang belum dapat disembuhkan secara tuntas, akan tetapi perubahan orientasi produksinyapun juga terjadi. Di satu sisi sekelompok masyarakat masih bertahan dengan orientasi produksi secara subsistens dan di sisi yang lain, sekelompok masyarakat terlah berorientasi produksi secara komersial.. Adalah James C. Scoot (1976) dan Samuel L. Popkin (1979) yang berhasil menjelaskannya melalui penelitiaannya di pedesaan Asia Tenggara. Keduanya mencoba mengangkat kehidupan petani kecil (peasant), akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Scoot menelusurinya melalui pendekatan ekonomi moral (the moral economy) sedangkan Popkin melalui pendekatan ekonomi politik (the political economy).
Menurut scoot, inti dari perilaku
ekonomi petani kecil adalah mendahulukan agar dapat selamat (safety-first principle).
Hal ini dikarenakan kehidupan petani kecil laksana orang yang
berendam dalam kolam air sampai sebatas lehernya, sehingga ombak kecil apapun telah mampu menenggelamkannya. Para petani kecil itu pada umumnya akan lebih memilih berproduksi secara subsisten daripada berupaya meningkatkan kapasitas hasil produksi pertaniannya. Sebagaimana juga dikatakan oleh Chayanov, upaya kerja keras ini seringkali melebihi kemampuannya (self-exploitation), meskipun hasil yang diperolehnya hanya secukup hidup saja.
26
Oleh karena itu menurut Scoot, masyarakat petani kecil akan cenderung mempertahankan mekanisme-mekanisme social di desanya yang selama ini dianggap dapat membantu terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Seperti misalnya, bentuk-bentuk kelembagaan di pedesaan yang mengatur hubungan tolong-menolong, hubungan patron-klien, ataupun bentuk-bentuk “arisan social” lainnya. Bagi masyarakat petani kecil, konsepsi keadilan social adalah penjabaran dari aturan tolong-menolong tersebut, dan adanya hak untuk melakukan produksi secara subsisten (norm of reciprocity and right to subsistence). Desa lah yang dipandang sebagai sebuah komunitas yang dapat memberikan kerangka kelembagaan tersebut. Scoot melihat bahwa seandainya terjadi pemberontakan di kalangan petani, hal ini bukan dikarenakan oleh adanya perebutan kelebihan hasil produksi. Akan tetapi lebih merupakan adanya pengrusakan kelembagaan social petani yang dapat menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Dinamit sosial yang selama ini telah melekatinya, yaitu kerentanan ekologis (ecological vulnerability), kerentanan system harga (price-system vulnerability), dan kerentanan monokultur usaha tani (monocrop vulnerability) akan serta merta menjadi pemicu timbulnya pemberontakan petani. Akhirnya menurut Scoot, yang harus juga dipahami secara lebih mendalam adalah berkembangnya semacam filosophi bahwa : bukan apa yang diambil ? Akan tetapi lebih pada berapa banyak yang masih tersisa ? Analisis Scoot yang sedemikian itu mendapat kritik tajam dari Popkin. Menurut Popkin, tidaklah selalu tepat jika melihat kehidupan masyarakat petani kecil di pedesaan melalui gambaran yang romantis (romantic portraits). Dalam kenyataannya, kehidupan mereka tidaklah selalu dipandu oleh sifat-sifat tradisionalisme.
Ada beberapa hal dalam kehidupan petani kecil yang justru
menunjukkan indikator yang rasional. Dan tentu saja rasionalitas ini haruslah dilihat dalam konteks yang khas kehidupan petani kecil di pedesaan. Indicatorindikator
rasionalitas
petani
kecil
tersebut,
tampak
pada
kemampuan
intelegensianya untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah secara praktis, terhadap kompleksnya permasalahan alokasi sumberdaya, kewenangan, dan penyelesaian perselisihan yang dihadapinya.
27
Berbeda dengan Scoot yang melihat bahwa petani tidak bersedia menanggung resiko, justru sebaliknya bagi Popkin.
Dia melihat sebenarnya
petani kecilpun berani menanggung resiko, terutama jika dilihat keberaniannya melakukan investasi, merubah norma-norma yang menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensi dan rasionalitasnya dalam melakukan tindakan kolektif. Jika terjadi pemberontakan di kalangan petani kecil, hal ini bukan dikarenakan kelembagaan sosialnya dilanggar sebagaimana dinyatakan oleh Scoot, tetapi dalam rangka petani kecil tersebut menjinakkan kapitalisme yang mencoba melakukan intervensi pasar ke pedesaan. Desa dalam pandangan Popkin bukanlah sebuah komunitas tertutup yang masih mengembangkan kebersamaan yang kental diantara warganya dan membina hubungan yang berikatan ganda antara petani dengan tuan tanahnya sebagaimana dikatakan oleh Scoot, akan tetapi sebagai sebuah komunitas terbuka yang mengembangkan hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual dan berikatan tunggal. Oleh karena itu ancaman subsistensi bagi petani tidak berhubungan dengan munculnya tindakan kolektif.
Popkin menyebut pula kemungkinan
adanya para petani pembonceng (free-riders) cukup tinggi. Petani sedemikian ini memiliki pertimbangan untung-rugi dalam berpartisipasi untuk kegiatan kolektif, seperti misalnya, proyek pembangunan. Factor-faktor yang dipertimbangkannya meliputi : seberapa besar sumberdaya yang harus dikeluarkannya, keuntungan apa yang akan diperolehnya nanti, ada tidaknya peluang untuk melakukan dalam memperoleh keuntungan tersebut, dan ada tidaknya pemimpin yang mampu memobilisasi sumberdaya yang tersedia. Akhirnya, Popkin mengingatkan bahwa dikalangan petani kecil pun memiliki kemampuan untuk “bermain”, yaitu dengan jeli melihat kesempatan yang dapat dimanfaatkan demi keuntungan. Istilah petani bukan istilah yang umum, begitu diucapkan setiap orang (otomatis) mempunyai pengertian sama, karena itu tidak salah jika kata petani mengandung dimensi makna yang luas. Setidaknya ini diketahui dari adanya ketidaksamaan konsep yang diajukan oleh para ahli berkaitan dengan definisi petani.
28
Untuk mendefinisikan secara tepat juga mengalami kesulitan. Berkaitan dengan itu Lansberger dan Alexandrov (1981), mengatakan bahwa berpanjangpanjang dalam hal olah membuat definisi petani, itu sama halnya dengan membuka diri untuk dituduh sebagai ilmuwan yang sok ilmiah dan steril. Penjelasan tentang konsep petani umumnya masih berbeda. Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas dibanding konsep pertama, seperti dalam tulisan James C. Scott. Menurutnya definisi petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya petani adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian (Scott, 1976). Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan dijual (Wolf, 1985). Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Di antara penduduk pedesaan ada pedagang, pegawai, buruh dan sebagainya. Jika mengacu pada konsep petani saja, maka perlu diperhatikan petani yang mana, karena belum tentu petani itu pemilik sekaligus penggarap. Ada petani yang hanya sebagai pemilik, di pihak lain ada petani yang tidak memiliki lahan dan hanya sebagai penggarap. Berkaitan dengan hal tersebut Marzali (1999), memberikan konsep petani (peasant) agar dapat dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya, petani ditinjau dari proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat manusia, maka dapat dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum petani berada di antara masyarakat primitif dan kota (moderen). Kedua, petani adalah masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga, dipandang dari sudut tipe produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata pencaharian, maka petani berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani moderen (farmer).
29
Petani primitif dan petani (peasant) perbedaannya pada teknologi yang digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan golok, sedangkan petani (peasant) menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak. Perbedaan pada tingkat ini belum dipandang sebagai hal penting. Perbedaan penting adalah bagaimana hubungan kedua tipe petani itu dengan kota. Seperti diungkapkan oleh Redfield (1985), bahwa terbentuknya petani peasant itu karena munculnya kota atau kotalah yang membuat adanya petani peasant. Tidak ada petani peasant sebelum kota pertama muncul di muka bumi ini. Sebaliknya petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya dengan kota relatif terisolasi (terbatas). Pada konteks Indonesia saat ini, kelompok masyarakat (komunitas) primitif ini mungkin dikenakan kepada masyarakat berburu dan meramu atau dikenal dengan masyarakat terasing. Perbedaan antara petani peasant dengan farmer terletak pada sifat usahatani yang dilakukan. Peasant berusahatani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga. Sedangkan petani farmer berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan mencari keuntungan. Produksi tidak hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa, petani peasant berusahatani keluarga, sedangkan petani farmer berusahatani seperti prinsip ekonomi perusahaan (komersil). Kesamaannya adalah sama-sama mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural. Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak lepas dari komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi pengertiannya mempunyai arti yang sama penting. Redfield dalam Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa, umumnya antropolog memandang komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut pandang ini komunitas didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan kesatuan hidup setempat, yaitu yang lebih terikat pada ikatan tempat kehidupan daripada ikatan lain seperti kekerabatan, kepercayaan dan sejenisnya.
30
Sehingga penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan dengah hal itu Sanders (1958) membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama, komunitas pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kedua, komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang keempat, sub-komunitas metropolitan. Berbeda dengan Redfield, Sanders juga menekankan komunitas sebagai sistem sosial. Konsep ini tidak hanya membatasi komunitas pedesaan yang cenderung terisolasi. Namun aspek ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi lain yang membentuk pengertian komunitas juga dikemukakan. Misalnya komunitas sebagai suatu ruang maka, dalam dirinya juga terbentuk suatu arena interaksi. Artinya sebagai suatu tempat untuk berinteraksi maka, komunitas melibatkan setiap pelaku dalam komunitas yang mencakup seluruh segi kehidupan dari kategori. Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sanders (1958) mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh lima faktor yaitu: a. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup dengan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. b. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya. c. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri. Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas. d. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. e. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya.
31
Kelembagaan Lokal dan Kelembagaan Ketahanan Pangan Menurut
Koentjaraningrat,
kelembagaan
sosial
adalah
terjemahan
langsung dari istilah social institustion (pranata sosial) yang memiliki dua makna. Yaitu kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok, dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan sosial dan asosiasi adalah sebagai satu bagian yang saling mendukung satu sama lain. Kelembagaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat umum, sedangkan asosiasi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus.Setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok dan tujuantujuan hidup yang disepakati bersama. Upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mencapai tujuan hidup lainnya tentunya harus diatur sedemikian rupa melalui aturan yang tercerin dalam norma-norma agar tercapai suatu tata tertib hidup bermasyarakat. Pada hakikatnya, norma-norma dan peraturan-peraturan tata tertib itulah yang menjadi ciri dasar dari sebuah lembaga masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui dan mempelajari masyarakat dan kebudayaan tertentu, maka menjadi suatu keharusan untuk mempelajari organisasi atau lembaga sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kelembagaan masyarakat sebagai wujud pola-pola hidup bermasyarakat menurut Soekanto (1990) memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : (1) pengorganisasian pola pemikiran akibat aktivitas dan hasil-hasilnya, (2) berkekalan tertentu, (3) mempunyai satu atau lebih tujuan, (4) mempunyai lambang-lambang yang melambangkan tujuan, (5) mempunyai alat-alat untuk mencapai tujuan dan (6) mempunyai tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuannya dan tata tertib yang berlaku. Terdapat beragam definisi kelembagaan masyarakat, namun untuk membatasinya maka
definisi
kelembagaan yang akan digunakan mengacu pada definisi Soemardjan dan Soemardi (1984).
32
Menurutnya, kelembagaan masyarakat didefinisikan sebagai himpunan semua norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka fungsi dasar keberadaan kelembagaan masyarakat tiada lain yaitu untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat menurut Soekanto (1990) pada dasarnya memiliki fungsi untuk (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalahmasalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhankebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat,
dan (4) memberi
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control). Keragaman kebutuhan manusia tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai jenis atau bentuk kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1965) dapat digolongkan menjadi : (1) Kelembagaan kekerabatan domestik (kehidupan kekerabatan), (2) kelembagaan ekonomi (mata pencaharian, memproduksi, menimbun dan mendistribusikan kekayaan), (3) kelembagaan pendidikan (penerangan dan pendidikan), (4) kelembagaan ilmiah (ilmiah manusia dan menyelami alam semesta), (5) kelembagaan politik (mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan negara), (5) kelembagaan keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) kelembagaan estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi) dan (7) kelembagaan somatik (jasmaniah manusia). Kelembagaan juga dapat digolongkan berdasarkan lokalitas sebagaimana Uphoff (1992) menggolongkan kelembagaan menjadi tiga yaitu ; sektor publik, sektor partisipatori dan sektor swasta. Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori mencangkup lembaga-lembaga yang nama, tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sektor swasta meliputi lembaga-lembaga swasta yang berorientasi kepada upaya untuk mencari keuntungan baik itu di bidang jasa, perdagangan dan industri.
33
Terkait dengan komunitas pedesaan di Indonesia, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang dapat diasumsikan sebagai satu satuan komunitas yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan dan organisasi di tingkat lokal dapat dilakukan dengan membangun sistem jejaring kerjasama (kolaboratif) dan sinergy. Sebuah program atau proyek pembangunan misalnya dapat melibatkan beberapa organisasi di tingkat komunitas dan juga lembaga di tingkat supra-desa (pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi) dengan menggunakan strategi jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Kelembagaan di pedesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu : pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, BPD, KUD, dan lain-lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong menolong, gotong-royong, jimpitan, simpan pinjam, arisan, beras perelek, lumbung paceklik, pesantren, dan lain-lain. Menurut Scott (1976), keberadaan lembaga asli di pedesaan memiliki fungsi ambivalensi, dimana lembaga tersebut memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Kelembagaan
masyarakat
bersifat
dinamis,
senantiasa
mengalami
perubahan-perubahan sebagai salah satu bentuk adaptasi dan/atau penyesuaian lembaga tersebut terhadap terjadinya perubahan sosial masyarakat (sosial, ekonomi, politik) dan ekologi/lingkungan alam di sekitarnya. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada. Pembangunan di negara-negara dunia ketiga, terutama pada program-program atau proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia, sebagaimana dikemukakan Israel (1990) cenderung menekankan pada pembangunan fisik-ekonomi, namun kurang memperhatikan upaya pembangunan kelembagaan
34
Kondisi ini terjadi terjadi disebabkan oleh beberapa alasan yaitu : pertama, bahwa teori dan praktek pembangunan telah lama berada di tangan para ahli ekonomi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang berdasarkan pada aspek efisiensi dan bukan pada cara-cara yang paling efektif dalam menggunakan sumberdaya yang dialokasikan. Kedua, karena masalah kelembagaan merupakan bidang keilmuan yang rumit. Ketiga, hampir semua program pembangunan lebih ditekankan pada pembangunan di bidang fisik, hal ini karena pembangunan fisik tersebut relatif lebih berhasil dan mudah diukur tingkat keberhasilannya jika dibandingkan dengan bidang kelembagaan. Kebijakan pembangunan di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, cenderung menekankan pada tercapainya stabilitas ekonomi dan politik yang tinggi.
Dalam kebijakan pembangunan seperti ini, tujuan akhirnya yaitu
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pada kenyataannya tidak didukung dengan kelembagaan yang mampu membangun instrumen untuk mendistribusikan hasil-hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut secara adil. Demikian pula halnya dengan pembangunan di bidang pertanian, upaya-upaya modernisasi pertanian lebih ditekankan pada upaya peningkatan
produktivitas
yang
tinggi,
tetapi
tidak
dimbangi
dengan
pembangunan kelembagaan di tingkat desa. Ditinjau dari segi produktivitas pertanian (beras) memang meningkat, tetapi ditinjau dari kelembagaan lokal penunjang aktifitas pembangunan pertanian lemah. Lemahnya pembangunan di bidang kelembagaan kerapuhan
perekonomian
pedesaan
Pranadji
(2003),
selain menyebabkan juga
menyebabkan
masyarakat desa (terutama petani gurem) lemah secara sosial dan politik. Pada akhirnya masyarakat desa (terutama petani gurem) belum mampu menjadi mitra sejajar dan sekaligus sebagai kekuatan kontrol sosial bagi pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan. Sebenarnya sudah ada upaya-upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok petani di tingkat desa untuk memfasilitasi dan mendukung program pembangunan, seperti halnya lembaga Pemerintahan Desa dan Koperasi Unit Desa. Namun proses pembentukannya dan operasionalisasinya dilakukan dengan pendekatan terpusat (sentralisasi), searah (top-down) dan seragam.
35
Sehingga hampir tidak ada ruang dan akses bagi kelompok strata bawah (kelompok miskin dan petani gurem) untuk terlibat aktif dan menikmati manfaat pembangunan melalui lembaga-lembaga tersebut. Lembaga-lembaga tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro (1977), cenderung menumbuhkan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan ”supra-desa”, dibandingkan pada kepentingan kesatuan kecil masyarakat, seperti halnya petani-petani kecil. Kerjasama antar desa yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Kecamatan sudah lama
melemah.
Sehingga
kedepannya,
untuk
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat strata bawah (petani gurem), seyogyanya dilakukan dengan merangsang organisasi pada tingkat dukuh (komunitas) yang disebutnya sebagai ”sodality”. Pada era reformasi dan otonomi daerah ini, terbuka peluang yang sangat besar untuk mewujudkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui pendekatan partisipasi, modal sosial dan pengorganisasian (rekayasa) masyarakat sipil. Sebagaimana dikemukan Ufford dan Giri (2004), model pendekatan seperti ini mesti ditempatkan secara kritis, karena terdapat kecenderungan bahwa model tersebut berupaya memperluas area intervensi dan pengelolaan dari bidang teknik dan ekonomi (dalam arti insentif untuk memaksimalkan hasil materi) ke bidang sosial dan budaya. Dimana pendekatan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), dan pendekatan partisipatoris dirangkai dengan ”manajemen orientasi hasil” kerapkali cenderung memenuhi kebutuhan penting untuk penyampaian program, bila dibanding untuk menghidupkan kembali politik kritis. Hal ini
dibuktikan dimana pendekatan partisipatoris jarang menghasilkan
tantangan yang radikal terhadap struktur kekuasaan yang tidak demokratis dan berkeadilan, sehingga yang terjadi malah sebaliknya sejalan dengan sistem-sistem perencanaan yang terpusat dan searah (top-down). Berdasarkan uraian di atas, maka suatu keharusan untuk segera melakukan penguatan kelembagaan di tingkat pedesaan agar pembangunan tidak hanya melulu pada pencapaian kemajuan kebudayaan material dan melupakan kemajuan kebudayaan non-material. Jika pembangunan pertanian di negara kita pernah melakukan ”revolusi kebudayaan material” melalui program revolusi hijau dan terbukti tidak berhasil memandirikan dan mensejahterakan petani kecil, maka
36
sudah saatnya sekarang melakukan ”revolusi kebudayaan non-material” melalui pemberdayaan petani di bidang politik, sosial, ekonomi dan kesehatan.
Upaya
tersebut juga membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi dan sektor swasta. Hal ini penting karena kapasitas kelembagaan pedesaan masih rendah dan untuk meningkatkannya perlu adanya pendampingan serta transfer pengetahuan tentang nilai-nilai pembangunan yang selaras dan menguatkan nilai-nilai lokal. Melalui mekanisme jaringan kerjasama (kolaborasi) dan kemitraan antara lembaga masyarakat lokal dengan pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan sektor swasta, maka masing-masing pihak dapat saling belajar dan bekerjasama untuk mencari dan merumuskan nilai-nilai pembangunan yang berkeadilan dan mensejahterakan. Jika upaya-upaya peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal berhasil dibangun, maka hal ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat desa saja, melainkan juga bagi pemerintah dan sektor swasta.
Disatu sisi kewajiban
pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat pedesaan terpenuhi dan disisi lain sektor swasta diuntungkan karena kelembagaan lokal yang kuat akan mampu mendukung keberlanjutan usahanya. Dengan catatan, penguatan kapasitas kelembagaan melalui jaringan kerjasama dan kemitraan ini tidak hanya melulu ditujukan bagi pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, melainkan juga berusaha menguatkan masyarakat petani secara sosial dan politik. Ini penting agar dalam jaringan kerjasama tersebut tidak terjadi dominasi (Agusyanto dan Lukito, 1997) dan selain masyarakat desa dapat berperansetara sebagai mitra sejajar, juga dapat memposisikan diri sebagai kontrol sosial (social control) bagi jalannya roda pembangunan. Secara konseptual, sebagaimana dikemukakan Tonny (2006), pendekatan jaringan
kolaboratif
pemerintahan
dan
sinergy
tersebut
mampu
menciptakan
sistem
desa (politik, sosial-budaya dan ekonomi) yang demokratis,
desentralisitik, partisipatoris dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat desa (lokal).
Mengingat dinamika masyarakat desa akan senantiasa terkait dan
dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung dengan adanya interaksi dan intervensi “pihak luar” (pemerintah, swasta nasional dan internasional, LSM, dll) ke dalam masyarakat desa atau komunitas tradisional.
37
Interaksi dan intervensi “pihak luar” tersebut dapat merubah corak dan karakteristik sumber kehidupan masyarakat desa. Sebagaimana kasus pedesaan di Indonesia, model pembangunan
(modernisasi) yang kurang menghargai
kebudayaan dan kedaulatan komunitas lokal, telah menyebabkan terjadinya perubahan pola mata pencaharian masyarakat pedesaan, baik di Jawa dan di luar jawa (Husken, 1998 ; Whertheim, 1999 ; Breman dan Wiradi, 2004 ; Suparlan, 1995 ; Maunati, 2004).
Dimensi Kepentingan
Teori tentang dimensi kepentingan merujuk pada Swedberg (2003), yaitu Sosiologi Kepentingan dalam Tindakan Ekonomi (Principles of Economic Sociology) dalam tulisan Titik Sumarti (2005). Bahwasanya, pola-pola interaksi sosial dan kelembagaan, yang dibentuk oleh manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh keuntungan, merupakan subyek utama kajian sosiologi ekonomi. Bidang kajian pendekatan baru dalam sosiologi ekonomi ini bukan lagi pada dampak relasi sosial pada tindakan ekonomi, melainkan pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan yang menentukan tindakan ekonomi. Analisa pada level kepentingan dimulai dengan penempatan kepentingankepentingan manusia (dalam kasus Weber, kepentingan agama dan ekonomi), dan mengkaji kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi kepentingan serta konsekuensinya. Analisa ini lebih tajam dan realistis dibanding analisa pada level relasi sosial maupun kelembagaan. Dalam pendekatan baru ini, Swedberg memperkenalkan konsep sosiologi kepentingan. Dengan merujuk pada sosiologi religi yang dikemukakan oleh Weber, religi sebagai suatu kepentingan merupakan metafora (kiasan) dari tindakantindakan manusia yang berlangsung sepanjang perjalanan-perjalanan hidup yang berbeda, pun ketika hal itu diinspirasikan melalui motivasi-motivasi yang serupa. Menurut Weber, kepentingan mendorong tindakan manusia, yaitu dimana cara pandang aktor terhadap dunia kehidupannya yang akan menentukan arah tindakan yang akan diambil sang aktor. Selain Weber, Swedberg juga mengemukakan karya penulis lain seperti Alexis de Tocqueville, James Coleman, Pierre Bourdieu.
38
Pemikir seperti David Hume, Adam Smith dan John Stuart Mill, mengungkapkan bahwa kepentingan menjadi penjelas utama dalam teori perilaku sosial. Menurut analisa mereka, ada beragam tipe kepentingan. Kepentingan dapat bertentangan satu sama lain, menghalangi maupun memperkuat satu sama lain. Kepentingan yang membuat orang mengambil tindakan. Kepentingan mampu mensuplai energi (kekuatan) dan membuat orang bangkit dari tidur dini hari serta bekerja keras sepanjang hari. Jika dikombinasikan (digabungkan) dengan kepentingan orang lain, akan menjadi suatu kekuatan yang cukup besar yang mampu menggerakkan dan menciptakan masyarakat baru. Analisa kepentingan membantu untuk menjelaskan konflik, yang muncul ketika terjadi benturan kepentingan. Konflik tersebut dapat berlangsung dalam pikiran seseorang, antar individu, kelompok, dan masyarakat. Tetapi kepentingan tidak hanya berbenturan dan menggerakkan aktor, kepentingan juga bisa menghalangi satu sama lain, menguatkan satu sama lain, atau melumpuhkan sang aktor, misalnya pembentukan beberapa religi atau politik yang mendukung tradisi. Konsep kepentingan merupakan suatu alat analisa yang fleksibel. Menggunakan konsep kepentingan berarti mengubah pusat analisa dari kekuatan di permukaan ke daerah kekuatan yang lebih mendalam yang memiliki impak penting pada tindakan sosial. Analisa Weber dalam The Protestan Ethic merupakan paradigma dalam hal upayanya untuk menganalisa apa yang membuat orang merubah perilaku mereka secara mendasar yang menciptakan suatu mentalitas rasionalistis baru secara menyeluruh. Menggunakan konsep kepentingan juga dapat membantu memberikan tempat seimbang pada peranan subyektivitas dan kebudayaan dalam analisa perilaku ekonomi. Sesungguhnya tidak bisa dilupakan – kepentingan dalam beberapa hal selalu subyektif dan
dibentuk melalui kebudayaan – tetapi
kepentingan juga bersifat obyektif dalam arti bahwa kepentingan membentuk suatu bagian yang stabil dan kukuh dari realitas sosial. Moralitas negara atau umum, misalnya, bisa melarang aktivitas tertentu tetapi bisa juga membolehkan di tempat lain. Terdapat upaya mengintegrasikan kepentingan kedalam tipe analisa sosiologi.
39
Pendekatan ini memperhitungkan baik kepentingan maupun relasi sosial – menjelaskan bahwa kepentingan didefinisikan dan diekspresikan melalui relasi sosial. Kepentingan adalah sesuatu yang mendorong tindakan individu-individu pada beberapa tingkatan yang mendasar. Lebih lanjut, kepentingan merupakan fenomena sosial yang intens. Individu lain harus dipertimbangkan ketika seorang aktor berupaya untuk merealisasikan kepentingannya. Hal ini juga merupakan fakta bahwa kepentingan didefinisikan secara sosial. Definisi kepentingan ini cukup luas mencakup beragam tipe kepentingan, tidak hanya kepentingan ekonomi. Konsep kepentingan digunakan untuk menangkap kekuatan pokok yang mendorong perilaku manusia.
Sumbangan
sosiologi ekonomi baru lainnya datang dari Coleman yang memperkenalkan sosiologi berbasis kepentingan. Coleman mengemukakan bahwa ahli ekonomi telah gagal memperkenalkan relasi sosial dalam analisa mereka. “cara-cara utama teori ekonomi bergerak dari tingkat mikro aktor tunggal ke tingkat makro yang melibatkan banyak aktor adalah melalui konsep “agent representative”. Kumpulan para aktor secara sederhana tidak sesuai dengan fenomena seperti trust, sementara trust merupakan suatu hubungan antara dua aktor”. Coleman menggunakan tiga subyek untuk menjelaskan hal tersebut: trust, pasar, dan perusahaan. Beberapa pokok pikiran Coleman yaitu, pertama; dalam tindakan ekonomi tidak cukup membahas aktor dan kepentingannya, penting pula dibahas “sumberdaya” dan “kontrol” yang dimiliki. Jika seorang aktor memiliki kepentingan terhadap aktor lain, kedua aktor tersebut akan berinteraksi. Kedua; analisa kepercayaan (trust). Coleman mencirikan trust sebagai suatu pertaruhan dengan kesadaran. Anda mengkalkulasi apa yang anda peroleh dan kehilangan bila mempercayai seseorang, dan dalam situasi tersebut anda terus dan mempercayai orang tersebut. Ketiga; analisa modal sosial. Modal sosial didefinisikan Coleman sebagai adanya relasi sosial yang dapat membantu individu ketika mencoba untuk merealisasikan kepentingannya. Suatu perusahaan merepresentasikan, misalnya, suatu bentuk modal sosial. Keempat; kemampuan perusahaan - sekali orang menciptakannya untuk merealisasikan kepentingannya untuk membangun kepentingannya sendiri. Bagi Coleman, perusahaan merupakan suatu penemuan sosial yang mendasar.
40
Dari tulisan dapat dikemukakan beberapa proposisi yang ditawarkan dalam pendekatan sosiologi ekonomi baru yaitu; bahwa tindakan ekonomi didorong oleh suatu kepentingan sebagai kekuatan yang mendasar, kepentingan merupakan fenomena sosial yang didefinisikan secara sosial, dan kepentingan direalisasikan melalui relasi sosial.
Kerangka Pemikiran Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan pengentasan kemiskinan hingga saat ini
belum memberikan hasil yang
memuaskan. Program-program seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT empiris terbukti
tidak efektif
secara
dan dalam banyak kasus menemui kegagalan
karena masih terpinggirkannya kepentingan rumah tangga petani miskin di pedesaan dalam program-program tersebut. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima program maupun pelaksananya, dengan program cenderung lebih berorientasi proyek. Keadaan lain yang mempersulit terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin dalam program pemerintah adalah bahwa program-program tersebut hanya dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang secara sosial-ekonomi relatif mampu. Pendekatan politik pembangunan di pedesaan masih bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit pemilik faktor-faktor produksi di pedesaan.
Hal inilah yang pada akhirnya
menyebabkan implementasi program tidak partisipatif bagi rumah tangga miskin pedesaan sebagai subyek utama dan mengabaikan energi sosial lokal (sumberdaya manusia, kelembagaan, jaringan sosial), serta menyebabkan semakin sulit terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin. Kebijakan
pembangunan
seyogyanya
dapat
mempertemukan
mengharmoniskan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan tangga petani.
dan
rumah
Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis,
maka harus ada kelembagaan yang menyediakan ruang yang luas untuk mendialogkan kepentingan-kepentingan.
41
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2005, salah satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah dan berpontensi menjadi kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah tangga miskin dengan pihak supradesa. Sebagai program untuk pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru. Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan pihak luar desa. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan telah memainkan peranannya
dalam
ikut
menggiatkan
aktivitas
perekonomian
dengan
menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya dengan semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Belum berhasilnya program penanggulangan kemiskinan dan kerawanan pangan yang telah dilakukan selama ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan yang ada. Terkait dengan uraian tersebut, pengembangan kelembagaan lokal dalam hal ini kelembagaan ketahanan pangan program aksi mandiri pangan, sebagai salah satu upaya untuk penanggulangan kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan harus memperhatikan sudah sejauh mana kepentingan rumah tangga petani miskin terakomodir dalam program. Hal inilah yang melandasi kenapa penelitian tentang dimensi
kepentingan
dalam pengembangan kelembagaan
ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan) dilakukan peneliti. Keseluruhan alur pemikiran tersebut diatas tertuang dalam gambar 1.
42
Rumah Tangga Petani Miskin
Potensi Komunitas (SDA/SDM, Modal Sosial, Modal Fisik, Modal Finansial)
Ketahanan Pangan Lokal
Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal
Analisa Kepentingan Aktor dlm Pelaksanaan Program Mapan
Elit Dinas
Elit Desa Pendamping
Gambar 1.
TPD/LKD
Kelompok Afinitas
Alur Pemikiran Penelitian Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan
Keterangan :
1. Komunitas rumah tangga petani miskin pedesaan menurut Sajogyo (1993), A.V Chayanov (1996), Clifford Geertz (1983), James C. Scott (1976), Samuel L.Popkin (1979) 2. Perkembangan kelembagaan lokal pedesaan menurut Uphoff (1992), Arturo Israel (1990), Husken (1998), Soerjono Soekanto(1990), Tri Pranadji (2003) 3. Sosiologi Kepentingan menurut Richard Swedberg (2003), Titik Sumarti (2005)
43
Hipotesa Pengarah Penelitian
Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan teoritis dan akumulasi pengetahuan pustaka peneliti maka beberapa hipotesa penelitian yang dirumuskan sebagai arahan pelaksanaan penelitian di lapangan adalah sebagai berikut :
1. Upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan akan lebih efektif apabila diikuti dengan pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
2. Jika dinamika berbagai kepentingan
(ekonomi, sosial, politik) tidak
diperhatikan akan mengganggu pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
3. Jika kepentingan rumah tangga petani miskin tidak dijadikan fokus program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal dapat berakibat proses pemiskinan dan rawan pangan berlanjut
44
METODE PENELITIAN
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (data yang digunakan adalah data kuantitatif dan data kualitatif) dengan strategi penelitian yang dipilih adalah studi kasus dan bersifat multi metode yang diharapkan dapat memperkaya data dan memahami fenomena sosial yang sedang diteliti.
Strategi
studi kasus dipilih dengan pertimbangan : (1) pertanyaan
penelitian adalah "bagaimana" dan "mengapa"; (2)
peluang peneliti untuk
mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat kecil; (3) pumpunan penelitian adalah peristiwa sosial masa kini dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 1996).
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dengan beberapa pertimbangan bahwa; pertama, lokasi ini adalah salah satu dari 100 kabupaten yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah rawan pangan tahun 2006. Kedua, di desa Jambakan adalah salah satu desa pemangku program mandiri pangan dari pemerintah pusat.
Waktu
dilaksanakan penelitian adalah pada akhir Juni-Agustus 2008.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dari subyek penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Jenis data primer yang diambil disesuaikan dengan tujuan penelitian. Data penunjang dipergunakan untuk mereview laporan pelaksanaan program ketahanan pangan dan mengetahui gambaran sistem hubungan sosial yang berlangsung dalam pengelolaan ketahanan pangan pada setiap aktor (pemerintah, swasta, komunitas).
Data tersebut diperoleh dari
berbagai dokumen (buku-buku laporan pelaksanaan program ketahanan pangan, laporan penelitian, arsip-arsip) seperti potensi desa, laporan kecamatan dan kabupaten dalam angka, serta laporan dari berbagai instansi terkait.
45
Teknik Pengumpulan Data Sebagaimana ciri-ciri khusus yang dimiliki dalam metode studi kasus, maka tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini tidak tunggal, namun gabungan dari beberapa tekhnik pengumpulan data, yaitu : wawancara, FGD (Fokus Group Discussion), studi riwayat hidup dan pengamatan berpartisipasi. Perpaduan diantara tehnik pengumpulan data tersebut diperlukan guna triangulasi data. Artinya data diperoleh dari berbagai sumber data. Dengan multi metode tersebut, maka aspek kesejarahan menjadi suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Namun seringkali kelemahannya catatan kesejarahan lokal biasanya tidak mencukupi.
Dalam penelitian ini, rumah tangga petani desa Jambakan
diperlakukan sebagai subyek penelitian. Studi riwayat hidup adalah bahan keterangan tertulis mengenai pengalaman kehidupan individu-individu tertentu, sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang di teliti (Koentjaraningrat, 1985; Denzin, 1989 dalam Sitorus, 1998). Jadi Selain mencakup pengakuan individu tentang pengalaman hidupnya, riwayat hidup juga mencakup informasi berbagai sumber lain tentang kehidupan dan konteks sosial kehidupan individu tersebut. Menurut sumbernya, data riwayat hidup dapat dibedakan menjadi dua yaitu data terdokumentasi (baik berupa arsip publik maupun arsip pribadi) dan data dari tangan pertama penelitian).
(dengan wawancara mendalam terhadap subyek
Peneliti menggunakan instrumen kuesioner dalam wawancara
terstrukur untuk mengumpulkan data kuantitatif.
Wawancara mendalam
dilakukan agar diperoleh pemahaman tentang realitas kehidupan rumah tangga petani dan hasil wawancara tersebut ditulis dalam catatan harian. Peneliti juga melakukan pengamatan berperanserta terhadap rumahtangga petani yang menjadi subyek penelitian untuk memahami keseharian subyek penelitian serta makna dari tindakannya. Secara metodologis ada dua alasan, yaitu : pertama, pengamatan memungkinkan peneliti melihat, merasakan dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial didalamnya sebagaimana tineliti melihat, merasakan dan
memaknainya.
Kedua,
pengamatan
memungkinkan
pembentukan
pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti (Moleong, 1989 dalam Sitorus, 1998).
46
Prosedur pengumpulan data dan strategi yang digunakan dalam melakukan penelitian ini meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : Tabel 1. Prosedur Pengumpulan Data Penelitian Kegiatan
Sumber data
Teknik Pengumpulan data Wawancara dengan kuesioner, wawancara mendalam dan studi riwayat hidup
Mengkaji pelaksanaan program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan
Data primer dan didukung data sekunder dari: pemerintah kabupaten, swasta dan komunitas desa
Menganalisis pengaruh berbagai kepentingan (ekonomi, sosial, politik) aktor dalam program pengembangan Kelembagaan ketahanan pangan lokal
Data primer dan didukung data sekunder dari institusi ketahanan pangan lokal yang dikelola pemerintah, swasta, dan komunitas desa (kasus)
Wawancara mendalam dengan anggota dan pengurus kelompok afinitas serta pengamatan berperanserta
Mengkaji sejauh mana kepentingan rumah tangga petani miskin dijadikan dasar untuk mengevaluasi pencapaian program pengembangan Kelembagaan ketahanan pangan lokal
Sie Ketahanan pangan Kabupaten, instansi terkait, pengurus kelompok afinitas
Wawancara mendalam dan FGD (Focus Group discussion)dengan pihak stakeholder
FGD dilakukan untuk mengkaji ciri pemberdayaan yang melekat pada kelembagaan ketahanan pangan (kelompok di tingkat komunitas yang melakukan pengelolaan ketahanan pangan maupun yang menjadi partisipan dalam program, tokoh desa, aparat pemerintah desa, dan pendamping program).
Keseluruhan
hasil wawancara ditulis dalam catatan harian dan ditampilkan dalam penulisan tesis untuk mendukung data kualitatif yang disajikan.
47
Analisis Data Analisa data dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan fenomena kemiskinan rumah tangga petani dengan mengkaji realitas sosial kemiskinan rumahtangga petani, kelembagaan dan kepentingan aktor dalam mengkonstruksi realitas sosial tersebut. Data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Terhadap data kualitatif, yaitu data yang tidak dalam bentuk angka tapi berupa penjelasan atau keterangan akan dilakukan
analisa dengan
menggabungkan informasi lalu diungkapkan sesuai dengan gejala sosial yang terjadi..
Data kualitatif dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu ; (a)
Hasil
pengamatan atau observasi, berupa uraian atau diskripsi rinci mengenai situasi, kejadian atau peristiwa orang-orang, interaksi dan perilaku yang diamati secara langsung di lapangan; (b)
Hasil pembicaraan, berupa kutipan langsung dari
pernyataan orang-orang tentang pengalaman, sikap, keyakinan dan pandangan atau pemikiran mereka dalam kesempatan wawancara mendalam dan (c) Bahan tertulis yaitu berupa petikan atau keseluruhan bagian dan dokumen-dokumen, surat-menyurat, rekaman dan kasus histories atau sejarah. Data dan informasi kualitatif hasil wawancara ditransfer dalam bentuk catatan harian ditambah dengan sari dokumen (laporan, makalah, surat) dianalisis dengan menggunakan matriks analisis yang membandingkan ragam kategori data. Dalam proses analisis data kualitatif, setiap interpretasi logis atas data, akan dilengkapi dengan data-data kuantitatif sepanjang data tersebut dapat mendukung, mempertajam dan memperjelas interpretasi.
48
PEMETAAN SOSIAL KEMISKINAN PEDESAAN
Bab ini menjelaskan tentang deskripsi lingkungan desa Jambakan yang sedikit banyak mempengaruhi cara bertindak masyarakatnya dalam membangun mekanisme pengelolaan kelembagaan ketahanan pangan terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan dan juga mempengaruhi interaksi antara masyarakat desa dengan pihak atas desa.
Lokasi Dan Keadaan Alam Desa Jambakan merupakan salah satu desa yang terletak di bagian utara wilayah kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten dengan secara administratif terletak di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah Desa Jambakan adalah 168,8485 Ha. Desa Jambakan terbagi atas dua dusun dan sembilan dukuh. Dusun I terdiri dari empat dukuh yaitu Widoro, Barengan, Jambakan dan Jaten. Dusun II terdiri dari lima dukuh yaitu Geneng, Winong, Karang Uni, Brumbung, dan Doyo. Desa Jambakan juga terbagi atas tujuh rukun warga (RW) dan 18 rukun tetangga (RT) yang secara geografis berbatasan dengan beberapa wilayah yang meliputi sebelah Utara desa Tegal Rejo, sebelah Selatan Desa Ngerangan dan propinsi D.I Yogjakarta, Sebelah Timur Desa Karang Asem dan sebelah Barat Desa Dukuh.
Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa (yang biasanya
dipanggil "pak Lurah"), dibantu oleh seorang sekretaris desa (yang biasanya dipanggil "pak Carik") dan empat orang perangkat desa (kaur umum/modin, kaur pembangunan, dan dua kepala dusun/bayan). Aksesibilitas ke Desa Jambakan cukup lancar karena masyarakat desa pada umumnya memiliki sepeda motor atau juga dapat mengaksesnya dengan transportasi umum terutama mikrolet. Jarak antara Desa dengan Kecamatan sejauh lima kilometer, yang dapat ditempuh selama 15 menit dengan sepeda motor dan tidak ada angkutan umum yang menghubungkan secara langsung. Menjangkau desa Jambakan dari ibukota kabupaten Klaten yang berjarak sejauh 14 kilometer dapat ditempuh selama kuranglebih 45 menit dengan menggunakan angkutan kota jurusan Klaten-Cawas dan berhenti di pertigaan Nglengkong.
49
Kemudian perjalanan untuk mencapai Desa Jambakan dilanjutkan dengan menggunakan ojeg. Atau kalau ditempuh dari terminal Solo ada Bus menuju Kabupaten Gunungkidul yang melewati kecamatan Bayat, turun di SMP Bayat, dan menuju desa Jambakan juga dengan Ojeg. Sedangkan, jarak desa jambakan dengan Kota Semarang, Ibukota Propinsi sejauh 150 kilometer dan kurang lebih 1500 kilometer dengan ibukota negara Jakarta. Dari sisi topografi, wilayah Desa Jambakan adalah termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian tanah adalah 54 meter di atas permukaan laut, dan dikelilingi oleh bukit yang oleh warga setempat menamainya sebagai Gunung Gambar, tampak terlihat tandus berkapur. Namun, pada musim penghujan desa ini sering mengalami banjir. Pada tahun 2006, desa Jambakan salah satu dari desa-desa di Kecamatan Bayat yang mengalami musibah gempa. Desa Jambakan beriklim tropis dengan suhu rata-rata 36° Celcius, termasuk salah satu daerah kering. Desa Jambakan mengalami musim penghujan antara Bulan September hingga Januari dengan curah hujan berkisar 1.025 mm per tahun, dan musim kemarau yang panjang antara bulan Februari hingga Agustus. Luas Desa Jambakan adalah 168.8485 Ha, dengan peruntukan jalan 15 Ha, tanah sawah dan ladang 106.3765 Ha (sawah irigasi tadah hujan 103.095 Ha dan tegalan 3.367 Ha), pemukiman/perumahan 53.640 Ha (Perkantoran 0,200 Ha), perkuburan 0,500 Ha dan tanah wakaf 0,383 Ha.
Pendududuk, Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi Lokal Jumlah penduduk Desa Jambakan menurut data kependudukan dari Buku Data Monografi Desa tahun 2007, total jumlah penduduk yang keseluruhannya adalah kewarganegaraan WNI adalah sebanyak 2.695 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 1.220 jiwa (45 persen) dan jumlah penduduk perempuan adalah 1.475 jiwa (55 persen). Jumlah Kepala Keluarga di Desa Jambakan adalah 700 KK. Jumlah bayi lahir pada tahun 2006 sebanyak tujuh orang sedangkan jumlah orang meninggal sebanyak delapan orang. Sebagian besar penduduk beragama Islam, yaitu sekitar 2646 (99 persen) dan sisanya beragama Kristen dan Hindu.
50
Masyarakat Desa Jambakan hampir seluruhnya adalah berasal dari suku Jawa. Kehadiran para pendatang baik dari Kediri, Magetan, Solo dan sekitarnya lebih banyak disebabkan oleh ikatan perkawinan, termasuk juga bidan desa yang asli Aceh dan menikah dengan penduduk setempat. Tidak ada satu pun etnis Cina ada di desa ini. Semua penduduknya menggunakan bahasa Jawa. Dan hampir seluruh warga lancar berbahasa Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Jambakan, sebagian besar merupakan lulusan SLTA dan hanya sekitar sepuluh persen yang menempuh perguruan tinggi. Lainnya hanya sampai pada tingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan sudah meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persamaan kesempatan bagi anak laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan sebelum tahun 1990-an, masyarakat lebih mengutamakan pendidikan bagi laki-laki. Keterbatasan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, pada saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Jumlah penduduk menurut kelompok pendidikan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan di Desa Jambakan Tahun 2006 Kelompok Pendidikan Jumlah Penduduk Persentase (Tahun) (Orang) (%) 17.7 170 00-03 17.2 165 04-06 14.8 142 07-12 13.01 125 13-15 11.9 114 16-18 25.5 245 19 keatas Jumlah 961 100.00 Sumber : Data Monografi Desa Jambakan (2006) Penduduk yang menamatkan sekolah hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP (kelompok usia 13-15 tahun) hingga ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/SLTA (kelompok usia 16-18 tahun) hampir merata berasal dari golongan yang mampu secara ekonomi seperti keluarga pengrajin tenun, juga dari keluarga buruh tani. Tingkat pendidikan formal yang relatif tinggi (untuk di pedesaan) menyebabkan sebagian besar penduduk bermigrasi ke kota memasuki sektor
51
informal seperti buruh pabrik, pegawai peternakan di Jakarta maupun Tangerang, dan yang paling banyak adalah bermigrasi sirkuler berdagang warung angkringan di Solo dan Yogjakarta. Sebagian besar tenaga kerja berada pada kelompok usia 10-14 tahun seperti terlihat pada tabel 3. Tabel 3. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di Desa Jambakan Tahun 2006 Kelompok Tenaga Kerja Jumlah Penduduk Persentase (Tahun) (Orang) (%) 36.3 400 10-14 2.3 25 15-19 20.7 228 20-26 10.5 116 27-40 18.6 205 41-56 11.7 129 57 keatas Jumlah 1.101 100 Sumber : Data Monografi Desa Jambakan (2006) Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Jambakan adalah petani dan yang menjadi buruh tani lebih besar lagi. Namun, demikian statusnya hanya sebagai buruh tani atau penggarap. Sistem pertanian tadah hujan menyebabkan masyarakat Desa Jambakan tidak menggantungkan hidupnya dengan pertanian semata Hanya sedikit sekali yang bermata pencaharian sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sedangkan mereka yang bekerja di bidang pertukangan dan kuli bangunan dilakukan hingga lintas kecamatan. Terlebih lagi pasca bencana gempa, kebutuhan desa-desa sekitar terhadap tukang dan kuli bangunan bertambah.. Sebagian masyarakat ada juga yang menjadi pedagang warung hek atau angkringan, buruh pabrik, buruh bangunan, tenun dan pegawai negeri. Jumlah penduduk desa Jambakan menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 4. Pertanian di Desa Jambakan merupakan pertanian tanah hujan karena belum ada sistem irigasi. Dengan curah hujan 1.025 mm/th, suhu udara rata-rata 36° Celcius dan tidak adanya sumber mata air menyebabkan pertanian di Desa Jambakan tidak bisa diandalkan. Jika musim kemarau tiba maka saluran air atau sungai yang melintas di desa tersebut tidak ada airnya. Hal inilah yang selalu menjadi kendala sistem pertanian di Desa Jambakan dan sering kali menyebabkan gagal panen atau puso. Padi hanya ditanam setahun sekali pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau digunakan pompa air sumur.
52
Tabel 4. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Jambakan Tahun 2006 Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Persentase (Orang) (%) 6.40 30 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1.30 6 ABRI 14.90 70 Swasta 33.10 155 Tani 35.50 165 Buruh Tani 2.10 10 Pertukangan 1.70 8 Wiraswasta/Pedagang 4.06 19 Pensiunan 0.40 2 Pemulung 0.60 3 Jasa Jumlah 468 100.00 Sumber : Data Monografi Desa Jambakan (2006) Karena sebagian besar petani tidak memiliki pompa air maka jika ingin bertani pada musim kemarau mereka harus menyewa pompa dari pemilik yang biasanya biaya sewa nyaditentukan oleh pemiliknya langsung. Keadaan tersebut menyebabkan pola tanam yang dilakukan masyarakat Desa Jambakan adalah padi-palawija-palawija. Seperti diutarakan oleh pak Dwi Setyanto berikut ini : ”........Jika pertanian dilakukan sesuai aturan pola tanam yaitu dalam setahun menanam palawija – padi – palawija maka bisa panen tiga kali dalam setahun. Tetapi jika dengan pola tanam padi – padi – palawija maka kemungkinan hanya bisa panen sekali setahun, karena untuk masa tanam padi yang kedua akan berlangsung di bulan-bulan Juni, dimana bulan tersebut sudah musim kemarau yang sangat sulit mendapatkan air……….” (DS, Carik desa Jambakan, Ketua Kelompok Afinitas Trijaya Perkasa)
Komoditas yang biasa ditanam adalah kedelai, jagung dan bengu (kacang koro). Jika terjadi kemarau panjang dan masyarakat terlambat menanam maka lahan hanya dapat digunakan untuk dua kali masa tanam dan selebihnya diberakan. Oleh karena itu, setelah panen atau derep padi, masyarakat langsung menanam di lahan tersebut tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini karena jika harus diolah tersebih dahulu, maka kondisi tanah akan kering bahkan hingga retak-retak.
53
Sebagian besar masyarakat yang bergerak dibidang pertanian, statusnya adalah buruh tani atau penggarap dengan sistem bagi hasil atau lebih dikenal dengan maro. Sistem maro yaitu sistem bagi hasil dengan dengan perbandingan bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap adalah 50 persen : 50 persen. Pemilik lahan mendapat setegah bagian dari hasil panen, dan setengah bagian lagi diterima oleh penggarap. Penggarap berkewajiban menyediakan semua yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian. Jika terjadi gagal panen maka resiko yang ditangung lebih banyak diterima oleh penggarap. Hal ini karena biaya produksi yang dikeluarkan oleh penggarap lebih besar dibandingkan dengan hasil panennya. Hasil pertanian di Desa Jambakan, untuk komoditas padi umumnya digunakan untuk konsumsi sendiri. Sebelum tahun 1970-an, masyarakat desa Jambakan belum bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri, sehingga mereka sering makan nasi dicampur dengan ubi atau jagung. Sekalipun orang-orang bertani di sawah, tetapi mereka selalu membeli beras untuk konsumsi sehari-hari. Sedangkan palawija seperti kedelai atau jagung, umumnya di jual kepada bakul atau pedagang keliling sehingga masyarakat tidak perlu menjualnya ke pasar. Harga ditetapkan oleh bakul yang disesuaikan dengan harga pasar. Masyarakat hanya menerima saja. Hal ini karena jika dijual di pasar secara langsung harga akan sama saja, tidak jauh berbeda. Namun, aktivitas yang banyak dilakukan laki-laki yaitu saat derep atau panen dan pengolahan lahan. Sedangkan perempuan terlibat dalam kegiatan penanaman atau nandur serta perawatan. Terdapat pembedaan upah, buruh lakilaki mendapat upah Rp 30.000,- ditambah dengan rokok dan kopi dan makan, buruh perempuan hanya mendapat Rp 25. 000,- dan makan. Selain dibidang pertanian aktivitas ekonomi lokal yang umumnya dilakukan masyarakat Desa Jambakan adalah berdagang atau membuka warung hek. Ada yang membuka warung hek di sekitar desa, atau bahkan sampai ke kota Klaten, Solo, Yogyakarta, Sukoharjo dan Semarang. Biasanya mereka yang bekerja di luar, pulang ke rumah sebanyak satu hingga dua kali dalam sebulan. Pendapatan dari usaha warung hek dalam sehari mencapai Rp 30.000 hingga Rp 50.000,-.
54
Sementara itu ada juga masyarakat yang menjadi tukang becak, buruh pabrik dan buruh bangunan. Untuk buruh bangunan, upah yang diterima dalam satu hari berkisar antara Rp 35.000,- hingga Rp 50.000,-. Sedangkan buruh pabrik mendapat upah sebesar Rp 800 ribu hingga satu juta rupiah per bulan. Pendapatan utama keluarga umumnya di dapat dari suami (laki-laki), namun tidak sedikit istri (perempuan) yang juga melakukan pekerjaan produktif untuk menopang kehidupan rumah tangga. Kegiatan produktif yang dilakukan oleh istri antara lain menenun, menjadi buruh tani saat musim panen dan tanam, dan membuka warung kelontong atau makanan. Kegiatan tenun, dilakukan setelah pekerjaan reproduktif dilakukan. Hasil tenun dijual kepada bakul keliling dengan harga Rp 7.000,- hingga Rp 8.000,- untuk satu gendok (dua selendang). Dalam satu bulan pendapatan yang diterima dari hasil menenun sekitar 600 ribu rupiah hingga 700 ribu rupiah. Selain menenun, usaha yang dilakukan istri atau perempuan untuk menambah pendapatan keluarga adalah dengan membuka warung kelontong (makanan atau kebutuhan rumah tangga lainnya). Pendapatan yang diterima dari usaha warung berkisar antara Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00. Kegiatan menenun dan membuka warung dilakukan oleh perempuan di Desa Jambakan, karena mereka dapat mengerjakan pekerjaan tersebut tanpa harus meninggalkan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain. Pendapatan yang diterima oleh istri (perempuan) umumnya digunakan untuk pemenuhan makan sehari-hari, sedangkan pendapatan yang diterima oleh suami digunakan untuk biaya pendidikan anak dan lainnya. Masyarakat Desa Jambakan biasanya bertani sambil beternak untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian sebagai aktivitas ekonomi lokal yang lainnya. Jenis ternak yang dipelihara adalah ayam kampung (200 ekor), itik (25 ekor), kambing (150 ekor) dan sapi (250 ekor). Sedangkan sektor industri Desa Jambakan sedang berkembang walaupun industri tersebut masih berskala kecil. Jenis industri tersebut adalah tenun lurik, menjahit, makanan ringan seperti krupuk rambak. Sebagai penunjang aktivitas ekonomi, sarana prasarana sangat besar pengaruhnya.
55
Desa Jambakan memiliki beberapa sarana dan prasarana yang dapat menunjang
kegiatan
formal
dan
informal.
Terdapat
sepuluh
jalan
dusun/lingkugan dan lima jalan desa, serta lima buah jembatan. Untuk sarana pendidikan formal yang ada di Desa Jambakan terdiri dari dua Sekolah Dasar Negeri yaitu SD Negeri Jambakan 2 dan SD Negeri Jambakan 3. Selain itu terdapat satu Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh ibu-ibu PKK yang bernama TK Pertiwi.
Pola Pemukiman dan Aktivitas Sosial Budaya Dari data monografi Desa Jambakan, kondisi fisik perumahan dibedakan menjadi rumah permanen sebanyak 106 buah, dan rumah non permanen sebanyak 594 buah.
Kondisi ini adalah catatan sebelum adanya perbaikan perumahan
warga yang terkena dampak bencana gempa.
Dalam pandangan masyarakat,
rumah permanen adalah rumah berdinding tembok, semi permanen adalah rumah berdinding tembok dan bilik, sedangkan rumah non-permanen adalah rumah berdinding bilik. Sekalipun dalam catatan monografi, jumlah rumah yang tipe non-permanen lebih banyak, namun kondisi fisik perumahan masyarakat desa Jambakan hampir merata sudah menunjukkan kesejahteraan dan keberlanjutan nafkah rumah tangganya. Dengan penggunaan tanah untuk pekarangan 53.640 ha, rata-rata masing-masing rumah masih memiliki halaman yang cukup di depan rumahnya. Antara kampung atau dukuh yang satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh jalan-jalan desa yang sudah beraspal dengan rapi. Hanya saja, jalan desa yang bisa mencapai kantor kecamatan Bayat paling dekat masih berupa jalan makadam
(berbatu-batu).
Lokasi
perumahan
yang
relatif
berdekatan
memudahkan penyebaran informasi hingga antar desa. Misalnya antara dukuh Mbareng dengan dukuh Banyu Uripan sekalipun berhadap-hadapan dan hanya dipisahkan oleh jalan beraspal, namun keduanya berada di desa yang berbeda. Kondisi tersebut menyebabkan warga sangat sulit menyimpan rahasia. Untuk pemenuhan air bersih dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti untuk pemenuhan air minum, mandi, mencuci, buang air besar semua dilakukan di rumah masing-masing walaupun belum semuanya memiliki sumur.
56
Kondisi tanah Desa Jambakan yang tandus yang menyebabkan setiap tahun pada musim kemaru desa ini mengalami kekurangan air. Masyarakat lebih banyak menggunakan air sumur galian baik dengan menggunakan katrol ataupun dengan pompa listrik. Selain itu, bagi masyarakat yang tidak memiliki sumur atau MCK (Mandi Cuci Kakus) sendiri, untuk pemenuhan air bersih dapat menggunakan sumur umum. Sumur umum ini dibangun atas bantuan pemerintah pada tahun 2007 yang dilengkapi dengan MCK. Sumur umum tersebut dibangun di tiap rukun warga dengan masing-masing empat buah. Tidak adanya sumber mata air menyebabkan Desa Jambakan sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan air. Kedalaman sumur bisa mencapai 20-30 meter. Selain mengandalkan bantuan air dari pemerintah, biasanya pada musim kemarau dan pada saat lebaran ketika anggota keluarga yang merantau pulang mudik, untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari, beberapa masyarakat desa yang mampu membeli air ke PDAM lalu disimpan ke sumur-sumur mereka yang kekeringan dengan harga Rp.75.000100.000 per tangki (kurang lebih 5000 lt) untuk pemakaian satu minggu. Hampir seluruh rumah penduduk menggunakan penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Hampir seluruh penduduk mampu secara
ekonomi memasang listrik sendiri, tetapi masih ada beberapa yang benar-benar tidak mampu umumnya menyalur dari tetangga terdekatnya.
Yang tergolong
mampu dan anggota keluarganya ada yang merantau ke kota, biasanya rumahnya dilengkapi fasilitas telepon rumah, meskipun demikian penggunaan telepon selular (HP) sudah merata ke hampir semua warga. Dalam sehari, umumnya warga desa Jambakan makan tiga kali sehari. Pada pagi hari terdapat beberapa yang berjualan nasi pecel untuk sarapan, tetapi pada umumnya warga memasak makanannya sendiri karena tidak terbiasa jajan. Karena sebagian besar warga memiliki pekarangan di bagian depan atau belakang rumahnya, maka hampir setiap pagi atau sore hari melakukan pembakaran sampah di pekarangan. Toko atau warung kecil umumnya buka sejak pukul 06.00-21.00 WIB. Warung yang buka hingga malam hari adalah warung angkringan untuk nongkrong sambil bertukar informasi setelah seharian lelah bekerja.
57
Selain sarana pendidikan formal, Desa Jambakan memiliki
saran
pendidikan informal yang terdiri dari tiga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Tiga PKBM tersebut adalah PKBM Dahlia dengan program Paket A, dan PKBM Harapan Bangsa dengan program keaksaraan fungsional berjalan mulai tahun 2006 berdasarkan bantuan dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Klaten. Dan ketiga adalah PKBM Tunas Bangsa yang membawahi Kelompok Bermain Tunas Bangsa untuk anak usia dini dan Kelompok Belajar Mekar Sari dengan Program Keaksaraan Fungsional yang berjalan atas bantuan Dinas Pendidikan Sub. Bagian Pendidikan Masyarakat pada Tahun 2007. Ketiga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat itu dikelola oleh ibu-ibu. Dalam menunjang kegiatan keagamaan di Desa Jambakan terdapat sembilan masjid dan satu langgar dalam kondisi yang baik dan terawat. Masjid atau langgar tersebut digunakan oleh masyarakat untuk ibadah shalat lima waktu, shalat jumat baik kaum laki-laki maupun perempuan, pengajian bergilir yang dilakukan oleh ibu-ibu setiap bulannya yaitu pada mingu legi. Masjid atau langgar di Desa Jambakan digunakan pula untuk kegiatan Taman Pendidikan Al-Quran bagi anak-anak dan remaja. Kegiatan olah raga yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jambakan adalah sepak bola dan bola voli yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki hampir tiap sore. Kegiatan olah raga tersebut ditunjang dengan lapangan voli dan sepak bola yang letaknya bersebelahan dengan balai desa. Fasilitas lapangan bulu tangkis adalah milik salah satu warga, tetapi dapat dipergunakan oleh siapa saja. Untuk kegiatan olah raga bulutangkis siapa saja bisa terlibat, namun sering kali kaum perempuan dan anak-anak mendapat porsi yang lebih sedikit. Keadaan jalan di Desa Jambakan sudah cukup baik. ini dikarenakan pada tahun 2007 terdapat pembangunan jalan berupa pembuatan talud, betonisasi, pengaspalan dan pembuatan saluran irigasi dari Program Pengembangan Kecamatan(PPK) dan Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) dari Departemen Pekerjaan Umum.
Akibat gempa pada tahun 2006, bangunan kantor Desa Jambakan
hancur. Sekarang ini kegiatan pemerintahan masih berada di Balai Desa yang terbuka. Pembangunan gedung baru telah dilakukan dan akan dilanjutkan ketika Anggaran Dana Desa sudah cair.
58
Untuk fasilitas kesehatan, awalnya Desa Jambakan hanya memiliki satu bidan desa yang bertempat tinggal di salah satu rumah warga. Namun, pada tahun 2007 berdasarkan bantuan dari AAI (Australian Aid International) telah dibangun Poliklinik Desa. Masyarakat desa dapat memeriksa kesehatannya atau melakukan pengobatan di poliklinik tersebut. Poliklinik tersebut sekaligus menjadi rumah dinas bidan desa Jambakan. Dalam kehidupan masyarakat desa Jambakan, kegiatan gotong-royong masih bisa ditemui pada waktu-waktu tertentu. Gotong-royong didefinisikan oleh masyarakat desa Jambakan adalah kebiasaan saling membantu antara masyarakat secara ikhlas tanpa digaji dan dipaksa. Jenis kegiatan gotong-royong di Jambakan pada saat ini adalah pada saat membangun jalan kampung, ketika ada tetangga yang ngedek-ne rumah (memasang kerangka rumah), kerja bhakti bersih desa, nyadaran awal puasa, membantu pesta pernikahan (sinoman), kesripahan (ada tetangga yang meninggal), sunatan dan perayaan adat yang lain. Kegiatan tersebut dilakukan berupa tenaga untuk membantu secara langsung maupun juga membantu dari sisi materi. Menurut salah seorang sesepuh desa Jambakan, pada masa lalu, masyarakat membangun apa saja dengan gotong-royong.
Masih kuat dalam
ingatannya,
Jambakan
banyak
proyek
pembangunan
masuk
ke
seperti
membangun SD Inpres, memindahkan rumah gedhek (rumah bilik nonpermanen), dan sebagainya. gotong-royong.
Kegiatan proyek tersebut dilaksanakan dengan
Tetapi pada saat ini, pengerjaan proyek pembangunan tidak
mungkin bisa dengan gotong-royong, karena pada masa lalu, masyarakat tidak mengetahui sejumlah anggaran proyek pembangunan, bahkan bisa jadi mereka tidak tahu apakah ada anggaran pembangunan dari pemerintah atau tidak, sedangkan pada saat ini mendapatkan informasi semacam itu sangatlah mudah, sehingga tidak mau kalau tanpa diupah.
Saldo yang dikelola bersama di
lingkungan tingkat RW dengan mekanisme kegiatan simpan pinjam. Misalnya di RW % punya saldo 78 juta (potongan dana RR). RR tahap I tiap RW 41 juta. RR tahap II per RW 33 juta, perkumpulan pemuda yang merantau ke Jakarta (JAMVATRO = Jambakan Van Metro) saldo Rp. 19 juta, juga perkumpulan PERSIMA (persatuan sinoman Marhaen) yang pernah punya omzet ratusan juta.
59
Di desa Jambakan, diperoleh keterangan bahwa aktivitas menyumbang besar adalah sebuah prestise. Misalnya ada iuran menggalang dana warga untuk perbaikan sarana prasarana desa, maka warga masyarakat yang mampu akan berlomba-lomba menyumbang.
Barangkali hal ini lebih dipicu ketika terjadi
bencana gempa dimana desa Jambakan juga termasuk salah satu desa yang parah kerusakannya, sehingga pada saat itu solidaritas untuk saling membantu sesama semakin muncul hingga saat ini. Pernah juga digalang secara swadaya iuran perbaikan jalan sebesar dua sak semen yang rumahnya di pinggir jalan dan satu sak yang rumahnya tidak di pinggir jalan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Lurah Joko melalui petikan wawancara sebagai berikut :
“.........warga Jambakan sini kalau ada program masuk mau ngasih bantuan rame-rame pengen dianggap miskin, dulu memang iya gengsi atau malu dikatakan miskin tapi sekarang orang rebutan dibilang miskin demi uang (527 penerima BLT yang sebenarnya tidak masuk kriteria miskin), bila didata untuk mendapat bantuan masing-masing memiskinkan diri semiskin-miskinnya, tetapi sebaliknya, kalau untuk menyumbang warga desa jor-jor an, berlomba-lomba menyumbang, yang bisa menyumbang besar kajen disini mba....”(Joko Hartana, 31 Tahun, Lurah Desa Jambakan)
60
PENGEMBANGAN KETAHANAN PANGAN LOKAL MELALUI PROGRAM AKSI MANDIRI PANGAN
Potensi dan Isu Strategis Ketahanan Pangan Lokal Kondisi sumberdaya manusia yang berupa pendidikan/pengetahuan, keterampilan, tenaga kerja dan kesehatan merupakan faktor terpenting dan utama dalam mengkaji ketahanan pangan masyarakat desa. manusialah
yang
mengatur,
mengontrol,
Hal ini dikarenakan
mengalokasikan
sumberdaya-
sumberdaya yang ada guna mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini kaitannya dengan sumberdaya manusia yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah pendidikan, frekuensi membaca berita, keikutsertaan dalam pelatihan usaha dan ketrampilan, dan jumlah kolega. Faktor pendidikan formal memang bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Terdapat faktor-faktor lain yang juga turut berpengaruh seperti tingkat keterampilan dan tingkat kesehatan. Pada keluarga-keluarga miskin di pedesaan dengan tingkat pendidikan yang umumnya rendah, faktor keterampilan dan kesehatan menjadi modal utama mereka untuk tetap dapat mencari pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa memiliki potensi sumberdaya manusia yang bisa dikembangkan.
Di desa Jambakan
misalnya terlepas dari semua kontroversial yang ada ketika proses pemilihan kepala desa berlangsung, bahwasanya saat ini Jambakan dipimpin oleh seorang kepala desa yang masih relatif muda, masih berumur 30 tahun, putra daerah asli Jambakan yang sudah sukses merantau di Jakarta yang diharapkan mampu mengelola pembangunan desa Jambakan. Modal sosial dipandang sebagai perekat yang membuat suatu sistem sosial dapat melanjutkan aktivitasnya, setiap anggota dari sistem sosial tersebut melaksanakan fungsi-fungsi tertentu sehingga pelaksanaan terhadap fungsi-fungsi tersebut akan membawa pada bekerjanya system sosial secara baik. Fungsi-fungsi ini terbentuk berdasarkan tata tertib yang ada pada sistem sosial tersebut.
61
Modal sosial berperan sangat penting agar fungsi-fungsi yang ada ini bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan dari system sosial yang telah ditetapkan (Wallace dan Wolf, 1991). Makna yang terkandung adalah bahwa seseorang bisa memperoleh berbagai manfaat atau sumberdaya baik berupa material maupun non-material dari orang lain sejauh ia dapat membina hubungan baik secara kelembagaan dengan orang tersebut.
Pada masyarakat pedesaan,
modal sosial seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, serta menjadi dasar bagi sistem jaringan pengaman sosial yang informal.
Bagi rumahtangga-rumahtangga miskin yang tidak
memiliki modal finansial yang memadai untuk menopang perekonomian keluarganya, modal sosial telah menjadi modal utama mereka untuk tetap dapat bertahan hidup. Perkembangan modal sosial di Indonesia tidak terlepas dari karakterisyik masyarakat Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang yang mempunyai kebiasaan dan tata cara dalam membentuk suatu sistem sosial. Kebiasaan dan tata cara masyarakat tersebut mengakar menjadi sebuah tradisi. Sikap saling peduli antar sesama sebagai bentuk solidaritas dalam suatu komunitas pada masyarakat di Indonesia telah menjdi tadisi yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Aktivitas gotong-royong merupakan suatu bentuk sikap salaing membantu dan bekerjasama dalam mewujudkan solidaritas pada suatu ikatan yang merupakan modal sosial terbentuk dalam masyarakat di Indonesia. Sikap lain yang dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan wujud dari norma sosial yang senantiasa berkembang dalam kehidupan di masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam aktivitas kehidupan di masyarakat yang senantiasa mengadakan musyawarah dalam suatu pengambilan keputusan. Adanya unsur kepercayaan antara individu yang berintegrasi dalam berbagai aktivitas yang dijalankan oleh masyarakat sangat terlihat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan juga oleh adanya unsur kepercayaan sebagai instrument yang penting dalam kegiatan transaksi dalam usaha simpan pinjam pada sebagian besar lembaga.
62
Penelitian ini menunjukan bahwa hubungan-hubungan dan transaksitransaksi ekonomi rumahtangga-rumahtangga miskin baik itu untuk kegiatan produksi maupun konsumsi, juga didasarkan pada modal kepercayaan. Dalam kegiatan ekonomi yang mencakup kegiatan produksi, konsumsi maupun distribusi, mereka sudah terbiasa meminjam atau memakai dulu segala sesuatu penunjang kegiatan dan akan dibayarkan atau dikembalikan ketika panen tiba atau ketika sudah punya kemampuan daya beli. Sebenarnya banyak petani yang memandang bahwa sistem yarnen ini merugikan mereka, karena mereka membeli saprotan dengan harga lebih tinggi dari harga pasaran, sedangkan hasil-hasil produksi pertaniannya mereka jual dengan harga yang lebih rendah dari harga pasaran. Meskipun demikian bagi mereka inilah satu-satunya transaksi yang paling rasional, dibandingkan jika mereka harus meminjam ke lembaga keuangan formal seperti halnya bank. Dalam kegiatan produksi, rumahtangga-rumahtangga miskin dan rawan pangan lebih mengandalkan proses-proses transaksi ekonomi dengan modal dasar kepercayaan. Misalnya kasus rumah tangga yang punya usaha tenun, mereka terbiasa mendapatkan bahan baku gadung terlebih dahulu dan membayarnya nanti. Pada pedagang pengumpul nya pun juga demikian, ketika ada yang menjual dan sedang dalam keadaan tidak punya uang maka mereka pun juga tidak keberatan untuk dibayar langsung. Hubungan seperti ini berlangsung terus menerus, melembaga dan menjelma menjadi ikatan yang lebih bersifat kekeluargaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa hampir seluruh rumahtanggarumahtangga miskin dan rawan pangan ketika dalam kondisi perekonomian rumahtangganya mengalami kesulitan, maka mereka pertama-tama mengandalkan warung kecil tetangganya untuk menghutang bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak meminjam dari saudara atau tetangganya yang terdekat, karena umumnya mereka pun dalam kondisi yang sama sulitnya dengan mereka. Fenomena seperti ini menunjukan bahwa peran dan fungsi warung-warung kecil di pedesaan bersifat ganda, selain berfungsi sebagai wadah ekonomi juga sebagai wadah sosial.
63
Mengingat
pentingnya
rumahtangga-rumahtangga
keberadaan
miskin
di
warung-warung
pedesaan,
maka
sudah
kecil
bagi
selayaknya
pemerintah untuk memperhatikan dan membantu warung-warung kecil tersebut. Jika pemerintah membantu warung-warung kecil di pedesaan yang memiliki peran dan fungsi ganda seperti di atas, maka secara tidak langsung pemerintah telah membantu meringankan rumahtangga-rumahtangga miskin dan rawan pangan di pedesaan. Pendek kata, warung-warung kecil di pedesaan telah menjadi semacam “lumbung paceklik” di jaman sekarang, terutama bagi rumahtanggarumahtangga miskin dan rawan pangan. Modal sosial lain yang juga sangat penting dalam mendukung perekonomian rumahtangga-rumahtangga miskin dan rawan pangan adalah jaringan sosial. Melalui jaringan sosial ini akan terbentuk pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non-materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan atau jasa. Penelitian ini juga menunjukan bahwa hubungan-hubungan sosial yang umumnya mewarnai masyarakat petani di pedesaan seperti halnya hubungan patron-client
masih ditemukan di desa penelitian.
Pada bidang
pertanian pola hubungan saat ini lebih diwarnai dengan hubungan rasional yang berdasarkan pada upah harian.
Meskipun demikian masih ditemukan adanya
hubungan-hubungan kepercayaan jika diamati secara lebih dalam, dimana hubungan tersebut pada dasarnya adalah untuk menjaga kepentingan antara patron dan client.
Hubungan antara buruh tenun sebagai client dengan bakul atau
pengusaha lokal sebagai patron menunjukkan hal demikian. Modal lain yang juga sangat menentukan kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas atau desa adalah modal sumberdaya alam. Modal sumberdaya alam yang dimaksud disini adalah persediaan sumberdaya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas udara dan perlindungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya. Ciri-ciri masyarakat Desa Jambakan yang bertipologi tegalan dataran rendah yang lebih keras dan terbiasa balak-blakan. Dari segi perilaku dan watak, masyarakat Desa Jambakan lebih terbuka dan keras. Kondisi tersebut dapat diamati secara langsung dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam diskusi-diskusi dalam pertemuan-pertemuan kelompok afinitas.
64
Kondisi ekologi yang berbeda secara nyata telah memberi corak, warna, serta rasa yang berbeda dalam aspek sosial-budaya di kedua desa penelitian tersebut.
Kondisi sumberdaya alam tidak hanya berpengaruh terhadap aspek
sosial dan budaya, melainkan juga pada aspek ekonomi dan politik. Pada aspek ekonomi, kondisi sumberdaya alam berpengaruh terhadap ragam atau jenis mata pencaharian masyarakat.
Bahwasanya upaya-upaya dan kepentingan warga
masyarakat desa untuk menciptakan kondisi ketahanan pangan yang baik bagi warganya tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dan bahkan seakan-akan tidak seiring sejalan dengan kepentingan pihak lain (institusi, perusaahaan) yang ada di desa tersebut. Tarik-menarik kepentingan ini bahkan pada tingkat tertentu dapat menimbulkan konflik yang besar dan berpotensi untuk menimbulkan jatuhnya korban jiwa pada kedua belah pihak. Dengan demikian, dalam upaya membangun sebuah desa yang sejahtera dan mandiri pangan jelas sangat dibutuhkan adanya kerjasama berbagai pihak pemangku kepentingan yang ada di desa tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di desa terlihat nyata bahwa kekuatan masyarakat desa sendiri belum cukup untuk membuat mereka mandiri dan sejahtera. Mengingat betapa kompleksnya permasalahan ketahanan pangan di tingkat pedesaan, maka dibutuhkan adanya dukungan, bantuan dan keberpihakan dari berbagai pihak (pemerintah daerah dan pusat, institusi swasta, LSM dan Perguruan Tinggi) untuk sama-sama bekerja sama dengan masyarakat desa di dalam memecahkan permasalahan tersebut. Tanpa adanya kerjasama seperti di atas, maka pengentasan permasalahan kerawanan pangan di pedesaan akan berjalan lambat dan bahkan dalam prosesnya bisa jadi berpotensi untuk menimbulkan beragam keresahan hingga konflik sosial. Modal selanjutnya yang juga mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan masyarakat sebuah desa adalah modal fisik yang dimiliki desa tersebut. Modal fisik yang dimaksudkan disini adalah infrastruktur dasar jalan, sarana penerangan (listrik), saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, serta akses terhadap komunikasi dan sebagainya.
65
Semakin baik modal fisik (infrastruktur) yang dimiliki oleh suatu komunitas atau desa, maka semakin mendukung terhadap upaya-upaya peningkatan ketahanan pangan masyarakat di komunitas tersebut.
Kondisi
infrastruktur dasar jalan di Desa Jambakan mengalami perbaikan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian, betonisasi jalan telah
dilakukan merata oleh pemerintah daerah setempat hingga ke pelosok-pelosok. Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur jalan desa, potensi fisik yang dimiliki diantaranya adalah berupa pembuatan talud panjang 1250 x 1 meter x 50 (lokasi sebelah utara balai desa) dengan dana PPK, betonisasi 800 meter x 2,5 meter (lokasi sebelah utara dukuh geneng dengan dana PPK), pengaspalan jalan lingkar desa seluas 1750 meter x 3 meter dengan dana dari DPU, memiliki jembatan satu buah dan sudah dilakukan perbaikan pemukiman (dana RRRehabilitasi Rekonstruksi gempa sejumlah 480 KK dari dana dana APBN dan bantuan Bank Dunia. Berdasarkan wawancara dengan pejabat desa, jalan-jalan tersebut dibangun sebagian besar dengan menggunakan dana swadaya masyarakat. Setelah adanya jalan tersebut banyak petani yang merasa diuntungkan, dimana mereka tidak lagi harus mengeluarkan biaya tinggi untuk mengangkut hasil-hasil sawah dan ladangnya. Setelah dibangunnya jalan yang melewati dusun-dusun, para pedagang pengumpul biasanya langsung datang dengan membawa mobil bak terbuka hingga ke lokasi sawah dan kebun-kebun milik masyarakat. Para petani hanya perlu mengangkut dan mengumpulkan hasil produksinya hingga sampai di pinggir jalan. Modal fisik lain yang terlihat adalah adanya anggota masyarakat yang memiliki mesin pertanian yang dikelola dengan disewakan berkeliling desa. Modal berikutnya yang juga mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan masyarakat sebuah desa adalah modal keuangan yang dimiliki desa tersebut. Modal finansial yang dimaksudkan disini adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang. Berdasarkan wawancara FGD yang dilakukan dalam penelitian ini diketahui bahwa desa memiliki saldo yang dikelola bersama di lingkungan tingkat RW dengan mekanisme kegiatan simpan pinjam.
66
Kasus seperti yang terjadi di desa Jambakan, diperoleh keterangan bahwa untuk di desa ini aktivitas menyumbang besar adalah sebuah prestise. Misalnya ada iuran menggalang dana warga untuk perbaikan sarana prasarana desa, maka warga masyarakat yang mampu akan berlomba-lomba menyumbang. Barangkali hal ini lebih dipicu ketika terjadi bencana gempa dimana desa Jambakan juga termasuk salah satu
desa yang parah kerusakannya, sehingga pada saat itu
solidaritas untuk saling membantu sesama semakin muncul hingga saat ini. Misalnya pernah digalang secara swadaya iuran perbaikan jalan sebesar 2 karung semen yang rumahnya di pinggir jalan dan satu karung yang rumahnya tidak di pinggir jalan. Berkaitan dengan sumber-sumber keuangan desa khususnya di desa Jambakan sebagian besar diperoleh dari potongan-potongan bantuan yang masuk ke desa.
Berdasarkan wawancara diperoleh keterangan misalnya telah
dikembangkan mekanisme kas desa per RW. Akses dana kas masing-masing RT dibagi 12 juta, dana tersebut dikelola untuk simpan pinjam dengan bunga 2 persen per bulan selama 4-5 bulan.
Untuk dana kas desa yang bersumberkan dari
bantuan-bantuan pemerintah misalnya ada RW yang punya saldo 78 juta (diambilkan dari potongan dana RR). RR tahap I tiap RW 41 juta. RR tahap II per RW 33 juta. Di Jambakan juga pernah ada perkumpulan pemuda yang merantau ke Jakarta dan sekitranya dan bernama JAMVATRO (Jambakan Van Metro) yang pernah punya saldo kelompok 19 juta dengan cara Iuran dipungut dari 74 orang dengan ketentuan 70 ribu/bulan untuk yang domisili di kota dan 10 ribu/bulan yang domisili di desa. Bantuan-bantuan yang masuk ke desa Jambakan antara lain : RR gempa, Infrastruktur desa, mapan, raskin, Bos, Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 63 juta, PPK (Program Pengembangan Kecamatan) sebesar 47 juta, bantuan bupati 60 juta, bantuan PLS (pendidikan Luar Sekolah), dan PAUD (pendidikan anak usia dini).
Beragam potensi dan isu strategis dalam
pengembangan ketahanan pangan lokal disajikan pada tabel 5.
67
Tabel 5. Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal No
Uraian
1.
Sumberdaya alam Pertanian tadah hujan, tidak ada sumber mata air, (lingkungan) kemarau kering, pola tanam : padi-palawija-palawija
2.
Pendidikan warga Sebagian tamat SLTA
3.
Peluang berusaha Buruh tani/ penggarap, buruh tenun, bangunan, warungan dan kerja Keterbatasan pertanian maka banyak merantau menjadi buruh bangunan dan jasa serta membuka warung hek
4.
Sarana-prasarana Pembuatan talud dengan dana PKK, betonisasi, aspal. Adanya peralatan mesin pertanian yang dikelola dan disewakan berkeliling desa
5.
Kelembagaan
Sistem “maro” dalam pertanian, kas RT/RW, arisan, lumbung, dan paguyuban Jamvatro
6.
Politik
Konflik masyarakat dalam pemilihan kepala desa, kepentingan aktor “elite” desa dan atas desa dalam program mapan
Deskripsi Program Aksi Mandiri Pangan
Berdasarkan rencana kerja dinas pertanian dan pertanaman pangan di Kabupaten Klaten sampai tahun 2007 ada empat desa, yaitu Jambakan dan Nengahan di kecamatan Bayat, serta desa Glagah dan Puluhan di kecamatan Jatinom, yang menjadi sasaran program aksi desa mandiri pangan. Secara keseluruhan, program aksi mandiri pangan meliputi empat tahapan pelaksanaan,
yaitu
tahap
persiapan,
penumbuhan,
pengembangan
dan
kemandirian. Tahapan ini dalam perencanaannya memerlukan waktu 4 tahun untuk mengarah kemandirian masyarakat yang menjadi sasaran program. Jumlah penduduk dan prosentase keluarga miskin di lokasi pelaksanaan program mapan kabupaten Klaten disajikan dalam tabel 6 berikut ini.
68
Tabel 6. Jumlah Penduduk dan Prosentase Keluarga Miskin di kabupaten Klaten Tahun 2006 Desa
Jumlah Penduduk (jiwa)
Jumlah KK
Jumlah KK Miskin (%) 448 (42,2%)
Desa Glagah, 4.704 1.061 Kecamatan Jatinom Desa Jambakan, 2.721 674 504 (74,7%) kecamatan Bayat Desa Nengahan, Kecamatan 1.415 392 332 (75%) Bayat Desa Puluhan, 2.607 648 398 (52 %) Kecamatan Jatinom Sumber : Dinas Pertanian dan Pertanaman Pangan Kabupaten Klaten tahun 2008
Tahapan-tahapan Pelaksanaan Program Aksi Mandiri Pangan adalah sebagai berikut :
a. Tahap Persiapan (tahun pertama)
Tahap persiapan dilaksanakan pada tahun pertama selama satu tahun dengan kegiatan-kegiatan seleksi lokasi, sosialisasi program, pendampingan, penyusunan data dasar desa, pelatihan, pemberdayaan kelompok afinitas dan penyusunan rencana pembangunan desa mandiri pangan partisipatif. Penjelasan mengenai kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Seleksi lokasi, Seleksi dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten, Kecamatan, dan Desa. Ditetapkan dengan SK Bupati Klaten No. 832 Tahun 2006 tanggal 13 Maret 2006 tentang penetapan lokasi desa Program peningkatan kesejahteraan petani yaitu Desa Jambakan Kecamatan Bayat dan Desa Glagah Kecamatan Jatinom di Kabupaten Klaten. 2. Sosialisasi Program, dilakukan untuk menyamakan persepsi tentang desain program aksi desa mandiri pangan dan rencana implementasi kegiatan untuk stakeholder. Pelaksanaannya dilakukan pada tanggal 4 Mei 2006 bertempat di Aula Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, dengan mengundangnya anggota dewan ketahanan pangan Kabupaten Klaten
69
3. Pendampingan. Pendampingan dilakukan dalam hal manajemen dan teknis pengelolaan usaha yang meliputi kelengkapan adsministrasi kelompok afinitas (AD/ART), memberikan motivasi kegiatan kelompok (menabung, arisan), dan juga motivasi pemupukan modal dari dalam anggota (simpanan pokok/wajib) serta pendampingan dalam pertemuan rutin kelompok 4. Penyusunan Data Dasar Desa. Dari hasil pendataan diperoleh 504 KK miskin, potensi (sumber daya alam/sumber daya manusia) yang bisa dikembangkan adalah Peternakan khususnya kambing, Home Industri ( tenun lurik /ATBM ), dan Usaha perdagangan ( angkringan, dagang sayur ) 5. Data ini digunakan untuk mengidentifikasi lapangan pekerjaan rumah tangga yang berpenghasilan rendah dan melihat pengembangan potensi sumber daya manusianya, mengidentifikasi komposisi anggota rumah tangga yang berpenghasilan rendah, mengetahui karakteristik tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Hasil SRT dapat ditemukan data base masyarakat miskin di Kabupaten Klaten yang layak untuk mendapat program ini, yang nantinya akan di ikut melalui kelompok afinitas, dengan melihat potensi usaha yang dapat dikembangkan 6. Pemberdayaan kelompok Afinitas. Kelompok afinitas adalah kelompok yang keanggotaan kelompoknya yang diikat dengan rasa kesatuan dan kebersamaan oleh jaringan persahabatan dan terbentuk tiga kelompok afinitas yaitu : Kelompok Mekarsari (Kain lurik ATBM), Kelompok Subur (Aneka Usaha), Kelompok Trijaya Perkasa (Ternak Kambing) 7. Pemberian Makanan Tambahan untuk Ibu hamil, ibu menyusui dan balita. Dengan tujuan terpenuhinya gizi yang cukup bagi ibu hamil, ibu menyusui dan balita serta pemanfaatan produk pangan lokal dan terlaksananya diversivikasi pangan. 8. Penyusunan Rencana Pembangunan Desa Mandiri Pangan Partisipatif Membuat hasil perumusan bersama stakeholder atas tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang diinginkan sesuai dengan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dan bagaimana caranya untuk bisa mencapai tujuan tersebut melalui teknik PRA.
70
Kegiatan yang dirancang berdasar potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, serta nilai-nilai sosial budaya setempat. Program aksi mandiri pangan bertujuan untuk memperkuat dan mengembangkan kelembagaan yang sudah ada. Untuk usulan kegiatan di Desa Jambakan pada kelompok afinitas yan terbentuk yaitu : kelompok Mekarsari dengan usaha kain lurik ATBM sebesar Rp. 30,250 jt, kelompok Subur dengan usaha warung angkringan, menjahit, dan lain-lain sebesar Rp. 25 jt, dan kelompok Trijaya Perkasa dengan usaha ternak kambing sebesar Rp. 24,750 jt. Jenis kegiatan, waktu pelaksanaan dan pencapaian hasil program aksi mandiri pangan pada tahap persiapan diuraikan pada tabel 7.
Tabel 7. Tahap Persiapan Program Mandiri Pangan di Desa Jambakan Tahun 2006 No Kegiatan
Waktu
Hasil
1
Sosialisasi Program
April
2
Survey DDRT 2 desa
Maret- April
Terciptanya pemahaman tentang Desa Mapan Hasil dari DDRT untuk Desa Jambakan : Jumlah KK Miskin : 504 KK (74.7%)
3
Survey SRT
April - Mei
4
Pembentukan kelompok Juni afinitas
5
Pemberian Makanan Juli Tambahan untuk Ibu Desember hamil, ibu menyusui dan balita Agustus Melaksanakan perencanaan partisipatif September Desa Jambakan dalam bentuk RUK dan telah diajukan ke Dinas Pertanian
6
Ditemukan data base masyarakat miskin yang layak untuk mendapat program ini, yang nantinya akan di ikat melalui kelompok afinitas, dengan melihat potensi usaha yang dapat dikembangkan. Terbentuknya 3 kelompok Afiniatas. Desa Jambakan, Bayat : Kelompok Mekarsari (Kainlurik ATBM), Kelompok Subur (Aneka Usaha), Kelompok Trijaya Perkasa (Ternak Kambing) - Terpenuhinya gizi yang cukup bagi ibu hamil, ibu menyusui dan balita serta pemanfaatan produk pangan lokal dan diversifikasi pangan mulai terlaksana - Kegiatan yang dirancang berdasar potensi (SDA, dan SDM) yang ada, sosial budaya setempat serta memperkuat dan mengembangkan kelembagaan yang sudah ada. Usulan kegiatan di Desa Jambakan : Mekarsari ( Kainlurik ATBM 30,250 jt) Subur (Aneka Usaha 25 jt), Trijaya Perkasa (Ternak Kambing 24,750 jt)
71
b. Tahap Penumbuhan ( Tahun Kedua) Tahap
Penumbuhan
dilaksanakan
pada
tahun
kedua
dengan
menitikberatkan pada penguatan kelembagaan aparat (melalui penumbuhan pemahaman kepada penyuluh dan aparat yang menangani ketahanan pangan tingkat propinsi atau kebupaten tentang pentingnya program aksi mandiri pangan), penguatan kelembagaan masyarakat (melalui pemberdayaan kelompok afinitas dan lembaga usaha ekonomi pedesaan) dan pemberdayaan kelembagaan pelayanan masyarakat (dilakukan dengan memperkuat organisasi masing-masing kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya melalui pembenahan administrasi dan mekanisme pelayanan.
Lembaga pelayanan yang dimaksud
misalnya; posyandu, PKK, dasawisma, lumbung pangan, koperasi, pasar, perbankan dan lain-lain). Fasilitasi dari pemerintah yang dilakukan oleh instansi/lembaga terkait dengan program aksi mandiri pangan meliputi; pelatihan yang diikuti oleh kelompok afinitas dan lembaga-lembaga lain yang telah ada dan berkembang di masyarakat, pendampingan yang bertujuan untuk penguatan kelembagaan masyarakat dan kelompok afinitas, perbaikan sarana prasarana di on farm maupun off farm, penguatan modal usaha yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kelompok dalam mengelola kegiatan dan keuangan, mengakses permodalan dan mengembangkan usaha pertanian dan non pertanian), harmonisasi sistem ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi, dan konsumsi) yang harus dilakukan secara berkesinambungan, sampai terwujudnya kemandirian pangan masyarakat di tingkat desa. Berdasarkan buku pedoman umum pelaksanaan program Mapan, terdapat beberapa bentuyk kegiatan yang dilakukan sesuai dengan fasilitas yang diberikan seperti yang sudah disebutkan diatas, diantaranya adalah : pertama, penumbuhan kelembagaan aparat (Pemberdayaan Penyuluh dengan cara menumbuhkan pemahaman kepada penyuluh tentang pentingnya program aksi desa mandiri pangan dan menumbuhkan pemahaman kepada aparat yang menangani ketahanan pangan tingkat Propinsi dan Kabupaten tentang pentingnya program aksi desa mandiri pangan.
72
Kedua, penguatan kelembagaan masyarakat, yang meliputi beberapa kegiatan yaitu, pemberdayaan kelompok Afinitas (melalui peningkatan kapasitas para anggota kelompok baik dibidang organisasi maupun dalam penumbuhan usaha/bidang teknis, dan melalui pelatihan oleh aparat ditingkat kabupaten dan fasilitasi tenaga pendamping). Kemudian pemberdayaan lembaga usaha ekonomi pedesaaan (Identifikasi dan pengembangan potensi usaha produktif, Pemupukan modal
usaha,
Penyusunan
kewirausahaan,teknis,
rencana
manajemen,
usaha
Pembinaan
kelompok/RUK,
Pelatihan
kegiatan
ekonomi
usaha
produktif). Kegiatan selanjutnya adalah pemberdayaan kelembagaan pelayanan (dengan menumbuhkan dan mengembangkan lembaga pelayanan masyarakat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan masyarakat, yang terdiri dari : Lembaga pelayanan usaha ekonomi produktif seperti : lumbung pangan, koperasi, pasar, perbankan, dan jasa lainnya serta Lembagaan pelayanan pangan dan gizi, seperti : posyandu, PKK, Dasa wisma, pelayanan kesehatan dengan melakukan penguatan organisasi masing-masing kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya melalui pembenahan administrasi dan mekanisme pelayanan) Kegiatan berikutnya adalah pembentukan Kelompok Afinitas yang dilakukan setelah DDRT dan SRT untuk kemudian bisa ditemukan masyarakat miskin.
Kelompok Afinitas sebagai wadah berorganisasi masyarakat dengan
mempertimbangkan potensi – potensi yang ada dalam desa tersebut. masing-masing kelompok harus mengadakan pertemuan Kelompok.
Pada
dan Pendampingan
Dengan difasilitasi oleh pendamping kegiatan penting setelah
kelompok terbentuk adalah pertemuan kelompok, karena dengan pertemuan kelompok inilah perencanaan dan kegiatan anggota dilakukan, dengan menghasilkan keputusan tentang : penetapan kepengurusan kelompok afinitas, penetapan AD/ART kelompok afinitas, pembuatan proposal dan RUK kelompok afinitas, pembuatan profil kelompok afinitas.
Tabel 8 menguraikan berbagai
kegiatan program aksi mandiri pangan pada tahap pertumbuhan di Desa jambakan tahun 2007.
73
Tabel 8. Kegiatan Program Mapan Tahap Pertumbuhan di Desa Jambakan 2007 No Kegiatan
Waktu
1
per bulan
Pembinaan
Hasil
kelompok
• • •
2
Pelatihnketrampilan Mei 2007
diversifikasi
produksi pangan 3
Pembenahan
Adanya kegiatan rutin kelompok afinitas setiap bulan Terciptanya kelembagaan kelompok yang kuat Meningkatnya wawasan dan pengetahuan anggota kelompok bertambahnya variasi produksi olahan pangan mengoptimalkan pemanfaatan potensi desa yang ada bertambahnya pendapatan kelompok mempunyai administrasi keuangan yang sesui
Per bulan
Februari- April
•
Data base
Juli 2007
Semua kelompok telah menerima dana PMUK. Jumlah anggota yang menerima dana PMUK Desa Jambakan sebanyak 60 orang = 80 jt
Administrasi kelompok 4
Pendataan rumah Tangga anggota kelompok afinitas
5
Pencairan dan PMUK
c. Tahap Pengembangan. Tahapan pelaksanaan program pada tahun ketiga dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun melalui pengembangan kapasitas masing-masing lembaga sesuai dinamika dan peluang yang ada, seperti lembaga masyarakat (melalui pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana, peningkatan skala usaha dan diversifikasinya untuk kelayakan pendapatan secara ekonomi serta penerapan teknologi untuk perbaikan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan pangan). Dalam tahap pengembangan ini juga mengembangkan gerakan konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman serta pengembangan sistem pemantauan, deteksi dan respon dini kerawanan pangan melalui lembaga pelayanan
masyarakat.
Selanjutnya,
pemberdayaan
masyarakat
dengan
pendampingan yang terus dilaksanakan pada tahap pengembangan kepada kelompok-kelompok afinitas melalui usaha-usaha kemitraan.
74
d. Tahap Kemandirian Tahap kemandirian adalah tahap di tahun keempat, dimana pada tahap ini kemandirian masyarakat desa akan ditandai dengan; (1) meningkatnya peran masyarakat dalam penyediaan dan distribusi pangan, (2) meningkatnya kemampuan
kelompok
afinitas
dalam
melakukan
kegiatan
usaha,
(3)
meningkatnya kemandirian kelembagaan ketahanan pangan di pedesaan, (4) meningkatnya jaringan kemitraan usaha dan lembaga keuangan/bank, (5) meningkatnya peran tim pangan desa sebagai penggerak pembangunan ketahanan pangan. Pada hakekatnya kemandirian adalah Kesadaran/kemampuan
untuk
mengembalikan kedaan ke normal setelah terjadinya suatu tekanan, gejolak, atau bencana. Dalam konteks program aksi mandiri pangan ini yang digolongkan sebagai Desa Mandiri Pangan adalah desa yang masyarakatnya : 1. Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi dengan memanfaatkan potensi sumberdaya setempat; 2. Mampu memperkecil resiko kemungkinan terjadinya penurunan ketahanan pangan karena berbagai sebab (ekonomi, alam); 3. Mampu memberikan manfaat bagi desa-desa lain di sekitarnya.
Implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan Melalui Program Desa Mandiri Pangan diharapkan desa mampu memproduksi dan memenuhi produk-produk pangan yang dibutuhkan masyarakat dengan unsur-unsur pendukungnya sehingga dapat mengurangi kerawanan pangan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif pemecahan masalah serta memanfaatkan sumber daya alam secara efisien sehingga tercapai kemandirian. Beberapa tujuan dilaksanakannya Program Desa Mandiri Pangan yang pertama adalah untuk mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dengan memberikan kemampuan dan peran yang lebih besar kepada masyarakat desa.
75
Kedua, memfasilitasi keterlibatan masyarakat yang lebih luas pada tingkat paling bawah di desa. Ketiga meningkatkan peran Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pemerintah desa secara terkoordinasi. Keempat adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran utama dari program Desa Mandiri Pangan ini adalah masyarakat miskin yang telah memiliki usaha baik dalam bidang pertanian ataupun jasa dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, penguatan kelembagaan dan sistem ketahanan pangan yang terdiri dari subsistem produksi, distribusi dan konsumsi. Tahun pertama adalah tahap persiapan, merupakan bagian dalam tahap perencanaan. Tahap Persiapan ini terdiri dari seleksi lokasi melalui data dasar rumah tangga, sosialisasi program antar stakeholder, recruitmen pendamping, survey rumah tangga untuk melihat potensi masyarakat, pembentukan kelompok afinitas, Tim Pangan Desa (TPD) dan Lembaga Keuangan Desa (LKD). Di Desa Jambakan, pendamping berasal dari non aparat (perguruan tinggi dan LSM). Kedua pendamping tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan dan keduanya tidak berasal dari desa setempat. Pendamping terpilih kemudian melakukan sosialisasi di tingkat desa. Selain itu, pendamping melakukan survey data dasar rumah tangga (DDRT) untuk mengetahui masyarakat mskin yang ada. Pendamping juga melakukan survey rumah tangga (SRT) untuk mengetahui potensi lokal yang ada sehingga dapat dikembangkan dalam kelompok. Kemudian akan diperoleh desa dengan persentase KK miskinnya lebih dari 30 persen, lalu di masing-masing desa yang terpilih sebanyak 60 KK miskin diacak untuk dipilih sebagai penerima dana mapan periode pertama. Sebelum membentuk kelompok afinitas, dibentuk terlebih dahulu Tim Pangan Desa yang berjumlah lima orang. Tim Pangan Desa terdiri dari dua orang aparat desa, satu orang tokoh masyarakat, satu orang perwakilan masyarakat miskin dan ketua tim penggerak PKK. Tim Pangan Desa ini nantinya akan menggantikan peran pendamping setelah tahun kemandirian atau program berakhir.
76
Dalam proses pembentukannya, Tim Pangan hanya didasarkan atas penunjukkan dari Kepala Desa. Tim Pangan yang berjumlah lima orang terdiri dari empat orang laki-laki dan satu orang perempuan. Satu orang perempuan tersebut merupakan ketua tim penggerak PKK yang tidak lain adalah Istri Kepala Desa ( yang sedang menjabat). Selain Tim Pangan Desa, juga dibentuk Lembaga Keuangan Desa (LKD). LKD ini nantinya berfungsi untuk menggulirkan dana bantuan tersebut, pada tahun keempat setelah semua anggota mengembalikan dana pinjaman dalam kelompok. Setelah dana diterima oleh LKD pada tahun keempat, dana tersebut digulirkan kepada masyarakat yang belum menjadi anggota. Karena di Desa Jambakan telah terdapat koperasi, yang sudah resmi berbadan hukum dari tahun 2006 yaitu koperasi MP maka LKD dikelola oleh koperasi tersebut. Pengurus LKD berjumlah tiga orang dan semuanya terdiri dari laki-laki. Pada tahun keempat, tugas pendamping digantikan oleh TPD dan LKD, sehingga menjadi tugas pendamping pula untuk mempersiapkan kedua kelembagaan tersebut. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam wawancara penelitian sebagai berikut : ”.......Tahun ke empat tiap kelompok mengembalikan tiga ekor kambing ke LKD, satu ke kelompok, jika sudah nda ada pendamping lagi yang ngopyak-ngopyak ya LKD dan TPD bila ada yang anggota yang mletho........”(AF, 40 tahun, kasi Ketahanan pangan Dinas Pertanian Klaten)
Berdasarkan hasil survey rumah tangga, potensi usaha yang dapat dikembangkan di Desa Jambakan secara umum didapat digolongkan kedalam tiga kategori jenis usaha. Ketiga jenis usaha yang dijalankan masyarakat yaitu tenun, ternak kambing dan jasa (warung, kelontong, angkringan dan menjahit). Pendamping bersama Tim Pangan Desa memutuskan untuk membentuk tiga kelompok, yaitu kelompok tenun, kelompok ternak kambing dan kelompok aneka usaha sesuai dengan survey rumah tangga. Dengan pertimbangan bahwa pendamping tidak berasal dari desa setempat, maka pemilihan anggota kelompok yang akan menerima bantuan masih kuat berdasarkan penunjukkan karena hanya dipercayakan kepada Tim Pangan Desa.
77
Hal ini seperti disampaikan oleh Ery sebagai berikut :
”......perekrutan anggota afinitas, masih ada penunjukkan, perangkat desa terlibat dalam tim pangan desa dan pengurus kelompok (misalnya pak dwi setyanto, pak sagimin, pak bayan tri).....” (Ery, 35 tahun, pendamping program Mapan)
Berdasarkan pedoman pelaksanaan program Mapan, dalam pembentukan kelompok seharusnya sasaran utama yang menjadi anggota adalah KK miskin, tetapi dalam tiga kelompok yang ada, anggota dipilih berdasarkan hubungan kekerabatan dengan aparat desa. Alasannya adalah karena telah mengetahui karakter individu tersebut dan lebih mudah mengaturnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh salah satu anggota Tim Pangan Desa berikut ini:
”...........Anggota kelompok kambing itu saya yang mengurusi, termasuk Pak Carik yang jadi ketua saya juga yang milih, abis kasian masa temen sendiri gak diajak. Diakan gak ikut jadi tim pangan, yo wis saya masukin aja jadi ketua kelompok. Saya milihnya yah yang deket-deket aja sama saya, lagian ngapain juga ngurusin orang yang yang gak kenal, apalagi jauh kayak dukuh Jaten repot ngurusnya. Kan kalo yang deket gampang dihubunginya. Tinggal ngubungin satu orang ntar smuanya tau. Kalo tenun, istri saya tuh sama bu mantan (anggota TPD) yang ngurus. Untuk aneka usaha, itu bagian mbah modin.........” (TR, 38 tahun, anggota Tim Pangan Desa).
Selain anggota tiga kelompok tersebut dipilih atas dasar hubungan kekerabatan, ada pula dalam satu KK yang masuk ke dalam dua kelompok. Padahal seharusnya yang menjadi prioritas adalah KK miskin. Berdasarkan hasil penelitian, pendamping juga baru menyadari setelah program berjalan dan tidak bisa berbuat banyak. Menurutnya, terjadi duplikasi tersebut karena salah satu dari anggota KK tersebut menggunakan alamat yang berbeda. Sebagaimana yang disampaikan pendamping berikut ini:
”.....Awalnya saya dan Mas Eri sudah wanti-wanti ke tim pangan desa, jangan sampai ada yang dobel. Setelah program berjalan, kita baru sadar ada anggota kelompok yang ternyata tuh suami istri. Pas dicek ternyata istrinya pake alamat yang beda dengan K......” (RK, 32 tahun, Pendamping Program Mandiri Pangan).
78
Untuk kelompok tenun dipilih anggota yang terdiri dari perempuan sebanyak 25 orang. Hal tersebut karena, keterampilan tenun merupakan keterampilan yang dimiliki oleh perempuan. Kedua adalah kelompok ternak kambing beranggotakan sebanyak 15 orang laki-laki. Ini dikarenakan yang melakukan usaha ternak adalah laki-laki. Kelompok yang ketiga adalah kelompok Aneka Usaha, beranggotakan sebanyak 20 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hal ini karena usaha yang dikembangkan dapat dilakukan oleh lakilaki ataupun perempuan. Jumlah anggota tiap kelompok tersebut didasarkan atas kesepakatan
antara
mempertimbangkan
pendamping jumlah
dana
dengan
tim
bantuan
yang
pangan akan
desa
dengan
digulirkan
untuk
pengembangan modal mereka. Pemilihan anggota kelompok yang hanya didasarkan pada hubungan kekerabatan semata membuat beberapa anggota kelompok salah sasaran. Selain ada duplikasi anggota dalam satu KK, ada juga beberapa anggota tim pangan desa yang menjadi anggota kelompok. Dalam hal penentuan pengurus kelompok juga didasarkan atas penunjukkan oleh aparat desa. Ada anggota tim pangan desa yang mengikutsertakan kerabatnya sebagai penerima dana Mapan, walaupun angota tim pangan desa adalah anggota masyarakat setempat yang telah lebih sejahtera dan telah berhasil dalam kehidupan dan perekonomiannya, karena nantinya tim pangan desa yang akan mendampingi masyarakat dalam mengelola program. Pembentukan kelembagaan penunjang program merupakan fase awal pemberdayaan
supaya
masyarakat
miskin
mempunyai
kebebasan
untuk
membentuk dan beraktivitas dalam kelompok yang diinginkan, tetapi dalam kenyataannya terjadi proses pembentukan kelompok yang dipaksakan. Kelembagaan penunjuang program mapan yang dibentuk adalah kelompok afinitas, tim pangan desa dan lembaga keuangan desa. Dalam pembentukannya terjadi kerancuan dalam beberapa hal. Kerancuan yang terjadi selain seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa ada anggota keluarga tim pangan desa yang mendapat bantuan adalah adanya anggota tim pangan desa yang justru sebagai penerima dana, dan kebetulan beliau ini juga aparat desa. Kesemua proses ini dengan sepengetahuan pendamping ataupun pejabat dinas pertanian yang bertugas pelaksana/penanggungjawab kegiatan.
79
Hal ini menunjukkan lemahnya atau tidak berdayanya peran pendamping maupun jajaran pemerintah yang lainya (yakni dinas pertanian kabupaten) terhadap praktek interes pribadi yang dilakukan aparat pemerintah desa. Masih berlakunya sikap paternalisme yang kuat (hubungan patron client antara elit desa dengan masyarakat) adalah permasalahan tersendiri. Aturan perguliran dan pengelolaan dana mapan diserahkan kepada kelompok masing-masing dengan tetap berpedoman pada aturan pelaksanaan yang telah ditetapkan. Setiap kelompok diharuskan membuat AD/ART, yang akan menjadi dasar tertulis pelaksanaan program.
Banyak diantara anggota
kelompok yang menganggap dana mapan sebagai dana hibah atau “dihibahkan” saja, sama statusnya dengan program-program yang sebelumnya juga demikian terjadinya. Hal ini seperti dikemukakan oleh bu carik dalam petikan wawancara sebagai berikut :
“........ada kabar burung mba katanya orang-orang kelompok aneka usaha dan tenun bantuan mapan nda usah bergulir atau tidak usah dibalikin, lha ini kan uang Negara mba, jadi nda usah dibalikin, aturanmya tidak jelas, kalau sudah bergulir dan sudah pok utange uangnya kembali ke kelompok penerima sebelumnya atau digulirkan ke kelompok lain yang belum mendapatkan pinjaman ..…” (bu Carik, ketua PKK dan anggota kelompok TriJaya Perkasa)
Berkaitan tentang ketidakjelasan aturan pelaksanaan teknis program mapan sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok afinitas sebagai pemangku program pada tingkat desa, tetapi juga pada tingkat kabupaten, maupun juga pendamping program.
Pasca pilkades di desa Jambakan yang diwarnai
berbagai bentuk ketidakpuasan terutama dari kelompok yang pilihannya kalah menyisakan permasalahan tersendiri.
Disisi lain, hal ini bisa menjadi
pembelajaran dan pengalaman tersendiri yang menuntut kreativitas selaku penanggungjawab kegiatan dalam menyelesaikan perselisihan serta pengambilan keputusan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Salah satu kasus misalnya
tentang perubahan keanggotaan yang tidak diatur mekanismenya apabila akan dilakukan pergantian anggota yang dikarenakan habisnya masa jabatan atau karena alasan meninggal.
80
Tidak adanya kejelasan mengenai sejauh mana tingkat kabupaten memiliki wewenang dalam hal melenturkan berbagai aturan yang sudah diatur dari pusat dalam konteks menyesuaikan dengan dinamika sosial politik desa. Hal seperti yang diungkapka oleh kepala seksi ketahanan pangan Kabupaten Klaten Anna Fajriah sebagai berikut :
”.....Jambakan tuh gimana ya mba, unik masyarakatnya, setiap ada pilihan pasti geger, imbasnya ke program mapan sangat nyata, pasca pilkades kelompok afinitas yang sudah dibentuk jadi porak poranda, karena dalam satu kelompok bisa ada dua kubu, tapi berkat pembimbingny yang melakukan pendekatan kekeluargaan, person per person, kalau ada pertemuan disetting dengan cara melihat situasi seperti apa, kalau perlu beberapa orang jangan datang dulu, memberi pengertian misalnya ada pak lurah nda diundang supaya tidak tersinggung dengan cara memberi pengertian, sehingga bisa ditumbuhkan lagi, ada anggota kelompok yang gontok-gontokan dengan tim pangan desa meminta bu Yeni (anggota TPD, bu mantan lurah) mau nya diganti oleh Bu Carik (yang bertindak sebagai bu lurah karena lurah yang baru terpilih masih bujangan) tapi sudah keluar SK jadi tidak bisa diganti, juga di kelompok kambing ada yang meninggal nda bisa diganti karena sudah ada nomor induk di Jakarta, untuk pertemuan saja susah termasuk dalam menentukan tempat pertemuan, untuk mengikis luka-luka butuh waktu lama mba, terutama oleh mantan dan para pendukungnya. Pernah juga kita manggil kelompok penerima bantuan, bu mantan hadir dan pak carik tidak mau menyalami bu Yeni (bu mantan tersebut) padahal semua yang hadir disalami. Saya tuh hampir saja melapor ke pemilik program diatas karena khawatir dengan yang terjad pada program mapandi Jambakan.... ” (AF, 40 tahun, kasi Ketahanan pangan Dinas Pertanian Klaten)
Apabila memiliki cukup keberanian, pihak dinas kabupaten pada dasarnya berwenang untuk dapat mengambil keputusan taktis jika diperlukan mendesak. Akan tetapi sikap yang ditunjukkan justru sebaliknya, terlalu berhati-hati dalam mengimplementasikan aturan program dan sedikit banyak sikap ini merugikan kelompok afinitas serta cenderung memaksakan beberapa keinginan dinas yang mengatasnamakan aturan program (catatan: kasus kelompok ternak kambing yang mengharuskan membeli bibit betina semua). Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, dinas pertanian terutama sie ketahanan pangan berdiri memiliki kepentingan tertentu melalui program mapan ini (catatan: adanya rencana sie ketahanan pangan akan menjadi kantor tersendiri yaitu kantor katahanan pangan).
81
Sementara itu, mengenai tidak mendetilnya aturan pelaksanaan program Mapan menurut Ery Karyadi, pendamping program yang juga aktif di LSM Bina Swadaya Klaten serta sudah cukup berpengalaman mendampingi program pemberdayaan masyarakat melalui dana bergulir, melihat hal tersebut sebagai kelebihan dari program mapan dibanding program-program sebelumnya. Artinya, pemangku kegiatan dalam program Mapan mendapatkan kebebasan dengan tetap bertanggungjawab untuk mengembangkan usaha yang didanai oleh program ini. Seperti yang disampaikannya berikut ini :
”..........kelebihan mapan menurut Saya adalah mengenai aturan yang dipersilahkan kepada anggota masing-masing kelompok untuk membuat sendiri, termasuk jenis usaha yanng akan dilakukan, pengalaman program pemerintah yang masuk sudah dengan aturan-aturan yang detil kebanyakan hanya berjalan sekali periode saja, jadi diharapkan mapan ini jadi pijakan program yang berhasil....” (Ery, 35 tahun, pendamping program Mapan Desa Jambakan)
Adanya ikatan/kohesivitas/perasaan senasib sepenanggungan sesama anggota didalam suatu kelompok adalah sangat penting peranannya. Penunjukkan pengurus dan anggota kelompok dilakukan oleh aparat desa dan berdasarkan hubungan kekerabatan. Kemudian penunjukkan siapa saja yang menjadi angota juga ada intervensi dari ketua kelompok dan aparat sehingga dalam satu kelompok bercampur antara KK miskin dan tidak miskin, yang menyebabkan berbenturanlah banyak kepentingan disana.
Masyarakat miskin selalu “tidak berdaya”
menghadapi lapisan yang lebih kuat dan ini merupakan bentuk masalah struktural yang terjadi di masyarakat pedesaan. Pada tahap pelaksanaan program terdiri dari sosialisasi di tingkat komunitas, penumbuhan kelompok afinitas, pendampingan dan perguliran dana. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan secara berurutan, juga didukung dengan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan selama masa program berjalan. Kegiatan-kegiatan program Mandiri Pangan disesuaikan dengan kebutuhan kelompok yang ada.
Setelah tiga
kelompok terbentuk maka diadakan sosialisasi di tingkat desa.
82
Sebelum dana cair, tiap kelompok diwajibkan membuat proposal pengajuan dana. Namun dalam pelaksanaannya, penyusunan proposal dilakukan oleh pendamping, hal ini disebabkan karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan pengurus kelompok. Pengurus kelompok hanya tanda tangan saja. Pada tahun pertama tahap persiapan setiap bulan sekali diadakan pertemuan anggota di masing-masing kelompok. Hal ini bertujuan agar antara anggota kelompok terjalin hubungan lebih kuat. Hal ini seperti yang disampaikan dalam petikan wawancara penelitian berikut ini :
“........tahun 2006 diaktifkan kelompoknya, lalu dibina, supaya ada pertemuan-pertemuan sehingga ada ikatan-ikatan sosial, penggalangan dana anggota, setelah guyup dana dialirkan. Masing-masing kelompok dengan dibantu pendamping sesuai keinginan masing-masing. Sudah ada monitoring dari propinsi. Sekarang tinggal memantu. Setiap bulan dikondisikan mengadakan pertemuan, kemudian dimotivasi supaya menggulirkan ke kelompok, tapi dana nda ditarik kembali karena dana tersebut adalah untuk desa......” (AF, 40 tahun, kasi Ketahanan pangan Dinas Pertanian Klaten) Selain itu pertemuan diadakan untuk membicarakan perkembangan kelompok, serta musyawarah-musyawarah antar anggota untuk membentuk aturan-aturan bersama. Dengan pembinaan dari pendamping dan dinas pertanian, masing-masing kelompok dipersilahkan membuat dan menyepakati sendiri aturan-aturan seperti apa yang diinginkan, misalnya mengenai besarnya bunga, besarnya cicilan tiap bulan, dan bagaimana mekanisme pengembalian yang kesemuanya tertuang dalam AD/ART. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang pendamping program berikut ini :
”.....tentang aturan dibuat sendiri di kelompok, semuanya aturan dibuat oleh anggota. Tapi bolak balik saya sampaikan mba, bahwa dana ini bukan hibah tapi revolving, jadi mudah-mudahan ada positifnya ya berarti itu untuk njenengan semua dan orang lain. Selalu saya tekankan bahwa di Desa Jambakan ini masih ada sekitar 500 an orang kk miskin seperti njenengan yang punya hak sama untuk bisa menikmati pinjaman ini.....” (Ery, 35 tahun, pendamping program mapan)
83
Untuk menambah semangat anggota kelompok, juga diadakan arisan anggota kelompok. Pertemuan untuk kelompok tenun diadakan setiap tanggal 19 pukul 13.00 di rumah ketua kelompok. Kelompok ternak kambing pertemuan diadakan setiap tanggal 20 pukul 13.00 di rumah ketua kelompok. Sedangkan kelompok aneka usaha peretemuan dilakukan setiap tanggal 25 pukul 13.00. Setiap pertemuan dihadiri oleh seluruh anggota kelompok masing-masing didampingi oleh pendamping. Hal ini karena anggota kelompok masih memiliki kepentingan untuk mendapatkan dana bantuan sehingga lebih rajin. hal ini seperti yang disampaikan oleh informan berikut ini:
”.....Dulu sebelum dana cair semua anggota pada aktif setiap ada pertemuan. Sekarang sih agak berkurang, yah kalo ada pertemuan ada aja anggota yang gak dateng. Kalo dulu kan rajin karna masih punya kepentingan dapet bantuan............” (Bapak Bgy, 40 tahun,ketua kelompok afinitas aneka usaha)
Selain diadakan pertemuan-pertemuan kelompok, terdapat kegiatan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan usaha kelompok. Pelatihan-pelatihan yang diadakan antara lain pelatihan tata cara beternak, pelatihan adminstrasi dan manajemen, serta pelatihan pewarnaan untuk inovasi tenun. Selain itu ada juga pengarahan-pengarahan yang dilakukan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan baik kepada anggota maupun pengurus kelompok. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pengurus kelompok afinitas:
”.........Sebelum dana cair, sekitar tiga bulan sekali ada bimbingan, ada juga berupa pelatihan dari Dinas. Pelatihannya itu tentang ternak kambing, administrasi, pewarnaan buat lurik tenun. Waktu itu seingat saya,
pernah
di
Hotel
Agung
sama
SMK
Muhammadyah
Cawas............” (Bapak Bgy, 40 tahun, ketua kelompok afinitas aneka usaha).
84
Lamanya masa persiapan yaitu setahun menyebabkan munculnya anggapan bahwa dana sudah turun dari atas tetapi ada yang menahannya di dinas kabupaten.
Atas hal ini ketua kelompok dan pendamping kesulitan untuk
memahamkan. Seringnya ada pertemuan selama tahun pertama saat persiapan kelompok, banyak yang merasa itu sia-sia bahkan merugikan karena jika ada undangan mereka terpaksa harus meninggalkan pekerjaan/kegiatan mereka, belum lagi masalah uang konsumsi yang dirasa berat oleh ketua sebagai yang harus mentalanginya, dan setelah ditanyakan ke dinas tidak ada anggaran untuk pengeluaran tersebut. Setelah setahun tahapan persiapan, maka tahun 2007 tahap selanjutnya adalah tahap perguliran dana. Berdasarkan pengajuan proposal dana yang telah dibuat, dana langsung masuk ke rekening ketua kelompok. Pendamping program berhasil mengawal dana program mapan sebesar Rp 80 juta, dibagi untuk tiga kelompok dan tanpa ada potongan untuk kas desa, walaupun pengalaman sebelumnya semua program yamg masuk desa selalu mengalami potongan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pendamping program sebagai berikut :
“..........Peta politik di klaten berubah dengan pak narno jadi bupati, sehingga secara otomatis banyak program yang masuk, dan semua program yang masuk pasti dipotong untuk kas desa, untuk program mapan, kami pendamping mengawal uang 80 juta program mapan sampai di tingkat kelompok tidak ada potongan sama sekali. Komitmen uang tidak dipotong, alhamdulillah setelah pencairan semuanya lancar. Masyarakatnya sangat kritis karena sudah terbiasa dengan proyekproyek..........” (Ery Karyanto, 35 tahun, pendamping program Mapan Desa Jambakan) Menurut penuturan dari pendamping, hal ini adalah bentuk dukungan lurah baru terhadap program mapan yang berharap dengan tidak dipotonganya dana mapan untuk kas desa bisa membawa pada kehidupan masyarakat yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan petikan wawancara penelitian berikut ini : “.........program mapan pada tahap persiapan saat yang menjabat lurah Daryono, tahun kedua lurah Joko, atas perubahan tersebut banyak hal yang perlu disikapi. Lurah sekarang bagus sekali mba, tidak terlalu intervensi macam-macam, beliau sampaikan ke Saya, mas ery njenengan jalankan program saja supaya masyarakat bertambah sejahtera........” (Ery, 35 tahun, pendamping program mapan Desa Jambakan)
85
Kelompok tenun Mekar Sari mendapat dana 30 juta rupiah. Dana tersebut dibagi rata sebanyak 25 anggota. Tiap anggota mendapat dana pinjaman sebesar Rp 1.200.00,-. Dana pinjaman tersebut kemudian dicicil tiap bulannya sebesar Rp 63.400 yang mencakup cicilan pokok dan bunga pinjaman. Hal ini atas musyawarah yang dilakukan antara anggota kelompok yang didampingi oleh pendamping. Uang tersebut diangsur selama dua tahun, sesuai dengan tahapan dalam Program Desa Mandiri Pangan. Semua anggota kelompok tenun adalah perempuan karena yang melakukan pekerjaan tenun adalah perempuan. Kepengurusan kelompok ini didasarkan atas penunjukkan oleh aparat desa. Untuk pembayaran cicilan, tiap bulannya dilakukan pertemuan setiap tanggal 19 di rumah ketua kelompok. Ini berdasarkan kesepakatan musyawarah anggota, sehingga lebih mudah, karena jika berpindah-pindah akan membinggungkan. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang anggota seperti berikut ini:
”.......Kelompok tenun itu kalo pertemuan setiap sebulan sekali tanggal 19 selalu di rumah Bu Bayan. Itu atas rapat kelompok. Biar gak bingung. Kan kalo pindah-pindah seandainya bulan lalu gak dateng ntar bulan depannya bingung di tempate sopo. Jadi harus nanya-nanya ke anggota yang lain.........” (Ibu Kr, 59 tahun, anggota kelompok tenun) .
Pertemuan diadakan sekitar pukul 13.00 dihadiri oleh ibu-ibu yang menjadi anggota kelompok tenun. Kadang kala ada anggota kelompok yang menitipkan angsuran kepada anggota lain, atau pengurus. Hal ini dilakukan jika anggota tersebut berhalangan hadir karena kesibukan atau ada urusan yang lebih penting.
Dana angsuran yang telah terkumpul kemudian digulirkan kepada
anggota kelompok yang sebelumnya telah mendaftarkan diri. Jika jumlah dana yang terkumpul tidak sesuai dengan jumlah yang akan dipinjam, maka dana tersebut dibagi rata. Jika tidak, dilihat berdasarkan kebutuhan anggota sehingga lebih diprioritaskan untuk kebutuhan anggota yang lebih mendesak. Kelompok ini sempat menggulirkan dana keluar anggota kelompok sebanyak sepuluh orang.
86
Tetapi, hal ini menjadi masalah saat ada monitoring dari Irjen Departemen Pertanian karena, kelompok afinitas tidak boleh menggulirkan dana ke luar anggota sebelum tahun keempat. Saat ini dana bergulir yang dikembangkan dalam kelompok tenun meningkat dan sudah berkembang. Pelatihan-pelatihan tehnis bagi kelompok afinitas antara lain pelatihan teknik perpaduan warna pada kain tenun ATBM, dan pelatihan pemeliharaan kambing dan ayam. Salah satu kelompok afinitas di desa Jambakan yaitu kelompok Mekarsari, semula merupakan kelompok usaha produksi kain tenun tradisional. Pengurus kelompok kemudian mendapatkan pelatihan mengenai teknik pewarnaan dan pengembangan pola (design) tenun sebagai bahan pakaian jadi. Pengembangan ketrampilan dilakukan melalui inovasi pemanfaatan bahanbahan pewarna yang tahan luntur, juga dengan meningkatkan kehalusan benang serta variasi warna dan pola kain yang dihasilkan. Peningkatan kapasitas diri pengurus ini diharapkan dapat mempengaruhi penenun tradisional disekitarnya untuk merubah cara bertenun yang berorientasi pada kain gendongan menjadi bahan pakaian jadi. Namun hal ini nampaknya masih mendapat tantangan cukup berat, baik dari sisi kebiasaan bertenun, pemasaran, dan perputaran modal yang dianggap oleh penenun tradisional masih lebih mudah dengan menggunakan cara tradisional. Melihat kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa upaya pelatihan teknis bagi kelompok afinitas masih membutuhkan tindak lanjut dari pihak-pihak berkepentingan (Dinas terkait) untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi terutama dalam penyediaan pemasaran. Upaya pendamping untuk mencarikan pemasaran perlu didukung oleh Dinas terkait untuk memfasilitasi sarana dan prasarana serta mendorong produk yang dihasilkan untuk berorientasi pada kebutuhan pasar. Kelompok ternak
kambing Trijaya Perkasa dengan mendapat dana
sebesar 25 juta rupiah. Berbicara mengenai aturan pengelolaan dana bergulir untuk usaha ternak kambing, pendamping program memiliki pertimbangan tersendiri supaya hasilnya berbeda dengan program lain yang sejenis, yang selalu mengalami kegagalan.
Hal ini seperti diungkapkan oleh Ery (35 tahun,
pendamping program) sebagai berikut :
87
”......untuk revolving kambing dibuat berbeda mba, karena harapan saya program mapan semoga menjadi titik pijak program yang berhasil dibanding program yang ada.
Kalau program lain dari dinas sosial
misalnya, bantuan ternak yang diberikan sudah tidak kelihatan babonnya, jadi untuk mapan aturannya silahkan dibuat tapi kami dari pendamping sudah punya batasan supaya anggota tidak membuat aturan semudah mungkin sehingga outputnya melupakan orang lain.....” Ery (35 tahun, pendamping program Mapan desa Jambakan)
Atas keputusan pendamping, Tim Pangan Desa (TPD) dan pengurus yang diketuai oleh Carik maka dana yang didapat dibelikan kambing sebanyak 45 ekor. Kambing tersebut dibagikan kepada semua anggota kelompok, tiap anggota masing-masing mendapat tiga ekor. Kambing tersebut adalah anakan dan semuanya berjenis kelamin betina dan harus dikembalikan pada tahun kemandirian sebanyak empat ekor. Dalam perjalanannya, bantuan kambing yang kesemuanya bentina ini menimbulkan hambatan terutama kesulitan mendapatkan pejantan ketika hendak mengawinkan seperti diutarakan oleh pak Dwi Setyanto berikut ini :
“…....Bantuan mapan per anggota 3 ekor kambing dan dari dinas mengharuskan semua berjenis kelamin betina mba sehingga untuk mengkawinkan mencari-cari atau meminjam yang punya kambing jantan, ini kebetulan tetangga ada yang dapat bantuan gaduhan kambing dari dinas social, ya sebaiknya kedepan untuk awal, kambig yang diberikan adalah gabungan jantan betina supaya mudah kawinnya…..” (DS, Carik desa Jambakan, Ketua Kelompok Afinitas Trijaya Perkasa)
Dalam pengembangannya sampai pada tahun ketiga, selain dikarenakan kendala internal yaitu rendahnya keterlibatan dan kepedulian pengurus kelompok terhadap kegiatan program serta masih kuatnya persepsi di kalangan anggota
88
kelompok mereka bahwa dana mapan bersifat hibah, kelompok afinitas ternak kambing Trijaya Perkasa juga menghadapi beberapa kendala teknis, diantaranya kurangnya ketersediaan pakan hijuan untuk ternak dan keterbatasan obat-obatan, seperti yang disampaikan dalam wawancara selama penelitian sebagai berikut :
”…..kelompok ternak mendapatkan beberapa kendala, diantaranya pakan hijauan yang susah diperoleh terlebih pada bulan-bulan kemarau seperti sekarang ini. Pada sekitar tahun 1995 an pernah ada bantuan bibit dan pupuk untuk menanam rumput gajah dipinggir jalan, tapi banyak yang tidak menanam, termasuk anggota kelompok yang sekarang mendapat bantuan/pinjaman ternak kambing karena bantuan rumput gajahnya tidak dimanfaatkan jadinya susah mendapatkan hijauan. Harapannya pas dapet pinjaman ternak kambing juga sekalian mendapat bantuan bibit dan pupuk rumput gajah pula. Belum ada yang ngajari cara vaksin dari dinas peternakan dan tidak ada anggaran untuk obat gratis jadi harus swadaya sendiri. Di Wonosari sampai ada kejadian wedhus nggo pakan sapi, maksudnya karena pakan sapi mahal sehingga warga harus menjual kambing dulu supaya bisa membeli pakan sapi……...” (Dwi Setyanto, Carik desa Jambakan, Ketua Kelompok Afinitas Trijaya Perkasa) Setiap bulan kelompok ternak kambing melakukan pertemuan pada tanggal 20 di rumah ketua kelompok, untuk melakukan arisan. Akan tetapi setahun belakangan ini pasca pemilihan kepala Desa yang menyebabkan masyarakat terbagi dalam dua kubu, tidak pernah ada pertemuan lagi untuk kelompok ternak kambing. Selain itu juga dikarenakan sebagian besar anggota kelompok ini adalah tukang bangunan yang setelah musibah gempa banyak mendapat panggilan pekerjaan hingga keluar desa. Kelompok yang ketiga adalah kelompok Subur. Kelompok ini mendapat dana bantuan sebesar 25 juta rupiah. Berdasarkan kesepakatan bersama antara anggota dan pendamping dana tersebut dibagi rata tanpa membedakan jenis kelamin. Tiap anggota berhak mendapat pinjaman masing-masing sebesar 1.250.000,- rupiah. Setiap bulannya pada tanggal 25, anggota harus membayar uang angsuran sebesar Rp 65.000,-. Uang tersebut sudah termasuk cicilan pokok, bunga pinjaman dan simpanan wajib. Selain itu, kelompok ini juga mengadakan arisan sebesar Rp 10.000,-. Pertemuan diadakan di rumah anggota secara bergilir sesuai dengan nama yang keluar dalam arisan.
89
Usaha yang dikembangkan oleh anggotanya kelompok ini bermacammacam diantaranya ternak ayam, menjahit, warung hek dan warung kelontong. Dalam proposal usaha yang diajukan, yang bisa menjadi anggota kelompok ini adalah rumah tangga miskin yang sudah mempunyai embri usaha dan masih kekurangan modal. Walaupun kemudian pada saat dilakukan penelitian ini ketika berkunjung ke beberapa anggota kelompok diketahui bahwa ada rumah tangga mampu yang mengelola usaha dan bukan termasuk KK miskin. Hal ini terjadi sebagai imbas dari cara pemilihan anggota kelompok yang berdasarkan penunjukkan dan hubungan kekerabatan. Sehingga wajar kalau selanjutnya ketika dilakukan FGD ada anggota kelompok ini yang menyatakan komplain-nya tentang masih belum memadainya dana yang diberikan program mapan untuk ukuran sebagai modal memajukan usaha, seperti yang diungkapkan dalam petikan wawancara berikut ini : “……..sebetulnya modal yang diberikan untuk anggota sudah bisa untuk menambah usaha para anggota mba, tapi modal yang diberikan masih sangat minim, jadi untuk usaha yang mencapai usaha yang lancar belum bisa memenuhi, karena modalnya masih sangat minim. Contohnya saya yang jualan hek wedang angkringan. Untuk buat gerobak warung aja belum cukup karena butuh 1.500.000,-sementara dana Mapan baru sebesar Rp. 1.250.000,-belum dapet apa-apa mba…..” (Warno, 60 tahun, ketua RT dan sekaligus kakak sulung ketua kelompok Subur) Pada kasus selanjutnya, ada anggota kelompok Subur yang merupakan rumah tangga miskin tetapi belum memiliki embrio usaha, walaupun hanya sekitar 20% (menurut keterangan pendamping hampir 80% anggota kelompok Subur sudah memiliki usaha, setidaknya sudah memiliki usaha sebagai buruh tani). Atas hal ini bisa dipastikan dana pinjaman dari program Mapan tidak bisa berkelanjutan, karena hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi seharihari. Dan pada akhirnya dana Mapan justru menjadi beban yang harus ditanggung pada saat tiba waktunya pengembalian. Pertemuan dihadiri oleh anggota kelompok, akan tetapi ada juga anggota kelompok yang berhalangan hadir dan menitipkan uang angsuran kepada anggota kelompok lainnya atau pengurus. bahkan tidak jarang jika berhalangan hadir diwakilkan oleh suami maupun istri anggota tersebut.
90
Setelah dana disetorkan kepada pengurus, dana kemudian digulirkan lagi kepada anggota yang ingin meminjam. Dana yang telah berkembang dalam kelompok kini juga telah meningkat dan berkembang. Usaha yang dikembangkan oleh anggotanya kelompok ini bermacam-macam diantaranya ternak ayam, menjahit, warung hek dan warung kelontong.
Pengelolaan dana berorientasi
target proyek sehingga nilai yang dibangun adalah “dana sebagai charity/ hibah”. Sampai pada tahap ketiga (pengembangan), kelompok Subur relatif berjalan lancar. Dikarenakan mandulnya pengurus, kelompok trijaya perkasa melaporkan ternak mati semua dan berpotensi macet. Sedangkan kelompok mekarsari (tenun) sudah berkembang sudah sempat menggulirkan dana kepada anggota baru tanpa melalui LKD. Dalam proses pembentukan TPD didasarkan atas penunjukkan dari Kepala Desa dan belum berjalan secara efektif bahkan bisa dikatakan belum berfungsi walaupun sudah beberapa kali diberikan pelatihan baik di kabupaten maupun di tingkat propinsi. Konflik internal yang terjadi pasca pilkades harus diakui sangat mempengaruhi jalannya komunikasi antar sesama anggota TPD.
Selain itu,
dikarenakan proses pembentukannya adalah penunjukkan langsung sehingga ada anggota TPD yang anggota keluarganya tercatat juga sebagai penerima bantuan sekaligus sebagai anggota LKD. Selain itu juga harus diakui disebabkan oleh tidak adanya kepastian tentang insentif yang diperuntukkan bagi anggota TPD. LKD mapan yang berfungsi untuk menggulirkan dana bantuan mapan, pada tahun keempat setelah semua anggota mengembalikan dana pinjaman dalam kelompok tidak berfungsi bahkan cenderung bermasalah. Dasar pembentukan LKD adalah pertimbangan kepraktisan dengan menunjuk koperasi MP yang sebelumnya sudah ada. Sampai pada tahun ketiga di tahap pengembangan, pada kenyataannya LKD bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana semestinya. Terkait dengan belum berfungsinya LKD, pihak dinas kabupaten juga menyampaikan bahwa memang ada kelemahan dari sisi kebijakan dalam program ini. Lembaga keuangan desa yang dibentuk tidak jelas secara operasional
apa dan bagaimana tugasnya serta seperti apa insentif yang bisa
diterima aparatnya.
91
Pedoman umum proksi mandiri pangan yang dikeluarkan tahun 2008 menyebutkan bahwa fungsi LKD dalam program mapan merujuk pada aturan UEP (Usaha Ekonomi Pedesaan), padahal program UEP baru keluar tahun 2007, dan semestinya sosialisasi tentang tugas dan wewenang LKD sudah dilakukan dari tahun 2006. Hal ini tentu saja menjadi kebingungan tersendiri bagi pihak dinas pertanian. Hasil Evaluasi yang dilakukan oleh Irjen terhadap pelaksanaan program Mapan di Desa Jambakan menyebutkan bahwa apa yang terjadi antara LKD dengan kelompok afinitas mekarsari di desa Jambakan, penilaiannya adalah bahwa program Mandiri Pangan Jambakan ada kemungkinan terkategori gagal bila tidak segera ditindaklanjuti. Rekomendasi yang ditawarkan pihak Irjen adalah dengan reorganisasi LKD. Namun, pada awalnya pihak Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Klaten merasa berat karena memang ada kepentingan yang harus dilindungi. Pasalnya pengurus LKD yang dipermasalahkan dan diminta untuk diganti tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dengan Bupati Klaten yang memang berasal dari Desa Jambakan. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan terutama di desa jambakan. Pada saat penelitan ini dilakukan, bertepatan dengan pelaksanaan rencana kerja dinas pertanian pada awal Oktober 2008, salah satunya adalah dilakukan tinjauan ke desa-desa lokasi program mapan, dan untuk khusus desa jambakan diundang pertemuan di kantor dinas untuk mempertemukan pengurus kelompok afinitas dengan pengurus TPD, LKD, pendamping dan pihak dinas sendiri. Agenda penting dalam pertemuan tersebut
adalah meminta klarifikasi dari
kelompok usaha ternak yang melalui pendamping melaporkan semua ternak kambing kelompok binaan program mapan mati. Sebagai penyelesaian, dalam pertemuan tersebut dinas hendak nanting (menawarkan beberapa pilihan) kepada anggota TPD yang merangkap juga sebagai LKD untuk memilih menjadi anggota mana dari kedua lembaga itu. Anggota TPD dan pengurus kelompok yang berkepentingan ternyata tidak hadir. sebenarnya
mengindikasikan
pengurus
Dengan tidak hadirnya mereka ini, kelompok
ternak
ndablek
atas
tanggungjawabnya terhadap program.
92
Sedangkan anggota TPD yang merasa "dekat" dengan orang nomor satu di kabupaten Klaten ini mengabaikan tanggungjawabnya untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi dalam pelaksanaan program mandiri pangan di Desa Jambakan. Hasil dari pertemuan tersebut disepakati bahwa kursi tim LKD yang kosong akan diisi oleh perwakilan dari masing-masing kelompok afinitas dan pada kelompok ternak dilakukan sidak dari dinas bersama pendamping untuk meninjau satu persatu anggota-anggotanya dan untuk sementara tidak menahan terlebih dahulu dana pemberdayaan untuk pelatihan-pelatihan kepada anggota. Hal lain yang penting untuk diperhatikan yaitu tidak ditandatanganinya surat perjanjian yang telah dibuat antara anggota kelompok afinitas dengan LKD tentang aturan pengembalian, sehingga menurutnya tidak ada kekuatan hukum yang bisa digunakan untuk mengawal dana program.
Sampai pada tahap
pengembangan di tahun ketiga, perkembangan usaha kelompok afinitas disajikan pada tabel 9. Tabel 9. Perkembangan Usaha Kelompok Afinitas Program Aksi Mandiri Pangan Desa Jambakan Nama Kelompok Data Perkembangan Usaha Periode Bulan No Afinitas Juli 2007 Juli 2008 (Jumlah Anggota) 1. Tri Jaya Perkasa Modal Awal Rp. Jumlah ternak berkembang menjadi 67 ekor ( induk + ( 15 Orang ) 24.750.000,6 ekor Modal tersebut anakan ) dan dimanfaatkan utk beternak diantaranya mati karena Kambing Betina sebanyak keracunan dan terkena 45 ekor dgn harga @ penyakit. Rp.412.500,2. Subur Modal Awal Rp. Modal saat ini berkembang ( 20 Orang ) 25.000.000,menjadi Rp. 29.239.235.3.
Mekarsari ( 25 Orang )
Modal Awal Rp. Modal saat ini berkembang menjadi Rp.35.574.500. 30.250.000,Dimanfaatkan untuk usaha Jumlah gendok berkembang tenun. Modal tersebut menjadi 140 gendok (800m), dibelanjakan utk membeli @ Rp 7000,- (per 15 hari) kain sebanyak 70 gendok 140 x Rp7000 = Rp 980.000,(400m), = Rp 464.000,@ Rp 7000,- (per 15 hari) Modal = Rp 516.000,70 x Rp7000 = Rp 490.000,- Untung Modal = Rp 232,000,Untung =Rp 258.000,-
93
Dinamika Kepentingan Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Setiap aktor yang terlibat (pemerintah, swasta maupun komunitas) didalam pengelolaan ketahanan pangan (produksi, distribusi, konsumsi) memiliki kepentingannya masing-masing. Kepentingan tersebut dipengaruhi oleh faktorfaktor struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang bekerja atau melekat dalam sistem hubungan sosial yang berlangsung. Pengelaolaan ketahanan pangan merupakan hasil konstruksi sosial mobilisasi sumber-sumber perilaku kolektif dalam mengelola pangan, yaitu modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal alamiah, dan modal finansial. Dalam pelaksanaannya terdapat dimensi kepentingan dari aktor (individu) pengelola ketahanan pangan lokal. Dimensi kepentingan aktor dalam konteks pengelolaan ketahanan pangan lokal sangat mempengaruhi proses pengembangan atau pemberdayaan kelembagaan yang ada, baik dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, kapasitas kelembagaan, dan pengembangan jejaring. Kelompok kepentingan dalam pengelolaan ketahanan pangan lokal pada bab ini terdiri dari kepentingan golongan miskin (termasuk juga golongan miskin penerima program Mapan), kepentingan kelompok keagamaan (lumbung pengajian), kepentingan kelompok pengusaha lokal (bakul). Kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat desa Jambakan secara umum maupun juga oleh masing-masing kelompok afinitas yang tergabung di program Mapan dalam konteks pengelolaan ketahanan pangan meliputi pengembangan tiga aspek, yaitu subsistem ketersediaan, subsiatem produksi dan subsistem konsumsi.
Kegiatan Sub Sistem ketersediaan meliputi, pertama,
penanaman padi dan palawija di lahan persawahan di Bayat. Komoditas palawija yang biasa ditanam adalah kedelai, kedua, tanah pekarangan sudah mulai dikelola sebagai sumber gizi keluarga dengan tanaman buah-buahan serta sebagian sayuran, serta tanaman buah mangga sebagai komoditas utama, dan tanaman pisang, kemudian jenis umbi-umbian sebagai tanaman cadangan karbohidrat di tegalan. Kemampuan daya beli masyarakat dapat juga digunakan untuk melihat ketersediaan pangan. Dalam penelitian ini rata-rata pengeluaran pangan per bulan masyarakat Desa Jambakan adalah Rp. 203.323. Sedangkan untuk pengeluaran non-pangan per bulan masyarakat desa Jambakan adalah Rp. 288.823.
94
Sub Sistem konsumsi meliputi peningkatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya wilayah dan peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pangan beragam, bergiziseimbang dan aman, pendidikan gizi masyarakat atau usaha perbaikan gizi keluarga dengan kegiatan pemberian makanan tambahan untuk ibu haml, ibu menyusui, anak balita dan anak sekolah. Kondisi tingkat kesehatan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan secara mencukupi, berimbang dan bergizi tergolong cukup, dimana untuk desa Jambakan pasca bencana gempa banyak mendapat bantuan. Untuk kasus Desa Jambakan, implementasi program ini memberlakukan penganekaragaman menu makanan yang bersumber dari komoditas pangan lokal (jenang sumsum dari beras, jenang grendul, singkong, ubi jalar, ganyong). Kegiatan-kegiatan Posyandu yang lain seperti penimbangan Balita secara rutin telah dilakukan. Terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, maka untuk kasus Desa Jambakan permasalahan yang utama adalah ketersediaan air bersih bagi kegiatan domestik (kebutuhan rumah tangga) masih sangat terbatas dikarenakan kondisi tanah yang tandus. Untuk mengatasi hal ini, yang dilakukan oleh masyarakat setempat selain mengharap bantuan rutin tahunan air bersih dari pemerintah, juga bagi yang mampu membeli air bersih dari PDAM yang selanjutnya diisikan kedalam sumu-sumur mereka yang mengering. Kondisi ketahanan pangan tidak hanya terkait dengan masalah kemampuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsinya, melainkan juga harus memperhatikan aspek keberlanjutannya. Kondisi ketahanan pangan yang telah dicapai menjadi tidak banyak berarti jika tidak mampu dijaga keberlanjutannya.
Terkait dengan hal ini, maka aspek pengelolaan dalam
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kedua desa perlu memperhatikan aspek ekologi, terutama aspek keberlanjutan lingkungan. Hal ini menjadi aspek penting karena ketahanan pangan sebuah komunitas atau wilayah juga harus memperhatikan adanya jaminan bagi pemenuhan kebutuhan pangan generasi yang akan datang. Kondisi kelestarian lingkungan masyarakat desa dipengaruhi oleh keberdaan bukit kapur yang terletak mengelilingingi desa, yang oleh masyarakat setempat menamainya sebagai gunung gambar.
Rata-rata sumur di desa
95
Jambakan baru mengeluarkan air setelah digali sedalam 20-30 meter bahkan ada yang sampai kedalaman 50 meter.
Menurut keterangan dari dinas pertanian
kabupaten Klaten, di desa Jambakan tidak memungkinkan dibangun irigasi sebagai solusi masalah kekringan karena debit air yang ada tidak mencukupi. Dalam aktivitas pertaniannya masyarakat petani di Desa Jambakan sangat bergantung pada alam. Ketika musim penghujan petani setempat bisa menanam padi walaupun hasilnya jauh dari menguntungkan. Namun jika musim kemarau panjang, maka usaha lahan sawah tadah hujannya bero dan hanya bisa ditanami palawija (kedelai dan singkong) . Kondisi ini sebenarnya bisa diatasi apabila petani mampu membeli atau menyewa sumur bor atau sumur panthek supaya bisa terus menerus mengairi lahannya, atau juga apabila bantuan sumur bor dari pemerintah melalui dinas terkait bisa dimanfaatkan secara adil dan merata. Kondisi lahan pertanian yang kering dengan pengairan tadah hujan telah menjadi permasalahan utama bagi upaya pengembangan produktivitas pertanian dalam mendukung ketahanan pangan rumahtangga petani.
Pada umumnya
kondisi rumahtangga petani yang tergolong miskin dan rawan pangan tidak mampu mengandalkan sumberdaya alam yang dikuasainya bagi pemenuhan kebutuhan pangan keluarganya, terutama pada musim kemarau. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para rumahtangga petani gurem mensiasatinya dengan cara melakukan strategi pola nafkah ganda. Beragam pekerjaan sampingan seperti menjadi pedagang warung nasi angkringan, buruh bangunan, buruh tenun dan lain-lain, telah menjadi katup penyelamat bagi ketahanan rumah tangga petani rawan pangan. Berdasarkan hasil penelitian, tujuan pengelolaan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga masih didominasi oleh tujuan untuk mempertahankan keberlangsungan ketahanan pangan anggota rumah tangganya. Hal ini terjadi karena pada umumnya rumahtangga petani rawan pangan tidaklah memiliki cadangan/tabungan yang berupa “uang” ataupun harta benda yang mencukupi untuk mengatasi masa-masa paceklik. Selain itu, jumlah uang yang diperoleh dari pekerjaan sampingan pada umumnya juga relatif kecil, yakni berkisar antara Rp 10.000 sampai dengan Rp. 15.000 per hari. Dengan tingkat pendapatan sebesar itu, maka akan sangat sulit sekali bagi mereka untuk dapat menabung.
96
Tujuan pengelolaan ketahanan pangan di tingkat desa dan atas desa untuk kasus Desa Jambakan pada tataran realitas lebih cenderung pada upaya peningkatan daya beli masyarakat. Meski demikian pemerintah tetap berupaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan program bantuan 2 unit alat bor untuk membangun sumur bor di lahan-lahan sawah milik petani. Namun pada pelaksanaannya pemanfaatan sumur tersebut terlalu dibatasi oleh aparat desa selaku pengelola alat bor. Pada perkembangan berikutnya, pengelolaan sumur bor tersebut dilakukan dengan sistem sewa, dimana uang hasil sewa akan dimanfaatkan untuk biaya pemeliharaan. Penerapan pola pengelolaan sumur bor baru ini mendapat tanggapan yang kritis dari para petani, terutama para petani yang tidak mampu. Menurut pandangan para petani tersebut, jika manajemen tersebut diterapkan maka yang memiliki peluang besar untuk meminjam adalah para petani yang memiliki uang saja. Padahal 2 unit alat bor tersebut merupakan bantuan pemerintah yang bersifat gratis untuk membantu para petani dalam mengatasi masalah keterbatasan sumberdaya air di Desa Jambakan.
Persoalan ini
sebenarnya dapat diatasi jika saja pihak pengelola alat bor (pihak pemerintah desa) mengambil keputusan tersebut secara secara arif dan bijaksana. Misalnya saja, jika memang alat itu perlu disewakan karena butuh dana untuk pemeliharaan, maka biaya sewanya tidak harus sama dengan biaya sewa alat bor pada umumnya. Melainkan bisa hanya 50% saja dari harga sewa bor pada umumnya, atau berdasarkan
atas
kesepakatan
musyawarah
dengan
pihak-pihak
terkait
(pemerintah desa, tokoh masyarakat dan perwakilan petani gurem). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pengelolaan pangan di tingkat masyarakat, tingkat desa dan tingkat atas desa pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada tahap implementasi, kerapkali ditemukan beberapa perbedaan pandangan antara masyarakat desa dengan pemerintah atas desa dalam hal strategi di lapangan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Berdasarkan penelitian program dari pemerintah di Desa Jambakan pada umumnya bersifat sebagai stimulan. Apabila program tersebut diberikan atau diterima oleh kelompok yang memang sebelumnya sudah berdaya maka stimulan tersebut hanya untuk "mengharumkan"nama pemerintah saja.
97
Bahwasanya
stimulan
dari
pemerintah
tidak
selalu
mampu
memberdayakan masyarakat desa, seperti yang dikisahkan oleh pasangan suami isteri ibu Sri wahyuni, salah seorang buruh tenun lurik di Jambakan dan suaminya pak Jumanto, seorang pedagang warung angkringan. Menurut mereka kondisi perekonomian saat sekarang semakin susah. Seringkali bantuan pemerintah yang masuk ke desa hanya dinikmati oleh elit desa termasuk juga yang menguasai faktor-faktor produksi.
Golongan miskin pedesaan seperti Bu Sri dan pak
Jumanto ini sudah merasa sangat pesimis dengan program pemerintah yang digulirkan ke masyarakat miskin. Program bantuan pemerintah yang digulirkan sebelumnya tidak berjalan dengan semestinya.
Menurut penuturan mereka, misalnya pengalaman
sebelumnya adalah bantuan domba. Seharusnya domba yang diberikan kepada warga penerima jika sudah beranak maka induknya digilirkan atau diberikan kepada warga lain yang membutuhkan dan belum mendapat jatah bantuan. Tapi pada kenyataannya, induk yang ada dijual dan kemudian bantuan tidak berlanjut sesuai dengan aturannya. Masih terdapat beberapa bantuan lain yang keberlanjutannya macet, misalnya bantuan tenun jepara, traktor, mesin panen padi dan maupun bantuan Rehabilitasi Rekonstruksi gempa. Kondisi kerawanan pangan yang paling parah akan terjadi dalam kondisi ketika mekanisme modal sosial dalam komunitas sudah melemah lalu masuk program pemerintah yang belum terpola maka hanya akan memperparah kondisi kerawanan pangan yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh ibu Sri Wahyuni tentang bantuan pemerintah dalam hal kerajinan tenun Jepara di Desa Jambakan. Bantuan tenun Jepara dengan alat yang sama tapi sistemnya beda. Sudah dibuat kelompok-kelompok tenun, dikursuskan juga (tiap sore antara jam 4-5) tetapi tidak jalan karena diambil hasilnya per dua bulan atau sebulan sekali. Cara seperti ini untuk kalangan masyarakat kecil merugikan karena modal tidak bisa berjalan/berputar dengan cepat. Selain itu pelaksanaan kursus yang tidak tepat waktunya menyebabkan bantuan ini tidak efektif. Walaupun sebenarnya sangat bermanfaat tapi waktu pelaksanaannya tidak disaat luang, karena pilihan waktu kursusnya bersamaan dengan waktu sibuk-sibuknya mengurus rumah tangga.
98
Di Desa jambakan dikenal beberapa kategori buruh tenun, terdiri dari buruh klethekan, buruh sekir, dan buruh nenun.
Buruh klethekan rata-rata
menerima order sebanyak 15-20 kg per lima hari atau per minggu dengan upah rata-rata Rp. 1000-3000 per kg benang. Untuk buruh sekir rata-rata mendapat upah Rp. 20.000 per 400 m kain per minggu. Untuk buruh nenun, jika tenun tostel dibeli oleh bos nya Rp. 10.000 per biji sedangkan tenun jarik lurik gendhong dibeli bos nya rata-rata Rp. 6000 per tangkep yang kira-kira akan dijual dengan harga 9000-10.000/biji. Sedangkan alat yang digunakan adalah tenun tostel saat ini sangat susah didapatkan, sehingga kenapa kerajinan tenun di Jambakan atau Bayat umumnya diberi nama kerajinan tenun ATBM (alat tenun bukan mesin). Keberadaan alat ini sudah termasuk sudah langka dengan harga berkisar antara Rp. 600 ribu- Rp. 1 juta. Atau kalau menghendaki bisa beli bekas bisa dengan harga Rp. 700 ribu an. Program pemerintah akan bisa memberdayakan dengan syarat bahwa ada mekanisme pemberdayaan lokal di komunitas. Berdasarkan hasil penelitian, agama yang dianut kebanyakan di Jambakan adalah Islam Abangan (gabungan antara NU muhamadiyah dan jawa). Terhadap adat sudah longgar. Masyarakat Desa Jambakan terbelah-belah antara Jawa dan Islam abangan. Kelembagaan keagamaan yang terlibat sebagai aktor dalam pengelolaan ketahanan pangan lokal yaitu kelompok pengajian Aisyah di dukuh Geneng, desa Jambakan. Menyadari kondisi alam Desa Jambakan yang tegalan tadah hujan dan termasuk daerah kering yang hanya bisa ditanami padi setahun sekali, maka kaum perempuan yang tergabung dalam kelompok ini menggiatkan pengadaan lumbung beras di lingkungannya supaya memiliki persediaan bahan pangan ketika musim paceklik. Mata pencaharian warga Desa Jambakan didominasi sebagai buruh tani dan petani musiman. Berdasarkan penelitian diketahui upah buruh panen padi antara 250 ribu – 300 ribu per pathok (rata-rata
1 pathok adalah 2000
meterpersegi), kalau dikerjakan 10 tenaga kerja berarti tiap orang mendapatkan Rp. 25 ribu, biaya buruh tersebut masih dirasakan tinggi sehingga banyak yang dikerjakan dengan mengerahkan tenaga anggota keluarga sendiri. Untuk buruh panen kedelai per pathok antara 75 ribu
(lebih murah karena lebih mudah
panennya, jadi cukup dikerjakan 2 orang saja).
99
Di Desa Jambakan juga terdapat jasa penggilingan kedelai keliling dengan biaya per 10 kg adalah Rp. 1500, dan kedelai akan dijual dengan harga Rp. 5000 per kg.
Karena hampir semua petani pada bulan-bulan tertentu
menanam kedelai, sehingga produksi kedelai berlimpah tapi belum ada yang mengusahakan untuk mengolahnya menjadi tempe (karena membutuhkan peralatan yang tidak sedikit). Di cawas ada pengrajin tempe yang mensuplai ke banyak daerah tapi usaha tersebut didominasi oleh orang-orang dari pekalongan, bukan dari Bayat sendiri. Berkaitan dengan masuknya program Mapan ke desa Jambakan sebagai program ketahanan pangan, maka terjadi interaksi dalam pengelolaan ketahanan pangan. Usaha tenun lurik ATBM dan usaha warung angkringan adalah yang menjadi irisan antara pengelolaam ketahanan pangan lokal dengan program intervensi pemerintah. Program Mapan membentuk kelompok afinitas Mekarsari yang memiliki usaha tenun. Artinya, program masuk melalui kelembagaan lokal yang sudah ada dan relatif eksis keberadaannya. Sebelum program masuk, para buruh tenun sangat menggantungkan usahanya kepada pengusaha lokal dan kepada bakul. Walaupun hubungan kerja secara rasional berdasar upah kerja, tetapi dijalankan atas dasar kepercayaan buruh kepada bakul/pengusaha lokal dan sebaliknya. Buruh menggantungkan hidupnya dan mendistribusikan resiko usahanya kepada bakul/pengusaha lokal yang juga berperan sebagai asuransi sosial-nya.
Pada
hubungan seperti ini golongan miskin (buruh tenun) adalah dirugikan karena ketergantungannya kepada bakul membuatnya tidak memperoleh akses dalam penentuan harga, bahkan seringkali bakul menolak/mengembalikan hasil tenun. Ketika program Mapan masuk,
dan target kelompok miskin sebagai sasaran
program tidak sepenuhnya tercapai karena akses terhadap program didominasi elit desa maka untuk kedua kalinya kelompok miskin juga yang dirugikan. Pemberdayaan usaha tenun untuk kelompok miskin menjadi efektif apabila ditunjukkan terlebih dahulu seperti apa contoh yang berhasil (Role Model) sebagai contoh yang bisa ditiru.
Penggerak utamanya adalah kesadaran.
Kaitannya dengan pembentukan kelompok afinitas dalam program aksi mandiri pangan juga diberlakukan hal demikian.
100
Misalnya di kelompok kerajinan tenun, sebagai role model bisa dilihat keterlibatan bu Yeni Ulansari yang sudah berkembang usaha tenunnya, sudah menerima dan mengerjakan pesanan tenun lurik dari berbagai instansi pemerintahan didalam dan diluar Kabupaten Klaten, serta sudah beberapa kali menghadiri dan mengikuti pameran. Seperti dituturkan oleh sebagai berikut :
" untuk memenuhi keinginan pasar maka produk tenun berubah motifnya, selain untuk jarik gendong akhirnya bisa membuat kain tenun yang bisa dibuat motif dan bahan (baru dua tahun) untk membuat baju laki-laki dan perempuan (kemeja). Untuk sementara tidak mau membuat etalase di pinggir pager jurang karena merasa jambakan letaknya di dalam. Ketrampilan membuat kain tenun peninggalan nenek moyang turun temurun jadi tidak perlu mengajarinya lagi"( Ibu Yn, 37 tahun, anggota TPD/pengrajin tenun)
Ketika bencana gempa melanda Yogjakarta dan sekitarnya termasuk Klaten dirasakan tidak semata-mata sebagai bencana, khusus untuk pengrajin tenun Jambakan, gempa membawa berkah. Kerajinan tenun dapat berkembang juga dampak positif adanya bencana gempa, ketika itu ada orang Jerman yang datang lalu melihat tenun yang dibuat, terus bilang kenapa hanya begini saja, mbok ya dikembangkan. Lalu diajari, diberi contoh lalu sekarang sudah bisa membuat kain dengan motif sekarang. Tapi ketika sudah dibuat lebih bagus tidak bisa menjualnya karena mahal (per meternya Rp. 25 ribu). Dalam perkembangannya, kelompok tenun juga pernah ikut pameran di Yogjakarta, kenal dengan perancang busana Yogja lalu dibuatkan baju dengan motif tersebut, tapi karena masih langka jadi masih jarang peminatnya, sekarang sudah ada yang dititipkan ke Butik Mirota di Yogjakarta, sebelumya sudah dipacking dijual keluar. Tenun dengan model seperti jarik gendong duijual ke Pasuruan, Bali, Sumatra. Pada umumnya para pengrajin tenun tidak tahu atau tidak begitu memperdulikan menentukan harga, yang penting cepet terjual, belum punya perhitungan-perhitungan biaya produksi/untung/rugi. Usaha tenun adalah penjamin kelangsungan hidup sehari-hari.
101
Pada waktu mengikuti pameran mereka membawa alat toostel dari Jambakan, untuk kerajinan tenun yang sudah berkelompok baru ada di kelompok Mekarsari dan yang di Dukuh Burikan. Yang diusahakan secara pribadi bisa dikatakan hampir ada ditiap rumah. Rata-rata jika yang sudah mengusahakan tenun dirumahnya berarti sudah mumpuni, dan jika belum biasanya mengerjakan nyekir atau klethek.
Kaitannya dengan pengelolaan ketahanan pangan lokal,
karakteristik mata pencaharian masyarakat Desa Jambakan semakin menuju pada sektor off-farm karena memang secara geografis tidak bisa mengandalkan dari pertanian semata. Hal ini disajikan pada tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambakan Atribut
Pertanian
Industri
Jenis Pekerjaan
Bertani Bertani maro
Karyawan Perush Buruh bangunan (secara putting out Buruh Tenun (Ngletheki, system) Nyekir, Nenun), warung angkringan, usaha jahitan
Skala Usaha
Usaha tangga
Orientasi
Dagang dan Jasa
rumah usaha rumahtangga Usaha keluarga (1-2 orang)
Buruh tani: Pasar subsisten Bertani/bertani maro/beternak: pasar Kerja Laki-laki dan Dominan Jenis perempuan perempuan
Pasar
Pembagian Buruh Tenun : Perempuan menurut Buruh bangunan dan warung Kelamin hek : dominan laki-laki Pembagian Kerja Dominan orangtua Dominan ibu Warung angkringan/hek : menurut Umur rumah tangga (tua Dominan anak muda dan muda) Buruh tenun : ibu rumah tangga tua mudaBuruh bangunan : tua dan muda Kontinuitas
Mata
Bertani/ bertani Mingguan : sesuai Harian dan sesuai kebutuhan maro : musim hujan pesanan
pencaharian
masyarakat
sangat
mempengaruhi
bagaimana
pengembangan pengelolaan ketahanan pangan lokal. Dan hal ini dapat dilihat bagaimana perkembangan kondisi kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Tabel 11 menunjukkan tentang kondisi dan dinamika kesejahteraan ekonomi masyarakat
102
Tabel 11 . Kondisi dan Dinamika Kesejahteraan Ekonomi Desa Jambakan
Indikator Kesejahteraan
Jambakan : Komunitas sawah tadah hujan, palawija, tenun lurik, ternak kambing, warung angkringan
Penciptaan Peluang Usaha/Kerja Penanggulangan pengangguran Pemberdayaan
Pekerjaan tenun di rumah majikan sudah seperti sistem pabrik, selain yang tenun lurik gendong dikerjakan di rumah masing-masing, buruh tani Banyaknya pesananan tenun lurik dari luar desa dan kesediaan bakul menampung sebanyak-banyaknya jarik gendong Kesulitan untuk menambah modal usaha (terutama untuk usaha tenun yang sering kewalahan ketika mendapat banyak pesanan, belum terbangun jaringan penyuplai bahan baku), dan tenun rumahan belum bisa mandiri dalam usahanya karena masih mengandalkan order dari bakul Dari Bantuan RR Pasca gempa kondisi perumahan secara merata membaik walaupun masih ada rumah gedhek
Kondisi perumahan
103
PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN LOKAL, RELASI AKTOR DAN DIMENSI KEPENTINGAN
Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan mengacu pada
proses
pemberdayaan kelembagaan untuk memperbaiki lembaga dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki serta dalam mensiasati berbagai tekanan yang berasal dari dalam komunitas maupun dari luar. Kegiatan pengembangan kelembagaan adalah melalui peningkatan kapasitas diri, peningkatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan kapasitas jaringan.
Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal perlu strategi
pengembangan yang bersifat lokalitas dan tetap memerlukan dukungan pihak luar baik pemerintah maupun swasta untuk mengatasi kelemahan dan memperkuat kelembagaan lokal yang sudah ada. Beberapa peran yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat miskin di pedesaan seyogyanya pembangunan diletakkan pada dasar pemenuhan rasa keadilan sosial; pengembangan infrastruktur pedesaan dan jika memungkinkan memindahkan pusat pelayanan publik dan pendidikan ke pedesaan; menyediakan fasilitas peningkatan nilai tambah pertanian melalui pengembangan aktivitas off-farm terutama untuk pedesaan yang sumberdaya alam pertaniannya sudah berada pada titik maksimal dalam pemanfaatannya. Sedangkan pihak swasta di pedesaan diharapkan dapat berperan penting dalam proses peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin diantaranya melalui : (1)
pihak swasta diharapkan dapat secara aktif membangun rantai tataniaga
perdagangan yang adil agar petani kecil mendapatkan keuntungan secara memadai dalam berproduksi, (2) pihak swasta semestinya bisa aktif membuat barangbarang yang mampu dibeli oleh masyarakat miskin selain juga menguntungkan untuk perusahaan.
104
Karakteristik Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal dan Interaksinya dengan Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan
Kemajuan perekonomian masyarakat pedesaan sangat ditentukan oleh sistem kelembagaan yang dikembangkan didalamnya. Oleh karena itu, jika sistem kelembagaan lokal dalam suatu masyarakat dibiarkan lemah, maka tidak ada peluang bagi yang tidak berdaya di pedesaan untuk memajukan perekonomiannya. Pada bab ini disampaikan hasil kajian potensi kelembagaan ketahanan pangan lokal yang ada di Desa Jambakan dalam mendukung kemajuan perekonomian menuju kondisi ketahanan pangan, serta interaksinya dengan program Mapan dari pemerintah. Analisis pada bab ini menyampaikan sejauhmana kelembagaan lokal yang ada telah berbasis komunitas dalam artian mendapatkan dukungan dari masyarakat desa setempat dan sebaliknya seberapa besar kelembagaan lokal telah memberikan kemanfaatan bagi komunitas lokal terutama dalam hal ketahanan pangan rumah tangga petani. Masuknya program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan, salah satunya adalah Mapan, apapun bentuk kelembagaannya tersebut, jika upaya pengembangannya tidak mengakomodir kepentingan golongan
miskin
maka
hanya
akan
menimbulkan
kesia-siaan
dalam
menanggulangi kemiskinan dan kerawanan pangan. Desa Jambakan adalah salah satu desa di Kabupaten Klaten yang terkena dampak langsung bencana gempa. Sehubungan dengan ini, untuk menggiatkan kembali kehidupan perekonomiannya masih sangat mengandalkan bantuan dari pihak pemerintah maupun swasta. Bantuan pasca gempa diperoleh dari berbagai pihak baik dari pemerintah, swasta maupun dari lembaga asing. Kelembagaan lokal merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang seringkali memberikan asuransi sosial bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaankebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama ada dalam komunitas seperti kebiasaan tolong menolong, gotong-royong,
beras jimpitan, simpan pinjam,
arisan, lumbung paceklik, pesantren, dan lain-lain.
105
Berdasarkan fungsi yang dijalankan, kelembagaan yang mendukung kehidupan masyarakat meliputi kelembagaan yang terkait dengan ketahanan pangan, kelembagaan yang terkait dengan jaminan kesejahteraan sosial (basis kekerabatan), dan kelembagaan yang terkait dengan kehidupan komunitas (keagamaan, kesehatan dan pendidikan). Tabel 12.
Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Fungsi Yang Dijalankan di Desa Jambakan
Atribut Kelembagaan input aktivitas produksi, konsumsi, distribusi (ketahanan pangan) Kelembagaan menjamin keselamatan sosial Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam keagamaan
Desa Jambakan, Kecamatan Bayat 1. warung sembako, koperasi, bank 2. Hubungan kerja basis keluarga dan kelompok (tenun lurik, gaduhan, ternak kambing, maro) suku, pemerintah desa, kelompok pengajian, arisan
Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam sosial Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam kesehatan Kelembagaan komunitas (kerukunan) dalam pendidikan
Panitia Nyadran, Jamvatro (Jambakan Van Metro), Paguyuban Kelurahan Posyandu dan Dasawisma, Puskesmas pembantu
Masjid, Gereja, punden
Pendidikan negeri dan swasta
Kelembagaan ketahanan pangan lokal dalam konteks penelitian ini adalah kelembagaan yang mengatur secara langsung maupun secara tidak langsung berbagai aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menuju kondisi ketahanan pangan baik di aspek produksi, konsumsi dan distribusi. Selain itu kelembagaan ketahanan pangan lokal yang berperan mengatur kemudahan rumahtangga miskin di pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan pangan ini adalah kelembagaan asli maupun juga kelembagaan yang muncul lalu eksis di pedesaan, yaitu diantaranya arisan, warung kelontong, beras jimpitan, tenun lurik, warung angkringan, gaduhan ternak, maro, simpan pinjam, pengajian, lumbung desa, dan karawitan.
Kelembagaan ketahanan pangan lokal berfungsi sebagai asuransi
sosial sehingga rumah tangga miskin di Desa Jambakan dapat mendistribusikan resikonya pada kelembagaan ini, termasuk resiko atas ancaman kekurangan pangan maupun ketidakmampuan daya beli.
106
Meskipun
demikian,
kelembagaan
ketahanan
pangan
lokal
yang
barbasiskan pada hubungan patron-klien dimana telah dibangun aturan main berdasarkan "kesepakatan" sedemikian rupa antara patron dan klien, serta kesediaan patron memberi asuransi sosial untuk klien, tetapi mekanisme ini justru tidak memberi ruang untuk mobilitas usaha atau peningkatan kesejahteraan klien pada saat ada peluang ekonomi baru yang muncul. Usaha tenun lurik adalah salah satu kelembagaan ketahanan pangan desa Jambakan yang mendukung keberlanjutan ketahanan pangan masyarakat dari aspek daya beli yang berbasis pada hubungan patron-klien. Pelaku utama dalam kelembagaan ini adalah rumah tangga miskin sebagai buruh tenun (klien) yang sangat tergantung kepada patron (yaitu pengusaha tenun desa dan pedagang pengumpul/bakul).
Dikarenakan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia
ketika musim kemarau tiba, ketergantungan rumah tangga miskin kepada bakul telah membuat
mereka menerima saja harga yang sudah ditentukan bakul
maupun pengusaha tenun setempat sebagai pemilik modal. Kelembagaan ketahanan pangan lokal yang juga relatif baru muncul di Desa Jambakan adalah Lumbung Pengajian yang dibentuk berbasiskan hubungan tetanggaan dan kesamaan pemahaman tentang hakekat sedekah (ajaran agama sebagai dasar pengelolaan kegiatan lumbung).
Kegiatan lumbung pengajian
adalah mengumpulkan hasil panen dari anggotanya, tanpa ditentukan batasan minimal setorannya. Hasil panen yang terkumpul menjadi persediaan yang dapat digunakan pada saat paceklik atau pada saat membutuhkan yang dikelola dengan mekanisme simpan pinjam berdasar aturan hasil kesepakatan bersama.
Kegiatan simpan
pinjam atas dasar percaya kepada saudara se-iman, pinjaman gabah yang diberikan tanpa ada bunga, tidak ditentukan jatuh tempo membayar (silahkan membayar pada saat sudah memiliki kemampuan).
Kelembagaan ketahanan
pangan ini efektif menopang ketahanan pangan komunitas yang memiliki pemahaman tingkat spiritualitas yang sama).
Potensi sosial yang bisa
dikembangkan dalam kelembagaan ini adalah tingginya solidaritas antar anggota dan mekanisme pengelolaan konflik dalam kelompok
107
Pemerintah mengembangkan kelembagaan ketahanan pangan lokal di Desa Jambakan salah satunya melalui program aksi mandiri pangan. Program ini menyediakan fasilitas pengelolaan permodalan, fasilitasi pelatihan, saranaprasaran juga fasilitas pendampingan serta kelembagaan TPD (tim pangan desa) dan LKD (lembaga keuangan desa). Program disalurkan kepada rumah tangga miskin yang sudah memiliki embrio usaha tetapi masih mengalami kekurangan modal, yang dihimpun dalam kelompok-kelompok afinitas. Pendamping mengumpulkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, menumbuhkan kader pangan desa (TPD), menumbuhkan lembaga keuangan desa (LKD), menumbuhkan dan membimbing kelompok afinitas supaya bisa mengembangkan usaha yang menguntungkan dalam konteks pembangunan ketahanan pangan ditingkat desa. TPD mengenali kondisi, potensi dan masalah ketersediaan pangan, distribusi, konsumsi, akses dan pemanfaatan pangan maupun situasi dan kondisi gizi masyarakat, menjalankan fungsi pelaporan situasi pangan dan cadangan pangan desa dan perkembangan pelaksanaan program aksi desa mandiri di desa, mengintegrasikan berbagai program pembangunan di perdesaan dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mengadakan tim pangan desa minimal dilaksanakan satu bulan sekali. Kelembagaan kelompok afinitas program Mapan sebagai kelembagaan ketahanan pangan intervensi pemerintah di desa Jambakan ada 3 kelompok, yaitu kelompok tenun (Mekarsari), kelompok aneka usaha (Subur), dan kelompok ternak kambing (Tri Jaya Perkasa). Kelompok afinitas Mekarsari, usaha yang dilakukan produksi kain tenun tradisional dengan anggota 25 orang, pertemuan rutin bulanannya setiap tanggal 19. Modal/dana yang sudah ada sebesar Rp. 275.000. Ketua kelompok ibu Yuniatun, rencana usaha adalah untuk pembelian bahan baku pembuatan kain tenun, dan tabungan kelompok sebesar Rp. 250.000 untuk simpan pinjam anggota. Hasil tenun baru dipasarkan di pasar lokal dengan harga masih rendah, sehingga perlu adanya upaya untuk merubah corak kain tenun untuk dapat dipasarkan di tingkat regional/nasinal masih perlu bantuan pemasaran dari pemerintah.
108
Kelompok afinitas Subur, usaha yang dilakukan adalah aneka usaha, dengan anggota 20 orang, pertemuan setiap tanggal 25, modal/dana awal yang sudah tersedia Rp. 350.000. ketua kelompok Subagyo, rencana usaha kelompk untuk menambah modal usaha angkringan dan kelontong, dan tabungan kelompok Rp. 350.000 untuk simpan pinjam anggota. Kelompok afinitas Trijaya Perkasa, usaha yang dilakukan adalah ternak kambing dengan jumlah anggota 15 orang, pertemuan setiap tanggal 20. modal/dana awal yang tersedia sebesar Rp. 240.000. Ketua kelompok Dwi Setyanto, rencana usaha kelompk untuk pembelian kambing, dan tabungan kelompok Rp. 240.000 untuk simpan pinjam anggota. Kelembagaan lokal yang dibangun secara kolektif oleh warga untuk mengatasi masa paceklik di Desa Jambakan diantaranya adalah arisan-arisan antar RT (misalnya arisan sembako, uang, dan arisan bahan bangunan serta dana yang dikumpulkan oleh perantau dalam kelompok Jamvatro-Jambakan Van Metro), lumbung Beras (pengajian ibu-ibu) dan kelembagan yang terjalin dalam kelompok tenun juga menjadi salah satu usaha kolektif dalam menghadapi masa paceklik. Pengelolaan lumbung pangan yang dilakukan oleh ibu-ibu pengajian Aisyah di dukuh geneng, desa Jambakan menunjukkan bahwa pengembangan kelembagaan bisa dilakukan pada tingkat komunitas. Didasarkan pada pemahaman keagamaan yang kuat tentang hakekat sedekah dan pengelolaannya yang syar'i, kegiatan lumbung disini mampu menjadi penjamin kebutuhan pangan komunitas, terlebih pada musim puso. Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan pada tingkat komunitas dapat dikonstruksikan dari perspektif modal sosial. Dukuh Geneng yang mengelola lumbung pangan ini dilihat berdasarkan analisis masih kuatnya modal sosial yang terbangun, walaupun masih terbatas pada wilayah disekitar jamaah pengajiannya. Pengurus lumbung yang juga pengurus pengajian kurang mendapat dukungan dan pada awalnya
ditentang justru dari aparat pemerintahan desa
setempat, belum lagi tuduhan sebagai kelompok agama yang mengeksklusifkan diri dari lingkungan sekitar. Secara bertahap pengurus mulai menginisiasi warga masyarakat
melalui materi-materi pengajian yang berisikan maklumat dan
keutamaan bersedekah, kewajiban membantu sesama yang membutuhkan dan manfaat menabung.
109
Tentunya dengan kerja keras pengurus, lambat laun mulai ada respon dan mulai terkumpul gabah yang diperoleh dengan mendatangi dari rumah ke rumah, hingga saat kondisi sekarang dimana para warga dengan kesadaran sendiri menyerahkan hasil panennya kepada pengurus lumbung yang juga dikelola secara simpan pinjam. Ada salah seorang warga yang merelakan rumahnya sebagai tempat untuk menampungnya. Pengelolaan lumbung pangan yang dilakukan oleh ibu-ibu pengajian di Dukuh Geneng, Desa Jambakan menunjukkan bahwa pemberdayaan bisa dilakukan pada tingkat komunitas.
Lumbung Desa ini
awalnya berdiri pada tahun 1993 atas ide Bapak Subagya untuk mengatasi paceklik atau puso, melalui pengumpulan zakat dari hasil panen atau derep yang tidak ditentukan batasnya. Zakat yang terkumpul disimpan di Masjid dan nantinya dapat digunakan saat musim paceklik atau puso dengan sistem pinjaman walaupun masih terbatas baru untuk masyarakat dukuh Geneng saja. Dalam perjalanannya, lumbung ini sempat terhenti sekitar tahun 19951996. Pada tahun 1997 lumbung ini kemudian dilanjutkan lagi tetapi oleh ibu-ibu kelompok pengajian Aisyiah. Gabah kering yang telah terkumpul kemudian di simpan di rumah salah seorang pengurus. Hingga saat ini telah terkumpul sekitar 2.175 kilogram dan belum dipinjamkan. Lumbung Desa ini juga menerima infak berupa uang tunai yang digunakan untuk membeli karung atau bagor. Pembentukan lumbung pangan yang dikelola oleh ibu-ibu pengajian ini lebih didasarkan pada pemahaman keagamaan yang kuat tentang hakekat sedekah dan pengelolaannya yang syar'i. Keterbatasan pemilikan lahan juga telah mendorong berkembangnya sistem bagi hasil pengelolaan lahan dengan sistem “maro”. Melalui mekanisme bagi hasil “maro” tersebut, maka para petani tanpa lahan dan juga petani gurem dapat menggarap di lahan-lahan milik tetangganya yang memiliki lahan yang relatif lebih luas. Pada dasarnya sistem “maro” di kalangan masyarakat petani di pedesaan, merupakan salah satu mekanisme “berbagi” dalam memanfaatkan sumberdaya lahan yang terbatas. Tabel 13 merinci kelembagaan ketahanan pangan lokal yang mendukung kehidupan masyarakat pedesaan di Desa Jambakan.
110
Kelembagaan
pangan
dalam
masyarakat
desa
Jambakan
adalah
kelembagaan yang mengatur berbagai aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menuju kondisi ketahanan pangan, yaitu diantaranya arisan sembako, arisan bahan bangunan, warung kelontong, beras jimpitan, tenun lurik, warung angkringan, gaduhan ternak, maro sawah, simpan pinjam, pengajian, kelompok sinoman, lumbung desa, dan karawitan. Hubungan dan transaksi ekonomi rumahtangga-rumahtangga miskin baik itu untuk kegiatan produksi maupun konsumsi, didasarkan pada modal kepercayaan. Dalam kegiatan ekonomi yang mereka sudah terbiasa meminjam atau memakai dulu segala sesuatu penunjang kegiatan dan akan dibayarkan atau dikembalikan ketika panen tiba
atau ketika sudah punya kemampuan untuk
membayar. Tabel 13. Identifikasi Kelembagaam Ketahanan Pangan Lokal Kelembagaan ketahanan pangan
Tata Aturan (Nilai-nilai)
hubungan dan transaksi ekonomi rumahtanggarumahtangga miskin baik itu untuk kegiatan produksi maupun konsumsi, didasarkan pada modal kepercayaan Sumber : data primer diolah, 2008 Pedagang (Warung), bank keliling, dan hubungan kerja basis keluarga/kelompok (angkringan, arisan RT/RW, tenun, gaduhan, ternak kambing, maro sawah, lumbung pengajian, sinoman )
Jangkauan Kelembagaan
Keanggotaannya dapat diakses oleh semua rumah tangga (miskin) pedesaan sesuai wilayah (arisan RT/RW), yang memiliki alat (tenun) dan memiliki kesamaan persepsi (lumbung pengajian)
Keberpihakan terhadap kepentingan rmt miskin Kelembagaan dibangun dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat desa Jambakan cukup bisa mengakomodir kepentingan rumah tangga miskin
Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan
Kondisi sumberdaya alam dan pertanian yang sangat terbatas telah mendorong masyarakat petani di Desa Jambakan untuk mengatasi masalah tersebut secara kolektif. Beberapa upaya untuk mengatasi hambatan sumberdaya alam tersebut yakni dengan cara membangun kelembagaan-kelembagaan kolektif baik itu yang berupa lembaga ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
111
Kelompok kepentingan atau aktor yang terlibat dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal meliputi kelompok pengajian, kelompok usaha tenun, arisan RT/RW, juga kelembagaan program Mapan.
Kegiatan
lumbung disini mampu menjadi penjamin kebutuhan pangan komunitas, terutama pada musim puso. Pemberdayaan pada tingkat komunitas ini dapat berlangsung karena kuatnya modal sosial. Proses penguatan dalam pengelolaan lumbung ini tidaklah sebentar dan tidak juga mudah. Pada tahap awal penguatan pengurus lumbung yang juga pengurus pengajian bahkan sangat kurang mendapat dukungan dan pada awalnya bahkan juga ditentang aparat pemerintahan desa setempat, ada juga tuduhan bahwa kelompok agama ini mengeksklusifkan diri dari lingkungan sekitar. Secara bertahap pengurus mulai menginisiasi warga masyarakat melalui materi-materi pengajian yang berisikan maklumat dan keutamaan bersedekah, kewajiban membantu sesama yang membutuhkan dan manfaat menabung.
Lambat laun
mulai ada respon dan mulai terkumpul gabah yang diperoleh dengan mendatangi dari rumah ke rumah, hingga saat kondisi sekarang dimana para warga dengan kesadaran sendiri menyerahkan hasil panennya kepada pengurus lumbung yang juga dikelola secara simpan pinjam. Kelembagaan ketahanan pangan lokal yang tumbuh di dalam masyarakat terutama yang terkait dengan kelembagaan-kelembagaan sosial-ekonomi kolektif di tingkat komunitas memiliki peran besar dalam mengatasi hambatan keterbatasan sumberdaya alam dan juga dalam upaya saling berbagi dan bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga masyarakat desa.
Nilai-nilai dan kelembagaan lokal tersebut seyogyanya dapat terus dijaga
dan ditingkatkan kapasitasnya dalam upaya mendukung ketahanan pangan masyarakat tersebut. Pada awal program bergulir yaitu tahun 2006, pendamping program mapan yang berjumlah dua orang semuanya berasal dari non-aparat dan keduanya adalah pendamping non-teknis. Memasuki tahun ketiga yaitu tahap pengembangan dimana sudah ada desa pemangku program yang baru, pendamping tiap desa hanya satu dengan dibantu satu orang petugas penyuluh teknis kecamatan.
112
Pada kondisi masyarakat yang berada dalam ”lingkaran ketidakberdayaan” seperti masyarakat desa Jambakan ini, adanya pihak lain yang dapat berfungsi sebagai ”penstimulir” atau pendorong yang dapat menyakinkan masyarakat miskin akan adanya daya yang mereka miliki adalah sangat diperlukan. Salah satu pihak tersebut adalah pendamping. Oleh karena itu pendamping perlu dilatih agar dapat meningkat kapasitas dan kompetensinya sebagai pendamping. Tugas pendamping
pada
program
desa
Mapan
adalah
melakukan
kegiatan
mengumpulkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, menumbuhkan dan membimbing kader tim pangan desa (TPD) dan lembaga keuangan desa (LKD) agar dapat berperan sebagai penggerak pembangunan ketahanan pangan ditingkat desa, membimbing kelompok afinitas yang sudah dibentuk untuk mengembangkan usaha yang menguntungkan. Pendamping bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan antara masyarakat desa dengan pihak atas desa. Kaitannya dengan program mapan, pendamping harus mampu menafsirkan maksud dan tujuan program Mapan dari pusat sesuai dengan kekhasan sosial, ekonomi, politik dan budaya setempat. Serta, pendamping juga harus memiliki kemampuan untuk mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan golongan rumah tangga miskin di pedesaan melalui program yang sedang dijalankan. Kelemahan
dinas
pertanian
kabupaten
Klaten
dalam
perekrutan
pendamping program Mapan di Desa Jambakan adalah semuanya yaitu sejumlah dua
orang
merupakan
pendamping
non-teknis.
Kelemahan
kegiatan
pendampingan yang selama ini dilakukan adalah karena pendampingan hanya dari sisi managemen administrasi kelompok dan tidak menyentuh sama sekali terhadap hal-hal teknis dan memang kelemahan pendamping program mandiri pangan di kabupaten Klaten adalah tidak disediakan pendamping teknis.
Seperti
diungkapkan diatas bahwa pendamping juga bertugas mengkader TPD dan LKD supaya siap menggantikan fungsinya pada tahun keempat walaupun pada dasarnya posisi antara pendamping dengan kedua kelembagaan tersebut adalah setara. Kendala yang dihadapi oleh pendamping dalam menjalankan tugas ini adalah dalam hal aturan teknis yang bisa dijadikan acuan oleh TPD/LKD pada saat menyelesaikan perbedaan maupun permasalahan yang ada.
113
Hal ini seperti diutarakan oleh pendamping dalam petikan wawancara sebagai berikut :
“.........antara TPD dengan pendamping sebenarnya posisinya sama, karena TPD yang akan menggantikan pendamping nantinya, kendala yang ada adalah bahwa mereka belum paham job-desk nya bagaimana, keterlibatan tpd seperti apa, juga bingung tentang statusnya, belum lagi permasalahan di tingkat kelompok.....” (Ery, 35 tahun, pendamping program Mapan desa Jambakan)
Sebagai contoh kasus adalah ketika dilakukan pembagian bibit di kelompok ternak, pemilihannya sudah disepakati dengan sistem dikocok/di-lotre, setelah pemilihan ternyata masih ada saja yang mempertanyakan dan tidak puas dengan hasilnya.
Masih ada yang merasa ukuran kambing tidak sebanding
dengan harganya dan sebagainya.
Tindakan yang diambil oleh pendamping
adalah mengumulkan semua anggota dan menjelaskan kemudain dibuka forum diskusi bagi siapa saja yang masih keberatan dipersilahkan bicara. Selama tidak berani menyampaikan di forum maka dianggap sudah tidak ada masalah lagi. TPD belum memiliki keberanian seperti itu, masih ewuh pakewuh karena dengan kerabat sendiri. Selama ini pendamping hanya bertemu dengan ketua kelompok atau pengurusnya. Pendamping tidak tahu anggota kelompok yang didampinginya itu orangnya yang mana saja. Fungsi pendamping sebenarnya sangat krusial dalam membina aktivitas kelompok dan menyertai kelompok dalam proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok baik sebagai fasilitator (pemandu), komunikator (penghubung) ataupun dinamisator (penggerak).
Antara pendamping dengan
masyarakat miskin harus saling mengenal antara kedua belah pihak sehingga terbangun kepercayaan yang kuat.
Komunikasi intensif harus terjadi antara
pendamping dan anggota kelompok. Merupakan tugas pendamping juga untuk menumbuhkan ”sense of belonging” dari anggota kelompok terhadap keseluruhan aktivitas program mandiri pangan. Pendamping yang ada tidak tinggal di desa walaupun sebenarnya ada biaya living cost dari program mapan. Pendamping berkewajiban menyelami persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
114
Terlebih lagi permasalahan masyarakat dalam hal peningkatan kemampuan daya beli warga terhadap pangan sehingga terbebas dari ”kerawanan pangan”nya. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan pendamping tinggal bersama masyarakat. Untuk itu perlu dibangun kesepakatan yang jelas antara warga dan pendamping dalam melaksanakan kegiatan bersama.
Secara umum, pemerintah dan pihak
swasta juga bertanggungjawab sebagai pendamping dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Integrasi aktor yang terlibat dalam memberdayakan kelompok afinitas dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Program Desa Mapan dan Tingkat Keterlibatannya dalam memberdayakan kelompok afinitas. Pihak-Pihak yang Terlibat dan tingkat keterlibatannya dalam proses pemberdayaan kelompok Afinitas Program Desa Mapan 1. Kelompok afinitas
sedang
2. Pendamping
sedang
3. Tim Pangan Desa
sedang
4. Lembaga Keuangan Desa
Sangat Rendah
5. Kantor Kecamatan
Sangat Rendah
6. Kantor Ketahanan Pangan
Sedang
7. Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten
Rendah
8. Dinas/Instansi lain terkait program
Sangat Rendah
Keterangan : Tingkat keterlibatan diukur berdasarkan range (Tinggi - Cukup -Sedang Rendah - Sangat Rendah)
Bertemunya beberapa kepentingan yang berbeda dari masing-masing aktor dalam interaksi tersebut, disatu sisi mengganggu proses pengembangan kelembagaan ketahanan pangan.
Kepentingan kelembagaan lokal dalam
pengelolaan ketahanan pangan adalah dalam hal pemenuhan jaminan ketersediaan pangan, sedangkan program Mapan dikembangkan dalam hal pemodalan (yang dalam pelaksanaannya bias elit). Kelompok yang paling dirugikan atas hal ini adalah kelompok rumah tangga miskin yang pada akhirnya terpinggirkan karena tidak memiliki akses untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui penguasaan aset/modal di program Mapan. Gambar 2 menunjukkan dimensi kepentingan dalam pengelolaan ketahanan pangan di Desa Jambakan.
115
• kepentingan elit Desa (lurah) atas Program kpd batih-nya Spy tdk ucul soko
Kegiatan Program Mapan
Gendongan
• kepentingan koperasi MP sebagai LKD untuk mengelola Dana (demi kepentingan Pribadi-disamakan dg Program sebelumnya) • kepentingan dinas Pertanian (sie kethnan Pangan) atas pmbntukn Kantor sie ini terpisah Melalui program mapan Kontrol dari Pendamping lemah
Tidak ada pendamPing teknis
• Angg Kelmpk Afinitas tdk semua RT miskin • Pembentukan pengurus TPD/LKD berdsrkn penunjukn Shg kelembagaan Lemah&tdk aktif • Tidak jelasnya Aturan tentang Pengembalian dana Ke LKD • Pengelolaan mapan Berorientasi proyek Shg nilai yg ada dana Mapan adlh hibah
Dukungan Pemerintah “atas desa” lemah
Pengembangan Kapasitas SDM : 1. Ada Pelatihan teknis 2. Magang belum ada 2. Kompetensi pendamping lemah
Pengembangan Teknologi : Ada pengembangan usaha, jumlah Usaha & modal kelompok Fasilitasi : 1. Peningkatan modal & jumlah Anggota terbatas 2. Jaringan pasar terbatas
Implementasi Program Mapan : 1. Belum mampu memBerdayakan kelembgn Ketahann pangan lokal (kelmbgaan yang terbangun msh elitis), Msh pd peningkatan Modal 2. Program berpotensi macet krn pengelolaan nya fiktif dan dikuasai oleh orang2 tertentu 3. Kepentingan rmt Petani miskin tidak Terakomodir dg baik Dan msh mnjd obyek pembangunan
Gambar 2. Kelompok Aktor dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan
Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan Pendekatan pemberdayaan rumah tangga miskin pada desa rawan pangan melalui program aksi mandiri pangan di Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa kemampuan anggota kelompok afinitas di desa Jambakan baru pada taraf akses modal. Belum berkembangnya kelembagaan dalam kelompok afinitas program Mapan ditemukan beberapa kendala, yaitu adanya berbagai kepentingan dari para pelaku kegiatan mapan yang menyebabkan tidak terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin. Menarik selanjutnya apabila pendekatan pemberdayaan dari pemerintah melalui program mapan khususnya di desa Jambakan dibandingkan dengan pendekatan pemberdayaan tingkat komunitas (kasus lumbung pangan pengajian Aisyah dukuh Geneng) yang sudah bisa secara mandiri mengelola kelembagaan pangan komunitas dan mulai berkembangnya kelompok.
116
Mekanisme perguliran dana yang ada dalam Program mandiri pangan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Masyarakat harus belajar untuk mengetahui bahwa tidak semua bantuan pemerintah bersifat hibah, menerima dan menjalankan program dengan penuh tanggungjawab karena pada akhirnya dana yang digulirkan tersebut harapannya akan dinikmati juga oleh kelompok miskin yang lain. Untuk kasus program Mapan di Desa Jambakan, gejalanya adalah bahwa selama pada saat dimulainya program mandiri pangan baru pada tahap persiapan, tampak bahwa kekuatan instrumen pendampingan masih tak berdaya menghadapi perilaku birokrasi, terutama dalam hal pembentukan serta pemilihan anggota kelompok afinitas yang akan menerima program maupun yang akan menjadi tim pangan desa maupun lembaga keuangan desa. Gambar 3 menunjukkan relasi aktor dan dimensi kepentingan dalam implementasi program Mapan.
ora ucul soko gendongan
Suami-isteri
TPD Rmt mskin
LKD
•B •S •M •T •Y
Rangkap Jabatan Elit Desa
Suami-isteri
Perangkat Desa, Pengusaha lokal
•Ss •B •D
Adik-kakak (koperasi MP)
Suamiisteri Subur (aneka usaha
Mekarsari (Tenun)
Trijaya Perkasa (kambing)
Gambar 3 : Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Program Aksi Mandiri Pangan
117
Tekanan terhadap sistem oleh pihak birokrasi masih juga tampak jelas pada beberapa kelompok. Misalnya: tidak transparanya informasi tentang waktu pencairan dana kepada kelompok sehingga menimbulkan banyak dugaan sehingga pada awal penumbuhan kelompok ada beberapa yang mengundurkan diri, kepastian tentang ada tidaknya insentif bagi pengurus serta biaya operasional untuk pertemuan bulanan, serta adanya dugaan intervensi dalam pilihan tenaga pendamping bagi kepentingan pribadi oknum pejabat. Fenomena tersebut di atas mudah-mudahan dapat memberi pemahaman kepada pemrakarsa proyek untuk selanjutnya bahwa sebelum melaksanakan pemberdayaan melalui jalur birokrasi, maka terlebih dahulu perlu memberdayakan aparat birokrasi yang
terkait, sehingga mereka mampu melepaskan sekat
ketakberdayaan masyarakat yang sering kali mereka ciptakan. menjadi prasyarat bagi setiap proyek pemberdayaan mana pun.
Hal ini perlu Selanjutnya
adalah melihat sudah sejauh mana terjadinya partisipasi kelompok afinitas yang dibentuk dalam program ini. Partisipasi pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka ruang berkarya bagi
masyarakat
lemah
dalam
proses
pembangunan
diri
dan
kelompok/komunitasnya. Ruang partisipasi dibuka melalui proses pendampingan dan fasilitasi dana mandiri pangan dalam wadah yang mereka miliki, yaitu kelompok afinitas.
Seharusnya, jenis usaha yang dikelola dalam kelompok
afinitas adalah milik warga, maka sewajarnya mereka otonom mengelola sumberdaya yang masuk/atau yang dimiliki oleh para “pemangkunya”.
Dengan
kata lain, sebenarnya terdapat batas yang jelas antara birokrasi dengan warga, yaitu bahwa birokrasi berjalan dalam sistem pelayanan kepada masyarakat, sementara warga berpartisipasi dalam sistem tersebut melalui wadah kelompok afinitas.
Dalam hal ini terdapat aturan program dari pemerintah, tetapi juga ada
otonomi masyarakat yang tidak dapat ditembus oleh sistem tersebut, yaitu otonomi kelembagaan kelompok afinitas, seperti kasus kelompok tenun mekarsari di desa jambakan yang tidak bersedia menyalurkan angsuran dana nya melalui LKD. Aturan yang dibangun dalam program mapan oleh pemerintah adalah pokoknya saja yang menjadi kewajiban, sedangkan operasionalisasinya sebaiknya sesuai dengan cara yang selama ini sudah dijalankan oleh kelompok.
118
Misalnya, pertama, dana mandiri pangan adalah dana bergulir milik desa, bukan dana abadi dalam suatu kelompok.
Pengertian bergulir dalam hal ini
adalah bahwa dana tersebut harus dapat dimanfaatkan kembali oleh warga lain yang belum menggunakannya, dengan cara membangun kelompok baru. Kedua, dana mandiri pangan adalah instrumen untuk meningkatkan daya beli dalam konteks ketahanan pangan melalui peningkatan skala usaha yang digelutinya masing-masing. Dengan demikian dana mandiri pangan adalah bukan dana bantuan sosial melainkan dana untuk usaha yang seyogya-nya adalah usaha dalam arti luas, dalam rangka melanjutkan komitmen menjaga ketahanan pangan desa melalui pengembangan usaha ekonomi produktif dari kelompok afinitas sebagai wadah kegiatan sosial ekonomi masyarakat pedesaan . Ketiga, dalam penyelenggaraan dana mandiri pangan diberikan fasilitas pendampingan untuk kegiatan tekhnis usaha dan managemen organisasi kelompok untuk jangka waktu tertentu. Juga dibangun kelembagaan TPD dan LKD yang akan bertugas melanjutkan kegiatan pendampingn. Dengan kata lain di dalam kelompok afinitas seharusnya tercipta mekanisme untuk mentrasfer kemampuan pendampingan dari pihak luar kepada anggota kelompok dan kelembagaan yang ditumbuhkan, sehingga dalam jangka waktu tertentu kegiatan pendampingan dapat diambil alih oleh warga setempat atau proses pendampingan menjadi satu kesatuan dengan peran kepengurusan. Pada saat berlangsung penelitian, tahapan pelaksanaan program memasuki tahun ketiga, yaitu tahap pengembangan dan dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun melalui pengembangan kapasitas masing-masing lembaga sesuai dinamika dan peluang yang ada, seperti lembaga masyarakat (melalui pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana, peningkatan skala usaha dan diversifikasinya untuk kelayakan pendapatan secara ekonomi serta penerapan teknologi untuk perbaikan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan pangan). Dalam tahap ini juga mengembangkan gerakan konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman serta pengembangan sistem pemantauan, deteksi dan respon dini kerawanan pangan melalui lembaga pelayanan masyarakat.
119
Pelatihan-pelatihan tehnis bagi kelompok afinitas antara lain pelatihan teknik perpaduan warna pada kain tenun ATBM, pembuatan aneka criping, dan pelatihan pemeliharaan kambing dan ayam. Salah satu kelompok afinitas di desa Jambakan yaitu kelompok Mekarsari, semula merupakan kelompok usaha produksi kain tenun tradisional. Pengurus kelompok kemudian mendapatkan pelatihan mengenai teknik pewarnaan dan pengembangan pola (design) tenun sebagai bahan pakaian jadi. Pengembangan ketrampilan dilakukan melalui inovasi pemanfaatan bahan-bahan pewarna yang tahan luntur, juga dengan meningkatkan kehalusan benang serta variasi warna dan pola kain yang dihasilkan. Peningkatan kapasitas diri pengurus ini diharapkan dapat mempengaruhi penenun tradisional disekitarnya untuk merubah cara bertenun yang berorientasi pada kain gendongan menjadi bahan pakaian jadi. Namun hal ini nampaknya masih mendapat tantangan cukup berat, baik dari sisi kebiasaan bertenun, pemasaran, dan perputaran modal yang dianggap oleh penenun tradisional masih lebih mudah dengan menggunakan cara tradisional. Melihat kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa upaya pelatihan teknis bagi kelompok afinitas masih membutuhkan tindak lanjut dari pihak-pihak berkepentingan (dinas terkait) untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi terutama dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran. Upaya pendamping untuk mencarikan bahan baku dan pemasaran perlu didukung oleh Dinas terkait untuk memfasilitasi sarana dan prasarana serta mendorong produk yang dihasilkan untuk berorientasi pada kebutuhan pasar. Kegiatan pendampingan di program mandiri pangan pada hakekatnya merupakan proses
memfasilitasi proses-proses pengambilan keputusan dalam
kelompok, memfaslitasi proses penyusunan aturan-aturan kelompok, memotivasi warga, dan bersama-sama belajar tentang bagaimana membuka jalur bagi pengembangan kelompok, baik secara ekonomi, politik dan budaya kepada pihakpihak yang dirasa memiliki komitmen untuk mentrasfer pengetahuan kepada kelompok pada saatnya kelak jika diperlukan oleh kelompok afinitas. Pendamping yang memahami prinsip-prinsip pendampingan seperti tersebut di atas, akan membangun proses interaksi berkelanjutan hingga jangka waktu tertentu.
Proses membangun interaksi harmonis merupakan kebutuhan bagi
pendamping dan bagi kelompok afinitas sebagai pelaksana kegiatan.
120
Seorang pendamping harus berniat dan mempunyai cara pandang bahwa pada suatu saat kelompok afinitas tak lagi membutuhkannya dalam konteks kegiatan yang sedang berlangsung, karena mereka sudah bisa berjalan sendiri berbekal dari proses-proses interaksi yang dibangun bersama selama masa pendampingan.
Dengan demikian menjadi kewajiban bagi seorang pendamping
untuk menyelami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat khususnya permasalahan yang dialami oleh warga desa dampingannya yang terkait dengan peningkatan kemampuan daya beli warga terhadap pangan yang berkualitas. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan tinggal bersama masyarakat. Perlunya seorang pendamping tinggal bersama masyarakat adalah karena persoalan-persoalan berkenaan dengan kegiatan usaha terkait program mandiri pangan yang sedang berjalan tidak muncul dari pemikiran yang bisa direncanakan, melainkan muncul dari peristiwa yang dialami oleh warga pada saat-saat tertentu. Karena situasi tertentu tersebut maka kebutuhan pelayanan pendampingan harus dilakukan pada saat itu juga, atau tidak dapat menunggu waktu yang lebih lama. Pelaksanaan pendampingan program mandiri pangan di desa Jambakan dilakukan dengan pola kunjungan insidentil, maka persoalan-persoalan yang terjadi selama program berlangsung tak terdeteksi secara sempurna oleh pendamping, dan karena itu bisa jadi banyak persoalan yang dihadapi oleh kelompok dampingan terlewatkan begitu saja.
Pendamping kemudian datang
pada waktu yang direncanakannya (misalnya pada saat pertemuan rutin bulanan yang mungkin juga sudah dijadwalkan bersama warga dampingan) dengan membawa materi yang telah disepakati jauh hari sebelumnya (sudah diagendakan).
Pada akhirnya jika seperti itu yang terjadi, dikhawatirkan fungsi
pendamping sebagai fasilitator
berubah menjadi guru yang konsen dengan
kurikulum yang kaku dan telah dipersiapkan dari rumah; bukan
berupaya
memecahkan persoalan dari situasi lapangan yang berkembang selama proses pendampingan. Persoalan pemberdayaan masyarakat melalui program mandiri pangan di kabupaten Klaten yang tidak kalah pentingnya adalah aspek fasilitasi dari pemerintah.
121
Fasilitasi pada hakekatnya adalah memberikan kemudahan kepada kelompok-kelompok afinitas dan kelembagaan TPD dan LKD yang dibangunnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan tertentu. Istilah memfasilitasi, mengandung makna bahwa pihak fasilitator tidak memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang bersifat individual, kecuali komitmen pemberdayaan terhadap kelompok afinitas. Yang difasilitasi dalam hal pemberdayaan rumah tangga miskin di desa rawan pangan adalah masyarakat (kelompok afinitas), TPD dan LKD, pemerintah daerah (sie ketahanan pangan dinas pertanian kabupaten), dan para pendamping untuk secara bersama-sama mengembangkan kelompok afinitas menjadi suatu kelembagaan yang bisa diakses oleh warga secara sosial, ekonomi dan politik. Selanjutnya secara keseluruhan pihak yang satu menjadi fasilitator bagi pihak yang lain secara timbal balik. Pihak yang difasilitasi dan yang memfasilitasi perlu belajar dari proses tersebut, baik untuk kepentingan penyusunan kebijakan, untuk kepentingan praktis dalam pengembangan kemampuan diri dan masyarakat. Dengan prinsip tersebut di atas, maka proyek berjalan di atas rel yang bebas dari unsur-unsur pemaksanaan. Artinya instrumen atau aturan apapun yang diperkenalkan kepada kelompok afinitas, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pendamping maupun pihak swasta harus membuka peluang untuk berdialog dengan pihak-pihak yang terkait, di bawah koridor prinsip-prinsip pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan. Mekanisme perguliran dalam penyelenggaraan program tertentu pada dasarnya adalah pendayagunaan aspek-aspek fasilitasi agar dapat bermanfaat dalam lingkup yang lebih luas, terutama
bertambahnya jumlah orang yang
mendapatkan akses dari kelembagaan yang ada. Pertanyaannya adalah bagaimana cara agar dana tersebut bergulir secara efektif tanpa menimbulkan prasangka di antara warga yang sama-sama sangat membutuhkan dengan pihak-pihak dari luar, baik pendamping maupun dari pejabat dinas setempat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan baru pada sisi managemen belum pada hal teknis karena memang kelemahan pendamping program mandiri pangan di kabupaten Klaten adalah tidak disediakan pendamping teknis. Untuk tahun 2008 pendamping tiap desa hanya satu bersama penyuluh teknis kecamatan.
122
Dalam proses pembentukan Tim Pangan Desa hanya didasarkan atas penunjukkan dari Kepala Desa. Kelembagaan TPD belum berjalan secara efektif bahkan bisa dikatakan belum berfungsi walaupun sudah beberapa kali diberikan pelatihan baik di kabupaten maupun di tingkat propinsi. Konflik internal yang terjadi pasca pilkades harus diakui sangat mempengaruhi jalannya komunikasi antar sesama anggota TPD. Selain itu, dikarenakan proses pembentukannya adalah penunjukkan langsung sehingga ada anggota TPD yang anggota keluarganya tercatat juga sebagai penerima bantuan sekaligus sebagai anggota LKD. Dikarenakan tidak adanya kepastian tentang insentif
yang diperuntukkan bagi anggota TPD
sehingga hanya satu orang saja yang terlibat aktif. Selanjutnya dibentuk Lembaga Keuangan Desa (LKD) yang berfungsi untuk menggulirkan dana bantuan mapan, pada tahun keempat setelah semua anggota mengembalikan dana pinjaman dalam kelompok. Dasar pembentukan LKD adalah pertimbangan kepraktisan dengan menunjuk koperasi makmur perkasa yang sebelumnya sudah ada. Dan hal ini sah-sah saja karena dalam pedoman umum program mandiri pangan juga merumuskan pengembangan dan penguatan kelembagaan yang sudah ada, sejauh kelembagaan tersebut bisa amanah menjalankan fungsinya dan pengurus koperasi bersedia. Sampai pada tahun ketiga LKD bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana semestinya. Koperasi MP yang didaulat untuk menjadi LKD mapan memiliki raport merah dalam hal pengelolaan bantuan.
Demi kebaikan bersama dan demi
keuntungan pihak-pihak tertentu, warga masyarakat yang mengetahui hal ini memilih untuk tutup mulut saja. Kemampuan kelembagaan keuangan desa Jambakan untuk mengawal dan menjaga dana arisan tingkat RT sangat bagus, tetapi ketika mengelola dana yang datang dari luar desa, misalnya dana program mapan, justru sebaliknya. LKD mapan yang berfungsi untuk menggulirkan dana bantuan mapan, pada tahun keempat setelah semua anggota mengembalikan dana pinjaman dalam kelompok tidak berfungsi bahkan cenderung bermasalah. Sampai pada tahun ketiga di tahap pengembangan, pada kenyataannya LKD bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana semestinya.
123
Selama pengamatan di lapang dalam penelitian, proses perguliran dana mandiri pangan, terlepas dari ada tidaknya keterkaitannya dengan aturan operasional program mandiri pangan, terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan perhatian dan evaluasi bersama kepada program mandiri pangan selanjutnya dalam hal kelenturan aturan perguliran.
Diantaranya adalah, pertama, proses
perguliran harus berlangsung secara sambung-menyambung seperti air mengalir dari suatu tempat ke tempat lain; bukan merupakan suatu loncatan. Aliran air tersebut ditata sedemikian rupa sehingga tidak tertumpah ke luar wadah yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain, pihak yang menerima perguliran memiliki kaitan erat dengan “pusat” dalam hal ini “penerima dana pertama”, baik secara emosional maupun dalam konteks jaringan usaha. Karena itu pihak yang menerima perguliran adalah pihak yang dikenali karakternya oleh pihak yang menggulirkannya, dan karena itu kedua pihak (yang menggulirkan dan yang menerima dana guliran) memiliki tanggungjawab moral untuk mensukseskan proyek secara keseluruhan. Keunggulan dengan cara seperti ini adalah pendampingan pihak luar menjadi minimal, karena “penerima dana pertama” telah belajar dari proses yang juga terus dipantau oleh pihak yang menjadi calon penerima perguliran berikutnya. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa cara seperti ini ada banyak kelemahan jika tidak didukung oleh dukungan aparat pemerintahan desa yang berwibawa dan masih memiliki kekuatan mengatur masyarakatnya Bahwasanya, masih banyak masyarakat pedesaan yang mempunyai anggapan semua program bantuan dari pemerintah bersifat hibah adalah benar. Dalam istilah mereka, tidak mungkin nyusuki negoro, sehingga ketika masuk program mandiri pangan yang dalam pengelolaan dana nya dengan perguliran, sudah ada anggota kelompok (hasil wawancara dengan bu carik) termasuk juga kepala desa-nya yang memprediksi perguliran dana program ini akan bermasalah, kalau tidak bisa dikatakan macet, karena menganggap sama seperti programprogram sebelumnya. Dan, hal ini yang terjadi di desa Jambakan. Dari tiga kelompok afinitas bentukan program mandiri pangan, ketiga-tiganya belum bersedia menggulirkan dananya ke LKD, satu diantaranya yaitu kelompok usaha ternak kambing
124
melaporkan semua kambingnya mati, kelompok aneka usaha tidak bisa dilihat perkembangan usahanya karena dana digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari dan kelompok tenun dianggap menyalahi aturan program. Masih banyak yang beranggapan seperti itu karena pertama, pasca bencana gempa Yogjakarta tahun 2006 kemarin, desa ini mengalami kerusakan yang cukup berat, banyak sekali bantuan yang masuk baik dari pemerintah, swasta maupun dari luar negeri, dan sudah pasti bersifat hibah. Kedua, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam pengelolaan dana bergulir seperti ini tidak ada tindakan atau sanksi apapun terhadap mereka yang tidak mengembalikan. Dalam istilah mereka tidak mungkin pemerintah menjarak-ne rakyat-e yang tidak mengembalikan dana program yang sebenarnya juga uang rakyat juga. Ketiga, adanya perilaku beberapa elit desa yang menggelapkan sejumlah bantuan (hasil wawancara tentang kasus bantuan untuk koperasi makmur perkasa) dan ini seperti menjadi tameng atas pembenaran tindakannya. Dalam hal pemasaran, menunjukkan bahwa anggota kelompok tenun tidak memasarkan hasil tenunnya melalui kelompok. Padahal sebenarnya salah satu tujuan dibentuk kelompok afinitas dalam program mandiri pangan ini adalah agar anggota kelompok bisa mengembangkan usahanya secara bersama-sama. Tidak demikian pertimbangan anggota kelompok tenun, menurut mereka bahwa dalam pemasaran tidak bisa dilakukan dalam kelompok karena ada bakul-bakul keliling yang sudah dari dulu ada. Jika dijual dalam kelompok, maka akan ada konflik dengan para pedagang bakul tersebut. Lagi pula kebutuhan anggota berbeda-beda, sehingga anggota biasanya menjual hasil tenun tersebut sesuai kebutuhannya. Para pengrajin tenun di desa jambakan kebanyakan masing-masing sudah mempunyai jaringan sendiri-sendiri kemana ambil benangnya maupun akan kemana menjualnya. Bisa dikatakan mereka belum menggunakan kekuatan kelompok untuk berhadapan dengan pedagang. Harapan program mapan dapat melatih para pengrajin untuk mengelola usahanya secara berkelompok sehingga jika dikelola dalam kelompok seperti itu mereka lebih mempunyai posisi tawar dalam berhadapan dengan pedagang sehingga sampai bisa menentukan harga jual sendiri misalnya. Jadi nanti pedagang berurusannya dengan kelompok afinitas.
125
Belum bisa dijalankan seperti itu dikarenakan kelompok afinitas dibentuk tidak atas kesadarannya dan kebutuhannya sendiri untuk membangun kekuatan tetapi lebih didasarkan untuk keperluan pengajuan proposal supaya bisa mendapatkan bantuan. Karena memang selama ini bentuk bantuan dari luar desa diberikan tidak kepada individu tetapi kepada kelompok. Kelompok tenun Mekar Sari telah dianggap menyalahi aturan karena telah menggulirkan dana ke non anggota tanpa melibatkan Lembaga Keuangan Desa (LKD). Kelompok afinitas Mekarsari sudah menggulirkan sendiri ke sepuluh warga masyarakat sekitar yang diketahui juga mengusahakan tenun dan memerlukan modal dengan aturan sendiri yang sedikit berbeda dengan aturan untuk anggota afinitas penerima pinjaman yang awal (misalnya, pinjaman untuk 10 orang dengan ketentuan ; pinjam Rp 1 juta tetapi hanya mendapat Rp 900 ribu, dipotong Rp 100 ribu untuk untuk bunga. Pinjaman tersebut dibayar dalam jangka waktu 10 bulan dengan cicilan Rp 100 ribu/bulan, berarti bunga nya sebesar 10% padahal yang diberikan kepada anggota mandiri pangan hanya bunga 1% dan hal ini yang dianggap oleh irjen sebagai
menyalahi
aturan).
Secara
obyektif
kelompok
tenun
tidak
menyelewengkan dana mapan, dana dikelola dengan baik tapi memang tidak sesuai dengan pedoman umum mapan. Tindakan ketua kelompok ini sebenarnya juga
sepengetahuan
pihak
dinas
pertanian
kabupaten
yang
telah
menginformasikan kepada salah seorang anggota TPD bahwa diperkenankan menggulirkan dana mapan ke warga lain yang membutuhkan dengan syarat sepengetahuan anggota. Hal ini juga yang bisa menjadi masukan untuk pelaksanaan program mapan berikutnya, bahwa perlu ada kejelasan kebijakan dalam hal sejauhmana aturan normatif bisa dilenturkan pada level kabupaten sebagai pemegang wewenang dan pada level desa sebagai wilayah pelaksananya. Pada saat proses penumbuhan anggota afinitas, bahwasanya memang dengan pertimbangan bahwa pendamping tidak berasal dari desa setempat, maka pemilihan anggota kelompok yang akan menerima bantuan dipercayakan kepada Tim Pangan Desa. Seharusnya sasaran utama yang menjadi anggota adalah KK miskin, tetapi dalam tiga kelompok yang ada, anggota dipilih berdasarkan hubungan kekerabatan dengan aparat desa (lama).
126
Alasannya adalah karena telah mengetahui karakter individu tersebut dan lebih mudah mengaturnya. Selain itu ada pula dalam satu KK yang masuk ke dalam dua kelompok. Padahal seharusnya yang menjadi prioritas adalah KK miskin. Berdasarkan wawancara dengan pendamping, hal ini baru disadari setelah program berjalan dan tidak bisa berbuat banyak. Menurutnya, terjadi duplikasi tersebut karena salah satu dari anggota KK tersebut menggunakan alamat yang berbeda.
Peran pendamping yang sedemikian penting dalam menjembatani
berbagai
kepentingan
ini
akan
semakin
optimal
apabila
pendamping
berkemampuan menyelami permasalahan desa dampingannya. Walaupun semua pihak terkait sudah mengusahakan yang terbaik dalam melaksanakan program ini, namun pada kenyataannya dari penelitian ini menunjukkan bahwa program belum berjalan dengan cukup berhasil, baik dari sisi kegiatan usahanya, pengorganisasian kelompok, keberfungsian kelembagaan bentukan program, maupun dalam hal pendampingan.
Sampai pada tahap
penumbuhan di tahun kedua, permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program mandiri pangan di kabupaten Klaten meliputi faktor intern dan faktor ekstern dari masyarakat desa itu sendiri. Permasalahan intern yang timbul antara lain berupa : kurang sadarnya anggota tentang pentingnya berkelompok, kendala dalam pemasaran produk dan keterbatasan pengetahuan anggota kelompok. Faktor extern masyarakat harga kebutuhan pokok yang terus naik (sangat mempengaruhi masyarakat desa untuk dapat
mengembangkan
usaha)
dan
untuk
usaha-usaha
tertentu
adanya
keterbatasan bahan baku, yang selama ini masih mengandalakan suplai dari luar daerah. Menurut mereka, strategi penyelesaian permasalahan-permasalahan ini adalah berupa; kurangnya pelatihan keterampilan, dan masih kecilnya penguatan modal terutama untuk usaha tani/ternak, warungan, perdagangan (hasil bumi, mie ayam, bakso, kucingan,sayuran), dan pengelolaan pangan, dan ketiga pemasaran produk. Pengadaan tempat pemasaran produk sebagai terminal produk olahan antar wilayah dan tempat transaksi tentunya akan menjadi kebutuhan bagi masyarakat, melihat permasalahan diatas apabila proses distribusi tidak akan terhambat. Karena pasar juga bisa menjadi pusat untuk mengakses informasi dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
127
DIMENSI KEPENTINGAN RUMAH TANGGA MISKIN DALAM PENGELOLAAN KETAHANAN PANGAN LOKAL
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberpihakan kelembagaan lokal terhadap kepentingan rumah tangga miskin dalam pengelolaan ketahanan pangan lebih tinggi dibandingkan dengan program intervensi pemerintah yaitu program Mapan. Daya jangkau kelembagaan lokal (arisan, lumbung pengajian dan lainlain) lebih luas dan terbuka dalam mengakomodir kepentingan rumah tangga miskin. Walaupun pada hubungan antara buruh tenun yang sangat tergantung kepada bakul/pengusaha lokal seringkali merugikan golongan miskin (buruh tenun). Dalam hal pengelolaan ketahanan pangan, kelembagaan ketahanan pangan lokal berbasiskan pada penyediaan ketersediaan pangan, sedangkan program mapan berorientasi pada pemupukan modal. Pada dasarnya program Mandiri Pangan memiliki potensi untuk dapat memperkuat jaringan sosial rumahtangga-rumahtangga miskin dan rawan pangan di pedesaan.
Hal ini dikarenakan dengan dibentuknya kelompok-kelompok
afinitas yang terdiri dari rumahtangga-rumahtangga miskin dan rawan pangan, maka keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah memperluas jaringan dan hubungan sosial mereka. Seharusnya secara perlahan mereka mulai menjalin hubungan dengan sesama anggota, pendamping, aparat desa, petugas PPL dan lain-lain. Penelitian ini menunjukan bahwa hal tersebut belum bisa dicapai dalam pelaksanaan Mapan di Desa Jambakan karena kepentingan rumah tangga miskin untuk bisa mengakses program Mapan tidak terakomodir dengan baik. Misalnya kasus kelompok tenun lurik, beberapa kali mendapat undangan menjadi peserta pameran di Yogjakarta maupun mengikuti studi banding ke industri batik ke Pekalongan. Dari kegiatan tersebut mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah federal Jerman melalui RED sehingga bisa mengembangkan usahanya. Tetapi bahwasanya yang sanggup mengikuti kegiatan ini adalah pengusaha lokal nya bukan para buruh tenun yang tergabung dalam kelompok afinitas program Mapan.
128
Bahwa Program Mapan membawa manfaat bagi golongan pengusaha yang menjadi anggota kelompok afinitas dengan bukti-bukti sebagai berikut; manfaat yang diperolah melalui program Mapan sebenarnya cukup banyak sebagai sarana untuk belajar. Secara perlahan program mapan telah memberi kesempatan dan wadah bagi penerima manfaat program untuk belajar berdiskusi, berkelompok, berorganisasi dan administrasi. Mereka yang dulunya tidak terbiasa berorganisasi kini mereka melalui program ini belajar berorganisasi. Sementara itu, pengusaha lokal sebagai anggota kelompok afinitas dengan bimbingan pendamping bisa belajar dalam menyusun proposal untuk membuat rencana usaha kelompok (RUK), belajar administrasi dan pembukuan keuangan, belajar menyusun aturan-aturan kelompok seperti untuk menentukan berapa besarnya simpanan pokok serta simpanan sukarela, berapa bunga yang akan dikenakan bagi setiap peminjam dana kelompok atau bahkan belajar mengorganisir kelompok dan membentuk koperasi dan lain-lain. Oleh karena itu melalui program ini pengusaha lokal dapat meningkatkan kapasitasnya, sedangkan golongan miskin semakin jauh dari akses tersebut. Program Mapan juga ikut memperkuat modal sosial walaupun kerapkali tidak disadari karena bukan berupa keuntungan material. Dalam hal ini, peran pendamping sangat dibutuhkan untuk mengingatkan para anggota akan manfaat yang bersifat tidak dapat dihitung (intangible) ini. Dengan demikian lambat laun akan membangun kesadaran para anggota akan pentingnya pertemuan-pertemuan kelompok tersebut, yang pada akhirnya diharapkan mereka akan lebih aktif lagi dalam setiap pertemuan-pertemuan yang terkait dengan Proksi Desa Mapan khususnya dan pertemuan lainnya yang terkait dengan pembangunan desa pada umumnya. Hasil penelitian di Desa Jambakan menunjukkan bahwa fokus peningkatan kapasitas diri petani adalah pada kegiatan ekonomi dengan menggiatkan industri (tenun) untuk peningkatan daya beli. Hal ini dikarenakan tanah tandus, kesulitan air dan tidak bisa dibangun irigasi, hanya mengandalkan hujan atau sumur pantek menyebabkan hasil pertanian tidak memadai (misal, hasil sawah tadah hujan 1 pathok : 3 karung gabah, normalnya 28 karung).
129
Seperti diungkapkan oleh peserta FGD tentang menggiatnya kegiatan perekonomian lebih pada sektor off-farm sebagai berikut :
".......sawah kami tadah hujan yang hanya bisa satu kali panen, atau bahkan tidak panen. Dikumpulkan tiap rumah satu (punya laporan yang resmi tentang perolehan per bulan) kemudian disiarkan melalui masjid disiarkan menerima zakat mal dari penduduk dan tidak usah ditagih dengan kesadaran sendiri, ibuibu punya kegiatan jahit, batik, tenun, dan juga ternak lele..........” (Ibu Sr, pengelola lumbung pengajian)
Pada tingkat komunitas sudah mampu memberdayakan lingkungan sekitarnya terkait dengan pengelolaan lumbung pengajian dan peningkatan daya beli usaha tenun. Walaupun tetap ada tekanan dari luar untuk usaha tenun misalnya, yang akan menyebabkan penurunan kapasitas golongan miskin untuk menjaga ketahahan pangan nya Terkait implementasi program Mapan, kapasitas diri masyarakat desa Desa Jambakan secara politik misalnya, walaupun masih ragu-ragu sudah mempunyai keberanian secara politis yang ditunjukkan dengan sikap pengurus kelompok tenun (Mekarsari) yang tidak mau menyetorkan angsuran kepada LKD karena dianggap lembaga tersebut tidak kredibel.
Kaitannya dengan program
pemerintah, difokuskan dalam membangun kesadaran mengelola dana (bergulir) yang berasal dari pihak atas desa yang tidak semuanya bersifat hibah (sebaliknya jika dana sendiri melalui arisan mampu dikelola dengan baik dalam jumlah besar). Dalam penanganan korban bencana gempa, telah mampu membuat jaringan dan berhasil mendapatkan bantuan dari dunia internasional, misalnya dalam program JTZ (Jerman), AAI (Australia), IOM, dan JRF. Terkait dengan program pemberdayaan yang masuk ke desa, jaringannya masih terbatas didominasi oleh jaringan antara pemerintah diatas desa dengan pemerintah desa. Belum terlihat adanya jaringan yang kuat terbangun antara pihak masyarakat desa dengan pihak swasta, LSM dan perguruan tinggi.
Kapasitas jaringan dinas
pertanian diantara dinas/instansi lain belum terjalin baik, masing-masing berjalan sendiri sehingga seringkali terjadi usia pemberdayaan masyarakat hanya sebatas usia program.
130
Sie ketahanan pangan yang menjadi penangggjawab program Mapan pada awalnya sempat mendapat komplain dari subdin perindustrian perdagangan karena kegiatan industri tenun yang dikelola program Mapan di Desa Jambakan adalah bukan
wewenang
dinas
pertanian.
Belum
terbangunnya
mekanisme
mengembangkan kerjasama antar subdinas adalah kendala pada tingkat kabupaten.
Walaupun seringkali pada tingkat antar warga masyarakat sudah
sudah bisa guyub melakukan kerjasama. Oleh karena itu lebih pihak dinas lebih memfokuskan untuk mengeratkan di desa, jadi kendala yang ada adalah pengeratan di tingkat kabupaten. Pengembangan kapasitas SDM melalui program mandiri pangan dengan sudah diadakannya pelatihan teknis pewarnaan dan design khusus untuk usaha tenun. Belum ada magang yang dilaksanakan untuk pendamping maupun anggota kelompok afinitas. Kegiatan pendampingan masih lemah, karena lemahnya kompetensi pendamping, TPD dan LKD belum berfungsi.
Pengembangan
kelembagaan melalui pengembangan teknologi sudah mendukung ke arah pengembangan usaha tenun, ada peningkatan jumlah anggota dan modal kelompok.
Sedangkan pengembangan jaringan melalui akses permodalan
menjadi lebih baik, namun muncul keterbatasan pasar dan masih ketergantungan pasar lokal.
Dukungan pemerintah desa masih lemah karena pasca konflik
pemilihan kepala desa.
Jaringan vertikal dengan pemerintah atas desa masih
lemah, dukungan dari pemerintah atas desa masih bersifat stimulan, belum berkelanjutan. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa kasus implementasi program Mapan di Desa Jambakan menunjukkan bahwa, program Mapan lebih merupakan penguatan kelembagaan bagi pengusaha tenun lokal dan elit desa (aparat) dan pemilik faktor produksi (koperasi MP) daripada membela kepentingan golongan miskin untuk mengembangkan usahanya. Kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam program berpengaruh pada proses pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal.
Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa interaksi antara
kelembagaan ketahanan pangan lokal dengan kelembagaan intervensi (program Mapan) beserta berbagai kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, telah mengganggu proses pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal.
131
Gangguan tersebut dalam hal tidak adanya peluang bagi golongan rumah tangga
miskin
untuk
mengakses
program
Mapan
terkait
peningkatan
kesejahteraan melalui usahanya. Selain itu juga, secara tidak langsung program ini memicu tumbuhnya kesenjangan antara sesama golongan miskin.
Keberadaan
program Mapan belum efektif karena modal yang disediakan hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, belum digunakan untuk mobilitas usaha. Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan melalui program Mapan masih berfokus pada level peningkatan kapasitas rumah tangga miskin dalam hal modal, belum menyentuh pada pengembangan kelembagaan. Aspek-aspek teknis yang
masih
sangat
dibutuhkan
adalah
pengelolaan
sumberdaya
alam
berkelanjutan, ketersediaan pendampingan yang berkompeten dan mempunyai komitmen tinggi karena keragaman penyuluh saat sekarang bisa jadi berbeda, keterlibatan tenaga teknisi lintas dinas terkait spesifikasi kegiatan program, dan ketersediaan tokoh lokal yang bisa mendorong dan menginspirasi petani. Selain itu perlu juga ada kognisi antar kelompok-kelompok tani yang membuka peluang dari otonomi daerah untuk membuat kebijakan program yang paling sesuai. Termasuk juga mengenai pembuatan peraturan desa atau undangundang desa tentang pengelolaan berbagai program pemberdayaan ke desa. Gambar 4 menunjukkan mengenai pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan aktor yang terlibat didalamnya.
132
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Program Mapan belum mampu mengatasi masalah kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan.
Pencapaian dari program Mapan di
lapangan menunjukkan gambaran yang belum sesuai dengan tujuannya, salah satu penyebabnya adalah pengaruh
faktor kepentingan dalam
implementasi program di tingkat desa. Kepentingan ekit desa memainkan peran relatif dominan dibanding kepentingan kelompok lain, terlebih lagi jika dibandingkan dengan kepentingan kelompok rumah tangga miskin.
2. Faktor kepentingan berbagai aktor berpengaruh negatif terhadap efektivitas pencapaian tujuan program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal. Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal mampu Mengakomodir kepentingan rumah tangga petani miskin mendapatkan jaminan pangan basis produksi dan konsumsi dalam ketahanan pangan. Program Mapan (program intervensi pemerintah) walaupun bersifat partisipatif tetapi masih elitis (pendampingan tidak efektif) sehingga kepentingan ekonomi sosial, politik rumah tangga petani miskin belum terakomodir dengan baik. Pengelolaan kelembagaan ketahanan pangan berfokus pada peningkatan daya beli, pemberdayaan kelembagaan program mapan belum efektif, dan usaha ekonomi skala rumah tangga yang diprakarsai oleh kelembagaan Mapan berpotensi tidak berkelanjutan
3. Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal belum menunjukkan keberhasilan sesuai yang direncanakan. Hal ini dikarenakan : •
tidak disertai adanya proses mentransformasikan keorganisasian usaha ekonomi setempat,
•
program Mapan masih bersifat sektoral, dan
•
belum terlihat adanya keberpihakan politik yang kuat untuk mengatasi kemiskinan dan rawan pangan
133
Saran
1. Program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal perlu diletakkan dalam perspektif transformasI keorganisasian usaha ekonomi setempat.
Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal perlu
dilakukan secara terintegrasi antar sektor.
Dalam rangka lebih
mengefektifkan program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal perlu disertai langkah-langkah berikut : •
Peningkatan kompetensi dan kapasitas SDM kelompok
miskin
dan rawan pangan di pedesaan •
Pengembangan keorganisasian usaha ekonomi setempat
•
Pengembangan model permodalan usaha untuk penguatan ekonomi rumah tangga miskin
•
2. Dalam
Peningkatan infrastuktur pedesaan
Program
pemerintah
perlu
pemberdayaan memperhatikan
kelembagaan ketersesuaian
ketahanan
pangan
program
dengan
kebutuhan lokal dan lebih mengawal proses pengembangan kelembagaan itu sendiri supaya terbuka akses terutama bagi lapisan rumah tangga petani miskin. Terkait dengan keberlanjutan program Mapan, pemerintah perlu memperhatikan hal-hal berikut : •
Perekrutan Pendamping terutama yang kompeten secara teknis terkait kegiatan program
•
Kontrol dalam pembentukan kelompok afinitas
supaya tidak
didominasi elit desa dan tepat sasaran (yaitu rumah tangga miskin) •
Mengawal perkembangan kelembagaan (TPD dan LKD) dengan fasilitas pelatihan, insentif maupun pada saat pembentukkannya
134
Llampiran 1. Contoh Surat Kesepakatan Kelompok Afinitas dalam Program Mapan KESEPAKATAN KELOMPOK AFINITAS TRIJAYA PERKASA DALAM PEMELIHARAAN KAMBING BANTUAN DARI PEMERINTAH PROPINSI JAWA TENGAH PROGRAM AKSI DESA MANDIRI PANGAN Pada hari ini Senin,tanggal 29 Juli 2007 kami yang bertanda tangan dibawah ini pengurus dan anggota kelompok afinitas Tri Jaya Perkasa Desa Jambakan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten, menyatakan dengan ini : 1. Menerima bantuan dana sebesar Rp. 24.750.000 ( dua puluh empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ) untuk pembelian kambing sebanyak 45 ekor yang akan digulirkan kepada 15 anggota kelompok, dengan masing – masing anggota menerima 3 ekor kambing. 2. Kami sanggup membuat kandang kambing secara swadaya dari anggota. 3. Kami bersedia memelihara kambing dengan baik dan melaporkan perkembangannya kepada kelompok, Kepala Desa, PPL, serta intansi terkait 4. Kami sanggup menggulirkan sebanyak 60 ekor kambing pada tahap ke IV tahapan program tahun 2009, sesuai ketentuan kelompok dan program aksi desa mandiri pangan. 5. Kami sanggup bekerjasama dengan baik dengan Pendamping, Tim Pangan Desa serta tim teknis tingkat kecamatan, Kabupaten dan Propinsi untuk kemajuan kelompok dan usaha anggota. Demikian surat pernyataan ini kami dengan sesungguhnya buat untuk dijadikan periksa Klaten, 29 Juli 2007 Sekretaris Kelompok Tri Jaya Perkasa
Ketua Kelompok Tri Jaya Perkasa
Maryanto
Dwi Setiyanto Mengetahui
Pendamping Kelompok Tri Jaya Perkasa
Tim Pangan Desa Jambakan
Ery K/ Rossa K
Bambang Heru. N
Kepala Desa Jambakan
Kepala Dinas Pertanian Dan Ketahanan Pangan Kabupaten Klaten
Joko Hartono
Ir. Hj. Sri Mulyaningsih Pembina Utama Muda NIP: 070012107
138
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini kami pengurus kelompok Afinitas Tri Jaya Perkasa yang mempunyai kegiatan ternak kambing yang berkedudukan di Desa Jambakan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten menyatakan dengan sesungguhnya sesuai dengan Rencana Kegiatan Kelompok ( RKK ) Program Aksi Desa Mandiri Pangan bahwa : 1. Menerima, memelihara bertanggungjawab bersama – sama dana stimulan dari pemerintah dalam pengembangan usaha ternak kambing. 2. Mengembalikan dana/ternak sesuai aturan yang tertuang dalam AD/ART Kelompok 3. Melakukan kegiatan rutin pertemuan setiap bulannya tanggal 20 4. Melakukan kegiatan pemupukan modal dari dalam anggota ( simpanan Pokok, Wajib ) serta motivasi menabung dalam kelompok 5. Melakukan kegiatan simpan pinjam melalui pemupukan modal dalam kelompok tersebut 6. Tanggung renteng sebagai konsekwensi bila terjadi permasalahan dan perguliran atau pengembalian ternak Demikian surat pernyataan bersama ini kami buat dengan sesungguhnya untuk bisa dijadikan periksa Klaten, 29 Juli 2007 Sekretaris Kelompok Tri Jaya Perkasa
Ketua Kelompok Tri Jaya Perkasa
Maryanto
Dwi Setiyanto Mengetahui
Pendamping Kelompok Tri Jaya Perkasa
Tim Pangan Desa Jambakan
Ery K/ Rossa K
Bambang Heru. N
Kepala Desa Jambakan
Kepala Dinas Pertanian Dan Ketahanan Pangan Kabupaten Klaten
Joko Hartono
Ir. Hj. Sri Mulyaningsih Pembina Utama Muda NIP: 070012107
139
KESEPAKATAN KELOMPOK Pada hari ini Senin,tanggal 29 Juli 2007 kami yang bertanda tangan dibawah ini pengurus dan anggota kelompok afinitas Tri Jaya Perkasa Desa Jambakan Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten, membuat kesepakatan sebagai berikut : 1. Kami atas nama kelompok Tri Jaya Perkasa akan mengadakan pertemuan rutin setiap tanggal 20 bulan berjalan, tempat bergiliran dianggota kelompok 2. Matari pembahasan inti dalam pertemuan adalah perkembangan dan permasalahan yang ada dalam kelompok dan anggota untuk kemajuan kelompok 3. Dalam peretemuan, akan dilakukan pemupukan modal dari dalam anggota berupa simpanan pokok dan wajib serta kegiatan arisan 4. Permasalahan yang terjadi di anggota dan kelompok diselesaiakan ditingkat kelompok melalui rapat anggota dalam memutuskan berdasar musyawarah untuk mufakat.
Demikian surat pernyataan bersama ini kami buat dengan sesungguhnya untuk bisa dijadikan periksa Klaten, 29 Juli 2007 Sekretaris Kelompok Tri Jaya Perkasa
Ketua Kelompok Tri Jaya Perkasa
Maryanto
Dwi Setiyanto Mengetahui
Pendamping Kelompok Tri Jaya Perkasa
Tim Pangan Desa Jambakan
Ery K/ Rossa K
Bambang Heru. N
Kepala Desa Jambakan
Kepala Dinas Pertanian Dan Ketahanan Pangan Kabupaten Klaten
Joko Hartono
Ir. Hj. Sri Mulyaningsih Pembina Utama Muda NIP: 070012107
140
Lampiran 2. Model Pemberdayaan program Mandiri Pangan
PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PELATIHAN • • • • •
PENDAMPINGAN
PENINGKATAN AKSES
Pemberdayaan sebagai pengembangan partisipasi Pemberdayaan sebagai pengembangan demokratisasi Pemberdayaan sebagai pengembangan kapasitas Pemberdayaan sebagai pengembangan ekonomi Pemberdayaan sebagai pengembangan individu
PENGUATAN KELEMBAGAAN
Kelembagaan Aparat Kelembagaan Penyuluhan Kelembagaan Pemerintah yang terkait dengan Ketahanan Pangan Kelembagaan Masyarakat Kelompoktani Lembaga Swadaya Masyarakat Tim Pangan Desa, Kelembagaan PelayaNan KUD, PKK, Posyandu, Lembaga Keuangan Desa
a. b. -
Sistem Ketahanan Pangan
Output Konsumsi -
Ketersediaan
Input - SDM - Dana - Mekanisme - Teknologi
Peningkat an Produksi - Pemenuh an Cadangan Pangan -
Distribusi -
-
Akses pangan secara fisik dan ekonomi Perdaganga n dan harga pangan
-
Sarana dan Prasarana - Jalan desa, irigasi desa - Sarana pendidikan & kesehatan - Sarana Transportasi - Jaringan Listrik - Jaringan Informasi - Pasar
Penganekar a-gaman konsumsi pangan Konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang (3B) dan aman.
1. Meningkatnya ketersediaan dan distribusi pangan 2. Meningkatnya akses pangan rumah tangga 3. Berkembangnya usaha produktif 4. Meningkatnya konsumsi pangan (3B) dan aman 5. Teratasinya
Outcome Berkurangnya Kerawanan Pangan dan Gizi
Impact Terwujudnya ketahanan pangan & gizi tingkat rumah tangga
141
Lampiran 3. Karakteristik Data Responden
No.
Kategori Responden
Jumlah (Orang/Kelompok)
A.
Kegiatan Survey Rumah Tangga Miskin
B.
Kegiatan Wawancara (Formal dan Informal)
60
1.
Buruh Tani
4
2.
Buruh Tenun (Nyekir, Nglethek, Nenun, Wantek)
4
3.
Pedagang Warung Angkringan
3
4.
Pengusaha Tenun
2
5.
Pengurus Koperasi MP dan Sekretris Lembaga Keuangan Desa
1
6.
Sesepuh Desa, Tokoh Pemuda dan Agama
3
7.
Aparat Pemerintah Desa
5
8.
Pendamping Program Mandiri Pangan
2
9.
Sie. Ketahanan Pangan Dinas Pertanian
2
10.
Sekretaris Kecamatan
1
11.
Pengurus Lumbung Pengajian
3
12.
Ketua PKK sekaligus pengurus arisan dan posyandu
1
Sub Total (Orang) C.
30
FGD (Focus group Discussion)
1.
Kelompok Tenun ATBM
2.
Kelompok Aneka Usaha (warung kelontong,
1
angkringan, penjahit)
2
3.
Kelompok Ternak
2
4.
Kelompok Lumbung Pengajian
3
5.
Tingkat Kabupaten (Stakeholder)
1
6.
Tingkat Kabupaten (Internal Program Mapan)
1
Sub Total (Kelompok)
9
142