ANALISIS ISM DALAM MENINGKATKAN TATA KELOLA PLTA (STUDI KASUS PLTA BENDUNGAN BILI-BILI) Improve Hydroelectric Power Using Analysis of ISM (Case Study of Bili-Bili Dam) Masmian Mahida1 FX.Hermawan Kusumartono2 Adji Krisbandono3 Bastin Yungga Angguniko4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] Tanggal diterima : 9 Januari 2017 ; Tanggal disetujui : 24 April 2017 Abstrak Data Balai Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015 bahwa kontribusi energi PLTA melalui 208 bendungan besar di Indonesia yang sudah beroperasi hingga kini kurang lebih 5.833 MW (kapasitas terpasang). Pemerintah saat ini juga telah melakukan assessment terhadap bendungan-bendungan yang potensial untuk dibangun PLTA maupun bendungan eksisting yang ada PLTA untuk diektensifikasi kapasitasnya. Namun, hasil identifikasi awal bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kurang optimalnya produksi listrik pada bendungan eksisting, pada kasus ini Waduk Bili-bili salah satunya karena permasalahan sedimentasi di waduk yang melebihi kapasitas tampung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor (variabel) utama yang dapat mendorong pemanfaatan infrastruktur bendungan sehingga dapat mendukung ketahanan energi. Dalam hal ini dilakukan analisa terhadap kendala dalam optimalisasi fungsi PLTA pada bendungan eksisting, yakni pada Bendungan Bili-bili sehingga dapat beroperasi sepanjang tahun dengan mempertimbangkan peran para stakeholders yang terkait. Metode penelitian dengan pendekatan analisis pengambilan keputusan menggunakan ISM (Interpretative Structural Modelling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan langkah prioritas yakni perlu adanya komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran pada kegiatan konservasi DAS dan operasi pemeliharaan waduk dan bendungannya, sehingga permasalahan sedimentasi dapat diatasi dan langkah prioritas berikutnya perlu peningkatan SDM pengelola waduk, peningkatan koordinasi dan sinergi antar stakeholders, dan dukungan tokoh masyarakat, masyarakat sekitar waduk, pengelola bendungan, dan pemerintah daerah. Kata Kunci: Bendungan, PLTA, waduk, tatakelola, air
Abstract Data Centres Dam Ministry of Public Works and Housing in 2015 shows the energy contribution of hydropower through 208 large dams in Indonesia which has been operating approximately 5.833 MW (installed capacity). The current government has also been assessing the potential dams for hydropower and existing dam to extent its capacity. However, the results of the initial identification that there are several factors that lead to less optimal power production at existing dams, in this case Bili-Bili Dam is partly because of the sedimentation problems in reservoirs which exceeds capacities. The purpose of this study was to know the main factors (variables) that encourage the use of dam infrastructure so that it can support energy security. In this case, it is conducted analyzing the obstacle in the optimization of the existing functions of hydropower dams, so that it can operate throughout the year taking into account the role of related stakeholders. The research method is using a decision analysis approach ISM (Interpretative Structural Modeling). The results showed that it takes priority steps that need their government's commitment in the budget provision on watershed conservation activities and operations and maintenance of the dam and reservoir, so that the sedimentation problems can be solved and the next priority steps need to increase human resources of reservoirs, increased coordination and synergy among stakeholders, and the support of community leaders, communities around the reservoir, dam operators and local governments. Key words : Dam, hydropower, reservoir, governance, water
PENDAHULUAN Dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air (SDA) disebutkan bahwa sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Prinsip yang terkandung dalam PP tersebut adalah Pengusahaan Sumber Daya Air ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatan Sumber Daya Air bagi kesejahteraan rakyat termasuk mendukung ketahanan energi. Karena air memiliki daya potensial yang dapat menghasilkan energi listrik, sebagaimana Al-Ansari (2016) dalam tesisnya terkait energy, water, dan food nexus bahwa untuk menghasilkan power atau energi diperlukan air. Program pemerintahan hingga tahun 2019 akan merealisasikan pembangkit 35.000 MW sangatlah memerlukan terobosan, salah satunya melalui dukungan energi baru terbarukan (EBT) dengan PLTA/PLTMH/PLTM. Sebagaimana amanah dalam Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan bahwa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW dengan mengutamakan penggunaan EBT. Dukungan EBT terutama PLTA/PLTMH/PLTM sangat signifikan dalam penyediaan listrik nasional khususnya pada daerah pedesaan dan pelosok, karena pembangkit tersebut sangat environment friendly, sustainable, dan dalam jangka panjang biaya operasinya sangat rendah dibandingkan dengan pembangkit lainnya. Studi terkait potensi PLTA pada laporan Master Plan Study for Hydro Power Development in Indonesia oleh Nippon Koei tahun 2011 bahwa potensi tenaga air untuk dijadikan tenaga listrik mencapai 26.321 MW yang terdiri dari proyek yang sudah beroperasi (4.338 MW), proyek yang sudah direncanakan dan sedang konstruksi (5.956 MW), dan potensi baru sebesar 16.027 MW yang belum digarap (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT.PLN 2015-2024). Kemudian dalam data Balai Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015 bahwa kontribusi energi PLTA melalui 208 bendungan besar di Indonesia yang sudah beroperasi hingga kini kurang lebih 5.833 MW (kapasitas terpasang). Sejumlah instrumen perundang-undangan yang mendukung kerjasama pembangunan infrastruktur telah diterbitkan, yakni Peraturan Presiden (perpres) No.38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres ini merupakan dasar kerjasama penyediaan infrastruktur yang memanfaatkan aset negara, sebagai contoh pembangunan PLTA di bendungan oleh investor. Secara operasional mekanisme kerjasama tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.06/2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.06/2014 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur. Selain itu, kebijakan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan Peraturan Menteri PU-PR No.1/PRT/M/2016 tentang Tata Cara Perizinan Pengusahaan SDA dan Penggunaan SDA dan Peraturan Menteri PU-PR No.9/PRT/M/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Pemanfaatan Infrastruktur SDA untuk Pembangunan PLTA/PLTMH/PLTM. Instrumen-instrumen kebijakan ini adalah dimaksudkan untuk akselerasi pemanfaatan infrastruktur SDA mendukung ketahanan energi, salah satunya pembangunan PLTA/PLTMH/PLTM. Sementara itu, dalam laporan utama Program Percepatan Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Pembangunan PLTA (Bappenas, 2014) yang dipimpin oleh Bappenas dan beranggotakan lintas sektoral, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan PT.Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menyusun dokumen kesepakatan percepatan pembangunan PLTA. Dalam dokumen ini menghasilkan kebijakan-kebijakan lanjutan terkait percepatan pembangunan PLTA yang mencakup program jangka pendek, yakni penataan regulasi dan kelembagaan dimulai dengan memanfaatkan potensi aset sumber daya air yang dimiliki pemerintah, baik berupa waduk, saluran, dan sarana/prasarana pengairan lainnya untuk digunakan sebagai bagian dari infrastruktur pembangkitan listrik (PLTA/PLTM/PLTMH). Aspek kelembangaan yang menjadi perhatian dalam program jangka pendek tersebut di atas tidak terlepas faktor tata kelola. Salah satunya adalah tata kelola yang baik dalam operasi dan pemeliharaan PLTA/PLTM/PLTMH, karena jika dikelola dengan baik berdampak pada kinerja produksi PLTA/PLTM/PLTMH sendiri, adapun salah satu kendala dalam pemeliharaan adalah seperti dalam penelitian Kusdariyanto (2013) yang melakukan penelitian pengelolaan pembangkit mikrohidro menyebutkan bahwa yang masih menjadi hambatan/kendala dalam pengelolaan mikrohidro di lapangan (PLTMH Gunung Lurah Kabupaten Banyumas) adalah akses untuk pengadaan suku cadang. Hal ini menjadi faktor yang hingga saat ini dirasa paling mengambat selain kapasitas SDM yang masih rendah
untuk melaksanakan pemeliharaan secara optimal dan meningkatkan kapasitas pembangkit mikrohidro PLTMH Gunung Lurah. Secara umum pengelolaan tata kelola operasi dan pemeliharaan yang baik pada PLTA/PLTM/PLTMH di Indonesia otomatis dapat berdampak pada peningkatan produksi listrik dan juga berdampak pada peningkatan rasio elektrifikasi suatu wilayah. Hal ini sangat berkorelasi positif, karena potensi PLTA/PLTM/PLTMH yang tersebar di seluruh Indonesia sangat besar dan jika dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat besar secara ekonomi, seperti dalam penelitian Ridwansyah (2015) yang menyebutkan bahwa pada DAS Cisadane Hulu mempunyai banyak potensi energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan PLTMH, dua Sub DAS klasifikasi PLTA skala kecil, yaitu Sub DAS di Desa Cisarua berpotensi menghasilkan 3.511 kW dan Sub DAS di Desa Bantarkaret berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 1.398 kW, sedangkan Sub DAS lainnya masuk dalam klasifikasi minihidro (100 kW – 1.000 kW). Senada Kustini (2013) dalam penelitianya terkait analisis hidrologi untuk studi kelayakan PLTA bahwa berdasarkan hasil perhitungan daya listrik, DAS Way Semaka dan Das Way Semung di Provinsi Lampung berpotensi untuk dijadikan PLTA. Kemudian Rosalina (2014) menyatakan bahwa Waduk PLTA Koto Panjang dibangun sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air untuk memenuhi kebutuhan listrik di Provinsi Riau. Tentunya dalam rangka untuk meningkatkan produksi PLTA/PLTM/PLTMH diperlukan inovasi terkait pola operasi PLTA/PLTM/PLTMH-nya sebagai contoh Danajaya (2017) dalam penelitiannya terkait scheduling energi pembangkit di PT.PJB pada PLTA Siman menyabutkan dengan teknik scheduling energi pembangkitan menggunakan linear programming ternyata dapat menghasilkan total pembangkitan lebih besar 38.026 kW. Dari sisi dampak positif pembangunan PLTA ini terlihat jelas seperti yang terjadi di Kabupaten Poso sebagaimana dalam Kayupa (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dampak pembangunan PLTA sangat positif dari sisi sosial dan ekonomi yang timbul dari pembangunan PLTA Sulewana di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah adalah tingkat sosial dan ekonomi meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar 79.30 % terlihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan bahkan pendapatan yang membaik pada masyarakat di Desa Sulewana. Begitu juga, potensi air dari waduk-waduk di Indonesiauntuk diproduksi listrik melalui PLTA sangat besar, seperti rencana pembangunan PLTA Karangkates IV dan V pada Waduk Karangkates di Jawa Timur yang merupakan extension dari PLTA eksisiting, yakni PLTA Karangkates I,II,III dan begitu juga pada bendungan eksisting lainnya. Namun, dari beberapa hasil wawancara dengan stakeholder pada PLTA Bendungan Bili-bili di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017 bahwa produksi listrik saat ini mulai agak berkurang dikarenakan berkurangnya volume air waduk karena adanya sedimentasi yang tinggi pada waduk. Sedimentasi yang tinggi terjadi karena adanya erosi di hulu waduk, yakni di DAS Jeneberang. Kejadian erosi di hulu waduk ini terjadi karena selain faktor alam juga faktor adanya kegiatan manusia di sekitar hulu waduk Bili-bili. Oleh karenanya, dalam rangka penanganannya perlu melibatkan seluruh komponen stakeholders dari hulu ke hilir. Sehingga kendala sedimentasi di waduk dapat teratasi dan produksi listrik dapat beroperasi sepanjang tahun. Berdasarkan latar belakang dan referensi di atas, pertanyaan yang diajukan adalah : Bagaimana meningkatkan tata kelola PLTA Bendungan Bili-bili sehingga dapat produksi listrik sepanjang tahun? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor (variabel) utama yang dapat mendorong percepatan pemanfaatan infrastruktur Sumber Daya Air (bendungan) sehingga dapat mendukung ketahanan energi. Sedangkan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah penggunaan analisis ISM (Interpretative Structural Modelling) untuk menstrukturkan kendala tata kelola PLTA Bendungan Bili-bili.
KAJIAN PUSTAKA Kebijakan Publik Nugroho (2012) mendefinisikan kebijakan publik sebagai setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Kebijakan publik merupakan respons negara terhadap suatu masalah. Keunggulan suatu negara ditentukan oleh kemampuan negara tersebut mengembangkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, politik yang menjalankan negara disebut politik pembangunan. Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia memiliki bentuk operasional dalam bentuk politik pembangunan, dan politik pembangunan memiliki bentuk operasional kebijakan publik pembangunan.
Dalam rangka mencapai ketahanan pangan dan ketahanan air di dalam RPJMN 2015-2019 salah satunya dapat dilakukan dengan peningkatan layanan irigasi dengan membangun hingga 49 waduk. Hal ini merupakan salah satu sasaran pembangunan sektor unggulan Indonesia. Sebagai sebuah negara berkembang maka wajar jika kebijakan-kebijakan di Indonesia merupakan kebijakan publik pembangunan yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan tersebut. Kebijakan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang di dalam pasal 7 telah ditetapkan jenis dan hierarkinya. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki tersebut yang berarti peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pada hierarki di atasnya. Nugroho juga menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku mengikat kehidupan bersama, maka kebijakan publik tersebut menjadi hukum. Dengan kata lain hukum merupakan bagian dari kebijakan publik. Pendayagunaan Sumber Daya Air Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendayagunaan memiliki arti pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat. Sedangkan definisi Sumber Daya Air yang tertuang dalam PP No.121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan SDA adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Sehingga dapat diberikan pengertian bahwa pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air secara optimal, berhasil guna dan berdayaguna. Realitas saat ini, pengelolaan sumber daya air di Indonesia menghadapi persoalan yang sangat komplek, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan yang masing-masing dapat saling bertentangan. Praktik di lapangan seiring dengan kebutuhan nasional yang sangat besar dan beberapa persoalan mendasar, maka diperlukan tata kelola pendayagunaan sumber daya air untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat. Praktik di lapangan pada pendayagunaan sumber daya air sehingga menghasilkan energi listrik dapat berbagai macam tipe seperti PLTA pada bangunan bendungan (seperti PLTA Bendungan Bili-bili) dan PLTA tipe run of river, dan PLTA tipe pumped storage. Khusus PLTA pumped storage ini secara teknis, memiliki dua buah waduk, yaitu waduk bawah dan waduk atas, waduk ini berfungsi menampung air sebagai cadangan pada saat dibutuhkan untuk membangkitkan energi listrik. Pada saat beban listrik rendah, pompa akan berfungsi untuk memompa air dari waduk bawah ke waduk atas dan juga sebaliknya, pada saat beban puncak air yang berada pada waduk atas akan dijatuhkan melalui pipa pesat hingga menuju turbin, lalu turbin akan memutar poros generator hingga menghasilkan energi listrik (Tamba, 2016). Ketahanan Energi International Energy Agency (IEA, 2013) mendefinisikan ketahanan energi sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Lebih lanjut, ukuran yang dipakai untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki ketahanan energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak. Ketahanan energi dianggap penting karena energi merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa. Namun praktiknya, cadangan energi di Indonesia semakin hari semakin menyusut. Hal ini juga diperparah dengan pemborosan dalam penggunaannya. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan ketersediaan akan energi semakin langka (Madonna, 2014). Senada Palupi (2015) menyatakan bahwa daya tahan energi Indonesia berkurang dan krisis energi mengancam dan salah satu pemecahan krisis energi, yakni pengembangan EBT. Sebagaimana Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam yang dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Peranan energi sangat penting bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Demikian juga cadangan sumber daya energi tidak terbarukan terbatas sehingga perlu adanya kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin. Dari sisi kebijakan, Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Presiden (perpres) No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri. Beberapa sasaran kebijakan yang secara rinci diatur dalam Perpres tersebut adalah pada tahun 2025 terwujudnya elastisitas energi di bawah 1 dan pengurangan porsi BBM dalam komposisi energi primer hingga 20% dan optimalisasi bahan bakar batubara dan gas masing-masing lebih dari 33% dan 30%, serta sisanya dengan menumbuhkan sumber EBT. Untuk mencapai sasaran tersebut, terdapat dua
kebijakan, yaitu (i) kebijakan utama yang mengatur penyediaan, pemanfaatan, kebijakan harga dan konservasi alam; dan (ii) kebijakan pendukung, yang mengarah kepada pengembangan infrastruktur, kemitraan pemerintah dan swasta, serta pemberdayaan masyarakat. Selain itu untuk menjaga ketahanan energi diperlukan edukasi kepada masyarakat sebagai pelaku, karena manfaat edukasi ini dapat berdampak pada aspek ekonomi wilayah, salah satunya dengan eduwisata energi terbarukan yang merupakan wahana pembelajaran yang bertujuan mencerdaskan masyarakat luas dan memperluas akan pengetahuan pada generasi muda terhadap tantangan energi di masa depan (Yusuf, 2016). Interpretative Structural Modelling (ISM) Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji. Menentukan tingkat jenjang mempunyai banyak pendekatan dimana ada lima kriterianya. Pertama, kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat. Kedua, frekuensi relatif dari oksilasi (guncangan) dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas. Ketiga, konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas. Keempat, liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah. Kelima, hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat di tingkat di bawahnya. Program yang sedang ditelaah penjejangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub elemen. Untuk setiap elemen dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub elemen sampai memadai. Studi dalam perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Teknik ISM memberikan basis analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) dalam Marimin (2004), program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh 2. Kebutuhan dari program 3. Kendala utama 4. Perubahan yang dimungkinkan 5. Tujuan dari program 6. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas 9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program ISM dibuat dengan tujuan untuk memahai prilaku sistem secara utuh setelah melakukan identifikasi hubungan antar sub elemen sistem dalam tiap elemen sistem (Eriyatno, 2003). Langkah-langkah analisis dengan menggunakan ISM adalah sebagai berikut: • Penyusunan sub elemen pada masing-masing elemen pada program/sistem. Kemudian melakukan analisis hubungan kontektual bahwa satu sub elemen (sub elemen i) mendukung keberadaan sub elemen yang lain (sub elemen j). Hubungan kontektual antara sub elemen ini diperoleh dari pendapat pakar yang memberikan pendapatnya melalui pengisian kuesioner. • Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual maka disusunlah Structural Self-interction Matrix (SSIM). Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X, dan O. Pengertian dari simbol-simbol tersebut adalah: V : kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi tidak sebaliknya V: eij = 1 dan eij = 0 A : kendala (2) mempengaruhi kendala (1), tapi tidak sebaliknya A: eij = 0 dan eij = 1 X : kendala (1) dan kendala (2) saling berhubungan X: eij = 1 dan eij = 1 O : kendala (1) kendala (2), tidak saling mempengruhi
O: eij = 0 dan eij = 0 • Simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 tidak terdapat atau tidak ada hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya (Eriyatno, 2003). Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti simbol V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 atau 0. • RM yang telah memenuhi aturan transitivitas kemudian diolah untuk menetapkan level partition. Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema setiap sub elemen menurut jenjang vertikal dan horizontal.Berdasarkan RM, sub elemen dalam satu elemen dapat disusun menurut nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi subelemen. • Secara garis besar klasifikasi sub elemen dikelompokan dalam empat sektor yaitu : Sektor 1 : weak driver – weak dependence variables (Autonomus). Sub elemen yang termasuk dalam sektor ini pada umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika; nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Sektor 2 : weak driver – strongly dependence variables (Dependence).Umumnya sub elemen yang masuk pada sektor ini adalah sub elemen bebas.Sub elemen yang masuk pada sektor 2; jika nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D > 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Sektor 3 : strong driver – stronglydependent variables (Lingkage). Sub elemen yang termasuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk sektor 3; jika nilai DP > 0,5X dan nilai D > 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Sektor 4: strong driver – weak dependence variables (Independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen yang masuk sektor 4 jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X. X adalah jumlah sub elemen. Penggunaan analisis ISM sebagaimana dalam penelitian Firmansyah, 2016 yang menggunakan analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk menstrukturkan kendala bagi pengendalian konversi lahan sawah. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. Hasil keluaran dari ISM dapat mempermudah mengelola permasalahan karena dapat tergambarkan dengan peta masalah dan struktur hirarki permasalahan. METODE PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (misalnya: ‘lebih penting dari’, atau ‘sebaiknya dipelajari sebelumnya’) dan kategori ide (misalnya: ‘termasuk dalam kategori yang sama dengan’) (Broome dalam Kanungo dan Bhatnagar, 2002). Selain itu, ISM merupakan sebuah metodologi yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok. Metodologi tersebut memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM juda dapat menganalisa elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hirarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual). Metoda pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: (1) studi pustaka, (2) observasi lapangan, yakni melihat secara langsung pola operasi PLTA di bendungan, (3) wawancara mendalam yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih menyeluruh tentang pola operasi PLTA, dan (4) menggali pendapat pakar/stakeholders terkait dalam pola operasi PLTA di bendungan dengan panduan kuisioner. Pakar/stakeholders yang terkait dalam penelitian optimalisasi produksi PLTA pada bendungan sepanjang tahun dengan pertimbangan keberadaan, keterjangkauan, reputasi, dan pengalaman di bidangnya sebanyak 12 orang. Sedangkan Tabel 1 di bawah merupakan research mapping pada program optimalisasi Bendungan Bili-bili dalam produksi PLTA sepanjang tahun.
Tabel 1 : Research Mapping Optimalisasi Bendungan Bili-bili dalam produksi PLTA sepanjang tahun
Sumber : analisis, 2016
PEMBAHASAN Analisis Situasi PLTA Bendungan Bili-Bili Bendungan Bili-bili memiliki volume tampungan sekitar 375 juta m3 melayani lahan irigasi seluas 23.690 ha yang disadap di bagian hilir pada Bendung Bendung Bissua dan Bendung Kampili yang meliputi wilayah Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar. Selain itu melayani air baku sebesar 3.300 liter/detik, dan PLTA dengan kapasitas terpasang 19,5 MW, serta pengendali banjir. PLTA Bili-bili mulai beroperasi pada akhir tahun 2005 dengan daya terpasang 19,5 MW (2 turbin dengan masing-masing kapasitas 5,8 MW dan 13,7 MW) sangat tergantung dengan release bendungan untuk kebutuhan irigasi, PDAM, dan industri dan seberapa besar debitnya serta tergantung dengan kondisi elevasi, sebagai contoh saat ini elevasi waduk 92 meter di atas permukaan laut maka debit untuk air irigasi sebesar 10 m3/detik, sedangkan alokasi debit minimal dan maksimum untuk menggerakkan turbin unit 1 adalah 7 m3/detik dan 15 m3/detik sedangkan untuk turbin unit 2 adalah 10 m3/detik dan 17 m3/detik, maka secara otomatis PLTA berproduksi. Produksi listrik PLTA Bendungan Bili-bili pada tahun 2015 mencapai 84 GWh, kemudian untuk produksi PLTA jika dirata-rata sudah beroperasi sepanjang tahun karena jika tidak beroperasi maka operasional mekanik dan elektrikal alat pada Bendungan Bili-bili tidak berjalan, karena suplai listrik operasional bendungan dari PLTA Bili-bili. Berikut Grafik 1 mengambarkan profil produksi listrik PLTA Bendungan Bili-bili dari tahun 2006 hingga tahun 2015 menunjukkan sangat fluktuatif, seperti tahun 2006 dengan produksi 71,65 GWh, tahun 2010 sangat tinggi hingga 131, 71 GWh, dan tahun 2015 menurun hingga 84,15 GWh. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan air waduk karena adanya sedimentasi dan pemberian kuota air oleh pengelola Bendungan Bili-bili yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Jeneberang-Pompengan, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Grafik 1 : profil produksi listrik PLTA Bendungan Bili-bili tahun 2006 -2015 Sumber : Pusat Listrik PLTA Bendungan Bili-bili PT.PLN (persero), 2016
Sedimentasi pada waduk tersebut berasal dari erosi di hulu waduk, yakni kejadian longsoran dinding kaldera Gunung Bawakareang pada tahun 2004 menuju sungai Jeneberang dan akhirnya masuk ke waduk. Kejadian luar biasa tahun 2004 tersebut mengeluarkan sedimen sekitar 201 juta m3 dan menuju waduk hingga menyebabkan bertambahnya volume sedimen di waduk tahun 2016 mencapai 85 juta m3, sedang kapasitas maksimal sedimen di waduk adalah 29 juta m3 dan saat ini masih ada potensi hingga 300 Juta m3 longsoran yang akan ke hilir menuju waduk (PSL Unhas, 2017). Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi arus sedimen ini, salah satunya dengan membangun bangunan penangkal sedimen, antara lain sabo dam dan sand pocket yang saat ini berjumlah 12 dan harus ditambah terus. Bangunan penangkal sedimen ini terbukti efektif dengan berkurannya laju sedimen, namun tetap saja volume sedimen di waduk tetap bertambah (lihat tabel di bawah) dan berdampak pada menurunnya produksi listrik PLTA. Tabel 2 : Perubahan Volume Sedimen
Tahun 1998
Umur (tahun) -
Perubahan Volume Sedimen (juta m3) -
Laju Sedimentasi (ton/tahun) -
Volume air Waduk Elevasi 99,5 m (juta m3) -
2004 2008 2010 2012 2014 2016
6 10 12 14 16 18
30,079 29,960 86,187 85
36.686 5.805 35.902 20.201 -
317,733 317,852 261,625 259,375
Sumber : Hakim, 2015 dan hasil wawancara informan, 2017
Analisis Intepretative Structural Modeling Lima elemen terpilih dari 9 yang ditawarkan oleh Saxena (1992) diadopsi dalam strukturisasi program dengan ISM, yaitu elemen kebutuhan dari program, elemen kendala dari program, elemen aktivitas yang dibutuhkan dari program, elemen pelaku/lembaga yang terlibat, dan elemen sektor masyarakat yang terpengaruh. Informasi yang penting untuk memahami struktur sistem/program optimalisasi produksi PLTA pada bendungan sepanjang tahun adalah hirarki sub-elemen di antara sub elemen yang lain dan klasifikasi sub-elemen berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat driver-power dan tingkat dependency. Adapun hasil analisis lima (5) elemen berpengaruh pada sistem/program tersebut adalah sebagai berikut : 1. Elemen kebutuhan dari program Elemen kebutuhan program percepatan pendayagunaan sumber daya air mendukung ketahanan energi dalam rangka mendukung optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun berdasarkan hasil kajian terdiri dari 9 (sembilan) sub elemen kebutuhan yaitu : 1. Peningkatan SDM yang terampil (E1). 2. Kondisi Daerah aliran sungai (E2) 3. Pengukuran keberadaan air/debit air (E3) 4. Komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran (E4) 5. Kesiapan PLN dalam menyerap energi yang dihasilkan (E5) 6. Kesiapan pengelola waduk dalam menyesuaikan pola operasi (E6) 7. Kebijakan insentif dan disinsentif dalam menjaga daerah resapan air (E7) 8. Kebijakan pemerintah terkait alokasi air untuk bendungan sepanjang tahun (E8) 9. Potensi ketersediaan air untuk pengoperasian bendungan sepanjang tahun (E9) Berdasarkan analisis dengan menggunakan teknik ISM, elemen kebutuhan yang terdiri dari 9 (sembilan) sub elemen dapat digambarkan dalam bentuk diagram yang dibagi dalam empat sektor, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1. Sektor I merupakan sektor autonomous, sektor II merupakan sektor dependent, sektor III merupakan sektor lingkage dan sektor IV merupakan sektor independent. Hal ini akan dijadikan dasar dalam setiap tindakan pengambilan keputusan terutama dalam hal skala prioritas pemenuhan kebutuhan program. Analisis selanjutnya menyatakan bahwa sub elemen kebutuhan Peningkatan SDM yang terampil (E1), Kondisi Daerah Aliran Sungai (E2), Pengukuran keberadaan air/debit air (E3), Kesiapan PLN dalam menyerap energi yang dihasilkan (E5), Kesiapan pengelola waduk dalam menyesuaikan pola operasi (E6), Kebijakan insentif dan disinsentif dalam menjaga daerah resapan air (E7), Kebijakan pemerintah terkait alokasi air untuk bendungan sepanjang tahun (E8), Potensi ketersediaan air untuk pengoperasian bendungan sepanjang tahun (E9) termasuk dalam sektor linkage yang berarti mempunyai daya dorong (driver power) tinggi tetapi mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lain. Setiap tindakan pada sub elemen ini akan mendukung keberhasilan program tersebut sedangkan lemahnya tindakan pada sub elemen ini akan menyebabkan kegagalan pada pelaksanaan program ini. Analisis lebih lanjut sub elemen kebutuhan Komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran (E4) tergolong dalam kelompok independent. Hal ini menunjukkan bahwa sub elemen ini mempunyai kekuatan penggerak yang sangat tinggi (driver power) serta tingkat ketergantungan terhadap program tersebut sangat kecil.
Gambar 1 : Diagram klasifikasi sub elemen Gambar 2 : Struktur hirarki antar sub kebutuhan dari program elemen kebutuhan dari program Sumber : hasil analisis, 2016
Dari gambar 2 menunjukkan bahwa sub elemen komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran (E4) pada elemen kebutuhan dari program merupakan sub elemen kunci dalam program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Tanpa adanya komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran maka program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun tidak akan berjalan dengan baik dan elemen ini secara simultan akan mendorong terpenuhinya kebutuhan Peningkatan SDM yang terampil (E1), Kondisi Daerah aliran sungai (E2), Pengukuran keberadaan air/debit air (E3), Kesiapan PLN dalam menyerap energi yang dihasilkan (E5), Kesiapan pengelola waduk dalam menyesuaikan pola operasi (E6), Kebijakan insentif dan disinsentif dalam menjaga daerah resapan air (E7), Kebijakan pemerintah terkait alokasi air untuk bendungan sepanjang tahun (E8), Potensi ketersediaan air untuk pengoperasian bendungan sepanjang tahun (E9) dalam program tersebut dapat terlaksana dengan baik. 2. Elemen Kendala dari Program Elemen kendala dari program percepatan pendayagunaan sumber daya air mendukung ketahanan energi dalam rangka mendukung optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun berdasarkan hasil kajian terdiri dari 5 (lima) sub elemen kendala dari program yaitu : 1. Kemampuan pengelola/SDM yang terbatas (E1) 2. Sistem perizinan yang masih manual/belum bisa online (E2) 3. Tidak adanya izin satu atap (E3) 4. Kurang lengkapnya Standar Operational Procedure (E4) 5. Kurangnya koordinasi antar dinas dan kementerian (E5) Berdasarkan matrik driver power dan dependence maka dapat dikelompokkan ke dalam empat sektor sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3. Sektor I merupakan sektor autonomous, sektor II merupakan sektor dependent, sektor III merupakan sektor lingkage dan sektor IV merupakan sektor independen. Hasil klasifikasi sub elemen pada elemen kendala menunjukkan bahwa sub elemen kendala Sistem perizinan yang masih manual/belum bisa online (E2), Tidak adanya izin satu atap (E3), Kurang lengkapnya Standar Operational Procedure (E4) tergolong dalam sektor dependent. Hal ini berarti bahwa kendala ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen yang lain serta mempunyai driver power yang rendah terhadap kendala yang lain dalam rangka mendukung optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Analisis lebih lanjut sub elemen kendala kemampuan pengelola/SDM yang terbatas (E1) dan kurangnya koordinasi antar dinas dan kementerian (E5) termasuk dalam sektor peubah bebas (independent). Dalam hal ini berarti sub elemen ini mempunyai kekuatan penggerak yang sangat tinggi (driver power) serta tingkat ketergantungan terhadap program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun sangat kecil.
Gambar 3: Diagram klasifikasi sub elemen kendala dari program
Gambar 4: Struktur hirarki antar sub elemen kendala program
Sumber : hasil analisis, 2016 Gambar 4 menunjukkan bahwa pada elemen kendala kemampuan pengelola/SDM yang terbatas (E1) merupakan elemen kunci yang artinya bahwa elemen tersebut merupakan faktor yang harus mendapatkan perhatian utama dalam program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Tanpa terselesaikannya kendala ini maka optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun tidak akan berjalan dengan baik dan akan menyebabkan terciptanya kendala yang lain antara lain kendala kurangnya koordinasi antar dinas dan kementerian (E5) dan kurang lengkapnya Standar Operational Procedure (E4). Pada akhirnya kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kendala yang
lain seperti sistem perizinan yang masih manual/belum bisa online (E2) dan tidak adanya izin satu atap (E3). 3. Elemen aktivitas yang diperlukan Elemen aktivitas yang diperlukan untuk tercapainya program percepatan pendayagunaan sumber daya air mendukung ketahanan energi dalam rangka mendukung optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun berdasarkan hasil kajian terdiri dari 6 (enam) sub elemen aktivitas yang diperlukan yaitu : 1. Mempersiapkan SDM yang terampil dan handal (E1) 2. Penyempurnaan peraturan dan perundang-undangan (E2) 3. Perkuatan lembaga dan kewenangan (E3) 4. Menjaga ketersediaan air (E4) 5. Konservasi wilayah hulu (E5) 6. Meningkatkan koordinasi antar dinas dan kementerian (E6) Berdasarkan matrik driver power dan dependence maka dapat dikelompokkan ke dalam empat sektor sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. Sektor I merupakan sektor autonomous, sektor II merupakan sektor dependent, sektor III merupakan sektor lingkage dan sektor IV merupakan sektor independen. Hasil klasifikasi sub elemen pada elemen aktivitas yang diperlukan menunjukkan bahwa sub elemen menjaga ketersediaan air (E4) dan konservasi wilayah hulu (E5) tergolong dalam sektor dependent. Hal ini berarti bahwa sub elemen aktivitas ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen yang lain serta mempunyai driver power yang rendah terhadap aktivitas yang lain dalam rangka mendukung program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Analisis lebih lanjut menyatakan bahwa sub elemen aktivitas mempersiapkan SDM yang terampil dan handal (E1), penyempurnaan peraturan dan perundang-undangan (E2), perkuatan lembaga dan kewenangan (E3), meningkatkan koordinasi antar dinas dan kementerian (E6) merupakan sektor linkage yang berarti mempunyai driver power tinggi tetapi mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lain. Pada setiap tindakan pada sub elemen ini akan mensukseskan program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun, sedangkan lemahnya tindakan pada sub elemen kendala ini akan menyebabkan kegagalan pelaksanaan program ini.
Gambar 5. Diagram klasifikasi sub elemen aktivitas yang diperlukan
Gambar 6. Struktur hirarki antar sub elemen aktivitas yang diperlukan
Sumber : hasil analisis, 2016 Struktur hirarki pada Gambar 6 menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub elemen aktivitas yang diperlukan. Hal ini berarti bahwa sub elemen aktivitas yang satu akan didukung oleh sub elemen pada hirarki dibawahnya. Pada Gambar 6 juga menunjukkan bahwa pada elemen aktivitas mempersiapkan SDM yang terampil dan handal (E1), penyempurnaan peraturan dan perundang-undangan (E2), perkuatan lembaga dan kewenangan (E3), meningkatkan koordinasi antar dinas dan kementerian (E6) merupakan elemen kunci yang artinya bahwa elemen tersebut merupakan aktivitas yang harus mendapatkan perhatian utama dalam program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun karena akan mendukung aktivitas lainnya yaitu aktivitas menjaga ketersediaan air (E4) dan konservasi wilayah hulu (E5). 4. Elemen Pelaku atau Lembaga yang terlibat Elemen pelaku atau lembaga yang terlibat dalam program percepatan pendayagunaan sumber daya air mendukung ketahanan energi dalam rangka mendukung program optimalisasi bendungan dalam
produksi PLTA sepanjang tahun berdasarkan hasil kajian terdiri dari 9 (sembilan) sub elemen pelaku atau lembaga yang terlibat yaitu : 1. Dinas Pertanian (E1) 2. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PDSA) (E2) 3. Dinas Kehutanan (E3) 4. Dinas ESDM (E4) 5. PT PLN Persero (E5) 6. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai/BPDAS (E6) 7. Kementerian ESDM (E7) 8. Kementerian PUPR (E8) 9. PDAM (E9) Berdasarkan matrik driver power dan dependence maka dapat dikelompokkan ke dalam empat sektor sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Sektor I merupakan sektor autonomous, sektor II merupakan sektor dependent, sektor III merupakan sektor lingkage dan sektor IV merupakan sektor independen. Hasil klasifikasi sub elemen yang terlibat menunjukkan bahwa Dinas Pertanian (E1) dan PDAM (E9) tergolong dalam sektor dependent. Hal ini berarti bahwa sub elemen aktivitas ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen yang lain serta mempunyai driver power yang rendah terhadap sub elemen yang lain dalam rangka mendukung optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Analisis lebih lanjut sub elemen Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PDSA) (E2), Dinas Kehutanan (E3), Dinas ESDM (E4), PT PLN Persero (E5), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai/BPDAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (E6), Kementerian ESDM (E7), dan Kementerian PUPR (E8) termasuk dalam sektor linkage yang berarti mempunyai driver power tinggi tetapi mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lain. Pada setiap tindakan pada sub elemen ini akan mensukseskan program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun, sedangkan lemahnya tindakan pada sub elemen ini akan menyebabkan kegagalan pengembangan program tersebut.
Gambar 7: Diagram klasifikasi sub elemen Gambar 8: Struktur hirarki antar sub lembaga yang terlibat elemen lembaga yang terlibat Sumber : hasil analisis, 2016 Struktur hirarki pada Gambar 8 menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub elemen lembaga yang terlibat, hal ini berarti bahwa sub elemen lembaga yang satu akan didukung yang lain. Pada Gambar 8 juga menunjukkan bahwa pada elemen lembaga Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PDSA) (E2), Dinas Kehutanan (E3), Dinas ESDM (E4), PT PLN Persero (E5), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai/BPDAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (E6), Kementerian ESDM (E7), dan Kementerian PUPR (E8) merupakan elemen kunci yang artinya lembaga tersebut mempunyai peranan yang sama dalam program optimalisasi Bendungan Bili-bili dan pada akhirnya sub elemen lembaga tersebut akan mempengaruhi sub elemen Dinas Pertanian (E1), dan PDAM (E9). 5. Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dalam program percepatan pendayagunaan sumber daya air mendukung ketahanan energi dalam rangka mendukung optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun berdasarkan hasil kajian terdiri dari 7 (tujuh) sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh yaitu : 1. Tokoh Masyarakat (E1) 2. Kepala Dinas Terkait (E2)
3. 4. 5. 6. 7.
Masyarakat Sekitar bendungan (E3) Pengguna PLN (E4) Pengguna PDAM (E5) Pengelola Waduk/bendungan (E6) Petani P3A (perkumpulan petani pemakai air) (E7) Berdasarkan matrik driver power dan dependence maka dapat dikelompokkan ke dalam empat sektor sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. Sektor I merupakan sektor autonomous, sektor II merupakan sektor dependent, sektor III merupakan sektor lingkage dan sektor IV merupakan sektor independen. Hasil klasifikasi sub elemen pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruh menunjukkan bahwa sub elemen Pengguna PLN (E4) dan Pengguna PDAM (E5) termasuk dalam sektor autonomous. Hal ini berarti bahwa sub elemen ini tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan sedikit meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat dalam program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Analisis selanjutnya sub elemen Petani P3A (perkumpulan petani pemakai air) (E7) tergolong dalam kelompok dependent. Hal ini berarti bahwa sub elemen ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen yang lain serta mempunyai driver power yang rendah terhadap sektor masyarakat yang lain dalam program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun. Analisis lebih lanjut menyatakan bahwa sub elemen Tokoh Masyarakat (E1), Kepala Dinas Terkait (E2), Masyarakat Sekitar bendungan (E3), dan Pengelola Waduk/bendungan (E6) termasuk dalam sektor linkage yang berarti mempunyai driver power tinggi tetapi mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lain. Pada setiap tindakan pada sub elemen ini akan mensukseskan program tersebut, sedangkan lemahnya tindakan pada sub elemen ini akan menyebabkan kegagalan pengembangan program tersebut.
Gambar 9: Diagram klasifikasi sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh
Gambar 10: Struktur hirarki antar sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh.
Sumber : hasil analisis, 2016 Struktur hirarki pada Gambar 10 menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh. Hal ini berarti bahwa sub elemen ini akan didukung oleh sub elemen pada hirarki di bawahnya. Pada Gambar 10 juga menunjukkan bahwa pada sub elemen Tokoh Masyarakat (E1), Kepala Dinas Terkait (E2), Masyarakat Sekitar bendungan (E3), dan Pengelola Waduk/bendungan (E6) merupakan elemen kunci yang artinya bahwa elemen tersebut merupakan elemen yang harus mendapatkan perhatian utama dalam program optimalisasi bendungan dalam produksi PLTA sepanjang tahun karena akan mempengaruhi sub elemen Pengguna PLN (E4), Pengguna PDAM (E5) dan Petani P3A (perkumpulan petani pemakai air) (E7) dalam program tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari data lapangan dapat disimpulkan bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola PLTA Bendungan Bili-bili sehingga dapat produksi listrik sepanjang tahun dalam rangka mendukung ketahanan energi diperlukan : 1. Korelasi antara kondisi lapangan yakni banyaknya sedimen di waduk dengan hasil analisis ISM pada elemen kebutuhan dari program bahwa langkah prioritas yang perlu dilakukan adalah perlu
komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran pada kegiatan konservasi DAS dan operasi pemeliharaan waduk dan bendungannya, sehingga permasalahan sedimentasi dapat diatasi. 2. Langkah-langkah prioritas kemudian berdasarkan hasil analisis ISM adalah perlu peningkatan SDM pengelola waduk, peningkatan koordinasi dan sinergi antar stakeholders, dan dukungan tokoh masyarakat, masyarakat sekitar waduk, pengelola bendungan, dan pemerintah daerah. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini, kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung terselesainya penelitian ini, antara lain Bapak Kepala Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Kepala Bidang Kajian Kebijakan dan Kerjasama, dan para peneliti yang telah terlibat.
DAFTAR PUSTAKA Al-Ansari, Tareq. 2016. Development of the Energy, Water and Food Nexus Systems Model. A Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of Imperaial College London. Danajaya, I Made Barata dan Achmad Imam Agung. 2017. Scheduling Energi Pembangkit di PT.PJB Unit Pembangkit Brantas PLTA Siman.Jurnal Teknik Elektro. Surabaya :Unesa. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Firmansyah, Irman.2016. Disertasi : Model Pengendalian Konservasi Lahan Sawah di Dalam DAS Citarum. Sekolah Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor. Hakim, Siti Riskiyanti. 2015. Skripsi : Studi Laju Sedimentasi Waduk Bili-bili Pasca Pengembangan Bangunan Penahan Sedimen. Universitas Hasanuddin. IEA. 2013. Southeast Asia Energy Outlook. Kayupa, Olvit Olniwati. 2015. Dampak Sebelum dan Sesudah Pembangunan PLTA Terhadap Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Desa Sulewana Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso. E-jurnal Katalogis. Palu : Universitas Tadulako. Kanungo S dan V.V. Bhatnagar. 2002. Beyond Generic Models for Information System Quality : The Use of Interpretative Structural Modelling (ISM). Journal of System Research and Behavior Science. Kusdariyanto.2013.Model Kelembagaan Pengelolaan Teknologi Mikrohidro Berbasis Masyarakat (Studi Kasus : Desa Gunung Lurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas). Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. Jakarta. Kustini, Nia. 2013. Analisis Hidrologi untuk Studi Kelayakan PLTA pada DAS Way Semaka dan DAS Way Semung. Skripsi untuk Gelar Sarjana Teknik. Lampung: Universitas Lampung. Laporan Utama Program Percepatan Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Pembangunan PLTA. Jakarta : Bappenas 2014. Madonna, Sandra. 2014. Efisiensi Energi Melalui Penghematan Penggunaan Air (Studi Kasus: Institusi Pendidikan Tinggi Universitas Bakrie). Jurnal Teknik Sipil. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya. Marimin.2004.Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Master Plan Study of Hydropower Development in Indonesia, JICA & Nippon Koei (2011). Muzwardi, Ady.2015.The Analysis of Network Governance in the Investment Development of Free Trade Zone and Free Port (KPBPB) Batam. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik. Yogyakarta : UGM. Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Palupi, Dyah Sri.2015. Efektivitas Pemanfaatan Biogas Untuk Menunjang Ketahanan Energi (Studi Di Desa Pendoworejo Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Ketahanan Nasional. Yogyakarta: UGM. Ridwansyah, Iwan.dkk. 2015. Potensi Sumber Daya Air Untuk Pengembangan PLTMH di DAS Cisadane Hulu Berdasarkan Pemodelan Hidrologi SWAT. Jurnal Limnotek. Jakarta: LIPI. Rosalina, Happy.dkk.2014. Strategi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Waduk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang Kabupaten Kampar. e-jurnal Dinamika Lingkungan Indonesia. Riau: Universitas Sriwijaya. Tamba, Ridho Sanjaya dan Eddy Warman. 2016. Studi Prakiraan Potensi PLTA Pumped Storage Danau Sidihoni Kabupaten Samosir. Jurnal Singuda Ensikom. Medan :Univeritas Sumatera Utara. Yusuf, Ilma fatimah, dkk.2016. Peran Pemuda Dalam Pengembangan Eduwisata EBT dan Implikasinya terhadap Ketahanan Ekonomi Wilayah.Jurnal Ketahanan Nasional. Yogyakarta : UGM.