I
-, ---....-
.~
"
'I
f~~~\.
hl,-A'l"l(')
~;r'"
-
. . . : . . . . -:-'- '- ::;::'. ..... .-
.
.rv
.
....
~,., : -; _ "
' ,_-' :-.
-....-:. ,.' ') :.. .
-
,.
~~IOO\,t,"oO)OI ·nel .1d; •':'eb, ;~;'o·--·:-d .. _ . ... il e:· -ww ' t .r '·' _ . (.'\j~"/~'· - ~·· -
'
enc
,
.
-:. .
_. . . -. . . ' ,':'. l ....~Hc-. . , . , I' L~rJ;J N ESLA . _.. .:I: .~ ~,"_'" _..
-\y /;(.,d.ko -r.mur 1 J jo~ollo 10110 . ..
, . ':1 \ .: ~'.7:-~ -~~- ":i-~1 \
.
.~
~
.
I
I
- _. ., -". ':.
--
~ -. . - - ---. ..---=- , Media
.~ :;
•
': .-. ' ,~;.
.,-~
"1.
: :
. ,- '',
I
':"".
K omp9S
• ,
Hr/Igl/bln/lhn Hlm/klm
I
• •
-•
tVov
<260;;2.
..{,jGJ. •
•
_en a
alll •
•
• •
•
• •
•
Hendro Wiyanto •
PAMERAN Awas! Recent Art from Indonesia (19992002) menunjukkan perkembangan seni rupa kontemporer terkini di Indonesia. Para perupa Indonesia telah menggunakan medium-medium baru seperti seni rupa video, pertunjukan, seni instalasi, obyek-obyek seni campuran. dan medium fotografi dalarn karya-karya mereka. Wakil-wakil dari para perupa yang dipilih adalah para perupa dari generasi yang lebih awal, yakni tahun 1980-an yang telah mulai bersentuhan dengan mediummedium ini pada perkembangan karier mereka. Berikutnya adalah para perupa yang langsung menjelajahi medium baru antara lain didorong oleh perkembangan seni rupa terakhir di berbagai belahan dunia sejak tahun 1990-an.
• I
I
•
~
. '
.)
c
\
-
- . - . -.
•
--
•, • ••
•
.
~.
I antara k~terpu rukan bangsa dan carut-marut kehidupan politik yang . rnasih harus memilih jalan dan yang tepat untuk ke1uar drui jalan buntu pama'an ini disusun, Karena ' lhl, lema kehangatan waktuseperti terasa pada tajuk pam rrul-dan ejumlah paradoks serta kegaJauan dalam kehidupan sosial polltik dan budaya langsung tel'Ca'mmkan dalam karya-kruya pameran ini. Hal itu juga m rupakan bahan-bahan utama yang patut didislru ikan Setelah melakukan lawatan "pascakolonial" di ejumlah negara ?-i tiga benua (Asia, Australia, dan Empa), pameran I.tU akhu nya mengakhiri p e11al anan panjangnya cli Bentara Budaya Jakarta dengan memilih tajuk "Mudik" (28 September-13 Oktober 2002), "Mudik" adalah istilah yang biasa digunakan olch orang Indone ia umumnya yang lindu pulang ke kampung halaman setelah sekian lama mencari na1kah di kota. Memang dari tempat "mudik" lah sebenrunya terdapat sumber-sumber dan pijakan yang . penting untuk membaca keI,:uatan dan kontroversi pameran ini. Tetapi, apakah dengan tajuk "mudik" ingin dimaksudkan juga bahwa pameran akhirnya telah ba'hasil memperolOO "legitimasi" -ny'a dari sejumlah lawatan? Salah satu prestasi pameran ini adalah keberhasilannya hadir di Forum Ludwig fur ~temationale Kunst, Aachen, di Jel1nan. Dua tema dari ref1eksi "Mudik" akan dilalrukan dalam tulisan ini untuk membaca sejllmlah kalya eli dalam pameran.
•
Media
-
•
"-· -.-
•
-.'--
Hr/tgl/bln/thn Hlm/ klm
"MlIdik" pertama akan membawa kita ke saat histons tahun 1998, tapal batas waktu :vang mcnjadi penting untuk menandai kelahiran semua kar:-'a-kruya seni rupa kontemporer dalam "Awas''', Mengikuti perubahan peJiode dalam kehidupan sosial polittk dan sedikit banyak penganih dan tanggapannya dalam karya 5(>ni rupa klta, kita dapat menyebut kar}'a-karya 'ang dipamel'kan daIam "Awas!" sebagal kal 'a srni rupa pasca-"Ol'de BalU", TapaI batas ini tenlunva telah memben id, bagi para lrurator lmtuk menyusun pam ran ini. Sebuah l'ezim yang terkenal represiI, korup, dan berkuasa se lama lebih dari 30 tahun (1966-1998) akhimya harus dihempaskan 01 h gelombang krisis ekonomi global yang mempercepat robohnya rumah kardus kekuasaan itu sendiri. Tetapi, seperti dikatakan 0100 beberapa pengamat politik, salah satu faktol' kejatuhan yang tak kalah penting adaIah proses pembu ukan politik yang bersifat aIami, yang terjadi dad dalam (political decay), Namun, tidak eperti proses pembusukan yang terjadi di alam, pembusukan politik Udak ni caya mengha ilkan "hara", makanan atau lUang yang culrup te1'5edia untuk hidup bagr generasi sesudahnva. • Pergentian rezim ini te1ah meniupkan angrn baru pada dunia penciptaan seni di Tanah Ail; seni lUpa, Banvak perupa )'ang scakan merasakan dorongan baru unluk mencipta dan melahirkan t ma-t ma yang berkailan dengan pokok ,',mg b r 'i rat kritikal, sinlkal
• •
-. •
,
• •
-
maupun lI'Onikal terhadap situasi politik, Siapa pun dapat menjadi sekaligus ag n, sasaran dan tema kritik pada masa semacam ini dari lembaga kepresidenan sampai golongan eniman sendiri. Suasana kritik-mengkritik membentuk pusaran baru daIam pasal-pasal berkarya. Ruang kebebasan politil> yang dapat dialtikan sebagai lUang beba menyatakan pendapat kian melonggar. Kita dapat menjumpai pendapal sarkastis dituliskan di mana saja, dan jendela baJaj yang lusuh hing~a gratiti di tembok-tembok kota dan kruya para perupa. "Konfrontasi" dengaI1 kekuasaan sudah berakhir, "musuh" para seniman adalah itu sendiri yang teru menggelinding bagaikan bola salju. ltulah yang konon kemudian berada di tangan para seniman yang melahirkan karya-kruya bertemakan sosiaI politik,
I
I
,
I
, ,•
,
i •
,
Nirwan Abmad Arsuka, seorang pengamat kemudian l, menulis, bahwa niat untuk lebih b bas dan terang-tel'angan, tldak dengan sendirinya berhasil membentangkan pandangan dan pemahaman baru tcrhadap ke,~ nyataan dan persoalan-personlan kila ". Mungkin ini yang membuat sebagian bl' r kaITu seruman kila, bukan • hanya pClUpa tapi juga p nuterasa h'bih m non]ol scbagai our/et k 'giatan "p mbl'- I ba.·an" dan kurang meng san- I kan seb. gai jerih-pa ah"p 1\- , cipla n", pavu pcncipucun, • kalaupun ada, cl 1 m p 11dnngun r:uka, t' nd 'n.m~ di!ullakun s('b '\i pl'la 'an bu !\ "I 'mbl'hns, l\ itu, ( 'in>, n ! ul 1,20(0). 1\1 'n~ikutt P,II\d.," 'an dt'!lnkl m (,lama
'
,
. . '. _.
.'
I, _
}, _ • _ • _ ._
'1
o 1 10
-
.
••
-
.
t.""-......... ; " .
.
.... .... " : -
.
"
\.~.,
. )'
.
~
•
h
-- - ,
-.
Pcngamat seni rupaJim Supangkat menulis tentang kecenderung an lmtuk menciptakan karya seni rupa yang politiCally correct, namun yang kemudian terasa adalah karya-karya semacam it':! seakan tidak mempunyal d ampak politik Bahkan, para perupa merasa minder terhadap peranan mereka sendiri ketimbang para politikus di. masa reiOllnasi Jim meollJis, ketika gerakan reformasi roeletup dan mengakibatkan dampak reformasi yang luar biasa, para perupa seperti melihat peluang untuk melakukan loncatan. Muatan sosia1 bukan curna dibesarkan tapi malah ditotalkan. Nam1l n , loncatan ini malah menimbulkan kebingungan karena karya-karya seni ru~a bel;~en ti menjadi karya sem dan tnl menutup peluang kritik untuk membaeanya. Para perupanya lalu kehilangan posisi. Tidak mau jadi seniman lagt.. tapl tidak mampll jadi tokob gerakan refonnasi" . (Kompas, Minggu, 13 September 1998) Agenda inilah yang m~nge muka-seperU dieatal di . a tas-pada karya-karya sem r upa kita pad a masa refor- . masi I' Paradok kebebasan di tanga n seniman yang merupakan tegangan antara ruang
\
_..:.> . _ _ ._._~. . . • -.':": " .
1
•
-
r - - - - - - - - - - - - - - - - --
~
: "
"" ,- ,
-';j: • 1:. i
--
.,...-....
ini labtr ebagian oe ar bukanlah karya . " , tetapi sebuah obyek kebebasan itu sencliri. Dengan nada yang agak berbeda, pengamatan ini dapat mengingatkan lagi mtlk budavawan kita tabun t ujuh puJuhan ketika menghadapi karya-karya seni rupa para pembaru: sesuatu m njadi seni dengan cara waton slLlaya, asal "bunyi ata u "asal a neh" .
.,
•
_ •. - - - - -
~
I -,. . _, j , '\IV; .....,. '. - '
-p
,,,",ru or.1
-
:-1'-
~
,_
.' . ...
.-. ' ,
.. WWw~ ... : . · ....._..., d"
•
..
I
-
--,
• •
Hr/tgl/bln/lhn . • Hlm/klm • •
• :
.
-- .--- L._ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __
____J
kebebasan (politik) dan sensibilitas estetik itulah yang antara lain tercermin pada karya-karya dalam pameran "Mudik" -
••• "MUDIK" yang kedua dapat membawa kita kepada agenda budaya atau agenda kultural. Krisis penciptaan sebenarnya telah berakar lebih jauh atau mendalam pada tradisi sem dan buda~a di Indonesia. Di luar repres 1 politik s lama rezim Orde Baru, yang terasa menjadi agenda kultural adalah keberanian untuk teru menerus menciptakan ruang bagi berpikir atau menciptakan ruang-ruang alternatif untuk " berpikir bebas", tanpa harus melakukan konfrontasi dengan kekuasaan. Dalam hal ini, represi politik adalah ~a!U hal dan upaya untuk berpikir bebas adalah hallain. . Contohnya, pada masa reZlffi Orde Baru pun sesung~ya juga muneul "pikiran-pik!ran bebas" dalam seni rupa kita, usaha-usaha untuk keluar dari stagnasi persoalan i.d entitas, tradisi, dan cap kelUdonesiaan, paradigma-paradigma estetisme yan~ bersifat a-histotis dan dan lam sebagainya. Salah satu pendapat yang menyokong hal itu adalah bahwa seniman tetap me:np~ nyai l'uang otono.m atau lI;nallnasi untuk menelpta dan lffiajinasi ini tentunya tidak dapat diadili oleh perangkat hUkum mallpun politik Pelarangan sejumlah pameran, tel'utama semenjak tahun 1970-an hlngga 1, hun 1990-~n meman~ terjadi di sana-S\fil. Tetapl. ~~n~ Ir\nh sering adal, h pamel an-
pameran . en! rupa yang kendati tidak mllogkin dan tak perlu di.larang namun juga sama sekali langka melahirkan alternatif penciptaan :rang baru atau sungguhsungguh lahir dari hasil "jerib payah penciptaan"-
.
I
I Contohnya adalah langkanya muneul mediummedium penciptaan yang baru di luar rumpun sem yang laI zim seperti seni lukis dan seni patung. Persistensi dan pertumbllhan sem rupa '·paradigmatik" ini mengandaikan '/ iataf pendukung yang "lebih" ',";1 yang membawa akibat pada . hasil ciptaan tentunya Yakm kebutuhan yang berasal dan I hadimya kelas menengah baru, hobi baru, baru dan ruang-ruang yang . , mencelminkan tatus dan S1111- l bol sosial yang baru ell kota. . \ I
Bukankah terbitnya publika i ' para perupa yang sukses dalam ben~ yang "s olah-olah buku atau ~ "pseudo buku" semakin me mbuktikan semacarn ItU Daiam semac::rrn Itn 'aog kita temukan adalah. buah perayaan t rhad~p. uk- , es seorang S Dlman ch pa:ar, I akumulusi keka:aan , ng 1 l.lerhasil dlkumpulkannya I (mC'ln\ui tanda-tanda ., pert! foto nU\1 h mt'\\, h, studiO bl .,,1', kiln·, y!ln~ dlkt1ll'ksi , lino . sl'ha auwU) clan kE'lkk, t"\IID\ den 'an 1\\1 \ PI,{\, gan ' luki:11. " n I • l'lalll ,Ib"l'n ad \ Ih I 'iak P 'Igut l \l1 Pl'n1 l klran lhn Pl'\WU\lann • I t \l, I\l S '1\\ rupn tllU \ l'oIlIn kl,buda ,1.\11
,/,' . . ... '-. -... . . --r--1 .... -;'
\
"~ , ' . . . -. '. .
~
-" -:".-~ . "" -., . .. .:
.. - . - . -.
, ~
!
-' . ..
'
.' .' _
--~"
'
__ ._.- -: . _
1:---:------------------. -
...
-
r
,
- - - " :": "- -' •
"""
• •
•• -' I r;m Z ' :1,.'M eJuoMerd«o ,mvrIJ·)ol0 f(.0·IOI10 _, __ ,-::. , :';_ . \~'- '" ~ • ~ - 11 -~, . :\ . .. - ' .,0,1 ,;"loO"1,noo,o' ne"d; L-el" ilci" ","~::.9nror ' " •.. .. --.~.!. I C" . ... . rd ,,;· ~.:."vl _.· " · . • . __
r,·-l:., ,,,, '. ' •
•
1 '; '
'
-
-
", . j
I
-
Hr/tgl/bln/thn· 1~~~~':':':':~ ' -____ _ Hlnl/klnl •.
_. _'---- - - - - - - - - "--
liknya memungut ebuah kejadian menjadi (isu atau obyek) seni.
Dekat dengan akhir masamasa puncak kejayaan Orde Baru pada dekade tahun 1990an, rnisalnya, sebuah pameran eni rupa di Dewan Keseman Smabaya memperingati seratus hari terbunuhnya pemimpin buruh bemama Marsinah harus ditutuP atas nama perintah militer setempat. Harus dikatakan bahwa pe1arangan sebuah karya tidak ser1.a-merta menjadikan karya itu-secara apriori-menjadi lebih baik atau berkualitas. Pemberitaan mengenal pelarangan hanya meningkatkan informasi tentang . , pelaranga n karya itu sen~m clan debat yang menyertamya sehingga pam~an menj~di . penting sebaga~ se.~,uah pensliwa yang menJadi karena lSU yang dihadirkannya . Pergulatan atau konfron~sl senimannya dengan reahtas itu sendiri adalah satu hal yang memerlukan pendekatan yang berbeda k~timbang membicarakan Isunya. Tegang an semacam ini adalah sesuatu yang menmik untuk membicarakan karya-karya seni rupa kontemporer ~ang menjadik an sebu~h m ebagai sebuah penstIwa dan eba-
Agenda kultural ini meru~ pakan pekeI')aan yang tak kalah sengit bagi perkembangan sem rupa atau seni budaya di Indonesia. Jika agenda "mudik" politik mempakan representasi maupun agenda ala seniman untuk menyuarakan ruang-ruang kebebasan yang "penuh" dan bennakna bagi seniman maupun masyarakatnya, maka agenda dalam "mudik" budaya adalah memberikan is; penciptaan yang "relatif bebas" dan memiliki intensitas terhadap ruang kebebasan alternatif yang berhasil dipertahankan. Dalam hal ini, mengupayakan ruang-ruang penciptaan-dengan semua keterbatasan institusi penunjangnya - bukanlah perkara yang sederhana di Indonesia. Dalam pengantamya yang singkat untuk penerbitan pada ulang tahun pertama Komunitas Utan Kayu, Goenawan Mohamad dengan masgul menulis tentang hal itu " ... tetapi tahun 1966-1998 juga sebuah periode ketika modal dan pasar kian lama kian rnenjadi pemain utama dalam percaturan sosial. Banyak yang mengatakan bahwa di antara negara dan pasar konflik sering terjadi: negara menyukal regulasi, sedang modal dan pasar menghendaki 'tangan yang tak terlihat' ang berlangsung dalam suasana 'bebas' Dalam seni dan pemikiran zamao 'Orde Baru', konfl.ik i1u justru tidak l.erjadi. Dengan kepentingan yang 1erkadang sama dan terkadang berbeda, n gara dan pasar melakukan ata seni dan pemikiran" (Goenawan Mohamad, 1998).
DENGAN latar belakang dua macam POS1SI "mudik" semacam It\1- vang diinspirasikan oleh taluk pameran kiranya perhati n dapat kita arahkan kepada isu-isu dan implikasi yang dihadirkan pada karya-karya seni rupa itu send iri. Pameran m.i melibatkan para perupa dmi angkatan yang sudah muncul pada dekade tahun 1980-an yakni Arahrnaiani. Agus Suwage, Eddie Hara, Heri DODO. dan Tisna Sanjaya yang Jahir pada akhi.r tahun 1950-an atau awal tahun 1960-an Dekat dengan dekade 11u adalah perupa-perupa Krisna Murti dan Nindityo Adipurnomo dengan memperlimbangkan kemunculan mereka dalam pameran-pameran baru pad a awal tahun 1990-an, Para perupa yang lebih muda, kelahiran tahun 1960-an sampai 1970an mengawali debut mereka pada pertengahan tahtm 1990an, yakni Agung Kurniawan, An Diyan1.o, Bunga Jeruk, Hanura Hosea. Samuel Indl'atma, S Teddy, dan Tri Wah.yudi.
~ ~
., \
t
•
-
. ,-'" .- . '- ' - ' - ..'-' .... ' -.. - . .. --'.-'" - ' ' •-" .' • • J
•
..
'-
' -- -~, .. - .' _ -": . •.'
-'
--' , -. '
•
•
"· .'.• •
•
•
•
•
•
Media
-.
Hr/tgl/bln/ thn . , Hlm/klm
- ".--
Para perupa lni tentunya mengalami tekanan yang berbeda-beda pada masa tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Kendati mengalami masa kekuasaan rezim Qrde Baru dengan semua dan pembu ukannya, kemudian menyaksikan keba~gkru~ya, kedua generaSl perupa Ini akan cenderung bersentuhan dengan agenda kultural yang berbeda Ge~era i perupa yang Iebih dini mewarisi lebih dulu agenda kultural dalam bentuk s~perti yang ~elah disinggung di atas, tetapl genera si tahun 1990-an mengalanri atau menghadapi agenda "multikultural" yang lebih d ras dimana praktek keragarnan budaya di seluruh dunia menjadi tumpang-tindih dan sekaligus menciptakan laplsan-lapisan yang menjadi sarna penting; demikian pula batas-batas, transiormasi dan hierarki penilaian kultural terus-menerus dipertanyakan, Di masa semacam itu, mungkin kita mengalami apa yang dikatakan sebagai "tak ada sistem yang berlungsi dalam isolasi. Tidak ada Dunia Pertama yang eksis secara bebas clan Dunia Ketiga; selalu ada Dunia Pertama pada setiap Dunia Ketiga dan demikian sebaliknva", (Trinth • T Minh-ha, 1990). Tapi, tentu saja tumpang tindih juga te.rjadi pada kedua lingkup generasi para perupa itu; demikian
• • • • •
• • •
•
•
pula agenda multikultural juga dapat dikatakan memiliki muatan "politik". Kendati para perupa seperti Hen Dono, ~cldie Hara, clan Arahmaiani " mulai menginjakkan kaki dan mengalanu lang ung praktik seni rupa di Dunia Pertama, narnun ecara intensif peristiwa-peristiwa rupa yang menghadirkan 'seniman-seniman khususnya dari Asia ke belahan dunia seni rupa Eropa dan Amerika terjadi s jak permulaan dekade tahun 1990an. Dalam dekade tahun 1990an, mulailab apa disebut sebagai seni rupa Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir sejak tahun 1992, para perupa Indonesia tercatat te1ab mengikuti 35 pameran berskala inte.masional, termasuk Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika, bahkan berbasil mengikuti pameran intemasional yang dianggap paling bergengsisepertiBienal Venesia, Sydney, dan Sao Paulo. (Jim Supangkat dan Asikin Hasan, 1998) Intensita semacam itu, misalnya, tampak paling jelas khususnya pad a Heri Dono dan Arahamiani . dengan keberhasilan mereka dicatat sebagai dua perupa Indonesia di antara 100 perupa kontemporer populer dalam lingkup rupa dunia (Fresh Cream, 2000)
••• DALAM tulisan pengantar, salah seorang kurator pameran ini, Alexandra Kuss menulis bahwa karya-karya refiektif yang terpilih untuk pam ran ini lebih dapat menunjukkan di mana sesungguhnya seniman berada claiun situasi seperti itu; kedekatan , yang berjarak. Para seniman I selalu memiliki perhatian dan keterlibatan yang c~p di dalam realitas masyal'akat di sekelilingnya, tetapi ketika berkarya marnpu membuat jarak tertentu untuk menciptakan sebuah representasi \ yang menarik atau tJdak men· ~ jadi larut di dalam aktualitas itu sendiri. (Lihat Katalog , pameran "Awas!")
Pada bagian yang lain, par. ~ kuratornya juga menandai adanya perge eran penggunaan baha_a oleh para perup, dalam mass sesudah tabtID 1998, agakn)a . t'bagru efek d n 'itua:i '0 ial polihk yan!! baru yang menyedi~\kan kebe basan unluk berekspresl atall I mem.ilih kebcl gaman medium untuk b\'rkar,'a 'an : , , ual dt'ngan . kar~ n \TIPl • ka .
I
-
,
,
_.
Media
Hr/tgVbln / thn Hlm/klm
•
-. -.
•
• •
• •
-
, Akan tetapi, karya peltunJukan Arahmaiani (Hellcome to P~radise', 1999) yang saya sakslkan untuk pembukaan pameran "Awa !" pertama di Benteng Vredeburg Yogyakalta, pada l~un 1999 leblh menunjukkan arus "mudik" dari seniman ke dunia politik yang ~entara dan kurang menunJukkan sifat refleksif sebuah karya, Arahmaiani, adalah perupa yang pada saat ini berada paling depan pada perbatasan antara aktualitas dan representasi pada karyanya. Pada karyanya seakan-akan kita dibingungkan antara mediwnnya. apa vang dipertunjukkannya dan cara atau bahasa pertunjukan itl.l sendiri, Sebuah ide representasi ten tang disampa~an dengan cara yang sama sehingga menghasilkan bayangan ganda dari kekerasan i~u sen~i. Dalam karya pertunJukan Itu, misalnya Arahmaiani menggunakan sebilah golok untuk mencincang seek~r ayam po tong bertubitubi sehingga darah muncrat di sana-sini diiringi oleh pekik suaranya, "Aceh! Ambon! Timor Timur!" Dipan putih, ember berlsi cairan walna merah yang me~ugestikan darah, tempat Yanl mencuci kaki-kakinya sendiri, dan tulisan-tulisan pada sprei putih itu adalah bagian-bagian yang mencairkan simbol menjadi pernyataan politik ala seniman dalam apa yang pernah disebutnya ebagai "orgi kekerasan". S~mua tindakannya merupakan sebuah rujukan langsung seperti sebuah jalan lurus ~ mana di ujung dari jalan yang peliormatif itu kita melihat sungguh-sungguh kekejaman yang (Ukritiknya, Imlah beban dari posisi "mudik" politik dati ,eniman
yang berasal dnri generasl yw;g lebih dini dalam pameran 1nl, Ucapannya ang lain yang menegaskan hal itu adalah kalimat puitis 'ang bernada penyesalan tentang posisi yang tedarnpau berjarak dari seorang seniman yang ingin tetap menjangkau realitas dengan tangannya, yaitu "Kenapa aku tak'bisa menghidup~~n kembali mereka yang mat!? (Arahmalani. 1999). Dekat dengan karva Itu adalah karya Tisna Sanjaya bcrupa bUbor (Vi,sit Indonesia Year~ 19?9) yang menghadirkan lIDaJI ten tang hipokrisi ~an PI'l?ses pembusukan polittk darJ dalam. Baju-baju seragam ideologis yang dikenakan dalam potret-potret diri Tisna, wajah klimis dalam sebuah adegan yang tampak disutradarai dengan mengacungkan tinggi-tinggi seikat padi menguning dan uang segepok itu adalah "realisme" palsu yang harus dibesarkan untuk menyelubungi kegentaran terhadap kerapuhan itu sendiri. Deretan suvenir berupa Tshirt dengan tambalan berupa lukisan pemandangan ala mooi indie yang telah berganti tanda menjadi situs-situs kekerasan, baju loreng tentara yang laku keras, sepasang dinding gedek yang memagan karya dengan asosiasi kepada dorongan-dorongan biologis menjorokkan sebllah representasi ten tang genealogi kekerasan yang dalam, Tapi, itu semua adalah parodi untuk bilbor pembangunan, slogan gemah ripah loh jinawi dan akhirnya budaya amuk yang terus mengintai.
-.
Pada saat orc\e semacam j mencanangkan tahun kunjungan wisata, menwut TiS! hal itu juga hipoknsi yang bennakna ganda, KeamanaJ bagi turis a ing yang mendatangkan devi a tidaklah sama cl ngan kala "diamankan" bagi p nduduk yang tidak cukup patuh sebllah r produksi seorang tua dalarn lukisan Munch yang dikejnr. keJar tentara bersenjata. Semua tampak terkendali dalam lukisan Tisna Sanjay~ sampai slogan VISit Indonesi Years perlahan-lahan mengl.l curkan Ielehan merah. WC u tuk tentara dan toilet untuk Interfet mulai hangus terbakar! Dengan munculnya SI tuasi dan peran baru daIarn panggung sosial politik yang mgin direpresentasikannya. aktualitas karya Tisna perla- . han-Iahan akan melorot. 'I
\
Versi yang Iebih hmak un- ' I tuk krttik-kritik yang men ye· diakan akses langsung kepad l . panggung realitas scmacam • itu muncul juga dari gambargambar komik-dram ~ bcrukuran kar 'a Tri . WahYl.ldi (mlsalnya "In the Name of Development", 1999
,
'.) . -.- .. \
,
\
i' ~ " -_. \ . .... . . __ ..- .-"-
" "-'
.
-
,
'"
::,: "" ..''0... .
' .~
. . --.
.
-
'
-.. - . . . .
-
.'
~. '
"
"':"-~--
--
. .-.,
,
...
..--::-.; :--
Media
- -,. ,"
:.., .-:
,1"" Ju'~·IA .rd .koj,m~rl ·m e . l '1 ~ " ..,) II j
."lnO' . tnoo)ol
~
'10 110_ . ' "·<'-;.Z';'I"tr; '~'· : :';. - '; __ I _ '. r l'~ '? ... . nct .. d; ...... ~b, ilci : w-w.w. 9n;or .id::' ~~V I:·' ,.. .. I _
...
.
.
•
•
/1 '
.
d ._
.. •
. -~
•
•
Memang dalam hallawatan, tidak ada pameran seni rupa dad para perupa kontemporer Indonesia cluas ini, scmenjak dekade tahun 1950-an, Slluasi baru-berbeda dengan ma a modcrnisme-yang kiru menantang, clitandai oleh pemikiran ten tang multimodel rllsme, multikulturalisme, postmodernisme dan postkolonialisme yang men]adi isu dalam berbagai forum seni TUpa di masa kim, Situasi ItU tampaknya menuntut para seniman untuk terus-menerus menentukan posisi "ml.ldik" mereka: ebagai seniman aktivi ,aktor yang hwnanis, seorang pembela multikulturalis atau agen dari proyck-proyek pascakolonialis, Kiranya agenda-agenda kultural dengan pijakan yang lebar memperoleh cerminnya lebih pada karya-karya Agung KUJTl.iawan, Krisna Murti dan Samuel Indratma Sangat je1as dalam karya Agung Kurniawan bahwa ada proses perrnintaan dan keterscdiaan dalam lalu llntas wacana seni rupa di dunia yang berlaku sekarang ini (Souvenirs from the Third World, 1989-1999),
. ,. ,
•
,
"
,
--.-----------------------~
•
"
•
Hr/Igllbln/ lhn : • Hlm/klm ,
,._- - - - - - - - - - ---
- .-
alat "transporta i" yang murah namun tampak sten] seperti gerobak es krim Jengkap ?:ngan musiknya untuk menJaJakan para seniman, tentara, birokrat, orang suei, kunyuk, dannyamuk, Semua ini coeok dengan jaminan kUalitas tinggi st'kaligus bernilai tradiSional, dengan aturan main galen, museum, dan kurator dan Durua P~~a ya,ng (harns) dipaharm balk-baik oleh para seniman Dunia Ketiga, Target atau alamat karya ini agaknya bel Illata dua: kritik t rhadap praktik eru di indonesia dan suatu standar yang diletapkan dan berlaku "dan pihak luar" • untuk mencan sebuah prototipe bagi kualitas durua bekas jajahan, Dapatkah perulaian bersifat bebas dan mandiri, dan apakah ada tawar-menawar yang lebih adil di masa paseakolonial kiru.'?
Sama halnya dengan karya video Krishna Multi (Loosing Face, 1999), yang menyatakan posisi kehilangan identitas dan kebmgungan di tengah orang ramai, karya-karya gambar Samuel Indratma seeara scmena-mena dan melompat-lompat mempertanvakan dan meledek di sana-sini arll kemode:renan bagi seni diusung dan Barnt yang dianggap sebagal milos sejak lahir dan kini menjadi komoditas baru di tangan pal'a kurator yang memiliki kekuatan untuk memposisikan kroya-karya itu (Sent Rupa Ajaib" 1999), Cita-cita rupa ajaib adalah menciptakan eni rupa bagi khalayak ramai seperti komoditas "es teh kontemporer" .
-
la menggunakan elemen 10 Karya-kalya kJ.itikal dcmikian mempunyai tempat yang unik di dalam proyek pameran scmacam ini yang cli satu sisi seluruh "keberhasilan" proyck panjang ini masih mcnyisakan sebuah pertanyaan singkat: apakah momentum 'mata dunia lengah memandang Indon s1a" mcrupakan faktor yang bCl'pcran lcbih b sal' ketimbang mcnimbang sec ani kritis kuaJilas kal 'a-karya itu spntlll'i? • Karyu-karva dnri kclnmpnk • • Apotl'k I ol11ik ( 11 DI.Ytlllto, Smnlwllnclrnlmn clan 1; I Wahywh, [fllelel' J<.'sl/lIInll'
.. - - - -'
"
a i yang jenaka lerhadap simulasi. kenyataan, tellnasuk • di dalamnya medan-medan sosial eni yang carut-marul dan tampaknya manipulati!. Inilah kritik yang tak mudah clipahami yang dituJukan kcpada para senimanebagai utopian comedy atall "saudagal' terbaik", sambil mengejek praktik kUl'atonal yang menciptakan gans yang tak dapat dilewati, Ledakan gambar dan inIOIlllasi mcm'enuhi b~ nak kita , lelmasuk para seniman yang melupakan kerbau-kerbau berkubang di antara geduriggedung bertingkat eU depan mala mel1'ka, Nyatanya sewman ikut terbel nggu dalam sitllasi sl'perti itu, lak blsa keluar dad sana, tak juga dapat menggalang sikap mereka, Bahkan, mungkm lak eukup bebas keeuali memperjuangkan sesuatu drngan olok-olok. Scmua karya seni, secara Ironis akhirnya menjacli made by order, store in cool, Kal'ya-karya yang dapat menciptakan dialog antara posisi-po isi "mudik politis" maupun "mudik kullural semaeam itu memp roleh tekanafl pada karya-karya yang lain Sangat mcnonjol rrusalnya sed karyakarya S D (Head Series) dan Hanura (Book Stories) yang mencoba menstrukturkan ke dalam pengalaman personal ml'reka pdbagai lapis realitas yang mereka Iihat dan alami, Karyakal'ya semacam ini melllbuat jarak yang eukup, mampu menembus ke ruang kontemplatj[ sambil memungl.lt makna atau pesannya dan sana. Saya telah m mbuat sketsa • yang mungkin terlampau sederhana I.Inluk membaca tidak cmua karya dalam pameran "!'I'll.ldik" ini, Cara ini kirall\-'a hanya digunakan untuk menanduI lSI.I-isu dalam lah karya :ang kan dan akse: para pcrupa kerada kema)emuk n rcalltas yang mgtn elirqH'CSl'ntasikunnya Bagnimana kclllfI onlasl sl'niman dan ken -utaan (bpat bl.'rlang,'\mg dan ellhacilrknn spjun 'c;u rod hll-k.m k H)-'a yang mampu nll'n1bl'llknn ill.'l!lllr pnllll: m;\Uplll1 kultural •'.111' III 'Ildnlllll k,nlll\' \lI('1111'r!llkan tmJ \I, n 1.lin
,
I
I
,
, I
,
•
1nl )!!) IIlt'numpuk !-\arnbnr-
gmnlltll d,lO putting p"tllllg I "lidS di tt,\lurn (png
(Ill
1ll'luh ,\.IJlg n1l'1111w1'Ikall
dl IIsnSI
-