Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
91698
$-
BANK DONIA
I THE WORLD BANK
0
The Asia Foundation
~ CdtbrollngFiftyY«~rs ~
Mernperbaiki Iklirn Usaha di Jawa Tirnur Pandangan Pelaku Usaha
- B A N K DUNIA
I THE WORLD BANK
0
The Asia Foundation .e. C.lt&r41ingfijiyY<m
>!1oo
Memperbaiki lklim Usaha di Jawa Timur
.DAFTARISI
15 16 17 19
KATA PENDAHULUAN UCAPAN TERIMAKASIH DAFTAR SINGKATAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
1
ro
RINGKASAN EKSEKUTIF
111
I. LATAR BEI.AKANG DAN TUJUAN
I1S
II. METODOLOGI Desk Study Survey Kelompok Diskusi Terfokus Studi Kasus
119 121 122 124
III. PROFII. EKONOMI JAWA TIMUR Percumbuhan dan Lapangan Kerja Perincian Geografis Perincian Sektoral Ekspor Jawa Timur
I2S 126 129 131 135
IY. KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR Kinerja lnvestasi di Jawa Timur Perizinan lnfrastruktur Fisik Pajak dan Rescribusi Keamanan Perburuhan
137 139 142 145 147
121
V. RANTAI NILAI KOMODITAS KayuJad Tembakau Tebu dan Gula Kopi Garam Udang Ternak Sapi Tekscil
I 50 I 52 ISS
I 56 I 65 172 177 184 192 198 1105
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi Umum Rekomendasi Sektoral
1111 1112 1113
1116
LAMPIRANI Kondisi Koordinasi Amar Pemerimah lokal di Jawa Timur
1119
Daftar Puscaka
1130
3
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
KATA PENDAHULUAN Ketika desentralisasi di Indonesia berjalan dan pemerintab daerab mulai memikul tanggung jawab yang semaltin meningkat dalam pembangunan di daerab mereka, ditemulran banyalmya contoh-contoh positif di seluruh Indonesia dari upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar pemerintah setempat dan melibatkan partisipasi sektor swasta di dalam pembuatan kebijakan. Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu di an tara conroh-conroh tersebur. Laporan ini adalah hasil serangkaian kegiatan untuk menyikapi hambatan-hambatan perdagangan dan investasi serta memudahkan permulaan rencana pembangunan jangka panjang PropinsiJawa Timuryang dlseburStrategic Infrastructure and Development Reform Program (SIDRP). SIDRP didasatkan atas empat program utama di bidang infrastrulttur, pembangunan ekonomi lokal, pemberantasan kemiskinan, dan rata pemerintahan (governance). Pemerintah propinsi Jawa Timur, yang menyadati pentingnya perbaikan lingkungan usaba bagi pembangunan daerab, telab memprakarsai SID RP sebagai suaru kesempatan unruk melibarkan sektor swasta. Bank Dunia dan Ihe Asia Foundation mendukung prakarsa ini dan kami sangat senang dapat membanru pemerintah dalam proses yang penting ini. Di samping langkah awal ini, Bank Dunia saar ini sedang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi proyek-proyek infrasrrukrur yang akan diberi dukungan, dan Ihe Asia Foundation secara akrif mengadvokasikan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan dalam negeri serta birokrasi yang dihadapi oleh sektor swasta.
Masultan dati sektor swasta, mulai dati pengusaba mikro sampai dengan perusabaan besat, talt terhingga nilainya dalam memba:nru pemerintah unruk merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat. Laporan ini mengandung sejumlah ilusrrasi dari perspektif sektor swasta mengenai hambatan-hambatan pertumbuhan yang mereka hadapi, termasuk infrastruktur apa yang menghambat perrumbuhan dan akses terhadap pasar, pe~aturan-peraruran apa yang menjadi hambaran bagi perdagangan dalam negeri, dan bagaimana merumuskan banruan pemerintab dengan cara yang lebih baik. The Asia Foundation dan Bank Dunia ber~a-sama melaltulran dialog dengan sekitat 650 pelaltu usaba di seluruh Jawa Timur untult memperoleh pandangan-pandangan tersebut. Kami percaya babwa masulran-masulran ini altan digabungkan ke dalam rencana-rencana tindakan SIDRP untuk memperbaiki iklim usaha di Jawa Timur. Rekomendasi-rekomendasi ini juga penting bagi pemerintab daerab (kotalkabupaten) di Jawa Timur unrult mengembangkan lingkungan usaba dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan menarik invesrasi. Pada tanggal I Juni 2004, Bank Dunia dan The Asia Foundation, bekerja sama dengan pemerintab propinsi Jawa Timur telab menyelenggataltan Forum umuk lklim lnvestasi yang Kondusif, Perdagangan dan Persiapan SIDRP Jawa Timur. Forum tersebut dibuka oleh Gubernur Imam Utomo dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Dorodjatun Kuntjoro-Jaltti. Pemerintab-pemerintab daerab dan perusabaan lokal dati 38 kota dan kabupaten, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta lembaga donor lainnya ikut hadir unruk membahas temuan-temuan laporan ini, menegaskan komitmen untuk bekerja sama antar pemerintahan lokal untuk mengurangi hambatan perdagailgan dalam negeri, dan memilih waltil-waltil sektor swasta yang altan menjadi anggota kelompok-kelompok kerja di dalam SIDRP. Bank Dunia dan tim Ihe Asia Foundation dengan rulus ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sekror swasta yang telab ikur mengambil bagian dalam pembabasan bagi waltru dan pandangan-pandangan mereka yang sangat berharga. Kami mengakui bahwa waktu" adalah menenrukan bagi usaha-usaha yang dinamis, dan kami berharap babwa sumbangan berkelanjutan mereka kepada proses SIDRP serta tempat-tempat dialog kebijaltan lainnya altan menghasilkan iklim investasi yang disempurnakan serta kemajuan daerah.
Erin Thebault Weiser, Direktur Program Ekonomi The Asia Foundation
P.S. Srinivas Koordinator Keuangan & Sektor Swasta Bank Dunia, Indonesia
5
UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini disusun oleh suatu tim inti yang dipimpin oleh Bido A. Budiman (The Asia Foundation) dan Megawati Sulistyo (Bank Dunia), dan beranggotakan: Frida Rustiani, R. Alam Surya Putra, Haryunani Kumoloraras, Harry Seldadyo, Indra N. Fauzi, dan Ferry D. Latief. Dukungan produltsi dilakultan oleh Siti Aisyah Purnamasari. Karni ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pengusaha di seluruhJawa Timuryang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk ikut mengambil bagian di dalam wawancara perorangan, diskusi kelompok terfokus serta survey iklim usaha.
Ucapan terima kasih khusus kepada Department For International Development (DFID) dan U.S Agenry for International Development (USAID) untuk dukungan pendanaan bagi proyek ini. Karni berterima kasih kepada rekan kami Andre Bald (Bank Dunia) untuk mereview laporan ini. Penyunting: Erin Thebault Weiser dan Megawati Sulistyo
DISCLAIMER Laporan ini adalah hasil tulisan dari staf Bank Dunia dan The Asia Foundation, namun, pendapat, temuan, interpretasi serta kesimpulan didalamnya adalah pandangan para pengusaha di Jawa Timur dan bukan merupakan pandangan Bank Dunia dan The Asia Foundation.
6
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR SINGKATAN
APEKSI
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
APKASI
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Selurub Indonesia
APTR
Asosiasi Petani Tebu Rakyat
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Baltorwil
Badan Koordinasi Wilayah
BKPM
Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPS
Badan Pusat Statistik
BPDE
Badan Pengelolaan Daya Elektronik
BPP
Direktorat Jenderal Pembinaan Produksi Perkebunan
BPN
Badan Pertanahan Nasional
BUMN
Badan Usaha Milik Negara
DAU
Dana Alokasi Urn urn
DLLAJ
Dinas Lalu Limas dan Angkutan Jalan Raya
DPKK
Dana Pengembangan Ketrampilan Tenaga Kerja
DPOD
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
DPPM
Dinas Penanaman dan Perizinan Modal
FGD
Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus)
GDP
Produk Domestik Bruto
GPP
Golongan Pengusaha Pabrik
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto
HAKI
Halt Atas Kekayaan lntelekrual
HO
Undang-undang Gangguan
HPH
Halt Pengelolaan Hutan
ITKA
lzin Tenaga Kerja Asing
lUI
lzin Usaha Industrial
IUT
Izin Usaha Tetap
KPH
Kesatuan Pemangkuan Hutan
MoU
Nota Kesepahaman
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
7
DAFTAR SINGKATAN
UPT
Unit Pelayanan Terpadu
PAD
Pendapatan Asli Daerah
PBB
Pajak atas Bumi dan Bangunan
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto
PDP
Perusahaan Daerah Perkebunan
Perda
Peraturan Daerah
PG
Perusahaan Gula Milik Daerah
PLN
Perusahaan Listrik Negara
PMA/PMDN
Penanaman Modal Asing I Domestik
PTPN
Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara
P3GI
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
SIDRP
Strategic Infrastructure and Development Reform Program [Program Infrastruktur Strategis dan Pembaharuan Pembangunan]
SIPA
Surat Izin Pemakaian Air
SIUP
Surat Izin Usaha Perdagangan
SKM
Sigaret Kretek Mesin
SKT
Sigaret Kretek Tangan
SKSHH
Surat Keterangan Sah Hasil Hutan
SME
Small Medium Enterprises [Usaha Kecil dan Menengah = UKM]
SOE
State Owned Enterprises [Badan Usaba Milik Negara = BUMN]
SPAP
Surat Perintah Alokasi Pembelian
SPM
Sigaret Putih Mesin
SPT
Sigaret Putih Tangan
SPP
Surat Perintah Pembelian
SIP
Surat Izin Pembelian
UMR
Upah Minimum Regional
PPN
Pajak Pertambahan Nilai
8
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR TABEL Tabell.l
Indikator Pembangunan Jawa Timur
Tabel2.1
Metoda Pengumpulan Data dan Jenis serta Sumber Informasi
Tabel2.2
Responden berdasarkan Nilai Perputaran Usahal Tahun
Tabel2.3
Jumlah Tenaga Kerja Responden (N = 103)
Tabel3.1
Sektor Ekonomi di Masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor
Tabel3.2
Tingkat Kaitan ke Belakang dan ke Depan
Tabel3.3
Nilai Ekspor dan Impor Jawa Timur 1997-2002
Tabel4.1
Biaya untuk Memperoleh Izin (dalarn ribuan Rp)
Tabel4.3
Upah Minimum Kabupaten-Kota(UMK) di Jawa Timur, 2003 dan 2004 (Rp/bulan)
Tabel5.1
Kapasitas Industri Pengolahan Kayu dan Produk Hutan Lainnya serta Pemanfaatannya
Tabel5.2
Luas Perkebunan dan Produksi Tembakau di Lima Daerah Produksi Terbesar di Jawa Timur, 2000 - 2002
Tabel5.3
Ekspor dan Impor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
Tabel5.4
Produksi dan Nilai EksporTanarnan Kopi Indonesia, 1996-2001
Tabel5.5
Harga Ekspor Kopi
Tabel5.6
Distribusi Kopi Berdasarkan Daerah di Jawa Timur, 1998
Tabel5.7
Produksi Gararn di Indonesia
Tabel5.8
Daerah Penghasil Garam dan Produksi Gararn di Jawa Timur, 2003
Tabel5.9
Industri Gararn Beryodium di Jawa Timur
Tabel6.1
Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) di Jawa Timur
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gam bar 3.5 Gambar 3.6
Peta Jawa Timur Struktur FGD Perbandingan Angka Pertumbuban Ekonomi, 1998-2002 Sumbangan terhadap PDRB menurut Sektor Pertumbuban Ekonomi menurut Sektor Distribusi Sektoral PDRB Jawa Timur, 2002 PDRB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur Sektor Ekonomi Di Jawa Timur dengan Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang yang Relatif Kuat Gambar 3.7 Nilai Eksport Komoditas Utama: non-Migas Jawa Timur Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur ke 5 Negara Mitra Dagang Utama, 1997-2001 Gam bar 4.1 Persetujuan Investasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002 Gambar 4.2 Persetujuan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timur (1997- 2002) Gambar 4.3 Pelaku Usaha Yang Seruju bahwa Iklim Usaha di Kota/ Kabupaten Mereka Mendukung (o/o) Gambar 4.4 Pelaku Usaha Yang Seruju bahwa Pemerintah Lokal mereka memudahkan perizirian usaha (o/o) Gambar 4.5 Persepsi Pelaku Usaha mengenai Infrastruktur Qalan, Transportasi, Listrik, Air) Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungutan Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keamanan . Gam bar 4.8 Kondisi Pasar Tenaga Kerja, 2000 Garnbar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor (Kayu dan Barang Produk Kehuranan Lainnya) Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Perkayuan di Jawa Timur Garnbar 5.3 Proses Validasi SKSHH Gambar 5.4 Produksi Tembakau Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula Gambar 5.6 Rantai Produksi Kopi Gambar 5.7 Proses pemetikan sarnpai dengan sortiran biji kopi di Indonesia Gambar 5.8 Produksi Garam Garnbar 5.9 Rantai Produksi Gararn. Garnbar 5.10 Ekspor Hasil Perikanan Jawa Timur 1999-2002 Garnbar 5.11 Rantai Produksi Udang Gambar 5.12 Perubahan da!an', Populasi Ternak Sapi di Jawa Timur Gambar 5.13 Rantai Produksi Ternak Sapi Gambar 5.14 Rata-rata Harga Eceran Daging Sapi di Daerah-Daerah Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg) Gam bar 5.15 Rantai Produksi Tekstil
10
117 123 126 127 127 128 129 134 136 136 139 140 141 143 145 149 I 51 148 I 57
I 58 160 167 173 I80 181 187 188 192 193 199 199 1102 1
1o6
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
RINGKASAN EKSEKUTIF Apakah pemerintah daerah memahami dengan baik lingkungan usaha di daerah kami? Ini merupakan pertanyaan yang berulang kali ditanyakan oleh sektor swasta, tidak saja di Jawa Timur akan tetapi juga di seluruh Indonesia, terutama dalam tahun-tahun terakbir ketika oronomi daerah berjalan. Sektor swasta adalah mesin pertumbuhan ekonomi, dan sesuai dengan itu merupakan shareholder kunci serta stakeholder dalam lingkungan usaha. Jawa Timur beruntung telah memiliki pertumbuhan yang man tap yang dimungkinkan dihasilkan pertumbuhan oleh sektor swastanya yang sangat dinamis. Akan tetapi, supaya dapat memberikan hasil-hasil optimal dalam pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, banyak lagi yang perlu dilakukan untuk mendukung lingkungan yang ramah usaha. Dukungan tersebut, seperti ditemukan oleh kajian lapangan kami di daerah yang berbeda-beda di JawaTimur. Persaingan yang semakin meningkat tidak dapat dihindari; tantangannya ialah untuk memiliki daya saing. Daya saing di dalam lingkungan usaha memiliki banyak faktor kunci dari sumber daya alam, infrastr~tur, peraturan pemerintah serta akses terhadap modal dan keamanan. Dalam tulisan ini kami memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi infrastruktur (jalan raya, listrik, air) dan peraturan-peraturan pemerintah (terutama pemerintah daerah), serta faktor-fakror lain - seperti akses terhadap pendanaan - juga tercatat. Jawa Timur, dengan jumlah penduduk sekitar 35 jura orang, tak pelak lagi memiliki platform untuk menjadi suatu daerah dengan daya saing besar. Sekror pertanian yang berkembang dengan baik, sumber-sumber daya alam yang berlimpah seperti gas bumi cair di Selat Madura, dan akses terhadap pelabuhan !aut (Tanjung Perak) merupakan salah satu keunggulan komparatifnya. Di samping itu, propinsi ini juga merupakan lokasi sejumlah industri besar. Namun demikian Jawa Timur tidak kebal dalam menghadapi tantangan-tantangan di dalam lingkungan usaha- baik dari faktor internal maupun eksternal. Titik pandang dari sektor swasta merupakan substansi inti laporan ini. Tim kami telah melakukan konsultasi dengan sekitar 650 pengusaha Iimas daerah di propinsi Jawa Timur mulai dari petani dan nelayan sampai usaha kecil, menengah dan besar. Diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam dilakukan selama beberapa bulan di berbagai lokasi di seluruh daerah; dan dilengkapi dengan penelitian dan survei. Kami menggunakan pendekatan sekroral untuk memberi ilustrasi praktis kepada masalah-masalah yang diangkat, dan analisis rantai.perdagangan bermanfaat untuk menguraikan berbagai perspektif dari pelaku usaha hulu sampai hilir. Tanda-tanda adanya hambatan infrastruktur telah muncul di berbagai bidang. Jalan-jalan sempityang mulai mengarah pada kemacetan, gangguan listrik dan kekurangan air merupakan keluhan-keluhan utama. Pada saat ini upaya-upaya yang ada masih mampu berjalan akan tetapi pada pertumbuhan
II
ke depan akan mehghadapi risiko akibat kendala-kendala infrastruktur. Air, misalnya, sering kali mengalami kekurangan pasokan bagi usaha-usaha pertanian eli Madiun, Situbondo, Ngawi, Ponorogo, Madura, dan air yang tercemar telah mempunyai dampak yang merugikan terhadap pembudidayaan perikanan, khususnya eli Tuban. Bahkan ibu kota Surabaya mempunyai masalah dengan air bersih.
Banyaknya peraturan daerah yang perlu ditinjau kembali. Dalam hal peraturan daerah, ada dua jenis yang menimbulkan keberatan dari sektor swasta. Pertama ialah peraturan-peraturan yang membebankan pajak dan pungutan tambahan kepada pelaku usaha. Kedua ialah peraturanperaturan yang menciptakan persaingan tidak adil baik eli tengah sektor swasta, maupun antara pemerintah daerah dan sektor swasta. Kasus untuk jenis kedua diilustrasikan oleh para petani kopi eli Jember eli mana pemerintah daerah menelirikan suatu PDP (Perusaliaan Daerah Perkebunan) dan menerbitkan Surat Edaran kepada semua unit kerja eli lingkungan pemerintah daerah untuk membeli kopi hanya dari PDP tersebur.
Seringkali b'tmtuan pemerintah dengan maksud baik tidak mencapai hasil-hasil yang diinginkan akibat kurangnya konsultasi dengan para pihak-pihak yang berkepentingan. Keadaan ini berulang kali eliilustrasikan eli bidang pertanian pada saat pemerintah memberi bantuan kepada para petani mulai dari benih sampai dengan peralatan, yang pada akhirnya tidak digunakan oleh para penerima oleh karena bantuan terse bur tidak memenuhi kebutuhan mereka akibat kurangnya konsultasi, dan kadang-kadang karena nepotisme dalam pengadaannya. Contoh lainnya yang lebih luas misalnya ketika sektor swasta telah memberikan pandangan~pandangan mereka tentang salah satu usulan SIDRP (Strategic Inftastructure and Development Reform Program) untuk pembangunan terminal pertanian. Para perusahaan -mengakui bahwa ini merupakan prakarsa yang bagus, namun apabila berlokasi eli Sidoarjo seperti elirencanakan, maka akan terlalu jauh dari para produsen yang notabene merupakan pihak pertama yang ingin elibantu.
Masalah-masalah pungutan ilegal dan keamanan cukup jelas, namun tidak demikian halnya dengan pemecahannya. Sejak tahun 1998, suatu peternakan udang eli Tuban telah kehilangan sampai dengan 50% dari produksinya oleh karena penjarahan, dan para petani kopi terpaksa memanen tanaman mereka lebih awal- membiarkan mutu dan harga yang lebih rendah- untuk menghindari keadaan seperti itu. Tentang pungutan ilegal berbagai contoh diberikan oleh sektor swasta pada setiap diskusi mengenai jenis, metoda, jumlah dan pihak penerima pembayaran-pembayaran tersebut. Pelaku usaha sepakat dalam merekomendasikan penegakan hukum, namun mereka · pesimis bahwa ini metupakan pemecahan realistis, mengingat dalam banyak hal masalahnya berada di pihak penguasa.
Memperbaiki fongsi koordinasi antar pemerintah daerah adalah penting, terutama untuk meningkatkan perdagangan dalam negeri. Akses kepada pasar merupakan kebutuhan dasar bagi pelaku usaha baik skala besar maupun kecil. ·Pada lamp iran laporan ini kami telah menyusun informasi tentang forum12
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
forum pemerinrah daerah yang ada di Jawa Timur. Ada berbagai forum kelompok dan beberapa kooperasi bilateral, misalnya antara Surabaya dan Sidoarjo. Forum-forum ini hendaknya didorong untuk memperluas isu-isu di luar masalah sosial dan politik, tetapi juga mencakup investasi dan perdagangan. Belum lam~ ini Jawa Timur telah memprakarsai suatu forum tentang UPT (Unit Pelayanan Terpadu) untuk berbagi praktek-praktek terbaik dalarn perizinan usaha.
Forum untuk Iklim Investasi dan Perdagangan jawa Timur yang diadakan pada tanggall ]uni 2004 hendaknya digunakan sebagai titik awal ke arab dialog publik-swasta yang lebih baik dan lebih teratur untuk memecahkan isu-isu tersebut. Laporan ini mengangkat beberapa isu awal, dan karni berharap bahwa laporan ini dapat menyajikan pemaharnan yang bermanfuat, khususnya bagi pemerintah propinsi dan pemerinrah daerah di Jawa Timur dalarn upaya mereka unrukmeningkatkan lingkungan usaha di daerah mereka.
13
1 I LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN Laporan ini menyajikan hasil penelitian yang diadakan oleh Bank Dunia dan The Asia Foundation ugtuk mengidentilikasikan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi di Jawa Timur. Kegiatan ini diprakarsai oleh Bank Dunia dan The Asia Foundation, dengan beberapa tujuan penring: (i) untuk mendukung partisipasi sektor swasta di dalam proses perencanaan publik berkaitan dengan bantuan potensial Bank Dunia bagi proyek-proyek infrastruktur; (ii) untuk memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk mengurarakan keluhan-keluhan mereka kepada pemerintah daerah dan membuat rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki iklim investasi; dan (iii) untuk mendorong peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah dalam memicu perdagangan antar d~erah. Peranan Tim Asia Foundation I Bank Dunia ialah mengidentilikasikan hambatanhambatan terhadap perdagangan dan investasi dan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan untuk memperkenalkan suatu proses berkelanjutan dan dapat diulangi tentang bagaimana pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan sektor swasta dalam menciptakan iklim usaha yang kondusi£ Kegiatan ini dilaksanakan dengan menyesuaikan beberapa aktifitas kegiatan Strategic Infrastruture and Development Reform Program (SIDRP) Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Proyek SIDRP mempunyai dua tahap, yaitu: pertama ialah pembentukan suatu visi strategis, yang secara konkrit akan diikuti dengan rencana-rencana ·pembangunan regional yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan didukung oleh ke-38 pemerintah daerah di propinsi tersebur. Kedua ialah proyek-proyek investasi oleh lembaga-lembaga donor, seperti Bank Dunia maupun donor-donor lainnya. Penelitian yang disajikan di sini bermuara pada tahap persiapan SIDRP: menetapkan visi strategis dan rencana-rencana pembangunan regional. Adalah sangat penting bahwa suara sektor swasta, sebagai stakeholder dalam proyek ini, diwakili di dalam kelompok-kelompok kerja diketuai oleh pemerintah di bidang pembangunan perekonomian dan infrastruktur daerah. Di samping itu hambatan-hambatan terhadap perdagangan antar daerah telah meningkat sejak diperkenalkannya otonomi daerah sebagai akibat peraturan-peraturan daerah baru dengan maksud meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam laporan yang dipusatkan pada Jawa Timur ini, hambatan-hambatan terhadap perdagangan dalam negeri ditemukan merupakan hambatan besar terhadap pertumbuhan usaha. Tim Asia Foundation dad Bank Dunia mengangkat isu tersebut melalui laporan ini dan di dalam suatu Forum Jawa Timur yang diselenggarakan pada bulan Juni 2004 sebagai bagian proyek ini. Forum tersebut telah menghadirkan 400 pejabat pemerintah (kota, kabupaten dan propinsi) serta pelaku usaha. Hasil forum tersedia dalam bahasa Indonesia'. Hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi yang disoroti dalam temuan-temuan penelitian juga dibahas dalam talk show di radio dan dalam lokakarya-lokakarya tingkat kabupaten yang disponsori oleh The Asia Foundation.
Fomm jawa nmur untuk Iklim !nvmasi dan Pmlagangan yang Kondt~.sifdan Pmyiapan SJDRP, Bank Dunia dan The Asia Foundation
16
Memperbaiki lklim Usaha di ]awa Timur
Gambar 1. PetaJawa Timur
•
PETA JAWA TIMUR INDONESIA
P. Bawean
.._
__./ LautJawa
...
KEP. KANGEAN
•
SAMUDRA INDONESIA Koridor-koridor perdagangan
17
Latar Belakang dan Tujuan
Tabell.I Indikator-Indikator Pembanguan Jawa Timur Versus Periode Terakhir
Jawa Timur
Rata-rata tahun pendidikan sekolah 2002
Jawa
Indo-
Peringkat
Timur
nesia
(30 Prov)
226,957
1,539,579
2
6,443
7,262
14
3.4
4.07
21
2.8
2.6
13
dibandingkan
t t t
195,762 (2001)
t
16
13
5,593 (2001)
t t
15
11
-2
5
2.8 (2001)
t
-3
9
t
6
17
10
10
30
7
-15
-14
-1
n/a
3.5 (2001)
3
t
4,989 (2002)
5.9 (1999)
43.0 (1999) 31.9 (1999)
6.5
7.1
25
Penduduk tanpa akses terhadap sarana keseharan % 2002
22.2
23.1
9
Penduduk tanpa akses terhadap air bersih % 2002
36.7
44.8
4
t t t
Penduduk tanpa akses terhadap sanitasi %2002
31.5
25.0
18
t
17.1 (1999)
t t
Rumah tangga dengan lantai tanah 2002 (%) Balita kurang gizi. (%) Penduduk 2003 Angka perrumbuhan penduduk 2000 -2003
12 Sumber: Statistik Indonesia (BPS 2003). dan Laporan Pembangunan Manusia lndonesiat 2004 (BPS, BAPPENAS, UNDP 2004)
18
2
I METODOLOGI
Desk Study Survey Oiskusi Kelompok Terfokus Studi Kasus
METODOLOGI
Kegiatan pengumpulan data dilakukan mulai bulan Oktober 2003 sampai dengan bulan Maret 2004 dan mencakup semua kota dan kabupaten di Jawa Timur. Pilihan metodologi didasarkan atas jenis-jenis informasi dan data yang dicari serta sumber-sumber informasi yang tersedia. Jenis-jenis informasi yang dicari serta metoda-metoda yang digunakan dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel2.1 Metoda-Metoda Pengumpulao Data dao Jenis-Jenis serta Sumber-Sumber Informasi
penelitian, statistik-statistik, kliping surat kabar, dan Internet
Informasi umum tenrang kondisikondisi usaha di daerah dan me-
Data primer yakni responden merupakan pelaku usaha yang dipilih secara
Survey (Total responden orang)
=
103
kanisme koordinasi antar pemerintah acak/random serta perwakilan aparat
daerah
pemerintah dari forum-forum koordinasi
Informasi tentang hambatan-ham-
batan perdagangan dan investasi di sektor-sektor
Studi Kasus
ada
Pelaku usaha sebagai key informan, yang Diskus Kelompok sengaja dipilih berdasarkan sektor yang terfokus (FGD) (Total = 7 FGD sarna = 527 lnforman kunci dari beberapa unsur Wawancara mendalarn (Total baik pelaku usaha dan pelaku lainnya informan kunci = 59 orang) yang mendukung kegiatan usaha sepeni pengelola kawasan industri atau koperasi yang sengaja dipilih berdasarkan inlormasi kbusus dibutubkan
20
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Desk Study Kegiatan utama dalam metode ini adalah mengumpulkan semua data sekunder yang terkait dengan ekonomi di Jawa Timur. Sumber data sekunder yang dihimpun dalam kegiatan ini yakni : • Hasil-hasil penelitian, makalah-makalah seminar baik yang ditulis oleh LSM, lembaga penelitian maupun donor-donor asing mengenai Jawa Timur • Data-data resmi dari pemerintah baik pusat seperti BPS maupun daerah seperti Kota, Kabupaten maupun Provinsi Dalam angka, PDRB masing-masing Kota dan Kabupaten, peraturan-perturan pemerintah daerah. • Informasi dari media massa baik surat kabar, atau media elektronik termasuk internet. Data-data sekunder tersebut terutama digunakan untuk memetakan kondisi-kondisi ekonomi di Jawa Timur pada tingkat makro.
Survey Survey dilakukan selama bulan Oktober 2003 sampai dengan Januari 2004. Informasi utama yang dikumpulkan melalui kegiatan survey ini adalah pertama mengenai persepsi pelaku usaha terhadap beberapa aspek yakni perizinan, infrastruktur, pungutan dan aspek keamanan usaha. Kedua yakni informasi mengenai efektivitas koordinasi yang terjadi antar pemerintah Kota dan Kabupaten dan juga dengan pemerintah provinsi di Jawa Timur. Informasi mengenai persepsi pelaku usaha dijaring melalui daftar pertanyaan (kuesioner), sementara mengenai efektivitas koordinasi dilakukan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang telah disiapkan sebelumnya. Adapun responden dari survey ini adalah 103 responden dari unsur pelaku usaha yang berasal dari 11 sektor. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut :
2 Sektor-scktor tcrscbm adalah agrobisnis, Jasa non pcrdagangan, industri kayu, kcmjinan, logam, indw;tri mabnan dan indw;tri dalam katagori lain, pcrdaganga.n, pcrtambang:m, industri tcksril dan jasa tr:msporrasi.
21
Merodologi
Dari Tabel 2.2 di atas maka jelas babwa mayoritas responden (49.9%) dalam studi ini memiliki omset kurang dari 500 juta rupiab. Sementara itu, melihat jumlab tenaga kerja, survey ini juga menunjukkan babwa mayoritas responden (79.6%) mempunyai kurang dari 100 orang tenaga kerja. Dengan demikian, melihat omset usaba serta jumlab tenaga kerja mereka, mayoritas responden dalam survey ini berada dalam kategori pengusaba kecil dan menengab.
Tabel 2.2 Responden menurut Nilai Omset
Usahal Tahun Omset Usaha (Rp)
Persentase
Lebih dari I milyar
32 o/o
500 juta- I milyar
14,6 o/o
I 00 juta- 500 juta
37,2 o/o
Kurang dari I 00 juta
12,6 o/o
Total
100% Tabel 2.3 Jumlah Karyawan Respond en
Sementara itu, informasi mengenai efektivitas koordinasi an tar pemerintab di Jawa Timur diperoleh dari beberapa sumber yang mewakili beberapa forum koordinasi. Forum-forum tersebut dapat dibedakan dalam dua kelompok yakni pertama forum yang berada di bawab koordinasi pemerintab propinsi dan
Jumlah Karyawan
Persentase
Lebih dari 100 orang
20,4 o/o
20-99 orang
44,6 o/o
5- 19 orang
35 o/o
Total
I 00%
kedua adalab forum yang merupakan prakarsa pemerintab Kota dan Kabupaten di Jatim. Fo~um kategori pertama ada 4 yakni Badan Koordinasi Wilayab (Bakorwil), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Biro Kerjasama dan Hukum serta Badan Pengelolaan Dana dan Elektronik (BPDE). Sementara forum kategori kedua diantaranya APEKSI dan forum-forum bilateral.
Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussions) Diskusi kelompok terfokus (FGD) dilakukan terhadap pelaku usaba yang ada di Jawa Timur. Peserta FGD seluruhnya berjumlab 527 pelaku usaba baik mikro sampai menengab yang terbagi dalam 7 kali FGD. Pada setiap kali FGD peserta yang hadir adalab merupakan pelaku usaba dari beberapa wilayab di sekitar tempat FGD dilaksanakan. Seluruh peserta merupakan pelaku usaba dari beberapa sekror usaba yang cukup menonjol pada wilayab tersebut. Para peserta kemudian dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan sektor. Sehingga dapat secara mendalam mendiskusikan persoalan dalam pengembangan usaba mereka pada masing-masing sektor. Diskusi pada setiap sektor dimulai dengan menguraikan rantai tata niaga pada komoditas tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan merinci persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaba pada setiap rantai bisnis. Berdasarkan rincian masalab tersebut kemudian secara partisipatif dibuat kesepakatan mengenai prioritas masalab yang sangat mendesak untuk diatasi. Diskusi umumnya ditutup dengan mencoba menjaring gagasan dari para pelaku usaba peserta diskusi mengenai solusi-solusi terhadap masalab-masalab terutama yang menjadi prioritas utama. 22
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Ti-mur
Gambar 2.1 Struktur-struktur Diskusi FGD
Penjelasan Umum Maksud dan Tujuan FGD
Problem pacta Setiap Rantai pacta Rantai Bisnis
.
•
-
Usulan Solusi (Rekomendasi)
Kegiatan pengumpulan data melalui metode focus group discussion ini dilakukan sebanyak 7 kali di Jawa Timur. Tempat FGD ditentukan berdasarkan (a) sebaran wilayab (b) jarak tempub. Jangkauan area asal peserta per FGD dibatasi paling banyak 5 kota!kabupaten dan jarak tempub asal peserta ke tempat FGD maksimal 3 Jam. Peserta diskusi yang hadir merupakan pelaku usaba dari wilayab sekitar pelaksanaan diskusi tersebut. Adapun 7 titik yang dimaksud adalab sebagai berikut : • FGD 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Pasuruan , dan Kabupaten dan Kota Mojokerto 3 ; • FGD 2 mencakup Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Jombang; • FGD 3 mencakup Kabupaten dan Kotamadaya Malang, Kabupaten dan Kota Blitar, dan Kota Baru; • FGD 4 mencakup Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Sumenep; • FGD 5 mencakup Kota Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Lamongan; • FGD 6 mencakup Kabupaten ]ember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Banyuwangi; • FGD 7 mencakup Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan;
3 Kom merujuk pada wilayah perkotaan dan Kabupaten merujuk pada wilayah pedesaan
23
Metodologi
Studi Kasus Pengumpulan informasi melalui indepth interview didasarkan atas pertimbangan bahwa masih terdapat "beberapa informasi yang sulit untuk digali melalui kegiatan survey, desk study maupun focus group discussion. Informasi yang belum tergali melalui metode sebelumnya tenitama menyangkut informasi yang sangat spesifik pada setiap sektor serta yang sifatnya relatif sensitif khususnya bagi informan. lndepth interview dilakukan terhadap sek:itar 6 sampai 10 orang informan pada setiap indepth interview. Total jumlah key infonnan pada kegiatan ini adalah 59 orang. Adapun indepth interview dilakukan di daerah sebagai berikut:
• Wawancara mendalam 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan • Wawancara mendalam 2 mencakup Kabupaten Pacitan; • Wawancara mendalam 3 mencakup Kabupaten Trenggalek; • Wawancara mendalam 4 mencakup Kabupaten Tuban; • Wawancara mendalam 5 mencakup Kabupaten Bojonegoro; Pengamatan yang lebih mendalam juga dilakukan dengan secara langsung peneliti mengikuti jalur pengiriman barang. Upaya mengikuti jalur pengiriman barang ini terutama di lakukan untuk mendapatkan gambaran secara nyata mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam jalur perdagangan ini. Adapun jalur yang diikuti yakni Malang menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang mengangkut kayu.
24
3 I PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR
Pertumbuhan & Lapangan Kerja Perincian Geogra Perincian Sektoral Ekspor Jatim
PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR
Pertumbuhan dan Lapangan Kerja Jawa Timur merupakan pusat kunci pertumbuhan di kawasan Timur Indonesia, karena ia memenuhi peranan sebagai pintu gerbang untuk perdagangan antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. Dengan penduduk berjumlah sekitar 35 jura (BPS, 2003), propinsi Jawa Timur merupakan penyumbang besar kepada PDB nasional, dengan 196,5 trilyun rupiah (harga-harga sekarang untuk tahun 2001) per tahun, atau lebih dari 13% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Angka pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sangat mirip dengan angka keseluruhan nasional. Pada tahun 1998, dimana dampak krisis mencapai puncaknya, pertumbuhan ekonomi indonesia minus, demikian pula Jatim. Bahkan pada saat itu kondisi pertumbuhan ekonomi di Jatim lebih buruk. Tahun 1999 dan seterusnya gerak pertumbuhan mengalami kenaikan dan sejak tahun 2000 cenderung stabil walaupun tidak terlalu tinggi.
Grafik 3.1 Pertumbuhan EkonomiJawa TmlurTabun 1998-2002
10,--------------------------------__..,_ Nasional
5r-------~==~~~~====~~==~~----
---..- Jawa Timur
0+-----~7~~-.-----.-----.-----. 1998
-5
f999
2000
2001
2002
+----//--H--------
-10+---.hr----------------------------15
+--;;'It-------------
•
-20~--------------------------------Sumber: CBS, 2002
Melihat kontribusi persekror terhadap PRDB Jawa Timur, dapat dilihat bahwa pangsa sektor pertanian telah menurun selama lima tahun terakhir, sementara pangsa sekror industri meningkat dengan mantap. Sektor jasa juga menunjukkan kenaikan, dan merupakan penyumbang terbesar terhadap PRDB.
26
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gamhar 3.2 Sumbangan terhadap PRDB menurut Sektor
60
Jasa ---+----- lndustri
50
- - Pertanian
c
r:n "'
c ..c
40
"'
E
"
-----.._ ..........__/
30
t/1
~
2
-
__./
_.-
20
_.._
10 0
1983
1988
1993
1998
2003
Gambar 3.3 Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor
15
Jasa ----------
10
lndustri
- - Pertanian
c ..c "'
5
..c
0
" E t: .,"
-5
0..
-10 -15 -20 -25 1983
1988
1993
1998
2003
Sumber: BPS, berbagai edisi
Sektor Jasa, yang mengelompokkan hotel, restoran, niaga, transportasi dan komunikasi, memberi peranan yang semakin penting kepada Jawa Timur di kawasan timur Indonesia. Tidak kurang dari lima hotel berbintang lima terdapat di sini, di samping sejumlah besar hotel berbintang empat dan berbintang tiga, yang semuanya memberi sumbangan kepada nilai tambah sektor ini. 27
Profil Ekonomi Jawa Timur
Perdagangan, bersama-sama dengan transportasi dan komunikasi, juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam ekonomi Jawa Timur. Sekitar 9% dari total nilai ekspor Indonesia dilakukan melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya (Panggabean, dkk., 2003). Demikian pula, Bandara Juanda tidak saja melayani penerbangan dalam negeri ke kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, tetapi juga menfasilitasi paling sedikit 35 penerbangan internasional setiap minggu. Bandara tersebut juga sedang mengalami perluasan besar. Ketiga sektor tersebut di atas menunjultkan asimetri di dalam jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya. Pada tahun 1999, dari seluruh angkatan kerja Jawa Timur sebesar 17.554.632, 46,18 persen bekerja di bidang pertanian, 22,32% di bidang industri, 12,70% di bidang jasa dan 8,80% di bidang perdagangan4•
Gambar 3.4 Distribusi Sektoral PRDB Jawa Timur, 2002 6%
• • • • --
Jasa- jasa
-
Perdagangan, hotel dan restoran
\\\'
Konstruksi
R1
Pertambangan & penggalian
D
Keuangan, persewaan & jasa perhubungan
Pertanian Transpotasi & komunikasi Listrik, gas dan air bersih lndustri Pengolahan
9% Sumber: Data PDRB dio!ah, BPS, Jawa Timur, 2002
Jika kita melihat perbandingan pada Gambar 3.4 diatas, ada dua aspek yang jelas di dalam pola sektoral. Pertama, ada sektor yang memberi sumbangan rendah terhadap nilai tambah kepada PRDB akan tetapi mempekerjakan angkatan kerja yang besar, yaitu: pertanian. · Berlawanan dengan itu ada sektor-sektor lain yang memberi sumbangan nilai tambah relatif tinggi namun mempekerjakan jumlah angkatan kerja relatif rendah, yaitu: sektor-sektor industri dan jasa.
4 hctp:l/cnglish.d-infokom-jatim.go.idleastjava.asp, di download pada unggall Desember 2003.
28
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
•
Perincian Geografis Dalam arti spasial, juga ada ketidakimbangan dalam distribusi ekonomi. Lebih dari 20% ekonomi Jawa Timur terpusat di Surabaya, dan jika kita memperluas ini dengan mencakup daerah pinggiran kota Surabaya, atau yang disebut daerah "Gerbangkertasusila" (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), hampir 40 persen dari ekonomi propinsi tersebut terpusat dalam daerah ini.
Gambar 3.5 PRDB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur Kota Blitar Kota Mojokerto Kota Pasuruan Pacitan Trenggalek Kota Madiun Pamekasan Kota Probolinggo Madiun Magetan Bondowoso Bangkalan Sampang Ngawi Ponorogo Situbon do Nganjuk Blitar Sumenep Bojonegoro Lumajang Lamongan Jombang Mojokerto Probolinggo Tulungagung Kediri
•• ••• •• ••
-----
Tuban Banyuwangi Jember Kota Malang Malang
<=
~
c. => .c
.,
~
] 0
~
Pasuruan Gresik Sidoa~o
Kota Kediri Kota Surabaya
0
2000000
4000000
6000000
milyarRp Sumber: Jawa 1imur BPS
29
8000000
10000000
12000000
14000000
Profit Ekonomi Jawa Timur
Dalam arti sektoral-spasial, ekonomi Jawa Timur dapat digolongkan ke dalam empat koridor, masing-masing dengan ciri-ciri yang berbeda. Ini ditunjukkan pada peta di bab pertama. Koridor pertama mencakup daerab-daerab Blitar, Kota Blitar, Gresik, Malang, Kota Malang, Mojokerto, Kota Mojokerto, Pasuruan, Kota Pasuruan, Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Koridor kedua mencakup Jombang, Kediri, Kota Kediri, Madiun, Kota Madiun, Magetan, Nganjuk, Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, dan Tulungagung. Koridor ketiga terdiri dari Banyuwangi, Bondowoso, Lumajang, Jember, Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Sirubondo. Koridor keempat termasuk Bangkalan, Bojonegoro, Lamongan, Ngawi, Pamekasan, Sampang, Sumenep, dan Tuban. Suatu analisis yang menggunakan metoda LQ (location quotient) yang dilakukan oleh tim SIDRP menunjukkan babwa masing-masing koridor mempunyai sektor-sektor ekonomi dinamis yang berbeda-beda. Tabel3.1 Sektor-sektor ekonomi di masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor KABUPATEN/KOTA A
fifclri'd'iif''i~··- ~;~,;;. ,g~· ;:~-~o"V'o_;t!,_
. ,: ll
1. Blitar
+
B
c
D
F
+
+
H
G
/ . c: 9'•:: ·, ·> Iii<· ..
2. Blitar IKota}
~
'
.
I
J
+
+
+
+
+
0
u R s T u v w :f ( .. .··• ct <· p
'·"'
+
+
7. Mojokerto IKota}
+
+
+
+
+
+
+
+
+
9. Pasuruan IKota}
+
10. Sidoarjo
+
+ +
11. Surabaya IKota}
+
+ +
+
~~~~l!'@:ij•> ··:.
.
+
+
+
+
2. Kediri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+. +
+
+
+
+. +
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+ +
+
+
+.
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +.
+
+
+
+ .
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
5. Madiun IKota}
+
6. Magetan
+
+
+
+
7. Nganjuk
+
+
+
+
+
+
+.
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
8. Pacitan
+
+
+
+
9. Trenggalek
+
+
+
+
10. Ponorogo
+
+
+
+
+
+
+
11. Tulungagung
+
+
+
3. Kediri IKota}
+
+.
.
:,.,
I'!
1. Jombang
+
+ +
+
+
y
+
+ +
X
+
+ +
+ +
+
6. Mojokerto
4. Madiun
N
+
5. Malang (Kota}
8. Pasuruan
M
+ +
+
L
J:~.i m.i•l f\~: {; :
+
+
K
+
3. Gresik 4. Malang
E
+
+
30
+ +
+
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
A
Tanaman Pangan
f
Minyak dan Gas Bumi
K
Pengolahan Kayu
p
Mesin-mesin
u
Hotei-Restoran
B
Tanaman Perkebunan
G
Non Minyak dan Gas Bumi
L
Kertas
Q
Jndustri lainnya
v
Transportasi
c
Ternak
H
Mineral
M
Kimia
R listrik, Gas dan Air
w
Komunikasi
Pengolahan Makanan
N
Semen
s
Konstruksi
X
Jasa Keuangan
Tekstil
0
Logam
T
Niaga
y
Jasa-jasa lain
Produk-produk D kehutanan E
Perikanan
J
Sumber: SIDRP
Perincian Sektoral Sektor Pertanian Pertumbuhan maupun sumbangan sektor pertanian dalam PDRB masih rendah. Namun demikian, Jawa Timur tetap merupakan satu salah lumbung pangan utama Indonesia. Hal ini dimungkinkan oleh karena kebanyakan tanah pertanian di propinsi ini digunakan untuk tanaman pangan, khususnya padi.
31
Profil Ekonomi Jawa Timur
Di samping tanaman pangan, sub-sektor perikanan juga cukup penting. Jawa Timur memiliki potensi di bidang perikanan !aut (penangkapan ikan) dan di bidang budidaya perikanan, baik di daerab rawa maupun di laban yang lebih kering. Panjang garis pantai yang cukup besar di tiga dari empat koridor menunjukkan sumber daya alam !aut yang berlimpab. Potensial ini juga didukung oleh adanya tempat pelelangan ikan (TPI) ukuran besar, di Brondong (Lamongan) dan Muncar (Banyuwangi). Pembudidayaan air payau secara intensif, terutama untuk udang, gurame dan bandeng, kebanyakan dilakukan sepanjang pantai utara (antara Tuban dan Banyuwangi), walaupun juga terdapat sejumlab kecil pembudidayaan udang intensif di daerab Malang Selatan. Perikanan sepanjang pantai selatan tidak dieksploitasikan secara penuh akibat kurangnya pembangunan di daerab ini. Sektor Industri Walaupun pertumbuhan di sektor industri pengolaban menunjukkan kecenderungan menurun, sektor ini tetap sangat penting dalam sumbangannya kepada PDB Jawa Timur. Peranan menonjol dari sektor industri pengolaban diakibatkan oleh jumlab tinggi industri besar di Jawa Timur, seperti industri logam dan mesin, industri rokok, industri pengolaban pangan dan industri kimia. Kebanyakan industri pengolaban skala besar di Jawa Timur adalab Badan Usaba Milik Pemerintab (BUMN) atau Perusabaan Penanaman Modal Asing/Domestik (PMNPMDN).
Industri besar ini tersebar di banyak lokasi di Jawa Timur, walaupun sebagian besar berlokasi dekat Surabaya (Gresik, Pasuruan, Mojokerto, dan Sidoarjo). Alasan begitu banyak industri besar berlokasi dekat Surabaya ialab babwa infrastruktur yang tersedia untuk mendukung kegiatan-kegiatan seperti itu relatif!ebih baik. Peranan strategis sektor industri pengolaban ialab kemampuannya untuk memacu pertumbuhan lebih luas di dalam ekonomi Jawa Timur dan menciptakan lapangan kerja. Potensi ini dimungkinkan hila dilihat babwa kaitan-kaitan ke belakang dan ke depan dari sektor industri pengolaban relatiflebih kuat daripada sektor-sektor lainnya. Hasil-hasil suatu analisis masukan-keluaran (input-output atau /-0) menunjukkan babwa beberapa kategori industri pengolaban memiliki kaitan ke belakang dan ke depan yang cukup tinggi.
32
Memperbaiki lklim Usaha di Jawa Timur
Tabd 3.2 Tingkat Kaitan ke Bdakang (Backward) dan ke Depan (Foreward) ~.;J
~
""''-• w I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
~[fu
......
]
I,
Beras Tanaman pangan Tanaman pertanian lainnya Ternak beserta produk-produknya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan dan minuman Industri-industri lain Penyulingan minyak mentah Listrik, gas dan air minum Konstruksi Perdagangan Restoran dan Hotel Transportasi dan komunikasi Lembaga-lembaga keuangan dan jasa Pemerintahan umum Jasa-jasa
-
0,76 0,85 0,79 1,11 0,89 0,74 1,19 1,03 2,43 1,10 0,93 0,68 1,18 0,85 1,46 0,86 0,67 0,79
~
~)}rfffu
---
'
I I
0,81 0,79 0,85 0,92 0,73 0,80 1,073 1,18 1,5 1,38 1,18 1,33 0,98 1,21 1,01 0,91 0,68 0,98
Sumber: Pendekatan Masukan-Keluaran (Input- Output) Sektor-Sektor, BPS 2003, diolah
Sektor perindustrian di Jawa Timur relatif memiliki kaitan lebih kuat ke belakang (hulu) dan ke depan (hilir) daripada sektor-sektor lainnya. Ini mengindikasikan bahwa perubahan-perubahan di dalam sektor industri pengolahan akan mempengaruhi secara signifikan pembangunan sektor-sektor lain. Yaitu, pertumbuhan di sektor industri akan memberi efek kelimpahan positif, oleh karena akan diikuti oleh pertumbuhan di sekror~sekror lain, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.6
33
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gam bar 3.6 Sektor-sektor Ekonomi di Jawa Timur dengan Kaitan Relatif Kuat ke depan dan ke belakang Transportasi dan Komunikasi Restoran dan Hotel Perdagangan Konstruksi Ustrik, gas dan air
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
Minyak olahan
I lndustri lainnya
I
Makanan & Minuman
I Pertambangan
I
Peternakan
I
I •
Keterikatan Kebelakang
•
Keterikatan Kedepan
Sumber: Pendekatan Masukan-Keluaran Sektor-Sekfor, BPS 2003, diolah
Berdasarkan analisis yang menggunakan indeks LQ menunjukkan bahwa pembangunan sektor industri tetap terjadi di pusat-pusat pertumbuban seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, dan Gresik. Hal ini dapat diharapkan berperan penting dalam mendorong pertumbuban ekonomi di daerah ini secara lebih luas.
Sektor Jasa Sejak ktisis ekonomi tahun 1998, sektor perdagangan, hotel dan restoran telah menunjukkan angka pertumbuban tertinggi di Jawa Timur. Nilai tambah paling besar di sektor ini berasal dari subsektor perdagangan. Pertumbuban pesat di sektor ini akibat hambatan-hambatan masuk yang relatif rendah ke dalam sub-sektor tersebut, oleh karena tidak begitu padat modal seperti sektor manufaktur. Kebanyakan pertumbuban di sektor perdagangan berlokasi di daerah-daerah perkotaan. Selama beberapa tahun terakhir konstruksi pusat-pusat perbelanjaan dan ruko, sebagai tempat perdagangan, sangat pesat. Di Surabaya, dalam tiga tahun terakhir telah terjadi pembangunan sejumlah hypermarket dan supermall, seperti Indogrosir, Tunjungan Plaza IY, Giant, Pakuwon Supermal dan Trade City Mal, maupun Carrefour. Dalam arti ruang, daerah-daerah berstatus kota mendominasi sektor perdagangan: kota-kota Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Mojokerto, Pasuruan dan Probolinggo. Di daerah-daerah ini bangunan pusat perbelanjaan dan rumah-toko juga cukup pesat. Ini mengindikasikan bahwa para pelaku usaha mempunyai harapan positif tentang prospek-prospek sektor perdagangan.
34
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perdagangan di kota-kota tersebut kebanyakan dijalankan oleh usaha kecU dan menengah (UKM). Lingkungan usaha di kota-kota tampaknya mendukung UKM dengan tiga cara: permintaan tinggi mengingat konsentrasi penduduk, fasilitas infrastruktur lebih baik daripada eli daerah perkotaan atau pedesaan, akses terhadap sumber-sumb~r pembiayaan (formal) lebih baik, dan hambatan-hambatan untuk masuk ke sektor informal rendah. Peranan sektor perdagangan sangat penting, terutania dalam menarik pembangunan sektor-sektor lainnya. Ini terbukti oleh analisis masukan-keluaran yang menunjukkan bahwa kaitan-kaitan dengan sektor-sektor hulu relatif tinggi. Sektor ini mempunyai peranan penting di dalam proses penyaluran barang yang dihasilkan oleh sektor-sektor lain.
Ekspor Jawa Timur Sesudah mengalami defisit perdagangan pada tahun 1997, ekspor-ekspor Jawa Timur mulai meningkat kembali pada tahun 1998. Akan tetapi,.pada tahun 2002 nUai ekspor Jawa Timur kembali menurun dengan 6,71% dariUS$ 5,77 milyar pada tahun 2001 menjadi US$ 5,38 milyar pada tahun 2002. Menurut data BPS untuk tahun 2002, nilai ekspor Jawa Timur mencapai 9,4% dari total ekspor nasional sebesar US$ 57,16 milyar. Selama kurun waktu 1999-2002, rata-rata sumbangan ekspor Jawa Timur terhadap total nasional mencapai 9,58%. Tabel 3.3 Nilai Ekspor dao lmpor Jawa Timur 1997-2002
~~-
--
__j~~~~=f-'(lJG1\~-, __ '~
1997
4.236.613.055
6.47
7.334.143.528
28,58
1998
5.335.308.251
25.93
3.761.954.797
-48,71
1999
4.655.601.739
-12.74
3.655.786.735
-2,82
2000
5.766.242.301
23.86
4.862.534.635
33,01
2001
5.770.579.896
0.08
4.542.947.899
-6,57
2002
5.383.203.943
-6.71
5.046.115.459
11,08
'
_I
Sumber: Jawa 11mur BPS
Komoditas-komoditas yang memberi sumbangan terbesar kepada ekspor Jawa Timur ialah produk pulp, kertas, furniture dan produk kayu olahan, serta produk alat-alat listrik. Walaupun sumbangan mebel dan produk hasil olahan kayu terhadap ekspor Jawa Timur tetap cukup tinggi, pertumbuhan produk-produk tersebut relatif menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kenyataannya menurut data dari kantor Bank Indonesia yang ada di Surabaya, kayu lapis menciut dengan 6,70% pada triwulan ketiga tahun 2003 dibandingkan dengan kurun waktu yang sama pada tahun sebelumnya.
35
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gambar 3.7 Nilai Ekspor Komoditas Utama Non-Minyak dan Gas Jawa Timur US$ ribu
• • •
700,000
.----1 '-__j
600,000
500,000
' ';
400,000
•i
.,- -
300,000
I 200,000
I
1997 1998 1999 2000
LJ
2001
D
2002
•••
-:
i
ii
I
. '
; I
100,000
-'•
Kayu olahan
Karet
IJ
n
Pakaian jadi
Kayu gergaji
Tekstil
lk Kopi
ffi]' Udang
Kerajinan
I
·~
I
Minyak
Besi
Sumber: Statistik Ekonomi dan Finansial Propinsi Jawa limur, Kantor Surabaya, Bank Indonesia
Tujuan-tujuan mama ekspor Jawa Timur adalah mitra dagang terutama Indonesia: Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Hongkong, dan Komunitas Eropa. Berdasarkan kapasitas produksi yang ada dan peluang-peluang pasar, potensi ekspor Jawa Timur masih dapat dikembangkan, terutama ke negara-negara Eropa, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara Timur Tengah. Akan tetapi ini bukan merupakan pasar-pasar yang mudah untuk dimasuki produk-produk akibat srandar-standar perdagangan internasional tertentu· yang cukup sulit umuk dipenuhi, seperti standar-srandar mutu dan larangan-larangan umuk memakai bahan kimia tertentu dalam produk-produk pertanian.
Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur ke 5 NegaraMitra DagangTerutama, 1997-2001 US$ ribu
• • • •
14 12 10 8
D
6 4 2 0 1997
1998
2000
1999
Sumber: Statistik Ekonomi dan Finansial Propinsi Jaw a limur, Kantor Surabaya, Bank Indonesia 2003
36
2001
Jepang
USA Singapura Hong kong
lnggris
4 I KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Kinerja Investasi
di Jawa Timur Perizinan
lnfrastruktur Fisik Pungutan
Kearn an an Perburuhan
KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Ketika desentralisasi dimulai, pemerintah daerah mulai mengeluarkan regulasi baru untuk menambah penghasilan asli daerah (PAD). Dalam perkembangannya, upaya-upaya ini mulai dikritisi berbagai pihak, mengingat banyaknya regulasi yang hanya bertujuan meningkatkan PAD justru merugikan masyarakat khususnya kalangan pengusaha, Sehingga, ketika desentralisasi b~rjalan, banyak perda yang dibatalkan. Walaupun desentralisasi adalah sebuah komitmen politik yang strategis keberadaannya untuk mendukung pengembangan usaha, namun saat ini sebagai tahap awal pelaksanaannya banyak hal tercatat sebagai sesuaru yang perlu diwaspadai. Ray5, misalnya, mencatat empat isu di bawah desentralisasi yang cenderung melemahkan persaingan usaha sehat. Yang pertama di antaranya ialah problem dalam penyusunan regulasi yakni lemah dalam identifikasi masalah; kurang mengembangkan alternatif; lemahnya efektivitas review terhadap regulasi lokal dan kurang partisipati£ Kedua masih banyak masalah dalam regulasi lokal itu sendiri yakni lemahnya pemanfaatan retribusi; retribusi pada perizinan usaha kecil. Ketiga distorsi-distorsi perdagangan yang muncul. Keempat kelemahan dalam menjaga netralitas kompetisi. Jawa Timur juga menghadapi persoalan yang sama dalam mengembangan iklim usaha yang sehat. Sentralisasi selama ini memang telah membuat inisiatif pemerintah daerah menjadi tidak berkembang dan cenderung hanya sebagai operator pembangunan yang hanya menjalankan perintah dalam hal ini dari pemerintah pusat. Pada saar desentralisasi ini dimana inisiatif daerah diperkenankan, maka banyak hal yang harus segera berubah, namun perubahan ini masih berjalan dengan sangat lambat. Sementara tuntutan masyarakat berkembang dengan sangat cepat.
oavid Ray, Hasil-hasil konperensi bertema ~ Desentra/isasi, &gulatory Refomi and 1/Je Business Climate," pp. 3-17, PEG-USAID, Jakarra, Agustus 2003
5
38
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Kinerja Investasi di Jawa Timur Kecenderungan investasi di Jawa Timur relatif konsisten dengan yang berlaku di Indonesia secara menyeluruh untuk persetujuan-persetujuan pasca krisis untuk penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN)), kecuali untuk tahun 2000. Gambar 4.1 Persetujuan-persetujuan lnvestasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002 Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Jumlah Proyek
Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Nilai lnvestasi US$ Juta
2000
40
1600
1200
800
~ •
~
30
--. 20
'\
\
\___
--
10
400
~
.__________ 0
0
1997
1998
1999
Sumber: BKPM 2003, dlolah
2000
2001
2002
1997
--------- Jatim
1998
1999
2000
2001
2002
------- Nasional
Pada tahun 2000, investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan kecenderungan yang sangat berbeda dalam arti jumlah proyek. Terjadi peningkatan tajam dalam jumlah investasi asing dan dalam negeri di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan di Jawa Barat. Namun trend ini tidak tercermin di dalam nilai investasi oleh karena proyek-proyek rata-rata lebih kecil. Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam data persetujuan investasi ini ialah bahwa baik jumlah proyek dan nilai investasi, baik unruk investasi asing maupun domestik, harus dibandingkan dengan investasi-investasi nyata. Data Bappenas6 menyebutkan bahwa secara nasional realisasi investasi sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 persentasenya mengalami penurunan dibandingkan dengan persetujuan baik untuk PMA maupun PMDN, yang cukup drastis yakni 94% pada tahun 2000, 58.8% pada tahun 2001, 25,2% pada tahun 2002 dan 21% pada tahun 2003.
~Bisnis Indonesia, 5 Fcbruari 2004
39
Kondisi lnvesrasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Grunbar 4.2 Persetujuan-Persetujuan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timor (1997- 2002) Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Nilai lnvestasi
Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Jumlah Proyek
1997
1998
---+--- Jatim
1999
2000
2001
1997
2002
1998
---+--- Jatim
-------- Nasional
1999
2000
2001
--------
2002
Nasional
Sumber: BKPM 2003, diolah
Ada persepsi yang berbeda antara para pelaku usaba mengenai iklim usaba di berbagai daerab di Jawa Timur. Misa:lnya, sekitar 70% responden di Surabaya menyatakan babwa iklim usaba di wilayab mereka cuktip mendukung, sedangkan hanya 45% dari pelaku usaba di Kabupaten Malang menyatakan pendapat yang sama7 • Kajian KPPOD 8 menunjukkan babwa Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo diperingkat masing-masing nomor 17 dan 21 dalam peringkatan tabun 2003 untuk 200 kotalkabupaten.
7Survey oleh 11m PSD bekerja sarna dengan Bank Dunia dan The Asia Foundation. 8Regional Investment Attractivmm: A Survry ofBusiness Prruption, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (Regional Auronomy Watch), 2003.
40
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.3 Persentase Pelaku Usaha Yang Menyatakan Setuju pada Bahwa Iklim Usaha di Kota/Kabupatennya Mendukung lnvestasi dan Pertumbnban Usaha (%) Kt Probolinggo Kb Malang Kt Kediri
H
L
I
H
_l
_L
I L
_j_
Kb Bonodowoso Kt Malang Kt Surabaya Kt Blitar Kb Lumajang Kb Situbondo Kb Gresik Kb Nganjuk Kb Tuban Kb Trenggalek Kb Lamongan Kb B~ngkalan Kb Jember
I
Kb Sampang Kb Pamekasan Kb Kediri Kb Sumenep Kb Banyuwangi Kb Tulungagung Kb Ponorogo Kb Madiun Kt Madiun Kb Ngawi Kb Magetan Kb Bojonegoro Kb Pacitan
H
_L
H
I
H
I
I_
_[
H
_l
I
I
H
I
I
_[
H
I
0
10
Kt Kb
: kota : kabupaten
20
I
_j_
I
_[
I
I
I
I
I
_j_
I
I
I
30
40
Sumber: Survey oleh lim PSD, 2004
41
50
60
70
80
90
100
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Perizinan
Aspek perizinan pada dasarnya terkait dengan dua aspek yang saling terkait saru sama lain. Yang pertama menyangkut kebijaltan dan regulasi perizinan dan yang kedua menyangkut institusi pelayanan perizinan. Dalam hal kebijaltan atau regulasi perizinan nampaknya sebelum dan setelab desentralisasi wajab kebijaltan perizinah di Indonesia tidalt banyalt berubab. Beberapa studi baik yang dilaltultan oleh tim PSD sendiri maupun yang dilaltukan oleh lembaga lain, menunjukkan kesimpulan yang cultup sejalan. Walaupun umumnya regulasi mengenai perizinan telab diserabkan dari pemerintab pusat kepada pemerintab daerab, namun dalam pralttek di lapangan umumnya .pemda masih lebih banyaltmenggunaltan regulasi lama dari pemerintab pusat, ketimbang melaltultan perubaban yang sesuai dengan kebutuhan pelaltu usaba ditempatnya. Yang berubab secara cultup menonjol dalam perizinan hanyalab menyangkut retribusi yang ditetapkan secara bebas oleh masingmasing daerabnya. Sayangnya perubaban itupun bultan sebuab perubaban yang positif, melainkan cenderung lebih membebani masyaraltat. Sementara perubaban yang cultup berarti baru terjadi pada sisi institusi pelayanan perizinan. Unit-unit Pelayanan Terpadu (UPT) telab dibentult di sejumlab daerab di Jawa Timur. Dibuat melalui Surat Edaran Menteri yang diterbitkan pada tabun 1999, UPT merupaltan kantor yang dapat mensentralisasikan permohonan, pengurusan atau persetujuan izin-izin tergantung pada tingkat wewenangnya. Di antaranya terdapat di Kabupaten Sidoarjo9, Kota Malang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Magetan dan Kota serta Kabupaten Kediri. Walaupun lembaga-lembaga tersebut tidalt secara konsisten menyedialtan pelayanan yang efisien, namun masyarakat sudab mulai merasaltan kemudaban yang meningkat. Suatu evaluasi UPT di 6 kabupaten menunjultkan babwa jumlab usaba yang diresmikan telab meningkat sesudab perkembangan UPT dan walttu pengurusan serta biaya tidalt resrni telab meningkat dalam UPT yang menerima bantuan teknis dari luar 10 • Hal ini mungkin menyebabkan persepsi- para pelaltu usaba terhadap layanan-layanan tersebut agalt membaik.
9 oi Sidoarjo, adanya UPT tdah mengurangi waktu pengurusan sebesar 40% dan biaya sebesar 30%. 10 Di!akukan oleh bmimtt: ofTichno/ogy Transfi!T for SME, dibiayai oleh Asia Foundation
42
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.4 Para Pelaku Usaba Yang Setuju babwa Pemerintab Lokal Mereka Memudabkan. Perizinan Usaba (%) Kb Gresik Kt Malang Kb Probolinggo Kb Bondowoso
_l
Kb Kediri Kt Surabaya Kb Tulungagung Kb Lumajang Kb Banyuwangi
I
1 1
1
I
I
KbTuban Kb Situbondo Kl Kediri Kb Malang
1
1
1
I
Kb Lamongan Kb Madiun Kb Bangka\an Kb Jember
I
1 1 1
I
1
I
Kb Sampang Kb Nganjuk Kb Sumenep Kb Ponorogo Kb Trengga\ek Kb Pamekasan Kt Madiun
1
I
I
i
I I
1 i
1 I
Kb Ngawi Kb Magetan
I
I
L
I
25
50
_L
Kb Bojonegoro Kb Pacitan Kt Blitar
0
I 75
100
Kt : kota Kb : kabupaten Sumber: Persepsi Para Pelal::u Usaha, Survey PSD, 2004
Diantara institusi pelayanan perizinan satu atap yang paling menonjol kinerjanya adalah Kabupaten Sidoarjo. Lembaga pelayanan perizinan yang statusnya dinas yakni Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPPM) saar ini merupakan satu-satunya layanan perizinan yang bersertifikat ISO 9000. Hal ini mencerminkan bagaimana layanan mereka sudah distandarisasi, sehingga masyarakar dapat memperoleh pelayanan yang baku dan jelas. Hal ini jelas menguntungkan baik bagi pelaku usaha yang mengurus izin usaha biasa maupun bagi para investor. 43
Kondisi Investasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
Cara lain untuk mengurangi hainbatan-hambatan peraturan ialah pembemukan kawasan-kawasan industri. Beberapa kawasan industri, seperti SIER, PIER dan NIP, mempunyai lembaga-lembaga otonomi yang menyediakan layanan perizinan investasi kepada para pelaku usaha di dalam kawasankawasan tersebut. Dengan demikian, para pelaku usaha tidak lagi perlu ke Jakarta atau Surabaya untuk mengurus izin investasi mereka. Suatu survey misalnya, menunjukkan bahwa di 7 kota yang dicakup tingkat pemegang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) adalah lebih dari 50%. Ini secara signifikan lebih tinggi daripada ratarata angka pemegang izin secara nasional yaitu 14,8% 11 • Namun demikian praktek-praktek birokrasi dan korupsi dalam bentuk pungutan liar tetap menghantui pelayanan perizinan. Para pelaku usaha tetap harus membayar biaya tambahan untuk memperoleh izin-izin tertentu. Pada umumnya para pelaku usaha tidak bisa menghindar dari pungutan liar hila mereka mengajukan permohonan untuk izin, karena tanpa membayar biayabiaya tambahan tersebut akan sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk memperoleh izin-izin yang diperlukan. Tabel 4.1 menunjukkan biaya-biaya tidak resmi yang dibayar untuk sejumlah izin-izin yang diperlukan yang secara nominal diterbitkan tanpa dikenakan biaya. Tabel4.1 Biaya-biaya untuk memperoleb lzin (dalam ribuan Rp)
Kabupaten Gresik
100- 250
75
25- 100
Kabupaten ]ember
50-350
60
-
Kabupaten Pamekasan
20-250
25
100
-
Kabupaten Pasuruan
25- 100
-
-
1.500
Kota Surabaya
100- 750
150
-
Kabupaten Tulungagung
-
500
-
-
Sumber: Survey REDI, 2004 Catatan: SIUP "' Surat lzin Usaha Perdagangan, TOP "' Tanda Daftar Perusahaan, ETPIK "' Eksportir Terdaftar untuk Produk lndustri Kehutanan, SP/MD "' Sertifikat/Lisensi untuk lndustri Pangan
Namun demikian baru-baru ini muncul sebuah kebijakan baru dari pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden (Keppres) no 29 tahun 2004 mengenai pengaturan pelayanan perizinan investasi baik bagi investor asing maupun investor domestik. Kebijakan ini pada dasarnya menarik kembali kewenangan yang telah diberikan pemerinrah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pelayanan perizinan bagi kegiatan investasi. Pemerintah pusat dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman . Modal (BKPM) akan melayani perizinan investasi dalam satu atap. Kebijakan ini dikeluarkan karena banyak investor yang mengeluh kerumitan yang dihadapi dalam mengurus perizinan investasi. Akan tetapi hal ini tidak akan mempengaruhi UKM yang mewakili bagian terbesar usaha-usaha dalam negeri. 11 Sratisrik Indusui Kedl, BPS, 2002
44
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang diadakan oleh Tim PSD di berbagai daerab di Jawa Timur, isu perizinan muncul paling menonjol di sektor perkayuan. Keluban-keluban ini berkaitan dengan izin-izin sumber kayu dan timbul secara konsisten di selurub Jawa Timur. Oleh karena itu dapat disimpulkan babwa perizinan untuk komoditas kayu secara mendesalt memerlukan pembabaruan-pembabaruan mendasar. Penjelasan yang lebih terinci dapat dilihat dalam uraian rantai usaba perkayuan dalam bab berikut.
lnfrastruktur Fisik Kebutuban-kebutuhan infrastruktur di Jawa Timur berbeda-beda selurub sektor, daerab, dan antara daerab perkotaan dan daerab pedesaan, baik dalam arti mutu maupun kuantitas. Pelaltu usaba diminta ten tang pendapat-pendapat mereka mengenai tersedianya dan kondisi jalan, telekomunikasi, listrik, air dan transportasi yang mempengarubi usaba mereka. Pengamatan umum terhadap jawaban kuesioner pelaltu usaba menunjukkan babwa infrastruktur yang ada dianggap memadai, dan diskusi lebih lanjut melalui diskusi kelompok terfokus mengungkapkan adanya kesenjangankesenjangan serius dalam infrastruktur merupaltan kendala yang mengancam pertumbuban usaba dan pembangunan di Jawa Timur pada umumnya. Gambar 4.5 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaba tentang lnfrastruktnr Qalan, Telekomunikasi, Listrik, Air, Transportasi)
6%
•• •
Sumber: Survey PSD, 2004
45
Baik Sangat baik Buruk
D
Sangat buruk
1m
Cukup
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Kendala-kendala khusus yang diutarakan oleh para pelaku usaha dirangkum sebagai berikut.
Jalan: pembangunan infrastruktur jalan masih terkonsentrasi pada pusat-pusat pemerintahan daerah dan sedikit sekali menjangkau desa-desa atau daerah pedalaman yang lain. Padahal pusat-pusat produksi umumnya berada di pedesaan atau di pedalaman. Kasus komoditas kayu dan perikanan menunjukkan hal ini. Jalan di Jawa Timur tercatat 27.232,27 km yang terdiri dari 1.899,21 km jalan negara, 1.439,18 km jalan provinsi, 21.935,45 km jalan kotalkabupaten dan 931,45 km adalah jalan kecamatan dan 63,07 km adalah jalan to!. Oleh karena itu proporsi terbesar adalah jalan yang dipelihara oleh kota dan kabupaten. Kondisi jalan yang buruk meningkatkan biaya dan waktu yang diperlukan untuk membawa hasil produksi ke pasar, dan untuk bahan yang ridak tahan lama keterlambatan mengurangi mutu dan harga jualnya. Realisasi Jalur Lintas Selatan dan jembatan Suramadu (untuk menghubungkan Surabaya dan Madura) sangat ditunggu oleh usahausaha, terutama yang berasal dari Madura dan bagian selatan Jawa Timur. Sehubungan dengan pembangunan jembatan Suramadu ada kekhawatiran bahwa pembangunan jembatan terse but tidak akan didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai, yang menghubungkan Madura bagian utara dengan bagian selatan. Air bersih: Di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur, termasuk Kota Surabaya, air merupakan masalah berat dan mempunyai dampak negatif pada sektor swasta. Konon Jawa Timur tidak lama lagi akan mengalami krisis air bersih. Ini akibat penggundulan hutan yang berat dan ekstraksi air tanah yang tersebar luas, terutama untuk kegiatan industri. Data statistik menunjukkan bahwa pemakaian air tanah bagi industri di Mojokerro naik 53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Krisis air ini merupakan ancaman sedemikian rupa sehingga lebih dari 30.000 hektar sawah irigasi tidak dapat dipanen sebagaimana semestinya12 • Wilayah-wilayah sekitar Madura dan bagian selatan Jawa Timur merupakan daerah-daerah yang memerlukan perhatian serius karena merupakan wilayah yang paling menderita konsekuensi krisis air. Jaringan irigasi buruk dan pasokan air diidentifikasikan sebagai isu-isu kunci oleh petani tembakau di Madura, dan petani kopi dan tebu di seluruh Jawa Timur. Pencemaran yang meningkat dan sungai-sungai yang dangkal dituduh sebagai penyebab mutu air yang buruk, yang telah menjadi masalah bagi pembudidaya ikan dan udang. Pelaku usaha mengusulkan langkali-langkah yang perlu diambil segera bagi upaya reboisasi, pengurukan sungai dan tindakan-tindakan hukum terhadap para pencemar industrial. Listrik: Walaupun pasokan dan mutu tenaga listrik cukup memadai, namun pelaku usaha merasa
bahwa tingkat optimal sudah tercapai dan diperlukan investasi baru. Pemadaman listrik sekarang menjadi rutin termasuk bagi sektor industri. Kekurangan listrik tidak unik bagi Jawa Timur, akan tetapi mengingat kepemimpinan propinsi ini di .bidang produksi, pemadaman listrik yang meningkat selama riga tahun terakhir jelas merugikan. Isu lain berkaitan dengan pemadaman listrik ialah bahwa hal tersebut sering dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Banyak usaha besar melakukan investasi dalam pembangkit tenaga listrik sendiri untuk melakukan kompensasi, akan terapi usaha-usaha yang kecil tidak mampu mengarnbil pilihan mahal tersebut. Industri-industri l2Jakarm Post, 26 April2004
46
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
kecil yang terletak di wilayah-wilayah pedesaan juga menyebut akses jatingan yang buruk sebagai masalah dan mereka merasa bahwa tatiflistrik terlalu mahal. Pelabuhan: Kehadiran pelabuhan di Jawa Timur menentukan bagi kegiatan ekonomi. Pelabuhan terbesat kedua di Indonesia, Tanjung Perak di Surabaya, secata strategis berfungsi sebagai pintu gerbang untuk kegiatan perdagangan ke dan dati Jawa Timur. Pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir Jawa Timur, terutama di bagian selatan, juga cukup berarti untuk pembangunan ekonomi khususnya di sektor perikanan. Akan tetapi penggunaan pelabuhan di pesisir Jawa Timur selain Tanjung Perak kurang optimal oleh katena keterbatasan satana yang tersedia, atau telah menjadi terlalu padat seperti halnya Banyuwangi di mana terjadi kekurangan tempat sandat dan satana pengolahan pendukung. Kekt)rangan-kekurangan lain termasuk kemampuan ruang coldstorage, depo bahan bakat, pergudangan dan akses jalan raya.
Pungutan-pungutan
Untuk menciptakan kondisi persaingan dalam perdagangan antar daerah diperlukan perhatian serius dati pemerintah-pemerintah lokal. Fakta menunjukkan bahwa 80,66% pelaku usaha di Jawa Timur dalam survey tersebut memasukkan bahan baku, baik dati Jawa Timur sendiri atau dari luar propinsi. Hal yang sama berlaku untuk keluatan. Sebanyak 83,3% pelaku usaha yang merupakan responden survey tersebut mengatakan bahwa pasat mereka berlokasi di luat kota atau kabupaten tempat kediaman mereka13 sehingga pentingnya perdagangan antat daerah menjadi jelas. Hambatan-hambatan perdagangan antat daerah mempunyai berbagai bentuk. Misalnya, insps:ksi barang ber)ebihan dan pungutan liar merupakan praktek-praktek yang pada umumnya dihadapi oleh pata pelaku usaha hila mereka mengirim batang masuk atau keluat daerahnya masing-masing. Keadaan ini tidak saja menaikkan biaya tetapi juga menambah waktu yang dihabiskan di jalan. Kejahatan, seperti penjarahan dan perampokan juga sering terjadi. Di bawah ini cuplikan dati catatan-catatan lapangan Tim PSD yang menyertai perjalanan pengiriman batang dati Malang ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pihak pengusaha bisa meminta jasa pengawalan polisi dari Polda atau Polres. Pengawalan ini secara resmi bebas biaya, tetapi biasanya pelaku pengusaha memberi imbalan dengan membayar sejumlah uang, baik yang ditetapkan maupun tidak. ]asa pengawalan juga diberikan oleh para pengada jasa pengawalan resmi seperti Securicor. jasa pengawalan lain, yang disebut jasa pengawalan "tidak resmi" termasuk Gajah Oling (Ga-Ol), Ikatan Payung Madura (IPAMA), Aremania, RST dan lain-lain. Gajah Oling merupakan jasa l3survey REDI, 2004:21-23
47
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
pengawalan terbesar di ]awa Timur. Ga-Ol adalah organisasi jasa pengawalan yang mengeluarkan kartu anggota kepada supir-supir truk. Kartu-kartu anggota tersebut menunjukkan bahwa GaOl dibentuk oleh Koperasi Pembekalan dan Angkutan dari Kodam V Brawijaya (Bek-ang Dam V!Brawijaya) beralamat di Kalisosok, Surabaya. Keanggotaan Ga-Ol mewajibkan pembayaran iuran anggota sebesar Rp. 30.000 sampai Rp 35. 000 per bulan. Biaya-biaya tidak resmi lainnya yang diamati langsung di lapangan adalah untuk angkutan sayur ke pelabuhan !aut. Begitu mobil truk memasuki pintu gerbang pelabuhan Tanjung Perak, si pengemudi harus membayar kepada seorang polisi pungutan tidak resmi sebesar Rp. I 0. 000 setelah membayar tiket masuk resmi. Begitu meliwati pintu gerbang, mobil truk harus berhenti sebentar di pos KP3 atau KPLP dan menyerahkan Rp. IO.OOO lagi kepada petugas di sana. Penulis bahkan menyaksfkan seorang petugas KP3 mengejar sebuah mobil truk untuk menagih biayanya karena si pengemudi truk terburu-buru membeli tiket untuk kapal yang sudah mau berangkat.
(Sumber: Catntanlapangan Tim PSD, 2004}
Pungutan-pungutan merupakan persoalan penting seperti di daerah lain di Indonesia untuk semua sektor dan khususnya oleh para pelaku usaha di Jawa Timur. Pungutan-pungutan liar merupakan manifestasi praktek-praktek korupsi yang telah lama menghantui kegiatan ekonomi di Indonesia. Walaupun pemerintah pusat telah menerbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang penyelenggaraan negara bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), masih sedikit sekali akuntabilitas dari pihak para pegawai pemerintah. Korupsi di semua saluran peradilan yang bertanggungjawab atas pengusutan kasus membuat praktek ini sulit untuk dibasmi. Kedua, pungutan-pungutan tersebut telah diresmikan melalui surat-surat keputusan, biasanya dalam bentuk biaya dan pajak, dengan alasan pendapatan asli daerah yang rendah. Pungutan-pungutan resmi terhadap masyarakat ini telah menjadi alternatif pengerahan dana yang paling populer hagi pemerintah daerah. Yang ironis, pungutan-pungutan ini tidak saja terjadi pada tingkat kota dan kabupaten tetapi bahkan pada tingkat desa di mana pemerintah dilevel bawah (desa, kelurahan) meniru tingkat-tingkat pemerintah yang lehih tinggi dalam menciptakan peraturan-peraruran haru yang mewajibkan pembayaran pungutan. Contoh-contoh Pungutan Pemerintah Desa: Knsus (I): Mengangkut kayu dari sumbernya di Rejo ke Kamolan, melewati tiga desa. ]ika
kayunya diangkut dengan mobil pick-up, dikenakan pungutan Rp. 2.500 setiap perjalanan; jika menggunak~n L300, Rp 5. 000 setiap perjalanan; dan jika menggunakan truk, Rp I 0. 000 per truk per perjalanan.
48
Memperbaiki lklim Usaha di Jawa Timur
Kasus (2): Mengangkut kayu dari Karang Rejo - Mungguran - Mendo Agung, dikenakan Rp 2. 000 per 5 kilometer per pick-up per perjalanan. (Sumba, Catatnn !apnngan Tim PSD. 2004) Ketiga, praktek-praktek tata pemerintahan yang buruk ditandai dengan adanya pungutan- resmi yang disertai dengan pungutan liar akibat kebijakan yang lebih besar dan tingkat akuntabilitas yang rendah dari pihak aparat pemerintah. Oleh karenanya, dengan menciptakan punguran resmi baru juga bisa menimbulkan pungutan tidak resmi lebih bany¥. Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungntan (Skala -2: menjadi lebih buruk dan 2 menjadi lebih baik)
II
Pungutan Liar
II
Pungutan Formal
Sumber: REDI (2003) dalam Ray, Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate, PEG, USAID, 2003 diolah
Survey di atas menunjukkan persepsi para pelaku usaha di berbagai daerah. Para pelaku usaha di Sulawesi Utara menyatakan bahwa pungutan resmi menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Demikian pula para pelaku usaha di Jawa Timur merasa bahwa pungutan resmi sekarang lebih buruk dari dulu. Akan tetapi Jawa Timur mempunyai peringkat yang jauh lebih tinggi daripada daerah-daerah lain untuk persepsi masyarakat bahwa pungutan tidak resmi mulai berkurang. Hal ini konsisten dengan temuan-temuan laporan ini. Sekalipun persepsi terhadap pungutan liar nampaknya mengalami perbaikan, namun perhatian mengenai penanganan pungutan ini masih tetap perlu mendapat perhatian, karena walaupun frekuensinya mengalami penurunan, namun intensitasnya cenderung mengalami kenaikan. Dua bentuk pungutan liar yang terjadi secara menonjol di wilayah Jawa timur adalah pertama punguran di jalan raya atau dalam kegiatan pengiriman barang dan kedua adalah sumbangan pihak ketiga yang dilakukan secara represif dan kadang menggunakan atribut militer.
49
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
Contoh kasus pungutan di jalan : Kasus (I) : Pada pengangkutan kayu dari Trenggalek- Surabaya dengan menggunakan truk tronton untuk satu kali pengangkutan per truk biaya untuk membayar pungutan tidak resmi disepanjangjdlan adalah kurang lebih Rp 50. 000,-. Selain yang harian ada juga biaya yang harus dikeluarkan yang sifotnya bulanan yakni sekitar 2,5- 4 juta rupiah untuk 4 pos (disebutkan ada polsek, polres, kecamatan sampai satuan sabhara} Kasus (2} : pengiriman kayu dari kecamatan Dongko - Probolinggo harus mengeluarkan dana sekitar Rp. I 00. 000,-. Pos-pos yang diketahui harus setor yakni Polsek Dongko, Perhutani di Krangan lalu pospos lain di sepanjang Blitar dan Malang. (Sumba, Catatan Lapangan Tim PSD, 2004) Studi lain menyebutkan bahwa pungutan terhadap pengusaha di Jawa Timur mencapai angka rata-rata 4,93 juta per tahun 14 • Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata pungutan pada tahun yang sama di Sulawesi Selatan, yang mencapai Rp 949.000,-. Akan tetapi jauh lebih rendah daripada di Sumatra Utara dan Jawa Barat, di mana jumlah rata-rata mencapai Rp 7,5 juta lebih per tahun. Menurut kajian tersebut, dari total pungutan tersebut persentase terbesar dibayar untuk dua jenis pungutan, yaitu: preman dan kegiatan sosial/masyarakat. Jenis pungutan kedua sangat lazim di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat meminta perusahaan untuk memberi uang bagi kegiatan sosial atau masyarakat, seperti perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan. Pembayaranpembayaran ini sukarela dan sesuai dengan sumbangan perusahaan di negara-negara lain.
Kearnan an
Jawa Timur tidak mengalami gangguan politik sebanyak di Jakarta. Kerusuhan atau unjuk rasa skala besar yang terjadi di Jakarta - sebagai rujukan untuk keadaan politik di Indonesia - hanya mempunyai dampak kecil atas keadaan di Jawa Timur, kecuali di Surabaya. Pergantian Gubernur Jawa Timur pada pertengahan tahun 2003 tidak disertai unjuk rasa masal sebagaimana biasanya. Akan tetapi masalah-masalah keamanan yang mengganggu kalangan usaha memang ada, dan hanya 57,3% dari responden dalam survey ini merasa bahwa tingkat keamanan sekarang kondusif terhadap usaha.
14Medium Size Study, Makalah Diskusi, Center for Economic and Social Studies (CESS), 2003;17
so
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keamanan Gresik Jember Surabaya Malang Tulungagung Pasuruan Pamekasan
3.5 0
2
3
4
Sumber: SuNey REDI, 2004
Tim PSD menemukan bahwa banyak kasus pencurian terjadi di sektor perikanan dan di sektorsektor pertanian, kbususnya di bidang kehutanan. Pencurian di sekror tambak ikan, kebanyakan di tambak udang, dapat dikategorikan sebagai perampokan karena selalu disertai dengan kekerasan. Seorang pelaku usaha tambak udang dari daerah Mojokerto melaporkan bahwa kerugiannya akibat perampokan mencapai lebih dari 30%, atau ekuivalen Rp 25 juta, untuk setiap panen. Pencurian di sekror perikanan lepas pantai kebanyakan dilakukan oleh nelayan asing. Beberapa faktor memungkinkan hal ini. Pertama, polisi perairan (penjaga pantai) tidak efektif karena jumlahnya tidak memadai untuk wilayah yang harus dijaga dan mereka juga tidak mempunyai perlengkapan yang cukup. Juga, nelayan lokal tidak bisa berlayar jauh ke !aut karena mereka umumnya menggunakan perahu nelayan kecil, dan dengan demikian lahan penangkapan ikan mereka terbatas pada wilayah yang relatif kecil, hanya empat sampai enam millepas pantai setiap kali mereka melaut. Untuk komoditas kayu, pencurian yang terjadi lebih rumit dan cenderung sistematis, melibatkan berbagai lembaga resmi sehingga lebih sulit untuk dibasmi. Dampak langsung pencurian ini ialah bahwa para pedagang kayu di sektor hilir kesulitan memperoleh bahan baku. Diperkirakan bahwa para pengusaha merugi Rp. 200 sampai Rp. 300 juta karena mereka tidak mampu memenuhi pesanan dari pasar ekspor 15. Masalah-masalah keamanan, kbususnya di kawasan industri dan tambak ikan, telah memaksa para pelaku usaha untuk mencari bantuan kbusus dari petugas keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian. Para pelaku usaha yang meminta polisi untuk perlindungan ekstra mengatakan bahwa secara teknis hal tersebut memiliki dampak positif, dalam arti bahwa tingkat pencurian dan perampokan telah 15Agence France Presse, 16 Maret 2004
51
Kondisi Invesrasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
menurun. Akan retapi bantuan keamanan rersebur melibatkan biaya rambaban besar. Seorang pemilik rambak udang mengarakan babwa ia harus mengeluarkan sampai Rp 5 jura setiap panen untuk pengamanan polisi. Seorang pengusaba di PIER, kawasan indusrri, mengarakan babwa ia: harus membayar anrara Rp 1 jura dan Rp 3 jura setiap bulan.
Buruh
Kondisi perburuhan di Jawa Timur berbeda dari daerab ke daerab. Tim PSD mengamati babwa gangguan perburuhan paling sering rerjadi di wilayab-wilayab perindusrrian seperti Kabuparen Sidoarjo, Kora Surabaya, Kabuparen Mojokerto, dan Kabuparen Pasuruan. Gangguan perburuhan relab menyebabkan sejumlab perusabaan mengurangi arau menunda kegiaran mereka, dan beberapa relab memilih unruk memindabkan kegiaran mereka keluar Indonesia 16. Pada umumnya, para pelaku usaba mengeluh rentang kesuliran untuk memperoleh buruh sesuai dengan kebutuhan mereka, semenrara juga ada permintaan kuar dari lingkungan sekirarnya untuk pekerjaan bagi renaga kerja lokal. Di lain pihak, para pekerja umumnya melihar rarif upab minimum yang ridak memadai serta kegagalan unruk melibatkan para pekerja dalam perumusan kebijakan perusabaan sebagai sumber-sumber masalab perburuhan. Para pekerja tidak puas karena mereka merasa babwa ukuran kenaikan upab minimum masih rerlalu rendab. Para pelaku usaba, di lain pihak, merasa babwa kenaikan biaya buruh secara slgnifikan mengancam kemampuan mereka untuk bisa bersaing. Upab Minimum (UMK) unruk rabun 2004 mulai berlaku sejak ranggal 1 Januari 2004 melalui Surar Kepurusan Gubernur Jawa Timur No. 188/273/KPTS/013/2003. Kora Surabaya mempunyai UMK paling tinggi, disusul oleh korakora dan kabuparen-kabuparen berdekaran seperri Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan. Kabuparen Bondowoso mempunyai UMK paling rendab. Kenaikan UMK dari rabun 2003 ke rabun 2004 sekirar 2 sampai 6 persen, masih di bawab angka-angka inflasi untuk masing-masing kora/kabuparen.
I6Lapomn Tim Sektor Swasta, Surabaya, Bank Dunia, 2003
52
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel4.3 Upab Minimum Regional (UMK) di Jawa Timur, 2003 dan 2004 (Rp/bulan)
1
Kota Surabaya
516.750
550.700
20
Kab Madiun
281.000
320.000
2
Kab Gresik
516.500
550.550
21
Kab Mageran
292.500
321.530
3
Kab Sidoarjo
516.500
550.550
22
Kab Ngawi
288.700
323.600
4
Kora Mojokerto
478.500
488.000
23
Kab Ponorogo
282.000
315.000
5
Kab Mojokerto
516.500
550.550
24
Kab Pacitan
289.000
320.975
6
KotaMalang
497.100
548.000
25
Kota Blitar
301.100
331.210
7
Kab Malang
497.100
548.000
26
Kab Blitar
295.000
317.200
8
Kota Baru
497.100
548.000
27
Kab Trenggalek
274.000
316.500
9
Kota Pasuruan
430.000
450.000
28
Kab Tulunggagung
332.500
349.000
10
Kab Pasuruan
513.000
550.550
29
Kab Bojonegoro
287.500
331.000
11
Kota Probolinggo
445.000
461.000
30
Kab Banyuwangi
319.400
356.000
12
Kab Probolinggo
443.750
456.000
31
Kab Sarnpang
300.700
330.000
13
KabJombang
398.000
426.500
32
Kab Lumajang
292.700
321.000
14
Kora Kediri
415.000
480.000
33
KabJember
384.000
397.606
15
Kab Kediri
415.000
480.000
34
Kab Bondowoso
300.000
310.000
16
Kab Nganjuk
335.000
354.000
35
Kab Situbondo
311.000
348.500
17
Kab Larnongan
328.450
380.743
36
Kab Parnekasan
400.000
430.000
18
KabTuban
322.500
345.000
37
Kab Sumenep
360.000
400.000
19
KoraMadiun
305.000
325.000
38
Kab Bangkalan
390.000
440.000
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kantor Jawa 1imur
Dinamika yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan peraturan ketenagakerjaan telah mempunyai dampak signifikan atas kondisi perburuhan di Jawa Timur. Pada tahun 2000, angkaangka pengali.gguran, yang mencakup para pencari pekerjaan, mereka yang belum ditempatkan dan mereka yang di PHK, masih sangat tinggi. Kenaikan-kenaikan UMK telah sedikit berdampak pada keadaan perburuhan di Jawa Timur, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
53
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
Gambar 4.8 Kondisi Bursa Tenaga Kerja Tabun 2000
•• •
350 300 250 200 150 100 50
Pencari Kerja Penempatan Penghapusan
Ill
Belum ditempatkan
""
Perrnintaan
•
Dipenuhi
li
Sisa Lowongan
Penghapusan Lowongan
0 Sumber: Dinas Tenaga Kerja Jawa llmur
Usaha-usaha yang mempunyai kaitan dengan pariwisata di Bali bernasib lebih baik. Misalnya, industri tekstil di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogya merupakan pemasok terbesar untuk produk tekstil di Bali. Ketika krisis ekonomi sangat mengganggu kegiatan ekonomi di kebanyakan daerah di Indonesia, Bali (sarnpai pem''bom'' an bulan Oktober 2002) tetap memetik keuntungan signifikan dari arus wisatawan yang meningkat dan peredaran dolar yang bernilai lebih tinggi daripada sebelumnya. Situasi ini berdarnpak langsung terhadap industri-industri lain di Jawa dan daerah sekitarnya yang mendukung industri pariwisata di Bali dan Lombok.
54
5 I MATA RANTAI KOMODITAS
Kayu Jati Tembakau Tebu dan Gula Kopi
Garam Udang Ternak Sapi Tekstil
MATA RANTA! KOMODITAS
Masalah-masalah yang diuraikan di bah-bah sebelumnya dihadapi oleh para pelaku usaha pada umumnya. Dalam bah ini kami akan memperdalam beberapa mata rantai komoditas, dengan tujuan menunjukkan secara lebih khusus jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha pada setiap tahap sepanjang rantai produksi dan distribusi. Komoditas-komoditas tersebut dipilih untuk penelitian mendalam atas dasar dua kriteria, yairu: pentingnya bagi ekonomi regional dan kompleksitas lebih besar permasalahannya dibandingkan dengan komoditas-komoditas lain. Sejumlah komoditas tersebut, altibat kepentingan strategis sejarah dan dipersepsi bagi ekonomi, ditandai oleh intervensi negara yang signifikan. Badan-badan Usaha Milik Negara, kendali-kendali harga untuk masukan dan keluaran, dan monopoli/ monopsoni tetap mempengaruhi lingkungan usaha untuk komoditas-komoditas seperti gula, tembakau dan garam. Di samping itu, Indonesia mempertahankan kebijakan swasembada untuk sejumlah bahan pangan pokok yang telah menimbulkan hambatan-hambatan perdagangan. Distorsi-disrorsi yang diciptakan oleh kebijakan-kebijakan tersebut merupakan hambatan signifikan terhadap pertumbuhan dan perlu disikapi dalam upaya-upaya pembaharuan kebijakan. Akan tetapi, mereka tidak ditinjau secara terperinci di sini. Informasi berikut adalah dari perspektif para pelaku usaha daripada memheri tinjauan menyeluruh kebijakan untuk setiap sekror.
KAYUJATI Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Kediri, Kabupaten Malang, Banyuwangi, ]ember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo. Kapasitas produksi industri kayu dan produk hutan Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia. Pada tahun 1996, Indonesia menduduki tempat ke sebelas dalam kapasitas produksi industri kayu. Akan tetapi, karena pasokan kayu menurun kapasitas ini berkurang (lihat Tabel5.1). Hal inl berkaitan erat dengan aras-aras tinggi pembabatan hutan dan penyelundupan kayu gelondongan untuk ekspor yang sangat sulit dikendalikan. Loebis dan Schmitz17 dalam kajian mereka menemukan bahwa laju kehilangan hutan di Indonesia telah dipercepat; pada tahun 1998 dilaporkan bahwa d?Ii 1 juta hektar per tahun, angka ini telah naik menjadi 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996.
17
Lienda Loeb is dan Huberr Schimcz, dalam "java Furniture Mttkers: W'inners or losers .from GWbtt!ization", IDS. Sussex, Sept 2003
56
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel5.1 Kapasitas Industri Pengolaban Kayu dan Produk Huran Lainnya serta Penggunaannya ~(QK®!illill:l) ~®iJ) ---- - - - - - - - - - - - -
1996
1.363
50
1997
1.371
57,4
1998
1.373
45,4
1999
1.373
47
Sumber: BPS, diolah
Sejak tahun 1997 kayu-kayu dati luat Jawa termasuk impor mulai memasuki pasat kayu di Jawa Timur. Ada kecenderungan bahwa jumlah kayu dari luar Jawa itu semakin meningkat. Pada hampir seluruh FGD yang dilakukan, peserta kbususnya dati sisi hilir rantai bisnis yang ada menyatakan bahwa sekatang mereka lebih banyak menggunakan kayu dati luat Jawa termasuk import. Hal ini terutama dirasakan oleh pelaku usaha usaha yang berada di Jawa Timur bagian utata. lni terjadi katena di Jatim bagian utata ini hampir tidak memiliki hutan kayu lagi, sehingga cenderung tergantung pada kayu dari luar Jawa. Nilai output dan nilai ekspor barang kayu dan hasil huran lainnya seperti tampak pada grafik di bawah ini. Pada dasatnya sumber kayu yang dihasilkan di Indonesia pada umumnya berasal dari 4 katego~i yakni rumah tangga, usaha kecil, sedang dan besat. Dati nilai outputnya rumah tangga menempati tingkat tertinggi. Namun dalam hal ekspor, usaha besar mendominasi kegiatan ekspor. Hal ini menunjukkan bahwa industri kayu dari usaha rumah tangga, kecil dan sedang ditujukan untuk mengisi pasar dalam negeri.
Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor (Kayu dan Benda Produk Huran Lainnya) Disrribusi nilai total keluar (%)
15%
31% •
Rumah Tangga
•
Usaha Kecil
fd D
Usaha Menengah Usaha Besar
Sumber: StatistiK lndustri, BPS, 2000, diolah
57
Mata Rantai Komoditas
Sumber kayu utama di Jawa Timur terdiri dati hutan rakyat, Perhutani (perusabaan milik negata), kayu dari !uat Jawa, dan kayu impor !uat negeri. Definisi hutan rakyat ialab kayu yang ditanam di atas tanab milik perorangan, biasanya menggunakan luas tanab kecil. Pata pemilik hutan rakyat pada umumnya usaba rumab tangga dan usaba kecil. Kayu dati luar Jawa biasanya berasal dati kategori pelaku usaba besat. Di bawab ini suatu ilustrasi rantai distribusi komoditas kayu di JawaTimur. Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Kayu diJawa Timor
~
I Pedagang Pertama
UKM (dibawah 50 hdmuo)
lndustri mebel diJatim
Sawmill
~ I
Perhutani
I
Pedagang Kedua
I
PTP
I
I
I
LuarJawa
I
Import
Konsumen Akhir
Industri mebel di luar Jatim
/f'\
PabrikKayu Olahan (Probolinggo, Surabaya)
I
•
I
Pabrik Kertas (PT. Tjiwi Kimia)
Berikut beberapa masalab yang dihadapi oleh pata pelaku usaba di sektor industri kayu.
ISU-ISU PENCURIAN KAYU DAN PEMBABATAN HUTAN
Menipisnya ketersediaan baban baku kayu khususnya untuk jati mendominasi FGD diberbagai wilayah. Menipisnya ketersediaan baban baku kayu ini terutama disebabkan terjadinya pencurian dan penjaraban kayu yang tidak terkontrol. Pemerintab dan apatat keamanan sudab saat ini tidak mampu mengatasi masalab pencurian dan penjataban kayu yang dilakukan melalui penebangan !iat. Tingginya tingkat pencurian kayu seperti yang disebut pada bagian terdabulu dimungkinkan katena disinyalir adanya keterlibatan 'orang dalam' (atau bahkan militer). Apalagi setelab reformasi digulirkan, pada saat itu masyarakat umum seakan berlomba-lomba untuk menebang hutan, dengan alasan sebagai kompensasi atas perampasan tanah dimasa lalu. Pada saat itu jelas penebangan kayu !iat dihutan mengalami peningkatan yang sangat tajam.
58
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Modus pencurian kayu secara urn urn dilakukan dalam dua cara yakni pencurian secara tebang langsung dan kemudian diselundupkan kewilayah-wilayah tertentu melalui penadah-penadah yang ada. Dalam kasus ini maka kayu yang diperdagangankan termasuk dalam perdagangan ilegal. Modus kedua yakni kayu-kayu yang ditebang secara liar kemudian dibuatkan surat izinnya. Sehingga kayukayu kemudian menjadi sah secara hukum. Dengan demikian ketika kayu tersebut dijual, maka transaksi perdagangannya menjadi sah. Hal ini sangat terkait dengan proses pemberian izin baik izin penebangan maupun pengangkutan kayu yang sangat reman terhadap proses korupsi sehingga memungkinkan dikeluarkan izin-izin yang seharusnya tidak dapat dikeluarkan. Metoda kedua ini dapat diatasi jika pemerintah lokal tegas tentang memberantas korupsi. Pencurian dan penjarahan kayu ini secara langsung berakibat pada semakin menggundulnya hutan. Sementara itu kemampuan pemerintah dalam melakukan penanaman kembali hutan-hutan selama ini sangat terbatas dan jauh tertinggal dengan percepatan penggundulan hutan.
Luas hutan yang berada dibawah pengelolaan Perhutani Bojonegoro adalah 50.145,5 ha (termasuk hutan lindung). lni merupakan 95% dari seluruh areal hutan kayu yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Dari luas tersebut hutan yang gundul sekitar 20%-nya yakni sekitar 11. 000 ha pada tahun 2001. Diperkirakan saat ini luas hutan yang gundul semakin meluas. Sementara itu kemampuan pemda melalui perhutani dalam melakukan penghijauan sangat lambat. Rata-rata hanya mampu sekitar 1.011 ha!tahun (tahun 2003). Padahal penggundulan hutan setiap tahun diperkirakan jauh di atas angka tersebut. (FGD, Tim PSD, 2004) Hal lain yang juga kurang mendukung percepatan proses penghijauan kembali hutan-hutan yang gundul ini karena rendahnya keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya semacam ini.
PERIZINAN
Perizinan di sektor kayu merupakan isu yang rumit. Ada dua jenis izin yang paling banyak mendapat keluhan dati para pengusaha kayu yakni Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) 18 dan Lisensi yang berupa Surat Perintah Alokasi Pembelian (SPAP), Surat Perintah Pembelian (SPP) dan Surat Ijin Pembelian (SIP) 19 •
18Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 132/Kpts-Il/2000 tentang Pemberlakukan surat keterangan sahnya hasil huran (SKSHH) sebagai pengganti dokumen surat angkutan kayu bulat (SAKB), surat angkutan kayu loan (SAKO) dan surat angkutan hasi! hutan bukan kayu (SAHHBK). 19Usensi rersebut dibedakan berdasarkan volume pembelian kayu per tahun, secara rind dapat diuraikan sebagai berikut (a) SPAP surat ijin ini dikduarkan oleh Perhurani Pusat umuk pembelian kayu per tahun sebanyak diatas 2000 M3 (b) SPP surar ijin ini dikduarkan oleh Perhutani Propinsi umuk pembelian kayu per rahun sebanyak anrara 600- 900 M3 (c) SIP surat ijin ini dikeluarkan oleh Perhutani Kabupaten umuk pembelian kayu per tahun paling banyak 700 M3
59
Mata Rantai Komodiras
SKSHH pada dasarnya memberi kepastian hukum akan asal usul kayu yang sah. Pihak yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKSHH adalah Pemda melalui Dinas Perkebunan atau Kehutanan setempat. Namun demikian dalam kenyataannya sebagaimana diulas diatas bahwa surat ini malah digunakan untuk melegalkan barang-barang curian. Dengan kata lain banyak sekali kayu hasil pencurian itu dengan mudah mendapatkan SKSHH. Artinya dengan surat ini kayu curian tersebut menjadi sah di pasar. Akibatnya para pengusaha yang mendapatkan kayu secara sah merasa dirugikan, karena harus bersaing dengan kayu-kayu ilegal (yang dilegalkan) dengan harga yang lebih murah, sehingga kompetisi menjadi super ketat. Di Bojonegoro Diperkirakan jurnlah kayu ilegal yang berhasil mendapatkan SKSHH mencapai 14.000 m3 dalam tahun 2003. (FGD, Tim PSD, 2004). Gambar 5.3 PROSES PENERBITAN SKSHH lzin Pengangkutan!perdagangan Kayu Nasional
Snrat keputusan dirjen pengolaban hasil kehutanan no.82/KPTS VI-EDAR/2002
-
Penebangan Pohon
-
Perusahaan menerbitkan Laporan Hasil Produksi (LHP)
P2SKSHH akan menerbitkan LHP harus disahkan oleh tim khusus yang . terdiri dari : I. Dinas Kehutanan (Prop atau Kabupaten) 2. Pemerintah Daerah bagian Ekonomi 3. Komisi B DPRD 4. Dinas Pendapatan Daerah
1 Selanjutnya tim akan melakukan survey lapangan dan akan menganalisa tentang spesifikasi kayu tebangan, area tebangan, dll
1 Diterbitkan Berita Acara yang telah mendapat tanda tangan persetujuan
1
t perusahaan mengajukan permohonan SKSHH dengan dilarnpiri bukti pembayaran kepada pejabat penerbit SKSHH
PP 34/99, SK MehHut 6887/2002
t Setelah melakukan pembayaran restribus PSDH perusahaan akan mendapat bukti pembayaran
t Perusahaan akan membayar restribusi PSDH melalui rekening ke Kas daerah
PP 34/02, PP 74/99, SK Men Perindustrian 51 0/MPP/Kep/2002
t
Setelah LHP disetujui maka Dinas LHP dengan dilarnpiri Berita acara diajukan ke petugas pengesah LHP di Dinas Kehutanan ybs, 1---+ Kehutanan ybs akan menerbitkan surat pembayaran restribusi PSDH untuk mendapat pengesahan Nom: PSDH (ProuUi Sumbrr DllJ4 HuMn) adalah mribusi hasil kayu olahan
60
Memperbaiki Iklim Usaha di JaWa Timur
Standar-standar pelaksanaan UU Kehutanan tentang SKSHH menimbulkan suatu dilema. Di satu pihak, peraturan ini dibuat sedemikian terperinci sehingga seharusnya menutup semua peluang untuk penyimpangan, sedangkan di lain pihak tingginya perincian standar-standar tersebut menciptakan kompleksitas dalam pelaksanaan sehingga sebenarnya menciptakan peluang bagi korupsi. Misalnya, sehubungan dengan dimensi dan berat kayu gelondongan, SKSHH memperinci berat dan dimensi kayu gelondongan yang boleh diangkur dan diperdagangkan; akan tetapi, oleh karena tidak ada teknologi standar untuk pemotongan kayu, maka sulit untuk mengukur secara tepat berat dan dimensi-dimensi yang diperinci di dalam SKSHH. Perbedaan ini antara berat dan dimensi yang diperinci di dalam SKSHH dan jumlah-jumiah yang sebenarnya diangkut berarti bahwa mengangkur kayu dari satu tempat ke tempat yang lain tunduk pada banyak pungutan, baik dari pihak kepollsian dan dari DLLAJ. Kelemahan dalam kebijakan perizinan yang dilakukan melalui SKSHH ini adalah tidak membedakan antara kayu-kayu yang berasal dari PT Perhutani atau perusahaan-perusahaan besar pemilik HPH dengan kayu-kayu yang ditebang dari hutan rakyat. Kayu yang berasal dari hutan rakyat yang dimaksud adalah kayu yang ditanam ditanah yang umumnya tidak luas millk rakyat sendiri. Walaupun ditanam di tanah milik sendiri namun bila rakyat sebagai pemilik lahan hendak menebang kayunya sendiri sangat sulit karena secara regulasi keberadaan kayu ini dipersamakan dengan kayu negara. Izin yang kedua yakni SPAP/SPP/SIP adalah izin yang dikeluarkan menyangkur cara mendapatkan atau membeli kayu. Saat ini ada dua cara mendapatkan atau membeli kayu dari Perhutani yakni melalui lelang dan lisensi. Lelang hanya berlaku untuk pembelian dalam jumlah yang besar. Sementara untuk pembelian jumlah kecil dilakukan melalui lisensi. Sehingga bagi para pelaku usaha terutama pengusaha kecil maka pembelian kayu dari Perhurani dilakukan melalui llsensi. Adapun lisensi yang dimaksud yakni SPAP yang dikeluarkan oleh Pusat, SPP dikeluarkan oleh unit di tingkat provinsi dan SIP dikeluarkan oleh KPH di tingkat Kabupaten. Perbedaan SPAP, SPP dan SIP adalah berkaitan dengan jumlah pembelian kayu. Sebagaimana juga dengan SKSHH surat izin ini juga tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi yang membuat pengurusan surat ini menjadi sulit dan mahal, dan hanya bisa cepat bila membayar sejumlah uang suap kepada pihak pemberi izin. Seorangpeserta dari Bojonegoro menuturkan: ': .. Kalau mau membayar 1,5 juta mengurus lisensi maka izin akan keluar di bawah jam 12. Tapi kalau cuma berani membayar 25.000 maka izin baru akan keluar di atas jam 2 atau baru besok siang lagi... " (FGD, Tim PSD, 2004)
Kebijakan perizinan lain yang juga membatasi suplai kayu adalah kebijakan moratorium20 yakni kebijakan cegah tebang. Pada dasarnya kebijakan ini ditujukan bagi langkah pengamanan terhadap 2°Keputusan Menreri Kehutanan No 127/kpts~V/2001 Tentang Penghentian sementara {moratorium) kegiatan penebangan dan perdagangan ramin (gonytylus spp)
61
Mata Rantai Komoditas
keberadaan kayu dihutan khususnya kayu rarnin agar tidak habis dalarn waktu yang singkat. Narnun disisi lain kebijakan ini secara langsung juga telah menyebabkan PT Perhutani juga mengalami pembatasan dalarn penebangan kayu. Narnun karena ada unsur permainan serta lemahnya komrol terhadap pelaksanaan kebijakan ini, maka kebijakan ini narnpaknya kurang efektif untuk mencegah penebangan hutan. Izin lain yang juga mempengaruhi transaksi kayu terutarna ekspor kayu adalah menyangkut kebijakan izin ekspor untuk beberapa jenis hasil hutan seperti kayu lapis dan rotan sebagaimana dituangkan dalarn Surat Keputusan Menperindag tentang ketentuan ekspor bahwa masih ada surat izin tertentu yang menjadi persyaratan ekspor hasil hutan sebagai berikut:
62
Memperbaiki Iklim Usaha
di Jawa Timur
Di sektor hilir, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi para pengrajin kayu cukup penting karena bisa melindungi mereka dari penipuan dan peniruan. Namun demikian HAKI cukup sulit diperoleh selain lama dan mahal, juga tidak jelas harus mengurus kemana. Akibatnya design banyak dijiplak pihak lain, terutama pengrajin mebel dan furnitur serta kerajinan kayu lainnya. Kalaupun HAKI diperoleh tetap sulit mendapatkan perlindungan terhadap pembajakan hasil karya sendiri Izin lain yang juga cukup mahal dan karenanya sulit diperoleh adalah Izin lokasi lahan kayu terutama yang dipedalaman dirasakan cukup mahal dan harganya disamakan dengan lahan yang berada didekat jalan raya. Rata-rata izin lokasi mengalami peningkatan yang cukup tinggi, belum lagi ditambah dengan pungutan. Berikut ini pengalaman seorang petani kayu jati yang membatalkan rencananya dikarenakan terlalu mahal. Petani di Kabupaten Kediri yang memiliki 4 hektar tanah. fa merencanakan untuk menanaminya dengan semaian kayu jati emas. Modal yang diperlukan untuk menanam semaian tersebut ialah sekitar Rp 25 juta per hektar, jadi seluruh biaya untuk membangun empat hektar ialah Rp 100 juta. Ketika ia mencoba mengurus izin lokasi, ia diminta membayar Rp 50 juta per hektar, dengan total Rp 200 juta. Angka ini adalah basil tawar menawar, oleh karena harga yang diminta pada awalnya adalah Rp 350 juta untuk empat hektar .
(FGD, Tim PSD. 2004)
INFRASTRUKTUR
Jenis-jenis infrastruktur yang mempunyai dampak signifikan terhadap kegiatan usaha berkaitan dengan kehutanan di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
]aringan Telepon: Jaringan telepon cukup terbatas dan jarang mencapai desa-desa, kendati kebanyakan huran rakyat terletak di wilayah pedesaan. Ini berarti bahwa proses penjualan kayu sering tidak efisien karena komunikasi antara pedagang/ pembeli dan para pemasok memerlukan kunjungan fisik. ]aringan jalan pedesaan: Wilayah huran atau pusat produksi kayu pada umumnya terletak di wilayah pedesaan. Akibarnya, kondisi jalan pedesaan, terutama dari huran ke jalan kabupaten dan jalan propinsi mempunyai dampak besar atas usaha perkayuan. Saat ini, banyak jalan desa dalam kondisi buruk, yang berarti bahwa proses transportasi memakan waktu lama dan biaya transportasi menjadi lebih tinggi. Lagi pula di wilayah Bojonegoro di mana banyak produsen kerajinan kayu dan mebel berlokasi, kebanyakan jalan cukup sempit. Hal ini membuat sulit bagi truk untuk memasuki pusat produksi kerajinan, yang berarti bahwa para pengusaha harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk transportasi.
63
Mata Rantai Komoditas
Untuk pengangkuta_n 103 kayu bisa dilakukan dengan sekali angkut dengan menggunakan truk dengan biaya Rp 100.000,-. Namun karena kondisi )alan yang tidak memungkinkan maka kendaraan yang dapat menjangkau pedalaman hutan kayu hanya mobil pick up. Pick up hanya mampu mengangkut kayu sekitar 33, karena itu perlu bolak-balik sampai 3-4 kali. Biaya pick up untuk sekali pengangkutan sekitar 40. 000-60.000. Oleh karena itu total biaya untuk pengangkuta 103 kayu dengan pick up sekitar Rp 200. 000,. Dan ini artinya dua kali lipat lebih banyak dan tiga kali lipat lebih lama. (FGD, Tim PSD, 2004) ]aringan listrik terbatas terutama yang memasuki desa-desa. Kalaupun jaringan listrik sarnpai didesa masih ada beberapa persoalan menyangkut infrastruktur listrik yakni perr:ima menyangkut pemerataan, seringkali pengusaha besar atau orang-orang yang dekat dengan aparat desa, dengan mudah mendapatkan saluran listrik, narnun bagi masyarakat lain sangat sulit. Persoalan lain yang juga ditemukan dalarn distribusi saluran listrik adalah telah terjadinya praktek penggelapan yang dilakukan oleh aparat desa, dimana terdapat masyarakat yang sudah menyetorkan sejumlah uang untuk penyarnbungan listrik, narnun pihak PLN menyatakan tidak menerima setoran tersebut, sehingga listrik batal disalurkan.
MANAJEMEN PERTANAHAN
Di Jawa Timur bagian selatan, pasokan kayu terbatas terutarna merupakan altibat daerah hutan yang terbatas. Para peserra mengatakan bahwa banyak pesanan kayu ditempatkan kepada para petani, pedagang dan operator penggergajian kayu, tetapi tidak ada lagi tanah yang tersedia untuk dikonversikan menjadi hutan produksi kayu. Sebenarnya ada sebagian besar tanah milik negara yang tidak dikelola dengan baik, akan tetapi akses terhadap tanah itu tidak tersedia.
PAJAK DAN RETRIBUSI
Retribusi untuk SKSHH dirasakan terlalu tinggi,misalnya di Surabaya tarif SKSHH ialah Rp 5000/m3. Pajak berlapis ganda masih ditemukan di banyak daerah, dan dirasakan sebagai beban berat. Di Trenggalek, misalnya, pajak-pajak berikut - Pajak Kendaraan, PPN, Pajak Penghasilan dan Pajak untuk Penerimaan Tertahan - dikenakan kepada obyek yang sarna, mobil. Di dalarn satu FGD, seorang pengusaha penggergajian mengatakan bahwa ia menghabiskan Rp 500 juta dalarn satu tahun untuk mengurus semua dokumen tersebut.
PUNGUTAN-PUNGUTAN LIAR
Pungutan liar dikemukakan di harnpir setiap FGD yang diselenggarakan. Untuk komoditas kayu, pungutan-pungutan liar yang dikeluhkan oleh para peserta diskusi mencakup yang berikut:
64
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
• Pungutan-pungutan dari desa, RT, RW, hansip, dan "sumbangan-sumbangan'' kepada pihakpihak lain seperti kepolisian setempat, dsb. Kasus-kasus contoh pungutan oleh Pemerintah Desa: Kasus {1): Mengangkut kayu dari Sumber Rejo ke Kamolan, meliwati tiga desa. ]ika kayu itu diangkut dengan pickup, dikenakan punguian Rp. 2.500 per perjalanan~ jika menggunakan L300 pungutannya Rp 5. 000 per perjalanan, dan jika memakai truk pungutannya Rp 10. 000 per truk per perjalanan. Kasus (2): Mengangkut kayu dari Desa Karang Rejo - Mungguran - Mendo Agung: dinilai Rp 2. 000 per 5 kilometer per pickup per perjalanan.
• Pungutan-pungutan di pelabuhan !aut • Pungutan liar dalarn pengurusan SKSHH; bisa mencapai 20% dari harga kayu • Pungutan-pungutan di jalanan, khususnya dari pihak polisi Kasus-kasus contoh pungutan di jalanan: Kasus {1): Mengangkut kayu dari Trenggalek ke Surabaya menggunakan truk gandengan, biaya per perjalananper truk untuk pungutan-pungutan tidak resmi sepanjang seluruh perjalanan mencapai sekitar Rp 50.000. Di samping pungutan-pungutan "harian" tersebut, ada biaya-biaya lain bersifot bulanan, sekitar Rp 2,5 )uta sampai Rp 4 )uta untuk empat pos (disebut Polisi Sektor, Polisi Resort dan polisi unit sabharat). Kasus (2): Di dalam pengiriman kayu dari kecamatan Dongko ke Probolinggo, sekitar Rp. 100.000 harus dikeluarkan. Pos-pos di mana diketahui harus dilakukan pembayaran termasuk Polisi Sektor Dongko, Perhutani di Krangan, dan pos-pos lain antara Blitar dan Malang.
• Pungutan "door to door': Banyak kelompok menarik pungutan seperti itu termasuk pejabat desa, polisi, militer dan sebagainya. Seorang operator usaha mebel, misalnya, harus mengalokasikan sekitar Rp 250.000 sarnpai 300.000 per bulan untuk pungutan-pungutan seperti itu. Jumlah-jumlah tersebut biasanya naik menjelang hari raya besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru.
TEMBAKAU Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Sumenep, Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember. Tembakau merupakan komoditas yang terutama digunakan dalarn produksi rokok, akan tetapi selintas nasional industri ini memberi pekerjaan kepada jutaan orang, dengan efek pengganda di
65
Mata Rantai Komoditas
dalam rantai usaha pembudidayaan tembakau, pengolahan, pencetakan, periklanan, perdagangan, transportasi dan penelitian21 • Industri ini juga memberi sumbangan cukup besar terhadap penerimaan negara. Cukai atas produk tembakau pada tahun 1998 memberi penerimaan sebesar Rp. 7,5 trilyun, atau 4,47 persen dari total penerimaan negara; lima tahun kemudian pada tahun 2003, jumlah ini naik menjadi Rp. 27,9 trilyun, atau 7,54 persen dari total penerimaan negara22 • Tanaman tembakau merupakan tanaman perkebunan yang cukup lama dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1800-an. Tanaman ini mulai berkembang pada awal tahun 1900an, dengan pasar utama ke Eropa dan Amerika. Tanaman ini kemudian menjadi tradisi perkebunan di Jawa Timur dengan hasil tembakau jenis Virginia dan Besuki Naa Oogst (BNO) sebagai bahan rokok kretek dan cerutu. Tembakau dan industri rokok merupakan industri unggulan di Jawa Timur. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, 2002, jumlah industri tembakau di Jatim tercatat 435 perusahaan dari total 807 industri tembakau nasional, dan empat di antaranya merupakan perusahaan dengan modal asing (PMA). Tak kurang dari lima kabupaten di Jawa Timur yakni Bojonegoro, }ember, Probolinggo, Pamekasan dan Sumenep menjadi penghasil tembakau utama baik untuk industri rokok dalam negeri maupun ekspor. Tabel 5.2 Luas Tanaman dan Produksi Tembakau di Kelima Daerab Produksi Terbesar di Jawa Timur, 2000 - 2002
14.603
12.022
12.713
11.367
13.093
11.768
17.070
12.655
18.806
17.801
11.893
13.080
9.556
11.219
11.228
13.455
12.569
14.813
Sumenep
19.381
12.617
23.784
15.389
23.790
15.564
Pamekasan
30.488
18.347
39.565
18.174
39.570
18.400
JawaTimur
125.996
98.381
149.538
107.361
149.409
108.515
]ember
Diolah dari: "Jawa limur dalam Angl::a, 2002"
Tembakau yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut menjadi bahan baku utama untuk industri rokok, yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Perusahaan-perusahaan rokok terbesar, seperti Gudang Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya, dan Bentoel Prima, Philip Morris dan Rothmans dari Pall Mall Indonesia di Malang, menjadi industri hasil tembakau yang memberikan dampak ekonomi yang besar di Jawa Timur. 21 Kompas, 31 Agusrus 2000 22Analisis Dasar-Dasar Makro dan Mikro umuk Kebijakan Cukai Tembakau di Indonesia, Oirektorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departemen Keuangan, 2004 66
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Secara umu~ rantai bisnis industri hasil tembakau adalah sebagai berikut : Gambar 5.4 Rantai Produksi Tembakau
L
P~mhibitan
·
J -----..
Gudang Pabrik Rokok
Penanaman
Dibungkus
J
Panen
-----...
I.._ I
Produksi Rokok
Dilembabkan
-
I. __
I Digulung/Dieram I
~ Dirajang
I
Pabrik Rokok Kecil
c==_·~~--~--~~--~---K_o_n_s_um__~n
J
Dari rantai bisnis diatas, bisnis tembakau sendiri melibatkan petani, pemilik lahan, pedagang dan pabrik rokok. Sementara pasca pengolahan, bisnis hasil tembakau melibatkan pelaku yang berbeda yakni industri kertas dan pengemasan, perdagangan dan distribusi, periklanan bahkan industri hiburan dan olah raga. Dari pemain yang terlibat, petani yang paling reman terhadap perubahan kebijakan dan perubahan lingkungan bisnis yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga-harga kepada para petani termasuk biaya masukan (pupuk, bibit dan masukan-masukan lain yang kebanyakan diperoleh dari BUMN), dan tingkat permintaan, yang dipengaruhi antara lain oleh kebijakan cukai. Hasil-hasil suatu survey petani tembakau menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi agak negatif tentang kebijakan cukai tembakau yang ditetapkan oleh pemerintah23 •
ISU-ISU KOMPONEN BIAYA DAN MASALAH HARGA
Seperti dibicarakan di atas, para petani menghadapi risiko produksi yang tinggi. Setiap perubahan dalam komponen biaya produksi akan mempengaruhi penghasilan petani. Komponen-komponen biaya dalam usaha penanaman tembakau termasuk yang berikut: (1) biaya sewa tanah, (2) biaya buruh, (3) biaya persiapan lahan, (4) biaya pupuk, (5) bibit dan bahan kimia, (6) biaya perawatan, (7) biaya panen, (8) biaya pemrosesan, dan (9) biaya pemasaran24. 23Brahmamio dkk., dalam studi Departemen Keuangan PSPK-BAF, menyarakan bahwa biaya cukai tembakau yang meningkat terus akan menjadi beban bagi para perani, oleh karena kenaikannya akan dipikul o\eh peranilmenggerogoti harga-harga perani (52,8%), tar if cukai yang dinaikkan dan ridak disertai kebijakan temang harga tembakauakan menekan harga tembakau (36,3%), dan sisanya menyatakan bahwa cukai tembakau yangdinaikkan rdah mengurangi permimaan unruk tembakau. 24 Laporan Akhir dari Kajian ten rang Alternatif Cukai Tembakau, 2004, FE-UNDIP. 2003
67
Mata Rantai Komoditas
Sementara itu, hasil FGD mencatat bahwa petani tidak memiliki akses langsung kepada gudang pabrik rokok. Hasil produksi berupa daun tembakau dari petani dijual ke tengkulak kecil yang membeli dengan sistem tebasan atau borongan. Tengkulak kecil kemudian menjual tembakau borongon ke pedagang besar yang biasa disebut bos. Selanjutnya bos melakukan proses pengeringan daun tembakau tersebut. Tembakau kering yang dihasilkan kemudian dijual ke gudang, dimana sebagian besar gudang dimiliki (terdapat keterkaitan) oleh pabrik rokok. Pedagang atau tengkulak menerima sub-pesanan (DO) dari pedagang/perantara besar, yang menerima DO dari gudang atau pabrik rokok. Para perantara yang memegang sub-DO, agar mendapat harga yang lebih baik, seringkali langsung bertransaksi dengan gudang. Berbagai pungutan gelap terjadi pada tahap ini, seperti di pintu penerimaan tembakau, timbangan, dan pemeriksaan mutu tembakau . Kenyataan bahwa beberapa pedagang mempunyai akses khusus kepada para wakil pabrik rokok, dengan berbagai fasilitas yang mereka sediakan, menciptakan persaingan tidak seimbang antara para pedagang tembakauz'. Permainan harga berikutnya muncul ketika terdapat keadaan suplai tembakau oleli petani melebihi permintaan gudang pabrik rokok. Pabrik rokok maupun dinas pertanian/perkebunan di daerah sebenarnya telah berperan dalam menginformasikasn kebutuhan tembakau untuk periode tertentu kepada petani. Hal ini untuk mencegah anjloknya harga tembakau di tingkat petani. Namun tidak jarang informasi rencana kebutuhan tembakau yang kemudian menggambarkan perkiraan harga yang menarik untuk jenis dan kualitas tertentu, malah mendorong petani untuk menanan tembakau. Akibatnya, ketika datang masa panen suppry tembakau melimpah melebihi permintaan gudang, maka harga tembakau di tingkat petani menjadi rendah. Dalam arti persaingan jangka panjang, petani tembakau juga akan mengalami ancaman harga untuk bersaing di pasar internasional. Cina merupakan salah satu pesaing potensial terbesar. Tembakau dari Cina mempunyai harga lebih rendah dan para produsen mempunyai produktivitas sepuluh kali lebih besar. Produksi tembakau di Cina bisa mencapai 2000 kilogram per hektar26, dibandingkan dengan 200 kilogram per hektar di Indonesia.
l5Fasiliras~fasilitas yang diberikan cennasuk infonnasi temang harga dan mum tembakau yang diinginkan oleh gudang pabrik rokok. Beberapa gudang, acau pengusaha yang berrindak aras nama para pabrikan rokok, bahkan menyediakan pinjaman kepada para pedagang dengan maksud membdi tembakau dari para perani. {RED!, 2003) 26Kompas, 12 Aguscus 2002
68
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel5.3 Ekspor dao lmpor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
1990
17.401
58.612
26.546
41.963
1991
22.403
57.862
28.542
58.430
1992
32.365
80.949
25.108
64.547
1993
37.259
66.014
30.226
76.995
1994
30.926
53.261
40.321
100.217
1995
21.989
61.456
47.953
104.474
1996
33.240
85.623
45.060
134.153
1997
42.281
104.743
47.108
157.767
1998
49.960
147.552
23.219
108.464
1999*
37.096
91.833
37.345
128.021
2000**
29.050
77.708
27.283
85.844
Sumber: Direktorat Jendral Pembinaan Produksi Perkebunan Catatan: *l Data sementara .. l Data perkiraan
STANDAR MUTU
Penetapan standar pada produk tembakau oleh pabrik rokok menyebabkan tidak semua hasil tembakau petani dapat dijual dengan harga yang bagus. Begitu pula dengan penetapan standar tembakau untuk ekspor ke mancanegara. Standar mutu sangat ditentukan oleh pilihan jenis tembakau, teknik processing dan kadar tar dan nikotin. Pada pabrik rokok besar yang memiliki gudang sendiri, dalarn melakukan pengendalian kualitas tembakau, biasanya mereka melakukan treatment tertentu pada saat menyimpan tembakau digudang. Tembakau biasanya disimpan selarna tiga hingga lima tahun. Tembakau yang telah disimpan tersebut diyakini dapat menghasilkan cita rasa yang lebih nikmat. Oleh sebab itu, perubahan harga tembakau dan tarif cukai, bagi pabrik besar tidak menimbulkan masalah yang berarti. Standar lain ialah terkait dengan ketentuan kesehatan yang ditetapkan oleh WHO. Berdasarkan PP no 81 tahun 1999, pemerintah menetapkan kadar nikotin dan tar bahwa pada sebatang rokok yang diperjualbelikan di wilayah Indonesiatidak boleh melebihi batas kadar maksimum untuk nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg. Narnun hingga saat ini rata-rata kadar nikotin dan tar untuk Sigaret K.retek Tangan (SKT) sebesar 3 mg dan 60 mg, Sigaret K.retek Mesin (SKM) sebesar 2,5 mg dan 50 mg.Bila
69
Mara Rantai Komoditas
terjadi penetapan kadar nikotin dan tar secara ketat pada jenis rokok sigaret maka dampaknya kepada petani akan sangat besar. Hal ini dikarenakan pangsa pasar rokok sigaret baik tangan maupun mesin menguasai 87 o/o total produksi rokok, semen tara rokok putib dengan standar nikotin dan tar yang lebih rendah menguasai 13 o/o sisanya. Umuk memenuhi ketemuan tersebut, perlu dilakukan program jangka panjang oleh Departemen Pertanian serta pembinaan teknis untuk menurunkan kadar nikotin dan tar, serta diiringin dengan penyesuaian teknologi processing tembakau dengan mutu yang standar.
CUKAI
Setiap kenaikan biaya cukai atas produk tembakau selalu mempengaruhi pabrik-pabrik rokok, petani tembakau, pedagang tembakau, pengecer rokok, dan konsumen. Tarif cukai yang diperkirakan atas produk tembakau mengikuti rumus yang sangat rumit, mengandung komponen-komponen Golongan Pengusaha Pabrik (GPP) dan Jenis Produk Tembakau, termasuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih mesin (SPM), variasi-variasi tradisional seperti kelemek dan klobot, sigaret putih tangan (SPT), cerutu, tembakau irisan, dan sebagainya. Penilaian cukai kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemerintah dalam menetapkan harga jual eceran • (HJE) dalam Rupiah per rokok. Permasalahan pemalsuan pita cukai rokok tidak hanya berdampak pada negara, seperti yang dikeluhkan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa timur, namun cuka berdampak pada persaingan produk rokok. Produsen rokok skala menengah di Malang mengeluhkan adanya pemalsuan pita cukai rokok, karena hal ini kemudian menyebabkan produk pengusaha ini harus bersaing secara tidak sehat dengan produsen rokok yang memalsukan pita cukai rokok atau membeli pita cukai rokok palsu.
Di Tulungagung, pabrik-pabrik rokok mengeluh tentang kesulitan untuk mendapatkan pita cukai rokok pada bulan-bulan tertentu (seperti menjelang Lebaran). Tanpa pita cukai, pabrik-pabrik itu tidak bisa menjual rokok yang mereka produksikan dan rokok itu menumpuk di gudang.
(FGD.
Tim PSD, 2004}
INFRASTRUKTUR
Petani tembakau dan pengusaha rokok sangat memberikan perhatian pada kualitas jalan dan infrastruktur dasar yang sangat berpengaruh pada bisnis ini. Petani di pulau Madura merasakan bahwa infrastruktur fisik khususnya jalan masih kurang mendukung. Kondisi jalan pada jalur utara ke selatan dianggap sempit dan tidak ada alternatif lain. Selain itu kondisinya dalam keadaan kurang baik.
70
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Petani dan pengusaha di Madura merespon positif pembangunan Jembatan SURAMADU, karena hal ini akan memperlancar transportasi bisnis dari dan ke Madura. Sebagai dampak adanya pembangunan jembatan tersebut, kelancaran arus bisnis tentu akan mengakibatkan padatnya jalur lalu lintas barat ke timur di sisi selatan sekarang. Kepadatan ini harus diantisipasi dengan memperlebar jalur yang ada serta membuka jalur di sisi utara, yang kemudian diteruskan dengan jalur penghubung utara ke selatan. Sebagai tanaman perkebunan pada jumlah yang luas dan dapat ditanaman pada jenis lahan tertentu, kebutuhan tanaman tembakau memerlukan ketersediaan air yang cukup. Bagi petani tembakau di Madura, ketersediaan air untuk keperluan tanaman tembakau telah mengalami penurunan, mengingat sedikitnya sumber air di pulau ini. Menurut petani, disamping air untuk irigasi perkebunan, petani juga memerlukan air bersih utuk kebutuhan rumah tangga. Infrastruktur lain yang diperlukan oleh petani tembakau ialah adanya balai atau unit pengujian dan standarisasi mutu tembakau. Adanya infrastruktur ini nantinya akan memberikan informasi yang lebih jelas tentang jenis dan mutu bibit dan standarisasi pengolahan tembakau.
PERIJINAN
Di tingkat petani, lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman tembakau selama ini sedikit sekali yang bersertifikat. Petani menginginkan adanya kemudahan untuk mengurus sertifikat tanah. Pengurusan sertifikat tanah saat ini maslh sangat rumit, hal ini mengakibatkan terhambatnya kebutuhan petani untuk memperoleh sertifikat yang nantinya dapat digunakan sebagai jaminan dalam mengajukan pinjaman ke bank. Sementara itu para pedagang tembakau mengeluh tentang kurangnya kejelasan dalam persyaratan untuk memperoleh surat izin usaha perdagangan (SIUP).
PUNGUTAN
Pabrik rokok, seperti dijelaskan diatas, untuk dapat memasarkan produknya sangat tergantung pada pita cukai yang diperoleh. Disamping tarif cukai rokok semakin naik, pengusaha juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pita cukai sesuai jumlah yang diharapkan. Bahkan untuk memperoleh pita cukai, pengusaha mengalami punguran sebagaimana yang dialami pengusaha rokok dari Tulungagung dan Malang. Disamping itu pula, pengusaha juga dibebani pungutan dengan bentuk sumbangan wajib yang biasanya dipungut pada waktu-waktu dan acara tertentu. Pungutan berupa retribusi, terjadi pada pengusaha rokok dalam mengantar dan memasarkan produknya yang diangkut pada mobil box yang terdapat logo atau gambar produk. Pengenaan retribusi reklame pada angkutan barang terjadi di Blitar dan Nganjuk.
71
Mata Rantai Komodiras
Sementara itu, petani di Pamekasan dan Sumenep telah lama mengeluhkan praktek pungutan berupa pengambilan sampel tembakau secara gratis yang dilakukan oleh oknum tengkulak atau petugas gudang pabrik rokok dalam jumlah besar. Sebenarnya petani di dua kabupaten ini telah mengusulkan kepada pibak Pemkab masing untuk membuat Perda yang mengatur tentang rata niaga tembakau di daerah tersebur yang juga memasukkan aturan pengambilan sampel temabakau yang tidak merugikan petani. Petani di Madura juga mengeluhkan pungutan yang dikenalnya sebagai jenis "pajak", yang dikenakan kepada petani tembakau dengan tarifflat rate kepada petani tembakau sebagai tarif rata-rata.
TEBU DAN GUIA Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikur: Malang, Sidoarjo, Magetan, Kediri, Tulungagung. Tebu, bersama-sama dengan tembakau, merupakan salah satu tanaman perkebunan terbesar di Jawa Timur. Tanaman ini pertama-tama diperkenalkan pada masa kolonial Belanda. Mulanya tebu ditanam di lembah-lembah sungai besar di Jawa; kemudian pembudidayaannya menyebar juga ke daerah dataran tinggi. Pada awal abad ke 20, Hindia Belanda merupakan pengekspor gula kedua di dunia, sesudah Kuba. Oleh karena gula merupakan komoditas penting, pemerintah kolonial bahkan mendirikan stasiun penelitian perkebunan gula di Pasuruan, yang sekarang dikenal sebagai Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Lembaga ini sebagaian besar didanai oleh BUMN Perkebunan Gula (PG). Secara nasional, produksi gula dalam negeri mengalami penurunan hila dibandingkan dengan produksi tahun 1930 yang mampu mencapai riga jura ton. Dari total produksi nasional yang mencapai 1,7 jura ton saar ini, kebutuhan gula Indonesia harus dipenuhi dengan impor gula hingga mencapai 1,5 jura ton pertahun27• Dari total produksi gula secara nasional, 41 o/o -nya atau sekitar 700 ribu ton gula diproduksi oleh 33 pabrik gula di Jawa Timur28 • Produksi gula di Jawa Timur meningkat teratur antara tahun 1999 dan 2002. Peningkatan ini, menurut data dari Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan (BPP) dari Departemen Pertanian, disebabkan oleh peningkatan luas tanah yang ditanami tebu, disertai oleh perbaikan produktivitas tanaman tebu, yang mencapai lima ton per hektar. Secara umum, rantai produksi gula dalam negeri dan rantai distribusi adalah sebagai berikut:
27 Kompas, 25 Juli 2003 28 Kompas, 22Juli 2002
72
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula
Giling
Pabrik
Pabrik
Gula
Gula
Pasokan bibit sebagian besar berasal dari penangkaran bibit oleh PG dan P3GI, sebagian kecil dihasilkan oleh petani penangkar. Bibit yang berasal dari P3GI dan penangkar ditanarn pada !ahan petani, sedangkan bibit yang dihasilkan oleh PG ditanarn pada lahan milik PG dan petani di wilayah operasi PG tersebut. Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) di wilayah PTPN XI Jawa Timur, lahan perkebunan tebu yang dimiliki petani berkisar 35 hingga 60 persen dari total lahan tebu di wilayah operasi PG. Hanya sebagian kecil hasil panen tebu digiling oleh pengusaha untuk dijadikan gula merah, sementara sebagian besar lainnya digiling di PG. Bagi hasil panen tebu petani yang digiling oleh PG, petani memperoleh 66 persen gula dan PG memperoleh 34 persen sisanya. Dari bagian petani tersebut, sepersepuluh atau sekitar 6,6 persen oleh PG diberikan secara in-natura berupa gula, sedangkan 59,4 persen dilelang yang melalui tim lelang APTR. Di Jawa Timur, sekitar 75-90 persen kebutuhan tebu ke pabrik gula dipasok dari petani. Jadi pabrik gula sangat menggantungkan kinerja mesin produksi yang terpasang betul-betul pada produktivitas tebu yang ditanarn petani. Menurut kalangan pabrik gula, untuk dapat bersaing dengan gula impor, petani harus marnpu meningkatkan produktivitas tebunya minimial mencapai 8,5 ton perhektarnya29.
ISU-ISU PRODUKTIVITAS PETANI
Menurut data dari Direkrorat Jendral BPP, produktivitas tanarnan tebu di Jawa Timur saat ini hanya kalah dengan produktivitas tanarnan tebu di Larnpung yang rata-rata perhektar lahan marnpu menghasilkan 7,8 ton gula. Produktivitas lahan tebu di Jawa Timur ini sebenarnya dapat ditingkatkan apabila petani dalarn penanarnan tebu melakukannya dengan manajemen yang baik. 29 Kompas, 26 Mei 2003
73
Mara Rantai Komoditas
Pemilihan bibit, pengolahan lahan, pemupukan, teknik tebang dan sistem irigasi menjadi fakror yang dapat mengurangi produktivitas tebu. Salah satu yang paling besar berpengaruh dalam produktivitas dan randemen tebu adalah cara pengeprasan tebu (ratoon) yang dilakukan hingga 12 kali kepras. Padahal untuk menghasilkan tebu yang bagus dengan rendemen yang tinggi, pengeprasan dilakukan maksimal dua kali untuk tebu yang sama. Salah satu sebab pemangkasan berlebihan ialah bahwa persiapan tanaman baru masih tetap dilakukan dengan cara tradisional dan padat tenaga kerja. Biaya persiapan lahan yang tepat sangat tinggi, sekitar Rp 15-16 juta per hektar3°. Banyak petani menyatakan bahwa trakror terlalu mahal bagi mereka. Oleh karena itu dilakukan pemangkasan berjumlah besar oleh karena mempersiapkan tanaman baru tidak layak dari segi keuangan. Ukuran lahan yang kecil, yang rata-rata kurang dari 0,25 hektar per petani, juga meningkatkan biaya produksi untuk masing-masing lahan31 . Fakror-faktor ini membuat banyak petani memilih menanam tanaman lain daripada tebu, yang memperparah kekurangan bahan baku yang dialami oleh pabrik-pabrik gula.
EFISIENSI PABRIK GULA
Perbaikan produktivitas perlu dilakukan darimulai sekror hulu sampai hilir dari komoditas tebu ini. Artinya dari mulai teknologi yang digunakan di kebun tebu sampai pengolahan tebu di pabrik gula. Pabrik gula di Jawa termasuk Jawa Timur pada umumnya sangat tidak efisien. Mesin-mesin yang digunakan di PG adalah mesin yang sama yang telah dipakai sejak 80 tahun yang lalu. Untuk dapat memenuhi target Pemerintah bahwa tahun 2007 industri gula nasional harus mampu memproduksi gula minimal mencapai tiga jura ton, diperlukan restrukturisasi pabrik gula dengan melakukan peremajaan mesin-mesin lama yang ada. Dari kapasitas terpasang, penggunaan mesin-mesin di pabrik gula di Jawa Timur sekitar 70-75 persen, sisanya merupakan idle capacity. Dari tingkat penggunaan kapasitas tersebut, menurut pihak pabrik gula tingkat efisiensi proses produksi mencapai 80-90 persen. Idle capacity yang pada mesin-mesin PG terjadi disebabkan pasokan tebu oleh petani tidak mencukupi keburuhan maksimal pabrik sesuai kapasitas terpasang. Namun menurut petani, tidak cukupnya pasokan ke pabrik, selain disebabkan jumlah basil panen tidak maksimal, juga disebabkan manajemen produksi di pabrik gula yang kurang efisien. Sistem antrian giling yang panjang hingga mencapai 30 jam setelah tebang merupakan hal yang merugikan petani, karena hal ini dapat mengakibatkan turunnya rendemen tebu hingga 50 persen. Untuk menghindari terus menurunnya rendemen gula karena terlalu lama mengantri, sebagian petani memilih untuk pindah ke pabrik gula lain yang memungkinkan segera giling.
3°Kompas, 3 Juni 2002 3I Kompas, 26 Mei 2003
74
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Diketahui bahwa PG yang ada saat ini tidak ejisien dalam produksinya. Ketidakejisienan PG tidak hanya disebabkan oleh mesin giling yang berusia lama, namun juga disebabkan struktur manajemen yang terlalu gemuk dan tidak leluasa karena keputusan yang sangat sentralistik oleh direksi PTPN Ketidakefisienan PG ini mendorong munculnya gagasan pabrik gula mini (PGM). PGM telah diujicoba oleh petani tebu di wilayah Kabupaten Malang. Prinsip PGM ialah meningkatkan produktivitas tanaman tebu, meningkatkan ejisensi produksi gula petani, serta mengurangi waktu antri giling tebu petani, sehingga tidak mengurangi rendemen tebu. Dengan nilai investasi yang rendah, petani berharap PGM dapat mengundang pemerintah atau pihak swasta untuk membangun pabrik ini dan bank dalam melakukan pembiayaan.
(FGD, Tim PSD,
2004)
JMPOR GULA DAN GULA SELUNDUPAN
Impor gula dilakukan karena produksi gula di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan total nasional. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya babwa secara nasional, Indonesia harus mengimpor sekitar 1,5 juta ton gula setiap tabun dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri. Namun gula impor yang masuk ke dalam negeri seringkali melebihi kebutuhan nasional. Kelebihan impor terjadi baik karena pengadaan impor secara legal maupun karena illegal atau penyelundupan. Kebijakan impor gula diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.643 rabun 2002 tentang Tata Niaga Impor Gula. Kebijakan ini melindungi petani tebu Indonesia terhadap pihak pesaing asing yang memiliki efisiensi lebih tinggi dan harga lebih.rendab. Ijin impor diterbitkan selama harga dalam negeri untuk gula dianggap cukup tinggi. Misalnya, dengan biaya produksi dasar untuk gula Rp. 3.100 per kg, para petani menjual kepada pedagang dalam kisaran Rp. 3.400 - Rp. 3.450 per kg. Dengan harga ini, pemerintab bisa membuka impor gula pasir putih. Akan tetapi bila harga di tingkat petani kurang dari Rp. 3.100 per kg, pemerintab tidak mengizinkan impor gula pasir putih. Surat Keputusan Menteri No. 643/2002 memberi ijin impor kepada pabrik-pabrik gula (yang menggiling gula produksi dalam negeri), pedagang gula terdaftar (yang juga menyalur gula produksi dalam negeri), dan suatu perusabaan dagang, PT. PPL Para petani tebu mempertanyakan keputusan Menteri Perdagangan dan Industri untuk mengangkat PT. PPI sebagai importir gula. Penunjukkan PT. PPI yang bukan Importir Produsen (IP) Gula maupun ImportirTerdaftar (IT) Gula yang baban bakunya sedikitnya 75 persen berasal atau bekerjasama dengan petani, dikhawatirkan akan merusak tata niaga.
75
Mata Rantai Komoditas
Petani tebu menilai koordinasi aparat Bea cukai dan kepolisian terhadap pelaksanaan Kebijakan Tata Niaga Impor Gula belum maksimal. Pintu-pintu penyelundupan gula seperti pulau Madura dan pelabuhan lain di sisi utara Jawa Timur diharapkan memperoleh pengawasan yang ketat. PAJAK DAN PUNGUTAN
Aneka pungutan yang dialami petani tebu, dirasakan sangat memberatkan. Pungutan terjadi mulai panen, angkut, giling hingga hasil giling. Pungutan pada saat panen terjadi berupa retribusi hasil perkebunan. Bersama purigutan ini, petani tebu di wilayah Madiun dan sekitarnya juga dikenai pungutan parkir antri giling. Sebelumnya petani telah dikenai pungutan jalan desa sebesar Rp. 25.000/rit oleh pihak Pemerintah Desa. Bahkan pada kasus di ]ember dan Situbondo, petani tebu dikenai pungutan Desa berupa pungutan untuk pemeliharaan jalan desa dan pungutan hasil panen. Oleh karenanya kebanyakan petani menggiling tebu di pabrik milik negara, pembayaran pungutanpungutan tersebut kadang-kadang dilakukan langsung kepada perusahaan milik negara. Di Madiun, petani tebu dipungut oleh PG langsung melalui potongan hasil tebu dan DO setiap kuitalnya sebesar Rp. 27,5, yang dibagi kedalam (a) sebesar Rp. 1 0/kw untuk retribusi jalan ke Pemda, (b) sebesar Rp. 7,5/kw untuk pengamanan polisi dan (c) sebesar Rp. 1Olkw untuk iuran
APTR (FGD, Tim PSD, 2004) Sementara itu PG mengeluhkan pengenaan pajak PPN untuk sewa lahan dan sewa jasa angkut hasil tebangan. Pengenaan PPN ini mengakibatkan biaya yang mesti ditanggung membengkak 10%.
KURANGNYA SUMBERAIR
Salah satu aspek infrastruktur yang sangat memprihatinkan petani tebu ialah ketersediaan sumber dan saluran air. Saluran-saluran irigasi ke lahan-lahan petani saat ini tidak begitu baik oleh karena tidak dirawat dengan baik. Untuk mendapatkan air yang cukup para petani mengambil dari s;,mur, yang kemudian dipompa untuk mengairi lahan tebu mereka. Dalam hal kesulitan dengan tersedianya air di bekas karesidenan Madiun petani atau asosiasi petani harus mendapat air dengan memompa dari kedalaman 80 sampai 300 meter untuk setiap 100 hektar. Hal ini juga akibat perubahan prioritas pemakaian air dari mata air, yang sebelumnya dialokasikan kepada perkebunan tetapi telah digeser untuk air minum. Para petani tebu di Situbondo juga menyebut perlunya infrastruktur pengairan lahan. Air saat ini disediakan dengan bantuan pompa air, tetapi diharapkan bahwa Waduk Samir yang direncanakan akan dibangun dalam waktu dekat. Kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk produksi juga dialami oleh pabrik gula (PG). Suplai air ke PG saat ini untuk produksi didapatkan dari sungai dan pompa air bawah tanah yang dialirkan melalui jaringan pipa air milik pabrik. Karena pemanfoatan air permukaan dan
76
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
air bawah tanah tersebut, PG dikenai retribusi Eksplorasi dan Pemeliharaan (EP) air sebesar 50 juta rupiah kepada ]asa Tirta setiap bulan. Namun demikian, PG tetap harus melakukan pemiliharaan atau bahkan perbaikan sendiri bila terjadi kerusakan pada jaringan air tersebut. (FGD. Tim PSD. 2004)
KEAMANAN
Setiap kali menjelang musim panen, para petani selalu siap untuk kemungkinan kebakaran di !ahan tebu mereka. Kebakaran menghancurkan antara 5 sampai 10 persen laban tebu. Para petani mengakui babwa eli samping kebakaran yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami, kadang-kadang kebakaran juga disebabkan oleh persaingan usaba atau tindakan kriminal. Para petani hanya bisa mengantisipasikan kebakaran dan gangguan keamanan lain di laban tebu dengan meningkatkan pengawasan dan pemantauan bersama dengan para petani lainnya. Kasus keamanan lain ialah praktek pungutan dikemas dalam bentuk biaya keamanan untuk penyaluran gula. Para pedagang gula di Madiun mengatakan bahwa mereka harus membayar Rp. 300.000 per bulan kepada suatu kelompok tertentu yang beroperasi dalam penyaluran bahan pokok.
(FGD. Tim PSD. 2004)
KOPI Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerab-daerab berikut: Keeliri, Malang, Blitar, Surabaya, Gresik, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo. Tanaman kopi sudab lama dibudidayakan baik melalui perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Namun demikian, luas laban perkebunan kopi eli Indonesia cenderung berkurang. Jika pada pada rabun 1992 luas yang ditanami mencapai 1.333.898 hektar, pada awal tabun 1997 angka ini telab berkurang sampai dengan 154.005 hektar menjadi 1.179.843 hektar saja32 • Sementara itu, meskipun terjadi pengurangan laban perkebunan, namun dalam hal produksi mengalami nilai yang hampir stabil yakni an tara 27,5 ribu ton hingga 30 ribu ton per rabun.
32www.bi.go.id
77
Mata Rantai Komoditas
Tabe15.4 Tingkat Produksi dan Nilai Ekspor Taoamao Kopi Indonesia, 1996- 2001
1996
28.500
17.059
1997
30.600
26.133
1998
28.500
36.453
1999
27.493
24.189
2000
29.500
22.773
2001 *)
28.681
n.a.
Sumber-sumber; www.bi.go.id dan www.dprin.go.id •) := Perkiraan sejak September 2001
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kendati tingkat produksi kurang lebih stabil, nilai ekspor kopi mengalami penurunan pada tahun 1999 dan 2000. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998 nilai ekspor naik secara signifikan walaupun tingkat produksi turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan merosotnya nilai Rupiah terhadap dolar AS. Hargaharga jual kopi yang diterima oleh semua pelaku di pasar kopi telah tampak berf!uktuasi di jangka panjang, ak:ibat kondisi-kondisi pasokan dan permintaan di pasar internasional. Khususnya untuk Indonesia, saat ini harga-harga yang diterima oleh para produsen sangat dipengaruhi oleh depresiasi Rupiah terhadap dolar AS. Tabe1 5.5 Harga Ekspor Kopi (FOB33 dalam AS $/kg)
3,73
3,31
2,15
3,06
2,07
1,64
Sumber: Depanemen Perindustrian dan Perdagangan, 1998
Dinamika perdagangan komoditas kopi di tingkat nasional terhadap kopi dunia, juga berpengaruh pada kondisi komoditas kopi di Jawa Timur. Sebaran kopi di Jawa Timur terdapat di 26 kabupaten/ kota dari total 38 kabupaten/kota yang ada.
33Freigbt 011 Board. Nilai elcspor kedka dirempatkan di atas kapal, uuck a tau pesawat terbang unruk meninggalkan suaru negara. FOB dengan demikian mencakup biaya produksi dan rransponasi ke pelabuhan embarkasi, terapi ddak rennasuk biaya pengapalan dan asuransi umuk mengamarnya ke rujuan-rujuannya di luar negeri. Free on Board dikomraskan dengan cost, insurance and freight (CIF), yaitu nilai barang pada saar tiba di pelabuhan asing, yang termasuk biaya pengapalan dan asuransi. (Black, Dictionary of Economics, Oxford, 2002)
78 ------··-·-
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tahel5.6 Distrihusi Kopi menurut Daerah di Jawa Timur, 1998
Sumber: www.bi.go.id
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa sumbangan terbesat terhadap komoditas kopi di Jawa Timur berasal dati lima kabupaten, yaitu: Jember, penyumbang terbesat, disusul oleh kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Malang, Bondowoso, dan Kediri. Komoditas kopi di Jawa Timur, telah tumbuh dan berkembang melalui usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik pemerintah (Baik dikelola PT. Perkebunan Nusantata yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seperti di Jember) dan perkebunan besar milik swasta nasional atau asing. Perkebunan rakyat umumnya bercirikan usaha skala kecil dan pengelolaan dilakukan secara tradisional sehingga produktivitasnya rendah. Sementata itu, perkebunan besar dikelola dengan skala usaha yang lebih besat dengan pengelolaan yang lebih modern dan berteknologi tinggi. 79
Mata Rantai Komoditas
Karenanya, hasil kopi dari perkebunan rakyat di beberapa wilayah di Jawa Timur umumnya diperdagangkan kepada berbagai pihak tetapi umumnya kepada pengepul. Pengepul biasanya adalah pedagang lokal atau pedagang dari wilayah lainnya yang sering mendatangi petani-petani yang ada di desa-desa. Umumnya pengepul mengarnbil secara langsung hasil panenan petani. Survey yang dilaksanakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Jawa memperoleh data yang menunjukkan bahwa para petani biasanya menjual tanarnan mereka sebagai berikut: • 69% kepada pedagang perantara (yang biasanya keliling dari desa ke desa) • 27% kepada pengepullokal (biasanya berlokasi di kecarnatan) • 3% kepada industri (dalarn hal ini oleh karena para petani kopi tersebut dibina oleh eksportir atau perusahaan), dan • 1o/o kepada eksportir. Selain menjual hasil kopinya kepada pengepul, beberapa petani juga menjual kepada PTPN atau Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) khususnya petani yang ada di Jember. Petani di daerah lain, menjual ke perkebunan besar. Artinya bahwa meskipun PTPN dan perkebunan besar memiliki lahan pengelolaan produksi tanarnan kopi sendiri, narnun mereka juga masih menarnpung hasil panen kopi petani. Sementara iru, kisaran harga antara petani hingga pada rantai industri hingga eksportir mengalarni · perbedaan harga antara Rp. 500,- sarnpai Rp. 1.000,- setiap rantai yang ada, kecuali harga perdagangan dari PTPN ke industri sebagaimana tergarnbar sebagai berikut: Gambar 5.6 Rantai Produksi Kopi 5000/kg
5000/kg
11
~5500/kg p
I
8250/kg
6000/kg
•I
Pedagang Besar
t
Industri
6000/kg
6000/kg
t Distributor
10%
80
--------------------
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pedagang besar dan pihak perkebunan besar milik pemerintah biasanya melakukan peran reprocessing biji kopi yang berasal dari petani. Pengolahan ini ditujukan untuk meng~rangi kadar air dan melakukan sortasi kopi. Proses pemetikan hingga sortasi biji kopi oleh petani menjadi hal yang penting, karena sangat mempengaruhi harga. Sebagaimana yang terjadi pada kasus dihadapi oleh petani kopi dari Madiun, Ngawi dan Ponorogo. Gambar 5.7 Proses mulai dari pemetikan sampai penyortiran biji kopi di 3 kabupaten: Madiun, Ngawi dan Ponorogo Biji basab
L
-.....+
IPengeringan I
-.....+
Biji kering
Fermentasi ] ~ Cud & pengeringan oleh sinar matahari
Dikeringkan oleh sinar matahari
--~
I
I~ I
Penyortiran
j
Biji
Catatan:
Ada tif?l proses yang umumnya digunakan oleh para pecani umuk menjual biji kopi: _____.. = Proses yag umumnya digunakan
--------7 = Proses Alternadf I = Proses Alrernatif 2
--+
Walaupun petani menanam kopi jenis Arabica dan Robusta yang termasuk kualitas terbaik dengan harga jual tinggi, namun bila proses petik dan sortasinya melalui alternatif 1 dan 2 maka harga jualnya akan rendah. Untuk kopi jenis Arabica kualitas I antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,dan kualitas II antara Rp. 6.000,- sampai Rp. 7.000,- Sementara itu, itu jenis kopi robusta, petani banyak menjual yang kualitas I yakni antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,-.
ISU-ISU INFRASTRUKTUR
Bagi petani kopi setidaknya ada 2 jenis infrastruktur yang merupakan ~p.asalah yang cukup serius yakni pertama, banyaknya jalan yang rusak. Menurut petani yang ada di Jember, Madiun, Ngawi dan Bondowoso, jalan dari desa menuju ke kecamatan sangat jelek. Dalam pandangan mereka, pemerintah tidak memperhatikan kondisi jalan menuju ke sentra produksi. Padahal jalan menuju ke kecamatan merupakan proses penting dalam distribusi. basil produksi mereka. Di Banyuwangi ada upaya masyarakat secara swadaya untuk memperbaiki kondisi jalan yang jelek. Menurut petani, dengan melakukan perbaikan jalan, petani diuntungkan karena biaya operasional telah turun hingga 20 %. (FGD, Tim PSD, 2004)
81
Mara Rantai Komoditas
Kedua, masalah ketersediaan air. Kasus ini banyak terjadi di 3 wilayah: Madiun, Ngawi dan Ponorogo kbususnya ketika musim kemarau. Bahkan eli Ponorogo, irigasi kurang banyak disediakan oleh pemerintah daerahnya. Sementara bagi petani di Madiun, pengairan yang tersedia masih dianggap belum cukup.
PERSAINGAN DAR! PEMER!NTAH
Ketika desentralisasi, berbagai regulasi dibuat oleh pemerintah setempat. Khususnya dalam hal pemasaran, pemerintah daerah dianggap petani tidak membanru menyediakan sarana pemasaran produk. Pemerintah daerah bahkan menjadi pesaing bagi pengusaha kopi bubuk. Sejauh ini Pemda ]ember mendirikan PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) yang melakukan penanaman kopi hingga proses produksi menjadi kopi bubuk. Sebagai informasi yang diberikan oleh petani eli ]ember, diduga bahwa saat ini pemerintah daerah melakukan ,persaingan yang tidak sehat" dengan cara memberikan surat edaran kepada aparat pemerintah dan instansinya (mulai dari tingkat lurah hingga dinas) untuk mengkonsumsi kopi DPD. Akibat surat edaran ini, sulit bagi pengusaha kopi bubuk untuk memasarkan produknya ke instansi pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan ini merupakan hambatan bagi petani untuk memasarkan produknya.
PELAYANAN PEMERINTAH YANG KURANG MEMADAI
Para peserta FGD merasa bahwa pembinaan yang diberikan kepada para petani kopi oleh pemerintah lokal tidak banyak membantu. Hal ini diidentifikasi dari frekuensi penyuluhan yang rendah serta tenaga penyuluh dianggap tidak memiliki kemampuan teknis tentang pemberantasan hama kopi. Di ]ember, petugas penyuluh bahkan dajari oleh kelompok tani untuk penanganan hama. Disamping iru, pemda dianggap tidak mau melakukan koordinasi dengan instansi teknis yang paham tentang permasalahan kopi. Meskipun di daerah ini telah berdiri Pusat penelitian Kopi dan Coklat yang merupakan instansi pemerintah pusat, namun pemerintah tidak pernah melibatkan Puslit ini dalam program penanganan kopi. Kedua, yang menjadi masalah bagi petani adalah kebijakan pengadaan bib it unggul. Pengadaan bib it unggul oleh pemerintah biasanya melalui rekanan tanpa melibatkan petani untuk prosesnya. Bahkan dialog untuk program pemberian bibit tersebut tidak dilakukan. Oleh karenanya, dalam program penyediaan bibit unggul seringkali tidak sesuai dengan kondisi lahan yang ada. Bahkan pemberian bibit unggul tanpa diberi penjelasan detail tentang pemberantasan hama yang kemungkinan menyerang. "...program bibit unggul yang seringkali diberikan oleh pemerintah daerah tanpa didiskusikan dengan petani. Pemerintah umumnya menggunakan rekanan kontraktor yang tidak paham tentang pertanian. Seringkali bibit yang diberikan justru bukan bibit unggul tapi nggak tau jenisnya ... "(FGD. Tim PSD. 2004) 82
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Hambatan lain menyangkut ketersediaan teknologi yang sesuai terutama untuk penyiraman. Kasus yang dialami petani Jember memperlibatkan bahwa bantuan teknologi yang diberikan oleb pemerintah daerah ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Seorang peserta FGD menururkan bahwa pemerintah daerah Ponorogo pernah memberikan bantuan mesin pemecah biji kopi dengan cara memodifikasi dari mesin poles beras. Tetapi ternyata mesin pemecah beras tidak bisa direplikasi untuk kopi. Akibatnya, ketika peralatan tersebut diberikan kepada petani, biji kopi menjadi pecah. Lain lagi masalah petani Ngawi yang memerlukan informasi tentang alat pengupas biji kopi. Hingga saat ini, pemerintah daerah tidak menyediakan informasi yang memadai tentang teknologi untuk pengolahan biji kopi.
PENYIMPANGAN PENENTUAN HARGA
Hal lain yang terkait dengan pelayanan pemerintah adalah pelayanan oleb perusahaan milik negara seperti Perbutani. Kasus permainan timbangan basil panen oleb perbutani banyak dialami oleb petani Bondowoso. Petani Bondowoso banyak yang menggunakan lahan Perbutani untuk menanam kopi. Pola yang diberikan adalah bagi basil panen antara petani dengan pengelola. 113 untuk perbutani dan 2/3 untuk pengelola. Untuk menentukan berapa nilai 1/3-nya, biasanya pibak Perbutani menaksir terlebib dahulu sebelum dipanen. Sebingga ketika petani menyetorkan basil panenan 113-nya, mereka sudah mempersiapkan berapa kilo yang akan diserorkan sesuai dengan taksiran perbutani. Tetapi sesampai di perbutani, petani merasa bahwa basil timbangannya selalu tidak sesuai dengan basil timbangan dari rumah mereka. Hal ini tidak saja dialami oleb satu orang petani, tetapi bampir semuanya. Karena kekurangan nilai setoran, maka petani diminta menyerorkan kekurangannya dalam bentuk uang ke perugas penimbangan perbutani yang disesuai dengan barga kopi yang berlaku.
MODAL
Kelompok petani yang lain dari Jember, Madiun, Ngawi, Banyuwangi, Ponorogo dan Bondowoso menyatakan sulitnya mengurus kredit dibank dikarenakan adanya persyaratan sertifikat tanah sebagai jaminan. Petani umumnya banya memiliki pethok D. Untuk mengurus pethok D menjadi sertifikat, petani menyatakan kesulitan, selain biaya yang tidak transparan, lamanya penyelesaian juga menjadi persoalan serius di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Bahkan menurut petani, untuk memperlancar proses pengeluaran sertifikat, mereka barus menyogok minimal Rp. 50.000,- per meja. Apabila tidak ada uang sogok tersebut, maka wakru penyelesaian akan lama bingga paling cepat 3 bulan. Karena sulitnya mendapatkan kredit formal, petani menggunakan cara lain untuk mendapatkan kredit :
83
Mata Rantai Komoditas
Berbagai cara dilakukan oleb petani untuk mengatasi masalab financial. Biasanya petani mengijonkan basilpanennya ke pengepul. Dengan sistem ini, petani banya mendapatkan 50- 70 % dari barga pasaran. Cara yang lain adalab dengan meminjam ke nyonya kecik yakni meminjam
ke seseorang (biasanya perempuan, sebingga dipanggil nyonya) sejumlab uang tertentu. Apabila telab panen, akan dibayar dengan basil produksi. Namun barga jual basilpanen, ditentukan oleb si nyonya (pemberi pinjaman)(FGD. Tim PSD. 2004)
KEAMANAN
Tindak kejahatan yang muncul dan cukup meresahkan petani adalah penjarahan kopi yang siap panen oleh kelompok tertentu, pencurian dan penebangan. Banyaknya petani yang takut dengan kondisi ini, mengakibatkan petani lebih suka untuk memetik kopi pada kondisi biji masih hijau (petbik ijo). Karena apabila tidak dipetik, maka petani akan kehilangan basil panennya. Akibat "petbik ijo" inilah, harga jual rendah karena muru yang kurang baik. Sementara iru, di Banyuwangi menurut peserta yang ada, hampir tidak terjadi pencurian dan penjarahan.
GARAM
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari: Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sektor garam sinonim dengan Madura dan Jawa Timur yang pada umumnya sebagai produsen garam nasional terbesar. Garam berperan penting dalam kehidupan masyarakat mereka. Walaupun sektor ini telah ada sejak lama, tekoik-tekoik produksi masih tetap didasarkan atas cara tradisional yang berproduktivitas rendah. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, produksi garam diatur oleh suatu kebijakan yang disebut "Zoutmonopolie-Ordonnantie 1941" yang menetapkan beberapa daerah di Indonesia termasuk pulau Jawa dan Madura sebagai wilayah monopoli pemerintah dalam produksi garam. Artinya, bahwa pembuatan garam rakyat berdasarkan UU tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Produksi garam di wilayah tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah saja melalui perusahaan yang ada. Perusahaan tersebut, yaitu Perusahaan Garam Negara dan Soda Negara tidak mampu memproduksikan jumlah-jumlah cukup untuk memenuhi permintaan nasional. Untuk mengatasi produksi garam yang tidak memadai, pemerintah pasca kemerdekaan menerbitkan UU Darurat No. 25 tahun 1957 tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Produksi Garam oleh Rakyat34 • UU Darurat tersebut dimaksud untuk meningkatkan produksi garam nasional. Pada tahun 1959, UU Darurat tersebut ditetapkan sebagai UU Nomor 13 tahun 1959.
3-ir.embaran Negara tahun 1957 No. 82
84
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Saar ini, Indonesia memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi 1,7 jura ton. Sementara itu, kebutuhan nasional pada tahun 2002 saja mencapai 2,8 jura ton dengan total pertumbuhan kebutuhan 8,4 o/o35. Diperkirakan pada tahun 2004 keburuhan garam nasional mencapai 3,3 jura ton. Sementara itu, produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada meskipun di Indonesia telah ada perusahaan produksi garam yakni PT. Garam. Produksi PT. Garam hanya berkisar an tara 250.000 - 300.000 ton/tahun dengan luas lahan sekitar 5 ribu hektar. Ada 22 propinsi di Indonesia yang memproduksi garam. Propinsi Jawa Timur adalah produsen nasional garam terbesar. Diperkirakan bahwa propinsi tersebut menyumbang 70% bahan baku garam yang diproduksi di Indonesia, dan untuk garam mengandung yodium propinsi tersebut menyumbang 45% dari total produksi nasional. 30% sisa produksi garam disebarkan di antara 21 propinsi lain, seperti tampak pada Tabel berikut: Tabel 5.7 Produksi Gararo di Indonesia
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang
35Kompas, edisi 19 Marer 2003 ~ Promi11tah Kaji Stimulus Untuk Industri Gamm"
85
Mata Rantai Komoditas
Dari total permintaan garam 40% eliserap sebagai garam untuk konsumsi dan 60% sisanya sebagai garam untuk industri. Garam industri digunaltan dalam berbagai industri, yaitu: 76% untuk industri soda, 15% untuk pengeboran minyalt, dan 9% untuk jenis-jenis industri lainnya seperti kulit, kosmetika, sabun dan es. Dari permintaan garam untuk konsumsi 72% digunaltan sebagai maltanan, sedangkan sisanya merupaltan baban tambaban dalam industri pangan36 • Di Jawa Timur, produksi lokal oleh rumah tangga atau produsen sektor informal melimpab. Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang, garam di Jawa Timur lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan lokal. Mereka memperkiraltan permintaan konsumsi garam eli Jawa Timur sekitar 172.754 ton per rabun, sedangkan tingkat produksi mencapai 1.100.000 ton per rabun. Tabel 5.8 Luas Laban Garam dan Produksi Garam di Jawa Timur, 2003
'f .·.·.·.··.:i_ria.!Jan . ·.· g. ·•
' ' '···(j
PT. Garam
Sumenep, Pamekasan,
Sampang
5.116 Ha
400.000 ton I tabun
14.007 Ha
700.000 ton I rabun
Sumenep, Pamekasan,
Garam Rakyat
Tuban, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan
Sumber: Dmas Penndustnan, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang
Dari total produksi 1.100.000 ton di Jawa Timur, hanya 55% dip roses lebih ianjut menjaeli garam mengandung yoelium. Sisanya 45% merupaltan baban baltu garam yang lazim eligunakan di dalam industri. Sumbangan terbesar kepada produksi garam yodium berasal dari Surabaya dan Pamekasan. Surabaya hanya memproses garam mentab menjadi garam beryoelium. Produksi garam mentab Jawa Timur kebanyakan berasal dari kabupaten-kabupaten eli pulau Madura khususnya di Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sumbangan Madura kepada produksi garam Jawa Timur diperkiraltan 70% dari total produksi Jawa Timur.
36http:l/suhar)avanasuria. tripod. com
86
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel5.9
Industri Garam Beryodium di Jawa Timur
Kota Surabaya
5
280
Kab. Pamekasan
3
220
Kab. Sidoarjo
3
36,5
Kab. Gresik
5
32,2
Kota Pasuruan
9
14,75
Kab. Pasuruan
4
5.862
Kab. Malang
5
4,26
Kab. Probolinggo
2
2
Kab. Lumajang
1
1,2
2
0
39
596,772
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang
Berdasarkan FGD yang dilakukan di Madura, produsen gararn terdiri dari 2 pihak yakni gararn· rakyat, yaitu yang dikelola dan diproduksi oleh masyarakat secara individu, dan PT. Gararn. PT. Gararn merupakan BUMN selain memproduksi gararn juga memasarkan garam. Pengolahan garam rakyat umumnya menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Tahap yang dilakukan cukup melalui pengeringan lahan yang kemudian dilanjutkan dengan pengairan dan baru kemudian penjemuran. Proses produksi gararn ini dilakukan dengan cara menguapkan air !aut dalarn petak-petak lahan. Air !aut yang diuapkan sarnpai kering mengandung setiap liternya 7 mineral (CaS04, MgS04, MgCL2, KCL, NaBr, NaCI dan air). Proses penguapan hingga pengeringan ini yang mempengaruhi kualitas gararn rakyat. Dari proses yang ada telah menghasilkan 3 jenis kualitas gararn rakyat: pertarna, Kl (kualitas 1) untuk gararn dengan kualitas paling baik. Pada kualitas ini, proses pengairan hingga penjemuran paling tidak memburuhkan waktu 30 hari. Yang kedua, adalah K2 (kualitas 2) untuk gararn dengan kualitas sedang. Kualitas sedang diproduksi dengan waktu 15 hari dari proses pengairan hingga penjemuran. Sedangkan K3 (ku;uitas 3) untuk gararn dengan kualitas terjelek diproduksi hanya dalarn waktu 7 hari. Berikut ini adalah proses pengolahan garam rakyat: Gambar 5.8 Produksi Garam Pengeringan Lahan {1 liari)
Pengairan (7-10 hari)
Penjemuran {3 hari)
87
Garam Rakyar
Mara Rantai Komoditas
Produk garam yang telah dihasilkan oleh rakyat tersebut, tidak serta merta didistribusikan ke masyarakat, namun memerlukan proses lebih lanjut yang lebih rumit untuk menyesuaikan standar mutu garam konsumsi. Khususnya yang menyangkut ketersediaan kandungan zat yodium dalam garam konsumsi. Sehuhungan dengan itu, proses pengolahan garam selanjutnya dikelola oleh PT. Garam dan industri pengolahan garam lainnya, mengingat aktifitas ini membutuhkan teknologi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu rantai perdagangan garam rakyat hanya tersalurkan pada setidaknya 3 kelompok saja yakni : PT. Garam, pedagang dan ind~stri sebagaimana terlihat dalam gambar berikut. Gambar 5.9 Rantai Produksi Garam
Pedagang
1-1
lndustri
Kelompok pedagang dalam rantai tersebut, umumnya merupakan perusahaan perdagangan garam rakyat yang akan disalurkan kepada industri pengolahan lainnya. Perusahaan ini umumnya tidak melakukan pengelolaan garam rakyat menjadi garam konsumsi. Sementara itu, kelompok industri yang menerima pasokan dari para pedagang dan PT. Garam, hergerak dalam berbagai produk antara lain industri soda, kulit, sabun, tekstil dan minyak serta kosmetik. Sedangkan yang merupakan produk turunan antara lain salt cake.
ISU-ISU GARAMIMPOR
Garam merupakan salah satu komoditi yang dianggap mempunyai kepentingan strategis dan karenanya dilakukan proteksi atas tara niaga. Menurut data yang ada, produksi garam nasional tidak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Karena itu pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Salah satu diantaranya ialah mengimpor garam dari negara-negara lain. Saat ini garam diimpor dari riga negara, yaitu India, Australia, dan Yordania. Jumlah paling besar diimpor dari India. Akan tetapi kehijakan impor garam tersebut menimbulkan serangkaian masalah untuk para petani garam, terutama di Jawa Timur. Data produksi yang ada menunjukkan bahwa propinsi Jawa Timur mempunyai produksi garam berlimpah, namun pemerintah menerapkan kehijakan impor tanpa melakukan dialog dengan para petani.
88
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
".... .Hingga saat ini saja, masih berton-ton garam disini (di Pamekasan, red) belum bisa terjual. Kok pemerintah tiba-tiba membuat kebijakan impor. Padahal disini stoknya masih banyak. Apa pemerintah tidak tahu itu .... "!FGD. Tim PSD. 2004! Masalah impor garam seperti disebut di atas menjadi isu yang cukup serius pada tahun 2002 dan 2003. Seperti disebut lebih dulu, pasar garam terdiri dari pasar untuk garam konsumsi dan untuk garam industri. Garam untuk industri memerlukan kadar NaC! 99%, sedangkan garam untuk konsumsi memerlukan kadar NaC! minimal 95%. Para petani garam biasanya hanya mampu memproduksi garam dengan kadar NaC! 95% sampai 97%. Akibatnya, untuk memenuhi permintaan garam industri, pemerintah tetap perlu impor dari negara-negara lain, khususnya Australia dan Yordania. Akan tetapi pada tahun 2002-2003 pemerintah Indonesia juga mengimpor garam dari India, walaupun mutunya sama dengan garam lokal. Ini merugikan garam dalam negeri oleh karena harga pasar garam lokal ialah Rp. 55.000,- - Rp. 75.000,- sedangkan garam India Rp. 40.000,Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia merekomendasikan penghentian impor garam dari India mengingat persediaan dalam negeri memadai. Akan tetapi impor dari Australia tetap dilanjutkan.
PENENTUAN HARGA GARAM RAKYAT
Selain masalah yang terkait dengan kebijakan impor yang belum tuntas, beberapa waktu yang lalu, pemerintah setempat di wilayah Madura berinisitif untuk melakukan MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep beserta 9 perusahaan garam di Madura untuk mengatur harga dasar garam rakyat. Seperti dijelaskan di atas, garam yang dihasilkan oleh garam rakyat, hampir sebagian besar ditampung dan diolah kembali oleh perusahaan industri. Saat ini menurut mereka ada 9 kelompok perusahaan industri garam antara lain PT. Garam, PT. Garindo dan PT. Budiono Madura Bangun Persada. Ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar yang menampung penjualan hasil garam rakyat. Ke sembilan perusahaan ini secara efektif mewakili suatu kartel dan dikenal sebagai "kelompok 9". Persoalan harga, selama ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara petani garam dengan perusahaan industri. Menurut petani garam, selama ini tidak ada harga dasar yang ditentukan an tara _ pemerintah, petani dan perusahaan industri. Saat ini yang ada hanyalah harga pasar. Harga pasar yang ada saat ini hanya ditentukan oleh perusahaan industri37 • Oleh karenanya, inisiatif3 pemerintah daerah di Madura tersebut untuk menyusun MoU merupakan langkah yang tidak tepat. Meskipun dalam rencana Mo U terse but terdapat 3 nama perwakilan kelompok petani, menurut petani, posisi tawar mereka sangat rendah sebagaimana pendapat salah satu peserta FGD.
"... .. Bagaimana kita tahu bisa dialog kalau yang dominan hanya pemerintah dan kelompok 9 (sebutan perusahan yang akan melakukan MoU karena jumlahnya 9 perusahaan, red). Petani 37Harga pasar garam saat ini K-1 harga dasarnya Rp. 75.000,- per ton. K-2 adalah Rp. 65.000,-/ con dan K-3 adalah Rp 55.000,-fton.
89
Mara Rantai Komoditas
hanya disodori MoU yang sudah jadi tanpa melakukan dialog sebelumnya. Bahkan penentuan perwakilan kelompok tani saja kami tidak tahu ... "(FGD. TimPSD. 2004) INFRASTRUKTUR
Pelabuhan yang kurangmemadai, pelabuhan merupakan infrastrukrur yang cukup penting dalam distribusi garam khususnya petani dari Pamekasan dan Sumenep. Petani dari kedua wilayab ini banyak mendistribusikan garamnya ke luar pulau Jawa antara lain Sumatra dan Kalimantan. Sementara iru, petani dari Sampang, lebih banyak mendistribusikan garamnya ke wilayab pulau Jawa. Sehingga, pelabuhan tidak menjadi masalab karena selama ini bisa diatasi dengan menggunakan jalur darat dan pelabuhan Madura- Surabaya yang sangat memadai. Pelabuhan yang menjadi hambatan adalab pelabuhan Pamekasan. Pelabuhan dikabupaten ini memiliki kedalaman yang sangat dangkal yakni hanya 100 meter. Oleh karenanya, petani di Pamekasan banyak mengirimkan garamnya melalui pelabuhan di Kalianget Sumenep. Hanya saja, biaya akan bertambab karena harus menambab biaya transportasi darat untuk mengangkur garam dari Pamekasan ke Sumenep. Biaya yang bertambab per kg-nya adalab Rp. 25,-. Sebenarnya, ada jarak terdekat yang bisa ditempuh oleh petani garam hila memasarkan produknya ke luar pulau. Yakni dengan menggunakan pelabuhan Sejati milik PT. Garam. Biaya tempuh menuju pelabuhan ini per kg-nya adalab Rp. 15,-. Hanya saja, penggunaan dermaga milik PT. Garam ini dianggap cukup birokratis, sebagaimana disampaikan oleh salab seorang pengusaba: ".... .f(ami pernah beberapa kali bersama dengan Dinas Perindag mengajukan peminjaman kepada PT. Garam, namun seringkali ditolak. Padahal saat itu kami mengalami kesulitan distribusi penjualan. Oleh karenanya, kami terpaksa menggunakan dermaga Kalianget yang jaraknya mempengaruhi ongkos transport kami .. " (FGD.
Tim PSD, 2004}
Pada bulan Okrober 2003 38 , petani melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan perrambangan Kabupaten Sampang pernab mendapatkan perserujuan dari pihak PT. Garam untuk penggunaan dermaga. Hanya saja, surat perserujuan tersebut justru menghambat perdagangan yang ada. Dalam surat tersebut antara lain disebutkan babwa : " ...... Pada prinsipnya kami ridak berkeberatan dengan penggunaan Dermaga oleh saudara dengan catatan sebagai berikur : 1. Garam tidak dimuat untuk pengiriman ke Sumatera Utara. 2. Apabila ada kerusakan dermaga akibat dari pemakaian ini maka biaya perbaikan akan dibebankan kepada saudara 3. Dikenakan beban biaya pemuatan ( muat garam) pada setiap pengiriman garam 38Surat Direktur Utama PT. Garam kepada Kepala Dinas Perindusrrian Perdagangan dan Pe~bangan Kabupaten Sampang pada ranggal 8 Oktober 2003
90
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dari persyaratan yang ada diatas, latangan unruk mengirim gatam ke Sumatra Utata merupakan persyaratan yang memberatkan. Hal ini dianggap sebagai cata unruk menghalangi petani menjual gatam ke Sumatra Utata. Penjualan garam Madura ke Sumatra Utata lebih disukai karena harga jualnya cukup tinggi. Hatganya berkisat antata Rp. 225.000,-lton sampai Rp. 300.000,-/ton. Di sisi yang lain, pelabuhan yang ada di Sumenep sendiri juga masih dianggap kurang mendukung terutama katena tingkat kedalaman yang belum memadai. Daya muat pelabuhan hanya sebatas 3.000 ton saja. Apabila muatan melebihi, maka kapal yang akan memuat garam harus berada di posisi tengah. Sehingga biaya pengangkuran akan bertambah katena harus menggunakan perahu untuk mengangkur gatam dati pelabuhan ke tengah !aut dimana kapal bersandat. Biaya angkut dengan menggunakan kapal mencapai Rp. 25,- per kg.
Masalah jalan yakni jalan dari ladang garam menuju jalan raya (jalan umum). Di ketiga wilayah (Pamekasan, Sampang dan Sumenep) jalan dari ladang gatam menuju jalan raya tidak ada. Akibarnya, petani akan mengeluatkan tambahan biaya tenaga kerja untuk mengangkur gatam dati ladang mereka ke jalan raya. Biaya angkut unruk tenaga kerja pengangkutan ini cukup tinggi yakni mencapai Rp. 50.000/ton. Biaya ini dirasa cukup tinggi sehingga keuntungan petani sangat rendah. Sementata itu, hatga jual hanya mencapai Rp. 55.000,-- Rp. 75.000,- I ton.
PERIZINAN DAN PEMBERIAN LABEL
Para peserta dati ketiga daerah tersebur mengatakan bahwa perizinan bukan merupakan masalah. Selama ini, beberapa pengusaha dapat dengan mudah mendapatkan surat izin. Misalnya saja, ada salah seorang pengusaha dari Sumenep yang telah mendapatkan SIUP hanya dengan waktu 1 hati saja. Demikian juga untuk mendapatkan surat jalan dari Deperindag untuk mengiriman gatam ke luat pulau. Masalah yang muncul justru adalah persoalan labeling atau kemasan garam yang dikirim ke luar daerah khususnya Sumatra Utara. Umumnya kemasan gatam yang dikirim oleh petani dalam bentuk karungan ini tidak berlabel (bermerek). Pada Bulan September 2003, 1.738 ton gatam milik petani di Sumenep disita oleh Po ida Jatim. Alasan yang disampaikan oleh pihak Po ida adalah gatam tersebur tidak memenuhi standat mutu pemerintah dan melanggar UU perlindungan konsumen katena tidak mencantumkan label pada kemasan39 • Sementara itu, dalam anggapan petani UU perlindungan konsumen hanya berlaku untuk produk jadi atau produk akhir yang akan diserap oleh konsumen akhir. Sementata itu, produk yang mereka distribusikan adalah produk setengah jadi, yang akan diolah kembali oleh perusahaan di Sumatra Utata. Oleh karenanya, tanpa menggunakan label atau merek sebenatnya tidak melanggat UU Perlindungan konsumen. Isu ini menunjuk pada tidak adanya kejelasan dalam peraturan tersebut.
39Harian Surya edisi 7 Nopember 2003
91
Mara Rantai Komoditas
PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
Proses konsultasi publik oleh pemerintah kepada petani hampir tidak pernah dilakukan. Meskipun pemerintah daerah sedang menyusun draft Nota kesepakatan Bersama antara pemerintah Sampang, Pamekasan dan Sumenep serta 9 perusahaan dan petani dari 3 daerah, namun selama ini petani merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan draft tersebur. Yang menjadi masalah kemudian, petani yang menjadi perwaltilan dalam draft nota kesepakatan tersebut tidak dikenal sebagai petani melainkan sebagai pedagang. Masalah yang kedua, menyangkut kebijakan impor garam. Petani merasa bahwa kebijakan tersebut tidakmelalui tahapan penelitian maupun pemantauan yang detail atas produksi garam nasional. Oleh karenanya, petani merasa bahwa kebijakan ekonomi pemerintah baik pusat maupun daerah kurang melibatkan sektor swasta khususnya pengusaha kecil menengah dalam perencanaan, pengambilan keputusan maupun pengawasannya.
UDANG Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tuban, Lamongan, Gresik, Malang, Banyuwangi. Ekspor perikanan Jawa Timur cukup stabil secara keseluruhan. Sampai dengan tahun 2002, data berikur ini menunjukkan peningkatan teratur dalam volume penjualan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Gamhar 5.10 Ekspor Produk Perikanan Jawa Timur, 1999-2002
--
600 500 400
/
/
---e-- volume Outa ton) ---- nilai (milyar US$)
300 200 100 I---===~:_ 0 1999
2000
_____ 2001
2002
Sumber: Dinas Perikanan Propinsi Jawa limur
92
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perikanan masih menyumbang culmp besar terhadap perekonomian di Jawa Timur. Sektor ini menyumbang sebesar 820 milyar rupiah atau sekitar 1,35% dari PDRB Jatim pada akhir tahun 2002. Daerah peyumbang terbesar dari produksi ikan ini adalah Lamongan, Gresik dan Trenggalek masing-masing sebesar 70 ribu ton, 58 ribu ton dan 57 ribu ton dalam tahun yang sama. Terdapat 4 kelompok pelaku usaha dalam rantai bisnis udang yakni : o Kelompok pertama adalah pelaku usaha yang bergerak di budi saya pembenihan, baik pembenihan alam yang sifatnya hanya penangkapan di !aut lepas saja, serta pembenihan buatan yang dilakukan di tambak-tambak. o Kelompok kedua adalah pelalm budi daya udang atau dengan kata lain pembesaran udang o Kelompok ketiga adalah pedagang udang dari mulai kelompok pengepul sampai dengan para ekspotir. o Kelompok keempat adalah kelompok pendukung kegiatan budi daya udang seperti industri pakan dan obat. Gambar 5.11 Rantai Produksi Udang
I
-/;)J
'
Pedag,ang Benlh
Nelayan Udang Laut
Petani Tambak Tradisional (tata-ratad ha)
Petani Tambak teknologi Tinggi (tata-tatad ha)
Nelayan Lobster
L~• 'I-Pe-n-ge-pul-,--, •+---'1~-__j
c __ _ _ _ _
Agen
Yang membedakan para petani tradisional dari petani tambak intensif ialah reknologi pembudidayaan udang, terutama dalam penggunaan pakan dan obar-obaran. Para petani tradisional biasanya mempunyai usaha kecil yang tidak banyak menggunakan reknologi khusus dalam membudidayakan udangnya.
93
Mata Rantai Komoditas
ISU-ISU FLUKTUASI HARGA DALAM EKSPOR
Para pelaku budi daya udang seringkali menghadapi fluktuasi harga yang sangat tajam. Yang paling merasakan dampak negatif dari ketidakstabilan harga ini terutama dirasakan oleh pihak petani petambak sebagai produsen awal udang, sekaligus konsumen akhir industri pakan ikan. Menurut petani tambak harga penurunannya bahkan sampai dengan 50%. Sememara itu pihak eksportir yang juga merasakan dampak negatif dari fluktuasi harga ini walaupun tidak separah di tingkat petani petambak, juga sulit untuk menghindari situasi seperti ini, karena secara langsung harus menghadapi beberapa hal pasar internasional40 : 1 Adanya aturan-aturan imernasional mengenai larangan penggunaan obat kimia, anti biotik, keharusan penggunaan label-label tertentu dan lain-lain menyebabkan pasar imernasional semakin menyempit. 2 Muncul produk-produk dari negara lain dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih rendah 3 Di sisi lain kondisi suplai udang dari nelayan Indonesia kualitasnya banyak yang tidak memenuhi standar internasional. Disamping itu suplainya kian hari kian menurun. Di Tuban, sekitar 5 tahun yang lalu seorang pengusaha eksportir dapat mengirim ikan sampai sekitar 60 kontainerlbulan. Saat ini hanya dapat mengirim 20-25 kontainer ikan. (FGD, Tim PSD, 2004)
4 Terutama untuk lobster jaringan bisnis internasional yang ada sangat terbatas, sehingga ketergantungan pedagang Madura terhadap eksportir di Surabaya terutama menjadi sangat tinggi. Nelayan maupun pedagang di Madura belum ada yang dapat berhubungan dengan buyer secara langsung. Sehingga para pedagang ikan di Madura harus mengikuti harga yang ditetapkan oleh pedagang besar arau pabrik atau eksportir di Surabaya. Padahal harga yang mereka patok seringkali tidak stabil, sehingga pedagang kecil Madura seringkali kesulitan menghadapinya.
PERJZINAN
Keluhan ini disampaikan oleh eksportir udang yang mengalami adanya pungutan ganda kepada objek yang sama yakni air. Pungutan tersebut berbentuk retribusi air yang ditarik oleh pemerintah provinsi dan Surat Izin Penggunaan Air (SIPA) yang ditarik oleh Pemda seperti rerjadi di Tuban. Di Bojonegoro dan Pacitan, pungutan ganda melalui perizinan juga muncul dalam bentuk penerbitan 4°Hasil Diskusi Kelompok Fokus, Tim PSD, 2004
94
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Surat Kelayakan Produksi (SKP) serta Surat Pengolahan Ikan (SPI). Kedua jenis izin tersebut pada intinya merupakan pungutan berbenruk retribusi dalam pengolahan ikan.
KEAMANAN
Penjarahan tambak udang oleh masyarakat yang ada disekitar tempat tambak berada terjadi pada setiap kali panen. Kejadian ini terjadi terus menerus sejak krisis Juni 98. Pada setiap kali panen kehilangan yang terjadi bias mencapai 50%. Pengusaha kemudian mencoba mengatasi hal ini dengan meminta banruan dari pihak aparat kepolisian. Di Tuban untuk pengamanan selama masa panen selama sekitar 7 sampai 10 hari pihak pemilik tambak harus mengeluarkan biaya sekitar 50.000 orangloranglhari, sehingga total biaya pengamanan sampai dengan selesai melakukan pemanenan yakni sebesar 3. 000. 000 rupiah. (FGD, Tim PSD, 2004)
Keamanan dalam pengantaran barang dari Jawa Timur ke Jakarta juga cukup rawan terutama dari gangguan pungutan liar yang biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian di jalanan. Seorang pengepul menceritakan bahwa rata-rata dalam saru kali pengantaran paling sedikit perlu menyediakan uang sekitar 50.000 rupiah untuk membayar pungutan liar. Semenrara seorang eksportir udang menceritakan bahwa dia harus membayar biaya pengawalan truk-truk miliknya sebanyak 3.000.000 rupiah per bulan. Sementara iru ketersediaan benih maupun udang di !aut lepas terancam karena adanya pencurian besar-besaran oleh kapal-kapal besar milik nelayan asing. Pencurian seperti ini cukup sering terjadi. Hal ini diketahui karena keberadaan kapal-kapal asing terse but kerap terlihat oleh para nelayan tadi. Sejauh ini upaya menanggulangi 111asalah pencurian ikan dilaut lepas sangat terbatas bahkan pada wilayah tertentu tidak nampak sama sekali.
INFRASTRUKTUR
Secara fisik komoditas udang ini sangat mudah rusak (perishable) sehingga kondisi infrastruktur sangat signifikan pengaruhnya terhadap kualitas udang. Beberapa kondisi infrastruktur berikut ini menunjukkan bagaimana pengaruhnya terhadap komoditas ini. Sumber-snmber air. Unruk pembudidaya tambak udang, baik produsen udang kecil maupun pembudidaya udang, air kebanyakan diperoleh dari sungai dan kana! di wilayah Tuban. Namun saat ini kondisi sungai/kanal tersebut tidak lagi dapat menyalurkan air secara baik, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Para pelaku usaha menyatakan bahwa kemungkinan besar hal ini disebakan oleh dua hal yakni
95
Mara Rantai Komodiras
(1) terjadinya pendangkalan dasar sungai/kanal yang terjadi sejak dari hulu sungai/kanal sampai dengan bagian hilirnya. (2) terjadinya pencemaran air yang semakin parah yang bersumber dari limbah industri dan sampah rumah tangga yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan panen udang. Pencemaran air ini juga terjadi sejak dari hulu sungai/kanal. Kerusakan terhadap lingkungan fisik juga mempunyai dampak luar biasa atas pembudidayaan udang, yang sangat dipengaruhi oleh mutu air. Di antara penyebab-penyebab kemerosotan mutu air yang diungkapkan dalam FGD-FGD terdapat: • Kegiatan pengeboran minyak lepas pantai. Misalnya, dua perusahaan pengeboran minyak beroperasi dua millepas pantai Bangkalan, yang berada di dalam wilayah penangkapan ikan para nelayan di daerah ini. Kegiatan pengeboran telah menyebabkan pencemaran air cukup serius selama lima tahun terakhir. Para petani dan nelayan mengatakan bahwa produksi mereka turun sebanyak 30%. • Banyak penangkapan ikan masih dilakukan dengan menggunakan born atau bahkan formalin. Para nelayan biasanya mendapat formalin dari pemasok atau pembeli mereka di Surabaya. Ini tidak saja membunuh atau merusak banyak sekali telur ikan dan ikan kecil, tetapi juga merusak terumbu karang yang begitu penting sebagai tempat ikan berkembang biak. • Kerusakan lingkungan hidup juga dirasakan dengan penciutan huran bakau, yang tersisa kurang dari separuhnya. Padahal huran-hutan tersebut mempunyai peranan penting dalam penyediaan mutu air yang baik untuk udang di perairan sekitarnya. Transportasi Jalan dan Antar Pulau. Para pedagang di sektor hilir udang sering mengeluh tentang transportasi jalan. Misalnya pada ruas Tuban-Babat menuju Surabaya sekitar 3 kilometer, dimana kondisi jalan menyempit dan bergelombang. Sehingga menyebabkan kemacetan pada jam-jam tertentu. Menurut peserta diskusi tingkat kecelakaan di ruas ini rata-rata 12 kali dalam 1 minggu. Jarak tempuh Tuban-Surabaya saat ini ditempuh dalam 2-3 jam. Idealnya paling lambat hanya1,5 jam. Bagi petani udang di Pacitan infrastruktur jalan yang mendesak untuk dilakukan perbaikan adalah jalan-jalan desa terutama yang menuju ke pantai dalam keadaan tidak beraspal. Kondisi ini tidak memungkinkan mobil untuk masuk ke dalam areal pelabuhan, sehingga ikan-ikan harus dipikul menunju jalan raya. Hal ini menyebabkan meningkatkan biaya untuk ongkos angkut juga memperlambat masa jual ikan sehingga sangat besar kemungkinan bahwa kualitas ikan menurun akibat lamanya waktu yang diburuhkan untuk membawa ikan ke jalan raya.
96
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagi para pedagang dari Madura henih atau hihit rnaupun produk akhir hanyak sekali dihasilkan o\eh pulau-pulau kecil disekitat Madura. Namun dernikian keheradaan transportasi pengangkutan dati pulau-pulau ini ke Madura rnaupun keluar Madura seperti ke Surahaya dan Bali sangat terhatas. Yang ada hanya perabu-perabu kecil yang tidak rnerniliki kernampuan herlayar jauh. Keterhatasan ini sangat sering rnenirnbulkan kerugian pada tingkat petani katena selain harang rusak habkan kadang-kadang tidak terangkut. Sehagai contoh dati pulau Sepeken ke Bali dihutuhkan waktu sampai 9 jam, padabal untuk rnendapatkan ikan segar waktu yang ideal yang dihutuhkan sehaiknya kurang dati 4 jam. Kapasitas Pelabuhan. Di Pacitan, Tuhan, Bojonegoro dan Banyuwangi pelahuhan yang ada hanya dapat didatati oleh kapal kecil. Dengan kapasitas seperti itu rnaka kapal besat tidak dapat berlabuh. Para pengepul atau pedagang ikan rneyakini kalau kapal hesar hisa herlabuh rnaka dinamika ekonorni disekitat wilayab ini akan rneningkat katena hal ini akan signifikan terhadap volume ikan yang diperjual helikan rnelalui pelahuhan ini. Selain sernpit fasilitas lain yang ada di pelahuhan juga terhatas. Fasilitas lain yang dirasakan oleh para pengguna pelahuhan diantaranya gudang terutama untuk ikan dan es, tern pat untuk penampungan BBM. Di Pacitan rnisalnya hila rnereka rnernhutuhkan solar rnaka rnereka harus pergi keternpat porn hensin terdekat yang jaraknya sekitar 5 km. Jumlab solar yang dapat dihelipun terhatas hanya dalam beberapa tengki saja. Kesulitan rnendapatkan solar ini rnakin terasa hila rnendekati hari raya atau rabun haru. Pernab ada usulan untuk rnengundang investor untuk rnernhangun porn hensin di TPI, namun hagi calon investor hal ini rnasih helum rnungkin diwujudkan rnengingat cukup hanyak hal yang perlu dipenuhi oleh seorang investor''. Selain adanya porn nelayan juga berharap jika dirnungkinkan adanya ternpat penampungan BBM disekitat pelahuhan ini.
TEKNOLOGI
Penelitian dan Pengernhangan. Para petani rnerasa habwa ada hanyak rnasalab (seperti penyakit, kadar garam yang sesuai, teknologi pasca-panen) yang sernakin rnernhuruk dan yang rnernhutuhkan pernecaban teknis. Para peserta rnengatakan habwa rnasalab-rnasalab seperti ini sedang rnernhuruk sebah tidak ada lernhaga untuk rnenjalankan penelitian dan rnengernhangkan teknologi perikanan, yang dapat dijadikan acuan hagi para petani. Berkaitan dengan ini adalab kurangnya petugas teknis atau konsultan di lapangan yang dapat rnernherikan keterangan tentang hagairnana rnenangani herbagai rnasalab herkaitan dengan ikan.
41Untuk memenuhi kebutuhan van bakar bagi nelayan bisa dilakukan dengan membuka SPBBN (Srasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan). Jenis minyak yang disalurkan di srasiun ini hany:a solar. Beberapa ketentuan pembukaan SPBBN, diamarany:a, (l) unruksatu SPBBN diperlukan biay:a invesrasi senilai 300-500 Juta Rupiah diluir tanah (2) Lokasi harus dekat dengan pantai (3) akan diberikan alokasi tenentu sesuai dengan kebutuhan riil nelayan (4) mempunyai tanah senifikat hak milikseluas minimal 800 m2 dengan panjang bagian depan 40 m (S) ada rekomendasi dari kantor Menteri Perikanan & Kelautan (6) pemilik bisa PT, perorangan a tau koperasi.
97
Mata Rantai Komoditas
Penyakit udang, terutama bagi petani empang, merupakan masalah yang perlu penangan~ khusus guna mencari pemecahan yang sangat dibutubkan. Pengembangan teknologi di bidang ini juga diharapkan. Kapasitas Cold Storage Yang Terbatas. Saar ini umumnya pedagang perantara atau eksportir memiliki kapasitas coldstrorage an tara 10-15 ton. Kapasitas sebesar itu tidak sehanding dengan permintaan udang yang mencapai 20 sampai 30 ton per bulan. Apalagi pada kenyataannya coldstorage terse but tidak saja digunakan hanya untuk udang melainkan untuk penyimpanan hasil perikanan lainnya. Penggunaan Perahu Ked!. Umumnya produktivitas petani di Jawa Timur rendah. Terdapat dua hal yang diperkirakan menjadi penyebab hal ini yakni : 1. Penggunaan perahu 'kecil' dimana kapasitasnya sangat terbatas telah mempersempit fohing ground nelayan. Saar inl daya jangkau perahu nelayan hanya bisa maksimun 6 jam sekali berlayar. sehingga tidak dapat berlayar lebih jaub ketengah pantai.
2. Penggunaan minyak tanah yang dicampur oli sebagai ganti solar yang dirasakan terlalu mahal oleh nelayan telah menyebabkan tingkat residu yang dibuang ke !aut semakin tinggi sehingga pencemaran yang terjadi semakin parah serta dapat memperpendek umur mesin kapal.
TERNAKSAPI Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut ini: Bojonegoro, Sumenep, Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember, Trenggalek, Pacitan, Tuban. Jumlah ternak sapi di Jawa Timur sekitar tahun 2002 tercatat sekitar 2,51 jura ekor Qawa Timur Dalam Angka, 2002) yang tersebar di berbagai tempat terutama pada beberapa kantung produksi yakni Trenggalek, Jember, Daerah pesisir Selatan Jatim Bojonegoro, Pacitan, Tuban, serta Malang dan wilayah-wilayah disekitarnya. Adapun perkemhangan jumlah ternak sapi potong sejak 1996 adalah sebagai berikut :
98
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagan 5.12 Perubahan dalamJumlah Ternak Sapi diJawa Timur 3.4
1996
2000
2001
2002
Sumber: Jawa limur dalam Angl
Jumlah ternak sapi potong secara keseluruhan di Jawa Timur dalam periode 1996 sampai dengan 2002 menunjukkan penurunan. Posisi pada tahun 2002 dengan jumlah ternak sekitar 2.515.439 ekor dan jika diasumsikan berat rata-rata sapi tersebur adalah 300 kg per ekor, maka jumlah total produksi daging sapi adalah sekitar 0,7 jura ton. Sementara posisi daging impor secara nasional tahun 200242 adalah sekitar 4,4 jura ton. Dengan demikian perbandingan produksi daging sapi Jawa Timur terhadap daging sapi impor nasional pada tahun 2002 adalah 1: 6,3. Adapun rantai bisnis sapi potong di Jawa Timur seperti pada gambar berikut ini, menunjukkan setidaknya ada 4 katagori pelaku usaha yakni pertama peternak pembibit (yang menghasilkan bibit sapi), peternak penggemukan sapi, pedagang dan industri rumah pemotongan hewan (RPH). Pada setiap kelompok pelaku usaha ini problem maupun peluang usaha yang dihadapi berbeda-beda. Bagan 5.13 Rantai Produksi dari Temak Sapi
~
1 Pasar !aka!
-
I
I Peternak (sekaligus penjual sapi)
1 l l_f
Pedaganf, (ke seluruh atim dan Jakarta)
Peternak
I
I
I: , ;ru>.I'f:.· (Pehrsaliicin) :·· :
:' ..· '}!U>Hk··•
(perbrangari) --
'··.
Barga rata-rata eceran daging sapi potong (Rp/Kg)
42 Sumber: http://www.bi.go.id/sipukllm/indlsapi_potong/aspek_pcmasaran.h[Jll
99
Mata Rantai Komoditas
Pada umumnya baik peternak pembenihan maupun peternak penggemukan sapi adalah rumah tangga-rumah tangga petani. Rata-rata kepemilikan sapi per rumah tangga di ]ember, Lumajang, Bojonegoro dan sekitarnya adalah sekitar 2 sampai 3 ekor. Namun demikian karena umumnya peternak sapi di daerah ini mengembangkan usaha peternakan sapi berdasarkan sistem bagi hasil, artinya ada sapi-sapi milik orang lain yang dipelihara oleh peternak lainnya, maka rata-rata peternak sapi ini memelihara sekitar 3 sampai 5 ekor sapi. Berdasarkan sistem bagi hasil ini peternak dapat dikelompokkan dalam 2 katagori yakni penggaduh yang memelihara sapi milik orang lain atau ditambah dengan miliknya sendiri. Dan peternak pengusaha, yakni yang memberikan sapinya unruk dipelihara pihak lain den~ rata-rata kepemilikan sapi sebanyak 5-10 ekor unruk pengusaha sedang dan 10-20 ekor unruk pengusaha besar. Pembahasan berikur ini menguak problematik persapian di Jawa Timur berdasarkan katagori di atas.
ISU-ISU KURANGNYA LAYANAN DUKUNGAN
Pada tahap awal industri sapi, kualitas bibit sapi menjadi titik krusial yang menentukan keberhasilan produksi lanjut, baik pada masa penggemukan maupun sisi perdagangannya. Pada tahap ini nampaknya dukungan institusi penelitian dan pengembangan sangat lemah. Sehingga tidak mudah bagi peternak sapi untuk menemukan bib it sapi dengan kualitas yang baik. Para peternak penggemuk membeli bib it-bibit ·sapi dari pasar lokal. Disana tidak ada standar tertentu atau teknologi tertentu yang bisa mendeteksi tingkat kesehatan sapi. Sehingga pemilihan bib it sapi dilakukan oleh peternak penggemuk sapi berdasarkan perkiraan fisik saja. Akibatnya menurut para peserra FGD baik di ]ember, Bojonegoro, Malang menyampaikan bahwa pencapaian berat sapi hanya mencapai 80% dari yang diperkirakan. Kondisi bib it sapi yang seperti ini kemudian semakin kurang kondusifkarena padasaat penggemukan kelemahan yang sama juga terjadi yakni tidak adanya dukungan R&D yang memadai pada tahap ini. Bahkan yang lebih parah lagi petugas di tingkat kecamatan yang sangat krusial keberadaannya dalam budi daya penggemukan sapi, selain terbatas jumlahnya juga masih dirasa kurang trampil. Dinas Peternakan Bojonegoro menyiapkan mani beku untuk lnseminasi Buatan (IB) dari sapi berkualitas di Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru. IB ini disuntikkan kepada sapi betina oleh tenaga mantri hewan yang ditempatkan di desalkecamatan dengan harga Rp. 25.000,- per-dosis. Di ]ember jumlah sapi rata-rata per kecamatan mencapai 2000 ekor. Dengan
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
jumlah sapi betina sekitar 300 ekor. Sedikitnya dibutnhkan satn orang petngas suntik dalam satn kecamatan agar dapat menangani jumlah tersebut. Saat ini petngas suntik hanya tersedia I orang untnk sekitar 3-4 kecamatan (FGD, Tim PSD, 2004) Masalah lain menyangkut Inseminasi Buatan yakni • Obat untuk IB langka dan hanya ada di beberapa kota saja misalnya di ]ember, sehingga peternak-peternak sapi di wilayah Kab. Lumajang, Kab. Situbondo, Kab. Bondowoso, Kab. Banyuwangi harus menunggu para petugas untuk membeli obat tersebut ke Jember • Harga obat untuk IB sebenarnya cukup terjangkau yakni sekitar 50.000 rupiah untuk sekali suntik, narnun tidak ada jarninan bahwa sapi akan harnil. Petugas kedua yang juga penting kehadirannya di tengah para peternak sapi adalah Petugas Kesehatan. Serupa dengan petugas kawin suntik, petugas kesehatan sapi juga terbatas. Hal ini berimplikasi pada : • Vaksin untuk sapi distribusinya terbatas walaupun peternak sanggup membeli vaksin • Tidak dapat menanggulangi sapi yang saltit • Tidak dapat membantu persalinan sapi terutarna hila terdapat kesulitan kelahiran. • Kesehatan sapi indukan tidak terjarnin • Sulit mendapat bibit sapi yang baik. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh petani dalam mengatasi masalah mereka adalah : • Jika sapi saltit banyak diantara peternak yang mencoba menggunakan obat tradisional berupa jamu-jarnu, atau pergi ke dukun/mantri karnpung dan kalau tidak sembuh juga di jual dengan hargamurah • Jika petugas suntik tidak ada maka akan dicoba dengan kawin alarn dengan jalan meminjarn sapi pejantan dari peternak lain dan membayar sejumlah uang jika sarnpai membuahkan keharnilan.
PEMBAYARAN DAN HARGA
Setelah melakukan penggemukan selarna 4-6 bulan, pengusaha mulai menjual sapi baik untuk pasar lokal maupun RPH diJakarta. Harga jual pada usia sapi ini sekitar Rp. 4,5-5 juta/ekor. Sebelum sapi dijual, pedagang diwajibkan untuk memeriksakan keadaan sapi dengan biaya Rp. 8.000,perekor. Berikut ini garnbaran mengenai harga eceran rata-rata daging potong diJawa Timur sebagai berikut:
101
Mara Rantai Komoditas
Bagan 5.14 Harga Eceran Rata-rata Daging Sapi di Wdayah Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg)
2004. 2004
30,000
1996 1993 1990 1987 Sumber: Sistem lnformasi untuk Perkembangan Usaha Kecil. 61, 2004 dan FGD *Harga Eceran Daging Sapi lmpor
Banyaknya sapi impor di seluruh Jawa telah secara signifikan menurunkan permintaan atas sapi Jatim. Menurut seorang peserta FGD di Bojonegoro menyeburkan bahwa penurunan permintaan secara kuantitas menurun sekitar 70% dalarn 3 tahun terakhir ini. Demikian juga dengan harga turun 30-50%. Dipasaran di seluruh Jawa harga sapi potong per kg adalah 30.000 rupiah untuk sapi lokal dan 23.000-24.000 rupiah untuk sapi import khususnya dari Australia, atau lebih murah sekitar 20%. Sistem pembayaran dalarn tata niaga sapi umumnya dilakukan secara tidak kontan. Artinya sapi dibawa terlebih dahulu dan pembayaran dilakukan pada saat sapi sudah terjual. Sistem seperti ini membuat petani menjadi terikat kepada seorang pedagang tertentu, karena modal usahanya tertahan pada pembeli sapinya. Hal ini membuat peternak sapi kesulitan modal segar untuk melakukan pemeliharaan sapi. Menurut para pedagang sapi, hal tersebut terpaksa mereka lakukan karena RPH dimana mereka menjual sapinya, juga memberlakukan hal yang sarna, yakni membeli dengan cara tidak kontan. Sehingga para pedagang sapi ini melakukan hal yang sarna pula terhadap para peternak sapi. Narnun hal ini dibantah oleh pihak pengelola RPH, khususnya di Cakung-JaKarta Timur, dimana menurut keterangan mereka, RPH tidak diperkenankan membeli dengan cara tidak kontan, yang ada hanya menunda pembayaran sarnpai ada kepastian mengenai kondisi kesehatan sapi yang dijual.
INFRASTRUKTUR
Secara umum para pelaku usaha menyatakan bahwa untuk infrastruktur jalan kondisinya cukup memadai, walaupun terdapat beberapa ruas yang kondisi jalannya kurang baik seperti ruas SemhoroKencong Padang Rejo di ]ember, Bombengsari-Sumber Gedog di Banyuwangi.
102
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Infrastruktur yang masih sangat eliburuhkan bagi pengembangan usaha adalah saluran telpon. Menurut para pelaku usaha peternakan sapi, telpon sangat membantu petani untuk menghubungi petugas kesehatan dan suntik kawin, pemesanan obat, mencari informasi harga, maupun informasi obat-obatan. Saat ini baik jaringan telpon biasa maupun handphone belum menjangkau daerahdaerah sentra-sentra produksi sapi.
IZIN DAN PUNGUTAN
Sejumlah izin diperlukan dalam usaha ternak yang dianggap sebagai beban, yalrni : • Pengusaha ternak diharuskan memiliki ijin IMB untuk kandang yang dimiliki. • Pengusaha ternak juga harus memiliki ijin HO dengan masa berlaku selama 5 tahun. • Pengusaha ternak harus memiliki Ijin Usaha Peternakan Di samping itu, sejumlah punguran, yang pernah dibatalkan, baru-baru ini elikenakan kembali. Amara lain punguran-punguran berikut ini telah dikenakan (kembali): • Pengusaha ternak dikenai PBB untuk kandang yang elidirikan. • Pengusaha mengeluhkan pungutan oleh pihak desa terhadap kandangyang dielirikan. Besarnya punguran ialah Rp. 75.000/unit/tahun. • Pengusaha dikenai punguran oleh pihak desa untuk angkutan ternak yang melintasi jalan desa. Truk Double elikenai Rp. 5.000 sekali angkur, truk tunggal dikenai Rp. 2.500 sekali angkur dan pick up elikenai Rp. 1.000 sekali angkur. • Pengusaha ternak diharuskan membayar restribusi pemeriksaan sapi oleh Petugas dari Pemprop Jawa Timur yang bertugas di pos perbatasan dengan Jawa Tengah sebesar Rp. 5.000 - 8.000 perekor. Jenis-jenis punguran yang dibatalkan di Kabupaten Malang melalui Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1998 termasuk'3 : • Pajak Potong Hewan dihapuskan tahun 1998 tapi kemudian diberlakukan lagi tahun 2002 • Retribusi kartu ternak 500/ ekor/thn • Pemeriksanaan kesehatan Ternak di Pasar Hewan, tapi ditingkat lapangan masih berlangsung pungutan untuk retribusi jenis ini sebesar 400 rupiah per ekor (Semeru, 1999) Punguran liar, juga masih menghantui perdagangan sapi terutama eli jalan. Pengusaha mengeluhkan terjadinya punguran oleh polisi terhadap truk angkuran sapi dengan bak terbuka. Pengiriman sapi melalui jalur selatan yalrni lewat Ngawi seringkali menjadi korban punguran eli daerah Mantingan (Ngawi - perbatasan dengan Jawa Tengah) dan sepanjang perlintasan di wilayah Jawa Tengah minimal terjadi 1 kali pungutan dan sebelum masuk to! Cikampek.Bila melalui jalur urara, truk angkutan sapi akan menjaeli korban pungutan eli Sarang (Rembang- Jawa Tengah), KandanghaurIndramayu dan sebelum masuk to! Cikampek. 43 Kajian SMERU, 1999
103
Mara Ranrai Komodiras
RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
Masalah pada rantai paling ujung dalam bisnis sapi adalah terbatasnya kemampuan rumah potong hewan (RPH) yang ada di Jawa Timur. Di }ember saat ini terdapat 14 RPH (kapasitas per hati tidak diketahui). Sementata eli Lumajang terdapat sekitat 7 RPH dengan kapasitas 2-3 ekor per hati per RPH Dati hasil pemantailan lapangan, tim menemukan setidaknya ada tiga jenis RPH yakni RPH perorangan, RPH sedang sebagian besat milik Pemda dan RPH besat 'Cakung' yang ada di Jakarta. RPH perorangan sebagaimana namanya adalah elimiliki oleh orang perorang. Biasanya kapasitasnya sangat terbatas yakni kurang dati 5 ekor perhati. RPH perorangan batu elikenal belakangan ini kurang lebih sejak tahun 2000. Sebelumnya RPH jenis ini tidak diperkenankan atau dengan kata lain tidak dikeluatkan izinnya oleh pemerintah, elikatenakan pertimbangan keamanan produk. RPH hatus memiliki standat hygenisasi tertentu sehingga memenuhi persyatatan untuk memotong hewan. Belakangan ini banyak bermunculan RPH perorangan katena pemda kemuelian mengeluatkan izin usaha untuk usaha semacam ini. PAD merupakan alasan urama pengeluatan izin semacam ini. Namun demikian elisinyalir pengawasan kegiatan usaha semacam ini masih sangat lemah. RPH berikutriya adalah RPH sedang dengan kapasitas sekitat 10 - 20 ekor perhati. Sejauh ini batu elitemukan satu RPH yang elimiliki oleh perorangan, berlokasi eli Surabaya dengan kapasitas sekitat 40 ekor per hati. PT Abatoir adalah salah satunya, bereliri sejak sekitat 15 tahun yang lalu. Pada 10 tahun yang lalu RPH ini hanya melakukan pemotongan pada sapi-sapi asallokal sekitat Jatim, Bali dan NTB. Lama kelamaan jumlah ini semakin menurun tercatat pada tahun 1998 sampai saat ini jumlah sapi impor lebih banyak dibanelingkan sapi lokal yakni 60% sapi impor dan 40% sapi lokal. Hal ini elisebabkan selain kualitas yang lebih baik, yang paling menentukan adalah harga sapi impor yang lebih murah. Hal yang elirasakan menjaeli hambatan usaha RPH semacam ini adalah : • PPN yang mulai eliberlakukan sejak tahun 2000 sebesat 10% • Retribusi potong hewan sebanyak Rp 6000/ekor sapi yang masih hidup • Pungli jumlahnya masih elianggap cukup besat yakni 0,1 % dati omzet usaha Sebelum tahun 2000 semua sapi potong yang dijual di pasat Jakarta hatus masuk ke RPH besat yakni RPH Dharma Jaya yang lebih dikenal sebagai RPH Cakung katena terletak di CakungJakarta Timur. RPH ini adalah BUMN dengan pemilik saham terbesat adalah Pemda DKI. RPH Cakung dilengkapi dengan fasilitas cold storage, chilling room dan packing serta unit trading sendiri. Kapasitas terpasang RPH Cakung ini adalah 1000 ekor setiap hati. Pada tahun 1994 rata-rata kapasitas produksi perhati mencapai 850 ekor per hati. Sejak sekitat 2 tahun yang lalu sampai saat ini kapasitas produksi RPH Cakung menurun sampai sekitat 250 ekor per hati. Hal ini elisebabkan banyaknya RPH-RPH perorangan yang menjamur disekitat Jakarta seperti Tangerang, Bekasi dan 104
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bogor. Jadi kalau menurut pihak RPH Cakung berkurangnya kapasitas pemotongan di usaha ini bukan karena suplai sapi berkurang, namun lebih karena bermunculannya RPH gelap tadi.
TEKSTIL Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut ini: Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Kediri, Jombang. Industri tekstil merupakan industri padat karya dengan upah tenaga kerja murah merupakan keunggulan komparasi dalam mengundang investasi pada industri ini. Sekitar tahun 1975 hingga tahun 1993 industri tekstil mampu meningkarkan penyerapan tenaga kerja hingga 33 persen dari total angkatan kerja di sektor industri. Dengan peningkatan nilai tambah rata-rata sebesar 17 persen, kemampuan industri tekstil dalam menyerap tenaga kerja pada peri ode tersebur menunjukan sektor ini cukup dinamis selama dua dasawarsa44 • Pertumbuhan industri tekstil, khususnya industri garmen didorong oleh orientasi ekspor ke manca negara. Orientasi ekspor saat itu didorong oleh beberapa faktor, yakni melambannya permintaan domestik menyusul berakhirnya era oil boom, keunggulan komparasi pada upah buruh yang murah, tidak digunakannya quota ekspor, adanya insentifberupa subsidi ekspor, subsidi tingkat suku bunga kredit ekspor dan nilai tukar rupiah yang lebih rendah terhadap mata uang negara tujuan ekspor. Namun tingginya pertumbuhan industri garmen berhenti pada tahun 1993. Hal ini disebabkan . munculnya tekanan kompetisi dari negara-negara dengan upah buruh rendah dan menurunnya daya saing akibat kebijakan upah minimun yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitas pekerja. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada setiap rantai bisnisnya memberikan nilai tambah. Value chain TPT meliputi produk serat !fibre) yang digunakan sebagai bahan baku benang, benang dan bahan tekstil !fabric) seperti kain dan kaos, serta garmen. Menurut data BPS, dari empat TPT diatas, garmen merupakan produk yang memberikan kontribusi besar dalam ekspor TPT Indonesia yakni sebesar 52,2 persen dari total eksporTPT dan menyerap tenaga"kerja sebesar 10,6 persen dari total tenaga kerja di sektor manufaktur' 5• Pada umumnya, rantai nilai bagi tekstil adalah sebagai berikut:
44Aswicahyono dan Maidir, lndonesiitn} tatiks and Apparaks Industry : Taki11g a Stand i11 tht Nnv lnumational Compnition, CSI$, 2003 45Survey industri BPS
105
Mata Rantai Komoditas
Bagan 5.15 Rantai Produksi Tekstil ,-------1
I ·~~ Imp~IJ .P=ed=-a:~!~g
I ln&~~.!:>ar I
Industri Pemintalan
lr;:::l
(Polyester, I Rayon, Kapas)
Petan1
Industri Kain
-Lo-kal----,1
~
Industri Bordir
.
Industri Tekstil lain
Pedagang/ Eksportir
(Kapas, Coccon) Industri
Industri Garmen
Rajut Industri Tenun
Kecil
'IE-ks-}-or'llr P-a,-:-d_al_am_ne-gr'iI
Pada tahun 2002 produksi rata-rata industri tekstil diJawa Timur mencapai 1,1 juta meter. Angka produksi ini turun dari sebelumnya sekitar 1,5 juta meter pertahunnya. Akibat serbuan produk tekstil dari Cina industri tekstil terpukul dalam persaingan tekstil dalam negeri maupun persaingan tekstil untuk ekspor. Secara nasional menurut data Depperindag, ekspor tekstil Indonesia mengalami penurunan sebesar 9 persen dari sekitar 7,8 milyar dollar AS pada tahun 2001 menjadi 7,1 milyar dollar AS pada tahun 200246 • Dalam usaha melindungi para produsen tekstil dalam negeri, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan sebuah Surat Keputusan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Prosedur Perdagangan untuk Impor Tekstil (22 Oktober, 2002), yang menentukan bahwa tekstil hanya dapat diimpor oleh para importir produsen tekstil (IP). Bahan tekstil yang diimpor oleh IP tekstil hanya boleh digunakan sebagai bahan mentah, atau bahan suplementer dalam proses produksi industri-industri yang dimiliki oleh IP tekstil, dan tidak diperbolehkan untuk dibeli dan dijual atau ditransfer. SK No. 732 tahun 2002 menyatakan bahwa distribusi tekstil impor ilegal di pasar Indonesia telah menciptakan suatu perdagangan yang tidak adil dan menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak produsen tekstil dalam negeri. Lalu, guna mendukting pengawasan atas negara asal produk tekstil yang masuk ke Indonesia dan perlakuan produk tekstil di negara asalnya, Menteri Perindustrian dan Petdagangan mengeluarkan Surat Keputusan No. 276/MPP/Kep/4/2003 tentang verifikasi atau pelacakan teknis impor tekstil dan produk tekstil.
46Kompas, 18 Pebruari 2003
106
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
ISU-ISU INFRASTRUKTUR
Sebagai suatu industri yang boleh dikatakan bekerja non-stop, industri tekstil sangat bergantung pada pasokan listrik. Para pelaku usaba kbawatir babwa mungkin akan terjadi kcisis liscrik sebagai akibat penurunan suplai listrik dari stasiun-stasiun pembangkit listrik serta pemeliharaan dan manajemen yang buruk di sub-stasiun PLN. Kekbawatiran ini mempunyai dasar yang kuat, sebab para pengusaba tekstil mengalami lima sampai delapan kali pemadaman listrik dalam sebulan, sering tanpa pemberitabuan sebelumnya. Para pengusaba merasa babwa mereka sangat dirugikan dengan pemadaman-pemadaman tersebut. Menurut data BPS untuk rabun 2001, selurub biaya input dari 179 industri tekstil menengab dan besar eli Jawa Timur dari listrik dan gas mencapai lebih dari Rp. 97 milyar, atau 8% dari selurub biaya input industri-industri ini. Uncuk terus recap beroperasi, pengusaba menyediakan genset sebagai penyedia listrik pengganti listrik PLN. Penggunaan genset harus eliberitabukan, karena setiap pemakainnya akan dipungut PPJU non PLN oleh pemerintab daerab. Pengenaan PPJU PLN dan non PLN dikelubkan oleh pengusaba karena tidak diiringi dengan penerangan jalan umum eli sekitar industri, sehingga dapat mengundang gangguan keamanan. Penggunaan energi liscrik bagi industri semakin lama menjadi semakin mabal dan semakin tidak mencukupi. Rencana pemerintab untuk menaikkan tarif dasar liscrik secara berkala akan berdampak pada kenaikan biaya produksi. Uncuk mengatasi kekurangan energi eliluar listrik PLN hendaknya ditambab dan dipercepat instalasi gas ke industri-industri. Penggunaan gas dinilai pengusaba akan membuat efisiensi biaya produksi. Infrastruktur lain yang menjadi perhatian pengusaba ialab fasilitas bongkar muat dan pelayanan Terminal Handling Charge (THC) yang mendukung bongkar muat eli pelabuban Tanjung Perak, Surabaya. Jumlab fasilitas bongkar muat yang terseelia berjumlab enam, namun dalam melayani pengiriman kontainer, pengusaba hanya dilayani dua fasilitas. Tentu saja ketidak maksimalan fasilitas yang terseelia, menjadi hambatan bagi pengusaba karena akan menyebabkan biaya tambahan baik untuk pergudangan maupun pembayaran "batas waktu" pemasukan barang ke pelabuban (closing time) elitambab pengusaba harus menanggung biaya kerusakan barang akibat tertaban eli pelabuban47 •
47Isdijoso, Tam hunan dan Ubaidillah, Prospck Pcrdagangan Domestik yang Bebas Dalam Era Descmralisasi dan Dampaknya atas Penumbuhan Ekonomi Dacrah, CESS, PRISM Project- The Asia Foundation, 2001.
107
Mata Rantai Komoditas
PERIZINAN
Kalangan industri tekstil mengeluhkan ketidak-transparanan birokrasi penzman mengenai persyaratan, wakru dan biaya pengurusan izin. Kasus beberapa industri tekstil PMA yang berada di Pasuruan dan Mojokerto sangat mengeluhkan ketidakjelasan birokrasi perizinan. Pengurusan perpanjangan Izin Usaba Industri (IUI), Izin Usaba Tetap (IUT) dan perpanjangan Izin Tenaga Kerja Asing (TKA) ditetapkan dalam Perda telab diserabkan kepada Pemerintab Daerab. Kenyataannya Pemda sendiri belum siap dan pengurusan izin-izin tersebut masih harus diselesaikan di Badan Penanaman Modal di Propinsi. Akibatnya pengusaba harus kehilangan waktu serta biaya tambaban karena tetap harus pada instansi di kabupaten dan propinsi. Behan ganda akibat tumpang tindih perizinan juga terjadi pada pengadaan alat industri. Pengusaba tekstil di Malang mengeluhkan perizinan berganda untuk pengadaan alat industri (diesel, forklift dan alat pemadam kebakaran). Behan yang muncul ialab pengusaba harus mengurus perizinan bagi alat yang sama pada subyek perizinan yang berbeda dan seringkali diikuti oleh pungutan dalam perizinan tersebut. Sebaliknya pada kasus Gresik dan Mojokerto, pengusaba mengaku tidak dikenai biaya perizinan, namun dikenai biaya inspeksi alat tersebut. Diseburkan oleh pengusaba biaya inspeksi alat pemadam kebakaran sebesar Rp. 3-5 ribu perunit. Undang-undang no. 34 tabun 2000 tentang Retribusi dan Pajak Daerab membolehkan pengenaan retribusi pada penerbitan perizinan khusus. Perizinan penggunaan air bawab tanab termasuk dalam perizinan khusus yang dapat dikenakan retribusi. Namun besaran tarif yang tidak transparan mengakibarkan pengusaba harus menanggung biaya yang lebih besar. Kasus di Mojokerto, untuk mendaparkan air bawab tanab, pengusaba terlebih dulu mendaparkan izin penggunaan air bawab tanab (SIPA) di riga sumur dengan debit masing-masing 860 liter/menit. Untuk mendapatkan izin tersebut pengusaba dikenakan biaya Rp. 40 jura. Biaya ini tidak termasuk biaya akomodasi perugas inspeksi dari instansi terkait. Disamping biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh perizinan, pengusaba masih harus membayar retribusi penggunaan air bawab tanab setiap bulan berdasarkan debit pemakaian.
PAJAK, PUNGUTAN DANTARIF
Dalam diskusi dengan pengusaba tekstil, ditemukan beberapa jenis punguran yang dirasakan sangat membebani pengusaba. Ketidakjelasan tarif pungutan, misalnya terjadi pada uji tera yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur. Pengalaman pengusaba dari Sidoarjo terhadap pengujian alat tera milik usabanya yakni pengujian terhadap 150 unit alat tera, pengusaba dikenakan biaya Rp. 40 juta. Punguran lain terjadi dalam bentuk iuran DPKK (Dana Peningkatan Ketrampilan Ketenagakerjaan) yang dikenakan tinruk penempatan Tenaga Kerja Asing sebesar US$ 100 perbulan. luran ini berrujuan untuk meningkatkan ketrampilan tenaga kerja lokal sehingga akan ada alih ketrampilan 108
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja lokal. Narnun seperti yang dikeluhkan pengusaha, hasil iuran DPKK tidak ada realisasi dalarn bentuk pelatihan sebagaimana tujuan iuran tersebut. Jenis pungutan berupa retribusi yang berdasar pada pelayanan harus dibayar oleh pengusaha meskipun pengusaha tidak menerima pelayanan tersebut. Pada retribusi sarnpah yang dikenakan pada industri, ternyata juga berlaku pada industri yang mengolah sarnpahnya sendiri. Beberapa industri memiliki mesin incenerator sendiri yang dapat digunakan membakar sarnpah di industrinya. Sarnpah yang dibakar oleh beberapa industri digunakan untuk boiler. Industri tekstil yang memiliki rantai bisnis yang panjang pada proses produksinya, memungkinkan industri di tiap rantai bisnis memperoleh bahan baku yang dikenakan PPN (PPN masukan) narnun hasil produk yang dijual dapat dikenakan PPN (PPN keluaran). Pengusaha dapat mengajukan restitusi terhadap PPN yang dibayar. Narnun pengurusan restitusi pajak yang dirasakan berbelit, beberapa pengusaha yang mengeluhkan pengurusan ini terdorong untuk menggunakan bahan baku non-PPN (black market). Pengusaha sebagai pembayar pajak sangat mengharapkan pelayanan dari petugas pajak yang bersih. Masalah keruwetan pengurusan pajak termasuk restitusi pajak juga dinilai pengusaha disebabkan oleh perugas pajak yang tidak bersih.
Pengusaha juga mengeluhkan pe111eriksaan administrasi di bea cukai. Hal ini disebabkan ketidakberesan administrasi bea cukai terhadap jenis, spesifikasi dan volume barang yang masuk melalui pabean. Kasus Indiratex misalnya;perusahaan diharuskan membayar hutang bea masuk impor kapas pada 2 bulan kemudian setelah closing. Penagihan ini didasarkan pada perbedaan harga kapas yang diimpor oleh Indiratex dilaporkan lebih rendah terhadap harga kapas yang sama yang tercantum dalam Depperindag (FGD, Tim PSD, 2004) Sejak desentralisasi berlangsung, kebijakan pajak bumi dan bangunan menjadi kurang konsisten sehingga sulit bagi para investor untukmemperkirakannya. Pengurusan atas masalah-masalah tanah telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2001. Pemerintah daerah kemudian mengembangkan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan daerah tentang penggunaan tanah, termasuk pajak atas harta tak bergerak nyata. Sayang sekali, di beberapa kabupaten pajak daerah atas bumi, dan bangtingan (PBB), dinaikkan sarnpai sepuluh kali lipat dari jumlah sebelumnya terutarna mereka yang bertempat di wilayah industri. Sebagai akibarnya, banyak perusahaan rutup atau pindah keluar dari kawasan tersebut.
"Hampir 13% dari perusahaan tutup atau pindah selama tahun 2002 karena biaya produksi di sini terlalu tinggi setelah kenaikan PBB". (manaJ,mm PIER)
109
Mata Rantai Komoditas
. Dengan dampak yang begitu dramatis terhadap dunia usaha dan investasi, pemerintah pusat mencabut kembali wewenang untuk memungut pajak atas real estate pada pertengahan tahun 2003. KEAMANAN
Masalah keamanan terpenting yang dirasakan pengusaha tekstil ialah penyelundupan produk tekstil. Serbuan produk Cina secara legal saja telah menyebabkan produk tekstil Jawa Timur turun sebesar 26%48 • Penurunan ini sungguh memberatkan industri tekstil, karena tingkat kompetisi semakin ketat pada harga, dan ditambah dengan impor ilegal produk tekstil (pakaian bekas) menambah berat industri tekstil. Pengusaha telah menyampaikan keberatan terhadap maraknya penyelundupan produk tekstil, namun penanganan yang dilakukan aparat keamanan, dinilai pengusaha kurang serius. Masalah keamanan penting lainnya ialah pemogokan buruh. Sebagai industri padat karya, industri ini sering menghadapi masalah perburuhan, baik yang berupa kasus normatif maupun non-normati£ Namun pengusaha mengeluhkan aturan perburuhan dan penanganan kasus perburuharl. seringkali tidak memperhatikan kepentingan perusahaan. Beberapa kasus perselisihan kerja berujung dengan pemogokan dan ketika dibawa pada tim penyelesaian perselisihan selalu dimenangkan pihak buruh. Pemerintah diharapkan lebih adil dalam menyelesaikan masalah perburuhan.
48
Kompas, 5 Mei 2003
110
/
6 I KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Rekomendasi Umum Rekomendasi Sektoral
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Perekonomian Jawa Timur memberikan sumbangan yang signifikan terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan dengan nilai harnpir 14% dari PDB. Perekonomian daerah di provinsi ini didominasi oleh sektor jasa dalarn hal kontribunya terhadap PDRB, walaupun pertanian menyerap tenaga kerja harnpir 50% dari penduduk. Sesuai dengan keadaan umum di Indonesia, investasi dalarn perekonomian Jawa Timur sedang mengalarni kemandekan, atau bahkan sedang mengalarni kemerosotan. Angka kemiskinan di provinsi ini yang mencapai lebih dari 20% (menurut data statistik nasional), menimbulkan keprihatinan yang serius. Fakror-fakror yang mempengaruhi larnbatnya pertumbuhan dalarn perekonomian di Jawa Timur antara lain adalah: • INFRASTRUKTUR: Investasi dalarn infrastruktur sejak krisis moneter telah merosot secara nasional. Memburuknya keadaan jalan-jalan, listrik, dan pelabuhan-pelabuhan mulai membawa darnpaknya pada perusahaan-perusahaan di Jawa Timur. Survey menemukan bahwa mayoritas para pelaku bisnis merasa bahwa infrastruktur masih memadai, narnun di data sektoral karni temukan banyak masalah yang disebabkan karena keadaan jalan yang buruk yang menuju ke pusat-pusat produksi dan daerah-daerah di luar kota, pemasokan air yang buruk untuk industri, dan sarana pelabuhan yang terbatas. • KEBIJAKAN: Banyak kebijakan yang ada menghalangi perdagangan barang dan jasa atau bahkan menciptakan distorsi pasar. Contohnya adalah pengurusan dan pendirian usaha baru yang diurusi pemerintah daerah, penetapan harga oleh pemerintah, dan pengenaan pajak berganda di beberapa sektor. Sektor swasta merasa terus-menerus dikucilkan dari proses pembuatan. kebijakan. Di sarnping itu, dirasakan bahwa tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalarn layanan pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan tujuan yang baik, mungkin sekali dilaksanakan dengan buruk. • PUNGUTAN: Sejak oronomi daerah berjalan, upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) telah mengakibatkan lahirnya sejumlah besar pajak dan pungutan daerah. Dari perspektif sektor swasta, pungutan-pungutan ini mengakibatkan suatu ekonomi biaya tinggi yang memperparah kedudukan mereka di pasar global yang memang sudah mengancarn. Retribusi dan pajak yang tumpang tindih untuk barang/jasa yang sarna dianggap benar-benar membebani. Pungutan-pungutan resmi juga menimbulkan biaya tidak resmi karena praktek pemerintahan yang lemah. Narnun, mungkin agak mengejutkan, para 112
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
responden merasa bahwa pungutan-pungutan tidak resmi mulai menurun pada waktu yang bersamaan dengan meningkatnya pungutan resmi secara dramatis. • KEAMANAN: Dirasakan bahwaadasejumlah persoalan keamanan yangmenandai lingkungan bisnis di Jawa Timur. Para industri besar melaporkan adanya masalah-masalah yang terkait dengan pemogokan burub, terutama di daerah pertumbuban utama (Gerbangkertasusila). Di sektor pertanian, pencurian merupakan masalah yang kronis, dengan dicurinya hasil tanaman tepat sebelum panen. Di samping itu, pengangkutan barang diganggu oleh pungutanpungutan liar dan runrutan akan uang perlindungan dari aparat keamanan. Akhirnya, penebangan pohon dan penangkapan ikan secara ilegal masing-masing mempunyai dampak terhadap bisnis di sektor kayu dan perikanan. Banyak dari masalah tersebut melampaui batas-batas administratif dari pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang sekarang inempunyai wewenang untuk membuat sebagian besar kebijakan. Oleh karenanya, salah satu masalah sangat penting bagi perkembangan perekonomian Jawa Timur adalah kemampuan pemerintah kabupaten dan kota untuk mengadakan koordinasi dan kerja sama di dalam memajukan suatu iklim usaha yang sehat, baik antar daerah maupun pada tingkat provinsi. Penting sekali bagi para pengusaha bahwa kebijakan-kebijakan dan program-program dirumuskan bagi kerja sama antar-wilayah berguna untuk memajukan suatu iklim investasi yang positi£ Seperti akan dibahas dalam lampiran, peranan yang dapat dimainkan pemerintah propinsi di dalam mengkoordinasi dan memfasilitasi kerja sama antara pemerintah kabupaten-kota belumlah diupayakan sepenubnya.
Rekomendasi-rekomendasi Umum
Sektor swasta diberikan kesempatan untuk menyampaikan rekomendasi~rekomendasi mereka dalam menyelesaikan_masalah-masalah yang mereka anggap paling penting pada akhir diskusi-diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Rekomendasi-rekomendasi ini dikelompokkan ke dalam suatu perangkat rekomendasi umum yang dapat diterapkan pada semua sektor dan yang selalu diajukan oleh sektor swasta; dan, kedua, rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan sektor-sektor tersebut.
lnfrastruktur
Beberapa hal yang secara urn urn diusulkan guna mengatasi kendala yang menghambat perkembangart Jawa Timur adalah:
113
Kesimpulan dan Rekomendasi
Jalan-jalan • Penyelesaian ]alan Lintas Selatan dan jembatan Suramadu (yang menghubungkan Surabaya dengan Madura) sedang dinanti-nantikan oleh pelaku usaha, terutama yang dari Madura dan Jawa Timur bagian Selatan. Di samping iru, berkaitan dengan pembangunan jembatan Suramadu, eliusulkan agar elibangun juga jalan-jalan yang menghubungkan Madura bagian Utara dengan Madura bagian Selatan. • Pelaku usaha juga mengharapkan perhatian pemerintah untuk pembangunan jalan-jalan yang menuju ke sentra-sentra produksi yang biasanya berada di pelosok desa, pantai dan gunung.
Telekomunikasi .. Sambungan telepon perlu diperluas eli sekitar pusat-pusat produksi, terutama untuk mencapai daerah-daerah pedesaan guna membanru para petani dan pengusaha kecil di dalam memperoleh akses yang lebih baik terhadap informasi penting sepertiharga, bahan baku, obat-obatan, pupuk, dan lain-lain. Listrik Inv'estasi baru dalam pasokan listrik sangat penting bagi sektor swasta, baik yang besar maupun yang kecil. Kekurangan listrik bukanlah sesuatu yang unik eli Jawa Timur, namun karena provinsi · tersebut merupakan tempat dari banyaknya sarana produksi, pemadaman lisrrik yang makin sering terjaeli dalam masa riga tahun terakhir ini, benar-benar sangat menggangu.
Air Sektor swasta, terutama di bidang perikanan dan pertanian, sangat terganggu dengan mutu yang buruk dan kecilnya keterseeliaan air. Pembabatan hutan, sungai yang dangkal dan polusi yang dihasilkan industri disebut-sebut sebagai sebab urama terjaelinya masalah ini. Pelaku usaha mengusulkan adanya langkah-langkah yang mendesak untuk melakukan penghijauan kembali yang terus menerus, pengurukan sungai dan tindakan hukum terhadap para penyebab polusi indusrri.
Pelabuhan Kegiatan ekonomi di sepanjang garis pantai Jawa Timur bersifat cukup dinamis, namun tidak didukung sarana pelabuhan yang memadai, khususnya sekitar pesisir Timur dan Selatan. Pelaku usaha di daerah ini menyarankan dilebarkannya dan eliperdalamnya pantai-pantai guna mengakomodasi perahu yang lebih besar, dan diseeliakannya sarana pendukung lainnya seperti cold storage.
114
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Peraturan
Pelaku usaha melihat adanya dua jenis masalah mengenai peraturan. Pertama, ada peraturan baru yang muncul pada pemerintah kabupaten-kota paska otonomi daerah menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan ketidakpastjan. Peraturan-peraturan itu berupa pungutan-pimgutan yang dikenakan pada perusahaan tanpa alasan yang wajar, prosedur dan tarif perizinan yang tidak transparan, disingkatkannya masa berlakunya izin, atau pajak atas barang atau produk yang keluar, masuk atau melintasi suatu daerah. Pemerintah-pemerintah kabupaten-kota harus memulai untuk meninjau peraturan daerah (perda) yang ada bersikap lebih hati-hati di dalam memperkenalkan peraturan baru. Peninjauan ini dapat dilakukan dengan melakukan Regulatory Impact Assesment (RIA) atau Penilaian Dampak Kebijakan dengan melibatkan masyarakat, termasuk pelaku usaha , di dalam merumuskan peraturan terse but. Juga ada kasus dimana peraturan daerah bertentangan dengan peraturan pusat. Para pengusaha merekomendasikan supaya Pemerintah provinsi Jawa Timur memainkan suatu peranan yang lebih aktif di dalam fungsinya sebagai jembatan antara pemerintah-pemerintah d'!erah dan pemerintah pusat hila timbul masalah-masalah sebagai altibat munculnya peraturan yang bertentangan.
Keamanan
Banyak pengusaha mengeluh bahwa mereka merasa tidak aman di dalam menjalankan usahanya. Jenis gangguan dilakukan oleh preman, kelompok pemuda, aparat keamanan yang menawarkan perlindungan keamanan, jasa EMKL, atau layanan lain yang tidak diperlukan para pengusaha. Kadang-kadang tawaran ini disertai ancaman, perintangan jalan menuju pabrik, atau tindakan vandalisme. Jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan cukup besar guna melindungi tempat produksi, perkebunan, atau barang-barang mereka dalam pengangkuran. Pesan yang berulang kali disampaikan sektor swasta adalah bahwa mereka ingin agar pemerintah setempat, melalui aparat penegak hukum dan keamanan, dengan penegakan akuntabilitas untuk memperketat perlakuan pihak-pihak yang menciptakan gangguan tersebut.
Akses terhadap Modal Sektor swasta merasa kurang mendapatkan dukungan dari bank-bank dan lembaga keuangan formal lainnya, terutama bagi pertanian dan usaha kecil. Bahkan meskipun syarat agunan telah dipenuhi, kredit sering masih tidak disetujui, atau diberikan dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada jumlah yang diminta. Kurangnya kepercayaan oleh pihak bank disebut sebagai kendala utama. Sektor swasta mengusulkan agar bank-bank melatih staf untuk menilai kelayakan usaha sebagai faktor penentu bagi persetujuan kredit.
115
Kesimpulan dan Rekomendasi
Rencana-rencana kredit dari pemerintah didasarkan atas ikrikad baik untuk membantu usaha mikro dan usaha kecil. Narnun pelaksanaannya sering kali tidak tepat waktu dan tidak mempunyai sasaran yang tepat. Suatu mekanisme pengawasan yang lebih efektif dalarn melaksanakan rencana-rencana pemerintah telah disarankan49 •
Dayasaing Kecenderungan merosotnya daya saing menjadi nyata di harnpir semua komoditas, yang disebabkan mutu produk dan kelemahan produsen setempat dalarn menciptakan nilai tarnbah atau inovasi produk. Untukmemperbaiki mutu produksetempat, pelaku usaha dari berbagai sektor menyarankan diperlukannya lebih banyak lembaga penelitan dan pengembangan guna mengembangkan teknologi yang lebih baik rang dapat memperbaiki efisiensi dan inovasi produksi.
Rekomendasi Sektoral Sektor. Petemakan Diperlukan pengembangan industri dan fasilitas pendukung di tingkat hulu (pakan ternak, obatobatan) dan hilir (makanan yang diolah). Juga diperlukan staf lapangan yang terlatih dan yang mempunyai perlengkapan yang lebih baik guna membantu dalarn pencegahan dan penyembuhan penyakit, bahkan sebelum terjadinya peristiwa flu burung. Sektor Perikanan • Memperbaiki mutu dan jumlah lembaga penelitian dan pengembangan yang dikelola pemerintah untuk mengembangkan teknologi yang khas bagi sektor ini. Di sarnping itu, nelayan dan pengusaha mikro mengusulkan studi banding ke daerah lain untuk membantu mereka memperbaiki teknik pemrosesan dan mengembangkan pasar yang lebih luas. • Pembangunan cold storage yang mengakomodasi volume produksi di daerah akan sangat membantu para nelayan untuk menghadapi fluktuasi harga pasar. Kehutanan • Para pengusaha menyarnpaikan usul yang kuat agar dilakukan peninjauan kembali Undangundang No. 41 tahun 1999 yang menetapkan adanya perlakuan yang sarna - dalarn hal retribusi, pajak, dan dokumentasi - untuk hutan rakyat dan hutan industri (HPH). Dalarn praktiknya, hal ini memberatkan usaha kecil yang bekerja di hutan rakyat. Untuk itu disarankan agar izin untuk menebang pohon di hutan rakyat mungkin dapat diberikan pada tingkat desa atau kecarnatan, bukan di tingkat kabupaten. 49 Lebih banyak informasi temangakses terhadap kredic di Jawa Timur dapatdiperoleh dari suaru kajian oleh Don Johnson bagi JBIC yang berjudul" Accm to Crtdit and . Small Firm Growth: Rmtlt From a Survry in EaH java"
116
Memperbaiki Iklim Usaha Jj Jawa ·1 imur
• Pelaku usaha juga mendesak dibukanya dialog antara pemerintah dan polisi untuk menyelesaikan pungutan-punguran liar yang merajalela di sektor ini, yang terutama disebabkan adanya perbedaan-perbedaan di dalam pelaksanaan ijin .. • Mengikursertakan publik di dalam usaha mengendalikan penebangan pohon secara liar. • Umuk mengatasi kekurangan bahan baku, pemerintah diminta mengambillangkah-langkah guna memberantas praktik-praktik penebangan pohon secara liar, dan sejalan dengan itu, dilakukan program penghijauan kembali dengan sistem pemantauan yang baik. • Mempergunakan hutan-hutan negara yang terbengkalai, dan bermitra dengan komunitas setempat di dalam membuka daerah-daerah baru ini. Perkebunan • Para petani di sekror ini, terutama te:mbakau, mendesak agar ada transparansi informasi di dalam penentuan harga dan kebutuhan tembakau oleh pabrik-pabrik tembakau.
• Revitalisasi industri pemrosesan gula dengan menggantikan mesin tua, serta perbaikan teknik-teknik penanaman pada tingkat hulu merupakan kunci di dalam memperbaiki produktivitas. • Program sertifikasi tanah, dengan p~osedur yang lebih sederhana dan biaya yang lebih rendah, diusulkan oleh para pengusaha kopi, sebab mereka ingin menjadikannya sebagai agunan untuk mengakses kredit bank. • Aparat kepolisian hams menyediakan keamanan yang lebih baik di perkebunan-perkebunan. Sektor Industri Respondeu dari sekror ini terutama terdiri dari perusahaan menengah sampai besar. Tiga rekomendasi
utama mereka adalah: • Adanya sanksi yang berat dari pihak pemerintah guna memberantas kegiatan penyelundupan, yang berakibat rusaknya tata niaga seperti pada industri tekstil dan kayu. • Adanya konsistensi dalam kebijakan buruh dan ketidakberpihakan di dalam menyelesaikan sengketa buruh akan sangat penting, sebab Jawa Timur merupakan tuan rumah bagi banyak industri padat karya. • Menyederhanakan penggantian PPN dan 'membersihkan' pejabat-pejabat pajak yang korup akan meningkatkan pemasukan pajak bagi pemerintah, di samping memudahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya. 117
LAMPIRAN 1 I
Kondisi Koordinasi Antar Pemerintah Lokal di Jawa Timur
KONDISI KOORDINASI ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DIJAWA TIMUR Masalah-masalah yang dikemukakan dalam Bab Rekomendasi dan Kesimpulan menunjukkan bahwa diperlukan mekanisme koordinasi antar pemerintah daerah dan juga berbagi pengalaman dalam pelaksanaan program yang lebih baik. Informasi di bawah ini memberikan sekilas gambaran tentang forum yang sekarang ada untuk kerja sama tersebur. Beberapa di antaranya merupakan forum koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; sementara yang lainnya merupakan koordinasi antar pemerintah daerah.
Badan-badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Di era desentralisasi, para pejabat pemerintah kabupaten dan kota mempunyai wewenang yang jaub lebih besar. Dalam konreks ini, salah satu peran pemerintah provinsi adalah unruk menjalankan fungsi koordinasi, teristimewa berkaitan dengan masalah-masalah yang melintasi batas-batas pemerintah daerah. Dalam usaha menjalankan fungsi ini, pemerintah provinsi Jawa Timur, melalui Peraturan Daerah (Perda) No.5 tahun 2001, telah membentuk empat Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil). Masing-masing Bakorwil melipuri suatu daerah koordinasi berbeda, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel6.1 Pembagian Bakorwil diJawa Timur
~~ -~·-
-~~1 .. _ f:lcJ":ohAllUW_J
Kabupaten Bojonegoro
Kabupaten Madiun
Kabupaten Malang
Kabupaten Pamekasan
Kab. Tuban
KotaMadiun
KotaMalang
Kab. Sumenep
Kab. Lamongan
Kab. Ponorogo
Kab. Pasuruan
Kab. Sampang
Kab. Jombang
Kab. Ngawi
Kota Pasuruan
Kab. Bangkalan
Kab. Mojokerto
Kab. Magetan
Kab. Probolinggo
Kab. Gresik
Kora Mojokerto
Kab. Pacitan
Kota Probolinggo
Kab. Sidoarjo
Kab. Kediri
Kab. Trenggalek
Kab. Lumajang
Kota Surabaya
Kora Kediri
Kab. Tulungagung
KotaBatu
Kab. Blitar
Kab. Banyuwangi
Kota Blitar
Kab.Jember
Kab. Nganjulr
Kab. Situbondo Kab. Bondowoso
120
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk empat Bakorwil ini dengan maksud menyediakan koordinasi dengan pemerintah kabupatenlkota, mempermudahkegiatan otonomi, mengkoordinasikan potensi daerah, dan menyediakan bahan bagi Gubernur untuk pembuatan kebijakan. Tugas pokok Bakorwil dapat dilihat secara lebih rind dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 5 tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dan landasan operasionalnya dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur No. 50 tahun 2001. Peraturan tersebut menegaskan bahwa Bakorwil mempunyai tugas utama membantu Gubernur dalam koordinasi, bimbingan, dan pengawasan dari perilaku otonomi provinsi dan otonomi kabupatenlkota. Untuk menyelenggarakan tugas pokok seperti tersebut di atas, Badan Koordinasi Wilayah mempunyai fungsi : . • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi propinsi di wilayah. • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas dekonsentrasi dan tugas pembuatan propinsi. • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi kabupaten I kota di wilayah. • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan kabupatenlkota. • Pelaksanaan perwujudan keterpaduan antara otonomi provinsi dan otonomi kabupaten I kota di wilayah. • Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan otonomi propinsi dan penyelenggaraan otonomi kabupaten I kota di wilayah. • Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan tugas pembantuan propinsi serta tugas pembatuan kabupaten I kota. • Penyusunan laporan kegiatan badan koordinasi wilayah sebagai masukan gubernur dalam pengambilan kebijakan Di samping Bakorwil, fungsi koordinasi juga dijalankan oleh dinas teknis Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Fungsi koordinasi setiap dinas teknis bergantung pada tugas dan fungsi dasar dinas-dinas itu. Hasil kajian tentangkoordinasi yang dilakukan oleh RegionalEconomic Development Institute (REDI, Institut Pembangunan Ekonomi Wilayah) menunjukkan bahwa tidak pernah dilakukan koordinasi berkaitan dengan hambatan perdagangan antara daerah dan kebijakan investasi. Koordinasi yang diberikan Bakorwil terutama merupakan koordinasi dalam pembangunan fisik dan koordinasi di dalam mengantisipasi masalah-masalah sosial, politik, dan lingkungan.
121
Lampiran
Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Komisariat Wilayah IV Ketika desentralisasi berjalan, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi masalah hubungan antar daerah. Oleh karenanya, ketika desentralisasi dimulai, beberapa pemerintah daerah menginisiasi untuk membentuk asosiasi pemerintah daerah yakni Asosiasi Pemerintah Kota se-Indonesia (APEKSI) dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia (APKASI). Di Jawa Timur, Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia (APEKSI), diketuai oleh Walikota Surabaya Bambang DH. Pertemuan dalam forum ini juga bisa bersifat resmi dan bisa juga dalam bentuk forum yang sifatnya informal, untuk membahas suatu persoalan tertentu. Secara formal, tujuan dari APEKSI adalah untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam melaksanakan otonomi daerah, peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha sesuai potensi dan keanekaragaman daerah. Secara rind, tujuan APEKSI terdiri dari; • Mewakili pandangan dan kepentingan kota-kota di Indonesia kepada pusat serta organisasi atau lembaga lainnya. • Secara efisien dan efektifmengelola dan melaksanakan bidang kerja asosiasi guna menghasilkan perbaikan kualitas pelayanan dan kegiatan warga pada kota-kota di Indonesia. • Membantu penguatan dan pengembangan kapasitas pemda melalui konsultasi, saran dan pengembangan struktur yang desentralisasi. • Memberikan informasi kepada masyarakat dan mengembangkan citra positif mengenai kontribusi pemerintah kota. • Mengembangkan respon proalnif guna pengembangan isu dan pengelolaan perubahan dalam memperkuat pengelolaan kota melalui kerja sama antar pemerintahan kota. • Menjadi perantara dan fasilitator konferensi, musyawarah, rapat pertemuan dan kegiatan pembelajaran lainnya guna meningkatkan pengetahuan dan pengalaman. • Membina hubungan dengan asosiasi dan kelompok profesional lain di indonesia dan luar negeri agar minat dan kepentingan anggota apeksi dalam program-program pembangunan dapat tersalurkan. • Bekerjasama dengan lembaga donor dan lembaga lainnya untuk mendapatkan dukungan dalam kerangka pengembangan kapasitas kota.
122
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam forum koordinasi yang ada, APEKSI juga memiliki topik bahasan yang kbas, terutama terkait dengan persoalan pemerintaban kota. Hal ini berhubungan langsung dengan tujuan pendirian APEKSI yaitu untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam pelaksanaan otonomi. -Dalam pandangan APEKSI, masalab otonomi tidak lepas dari tiga hal yaitu pembagian kekuasaan, pendapatan daerab dan sistem administrasi daerab. Dalam pelaksanaannya lebih dikenal dengan sistem pelimpaban wewenang kepada kabupaten dan kota, diiringi dengan pengaturan personil dan aset, serta peningkatan kemampuan keuangan daerab. Berangkat dari asumsi seperti itu maka topik atau persoalan yang sering dibicarakan dalam APEKSI adalab sebagai berikut : • Di tataran peraturan perundangan, masalab yang sering dibicarakan adalab pertentangan antara peraturan perundangan dalam mengatur kewenangan yang sama. Misalnya Keppres No. 10 Tabun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi di Bidang Pertanaban yang tidak sejalan dengan aturan perundangan yang ada di atasnya ( UU No. 22 Tabun 1999 dan PP No. 25 Tabun 2000). • Ma5ih banyaknya aturan bersifat teknis yang belum dibuat oleh pemerintab pusat sehingga membingungkan daerab. Akibatnya muncul beberapa kasus kewenangan yang belum dilimpabkan kepada kota. Misalnyakewenangan untuk pertanaban, kehutanan, perhubungan, yang belum diterima beberapa kota. • Sikap pemerintab propinsi yang cenderung enggan melimpabkan wewenangnya kepada kabupaten dan kota. • Adanya daerab yang menolak kewenangan yang dilimpahkan kepada mereka dengan alasan membebani APBD kota. • Dalam pengaturan personil, yang paling mencolok adalab persoalan eselonisasi pejabat yang menyulitkan penempatan pada struktur pemerintaban daerab. • Pada pengelolaan aset, masalab yang sering dibicarakan adalab belum adanya petunjuk pelaksanaan dari pemerintab pusat tentang pengaturan aset kepada pemerintab kota. • Sehubungan dengan keuangan daerab, masalab yang sedang hangat dibicarakan adalab persoalan Dana Alokasi Umum (DAU). Pemerintab kota memandang babwa indikator yang dipakai belum memadai. Sebagai alat ukur untuk menentukan bobot DAU yang diterima daerab, indikator ini kurang memperhatikan kondisi kota. Misalnya tidak dimasukkanriya fungsi-fungsi dalam pengelolaan kota sebagai salab satu indikator. Sebagai akibatnya, banyak kota yang hanya bisa membiayai pengeluaran rutin saja untuk tabun 2001. 123
Lampiran
• Selain DAU, sehubungan dengan masalah peningkatan pendapatan daerah ini, diperlukan aturan-aturan baru untuk berbagai masalah teknis, seperti pengaturan kontribusi yang berarti dari perusahaan-perusahaan nasional yang berada di daerah bagi pembangunan kota; pengelolaan unit-unit tertentu sebagai pemasukan daerah (misalnya pengelolaan SIM dan STNK).
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Koordinator Wilayah Jawa Timur Pendeklarasian Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) pada tanggal 30 Mei 2000 bertujuan untuk menciptakan iklim kondusif di dalam penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten guna tercapainya kemandirian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menuju terwujudnya tujuan nasional. Pembemukan APKASI juga didasari oleh Kepurusan Menteri Dalam Negeri No. 16 rahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah. Pendeklarasian yang dilaksanakan di Jakarta tersebut dihadiri oleh 26 Bupati yang mewakili Propinsi masing-masing dan menghasilkan keputusan Pembentukan Pengurus APKASI. Dalam melaksanakan misinya, APKASI bertujuan menciptakan iklim yang kondusif terhadap pelaksanaan kerjasama antar pemerintah kabupaten untuk memanfaatkan peluang nasional, regional dan global guna kepentingan kabupaten dalam rangka kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan rujuannya, APKASI berkewajiban dan berhak menunjuk dan menetapkan perwakilannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk memperjuangkan kepentingan kabupaten. Untuk mewujudkan tujuannya, APKASI telah menyusun dan menetapkan Konstitusi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia. Konstitusi ini ditetapkan pada Musyawarah Nasional I APKASI yang diselenggarakan pada tanggal3- 4 Agustus 2001 di Tenggarong Kabupaten Kurai, Kalimantan Timur. Tujuan Asosiasi adalah : • Menetapkan anggota yang mewakili Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia untuk duduk sebagai anggota Dewan Perrimbangan Otonomi Daerah; • Memberikan masukan dan pertimbangan secara proaktifterhadap semuakebijakan Pemerintah dan/atau pihak lain yang menyangkut kepentingan Kabupaten; • Menyediakan pelayanan (penelirian, pelatihan, penyuluhan, konsultasi dan lain-lain) dalam upaya peningkatan kapasitas pemerintah kabupaten; 124
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
• Menyediakan model instrumen produk hukum pemerintah kabupaten; • Memfasilitasi kerjasama antar kabupaten, ·antar kabupaten dan kota, antara kabupaten dan pihak ketiga (swasta), serta antara kabupaten dan negarallembagalbadan di luar negeri; • Memfasilitasi pertukaran informasi antar pemerintah kabupaten dan/atau pihak lain; • Memediasi penyelesaian perselisihan antar pemerintah kabupaten, antara kabupaten dan kota; • Memasyarakatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan kabupaten. Di Jawa Timur terdapat perwakilan APKASI yang tergabung dalam APKASI Korwil Jawa Timur. Saar ini yang menjabat sebagai koorrlinator wilayah APKASI di Jawa Timur adalah Drs. Samsul Harli Siswoyo, MSi (Bupati ]ember). Dalam bidang perdagangan, APKASI Korwil Jawa Timur pernah melakukan koordinasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani tembakau rli Jawa Timur, yang dilakukan pada 18 September 2003. Ada 20 kabupaten yang menjarli sentra tembakau terlibat dalam pertemuan ini. Dalam pertemuan tersebilt, sebanyak 20 kabupaten penghasil tembakau seJatim sepakat bekerjasama di bidang pertembakauan. Kesepakatan itu tercapai dalam Rakor Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (APKASI) Korwil Jatim yang membahas masalah pertembakauan di Pendopo Kabupaten Jember. Conroh kerjasama yang tlilakukan adalah ketika harga tembakau di beberapa daerah anjlok selama riga tahun terakhir. Menurut Bupati Jember, Drs. Samsul Hat!i Siswoyo, Msi., harg:i. tembakau anjlok karena tidak adanya kebersamaan dalam menangani masalah tembakau. Selama ini, karena masing-masing daerah bergerak senrliri-sendiri, maka kemampuan negosiasi petani rendah. Hanya saja pertemuan itu belum terhlu memberikan harapan positif bagi petani tembakau, seperti tliungkapkan oleh Muhammad Yunus, pengurus Asosiasi Petani Tembakau Rajang Rengganis (APTRR). Hingga saar ini belurn diperoleh informasi lain tentang upaya kerja samalkoorrlinasi di bidang investasi maupun perdagangan yang tlilakukan oleh APKASI.
Koordinasi Bilateral Kerja sama Kota Surabaya Dan Kabupaten Sidoarjo; sebuah conroh.
Forum koordinasi yang sifarnya bilateral biasanya memiliki tujuan yang terkait langsung dengan kepentingan pihak-pihak yang melakukan kesepakatan kerjasama. Sebagai conroh, kesepakatan bersama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Kota Surabaya tentang Kerjasama Pembangunan Antar Daerah. 125
Lampi ran
Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam mengelola berbagai program pembangunan, mengefisienkan pemanfaatan dan pengembangan potensi yang mempunyai keterkaitan, memanfaaatkan sumber daya yang ada, maupun hal-hal yang berkaitan dengan letak geografis. Kerjasama pembangunan antar daerah ini elilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat di kedua daerah tersebut. Beberapa aspek kerjasama diantara kedua daerah tersebut antara lain : • Sinkronisasi perencanaan pembangunan eli wilayah perbatasan, seperti pembangunan jalan di daerah Rungkut (Surabaya) dan Berbek (Sidoarjo).
perencanaan
• Koorelinasi penanganan masalah sosial dan ketertiban (anak jalan, gelandangan, pengemis dan keamanan) disekitar terminal Bungurasih. • Kerjasama penataan wilayah investasi, jika ada investasi yang padat modal (capital intensive) akan diarahkan ke Surabaya, sedangkan untuk investasi yang padat karya (labor intensive) akan diarahkan ke Sidoarjo.
Efektifitas Forum Koordinasi
Masih banyaknya persoalan yang menghambat kinerja perusahaan di Jawa Timur bisa memberikan indikasi bahwaiklim usahaeli daerah belumsepenuhnyakondusi£ Konelisi semacamini menimbulkan pertanyaan sejauh mana efektifitas forum koordinasi di Jawa Timur dalam berperan menciptakan iklim usaha yang kondusif eli Jatim. Masing-masing forum koorelinasi yang ada eli Jatim memiliki fokus kegiatan yang terkait dehgan perekonomian daerah masing-masing. Dari berbagai program kegiatan, forum-forum koorelinasi tersebut telah mencapai beberapa target, baik yang terprogram maupun insidentil. Forum koorelinasi yang ada di Bakorwil misalnya, telah memberikan usulan ke pemerintah propinsi untuk menerbitkan perda tentang aset pemerintah propinsi di daerah. Bakorwil juga telah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, misalnya dalam upaya untuk mengamankan atau mengantisipasi konflik antar pendukung partai. Bakorwil juga mengusulkan kepada dinas perikanan di daerah agar menyeeliakan cold storage agar ikan tangkapan nelayan tetap terjaga kualitasnya. Sebagai perangkat dari pemerintah propinsi, Bakorwil berusaha menyelesaikan konflik tapa! batas Gunun~ Kelud antara Pemerintah Kabupaten Keeliri dan Kabupaten Blitar, serta merigusulkan pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 tahun 2001 karena bertentangan dengan perda propinsi.
!26
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di an tara berbagai rekomendasi hasil forum koordinasi yang terdapat dalam Bakorwil, hanya ada beberapa saja yang berhasil direalisasikan. Misalnya pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 Tahun 2001. Perda ini bertentangan dengan Keputusan Gubernur Jatim No. 44 Tahun 2001. Substansi yang bertentangan itu terletak dalam hal tarif yang ditetapkan Kabupaten Bojonegoro yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan pemerintah propinsi Jatim. Dalam pasal Bab VII pasal 8, disebutkan struktur dan besarnya tarif, sebagai berikut; a. Kayu Olahan tujuan Dalam Negeri, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per M3 ; b. Kayu Olahan tujuan Luar Negeri, sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per M3 ; c. Kayu dari TPK : - A1/C1, sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) per M3; - A2/C2, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per M3; - A3/C3, sebesar Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) per M3. d. Kayu dari bongkaran rumah dan atau jembatan, sebesar Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah) perM3. Struktur tarif yang ditetapkan di Perda Kabupaten Bojonegoro ini bertentangan dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi. Dengan alasan ini secara top down, Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 Tahun 2001 dibatalkan. Forum koordinasi yang berada dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Propinsi Jatim, biasanya melakukan koordinasi terutama pada saat-saat hari besar nasional seperti hari raya Idul Frtri, hari Natal dan Tahun Baru. Menghadapi momen penting seperti ini Disperindag banyak melakukan koordinasi dengan dinas teknis di tingkat daerah, untuk mengamankan distribusi barang. Tetapi ketika Disperi~dag mencoba menyentuh masalah kebijakan di tingkat daerah yang bisa mengganggu kondusifitas iklim usaha, hasilnya tidak efektif karena pemerintah daerah selalu menggunakan alasan kewenangan daerah untuk melegitimasi kebijakannya. Biro Hukum Propinsi juga telah berusaha melakukan koordinasi terkait dengan perda bermasalah di tingkat daerah yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha di berbagai sektor di Jatim. Akan tetapi Biro Hukum mengalami kendala karena perda yang terkait dengan pajak dan retribusi yang membebani masyarakat, merupakan kewenangan pusat dan bukan merupakan kewenangan propinsi. Aturan ini bisa kita lihat pada PP No. 20 Tahun 2001 dan Kepmen No. 41 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa pengawasan perda dilakukan langsung oleh menteri dan tidak didistribusikan kepada gubernur. Tetapi aturan ini tidak efisien karena Menteri Dalam Negeri harus mengurusi begitu banyak perda bermasalah di Indonesia. Akibatnya, banyak perda bermasalah yang terkatungkatung dan tidak jelas kapan akan dicabut. 127
Lamp iran
Menghadapi situasi seperti ini, Biro Hukum Propinsi berusaha melakukan beberapa langkah untuk menyiasati kondisi yang ada. Tindakan yang diambil oleh Biro Hukum untuk menghadapi perda bermasalah adalah: • Melakukan pengawasan terhadap perda kabupaten kota dan mendesak mencabut perda yang bermasalah. • Kalan daerah tidak mau mencabut perda bermasalah tersebut, perda bermasalah tersebut akan diekspose ke media massa sehingga masyarakat tahu; • Mendesak menteri untuk mencabut perda bermasalah di tingkat daerah karena Biro Hukum Propinsi tidak memiliki hubungan hierarkhis dengan pemerintah daerah. Tetapi langkah-langkah tersebut belum efekti£ Contohnya, sampai saat ini belum terlihat adanya perda-perda bermasalah di Jatim :Yang diangkat oleh Biro Hukum ke media massa. Akibatnya, fungsi koordinasi perundang-undangan di daerah belum berjalan efekti£ Demikian juga langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memerintahkan untuk mencabut perda bermasalah di daerah, juga kurang efektif karena pihak daerah, baik eksekutif maupun lagislatif tetap pada pendiriannya untuk tidak mau mencabut perda tersebut dengan alasan UU No. 22 Tahun 1999 memberi daerah kewenangan yang luas .. Sebagai contoh kasus bisadilihatketikaMendagri Hari Sabarno melalui empatsurat dan duakeputusan menteri mendesak agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik membatalkan atau merevisi enam peraturan daerah (perda) yang telah disahkan. Karena, selain bertentangan dengan kepentingan umum, keenam perda itu juga bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. Surat dan keputusan Mendagri soal desakan pembatalan dan revisi enam perda memang sudah diterima pimpinan DPRD, tetapi ternyata pihak DPRD membalas surat Mendagri tersebut dengan surat keberatan atas surat dan keputusan Mendagri itu. Alasannya, penyusunan perda di Gresik sudah berdasarkan pada pertimbangan yang masak dan berdasarkan aturan hukum. Keenam perda yang dipermasalahkan Mendagri adalah perda No. 39 Tahun 2000 tentang sumbangan pihak ketiga. Perda itu, harus dihapus karena bertentangan dengan kepentingan urn urn. Selanjutnya Perda No. 8 Tahun 2002, tentang pelayanan ketenagakerjaan. Perda ini dianggap bertentangan dengan UU NO. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi. Kemudian perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi ijin Gangguan dan Perda No. 10 tahun 2001 ten tang pajak parkir. Perda ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi.
128
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dua perda lainnya, yaitu perda No. 3 tahun 2001 tentang Penataan Ruang dan Perda No. 19 tahun 2001 tentang kepelabuhanan. Kedua perda tersebut dianggap bertentangan dengan UU nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran. Pihak daerah dengan tegas menyatakan keberatannya untuk · membatalkan perda bermasalah tersebut. Dalam pandangan daerah, Mendagri harus menghormati keberadaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sementara itu, efektilitas forum koordinasi bilateral seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya masih terbatas. Satu hal positif dari forum koordinasi ini adalah dalam pembangunan jalan raya di perbatasan yang lebarnya dibicarakan dulu sehingga ada kesamaan Iebar jalan di perbatasan. Selain itu juga ada kerja sama dalam menangani masalah sosial seperti masalah gelandangan dan pengemis di daerah perbatasan di Terminal Bungurasih. Forum koordinasi yang ada dalam APEKSI efektilitasnya juga relatif terbatas. Kecenderungannya, forum ini lebih banyak membicarakan persoalan keterbatasan anggaran pemerintah kota. Akibatnya,pembicaraan dalam forum koordinasi ini lebih banyak berfokus pada bagaimana mengembalikan sumber-sumber pendapatan daerah yang dikuasai pusat ke daerah. Misalnya, ada pemikiran bahwa sebaiknya pemasukan dari Pelindo harus dikembalikan ke pemerintah daerah. Dengan demikian, secara wp.um belum ada forum koordinasi yang secara efektif mampu meningkatkan kondusifitas iklim usaha di Jatim. Faktor utamanya adalah ekses negatif dari otonomi daerah, terutama terkait langsung dengan dihilangkannya struktur hierarkhi antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Dari sinilah kemudian egoisme daerah muncul, yang ditandai dengan lahirnya perda-perda bermasalah yang bisa mendisrorsi iklim usaha di Jatim.
129
PUSTAKAACUAN
Buku-buku Aswicahyono dan Maidir. Jndustri Tekstil dan Gannen Indonesia: Menentukan Sikap dalam Persaingan Internasional yang Baru, Jakarta: CSIS, 2003 Biro Pusat Statisrik, Statistik Industri Kecil. Jakarta, 2002 Biro Pusat Statistik, Survey lndustri. Jakarta, 2000
Black Dictionary of Economics. Oxford, 2002 Center for Economic and Social Studies, Medium Size Study: Discussion Paper, Jakarta: 2003. Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departemen Keuangan, Ana/isis Dasar-dasar Makro dan Mikro untuk Kebijakan Cukai Tembakau di Imkmesia. Jakarta: 2004
FE-UNDIP. Laporan Akhir Kizjian tentang AltematifCukai Tembakau, 2004, Semarang: 2003 Isdijoso, Brahmantio dkk. "Studi Departemen Keuangan PSPK-BAR Departemen Keuangan.
Isdijoso, Brahman rio, Mangara Tambunan dan Ubaidillah. Prospek Perdagangan Domestik yang Bebas dalam Era Desentralisasi dan Dampaknya Atas Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Jakarta: CESS, PRISM Project - The Asia Foundation, 200 I. Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, Daya Tarik /nvestasi Daerah: Survey Persepsi Pengusaha, Jakarta: 2003
Laporan Tim Sektor Swasta, Jakarta, World Bank, 2003 Lembaran Negara No. 82. 1957 Loebis, Linda dan Hubert Schimtz. Java Furniture Makers: Winners or Losers ftom Globalization, Sussex: IDS, 2003.
Ray, David. Prosiding Konforensi: Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate, Jakarta: PEG-USAID, 2003. Surat Direktur Utama PT. Garam kepada Kepala Dinas Industri, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang. 2003 Surat Keputusan Menteci Kehutanan dan Perkebunan No. 132/Kprs-II/2000 tentang Pengenaan SKSHH Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2001 tentang Moratorium atas kegiatan pemotongan dan perdagangan dalarn ramin
130
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Suratkabar Kompas, 31 Agustus 2002 Kompas, 22 July 2002 Kompas, 23 Juni 2002 Kompas, 12 Agustus 2002 Kornpas, 18 Februari 2003 Kompas, 19 Maret 2003 Kompas, 5 Mei 2003 Kompas, 26 Mei 2003 Kompas, 25 Juli 2003 Harian Surya, 7 November 2003 Bisnis Indonesia, 5 Februari 2004 Agence France Presse, 16 Maret 2004
Jakarta Post, 26 April 2004
Intemet Data tentangJawa Timur tersedia di: http://english.d-infokom-jatim.go.idleastjava.asp Data tentang impor daging tersedia di: http://www.bi.go.id/sipuklim/ind/sapi_potong/aspek_pemasaran.htm Data tentang industri Garam tersedia di: http://suharjavanasuria.tripod.com
131