H . OOOljjooo{. '02. .. CVl.j ...3/-1~-.:).[)();2.
6c.q l
II'vlPLE\fENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN·SUMBER PAD PERIKANAN LEBAK LEBUNG DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR TESI S untuk memenuhi sebagian persyarata n mencapai derajat Sarjana Srata 2 Program Studi Magist~r Administrasi Publik Konsentrasi Kebijakan Publik
Diajukan Oleh :
_
.. _
.......
,.,&.-o~O.-
A• ...... -a-.......,_ _ _ _ _.....,.,.--....... ___ _ _ _ _
••
••_0_.._.__~
--.-.A.-.J-· .. _... 00
Tesis IMPLEMENTASI KEBUAKAN PENGELOLAAN SUMBER PAD PERIKANAN LEBAK·LEBUN..G Dl KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR dipersiapkan dan disusun oleh
AHMADGUSTI telah dipertahankan di depah Dewan Penguji pada tanggal 2 April 200 1
Susunan Dewan Penguji
s f\_f>vl 'f' ~ .
...
..P..~~: . ~~~~.~.~?..A~~~..M~~g~~~!..M.. .~~.: ....
.......... ~~: .. ~.?~~~~.~.!:!:?.~ ..~.~ : .................................. ..
Pembimbing Pendamping II
..........P.r.s. ..A.g...Sub.a.rs.Qm>.,..M.A....M.Si ...... Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Tanggal ..............;.J. .
9. .A.P...R...2.0.QJ...........................
Pengelola Program Studi : M~gi~1~.r..A.Q.mj.nis.tr~si.Pub.fik - UGM
•• . · - . ;....... - - : - -..... ~........,;a:... •
......,;.._.,--;.- ~·-·
...._...Lo. _ _ _ _ _ _
.. _ -
- --
•
~. _ _ ... __ ..,. •. _ . . .-.~----·
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat ka1y a yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Pe rguruan Tinggi , dan sepanjang pengetahuan saya juga tjdak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
. Y ogyakarta, 2 Apri I 200 I
AHMAD GUST!
KATA
PENGA~TAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt karcna berkat rahmat dan karunia-Nyalah tesis yang berjudul ''lmplcmentasi Kebijakan Pengdolaan Sumber PAD Perikanan Lebak Lebung di Kabupaten OKl" ini dapat selesai der;gan baik. Di samping sebagai karya ilmiah guna memenuhi pe;:syaratan untuk mengakhiri studi dan mencapai gelar Magister pada MAP UGiv1, hasil pcnelitian ini juga berpretensi untuk memberikan sumbangan pemikiran dan koreksi atas implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OK! pada khususnya dan di Provinsi Sumatera Selatan pada umumnya sebagai bahan masukan decision maker dan implementor.\· kebijakan untuk perbaikan pengelolaan sumber
PAD perikanan lebak lebung di daerah tersebut. Kcndatipun seluruh materi dan kebcna:an hasil pcJlCiitian ini SCJJi..:nuhnya merupakan tanggung jawab penulis, akan tetapi dalam proses pcncl.i.ian hingga s~~lcsainya
pcnulisan. semua tidak terkpas dari dukungan mo!·i] dan mr;teriil bcrhagai
pihak. O!eh karena itu pcnulis menyampaikan ucapan tcri111.1 ',;,asih kcpada scmua pihak yang turut mcmbantu kelancaran pcnulisa11 tcsis ini. /\dapun pcnghargaan dan ucapan terima kasih terutama disampaikan kepada : 1. OTO BAPPENAS yang telah memberikan beasiswa untuk m.::ngikuti pcndidikan
program Pasca Satjana di MAP UGM. 2. Pemerintah Kabupaten OKI yang memberikc.n kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Pasca Sarjana di MAP UGM. 3. Bapak Dr. Warsito Utomo dan Drs. Subando Agus Margono, Msi, masmg-
.
masing sebagai pembimbing I dan II yang penuh dengan keramahan dan kesabaran membimbing penulis, sekaligus memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Bapak Dr. Muhadjir Darwin, lr. Soetrisno, MES, dan Drs. Ag Subr. ·so no, M.A, Msi, yang telah banyak membcrikan saran dan masukan bagi perbaikan tcsis ini. 5. Civitas Akademika MAP UGM yang telah memberikan ilmu dan pelayanan bagi kelancaran proses belajar mengajar selama penulis studi di lembaga tersebut.
6. Pihak atau aparat yang terkait di Pemerintah Provinsi Surnatera Selatan dan Pemerintah Kabupaten OKI, dan warga desa_ scbagai respondcn dan ::;cgcnap pihak yang telah membantu dan memberikan informasi penting bagi keperluan penulisan tesis ini. 7. Terakhir, penulis haturkan terima kasih kepada rekan-rekan Angkatan XV!ll MAP UGM yang telah memberikan sumbangan pernikiran dalam pePulisan tesi s. Karya tulis ilmiah (tesis) ini bukanlah tanpa cacat, walaupun penuli s telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikannya dengan baik, namun karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki, tentunya masi h banyak kekurangan dan kekeliruan, baik dalam pengumpulan data, pengolahan,
peny~jian
serta analisis maupun dalam menarik suatu konklusi. Oleh karena itu, saran koreksi yang konstruktifbagi penyempumaan tesis ini sangat diharapkan. Akhirnya sekali lagi, hanya kepada Allah sembah sujud syukur penulis panjatkan, semoga Allah meridhoi segala langkahku menuju kebaikan hidup dunia dan akhirat, Am in.
Yogyakarla,
April
200 I
ABSTRAKSI
Hasil penelitian terhadap implementasi kebijakan eksploitasi sumber daya alam daerah dengan kasus pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten Ogan Komering Ihr, menemukan bahwa perfonnance implementasi kebijakan adalah relatif sedang. Hal tersebut terlihat dari tercapainya satu dari tiga tujuan kebijakan yaitu tercapainya target penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten OKI sedangkan ketiga tujuan yang lain belum tercapai, yaitu masih rendahnya pendapatan masyarakat dari hasil usaha perikanan lebak lebung, masih banyaknya konflik antara pengemin dengan warga masyarakat, kurangnya kegiatan pelestarian kemampuan SDA. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa performance implementasi kebijakan tersebut dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor kewenangan, sumber daya dan sikap. Interaksi ketiga faktor tersebut menyebabkan relatif sedangnya performance kebijakan. Dilihat dari faktor kewenangan, maka terlihat telah terjadi pseudo decemralisation dari Pemerintah Propinsi ke Pemerintah Kabupaten. Ada kesan kewenangan Gubemur masih kuat terhadap pengelolaan perikanan Iebak lebung. Dominasi kewenangan Gubemur menyebabkan keraguan Bupati dan menjadikan kebijakan bersifat sentralis. Padahal sifat usaha perikanan lebak lebung yang merakyat lebih tepat jika dilaksanakan secara desentralisasi. Anal isis terhadap faktor ketersediaan sumber daya menunjukan bahwa potensi perairan umum berupa rawa dan sungai yang luas suht untuk dikembangkan lagi sebagai obyek lelang, karena fungsinya sebagai jalur lalu lintas dan reservaat. Pengembangan dilakukan dengan insentifikasi dalam rangka peningkatan produksi perikanan. Ketersediaan SDM aparat pelaksana secara kuantitas tidak diikuti dengan kualitas dalam teknis pelaksanaan lelang dan adminitrasi keuangan. Penyebaran aparat yang kurang memperhatikan esensi dari kebijakan yang hanya memfokuskan pada pelaksanaan lelang sementara tenaga teknis perikanan masih kurang. Relatif besarnya insentif yang diterima oleh panitia pelaksana dalam pelaksanaan lelang lebak lebung yang menjadikan besamya biaya operasional secara keseluruhan, padahal insentiftersebut diberikan untuk pribadi pejabat kecamatan dan desa Dilihat dari faktor sikap, menunjukan bahwa adanya sikap kelompok aparat di tingkat kabupaten yang menganut pendekatan legal rational walaupun ditemukan pula sekelompok aparat yang mempunyai concern terhadap pendekatan rational productivity. Kedua kelompok aparat di atas, sama-sama mendukung kebijakan disebabkan adanya keuntungan yang mereka peroleh dari implementasi kebijakan. Kurang jelasnya institution leader antara Dinas Perikanan dan Bagian Pemerintahan Desa dalam pengendahan pengelol~an areal lebak lebung mengakibatkan diabaikannya aspek pelestarian kemampuan SDA dan lingkungan hidup. Selanjutnya dilihat dari sikap masyarakat, maka terjadinya penolakan oleh elit desa (pengemin besar dan kepala desa) terhadap ketentuan kebijakan selain disebabkan tidak adanya
kekuasaan dan insentif yang diberikan kebijakan kepada mereka berpengaruh terhadap sikap masyarakat desa secara keseluruhan yang masih bersifat patrimonial. Walaupun performance implementasi kebijakan relatif sedang, sejalan dengan filosofi penyerahan urusan perikanan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah maka kebijakan ini merupakan kebijakan yang positif bagi peningkatan kemampuan keuangan daerah kabupaten serta membuka 1apangan pekerjaan bagi masyarakat desa di daerah. Tindakan yang harus dilakukan adalah meningkatkan performance imp1emcntasi kebijakan me1alui penyempumaan terhadap ketentuan-ketentuan kebijakan itu sendiri.
ABSTRACTION
The result of research of policy implementation of natural resources exploitation in Ogan Komering Ilir with case about management of Lebak Lebung fishery was found at the medium performance in policy implementation. That all was described from the reaching one of three policy aims, that is the achieving of original territory earnings.ofOgan Komering Ilir. Three of policy aims that not be reached are : (a) still low in income of society from the result of effort in Lebak Lebung fishery, (b) still be found many conflict between pengemin (the winner of selling at auction) and the fishery society, (c) less action in natural resources preservation. And then, the result of research was described that performance of policy implementation above was influenced by three factors, that are authority, resources and attitude. The interaction of three factors was being reason why the policy in medium performance. In authority factor has seen of pseudo decentralization from province government to local government. Governor sti11 has strong hand in management of Lebak Lebung Fishery. Authority domination of Governor cause hesitation's Regent and the policy become centralization, whereas the Lebak Lebung fishery is more exact if implemented by decentralization. The analyzes of resources availability showed that potential of public waters as swamp and wide river are difficult to be developed as auction object because its ftmction as traffic line and reservation. And intensification is the way to rise fishery product. Human Resources availability of implementing quantitatively not be followed by quality in technical auctioning implementation and monetary administrative. Distributing implementer that not pay attention in essential of policy that just focus on auctioning implementation, besides less in technical person of fishery. Much incentive in Lebak Lebung auctioning to the auction organizer made operational cost has risen at all, whereas that incentive is given to subdistrict head and village official personally. In attitude factor showed that there is a group of official in regency that have legal rational approach, although it's found that the other group concern in rational productivity approach. Both of the group have the same concerning in policy because of profit that they got from implementing policy. Less in institution leader between fishery division and village government division in controlling of managing Lebak Lebung area caused carelessness of availability natural resources preservation and environment. In society attitude was happened refusal between village official elite to policy rules. It's caused by there is no authority and incentive that given to the influential person toward village people that have patrimonial behavior. Although performance policy implementation in medium degree, appropriate with transfer of sovereignty fishery affair from central government to local government, so this policy is positive policy for rising availability local government monetary and open jobs chance for village people in regency. The next action is rising performance policy implementation by perfecting to the rules of its policy.
DAFTAR lSI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMANPtRNYATAAN HALAMANSTATEMENT HALAMAN PERSEMBAHAN KAT A PENGANT AR ABSTRAKSI ABSTRACT DAFTAR lSI DAFT AR T ABEL DAN SKEMA DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................
I
B. Masalah Penelitian. ...... ... ....... .. .. .. .. .. ......... .. ......... .....................
9
C. Tujuan Penilitian.......................................................................
9
D. Kerangka Teori..... .. ..... .. ......... ... .. . .. ....... ... .. .... ....... ....................
I0
I. Otonomi Daerah sebagai Desentralisasi Penyelenggaraan
Pemerintahan...................................................... .. .... .. .. .
I0
2. Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Daerah
15
3. Kebijakan Publik...........................................................
19
4. fmplementasi Kebijakan Publik....................................
2I
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak lebung... .......
28
a. Kevvenangan .............................................................
33
b. Su1nber Daya............................................................
36
c. Sikap.........................................................................
38
BAS II
METODOLOGI
A Desain Penelitian........................................................................
42
B. Lokasi Penelitian ........................................................................
43
C. Sam pel dan Responden .... ......... ........ ................ ....... ..................
43
D. Definisi Konsep dan Definisi Operasional.................................
44
E. Teknik Pengumpulan Data.........................................................
49
F. Teknik Ana lisa Data ....................... ............................................
50
BAS III KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERlKANAN LEBAK LEBUNG DI KABUPA TEN OKI
A Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ....... ..... ... ......
52
B. Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung di Kabupaten
BAB IV
Ogan Komering llir... .. .. .. .......... .. ............ ...... ..... .. ...... ....... .. .....
56
1. Deskripsi Wilayah Penelitian...............................................
56
2. Deskripsi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak lebung.
64
AN ALI SA DATA A Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung .................. .. ...... .. .........
74
B. Dampak Aktual atau Hasil Kebijakan ......................................
89
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung .. ....... ..... ...... .. .. .. .. .........
102
1. Kewenangan.........................................................................
102
2 .. Sumber Daya.......................................................................
113
a. Sumber Daya Perikanan Lebak Lebung ..........................
113
b. Sumber Daya Man usia....................................................
118
c. Sumber Dana...................................................................
122
3. Sikap....................................................................................
127
a. Sikap Pelaksana...............................................................
128
b. Sikap Masyarakat............................................................
136
BAB V
PEN U T UP A. Kesimpulan..................................................................................
144
B. Rekomendasi ...............................................................................
147
DAFTAR PUSTAKA PEDOMAN WAWANCARA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR T ABEL DAN SKEMA
Halam an
Daftar Tabel
Tabel 0 I Kontribusi Komponen PAD Kabupaten OKI Tahun 1995/1996 s/d 1999/2000.......................................................................................
6
02 Jumlah Obyek Lebak Lebung Per-Kecamatan Pada Tahun 1999..
59
03 Jumlah Penduduk Per-Kecamatan di Kabupaten OKI Tahun 1999
60
04 Keadaan Pegawai Dinas Perikanan Kabupaten OKI Tahun 2000 .
61
05 Produksi Perikanan Menurut Wilayah Penangkapan Tahun 1995 s/d 1999................................................................................................
62
06 Jumlah Rumah Tangga Perikanan dan Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 1995 s/d 1999............................ .... .. .... .. .. .. .. .. .. .. .. ..... .. ..... .. ..
63
07 Target dan Realisasi Basil Lelang Lebak Lebung Tahun 1995-1999
91
08 Jumlah Rumah Tangga Perikanan Perairan Umum dan Penyerapan Tenaga Ketja Tahun 1995-1999.....................................................
92
09 Alokasi Dana Pembersihan Reservaat dan Restocking di Kabupaten OKl Tahun 1995-1999 ...................................................................
100
10 Jumlah Reservaat di Kabupaten OKI pada Tahun 2000................
101
11 Dana Proyek Pembangunan Perikanan di Kabupaten OKI Tahun I 99 3 - 1999....................................................................................
112
12 Produksi Perikanan di Wilayah Perairan Umum Tahun 1993-1999
114
13 Jumlah Obyek Lebak Lebung Baru yang Dilelangkan Tahun 2000
117
Daftar Skema Skema 0 I Proses lmplementasi Kebijakan ....................................................
24
02 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung di kabupaten OKI..............
41
03 Prosedur Pelelangan Obyek Lebak Lebung...... .. ...... .. .... ....... .. . .. .. ..
72
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebijakan
otonomi
daerah
yang
dicanangkan
pemerintah
dengan
dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan keleluasaan (Jiscretionw:v power) kepada daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya sendiri (Koswara, 2000 : 36). Masih menjadi tanda tanya apakah otonomi yang diberikan terlalu luas akan menimbulkan disintegrasi dan pengkotakkan atau hanya lips service yang memberikan harapan kepada daerah, terutama daerah kaya yang pada saat reformasi mengajukan tuntutan untuk memisahkan diri (separation). Tindakan ini sebagai akumulasi kekecewaan akibat adanya ketidakseimbangan antara eksploitasi yang dilakukan Pemerintah Pusat atas sumber daya alam
(SDA) daerah dengan kontribusi yang dikembalikan
(redistribution) kepada daerah. Pemerintah Daerah melihat di dalam otonomi daerah terdapat : sharing
f~l
power, distribution
t~f'
income dan empowering regional
administration (Warsito, 1999 : 4). Terlepas masih ada ganjalan atau tidak,
masa
transisi pelaksanaan otonomi daerah selama 2 tahun untuk sosialisasi kemudian otonomi daerah diberlakukan secara efektif pada januari 2001. Otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab memberikan keleluasaan kepada daerah kabupatenlkota dalam mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya. Otonomi luas bukanlah
2
berarti kebebasan absolut bagi suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonomi menurut kehendak daerah sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan daerah lain atau nasional. Batasan keleluasaan otonomi daerah adalah keleluasaan daerah agar mampu berfungsi sebagai daerah otonom yang mandiri, berdasarkan asas demokrasi dan kedaulatan rakyat tanpa mengganggu stabilitas nasional dan keutuhan wilayah NKRI. Pemikiran meletakkan otonomi daerah pada tingkat wilayah yang paling
dekat
mendewasakan
dengan
rakyat
(kabupaten!kota)
politik
rakyat
(democratization
memberikan process)
dan
makna
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Implikasi dari otonomi daerah adalah kemampuan keuangan daerah dalam penyelenggaraan urusan daerah. Artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali, mengelola dan menggunakan potensi SDA daerah sebagai sumber keuangan sendiri dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber keuangan utama didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai konsekuensi logis tanggung jawab negara terhadap wilayahnya. Untuk mendukung otonomi daerah dikeluarkan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai tanggung jawab pemerintah terhadap daerah. 01 samping PAD daerah juga mendapat dana perimbangan berupa dana alokasi umum (DAU) yang bersifat hlock grant, dana alokasi khusus (OAK) yang bersifat
.~pec?fic
grant dan pinjaman daerah (Warsito, 1999). Dengan peraturan ini
diharapkan daerah mampu memacu pembangunan daerah, sehingga kesenjangan
3
pertumbuhan antar daerah secara perlahan dapat dikura:1gi. Nantinya Pemerintab Daerah tidak lagi bergantung pada Pemerintah Pusat, melainkan secara mandiri dapat mempro!:,rramkan pembangunan daerah sesuai dengan kemampuan keuangan. Sumber penerimaan daerah menurut pasal 55 UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pernerintahan di Daerah terdiri dari : PAD, bagi basil pajak dan bukan pajak, subsidi daerah otonom dan bantuan pembangunan. Sumber penerimaan PAD adalah: 1) hasil pajak daerah, 2) basil retribusi daerah, 3) basil BUMD dan 4) penerimaan lain-lain. Daerah harus jeli melihat potensi SDA sebagai sumber PAD, bagaimana menggali potensi yang ada dan meningkatkan pendapatan. Peranan dana sangat menentukan keberhasilan pembangunan daerah di samping kesiapan SDM dalam mengelolanya (Widjaja, 1998 : 153). Pemerintab Daerah (kabupatenlkota) melakukan berbagai upaya dan terobosan dalam meningkatkan PAD, sebab
f~ktor
dana sangat berperan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yaitu : memberikan pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu surnber PAD yang khas di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Propinsi Sumatera Selatan adalah di sektor pertanian berupa perikanan lebak lebung. Lebak lebung, sungai dan tanab nyurung merupakan suatu areal yang terdiri dari lebak (rawa-rawa), lebung (tanah rendah yang berair), sungai dan tanah nyurung (tanah yang rnen-'jorok' ke sungai) yang secara alamiah mengalami pasang naik dan surut. Pada musim air naik menjadi tempat ikan berkernbang biaknya dan pada musim air surut dimanfaatkan oleb masyarakat untuk menangkap ikan dan untuk bercocok tanam. Areal ini sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah Daerah, kecuali yang
4
terdapat ijin atau telah menjadi hak perorangan/perusahaan. Penguasaan areal ini oleh Pemerintah Daerah merupakan warisan dari pemerintah marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat, yang dinamak:an tanah marga. Di Propinsi Sumatera Selatan sebutan untuk desa adalah marga yang dikepalai oleh
seorangpasirah (Wignjodipuro, 1983:198
~Muhammad,
1985:103).
Ada dua sifat kepemilikan areal ini yaitu lebak lebung dan sungai umum yang dikuasai Pemerintah Daerah (disebut lebak lebung umum) dan yang berupa warisan dibuat oleh leluhur pewaris di atas tanah miliknya (disebut lebak lebung warisan). Keduanya termasuk dalam areal lebak lebung yang telah ada sejak masa pemerintahan marga. Potensi khas sumber keuangan daerah ini telah dikelola oleh pemerintah marga sebagai sumber pembiayaan roda pemerintahan marga Hak mcnangkap ikan dan hasil perairan lainnya di areal lebak lebung diberikan kepada pihak yang berminat melalui mekanisme lelang, sehingga dinamakan Lelang Lebak Lebung. Lelang adalah penjualan di muka umum dengan penawaran yang bersaingan dipimpin oleh juru lelang (Hamzah, 1986 : 344). Pelaksanaan lelang atas obyek lebak lebung diikuti oleh oranglbadan usaha yang berminat untuk menguasi areal dimaksud dengan cara bersaing (competition) dengan harapan Pemerintah Daerah selaku pemilik/penguasa
obyek lebak lebung
mendapatkan harga tertinggi sesuai dengan standar yang ditetapkan. Potensi daerah dikelola dan dikembangkan oleh Pernerintah Daerah dengan membuat kebijakan (Widjaja, 1998 : 18). Potensi daerah dapat ditawarkan kepada pihak ketiga (masyarakat dan investor) dalam rangka kebijakan 'kornersialisasi'
5
daerah. Pemerintah Kabupaten OKI membuat kebijakan untuk mengelola potensi perikanan lebak lebung ini sebagai sumber PAD melalui instrumen hukum Peraturan Daerah (Perda). Sesuai dengan pasal 21 UU No.9 tahtm 1985 tentang Perikanan, disebutkan bahwa sebagian urusan perikanan darat dan laut diserahkan oleh pemerintah kepada daerah. Potensi perikanan lebak lebung merupakan perikanan darat yang termasuk dalam urusan Pemerintah Daerah, sehingga
daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan mengelola potensi daerah tersebut. Pcngclolaan perikanan lebak lebung telah diserahkan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan kepada kabupaten/kota melalui SK Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Selatan tanggal 5 Nopember 1982 No.705/KPTS/II/1982 tentang Pelimpahan Wewenang Pelaksanaan Lelang Lebak Lebtmg kepada Pemda Tingkat II dalam Propinsi Sumatera Selatan. Kebijakan pemerintah kabupaten yang diwujudkan dalam bentuk Perda merupakan keputusan politik (political decision) antara eksekutif (Bupati) dan legislatif (OPRO) untuk mengatur masalah tersebut. Pelimpahan kewenangan tersebut ditindaklanjuti
oleh Pemerintah Kabupaten OKI dengan
membuat Perda yaitu Perda Tingkat II OKI No.l3 tahun 1987 dan Perda No.28 tahun 1987 tentang Pengaturan Retribusi Ikan dan Lelang Lebak Lebung. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan lebak lebung secara teknis diserahkan kepada Dinas Perikanan, sedangkan pelaksanaan lelang areallebak lebung diserahkan kepada camat sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam wilayah administrasinya. Selanjutnya pengaturan disempurnakan dengan Perda No.3 Tahun 1996 jo. Perda No. 17 Tahun 1999 tentang Lelang Lebak Lebung. Pemerintah Kabupaten OKI
6
memberikan perhatian yang serius pada potensi SDA ini agar dapat menjadi sumber PAD dalam membiayai pembangunan d.aerah. Komponen hasil lelang lebak lebung memberikan kontribusi
pada PAD
cukup besar, di mana Pemerintah Kabupaten OKI menjadikannya sebagai sumber pendapatan yang utama. Luasnya wilayah rawa-rawa sangat memungkinkan untuk pengembangan perikanan air tawar yang dapat dikelola oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Adapun j umlah penerimaan dari komponen basil lelang lebak lebung selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabell Kontribusi Komponen PAD Kabupaten OKI Th 1995/1996-1999/2000(dalam ribuan) No
Komponen PAD
95/96
96/97
97/98
98/99
99/00
1
Pajak daerah
194.101
255.062
300.209
443.696
842.834
2
Retribusi daerah
893.855
1.163.593
1.257.838
793.173
781.876
·'
Laba BUMD
42 .. 370
105.021
25.087
] 04.389
177.922
4
Lelang lebak lebung
861.830
765.301
786.934
1.611.405
3.777.570
5
Pendapatan lain
120.588
580.302
271.497
523.827
616.936
2.322.753
2.869.291
2.641.566
3.486.592
5.697.139
...
.J u m I a h
Sumber: Laporan Tahunan Otspenda Kabupatcn OKl (data d10lah) Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa pendapatan dari hasil lelang lebak lebung memiliki kontribusi yang besar yaitu pada tahun 1995/1996 sebesar 37,10 persen dan san gat meningkat pada 2 tahun terakhir 1998/1999 sebesar 46,21% dan 1999/2000 sebesar 66,30%. Peningkatan pendapatan ini seiring dengan tuntutan masyarakat
agar
Pemerintah
Daerah
menerapkan
gooq governance dalam
7
pelaksanaan kebijakan pengelolaan perikanan
lebak lebung dan
transparansi
penerimaan pendapatan hasillelang lebak lebung. Sebelum berlakunya UU No.18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti UU No. 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan UU No.12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, Kabupaten OKI mengandalkan PAD dari pajak dan retribusi daerah. Pada tahun 1995/1996 sampai 199711998 retribusi daerah memberikan kontribusi yang paling besar dalam PAD. Dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 1997 terjadi penurunan yang sangat drastis dari retribusi daerah (termasuk retribusi perikanan), sehingga Kabupaten OKI harus mencari sumber lain yang dapat diandalkan untuk membiayai pembangunan daerah. Sebagaimana diketahui oleh masyarakat awan di Kabupaten OKI bahwa pengelolaan perikanan Iebak lebung
sangat sarat dengan tindakan manipulasi dan
penyelewengan dalam pelaksanaan lelang dan uang hasil lelang. Pada tahun 1998/1999 telah tetjadi penyelewengan (tindak pidana korupsi) pendapatan yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Daerah sebesar 1,1 Milyar yang melibatkan beberapa pejabat Pemerintah Kabupaten OKJ (Sumatera Ekspres, 15 Agustus 2000). Selain itu permasalahan yang sering terjadi adalah konflik antara masyarakat desa yang menggarap areal lebak lebung pada saat kering dengan
pengemm
(orang/pengusaha perikanan yang memenangkan lelang). Masyarakat desa merasa berhak memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam
pada waktu kering
(persiapan lahan basah menuju kering) sedangkan para pengeminjuga merasa berhak
8
untuk menangkap ikan pada areal lebak lebung yang telah dikuasainya. Konflik ini dapat menimbulkan kerawanan sosial di desa-desa dalam Kabupaten OKI (Hamid,
1999: 87). Permasalahan lain adalah
pengemm dalam mengeksploitasi areal lebak
lebung yang dikuasai kurang memperhatikan aspek kelestarian (preservation) ikan yang ada didalamnya. Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan pengendalian dalam kegiatan eksploitasi agar memperhatikan aspek kelestarian surnber hayati. Selain itu Pcmerintah Daerah kurang memberikan perhatian pada
upaya untuk
meningkatkan produksi perikanan yang ada dalam areal tersebut, tidak hanya mengandalkan perkembangan secara alamiah sehingga nilai jual akan menjadi tinggi dan selanjutnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. Berangkat dari kondisi riil diatas penulis menganggap perlu dilakukan analisis terhadap implementasi kebijakan pengelolaan sumber PAD perikanan lebak lebung, sehingga dapat dilihat keberhasilan implementasinya dan ditemukan faktor-faktor apa yang menjadi pendorong dan kendala dalam pelaksanaan di lapangan Pencapaian tujuan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung
dapat
dihambat oleh lemahnya daya antisipasi para polie-y maker maupun pendesain mekanisme pelaksanaan kebijakan, terganggunya implementasi karena pengaruh berbagai kondisi hngkungan yang tidak teramalkan (unpredictable) sebelurnnya. Untuk itu Pemerintah Kabupaten OKI selaku policy maker dan implementor sangat berkepentingan agar kebijakan tersebut dapat berjalan sebaik mungkin guna mencapai tujuan yang optimal. Setelah beberapa tahun pelaksanaan kebijakan pengelolaan
9
perikanan lebak lebung ini maka perlu dilakukan analisis untuk mengetahui apakah hasil yang dicapai sudah optimal dan apabila belum perlu dicari penyebabnya.
B. Masalah Penelitian Dari Jatar belakang permasalahan yang dikemukakan diatas maka penulis merumuskan masalah yang akan dikaji, yaitu : •
Bagaimanakah implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI?
•
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung tersebut ?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : •
Mengetahui
pencapaian
tujuan
dari
implementasi
kebijakan pengelolaan
perikanan lebak lebung di Kabupaten OKl. •
Mengindentifikasi faktor-faktor yaug mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung tersebut.
•
Menemukan solusi dan mengurangi berbagai hambatan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung.
10
D. Kerangka Teori 1. Otonomi Daerah sebagai Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan
Refonnasi pemerintahan ditandai dengan dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 menggeser paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik ke arah sistem pemertntahan yang desentralistik. Hal ini merupakan dobrakan terhadap implementasi politik desentralisasi yang terkandung dalam UU No.5 tahun 1974 dengan
meletakan titik berat otonomi
pelaksanaannya
pada daerah kabupatenlkota, yang
tersendat-sendat dan malah mengalami kemunduran. Adanya
dualisme sistem pemerintahan daerah yaitu menjadikan daerah otonom sekaligus daerah administrasi (jitsed model) yang seharusnya terpisah (split model). Perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah sering menjadi aJang kekhawatiran yang menimbulkan ketidakhannonisan karena masing-masing meninjau otonomi daerah dari perspektif yang berbeda. Perbedaan perspektif ini menjadi dilema yang berkepanjangan dengan mendikotomikan antara sentralisasi dan desentralisasi. Pemerintah Pusat menginginkan teljaganya eksistensi NKRI yang mengkhawatirkan otonomi luas akan menjadikan daerah memisahkan
diri
(separation), sedangkan daerah melihat otonomi daerah sebagai landasan untuk
berekspresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan aspirasi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang merupakan penerapan konsep teori areal division r?f· power yang membagi kekuasaan secara vertikal (Koswara, 2000) ..
11
Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi. Jika sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan maka desentralisasi adalah pembagian dan pelimpahan. Sarundajang mengutip pendapat Rondinelli dan Cheema (Nugroho, 2000:41) mengatakan bahwa
desentralisasi adalah transfer dari perencanaan,
pengambilan keputusan atau kewenangan administratif dari Pemerintah Pusat kepada orgamsasmya di Iapangan, unit administratif Iokal, semi otonom dan organisasi parastatal. Desentralisasi terbagi menjadi dua yaitu desentralisasi teritorial (kewilayahan) dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah di dalam negara. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Dengan demikian desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari organisasi pemerintahan (struktur birokrasi).
Pendapat lain membedakan dua bentuk desentralisasi yaitu desentralisasi administrasi dan desentralisasi politik (devo/usi). Pertama merupakan apa yang sering dipahami sebagai dekonsentrasi di mana terdapat kewenangan untuk melaksanakan urusan pemerintah di tingkat lokal. Sedangkan kedua adalah desentralisasi sebenamya yaitu kewenangan yang dimiliki dalam membuat keputusan dan kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki daerah.
12
Otonomi bermakna memerintah sendiri, yang dalam wacana administrasi publik daerah otonom sering disebut sebagai local self government. Warsito (1999) memberikan pengertian yang sama antara desentralisasi dan otonomi yaitufreedom, se(f independence atau di.\pension of power. Desentralisasi atau otonomi merupakan
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi atau desentralisasi bukanlah semata-mata bemuansa tee/mica/ administrat inn atau practical administration, tetapi harus dilihat sebagai process ofpolitical interaction, yang sangat berkaitan dengan demokrasi pada tingkat
lokal (local democracy) yang mengarah pada pemberdayaan (empowering) atau kemandirian daerah. Pendapat senada dikemukakan oleh Sarundajang (Nugroho, 2000:46), Otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang, sehingga lebih dekat pengertiannya dengan otonomi daerah. Otonomi adalah derivat dari desentralisasi.
Daerah otonom adalah daerah yang mandiri dengan tingkat
kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi derajat desentralisasi semakin tinggi tingkat otonomi daerah. Ada beberapa perbedaan tentang konsep otonomi daerah diantaranya: 1) otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan regional sesuai riwayat, adat istiadat, dan sifat-sifatnya dalam negara kesatuan 2) otonomi sebagai
13
upaya berperspektif ekonomi politik dimana daerah diberi peluang untuk berdemokrasi dan berprakarsa memenuhi kepentingannya, 3) otonomi sebagai kemerdekaan dalam segala urusan yang menjadi hak daerah, 4) otonomi sebagai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam memenuhi kepentingan masyarakat lokal, 5) otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment (Keban, 2000 : 70). Dalam konteks Indonesia, otonomi harus dilihat sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan di satu pihak dan sebagai upaya birokrasi untuk merespon keanekaragaman agar mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat daerah. Dalam hal ini dapat dihhat bahwa otonomi merupakan kewenangan daerah otonom (kabupaten!kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah merupakan desentralisasi kewenangan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah Daerah memiliki urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah kecuali bidang luar negeri, moneter, peradilan, keamanan dan agama. Urusan yang telah diserahkan itu menjadi wewenang dan tanggungjawab daerah sepenuhnya, baik menyangkut prakarsa, kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaan maupun perangkatnya. Penyerahan urusan tersebut memberikan konsekuensi bagi daerah atas kemampuannya untuk menjalankan otonomi yang diberikan tersebut. Pemberian otonomi yang diwujudkan dalam UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 merupakan manifestasi dari proses pemberdayaan rakyat dalam kerangka demokrasi di mana daerah kabupatenlkota yang merupakan unit
14
pemerintahan terdekat dengan rakyat (closer government) diberikan keleluasaan untuk berekspresi menyangkut kebutuhan daerahnya. Pemberian otonomi luas kepada daerah masih dalam kerangka NKRI untuk memperlancar pembangunan daerah. CST Kansil (1973) menjelaskan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah agar daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara efektif dan efisien dalam rangka memberikan pelayanan kepada rnasyarakat. Pemberian otonomi tersebut haruslah dapat mencapai tujuan yang positif berupa percepatan pembangunan dan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik yang merupakan fungsi pokok pemerintahan. Oengan UU otonomi daerah, semua urusan menjadi tanggung jawab daerah sesuai dengan PP No. 25 Tahun 2000, yang memberikan batasan tingkat kewenangan mengelola urusan yang dilakukan oleh pemerintah, propinsi dan kabupatenlkota. Konsekuensi
bagi
Pemerintah
Daerah
yang
tidak
sanggup
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan kemungkinan akan dimerger. Tidaklah efektif bila daerah menggantungkan kehidupannya pada subsidi pemerintah. Desentralisasi memiliki peranan yang penting dalam pembangunan, dimana kekuasaan dan pengaruh tumbuh dari sumber daya yang ada dan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal. Ada suatu asurnsi bahwa jika suatu badan lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya maka ia akan mampu mengembangkan dan meningkatkan otoritasnya. Apabila Pemerintah Oaerah hanya mengikuti instruksi pemerintah tingkat atas (budaya petunjuk) maka masyarakat memiliki motivasi berinvestasi rendah.
15
Pendapat Mariun yang dikutip Josef Riwukaho (1997 : 9) menyatakan ada dua alasan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan yaitu: terciptanya efektivitas pemerintahan dan terciptanya demokrasi di/dari bawah (grass roots democracy). Efektivitas pemerintahan tercipta dikarenakan kekhususan (karakteristik) yang dimiliki daerah baik dari sudut pandang fisik-geografis, kondisi tanah, iklim, curah hujan, flora-fauna, sudut pandang kebudayaan sampai ekonomi. Pemerintahan dapat efektif bila sesuai dan cocok dengan kondisi riil daerah. Otonomi
daerah adalah suatu peluang (oppurtunity)
dan tantangan
(threatment) bagi Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan publik dan melaksanakan pembangunan. Otonomi daerah tidak semata-mata sebagai penyerahan sejumlah urusan pemerintahan kepada daerah akan tetapi merupakan kepercayaan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah bersama masyarakatnya bagaimana mewujudkan isi otonomi daerah.
2. Desentralisasi Pengelolaan Somber Daya Alam Daerah Kewenangan untuk melakukan eksploitasi SDA seperti kehutanan, perikanan dan pertambangan yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam upaya memperoleh penerimaan dalam bentuk pajak, retribusi dan provisi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam aspek kehidupan ekonomi nasional. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan sumber-sumber penerimaan daerah, yang terdiri dari : PAD berupa pajak dan retribusi daerah, laba BUMD, dan basil usaha lainya; pemberian pemerintah pusat berupa bagi basil pajak dan bukan pajak, subsidi daerah otonom, dan bantuan pembangunan (UU No.5 tahun
16
1974 pasal 55). Kemudian sumber penerimaan daerah dibatasi UU No 18 tahun 1997 yang mengatur pajak dan retribusi daerah beserta potensinya untuk mendorong efisiensi yaitu penyederhanaan atas banyaknya jenis pajak dan retribusi yang cenderung mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi tinggi (high cost economy). Begitupun UU No. 25 tahun 1999 pasal 79 masih menekankan kepada PAD untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah sedangkan dana perimbangan mempakan prosentase yang diterima oleh kabupatenlk:ota dari Pemerintah Pusat dari hasil pajak dan hasil SDA. Konsekuensi dari penyerahan urusan yang diterima daerah sebagai wujud dari otonomi daerah adalah kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah otonom hams mampu membiayai urusan yang telah diserahkan tersebut berdasarkan kewenangan dan kemampuan yang dimiliki untuk menggali sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakannya. Ketergantungan kepada bantuan pusat hams seminimal mungkin, sehingga PAD menjadi bagian sumber keuangan terbesar. Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya PAD masih bel urn diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi dikarenakan beberapa hal: 1) relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah, 2) perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, 3) kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah dan 4) kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Pande R Silalahi (2000) menyatakan bahwa pemerintah propinsi dan kabupatenlk:ota tidak pemah dapat menutupi pengeluarannya dengan pendapatan
17
sendiri. PAD propinsi dan kabupaten/kota berada jauh di bawah total pengeluaran daerah yang bersangkutan, bahkan hanya menutupi sebagian pengeluaran rutin sedangkan sisanya daerah mengharapkan transfer dari pemerintah tingkat atas. Pemerintah
Daerah
diperkenankan
menggali
dan
mengembangkan
sumber
penerimaan daerah. Ketidakmampuan Pemerintah Daerah mengembangkan sumber penerimaan secara berarti karena selain secara administratif relatif sulit juga sumber penerimaan utama telah dimonopoli Pemerintah Pusat. Otonomi daerah menjadi relevan bagi pembangunan secara umum karena beberapa alasan, diantaranya : 1) pemerintah bel urn cukup baik mengelola sumber daya publik, seperti : kehutanan, perikanan atau pengelolaan wilayah perkotaan. Dalam pengelolaan selama ini produktivitas sumber daya tersebut cenderung merosot dan insustainah/e akibat kompleksitas pengelolaan yang salah, tidak adanya pembinaan dan munculnya perilakufree-rider (moral hazard) dan 2) otonomi daerah harus memberikan keadilan bagi daerah penghasil untuk menikmatinya. Dukungan kewenangan yang luas dalam pembiayaan memungkinkan daerah dapat menggali potensinya dalam rangka mensukseskan pembangunan. Sebagai sumber
PAD maka Pemerintah Daerah harus mengelola potensi
SDA daerah yang dimiliki secara efektif, efisien, dan sustainable.
Pengelolaan
potensi SDA daerah secara tepat akan berdampak pada peningkatan penerimaan PAD yang sangat penting untuk pembiayaan pembangunan daerah. Tingkat kemampuan daerah dapat diketahui dan diukur dari
kemampuan di bidang keuangan, yaitu
18
kemampuan
daerah
dalam
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan yang
bersumber dari PAD. Kebijakan
melakukan
eksploitasi
SDA
sebagai
upaya
memperoleh
penerimaan dari komersialisasi SDA telah didesentralisasikan pemerintah kepada daerah dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Dengan desentralisasi pengelolaan SDA ini, daerah memiliki kewenangan untuk menentukan pola yang sesuai dengan karakteristik daerahnya dalam mengelola SDA. Pengelolaan SDA perikanan lebak lebung harus dilakukan untuk kepentingan masyarakat bukan untuk kepentingan pribadi pejabat atau kelompok. Dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara transparan,jujur, adil dan bertanggungjawab (good governance). Keberhasilan otonomi daerah sangat terkait dengan penyerahan sumber dana, SDM, dan perangkat fisiknya yang memadai untuk pelaksanaan urusan yang diserahkan ke daerah. Salah satu sumber dana tersebut berasal dari SDA yang dimiliki daerah. Pengelolaan SDA secara efektif akan berpengaruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada daerah adalah sebagian urusan perikanan, hal ini disebutkan dalam pasal 21 UU No.9 tahun 1985. Dalam melakukan pemanfaatan SDA perikanan harus memperhatikan aspek pelestarian lingkungan sesuai dengan UU No.23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eksploitasi SDA di Indonesia tetap mengacu pada prinsip pasal 33 (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran
19
rakyat. Pemerintah memiliki hak penguasaan untuk melakukan eksploitasi atas kekayaan
alam
lndonesia.
Eksploitasi
yang
dilakukan
tersebut
haruslah
memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pengertian untuk kepentingan rakyat tidak diartikan secara harfiah dengan membagi-bagi kekayaan alam tersebut kepada masyarakat, akan tetapi masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengelola SDA dengan mengikuti ketentuan yang berlaku. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pengelolaan SDA yang menimbulkan (private activity) terhadap SDA tersebut.
aktivitas privat
Demikian juga pengertian untuk
kesejahteraan rakyat adalah bahwa Pemerintah Daerah mengelola SDA secara tepat, yang mana hasil dari eksploitasi tersebut dimasukkan ke kas daerah (penerimaan PAD) untuk digunakan dalam pembiayaan pembangunan daerah. 3. Kebijakan Publik Berbagai konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli sangat bervariatif bentuknya. W Dunn (Wibawa, 1994:50) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pilihan tindakan pemerintah (termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna meJ1iawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat. Thomas R. Dye (Winarno, 1989 : 2) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya James Anderson (Winarno, 1989 : 3) menyatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan sejumlah aktor dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan. Di samping itu kebijakan publik dapatjuga merupakan serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang
20
dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah, diformulasikan dalam bidang-bidang isu (issue areas) yaitu arah tindakan aktual atau potensial dari pemerintah yang didalamnya terkandung konflik diantara kelompok masyarakat (Dunn, 1995 : 63-64 ). Beberapa konsep kebijakan publik pada dasamya memandang kebijakan publik sebagai tujuan untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Hal yang sama dikemukakan oleh Wahab (1997 : 4) yakni serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam keputusan-keputusan
ini
pada
prinsipnya
masih
berada
situasi di mana
dalam
batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut. Eulau dan Prewitt (Jones, 1991 : 48-49) menyatakan ada beberapa komponen kebijakan yaitu : 1) Niat (intentions), 2) Tujuan (goals), 3) Rencana atau usulan
(plans or proposals), 4) Program, 5) Keputusan atau pilihan (decision or choices) dan 6) Pengaruh (ejfec;ts). Selanjutnya kebijakan publik merupakan suatu pemanfaatan yang strategis terhadap masalah-masalah publik. Dalam hal pemecahan suatu permasalahan tersebut perlu diupayakan suatu tahapan atau proses dalam pembuatan kebijakan publik, sebagaimana diungkapkan oleh Ripley (1985:49) bahwa tahaptahap terse but adalah : 1) Agenda of Government : masalah yang ada di masyarakat menjadi agenda pemerintah, 2) formulasi kebijakan dan pengesahan tujuan program
(formulation and legitimation of goals and program): pengumpulan informasi, ana lisa dan penyebarluasan, 3) implementasi program (program implementation):
21
proses pencarian dan pengerahan sumber daya untuk mewujudkan tercapainya tujuan yang ditetapkan, 4) evaluasi dari tindakan dan akibatnya (evaluation
of
implementation performance and impacts): menilai bagaimana implementasi kebijakan, bagaimana perwujudannya dan apa dampak yang ditimbulkannya, 5) penentuan masa depan
dari kebijakan (decision absent the future of policy and
program): menentukan apakah program atau kebijakan tersebut dianjurkan dengan berbagai perbaikan atau dibatalkan. Definisi di atas memberikan gambaran bahwa kebijakan publik terjadi karena tindakan-tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah yang timbul dalam masyarakat sehingga rnelahirkan keputusan-keputusan tersebut.
4. Implementasi Kebijakan Publik Kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung merupakan upaya Pemerintah Kabupaten OKI dalam menggali potensi khas daerah sebagai sumber PAD. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai sebuah proses perumusan kebijakan yang ditetapkan, dilaksanakan dan dievaluasi melalui tahap-tahap seperti problem identification,
formulation, legitimation, implementation dan evaluation (Dye, 1981 :340). Pada intinya ada tiga prinsip kebijakan (three balance principle) yang menjadi fokus dalarn mempelajari suatu kebijakan yaituformulation, implementation dan evaluation. Dalam penelitian ini penulis melihat kebijakan dari aspek implernentasinya yaitu proses pelaksanaan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI.
22
Studi implementasi masih merupakan cabang dari ilmu administrasi publik sebagaimana diungkapkan oleh Dye dan Grindle. Studi implementasi berusaha untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak sekali program pemerintah yang tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Pressman dan Wildavsky (1979 : 93) mengutip apa yang dikatakan oleh Udoji bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakankebijakan akan sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Selanjutnya Islamy (1988 : 102) mengemukakan, bahwa pembuat kebijakan tidak hanya ingin melihat kebijakannya telah dilaksanakan oleh masyarakat, tetapi juga ingin mengetahui seberapa jauh kebijakan tersebut telah memberikan konsekuensi positif dan ncgatif bagi masyarakat. Implementasi kebijakan (policy implementation) merupakan proses lebih lanjut dari tahap fonnulasi kebijakan. Pada tahap fonnulasi ditetapkan strategi dan tujuan
kebijakan,
sedangkan
tindakan
(action)
untuk
mencapat
tujuan
diselenggarakannya pada tahap implementasi kebijakan. Sabatier dan Mazmanian (1983 : 67) mengemukakan bahwa implementasi merupakan pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan mendasar, biasanya tertuang dalam suatu undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan pengadilan. Idealnya, keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan
23
yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara 'menggambarkan struktur' proses implementasi tersebut. Sementara itu George C Edward III (Wahab, 1990 : 124) menyatakan bahwa tahap implementasi kebijakan merupakan tahap diantara pembentukan kebijakan dan konsekuensi atau akibat dari kebijakan pada kelompok sasaran, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi, dan implementasi dimaksudkan untuk mencapai tuj uan kebijakan yang membawa konsekuensi langsung pada masyarakat yang terkena kebijakan. Bardach (I 977) mengartikan proses implementasi sebagai suatu sistem pengendalian untuk menjaga agar tidak terjadi penytmpangan sumber dan penyimpangan dari tujuan kebijakan. Selain itu proses implementasi adalah merupakan
tawar-menawar
antara
instansi
pemerintah
(Derthrick,
1980).
Implementasi diartikan sebagai apa yang terjadi setelah peraturan perundangan ditetapkan yang memberikan prioritas pada suatu program, manfaat atau suatu bentuk output yang jelas (tangible). Tugas implementasi adalah sebagai penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan publik menjadi hasil (out comes) dari aktivitas pemerintah. Di samping itu implementsi juga menyangkut masalah penciptaan suatu policy delivery 5ystem atau sistem penghantaran I penyerahan kebijakan. Implementasi juga diartikan sebagai pelaksanaan suatu keputusan politik yang biasanya disampaikan dalam bentuk peraturan perundangan yang mencakup masalah yang hendak diatasi dan memecahkannya (Effendi, 2000).
tujuan yang hendak dicapai serta cara untuk
24
Potensi sumber daya perikanan lebak lebung perlu dikelola
secara legal
dalam bentuk keputusan politik daerah. Keputusan politik yang diterjemahkan dalam Perda kabupaten rnerupakan suatu bentuk kebijakan Pemerintah Daerah dalam mengelola SDA untuk peningkatan PAD. Kebijakan ini dirumuskan oleh Bupati dan DPRD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan kondisi riil yang ada di lapangan. Proses perumusan kebijakan yang melibatkan seluruh komponen yang berkepentingan dengan obyek lebak lebung akan menjadikan kebijakan tersebut ideal. Kebijakan yang telah tersusun dengan baik belum menjamin dapat diimplementasikan dengan baik. Implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung sangat berkaitan dengan kebijakan itu sendiri, organisasi pelaksana dan hngkungan berupa kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya rangkaian proses implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian (Wibawa, 1994:26) akan terlihat dalam skema berikut :
Skema 1 Proses Implementasi Kebijakan Dampak Dampak Perbaikan Keluaran Kesesuaian _ _ _,. . ,. peraturan kebijakan ______. keluaran -......,,...aktual ______. yang keluaran diperkirakan organisasi kebijakan kebijakan pelaksana dgn.kelompok sasaran Dari skema di atas, terlihat bahwa proses implementasi kebijakan dimulai dengan keluaran kebijakan dari organisasi, kemudian menuju kepada kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan. Setelah itu menghasilkan dampak nyata output kebijakan, sehingga hasilnya terlihat melalui perbaikan mendasar
25
terhadap peraturan yang telah atau belum dilaksanakan, yang berguna untuk menilai kinerja implementasi kebijakan. Demikian halnya dengan penelitian ini akan dikaji dan diteliti apakah implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Perda dan dampak aktual yang timbul sesuai dengan tujuannya serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasinya. Kebijakan yang telah diformulasikan dan diimplemetasikan dilakukan penilaian terhadap keberhasilannya, apakah telah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki atau belum, untuk itu perlu dilihat kinerja dari kebijakan tersebut. Adapun konsep kinetja kebijakan senantiasa diartikan sebagai apa yang dilihat dari program yang telah dilaksanakan. Hal ini menyangkut seluruh aspek yang berhubungan dengan kebijakan yang telah diimplementasikan. Cheema dan Rondinelli ( 1983, 31) mengatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan dapat dilihat dari performansi kebijakan yang mencakup pencapaian tujuan, peningkatan kemampuan pemerintah di unit-unit lokal guna merencanakan dan memobilisasi sumber daya, peningkatan produktivitas dan pendapatan, peningkatan partisipasi masyarakat serta peningkatan akses fasilitas pemerintah Selanjutnya Jackson dan Morgan ( 1978 : 84) mengemukakan bahwa kinetja pada umumnya menunjukkan tingkat tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, yang hendak dicapai. Selain itu Bernadin dan Russel (Jones, 1991 : 135) lebih rinci memberikan batasan mengenai kinerja yakni catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu peketjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu.
26
Pendapat diatas rnenunjukkan bahwa kinerja atau performansi suatu program pembangunan selalu dikaitkan dengan aktivitas pencapaian tujuan kebijakan. Pencapaian tujuan itu sendiri merupakan aktivitas yang selalu ingin diwujudkan dalarn setiap pelaksanaan program pembangunan. Dengan terwujudnya tujuan yang ditetapkan, rnaka dapat dilihat tingkat kinerja dari implementasi kebijakan tersebut. Kinerja menurut Rue dan Byars (Keban : 1995) didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil "the degree of accomplishment" atau dengan kata lain kinerja merupakan tingkat pencapaian suatu kebijakan. Juga pendapat Wibawa (1994 : 19) rnengemukakan bahwa kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat pencapaian standar atau sasaran kebijakan. Tingkat tercapainya standar dan tujuan kebijakan ini adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh aktor yang terlibat. Kesederhanaan prosedur di samping dapat melincinkan jalannya pelaksanaan kebijakan, juga memungkinkan timbulnya inisiatif yang bermanfaat di kalangan implementor. Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan merupakan ukuran dalam penilaian kinerja kebijakan tertentu. Untuk mengkaji aspek implementasi dari suatu kebijakan, proses pelaksanaan dan outcome yang dihasilkan merupakan variabel terpengaruh/terikat (dependent variable), sedangkan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan
dikategorikan sebagai variabel pengaruhlbebas (independent variable). Adapun yang dijadikan dependent variable dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI,
27
yakni kesesuaian antara proses pelaksanaan dan tujuan yang dicapai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Perda. Berdasarkan uraian diatas, maka implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung meliputi : a) proses pelelangan merupakan tahap-tahap dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh pelaksana dan peserta lelang, seperti persyaratan peserta, pelaksanaan lelang, sistem penyetoran dan distribusi hasillelang. b) pelaksanaan eksploitasi merupakan kegiatan eksploitasi dan pembinaan sumber daya perikanan pada areal lebak lebung yang dilakuk:an oleh pengemin dan instansi teknis. c) Peningkatan PAD merupakan kontribusi pendapatan hasillelang lebak lebung terhadap PAD dan perbandingan dengan target yang ditetapkan dalam APBD. d) Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan penciptaan lapangan usaha dan jumlah anggota masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung. e) Turunnya kerawanan sosial merupakan tingkat konflik antara pengemin dan anggota masyarakat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung.
f) Pelestarian lingkungan merupakan tingkat kerusakan yang terjadi dan pengendalian terhadap areallebak lebung agar tetap sustensi.
28
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi lmplementasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung, dalam penclitian ini dijadikan variabel bebas (independent
variable). Dalam menemukan fak.1:or-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung, penulis mencoba mengacu pada beberapa model yang dikembangkan oleh beberapa ahli studi implementasi kebijakan seperti : Meter dan Hom, Grindle, Sabatier dan mazmanian serta George C. Edward III. Berangkat dari pendapat para ahli studi implementasi dan temuan dalam penehtian lapangan diformulasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi
kebijakan.
Adapun
beberapa model
studi
implementasi
yang
dikembangkan beberapa ahli sebagai berikut : a.
Model proses implementasi, Van Meter dan Van Horn (1975 : 4) mengatakan bahwa
implementasi
kebijakan
akan
berhasil
apabila perubahan yang
dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi. Hal ini berarti bahwa jalan yang menghubungkan an tara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable (variabel bebas), yaitu : (1) Standard and objective, (2)
Resources, (3) lnterorgani::::ational communication and enforcement activities, (4) Characteristics of implementing agencies, (5) Economic, political and social
conditions, dan (6) The disposition ofimplementors.
29
b.
Model pengaruh pelaksana pada implementasi kebijakan, Grind1e (Wibawa, 1994 : 22-24 ). mengatakan bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual, dengan penyediaan dana, maka implementasi kebijakan dilakukan. Pelaksanaannya sendiri tergantung pada implementahility dari program, yang dapat dilihat dari : isi kebijakan yang
mencakup I) kepentingan yang terpengaruhi, 2) jenis manfaat, 3) derajat perubahan, 4) kedudukan policy maker, 5) siapa pelaksananya, 6) sumber daya
~
dan konteks kebijakan yang mencakup I) kekuasaan, kepentingan dan strategi pelaksana, 2) karakteristik lembaga, 3) kepatuhan dan daya tanggap. c.
Model proses implementasi kebijakan, Sabatier dan Mazmanian (Wibawa, 1994: 25-26) mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi menjadi tiga kategori besar, yakni : ( 1) Karakteristik masalah, seperti : keragaman perilaku kelompok sasaran, sifat populasi, derajat perubahan perilaku yang diharapkan, (2) Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, seperti : kejelasan tujuan, sumber keuangan yang mencukupi, integritas organisasi pelaksana, diskresi pelaksana, (3) faktor-faktor diluar peraturan, seperti
kondisi sosio-ekonomi, perhatian pers terhadap
masalah kebijakan, dukungan publik, sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama, dukungan kewenangan, komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana. d.
Model implementasi kebijakan dari George C. Edward Ill (Winamo, 1989:88), yang dimulai dengan pertanyaan: 'prakondisi-prakondisi apa untuk implementasi
30
kebijakan yang berhasil'? Berkaitan dengan pertanyaan ini, Edward menjawab bahwa yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan ada empat variabel krusial yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap para pelaksana dan struktur birokrasi . Dari beberapa pendapat ahli studi implementasi diatas, dapat diformulasikan dalam grand theory bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kineija implementasi kebijakan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) faktor kebijakan : tipe kebijakan, manfaat kebijakan, lokasi pengambil keputusan, scope tujuan kebijakan, legitimasi pembuat kebijakan, persepsi tentang kebijakan, (2) faktor organisasi : tipe organisasi, ukuran organisasi, interdependensi, implementation structure, resources, budaya organisasi, (3) faktor lingkungan : kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta kondisi demografis (Effendi, 2000). Secara umum dapat disimpulkan bahwa model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. Jika diperhatikan secara cermat, berbagai model tersebut menunjukkan adanya sating keterkaitan antara satu dengan lainnya, atau sama-sama membicarakan adanya faktor tertentu yang sangat penting dan kuat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Ripley ( 1973) menyatakan bahwa banyaknya organisasi yang terlibat dalam implementasi kebijakan akan menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan, untuk itu disarankan hanya terdapat organisasi pelaksana yang bersifat tunggal agar implementasi kebijakan berhasil. Dengan organisasi
31
tunggal tersebut hanya ada satu kesatuan tindakan yang dikendalikan oleh pimpinan induk organisasi yang memiliki kewenangan penuh. Grindle menyebutkan bahwa kekuasaan yang tennasuk dalam konteks kebijakan merupakan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Di sini Grindle menyamakan pengertian antara kekuasaan dan kewenangan, yang mana kekuasaan yang dimiliki implementor berasal dari kewenangan yang melekat pada jabatannya dalam organisasi pemerintah. Selanjutnya Sabatier dan Mazmanian menyebutkan dukungan kewenangan yang termasuk dalam faktor di luar peraturan memiliki pengaruh dalam implementasi kebijakan. Lembaga atasan dari organisasi pelaksana dapat memberikan dukungan terhadap tujuan kebijakan melalui : jumlah dan arah pengawasan, penyediaan sumber keuangan dan pemberian tugas-tugas baru. Edward III menunjukkan bahwa faktor kewenangan merupakan salah satu faktor yang harus dijadikan perhatian dalam proses implementasi
kebijakan karena dapat menjadi penghambat apabila
kewenangan yang dimiliki oleh impelementor bersifat sangat terbatas. Kebijakan publik harus diteijemahkan secara rinci oleh birokrasi dalam program aksi sebagai cara mencapai sasaran. Cara sebagai wujud dari implementasi kebijakan yang di dalamnya terkandung beberapa komponen pendukung kebijakan yaitu sumber daya, berupa : SDA, SDM (pelaksana) dan sumber dana (besar dan sumbernya). Dalam proses implementasi kebijakan sumber daya harus dijamin ketersediaannya karena akan menjadi faktor penghambat. Pelaksanaan suatu program memerlukan perpaduan ketiga sumber daya secara serentak dan apabila salah satu sumber daya mengalami keterlambatan dalam penyediannnya akan mengganggu
32
kinerja dari pelaksanaan program tersebut. Beberapa ahli mengungkapkan hal yang sama
bahwa faktor sumber daya memiliki pengaruh dalam proses implementasi
kebijakan seperti: Meter dan Horn, Grindle, Sabatier dan Mazmanian dan Edward III. Ada dua aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan yaitu pelaksana dan kelompok sasaran. Sebagai seorang manusia kedua aktor tersebut memiliki watak yang terbentuk dari kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Watak tersebut menjadi sikap kedua aktor dalam memandang suatu kebijakan yang berkaitan dengannya. Sikap pelaksana terhadap kebijakan yang dilaksanakan akan berkaitan dengan kepentingan yang akan diperolehnya. Begitu juga dengan sikap kelompok masyarakat terhadap kebijakan apakah memberikan keuntungan pada mereka atau tidak. Sikap dari kedua aktor ini mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Meter dan Hom melihat faktor sikap dari pelaksana turut mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Demikian juga Grindle melihat bahwa kepentingan pelaksana dan kepatuhan yang termasuk dalam konteks kebijakan merupakan faktor yang turut mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Sabatier dan Mazmanian juga
melihat
mempengaruhi
faktor
sikap
proses
kelompok
impelementasi
sasaran dan kebijakan.
komitmen Begitupun
implementor Edward
III
mengungkapkan faktor sikap pelaksana turut mempengaruhi implementasi kebijakan. Dari uraian di atas terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan
tidaklah
tunggal,
melainkan
banyak
faktor
yang
mempengaruhinya. Bertitik tolak dari pendapat di atas, maka penulis mencoba
33
menghubungkan antara obyek penehtian implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung dengan variabel yang dikemukakan ahli studi implementasi kebijakan. Jika dikaitkan dengan masalah yang telah dirumuskan yakni faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI, maka diduga ada tiga faktor yang mempengaruhinya yaitu: kewenangan (authority), sumber daya (resources) dan sikap (commitment). Hubungan variabel
kewenangan, sumber daya dan sikap sebagai variabel
independen dengan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung sebagai variabel dependen, akan dijelaskan melalui uraian berikut : a. Kewenangan Wewenang adalah dasar atau pondasi tempat manajemen melakukan kegiatan guna mempengaruhi aktivitas para bawahan pacta jenjang hirark.i organisasi. Wewenang bersumber dari peraturan dan normalketentuan yang memberikan kejelasan tentang ruang lingkup (scope) dan yang membatasi dalam pelaksanaannya. Wewenang yang dijalankan manajemen pemerintah adalah alat kekuasaan politik yang telah ditetapkan dengan kompetensi logis guna meningkatkan pelayanan publik. Wewenang sangat diperlukan
guna merealisasikan tujuan pemerintah yang
dipercayakan kepada aparat administrasi, tanpa wewenang sulit bagi organisasi untuk mencapai tujuan. Wewenang mengandung kewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab terhadap hasil karyanya. Kekuasaan dalam wewenang bukan berarti dapat bertindak semaunya melainkan pacta hal-hal yang bersifat pengarahan agar
34
sesuai dengan koridor peraturan, akan tetapi didalamnya juga terkandung kuasa untuk bertindak bila menemukan penyelewengan. Chung dan Maginson (Sutarto, 1989:4) mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk mengambil tindakan yang perlu diperhatikan agar tugas dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan selalu berhubungan dengan jabatan dalam organisasi.
Sementara itu Laswell dan Kaplan mengartikan
kewenangan sebagai kekuasaan formal (formal power). Dari pendapat kedua ahli dapat disimpulkan bahwa kewenangan adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang karena jabatannya dalam organisasi formal (pemerintahan) yang berhak membuat
peraturan,
pengambilan
keputusan
serta menetapkan sanksi
atas
pelanggaran peraturan. Pengaturan pendelegasian wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 80 UU No.5 tahun 1974 dijelaskan mengenai wewenang dan kewajiban bagi Pemerintah Daerah antara lain mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan penmdang-undangan dan Perda dijalankan oleh instansi pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu untuk
menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Penyerahan kewenangan yang demikian menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah khususnya pejabat daerah untuk melaksanakan Perda maupun Peraturan Pemerintah tingkat atasnya. Dalam
membicarakan
masalah
kewenangan
pejabat
daerah
dalam
melaksanakan kebijakan Pemerintah Daerah, orientasi pokok pembahasan harus
35
mengkaitkan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Pengaruhnya akan terlihat pada peraturan yang ada apakah kewenangan didelegasikan seluruhnya atau sebagian kepada Pemerintah Daerah. Pentingnya variabel kewenangan dalam proses implementasi kebijakan pengelolaan lebak lebung, karena secara yuridis formal a.danya penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah atau pejabat tingkat atas kepada pemerintah atau pejabat tingkat bawah dalam menyelenggarakan suatu urusan. Dengan demikian, dalam implementasi kebijakan pengelolaan lebak lebung terdapat penyerahan kewenangan urusan lebak lebung dari Gubemur ke Bupati dan adanya pelimpahan kewenangan dari Instansi tingkat atas ke Instansi daerah. Dalam sistem pemerintahan, manajemen tingkat atas memberikan wewenang kepada manajemen bawah untuk rnelaksanakan suatu urusan tertentu. Kewenangan dalam birokrasi pernerintahan diberikan secara tertulis agar rnanajemen bawah memiliki landasan hukum (legal aspect) untuk bertindak. Birokrasi yang efektif memberikan delegasi wewenang (distribution of power) kepada aparat pelaksana sesuai dengan tingkatan birokrasi untuk menjalankan kebijakan. Sebagai seorang manajer pemerintah kabupaten Bupati memiliki wewenang untuk menjalankan urusan yang dilimpahkan kepadanya. Begitu juga dengan Instansi tingkat atas yang memiliki tugas yang banyak, perlu melimpahkan sebagian wewenangnya kepada instansi teknis di daerah. Dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung ini, unit kerja daerah bertugas untuk melaksanakan pelelangan obyek lebak lebung dan memantau kegiatan eksploitasi dan preservasi obyek tersebut.
36
Berdasarkan uraian tersebut, maka faktor kewenangan dalam penelitian ini dapat dilihat dari : a.
Penentuan pola pelaksanaan lelang dan distribusi hasillelang lebak lebung.
b. Penertiban kegiatan pemanfaatan areal lebak lebung bagi yang tidak memiliki hak mengekploitasi dan pemberian sanksi kepada pengemin dan masyarakat yang melanggar. c. Pengendalian atas kegiatan usaha pemanfaatan areal lebak lebung dalam rangka preservasi. b. Sumber Daya lsi dan pesan kebijakan dapat diterima secara cermat dan jelas oleh pelaksana lapangan namun sulit untuk diimplementasikan bila kurangnya ketersediaan sumber daya yang diperlukan, sehingga tidak efektif. Sumber daya dapat menjadi faktor yang penting dalam implementasi suatu kebijakan publik. Sumber daya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah SDA berupa potensi perikanan lebak lebung dan SDM berupa staf yang memadai dengan keahlian tertentu, serta sumber dana sebagai insentif motivasi bekerja dengan baik. SDA memiliki peranan penting karena kebijakan ini dikeluarkan untuk mengelola potensi perikanan lebak lebung sebagai sumber PAD. Besar kecilnya potensi yang dimiliki sangat menentukan besar kecilnya pendapatan yang akan diperoleh dan kompleksitas dalam pengelolaannya. Kondisi alam berupa potensi perikanan akan memiliki rentetan dorongan bagi implementasi kebijakan, yang mana besar kecilnya potensi lebak lebung yang di miliki wilayah kecamatan akan memberi
37
wama motivasi bagi aparat pelaksana dan masyarakat untuk menjalankan kebijakan dengan baik. SDM berupa staf sebagai unsur organisasi pemerintah juga memiliki peranan penting terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Eksistensi staf bukan hanya dilihat dari kuantitas akan tetapi kualitasnya, yang mana jumlah staf yang besar cenderung rnembuat organisasi tersebut tidak efektif untuk rnenjalankan kebijakan. Staf yang dibutuhkan adalah yang memiliki kemampuan dan kecakapan melakukan pekerjaan dalarn melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan (Winamo, 1989 : 95). Kurangnya personil yang terlatih baik dapat menghambat implementasi kebijakan yang harus tanggap terhadap perubahan hngkungan global yang terjadi. Selain itu implementasi kebijakan menuntut tersedianya sumber daya yang lain yaitu sumber dana baik yang berupa dana rnaupun insentif. Kinerja impltmtntasi kebijakan akan rendah apabila dana yang dibutuhkan tidak disediakan oleh pemerintah secara rnernadai (Wibawa, 1994 : 20). Masalah dana sangat krusial, dimana kebijakan yang ditetapkan oleh legislatif sering tidak disertai pembiayaan, para administrator tidak rnenerirna dana yang memadai untuk rnembayar personil yang dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan. Adanya kenyataan bahwa motivasi dasar dari pegawai yang melakukan pekerjaan di luar tugas pokoknya adalah untuk mendapatkan tambahan penghasilan (insentif). Guna rnendorong produktivitas kerja pegawai menjadi lebih tinggi dalam implementasi kebijakan, banyak organisasi memberikan insentif sebagai bagian dari sistem imbalan yang berlaku bagi pegawai pemerintah. Teori Maslow, Alderfer, dan
38
Herzberg (Siagian, 2000 : 287-290), mendukung pemyataan bahwa motivasi dari pegawai untuk bekerja dengan baik adalah penghargaan atas aktivitas yang dilakukannya buat organisasi berupa imbalan. Imbalan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologikal seperti sandang, pangan dan papan. Berdasarkan uraian di atas, rnaka faktor sumber daya dalam penelitian ini dapat dilihat dari : a. Sumber daya potensi perikanan lebak lebung. - Potensi dan kelestarian sumber daya perikanan lebak lebung - Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi potensi perikanan lebak lebung. b. Sumber daya manusia - Jumlah dan kualitas stafyang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan - Pelatihan/training tenaga administrasi dan teknis c. Sumber dana - Alokasi dana yang digunakan untuk operasionalisasi kegiatan - Sumber dana/biaya yang digunakan untuk pelaksanaan kebijakan. c. Sikap
Faktor sikap atau komitmen juga turut menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. Dalam kaitannya dengan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung sikap dari pelaksana (implementor) dan masyarakat (target group) yang berada di desa lokasi obyek lebak lebung diwujudkan dalam semangat dan kemauan yang kuat untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan dalam rangka mensukseskan pelaksanaan kebijakan. Apabila pelaksana dan masyarakat tidak menunjukkan sikap
39
yang senus atau komitmen yang kuat mematuhi peraturan yang ada, maka kemungkinan besar pelaksanaan kebijakan akan mengalami kendala. Sikap adalah perilaku dari pelaksana dan masyarakat terhadap ketentuan yang ada dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Sikap pelaksana dan masyarakat akan berhubungan dengan penilaian individu bersangkutan terhadap untung rugi yang diperoleh jika mengikuti ketentuan yang diatur dalam kebijakan. Perubahan sikap kelompok masyarakat di berbagai wilayah terhadap tujuan kebijakan
dan
tindakan aparat pelaksana memainkan peran yang cukup penting
dalam proses implementasi. Dalam kaitan ini dilema yang biasanya dihadapi oleh pejabat publik yang berusaha untuk mengubah perilaku kelompok masyarakat adalah bahwa derajat dukungan pubhk atas kebijakan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Perubahan sikap pelaksana dan kelompok masyarakat terjadi apabila kebijakan yang dijalankan selama ini telah membebani dan membatasi akses penghidupan mereka dan secara alami akan terjadi penolakan. Tugas yang amat penting dari para birokrat daerah adalah menjabarkan dukungan yang tadinya meluas menjadi suatu kekuatan masyarakat yang turut menentukan dalam keputusan kebijakan. Sebaliknya bagi penentang kebijakan walaupun tidak memiliki akses terhadap pengambilan keputusan
(decision making) maupun aparat pelaksana, pada umumnya memiliki sumbersumber dan insentif untuk ikut cam pur tangan dalam proses implementasi. Rogers dan Bullock ( 1980) mengungkapkan bahwa keputusan seseorang untuk patuh terhadap suatu kebijakan merupakan fungsi dari : ( 1) pelanggaran mudah dideteksi dan dibawa ke pengadilan, (2) adanya sanksi bagi yang melanggar, (3) sikap
40
kelompok masyarakat terhadap keabsahan peraturan dan (4) ongkoslbeban bagi kelompok masyarakat yang patuh. Dari uraian diatas, maka faktor sikap dalam penelitian ini dapat dilihat dari : a. Sikap pelaksana - Pemahaman pelaksana terhadap maksud dan tujuan kebijakan - Kesesuaian antara tugas pokok dengan tugas yang diemban dalam implementasi kebijakan. - Kelancaran dalam memperoleh insentif. b. Sikap masyarakat. - Menerima atau menolak peralihan pengelolaan perikanan lebak lebung dari pemerintahan marga ke pemerintah daerah. - Menerima atau menolak pemenang lelang yang berasal dari luar desanya. - Menerima atau menolak kewajiban untuk menjaga kelestarian lingkungan. 6. Model Analisis Model analisis atau kerangka berfikir yang akan dilakukan dalam mengkaji kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI, dapat digambarkan seperti pada skema berikut ini :
41
Skema 2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung di Kabupaten OKI
Variabel independen (1)
Variabel dependen (2)
Kewenangan
SumberDaya
Implementasi ... Kebijakan PPLL di Kabupaten OKI
..
Sikap
Dari skema yang digambarkan di atas, penulis menetapkan hipotesis atau dugaan bahwa implementasi
kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di
Kabupaten OKI (2), dipengaruhi oleh ketiga unsur yang menjadi independent variable yaitu : faktor kewenangan (authority), Sumber daya (resources) dan Sikap (commitment) ( 1).
42
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian kebijakan termasuk penelitian empirik yang dilakuk:an untuk: memverifikasikan propos1s1-proposiSl mengena1 beberapa aspek hubungan antara alat, tujuan dan proses kebijakan (Meyer dan Greenwood, 1984 : 66). Metode penehtian studi kebijakan akan memperhhatkan hubungan pada tahap mana dalam proses kebijakan, setiap metode tepat untuk digunakan dan metode penelitian deskriptif dapat digunakan pada tahap impelementasi kebijakan. Metode
penehtian
deskriptif
bertujuan
untuk
mendapatkan
dan
menyampaikan fakta-fakta dengan jelas dan teliti (Stuart A Schlegel dalam Sudijono, 1989 : 4-5). Studi deskriptif harus lengkap, tanpa banyak detail yang tidak penting dengan menunjukkan apa yang penting atau tidak. Dalam konsep grounded research bahwa suatu cara penehtian bersifat kuahtatif menjadi berpengaruh dengan suatu pandangan yang berbeda tentang hubungan antara teori dan pengamatan. Mengacu pada tujuan penulisan yakni untuk menggambarkan implementasi kebijakan Pengelolaan Perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif atau desain penehtian kuahtatif. Moeleong
( 1995)
mengatakan
bahwa
penelitian deskriptif kualitatif
digunakan berdasarkan pertimbangan : 1) menyesuaikan metode kualitatif lebih
43
mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, 2) metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden dan 3) metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
B. Lokasi Penelitian Setiap kabupaten/kota memiliki potensi SDA daerah yang berbeda dengan pola pengelolaan yang berbeda. Penggalian potensi daerah dilakukan untuk mendapatkan sumber penerimaan PAD. Namun yang cukup menarik di Kabupaten OKI Propinsi Sumatera Selatan adalah pengelolaan areal lebak lebung yang berisi hewan air (ikan dan udang) dengan sistem lelang yang diikuti oleh warga masyarakat dan hasil lelang dimasukkan ke kas daerah sebagai penerimaan PAD. Berkaitan dengan potensi SDA perikanan lebak lebung yang khas dan pola pemanfaatan
dengan sistem lelang dalam memperoleh hak eksploitasi tersebut
sehingga penulis tertarik untuk mengkaji masalah pengelolaan potensi SDA, dengan memilih lokasi penelitian di Kabupaten OKI.
C. Sampel dan Responden Wilayah implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung adalah wilayah kecamatan. Dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten OKI, maka penulis akan mengambil sebanyak 2 kecamatan sebagai sampel. Kedua sampel tersebut
44
diambil berdasarkan lokasi yang mewakili antara kecamatan yang berada di jalur Iintas transportasi padat dan kecamatan yang beradajauh dari ibu kota kabupaten. Penentuan sampel penelltian di atas sudah dianggap mewakili (representatif) dari seluruh populasi (jumlah kecamatan) atau mencerminkan keadaan populasi, tennasuk mengeneralisasikan hasil penelitian, karena masing-masing kecamatan sebagai lokasi areal lebak lebung memiliki karakter dan mekanisme sistem pengelolaan SDA lebak lebung yang sama. Selanjutnya, responden yang dipilih dalam penelitian ini (melalui metode wawancara) adalah : 1) Aparat Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan (Pejabat Biro Otonomi Daerah dan Dinas Perikanan dan Kelautan ), 2) Aparat Pengawas Lelang (Dinas Perikanan 3 orang, Bagian Pemerintahan Desa 2 orang, Bagian Hukum 2 orang, Bagian Lingkungan Hidup 1 orang, Bagian Ketertiban 1 orang, Bagian Keuangan 1 orang), 3) Aparat Pelaksana Lelang ( Camat dan Sekcam pada 2 kecamatan dan Kepala Desa masing-masing kecamatan 2 orang), 4) Masyarakat desa (tokoh masyarakat 2 orang dan pengemin 4 orang). Jumlah responden yang akan diwawancarai adalah sebanyak 24 orang.
D. Definisi Konsep dan Definisi Operasional
Definisi konsep adalah istilah dan definisi untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti; kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian. Sedangkan definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi
45
operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi ini menunjuk pada suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menemukan variabel yang sama. Dengan informasi tersebut, dapat diketahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dilakukan. Dapat juga menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan diakukan atau diperlukan prosedur pengukuran yang barn (Effendi, 1989: 33 & 46). Berikut ini dikemukakan definisi konsep, operasionalisasi konsep serta indikator dari masing-masing variabel secara sistematis, yakni : 1. Dependent variable
Adapun variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah implementasi
kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI.
Konsep implementasi kebijakan adalah proses pelaksanaan dan keberhasilan suatu kebijakan yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan. Jika dikaitkan dengan fokus penelitian ini, maka konsep proses pelaksanaan dapat dioperasionalisasikan menjadi proses pelelangan dan pelaksanaan
eksploitasi
areal
lebak
lebung.
Sedangkan untuk
mengetahui
keberhasilan atau output berupa effect dan impact yang dicapai, setelah kebijakan diimplementasikan dilihat dari jumlah pendapatan, jumlah tenaga kerja, kerawanan sosial, dan kelestarian lingkungan. lndikator dari variabel implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung adalah :
46
a) proses pelelangan; yang dilihat dari tahap-tahap proses dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh pelaksana dan peserta Ielang, seperti persyaratan peserta, pelaksanaan lelang, sistem penyetoran dan distribusi hasillelang. b) pelaksanaan, yang dilihat dari cara eksploitasi yang dilakukan oleh pengemin dan pembinaan sumber daya perikanan lebak lebung yang dilakukan oleh instansi teknis. c) Peningkatan PAD, yang dilihat dari kontribusi pendapatan hasillelang lebak lebung terhadap PAD yang dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam APBD. d) Peningkatan kesejahteraam masyarakat yang dilihat dari terciptanya Iapangan usaha dan jumlah anggota masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan perikanan lebak Iebung. e) Turunnya kerawanan sosial, yang dilihat dari tingkat konflik antara pengemin dan anggota masyarakat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung. f) Pelestarian lingkungan, yang dilihat dari tingkat kerusakan yang terjadi dan pengendalian pada areal lebak lebung agar tetap sustensi.
2. Independent variable Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah faktorfaktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan Iebak lebung di kabupaten OKI, yakni : faktor kewenangan, sumber daya dan sikap. Ketiga faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan akan dijelaskan sebagai berikut:
47
2.1. Kewenangan, adalah kekuasaan yang dimiliki oleh aparat administrasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab guna mencapai tujuan organisasi. Wewenang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekuasaan yang dimiliki oleh Bupati dan camat dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Kewenangan Bupati dalam pelaksanaan kebijakan meliputi : hak menetapkan lokasi obyek lebak lebung, menetapkan dan membatalkan pemenang, menetapkan sanksi atas pelanggaran ekploitasi obyek lebak: lebung, menetapkan sanksi atas pertentangan antara pengemin dan masyarakat. Adapun indikator dari variabel kewenangan adalah : a. Penentuan pola pelaksanaan lelang dan distribusi hasillelang lebak lebung . b. Penertiban kegiatan eksploitasi lebak: lebung bagi yang tidak: memiliki hak: dan pemberian sanksi kepada pengemin dan masyarakat yang melanggar. c. Pengendalian/pengawasan atas kegiatan usaha pemanfaatan
areal lebak:
lebung dalam rangka preservasi. 2.2. Somber daya, adalah modal untuk melaksanakan suatu kegiatan dalam organisasi. Sumber daya dapat berupa potensi SDA daerah, staf yang memadai dengan keahlian tertentu, dan dana sebagai insentif motivasi bekerja. Adapun indikator dari variabel sumber daya adalah : a. Sumber daya potensi perikanan lebak: lebung. - Potensi dan kelestarian sumber daya perikanan lebak lebung - Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi potensi perikanan lebak lebung.
48
b. Sumber daya manusia - Jumlah dan kualitas staf yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan - Pelatihan (training) tenaga administrasi dan teknis c.· Sumber dana - Alokasi dana yang digunakan untuk operasionalisasi kegiatan - Sumber danalbiaya yang digunakan untuk pelaksanaan kebijakan. 2.3. Sikap, adalah perilaku dari pelaksana dan masyarakat terhadap ketentuan yang ada dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Adapun indikator dari variabel sikap adalah : a. Sikap pelaksana - Pemahaman pelaksana terhadap maksud dan tujuan kebijakan - Kesesuaian antara tugas pokok dengan tugas yang diemban dalam implementasi kebijakan. - Kelancaran dalam memperoleh insentif. b. Sikap masyarakat. - Menerima atau menolak peralihan pengelolaan perikanan lebak lebung dari pemerintahan marga ke pemerintah daerah. - Menerima atau menolak pemenang lelang yang berasal dari luar desanya. - Menerima atau menolak kewajiban untuk menjaga kelestarian lingkungan.
49
E. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut : 1. Observasi; dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian, dengan maksud memperoleh gambaran empirik pada hasil temuan. 2. Wawancara; dilakukan terhadap responden yang telah ditentukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam tentang berbagai hal yang diperlukan, yang berhubungan dengan masalah penelitian. 3. Dokumentasi; pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di kabupaten OKI seperti laporan penerimaan dari hasil lelang lebak lebung, jumlah lokasi areal lebak lebung, j umlah peserta dan pemenang lelang lebak lebung, dan laporan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini Ketiga metode tersebut di atas digunakan di lapangan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, yakni untuk memperoleh data primer, di samping dilakukan pengamatan secara langsung di lapangan, juga digunakan teknik interview terhadap responden yang telah ditentukan, dengan cara mengajukan pertanyaan yang berpedoman pada daftar pertanyaan (interview guide) yang telah disusun. Selanjutnya untuk membuktikan benar tidaknya jawaban atau pemyataan responden, perlu didukung dengan data-data sekunder yang didapat dari studi dokumentasi.
50
F. Teknik Analisa Data Sesuai dengan metode penelitian dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka untuk rnenganalisis data yang telah dikumpulkan dari
lapangan, teknik analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif. Melalui teknik ini, akan digarnbarkan seluruh data atau fakta yang diperoleh dengan mengembangkan kategori-kategori yang relevan dengan tujuan penelitian dan penafsiran terhadap hasil analisis deskriptif dengan berpedornan pada teori-teori yang sesuai. Anal isis data akan dilakukan secara induktif, yakni penganalisaan dengan cara menarik kesimpulan atas data yang berhasil dikumpulkan dari yang berbentuk khusus ke bentuk umum, atau penalaran untuk mencapai suatu kesimpulan mengenai semua unusur-unsur penehtian yang tidak diperiksalditeliti dalam penelitian mengenai implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI, setelah menyelidiki sebagian saja dari unsur-unsur tersebut sesuai dengan sampel penelitian yang ditetapkan sebelumnya. Moeleong (1995 :56) mengatakan ada 5 alasan penggunaan analisis induktif tersebut, yaitu : 1) lebih dapat menemukan kenyataan ganda, 2) lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit dan akuntabel, 3) lebih dapat menguraikan keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya, 4) lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang rnempertajam hubunganhubungan dan 5) dapat memperhitungkan nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.
51
Menu rut Miles dan Huberman ( 1984 : 21) proses analisa induktif meliputi 3 tahap, yaitu : I) data reduction; merupakan proses menyeleksi, memfokuskan, menyederhanakan, mengabstraksikan dan mentransformasikan data kasar, 2) data display; menggabungkan dan merangkai onformasi agar dapat menggambarkan kesimpulan dan kejadian yang ada, dan 3) data coclusion; pengambilan kesimpulan dari rangkaian dan olahan data berupa kasus di Iapangan.
52
BABIII KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN LEBAK LEBUNG DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
A. Kebijakan Pengelolaan Somber Daya Perikanan Kebijakan nasional pengelolaan sumber daya alam (SDA) mengacu pada prinsip pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menegaskan penguasaan negara atas kekayaan alam yang ada untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah memiliki hak penguasaan untuk melakukan eksploitasi atas kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia. Eksploitasi yang dilakukan tersebut digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan
(sustainability). SDA mengandung kemungkinan yang amat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya produksi yang efektif. SDA dibedakan menjadi dua yaitu berupa sumber hayati yang dapat diperbaharui (renewable resources) meliputi: tanah dan air, tumbuh-tumbuhan (tanaman dan pepohonan), sumber akuatis (kekayaan laut, perairan darat dan pantai) dan sumber non hayati yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources) mencakup sumber energi dan mineral (pertambangan). Kekayaan alam tersebut secara awam dikenal berupa laban pertanian, kehutanan, perikanan darat dan laut, dan pertambangan. Kemampuan negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya tergantung dari ketersediaan atau keterbatasan SDA yang dimiliki,
53
dimana masing-masing sumber saling mempengaruhi. Seperti kesuburan lahan dan kebersihan air (kualitas) amat dipengaruhi oleh tanaman dan pepohonan. Permasalahan ini menyangkut segi pengelolaan segenap kekayaan alam agar dikelola secara tepat, yang mana proses pembangunan akan membawa dampak semakin intensifterhadap keadaan ekologi dan lingkungan hidup. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pengelolaan SDA, karena akan timbulnya aktivitas privat (private activity), tipe kebijakan pemerintah ini termasuk dalam klasifikasi protective regulatory policy. Pemerintah Daerah mengelola potensi SDA daerah yang dimiliki secara tepat, yang mana hasil dari eksploitasi terse but sebagai sumber pendapatan daerah (penerimaan PAD) untuk digunakan dalam pembiayaan pembangunan daerah. Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian nasional diarahkan untuk menunjang terwujudnya pembangunan perikanan yang modem berorientasi agribisnis dan sustainable, berbudaya industri dan berbasis di pedesaan. Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan, meningkatkan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perikanan serta meningkatkan PAD dan devisa negara. Dalam mewujudkannya dilaksanakan melalui kegiatan: penangkapan, budidaya serta pengolahan dan pemasaran hasil-hasil perikanan yang berwawasan agribisnis (agribisnis oriented) Sejalan dengan arah pembangunan perikanan, maka pengelolaan potensi perikanan di Kabupaten OKI diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan pendapatan masyarakat kecil umumnya dan petani nelayan pada
54
khususnya. Pengelolaan
SDA perikanan cukup potensial untuk dikembangkan
mengingat potensi perairan umum yang sangat luas berupa sungai dan tanah rawa (lebak), didukung ketersediaan tenaga ke:rja dan adanya keinginan masyarakat untuk berusaha serta keanekaragaman hayati perikanan. Usaha
pengelolaan
SDA
perikanan
di
Propinsi
Sumatera
Selatan
dilaksanakan dengan mengacu pada UU No.9 tahun 1985 tentang Perikanan. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa wilayah perikanan Indonesia meliputi : a) perairan Indonesia, b) sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam wilayah Rl,dan c) zona ekonomi eksklusiflndonesia (ZEE). Wilayah perairan merupakan bagian terbesar dari wilayah NKRI dan ZEE mengandung sumber daya ikan yang sangat potensial dan penting yang dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pengelolaan sumber daya perikanan perlu dilakukan dengan baik berdasarkan azas keadilan (equality) dan pemerataan (equity) dalam pemanfaatannya dengan perioritas membuka peluang usaha (kesempatan ke:rja) dan peningkatan taraf hidup nelayan dan petani ikan serta terjaganya kelestarian lingkungan. Luasnya wilayah perairan Indonesia berdampak pada banyaknya tugas yang harus dike:rjakan, maka Pemerintah mendelegasikan sebagian urusan perikanan kepada Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten). Hal ini disebutkan dalam pasal 21 dan 22 UU No.9 tahun 1985 bahwa Pemerintah menyerahkan sebagian urusan perikanan
kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah menugaskan Pemerintah
55
Daerah untuk melaksanakan tugas pembantuan. Dari pemyataan tersebut dapat dipahami bahwa ada penyerahan urusan (decentralization), pelimpahan kewenangan kepada pejabat daerah (deconsentration) dan adanya tugas pembantuan (medebewind) yang diberikan Pemerintah Daerah dalam urusan perikanan. Pembinaan dan pengelolaan sumber daya perikanan dilakukan secara tepat dengan melakukan pengendalian terhadap aktivitas penangkapan sehingga populasi tidak mengalami penurunan. Eksploitasi sumber daya perairan yang berlebihan dirasakan akan mengancam sumber hayati perikanan, maka dilarang menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan seperti : stroom (listrik), putas (racun) dan pengeboman (explosive). Pedoman dalam melakukan pembinaan dan pengelolaan surnber daya perikanan dan lingkungan selain undang-undang perikanan
adalah peraturan
perundang-undangan yang berlaku seperti : UU No.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistimnya, UU No.l6 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, PP RI No.51 tahun 1993 tentang Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL), PP RI No.20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, SK Menteri Pertanian, Peraturan Daerah dan Keputusan Gubemur/Bupati.
56
B. Kebijakan Pengelolaan Perikanan
Lebak Lebung di Kabupaten
Ogan
Komering Ilir 1. Deskripsi Wilayah Penelitian a. Letak, Batas dan Luas Wilayah Wilayah Kabupaten OKI terletak diantara 104,20°- 106,00° Bujur Timur dan 2,30° Lintang Utara sampai 4,15° Lintang Selatan, dengan ketinggian rata-rata 10 meter di atas permukaan air laut. Secara administratifberbatasan dengan: - Sebelah Utara
berbatas dengan Kab. Musi Banyu Asin
- Sebelah Selatan
berbatas dengan Kab. Ogan Komering Ulu dan Prop. Lampung
- Sebelah Barat
berbatas dengan Kab. Muara Enim
- Sebelah Timur
berbatas dengan Selat Bangka dan Laut Jawa
Luas Kabupaten OKI sendiri adalah 21.387,49 kilometer persegi yang terdiri dari daerah dataran kering seluas 35% dan daerah rawa-rawa seluas 65%, dari luas daerah tersebut hampir setiap wilayah kecamatan mempunyai daerah perikanan lebak lebung. Secara administratif Kabupaten OKI terdiri atas 14 kecamatan definitif dan 4 kecamatan pembantu yang dibagi menjadi 439 desa dan kelurahan (dengan berlakunya perda otonomi daerah tahun 200 1, maka semua kecamatan statusnya menjadi definitif sedangkan pembantu bupati yang beijumlah tiga buah dihapuskan). Wilayah terluas adalah Kecamatan Tulung Selapan (7.254,14 Kilometer persegi) dan yang paling sempit adalah Kecamatan Pemulutan (205,65 Kilometer persegi). Keadaan alam Kabupaten OKI di wilayah barat berupa hamparan dataran rendah yang sangat luas. Sebagian besar merupakan rawa-rawa yang membentang
57
dari utara sampai selatan. Di sini juga terdapat daratan sempit dan daerah yang berbukit-bukit di Kecamatan Tulung Selapan. Daerah yang paling rendah adalah Kecamatan Tanjung Lubuk dengan ketinggian hanya 6 meter dari permukaan laut, sedangkan yang tertinggi adalah di Kecamatan Tulung Selapan pada daerah Bukit Barisan. yakni di Bukit Gajah. Selain dataran rendah, rawa-rawa, daratan sempit dan daerah yang berbukitbukit. di kabupaten ini juga terdapat sungai yang memiliki potensi perikanan yang besar selain digunakan untukjalur transportasi dan kebutuhan hidup lainnya. Ada tiga sungai besar yaitu: a) Sungai Ogan, b) Sungai Komering (keduanya berhulu di Kabupaten OKU dan bennuara di Sungai Musi ), c) Sungai Mesuji merupakan batas Kabupaten OKI dengan Kabupaten Lampung Utara yang bermuara di Laut Jawa. Di samping ketiga sungai besar di atas, terdapat juga 16 anak sungai yaitu : sungai
kelekar~
sungai lempuing; sungai babatan; sungai somor; sungai jeruju; sungai
pasir; sungai sibur; sungai lumpur; sungai lebung hitam; sungai riding; sungai pedada; sungai kuala duabelas; sungai tup; sungai kong; sungai batang dan sungai air sugihan. Kemudian terdapat juga 3 danau, yaitu : a) Danau Deling (Kecamatan Pampangan), b) Danau Air Nilang (Kecamatan Pedamaran) dan c) Danau Teluk Gelam (Kecamatan Tanjung Lubuk). Pertanian merupakan sektor yang senantiasa mendapatkan skala prioritas dalam pembangunan nasional? sebab sektor ini merupakan pendukung daripada sektor-sektor Iainnya, seperti: sektor perdaganga~ industri dan pengangkutan. Secara garis besar sektor pertanian terbagi menjadi lima sub sektor, yang meliputi : 1)
58
tanaman bahan makanan, 2) tanaman perkebunan, 3) kehutanan, 4) peternakan dan 5) pcrikanan. Daerah perikanan Kabupaten OKI terdiri dari daerah perikanan perairan laut seluas 440.000. Ha dan perairan umum seluas 1.300.000. Ha. Luas daerah penangkapan yang produktif untuk perairan laut tingkat pemanfaatannya hanya sekitar 30% yaitu antara 130.000.- 150.000 Ha. Sedangkan daerah penangkapan di perairan umum yang produktif seluas 780.000 Ha, yang terdiri dari sungai 18.732 Ha, danau 2.919 Ha, rawa lebak 185.735 Ha, sawah 142.296 Ha, bekas hutan rawa 70.644 Ha, dan daerah perairan lainnya 359.664 Ha. b. Potensi Lebak Lebung Kabupaten OKI terdiri dari 18 kecamatan yang memiliki wilayah perairan umum berupa potensi lebak lebung yang berbeda. Adapun kecamatan yang memiliki obyek lebak lebung terbesar adalah Kecamatan Muara Kuang sebanyak 191 obyek, sedangkan yang paling sedikit adalah Kecamatan Mesuji sebanyak 9 obyek. Banyaknya jumlah obyek tidak menunjukan besarnya pendapatan yang diperoleh dari basil lelang dan untuk beberapa tahun ini khususnya tahun 1999 pendapatan terbesar diperoleh Kecamatan Jejawi sebesar Rp.300 juta. Obyek lebak lebung yang ada saat ini merupakan ketetapan pemerintah marga dulu yang mana baik jum1ah maupun batas-batasnya (luas obyek) tidak terlalu mengalami perubahan. Perubahan jumlah hanya pada lebung waris yang dibuat oleh warga masyarakat, yang mana untuk diikutkan dalam pelelangan harus didaftarkan terlebih dulu ke pengadilan dan Pemerintah Kabupaten OKI.
59
Tabel 2 Jumlah Obyek Lelang Lebak Lehung Per-Kecamatan Pada Tahun 1999. No
Kecamatan
)
lnderalaya Kota Kayuagung Pemulutan Sirah Pulau Padang Pampangan Tu1ung Selapan Mesuji Pedamaran Tanjung Lubuk Tanjung Raja Tanjung Batu MuaraKuang Lempuing Air Sugihan Pembt Sungai Menang Pembt Jejawi Pembt. Cenga1 Pembt. Rantau Alai Jumlah
2 3
4 5 6 7
8
9 10
]1 12 13
14 15 16 17 18
Jumlah Obyek
Jumlah ex. Marga
150 71 112
4 3 2 3 2
49 81 31
4
9
3 3
27 88
44
4 4
77
3
191
4
11 16 32 50 15 63 1.117
2
-
Kec. Kec. Kec. Kec.
Mesuji SP Padang Mesuji Tangjung Raja
Sumber: Data Potensi Dinas Perikanan Kabupaten OKI c. Keadaan Penduduk J umlah penduduk Kabupaten OKI berdasarkan hasil registrasi penduduk sampai pada akhir tahun 1999 tercatat sebesar 1.029.399 Jiwa (laki-laki 505.556 jiwa dan perempuan 523.843 jiwa), dengan pertumbuhan penduduk selama 1998/1999 sebesar 1,5 3%. Bila dibandingkan dengan periode sebelumnya, yakni tahun 1996/1997 dan 1997/1998 yang masing-masing sebesar 1,62% dan 1,582%, maka terlihat tetap tingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Perbandingan antara penduduk
laki-laki dan perempuan atau rasio jenis
kelamin adalah sebesar 96,50%, yang berarti diantara 100 penduduk perempuan, terdapat 96 penduduk laki-laki. Keadaan ini tidak begitu berbeda jauh dari keadaan
60
tiga tahun yang lalu. Untuk Iebih jelasnya, jumlah penduduk per-kecamatan di Kabupaten OKI dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel3
Jumlah Penduduk Per-kecamatan di Kabupaten OKI Tahun 1999 No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
Kecamatan Inderalaya Kota Kayuagung Pemulutan Sirah Pulau Padang Pampangan Tu1ung Se1apan Me s uj i Pedamaran Tanjung Lubuk Tanjung Raja Tanjung Batu Muara Kuang Lempuing Air Sugihan Jumlah
Jenis Kelamin Peremnuan Laki-laki 27.836 28.463 25.559 25.875 28.687 33.777 37.774 36.972 22.822 23.008 36.001 36.211 75.207 81.665 27.133 27.288 27.144 30.213 52.099 55.109 34.334 36.005 36.217 51.922 50.900 47.893 17.454 16.090 505.556 523.843
Jumlah 56.299 51.434 62.464 74.746 45.830 72.312 156.872 54.421 57.357 107.198 70.339 88.139 98.793 33.544 1.029.339
Sumber : Kantor BPS Kabupaten OKI d. Keadaan Aparat Instansi yang sangat berhubungan dengan pengelolaan perikanan lebak lebung adalah dinas perikanan. Secara teknis dinas perikanan memberikan pembinaan kepada masyarakat (petani dan nelayan) dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Adapun keadaan pegawai dinas perikanan sampai akhir Desember 2000 berjumlah 21 orang dan sampai saat ini tenaga teknis tingkat kecamatan belurn ada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
61
Tabel4 Keadaan Pegawai Dinas Perikanan Kabupaten OKI Tahun 2000 No. 1 2 3 4
5
Tin2kat Pendidikan
so
Jumlah Pef!awai
Keteran__g_an
-
SLTP SLTA Satjana Muda Satjana S 1
Jumlah
2 12 2 5 21
4 pertanian, 8 umwn D3 perikanan 4_Qerikanan, 1 administrasi
Surnber: Laporan Tahunan Dmas Penkanan Kabupaten OKI e. J umlah Produksi Perikanan Produksi perikanan berasal dari daerah penangkapan di laut, perairan umum dan budidaya. Kegiatan penangkapan ikan di laut terdapat dipesisir pantai timur OKI yang meliputi Kecamatan Air Sugihan,
Kecamatan Tulung Selapan, Kecamatan
Pembantu Cengal dan Kecamatan Pembantu Pematang Panggang. Nelayan laut menggunakan alat tangkap seperti: jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring insang klitik, jaring insang lingkar, serok/sondonglsungkur, rawai dan pancing. Usaha penangkapan di perairan umum meliputi seluruh kecamatan seperti penangkapan di sungai, lebak dan danau dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Kenyataan di lapangan kegiatan penangkapan ikan ada yang menggunakan alat/bahan terlarang yang dapat mengganggu kelestarian sumber daya ikan. Budidaya ikan selama tahun 1999 berkembang dengan pesat yang meliputi budidaya ikan dalam sangkar (keramba), kolam, pen-sistem dan budidaya air payau (tambak udang). Usaha budidaya udang telah menjadi lahan utama sebagai sumber penghidupan (penghasilan ) bagi petani ikan (petambak udang). Budidaya udang juga
62
dilakukan secara intensif oleh perusahaan besar PT.Wachyuni Mandira dengan po1a tambak inti dan plasma. Produksi perikanan di Kabupaten OKI mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Total produksi ikan pada tahun 1998 sebesar 34.172,1 ton meningkat menjadi 34. 681. 1 ton pada tahun 1999. Angka ini didominasi oleh produksi penangkapan dari perairan umum sebesar 53% sedangkan penangkapan dari perairan 1aut sebesar 21,4% dan budidaya sebesar 25,6%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel produksi perikanan beri kut :
Tabel5 Produksi Perikanan Menurut Wilayah Penangkapan Tahun 1995-1999 Produksi (ton) Budidaya Perairan Umum Laut 1.882 17.311 6.362 1995 1 2.092 17.654 6.846 1996 2 6.751 17.866 6.985 1997 3 8.829 18.045 7.198 1998 4 8.979 18.286 7.414 1999 5 Sumber : Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten OKI No
Tahun
Jumlah 25.555 26.592 31.602 34.072 34.679
Penangkapan ikan ditunjang dengan armada perikanan yaitu perahu tanpa motor untuk perairan urnum sebanyak 10.626 buah dan untuk perairan laut sebanyak 296 buah, keadaan ini sampai pada akhir tahun 1999.
f. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) dan Penyerapan Tenaga Kerja Banyak penduduk desa menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan sebagai lapangan usaha. Penduduk (keluarga) yang menggantungkan hidupnya pada usaha penangkapan ikan dikenal dengan rumah tangga perikanan (RTP). Dari tahun 1995 sampai 1999 terjadi kenaikan jumlah penduduk yang berusaha dalam
63
penangkapan ikan. Pada tahun 1997 terjadi kenaikan yang drastis pada RTP budi daya lebih dari 2 kali tahun 1996. Begitu pula tahun selanjutnya terjadi kenaikan yang amat besar, hal ini sesuai dengan usaha dari dinas perikanan dan adanya kesadaran pribadi warga masyarakat yang melihat bahwa lapangan usaha penangkapan ikan tidak dapat mengandalkan sepenuhnya kepada potensi alam tetapi perlu langkah terobosan melalui budidaya agar tercapai peningkatan pendapatan. Dibandingkan dengan RTP perairan laut, maka RTP perairan umum lebih banyak dengan perbandingan 1 : 100, hal ini dimungkinkan karena wilayah perairan umum lebih luas dari perairan laut. Masyarakat desa telah menjadikan
potensi
perikanan perairan umum sebagai sumber penghidupan yang dilakukan sejak dulu (masa pemerintahan marga) dan terlembaga sampai saat ini pengelolaan perikanan lebak lebung dengan sistem !elan g. Adapun jumlah RTP dan penyerapan tenaga kerja dari usaha perikanan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel6 Jumlah Rumah Tangga Perikanan dan Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 1995-1999 Rumah Tangga Perikanan Jumlah Budidaya P. Laut P. Umum .).) 7"" 1 1995 8.994 4.583 14.310 2 1996 793 8.984 6.231 16.008 1997 796 9.375 14.517 3 24.688 1998 848 9.738 17.394 27.980 4 1999 883 9.884 22.396 33.163 5 Sumber : Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten OKI No.
Tahun
Tenaga Kerja 45.038 56.431 62.702 78.228 84.397
64
2. Deskripsi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung a. Historis Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung Dalam pasal 18 UUD 1945 (penjelasan) disebutkan bahwa di Propinsi Sumatera Selatan dikenal
istilah dusun dan marga untuk tingkat pemerintahan
terendah. Daerah yang mempunyai susunan asli masyarakatnya
dihormati
kedudukannnya oleh pemerintah. Sebelum berlaku UU No.5 Tahun 1979, masyarakat hukum yang merupakan kesatuan pemerintahan terendah berdasarkan hukum adat adalah Marga (Muslimin, 1986:31). Kepala marga dinamakan Pasirah, sedangkan tanah yang meliputi seluruh wilayah persekutuan hukum yang bersangkutan disebut sebagai tanah marga. Pasirah selaku kepala atau penguasa adat atas nama masyarakat hukum adat setempat memiliki kcwenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah marga tersebut. Anggota masyarakat marga mempunyai keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah marga. Usaha-usaha yang dapat dilakukan misalnya: ladang, kebun, sawah, tebat, perumahan, dan lain-lain. Selain itu mereka juga dapat menangkap ikan di sungai, danau, serta di perairan lainnya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara liar dan berburu binatang-binatang liar yang hidup bebas di lingkungan tanah marga. Sementara itu bagi orang yang bukan anggota marga yang bermaksud untuk mengambil hasil hutan, hasil sungai atau rawa-rawa, berburu atau membuka lahan, dilarang masuk lingkungan tanah marga tanpa ijin pasirah setempat. Selanjutnya
65
sebagaimana hak ulayat dari tanah marga inilah lahir hak-hak milik perseorangan atas tanah (property right). Usaha menangkap ikan dan hasil perairan lainnya dalam lingkungan marga, dikelola dan diatur oleh pasirah selaku kepala pemerintahan marga, yang sekaligus sebagai kepala adat atau penguasa adat atas nama masyarakat hukum adat setempat memiliki wewenang mengelola serta mengatur penangkapan ikan dan basil perairan lainnya itu terutama di areal lebak Iebung. Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak, lebung dan sungai yang secara alami pada musim air dalam sebagai tempat berkembang biaknya ikan dan pada musim air surut tempat orang mengeijakan sawah atau untuk keperluan lainnya. (Nulhakim, 1994 : 4), sementara itu Soerjono Soekanto (1982 :133) mengartikan lebak lebung sebagai tebat tempat memelihara ikan. Pemanfaatan sumber daya perikanan lebak lebung tidak dapat dilakukan secara bebas. Hak menangkap ikan dan basil perairan lainnya di areallebak lebung tersebut diberikan kepada pihak yang berrninat melalui pelelangan, sehingga dinamakan Lelang Lebak Lebung dan pemenang lelang disebut pengemin. Adapun
yang dimaksud dengan lelang adalah penjualan di muka umum
dengan penawaran yang bersaingan dipimpin oleh juru lelang (Hamzah, 1986 : 344 ), sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia ( 1994 : 578) disebutkan bahwa lelang adalah penjualan dihadapan orang banyak (dengan tawaran yang atasmengatasi) dipimpin oleh pejabat lelang.
66
Pelaksanaan lelang lebak lebung pada mulanya diselenggarakan oleh suatu panitia yang dibentuk dan diketuai oleh pasirah kepala marga. Pendapatan dari hasil lelang lebak lebung digunakan untuk membiayai pembangunan desa dan sebagai penghasilan perangkat pemerintahan marga (Soesilo, 1992: 1) Pada awalnya areal lebak lebung berada di atas tanah marga, dalam perkembangnnya areal tersebut dapat pula berada di atas tanah hak milik perseorangan. Para anggota masyarakat membuat sendiri lebung di atas tanah yang dikuasainya. Hal ini dilakukan karena pendapatan yang diperoleh dari lebak lebung sangat besar dan sekaligus untuk memanfaatkan lahan yang tidak dapat dipergunakan untuk bercocok tanam pada musim hujan karena tergenang air yang cukup tinggi. Dengan demikian sifat kepemilikan lebak lebung tersebut ada dua macam yaitu lebak lebung yang berada di atas tanah marga disebut lebak lebung umum dan lebak lebung diatas tanah hak perseorangan disebut lebak lebung perseorangan. Lebak lebung perseorangan ini apabila pemiliknya telah meninggal dunia, maka dapat diwariskan kepada ahli warisnya sehingga lebak lebung ini dinamakan /ebak /ebung
warisan. Selain itu dapat pula dipindahtangankan (serah lepas) atau digadaikan oleh yang mempunyai hak. b. Landasan Hukum Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung Ada dua kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan yang memiliki perairan umum yang luas yaitu Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin (Propinsi Sumsel terdiri dari 7 kabupaten/kota sedangkan 3 kabupaten/kota lainnya telah menjadi Propinsi
67
Bangka Belitung). Hampir semua kabupaten/kota memiliki potensi perairan umum lebak lebung, namun hanya dua kabupaten yang mengelolanya sebagai sumber PAD. Sebelumnya pengelolaan lebak lebung ini menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi yang diatur dengan Perda No. 8/Perda SS/1973/1974 jo Perda No.6 Tahun 1978. Setelah berlakunya UU No.5 Tahun 1979, Pemerintah Propinsi melimpahkan kewenangan pengelolaan Iebak lebung kepada Pemerintah Kabupaten, yang diwujudkan
dengan
dikeluarkannya
SK Gubemur KDH Tingkat I Sumatera
Selatan tanggal 5 Nopember 1982 No. 705/KPTS/II/1982 tentang Pelimpahan Wewenang Pelaksanaan Lelang Lebak Lebung kepada Pemerintah Daerah Tingkat II dalam Propinsi Sumatera Selatan. Selain itu untuk menindaklanjuti implementasi UU Pemerintahan Desa dikeluarkan juga SK Gubemur KDH Tingkat I Sumatera Selatan tanggal 24 Maret 1983 No. 142/KPTS/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Propinsi Sumatera Selatan dan pada diktum kedua dalam SK tersebut disebutkan antara lain memberikan kuasa kepada Bupati/KDH Tingkat II untuk mengatur dan menertibkan semua hak milik dan kekayaan marga yang ada melalui Perda kabupaten. Berdasarkan pelimpahan wewenang tersebut Pemerintah Kabupaten OKI menganggap perlu untuk mengatur kekayaan yang dimiliki marga berupa obyek lebak lebung agar dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat, maka Pemerintah Daerah mengambil alih penguasaan atas obyek lebak lebung dengan mengeluarkan Perda No.3 tahun 1984 tentang Lelang Lebak Lebung. Kemudian Perda ini beberapa
68
kali mengalami perubahan dengan Perda No. 28 tahun 1987, Perda No.9 tahun 1994, dan terakhir dengan Perda No.3 tahun 1996 jo. Perda No.l7 tahun 1999. c. Sistem Pengelolaan dan Panitia Lelang Perubahan penguasaan dalam pengelolaan perikanan lebak lebung dari pemerintah marga menjadi pemerintah kabupaten memberikan implikasi pada perubahan ketentuan pelaksanaan dan distribusi pembagian uang hasil lelang. Demikian juga halnya dengan pemanfaatan uang hasil lelang lebak lebung tersebut semakin berkurang dirasakan langsung oleh masyarakat setempat, terutama bagi pemilik lebak lebung warisan. Adapun tujuan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung sesuai dengan Perda No. 3 tahun 1996 adalah mengintensifkan PAD, memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kasus kerawanan sosial, melindungi hakhak masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan sumber hayati perikanan. Dalam Perda disebutkan bahwa yang menjadi obyek lelang lebak lebung adalah ikan, udang, dan sejenisnya atau hasil perairan lainnya. Lelang lebak lebung dilakukan oleh panitia lelang secara terbuka, langsung dimuka umurn dengan sistem penawaran bertahap naik dan tidak menerima tawaran secara tertulis. Masa lelang berlaku terhitung tanggal I Januari sarnpai dengan 31 Desernber tahun yang berjalan. Dalarn implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung yang dilakukan dengan sistem lelang dibentuk panitia lelang yang terdiri dari dari: 1. Penanggungjawab adalah Bupati. 2. Pengawas lelang lebak lebung :
69
a. Ketua
- Sekretaris Daerah
b. Wakil ketua
- Asisten Tatapraja
c. Sekretaris
- Kabag Pemerintahan Desa
d. Wakil Sekretaris
- Kepala Dinas Perikanan
e. Anggota
1. Kabag Hukum 2. Kabag Ketertiban 3. Kabag Keuangan 4. Kepala Dinas Pendapatan daerah
Pelaksana Lelang : a.
Pembantu Bupati sebagai kordinator pelaksana lelang dalam wilayahnya.
b. Camat I Camat Pembantu sebagai ketua lelang c. Sekwilcam sebagai sekretaris d. Bendahara penerimalpenyetor hasillelang yang diusulkan camat. e. Kepala desa yang bersangkutan sebagai anggota f.
Anggota-anggota lainnya termasuk unsur tani, nelayan sebagai pembantu sesuai dengan kebutuhan yang ditunjuk oleh camat.
d. Hak dan Kewajiban Pengemin Lelang lebak lebung diikuti oleh anggota masyarakat dengan ketentuan bahwa peserta lelang adalah anggota masyarakat yang tinggal di wilayah kecamatan tempat obyek lebak lebung dalam waktu sekurang-kurangnya 6 ( enam) bulan dan dapat dibuktikan dengan menunjukkan identitas diri (KTP) dalam Kabupaten OKI.
70
Dari pelaksanaan lelang akan muncul pemenang lelang (pengemin) atas obyek lebak Iebung yang telah dibagi-bagi sesuai dengan luas dan lokasi. Pengemin sebagai pemenang memihki hak untuk mengeksploitasi potensi perikanan pada kawasan tertentu dan
diwajibkan untuk: menjaga kelestarian lingkungan perairan dan
kelestarian sumber hayati, melaksanakan petunjuk dan bimbingan teknis dari dinas perikanan, dan mengembalikan perairan yang diusahakan pada keadaan semula. Dalam
melakukan
ekploitasi
potensi
perikanan,
pengemm
harus
menggunakan peralatan yang ramah lingkungan, tidak membahayakan dan mengancam kelestarian sumber hayati, tidak menghambat dan membahayakan kelancaran lalulintas perairan,
tidak merugikan petani yang sawahnya termasuk
dalam areal lebak lebung yang dilelangkan Hak pengemin mendapat jaminan dari pemerintah kabupaten dengan melarang orang untuk menangkap, memancing, mengambil ikan udang dan sejenisnya di areal lebak lebung yang telah menjadi hak pengemin kecuali untuk keperluan makan yang wajar bagi pemilik sawah, yang sawahnya termasuk areal lebak lebung yang dilelang. Keseimbangan hukum diterapkan dengan memberikan perlindungan hak bagi pemilik sawah, yang mana pengemin dalam mengeksploitasi perikanan lebak lebung di areal persawahan orang lain tidak boleh merusak padi yang telah ditanam oleh pernilik sawah. Pengaturan penggunaan lahan antara pengernin dan masyarakat desa memberikan jaminan untuk menghindari konflik kepentingan.
71
e. Distribusi Uang Hasil Lelcmg Uang hasil lelang lebak lebung didistribusikan kepada pelaksana, kas daerah dan kas desa. Adapun distribusi persentase pembagian hasil lelang lebak lebung setelah dikurangi 2% (dua persen) untuk biaya operasionallelang adalah : a. Untuk lebak lebung umum I sungai : 1. 2% untuk camat selaku ketua pelaksana 2. 3% untuk kepala desa yang bersangkutan 3. 30% untuk
ka~
desa yang dimasukkan dalam APPKD
4. 10% untuk perangkat desa dan lembaga masyarakat desa ybs. 5. 51% untuk kas pemda yang dimasukkan dalam APBD 6. 2% untuk pembinaan teknis dinas perikanan 7. 2% untuk pemangku adat dalam kecamatan ybs. b. Untuk lebung waris I sungai waris, perbedaannya hanya pada : 1. 16% untuk kas pemda yang dimasukkan dalam APBD 2. 35% untuk ahli waris (pemilik areallebak lebung) Sebelum terjadinya perubahan perda, maka prosentase pembagiannya adalah 1% untuk biaya operasional sedangkan untuk obyek lebak lebung umum (kas pemda 48 %, dan pembinaan teknis 5%) dan untuk obyek lebak lebung warisan (kas pemda 15%, dan pembinaan teknis 5%) Agar pengaturan hubungan antara pengemin dan masyarakat dapat dipatuhi maka diberikan sanksi terhadap pelanggaran baik yang dilakukan oleh pengemin maupun petani pemilik sawah terhadap ketentuan yang dimuat dalam perda. Sanksi
72
atas pelanggaran diancam dengan hukuman maksimal 6 (enam) bulan atau denda maksimal sebesar Rp.50.000 (lima puluh ribu rupiah). f. Mekanisme Lelang Lebak Lebung Pelaksanaan lelang
lebak lebung tidak mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan tentang pelelangan (Vendu Reglement Stb. 1908-1890) dan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan lelang (Vendu Instructie Stb. 1908-190), tetapi hanya menggunakan sistem lelang untuk mendapatkan harga tawar yang tertinggi atas obyek lebak lebung dari para peserta. Untuk lebih jelasnya prosedur pelelangan perikanan lebak 1ebung di Kabupaten OKI digambarkan sebagai berikut: Skema 3
Prosedur Pelelangan Areal Lebak Lebung
Pemda Kabupaten OKI yang Menguasai Lebak Lebung
Panitia Lelang Lebak Lebung Kecamatan
Peserta Lelang
3
7
Pengumuman pelaksanaan 13 pada Kantor Camat dan Kades
Kas Pemda Kab. OKI pada Bank Sumsel
73
Keterangan : 1. Pemda Kabupaten OKI memberitahukan kepada Camat untuk melakukan 13
2. Penetapan tern pat, obyek 12, waktu lelang dan persyaratan. 3. Pengumuman lelang pada kantor Camat dan Kantor Kades. 4. Peserta lelang mendaftar kepada panitia kecamatan 5. Pelaksanaan lelang oleh panitia lelang yang diketuai oleh Camat bersama tim pengawas dari kabupaten 6. Pemenang lelang membayar harga lelang kepada panitia lelang (bendahara kas kecamatan) 7. Panitia lelang (bendahara kas) menyetorkan uang basil lelang ke kas Pemda Kabupaten OKI di Bank Sumsel cabang Kayuagung. 8. Panitia lelang menyerahkan dokumen (SK Bupati OKI) kepada pemenang lelang scbagai bukti hak penguasaan lebak lebung untuk dieksploitasi.
74
BABIV ANALISIS DATA
A. Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung Pembahasan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI meliputi: proses pelelangan lebak lebung, pelaksanaan eksploitasi SDA perikanan lebak lebung dan dampak aktual atau hasil (effect) kebijakan yang diharapkan terjadi setelah diimplementasikan. I. Proses Pelelangan Lebak Lebung. Fokus utama kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung adalah proses lelang lebak lebung. Hal ini dapat dipah:uni karena tujuan utama kebijakan ini adalah untuk memperoleh pendapatan daerah.
Proses pelaksanaan lelang mengacu pada
ketentuan Perda Kabupaten OKI No.3 tahun 1996 jo. No.17 Tahun 1999 yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Ketentuan Perda sebagai pedoman pelaksanaan lelang lebak lebung yang akan dibahas berikut ini meliputi : persyaratan peserta lelang, pelaksanaan lelang, sistem penyetoran dan distribusi hasillelang. Setiap warga yang tinggal di Kabupaten OKI (dibuktikan dengan KTP) memiliki hak dan kesempatan mengikuti lelang lebak lebung dimana saja. Dengan ketentuan ini pemilik modal (pengemin besar) sering memonopoli pelaksanaan lelang di setiap kecamatan dalam memenangkan obyek yang potensial. Pengemin besar dapat bergerak dengan leluasa untuk mengikuti lelang dan memenangkannya, karena
75
kemampuan modal yang dimiliki dan kurang ketatnya ketentuan pembatasan berapa banyak obyek yang dapat dikuasai oleh pengemin. Dari pelaksanaan tersebut terjadi complain dari warga masyarakat desa (pengemin kecil) agar Pemda mengatur kembali persyaratan peserta lelang. Perubahan dilakukan terhadap persyaratan domisili dari peserta lelang yang membatasi peserta lelang adalah warga kecamatan (dibuktikan dengan KTP) yang telah tinggal sekurang-kurangnya selama 6 bulan di wilayah itu. Persyaratan ini merupakan langkah yang diambil oleh Pemda untuk menghilangkan monopoli dan memberikan kesempatan kepada masyarakat desa yang bersangkutan. Mengenai keefektifan peryaratan peserta Ielang ini dikemukakan oleh Drs. Maliki Bumiat Camat Kota Kayuagung, yang mengatakan : " ...... persyaratan domisili peserta lelang adalah warga kecamatan dilakukan untuk membatasi peluang dari pengemin besar dalam menguasai lebak lebung, akan tetapi kenyataan di Iapangan tidaklah seperti yang diharapkan di mana para pengemin besar memiliki kiat-kiat khusus dalam menghadapi persyaratan tersebut, diantaranya: dengan memberikan modal kepada warga desa yang tinggal di wilayah kecamatan tempat obyek lebak lebung. Secara kasat mata akan terlihat bahwa warga desa yang dianggap memiliki kehidupan sederhana dapat memesan obyek lelang yang nilainya tinggi. Dalam hal ini panitia lelang tidak dapat mendiskualifikasi warga desa tersebut dengan alasan yang bersangkutan diragukan kemampuan keuangannya. Selain tidak etis juga dapat dianggap membatasi kesempatan peserta (diskriminatif) untuk mengikuti Ielang (aspek equality). Rekomendasi yang diberikan oleh kepala desa kepada peserta lelang hanya berupa keterangan tempat tinggal di desanya bukan keterangan kemampuan finansia1.. ..... "(wawancara, 9 Februari 2001) Di sini peran ketua panitia lelang sangat besar untuk membuat kebijaksanaan (discretion) terhadap kondisi kenyataan yang dihadapi di lapangan. Camat sebagai
kepala wilayah memiliki tanggung jawab moral terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dengan jalan yang benar dan diusahakan agar warga masyarakat tidak
76
menggunakan cara yang tidak terpuji dalam mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Seorang camat bukan hanya sebagai kepala pemerintahan kecamatan tetapi juga merupakan pemimpin masyarakat yang harus memiliki kewibawaan agar disegani oleh warganya. Peranan camat sangat penting dalam pelaksanaan lelang untuk mengatur agar tidak teijadi praktek "curang" peserta lelang dalam pemesanan obyek lebak lebung sesuai dengan kemampuan finansialnya. Peranan ini ditentukan oleh kewibawaan dan keseganan masyarakat desa. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada Antoni seorang pengemin di Desa Serigeni Kecamatan Kota Kayuagung mengatakan bahwa: "Camat akan disegani oleh warga desa bila memiliki sifat-sifat yang baik seperti: jujur, tegas dan humanis. Kami tidak melihat apakah camat tersebut pintar (berkualitas) atau tidak, yang dilihat hanya kepedulian terhadap kami masyarakat desa dan sering berhubungan (komunikasi) dengan warganya. Nuansa primordial masih sangat kental di kalangan masyarakat desa yaitu kami akan sangat menghormati camat yang berasal dari Kabupaten OKI (putra daerah) khususnya kecamatan di mana camat tersebut menjabat". (wawancara, 10 Februari 2001) Posisi camat sangat strategis sebagai ketua panitia lelang kecamatan yang dapat membuat keputusan demi kelancaran pelaksanaan lelang sedangkan tim kabupaten yang tergabung dalam panitia hanya merupakan pengawas pelaksanaan lelang. Jadi yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan lelang di kecamatan adalah camat dibantu oleh sekwilcam dan kades. Pelaksanaan lelang dilaksanakan secara serentak 1 (satu) hari, yang mana sebelumnya dilaksanakan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan dengan waktu pelaksanaan yang berbeda masing-masing kecamatan. Perubahan waktu pelaksanaan secara serentak ini dilakukan untuk menghindari terjadinya monopoli yang dilakukan
77
oleh pengemin besar dalam mengikuti lelang. Pelaksanaan secara serentak ini untuk mendukung upaya mempersempit peluang bagi pemodal untuk mengikuti lelang lebih dari satu tempat (kecamatan). Menurut Drs. Bayumi Anwar Kabag Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten OKI mengatakan bahwa: " ........ pelaksanaan lelang secara serentak ini dilakukan untuk menghindari terjadinya monopoli yang dilakukan oleh pengusaha!perorangan pemilik modal besar dalam mengikuti lelang. Pada saat pelaksanaan lelang dilakukan pada hari yang berbeda untuk kecamatan terjadi peluang bagi pemodal untuk mengikuti lelang lebih dari satu tempat (kecamatan) Hal ini dimungkinkan karena ketentuan sebelumnya menyebutkan bahwa peserta lelang adalah warga Kabupaten OKI, sehingga setiap warga memiliki hak untuk mengikuti lelang dimana saja ......... "(wawancara, 5 Februari 200 1) Namun berdasarkan konfirmasi dengan aparat kecamatan diperoleh informasi bahwa pelaksanaan yang dilakukan secara serentak 1 (satu) hari tersebut bel urn dapat menghilangkan sama sekali dominasi yang dilakukan oleh pemodal, di mana mereka telah membangun jaringan yang luas pada setiap kecamatan yang memiliki obyek lebak lebung potensial seperti di Kecamatan Tulung Selapan, Pampangan, Jejawi dan SP Padang.
Pemda dengan
ketentuan tersebut setidaknya telah berupaya
mempersempit ruang gerak pemodal yang secara terang-terangan sering menguasai pelaksanaan lelang. Pada saat pelaksanaan lelang setiap peserta diberikan kesempatan untuk memilih obyek lebak lebung yang dikehendaki maksimal 3 buah dengan mencantumkan nilai tawaran sesuai dengan kemampuan (diisi dalam formulir). Pelaksanaan lelang dilakukan secara terbuka dimana setiap warga masyarakat yang menjadi peserta lelang memiliki kesempatan yang sama untuk menguasai obyek
7~
lebak lebung apabila dapat memenangkan dengan nilai tawaran tertinggi. Untuk menguasai salah satu obyek lebak lebung tidak diberikan perlakuan khusus baik kepada pejabat, kelompok masyarakat maupun tokoh masyarakat. Tidak seperti sebelum tahun 1997 di mana obyek lebak lebung tertentu yang potensial telah dipesan oleh pejabat maupun organisasi masyarakat dari Pemerintah Propinsi maupun Pemda Kabupaten. Hal ini dikemukakan oleh Kabag Pemdes bahwa : " ......... dahul u pelaksanaan lelang lebak lebung tidak dilaksanakan secara transparan (dibawah tahun 1997), dimana obyek lebak lebung yang ada dikecamatan tidak semuanya diumumkan untuk dilelang akan tetapi ada yang telah dipesan oleh para pejabat dari propinsi maupun kabupaten dan organisasi politik yang berkuasa saat itu, organisasi wanita serta organisasi onderbouwnya. Jadi obyek yang telah dipesan tersebut tidak lagi dilelangkan secara terbuka pada saat lelang sedangkan harga yang dibayar terhadap obyek tersebut sangat rendah. Dari pengalaman sebagai Kasubag di Bagian Pemdes dan sewaktu menjadi camat banyak ditemui kejanggalan tersebut, yang mana obyek yang telah dipesan tersebut tidak dikelola sendiri melainkan dijual kembali kepada masyarakat karena obyek lebak lebung tersebut sangat potensial yang banyak diminati peserta lelang ...... " Dari penjelasan tersebut diatas terlihat bahwa obyek Iebak lebung telah dijadikan sebagai Ia han mencari keuntungan pribadi bagi kelompok penguasa (elit daerah) terhadap aset yang dikuasai oleh Pemda. Alasan yang mengemuka mengenai keterlibatan elit daerah terhadap obyek lebak lebung adalah kuatnya intervensi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah maupun organisasi politik yang sangat menentukan karier dari pejabat daerah. Basil jual obyek lebak lebung yang dikuasai tersebut digunakan untuk keuntungan pribadi maupun organisasi. Pola yang terlihat bahwa adanya aktivitas rent seeking yang mana elit daerah/organisasi masyarakat tidak mengeluarkan modal sama sekali dalam mendapatkan hak pengusaan atas
79
obyek lebak lebung, tetapi hanya menggunakan uang dari anggota masyarakat yang telah menjadi klein (kelompok) untuk membayamya. Proses penyetoran uang hasil lelang dilakukan langsung dari bendahara kecamatan setelah menerima pembayaran dari pengemin dan setelah dikurangi biaya operasional sebesar 2% ke kas Pemda di Bank Sumsel Cabang Kayuagung. Sebagaimana yang diungkapkan pada bab 1 bahwa telah terjadi penyelewengan uang hasil lelang. Hal ini tetjadi sebelumnya dimana mekanisme penyetoran uang hasil lelang yang berbelit-belit yaitu adanya dua bendahara di tingkat kabupaten dan kecamatan. Adapun
proses penyetoran adalah bendahara kecamatan setelah
menerima uang pembayaran dikurangi biaya operasional, uang tersebut disetor kepada bendahara kabupaten (di Bagian Pemdes) kemudian baru disetor ke kas pemda di Bank Sumsel. Mengenai keefektifan perubahan pola penyetoran ini untuk menghindari penyelewengan, dikemukakan oleh Kanapi, S.sos. Kasubag Kekayaan dan Pendapatan Desa pada Bagian Pemdes Setda Kabupaten OKI, mengatakan bahwa : "Tetjadinya penyelewengan di saat uang berada pada bendahara kabupaten di mana uang yang ada belum disetor dan mendapat tekanan dari beberapa pejabat daerah untuk meminta bagian. Pola penyelewengan yang dilakukan adalah setoran dari kecamatan kepada bendahara kabupaten sesuai dengan hasil lelang narnun yang disetorkan ke kas pemda telah dikurangi dan laporan penerimaan yang dibuat sesuai denganjumlah uang yang disetor tersebut". (wawancara, 5 Februari 2001) Setelah kasus penyelewengan dilakukan perubahan dengan memperpendek jalur dan mempercepat waktu penyetoran uang hasil lelang. Bendahara pengumpul ditingkat kabupaten dihapuskan karena dianggap tidak efektif dan sebagai sumber
80
terjadinya penyelewengan uang hasil lelang. Perubahan yang dilakukan adalah bendahara kecamatan langsung menyetorkan uang hasil lelang secepatnya ke rekening Pemda No: 300-001 di Bank Sumsel cabang Kayuagung paling lambat 3 kali 24 jam. Sebagai sumber pendapatan dari pengelolaan kekayaan daerah, maka distribusi uang hasil lelang diberikan kepada desa tempat di mana obyek lebak lebung berada dan untuk penerimaan daerah dimasukan dalam APBD. Adapun prosentase pembagian untuk desa adalah 30% dan untuk Pemda 48%. Dengan Perda terakhir terjadi perubahan sharing hasil lelang yaitu penambahan pada penerimaan Pemda menjadi 51% dan pengurangan pada alokasi dinas perikanan untuk pembinaan teknis menjadi 2%. Pemberian 30% untuk kas desa tersebut dimaksudkan sebagai sharing terhadap kekayaan alam yang berada di desa, seperti yang dikemukakan oleh Kabag Pemdes bahwa : "Upaya dari pemda kabupaten untuk memperbanyak alokasi penerimaan untuk pemda dari uang hasi1 1e1ang tidak berarti mengabaikan alokasi untuk desa tetapi hanya mengurangi alokasi untuk kegiatan teknis perikanan yang telah dianggarkan dalam proyek pembangunan dinas perikanan dalam APBD. Pembagian hasil lelang ini Pemerintah Kabupaten OKI tidak terlalu berpedoman pada SK Gubemur Sumsel tentang pelimpahan wewenang pengelolaan lelang lebak lebung yang mana dalam SK tersebut prosentase pembagian terbesar diberikan kepada pemda sebesar 70% yang dimasukan dalam APBD, selanjutnya disubsidikan kepada desa dalam kabupaten untuk biaya rutin dan pembangunan desa. Apabila mengacu pada SK tersebut alokasi hasil 1elang untuk kas Pemda sangat besar, sedangkan untuk desa tidak ada yang ada hanya untuk perangkat marga, dusun dan tokoh adat yang masing-masing 10%, maka demi menghargai kepentingan desa yang memiliki areal lebak lebung diberikan alokasi sebesar 30%"
81
Distribusi hasil lelang yang ada saat ini lebih baik dari ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi. Akan tetapi sangat sulit untuk menilai apakah dana basil lelang yang dimasukan dalam APBD benar dialokasikan kembali ke desa karena tidak dijelaskan secara rinci apakah proyek pembangunan yang dibiayai APBD bersumber dari basil lelang lebak lebung atau bukan (ada komponen lain seperti pajak dan retribusi daerah). Dalam APBD banyak proyek pembangunan yang dialokasikan ke desa sebab wilayah Kabupaten OKI sebagian besar adalah desa sedangkan yang berbentuk kelurahan hanya 12 buah (di kota). Proyek pembangunan fisik maupun non fisik di desa dananya dapat bersumber dari DAU, DAK., bantuan Pemerintah Propinsi (DABA) maupun dari PAD sendiri. Uraian diatas memperlihatkan bahwa
proses pelelangan belum betjalan
dengan baik, dimana perbaikan yang dilakukan terhadap masalah atau kendala yang dihadapi belum sepenuhnya dipatuhi. Sebagai fokus utama kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung maka proses Ielang lebak lebung diupayakan keberhasilannya secara optimal. Seluruh perhatian pelaksana dan masyarak:at ditujukan pada pelaksanaan lelang ini, agar cepat membawa perubahan kearah perbaikan guna pencapaian tujuan peningkatan pendapatan daerah. Implementasi kebijak:an bila dilihat dari proses pelelangan belum berhasil karena ada pihak yang belum mendukung ke arab tersebut. 2. Pelaksanaan Eksploitasi Sumber Daya Perikanan Lebak Lebung Implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak: lebung dilihat juga dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan pengemin terhadap obyek lebak: lebung dan
82
pembinaan/pengendalian yang dilakukan oleh instansi terkait. Kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan dilakukan untuk memanfaatkan obyek lebak lebung yang telah dikuasai oleh pengemin. Dalam upaya peningk:atan kesejahteraan masyarakat khususnya petani (pengemin kecil) dilakukan kegiatan pembinaan terhadap mereka dan pengendalian terhadap potensi perikanan lebak lebung dalam upaya menJaga keseimbangan populasi sumber hayati. Hasil pelaksanaan lelang ditetapkan pengemin yang memenangk:an lelang dan kepada mereka diwajibkan untuk membayar harga lelang dan diberikan hak untuk melakukan eksploitasi kandungan yang ada dalam areal lebak lebung. Pemberian hak penguasaan secara administratif ditetapkan melalui surat keputusan Bupati OKI yang memiliki kekuatan hukum bagi pengemin untuk melakukan eksploitasi. Pengemin melakukan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung sesuai dengan kemampuan kepemilikan alat tangk:ap ikan dan larangan menggunakan alatlbahan berbahaya seperti: stroom (listrik), putas (racun) dan bahan peledak. Pengemin memiliki kebebasan melakukan produksi perikanan pada areal yang dikuasai, karena hak penguasaan terhadap areal lebak lebung tersebut adalah berlangsung selama satu tahun sedangkan untuk lebung waris adalah sampai rawa tersebut kering yang akan digunakan oleh pemilik lahan untuk mananam padi atau palawija. Dalam kegiatan eksploitasi pengemin biasanya memperhitungk:an waktu penangkapan ikan (secara periodik) sehingga ada kesinambungan dalam melakukan eksploitasi sumber daya ikan tersebut.
83
Ada beberapa pengemm menggunakan alat tangkap terlarang dalam melakukan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang banyak dan cepat (dianggap ekonomis). Infonnasi tersebut didapat dari Ali S salah seorang tokoh masyarakat Desa SP Padang yang mengatakan bahwa : " ..... dalam melakukan penangkapan ikan pada areal lebak lebung yang dikuasai ada beberapa pengemin menggunakan putas (racun). Memang basil yang diperoleh sangat besar, dimana perairan yang telah ditaburi (disiram) dengan putas tersebut setelah ditunggu sekitar 10-15 menit mulai bennunculan isi yang ada didalamnya berupa ikan, udang dan hewan air lainnya. Hewan air tersebut yang kecil akan mati sedangkan yang besar hanya kelihatan mabok mengambang di atas air, sehingga memudahkan untuk menangkapnya dengan menggunakan tangkul (jaring) ...... " (wawancara, 8 Februari 2001). Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat desa melihat adanya pengemin yang menggunakan alat tangkap yang dilarang. Kejadian tersebut dianggap hal yang biasa dan lumrah dilakukan oleh anggota masyarakat. Ketika hal ini dikonfinnasikan dengan pengemin mengenai penggunaan alat tangkap tersebut mereka hanya mengatakan pemah melakukan tetapi tidak secara terus menerus setiap akan melakukan ekploitasi lebak lebung. Kegiatan penangkapan ikan pada areal lebak lebung dengan menggunakan alat tangkap yang diperbolehkan rnerupakan bentuk kesadaran pribadi yang sifatnya relatif tergantung pada individu masing-masing dan juga berkaitan dengan aspek ekonomi. Sangat sulit meminta masyarakat agar rnernperhatikan aspek perlindungan dan kelangsungan sumber hayati, mereka menganggap dapat melakukan apa saja terhadap kekayaan alam daerah yang menjadi kuasanya. Dengan anggapan bahwa
84
alam akan memperbaiki ekosistem secara alami dan tidak peduli akan terjadinya kepunahan ataupun penurunan produksi perikanan. Dalam kegiatan eksploitasi perikanan lebak lebung perlu adanya pengawasan yang ketat dari aparat Pemda sebagai upaya penegakan hukum yang ada dalam Perda yang melarang para pengemin menggunakan alat tangkap seperti : racun, listrik dan bahan peledak. Kegiatan eksploitasi yang ramah lingkungan tidak dapat diserahkan sepenuhnya (dipercayakan) kepada anggota masyarakat karena adanya perbedaah kepentingan dari mereka, untuk itu perlu intervensi dari aparat pemda. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada Kabag Pemdes mengatakan bahwa : " ..... dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan ekploitasi sumber daya perikanan lebak lebung diserahkan kepada camat dan kepala desa untuk mengawasi di wilayahnya sedangkan dinas perikanan memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana cara penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan sumber hayati yang ada dalam perairan .... " Pengawasan terhadap kegiatan eksploitasi perikanan dibebankan kepada kepala wilayah dalam hal ini camat dan kades dengan kewenangan yang ada pada ketentuan Perda untuk menghentikan kegiatan tersebut. Posisi kepala wilayah sangat dilematis dan tidak mungkin untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh warga desanya dengan ketentuan hukum dan cenderung hanya melakukan teguran saja. Pengawasan yang dilakukan aparat pelaksana berdasarkan laporan secara berkala yang disampaikan
oleh aparat di tingkat kecamatan. Laporan tersebut
disampaikan kepada Dinas Perikanan dan Bupati apabila terjadi permasalahan dalam kegiatan eksploitasi seperti penggunaan alat tangkap yang dilarang, perselisihan antara pengemin dan masyarakat. Bel urn ada kegiatan pengawasan rutin dan langsung
85
ke Japangan, tetapi yang dilakukan aparat pelaksana hanya memantau kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung. Data yang diperoleh penulis dari Bagian Hukum Setda Kabupaten OKI belum ada laporan secara tertu1is tentang kejadian penggunaan bahan terlarang dan konflik warga, karena semuanya telah diselesaikan oleh aparat pemerintah terendah (kades dan camat). Hasil pengamatan penulis
di lapangan diperoleh informasi bahwa ada
beberapa pengemin menjual kembali area11ebak 1ebung yang dikuasai kepada petani desa. Misalnya salah satu obyek lebak lebung di Desa Berkat berupa sungai dibagi menjadi beberapa bagian. Anak sungai tersebut dibayar dengan harga 30 juta dan pengemm membagi menjadi 10 bagian dengan batas yang dibuatnya sendiri, kemudian
dijua1 kembali kepada masyarakat desa (petani) untuk menggarapnya
dengan harga sebesar 4 juta per bagian. Keuntungan yang diperoleh pengemin besar tersebut adalah 33% (sebesar 10 juta) dalam jangka waktu yang singkat. Dalam pengelolaan lebak lebung ini terlihat adanya dominasi yang dilakukan oleh pengemin besar sebagai pemilik modaL Walaupun ada larangan untuk tidak mengalihk:an kuasa obyek lebak lebung kepada pihak ketiga, namun sangat sulit untuk memantaunya. Kenyataan tersebut berdasarkan penjelasan dari Drs. M. Mursadi Sekwilcam SP Padang, yang mengatakan bahwa : " ........ kesulitan untuk menindak pengalihan hak penguasaan tersebut dikarenakan tidak adanya bukti nyata atau laporan dari masyarakat. Dalam pengelolaan ini antara masyarakat dan pengemin besar tidak mengalami kerugian dan terjalin hubungan mutualisma diantara kedua belah pihak. Petani sangat tidak mungkin untuk memenangkan obyek lelang besar karena keterbatasan modal sedangkan pengemin besar sebagai pemilik modal memiliki keterbatasan waktu untuk melak:ukan sendiri
86
eksploitasi sumber daya perikanan pada dikuasai ....... "(wawancara, 7 Februari 2001).
areal
lebak
lebung
yang
Pemyataan di atas diperkuat oleh Dahlan Kades Pantai Kecamatan SP Padang yang mengatakan bahwa : " ....... areal lebak lebung yang dimenangkan oleh pengemin yang berasal dari desanya sendiri biasanya mereka akan melakukan eksploitasi sumber daya perikanan sendiri dengan mempekerjakan warga masyarakat desa. Sedangkan bagi pengemin yang berasal dari luar desa walaupun dalam wilayah satu kecamatan, maka mereka akan membagi areal lebak lebung yang dikuasai untuk dijual kembali kepada warga masyarakat desa ....... "(wawancara, 7 Februari 2001). Ketika masalah penjualan kembali obyek lebak lebung ini ditanyakan kepada Malikin seorang pengemin besar di Desa SP Padang yang mengatakan bahwa : " ....... adalah san gat riskan ( mengandung resiko) bagi kami pengemin untuk melakukan penangkapan ikan (melebung) pada areal yang kami kuasai secara sendiri, karena sangat sulit menjaga kelangsungan isinya (keamanan) dari pencurian yang dilakukan oleh warga desa dan tidaklah mungkin bagi kami untuk melakukan kontrol setiap hari terhadap areal tersebut. Secara ekonomis, walaupun tidak terlalu menguntungkan maka kami menjualnya kepada warga masyarakat desa tersebut dengan keuntungan sekitar 30% dari nilai lelang yang dibayar ......... "(wawancara, 8 Februari 2001 ). Kelemahan yang ada pada petani adalah keterbatasan modal dalam mengikuti lelang, namun kendala tersebut tidak dapat diatasi dengan memberikan bantuan modal kepada mereka. Hal ini dikarenakan sifat dari pengelolaan perikanan lebak lebung yang masih tradisional dengan pola penangkapan ikan secara berkala demi menjaga kelangsungan sumber hayati. Sangat riskan (high risk) bagi masyarakat (petani) meminjam uang untuk mengikuti lelang agar dapat menguasai obyek lebak lebung karena kesulitan untuk mengembalikan pinjaman tersebut yang mana produksi ikan belum dapat diprediksikan. Secara budaya masyarakat memanfaatkan potensi
87
perikanan lebak lebung hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Penangkapan ikan di perairan umum belum dijadikan lapangan usaha tetap bagi warga masyarakat desa. Masyarakat belum dapat menjadikan peluang bisnis dalam pengelolaan perikanan lebak lebung sebagai bukti kemiskinan kultural (culture poverty), mereka masih memiliki pemikiran terbatas hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini tidak dapat dipungkiri hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, di mana masyarakat kecil memiliki keterbatasan akses berupa: modal, informasi dan
kemampuan
manajemen (management skill). Keterbatasan akses yang dimiliki oleh masyarakat dimanfaatkan oleh pemodal untuk menguasai obyek lebak lebung. Pengemin besar yang mengelola sendiri lebak lebung yang dikuasai telah mengbTUnakan manajemen bisnis. Dalam melakukan eksploitasi perikanan pengemin besar mempekerjakan warga masyarakat desa. Hasil produksi perikanan sebagian didistribusikan langsung ke pasar dan sebagian besar diolah dengan pengawetan berupa ikan asin dan salai. Pemasaran yang dilakukan telah memiliki pelanggan tetap untuk ikan basah (segar) dan untuk ikan awetan (ikan asin dan salai) dipasarkan ke beberapa kota di dalam maupun di luar propinsi. Kegiatan pembinaan dilakukan kepada warga masyarakat antara lain: pada saat akan mengikuti lelang disarankan agar membentuk kelompok baik dalam wadah koperasi maupun kelompok usaha tani, pembinaan terhadap pengemin dalam melakukan eksploitasi sumber daya perikanan di lapangan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, pembinaan dalam pengelolaan hasil produksi baik pengawetan maupun akses pemasaran, menjaga keseimbangan antara kepentingan
88
masyarakat dengan pengemin dan menjaga kelangsungan (sustensi) dari sumber daya perikanan lebak lebung. Perlindungan dan pembinaan sumber perikanan di Kabupaten OKI dilakukan oleh Dinas Perikanan melalui usaha pengelolaan reservaat, pengaturan sistem penangkapan, pembersihan perairan, restocking, penanggulangan penyakit ikan dan larangan penangkapan anak ikan. Adapun kegiatan pengendalian potensi perikanan lebak lebung yang dilakukan tahun 1999 adalah : 1. Pembersihan areal perairan reservaat pada reservaat lebung karangan di Kecamatan Inderalaya (2 September-1 Oktober 1999), reservaat lebung nilang di Kecamatan Tanjung Lubuk (November 1999), dan reservaat teluk rasau di Kecamatan Pedamaran (2-31 Desember 1999) masing-masing seluas 2 Ha. 2. Penebaran benih ikan diperairan umum pada areal reservaat lebung karangan di Kecamatan Inderalaya sebanyak 5.000 ekor benih ikan patin ukuran 5-8 em (tanggal 28 Desember 1999) dan areal sungai jalur 31 di Kecamatan Air Sugihan sebanyak 14.800 ekor benih ikan nila (24 November 1999). 3. Pemasyarakatan hukum perikanan dalam rangka pelestarian sumber daya ikan sebanyak 2 angkatan di Kecamatan Pedamaran dan Kota Kayuagung yang diikuti 25 orang peserta (tanggal 8-9 September 1999). Uraian diatas mengindikasikan bahwa kegiatan eksploitasi belum mengacu kepada ketentuan yang ada yaitu belum dipatuhi larangan penggunaan alat tangkap yang berbahaya oleh pengemin dan larangan memindahtangankan (menjual kembali) areal lebak lebung yang dikuasai kepada pihak ketiga. Penangkapan ikan dengan
89
menggunakan peralatan yang dilarang akan menyebabkan penurunan sumber hayati dan kerusakan ekosistem lebak lebung tersebut. Hal ini teijadi karena kurangnya pengawasan dari aparat pelaksana terhadap eksploitasi yang dilakukan pengernin. Adanya kegiatan dominasi modal menyebabkan keuntungan berlebihan di pihak tertentu (pemodal) dan kerugian di pihak lain (petani), sehingga kesejahteraan masyarakat belum meningkat dari basil pengelolaan perikanan lebak lebung. Posisi areal lebak lebung ini sangat rentan dengan konflik (kerawanan sosial), disatu sisi pengemin harus dijamin hak penguasaan untuk melakukan eksploitasi sumber daya perikanan, sementara di sisi lain warga masyarakat desa yang menggantungkan hidup pada areal lebak lebung
harus tetap diperhatikan dari Pemda. Pembinaan dan
pengendalian yang dilakukan belum efektif, yang mana kegiatan tersebut dianggap rutinitas tugas dan belum menyentuh pada tujuan yang dikehendaki. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung hila dilihat dari kegiatan pelaksanan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung bel urn beijalan dengan baik.
B. Dampak Aktual atau Hasil (Effect) Kebijakan Dari implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung ini, maka dampak aktual yang diharapkan teijadi antara lain adalah : (1) peningkatan pendapatan daerah, (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dalam hal ini dilihat dari tenaga keija yang terserap, (3) mengurangi kerawanan sosial dan (4) terjaganya kelestarian lingkungan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini :
90
1. Peningkatan pendapatan daerah Tujuan utama kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung yang melibatkan masyarakat melalui mekanisme lelang untuk mendapatkan hak penguasaan eksploitasi adalah meningkatkan PAD sebagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemda Kabupaten OKl. Tujuan ini dapat dicapai dengan baik, karena sistem lelang yang dipakai memberikan altematif harga tertinggi diantara para peserta atas obyek yang ditawarkan. Hasil lelang Iebak Iebung termasuk
penerimaan lain-lain dalam struktur
APBD dan merupakan komponen PAD yang sangat diandalkan oleh Pemerintah Kabupaten OKI, yang mana sejak berlakunya UU No. 18 Tahun 1997 telah menghapuskan retribusi perikanan yang dipungut oleh dinas perikanan sehingga hasil lelang menjadi andalan dalam pengelolaan perikanan lebak lebung. Kontribusi hasil lelang lebak lebung terhadap PAD pada tahun 1998/1999 sebesar 46,21% (Rp.1 ,6 milyar) dan tahun 1999/2000 sebesar 66,30% (Rp.3,7 milyar). Hasil lelang memberikan sumbangan sekitar 50% dari total PAD Kabupaten OKI. Telah menjadi komitmen bersama antara eksekutif (Bupati) dan legislatif (DPRD) untuk meningkatkan penerimaan dari hasillelang yaitu dengan menetapkan target yang besamya maksimal 15% dari penerimaan tahun lalu yang dituangkan dalam APBD. Untuk lebih jelasnya berikut ditampilkan realisasi penerimaan hasil lelang lebak lcbung selama lima tahun.
91
Tabel7 Target dan Realisasi Hasil Lelang Lebak Lebung Tahun 1995-1999 No.
1 2 3 4 5
Tabun AJ!gg_aran 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000
Ta_rg_et (000) 700.000 800.000 800.000 825.000 1.700.000
Realisasi (000) 861.830 765.301 786.934 1.611.405 3.277.570
Persentase (%) 123,12. 95,66. 98,37. 195,32. 192,_80.
Sumber : Laporan Tahunan Dispenda Kabupaten OKI Tabel diatas memperlihatkan bahwa target yang ditetapkan oleh Pemda yang tertuang dalarn APBD Kabupaten OKI rata-rata dapat terlampaui, lebih-lebih pada 2 tahun terakhir 1999 dan 2000 di mana realisasi yang diterima hampir mencapai 2 kali target yang ditetapkan. 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dalam hal ini dilihat dari penyerapan tenaga
kerja dalam pengelolaan perikanan lebak lebung
Kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung yang dikeluarkan oleh Pemda diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa khususnya petani yang menggantungkan hidupnya pada usaha penangkapan ikan di perairan urnurn. Kebijakan ini bukan rnerupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat khusus!lya petani, akan tetapi minimal telah membuka pel uang berusaha bagi sebagian besar masyarakat desa untuk memanfaatkan lingkungan yang kondisi tanahnya berawa. Sejak masa pemerintahan marga masyarakat desa telah memanfaatkan areal lebak lebung ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia, maka pemanfaatan potensi perikanan lebak
92
lcbung tidak dapat lagi dijadikan sebagai pekeijaan sambilan, akan tetapi telah berubah menjadi Iahan usaha utama (lapangan kerja) bagi masyarakat desa dalam kehidupannya. Mereka sangat berkepentingan untuk dapat menguasai areal lebak lebung agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Adapun jumlah rumah tangga dan jumlah tenaga keija yang terlibat dalam pemanfaatan potensi perikanan lebak lebung dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel8 Jumlah Rumah Tangga Perikanan dan Penyerapan Tenaga Keija Tahun 1995-1999 No.
Tahun
1
1995 1996 1997 1998 1999
2
....
:J
4 5
Rumah Tan22a Perikanan P. Umum 8.994 8.984 9.375 9.738 9.884
Tenaga Kerja (orang) 23.810 25.154 27.226 28.307 31.670
Sumber : Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten OKI Tabel diatas memperlihatkan bahwajumlah RTP yang mengantungkan hidup pada usaha penangkapan ikan di lebak lebung mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar, namun dari segi tenaga kerja yang terlibat mengalami peningkatan ratarata 10.000 orang pertahun. Peningkatan jumlah tenaga keija ini seiring dengan sempitnya peluang usaha bidang lain di pedesaan. Masyarakat desa dengan pendidikan yang seadanya cenderung melihat peluang yang ada di desanya berupa kekayaan perikanan lebak lebung sebagai lapangan usaha. Selain itu pekerjaan yang dilakukan merupakan pekeijaan turun temurun yang dilakukan oleh warga desa pada sebagaian besar wilayah di Kabupaten OKI.
93
Penangkapan ikan di areal lebak lebung telah menjadi lapangan usaha masyarakat desa dan dapat menghidupi keluarga. Mengenai besamya basil yang diperoleh dari penangkapan ikan tersebut dikemukakan oleh Bermawi seorang pengemin kecil di Desa Berkat Kecamatan SP Padang yang mengatakan bahwa: " ...... saya mengelola sendiri areallebak lebung yang nilai lelang sebesar Rp.600.000. Hasil penangkapan ikan untuk menambah memenuhi kebutuhan rurnah tangga seharihari, yang mana saya juga berkebun semangka. Penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring dan bubu yang dilakukan selang satu hari (dua hari sekali). Ikan tersebut dijual ke pasar dengan basil penjualan berkisar Rp.12.000- Rp.l5.000 ...... " Dari informasi tersebut di atas dapat diketahui besamya pendapatan yang diperoleh oleh seorang pengemin kecil yang mengelola sendiri areal lebak lebung dalam waktu satu bulan (rata-rata 16 hari) maka besamya pendapatan sekitar Rp.l92.000- Rp.240.000. Tambahan pendapatan tersebut dirasakan cukup besar bagi masyarakat desa dan dapat menambah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga dengan pendapatan tenaga kerja yang bekerja pada pengemin besar (pengusaha ikan asin) dalam penangkapan ikan di areal lebak lebung yang dikuasainya dan pengelolaan lebih lanjut mendapat upah sebesar Rp.7.500 Rp. I 0.000 perhari (satu bulan dihitung 20 hari). Jadi pendapatan yang diperoleh tenaga kerja tersebut dalam waktu satu bulan sekitar Rp.150.000- Rp.200.000. Penghasilan yang diperoleh RTP dan tenaga kerja tersebut belum dapat memberikan kesejahteraan secara langsung kepada masyarakat desa sesuai dengan standar kebutuhan hidup minimum (KHM) Kabupaten OKI tahun 2000 sebesar Rp.365.172,68 sedangkan upah minimum regional (UMR) sebesar Rp.196.000. Pengelolaan perikanan lebak lebung setidaknya
telah membuka peluang usaha
94
{lapangan kerja) pada masyarakat desa. Jadi kebijakan Pengelolaan perikanan lebak lebung belum menyentuh pada aspek kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan potensi perikanan labak lebung. 3. Mengurangi kerawanan so sial Keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung dapat pula dilihat dari tingkat konflik yang teijadi di masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa pengelolaan perikanan lebak lebung sangat rawan dengan konflik antara pengemin dan masyarakat, baik dalam kegiatan eksploitasi maupun ketidaksenangan masyarakat desa terhadap pengemin yang berasal dari luar desa. Banyak sumber masalah yang menyelimuti pengelolaan perikanan lebak lebung yang dapat mengakibatkan terjadinya kerawanan sosial mulai dari proses lelang sampai kegiatan eksploitasi. Pada masa pemerintahan marga ikatan emosional antar warga masyarakat desa masih sangat kental yang dibatasi dengan hukum adat yang dihormati dan dipatuhi oleh setiap warga. Rasa solidaritas dan tenggang rasa diantara warga masyarakat desa masih kuat, mereka tidak terlalu mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dalam memanfaatkan laban lebak lebung yang menjadi swnber penghidupan. Keadaan ini berubah ketika teijadi perubahan sistem pemerintahan desa dan sistem moneti=e telah merambah ke desa, dimana segala aspek kehidupan dinilai dengan uang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga prinsip ekonomi yang mencari keuntungan sebesar-besamya mulai menjalar pada setiap warga masyarakat desa terutama di kalangan elit desa (orang kaya)
95
Pada proses lelang
lebak lebung kepada masyarakat desa diberikan
kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang, akan tetapi pola pembagian obyek lelang tidak dibagi menjadi areal yang sempit sesuai dengan keadaannya. Panitia lelang cenderung mengelompokkan beberapa areal lebak lebung yang kecil menjadi satu sehingga nilai jualnya menjadi tinggi, dengan asumsi lebih efisien. Pada proses lelang sering terjadi persaingan yang tidak sehat dalam menawar obyek lelang, hal ini didasari emosi dan gengsi dari peserta lelang untuk dapat memenangkan obyek yang dikehendaki. Apabila tidak dikendalikan oleh panitia lelang maka peserta lelang akan terus bersaing dan dapat menimbulkan dendam. Dari pengamatan penulis terhadap pelaksanaan lelang di Kecamatan SP Padang, melihat adanya sumber kerawanan dalam pelaksanaan lelang dimana masing-masing peserta lelang tidak mau kalah, apalagi bila persaingan tersebut pesertanya berasal dari desa yang berbeda. Keterangan kades dan tokoh masyantkat mengatakan bahwa ketegangan antar peserta pada pelaksanaan lelang akan berlanjut pada kegiatan lain seperti pada pesta perkawinan yang mana juga ada tradisi lelang kue ( makanan ). . Persaingan antar warga masyarakat desa tersebut secara sosiologis bahwa mereka menginginkan pengakuan terhadap eksistensi (self actualization) dalam kehidupan masyarakat. Hal ini teijadi pada elit desa (pemodal dan aparat desa) yang memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat desa. Persaingan dalam pelaksanaan lelang dianggap membawa nama desa agar dapat menguasai areal lebak lebung yang dilelang terlebih yang berada di desanya sendiri.
96
Kerawanan sosial yang lain adalah pada saat pengemin melakukan eksploitasi dan menjaga areal lebak lebung yang dikuasai. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan pengemin dengan menggunakan bahan terlarang akan mendapatkan pertentangan dan masyarakat sehingga mereka dapat mengambil tindakan main hakim sendiri. Dari aspek sustainability tindakan masyarakat ini akan membuat pengemin berfikir dua kali untuk menggunakan bahan terlarang dalam penangkapan ikan. Areal lebak Iebung yang dikuasai oleh pengemin ada dua macam, yaitu lebak lebung umum yang dimiliki oleh Pemda dan lebak lebung waris yang dimiliki perseorangan dengan ketentuan masa penguasaan selama 1 tahun atau sampai lebak lebung tersebut kering yang akan digunakan pemilik untuk bertanam padi. Posisi pengemin dan masyarakat sangat rentan dengan konflik, dimana lebak lebung yang dikuasai pengemin pada saat musim kemarau masih ada bagian yang belum kering dan belum dieksploitasi sementara pada saat yang sama petani mulai bertanam padi dan sering terjadi pelanggaran lahan diantara keduanya. Akan tetapi keributan antara pengemin dan masyarakat tersebut belum sampai dibawa ke tingkat pemerintahan kabupaten apalagi ke pengadilan. Kondisi diatas berdasarkan pengakuan dari Sangkut seorang pengemin besar di Desa Serigeni Kecamatan Kota Kayuagung mengenai rawannya konflik dan pencurian terhadap areal lebak lebung yang dikuasainya mengatakan bahwa : " ..... belum adanyajaminan keamanan dari pencurian masyarakat desa terhadap areal lebak lebung yang dikuasai membuat kami berfikir lebih baik menjual kembali lebak lebung tersebut kepada pihak ketiga atau melakukan penangkapan ikan secara besarbesaran yang tidak menutup kemungkinan menggunakan alat tangkap terlarang. Selain itu belum jelasnya waktu penguasaan terhadap areal lebak Iebung waris yang
97
mana belum semuanya kandungan di dalamnya diekploitasi sedangkan pemilik mulai menanam padi ........ (wawancara, 10 Februari 2001) Pemyataan tersebut sama dengan yang dikemukakan oleh MAli Kades Berkat Kecamatan SP Padang yang mengatakan bahwa : " ...... dalam pemanfaatan lebak lebung sering terjadi perselisihan antara pengemin dan pemilik lahan, yang mana kondisi areal lebak lebung tersebut belum kering dan pengemin belum selesai melakukan eksploitasi sementara pemilik laban pada saat lahan agak kering mulai mengelola lahan lebak Iebung tersebut dengan menanam padi yang akan mengganggu areal yang belum dieksploitasi pengemin....... " Pengelolaan potensi SDA perikanan lebak lebung merupakan warisan dari pemerintahan adat (marga) yang pemah ada di kabupaten OKI sebelum dirubah menjadi desa dengan UU No.5 tahun 1979. Pergantian kewenangan pengelolaan kepada Pemerintah Kabupaten OKI telah merubah ikatan emosional sistem persekutuan masyarakat adat yang pemah ada yang memberikan jaminan keseimbangan antara elit adat dan masyarakat biasa. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pemberian hak pakai, hak menangkap hewan air (ikan dan udang untuk kebutuhan makan) bagi golongan masyarakat biasa. Hak ini sebagai upaya membangun solidaritas demi kelangsungan hidup persekutuan. Dari uraian di atas diketahui bahwa implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung belum dapat menurunkan tingkat kerawanan sosial dalam masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya masyarakat yang memiliki tingkat aktualisasi diri yang berlebihan dan kurangnya jaminan keamanan dari Pemda terhadap potensi perikanan yang dimiliki oleh pengemin.
98
4. Tetjaganya kelestarian lingkungan Pengelolaan perikanan lebak lebung harus memperhatikan faktor environment untuk menilai hasil implementasi kebijakan tersebut, seperti kerusakan SDA perikanan yang terjadi akibat eksploitasi yang tidak terkontrol oleh pengemin. Faktor lingkungan berfungsi untuk melestarikan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung,
supaya
bisa
berlangsung
secara
berkesinambungan.
Kebijakan
ini
mengandalkan potensi alam perikanan di perairan umum, besar kecilnya pendapatan (produksi) sangat tergantung dengan jumlah hewan air (ikan, udang, dll) yang ada dalam areal lebak lebung. Apabila eksploitasi yang dilakukan tanpa mengindahkan plasma nutfah dari hewan air yang ada, maka untuk tahun berikutnya jumlah produksi akan semakin berkurang. Begitu juga dengan areal lebak lebung yang selam ini tergenang air apabila terjadi perubahan penggunaan lahan yang merusak ekosistem dari perairan maka dipastikan obyek lebak lebung akan musnah. Pola pengaturan dalam eksploitasi perikanan lebak lebung pada masa pemerintahan marga berjalan secara tradisional (alami), karena adanya kekuatan adat yang mengendalikan. Anggota masyarakat secara sadar dalam memanfaatkan potensi alam tersebut untuk mencari nafkah hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak ada pikiran (keinginan) dari mereka untuk mengeruk potensi alam tersebut secara besar-besaran demi keuntungan pribadi. Dengan pemanfaatan sumber daya perikanan lebak lebung secara tidak berlebihan membuat ekosistem dalam perairan urn urn tersebut berkembang mengikuti keseimbangan alam. Hak untuk memanfaatkan SDA tersebut diberikan oleh pasirah sebagai ketua adat untuk kesejahteraan
99
rakyatnya. Begitu juga dengan areal yang dilelangkan akan dieksploitasi oleh pengemin (pemenang lelang) dalam batas-batas yang wajar. Kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan saat ini berkembang cepat, dengan menggunakan alat-alat canggih yang sangat efektif untuk menangkap hewan air yang bearada dalam kawasan areal lebak lebung. Prinsip ekonomi dari pengemin yang berjiwa enterpreneur sering tidak memperhatikan aspek kelestarian sumber hayati perikanan dalam melakukan eksploitasi. Akibat eksploitasi yang berlebihan maka akan mematikan sumber hayati dan kelangsungan hidup dari hewan air jumlahnya akan berkurang. Pengemin menggunakan peralatan yang dilarang dalam melakukan ekploitasi seperti: stroom, racun (putas) dan bahan peledak. Penggunaan alat tangkap terlarang tidak terdeteksi secara nyata oleh Pemda namun kenyataannya beberapa pengemin menggunakan alat tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Kades Berkat bahwa pengemin besar sering menggunakan bahan terlarang putas dalam penangkapan ikan. Dengan menggunakan putas tersebut hewan air (ikan, udang dll.) yang ada dalam areallebak lebung akan keracunan mengambang di permukaan air sehingga lebih mudah untuk menangkapnya. Masyarakat yang mengetahui kegiatan tersebut masih menganggap sebagai hal yang biasa, sebab begitu kering rawa tersebut tidak akan menimbulkan masalah bagi mereka. Hal ini karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan dari penangkapan ikan yang menggunakan putas, yang mana akan mencemari air dan merusak unsur hara dari lebak lebung tersebut.
100
Kegiatan yang dilakukan oleh dinas perikanan adalah me1akukan pembinaan dan perlindungan terhadap sumber daya perikanan. Kegiatan ini diwujudkan dalam proyek pembangunan perikanan yang dibiayai oleh dana pusat maupun daerah. Kegiatan pembinaan kelestarian sumber daya perikanan berupa pembersihan areal suaka perikanan (reservaat) dan penebaran benih (restocking). Adapun alokasi dana untuk kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya ikan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel9 Pemberst"han Reservaat dan Restock"mg d.1 Kab upaten OKI Tahun 1995-1999 Tahun No Sumber Dana (dalam ribuan) Jumlah APBDll APBDI APBN 1 2 3 4 5
1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000
10.500 27.000
6.695 15.050
-
-
40.837 12.000
1.375
-
11.750 18.000 12.000 20.000
17.497 53.800 18.000 54.212 32.000
Sumber : Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten OKI Tabel diatas menunjukkan bahwa kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya ikan belum dilakukan secara kontinyu baik dana yang bersumber dari APBD kabupaten maupun dari APBN. Kedua sumber dana tersebut seharusnya dapat saling melengkapi misalnya bila APBD kahupaten mengganggarkan kegiatan pemhersihan areal reservaat maka sumher dana dari APBN digunakan untuk: kegiatan penebaran benih (restocking), hegitu juga sebaliknya. Kedua kegiatan ini harus dijadikan kegiatan rutin dinas perikanan bukan kegiatan pemhangunan, yang mana hila dijadikan rutin akan tetjamin konsistensi dan kontinuitas dalam melakuk:an pengendalian perlindungan sumher daya ikan. Akan tetapi hila dijadikan proyek akan
I 0I
terjadi tarik menarik kepentingan antara pengusul (Dinas Perikanan) dengan penyusun proyek pembangunan (Bappeda dan Bagian Penyusunan Program). Sampai dengan tahun 2000 Kabupaten OKI telah memiliki 8 reservaat (suaka perikanan) yang ditetapkan dengan SK Bupati OKI. Adapun kedelapan reservaat tersebut sebagai berikut :
TabellO h 2000 J urn Ia h Reservaat d.1 K ab upaten OKI pada T aun Lokasi No. Nama Reservat Luas Instansi Keterangan Kecamatan (Ha) 1 Lubuk 1ampam Lempuing 1.200 Lolitkanwar Stasiun penelitian Pedamaran 180 Diskan Prop SS sejak 1978 2 Teluk Rasau 3 Lebung karangan Inderalaya 22 Idem 4 Teluk Purun Tg.Lubuk Diskan Kab OKI 5 Teluk Gelam Idem Idem 6 Lebak Air ltam ldem ldem 7 Lebak Nilang Idem Idem Inderalaya 15 Idem 8 Teluk Seruo Sumber: Laporan Tahunan Dmas Penkanan Kabupaten OKI Aspek kelestarian lingkungan hidup belum sepenuhnya diperhatikan oleh Pemda dalam implementasi
kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung.
Pengawasan terhadap kegiatan eksploitasi yang memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan merusak lingkungan belum dilaksanakan secara intensif Begitujuga dengan kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya perikanan masih dijadikan kegiatan proyek pembangunan bukan kegiatan rutin dari Dinas Perikanan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan, bahwa implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OKI belum berjalan dengan baik, dalam arti belum sesuai dengan ketentuan yang ada (Perda), baik dari aspek proses pelelangan maupun
pelaksanaan. Dengan kondisi pelaksanaan yang
102
demikian, nampaknya juga berpengaruh terhadap dampak aktual (hasil) yang diharapkan terjadi, yakni belum optimalnya basil (tujuan) kebijakan yang dicapai dalam pengelolaan perikanan lebak lebung yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten OKI. Berkaitan dengan hasil implementasi kebijakan, maka perlu dikaji lebih lanjut faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi atau menghambat pelaksanaan dan hasil kebijakan pengelolaan perikanan lebak Iebung di Kabupaten OKI.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi lmplementasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lebak Lebung Dalam kajian implementasi kebijakan pengelolaan perikanan Iebak lebung ini, akan dianalisis 3 (tiga) faktor yang dianggap menentukan keberhasilan implementasi yaitu: faktor kewenangan, sumber daya dan sikap (komitmen).
1. Kewenangan (Authority) Tanpa adanya kewenangan yang cukup implementor tidak dapat melakukan tindakan tertentu untuk mencapai tujuan kebijakan. Artinya kewenangan merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan kinerja implementasi kebijakan. Wewenang sebagai
dasar manajemen melakukan kegiatan-kegiatan untuk
mempengaruhi
aktivitas bawahan pada jenjang hirarki organisasi. Kewenangan akan selalu berkaitan dengan hak seseorang pejabat pemerintah untuk membuat, melaksanakan dan menetapkan sanksi atas pelanggaran ketentuan yang telah ditetapkan. Wewenang yang bersumber dari peraturan, normalketentuan memberikan kejelasan tentang ruang
103
lingkup {scope) dan batasan dalam pelaksanaannya. Dalam konteks pemerintahan daerah lingkup kewenangan
yang dimiliki pejabat daerah dalam pembuatan,
pelaksanaan dan pengawasan atas suatu kebijakan menunjukkan lingkup otonomi yang dimiliki suatu daerah dalam urusan pemerintahan tersebut. Untuk menganalisis apakah suatu urusan selayaknya diserahkan atau tidak diserahkan kepada pemerintah/pejabat lokal, menurut Bryant dan White (1989, 221-222) dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu: dimensi informasi yang diperlukan, cara suplay dan daya tanggap. Adapun kewenangan yang dapat mempenganihi implementasi kebijakan tersebut adalah sebagai berikut : a. Kewenangan menetapkan mekanisme pengelolaan dan distribusi hasil lebak lebung. Kewenangan untuk melakukan pengelolaan potensi SDA perikanan lebak lebung di Propinsi Sumatera Selatan telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten!kota
sejak
tahun
1982
dengan
dikeluarkannya
SK
Gubemur
No. 705/KPTS/II/1982. Usaha perikanan lebak lebung telah menjadi urusan otonomi Kabupaten OKI dengan dikeluarkannya Perda No. 13 Tahun 1987 dan No.28 tahun 1987. Dengan demikian dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung kewenangan diserahkan kepada Bupati dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalah SK pelimpahan tersebut. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan perikanan lebak lebung yang dilakukan oleh Bupati OKI meliputi: penetapan obyek lebak lebung yang akan dilclang, penetapan dan pembatalan pemenang lelang, pembinaan dan pengendalian
104
serta penertiban atas kegiatan eksploitasi sumber daya ikan. Dilihat dari sifat penyerahan urusan, maka kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten OKI dan dilaksanakan oleh Bupati adalah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan azas desentralisasi. Hal ini dapat dibuktikan dari nomenk.latur yang digunakan oleh pasal 21 UU No 9 tahun 1985 bahwa sebagian urusan perikanan darat dan laut diserahkan kepada Pemda (propinsi dan kabupaten/kota). Hal ini diperkuat dengan UU No.22 Tahun 1999 yang memberikan keleluasaan kepada daerah (kabupatenlkota) untuk mengelola SDA yang ada di daerah. Demikian juga pada UU No.25 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa sumber kekayaan alam perikanan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah (kabupaten/kota). Bukti lainnya yang dapat ditunjukkan adalah dari aspek penganggaran, dimana basil lelang lebak lebung dimasukkan dalam APBD Kabupaten OKI pada bagian PAD yang berasal dari pos penerimaan lain-lain. Dilihat dari diktum menetapkan point kedua pada SK Gubernur tentang pelimpahan wewenang pelaksanaan lelang lebak lebung disebutkan bahwa Pemda dalam membuat Perda harus mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan berupa: tata cara lelang, panitia lelang dan pembagian basil lelang. Perda Kabupaten OKI telah mereduksi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Gubemur tersebut dalam tata cara lelang dan pembentukan panitia lelang. Akan tetapi pembagian hasillelang tidak mengacu pada ketentuan tersebut dan dibuat berdasarkan pertimbangan Pemda sendiri. Pada Perda tahun 1987 pembagian basil lelang diserahkan 60% untuk kas desa dan pada Perda tahun 1999 berkurang menjadi 30% sedangkan untuk kas Pemda
105
sebesar 51%. Perubahan distribusi hasil lelang tetap disetujui oleh Pemerintah Propinsi (disahkannya Perda No.l7 tahun 1999). Scbcnarnya kcwcnangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten tidaklah secara penuh dalam arti daerah tidak dapat berbuat apa saja terhadap potensi SDA yang dimiliki, tetap harus mengacu pada ketentuan pemerintahan tingkat atas sebagai konsekuasi dari sistem pemerintahan negara kesatuan, di mana antara pemerintah dengan pemerintah propinsi maupun kabupaten tidaklah berdiri sendiri. Walaupun dalam UU otonomi daerah disebutkan bahwa daerah kabupaten tidak ada hubungan struktur hirarki dengan pemerintah propinsi, namun ditinjau dari aspek birokrasi suatu pemerintahan di tingkat bawah harus mengacu pada pemerintah tingkat atasnya dan sebaliknya adalah kewajiban pemerintah tingkat atas untuk mengawas1 pemerintahan tingkat bawah dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Pemerintah propinsi memiliki prinsip yang ambivalen (mendua) terhadap pengelolaan perikanan lebak lebung, di satu sisi telah melimpahkan kewenangan kepada daerah
dan
disisi
lain tetap ingin memberikan kontrol terhadap
pengelolaannya. Hal ini terbukti dengan keluamya surat Gubemur Sumsel tanggal 2 Januari 2001 No.140/30/III/2001 yang meminta kepada Pemerintah Kabupaten OKI untuk mencabut Perda tentang lelang lebak lebung dan mengembalikan pengelolaan lebak lebung kepada pemerintah desa (menjadi urusan desa) karena lebak lebung dianggap sebagai obyek pungutan desa. Adanya surat tersebut menandakan bahwa kewenangan pengelolaan perikanan lebak lebung ini belum sepenuhnya diserahkan oleh Pemerintah Propinsi kepada
106
Pemerintah Kabupaten mengenai mekanisme pengelolaannya. Ada
perbedaan
pandangan dalam masalah kewenangan pengelolaan perikanan lebak lebung antara pemerintah propinsi dan kabupaten. Pemerintah Propinsi melihat pasal 107 UU No.22 Tahun 1999 bahwa obyek ini harus diserahkan kembali kepada desa agar dapat memperoleh dana untuk pembangunan desanya. Hal ini merupakan respon terhadap tuntutan dari warga masyarakat petani yang tergabung dalam SPSS (Serikat Petani Sumatera Selatan). Sedangkan Pemerintah Kabupaten melihat pasal 10 bahwa pengelolaan perikanan lebak lebung ini harus ditangani oleh Pemda dan merupakan kekayaan daerah sebagai sumber PAD, yang mana diketahui bahwa tidak setiap desa memiliki obyek lebak lebung sehingga apabila masing-masing desa menuntut untuk mengelolanya sendiri maka dikuatirkan akan terjadi perselisihan dengan desa yang tidak memiliki SDA tersebut. Untuk itu pemerintah kabupaten memandang perlu adanya pengaturan sistem pengelolaan dengan distribusi yang proporsional bagi desa yang memiliki obyek tersebut. Dana hasil lelang yang dimasukkan ke kas Pemda akan dikembalikan oleh Pemda Kabupaten kepada desa-desa yang ada di Kabupaten OKI dalam bentuk proyek pembangunan desa baik fisik maupun non fisik. Dukungan terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten dikemukakan oleh Mulyadi R, SH. Kabag Kekayaan dan Pendapatan Desa pada Biro Otonomi Daerah Propinsi Sumsel, mengatakan bahwa: " ......... secara pribadi saya sangat mendukung apabila pengelolaan lelang lebak lebung dilakukan oleh pemda yang mana hasil dari lelang yang dimasukkan dalam kas pemda (APBD) dapat didistribusikan kembali ke desa dalam bentuk proyek pembangunan fisik maupun non fisik. Hal ini dimungkinkan karena tidak semua desa di wilayakh kabupaten OKI memiliki areal lebak lebaung yang akan dilelang agar
107
terjadi pemerataan kekayaan daerah maka pengelolaan tidak perlu dikembalikan ke desa. Akan tetapi secara dinas dimana Gubemur pada saat menerima pengunjuk rasa dari masyarakat memberikan instruksi agar dilakukan pengkajian kembali terhadap mekanisme pengelolaan lebak lebung yang dilakukan oleh Pemda dan agar memperhatikan kepentingan masyarakat desa yang memiliki potensi kekayaan perikanan terse but. ......... " (wawancara, 1 Pebruari 200 1). b. Penertiban kegiatan eksploitasi dan pemberian sanksi pada pelanggaran Dalam Perda OKI No. 3 Tahun 1996 tidak disebutkan secara jelas unit kerja yang melakukan pengawasan terhadap eksploitasi SDA perikanan lebak lebung, akan tetapi hanya mengatur mengenai pengawas pelaksanaan lelang dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas menyidik tindak pidana yang dilakukan oleh pengemin maupun masyarakat. Tugas pengawas ini adalah mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan eksploitasi yang dilakukan oleh pengemin dengan melakukan bimbingan tata cara penangkapan, pengawasan kondisi lingkungan hidup serta menyampaikan saran pertimbangan kepada Bupati dalam rangka pembinaan usaha perikanan. Kegiatan pengawasan yang dilanjutkan tindakan penertiban dan pemberian sanksi terhadap kegiatan eksploitasi yang melanggar dikemukakan oleh Kabag Pemdes Setda Kabupaten OKI mengatakan bahwa : " ......... kegiatan pengawasan terhadap eksploitasi perikanan lebak lebung dibebankan sepenuhnya kepada camat karena fungsinya sebagai kepala wilayah kecamatan yang mengetahui dengan persis apa yang terjadi didaerahnya. Kewenangan yang dimiliki camat sebagai salah satu implementor kebijakan perikanan lebak lebung melekat pada dirinya sebagai kepala wilayah kecamatan yang memiliki tugas dan kewajiban membina ketenteraman dan ketertiban wilayahnya serta melakukan pengawasan dan ketertiban pemerintahan. Wewenang yang dimiliki bukan hanya sebatas pada pelaksanaan lelang obyek lebak lebung saja, tetapi juga menyangkut pengendalian ekploitasi potensi perikanan lebak lebung yang dilakukan oleh pengemin. Dalam menjalankan tugas pengawasan camat hanya menerima
108
laporan atau pengaduan dari masyarakat, dan ia tidak secara aktif melakukan pcninjauan lapangan secara rutin maupun berkala. Selain itu camat memerintahkan kepala desa untuk melakukan pengawasan tcrhadap ekploitasi areal lebak lebung wilayah dalam masyarakat atau pengemin dilakukan yang kekuasaannya ......... "(wawancara, 1 Pebruari 2001) Pemyataan tersebut diakui oleh Camat Kayuagung yang mengatakan bahwa : " ........... kami sangat concern dengan pelaksanaan lelang lebak lebung ini karena merupakan sumber pendapatan daerah dan obyek ini sendiri merupakan warisan marga yang berada dibawah kendali camat sehingga tidak ada masalah dalam melakukan tugas pengawasan. Akan tetapi kami tidaklah melakukan pengawasan secara rutin terhadap eksploitasi perikanan lebak lebung yang dilakukan oleh pengemin atau masyarakat karena banyak tugas rutin penyelenggaraan pemerintahan dan pernbangunan yang rnenjadi tugas pokok karni. Selain itu kami mengalarni kendala seperti sulitnya menjangkau areal lebak lebung dan luasnya areal sehingga tidak mungkin dapat rnelakukannya dengan cermat. Selain itu apabila kedapatan pengemin melakukan pelanggaran rnaka langsung ditertibkan dengan memanggil yang bersangkutan agar menghentikan kegiatan terlarang tersebut. Terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengemin maupun masyarakat diusahakan lebih dulu dengan memberikan peringatan atau teguran sedapat mungkin dihindari unutk menggunakan sanksi pi dana ..... "( wawancara, 8 Pebruari 200 I). Menurut Usman Husin Kasi
U~aha
Tani pada Dinas Perikanan Kabupaten
OKI mengatakan bahwa : " ......... diakui bahwa tugas pengawasan tidak dibebankan secara jelas kepada unit keija mana, akan tetapi mengingat lebak lebung merupakan potensi perikanan maka secara sadar bukan berlandaskan pada aspek formal maka dinas perikanan memiliki kewajiban untuk rnelakukan pernantauan terhadap eksploitasi perikanan lebak lebung yang dilakukan oleh pengemin atau masyarakat, sebab apabila mereka menggunakan alat penangkapan yang dilarang dikuatirkan akan rnemusnahkan kelangsungan hidup anak-anak ikan (sesuai dengan SK Bupati OKI No.217/SK/VIII/1987). Namun sarnpai saat ini pengawasan yang dilakukan tidaklah dilakukan secara rutin karena keterbatasan personil di tingkat kecamatan (sampai saat ini belum ada kantor cabang dinas perikanan di kecamatan). Jadi secara moral dinas perikanan bertanggungjawab namun pengawasan tersebut belum dapat dilaksanakan secara efektif Keterbatasan pengawasan tersebut cukup beralasan karena keterbatasan informasi kondisi lapangan, keterbatasan kemampuan teknis aparat dan keterbatasan dana dalam pelaksanaan kegiatan ........ ' (wawancara, 6 Februari 2001 ).
109
Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa pengawasan terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung dibebankan kepada semua unit kerja yang terlibat terutama dinas perikanan dan camat. Penertiban yang dilakukan masih bersifat persuasif belum sampai pada tindakan refresif, yang mana ada tanggung jawab moral untuk mengatasi masalah yang timbul di lapangan secara kekeluargaan. Secara legal formal unit kerja yang bertanggung jawab untuk menjalankan Perda kabupaten adalah Bagian Ketertiban (Satuan polisi pamong praja), namun kenyataan di lapangan yang secara nyata melaksanakan pengawasan, khususnya peninjauan lapangan dilakukan oleh camat dan kades atas pengaduan atau laporan masyarakat. Kedua pejabat ini tidak memiliki aparat yang memenuhi klasifikasi teknis pengelolaan sumber daya perikanan dan lingkungan hidup. Akibatnya dalam pelaksanaan fungsi kewenangan ini aparat pengawasan mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan pengawasan teknis usaha perikanan seperti cara melakukan penangkapan dan waktu yang dibutuhkan (berkala). Dari uraian dan informasi pejabat tersebut terlihat bahwa kineija kewenangan Bupati dalam pengawasan implementasi kebijakan relatif rendah, indikasinya dapat dilihat dari tidak terpenuhinya kegiatan pengawasan yang harus dilakukan dalam rangka pelestarian sumber ikan dan lingkungan hidup. Mengacu pada pendapat Bryant dan White mengenai dimensi banyaknya informasi yang diperlukan, cara suplai dan daya tanggap terhadap peraturan dapat diketahui bahwa relatif rendahnya kineija implementasi kewenangan Bupati disebabkan ada
sebagian urusan dibidang pengawasan yang kurang tepat
110
dilaksanakan oleh aparat pelaksana daerah.
Karakteristik usaha perikanan
menunjukkan bahwa kegiatan ini merupakan suatu jenis usaha yang dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat awam secara tradisional. Maka tindakan penertiban yang dilakukan masih dalam batas teguran belum sampai memberikan sanksi pidana berupa hukuman kurungan atau denda sesuai dengan yang diatur dalam Perda. c. Pengendalian kegiatan pemanfaatan areallebak lebung Kewenangan Bupati dalam melakukan pembinaan pongelolaan potensi perikanan lebak lebung diwujudkan dalam bentuk sejumlah proyek. Perlindungan dan pembinaan sumber perikanan di kabupaten OKI dilakukan oleh Dinas Perikanan melalui usaha pengelolaan reservaat, pengaturan sistem penangkapan, pembersihan pcrairan, restocking, penanggulangan penyakit ikan dan larangan penangkapan anak ikan. Dari data proyek yang diperoleh penulis dari tahun 1995/1996 sampai 1999/2000 proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan hampir selalu sama (menjadi proyek rutin) seperti usaha-usaha tersebut diatas. Dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung, Bagian Pemdes merupakan unit kerja utama (institution leader) yang paling bertanggung jawab, karena potensi lebak lebung merupakan bentuk kekayaan desa yang dikelola oleh pemerintahan marga dan dengan dihapusnya marga maka pengelolaan diambil alih oleh Pemda (Bupati). Teijadi tumpang tindih dalam tanggungjawab pengelolaan antara Bagian Pemdes dengan Dinas Perikanan. Apabila dilihat dari isi kandungan yang ada dalam lebak lebung yang berupa ikan, udang dll, maka adalah sangat tepat apabila diserahkan pengelolaannya kepada Dinas Perikanan sebagai instansi teknis
111
Tugas pembinaan dalam bentuk penyuluhan dan konservasi merupakan salah satu tugas pokok yang sifatnya rutin dan harus dilakukan. Dengan melak:ukan tugas rutin ini menjadi proyek, maka bukti Pemda Kabupaten membiayai proyek yang seharusnya merupakan tugas rutin, meskipun dalam praktek hal ini merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam birokrasi pemerintah, namun kegiatan tersebut dapat digunakan dengan pembiayaan pelaksanaan fiktif yang mengurangi efisiensi kegiatan Pemda secara keseluruhan. Kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya perikanan telah menjadi kewenangan Dinas Perikanan Kabupaten, seperti yang dikemukakan oleh Drs. Rooslan Saleh
Kasubdin Sumber Hayati pada Dinas Perikanan dan Kelautan
Propinsi Sumatera Selatan mengatakan bahwa: "Kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya perikanan telah diserahkan oleh dinas perikanan dan kelautan propinsi SS ke kabupaten dengan sumber dana dari APBD II, bantuan propinsi (APBD I) maupun dari APBN. Kami hanya melakukan pembinaan teknis kepada aparat dinas perikanan kabupaten, tidak lagi langsung ke rnasyarakat. Karni juga rnerniliki reservaat yang dikelola oleh dinas propinsi pada daerah kabupaten OKl maupun lainnya. Ini digunakan dalam rangka kegiatan perlindungan terhadap potensi perikanan yang saat ini mengalami penurunan jumlahnya seperti belida, bejubang dan tangkeleso merupakan jenis ikan yang bemilai ekonomis tinggi Sampai saat ini ada 21 kawasan suaka perikanan (reservaat) yang ditetapkan dengan SK Gubemur dan Bupati" (wawancara, 2 Februari 2001). Penjelasan
diatas
menunjukkan
bahwa
Pemerintah
Propinsi
telah
menyerahkan kewenangan melakukan pembinaan dan pengelolaan sumber daya perikanan kepada Pemda Kabupaten. Pemerintah Propinsi hanya memberikan dana bantuan APBD I dan bantuan teknis yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi. Adapun alokasi dana kegiatan pembangunan perikanan dalam
112
rangka pembinaan dan perlindungan sumber daya perikanan di kabupaten OKI yang berasal dari beberapa sumber dana dapat dilihat pada tabel berikut : Tabelll Dana Proyek Pembangunan Perikanan di Kabupaten OKI Tahun 1993-1999 Tahun
Sumber Dana (dalam ribuan APBDB APBDI APBN 1993/1994 1 5.000 17.591 25.689 2 1994/1995 7.116 10.558 3 1995/1996 10.500 15.212 136.694 4 1996/1997 47.135 17.208 44.850 5 1997/1998 25.000 7.950 110.740 6 1998/1999 55.237 3.129 31.450 7 1999/2000 12.000 10.612 32.500 Sumber : Laporan Tahunan Dmas Perikanan Kabupaten OKI 0
Jumlah Inpres
55.000 45.000 45.000 35.000 35.000 100.000
48.280 72.674 207.406 204.193 143.690 124.816 155.112
Dari tabe1 tersebut diatas ter1ihat a1okasi dana yang berasal dari Inpres Bantuan Dati II besamya hampir konsisten begitu juga dengan dana dari APBN sedangkan dana dari APBD terlihat kecil, hal ini menunjukkan tingginya tingkat perhatian pemerintah pusat dalam pembangunan perikanan khususnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan serta memberikan perlindungan terhadap sumber daya perikanan. Dilihat dari lingkup kegiatan proyek, maka proyek yang ada tersebut memang layak dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten karena lingkup proyek yang meliputi seluruh wilayah kecamatan dan dilihat dari kecilnya anggaran bukan dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi (Dinas Perikanan dan Kelautan). Sifat obyek lebak lebung yang dikelola oleh masyarakat desa dengan karakteristik sendiri dan secara teknis tidak membutuhkan teknologi canggih (kegiatan penangkapan secara tradisional).
113
2. Somber Daya (Resources)
lsi dan pesan kebijakan dapat diterima secara cermat danje1as oleh pelaksana lapangan narnun sulit untuk dirnplernentasikan bila kurangnya ketersediaan sumber daya yang diperlukan, sehingga tidak efektif. Sumber daya dapat menjadi faktor yang penting dalarn implementasi suatu kebijakan publik (Edward III). Sumber daya tersebut dapat berupa ketersediaan potensi SDA perikanan lebak lebung, perangkat pelaksana yang rnemadai dengan keahlian tertentu dengan fasilitas sarana dan prasarana pendukung dan dana sebagai insentif motivasi bekerja dengan giat. a. Sumber Daya Perikanan Lebak Lebung Kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung sebagai sumber pendapatan daerah sangat tergantung dengan potensi sumber daya perikanan yang dimiliki. Potensi tersebut pada dasamya tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Besar kecilnya pendapatan dari hasil 1elang berkaitan dengan jumlah produksi perikanan yang dihasilkan dari obyek lebak lebung. Peserta lelang akan menaikkan tawaran bila potensi perikanan lebak lebung yang dipesan mengalami peningkatan produksi. Perikanan lebak lebung termasuk dalam perikanan peratran umum yang memiliki potensi yang besar dengan luas sekitar 780.000 Ha yang terdiri dari sungai (18.732 Ha), danau (2.919 Ha.), rawa lebak (185.735 Ha), sawah (142.296 Ha), rawa (70.644 Ha) dan perairan lainnya 359.664 Ha. Tidak semua wilayah perairan umum
dijadikan obyek lelang hanya sebagian saja seperti anak sungai, arisan, danau sempit,
114
rawa, lebak, lebung, sawah dan tanah nyurung. Jumlah obyek lelang lebak lebung sampai pada tahun 1999 sebanyak 1. 117 buah yang tersebar pada setiap kecamatan. Banyaknya jumlah obyek lebak lebung tidak berarti tanpa potensi perikanan yang ada di dalamnya. Potensi perikanan dapat dilihat dari produksi yang dihasilkan masing-masing wilayah penangkapan tersebut. Produksi perikanan dari obyek lebak lebung dari tahun ke tahun tidak terlalu mengalami peningkatan (peningkatannya sedikit yang mana selama 6 tahun hanya mengalami peningkatan sebesar 1.324 ton). Hal ini menunjukkan bahwa potensi perikanan yang ada jumlahnya statis sehingga perlu dijaga kesinambungannya. Adapun besamya produksi perikanan lebak lebung dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 12 Produksi Perikanan di Wilayah Perairan Umum tahun 1993-1999 No I 2 3 4 5 6 7
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
Rawa-rawa 9.270 10.774 11.115 10.678 10.813 11.337 11.337
Produksi (ton) Sungai 6.245 5.826 5.817 6.602 6.674 6.323 6.408
Jumlah Danau 1.295 371 378 374 378 384 389
16.810 16.971 17.310 17.634 17.865 18.044 18.134
Sumber : Laporan Dinas Perikanan Kabupaten OKI Dengan produksi perikanan lebak lebung yang cenderung statis tersebut dapat dipahami bahwa potensi perikanan lebak lebung sangat rentan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan perairan tersebut. Kegiatan usaha perikanan lebak lebung merupakan jenis kegiatan usaha yang mempunyai potensi merusak lingkungan, sebagai akibat dari banyaknya pengemin yang melakukan eksploitasi secara tidak
115
terkontrol maupun dengan alat penangkapan yang dilarang. Kegiatan eksploitasi yang menggunakan bahan berbahaya akan menimbulkan pencemaran air dan menurunkan produksi perikanan. Mengenai kegiatan menjaga kelestarian potensi perikanan lebak lebung ini dikemukakan oleh Drs. Jalaluddin Kabag Lingkungan Hidup Setda Kabupaten OKI yang mengatakan bahwa : "Kegiatan eksploitasi lebak lebung memiliki potensi yang besar dalam mencemari lingkungan dan merusak ekosistem perairan apabila pengemin menggunakan bahan berbahaya seperti racun ikan. Belum adanya analisis dari aspek lingkungan hidup terhadap pengelolaan perikanan lebak lebung mengakibatkan belum adanya batasan kegiatan eksploitasi. Sampai saat ini pemda masih melihat penangkapan ikan yang dilakukan oleh pengemin masih menggunakan alat tangkap yang sederhana dan ramah lingkungan. Selain itu masih menganggap bahwa usaha perikanan lebak lebung sebagai usaha penagkapan secara tradisional. Kami belum diberikan tugas untuk terlibat langsung dalam pemantauan kegiatan eksploitasi perikanan". Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Kabag Pemdes yang mengatakan bahwa: "Sampai saat ini penangkapan ikan yang dilakukan pengemin di areal lebak lebung masih dalam batas kewajaran dalam arti tidak menggunakan bahan berbahaya namun tidak menutup kemungkinan adanya pengemin nakal yang melakukan pelanggaran dengan menggunakan bahan berbahaya. Mengingat belum adanya dampak negatif yang ditimbulkan dalam pengelolaan perikanan lebak lebung ini maka dalam kebijakan ini belum mengikutsertakan Bagian lingkungan hidup dalam tim, semua kegiatan pengawasan terhadap eksploitasi diserahkan kepada dinas perikanan yang melakukan pembinaan dalam kegiatan penangkapan ikan baik kepada petani maupun masyarakat" Dalam
lingkup
Pemda
Kabupaten
upaya
pencegahan
terjadinya
pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, diatur dalam pasal 9 dan 10 Perda No.3 Tahun 1996 yang mengatur mengenai kewajiban dan larangan bagi pengemin. Pada saat mengisi formulir dalam pendaftaran peserta lelang wajib mematuhi ketentuan yang mengatur mengenai usaha pelestarian lingkungan lebak lebung.
116
Keinginan untuk meningkatkan pendapatan daerah perlu dilakukan usaha intesifikasi dan ekstensifikasi terhadap pengelolaan perikanan lebak lebung. Adapun upaya intensifikasi yang dilakukan oleh Pemda dalam hal ini Dinas Perikanan adalah dengan kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya perikanan. Kegiatan tersebut melalui usaha pengelolaan reservaat dan restocking (penebaran benih). Pada tabel 9 telah ditampilkan proyek pembangunan perikanan di Kabupaten OKI berupa kegiatan pembersihan reservaat dan restocking yang mana kegiatan intensifikasi perikanan lebak lebung ini dilakukan secara berkesinambungan setiap tahun dengan dana yang berasal dari APBD II, APBD I dan APBN. Akan tetapi besarnya dana yang dialokasikan tidak konsisten cenderung fluktuatifyang terkadang naik dan turun. Selain itu juga usaha ekstensifikasi dalam pengelolaan perikanan lebak lebung yaitu dengan memperbanyak jumlah obyek lebak lebung yang akan dilelangkan. Sampai dengan tahun 2000 tercatat sebanyak 25 buah obyek lebak lebung baru yang dimasukkan dalam pelaksanaan lelang sedangkan sebanyak 4 buah obyek lebak lebung yang dikeluarkan dari register lelang yaitu 2 buah untuk reservaat ( 1992 dan 1988) dan 2 buah untuk lalu lintas umum ( 1998 dan 1999). Adapun jumlah obyek lelang lebak lebung baru sebagai berikut :
117
Tabel13 Jumlah Obyek Lebak Lebung Baru Yang Dile1angkan Sampai Tahun 2000 No
Tahun Register
Jumlah
Keterangan Sifat Kepemilikan Lebak Lebuog
1 2
199211993 199511996 1996/1997 199811999 1999/2000
20 2
19 umum dan 1 warisan 2 warisan
1
urnurn
1
urnurn
_,
.....
4 5
1 urn urn Jumlah 25 22 umum dan 3 warisan Sumber: Laporan Hasll Le1ang Lebak Lebung Tahun 2000 (data diolah) Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa usaha ektensifikasi obyek lebak lebung tidak dapat dilakukan secara ekspansif karena sifat dari areal lebak lebung yang sulit untuk dikembangkan dan merupakan kondisi alam yang telah ada (sudah terbentuk). Usaha ektensifikasi lebih su1it dilaksanakan ma1ah kecendrungan yang terjadi potensi lebak lebung tersebut mengalami perubahan bentuk (penyempitan) yaitu adanya perubahan penggunaan lahan untuk perumahan penduduk desa dan untuk prasarana lalu lintas umum. Sulitnya untuk mengembangkan potensi perikanan lebak lebung dikemukakan oleh Nurfirman, Spi Kasi Sumber Daya Hayati pada Dinas Perikanan Kabupaten OKI yang mengatakan bahwa : " ...... potensi perikanan perairan urn urn khususnya 1ebak lebung sulit untuk dilakukan pengembangan melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi karena karakteristik dari potensi terse but yang sangat tergantung dengan kondisi alam (curah hujan) yang mempengaruhi tinggi rendahnya air areal lebak lebung dan berdampak pada kandungan hewan air di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan oleh Dinas perikanan adalah menjaga kesinambungan kandungan ikan melalui pengelolaan reservaat dan restocking (penebaran benih). Sedangkan kegiatan ekstensifikasi dengan mendaftarkan obyek lelang yang baru sangat sedikit dan penambahan hanya pada lebung buatan oleh pemilik lahan. Inipun sangat sulit prosedurnya yaitu sebelwn dimasukan dalam registrasi lelang terlebih dulu harus didaftarkan dan mendapatkan
118
pengesahan pengadilan negeri. Program pengembangan perikanan diarahkan pada usaha budi daya perikanan air tawar dengan sistem keramba dan kolam serta usaha pengelolaan ikan lebih lanjut yaitu pengawetan ..... " (wawancara, 6 Februari 2001) b. Sumber Daya Manusia Staf sebagai salah satu unsur organisasi pemerintah memiliki peranan yang penting terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Eksistensi staf bukan dilihat dari kuantitasnya saja akan tetapi kualitasnya, yang mana jumlah staf yang besar cenderung membuat organisasi tersebut tidak efektif untuk menjalankan kebijakan. Staf yang dibutuhkan adalah yang memiliki kemampuan, kecakapan untuk melakukan pekerjaan dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan (Winarno, 1989 : 95). Kurangnya personil yang terlatih baik dapat menghambat implementasi kebijakan yang harus tanggap terhadap perubahan lingkungan global yang tetjadi. Kurangnya keterampilan dalam pengelolaan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung merupakan masalah besar yang dihadapi pemerintah Kabupaten OKI, di mana kebijakan ini dalam implementasinya sangat kental dengan nuansa ekonomi yaitu sistem pelelangan dengan menentukan perkiraan minimal harga dari suatu obyek lebak lebung. Sebagaimana dimaklumi bahwa untuk unit organisasi kecamatan para staf sangat jarang menghadapi tugas-tugas yang membutuhkan keahlian dan keterampilan, karena sifat dari organisasi pemerintah yang tidak dinamis dengan lingkup masalah dan kewenangan yang kecil. Jumlah aparat yang terlibat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung tidak dimanage dengan baik, ini terlihat pada kepadatan aparat dalam kegiatan lelang yang melibatkan panitia kecamatan (camat dan unsur stat), pengawas dari kabupaten dan
119
aparat desa sedangkan pada kegiatan lainnya seperti pengendalian terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan dan pengawasan obyek dari pencemaran sangat minim. Pada pelaksanaan lelang jumlah aparat yang terlibat sebanyak 10-15 orang per-kecamatan di mana masing-masing unit kerja yang terlibat mengirimkan wakil. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tugas pengendalian terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh aparat dinas perikanan, jumlah aparat yang terlibat sangat minim. Dari 21 orang pegawai dinas perikanan hanya 5 orang yang memiliki latar belakang pendidikan perikanan. Semua pegawai berkantor pada dinas perikanan kabupaten dan sampai saat ini belum ada pegawai perikanan yang ditempatkan di tingkat kecamatan (bel urn terbentuknya cabang dinas perikanan di kecamatan dan PPL perikanan). Minimnya jumlah tenaga perikanan dikemukakan oleh Burhanuddin Nuspi Kasubag Tata Usaha pada Dinas Perikanan Kabupaten OKl yang mengatakan: "Dari 21 orang pegawai dinas perikanan yang memiliki latar belakang pendidikan teknis perikanan S 1 hanya 5 orang yang semuanya berada di Kantor Dinas Perikanan Kabupaten. Dari 5 orang tersebut selain kepala dinas, 4 orang diantaranya adalah pegawai baru yang mulai diangkat tahun 1996 sampai tahun 1999, jadi setiap tahun satu. Sampai saat ini dinas perikanan belum memiliki cabang dinas di kecamatan sehingga pegawaipun belum ada yang bertugas di kecamatan.Walaupun minim tenaga teknis perikanan kegiatan dinas perikanan tidak mengalami kendala dalam melakukan pembinaan maupun perlindungan sumber hayati perikanan karena pegwai yang ada mendapat pelatihan teknis perikanan dari Dinas perikanan propinsi. Namun hasil yang dicapai tentulah kurang optimal apabila dibandingkan dengan pegawai yang berlatar belakang pendidikan teknis perikanan. Kekurangan tersebut juga pada tenaga PPL perikanan (penyuluh lapangan), yang mana saat ini tenaga penyuluh masih bergabung pada BIPP (balai informasi penyuluh pertanian) yang tugasnya tidak sinkron dengan dinas perikanan sebab mereka mempunyai kegiatan yang terprogram dalam proyek penyuluhan". SDM tidak hanya berkaitan dengan jumlah yang terlibat tetapi juga menyangkut kualitas individu aparat. Dari segi tingkat pendidikan formal aparat yang
120
terlibat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung sudah cukup memenuhi terutama dalam pelaksanaan lelang. Camat sebagai ketua panitia dan staf kecamatan (sekwilcam dan kasi pemerintahan) memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (strata 1) begitu juga dengan tim pengawas yang berasal dari kabupaten rata-rata memiliki tingkat pendidikan memadai (SLTA). Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh aparat pelaksana tersebut tidak diikuti dengan pengetahuan tentang tatacara lelang dan administrasi keuangan. Informasi yang diperoleh dari aparat tingkat kecamatan dan dikonfinnasikan dengan Bagian Pemdes dikatakan bahwa sampai saat ini belum ada diklat teknis fungsional mengenai tatacara lelang dan kursus bendahara bagi mereka. Selama ini pengetahuan aparat terhadap kegiatan lelang dilaksanakan sesuai dengan kebiasaan yang telah berjalan melalui informasi yang diberikan aparat lama. Belum
adanya diklat teknis
fungsional
yang mendukung kebijakan
pengelolaan perikanan lebak lebung didapat informasi dari Bagian kepegawaian dan hal ini diperkuat dengan pernyataan Sekwilcam SP Padang yang mengatakan bahwa : "Sejak saya menjadi sekwilcam di SP Padang ini tahun 1998 belum ada satupun kegiatan diklat yang berhubungan dengan pengelolaan lebak lebung ini baik mengenai tata cara lelang maupun administrasi keuangan bagi bendahara kecamatan. Pengetahuan mengenai tatacara lelang lebak lebung saya pelajari dari para pegawai yang ada di kecamatan, dengan membaca ketentuan yang ada dalam perda, melakukan diskusi dengan kolega sesama sekwilcam yang telah berpengalaman. Hal ini dilakukan karena posisi sekwilcam memiliki tugas yang berat mulai dari kegiatan pengumuman, pendaftaran peserta lelang, melakukan seleksi peserta, persiapan kegiatan lelang dan membuat laporan adminitrasi pemenang lelang dan keuangan. Begitu juga dengan bendahara kecamatan belum pemah mendapatkan kursus bendaharawan, namun dalam pelaksanaan semuanya dikendalikan oleh Camat sedangkan tugas bendahara hanya sekadar mencatat dan menerima uang pembayaran dari pengemin dan penyetoran dilakukan bersama camat"
121
Disini terlihat bahwa Pemda Kabupaten belum memberikan perhatian terhadap kualitas aparat pelaksana yang terlibat dalam lelang lebak lebung sebab asumsi yang dibangun adalah belum ada masalah yang timbul dan menyerahkan kepada aparat untuk belajar sendiri dari kebiasan lama. Apalagi kegiatan lelang lebak lebung hanya berlangsung 1 hari. Dari segi manajemen kurangnya pengetahuan tentang tata cara lelang dan administrasi keuangan akan berdampak pada terganggunya pelayanan yang diberikan kepada pes~rta dan ketegasan hukum apabila terjadi masalah dalam lelang. Begitu juga dengan kegiatan administrasi keuangan yang dilakukan oleh bendahara kecamatan masih dianggap sepele yang mana tugas yang diembannya hanya mengumpulkan dan menyetorkan. Kesederhanaan proses administrasi keuangan tersebut tidak dapat dijudgement bahwa tidak perlunya keahlian khusus yang dimiliki oleh bendahara dalam melakukan tugasnya. Kurangnya j umlah aparat teknis perikanan dalam melakukan pengendalian terhadap kegiatan akan mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian lingkungan. Eksistensi perikanan
lebak lebung sangat tergantung dari bagaimana aparat melakukan
pengendalian terhadap kelestarian lingkungan. Pemerintah hanya melihat obyek lebak lebung sebagai sumber pendapatan dan belum memperhatikan aspek SDM aparat teknis yang terlibat. Hal ini sangat berbeda dengan dinas pertanian tanaman pangan yang telah memiliki aparat di tingkat kecamatan baik cabang dinas maupun balai penyuluh pertanian (BPP). Struktur organisasi yang dibentuk pemerintah kabupaten masih berpegang pada instruksi pemerintah dan instansi tingkat atas dalam
122
melengkapi personil untuk kegiatan pembangunan daerah dan belum melihat pada kebutuhan potensi yang dimiliki daerah. Terganggunya implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung karena kurangnya perhatian Pemda Kabupaten dalam melihat kebijakan secara komprehensif. Hal ini ditandai dengan belum adanya diklat teknis fungsional yang diberikan kepada panitia kecamatan dalam pelaksanaan lelang dan belum adanya aparat dinas perikanan di tingkat kecamatan. 3. Sumber Dana Selain itu implementasi kebijakan menuntut tersedianya sumber daya yang Jain, baik yang berupa dana maupun insentif. Kineija kebijakan akan rendah apabila dana yang dibutuhkan tidak disediakan oleh pemerintah secara memadai (Wibawa, 1994 : 20). Masalah dana sangat krusial, dimana kebijakan yang ditetapkan legislatif sering tidak disertai pembiayaan, para administrator tidak menerima dana yang memadai untuk membayar personil yang dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan. Adalah kenyataan bahwa motivasi dasar dari kebanyakan pegawai yang melakukan pekerjaan diluar tugas pokoknya adalah untuk mendapatkan tambahan penghasilan (insentit). Guna mendorong produktivitas kerja pegawai menjadi lebih tinggi dalam mengimplementasikan kebijakan, banyak organisasi memberikan insentif sebagai bagian dari sistem imbalan yang berlaku bagi pegawai pemerintah. Teori Maslow, Alderfer, dan Herzberg, mendukung pemyataan bahwa motivasi dari pegawai untuk bekerja dengan baik adalah penghargaan atas aktivitas yang
123
dilakukannya buat organisasi berupa imbalan. Imbalan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologikal hidupnya seperti sandang, pangan dan papan. Surnber daya
dana memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja
kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Aparat yang terlibat sebagai pelaksana kebijakan bukan hanya aparat kecamatan dan desa tetapi juga melibatkan aparat kabupaten sebagai pengawas (Dinas Perikanan, Dinas Pendapatan Daerah, Bagian Perndes, Bagian Hukum, Bagian Keuangan dan Bagian Ketertiban). Hasil lelang obyek lebak lebung di kecamatan dibayar oleh pengemin kepada bendahara kecamatan dan setelah dikurangi dengan biaya operasional kemudian disetor ke kas Pemda di Bank Sumsel. Dalam pelaksanaan lelang aparat pelaksana yang tergabung dalam tim per kecamatan diberi uang transpor menuju ke lokasi kecamatan. Dana tersebut diambil dari anggaran rutin pemerintah kabupaten yang alokasikan untuk perjalanan tim pengawas ke lokasi dalam pelaksanaan lelang. Besamya uang yang diberikan kepada tim berbeda-beda sesuai dengan jarak ke lokasi kecamatan. Dana yang diberikan bukan saja uang transpor tetapi juga biaya akomodasi (uang lumpsum). Berdasarkan informasi dari anggota tim uang yang diterima masing-masing anggota berkisar Rp.l O.OOO-Rp.15.000 setelah dikurangi biaya transpor dan makan yang dipegang oleh ketua tim. Uang tersebut diberikan kepada anggota tim sebelum mereka berangkat ke lokasi kecamatan. Selain itu kepada mereka juga diberikan insentif dari hasillelang di kecamatan sebagai biaya operasional.
124
Biaya operasional diambil sebesar 2% dari basil lelang yang diperoleh di masing-masing kecamatan yang diberikan sebagai biaya administrasi lelang dan insentif pelaksana. Pembagian uang basil lelang setelah semua uang terkumpul dak dikordinir oleh Bagian Pemdes. Dari pembagian yang berdasarkan prosentase tersebut maka terjadi perbedaan uang yang diterima kecamatan dan masing-masing anggota tim. Seperti dijelaskan pada bab terdahulu bahwa panitia kecamatan membebankan kepada peserta untuk membayar biaya administrasi dengan nilai yang bervariasi antara Rp.10.000-Rp.15.000. Lamanya waktu yang diperlukan oleh panitia kecamatan dalam proses pendaftaran peserta dilanjutkan dengan proses seleksi memerlukan biaya adminitrasi dan sebagai insentif bagi pegawai yang terlibat sebab tugas yang di lakukan ini bukan tugas pokok akan tetapi merupakan tugas tambahan. Pemungutan biaya administrasi dilakukan karena biaya operasional yang ditetapkan dalam pembagian uang basil lelang dibayarkan setelah pelaksanaan lelang sedangkan administrasi lelang dilakukanjauh sebelumnya (dengan lama sekitar 7-14 hari). Apa yang dilakukan oleh panitia kecamatan dalam melakukan pungutan biaya administrasi bukanlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten, namun camat sebagai ketua panitia berani mengambil inisiatif yang tidak familiar agar proses administrasi seleksi peserta lelang dapat berjalan dengan baik. Resiko yang diambil ini dapat menimbulkan penolakan dari warga, akan tetapi berdasarkan pengamatan peserta lelang mengangap hal ini sesuatu hal yang biasa. Pemda Kabupaten tidak dapat membiarkan hal ini terjadi walaupun upaya penghimpunan
125
dana dari masyarakat tidak mengalami penolakan maka harus mengatasinya dengan menyiapkan dana operasional administrasi kepada panitian kecamatan pada masa persiapan pelaksanaan lelang. Insentif yang diberikan selama ini tidaklah seimbang antara panitia pelaksana lapangan dengan pengawas. Pejabat mendapatkan insentif yang lebih besar dari pelaksanaan lelang tersebut. Bukanlah hal yang aneh dalam birokrasi pemerintah Indonesia, dimana para pejabat akan mendapat bagian yang besar dibandingkan para stafnya. Dalam Perda diatur pembagian dari uang basil lelang sebesar 2% untuk camat, 3% untuk kades dan 10% untuk perangkat desa. Pembagian yang diterima oleh kades dan perangkat desa tidaklah menjadi masalah, namun pembagian yang diterima oleh camat sangat terlihat kontras. Berdasarkan informasi dari aparat kecamatan bahwa uang yang diterima oleh kecamatan tersebut merupakan insentif untuk camat sebagai ketua lelang sedangkan staf yang terlibat mendapat insentif dari dana operasional. Keadaan ini diperburuk dengan kecilnya pembagian sebesar 2% yang diterima oleh Dinas Perikanan sebesar untuk melakukan pembinaan teknis, di mana kegiatan pembinaan kepada masyarakat petani baik dalam usaha penangkapan maupun upaya menjaga kelestarian sumber daya perikanan lebak lebung. Dengan insentif sebesar 2% terse but membuat camat aktif dalam menjalankan tugas dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan lebak lebung. Hal ini dikemukakan oleh Camat Kota Kayuagung, yang mengatakan bahwa: "Saya akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya untuk mensukseskan pelaksanaan Ielang lebak Iebung karena ini merupakan sumber andalan pendapatan daerah dan Bapak Bupati selalu menekankan kepada kami dalam setiap pertemuan
126
menjelang pelaksanaan lelang agar dapat meningkatkan penerimaan dari basil lelang di masing-masing kecamatan. Insentifyang kami terima sebesar 2% termasuk sumber motivasi dalam menjalankan tugas tersebut mengingat banyaknya tugas mulai dari pelaksanaan lelang sampai pengamanan obyek lelang dan menyelesaikan perselisihan yang teljadi antara pengemin dan masyarakat pemilik laban". Pemyataan tersebut diatas sangat kontras dengan pendapat aparat dinas perikanan yang mana insentif yang mereka terima sama dengan panitia lain yang tergabung dalam tim pengawas dan minimnya dana untuk melakukan pembinaan teknis perikanan yakni berkurang dari 5% menjadi 2%, seperti yang dikemukakan oleh Kasi Usaha Tani pada Dinas Perikanan bahwa : " ....... dalam pembagian insentif basil lelang ini diperioritaskan k_epada aparat desa dan tokoh masyarakat hal ini dapat dimaklumi karena historis dari pengelolaan perikanan lebak lebung yang melibatkan pemerintab marga dan dusun serta tokob adat. Namun sangat tidak beralasan memberikan insentif yang besar kepada camat yang mana ia juga sebagai seorang PNS yang secara tidak langsung melekat dalam jabatannya untuk menjalankan tugas yang menjadi kebijakan daerah. Kami bukan melihat siap yang paling berjasa dalam kegiatan pengelolaan perikanan lebak lebung akan tetapi lebih baik diantara pegawai mendapatkan insentif yang adil. Sedangkan dana yang dialokasikan sebesar 2% dari basillelang untuk dinas perikanan bukanlah untuk insentif aparat pelaksana akan tetapi sebagai dana pembinaan teknis berupa penyuluhan kepada petani dan pengemin ...... , Dengan pemberian insentif membuat para pelaksana lapangan termotivasi untuk melaksanakan tugasnya. Tidaklah dapat disamakan kebutuhan antara staf dan pejabat. Para staf melakukan tugas tersebut semata-mata untuk mendapatkan tambahan penghasilan karena gaji PNS yang memiliki golongan rendah (dua I II) tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi pembagian yang kurang adil sering menjadi bahan pembicaraan diantara staf kecamatan yang terlibat, akan tetapi mereka tidak melakukan complain secara terang-terangan.
127
Dari uraian di atas terlihat bahwa sumber daya dana yang belum dikelola dengan baik memiliki pengaruh pada kurang optimalnya keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Pemda Kabupaten belum memberikan perhatian yang serius kepada aspek sumber dana ini, dimana adanya keterlambatan dalam alokasi dana administrasi persiapan pelaksanaan lelang dan pembagian insentif yang kurang mencenninkan rasa keadilan. Pemda Kabupaten masih melihat pengelolaan perikanan lebak lebung dari aspek pemerintahan bel urn melihat dari segi teknis perikanan, hal ini didasari oleh historis pengelolaan perikanan lebak lebung.
3. Sikap (Commitment) Donald P. Warwick (dalam Abdullah, 1988) menyatakan bahwa sikap atau komitmen para pelaksana dan masyarakat dapat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan suatu kebijakan. Suatu kebijakan yang difonnulasikan dengan baik, kendatipun ditunjang dengan sumber daya yang memadai dan lingkungan yang cukup mcndukung, belum tentu dapat memberikan basil yang sesuai dengan apa yang diharapkan apabila sebagian atau seluruh pelaksananya tidak memberikan sikap mendukung terhadap tujuan kebijakan. Dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. sikap yang dibutuhkan tidak hanya dari pelaksana (panitia kecamatan, tim pengawas, dinas perikanan, camat dan perangkat desa) saja, tetapi juga sikap dari kelompok sasaran (pengemin dan masyarakat di desa lokasi obyek lebak lebung) untuk bekerja sama yang
diwujudkan dengan semangat dan kemauan yang kuat
dalam mematuhi ketentuan yang ditetapkan guna mensukseskan pelaksanaan
128
kebijakan. Sikap merupakan
perilaku dari individu untuk mematuhi atau tidak
ketentuan yang ada dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam penelitian ini akan dilihat sikap atau komitmen dari kedua pihak yaitu pelaksana dan kelompok sasaran sebagai berikut: a. Sikap Pelaksana Sikap pelaksana dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung untuk menerimalmenolak kebijakan ini tidak terlepas dari pertimbangan keuntunganlkerugian yang akan didapat implementor bersangkutan dari implementasi kebijakan tersebut (Winkel dalam Siagian, 1989 : 91). Sikap implementor juga dipengaruhi oleh kognisi dan arah serta intensitas respon mereka terhadap kebijakan (Meter dan Hom, 1975: 465-470) serta keperluan pelaksana akan dukungan pejabat yang menguasai sumber kewenangan hukum dan kewenangan unit keija yang bersangkutan (Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab, 1990: 85). Adapun sikap pelaksana yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung adalah sebagai berikut :
1) Pemahaman pelaksana terhadap maksud dan tujuan kebijakan Sikap pelaksana merupakan motivasi psikologis bagi implementor untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Agar dapat beijalan dengan efektif diperlukan kesamaan perspektif antara para pelaksana (implementor) dan pembuat kebijakan (policy maker). Para pelaksana dituntut untuk mengetahui dan memahami maksud dan tujuan suatu kebijakan yang akan dilaksanakan. Tanpa pengetahuan dan pemahaman dari
129
para pelaksana, kebijakan yang dilaksanakan tidak akan berjalan sesuai dengan maksud pembuat kebijakan karena para pelaksana akan menginterpretasikan kebijakan tersebut sesuai dengan persepsinya masing-masing. Pengetahuan dan pemahaman para pelaksana terhadap maksud dan tujuan kebijakan belumlah cuk:up, karena diperluk:an adanya kesungguhan dan konsistensi para pelaksana terhadap kebijakan tersebut. Dengan demikian akan tercipta suatu arah respon yang positif dari para pelaksana berupa rasa tanggung jawab akan tugas yang diembannya sehingga kebijakan yang dijalankan akan berhasil dengan baik. Pada pelaksanaan pengelolaan perikanan lebak lebung di Kabupaten OK.l, para pelaksana dinilai sudah mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup akan
maksud dan tujuan
kebijakan.
Para pelaksana telah mampu untuk
menterjemahkan maksud dari kebijakan tersebut. Lancarnya pelaksanaan mulai dari tahap pengumuman lelang sampai penyetoran uang basil lelang menggambarkan bahwa para pelaksana lapangan mempunyai persepsi yang sama dengan pembuat kebijakan di tingkat kabupaten. Pengetahuan dan pemahaman akan maksud dan tujuan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung bukan hanya dimiliki oleh pimpinan unit kerja (Kepala dinas, Kabag dan Camat) tetapi juga pejabat dilevel kedua (Kasi, Kasubag, Sekcam) dan staf. Hal ini dikemukakan oleh Sekwilcam SP Padang bahwa: " ....... kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung yang dalam istilah biasanya dikenal dengan lelang lebak lebung merupakan salah satu usaha dari pemda untuk: menggali PAD dari kekayaan daerah yang dimiliki. Lelang lebak lebung ini merupakan ciri khas dari Kabupaten OK.l yang telah ada sejak jaman pemerintah
130
marga duluo Jadi seluruh pegawai yang ada di kecamatan sudah mengetahui tentang lelang lebak lebungo 0
0
0
0
0
0
"0
Namun demikian pengetahuan dan pemahaman tersebut belum diimbangi dengan adanya kesungguhan dan konsistensi para pelaksanao Beberapa complain dari masyarakat desa membuktikan bahwa para pelaksana belum mampu memberi makna dan arah respon yang positif dari kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebungo Keberatan dari masyarakat desa terutama menyoroti sikap mental aparat pelaksana yang tidak mempunyai kesungguhan mewujudkan tujuan kebijakan, yang mana para pelaksana lebih mengutamakan kepentingan pemda untuk memperoleh pendatapan yang besar sedangkan tujuan lainnya sering diabaikano Kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung dipahami oleh implementor tidak secara keseluruhan, tetapi dipahami sebagai upaya peningkatan pendapatan daeraho Pemahaman tersebut hanya dilihat dari kaca mata kepentingan
Pemda
Kabupaten yaitu bagaimana upaya untuk meningkatkan uang basil lelango Unit kerja sebagai pelaksana diantaranya: Bagian Pemdes, Dinas Perikanan dan Camat sehingga aparat ini menganggap penting untuk mencapai target hasillelango Informasi penulis dapat dari masing-masing pejabat pada unit kerja yang terlibat (Bagian Pemdes, Dinas Perikanan dan Camat) mengatakan bahwa pada setiap pertemuan Bupati selalu menekankan kepada mereka agar dapat meningkatkan penerimaan dari hasillelang lebak lebungo Tekanan yang diberikan tersebut membuat aparat bekerja dengan orientasi peningkatan pendapatan. Jadi sikap positif ditunjukkan oleh aparat pelaksana karena apabila mengalami kegagalan akan
131
menenma resiko yaitu diturunkan dari jabatannya. Dalam birokrasi pemerintah terutama pengembangan pegawai biasa dikenal reward dan punishment yaitu apabila seorang pejabat berhasil dalam pelaksanaan tugas yang diembankan akan menerima penghargaan baik berupa promosi maupun kepercayaan untuk tetap memegang jabatan tersebut, akan tetapi apabila mengalami kegagalan dalam hal ini basil lelang menurun maka akan diberikan sanksi berupa pencopotan jabatan. Apa yang dialami oleh pejabat di unit kerja akan berdampak pada organisasi secara keseluruhan dalam mendukung keberhasilan suatu kebijakan. Dari pengamatan penulis bahwa pelaksana tidak memahami secara utuh dari kebijakan tersebut, yang mana tujuan kebijakan yang lain seperti peningkatan pendapatan masyarakat, mengurangi konflik dan kelestarian SDA perikanan belum mereka pikirkan. Hal ini terjadi karena kesusksesan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung hanya dilihat pada hari pelaksanan lelang dengan indikator : tidak adanya keributan pelaksanaan lelang dan besamya uang hasillelang. 2) Kesesuaian antara tugas pokok dengan tugas dalam implementasi kebiiakan Sikap pelaksana dalam implementasi suatu kebijakan berkaitan erat dengan kesesuaian antara tugas pokoknya dengan tugasnya dalam implementasi kebijakan tersebut. Sikap pelaksana dalam memandang suatu tugas yang diembannya dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung pada dasamya dapat digolongkan dalam 2 kelompok, yaitu : kelompok yang menganut pendekatan legal
rational dan kelompok yang berorientasi pada pendekatan rational productivity. Kelompok pertama memandang bahwa usaha perikanan lebak lebung merupakan
132
urusan
otonomi
Pemerintah Kabupaten
OKI
semata.
Sikap aparat yang
menitikberatkan pada pendekatan legal formal ini dapat dilihat dari bagaimana pandangan mereka terhadap aspek kewenangan yang dimiliki oleh unit keljanya. Pendapat Kasubag Kekayaan dan Pendapatan Desa pada Bagian Pemdes dianggap mewakili pandangan kelompok ini antara lain mengatakan: "Jika kita beranjak dari sejarah lahimya kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung, maka kita dapat melihat bahwa dari arahnya urusan ini memang diserahkan oleh Bupati kepada Bagian Pemerintahan Desa yang dalam pelak:sanaannya melibatkan aparat kecamatan dan aparat desa. Kabijakan ini dikeluarkan untuk mengelola kekayaan desa berupa areal lebak lebung. Jika dalam tahap selanjutnya dilakukan pelimpahan tugas untuk pengendalian eksploitasi SDA kepada dinas perikanan, semuanya dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh pemerintah yang mana dalam pengelolaan sumber daya perikanan menjadi tugas instansi teknis perikanan". Secara yuridis apa yang dikatakan pejabat tersebut memang berdasarkan kenyataan bahwa pemberian tugas dari Bupati kepada Bagian Pemdes
untuk
mengkordinir pengelolaan SDA perikanan lebak lebung, karena sebagai unsur staf Bupati akan mengatur pengelolaannya demi kepentingan masyarakat masyarakat desa bukan hanya tujuan ekonomis pendapatan daerah. Pemberian kewenangan ini merupakan dukungan legalitas untuk mengambil tindakan dalam pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi sikap aparat dengan menjadikan ketentuan formal sebagai titik berat perumusan maupun implementasi kebijakan khususnya. Sementara itu di kalangan aparat pelaksana kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung tidak mempersoalkan secara formal peran dari unit kerjanya namun lebih berorientasi pada pencapaian hasil kebijakan (rational productivity). Salah seorang dari kelompok ini adalah pejabat dari Bagian Keuangan Setda Kabupaten
133
OKI. Edy Rizal, SIP Kasubag Perbendaharaan memberikan penjelasan sebagai berikut: " .... upaya untuk meningkatkan penerimaan daerah dari basil lelang lebak lebung menjadi concern kami semua dari unit kerja yang terlibat dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung, yang mana walaupun hanya sebagai tim pengawas yang hanya bertugas pada saat pelaksanaan lelang yang merupakan inti dari kebijakan ini akan tetapi semua berusaha agar dalam pelaksanaan lelang dapat berjalan dengan baik tidak ada masalah dan mecapai target yang telah ditetapkan per wilayah kecamatan ..... " Kelompok
ini
tidak
mempermasalahkan
kewenangan
formal
dalam
rnenjalankan tugas dan lebih berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai atas keterlibatannya dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Unit ketja terse but akan membentuk sikap positif pelaksana yang akan berpengaruh pada keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Sikap aparat dapat terbentuk dari tugas yang diemban apakah sesuai dengan tugas dan fungsi pokok atau menjadi tugas tambahan yang dapat memberatkan. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan lebak lebung yang hanya memfokuskan pada pelaksanaan lelang, maka unit kerja yang memiliki peranan utama adalah Bagian Pemdes dan camat. Di tinjau dari tugas pokok maka kedua unit kerja tersebut tidaklah berkaitan erat dengan pengelolaan perikanan lebak lebung,akan tetapi unit kerja yang paling berkaitan adalah Dinas Perikanan yang secara teknis memiliki fungsi dalam melakukan pembinaan dan pengendalian pengelolaan perikanan. Kabag Pemdes dan Camat mengatakan hal yang sama mengenai kesesuaian antara tugas pokok dengan tugas implementasi kebijakan sebagai berikut :
134
'' ...... mengapa pengelolaan perikanan lebak lebung ini menjadi tugas yang dibebankan pada kami. Hal ini berdasarkan aspek historis dari pengelolaan perikanan lebak lebung yang dahulu dikuasai oleh pemerintahan marga, sebagai kekayaan desa yang dijadikan sumber pembiayaan aparat pemerintahan marga dan pembangunan desa. Dari aspek historis itulah sampai saat ini yang mengelola perikanan lebak lebung adalah subag kekayaan desa pada bagian pemerintahan desa. Pemerintah kabupaten masih melihat bahwa lebak lebung merupakan kekayaan desa yang dike lola oleh pemerintah kabupaten ........ " Dalam fungsi organisasi dikatakan bahwa tugas yang bukan rnenjadi tugas utama dapat menjadi beban bagi unit kerja tersebut dan menjadi tidak efektif. Ketidak efektifan tersebut dapat teijadi dengan rnelalaikan tugas utama unit keija atau menjadikan tugas tambahan sebagai sambilan. Dari pengamatan terlihat bahwa kedua unit keija ini sangat rnernandang penting keberhasilan pelaksanaan lelang lebak lebung bukan kebijakan secara menyeluruh. Sedangkan beban pembinaan terhadap pengelolaan perikanan lebak lebung diserahkan pada dinas perikanan. 3) Kelancaran pelaksana dalam memperoleh insentif Sikap aparat pelaksana sangat berkaitan dengan penilaian untung rugi yang akan diperoleh dalam mejalankan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Sikap aparat cenderung positip karena insentif yang akan rnereka terirna darai pelaksanaan tugas. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung hanya rnenekannkan pada pelaksanaan lelang yang mana pada saat ini tujuan kebijakan berupa pendapatan dari basil lelang menjadi tugas pokok unit kerja yang terlibat. Sesuai dengan Perda disebutkan bahwa bagi panitia pelaksana dan pengawas akan diberikan insentif sebesar 1% dari basil lelang yang diperoleh perkecamatan.
135
Aparat pelaksana mendapatkan bagian sesuai dengan basil lelang kecamatan di mana ia bertugas. Informasi yang diproleb dari beberapa aparat yang tergabung dalam tim di sebutkan bahwa mereka memperoleh uang transport untuk pergi ke lokasi sesuai dengan jarak tempuh dari pusat pemerintahan kabupaten (kantor Bupati) dan mereka juga penerima insentif dari pembagian basil lelang yang diperoleb dari lokasi kecamatan. Pembayaran uang transport dilakukan 1 hari menjelang pelaksanaan lelang sedangkan uang insentif diberikan setelah uang basil lelang disetor ke kas pemda dan setelah terkumpul, maka akan dihitung oleh bagian pemerintahan desa mengenai proporsi secara keseluruhan. Setelab semua administrasi selesai maka akan dicairkan pada bendaharawan rutin pemda untuk dibayarkan kepada pihak-pibak yang tersebut dalam perda. Pembagian insentif panitia pelaksana lebib dulu untuk dibayarkan denganjangka waktu antara 1-2 minggu. Kelancaran pembayaran insentif ini diakui oleh Idial Khery, SH seorang staf Bagian Hukum Setda Kabupaten OKI yang termasuk dalam tim pengawas, mengungkapkan bahwa : "pada waktu akan dilaksanakan lelang lebak lebung di kecamatan, kami yang termasuk dalam tim pengawas yang bertugas pada suatu kecamatan mendapatkan uang transport dan akomodasi sesuai dengan jarak kecamatan dengan ibukota kabupaten. \Vilayah kecamatan yang terjauh adalah kecamatan Air Sugiban yang memerlukan waktu untuk menginap sehingga dana yang diberikan juga disesuaikan. Uang tersebut diterima oleh ketua tim dari bendabara rutin pemda dan kemudian dibayar untuk transport dan makan" Dari uraian tersebut diatas disimpulkan bahwa sikap aparat memiliki pengaruh terhadap keberhasilan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Sikap pelaksana cenderung positip walaupun pemahaman terhadap tujuan kebijakan hanya
136
sebagian, akan tetapi mengingat tujuan makro berupa pendapatan daerah maka adanya kecendrungan untuk mendukungnya. Unit kerja utama dalam pengelolaan perikanan ini bukanlah unit kerja yang memiliki tugas pokok tersebut, akan tetapi sebagai tugas tambahan. Hal ini bukan menjadi halangan karena walaupun tidak secara formal tertulis tugas tersebut namun secara konvesional (turunan) bahwa tugas lelang lebak lebung merupakan tugas mereka. Adanya insentifyang diperoleh dengan lancar membuat mereka bersikap positip terhadap implementasi kebijakan tersebut. b. Sikap Masyarakat Apabila masyarakat sebagai target group tidak menunjukkan sikap yang serius atau komitmen yang kuat mematuhi peraturan yang ada, maka kemungkinan besar pelaksanaan kebijakan
akan mengalami kendala. Keberhasilan implementasi
kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung sangat berhubungan dengan penerimaan yang ditunjukkan oleh sikap masyarakat untuk mendukung. Analisis terhadap sikap masyarakat (kelompok sasaran) dilakukan dengan menggunakan pendapat Winkel yang menunjukan bahwa sikap merupakan fungsi dari kepentingan, selain itu digunakan pula pendapat Rogers dan Bullock (dalam Wahab, 1990 : 91) yang berpendapat bahwa sikap yang terwujud dalam keputusan seseorang untuk patuh terhadap suatu kebijakan merupakan fungsi dari : ( 1) kemampuan deteksi terhadap pelanggaran, (2) sanksi terhadap pelanggaran, (3) sikap legitimasi peraturan, (4) ongkos/beban bagi kelompok masyarakat yang patuh. Sikap masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Sikap masyarakat ini dapat
137
ditunjukkan dengan mematuhi/melanggar ketentuan yang berlaku. Masyarakat desa di Kabupaten OKI masih homogen, dimana norma-norma adat yang ada tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat asli. Sanksi moral terhadap pelanggaran norma adat diberlakukan oleh masyarakat sehingga orang tersebut akan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat desa. Sikap masyarakat dapat dilihat dari beberapa indikator yang digunakan yaitu: 1) Sikap terhadap peralihan pengelolaan perikanan lebak lebung Bagi sebagian besar anggota masyarakat tidaklah menjadi masalah peralihan pengelolaan perikanan lebak lebung dari pemerintah marga ke Pemda, sebab pada intinya adalah sama yaitu adanya kekuasaan yang mengatur ketertiban (social
ordered) dalarn rnasyarakat dalam rnengelola SDA perikanan lebak lebung. Begitu juga dengan pengelolaan perikanan lebak lebung, masyarakat desa umumnya memberikan komitmen yang positif atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh camat diwilayahnya. Dalam pelaksanaan lelang mengikutkan kepala desa dan pemangku adat, hal ini sangat membantu membangun dukungan yang positif dari masyarakat terhadap kebijakan. Elit adat dan desa ini menjadi perwakilan aspirasi mereka dalam pelaksanaan lelang lebak lebung, untuk menghindari terjadinya penyimpangan dari aturan yang ada dalam pengelolaan potensi perikanan lebak lebung dan telah berlaku pada masa pemerintahan marga. Keinginan agar desa diberikan kuasa untuk mengelola lelang lebak lebung di desanya dikemukakan oleh M. Dahlan Kades Pantai Kecamatan SP Padang yang mengatakan bahwa :
138
" ....... kami (beberapa kades) ingin pengelolaan perikanan lebak lebung ini dikembalikan kepada desa, karena dengan pengelolaan oleh pemerintah kabupaten maka kami tidak memiliki kekuasaan dalam melakukan pengendalian terhadap obyek Iebak lebung yang ada di desa kami. Selain itu kami tidak dapat memperjuangkan nasib warga desa agar dapat menguasai lebak lebung yang ada di desa yang sangat dibutuhkan oleh warga sebagai Iapangan usaha karena sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan di lebak dan menanam padi pada saat lebak kering. Untuk memperjuangkan agar lebak lebung diprioritaskan unutk warga desa kami tidak memiliki kuasa karena tim dari kecamatan maupun kabupaten menginginkann agar nilai obyek lelang tersebut tinggi dan tidak peduli apakah yang memenangkan adalah warga desa sendiri atau warga desa lain. Hal ini sangat berbeda dengan pada pemerintahan marga dulu yang mana prioritas peserta pemenang lelang adalah warga desa sendiri dan kepada warga desa yang ingin menangkap ikan untuk kebuthan makan dapat meminta ijin kepada pengemin atau kades. Dengan cara ini kami dapat membantu warga desa yang menurut pandangan kami tidak mempunyai usaha dan memerlukan kebutuhan untuk makan .........(wawancara, 7 Pebruari 2001) Begitu juga dengan pengemin besar yang menggerakkan demo untuk menentang pengelolaan oleh pemerintah kabupaten dan agar dikembalikan kepada desa. Disini nampak jelas kedua pihak yaitu kepala desa dan pengemin besar memperhitungkan kepentingan pribadinya berupa kekuasaan untuk mengendalikan/ mengatur lebak lebung dan memonopoli pengelolaannya Kenyataan di lapangan elit desa ini memiliki peranan yang penting dalam menggerakkan masyarakat dan membangun opini dengan kekuasaan dan modal yang dimiliki. Adapun opini yang dibangun adalah bahwa dengan pengelolaan oleh pemerintah kabupaten maka desa yang memiliki kekayaan lebak lebung tidak mendapat basil dari eksploitasi tersebut dan disamakan dengan desa yang tidak memiliki potensi. Mereka mengangga adanya ketidak adilan dalam distribusi pendapatan basil lelang, sebagai desa yang memilki potensi maka basil yangdidapat
haruslah dapat dinikmati oleh masyarakat desa baik unutk kesejahteraan pribadi
139
maupun untuk pembangunan desanya. Penolakan peralihan pengelolaan hanya dilakukan oleh elit desa (kades dan pengemin besar). 2) Sikap masyarakat terhadap pemenang lelang dari luar desa Sikap masyarakat (target group) juga dapat dilihat terhadap pemenang yang berasal dari luar desa apakah menolak atau menerima. Sebagaimana diketahui bahwa setiap warga Kabupaten OKI dapat menjadi peserta lelang dan mengikuti lelang sesuai dengan kecamatan di mana mereka tinggal. Hal ini dimungkinkan karena pelaksanaan lelang obyek lebak lebung dilakukan melingkupi wilayah kecamatan. Kesempatan yang terbuka bagi warga kabupaten OKI untuk mengikuti lelang di mana saja mengalami penolakan dari masyarakat desa, sebab mereka dari dulu telah menggantungkan hidupnya pada hasil perikanan lebak lebung dengan membuat usaha ikan as in dan ikan salai (ikan kering). Apabila ada peserta lelang dari luar kecamatan yang mengikuti dan memenangkan lelang maka akan teijadi penolakkan dari masyarakat desa. Usaha tradisional ini harus memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi yang diutamakan oleh pemda dengan aspek sosial berupa keadilan bagi masyarakat desa yang wilayahnya memiliki areallebak lebung. Masalah asal peserta lelang ini telah dilakukan perubahan yang mana pada perda No.3 Tahun 1996 persyaratan domisili peserta lelang adalah dalam kabupaten dan diubah pada Perda No.17 tahun 1999 yang mensyaratkan domisili peserta lelang dalam wilayah kecamatan tempat mengikuti Ielang. Sikap penolakan warga desa terhadap peserta yang berasal dari luar wilayah kecamatan telah berubah setelah ketentuan tentang pesyaratan peserta lelang diubah.
140
Sikap penolakan masyarakat desa terhadap pemenang lelang lebak lebung yang berasal dari luar desanya dikemukakan oleh Bermawi warga desa Berkat Kecamatan SP Padang yang mengatakan bahwa : "Kami sudah biasa memanfaatkan lebak lebung yang ada didesa dengan menangkap ikan untuk tambahan lauk pauk makan di rumah. Pada sore hari setelah bekeija di kebun (semangka) dan ashar (sholat) biasanya kami memancing ikan di sungai atau di lebak. Apabila yang menguasai lebak lebung tersebut adalah warga desa dan kami saling mengenal maka diijinkan untuk memancing ikan di lebak lebung tersebut, tetapi apabila Jebak lebung tersebut dikuasai oleh orang yang bukan warga desa sini maka tidak dijinkan untuk memancing dan apabila kedapatan akan dituduhnya mencuri yang berbuntuk pengaduan ke kades". Penolakan masyarakat
sebelumnya hanya ditujukan kepada peserta yang
berasal dari luar kecamatan, saat ini berlanjut pada penolakan pemenang lelang yang berasal dari luar desa. Hal ini dapat dipahami karena semakin sulitnya lapangan usaha yang ada saat ini menyebabkan mereka bersaing untuk menguasai kekayaan desa yang dimiliki. Ada kesan sikap primordial mulai menonjol kembali yang mana ikatan emosional marga yang menembus batas desa mulai luntur dan memperkuat sifat eksklusif kelompok di desanya. Mereka ingin diberikan prioritas untuk melakukan eksploitasi perikanan lebak lebung yang dimiliki oleh desa. Sikap masyarakat desa ini muncul karena kepentingannya terdesak oleh pihak lain dan mereka berusaha mempertahankan kepentingan dengan memberikan penolakan terhadap pemenang dari Iuar desa. Adapun tindakan penolakan warga masyarakat desa dapat berupa gangguan terhadap keamanan obyek lebak lebung yang dikuasai oleh pengemin dengan melakukan pencurian dan sabotase, melakukan intimidasi terhadap pengemin dan
141
melakukan demo kepada kepala desa dan camat agar membatalkan pemenang dari luar desa dengan meminta pejabat pemerintah memperhatikan kepentingan warganya yang sulit mencari lapangan usaha. 3) Sikap pengemin terhadap kewajiban menjaga kelestarian lingkungan Masyarakat desa sangat setuju dengan aspek pelestarian lingkungan, akan tetapi mereka belum dapat menerapkan secara benar aspek lingkungan bagaimana yang tidak menggangu kelangsungan hidup hewan air di areal lebak lebung. Kebiasaan yang dilakukan oleh mereka selama ini dalam mengeksploitasi potensi perikanan lebak lebung
telah mengalami penyimpangan, hal ini seiring dengan
tuntutan kebutuhan hidup agar dapat menghasilkan produksi yang banyak. Pola penangkapan dengan peralatan yang dilarang terhadap potensi areal lebak lebung akan berdarnpak pada terganggunya kelangsungan hidup perikanan. Kegiatan penagkapan ini tidak dapat ditolerir karena akan mengganggu hewan air mencapai keseirnbangan dengan kemampuan alam dalam rnemulihkan kondisinya. Masyarakat desa pada umumnya mendukung upaya untuk menjaga kelestarian dari obyek lebak lebung, sebab mereka sangat berkepentingan dengan areal tersebut pada saat kering yang akan digunakan untuk bercocok tanam padi. Sedangkan bagi pengemin besar kurang mempunyai respon terhadap aspek kelestarian lingkungan, di mana mereka menganggap bahwa areal lebak lebung yang dikuasainya bersifat sewa atau kontrak sehingga kerusakan yang terjadi pada areal tersebut akibat eksploitasi yang dilakukan dengan menggunakan alat terlarang tidak dipedulikan.
142
Dukungan untuk menJaga kelestarian lingkungan perauan lebak lebung dikemukakan oleh Sangkut seorang pengemin besar di desa Serigeni Kecamatan Kota Kayuagung yang mengatakan bahwa : " ...... adalah kewajiban kita semua untuk menjaga kelestarian potensi perikanan lebak lebung yang menjadi andalan pemda OKJ. Saya sebagai seorang pengusaha ikan awetan (asin) tentu saja sangat mendukung ketentuan dari pemda yang mewajibkan kepada pengemin untuk memperhatikan aspek pelestarian lingkungan dalam melakukan eksploitasi perikanan. Usaha saya ini sangat tergantung dengan basil penangkapan ikan air tawar yang pemasarannya sangat menjanjikan. Pola penangkapan yang kami lakukan tentu saja memikirkan segi ekonomisnya agar mendapat hasil yang banyak. Perlunya diberikan pengarahan dari instansi yang terkait mengenai berapa lama selang waktu penangkapan ikan sebab kami berdasarkan pengetahuan tradisional turon temurun ....... " Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa pengemin besar sering tidak memperhatikan aspek pelestarian lingkungan yang menggunakan bahan terlarang dalam penangkapan ikan, seperti yang dikemukakan oleh Antoni warga desa Serigeni bahwa: " ..... kadang-kadang pengemin menggunakan bahan beracun seperti putas untuk menangkap ikan di areal lebak lebung yang dikuasinya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ikan yang mati mengambang di areal lebak lebung sehabis pengemin melakukan penangkapan ikan. Kami bukannya tidak peduli menjaga kelestarian sumber hayati lebak lebung akan tetapi dikarenakan lokasi obyek lebak lebung yang berada jauh dari pusat desa sehingga tidak mungkin mengawasi kegiatan penangkapan ikan oleh pengemin ......... " Secara implisit pengemin besar tidak menyatakan penolakan terhadap upaya menjaga kelestarian lingkungan dari areal lebak lebung namun secara eksplisit kenyataan di lapangan mereka menggunakan alat tangkap yang dilarang berupa: putas dan bahan peledak (born ikan). Alasan yang dikemukakan penggunaan bahan yang dilarang adalah dari perhitungan ekonomis dengan sedikit waktu dan biaya dapat
143
menghasilkan produksi ikan yang banyak. Hal ini dimungkinkan karena antara ikan mati dan hidup tidak terlalu dipersoalkan dalam pemasaran untuk dikonsumsi. Pengemin besar lebih memanfaatkan hasil penangkapan ikan tersebut untuk diawetkan (dibuat ikan asin atau salai) sehingga pola penangkapan dengan cepat lebih disukai olehnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap masyarakat tercermin atau didominasi oleh sikap para elit desa (kepala desa dan pengemin besar) yang memiliki kekuasaan dan modal untuk mempertahankan kepentingannya. Walaupun elit desa jum1ahnya sedikit namun mereka memi1ki akses yang cukup besar. Sikap yang ditunjukan adalah untuk menjaga kepentingan pribadi dengan menolak ketentuan yang ada dalam kebijakan yang dianggap dapat mengancam eksistensinya dalam penguasaan pengelolaan perikanan lebak lebung di desanya.
144
BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil analisis pada Bab IV serta temuan penelitian di lapangan maka dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan dan hasil kebijakan pengelolaan perikanan lebak
lebung di
Kabupaten
OKI
nampaknya
belum
optimal, dalam
arti
pelaksanaannya belum berjalan dengan baik dan dampak aktual atau hasil (effect) yang dicapai belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Belwn optimalnya pelaksanaan kebijakan tersebut antara lain ditunjukan pada proses pelelangan yang belum didasarkan sistem pengelolaan yang baik, seperti pelanggaran persyaratan peserta lelang, pelaksanaan lelang yang belum baik, terhambatnya penyetoran uang hasil lelang dan distribusi yang kurang tepat. Kemudian belum optimalnya pelaksanaan kebijakan ditunjukan juga pada kegiatan pelaksanaan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung yang melibatkan pengemin dan aparat pelaksana, yang mana adanya pengemin melakukan eksploitasi dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang dan belum adanya unit kerja yang secara khusus ditugasi melakukan pengawasan kegiatan pemanfaatan areal lebak lebung serta kegiatan pembinaan dan perlindungan sumber daya ikan belum dijadikan kegiatan proyek pembangunan bukan kegiatan rutin. Dari kondisi pelaksanaan kebijakan di atas, maka dampak aktual atau basil (effect) yang diharapkan teljadi belum dapat dicapai sepenuhnya. Hal ini ditunjukan
145
dengan implementasi kebijakan tersebut yang hanya memfokuskan pada peningkatan pendapatan daerah akan tetapi belum mampu meningkatkan kesejahteraam masyarakat desa khususnya petani (tingkat penghasilan petani yang masih dibawah standar), masih besarnya potensi konflik yang dapat mengakibatkan kerawanan sosial masyarakat desa serta bel urn terjaminnya kelangsungan sumber daya perikanan yang menjadi andalan dari kebijakan pengelolaan perikanan lebak Iebung. Belum optimalnya kinerja implementasi kebijakan lebak lebung, diasumsikan
penulis
pengelolaan perikanan
disebabkan oleh 3 (tiga) faktor yakni
kewenangan, sumber daya dan sikap atau komitmen. Adapun masalah yang berkaitan dengan ketiga faktor tersebut disimpulkan penulis sebagai berikut : 1. Kewenangan Faktor kewenangan ditunjukan dengan belum sepenuhnya Pemerintah Propinsi menyerahkan kepada daerah kabupaten untuk menetapkan pola pengelolaan yang meliputi: mekanisme dan distribusi hasil lebak lebung. Kewenangan yang dimiliki oleh Bupati belum didelegasikan secara jelas kepada aparat pelaksana di lapangan seperti bel urn jelasnya unit kerja yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan lebak lebung, sebab adanya dua unit kerja yang memiliki kepentingan yaitu Bagian Pemdes dan Dinas Perikanan. Kewenangan untuk rnernberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengernin dan masyarakat dalam upaya penertiban kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan belurn diberikan dengan jelas instansi yang melakukan, walaupun dalam Perda sudah ditetapkan adanya PPNS namun belum berlaku efektif
146
2. Sumber Daya Faktor sumber daya antara lain dapat dilihat dari sumber daya perikanan Iebak lebung, sumber daya aparat pelaksana, sumber dana sebagai biaya operasional dan insentif. Dari sub faktor sumber daya perikanan ditunjukan dengan kurangnya perhatian aparat pelaksana terhadap ketersediaan sumber daya perikanan lebak lebung, yang mana kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan yang dilakukan pengemin dengan menggunakan alat yang dilarang terjadi karena kurangnya pengawasan dan penertiban yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten. Dari sub faktor sumber daya aparat pelaksana masih belum diperhatikannya alokasi aparat dalam langkah kebijakan yaitu jumlah aparat yang tergabung dalam panitia lelang (kecamatan dan tim pengawas lelang kabupaten) telah mencukupi akan tetapi tidaklah demikian dengan jumlah aparat dinas perikanan yang memiliki fungsi teknis dalam melakukan pembinaan dan perlindungan sangat kurang yang mana belum adanya aparat yang ditempatkan di kecamatan. Kualitas aparat pelaksana belum diperhatikan dimana belum dimiliki pengetahuan mengenai tata cara lelang dan pengelolaan administrasi keuangan demikian juga dengan kualitas aparat dinas perikanan yang lebih banyak berlatar belakang pendidikan umum dari pada teknis perikanan. Dari sub faktor sumber dana ditunjukkan dengan keterlambatan alokasi dana operasional dalam pelaksanaan lelang sehingga menyebabkan panitia melakukan pembebanan biaya kepada peserta. Selain itu pembagian insentif yang tidak mencerminkan aspek keadilan bagi aparat yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan, hal ini dapat dilihat
147
dari insentif yang diterima oleh camat dialokasikan secara khusus sedangkan bagi panitia pelaksana atau pengawas tidak jelas. 3. Sikap atau Komitmen faktor sikap dapat dilihat dari dua pihak yaitu sikap aparat pelaksana dan masyarakat (target group) dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. Sikap aparat pelaksana dan masyarakat ditunjukkan dengan belum terciptanya komitmen yang tinggi untuk melakukan tugas dan tanggungjawab secara konsistem dan konsekuen. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan sikap aparat yang mendukung implementasi kebijakan dikarenakan adanya tekanan dari atasan yang sangat berkepentingan dengan keberhasilan pelaksanaan kebijakan, belum adanya kesadaran aparat karena tugas yang ada merupakan tugas tambahan. Sikap masyarakat ditandai dengan penolakan terhadap pengelolaan lebak lebung oleh pemerintah kabupaten dan penolakan terhadap pengemin yang berasal dari luar desa. Sikap tersebut bukanlah sikap masyarakat secara keseluruhan akan tetapi merupakan sikap elit desa (kades dan pengernin besar) yang terganggu kepentingannya.
B. Rekomendasi Saran-saran yang dapat diberikan sehubungan dengan kesimpulan di atas, antara lain : 1.
Untuk proses seleksi peserta lelang, sebaiknya panitia lelang kecamatan melakukan seleksi bukan saja dengan melakukan penelitian terhadap fonnulir yang diajukan oleh eaton peserta, tetapi lebih jauh dari itu dengan melakukan
148
cek terhadap kemampuan finansia1. Untuk obyek lelang yang bemilai tinggi sebaiknya diberikan persyaratan yang lebih khusus kepada calon peserta yaitu hanya diberikan kepada pengusaha yang bergerak dalam usaha perikanan (pengusaha ikan awetan) dengan menggunakan tenaga kerja lokal dan memiliki kepedulian terhadap aspek kelestarian sumber daya perikanan. 2.
Untuk mengatasi keterlambatan dalam penyetoran uang basil lelang harus ditekankan percepatan pembayaran pengemin terhadap obyek lelang yang dimenangkan dan penyetoran bendahara kecamatan ke kas Pemda. Kepada pengemin diharuskan menyiapkan uang dalam mengikuti lelang dan melakukan pembayaran secara tunai. Mekanisme penyetoran uang hasil lelang tidak lagi melibatkan bendahara tingkat kabupaten sebagai pengumpul.
3.
Untuk membantu pengemin kecil agar dapat bersaing dengan pengemin besar dalam pelaksanaan lelang perlu dibentuk kerjasama diantara mereka dalam wadah kelompok tani atau koperasi dan kepada kelompok ini di usahakan kredit lunak dari kantor koperasi yaitu kredit usaha tani. Penyaluran kredit senantiasa disesuaikan dengan tingkat kebutuhan kelompok untuk membayar obyek lebak lebung yang diinginkan. Kontrol yang ketat dilakukan terhadap eksistensi ketompok tersebut jangan sampai terjadi fiktif dan perlu adanya rekomendasi camat terhadap usaha tersebut. Pola pengembalian dilakukan dengan pembayaran pertama pada bulan kedua. Dengan cara seperti ini dapat membantu petani dalam memperoleh lapangan usaha dan membayar kredit dari hasil penangkapan ikan yang dilakukan.
149
4.
Untuk dapat meningkatkan pendapatan dari hasil lelang lebak lebung maka target yang ditetapkan bukan berdasarkan harda standar tahun lalu dengan kenaikan maksimal 15%, akan tetapi dinas perikanan melakuk:an survey dan pendataan terhadap potensi yang ada dalam masing-masing obyek lebak lebung. Dari kegiatan tersebut akan diperoleh informasi mengenai tingkat produksi dari obyek lebak lebung dan jenis hewan air (ikan, udang dll) sehingga dapat ditentukan berapa nilai obyek tersebut. Upaya ini untuk mengurangi kegiatan rente ekonomi dalam kegiatan pengelolaan perikanan lebak lebung.
5.
Pemda Kabupaten harus menunjuk leader organization dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung agar unit kerja tersebut bertanggung jawab secara keseluruhan dari proses pelelangan, kegiatan eksploitasi sampai pada pembinaan dan perlindungan sumber daya perikanan. Unit kerja utama yang sesuai dengan karakter kebijakan ini adalah instansi teknis perikanan yaitu Dinas Perikanan. Kepada unit kerja ini diberikan tugas sepenuhnya untuk pemanfaatan potensi lebak lebung dengan didukung oleh unit kerja lain seperti: Dispenda, Bagian Hukum, Bagian Pemdes, Polisi Pamong Praja, Camat dan Kades.
6.
Pemda Kabupaten harus memberikanjaminan keamanan atas areallebak lebung yang dikuasai pengemin dari usaha pencurian warga masyarakat dan jaminan hak pengusaan untuk melakukan eksploitasi sumber daya perikanan sesuai dengan masa yang telah ditetapkan (1 tahun). Pemda Kabupaten tidak hanya menarik uang dari pengemin tanpa konsekuensi memberikan perlindungan
150
kepada mereka. Jaminan hukum juga diberikan kepada pemilik sawah yang lahannya dijadikan obyek lebak lebung untuk ditanami padi. Pemda Kabupaten harus menegakkan hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengemin atau masyarakat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung. 7.
Untuk dapat melaksanakan pengelolaan perikanan lebak lebung yang lebih baik serta pencapaian dampak aktual (hasil) kebijakan yang lebih optimal secara keseluruhan, maka seluruh unsur policy implementor (panitia lelang dan pengawas)
khususnya
Dinas
Perikanan
dan
warga
masyarakat perlu
memperhatikan atau mengatasi masalah yang ada pada faktor kewenangan, sumber daya dan sikap.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, MS, 1988, "Perkembangan dan Penerapan Studi Jmp/ementasi", Makalah disampaikan pada Temu Kaji Posisi dan Peranan Ilmu Administrasi Negara dan Manajemen dalam Pembangunan, PPLPN, LAN Jakarta Devas, Nick, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI, Jakarta. Dunn, William N, 1999, Pengantar Ana/isis Kebijakan Pub/ik, Terjemahan, Gadjah Mada University Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta. Dye, Thomas R, 1981, Understanding Public Policy, Fourth Edition, Prentice-Hall Inc, Ingelwood New Jersey. Bardach, Eugene, 1977, The Implementation Game, The MIT Press, Massacchusetts. Edward Ill, George C, 1980, Implementing l'uhlic: l'olic:.y, Congressional Quarterly Press, Washington, DC. Effendi, Sofian, 1990, Kebijaksanaan Publik Berwawasan Pemerataan, dalam Beberapa A~pek Pembangunan Orde baru, Ramadhani, Solo. -----------------, 2000, lmp/emenlasi dan Evaluasi Kebijakan Publik, materi Kuliah Angkatan XVIII, MAP-UGM, Yogyakarta. Gustinawati, 1992, Aspek Perdata Dalam Lelang Lebak Lebung, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Palembang. Hamid, Abdul, 1999, Perlindungan Bagi Pemilik Tanah yang Menjadi Areal Lebak Lebung Warisan (Di Kecamatan Pampangan Kabupaten OK!), Tesis, UGM Yogyakarta.
:woo,
/)i/ema Otonomi /Jaerah : Perluasan Wewenang Daerah vs Wewenang Hlite Daerah, Analisis CSIS Tahun XXIX/Edisi 1.
Hidayat, Syarif,
Islamy, M lrfan, 1988, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, PT Bina Aksara, Jakarta.
Jones, Charles 0, 1991, Penganlar Kebijakan Publik (Public Policy), dalam Nashir Budiman (ed), Rajawali Press, Jakarta Kansil, CST, 1973, Sistem Pemerintahan di Indonesia, Jakarta. Keban, Yeremias T, 1995, Jndikator Kinerja Pemda Pendekatan Manajemen dan Kebijakan, Fisipol UGM, Yogyakarta. ------------------, 2000, 'Capacity Building sebagai Prakondisi dan Langkah Strategis bagi Perwujudan Otonomi Daerah, JKAP No.2/1999. Keraf, Sonny, 1996, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Kanisius, Yogyakarta. Kertonegoro, Sentanoe, 1994, Manajemen Organisasi, Widya Press, Jakarta. Koswara, E, Jvfenyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No.22 Iahun 1999, Anal isis CSIS, Tahun XXIX/2000-1. Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1986, Implementation and Public Policy, The Scott Foresment and Company, Dallas Texas. Mahi, Raksaka, 2000, Prospek Desenlralisasi di Indonesia Ditinjau dari Segi Pemerataan Antardaerah dan Peningkatan Efisiensi, Analisis CSIS, Tahun XXIX/Edisi 1. Meisaptiani, I 993, Kedudukan dan Pelaksanaan Lelang Lebak Lebung di Wilayah Sirah Pulau Padang Kabupalen Ogan Komering llir, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Palembang. Moekijat, 1995, Ana/isis Kebijaksanaan Publik, CV Mandar Maju, Bandung Moleong, Lexy J, 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung Muslimin, H Amrah, 1986, Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/ Kampung menjadi Pemerintahan Desa/Kelurahan dalam Propinsi Sumatera Selatan, Pemda Propinsi Dati I Sumsel, Palembang. Mustayadi, 1989, Pe/aksanaan Peraturan daerah Kabupaten Dati 11 OK! No.28 Tahun 1987 tenlang Le/ang Lebak Lebung di Desa Jejawi Kecamatan Perwakilan Jejawi Kabupalen Dati 11 OKJ, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Palembang.
Moeljarto, Vidhyandika, 1994, Kemiskinan : Hakekat, Ciri, Dimensi dan Kebijakan, dalam Anallsis CSIS, Edisi 3. Nugroho, Heru, 1995, Kemiskinan, Ketimpangan dan Pemberdayaan, dalam Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta. Nugroho, Riant D, 2000, Otonomi Daerah : Desentralisasi tanpa Revolusi (kajian dan kritik alas kebijakan desentra/isasi di Indonesia), Elex Media Komputindo, Jakarta. Nulhakim, Lukman, 1994, Lebak Lebung dan Permasalahannya, Dinas Perikanan Propinsi Dati Sumsel, Palembang. Pressman, JL dan Aaron Wildavsky, 1973, Implementation, UCLA Press, California. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Sumsel 1984/1985 Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Daerah Sumsel, Laporan Penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Ni1ai Tradisional, Jakarta. Riwukaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. Ripley, Randall B, 1973, Policy Analysis in Political Science, Nelson-Hall Inc, Chicago. Salusu J, 1996, Pengamhilan Keputusan Stratejik : Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, Gramedia, Jakarta. Siagian, Sondang P, 2000, A4anajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta.
Bumi Aksara,
Silalahi, Pande Raja, 2000, Implikasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di Daerah, Analisis CSIS, Tahun XXIX/Edisi 1. Sitorus, Felix MT, 1995, Kemiskinan Struktural da/am Proses Pembangunan, dalam Analisis CSIS Edisi 4. Soesilo, R Soeyoso, 1992, Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Perairan Umum di Sumsel, makalah disampaikan pada Temu karya llmiah Perikanan Perairan Umum, 12- 13 Pebruari 1992, Palembang.
Soemitro, H Rahmat, 1987, Peraturan dan Jnstruksi Lelang, Edisi Kedua Cetak:an I, Eresco Bandung. Soetrisno, Loekman, 1995, Substansi Permasalahan Kemiskinan dan Kesenjangan, dalam Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta. Soekarno, 1986, Dasar-dasar Manajemen, Miswar, Jakarta. Tjokrowinoto, Moeljarto,l999, Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Pelajar, Yogyakarta.
Pustaka
-----------, 1993, Politik Pembangunan : Sebuah Ana/isis Konsep, Arah dan Strategi, Tiara Wacana, Yogyakarta. Utomo, Warsito, 1999, Kumpulan makalah otonomi daerah yang disampaikan pada beberapa seminar, Yogyakarta. Wahab, Solichin A, 1990, Pengantar Ana/isis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta. -----------, 1997, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke lmplementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Proses dan Ana/isis, Jakarta.
Intermedia,
-----------, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Widjaja, AW, 1998, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Rineka Cipta Jakarta. Winarno, Budi, 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, PAU-Studi Sosial, UGM Yogyakarta. Bappeda OKl, 1998, Kabupaten OKI dalam Angka. Dinas Perikanan Kabupaten OKJ, Laporan Tahunan 1995/1996-1999/2000. Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten OKJ, Laporan Lima Tahunan 199511996J999/2000. Kayuagung.
Pernda Kabupatcn OK!, 1996, Perda No. 03 J'ahun /996 lenlang Lelang Lebak
l-chung, Kayuagung.
------------, I 999, Perda No./7 tahun 1999 tenlang Peruhahan Pertama Perda No. OJ rahun /996 tentang Lelang Lebak Lebung, Kayuagung.
PEDOMAN WA WANCARA
A. Pertanyaan untuk variabel dependen yaitu implementasi kebijakan pengelolaan
perikanan lebak lebung : a. Bagaimana proses pelelangan perikanan lebak lebung, yang d.imulai dari pengumuman, seleksi peserta, uang jaminan mengikuti lelang, sistem pelaksanaan lelang dan penetapan pemenang. b. Bagaimana pengemin melakukan eksploitasi dan kegiatan pemantauan lapangan dan pengendalian yang dilakukan oleh camat dan dinas perikanan, termasuk
sanksi yang diberikan kepada pengemin yang melakukan
pelanggaran. c. Bagaimana kontribusi pendapatan hasil lelang lebak lebung terhadap PAD selama lima tahun terakhir yang dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam APBD. d. Berapa besar tingkat pendapatan petani perikanan dan jumlah anggota masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan perikanan lebak lebung. e. Bagaimana tingkat kontlik antara pengemin dan anggota masyarakat desa dalam pengelolaan perikanan lebak lebung. f.
Bagaimana tingkat kerusakan lingkungan dalam pengelolaan perikanan lebak lebung dan bentuk pengendalian potensi perikanan yang d.ilakukan Pemda.
B. Pertanyaan untuk variabel independen yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. 1. Berkaitan dengan variabel kewenangan a. Meliputi hal apa saja kewenangan yang dimiliki bupati dan camat dalam kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung. b. Apakah kewenangan yang dimiliki tersebut dapat dilaksanakan seluruhnya.
c. Kegiatan apa saja yang telah dilakukan bupati dan camat sehubungan dengan kewenangan yang dimilikinya. Hambatan apa saja yang ditemui dalam pelaksanaan kewenangan dimaksud. 2. l3crkaitan dcngan variabel ketersediaan sumber daya a. Ketersediaan sumber daya perikanan 1) Potensi dan kelestarian sumber daya perikang ada dalam areal lebak lebung, apakah potensi yang ada sesuai dengan penerimaan basil lelang yang masuk ke kas pemda. 2) Bagaimana upaya intensifikasi dan ekstensifikasi potensi prikanan Iebak Iebung yang dilakukan oleh pemda. b. Ketersediaan sumber daya manusia 1) Berapa jumlah staf dan bagaimana kualitas staf yang telibat dalam pelaksanaan lelang. 2) Dukungan fasilitas/sarana apa saja yang dimiliki pelaksana dan bagaimana pengaruhnya terhadap kelancaran tugas 3) Bagaimana dukungan teknis dan administratif dari pelaksana dan bagaimana pengaruhnya dalam pelaksanaan lelang dan percepatan penyetoran uang hasil lelang. 4) SDM
pelaksana
yang
bagaimana
dapat
mempengaruhi
kelancaran
pelaksanaan tugas. c. Ketersediaan biaya operasional/ insentif 1) Berapa besar dukungan biaya operasional bagi kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perikanan
lebak lebung.
Digunakan untuk pembiayaan apa saja dana operasional tersebut. 2) Bagaimana dana dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional. 3) Bagaimana mekanisme penyaluran upah I honorarium kepada unit pelak:sana kebijakan. Berapa besar upah yang diberikan kepada mereka. 4) Adakah dukungan dana yang dibebankan kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung.
3. Bcrkaitan dcngan variabcl sikap a. Sikap pelaksana I) Apa tugas dan kewajiban unit kerja saudara dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan lebak lebung 2) Apakah tugas tersebut sesuai dengan tugas pokok unit kerja saudara 3) Apakah saudara menerima imbalan berupa upah dari kegiatan pelaksanaan tugas tersebut dan bagaimana kelancaran upah tersebut. 4) Apakah ada. sanksi yang diberikan kepada saudara jika melalaikan tugas dalam pelaksanaan kebijakan. b. Sikap Masyarakat I) Bagaimana sikap saudara terhadap peralihan pengelolaan perikanan lebak lebung dari pemerintahan marga ke pemerintah daerah. 2) Bagaimana sikap saudara terhadap hak pengelolaan perikanan }ebak lebung mclalui sistem pelclangan. 3)
Bagaimana sikap saudara terhadap pemenang lelang lebak lebung yang berasal dari luar desa
4) Bagaimana kepedulian saudara terhadap aspek pelestarian dalam melakukan
ekploitasi perikanan pada areal lebak lebung yang dikuasai.
PETA
.1
RENC\tlA TATA GUNA TANAH
ADMINISTRASI
• KAB. DATI
II
OG~N
KOMERtiiG ILIR
u
!
SekJia 1 :
BG
I
.~·
•
! .....
~t--,~~~~r.UY~OKlilng~T---~-~-7~-----1----~--~~----~~---t~~~----------~-------;-----r-~
.
....
i ·-·-·-·--~·
'I
BF
i KAB.OKU
y
~r-55~-------~-----ffi~-------~-------6-7-----77------~-------7-8 8_8------+l-~ _____
KETE RANGAN
G G B
Bctcs
Proprnsr
B
J a I a n
Bates
Kcbupc:en
B
J a Ia n
Bates
Kecamatcn
E§1
Sungci
ill]
lbu l'.mc I".Obl
~
Danau/ Rewa
D
lbu t:ma Keccona·cn Kec Mucro Kr.ong
2 3 I,
5
6 7 II
Kt·c. Kec Kt."C K<"C l".ec. K<"C
1 :Jn1un<] Lubuk f"..-damar:..n Mesujr i{OIOk0"1 u ugLn'.) TonJU'") balu Tan1 un<J rajo K•·r . . ,,r.:n ,,, .. h• P·1fltlrhl
m ')
Nom or
KEr~·rc
.\pi
Kf"Ccmotan /~rwckrlan
Kec. ln
1b
Kec. Pemuluton Kec. Tulung s,•la~n Kec. Pampongon Pwk. Kec Lernpurng Pwk. Kec. Hantau.:Jiar Pwi<. Ke<:. Air sugihan Pwk. Kt'C Jet~lWI
17
P·... k. Kt."C.
ou
Pwk
10 11 12
IJ 14 1'.i
KK
~ur•r.llmr~nttntJ r.~rH;c:l
KecJm~tcn
LJ."'IVERSITAS GAD.JAH MADA Lampirari 4 PHOGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER JU)MINISTRASI PUBLIK
•
.11. l'r .. r. Dr. S.rdjlto, Seldp, YoJD'akarla 55211, Telp. (0274) 563125,902117,518234 Fax. (0274) 589655
Yogyak.arta,
Nomor : i..O I /UGMIMAP/Survey/? ~·0 1 Hal : ljin Pcnclitian
Kepada : Yth. Bapak Bupati O
D~:ngan
Komerin~
~
r.: ._; '· ~; ·.1· ::· ·:_
~- · -
1
I lir
hormat,
Dalam rangka penyusunan tugas akhir/tesis, Pengelola Program Studi Magister Aoministrasi Publik Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (MAP-UGM) Yogyakarta memintakan ijin bagi mahasiswa tersebut di bawah ini untuk melakukan peaclitian di Instansi yang Dapak I lbu pimpin. Nama Mahao;iswa Nomor Mahasiswa
t :i_ _,. -1. ~?I .\'1/:- ... '<J0 ·~.
·~us
Konsentrasi .ludul Tesis
I~:r-; 1. ~ r1~
.)urnber·
!_, ~~ ·"l.:1 i .. -~ ~, ·:..i ·,._, .D ·~1.':!.':··'.-J·.cn
.
Atas pcrhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih .
,._.-.:rim Pengelola Program Studi MAP .. UGM
j:·~:#··:~ ~ . . .
'i • . .
' ··
•·
Dr. Agus Dwiyanto Bidang Akademik
Tcmbusan Kepada :
Bappeda OKI 2. Dinas ?erika~an OKI 3. Dinas Pendapatan DaP.r.ah OKI 4. Ba~ian PP.mP.rintahan Desa Setda OKI 5. Ba!>;ian Keuan.~n Setda OKI 6. S~v,ian Hu
PEI\'IERINTAH KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
l(AN TOR SOS IAL POL ITI K Jl. Raya Lintas Timur Kel. Jua- Jua Kec. Kora Kayuagu ng Telp.(0712) 322020 Fax. (0712). 322020
KAYU AGUN G
Kayuagu ng, 1 Februari 2001 Nomor Lamp Perihal
: ~r-ll /-f.DLSospol/2001
Kepada Yth.
. Ijin P~.:nclitian
1. Bp. 2. Bp. 3. Bp. 4. Sdr.
Ketua Bappcda OI-.:.1 Kadin Peri.kanan OKJ Kadispen da OKI Kabag : Pemdes; Hukum; Keuanga n dan Ketertiba n Sctda OKT 5. Sdr. Camat Kola Kayuagu ng dan Sirah Pulau Padang di -· T_r,;_mJL!.U
Berdasar kan Surat Kadit Sospol Propinsi Sumatera Sd:11an 2.3 J lnuari 2001 Nomor : 070/020/ Sospol/2 001 tentang ljin Penelitian. Dengan ini diberikan ijin penelitian
S a ;n a ' No. fvflts Pcke~jaan
. \.1 am at }3 il II gSa
Bcrnuks ud
J uduI
langgal
kepada :
: A. Gusti, 4412/PS, MAP/199 9. : l\:faha~iswa MAP UGM Y ogyakarra : n. Prof. Dr. Sardjito, Sekip, Yogyakarta . :Indon esia : Akan Mengada kan Penelitian : Implemen tasi Kebijaka n Pengelola an Sumbcr PAD Perikana n Lebak LebWlg di Kahupate n Ogan J..:.ornering
Ilir.
Lokas i ' W ak t u Pcscrt a Pcnanggu ng Jawab Dengan ketentuan
: Kabupate n Ogan Komeri.ng lli.r. : 2 s/d 28 Februari 2001. : Pengelol a MAP UGM bidang Aiademik . : I. Mentaati Peraturan yang berlaku di daerah set em pat 2. Melapork an selesainya pelaksana an po::nelirian kepada Bupati OKI Cq. Kakan Sospol OKI.
Demikian Wltuk dimaklumi.
Tembusa n Kepada Yth: I. Bp.Kadit Sospol Prop SS di Pig 2. Sdr. Pengelola MAP UGM Yogyaka rta 3. Yang bersangk utan.