Zuyasna et al. (2016)
J. Floratek 11 (1): 66-74
EFEKTIVITAS POLIETILEN GLIKOL SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI KEDELAI KIPAS MERAH BIREUN YANG DIRADIASI SINAR GAMMA UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Polyethylene Glycole Effectivity as Selection Agent to Soybean: Kipas Merah from Bireun Radiated with Gamma Ray for Drought Stress Tolerance 1
Zuyasna1), Effendi1), Chairunnas2), dan Arwin3) Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala e-mail:
[email protected] 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh 3) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ABSTRACT
The purpose of this research is to know the effectivity of Polytethylene Glycole (PEG) in drought simulation in vitro to soybean – Kipas Merah from Bireun – radiated with gamma ray. Research was conducted in Tissue Culture Laboratory, Agriculture Faculty, Syiah Kuala University, Darussalam, Banda Aceh. Gamma ray radiation conducted at Research Development of Isotop and Radiation Technology of BATAN, Pasar Jum`at, Jakarta. The results show that increasing in PEG concentration into selection medium in vitro, decrease soybean seed germination percentage. Twenty percent of PEG concentration can be use as sub lethal concentration for the next drought selection attempt. Gamma ray radiation cause variation to seed germination percentage and seed growth in vitro. Keywords: PEG, soybean, gamma ray radiation, drought stress PENDAHULUAN Salah satu kendala pengembangan kedelai adalah keterbatasan lahan yang sesuai sehingga harus menggunakan lahanlahan marginal. Lahan marginal memiliki keterbatasan, khususnya dalam ketersediaan air yang menyebabkan tanaman mengalami stres kekeringan. Disamping itu, perubahan iklim global, seperti perubahan suhu udara, pola curah hujan, dan tingkat permukaan air laut juga menyebabkan pengaruh negatif bagi produksi tanaman kedelai. Peningkatan suhu udara akan menyebabkan aktifnya fotorespirasi yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Selain itu, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, seperti EI-Nino dan La-Nina, terutama kekeringan dan kebanjiran, juga menjadi penyebab gagal panen di beberapa wilayah Indonesia. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut salah satunya adalah
penyediaan varietas kedelai yang toleran terhadap stres kekeringan. Perbaikan genetik tanaman kedelai yang luas dengan potensi hasil tinggi dan umur genjah dapat diperoleh melalui persilangan (Hibridisasi) antara tetua yang mempunyai jarak genetik yang relatif jauh seperti persilangan antar sub spesies pada tanaman kedelai. Menurut Yusuf (2004) dan Arsyad (2007), apabila pemuliaan tanaman hanya dari bahan yang telah ada, maka suatu saat secara genetik akan terbatas sehingga kemajuannya pun menjadi lambat. Untuk perbaikan genetik sangat efektif dilakukan melalui induksi mutasi. Menurut Van Harten (1998) mutasi adalah suatu perubahan yang bersifat diwariskan yang terjadi pada DNA. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen fisik dapat menggunakan radiasi tanpa ionisasi (sinar UV) atau radiasi dengan ionisasi (sinar X, gamma, alpha, beta, dan neutron). Mutagen fisik 66
Zuyasna et al. (2016) menyebabkan mutasi atau terhapusnya DNA dalam jumlah yang besar dan perubahan pada struktur kromosom. Mutagen kimia hanya mempengaruhi satu pasang nukleotida (mutasi titik). Mutagen kimia yang sering digunakan adalah ethylmethane sulphonate (EMS), methyl-methane sulphonate (MMS), hydrogen fluoride (HF), sodium azide, Nmethyl-N-nitrosourea (MNU), dan hydroxylamine. Tingkat mutasi yang terjadi tergantung pada jaringan yang diradiasi dan lama waktu pemberian radiasi (Parry et al. 2009). Mutasi Induksi dengan menggunakan sinar Gamma telah memberikan kontribusi yang nyata untuk perbaikan tanaman di belahan dunia terhadap peningkatan produksi dan termasuk kearah genjah. Pemulian dengan teknik mutasi telah menghasilkan 75% varitas dari 2250 varietas yang telah dilepas sebagai varitas unggul baru didunia (Brar & Jain, 1998). Sinar gamma merupakan radiasi terionisasi yang bersifat elektromagnetik. Sinar gamma memiliki panjang gelombang pendek, energi yang tinggi, tidak bersifat elektrik dan tidak mempunyai massa dibandingkan partikel radiasi lainnya (EPA 2012). Agar sinar gamma efektif untuk menginduksi mutasi sehingga menghasilkan keragaman maka perlu diketahui dosis yang sesuai. Dosis yang sesuai untuk induksi keragaman dapat diketahui dengan mempelajari radiosensitivitas dan mengukur nilai LD50 (Amano et al. 2001). Radiosensitivitas adalah tingkat kepekaan tanaman terhadap radiasi. Secara visual tingkat kepekaan ini dapat diamati berdasarkan daya berkecambah atau pertumbuhan tanaman setelah perlakuan radiasi (Sanada dan Amano 1998). Lethal Doses (LD50) adalah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi yang diradiasi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya mutasi yang diinginkan dapat diperoleh dengan perlakuan dosis sekitar LD50 atau lebih tepatnya pada dosis sedikit di bawah LD50 (Van Harten 1998; Amano et al. 2001; Tah 2006; Manjaya dan Nandanwar 2007; Borzouei et
J. Floratek 11 (1): 66-74 al. 2010; Goyal dan Khan 2010). LD50 berbeda pada setiap jenis tanaman. Nilai LD50 kultivar kedelai Pusa-16 dan PK-1042 terdapat pada nilai 377 Gy dan 467,4 Gy (Khan dan Tyagi 2005). Hal ini menunjukkan bahwa antar kultivar atau intraspesies terdapat radiosensitivitas yang berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Pada kenyataannya lingkungan pertumbuhan tidak selalu merupakan lingkungan yang optimum bagi pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman seringkali tidak mampu mengekspresikan seluruh potensi genetik yang dimilikinya. Stres lingkungan merupakan faktor yang paling berperan terhadap adanya kesenjangan antara potensi dan hasil aktualnya (Blum, 1982). Cekaman kekeringan adalah suatu kondisi yang ditunjukkan oleh defisit air pada lingkungan tumbuh tanaman. Cekaman kekeringan terjadi ketika akar tidak mampu menyerap air dalam jumlah yang cukup. Tanaman mengalami kekeringan bila laju penyerapan air tanah oleh perakaran tidak dapat mengimbangi laju evapotranspirasi (Levitt 1980). Seleksi in vitro untuk mencari genotipe yang toleran terhadap kekeringan dapat dilakukan dengan menggunakan agen penyeleksi berupa senyawa osmotikum. Senyawa osmotikum yang paling banyak digunakan untuk mensimulasikan cekaman kekeringan adalah senyawa polyethylene glycol (PEG) (Santos-Diaz andOchoa-Alejo 1994; Dami and Hughes, 1997). Penggunaan PEG dalam melakukan simulasi kekeringan digunakan sejak lama, karena senyawa ini bersifat stabil, polimer panjang, non ionic dan larut dalam air (Lawyer, 1970). Senyawa PEG bersifat larut dalam air dan dapat menyebabkan penurunan potensial air yang homogen. Besarnya penurunan air sangat tergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan simulasi penurunan potensial air. Potensial air dalam media yang mengandung PEG dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial 67
Zuyasna et al. (2016) air tanah (Michel dan Kaufman, 1973). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan PEG dalam mensimulasikan kekeringan yang berdasarkan respon genotipe mutan kedelai pada berbagai level konsentrasi PEG. METODOLE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2013 sampai bulan November tahun 2014 di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penyinaran radiasi sinar gamma dilakukan di Puslitbangtan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar JumatJakarta. Bahan tanaman yang digunakan adalah kedelai Kipas Merah Bireun hasil seleksi Massa pada tahun 2013, media dasar Murashige dan Skoog (MS), vitamin, PEG, dan bahan sterilisasi. Alat yang digunakan adalah botol kultur, Erlenmeyer, Petridis, labu ukur, timbangan analitik, autoklaf, oven, pH meter, microwave, alat diseksi (pisau, pinset, dan gunting), Laminar air flow cabinet, lampu spiritus, rak kultur, dan alat lain yang dibutuhkan. Radiasi sinar gamma Benih kedelai Kipas Merah Bireun hasil seleksi massa dipilih pada tahun 2013 dipilih yang berukuran sama dan dilakukan radiasi sinar gamma dengan dosis 100 sampai 1000 Gy. Setelah diradiasi benih tersebut ditanam di kebun percobaan dan dibiarkan menyerbuk sendiri, dipelihara sesuai cara budidaya kedelai dan dilakukan pemanenan benih (M2) setelah memenuhi kriteria panen. Masing-masing benih hasil radiasi pada setiap dosis diambil sampel untuk dilakukan penentuan Lethal Dose 50 (LD-50). Seleksi in vitro menggunakan PEG Benih M2 hasil panen di kebun percobaan dipilih mewakili masing-masing dosis radiasi dan selanjutnya dilakukan pengujian terhadap cekaman kekeringan menggunakan media MS dengan
J. Floratek 11 (1): 66-74 penambahan PEG (BM 6000) dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25%. Penambahan PEG dalam media menyebabkan media menjadi cair, dan untuk mencegah benih tenggelam dalam media tersebut digunakan busa sintetik. Benih yang sudah disterilisasi dengan alkohol 70% dan larutan pemutih (NaOCl) ditanam pada media MS0 (media tanpa PEG) dan disimpan dalam ruang kultur (ruang inkubasi) dengan temperatur ruang + 24 0C. Satu minggu kemudian, benih yang telah berkecambah dipindahkan ke media perlakuan (MS + PEG) dan dibiarkan selama 4 minggu. Konsentrasi sub lethal yang diperoleh akan digunakan untuk menyeleksi mutan-mutan yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Pada penelitian ini konsentrasi sub lethal dengan 20% PEG digunakan untuk menguji beberapa genotipe mutan generasi ke 2 (M2). Peubah yang diamati meliputi panjang tunas, panjang akar, berat kering tunas dan berat kering akar. Toleransi tanaman terhadap kekeringan dihitung berdasarkan indeks sensitivitas terhadap stres (S) menggunakan semua peubah yang diamati. Indeks S dihitung berdasarkan rumus Fischer dan Maurer (1978), yaitu: S = (1-Y/Yp)/(1X/Xp), dengan Y = nilai rataan peubah pada satu genotipe yang mengalami cekaman kekeringan, Yp = nilai rataan peubah pada satu genotipe yang tidak mengalami cekaman kekeringan, X = nilai rataan peubah semua genotipe yang mengalami cekaman kekeringan dan Xp = nilai rataan peubah semua genotipe yang tidak mengalami cekaman kekeringan. Genotipe dikategorikan toleran terhadap cekaman kekeringan jika mempunyai nilai S ≤ 0.5, Agak toleran ( medium toleran) jika 0.5 < S ≤ 1 dan peka jika S >1. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Nilai Lethal Dose 50 (LD50) Benih Kipas Merah Bireun yang telah diradiasi dengan berbagai taraf digunakan untuk menghitung persentase daya kecambah normal guna menentukan nilai Lethal Dose 50 (LD50). Tujuan pengujian ini adalah untuk 68
Zuyasna et al. (2016) menetapkan dosis LD50 yaitu dosis yang menyebabkan 50% populasi yang diradiasi mengalami kematian. Berdasarkan nilai LD50 ditetapkan dosis radiasi yang digunakan untuk menginduksi keragaman pada tanaman dan karakter yang diinginkan. Hasil
J. Floratek 11 (1): 66-74 pengamatan menunjukkan bahwa radiasi sinar gamma pada dosis 200 Gy menurunkan daya tumbuh dari tanaman kedelai dan peningkatan dosis dari dosis 200 Gy sampai 1000 Gy menunjukkan penurunan persentase berkecambah normal (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase kecambah normal pada umur dua minggu setelah tanam Rata rata jumlah Daya kecambah No Dosis (Gy) Benih Berkecambah (%) 1 0 49,17 98,33 2 100 45,50 91,00 3 200 25,33 50,67 4 300 21,00 42,00 5 400 8,83 17,67 6 500 4,33 8,67 7 600 0,50 1,00 8 700 0,17 0,33 9 800 0,83 1,67 10 900 0,00 0,00 11 1000 0,00 0,00
Pengaruh peningkatan dosis sinar gamma mempengaruhi pertumbuhan kecambah kedelai varietas Kipas Merah Bireun. Semakin tinggi dosis radiasi yang diberikan semakin rendah pertumbuhan kecambah. Pada dosis radiasi 800 dan 900 Gy pertumbuhan tetap terjadi, tetapi pertumbuhan kecambah mengalami stagnasi serta abnormalitas yang ditunjukkan oleh
batang menebal dan daun kotiledon menebal serta tinggi tanaman tidak bertambah sampai akhir pengamatan (dua minggu setelah tanam) (Gambar 1). Secara visual tingkat kepekaan ini dapat diamati pada tanggap yang diberikan tanaman, baik pada morfologi tanaman maupun pada kemampuan daya tumbuh tanaman.
Gambar 1. Pertumbuhan kecambah tanaman kedelai Kipas Merah Bireun pada umur 14 hari yang diradiasi sinar gamma pada dosis 0, 100, 300, 500, 700, dan 900 Gy. 69
Zuyasna et al. (2016) Penelitian ini menunjukkan bahwa LD50 varietas Kipas Merah Bireun yang diradiasi sinar gamma terdapat pada dosis antara 200 dan 300 Gy. LD50 berbeda pada setiap jenis tanaman tergantung pada tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan bagian tanaman yang diradiasi. Secara umum, dosis sinar gamma yang tinggi terutama pada 800 Gy mempunyai efek negatif pada penampilan morfologi dan karakter dari perkecambahan tomat dan okra (Norfadzrin et al. 2007). Nilai LD50 kultivar kedelai Pusa-16 dan PK-1042 terdapat pada nilai 377 Gy dan 467,4 Gy (Khan dan Tyagi 2005). Teknologi radiasi digunakan oleh pemulia untuk menginduksi mutasi. Radiasi dilakukan pada kisaran dosis kematian 50% dengan pertimbangan bahwa kerusakan fisiologis seimbang dengan perubahan genetik yang diperoleh. Selain untuk menentukan tingkat sensitivitas terhadap mutagen fisik maupun kimia, kisaran dosis LD50 juga digunakan untuk memperkirakan dosis atau konsentrasi yang sesuai untuk menginduksi mutasi (Abdullah et al. 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis radiasi yang diberikan, mempengaruhi pertumbuhan kecambah benih Kipas Merah Bireun, dimana pertumbuhan kecambah terhambat dan tidak berkembang. Tah (2006) menyatakan bahwa tingkat kematian meningkat secara linier seiring dengan meningkatnya dosis pada tanaman kacang hijau [Vigna radiata (L.) Wilczek]. LD50 kedelai varietas Kipas Merah Bireun pada penelitian ini diperoleh pada tingkat radiasi 200 dan 300 Gy (Tabel 1). Untuk selanjutnya tingkat keragaman yang maksimum dapat dilihat pada kedelai mutan hasil radiasi 200 dan 300 Gy tersebut. Diharapkan diantara mutan mutan baik kedelai Kipas Merah pada tingkat radiasi tersebut ada yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi galur harapan baru yang tahan kekeringan dan berproduksi tinggi.
J. Floratek 11 (1): 66-74 Respon Benih M2 Kipas Merah Bireun terhadap media seleksi menggunakan PEG Berdasarkan analisa LD50 terhadap mutan kedelai Kipas Merah Bireun diketahui keragaman yang tertinggi berada pada kisaran radiasi 200 dan 300 Gy, maka untuk analisis cekaman kekeringan hanya dilakukan pada mutan dengan tingkat radiasi tersebut. Dari hasil percobaan diperoleh persentase benih yang tidak berkecambah dalam medium MS yang diberikan PEG meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi PEG dalam medium, seperti disajikan pada Tabel 2. Konsentrasi PEG sebesar 20% menyebabkan kematian benih sebesar 90,25%. Peningkatannya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi PEG 15% yang hanya 49,75% kematian benih. Pada konsentrasi PEG 5% dan 10%, Persentase kematian benih hanya 6% dan 26,25%. Sebagai ilustrasi percobaan menggunakan berbagai konsentrasi PEG dapat dilihat pada Gambar 2. Semakin tinggi konsentrasi PEG dalam media uji, maka akan mengakibatkan terhambatnya proses osmosis dalam sel sehingga menghambat masuknya air ke dalam sel. Pada benih mutan yang tidak tahan terhadap kekurangan air atau rentan terhadap cekaman air akan menyebabkan gagal berkecambah bahkan dapat menyebabkan kematian benih. Sebaliknya pada mutan-mutan yang mampu berkecambah dan melanjutkan pertumbuhan, merupakan benih yang mampu menyesuaikan dalam kondisi tercekam dan diduga merupakan varian baru yang membawa sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan. Menurut Nabors dan Dyker (1985), konsentrasi sub lethal adalah konsentrasi PEG yang dapat menghambat jumlah total embryo somatic sebesar 95%. Persentase kematian benih mencapai 90,25% pada konsentrasi PEG 20%, sehingga konsentrasi tersebut dianggap sebagai konsentrasi sub lethal untuk seleksi mutan-mutan kedelai Kipas Merah Bireun. Konsentrasi sub lethal (20% PEG) selanjutnya digunakan untuk melakukan uji cekaman kekeringan pada 70
Zuyasna et al. (2016)
J. Floratek 11 (1): 66-74
beberapa mutan Kipas Merah Bireun hasil radiasi 100 Gy, 200 Gy, dan 300 Gy, serta sebagai pembanding dilakukan juga pengujian pada benih kedelai Kipas Merah Bireun tanpa radiasi, serta varietas Dering yang tahan terhadap cekaman kekeringan. Hasil perhitungan indeks sensitivitas terhadap stres (S) cekaman kekeringan pada genotipe-genotipe yang diuji dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks sensitivitas sesuai dengan formula Fischer dan Maurer (1978) mutan yang dikategorikan medium toleran adalah Km 200-41, dan mutan yang dikategorikan toleran adalah Km 200-19. Namun ada hal yang menarik dari hasil perhitungan indeks sensitivitas ini, yaitu varietas Dering yang merupakan varietas yang tahan terhadap kekeringan ternyata dalam pengujian secara in vitro
menggunakan agen seleksi PEG dengan konsentrasi 20% dikategorikan peka. Untuk menentukan apakah suatu genotipe toleran terhadap cekaman kekeringan tidak cukup dengan satu metode saja, tapi perlu dicoba melanjutkan pengujian di rumah plastik serta seleksi di lapangan pada musim kering atau pada lahan tadah hujan. Disamping itu juga perlu dilakukan analisis fisiologi dan biokimia terhadap mutan-mutan yang dikategorikan toleran dan medium toleran tersebut. Genotipe M2 yang dikategorikan toleran secara indeks sensitivitas yaitu KM 200-19 perlu dilakukan pengujian lebih lanjut pada generasi M3 dan generasi lebih lanjut apakah masih memiliki karakter yang sama dan stabil. Perlu juga dilihat apakah mempunyai karakter produktivitas tinggi dan kadar proteinnya juga tinggi.
Tabel 2. Persentase Benih yang Berkecambah pada Akhir Seleksi Menggunakan PEG Dosis Radiasi Sinar gamma (Gy)
Konsentrasi PEG (%)
Persentase Kecambah
Persentase Benih Mati
0
0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25
100 99 83 47 9 1 99 97 75 64 8 2 97 90 69 48 10 0 90 90 68 42 12 0
0 1 17 53 91 99 1 3 25 36 92 98 3 10 31 52 90 100 10 10 32 58 88 100
100
200
300
71
Zuyasna et al. (2016)
J. Floratek 11 (1): 66-74
Gambar 2. Perkecambahan kedelai mutan pada berbagai konsentrasi PEG pada umur 1 minggu (A) dan pada umur 4 minggu (B). Berturut turut dari kanan kecambah pada media tanpa PEG (0%), 5% PEG, 10% PEG, 20% PEG, dan 25% PEG.
Tabel 3. Nilai indeks sensitivitas terhadap stres (S) cekaman kekeringan pada peubah panjang tunas, panjang akar, berat kering tunas dan berat kering akar Nilai S panjang Nilai S BK Genotipe Rata2 Kesimpulan Tunas Akar Tunas Akar KM 100-12 0.103 0.654 0.314 3.267 1.084 peka KM 200-6 3.147 2.144 1.761 5.065 3.029 peka KM 200-9 2.735 2.970 1.029 3.609 2.586 peka KM 200-15 1.504 1.944 1.100 5.629 2.544 peka KM 200-19 0.032 0.123 0.203 1.456 0.454 toleran KM 200-37 0.630 0.271 0.154 22.061 5.779 peka KM 200-41 0.186 0.330 0.778 2.681 0.994 medium toleran KM 300-9 1.925 2.049 1.845 2.403 2.055 peka KM 300-13 1.055 0.481 1.140 1.516 1.048 peka KM 300-16 3.108 2.964 0.908 9.382 4.090 peka KM 300-22 3.729 4.079 1.584 4.021 3.353 peka KM 300-29 0.483 0.225 0.150 4.967 1.457 peka KM 300-35 3.729 3.618 2.573 28.146 9.517 peka Dering 1.518 0.655 0.412 11.259 3.461 peka K Merah 1.577 1.864 1.602 7.693 3.184 peka
KESIMPULAN Penambahan konsentrasi Polyetilene Glycol dalam media seleksi in vitro, meningkatkan kematian benih. Konsentrasi PEG sebesar 20% dapat digunakan sebagai konsentrasi sub lethal dan dapat digunakan untuk seleksi terhadap kekeringan pada benih kedelai mutan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana dengan dana penelitian KKP3N berdasarkan surat perintah kerja pelaksanaan penelitian NO. 791/LB.620/I.1/2/2013 Tanggal 25 Februari Tahun 2013, untuk itu kami mengucapkan terima kasih. 72
Zuyasna et al. (2016) DAFTAR PUSTAKA Abdullah T.L., Endan J., Nazir B.M. 2009. Changes in flower development, chlorophyll mutation and alteration in plant morphology of Curcuma alismatifolia by gamma irradiation. American Journal of Applied Sciences 6 (7): 1436-1439 Amano E., Yamaguchi T., Yatou O. 2001. Radiation Sensitivity of Plants. Research note. Japan : Fukui Pref.Univ. Arsyad M.D., Adie M.M., Kuswantoro H. 2007. Perakitan Varietas Unggul Kedelai Spesifik Agroekologi. Di dalam: Sumarno, Suyamto, A Widjono, Hermanto, H Kasim, editor. Kedelai : Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Blum. A. 1982. Evidence for genetic variability in drought resistance and its implications in plant breeding. dalam IRRI. Drought Resistance in Crops With Emphasis on Rice. p. 53-68. Borzouei A., Kafi M., Khazaei H., Naseriyan B., Majdabadi A. 2010. Effects of gamma radiation on germination and physiological aspect of wheat (Triticum aestivum L.) seedlings. Pakistan Journal Botany 42(4):22812290. Brar D.S., Jain S.M. 1998. Somaclonal variation : mechanism and applications in crop improvement. In Jain SM, Bran DS, Ahloowalia BS. (eds.), Somaclonal variation and induced mutation in crop improvement. p 15 37, Kluwer Academic Publisher, UK. Dami, I. and H. Hughes. 1997. Leaf anatomy and water losses of in vitro PEGtreated ‘valiant’ grape. Plant Cell Tiss. Org. Cult.57: 129−132. [EPA] Environmental Protection Agency. 2012. Radiation protection: Gamma rays. United States. www. epa.gov/radiation/contact.html [15 Juni 2012].
J. Floratek 11 (1): 66-74 Fischer R.A. dan Maurer R.1978. Drought resistance in spring wheat cultivar I: Grain yield responses. Aust.J.Agric.Res:897-912. Goyal S, Khan S. 2010. Induced mutagenesis in Urdbean (Vigna mungo L. Hepper) : A Review. International Journal of Botany 6(3): 194-206. Khan M.H., Tyagi S.D. 2005. Induced variation in quantitative traits due to physical (gamma rays), chemical (EMS) and combined mutagen treatments in soybean [Glycine max L.)Merrill]. www.soygenetics.org/articlefiles.pdf. [10 Juni 2012]. Lawyer, D.W. 1970. Absorption of polyethylene glycol by plant effect on plant growth. New Fisiol. 69:50-513 Levitt J. 1980. Responses of Plants of Environmental Stress: Water, Radiation and Other Stresses. Vol. 11. New York: Academic Press. Manjaya J.G., Nandanwar R.S. 2007. Genetic improvement of soybean vanety JS 80- 21 through induced mutations. Plant Mutation Reports 1(3):36-40. Michel,B.E dan M.R. Kaufman. 1973. The osmotic potential of polyethylene glycol 6000. Plant Physiol. 57:914916. Nabors,M.W. dan T.A.Dykes 1985. Tissue culture of cereal culivar with increased salt, drought, and acid tolerance. Biotechnology in Internasional Agricultural Research. In Proceeding of the Inter-center seminar n Internasional Agricultural Research Center and Biotechnology April 1984. Norfadzrin F., Ahmad H.O. Shaharudin S, Rahman A.D. 2007. A Preliminary study on gamma radiosensitivity of tomato (Lycopersicum esculentum) and okra (Abel moschus esculentus). International Journal of Agricultural Research 2(7) : 620-625. Parry JAM, Madgwick J.P., Bayon C., Tearall K., Hernandez-Lopez A., Baudo M., Rakszegi M., Hamada W, 73
Zuyasna et al. (2016) Al-Yassin A., Ouabbou H., Labhilili M., Phillips L.A. 2009. Review paper; Mutation discovery for crop improvement. Journal of Experimental Botany 60(10) : 2817-2825. Sanada T, Amano E. 1998. Induced Mutation in Fruit Trees. In Jain S.M., D.S. Brar, B.S. Ahloowalia (eds.). Somaclonal Variation and Induced Mutations in Crop Improvement. Kluwer Academic Publishers. Santos-Diaz, M.S. dan N.Ochoa-Alejo 1994. PEG-toleran cel clones of chilli pepper growth, osmotic potential and solute accumulation. Plant Sell Tissand Org Cult. 37:1-8.
J. Floratek 11 (1): 66-74 Tah PR. 2006. Studies on gamma ray induced mutations in Mungbean [Vigna radiata (L.) Wilczek]. Asian Journal of Plant Science 5(1):61-70. Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding, Theory and Practical Application. The United Kingdom: The Press Syndicate of the Univ. of Cambridge. 243p, 353 p. Jusuf M. 2004. Metode Eksplorasi, Inventarisasi, Evaluasi dan Konservasi Plasmanutfah, Pusat Penelitian Bikoteknologi IPB. Bogor. http:/ www.papua.go.id/bkp bapedalda/index.htm [15 Juli 2007].
74