BAB 1 PENDAHULUAN
Inovasi organisasi sangat memerlukan dukungan budaya yang serupa artinya budaya yang mendukung inovasi. Budaya yang
mendorong
eksperimentasi,
mendukung
baik
keberhasilan maupun kegagalan. Sayang, dalam banyak perusahaan, orang diakui untuk tidak adanya kegagalan dan bukannya hadirnya kesuksesan (Damanpour, 1991:557). Kultur yang terbuka terhadap inovasi di semua tingkat sangat mungkin mengidentifikasi dan mengimplementasikan inovasi proses dalam frekuensi yang lebih tinggi (Davenport, 1995:112; Schermerhorn, 1996:132). Budaya organisasi sering diartikan sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dan organisasi-organisasi lain (Schein, 1985:168). Dengan demikian, dalam suatu budaya organisasi yang kuat, nilai inti organisasi itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai itu, makin kuat budaya tersebut. Konsisten dengan hal tersebut maka budaya yang kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku anggotaanggotanya
karena
tingginya
tingkat
kebersamaan
dan
intensitas menciptakan suatu iklim internal dan kendali perilaku 1
yang tinggi. Kebulatan maksud semacam itu akan membina kekohesifan, kesetiaan dan komitmen organisasi. Walaupun diyakini secara luas dewasa ini bahwa budaya yang kuat menciptakan kinerja unggul namun Kotter dan Heskett
memberi
perusahaan
catatan
dengan
atas
budaya
teon
yang
tersebut.
kuat,
para
Dalam manajer
cenderung berbaris secara penuh semangat dengan arah yang sama
dengan
cara
yang
terkoordinasi
secara
baik.
Kebersamaan, motivasi dan kontrol dapat membantu kinerja, tetapi hanya jika tindakan yang berhasil itu cocok dengan strategi bisnis yang pintar untuk lingkungan khusus tempat sebuah perusahaan beroperasi (Kotter dan Heskett,1997:157). Kinerja tak akan meningkat jika perilaku dan metode yang umum dalam melakukan bisnis tidak cocok dengan kebutuhan sebuah produk perusahaan atau pasarjasa, pasar keuangan dan pasar tenaga keqa. Budaya yang kuat dengan praktik yang tidak cocok dengan konteks perusahaan sesungguhnya dapat mengakibatkan orang pandai untuk berperilaku destruktif --yang secara
sistematis
menghancurkan
sebuah
kemampuan
organisasi untuk hidup dan berhasil baik--. Lebih jauh lagi Kotter dan Heskett menunjukkan bahwa budaya yang tepat secara kontekstual dan strategis tidak akan mempromosikan kinerja yang unggul selama periode-periode yang
panjang
mengandung
kecuali
norma
dan
kalau nilai
budaya-budaya yang
dapat
tersebut membantu
perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang 2
berubah. Tentang budaya organisasi adaptif dan tidak adaptif simak tabel berikut (Kotter dan Heskett, 1997:159):
Tabel 1.1 BUDAYA PERUSAHAAN ADAPTIF LAWAN TIDAK ADAPTIF Budaya Perusahaan Adaptif Kebanyakan manajer sangat mempedulikan pelanggan, pemegang saham dan karyawan. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya manajemen naik dan turun pada hierarkhi)
Nilai Dasar
Budaya Perusahaan Tidak Adaptif Kebanyakan manajemen sangat mempedulikan din mereka sendiri, kelompok kerja mereka yang paling dekat, atau suatu produk (atau teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menghargai proses manajemen yang teratur dan mengurangi resiko lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan. Para manajer cenderung berpenilaku agak picik, politis dan birokratis. Akibatnya mereka tidak cepat mengubah strateginya untuk menyesuaikan dengan atau mengambil keuntungan dan perubahan di dalam lingkungan bisnis mereka.
Perilaku Para manajer memberi yang perhatian yang cermat umum terhadap konstituensi mereka, khususnya pelanggan dan memulai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mutlak mereka, bahkan kalaupun menuntut beberapa pengambilan resiko. Sumber: John P. Kotter, James L. Heskett, (1997:159), Corporate Culture and Performance: Dampak Budaya perusahaan terhadap Kinerja, terjemahan, PT. Prenhallindo, Jakarta.
Hasil
riset
Kotter
dan
Heskett
tersebut,
dapat
didayagunakan untuk menegaskan suatu skenario bahwa pengaruh
budaya
yang
kuat 3
tidaklah
secara
otomatis
meningkatkan kinerja organisasi. Dibutuhkan suatu „kecocokan‟ antara
nilai-nilai
dominan
dalam
orgamsasi
dengan
lingkungannya, sementara lingkungan itu sendiri kini semakin dinamis --penuh dengan perubahan-perubahan yang terus berlangsung- maka dalam jangka panjang „kecocokan‟ itu seridiri tidaklah cukup untuk memenuhi tuntutan perubahan. Diperlukan tidak saja budava yang kuat dan „cocok‟ dengan konteks
lingkungannya
mengandung
norma
namun
dan
nilai
budaya yang
tersebut dapat
harus
membantu
perusahaan menyesuaikan din dengan lingkungan yang selalu berubah. Dalam kerangka ini dapat dikemukakan bahwa budaya organisasi tidak secara Iangsung nieningkatkan kinerja, budaya organisasi akan fungsional jika mendorong dan mendukung terjadinya inovasi organisasi. Inovasi organisasi dilakukan sebagai suatu refleksi kebutuhan dan upaya perusahaan untuk adaptif terhadap tuntutan perubahan yang terus terjadi. Inovasi organisasi yang efektif akan mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh Gault dan Jaccaci (1996:9-14) bahwa perusahaan yang sukses harus menciptakan pembelajaran (learning) nilai yang kreatif yang bisa menghubungkan inovasi di satu sisi dan provitabilitas di sisi yang lain. Hal itu sejalan dengan pendapat Robbins yang mengingatkan aspek budaya yang secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat, pada keefektifan suatu organisasi. OIeh sebab itu, kritik budaya sebagai beban 4
lebih banyak diartikan dalam konteks budaya tersebut menjadi penghalang
terhadap
perubahan,
penghalang
terhadap
keanekaragaman serta penghalang terhadap merjer dan pencaplokan (1996:295). Namun demikian ada beberapa studi yang menunjukan hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja organisasional (Wilkins and Ouchi, 1983:468; Gordon, 1985:13; Deshpande et al., 1993:57). Riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer yang secara
bersama-sama menangkap hakikat dan
budaya suatu organisasi yaitu:(O‟Reilly et al.,1991:487-516; Chatman and Jehn, 1994: 522-553). 1. Inovasi
dan
pengambilan
risiko.
Sejauh
mana
para
karyawan didorong untuk inovatif dan menambil risiko. 2. Perhatian
ke
rincian.
Sejauh
mana
pam
karyawan
diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis dan perhatian kepada rincian. 3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus path hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu. 5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu. 6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. 5
7. Kemantapan.
Sejauh
mana
kegiatan
organisasi
menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dan pertumbuhan. Sementara itu Betts dan HalfhiIl (Robbins, 1990:480) menyatakan bahwa karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya organisasi adalah: 1. Inisiatif individual. Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dipunyai individu. 2. Toleransi tethadap tindakan berisiko. Sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan mengambil risiko. 3. Arah.
Sejauh
mana
organisasi
tersebut
menciptakan
dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi. 4. Integrasi. Tingkat sejauh mana unit-unit dalam orgamsasi didorong untuk bekerja dengan cara terkoordinasi. 5. Dukungan dan manajemea Tingkat sejauh mana pam manajer memben komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka. 6. Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan Iangsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai. 7. Identitas.
Tingkat
mengidentifikasi
sejauh
dirinya
mana
secara
para
keseluruhan
anggota dengan
organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional.
6
8. Sistem imbalam Tingkat sejauh mana alokasi imbalan (misal, kenaikan gaji, promosi) didasarkan alas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dan senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya. 9. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. 10. Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hirarkhi kewenangan formal. Tiap kharakteristik ini berlangsung pada suatu kontinum dan rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi inti berdasarkan
karakteristik-karakteristik
mi
akan
diperoleh
gambaran majemuk dan budaya organisasi yaitu dan yang paling konservatif hingga paling inovatif. Dalam hal ini Sonnenfeld mengenali empat tipe buthya yaitu akademi, kelab, tim bisbol dan benteng (Hymowitz, 1989:1). Studi Ekvall (1993:17) menunjukkan adanya hubungan antara budaya organisasi
dengan
inovasi
organisasi.
Artinya
budaya
organisasi yang mendukung perubahan akan memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan inovasi organisasi. Dengan demikian, pengaruh budaya organisasi yang kuat terhadap keefektifan organisasi mensyaratkan bahwa budaya, strategi, lingkungan dan teknologi sebuah organisasi bersatu. Makin kuat budaya suatu organisasi, makin penting bahwa
budaya
tersebut
cocok
dengan
variabel-variabel
tersebut (Arogyaswamy dan Byles,dalam Cohen,1994:1127
127). Kerangka ini sekali lagi untuk menegaskan bahwa budaya organisasi yang kuat dan cocok dengan strategi yaitu inovasi organisasi --yang merupakan refleksi dan upaya adaptasi terhadap lingkungan yang makin dinamis-- akan mampu meningkatkan kinerja organisasi. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan Budaya organisasi adalah sistem pengertian dan nilai-nilai dominan yang diterima secara bersama oleh anggota organisasi. Budaya organisasi dapat diindikasikan oleh beberapa faktor,
berdasarkan
kajian
literatur
dan basil
penelitian
terdahulu, antara lain terdiri dari: a. O‟Reilly llI et al. (1991:487-516), Chatman and Jehn (1994:522-553), budaya organisasi diukur dari: inovasi dan pengambilan resiko, perhatian ke rincian, onientasi hasil, onientasi orang, onientasi tim, keagresifan, kemantapan. b. Betts and Halfhill (1990:480), budaya organisasi diukur dari: inisiatif individual, toleransi terhadap tindakan berisiko, kejelasan arah, integrasi, dukungan dan manajemen, kontrol, tingkat identitas, system imbalan, toleransi terhadap konflik, pola-pola komunikasi. c. Muluk (1999:37-39), budaya organisasi diukur dari: asumsi keterkaitan lingkungan organisasi, asumsi hakikat realitas dan kebenaran, asumsi hakikat sifat manusia, asumsi hakikat aktivitas manusia, asumsi hakikat hubungan antar manusia.
8
d. Kotter dan Hesskett (1997:176), budaya organisasi diukur dari: sejauh mana para manajer menggunakan cara dalam melakukan sesuatu, sejauh mana perusahaan melakukan usaha
yang
serius
untuk
mendorong
para
manajer
mengikuti mereka, sejauh mana perusahaan telah dikelola menurut kebijakan dan praktik jangka panjang. e. Anggraini (1995:81-91), budaya organisasi diukur dari: asas tujuan, keakraban, empirik, prestasi, integritas, consensus, keunggulan, kesatuan. f. Hofstede
(1980:67),
individualism
budaya
collectivism,
organisasi
power
distance,
diukur
dan:
uncertainty
avoidance, masculinity-femininity. g. Iverson and Deery (1997:71-82), budaya organisasi diukur dari: job search behavior, job opportunity, organizational commitment,
unity
loyalty,
job
satisfaction,
career
development, routinization, promotional opportunity, role conflict, negative affectivity. lstilah budaya mula-mula datang dan antropologi sosial (Taylor, 1993:161), sedangkan menurut Hofstede (1994:4-5) budaya didefinisikan sebagai: ―the whole thinking model, feeling and action of a social community that differ to the other social community.‖ (keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dan suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain).
9
Hal senada diungkapkan juga oleh Kilmann et al. (1985) yang mendefinisikan budaya sebagai: ―culture as philosophy, idelogy, values, impression, belief, hope, attitude and norm owned by a community.‖ (Budaya sebaga falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat). Tidak jauh berbeda disampaikan oleh AIMS Consultants (2004) yang menyatakan: ―Culture as a set of value, guideline, trust, understanding, norm, philosophy, ethic, and point of view.‖ (Budaya sebagai satu set nilai, penuntun, kepercayaan, pengertian, norma, falsafah, etika, dan cara pandang). Dalam kaitan semua itu, agar benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilainilai serta perilaku nyata dari suatu kelompok, perlulah diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir dan merasakan. Asumsi seperti itu dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari, yang bermula sebagai
nilai-nilai
yang
didukung,
namun
ketika
nilai
menyebabkan pertlaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai tersebut ditransformasikan menjadi
asumsi
dasar
tentang
bagaimana
sesuatu
itu
sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak apakah nilai-nilai tersebut rnasih 10
diperdebatkan atau tidak. Mengena hal tersebut, Schein (1996:16-17) menyatakan: ―If the values is still being debated and accepted as what it is, so that its called by assumption, however if its still open characteristic and able to be debated so that the term of value is more suitable.‖ (Bila nilai tersebut masth diperdebatkan dan diterirna apa adanya, maka ia disebut sebagai asurnsi, namun bila rnasih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai). Pengertian
tersebut
menunjukkan
bahwa
dalarn
mernandang budaya, dapat ditinjau dan berbagai segi. Hal ini diperjelas lagi oleh pandangan Hostede (1980) yang rneninjau dan sisi yang lain, di mana dia menyatakan bahwa budaya di tingkat nasional (national culture) dibagi ke dalam 4 dimensi, yakni
jarak
ketidakpastian
kekuasaan
(power
(uncertainty
distance),
avoidance),
penghindaran individu-kolektif
(individualism-collectivism), dan maskuIin-feminin (masculinityfeminity). Sedangkan budava perusahaan lingkupnya lebih kecil, yang menurut Robbins dan Coulter (1999:282-295) dinyatakan: “Sebagai suatu sistern makna bersama yang dianut oleh angota
organisasi,
yang
membedakan
organisasi
tersebut dengan organisasi yang lain. Makna itu mewakili suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi tersebut. Sama halnya dengan budaya suatu 11
suku yang memiliki beberapa aturan dan larangan yang menentukan bagairnana para anggota akan bertindak terhadap yang lain dan terhadap orang luar, organisasi juga memiliki budaya yang menentukan bagaimana anggotanya harus berperilaku.” Dari pendapat tersebut, Robbins dan Coulter lebih menekankan bahwa budaya organisasi hampu mirip dengan peraturan
yang ada dalam suatu
organisasi, di
mana
anggotanya harus mentaati peraturan tersebut. Kaitan dengan pewarisan
pengetahuan
ditekankan
oleh
Deal
terhadap dan
generasi
Kennedy
berikutnya
(1982:4)
yang
mendefinisikan budaya organisasi sebagai: ―the integrated pattern of human behavior that includes thought, speech, action, and artifacts and depend on man‘s capacity for learning and transmitting knowledge to succeeding generations.‖ (Perilaku terpadu yang dianut oleh setiap manusia yang meliputi pemikiran, perkataan, perbuatan, dan aspek-aspek budaya dan bergantung kepada kapasitas manusia dalam mempelajari dan mewariskan pengetahuan kepada generasi penerusnya). Pernyataan di atas menyiratkan bahwa aspek budaya organisasi sangat tergantung dan kapasitas manusia yang ada untuk mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya. Lebih jauh Schein (1996:5-9) menyatakan budaya organisasi sebagai: 12
―a pattern of shared basic assumption that the group learned as it solves its problems of external integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be thought to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems.‖ (Beberapa asumsi mendasar yang dianut kelompok tertentu
guna
memecahkan
permasalahannya
mengenai
integrasi internal yang berjalan dengan cukup baik dan dianggap valid, sehingga para anggota organisasi yang baru memiliki cara yang paling tepat dalam mempersepsikan, berpikir
dan
merasakan
masalah
yang
dihadapi
oleh
organisasi). Pendapat Schein di atas Iebih menekankan kepada anggota baru yang ada dalam organisasi, dan kaitannya dengan
pemecahan
masalah
yang
dialami
oleh
suatu
organisasi dengan adanua budaya organisasi. Hal senada dikemukakan juga oleh Gibson et al. (1995:64-108) yang menyatakan bahwa: “Budaya
organisasi
mengandung
bauran
nilai,
kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku anggota suatu organisasi.” Budaya perusahaan mempengaruhi manusia bertindak di dalam perusahaan seperti bagaimana mereka bekerja, memandang pekerjaan mereka, bekerja bersama rekan kerja
13
dan memandang masa depan. Sementara itu, Susanto (1997:3) mendefinisikan budaya organisasi sebagai nilal-nilal yang menjadi pegangan sumberdaya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan juga perilakukanya di dalam organisasi. Steers
(1987:56)
mengkaitkan
budaya
organisasi
dengan ciri atau sifat yang dirasakan dalam lingkungan kerja dan
timbul
karena adanya
kegiatan organisasi
dengan
menyatakan: ―Organization
culture
will reflect
characteristics or
character which can be felt in working environment and raise by organization activity, that being done either by awareness or not, and considered to
influence
behavior, so that culture in the organization can be pointed as the organization personality.‖ (Budaya organisasi akan mencerminkan sifat atau ciri yang dirasakan terdapat dalam lingkungan kerja dan timbul karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan dianggap mempengaruhi perilaku, sehingga budaya yang
ada
pada
perusahaan
dapat
dipandang
sebagai
kepribadian organisasi). Pernyataan di atas memberi pengertian yang jelas bahwa budaya organisasi tak beda dengan kepribadian organisasi, yang secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi perilaku orang yang ada di dalamnya. Hingga mendekati tahun 1980-an beberapa orang konsuitan dan peneliti manajemen menemukan
bahwa
budaya 14
organisasi
juga
merupakan
instrumen lain untuk mengawasi aspek non-rasional perilaku karyawan (Peters dan Waterman, 1982:98). Sedangkan Rusaw (2000:249-250) menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai: ―a systematic set of norms, beliefs, and attitudes that people accept unquestionably as guides for eve,yday thinking and behavior.‖ (Satu set yang sistematik tentang norma, kepercayaan dan sikap yang diterima dan tak perlu dipertanayakan sebagai petunjuk berpikir dan berperilaku setiap harinya). Jauh sebelumnya Ouchi (1980) menyatakan budaya perusahaan adalah alat penting untuk menciptakan hubungan kerja yang harmonis di antara anggota organisasi dalam bentuk perasaan pada nilai dan keyakinan umum yang sama sehingga dapat
menghilangkan
kemungkinan
peraku
oporturistik.
Selanjutnya Ouchi (1980) menyatakan lagi: ―Corporate culture is important, because, when the transaction
cost
is
complex
and
ambiguous
for
organizations, a set of common values and beliefs is needed as a regulatory mechanism.‖ (Budaya organisasi adalah penting, karena biamana biaya transaksi adalah rumit dan mendua untuk organisasi, maka sekumpulan nilai dan kepercayaan yang dianut secara bersama
dibutuhkan
sebagai
mengatur).
15
suatu
mekanisme
yang
Pernyataan itu didukung lagi oleh pendapat Peters and Waterman (1982:106) yang menyatakan: ―Culture and shared values are important in unifying the social dimension of an organization.‖ (Budaya dan nilai-nilai bersama adalah penting dalam menyatukan dimensi sosial suatu organisasi). Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi sebagai suatu mekanisme yang mengatur dan juga merupkan dimensi sosial suatu organisasi. Sedangkan Martin dan Frost (1999) mengibaratkan antusiasisme di antara anggota organisasi tersebut akan mempengaruhi perilaku kerja Iayaknya seperti efek domino, yaitu akan berakibat pada komitmen yang Iebih tinggi, produktivitas yang Iebih besar dan pada akhirnya keuntungan yang lebih banyak. Sedangkan Deal dan Kennedy (1982) menyebutkan ada 5 elemen yang mampu membuat suatu budaya dalam suatu organisasi menjadi demikian kuat, yaitu lingkungan bisnis, nilai-nilai, kepahlawanan, ritus dan ritual, serta jaringan budaya. Dikatakannya, budaya yang kuat akan mampu menjadi penuntun tingkah laku karyawan melalui 2 cara, yakni: a. budaya yang kuat merupakan suatu sistem dan aturan
informal
yang
menjelaskan
atau
menunjukkan
bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kesehariannya di organisasi; dan b. budaya yang kuat memungkinkan para karyawan menjadi sangat memahami apa yang mereka kerjakan, dan mereka akan memerlukannya dengan lebih giat 16
atau lebih keras. Hal itu dipertegas lagi oleh Nimran (1999:140) yang menyatakan: „Budaya perusahaan dapat berperan dalam menciptakan jati diri, mengembangkan keikatan pribadi dengan perusahaan, dan menyajikan pedoman perilaku kerja karyawan”. Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai, keyakinankeyakinan, kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku bersama dan seluruh anggota suatu organisasi yang mempengaruhi perilaku kerja
para
anggotanya
dalam
aktivitas
keseharian
di
organisasinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut pendapat Hofstede (1994:181) dinyatakan: ―Between national culture and organization culture there is an identical phenomenon. The difference of those reflected in the culture manifestation into some values and practice of an organization. The difference of organizational culture furthermore can be analized at the level of organization unit or sub-unit‖ (Antara budaya nasional dengan budaya organisasional merupakan fenomena yang identik. Perbedaan keduanya tercermin dalam manifestasi budaya ke dalam beberapa nilai dan praktek suatu organisasi). Hal itu berarti adaya kesamaan antara lingkungan makro dan mikro suatu organisasi, yang membedakannnya hanyalah seberapa jauh dimensi budaya nasional diimplementasikan 17
dalam lingkup mikro organisasi. Pendapat Hofstede tersebut dijelaskan lagi oleh Gordon (1991:46) yang menyatakan perbedaan budaya organisasiona selanjutnya dapat dianalisis pada
tingkat
unit
organisasi
atau
sub-unit
organisasi.
Sedangkan Hood dan Koberg (1991) menyatakan tipe budaya suatu
perusahaan
dapat
juga
bervariasi
antara
divisi,
departemen atau bagtan yang satu dengan yang lain. Dari beberapa pendapat tersebut tampaknya budaya organisasi dapat ditinjau dan berbagai segi dan tingkatan, tergantung dari mana akan dianalisis. Dalam literatur perilaku organisasi definisi mengenai budaya organisasi telah diajukan oleh Deshpande dan Webster (1989) sebagai pola nilai dan keyakinan bersama yang membantu orang memahami fungsi organisasi dan memben mereka norma-norma bagi perilaku dalam organisasi. Kilmann et al. (1985) mendefinisikan budaya organisasi sebagai „filosofi, ideologi, nilai, asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan norma bersama
yang
menyatukan
sebuah
organisasi.
Budaya
organisasional mempengaruhi cara pikir orang secara sadar dan tidak sadar, membuat keputusan dan cara yang mereka gunakan dalam menerima, merasakan dan bertindak (Schein, 1990). Budaya organisasi merupakan salah satu faktor kontekstual yang berpotensi untuk mempengaruhi prosesproses kelompok (Williams dan O‟Reilly 1998). Oleh karena budaya organisasi merupakan sebuah sistem kendali sosial yang membentuk perilaku individu (O‟Reilly dan Chatman 18
1996), maka budaya organisasional tentunya akan membawa dampak yang signifikan terhadap fungsi dan berbagal kelompok yang berbeda-beda (Chuang et al., 2004). Peran penting dan budaya korporat atau budaya organisasi pada industn, sekarang semakin besar, belum ada konsensus tentang apa yang dimaksud dengan istilah budaya organisasi itu sendiri. Namun sudah ada beberapa kesamaan yang tumpang tindih (overlap) mengenai elemen-elemen utama dan
dimensi-dimensi
apa
yang
ada
di
dalam budaya
organisasional itu, termasuk di antaranya kesamaan makna, norma, nilai dan keyakinan (Denison, 1996). Budaya setidaknya memiliki empat peranan penting di dalam organisasi yaitu, sebagai bentuk identitas kolektif, norma-norma, kerja sama dan sebagai struktur dan pengendali (Tepeci, 2001). Dari keempat indikasi peran tersebut dapat artikan bahwa, pertama, budaya adalah sebuah identitas kolektif yang membantu anggota-anggota organisasi untuk menjadikan kebijakan dan misi organisasi sebagai kebijakan dan misi mereka sendiri, dan membantu mereka untuk merasa menjadi bagian dan organisasi itu (Hofstede, 1998; Peters dan Waterman 1982). Kedua, budaya organisasional merupakan norma-norma yang menentukan perilaku mana yang dapat ditenma dan mana yang tidak dapat ditenma sehingga membuat jelas bagi para pegawai tentang apa yang harus mereka katakan atau lakukan di dalam situasi tertentu (Schein 19
1990). Ketiga, norma-norma ini membantu pegawai untuk bekerja secara bersama-sama di dalam memenuhi kebutuhan konsumen dan untuk merespon tekanan dari luar (Schneider dan Bowen, 1995). Keempat, budaya berperan sebagai struktur dan pengendali sehingga struktur dan kendali itu tidak perlu dicapai dengan gaya manajemen otoriter yang bisa mengurangi motivasi dan kreatifitas (O‟Reilly dan Chatman 1996). Menurut Applebaum et al. (2004), budaya sebuah organisasi terdin dan aspek-aspek organisasi yang memberikan suasana tertentu organisasi itu. Budaya dan sebuah organisasi dapat diumpamakan kepribadian dan seseorang individu. Budaya adalah konstelasi (kumpulan) keyakinan, nllai, gaya bekerja dan hubungan yang membedakan organisasi yang satu dan yang lain. Para pegawai membentuk persepsi subyektif secara umum terhadap organisasi berdasarkan faktor-faktor seperti tingkat toleransi resiko, penekanan tim dan dukungan yang diberikan tertiadap orang. Persepsi umum ini kemudian akan menjadi budaya atau kepribadian dan organisasi. Persepsi ini bisa bemada positif atau negatif dan selanjutnya akan mempengaruhi kinerja pegawai dan kepuasan pegawai dimana dampak dan persepsi ini akan makin kuat sejalan dengan makin kuatnya budaya yang beriaku di organisasi itu. Menurut Rashid et al. (2004), penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya
mengenal
budaya
korporat
memfokuskan perhatiannya pada hubungan antara budaya korporat dengan kinerja. 20
Budaya organisasi merupakan struktur dalam dan sebuah organisasi, dan budaya organisasi berakar pada nilai, keyakinan dan asumsi yang dianut oleh anggota-anggota organisasional. Sebuah sistem nilai organisasional (atau budaya organisasional) dikatakan ada jika: 1. individu tahu bahwa kelompok memberikan dukungan terhadap keyakinan / nilai tertentu, 2. sebagian besar anggota yang aktif dalam organisasi saling sepakat satu sama lain, dan 3. nilai-nilai inti dari
sebuah
organisasi
dipertahankan
dengan
kuat
di
keseluruhan organisasi. Selama kriteria-kriteria ini dipenuhi, maka budaya akan menjadi unit analisa yang relevan dan penting (Chatman, 1991). Nilai-nilai yang dianut anggota organisasi sangat menentukan fungsi organisasi sebab nilainilai itu akan mempertahankan keutuhan organisasi sebagai satu unit dan memberikan identitas yang khas kepada organisasi. Kaum “personalogis” yang menekankan bahwa perilaku seorang individu dipengaruhi karakteristik kepribadian individu itu sendiri, seperti nilai, keyakinan dan ciri kepribadian individu itu. Sesuai dengan temuan-temuan dan penelitianpenelitian
sebelumnya,
dapat
didefinisikan
budaya
organisasional sebagai pola dan nilai-nilai yang dianut anggota organisasi yang mendefinisikan perilaku dan sikap apa yang pantas / tepat untuk dilakukan dan untuk menentukan apa yang penting bagi anggota-anggota organisasi (Hofstede 1998; O‟Reilly dan Chatman 1996). Nilai dan keyakinan adalah
21
etemen-elemen
utama
di
dalam konseptualisasi budaya
organisasional (O‟Reilly et al., 1991). Nilai adalah aspek yang memiliki pengaruh yang mendasar dan bertahan lama bagi orang maupun bagi organisasi. Karena nilai adalah sesuatu yang sama-sama ada di dalam budaya organisasional dan kepribadian individu, maka nilai biasanya digunakan sebagai ukuran bagi individu di dalam penelitian
terhadap
kecocokan
antara
pribadi
dengan
organisasi (Chatman, 1991). Organisasi tidak meyakini nilai tersendiri yang terlepas dan nilai-nilai yang diyakini oleh anggota-anggotanya (Tepeci, 2001). Chuang et al. (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat dikatakan sebagai karakteristik
dan
sebuah
organisasi
bukan
merupakan
karakteristik dan individu. Kecocokan antara pribadi dengan organisasi (P-O) telah didefinisikan dan dikonseptualisasikan dalam empat cara (Knstof
1996),
congruence),
yaitu
sebagai
keselarasan
keselarasan
tujuan
(goal
nilai
(value
congruence),
keselarasan antara kebutuhan dan pilihan pegawai dengan penguat (reinforcer) yang tersedia dalam lingkungan kerja serta sebagai keselarasan antara kepribadian dan individu dengan budaya organisasional. Para peneliti selama ini lebih banyak menggunakan keselarasan nilai sebagai operasionalisasi dad kecocokan antara pribadi dengan organisasi sebab: 1. nilai adalah karakteristik yang mendasar dan bertahan lama dad individu maupun organisasi (Chatman 1991), dan 2. karena 22
nilai dapat memprediksikan berbagai hasil-hasil individual termasuk kepuasan dan niatan perilaku (Meglino et al., 1992). Ketika
organisasi
mengedepankan
sejumlah
nilai
tertentu, seperti rasa hormat terhadap orang dan ganjaran yang besar bagi kinerja yang tinggi, maka dari nilai-nilai itu akan tercipta energi sosial atau motivasi yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai (Tepeci, 2001). Sebagai contoh, Sommer, et al. (1996) mendapati bahwa pegawai yang mempersepsi bahwa organisasi mereka memiliki keakraban (warmth) yang besar, dukungan yang besar, pembagian tanggung jawab dan ganjaran yang besar akan memiliki komitmen organisasional yang lebih besar. Shendan (1992) mendapati bahwa perusahaan-perusahaan yang menekankan nilai-nilai hubungan interpersonal (antar pribadi) akan lebih berhasil di dalam mempertahankan pegawai-pegawainya jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tebih menekankan nilai-nilai tugas. Ada beberapa sumber yang telah menyajikan justifikasi / pembenaran teoritis dan bukti empins bahwa kecocokan P-O menghasilkan efek positif Schneider (1987) berpendapat bahwa individu biasanya merasa tertank dan merasa akrab dengan organisasi-organisasi yang memiliki karakteristik yang mirip dengan karakteristik mereka. Chatman (1989) berpendapat bahwa individu yang memiliki kecocokan dengan organisasi dalam hal nilai akan besar kemungkinannya untuk merasa puas dan untuk menjadi kompeten dan bertahan lama di dalam 23
perusahaan. Meglino et al. (1989) berpendapat bahwa individu yang menganut nilai dan keyakinan yang mirip dengan nilainilai organisasi akan bennteraksi secara lebih efisien dengan sistem
nilai
organisasi
ketidakpastian
dan
mereka,
konflik,
sehingga
dan
ini
mengurangi
pada
gilirannya
meningkatkan kepuasan dan komitmen. Fokus dari keselarasan nilai budaya organisasional menurut Chuang dkk (2004) terletak pada tingkat kemiripan nilai antar anggota-anggota organisasi. Keselarasan nilai tidak terkait dengan kandungan / isi dari nilai budaya. Isi dari nilainilai budaya organisasional dan komposisi demografis juga dapat
mempengaruhi
kelompok
yang
tinggi
tingkat
keanekaragamannya dengan berbagai cara. Berdasarkan temuan-temuan dan penelitian teontis yang telah dilakukan terhadap
budaya
organisasional,
O‟Reilly
et
al.
(1991)
mengembangkan Profit Budaya Organisasi (Organizational Culture Profli selanjutnya disebut OCP) yang mengukur tujuh dimensi budaya organisasional, yaitu: inovasi, stabilitas, penghormatan terhadap orang, orientasi pada hasil, perhatian terhadap
rincian,
orientasi
pada
tim
dan
agresifitas
(pembahasan terinci mengenai pengembangan dan taksonomi ini
bisa
dibaca
mengasumsikan dikarakterisasikan
dalam bahwa /
O‟Reilly sebuah
digambarkan
et
al.,
(1991).
OCP
organisasi
hanya
dapat
berdasarkan
nilai-nilai
budayanya dengan menggunakan profit dan tujuh dimensi ini saja (dan tidak bisa dengan cara lain) (Chatman dan Jehn, 24
1994). Konsistensi dari respon-respon anggota organisasional terhadap OCP adalah ukuran bagi keselarasan dan kekuatan dan budaya organisasional dalam sebuah organisasi. Ke tujuh dimensi itu adalah: 1. lnovasi: dimensi ini mencakup nilai-nilai dan inovasi, keterbukaan terhadap peluang baru, mengambil resiko, kesediaan bereksperimen, kurangnya kehati-hatian dan kurangnya orientasi terhadap aturan. 2. Stabilitas: dimensi ini mencakup orientasi pada aturan, menghargai rasa aman dan stabilitas. 3. Perhatian terhadap rincian: dimensi ini berisi nilai-nilai khusus berupa bekerja secara presisi / tepat dan berpikir analitis. 4. Hormat pada orang: dimensi ini mencakup nilai-nilai berupa penekanan pada keadilan, hormat pada orang dan bersikap toleran 5. Orientasi pada tim: dimensi ini mencakup nilai-nilai berupa orientasi pada orang, kerjasama (kolaboratif) dan orientasi pada tim. 6. Oner,tasi pada hasil: dimensi ini mencakup nilai-nilai seperti berorientasi pada pencapaian, berorientasi pada tindakan dan berorientasi pada hasil. 7. Agresifitas: dimensi ini mencakup nilai-nilai seperti ini memiliki tingkat persaingan yang tinggi dan tingkat tanggung jawab sosial yang rendah. (Robbins, dalam Applebaum et al. 2004 ). 25
Rousseau (1990) berpendapat bahwa ke tujuh dimensi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang lebih luas: 1. Penyelesaian tugas kerja (inovasi, stabilitas dan perhatian terhadap rincian) 2. Hubungan interpersonal (orientasi pada tim dan hormat pada orang) 3. Perilaku individu (orientasi pada basil dan agresifitas) Organizational Culture Profit (OCP) memiliki bidang pembahasan yang paling luas dibandingkan dengan instrumen yang lain, sehingga untuk penelitian OCP dirasakan sebagai instrumen yang paling mampu menangkap elemenelemen budaya dan industri dan dimensi-dimensinya telah dieksplorasi di dalam penelitian-penelitian sebetumnya. OCP juga telah terbukti memiliki validitas konstruk, yaltu terbukti memiliki dimensi-dimensi
faktor yang stabil di berbagai sampel,
termasuk di dalam sampel yang terdiri dan akuntan (Chatman 1991; O‟Reilly et al. 1991), pegawai industri jasa (Chatman dan Jehn, 1994), pegawai pemerintah (O‟Reilly et al., 1991). O‟Reilly et al. (1991) dalam
penelitian terhadap
hasil dan kecocokan P-O mendapati adanya korelasi positif antara kecocokan P-O dengan kepuasan dan komitmen, serta adanya hubungan negatif antara kecocokan P-C dengan niatan keluar dan tingkat perpindahan (tumove,) aktual. Vandenberghe (1999) mendapati bahwa pegawai-pegawai yang baru diterima yang memiliki profil nilai yang mirip dengan organisasi tempat 26
mereka bekerja memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bertahan di dalam organisasi selama masa-masa awal dan masa kerja mereka. Ringkasan mengenai temuan empiris yang dibuat Kristof (1996) memberikan dukungan tertiadap adanya efek positif dan kecocokan P-O terhadap kepuasan pegawai, komitmen organisasional, perilaku di luar peran formal (extra role), kinerja. stress dan niatan perilaku pegawai serta perpindahan pegawai. Tapi, sekalipun sudah ada beberapa penelitian yang telah meneliti kecocokan P-O, hanya penelitian dan Chatman (1991) saja yang telah meneliti apakah kecocokan P-O dapat menjelaskan variansi pada hasil-hasil indMdual secara Iebih besar daripada yang dapat dijelaskan oteh karakteristik individu dan oleh karakteristik organisasional. Chatman mendapati bahwa kecocokan P-O ternyata memiliki kemampuan yang lebih besar untuk memprediksikan kepuasan, komitmen, niatan pindah dan lama masa kerja daripada karakteristik pribadi atau karakteristik situasional maupun danpada
gabungan
antara
karakteristik
pribadi
dengan
karakteristik situasional. Menurut Tepeci (2001) Sekalipun kecocokan P-O pada umumnya telah didapat menimbulkan dampak yang positif, namun Schneider dan Bowen. (1995) mempenngatkan bahwa kecocokan P-C yang tinggi berpotensi untuk menimbulkan homogenitas/keseragaman
dalam
organisasi
yang
bisa
menimbulkan masalah tersendiri. Level kecocokan P-O yang tinggi pada anggota-anggota organisasi bisa menghasitkan 27
kepuasan yang lebih besar, komitmen yang lebih besar dan konflik yang Iebih sedikit, namun kecocokan P-C yang terlalu tinggi
bisa
menimbulkan
konformitas
(kepatuhan
yang
berlebihan) dan menghambat inovasi. Schneider (1987). berpendapat bahwa homogenitas bisa membawa dampak yang positif pada masa-masa awal dan sejarah sebuah organisasi karena homogenitas itu akan meningkatkan koordinasi dan komunikasi, tapi jika homogenitas itu bertahan terus, maka akan menimbulkan infleksibilitas (kekakuan) dan penolakan terhaclap perubahan. Maka memilih pelamar kerja yang memiliki kecocokan P-C tinggi belum tentu akan membawa dampak yang baik bagi organisasi yang berada dalam
lingkungan
yang
mengalami
perubahan
cepat.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan secara lebih akurat hasil-hasil organisasional jangka panjang dan kecocokan P-C. Beberapa organisasional
pendapat bisa
menyatakan
mempengaruhi
bahwa
bagaimana
budaya orang
menetapkan tujuan personal dan profesional, melaksanakan tugas dan menggunakan sumber daya dalam mencapainya (Lok
dan
Crawford,
2004).
Budaya
organisasional
mempengaruhi cara pikir orang secara sadar dan tidak sadar, membuat keputusan dan cara yang mereka gunakan dalam menerima, merasakan dan bertindak (Schein, 1990). Budaya organisasi
bisa
memberikan
28
pengaruh
besar
kepada
organisasi, khususnya pada area-area seperti kinerja dan komitmen (Peters dan Waterman, 1982) Budaya diyakini oleh banyak perusahaan sebagai budaya
yang
akan
berdampak
besar
terhadap
kinerja
perusahaan (Schein, 1992). Masalah perbedaan budaya yang mendalam dapat mempengaruhi bagaimana orang memandang dunia dan mengoperasikan bisnisnya. Budaya mengerjakan sesuatu dan perilaku orang pada suatu negara atau daerah tertentu dikembangkan sepanjang waktu. Budaya, membantu membentuk sense (rasa) dan membentuk identitas manusia (Cascio, 1992:622). Budaya organisasi produktif yang kuat diterapkan pada suatu
organisasi
kreativitas
perusahaan
sumber
diimplementasikan
daya dalam
akan
manusia melakukan
dapat yang
menciptakan ada
pekerjaan
dan yang
ditugaskan, baik secara individu maupun secara kelompok. Seperti yang terjadi pada perusahaan-perusahaan di Jepang, dimana para karyawannya mempunyai budaya disiplin dan malu apabila tidak berprestasi pada perusahaan. Walaupun budaya adalah sesuatu yang sulit ditunjukkan atau diukur, namun dapat dirasakan dan bagaimana orang berbicara, menulis dan bertindak. Dalam perusahaan konsep budaya, sekalipun lebih luas dari philosofi manajemen, ada saling tindih dalam dua hal. Pertama, budaya perusahaan termasuk dalam philosofi manajemen, yang terdiri dan asumsi, keyakinan dan nilai-nilai. Kedua, filosofi manajemen didapati 29
Iebih memberikan efek kepada budaya perusahaan itu sendiri, utamanya disebabkan karena para pekerja sangat kuat dipengaruhi oleh bagaimana manajemen berpikir (French, 1994:88). Dalam studi empirik tentang praktek manajemen pada suatu organisasi perusahaan tentu tidak akan meninggalkan faktor sumber daya manusia yang berhubungan dengan masalah budaya organisasi. Oleh karena itu, studi tentang organisasi dan praktek manajemen dapat dipastikan akan membahas tentang budaya. Budaya
perusahaan
membentuk
cara
bagaimana
pekerja memandang dunia. Disebabkan apa yang dilihat seseorang tergantung dimana ia berdiri, perubahan Iingkungan yang bervariasi diyakini secara berbeda oleh pekerja yang memiliki budaya nasional yang berbeda, budaya profesional, departemen dan subkultur perusahaan yang lain (Fombrun, 1992:185). Inti dari budaya perusahaan muncul dan cara bagaimana perusahaan
melakukan
bisnisnya,
perlakuan
terhadap
pelanggan dan pekerja, otonomi atau kebebasan yang ada dalam kantor, dan derajat kesetiaan yang diekspresikan oleh para pekerjanya terhadap perusahaan. Tidak ada satupun budaya yang terbaik bagi pengembangan sumber daya manusia. Perusahaan MacDonald berbeda dengan apa yang ada dalam Wendys. Budaya dapat kuat dan lemah, dimana 30
perusahaan dengan nilai yang dipegang kuat oleh mayoritas pekerja dikatakan memiliki budaya yang kuat (Ivancevich, 1995:45). Di Jepang, Sony, Honda dan Toyota sering diidentikkan
dengan
perusahaan
yang
berbudaya
kuat,
sedangkan di Amerika Serikat adalah IBM, 3 M dan Merck. Budaya dapat berpengaruh terhadap perilaku, produktivitas dan harapan para pekerja. Ia menyediakan peroman (benchmark) bagi kinerja standar bagi pekerja. Santhe (1985:15) mengemukakan bahwa kekuatan budaya mempengaruhi intensitas perilaku. Budaya dalam organisasi yang ideal adalah budaya kuat. Ada tiga ciri khas budaya kuat yaitu: a. thickness, b. extent of sharing, dan c. clarity is characterized by organization‘s core value being intensively held, clearly ordered, and widely shared‖. Budaya kuat adalah budaya organisasi yang dipegang secara intensif (semakin dasar dan kukuh). Pemimpin yang kuat cenderung untuk mempercepat pengembangan dengan cara membujuk (seducing) pegawal untuk berbagal visi masa depan dan pada akhirnya memobilisasi effort karyawannya. Untuk memberikan gambaran tentang budaya kerja suatu organisasi perusahaan dapat digunakan pengukuran indikator-indikator yang membentuk variabel budaya kerja. Ada 10 (sepuluh) karakteristik utama yang sering digunakan dalam penelitian manajemen yang menunjukkan pentingnya budaya organisasi dalam membentuk budaya kerja pada organisasi
31
perusahaan,
indikator-indikator
yang
digunakan
sebagai
instrumen penelitian meliputi 1. Identitas anggota: suatu derajat (degree) dalam nama anggota mengidentifikasi organisasi sebagai keseluruhan daripada tipe pekerjaannya atau bidang tugas atau keahlian profesional. 2. Penekanan
pada kelompok
(group emphasis):
suatu
derajat (degree) dimana
kegiatan
(work)
disekitar
kelompok
daripada
disekitar individu. 3. Fokus terhadap orang (people focus): suatu derajat (degree) dimana
keputusan
manajemen
diambil
berdasar
pertimbangan terhadap efek keluaran yang berakibat kepada orang didalam organisasi. 4. Integrasi unit suatu derajat (degree) dimana unit-unit dalam organisasi
diberanikan
(encouraged)
untuk beroperasi
dalam koordinasi atau dalam sikap saling tergantung (interdependent manner). 5. Kendali: suatu derajat (degree) dimana aturan (rules), ketentuan
(reguations),
dan
pengawasan
langsung
digunakan untuk mengamati dan mengendalikan perilaku karyawan. 6. Toleransi terhadap risiko suatu derajat (degree) dimana karyawan diberanikan untuk lebih agresif, inovatif dan berani mengambil risiko (risk seeking).
32
7. Kriteria reward: suatu derajat (degree) dimana reward yakni menaikkan gaji dan mempromosikan dialokasikan berdasar kinerja karyawan, daripada berdasar senioritas, favorit, dan faktor non-kinerja lainnya. 8. Toleransi terhadap konflik. Suatu derajat (degree) dimana karyawan diberanikan mengutarakan konflik dan kritik dengan terbuka. 9. Orientasi tujuan akhir (means-end): suatu derajat (degree) dimana manajemen berfokus pada hasil akhir (result) daripada terhadap teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 10. Fokus terhadap sistem yang terbuka: suatu derajat (degree) dimana organisasi memantau dan merespon perubahan yang terjadi di lingkungan luar (external environment). Setiap karakteristik ini terjadi berkelanjutan (continuum). Menilai organisasi berdasarkan referensi pada 10 karakteristik akan menghasilkan gambaran lengkap terhadap budaya organisasi. Gambaran ini akan menjadi dasar memahami pengertian unsur kebersamaan (shared) yang dimiliki anggota terhadap
organisasinya,
bagaimana
segala
sesuatunya
dikerjakan dan cara mana anggota diharapkan berperilaku. Menyadari tidak ada negara yang bisa memberikan jawaban semaunya. Jam kerja yang fleksibel, inovasi yang variatif
tentang
produktivitas
dapat
meningkatkan
pengembangan keluar negeri dan Amerika. Seorang manajer yang efektif harus tidak hanya berpandangan global saja tetapi 33
juga menganalisis pendekatan manajemen untuk bertransaksi pada permasalahan yang dihadapi lebih komplek. Demikian halnya dengan organisasi koperasi yang memiliki ciri berbeda dengan organisasi perusahaan, akan tetapi secara esensialnya adalah sama dalam mengelola aktivitas kompetitif
usahanya dengan
dipenlukan
manajemen
perusahaan
lainnya.
bisnis
yang
Perbedaan
substansinya hanya pada tujuan dan azas yang dipedomani, akan tetapi yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusianya adalah tidak jauh berbeda. Agar koperasi dapat bersaing dengan perusahaan lainnya, maka manajemen koperasi harus mengacu pada manajemen bisnis lainnya yang lebih profesional (Ropke, 1989). lstilah budaya mula-mula datang dan antropologi sosial (Taylor, 1993:161), sedangkan menurut Hofstede (1994:4-5) budaya didefinisikan sebagai: ―The whole thinking model, feeling and action of a sosial community that differ to the other sosial community‖ Artinya keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dan suatu kIompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Hal senada diungkapkan juga oleh Kilmann et al. (1985) yang mendefinisikan budaya sebagai ―Culture as philosophy, idelogy, values, impression, belief, hope, attitude and norm owned by a community.‖
34
Artinya budaya sebagai falsafah, ideology, nilai-nhlai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Tidak jauh berbeda disampaikan oleh AIMS Consultants (2004) yang menyatakan: ―Culture as a set of value, guideline, trust, understanding, norm, philosophy, ethnic, and point of view.‖ Artinya budaya sebagai satu set nilai, penuntun, kepercayaan, pengertian, norma, falsafah, etika, dan cara pandang. Dalam kaitan semua itu, agar benar-benar memahami suatu budaya dan untuk Iebih memastikan secara lengkap nilainilai serta perilaku nyata dan suatu kelompok, perlulah diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak didasari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir dan merasakan. Asumsi seperti itu dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari, yang bermula sebagai
nilai-nilai
yang
didukung,
namun
ketika
nilai
menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai tersebut d itransformasikan menjad i asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Mengenai
hal
tersebut,
menyatakan: 35
Schein
(1996:16-17)
―If the values is still being debated and accepted as what it is, so that its called by assumption, however if its still open characteristic and able to be debated so that the term of vakue is more suitable.‖ Artinya bila nilal tersebut masih diperdebatkan dan diterima apa adanya, maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai. Pengertian
tersebut
menunjukkan
bahwa
dalam
memandang budaya, dapat ditinjau dan berbagal segi. Hal ini diperjelas lagi oleh pandangan Hopstede (1980) yang meninjau dan sisi yang lain, dimana dia menyatakan bahwa budaya di tingkat nasional (national culture) dibagi ke dalam 4 dimensi, yakni
jarak
ketidakpastian
kekuasaan
(power
(uncen‘ainty
distance),
avoidance),
penghindaran individu-kolektif
(individualism-collectivism), dan maskulin-feminin (masculinityfeminity). Sedangkan budaya perusahaan lingkupnya lebih kecil, yang menurut Robbins dan Coulter (1999:282-295) dinyatakan: “Sebagai suatu system makna bersama yang dianut oleh anggota organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Makna itu mawakili suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi tersebut. Sama halnya dengan budaya suatu suku yang memiliki beberapa aturan dan larangan yang menetukan bagaimana para anggota akan bertindak terhadap yang lain dan terhadap orang luar, organisasi juga memiliki budaya yang menetukan bagaimana anggotanya harus berperilaku.” 36
Dari pendapat tersebut, (Robbins dan Coulter, 1996) lebih menekankan bahwa budaya organisasi hampir mirip dengan peraturan yang ada dalam suatu organisasi, di mana anggotanya harus mantaati peraturan tersebut. Kaitan dengan pewarisan
pengetahuan
ditekankan
oleh
Deal
terhadap dan
genersi
Kennedy
berikutnya
(1982:4)
yang
mendefinisikan budaya organisasi sebagai: ―the integrated pattern of human behavior that includes thought, speech, action, and artifacts and depend on man‘s capacity for learning and transmitting knowledge to succeeding generations.‖ Artinya merupakan perilaku terpadu yang dianut oleh setiap manusia yang meliputi pemikiran, perkataan, perbuatan, dan aspek-aspek budaya dan bergantung kepada kapasitas manusia dalam mempelajari dan mewariskan pengetahuan kepada generasi penerusnya. Pernyataan diatas menyiratkan bahwa aspek budaya organisasi sangat tergantung dan kapasitas manusia yang ada untuk mawariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya. Lebih jauh Schein (1996:5-9) menyatakan budaya organisasi sebagai: ―A pattern of shared basic assumption that the group learned as it solves its problems of external integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be thought to new members as the correct
37
way to Derceive. think, and feel in relation to those problems.‖ Dalam hal ini beberapa asumsi mendasar yang dianut kelompok
tertentu
guna
memecahkan
permasalahannya
mengenai integrasi internal yang berjalan dengan cukup baik dan dianggap valid, sehingga para anggota organisasi yang baru memiliki cara yang paling tepat dalam mempersepsikan, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi oleh organisasi. Pendapat Schein (1997) di atas lebih menekankan kepada anggota baru yang ada dalam organisasi, dan kaitannya dengan pemecahan masalah yang dialami oleh suatu organisasi dengan adanya budaya organisasi. Hal senada dikemukakan juga oleh Gibson et al. (1996:64 -108) yang menyatakan bahwa: “Budaya
organisasi
mengandung
bauran
nilai,
kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku anggota suatu organisasi.” Budaya perusahaan mempengaruhi manusia bertindak di dalam perusahaan seperti bagaimana mereka bekerja, memandang pekerjaan mereka, bekerja bersama rekan kerja dan memandang masa depan. Sementara itu, Susanto (1997:3) mendefinisikan budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pegangan sumberdaya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan juga perilakunya didalam organisasi. Steers
(1987:56)
mengkaitkan
budaya
organisasi
dengan ciri atau sifat yang dirasakan dalam lingkungan kerja 38
dan
timbul karena
adanya kegiatan organisasi dengan
menyatakan: ―Organization
culture
will reflect
characteristics or
character which can be felt in working environment and raise by organization icr, vitv. that beina done either by awareness or not, and considered to influence behavior, so that culture in the organization can be pointed as the organization Personality.‖ Dalam hal ini budaya oranisasi akan mencerminkan sifat atau ciri yang dirasakan terdapat dalam lingkungari kerja dan timbul karena kegiatan organisasi, yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan dianggap mempengaruhi perilaku, sehingga budaya yang ada pada perusahaan dapat dipandang sebagai kepribadian organisasi. Pernyataan diatas memberi pengertian yang jelas bahwa budaya organisasi tak beda dengan kepribadian organisasi, yang secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi perilaku orang yang ada di dalamnya. Hingga mendekati tahun 1980-an beberapa orang konsultan dan peneliti manajemen menemukan bahwa budaya organisasi juga merupakan instrumen lain untuk mengawasi aspek non-rasional perilaku karyawan (Peters dan Waterman, 1982:98). Sedangkan Rusaw (2000:249-250) menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai:
39
A systematic set of norms, beliefs, and attitudes that people accept uriguestionably as guides for everyday thinking and behavior.‖ Artinya budaya merupakan satu set tentang norma yang sistematis, kepercayaan dan sikap yang diterima dan tak perlu dipertanyakan sebagai petunjuk berpikir dan berperilaku setiap harinya. Jauh sebelumnya Ouchi (1980) menyatakan budaya perusahaan adalah alat penting untuk menciptakan hubungan kerja yang harmonis di antara anggota organisasi dalam bentuk perasaan pada nilai dan keyakinan umum yang sarna sehingga dapat
menghilangkan
kemungkinan
perilaku
oportunistik.
Selanjutnya Ouchi (1980) menyatakan lagi: ―Corporate culture is important, because, when the transaction
cost
is
complex
and
ambiguous
for
organizations, a set of common values and beliefs is needed as a regulatory mechanism.‖ Artinya budaya organisasi adalah penting, karena bilamana biaya transaksi rumit dan mendua untuk organisasi, maka sekumpulan nilai dan kepercayaan yang dianut secara bersama dibutuhkan sebagai suatu mekanisme yang mengatur. Pernyataan itu didukung lagi oleh pendapat Peters & Waterman (1982:106) yang menyatakan: ―Culture and shared values are important in unifying the sosial dimension of an organization.‖
40
Artinya budaya dan nilai-nhlai bersama adalah penting dalam menyatukan dimensi sosial suatu organisasi. Beberapa pengertian diatas memberikan kesimpulan bahwa budaya organisasi sebagai suatu mekanisme yang mengatur dan juga merupakan dimensi sosial suatu organisasi. Sedangkan Martin dan Frost (1999) mengibaratkan antusiasme di antara anggota organisasi tersebut akan mempengaruhi perilaku kerja Iayaknya seperti efek domino, yaitu akan berakibat pada komitmen yang lebih tinggi, produktivitas yang Iebih besar dari pada akhirnya keuntungan yang lebih banyak. Sedangkan Deal dan Kennedy (1982) menyebutkan ada 5 elemen yang mampu membuat suatu budaya dalam suatu organisasi menjadi demikian kuat, yaitu lingkungan, bisnis, nilainilai, kepahiawanan, ritus dan ritual, serta jaringan budaya. Dikatakannya, budaya yang kuat akan mampu menjadi penuntun tingkah laku karyawan melalui 2 cara, yakni: a. budaya yang kuat merupakan suatu sistem dan aturan informal yang menjelaskan atau menunjukkan bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kesehaniannya di organisasi: dan b. budaya yang kuat memungkinkan para karyawan menjadi sangat memahami apa yang mereka kerjakan, dan mereka akan melakukannya dengan Iebih giat atau lebih keras. Hal itu dipertegas lagi oleh Nirnran (1999:140) yang menyatakan: “Budaya perusahaan dapat berperan dalam dalam menciptakan jati diri, mengembangkan keikatan pribadi
41
dengan perusahaan, dan menyajikan pedoman perilaku kerja karyawan.” Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai, keyakinankeyakinan, kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku bersama dan seluruh anggota suatu organisasi yang mempengaruhi perilaku kerja
para
anggotanya
dalam
aktivitas
keseharian
diorganisasinya untuk mencapai ujuan yang telah ditetapkan. Menurut pendapat Hofstede (1994:181) dinyatakan: ―Between national culture and oraanizauon cuiwre mere is identical phenomenon. The difference of those reflected in the culture manifestation into some values and practice
of
an
organization.
The
difference
of
organizational culture furthermore can be analized at the level of organization unit or sub-unit.‖ Dalam hal ini antara budaya nasional dengan budaya organisasional merupakan fenomena yang identik. Perbedaan keduanya tercermin dalam manifestasi budaya ke dalam beberapa nilai dan praktek suatu organisasi. Berarti adanya kesamaan antara lingkungan makro dan mikro suatu organisasi, yang membedakannya hanyalah seberapa jauh dimensi budaya nasional diimplementasikan dalam lingkup mikro organisasi. Pendapat Hofstede tersebut dijelaskan lagi oleh Gordon G.G. (1991:46) yang menyatakan perbedaan budaya organisasional selanjutnya dapat dianalisis 42
pada
tingkat
unit
organisasi
atau
sub-unit
organisasi.
Sedangkan Hood dan Koberg (1991) menyatakan tipe budaya suatu
perusahaan
dapat
juga
bervariasi
antara
divisi,
departemen atau bagian yang satu dengan yang lain. Dari beberapa pendapat tersebut tarnpaknya budaya organisasi dapat ditinjau dan berbagai segi dan tingkatan, tergantung dari mana akan dianalisis. Ada banyak konsep dan pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan pengertian mengenai budaya (Gordon GG, 1991; Hatch, 1993; Baligh, 1994). Menurut Hofsetde (1994) budaya dapat dikiasifikasikan ke dalam berbagai tingkatan, antara lain: nasional, daerah, gender, kelas sosial, organisasi atau pewsahaan. Pada tingkat organisasi, budaya merupakan sepenangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang memiliki para anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan (Schein, 1996; Hofstede, 1980; Sackmann, 1992; Meschi dan Roger, 1995). Robbins (2001:529) menyatakan ada tujuh karakteristik budaya organisasi yang mempengaruhi, yaitu inovasi dan keberanian mengambil resiko (inovation and risk taking), perhatian terhadap detail (attention to detail), beronientasi pacla hasil (outcome orientation), beronientasi kepada manusia (people orientation), berorientasi kepada tim (team onentation), agresif (aggressiveness), dan stabil (stability). Selanjutnya menurut Mc Kinsey dan Company (dalam Peters dan Waterman, 1982), ada 43
tujuh variabel yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu organisasi yang terangkum dalam 7-S McKinsey, yaitu perangkat keras organisasi (hadware of organization), gaya (style), sistem (systemi), karyawan (staff), kemampuan / ketrampilan (skill), dan budaya organisasi (shared value) yang merupakan
perangkat
lunak
organisasi
(software
of
organization). Sedangkan Jusi (2001) menyatakan budaya organisasi yang kuat didukung oleh faktor leadership, sense of direction, climate, positive teamwork, value add system, enabling structure, appronate competences, and developed individual. Sementara itu, Hofstede et al. (1990:286-316) membagi budaya organisasi ke dalam enam dimensi praktek, yaitu: 1. Process-Oriented vs Results-Oriented; 2. Employee-Oriented vs Job-Oriented; 3. Pamchial vs Pro fesional; 4. Open System vs Closed System; 5. Loose Control vs Tight Control; dan 6. Normative vs Pragmatic. Dan keenam dimensi praktek yang dikemukakan oleh Hofstede et al. (1990) tersebut, banyak penelitian yang dilakukan selama ini memakai konsep dimensi praktek yar g kedua, yaitu budaya yang beronientasi pada orang (employee oriented) dan budaya yang berorientasi pada pekerjaan (job oriented) (Indriantoro, 2000). Dalam konsep ini, perbedaan dimensi praktek budaya organisasi antara yang berorientasi pada tugas dapat dilihat dan empat aspek: 1. pembuat
keputusan-keputusan
penting
organisasi;
2.
perbedaan ketertarikan organisasional antara kepada hasil 44
pekerjaan dengan orang yang jelas mengerjakan; 3. ada atau tidaknya petunjuk kerja yang jelas bagi karyawan baru; dan 4. kepedulian organisasi terhadap masalah pribadi karyawan. Lebih lanjut Kotter dan Heskett (1992) menyatakan bahwa sepanjang studi yang dilakukan, paling tidak ada 3 macam budaya perusahaan yang mampu meningkatkan kinerja, yaitu: 1. Budaya yang kuat. Dalam perusahaan yang memiliki budaya perusahaan yang kuat, hampir semua manajer menganut seperangkat nilai dan metode dalam menjalankan bisnis yang relatif konsisten. Di sisi lain, pada budaya perusahaan yang kuat, karyawan baru akan mengadopsi nilai dengan sangat cepat. Dalam budaya perusahaan yang seperti itu, seorang manajer bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh pimpinannya jika melanggar aturan; 2. Budaya perusahaan yang mampu meningkatkan kinerja adalah budaya yang secara strategis cocok. Artinya, budaya perusahaan haruslah tepat secara kontekstual. Adapun konteks yang dimaksud adalah kondisi objektif dan industri perusahaan tersebut, segmen industri yang dispesifikasi oleh strategi perusahaan atau strategi bisnis itu sendiri. Semakin besar kecocokan antara budaya perusahaan dengan strategi yang direncanakan, semakin baik kinerja, begitu juga sebaliknya; 3. Budaya pensahaan yang adaptlf. Hanya budaya yang adaptif dapat membantu organisasi dalam mengantisipasi 45
dan beradaptasi dengan per ubahan Iingkungan. Budaya yang adaptif akan diasosiasikan dengan kinerja yang superior sepanjang periode waktu yang panjang. Dalam pandangan ini, dikatakan bahwa ciri budaya perusahaan yang tidak adaptif adalah yang penuh birokrasi, anggotanya sangat reaktif, menolak resiko dan sangat tidak kreatif, informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi. Atas dasar itu, jika ingin membentuk budaya yang adaptif, harus memiliki karakteristik yang berbeda. Adapun ciri budaya perusahaan yang adaptif adalah siap menanggung resiko, percaya, proaktif terhadap kehidupan perusahaan dan juga kehidupan individu karyawannya.
Dalam hidupnya, manusia dipengaruhi oleh budaya di mana dia berada, seperti nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku masyarakat yang kemudian menghasilkan budaya masyarakat (Luthans, 1992:562; Nimran, 1997:121-122). Hal yang sama juga akan terjadi pada para karyawan organisasi dengan segala nilai, keyakinan, persepsi dan perilakunya dalam organisasi yang kemudian menjadi budaya organisasi. Ketika orang-orang bergabung atau masuk dalam suatu organisasi, maka pada mereka diperkenalkan nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan. Namun demikian, seringkali nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan saja tidaklah cukup untuk membantu sukses individu dalam organisasi. Orang-orang perlu belajar
46
atau berlatih bagaimana melaksanakan suatu pekerjaan secara khusus. Brown organisasi
(1973:157)
merupakan
mengatakan
bagian
dari
bahwa keseluruhan
budaya faktor
lingkungan, internal dan eksternal, dalam mana kepemimpinan yang ada harus berjuang untuk memperoleh respon atau reaksi dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan. Adanya respon atau reaksi berarti terdapat tanggapan dan karyawan untuk turut serta menjaga dan memberikan situasi yang kondusif terhadap pelaksanaan tugas-tugas organisasi
dalam
rangka
pencapaian
tujuan
organisasi,
sehingga hal ini adalah sangat penting untuk kelangsungan hidup organisasi.
47
BAB 2 PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
Sebelum memahami pengertian budaya organisasi, maka sebenarnya kata budaya sendiri telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Stoner, dkk (1995) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Budaya di dalamnya juga termasuk semua cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung suatu perintah. Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya (Graves, 1986); 1. budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi
beroperasi,
peraturan
yang
menekan,
dan
sebagainya, 2. budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang
ada
dalam
tersentralisasi terdesentratisasi,
organisasi,
berbeda 3.
misalnya
dengan
budaya
organisasi
organisasi
merupakan
produk
yang yang sikap
orangorang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.
48
Pengertian budaya ini kemudian dikaitkan dalam suatu organisasi, sehingga menjadi istilah budaya organisasi yang menarik perhatian bagi para akademisi dan praktisi untuk mempelajarinya lebih seksama karena diyakini bahwa budaya organisasi ini memiliki peran penting dalam pengelolaan organisasi.
Setelah
istilah
ini
makin
populer,
maka
memunculkan banyak definisi, di antaranya yang dikemukakan oleh Schein (1992:12) merumuskan budaya organisasi sebagai: ―A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems‖.
Definisi Schein ini memandang budaya organisasi sebagai suatu pola asumsiasums mendasar yang dipahami bersama
dalam
memecahkan
sebuah
organisasi
masalah-masalah
yang
terutama dihadapi.
dalam
Pola-pola
tersebut menjadi sesuatu yang pasti dan disosialisasikan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi. Lebih jauh lagi, dalam meneliti budaya organisasi perlu dianalisis beberapa tingkat atau level yang berbeda. Schen (1992: 16-27) menggambarkan adanya tiga tingkat budaya yaitu:
49
1. Artifak (artifacts) Merupakan tingkat budaya yang tampak di permukaan, yang termasuk dalam artifak adalah semua fenomena yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan ketika seseorang memasuki sebuah kelompok dengan budaya yang masih asing baginya. Hal-hal ini yang juga termasuk dalam artifak adalah
produk
yang
tampak
(visible
products)
dan
organisasi seperti rancangan lingkungan fisik, bahasa, teknologi,
produk,
kreasi-kreasi
artistik,
gaya
dalam
berbusana, pengungkapan emosi, mitos dan cerita tentang organisasi, daftar nilai-nilai organisasi yang terpublikasikan, ritual, perayaan-perayaan, dan lain-lain. Untuk tujuan analisis, tingkat mi juga mengikutsertakan perilaku yang tampak (visible behavior) dan kelompok dan prosesproses organisasional dimana terdapat perilaku yang secara rutin dilakukan. 2. Nilai-nilai yang diyakini (espoused values) Dalam organisasi terdapat nilai-nilai tertentu yang umumnya dicanangkan
oieh
tokoh-tokoh
seperti
pendiri
dan
pemimpinnya, yang menjadi pegangan datam menekan ketidakpastian pada bidang-bidang yang kritis. Nilai-nilai itu menjadi sesuatu yang tidak lagi didiskusikan dan didukung oleh perangkat keyakinan, norma, serta aturan-aturan operasional mengenai perilaku dalam organisasi. Hal-hal tersebut membentuk suatu kesadaran dan secara eksplisit diucapkan serta dilakukan karena telah berfungsi sebagai 50
norma atau moral yang memandu anggota organisasi dalam menghadapi situasi tertentu dan melatih anggota baru.
3. Asumsi-asumsi dasar (basic assumptions) Merupakan
asumsi-asumsi
sebelumnya
dasar
yang
telah
ada
(taken for granted) dan menjadi panduan
perilaku bagi anggota organisasi dalam memandang suatu permasalahan. Jika asumsi dasar dipegang teguh, maka anggota organisasi akan merumuskan perilaku berdasarkan pada kesepakatankesepakatan yang
berlaku. Asumsi-
asumsi dasar cenderung tidak untuk dipertentangkan atau diperdebatkan dan cenderung sangat sulit diubah. Heliriegel et al., dalam bukunya Organitation Behavior (1989:302)
mendefinisikan
budaya
organisasi
sebagai
gahungan atau integras I dan falsafah, ideologi, nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, harapan-harapan, sikap dan normanorma
atau
philosophies,
organitation ideologi,
culture
beliefs,
is
detined
assumptions,
as
shared
expectations
attitudes and norms. Definisi
tersebut
rnenggarnbarkan
dimensi-dimensi
sebagai herikut: 1. Tergambar pada tata krama perilaku setiap anggota yang saling berinteraksi, misalnya dalam melakukan upacara dan pertemuan.
51
2. Sebagai
peraturan-peraturan
yang
dipatuhi
sewaktu
kelompok anggota organisasi melaksanakan kerja dalam organisasi. 3. Sebagai norma-norma yang dipatuhi oleh kelompok kerja pada setiap han kerjanya. 4. Sebagai nilai-nilai yang dominan yang berlaku dalam organisasi yang merupakan kualitas dan produk yang dihasilkan atau sebagai harga dan kepemimpinan. 5. Sebagai falsafah yang mempedornani organisasi dalam membuat kebijaksanaan bagi karyawan dan pelanggannya, 6. Sebagai iklim yang dirasakan dalam selalu organisasi yang menjadi pedoman pada layout fisik dan cara-cara interaksi dan anggota-anggota organisasi kepada langganan dari fihak luar. Sejalan dengan Jacques (lihat Duncan, 1989) dalam Nimran (1999: 134) menyatakan budaya organisasi sebagai cara berpikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi dan para anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerima sebagian
agar
mereka
diterima
sebagai
bagian
dari
organisasi/perusahaan. Maciarello and Kirby (1994:13) mendefinisikan budaya sebagai berikut: “budaya organisasi terdiri dari seperangkat nilai-nilai persepsi umum, keputusankeputusan umum yang diaplikasikan oleh anggota organisasi dalam aktivitas dan memecah
masalah
dalam organisasi. 52
Kekuatan
budaya
tergantung pada sejumlah kunci premis yang disepakati dan dianut oleh anggota organisasi. Selain definisi di atas, ada beherapa defrnisi lain, diantaranya dan Schein (1985:158) yang dikutip Sobirin pada Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia (1997). Schein menyatakan ―Culture is a pattern of basic assumption-invented, discovere or developed by a given group as it learns to cope with its problem of adaptation and internal integration that has worked will enough to be considered valid and therefore to be taught to new members as correct way to perceive an feel in relation to those problems.‖ Pengertian definisi Schein di atas, bahwa budaya sebagai asumsi dasar yang berpola telah ditemukan, dipahami dan dikembangkan oleh anggota organisasi. Bahwa asumsi tersebut telah terbukti kebenarannya ketika digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh group, baik masalah adaptasi external maupun masalah integrasi internal. Maka asumsi-asumsi tersebut, dianjurkan kepada anggotaanggota baru. Sebagai cara pandang, cara berprestasi dan pola pikir yang benar untuk menghadapi masalah-masalah yang sama di masa yang akan datang. Gibson
et
al.
(1992:42),
mendefinisikan
budaya
organisasi sebagai suatu sistem nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang unik, dimiliki secara bersama oleh anggota suatu organisasi. Budaya organisasi dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai prestasi organisasi yang 53
efeklif Kotter and Heskett (1977:5) menyatakan bahwa budaya dalam organisasi merupakan nilai yang dianut bersama oleh anggota organisasi, cenderung membentuk perilaku kelompok. Nilai-nilai sebagai budaya organisasi cenderung tidak terlihat maka sulit berubah. Norma perilaku kelompok yang dapat dilihat, tergambar pada pola tingkah laku dan gaya anggota organisasi relatif dapat berubah. Misalnya dengan memberikan imbalan bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri, sebaliknya akan diberi sanksi bagi mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan organisasi. Dari seluruh definisi dapatlah disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah keseluruhan sistem nilai, norma-norma, pola pikir dan perilaku serta keyakinan dan kebijaksanaan yang ditampilkan secara konsisten yang akan mempengaruhi pola kerja sama anggota organisasi serta manajemen organisasi. Budaya
organisasi
bertujuan
meningkatkan
kinerja
dan
kepuasan anggota / karyawan dalam organisasi. Selain itu disimpulkan
juga
bahwa
budaya
organisasi
pada
operasionalnya mencinikan sebagai berikut: 1 merupakan suatu keadaan tekad untuk dimiliki dan dianut bersama oleh semua anggota organisasi; 2. mengatur sikap dan perilaku serta keyaknan para anggota organisasi; 3. cenderung dapat dipelajari dan dapal disosialisasikan serta dapat diwariskan pada anggota organisasi dan juga pada generasi berikutnya; 4. membedakan budaya organisasi satu dengan lainnya; dan 5. memperlihatkan etos kerja dari para anggota organisasi dan 54
perusahaan dengan berperan mengarahkan anggota organisasi dalam mengelola dan memecah masalah-masalah dalam lingkungan kerjanya. Untuk dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan budaya organisasi ada beberapa batasan atau pernyataan yang dapat membantu penyamaan persepsi, atau setidaknya pemahaman mengenai budaya organisasi. Beberapa
pengertian
budaya
organisasi
telah
dikemukakan oleh para ahli, misalnya Schein (Luthans, 1995:497), yang merumuskan pengertian budaya organisasi sebagai: ―A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that has worked well enough considered valid and, therefore, to be tough to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems― Schein memandang budaya organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok ketika
memecahkan
masalah
penyesuaian
lingkungan
eksternal dan integrasi lingkungan internal, yang telah berhasil dengan cukup baik, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat. Tunggal (2001:17) menegaskan bahwa budaya adalah bagaimana organisasi belajar berhubungan dengan lingkungan. Berarti budaya merupakan bauran kompleks dari asumsi, 55
tingkah laku, cerita, mitos dan ide yang lain yang digabung menjadi satu untuk menentukan apa arti bekerja dalam suatu organisasi tertentu. Susanto (1997:3) juga memberikan pengertian terhadap budaya organisasi, adalah: “Nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi kedalam perusahaan, sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku“ Artinya
budaya
organisasi
merupakan
peraturan-
peraturan dan norma-norma yang mengatur perilaku kerja karyawan dalam suatu organisasi. Berdasarkan beberapa pengertian budaya organisasi, dapat diperoleh gambaran bahwa pandangan-pandangan tentang budaya organisasi sebagai aturan main yang ada didalam perusahaan yang akan menjadi
pegangan
dari
sumberdaya
manusianya
dalam
menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku didalam
organisasi
tersebut.
Hal
tersebut
yang
akan
membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya, maka suatu organisasi memiliki kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya. Gagasan atau konsep budaya organisasi berakar dan antropologi budaya. Budaya organisasi merupakan kumpulan keyakmnan-keyakinan,
nilai-nilai, 56
ritual-ritual,
cerita-cerita,
mitos, dan bahasa tertentu yang dianut bersama yang turut mengembangkan perasaan komunitas di antara para anggota oganisasi. Beberapa praktisi dan disiplin Antropologi telah menghasilkan suatu kerangka literatur yang sangat penting selama 1940 dan 1950-an di mana penelitian mereka berhubungan langsung dengan kebiasaan dan tradisi kerja organisasi. Hatch (1993) mengatakan bahwa walaupun studi budaya organisasi mulai tampak pada sekitar tahun 1970-an, tidak sampai tahun 1980-an para sarjana manajemen telah banyak mengadopsi konsep budaya organisasi. Sekalipun budaya organisasi sangat bergantung pada taken-for granted atau fakto-faktor yang tidak dapat dilihat, namun sangat berpengaruh terhadap perilaku. Beberapa ahli menyebut budaya organisasi atau budaya organisasi dengan ‗social glue‘ (lem/perekat sosial) yang mengikat para anggota suatu organisasi. Tanpa melakukan apresiasi terhadap aspek budaya, maka suatu organisasi hanyalah sebagai sekumpulan peta,
tugas-tugas,
dan
orang-orang
yang
tidak/kurang
bermakna. Hal itu berarti bahwa budaya organisasi bukanlah sebuah alat ideologi yang dijatuhkan dan atas oleh manajemen, tetapi budaya organisasi adalah suatu fakta yang harus dihadapi oleh organisasi sosial manusia yang dapat menyianyiakan
perencanaan
organisasi
yang
terbaik
apabila
keberadaan budaya organisasi tidak diperhitungkan. Oleh karena itu, Denison et al. (1995) mengatakan bahwa budaya organisasi dapat dipelajari sebagai ian yang integral dan proses 57
adaptasi organisasi dan berguna sebagai prediktor kinerja dan efektivitas. Budaya organisasi dapat didefinisikan dalam beberapa hal sesuai dan mana sudut pandang dilakukan. Namun demikian dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat kepercayaan, nilai, filosofi, ideologi, asumsi, harapan, pemikiran, sikap dan tindakan yang dipergunakan untuk
membuat
keputusan
dan
memecahkan
masalah.
Pengertian tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Smircih (1983) bahwa budaya organisasi adalah a set of key values, guiding beliefs, and understandings that are shared by members of an organization; Kiliman et al. (1986) bahwa budaya organisasi adalah ‗the shared philosophies, ideologies, values, assumptions, beliefs, expectations, attitudes, and norms that knit a community together‘; Schein (1992:8) bahwa budaya organisasi merupakan ―patterns of shared values and beliefs over time which produce behavioral norms that are adopted in solving problems‖, dan Nimran (1997:121) bahwa budaya organisasi adalah ‗the collection of beliefs, expectations and values shared by the corporation‘s members and transmitted from one generation of employees to another‘, yaitu budaya merupakan sekumpulan dan keyakinan-keyakinan, harapanharapan, dan niIai-nilai yang dianut bersama-sama oleh para anggota perusahaan dan disebarkan dan generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Hal ini dipertegas lagi oleh Deal dan Kennedy (1984:4) bahwa budaya organisasi merupakan ‗the 58
integrated pattern of human behavior tha includes thought, speech, action, and artifacts and depends on man‘s capacity for learning and transmitting knowledge to succeeding generations. Dengan demikian budaya organisasi merupakan pola perilaku manusia terpadu yang terdiri dari pemikiran, perkataan, tindakan, dan artifak dan yang tergantung pada kapasitas manusia
untuk
proses
pembelajaran
dan
penyebaran
pengetahuan dalam rangka pergantian generasi. Pola perilaku tersebut menguntungkan
dipandang bagi
akan
organisasi,
dan
sangat seharusnya
dipertimbangkan untuk diadakan suatu proses pembelajaran pada para pendatang baru. Hofstede (1986:25) juga memberikan pengertian bahwa: ―Culture has been defined in many ways. Culture consists in patterned ways of thinking, feeling and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional (i. e. historically derived and selected) ideas and especially their attached values‖. Ini menunjukkan bahwa budaya secara umum dapat didefinisikan dalam berbagai dimensi. Budaya organisasi terdiri dari pola berpikir, perasaan dan yang pada prinsipnya diperoleh dan disebarkan melalui simbol-simbol, pencapaian tujuan dan kelompok-kelompok manusia, yang meliputi artifak-artifak; dan inti pokok dan budaya terdiri dari ide-ide dan khususnya nilainilai yang telah mengikat mereka. 59
Dari pengertian tersebut, maka budaya organisasi tidak hanya meliputi sesuatu yang berwujud seperti simbol-simbol, artifak, akan tetapi juga meliputi sesuatu yang tidak berwujud seperti ide atau nilai-niiai. Dengan demikian, maka budaya organisasi merupakan salah satu variabel yang banyak menerima perhatian dalam studi perilaku organisasi, oleh karena budaya organisasi merupakan suatu konsep yang dituntut harus mampu dan dapat menyesuaikan terhadap tujuan, dan strategi organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Dennison (1995), dan Deal dan Kennedy (1984:189), bahwa faktor budaya organisasi memainkan peranan kunci dalam memperbaiki kinerja karyawan sekaligus menentukan tingkat keberhasilan organisasi. Oleh karena budaya organisasi merupakan seperangkat nilai, pola pikir, dan tindakan, maka budaya organisasi tersebut merupakan suatu sistem yang dinamis menyangkut keyakinan, nilai-nilai, norma-norma bersama yang menjadi pengikat (lem) bagi
orang-orang
keyakinan,
dalam
nilai-nilai,
dan
suatu
organisasi.
norma-norma
Keyakinan-
tersebut
akan
membimbing orang-orang mengenal „apa yang harus dilakukan‟ dan
„bagaimana
melakukannya‟.
Budaya
organisasi
berkembang daam organisasi karena orang-orang di dalamnya berinteraksi
dan
bersama-sama
mengelolanya.
Dengan
demikian budaya organisasi dapat memberikan petunjuk dalam berperilaku, anggota
dan
memberikan
organisasi.
Budaya 60
pemahaman organisasi
kepada
para
mempengaruhi
bagaimana cara orang-orang bertindak dalam organisasi di mana
orang-orang
melakukan
pekerjaan,
memandang
pekerjaan, bekerja dengan kolega, dan melihat masa yang akan datang. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Plunket dan Attner (1994:349) bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem yang dinamis yang menyangkut keyakinan, mengikat
nilai-nilai, orang-orang
dan
norma-norma
dan
membantu
bersama mereka
yang dalam
memahami sistem-sistem dalam suatu organisasi, juga Trice dan Beyer (1991) yang mengatakan bahwa: Organizational culture is the shared beliefs, values, and normas that bind people totether and help them make sense of the systems within an organization. The beliefs, values, and norms tell people ‗what is to be done‘, and ‗how it is to be done‘. Culture has two components. The first is substance, which consists of shared systems of belie fes, values, expectations, and norms; the second is form, which consists of the obseivable ways that members of a culture express ideas. Budaya organisasi merupakan seperangkat keyakinan, nilai-nilai dan norma yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dan memberikan pemahaman atas sistem yang ada dalam organisasi. Keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma
memberikan
pemahaman
kepada
orang
mengenai „apa yang harus dikerjakan, dan „bagaimana mengerjakannya. Budaya organisasi mempunyai dua (2) komponen. Pertama, merupakan hal yang substansi, yaitu yang terdiri dan seperangkat sistem keyakinan, nilainhlal, harapan-
61
harapan, dan norma-norma; yang kedua, merupakan bentuk budaya, yaitu yang terdiri dan cara-cara yang dapat diamati, ditampakkan oleh penganutnya. Selanjutnya, Robbins (2001: 247-248) yang mengatakan bahwa budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lainnya. Apabila diamati dengan seksama, maka sistem makna bersama ini merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi yang bersangkutan. Schein
(1992:11)
mengatakan
budaya
organisasi
sebagai asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh para anggota dan sebuah kelompok atau organisasi. Para pemimpin mempunyai potensi paling besar menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya dengan lima mekanisme utama berikut: 1. Perhatian 2. Reaksi terhadap krisis 3. Pemodelan peran 4. Alokasi imbalan 5. Kriteria seleksi, dan pemberhentian Sebagai mekanisme sekunder, maka akan sangat berguna untuk menanamkan dan memperkuat budaya apabila konsisten dengan mekanisme budaya yang utama. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:
62
1. Desain struktur organisasi 2. Desain dan sistem dan prosedur 3. Desain fasilitas-fasilitas 4. Kisah-kisah, legenda, dan dongeng 5. Pernyataan-pernyataan formal.
63
BAB 3 BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA INDIVIDU
Gibson
(1996:76)
mengemukakan
bahwa
kultur
mengandung pola eksplisit maupun implisit dan untuk perilaku yang dibutuhkan dan diwujudkan dalam simbol, menunjukkan hasil kelompok manusia secara berbeda, termasuk bendabenda hasil ciptaan manusia, inti utama dan kultur terdiri dari ide tradisional (turun-temurun dan terseleksi) dan terutama pada nilai yang menyertai. Kultur organisasi merupakan bauran nilal kepercayaan, norma dan pola perilaku dalam suatu organisasi. Kultur organisasi merupakan bauran nilai, kepercayaan, norma dan pola perilaku dalam suatu organisasi. Sama dengan kepribadian seorang individu (Gibson, 1996:77). Dari definisi ini bisa disimpulkan bahwa pengertian kultur atau budaya individu dapat disamakan dengan budaya organisasi. Hanson, Yance (1992:2) mengungkapkan bahwa kultur dalam suatu organisasi membantu pekenja
memberikan
tanggapan atas ketidakpastian yang tidak bisa dihindari dan keruwetan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Kultur atau budaya organisasi juga merupakan cara melihat atau berfikir mengenai perilaku dan dan dalam organisasi, suatu perspektif untuk memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Dalam kaitan ini kultur organisasi ditujukan pada sekumpulan 64
pokok pikiran yang mencoba menjelaskan dan mempekerjakan bagaimana
organisasi
dan
Iingkungan
yang
sederhana
dapat didefinisikan sebagai kepribadian atau
berbeda.
manusia Kultur
bertindak organisasi
dalam secara
perasaan organisasi. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kultur memiliki karakteristik seperti: 1. Mempelajari: Budaya diperlukan dan diwujudkan dalam belajar, observasi dan pengalaman. 2. Saling berbagi: Individu dalam kelompok, keluarga dan masyarakat saling berbagi budaya. 3. Transgenerasi:
Merupakan
kumulatif
dan
melampaui
generasi satu ke generasi lain. 4. Persepsi pengaruh: Membentuk perilaku dan struktur bagaimana seseorang menilai dunia. 5. Adaptasi: Budaya didasarkan pada kapasitas seseorang berubal‟ atau beradaptasi. Dalam
organisasi
tradisional
fungsi
sumber
daya
manusia mengidentifikasi, menyiapkan, mengarahkan dan memberikan reward kepada manajemen organisasi sesuai dengan deskripsi jabatan yang sesuai. Dalam pandangan non klasik pengelolaan sumber daya manusia mengembangkan berbagai kebijakan dan prosedur untuk memberikan kepastian bahwa para karyawan dapat melaksanakan peran gandanya sebagai akibat dan pelatihan serta kerja tim yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan serta mengarah pada proses 65
perbaikan secara terus menerus. Pergeseran paradigma tersebut dapat dirangkumkan dalam Tabel 2.1. Dari
Tabel
2.1
dapat diberikan
satu penjelasan,
dimensi pertama dalam pergeseran paradigma manajemen sumber daya manusia adalah berkaitan dengan budaya organisasi. Dalam paradigma tradisional budaya organisasi diarahkan (memfokuskan) pada individualis, produktivitas, orientasi profit sedangkan pada paradigma TQM, kerja tim menjadi fokus perhatian. Produktivitas tidak semata-mata mengarah pada kuantitas melainkan pada kualitas dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Oleh karena orientasi tim, kepuasan pelanggan serta kualitas menjadi tekanan, maka pembentukan budaya, proses pembelajaran dalam rangka membentuk budaya menjadi sangat relevan. Pembentukan budaya ini tidak begitu saja terbentuk dalam organisasi, melainkan diawali dan survey dan pengamatan terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh karyawan dalam sebuah organisasi. Dengan demikian akan diketahui dasar dan pola awal bentuk kebiasaan dan bahkan dalam jangka panjang budaya. Budaya organisasi mengacu pada suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lain (Robbin, 1996:80). Sistem makna bersama ini bila diamati dengan lebih seksama merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.
66
Tabel 3.1 TABEL PERBEDAAN DIMENSI SUMBER DAYA MANUSIA ANTARA PARADIGMA TRADISIONAL DAN MODERN(TQM) Dimensi Konteks Perusahaan o Budaya organisasi
Paradigma Tradisional
o Komunikasi
o o o o o o
o Voice and Invovement
o Employment at will suggestion system
o Desain Job
o Efisiensi. o Produktifitas. o Standarisasi o Prosedur o Rentang kendall dan pengawasan pendek. o Spesifikasi diskripsi jabatan.
o Evaluasi dan Pengukuran Kinerja.
o Tujuan individu. o Supervisi. o Menekankan pada kinerja finansial. o Peningkatan Kompetensi Individu secara Kekeluargaan. o Selektif. o Skill. o Promosi didasarkan pada individual accomplishment. o Jalur karier linear
o Reward.
o Seleksi dan pengembangan karir.
Individualisme. Diferensiasi. Otokratik. Profit. Produktifitas. Top Down
67
Paradigma Total Quality (Modern) o Usaha Bersama. o Kerja fungsi silang. o Kepuasan Pelanggan. o Qualitas. o Top Down Horizontal, Lateral, Multidireksional o Due process Quality circles attitudes survey. o Qualitas. o Kustomisasi. o Inovasi. o Rentang kendali dan pengwasan lebar. o Pemberdayaan tim verja o Tujuan tim o Pelanggan. o Menekankan pada kualitas dan layanan o Tujuan Tim o Pelanggan o Menekankan pada kualitas dan layanan o Tim dadasarkan pada flnasial dan non finansial. o Selektif didasarkan padapeer o Problem solving skill. o Promosi didasarkan pada kelompok. o Jalur karier horizontal.
o Training o Helt and Safety
o Skill fungsional dan teknikal o Trat Problem.
o Problem solving, skill, fungsi silang. o Prevent Problem, Safety program Weliness program. Employee assisten.
Sumber: Diadopsi dan Blackburn R dan Rosen B (1993) Total Quality and Human Resources Management: Lesson learned from Baidrige Award-Wining Companies Academy of Management Executive, dalam Perminas Pangeran 1999, Manajemen Usahawan Indonesia No. 11 Tahun XXVII, Nopember 1999. Tujuh
karakteristik
primer
yang
bersama-sama
menangkap hakekat dan budaya organisasi (0‟ Reilly, 1991). 1. Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu menunjukkan tingkat para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. 2. Perhatian ke rincian, yaitu harapan manajemen terhadap para karyawan mempenlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian. 3. Orientasi hasil yaitu, upaya manajemen memfokuskan pada hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4.
Orientasi
orang
memperhitungkan
efek
yaitu hasil
keputusan pada
orang
manajemen di
dalam
organisasi. 5. Orientasi tim yaitu, kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim, bukannya individu.
68
6. Keagresifan yaitu meningkatkan orang untuk agresif dan kompetitif bukannya untuk santai. 7. Kemantapan
yaitu,
dipertahankannya
kegiatan
status
organisasi
quo
sebagai
menekankan kontras
dan
pertumbuhan. Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu kontinum dan rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini akan diperoleh gambaran majemuk dan budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota
mengenai
organisasi
itu,
bagaimana
urusan
diselesaikan didalamnya dan cara para anggota diharapkan berperilaku. Pengakuan bahwa budaya organisasi mempunyai sifatsifat bersama tidaklah berarti bahwa tidak dapat ada anak budaya atau subkultur didalam setiap budaya yang ada. Kebanyakan organisasi besar mempunyai suatu bUdaya yang dominan dan sejumlah anak budaya (Robbin 1996:292). Suatu budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisàsi itu. Bila kita bicara mengenai budaya suatu organisasi kita menacu pada budaya dominanriya.
Anak
budaya
atau
subkultur
cenderung
berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan masalah, situasi atau pengalaman bersama yang dihadapi oleh para anggotanya.
69
Jika organisasi tidak mempunyai budaya dominan dan tersusun hanya dari sangat banyak anak budaya, nilai budaya organisasi sebagai suatu variabel independen akan sangat berkurang karena tidak akan ada penatsiran yang seragam atas apa yang menggambarkan perilaku yang tepat dan tidak tepat. Merupakan aspek makna bersama dan budaya yang membuatnya sebagai piranti yang ampuh untuk memandu dan membentuk perilaku itu, tetapi kita tidak dapat mengabaikan realitas bahwa banyak organisasi juga mempunyai anak budaya yang dapat mempengaruhi perilaku anggotanya. Budaya yang akan menjadi penuntun perilaku anggota organisasi, dapat diwariskan dan generasi yang satu ke generasi yang lain melalui bebagai cara. Menurut Robins (1996). Adapun cara yang dat dilakukan agar budaya selalu menjadi tradisi bagi anggota orga „iisasi tersebut adalah: a. Melalui berbagai cerita Budaya yang dibentuk lewat biasanya tentang sejarah berdirinya perusahaan dan mulai terbentuk sampai menuju kesuksesan, berbadai keputusan penting yang pernah diambil, dan mengenai manajemen puncak sekarang ini. b. Upacara atau Ritual Acara ritual dapat digunakan juga sebagai penerus suatu budaya. Aktivitas seperti pemberian penghargaan tiap tahun bagi karyawan terbaik, piknik tiap akhir tahun, perayaan han besar bersama. Tujuan dari acara seperti ini adalah pengungkapan
dan
memperkuat 70
nilai
atau
budaya
perusahaan tersebut, serta tujuan apa yang penting, orang mana yang penting, dan mana yang dapat ditingkatkan. c. Berbagai Simbol Materi Simbol materi seperti desain serta penataan fisik ruang dan gedung, perabot kantor, kebiasaan eksekutif serta cara berpakaian
merupakan
suatu
pengungkapan
kepada
pegawai siapa yang penting, tingkat dan derajat kesamaan yang diinginkan manajemen puncak, dan perilaku tertentu yang sesuai. d. Bahasa Banyak perusahaan dan unit dalam sebuah perusahaan yang menggunakan bahasa sebagai suatu cara untuk mengidentifikasi para anggota dari suatu budaya atau subbudaya. Dengan mempelajari bahasa, para anggota membuktikan bahwa mereka telah menerima budaza tersebut dan dengan melakukan hal tersebut mereka membantu mempertahankannya. Budaya
sebagai
acuan
berperilaku
bagi
anggota
organisasi dapat diwariskan secara turun temurun dan generasi ke generasi melalui berbagai cara. Apabila budaya telah terbentuk dan memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup
perusahaan,
maka
sewajarnya
budaya
tersebut
dipertahankan. Mempertahankan budaya yang sudah terbentuk dan budaya tersebut adalah berkontribusi besar terhadap pencapalan kinerja organisasi maka hal itu adalah sesuatu yang tidak mudah. Agar budaya suatu perusahaan dapat 71
bertahan lama, Robbins (1996) memberikan beberapa Iangkah yang dapat ditempuh, yaitu: a. Seleksi. Tujuan dari seleksi adalah menyelaraskan antara berbagai syarat pekerjaan dengan kualitas pencari kerja. Selain itu proses seleksi memberi informasi kepada pencari kerja mengenai organisasi tersebut, dan jika mereka merasakan adanya konflik antara nhlai mereka dengari nilai yang ada pada perusahaan, pencari kerja dapat dengan segera mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Dengan demikian, proses seleksi dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mempertahankan budaya perusahaan dengan menyaring individu yang mungkin akan menyerang atau mengacaukan berbagai nilai inti dari organisasi. b. Manajemen Puncak Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak penting terhadap budaya perusahaan. Para pekerja akan selalu
memantau
tindak
tanduk
manajer
dalam
memperlakukan karyawan. Kapan manajer memberikan peringatan, kapan manajer memuji, pada saat kapan karyawan menerima sangsi atas kesalahannya akan selalu meresap dalam ingatan karyawan. Sehingga kejadian tersebut dalam kurun waktu tertentu akan menjadi nilai atau norma dalam perusahaan.
72
c. Sosialisasi Seleksi pada awalnya memberikan pemahaman yang umum terhadap beberapa hal yang terkait dengan perusahaan. Namun tidak semua karyawan akan mengerti sepenuhnya dengan apa yang ada dalam perusahaan tanpa melalui sosialisasi, terutama terkait dengan seperangkat nilai dalam perusahaan. Dengan adanya karyawan baru akan lebih memahami dan meyelami apa yang harus diperbuat agar tindak tanduk mereka tidak menyimpang dan berbagai nilai yang ada. Budaya perusahaan yang merupakan ciri khas yang membedakan perusahaan tersebut dengan yang lainnya merupakan pemahaman yang diberikan oleh Wheelen dan Hunger (dalam Nimran, 1996). Terkait dengan ciri khas tersebut, Gordon dan Cummincs serta Betts dan Halfhfill (dalam Robbins,
1996)
mengidentifikasi
bahwa
ada
sepuluh
karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya perusahaan satu sama lainnya, yaitu: a. Inisiatif Iridividu. Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dimiliki individu. b. Toleransi terhadap tindkan beresiko. Sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko. c. Arah adalah sejauhmana perusahaan tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.
73
d. Integrasi.
Tingkat
perusahaan
sejauh
didorong
mana
untuk
sebagai
bekerja
unit
dalam
dengan
cara
terkoordinasi. e. Dukungan dan manajemen. Tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka. f. Kontrol. Jumlah aturan dan pengawasan yang langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendaikan perilaku pegawai. g. Identitas. Tingkat sejauhmana para anggota organisasi mengidentifikasi
dirinya
secara
keseluruhan
dengan
perusahaannya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional. h. Sistem imbalan. Tingkat sejauhmana alokasi imbalan (misal, kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dan senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. i. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauhmana para pegawai didorong untuk mengerhukakan konflik dan kritik secara terbuka. j.
PoIa
kamunikasi.
Tingkat
sejauhmana
komunikasi
organisasi dibatasi oleh hirarki keWenanan yang formal.
74
BAB 4 KONSEP BUDAYA ORGANISASI
Budaya sebagai suatu output adalah potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung di dalam suatu organisasi atau perusahaan, pada suatu saat. Sithi-Amnuai (1989) membenikan definisi budaya organisasi sebagai: A set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of au organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaption and internal integration. Menurut definisi tersebut terdapat kata kunci (indikator), yaitu basic, assumption, belief, shared dan learn. Kata basic assumption menunjukkan dasar kualitas dan posisi anggapan yang
bersangkutan,
sedangkan
belief
merupakan
dasar
anggapan yang dipercayai, yang selanjutnya berbagi nilai yang sama kepada kepada anggota di datam organisasi melalui proses pembelajaran, baik dan pengalaman maupun peniruan dan luar yang dianggap baik. Matsumoto (1996) mengemukakan konsep, bahwa budaya organisasi mempengaruhi tujuan, struktur, dan fungsi organisasi serta sikap, nilai, dan tingkah laku karyawan, sehingga mempengaruhi perbedaan perilaku kerja antara karyawan yang berbeda budaya yang disebabkan oleh nilainilai yang menjadi dimensi nilai kerja individu tidak sama. 75
Dalam beberapa konsep dan hasil kajian empirik jarang dijumpai istilah budaya kerja secara eksplisit. Namun istilah budaya kerja sebenarnya adalah operasionalisasi dan budaya organisasi yang mempunyai implikasi terhadap pembentukan proses manajerial untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi yang membentuk perilaku manajerial akan berhubungan dengan budaya kerja, budaya kerja sebagai operasionalisasi budaya organisasi yang memegang peranan penting dalam mencapai tujuan yang hendak diwujudkan secara bersama-sama komponen dalam organisasi (Ndraha, 2003:111). Konsep
dan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menjelaskan dan memberikan pengertian mengenai budaya (culture).
Menurut
Hofstede
(1994),
budaya
merupakan
keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial lain. Sebelumnya Hofstede, (1980:34) memberikan istilah the collective mental programming atau sofware of mind untuk membentuk keseluruhan pola tersebut. Mental program atau culture suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial (antara lain: negara, daerah, tempat kerja, sekolah, dan rumah tangga) dan kejadian-kejadian yang dialami dalam kehidupan para anggota kelompok yang bersangkutan. Proses terbentuknya pola pikir, perasaan, dan tindakan tersebut dapat dianalogikan dengan proses penyusunan
76
program dalam komputer yang sistematik sehingga dapat membentuk suatu sistem dalam pekerjaan. Culture (budaya) mengacu kepada karakteristik cara melakukan sesuatu dan perilaku bahwa orang di suatu daerah mengembangkannya sepanjang waktu (Cascio, 1992:622). Kadangkala budaya perusahaan didefinisikan pula sebagai budaya organisasi (organization culture) yakni menggariskan perilaku yang tepat, mengikat dan memotivasi individu serta menegaskan solusinya saat terjadi keraguan (Turner, 1990:11). Budaya mengatur cara bagaimana perusahaan memproses informasi, hubungan internal dan nilai-nilai (values). Setiap karakteristik ini terjadi secara berkelanjutan (continoum). Menilai organisasi yang berdasarkan pada 10 karakteristik akan menghasilkan gambaran Iengkap terhadap budaya
organisasi.
Gambaran
ini
akan
menjadi
dasar
memahami pengertian kebersamaan (shared) yang dimiliki anggota
terhadap
organisasinya,
bagaimana
segala
sesuatunya dikerjakan dan cara dimana anggota diharapkan berperilaku. Lebih lanjut sepuluh klasifikasi utama yang dapat menolong manajer menilai bermacam budaya dan menguji pegawainya dengan cara yang lebih sistematis. Dalam praktek sumber daya manusia yang dijabarkan dalam suatu kerja sistematis terdiri dan 10 klasifikasi utama, menurut Cascio, 1992:644), yakni: 1. rasa tentang diri dan ruang (sense of self and
space),
2.
pakaian
dan 77
penampilan
(dress
and
appearance), 3. makanan dan kebiasaan makan (food and eating habits), 4 komunikasi dan bahasa (communication and language), 5. waktu dan sikap terhadap waktu (time and time sense), 6. hubungan (relationship), 7. nilai dan norma (values and norms), 8. keyakinan dan sikap (beliefs and attitudes), 9. motivasi kerja dan prakteknya (work motivation and practices), 10. proses mental dan pembelajaran (mental proceses and learning), antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Jati diri dan lingkungan (sense of selfing space) merupakan sutu cara yang unik untuk melaksanakan tugas. Identitas diri bisa ditunjukkan dengan sikap yang sederhana atau menonjol.
Seperti
kemandiriian
dan
kalau
di
kreativitas,
Amerika sedangkan
meningkatkan di
Jepang
menekankan pada hubungan kerjasama dan kenyamanan. Amerika
mempunyai
/
menciptakan
ditandai
terdapat
jarak
diantara
lingkungan orang
disisi
yang lain
menginginkan kedekatan. 2. Pakaian dan penampilan (dress and apperance) adalah pakaian dan asesorisnya. Beberapa budaya mempunyai pakaian adat, seperti Jepang dengan kimono, India dengan turban (kain sari), sedangkan Polynesia dengan pakaian sarung. Kosmetik menjadi semakin populer dan dapat diterima sebagaimana penggunaan cologne dan aftershave lotion oleh para pria.
78
3. Makanan dan kebiasaan makan (food and eating habits) adalah cara memilih makanan, menyiapkan, menyampaikan dan kebiasaan makan berdasarkan budaya. Cara makan dengan Iangsung menggunakan tangan yang biasanya ditemui di Timur Tengah, bisa dianggap cara makan suku nomaden masa lalu oleh orang Barat, padaha perilaku tersebut adalah bagian dan tuntunan agama dan tradisi budaya mereka. 4. Komunikasi verbal dan non verbal, artinya pada masyarakat yang berbeda budayanya, seperti misalnya meja, untuk orang Amerika artinya adalah menerima sesuatu dan menyimpan,
sedangkan
untuk
orang
Inggris
artinya
mendiskusikan sesuatu. Isyarat non verbal juga mempunyai arti yang berbeda, di Amerika kalau seseorang tidak menatap mata orang yang diajak bicara akan menimbulkan kecurigaan disebut dengan “Si mata meleng”, sedangkan di negara lain bisa dianggap melakukan penyerangan. 5. Waktu dan sikap terhadap waktu (time and time sense) adalah suatu keadaan masyarakat tentang waktu, di Amerika waktu adalah uang, sedangkan di negara lain keterlambatan pada pertemuan adalah sesuatu yang lumrah. 6. Hubungan (relationship) adalah terjadinya hubungan antara manusia itu di latar belakangi oleh umur, jenis kelamin, status hubungan keluarga, bisa berdasarkan kekayaan, kearifan dan kekuasaan. Pada suatu budaya terdapat 79
hubungan yang hangat tetapi pada budaya yang lain ditunjukkan dengan menjaga jarak. Pada budaya tertentu wanita harus berperilaku tertutup dan bersikap berbeda, tetapi pada budaya lain wanita diberlakukan sama. 7. Nilai dan norma (values and norms) merupakan budaya yang dibangun dan norma, atau disebut dengan kebiasaan setempat. Manajer internasional menghindar dan bahaya / resiko, contoh adalah: mempertimbangkan akibat dan nilai dan norma pada cara bernegosiasi. 8. Keyakinan dan sikap (beliefs and attitudes) adalah dimensi yang paling penting dalam kehidupan manusia. Pada budaya barat umumnya dipengaruhi oleh yudeo-cristian dan sebagian Timur budayanya Islam, Cina dan India adalah Budha. Budaya itu nampak pada pekerjaan yang sedang dikerjakan, pekerjaan itu menunjukkan cara bagaimana melayani Tuhan dan manusia, dan ini ditunjukkan pada komitmen moral dan kualitas kerja. 9. Motivasi kerja dan prakteknya (work motivation and practices) adalah pengetahuan tentang motivasi pekerja dalam budaya dikombinasikan dengan pengetahuan tentang apa itu arti hidup adalah hal yang penting untuk manajer internasional. 10. Proses mental dan pembelajaran (mental proceses and learning) menurut ahli Antropologi menemukan perbedaan yang besar tentang proses belajar pada budaya yang berbeda. Ada budaya yang mendorong pemikiran yang 80
abstrak
dan
konseptualisasi
pada
budaya
lainnya
menekankan pada menghapalkan kenangan dan belajar. Cina, Jepang, dan Korea menulis berdasarkan ideograms atau gambar tulis. Di pihak lain Inggris berdasarkan pada mempraktekkan menggunakan kata. Dunia barat berpikiran linear dan logis seperti dan A, lalu ke B, C, dan ke D. Di Arab dan Cina berlaku pemikiran non linear dan ini berdampak pada proses negosiasi. Misalnya dan A bisa terus ke C, kembali ke B dan ke D. Hal ini membuat frustasi pada dunia barat karena tidak logis. Manajer yang tidak mengantisipasi perbedaan ini dapat mengambil kesimpulan keliru yang hasilnya menjadi tidak terduga. Setiap karakteristik ini terjadi berkelanjutan (continuum). Menilai organisasi berdasar pada sepuluh karakteristik akan menghasilkan gambaran Iengkap terhadap budaya organisasi. Gambaran ini akan menjadi dasar memahami pengertian kebersamaan
(shared)
yang
dimiliki
anggota
terhadap
organisasinya, bagaimana segala sesuatunya dikerjakan dan cara dimana anggota diharapkan berperilaku. Menurut
konsep
yang
dikemukan
oleh
Robbins
(1993:43), bahwa keberhasilan sumber daya pada tingkat organisasi terdapat empat variabel bebas, yaitu struktur dan disain
organisasi,
budaya
organisasi,
kebijaksanaan
pengembangan sumber daya, dan tekanan pekerja (work stress). Pengembangan konsep budaya organisasi tersebut dalam kajian empirik telah dilakukan oleh beberapa peneliti 81
yang menerapkan konsep sumber daya manusia pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Biantoro (2002) menemukan dan hasil penelitiannya, bahwa praktek manajemen dan budaya berpengaruh signifikan dan kuat terhadap kinerja karena dapat memotivasi karyawan. Konsep budaya (culture) berasal dari disiplin ilmu antropologi (Evan, 1990; Kotter and Haskeit, 1992), sudah sejak seabad yang lalu digunakan para antropolog untuk menjelaskan: 1. Keunikan
sekelompok
masyarakat
tertentu
dibanding
dengan sekelompok masyarakat lainnya. 2. Mengapa perilaku masyarakat bisa bentahan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seseorang mempelajari budaya dengan melihat dan mengobservasi gambaran budaya yang ada pada masyarakat seperti upacara-upacara,
simbol-simbol, slogan, mitos-mitos,
cerita-cerita dan bahasa termasuk bangunan. Nimran (1999:134) mengartikan culture atau budaya yang bersumber dari Kiliman et al. (1986), ―culture is the shared philosophies,
ideologies,
values,
assumption,
belief,
expectations, attitude and norms that knit a community together “, atau merupakan seperangkat falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dirniliki bersama yang mengikat sualu masyarakat. Menurut llodge et al. (1996:264), budaya yang ada untuk menolong manusia dalam membantu menghadapi ketidakpastian dan kebingungan 82
manusia. Budaya herkembang secara alamiah biIa manusia bersama-sama membentuk kelompok. Sekelompok anggota organisasi
formal
yang
menghadapi
ketidakpastian
dan
kebingungan, keberadaannya sebagai sistem sosial. Makanya tidak perlu heran jika organisasi banyak berkembang dengan berbeda-beda
budayanya,
sebagai
mekanisme
untuk
mengelola lingkungan yang herheda. Hoefstede (1973-1978) (dalam Budipararnita, 1991:16) menjelaskan konsep budaya nasional dicirikan menjadi empat dimensi yang dapat diukur dengan skala ordinal, tingkat ukurannya
tersebut
dapat
dibandingkan dengan
budaya
nasional negara-negara asing lainnya, sebagai berikut: a. Individual-berkelompok (indivisualisme/kolektifisme). Kolektif merupakan sifat pola hubungan masyarakat yang longgar dimana individu mengharap para keluarga dan handai
taulan
atau
kelompok
bersedia
dan
mau
memperhatikan kepentingannya, sebagai balas jasa atas kesetiaannya pada kelompok. b. Jarak kekuasaan yang tinggi-rendah (power distance) Sejauh mana anggota masyarakat menerima herbagai ketimpangan dalam
kekuasaan
organisasi).
(ketidakmerataan
Dalam
masyarakat
kekuasaan
dengan
jarak
kekuasaan yang besar orang dapat menerima tingkatan kekuasaan terjadi dalam masyarakat contohnya pada masyarakat yang telah maju dimana individualisme relatif dominan. Dalam masyarakat dengan jarak kekuasaan yang 83
kecil, orang menginginkan pernerataan kekuasaan dan perbaikan keadaan dan berbagai ketimpangan kekuasaan, dimensi ini akan mempengaruhi struktur organisasi yang ada. c. Penghindaran ketidakpastian tinggi dan rendah (Uncertainty Avoidance). Taraf kurang senangnya orang untuk rnenghadapi keadaan kurang pasti. Perasaan ini menjurus pada tindakan untuk rnernperoleh kepastian dan persamaan tindakan. Dalam masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi berusaha menggunakar formalisasi dan strukturisasi dalam organisasi dengan mempertahankan aturan-aturan serta
norma-norma
yang
ketat
dalam
manajemen.
Sebaliknya dalam masyarakat dengan ketidakpastian yang rendah, beranggapan bahwa praktek lebih penting daripada prinsip. Dimensi ini berhubungan dengan pandangan mengenai waktu dan masa depan yang tidak diketahui, maka mereka cenderung lebih bersikap pasrah. d. Maskulin / Feminin Maskulin
adalah
keinginan
kuat
masyarakat
akan
keberhasilan, kepahlawanan, keyakinan dan keuntungan materi. Feminim menunjukkan keinginan masyarakat mempunyai hubungan
dan
perilaku
yang
sederhana
serta
rnernperlihatkan kelemah lembutan dan mementingkan mutu kehidupan. 84
Sejak akhir tahun 1970-an, kata budaya dikaitkan dengan organisasi atau perusahaan. Pengkaitan kata budaya dengan kata organisasi menghasilkan istilah baru sebagai budaya organisasi atau budaya perusahaan (organization culture) atau kultur perusahaan. Tinjauan Terhadap Budaya Internasional (international cultural consideration) Suatu
negara
cenderung
mengembangkan
sekian
banyak karakteristik budaya (seperti nilai-nilai, norma, praktis, dan keyakinan dan standar), yang terkumpul dan tercipta dan berlangsung dalam waktu lama. Karakteristik telah berurat berakar
pada
kebiasaan
lingkungan
manusia.
Misalnya
perkembangan pemakaian bahasa dan pola pikir, baik secara sadar ataupun tidak sadar, langsung membentuk kebiasaan masyarakat yang akhirnya menjadi budaya. Dalam perusahaan juga mempunyai dan menganut banyak budaya (multi cultural), misal suatu perusahaan multinasional dengan mencampur hanyak budaya dan herhagai negara / nasional dimana perusahaan
tersebut
melakukan
dagang/bisnis.
85
hubungan
aktivitas
Tabel 4.1. PERBEDAAN BUDAYA ORGANISASI ANTARA JEPANG DAN AMERIKA Budaya Jepang 1. Menekankan pada = kolektifisme dan kelompok. 2. Menekankan pada kefarnilian / kekeluargaan dan hormat pada atasan sebagai pemegang authority
Budaya Amerika 1. Menekankan pada individualisme
3. Menekankan pada kerja sama kelompok dan menjaga hubungan yang harmonis
3. Menekankan saling kompetisi, konflik, berkonfrontasi dan saling ada perbedaan 4. Menekankan perolehan hasil pada waktu seketika dan juga pendek
4. Menekankan pada rasa hormat dan hasilnya untukjangka panjang 5. Menekankan perilaku rendah hati dan sederhana
2. Menekankan pada individualisme dan tenaga muda yang bebas
5. Menekankan pada promosi individu dan mengejar materiaL
Sumber: Hodge et al. (996:273). Pada saat sekarang banyak diskusi difokuskan pada budaya-budaya nasional dan budaya organisasi yang saling herbeda. Sebagai contoh lerutama perbedaan budaya antara organisasi Jepang dan Amerika. Bertujuan untuk mengerti sepenuhnya budaya nasional Jepang termasuk memahami budaya perusahan nya yang ada di lingkungannya, yang ternyata mempunyai beberapa keunikan pada manajemen budaya Jepang. Beberapa karakteristik manajemen budaya Jepang
dibandingkan
dengan
budaya
manajemen
organisasi Amerika, terlihat pada Tabel 4.1. di atas.
86
dan
Sesuai dengan gambaran budaya nasional di atas, maka kecenderungan setiap organisasi bisnis, mengembangkan budaya organisasinya sesuai dengan budaya nasionalnya dan sesuai dengan lingkungan organisasi. Demikian juga setiap individu atau konsumen terikat oleh budaya organisasinya. Sebaliknya bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi
di
beberapa
negara
asing,
cenderung
rnengernbangkan beberapa budaya organisasi, sebagai hasil campuran budaya nasional dengan budaya dan negara-negara dimana perusahaan tersebut beroperasi dengan melakukan kontak hisnis. Lebih-lebih setelah tahun 2003 Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas AFTA dan APEC (20102020), di mana tidak ada batas-batas tegas yang memisahkan antar negara di dunia ini dalam melakukan perdagangan dunia secara bebas. Selain itu juga didukung dengan adanya inovasiinovasi dan kemajuan-kemajuan, khususnya dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi. Masuknya arus informasi dan komunikasi memberi kesempatan-kesempatan masuknya budaya negara asing yang cenderung mempengaruhi budaya nasional
dan
berdampak
Kebaikan-kehaikan kesempatan
era
atau
pada
budaya
glohalisasi
peluang
antara
untuk
organisasinya. lain
memberi
mengembangkan
perdagangan nasional sehingga mampu rnenjangkau sampai ke internasional. Sebaliknya arus perdagangan produk dan jasa luar negeri akan membanjiri perdagangan domestik, hal ini merupakan
ancaman
atau
tantangan 87
hagi
perusahaan-
perusahaan domestik nasional. Untuk mampu mengatasi persaingan
dengan
perusahaan-perusahaan
internasional
maka perusahaan-perusahaan perdagangan domestik harus mempersiapkan
diri
dan
mengembangkan
unsur-unsur
internalnya melingkupi kelemahan-kelemahan yang harus diatasi dan di sisi lain kekuatan-kekuatan yang harus tetap dipertahankan dan dikembangkan olch organisasi termasuk budaya organisasi, sehingga mampu melakukan adaptasi perilaku manajerial perusahaan ke arah kondisi-kondisi global. Hal ini bertujuan agar perusahaan domestik nasional mampu memenangkan tingkat persaingan sehingga dapat bertahan terus atau survival dalam rnenghadapi persaingan global. Budaya Kuat dan Lernah Hodge et al. (1996:273) menvatakan bahwa “budaa kuat, apabila budaya dapat menyebar luas dan mendalam dan dapat diterima segenap anggota organisasi. Sedangkan budaya lemah
(a
thin
culture),
apabila
budaya
tersebut
tidak
menyebarluaskan ke seluruh organisasi, dan tidak diterima dengan menyenangkan oleh segenap anggota organisasi. Sebagai akibatnya budaya tidak menjadi pusat kehidupan organisasi. Kalau budaya kuat berperan sebagai pusat kehidupan sel uruh organisasi (a core of organization life)‖. Robbins (1988:208) menyatakan “a strong culture is characterized by the organization ‗s core values being intensively held, clearly ordered, and widely shared‖. Makna 88
dan budaya organisasi yang kuat mempunyai karakteristik sebagai pusat nilai dalam organisasi dan dapat konsisten dengan strategi-strategi perusahaan, diterapkan secara intensif, jelas arahnya dan secara hias diadopsi dan dianut, cenderung meningkatkan konsisten untuk berperilaku, yang diterapkan mulai dan pimpinan sampai karyawan. Budaya organisasi kuat berperan sebagai substitusi bagi formalisasi organisasi. Dan cenderung
mengurangi
kebutuhan
manajemen
untuk
mengemhangkan peraturan formal, mampu mengontrol pikiran, jiwa, disamping jasmani, untuk membentuk perilaku pegawai. Budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap pendekatan menejer
untuk
mensolusi
masalabmasalah
dan
mampu
bercaksi dalam berkompelisi dan juga pada implementasi strategi-strategi baru di perusahaan. Maka sernakin kuat budaya organisasi akan membantu pencapaian keefektifan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dan kepuasaan karyawan.
Sumber: Robbins, Perilaku Organisasi (1996:480) Gambar 4.1 KARAKTERISTIK PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI BARU
89
Robbins
menyimpulkan
suatu
budaya
dengan
serangkaian karakteristiknya dapat mengarahkan pembentukan budaya kuat dalam organisasi, sehingga mampu berfungsi rneningkatkan kinerja organisasi dan menciptakan kepuasan karyawan,
dan
pada akhirnya
mempengaruhi
efektivitas
organisasi, sebagaimana terlihat pada Gambar di atas. Luthans (1995:232)
menyatakan
bahwa
upaya
memperkuat
dan
mempertahankan budaya adalah dengan melakukan sosialisasi budaya atau proses meneruskan (mentransmisikan budaya) dengan cara: 1. melalui seleksi bagi calon karyawan, 2. memberikan penempatan, 3. melakukan orientasi (pendalaman) bidang
pckerjaan.
4.
penilaian
kinerja
dan
pemberian
penghargaan; 5. menanamkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur; 6. membuat cerita, hikayat atau berita; dan 7. pengakuan atas kineria dan promosi. Maka melalui sosialisasi, budaya dapat ditanamkan dan dikembangkan, mampu memadukan antara nilai budaya karvawan dengan nilai budaya organisasi sehingga terjadi penerirnaan nilai inti untuk dianut oleh setiap anggota organisasi. Menurut Hodge et al. (1996:288), ada tiga karakteristik budaya kuat yaitu: 1. mengarahkan (direction), 2. kuat (strength), dan 3. mempengaruhi (pervasiveness). Budaya mengarahkan (direction) perilaku ke jalan pencapaian tujuan organisasi.
Budaya
kuat
(strong)
mempunyai
kekuatan
mengawasi terhadap perilaku anggota organisasi. Sedangkan budaya
mampu
mempengaruhi
(pervasiveness),
meyakinkan semua anggota organisasi. 90
mampu
BAB 5 KARAKTERISTIK BUDAYA ORGANISASI
Berbagai studi tentang teori budaya organisasi telah banyak dilakukan dan masing-masing teori tersebut dikaitkan dengan ukuran-ukuran yang mewakili budaya organisasi tersebut, Xenikou dan Furuham (1996) dalam artikelnya yaitu, ―A
Correlational
and
Factor
Analytic
Study
of
Four
Questionnaire Measures of Organizational Culture‖ mencoba untuk mengukur norma-norma atau nilai-nilai dan budaya organisasi melalui 4 model kuesioner yang dikembangkan, dan mereka juga berusaha untuk membandingkan ukuran-ukurkan yang berbeda tersebut melalui anaIsis korelasional dan faktor. Ukuran-ukuran
yang
dikembangkan
tersebut
mencerminkan pandangan serta definisi budaya organisasi yang dicetuskan oleh peneliti yang bersangkutan. Jadi ketika budaya organisasi ditinjau sebagai kumpulan nilai-nilai, maka ukuran-ukuran atau indikator yang dikembangkan terfokus dan nilai-nilai tersebut. Apabila definisi dan budaya tersebut lebih dikaitkan dengan artefact nya, maka indikator-indikator budaya organisasi diwarnai dengan keberadaan artefact tersebut. Sementara itu dan hasil survey terhadap para eksekutif, ternyata pandangan dan Deshpande et al., tentang budaya organisasi atau perusahaan cukup konsisten dengan opini para praktisi.
Dalam
artikelnya,
Deshpande 91
et
al.
(1993:25)
memperkenalkan atribut budaya sebagai budaya-budaya yang competitive, innovative, bureaucratic, dan community. Ternyata ukuran-ukuran budaya yang dikembangkan ini cukup ringkas, dapat diterapkan dan diterima para praktisi, dan respondent friendly. Ada banyak pendapat yang berusaha untuk mencirikan budaya
suatu
organisasi.
Robbins
(1998:595-596)
mengemukakan tujuh karakteristik primer yang digunakan secara bersama untuk memahami hakikat dan budaya suatu organisasi, pada masa sekarang. Ketujuh karakteristik primer tersebut adalah sebagai berikut: 1. Inovasi dan pengambilan nisiko (innovation and risk taking) Suatu keleluasaan bagi anggota organisasi sehingga terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan yang inovatif dan berani mengambil resiko. 2. Perhatian pada rincian (attention to detail) Harapan organisasi kepada anggotanya agar bertindak secara cermat, analitis dan memperhatikan pada rincian. 3. Orientasi pada hasil (outcome orientation) Sejauhmana
pihak
manajemen
organisasi
Iebih
memperhatikan hasil kerja anggota organisasi daripada teknik atau proses yang dilakukan untuk mencapai hasil tersebut. 4. Orientasi pada orang (people orientation) Bagaimana organisasi memperlakukan anggota-anggotanya secara manusiawi. 92
5. Orientasi pada tim (team orientation) Menunjukkan apakah proses-proses kerja dalam organisasi dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kerja, bukan pada individu. 6. Agresivitas (aggresiveness) Sejauh mana anggota organisasi berperilaku agresif dan kompetitif dalam proses kerjanya. 7. Kemantapan (stability) Kekuatan anggota organisasi memegang teguh 7 karakteristik
tersebut
menunjukkan
stabil
atau
tidaknya
organisasi dalam menata dirinya menghadapi perubahanperubahan yang terjadi. Tampaknya ada kesepakatan yang luas bahwa budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dan organisasi-organisasi yang lain. Maka dengan menitai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dan budaya organisasi. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan dan cara para anggota diharapkan berperilaku. Sedangkan Jakarta Consulting Group menggunakan seputuh macam karakteristik budaya organisasi (Susanto, 1997:5-8), sebagai berikut:
93
1. Inisiatif Individual Seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalarn perusahaan. Meliputi derajat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi dan masing-masing anggota organisasi. Seberapa
besar
seseorang
diberi
wewenang
dalam
menjalankan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul
sesuai dengan kewenangannya dan
seberapa luas kebebasan dalam mengambil keputusan. 2. Toleransi Terhadap Resiko Seberapa jauh sumber daya manusia di dorong untuk lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko di dalam pekerjaannya. 3. Pengarahan Kejelasan organisasi dalam menentukan objektif dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya.
Harapan
dapat
dituangkan
dalam
bentuk
kuantitas, kualitas, dan waktu. 4. Integrasi Bagaimana
unit-unit
di
dalam
organisasi
di
dorong
melakukan kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik. Seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama ditekankan dalam pelaksanaan tugas. Seberapa dalam interdepedensi antar sumber daya manusia ditanamkan.
94
5. Dukungan Manajemen Seberapa jauh para manajer memberikan kornunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya. 6. Pengawasan Meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dan perilaku karyawan. 7. Identitas Pemahaman
anggota
organisasi
yang
loyal
kepada
organisasi secara penuh. Seberapa jauh loyalitas terhadap organisasi. 8. Sistem Penghargaan Alokasi ―reward‘ (kenaikan gaji, promosi) yang berdasarkan pada kriteria hasil kerja karyawan. Pada perusahaan yang sistern
penghrgaarinya
jelas,
semuanya
telah
terstandardisasi berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. 9. Toleransi terhadap Konflik Usaha mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi. Dalam budaya perusahaan yang toleransi konfliknya tinggi, perdebatan dalam pertemuan adalah sesuatu yang wajar. Tetapi dalam perusahaan yang toleransi
konfliknya
rendah,
SDM
akan
perdebatan dan menggerutu di belakang.
95
menghindari
10. Pola Komunikasi Komunikasi organisasi yang terbatas pada hierarki formal dan setiap perusahaan. Bahkan dari karakteristik yang telah dikemukakan di atas memperkenalkan 2 macam budaya dalam suatu organisasi atau perusahaan yaitu budaya entrepreneur dan budaya administratif. Bagi perusahaan yang memiliki jenis budaya entrepeneur di dalam setiap aktivitasnya selalu memfokuskan pada peluang-peluang baru. Hal ini tercermin dalam jiwa kewiraswastaan yang selalu menganggap bahwa dengan menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut perusahaan akan selalu survive dan terdorong untuk selalu berusaha mencapai sasaran yang berbeda-beda dan satu periode ke periode berikutnya. Oleh karena itu, kegiatan operasional yang terjadi di dalam perusahaan ini cukup dinamis dan membutuhkan sumber daya manusia yang cukup cepat di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik dan sisi internal maupun eksternal. Di samping itu, perusahaan akan berusaha memenuhi sarana yang dibutuhkan untuk merealisasi kegiatan di dalam meraih keberhasilan dan peluang baru tersebut. Selain itu juga dibutuhkan struktur organisasi yang cukup dengan budaya yang dianut, karena apabila hal-hal ini tidak disesuaikan dengan budaya tersebut maka perusahaan tidak akan pernah memperoleh peluang-peluang baru dan juga tidak akan pernah berhasil mempertahankan peluang yang sudah ada. 96
Sedangkan administratif
ini
perusahaan sangat
yang
bertolak
memiliki
belakang
dan
budaya budaya
entrepreneur, hal ini terlihat bahwa pada budaya administratif seluruh aktivitas yang dilakukan lebih memfokuskan pada peluang-peluang
yang
sudah
ada.
Sebab
budaya
ini
memandang bahwa peluang yang diperoleh harus terus dipertahankan karena usaha untuk mendapatkan pekerjaan tersebut, perusahaan telah menginvestasikan dana yang cukup besar. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan prosedur pengendalian
yang
cukup
ketat
untuk
mempertahankan
peluang yang sudah diperoleh ini. Dalam kegiatan pada budaya administratif ini, tingkat dinamika yang terjadi tidak terlalu tinggi seperti
yang
perusahaan
terjadi yang
pada
budaya
menganut
entrepreneur.
budaya
Maka,
administratif
ini
membutuhkan struktur organisasi yang dapat mendukung kegiatan usaha perusahaan tersebut. Berangkat dan tradisi dalam studi Antropologi, Schein mengungkapkan budaya organisasi dan kepemimpinan para eksplisit terlihat dan sebuah perspektif perubahan (Lakomski, 201), dan terdapat dua (2) perubahan mendasar dan model Schein (Hatch, 1993). Pertama, simbol yang diperkenalkan sebagai suatu unsur baru; kedua, unsur-unsur budaya (asumsiasumsi, nilai-nilai, artifak, dateimboI-simbol), bergerak dan konsepsi yang statis ke konsepsi yang dinank (seperti dalam Gambar 5.1).
97
Sumber: The Dinamics of organizational culture, Mary Jo Hatch, Academy of Management Review, 1993, Vol.18, No. 4, 657-693. Gambar 5.1 MODEL DINAMIKA BUDAYA Berdasarkan Gambar 5.1. di atas, unsur-unsur budaya dapat pula digunakan sebagai peningkat budaya. Ini berarti bahwa apabila unsur-unsur tersebut dijadikan peringkat, maka peringkat budaya organisasi berawal dari nilai-nilai, kemudian diwujudkan dalam bentuk artifak, disampaikan melalui simbolsimbol,
dan
dinterpretasi
dengan
asumsi-asumsi
yang
merupakan manifestasi dan nilai. Atau dengan kata lain, seperangkat nilai yang dianut dimanifestasikan dalam bentuk seperangkat asumsi yang disampaikan melalui simbol-simbol dan dipertegas dengan artifak. Ini sejalan juga dengan apa yang dikatakan oleh Trice dan Beyer (1991) bahwa dalam rangka kekongkritan dan menjaga kepentingannya, maka pemahaman terhadap budaya harus dikomunikasikan secara kontinyu dan ditegaskan melalui bentuk-bentuk budaya, seperti cerita, simbol, seremoni atau upacara. Jika metodologi Hofstede (1986: 15-16) digunakan, maka tingkatan budaya 98
diidentifikasi dalam tiga (3) tingkatan, yaitu: universal, collective, and individual. Ketiga tingkatan budaya tersebut dapat dilihat dalam Gambar 5.2 berikut. Gambar 5.2. berikut merupakan suatu piramida yang menunjukkan
adanya
tiga
tingkatan
nilai-nilai
(mental
programming). Nilai-nilai tersebut semakin unik ketika pada tingkat individu, di mana pada tingkat mi masingmasing individu memiliki nilai-nilai unik atau khas. Kemudian ketika sudah berada di terigah-tengah suatu kelompok, nilai-nilai dibagi (share) di antara sekelompok orang. Pada akhirnya, pada tingkat universal, nilai-nilai tersebut menjadi dan terbagi semakin luas untuk seluruh umat manusia.
Sumber: Geert Hofstede, Culture‘s Consequences in WorkRelated values, 1986:16. Sage Publications, Beverly Hills, London, New Delhi. Gambar 5.2 THE LEVELS OF UNIQUENES IN HUMAN MENTAL PROGRAMMING Selanjutnya, ada dua (2) komponen dan budaya. Pertama, merupakan hal yang substansi dan budaya yaitu 99
sistem-sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma. Kedua, merupakan bentuk dan budaya yang terdiri dari cara-cara yang dapat
diteliti
dan
para
penganut
budaya
dalam
mengekspresikan ide-idenya. Untuk memperjelas pemahaman pemahaman terhadap komponen budaya, maka Gambar 5.3 berikut, suatu budaya digambarkan sebagai gumpalan es yang terapung (iceberg) karena
permukaan
meliputi
unsur-unsur
bentuk-bentuk
berdasarkan pada unsur-unsur substansi yang lebih dalam. Unsur-unsur yang dapat dilihat (artifacts: cultural routines, the rituals, and ceremonies) merupakan praktek-praktek budaya organisasi.
Sumber: Pamela S. Lewis, Stephen H. Goodman, dan Patricia M. Fandt: Management, Challenges for Tomorrow‘s Leaders, 2004: 350. Gambar 5.3 KOMPONEN BUDAYA ORGANISASI
100
Unsur-unsur
tersebut
keyakinan-keyakinan,
didukung
harapan-harapan,
oleh dan
nilai-nilai,
norma-norma
bersama di tingkat paling dalam atau yang dikenal sebagai inti organisasi. Artifak mendukung dan mengukuhkan keyakinankeyakinan, nilai-nilai, harapan-harapan, dan norma-norma bersama
dalam
organisasi.
Para
manajer
seharusnya
menyadari bahwa adalah hal yang tidak mungkin merubah permukaan
tanpa
melakukan
perubahan
terhadap
yang
mendasarinya. Geletkanycz (1997) mengatakan bahwa “culture has an important impact on executive mindsets‖. Budaya mempunyai dampak yang penting bagi kerangka berpikir eksekutif. Pemahaman hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi seharusnya menjadi landasan kerangka berpikir
eksekutif
menuju
suatu
kebijakan
dan
strategi
kepemimpinan. Sementara itu, Hennessy (1998) mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan penentu yang utama dan kinerja organisasi.
Ketidakmampuan
dalam
mengelola
budaya
organisasi diidentifikasi sebagai kendala yang serius dalam mengadakan perubahan pemerintahan federal, dan apabila demikian, dikatakan sebagai sesuatu yang tidak realistik dalam pendekatannya. Perusahaan berkelanjutan
yang
adalah
mencapai
perusahaan
kinerja
yang
superior
dicirikan
oleh
seperangkat nilai-nilai manajerial inti yang mendukungnya, 101
yang karenanya dikatakan bahwa budaya organisasi sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, asumsi, dan simbol yang dengan caranya membantu bisnis perusahaan (Deal dan Kennedy, 1984; Peters dan Waterman, 1998). Hal ini dapat dipahami bahwa budaya organlsasi merupakan pedoman bertingkah laku bagi seluruh anggota organisasi, yang apabila memperoleh dukungan yang kuat akan mempercepat proses pencapaian tujuan organisasi. Yukl (1998:303) mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin yang mempertahankan budaya, menegaskan nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang berlaku yang cocok bagi keberhasilan yang terus menérus dan organisasi tersebut, dan mereka hanya membuat perubahan-perubahan sedikit demi sedikit dalam strategi-strategi tersebut. Sebaliknya, para pemimpin yang melakukan inovasi budaya, mengajukan sebuah ideologi radikal dengan nilai-nilai dan strategi-strategi baru untuk menanggapi sebuah krisis yang seningga para pemimpin yang melakukan inovasi budaya perlu Iebih dramatis dan ekspressif. Dari uraian pengertian-pengertian di atas, maka nampak ada tiga (3) hal yang menjadi ciri-ciri budaya organisasi, yaitu: dapat dipelajari, dimiliki bersama dan diwariskan dan generasi ke generasi. Banyaknya
variabel
yang
terlibat
dalam
budaya
organisasi, memungkinkan semakin meluasnya karakteristik budaya yang bisa diuraikan. Namun demikian, ada beberapa karakteristik umum dan budaya organisasi. Kreitner (1995: 285102
286) mengatakan bahwa terdapat enam (6) karakteristik umum dan budaya organisasi, yaitu: 1. Collective.
Ini
mengandung
makna
bahwa
budaya
organisasi merupakan entitas sosial. 2. Emotionally charged. Manusia cenderung metnperoleh budaya
organisasi
untuk
suatu
penlindungan
atau
keamanan, karena bukan hal yang mustahil dihadapkan pada ketidak-amanan dan ketidak-pastian. 3. Historically dalam
based.
Pengalaman-pengalaman
bersama,
waktu yang panjang, mengikat kelompok orang
secara bersamasama. Kecenderungan yang ada adalah orang-orang mengidentifikasikan dengan orang-orang lain yang
mempunyai
pengalaman
hidup
yang
sejenis.
Kepercayaan dan kesetiaan merupakan dua komponen kunci budaya, diperoleh melalui pola-pola dalam perkataan dan tindakan yang secara konsisten dilakukan. 4. Inherently symbolic. Seringkali tindakan dianggap lebih keras daripada kata-kata. Beberapa kata atau slogan bisa memberikan makna simbolik yang besar. Tetapi seringkali perlu menelaah untuk menemukan pesan-pesan budaya dengan tepat. 5. Dynamic.
mi berarti bahwa budaya organisasi yang
merupakan pedoman bertingkah laku bersifat dinamis, dan dalam jangka panjang dapat meningkatkan daya ramal, konformitas, dan stabilitas.
103
6. Inherently fuzzy. Kemenduaan, kontradiksi, dan banyaknya pengertian merupakan hal yang mendasar pada budaya organisasi. Luthans
(1992:563)
mengatakan
bahwa
budaya
organisasi mempunyai
sejumlah
karaktristik
penting.
Beberapa
karakteristik penting tersebut adalah sebagai berikut: 1. Observed behavioral regulities. Pada saat para anggota organisasi berinteraksi antara yang satu dengan yang lain, dipastikan umum,
mempergunakan
dan
ritual-ritual
bahasa,
yang
terminologi
berhubungan
yang
dengan
penghormatan. 2. Norms.
Standar-standar
perilaku
yang
ada,
meliputi
petunjuk seberapa banyak pekerjaan dikerjakan. 3. Dominant values. Ada beberapa nilai dominan di mana organisasi ingin agar para karyawan memilikinya. 4. Philosophy.
Beberapa
filosofi
organisasi
mengenai
bagaimana para karyawan dan atau konsumen dihormati. 5. Rules. Ada beberapa aturan yang harus dipenuhi para anggota organiasi selama berada dalam organisasi. 6. Organizational culture. Ini mengandung makna bahwa budaya organisasi memberikan pedoman bertingkah (aku karyawan, dan bagaimana para karyawan bertingkah-Iaku menghadapi konsumen átau pihak luar.
104
Karakteristik di atas tidak bisa di pisah-pisah, masingmasing tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan secara kolektif akan menunjukkan suatu budaya organisasi. Sementara
itu,
bentuk-bentuk
dan
konsekuensi-
konsekuensi budaya organisasi digambarkan seperti dalam Gambar 5.4.
Sumber: Robert Practices, 1995
Kreitner,
Management
Principles
and
Gambar 5.4 BENTUK DAN AKIBAT BUDAYA ORGANISASI
Perusahaan
dengan
budaya
kuat
merupakan
manajemen yang handal (Peter dan Waterman, 1982). Budaya
mempunyai
dampak
yang
pervasif
pada
organisasi karena budaya organisasi tidak hanya menetapkan para pegawai yang relevan, konsumen, supplier, dan pesaing, tetapi
juga
menetapkan
bagaimana
organisasi
akan
berinteraksi dengan actor-aktor kunci organisasi. Setiap organisasi mempunyai budaya, walaupun tidak semua budaya organisasi tersebut mempunyai dampak yang sama terhadap para karyawan dan pimpinan. Budaya kuat 105
berarti bahwa organisasi yang di dalamnya mempunyai nilainilai kunci yang secara intensif dipegang teguh dan secara luas dimiliki secara bersama-sama sehingga mempunyai pengaruh yang Iebih besar terhadap para karyawan dan pada organisasi dengan budaya yang Iemah. Lebih banyak para karyawan menerima nilai-nilai kunci organisasi dan Iebih besar komitmen para
karyawan
pada
nilai-nilai
tersebut,
maka
budaya
organisasi menjadi lebih kuat (Robbins dan Coulter, 1999:82). Pengukuran budaya organisasi menurut Deshpande, et al.
(1993)
‗...the
adalah
labels
competitive,
innovative,
bureaucratic, and community culture‘. Sementara
itu,
Denison
dan
Mishra
(1995)
mengemukakan bahwa terdapat empat dimensi pengukuran budaya, yaitu involvement, consistency, adaptability, and sense of mission. Involvement dan adaptability merupakan indikator fleksibilitas, keterbukaan, dan responsibilitas, sehingga menjadi pemrediksi yang kuat terhadap pertumbuhan. Dua Girl budaya yang lain, consistency dan mission merupakan indikator integrasi,
arah
dan
vlsi,
sehingga
menjadi
pemrediksi
profitabilitas yang Iebih baik. Input dan kolaborasi menjadi item dan involvement, agreement, dan predictability menjadi item consistency,
change
dan
responsiveness
menjadi
item
adaptability, dan direction dan vision menjadi item mission (Gambar 5.5).
106
Sumber: Denison and Mishra, Toward a Theory Organizational Culture and Effectiveness, 1995.
of
Gambar 5.5 MODEL TEORITIS SIFAT BUDAYA
Sarros, et al., (2002) telah melakukan pengukuran terhadap
budaya
kepemimpinan
organisasi
dengan
terkait
dengan
mempergunakan
OCP.
perilaku OCP
(Organizational Culture Profile) merupakan dimensi-dimensi terukur dan budaya organisasi, dikembangkan oleh O‟Reilly, et al. (1991) dan telah diadakan perbaikan. Ada delapan (8) dimensi budaya organisasi yaitu: 1. innovation, 2. attention to detail, 3. outcomes orientation, 4. aggressiveness, 5. supportiveness, 6. emphasis on rewards, 7. team orientation, and 8. decisiveness
107
Selanjutnya, kedelapan dimensi tersebut dikaji ulang dan terangkum dalam tujuh (7) karakteristik utama dan budaya organisasi, yaitu: 1. Inovasi dan pengambilan risiko. Ini menunjukkan sejauh mana para karyawan didorong untuk melakukan tindakan inovatif dan mengambil risiko. 2. Perhatian ke rincian. Ini menunjukkan sejauh mana para kanyawi diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian pada rincian. 3. Orientasi hasil. Ini menunjukkan sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dan bukan pada teknik dan proses yang dipergunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4. Orientasi orang. Ini, menunjukkan sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi yang bersangkutan. 5. Orientasi tim. Ini menunjukkan sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan di antara tim, bukan pada individu-individu. 6. Keagresifan. Ini menunjukkan sejauh mana para karyawan agresif dan kompetitif, bukan santai. 7. Kemantapan. ini menunjukkan sejauh mana kegiatan organisasi menekankan pada dipertahankannya status quo dan pada pertumbuhan. Gordon dan Cummins (1979) yang juga kajian Betts dan Haithill (1985)
serta
kajian
108
Glaser,
et
al.
(1987)
mengatakan bahwa terdapat sepuluh sifat budaya organisasi, yaitu: 1.
Individual
Initiative,
menunjukkan
tingkatan
pertanggujawaban, kebebasan, dan ketergantungan yang dimiliki individu. 2. Risk Tolerance, menunjukkan tingkatan aggresifitas, inovasi, dan risk-seeking individu. 3. Direction, menunjukkan tingkatan di mana organisasi mampu menciptakan tujuan yang jelas dan harapan kinerja. 4. Integration, menunjukkan tingkatan di mana unit-unit dalam organisasi melaksanakan tugas secara terkoordinasi. 5. Management Support, menunjukkan tingkatan dimana para manajer mampu menyediakan komunikasi yang jelas, asistensi, dan dukungan pada bawahannya. 6. Control, berupa peraturan-peraturan, dan sejuiniah supervisi langsung yang digunakan untuk mengamati dan mengontrol perilaku individu. 7. Identity, menunjukkan tingkatan di mana para karyawan mengidentifikasi dengan organisasi secara keseluruhan. 8. Reward System, menunjukkan tingkatan pengalokasian reward. 9. Conflict
Tolerance,
menunjukkan
tingkatan
di
mana
karyawan didorong untuk kritis. 10. Communication
Patterns,
menunjukkan
tingkatan
komunikasi organisasional yang dibatasi oleh hirarki formal.
109
Budaya
dalam
suatu
organisasi
ditinjau
dan
kepemimpinan merupakan kepercayaan yang meliputi upaya bagaimana tugas dilaksanakan dan bagaimana karyawan berperilaku baik dan menyenangkan. Untuk itu pimpinan mempunyai peluang yang lebih besar untuk turut menciptakan budaya. Dengan demikian, maka hal yang paling penting bagi para manajer atau pemimpin organisasi adalah menciptakan dan memelihara suatu budaya organisasi yang kuat. Melalui uraian sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa indikator-indikator budaya organisasi seharusnya mendukung terciptanya kondisi pertumbuhan dan lebih menguntungkan organisasi. Ini berarti terdapat peningkatan prestasi kerja (kinerja). Dengan kata lain, kinerja karyawan menjadi lebih baik melalui
pemahaman
dan
penerapan
budaya
organisasi.
Karakteristik atau dimensi-dimensi budaya organisasi yang telah diuraikan di atas dijadikan indikator-indikator budaya organisasi, dipandang telah memenuhi kelengkapan penelitian ini.
110
BAB 6 TIMBULNYA BUDAYA ORGANISASI
Budaya organisasi atau kultur organisasi tidak muncul dengan sendirinya pada kalangan anggota organisasi, metapi perlu
dibentuk
dan
dipelajari,
disosialisasikan
serta
diperlahankan. Budaya organisasi merupakan sekumpulan nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma dikombinasikan dengan gaya kepemimpinan dan top manajemen, maka membentuk budaya organisasi yang harus dipelajari dan harus dimiliki hersarna oleh anggota organisasi, perlu diwariskan dan generasi
ke generasi
berikutnya,
maka
sangat
penting
peranannya. Pembentukannya adalah hasil interaksi antara anggota organisasi yang berinteraksi ke dalam strukiur organisasi dan kedalam sistem yang ada dalam organisasi. Semakin
kompleksnya
lingkungan,
maka
perlu
penyesuaian pada organisasi dengan upaya memperlebar rentang kendali, menciptakan struktur yang datar dengan membentuk dan mengembangkan budaya organisasi yang berkarakteristik yang lebih dinamis, sehingga budaya organ isasi dapat mendorong terciptanya jati diri, mengembangkan keikatan pribadi, menyajikan pedoman sikap dan perilaku kerja karyawan, mengurangi formalisasi dan penciptaan iklim kerja yang kondusif, maka peranan budaya organisai sangat mendukung terciptanya suatu organisasi yang efektif. 111
Pembentukan
budaya
menurut
Harvey
(1996:353)
terlihat dalam gambar dibawah ini:
Sumber: Human Resource Management, 1996, Harvey D and Bruce Bowin R, Prestice Hall international, Inc, USA: 353. Gambar 6.1 CULTURE FORMATION Di dalam setiap organisasi lazimnya telah tumbuh dan generasi awal suatu budaya organisasi, baik yang pada awalnya
ditetapkan
oleh
pendiri
dan
dirumuskan
oleh
manajemen, maupun tercipta dengan sendirinya, karena hasil interaksi dan iklim perusahaan. Secara
umum
budaya
organisasi
tumbuh
secara
sukarela dan diterapkan sepenuh hati oleh anggota organisasi mulai dari jajaran pimpinan sampai dengan segenap karyawan, atau antara karyawan saling mematuhi penerapannya dan dimasyarakatkan, agar tercipta suasana kerja yang diwarnai 112
oleh saling menghargai terhadap perilaku kerjasama dalam organisasi. Budaya organisasi menggambarkan pola yang komplek dan nilai-nilai, kepercayaan dan harapan yang dianut oleh sesama anggota organisasi dan gaya kepemimpinan (managernen
style)
yang
mampu
menopang
strategi
perusahaan dan rnenamin kelangsungan hidup organisasi dalam gejolak perubahan organisasi yang disehahkan oleh pengaruh faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal organisasi. Menurut Harvey et al. (1996:354), budaya organisasi cenderung membawa kesuksesan dengan cara sebagai berikut: 1. Budaya organisasi memberikan manfaat pada anggota organisasi
tentang
bagaimana
harus
bersikap
dan
berprilaku. 2. Bagaimana harus beraktivitas dan dimana menentukan prioritas kerja. 3. Budaya
organisasi
menuntun
dan
meniadi
pedoman
anggota organisasi dalam mengisi kekosongan antara ketentuan formal yang dihadapi versus kenyataan yang harus dilaksanakan dalam bekerja. Kesimpulannya, budaya organisasi berperan sangat dinamis
dalam
mengaplikasikan
strateg
perusahaan.
Sebaliknya budaya organisasi, tidak akan berfungsi sebagai pengikat
antara
pr1oadi, dan
antara
karvawan
dengan
perusahaan, apabila ragam unsur budaya organisasi yang 113
dianut, ebth menekankan dan berdasarkan pada rasa takut ataupun dipaksakan. Perlu sekali penerapan budaya organisasi yang berfungsi sebagai unsur yang dapat mempengaruhi efektivitas organisasi dan dapat mencapai kepuasan karyawan sehingga merangsang motivasi karyawan untuk bekerja efektif. Pada aplikasi budaya organisasi haru dan hasil survei pendahuluan dapat dijabarkan kepada 7 butir karakteristik yang aplikasinva pada sikap dan perilaku jajaran manajer menengah serta dilengkapi dengan kebijakan pihak perusahaan untuk mendorong terciptanya aplikasi budaya organisasi baru secara efektif. Karekteristik budaya organisasi diuraikan sebagai berikut: 1. Profesionalisme, 2. Orientasi pekerjaan, 3. Aspek kompetisi, 4. Dinamika tim kerja, 5. Dinamika kompensasi, 6. Dinamika peluang karir, 7. Dinamika kebijakan perusahaan. Flarvey et al, 1996:334, menyatakan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut: 1. Individual Autonomy, menekankan pada tingkat tanggung jawab, kemerdekaan dan kesempatan untuk meningkatkan inisatif dan anggota organisasi 2. Structure, menekankan pada tingkat berlakunya aturanaturan dan peraturan-peraturan (The degre of rules and regulations) dan tingkat pelaksanaan supervisi secara langsung kepada sikap dan prilaku anggota organisasi. 3. Performance Insentive, menekankan pemberian insentif pada konfensasi anggota organisasi seperti kenaikan gaji, kenaikan pangkat. 114
4. Risk
Behavior,
menanggung
menekankan
resiko
untuk
pada
tingkat
pengembangan
kemauan agresifitas,
inovasi dan kesediaan menanggung resiko. Budaya organisasi yang terbentuk banyakditentukan oleh beberapa unsur, yaitu (Atmosoeprapto, 2000:72): 1. Lingkungan usaha Lingkungan organisasi itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh organisasi tersebut untuk mencapai keberhasilan. 2. Nilai-nilai Nilai-nilai merupakan konsep dasar dan keyakinan dan suatu organisasi. 3. Panutan dan keteladanan Orang-orang menjadi panutan atau teladan karyawan Iainnya karena keberhasilannya. 4. Upacara-upacara Acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam
rangka
memberikan
penghargaan
pada
karyawannya. 5. Jaringan Jaringan komunikasi informal didalam organisasi yang dapat menjadi saran penyebaran nilai-nilai dari budaya organisasi. Pada satu pihak, budaya bermuatan nilai dasar yang mengaktualisasikan din dalam wujud raga (memperagakan diri) melalui perilaku dengan cara tertentu, dan di pihak lain budaya terbentuk (nilai membudayakan dirinya) melalui raga yang 115
dilakonkan dengan cara tertentu pula. Hubungan antara kedua hal tersebut dapat digambarkan (Ndraha, 2003: 47-48) sebagai berikut:
Sumber: Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi, 2003, 48 Gambar 6.2 AKTUALISASI DAN TERBENTUKNYA BUDAYA
Para
pendiri
suatu
organisasi
secara
tradisional
mempunyai dampak utama pada budaya dini organisasi tersebut. Sebagai pembentuk awal budaya organisasi, maka para pendiri mempunyai suatu visi mengenai bagaimana seharusnya
organisasi itu.
Ukuran kecil yang lazimnya
mencirikan organisasi baru, akan mempermudah pendiri untuk menerapkan dan menanamkan visinya kepada semua anggota organisasi. Dengan demikian budaya organisasi diturunkan dan filosofi pendirinya. Selanjutnya budaya organisasi ini akan sangat mempengaruhi kriteria yang dipergunakan dalam mempekerjakan karyawan. Atau dengan kata lain, tindakan dan manajemen puncak akan menentukan iklim umum dan perilaku
116
yang dapat denma atau yang tidak (seperti Gambar 6.3. berikut). Sebagai contoh, budaya Microssoft sebagian besar merupakan suatu renungan dan salah seorang pendiri dan direktur utamanya dewasa ini, Bill Gates. Secara pribadi, Gates adalah seorang yang agresif, kompetitif, dan sangat disiplin. Hal itu merupakan karakteristik yang sama, yang sering dipergunakan untuk mendeskripsikan raksasa perangkat lunak yang dipimpinannya (Robbins, 2002: 255).
Sumber: Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, 2002, 262. Gambar 6.3 TERBENTUKNYA BUDAYA ORGANISASI
Setidaknya terdapat tujuh (7) faktor yang membentuk budaya
organisasi,
mengumpulkan
sekalipun
beberapa
untuk
setiap
organisasi
dapat
mengembangkan
suatu
budaya yang unik. Faktor-faktor tersebut dalam Gambar 6.3. berikut.
117
Sumber: Plunkett and Attner, Introduction to Management, 1994, 266. Gambar 6.3 FAKTOR-FAkTOR YANG MEMBENTUK BUDAYA ORGANISASI Gambar di atas sebagai suatu perbandingan, walaupun setiap organisasi memiliki unsur-unsur budayanya yang unik, maka setidaknya factor tersebut adalah faktor-faktor yang membentuknya yaitu: •
Key organizational pmcesses (proses organisasi kunci), merupakan pimpinan berkomunikasi dengan para karyawan, mengambil keputusan, dan menstruktur tugas. Proses ini mempengaruhi dipengaruhi enam faktor yang lain.
•
Employees and other tangible assets (sumber daya organisasi), merupakan semua sumber daya atau asset organisasi
secara
kualitas
maupun
mempengaruhi budaya organisasi. 118
kuantitas
akan
•
Formal organizational arrangements (susunan organisasi formal), menggambarkan bagaimana tugas dan individuindividu dalam organisasi diorganisir, meliputi struktur organisas, prosedur dan aturan yang berlaku.
•
The dominant coalition (koalisi dominan), memberikan makna bahwa budaya organisasi sangat dipegaruhi oleh tujuan, strategi, ciri-ciri pribadi dan hubungan para pemimpin selaku yang membentuk koalisi dominan.
•
The social system (sistem sosial), merupakan suatu sistem yang banyak memberikan kontribusi norma dan nilai-nilai terhadap budaya organisasi.
•
Technology,
menunjukkan
bahwa
budaya
organisasi
dipengaruhi oleh proses-proses dan teknologi yang d ipergunakan. •
The external environment (lingkungan), merupakan unsurunsur di luar organisasi yang mempengaruhi tujuan, sumber daya, dan proses organisasi. Ini meliputi supplier, pasar, pesaing, peraturan pemerintah dan lain-lain.
119
BAB 7 FUNGSI BUDAYA ORGANISASI
Dalam suatu organisasi atau perusahaan diperlukan suatu acuan baku sehingga sumber daya manusia dapat diberdayakan secara optimal, artinya agar karyawan dapat berfungsi secara profesional dengan integritas yang tinggi. Acuan baku tadi dapat dimanifestasikan dalam bentuk budaya perusahaan yang secara sistematis menuntun para karyawan untuk meningkatkan komitmen kerjanya bagi perusahaan dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan. Memang ada beberapa faktor yang menentukan perilaku manajemen sebuah perusahaan, namun dalam studinya, Kotter dan Heskett (1997:17) menempatkan budaya organisasi sebagai faktor utama yang mengkondisikan faktor-faktor lainnya, sehingga secara realitas dapat dikatakan bahwa budaya organisasi memiliki keterkaitan yang erat terhadap keberhasilan suatu organisasi Harvey dan Bowin (1996) dalam bukunya mengungkapkan bahwa semakin jelas terbukti bahwa hanya perusahaan-perusahaan dengan budaya perusahaan efektif yang dapat menciptakan peningkatan produktivitas, meningkatkan rasa ikut memiliki dan karyawan, dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan perusahaan. Lebih jauh Robbins (2001:801) memerinci fungsi budaya organisasi sebagai berikut: Pertama, budaya mempunyai suatu 120
peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain. Kedua, budaya organisasi membayar suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual. Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Dalam hubungannya berfungsi
sebagai
dengan
perekat
segi
sosial
sosial,
yang
budaya
membentuk
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standarstandar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Sementara
itu
Susarito
(1997:19-20)
mercoba
mengungkapkan dua sisi manfaat yang diperoleh apabila budaya perusahaan dipahami oleh seluruh lapisan sumber daya manusia dan bagi perusahaan. Manfaat bagi sumber daya manusia
adalah
sebagai
berikut:
1.
Sebagai
pedoman
berperilaku di dalam perusahaan. Dalam hat ini sumber daya manusia tidak dapat semena-mena bertindak atau berperilaku sekehendak hati, melainkan harus menyesuaikan din dengan siapa dan di mana mereka berada, 2. Adanya kesamaan langkah dan visi di dalam melakukan tugas dan tanggung jawab, masing-masing individu dapat meningkatkan fungsinya dan mengembangkan tingkat interdependensi antar individu atau bagian karena individu atau bagian yang lain sating 121
melengkapi dalam kegiatan usaha perusahaan, 3. Memberikan dorongan kepada sumber daya manusia untuk mencapai prestasi kerja atau produktivitas yang Iebih baik. Hal ini dapat dicapai apabila proses sosialisasi dapat dijalankan dengan tepat kepada sasarannya, 4. Mengetahui secara pasti tentang kanirnya di perusahaan sehingga mendorong mereka untuk konsisten dengan tugas dan tanggung jawab. Sedangkan manfaat yang diperoleh perusahaan antara lain sebagai berikut: 1. Merupakan salah satu unsur yang dapat menekan tingkat perputaran (turn over) karyawan. Ini dapat dicapai karena budaya perusahaan mendorong sumber daya manusia memutuskan untuk tetap berkembang bersama perusahaan, 2. Sebagai pedoman di dalam menentukan kebijakan yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan intern perusahaan seperti tata tertib administrasi, hubungan antar bagian, penghargaan prestasi sumber daya manusia, penilaian kerja dan lain-lain, 3. Untuk menunjukkan pada pihak eksternal tentang keberadaan perusahaan dan ciri khas yang dimiliki, di tengah-tengah perusahaan yang ada di masyarakat, 4.
Merupakan
acuan
dalam
penyusunan
perencanaan
perusahaan (corporate planning) yang meliputi pembentukan perencanaan pemasaran (marketing planning), penentuan segmentasi pasar yang akan dikuasai, dan penentuan posisi (positioning) perusahaan yang akan dikuasai, dan 5. Bisa membuat
program-program
pengembangan
122
usaha
dan
pengembangan sumber daya manusia dengan dukungan penuh dan seluruh jajaran sumber daya manusia yang ada. Menurut Robbin (1996:294) budaya melakukan sejumlah fungsi dalam organisasi. 1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lain. 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggotaanggota organisasinya. 3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dan pada kepentingan diri individual seseorang. 4. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Budaya
merupakan
perekat
sosial
yang
membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standart yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh karyawan. 5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendall yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Kottler,
Heshet
(1992:12)
dari
hasil
studinya
menunjukkan fungsi budaya dalam perusahaan yang secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Budaya perusahaan dapat mempunyai dampak yang berarti terhadap
kinerja
ekonomi
jangka
panjang.
Penulis
menemukan bahwa perusahaan dengan budaya yang 123
rnementingkan (pelanggan,
setiap
komponen
pemegang
saham,
utama
managerial
karyawan)
dan
kepemimpinan managerial pada setiap tingkat, berkinerja melebihi perusahaan yang tidak memiliki ciri budaya tersebut dengan perbedaan yang sangat besar. 2. Budaya perusahaan mungkin akan menjadi suatu faktor bahkan Iebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam dasawarsa yang akan datang. Budaya yang memerosotkan kinerja mengakibatkan dampak keuangan negatif dengan berbagal alasan utama adalah kecenderungan menghambat perusahaan dalam menerima perubahan taktik dan strategi yang dibutuhkan. Dalam suatu dunia yang semakin cepat berubah dapat diramalkan bahwa budaya yang tidak adaptif akan semakin membawa dampak keuangan negatif dalam dasa warsa mendatang. 3. Budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangan jangka panjang cukup banyak, budaya tersebut mudah berkembang, bahkan dalam perusahaan yang penuh dengan orang pandas dan berakal sehat. Budaya yang mendorong perilaku yang tidak dapat dan menghambat perubahan ke arah strategi yang Iebih tepat, cenderung muncul perlahan dan tanpa disadari dalam waktu bertahuntahun. Biasanya suatu perusahaan berkinerja baik. 4. Walaupun sulit untuk timbul budaya perusahaan dapat dibuat agar bersifat Iebih meningkatkan kinerja. Perubahan 124
semacam ini memang rumit, membutuhkan waktu dan menuntut kepemimpinan yang sedikit berbeda walaupun dibandingkan
dengan
manajemen
yang
unggul.
Kepemimpinan harus dipandu oleh suatu visi yang realistis terhadap jenis budaya yang meningkatkan kinerja. Budaya organisasi yang kuat akan mempengaruhi perilaku karyawan sehingga lebih tinggi komitmennya pada organisasi. Menjadi suatu faktor atau kenyataan bahwa budaya organisasi akan terkait dengan kinerja organisai. Peranan budaya organisasi mendorong tercapainya tujuan organisasi dan berkemampuan mern uaskan kehutuhan anggota organi sasi sehingga tercapai efektivitas organisasi. Sekaligus budaya organisasi dapat mempengaruhi bagaimana manajer dan anggota organisasi mampu dalam upaya pemecahan masalah, bagairnana menservis dan memotivasi langganan dan mampu bereaksi terhadap saingannya dan melakukan aktivitas yang efektif. Maka dapat disimpulkan budaya organisasi sangat kritis dan dinamis dalam mengendalikan implementasi strategi perusahaan.
Walaupun
belum
terbukti
bahwa
budaya
organisasi yang terbaik akan sesuai atau arna untuk semua jenis
organisasi
atau
untuk
semua
karyawan
maupun
masyarakat. Heliriegel et al. (1998:311) mengelompokkan fungsi budaya organisasi ke dalam empat kunci pokok: 1. Dengan mengetahui dan mernahami budaya organisasi, para
karyawan
mengetahui 125
mengenai:
“Sejarah
Perusahaan” dan pengembangan perusahaan pada “masa sekarang”. Maka informasi tersebut akan merupakan pedoman terhadap harapan hagi perilaku karyawan untuk masamasa mendatang yang disebarluaskan melalui cerita, ritual, simbol malenal dan bahasa. 2. Budaya organisasi akan membantu menciptakan dan memperkuat kornitmen kepada falsafah dan nilai-nilai serta norma-norma inti organisasi. Hal tersebut mendorong partisipasi karyawan agar bersedia bekerja mencapai tujuan organisasi (boosted camaraderie and increased employee‗s sense of ownership). 3. Budaya organisasi dengan norma-normanya akan menjadi mekanisme (alat) pengawasan terhadap arus perilaku karyawan rnengenai perilaku yang disukai dan menghindari perilaku yang tidak disukai. 4. Berbagai aspek dan budaya organisasi akan berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan efektivitas. Menurut manajerial
Gibson
berinteraksi
(1992:43) dengan
bahwa
fungsi-fungsi
karakteristik
perilaku
keorganisasian, yaitu perilaku, struktural, dan proses organisasi yang menciptakan budaya organisasi yang kuat, selanjutnya mewujudkan nilai-nilai keyakinan dan norma-norma yang akan mempengaruhi perilaku individu dan kelompok. Peran atau fungsi budaya organisasi ditampilkan apabila diterapkan atau dtinteraksikan kepada lingkungan yang lebih luas dimana organisasi berada. Misalnya beraplikasi dengan norma-norma 126
sosial, pendidikan yang dicapai, kepuasan, perkembangan, adaptasi, kelangsungan hidup, aliran politik, dan sejarah nasonal. Maka merupakan tantangan bagi manajerial untuk mengaplikasikan budaya organisasi ke arah yang dapat mendorong lebih konsisten agar dapat menimbulkan efektifitas organisasi, seperti terlihat pada Gambar 7.1.
Sumber: Gibson et al. (1992:43) Gambar 7.1 BUDAYA ORGANISASI DAN EFEKTIVITAS ORGANISASI
Robbins
(1996:294)
menyatakan
bahwa
buda
a
organisasi dengan didukung oleh karakteristiknya sebagai faktor objektif yang cenderung kuat, maka aplikasinya akan berdampak positif dan peningkatan kineria, kepuasan karyawan dan secara keseluruhan meningkatkan efektivitas organisasi. Budaya organisasi melakukan sejumlah fungsi dalam suatu organisasi dengan didukung oleh karakteristik sebagai faktor objektif
yang
cendertmg
kuat,
maka
aplikasinya
akan
berdampak positif pada peningkatan kinerja perusahaan dan kepuasan karyawan. Secara kesciuruhan akan rneningkatkan
127
efektivitas organisasi dengan meakukan fungsinya dalam organisasi antara lain: a. Mempunyai peran atau fungsi menetapkan tapal batas yang menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. b. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi para anggota organisasi atau jati diri. c. Budaya organisasi rnemperrnudah komitmen bagi suatu yang lebih luas dibanding kepentingan individu. d. Budaya organisasi meningkatkan kemantapan sistem sosial atau
sebagai
perekat
sosial
yang
membantu
mempersatukan organisasi dengan memberikan standardstandard
yang
tepat
untuk cara
berkomunikasi
dan
beraktivitas hagi para karyawan. Maka jelaslah budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. Schein (1992:22) menyatakan bahwa sebagai kumpulan asumsi-asumsi mendasar, budaya organisasi berfungsi untuk memberikan arah bagi anggota organisasi tentang apa yang harus diperhatikan makna dari segala sesuatu yang harus dicapai, bagaimana seharusnya reaksi dan tindakan yang diambil dalam situasi-situasi tertentu. Artinya budaya organisasi sebagai pedoman pokok bagi para anggota organisasi dalam pelaksanaan tugas-tugas dari organisasi.
128
Robbins
(1996:294)
menambahkan
bahwa
budaya
organisasi mempunyai fungsi utama sebagai berikut : 1. Memberikan rasa identitas kepada karyawan. 2. Memberikan
perbedaan
dengan
jelas
karyawan
di
organisasi lain. 3. Mempermudah timbulnya komitmen pada suatu kepentingan yang lebih luas daripada kepentingan individu sebagai akibat dari budaya organisasi yang tumbuh secara kondusif. 4. Meningkatkan kemantapan sistem sosial dalam organisasi. 5. Merupakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan. Budaya organisasi dapat membantu karyawan sebagai anggota organisasi untuk memberikan batasan-batasan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Budaya organisasi membantu anggota organisasi dalam mengkonsep, menjelaskan,
menganalisis,
serta
menyusun
pemecahan
masalah-masalah organisasi yang mereka hadapi. Budaya kesuksesan
organisasi organisasi
memberikan melalui
kontribusi
kepada
kemampuannya
dalam
memberikan rasa aman kepada anggotanya serta menjadi sumber penting bagi stabilitas dan kontinuitas organisasi. Budaya organisasi mampu memberikan identitas bagi anggota organisasi, anggota
bahkan organisasi
dapat untuk
menjadi
pendorong
menyelesaikan
pekerjaannya.
129
semangat
tugas
dan
Davis dan Newstrom (1993:58-59) menyatakan budaya organisasi juga dapat memberikan gambaran suasana atau keadaan yang terlihat sulit atau membingungkan bagi anggotaanggota baru organisasi. Artinya budaya organisasi dapat memberikan
gambaran
tentang
suasana/situasi/kondisi
organisasi bagi para anggota organisasi yang hal ini masih sulit untuk dipahami oleh para anggota-anggota organisasi yang masih baru. Susanto (1997:19-20) menerangkan manfaat yang dapat diperoleh bila budaya organisasi dipahami oleh seluruh lapisan sumberdaya manusia yang ada didalam organisasi yang meliputi manfaat bagi sumberdaya manusia maupun bagi organisasi. Artinya budaya organisasi berguna, baik bagi individu sebagai anggota organisasi maupun organisasi itu sendiri dalam pencapaian tujuannya. Manfaat budaya organisasi bagi sumberdaya manusia adalah (Susanto 1997:19) : 1. Memberikan arah atau pedoman berperilaku didalam organisasi. Dalam hal ini sumberdaya manusia tidak dapat semena-mena bertindak atau berperilaku sekehendak hati, melainkan harus menyesuaikan diri dengan siapa dan dimana mereka berada. 2. Mempunyai kesamaan langkah dan visi didalam melakukan tugas dan tanggung jawab, masing-masing individu dapat meningkatkan
fungsinya
dan
mengembangkan
tingkat
interdependensi antar individu atau bagian karena antar 130
individu atau bagian yang lain saling melengkapi dalam kegiatan usaha perusahaan. 3. Mendorong sumberdaya manusia selalu mencapai prestasi kerja atau produktivitas yang lebih baik. Hal ini dapat dicapai apabila proses sosialisasi dapat dijalankan dengan tepat kepada sasarannya. 4. Mengetahui secara pasti tentang karirnya di organisasi sehingga mendorong mereka untuk konsisten dengan tugas dan tanggung jawab. Manfaat budaya organisasi bagi perusahaan adalah (Susanto, 1997:20): 1. Sebagai salah satu unsur yang dapat menekan tingkat perpindahan
karyawan.
Ini
dapat
dicapai
karena
perusahaan mendorong sumberdaya manusia memutuskan untuk tetap berkembang bersama perusahaan. 2. Sebagai pedoman didalam menentukan kebijakan yang berkenaan
dengan
ruang
lingkup
kegiatan
internal
perusahaan seperti tata tertib administrasi, hubungan antara bagian, penghargaan prestasi sumber daya manusia, penilaian kerja dan lain-lain. 3. Untuk menunjukkan pada pihak eksternal perusahaan tentang keberadaan perusahaan dari ciri khas yang dimiliki, di tengah-tengah perusahaan yang ada di masyarakat. 4. Sebagai
acuan
perusahaan pembentukan
dalam
(corporate
penyusunan planning)
perencanaan 131
perencanaan yang
pemasaran
meliputi (marketing
planning), penentuan segmentasi pasar yang akan dikuasai dan penentuan posisi (positioning) perusahaan yang akan dikuasai. 5. Dapat membuat program-program pengembangan usaha dan
pengembangan
sumberdaya
manusia
dengan
dukungan penuh dari seluruh jajaran sumberdaya manusia yang ada. Baik Susanto (1997:16-17) maupun Schein (1992:9) sepakat bahwa memahami dan mengelola budaya organisasi tidak hanya ditujukan untuk mencari penjelasan tentang fenomena keberhasilan organisasi, melainkan juga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan organisasi menjadi lebih efektif.
Artinya
pernyataan
budaya
tujuan
organisasi
manajemen
merupakan
dalam
mencoba
sebuah untuk
mempertajam perilaku anggotanya, sehingga mereka akan lebih memegang komitmen terhadap tujuan organisasi. Pengaruh Budaya Organisasi yang Kuat dan Budaya Organisasi yang Lemah Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang berlaku didalam organisasi tersebut, tetapi tidak semuanya membawa pengaruh yang sesuai bagi anggota organisasi. Budaya organisasi yang kuat membawa pengaruh yang positif
bagi
karyawan
dan
organisasi,
dimana
anggota
organisasi memegang komitmen yang lebih besar pada nilainilai yang ditetapkan oleh organisasi. Budaya yang kuat 132
dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik dan dirasakan bersama secara luas. Makin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti, menyetujui jajaran tingkat kepentingannya dan merasa sangat terikat kepadanya, maka makin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996:483-485). Artinya semakin karyawan menerima nilai-nilai utama perusahaan tersebut dan semakin besar keterlibatan mereka dengan nilai-nilai itu, semakin kuatlah budaya tersebut. Sebaliknya budaya yang lemah dalam organisasi, tidak memberikan batasan-batasan yang jelas pada apa-apa yang harus dikerjakan atau batasan mana yang baik atau tidak seharusnya, sehingga pada organisasi dengan jenis budaya yang demikian ini biasanya berpengaruh dalam menghasilkan komitmen anggota organisasi yang cenderung rendah. Sementara bagi organisasi, budaya yang kuat akan membantu efektifitas dan kinerja organisasi. Budaya yang kuat dalam organisasi akan menanamkan nilai-nilai dan doktrin organisasi lebih kuat pada anggota organisasi. Budaya yang kuat juga lebih berpotensi dibandingkan kontrol struktural formal manapun karena budaya mengontrol pikiran, jiwa dan jasmani. Makin kuat budaya suatu organisasi, makin kurang manajemen itu perlu memperhatikan pengembangan aturan dan pengaturan formal untuk memandu perilaku karyawan ketika mereka menerima budaya organisasi itu (Tunggal, 2001:27). Artinya suatu budaya organisasi yang kuat akan semakin
memperingan
organisasi 133
dalam
melakukan
pengarahan
dan
pengawasan
terhadap
individu-individu
anggota organisasi tersebut. Dalam kenyataanya, salah satu kajian budaya organisasi menemukan bahwa para karyawan di perusahaan-perusahaan yang budayanya kuat lebih terlibat dengan perusahaan mereka dari pada karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan yang budayanya lemah. Perusahaan-perusahaan dengan budaya kuat juga menggunakan usaha-usaha perekrutan dan praktekpraktek
sosialisasi
mereka
untuk
membina
keterlibatan
karyawan dan suatu kumpulan bukti yang makin banyak, mengemukakan
bahwa
budaya
kuat
berkaitan
dengan
komitmen yang dari komitmen itu menuntut adanya penerapan sehingga diperoleh kinerja organisasi yang tinggi (Tunggal, 2001:6).
Berarti
budaya
yang
kuat
akan
menghasilkan
komitmen yang kuat dari individu-individu anggota organisasi untuk terciptanya kinerja organisasi yang optimal. Luthans (1995:564) menerangkan bahwa terdapat dua faktor
utama
yang
menjelaskan
kekuatan
dari
budaya
organisasi, yaitu : 1. Penyebaran (sharedness). Mengacu pada pengertian derajat penyebaran nilai-nilai inti yang dianut oleh anggota organisasi. Kekuatan dari aspek ini sendiri dipengaruhi oleh dua faktor utama dalam prosesnya, yaitu orientasi dan balas jasa (reward) yang diberikan oleh pihak manajemen pada anggota organisasi dalam memahami nilai-nilai inti dari organisasi. Semakin 134
baik orientasi dan balas jasa yang diberikan sehubungan dengan pemahaman nilai-nilai tersebut maka semakin kuat derajat penyebaran dari budaya organisasi. 2. Intensitas (intensity). Mengacu pada derajat komitmen dari anggota organisasi pada nilai-nilai inti. Tingkat kekuatan dari aspek ini juga dinilai dari hasil struktur balas jasa yang diberikan pada anggota organisasi. Du Brin (1993:574) mengemukakan bahwa budaya yang kuat
dalam
organisasi
akan
membawa
dampak
yang
berpengaruh pada perilaku karyawan. Artinya anggota dari organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan dengan mudah
mengikuti
nilai-nilai
yang
berkembang
didalam
organisasi. Sebaliknya budaya yang lemah hanya akan menjadi sebuah petunjuk kerja bagi karyawan. Berikut dijelaskan konsekuensi yang dapat dicapai dari penerapan budaya yang kuat dalam organisasi. 1. Keuntungan
kompetitif
dan
keberhasilan
financial
(competitive advantage and financial success). Penerapan budaya yang kuat dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian keunggulan kompetitif dan keunggulan finansial organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi yang bersifat partisipatif dapat mendorong anggota organisasi dalam memilki hubungan dengan pencapaian tujuan perusahaan, sehingga dapat
135
meningkatkan produktivitas (ROI dan tingkat penjualan) secara signifikan. 2. Produktivitas dan moral (Productivity and morale). Aplikasi dari budaya organisasi yang kuat dalam organisasi, yaitu jenis budaya yang mampu menghargai martabat karyawan berperan dalam mengembangkan moral dan kepuasan kerja karyawan. 3. Kecocokan orang–organisasi (Person-organization fit). Budaya organisasi yang kuat dan sesuai, menciptakan karyawan
profesional
dengan
tingkat
komitmen
dan
kepuasan kerja yang lebih tinggi. 4. Kecocokan
dari
penggabungan
dan
pengambilalihan
(Compatibility of mergers and acquisitions). Dalam beberapa kasus merger, salah satu indikator kesuksesan proses merger tersebut adalah keberhasilan sosialisasi budaya yang dilakukan. 5. Pedoman untuk manajer–manajer tingkat atas (Guidance for top level managers). Budaya yang kuat dapat menjadi acuan bagi keseluruhan anggota
organisasi,
baik
dari
top
managers
dan
keseluruhan level karyawan. Budaya yang baik adalah budaya yang mampu menciptakan kesesuaian dan ideal bagi keseluruhan organisasi. Budaya Dominan dan Sub-Budaya Tunggal (2001:24) menegaskan bahwa pengakuan terhadap
budaya
organisasi 136
yang
mempunyai
sifat-sifat
bersama bukan berarti tidak ada sub-budaya didalam setiap budaya yang ada. Berarti kebanyakan organisasi besar mempunyai suatu budaya yang dominan dan sejumlah subbudaya. Suatu
budaya
dominan
(dominant
culture)
mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Bila membicarakan mengenai budaya suatu organisasi, maka akan mengacu pada budaya dominannya. Pandangan makro mengenai budaya inilah yang memberi
kepada
organisasi
itu
kepribadian
yang
jelas
terbedakan. Anak budaya (sub-kultur atau sub-culture) cenderung berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan masalah, situasi, atau pengalaman bersama yang dihadapi oleh para anggotanya. Sub-budaya ini ditentukan oleh rambu-rambu departemen
dan
pemisahan
hakikatnya
dipertahankan
geografis. tetapi
Nilai
inti
dimodifikasi
pada untuk
mencerminkan situasi yang jelas terbedakan dari unit yang terpisah itu. Schein (1992:256-274) memberikan beberapa alasan yang menjadi dasar penyebab terjadinya pembedaan subbudaya yang satu dengan sub-budaya yang lainnya atau budaya dominan.
137
Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Pembedaan fungsional (functional differentiation). Pembedaan fungsional muncul karena adanya komunitas yang terkait dengan bidang pekerjaannya (occupational) dan keberadaan teknologi sebagai dasar dari fungsi yang bersangkutan. Misalnya seorang karyawan yang mengikuti proses
rotasi
jabatan,
dalam
setiap
posisi
yang
ditempatinya, karyawan itu tidak hanya akan mempelajari ketrampilan
teknis
dari
jabatannya,
melainkan
juga
perspektif dan asumsi-asumsi yang mendasari proses dari fungsi tersebut. 2. Pembedaan letak geografis (geographical differentiation). Salah satu dasar yang paling kuat bagi terciptanya subbudaya adalah pembentukkan unit-unit kerja geografis. Beberapa tujuan yang hendak dicapai dari pembentukkan ini adalah dengan mendekati basis pelanggan, lokasi tenaga kerja dan bahan baku yang lebih murah, serta permintaan dari pelanggan lokal. Faktor pembeda geografis ini terjadi suatu fenomena dimana masyarakat lokal mempengaruhi sub-budaya yang terbentuk dalam unit kerja geografis. 3. Pembedaan
akibat
produk,
pasar,
atau
teknologi
(differentation by product, market, or technology). Seiring dengan perkembangan organisasi, maka organisasi itu sering membedakan diri berdasarkan teknologi yang digunakan,
produk
yang
pelanggan yang dituju. 138
diciptakan
dan
jenis-jenis
4. Divisionalisasi (divisionalzation). Seiring dengan perkembangan organisasi tersebut dalam mewujudkan pasar yang berbeda, maka organisasi sering melakukan
divisionalisasi
untuk
mendesentralisasikan
sebagian besar fungsinya agar lebih terfokus pada produk atau unit pasar. Keuntungan yang diperoleh adalah menyatukan
fungsi-fungsi
yang
mendekatkan
dan
menciptakan lintas sub-budaya fungsional. 5. Pembedaan akibat adanya tingkat hirarki (differentation by hierarchical level). Organisasi yang berhasil dan sedang berkembang cepat atau lambat akan menciptakan tingkat-tingkat hirarki agar efektifitas tentang pengendalian tetap terjaga. Interaksi dan proses berbagi pengalaman dari anggota masing-masing tingkat menciptakan kesempatan munculnya asumsi-asumsi dasar. Budaya yang tercipta pada tiap tingkat hirarki umunya dipengaruhi oleh tugas-tugas yang kerjakan pada tiap tingkat hirarki tersebut. 6. Merger dan akuisisi (mergers and acquisition). Masalah mengenai budaya dominan dan sub-budaya muncul ketika dua organisasi atau perusahaan melakukan merger atau akuisisi. Pada proses merger, dua budaya yang berbeda digabungkan tanpa harus memperlakukan salah satunya sebagai budaya yang lebih dominan terhadap yang lain. Pada proses akuisisi, perusahaan yang di akuisisi secara otomatis menjadi sub-budaya. Masalah yang timbul 139
pada proses pencampuran budaya dalam konteks kedua kasus tersebut adalah fakta bahwa unit-unit yang bergabung tidak memiliki kesamaan perjalanan sejarah dan adanya unit-unit yang merasa takut, terancam, marah, maupun mempertahankan diri (deffensive). 7. Join
ventura,
aliansi
strategis,
dan
bentuk-bentuk
penggabungan lainnya (joint ventures, strategic alliances, and other multi organizational enterprises). Masalah mengenai budaya makin tampak ketika organisasi melakukan aktivitas-aktivitas seperti join ventura dan aliansi strategis guna menyiasati ketatnya persaingan karena pada proses tersebut terjadi penyatuan budaya yang berbeda. Faktor penting yang mempengatuhi adalah kebijakan organisasi dalam menangani masalah-masalah yang timbul dikemudian hari. 8. Kelompok oposisi (structural opposition groups). Dalam
organisasi
sering
ditemui
adanya
kelompok-
kelompok yang menyatakan dirinya sebagai oposisi dari kelompok lain dan dengan sengaja melakukan aktivitas budaya-kontra (counter-cultural), namun tetap menghormati keberadaan budaya dominan. Contoh yang paling umum adalah keberadaan serikat pekerja yang menjadi oposisi bagi manajemen. Sub-budaya yang berorientasi pada sifat oposisi (opposition-oriented) juga bisa muncul dari filosofi manajemen yang mendorong timbulnya persaingan internal antara tiap anggota atau kelompok dalam suatu organisasi. 140
Pendapat-Pendapat
mengenai
Penelitian
Budaya
Organisasi Terdapat
beberapa
alasan
yang
melatarbelakangi
keinginan banyak orang untuk mempelajari budaya organisasi. Schein (1992:12-14) menerangkan empat alasan pokok yang mendorong orang memahami budaya organisasi, yaitu: 1. Analisis budaya menerangkan dinamika sub-budaya dalam organisasi (cultur analysis illuminates sub-cultural dynamics within organization). Konsep budaya menjadi relevan bagi analisis tingkat organisasional dan menambah pengertian mengenai apa yang terjadi dalam organisasi ketika sub-sub budaya berbeda dan kelompok-kelompok yang ada harus bekerja bersama. Masalah-masalah yang muncul sering diterjemahkan
sebagai
kegagalan
komunikasi
atau
kelemahan tim kerja. Kini pemahaman itu diperjelas menjadi kegagalan dari komunikasi antar budaya. 2. Analisis budaya merupakan hal yang penting untuk mengetahui teknologi baru yang mempengaruhi organisasi (cultur analysis is necessary if we are to understand how new
technologies
influence
and
are
influenced
by
organizations). Teknologi baru umumnya merupakan refleksi dari budaya yang terkait dengan pekerjaan yang terbentuk disekeliling konsep-konsep ilmiah atau industri yang baru dan peralatan-peralatannya. Konsep baru ini akan menjadi bagian dalam organisasi dan bagian luar organisasi seperti para pemasok dan akademis. 141
3. Analisis budaya penting bagi manajemen organisasi yang melampaui
batas-batas
negara
dan
budaya
(cultural
analysis is necessary for management across national and etnic boundaries). Konsep budaya menjadi relevan untuk menganalisis segi antar negara dan lintas etnis dalam bentuk joint venture, aliansi strategis, merger dan akuisisi. Masalah yang kerap timbul adalah kesalahpengertian budaya yang justru tidak pernah atau tidak sempat didiskusikan. Kegagalan dari proses-proses join ventura dan lain-lain dijelaskan dengan kegagalan untuk pengertian sejauh mana kesalahpengertian budaya terjadi. 4. Proses pembelanjaan, pengembangan dan perencanaan dalam
organisasi
tidak
dapat
dimengerti
tanpa
memperhatikan budaya sebagai sumber utama perlawanan terhadap Perubahan (organizational learning, development, and
planned
change
cannot
be
understood
without
considering culture as a primary source of resistance to change). Perlawanan terhadap proses pembelajaran dan perubahan merupakan fenomena umum yang sering dibicarakan namun jarang bisa dimengerti. Sebagian besar perubahan dalam organisasi melibatkan perubahan budaya dan bahkan perubahan pada sub-budaya. Jika Manajemen mengerti kesulitan apa yang dihadapi orang-orang pada tingkat
sub-budaya
ketika
mereka
harus
mengubah
sebagian dari asumsi-asumsi mendasar, nilai-nilai dan
142
perilaku, maka manajemen
akan lebih
simpati pada
resistensi mereka dan akan lebih realistis dalam mengelola perubahan. Empat (4) fungsi budaya organisasi dikatakan oleh Kreiner dan Kinichi (2001:72) sebagai berikut: 1. Membenkan suatu identitas pada anggota organisasi atau karyawan. 2. Mempermudah timbulnya komitmen bersama 3. Meningkatkan
kemantapan
sistem
sosial.
Hal
ini
menunjukkan bahwa budaya organisasi yang kuat akan banyak
membantu
organisasi
dalam
menghadapi
perubahan yang terjadi dengan efektif, sehingga budaya sekaligus berfungsi sebagai perekat sosial. 4. Membentuk perilaku melalui pembentukan persepsi dan keyakinan bersama. Hal ini sangat penting dalam rangka memberikan kontribusi yang berharga bagi efektifitas pencapaian tujuan organisasi. Ndraha (2003:45) mengatakan bahwa pada umumnya fungsi budaya organisasi adalah sebagai berikut: 1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas ini terbentuk oleh berbagai faktor seperti sejarah, kondisi dan sisi geografis, sistem-sistem sosial, politik dan ekonomi, dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat. Perbedaan dan identitas
budaya
dapat
mempengaruhi
pemerintahan di berbagai bidang.
143
kebijaksanaan
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat. Kebersamaan adalah faktor pengikat yang kuat seluruh anggota masyarakat. 3. Sebagai sumber. Budaya merupakan sumber inspirasi, kebanggaan, dan sumber daya. Budaya dapat menjadi komoditi ekonomi, seperti wisata budaya. 4. Sebagai kekuatan penggerak. Apabila budaya terbentuk melalui proses belajar-mengajar (learning process), maka budaya tersebut dinamis, resilient, tidak statis, dan tidak kaku. 5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah. Ini merupakan hasil yang diperoleh apabila dikaitkan dengan manajemen, kinerja, atau kekuatan organisasional dan kekuatan bisnis. 6. Sebagai pola perilaku. Budaya berisi norma tingkah laku dan menggariskan batas-batas toleransi sosial. 7. Sebagai warisan. Budaya disosialisasikan dan diajarkan kepada generasi berikutnya. Isu ini dijadikan tema sentral dan International Conference on Tourism and Heritage Management di Yogyakarta pada tanggal 28-30 Oktober 1996. 8. Substitusi (pengganti) formalisasi. Hal ini berarti bahwa tanpa diperintahpun, orang akan melakukan tugasnya. 9. Sebagai mekanisme untuk adaptasi terhadap perubahan. Dilihat dari sudut ini, pembangunan seharusnya merupakan proses budaya.
144
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation-state. Robbins
(2002:253)
mengatakan
bahwa
budaya
menjalankan sejumlah fungsi di dalam organisasi, yaitu: 1. Budaya organisasi mempunyai peran menetapkan tapal batas, yang berarti budaya meciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang Iainnya. 2. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi para anggota organisasi. 3. Budaya organisasi mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang Iebih luas dari pada kepentingan diri pribadi seseorang. 4. Budaya organisasi meningkatkan kemantapan sistem sosial. Budaya
merupakan
perekat
sosial
yang
membantu
mempersatukan organisasi yang bersangkutan dengan memberikan standar-standar yang tepat terhadap apa yang harus dikatakan dan apa yang harus dilakukan oleh para karyawan. 5. Budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
145
BAB 8 PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI
Menurut Kotter and Heskett (1992:6) bahwa budaya organisasi merupakan bagian dan perilaku manajemen dalam suatu perusahaan (the behavior of firm‗s management). Apabila salah satu unsur organisasi seperti struktur, sistem, kebijakan, kepemimpinan dan lingkungan organisasi berubah maka kecenderungan budaya organisasi juga berubah. Menurut Harvey et al. (1996:341) menyatakan dalam upaya melakukan perubahar budaya organisasi harus dimulai dengan menciptakan visi untuk masa depan (developing a sharp
vision),
memberdayakan
anggota
organisasi
(empowerment of members), dan mengernbangkan hubungan kepercayaan satu dengan lainnya dalam segala tingkat organisasi (the development of a trust relationship at all level). Hodgetts et al. (1996:282) menyatakan bahwa kunci untuk mengelola budaya dalam organisasi adalah meyakinkan apakah budaya organisasi yang dioperasionalkan masih sejalan dan mendukung aspek-aspek intern organisasi seperti strategi, struktur, teknologi, proses dan perilaku karyawan. Untuk rneyakinkan hal tersehut perlu dilakukan audit budaya organisasi baik secara informal maupun secara formal, untuk tujuan meyakinkan apakah nilai-nilai dominan, kepercayaan, norma-norma yang berlaku atau perilaku anggota organisasi 146
masih sejalan dan mendukung kegiatan operasi perusahaan terutama mengarahkan implementasi strategi perusahaan. Apabila tidak ada kecocokan antara aspek-aspek yang dominan
dalam
organisasi
(struktur,
strategi,
teknologi,
karvawan) maka perlu dilakukan perubahan budaya organisasi secara terencana agar sejalan dan konsisten dengan aspekaspek dominan struktur, strategi, karyawan, dan proses organisasi agar kembali tercapai tujuan secara efektif. Dengan kata lain untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan budaya (cultural gap) maka audit budaya harus dimulai dari dalam perusahaan sendiri. Artinya, perusahaan yang berinisiatif melakukan merger harus terlebih dahulu memahami budaya organisasinya.
Sebab
seperti
dikatakan
oleh
Grossman
(1999:125), sering terjadi para eksekutif justru berbeda pandangan dengan staffnya tentang budaya perusahaan. Misalnya, para eksekutif mengklaim bahwa perusahaan yang dikelolanya lebih people oriented, sementara para karyawan mengatakan lain. Oleh karena itu, perbedaan pandangan ini harus diluruskan terlebih dahulu sebelurn audit budaya terhadap target perusahaan sebelum dilakukan merger. 1-lasil audit ini kernudian digunakan sebagai dasar untuk memutuskan apakah nantinya implementasi merger memerlukan perubahan budaya
atau
menyarankan
tidak. kondisi
Sedangkan yang
paling
Robbins membantu
(1996:311) sebelum
mengadakan peruhahan, ditekankan agar melakukan analisis budaya untuk melakukan audit budaya yaitu menilai apakah 147
budaya sekarang dibandingkan dengan budaya yang diinginkan relatif
saling
mengevaluasi
mendukung.
Melalui
faktor-faktor
audit
budaya
dapat
dan
dapat
kesenjangan
mengidentifikasi elemen-elemen budaya mana yang harus diganti. Ada beberapa faktor situasional yang memungkinkan dilakukannya perubahan budaya dalam organisasi yaitu: 1. apabila organisasi menghadapi krisis yang drarnatis maka secara spontan perlu mengubah budaya organisasi agar mampu menangani krisis yang dirasakan anggota organisasi, 2. apabila
terjadi
pergantian
pimpinan
kecenderungan
perubahan
posisi
dalam
organisasi,
kepemimpinan
akan
melakukan perubahan budaya organisasi dengan penerapan nilai-nilai baru yang dianggap sesuai oleh pimpinan baru, dan 3. melalui transisi dan tahap-tahap daur budaya organisasi. Tahap yang paling penting apabila melakukan perubahan dan tahap pembentukan
ke
tahap
pertumbuhan
dan
mencapai
kedewasaan maka sangat diperlukan untuk meningkatkan perubahan budaya agar mendukung efektifitas organisasi. Menurut Hodge et al. (1996:285) peruhahan budaya organisasi melalui dua pendekatan yaitu: 1. perubahan budaya organisasi dan atas ke bawah (top down change); 2. perubahan dan anggota organisasi atau karyawan (bottom up change) yaitu pendekatan partisipatif dimana perubahan terjadi karena permintaan karyawan. Top down change berfokus pada perubahan nilai-nilai, keyakinan, norma-norma dan harapan, 148
perilaku yang perubahannya berasal dan manajemen puncak, Contoh setelah diadakan observasi oleh pimpinan puncak maka
perlu
meningkatkan
kualitas
pekerjaan
dengan
menetapkan nilai-nilai baru, perilaku karyawan baru, penetapan norma-norma baru yang menciptakan budaya organisasi baru. Caranya dengan melakukan rapat-rapat serta pertemuan dengan bawahan untuk menetapkan strategi-strategi baru. Kelemahan perubahan budaya organisasi melalui top down management kemungkinan bertentangan atau tidak konsisten dengan nilai-nilai dan nonnanorma dan bawahan / karyawan. Maka berakibat terjadinya penolakan terhadap perubahan budaya organisasi (resistance to change) yang dapat menimbulkan kebencian dari pihak karyawan. Hal ini cenderung menyebabkan peruhahan tidak dapat dipertahankan secara permanen atau bertahan lama. Perubahan budaya organisasi melalui bottom up change merupakan perubahan yang lambat laun merupakan pendekatan partisipasi, tipe peruhahan seperti ini didukung oleh manajemen level bawah atau karyawan. Misalnya manajemen membuat survei terhadap aktivitas karyawan melalui bantuan konsultan, kemudian diputuskan untuk melakukan perubahan budaya. Hal ini dapat berlangsung secara terbuka dalam organisasi dan secara permanen dapat membawa serta karyawan dalam perubahan budaya organisasi. Spencer (Atmosoeprapto, 2000:72) menjelaskan bahwa proses pengembangan budaya organisasi dipengaruhi oleh 149
beberapa faktor, yaitu Kebijakan organ isasi (organizational wisdom) Kebijakan organisasi ditunjang oleh filosofi organisasi (serangkaian nDi-nilai yang monjelaskan bagaimana organisasi berhubungan dengan pelanggaran, produk, atau pelayanannya, bagaimana karyawan berhubungan satu sama lain, sikap, perilaku, gaya pakaian, dan lain-lain serta apa yang bisa mempengaruhi semangat, keterampilan yang dimiliki, dan pengetahuan yang terakumulasi dalam perusahaan). 1. Gaya perusahaan (organizational style) Gaya perusahaan dipengaruhi oleh profil karyawannya, pengembangan sumber daya manusianya, dan masyarakat organisasi, atau bagaimana penampilan organisasi tersebut dilingkungan organisasi lainya. 2. Jati diri organisasi (organizational identity) Jati diri organisasi ditunjang oleh citra organisasi, kredo atu semboyan organisasi, dan proyeksi organisasi atau apa yang ditonjolkan oleh oerganisasi. Menurut Haris dan Moran (Atmosoeprapto, 2000:73) sejak dekade akhir 70-an atau awal 80-an, para eksekutif dan cendikiawan benar-benar mulai rnenghargai bagaimana budaya organisasi atau budaya perusahaan memberikan perasaan siapa mereka, kebersamaan, rasa ikut memiliki, bagaimana meraka harus berperilaku, dan apa yang harus mereka lakukan, sehingga perusahaan bukan lagi sekedar tempat berkarya dan mencari nafkah, tetapi Iebih dan itu, diyakini sebagai tempat 150
dimana setiap individu merasa memperoleh nilai tambah dan dapat mengembangkan dirinya. Mengubah budaya suatu organisasi dapat merupakan sesuatu yang sangat rumit atau komplek. Ahli manajemen, Peter Drucker (dalam Lewis, et al., 2004: 355-361) mengatakan bahwa para manajer dapat memodifikasi bentuk-bentuk budaya yang dapat dilihat, seperti bahasa organisasi, cerita-cerita, upacara-upacara, ritual, dan kisah-kisah. Para manajer dapat mengubah materi-materi yang digambarkan dalam cerita-cerita pada umumnya, bahkan para manajer dapat mendorong para karyawan untuk melihat suatu realitas yang berbeda. Karena posisinya, para manajer tingkat atas (top-level managers) dapat menginterpretasi situasi dalam cara-cara baru dan menyesuaikan pemahaman-pemahaman yang melekat terhadap peristiwa-peristiwa organisasi yang penting.
Memodifikasi
budaya
dalam cara-cara
tersebut
memerlukan waktu dan energi yang sangat besar, tetapi sangat menguntungkan dalam jangka waktu panjang. Untuk mencapai sukses, perubahan harus konsisten dengan nilai-nilai yang penting dalam budaya, dan berasal dan para partisipan dalam organisasi. Perubahan budaya organisasi secara evolusi akan melibatkan
perubahan-perubahan dalam kegiatan-kegiatan
organisasi yang ringan dalam merespon perubahan kejadian internal maupun eksternal. Perubahan budaya secara revolusi juga dapat dilakukan karena organisasi berhubungan dengan 151
tantangan-tantangan utama. Perubahan budaya pada dasarnya sulit dalam lingkungan persaingan global saat ini, beraneka ragamnya angkatan kerja, dan inovasi teknologi. Namun demikian adalah bagian pekerjaan manajer untuk membantu organisasi dan para anggota organisasi dalam menanggulangi resistensi pada perubahan. Melakukan perubahan memerlukan pemahaman akan keberadaan organisasi saat ini dan visi yang diemban yang ingin diciptakan. Beberapa kegiatan berikut ini akan banyak membantu para manajer dalam mencapai budaya organisasi yang etektif dan perubahannya. Merubah budaya berarti melakukan perubahan-perubahan tertentu pada budaya. Melakukan
perubahan
terhadap
budaya
tersebut
juga
mengandung makna memunculkan suatu modifikasi atau mengembangkan budaya, dan atau menciptakan budaya. Manajer pada semua tingkatan dalam organisasi dapat membantu mengembangkan budaya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa para supervisor menetapkan ‗tone‘ nya, mengelola sumber daya yang dimiliki, dan mengendalikan caracara
mempengaruhi
hasil.
Para
manajer
membantu
menciptakan budaya (Plunkett dan Attner, 1994:271) melalui: Identifying the underlying values (identifikasi nilai-nilai yang mendasari). Clearly
defining
the
company‘s
mission
and
goals
(menjelaskan pengertian atau pemahaman misi dan tujuantujuan perusahaan).
152
Determining the amount of individual autonomy and the degree to which people work separately or in group (menentukan sejumlah otonomi individu dan tingkatan di mana orang-orang bekerja secara terpisah atau dalam kelompok). Structuring work to achieve goals in accordance with the corporation‘s values (menstrukturisasi pekerjaan untuk mencapai
tujuan-tujuan
sesuai
dengan
nilai-nilai
perusahaan). Developing reward systems that rein force values and goals (mengembangkan sistem ganjaran yang mengukuhkan nilainilai dan tujuan-tujuan). Creating methods of socialization that will bring new workers inside the culture and reinforce the culture for existing workers (menciptakan metode sosialisasi yang nantinya akan membawa para pekerja baru ke dalam budaya dan mengukuhkan budaya untuk keberadaan para pekerja tersebut). Perubahan budaya dilakukan dalam rangka upaya untuk menjadikan suatu budaya yang efektif, dan mengurangi atau menghindari atau bahkan menghapus budaya yang tidak efektif.
Karena
itu
pula
pemahaman
terhadap
budaya
merupakan hal yang penting, karena budaya mempengaruhi kinerja. Ada tiga (3) faktor yang dapat membantu menentukan bagaimana suatu budaya organisasi dapat efektif, yaitu:
153
1. Coherence, seberapa baik budaya sesuai dengan misi dan unsur-unsur organisasi yang lain. 2. Pervasiveness and depth, seberapa luas para karyawan menganut budaya organisasi. 3. Adaptability to the external environment. Apabila budaya organisasi sesuai dengan lingkungan eksternal, para manajer dan karyawan mempunyai mindset untuk bersaing. Cornelius (2003) mengatakan bahwa terdapat empat (4) syarat menciptakan budaya yang dapat dirubah, yaitu: 1. a workforce that is business literate (tenaga kerja yang usaha) 2. a workforce with permission to act (tenaga kerja yang dengan suka rela atau atas kemauan sendin bertindak) 3. a workforce that will challenge the status quo (tenaga kerja yang menentang status quo). 4. leadership that encourages a culture ready for change (kepemimpinan yang mendorong suatu budaya yang siap untuk dirubah).
154
BAB 9 MEMPERTAHANKAN BUDAYA ORGANISASI
Menurut
Robbins
(1996:298)
ada
tiga
cara
mempertahankan budaya organisasi agar dapat survival yaitu: 1. Praktek seleksi dalam oragnisasi. Proses seleksi ini untuk memakai dan mernperkerjakan karvawan ang niernpunyai pengetahuan dan keniampuan berprestasi yang berhasil. Proses seleksi dapatl mempertahankan dan berfungsi sebagai penyaring karyawan termasuk juga untuk menilai apakah individu-individu dapat mendukung nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi. 2. Peranan budaya
manajemen
puncak
dalam
organisasi.
Bagaimana
mcrnpertahankari
manajemen
puncak
rnenetapkan norma-norma yang dapat meresap sampai ke tingkat bawah baik dengan kekuatan atau dengan sukarela, misalnya dalam menetapkan gaji, promosi, dan lain-lain. 3. Sosialisasi, Kegiatan sosialisasi budaya kepada anggota organisasi
terutama
selama
mereka
berkarir
dalam
perusahaan, bagaimana caranya memberikan orientasi, bagaimana memberikan pelatihan untuk mendalami dan mengaplikasikan budaya organisasi yang herlaku. Selain hal tersehut di atas, penyampaian budaya organisasi dapat melalui interaksi atau program-program pelatihan yang
155
menyampaiannva rnelalui cerita-cerita, ritual, bahasa, dan simbol-simbol. Tiga
kekuatan
memainkan
peran
penting
dalam
mempertahankan suatu budaya organisasi, yaitu (Robbins, 1996:198): 1. Praktek Seleksi. Tujuan
eksplisit
dari
proses
seleksi
adalah
megidentifikasikan dan memperkerjakan individu-individu yang
mempunyai
pengetahuan,
keterampilan
dan
kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses didalam organisasi itu. Proses seleksi juga memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai organisasi itu, dan jika mereka merasakan konflik antara nilai mereka dan nilai organisasi, mereka dapat menyeleksi diri mereka untuk keluar dari perkumpulan pelamar. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung budaya suatu organisasi dengan menyeleksi keluar individuindividu
yang
memungkinkan
menyerang
atau
menghancurkan nilai-nilai inti suatu organisasi. 2. Tindakan manajemen puncak. Tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan
bagaimana
mereka
berperilaku,
eksekutif
senior
menegakkan norma-norma yang merembes ke bawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan resiko 156
diinginkan; berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para manajer kepada bawahan mereka; pakaian apakah yang pantas dan tindakan apakah yang akan diimbali dalam kenaikan upah, promosi dan ganjaran lain. 3. Metode sosialisasi. Tidak perduli berapa yang telah dilakukan organisasi itu dalam perekrutan dan seleksi,
karyawan
baru
tidak
sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu. Mungkin yang paling penting, karena mereka tidak kenal baik dengan budaya organisasi, karyawan baru agak potensial mengganggu keyakinan dan kebiasaan yang ada. Oleh karena itu, organisasi itu akan berniat membantu karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi.
157
BAB 10 BUDAYA SEBAGAI SUATU BEBAN Budaya memberitahu para karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Namun kita tidak boleh mengabaikan aspek budaya yang secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat. (Robbin, 1996:295). 1. Penghalang terhadap perubahan budaya merupakan suatu beban bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan efektifitas organisasi. Kondisi ini paling mungkin terjadi bila lingkungan organisasi itu dinamis. Jika Iingkungan itu mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dan organisasi itu mungkin tidak tepat lagi. Jadi konsistensi perilaku merupakan suatu asset bagi organisasi. Bila organisasi itu menghadapi suatu Iingkungan yang mantap. Tetapi konsistensi itu dapat membebani
organisasi
itu
dan
menyulitkan
untuk
menanggapi perubahan dalam lingkungan itu. 2. Penghalang terhadap keanekaragaman. Mempekerjakan karyawan-karyawan baru yang karena ras, kelamin, etnis dan perbedaan lain tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi
menciptakan
suatu
paradoks.
Manajemen
menginginkan karyawan baru itu menerima baik nilai budaya itu dan organisasi itu. Bila tidak karyawan ini kecil kemungkinannya
cocok
atau 158
dapat
diterima.
Tetapi
sekaligus manajemen ingin mengumumkan secara terbuka dan menunjukkan dukungan akan perbedaan-perbedaan yang dibawa karyawan ini ke tempat kerja. Budaya yang kuat mengenakan tekanan yang cukup besar pada para karyawan untuk menyesuaikan diri. Mereka membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Jelas ini menciptakan
suatu
dunia
organisasi-organisasi
mempekerjakan individu yang berkeanekaragaman karena kebutuhan atau alternatif yang dibawa mereka ke tempat kerja. Kemungkinan besar perilaku dalam kekuatan yang beraneka ragam mengurangi budaya kuat ketika orang berupaya menyesuaikan diri dalam organisasi itu. OIeh karena itu budaya kuat dapat merupakan beban, bila budaya itu dengan efektif menginginkan kekuatan unik tersebut yang dibawa oleh orang yang dengan latar belakang yang berlainan. 3. Penghalang terhadap merger dan pencapokan. Secara historis
faktor-faktor
utama
yang
dipandang
oleh
manajemen dalam mengambil keputusan merger atau akuisisi dikaitkan dengan keuritungan finansial atau sinergi produk.
159
BAB 11 SOSIALISASI BUDAYA ORGANISASI SosiIisasi dapat didefinislkan sebagai proses yang menadatasikan para karyawan pada budaya organisasi. Robbins (1996) membagi ada 3 tahapan proses sosialisasi: 1. Tahap prakedatangan. Secara eksplisit mengakui bahwa tiap indvidu tiba dengan seperangkat nilai, sikap dan harapan. ini mencakup baik kerja yang harus dilakukan maupun organisasi itu. 2. Tahap perjumpaan. Pada tahapan ini individu menghadapi dikotomi
atau
percabangan
yang
mungkin
antara
harapannya mengenai pekerjaan, rekan sekerja, atasan dan organisasi itu secara umum dan kenyataan. Jika harapan terbukti kurang Iebih tepat tahap perjumpaan itu sekedar memberikan suatu pemastian ulang dan persepsi yang diperoleh sebelumnya. 3. Tahan metaformis. Pada tahap dalam proses sosialisasi dimana seorang karyawan baru menyesuaikan diri pada nilai dan norma kelompok kerjanya. Hasil dari metaformis ada 3 yakni, produktifitas, komitmen, keluarnya karyawan. Jika dalam proses penyesuaian tidak banyak hambatan atau nilai pribadi selaras dengan norma kelompok kerjanya biasanya dapat meningkatkan produktititas dan komitmen yang tinggi. Kondisi sebaliknya jika karyawan tidak dapat menyesuaikan dengan nilal kelompok, bisa menyebabkan 160
kondisi kerja kanyawan tidak menyenankan bahkan bisa mengalami stres yang mengakibatkan karyawan tersebut keluar dan pekerjaannya. Kondisi demikian ini tidak menguntuhgkan kedua belah pihak yakni karyawan maupun perusahaan.
Sumber:
Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi versi Bahasa Indonesia edisi ke delapan . PT. Prenhallindo, Jakarta 1998. Hal 27
Gambar 11.1 MODEL PERILAKU ORGANISASI DASAR 161
Dari model yang ditawarkan berdasarkan Gambar 11.1. untuk analisis dibedakan dalam beberapa tingkatan yakni pada unit analisis di tingkat individual, unit analisis pada tingkat kelompok dan unit analisis pada tingkat sistem organisasi. Setelah pada tingkat sistem organisasi keluaran manusia outputnya dapat berupa produktifitas, absensi, pergantian karyawan dan kepuasan. Variabel pada tingkat individual. Bila individu-individu memasuki suatu organisasi, mereka sedikit sama dengan mobil bekas. Semua berlainan. Beberapa masih rendah kilometernya - mereka telah diperlakukan dengan seksama dan hanya terbatas tersingkap pada realitas unsur-unsur yang lain sudah usang benar dengan tidak mengalami sejumlah jalan yang kasar. Analog ini menandakan bahwa orang-orang memasuki organisasi dengan karakteristik-karaktei istik tertentu yang akan mempengaruhi perilaku mereka di tempat kerja. Yang jelas karaktenistik ini adalah ciri pribadi atau biografis seperti misalnya
usia,
jenis
kelamin,
status
perkawinan,
ciri
kepribadian, nilai dan sikap dan tingkat kemampuan dasar. Karakteristik ini pada hakekatnya masih utuh ketika seorang individu memasuki angkatan kerja, dan umumnya manajemen tidak dapat berbuat banyak untuk mengubahnya. Variabel tingkat kelompok. Perilaku orang-orang dalam kelompok lebih dan pada jumlah total dan tiap-tiap individu yang bertindak menurut caranya sendiri. Kerumitan model ditingkatkan bila kita mengakui bahwa perilaku orang-orang bila 162
berada dalam kelompok yang berbeda dan perilaku mereka bila sendirian. Variabel
pada
tingkat
sistem
organisasi.
Perilaku
organisasional mencapal tingkat kecanggihan yang tertinggi bila kita tambahkan struktur formal kepada pengetahuan kita sebelumnya mengenal perilaku individu dan kelompok. Seperti kelompok lebih dan jumlah anggota individunya, demikian pula organisasi
lebih
dan
pada
jumlah
kelompok-kelompok
anggotanya. Desain dari organisasi formal, teknologi dan proses kerja, serta pekerjaan, kebijakan dan praktik sumber daya manusia dan organisasi itu yaitu proses seleksi, program pelatihan metode penilaian kerja, budaya intern dan tingkat stress semuanya mempunyai dampak pada variabel-variabel bebas.
163
BAB 12 HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KINERJA Kotter dan Heskett (1992) peneliti dari Harvard Business School dalam penelitiannya yang memakan waktu cukup panjang menemukan bahwa terdapat 4 (empat) faktor yang menentukan perilaku kerja manajemen suatu perusahaan, yaitu: 1. budaya perusahaan; 2. struktur, sistem, rencana dan kebijakan formal; 3. kepemimpinan (leadership); dan 4. Iingkungan yang teratur dan bersaing. Kotter dan Heskett menemukan juga banyak faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan, namun mereka hanya tertanik dengan dampak potensial dan satu unsur variabel saja, yaitu budaya perusahaan. Telaah yang dilakukan adalah untuk menjawab apakah ada hubungan antara budaya perusahaan dan kinerja ekonomi jangka panjang, untuk mengklarifikasi sifat dan
alasan-alasan
bagi
hubungan
keduanya,
untuk
menemukan apakah dan bagaimana hubungan itu dapat dieksploitasi
dalam
upaya
meningkatkan
kinerja
suatu
perusahaan. Penelitiannya berhasil menunjukkan bahwa: 1. budaya perusahaan mempunyai pengaruh yang berarti (signifikan) terhadap
kinerja
ekonomi
jangka
panjang,
2.
budaya
perusahaan mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan
164
Iebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam dasawarsa yang akan datang, 3. budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangan jangka panjang cukup banyak, dan budaya semacam itu mudah berkembang, bahkan dalam perusahaan-perusahaan yang penuh dengan orang-orang pandai serta berakal sehat, dan 4. walaupun sulit untuk diubah, budaya perusahaan dapat disesuaikan agar bersifat Iebih akomodatif pada anggota sehingga bisa meningkatkan kinerja. Kuchinks
(1999)
melakukan
penelitian
tentang
kepemimpinan dan budaya organ isasi di dua negara industri maju yang mempunyai hubungan historis dan kuat, yaitu di Amerika serikat dan Jerman. Studi yang berdasarkan survay ini meneliti perbedaan dalam gaya kepemimpinan dan beberapa nilai budaya pada perusahaan telekomunikasi di AS dan di Jerman. Hasil studinya menemukan bahwa terdapat banyak kesamaan dan juga perbedaan antara kepemimpinan dan budaya
organisasi
menggunakan
di
kedua
beberapa
negara
variabel
tersebut. independen,
Dengan --tapi
dikendalikan dalam rancangan eksperimentalnya dalam hal pengaruh usia, jenis kelamin dan pendidikan--, ditemukan bahwa adanya perbedaan dalam dimensi kepemimpinan transformasional khususnya pada kharisma dan motivasi inspirasional. Pekerja di AS memiliki jiwa kepemimpinan yang Iebih besar pada variabel yang fokus pada visi, masa depan 165
yang diharapkan, optimisme dan antusiasisme dalam usaha pencapaian hasil. Sedangkan di Jerman, para pekerja kurang mempunyai
kharisma
dan
inisiatif.
Namun
dalam
hal
kepemimpinan transaksiona ditemukan tidak ada perbedaan. Beberapa
nilai
budaya
dapat
pula
memprediksi
gaya
kepemimpinan, tetapi hanya menjelaskan perbedaan dalam porsi yang kecil. Hal ini menerangkan bahwa nilai-nilai budaya memiliki pengaruh kecil pada kepemimpinan. Littrell (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh komposisi lintas budaya (influence of the cross-cultural composition) pada tim manajemen yang berkaitan dengan pitihan kepemimpinan. Sebagai indikatornya adalah perilaku manajer dan supervisor di dua hotel yang berada di kota Zhengzhou Propinsi Henan, China. Pengumpulan data dalam rentang waktu 3 tahun yakni pada tahun 1999 sd. tahun 2002 dengan jumlah populasi yang sama. Data dikumpulkan memakai kuisioner yang dikembangkan oleh Ohio State University
(USA),
Questionnaire
yaitu
(LBDQ),
Leader yang
Behavior
Description
mengidentifikasikan
dua
karakteristik utama perilaku pemimpin, yakni orieritasi tugas (task-orientation)
dan
pemeliharaan
anggota
kelompok
(nurturance of the members of the group). Salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa budaya organisasional (behaviours),
berpengaruh opini
signifikan
(opinions),
sikap
kepercayaan (beliefs) anggota organisasi. 166
terhadap
perilaku
(attitudes)
dan
Lusch dan Harvey (1994) meneliti para pengawas keuangan (controller) yang bekerja di beberapa perusahaan jasa akuntan publik (public accountant) di Amerika Serikat menemukan bahwa peningkatan kinerja organisasional dapat dipengaruhi oleh aktiva tak berwujud (intangible assets), antara lain budaya organisasional
(organizational culture),
hubungan dengan
pelanggan (customer relationship) dan citra perusahaan (brand equity / corporate image). Dalam penelitiannya, kinerja organisasional ditunjukkan oleh jumlah jasa yang berhasil dilakukan serta peningkatan profit (laba) perusahaan, sedangkan budaya oganisasi diukur dengan
menggunakan
konsep
yang
dikemukakan
oleh
Hofstede et al. (1990). Arogyaswamy dan Byles (1987) dalam penelitianya menemukan bahwa budaya organisasi hanya merupakan salah satu dan banyak variabel yang dapat memberi kontribusi untuk menjelaskan kinerja organisasi. Hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja dipandang dalam suatu kerangka kontingensi. Budaya yang ada dalam satu organisasi memang memberikan kontibusi terhadap sikap dan perilaku orang-orang yang ada di dalamnya, yang merupakan nilai-nilai dan ideologi yang dipakai dalam aktivitas keseharian. Internal fit (keserasian internal) akan memberikan karakter budaya pada masing-masing individu yang ada dalam 167
organisasi, sedangkan external fit (keserasian eksternal) merupakan indikator lanjutan, yang mana budaya dan strategi organisasi ada dalam satu garis dengan yang lainnya. Beberapa katagori variabel berbeda dipakai untuk membahas pengaruh keserasian antara kebutuhan, yaitu: 1. jenis stretagi generik yang telah disesuaikan; 1. katagorisasi produk atau layanan yang ditawarkan; 3. lingkungan alam 4. karakteristik perusahaan dalam memanfaatkan persaingan; 5. ukuran organisasi dan 6. tingkat ketergantungan. Analisisnya menghasilkan bahwa internal fit bukan merupakan syarat yang universal untuk kesuksesan suatu organisasi, namun budaya organisasi
merupakan
hal
yang
sangat
penting
untuk
diperhatikan. Kemp dan Dwyer (2001) dalam penelitiannya di The Regent Hotel Sidney berusaha mencari jawaban tentang pengaruh antara jaringan budaya (cultural web) yang ada dalam organisasi pada hotel tersebut terhadap perilaku karyawan
dan
dampaknya
terhadap
organisasi
secara
menemukan
bahwa
keseluruhan. Dalam
kesimpulan,
mereka
penggunaan jaringan budaya berpengaruh terhadap perilaku karyawan dan dapat meningkatkkan kinerja organisasi. Waclawski (1996) daam penelitiannya menggunakan hasil-hasil survai organisasional untuk meningkatkan kinerja organisasional dalam perusahaan jasa finansial, di mana termasuk budaya dan kepemimpinan digunakan sebagai 168
variabel independen. Konsep budaya yang dipakai adalah yang dikemukakan oleh Pettigrew (1979), dan konsep leadership style dan EkvaII dan Arnonen (1991) serta kinerja organisasi diukur dengan kinerja finansial (financial performance) yang dilakukan dengan mengumpulkannya seama 18 bulan. Dalam penelitiannya itu, Waclawski menemukan bahwa budaya
(culture)
Iebih
penting
dibandingkan
gaya
kepemimpinan (leadership style) dalam meningkatkan kinerja organisasional. O‟Reilly (1989) menganalisis adanya 4 faktor yang membuat budaya perusahaan menjadi kuat, yakni: 1. sistem partisipasi, 2. gaya manajemen, 3. informasi dari orang lain sehingga membentuk sikap dan perilaku karyawan; dan 4. adanya sistem penghargaan. Ke-4 faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk terwujudnya budaya perusahaan yang kuat. O‟Reilly et al. (1991) mengkaji tiga tema yang dewasa ini banyak dibahas dalam perilaku organisasi, yaitu: 1. ketertarikan dalam melakukan penilaian konstruk hubungan antara situasi dengan seseorang (person-situation interactional constructs); 2. penilaian budaya organisasi secara kuantitatif (the quantitative assesment of organizational culture); dan 3. penerapan “Q-sort” atau template-matching, yang merupakan pendekatan yang digunakan dalam menilai hubungan antara situasi dengan seseorang.
169
Data longitudinal dari para akuntan dan mahasiswa MBA serta data cross-sectional dan karyawan pemerintah dan perusahaan-perusahaan
akuntansi
digunakan
untuk
mengembangkan dan validasi suatu instrumen dalam menilai kaitan antara person, organization fit dan the organizational culture pto file. Hasilnya
menunjukkan
bahwa
dimensi
preferensi
seseorang dalam budaya organisasi dan keberadaan budaya dapat
diinterpretasikan.
Kecocokan
seseorang
dalam
organisasi dapat dilihat dari kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasinya setelah dua tahun bekerja. Hal penting lainnya adalah adanya kesesuaian antara preferensi (pilihan) individual dengan budaya organisasi. Pratt dan Beaulieu (1992) dalam penelitiannya menguji perbedaan budaya organisasi kantor akuntan publik yang disebabkan oleh size, teknologi, kisaran (rank), dan bidang fungsi organisasional. Dengan menggunakan 338 responden yang bekerja sebagai managing partner pada akuntan publik di Seattle, Denver, Chicago, South Bend dan New York City, Pratt dan Beaulieu menemukan bahwa size perusahaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap dimensi budaya power distance, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap dimensi budaya uncertainty avoidance. Juga ditemukan bahwa perbedaan lingkungan kerja pada kantor akuntan publik, yang dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam management advisory services (MAS) dan non-MAS, mempunyai pengaruh yang 170
signifikan terhadap budaya organisasional. Hasil penelitian Pratt & Beaulieu mendukung temuan peneliti sebelumnya seperti Watson (1975), Ballew (1982) dan Jiambalvo et al. (1983) yang mengemukakan bahwa perbedaan bidang fungsi organisasi mempunyai pengaruh terhadap perbedaan budaya. Hofstede et al. (1990) dalam penelitiannya dengan menggunakan sampel pada 20 departemen organisasiona yang terdapat dalam 10 perusahaan, masing-masing 5 di Denmark dan 5 di Netherlands (Belanda) dengan jumlah 180 orang yang diwawancari (rsponden). Variabel size yang digunakan adalah diukur ndengan tiga jenis, yaitu jumlah anggaran tahunan, investasi modal dan jumlah karyawan. Sedangkan dimensi praktek budaya organisasi yang diteliti mencakup enam dimensi, yaitu: 1. Process-Oriented vs. Result-Oriented: 2. Employee—Oriented
vs.
Job–Oriented;
3.
Parochial
vs.
Profesional; 4. Open System vs. Closed System; 5. loose Control vs. Tight Control; dan 6. Normative vs. Pragmatic. Penelitian Hofstede menemukan bahwa perbedaan budaya organisasional dipengaruhi oleh size, tipe kepemilikan (swasta-pemerintah),
struktur
organisasional,
system
pengendalian dan profil karyawan. Jumlah karyawan sebagai salah satu pencerminan size unit organisasional mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap budaya organisasi, dibandingkan dengan jumlah anggaran dan modal yang diinvestasikan.
171
Lewis (1994) dalam penelitiannya di sebuah perguruan tinggi di Australia menemukan tidak ada pengaruh langsung antara budaya organisasi dengan kinerja organisasi. Lewis meneliti
keterkaitan
antara
reaksi,
perilaku
dan
kinerja
organisasi dengan adanya perubahan organisasi pada suatu lembaga pendidikan lanjutan (college) yang akan menjadi suatu universitas, di mana college tersebut sebelumnya sudah memiliki budaya organisasi. Dinyatakannya, organisasi yang dijalankan secara baik sesuai kriteria yang diamanatkan oleh para pemegang saham (pemilik), kendatipun ada pertentangan yang luas antara kelompok bawah dengan menejemen level menengah selama terjadinya perubahan organisasi, ditemui kinerja organisasi tak mengalami perubahan yang signifikan. Bernard (1995) dalam penelitiannya menguji keterkaitan antara budaya organisasi dan kinerja organisasi. Bernard meneliti hubungan kausal antara kedua variabel tersebut dengan model-model empirik yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya. Ditemukan adanya kaitan (link) yang tidak jelas antara
budaya
dan
kinerja,
serta
masih
diperlukannya
perbaikan-perbaikan penerapan konsep yang dilibatkan oleh peneliti sebelumnya. Bernard juga mengajukan beberapa variabel moderator yang perlu dipertimbangkan jika melakukan penelitian di masa mendatang. Chuang et al. (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Organizational Culture, Group Diversity and Infra-Group Conflict‖, menggunakan alat analisis konseptual dan proposal 172
penelitian yang didasarkan pada temuan penelitian terdahulu. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah hubungan antara budaya organisasi, konflik dalam kelompok dan keanekaragaman
kelompok.
Temuan
utamanya
adalah
keanekaragaman kelompok dipengaruhi oleh keselarasan niali dan kandungan nilai dalam organisasi. Peter Lok dan John Crawford (2004) dalam penelitiannya yang
berjudul
”The
effect
Organizational
Culture
and
Leadership Style On Job satisfaction and Organizational Commitment‖, mengukur pengaruh dari budaya organisasi, gaya kepemimpinan, kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan menggunakan metode Analisis Regresi. Temuan utama dalam penelitian ini adalah adanya dampak budaya organisasi inovatif dan suportif terhadap komitmen, dan dampak budaya inovatif terhadap kepuasan. Tidak ditemukan perbedaan signifikan damapk gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja dan komitmen antara manajer. Moon M.J. (2000) dalam penelitiannya yang berjudul ”Organizational
Commitment
Revisited
In
New
Public
Management‖, menjelaskan hubungan motivasi, komitmen organisasional, tingkat manajerial dan budaya organisasional. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Multiple Regresi. Temuan utama dalam penelitian ini adalah hasil statistik dari model gabungan, faktor motivasi instrinsik bersumbangsih pada meningkatnya komitmen organisasional yang dipersepsikan,
173
sementara hanya pengharapan gaji yang tampak sebagai penentu mencolok dari komitmen organisasional. Yousef D.A. (2000) dalam penelitiannya yang berjudul ”Organizational Commitment: A Mediator of The Relationships of
Leadership
Behaviour
With
Job
Satisfaction
and
Performance In A Non-Western Country‖, masalah yang diteliti adalah untuk mengetahui peran budaya nasional dalam memoderasi hubungan antara perilaku kepemimpinan dengan komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja. Variabelvariabel yang diteliti adalah perilaku kepemimpinan, komitmen organisasi, kinerja pekerjaan, kepuasan kerja, dan karakteristik demografi. Penelitian ini menemukan korelasi antar variabel: komitmen organisasi dengan kepuasan kerja sebesar 0,47; dengan kinerja sebesar 0,28. Elenkov (2000) dalam penelitiannya mengkaji secara bersamaan pengaruh utama (the main effects) penilaku kepemimpinan transaksional dan transformasional atas kinerja organisasional
di
Russian
moderatornya
adaiah
Companies
dukungan
dengan
inovasi
variabel
(support
for
innovation). Data yang digunakan berasal dari Directory of the State Institute for Statistics of Rusia tahun 1998, dengan teknik pengambilan sampel memakai stratified random sample atas sekitar 50.000 private companies. Perilaku kepemimpinan diukur dengan metode Multifaktor Leadership Questionnaire (MLQ)-Form 10 dan Bass dan Avolio‟s (1990). Sedangkan kinerja organisasional ditunjukkan dan tingkatan yang berhasil 174
dicapai sesuai dengan tujuan organisasi, yaitu kuisionernya disusun oleh suatu kelompok eksekutit sejumlah 38 orang pada sebuah seminar. Ada 29 tujuan perusahaan yang dipakai sebagai tolok ukur. Hasil
penelitiannya
adalah
perilaku
kepemimpinan
transformasional secara langsung dan positif berpengaruh terhadap kinerja organisasional melebihi dampak dan perilaku kepemimpinan inovasisecara
transaksional. signifikan
sebagai
Dukungan
terhadap
moderator
antara
kepemimpinan transformasional dengan kinerja organisasional. Fernandez (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Komitmen Manajemen Pada Budaya Organisasi, Komitmen Individu, dan Kinerja RS Nirlaba”, mendiagnosis hubungan kausal antara budaya dengan kinerja Rumah Sakit kabupaten dan faktor yang berpengaruh terhadap keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung antara komitmen manajemen terhadap kinerja dan terdapat pengaruh tidak langsung antar asumsi dan nilai individu terhadap kinerja. Penelitian yang dilakukan oleh Parry dan Thomson (2003)
mengenai
kepemimpinan,
budaya
dan
kinerja,
merupakan sebuah studi kasus di sektor publik, New Zealand. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengajukan tes hipotesis hubungan antara kepemimpinan, jenis budaya dan efektivitas dalam sektor publik dengan menggunakan SEM (Structural Equation Model). Konstruk yang diukur dalam 175
penelitian ini meliputi budaya organisasi transformasional / transaksional, iklim untuk mengadakan inovasi, kepemimpinan transformasional individu, kepemimpinan transformasional tim, dan hasil-hasil tim dan organisasi. Data dikumpulkan dalam dua kali survey yang dilakukan secara berurutan. Pertama, 388 sektor publik, kedua, 190 sektor publik di bidang kesehatan publik dan pendidikan. Kedua survei tersebut didesain sebagai kelengkapan investigasi beberapa aspek kepemimpinan di New Zealand. Kesimpulan yang diperoleh bahwa terdapat korelasi negatif antara budaya organisasi transaksional dan hasil, korelasi positif antara budaya organisasi transformasional dan hasil. Temuan di atas menunjukkan bahwa bentuk dan dinamika dampak budaya dan iklim dalam sektor publik bisa berbeda dan hubungan serupa yang diperoleh dalam sektor privat. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja. 2. Budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas organisasi atau kinerja organisasi. Casson (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Leadership and Cultural Change: An Economic Analisys‖, menguji pengaruh budaya terhadap kinerja ekonomi. Hasil penelitian ini adalah budaya dapat megurangi biaya transaksi dan memperbaiki kinerja ekonomi; pemimpin yang dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan sebaliknya pemimpin yang jelek akan menghalangi atau merusaknya. Pemimpin yang baik 176
meningkatkan kombinasi nilai-nilai secara khusus yang meliputi keberpihakan
terhadap
kepentingan
orang
lain
dan
pertimbangan yang matang dalam pengambilan keputusan; pemimpin yang jelek meningkatkan kombinasi nilai-nilai egois dan seketika. Penelitian yang dilakukan oleh Barney (1986) mengenai budaya organisasi yang mengarah pada apakah budaya organisasi dapat menjadi suatu sumber keunggulan kompetitif, menemukan bahwa budaya organisasi dapat berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi jangka panjang sehingga dapat meraih Sustainable Competitive Advantage. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Smart, John C., dan Edward (1996) dalam penelitiannya yang berjudul “Organizational Culture and Effectiveness in Higher Education: A Test of the ‗Culture Type‘ and ‗Strong Culture‘ Hypotheses‖, menentukan apakah dua penyelidikan (jenis
budaya
dan
pertumbuhan
konsensus)
dapat
menerangkan hipotesis hubungan antara budaya organisasi dan kinerja perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya perusahaan merupakan sumber keuntungan yang berasal dari atribut yang melekat pada budaya tersebut. Perusahaan yang mempunyai budaya dengan atribut yang diperlukan dapat memperoleh sustainable superior financial performance dari budaya tersebut.
177
DAFTAR BACAAN
Betts, C.A., and S.M.Halfhill. 1985. Organization Culture: Theory, Definitions, and Dimentions, Las Vegas. Brown, Douglas J. 1973. The Human Nature of Organizations, First Printing, New York: AMACOM, USA. Cornelius, Ed. 2003. Leading a culture ready for change, Executive Excellence (EEX), Vol. 20, Iss. 7, p. 15. Deal, Térrence E., and Allan A. Kennedy. 1984. Corporate Cultures: Th Rites and Rituals of Corporate Life, Fourth Printing, Canada: rhe Dryden Press, Harcourt College Publishers. Denison, Daniel R., Ancil K. Mishra. 1995. Toward a Theory of Organizational Culture and Effectiveness, Organization Science, Vol. 6, No.2. Deshpande, R., FrIe. J.U., Webster, F.E. 1993. „Corporate Culture, Customer Orientation and Innovativeness in Japanese Firms: A Quadrad Analysis‟, Journal of Marketing, 57, p.p. 7-23. Fogli,
Lawrence, Hulin, Charles, Blood, Milton. 1971. development of first k level behavioral job criteria, Journal of Applied psychology, 55, pp. 3-8.
Geletkanycz, Marta A. 1997. The Salience of Culture‟s Consequences: The Effects of Cultural Values on Top Executive Commitment to the Status Quo, Strategic Management Journal, Vol.18, No. 8, p.p. 615- 634. Glaser, S.R., S. Zamanou, and K. Hacker. 1987. Interpreting Organizational Culture, Management Communication Quarterly. 178
Gordon, G.G., and W.M. Cummins. 1979. Management Climate, Lexington MA.
Managing
Hatch, Mary J0. 1993. The Dynamics of Orgnizational Culture, Academy of: Management Review, Vol. 18, No. 4, p.p. 657- 693. Hennessey, J. Thomas, Jr. 1998. Reinventing Government: Does Leadership make the difference?, Public Administration Review, Vol. 58, No. 6, p.p. 522- 532. Hofstede, Geert. 1986. Culture‘s Consequences, International Differences in Work-Related Values, New Delhi: Sage Publication, Beverly Hills, London. Killman, R.H., Saxton, M.J., and Serpa, R. 1986. Issues in Understanding and changing culture, California Management Review, No.2, pp. 87- 94. Kreitner, Robert. 1995. Management Principles and Practices. New Jersey: Houghton Mifflin Company, Boston, Toronto. Kreitner, Robert, and Kinicki, Angelo. 1995. Organizational Behavior, Thirth Edition, USA: Richard D. Irwin Inc. Lakomski, Gabriele. 2001. Organizational Change, Leadership and Learning: Culture as Cognitive Process, The International Journal of Educational Management, Vol. 15, No.2, pp. 68-77. Lewis, Pamela S., Stephen H. Goodman, and Fandt, Patricia M. Goodman, 2004. Management: Challenges for Tomorrow‘s Leaders, Fourth Edition, Canada: SouthWestern. Luthans, Fred. 1992. Organizational Behavior, Sixth Edition, Singapore: Mc Graw Hill Book Inc.
179
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Budaya Organisasi. Cetakan ke-2, Jakarta: Penerbit PT. Rineka Cipta. Nimran, Umar.1997. Perilaku Organisasi. Surabaya: Penerbit CV. Citra Media.
Cetakan
ke-1,
Peter, T. J., and Waterman, R. H. 1982. In Research of Excellence: Lessons from America‘s best-run Companies, New York: Harper and Row. Plunkett, Warren R., Raymond F. Affner. 1994. Introduction to Management, Fifth Edition, USA: lnternational Thompson Publishing. Robbins, Stephen P. 2002. Organizational Behavior: Consepts, Controversies, and Applications, Eight Edition, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Pren. Robbins, Stephen P., and Coulter, Mary.1999. Management, Sixth Edition, New Jersey: A Simon & Schuster Company. Sarros, James C.m Judy Gray, laian L. Densten. 2002. Leadership and its Impact on Organizational Culture, International Journal of Business Studios, Vol. 10, No. 2, p.p. 1-26. Schein, E. H. 1992. OrgnizationaI Culture and Leadership, Second Edition, CA, San Fransisco: Jossey-Bass. Smircich, L. 1983. Concepts of culture and organizational analysis, Administrative Science Quarterly, 28, p.p. 339358. Trice, Harrison M., and Janice M. Beyer. 1991. Cultural Leadership in Organizations, USA, Organization Science, Vol. 2, No. 2. p.p. 149-169. Yukl, Gary A. 1998. Leadership in Organizations, 3e, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Prehhallindo. 180