BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penelitian yang dilakukan tentang pergulatan eksistensial pramuwisata berbahasa Jerman pada biro perjalanan wisata PT NDBT. Sehubungan dengan identifikasi masalah dalam penelitian ini, peneliti perlu mengadakan studi penelusuran sumber yang relevan dari penelitian terdahulu berupa buku, jurnal, dan tesis untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menambah wawasan penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung yang memiliki hubungan dengan konsep, landasan teori, metode, dan hasil penelitian. Madiun (2008) dalam penelitian yang berjudul Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua (Perspektif kajian budaya) membahas tentang bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal yaitu partisipasi karena paksaan (manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coersive partisipation), dan partisipasi masyarakat masyarakat secara sepontan (spontaneous participation). Kesamaan dengan objek yang diteliti adalah keduanya membahas mengenai pengembangan pariwisata sedangkan perbedaanya adalah pada objek yang diteliti terfokus pada pergulatan eksistensial pramuwisata berbahasa Jerman dalam biro perjalanan wisata PT NDBT, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Madiun terfokus pada partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata Nusa Dua.
12
13
Penelitian yang dilakukan Mudana (2000) yang berjudul ”Indusrtialisasi Pariwisata Budaya di Bali: Studi Kasus Biro Perjalanan Wisata di Kelurahan Kuta”. Dalam penelitian tersebut membahas produk budaya yang terkomodifikasi dalam wisata paket (package tours) biro-biro perjalanan wisata. Produk-produk paket wisata yang dikelola oleh sebuah biro perjalanan wisata dalam ranah industrialisasi pariwisata budaya dapat melahirkan budaya populer dalam wacana budaya populer menimbulkan sintesis yang ideal dari ”pariwisata alam” sebagai praktik-praktik budaya (lived cultures/cultural practices)
dan pariwisata seni sebagai teks-teks
budaya (culturaltext/signifying practices). Relevansi dari penelitian ini adalah memberikan wawasan berfikir yang berkaitan dengan peran biro perjalanan wisata dalam industri pariwisata. Perbedaannya adalah penelitian Mudana tersebut menganalisis terjadinya proses industrialisasi pariwisata budaya di Bali melalui peran biro-biro perjalanan wisata, sedangkan dalam penelitian ini menganalisis implikasi pariwisata secara tidak langsung yang diwakili oleh kelompok subordinasi yaitu tenaga kerja pramuwisata berbahasa Jerman. Ginaya (2010) dalam penelitiannya yang berjudul ”Pergulatan Kepentingan antara Representatif Asing Dan Pramuwisata dalam Penanganan Wisatawan Rusia Pada PT Tiga Putrindo Lestari di Nusa Dua”, tulisan ini mengulas tentang adanya persaingan antara representatif asing dengan pramuwisata Rusia lokal Bali yang mengakibatkan tergusurnya keberadaan pramuwisata lokal tersebut akibat lahan yang semestinya menjadi miliknya telah diserobot oleh refresentatif asing, mulai dari kedatangan wisatawan, selama tinggal di Bali, dan sampai kembali ke negaranya. Dalam penanganan wisatawan tersebut represenatif asing mendapatkan peran yang sangat dominan, sedangkan pramuwisata lokal Bali berperan sebagai pembantu dari
14
refresentatif asing tersebut. Relevansi penelitian ini adalah menambah wawasan yang berkaitan dengan peran pramuwiata dan biro perjalanan wisata dalam industri pariwisata. Perbedaannya adalah penelitian Ginaya tersebut menganalisis kompetensi ketenagakerjaan dalam pemanfaatan kebudayaan Bali sebagai daya tarik, sedangkan dalam penelitian ini menganalisis seperti apa keberadaan pramuwisata Jerman di biro perjalanan wisata dalam pemanfaatan daya tarik kebudayaan Bali Penelitian Kristianto (2008) yang berjudul ”Tuturan Wisatawan Jerman Di Bali: Sebuah Studi Prilaku Berbahasa”. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa adanya tindak tutur wisatawan Jerman (WJ) dengan pramuwisata (PW) dalam peristiwa tutur pemanduan wisata di Bali. Dari hasil penelitiannya, dapat diketahui bagaimana bentuk, fungsi, dan makna tuturan WJ dalam peristiwa tutur pemanduan wisata. Dikatakannya, selain diperoleh bentuk, fungsi, dan makna tuturan WJ, juga diperoleh gambaran perilaku berbahasa WJ. Selain temuan bidang pragmatik, dalam penelitian tersebut dapat diketahui bahwa aspek paralinguistik (aspek non-verbal atau kinesik) juga sangat mempengaruhi peristiwa tutur. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan adalah keduanya membahas tentang bahasa Jerman dan pramuwisata berbahasa Jerman dalam pariwisata Bali sedangkan perbedaanya adalah pada peneltian Kristanto terfokus pada tuturan dan prilaku wisatawan Jerman di Bali sedangkan penelitian ini terfokus pada pergulatan eksistensial pramuwisata berbahasa Jerman. Buku yang berjudul Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006) karya Michel Picard. Buku ini menguraikan bagaimana orang Bali menampilkan kebudayaanya kepada wisatawan dan bagaimana mereka memandang kebudayaannya
15
ketika berbicara tentang pariwisata. Buku ini menambah wawasan serta memberikan inpirasi yang berkaitan dengan pariwisata budaya dan tantangannya. Penuntun Praktis Pramuwisata Profesional (1984) karya Yoeti tersebut menguraikan tentang gambaran umum suatu biro perjalanan wisata dan pramuwisata. informasi ini menambah wawasan serta memberikan inspirasi yang berkaitan dengan biro perjalanan wisata dan pramuwisata. Sukses menjadi Pramuwisata Profesional (2008) karya Udoyono. Buku tersebut menambah wawasan serta memberikan inspirasi yang berkaitan tentang cara kerja seorang pramuwisata, peran penting pramuwisata dalam kegiatan pemanduan, serta syarat-syarat menjadi seorang pramuwisata. Lebih lanjut Yoeti memaparkan dalam tulisannya tentang Anatomi Pariwisata (2008).
Tulisan
tersebut menambah wawasan serta memberikan inspirasi yang
berkaitan dengan perkembangan pariwisata Indonesia dan dunia serta mengenal karakter wisatawan mancanegara. Dari penelitian yang dilakukan tergambar adanya perbedaan antara penelitian dan buku yang telah diuraikan di atas. Perbedaan secara substansial adalah objek kajian, yakni penelitian menekankan pada pramuwisata berbahasa Jerman pada biro perjalanan wisata pada PT. NDBT. Selain itu, penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena berkaitan dengan pergulatan eksistensial pramuwisata Jerman yang di fokuskan pada biro perjalanan wisata PT. NDBT di Tuban kabupaten Badung.
16
2.2 Konsep Sejalan dengan penelitian yang berjudul ”Pergulatan Eksistensial Pramuwisata berbahasa Jerman pada biro Perjalanan Wisata pada PT. NDBT di Tuban kabupaten Badung”, ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan. Konsep tersebut yakni: pergulatan eksistensial, pramuwisata berbahasa Jerman, biro perjalanan wisata PT. NDBT.
2.2.1 Pergulatan Eksistensial Konsep pergulatan pramuwisata Jerman dapat dimaknai sebagi sebuah bentuk usaha keras dari Pramuwisata Jerman yang bekerja sebagai pemandu wisata bagi wisatawan berbahasa Jerman, yang memiliki kemampuan dalam berbahasa Jerman, serta telah memiliki surat ijin disebuah biro perjalanan wisata tempat dimana Pramuwisata Jerman bekerja. Penjelasan pergulatan berasal dari kata”gulat”yang berarti merangkul, menindih, atau bergelut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 374). Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep, bahwa eksistensi berasal dari kata latin existere, dari ex keluar sitere yang berarti membuat sendiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas apa yang dialami. Konsep tersebut menekankan bahwa sesuatu itu memang ada. Eksistensi adalah
inti dari eksistensialisme.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Aabye Kierkegard ( Denmark : 18131855 ). Inti permasalahannya adalah apa itu kehidupan manusia, apa tujuan dari kegiatan manusia,
bagaimana menyatakan sebuah kebenaran manusia. Pokok
pemikirannya difokuskan kepada pemecahan konkret terhadap persoalan arti ”berada” mengenai manusia ( Salam, 1996 : 207 ).
17
Terdapat berbagai pandangan dalam faham eksistensialisme. Namun pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Harun Hadiwiyono sebagai berikut. 1. Motif pokok ialah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia karena manusia itu bersifat humanistis. 2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi dan merencanakan. 3. Dalam filsafat eksistensialisme, manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai yang masih harus dibentuk, pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih sesama manusia. 4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalaman yang eksistensial ( Salam, 1996 : 207-208 ). Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata eksistensial diartikan sebagai sebuah keberadaan. Keberadaan yang dimaksud adalah bagaimana keberadaan pramuwisata berbahasa Jerman pada PT. Nusa Dua Bali tour and travel.
Jadi
pergulatan eksistensial diartikan sebagai sebuah bentuk usaha keras yang dilakukan oleh seseorang untuk memperbaiki nasibnya ataupun mempertahankan keberadaanya. Dari paparan yang telah dikemukankan di atas pergulatan eksistensial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usaha atau pergulatan yang dilakukan untuk tetap bekerja, dapat mempertahankan hidupnya sebagai pramuwisata berbahasa Jerman, usaha untuk menarik wisatawan dari negara berbahasa Jerman
tetap
menggunakan usaha jasa PT. NDBT, serta usaha untuk memiliki peran yang besar dalam mengembangkan PT. NDBT untuk tetap ada dengan demikian sebagai
18
pramuwisata bahasa Jerman senantiasa diberdayakan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan kepemanduan guna kelangsungan hidupnya sendiri sebagai seorang pramuwisata berbahasa Jerman. Dari pandangan kajian budaya dengan menggunakan teori-teori posmodernisme, pergulatan eksistensial ini tujuannya adalah perjuangan untuk mempertahankan kehidupan dari sebuah bentuk korporasi yang selalu mendominasi dengan kekuatan yang mereka miliki.
2.2.2
Biro Perjalanan Wisata Menurut Undang-undang No 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan pasal 11
dikatakan bahwa usaha biro perjalanan wisata adalah usaha penyediaan jasa perencanaan atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan wisata (Lastara, 1997: 25). Sejalan dengan ketentuan tersebut di atas undang-undang No.10 tahun 2009 tentang kepariwisataan pasal 14 merupakan hasil revisi undang-undang sebelumnya juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan biro perjalanan wisata adalah usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyedian jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah (Muljadi, 2009: 236). Biro perjalanan wisata merupakan elemen yang sangat penting dalam proses pelayanan terhadap wisatawan. Saat ini hampir sebagaian besar wisatawan menggunakan jasa biro perjalanan wisata (yoeti, 2002). Peranan biro perjalanan wisata adalah sebagai salah satu jembatan bagi wisatawan untuk dapat menikmati objek wisata pada suatu daerah tujuan wisata. Biro perjalanan wisata adalah perusahaan yang menyelengarakan kegiatan paket wisata. Adapun kegiatan usaha biro perjalanan wisata antara lain 1) Menyusun dan menjual paket wisata, 2) Menyelenggarakan atau menjual pelayanan wisata, 3)
19
Menyusun dan menjual paket wisata, 4) Menyelenggarakan pemanduan wisata, 5) menyediakan fasilitas untuk wisatawan, 6) Menjual tiket sarana angkutan, 7) Mengadakan pemesanan sarana wisata, 8) Mengurus dokumen perjalanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sejalan dengan hal tersebut
Foster (2000)
memberikan definisi tentang biro perjalanan wisata bahwa biro perjalanan wisata menjual segala aturan perjalanan secara langsung kepada publik, khususnya menjual transportasi darat, laut, udara, sarana penginapan, perjalanan berpesiar, paket wisata, asuransi wisata, dan produk-produk terkait lainnya. Biro perjalanan wisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biro perjalanan wisata PT. NDBT yang menjual paket wisata kepada wisatawan berbahasa Jerman yang juga mempekerjakan pramuwisata berbahasa Jerman dalam pemanfaatan budaya dan alam Bali.
2.2.3
Pramuwisata berbahasa Jerman Menurut International Travel dictonery (dalam Yoeti, 1983: 17) yang
diterbikan oleh The Academic Internationale de Tourisme of Monte Carlo Principality of Monaco, pengertian pramuwisata adalah ” From the tourist point of view, the tour guide is person employed, either directly, by the traveler, an official or private tourist organization or travel agent to inform directly and advice the tourists before and during his journey”. Sesuai dengan pengertian tersebut di atas maka tugas seorang pramuwisata mencakup kegiatan seperti menuntun, memimpin, memberi penjelasan dan penerangan, petunjuk kepada anggota rombongan wisatawan selama dalam perjalanan wisata berlagsung.
20
Menurut keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (nomor: KM.82/PW.102/MPPT-88) pramuwisata adalah seorang yang bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk tentang objek wisata, serta membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan. Pramuwisata dalam penelitian ini berada pada wilayah propinsi Bali dan berdasarkan persyaratan untuk memperoleh sertifikat pramuwisata yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Bali dengan mengacu
pada
Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi
No.KM.82/PW.102/MPPT-88 pasal 10, diketahui ada dua syarat penting yang harus dipenuhi yaitu (1) Warga negara Indonesia, (2) memiliki KTP dalam wilayah propinsi Bali. Seiring perkembangan pariwisata yang makin menglobal, tuntutan terhadap profesionalisme makin tinggi. Pramuwisata harus memiliki kompetensi agar mampu memberikan pelayanan dengan baik, baik skill dalam bidang pemanduan, bahasa, maupun pengetahuan tentag budaya yang dimiliki oleh wisatawan yang di pandunya. Seiring dengan hal tersebut di atas, Atmaja (2008 : 2) menyatakan bahwa ada tiga hal pokok yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata professional, yaitu (1) keterampilan (skill), (2) pengetahuan (knowledge), (3) etika/moral (ethics). Harus dijalankan secara seimbang karena ketiga-tiganya saling berhubungan satu dengan lainnya. Pramuwisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pramuwisata berbahasa Jerman yang bekerja pada biro perjalan Wisata PT. NDBT yang bertugas menangani wisatawan berbahasa Jerman serta mengerti dan memahami karakteristik wisatawan berbahasa Jerman, dan juga wisatawan dari negara-negara eropa lainnya yang juga menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa Ibu mereka.
21
2.3 Landasan Teori Dalam sebuah penelitian, teori memegang peranan penting karena dapat dimanfaatkan untuk sistematisasi pengetahuan dan pengembangan hipotesa. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa teori yaitu: teori hegemoni, teori praktik sosial, dan teori tindakan komunikatif.
2.3.1 Teori Hegemoni Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Penggagas teori hegemoni adalah Antonio Gramsci yang berasal dari Italia, teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan teori perubahan sosial yang sebelumnya didominasi oleh ketergantungan paham kelas dan ekonomi marxisme tradisional. Teori hegemoni menjadi terkenal setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk
22
persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa . Tafsir atas hegemoni Gramsci mengatakan hegemoni berarti “kepemimpinan moral dan filosofis”, kepemimpinan yang dicapai lewat persetujuan yang aktif kelompok-kelompok utama dalam suatu masyarakat (Bocock, 2007: 1). Sedangkan Steve Jones memahami hegemoni Gramsci sebagai cultural and political leadership (Jones, 2006: 3). Ditinjau dari istilahnya, kepemimpinan meluas pada arti proses/operasi, pembentukan/pengarahan. Sementara jika ditinjau dari ruangnya, hegemoni bekerja pada wilayah yang menyeluruh: moral, filosofi, budaya, dan politik. Dari ruang tersebut bisa dipahami bahwa hegemoni bekerja melalui instrumeninstrumen yang sangat masif, yaitu negara, modal, agama, pendidikan, media massa, dan lain sebagainya. Teori hegemoni Gramsci berangkat dari refleksi terhadap marxisme yang ekonomisme, yang memandang perekonomian adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Perekonomian terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun berdasarkan kepemilikan atas sarana produksi (Bocock, 2007: 34-35) sebagai pusat terjadinya masalah sosial. Ketika masalah dalam perekonomian selesai, maka selesai pula masalah sosial. Gramsci melihat pandangan itu keliru. Menurutnya, apa yang terjadi pada kehidupan sosial tidak hanya karena pengaruh perekonomian,
23
tetapi juga karena negara dan lembaga-lembaga masyarakat. Dengan kata lain, Gramsci ingin menekankan aspek lain yang tak kalah penting dari pemikiran Marx, politik Gramsci melihat hegemoni tidak hanya terjadi pada kelas-kelas tertentu yang dibedakan berdasarkan ekonomi, tetapi juga pada masyarakat sipil yang jauh lebih kompleks. Gramsci terinspirasi pula oleh apa yang dilakukan Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dalam usaha mendapatkan dukungan rakyatnya. Misalnya pada saat menghadapi Tsarisme. Lenin sadar dirinya harus mendapat dukungan sebagian besar rakyatnya agar dapat menggulingkan Tsarisme. Lenin kemudian memikirkan strategi untuk mencapai kesadaran para pekerja untuk beraliansi dengan kelompok-kelompok lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual. Kesadaran kelompok-kelompok ini bagi Lenin merupakan modal utama untuk menggulingkan Tsarisme. Lenin menyebarkan pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang diinginkan (Bocock, 2007: 22-23). Apa yang dilakukan Lenin itulah yang disebut Gramsci sebagai contoh hegemoni. Hegemoni beroperasi pada ranah suprastruktur. Oleh karena itu, seperti telah disampaikan di muka, hegemoni dicapai melalui persetujuan-persetujuan masyarakat, bukan dengan cara pemaksaan-pemaksaan fisik. Teori hegemoni dalam penelitian ini, digunakan untuk menganalisis permasalahan terkait dengan adanya bentuk pergulatan eksistensial pramuwisata berbahasa Jerman dari bentuk kekuatan korporasi PT. NDBT dalam mencari keuntungan melalui pramuwisata berbahasa Jerman yang dalam melakukan kegiatan pemanduan harus berdasarkan paket-paket wisata yang sudah di tentukan. Dengan
24
demikian seorang pramuwisata tidak memiliki kewenangan dalam menentukan kemana wisatawan berbahasa Jerman itu akan di pandu, sehingga pramuwisata tidak memiliki kebebasan untuk menunjukan destinasi wisata yang menurut pramuwisata penting untuk di kunjungi. Hegemoni dapat dipandang sebagai sebuah strategi yang digunakan untuk melanggengkan pandangan dunia atas kekuasaan kelompok-kelompok sosial yang tengah berkuasa. Hegemoni juga merupakan kemapanan yang bersifat sementara dan kumpulan aliansi kelompok-kelompok sosial yang diperoleh lewat usaha dan bukan sebuah ketentuan nasib, tetapi hegemoni harus diperjuangkan terus. Hegemoni bukanlah sebuah entitas yang statis melainkan serangkaian wacana dan praktik yang selalu berubah dan terkait dengan kekuasaan sosial. Hegemoni sebagai suatu proses berkelanjutan antara kepentingan kelompok fundamental dengan kelompok subordinatnya, dan akhirnya kepentingan kelompok dominan menang, tetapi hanya sampai pada batasan tertentu saja. Oleh karenanya hegemoni harus dicipta ulang dan direbut kembali, terbukalah kemungkinan untuk melawan hegemoni, untuk membentuk suatu blok kontra hegemoni yang tersusun dari kelompok dan kelas subordinat (Barker, 2005: 81-82).
2.3.2 Teori Praktik Sosial Teori praktek sosial dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (Fashri, 2007: 42). Bourdieu merupakan ahli sosiologi yang menghubungkan ide teoritisnya dengan penelitian empiris dan didasarkan pada kehidupan sehari-hari (sosiology cultural). Teori praktek sosial merupakan gagasan pemikiran Bourdieu (Fasri, 2007: 82-100) sebagai sebuah perpaduan konseptual tentang habitus, ranah, dan modal. Menurut
25
Bourdieu dalam pemikirannya mengkritik pemikiran sejumlah marxis yang mengatakan bahwa masyarakat dapat dianalisis secara sederhana melalui kelas-kelas dan ideologinya. Sebagai kritik dari pemikiran ini Bourdieu (Fasri, 2007: 94-95) menggunakan konsep field, yakni arena sosial dimana orang berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan. Kemudian Fashri menyatakan bahwa field disebut juga sistem dari kedudukan sosial yang terstruktur secara internal dalam hubungan kekuasaan. Field sifatnya otonom, dan semakin banyak permasalahan dalam masyarakat, maka fieldnya semakin banyak. Teori yang dikembangkan oleh Bourdieu adalah reproduksi kelas, yakni satu generasi dari suatu kelas memastikan bahwa ia memproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada generasi berikutnya. Sebagai contoh adalah pendidikan. Supaya sukses dalam bidang pendidikan, maka dibutuhkan keseluruhan dari prilaku kultural. Anak dari keluarga menengah keatas telah mempelajari prilaku ini, sementara temannya yang berasal dari kelas pekerja tidak melakukan hal tersebut. Itulah sebabnya anak tersebut dapat sukses dalam sistem pendidikan dan memproduksi kedudukan sosialnya. Bourdieu (Fasri, 2007: 83-94) juga memperkenalkan konsep habitus yang berarti kebiasaan yang merupakan skema kognitif pilihan individu sebagai sesuatu yang terpola, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam jangka panjang. Kebiasaan yang terpola ini disebabkan oleh suatu kondisi objektif, namun tetap berlangsung, bahkan saat kondisi tersebut telah berubah. Contoh seorang pejabat berbicara pelan dan sistematis, kebiasaan berjalan minggir saat mendengar suara sirene mobil ambulance. Bourdieu (Fasri, 2007: 94) melihat habitus sebagai
26
kunci reproduksi, karena membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Dari ketiga konsep tentang ranah, habitus, dan modal tersebut akan melahirkan teori praktek sosial dari Bourdieu. Praktik yang dimaksud adalah prilaku atau tindakan sosial yang terstruktur dari tiga konseptual gagasan Bourdieu tentang ranah, habitus, dan modal. Secara singkat Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktek sosial dengan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek (Bourdieu, 1984: 101 dalam Harker dkk, ed.. 1990 : xxi) pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang ia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi ketidaksetaraan. Bourdieu menekankan bagaimana kelas-kelas sosial, khususnya kelas intelektual dan kelas penguasa, melestarikan keistimewaan sosial mereka lintas generasi ke generasi. Ini terlihat walaupun ada mitos bahwa masyarakat pasca-industri kontemporer menggembar-gemborkan kesamaan peluang dan mobilitas sosial yang tinggi, yang dicapai lewat pendidikan formal. Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena pertarungan di mana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau
27
mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok, untuk melindungi atau meningkatkan
posisi mereka dalam kaitannya dengan jenjang
pencapaian sosial. Konsep ranah tak bisa dilepaskan dari ruang sosial yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial (Fasri, 2007: 95). Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skemaskema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen. Teori praktik sosial dari Bourdieu tersebut digunakan untuk mempertajam analisis guna menjawab rumusan masalah yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pergulatan eksistensial pramuwisata Jerman di biro perjalanan wisata PT NDBT.
2.3.4 Teori Tindakan Komunikatif Untuk mewujudkan masyarakat komunikatif adalah terdiri atas individuindividu kritis yang didasarkan oleh sebuah proses belajar dalam masyarakat tersebut karena adanya kompetensi pada masing-masing individu anggotanya. Sebagai bentuk dari refleksi diri dalam bekerja untuk mencapai kemajuan. Semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dewasa ini membawa perubahan pada sendi kehidupan masyarakat yang dikenal dengan modernisasi kehidupan masyarakat. Proyek modernitas ini disponsori oleh barat dengan praktik–praktik manusianya yang menyebarkan rasionalitas pada kehidupan sosial.
28
Jurgen Habermas (Hardiman, 1993: xxi) membedakan rasionalitas menjadi dua yakni rasionalitas yang bertujuan (instrumental) dan rasionalitas komunikatif. Rasionalitas bertujuan menganalisis proses rasionalisasi tersebut yaitu pertama, dari kerangka kerja institusional masyarakat atau dunia kehidupan (lebenswelt) sosial budaya berupa interaksi dan kedua, dari segi subsistem tindakan rasional bertujuan yang tertanam di dalam dunia sosial budaya itu berupa kerja. Sedangkan rasionalitas komunikatif merupakan terobosan Habermas (Wattimena, 2008: 2). Menurut Wattimena, Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas weberian, dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam di dalam akal budi manusia itu sendiri dan dalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada. Teori tindakan komunikatif dari Habermas digunakan untuk menganalisis rumusan masalah ketiga dalam penelitian ini yang berkaitan dengan implikasi dan makna pergulatan eksistensial pramuwisata Jerman pada Biro perjalanan Wisata PT NDBT di Tuban Kabupaten Badung.
29
2.4 Model Penelitian Penelitian ini dapat digambarkan ke dalam model penelitian pada gambar 2.1 Pramuwisata berbahasa Jerman
Biro Perjalanan Wisata NDBT
Wisatawan berbahasa Jerman
Produk wisata
Tuntutan Profesional Pramuwisata
Pergulatan Eksistensial Pramuwisata Jerman Pada PT. NDBT
Bentuk pergulatan eksistensial pramuwisata berbahasa Jerman
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Kebutuhan Wisatawan berbahasa Jerman
Implikasi yang ditimbulkan
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan Model : Pengaruh : Saling mempengaruhi : Korelasi Pada model penelitian ini yang pertama dijelaskan adalah keberadaan biro perjalanan wisata PT. NDBT yang memiliki pangsa pasar wisatawan negara eropa khususnya negara yang wisatawannya berbahasa Jerman yang ada di Tuban
30
Kabupaten Badung. Biro perjalanan wisata sebagai penyedia paket wisata dengan menggunakan
bahasa Jerman sebagai pangsa pasar utama dalam menjaring
wisatawan yang berasal dari eropa khususnya yang menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa Ibu mereka. Kemudian tergambarlah seberapa besar pergulatan peran pramuwisata berbahasa Jerman di biro perjalanan wisata PT. NDBT. Dari pergulatan eksistensial pramuwisata Jerman di biro perjalanan tersebutlah kemudian muncul pergulatan peran dari pramuwisata berbahasa Jerman itu pada biro perjalanan tersebut. Peran yang ada tentunya di dukung oleh faktor-faktor lain seperti perkembangan pasar wisata dunia, pangsa pasar bahasa Jerman, Negara-negara pengguna bahasa Jerman, kemampuan pramuwisata daam berbahasa Jerman, serta karakteristik wisatawan Jerman. Dari beberapa faktor kemudian menghasilkan implikasi serta makna yang diakibatkan tiga komponen yang telah disebutkan di atas yang akan di kaji dan di telaah dari segi pergulatan peran, faktor pendukung serta implikasi yang di timbulkan dalam analisis kajian budaya.