III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Kesediaan untuk Menerima (Willingness to Accept/WTA) Willingness to Accept (WTA) menunjukkan seberapa kemampuan individu menerima kerusakan yang terjadi pada lingkungan. Berbeda halnya dengan WTP, WTA tidak terkait dengan pendapatan. Kecenderungannya, ketika seseorang ditanya tentang kesediaan menerima, jawaban mereka dapat lebih tinggi dari kesediaan untuk membayar pada jenis barang dan jasa lingkungan yang sama. Kesediaan untuk menerima (WTA) merupakan suatu ukuran dalam konsep penilaian ekonomi dari barang/jasa lingkungan yang memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan disekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang/jasa lingkungan dari sisi WTA mempertanyakan seberapa besar jumlah minimum uang yang bersedia diterima seseorang (rumah tangga) setiap bulan/tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (Hanley dan Spash, 1993). Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perhitungan WTA untuk menilai penurunan kondisi lingkungan, antara lain: 1. Menghitung jumlah yang bersedia diterima oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan.
3. Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Metode mempertanyakan nilai WTA (elicitation method) digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTA responden (penduduk). Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai minimum WTA digunakan metode tawar menawar (bidding game). Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point) dan responden setuju atau tidak setuju dengan jumlah yang akan diterima. Kemudian nilai awal dinaikkan/diturunkan sampai responden menyatakan bahwa tidak mau menerima lagi penawaran yang diajukan. Penawaran yang disetujui oleh responden merupakan nilai minimum dari WTA mereka. 3.1.2 Asumsi dalam Pendekatan WTA Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari masing-masing responden (penduduk) adalah: 1. Responden bersedia menerima kompensasi karena mengenal dengan baik kondisi Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur dan memiliki ketergantungan terhadap jasa lingkungan yang disediakan oleh sungai tersebut. 2. Pemerintah Kota Bogor memberikan perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan termasuk pembuangan limbah cair industri tekstil yang dibuang ke Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur.
3. Pemerintah Kota Bogor bersedia untuk memberikan dana kompensasi atas penurunan kualitas lingkungan akibat pembuangan limbah cair industri tekstil yang dibuang ke Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur. 4. Responden dipilih dari penduduk yang relevan dimana setiap satu tempat tinggal (rumah) yang diambil dianggap sebagai satu Kepala Keluarga.
3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method/CVM) Pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1963. CVM merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan untuk memperkirakan nilai ekonomi dari suatu komoditi yang tidak diperjualbelikan dalam pasar seperti barang lingkungan. Metode ini merupakan cara perhitungan secara langsung dengan titik berat preferensi individu menilai intangible goods yang penekanannya pada standar nilai uang (Hanley dan Spash, 1993). Dalam CVM digunakan pendekatan secara langsung, yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat mengenai berapa besar nilai minimum dari WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran barang publik yang mendekati nilai sebenarnya dalam pasar hipotesis yang dikondisikan bisa mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Asumsi dasar dari CVM adalah individu memahami benar pilihan masingmasing dan cukup mengenal kondisi lingkungan yang dinilai. Selain itu, apa yang dikatakan individu tersebut adalah sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan jika pasar untuk intangible goods benar-benar ada. Dengan dasar asumsi tersebut CVM menilai lingkungan dengan menanyakan pertanyaan “Berapakah jumlah
minimum uang yang bersedia diterima seseorang (WTA) setiap bulan atau setiap tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan”. Kuesioner CVM meliputi tiga bagian, yaitu (1) pernyataan yang jelas tentang kondisi alam yang mana/bagaimana yang harus dievaluasi oleh masyarakat; (2) pertanyaan yang menjelaskan keterkaitan responden secara ekonomi : pendapatan, lokasi tempat tinggal, usia, dan pengalaman pemanfaatan sumber daya alam terkait; (3) pertanyaan tentang WTA yang diteliti. Sebelum menyusun kuesioner terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan untuk membangun suatu pasar hipotesis barang publik yang menjadi pengamatan. Selanjutnya dilakukan pembuktian pasar hipotesis menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau dibeli.
3.1.4 Pajak Lingkungan Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang berperan penting dalam mengurangi kerusakan lingkungan. Secara konseptual sebagaimana disebut dalam buku Alfred Pigou,”The Economic of Welfare”, pajak lingkungan dirasionalkan sebagai upaya menginternalisasi biaya eksternal/biaya kerusakan yang tidak termasuk dalam harga pasar (pigouvian tax) ke dalam private cost (biaya perusahaan yang diperhitungkan berdasarkan laporan rugi laba), sehingga tersedia dana dalam pembiayaan lingkungan hidup untuk mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dapat diiringi dengan meningkatkan efisiensi produksi. Oleh karena itu, pajak lingkungan menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan (Dhewanthi dan Apriani, 2006).
Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, fungsi pajak lingkungan yaitu: (1) fungsi budgeter, yakni fungsi untuk mengisi kas daerah dan negara; (2) fungsi regulerend, yakni pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah antara lain: (a) mengatur usaha atau kegiatan yang memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL); (b) mengatur usaha atau kegiatan yang membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL/UKL); (c) pencegahan, pengendalian, serta penanggulangan pencemaran lingkungan; dan (d) pemberian ganti kerugian kepada “korban” pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.3 Dalam sistem pajak, pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah, tetapi mereka akan dikenai sanksi membayar pajak untuk setiap unit effluent (limbah cair) misalnya dalam ton yang dibuang. Esensi dari pendekatan pajak adalah untuk menyediakan insentif untuk para pencemar agar mereka mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi limbahnya. Dengan pajak, pencemar memiliki insentif untuk melestarikan penggunaan jasa-jasa lingkungan. 1. Dasar Ekonomi Asumsi program pajak effluent yaitu harus ada tekanan kompetitif/iklim ekonomi kompetitif yang memaksa perusahaan untuk melakukan apa saja yang dapat meminimalisir biaya. Pada perusahaan-perusahaan yang kompetitif, respon terhadap pajak akan bergantung pada dua faktor, yaitu tinginya pajak dan kecuraman kurva MAC (Marginal Abatement Cost). Semakin tinggi pajak, semakin besar pengurangan effluent, dan sebaliknya. Faktor lainnya yaitu semakin 3
Muhammad Djafar Saidi. 2007. Pajak Lingkungan; Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup. Situs : http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=49070. (diakses tanggal 21 Maret 2008).
curam kurva MAC semakin sedikit pengurangan effluent dalam merespon suatu tingkat pajak tertentu. 2. Tingkat Besaran Pajak Besarnya tingkat pajak dapat ditentukan dengan mengetahui fungsi MAC dan MD. Abatement Cost merupakan biaya pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan melalui pengurangan effluent. MAC menggambarkan biaya tambahan untuk mencapai pengurangan tingkat pencemaran sebanyak satu satuan, atau bisa juga dilihat sebagai biaya yang dihemat ketika pencemaran meningkat sebesar satu satuan. MD (Marginal Damage) menunjukkan perubahan kerusakan karena perubahan jumlah limbah yang dibuang. Pajak optimal ditetapkan pada tingkat effluent efisien (MD=MAC), yaitu pada e*, sehingga tingkat pajak adalah t* dapat dilihat pada Gambar 3.
Tax (Rp)
MA
MD
MAC
f t*
c
a
0
e
d
b e1
keterangan: Total Abatement Cost (TAC) Total tagihan pajak Total biaya perusahaan Sumber: Field (1994)
e*
eo
effluent
=e = a+b+c+d = a+b+c+d+e
Gambar 3. Pajak Effluent yang Efisien
Reduksi effluent dari e0 ke e* telah mengatasi biaya kerusakan sebesar e+f. Biaya kerusakan yang tersisa yaitu (b+d) jumlahnya lebih kecil dari pada pembayaran pajak perusahaan. Flat Tax seperti ini banyak dikritik karena pembayaran pajak perusahaan dapat melebihi biaya kerusakan yang tersisa. Salah satu solusi masalah ini adalah dengan menerapkan pajak effluent dua bagian, misalnya pemerintah dapat memutuskan bahwa untuk tingkat effluent hingga sebesar e1 bebas dari pajak, tingkat effluent selebihnya dikenai pajak sebesar t*. Dengan cara seperti ini, perusahaan masih memiliki insentif untuk mengurangi tingkat emisi hingga e1, tetapi total pengeluaran pajaknya hanya sebesar c + d. Jika tidak diketahui fungsi MD, pajak dapat ditetapkan dengan mengobservasi kualitas ambang. Secara umum, makin rendah effluent, maka makin rendah konsentrasi ambang dari suatu polutan. Jadi strateginya adalah dengan menetapkan pajak pada besaran tertentu dan mengamati apakah tingkat pajak tersebut dapat memperbaiki kualitas ambang. Jika kualitas ambang tidak membaik, maka pajak dinaikkan dan sebaliknya. 3. Pajak Lingkungan dan Insentif untuk Berinovasi Sebagai
alternatif
kebijakan
lingkungan,
pajak
effluent
mampu
menciptakan insentif untuk mendorong kemajuan teknologi dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan. Gambar 4 menunjukkan pajak emisi dan inovasi teknologi pengurangan pencemaran. MAC1 adalah MAC perusahaan X sebelum mengadopsi teknologi baru. Jika pajak ditetapkan sebesar Rp ton/tahun, maka perusahaan X akan mengurangi tingkat effluent ke tingkat e1, dimana TAC = (d+e) dan total tagihan pajak = (a+b+c). MAC2 adalah MAC perusahaan X setelah mengadopsi teknologi baru. Dengan pajak t, effluent menjadi e2, TAC = (b+e),
tagihan pajak = a, cost saving = (c+d). Jika standar yang ditetapkan sebesar e1, cost saving dengan teknologi baru sebesar d. Kebijakan pajak effluent membuat upaya-upaya perusahaan untuk mengembangkan teknologi baru sehingga dapat menghasilkan penghematan biaya-biaya pengendalian polusi (TAC + pajak) yang lebih besar dibandingkan kebijakan penetapan standar. Dengan sistem pajak secara otomatis, perusahaan akan mengurangi effluent saat telah menemukan cara untuk menurunkan fungsi MAC, sedang sistem standar tidak dapat otomatis menghasilkan hal yang sama. Perbedaan mendasar yaitu dengan sistem pajak, pencemar harus membayar abatement cost dan tagihan pajak, sedangkan dengan sistem standar pencemar hanya membayar abatemen cost. Sehingga potensi cost saving dari teknik-teknik baru pengendalian polusi akan jauh lebih besar dibawah kebijakan sistem pajak.
Rupiah
MAC1 MAC2
t c c
a 0
b e2
d e
effluent
e1
keterangan: MAC1 = MAC sebelum mengadopsi teknologi baru MAC2 = MAC setelah mengadopsi teknologi baru Sumber: Field (1994)
Gambar 4. Pajak Effluent dan Insentif untuk R&D (Research and Development)
Berdasarkan studi mengenai aplikasi pajak lingkungan pada Negara Eropa, beberapa alasan utama mengapa pajak lingkungan diperlukan atau peran utama dari pajak lingkungan yaitu (Fachruddin, 2007): 1. Pajak lingkungan adalah instrumen yang efektif untuk menginternalisasikan biaya eksternalitas (biaya kerusakan dan pelayanan lingkungan) dimasukkan ke dalam harga barang dari suatu kegiatan ekonomi. Pajak lingkungan membantu untuk melakukan tekanan ekonomi kepada pihak-pihak yang merusak lingkungan dan dengan cara yang sama dapat mengurangi beban ekonomi kepada pihak-pihak yang ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan. 2. Menciptakan insentif kepada produsen dan konsumen untuk mengubah perilaku ke arah eco-efficient (ekoefisien) dalam menggunakan sumberdaya alam. 3. Memberikan stimulus untuk berinovasi dalam teknologi dengan menggunakan energi substitusi/energi terbarukan, teknologi yang ramah lingkungan. 4. Meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan kembali untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. 5. Membuat biaya menjadi efektif dengan cara memberikan pilihan terhadap pencemar yaitu dengan cara membayar pajak berdasarkan tingkat pencemaran yang ditimbulkan, mengurangi produksi, atau menggunakan teknologi pencegah polusi. 6. Merupakan alat kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah prioritas lingkungan seperti emisi kendaraan, limbah, bahan kimia yang dipakai dalam sektor pertanian.
Jadi pada dasarnya ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui mekanisme pajak lingkungan, pertama adalah meningkatkan pendapatan dan kedua adalah mengatasi eksternalitas. Melalui mekanisme pajak maka pihak pencemar akan diberikan pilihan, apakah akan dikenakan denda sebagai akibat dari polusi yang ditimbulkannya atau mengeluarkan biaya investasi (abatement cost) untuk mengurangi polusi seperti yang disyaratkan. Objek dari pajak lingkungan adalah biaya eksternalitas lingkungan yang terdapat dalam harga, sehingga konsumen dan produsen memiliki insentif untuk membatasi/mengurangi polusi dan memperlakukan sumberdaya alam dengan cara lebih bertanggung jawab. Harga setiap unit produk seharusnya merefleksikan biaya sebenarnya dari penggunaan sumberdaya alam tersebut dan harga barang juga sekaligus akan memotivasi masyarakat untuk menggunakan sumberdaya alam dengan cara yang bijaksana dan kesadaran yang tinggi.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan sektor industri selain memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional tetapi di sisi lain membawa masalah terhadap kondisi lingkungan. Dampak positif perkembangan industri antara lain membuka lapangan kerja, meningkatkan devisa negara, serta menyumbang terhadap pendapatan nasional. Perkembangan sektor industri juga memberikan dampak negatif yang tidak bisa dihindari yaitu menimbulkan pencemaran karena dalam setiap proses produksinya menghasilkan limbah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia yang semakin memprihatikan karena kerusakan
lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus maka akan menimbulkan pencemaran. Dalam rangka untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan, pemerintah Indonesia merencanakan pemberlakuan pajak lingkungan. Wacana pemberlakuan pajak lingkungan diusulkan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan kepada industri manufaktur yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun. Pajak lingkungan yang diusulkan oleh pemerintah tersebut mencerminkan ketidakadilan dari sisi lingkungan. Perusahan yang omzetnya di atas Rp 300 juta tetapi telah memiliki sistem IPAL yang baik artinya perusahaan tersebut tidak berkontribusi terhadap percemaran lingkungan sehingga tidak perlu dikenakan pajak sedangkan industri-industri kecil (omzetnya di bawah Rp 300 juta) yang tidak memiliki sistem IPAL berarti membuang limbah yang sangat berbahaya bagi lingkungan akan dibiarkan mencemari lingkungan tanpa dipungut biaya dari pajak lingkungan tersebut. Salah satu industri yang termasuk industri manufaktur adalah industri tekstil. Industri tekstil dalam produksinya menghasilkan kain sebagai produk utamanya. Dalam proses produksinya, industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa limbah cair, padat, dan gas. Limbah yang memberikan dampak negatif yang luas adalah limbah cair. Limbah cair tekstil mengandung bahan-bahan pencemar sehingga membahayakan bagi lingkungan, karena dalam proses produksinya limbah cair tekstil membutuhkan air dalam jumlah yang banyak dan menggunakan bahan kimia dengan kandungan BOD dan COD yang tinggi. Limbah cair industri tekstil berasal dari proses pengkajian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan,
pencetakan, dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan biasanya terdiri dari pengulangan proses sebelumnya sehingga menghasilkan air limbah dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Dampak negatif yang dihasilkan limbah cair industri antara lain membahayakan bagi kesehatan manusia, merusak keindahan (aestetika) akibat bau busuk, membunuh organisme yang hidup di air. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) dengan menggunakan pendekatan biaya rata-rata (average cost pricing). Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan persamaan MAC PT. UNITEX. Mengingat besarnya dampak yang harus diterima oleh masyarakat maka diperlukan estimasi mengenai tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage), melalui pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA) dengan metode Contingent Valuation Method (CVM). Besarnya nilai MD yang diterima masyarakat tersebut dapat digunakan untuk menentukan persamaan MD masyarakat. Estimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle diperoleh dari hasil perhitungan pertemuan antara persamaan MAC dengan MD (MAC=MD). Dalam penelitian ini, penulis membuat alur berfikir untuk memudahkan pelaksanaan penelitian. Adapun alur pemikiran operasional yang dibuat oleh penulis dapat dilihat pada Gambar 5.
Perkembangan Sektor Industri Dampak Positif: -membuka lapangan kerja -meningkatkan devisa -penyumbang pendapatan nasional Azas Ketidakadilan dalam Penentuan Pajak Lingkungan
Limbah Padat, Gas, Debu
Mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) Pendekatan Biaya Rata-Rata (Avarage Cost Pricing)
Dampak Negatif: Pencemaran Lingkungan Wacana Pemberlakuan Pajak Lingkungan terhadap Industri Manufaktur Industri Tekstil
Limbah Cair
Mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage)
Pendekatan CVM (Contingent Valuation Method) Persamaan MD
Persamaan MAC
Nilai Pajak Lingkungan yang Optimal : tidak termasuk obyek penelitian : batasan penelitian lebih spesifik
Gambar 5. Diagram Alur Kerangka Berfikir