Woman: Human Refleksi 23 Tahun Perempuan Setengah Tionghoa
Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
Woman: Human, Refleksi 23 Tahun Perempuan Setengah Tionghoa Oleh: Anastasia Satriyo Copyright © 2015 by Anastasia Satriyo
Penerbit Anastasia Sattiyo Ningsplace.com
[email protected]
Desain Sampul: Bontor Humala
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
3
DAFTAR ISI Pengantar Dimulai dari Rumah 1. Belajar dari Ibu 2. Cerita tentang Cerita Ayah 3. Berbincang-bincang di Meja Makan 4. Hari Penuh cintaNya 5. Pagi berkabut di Pasar Dieng 6. Menggambar Rasa 7. Mengenal Lebih Jauh Rasa Sayang-sayange 8. Pesan Cinta dari Harry Potter ke -7 9. Kesempatan Kedua Seri Gadis Kecil 10. Kantor Ayah di Mata Gadis Kecil 11. Allah di Mata Gadis kecil 12. Emak dan Gadis Kecil 13. Tragedi Mei 1998 di Ingatan Gadis Kecil 14. Menjadi Gadis Kecil di Suatu Masa Mencinta dan Dicinta 15. Belajar Mencinta dari Matahari 16. Kisah Angin dan Pohon Berulir Religiositas 17. Aung San Suu Kyi dan Paskah 4
Transendensi 18. Hujan Pertama di Bulan Pertama 19. Ketika Hujan Tentang kehidupan di sekitar 20. Menikah muda; Sebuah Argumentasi Pribadi 21. Mama, Guru Bahasa Indonesia Pertama Saya Diriku 22. Saya setengah Tionghoa 23. Sumpah Pemuda di Rumah Sie Kok Liong 24. Tulus dan Hidup Berbagi; Nilai Kehidupan Seorang Perempuan Peranakan Cina Ketika Tujuh Belas Tahun 25. Sekelumit Kisah di Taman Kehidupan 26. Kisah Dibalik Lulus SMA
5
Pengantar Awalnya adalah rasa ingin tahu yang begitu kuat, yang muncul lewat pertanyaan-pertanyaan tentang hidup. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari ketergerakan untuk mengetahui asal-usul, sejarah dan siapa aku. Proses mencari dan mencari lewat pertanyaan yang berkelebat di kepala muncul melalui pengalaman keseharian. Seingatku pertanyaan semacam ini muncul pada usia lima tahun saat aku berbaring di tempat tidur pada malam hari. Aku penasaran dan bertanya, “Mengapa aku bisa ada di tubuh ini?” “Mengapa aku punya tangan dan kaki?” “Mengapa aku perlu lahir ke dunia ini?” sampai ke pertanyaanpertanyaan “Mengapa aku lahir di keluarga seperti ini, dengan orang tua seperti ini, dengan ayah dan ibu yang tipenya seperti ini?” Pertanyaan yang muncul dalam diriku tidak selalu membuahkan jawaban yang instan. Seringkali pertanyaan itu tetap ada di dalam diriku bahkan hingga hari ini Anugrah untuk bertanya dan mempertanyakan difasilitasi dalam hidup keseharian di rumah. Anugrah, sebab di kemudian hari aku baru menyadari tidak semua orang tua memberikan kesempatan ini pada anaknya. Orang tuaku terbiasa melakukan tanya jawab dengan anak-anak lewat dialog yang setara. Mereka menjawab sesuai dengan apa yang dipahami namun menyadari sepenuhnya bahwa mereka bukanlah nara sumber yang serba tahu. Untuk hal-hal yang 6
tidak diketahui, mereka dengan rendah hati mengakui bahwa mereka tidak tahu dan menyemangati kami (aku dan adik-adik) untuk mencari informasi dari sumber-sumber lain. There is no information and knowledge about everything taken for granted. Tidak tahu bukanlah sesuatu yang memalukan bagi mereka, tidak perlu juga mencari pembenaran diri. Aku diberi kesempatan dan didorong untuk mencari jawaban dari sumbersumber lain yang ada di sekitarku. Jatuh bangun, tapi aku belajar mengkonstruksi sendiri apa itu “Kebenaran” dan “Pengetahuan” termasuk pengetahuan dan pemaknaan tentang “Siapa Aku”. Ketertarikan pada sejarah, asal usul dan asal mula segala sesuatu membuatku seringkali tidak bisa menerima begitu saja apa yang sudah terberi di kehidupan saat ini, di keluarga, sekolah, di masyarakat, di institusi agama. Melalui sejarah, aku menyadari dan mengetahui apa yang dianggap benar saat ini belum tentu sama dengan apa yang dianggap benar seratus atau lima ratus tahun lalu. Sebaliknya, apa yang dianggap benar seratus atau lima ratus tahun lalu belum tentu dianggap benar di saat ini. Dalam perjalanan hidupku, aku menemukan kebenaran bersifat relatif. Dunia manusia penuh dengan relativitas (sebenarnya). Kebenaran yang bersifat relatif ini juga kutemukan dalam berbagai konstruksi sosial yang dianggap saklek oleh kebanyakan orang dan masyarakat, misalnya dalam isu gender, budaya dan agama. 7
Banyak orang tidak berani mempertanyakan dan meragukan apa yang sudah terberi pada hidup dan sistem pengetahuan di diri mereka. Dari pengalamanku, keberanian untuk mempertanyakan dan meragukan membawaku pada pencarian. Pencarian ini memunculkan kepekaan pada tandatanda hidup melalui pengalaman sehari-hari. Melalui perjalanan seperti ini, iman, kekaguman dan Cinta pada Sang Pemilik Hidup tumbuh mengakar dan berkembang. Ketika memasuki usia remaja akhir sekaligus awal perkuliahan, ada orang-orang yang terbentur karena menemukan pertentangan antara pengetahuan tentang agama dan hidup. Yang ditanamkan pada diri mereka dilakukan tanpa proses internalisasi dan refleksi seiring dengan realita kehidupan mereka,. Yang ditanamkan terbentur dengan realita di masyarakat. Di titik ini aku menyadari, seandainya pengetahuan mereka tentang Tuhan, Cinta dan Hidup terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diinternalisasi dan dikristalisasi, bukan hanya melalu penanaman satu arah dari orang tua, guru dan figur-figur otoritas sepanjang perjalanan hidup seorang anak manusia, maka keyakinan pada apa yang mereka ketahui dan imani datangnya dari hati nurani terdalam dan dari dalam diri yang kokoh dan solid. Di titik ini pula, demi perjalanan dan pertumbuhkembanganku sebagai manusia sambil mencoba peka pada isu-isu lain di luar diri, aku
8
tergerak untuk menuliskan apa saja yang berdinamika di dalam diri. Maka munculah topik-topik yang beragam dan tersebar dalam tulisan-tulisan saya yang dikumpulan dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2013 ini. Setiap eksplorasi melalui tulisan menghasilkan penemuan baru dan setiap penemuan baru memunculkan pertanyaan selanjutnya. Kumpulan tulisan pada buku ini telah termuat pada blog saya secara terpisah-pisah. Pada buku ini saya melakukan kategorisasi dengan topik yang beragam. Pada keberagaman topik ini aku melakukan pencarian, pemaknaan dan perjalanan. Pada akhirnya perjalanan dan pencarian ini membantuku untuk memaknai kemanusiaan; kemanusiaan diri sendiri maupun orang lain. Pertanyaan tentang “Siapa Aku?” dan “Siapa manusia itu?” menjadi kompas petunjuk dalam keseluruhan perjalanan ini. Pada proses mencari dan memaknai kemanusiaan (humanity), aku menemukan gerak dan kehadiran Allah dan Cinta yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. SinyalNya senantiasa hadir dalam berbagai peristiwa dan pengalaman hidup, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks dan berat. Sinyal yang entah akan membawaku ke mana namun membuatku tersadar ada misiNya dalam hidup saya. Apakah misiNya itu dalam hidupku? Entahlah. Aku juga belum mengetahuinya. Doubt is a twin brother of faith-Kahlil Gibran Anastasia Satriyo 9
10