Daerah Wallacea merupakan suatu daerah yang mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan daerah Barat dan Timur Indonesia. Banyaknya organisme endemik merupakan salah satu ciri khas daerah ini. Penelitian A.R. Wallace di wilayah daratan daerah ini pada tahun 1854-1862 merupakan pemicu munculnya teori struggle for life (evolusi).
Buku ini disusun sebagai laporan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu seperti geologi, oseanografi, biologi, dan toponim pulau.
Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004
Berpijak pada temuan-temuan keanekaragaman biota darat di daerah Wallacea, menantang para peneliti di bidang kelautan dan perikanan untuk memahami lebih lanjut kekayaan alam laut di daerah ini. Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan institusi penelitian baik nasional maupun internasional, pada tahun 2004 menyelenggarakan Ekspedisi Wallacea Indonesia. Tim ekspedisi yang beranggotakan peneliti muda dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan selama kurang lebih 3 (tiga) bulan bekerja secara serius di Pulau Bonerate (Sulawesi Selatan), Pulau Kabaena (Sulawesi Tenggara) dan Bokan Kepulauan (Sulawesi Tengah).
Wallacea Indonesia 2004
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan 2004
Wallacea Indonesia 2004
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan 2004
The more I see of uncivilised people, the better I think of human nature on the whole, and the essential differences between civilised and savage man seem to disappear.
Katalog dalam terbitan
ISBN 979-3768-02-9
Sekarang saya sudah mengakhiri tugas saya. Saya menggambarkan, kurang lebih terperinci, pengembaraan saya di pulau-pulau terbesar dan tersubur yang menghiasi permukaan dunia kita. […] Sebelum mengucapkan selamat berpisah pada para pembaca, saya ingin memberi beberapa pengamatan terhadap pokok lebih menarik dan lebih penting, hasil renungan tentang kehidupan biadab, dan dari mana menurut percayaan saya manusia beradab dapat belajar beberapa hal dari manusia biadab. Alfred Russel Wallace (1823-1913)
Konsep buku Kompilator Text editor Foto Tata letak Typeface
: Tim Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 : Ichwan M. Nasution, Triyono, Eko Triarso, Safri Burhanuddin, Widodo S. Pranowo : Safri Burhanuddin dan Budi Sulistiyo : Tim Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dan kontribusi dari pihak lain : Bagus Hendrajana : Frutiger 45 (T1), Frutiger 55 (T1), Bickham ScriptMM (T1)
Daftar Isi
Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kepala Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nohhayati
8 9 10
Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 Latar belakang Maksud dan tujuan Penelitian dalam Ekspedisi Rute Ekspedisi Peluncuran Penutupan
12 13 13 13 16 16
Alfred Russel Wallacea di Indonesia Mengenal Alfred Russel Wallace Perjalanan ke Singapura Perjalanan ke Serawak Perjalanan ke Makassar Perjalanan ke Maluku Lahirnya teori seleksi alam (evolusi) Garis Wallacea (Wallace Line) Akhir petualangan ilmiah di Nusantara
18 19 20 20 21 23 24 26
Geologi Pantai dan Pulau Gambaran umum Metodologi Geologi daerah penelitian Eksplorasi lapisan Aquifer Jenuh Air Tawar dengan Metode Geolistrik Pemetaan kedalaman laut (batimetri) Daftar Pustaka
28 29 29 42 45 48
Geomorfologi Pantai Gambaran umum Metodologi penelitian
50 51
Hasil penelitian Daftar pustaka
51 64
Toponimi Pulau Gambaran umum Kondisi fisik umum Kondisi sosial-ekonomi Metodologi Lokasi penelitian Hasil penelitian Dinamika pulau Analisis hasil Daftar pustaka
69 69 70 72 72 72 89 92 92
Biologi Laut Gambaran umum Metodologi Hasil penelitian Daftar pustaka
94 98 103 120
Oseanografi Fisis Gambaran umum Lokasi penelitian Hasil penelitian Daftar pustaka
122 124 124 136
Ucapan Terima kasih
139
Biodata Peserta Ekspedisi
140
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kami panjatkan atas terlaksananya dengan lancar dan sukses Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004. Ekspedisi dengan inisiatif dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan ini, merupakan kegiatan penelitian kelautan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, memanfaatkan peralatan survey dengan teknologi terkini, serta yang lebih penting lagi bahwa ekspedisi ini memberikan kesempatan kepada para peneliti muda di bidang kelautan dan ilmu terkait berbagai institusi baik nasional maupun internasional.
Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Menanamkan rasa cinta bahari dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang menekuni dunia riset di bidang kelautan merupakan investasi jangka panjang dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat serta mampu bersaing di dunia internasional. Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dapat dipandang sebagai langkah awal meletakkan dasar-dasar budaya riset para peneliti muda. Ke depan diharapkan kegiatan riset kelauan semakin ditingkatkan dan hasilnya merupakan masukan yang sangat berharga dalam penentuan kebijakan pembangunan kelautan di Indonesia. Selama ekspedisi telah ditemukenali keanekaragaman baik hayati maupun non hayati di perairan sekitar Sulawesi. Hasil-hasil penelitian tersebut disusun sebagai Buku Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004. Kami berharap, hasil-hasil ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi pemerintah daerah yang terkait dengan lokasi penelitian. Pada kesempatan ini kami mengucapkan selamat atas keberhasilan penyelenggaran Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dan mengucapkan terima kasih atas segala partisipasi semua pihak baik instansi pusat dan daerah selama ekspedisi berlangsung. Jakarta,
Desember 2004
Freddy Numberi
Sambutan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
Di Papua ada burung Cenderawasih, namun jenis fauna ini tidak dijumpai di Sumatera. Lebih menarik lagi, banyak spesies burung kakatua yang bulunya berwarna-warni hidup di wilayah Kepulauan Maluku, yang tidak dijumpai di Kalimantan. Belum lagi, beragam bunga anggrek berwarna-warni dijumpai di Papua, dan tidak ada di Pulau Jawa. Gajah banyak dijumpai di Sumatera, namun tidak di Sulawesi. Lalu ada kerbau kerdil, atau anoa, dan burung maleo dengan ukuran sebesar ayam hutan namun telurnya berukuran 10 kali telur ayam yang khas Sulawesi, tidak ada ditempat lain. Mengapa semua ini bisa terjadi ?
Sambutan Kepala Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Kegiatan Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2004 dengan misi utama eksplorasi sumberdaya kelautan dan identifikasi pulau-pulau kecil di kawasan Wallacea, merupakan salah satu dari 5 ekspedisi yang digelar Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati, BRKP-DKP di tahun 2004. Ke empat ekspedisi lainnya adalah Ekspedisi Bandamin dengan misi mengeksplorasi mineral hidrothermal dasar laut, Ekspedisi INSTANT dengan misi identifikasi Arus Lintas Indonesia, Ekspedisi Landas Kontinen dengan misi untuk mengidentifikasi batas landas kontinen Indonesia dan Ekspedisi Antartika dengan misi ikut mengamati peranan perairan Antartika terhadap Indonesia.
Fenomena-fenomena flora-fauna alam tadi terus menggelitik rasa ingin tahu Alfred R.Wallace, seorang eksplorer Inggris yang, selama kurun 1854 1862, mengadakan ekspedisi ke pulau pulau Nusantara, dari Sumatera ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Kepulauan Nusa Tenggara. Hasilnya A.R.wallace menetapkan suatu garis imajiner biogeografi ”wallace line” untuk menjelaskan perbedaan fenomena fauna dan flora di atas. Maka sungguh tepat, bila tahun ini dalam rangka memperingati 150 tahun perjalanan A.R.Wallace di Nusantara, para peneliti muda Badan Riset Kelautan dan Perikanan, bekerjasama dengan para peneliti dari instansi terkait lainnya untuk meneruskan ekspedisi Wallacea dalam eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati yang terkandung di perairan Wallacea Area.
Pelaksanaan EWI 2004 diawali dengan kegiatan Workshop I yang dilaksanakan di Universitas Hasanuddin, pada 21 Mei 2004, dan dilanjutkan dengan peluncuran EWI 2004 di Pelabuhan Makassar, tanggal 22 Mei 2004, yang dimeriahkan dengan acara parade terjun payung dari Paskhas TNI-AU dan perlombaan perahu ”jolloro” di perairan pantai Losari Makassar. Kegiatan EWI 2004 sendiri terbagi dalam 3 leg, yakni leg 1 (22 Mei 9 Juni 2004) dikonsentrasikan penelitiannya di sekitar perairan P. Bonerate, Kab. Selayar Sulawesi Selatan, leg 2 (11 Juni 30 Juni 2004) dikonsentrasikan penelitiannya di sekitar perairan P. Kabaena, Kab, Bombana, SulawesiTenggara, dan leg 3 (2 Juli 21 Juli 2004), dikonsentrasikan penelitiannya di sekitar perairan Bokan, Kab. Banggai Kepulauan. Pelaksanaan Workshop II dilaksanakan di Universitas Haluoleo, 1 Juli 2004 dan Workshop III, 18 Juli 2004 dilakukan di Banggai Kepulauan.
Berangkat dari hal ini, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) tahun ini mengirimkan para peneliti muda baik dari BRKP, LIPI, BPPT, Perguruan Tinggi, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah serta lembaga penelitian lainnya, untuk melakukan penelitian ilmiah bersama di kawasan Wallacea, utamanya perairan Sulawesi bagian Selatan, dan Timur melalui kegiatan Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004. Ekspedisi Ilmiah ini diharapkan merupakan awal dari penelitian multi-disiplin yang menghasilkan temuan-temuan baru sebagai masukan dalam peningkatan dan penguasaan iptek kelautan dan perikanan, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati di perairan Indonesia.
Kegiatan ini telah melibatkan lebih 100 peneliti dari berbagai institusi dalam dan luar negeri, hampir 200 pramuka Saka Bahari dari seluruh Indonesia, dua kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, KRI Tg. Dalpele dan KRI Arung Samudera, Kapal Riset Baruna Jaya III BPPT, dua kapal riset Phinisi Cinta Laut dan Sisca, serta didukung oleh hampir 40 wartawan media cetak dan elektronik serta aparat Pemerintah Daerah terkait, ikut berperan langsung dalam kegiatan ini. Sungguh, suatu kerjasama harmonis dan sinergis dalam mensukseskan pelaksanaan ekspedisi ini.
Temuan-temuan ilmiah selama Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 diharapkan menambah khasanah ilmu pengetahuan kita tentang sumberdaya kelautan baik hayati maupun non hayati. Pada kesempatan ini kami mengucapkan selamat dan sukses pada para peneliti atas hasil-hasil penelitian dan prestasinya serta penerbitan ”Buku Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004”.
Kelancaran Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 tidak lepas dari bantuan dan partisipasi semua pihak terkait, dan pada kesempatan ini, perkenan kami selaku penanggungjawab EWI 2004 menghaturkan terima kasih kepada Kepala Staf TNIAL, Ketua Gerakan Kwartir Nasional Pramuka, Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Kesehatan, Gubernur Sulawesi Selatan, Walikota Makassar, Rektor Universitas Hasanuddin, Rektor Universitas Haluoleo, Badan Pengembangan Wallacea, Badan Koordinasi Pembangunan Regional Sulawesi dan pejabat lainnya serta seluruh peneliti dan peserta EWI 2004 yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan EWI 2004.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kepala,
Penanggung Jawab EWI 2004,
Dr. Indroyono Soesilo, M.Sc. APU
Dr. Ir. Safri Burhanuddin
9
10
Latar Belakang Alfred Russel Wallace (8 Januari 1823 7 November 1913) adalah seorang naturalis dari Inggris yang banyak mempelajari dan meneliti mengenai flora dan fauna di berbagai daerah di dunia. Pada tahun 1848-1852 bersama Bates, Wallace melakukan ekspedisi ke negara Brazil di sekitar daerah hutan Amazon dan menghasilkan buku Palm Trees of the Amazon and Their Uses (London, 1853) dan A Narative of Travels on the Amazon and Rio Negro (London, 1853). Dengan dukungan dana dari Royal Geographic Society, pada tahun 1854-1862, A.R. Wallace melakukan ekspedisi ke daerah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Wallace tiba di Singapura pada bulan April 1854
Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004
The Malay Archipelago (London, 1869) merupakan buku mengenai pengalaman dan hasil hasil penelitian Wallace di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Buku tersebut hingga saat ini diakui sebagai salah satu karya puncak dari Wallace. Namun, meski berfokus pada taksonomi biologis, buku the Malay Archipelago merupakan salah satu deskripsi paling baik dan lengkap mengenai Indonesia pada pertengahan abad ke-19 dan telah menjadi salah satu acuan bagi peneliti setelahnya dalam bidan antropologi dan sejarah sosial. Dari hasil pengamatannya mengenai biota di daerah Indonesia Tengah lahirlah ide adanya suatu garis pemisah antara flora dan fauna antara bagian Indo-Asia dan AustralPapua yang mengikuti deep sea trench antara Kalimantan dan Sulawesi, yang kemudian dinamakan Garis Wallacea (Wallacean Line). Daerah disekitar Sulawesi sampai dengan Kepulauan di Maluku Timur juga dinamakan Daerah Wallacea (Wallacean Region).Daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah peralihan dimana antara Asia daratan dan Austral Papua. Didaerah ini juga ditemukan banyaknya hewan yang endemik (hanya ditemukan di satu dearah saja). Penelitian dari A.R Wallace berkonsentrasi pada binatang darat saja, khususnya serangga dan burung. Hingga saat ini Wallace diakui sebagai taksonomis utama bagi Indonesia bagian Timur. Dari lebih 100.000 spesimen hasil penelitiannya, didapatkan penemuan sekitar 1.000 spesies baru di daerah penelitiannya tersebut. Momen 150 tahun dimulainya ekspedisi Wallace merupakan titik tolak dilakukannya Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004.
Maksud dan Tujuan
Ekspedisi ini dititikberatkan pada penelitian untuk mengetahui keanekaragaman hayati dan non hayati laut di wilayah perairan Selatan Pulau Sulawesi dengan melibatkan para peneliti muda Badan Riset Kelautan dan Perikanan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi, Disportmar TNI AL, serta Kwarnas Pramuka.
+ Melanjutkan penelitian Wallace di wilayah Laut.
Garis wallace cenderung membicarakan keanekaragaman hayati yang ada didarat, sedangkan di laut belum banyak diulas. + Inventarisasi keanekaragaman hayati dan kondisi lingkungan di dearah penelitian, khususnya wilayah laut dan pesisir. + Menumbuhkan minat generasi muda untuk melakukan penelitian kelautan.
Ekspedisi telah berjalan dengan baik serta menghasilkan serangkain tulisan ilmiah yang disusun sebagai Buku Ekspedis Wallacea Indonesia 2004 ini. Diharapkan buku ini di samping dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentanh laut Indonesia juga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sasaran dari kegiatan ini adalah: + Tersusunnya suatu dokumen mengenai keanekaragaman hayati laut, dan juga kondisi lingkungannya di lokasi kegiatan + Kemungkinan pengembangan obyek-obyek penelitian sebagai masukan bagi pemerintah daerah setempat.
Penelitian dalam Ekspedisi Ekspedisi Ilmiah yang dilakukan dalam Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 ini merupakan penelitian yang bersifat inventarisasi dengan menggunakan metode survei. Penelitian didalam ekspedisi ilmiah ini terbagi menjadi empat penelitian utama yaitu geomorfologi dan geologi, oseanografi, biologi laut, dan toponimi pulau-pulau.
Rute Ekspedisi Ekspedisi Ilmiah Leg 1 Kegiatan Ekspedisi Ilmiah Leg 1 ini berlangsung dari tanggal 22 Mei hingga 9 Juni 2004 dimulai dari Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan dan berakhir di Bau bau, Propinsi Sulawesi Tenggara. Fokus penelitian leg 1 ini adalah Pulau Bonerate dan Pulau Kalatoa, Propinsi Sulawesi Selatan. Ekspedisi Ilmiah Leg 1 ini dipimpin oleh Widodo Setiyo Pranowo M.Si dan diikuti oleh 36 peserta yang terdiri dari 29 orang peneliti dan 7 orang wartawan
Leg 1
Leg 2
Leg 3
Lokasi
Bonerate
Pasar Mustari
Tanobonunungan
Desa
Bonerate
Baliara
Tanobonunungan
Kecamatan
Pasimarannu
Kabaena
Banggai
Kabupaten
Selayar
Bombana
Banggai
13
Ekspedisi Ilmiah Leg 2 Kegiatan Ekspedisi Ilmiah Leg 1
Tabel dan gambar samping Rute dan lokasi penelitian Ekspedisi Wallacea
Gambar atas Anggota Ekspedisi Wallacea PRWLSNH berfoto bersama saat upacara pelepasan
meter) yang merupakan pemandangan yang mengesankan.
ini berlangsung dari tanggal 11 Juni hingga 2 Juli 2004 yang dimulai dari Bau bau, Propinsi Sulawesi Tenggara dan berakhir di Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Fokus penelitian leg 2 ini adalah Pulau Kabaena, Propinsi Sulawesi Tenggara.
Ekspedisi Ilmiah Leg 3 Kegiatan Ekspedisi Ilmiah Leg 3 ini berlangsung dari tanggal 4 Juli hingga 20 Juli 2004.
Ekspedisi Ilmiah Leg 2 ini dipimpin oleh Gunardi Kusumah ST, dan diikuti oleh 24 peserta yang terdiri dari 20 orang peneliti dan 4 orang wartawan
Ekspedisi ini dimulai dari Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara dan berakhir di Banggai, Propinsi Sulawesi Tengah. Fokus penelitian leg 3 ini adalah Bokan Kepulauan, Propinsi Sulawesi Tengah.
Pulau Kabaena (873 km2) terletak 56km di sebelah barat Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Pulau ini memiliki kontor pegunungan dengan Gunung Sambopolulu (1500m) sebagai puncak tertinggi pulau ini. Terdapat pula tebing kapur Batusangia (1000
Ekspedisi Ilmiah Leg 3 ini dipimpin oleh Erish Widjanarko ST, dan diikuti oleh 19 peserta yang terdiri dari 13 orang peneliti dan 6 orang wartawan Kepulauan Banggai (12 km2) terletak di sebelah
14
Gambar Samping Workshop/Seminar I Ekspedisi Wallacea yang dibuka Menteri Kelautan dan Perikanan RI Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, MS di kampus Universitas Hasanuddin - Makassar
dua replika kapal hasil rancangan ITS dan UHT. + Phinisi Riset Cinta Laut. Kapal Milik Universitas
Ehime, Jepang dan Yayasan Perahu UNHAS ini dipakai untuk melaksanakan kegiatan Ekspedisi Ilmiah Leg 1,2, dan 3. Kapal phinisi ini telah dilengkapi dengan peralatan survey kelautan milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Seminar Ekspedisi Wallacea 2004 Seminar Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dilaksanakan di Kampus Universitas Hassanuddin, Makassar, pada tanggal 21 Mei 2004.
selatan lengan timur dari Pulau Sulawesi. Kawasan ini dikualifikasikan oleh Alfred Wallace sebagai "Mother of all living coral reefs", memiliki terumbu karang yang sangat besar yang mendukung kehidupan laut yang sangat besar. Gambar atas Anggota tim Toponimi sedang melakukan survei pulau-pulau terpencil pada Leg 3 Gambar samping Seorang peneliti PRWLSNH mempersiapkan Rosette CTD untuk pengambilan contoh air di sekitar Pulau Bonerate yang menjadi tujuan pertama Leg 1 Gambar bawah Survei Geologi yang dilakukan pada Ekspedisi Wallacea Leg 2
Pada Seminar ini hadir Menteri Kelautan dan Perikanan, Rektor Universitas Hassanuddin, Gubernur Sulawesi Selatan, dan Kepala BRKP. Pembicara yang hadir ini berasal dari dalam dan luar negeri diantaranya: + Dr. Sirtjo Koolhof, dengan judul presentasi Sejarah Wallace di Indonesia + Dr. Eugenen Ammarell, dengan judul presentasi Anthropology of Wallacea Region + Dr. Subhat Nurhakim, dengan judul presentasi Dukungan Riset Untuk Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Ikan di Perairan Pedalaman Wilayah Wallacea + Dr. Safri Burhanuddin, dengan judul presentasi Ekspedisi Wallacea Indonesia dan Keunikan Tatanan Geologi Pulau Sulawesi + Dr. Agus Heri Purnomo, dengan judul presentasi Penilaian Kinerja Perikanan Menggunakan Metode Rapfish + Dr. Ngakan Putu Oka, dengan judul presentasi Keanekaragaman Flora di Kawasan Hutan Sulawesi + Prof. Dr. Alfian Noor, dengan judul presentasi Program Buginesia dan Pemanfaatan Biota Laut di Kawasan Kepulauan Spermonde
Peluncuran Ekspedisi Pembukaan Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 Acara pembukaan Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dilaksanakan di Pelabuhan Peti Kemas Makassar, pada tanggal 22 Mei 2004. Acara ini dihadiri antara lain oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Prof. Dr. Rochmin Dahuri, MS., Kepala BRKP Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc. APU, dan para Dirjen di Lingkup DKP, Gubernur Sulawesi Selatan H. M. Amin Syam, Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhammad, Walikota Makassar , Pejabat Pemerintah Daerah terkait, dan tamu undangan lainnya. Pelepasan dilakukan Oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Kapal yang berpartisipasi dalam acara pembukaan ini adalah: + KRI Tanjung Dalpele. Kapal milik TNI-AL ini mengangkut sekitar 200 orang pramuka dari Sumatera, Jawa, dan Sulawesi sebelum mengikuti kegiatan Pengenalan Kelautan bagi Generasi Muda di Taman Nasional Laut Wakatobi. + Kapal Riset Baruna Jaya III. Kapal riset milik UPTBaruna Jaya BPPT ini dipakai untuk melakukan pameran diatas kapal selama acara pembukaan. Pameran ini menampilkan kegiatan-kegiatan penelitian yang telah dilakukan selama ini dan juga replika Kapal Borobudur. Selain itu dipamerkan pula
Penutupan Ekspedisi Penutupan Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 ini dilaksanakan di Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan pada tanggal 21 Juli 2004. Acara penutupan ini bertepatan dengan kegiatan Temu Regional Zona III Teluk Tolo.
16
Mengenal Alfred Russel Wallace Alfred Russel Wallace, lahir 8 Januari 1823 di Usk, suatu kota kecil di Inggris ; dan meninggal 7 Nopember 1913. Pada usia 13 tahun, ayahnya bankrut karena ditipu, dan menyebabkan Wallace terpaksa berhenti bersekolah dan pindah ke London untuk tinggal sama kakaknya, di mana ia berdekatan dengan sekelompok sosialis aliran Owen. Paham sosialis ini menjadi keyakinannya seumur-hidup. Pada kurun tahun 1837-1843, ia belajar / bekerja dalam bidang surveying serta mengikuti ceramah-ceramah tentang natural history (studi tentang flora dan fauna) yang akan mengantarnya menjadi seorang surveyor terkenal didunia. Mulai 1843 berkerja sebagai instruktor survey di Leicester dan melanjutkan 'kuliah pribadinya' di perpustakaan. Mulai dari sinilah eksplorer muda ini berkenalan dengan ahli entomologi H.W.Bates.
Petualang Ilmiah Alfred Russel Wallace di Nusantara (1854-1862) Kompilator: Safri Burhanuddin Tulisan ini merupakan paduan dari hasil presentasi Sirtjo Koolhof, pada workshop Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 di Universitas Hasanuddin, 21 Mei 2004 dan sumber-sumber lain
1848 1852 bersama Bates ekspedisi ke Brasil, untuk mengoleksi spesimen-spesimen dan meneliti fauna dan flora hutan Amazonia akan tetapi, bagian terbesar koleksi Wallace terbakar pada perjalanan pulang. Hasilnya dibukukan dalam Palm Trees of the Amazon and Their Uses (London, 1853) dan A Narrative of Travels on the Amazon and Rio Negro (London, 1853). 1854-1862 dengan dukungan biaya dari Royal Geographic Society ke Asia Tenggara untuk meneruskan penelitiannya. Wallace tiba di Singapura pada bulan April 1854. Di Indonesia, ia tiba “on the 13th of June, 1856, […] in the dangerous roadstead of Buleleng on the north side of the island of Bali.” (Wallace, [1869, 1890] 2000, The Malay Archipelago, Singapore, Periplus: 116). Dalam kurun waktu 8 tahun petualangan ilmiahnya di Nusantara, hampir 6 tahun waktunya berada di Kawasan Timur Indonesia, dengan Makassar sebagai pintu gerbangnya, dan mengunjungi wilayah barat Indonesia dan Singapura selama 2 tahun. Penelitian Wallace yang berakhir 1 April 1862 di Nusantara, walau tak dijelaskan secara controversial seperti Darwin, tetapi ia telah mengajukan teori adaptasi dan seleksi alam dimana tersirat “teori struggle for life”, dan mutasi gen pada jenis unggas dan serangga. Iapun melanjutkan penelitian dan membagi wilayah fauna (juga flora) dalam wilayah Australia dan Asia, serta menetapkan Selat Lombok, Selat Makassar, dan melintas sampai Filipina sebagai garis pemisah yang kemudian dikenal dengan Garis Wallace.
Gambar samping Ali, pembantu Wallace yang setia. Dalam gambar ini menurut Wallace; "sebenarnya tidak secocok pakaian pribuminya”
Perjalanan ke Sarawak Ketika di Sarawak pada tahun 1855 Wallace mengangkat seorang anak Melayu bernama Ali sebagai pembantu pribadi, dan juga untuk membantunya belajar bahasa Melayu karena perlu selalu berkomunikasi dengan masyarakat lain. Menurut Wallace, Ali adalah seorang yang bersih dan penuh perhatian serta sangat pandai memasak. Dalam waktu pendek Ali belajar menembak burung, mengulitinya secara tepat dan pada akhirnya bahkan memasang kulit dengan rapi. Ali juga seorang pelaut yang baik, seperti semua orang Melayu, dan pada semua kesulitan dan bahaya selama perjalanan mereka, Ali cukup tenang dan bersedia melakukan apa saja yang diperlukan. Ali mendampingi Wallace pada setiap perjalanan, sekali-sekali sendirian, tetapi lebih sering bersama beberapa orang lain. Pada saat itu dia sangat berguna mengajari mereka tugasnya apalagi setelah dia tahu persis kemauan dan kebiasaan Wallacea.
Gambar atas Peta perjalanan Wallace selama melakukan petualangannya di Indonesia
negeri Inggris menuju Dunia Timur. Tepat tanggal 20 April 1854 seorang ilmuwan Inggris, peneliti fauna terkemuka, Alfred Russel Wallace, tiba di Singapura. Cuaca selama pelayaran baik sekali. Setelah mendarat A.R.Wallace terpaksa tinggal di hotel yang sangat
Dalam petualangannya di Nusantara, Wallace tidak hanya mengamati fauna dan flora, tetapi Ia juga mengamati manusia, terutama suku-suku yang ia temui di Maluku dan Sulawesi. Ia misalnya menyusun salah satu daftar kosa kata bahasa-bahasa Indonesia terlengkap pada waktunya, dan berkomentar luas tentang adat-isitiadat, sejarah indigen dan material culture tempat-tempat yang ia kunjungi. Pada tahun 1905 dalam Alfred R Wallace dalam otobiografinya My life menyatakan bahwa perjalanan ke Kepulauan Nusantara merupakan kejadian sentral dan menetukan dalam kehidupan saya. Hal ini tentu saja belum disadari pada waktu naik kapal dari Inggris, apalagi bahwa perjalanan itu bukan hanya menjadi penting buat dia sendiri, akan tetapi buat seluruh umat manusia. Kediaman dan pengalamannya di Nusantara akan menjadi azas teori yang menguncangkan pandangan ilmiah terhadap asal dan perkembangan makhluk hidup di dunia selama jutaan tahun.
mahal. Oleh sebab itu petualang muda ini berusaha supaya secepat-cepatnya keluar kota, tetapi baru setelah seminggu berhasil dan mendapat izin untuk tinggal di rumah seorang penginjil Katolik dari Perancis yang berdiam sekitar delapan mil di luar kota, berdekatan dengan hutan.
Perjalanan ke Makassar Kapal yang ditunggu Wallace selama hampir tiga bulan di pulau Lombok, akhirnya tiba. Kemudian Wallace berharap dapat berangkat ke Makassar sekitar seminggu lagi. Akan tetapi musim menghalangi kapal tersebut dan kemungkinan besar kelak perjalanan makan waktu lama, diperkirakan sampai 40 hari. Celebes (Sulawesi) tidak dikenal pada saat itu, seperti halnya dengan daerah Amazon Hulu, bahkan barangkali kurang dikenali lagi. Didalam katalog-katalog serangga British Museum tak satu pun spesimen tercatat dari Celebes, dan sangat sedikit dari Maluku
Dari Singapura, ia mulai petualang ilmiahnya yang terkenal di Nusantara, Bukanlah perjalanan jauh yang pertama untuk orang muda tersebut. Baru satu tahun setengah sebelumnya dia pulang ke tanah airnya kembali dari perjalanan selama 4 tahun ke dunia baru, yaitu Amazon di benua Amerika Selatan. Pada pelayaran pulang dari Amerika Selatan, kapal yang ditumpangi terbakar dan tenggelam di tengah laut. Orang muda itu bersama penumpang lain terhanyut
Perjalanan ke Singapura
Setelah tiga hari berlayar dari Pulau Lombok, Wallace tiba di Makassar pada 2 September 1956 melihat Pantai Sulawesi Selatan yang rendah dan datar. Kesannya pertamanya tentang kota Makassar adalah sebuah kota yang bersih dan teratur.
dalam sekoci kecil selama 10 hari di atas gelombang
Pada bulan Maret 1854, seorang Inggris yang berumur 31 tahun naik kapal laut perusahaan Peninsular & Oriental (P&O), di salah satu pelabuhan
laut sebelum diselamatkan oleh kapal lain yang kebetulan memperhatikan mereka. Akan tetapi yang yang paling menyedihkan adalah seluruh koleksi binatang-binatang yang dikumpulkan selama 2 tahun
Gambar samping Alfred Russel Wallace (1823-1913)
Makassar adalah kota Belanda pertama yang dikunjungi oleh Wallace dan menurutnya lebih cantik dan bersih daripada kota lain di Asia. Ada beberapa
terakhir di hutan Amazon ikut tenggelam di dasar Samudera Atlantik (Wallacea 1853 : 391-401)
19
20
Gambar atas Di ujung selatan pelabuhan terdapat sebuah benteng ....(Fort Rotterdam)
sekitar 12 inci yang menutup badan dari pinggul sampai tengahnya paha saja. Sarung Melayu yang berwarna-warni dipakai sekeliling pinggang atau di atas bahu dengan cara bermacam-macam.
peraturan Belanda yang dapat dikagumi di kota ini antara lain; "setiap rumah orang Eropah harus dikapur dan semua orang harus menyirami jalan di depan rumahnya setiap hari pada pukul empat sore. Jalanjalan bebas dari sampah dan parit-parit tertutup membawa semua kotoran ke selokan besar yang terbuka sehingga air pasang dapat masuk dan menghanyutkan semua kotoran ke laut ketika air surut". (Wallace 2000 : 162-3)
Gambar atas (kiri-kanan) Pedagang tradisional pribumi di kota Makassar yang sangat menarik perhatian Wallace
Perjalanan ke Maluku
Gambar samping "Saya dapat memberi gambaran bercahaya tentang pesona anak dara itu, busana elok yang dipakainya, dan perhiasan emas dan peraknya"
Salah satu peristiwa penting dalam petualangannya di Maluku, pada tahun 1858, saat terserang demam, dari Ternate, ia menyurati Charles Darwin dan menyatakan keyakinannya bahwa seleksi alam adalah metoda utama, bahkan mungkin satu satunya metoda, yang dapat menerangkan teori evolusi mahluk hidup di Bumi. Hal ini diyakini Alfred Russel Wallace setelah mempelajari beragam flora dan fauna di Nusantara tadi. Wallace tidak menyadari kalau Darwin membangun teori yang sama selama dua
Dalam persinggahannya di Makassar Wallace juga mengamati kehidupan penduduk pribumi dan kegiatan mereka sehari-hari. Wallace menulis tentang sebuah jalan yang biasanya ramai sekali dengan penduduk pribumi, yaitu lelaki Bugis dan Makasar yang berpakaian celana katun yang panjangnya
21
22
evolusi itu dipengaruhi antara lain oleh lingkungan hidup dan penyesuaian organisme kepada lingkungan tertentu.
dekade, meskipun darwin belum mempublikasikannya. Tentu, surat-surat dari Alfred Wallace kepada Charles Darwin tadi menggemparkan Pertemuan Ilmiah Himpunan Linnean tahun 1860, karena semua ilmuwan menjadi bimbang, Siapa sebenarnya Penemu Teori Evolusi, apakah Wallace ataukah Darwin?.
Ide evolusi versi Wallace lahir ketika ia diserang malaria di Sarawak, dan diperdalam ketika sakit lagi di Halmahera: “Shivering in his tiny tent […] he realised that similar forces - that is, sickness - must be even more strongly at work among animals, selecting the strong for survival, the weak for death.” Dipadukan dengan hasil pengamatannya selama mengoleksi spesimen di Kalimantan dan Maluku, Wallace semakin yakin bahwa seleksi alamiah menjadi penentu berkembangnya jagat raya yang kita kenali.
Lahirnya teori seleksi alam (teori evolusi) Teori evolusi selalu dihubungkan dengan nama Charles Darwin dalam bukunya The Origin of Species yang diterbitkan pada bulan Nopember 1859, tetapi yang biasa terlupakan ialah bahwa Surat Wallace yang dikirim awal tahun 1859 dari Pulau Ternate memicukan Darwin untuk mengumumkan teori yang sudah dipikirkannya selama 20 tahun. Surat itu mengandung ide-ide dan arah pemikiran yang sama dengan evolusi Darwin. Khususnya alam Nusantara dan pengalamannya di daerah itu yang mempengaruh Wallace mencapai kesimpulan bahwa setiap spesies adalah hasil perkembangan spesies yang lain dan
Idenya ia sampaikan ke Darwin tahun 1858: “The manuscript prodded Darwin into a furious fit of writing, resulting in a mutually agreed-upon simultaneous presentation of their works before the Linnean Society during the summer of 1858, and in 1859, the publication of Darwin's 'abstract,' On the Origin of Species.” Wallace pada saat itu masih
Gambar bawah Awal bulan Januari 1857 Wallace menginjak tanah di kota perdagangan Dobo
Gambar atas Garis Wallacea merupakan garis batasan paparan Sunda.
berlayar mengelilingi Maluku. “But what if Wallace, instead of sending his paper to Darwin, had sent it to a journal in London to be published?” (kutipan ini dan di atas dari sebuah book review, The Observer, 09/01/2000: Footsteps in the Forest: Alfred Russel Wallace in the Amazon, Sandra Knapp, Natural History Museum, London; Archipelago: The Islands of Indonesia, Gavan Daws dan Marty Fujita, Uni. of California, Los Angeles).
unsur-unsur Australia disebelah timur. Garis Wallace, yang tersohor itu, suatu garis biogeografi imajiner yang memisahkan secara zoogeografis pulau-pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan di sebelah Barat dengan Pulau Pulau Sulawesi, Maluku Nusa Tenggara dan Papua di sebelah Timur. Flora fauna di wilayah Barat berkecenderungan mirip flora-fauna Benua Asia, sedang flora-fauna di sebelah Timur lebih mirip dengan flora-fauna di Benua Australia. Kalau kita
Garis Wallacea (Wallace Line) Kekayaan flora dan fauna di wilayah Wallacea untuk pertama kali dinyatakan oleh ilmuwan Alfred R. Wallace (1823-1913). Ia menarik garis khayal yang kemudian dikenal sebagai garis Wallacea (Wallacea line) mulai dari Selat Lombok, melalui Selat Makassar hingga selatan Filipina, sebagai garis yang membedakan antara unsurunsur Asia di sebelah barat dan
23
Gambar bawah Replika perahu yang digunakan Wallace untuk pelayaran dari Seram ke Raja Ampat dan Ternate
Pada tahun 1869 terbit bukunya The Malay Archipelago : The Land of the orang utan and the bird of paradise: A narrative of travel, with studies of man and nature. Beberapa buku lainnya adalah Geographical distribution of Animals (1876), Darwinism (1889), dan Man's Place in the Universe (1903). Pada akhir hidupnya Wallace menjadi Kepala Entomologi Society dan presiden Organisasi ilmuan yaitu The Brisih Association. Penghargaan yang diperoleh adalah The Darwin Medal of the Royal Society (1890), the Copley Medal of the Royal Society (1908) dan the Order of Merit (1908).
berkunjung ke Taman Burung di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, maka Garis Wallace juga hadir secara jelas, memisahkan koleksi burung burung dari Wilayah Barat Indonesia dengan koleksi burung burung dari Wilayah Timur Indonesia. Beaufort akhirnya berkesimpulan bahwa garis Wallacea merupakan garis batasan paparan Sunda. Wilayah Wallacea adalah daerah yang berada antara garis Wallacea disebelah barat dan garis Weber yaitu garis antara Sulawesi dan Maluku (antara Sula dan Obi) mengelilingi pulau Buru ke barat, melengkung tajam ke Pulau Seram Selatan dan memisahkan pulau Sernata dan babber Timur. Dengan demikian, wilayah Wallacea (Wallacea area) meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Dua buku Wallace merukapakan karya-karya besarnya, yakni Malay Archipelago (1869) dan My life a record of Events and Opinions (1905). Kedua karya tersebut, bahkan melebihi apa yang dilakukan Charles Darwin di kepulauan Gallapagos, Equador. Darwin yang sedang menyusun hasil penelitiannya yang kemudian dikenal dengan Teori Evolusi yang controversial itu, ketika membaca laporan ilmiah Wallace spontan berkomentar “dia telah mendahului saya”
Akhir petualangan Ilmiah di Nusantara Sekembalinya ke Inggris, Wallace bekerja sebagai penulis dan pengajar dan menjadi ilmuwan yang sangat dihormati. Dia memerlukan beberapa tahun untuk menyusun, mendiskripsikan dan menganalisis koleksi yang dikumpulkan selama delapan tahun berkelana di Nusantara ini ia melakukan 60 perjalanan sepanjang 14.000 mil dan berhasi mengumpulkan 125.660 spesies, antara lain mamalia, serangga, kerang, reptile dan burung. Ia juga tertarik akan kehidupan flora dan manusia yang dipandangnya eksotik yang yang ditemukan di tempat-tempat yang dikunjunginya. Jumlah spesies koleksi pribadinya mencapai 125.660 ekor. Baru pada tahun 1868 dia sempat menulis tentang pengalamannya di Kepulauan Nusantara.
Gambar atas Buku Alfred Russel Wallace yang diterbitkan pada1869
25
26
Peneliti: 1, 1 2 3 Eko Triarso Ahmad , Tubagus Solihuddin , Rainer Arif Troa , Cecep 4 2 2 Ahmad Hatori , Utami Retno Kadarwati Gunardi Kusumah , Rizky 2 5 6 6 Anggoro Adi , Meutia Farida , Ratni Rachman , Farida Murtada 7 Zul Janwar
1) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 2) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 3) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepualauan), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 4) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena) Staf Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 5) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar 6) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Universitas Hassanuddin Makassar 7) Peneliti Geomorfologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan
Geologi Pantai dan Pulau Kompilator:
Eko Triarso Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
Gambaran Umum Kawasan Timur Indonesia bila ditinjau dari aspek geologi, merupakan wilayah yang sangat rumit dan kompleks dalam tatanan tektoniknya. Kompleks dan kerumitannya itu adalah terkait dengan pergerakan tiga lempeng benua yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia bergerak dari arah Tenggara ke Baratlaut, Lempeng Pasifik bergerak dari arah Timur ke Barat, dan Lempeng Eurasia stabil. Pada 50 juta tahun yang lalu (Eosen Awal), setelah benua kecil India bertubrukan dengan Himalaya, ujung tenggara benua Eurasia tersesarkan lebih jauh ke arah Tenggara dan membentuk kawasan Indonesia bagian Barat. Saat itu kawasan Indonesia bagian Timur masih berupa laut (laut Filipina dan Samudra Pasifik). Lajur penunjaman yang bergiat sejak akhir Mesozoikum di sebelah barat Sumatera, menyambung ke Selatan Jawa dan melingkar ke Tenggara Timur Kalimantan - Sulawesi Barat, mulai melemah pada Paleosen dan berhenti pada kala Eosen. Pada 45 juta tahun lalu, lengan Utara Sulawesi terbentuk bersamaan dengan jalur Ofiolit Jamboles. Sedangkan jalur Ofiolit Sulawesi Timur masih berada di belahan selatan bumi. Pada 20 juta tahun lalu benua-benua mikro bertubrukan dengan jalur Ofiloit Sulawesi Timur, dan Laut Maluku terbentuk sebagai bagian dari Lut pilipina. Laut Cina Selatan mulai membuka dan jalur tunjaman di utara Serawak - Sabah mulai aktif. Pada 10 juta tahun lalu, benua mikro Tukang Besi - Buton bertubrukan dengan jalur Ofiolit di Sulawesi Tenggara, tunjaman ganda terjadi di kawasan Laut Maluku, dan Laut Serawak terbentuk di utara Kalimantan. Pada 5 juta tahun lalu, benua mikro Banggai-Sula bertubrukan dengan jalur ofiolit Sulawesi Timur, dan mulai aktif tunjangan miring di utara Irian Jaya - Papua Nugini. Dalam rangka Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004, salah satu penelitian yang dilakukan adalah penelitian di bidang geologi yang dititikberatkan pada pengamatan batuan, kondisi stratigrafi serta struktur geologi yeng berkembang pada daerah penelitian. Lokasi penelitian terletak di daerah P. Bonerate, P. Kalaotoa Sulawesi Selatan; P. Kabaena, Teluk Dalam Sulawesi Tenggara; dan Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah. Untuk mencapai daerah penelitian, ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan Kapal Riset Phinisi Cinta Laut. Khusus pada perairan Pulau Bonerate dan perairan Pulau Kabaena dilakukan pengamatan kedalaman laut (batimetri) dan pada Pulau Kabaena juga dilakukan penelitian
tahun 1992 (berdasarkan informasi masyarakat setempat). Stratigrafi Stratigrafi Pulau Bonerate disusun oleh Anggota Batugamping Formasi Selayar (Tms), yang terdiri dari batugamping pejal setempat terbreksikan dan membentuk undak-undak, 3 sampai 7undak, dan batugamping pasiran dengan tebal lapisan antara 10 cm dan 25 cm. Mengandung fosil Orbulina universa D'ORBIGNY, Sphaerodinelopsis seminulina SCHWANGER, Globigerinoides trilobus (REUSS), Globoquadrina altispira CUSHMAN & JARVIS dan Globorotalia menardii D'ORNIGNY, menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Pliosen, diendapkan dalam lingkungan laut dangkal, tebal satuan sekitar 300 meter. Batugamping Koral (Ql) terdiri dari batugamping koral, batugamping berongga, breksi batugamping dan lensa batulempung gampingan, berumur Pleistosen Holosen, diendapkan dalam lingkungan laut dangkal, tebal satuan sekitar 100 meter, lokasi tipe di Bonerate.
Gambar atas Tatanan tektonik Indonesia (Simanjuntak & Barber, 1996).
geolistrik yang bertujuan untuk mencari lapisan aquifer jenuh air tawar.
Metodologi Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengamatan langsung di lapangan tanpa pengamatan laboratorium yang dipadukan dengan kondisi geologi regionalnya. Pengumpulan data lapangan: + Pengamatan makro meliputi pengamatan struktur sedimen, tekstur dan pengamatan komponen/material penyusun. + Mengambil conto batuan yang dianggap sama untuk setiap kenampakan tekstur yang berbeda. + Pengukuran jurus dan kemiringan perlapisan batuan + Identifikasi megaskopis batuan
Gambar samping Pembentukan gua-gua sebagai indikasi pelarutan yang intensif (lokasi Daerah Sambali)
dan ± 40 meter) masing-masing berada di puncak bukit sebelah utara dan sebelah selatan, sebelah utara P. Bonerate (indikasi tebing yang terjal yang berada di ketinggian ± 10 meter dan hampir di sepanjang pantai P. Bonerate ditemukan undak-undak yang tersusun dari batugamping koral. Indikasi tersebut menunjukkan bahwa minimal telah terjadi 3 kali penurunan muka air laut, dan bisa jadi lebih dari 3 kali perubahan muka laut (jangkauan lokasi yang sulit menghambat pencapai lokasi penelitian sampai di puncak bukit). Dari data geologi regional diperoleh 2 formasi batuan yang menyusun Pulau Bonerate, yaitu; Batugamping Formasi Selayar yang terbentuk pada Miosen Tengah Pliosen dan Batugamping Koral (Ql) pada Plistosen Holosen. Dari data tersebut maka ada dua kemungkinan hubungan batuan dari kedua formasi batuan, yaitu selaras dan tidak selaras. Untuk mengetahui batuan tersebut selaras atau tidak, dengan kata lain terjadi selang waktu pengendapan atau tidak diperlukan beberapa data seperti analisis umur berdasarkan hasil dating atau penentuan umur relatif batuan berdasarkan kandungan fosil, dan melihat posisi stratigrafi di lapangan.
kota Bonerate ke arah timur laut) yang tersingkap ± 10 m2, batuan dasar ini masih memerlukan analisis petrografi untuk memberikan penamaan batuan secara petrografis, dengan demikian secara keseluruhan Pulau Bonerate disusun oleh Batugamping Anggota Selayar. Setelah menganalisis keberadaan cave (gua-gua) seperti terlihat dalam gambar diatas, dan paleobeach, yang berada pada ketinggian (level ± 2-5 m, ± 10 m
Indikasi munculnya batuan dasar seperti tampak pada gambar disamping antara lain disebabkan oleh terjadinya kegiatan tektonik yang menyebabkan daerah ini berada di permukaan. Dengan demikian ada 2 faktor yang menyebabkan terbentuknya teras (paleobeach), di daerah ini, yaitu : akibat kegiatan tektonik dan akibat penurunan muka laut. Analisis geologi regional mendukung daerah ini merupakan bagian dari tektonik extension, sehingga mempermudah terbentuknya undakan
Gambar bawah Kenampakan paleobeach Daerah Majapahit, ujung selatan pulau Bonerate
Geologi Daerah Penelitian Pulau Bonerate Pulau Bonerate termasuk dalam geologi regional Sulawesi Selatan, yang berada di sepanjang jalur Pulau Selayar ke arah Selatan. Di dalam Koswara, dkk (1994) diterangkan adanya sesar yang tejadi di Pulau Bonerate yang berlangsung hingga Kuarter. Untuk Pulau Bonerate secara regional tidak dijumpai gejala struktur geologi, namun demikian berdasarkan
Gambar bawah Kenampakan Pantai Berbatu (batugamping) dan Endapan Pasir Putih di Pantai Majapahit
Gua-gua yang terbentuk di daerah ini berupa gua vertikal dan gua horisontal. Pembentukan gua ini terjadi akibat proses karstifikasi antara lain oleh aktivitas pelarutan dan collapse (disebabkan oleh pelarutan yang intensif pada batuan yang terkekarkan). Dilihat dari bentukan ornamen pada gua, maka tingkat karstifikasi di daerah ini masih dini, hal ini antara lain dipengaruhi oleh kondisi iklim dan
Analisis Perubahan Muka Laut Berdasarkan Identifikasi Teras (Paleobeach) Dari hasil penelitian geologi yang dilakukan selama 5 hari, Pulau Bonerate disusun oleh 2 satuan batuan, yaitu batuan beku sebagai batuan dasar yang tersingkap di daerah Majapahit (sekitar 3 km dari ibu
penelitian di Pulau Bonerate ditemukan extension joint dan barrier di sebelah Barat dan Timur pulau yang menunjukkan indikasi bahwa daerah ini dilalui oleh jalur tektonik. Barrier tersebut terbentuk bersamaan dengan terjadinya gempa tektonik di Flores pada
29
30
Gambar samping Barrier coral reef difoto ke arah barat dari pantai Majapahit.
Dari hasil analisis perstasiun pengamatan diperoleh: pada teras termuda (pantai) disusun oleh batugamping koral yang berumur Kuarter dengan komponen utama koral masif yang memperlihatkan struktur tumbuh. Di sebelah timur P. Bonerate (dusun Sambali) umumnya disusun oleh batugamping koral dengan komponen utama adalah koral bercabang dan sebagian koral masif. Di daerah ini juga banyak ditemukan cangkang Tridactna seperti pada gambar disamping, dalam kondisi insitu. Kandungan biota lain yang dijumpai adalah moluska, foraminifera dan cangkang biota yang sulit diidentifikasi.
lamanya batuan tersebut berada di permukaan (ekspos). Salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa kegiatan tektonik cukup aktif di daerah ini adalah keberadaan barrier coral reef di sebelah Timur dan Barat P. Bonerate yang muncul setelah terjadi gempa tektonik Flores tahun 1992. Aktivitas tektonik di daerah ini juga dapat dilihat dari munculnya batuan beku sebagai batuan alas seperti pada gambar diatas, diperlukan analisis yang lebih jauh untuk menentukan mekanisme struktur geologi yang terjadi di Pulau Bonerate dan sekitarnya.
Jangkauan lokasi yang cukup sulit dan waktu penelitian yang sempit menjadi kendala untuk memperoleh data yang lebih detail. Pentingnya mengetahui pola penyebaran fasies pada setiap teras adalah untuk mendapatkan data perkembangan terumbu sesuai dengan indikasi muka laut. Dengan demikian dapat diketahui perubahan muka laut yang terjadi pada saat pembentukan terumbu. Hasil penelitian ini masih merupakan data awal dan perlu ditindaklanjuti untuk mengetahui genesa pembentukan pulau-pulau terumbu di Kepulauan Takabonerate.
Keberadaan barrier coral reef tersebut menunjukkan bahwa teras-teras di Pulau Bonerate terbentuk akibat proses yang sama sebagaimana yang terjadi saat ini. Untuk membuktikan lebih jauh maka diperlukan berbagai data antara lain informasi mengenai eustatik sea level yang terjadi selama periode pembentukan batuan yang menyusun daerah ini serta data kecepatan uplift (lokal maupun regional).
Berdasarkan penelitian yang masih merupakan data awal, maka kesimpulan sementara 1. Pulau Bonerate tersusun atas Batugamping Selayar yang berumur Miosen Tengah Pliosen dan Batugamping Koral yang berumur Kuarter. Kedua batuan tersebut dibedakan oleh ciri fisik dan kandungan biota 2. Keberadaan teras dan paleobeach menunjukkan indikasi bahwa telah terjadi penurunan muka air laut dan akibat aktivitas tektonik 3. Koral masif dan koral bercabang merupakan komponen utama pembentuk terumbu dan sebagian besar yang menyusun P. Bonerate.
Gambar bawah Singkapan batugamping berongga
Tingkat karstifikasi yang berlangsung berada pada tahap karstifikasi muda/dini, yang dipengaruhi oleh kondisi iklim (curah hujan dan kelembaban) dan faktor lamanya batuan tersebut ekspor di permukaan. Pulau Kalaotoa Batuan penyusun pulau Kalaotoa tersusun oleh batugamping (dominan), yang terdiri dari batugamping koral, batugamping berongga (Foto 7), sedangkan batugamping pejal (Foto 8), batugamping pasiran termasuk dalam formasi Kalao, kedua jenis batuan yang termasuk dalam formasi Kalao dapat dengan dibedakan dari fisik (warna) dan tingkat kekompakan dari material penyusun batuan tersebut. Batupasir tufa gampingan (Foto 9) yang termasuk dalam formasi Selayar. Singkapan batupasir tufa gampungan di jumpai pada sebelah Timur khususnya pada daerah pantai Batu Putih. Jurus dan Kemiringan: N 2600/40 dengan sisipan tufa setebal 7 10 cm dan pada Daerah Latodo dengan Jurus dan Kemiringan N 1100/360. Kontak antara batugamping dan batupasir gampingan di lapangan tidak dijumpai.
Gambar bawah Singkapan batugamping pejal yang telah terkekarkan
Gambar bawah Singkapan batu pasir gampingan dengan sisipan tufa
Struktur Geologi Pengamatan di lapangan menemukan kehadiran dari breksi sesar, cermin sesar serta di beberapa tempat dijumpai zona gerusan dan patahan (Gambar pada halaman balik). Kekar yang dijumpai pada batugamping berupa kekar gerus (shear joint). Arah tegasan utama berarah relatif barat laut tenggara, sedangkan sesar yang berkembang berupa sesar-sesar geser. Sesar-sesar geser diperkirakan terjadi pada Kala Pliosen, setelah terbentuknya batugamping dan batupasir gampingan dimana sebelumnya terjadi aktifitas gunungapi dan proses pengangkatan dari dasar laut.
Gambar samping Tridactna pada Batugamping Koral ebelah timur P. Bonerate (dusun Sambali)
31
32
B
A
C
D
diperkirakan antara Miosen Akhir Awal Pliosen (N 18).
Gambar Sebaran batuan dan struktur geologi Pulau Kalaotoa
E
(A) Globigerinoides immaturus (LEROY)
Gambar atas Contoh fosil planktonik yang dijumpai pada batuan
Kandungan fosil foraminifera benthonik: Bathysiphon rufescens (CUSHMAN), Nodosarella subnodosa (Guppy), Nodosarella salinajraghii Martinott, Nodusinella glennensis Harlton, Plectofrondicularia trinitatnsis Chusman & Jarvis. Berdasarkan kandungan fosil foraminifera benthonik, batuan ini terbentuk pada kedalaman (300-1000)m. Kandungan fosil planktonik yang dijumpai pada tufa adalah:
Batugamping koral Batupasir Gampingan Batugamping Sesar Geser
Gambar bawah Zona patahan yang dijumpai pada batupasir gampingan
Gambar bawah Cermin sesar yang dijumpai pada batugamping pejal
Globoquadrina altispira
Penentuan Umur Relatif Batuan dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur relatif batuan dilakukan berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik sedangkan lingkungan pengendapan berdasarkan kandungan fosil foraminifera benthonik yang dijumpai pada batuan tersebut. Conto batuan yang dilakukan analisa kandungan fosil foraminifera adalah batugamping, batupasir gampingan dan tufa.
(CUSHMAN & JARVIS), Globigerina venezuelana (HEDBERG), Globigerinoides ruber (D'ORBIGNY), Globigerinoides Conglobatus (BRADY). Berdasarkan kandungan fosil planktonik tersebut, tufa yang dijumpai di Pulau kalaotoa berumur Miosen Akhir Pliosen Awal. Kandungan fosil foraminifera benthonik: Nodogerina advena Chusman & Laiming, yang terbentuk pada kedalaman (300-1000)m.
Kandungan fosil foraminifera yang dijumpai pada batugamping terdiri dari: Globoquadrina altispira (CUSHMAN & JARVIS), Orbulina bilobata (D'ORBIUGNY), Globorotalia dutertrei (D'ORBIGNY), Globigerinoides obliquus (BOLLI). Umur relatif batugamping penyusun pulau Kalaotoa berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik adalah Miosen Akhir Pliosen Awal (N17-N18).
Pulau Kabaena Stratigrafi Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur, secara regional dataran pesisir Pulau Kabaena termasuk ke dalam mendala (terrane) geologi Sulawesi Timur yang dicirikan oleh gabungan batuan ultramafik, mafik dan malihan. Batuan tertua mendala geologi Sulawesi Timur adalah batuan ultramafik yang merupakan batuan alas. Batuan ultramafik terdiri dari peridotit, serpentinit, diorit, wherlit, harzburgit, gabro, basal, mafik malih dan magnetit. Umur batuan ini diduga Kapur. Batuan malihan yang disebut Kompleks Pompangeo dikuasai oleh berbagai jenis sekis dan sedimen malih. Selain itu terdapat serpentinit dan sekis glaukofan. Diperkirakan batuan ini terbentuk dalam lajur penunjaman benioff pada akhir Kapur Awal hingga Paleogen (Simandjuntak, 1980, 1986).
Kandungan fosil foraminifera benthonik: Nodusinella Soluta (REUSS), Amphistegina tuberculata (chusman), Buliminella dominicana Bermudez. Berdasarkan kandungan fosil foraminifera benthonik, batugamping ini terbentuk pada kedalaman antara 15-90 meter, o
o
pada temperatur (3 -16 ) C. Kandungan fosil planktonik yang dijumpai pada batupasir gampingan adalah: Orbulina universa (D'ORBIGNY), Globigerinoides ruber (D'ORBIGNY), Globorotalia pleisiotumida (BLOW & BANNER), Globigerinoides immaturus (LEROY), Orbulina bilobata (D'ORBIUGNY). Berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik, umur batupasir gampingan
33
Pada zaman Neogen Kala Miosen, tak selaras di atas mendala geologi Sulawesi Timur diendapkan kelompok molasa Sulawesi. Batuan jenis molasa Sulawesi yang tertua di Lembar Kolaka adalah Formasi
34
Tabel Kandungan fosil Planktonik dan penentuan umur relatif batupasir gampingan
Tabel Kandungan fosil planktonik dan penentuan umur batugamping
Tabel Kandungan fosil bentonik dan penentuan lingkungan pengendapan batupasir gampingan
Tabel Kandungan fosil planktonik dan penentuan umur batugamping
35
36
Tabel Kandungan fosil planktonik dan penentuan umur tufa
Gambar atas dan samping Contoh fosil bentonik yang dijumpai pada batuan
Bulimina quadrata PLUMMER
Bulivina ovata D ORBIGNY
Tabel Kandungan fosil bentonik dan penentuan lingkungan pengendapan tufa
beku ultramafik hanya menempati sebagian kecil (± 10%) luas daerah penelitian, yakni di pantai Teluk Pising (G. Onemoto). Tipologi pantai yang terbentuk oleh batuan beku tersebut adalah pantai berbatu (cliff/rocky). Deskripsi batuan beku berwarna lapuk abu-abu kehijauankehitaman, warna segar abu-abu kehijauan; berbutir porfiritik; bentuk butir hipidiomorf. Komposisi mineral didominasi oleh mineral olivin berwarna hijau lapuk, sebagian mineral bijih berwarna hitam. Singkapan batuan telah mengalami struktur yang sangat kuat ditandai dengan banyaknya kekarkekar pada batuan yang telah terisi oleh mineral kalsit. Berdasarkan ciri fisik batuan dan posisi stratigrafinya, umur satuan batuan ini dapat disebandingkan dengan Kompleks Ultramafik (T.O. Simandjuntak, Surono dan Sukido, 1993) yang berumur Kapur.
Langkowala yang diperkirakan berumur akhir Miosen Tengah. Formasi Langkowala terdiri dari batupasir dan konglomerat. Pada Kala Plistosen Holosen, secara tak selaras di atas Formasi Langkowala diendapkan Formasi Buara. Formasi ini dibangun oleh terumbu koral, setempat terdapat lensa konglomerat dan batu pasir. Formasi ini masih memperlihatkan hubungan yang menerus dengan pertumbuhan terumbu pada pada pantai yang berumur resen. Satuan batuan termuda di daerah ini adalah endapan sungai, rawa dan kolovium. Geologi daerah penelitian Geologi kawasan pesisir Pulau Kabaena bagian barat dibagi ke dalam 2 satuan batuan, yaitu Satuan Batuan Beku Ultramafik dan Satuan Aluvium. Satuan Batuan
37
38
Endapan aluvium berupa pasir dan lumpur menempati sekitar 90% luas daerah penelitian. Di beberapa tempat dalam satuan ini tersingkap terumbu koral yang panjangnya hingga mencapai 50 m. Endapan pasir terbagi ke dalam 2 jenis material yaitu pasir hasil rombakan terumbu koral berwarna putih kotorkecoklatan dan pasir berwarna abu-abu hingga abu-abu kehitaman. Pasir rombakan terumbu koral terdapat di Tanjung Mangiwang (Teluk Pising), Pantai Malipa (Teluk Pising), sepanjang Pantai Malandahi sampai Labota (Teluk Lawoto), Pantai Tanjung Melate, Pantai Pulau Mataha dan Pantai Pulau Sagori. Deskripsi pasir berwarna putih kotor hingga kecoklatan, banyak mengandung pecahan cangkang moluska, besar butir haluskasar, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, pemilahan sedangburuk. Endapan pasir berwarna abu-abu hingga abuabu kehitaman terdapat di Pantai Baliara, Sikeli, Tanjung Perak sampai muara Sungai Lakampula. Deskripsi pasir berwarna abu-abu hingga abu-abu kehitaman, besar butir halussedang, bentuk butir membundar tanggung membundar, pemilahan
sedang buruk, banyak mengandung mineral mafik, diduga endapan pasir ini merupakan hasil rombakan dari batupasir Formasi Langkowala (T.O. Simandjuntak, Surono dan Sukido, 1993).
putih kotor hingga kelabu; tersusun oleh pertumbuhan koral, ganggang dan kumpulan moluska; keras, padat, bersifat karbonatan.
Gambar bawah Endapan Lumpur dijumpai Pada Area Hutan Bakau (Teluk Pising)
Struktur dan Bencana Geologi Perkembangan tektonik di daerah penelitian tidak dapat dipisahkan dengan evolusi tektonik Sulawesi secara keseluruhan. Kerumitan geologi Sulawesi ini terutama bagian timur, sangat menarik dan telah banyak dibicarakan. Banyak teori dan hipotesis yang telah dikemukakan para ilmuwan mengenai perkembangan tektonik daerah ini; umumnya berdasarkan teori tektonik lempeng (Sukamto, 1975; Simandjuntak, 1980, 1986; Silver, 1982; Sukamto dan Simandjuntak, 1982).
Endapan lumpur menempati pantai-pantai tertutup seperti di daerah teluk atau daerah muara sungai. Endapan ini terdapat di daerah Teluk Malandahi, Teluk Lawoto, Teluk Pikoloa dan sebagian Pantai Tanjung Melate. Deskripsi lumpur berwarna abu-abu tua hingga hitam pekat; banyak mengandung sisa tumbuhan, besar butir lanau-pasir halus, setempat terdapat lempung yang bercampur dengan lanau dan fragmen batuan berukuran kerikil. Sebagian besar endapan terperangkap pada akar-akar pohon bakau. Endapan aluvium ini berumur Holosen. Terumbu Koral terdapat setempat-setempat di daerah penelitian. Singkapan batuan tersebar di Pantai Malandahi, Pulau Bangko darat bagian barat, Tanjung Melate, Pulau Mataha dan Pulau Sagori. Panjang singkapan bisa mencapai ± 50m. Deskripsi terumbu koral berwarna lapuk coklat kehitaman warna segar
Sesar yang berkembang di Pulau Kabaena adalah sesar sungkup. Sesar ini berarah hampir barattimur mensesarsungkupkan Kompleks Ultramafik ke atas Kompleks Pompangeo dan sedimen malih kabaena, diduga terjadi pada Zaman Mesozoikum.
Gambar bawah Terumbu Koral Tersingkap di Pulau Bangko
Lipatan di daerah ini terdiri dari lipatan terbuka dengan kemiringan lapisan tidak lebih dari 20º dan berkembang pada batuan yang berumur Neogen. Kompleks Pompangeo diduga telah beberapa kali mengalami masa perlipatan. Perlipatan tua diperkirakan berarah utaraselatan atau baratdayatimurlaut, sedangkan lipatan muda berarah baratlauttenggara atau barat-timur.
Gambar bawah Singkapan Batuan Beku Ultramafik dijumpai di Pantai Teluk Pising (G. Onemoto)
Kekar dijumpai hampir pada semua batuan, terutama batuan beku (kompleks ultramafik dan mafik), batuan sedimen malih Mesozoikum dan batuan malihan. Dalam batuan Neogen kekar kurang berkembang. Kekar itu diperkirakan terbentuk dalam beberapa masa, sejalan dengan perkembangan struktur yang terjadi di daerah ini.
Gambar bawah Singkapan Terumbu Koral dijumpai di Pantai Malandahi
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa daerah penelitian berada di wilayah pantai yang secara geologi dekat dengan zona subduksi. Kondisi pantai sangat rawan terhadap gempa bumi tektonik dan tidak menutup kemungkinan terjadinya tsunami. Kedua hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan masyarakat setempat, terlebih jika sesar-sesar yang ada dapat mengalami aktivitasnya kembali (reactivated) yang disebabkan oleh getaran gempa bumi yang keras.
40
Zaman Kwarter
Kala
Satuan Batuan Tim EWI (2004)
Holosen
Aluvium
Plistosen Pliosen Miosen Oligosen Paleogen Eosen Paleogen
Kesebandingan (T.O. Simandjuntak, Surono dan Sukido, 1993) Aluvium
Gambar samping Singkapan batuan beku ultra mafik yang terdapat di Teluk dalam
Formasi Buara
Neogen Tersier
Kapur
Pulau Sonit Singkapan batugamping terdapat pada tebing pantai secara setempat. Batugamping berwarna putih, tekstur non klastik, perawakannya sangat keras dan kompak.
Formasi Langkowala
Batuan Beku Ultramafik
Kompleks Ultramafik
Tabel Kesebandingan Urutan Stratigrafi Daerah Penelitian
Sumberdaya Mineral Bahan galian potensial yang terdapat di daerah
tuf sela, dan breksi yang memiliki umur mutlak
penelitian diantaranya berupa nikel; bahan bangunan
diterobos Granit Banggai yang secara petrologi terdiri
dan industri berupa batuan beku, batugamping, pasir
dari granit, granodiorit, diorit kuarsa, dan pegmatit
dan kerikil. Biji nikel terdapat dalam laterit yang
dengan umur mutlak juga Permo-Trias. Di atasnya
berasal dari pelapukan batuan ultramafik dan pada
menindih secara tidak selaras Formasi Bobong yang
saat ini sedang ditambang oleh PT. Aneka Tambang.
terdiri dari konglomerat, batupasir, bersisipan serpih
Batuan beku berupa batuan ultramafik dan mafik
dan batubara, setempat mengandung pirit, yang
terdapat di beberapa tempat seperti di G. Onemoto
berumur Yura Awal-Yura Tengah. Bagian atasnya
dan G. Sambapolulu. Batuan ini cadangannya cukup
menjemari dengan Formasi Buya Bawah. Formasi
besar, sehingga sangat berpotensi terutama berguna
Bobong tersusun atas serpih, mudstone, dan
sebagai pengeras jalan, jembatan beton dan pondasi
batulempung gampingan dengan sisipan batupasir
bangunan. Batugamping di Pulau Kabaena terdapat di
kuarsa halus dan kalkarenit, mengandung fosil
Batu Sengia membentuk pegunungan hingga
Amonit dan Belemnit menunjukkan umur Yura Tengah
mencapai ketinggian lebih dari 1000 m di atas
Yura Akhir. Pada Zaman Yura masih terdapat kegiatan
permukaan laut. Pasir dan kerikil dapat berguna
magma yang menghasilkan terobosan dan retas
sebagai bahan bangunan terdapat di beberapa
diabas menerobos Formasi Bobong dan Formasi Buya.
tempat terutama di sepanjang sungai.
Di atas Formasi Buya menindih secara tidak selaras
Eksplorasi Lapisan Aquifer Jenuh Air Tawar Dengan Metode Geolistrik Dalam penelitian ini, metoda yang digunakan untuk mengetahui keadaan bawah tanah adalah metoda tahanan jenis (geolistrik). Metode ini merupakan salah satu metode geofisika yang sering diterapkan untuk penelitian air tanah karena sifatnya yang tidak merusak medium dan proses pengerjaannya yang tidak terlalu rumit.
Permo-Trias. Batuan Malihan dan Formasi Menanga
Formasi Tanamu yang tersusun atas napal berfosil Kapur Akhir. Di atasnya lagi menindih tak selaras
Geologi Teluk Dalam dan Kepulauan Banggai Stratigrafi Daerah penelitian, secara geologi termasuk ke dalam
Formasi Salodik yang berupa perselingan
Singkapan ini tersingkap di sepanjang pantai Teluk Dalam. Batupasir kuarsa memiliki perlapisan batuan berarah barat laut tenggara (N 300-310o E) dengan sudut kemiringan lapisan berkisar antara 25-30o. Kepulauan Banggai Pulau Banggai Singkapan batuan terutama hadir dari jenis batugamping. Batugamping, berwarna putih cerah, bersifat klastik, beberapa bersifat kristalin, tersingkap di sepanjang tebing pantai. Masyarakat sekitar memanfaatkan batugamping ini sebagai bahan bangunan. Pulau Bokan Singkapan batuan terutama hadir dari jenis batuan beku granit dan batugamping. Granit merupakan bagian dari Formasi Granit Banggai (Supandjono, 1993), berwarna putih kelabu kemerahan, kondisi agak lapuk, terkekarkan dan memiliki banyak rekahan, tersusun oleh kuarsa, feldspar, dan amfibol. Singkapan ini tersebar di sebelah utara Pantai Bungin.
Prinsip dasar geolistrik adalah mengalirkan arus listrik melalui sepasang elektroda arus yang dimasukan kedalam bumi, dan beda potensial yang terjadi akan terukur melalui sepasang elektroda potensial. Elektroda disusun sedemikian rupa dengan mengacu pada konfigurasi dari Wenner-Schlumberger. Konfigurasi ini menyusun jarak antara eletroda potensial dengan elektroda arus berdasarkan perkalian bilangan bulat (n, dalam penelitian ini 1-5) dari jarak kedua elektroda potensialnya (MN). Sistem fixed
Gambar bawah Singkapan granit dijumpai di Pulau Bokan
batugamping dan napal berumur Eosen-Miosen
Mandala Banggai-Sula. Urutan stratigrafinya
Tengah. Secara tak selaras, Formasi ini tertindih
(Supandjono & Haryono, 1993) dari tua ke muda
Formasi Peleng yang terdiri dari batugamping
adalah sebagai berikut : Sebagai batuan yang
terumbu berumur Plistosen-Holosen yang secara
mengalasinya adalah batuan malihan, granit, dan
setempat terumbu ini masih tumbuh. Kemudian
batuan gunung api. Kompleks Batuan Malihan terdiri
Aluvium hadir sebagai satuan termuda berupa
dari sekis, geneis, dan kuarsit. Kemudian menyusul
endapan sungai, rawa, dan pantai.
Formasi Menanga yang terbentuk dari perselingan filit, yang dari hasil penarikhan radiometri
Teluk Dalam Singkapan batuan terutama hadir dari jenis batuan
menunjukkan umur Karbon. Kedua satuan batuan
beku ultra mafik dan batupasir kuarsa. Batuan beku
tersebut mengalami perlipatan kuat. Kemudian
ultramafik, berwarna kehitaman, kondisi agak lapuk,
menindih secara tidak selaras adalah Batuan
terkekarkan dan memiliki banyak rekahan, tersusun
Gunungapi Mangole yang terdiri dari riolit, ignimbrit,
oleh dominasi mineral mafik, feldspar, dan amfibol.
batugamping hablur, batupasir malih, batusabak, dan
41
Batugamping merupakan bagian dari Formasi Salodik (Supandjono, 1993). Memiliki perlapisan batuan berarah barat laut tenggara (N 320-350o E) dengan sudut kemiringan lapisan berkisar antara 35-40o. Pulau Labobo Singkapan batuan berupa granit, merupakan bagian dari Formasi Granit Banggai (Supandjono, 1993), berwarna merah, berbintik hitam, dengan kondisi agak lapuk. Singkapan ini tersebar di sepanjang pantai P. Labobo. Material rombakan juga ditemukan tersebar pada pantai dan terdiri dari rombakan granit berukuran kerakal-berangkal.
42
Gambar samping Pengukuran metoda tahanan jenis (geolistrik) adalah salah satu metode geofisika yang sering diterapkan untuk penelitian air tanah.
Curve/Fitting Curve model inversi dan metoda Filter Linear untuk pendekatan harga tahanan jenis antara kurva lapangan dan kurva baku yang paling cocok. Metoda Kurva Matching dilakukan dengan mencocokan kurva lapangan dengan kurva baku, sehingga didapatkan nilai tahanan jenis batuan bawah permukaan. Sedangkan Metoda Filter Linear Memakai pendekatan persamaan Laplace untuk suatu sumber arus dipermukaan bumi berlapis horisontal. Untuk mendapatkan nilai Tahanan Jenis
electrode potensial dan elektroda arus berjalan digunakan dalam penelitian ini dengan maksud untuk mendapatkan variasi kearah kedalaman (sounding). Sedangkan variasi ke arah lateral dapat diperoleh dengan menghubungkan antara titk-titik sounding dengan proses interpolasi.
semu (ra) dari konfigurasi Wenner-Schlumberger digunakan persamaan :
jenis semakin menurun berkisar antara 0.214-
buah penampang tahanan jenis. Tiga buah diantaranya terdapat di P. Kabaena bagian Barat (Sikeli-Teomokole, Baliara B-T dan Baliara U-S) dan dua lainnya di Pulau Sagori (Sagori U-S) dan P. mataha (Mataha B-T).
3.408 ohm-meter;
Penampang tahanan jenis Sikeli-Teomokole yang berarah Barat Laut - Tenggara menunjukkan 4 (empat) susunan lapisan batuan, yaitu: 1. Lapisan I dengan harga tahanan jenis antara 17.4216 Ohm-meter dan ketebalan berkisar antara
Gambar atas Penampang Tahanan Jenis Baliara B-T
0.496-1.434 m merupakan tanah penutup; 2. Lapisan II yang terdapat di Sikeli 4 dan Sikeli 5 diinterpretasikan berdasarkan harga tahanan jenis
Penampang tahanan jenis Baliara U-S yang berarah Utara Selatan menunjukkan 3 (tiga) susunan lapisan batuan, yaitu: 1. Lapisan I dengan harga tahanan jenis antara 1319.85 Ohm-meter dan ketebalan berkisar antara 0.9575-3.367 m merupakan tanah penutup; 2. Lapisan II menunjukkan harga tahanan jenis antara 4.472-9.945 Ohm-meter dengan ketebalan 6.62123.83 m, diduga sebagai lapisan lempung;
antara 244-458 Ohm-meter yang diduga sebagai bongkahan batu gamping dengan ketebalan berkisar antara 1.48-3.38 m; 3. Lapisan III menunjukkan harga tahanan jenis antara 14.7-61.7 Ohm-meter dengan ketebalan 1.74 m sampai lebih dari 10 m, diduga sebagai lapisan pasir yang dapat berfungsi sebagai akuifer; 4. Lapisan IV berdasarkan kelompok harga tahanan jenis antara 7.08-9.9 Ohm-meter dengan ketebalan lebih dari 10 m, diduga sebagai lapisan lempung;
ra = p.n(n+1).MN.R Dimana : ra p n MN R
Susunan elektroda wenner terdapat pada suatu garis lurus dengan jarak masing-masing elektroda sama. Metoda ini sangat sensitif terhadap perubahan lateral setempat seperti gawir atau lensa-lensa, sehingga baik digunakan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan secara lateral. Sedangkan kelemahannya membutuhkan waktu dan tenaga yang besar dalam penerapannya di lapangan dibandingkan dengan metoda schlumberger. Metoda schlumberger memiliki susunan jarak elektroda arus yang lebih besar dibandingkan dengan elektroda potensialnya dengan perbandingan tidak lebih dari lima. Metoda ini baik digunakan untuk penyelidikan dalam karena tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan secara lateral. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode gabungan Wenner-Schlumberger.
= nilai Tahanan Jenis semu = konstanta (3.14) = faktor pengali = jarak elektroda potensial = nilai Tahanan Jenis r dari alat
Konfigurasi elektroda Wenner Schlumberger disusun dengan mengambil jarak elektroda potensial (MN) 1 m dan 5 m, dengan jarak perlebaran elektroda arus 1 sampai 5 kali elektroda potensial. Konfigurasi ini dipilih untuk mendapatkan data VES (vertical electrical sounding) yang memiliki tingkat kesalahan rendah, karena tidak terlalu dipengaruhi kondisi lapangan. Hasil pengolahan berupa penyebaran harga Tahanan Jenis yang berupa penampang secara vertikal sedangkan untuk mengetahui penyebaran secara horizontal dapat dilakukan korelasi antar titik pengukuran. Pengukuran geolistrik di daerah penelitian memiliki bentangan maksimum (AB/2) 27,5 meter.
Nilai Tahanan Jenis yang didapatkan (ra) merupakan nilai semu (apparent) dari Tahanan Jenis bumi yang dianggap homogen. Untuk mendapatkan nilai Tahanan Jenis sebenarnya diperlukan proses perhitungan secara inversi dengan metoda Matching
Hasil dan Pembahasan. Dari hasil interpretasi di lapangan terhadap data hasil pendugaan geolistrik, telah dibuat sebanyak 5 (lima)
43
Gambar atas Penampang Tahanan Jenis Baliara U-S Gambar atas Penampang Tahanan Jenis Sikeli-Teomokole
Penampang tahanan jenis Sagori U-S yang berarah Utara Selatan menunjukkan 3 (tiga) susunan lapisan tahanan jenis, yaitu: 1. Lapisan I dengan harga tahanan jenis antara 44124976 Ohm-meter dan ketebalan berkisar antara 1.1-1.32 m merupakan tanah penutup yang terdiri dari material pasir pantai; 2. Lapisan II yang ditunjukkan dengan harga tahanan jenis antara 47.2-77.8 Ohm-meter dengan ketebalan 2.23-9.38 m, diduga sebagai bagian atas batugamping terumbu yang telah mengalami pelapukan dan terintrusi air laut. 3. Lapisan III berdasarkan kelompok harga tahanan jenis antara 23349 30000 Ohm-meter dengan ketebalan tak terhingga, merupakan batugamping terumbu;
Penampang tahanan jenis Baliara B-T yang berarah barat timur menunjukkan 2 (dua) susunan lapisan batuan, yaitu: 1. Lapisan I dengan harga tahanan jenis antara 21.73317 Ohm-meter dan ketebalan berkisar antara 0.799-1.37 m terdapat pada kedalaman 0-1.572 m merupakan tanah penutup; 2. Lapisan II dengan harga tahanan jenis antara 10.529.2 Ohm-meter dengan ketebalan 2.92-25.93 m, diduga sebagai lapisan pasir yang berfungsi sebagai akuifer dan jenuh dengan air tawar pada bagian atasnya tetapi bagian bawahnya telah terintrusi air laut yang dicirikan oleh harga tahanan
44
air tanah dangkal. 4. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi air tanah di P. Kabaena terutama untuk potensi air tanah dalam.
9192500
9192500
9192000
9192000
9191500
Gambar atas Penampang Tahanan Jenis Sagori U-S
Penampang tahanan jenis Mataha B-T yang berarah barat timur menunjukkan 3 (tiga) susunan lapisan tahanan jenis, yaitu: 1. Lapisan I dengan harga tahanan jenis antara 1020 3558 Ohm-meter dan ketebalan berkisar antara 0.82 1.36 m merupakan tanah penutup; 2. Lapisan II yang ditunjukkan dengan harga tahanan jenis antara 8.97 95.1 Ohm-meter dengan ketebalan 1.07 m 6.85 m, diduga sebagai bagian atas batugamping terumbu yang telah mengalami pelapukan dan terintrusi air laut. 3. Lapisan III berdasarkan kelompok harga tahanan jenis antara 10026 51620 Ohm-meter dengan ketebalan tak terhingga, merupakan batugamping terumbu;
PULAU KALAO
9191500
PULAU KALAO
Pemetaan Kedalaman Laut (Batimetri) Peta kedalaman laut atau yang lebih dikenal sebagai peta batimetri adalah salah satu bentuk sajian informasi kedalaman laut suatu perairan. Peta batimetri memberikan gambaran mengenai topografi dasar laut sehingga akan memudahkan untk membedakan karkteristik dasar laut yang berupa paparan, palung, tebing, lembah atau bukit. Peta batimetri selama ini digunakan untuk beberapa keperluan antara lain penentuan batas wilayah laut, studi ilmiah kelautan (geologi, geofisika, oseanografi, dll), pengembangan budidaya laut, pengembangan wisata bahari, keselamatan pelayaran, eksplorasi sumberdaya laut dan dasar laut, eksploitasi sumberdaya laut dan dasar laut, rekayasa pantai, pemodelan laut, penentuan alur pelayaran dan pelabuhan, dan lain sebagainya
9191000
9191000
9190500
9190500
PULAU BONERATE
9190000
PULAU BONERATE
9190000
9189500
9189500
9189000
9189000
9188500
9188500 285000
285500
286000
286500
287000
287500
288000
285000
288500
285500
286000
286500
287000
287500
288000
288500
Gambar atas Peta Lintasan Kapal saat melakukan batimetri di Bonerate dan hasilnya dalam 2 dimensi
Gambar bawah Hasil plot batimetri dalam 3 dimensi
Pada Ekspedisi Wallacea ini pemetaan kedalaman dasar laut dilakukan pada 2 lokasi yaitu perairan selat Bonerate dan periran Teluk Pising. Batimetri Selat Bonerate Perairan Selat Bonerate merupakan selat antara Pulau kalao dengan Pulau Bonerate, Kabupaten Selayar.
0
Gambar atas Penampang Tahanan Jenis Mataha B-T
-25 Gambar bawah Lokasi pemetaan kedalaman laut
-50
Berdasarkan hasil interpretasi data tahanan jenis, dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut : 1. Air tawar potensial terdapat disepanjang pantai utara dari mulai Desa Sikeli sampai dengan Desa Baliara kedalaman berkisar antara 1-27 meter dari permukaan tanah memiliki harga tahanan jenis antara 10.5 61.7 Ohm-meter dengan litologi berupa lapisan pasir halus-sedang yang berumur Kuarter; 2. Lapisan aquifer di sekitar pantai Sikeli Baliara bagian bawahnya telah terintrusi air laut yang dicirikan oleh harga tahanan jenis yang menurun berkisar antara 0.214 3.408 ohm-meter; 3. Di Pulau Sagori dan Pulau Mataha tidak ditemukan
-75
-100
-125
-150
-175
-200
45
46
9441500
9441000
9440500
9440000
9439500
9439000 378500
379000
379500
380000
380500
381000
381500
382000
Lintasan Lintasan dibuat tegak lurus terhadap selat dengan jarak antara jalur satu dengan yang lainnya adalah 60 meter dengan panjang lintasan kurang lebih 2 kilometer. Lintasan tidak dibuat mendekati pulau karena di sekitar pulau tersebut terdapat barrier karang, sehingga kapal tidak dapat mendekati pantai.
Darman, Herman & F. Hasan Sidi. 2000. An outline of The Geology of Indonesia. Jakarta: IAGI
Peta Batimetri Peta batimetri yang sudah diolah kemudian ditampilkan dalam 2 bentuk yaitu peta batimetri 2 dimensi dan 3 dimensi.
Embry, A.F. & Klovan, J.E.1971. A Late Devonian Reef Tract on Northeastern Bank Island. Northwest Territories. Canadian Petroleum Geologist. Bulletin. 19p. 730781.
Perairan Selat Bonerate memiliki kedalaman laut yang berkisar antara 2 meter hingga 200 meter dengan kondisi menyerupai cekungan yang memanjang searah dengan selat itu sendiri. Kearah tengah selat bonerate kedalaman laut turun secara tajam mulai kedalaman 20 meter hingga 200 meter dan sangat terjal. Jika dihubungkan dengan kejadian tsuami pada tahun 1992 yang mengakibatkan munculnya barrier coral reef, maka kondisi ini bisa diasumsikan bahwa telah terjadi gejala tektonik berupa patahan yang membentuk Horst dan Graben. Untuk menentukan mekanisme struktur geologi yang terjadi di Pulau Bonerate dan sekitarnya diperlukan analisis yang lebih jauh.
Folk, R.L., 1962. Spectral Subdivition of Limestone Types. In: Ham, W.E. (ed), Depositional Environments in Carbonate Rocks, A.A.P.G. Mem., v. 1, p. 62 84.
Dunham, R.J. 1962. Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Texture. in: Ham. W.E. (ed) Depositional Environments in Carbonate Rocks. Am. Ass. Petrol. Geol. Mem. 1p. 108-121
Http://www.geocities.com/museumgeologi/Geologi/tat anan.htm http://www. Oceanworld.tamu.edu/ocng_textbook Hamilton, Warren. 1979. Tectonic of the Indonesian Region. Geological Survey Professional Paper 1078. Washington: USGS Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta.
Batimetri Teluk Pising Teluk Pising yang berada di sebelah utara Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana menunjukkan bahwa perairan ini merupakan perairan yang dangkal. Kedalaman perairan dari mulut teluk hingga ke dalam adalah berkisar antara 5-30 m dan kondisi dasar laut cenderung datar. Perairan Teluk Pising ini relative tenang, karena teluk tersebut terletak pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang yang disebabkan oleh angin timur.
Koswara, A., Panggabean, H., Baharuddin dan Sukarna, D. 1994. Peta Geologi Lembar Bonerate, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Mardiana, U., Mulyo, A., 1993. Metoda Tahanan Jenis Untuk Penelitian Air Tanah. UNPAD. Bandung Shankar, K. Ravi.. 1994. Groundwater Exploration. Colombo, Sri Lanka.
Daftar Pustaka
Simanjuntak, dkk.1994. Peta Geologi Lembar Kolaka Sulawesi Tenggara 1:100000. P3G Bandung.
Anonim. 2003. Profil Banggai Kepulauan. Banggai: BAPPEDA Pemkab. Banggai Kepulauan
Sunaryo, Rachmansyah A, Sisinggih D. Penentuan Lapisan Aquifer Dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis di Desa Tempuran, Jatilangkung dan Awangawang, Kec. Pungging Mojokerto. Proceeding of Joint Convention Jakarta 2003.
Bhatt, J.J.(1978), Oceanography Exploring the Planet Ocean. Van Nostrand Company. New York Gambar atas Lokasi batimetri teluk Pising dan hasilplot dalam 2 dimensi dan 3 dimensi
Blatt Harvey. 1997. Our Geologic Environment. Hebrew University of Jerussalem. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey. Chapter 7. Bolli H.M. & Saunders J.B. 1985. Plankton Stratigraphy. 2nd Ed. Cambridge University Press, New York, U.S.A. p. 195, 201, 224.
47
48
Peneliti: 1, 1 2 3 Eko Triarso Ahmad , Tubagus Solihuddin , Rainer Arif Troa , Cecep 4 2 2 Ahmad Hatori , Utami Retno Kadarwati Gunardi Kusumah , Rizky 2 5 6 6 Anggoro Adi , Meutia Farida , Ratni Rachman , Farida Murtada 7 Zul Janwar
1) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 2) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 3) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepualauan), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 4) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena) Staf Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 5) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar 6) Peneliti Geologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Universitas Hassanuddin Makassar 7) Peneliti Geomorfologi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan
Morfologi Pantai Kompilator:
Eko Triarso Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
Gambaran Umum Geomorphologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan (landforms) yang membentuk permukaan bumi, baik yang berada di atas maupun di bawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula bentukan serta perkembangannya di masa depan (Verstappen, 1983). Menurut Sukardjo (Anonim, 1992) berdasarkan pengertian tersebut, terdapat (4) empat aspek yang menjadi kunci dalam menelaah fenomena geomorfologi, yaitu: 1. Morfologi Morfologi mempelajari aspek umum bentuklahan berupa gambaran permukaan seperti: bentuk pantai, gumuk pasir, dan sebagainya (morfografi) dan aspek kuantitatif suatu daerah seperti: kemiringan lereng, bentuk lereng, elevasi, dan sebagainya (morfometri). 2. Morfo-dinamika Mengkaji proses-proses dominan terkait yang mengakibatkan terjadinya suatu bentuklahan dan berdasarkan kajian tersebut dapat memperkirakan dinamika bentuklahan pada waktu mendatang. 3. Morfo-kronologi Perkembangan bentuklahan di bumi dikaji dari proses yang berlangsung dari segi umur relatif dan umur mutlak merupakan kajian dari morfo-kronologi. 4. Morfo-aransemen Aspek ini mempelajari tentang posisi relatif suatu bentuk lahan terhadap bentuklahan-bentuklahan lain atau lingkungannya. Berdasarkan berbagai aspek tersebut, maka dalam mengkaji suatu bentuklan di permukaan bumi berdasarkan kaidah Geomorfologi mencakup kajian tentang bentuk, ukuran, proses, perkembangan dan ketersusunannya. Kajian dalam Geomorfologi pantai dengan mendasarkan pada bentuk, ukuran, proses yang berlangsung, dan perkembangan serta ketersusunannya, maka dapat dilakukan pengelompokan pantai berdasarkan tipe-tipe pantai. Tipe-tipe pantai ini dikelompokkan berdasarkan pada proses pembentukan dan proses yang berlangsung terhadap pantai tersebut. Beberapa proses geomorfologi yang mempengaruhi morfologi suatu pantai adalah: + Proses hidro-oseanografi yang meliputi aktivitas
gelombang laut, arus laut, pasang-surut, dan arus sungai terutama di daerah muara. + Proses tektonik dan vulkanik merupakan tenaga endogen yang bekerja sebagai akibat aktifitas tektonik ataupun
pantai dibagi menjadi 5 kelompok, yakni (a) kelerengan < 2° / Datar, (b) 2° 6° / Sedang, (c) 6°12° / Curam, (d) 12°18° / Sangat Curam dan (e) >18° / Terjal. Di samping mengamati morfologi pantai, pada penelitian ini juga diamatiti fenomena-fenomena terkait yang dijumpai sepanjang pantai, seperti halnya barrier island, tombolo, sandune, laguna, gua laut, cuspate foreland, muara, atau spit. Lokasi penelitian terletak di daerah P. Bonerate, P. Kalaotoa Sulawesi Selatan; P. Kabaena, Teluk Dalam Sulawesi Tenggara; dan Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah.
Gambar samping Pantai berbatu di desa Majapahit, Pulau Bonerate
sebagai kawasan penangkapan ikan, pada daerah ini juga terdapat bangunan pantai berupa groin. Pada tipe pantai berkoral, bentuk lereng sedang dengan sudut lereng 60, lebar pantai kurang lebih 5m, batuan penyusun batugamping terumbu, material sediment berupa pasir kasar dalam jumlah sedikit dan sebagian besar adalah koral (yang telah mati), vegetasi di pantai berupa belukar dengan tinggi mencapai 1 meter, dan pepohonan dengan diameter batang mencapai 50 cm. Komponen utama batugamping disusun oleh koral masif dan cangkang yang sulit diidentifikasi. Proses morfologi pantai yang terjadi adalah abrasi, tutupan lahan berupa perkebunan dan di sekitar laut sebagai arael budidaya rumput laut.
Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah pemetaan karakteristik pantai mengacu kepada beberapa metode baku (Dolan : 1972, dst). Ruang lingkup pemetaan dibatasi oleh parameter-parameter : (1) Morfologi, (2) Material, dan (3) Proses. Pengambilan conto batuan dan sedimen pantai (beach sediment) dilakukan pada pantai-pantai yang memiliki karakteristik pantai yang berbeda satu sama lainnya. Evaluasi kualitatif potensi kawasan pesisir daerah penelitian dibuat berdasarkan kajian aspek geologi dan geomorfologi pantai seperti jenis material batuan dan sedimen, tipologi pantai, morfologi pantai, serta kondisi perairan dan parameter-parameter lain yang menunjang.
Gambar atas Peta Lokasi Penelitian
vulkanik yang dapat mempengaruhi perubahan bentuk pantai. + Proses oleh angin. Angin mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap morfologi pantai karena angin adalah tenaga (agent) pembangkit gelombang. + Pengaruh langsung tenaga angin terhadap morfologi pantai tampak pada pantai yang mempunyai material lepas-lepas seperti gumuk pasir (sand dunes) yaitu adanya ablasi.
Hasil Penelitian Geomorfologi Pantai Pulau Bonerate Berdasarkan pengamatan dan pengolahan data, jenis morfologi pantai yang dijumpai pada pantai bagian
Penelitian geomorfologi pada Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dilakukan dengan titikberat pengamatan pada tipologi pantai dengan klasifikasi berdasarkan Dolan (1972) yang membagi tipe pantai menjadi: (a) pantai berpasir, (b) pantai berbatu, (c) pantai berkoral, (d) pantai berlumpur, (e) pantai berkerikil dan (f) pantai mangrove. Sedangkan kelerengan
Barat hingga Selatan Bonerate Desa Majapahit umumnya terbagi dalam dua unit morfologi yaitu morfologi beaches dan wave cut platform (van Zuidam,1983). Tipologi pantainya dapat dibedakan dalam tiga tipe, yaitu; tipe pantai berpasir, tipe pantai berbatu seperti gambar atas dan tipe pantai berkoral. Pada morfologi beaches dengan tipe pantai berpasir, lerengnya datar dengan slope 20. Bentuk garis pantai umumnya lurus, proses morfologi pantai yang berlangsung adalah sedimentasi, dengan litologi sediment lepas berupa pasir dari skeletal berukuran sedang kasar dan pecahan cangkang yang dibawa oleh arus dan gelombang. Litologi berupa Batugamping Terumbu dan merupakan indikasi teras, tebal singkapan mencapai 2 meter, batuan ini telah mengalami abrasi mencapai 1m. Tutupan lahan terdiri dari permukiman, pelabuhan dan di sekitar laut
Pada tipe pantai berbatu, bentuk lereng terjal dengan sudut lereng >18o dengan unit morfologi pantai berupa marine wave cut platform, jika terjadi surut maksimal nampak adanya daratan yang terbentuk oleh endapan pantai akibat abrasi, bentuk garis pantai tidak teratur, litologinya berupa Batugamping Terumbu yang merupakan teras pantai yang telah mengalami proses abrasi. Material sedimen lepas berupa bongkah gamping dan batuan alas, pasir berukuran kasar halus, dan lanau. Tutupan lahan berupa permukiman, perkebunan dan di sekitar laut adalah budidaya rumput laut. Terdapat gusung pantai yang diduga terbentuk akibat gempa tektonik di Flores pada tahun 1992 berdasarkan informasi masyarakat setempat. Pantai Selatan Bonerate juga dijumpai kenampakan
Gambar samping Pantai berpasir di desa Majapahit, Pulau Bonerate
Gambar samping Pantai koral di Pulau Bonerate
51
52
Gambar samping Pantai lagun Desa Lagundi, Pulau Bonerate
disusun oleh batugamping koral. Disamping itu terjadi aktivitas pelarutan yang disebabkan oleh air hujan (fresh water). Tutupan lahan berupa perkebunan dan permukiman.
morfologi pantai berupa lagoon, daerah ini terletak pada bagian teluk Bonerate. Pantai relatif tenang (aktivitas arus kecil), proses morfologi pantai yang berlangsung adalah proses sedimentasi. Litologi sedimen lepas berupa pasir berukuran sedang halus dan lanau yang tampak seperti contoh gambar diatas. Pantai Utara Pulau Bonerate unit morfologi pantai berupa wave cut platform dan beaches dengan tipe pantai berupa pantai berbatu, pantai berkoral dan pantai berpasir dengan kelerengan terjal > 18o. Pada saat terjadi pasang maksimal akan terjadi banjir dan menutupi endapan pantai yang berada pada laut. Namun jika terjadi surut maksimal nampak adanya daratan yang terbentuk oleh endapan pantai akibat abrasi, bentuk garis pantai tidak teratur. Abrasi pantai nampak intensif dan menoreh dinding pantai yang
Ke arah Utara pantai Bonerate merupakan tipe pantai berkoral dominasi koral masif dan sebagian berpasir, unit morfologi pantai termasuk dalam unit beach, dengan bentuk lereng sedang slope 30, lebar pantai kurang lebih 10 m dengan garis pantai umumnya lurus. Sedimentasi terjadi sepanjang pantai dimana material sedimen lepas berupa; pasir berukuran kasar sedang dari hancuran skeletal dan pecahan pecahan cangkang. Proses abrasi terlihat intensif oleh aktifitas arus dan gelombang dan menoreh dinding pantai hingga 2-3 meter, singkapan berupa Batugamping terumbu, dengan tebal singkapan mencapai 4 meter. Tutupan lahan berupa perkebunan dan disekitar laut merupakan areal penangkapan ikan. Pantai Bonerate bagian Utara Desa Miantuu merupakan tipe pantai berpasir dengan unit morfologi
Gambar bawah Pantai dengan mangrove di utara P. Bonerate
SAMBALI
KAWAU
ONEMELANGKA
KALAOTOA
ONE TOMAMA
BATUPUTIH
GILI - GILI
Gambar atas Pantai Kawau, merupakan daerah budidaya rumput laut
berupa beaches, bentuk lereng datar dengan lereng kurang lebih 20, lebar pantai ± 8 meter, garis pantai umumnya lurus, sedimentasi terjadi sepanjang pantai, dimana litologi sediment lepas berupa pasir berukuran kasar halus dan lanau. Pada area ini dapat dijumpai morfologi pantai berupa gusung pantai dan tutupan vegetasi berupa mangrove. Sedangkan di sisi Selatan dan Utara pantai didominasi kenampakan sebaran permukiman dan perkebunan sebagai tutupan lahan.
dan kerikil dengan dominasi batugamping. Gusung pantai diperkirakan terbentuk bersamaan dengan terjadinya gempa tektonik di Flores tahun 1992. Tutupan lahan yang ada meliputi; permukiman dan pelabuhan nelayan. Ke arah Timur Desa Sambali terdapat teras teras pantai. Lebar pantai ± 10 meter, lereng terjal dengan slope 800, termasuk tipe pantai berbatu dengan unit morfologi pantai berupa marine wave cut platform. Abrasi terjadi pada dinding pantai hingga mencapai ± 2 meter. Dijumpai vegetasi mangrove, dan sea cave (gua laut).
Pada bagian Timur pantai Bonerate dusun Sambali termasuk tipologi pantai berpasir dengan unit morfologi beach dengan lereng kurang lebih 40, bentuk lereng sedang (Klasifikasi Dolan, 1972), lebar pantai ± 25 meter, terjadi proses sedimentasi dengan material sedimen berupa pasir berukuran kasar halus
Pulau Kalaotoa Identifikasi pantai sepanjang pesisir pulau Kalaotoa, meliputi : Batuputih, Onemelangka, Sambali, Kawau, Batubiru, Onetomama, dan Gili-gili. Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan pantai tersebut tersusun oleh material pasir yang seragam (pasir putih), dengan ukuran pasir sedang, kecuali pantai Batubiru yang terletak disebelah Barat Daya Pulau Kalaotoa, dengan kemiringan lereng pantai antara 20-60, lebar pantai antara 5-15 meter. Proses yang dominan sedimentasi,material berasal dari pecahan koran dan batuan penyusun seperti batugamping dan batupasir gampingan. Morfologi perairan (bagian dalam) relatif datar, sedangkan pada daerah bagian luar Pulau
Gambar bawah Pantai One Tomama merupakan tempat bertelur penyu
54
warna segar abu-abu kehijauan; berbutir porfiritik; bentuk butir hipidiomorf. Komposisi mineral didominasi oleh mineral olivin berwarna hijau lapuk sebagian mineral bijih berwarna hitam. Singkapan batuan telah mengalami struktur yang sangat kuat ditandai dengan banyaknya kekar-kekar pada batuan yang telah terisi oleh mineral kalsit. Proses pantai yang terjadi adalah abrasi, hal ini ditandai dengan banyakya bongkahan-bongkahan batuan hasil abrasi gelombang laut terutama pada musim angin barat. Lahan pinggir pantai ditumbuhi alang-alang dan pada kedalaman 3-4 m di bawah permukaan air laut hidup biota terumbu karang.
Gambar atas Penampang Geomorfologi P. Kabaena
Kalaotoa merupakan perairan yang curam (dalam). Pada sisi luar dijumpai barrier-barier island sebagai penahan gelombang yang menuju ke pantai. Pada bagian pantai One Tomana merupakan kawasan tempat bertelur penyu. Di beberapa kawasan pantai dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut.
Daerah karst terdapat di bagian tengah P. Kabaena, puncaknya yaitu Batu Sengia yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Batuan ini dibentuk oleh batu gamping dengan pola aliran secara umum memperlihatkan percabangan dan setempat terdapat di bawah tanah.
Pulau Kabaena Kondisi morfologi Pulau Kabaena dapat dibedakan menjadi 4 satuan geomorfologi, yaitu pegunungan, perbukitan, daerah karst dan dataran rendah. Daerah pegunungan terletak di bagian tengah Pulau Kabaena memanjang ke arah selatan, puncaknya yaitu Gunung Sambopolulu yang memiliki ketinggian hingga 1550 m di atas permukaan laut. Sungai di daerah pegunungan biasanya memiliki banyak percabangan, lembahnya curam dan berbentuk V.
Dataran rendah menempati bagian daratan dekat pantai. Satuan ini memiliki ketinggian hingga sekitar 100 m di atas permukaan laut (Gambar 3). Pola aliran sungai umumnya sejajar (pararel). Pantai Teluk Pising Pantai Teluk Pising terletak di bagian Utara daerah Penelitian mulai dari Tanjung Mangiwang (G. Utara) di sebelah Timur memanjang sampai ke Pantai Mapila (Tg. Pising) di sebelah Barat teluk. Tipologi Pantai Tanjung Mangiwang (G. Utara) adalah pantai berbatu (cliff/rocky) dan setempat terdapat pantai kantung berpasir (sandy pocket beaches). Pantai berbatu dengan material batuan beku ultramafik memiliki tebing pantai terjal dan bentang alam di bagian darat pesisirnya adalah perbukitan. Pada batuan terdapat morfologi gua pinggir pantai (ness). Deskripsi batuan beku berwarna lapuk abu-abu kehijauankehitaman,
Morfologi perbukitan terletak di bagian utara Pulau Kabaena memanjang ke arah selatan sampai perbukitan karst yang berbatasan langsung dengan G. Sambopolulu di bagian tengah P. Kabaena. Ketinggiannya berkisar antara 100 600 m di atas permukaan laut. Pola aliran umumnya memperlihatkan percabangan dengan dasar lembahnya agak datar dan memperlihatkan pengikisan ke samping lebih kuat.
55
Tipologi pantai berpasir memiliki kemiringan lereng 9º-10º, lebar paras pantai (beach face) berkisar 9-11 m. Jenis pantai ini terdapat di Pantai Tg. Mangiwang membentuk pantai kantung pasir dan Pantai Mapila (Tg. Pising). Bentang alam di bagian darat pesisir Pantai Tg. Mangiwang adalah perbukitan dengan vegetasi alang-alang, sedangkan di Pantai Mapila adalah pedataran pantai (coastal plain) yang digunakan sebagai lahan permukiman penduduk. Deskripsi material/sedimen berupa pasir berwarna putih kotor hingga kecoklatan, banyak mengandung pecahan cangkang moluska, besar butir haluskasar, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, pemilahan sedang-buruk. Proses pantai yang terjadi adalah pantai stabil. Tipologi pantai mangrove menempati bagian dalam teluk, terutama di daerah muara sungai. Material penyusun jenis pantai ini adalah endapan aluvium berupa lumpur berwarna abu-abu tua hingga hitam pekat; banyak mengandung sisa tumbuhan, besar butir lanau-pasir halus. Kondisi mangrove umumnya baik, proses pantai stabil. Pantai Malandahi Pantai Malandahi terbentang mulai dari Tg. Pising Tg. Orobero Tg. Malandahi Teluk Malandahi Tg. Lassisie Labota. Tipologi Patai Malandahi umumnya pantai berpasir, kecuali di Teluk Malandahi adalah pantai mangrove. Pantai berpasir memiliki kemiringan lereng 10 12, lebar paras pantai berkisar 9,5 11m, morfologi pinggir pantai adalah pedataran pantai yang sebagian besar ditumbuhi alang-alang dan bagian lahan lain digunakan penduduk transmigran untuk berkebun. Material sedimen pinggir pantai
Gambar atas Tipologi Pantai Cliff/berbatu di Teluk Pising
Gambar atas Tipologi Pantai Kantung Berpasir Tg. Mangiwang
Gambar atas Tipologi Pantai Berpasir Pantai Mapila (Tg. Pising)
56
adalah pasir hasil rombakan terumbu koral. Deskripsi pasir berwarna putih kekuningan hingga kuning pucat, banyak mengandung mineral terang dan pecahan cangkang moluska, besar butir haluskasar, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, pemilahan buruk. Proses pantai stabil. Biota yang tumbuh adalah padang lamun dan terumbu koral di zona nearshore. Pantai mangrove menempati bagian dalam Teluk Malandahi. Litologi penyusun jenis pantai ini adalah lumpur yang terperangkap di akar-akar mangrove. Deskripsi lumpur berwarna hitam pekat, bertekstur halus berupa lanau dan pasir sangat halus. Diperkirakan lumpur tersebut berasal dari aluvium sungai.
Gambar atas Pedataran pantai (coastal plain) di Pantai Malandahi
Pantai Teluk Lawoto Pantai Teluk Lawoto menempati bagian dalam kawasan Teluk Lawoto memanjang ke arah selatan sampai dengan Pantai Tanjung Melate. Tipologi pantai daerah ini sebagian besar adalah pantai mangrove dan hanya sebagian kecil saja pantai berpasir. Litologi penyusun jenis pantai mangrove adalah lumpur yang terperangkap di bagian akar-akar mangrove. Deskripsi lumpur berwarna kelabu tua kelabu kehitaman, material pembentuknya adalah campuran lempung lanau sampai pasir sangat halus, banyak mengandung sisa tumbuhan. Bentukan morfologi pinggir pantai adalah pedataran pantai yang dimanfaatkan penduduk untuk perkebunan dan kolam ikan, sebagian lagi ditumbuhi oleh alang-alang.
Gambar atas Pedataran pantai (coastal plain) di Pantai Malandahi
Di bagian depan teluk yang bermuara sungai-sungai besar terbentuk pulau penghalang (barrier island) yaitu Pulau Bangko, Pulau Baliara dan Pulau Talinga. Material penyusun pulau penghalang ini sebagian besar adalah aluvium sungai bertekstur halus dengan fragmen batuan berwarna putih berukuran kerikil hingga kerakal dan cangkang-cangkang moluska, sebagian lagi adalah terumbu koral dan pasir berwarna putih kekuningan hingga kuning pucat. Tipologi pantai yang menyusun pulau penghalang tersebut sebagian besar adalah pantai mangrove, setempat terdapat pantai berpasir dijumpai di pulau bangko darat dengan sebaran yang tidak begitu luas dan tidak dapat dipetakan (not mapable). Gambar atas Tipologi pantai berpasir hasil rombakan Terumbu Koral di Pantai Malandahi
57
Pantai Tanjung Melate Tipologi pantai terdiri dari Pantai Berpasir dan Pantai Mangrove. Pantai berpasir terletak di Tanjung Melate
Gambar atas Aktivitas Penggalian Pasir Pantai Oleh Penduduk di Sekitar Tg.Perak
dengan lebar paras pantai (beach face) rata-rata 11 m, kemiringan lereng pantai (beach slope) berkisar 8° 9°. Bentukan morfologi pinggir pantai adalah pedataran pantai yang dimanfaatkan penduduk untuk perkebunan dan permukiman. Selain itu, pedataran pantai Tanjung Melate juga dimanfaatkan penduduk untuk tambak udang. Pemanfaatan tersebut masih menyisakan mangrove yang cukup lebat di sekeliling mereka. Secara megaskopis material/sedimen pinggir pantai berupa pasir berwarna putih kecoklatan hingga kemerahan; besar butir haluskasar; bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, terpilah buruk; banyak mengandung pecahan cangkang moluska. Proses pantai relatif stabil terhadap hempasan gelombang.
Gambar atas Tipologi Pantai Berpasir dijumpai di Sekitar Tanjung Perak
Pantai mangrove terletak di selatan Pantai Tanjung Melate sampai Pantai Baliara. Litologi penyusun jenis pantai mangrove adalah lumpur. Deskripsi lumpur berwarna kelabu tua kelabu kehitaman, material pembentuknya adalah campuran lempung lanau sampai pasir sangat halus, banyak mengandung sisa tumbuhan. Bentukan morfologi pinggir pantai adalah pedataran pantai (coastal plain) yang dimanfaatkan penduduk untuk perkebunan jambu mete, kelapa dan sebagian lagi ditumbuhi oleh rumput alang-alang. Pantai Tanjung Perak Kawasan Pantai Tanjung Perak terbentang mulai dari Pantai Baliara Pantai Sikeli Tanjung Perak sampai
Gambar atas Tipologi Pantai Berpasir dengan Beach slope yang Cukup Tinggi
58
Bentukan morfologi pinggir pantai adalah pedataran pantai yang dimanfaatkan penduduk untuk permukiman dan lahan perkebunan kelapa, setempat terdapat juga bangunan struktur pantai berupa pelabuhan/dermaga baik kapal penumpang maupun kapal niaga yang terletak di Tanjung Perak Desa Sikeli.
muara Sungai Salo Bonda termasuk di dalamnya Pantai Pulau Mataha dan Pantai Pulau Sagori. Lebar paras pantai berkisar antara 4-9,5 m, kemiringan lereng pantai berkisar 12°-16°. Pantai yang memiliki lebar paras pantai di bawah 6 m dan kemiringan lereng pantai 16° terjadi proses abrasi, hal tersebut ditandai dengan terbentuknya morfologi gawir abrasi (beach scarp) pada paras pantai hingga ketinggian ± 1m, proses tersebut terjadi di pantai Tanjung Perak sampai muara Sungai Lakampula. Proses abrasi terkuat terjadi di Tanjung Perak, berdasarkan informasi penduduk, telah terjadi kemunduran garis pantai di Tanjung Perak dari tahun 1982 hingga sekarang ± 100 m. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan, secara geologis proses abrasi yang kuat terjadi karena resistensi material/sedimen pinggir pantai rendah, karena batuan dasarnya adalah batupasir yang belum terkompaksi dengan kuat, sehingga batuan tersebut memiliki sifat kekerasan getas.
Secara megaskopis, material/sedimen berupa pasir berwarna abu-abu hingga abu-abu kehitaman, besar butir halussedang, bentuk butir membundar tanggung membundar, pemilahan sedang buruk, banyak mengandung mineral mafik dan juga pecahan cangkang moluska., diduga endapan pasir ini merupakan hasil rombakan dari batupasir Formasi Langkowala (T.O. Simandjuntak, Surono dan Sukido, 1993) Pulau Mataha Tipologi Pantai Pulau Mataha adalah pantai berpasir, setempat terdapat juga pantai berbatu. Lebar paras pantai 10-15 m, kemiringan lereng pantai 8°-12°. Material sedimen penyusun pantai ini adalah pasir berwarna putih kotor hingga kecoklatan, banyak mengandung pecahan cangkang moluska, besar butir kasar hingga halus, bentuk butir menyudut hingga meyudut tanggung, terpilah sedang sampai buruk. Proses pantai yang terjadi adalah pantai stabil. Terumbu koral yang tumbuh di sekitar pulau kondisinya sudah rusak karena dibom oleh penduduk setempat untuk mendapatkan ikan dan untuk diambil karangnya untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Vegetasi yang tumbuh di pulau adalah alang-alang, bakau, cemara dan lain-lain. Material batuan pembentuk pantai berbatu di daerah ini adalah terumbu koral berwarna lapuk coklat kehitaman warna segar putih kotor; keras, padat, karbonatan, tersingkap secara setempat-setempat di Pulau Mataha membentuk tipologi pantai berbatu dengan panjang singkapan hingga 50 m.
Secara geografis, Pantai Tanjung Perak merupakan perairan terbuka yang langsung berhadapan dengan gelombang laut yang kuat terutama pada musim angin barat. Selain itu, terjadinya proses abrasi yang kuat disebabkan pula oleh adanya pembukaan lahan mangrove dan intensifnya penggalian pasir pantai oleh penduduk sekitar, sehingga resistensi garis pantai menurun dan mudah tererosi. Salah satu usaha penduduk untuk mengendalikan erosi di daerah tersebut dilakukan dengan memasang groin yang terbuat dari tiang-tiang kayu yang membentuk pagar dan pasangi jaring untuk memerangkap sedimen. Beberapa groin juga dibuat dari tumpukan batu-batu karang.sekitar 100 m ke arah laut.
Pulau Sagori Penyusun utama Pantai Pulau Sagori adalah pasir dengan lebar paras pantainya 6,5-10 m, kemiringan lereng pantai 11°-17°. Secara megaskopis,
Gambar atas Vegetasi Pohon Cemara di Pulau Sagori
material/sedimen penyusun pantai ini adalah pasir berwarna putih kotor hingga kecokelatan, banyak mengandung pecahan cangkang moluska, besar butir halus hingga sedang, bentuk butir menyudut tanggung hingga membundar tanggung, terpilah sedang sampai buruk. Pantai relatif stabil terhadap hempasan gelombang. Terumbu koral yang tumbuh di sekitar pulau ( 200m dari garis pantai) kondisinya masih baik dan ada indikasi membentuk atoll (cincin koral). Vegetasi yang tumbuh di sekitar pantai adalah cemara. Pedataran pantai (coastal plain) dimanfaatkan penduduk sebagai lahan permukiman, di sini dikembangkan pula budidaya rumput laut oleh penduduk namun hasilnya kurang memuaskan. Pulau ini potensial untuk dijadikan tempat pariwisata bahari, karena memiliki panorama yang cukup indah, hanya saja tidak tersedianya air tawar di pulau ini akan menjadi kendala yang serius apabila akan dikembangkan menjadi tempat pariwisata.
Tipologi pantai berupa pantai bertebing (Foto 26 & 27), bentuk lereng pantai terjal, dengan sudut kelerengan lebih dari 18o (Klasifikasi Dolan, 1972). Memiliki pantai yang sempit berkisar antara 1-3 m. Vegetasi didominasi oleh mangrove. Terumbu karang hadir dengan kondisi cukup bagus, dimanfaatkan sebagai lahan budidaya kerang mutiara.
Kepulauan Bangai Kawasan pantai Teluk Dalam menempati wilayah pantai barat dari jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Gambar samping Gawir Abrasi (beach Scarp) Akibat Hempasan Gelombang di Tg. Perak Gambar samping Lahan budidaya kerang mutiara di kawasan Pantai Teluk Dalam
59
60
61 Tabel Evaluasi Potensi Geologi Kawasan Pantai Pulau Kabaena Bagian Barat Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara
Gambar atas Peta Karakteristik Pantai Pulau Kabaena Bagian Barat Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara
62
Pantai Banggai menempati wilayah pantai Barat dari Pulau Banggai. Tipologi pantai secara setempat berupa pantai bertebing, bentuk lereng pantai terjal, dengan sudut kelerengan lebih dari 18o. Memiliki pantai yang sempit berkisar antara 3-5 m. Litologi berupa batugamping yang memiliki rekahan dan beberapa diantaranya membentuk gua laut. Status pantai untuk pemukiman dan pelabuhan. Dampak pengembangan terutama terlihat di dekat lokasi pelabuhan, yaitu pencemaran air laut akibat limbah kapal (sisa-sisa oli dan sampah kapal). Pulau Bokan Kawasan pantai Bungin menempati wilayah pantai Barat dari Pulau Bokan. Bungin merupakan ibukota dari kecamatan Bokan Kepulauan. Kawasan ini merupakan pusat aktifitas pemerintahan dan kegiatan masyarakat setempat. Untuk pantai Bungin ini, berdasarkan pengamatan di lapangan, memiliki tipologi pantai berupa pantai berpasir, bentuk lereng pantai datar, dengan sudut kelerengan kurang dari 2o. Bentuk garis pantai relatif lurus dan memiliki lebar pantai berkisar antara 7-10 m. Material penyusun pantai berupa pasir bercampur butiran hasil lapukan batuan yang berasal dari singkapan batuan ataupun daratan di belakang pantai. Pasir berwarna putih kotor dengan pencampur butiran-butiran pasir berwarna kemerahan, bersifat gampingan, berukuran pasir halus hingga pasir sedang. Status pantai adalah pemukiman dan untuk budidaya rumput laut. Bangunan pantai berupa jetti. Vegetasi didominasi oleh lamun dan mangrove.
Gambar atas Tipologi pantai bertebing di Pulau Banggai
Koswara, A., Panggabean, H., Baharuddin dan Sukarna, D. 1994. Peta Geologi Lembar Bonerate, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Simanjuntak, dkk.1994. Peta Geologi Lembar Kolaka Sulawesi Tenggara 1:100000. P3G Bandung. Sumampouw, S.N, dkk.. 2000. Ekosistem Pantai. Karakteristik Morfologi Pantai Banten Dan Pengaruhnya Terhadap Penyebaran Benthos. Departemen Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia dan Jurusan Geografi universitas Indonesia, Jakarta.
Daftar Pustaka Anonim. 2003. Profil Banggai Kepulauan. Banggai: BAPPEDA Pemkab. Banggai Kepulauan Anonim, 1992, Diktat Kuliah Geomorfologi, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyarkarta
Strahler, Arthur, N, 1965, Introduction to Physical Geography, John Wley & Sons. Inc., New York
Bhatt, J.J.(1978), Oceanography Exploring the Planet Ocean. Van Nostrand Company. New York
van Zuidam dan Robert, A. 1983. Aerial PhotoInterpretation In Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. Smith Publishers The Hague. Nederland.
Blatt Harvey. 1997. Our Geologic Environment. Hebrew University of Jerussalem. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey. Chapter 7.
Verstappen, H.Th, 1983, Applied Geomorphology, ITC, Enschede The Netherland
Darman, Herman & F. Hasan Sidi. 2000. An outline of The Geology of Indonesia. Jakarta: IAGI Gambar atas Status pantai di Pulau Bokan untuk pemukiman dan pelabuhan
Pulau Labobo Pulau Labobo terletak di sebelah Baratlaut Pulau Bokan dan di sebelah barat daya Pulau Banggai dengan tipologi pantai berupa pantai bertebing, memiliki bentuk lereng pantai terjal, dengan sudut kelerengan lebih dari 18o. Memiliki lebar pantai berkisar antara 5-8 m. Material penyusun pantai terdiri dari material rombakan granit dan pasir lepas bercampur butiran halus hasil lapukan granit. Pasir berwarna putih kotor dengan pencampur butiranbutiran pasir berwarna kemerahan, bersifat gampingan, berukuran pasir halus hingga pasir sedang. Status pantai adalah untuk pemukiman dan budidaya rumput laut. Bangunan pantai berupa jetti. Vegetasi didominasi oleh mangrove.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta.
Pulau Sonit Pulau Sonit merupakan salah satu pulau yang terkecil dari Kepulauan Bokan. Terletak di sebelah Timurlaut Pulau Bokan, memiliki bentuk lereng pantai datar, dengan sudut kelerengan kurang dari 2o (Klasifikasi Dolan, 1972). Tipologi pantai adalah pantai berpasir yang memiliki lebar pantai berkisar antara 10 15 m (Foto 42 & 43). Material penyusun pantai berupa pasir lepas. Pasir berwarna putih, bersifat gampingan, berukuran pasir halus hingga pasir kasar. Status pantai adalah untuk pemukiman dan budidaya rumput laut (Foto 44). Vegetasi didominasi oleh mangrove.
Dunham, R.J. 1962. Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Texture. in: Ham. W.E. (ed) Depositional Environments in Carbonate Rocks. Am. Ass. Petrol. Geol. Mem. 1p. 108-121 Embry, A.F. & Klovan, J.E.1971. A Late Devonian Reef Tract on Northeastern Bank Island. Northwest Territories. Canadian Petroleum Geologist. Bulletin. 19p. 730781. Folk, R.L., 1962. Spectral Subdivition of Limestone Types. In: Ham, W.E. (ed), Depositional Environments in Carbonate Rocks, A.A.P.G. Mem., v. 1, p. 62 84. http://www. oceanworld.tamu.edu/ocng_textbook
Gambar atas Tipologi Pantai Berpasir Pantai Mapila (Tg. Pising)
63
Hamilton, Warren. 1979. Tectonic of the Indonesian Region. Geological Survey Professional Paper 1078. Washington: USGS
64
Peneliti: Triyono1a, Abdi Tunggal Priyanto1b,Yulius2a, Teddy Asikin2b, 3a 3b Ifan Ridlo Suhelmi , Arief Miftahul Azis . 1a) Peneliti Toponimi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 1b) Peneliti Toponimi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 2a) Peneliti Toponimi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 2b) Peneliti Toponimi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 3a) Peneliti Toponimi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepulauan), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 3b) Peneliti Toponimi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepulauan), Staf Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
Toponimi Pulau Kompilator:
Triyono Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki daftar resmi tentang pulau-pulau. Pada tahun 1972, LIPI mempublikasikan 6.127 nama-nama pulau. Tahun 1987, Pussurta ABRI mencatat 5.707 namanama pulau, dan pada tahun 1992, Bakosurtanal menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia sebanyak 6.489 pulau yang bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Jumlah pulau yang dikeluarkan tiga instansi tersebut sebagian besar merupakan hasil penghitungan berdasarkan pembacaan peta. Penelitian Coremap tahun 2001 melalui penghitungan hasil intepretasi citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 pulau. Data hasil Coremap ini tanpa menyebutkan data pulau yang bernama maupun tidak bernama. Hasil pendataan pulau yang dilakukan oleh Ditjen P3K DKP tahun 2004 melalui korespondensi dengan pemerintah daerah menyebutkan bahwa jumlah pulau yang bernama sebanyak 5.474 dan tidak bernama 12.025. Sedangkan data yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri juga menggunakan metode korespondensi dengan pemerintah daerah tahun 2004 adalah 7.870 pulau bernama dan 9.634 pulau yang tak bernama. Memperhatikan perbedaan-perbedaan data tentang pulau di Indonesia di atas, mengarah pada suatu kemungkinankemungkinan permasalahan pendataan pulau di Indonesia (1) belum dilaksanakannya prosedur baku pendataan pulau secara efektif, (2) pendataan belum dilakukan secara sistematis (3) kelembagaan dalam kaitannya pendataan pulau belum berjalan secara optimal, (4) penerapan standar basisdata pulau belum berjalan dengan baik, atau (5) sumberdaya manusia yang dilibatkan dalam pendataan pulau belum memiliki kemampuan yang memadai Toponimi salah satu cabang ilmu kebumian yang mengkaji dan mempelajari permasalahan penamaan unsur geografi baik buatan alam maupun manusia. Ilmu ini menjadi penting sejak peta bertindak sebagai media komunikasi antar bangsa. Selain mempelajari masalah nama, ilmu ini juga mengkaji pembakuan penulisan, ejaan, pengucapan (fonetik), sejarah penamaan, serta korelasi nama dengan kondisi alam atau sumberdaya yang dimiliki sebuah unsur geografi. Toponimi yang juga sering dikenal sebagai ilmu penamaan unsur geografis, dalam kajiannya menghasilkan daftar nama geografi atau disebut gasetir. Setiap negara berhak dan wajib menerbitkan dan melaporkan gasetir ini kepada dunia
Gambar samping GPS (Global Positioning System) adalah alat utama yang diperlukan dalam melakukan survei Toponimi
Memperhatikan kaidah-kaidah tersebut di atas, ada penekanan yang jelas bahwa pendataan nama pulau dilakukan secara langsung di lapangan melalui kegiatan survei bukan sekedar pekerjaan di belakang meja. Penekanan lebih lanjut adalah adanya penghargaan yang tinggi terhadap budaya dan kearifan masyarakat setempat dan sekitar pulau dengan memberikan prioritas untuk memberikan nama. Hal ini berdampak positif pada rasa memiliki, sehingga masyarakat memiliki kepentingan untuk menjaga sumberdaya yang ada.
utama dimaksudkan adalah data tentang nama pulau yang diperoleh melalui wawancara dengan penduduk, pejabat setempat (kepala desa, camat), kepala adat/tetua dan dinas terkait. Pendataan nama difokuskan pada asal-usul atau sejarah nama, perubahan nama yang pernah terjadi dan kapan, penulisan nama dan pengucapan nama. Data utama selanjutnya adalah posisi geografis pulau yang diukur dengan GPS. Pengukuran koordinat pulau idealnya dilakukan pada posisi sekitar benchmark seperti titik kontrol geodesi, bangunan suar, gedung pemerintah, bangunan ibadah atau lainnya yang bersifat tetap dan khas di pulau tersebut.
Survei toponim pulau dilakukan dengan mendatangi setiap pulau yang ada. Pendataan data kegiatan ini meliputi (1) data utama dan (2) data pelengkap. Data Gambar atas Pulau Batu di Kab. Selayar yang memenuhi kriteria UNCLOS 1982 sebagai sebuah pulau, yaitu daerah daratan yang terbentuk secara alami dikelililingi oleh air dan ada di atas permukaan air pada saat air pasang.
Gambar bawah Buku Panduan Survey Toponim Pulau-Pulau di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusriswilnon - BRKP
menyatakan bahwa Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alami dikelililingi oleh air dan ada di atas permukaan air pada saat air pasang .
internasional, sebagai salah bukti daftar inventaris kondisi geografi di wilayah kedaulatannya. Buku daftar pulau-pulau Indonesia masih dalam kondisi perlu penyempurnaan yang cukup mendasar. Dalam kaitannya mengadministrasi wilayah kedaulatan NKRI, Indonesia memiliki kepentingan untuk segera melaksanakan;
Sedangkan data pelengkap meliputi: a. Kondisi Fisik Pulau Data kondisi fisik pulau difokuskan pada pendataan karakteristik pantai dan vegetasi dominan b. Infrastruktur Pulau Jenis data ini mencakup keberadaan dermaga, tempat pelelangan ikan, jalan, sarana pendidikan, gedung pelayanan masyarakat, jaringan listrik, serta jaringan komunikasi di pulau c. Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi yang utama adalah informasi mengenai apakah pulau tersebut berpenduduk atau tidak, lebih ideal dilengkapi dengan data demografi dan jenis mata pencaharian utama penduduk pulau d. Sosial Budaya Data sosial budaya dimaksudkan data adat istiadat, asal penduduk, suku yang menghuni pulau
Hasil kajian selanjutnya adalah Buku Panduan Survey Toponim Pulau Pulau di Indonesia yang diterbitkan secara resmi pada tahun 2003. Panduan ini disusun berdasarkan Resolusi United Nations Coference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) No. 4 tahun 1967, sebagai berikut:
1. pembakuan tulisan dan ejaan nama pulau, 2. menerbitkan daftar resmi nama-nama pulau di Indonesia serta 3. menyusun prosedur pemberian, perubahan dan penghapusan nama pulau.
1. Nama pulau hanya dapat diberikan oleh penduduk setempat atau masyarakat yang memiliki aktivitas rutin di sekitar pulau, minimal 3 orang yang dianggap mengetahui sejarah pulau tersebut. 2. Dicatat posisi geografis dan wilayah administrasi pulau tersebut 3. Ucapan (fonetik) lokal dari nama pulau direkam dalam tape dan ejaan penulisan nama dikonsultasikan dengan masyarakat setempat 4. Hasil survei secara keseluruhan disampaikan kepada masyarakat dan aparat setempat untuk mendapatkan persetujuan
Kondisi ini menjadikan kegiatan survei toponim pulau mendesak untuk dilakukan. Kelompok Kerja Toponim Pulau membahas secara intensif prosedur penamaan pulau dengan didasarkan pada kaidah-kaidah internasional yang telah ditetapkan oleh PBB. Sejak awal telah disepakati bahwa definisi pulau mengacu pada ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang
67
Data utama dan pelengkap ini direkam dan dicatat dalam suatu tabulasi yang telah disusun secara sistematis untuk diolah dalam format basisdata sebagai dasar penyusunan daftar nama pulau.
68
Gambar samping Pulau Mataha yang sempat dikunjungi oleh tim Toponimi Leg 2
Endapan airborne berupa tuff yang mengisi dijumpai pada sebagian pantai di pulau-pulau bagian timur daerah penelitian. Secara umum, pantai-pantai di daerah penelitian mempunyai tipe pantai berpasir putih. Tipe pantai bertebing terjal biasanya terdapat pada pulau-pulau yang berhadapan langsung dengan perairan, dalam arti tidak ada pulau lainnya di depannya yang berfungsi sebagai barrier dan pulau-pulau yang bermaterikan batuan beku. Pada perairan dangkal dimana sinar matahari dapat menembus ke kedalaman perairan, tumbuh berbagai macam karang dengan ikan-ikan yang mengisi habitat karang tersebut. Seperti kawasan Takabonerate misalnya, luasnya karang-karang di dasar perairan menciptakan fenomena underwater feature yang menarik bahkan tidak ditemukan di tempat lain, sudah jamak bila kawasan ini sebagian besar merupakan kawasan konservasi dan wisata bahari.
Gambaran Umum Survei toponim pulau merupakan salah satu kegiatan dalam Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dengan daerah survei: (1) Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, Survei toponim pulau dilakukan di pulau-pulau sekitar gugusan Bonerate Kalaotoa, Tanajampea, dan Takabonerate. Menurut daftar pulau Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, pulau-pulau di kawasan ini berjumlah 60 (enam puluh) buah.
Sulawesi Tenggara yang mempunyai budaya merantau dan melaut sangat kuat. Tak heran jika sebagian besar penduduk daerah penelitian merupakan orang-orang yang bersuku Selayar, Makasar, Buton, Bugis, Bajo, dan Bonerate. Jumlah penduduk Kabupaten Selayar dapat dilihat pada tabel dibawah;
penyusun, dengan dijumpainya singkapan hingga 50 meter. Tipe pantai bermangrove terdapat di P. Duddu, P. Telinga, dan P. Bangko. Di Pulau Kokoi, pantai bermangrove bahkan berselingan dengan tipe pantai bertebing curam. Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah Topografi pulau-pulau di Kec. Bokan Kepulauan hampir seluruhnya adalah dataran rendah. Luas daratan seluruh kecamatan adalah 22.908 Ha. Kemiringan lahan antara 0-120 mencapai 26,9%, 12-150 sebesar 25,7% dan 15-400 sebesar 33,8%. Ketinggian lahan antara 0-100m dpl sebesar 90%, 100-500 m dpl 7,47% dan 500-1000m dpl sebesar 1,6%. Tipe pantai yang terbentuk adalah pantai berpasir dari rombakan koral, pantai bertebing curam (batu gamping), pantai bermangrove, pantai landai berbatu.
Meskipun daerah penelitian merupakan kawasan pulau-pulau dengan perairan yang mempunyai potensi perikanan besar, namun tidak semua penduduk pulau mempunyai mata pencaharian berbasis perikanan. Penduduk Pulau Bonerate
Kondisi Sosial-Ekonomi Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan Kondisi sosial penduduk daerah penelitian merupakan penduduk migrasi asal daerah di bagian utaranya, yaitu Selayar, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan
Kabupaten Bombana dan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur, secara regional dataran pesisir Pulau Kabaena termasuk ke dalam mandala geologi Sulawesi Timur yang dicirikan oleh gabungan batuan ultramafik, mafik dan malihan. Batuan tertua mendala geologi Sulawesi Timur adalah batuan ultramafik yang merupakan batuan alas. Batuan ultramafik terdiri dari peridotit, serpentinit, diorit, wherlit, harzburgit, gabro, basal, mafik malih dan magnetit. Umur batuan ini diduga Kapur. Batuan malihan yang disebut Kompleks Pompangeo dikuasai oleh berbagai jenis sekis dan sedimen malih. Selain itu terdapat serpentinit dan sekis glaukofan. Diperkirakan batuan ini terbentuk dalam lajur penunjaman benioff pada akhir Kapur Awal hingga Paleogen (Simandjuntak, 1986, dan Simandjuntak, et.al, 1993). Satuan batuan termuda di daerah ini adalah endapan sungai, rawa dan kolovium.
(2) Kabupaten Bombana dan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Pulau-pulau yang direncanakan disurvei adalah 16 (enam belas) pulau, berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. (3) Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Banggai Kepulauan, seluruh Kabupaten Bangkep mempunyai 121 (seratus duapuluh satu pulau).
Kondisi Fisik Umum Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan Batuan penyusun pulau sebagian besar berupa batu gamping yang terlapuk sebagian besar menghasilkan tanah-tanah tipis yang hanya dapat ditumbuhi oleh vegetasi perintis dan vegetasi tahan kekurangan air seperti kelapa. Terkecuali untuk pulau-pulau di kawasan Pulau Tanajampea yang sebagian besar pulaunya bermaterikan batuan beku. Bahkan di Pulau Bembe ditemukan berbagai macam batu granit.
Gambar bawah Upacara Mataguri yang merupakan ritual tradisional penduduk Bonerate untuk meluncurkan kapal baru.
Tipe pantai berbatu terdapat di P. Damalawa, P. Sagori dan P. Mataha. Tipe pantai berpasir berteras koral di P. Mataha bahkan masih menampakkan karakter batuan
69
70
Gambar samping Sekelompok generasi penerus nelayan tengah bergaul dengan air yang menjadi sahabat sekaligus sumber hidup mereka.
Pada tahun 2002 penduduk Kabupaten Banggai Kepulauan berjumlah 146.748 jiwa dengan rincian laki-laki 74.577 jiwa dan perempuan 72.171 jiwa. Kepadatan penduduk 895 jiwa per Desa, 46 jiwa per Km2 dan 4 jiwa per rumah tangga. Sebagian besar penduduk bergerak dalam bidang usaha pertanian tanaman pangan dan palawija, peternakan, perikanan, perdagangan dan industri. Dalam bidang pendidikan, penduduk usia 10 tahun keatas yang telah menamatkan pendidikan SD 57.148 orang, SLTP 14.210 orang, SMU 6.832 orang, SMK 1.764 orang, Akademi/Diploma 609 orang, dan Universitas 420 orang.
mempunyai mata pencaharaian utama sebagai pembuat kapal tradisional, penduduk Pulau Kalaotoa sebagian besar merupakan petani kopra, penduduk kawasan Takabonerate hampir semuanya nelayan, dan penduduk di pulau Selayar mempunyai keragaman tinggi dalam jenis mata pencaharian (dari nelayan, petani, hingga pedagang). Kabupaten Bombana dan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara Kondisi sosial ekonomi penduduk daerah penelitian Pulau Kabaena umumnya terdapat 2 mata pencaharian utama dari penduduk pulau ini yaitu sebagai nelayan dan petani.
Metodologi Penelitian Penelitian toponim pulau dilakukan dengan cara survai lapangan, yaitu dengan mendatangi langsung obyek penelitian (dalam hal ini pulau) untuk mengukur parameter yang telah ditetapkan. Obyek penelitian terdiri dari dua macam, yaitu (1) Pulau Bernama, dan (2) Pulau Belum Bernama.
Penduduk Kabaena (pesisir) merupakan penduduk migrasi yang didominasi oleh suku Makasar, Selayar, Buton, Bajo, dan Bugis. Mereka adalah nelayan yang tangguh dengan hasil laut: Ikan, kepiting, dan rumput laut. Di wilayah pegunungan , sebagian besar dikenal dengan nama suku Moronene suku asli Pulau Kabaena yang bermata pencaharian sebagai petani dengan hasil: kelapa, kakao, cengkeh, gula, dan kacang mete; sedangkan hasil ternak berupa sapi dan kambing.
Tabel Waktu dan Lokasi Survei Toponim di Ekspedisi Wallacea
Untuk lebih jelasnya, pada halaman-halaman berikutnya telah dibuat tabel tentang pulau yang disurvei, karakter, koordinat dan perbandingan antara data yang didapat saat survei dengan data sekunder.
Teknik survei yang digunakan adalah purposif sampling, yaitu melakukan pengukuran dan pengamatan terhadap parameter penelitian pada obyek yang telah ditentukan atau ditetapkan melalui survai (yaitu mendatangi pulau).
Untuk detail jumlah penduduk dan luas wilayah masing-masing kecamatan di Pulau Kabaena dapat dilihat pada tabel dibawah ini;
Sekolah Menengah Pertama dan 2 Sekolah Menegah Atas, 2 Puskesmas dan 10 Puskesmas Pembantu, 10 wartel satelit, 2 unit telepon satelit bantuan yang di tempatkan di Desa Baliara dan Desa Sikeli. Terdapat 3 pasar besar di pulau Kabaena yaitu di desa Pongkalaero, Desa Batuawu dan Desa sikeli. Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah Kabupaten Banggai Kepulauan berpenduduk dengan beragam suku, diantaranya yang dominan adalah: ¡ Suku Banggai, Balantak, dan Saluan (Babasal) yang merupakan suku asli di wilayah ini. ¡ Suku Bajo, berdiam di atas batu-batu karang atau rumah panggung di atas laut, merupakan suku yang mata pencaharian utamanya sebagai nelayan. ¡ Suku Bugis, Buton, Gorontalo merupakan suku pendatang yang sudah menetap dan menjadi bagian dari penduduk asli.
Pulau Kabaena belum memiliki infrastruktur yang baik. Jalan utama yang menghubungkan antar kecamatan sangat jelek dan rusak, bahkan di beberapa ruas jalan sangat rusak dan sulit dilalui. Fasilitas penerangan atau listrik di pulau ini dari PLN dengan pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Fasilitas umum yang ada meliputi 31 Sekolah Dasar, 7
71
Sejarah Pulau, Penghunian dan Penamaan Sejarah kedatangan penduduk pulau banyak berorientasi dari Utara ke Selatan, yaitu dari Pulau Sulawesi ke pulau-pulau kecil di daerah penelitian. Kedatangan mereka adalah dalam rangka singgah dalam perjalanan untuk berdagang di Nusatenggara, Bali dan Jawa. Hal lain yang menjadi pendorong adanya 'migrasi' ke arah Selatan ini adalah gemar merantau.
Kegiatan pegambilan data lapangan dilakukan dengan metode wawancara, pengamatan lingkungan berdasarkan daftar isian data, dan pengukuran posisi dengan GPS (Global Positioning System).
Lokasi Penelitian Rute Survei Perjalanan survei dilakukan dengan waktu dan lokasi bisa dilihat dalam tabel diatas.
Hasil Penelitian Koordinat Pulau, Karakter, dan Potensinya Pengukuran posisi pulau dilakukan secara manual dengan GPS.
Gambar samping Tim Toponimi juga melakukan diskusi dengan penduduk lokal untuk mendapatkan data-data lain seperti; sejarah, etnis, budaya dan lainnya terutama tentang keberadaan pulau lain disekitar lokasi.
72
73 74
Laut
22
Rajuni
Sangisangiang Takabonerate
Tambuna Besar
Tambuna Kecil
Tanajampea
Tarupa Besar
30
31 32
33
34
35
36
Raja
Latondu Kecil
21
29
Latondu Besar
20
Pulasi
Lantigiang
19
28
Kayupangang
18
Pasitelu
Nama
No
27
Kayubulang
17
Panjang
Kayuadi
16
26
Katella
15
Lima
Karompacadi
14
Miong Nambolaki
Kakabia
13
24 25
Jinatu
12
23
Bungikarnasi
Tangga
7
11
Selayar
6
Bungibele
Madu
5
10
Karompalopo
4
Bonerate
Kalaotoa
3
9
Kalao
2
Bimbe
Jailamu
1
8
Nama
No
Tarupa Besar
Tanajampea (dulu:Paklaorang kemudian menjadi Jampea)
Tambuna Kecil
Tambuna Besar
Takabonerate
Sangiang
Rajuni Besar
Raja
Polassi
Pasitellu/Pasitallu
Panjang
Miong Nambolaki
Lima
Laut
Latondo Kecil
Latondo Besar
Lentigiang
Kayupanga
Nama Lokal
Kayubulang
Kayuadi
Katella
Karompacaddi/ Karoumpa Kiddi
Kabikabian
Jinato
Bungikamasi
Bongimbelle
Bonerate
Bembe
Tanga
Selayar (dulu:Japinga)
06
Dari nama orang: Bulang
06
Berupa-rupa hasil laut
01
07
28
05
00
07
07
41
07
07 06
34
06
32
41
06 06
04
07
37
39 41 06
09 06 06
31
06
07
30
06
02
42
06
07
28
07
Jampea tidak boleh diartikan (menurut narasumber)
satu pohon berbedabeda jenis jika dilihat orang yang berbeda Keramat, angker Karangkarang bonerate
Timur
Bentuknya panjang Pulau berjumlah tiga
Barat
Kayu bercabang
45
49
03
14
54
44
37.4
40
08
17.2
21.36
54
50
35
16
06
24.32
28
50
16
00
49
21.1
55
41
28
20
21
26.5
15.38
10
00
32
27 29
53
42
11
06
18.5
04
Lintang Selatan
06
Kayu bertuah
Arti
07
Pepaya
07
06
34
56
06 06
53
21
03
04
10
29
16
23
18
00
06
07
Pasirputih diatas bukit Gusung Bele Gusung Kamasi Jin yang berani, hebat mengepakngepak Tempat Bertempur (Kecil)
07
07
Kambing
Ada di tengahtengah
07
Banyak Madu
06
07
Tempat Bertempur (Besar)
Karompalompo/ Karoumpa Bakka Madu
07
07
07
Lintang Selatan
Mustika Tua
Mustika
Banyak Nyamuk
Arti
Kalaotoa
Kalao
Jailamu
Nama Lokal
Tabel Koordinat dan Karakter Pulau Kabupaten Selayar
121
120
121
121
121
121
121
120
120
121
120
120 120
121
121
120
120
120
121
121
120
120
121
122
121
121
121
121
120
120
120
121
121
121
120
120
08
42
11
13
07
27
01
59
26
05
47
25 17
23
04
57
59
58
25
33
35
40
10
43
34.9
03
43
26
26
00
22.4
34.4
20
37
09
56 12
12
00
10
35
21.4
35
43
33.9
16
10
19
15.94
16
15
59
00.5
48
35.86
Bujur Timur
04
47
36
45
13
30
00
16
06
33
33
24
46
45
47
26
31
Bujur Timur
Tarupa
10 desa
Tambuna
Tambuna
-
Rajuni
Rajuni
Pasitallu
Polassi
Pasitallu
Bontobaru
Sultra Sultra
Sultra
Sultra
Sultra
Sultra
Jinato
Wilayah Adm (Desa)
Kayuadi
Tanamalala
Karoumpa
Karoumpa
Jinato
Pasitallu
Jinato
-
Tanamalala
Tanamalala
-
Madu
Karoumpa
-
-
Tanamalala
Wilayah Adm (Desa)
Takabonerate
Pasimasunggu
Takabonerate
Takabonerate
Takabonerate
Takabonerate
Ta kabonerate
Takabonerate
Bontosikuyu
Takabonerate
Pasimasunggu
Bontosikuyu
Pasilambena
Takabonerate
Takabonerate
Takabonerate
Takabonerate
Pasilambena
Wilayah Adm (Kec)
Pasilambena
Takabonerate
Pasimasunggu
Pasilambena
Pasilambena
Takabonerate
Takabonerate
Takabonerate
Pasimaranu
Pasimasunggu
Pasimasunggu
Kab. Selayar
Pasilambena
Pasilambena
Pasilambena
Pasimaranu
Pasimasunggu
Wilayah Adm (Kec)
Pantai pasir putih pantai koral
Wisata bahari Konservasi satwa
BUKAN PULAU
pantai pasir putih pantai pasir putih
BUKAN PULAU Konservasi Laut Konservasi Laut
Konservasi laut
pantai pasir putih
teluk
pantai pasir putih
Konservasi laut
Wisata bahari
pantai pasir putih
Konservasi laut
ada
Listrik Disel, Jalan Beton, Pustu, Sekolah
Kantor Camat, Listrik Disel, Jalan Beton, Pustu, Sekolah, dermaga beton, dll Listrik Disel, Jalan Beton, Pustu, Sekolah, dermaga
ada
ada
tidak ada
BUKAN PULAU
BUKAN PULAU
tidak ada
tidak ada
ada
tidak ada
Kantor Desa, Listrik Disel, Jalan Beton, Pustu, SD, SMP
tidak ada
tidak ada
ada Konservasi satwa
pantai pasir putih
SD, kesehatan, jalan Permukiman
ada
tidak ada ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
pantai pasir putih
Konservasi satwa
Permukiman Atap Daun
tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada tidak ada
tidak ada listrik disel, pos core map
tidak ada
Penduduk
tidak ada
tidak ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Infrastruktur
tidak ada
dermaga, listrik disel listrik disel, SD-SMP, kantor camat, dermaga beton
tidak ada
tidak ada
ada tidak ada
tidak ada
tidak ada listrik disel, SD, pasar, dermaga
ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada listrik disel, SD, kantor camat, dermaga beton
tidak ada
tidak ada
pantai pasir putih
pantai pasir putih pantai pasir putih pantai pasir putih pantai pasir putih pantai pasir putih pantai pasir putih
Kondisi Fisik Pulau
pantai pasir putih
pantai berpasir
Perikanan Budidaya
-
Wisata bahari Konservasi satwa Wisata bahari Konservasi satwa Konservasi satwa
Potensi
Wisata bahari
Permukiman
pantai hutan campuran
Pantai pasir putih
Pantai pasir putih Pantai pasir putih
pantai koral
Pembuatan Kapal Tradisional Wisata Underwater Wisata Underwater
Pantai pasir putih/koral
tidak ada
ada
PLN, Jalan, Dermaga, Kesehatan, dsb campuran
ada
listrik disel, SD
Pantai small cliff, pantai berbatu
Wisata Underwater
Permukiman
ada
sekolah, dermaga, pasar, listrik disel, koperasi kopera listrik disel, SD
pantai berbatu granit
Konservasi satwa
ada
sekolah, dermaga
ada
tidak ada
Penduduk
tidak ada
Infrastruktur
Pantai pasir putih/koral
Pantai berpasir
Pantai pasir putih/koral pantai campuran; mangrove, small cliff
Kondisi Fisik Pulau
Tambang Granit
Kerajinan Daerah
Perikanan Budidaya
Perkebunan, kopra
Perhutanan
Konservasi satwa
Potensi
75 76
Sarimpa
Nama
Senapang
Teterang Tunuang
Rajuni kecil
51
No
52
53 54
55
Belang-belang Bembeh
3 4
6
5
4
3
2
Bembe
Belang-belang
Tanamalala
Gilisui
TAMBAHAN SURVEI Pulau batu di Korlampanga selat KalaoBonerate Pulau tak bernama dekat pulau Batu ada 2 Dua pulau batu antara Teterang Besar dan Tetera Kecil Tambolongan Karang Karang saneSanesane sane Tanpa nama tidak ada (bembe) ada 3
Tanamalala
Gilingsui 2
1
Rajuni kecil
Tunuang
Tet erang
Senapang
Nama Lokal
Saripa
Saranga
Sambiu
Rajuni Besar
Kauna
Kaubauna
Buru
Bungingtinabo
Bonerate
Batu
Tinanja
Tinabo Besar
Tinabo
Tengah
Tarupa Kecil
Nama Lokal Arti
33
06
07
tidak ada
07
-
06
07
tidak bernama
tidak tahu
07
07
06
06
07
Pulau yang terdiri dari batu-batu
Kambing
Pulau yang jauh
07
06
satu pohon berbedabeda jenis jika dilihat orang yang berbeda
07
07
07
Pulau Burung
02
06
02
34
53
24
02
34
21
34.03
21
23.5
25
02.1
36
19.6
18
30
12.56
15
06
04
03
20.9
03
57
36
22
01
18
38
25
05
18
34
22
22
02
42.1
44.7
50
30
25
20
50
00.2
05
21
26.5
48
12
19.1
Lintang Selatan
07
07
07
06
06
07
07
06
tidak tahu
tidak tahu
Tempat bertahan para punggawa/s enjata Makassar
Arti
Gusung tinabo Ditempati orang-orang dari P. Buru Kayu beranak Pulau yang sepi satu pohon berbedabeda jenis jika dilihat orang yang berbeda Banyak dibuat alat tombak pembius ikan Yang ada disekitar pulau hanya ikan saranga (ikan pari) Dari nama istri penduduk pulau pertama,
07
34
06
Pasirputih diatas bukit
34
06
01
04
07
07
27
06
Lintang Selatan
Pulau dari batu
Berupa-rupa hasil laut Letaknya ditengah
TAMBAHAN DALAM PETA HIDROS
Saranga
50
1
Sambiu
49
Bungitinabo
44
Rajuni Besar
Bonerate
43
48
Batu
42
Kauna
Tinanja
41
47
Tinabo Besar
40
Kauna
Tinabo
39
46
Tengah
38
Guru
Tarupa Kecil
37
45
Nama
No
120
120
120
121
120
121
120
121
120
121
121
121
121
120
120
120
120
121
120
122
120
121
123
120
121
121
121
121
121
32
26
26
02
45
04
27
05
35
42
01
03
02
36
1.6
45.2
24
50
08
00
29
16.36
20
30
22.4
41
52
42.7
00.52
30
14.3
38
35.8
36
50.6
42
17
08.09
44
02
00
02
06.4
Bujur Timur
37
35
36
01
47
05
36
03
07
45
10
06
05
06
08
Bujur Timur
Tanamalala
Tarupa
Tanamalala
Rajuni
`
Pasimasunggu
Takabonerate
Pasimasunggu
Pasilambena
Takabonerate
Pasimaranu
Pasimasunggu
Wilayah Adm (Kec)
Wilayah Adm (Desa)
Tanamalala
Pasimasunggu
Pasimasunggu
Pasimasunggu
Takabonerate
Takabonerate
Pasilambena
Pasimasunggu
Takabonerate
Pasimaranu
Pasimasunggu
Takabonerate
Takabonerate
Takabonerate
Pasimasunggu
Takabonerate
Wilayah Adm (Kec)
Tanamalala
Tanamalala
Tanamalala
Rajuni
Kayuadi
Karoumpa
Tanamalala
Tarupa
5 Desa
-
Jinato
Tarupa
Tarupa
Tanamalala
Tarupa
Wilayah Adm (Desa)
konservasi unggas tambang granit perikanan tangkap wisata underwater
Wisata Underwater
Wisata Underwater
ekowisata
Potensi
ekowisata
ekowisata
ekowisata
Konservasi laut
-
Wisata Underwater
ekowisata
Konservasi laut
Pembuatan Kapal Tradisional
tidak ada
tidak ada
pantai hutan campuran
pantai hutan campuran
pantai berbatu granit pantai pasir putih pantai berbatu granit
pantai berpasir
Pantai small cliff, pantai berbatu Pantai pasir putih
pantai hutan campuran
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
dermaga kayu
tidak ada
tidak ada
tidak ada
listrik disel, SD-SMP, kantor desa, dermaga kayu
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Infrastruktur
tidak ada
pantai hutan campuran
Kondisi Fisik Pulau
ada
Pantai berpasir
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Penduduk
ada
tidak ada
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada
tidak ada
Listrik Disel, toko peralatan perahu, pangkalan minyak
tidak ada
tidak ada
pantai hutan campuran pantai pasir putih pantai pasir putih
tidak ada
pantai pasir putih
ada
Kantor Camat, Listrik Disel, Jalan Beton, Pustu, Sekolah, dermaga beton, dll pantai campuran; mangrove, small cliff
ada tidak ada
pantai pasir putih
Konservasi laut Konservasi Unggas
ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Penduduk
tidak ada
pantai pasir putih
Konservasi laut
Markas Coremap, perkampunga n bajo, dermaga kayu Listrik Disel, dermaga kayu
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Infrastruktur
pantai boulder
pantai pasir putih pantai batu granit pantai pasir putih
Kondisi Fisik Pulau
Konservasi laut Tambang Granit Konservasi Laut
Potensi
77 78
P. Batu Tukoh P. Dahu -dahu (P. alo -alo) P. Kabaena
19. 20.
P. Talaga Besar
14.
18.
P. Talaga Kecil
13.
P. Wali Kecil (P. Kokoi)
2
1
17.
Nama Pulau
No.
P. Wali Besar
P. Damalawa Kecil
12.
16.
P. Damalawa Besar
11.
P. Kokoe (P. Jere)
P. Sagori
10.
15.
P. Bakau
9.
P. Bangko Laut
5.
P. Mataha
P. Bangko Darat (P. Eja)
4.
8.
P. Duddu Kecil (P. Jongke)
3.
P. Telinga (P. Talinga)
P. Duddu Besar
2.
7.
P. Hantu
1.
P. Baliara
2
1
6.
Nama Pulau
No.
Wilayah ADM
Titik Koordinat
Desa Kokoe Talaga Raya Desa Kokoe Talaga Raya Desa Kokoe Talaga Raya Desa Sikeli Kabaena Barat Desa Dongkala Kabaena Timur Kab. Bombana Kab. Buton
S 05o29'21,1" E 122o56'26,8" S 05o29'50,5" E 122o56'31,2" S 05o29' 36,9" E 122o56'30,5" S 05o21' 10,3" E 121o45' 04,7" S 05o21' 10,3" E 121o45' 04,7" S 05o21' 10,3" E 121o45'04,7"
Desa Talaga Besar Talaga Raya
Desa Dongkala Kabaena Timur Desa Dongkala Kabaena Timur
S 05o18' 21,9" E 122o03' 40,9" S 05o19' 10,1" E 122o03' 15,9"
S 05o29' 27,4" E 122o02' 54,1"
Desa Sikeli Kabaena Barat
S 05o20' 31,1" E 121o45' 39,8"
Desa Talaga 1 dan 2 Talaga Raya
Desa Sikeli Kabaena Barat
S 05o18' 21,1" E 121o46' 20,7"
S 05o28' 25,1" E 122o04' 28,3"
Desa Baliara Kabaena Barat Desa Baliara Kabaena Barat Desa Baliara Kabaena Barat Desa Sikeli Kabaena Barat
S 05o08' 42,2" E 121o49' 18,7" S 05o09' 55,0" E 121o48' 43,0" S 05o11' 13,1" E 121o48' 58,2" S 05o16' 18,0" E 121o45' 48,4"
4
Desa Baliara Kabaena Barat
S 05o08' 46,0 " E 121o50' 08,4"
3
4 Desa Mapila Kabaena Barat Desa Baliara Kabaena Barat Desa Baliara Kabaena Barat
Wilayah ADM
3 S 05o05'30,8" E 121o54'43,7" S 05o08'09,2" E 121o51' 28,5" S 05o08' 32,0" E 121o52' 00,3"
Titik Koordinat
Tabel Koordinat dan karakter pulau di Leg 2
Perkebunan Pemukiman
Pantai Berbatu, bertebing dan Berpasir
Pantai Berbatu
Tidak Berpenduduk Berpenduduk
Dermaga Jalan SD,SMP,SMU Puskesmas Listrik Wartel
Tidak Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
8 Berpenduduk 7691 Jiwa 1577 KK, Suku Buton, Suku Bugis dan Selayar Berpenduduk, 1548 Jiwa 334 KK, Suku Buton dan Suku Bajo Berpenduduk, 240 Jiwa, 69 KK, Suku Bajo, Bugis dan Buton
Sosial, ekonomi, budaya
Tidak Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
Berpenduduk 68 KK, Suku Bajo
Berpenduduk Dua Orang, Suku Bajo Berpenduduk 4 KK, Suku Bajo
Tidak Berpenduduk
Berpenduduk 69 KK, Suku Bugis
Tidak Berpenduduk
Berpenduduk 69 KK, Suku Bajo dan Suku Bugis
Tidak Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
8
Sosial, ekonomi, budaya
-
-
Pantai Bertebing Curam Konservasi Alam Konservasi Alam
-
-
SD Listrik
Dermaga SD Puskesmas Listrik
Dermaga Jalan SD,SMP,SMU Puskesmas Listrik Wartel
7
Infrastruktur Pulau
-
-
Pantai Bertebing
Pantai Bertebing
Pantai Berpasir
Pantai Berbatu dan Berpasir
Pantai Berbatu
6
Kondisi Fisik Pulau
Pantai Berbatu
Pantai Berbatu
SD Listrik Sendiri
Listrik Sendiri Diesel
-
-
Konservasi Alam
Konservasi Alam
Budidaya Hasil Laut
Perkebunan dan Rumput Laut
Budidaya Hasil Laut
5
Potensi
Konservasi Alam
Konservasi Alam
Wisata Bahari
Pantai Berpasir dan cemara laut
Pantai Berpasir dan cemara laut
Pantai Berpasir
Wisata Bahari Wisata Bahari
Pantai Mangrove
SD Listrik Sendiri
Pantai Mangrove
SD Jalan Tanah Air Tawar Listrik Sendiri (Diesel)
-
-
-
7
Infrastruktur Pulau
Pantai Mangrove dan Kelapa
Pantai Mangrove
Pantai Mangrove
Pantai Mangrove
Pantai Mangrove
6
Kondisi Fisik Pulau
Konservasi Alam
Budidaya Hasil Laut
Konservasi Alam
Perkebunan Jambu Mente dan Kelapa
Konservasi Alam
Konservasi Alam
Konservasi Alam
5
Potensi
79 80
Popowa Bangus Togong Unitu Togong Sali Mangumbasan Poatunda Tongkulung Mbomboleh Masepe Mallangan Loiso
15 16 17 18 19 20 21 22 23
Mamasigi
9
14
Popowa Tapon
8
Popowa Batu
Popowa Bulusan
7
13
Bobandualam
6
Popowa Tanga
Talam
5
12
Popowalipu
4
Taduno
Pinasali
3
Popowa Pulung
Mbuang-Mbuang
2
11
Salue
1
10
Nama Pulau
No
Salue Kecil
Pompiti
2 2 1 2
Nggasuang Nggasuang Kaukes Mbuangmbuang
5
52
1
0
55
57
1 1
1
0
2
2
4
2
0
4
2
2
4
4
2
2
4
2
4
4
2
4
4
2
2
4
2
2
5
0
2
57
43,22
29,57
29,06
54,94
5,664
0,81
32,3
38,12
59,29
47,06
24,02
14,84
4,692
22,37
23,38
39,43
41,74
45,34
35,83
8,268
52,24
52,87
59,9
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
52
46
46
45
46
46
47
51
50
52
52
52
52
52
52
52
52
52
52
52
48
52
49
8,22
1,344
43,68
14,54
29,82
27,96
17,41
2,7
9,024
59,95
20,28
12,11
36,7
15,06
26,51
28,81
21,29
18,66
0,948
46,85
3,456
8,22
14,59
"
-
Bertebing Bertebing Bertebing Bertebing Bertebing
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Rumput Laut, Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
-
Bertebing
-
Berpasir, Bermangrove
-
-
Bertebing
Bermangrove
-
Berpasir, Bermangrove
Dermaga, Listrik Diesel, SD
-
-
Bertebing Konservasi
Bertebing
-
Bertebing Konservasi
-
-
Bertebing Konservasi
Batu
-
Bertebing Konservasi
-
Bertebing Bertebing
Konservasi
-
-
Bertebing
-
Listrik Diesel
Berpasir, Bermangrove Batu
Dermaga, Listrik Diesel, Telpon Satelit, Puskesmas, Pusat Pemerintahan Kecamatan, SD, SLTP
Infrastruktur
Berpasir putih, Bertebing curam, Bermangrove
Kondisi Fisik Pulau
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Berpenduduk
Sosekbud
Tidak ditemukan P. Pasiewakube, hanya sand dune yang terlihat pada saat air surut.
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi, Rumput Laut
Potensi
Diantara P. Baliara dan P. Bangko Laut terdapat P. Pasiewakube
Koordinat Lintang Bujur o ' ' "
2
2
2
1
Paisubebe
Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang
Nggasuang
Panapat
Bokan
Batu Mandi
Kecamatan Bokan Kepulauan
Nama Lain
o
Tidak ada pulau
Desa Pongkalaero
4.
Wilayah Administrasi
Tidak ditemukan pulau, hanya 3 gugusan karang yang terlihat pada air surut dengan nama yang sama Ada 3 pulau, P. Taraha, P. Bungiite, P. Bingiolo
Ada 3 pulau, P. Jere, P. Wali Besar, P. Wali Kecil
Tanjung Kokoe, Selatan Pulau Kabaena
3.
Tabel Daftar Koordinat dan Karakter Pulau pada Leg 3
Ada 3 pulau, yaitu : P. Kokoe, P. Wali Besar dan P. Wali Kecil
Ada 2 pulau, P. Wali dan P. Kokoe
Gugusan karang yang terlihat pada saat air surut
Sisi barat Pulau Kabaena
Hanya terdapat 1 pulau (Pulau Hantu)
2.
Ada 5 pulau yang tak bernama
Tidak ada pulau
Data Lapangan (Temuan Lapangan)
Teluk Pising, Utara Pulau Kabaena
Data Sekunder (Peta Bakosurtanal)
1.
Data Sekunder (Peta Dishidros)
Perbedaan Lokasi Survei
No
Tabel Perbandingan data data sekunder dan temuan lapangan
81 82
Peleleng Sidu Mallatan Tanalan Babasal Tanalan Pauno Poaboloki Pinanga
25 26 27 28 29 30 31
Lasombelo Batumoute
36 37
Togong Karatte Panimbawang
42 43
Sabol Tobongkoli Poposon Tak bernama Bunginmangasa Talikan Leles Betabu Taduno Basal Supangit
60 61 62 63 64 65 66 67 68
Labugis
54
59
Mborunding
53
Marintas (kecil)
Mamuda
52
58
Epeyang
51
Marintas
Bakum
50
57
Toropot
49
Leelang
Kembongan
48
56
Kokudang Pauno
47
Angguk
Nama Pulau
No
55
Kokudang
46
45
44
Togong Antullah
41
Togong Mamangandean Kekela Nambosuan
Togong Tatandak
40
39
38
Panget
35
Togong Utoyon (1) Togong Utoyon (2)
Totogongo Pauno
34
33
32
Tondo
24
Togong Batuampas Totogongo Babasal
Nama Pulau
No
Badik
Mangkeang
Togong Boyoko
Setan
Konition, Jodoh, Bumi Hijrah
Nama Lain
Totogongo Kecil
Totogongo Besar
Tanalan Kecil
Tanalan Besar
Lampu
Nama Lain
6
2
1
Kokudang
1 1
Kokudang Kokudang
1 1 1 1 1 1
Toropot Toropot Toropot Toropot Toropot Toropot
2
Nggasuang
2 2 1 1 1 1 1 1
Nggasuang Nggasuang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang
2
2
Nggasuang
Nggasuang
2
2 Nggasuang
Nggasuang
2
1
Kokudang
Nggasuang
1
o
Kokudang
Wilayah Administrasi
1
Kokudang
1
Kokudang
1
1
Kokudang
Kokudang
1
Kokudang
1
1
Kokudang
Kokudang
1
Kokudang
1
1
Kokudang
Kokudang
1
1
Kokudang
Kokudang
1
1
Kokudang
Kokudang
2
2
23,72
55,07
52,24
53,45
41,82
42,61
16,59
42,24
37,63
28,16
16,25
26,29
34,55
46,14
33,98
2,256
38,58
54,55
52,58
2,556
18,4
35,25
47
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
41
39
40
41
41
41
41
41
41
41
41
41
41
41
40
41
41
44
45
52
48
54
55
57
56
56
56
56
56
6
5
6
8
8
9
7
3
56
56
57
56
54
56
53
54
3,564
53,88
48,34
32,06
0,168
0,528
24,95
59,57
53,5
42,94
49,38
19,98
25,75
29,41
31,02
52,4
12,71
48,05
31,36
9,636
18,24
47,34
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
42
42
42
42
42
42
33
33
35
39
40
40
38
35
38
37
38
38
38
39
42
40
Koordinat Lintang Bujur o ' ' "
54
53
54
53
53
53
53
52
52
52
52
52
53
53
57
56
56
4
5
0
4
2
2
5
Koordinat Lintang Bujur o ' ' "
2
o
Nggasuang
Nggasuang
Kaukes
Mbuangmbuang Mbuangmbuang Mbuangmbuang
Wilayah Administrasi
55,37
36,83
23,65
20,74
1,476
5,976
58,43
42,01
58,45
49,5
29,75
6,42
13,27
38,87
50,46
56,86
18,49
13,88
29,08
20,56
7,344
28,99
"
3,696
16,45
3,612
32,6
33,43
28,54
43,38
43,15
46,14
32,35
20,98
18,28
14,86
12,05
11,39
51,79
14,75
44,59
16,42
25,07
39,02
54,59
38,68
"
-
Bertebing Bertebing
-
Bermangrove
-
Bertebing Bertebing
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
-
Berpasir Berpasir, Bermangrove Bertebing Bertebing Bertebing Bertebing Bertebing
-
-
-
-
Bermangrove
Bermangrove
Konservasi Konservasi
Bermangrove
Konservasi
Mangrove
Bermangrove
Listrik Diesel, SD
-
Bermangrove
Berpasir Putih
-
Bermangrove
Berpasir, Bermangrove
Listrik Diesel, SD
Berpasir
Infrastruktur
Berpasir, Bermangrove
Kondisi Fisik Pulau
Mangrove, Berpasir
Konservasi
Konservasi
Pariwisata, Perikanan
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi, Pariwisata Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Pariwisata
Potensi
-
Berpasir, Bermangrove
-
Bertebing
Bertebing
-
Bertebing
Konservasi
-
Bertebing
Konservasi, Rumput Laut
-
Bertebing
-
-
Bertebing
-
-
Bertebing
Bertebing
-
Bertebing
Bertebing
-
-
Bertebing Bertebing
-
-
Listrik Diesel, SD
-
-
-
-
Infrastruktur
Bertebing
Berpasir, Bermangrove Berpasir, Bermangrove
Bertebing
Berpasir, Bermangrove Berpasir, Bermangrove
Bermangrove
Kondisi Fisik Pulau
Bertebing
Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut Konservasi, Rumput Laut
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Potensi
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Sosekbud
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Sosekbud
Gambar atas Penduduk nelayan di Pulau Panjang, Kabupaten Selayar.
83 84
Nama Pulau Jin Lumbano Bontiana Tikala Lono Basal (1) Lono Basal (2) Tondokan Melilis Oluno Taduno Tandak Loiso Loiso Pano Peniki Tak bernama Tak bernama Melilis Sonit Timpaus Tumbak Babasal Tumbak Pauno Toropot Pauno Oluan Pauno Batu Anyur
No 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Kokudang Sonit Timpaus
1 1 1
Nggasuang Toropot Kaukes Timpaus
Tumbak Kecil 1
1
1
Kokudang
Nggasuang
1
o
Kokudang
Wilayah Administrasi
Toropot Kecil, Bulutan (Bajo)
Tumbak Besar
Nama Lain
48
53
58
55
55
50
45
56
57
57
55
56
57
57
57
57
57
57
57
57
57
56
35,57
11,62
47,68
42,35
12,4
9,168
35,4
10,43
7,56
7,56
46,34
57,8
34,63
14,58
23,08
17,96
17,1
19,01
4,788
9,648
5,472
59,6
124
123
123
123
123
124
124
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
0
48
29
34
32
0
8
43
42
42
42
42
42
42
43
43
43
43
43
43
43
42
Koordinat Lintang Bujur o ' ' "
57,92
23,9
55,46
21,25
21,48
35,46
47,22
24,53
32,15
43,27
9,972
15,91
31,9
45,43
46,34
47,86
29,28
22,4
15,13
13,4
3,324
59,75
"
-
Bertebing Bertebing Bertebing Bertebing Bertebing Bermangrove, Berpasir Bermangrove Bermangrove Bermangrove Bermangrove
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Konservasi
-
Berpasir Bertebing Bertebing
-
-
Listrik, SD
Listrik, SD, SLTP
Listrik Diesel, SD
-
Bertebing
Bermangrove, Berpasir Berpasir, Bermangrove Berpasir, Bermangrove Bermangrove, Berpasir Bermangrove, Berpasir
-
Bertebing
Konservasi Konservasi
-
Bertebing
Konservasi
Infrastruktur -
Kondisi Fisik Pulau Berbatu
Konservasi
Potensi
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Berpenduduk
Berpenduduk
Berpenduduk
Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk Tidak Berpenduduk
Sosekbud
Luwu (Bajo)
masyarakat sekitar pulau tersebut (atau yang menghuni pulau tersebut) mempunyai suku bangsa dan bahasa yang berbeda. Penamaan ini juga menyangkut pihak pertama yang datang atau menduduki pulau bersangkutan. Berkenaan dengan sejarah penamaan pulau, perlu dikaji sejarah dihuninya suatu pulau. Pulau-pulau di daerah survei mulai dihuni sejak jaman kerajaan, bahkan beberapa diantaranya menunjukkan adanya bukti pulau-pulau tersebut telah dihuni sejak ratusan tahun lalu. Tetapi untuk nama pulau yang melekat padanya baru dimulai ratusan atau puluhan tahun kemudian. Hal ini terungkap dari adanya artefak yang ditemukan pada suatu pulau tetapi tidak ditemukannya bukti tertulis. Contoh nyata untuk kasus ini misalnya P. Kalaotoa tempat diketemukannya kerangka-kerangka manusia kuno bersama peninggalan berupa gerabah maupun perhiasan.
Tanajampea (1763,1791)
Kalao Takabonerate Utara (1945)
Pulau Madu
Karoumpa
berdasarkan dua sumber data di atas dapat digambarkan sebagai berikut; Nenek moyang orang-orang pulau di Kabupaten Selayar berasal dari Luwu (Kerajaan Luwu), Selayar, dan Buton. Kebanyakan dari mereka berlayar dengan orientasi ke selatan untuk mencari ikan dan penghidupan lain di luar daerahnya sebagai pedagang. Serupa tetapi tak sama, sejarah penghunian pulau di pulau-pulau sekitar P. Kabaena berorientasi dari utara ke selatan. Kedatangan penghuni pulau adalah dari Pulau Sulawesi yang singgah di pulau dalam rangka perjalanan perdagangan ke Nusatenggara, Bali, dan Jawa. Namun tidak semua penghuni pertama pulau adalah berasal dari Nusantara. Di Pulau Sagori, penghuni pertama pulau tersebut adalah suku Bajo yang berasal dari Filipina 148 tahun lalu.
oleh pejabat Belanda tahun 1930 dalam tabel dibawah. Tabel tersebut hanya memuat 3 suku perantau dari Sulawesi Selatan, sedangkan untuk suku lain (Buton, Selayar, dll) tidak diperoleh datanya. Setidaknya, berdasarkan tabel tersebut jelas bahwa penamaan pulau sangat dipengaruhi oleh adanya migrasi penduduk di sekitar pulau, baik mendiami pulau tersebut maupun sekedar singgah.
Kabupaten Banggai Kepulauan secara historis adalah bagian dari Kerajaan Banggai yang dikenal sejak abad ke-13 M. Suku-suku bangsa yang mulai mendiami pertama kali pulau-pulau di Kepulauan Bokan meliputi Saluan, Banggai, Bugis, dan Bajo serta sebagian kecil dari suku Buton. Melihat dari dinamika perkembangan
Nama-nama pulau di daerah survei sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat, yang tercermin dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat (dari suku-suku bangsa yang berbeda). Suatu pulau kadang mempunyai lebih dari satu nama jika
85
Kalaotoa (1700)
Gambar atas Silsilah dihuninya pulau-pulau di daerah Kabupaten Selayar
Gambar atas ”Malleke Dapureng”, memindahkan dapur dari satu pulau ke pulau lain.
Tabel Population-1930 Distribution of Buginese, Makassarese, Mandarese
Buton
Bonerate (1001?, 1718)
Kedatangan penghuni pulau dan penamaan pulau Sejarah penghunian suatu pulau diperoleh dari hasil wawancara dan bukti tertulis peninggalan orang terdahulu. Pulau-pulau di Kabuapten Selayar
Kegemaran merantau ini tertulis dalam semboyan “malleke' dapureng” , artinya “memindahkan dapur (Kesuma, 2004). Kegemaran merantau dari orangorang suku Bugis, Makassar, dan Mandar dilukiskan
Selayar
Gambar samping Pewaris dari penduduk pertama Pulau Karoumpa, Kab. Selayar
86
Gambar atas Bukti tertulis kedatangan penduduk ke suatu pulau di Sulawesi Selatan yang ditulis dalam aksara Bugis-Makassar atau disebut aksara lontarak.
(pasir) dan rate (bukit). Pulau Tanajampea ketika jaman kerajaan (sebelum abad-17) bernama Pulau Paklaoroang. Nama ini diberikan oleh 3 orang yang pertama datang ke P. Tanajampea. Paklaoroang dari kata laoroang artinya rotan; sebuah komoditas yang banyak ditemukan di pulau tersebut ketika itu. Berubah nama menjadi Tanajampea, berasal dari kata 'tana' artinya tanah dan 'jampea' artinya sesuatu yang istimewa dan disembunyikan. Karakter fisik lain yang menjadi acuan penamaan pulau juga melekat pada pulau-pulau : P. Jailamu (jailamu= banyak nyamuk), Katella (Katella=pohon pepaya), Gilisui (gili = pulau, sui= burung ; pulau yang banyak ditemukan burung), dan Pulau Bembe yang bentuknya seperti kambing (bembe=kambing).
penghunian pulau, proses perkembangan pemukiman masih terus berlangsung. Bahkan Pulau Bokan mulai dihuni sekitar tahun 1960-an dan Pulau Angguk yang sebelumnya bernama Konition atau Pulau Kececil baru mulai dihuni tahun 1990. Sejarah dan arti nama pulau Nama-nama pulau hasil survei menunjukkan bahwa nama yang diberikan oleh orang-orang terdahulu di lokasi survei mengacu pada beberapa hal yaitu: a. Karakter fisik pulau atau potensi utama pulau b. Fungsi atau peranan pulau c. Sejarah penemuan pulau D. Nama penemu pulau Perbedaan penyebutan nama antara yang tertulis pada peta dengan yang diucapkan masyarakat terjadi karena perbedaan bahasa suku (Selayar, Buton, Bugis, Bonerate, dan Makassar).
Bentuk pulau yang menjadi acuan penamaan terdapat pula di daerah Kabaena, yaitu Pulau Telinga yang bentuknya seperti telinga manusia. Pulau Bungiite bahkan menunjuk pada karakter visual pulau dimana 'Bungi' artinya sesuatu yang tidak kelihatan, 'ite' artinya karang kecil. Kata-kata tersebut berasal dari suku Moronene, suku asli Pulau Kabaena. Secara
Di Kabupaten Selayar nama-nama pulau yang menunjukkan karakter fisik pulau mengacu pada apa potensi atau benda spesifik yang dapat ditemui di pulau bersangkutan. Nama seperti Bonerate yang berarti pasir di atas bukit, berasal dari kata bone
87
Gambar atas Pantai berpasir landai berhadapan dengan perairan yang jernih, ciri khas Pulau Karoumpa Besar.
88
Sejarah pulau sebagai acuan pemberian nama adalah pada nama P. Karoumpa di Kabupaten Selayar. Karoumpa artinya tempat baku hantam; dahulu jika akan berkunjung ke pulau ini harus bertempur dahulu.
visual P. Bungiite hanya tampak sebagai karang kecil yang timbul tenggelam. Memang P. Bungiite saat ini sudah tenggelam dan berada di bawah permukaan air. Di Kepulauan Bokan terdapat pulau Bakum yang artinya 'bakau' karena di pulau ini banyak ditemukan hutan bakau.
Nama pulau yang menggunakan orang yang pertama kali menemukan pulau adalah P. Saripa. Dari nama Saripa, perempuan yang pertama menghuni pulau. Terdapat di sekitar P. Tanajampea.
Nama pulau menurut fungsi atau peranannya bagi masyarakat setempat terdapat di Kepulauan Bokan, yaitu Pulau Angguk atau P. Bumi Hijrah. Nama P. Angguk mengalami perkembangan dari nama pertama Konition, kemudian P. Kececil, dan sering disebut dengan nama P. Jodoh. Dinamakan P. Jodoh karena merupakan tempat persinggahan nelayan yang mencari ikan dan tak jarang menemukan jodoh di pulau tersebut. Sedangkan nama Bumi Hijrah mengacu pada dimanfaatkannya pulau tersebut sebagai lokasi perpindahan penduduk.
Dinamika Pulau Pulau sebagai sebuah geographic feature ditengah perairan selalu mendapat 'perlakuan' dari air yang bertindak sebagai agents proses geomorfologi. Perbedaan pola arus, tipe gelombang, dan dukungan
Gambar atas Pulau hasil pengangkatan tektonis tahun 1992 di Bonerate
tenaga angin menyebabkan muncul dan hilangnya suatu pulau. Dari sudut pandang geologi, tenaga tektonik dari perut bumi yang bergerak dinamis mampu mengangkat suatu daratan tenggelam
besar, namun di Pulau Bonerate telah terjadi
menjadi pulau. Pun terjadinya 'terban' atau runtuhan
pengangkatan daar laut dangkal berupa batu karang.
dasar laut dapat menyebabkan tenggelamnya suatu
Begitu pula di P. Madu. Sebagian dari batuan yang
pulau.
terangkat ini menurut penduduk sekitar ketika terjadi
Pulau-pulau di daerah survei Ekspedisi Wallacea mengalami dua bentuk dampak agensia alam tersebut, yaitu munculnya pulau baru dan tenggelamnya pulau yang telah ada. Munculnya pulau baru Pulau-pulau baru muncul di daerah penelitian karena
pasang tinggi tidak tenggelam. Menurut definisi Unclos III pasal 121 yang menyebutkan; ”Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air dan ada di atas permukaan air pasang”, maka fenomena ini dapat disebut pulau. Namun demikian, hingga saat ini keduanya belum diberi nama.
dua hal, yaitu:pengangkatan dasar laut oleh proses tektonik dan pengendapan yang berlanjut.
Sedangkan pengendapan yang berlanjut disebabkan adanya kerja hidro-oseanografi yang didukung oleh
Pengangkatan dasar laut terjadi sebagai ekses dari
tenaga angin (aeolin). Kerja Hidro-oseanografi
gempa tektonik September 1992 di Laut Flores yang
mengakibatkan terjadinya transpor sedimen dari suatu
menyebabkan Tsunami di Pulau Flores dan sekitarnya.
pantai (pulau), dasar laut, dan suspended load dari
Konon gempa ini terjadi karena adanya pergerakan
daerah lain. Selanjutnya setelah endapan ini
Lempeng Benua yang mengakibatkan terangkatnya
mengumpul dan mengering bagian permukaannya,
sebagian dasar laut, terutama yang tampak di
maka kerja angin menyebabkan terjadinya
perairan Teluk Bonerate dan perairan P. Madu.
penumpukan material ke bagian tengah endapan
Meskipun pengangkatan yang terjadi tidak begitu
(biasa disebut “gosong”) sehingga bagian tepi
Gambar samping Jika berjodoh, penduduk akan semakin berkembang dan menghuni semakin banyak pulau. Begitulah legenda yang melekat di Pulau Jodoh.
89
Gambar samping Sketsa terbentuknya pulau adalah dimulai dengan pengendapan yang membentuk gosong (bahasa setempat: bunge, bongi, bongin). Kemudian pada tahap lanjut terjadi pertumbuhan vegetasi yang menjadi penguat dan obstacle bagi transpor sedimen
90
Nama generik pulau yang yang berkaitan sebagai temuan lapangan
(pantai) menjadi landai dan terus menjadi muara pengendapan material secara hidro-oseanografi. Fenomena ini dapat ditemui di P. Jailamu dan P.
Selama survei dilapangan ditemukan beberapa istilah lokal untuk istilah pulau, antara lain: 1. Popowa, digunakan untuk istilah gugusan pulaupulau kecil 2. Togong, digunakan untuk pulau yang relatif besar 3. Poa, digunakan untuk pulau dengan ukuran reatif kecil. 4. Pulo, penyebutan pulau dalam bahasa Selayar 5. Pasi, penyebutan pulau dalam bahasa Bugis.
Tarupa. Hilangnya suatu pulau Pulau-pulau yang tenggelam ditemui di daerah survei Ekspedisi Wallacea Leg 2, yaitu di sekitar Pulau Kabaena. Pulau-pulau tenggelam akibat adanya pengikisan atau abrasi, didukung oleh tenaga angin dalam bentuk ablasi. Dinamika geomorfologi ini menyebabkan terjadinya pengurangan material bagian permukaan sehingga tepian pantai menjadi lebih rendah dari permukaan laut pada saat pasang tinggi. Fenomena ini terjadi atas P. Bungiite, P. Bungiolo, dan P. Taraha yang dengan jelas digambarkan dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia sebagai daratan yang nyata berada diatas permukaan air, tetapi kenyataan di lapangan pulau-pulau tersebut berupa karang di bawah air. “Pulau-pulau tersebut dahulu berada di atas permukaan air dan tidak tenggelam pada waktu pasang tinggi”, demikian tutur tetua masyarakat di Desa Pongkalaero.
Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah Berdasarkan data DEPDAGRI di Kecamatan Bokan Kepulauan terdapat 131 pulau dengan perincian 25 pulau bernama dan 96 pulau tak bernama. Sedangkan Bokan Kepulauan Dalam Angka menyebutkan 30 pulau. Berdasarkan hasil survei diperoleh 88 pulau 3 diantaranya belum bernama.
Daftar Pustaka Anonim, 2003, Buku Data Desa, Biro Bina Dekonsentrasi Setda Sulteng Anonim, 2003, Data Potensi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara
Analisis Hasil Gambar atas Bom Jepang yang mampu memporak-porandakan hingga menghilangkan pulau. Tampak bekas bom Jepang yang tidak meledak di P. Jinato.
dapat diabaikan, meskipun dalam skala hilangnya suatu pulau. Sebagai contoh adalah P. Pasiewakube yang saat ini hanya berupa karang di bawah permukaan air, pada masa lalu adalah pulau. Akibat imbas Perang Dunia II pesawat-pesawat tempur Jepang telah membombardir pulau ini hingga daratannya hilang dan tenggelam seperti saat ini.
Selain karena gejala alamiah, aktivitas manusia terhadap alam juga memberikan dampak yang tidak
Pulau-pulau di Kabupaten Selayar Pada survei toponim ini telah teridentifikasi 60 pulau bernama dan 7 pulau yang hingga saat ini oleh masyarakat setempat belum diberikan nama. Pulaupulau yang bernama hasil survei direkomendasikan sebagai masukan mengaktualisasi Daftar Pulau Departemen Dalam Negeri, antara lain berupa:
Anonim, 2003, Evaluasi PEMP 2001 Dan 2003, Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara Anonim, 2003, Monografi Kecamatan Kabaena Barat, Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
(1) Kesalahan wilayah administrasi daerah survei. + 34 pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara + 13 pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Nusatenggara Timur.
Anonim, 2003, Monografi Kecamatan Telaga Raya, Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Anonim, 2003, Pulau-Pulau Sebagai Sumberdaya Wilayah, Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara
(2) Penulisan nama dan koordinat pulau. + 23 perubahan nama pulau, yaitu perubahan penulisan nama. + 20 buah koordinat pulau harus disesuaikan, dan beberapa pulau yang ditemukan harus ditambahkan koordinatnya.
Gambar bawah Pulau Tenggelam (P. Bungiite, P. Bungiolo dan P. Taraha). Gambar sampingnya adalah pulau Bungiite yang difoto dari atas perahu nelayan.
Kesuma, Andi, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka pada Abad XVIII di Johor, Ombak Yogyakarta Simandjuntak, 1986, Peta Geologi Regional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Kabupaten Bombana dan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara Berdasarkan analisis hasil survei toponim pulau-pulau Kabaena dan sekitarnya, maka dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut:
Simandjuntak, Surono, Sukido, 1993, Peta Geologi Regional lembar Kolaka Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
(1) Pada survei toponim ini telah teridentifikasi 20 pulau bernama dan 3 pulau yang belum ada namanya. Pulau-pulau yang bernama hasil survei direkomendasikan untuk merevisi Daftar Pulau Departemen Dalam Negeri. b. Penulisan nama dan koordinat pulau. + 13 perubahan nama pulau, yaitu perubahan penulisan nama. + 2 buah koordinat pulau harus disesuaikan, dan beberapa pulau yang ditemukan harus ditambahkan koordinatnya.
91
92
Peneliti: 1a 2a 3a Hana Krisnawati , Budi Irawan , Dedy Aan Zahrudin , 1b 2b Dodi Priyosambodo , Ichwan M. Nasution , Asep 3b 4b 1c Rasyidin , Dessi Wulandari , Widodo S. Pranowo , 2c 3c 4c Yuslisandi , Andi Muzakkir , Terry L. Keppel , Restu Nur 1d 1e 1f Afi Ati , Niken Tyas Wiratri , La Ode Muhammad Aslan 1a) Peneliti Mangrove Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2a) Peneliti Mangrove Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Pengajar Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Bandung 3a) Peneliti Mangrove Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepulauan), Alumni Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan Universitas Hang Tuah Surabaya 1b) Peneliti Lamun Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Pengajar Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin Makassar 2b) Peneliti Lamun Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 3b) Peneliti Lamun Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Teknisi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta 4b) Peneliti Lamun Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepulauan), Staf Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
Biologi Laut Kompilator:
Ichwan M. Nasution Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
1c)Peneliti Terumbu Karang Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 2c) Peneliti Terumbu Karang Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar 3c) Peneliti Terumbu Karang Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar 4c) Peneliti Terumbu Karang Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepulauan), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 1d) Peneliti Fitoplankton Ekspedisi Wallacea Indonesia I Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 1e) Peneliti Makrobenthos Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 1f) Peneliti bulu babi dan teripang Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Laut, Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo Kendari
Gambaran Umum Penelitian bidang biologi laut dalam Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 ini mempunyai fokus pada tiga ekosistem yang terdapat di daerah pesisir yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Penelitian ekosistem mangrove dan padang lamun, berfokus pada penelitian mengenai struktur vegetasi mangrove dan lamun yang terdapat di setiap lokasi penelitian. Data yang diambil antara lain jenis-jenis mangrove dan lamun, kepadatan, dan penyebaran tiap jenis tumbuhan ini di setiap stasiun penelitian yang diamati. Pada ekosistem terumbu karang, yang diteliti adalah mengenai kondisi terumbu karang yang di katagorikan kondisinya berdasarkan persentase penutupan karang hidup. Selain tiga ekosistem pesisir yang diteliti pada setiap leg ekspedisi, dilakukan pula beberapa penelitian biologi lainnya dan dilakukan tidak pada keseluruhan leg ekspedisi. Pada leg 1 dilakukan pula penelitian mengenai struktur komunitas fitoplankton, dan Penelitian ini meliputi komunitas fitoplankton, makrobenthos, bulu babi dan teripang. Ekosistem mangrove merupakan eksosistem pesisir yang umumnya terdapat di daerah pantai daerah tropis. Umumnya hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang tergenang air laut pada waktu tertentu. Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan daerah pantai yang terlindung. Keragaman jenis vegetasi mangrove di Indonesia cukup tinggi. Sedikitnya terdapat 47 jenis tumbuhan yang merupakan spesifik ekosistem mangrove. Tumbuhan mangrove terbagi menjadi dua yaitu mangrove sejati, dan mangrove ikutan. Mangrove sejati di Indonesia terdiri dari empat famili yaitu Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang penting, seperti peredam gelombang dan angin, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air. Bagi biota yang hidup di ekosistem ini, hutan mangrove berperan penting sebagai daerah asuhan, tempat mencari makan serta merupakan tempat pemijahan. Seresah daun yang diuraikan oleh bakteri menjadi zat hara berperan sebagai penyubur perairan
wilayah Asia, Indo-Malaya dan Australia. Salah satu keanekaragaman flora yang berada di kawasan Wallacea adalah jenis vegetai mangrove. Oleh karena itu pada penelitian ini ingin diketahui kondisi vegetasi mangrove di kawasan ini.
karena menghasilkan detritus (Bengen 2001). mangrove dapat pula menghasilkan baik secara langsung ataupun tidak langsung berbagai keperluan hidup manusia seperti kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga/perkakas, bahan kertas,bahan tekstil, alat perikanan, pupuk pertanian dan obat-obatan (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999).
Gambar samping Kegiatan penanaman Bakau yang dilakukan selama Leg 2 di Pulau Kabaena sebagai sarana penyadaran dan pemberdayaan masyarakat pesisir tentang pentingnya ekosistem Mangrove.
pencemar. Bersama dengan terumbu karang dan hutan mangrove, lamun membentuk habitat dengan produktifitas yang sangat tinggi di laut. Degradasi dan kehilangan padang lamun akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem di laut secara keseluruhan dan secara ekonomis akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia.
Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh di laut dangkal. Seperti halnya rumput di darat, lamun juga memiliki tunas berdaun yang tegak dan tangkai merayap yang efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan makroalgae, lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Lamun juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara.
Perubahan lingkungan ekosistem wilayah pesisir dan laut secara tidak langsung akan mempengaruhi system komunitas yang berada di dalamnya (Irawan 2003). Perubahan tersebut termasuk keanekaragaman jenis dan struktur komunitas yang berada dalam ekosistem tersebut.
Informasi tentang padang lamun di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Philipina dan Australia. Sementara itu tekanan penduduk terhadap padang lamun di Indonesia mulai terlihat pengaruhnya seperti eksploitasi sumberdaya di padang lamun yang berlebihan (Hutomo, 1995), hilangnya areal padang lamun akibat kegiatan reklamasi pantai, dan eksploitasi sumberdaya yang merusak padang lamun (Kiswara, 1994). Penelitian tentang ekologi dan biologi lamun di Indonesia belum banyak dilakukan, namun telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini. Informasi tentang kondisi dan status lamun di Indonesia menjadi penting sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
Tunas-tunas lamun hidup berkelompok dan dapat membentuk hamparan padang lamun dan dapat berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang disusun mulai dari dua sampai dengan 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama (Kirkman, 1985). Lamun
Kawasan Wallacea merupakan salah satu kawasan yang penting dalam penyebaran keanekaragaman hayati. Menurut Hsuan (1978) kawasan ini menjadi tempat transisi penyebaran flora dan fauna antara
Gambar bawah Peneliti yang tergabung dalam Leg 1 sedang mengumpulkan plankton yang didapat dari plankton net. Lokasi sekitar Pulau Kalaotoa
ditemukan tumbuh di daerah pasang surut sampai dengan daerah dengan kedalaman 40 meter. Pada daerah transisi, lamun dan terumbu karang dijumpai tumbuh bersama (Nienhuis et al., 1989). Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun (Kiswara, 1994), sementara di dunia dijumpai 58 jenis (Hartog, 1970). Indonesia dengan garis pantainya yang terpanjang kedua di dunia diperkirakan mempunyai padang lamun terluas diantara negaranegara tropis.
Ekosistem terumbu karang mempunyai empat tipe yaitu dataran terumbu (reef flat), lereng terumbu (fringing reef), goba (laguna yang terdapat didaerah terumbu karang), dan gosong karang. Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan laut dangkal. Terumbu karang akan dapat hidup dengan maksimal bila tempat hidupnya berair jernih, suhu hangat, sirkulasi lancar dan bergelombang besar, serta yang juga penting adalah rendahnya proses sedimentasi.
Padang lamun merupakan salah satu komunitas pesisir terpenting yang mendukung kehidupan berbagai organisme di laut. Lamun menghasilkan makanan bagi penyu, ikan, bulu babi dan mamalia laut seperti dugong (sapi laut), yang saat ini dikategorikan IUCN dalam daftar merah karena terancam punah. Padang lamun juga menjadi tempat mencari makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan, udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu secara fisik lamun juga mampu menstabilkan substrat (sedimen), menahan ombak dan menyerap bahan
95
Terumbu karang adalah tempat hidup yang disukai oleh beragam jenis ikan, moluska, sponge dan hewan invertebrata lainnya. Selain berfungsi secara ekologis sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai organisme laut. Terumbu karang juga mempunyai fungsi ekonomis dan pariwisata. Potensi lestari ikan, kerang dan kepiting di daerah terumbu karang dapat
96
Indonesia adalah 32,3% jelek (poor), 35,3% sedang (fair), 25,5% baik (good) dan 6,7% sangat bagus (excellent) (Chou et al, 2002). Untuk kondisi yang seperti ini, maka pematauan yang komprehensif dan berkesinambungan sangat perlu dilakukan termasuk pada daerah-daerah yang selama ini belum pernah atau jarang dijadikan obyek pemantauan. Struktur komunitas fitoplankton merupakan salah satu alat untuk menduga produktivitas primer suatu perairan dan merupakan salah satu indikator biologis suatu perairan. Struktur komunitas fitoplankton pada daerah tertentu umumnya mempunyai ciri karakteristik yang ditandai dengan hadirnya spesies atau kelompok fitoplankton tertentu. Fitoplankton dapat dipakai sebagai ciri daerah subtropis dan tropis yang juga dapat dikaitkan dengan bidang oseanografi.
Gambar atas Penentuan transek dan plot kuadrat untuk analisa vegetasi mangrove yang dilakukan pada ekspedisi kali ini
mencapai 9 juta ton atau 12 % dari produksi perikanan di dunia (Sukmara et al, 2001). Kehadiran berbagai macam biota laut yang bernilai ekonomis serta yang berpotensi biofarmasi merupakan salah satu alasan kegiatan manusia di daerah terumbu karang. Di samping itu, keindahan organisme karang yang beraneka ragam dan berwarna warni menarik banyak orang untuk mengeksplorasinya. Sebagai salah satu ekosistem pantai penting, kondisi terumbu karang di suatu perairan pantas mendapat perhatian. Ini karena berbagai fungsi yang dimilikinya yang secara langsung dan tidak langsung menunjang kehidupan manusia.
Sebagai suatu komunitas, fitoplankton akan mengalami perubahan berdasarkan waktu dan tempat
Gambar bawah Karang jamur, merupakan salah satu bentuk pertumbuhan karang yang diamati dengan metode Line Intercept Transect (LIT)
Gambar atas Hutan mangrove yang diamati pada ekspedisi Wallacea Leg 1 di Lea Lea, Pulau Bonerate
hidupnya. Pertumbuhan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik faktor fisik maupun kimia.
melakukan pengamatan visual dengan cara berjalan kaki pada saat air surut maupun dengan menggunakan snorkel pada saat air pasang.
Metodologi Penelitian
Pengumpulan data kerapatan lamun dilakukan dengan menggunakan kuadrat besi berukuran 50 x 50 cm (species Enhalus acoroides) dan 20 x 20 cm untuk species lainnya (Kiswara et al., 1992). Kuadrat besi ini dilempar secara acak masing-masing 10 kali di
Ekosistem Mangrove Untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan mangrove digunakan metode eksplorasi yang bersifat deskriptif (Vogel 1987; Irawan 2003). Koleksi tumbuhan dilakukan dengan membuat specimen herbarium (Vogel 1987; Bridson and Forman 1992). Identifikasi tumbuhan dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi mangrove dan tumbuhan berbiji (Balgooy 1999; Noor, Khazali dan Suryadipura 1999; Hsuan 1978; Backer and Bakhuizen 1968; Tomlinson 1986).
Gambar bawah Padang lamun di perairan Pulau Bonerate yang didominasi oleh jenis Enhalus acoroides
Sedangkan untuk mengetahui zonasi vegetasi mangrove dilakukan dengan menarik garis transek tegak lurus garis pantai (Bengen 2001b), sedangkan untuk mengetahui struktur komunitas vegetasi mangrove dilakukan dengan membuat petak kuadrat berukuran 10X10 m sebanyak 7 buah di setiap stasiun penelitian dan dilakukan analisis vegetasi (Bengen 2001b), kemudian dihitung jumlah jenis, jumlah individu, diameter, keliling dan tinggi pohon. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis untuk mengetahui kerapatan, dominansi, frekuensi dan nilai penting setiap jenis tumbuhan.
Daerah terumbu karang di Indonesia mempunyai luas 42.000 km persegi atau 17 persen dari terumbu karang di dunia, dan menduduki rangking kedua setelah Australia. Keanekaragaman karang keras di Indonesia juga tinggi sebab mempunyai sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera.Namun demikian, kondisi terumbu yang ada di Indonesia bervariasi dari jelek (poor) sampai dengan sangat bagus (excellent). Menurut survey tahun 2002 di 520 stasiun dari 56 lokasi survei, kondisi terumbu karang di
Ekosistem Lamun Inventarisasi jenis lamun dilakukan dengan metode survei acak disetiap stasiun pengamatan. Peneliti
97
98
tiap stasiun penelitian. Lamun yang berada didalam kuadrat itu dihitung jumlah tunasnya untuk mengukur kerapatan.
Tutupan Karang Hidup
Kriteria
0 % - 10 %
Sangat Rendah
11 % - 30 %
Rendah
Ekosistem Terumbu Karang Penentuan kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) (English et al, 1997) sebanyak 3 x 50 m garis transek ditarik pada masing-masing stasiun. Selanjutnya diadakan pencatatan terhadap bentuk pertumbuhan karang beserta organisme yang berasosiasi yang dilewati oleh garis transek, termasuk kondisi substrat yang ada. Hasil pencatatan dimasukkan kedalam empat kategori yaitu karang hidup (karang keras dan karang lunak), biota terumbu (hewan sesil lainnya dan alga yang berasosiasi), karang mati dan faktor abiotik (pecahan karang dan substrat). Kriteria penentuan kondisi terumbu didasarkan pada tutupan karang hidup (Sukmara dkk, 1996) dapat dilihat pada tabel disamping.
31 % - 50 %
Sedang
51 % - 75 %
Tinggi
76 % - 100 %
Sangat Tinggi
Komunitas Fitoplankton Pengambilan sampel fitoplankton menggunakan Plankton net dengan mesh size 2 µm dilakukan sebelum jam 12.00. Plankton net diturunkan dari atas kapal dan ditarik secara horizontal pada permukaan air. Sampel plankton dimasukkan dalam botol sampel ukuran 100 mL dan kemudian ditambahkan larutan Formalin 4 % sebanyak 4 tetes untuk mengawetkan sampel kemudian sampel diberi label. Pengamatan plankton Fitoplankton akan dilakukan di Laboratorium menggunakan Mikroskop dan Sedgwick-Rafter, selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui
Gambar bawah Salah satu kegiatan penelitian Biologi adalah transek karang yang bertujuan untuk mengetahui kondisi suatu terumbu karang. Tampak seorang peneliti Pusriswilnon sedang melakukannya di Leg 1 Pulau Kakabia.
Gambar atas Penggunaan vacuum pump untuk memperoleh contoh Fitoplankton
Selain pengambilan sampel plankton, diambil juga sampel air untuk pengukuran, suhu, pH, salinitas, nitrat dan fosfat. Untuk mengetahui konsentrasi nitrat dan fosfat dianalisis di Laboratorium.
Contoh makrobentos infauna diambil dengan cara menggali substrat yang terdapat pada plot 0.25x0.25 m2. Substrat kemudian disaring dengan saringan berdiameter 0.5 mm. Infauna kemudian dicuci dengan air tawar dan diawetkan dengan formalin 4%. Indentifikasi dilakukan dengan menggunakan petunjuk Barnes (1968), Abbott (1990), dan Dai & Yang (1991), kemudian dihitung dan dianalisis lanjutan.
Komunitas Makrobentos Pengambilan makrobentos di kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate didasarkan atas metode plot kuadrat (Brower et al., 1977). Pengambilan sampel dilakukan pada waktu surut.
Komunitas Bulu Babi dan Teripang Pengambilan sampel dilakukan secara koleksi bebas dan pengamatan secara visual. Selain itu dilakukan pula wawancara dengan nelayan yang memanfaatkan hewan tersebut.
Contoh makrobenthos epifauna diambil dari plot kuadrat 1x` m2, yang disaring dengan saringan berdiameter 0.5 mm dan kemudian dicuci dengan air tawar dan diawetkan dengan formalin 4%. Epifauna diidentifikasi denan menggunakan buku identifikasi (Abbott, 1990), kemudian dihitung dan dianalisis lanjutan.
Sampel yang didapat kemudian diidentifikasi di laboratorium dengan menggunakan buku identifikasi (Dance,1992; Conand,1998; Fiene-Severns, et al., 2000; Aslan, 2000; Aslan and Nishihira,2001; Aslan dkk., 2002; 2003)
kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton sedangkan penentuan stasiun dilakukan secara acak di perairan sepanjang pesisir P. Bonerate dan bagian timur P. Kalao.
100
Lokasi Leg 3
Lokasi Leg 1
Lokasi Leg 2
101
102
tersebut pada Leg 1 Ekspedisi Wallacea ini hanya ditemukan di satu lokasi penelitian saja (Tanjung Lea Lea). Komposisi jenis dan distribusi tiap jenis mangrove yang ditemukan di setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah.
Hasil Penelitian Ekosistem Mangrove Sedikitnya terdapat 10 jenis mangrove yaitu 9 jenis mangrove sejati (MS) dan 1 jenis mangrove ikutan (MI) dari 8 famili di Pulau Bonerate. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di Pulau Bonerate dapat dilihat pada tabel dibawah.
Gambar samping Lumnitzera racemosa merupakan salah satu jenis mangrove sejati yang ditemukan pada penelitian mangrove leg 2.
di semua lokasi penelitian pada Leg 3 Ekspedisi Wallacea ini kecuali di Pulau Sagori, sedangkan spesies yang penyebarannya terbatas dan ditemukan pada satu stasiun penelitian saja adalah Avicenia lanata (Pulau Bangko stasiun 1), A. Marina (Pulau Bangko stasiun 2), Ceriops decandra (Latu), dan Scyphiphora hydrophyllacea (Tanjung Perak). Komposisi jenis dan distribusi jenis mangrove di tiap lokasi penelitian di Pulau Kabaena bagian Barat dan sekitarnya dapat dilihat pada halaman selanjutnya.
Sedikitnya terdapat 23 jenis mangrove yang terdiri dari 15 jenis mangrove sejati (MS) dan 8 jenis mangrove ikutan (MI) dari 17 famili di Pulau Kabaena bagian Barat. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di Pulau Kabaena dapat dilihat pada tabel dihalaman samping.
Rhizophora apiculata merupakan jenis mangrove sejati yang mempunyai distribusi paling merata karena ditemukan di setiap lokasi pengamatan, sedangkan Avicenia marina dan Xylocarpus rumpii merupakan dua jenis mangrove sejati yang mempunyai penyebaran terbatas karena masing-masing jenis
Rhizophora mucronata merupakan jenis mangrove sejati yang distribusinya paling merata dengan berada
Tabel Jenis-jenis mangrove di Pulau Bonerate
1.Kala Toa 2.Lopa (tr 1) 3Lopa (tr 2) 4.Tanjung Lea Lea (tr.1) 5.Tanjung Lea Lea (tr. 2) 6.Meanto Tabel Komposisi dan distribusi jenis mangrove di Pulau Bonerate
Tabel Jenis-jenis mangrove di Pulau Kabaena bagian Barat
103
104
1.Teluk Pising 2.Pulau Bangko(Sta.1) 3.Pulau Bangko (Sta.2) 4.Tanjung Perak 5.Bambanipa 6.Latu 7.Tanjung Malate 8.Pulau Sagori
Gambar atas Hutan mangrove di Pulau Kokudang, Bokan Kepulauan
Tabel Komposisi jenis dan distribusi mangrove di Pulau Kabaena bagian Barat dan sekitarnya
Sedikitnya terdapat 23 jenis mangrove yaitu 11 jenis mangrove sejati (MS) dan 12 jenis mangrove ikutan (MI) dari 15 famili di dearah Bokan Kepulauan. Jenisjenis mangrove yang terdapat di Bokan Kepulauan dapat dapat dilihat pada di halaman samping. Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal merupakan merupakan jenis mangrove sejati yang distribusinya paling merata dengan berada
Gambar samping Rhizophora mucronata merupakan jenis mangrove sejati yang mempunyai distribusi paling merata di Pulau Kabaena bagian Barat dan Sekitarnya (Leg 2) dan juga di Bokan Kepulauan (Leg 3).
105
Tabel Jenis-jenis mangrove yang terdapat di Bokan Kepulauan
106
Gambar samping Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu jenis mangrove sejati dengan distribusi paling merata di Bokan Kepulauan.
di semua lokasi penelitian. sedangkan spesies mangrove yang mempunyai distribusi terbatas dan ditemukan di satu stasiun penelitian saja adalah Avicenia alba (Hol, Pulau Bokan) dan Excoecaria agallocha (Hol, Pulau Bokan). Komposisi jenis dan distribusi jenis mangrove di tiap lokasi penelitian di Pulau Kabaena bagian Barat dan sekitarnya dapat dilihat pada tabel dibawah.
Gambar atas Lamun jenis Halophila ovalis dan Halodule pinifolia di Teluk Pising, Kabaena bagian Barat. Kedua Jenis lamun ini ditemukan tumbuh diperairan dengan substrat berpasir.
merupakan spesies yang sebarannya paling sedikit karena ditemukan hanya di satu lokasi penelitian, yakni di sekitar Teluk Pising.
Ekosistem Lamun Komposisi Jenis dan Distribusi Di ketiga lokasi penelitian Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 setidaknya terdapat 10 jenis lamun dari 2 famili. Jenis jenis lamun yang terdapat di seluruh lokasi ekspedisi dapat dilihat pada tabel.
Sedikitnya terdapat 9 jenis lamun dari 2 famili di perairan Bokan Kepulauan. Komposisi jenis lamun dan distribusinya di tiap lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 3.
Sedikitnya terdapat 9 jenis lamun dari 2 famili di Pulau Bonerate. Komposisi jenis dan distribusi lamun di setiap stasiun penelitian pada tabel dihalaman balik.
Kerapatan Kerapatan (tunas/m2) dari tiap jenis lamun yang terdapat di perairan Kabaena bagian Barat berkisar antara 13-56 tunas/m2 untuk lamun berhelai daun besar (Enhalus acoroides), sedangkan untuk lamun berhelai daun sedang (Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, and Thalassia hemprichii) kerapatan antara 25-1120 tunas/m2, dan untuk lamun berhelai daun kecil (Halophila ovalis, H. minor, Halodule pinifolia, dan H. uninervis) kerapatannya berkisar antara 50-940 tunas/m2. Kerapatan tiap jenis lamun di setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel di halaman selanjutnya.
Padang lamun di perairan Pulau Bonerate mempunyai tipe yang berbeda-beda, mulai dari padang lamun yang bertipe homogen (Meantu'u) hingga yang bertipe heterogen dan terdiri dari enam jenis lamun (Lambego). Halophila minor merupakan spesies dengan sebaran yang paling merata karena ditemukan di empat lokasi penelitian, yaitu dua lokasi di perairan Selat Bonerate, dan dua lokasi di perairan Pulau Bonerate. Sedikitnya terdapat 8 jenis lamun dari 2 famili di Pulau Kabaena Bagian Barat dan sekitarnya. Komposisi jenis lamun dan distribusinya di tiap lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel di halaman selanjutnya.
1.Hol, Pulau Bokan 2.Pulau Kokudan 3.Pulau Melilis Tabel Komposisi jenis dan distribusi mangrove di Bokan Kepulauan dan dan sekitarnya
107
Kerapatan (tunas/m2) dari tiap jenis lamun yang terdapat di perairan Bokan Kepulauan berkisar antara 26-42 tunas/m2 untuk lamun berhelai daun besar (Enhalus acoroides), sedangkan untuk lamun berhelai daun sedang (Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, and Thalassia hemprichii) kerapatan antara 6-32 tunas/m2, dan untuk lamun berhelai daun kecil (Halophila ovalis, H. minor, Halodule pinifolia, dan H. Univervis) kerapatannya berkisar antara 20-500 tunas/m3
Perairan Pulau Kabaena bagian Barat juga mempunyai tipe padang laun yang homogen (Bangko, Sikeli, Bambanipa, dan Latu) hingga yang bertipe heterogen dan terdiri dari tujuh jenis lamun (Teluk Pising). Thalassia hemprichii merupakan spesies dengan sebaran paling merata karena ditemukan di tujuh lokasi penelitian sedangkan Cymodocea serrulata
108
Tabel Jenis-jenis lamun yang ditemukan diseluruh lokasi penelitian.
Tabel Komposisi jenis dan distribusi lamun di perairan Pulau Bonerate
Tabel Komposisi jenis dan distribusi lamun di perairan Pulau Kabaena bagian Barat.
Gambar samping Thalassodendron ciliatum, jenis lamun yang banyak ditemukan di Indonesia Timur dan umumnya berasosiasi dengan terumbu karang.
Gambar samping Enhalus acoroides, jenis lamun yang dominan di perairan Bokan Kepualauan dan juga hampir seluruh lokasi penelitian lainnya.
109
110
Gambar samping Ikan karang, diantaranya jenis Moorish idol, banyak ditemukan di terumbu karang Pulau Kakabia
Tabel Komposisi jenis dan distribusi lamun di perairan Bokan Kepulauan
Sementara di Kakabia Utara (kedalaman 6 m) mempunyai persentase karang mati 2,3%. Faktor abiotik tertinggi (33,85%) terdapat di Pulau Teterang, sedangkan terendah (0,8%) terdapat di Kakabia Barat (kedalaman: 8-9 m).
Tabel Kerapatan tiap jenis lamun di perairan Pulau Kabaena bagian Barat
Dari kondisi persentase luasan tiap kategori penutupan, kondisi terumbu karang di Kakabia bagian Barat terutama kedalaman 9 m, sangat baik bila dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain. Rendahnya tingkat tutupan karang di beberapa stasiun penelitian terutama pada stasiun yang berada di kedalaman 2-3 m (Kakabia bagian Barat) diduga karena adanya kegiatan-kegiatan penangkapan ikan nelayan sekitar yang menggunakan bom dan racun. Ditambah lagi dengan kondisi terumbu karang yang terdedah saat air surut.
Ekosistem Terumbu Karang Pulau Teterang dan Pulau Kakabia Dari lima stasiun yang diamati, secara umum kondisi terumbu karang di Pulau Teterang dan Pulau Kakabia masih dalam kondisi baik dengan persentase tutupan karang tertinggi terdapat di Pulau Kakabia bagian Barat (kedalaman: 8-9 m), yaitu sebesar 77,6% dan yang terendah terdapat di Pulau Kakabia bagian Barat (kedalaman: 3 m) sebesar 28,72%. Persentase nilai tutupan tiap parameter di setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Berdasarkan analisa statistik, terumbu karang di Pulau Kakabia bagian Utara (kedalaman: 6 m) dan di bagian Barat (kedalaman: 8-9 m) mempunyai kesamaan kondisi yang terdekat dan diikuti dengan Kakabia Utara (2-3 m), Teterang dan Kakabia Barat (3 m). Walaupun persentase tutupan karang di Kakabia Utara (2-3 m) lebih tinggi dari Kakabia Utara (6 m) tetapi besar prosentasi biota terumbu lainnya di Kakabia Utara (6 m) lebih tinggi daripada Kakabia Utara (2-3 m). Hal ini yang menyebabkan kondisi terumbu karang di kakabia Utara (6 m) lebih mirip dengan Kakabia Barat (8-9 m).
Kehadiran biota laut lain seperti alga, gorgonian dan zoanthid, bervariasi di setiap stasiun penelitian. Kakabia Utara (kedalaman: 6 m) mempunyai persentase biota laut selain karang tertinggi (34,3%), sedangkan pada Kakabia Utara (kedalaman: 2-3 m) biota lain yang berasosiasi tidak terinventarisir.
Bokan Kepulauan Kondisi terumbu karang di daerah Hol, Pulau Salue Besar dan Pulau Kokudang berada pada kriteria tinggi dengan tutupan karang hidup 61,6% dan 68,3%.
Karang mati dan pecahannya banyak ditemukan (57,56%) di Kakabia Barat (kedalaman 3 m).
111
112
Karang hidup di perairan Hol terdiri dari karang lunak dan keras dengan berbagai bentuk pertumbuhan. Dari 61,6% karang hidup, terdapat 21% karang lunak,10,1% karang jari Acropora, 0,9% karang digitata Acropora, 5,5% karang jari, 0,8% karang massive, 23% karang daun dan 0,2% karang jamur. Dari 68,3% karang hidup di Pulau Kokudang, terdapat karang lunak 45,7%, karang jari acropora 19,1%, karang daun 11%, karang jari 6,8%, coral massive 5,9%, coral submassive 4,1%, karang meja 2,9%, Acropora digitata 2,6%, karang kerak 1,2% dan karang jamur 0,6%. Perbandingan prosentasi di
atas menunjukkan bahwa karang lunak mendominasi tutupan karang hidup. Selain tutupan karang hidup yang relatif tinggi, persentase karang mati dan pecahan karang juga besar yaitu sebesar 19,5% (Hol) dan 6,4% (Pulau Kokudang). Pecahan-pecahan karang ini diduga merupakan akibat adanya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom yang memang menurut masyarakat setempat masih berlangsung hingga sekarang. Selain kegiatan pemboman, kegiatan pembuangan jangkar oleh kapal nelayan juga merusak kondisi karang Persentase tutupan karang lunak di kedua lokasi penelitian sangat tinggi dibandingkan dengan organisme lain. Besarnya tutupan karang lunak dibandingkan dengan karang diduga disebabkan oleh laju pertumbuhannya yang cepat yang didukung oleh kondisi perairan yang jernih dan berarus. Selain itu, tingkat predasi karang lunak rendah dibandingkan dengan karang keras. Menurut Lewis (2004), ikan kupu-kupu Chaetodon melannotus dan ikan betoklaut (damselfish) Neoglyphidodon melas adalah predator karang lunak. Selanjutnya, moluska dan kepiting juga merupakan predator potensial (Fennen, 2004). Karang lunak mempunyai peranan yang penting dalam rekruitmen dan perkembangan awal dari karang scleractinian (Maida et al, 2001). Beberapa
Gambar bawah Banggai Cardinalfish, merupakan salah satu ikan yang endemik di perairan laut Kepulauan Banggai.
jenis karang lunak yang dapat diidentifikasi secara langsung dan tumbuh di lokasi penelitian ini adalah Xenia, Anthelia, Cespitularia dan Sarcophyton. Hal lain yang diamati saat survei adalah terdapatnya ikan kardinal banggai (Banggia Cardinal, Kauderns Cardinal, Banner Cardinal dan Outhouse Cardinal) ikan laut dangkal yang bersifat endemik dan biasanya berasosisasi dengan bulu babi. Pada satu lokasi ditemukan mereka berasosiasi dengan anemon dan ikan badut. Masyarakat pesisir di sekitar Desa Bungin sepertinya sudah menyadari pentingnya konservasi terumbu karang, terbukti dengan adanya daerah perlindungan laut (DPL) yang dibuat secara swakarsa sejak tahun 2000. DPL ini berlokasi di depan pasar desa dimana terumbu karang disitu dulunya merupakan lokasi target penangkapan ikan dengan bom.
Gambar atas Jangkar diperkirakan merupakan salah satu penyebab tidak langsung rusaknya terumbu karang di Pulau Kokudang.
Komunitas Fitoplankton Setidaknya terdapat 88 genus fitoplankton di perairan Pulau Bonerate dan Pulau Kalao bagian Timur yang berasal dari tiga kelas: Diatome, Dinophyceae, dan Cyanophyceae. Kelas Diatome mendominasi komunitas fitoplankton di perairan ini (57 genus, kelimpahan: 64,77%), diikuti oleh kelas Dinophyceae (21 genus, kelimpahan: 23,86%) dan kelas Cyanophyceae (10 genus, kelimpahan: 11,36%).
Distribusi dan kelimpahan fitoplankton umumnya ditentukan oleh beberapa parameter seperti pergerakan massa air, perubahan salinitas, suhu, kandungan fosfat, nitrat, silikat dan penetrasi cahaya. Menurut Odum (1971), Keanekaragaman jenis bukan saja menyangkut banyaknya jenis saja tetapi juga kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman berarti semakin banyak organisme yang menghuni daerah tersebut.
Total kelimpahan berkisar antara 14.259 sel/m3 (stasiun 13) hingga 265.162 sel/m3 (stasiun 17). Kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada grafik dibawah.
Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 16 (H' = 2,615). Berdasarkan klasifikasi Shannon-Wiener menunjukkan bahwa kisaran indeks keanekaragaman termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang dengan penyebaran jumlah individu, kestabilan komunitas dan tekanan ekologi yang merata. Sedangkan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 7 (H' = 0,393) yang menunjukkan bahwa pada stasiun tersebut mempunyai keanekaragaman kecil dengan penyebaran jumlah individu rendah dan kestabilan komunitas rendah serta tekanan ekologi yang besar.
KELIMPAHAN FITOPLANKTON 300000
jumlah fitoplankton
Persentase penutupan tiap kategori yang didapat dari hasil penelitian di kedua lokasi dapat dilihat pada tabel dibawah. Biota terumbu yang diamati di perairan Hol dan Pulau Kokudang adalah sponnges (bunga karang), anemon, ascidian dan echinodermata (seperti bulu babi).
250000 200000 150000 100000 50000 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
stasiun
114
Dari hasil analisa didapatkan nilai indeks keseragaman yang berkisar antara 0,088-0,584. Jika dilihat dari nilai indeks yang didapatkan pada tiap stasiun
Pada perairan pesisir, salinitas mempunyai pengaruh besar terhadap suksesi suatu jenis fitoplankton. Variasi yang agak kecil dari salinitas, hanya lebih kurangbeberapa gram perseribu berpengaruh terhadap fitoplankton, yaitu dapat memepengaruhi daya melayangnya. Fitoplankton dapat berkembang pada salinitas diatas 15‰ dan optimum pada salinitas 35‰ (Millero dan John, 1952).
menunjukkan nilai keseragaman yang kecil atau mendekati nol, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah individu tiap genera tidak sama di setiap stasiun, kecuali pada stasiun 16 menunjukkan nilai indeks keseragaman yang besar atau mendekati satu berarti jumlah individu tiap genera sama pada stasiun tersebut. Nilai indeks dominansi di lokasi penelitian berkisar antara 0,074-0,702. Indeks Dominansi tertinggi terdapat pada stasiun 5 dengan nilai indeks 0,702, nilai ini menunjukkan adanya species tertentu yang mendominasi pada stasiun tersebut, pada stasiun 5 didominasi oleh Trichodesmium Sp. Sedangkan nilai indeks keseragaman pada stasiun yang lain nilainya kecil atau mendekati nol, menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi. Jenis fitoplankton yang paling banyak mendominasi adalah Protoperidinium sp, Bacteriastrum sp, Chaetoceros sp, Hemiallus sp, Ceratium sp dan Rhizosolenia sp. Kualitas Air dan Sebaran Fitoplankton
dibawah nilai kisaran nitrat yang cocok untuk fitoplankton mencapai blooming (4-6 ppm). Sumber utama dari fosfat dan nitrat adalah limbah organik dan merupakan asupan dari daratan yang menyebabkan terjadinya perbedaan kadar nitrat pada tiap perairan. Fosfat Nilai kisaran fosfat tertinggi mencapai 0,706 ppm (stasiun 1) dan terendah 0,021 ppm (stasiun 13). Kisaran fosfat pada perairan ini sesuai bagi pertumbuhan fitoplankton. Hal ini menunjukkan perairan cukup subur dan tidak mengidentifikasi potensi blooming. Blooming biasanya terjadi disebabkan oleh masuknya fosfat melalui buangan limbah dengan kisaran nilai yang diteliti sebesar 1,655,23 ppm.
Gambar bawah Jenis-jenis fitoplankton yang secara umum mendominasi komunitas fitoplankton di perairan Pulau Bonerate
Derajat Keasaman (pH) Perairan Bonerate mempunyai kisaran pH antara 7,5 8,5 dan pada tiap stasiun relatif sama. Secara umum nilai pH pada kirasan ini merupakan kondisi cukup baik untuk pertumbuhan fitoplankton. Menurut Mays (1996), nilai pH air yang optimal bagi kehidupan makhluk hidup air laut adalah sekitar 6 hingga 9. Suhu o Kisaran suhu hasil pengukuran yaitu 27,5-30 C, kisaran ini masih sesuai untuk pertumbuhan fitoplankton. Suhu air berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologis lingkungan perairan. Kenaikan suhu menyebabkan aktivitas metabolisme organisme air meningkat, dan ini menyebabkan berkurangnya gas-gas terlarut di dalam air yang berguna bagi kehidupan fitoplankton. Meningkatnya suhu yang tidak dikehendaki dapat mengganggu kehidupan fitoplankton. Untuk fitoplankton, suhu merupakan o faktor yang penting, dengan nilai kisaran 28-29 C memungkinkan untuk terjadinya blooming.
Pada penelitian ini hanya beberapa parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, pH, nitrat dan fosfat. Kondisi cuaca pada waktu pengambilan sampel sangat cerah. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan perairan dapat dilihat pada tabel diatas. Nitrat Nilai konsentrasi Nitrat bervarisasi tiap stasiun dengan kisaran antara 0,243 ppm (stasiun 7) hingga 0,836 ppm (stasiun 17). Konsentrasi ini menunjukkan nilai yang sesuai bagi pertumbuhan fitoplankton dan masih
Salinitas Kisaran salinitas pada daerah permukaan sekitar 33,133,3 psu. Nilai ini menunjukkan kisaran salinitas yang sesuai bagi pertumbuhan fitoplankton
115
Lea dan Meantu disebabkan karena komunitas epifauna disusun oleh jumlah spesies dan jumlah individu spesies yang mempunyai kelimpahan besar dan sama atau relatif sama, walaupun terdapat spesies yang mendominansi, seperti Littorina irrorata di kawasan hutan mangrove Kalao Timur, Laja, LeaLea maupun Meantu. Indeks keanekaragaman infauna yang relatif tinggi antar zona hutan mangrove di Kalao Timur, Laja, LeaLea dan Meantu juga disebabkan karena komunitas infauna disusun oleh jumlah spesies dan jumlah individu spesies yang mempunyai kelimpahan besar dan sama atau relatif sama, walaupun terdapat spesies yang mendominansi, seperti Muscilista senhousei dan Tellina sp di kawasan hutan mangrove Kalao Timur; Tellina sp, Spisula sollidissima dan Muscilista senhousei di kawasan hutan mangrove Laja; Tellina sp dan Spisula sollidissima di kawasan hutan mangrove Lea-Lea serta Laevicardium crassum dan Spisula sollidissima di kawasan hutan mangrove Meantu.
Komunitas Makrobenthos Komunitas makrobentos di kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate dan Kalao Timur tersusun atas epifauna dan infauna. Komposisi dan jumlah individu, kelimpahan relatif serta keanekaragaman epifauna dan infauna yang ditemukan di 4 lokasi penelitian bervariasi antar zona hutan mangrove, dan dapat dilihat pada tabel dibawah.
Siput Littorina irrorata sangat mendominasi kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate karena sesuai hidup pada habitat dengan tipe substrat dasar yang menyediakan permukaan keras untuk melekat (Rafaelli and Hawkins, 1996). Littorina irrorata yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate mempunyai ciri; melekat erat pada permukaan keras tegakan mangrove, seperti akar, batang dan daun maupun pada substrat dasar hutan mangrove yang berupa karang, pecahan karang dan pasir.
Kelimpahan spesies yang tinggi diantara kelimpahan spesies lainnya, menunjukkan bahwa terjadi dominansi suatu spesies terhadap spesies lain di dalam lingkungannya. Hal ini berarti bahwa spesies-spesies yang dominan tersebut mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap habitatnya dibandingkan spesies yang kurang dominan (McNaughton dan Wolf, 1990). Brower, Zar and Ende (1997) menyatakan bahwa komunitas yang disusun oleh sedikit spesies atau hanya sedikit spesies yang melimpah akan mempunyai keanekaragaman yang rendah karena perbedaan kelimpahan antara spesies yang mendominasi dengan spesies yang tidak mendominasi sangat besar, sedangkan komunitas yang disusun oleh banyak spesies sehingga tidak terjadi dominansi akan mempunyai indeks keanekaragaman yang tinggi. Indeks keanekaragaman epifauna yang relatif tinggi antar zona hutan mangrove di Kalao Timur, Laja, Lea-
Spesies epifauna lain yang termasuk kedalam Phylum Mollusca (Kelas Gastropoda dan Scaphopoda) relatif dapat ditemukan pada ketiga zona di 4 lokasi penelitian kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate. Kehadiran spesies epifauna tersebut, selain dipengaruhi oleh tipe substrat dasar lokasi penelitian yang secara umum tersusun oleh pasir berlumpur dan pecahan karang, juga dipengaruhi oleh daya toleransi tinggi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan (Castro and Huber, 1997).
116
Habitat atau kebiasaan hidup epifauna dari Kelas Gastropoda dan Scaphopoda yang hidup berasosiasi dengan permukaan substrat dasar, baik secara permanen atau sementara menyebabkan epifauna dari Kelas Gastropoda dan Scaphopoda, umum terdapat pada semua tipe substrat dasar, seperti tipe substrat dasar halus pasir berlumpur namun lebih sering ditemukan pada tipe substrat dasar keras seperti batuan dan pecahan karang. Gastropoda dan Scapophoda beradaptasi untuk hidup pada permukaan substrat dasar dengan mempunyai kait, penghisap dan tubuh fleksibel (Day et al., 1989; Castro and Huber, 1997; Lalli and Parsons, 1999).
sehingga dapat mendiami kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate (Castro and Huber, 1997). Habitat atau kebiasaan hidup spesies infauna dari Kelas Bivalvia, Polychaeta dan Crustacea yang seluruh atau sebagian hidup di dalam substrat menyebabkan spesies infauna tersebut mendominasi komunitas pada tipe substrat dasar halus seperti tipe substrat dasar pasir berlumpur di kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate. Spesies infauna dari Kelas Bivalvia, Polychaeta dan Crustacea beradaptasi agar sesuai hidup pada habitat dengan tipe substrat dasar pasir berlumpur, dengan cara menggali lubang atau liang, mengubur atau membenamkan tubuh ke dalam substrat menggunakan tubuh lunak dan sistem otot. Spesies infauna dari Kelas Bivalvia dan Crustacea juga dapat beradaptasi pada habitat dengan tipe substrat keras seperti tipe substrat dasar batuan atau pecahan karang dengan menggunakan kombinasi cara kimia, seperti mengeluarkan sekret dan cara mekanis atau mengebor untuk masuk ke dalam substrat (Castro and Huber, 1997; Lalli and Parsons, 1999).
Kerang Tellina sp dan Spisula sollidissima, Laevicardium crassum serta Muscilista senhousei mendominasi kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate. Dominasi disebabkan karena spesies kerang tersebut sesuai hidup pada habitat dengan tipe substrat dasar pasir berlumpur (Rafaelli and Hawkins, 1996; Nybakken, 1988). Spesies kerang yang mendominasi kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate ditemukan hidup terkubur dan menggali lubang atau liang di dalam substrat pasir berlumpur.
Komunitas Bulu Babi dan Teripang Bulu Babi dan Teripang merupakan hewan lunak dari Filum Echinodermata. Penelitian mengenai bulu babi dan teripang di perairan Pulau Kabaena bagian Barat dilakukan di 7 stasiun penelitian.
Spesies infauna lain yang termasuk dalam Phylum Mollusca (Kelas Bivalvia), Phylum Annelida (Kelas Polychaeta) dan Phylum Arthropoda (Kelas Crustacea) relatif dapat ditemukan pada ketiga zona di 4 lokasi penelitian kawasan hutan mangrove Pulau Bonerate karena selain dipengaruhi oleh tipe substrat habitatnya, spesies tersebut juga mempunyai toleransi tinggi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan
Sedikitnya terdapat empat jenis bulu babi di perairan Pulau Kabaena bagian Barat. jenis-jenis bulu babi dan penyebarannya pada tiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel disamping.
Tabel Jenis jenis bulu babi dan penyebarannya di perairan Pulau Kabaena bagian Barat
117
Gambar atas Bohadschia argus Jaeger merupakan teripang yang mempunyai distribusi terbatas di pulau Kabaena bagian Barat
Jenis teripang yang dominan di perairan Pulau Kabaena bagian Barat adalah Holothuria scabra, H. scabra var. versicolor, dan Actinopyga miliaris, karena mempunyai distribusi yang merata di semua stasiun penelitian, sedangkan teripang jenis Stichopus variegates, Euapta godeffroyi, dan Bohadschia argus mempunyai sebaran yang sangat terbatas karena hanya ditemukan pada 1 stasiun penelitian saja.
ditemukan pada 1 stasiun penelitian yakni sekitar Pulau Bangko. Setidaknya terdapat 8 jenis teripang di perairan Pulau Kabaena bagian barat. Jenis-jenis teripang dan penyebarannya pada tiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel Jenis jenis teripang di perairan Pulau Kabaena bagian Barat
Jenis bulu babi yang dominan di perairan Pulau Kabaena bagian barat adalah Tripneustes gratilla, Diadema setosum, dan Echinotrix calamaris, karena mempunyai distribusi yang merata di semua stasiun penelitian, sedangkan bulu babi jenis Echinometra sp. Mempunyai sebaran yang sangat terbatas karena hanya
Bulu babi merupakan salah satu potensi sumberdaya laut yang belum dimanfaatkan maksimal di daerah sekitar lokasi penelitian. Bulu babi dapat diolah menjadi sumber komoditi ekspor yang berharga cukup mahal di Jepang. Bagi negara lain seperti Amerika Serikat, Rusia, kanada, Korea Selatan, Cili,
118
Chou, M. L., V. S. Tuan, P. Reefs, T. Yeemin, A. Cabanban, Suharsono and I. Kessna, 2002, Status of Southeast Asia Coral Reefs dalam Status of Coral Reefs of The World, C. Wilkinson (eds). Australian Institute of Marine Science, Australia. p : 123 – 152.
dan Cina, bulu babi merupakan sumber devisa karena dapat menghasilkan devisa yang berkisar dari US$ 11 Juta (Rusia) hingga US$ 149 Juta pertahun.
Daftar Pustaka Bengen, D.G., 2001a, Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor
Kiswara, W., A.S. Genisa, A. Arifin, dan L.H. Purnomo, 1992: A preliminary study of the species composition, abundance, and distribution of fishes in the seagrass beds of Banten Bay, West Java, Indonesia, Paper presented on Workshop of Fisheries Connection with Mangroves and Seagrasses, Kuala Lumpur, 183-213.
Tripneustes gratilla
Fennen, B. 2004. A Diversity of Aquatic Life: The Soft Corals, Order Alcyonacea; Use in Marine Aquariums. http://www.wetwebmedia.com/soft.htm. Diambil : September 2004.
Vogel, de E. F., 1987, Manual of Herbarium Theory and Practice, Jakarta: Unesco.
Maida, M., P. W. Sammarco, and J. C. Coll, 2001, Effects of Soft Coral on Scleractinian Coral Recruitment. II : Allelopathy, Spat Survivorship and Reef Community Structure, Marine Ecology 22 (4) : 397.
Kirkman, H., 1985, Community structure in seagrass in southern western Australia, Aquatic Botany, 21:363-375. Nienhuis, P.H., J. Coosen, & W. Kiswara, 1989, Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 197-214.
MacNaughton, S. J., and L. L. Wolf, 1998, Ekologi Umum, edisi ke-2, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Diadema setosum
Brower, J. E., J. H. Zar, and C. N. Ende, 1997, Field and Laboratory Methods for General Ecology, 4th Edition, WMC Co Publ. Doboque, Iowa USA Rafaelli, D., and S. Hawkins, 1996, Intertidal Ecology, Chapman & Hall, Oxford, UK
Den Hartog, C., 1970, The seagrasses of the world, North Holland Amsterdam, 275 pp.
Castro, P., and M. E. Huber, 1997, Marine Biology, 2nd Edition, WCB McGraw-Hill, USA
Hutomo, M., 1995, Telaah ekologik komunitas ikan pada padang lamun (seagrass, Anthophyta) di perairan Teluk Banten, Thesis Doktor, Fakultas Pasca Sarjana – IPB Bogor, 271 pp. In Indonesian Sukmara, A., A. J. Siahainenia dan C. Rotinsulu, 2001, Panduan Pemantauan Terumbu Karang BerbasisMasyarakat Dengan Metoda Manta Tow. Proyek Pesisir. Publikasi Khusus. University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett, Rhode Island, USA. 48 hal.
Tomlinson, 1986, The Botany of Mangrove, Cambridge University Press.
Lewis, A., 2004, Tevene'i Marine, Australia. http://www.imagequest3d.com/ pages/articles/articleofmonth/softcoral/softcoral.htm. Diambil : September 2004.
Hsuan, K., 1978, Orders and Families of Malayan Seed Plants, Singapore University Press
Kiswara, W., 1994, A review: seagrass ecosystems studies in Indonesian waters, Paper presented at the ASEAN – Australia Symposium on Living Coastal Resources, Chulalangkorn University, Bangkok – Thailand, 16-20 May 1994.
Bridson and Forman, 1992, Handbook of Herbarium, Kew Royal Botanic Garden.
English, S., C. Wilkinson, and V. Baker (eds), 1994, Survey Manual for Tropical Marine Resources, Australian Institute of Marine Science. Townsville. 368 pp.
Noor, Y. L., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadipura, 1999, Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor : Wetland International – Indonesia Programme Irawan, B., 2003, Kondisi Vegetasi Mangrove di Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau dalam Burhanuddin, S. dkk (ed.) Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan.Pusriswilnon-BRKP-Dep. KP. ISBN 97998165-0-5; hlm 50-58
Bengen, D. G.,2001b, Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor
Lalli, C. M., and T. R. Parsons, 1999, Biological Oceanogeraphy An Introduction, 2nd edition, Butterworth – Heinemann, Oxford UK Nybakken, J. W., 1988, Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis, PT Gramedia Jakarta Echinotrix calamaris Gambar atas Species bulu babi yang dominan di perairan Pulau Kabaena
Backer, C. A. and. B. Jr van den Bakhuizen, 1968, Flora of Java. Netherland, P. Noordoff. Balgooy, M.M.J. van, 1999, Malesian Seed Plants, Rijksherbarrium Leiden.
119
120
Peneliti: Widodo S. Pranowo 1a, Bagus Hendrajana1a, A. Rita Tisiana DK1b, Erish Widjanarko1c, Hari Priatno1c, Hariyanto Triwibowo1c, Eva Mustikasari1d , E. Andri Kisnarti2 1a) Peneliti Oseanografi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 1 (Pulau Bonerate), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 1b) Peneliti Oseanografi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 2 (Pulau Kabaena), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 1c) Peneliti Oseanografi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepualauan), Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 1d) Staf Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta 2) Peneliti Oseanografi Ekspedisi Wallacea Indonesia Leg 3 (Bokan Kepulauan), Staf Pengajar Jurusan Oseanografi Universitas Hang Tuah Surabaya
Oseanografi Fisis Kompilator:
Widodo S. Pranowo Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
Gambaran Umum Kondisi suatu perairan dapat diamati berdasarkan parameter oseanografi fisiknya, meliputi temperatur air laut, salinitas, pasang surut, kecepatan arus dan gelombang laut. Selain kondisi fisik badan air tersebut, parameter meteorologi yaitu angin dapat dijadikan sebagai parameter pendukung untuk mengetahui kondisi suatu perairan. Pengetahuan tentang kondisi fisik oseanografi pada suatu wilayah perairan, dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan ekosistem yang ada di perairan tersebut. Pengamatan paramater oseanografi fisik pada Leg 1 dan Leg 2 dititikberatkan pada pengukuran temperatur air laut, salinitas dan densitas, sedangkan pada Leg 3 dilakukan akusisi data angin, arus, pasang surut dan gelombang laut.
Metodologi Penelitian Beberapa alat pengukur parameter oseanografi fisik digunakan dalam ekspedisi ini, yakni (a) Pengukuran temperatur, salinitas dan densitas air laut secara vertikal dari permukaan hingga kedalaman tertentu menggunakan CTD Profiler, (b) pengukuran dan perekaman perubahan elevasi muka laut akibat pasang surut dan gelombang laut dilakukan dengan Tide & Wave Gauge, (c) pengamatan kecepatan dan arah angin dengan Anemometer, serta (d) Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) digunakan untuk mengukur kecepatan dan arah arus pada kolom vertikal dari lapisan dasar perairan hingga lapisan permukaan tertentu. Pengukuran dengan menggunakan CTD Profiler dilakukan pada titik-titik pengukuran yang sudah ditentukan sebelumnya. Prinsip pengukuran dengan menggunakan alat ini adalah dengan memasukkan alat tersebut ke dalam air di titik yang telah ditentukan. Kedalaman titik pengukuran untuk menurunkan alat ini sebaiknya pada kedalaman lebih dari 100 m. Variasi perubahan fisik suatu perairan akan terlihat dari permukaan perairan sampai pada kedalaman lebih dari 100 m. Lapisan tempat terjadinya perubahan fisik tersebut dinamakan lapisan termoklin. Pengukuran suhu dan salinitas bertujuan untuk mengamati kondisi fisik air laut utamanya pergerakan air akibat perbedaan densitas berdasarkan analisa massa air. CTD Profiler yang digunakan dalam ekspedisi ini dilengkapi dengan botol-botol sampel untuk mengambil sampel air pada kedalaman yang telah ditentukan. Sampel air yang diambil selanjutnya dianalisa untuk mengetahui nilai kesuburan suatu perairan.
Gambar atas Sketsa Stasiun Pengukuran CTD di Perairan Bonerate & Kalao
Tide & Wave Gauge diletakkan di dasar laut pada perairan yang dangkal. Alat ini dilengkapi oleh berbagai sensor yang dapat merekam tinggi muka air (sea level) dan juga tinggi gelombang atau tekanan permukaan (subsurface) terhadap ketinggian gelombang.
Untuk keperluan analisa dan pemodelan digunakan pula data sekunder, yakni hasil ramalan pasang surut menggunakan ORITIDE-Global Tide Model yang dibangun oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo, Jepang dan data angin dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Departemen Perhubungan. Keseluruhan data tersebut selanjutnya, dianalisa secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi fisik perairan di lokasi-lokasi riset Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004.
yang mempengaruhi kehidupan biota laut dan proses kimia perairan hingga ke skala mikro, seperti halnya proses distribusi larva ikan maupun larva hewan karang yang sangat dipengaruhi oleh fenomena pasang surut ini (Black, 2001; Romimohtarto & Juwana, 2004; Pranowo, et al., 2004).
Lokasi Penelitian Leg 1 melakukan pengukuran parameter temperatur, salinitas dan densitas di Selat Bonerate, perairan Pulau Kalao dan P. Bonerate seperti pada gambar halaman samping. Leg 2 melakukan pengukuran parameter fisik yang sama di perairan barat dari P. Kabaena, baik di sisi selatan maupun di sisi utara-nya. Sedangkan Leg 3 mengkonsentrasikan pengukuran, arus, pasang surut dan gelombang laut di perairan P. Salue Besar atau sejajar dengan Desa Bungin.
Lokasi kegiatan riset dalam rangka Ekpedisi Wallacea Indonesia 2004 ini antara lain adalah di Perairan Pulau Bonerate yang berada di Laut Flores (LEG 1), Perairan Gugus Kep. Kabaena Barat Sebelah Utara dan Selatan (LEG 2), dan Perairan P. Salue Besar Kepulauan Banggai tepatnya di sekitar Desa Bungin (LEG 3).
Hasil Penelitian Pasang Surut Pasang surut adalah gerakan naik turunnya permukaan air laut. Gerakan air laut ini disebabkan oleh gaya tarik benda-benda angkasa dan gaya sentrifugal (Pugh,1987). Pasang surut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika fisik perairan baik di zona perairan pantai hingga laut lepas maupun dari zona dangkal perairan hingga kedalaman laut tertentu. Kondisi fisik perairan inilah
Grafik Pasang Surut Desa Bungin Bokan Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah 10-16 Juli 2004 700 Kedalaman (c m)
kapal ini biasanya dilakukan apabila ingin mengetahui kondisi kecepatan arus dengan metoda Lagrange. Metoda lagrange adalah metoda pengukuran dimana pengukuran kecepatan arus dengan cara bergerak dan kecepatan arus diukur tidak hanya pada satu titik saja, tetapi berbgai titik. Dengan cara ini dapat diketahui pergerakan badan air.
650 600 550 500 450 400 10
Tinggi (c m)
100
ADCP dipasang pada dasar perairan mulut sungai, dimana pertukaran air yang keluar masuk sungai tersebut cukup kuat. Sehingga pergerakan air dapat terekam pada alat ini dengan baik. Alat ini dapat juga dipasang di dasar kapal. Penempatan alat di dasar
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
15
16
71
78
85
92
Ketiga lokasi tersebut secara umum mempunyai tipe pasang surut Campuran cenderung ke Harian Ganda (Mixed Tide Prevailing Semidiurnal), dimana dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda, dinyatakan dalam kisaran nilai Formzahl sebesar 0,25 < F < 1,50 (Wyrtki,1961). Hal tersebut diatas terlihat dari pola grafik hasil ramalan pasut menggunakan ORITIDE di lokasi LEG 1 dan LEG 2 yang tampak pada gambar disamping, dan pengukuran in situ dengan menggunakan Tide Gauge di lokasi LEG 3.
-150 Waktu (Jam ke- )
Perairan Pulau Kabaena Pasang Surut Hasil Ramalan 1 Mei - 2 Agustus 2004 150
100
50 Tinggi (c m)
14
0
-100
0 1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
Nilai Formzahl hasil perhitungan berdasarkan konstanta Harmonik Pasang Surut seperti pada gambar diatas yang dilakukan terhadap data pasut di Perairan P. Salue Besar Kepulauan Banggai tepatnya di sekitar Desa Bungin (LEG 3) adalah 0,8.
-50
-100
-150 Waktu (Jam ke- )
Gambar atas Sketsa Stasiun Pengukuran CTD di Perairan Kabaena bagian Barat
13
50
-50
Gambar bawah Pengambilan contoh air dari CTD pada Leg 1 di Perairan Bonerate
12
Gambar atas Pasang Surut Hasil Pengukuran dengan Tide Gauge di Pulau Salue Besar (garis kuning = tinggi maksimum pasut, garis merah muda = Mean Sea Level, garis biru muda = muka surutan atau chart datum)
150
Anemometer dipasang di atas kapal phinisi Cinta Laut yang digunakan pada ekspedisi ini. Alat ini akan merekam kecepatan dan arah angin selama kegiatan pengukuran berlangsung.
11
Tanggal
Perairan Pulau Bonerate Pasang Surut Hasil Ramalan 1 Mei - 2 Agustus 2004
Gambar atas Pasang Surut Hasil Ramalan di Perairan Pulau Bonerate dan di Perairan Pulau Kabaena
Grafik pasut di Perairan P. Salue Besar pada gambar diatas terlihat kisaran yang sangat tinggi yaitu 525-
124
Tabel Konstanta Harmonik diolah dengan menggunakan Metode Admiralty Pasang Surut Konstanta A Cm go
S
M
S
N
K
O
M
MS
K
587
37
13
8
22
18
3
4
3
P1 7
341
125
224
268
282
180
276
125
268
pengukuran dilakukan yaitu pertengahan bulan Juli, yang mempengaruhi Laut Flores pada umumnya dan perairan Bonerate dan sekitarnya adalah dari Laut Banda, yang diakibatkan adanya Monsun Tenggara (BRKP, 2003).
Hasil pengukuran di Stasiun 1 dari permukaan laut hingga kedalaman 20 P. Salue Besar meter temperatur menurun dari nilai 29,5 + 75 cm ºC menjadi 29,2 ºC, kemudian dari 20 120 cm meter hingga 30 meter nilai temperatur 195 cm konstan pada nilai sekitar 29,2 ºC, sedangkan pada sekitar 32 meter temperatur turun menjadi sekitar 29 ºC. Temperatur menjadi sekitar 29,2 ºC saat mencapai kedalaman sekitar 35 meter, pada 35 meter hingga 40 meter temperatur turun kembali hingga mencapai sekitar 28,5 ºC. Dan saat kedalaman mencapai 70 meter, temperatur menurun hingga menjadi sekitar 28 ºC.
Tabel Air Pasang Tertinggi, Air Surut Terendah dan Tunggang Maksimum P. Bonerate
P. Kabaena
+ 106, 65 cm
+ 109,41 cm
Air Surut Terendah
136,40 cm
140,42 cm
Tunggang Maksimum
243,03 cm
249,83 cm
Air Pasang Tertinggi
640 cm, hal ini disebabkan penempatan Tige gauge adalah dilakukan pada kedalaman 587 cm. Sedangkan tinggi rata-rata air pasang tertinggi, air surut terendah, dengan tunggang maksimum secara lengkap di lokasi riset terlihat di Tabel diatas. Secara umum dari ketiga lokasi terlihat tunggang maksimum berturut-turut nilai tertinggi dimiliki oleh Perairan P. Kabaena, P. Bonerate, dan P. Salue Besar. Temperatur dan Salinitas Perairan Pulau Bonerate Pengukuran parameter oseanografi fisik berupa temperatur dan salinitas dengan menggunakan CTD Profiler di Perairan sekitar Pulau Bonerate dan Pulau Kalao dilakukan pada 5 titik stasiun, dimana 3 titik stasiun berada di sepanjang Selat Bonerate, 1 titik stasiun di Selatan P. Kalao, dan 1 titik stasiun di Tenggara P. Bonerate. Dimana pengukuran CTD dilakukan hanya dilakukan hingga kedalaman maksimum sekitar 70 meter dikarenakan kedalaman di sekitar Selat Bonerate yang dangkal sedangkan pada stasiun lain (Stasiun 4 dan 5) saat pengukuran dilakukan kondisi perairan kurang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran lebih dalam dari 70 meter.
Gambar bawah Temperatur dan Salinitas di Perairan Bonerate dan Kalao
125
Perairan Bonerate dan Kalao terletak di Laut Flores yang secara umum dipengaruhi oleh air yang mengalir dari Laut Banda dan Selat Makassar. Massa air yang berasal dari Selat Makassar adalah salah satu bagian dari Arus lintas Indonesia (Indonesian Throughflow) yang dominan mengalir menuju ke Laut Banda dimana sebelumnya melewati Laut Flores (Fine, et al., 1994; Lukas, et al., 1996; Godfrey, et al., 1996). Sedangkan berdasarkan hasil simulasi model arus yang pernah dilakukan, massa air pada saat
Gambar bawah Coral Mushroom sebagai komponen ekosistem yang dipengaruhi oleh kondisi temperatur dan salinitas perairan.
Temperatur pada Stasiun 4, dari permukaan laut hingga kedalaman 20 meter terlihat menurun dari nilai sekitar 30,27 ºC menjadi sekitar 30,1 ºC. Temperatur bernilai konstan yaitu sekitar 30 ºC dari kedalaman 20 meter hingga 30 meter, dan nilainya terus turun hingga kedalaman sekitar 70 meter. Hasil pengukuran pada Stasiun 5, di kedalaman 10 meter hingga 30 meter temperatur berkisar antara 30,26 ºC hingga 29,98 ºC. Temperatur pada kedalaman antara 30 meter hingga 45 meter cenderung konstan yaitu bernilai sekitar 29,97 ºC. Kemudian temperatur terlihat menurun terus hingga mencapai sekitar 28,1 ºC pada kedalaman 70 meter. Hasil pengukuran di Stasiun 1, semakin bertambahnya kedalaman maka salinitas cenderung meningkat walaupun gradien peningkatannya tidak terjadi secara konstan. Salinitas di permukaan laut hingga kedalaman 30 meter meningkat dari nilai 33,3 PSU menjadi bernilai sekitar 33,4 PSU, namun saat mencapai kedalaman 35 meter terjadi penurunan nilai salinitas dari 33,4 PSU menjadi sekitar 33,3 PSU. Nilai salinitas kembali meningkat dari nilai sekitar 33,3 PSU menjadi sekitar 33,5 PSU saat mencapai kedalaman 40 m, kemudian salinitas terus bertambah hingga mencapai kedalaman 60 meter yaitu hingga bernilai sekitar 33,55 PSU, tetapi saat mencapai kedalaman 70 meter nilai salinitas menurun menjadi sekitar 33,45 PSU.
Gambar atas Tampak nahkoda Phinisi Cinta Laut sedang mendengarkan petunjuk arah dari salah seorang peneliti dengan menggunakan hand GPS
Temperatur pada Stasiun 2 dari permukaan laut hingga kedalaman 20 meter menurun dari sekitar 29,72 ºC menjadi 29,67 ºC, kemudian dari kedalaman 20 meter hingga 45 meter temperatur berkisar antara 29,60 ºC hingga 29 ºC. Temperatur juga turun pada kedalaman sekitar 49 meter hingga 50 meter yaitu
mengalami penurunan. Penurunan salinitas yang sangat signifikan terlihat di antara kedalaman 18 meter dan 20 meter dimana salinitas mengalami penurunan dari nilai sekitar 33,1 PSU menjadi sekitar 33,03 PSU, selanjutnya salinitas kembali meningkat. Pola yang sama terjadi pula pada kedalaman antara 59 meter hingga 60 meter dimana nilai salinitas kembali menurun menjadi 33,25 PSU dari nilai semula yaitu 33,32 PSU, kemudian meningkat kembali hingga mencapai nilai maksimum yaitu 33,4 PSU.
kedalaman antara 45 meter hingga 46 meter nilai salinitas yang harusnya meningkat menjadi menurun yaitu dari nilai sekitar 33,32 PSU menjadi 33,25 PSU. Kemudian pada kedalaman 46 meter salinitas meningkat kembali menjadi sekitar 33,29 PSU. Penurunan nilai salinitas ini juga terjadi di kedalaman antara 53 meter hingga 54 meter, dimana salinitas dari 33,70 PSU menjadi 33,69 PSU. Sementara di kedalaman antara 58 meter hingga 59 meter, salinitas turun dari nilai sekitar 33,71 PSU menjadi 33,64 PSU. Pada kedalaman 62 meter nilai salinitas turun hingga mencapai sekitar 33,70 PSU.
Hasil pengukuran pada Stasiun 5, di kedalaman antara 10 meter hingga 20 meter salinitas berkisar antara 33,08 PSU hingga 33,1 PSU, pada saat kedalaman 25 meter nilai salinitas kembali menurun menjadi sekitar 33,09 PSU kemudian kembali mengalami kenaikan
Perubahan nilai salinitas pada Stasiun 4 jika dilihat dari grafik adalah cenderung tidak teratur, di kedalaman tertentu salinitas meningkat namun kadang juga
Gambar bawah Seorang peneliti Pusriswilnon sedang memrogram Rosette-CTD agar menutup pada kedalaman yang dikehendaki
Semakin bertambahnya kedalaman pada Stasiun 2, salinitas cenderung meningkat, walaupun gradien peningkatan tidak terjadi secara konstan. Salinitas di permukaan laut hingga kedalaman 30 meter bernilai sekitar 33,3 PSU, namun saat mencapai kedalaman 37 meter terjadi penurunan nilai salinitas dari 33,3 PSU menjadi 33,2 PSU. Nilai salinitas kembali meningkat dari nilai sekitar 33,3 PSU hingga menjadi 33,4 PSU dari kedalaman 40 meter hingga 42 meter, dan nilai salinitas terus meningkat hingga mencapai kedalaman 70 meter dengan nilai salinitas menjadi sekitar 33,68 PSU.
menjadi sekitar 28,70 ºC, namun temperatur naik kembali menjadi sekitar 29,8 ºC saat mencapai kedalaman sekitar 52 meter. Pada kedalaman 53 hingga kedalaman 70 meter temperature menurun hingga mencapai sekitar 28ºC. Temperatur maksimum di Stasiun 3 mencapai 29,75 ºC pada kedalaman 11 meter, sedangkan nilai minimum sekitar 26,75 ºC ada di kedalaman sekitar 66 meter. Temperatur terlihat menurun dari kedalaman antara 10 meter hingga 20 meter, yaitu dari nilai sekitar 29,7 ºC menjadi 29,5 ºC, namun di
Salinitas minimum yang terukur di Stasiun 3 adalah 33,7 PSU yaitu pada kedalaman sekitar 66 meter, dan nilai maksimum yang terukur adalah sekitar 33,1 PSU di kedalaman 11 meter. Nilai salinitas bertambah sesuai dengan pertambahan kedalaman, tetapi pada
kedalaman antara 20 meter dan 45 meter temperatur cenderung konstan dengan nilai sekitar 29,4 ºC. Selanjutnya dari kedalaman 45 meter hingga 65 meter, temperatur pun terus menurun.
127
128
Gambar samping Deployment Rosette-CTD profiler dengan menggunakan winch di perairan Kabaena
34,75 PSU, dan temperatur perairan 18-28 oC. Perubahan nilai salinitas dan temperatur secara cepat terjadi pada permukaan sampai kedalaman 100 meter, sedangkan di atas kedalaman 100 meter, nilai salinitas dan temperature cenderung stabil. Dimana secara lebih detail kisaran yang terukur dari massa air di permukaan hingga kedalaman 139150 meter adalah sebagai berikut; di perairan Kabaena Barat sebelah Selatan mempunyai Salinitas berkisar antara 34,75-32,57 PSU, dan Gambar atas Profil Salinitas dan Temperatur Kabaena Barat sebelah Selatan
temperatur berkisar antara 29-19 oC, sedangkan di perairan Kabaena Barat sebelah Utara mempunyai Salinitas berkisar antara 34,75-30,90 PSU,
nilai lagi hingga mencapai 33,17 PSU pada kedalaman 63,092 meter. Penurunan yang cukup drastis terlihat di kedalaman antara 64 meter dan 65 meter dimana salinitas mencapai nilai 33,04 PSU dari nilai semula yaitu 33,17 PSU. Nilai salinitas kembali meningkat hingga kedalaman 69 meter dengan nilai sekitar 33,48 PSU, dan menurun kembali menjadi sekitar 33,42 PSU pada kedalaman 70 meter.
dan temperatur berkisar antara 28-18 oC. Kondisi ini merupakan kondisi yang baik untuk kehidupan karang dan lamun. Menurut berbagai sumber kondisi ini merupakan kondisi yang yang baik untuk pertumbuhan karang, baik organisme yang hidup di karang maupun pertumbuhan karang itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari formasi karang yang ada di sekitar perairan Kabaena yang cukup banyak terutama di perairan Kabaena Barat bagian utara.
Perairan Pulau Kabaena Pengukuran parameter oseanografi fisik yang berupa temperatur dan salinitas dengan menggunakan CTD Profiler di Perairan sekitar Pulau Kabaena bagian Barat dilakukan sebanyak 12 titik stasiun, dimana 3 titik stasiun berada di sepanjang Selat Bonerate, 6 titik stasiun berada di sisi Selatan P. Kabaena bagian Barat, dan 6 titik stasiun lagi berada di sisi Utara P. Kabaena bagian Barat. Dimana pengukuran CTD dilakukan hanya dilakukan hingga kedalaman maksimum sekitar 140-150 meter walaupun kedalaman sebenarnya berkisar 200-350 meter. Hal ini dikarenakan saat pengukuran dilakukan kondisi perairan kurang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran lebih dalam dari 150 meter.
Berdasarkan deskripsi diatas dan hasil analisa pada gambar halaman sebelumnya, dari hasil pengukuran salinitas dan temperatur di 12 lokasi yang ada, terlihat temperatur perairan di sebelah selatan Kabaena bagian Barat lebih dingin dibandingkan dengan di sebelah utara, sedangkan salinitas terlihat sedikit lebih tinggi di sebelah Selatan dibandingkan di sebelah Utara. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perairan Kabaena bagian Barat dipengaruhi oleh air yang mengalir dari Laut Flores akibat pengaruh Monsun Tenggara pada saat pengukuran dilakukan yaitu pertengahan bulan Juli. Dimana pada periode tersebut
Secara umum kondisi massa air di perairan Kabaena Barat mempunyai Salinitas berkisar antara 30,90Gambar atas Profil Salinitas dan Temperatur Kabaena Barat sebelah Utara
129
130
perairan yang dangkal. Kedalaman perairan dari mulut teluk hingga ke dalam adalah berkisar antara 5-30 meter dan kondisi dasar laut cenderung datar. Perairan Teluk Pising ini relatif tenang, karena teluk tersebut terletak pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang yang disebabkan oleh angin timur.
massa air yang mengalir dari Laut Banda mengalir menuju ke Barat, sebagian dari massa air tersebut memasuki Laut Flores lalu berbelok menuju Teluk Bone, dan sebagian lagi mengalir memasuki perairan pedalaman di sekitar P. Buton dan P. Muna (yaitu Selat Tioro dan Selat Buton) kemudian bergabung dengan aliran massa air di Laut Flores ataupun yang meninggalkan Teluk Bone. Kemungkinan massa air yang mengalir dari Selat Flores dan massa air yang keluar dari Selat Buton kemudian mengalir menuju Baratlaut adalah yang dominan mempengaruhi kondisi massa air perairan Kabaena bagian Barat sebelah Selatan. Sedangkan aliran massa air yang keluar dari Selat Tioro kemungkinan ada yang berbelok ke arah Teluk Bone dan sebagian mengalir menyusuri sebelah utara Perairan P. Kabaena bagian Barat.
Gambar samping Peralatan navigasi elektronik berupa GPS yang terdapat pada Kapal Cinta Laut untuk menentukan arah secara tepat
Arus dan Gelombang Perairan Pulau Salue Besar Hasil pengukuran ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) yang diletakkan di kedalaman 5 meter selama 7 hari menunjukkan bahwa kecepatan arus maksimum mencapai angka 3 knot atau 1,5432 m/detik. Arah arus datang dari arah Tenggara hingga Barat Daya, namun didominasi oleh arah dari Selatan. Hal ini diduga dikarenakan oleh letak geografis perairan di Pulau Salue Besar yang masih mendapat pengaruh yang sangat besar dari Laut Banda.
Pulau Kabaena bagian barat memiliki sungai yang cukup besar yaitu sungai Lakulampa (bahasa setempat : Ee Lakulampa). Sungai ini memiliki arus yang cukup deras, sehingga air sungai ini dapat menyuplai air tawar ke laut. Salinitas dan suhu air laut rendah di mulut sungai hingga mencapai jarak sekitar 300 meter ke arah laut.
a (0) 42 36 30 24 18 12 6 0 6 12 18 24 30 36 42
Kondisi batimetri di Teluk Pising dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa perairan Teluk Pising adalah
Gambar bawah Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) yang berada dalam frame dan Tide & Wave Gauge sedang disiapkan untuk deployment pada Ekspedisi Wallacea ini
Cos a 0,743
X (km) 1,54
0,809 50,01 0,866 5,39 0,914 500 0,951 500 0,978 7,70 0,995 7,70 1 7,70 0,995 15,40 0,978 500 0,951 500 0,914 26,95 0,866 500 0,809 500 0,743 25,41 13,5120 Fetch Efektif =
Gambar bawah Perangkat komputer untuk mengolah dan mengoperasikan alat instrumentasi kelautan juga dipasang pada Kapal Cinta Laut. Komputer yang terletak dibagian belakang ini terhubung secara langsung dengan perangkat navigasi.
X Cos a 1 40 5 457 476 8 8 8 15 489 476 25 433 405 19 2862 212 km
Tabel Perhitungan Fetch Effektif
Hasil pengukuran gelombang di perairan Desa Bungin (P. Salue Besar) selama pengamatan dan data sekunder yang berupa kombinasi data angin yang diukur dari kapal dan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), adalah digunakan dalam menganalisa fenomena gelombang laut yang terjadi.
131
132
Kec. Angin di
Kec Angin (Knot)
RL
Darat (UL=m/s)
Laut (Uw = m/s)
20
1,10
10,29
11,32
Faktor Teg. Angin Fetch Efektif F Tinggi Gelombang (Km) H (m) (UA = m/s) 14,04
212
3,25
Periode Gelombang T (detik) 9,00
Tabel Perhitungan Tinggi dan Periode Gelombang
Angin di atas Pulau Salue Besar bertiup dari Tenggara, namun karena kondisi geografis lebih mendominasi arah angin, maka arah dari Selatan adalah lebih memungkinkan. Kecepatan angin berhembus di darat sebesar 20 knot, dimana data ini digunakan untuk d (m)
T (dt)
Lo (m)
Co (0/dt)
5
9
126,36
14,04
10
9
126,36
15
9
20
diperoleh hasil berupa tinggi gelombang di sekitar stasiun pengamatan bisa mencapai 3 meter dengan periode waktu 9 detik. Berdasarkan periode gelombang tersebut, dapat diketahui bahwa nilai kedalaman relatif (d/L)-nya dari
/L
L (m)
C (m/dt)
E (Nm/m2)
P (Nm/m2.dt-1)
Klasifikasi Perairan
0,0396
0,08280
60
7
800,9
89,0
dangkal
14,04
0,0791
0,12242
82
9
1083,4
120,4
dangkal
126,36
14,04
0,1187
0,15703
96
11
1266,9
140,8
dangkal
9
126,36
14,04
0,1583
0,19020
105
12
1394,6
155,0
dangkal
25
9
126,36
14,04
0,1978
0,22330
112
12
1484,9
165,0
dangkal
30
9
126,36
14,04
0,2374
0,25699
117
13
1548,3
172,0
transisi
d
/Lo
d
D (m)
T (dt)
d/Lo
tan h 2p d / L
5 10 15 20 25 30
9 9 9 9 9 9
0,0396 0,0791 0,1187 0,1583 0,1978 0,2374
0,47789 0,64646 0,75593 0,83214 0,88602 0,92383
1,35 1,17 1,10 1,06 1,04
0,74 0,86 0,91 0,94 0,96
/C1
C1
menjadi 7 m/dt dengan panjang gelombang dari 112 meter di kedalaman 25 meter menjadi sekitar 60 meter di kedalaman 5 meter. Energi (E) dan tenaga gelombang (P) di perairan transisi adalah mencapai sekitar 1.548,3 Nm/m2 dengan tenaga sebesar 172 Nm/m2.dt-1. Energi dan tenaga gelombang tersebut berkurang ketika memasuki kedalaman 25 meter hingga di kedalaman 5 meter. Hasil perhitungan ini sesuai dengan apa yang ditulis dalam CERC (1984) bahwa apabila sebuah gelombang bergerak dari laut dalam menuju ke laut dangkal, maka kecepatan akan berkurang bersamasama dengan kedalaman dan panjang gelombang akan berkurang secara proporsional.
C2
tabel. Sehingga jika diklasifikasikan, maka di kedalaman 0-25 meter tergolong perairan yang dangkal, sedangkan di kedalaman 30 meter merupakan daerah transisi dari perairan yang dangkal menuju ke perairan yang dalam.
Fenomena gelombang laut yang terjadi di perairan P. Salue Besar adalah sebagai berikut: Cepat rambat gelombang berkurang dengan kedalaman, panjang gelombang juga berkurang secara linier. Variasi cepat rambat gelombang terjadi di sepanjang garis puncak
Cepat rambat gelombang (C) di perairan transisi sebesar 13 m/dt dengan panjang gelombang mencapai 117 meter. Cepat rambat gelombang pada perairan dangkal yang bergerak menuju ke pantai berangsur-angsur berkurang dari 12 m/dt hingga
d (m)
laut menuju pantai adalah semakin kecil, yaitu bernilai dari 0,26 di kedalaman 30 meter hingga bernilai 0,08 di kedalaman 5 meter seperti yang disajikan dalam
Hasil perhitungan terhadap data sekunder menunjukkan harga Fetch Effektif sebesar 212 km, kemudian digunakan juga data hasil transformasi dari data angin di atas daratan yang terdekat dengan lokasi studi menjadi data angin di atas permukaan laut. Hubungan antara angin di atas laut, dengan angin di atas daratan dapat dilihat pada tabel diatas.
C2
/C2
Tabel Hitungan /C2 dan /C1
Tabel Hasil Perhitungan Panjang, Kecepatan, Energi, dan Tenaga Gelombang di Pulau Salue Besar.
menghitung Fetch Effektif. Hasil perhitungan dari Fetch Effektif dapat dilihat pada tabel sebelumnya.
C1
Berdasarkan pada kecepatan angin, dan panjang Fetch diatas, dilakukanlah peramalan gelombang sehingga
T (dt)
H (m)
Co (0/dt)
Lo (m)
d
d
/Lo
/L
L (m)
C (m/dt)
5
9
3
126,36
14,04
0,0396
0,08280
60
7
10
9
3
126,36
14,04
0,0791
0,12242
82
9
15
9
3
126,36
14,04
0,1187
0,15703
96
11
20
9
3
126,36
14,04
0,1583
0,19020
105
12
25
9
3
126,36
14,04
0,1978
0,22330
112
12
30
9
3
126,36
14,04
0,2374
0,25699
117
13
ao
Sin a
a
Kr
no
n
Ks
Hn (m)
30
0,24
13,89
0,94
0,5
0,92002
1,07
3,02
Pecah
30
0,32
18,66
0,96
0,5
0,84626
0,96
2,74
Normal
30
0,38
22,33
0,97
0,5
0,77967
0,92
2,67
Normal
30
0,42
24,83
0,98
0,5
0,72081
0,91
2,68
Normal
30
0,44
26,1
0,98
0,5
0,67018
0,92
2,70
Normal
30
0,46
27,39
0,99
0,5
0,62802
0,93
2,75
Normal
Keterangan
Tabel Tinggi Gelombang setelah Refraksi (atas) dan Shoaling (bawah)
Gambar samping CTD tipe portable yang juga dipakai pada Ekspedisi ini tampak sedang di-deploy dari perahu nelayan
H (m)
T (dt)
Kr
H'o (m)
3
9
0,94
2,83
H'o
/gT2
0,0036
m 0,03
/H'o
Hb (m)
1,25
3,54
Hb
Tabel Perhitungan Gelombang Pecah
133
134
Hb
/gT2
0,0045
db
/Hb
db (m)
Type
0,75
2,7
Plunging
Lokasi 2
Lokasi 1 Arah Refraksi Gelombang Garis Pantai Garis Kontur Dermaga
Gambar atas Refraksi Gelombang di Perairan Pantai Desa Bungin P. Salue Besar
Hal ini membuktikan bahwa di laut dalam, gelombang tidak mengalami refraksi, sedangkan di laut dangkal dan transisi, pengaruh refraksi adalah semakin besar. Pembelokan gelombang laut tersebut dapat dilihat dalam gambar disamping. Dimana pada lokasi 1 garis orthogonal gelombang menguncup, sedangkan di lokasi 2 garis orthogonal gelombang menyebar. Hal ini menyebabkan energi yang ada pada setiap garis orthogonal mengumpul sehingga di lokasi 1 energinya adalah lebih besar dibandingkan dengan lokasi 2 seperti tampak pada tabel diatas.
gelombang yang bergerak dengan membentuk sudut terhadap garis kedalaman laut, karena bagian dari gelombang di laut dalam bergerak lebih cepat daripada di laut yang dangkal. Variasi tersebut menyebabkan puncak gelombang membelok dan berusaha untuk sejajar dengan garis kontur dasar laut. Pembelokan tidak begitu terlihat pada perairan berkedalaman 30 meter yang merupakan daerah transisi, tetapi ketika memasuki perairan berkedalaman 20 meter saat menuju ke pantai pembelokan terlihat signifikan.
135
CERC., 1984. Shore Protection Manual, Washington: US Army Coastal Engineering Research Center.
Refraksi gelombang dan pendangkalan perairan juga akan mempengaruhi ketinggian gelombang laut (lihat Tabel dibawah). Dalam hal ini pada perairan berkedalaman antara 30 meter hingga 10 meter tinggi gelombang masih dibawah angka 3 meter, tetapi ketika memasuki perairan berkedalaman 5 meter tinggi gelombang dapat mencapai ketinggian sekitar 3 meter.
Fine, R.A., R. Lukas, F.M. Bingham, M.J. Warner, and R.H. Gammon., 1994. The Western Equatorial Pacific is a Water Mass Crossroads. Journal of Geophysical Research, Vol. 99, Pages 25,063 -25,080, 1994. Godfrey, J. S., 1996. The Effect of The Indonesian Throughflow on Ocean Circulation and Heat Exchange with The Atmosphere: A Review. Journal of Geophysical Research, Vol. 101, Pages 12,217 12,237, 1996.
Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju pantai P. Salue Besar mengalami perubahan bentuk karena pengaruh perubahan kedalaman laut yang menyebabkan kemiringan pantai tertentu. Kemiringan inilah yang mempengaruhi gelombang pecah. Pada kemiringan tersebut kecepatan partikel di puncak gelombang sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih tajam dari batas maksimum dapat menyebabkan kecepatan partikel di puncak gelombang menjadi lebih besar dari kecepatan rambat gelombang sehingga akan terjadi ketidakstabilan dan selanjutnya menyebabkan gelombang menjadi pecah.
Lukas, R., Toshio Yamagata, Julian P. McCreary., 1996. Pacific Low-latitude Western Boundary Currents and The Indonesian Througflow. Journal of Geophysical Research, Vol. 101, Pages 12,209 -12,216, 1996. Romimohtarto, K., dan S. Juwana., 2004. Meroplankton Laut: Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Djambatan. Jakarta. Pranowo, W. S., Yulia Herdiani, Ivonne M. Radjawane., 2004. Barotropic Tidal And Wind-Driven Larval Transport On Saleh Bay, Sumbawa, Indonesia. The 12th Workshop on Ocean Models. Marine Resources Conservation Working Group of APEC. Dalian, China. September 7 11, 2004.
Gelombang laut dalam yang bergerak menuju ke pantai P. Salue Besar akan bertambah kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman 2,7 meter dengan tinggi gelombang mencapai 3,54 meter. Berdasarkan hasil perhitungan, tipe gelombang di perairan P. Salue Besar adalah Plunging. Tipe gelombang Plunging terjadi apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah, gelombang akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan massa air pada puncak gelombang akan terjun ke depan. Energi gelombang pecah dihancurkan dalam turbulensi, sebagian kecil dipantulkan pantai ke laut, dan tidak banyak gelombang baru yang terjadi pada air yang lebih dangkal (CERC, 1984).
Pugh, D.T., 1987. Tides, surges and Mean Sea-Level. John Wiley & Sons. Chichester New York Brisbane Toronto Singapore, 472 pp. Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California.
Daftar Pustaka Black, K., 2002, Langrangian dispersal and sediment transport model POL3DD, ASR Ltd., Hamilton. BRKP, 2003. Identifikasi Kantong Tuna Kaitannya Dengan Dinamika Marin Atmosfer. Laporan Riset TA 2003 Pusat Riset Wilayah Laut & Sumberdaya Nonhayati. Badan riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan & Perikanan.
136
Ucapan Terima Kasih dan Biodata Peserta
Ucapan terima kasih disampaikan kepada: Kepala Staf Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut IV Makassar Sekretaris Kementrian kebudayaan dan Pariwisata Kepala Staf Operasi Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia Kepala Staf Operasi Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia Gubernur Sulawesi Selatan Gubernur Sulawesi Tenggara Gubernur Sulawesi Tengah Rektor Universitas Hasanuddin Rektor Universitas Haluoleo Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan DKP Kepala DInas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan Kepala DInas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tenggara Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah Kepala Dinas Pembinaan Potensi Maritim TNI AL Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar Kepala Taman Nasional Laut Wakatobi Badan Koordinasi Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) Walikota Makassar Walikota Buton Bupati Buton Bupati Selayar Bupati Bombana Bupati Banggai Kepulauan Camat Pasimarannu, Kabupaten Selayar Camat Pasilambena, Kabupaten Selayar Camat Kabaena Barat, Kabupaten Bombana Camat Bokan Kepulauan, Kabupaten Banggai Kepulauan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Ketua Satuan Tugas Pramuka Peduli Yayasan Cinta Laut Yayasan Lepra Stichting Yayasan Pengembangan Wallacea PT. Anindita Multi Niaga Indonesia PT. Reico Pratama Indonesia METRO TV TV 7 Harian Umum Kompas Harian Umum Republika Harian Umum Suara Pembaruan Harian Umum Sinar Harapan Harian Umum Fajar Harian Umum Tribun Timur Majalah Intisari Majalah Pramuka Grup Gramedia Majalah Panitia Pelaksana Jakarta dan Makassar
139
Editor Buku
Dr. Safri Burhanuddin, DEA. Lahir di Makassar, 24 Juli 1961. Kepala Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Memperoleh gelar Sarjana Geologi di Universitas Padjadjaran tahun 1985, dan gelar Master (DEA) dan Doktor dari UBO Perancis tahun 1990 dan 1994. Dr. Agus Supangat, DEA Lahir di Solo, 18 Agustus 1957. Kepala Bidang Sumberdaya Nonhayati dan Arkeologi Laut Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP-DKP. Memperoleh Gelar Sarjana Oseanografi di ITB tahun 1983, Gelar DEA dari Universite de Blaise Pascal Perancis tahun 1989, dari UBO Brest Perancis tahun 1990, serta gelar Doktor dari Universite de Montpellier II Perancis tahun 1996. Dr. Budi Sulistiyo, M.Sc. Lahir di Solo, tanggal 30 November 1966. Kepala Bidang Tata Wilayah Laut, Pusat Riset Wilayah Laut dan dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Alumni OFP III dengan menyelesaikan pendidikan S1 hingga S3 tahun 1987-1995 di bidang Physical - Geographic Science di Universitas Innsbruck-Austria.
140
Hera Febrina. Mahasiswi S1 Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar ini lahir di Ujung Pandang pada tanggal 6 April 1983. Meneliti bidang biologi (plankton)
Peserta Leg 1
Widodo Setiyo Pranowo, M.Si. Peneliti Pusat Riset wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati. Sarjana Ilmu Kelautan Universitas Universitas Diponegoro dan S2 Oseanografi Institut Teknologi Bandung. Ketua Leg 1 Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004. Meneliti bidang oseanografi
Bagus Hendrajana, M.Sc. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan S2 Technology Policy The University of Manchester Inggris. Bertanggung Jawab terhadap instrument penelitian Leg 1 EWI 2004
Eko Triarso, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Geologi Universitas Trisakti Jakarta. Meneliti bidang geologi
Zul Janwar, S.Kel. Memperoleh gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautand an Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar, Sekarang bertugas sebagai staf pada Seksi Perlindungan dan Konservasi pada Dinas Perikanan & Kelautan Kabupaten Selayar. Meneliti Bidang Oseanografi
Andi Muhammad Muzakkir. Mahasiswa S1 Ilmu Kelautan UMI Makassar. Meneliti bidang oseanografi
Niken Tyas Wiratry, S.Si. Memperoleh gelar Sarjana Biologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Meneliti bidang Biologi (Mangrove)
Ary Widyanto, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP DKP. Sarjana Ilmu Komputer Universitas Gunadarma Jakarta. Bertanggung jawab terhadap instrument penelitian selama Leg 1 EWI 2004
Dody Priosambodo, S.Si. Meraih gelar sarjana biologi dari Universitas Hassanuddin Makassar pada tahun 2001. Pada saat ini sebagai dosen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar. Meneliti bidang Biologi (Lamun)
Edi Prasetyo. Reporter METRO TV Jakarta, meliput Leg 1 EWI 2004 untuk acara Expedition
Farid Murtadha. Mahasiswa di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar. Meneliti bidang Geologi
Tubagus Dedi. Reporter Metro TV Jakarta, meliput Leg 1 Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 untuk acara Expedition
Ratni. Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar.
Bobby Gunawan. Reporter Harian Tempo Jakarta, Meliput Leg 1 Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004 dan diterbitkan dalam Rubrik Iptek Harian Tempo
Hana Krismawati. Mahasiswi S1 Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Meneliti bidang biologi (Mangrove)
Ahmad, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar. Wakil Ketua Pelaksana Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004. Meneliti Bidang Geologi
Meutia Farida, S.T. M.T. Memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Jurusan Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin pada tahun 1998. Gelar Master diperoleh dari ITB pada bidang Sedimentologi Batuan Karbonat pada tahun 2002. Meneliti bidang geologi
141
142
Imran. Tercatat sebagai Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar. Meneliti bidang Oseanografi
Kelsey Desjardin. Peneliti Coral dan Sponge University of British Columbia, Kanada.
Ariani Andayani S.Si. Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP DKP. Gelar Sarjana diperoleh dari Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 2001. Meneliti bidang geografi
Drs. Thamrin Wikanta. Peneliti Kimia Laut Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi, BRKP DKP.
Restu Nur Afi Ati, S.ST.Pi. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati BRKP DKP. Sarjana Sains Terapan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Meneliti bidang biologi (Plankton)
Wiko Rahardjo. Reporter Harian Samudera Jakarta
Hermin Risalina, SE. Sarjana Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Meneliti bidang Sosial Ekonomi
Tawakkal. Reporter Harian Fajar, Makassar
Hatim Albasri, S.Pi. Peneliti Pusat Riset Perikanan Budidaya BRKP DKP. Meneliti bidang Budidaya Perairan
Suci Haryati. Reporter METRO TV Jakarta, meliput Leg 1 EWI 2004 untuk acara Oasis
Triyono, S.Si. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati BRKP DKP. Gelar Sarjana diperoleh dari Jurusan Geografi Fisik Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Meneliti bidang toponimi pulau
Yudi Mahendra. Reporter METRO TV Jakarta, meliput Leg 1 EWI 2004 untuk acara Oasis
Aziz Salam, ST. Dosen Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Ehime University, Jepang. Meneliti bidang Antropologi
dr. Ade Candra. Staf Departemen Kesehatan Lepra Stichting. Meneliti bidang kesehatan masyarakat di Pulau Bonerate dan Kalao, khususnya penyakit lepra.
Abdi Tunggal Priyanto, S.Si. Mempeoleh gelar sarjana dari Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Sekarang bekerja sebagai Staf Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, DKP. Meneliti bidang toponimi
Yuslisandi. Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Kelautan pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar, lahir di Sengkang 6 desember 1982. Meneliti bidang Biologi (terumbu karang)
Michael Le Blanc, M.Sc. Peneliti Coral dan Sponge University of British Columbia, Kanada.
143
144
Utami R. Kadarwati, M.Sc. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Kelautan Institut Pertanian Bogor dan S2 dari Kiel University Jerman. Meneliti bidang geologi (sedimentologi)
Peserta Leg 2
Gunardi Kusumah, ST. Peneliti dari Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung. Merupakan Ketua Leg 2 EWI 2004. Meneliti Bidang Geologi
Andreas Albertino H, M.Sc. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Ilmu Kelautan IPB dan S2 Bremen University, Jerman. Meneliti bidang Polusi Laut
Hariyanto Triwibowo, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Elektro Universitas Hang Tuah Surabaya. Bertanggung Jawab terhadap instrument penelitian Leg 2 EWI 2004
Tubagus Solihuddin, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung. Meneliti bidang geologi.
Rizki Anggoro Adi, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Pantai dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bertanggung Jawab terhadap instrument penelitian Leg 2 EWI 2004
Rita Rahmawat, M.S. Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP DKP. Meneliti bidang biologi (terumbu karang)
Syahnudin. Mahasiswa S1 Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar. Meneliti bidang Oseanografi
Tri Anggono. Staf Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Bertanggung jawab terhadap instrument penelitian leg 2 EWI 2004.
Cecep Ahmad Hatori, ST. Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP DKP. Sarjana Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung. Meneliti bidang geologi
Budi Irawan, M.Si. Dosen jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung. Sarjana Biologi diperolehdari Universitas Padjadjaran dan S2 Institut Pertanian Bogor mengambil Program Studi Biologi khususnya bidang Taksonomi Tumbuhan. Meneliti bidang biologi (mangrove).
dr. Firman. Staf Departemen Kesehatan Lepra Stichting. Meneliti bidang kesehatan masyarakat di Pulau Bonerate, khususnya penyakit lepra.
Dr. Ir. Laode M. Aslan, M.Sc. Dosen Universitas Haluoleo Kendari Peneliti pada Pusat Penelitian Pesisir dan Laut (PPWL) Universitas Haluoleo Kendari. Meneliti bidang biologi (bulu babi dan teripang)
Ichwan M. Nasution, M.Sc. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Ketua Pelaksana Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004. Sarjana biologi Universitas Padjadjaran Bandung dan S2 Aquatic Ecology Bremen University Jerman. Meneliti bidang biologi (lamun)
Asep Rasyidin. Teknisi biologi Pusat Penelitian Oseanologi LIPI. Meneliti bidang biologi (lamun)
Anastasia Rita, MT. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Oseanografi Institut Teknologi Bandung dan S2 Geodesi institut Teknologi Bandung. Meneliti bidang oseanografi.
Yulius, S.Si. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana geografi Universitas Indonesia Jakarta. Meneliti bidang toponimi laut
145
146
M. Tedy Asyikin, ST. Staf Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, DKP. Meneliti bidang toponimi pulau.
Peserta Leg 3
Johnny T.G. Reporter harian Kompas Jakarta.
Erish Widjanarko, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya. Ketua Leg 3 EWI 2004. Meneliti bidang Oseanografi
Rieska Wulandari. Reporter harian Suara Pembaruan Jakarta
Hari Prihatno, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya. Meneliti bidang oseanografi
Eka Alamsari. Reporter Gramedia Majalah Jakarta
Muhammad Ardiansyah Kadim. Staf BP Arkeologi Makassar. Meneliti bidang arkeologi.
Christantiowati. Reporter majalah Intisari Jakarta
Arief Rainer Troa, ST. Peneliti Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Teknik Geologi Universitas Trisakti Jakarta. Meneliti bidang geologi.
Engky Andri K, ST. Memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Oseanografi Universitas Hang Tuah Suabaya pada tahun 2000, sejak tahun 2001 bekerja sebagai Dosen Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya. Meneliti bidang oseanografi
Dedy Aan S.Pi. Sarjana Perikanan Universitas Hang Tuah Surabaya. Meneliti bidang biologi (mangrove).
Dessi Wulandhari, MS. Peneliti Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP DKP. Meneliti bidang biologi (lamun)
Terry Louse Kepel, M.Sc. Peneliti dari Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Sarjana Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado dan S2 Marine Science Aarhus University Denmark. Meneliti bidang biologi (terumbu karang)
147
148
Wahyu Hidayat. Teknisi Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Bertanggung jawab terhadap instrument penelitian leg 3 EWI 2004.
Kru Phinisi Cinta Laut
Ifan Ridlo Suhelmi, S.Si., M.Si. Gelar Sarjana diperoleh dari Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1999, Master diperoleh dari Program Studi Ilmu Lingkungan Jurusan Antar Bidang Universitas Gadjah Mada pada tahun 2002. Staf Pusriswilnon, BRKP- DKP sejak 2002.
H. Muhammad Arsyad Lahir di Herlang, Bira, tahun 1938. Mempunyai 1 istri, 4 anak, dan 7 cucu. Mulai berkarier sebagai kelasi tahun 1956-1969. Menjadi Nakhoda tahun 1969 Sekarang, dan telah menakhodai mulai dari perahu layar, kapal layar, hingga kapal layar bermesin. Tahun 1998 Pernah Ke Cina untuk mengambil 8 Kapal milik Jayanti Grup. Di Kapal Phinisi Cinta Laut bertugas sebagai Nakhoda
Wahyu Nurcahyadi. Reporter TV 7 Jakarta. Meliput leg 3 EWI 2004 dan disiarkan dalam acara Petualangan Bahari.
Daeng Hidayat Lahir di Bira, 11 Mei 1946. Mempunyai 1 istri, 6 anak, dan 4 cucu. Mulai berkarir tahun 1960 sebagai ABK. Mulai berpengalaman sebagai juru mesin tahun 1980. DI Kapal Phinisi Cinta Laut bertugas sebagai Kepala Kamar Mesin.
Zweta Manggarani. Reporter TV 7 Jakarta. Meliput leg 3 EWI 2004 dan disiarkan dalam acara Petualangan Bahari.
Andi Lawang Lahir di Burjina, Maluku Tenggara tahun 1947. Mempunyai 1 istri dan 1 anak. Mulai berkarir tahun 1965 sebagai nelayan dikapal penangkap ikan dan udang. Di Kapal Phinisi Cinta Laut bertugas sebagai Juru Mudi Cadangan
Bayu Nurrahman. Reporter TV 7 Jakarta. Meliput leg 3 EWI 2004 dan disiarkan dalam acara Petualangan Bahari.
Andi Nyombo Lahir di Bonto Tiro tahun 1951. Mempunyai 1 istri dan 3 anak. Mulai berkarir sejak umur 11 tahun di Kapal Phinisi Sinar Tiro. Sudah mengarungi hampir seluruh lautan Nusantara. Di Kapal Phinisi Cinta Laut bertugas sebagai Juru Mudi Cadangan
Antonius Hendrawan. Reporter dari TV 7 Jakarta. Meliput leg 3 EWI 2004 dan disiarkan dalam acara Petualangan Bahari.
Asman Lahir di Tana Beru tanggal 8 September 1978. Mempunyai 1 istri dan 1 anak. Mulai berkarier semenjak usia 18 tahun sebagai nelayan. Di Kapal Phinisi Cinta Laut bertugas sebagai Koki dan ABK
Ruth Hesti Utami. Reporter Sinar harapan
Akbarsyah, ST. Sarjana Teknik Perkapalan Universitas Hasanuddin. Merupakan perwakilan Yayasan Perahu yang mengurus segala perlengkapan Kapal Phinisi Cinta Laut
Arief Miftahul Aziz, S.Pi. Sarjana Perikanan dari Fakultas Teknik Kelautan Institut Pertanian Bogor, saat ini bekerja pada Direktorat Jenderal P3K DKP. Meneliti toponimi pulau
dr. Ary Pongtiku. Staf Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, aktif sebagai peneliti pada yayasan Lepra Stichting. Meneliti bidang kesehatan masyarakat di Pulau Bonerate dan Kalao, khususnya penyakit lepra.
149
150