KERANGKA ACUAN
DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS JAKARTA, 11 - 12 AGUSTUSTUS 2015
Kepatuhan
Wajib Pajak dan Fiskus sebagai Ujung Tombak Pemerataan KesejahteraaN Rakyat
Kesejahteraan – Persatuan – Keadilan
KATA PENGANTAR Pajak bagi Indonesia dipercaya sebagai instrumen utama dalam penerimaan Negara sekaligus pemerataan kesejahteraan masyarakat. Dalam dua dekade terakhir pembangunan ekonomi di Indonesia mencapai tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, akan tetapi faktanya menunjukkan angka kesenjangan yang makin memburuk. Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan—yang telah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2009—menganut sistem ‘self assessment’, namun dalam praktek cenderung menempatkan Wajib Pajak sebagai ‘Obyek’, bukan sebagai ‘Subyek’. Intensifikasi Pajak menjadi penting karena data BPS 2013 mencatat 125,32 juta penduduk memiliki pekerjaan, namun hanya 25,8 juta yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Hal ini menyangkut Kepatuhan Administrasi. Sedangkan dari 12 juta Badan Usaha yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, hanya 2,2 juta saja yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan di Kantor Pajak (DJP). Terkait dengan Kepatuhan Membayar, menurut Menteri Keuangan (Kompas, 31 Januari 2015), dari Wajib Pajak yang terdaftar, hanya 63,64% yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), sedangkan yang membayar dengan benar diperkirakan hanya 0,1%. Di lain pihak, Kepatuhan Fiskus juga merupakan salah satu faktor dalam penerimaan pajak, dalam hal ini, kepatuhan untuk mensosialisasikan, melayani, membina, dan mengawasi pelaksanaan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak, khususnya terhadap Wajib Pajak yang pontensial. Berdasarkan Undang-undang yang berlaku, Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) menemukan 29 (dua puluh sembilan) jenis Pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, dan 21 (dua puluh satu) jenis pelanggaran yang dilakukan oleh Fiskus. Guna memperoleh pemahaman yang sama, serta masukan dari pemangku kepentingan, Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) perlu turut serta bersama-sama membantu program Pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Penyelenggaraan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan tema ‘Kepatuhan Wajib Pajak dan Fiskus sebagai Ujung Tombak Pemerataan Kesejahteraan Rakyat’ ini merupakan wujud keikutsertaan LPIKP, dan diharapkan dapat menghasilkan sejumlah rekomendasi yang komprehensif dan integral bagi Pemerintah khususnya Kementerian teknis terkait dan Lembaga Pemerintah/Non-Pemerintah, dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa dan negara.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M Direktur LPIKP
i
Latar Belakang Pada APBN-P 2015 penerimaan pajak nasional ditargetkan naik 40% dari realisasi penerimaan APBN 2014 sebesar Rp 897 triliun menjadi Rp 1.250 triliun. Dengan situasi perekonomian dalam 2 tahun terakhir mengalami kelesuan global, angka ini dianggap terlalu tinggi dan tidak rasional. Beberapa pengamat dan ahli ekonomi bahkan menyatakan bahwa target tersebut tidak masuk akal dan terlalu berani, kecuali memang jika didasari oleh perhitungan dan langkah kebijakan yang akurat.1 Pemerintah telah memberlakukan beberapa kebijakan pada tahun 2015 ini, seperti pencanangan “Tahun Pembinaan Wajib Pajak tahun 2015”; dan diperkirakan akan memberlakukan“Tax Amnesty”, “Tax Data Integration”, dan lain-lain guna mendukung pencapaian target kenaikan sebesar 40% tersebut. Belakangan sebagai realisasi program Tahun Pembinaan Wajib Pajak Tahun 2015, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 29/PMK.03/2015 tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagai akibat keterlambatan penyampaian SPT, pembetulan SPT dan keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak, yang secara jelas merupakan Kebijakan Sunset Policy jilid II, mengacu pada Kebijakan Sunset Policy (I) pada tahun 2008 yang dirasa cukup memberikan hasil positif terhadap pencapaian target penerimaan pajak.2 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp198,226 triliun pada triwulan I-2015 telah mencapai 15,32 persen dari total target. Namun angka realisasi penerimaan pajak pada triwulan I-2015 ini hanya mengalami pertumbuhan satu persen lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada 2014, dan akibatnya masih direspon cenderung pesimis oleh banyak kalangan terkait sulitnya pemenuhan target penerimaan pajak di akhir tahun 2015, kecuali jika kebijakan-kebijakan seperti Tax Amnesty diberlakukan, dan situasi ekonomi global membaik. Pajak dalam sebuah negara dipercayai sebagai alat utama dalam upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Basis dari penerimaan pajak adalah penerimaan domestik bruto (PDB), di mana selama dua dekade terakhir pembangunan Indonesia ditandai dengan adanya tingkat pertumbuhan PDB yang cukup tinggi. Bahkan pada saat krisis ekonomi global sekalipun, pertumbuhan PDB kita tetap menunjukkan angka positif. Kendati demikian, prestasi ini tidak menjamin kondisi kesejahteraan sosial karena fakta memperlihatkan angka ketimpangan pendapatan makin memburuk sepanjang 30 tahun terakhir.3 Dengan demikian, harapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat berdampak positip pada kesejahteraan masyarakat belum terwujud; Pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak menjamin kesejahteraan yang merata ini dapat dimengerti dari hipotesa Kuznets.4 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesejahteraan yang terjadi selama ini dampaknya lebih banyak dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat saja. Manfaat yang diterima oleh sekelompok masyarakat tersebut harus diimbangi dengan pungutan pajak yang proporsional yang dapat digunakan hasilnya untuk kelompok masyarakat miskin. Anggito Abimanyu dalam diskusi internal di LPIKP, tanggal 2 April 2015 menyatakan bahwa secara ekonomi tidak ada satu negara manapun yang dapat menaikkan penerimaan pajak dua kali diatas pertumbuhan nominal PDB-nya (Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2014 atas dasar harga berlaku adalah 10%). Dalam sejarah ekonomi modern sekalipun tidak ada negara yang mampu menaikkan tax ratio lebih dari 1.5% dari nilai PDB dalam waktu satu tahun. 2 Kebijakan Sunset Policy yang diberlakukan pada tahun 2008 terbukti dapat meningkatkan penerimaan pajak. dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2008 naik sebesar 6% di atas target yang ditargetkan Pemerintah saat itu. 3 Pajak sebagai alat pemerataan dengan praktek mengambil sebagian hak dari orang yang mampu untuk mentransfernya kepada orang yang tidak mampu. Melalui alokasi anggaran program-program pembangunan diharapkan pajak dapat menjadi alat transfer kesejahteraan dari kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi ke kelompok berpenghasilan rendah (miskin). 4 Kuznet menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan sebuah negara, ketimpangan akan meningkat sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi, dan pada tahap akhir ketimpangan akan menurun pada saat sektor industri di perkotaan dapat menyerap seluruh angkatan kerja yang berasal dari pedesaan tersebut. 1
1
Sumber: Anshory Y. dan R. Indiastuti (2013), “Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia”, Unpad Press.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan di Indonesia, 1970-2012
Secara statistik dapat dikatakan bahwa kinerja penerimaan pajak Indonesia mengalami masalah laten sepanjang tahun 2007 sampai dengan 2014, ditandai dengan stagnannya perkembangan tax ratio Indonesia yang relatif tidak bergerak dari angka rata-rata 11,49%5 dan 12,66%6. Angka rata-rata tax ratio dalam arti luas7 yang relatif tinggi sebesar 15,4% bukanlah angka yang fantastis karena pada kenyataannya persentase tax ratio ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu harga komoditas dan minyak mentah internasional seperti terlihat pada Gambar 2. Besaran rata-rata tax ratio Indonesia ini masih jauh dibawah nilai rata-rata negara-negara lain di Asia, yang telah mencapai 22.5% (ADB, 2009), apalagi bila dibandingkan dengan nilai rata-rata tax ratio negara-negara OECD yang mencapai 35.9%.
Sumber: Data Olahan LPIKP dari berbagai sumber.
Gambar 2. Tax Ratio Indonesia, dalam persen (2007-2014)
Tax Ratio alternatif 1 dihitung dengan membagi Penerimaan Pajak Pusat dibagi dengan Pendapatan Domestik Bruto Nasional. Tax Ratio alternatif 2 dihitung dengan membagi Total Penerimaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah dibagi dengan Pendapatan Domestik Bruto Nasional. 7 Tax Ratio alternatif 3 (dalam arti luas) dihitung dengan menjumlahkan Tax Ratio alternatif 2 dan Penerimaan Negara dari Sumber Daya Alam (PSDA). 5 6
2
Kinerja perpajakan nasional yang tidak menggembirakan ini ditunjukkan pula oleh kecenderungan turunnya kinerja realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan target penerimaan sepanjang 2007-2014, seperti ditunjukkan pada Gambar 3, di mana pada tahun 2014 tercatat pencapaian target penerimaan pajak mencapai titik terendah yakni sebesar 91.75%, terlebih jika dibandingkan dengan kinerja pencapaian target penerimaan pajak khususnya di tahun 2008 yang mencapai 123.23%.
Sumber: Data Olahan LPIKP dari berbagai sumber.
Gambar 3. Realisasi Penerimaan Pajak Pusat, Tax Bouyancy, dan Tax Elasticity.
Selain itu, kinerja pajak dapat pula menggunakan indikator Tax Bouyancy8 dan Tax Elasticity9, yang membandingkan apakah pertumbuhan penerimaan pajak (nominal dan riil) sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sebagai basis pajak. Terlihat dengan jelas defisit target pencapaian penerimaan pajak yang cukup besar pada lima tahun terakhir. Bahkan pada tahun 2009 dan 2013, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan pajak; ditandai dengan nilai negatif untuk keduanya. Kembali tren penurunan pada indikator tax bouyancy dan tax elasticity ini secara non-linear juga diprediksi akan turun pada tahun 2015, dan kemungkinan pada tahun-tahun setelahnya (Gambar 3). Sebagai konsekuensi, tentunya masalah ini perlu disikapi dengan melakukan perubahan-perubahan kebijakan yang tidak hanya pada tataran makro-ekonomi, tetapi juga di ranah administrasi perpajakan. LPIKP melihat bahwa kebijakan peningkatan 40% target penerimaan pajak tahun 2015 mendapatkan respon negatif secara internal di antara para pengambil kebijakan perpajakan sendiri. Hal ini dapat dilihat melalui digulirkannya beberapa kebijakan untuk menggenjot penerimaan pajak di luar PPh dan PPN, seperti penerimaan bea dan cukai yang ditargetkan naik sekitar 15% menjadi Rp195 triliun pada APBN-P tahun 2015 dibandingkan target APBN tahun 2014 yang hanya sebesar Rp170 triliun.10 Kenaikan ini merupakan revisi dari target kenaikan APBN 2015 di mana tercatat bahwa target penerimaan cukai khususnya cukai rokok dan produk tembakau yang merupakan sumber penerimaan negara terbesar ketiga setelah PPh dan PPN dinaikkan dari Rp120,55 triliun menjadi Rp139,12 triliun. Tax Bouyancy adalah indikator kinerja pajak dengan cara membandingkan persentase perubahan nilai pajak nominal dibagi dengan laju pertumbuhan ekonomi riil. 9 Tax Elasticity adalah indikator kinerja pajak dengan cara membandingkan antara persentase perubahan nilai pajak riil dibagi dengan laju pertumbuhan ekonomi riil (tahun dasar 2000). 10 Metrotvnews.com Jakarta, 24 Maret 2015. 8
3
BOX 1. Dinamika Cukai dan Permasalahannya
Ali Wardhana, Menteri Ekonomi, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada era Orde Baru (1983-1988) melalui INPRES No. 4 Tahun 1985 pernah membubarkan Dirjen Bea dan Cukai sebagai bagian dari kebijakan reformasi pemerintahan saat itu, karena peran Bea dan Cukai sebagai penyebab ekonomi biaya tinggi terutama yang terjadi di pelabuhan-pelabuhan dan sulit dibenahi.11 Bea dan Cukai pun ditutup dan diganti menjadi Sociètè Gènèralè de Surveillance (SGS), lembaga pemeriksaan dan pengawasan yang terdaftar di Geneva, Swiss. Ali Wardhana adalah Menteri Keuangan pada era Orde baru yang menjabat selama 15 tahun (1968-1983). Secara kekinian, perlu tidaknya eksistensi lembaga yang bertanggung jawab terhadap Bea dan Cukai masih relevan untuk didiskusikan karena bila dikaitkan dengan situasi ekonomi global dan perdagangan bebas maka pembebanan bea masuk dan keluar (ekspor/impor) agaknya menjadi tidak terlalu penting.12 Pembebanan bea ekspor dan impor ditenggarai lebih merupakan upaya proteksi perdagangan yang berdampak negatif terhadap kelancaran arus barang dan kegiatan ekonomi. Untuk kasus Indonesia terkait implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku efektif mulai tanggal 1 Januari 2016 saja, berdasarkan Pilar Pertama (Pasar Tunggal dan Basis Produksi Regional), maka semua produk yang diperdagangkan antar negara anggota ASEAN akan dibebaskan, kecuali beberapa produk strategis seperti beras, gula dan minuman beralkohol. Bahkan secara teori ditenggarai bahwa dengan pemberlakuan tarif bea masuk dan keluar, bisnis akan mengalami penurunan efisiensi karena kurangnya daya saing dan turunnya laba yang disebabkan oleh potensi munculnya substitusi produk. Pembebanan cukai khususnya untuk komoditas rokok dan tembakau memang masih cukup relevan dalam bahasan perpajakan karena selain peranannya dalam penerimaan negara, cukai juga mempunyai sifat atau karakteristik tertentu yang perlu dipertimbangkan. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa isu cukai rokok tidak hanya terbatas pada masalah penerimaan negara saja karena ada hal-hal lain, khususnya isu efisiensi seperti kesehatan dan lapangan pekerjaan, yang harus diperhitungkan. Dapat dibayangkan bagaimana dampak pengangguran yang akan terjadi bila cukai rokok dihapuskan. Tetapi, di sisi lain dapat dibayangkan pula biaya kesehatan yang menjadi dampak bila cukai rokok dan tembakau masih diprioritaskan sebagai komponen utama penerimaan negara. Berdasarkan data Kementan tahun 2013, dengan penerimaan cukai dari industri rokok dan tembakau yang mencapai Rp100 triliun13 dari total penerimaan cukai sebesar Rp104.73 triliun (data APBN-P 2013), terdapat 6,1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu dan hilir tembakau. Jumlah ini terdiri atas 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000 tenaga kerja pabrik rokok, 1 juta pengecer rokok, serta 1 juta tenaga percetakan dan periklanan rokok. Sementara nilai kerugian yang ditimbulkan karena merokok tercatat mencapai Rp254,41 triliun pada tahun 2012 saja. Kerugian tersebut secara rinci merupakan jumlah uang yang dikeluarkan perokok untuk pembelian rokok senilai Rp138 triliun, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan senilai Rp2,11 triliun, kehilangan produktivitas akibat kematian prematur, dan morbiditas maupun disabilitas senilai Rp105,3 triliun. Pada intinya dengan dasar pertimbangan efisiensi organisasi, pemungutan cukai khususnya cukai rokok dan produk tembakau sebenarnya juga dapat diambil alih kewenangannya oleh Dirjen Pajak karena sisi efisiensi dan mekanisme pemungutan yang relatif tidak sekompleks pemungutan PPh dan PPN.14 Dibutuhkan mekanisme penentuan tarif cukai yang lebih mengedepankan aspek efisiensi dan ekuiti secara ekonomi serta asas keadilan, keseimbangan dan kemanfaataan secara hukum guna mewujudkan kebijakan publik yang peduli pada kemaslahatan di masyarakat. Namun secara jelas terlihat upaya menjadikan penerimaan cukai sebagai salah satu pengaman langkah kebijakan Pemerintah guna mengejar target kenaikan penerimaan pajak sebesar 40% di tahun 2015. Perkiraan ini terlihat melalui adanya kepastian bahwa tarif cukai rokok mulai Juli 2015 akan kembali dinaikkan,15 padahal pada awal tahun 2015, berdasarkan PMK No. 205/PMK.011/2014 tarif cukai rokok sudah mengalami penyesuaian, naik menjadi rata-rata 8.72% dan 10% untuk jenis produk tembakau lainnya. Harian Kompas, Rabu, 6 Mei 2015. Dalam implementasi Asean China Free Trade Area (ACFTA) tahun 2010, Skema penurunan/penghapusan tarif dilakukan dengan tiga cara, di mana diantaranya untuk Early Harvest Program (EHP) yang diberlakukan 1 Januari 2004 secara bertahap hingga tahun 2006, tarif bea masuk produkproduk dalam kategori EHP menjadi 0%. Sementara untuk 400 jenis produk dalam kategori Normal Track, tarif bea masuk dihapus menjadi 0% pada tahun 2010. 13 http://www.satuharapan.com/read-detail/read/rokok-dan-miras-masih-jadi-andalan-penerimaan-negara. Kamis 20 November 2014. 14 Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh DJP dan kewajiban bea masuk/bea keluar dan cukai yang dipungut oleh DJBC saling erat terkait Hal ini dapat dilihat melalui pemahaman istilah kewajiban dan pemahaman ketentuan perundang-undangan yang ada. In economics, a duty is a kind of tax often associated with customs, a payment due to the revenue of a state, levied by force of law. Properly a duty differs from a tax in being levied on spesific commodities, financial transactions, estates, etc, and not on individuals; thus it is right to talk of import duties, excise duties, death or succession duties, ets, but of income tax as being levied on a person in proportion to his income. (Farlex. Inc, www. thefreedictionary.com, 2006). Karenanya tidak salah bila “Cukai” didefinisikan sebagai “Pajak” dalam rangka impor adalah PPN, PPnBM, dan PPh atas impor (UU KUP, Pasal 22), yang dipungut oleh DJBC dan dikenakan dengan dasar nilai pabean ditambah duties yang dibebankan atas barang tersebut. Cukai rokok, dengan demikian, adalah pajak pendalaman berupa PPN, PPnBM, dan PPh atas produksi atau konsumsi barang tertentu yang memiliki dampak buruk. 15 http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-2/4785/juli-mendatang,-cukai-rokok-kembali-naik#.VV0sWFKxldg. 9 Februari 2015. 11 12
4
Berdasarkan Undang-undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dinyatakan bahwa cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu. Barang-barang yang kena cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya berdampak negartif, dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dalam pengamatan dan pengkajian Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP), permasalahan yang ada dalam kinerja pajak bukan hanya soal Tax Ratio, tetapi yang terutama adalah soal Kepatuhan Wajib Pajak (WP), dan Profesionalisme Fiskus, termasuk pegawai negeri sipil lainnya, yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan perpajakan. Kepatuhan pajak ini penting dalam kaitannya dengan penerimaan negara. Meskipun Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang telah menempatkan WP sebagai ‘subyek’, akan tetapi dalam prakteknya Fiskus masih memperlakukan mereka sebagai ‘obyek’ pemeriksaan. Bahkan dalam praktek, tidak jarang terjadi perbuatan pemerasan oleh Fiskus, seperti kasus Bahasyim Assifiie.16 Persoalan penting dalam implementasi Undang-undang KUP di mana WP sebagai subyek (self assessment) adalah isu pengawasan (supervision) atas perilaku Fiskus dari atasan si Fiskus, serta kesadaran masyarakat khususnya WP untuk melaporkan jika mereka menemukan perlakuan Fiskus yang sewenangwenang. Kesadaran WP dalam melaporkan kesewenang-wenangan ini dapat dikatakan sebagai hak WP untuk memperoleh pelayanan dari Fiskus sebagaimana mestinya. Selain pengawasan, perlu dipertimbangkan pula merit system dalam penempatan jabatan-jabatan struktural, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip reward & punishment dengan berbagai insentif. Pada saat yang sama, telah terjadi perubahan paradigma dalam administrasi pemerintahan yang saat ini menjadi ‘kebenaran konsensus’ di banyak negara, di mana keterlibatan rakyat (dalam hal ini WP) ditempatkan setara dengan Fiskus. Oleh karenanya, tumbuh tuntutan dari masyarakat terhadap ‘aparatur perpajakan/fiskus yang makin profesional dan bersih’, yang memiliki semangat atau etos kerja yang sesuai dengan paradigma hukum dan perundang-undangan yang restoratif, dan tidak bersifat represif semata. Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang terakhir direvisi menjadi UU No. 23 Tahun 2014, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang telah direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 200417, sistem perpajakan juga tidak dapat mengesampingkan dinamika pemerintahan yang terjadi saat ini, di mana desentralisasi fiskal dilakukan melalui mekanisme perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, serta Pembagian Kewenangan dan Urusan antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Desentralisasi perpajakan ini semakin diperkuat dengan adanya pengaturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah oleh UU no. 34 Tahun 2000, yang telah direvisi menjadi UU No. 28 Tahun 2009. Terkait kepatuhan WP, ada dua jenis kepatuhan, yaitu kepatuhan administrasi dan kepatuhan bayar. Pada tahun 2006, tercatat jumlah WP terdaftar sebanyak 4,80 juta WP, kemudian angka ini meningkat http://news.detik.com/read/2010/11/29/185459/1505211/10/korban-pemerasan-pajak-kartini-mulyadi-gugur-bersaksi Saat ini Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tersebut sedang dalam proses revisi.
16 17
5
sangat signifikan menjadi 25,86 juta WP pada tahun 2013, di mana 23,64 juta diantaranya adalah WP Orang Pribadi (OP), WP Badan sejumlah 2,07 juta, dan sisanya 555.995 WP Bendahara. Intensifikasi pajak, dengan demikian, menjadi sangat penting karena dari data BPS tahun 2013 tercatat sejumlah 125,32 juta penduduk yang memiliki pekerjaan pada akhir tahun tersebut, namun hanya 25,8 juta yang terdaftar sebagai WP. Meskipun WP yang terdaftar meningkat secara signifikan, namun hal ini tidak menjamin meningkatnya penerimaan pajak. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan (compliance) dan tingkat pelanggaran (evasion) pajak. Dalam kaitannya dengan ‘kepatuhan sebagai salah satu indikator penerimaan pajak’, yang juga harus disorot adalah kewajiban Fiskus, dalam hal ini derajat kepatuhan Fiskus dalam membina, melayani dan mengawasi pelaksanaan pemenuhan kewajiban wajib pajak, serta dalam melaksanakan aturan perpajakan dengan baik dan benar. Fiskus dengan jelas melalui kinerja perpajakan nasional belum memaksimalkan sosialisasi tentang perpajakan, juga belum meningkatkan pelayanannya terutama terhadap WP potensial, dan lain-lain. Fiskus selama ini masih terfokus pada upaya pengawasan, bahkan hingga penyelesaian sengketa, baik administrasi maupun pidana.18 LPIKP telah melakukan kajian terhadap Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, dan menghasilkan beberapa jenis pelanggaran, baik yang dilakukan oleh WP (29 perbuatan) maupun Fiskus (21 perbuatan), sebagaimana terlihat dalam dua tabel berikut. Tabel 1. Jenis Pelanggaran oleh Wajib Pajak
No.
JENIS PERBUATAN
1
Tidak mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak
2 3 4 5
Tidak menyampaikan SPT Menyampaikan SPT, tapi tidak lengkap Menyampaikan SPT, tapi tidak benar Melampirkan keterangan yang tidak benar dalam SPT
6
Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia*
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku catatan atau dokumen lain kepada petugas pajak untuk kepentingan pemeriksaan Tidak menyimpan buku catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan/pencatatan, termasuk hasil pengolahan data dan pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia. Tidak mendaftarkan diri bagi WP Orang Pribadi yang berpenghasilan di atas PTKP Tidak menyampaikan SPT untuk kedua kalinya Menyampaikan SPT yang tidak lengkap untuk keduakalinya Menyampaikan SPT tapi tidak benar untuk keduakalinya Melampirkan keterangan tidak benar untuk keduakalinya Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku catatan atau dokumen lain untuk keduakalinya. Tidak menyimpan buku catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan, atau pencatatan dan dokumen lain, termasuk hasil pengolahan data dan pembukuan yg dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia untuk keduakalinya* Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau PKP
Hasil diskusi internal LPIKP dengan Dr. Yustinus Prastowo, konsultan perpajakan.
18
6
26 27 28
Menolak untuk dilakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menyebabkan kerugian pada pendapatan Negara. Tidak menyampaikan perkiraan kewajiban pajak tahun berikut. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari hasil kejahatan pajak Setiap orang yang wajib memberikan1 keterangan atau bukti yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidakbenar. Mengetahui atau memiliki informasi tentang pelanggaran pajak, atau tentang penipuan yang dilakukan terhadap pajak terutang (pendapatan tertagih), tetapi tidak melaporkan kepada yang berwenang. Dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak atau tindak pidana perpajakan Dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat DJP dan pihak lain2 Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara. Tidak memenuhi panggilan DJP/KPP
29
Melanggar ketentuan penyusutan nilai (amortisasi) aset Negara
17 18 19 20 21 22 23 24 25
Dari jumlah WP yang terdaftar, menurut Menteri Keuangan19 jumlah WP OP yang menyampaikan SPT masih kurang daripada yang diharapkan, yakni hanya 63,64%. Bahkan jumlah WP OP yang pada kenyataannya membayar pajak dengan benar ditenggarai hanya 0,1%. Sedangkan WP Badan, tercatat 2,2 juta yang terdaftar dari total 12 juta Badan Usaha yang berdomisili tetap,20 dan ternyata hanya 446 ribu yang menyampaikan laporan tahunan. Merujuk pada data di atas, terlihat bahwa Fiskus belum melaksanakan fungsi pembinaan, pelayanan dan pengawasan perpajakan secara profesional, atau dengan kata lain tingkat kepatuhan Fiskus dalam melaksanakan peraturan perpajakan menjadi persoalan. Tabel 2. Jenis Pelanggaran oleh Fiskus21
No. 1 2 3
4
5
JENIS PERBUATAN Lalai dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Lalai dalam memeriksa pemenuhan kewajiban pajak terkait pemberian fasilitas Pajak Penghasilan Membantu atau memberi saran berkaitan dengan pembuatan/pengisian SPT yang kurang dari jumlah penghasilan kena pajak yang sesungguhnya. Menawarkan atau melakukan perbuatan untuk menyelesaikan, memasukkan, atau menyerahkan laporan atau penilaian terhadap wajib pajak tanpa pemeriksaan yang tepat terhadap pembukuan atau kewajiban pajak, atau menawarkan atau melakukan penyerahan laporan atau penilaian kurang dari jumlah pajak terutang karena kompensasi atau pertimbangan, atau bersekongkol atau berkolusi dengan sesamanya atau orang lain untuk menipu pendapatan atau melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang perpajakan. Sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan
Kompas, 31 Januari 2015, Penunggak Pajak Mulai Disandera di Penjara ibid. 21 Fiskus adalah Pegawai Direktorat Pajak dan PNS yang tugas pokok dan fungsinya di bidang perpajakan. 19 20
7
6 7 8 9 10 11 12
Sengaja bertindak di luar kewenangannya sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan Sengaja tidak memenuhi kewajibannya untuk memberitahukan kepada pihak lain apa yang diketahui atau memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam rangka menjalankan peraturan perpajakan (melanggar rahasia jabatan). Sengaja menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu berbentuk pembayaran, imbalan dan kompensasi Sengaja untuk kepentingan dirinya sendiri memberikan kemudahan atau pengurangan pajak kepada Wajib Pajak. Membiarkan atau bersekongkol atau berkolusi dengan orang lain untuk memungkinkan pengambilan, penarikan atau recall secara tidak sah dari SPT, pernyataan atau deklarasi setelah SPT, pernyataan atau deklarasi tersebut diterima secara resmi oleh Dirjen Pajak. Sengaja tidak memberi keterangan atau bukti yang diminta, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar.
19
Sengaja memungkinkan orang lain melakukan pelanggaran. Membuat atau menandatangani entri palsu atau entri dalam pembukuan, atau membuat atau menandatangani sertifikat atau SPT palsu. Sengaja mengabaikan memberikan kwitansi/tanda terima, sebagaimana disyaratkan oleh undangundang, untuk jumlah uang yang dikumpulkan dalam pelaksanaan tugas Sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Tidak melaporkan pengetahuan atau informasi atas pelanggaran yang diatur dalam undang-undang kepada atasan mereka, atau kepada yang berwenang sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang. Terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri Sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta, sebagai kewajiban kepada Direktur Jenderal Pajak untuk keperluan pemeriksaan, atau penagihan, atau tindak pidana perpajakan. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara.
20
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari Hasil Kejahatan Pajak
21
Perbuatan pelanggaran ketentuan penyusutan nilai (amortisasi) aset Negara.
13 14 15 16 17 18
CATATAN: 1 Mereka yang diwajibkan di sini adalah akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa, yang menerima permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keterangan atau bukti. 2 ‘Pihak lain’ dalam hal ini termasuk instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan orang-orang yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memberikan data dan informasi terkait perpajakan.
Common knowledge yang dimiliki semua kalangan pemerhati perpajakan memang mempercayai bahwa meningkatnya derajat kepatuhan WP merupakan indikator keberhasilan dalam mencapai penerimaan pajak. Derajat Kepatuhan WP yang dimaksud adalah kepatuhan WP dalam melaksanakan aturan perpajakan dengan baik dan benar. Oleh karena itu semakin tingginya derajat kepatuhan terhadap peraturan perpajakan semakin besar penerimaan negara dari pajak. Sesungguhnya menurut data World Economic Forum (WEF) dan Institute of Management Development (IMD) terdapat kecenderungan bahwa secara perbandingan antar negara, tingkat kepatuhan pajak yang tinggi seringkali bertolak belakang dengan tingkat keberhasilan peningkatan penerimaan pajak (Kim, 2008). Meningkatnya kepatuhan WP ditentukan pula oleh tingkat kepercayaan WP terhadap Pemerintah dalam mengelola dan menggunakan penerimaan negara dari pajak. Hal ini dapat dilihat dari terpenuhinya hak-hak wajib pajak khususnya, dan masyarakat pada umumnya, terutama dalam memenuhi berbagai sarana dan prasarana fasilitas umum.
8
Kasus Gayus, pegawai pajak yang ‘nakal’: Putusan Mahkamah Agung,yang menjatuhkan pidana 12 tahun penjara, dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan masa kurungan kepada Gayus Tambunan22, mengindikasikan bahwa penyelesaian kasus ini tidak maksimal, dan tidak akan menimbulkan efek jera terhadap pegawai pajak lainnya. Dengan kata lain, penyelesaian yang ‘tidak maksimal’ ini merupakan ‘alasan’ ketidakpercayaan bagi WP Perorangan maupun WP Badan. Di lain pihak, pemutakhiran data, akurasi, dan efisiensi pengolahan data WP Orang Perorangan, WP Badan, dan WP Bendahara yang riil akan memudahkan pengawasan. Rentang kendali, baik dari segi kondisi geografis Indonesia maupun segi kompleksitas permasalahan—antara lain: koordinasi dan sinkronisasi pelbagai perundang-undangan yang terkait pajak—menyebabkan dipandang perlu untuk memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan. Kelembagaan Perpajakan Nasional tersebut nantinya harus mempunyai kewenangan koordinatif selain dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Perbankan, juga dengan pelbagai K/L. Reformasi ini perlu dilakukan melalui pengkajian yang mendalam dan menyeluruh, selain juga menyiapkan pengaturannya secara komprehensif. Reformasi kelembagaan perpajakan nasional tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari isu kepatuhan, sehingga hal ini pun perlu kaji. Sebagai contoh, dalam hal WP atas kemauan sendiri membetulkan Surat Pemberitahuan23 yang telah disampaikan kepada Dirjen Pajak, dengan syarat belum dilakukan tindakan pemeriksaan, dengan rentang waktu daluarsa penetapan selama dua tahun, menimbulkan keengganan WP melakukan pembetulan. Tidak jarang WP yang dengan sukarela mengajukan Pembetulan, berujung pada ditetapkannya sanksi pidana terhadap yang bersangkutan. Dalam hal ini Fiskus mengabaikan aspek ‘keadilan’. Keadilan yang melandasi sebuah putusan seharusnya dilandasi oleh Kebenaran Korespondensi, di mana Fiskus harus mendahulukan asas transparansi yang diikuti dengan korespondensi antara WP dengan Fiskus, untuk kemudian menetapkan putusan hasil kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini dihubungkan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Dewasa ini yang dimaksud dengan ‘adil’ diartikan juga sebagai keseimbangan perlakuan antara WP dengan Fiskus. Dalam kaitannya dengan kepatuhan, salah satu hal penting untuk dikaji adalah upaya-upaya peningkatan kesadaran (awareness raising) dan perubahan paradigma (paradigm shift) tentang pajak, dari yang hanya bersifat memaksa ke sebuah kesadaran bahwa pajak adalah juga tanggung jawab sosial sebagai warganegara suatu negara. Melalui pendidikan sedini mungkin tentang pajak sebagai sebuah tanggung jawab sosial, diharapkan ke depannya anak-anak Indonesia akan menjadi warganegara yang patuh pajak. Tentunya upaya-upaya pendidikan dan peningkatan kesadaran ini perlu melibatkan pendekatan multidisipliner. Selain hal-hal di atas, diskusi kelompok terfokus ini juga perlu membahas target penerimaan negara dari Pajak. Selama ini target yang ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan pada perhitungan yang kurang akurat, sehingga tidak mencerminkan potensi yang sebenarnya. Ini terjadi karena selama ini data perpajakan dan komponen-komponen data penunjang, seperti rumah tangga, perbankan, perdagangan, dan industri, tidak mutakhir dan tidak mengacu pada data statistik yang dihasilkan lembaga yang memiliki kewenangan seperti BPS.24 Sebagai contoh adalah perhitungan LPIKP berdasarkan data SUSENAS25 2012 www.antaranews.com Lihat Pasal 8 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007. 24 Hasil berbagai diskusi internal dengan Dr. A. Abimanyu dan Dr Y. Prastowo di kantor LPIKP 25 SUSENAS adalah serangkaian survei sosial ekonomi tahunan berskala besar dan dapat digunakan untuk multi-tujuan yang dimulai sejak tahun 22 23
9
menunjukkan bahwa potensi WP orang pribadi untuk usaha swasta perorangan terestimasi 7 (tujuh) kali lebih besar dibandingkan data yang tercatat di DJP (lihat Tabel 3).26 Berdasarkan hal tersebut, sekalipun tingkat kepatuhan WP dan Fiskus mencapai 100%, upaya pencapaian target penerimaan tersebut tetap tidak akan memungkinkan untuk memeratakan kesejahteraan rakyat. Tabel 3. Realisasi dan Potensi WP OP Menurut Jenis Pekerjaan – Tahun 2012 JENIS
Karyawan Non-Karyawan TOTAL
ESTIMASI SUSENAS
% terhadap estimasi
18.488.509
17.177.801
108%
4.435.993
31.012.958
14%
22.924.502
48.190.759
48%
DJP
Sumber : DJP dan Susenas BPS (diolah kembali)
Persiapan Diskusi Kelompok Terfokus ini diawali dengan studi kepustakaan (desk study). Selanjutnya, untuk mematangkan isu-isu yang akan dikaji, maka LPIKP perlu melibatkan narasumber-narasumber khusus sesuai dengan kompetensinya. Para narasumber yang hadir dalam diskusi-diskusi internal persiapan acara ini adalah, antara lain, Dr. A Primanto Bhakti (Staf Ahli Menteri Keuangan), Dr. Anggito Abimanyu (ekonom), Dr. Ir. Ani Ratnawati (pengamat), dan Dr. Yustinus Prastowo (konsultan pajak
1963-1964. Sejak tahun 1993 SUSENAS menggunakan sampel berskala nasional yang berjumlah 200.000 rumah tangga. Angka jenis non-karyawan tersebut memang diperkirakan banyak mencakup usaha perorangan informal dan kemungkinan pula jenis usaha berskala UMKM.
26
10
Identifikasi Masalah Beranjak dari uraian di atas, permasalahan utama yang teridentifikasi adalah sebagai berikut: 1.
Reformasi kebijakan dan kelembagaan perpajakan nasional;
2.
Pemutakhiran pangkal data perpajakan di Kementerian/Lembaga;
3.
Kepatuhan Wajib Pajak, dan Kepatuhan Fiskus; dan
4.
Reward and punishment yang patut (meningkatkan kepatuhan, meningkatkan penerimaan negara, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif) terhadap WP maupun Fiskus.
Tujuan Diskusi Kelompok Terfokus Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan untuk: 1.
Mencapai pemahaman yang sama tentang masalah dan solusi di bidang perpajakan (Pajak Negara dan Pajak Daerah)
2.
Memperoleh masukan dari peserta mengenai masalah perpajakan dan kiat-kiat mengatasinya dalam bentuk Rekomendasi tentang Reformasi Perpajakan Nasional
3.
Memperoleh masukan peserta khususnya tentang UU Ketentuan Umum Perpajakan, termasuk Peraturan Pelaksanaannya.
Ketiga tujuan tersebut akan dirangkum dalam bentuk whitepaper berisi rekomendasi tentang reformasi Perpajakan Nasional.
Peserta Diskusi Kelompok Terfokus Diskusi Kelompok Terarah akan diikuti oleh ± 50 peserta, terdiri dari perwakilan: 1.
Pemerintah Pusat/Daerah, dalam hal ini, pengambil kebijakan terkait perpajakan
2.
Direktorat Jenderal Pajak
3.
Bank Indonesia
4.
Otoritas Jasa Keuangan
5.
Perusahaan Swasta/Dunia Usaha
6.
Asosiasi Pengusaha
7.
Asosiasi Konsultan Pajak
8.
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
9.
Asosiasi Perbankan Asing
10. Lembaga Swadaya Masyarakat (Perpajakan/Keuangan) 11. Lembaga Penyedia Jasa Keuangan Bank & Non-Bank 12. Perwakilan OECD 13. Perwakilan Bank Dunia 14. Perwakilan ADB
11
Penyelenggaraan Diskusi Kelompok Terfokus Kegiatan ini akan diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada tanggal 11-12 Agustus 2015, dengan jadwal acara sebagai berikut: SELASA, 11 AGUSTUS 2015 08.30 – 09.00
Registrasi Peserta
09.00 – 09.05
Pembukaan oleh MC
09.05 – 09.15
Sambutan Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP)
09.15 – 09.30
Keynote speech & pembukaan FGD, oleh Menteri Hukum dan HAM, Dr. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc.
09.30 – 09.35
Penyampaian Plakat LPIKP oleh Direktur LPIKP
09.35 – 09.50
Rehat kopi
09.50 – 10.05
Paparan “Politik Pajak Nasional Saat ini” oleh Direktur Jendral Pajak
10.05 – 10.20
Sesi tanya-jawab
10.20 – 10.25
Penyampaian Plakat oleh Direktur LPIKP
10.25 – 10.45
Paparan oleh LPIKP
10.45 – 12.15
Diskusi Kelompok Terfokus I (Reformasi Kebijakan Perpajakan)
12.15 – 13.15
Istirahat, Sholat, Makan Siang
13.15 – 15.15
Diskusi Kelompok Terfokus II (Kepatuhan WP dan Fiskus, i.e. reward & punishment)
15.15 – 15.30
Rehat
15.30 – 17.15
Diskusi Kelompok Terfokus III (Pendalaman masalah)
17.15 – 18.30
Istirahat, Sholat
18.30 – 19.30
Makan Malam
19.30 – 21.30
Rapat Moderator & Notulis, dan Pelaporan serta Penyusunan Hasil Diskusi
RABU, 12 AGUSTUS 2015
12
07.00 – 09.00
Makan Pagi
09.00 – 10.30
Rapat Pleno Penyampaian Hasil Diskusi
10.30 – 10.45
Rehat
10.45 – 12.30
Diskusi Pleno
12.30 – 13.15
Penyusunan & Pembacaan Kesimpulan, dan Penutupan
13.15 – 14.00
Makan Siang
Penyelenggara Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan tema ‘Kepatuhan Wajib Pajak dan Fiskus sebagai Ujung Tombak Pemerataan Kesejahteraan Rakyat’ ini diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP)/Institute of Independent Study for Public Policy, Jalan Brawijaya IX. No. 8A, Jakarta Selatan 12160. Tel: 021 2930 7445, 0812 8219 9971, 0878 7343 3898. Faksimile: 021 720 1475 Penanggung Jawab: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M Moderator: Dr. Yustinus Prastowo Kodrat Wibowo, Ph.D
13
Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik Jalan Brawijaya IX, No. 8A – Jakarta Selatan 12160 Tel. 021 2930 7445 Faks. 021 720 1475