WAJAH DAMAI MINORITAS ISLAM DI AUSTRALIA Ahmad Khoirul Umam Abstract This article elaborates the other sides of Moslem minority within the Australia’s multicultural society. As the Western country which is trapped on the Asian region, Australia has shown its capability in managing harmonic relation between the state and the elements of minority. Various challenges such as the rise of racialism, sentiment of ethnicity and fundamentalism can be overcome by using preventive approaches. The Moslem minorities also don’t need to fear of having no future because of discriminative government, marginalization, political pressure, or economic deprivation. That is why many asylum seekers and people smugglers from Moslem countries in South Asia and Middle-East tend to choose the ‘Kangaroo country’ as the country of destination. The rule of law and political commitment has become the pivotal keys to build tolerance and a deeper engagement with pluralism. As the nearest Southeast Asian country of neighbor having complex problems of minority, Indonesia could learn from Australia’s experience by transforming knowledge and understandings of multiculturalism to generate inclusive practices on the base of peaceful state. Keywords: Politik Identitas, Politik Minoritas, Multikulturalisme, Perdamaian & Islamophobia. Persinggungan Australia dengan dunia Islam bukanlah hal baru. Jauh sebelum kolonialisme Inggris menancapkan jangkar kekuasaannya di Negeri Kangguru ini, Islam telah bersinggungan langsung dengan komunitas asli Australia. Pada sekitar abad ke-15, Islam telah diperkenalkan oleh komunitas nelayan Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari etnis Bugis dan Makassar, melalui jalur perdagangan laut di sepanjang perairan Samudera Hindia yang menyentuh daerah tapal batas daratan Australia Utara. Selama beberapa abad, para pedagang Muslim itu berburu teripang, sebuah binatang laut jenis invertebrata yang dipercaya sangat ampuh untuk media pengobatan serta santapan lezat sehari-hari. Kala itu, tingkat permintaan teripang di pasar China dan Asia pada umumnya memang relatif tinggi. Karena kepentingan itu pulalah para nelayan Muslim Indonesia membangun hubungan dekat dengan masyarakat Aborigin di pinggiran Australia. Daerah perdagangan itu kini terletak di area peripheral kota Darwin, atau negara bagian utara Australia (northern territory). Lebih dekat secara geografis dengan wilayah Indonesia, daerah perairan yang menempel dengan daratan Darwin itu memang sejak dulu dikenal kaya dengan teripang dan komoditas hasil laut lainnya.
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
Tingginya intensitas komunikasi dan persinggungan secara langsung antara nelayan Muslim Indonesia dan komunitas Aborigin di sepanjang pinggiran Darwin kemudian memunculkan akulturasi budaya yang menakjubkan di bidang seni, bahasa, dan tradisi. Bahkan, kolaborasi itu dikabarkan juga menghasilkan percampuran genetik yang unik hasil dari perkawinan lintas ras di antara mereka, di mana keturunan mereka konon beranak pinak di area yang terbentang di sepanjang Laut Arafuru dan Laut Banda (Kitley, Chauvel & Reeve, 1989). Kedekatan emosional dan hubungan perdagangan yang terbangun lama antara nelayan Muslim Indonesia dengan komunitas Aborigin Australia itu kemudian diinterupsi oleh kedatangan kolonialisme Inggris pada tahun 1770-an. Kekuasaan kolonialisme itu pulalah yang kemudian diasumsikan sejumlah kalangan telah mereduksi sejarah hubungan nusantara dan Australia, dengan mengklaim bahwa Kapten James Cook-lah tokoh kunci yang pertama kali menemukan benua Australia. Kini, Islam telah menjadi bagian dari peradaban besar Australia. Di negeri Kanguru ini, Islam merupakan agama minoritas. Secara statistik, negara persemakmuran Inggris ini didominasi oleh penganut agama Kritiani yang menyentuh kisaran 64 persen, disusul oleh penganut agnostik atau paham tak bertuhan yang belakangan sangat populer di kalangan kawula muda dengan derajat persentase yang mencapai sekitar 30an persen. Popularitas paham agnostik ini semakin menanjak seiring dengan arus informasi yang kian tak terbendung, gaya hidup yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan hak asasi manusia, serta tradisi keilmuan yang kian meningkatkan daya kritisisme publik terhadap nilai dan etika keagamaan yang selama ini dirasa “mengekang” kesadaran mereka. Bahkan, Perdana Menteri perempuan pertama di Australia, Julia Gillard, yang pada medio 2010 lalu berhasil menjungkalkan rekan separtainya Kevin Rudd dari pucuk pimpinan Partai Buruh ( Labor Party) dan kursi perdana menteri, secara eksplisit juga mengakui bahwa dirinya adalah seorang yang tidak percaya terhadap konsep ketuhanan dan agama (Sydney Morning Herald, 2010). Gillard mengaku dirinya tidak mau bersikap munafik dengan berpura-pura menjadi seorang yang agamis atau religius hanya sekadar untuk menarik simpati publik dan meningkatkan popularitasnya menjelang pemilihan umum tingkat federal pada Agustus 2010 ini. Dengan tegas, Gillard mengaku dirinya ingin tetap istiqomah jati diri dan prinsip nilai yang diyakininya dengan tidak beragama, serta tidak ingin menjadi seorang yang gemar bergonta-ganti topeng kepalsuan hanya sekadar untuk kepentingan politik sesaat belaka. Prinsip hidup Julia Gillard yang berbeda dengan mainstream besar masyarakatnya itu tidak serta merta mendatangkan gelombang penolakan dan sinisme dari warganya. Terlepas dari sentimen politik publik yang sinis atas tindakannya dalam proses penggeseran Kevin Rudd dari kursi perdana menteri melalui mekanisme internal Partai Buruh, masyarakat Australia tetap mengakui kepemimpinan Gillard sebagai hal yang legitimate dan 239
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
konstitutional. Sebagai individu, Gillard juga tetap dihargai keyakinannya sebagai agnostik terlepas bagaimana arus besar mengekspresikan keyakinan, agama, serta madzhab kepercayaannya. Kebebasan dan penghargaan tinggi terhadap hak asasi manusia benar-benar menjadi prinsip dasar kehidupan masyarakat Australia sehari-hari (Kaisiepo, 1987; Michael, 2009). Ajaran menghargai perbedaan telah ditanamkan sejak usia dini, sehingga setelah beranjak dewasa mereka tidak menjadi generasi “latah” atau generasi yang mudah kaget dan terpantik oleh perbedaan kecil serta keanekaragaman prinsip dan keyakinan dalam struktur sosial masyarakat di sekitarnya. Harmoni Persinggungan Minoritas-Mayoritas Di negara-negara tempat di mana Islam menjadi agama minoritas, umat Islam umumnya dihadapkan pada masalah serius terkait politik identitas. Ambil contoh kasus di Thailand Selatan dan Philiphine Selatan misalnya, kelompok minoritas Muslim acapkali merasa dikebiri oleh pihak mayoritas dalam upaya mempertahankan identitas keagamaan mereka. Secara politik, kepentingan mereka sering dinomorduakan. Suara mereka tidak diakomodasi dan aspirasi politik mereka dikesampingkan. Karena terus merasa dirugikan, akhirnya muncullah sentimen kebencian di kalangan minoritas terhadap dominasi mayoritas. Kuatnya tekanan kelompok mayoritas, membuat kaum Muslim minoritas semakin tercampakkan, ketakutan, dan terasingkan dari hak-haknya untuk dapat mengakses pembangunan, hak mempraktekkan ajaran-ajaran agamanya, menjalankan adat-istiadat serta tradisinya, sehingga membuat kalangan minoritas terasingkan dan tercerabut dari akarnya. Situasi semacam ini membuka kemungkinan munculnya red bottonyang secara tak terduga mampu menciptakan sumbu-sumbu bom waktu berupa konflik sosial berskala besar. Barangkali telah menjadi keniscayaan sejarah kelompok mayoritas cenderung berkeinginan untuk mendominasi setiap kesempatan yang ada, termasuk dalam pembagian kekuasaan dalam struktur masyarakat dan negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Ganganath Jha dalam bukunya berjudul Society and Politics in Southeast Asia (2009: 95), bahwa kelompok mayoritas umumnya memiliki kekuatan untuk menentukan komposisi pemerintahan yang mewakili dominasi kelompoknya. Di level ini, negara tidak lagi menjadi aktor yang independen secara politik. Negara tak ubahnya menjadi institusi publik yang secara leluasa dibajak oleh kepentingan mayoritas dan menegasikan eksistensi minoritas. Situasi inilah yang kemudian disebut oleh David Brown dalam bukunya bertajuk the State and Etnic Politics in Southeast Asia (1994: 159) sebagai ‘kolonialisme internal’ (internal colonialism). Situasi buram akibat dari ‘kolonialisme internal’ itu akan terus berlanjut apabila diperparah oleh absennya partisipasi publik, media yang terkebiri, partai politik yang tidak kompetitif, peradilan yang tidak independen dan memihak, serta instrumen civil society lainnya yang tidak 240
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
bisa menjamin sistem transparansi dan akuntabilitas publik terpenuhi. Situasi itu membuat kelompok minoritas menjadi semakin takut dan gugup oleh ketidakjelasan masa depan mereka. Sementara egoisme mayoritas kian leluasa membajak instrumen kebijakan publik. Akibatnya, mereka dipaksa sedemikian rupa oleh keadaan untuk beradaptasi dengan realitas kebijakan publik yang diskriminatif, timpang, dan memihak. Akibat dari perasaan teralienasi secara berkepanjangan oleh praktik ketidakadilan seperti itu, kemarahan kolektif di kalangan minoritas akan mudah tersulut dan berpotensi besar menjadi sentimen politik yang efektif untuk memobilisasi massa guna menentang kekuasaan negara dan menggulingkan pemerintahan yang ada (Castells, 1997; Halliday, 1995; Huntington, 1991). Atmosfer sensitif itu membuat mereka mudah terprovokasi untuk menggunakan cara-cara kekerasan dan memunculkan ketegangan yang mengancam keamanan sosial. Karena itu, secara general gerakan-gerakan pemberontakan dan separatisme berlabel Islam di Asia Tenggara misalnya, umumnya berkorelasi erat dengan dinamika sosial masyarakat setempat yang penuh dengan nuansa diskriminasi, kesenjangan dan ketidakadilan sosial (Kuntowijoyo, 1991; Tibi, 1992; Castells, 1997: 20). Dengan kata lain, ketimpangan ekonomi, marginalisasi dan kecemburuan sosial di kalangan minoritas terhadap mayoritas secara umum telah menjadi faktor utama penyulut konflik antara mayoritas dan minoritas. Lalu bagaimana dengan relasi mayoritas dan minoritas di Australia? Di Australia, Islam memang merupakan agama minoritas. Secara kuantitas, Islam berada pada peringkat keempat setelah agama Budha yang duduk di posisi ketiga, di bawah Kristen dan agnostik sebagai peringkat pertama dan kedua. Agama Budha sendiri dianut oleh sebagian besar imigran dari kawasan Asia Timur dan negara-negara Asia Tenggara yang memiliki latar belakang peradaban Sinic, istilahnya Samuel P. Huntington (1993), laiknya Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand, dan lainnya. Berdasarkan sensus tahun 2006, Umat Islam di Australia diperkirakan hanya 1,71 persen dari total populasi masyarakat Australia, atau sekitar 340,394 warga saja (ABS, 2007). Komunitas muslim terbesar di sana lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar laiknya Sydney (47.3%) and Melbourne (30.3%) (ABS, 2008). Masyarakat Muslim Australia umumnya adalah imigran yang berasal dari Eropa Timur laiknya Albania, Bosnia, dan pecahan Yugoslavia lainnya. Ada pula yang berasal dari Timur Tengah seperti Libanon, Suriah, Mesir, Saudi Arabia, dan lainnya. Sedangkan dari Asia Selatan adalah India dan Pakistan, serta dari negara tetangga Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia (Madjid, 1989). Kendati minim secara kuantitas, umat Islam tetap mendapatkan perlakuan yang layak dan setara dengan kelompok mayoritas. Kebebasan mereka untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya dijamin penuh oleh negara tanpa memberikan celah bagi pihak manapun untuk mengintervensi dan mengebirinya. Tak hanya di bidang keyakinan, di bidang ekonomi dan pelayanan publik pun, umat Islam juga dengan leluasa bisa 241
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
mengaksesnya tanpa ada perlakuan diskriminatif dan feodal dengan mengistimewakan pihak tertentu. Sebagaimana warga Australia pada umumnya, umat Islam juga mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, pendidikan yang memadai, perlindungan hukum, transportasi, dan lainnya. Hak mempertahankan identitas kultural dan keagamaan mereka dijamin secara hukum. Apabila terjadi perlakukan yang melecehkan identitas kultural dan keyakinannya, mereka berhak melaporkan kepada pihak berwajib untuk ditindak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Karena itu, sentimen mayoritas dan minoritas tidak begitu terasa di ruang publik Australia. Demikian juga dengan unsur-unsur pemantik konflik sosial berskala besar antara kelompok mayoritas dan minoritas laiknya problem ketimpangan ekonomi, marginalisasi, dan kecemburuan sosial juga terasa sirna di negara yang masuk dalam daftar sepuluh besar negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia ini (IMF, 2009). Relasi sosial yang damai antar pemeluk agama ini bukanlah sekadar jargon-jargon semu yang acapkali digunakan oleh negara-negara berlabel agama yang mengaku dirinya pluralis tetapi tidak mampu mengayomi kelompok minoritas yang bernaung di bawah kedaulatannya. Spirit solidaritas dan kesetiakawanan sosial antarumat beragama di Australia ini benar-benar diwujudkan dalam aktivitas sosial melalui program kerja sama dan bantuan kemanusiaan di berbagai bidang. Misalnya, tidak sedikit dari lembaga kemanusiaan yang berafiliasi dengan institusi gereja yang secara aktif melakukan penggalangan dana untuk aksi kemanusiaan. Aksi itu dilakukan dengan cara yang beragam, seperti mengumpulkan barang-barang bekas yang layak untuk selanjutnya kembali di jual untuk pangsa pasar menengah ke bawah. Hasil penjualan barang-barang itu selanjutnya dikumpulkan untuk membantu pihak-pihak yang membutuhkan biaya pengobatan dan perawatan penyakit berat laiknya diabetes, kanker, HIV/AIDS, perawatan kesehatan para manula atau lanjut usia, perawatan anak yang memiliki keterbatasan fisik dan mental, serta problem sosial lainnya. Bantuan itu disalurkan tanpa tendensi apapun kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa harus memandang latar belakang sosial dan agama mereka, termasuk untuk umat Islam dan pemeluk agama lain yang membutuhkan. Tak hanya fokus di area “kelas berat”, sejumlah lembaga kemanusiaan yang berafiliasi dengan gereja itu juga banyak yang memberikan bantuan langsung berupa pakaian, buku-buku berkualitas, hingga makanan sehari-hari. Ambil contoh di sekitar kota Adelaide laiknya di Marion, Micham, dan kota-kota lain di negara bagian Australia Selatan, hampir seminggu sekali ada pekerja sosial dari lembaga kemanusiaan Gereja yang membagi-bagikan kue dan roti secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu. Karena paham betul konsumen mereka adalah masyarakat yang berasal dari berbagai keyakinan, maka mereka sengaja membuat kue atau roti yang tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan oleh agama tersebut. Misalnya komunitas Islam yang sangat berhati-hati dengan 242
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
makanan yang mengandung babi, atau komunitas Hindu yang menolak mengkonsumsi daging sapi, maka dengan berpedoman pada standarisasi makanan halal versi The Australian Federation of Islamic Councils (AFIC) dan lembaga keagamaan lainnya, makanan-makanan yang mereka sediakan berusaha mematuhi syarat-syarat yang tertera dalam standarisasi itu. Sekadar catatan bahwa AFIC merupakan lembaga terbesar komunitas Muslim yang memayungi beragam kelompok dan organisasi Islam di Australia, sehingga setiap fatwa dan keputusan-keputusannya sangat dipercaya dan berpengaruh luas terhadap umat Islam di sana. Walhasil, tidak sedikit mahasiswa Indonesia atau warga Timur Tengah, Asia Selatan serta negara lain yang beragama Islam juga menjadi pelanggan tetap mereka. Bahkan ketika mereka terlupa tidak ikut mengantri untuk mendapatkannya, para petugas aksi kemanusiaan itu juga tidak segan-segan memberikan bungkusan makanan itu dengan cukup menggantungkannya di depan pintu rumah warga. Dan sekali lagi, aksi sosial itu seratus persen demi kemanusiaan dan sama sekali tidak memiliki tendensi dan motivasi apapun sebagaimana kekhawatiran dan kecurigaan tentang kristenisasi seperti isu yang beredar di sejumlah daerah di Indonesia. Tampaknya, warga Australia itu lebih paham tentang pesan moral Al-Quran yang berujar lakum Dinukum Waliyadin. Banjir Imigran dan Islamophobia Relasi Muslim dan kelompok mayoritas Kristen serta minoritas agama dan etnik lain di Australia memang memiliki akar kuat, karena hubungan harmonis itu memang terbangun dalam jangka waktu yang relatif lama. Persinggungan Islam dan Australia pasca kolonialisme Inggris itu dimulai pada tahun 1860-an, di mana sejumlah warga Asia Selatan sengaja didatangkan untuk dipekerjakan sebagai penunggang Unta ( camel), hewan khas padang pasir yang baru diimpor ke Australia pada tahun 1840. Kendaraan Unta itu dibutuhkan oleh para pakar geologi serta sejumlah utusan pemerintah kolonial Inggris dalam ekspedisi untuk mengeksplorasi wilayah padang tandus di area pertengahan benua yang berdekatan dengan kutub selatan ini. Gelombang pertama para penunggang unta itu tiba di Melbourne pada 1860 dan gelombang selanjutnya tiba di Adelaide, Australia Selatan pada 1866. Dalam gelombang kedua itu, sebagian dari penunggang unta yang didatangkan itu adalah umat Islam. Kendati berasal dari berbagai negara Asia Selatan, tetapi mereka lebih akrab disebut sebagai “Afghans” atau orang Afganistan. Merekalah orang-orang pertama atau as-sabiquna al-awwalun yang membawa Islam ke tanah Australia. Selanjutnya mereka dibawa dalam ekspedisi menuju wilayah utara Australia melalui jalur tengah melewati daerah Alice Springs. Napak tilas perjalanan ekspedisi itu hingga kini diabadikan dengan nama kereta api “The Ghan”, sebuah kereta berkelas nan eksotis yang menghubungkan kota Adelaide di Australia Selatan dengan Darwin di Australia Utara. Kata “The Ghan” sendiri dimaksudkan untuk 243
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
mengenang ekspedisi para komunitas penunggung unta yang akrab dengan sebutan “Afghans”. Keberadaan kaum Muslim penunggang unta itu juga meninggalkan catatan sejarah bahwa Masjid pertama yang berdiri di Australia adalah di Adelaide, Australia Selatan pada tahun 1882 (Kitley, Chauvel & Reeve, 1989). Persinggungan Islam dan Australia itu semakin intensif ketika pemerintah kolonial Inggris menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak kolonial Belanda yang berkuasa di wilayah teritori Indonesia untuk mengirimkan ribuan pekerja kasar guna dipekerjakan di Perth, wilayah barat Australia, dan Darwin, di Australia Utara. Hingga masa awal abad 20-an, migrasi umat Islam dari negara non-Eropa masih sangat terbatas. Kebijakan itu terkait dengan White Australian Policy (1960-an) yang menolak kedatangan komunitas imigran yang tidak berkulit putih karena dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas dan menciptakan kekacauan sosial di bumi Australia. Pada dasarnya, kebijakan ”Australia Putih” itu sangat berkaitan dengan kekhawatiran mereka tentang isu keamanan nasional. Tetapi kekakuan itu segera mencair ketika wacana multikulturalisme dihembuskan secara intensif sejak tahun 1966. Pemerintahan Holt saat itu menyetujui perubahan kebijakan keimigrasian yang bercorak anti-diskriminasi, guna meredam ancaman dan tudingan rasis dari pihak luar terhadap Australia. Akhirnya, Partai Buruh mempelopori perubahan itu dengan menurunkan platform politik ”White Australia” pada 1965, dan ditegaskan kembali melalui konferensi nasional partai Buruh pada tahun 1971. Gerakan penentangan kebijakan ”Australia Putih” ini semakin intensif dilakukan oleh Perdana Menteri Withlam sejak tahun 1972 (Mackie, 1997). Withlam semakin kencang mengkampanyekan pentingnya multikulturalisme sebagai basis dari kebijakan asimilasi yang akan kian memperkaya keragaman budaya dan bangsa Australia. Sejak saat itu, kebijakan imigrasi Australia kian melunak ditandai dengan dibukanya pintu kedatangan bagi para imigran dan pengungsi internasional. Kebijakan terbuka ini dijalankan dengan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan dan ekonomi nasional, karena Australia memang saat itu butuh banyak tenaga kerja untuk mencukupi kebutuhannya guna mendongkrak capaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Menurut catatan McDaugal (1998: 158), perubahan pola migrasi di Australia terjadi mulai awal 1970an, di mana mobilitas para pendatang dari Inggris, Irlandia, dan komunitas Muslim yang berasal dari negara-negara pecahan Yugoslavia cukup tinggi. Kedatangan kelompok Muslim itu kian bertambah ketika imigran dari Asia terus berbondong-bondong menapakkan kaki di ”tanah Paman Cook” ini. Antara 1971 dan 1992 saja, jumlah imigran Asia yang datang ke Australia meningkat dari 9.010 imigran, atau sekitar 5 persen dari total imigran yang masuk sebesar 170.010 orang, menjadi 60.910 orang atau 50 persen dari total 107.390 orang. Pertumbuhan angka yang cukup signifikan. 244
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
Pesatnya kehadiran kaum imigran Asia ini semakin menguat ketika pemerintahan Perdana Menteri Paul Keating (1991-1996) bersama Menteri Luar Negerinya Gareth Evans mengeluarkan gagasan ”Asianising Australia”. Sebuah ikhtiyar pencarian identitas Australia untuk mengatasi perasaan keterasingan yang selama ini menyergap sebuah bangsa Barat yang terdampar di antara kawasan Pasifik Selatan dan Asia Tenggara itu (FitzGerald, 1997). Keating & Evans (1992) berpendapat bahwa Australia tidak bisa menyangkal bahwa secara geografis, Australia merupakan bagian dari Asia. Meskipun Australia memiliki dasar peradaban budaya Barat, namun Keating dan Evans berkeyakinan bahwa banyak sekali nilai-nilai Asia (Asian values) yang dianggap compatible dengan nilai dasar peradaban Australia. Karena itu, sikap akomodatif terhadap komunitas Asia menjadi gagasan penting untuk dipertimbangkan. Selain memiliki efek strategis terhadap strategi pertahanan dan keamanan negara, kebijakan ”meng-Asia-kan Australia” ini juga diyakini mampu menjadi jembatan emas bagi perkembangan sosial dan masa depan ekonomi Australia. Perhatian lebih Australia terhadap komunitas Asia tersebut semakin melipatgandakan jumlah imigran Asia. Bahkan menurut prediksi Steketee (1997) dan Cotton (1997), jika pada tahun 1995 warga Asia yang tinggal di Australia bisa berkisar 4,8 persen, maka pada tahun 2031 diperkirakan bisa lebih dari 7,5 persen. Karena itu, pada tahun 2025, diperkirakan 19,5 persen warga Australia akan dijejali oleh imigran Asia maupun warga Australia keturunan Asia, dalam hal ini termasuk mereka adalah eksodus warga dari negara-negara miskin dan negara perang dari masyarakat Muslim Timur Tengah dan Asia Selatan. Kondisi itu semakin menambah kekayaan ragam latar belakang umat Islam di Australia. Walhasil, setelah bertahan sekian lama, pada awal abad 21 lalu, setidaknya sudah ada sekitar 350an ribu umat Islam dari 60 negara yang tinggal di Australia. Wacana multikulturalisme dan kebijakan imigrasi yang lunak telah terbukti berhasil memperkaya peradaban baru Australia. Sebuah negeri gersang dan kering kerontang di pojok selatan planet ini, namun kaya akan budaya, makmur dan sejahtera secara ekonomi, kuat sistem pertahanannya, maju teknologi dan tradisi keilmuannya, serta terjamin kesehatan masyarakatnya sejak masa kecil hingga hari tuanya. Sebuah negeri impian yang menjadi harapan setiap orang. Karena kesejahteraanya itu pula, maka arus imigran tidak terbendung hingga saat ini. Arus asylum seeker atau para pencari suaka dari negara-negara konflik di Asia Selatan dan Timur Tengah masih terus berbondong-bondong bersama sanak saudara mereka mengendarai perahu reot dan sewaan ala kadarnya, terus berdatangan dengan berjuang menghadapi gempuran ombak tinggi samudera yang menghadang di sepanjang ribuan hingga jutaan kilometer, untuk menembus batas wilayah teritori Australia. Dengan mendapatkan suaka dari pemerintah Australia, rombongan yang sering disebut dengan manusia perahu itu berharap bisa memperoleh kualitas 245
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
kehidupan yang lebih baik. Di antara para pencari suaka itu, banyak sekali di antara mereka yang beragama Islam. Setelah masuk wilayah teritori dan dikabulkan permohonan suaka mereka oleh pemerintah Australia, komunitas Muslim itu dapat melebur dengan baik bersama kelompok mayoritas dan minoritas lainnya. Kerja sama antar umat beragama menjadi kegiatan rutin mereka. Di area ekonomi, mereka juga terlibat dalam relasi bisnis baik dalam skala kecil maupun besar. Bahkan tidak sedikit pula keharmonisan itu diwujudkan dalam bentuk perkawinan lintas ras dan agama yang berbeda. Secara umum, sebagai minoritas mereka dapat melebur dalam masyarakat Australia secara luas dan juga kian memperkaya warna-warni kebudayaan Australia. Akan tetapi, keharmonisan itu sempat goyah dan terhentak oleh tragedi terorisme 11 September 2001 yang meluluhlantakkan World Trade Centre (WTC) di New York dan sebagian gedung Pentagon. Bagi Perdana Menteri John Howard yang saat peristiwa itu terjadi tengah berada di Washington, DC untuk kunjungan kenegaraan, tentulah kepiluan tragedi 11 September itu menancapkan dalam pada diri Howard secara personal. Hal itu kemudian berimplikasi pada kebijakan luar negeri Australia yang semakin agresif untuk berada dalam kekuatan “coalition of the willingness” untuk “war on terror” yang saat itu tengah digalang oleh Presiden Amerika George Walker Bush. Sejak saat itu, kepanikan moral masyarakat Australia terhadap dunia Islam terus bermunculan. Berita-berita koran dan televisi terus membombardir pemirsanya dengan kabar yang tidak sedap tentang dunia Islam. Akhirnya eksploitasi sisi negatif tentang komunitas Islam menjadi satu tema pokok yang cukup menjual di kalangan media Australia. Misalnya, sejumlah tindakan kriminal dan pengeroyokan yang dilakukan oleh pemuda keturunan Lebanon terhadap warga Australia di Sydney pada tahun 2005 misalnya, menjadi isu utama media yang menyita perhatian publik selama berminggu-minggu. Berita itu sempat memancing ketegangan antara warga keturunan Lebanon dan komunitas Anglo-Saxon di Sydney yang menghasilkan kerusuhan bernuansa rasial di Cronulla dan sekitarnya. Ketegangan dan kepanikan masyarakat Australia itu semakin menjadi-jadi ketika tragedi bom Bali menyeruak pada 12 Oktober 2002, di mana 202 orang termasuk 88 orang warga Australia tewas akibat kedahsyatan bom rakitan itu. Tak hanya itu, bom bali kedua segera kembali menghantui warga Australia, belum lagi bom yang meledak di JW. Marriot (2003) dan juga yang di depan kedutaan besar Australia di Kuningan, Jakarta (2004). Semua itu membuat warga Australia berpikir seolah terorisme telah begitu dekat dengan mereka. Akhirnya ketegangan besar melanda Australia. Rangkaian tragedi itu menyisakan tudingan terhadap lembaga Jamaah Islamiyah (JI) yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan tentang kebenaran ada dan tidaknya jaringan tersebut. Akan tetapi, Pemerintah Australia semakin memantapkan langkahnya untuk melakukan 246
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
perang melawan terorisme internasional, tak hanya di arena Irak dan Afganistan yang menjadi target utama Amerika, melainkan juga negara-negara tetangga di Asia Tenggara, wabil khusus Indonesia, Malaysia dan Filipina. Terlampau seriusnya pemerintahan John Howard dalam gerakan anti-terorisme ini, kata “terorisme” seolah menjadi pilihan kata favorit dalam pidato-pidatonya sebagai perdana menteri, yakni sebanyak 762 kali sejak September 2001 hingga April 2006 (Michael, 2009). Gencarnya pencitraan negatif terkait Islam dan terorisme itu membuat cara pandang warga Australia terhadap Islam menjadi bias. Mereka merasa kesulitan untuk membedakan antara entitas Islam sebagai agama dan terorisme sebagai bentuk penyimpangan ajaran agama. Akibatnya terjadi pencampuradukan pandangan yang pada level tertentu sangat berbahaya bagi keharmonisan hubungan komunitas Islam dan warga Australia secara umum. Ketegangan yang semakin pekat itu akhirnya memunculkan sentimen tersendiri terhadap komunitas pendatang asal Timur Tengah dan imigran lain yang memiliki latar belakang Islam. Kehadiran mereka mendapatkan perhatian serius dalam konteks kebijakan keamanan nasional Australia. Karena itu, wacana penolakan imigran dari negara-negara konflik asal Timur Tengah atau negara-negara berlatar belakang Islam menjadi isu politik yang seksi selama sekian lama. Tentu, semua sikap dan kebijakan pemerintah Australia itu berimplikasi besar terhadap masa depan pluralisme dan multikultiralisme Australia selanjutnya. Agar kerangka multikulturalisme itu tidak remuk redam, maka pada 23 Agustus 2005, Perdana Menteri Howard menemui sejumlah perwakilan komunitas Muslim Australia untuk menyepakati sejumlah poin-poin dasar terkait loyalitas untuk bangsa dan negara Australia. Mereka diminta untuk benar-benar menjaga tradisi dan nilai multikulturalisme. Mereka juga diminta berjanji untuk menjaga Australia dari segala bentuk upaya tindak kekerasan, terorisme, dan perilaku-perilaku yang menciderai prinsip tolerasi antar etnik, agama, dan kebudayaan yang berbeda (Department of Immigration and Citizenship/ DIAC, 2005). Kendati demikian, kebencian terhadap dunia Islam itu pun perlahan-lahan mulai memudar ketika kritisisme publik di dunia yang dengan gencar mengecam kebijakan perang anti terorisme di bawah komando Amerika, yang dinilai telah kebablasan dan terbukti melanggar HAM berat. Sikap apriori dan sinisme publik kian menguat saat militer koalisi Amerika tidak mampu membuktikan tudingan Presiden Bush tentang kepemilikan Irak atas senjata biologi yang ternyata sama sekali tidak terbukti hingga saat ini. Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Howard, kebijakan luar negeri Australia mulai berubah dan gejala Islamophobia mulai ternetralisir. Di bawah kepemimpinan Kevin Rudd, Australia menjadi semakin santun dan tidak segarang sebelumnya. Perdana Menteri Rudd memfokuskan perhatiannya pada penguatan internal setelah sekian lama pemerintahan sebelumnya banyak menghabiskan energi dan pikirannya untuk urusan luar negeri. Bersama Rudd, Australia kembali meneguhkan 247
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
prinsip-prinsip pluralisme dan multikulturalisme yang sebelumnya sempat tergoyahkan oleh isu terorisme dunia. Multikulturalisme sebagai Aset Peradaban Australia merupakan negara terbuka yang mampu mengakomodasi seluruh ragam perbedaan ras, budaya, agama, bahasa dan lainnya. Pluralisme dan multikulturalisme telah menjadi identitas negeri Kanguru ini. Di mana perbedaan bukan dipandang sebagai sebuah hambatan sosial ( social barrier), melainkan sebagai aset budaya yang justru akan memperkaya warna-warni khazanah peradaban bangsanya. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap multikulturalisme, pemerintah Australia memberikan perhatian besar terhadap program-program yang terkait dengan isu kesetaraan, persamaan hak, kebijakan anti-rasisme dan keadilan sosial. Karena itu, tidak sedikit dari institusi pemerintahan baik di level federal maupun negara bagian (state) yang sengaja dibentuk untuk mempromosikan arti penting multikulturalisme sebagai jati diri bangsa. Di Adelaide misalnya, pemerintah negara bagian South Australia mempunyai lembaga setingkat menteri yang bergerak di bidang multikulturalisme bernama The South Australian Multicultural and Ethnic Affairs Commission, Multicultural South Australia. Lembaga yang berdiri pada 1980 ini difokuskan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang keragaman etnik, budaya, bahasa, ras, gender, dan agama, lengkap beserta implikasinya. Lembaga ini juga bertugas memberikan masukan kepada pemerintah dan pejabat publik lainnya terkait dengan kebijakan yang menyangkut isu multikulturalisme. Visi yang digariskan pun juga jelas, yakni menciptakan kehidupan dan kerja sama yang harmonis antar etnik, mengajak semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam membangun masa depan Australia, dan mempekerjakan kemampuan dan keahlian mereka untuk keuntungan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap kelompok etnik tersebut, lembaga plat merah yang berfokus pada isu multikulturalisme itu membuka kesempatan kepada seluruh kelompok etnik untuk berkompetisi mendapatkan grant senilai puluhan ribu dolar Australia untuk menggelar acara kebudayaan yang menampilkan sisi unik mereka masing-masing. Semua proposal yang masuk diseleksi sedemikian rupa untuk mencari yang format dan bentuk kegiatan paling menarik yang ditawarkan kelompok-kelompok etnik tersebut. Dengan demikian, kelompok-kelompok minoritas merasa terakomodasi dan terangkul dalam bingkai yang harmoni. Pola pendekatan dan kebijakan pemerintah lokal terkait wacana multikulturalisme itu juga memberikan implikasi besar bagi keharmonisan umat Islam di Australia. Karena pada dasarnya, umat Islam di Australia bukanlah entitas yang tunggal. Mereka kesulitan untuk mewujudkan diri menjadi entitas umat Islam yang satu (ummatan wahidah). Karena pola komunitas umat Islam di sana, sejatinya tidak disatukan oleh identitas 248
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
keagamaan, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor etnisitas dan kebudayaan lokal. Umat Islam di Australia terdiri atas komunitas yang berasal dari corak budaya, ras, etnik, bahasa yang beragam, ditambah lagi dengan adanya variasi madhzab keagamaan dalam Islam yang berbeda-beda di kalangan mereka. Sehingga menciptakan sekat interaksi di kalangan umat yang ada. Dengan kata lain, komunitas Muslim di Australia cenderung terfragmentasi dan bersikap eksklusif berdasarkan pengkotak-kotakan ras, budaya, etnik, dan bahasa mereka masing-masing. Memang realitas itu tidak terlalu mencolok, tapi fakta ini bisa dilihat dari pola komunikasi mereka. Misalnya, kelompok Muslim dari Asia Selatan laiknya warga Pakistan, Bangladesh, dan India umumnya cenderung lebih intensif berkomunikasi dengan komunitas di internal mereka sendiri. Demikian pula dengan komunitas Muslim dari Asia Tenggara, dan sebagian negara-negara Eropa Balkan, tempat asal komunitas Anglo-Celtic Muslim Australia. Tak terkecuali juga mereka yang datang dari Sub-Sahara Afrika. Eksklusifisme antar kelompok itu semakin menjadi-jadi ketika muncul “karakter menggurui” akibat dari sikap yang merasa lebih paham tentang Islam di banding kelompok lain yang memiliki madhzab berbeda dan penguasaan bahasa Arab yang seadanya. Pihak lain dianggap sebagai the second class of Moslem tidak sebanding keislamannya dengan mereka. Akibatnya muncul resistensi sosial di kalangan mereka. Tudingan-tudingan ”tidak Islami” seringkali diarahkan oleh kelompok muslim Timur Tengah yang punya “semangat membara” dalam “amar ma’ruf nahi munkar” kepada umat Muslim dari belahan dunia yang lain atau juga kepada pemeluk agama lain. Seolah mereka optimis bahwa suatu saat mereka akan berhasil meng-Islam-kan semua warga Australia. Ambil contoh, dalam acara dialog bertajuk Islamic Awarness Week yang sering mereka selenggarakan setiap tahunnya, mereka biasanya tidak memanfaatkan itu sebagai peluang untuk menjelaskan tentang hal-hal sensitif yang berpotensi membuat warga non-Muslim itu salah paham kepada Islam, atau sekadar menjadikannya sebagai media diskusi untuk memperbaiki masa depan hubungan dunia Islam dengan dunia Barat, dalam konteks ini warga lokal Australia. Sebaliknya, mereka justru memanfaatkan kesempatan dialog itu untuk mempertentangkan ide-ide aqidah tara Islam dan pemeluk agama lain dengan cara membentur-benturkan ayat-ayat Al-Quran dengan prinsip dasar keyakinan agama para non-muslim itu. Alih-alih akan impresif terhadap Islam, peluang dialog itu justru akan menciptakan luka-luka baru dan salah pengertian yang semakin fatal di kalangan non-muslim terhadap Islam. Sementara itu, komunitas Arab Wahabi ini juga sesekali tidak mampu menutupi perasaannya yang merasa lebih Islami di antara sesama pemeluk agama Islam. Sesekali mereka tidak segan-segan untuk mengajari saudara seagamanya tentang tata cara sholatnya yang kurang ideal menurut mereka, misalnya langsung membenarkan posisi tangan teman 249
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
disampingnya saat mereka sama-sama sedang sujud dalam shalat. Tanpa berusaha menjaga perasaan seseorang di depan jamaah lain, langsung saja dia mengharam-haramkan sejumlah hal milik orang tersebut, laiknya nada bunyi telefon genggam milik salah seorang jamaah karena nada dering itu mendendangkan shalawat atau ayat Al-Quran sebagai lagu yang menurutnya haram. Mereka juga tak segan-segan meminta pihak lain untuk istighfar dan bertaubat karena pemikirannya yang dipandang menyimpang dari keyakinan yang mereka yakini. Bagi mereka yang merasa inferior dalam ber-Islam karena terkendala penguasaan bahasa Arab sebagai bahasa dasar Al-Quran, maka nasehat itu dianggapnya sebagai berkah besar yang akan menuntunnya menuju pintu syurga. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa memiliki kapasitas setara tentang pemahaman Islam, ushul fiqh, dan tafsir Al-Quran, maka tindakan itu berpotensi besar menyinggung perasaan orang lain. Walhasil, fragmentasi komunitas umat Islam terjadi bukan hanya di level area interaksi sehari-hari, melainkan juga sampai merambah ke upaya pengkapling-kaplingan masjid berdasarkan madzhab dan latar belakang etnik budaya masing-masing. Tak hanya itu, belakangan bahkan berhembus kabar bahwa akibat dari perbedaan madzhab dan etnik budaya itu, konon terjadi juga kompetisi dan perang pengaruh antar imam dari masing-masing masjid yang ada, sebagai basis utama penguatan komunitas mereka. Tapi terlepas dari isu-isu yang berserakan itu, komunalisme antar-jamaah masjid memang terjadi. Ambil contoh di Adelaide, terdapat sejumlah masjid yang misalnya terletak di jalan Little Gilbert, di sekitar jantung kota Adelaide. Di sana, jamaahnya banyak yang dari kalangan Iran, Lebanon, Turki dan sejumlah negara Asia Selatan, yang secara pemahaman keislamannya lebih inklusif karena banyak dari mereka yang berpatokan pada madzhab Hanafi. Sementara di area Marion rood, jamaahnya banyak dari kalangan imigran dari Saudi Arabia yang didominasi oleh paham Wahabi dan Hambali, sehingga relatif eksklusif paradigma keagamaannnya. Sementara masjid di area Port Adelaide, wilayah bagian utara dari negara bagian Australia Selatan, jamaahnya relatif plural, terdiri atas Muslim Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan seperti India, Pakistan, Afganistan, dan lainnya. Sementara komunitas Muslim dari Asia Tenggara relatif tersebar dan tidak memiliki basis area tersendiri kecuali di sejumlah kampus-kampus lokal, karena kebetulan banyak di antara mereka adalah pelajar. Untuk mengakomodir ragam komunitas Islam yang warna-warni itu, maka pemerintah lokal tetap menghormati mereka dengan cara menggunakan pendekatan etnik ketimbang agama. Karena itu, dalam setiap perayaan hari nasional “Australia Day” yang jatuh pada 26 Januari misalnya, pemerintah negara-negara bagian (state government) berupaya menampilkan aspek kebudayaan ketimbang mengangkat sentimen agama dan keyakinan. Mereka mengundang seluruh perwakilan etnik yang menetap di wilayah administratifnya untuk ikut berpartisipasi merayakan hari jadi Australia yang ditandai oleh kedatangan utusan kerajaan Inggris 250
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
yang berlabuh di pinggiran kota Sydney pada tahun 1788. Sebuah utusan yang terdiri atas rombongan 986 orang yang dipimpin oleh Kapten Arthur Philip, didampingi oleh wakilnya, seorang pendeta, dokter, 43 perwira, 210 prajurit, wanita dan anak-anak, ditambah 729 orang narapidana (Lunandi, 1981). Perayaan yang diekspresikan lewat pertunjukan kolosal dan parade antar-etnik itu seakan ingin menunjukkan kepada dunia betapa kayanya peradaban Australia. Tak hanya menampilkan performance dari masyarakat lokal Australia, tetapi juga tari perut ala Timur Tengah dan Mesir, lagu dan rebana asal padang pasir, tarian Salsa khas Amerika Latin, drumband khas Irlandia, tarian-tarian etnik tradisional ala Asia Tenggara, Barongsai ala China, rebana khas Melayu, atraksi kekebalan tubuh khas kepulauan Pasifik, hingga tarian kolosal ala Afrika, semuanya mendapatkan tempat yang sama di hati bangsa Australia. Kendati demikian, pendekatan keagamaan juga sesekali digunakan oleh pemerintah lokal untuk mengakomodasi kelompok-kelompok agama yang secara keyakinan, mereka didiskriminasikan dan dialienasikan oleh golongan mayoritasnya. Misalnya komunitas Ahmadiyah, sebuah sekte keagamaan yang dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam karena mengkultuskan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir setelah Muhammad, juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan identitas kultural dan keyakinannya. Keberadaan mereka ditandai oleh eksistensi lembaga Ahmadiyya Muslim Assiciation of Australia (AMAA) yang secara intensif mengkampanyekan kepada dunia tentang pentingnya prinsip-prinsip perdamaian, kesetaraan, penghormatan, dan kebebasan sejak tahun 1987. Persebaran komunitas mereka tidak hanya terkonsentrasi di satu tempat, melainkan juga eksis di berbagai kota di Australia, seperti Sydney, Melbourne, Adelaide, Perth, Canberra, Brisbane dan Hobart. Pemandangan itu tentunya sangat ironis dibandingkan dengan apa yang dialami oleh jamaah Ahmadiyah di Mesir, Pakistan, Bangladehsh, dan sejumlah negara Timur Tengah, di mana ajaran dan keyakinan Ahmadiyah divonis najis alias haram oleh para Imam yang tergabung dalam Wilayatul Faqih maupun Majelis Ulama negara-negara setempat. Fatalnya, vonis pengharaman itu acapkali berujung pada tindakan kekerasan, intimidasi hingga pembantaian terhadap jamaah Ahmadiyah dengan alasan penodaan keyakinan dan ajaran agama yang selalu diklaim sebagai agama perdamaian. Akibatnya, rasa saling percaya antarwarga masyarakat (social trust) kian rapuh. Implikasinya, kepercayaan publik terhadap elit politiknya (political trust) hanya menjadi isapan jempol belaka. Sementara itu, komunitas Muslim asal Indonesia sendiri secara demografis tersebar di berbagai negara bagian di Australia. Tidak sedikit di antara mereka yang telah menjadi permanent resident di sana, tapi komunitas pelajarnya juga tak kalah banyak. Komunitas pelajar inilah yang kemudian secara intensif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan bernuansa 251
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
Islam, dengan berkolaborasi dengan komunitas Islam setempat. Seperti halnya komunitas Muslim di Australia pada umumnya, umat Islam asal Indonesia ini juga terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok. Di mana komunalisme mereka sangat dipengaruhi oleh perbedaan madzhab pemikiran keislaman dan afiliasi organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Misalnya, komunitas Nahdlotul Ulama (NU), komunitas Muhammadiyah, dan kelompok Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tidak sedikit friksi dan perselisihan muncul di permukaan, tetapi masih dalam batas proporsional dan dapat diredam melalui komunikasi dan interaksi sosial yang intensif. Kendati sikap mempertahankan identitas kelompok mereka masih kuat, tetapi ketika berhadapan dengan komunitas Muslim Timur Tengah, tetap saja perasaan inferioritas itu kembali ada. Sebagian dari mereka seolah pasrah diposisikan sebagai kelompok muslim kelas dua. Tidak hanya karena persoalan penguasaan bahasa Arab yang minim sebagai bahasa dasar dalam memahami Islam, keminderan mereka juga disebabkan oleh aspek penampilan. Mereka merasa bahwa komunitas Arab itu lebih Islami. Semakin panjang jenggotnya, semakin minder orang Indonesia dibuatnya. Setiap pendapat dan perspektif mereka dalam menafsirkan ajaran agama seolah-olah dianggap sebagai fatwa mufti yang selalu benar adanya. Ke semuanya itu adalah warna-warni ekspresi keberislaman dalam masyarakat Australia yang plural. Ragam madzhab, perbedaan muamalah, dan silang sengkarut afiliasi politik dan organisasi keislaman para komunitas Muslim itu kian memperkaya khasanah multikulturalisme negeri Kanguru. Perbedaan itu tampak semakin indah ketika sistem politik dan hukum yang dijalankan oleh pemerintah Australia mampu menjamin, mengakomodasi dan merangkul seluruh elemen sosial yang berbeda dalam kerangka terwujudnya Australia yang damai, toleran, dan harmoni. Tampaknya, bangsa Australia lebih paham dan mampu mengamalkan nilai-nilai moral keislaman yang mengajarkan bahwa perbedaan merupakan rahmat (al-ikhtilafu ummatin al-rahmah). Karena itu, tidak berlebihan jika Muhammad Abduh, murid dari pemikir besar Islam yang fenomenal Jamaludin Al-Afghani, memberikan testimoni kekagumannya terhadap peradaban Barat dengan mengakui bahwa dirinya bisa melihat kehadiran Islam di dunia Barat, kendati umat Islam terbatas di sana. Sebaliknya, Abduh juga mengaku dirinya tidak begitu merasakan kehadiran Islam di Timur meskipun warga Muslim sangat berjubal dan bertebaran di sana. Kesimpulan Tulisan ini sekadar mencoba mengulas tentang warna-warni perbedaan ekspresi keislaman di kalangan komunitas Muslim Australia yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Australia telah membuktikan diri berhasil menjadi rumah yang nyaman bagi umat Islam untuk berinteraksi dan hidup berdampingan dengan damai. Merujuk pada hasil temuan 252
Ahmad Khoirul Umam Wajah Damai Minoritas Islam di Australia.
penelitian yang dilakukan Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University, sebagaimana dipublikasikan di Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010), dinyatakan bahwa Australia merupakan negara peringkat sembilan yang perilaku masyarakat dan pemerintahannya termasuk dalam kategori 'Islami'. Australia telah membuktikan watak dan karakter negaranya dapat dijadikan sebagai teladan dalam 'membumikan' nilai dasar serta pemahaman Islam yang
rahmatan lil alamin.
Pelajaran penting yang bisa diambil dari kehidupan sosial di Australia adalah penghargaan dan komitmen mereka yang tinggi terhadap multikulturalisme dan pluralisme masyarakatnya. Kesadaran masyarakat dan pemerintahannya terhadap multikulturalisme itu telah ditransformasikan ke dalam berbagai kebijakan riil yang mengakar. Sehingga kelompok minoritas tetap merasa nyaman berdampingan bersama golongan mayoritas. Australia adalah bangsa yang ber-akhlaqul karimah tinggi dengan cara mendasarkan setiap tindakan mereka pada aturan dan mekanisme hukum serta aturan main yang mereka sepakati. Sehingga mereka sadar betul bahwa mereka hidup dalam entitas masyarakat yang plural, berdiri di atas kesepakatan untuk saling menghormati, serta menaati mekanisme hukum yang telah disepakati. Kesadaran publik seperti itu menjadi modal sosial ( social capital) yang amat penting bagi pembentukan karakter bangsa, sebagai landasan utama pembangunan negara yang kuat. Teorinya, ketika social trust terbangun di kalangan masyarakat, maka political trust antara warga dan instrumen politik negara juga akan terbangun dengan baik (Fukuyama, 2001). Jika kedua prinsip dasar itu telah terwujud, maka tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) akan hadir sebagai pijakan awal menuju proses pembangunan yang sesunggungnya. Spirit itulah yang disebut oleh Crook dan Manor (1998:304) sebagai “demokrasi substantif” (substantive democracy). Itulah yang tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebuah bangsa yang secara mati-matian membangun citra dan kekuatan demokrasi, tetapi tidak diimbangi oleh hadirnya modal sosial dan substansi demokrasi yang memadai. Walhasil, praktik demokrasi semu (pseudo or pretended democracy) masih terus berlanjut hingga saat ini (Heynes, 2001:5; Liddle, 1997). Dengan kata lain, reformasi politik di Indonesia kini belum menghasilkan konsolidasi demokrasi, melainkan hanya sebatas melahirkan konsolidasi oligarkhi. ***** Daftar Pustaka Jha, Ganganath, Society amd Politics in Southeast Asia, India, Anamika, 2009. Brown, David, The State and Etnic Politics in Southeast Asia, London, Routledge, 1994. Castells, Manuel, The Power of Identity, Oxford, Blackwell, 1997. Cotton, J., & Ravenhill,J (eds), Seeking Asian Engagement: Australia in World Affairs 253
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
1991-95, University Press, Melbourne, 1997. FitzGerald, S., Is Australia an Asian Country?, Allen & Unwin, St Leonards, NSW, 1997. Halliday, Fred, ‘The Politics of Islam’, British Journal and Political Science, Vol. 25 (3), July 1995, pp. 399-417. Heynes, Jeff (eds), Democracy and Political Change in the Third World, London and New York, Routledge/ECRP Studies in European Political Science, 2001. Huntington, Samuel, P., ‘Religion and the Third Wave’, The National Interest, Summer, 1991, pp. 29-41. Huntington, Samuel, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, New York, M.E. Sharpe, 1991. Kaisiepo, Manuel, “Sebuah Masyarakat Multikultural”, Kompas, 21 Oktober 1987, dalam Kitley, Philips, Richard Chauvel, David Reeve, Australia di Mata Indonesia; Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988, Jakarta, PT Gramedia, 1989, hlm. 347-351. Kitley, Philips, Richard Chauvel, David Reeve, Australia di Mata Indonesia; Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988, Jakarta, PT Gramedia, 1989. Lunandi, A.G, “Negeri Beruntung Berpantai Indah”, Kompas, 26 Februari 1981, dalam Kitley, Philips, Richard Chauvel, David Reeve, Australia di Mata Indonesia; Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988, Jakarta, PT Gramedia, 1989, hlm. 20-23. Mackie, J., “The Politics of Asian Immigration”, in Asians in Australia: Patterns of Migration and Settlement, eds J. Coughlan & D. McNamara, MacMillan, South Melbourne, Victoria, 1997. Madjid, Nurcholis, “Orang-orang Muslim di Australia”, Pelita, 29 Mei 1986, dalam Kitley, Philips, Richard Chauvel, David Reeve, Australia di Mata Indonesia; Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988, Jakarta, PT Gramedia, 1989. McGillivray, M & Smith, G (eds), Australia and Asia, Oxford University Press, Melbourne, 1997. McDougall, Derek, Australian Foreign Relations, Contemporary Perspectives, Longman, Melbourne, 1998. Michael, Michális S., “Australia's Handling of Tensions between Islam and the West under the Howard Government”, Asian Journal of Political Science, Vol. 17, No. 1, April 2009, pp. 45-70. Tibi, Bassam, Religious Fundamentalism and Ethnicity in the Crisis of the Nation-state in the Middle-East: Superordinate Islamic and Pan-Arabic Identities and Subordinate Ethnic and Sectarian Identities, Berkeley, University of California, Center for German and European Studies, Working Paper, 1992.
254