Tingkat penderita epilepsi (ayan) pada anak di Indonesia bahkan di negara maju seperti Amerika masih cukup tinggi. Pandangan yang salah dari sebagian masyarakat Indonesia terhadap penyakit epilepsi yang menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit turunan yang menular dan penyakit kutukan telah menyebabkan penderitaan yang berlipat-lipat pada penderitanya. Selain harus menanggung beratnya penderitaan di waktu serangan datang para penderita terkadang dikucilkan oleh masyarakat. Ada sebagian masyarakat masih menganggap bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total. Anggapan ini telah memperburuk keadaan sehingga penderita tidak jarang dibiarkan tanpa diberikan terapi yang seharusnya. Pemberian terapi secara dini memberikan harapan kepada penderita untuk bisa sembuh total sebelum dewasa. Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol.2, No.1 Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Correspondence Maya Genisa, S.Si.M.T. Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI,
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama. Peneliti umumnya memperoleh insiden 20-70 per 100.000 per tahun dan prevalensi sewaktu 4-10 per 1000 pada populasi umum. Prevalensi total yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dalam suatu populasi yang pernah menderita epilepsi diperkirakan sekitar 2-5% sehingga diperkirakan sebanyak 1 diantara 20 penduduk di dalam suatu populasi akan mengalami kejang pada suatu saat dalam hidupnya dan 1 diantara 200 akan mengalami epilepsi. Pada populasi anak diperkirakan 0,3-0,4% diantaranya mengalami epilepsi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Berdasarkan asumsi bahwa Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang, maka kejadian epilepsi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju/industri. Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi aktif 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagu pada kelompok usia lanjut. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang
penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. Epilepsi merupakan masalah besar dalam bidang pediatri. Insiden tahunan dalam dekade pertama kehidupan diperkirakan mencapai 60 per 100.000 dengan prevalensi 3 per 1000 dan laki-laki sedikit lebih banyak dibanding perempuan.1,2 Passat J. Epidemiologi epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S eds. Neurologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, BP IDAI;1992: 190-7. 2. Saharso D, Erny, Poerwadi T. Pedoman pengobatan epilepsi pada anak. Dalam: Permono B, Soeparto P, Kaspan MF, Soegijanto S, Soejoso DA, Narendra MB eds. Pendidikan kedokteran berkelanjutan ilmu kesehatan anak FK Unair. Surabaya, Surabaya Intellectual Club; 2002: 131-53.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang ditandai oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2003). Anak yang menderita epilepsi memerlukan penatalaksaan yang tepat karena bangkitan epilepsi yang tidak terkontrol akan meningkatkan risiko mortalitas 23 kali populasi normal akibat sudden death, trauma, bunuh diri, dan status epileptikus (deBoer dkk, 2008; Wical, 2003; Levefre dkk, 2000; Manford, 2003; Donner dan Smith, 2001; Callenbach dkk, 2001). Penatalaksaan yang komprehensif juga diperlukan karena bangkitan yang berulang akan menurunkan kualitas hidup penderita (deBoer dkk, 2008; Connoli dan Johnson, 1999; Greenwood dan Tennison, 1999). Prevalensi epilepsi bervariasi antara 0,5%- 1% populasi umum (Neville, 1997; Schachter, 2004). Insiden epilepsi pada anak di negara maju secara umum diperkirakan sebesar 40 per 100.000 perduduk pertahun, dan di negara berkembang sebesar 50 hingga 100 per 100.000 penduduk pertahun (Schachter 2004; Covanis, 2003). Tingginya insiden epilepsi di negara berkembang diduga karena tingginya faktor risiko gangguan atau infeksi saraf pusat yang dapat menjadi fokus epileptik (Manford, 2003; deBoer dkk, 2008). Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, jumlah pasien epilepsi yang berobat di poliklinik neurologi anak dalam kurun waktu 6 bulan (Januari – Juni 2008) sebanyak 86 penderita epilepsi anak, 39 penderita berjenis kelamin laki laki dan 47 penderita perempuan dengan rentang usia antara 7 bulan sampai dengan 14 tahun (Data RSDM, 2008).
Epilepsi pada anak perlu mendapat perhatian karena selain merupakan kasus yang cukup sering ditemukan, juga sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita baik fisik, mental, dan sosial (deBoer dkk, 2008; Connoli dan Johnson, 1999; Greenwood dan Tennison, 1999). Menurunnya kualitas hidup penderita epilepsi disebabkan karena epilepsinya sendiri, pengaruh obat anti epilepsi (OAE), dan pengaruh psikososial (deBoer dkk, 2008; Cornaggia dkk, 2006; Bortz, 2003; Leung dan McLachlan, 2000; Morgan, 2006). Salah satu aspek kualitas hidup yang dipengaruhi oleh epilepsi yaitu gangguan daya ingat (Connor, 1994; Desai, 2008; Mazarati, 2008). Daya ingat sangat dibutuhkan dalam proses belajar terutama pada penderita epilepsi anak yang masih dalam masa perkembangan. Nolan dkk dalam penelitiannya membuktikan penderita epilepsi dihadapkan pada risiko mengalami penurunan fungsi kognitif karena menurunnya fungsi daya ingat (Nolan dkk, 2004). Akibat gangguan daya ingat tersebut banyak penderita epilepsi anak yang tidak mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, yang dapat berakibat jangka panjang seperti sulitnya mendapat pekerjaan dan stigma negatif yang menetap sampai dewasa (deBoer dkk, 2008; Little, 2002; Bortz, 2003; Morgan, 2006). Gangguan daya ingat terjadi pada 2050% penderita epilepsi anak (Connor, 1994; Zeman, 2006; Morgan, 2006). Gangguan tersebut terjadi akibat epilepsi itu sendiri, yaitu usia saat menderita epilepsi (onset), frekuensi bangkitan, lama bangkitan, tipe epilepsi atau sindrom epilepsi, dan etiologi epilepsi (Desai, 2008). Pengaruh epilepsinya sendiri yaitu proses patologis yang mendasari terjadinya fokus epileptik, mengganggu secara langsung fungsi otak yang berperan dalam proses terjadinya memori. Aktivitas kelistrikan otak abnormal dari fokus epileptik juga akan mengganggu proses pengolahan informasi menjadi suatu ingatan atau memori (Connor, 1994). Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan daya ingat adalah pemakaian obat OAE yaitu fenobarbital dan fenitoin. Obatobat tersebut menyebabkan gangguan perhatian dan konsentrasi, serta lambatnya proses pengolahan informasi di otak (Baker dkk, 2008; Faught, 2002). Faktor psikososial seperti timbulnya stigma negatif masyarakat terhadap penderita epilepsi, menyebabkan penderita mengalami depresi yang selanjutnya akan mengganggu perhatian yang diperlukan dalam proses mengolah informasi menjadi memori (Mazarati, 2008). Gangguan daya ingat yang terjadi harus segera dideteksi untuk selanjutnya dilakukan intervensi sehingga dapat memperbaiki atau mencegah bertambah buruknya fungsi kognitif (Roediger, 2007; Morgan, 2006). Di Surakarta, khususnya di RSDM Dr. Moewardi, belum diketahui prevalensi gangguan gaya ingat pada penderita epilepsi anak serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktorfaktor dari epilepsi itu
sendiri yang menyebabkan terjadinya gangguan daya ingat pada penderita epilepsi anak di RSDM Dr. Moewardi Surakarta. Prevalensi epilepsi bervariasi antara 0,5%1% populasi umum (Neville, 1997; Schachter, 2004). Insiden epilepsi pada anak di negara maju secara umum diperkirakan sebesar 40 per 100.000 penduduk pertahun, dan di negara berkembang sebesar 50 hingga 100 per 100.000 penduduk pertahun (Schachter, 2004; Covanis, 2003). Tingginya insiden epilepsi di negara berkembang diduga karena tingginya faktor risiko gangguan atau infeksi saraf pusat yang dapat menjadi fokus epileptik, seperti penatalaksaan persalinan yang tidak optimal, kebersihan diri dan lingkungan yang buruk, infeksi otak, dan infestasi parasit (Manford, 2003; deBoer dkk, 2008). Insiden epilepsi tertinggi dijumpai pada umur 1 tahun pertama, yaitu 120 per 100.000 populasi, dan menurun secara dramatis pada umur 1 – 10 tahun yaitu sebesar 40 per 100.000 populasi (Sagraves, 1998; Schachter, 2004 Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per 1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun. Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun). Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun) tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010) Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)
Hasil survei population-based ditemukan bahwa dua per tiga kasus diklasifikasikan sebagai idiopatik atau kriptogenik. Satu dari tiga orang dengan bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi idiopatik.(Nadir dkk, 2005) Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)
Epilepsi adalah sindroma kelainan faal otak berulang yang tampak dengan seizure, fit atau kejang/konvulsi > 2 kali tanpa penyebab & yang tidak dihasut (unprovoked) • Insidens epilepsi sedunia 0,4 – 0,8%. • Kira-kira 5 – 9% orang mengalami kejang seumur hidup, termasuk kejang febris pada masa anak.
• Hanya pada 32% of pasien kejang ada kelainan neurologis atau sistemis yang dapat ditentukan: seperti tumor, febris, hipoglukemia, renjetan (stroke) dll. • Kasus yang lain (68%) disebut idiopatik, sesuai dengan definisi epilepsi. The incidence (the number of new cases per year) of epilepsy is 24–53 per 100 000 population in developed countries (32). There are few incidence studies in developing countries, none of which is prospective: they show rates from 49.3 to 190 per 100 000 population (33). Higher incidence rates in developing countries, thought to be attributable to parasitosis particularly neurocysticercosis, HIV, trauma, perinatal morbidity and consanguinity, are difficult to interpret because of methodological issues, particularly the lack of age adjustment, which is important because epilepsy has a bimodal peak with age. Incidence rates worldwide are greater in men than women. In developed countries, incidence among the elderly is rising and among children it is falling. This is relevant to developing countries as longevity rises and risk of cerebrovascular disease increases. Conversely, better obstetric care and infection control can diminish incidence in children. The prevalence (the total number of cases at a particular point in time) of active epilepsy in a large number of studies has been shown to be fairly uniform at 4–10 per 1000 population (34). Higher prevalences in sub-Saharan Africa and Central and South America have been reported, possibly due to methodological differences, consanguinity or environmental factors and particularly so in rural areas (35). It is difficult to tease out racial and socioeconomic factors. Prevalence data are primarily used by health planners and for generating aetiological hypotheses.